ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANAYANG ADIL DAN LAYAK (DUE PROCESS MODEL) (Sebuah Telaah Sosiologi Hukum)1
Oleh: Otto Restu Fadjar, SH., MH Abstrak Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak,Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan. Untuk mewujudkan tujuan peradilan pidana tersebut, dalam hal ini Sistem Peradilan Pidana, telah mengetengahkan due process model,seperti yang telah di perkenalkan oleh Herbert L Packer. Yaitu model yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam praktek model ini banyak menimbulkan permasalahan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. pemeriksaan umumnya berlangsung lama, berbelit-belit, penuh keberpihakan, rumit dan tidak sederhana seperti yang disebutkan dalam aturan normatifn / formalnya (KUHAP). Dari permasalah inilah maka dilakukanlah Penulisan terhadap hal ini. Penulisan ini, menggunakan Penulisan hukum yang sosiologis (empiris), dan menggunakan metode pendekatan Yuridis-Empirik, yaitu hukum dipandang sebagi gejala masyarakat, sebagai institusi sosial atau perilaku yang mempola. Objek Penulisan ini adalah, Perilaku aparatur peradilan dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pemilihan informannya dalam Penulisan ini, dilakukan secara Purposive dan yang menjadi sumber datanya adalah kata kata dan tindakan para aparatur pengadilan
1
Tulisan ini adalah hasil Penulisan penulis terhadap pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Karawang yang tersistematis, terjadwal, dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum. 1
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
membutuhkan tiga masukan (Input)
Pendahuluan Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak,Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh
aturan-aturan
ketat
tentang
pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada
proses
pemeriksaan
di
pengadilan1. Kaitannya dengan tujuan peradilan
pidana
ini,
Harry
C
Bredemeire memandang bahwa tugas
adalah : 1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat, antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinankemungkinan yang akan diderita dari akibat putusan tersebut. 2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan 3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk penyelesaian konflik2
pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik
dan
kerjasama,
gangguan dalam
hal
terciptanya ini
untuk
mewujudkan tugasnya itu pengadilan
Baik pidana,
dari
tujuan
ataupun
dari
pengadilan.keduanya sekali
peradilan
sangat
hubungannya
Responsibilitas,
tugas erat
dengan
Liabilitas,
dan
Akuntabilitas, Peradilan. dengan ketiga 1
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol sosial Dan Akuntabilitas Peradilan, Refika Aditama. 2004 Bandung hlm:1. Bandingkan dengan tujuan hukum acara pidana yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan KUHAP bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materil atau setidaktidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan.
hal
ini,
perkara
diharapkan pidana
seyogyanya
memperhatikan: Adanya untuk
pemeriksaan harus
kewajiban
mempertanggungjawabkan
tindakan ataupun keputusannya, Yang melakukan penilaian tersebut adalah institusi sosial politik yang berada di luar peradilan3 2
Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian empiris Terhadap Pengadilan, BP Iblam. 2004 Jakarta hlm: 12-14. 3 Anthon F Susanto Makna Realitas Kontrol Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana, Dalam 2
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Untuk
mewujudkan
tujuan
peradilan pidana tersebut, dalam hal ini
Sistem Peradilan Pidana, telah
mengetengahkan dalam
model
pelaksanaannya.
normatif Herbert
L
Packer, telah memperkenalkan dua model peradilan pidana due process model dan crime control model dan pembedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan stuktural
(sobural)
masyarakat
Amerika Serikat lebih lanjut Packer4 mengemukakan:
Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Unpas,Volume 2 Nomor 2 JuliDesember 2001, hlm 59. selanjutnya dengan mengutip dari Caiden, Anthon F susanto, Menjelaskan bahwa. Responsibilitas biasanya menunjuk pada otoritas bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan, dan kekuasaan untuk mengawasi. Liabilitas, sering diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki, menggantikan kerugian, membalas jasa. Akibat segala kesalahan atau kemiskinan penilaian atas dampak kebijakan, sedangkan akuntabilitas, adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, memikul tanggungjawab. Memberi perhatian dan tunduk kepada penilaian (Judgement) dari luar. 4 Herbert L Packer The Limit Of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford California, 1968, hlm 152-153. yang kemudian dikutip oleh Romli Atmasasmita, dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system): Perspektif eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin (Anggota IKAPI), Jakarta, 1996, hlm 18.
“Bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan penyelidikan secara umum tentang apakah proses pidana merupakan kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengatasi perilaku anti-sosial, bertitik tolak dari kedua persyarat tersebut memerlukan suatu pemahaman, mengenai “Criminal proces” satusatunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut di atas adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model, model yang hendak dibangun adalah (1) yang memilki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem diimplementasikan; (2) dan sebuah model berbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari; (3) sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara ekplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu “criminal process”, bentuk model yang cocok untuk mencapai ketiga hal tersebut adalah model atau model-model normatif, adalah The due process model, dan The crime control model Proses
pemeriksaan
perkara
pidana yang tertuang dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana), telah mencerminkan nilainilai yang tertuang dalamdue process model. sebab model ini menawarkan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
3
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
prosedural yang ketat, yang didukung
itu, Di ruang sidang kekerasan muncul
oleh sikap batin (penegak hukum)
melalui
untuk menghormati hak-hak warganya.
hakim yang bertanya dengan nada
Namun dalam kenyataanya, formulasi
marah atau membentak tersangka,
aturan model
arogansi kewenangan dan sifat otoriter,
biasanya
yang demikian itu
tidak
memperlihatkan
atau
berbagai
aparat
simbol
keamanan
dengan
hubungan yang signifikan terhadap
persenjataan
komitmen
yaitu
masuknya tersangka ke persidangan.
menyangkut persolan subtantif yang
Di tengah wacana peradilan pidana
sering dikesampingkan, yang pada
yang seperti ini, banyak kritikan yang
akhirnya
dilontarkan.terhadap
dalam
hanya
formal
semata.
praktek,
muncul
prosedur
Akibatnya
lengkap
tertentu,
mengawal
lembaga
dari
peradilan di indonesia, yang telah
demikian
menjurus ke arah caci maki dan
permasalahan
sumpah serapah. hendak diapakan
proses pemeriksaan perkara
peradilan dalam kondisi seperti saat
pidana di pengadilan. pemeriksaan
ini? bukan semata-mata ungkapan
umumnya berlangsung lama, berbelit-
sinis dan pesimis, namun realitas yang
belit, penuh keberpihakan, rumit dan
beralngsung mempertontonkan sebuah
tidak
yang
peradilandagelan, peradilan yang di
disebutkan dalam aturan normatifnya/
dalamnya penuh nuansa formalitas
formalnya
yang
formulasi
model
tersebut,
timbullah
dalam
sederhana
yang
seperti
(KUHAP).
Pemeriksaan
pada
akhirnya
menjadikan
perkara pidana di pengadilan biasanya
peradilan sebagai Super market (jual
menunjukan kepada pelayanan status,
beli keadilan) yang terjadi di ruangan
biasanya memihak status yang lebih
pengadilan.di ruang pengadilan inilah
tinggi atau lebih berbobot materinya,
terdapat semacam simulasi pengadilan
dibandingkan dengan status yang lebih
(Simulationofcourt)5 Dalam wacana
rendah atau kering bobot materinya. dan inilah dinamakan dengan perilaku diskriminatif Selain itu juga, permasalahan yang timbul dari model yang demikian
5
Simulationofcourt, yaitu pengadilan yang berlangsung pada tingkat citraan (Image), yang di dalamnya dicari citraan kebenaran (image oftruth), bukan kebenaran sejati. simulasi pengadilan hanya menghasilkan simulakra keadilan (Simulacraofjustice), yaitu keadilan yang ditampilkan dalam 4
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
hukum
seperti
ini, Yasraf Amir
6
Piliang mengatakan Wacana hukum dalam hal ini, menciptakan semacam realitas hukum yang melampui (post-justice), yaitu sebuah dunia hukum, yang di dalamnya pengadilan (court) dan keadilan (justice) hidup dalam wujud simulakra, di dalam wujud topeng-topeng
6
wujud citraan yang terdistrosi, menyimpang, terdeviasi, bahkan terputus, dari kebenaran yang sesungguhnya. dalam simulasi hukum, pemeriksaan, penyidik, penyelidikan, pengadilan, penjatuhan Vonis, berlangsung dalam mekanisme seolah-oleh (asif), dalam wujud citraan kamuflase, sebagai cara untuk menutupi realitas sesungguhnya. dalam wacana simulationofcourt, di mana pengadilan, misalnya memang menghadirkan tersangka yang faktual, jaksa yang faktual, saksi yang faktual, di sebuah geduang pengadilan yang faktual. akan tetapi semua yang hadir itu belum tentu nyata. di sini, perbedaan antar fakta (fact) dan yang nyata (Real), harus ditegaskan kembali. Dalam hal ini Fakta Hukum adalah orang, benda, bangunan, saksi, atau barang bukti, yang hadir secara fisik (Fresence), yang bisa dipoto, divideokan, atau difilmkan, menjadi sebuah image dalam sebuah media. Realitas Hukum, adalah apa yang sesungguhnya terjadi di balik fakta dan image tersebut. singkatnya fakta hukum tidak selalu merupakan realitas hukum, disebabkan fakta tersebut secara semiotik dapat merupakan tanda palsu, tanda menipu, tanda dusta, ketika tanda-tanda ini diterapkan dalam dunia hukum, maka hukum dikuasai oleh image. Lihat dalam Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan, Dalam era Posmetafisika, Jalasutra Yogyakarta, 2004, hlm. 306-dst. Yasraf Amir Piliang, Posrealitas, Ibid, hlm. 298. Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk yang nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asalusul, atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi nampak nyata.
keadilan, di dalam mekanisme seolaholah adil (as if). keadilan keadilan berkembang dalam wujud simulasinya, yang menampilkan citra-citra konkrit, sebagai signifer (pengadilan, terdakwa, saksi, jaksa, hakim), menampakan aksiaksi sosial yang aktual, akan tetapi semua dalam wujud simulasinya Permasalahan dalam Penulisan ini akan diuraikan sebagai berikut: 1.
2.
3.
Apakah pemeriksaan perkara pidana (di pengadilan negeri karawang) mencerminkan pemeriksaan yang layak dan adil (due process model)? Bagaimana implementasi asas persamaan di muka hukum (equality before the law), sebagai nilai yang melandasi Due process model. Dalam pemeriksaan perkara pidana (di pengadilan negeri karawang)? Kendala apa yang timbul, dan upaya apa yang harus dilakukan dalam pemeriksaan perkara pidana (di pengadilan negeri karawang), kaitannya dengan sistem peradilan pidana yang adil dan layak Dari
permasalahan
di
atas,
Penulisaan ini bertujuan untuk:; 1.
Mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan dari sudut pandang sosiologi hukum, apakah pemeriksaan perkara pidana di pengadilan negeri karawang, mencerminkan pemeriksaan yang adil dan layak (Due process model). Mengetahui dan menelaah dari sudut pandang sosiologi hukum, tentang implementasi asas
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
5
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
2.
persamaan di muka hukum (Equality before the law), sebagai nilai yang melandasi Dueprocessmodel. dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan negeri karawang Mengetahui, mengkaji dan mencari pemecahannya dari hambatan yang timbul, dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan negeri karawang, kaitannya dengan sistem peradilan pidana yang adil dan layak. kerangka
Penulisan
pemikiran
pidana dipandangan sebagai suatu sistem yang mempunyai masukan dan keluaran dalam arus perkara
mulai
dari pembentukan UU pidana, sampai pada pembinaan narapidana hingga keluar dari lembaga pemasyarakatan. karena setiap interaksi baik yang dilakukan
antara
individu
dengan
masyarakat maupun dengan negara selalu memerlukan sistem yang dapat
dalam
mengatur agar terselenggaranya tanpa
ini, penulis menggunakan
distorsi. Pendekatan sistem dalam
adalah
dunia ilmu pengetahuan8 bukanlah
Teorisistem7dalam hal ini peradilan
pendekatan yang baru, bahkan sejak
teori
utamanya
masa kejayaan romawi telah memakai 7
Pemikiran secara sistem (system thinking) pada hakekatnya berarti pemikiran dengan bantuan sistem dengan pendekatan sistem. Sasaran utama pemikiran sistem adalah membalikan subdivisi ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi disiplin–disiplin yang sangat terspesialisasi menjadi sebuah sintesa interdisipliner pengetahuan ilmiah yang ada. Pemikiran dengan bantuan teori sistem mengandung ciri-ciri seperti yang telah disebutkan oleh Joseph A. Litterer, (a) Adanya antara hubungan interdispliner objek-objek, sifatsifat dan kejadian-kejadian artinya setiap sistem harus mengikuti elemen yang ada pada sistem yang bersangkutan, (b) Holism, artinya pendekatan sistem bukanlah pendekatan secara analitikal, di mana keseluruhannya diurai dalam bagian-bagian dan kemudian elemen yang telah diurai dipelajari secara terpisah, sistem lebih merupakan sebuah pendekatan tipe gestalt di mana kita berupaya memandang keseluruhan dengan semua bagian-bagian yang berinteraksi dan independent dalam interakasi, sistem dalam hal ini sebuah kesatuan yang tidak terbagikan, (c) Mencapai tujuan, (d) adanya masukan dan keluaran, (e)
pendekatan menjelaskan
secara
sistem
esensi
untuk suatu
Tranformasi, sistem berarti sebagai pengubah input menjadi output, maksudnya apa yang diterima sistem tersebut dimodifikasi oleh sistem tersebut dengan cara sedemikian rupa.bentuk keluarannya sangat berbeda dengan bentuk masukannya, (f) Entropi, adalah sistem dalam keadaan tertutup, di mana sebuah elemen berada dalam kekacauan maksimum (sistem dalam keadaan Chaos). Selanjutnya lihat dalam Karhi Nisjhar & Winardi, Teori Sistem Dan Pendekatan sistem Dalam Bidang Manajemen, CV. Mandar Maju, Bandung 1997, hlm 25-35. secara umum dapat dikatakan bahwa sistem dapat menunjukan kesimpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur . 8 Lili Rasdjidi Hukum Sebagai Suatu Sistem Remadja Rosda karya, Bandung, 1994 hlm 35. 6
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
negara.Dikatakan bukan merupakan
sistem yang terdapat dalam peradilan
suatu hal yang baru, karena sejarah
pidana, diamati (di observasi) dengan
teori
sejarah
menitik
beratkan
penjelajahan intelektualitas manusia
aparatur
peradilan
dalam menemukan cara yang paling
pemeriksaan
tepat
berlangsung. kedua teori ini (teori
sistem
untuk
merupakan
mempelajari
suatu
perilaku
dalam
poroses
perkara
sistem
entitiy or sytem)
appliedteori untuk meneliti bekerjanya
kemudian
kerangka
di
aksi),
masyarakat.
sebagai
hal
ini
ini
digunakan karena teori ini relaven
menurunkan dari Grandtheory (teori
untuk meneliti efektivitas hukum ketiga
dasar)
kepada
kerangka pemikiran tersebut dipakai
TeoriAksi (action theory) .di mana
dalam penulisan Hukum ini, selain
sistem
pemikiran
hukum
teori
pidana
kesatuan yang kompleks (Complex
Berangkat dari teori sistem ini,
dan
kepada
tersebut, 9
kerangka 9
Teori Aksi diperkenalkan oleh Max Weber, dengan “tindakan yang penuh arti”dari individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu keputusan subjektif dari pelaku atau aktor. Maka tindakan individu pada tempatnya yang pertama tidaklah dilihat sebagai kelakukan biologis, melainkan sebagai kelakukan yang bermakna. Oleh karena itu parsons lebih suka memakai istilah “Action” dari pada ”behavior”.Action, menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas, dan proses penghayatan individu, sedangkan Behavior, secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Parsons mengemukakan karakterisitik tindakan sosial (socialaction ) sebagai berikut: (a) Adanya individu sebagai aktor, (b) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan, (c) Aktor memilih alternatif cara, alat, dan teknik untuk mencapai tujuan. (d) Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisikondisi situasional yang membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan.
pemikiran
dari
dueprocessmodel. Dari kerangka pikir ini, penulis mencoba untuk meneliti antara ideal model)
hukum
dengan
(due process
realitas
hukum
(Tindakan, perilaku manusia di ruang sidang) penulisan
ini
merupakan
Penulisan hukum empiris (Penulisan Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu, misalnya kelamin dan tradisi. (e) Aktor berada di bawa kendala nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Misalnya kendala kebudayaan. Lihat dalam George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Terjemahan), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 45-49. 7
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
hukum
yang
menggunakan Empirik, sebagi
sosiologi),
dengan
digunakan dalam metode pendekatan
pendekatan
Yuridis-
ini adalah, catatan-catatan pribadi,
dipandang
dokumen, dan poto atau gambar.
yaitu gejala
hukum
masyarakat,
sebagai
Penulisan ini mempunyai objek pada,
institusi sosial atau perilaku yang
Perilaku
mempola.
Kualitatif
Sistem peradilan pidana, terutama pada
digunakan dalam skripsi ini10, Penulis
proses pemeriksaan perkara pidana di
dalam
Penulisan
hal
peradilan
dalam
berusaha
untuk
sidang pengadilan. yang tertuang dalam
(mengobservasi)
secara
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
berjarak, selama proses pemeriksaan
Pidana (KUHAP) UU NO.8 Tahun
perkara pidana berlangsung, penulis
1981
mengamati
ini
aparatur
dalam hal ini mengikuti jalannya persidangan yang sedang berlangsung (bukan
ikut
(Verstehen),
tapi
menceburkan
diri
Penulis
sini
di
sebagai pengamat (penonton). alat yang 10
Bogdan & Taylor (1975:5) mendefenisikan metodologi Kualitatif, adalah sebagai prosedur Penulisan yang menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. menurut mereka, pendekatan ini diarahkan kepada latar belakang dan individu tersebut secara holistik (utuh). jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam Variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk & Miller, mendefenisikan bahwa Penulisan kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara pundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahnya. Lihat Lexy J. Meleong, Metodologi Penulisan Kualitatif, Rosda Karya Bandung, 2004. hlm 3.
Pemilihan informasinya dalam Penulisan
ini,
dilakukan
secara
11
Purposive , yaitu terhadap mereka
11
Purposive Sampling, atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara pengambilan subjek di dasarkan pada tujuan tertentu. teknik ini dipilih dalam Penulisan ini, karena keterbatasan waktu, tenaga , dan biaya. Lihat dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penulisan Hukum Dan Jurimetri,Op cit hlm. 51. demikian pula dapat dilihat dari bukunya Maria S.W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penulisan, Sebuah Panduan Dasar,Gramedia Jakarta, 1996, hlm 31-32. Bahwa pemilihan informasi atau situasi sosial tertentu, dengan sendirinya perlu dilakukan secara purposive (Bukan secara acak), yaitu atas dasar apa yang kita ketahui tentang variasi-variasi yang ada atau elemen yang ada. Sama halnya dengan Amirudin, Pengantar Metode Penulisan Hukum Rajawali Press, Jakaarta. Hlm: 106, Bahwa dalam Purposive Sampling, ada pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat–sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Cara seperti ini menurut Amirudin, kadang8
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
yang terlibat secara langsung dalam
yang dinamakan dengan pengamatan
proses pemeriksaan perkara pidana di
tidak
sidang pengadilan (Misalanya: Hakim,
observation
Jaksa,
lapangan dan penggunaan dokumen,
Pengacara,
melalui
merekalah
dan
Terdakwa), data
terlibat
(Non-participation
)13,
melalui
catatan
yang
ditambah wawancara mendalam secara
diperlukan dalam Penulisan ini akan
informal dan tak terstuktur, sehingga
diperoleh. Menurut
informasi atau data akan lebih banyak
John Lofland &
Lyn H. Lofland, bahwa sumber data
diperoleh
utama
dalam
demikian
adalah
Kata-kata
Penulisan
kualitatif
karena
dalam
responden
kontek biasanya
dan
Tindakan,
memberikan penjelasan apa adanya,
data
tambahan
tidak direkayasa dan tidak ditutup-tupi.
seperti dokumen dan lain-lain12. dalam
Pengolahan dan analisis data pada
Penulisan ini, sumber data yang utama
dasarnya tergantung pada jenis datanya,
adalah
dan
bagi Penulisan hukum normatif yang
peristiwa yang terjadi selama Penulis
hanya mengenal data sekunder saja,
melakukan
proses
yang terdiri dari bahan hukum primer,
pemeriksaan perkara pidana di sidang
bahan hukum sekunder dan bahan
pengadilan negeri karawang,
yang
hukum tersier, maka dalam mengolah
kemudian Penulis memadukan dengan
dan menganalisis data tidak bisa lepas
sumber lainnya sebagai data tambahan
dari
selebihnya
adalah
kata-kata,
kontak
perilaku,
dalam
berbagai
penafsiran
hukum
yang Penulis peroleh dari sumber 13
tertulis, seperti buku, jurnal, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Penulisan ini menggunakan alat pengumpulan data melalui pengamatan,
12
kadang sama dengan quota sampling, bedanya cara Purposive Sampling, lebih banyak memusatkan perhatian pada ciriciri atau sifat-sifat yang hendak masuk dalam sampel yang dipilih. Penulis menggunakan cara seperti ini, karena lebih mudah, dan dapat meminimalkan biaya. Lihat Lexy J. Meleong, Metodologi Penulisan Kualitatif, Op cit, hlm 112.
Dengan menggunakan pengamatan, dapat memperoleh beberapa keuntungan. diantaranya Pertama:Teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung, Kedua: pengamatan juga memungkinkan untuk melihat, mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya; Ketiga: Pengamatan memungkinkan Penulis untuk mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahun proposional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat: pengamatan dapat memungkinkan Penulis untuk bisa memahami situasi yang sangat rumit. Selanjutnya lihat dalam, Lexy J. Meleong, Metode Penulisan Kualitatif, Ibid, hlm 125-126. 9
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
dan total menyeluruh dalam arti tak
Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya; Keempat, analisis indukif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dan terakhir, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara ekspilisit sebagai bagian dari stuktur analitik Pengolahan data yang
mengenal pemilahan-pemilahan gejala
dilakukan oleh Penulis dalam hal ini
secara konseptual ke dalam aspek-
adalah dengan menggunakan Editing
aspek yang ekslusif. yang kita kenal
sebagai proses awal dari pengolahan
dengan
data.
Sedangkan pada Penulisan sosiologis, atau Penulisan kualitatif, analisi data dan pengolahan data mengikuti caracara yang ada dalam ilmu sosial. dalam hal ini metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuitis sifatnya, namun mendalam (indefth),
sebutan
variabel,
dalam
editing
merupakan
proses
hubungan ini, metode kualitatif juga
Penulisan kembali terhadap catatan,
dikembangkan
berkas-berkas,
gejala-gejala
untuk
informasi
yang
masyarakat
dikumpulkan oleh para pencari data.
seperti yang dipersepsi oleh warga
lazimnya editing ini dilakukan terhadap
masyarakat14
kuesioner,
Penulisan Penulisan
kehidupan
mengungkap
dengan
hukum
demikian
sosiologis,
Melalui
editing
catatan
lapangan.
diharapkan
dapat
menggunakan
meningkatkan mutu kehandalan data
analisis data secara induktif. Lexy J.
yang hendak dianalisis. Dalam hal ini,
Meleong15 dalam hal ini mengatakan:
penulis
Analisis induktif ini digunakan karena beberapa alasan, pertama, Proses induktif ini lebih menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data; kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan Penulis-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akontabel;
Hermeneutika16(penafsiran)
14
kualitatif
atau
atau
Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Pilihan Masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta. hlm 168. 15 Lexy J. Meleong, Metode Penulisan Kualitatif, Op cit, Hlm 5.
16
menggunakan sebagai
Hermeneutika, adalah merupakan padanan kata Hermeneutic (tanpa „S‟) dan Hermeneutics (Dengan hurup„S‟) Term pertama dimaksudkan sebuah bentuk Adjektive (kata sifat) apabila diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dapat berarti Ketafsiran adalah menunjukan kepada “Keadaan” atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara Term ke dua adalah kata benda , yang mengandung arti (a) ilmu penafsiran, (a) Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung 10
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
analisis data, dari gejala yang diamati
Dari
proses
pemeriksaan
selama proses pemeriksaan perkara
perkara pidana berdasarkan Undang-
pidana
undang No 8 Tahun 1981, tahap
di
sidang
pengadilan
berlangsung.
alasan
mengapa
pemeriksaan
yang
terakhir
adalah
Hermeneutika digunakan sebagai alat
pemeriksaan
di
muka
sidang
analisis data dalam Penulisan ini,
pengadilan. Secara substansial normatif
karena betapa salah orang menganggap
pemeriksaan di muka sidang ini, telah
perjalanan hukum itu sebagai sesuatu
dijelaskan dalam setiap Pasalnya yaitu
yang mulus dan lurus, seolah-olah
dari Pasal 145-232 (KUHAPidana)
hanya ada satu jalan menuju hukum.
Dalam hal ini, penulis tidak membahas
Bertentangan dengan anggapan yang
pemeriksaan perkara pidana
sedikit
yuridis-normatif. Akan tetapi penulis
banyak eksak dan matematis
secara
demikian itu, sesungguhnya perjalanan
memandang,
hukum penuh dengan lika-liku yang
menelaahnya
tidak bisa dipolakan secara absolut-
Sosiologi hukum
eksak
apakah pemeriksaan perkara pidana di
secara
dan
sosiologis.
tidaklah menilai
sidang pengadilan karawang itu baik
Pembahasan
atau tidak, sesuai atau tidak dengan
Pemeriksaan Perkara Pidana (di PNKarawang) Kaitannya Dengan Konsep process model
mengkaji,
Due
peraturan
Akan
tetapi
sosiologi hukum dalam hal ini berusaha untuk menjelaskan, menguraikan baik itu
dalam kata-kata dan ungkapan penulis, (c) penafsiran secara khusus atas teks atau kitab suci. Menurut Arief Sidharta, Filsafat Hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syaratsyarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan termasuk peristiwa mengerti atau interpretasi. Lihat dalam Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, UUI-Press, Yogyakarta, 2005. hlm xi-19.
dasarnya.
yang sesuai
dengan
KUHAP,
maupun yang tidak sesuai dengan KUHAP. Tahap
pemeriksaan
perkara
pidana dalam persidangan ini, adalah merupakan
pemahaman
yang
berlangsung terus menerus. Dari mulai panggilan terhadap terdakwa untuk datang dimuka persidangan, penentuan hari sidang oleh hakim, pembacaan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
11
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
surat dakwaan oleh jaksa penuntut
interaksi yang terjadi ini, atau dari tatap
umum, sampai kepada putusan hakim.
muka antara para pihak di persidangan
Merupakan
proses
dan
ini, mungkin saja penafsiran dari gejala
Penafsiran
terhadap
simbol-simbol
yang di amati tidaklah mendapat
tertentu, yang dihadirkan pada proses
jawaban yang pasti atau mungkin
persidangan tersebut.
terdapat kesalahan dalam menafsirkan
bentukan
Pemahaman terhadap hal di atas adalah merupakan bagian yang penting
gejala
yang
ditunjuk
dari
proses
interaksi tatap muka tersebut.
dalam Penulisan kualitatif ini. Secara
Walapun demikian, interaksi
normatif mungkin akan dipahaminya
dalam
secara baik dan wajar karena aturannya
ditafsirkan, sebagai
mengharuskan
tingkah laku manusia (perilaku) dalam
menjadi
seperti
lain
itu,
tetapi
apabila
kita
persidangan
mewujudkan
tersebut
dapat
ekspresi dari
maksudnya.
Manusia
memahaminya dari sesuatu yang telah
melangsungkan tingkah laku, dapat
nyata.
dimengerti maksudnya, karena suatu
Dengan
optik
sosiologis
semuanya akan bisa dibuka, dijelaskan,
tingkah
dielaborasi
maksudnya.Berger
dengan
menggunakan
laku
dan
jelas
Luckman18
dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di
komentarnya, dari kesalahan dalam
pengadilan itu, terdapat juga interaksi
menjalankan gejala yang diamati.
atau hubungan lebih dari satu pihak.
“Memang saya mungkin saja menyalah tafsirkan beberapa diantara gejalagejala itu. Mungkin saja saya berpikir bahwa orang lain itu sedang tersenyum padahal sebenarnya ia sedang menyeringai. Namun demikian, tak ada bentuk hubungan sosial lain yang bisa memproduksi kekayaan akan gejala subjektivitas yang menampakan diri dalam situasi tatap muka. Hanya
pihak-pihak
persidangan, pengacara 17
baik atau
yang
hadir
jaksa, terdakwa17
di
hakim, dari
Interaksi individu (Pengacara, Jaksa, Hakim, dan Terdakwa) di pengadilan, bagi pemahaman defenisi sosial, bahwa mereka saling menerjemahkan dan saling mendefenisiskan tindakannya tersebut. Bukan hanya reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain, tanggapan individu tersebut, mungkin tidak akan dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang
18
ini
begitu
bahasa yang lebih komunikatif. Dari
Dari
hal
sering
memberikan
lain itu. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta, 2004. hlm 52. Berger dan Luckma, Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm 41 12
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
disinilah subjektivitas orang lain itu benar-benar dekat. Segala bentuk hubungan lain dengan orang lain adalah jauh dalam berbagai kadarnya. Pemahaman pemeriksaaan
terhadap di
sini
bukan
didasarkan kepada peraturan dasarnya (KUHAPidana),
tetapi
lebih
menekankan terhadap realitas yang sebenarnya.
Jadi
penggunaan
hermeneutika dalam hal ini adalah berangkat dari kenyataan sosial yang ada di pengadilan negeri karawang, dan bukan memulainya dari peraturan perundang-undangan19
Sebagaimana
pengamatan penulis di pengadilan negeri karawang, pemeriksaan perkara pidana telah merujuk kepada KUHAP sebagai aturan dasarnya. Dari mulai kewenangan
pengadilan
untuk
mengadilinya, pemanggilan terhadap terdakwa,
sampai
keputusan
hakim.semuanya berdasarkan KUHAP. Apa yang menjadi tujuan dari pengaturan
tentang
ini,
secara
eksplisit
tidaklah
ditemukan dalam KUHAP itu sendiri. Namun apabila kita meneliti kembali beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunya KUHAP ini jelas bahwa
secara
singkat
KUHAP
memiliki lima tujuan sebagai berikut: Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa) Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan Kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan pancasila dan Undangundang dasar 1945.
Untuk
memberikan
tata
penyusunan Undang-undang Hukum acara Pidana yang dapat mewujudkan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, maka KUHAP menetapkan kesepuluh asas, yang dapat dibagi menjadi dua asas.Pertama asas yang menyangkut keluhuran harkat dan martabat manusia (HAM), dan yang kedua adalah asas yang menyangkut peradilan.
pemeriksaan
perkara pidana berdasarkan KUHAP
Dari realitas yang nampak di PN Karawang, sangat jelas sekali
19
Hermeneutika hukum dalam hal ini menganjurkan agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna– makna hukum dari persfektif para pengguna dan atau para pencari keadilan. Lihat dalam Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum:Paradigma, Metoda, Dan Dinamika Masalahnya, Op cit, hlm 104.
terdapatnya
perbedaan
status
dari
terdakwa. Biasanya pemeriksaan di pengadilan,
menunjukan
kepada
pelayanan status yang lebih tinggi kedudukannya dari pada yang lainnya,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
13
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
atau yang lebih berbobot materinya,
sangat jelas sewaktu akan memeriksa
pelayanan status ini sangat berbau
perkara
feodalisme dan secara tidak langsung
dilakukan
oleh
ikut menciptakan kelas atau kasta
masta.
Hakim
dalam peradilan pidana. Perilaku yang
menyidangkan perkara ini tidak mau di
demikian merupakan
perilaku yang
ruang sidang I (satu), padahal ruang
diskriminatif dan akhirnya melahirkan
sidang ini kosong, dengan sangat
perlakuan berbeda terhadap segmen
mendesak perkara ini akhirnya digelar
masyarakat tertentu.
di ruang sidang 1 (satu), akan tetapi
Terdapatnya kelas atau kasta di
pidana
pada saat
penipuan terdakwa
yang bernama
yang
akan
Jaksa akan membacakan
PN-Karawang ini, sangat terlihat jelas
surat dakwaan, kemudian persidangan
dalam pemeriksaan perkara pidana.
dipindahkan keruang II (dua). Karena
Dari mulai pemilihan ruang sidang,
sidang di ruang II (dua) telah selesai.
hakim yang akan mengadili sampai
Selain adanya kasta atau kelas
perlakuan terhadap terdakwa, sangat
ruang
menunjukan
terdakwa yang satu dengan yang
sikap
diskriminatif.
sidang,
perlakuan
Kaitannya dengan ini, Marx telah
lainnya
menjadi pusat dari kajiana ini, karena
pejabat yang menjadi terdakwa dan
menurut Marx sistem kelas berarti
orang
menunjuk pada suatu pola stratifikasi
keberpihakan terhadap yang lebih
tertentu yang dapat dibedakan dari pola
tinggi kedudukannya. Hal ini dapat
lainnya. Sesuai dengan pengamatan
digambarkan
penulis, di ruang sidang 1 (satu) PN-
perkara pemalsuan Izazah, sebagai
Karawang biasanya dipakai dalam
terdakwa adalah H.Abubakar, dengan
pemeriksaan perkara pidana yang lebih
pemeriksaan
berbobot
penipuan, penggelapan yang dilakukan
materinya,
salah
satunya
sangatlah
terhadap
berbeda,
biasa.Sangatlah
antara
penuh
Antara pemeriksaan
perkara
pencurian,
perkara. Selain itu juga ruang sidang 1
oleh orang-orang biasa.
Sangatlah
(satu) ini sangatlah berbeda dengan
jelas sekali dalam pemeriksaan perkara
ruang sidang II (dua), apalagi dengan
pidana ini, di mana pemeriksaan ini
ruang sidang III (tiga). Perilaku hakim
lebih
yang memilih ruang persidangan ini
memperlihatkan status
mementingkan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
dan
yang lebih 14
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
tinggi. Percepatan pemeriksaan, dari
(replik),
mulai pembacaan surat dakwaan oleh
penasehat
Jaksa, pemeriksaan saksi yang hanya
banding,
cukup dengan 5 menit satu orang
hanya dialami oleh mereka yang
saksi, tidak didampingi oleh penasehat
statusnya lebih tinggi.
hukum,
dalam pemeriksaan perkara pidana
biasanya
dialami
oleh
jawaban
terdakwa
hukumnya sampai
(duplik),
kasasi,
biasanya
Akan tetapi
statusnya yang lebih rendah, mereka
yang
yang
materinya sudah menjadi makanan
menjadi
biasa.
terdakwanya
Sementara
penasehat
orang
didampingi oleh
hukum,
lamanya
materinya
atau
masyarakat
tidak
kecil.
berbobot,
Pemeriksaanya
dilakukan secara cepat, tanpa hati-hati,
pemeriksaan, bahkan satu orang saksi
rangkaian
yang
waktu
pidanapun hanya sampai requisitoir,
sampai 60 menit, biasanya dinikmati
mereka tidak mendapatkan pembelaan,
oleh yang statusnya lebih tinggi.
apalagi sampai banding.
diperiksa
memakan
Dalam pemeriksaan yang lebih
dalam
yang
tinggi pemeriksaan dilakukan secara
hukum
hati-hati, dari pemanggilan terhadap
penyidikan.
persidangan
oleh
jaksa
penuntut
acara
Bahkan
banyak sekali dari pemeriksaan ini
berbobot materinya, statusnya lebih
terdakwa untuk dihadapkan di didepan
hukum
tidak
mendapatkan
sejak
dari
bantuan mulainya
Terhadap materinya yang kecil (misalnya
pencurian,
penganiyaan,
umum, pembacaan surat dakwaan,
dll), yang biasanya dilakukan
sampai
masyarakat
terjadinya
eksepsi,
itu
kecil.
oleh
Pemeriksaan
semuanya dilakukan tanpa adanya
biasanya mengalami percepatan, dari
kekuarangan satu apapun. Semuanya
mulai pemanggilan terdakwa untuk
berangkai
dihadapakan
sesuai
dengan
tahapan
kemuka
persidangan,
dalam hukum acara pidana. Rangkaian
jaksa penuntut umum sangat keras
dari mulai pemeriksaan terdakwa,
sekali memanggil terdakwa padahal
pemeriksaan
terdakwanya
barang tuntutan
bukti,
saksi,
pemeriksaan
pemeriksaan
(requisitoir),
ahli,
disampingnya.
sedang Kata-kata
duduk bentakan
pembelaan
bukan saja diucapkan oleh jaksa dalam
(pledoi), jawaban penuntut umum
pemanggilan terhadap terdakwa, akan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
15
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
tetapi juga hakim bertanya dengan
akan
nada yang sedikit marah, selain jaksa
terbaik setelah keluar dari sistem
mengeluarkan
tersebut.
kata-kata
yang
membentak, ia pun dalam membaca
mendapatkan
sesuatu
yang
Dari uraian di atas, sangat
surat dakwaan sangat terlihat cepat,
terlihat
terburu-buru,
dalam pemeriksaan perkara pidana di
pembacaan
surat
sekali
sikap
diskriminatif
dakwaan hanya cukup dengan waktu
PN-Karawang,
3-4
tengah-tengah
itutidaklah
waktu
jaksa
norma (Undang-undang), namun bisa
membacakan surat dakwaan secara
dipahami dengan melihat perilaku dan
cepat, hakim tidak mendengarkannya
tindakan aparatur melalui konteks
bahkan ada hakim yang keluar dari
(relasi
persidangan,
yang
pemeriksaan. Pemeriksaan di PN-
memainkan HP (Hand phone), ada
Karawang, berlangsunglah interaksi
hakim yang tiduran, ada hakim yang
antar berbagai pihak baik Hakim,
minum,
perilaku-
jaksa, pengacara, ataupun terdakwa,
perilaku yang tidak memperhatikan
yang terus menerus, melalu tatap
jalannya persidangan ini. Selain itu
muka.
juga hakim bertanya baik kepada
sangatlah dipenuhi bayak kepentingan
terdakwa ataupun saksi, dengan hanya
dan dominasi kelas (kekuasaan dan
sedikit
digunakan.
kekuatan), dalam hal ini yang kuatlah
pertanyaan-pertanyaan
yang akan menguasi ruang pengadilan,
menit,
persidangan,
di pada
ada
banyak
waktu
Sementara
hakim
sekali
yang
hakim tersebut memerlukan penjelasan yang akurat dan memuaskan, akan
sikap
terlihat
dan
Dari
dalam
interaksi)
interaksi
seperti tataran
tahapan
tersebut,
yang akan memenangkan perkara. Dari
adanya
kelas
dalam
tetapi terdakwa atu saksi hanya dapat
pengadilan, dapat ditafsirkan bahwa
menjawab “ya”.
lembaga tersebut berhadapan dengan
Padahal
lihat,
para pengguna jasa pengadilan yang
perhatikan mereka (baik yang kecil
mempunyai kemampuan dan kekuatan
ataupun
ke
politik dan ekonominya yang tentunya
pengadilan sama-sama membutuhkan
berbeda. Walaupun dari segi kekuatan
keadilan. Dengan harapan mereka
atau kekuasaan berbeda, di lihat dari
yang
kalau
besar)
kita
datang
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
16
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
penjelasan yang memuaskan mengapa
pendapatnya Adi Andjono20 (Ketika menjabat ketua muda Mahkam agung), beliau mengemukakan sesuai dengan kondisi peradilan yang demikian itu. “Hakim di Indonesia masih menampakan keberpihakan pada yang kuat dan berkemampuan, baik yang memutuskan perkara perdata maupun perkara pidana Pendapat dari Adi ini, akan
paham liberal ini tidak memperhatikan
lebih jelas maknanya apabila kita
kenyataan yanag berbeda tersebut,
menyimak pendapat yang dikemuakan
secara sosiologis keadilan sudah dapat
oleh
diberikan
mengatakan :
perspektif
normatif
pengadilan
sebagai sesuatu lembaga yang formal liberal dan netral bahwa pengadilan telah
bertindak
adil.
akan
tetapi
pandangan sosiologis mengatakan lain, bahwa semua itu masih memerlukan
apabila
hukum
tidak
membuat diskriminasi antara orangorang
yang
menggunakan
jasa
pengadilan. Dari perspektif sosiologis perbedaan dalam kemampuan dan kekuatan tersebut menimbulkan keadaan atau akibat yang sifatnya khas, yaitu menyangkut kualitas pelayanan yang bisa diberikan kepada para pencari keadilan. Di pengadilan negeri karawang, banyak para pencari keadilan yang tidak mampu untuk menggunakan jasa pengacara, ada juga yang kemampuannya pas-pasan sehingga ia menggunakan jasa pengacara yang baru saja buka praktek, sehingga pelayanan yang diberikan hanya sekedarnya saja, pengacara mendampingi terdakwa hanya ingin di lihat saja bahwa ia telah melakukan tugasnya. Sementara bagi terdakwa yang tidak didampingi oleh penasehat hukum, ia hanya diam duduk sambil menundukan kepalanya, dan pelayananyapun hanya sampai tuntutan dan berakhir oleh putusan, tanpa ada pembelaan apalagi banding atau kasasi, Sejalan dengan
Marc
Galanter21
yang
“Pihak-pihak yang memiliki kemampuan lebih akan mendominasi praktek hukum, yang berarti mereka mendapatkan pelayanan keadilan yang lebih baik. aparatur hukum (polisi dll). Yang harus bekerja dalam suasana sosial dan hukum seperti ini tentunya juga akan menjadi badan penegak hukum yang condong melindungi kepentingan atau kedudukan golongan tertentu, sekalipun secara hukum segala sesuatunya dapat dikatakan sah (Legal)
Apa yang telah dijelaskan oleh Adi dan Marc, ini Sesuai dengan realitas yang ada di PN-Karawang, dalam hal ini sosiologi hukum tidak menilainya apakah itu mencerminkan pemeriksaan yang adil dan layak, atau tidak. Akan tetapi sosiologi hukum 20
Adi Andjono, yang dikutip oleh Melani, Membenahi Lembaga Peradilan, Al-Mizan, No.114, Juli 2000 hlm 4. 21 Satjipto Rahardjo, Polisi Indonesia Mandiri, Program Pasca Sarjana Kajian ilmu Kepolisian Universitas indonesia Jakarta, Kerjasama dengan yayasan obor Indonesia, September-April 1999 hlm: 22. 17
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
hanya
mengamati
dan
memberi
tumbuh
dan
subur
antara
penjelasan mengapa praktek tersebut
dimungkinkan
sampai terjadi di-PN-karawang, dan
pembuktian yang dianut dalam proses
kemudian menafsirkannya dari realitas
pemeriksaan
yang ada.Nilai-nilai yang tertuang
umunya adalah sistem pembuktian
dalam pemeriksaan yang adil dan
negatif dimana unsur keyakinan hakim
layak, sebenarnya telah tertuang dalam
dalam Pasal 183 KUHAP sangat
peraturan
dominan.
dasarnya
(KUHAP),
karena
lain
perkara
Dalam
sistem
pidana
praktek
pada
di
sebagaimana yang telah disebutkan
persidangan,
sistem
pembuktian
dalam asas-asas hukum acara pidana di
negatif
dengan
kontaminasi
atas.Akan tetapi dalam praktek nilai-
persepsi dan perilaku menonjolkan
nilai itu banyak disimpanginya.
kekuasaan,
Dari
pengamatan
dan
sering
mengakibatkan
penulis
putusan hakim jauh dari kepastian
sewaktu meneliti pemeriksaan perkara
hukum, dan bahkan lebih jauh dari
pidana di PN-karawang,
keadilan
sangat
hukum,
sehingga
dapat
terlihat sekali dengan jelas adanya
dikatakan bahwa putusan hakim telah
pelanggaran HAM, yang antara lain
ada sebelumnya di tangan hakim itu
misalnya,
sendiri bukan tumbuh dari pengalaman
kurangnya
kesempatan
melaksanakan peradilan yang tidak
pemeriksaan
memihak (fair trial), baik karena
pembuktian
faktor
prosedur
internal
maupun
faktor
Memang seperti
yang
itu,
digunakan
sistem adalah dalam
eksternal. Dari faktor internal misalnya
hukum acara khususnya hukum acara
karena terjadinya kolusi, sedangkan
pidana, merupakan ciri penting dari
faktor
adanya
hukum moderen.akan tetapi apakah
politisi
prosedur yang digunakan ini sudah
tertentu dalam kasus yang sedang
benar dan sesuai dengan rasa keadilan
ditangani oleh pengadilan. Menurut
yang dicita-citakan. dalam menyikapi
ekternal
kepentingan
adalah
birokrat
atau
Romli Atmasasmita22 kedua faktor ini
22
Romli Atmasasmita, Hak Asasi Manusia Dan Penegakan Hukum, Binacipta (anggota IKAPI), Jakarta, 1997, hlm 7.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
18
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
hal ini, pantaslah untuk menyimak dan merenungi ungkapan dibawah ini
23
peradilan
“Bagaimanapun adilnya suatu putusan hukum, tetapi kalau sang hakim tidak bekerja sesuai dengan prosedur maka putusan yang bagus dan adil itu rawan terhadap gugatan. orang bilang, putusan hakim mengandung cacat hukum .sebaliknya, bagaimanapun “tidak adilnya “suatu putusan, tetapi apabila proses yang ditempuh sudah betul, maka status putusan tersebut lebih aman daripada “putusan yang adil tetapi cacat prosedur
Bila
kita
renungkan
dari
ungkapan di atas, maka telah memberi gambaran terhadap kita, bahwa kita terjebak pada “Prosedurlisme”, maka dapat dikatakan hukum di indonesia baik secara materil maupun secara formal,
terlalu
berpihak
pada
positivisme (discourse), dan hukum Indonesia
menambah
Virus
Dari uraian di atas, dapat disimpulkanHakikat sistem peradilan pidana terpadu sebenarnya cukup baik, untuk
kepentingan instanasional,
mencegah yang
dan
atau
bersifat
sehingga
diharapkan
proses peradilan pidana dapat berjalan objektif, cepat dan berkeadilan, namun dalam
masih pidana
ada
proses
yang
berjalan
tersendat-sendat,
egoisme
instanasional, yang masih ketat, dan menyimpangi
dari
masyarakat.
Tahap
rasa
keadilan
pemeriksaan
perkara pidana yang cepat, sederhana, dan biaya murah.Bukan dalam artian percepatan
dalam
pemeriksaan,
ataupun sederhana tanpa didampingi oleh
penasehat
pemeriksaan
hukum,
atau
tanpa
hati-
yang
hati.Dalam hal ini, proses pemeriksaan perkara pidana yang dilaksanakan dengan
cepat.Diartikan
untuk
menghindarkan segala rintangan yang bersifat
prosedural,
agar
tercapai
efesiensi kerja mulai dari kegiatan penyidikan.sedangkan
Positivisme.
yaitu
menunjukan
kenyataanya
di
lapangan
pemeriksaan
proses
perkara
sederhana,
pidana
dapat
diartikan
penyelenggaraan peradilan
yang
administrasi
secara
terpadu
agar
pemberkasan perkara dari masingmasing
intansi
yang
berwenang
berjalan dalam satu kesatuan, yang tidak memberikan peluang kerja yang berbelit-belit.
Pemeriksaan
perkara
pidana dengan biaya murah, adalah 23
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm 67.
untuk
menghindarkan
sistem
administrasi perkara dan mekanisme
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
19
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
bekerjanya
para
petugas,
yang
7 asas persamaan dimuka hukum ini
mengakibatkan beban biaya bagi yang
telah dinyatakan:, Setiap orang diakui
berkepentingan atau masyarakat yang
sebagai
tidak
Undang-undang.,Segala orang berhak
sebanding.Sistem
peradilan
manusia
pribadi
pidana yang cepat, sederhana dan
untuk
biaya
lindungan yang sama dari Undang-
ringan
adalah
mencerminkan
sebenarnya
nilai-nilai
yang
mendapat
terhadap
perlakuan
dan
undang.
terkandung dalam Due process model.
Baik dari undang-undang dasar 1945, maupun Undang-undang dasar
Implementasi Asas Persamaan Di muka Hukum (di PN-Karawang): Merupakan Implementasi Yang Belum Terlaksanakan
Sementara 1950, mengandung makna bahwa
semua
orang
sebagai
pendukung hak dan kewajiban adalah sama kedudukannya dimuka hukum.
Secara
normatif
asas
persamaan di muka hukum (equality before the law) telah tertuang dalam Undang-undang dasar negara republik indonesia ini (UUD 1945), dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa
Segala
warga
negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ayat ini telah menginsyaratkan suatu asas hukum yang sangat fundamental yaitu asas persamaan kedudukan dimuka hukum. Sebelum UUD 1945 ini terbentuk, sebelumnyapun Undang-undang
dasar
dalam Sementar
(UUDS) 1950, melaui ketentuan Pasal
Asas persamaan di muka hukum ini, dalam bidang hukum acara pidana, kita dapat ditemukan dalam Undangundang No 8 Tahun 1981.memang asas persamaan dimuka hukum tidak secara
eksplisit
tercantum
dalam
ketentuan KUHAP. Asas ini hanya dicantumkan dalam penjelasan resmi KUHAP, walapun dengan demikian merupakan
bagian
yang
tak
terpisahkan dari kitab undang-undang sendiri.
Asas ini dijabarkan dengan
kalimat “ perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Ditempatkan asas ini dalam bagian hukum acara pidana kita, adalah
merupakan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
suatu
arah 20
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
pembaharuan dalam sistem peradilan
dalam praktek, semua sama di depan
pidana indonesia.
hukum,
Dalam pembahasan ini, guna
tetapi siapa dulu yang
menjadi terdakwanya. terhadap asas
menguji bagaimanakah implementasi
persamaan
di
muka
hukum
ini,
asas persamaan dimuka hukum ini
KUHAP telah memberikan
dalam pemeriksaan perkara pidana di
terdakwa atau tersangka, dari mulai
sidang PN-karawang. penulis akan
pasal 50-68.
hak-hak
mengujinya dari hak-hak terdakwa
Dari sekian banyak hak-hak
atau tersangka untuk didampingi oleh
terdakwa, tidak lain tujuan utamanya
penasehat
persamaan
adalah untuk menjamin kepentingan
pengadilan
hak asasi dari tersangka, selain itu juga
hukum,
kedudukan (Hakim)
di
dan
muka
dengan
perlakuan
yang
untuk menjungjung tinggi persamaan
penulis
untuk
seorang (terdakwa) di muka hukum
menguji asas persamaan di muka
(pada saat penyidikan, penuntutan, dan
hukum ini, dihubungkan dengan hak-
pemeriksaan di pengadilan) dngan
hak terdawa untuk didampingi oleh
sangat rapih hak-hak dari terdakwa itu
penasehat hukum dan perlakuan yang
dituangkan
sama atas diri terdakwa di depan
dalam praktek tidak semua orang
pengadilan
di
(terdakwa) mendapatkan hak seperti
lapangan PN-Karawang banyak sekali
yang tertuang dalam aturan dasarnya
terdakwa yang tidak mendapatkan
(KUHAP).
hak-haknya, terdakwa
perhatian sewaktu Penulisan, adalah
selayaknya. Alasan
biasa pejabat sekali
(hakim).
dengan
karena
masyarakat
terdakwa
misalnya,
sangat
perlakuannya
di
Yang
KUHAP,
sangat
bantuan
hukum
tetapi
menjadi
keluarga
masalah
berbeda
penasehat hukum. Walaupun banyak
hadapan
hak-hak lain yang tentunya tidak
pengadilan (hakim).
atau
dinikmati oleh terdakwa, logikanya
Sangat jelas sekali KUHAP menyatakan bahwa
dalam
perlakuan yang
bagaimana mau sama terdakwa di hadapan hukum, apabila salah satu
sama atas diri setiap orang di muka
haknya
hukum dengan tidak
mendapatkan bantuan hukum tidak
mengadakan
pembedaan perlakuan. Akan tetapi
untuk
mendapatkan
ada.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
21
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Selain banyak terdakwa yang
pengadilan memeriksa, mengadili, dan
tidak mendapatkan bantuan hukum,
memutus dengan sekurang-kurangnya
perlakuan
3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-
hakim,
menyakitkan
jaksa
sangat
terdakwa.
Dengan
undang menentukan lain
perkataan hakim yang membentak
Dari uraian di atas, kita dapat
terhadap terdakwa, dengan sedikit
melihat bagaimana implementasi asas
marah,
memanggil
persamaan dimuka hukum itu, ternyata
terdakwa dengan bentakan, pertanyaan
sekilas implementasi itu masih belum
yang dilontarkan cukup keras, dengan
pasti, dan masih tergantung kepada
hanya menggunakan waktu sekitar 5
siapa dulu terdakwanya. Salah satu
menit dalam satu pertanyaan.Tentunya
perwujudan
terdakwa tidak mendapatkan haknya
dimuka hukum, adalah setiap terdakwa
untuk memberikan keterangan secara
wajib
bebas. Akan tetapi dalam pemeriksaan
hukum,
perkara
mampu pejabat yang berwenang wajib
jaksa
yang
yang
lebih
berbobot
dari
asas
didampingi kalaupun
persamaan
oleh
penasehat
terdakwa
materinya, hakimpun sangat hati-hati
menunjuk
baik dalam bertanya ataupun dalam
terdakwa. Apabila kita kaji secara
membacakan keputusannya.
kritis, kelemahan-kelemahan tentang
Selain hal-hal di atas yang terjadi
di
PN-Karawang,
yang
penasehat
tidak
hukum
bagi
penyelenggaraan bantuan hukum ini tidak ada peraturan preventifnya dalam
hubungannya dengan asas persamaan
KUHAP.dari
di muka hukum, banyak terdakwa
kemungkinan tersangka dan terdakwa
(dari masyarakat kecil) yang tidak
akan menjadi korban penyalahgunaan
mendapatkan pemeriksaan selayaknya.
hukum oleh penasehat hukum. Selain
Terdakwa di periksa hanya dengan dua
itu juga perkembangan memasang
orang hakim, selain tidak didampingi
tarip
oleh
melewati
penasehat
diperiksa
dengan
hukum,
bahkan
hakim
tunggal.
jasa
hal
yang
kemanusiaan24dengan
ini
besar
berlebihan
dan
batas-batas tidak
adanya
Padahal telah jelas dalam Undangundang No 4 Tahun 2004, Pasal 17 Ayat (1) dinyatakan bahwa : bahwa
24
Bambang Poernomo, OrientasiHukumAcaraPidanaIndonesia, Amaaarta Buku, 1984. Hlm 180. Memang 22
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
kurangnya
pengawasan
dan
pelaksanaan
norma-norma
yang
terdakwa, termasuk hak untuk mendapatkan bantuan hukum atau didampingi oleh penasehat hukum. Dari hal di atas, maka penulis
disebabkan tidak adanya umpan balik
mengambil masalah hak dari terdakwa
yang cukup dalam sistem perundang-
untuk
undangan
yang
hukum, yang dihubungkan dengan
menyebabkan
hukum
peraturan
prevepentifnya,
bekerja
sesuai
atau
sah,iniakan tidak
oleh
penasehat
asas persamaan di muka hukum. Yang
konteks
tujuannya adalah untuk
adanya
apakah peraturan dasarnya (KUHAP)
keefektifan hukum. Hal ini tentunya
yang tidak jelas, ataukan pejabatnya
ini
perbedaan
(praktisi pengadilan) yang tidak mau
terdakwa dimuka pengadilan (hakim).
memberikan penafsiran terhadap hal
sosialnya,
artinya
berimbas
Dalam
hal
dengan
akan
didampingi
tidak
kepada
ini
Mien
Rukmini
25
mengatakan Berkaitan dengan masalah bantuan hukum, hal yang sangat penting untuk dikemukakan adalah bahwa dalam Bab VI (KUHAP) mengenai tersangka dan terdakwa, tidak ada satu pasalpun yang secara tegas mewajibkan aparat penyidik untuk segera memberitahukan hak-haknya kepada tersangka atau
25
pemberian bantuan hukum dalam proses pidana adalah suatu prinsip yang dalam tahap pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan menentukan bahwa untuk keperluan menyiapkan pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan, berhak untuk menunjuk dan menghubungi serta minta bantuan penasehat hukum. akan tetapi dalam KUHAP tidak memberikan peraturan Preventifnya mengenai bekerjanya penasehat hukum dalam hal memberikan bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa. Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui asa Parduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm: 146.
menguji
ini Bantuan
hukum
pada
saat
sekarang (moderen) konsepnya tidak lagi menjurus kepada konsep patron (atas dasar kasih sayang), akan tetapi bantuan hukum sekarang ini lebih memperlihatkan
konsep
bantuan
hukum yang individual. Di mana pelaksanaannya
harus
melalui
prosedur-prosedur yang mengikatnya, dan besar kemungkinan hal ini dapat di salah gunakan oleh para pengacara dengan memasang tarip yang tidak dapat di jangkau oleh masyarakat miskin. Berdasarkan
pengamatan,
dan
analisis yang penulis lakukan di PN– Karawang,
penulis
mengambil
kesimpulan bahwa realitas bantuan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
23
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
hukum adalah lebih mengarah kepada
yang berwenang pada saat setiap
model yuridis individual, adalah model
tingkat pemeriksaan untuk menunjukan
bantuan hukum dengan
penasehat hukum bagi: Tersangka atau
hak yang
diberikan kepada warga masyarakat
terdakwa
yang
untuk
hukuman
mati,
melindungi
kepentingan-
diancam
dengan
Tersangka
atau
kepentingan individunya. pelaksanaan
terdakwa yang diancam pidana penjara
bantuan hukum ini tergantung kepada
15 tahun atau lebih, Mereka yang tidak
peran aktipnya warga masyarakat yang
mampu yang diancam dengan pidana
meminta jasa para pengacara atau
lima
penasehat hukum, yang nantinya jasa
kesemuanya
pengacara tersebut akan dibayar oleh
penasehat hukum tersendiri.
negara
tahun
Asas
atau
lebih,
tidak
yang
mempunyai
persamaan
dimuka
Dari uraian tersebut, memang
hukum ini, dalam bidang hukum acara
banyak sekali kelemahan dari peraturan
pidana adalah merupakan jantungnya
mengenai bantuan hukum ini, namun
hukum acara pidana, karena itulah
dengan
ditempatkan
demikian
penulis
akan
dalam
urutan
yang
menjelaskannya apakah peraturannya
pertama. Asas ini merupakan buku
yang tidak mendukung kepada bantuan
bayangan tentang hak-hak terdakwa,
hukum ini, ataukah perilaku aparatur
karena dengan asas persamaan di
pengadilan yang tidak mendukung
muka hukum ini terdakwa mempunyai
kepada
hukum.
harapan perlakuan yang sama sesuai
Memang kalau kita lihat dalam Pasal
dengan nilai-nilai pemeriksaan yang
56
ini
adil dan layak. Dalam lapangan PN-
kelemahan
Karawang hak untuk di dampingi oleh
kemampuan
pensehat hukum hanya dinikmati oleh
seseorang untuk memaksakan, apakah
mereka yang berpunya saja.akan tetapi
dirinya mampu menyediakan penasehat
bagi mereka yang tidak punya, tidak
hukum., Tidak adanya konsekuensi
didampingi oleh penasehat hukum, dan
ataupun sanksi, apabila ketentuan pasal
biasanya menghadap sendiri di muka
56 itu diabaikan. Padahal Pasal 56
pengadilan, penulis untuk menyebut
KUHAP telah
hal ini lebih senang meminjam istilah
ayat
konsep
(1)
bantuan
KUHAP,
mengandung diantaranya:,Tentang
pasal
mewajibkan pejabat
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
24
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Galanter, yang selalu mengatakan ”the
mempengaruhi
haves always come out ahead.
pengadilan
perilaku
(Praktisi
aparatur
pengadilan),
Memang dalam KUHAP, Bab
mereka bertindak sesuai dengan aturan
VI tidak diwajibkan secara tegas
dasarnya, walaupun secara tegas dalam
kepada penyidik untuk mewajibkan
penjelasan KUHAP disebutkan bahwa
kepada tersangka untuk mendapatkan
setiap orang sama di depan hukum.
haknya di dampimngi oleh penasehat
Penjelasan
ini,
hukum,
selain
dilapangan
PN-Karawang,
penyidik
tidak
itu
juga
kepada
dapatkan sewaktu
sanksi
penulis wawancara dengan salah satu
apabila mereka tidak menyediakan
hakim PN-Karawang. Hakim tersebut,
penasehat hukum bagi terdakwa.Akan
menuturkan bahwa kami disini dalam
tetapi
untuk
memeriksa perkara pidana, adalah
mendapatkan bantuan hukum (bagi
sesuai dengan KUHAP, walaupun
yang tidak mampu) tentu harus dapat
KUHAP itu banyak kekuarangannya
dikembangkan secara jelas, tepat dan
salah satunya tidak adanya peraturan
tidak memihak. Karena asas persaman
preventifnya
bagi
di muka hukum, kaitannya dengan hak
(Pengadilan)
apabila
untuk di dampingi oleh penasehat
memberikan bantuan hukum kepada
hukum pada saat pemeriksaan, adalah
terdakwa yang tidak mampu. Namun
bagian dari pemahaman yang benar
di sini kami tetap mengikuti aturan
tentang due process of law, (proses
dasarnya, karena KUHAP adalah
hukum yang adil). Yang salah satu
suatu karya yang agung bangsa
unsurnya
indonesia.
hak-hak
adalah
ditegaskan
penulis
terdakwa
tersangka
atau
terdakwa harus diberikan jaminan untuk
membela
diri
Selanjutnya
ia
pejabat tidak
mengatakan,
kami (hakim) telah memenuhi semua
sepenuhnya.Bagaimana bisa terdakwa
hak-hak
dapat
dengan hak untuk didampingi oleh
membela
diri
sepenuhnya,
terdakwa,
apabila hak-haknya untuk didampingi
penasehat
oleh penasehat hukum diabaikan.
mengatakan,”
Melihat uraian-uraian di atas, telah
jelas
bahwa
KUHAP
hubungannya
hukum,
kami
apakah
selalu
saudara
di
dampingi oleh penasehat hukum atau menghadap
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
sendiri”.Dengan 25
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
moral25.
perkataan ini kami sudah menjalankan
persoalan
nilai-nilai pemeriksaan yang adil dan
kebiasaan buruk sering menghambat
layak..Jika
proses peradilan, seperti runtuhnya
penulis
tafsirkan,
dari
perkataan hakim tersebut. Perkataan
moralitas
itu
komunitas, ketidakseimbangan dalam
hanya
ungkapan
yang manis
sistem
Kebiasaan-
belaka, hanya menjalankan peraturan
mempergunakan
saja,
pertanggungjawaban
tanpa
Seharusnya
menindak ia
bukan
lanjutinya.
budaya
sebuah
berbagai
jenis
(Manajerial,
mengatakan
program, dan sosial) dan saling lempar
demikian, akan tetapi memberikan
tanggung jawab karena gemuknya
bantuan terhadap terdakwa. Kebanyak
organisasi peradilan. Pada tingkat yang
dari terdakwa, menjawab pertanyaan
lebih teknis, hambatan-hambatan ini
hakim tersebut, “kami menghadap
juga
sendiri“.Karena mungkin di sadari
pengawas publik yang tidak mampu,
bahwa untuk menghadapkan seorang
pegawai peradilan yang korup, spirit
pengacara
yang melutut, pembusukan peradilan
tentunya
harus
mengeluarkan biaya yang lebih.
menyangkut
keberadaan
dan perlakuan masa bodoh dari pejabat peradilan itu sendiri
Hambatan Dan Solusi DalamDue Process Model (di PN-Karawang)
Apabila
moral
yang
dipertanyakan, Praktek peradilan di 1. Menuju Efektivitas dan MembangunKembali Sistem Peradilan Pidana Yang Humanis Harus
diakui
secara
jujur
bahwa dalam kenyataan bobroknya dunia peradilan di indonesia bukan semata-mata dipengaruhi oleh politik dan kekuasaan eksekutif tetapi juga dan malah porsi terbesarnya adalah lebih
banyak
disebabkan
oleh
negara kita ini sering menunjukan kaburnya
orientasi
para
penegak
hukum antara menegakan hukum dan menegakan
keadilan.
Sebagaimana
yang penulis kaji di lapangan PNKarawang,
berdasarkan
beberapa
orang responden (Hakim,Jaksa, Dan Pengacara), pemeriksaan 25
bahwa perkara
tujuan
utama
pidana
di
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum : Indefendensi Lembaga Peradilan, dalam Dalam Jurnal Ilmu Hukum UII, No 9 Vol 4 1997, hlm 31. 26
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
pengadilan
adalah,
untuk
badan-badan
yang
terlibat
cukup
memenangkan perkara sesuai dengan
banyak dan oleh karena itu benar-
aturan yang berlaku. Hal seperti ini
benar membutuhkan pengelolaan yang
dapat penulis tafsirkan, bahwa sangat
seksama. Badan-badan yang terlibat
jauh sekali dengan tujuan menegakan
adalah:
hukum
pengadilan, Berangkat dari teori Efektivitas
kepolisian, dan
pemasyarakatan.
Masalah yang paling rumit adalah
hukum, atau bekerjanya hukum di
bagaimana
pengadilan. Maka nilai-nilai
mengorganisasikannya
yang
kejaksaan,
kita
akan badan-badan
tertuang dalam Due process model
kepada satu kesatuan kerja, sedang
hanya ada dalam KUHAP belaka,
masing-maing mempunyai tugas dan
tanpa ada dalam kenyataan sehari-hari
wewenang yang berbeda. Perbedannya
(Praktek
ini
mungkin belum berarti apa-apa, tetapi
keruntuhan
apabila diingat bahwa semua badan itu
moralitas dalam setiap pemeriksaan.
mengurusi orang yang sama, yaitu
Pembicaraan
bekerjanya
tersangka, terdakwa atau terhukum,
hukum dalam hubungannya dengan
maka keadannya bisa lain. Apabila
proses peradilan secara konvensional
misalnya, masing-masing badan itu
melibatkan
pembicaraan
tentang
memegang teguh birokrasinya, maka
administrasi
keadilan.
mulai
efesiensi dari administrasinya bisa
pengadilan,
sangat terganggu. Untuk mengukur
pemeriksaan di sidang pengadilan
bagaimana suatu badan peradilan itu
sampai kepada putusan hakim.Dari
dapat bekerja sesuai dengan nilai-nilai
administrasi
Due process model, maka dalam hal
di
disebabkan
masuknya
pengadilan). karena
mengenai
perkara
ke
keadilan
Hal
Dari
ini,
Satjipto
26
Rahardjo
Memberikan
ini
Komentarnya.Pada
administrasi
memberikan batasannya.
keadilan pidana keadannya cukup berbeda.salah satu ciri yang menonjol adalah, bahwa pada administrasi ini 26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op cit, hlm 185.
teori
efektivitas
hukum
1. Mudah tidaknya makna aturanaturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami 2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
27
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
3. Efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa 5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemapuan efektif27
menyatakan sepakat dengan apa yang
Dari uraian di atas, bagaimana
konflik muncul di persidangan (bagi
nilai-nilai due process model diterapkan
dalam
lapangan
itu PN-
dikatakan oleh hakim, dan jaksa . Dalam perkara-perkara yang bobot
materinya
Pencurian
kecil,
misalnya
kecil-kecilan.
Memang
terdapat konflik di dalamnya, antara berita
acara
Dakwaan,
pemeriksaan
(BAP),
Pembelaan
sampai
dan
kepada putusan hakim, yang paling menonjol sekali dalam pembelaan
terdakwa yang di dampingi oleh penasehat
hukum),
akan
tetapi
Karawang, apakah efektif atau tidak
pembelaan dibacakan oleh penasehat
ini tergantung kepada moral para
hukum
penegak
dilihatnya
hukumnya
sendiri.
(hanya
sekedar)
bahwa
mereka
ingin (tim
Terhambatnya due process model di
penasehat hukum) sudah menjalankan
pengadilan PN-Karawang, oleh faktor
peraturan
moralitas itu sendiri. Di samping
Sedangkan bagi terdakwa yang tidak
terhambat oleh terdakwanya sendiri
di dampingi oleh penasehat hukum,
yang menyepakati akan nilai-nilai
konflik
yang ada di pengadilan PN-Karawang
kepermukaan sehingga suasana sidang
tersebut. Tentunya, akan sedikit sekali
apa adanya sesuai dengan kehendak
dalam
atau
hakim, dari konflik seperti inilah dapat
tegangan. Biasanya hal ini dialami
disimpulkan bahwa keadilan itu adalah
oleh
mengenali
banyak
kualitasnya
lebih
konflik
yang
telah
jarang
ditentukan.
sekali
muncul
terdakwa
yang
seolah-olah disebut adil. Akan tetapi
rendah,
mereka
dalam perkara-perkara yang bobot materinya lebih besar, konflik itu benar-benar
27
Esmi Warasih, Pranata Hukum ,Suryandaru Utama, Yogyakarta, 2005. hlm 105-106.
hidup
dalam
ruang
persidangan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
28
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Selain itu juga kita harus membangun
memahami nilai-nilai hukum yang
sistem peradilan pidana yang lebih
hidup dalam masyarakat, sebagaimana
humanis.Persoalan
dalam
yang telah dinyatakan dalam Undang-
hukum pidana, sangat erat sekali
undang No 4 Tahun 2004 Pasal 28,
dengan
tetapi bunyi pasal ini hanya pemanis
humanis
Pendekatan
Humanistik.terlebih
bagi
bangsa
indonesia, yang berdasarkan pancasila
Undang-undang
belaka
tanpa
ada
dalam aplikasinya.
dan garis pembangunannya bertujuan
Untuk
bisa
memahami
untuk membentuk manusia indonesia
pengadilan seutuhnya, atau melihat
seutuhnya.
kepada konteks sosialnya (masyarakat)
Dari
pendekatan
humanistik ini, dapat dimungkinkan
maka
adanya “pengadilan pancasila”.Asumsi
mendekonstruksi paham pengadilan
ini didasarkan kepada mengapa hanya
yang ada selama ini, dengan cara:
paham liberal saja yang menyelimuti
1 Kita harus berpikir kritis, dan mencoba menanyakan kembali apakah pengadilan sebagai lembaga yang tidak memihak ini sudah benar-benar dilaksanakan dalam praktek? dan apakah ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang No 4 Tahun 2004, yang menyebutkan peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang. Sudah benar-benar diterapkan? 2 Harus mulai dipertanyakan falsafah apa yang menyelimuti pengadilan kita sekarang ini? Sudah sering kita mendengar nilai dan wawasan seperti pancasila, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan manusia seutuhnya. Akan tetapi nilai-nilai seperti itu tidak begitu jelas mewadahi pengadilan kita
pengadilan?Sedangkan
pancasila
sebagai dasar negara tidak dijadikan paham dalam pengadilan. Pengadilan pancasila dalam hal ini mencoba menawarkan suatu konsep yang lain terhadap pengadilan dalam mengatasi kehancuran moralitas para aparatur pengadilan itu sendiri. Pengadilan menawarkan
pancasila
untuk
mengatasi
kekurangan dari kualitas pengadilan liberal tersebut, dengan menambah pada
aktivitas,
kreativitas
keberanian para penegak
dan
hukum.
Dapat kita temukan dalam praktek peradilan sehari-hari, dengan kata-kata
kita
harus
berani
hakim wajib menggali, mengikuti dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
29
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
2. Peningkatan Kualitas Kesadaran Peran dan Tanggung JawabAparatur Peradilan Pidana Peradilan pidana sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ia merupakan
suatu
sistem.
Yang
tentunya mempunyai masukan dan keluaran dalam arus perkara, di mana seorang
(tersangka,
terhukum)
yang
terdakwa,
masuk
dengan
harapan keluar menjadi lebih baik dalam
menjalankan
kehidupan
bermasyarakat.
sangat erat kaitannya dengan istilah administrasi keadilan, di mana ia mempunyai hubungan dengan ilmu Dalam
hal
ini
ilmu
manajem sangat bermanfaat dalam penyelesaian perkara di pengadilan. A. Mukti
Arto28,
Layaknya yang
telah
menyebutkan
manfaat dari ilmu manajemen 1. Memahami bentuk, jenis dan sifatsifat sengketa itu sendiri. Di samping untuk menggali sumbersumber sengketa 2. Mencari dan menemukan alternatif pemecahannya dengan berbagai pisau analisis dan teknik
digunakan
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan: Kritik Dan solusi terhadap Praktek Peradilan Perdata Di indonesia, Pustaka Pelajaar, Yogyakarta, 2001. hlm 197-198.
manajemen
dalam
sistem
tanggung jawab terhadap publik atau pencari
kaitannya
keadilan. dengan
tanggungjawab,
Dalam masalah
sistem
peradilan
pidana sangat erat sekali dengan akuntabilitas peradilan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang
skripsi
akuntabilitas
ini,
peradilan
kewajiban
bahwa adalah untuk
mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi alasan,
menjawab,
tanggungjawab,
memikul
serta
memberi
perhatian dan tunduk kepada penilaian (Judgement) dari luar. Maka
28
ilmu
peradilan pidana tentunya mempunyai
para
Selain itu juga peradilan pidana
manajemen.
pemecahan masalah-masalah pengambilan keputusan 3. Menjadi seni dan ilmu dalam penyelesaian perkara secara efektif dan efesien dengan hasil yang memuaskan. Dalam hal ini hakim dapat mengatur perkara dengan sebaik-baiknya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pembiyaan, pengawasan, sampai kepada pengendalian hasil-hasilnya.
peradilan,
dari
seperti
itu halnya
lembaga lembaga
lainnya tidak lepas dari peranan dan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
30
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
tanggung jawab. Soerjono Soekanto29
ditegakan dan diterapkan dalam dunia
menyebut bahwa peranan atau role
nyata. Aktivitas lembaga peradilan
merupakan hak-hak dan kewajiban.
demikian itu pada dasarnya adalah
Dengan peranan yang berupa hak dan
berupaya membandingkan rumusan-
kewajiban inilah lembaga peradilan
rumusan hukum yang sifatnya masih
dapat
abstrak,
eksis
dalam
menghasilkan
berbagai macam putusan.
bekerjanya
Seperti yang penulis dapatkan hasil
di
lapangan
karena
dengan
melaui
lembaga peradilan itu,
hukum baru dapat diwujudkan.
PN-Karawang,
Untuk
lebih
mempertajam
tanggung jawab lembaga peradilan ini
pengertian ini, Satjipto Rahardjo31
lebih banyak memperhatikan peranan-
menjelaskan,
peranan yuridis, daripada peranan non
lembaga
yuridis. Tentunya dalam melaksanakan
konsep-konsep
tanggung jawab ini lembaga peradilan
notabennya bersifat abstrak. Melalui
hanya menerapkan pasal-pasal belaka.
lembaga dan bekerjanya lembaga-
Besar kemungkinan lembaga ini akan
lembaga itulah hal-hal yang bersifat
bergeser menjadi lembaga pinggiran.
abstrak tersebut dapat diwujudkan
Dengan
yuridis,
dalam kenyataan. Sedangkan tanggung
lembaga
jawab non yuridis berarti lembaga
memikul
peradilan
maupun
adanya
peranan
non
peradilan
yurisidis dituntut
tanggungjawab
ada
yang
berupa
bahwa
hukum
kehadiran
itu
merupakan
hukum
berkewajiban
mengusahakan
yang
untuk
terwujudnya
tanggungjawab yuridis ada pula yang
ketentraman,
non yuridis.
kesejahteraan, dan keadilan dalam
Menurut tanggung
Rusli
jawab
Muhamad30
yuridis
berarti
masyarakat. sebagai
kedamaian,
Tanggung
manifestasi
jawab
dari
ini
peranan
pengadilan harus dapat mengupayakan
sosiologis dan politis yakni membawa
agar
negara
aturan-aturan
hukum
dapat
kita
sebagaimana
kepada
tujuan-tujuan
diamanatkan
oleh
29
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, jakarta, Rajawali Press, 1983, hlm 11. 30 Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Revitalisasi, Op cit, hlm 41.
31
Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Revitalisasi, Ibid. 31
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
konstitusi
dan
nilai-nilai
luhur
pancasila Pertanggungjawaban pengadilan (peradilan) pidana
baik
secara yuridis atau secara non yuridis, perlu memperhatikan beberapah hal
4 Mungkinkan pemerosesan suatu perkara dengan kecepatan yang terukur 5 Kurangi sampai minimum beban di pundak pihak-pihak yang berperkara 6 Kurangi sampai minimum beban dari pihak-pihak lain 7 Kurangi sampai minimum ongkosongkos perkara
sebagai berikut 1 Menempatkan aparatur hukum pada posisi netral dan tidak dibebani oleh komitmen politik. 2 Dibutuhkan kontrol internal dan eksternal terhadap lembaga peradilan 3 Mendorong responsibilitas dan akuntabilitas peradilan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang lebih manusiawi, bermartabat, dan berkeadilan32
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tanggungjawab pidana,
dapat
bahwa lembaga kita
peningkatan peradilan lihat
Dengan memperhatikan poinpoint di atas, di harapkan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu perkara,
tidak
hanya
memiliki
tanggungjawab secara yuridis saja (menerapkan hukum) belaka. Akan tetapi lembaga peradilan memiliki tanggungjawab sosial 3. Perubahan Cara Pandang : Peningkatan Kualitas Teoritik. Cara pandang seorang ahli
dari
kemampuan lembaga peradilan untuk
hukum,
menyelesaikan
seorang ahli sosiologi tentunya akan
masalah
kejahatan
dengan
cara
pandangan
secara adil, dengan cara33
jauh berbeda, bahwa seorang ahli
1 Pastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektiv 2 Pastikan bahwa rakyat (masyarakat) tidak diabaikan untuk diwakili secara efektiv 3 Ciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar
hukum akan memandang segalanya
32
seorang praktisi pengadilan (hakim,
Fadilah putra & Saipul arief, Kapitalisme Birokrasi,PUSPEK Averros,Lkis, 2001, Hlm 52. 33 J W La Patra, Analizing The Criminal Justice system, hlm 65. yang kemudian dikutip oleh Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op cit, hlm 187.
dari peraturan yang berlaku, akan tetapi seorang ahli sosilogi (Hukum) akan
berusaha
menguraikan kecurigaan
jaksa,
menjelaskan,
dan
penuh
intelektual.
pengacara)
berpandangan
Pandangan
tentunya sesuai
dengan
akan dengan
pekerjaannya, seorang hakim tidak
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
32
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
mungkin
menjelaskan
sebab-sebab
mendasarkan
atas Undang-undang
pencurian misalnya, dalam sidang.
yang
cara
pandang
Akan
positivisme hukum ini
lahir dan
tetapi
ia
hanya
akan
berlaku,
menguraikan unsur-unsur pencurian,
mendapat pengaruh dari aliran filsafat
yang terdapat dalam Pasal 362 KUH-
positivisme pada abad ke-1934pada
Pidana.
abad inilah positivisme berkembang, Cara pandangan yang demikian
penerima
warisan
itulah yang memandang hukum dari
pemikiran
segi normatif belaka sedangkan dari
sebelumnya yang bersifat idealistis
sisi sosiologi tidak dipandangnya.
tersebut.
Padahal kalau kita lihat kenyataanya
perkembangan masyarakat yang terjadi
dalam lapangan, hukum itu bukanlah
pada
peraturan-peraturan belaka, akan tetapi
semangat yang bersifat kritis terhadap
merupakan juga ide, kultur, dan cita-
masalah-masalah yang dihadapi.
cita.
abad
hukum
pemikiranpada
Perubahan ke-1935
masa
dan
menimbulkan
Dari uraian di atas, dapat Memang cara pandang yang
disimpulkan bahwa pemikiran para
demikian itu tidaklah salah, karena
aparatur pengadilan (jaksa, Pengacara,
memang itu tugasnya para praktisi hukum.
Keterampilan
dalam
melakukan penerapan hukum tidak diragukan lagi, karena telah yakin bahwa hampir keseluruhan penegak hukum
memiliki
itu.Pemikiran-pemikiran
keterampilan seperi
ini
telah di pengaruhi oleh pendidikan mereka yang telah di perolehnya selama menjalankan studinya di SI. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan hukum SI adalah lebih terpokuskan kepada cara pandang yang positivisme. Yaitu yang selalu
34
Pada abad ke-19, refleksi kefilsafatan yang abstrak spekulatif dan tidak pernah mencapai penyelesaian masalahmasalahnya secara defenitif, secara umum mengalami kemerosotan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan ilmu-ilmu positif, terutama fisika, dengan metode dan aflikasinya (teknologi dan industri) mengalami kemajuan yang pesat dengan hasil-hasilnya yang gemilang. Selanjutnya dapat di lihat dalam B. Arief Sidharta, Disiplin Hukum: Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Disampaikan pada Ulang Tahun Ke-4 Fordiskum Bandung, 20 Juli 2001.(Tidak diterbitkan). 35 Satjipto Rahardjo, Ilmu HukumOp cit, hlm: 267. Bahkan pengertian negarapun pada abad ke-19 telah mengalami perubahan. dalam anggapan-anggapan para filsuf jerman dari abad ke-19, negara hukum lebih dipandang semata-mata sebagai pelajaran tentang kedaultan dari parlemen. 33
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
dan Hakim) hanya mampu berpikir
pendidikan,
secara yuridis saja, yang penuh dengan
didasarkan atas:, Ukuran kecerdasan
gaya-gaya
nilai matematika dan bahasa, Kunci
positivismenya.Mereka
karena
ini
hanya memainkan peraturan saja, dan
kesuksesan
telah
(Intellgence Quotient) seperti nilai
menjadikan
tawanan
dirinya
sebagai
Undang-undang.Tuntutan
rapor,
atau
adalah
paradigma
IPK.,
nilai-nilai
Oreintasi
IQ
pada
jaksa penuntut umum, hanya sesuai
pemecahan masalah. Tentunya dengan
dengan Pasal yang dilanggar oleh
hanya mengandalkan kemampuan otak
terdakwa di luar itu tidak bisa di
kiri ini, maka jelas seorang calon
tuntutnya karena dengan alasan belum
Hakim, jaksa, pengacara akan selalu
ada aturannya. Dan hakim hanya akan
menghapal
memeriksa sesuai dengan tuntutan
Dan kemudian di terapkannya kepada
jaksa saja, pengacara hanya akan
pemecahan masalah yang dia temukan
membela sesuai dengan aturan yang
dalam pengadilan atau masyarakat.
dilanggar oleh terdakwa. Memang
tidak
Undang-undang
Sangatlah salah
para
dalam
berpikir
jelas seperti
belaka.
kemampuan demikian
aparatur pengadilan dalam bekerja,
tersebut, akan mengurangi lembaga
karena itulah yang harus mereka
peradilan dari pikiran-pikiran yang
kerjakan.Jika hal ini dikaitakan dengan
sosiologis, tentunya yang berurat akar
konsep
maka
dalam otak meraka hanyalah Undang-
sangat jelas sekali adanya kekeliruan
undang belaka. ini menjadi polemik
dalam
menanamkan
yang sangat besar, lantas bagaimana
pendidikan
peningkatan kualitas teoritik dari para
pendidikan
konsepnya.Kekeliruan
hukum,
hukum yang selalu menggunakan otak kirinya
dalam
berpikir
dan
teoritisi hukum ini. Karena cara berpikir kritis, atau
berpandangan.MenurutTaufik
teoritis hanya dapat di peroleh di
Pasiak36,arah penggunaan otak kiri
S2.dan S3. tentunya sangat repot bagi
menjadi keliru dalam penerapannya di
mereka untuk berpikir secara ktitis, sebab pendidikannya mengharuskan
36
Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ (Antara Neurosains dan Alquran), Mizan,Bandung, 2004, hlm: 102.
demikian. Bedahalnya dengan S2 dan S3, yang berpikirnya di arahkan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
34
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
kepada cara berpikir ilmiah. Karena ini
pendanaan ini, diharapkan sepenunya
adalah menjadi kendala bagi para
bagi lembaga pendidikan hukum SI
penegak hukum, maka apa yang harus
dapat mengubah cara pandangnya
dilakukan dalam memberikan solusi
terhadap hukum. dengan tidak hanya
terhadap permasalahan ini, dalam hal
mengandalkan
ini penulis memberikan sedikit solusi:
positivistis saja.
1 Dalam pendikan hukumnya (SI) perlu mengubah cara pandang terhadap hukum, artinya pandangan secara Undang-undang belaka tidak sepenuhnya merupakan pandangan yang seutuhnya. 2 Lebih ditingkatkan kemampuan berpikir sosiologis dalam tingkat pendidikan SI 3 Di harapkan seorang Hakim, jaksa atau pengacara, dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Serta dapat menjadikan sistem yang berlaku dalam masyarakat, menjadi kontribusi bagi sistem peradilan pidana. 4 Lebih diperketat persyaratan menjadi seorang praktisi hukum (jaksa, hakim, atau pengacara), minimal mereka yang lulusannya S2. Dengan hal itulah, setidaknya cara berpikir seorang yuris atau praktisi hukum lebih mengarah kepada
pembaharuan
hukum.
Sangat
teoritik ini lewat jenjang pendidikan hukum S2 adalah masalah pendanaan bagi Untuk
instansi
yang
bersangkutan.
menanggulangi
masalah
yang
formal-
diharapkan
dalam
peningkatan teoritik ini, khususnya dalam pendidikan hukum SI.yang akan mengeluarkan
calon-calon
hakim,
jaksa, pengacara dan aparatur hukum lainnya. Dapat memberikan cara-cara berpikir
sosiologis,
di
samping
memberikan cara berpikir yuridis. Solusi berpikir secara sosiologis untuk mengatasi keterbatasan teoritik para aparatur pengadilan atau para calon hakim, jaksa, pengacara dan penegak hukum
lainnya.yang
kebanyakan
adalah lulusan SI, ditawarkan dalam tulisan ini dengan dasar pertimbangan bahwa
sebelumnya
kita
(hamba
hukum) harus sepakat dari perbedaan cara
berpikir
dari
orang
awam,
sosiolog, dan filosof.
Barangkali yang menjadi pemikiran dalam upaya peningkatan kualitas
teori
Seandainya kita sepakat bahwa yang
membedakan
ketiga
aktor
tersebut adalah logika berpikirnya, maka kita akan mudah untuk bisa memahami bagaimana cara berpikir sosiologis itu? Orang awam dalam
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
35
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
pemahaman
Berger
&
akan memiliki cara pemahaman yang
Luckman dinamakan sebagai Man on
berbeda dengan cara berpikir orang
the street
yang cenderung untuk
awam dan seorang filosofis. Seorang
melihat dan memahami gejala sosial
sosilog tidak dapat berperilaku taken
tanpa mempertanyakan hakikat atau
for granted dalam berpikir akan tetapi
eksistensi dari gejala itu, orang awam
ia lebih suka untuk menerangkan,
akan memahaminya secara taken for
menjelaskan,
granted,
menguraikannya dari
37
sehingga
tidak
perlu
dan
kemudian situasi
yang
mempersoalkan lebih lanjut. Dari cara
tengah dihadapi. Menurut Berger &
berpikir
Luckman38 berpikir secara sosiolog
orang
awam
ini,
dapat
diketengahkan sebuah contoh: dalam persidangan memeriksa, mungkin
hakim dan
yang
akan
mengadili.
Tidak
mempertanyakan
kenapa
pembunuhan hukumannya harus lima belas tahun, tentunya hakim hanya akan menerapkan apa adanya sesuai dengan bunyi aturan tersebut. Tidak hanya hakim, para aparatur pengadilan lainnya
yang
bersikap
taken
for
gtanted , dapat ditafsirkan sebagai bagian dari orang awam. Lain
halnya
apabila
kita
melihat cara berpikir seorang filosofis. Dalam
berpikir
mempertanyakan
ia
akan
yang
selalu
berkaitan
dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berpikir sosiologis
37
Peter L Berger & Luckman, Tafsir sosial atas kenyataan: Sebuah risalah tentang pengetahuan sosiologis, LP3S, Jakarta, 1987.
38
Peter L Berger & Luckman, Tafsir sosial atas kenyataan: Sebuah risalah tentang pengetahuan sosiologis, Ibid. Di lain kesempatan ia mengatakan Peter L. dalam bukunya Humanisme Sosiologis, yang diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae dari judul aslinya Invitation To Sociology, A Humanistic Perspective dan diterbitkan oleh inti Aksara, Jakarta 1985 hlm.40-77. Telah menjelaskan bahwa pemahaman sosiologis memiliki beberapa ciri adalah sebagai berikut: a) Paham sosiologis memiliki MotifPenelanjangan: adalah berusaha mengetahui apa yang berada dibalik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang. Bersifat metodologis, ingin mengetahui seluruh proses sosial (Aspek metodologis) yang terjadi dan bukan motif psikologi b) Motif Kurang Hormat: dalam arti selalu mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima sesuatu kenyataan sudah terjadi semestinya, ini tidak berarti revolusioner dan tidak konservatif c) Motif Untuk tidak Menisbikan Kenyataan: adalah nilai-nilai pemikiran manusia karena memandangnya dikondisikan menurut tempat dan waktu, oleh karena hidup dimasyarakat moderen, d) Motif Kosmopolitan: adalah motif sosiologi yang bersifat terbuka terhadap dunia luas memerdekan 36
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
memilki logika berpikir dalam posisi
Dengan kata lain, fakta sosial
diantara orang awam dan filosofis.
yang ditangkap oleh seorang sosiolog
Misalnya, seorang hakim yang berpikir
akan
dipertanyakan
sosiologis tidak akan menganggap
dalam
masyarakat,
bahwa perbuatan pembunuhan itu
bagaimanakah
adalah suatu perbuatan yang buruk dan
Contoh
dilarang oleh hukum, akan tetapi
mempertanyakan nilai-nilai kebaikan,
sebagai fakta sosial. Yang menjadi
akan tetapi melihatnya sebagai objek
persoalannya
studi.
seorang
adalah
sosiologi
bagaimana
memperlakukan
eksistensinya dan
diamati
kecenderungannya.
sosiolog
tidak
Kemudian
mempertanyakan
akan
sosiologi bagaimanakah
fakta sosial tersebut. Orang awam
mekanisme sosialnya sehingga nilai-
mungkin
jika
nilai kebaikan dapat dipelihara?dan
dianggap
kemudian sosiolog mempertanyakan
akan
perbuatan
beranggapan
pembunuhan
sebagai fakta sosial, tidak dianggap
bagaimana
sebagai
tentang nilai-nilai tersebut?.
sebuah
kejahatan,
maka
hukum tidak tegak.
persepsi
masyarakat
Dari cara berpikir sosiolog
Dan seorang filosofis, mungkin
terssebut, diharapkan
bagi calon
akan mengatakan dari mana asalnya
hakim, jaksa, dan pengacara atau
pembunuhan itu terjadi?, mengapa
penegak hukum lainnya menanamkan
sampai
berpikir
terjadi
pembunuhan?
Dan
ini
dan
menambah
untuk apa melakukan pembunuhan?.
kreativitasnya, serta mencoba untuk
Untuk
ini,
menemukan hal yang baru, Seperti
sosiolog akan memperlakukan fakta
yang dikatakan oleh Holmes, the life of
sosial
the law has not been logic, it has been
menyikapi
itu
sebagai
semuanya
yang
diamati,
dipahami, dideskripsikan, dianalisis,
expererience”.
dan kemudian disimpulkan39
menemukan sesuatu yang baru, penuh
Berpikir
dengan kreativitas,
39
orang dalam rangkaian kejadiankejadian dari kehidupan manusia yakni memberikan kesempatan berpikir terhadap cara-cara berpikir dan bertindak yang lain. Heru Nugroho, Menumbuhkan ide-ide kritis, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2002, hlm 85.
untuk
dalam lapangan
psikologis, seorang dapat berpikir secara kreatif dengan melatih dirinya untuk menghasilkan produk-produk
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
37
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
yang kratif, Bobbi De Porter39 dalam
tetapi menjadi lembaga yang benar-
hal ini telah memberikan resep dalam
benar
berpikir kreatif.
subtantif,
dan
dapat
1. Dalam berpikir janganlah gampang merasa puas, jangan menerima apa adanya. Kita boleh melihat sama dengan apa yang dilihat oleh orang lain. Namun, kita harus berpikir dengan yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Kita harus berpikir yang berbeda 2. Jangan terpaku pada satu cara, jangan kaku dalam berpikir, tempuh jalan lain untuk menempuh suatu tujuan. Jangan selalu mengikuti jalan yang sama menunju suatu tempat 3. Pertajam keingintahuan. Jadikan kata Why, sebagai panduan keingintahuan. Tanyakan mengapa sesuatu ini menjadi begini. Dengan berpikir secara
menumbuhkembangkan
peradilan
sosiologis tersebut di atas, semoga perubahan cara pandang dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan sosiologi hukum dapat dimanfaatkan untuk merubah cara pemikiran hukum yang selalu menggunakan otak kirinya, pemikiran yang selalu undang-undang. Diharapkan sosiologis lembaga
dengan ini,
cara
berpikir
pengadilan
sebagai
terakhir
untuk
mencari
keadilan dapat berperan sesuai dengan fungsinya, pengadilan tidak lagi hanya memainkan peraturan belaka. Akan 39
Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ (Antara Neurosains dan Alquran), Ibid, hlm 102.
dapat
memberikan
keadilan
pidana yang lebih humanis.
Penutup Sebagai Penulisan ini,
uraian
akhir
hasil
dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri Karawang, belum mencerminkan pemeriksaan yang adil dan layak, karena dalam hal ini nilai-nilai due process model hanya tertuang dalam KUHAP saja sebagai aturan dasarnya. Akan tetapi dalam praktek (di PN-Karawang) tidak dilaksanakan, dalam realitasnya pemeriksaan masih menonjolkan dominasi peranan, hanya peranan yang punyalah yang akan memenangkan perkara. The haves always come out ahead, Sangat terlihat dengan jelas, di Pengadilan Negeri Karawang adanya keberpihakan kepada terdakwa yang statusnya lebih tinggi, perlakuan antara terdakwa dengan statusnya yang lebih rendah sangatlah berbeda. Bahkan pemilihan ruang sidangpun terjadi dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri Karawang. biasanya perkara-perkara yang materinya lebih berbobot di sidangkan di ruang I, sedangkan bagi perkaranya hanya kecil-kecilan di
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
38
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
2.
sidangkan di ruang II, dan III. Selain itu juga percepatan pemeriksaan, sering dialami oleh mereka yang statusnya lebih tinggi. Selain tidak mencerminkan peradilan yang adil dan layak tersebut, di PN-Karawang ini, di satu sisi pengadilan hanya berfungsi sebagai suatu lembaga yang hanya menjalankan hukum materil saja yaitu hukum acara pidana. Maka dengan demikian peradilan pidana menjadi tawanan sebuah undang-undang, Pengadilan hanya berurusan dengan aturan-aturan saja. Implementasi dari asas persamaan di muka hukum (equality before the law) yang ada di Pengadilan Negeri Karawang ini, belum semuanya di terapkan karena masih berbenturan dengan berbagai kepentingan. Dengan kata lain dapat penulis tafsirkan asas ini hanya memihak kepada yang berbobot perkaranya saja. Guna menguji asas ini penulis menghubungkannya dengan masalah bantuan hukum, dapat disimpulkan berdasarkan penjelasan sosiologis bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nya yang kurang mendukung terhadap masalah bantuan hukum ini, dalam hal ini KUHAP tidak memberikan peraturan preventifnya bagi mereka (aparatur pengadilan) yang tidak memberikan bantuan hukum. bahwa hukum dapat dikatakan tidak efektiv apabila tidak adanya pengawasan atau aturan umpan balik dari sistem peraturan perundang-undang yang sah, dari kondisi KUHAP seperti ini, telah jelas bahwa perilaku aparatur
3.
pengadilan telah dipengaruhi oleh peraturannya. Ada banyak kendala dalam menerapkan due process ini, pertama tidak diterapkannya nilainilai due process dalam praktek. Nilai-nilai ini hanya berlaku terhadap terdakwa yang mempunyai materi lebih. Sehingga menyebabkan tidak efektivnya pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri Karawang. kedua, kurangnya pengetahuan aparatur pengadilan terhadap due process itu sendiri, banyak yang menganggap bahwa due process itu sama dengan proses-proses beracara di pengadilan. Kendala yang terakhir, disebabkan oleh tanggung jawab dan kinerja aparatur peradilan yang tidak sesuai dengan keadilan subtantif, salah satu contohnya hakim dalam keputusannya banyak yang tidak mencerminkan keadilan masyarakat, sebab putusan itu sudah ada sebelum perkara di periksa. Dalam hal ini hakim telah menjadi tawanan Undang-undang. Sebagai saran dalam Penulisan ini, dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Aparatur pengadilan, (Hakim, jaksa atau pengacara) seharusnya dalam menerapkan nilai-nilai due process dalam pemeriksaan perkara pidana tidak memandang siapa yang menjadi terdakwanya. Nilai-nilai tersebut harus diterapkan terhadap semua terdakwa tanpa terkecuali. Maka diperlukan dalam hal ini sebagai pemegang peranan (hakim, jaksa, atau pengacara) suatu sikap yang
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
39
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
menjungjung tinggi peradilan yang humanis, terdakwa semuanya di perlakukan dengan nilai-nilai due process. Selain itu juga perlu menerapkan pancasila sebagai pandangan hidup di terapkan dalam pengadilan ini, dengan budaya hukum kekeluargaan
melihat terhadap realitas sosialnya, semuanya itu bisa dibuka, dijelaskan. Dalam hal ini aparatur pengadilan harus lebih mengenal lagi konsep pemeriksaan perkara pidana yang adil dan layak, tidak hanya dari tataran praktis saja, akan tetapi dari tataran teoritik pun harus lebih ditingkatkan.
2. Aparatur pengadilan perlu menerapkan equality before the law ini dengan pasti, artinya harus sepenuhnya diterapkan terhadap semua terdakwa, tidak pandang siapa yang menjadi terdakwanya. Selain itu juga Perlunya menambahkan aturan preventifnya, bagi aparatur pengadilan yang tidak memberikan bantuan hukum. Karena masalah bantuan hukum yang dijelaskan dalam KUHAP ruang lingkupnya sempit, yang menyebabkan hak untuk di dampingi oleh penasehat hukum tidak dapat dinikmati oleh semua orang. Maka dalam hal ini, di perlukan untuk segera mengevaluasi terhadap KUHAP, mengingat banyaknya kelemahan yang terdapat dalam aturan tersebut. Hal itu saja dianggap masih belum cukup, karena masih harus didukung oleh proses pemulihan kultur yang selama ini telah menguasai lembaga peradilan dalam pemeriksaan perkara pidana. Jadi selain merubah KUHAP itu sendiri, di perlukan perubahan budaya hukum 3. Perlu adanya peningkatan kualitas teoritik mengenai due prcess, maka dalam hal ini perlu perubahan cara berpikir dengan tidak menggunakan undang-undang saja, akan tetapi mencoba untuk melihat konteks sosialnya. Karena dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
40
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Daftar Pustaka Anthon F Susanto Wajah Peradilan kita: Konstruksi sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama Bandung 2004. -----------------------------, Makna Realitas Kontrol Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Unpas, Vol 2 Nomor 2, Juli-Desember, 2001. Ansorie Sabuan (et al) Hukum Acara Pidana Angkasa Bandung 1994. A.Mukti Arto Mencari Keadilan: Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia Pustaka Pelajar Yogyakarta 2001. Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penulisan hukum PT Raja grapindo Persada Jakarta 2004. Achmad Ali ---------------Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan BP Iblam Jakarta 2004. Bernard. Arief Sidharta Refleksi Tentang Stuktur Ilmu Hukum: Sebuah Penulisan Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia MandarMaju Bandung 2000. Bambang Poernomo Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia Amarta Buku Yogyakarta 1984. Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis,
PT Suryandaru Utama
semarang, 2005. Fadilah Putra & Saipul Arief, Kapitalisme Birokrasi, Puspek Averros, Lkis, 2001. George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,(Terjemahan) PT Radja grapindi Persada, Jakarta, 2004 Herbert L Packer The Limit Of The Criminal Sanction,
Stanford University Press,
Stanford California, 1968. John Gilissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005.. J W LaPatra, Analizing The Criminal Justice system, Toronto: Lexington Books, 1978, hlm 85. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
41
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, 2005. Karhi Nisjar & Winardi, Teori Sistem Dan Pendekatan Sistem Dalam Bidang Manajemen, CV Mandar Maju, Bandung, 1997. Lili Rasdjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT Remaja Rosda Karya Bandung, 1998. Lexy, J Meleong Metodologi Penulisan Kualitatif,
PT.Remaja Rosdakarya, Bandung,
2004. Maria S.W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penulisan, Sebuah Panduan Dasar,Gramedia Jakarta, 1996. Mien Rukmini, Perlindungan Ham melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan
Kedudukan
Dalam
Hukum
Pada
Sistem
Peradilan
Pidana
Indonesia,Alumni, Bandung, 2003. Pospoprodjo, Hermeneutika,Pustaka Setia Bandung, 2004 Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis, LP3ES, Jakarta, 1990. ------------------,Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990 ---------------------, Humanisme Sosiologis, yang diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae dari judul aslinya Invitation To Sociology, A Humanistic Perspective inti Aksara, Jakarta 1985 R.Atang Ranoemihardja Hukum Acara Pidana Tarsito Bandung 1976 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Criminal Justice System, Perpektif Eksistemsialisme dan Abolisionisme, Putra A Bardin (Anggota IKAPI), Jakarta, 1998. Sam S Souryal, Ethic in Criminal Justice, Cipta Manunggal, Jalarta, 1990. Satjipto Rahardjo ,Ilmu hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. --------------------,Sisi-Sisi Lain dari Hukum Di Indonesia, Buku-Kompas, Jakarta, 2003. Soedarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode Dan Pilihan Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, 2002. Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Quran, Mizan, Bandung, 2004 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
42
ISSN 1978-0168
PUBLICITAS
Publikasi Ilmiah Civitas Akademika Universitas Majalengka Volume 8 No 3 September- Desember 2014
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas:Realitas Kebudayaan, Dalam era Posmetafisika, Jalasutra Yogyakarta.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-UNMA
43