Jurnal Psikologi Indonesia 2010, Vol VII, No. 1, 1-8, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PSIKOLOGI PEREMPUAN: KONTEKSTUALISASI DAN KONSTRUKTIVISME DALAM PSIKOLOGI (WOMEN PSYCHOLOGY: CONTEXTUALISATION AND CONSTRUCTIVISM IN PSYCHOLOGY) Nani Nurrachman Fakultas Psikologi Unika Atmajaya Diskusi dan perdebatan tentang kedudukan psikologi perempuan dalam ilmu psikologi hingga kini masih terus berlangsung. Secara akademik, masih ada pertanyaan apakah perlu psikologi perempuan diajarkan tersendiri/ terpisah dari psikologi arus utama yang selama ini diajarkan. Secara kualitatif pengalaman hidup perempuan berbeda dengan pengalaman hidup laki-laki. Perilaku preskriptif lingkungan sosiokultural yang dikenakan kepada perempuan merupakan keniscayaan peran budaya yang inheren dalam membentuk perilaku perempuan. Dengan demikian, interpretasi terhadap berbagai gejala perilaku perempuan perlu dipahami secara kontekstual. Psikologi perempuan tidak cukup hanya dideskripsikan melalui suatu penjelasan (eksplanasi ) tetapi juga harus mencakup pemahaman diri dalam konteks sosial-budayanya dari sudut perempuan yang mengalaminya. Hal ini disebabkan karena perilaku perempuan merupakan hasil interrelasi dan dialektika antara aspek biopsikologis dengan aspek psikososiokulturalnya. Berbagai studi psikologi perempuan yang ada dalam konteks sosial budaya Indonesia dipaparkan di sini untuk memperkuat argumentasi tersebut di atas. Kata kunci: aspek biospsiko-sosiokultural, psikologi perempuan, perilaku perempuan The status of the psychology of women, especially in Indonesia, has been and is still greatly debated whether or not it should be taught as a separate subject in the curriculum which is still based on mainstream psychology. Women’s different biopsychological make up which molds her life experience and the way she constructs herself as well as her behaviour is what makes the psychological study of women should be distinct from that of men. Simply because she is a woman, social cultural factors play a significant influence on the way she views herself and others as well as the way others view her. For this reason, it is not enough to explain the biopsychological essence of women, but it also needs to understand her existence based on how she constructs her world and herself. Various psychological studies of women, including those conducted in the context of Indonesian culture are presented here to support this argument. Key words: psychology of women , biopsychological-sociocultural , women’s behaviour
Mempelajari manusia oleh manusia itu sendiri telah membuka wawasan dan kesadaran tentang kompleksitas ilmu psikologi, suatu bidang ilmu yang mempelajari mental dan perilaku manusia. Baik manusia yang mempelajari ataupun yang dipelajari memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi. Oleh karena itu timbulnya keberagaman dalam mempelajarinya tidak dapat dihindarkan ketika mengembangkan konsep dan metode fokus studi mental dan perilaku manusianya. Secara sosial psikologis, perilaku manusia secara kritis dipengaruhi oleh interrelasi antara faktor internal dengan faktor eksternal; antara psikodinamika intra-psikisnya dengan interaksi interpsikisnya. Apa yang ada di dalam dan di luar dirinya adalah dua variabel yang menentukan mengapa dan bagaimana individu berperilaku. Sehingga sebagai
objek studi, mental dan perilaku manusia menempati ranah yang amat luas. Secara faktual dan praktis dalam membicarakan wujud manusia berbagai aspek biologis, psikologis, sosialkutural serta historisitasnya tidak dapat dipisahpisahkan. Respons manusia terhadap dunia lingkungannya merupakan hasil dari interrelasi antara faktor internal (biopsikologis) dengan faktor eksternal (faktor sosialkutural) dirinya. Kelemahan pembelajaran psikologi yang selama ini diberikan dipengaruhi pendekatan positivistik. Pendekatan ini cenderung sangat kuat melihat fungsi-fungsi mental manusia, seperti pengindriaan, persepsi, kognisi, emosi, motivasi dan lain sejenisnya sebagai variabel yang bersitat umum, menetap serta berlaku universal terlepas dari perbedaan jender, ruang dan waktu. Individu manusia
2
NANI NURRACHMAN
terasa sangat kuat tercerabut dari akar sosial budayanya. Akibatnya, wujud manusia dihadirkan dan dipahami tanpa konteks yang mewarnai dinamika kehidupannya. Pendekatan ini dikenal sebagai psikologi arus utama. Psikologi arus utama sangat menekankan pada pengujian hipotesis. Dalam psikologi arus utama manusia menjadi tercerabut dari konteks sosialnya; variabel yang diteliti merupakan rumusan umum yang tidak terikat waktu dan konteks. Variabel perilaku yang hendak diteliti tidak membedakan jender; jika ada maka temuan pada diri perempuan menjadi suatu anomali. Yang dicari adalah kebenaran tunggal. Peneliti dan subjek penelitiannya adalah dua entitas yang terpisah. Manusia menjadi sesuatu yang abstrak. Sedangkan pendekatan kontekstualisasi dan konstruktivisme lebih menekankan pada interpretasi perilaku dalam konteks budayanya. Manusia dipandang sebagai makhluk sosial dan historis, dipengaruhi oleh pengalaman, ruang dan waktu dan zaman tertentu. Peneliti dengan subjek penelitiannya berada dalam suasana interaktif untuk mencari suatu interpretasi dan representasi bersama tentang permasalahan yang diteliti. Ada keberagaman dalam memandang realitas. Sebenarnya, teori-teori dalam psikologi arus utama yang selama ini dipelajari didominasi oleh laki-laki. Padahal teoriteori dalam kategori ini, khususnya psikoanalisis, telah dikritik oleh sejumlah psikolog perempuan sebagai teori yang tidak sesuai untuk menggambarkan perilaku perempuan. Kecenderungan untuk menginterpretasikan berbagai gangguan perilaku yang dialami oleh perempuan sebagai suatu bentuk penyimpangan telah menyebabkan perempuan dilihat sebagai mahluk yang rentan, lemah, kurang dapat mengendalikan diri dan lain sejenisnya. Sebagai kelompok, perempuan akhirnya termarjinalisasi dan mengalami diskriminasi secara sosial di masyarakat. Akibatnya, perempuan mengalami viktimisasi dengan berbagai label dan stigma yang dikenakan kepadanya. Timbullah istilah jender sebagai konstruk sosial yang dapat dipahami sebagai suatu sistem relasi sosial antara laki-laki dan perempuan (yang timpang) ( Paludi 1998 ). Padahal oleh American Psychological
Association (APA, 1979, 1982) psikologi perempuan adalah suatu rancangan riset psikologi yang menempatkan cara penampilan wujud perempuan sebagai tema sentralnya. Parlee (1975) secara spesifik menyebutnya sebagai psychology for women yang tidak saja berkaitan dengan pengalaman yang dianggap nyata bagi perempuan tetapi bagaimana pengalamannya itu dapat membantu kehidupan perempuan itu sendiri. Dengan lain perkataan, perempuan perlu diberdayakan. Sepuluh tahun kemudian, French (1985) menyebut psikologi perempuan sebagai salah satu tonggak masyarakat yang masuk dalam kategori profesi yang mempunyai sifat layanan sosial disamping bidang kesehatan dan pendidikan . Uraian dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan argumentasi mengapa psikologi perempuan perlu dipelajari secara tersendiri meski masih tercakup dalam ranah pengajaran psikologi secara umum. Diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memandang perilaku perempuan dengan mengetengahkan pemikiran psikologi arus utama dengan psikologi yang dipengaruhi oleh pascamodernisme yang antara lain mendasarkan pada teori kontekstualisasi, konstruktivisme (Hastjarjo, 2008; Supratiknya, 2008). Dalam hal ini mempelajari psikologi perempuan pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan kontekstualisasi dan konstruksivisme . Memahami Perempuan Dari semua uraian di atas dapat dikatakan bahwa aspek-aspek bio-psiko-sosio-kutural perlu dipandang sebagai satu kesatuan untuk memahami perilaku perempuan. Perbedaan faktor biopsikologis (antara anak perempuan dan laki-laki) yang berinterrelasi dan berinteraksi dengan faktor psiko-sosiokultural (cara bagaimana anak perempuan dan lelaki diperlakukan oleh lingkungan) akan menimbulkan perbedaan psikologis dan penghayatan pengalaman hidup sebagai perempuan atau lelaki dewasa. Konsekuensi pandangan tentang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-kutural dengan perbedaan tatanan biopsikologis adalah perlunya studi tentang perempuan yang berbeda dari studi tentang laki-laki. Adalah sukar untuk melihat diri dan orang lain terlepas
NANI NURRACHMAN dari jenis kelaminnya, karena sampai batas tertentu jenis kelamin mengikat setiap orang. Keanggotaan ke dalam salah satu kategori sosial atas dasar jenis kelamin merupakan suatu keharusan bilamana seseorang hendak berpartisipasi dalam masyarakat. Pemikiran ini tidak berarti secara mutlak bahwa lakilaki lebih sexist daripada perempuan tetapi bahwa laki-laki mempunyai minat dan perhatian yang berbeda yang memengaruhi perilakunya. Sukarnya mentransendasikan penghayatan sebagai perempuan atau lakilaki inilah yang melihat diri dan orang lain tetap sebagai individu perempuan atau lakilaki. Oleh karena itu layak dipahami bahwa psikologi perempuan berbeda dari psikologi laki-laki. Sejalan dengan ini pula, dapat dipahami jika dikatakan perilaku perempuan tidak berdiri tersendiri atau di luar konteks lingkungannya. Ia adalah hasil keterpaduan dari berbagai aspek biopsikososio-kuturalnya. Oleh karena itu interpretasi terhadap berbagai gejala perilaku perempuan perlu dipahami secara kontekstual. Psikologi perempuan tidak hanya cukup dideskripsikan melalui suatu penjelasan (eksplanasi) tetapi juga harus mencakup proses pemahaman dirinya dalam konteks sosial-budaya di mana ia berada. Psikologi perempuan berawal dari studistudi tentang kehidupan psike perempuan; bagaimana perempuan sebagai subjek hidup dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu; bagaimana dinamika psikologik perempuan berkembang awalnya sebagai objek kemudian sebagai subjek. Hal ini berarti berbagai studi tentang perempuan yang biasanya bersifat antropologis dan sosiologis belum dapat menjelaskan sepenuhnya perilaku perempuan. Namun sebaliknya, pemahaman tentang psikodinamika perilaku perempuan akan kurang signifikan bila tidak diletakkan dalam konteks lingkungan sosial budayanya. Oleh karena itu pula, psikologi perempuan perlu mendapatkan tempatnya tersendiri dalam psikologi arus utama yang selama ini dikenal dan diajarkan . Studi-studi Psikologi tentang Perempuan Studi antropologi dari Mead (1935) dan studi sosiologi dari Friedan (1972) menggambarkan bahwa bagaimanapun
3
perempuan hendak dipandang, ia tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari peran dan fungsinya sebagai ibu. Dalam konteks ini, Mead melihat perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu sebagai sumber moralitas. Adalah suara ibu dan bukan bapak yang memberikan prinsip-prinsip dasar dan awal bagi pembentukan dan pengembangan moral anak. Friedan secara khusus melihat dampak kejenuhan baik fisik maupun mental perempuan karena tenggelam dalam gambaran stereotipikal sebagai ibu rumah tangga saja. Gambaran ini makin diperkuat oleh media massa, khususnya majalahmajalah perempuan. Psikologi tentang perempuan sebenarnya telah dimulai sejak teori psikoanalisis dikembangkan oleh Freud. Sejak awal Freud telah berbicara tentang perbedaan perempuan dan laki-laki dalam perkembangan kehidupan psikoseksualnya. Teori psikoanalisis ini dikembangkan berdasarkan mite Oedipus Rex yang ceritanya terdiri dari tiga babak sehingga sebenarnya merupakan suatu trilogi. Tokoh utamanya adalah Oedipus yang suatu ketika secara tidak sadar mengawini ibunya sendiri, Jocasta yang merupakan bagian pertama dari trilogi tersebut. Namun di sinilah kelemahan utama dari Freud dalam menginterpretasikan mite ini. Ia hanya mendasarkan teorinya pada pengembangan interpretasi hubungan Oedipus (anak laki-laki) dengan Jocasta (ibu) dari perspektif Oedipus. Interpretasi ini kemudian dipakai sebagai kerangka pikir tentang (anak) perempuan. Freud mengabaikan perspektif Jocasta terhadap hubungannya dengan Oedipus, yang bisa memiliki interpretasi berbeda. Upaya menginterpretasikan hubungan ibu dengan anak laki dan anak perempuan dari perspektif perempuan, sebagai ibu, kiranya perlu dikembangkan agar dapat memperoleh gambaran perbedaan perkembangan perempuan dan laki-laki secara proporsional sehingga terhindar dari bias. Pandangan tentang perempuan dalam psikologi pun sejak awal telah mendapatkan kritik yang cukup tajam. Deutsch (1944, 1945), seorang psikolog perempuan sealiran dengan Freud justru berpendapat bahwa anak perempuan tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari ibunya. Ikatan di antara
4
NANI NURRACHMAN
kedua individu ini mempunyai peran yang amat penting bagi perkembangan kepribadiannya. Baginya motherhood merupakan tujuan dan kondisi yang akan menyerap semua kekuatan dari kepribadian perempuan itu sendiri. Horney (1967) mempertimbangkan pengaruh yang penting dari lingkungan budaya bagi perilaku masokistis perempuan. Bagi Horney kecenderungan perilaku masokis pada perempuan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya pada suatu kurun waktu tertentu: ‘… the change has occurred in the patterns of culture than in the particular women …’ (1967: 224). Dalam perkembangan selanjutnya, gambaran serupa tetap muncul. Dinnerstein (1976) mengajukan pandangan bahwa karena anak-anak dibesarkan oleh ibu dan ketergantungan hidup mereka terhadap tokoh ibu besar, maka ibu dipandang memiliki kuasa yang besar. Menurut Chodorow (1978), perempuan sebagai pengasuh utama anak lebih cenderung merupakan figur pertama dan utama dalam pembentukan diri anak. Pandangan ini lebih jauh dikembangkan oleh Bergman (1991), Jordan dan Surrey (1986), Kaplan dan Surrey (1984) yang menyatakan bahwa bertumpu pada ibu, identitas diri anak perempuan terbentuk dan berkembang secara fleksibel dalam intimitas proses interaksi interpersonal antara ibu dan anak perempuannya. Oleh karena tatanan biopsikologisnya dengan ibu/perempuan berbeda, identitas anak laki-laki terbentuk melalui keterpisahan (separation) hubungan dengan ibunya. Bagi para tokoh ini, identitas diri perempuan berkembang melalui intimitas, sedangkan untuk laki-laki identitas diri terbentuk mendahului intimitas perilakunya. Bagi perempuan itu sendiri, menurut Rubin (1979) menjadi ibu merupakan masa perubahan yang intens dalam kehidupannya, karena ia akan dihadapkan pada dua sisi dari identitas diri sebagai ibu/perempuan. Sisi pertama berupa konsep diri sebagai ibu yang terikat pada hubungan dengan anaknya, sedangkan sisi lainnya adalah sisi sosial di mana peran ibu dipengaruhi oleh berbagai mitos dan harapan masyarakatnya: ’… a woman is the symbolic mother-always nurturant, always available – even when she is at work…‘ (1979: 17). Peran dan posisi perempuan sebagai ibu
oleh Rich (1976) dilihat sebagai pengalaman yang intens dan kaya akan berbagai perasaan, makna dan nilai bagi perempuan yang bersangkutan. Namun sekalipun demikian, Rich juga melihatnya sebagai bentuk kelembagaan di mana perempuan menjadi sasaran dari berbagai praktek dan kebijakan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Dengan demikian bagi perempuan, menjadi ibu adalah peristiwa biologis tetapi penghayatan keibuan adalah sublimasi psikologis. Deskripsi perempuan sebagai ibu yang memiliki kuasa dan daya pengaruh yang kuat ini oleh Ruddick (1982) secara filosofis digarisbawahi dengan apa yang disebutnya sebagai maternal thinking. Bagi Ruddick aktivitas dan pengalaman perempuan yang paling menonjol terdapat dalam perannya sebagai ibu. Komitmen ibu untuk mengembangkan nilai dan memenuhi kebutuhan anaknya bersifat sukarela. Komitmen ini merupakan rasional dari maternal thinking. Moralitas dan kebajikan ibu berkembang dari cara berpikir demikian ini. Bapak adalah peran yang ditentukan oleh tuntutan budaya bagi kelangsungan hidup secara fisik anak/ keluarga. Peran ibu ditentukan oleh kebutuhan anak akan perlindungan secara psikologis. Dampaknya adalah bahwa hal ini kemudian terkait dengan cara berpikirnya sebagai perempuan: ’ … interest in preservation, growth and acceptability of the child govern maternal practices in general...’ (1982: 32). Selain pandangan yang dikemukakan oleh Ruddick, Miller (1976) jauh hari sebelumnya menyoroti bahwa empati merupakan faktor dasar yang mengorganisasi kehidupan perempuan. Perempuan lebih memiliki harga diri bila mampu berpartisipasi dalam hubungan relasional. Hal ini sebenarnya merupakan suatu kekuatan tetapi sering disalah-artikan sebagai kelemahan, apalagi dalam budaya yang menilai tinggi karakteristik dari sifatsifat agresif, prestatif dan kemandirian. Studi Gilligan (1982) bahkan menunjukkan bahwa moralitas perempuan didasari prinsip tidak merugikan orang lain dengan mengembangkan kualitas-kualitas kerjasama dan pengorbanan. Secara ringkas, self dan identitas perempuan merupakan self-in-relation yang tidak berdiri sendiri terlepas dari orang-orang
NANI NURRACHMAN lain di sekitarnya. Peranan significant others serta hubungan antatara dirinya dengan mereka memiliki pengaruh besar dalam menentukan berbagai sikap dan perilakunya. Dalam konteks ini ibu merupakan tokoh pertama dan utama bagi pengembangan diri anak perempuan. Psikologi perempuan dengan demikian dapat dikatakan bertumpu pada konsep ibu. (Psikologi) Perempuan Indonesia: Suatu Catatan Awal Meskipun pada saat ini sudah mulai banyak studi-studi tentang perempuan Indonesia, namun studi-studi psikologis masih dirasakan kurang berkembang. Keterbatasan ini masih ditambah karena rujukan yang dipakai masih berasal dari budaya Barat peneliti/penulisnya, sehingga apa yang tergambarkan adalah deskripsi dan ide tentang perempuan yang tidak mencakup pandangan dari perspektif perempuan itu sendiri. Dalam konteks perbedaan budaya ini, Locher-Sholten dan Niehof (dalam Nurrachman, 1993: 102–103) merujuk kepada konsep sexual dualism sebagai kerangka referensi dalam memandang perbedaan jenis kelamin pada masyarakat Indonesia. Konsep ini merujuk kepada cara pandang mikromakro kosmos yang ada dalam sistem kognitif budaya Indonesia. Dalam hal ini perbedaan perempuan dan laki-laki atas dasar jenis kelamin tidak perlu dipertentangkan karena perbedaan ini saling terkait satu sama lain. Analoginya dapat dilihat dalam kehidupan manusia yang bersifat asosiatif (pusattepi, luar-dalam, panas-dingin). Pasangan asosiatif ini memberikan kesan setara yang dapat berarti komplementer, sama nilainya. Pengertian hirarki pun juga memiliki nilai sebagai sesuatu yang lebih tinggi namun melingkupi pasangan asosiatif tersebut. Jadi dualisme dapat berarti elemen-elemen komplementer dan hirarkis. Contohnya, pada masyarakat Madura yang didominasi lelaki, calon penganten laki-laki dan keluarganya diharapkan bersikap merendah agar dapat diterima oleh calon penganten perempuan dan keluarganya. Dalam situasi ini perempuan menjadi superior. Willner ( 1976 ) yang pernah hidup dan bekerja di pulau Jawa pada dasawarsa 1960 melihat bahwa perempuan Indonesia memiliki
5
potensi yang lebih besar untuk mencapai posisi yang tinggi dibandingkan perempuan Barat. Hal ini diindikasikan melalui gaya/pola dalam mengekspresikan dirinya. Ia sering menjumpai perempuan yang dikatakan berpikir seperti laki-laki, logis, kemauan kuat tanpa mencantumkan kata sifat maskulin padanya. Baginya paling tidak pada budaya Jawa dan Sunda tidak ada perbedaan secara tegas untuk membedakan suatu kualitas sebagai maskulin atau feminin. Apa yang ada adalah kategorisasi perilaku ke dalam pembagian halus-kasar atau antara pengendalian diri–impulsivitas . Jika dicari adanya kesamaan antara ulasan psikologi perempuan di atas dengan gambaran perempuan Indonesia, maka hal ini ada pada peran ibu yang diembannya. Namun sekalipun sama, di Indonesia peran perempuan sebagai ibu tidak dapat diidentikkan dengan pengertian motherhood karena mencakup rentang peran yang lebih luas. Brown (1981) menilai ketika Soekarno pada tahun 1928 mengajak perempuan memainkan peran politik yang lebih aktif dalam pergerakan nasional, ia memakai sebutan kaum ibu. Di sini Soekarno menarik pengertian yang memperbolehkan perempuan menggunakan otoritas yang melekat pada dirinya sebagai ibu untuk melintasi batasbatas domestik guna mencapai tujuan politik dan ekonomi. Pun pada masyarakat Aceh, Minangkabau dan Jawa dikenal konsep matrifocality (Tanner, Geertz & Snouck Hurgronje, dalam Nurrachman, 1993: 108– 109). Dalam konsep ini, perempuan sebagai ibu memiliki kontrol atas sumber-sumber ekonomi keluarga dan terlibat dalam proses berbagai pengambilan keputusan dalam keluarga. Jika dianalisis, hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa: 1. Dalam ketiga masyarakat tersebut, anakanak biasanya merasa dekat dengan ibunya; secara budaya, peran ibu mendapat penekanan tertentu. 2. Dalam ketiga masyarakat tersebut, hanya ada sedikit perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal mengambil inisiatif, sikap otonom serta keberanian untuk menyatakan diri serta bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Dalam ketiga masyarakat tersebut, perempuan dididik untuk menjadi relative
6
NANI NURRACHMAN
independent dan aktif sebagai perempuan dan ibu. Namun pada sisi yang berbeda, konsep ibu juga memiliki arti yang eksesif. Djajadiningrat– Nieuwenhuis (1987) melihat Ibuisme sebagai daya potensial bagi perempuan Indonesia karena perannya dalam memperbesar penghasilan keluarga dan memperkuat posisi politik keluarga melalui jejaring yang mereka kembangkan. Secara berbeda Suryakusuma (1991) mengelaborasi konsep Ibuisme menjadi State Ibuism yang mengarah pada domestikasi dunia perempuan. Bapak sebagai kepala keluarga merupakan sumber utama dari kekuasaan, sedangkan ibu menjadi salah satu media dari kekuasaan itu. Noerhadi (1985) mengamati bahwa masyarakat memberi tempat yang tinggi pada citra keibuan yang dapat menopang kepemimpinan perempuan sebagai ibu. Apalagi sebutan bagi perempuan dewasa dengan mudah berubah menjadi sebutan ibu; suatu sebutan yang memiliki arti sosial dan bukannya biopsikologis. Gejala ibuisme adalah investasi yang berlebihan dalam keluarga yang dicapai melalui kemapanan material melalui laki-laki (suami/bapak) sebagai syarat untuk dapat memberikan kemapanan emosional bagi keluarga. Dengan demikian psikologi perempuan Indonesia secara implisit tertangkap dalam istilah Ibu dan Ibuisme yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia Ibu adalah peran, sebutan sekaligus simbol, baik dalam pengertian biopsikologisnya maupun dalam pengertian psikososiokulturalnya. Selanjutnya, mempertimbangkan berbagai gejala tentang perempuan Indonesia seperti ditengarai di atas, pengertian kodrat yang selama ini terkait dengan kemampuan perempuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui anak perlu dikaji kembali. Penutup Pengalaman perempuan yang bertumpu pada kemampuan biologisnya untuk mengandung, melahirkan serta menyusui menyebabkan perempuan menjalani dan menghayati pengalaman hidup yang berbeda dari laki-laki. Kemampuan ini memiliki status dan peran (menjadi ibu) yang dikenai perilaku preskriptif oleh lingkungan sosial budayanya. Beranjak dari perumusan tentang ontologi
aliran teori konstruktivisme sebagaimana dijelaskan Supratiknya, maka realitas (sosiokultural perempuan) merupakan hasil konstruksi mental perempuan yang beragam, bersumber dari pengalaman hidup dan kehidupan besamanya, bersifat lokal dan spesifik. Bentuk dan isinya pun tergantung dari pribadi maupun kelompok (perempuan) yang membentuk konstruksi itu (Supratiknya, 2008). Di sini, pengakuan terhadap keberagaman perilaku perempuan sebagai pribadi maupun kelompok diakui, berdasarkan ras, agama/kepercayaan, etnis dan lain sebagainya. Perempuan bukanlah satu kelompok, setiap perempuan dan antar kelompok perempuan memiliki pengalaman hidup yang berbeda (Nurrachman, 1993). Selanjutnya mengikuti Supratiknya, konstruktivisme dengan sendirinya menganut kontekstualisme. Pengertian ini memandang bahwa antara berbagai fenomena intrapsikis dan konteks sosial (perilaku perempuan) ada interrelasi dan interaksi. Jadi, psikologi perempuan perlu dipahami dengan meletakkan perempuan sebagai subjek studi dengan mempertimbangkan pengalaman rentang kehidupan secara utuh perempuan yang berbeda dari laki-laki, sekalipun perempuan adalah setara dengan laki-laki . Uraian di atas pada akhirnya membawa beberapa implikasi terhadap pembelajaran psikologi. Pertama, psikologi perempuan perlu mendapatkan tempat khusus dalam perkembangan manusia, dengan fokus pada pola asuh/sosialisasi peran jender serta dampak perubahan aspek ketubuhan/ biologi terhadap perilaku perempuan. Kedua, berbagai pengukuran psikologis (kemampuan, kepribadian, dan sebagainya) selayaknya mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin, sekalipun yang dicari pada akhirnya adalah norma standar. Ketiga, faktor lingkungan sosial budaya perlu pula dipahami kontribusinya terhadap perilaku perempuan, baik secara individual maupun sosial. Keempat, ukuran perilaku menyimpang dan/atau berbagai gangguan kejiwaan lain hendaknya juga mempertimbangkan kondisi kehidupan psikologis dan sosial perempuan. Terakhir, kesemuanya ini, khususnya terkait butir keempat, membawa konsekuensi terhadap pendekatan dan tehnik dalam konseling dan terapi terhadap perempuan .
NANI NURRACHMAN
7
Daftar Pustaka American Psychological Association (1979). Models for organizing Women Psychologist . American Psychological Association (1982). Women in the APA. Bergman , S. J. (1991). Men’s psychological development: A relational perspective. Stone Centre for Developmental Services and Studies, Wellesly College, Mass. Chodorow , N. (1978). The reproduction of mothering. Psychoanalysis and the sociology of gender. University of California Press. Deutsch , H. (1944). Psychology of women (Vol. I). Grune and Stratton, NY. Deutsch, H. (1945). Psychology of women (Vol. II). New York: Grune and Stratton. Dinnerstein, D. (1976). The Mermaid and the Minotaur. New York: Harper and Row. Djajadiningrat – Nieuwenhuis (1987). Ibuism and priyayization: Path to power. In Locher-Scholten & A. Niehof (Eds.), Indonesian women in focus, past and present notions. Dordrecht: Foris Publication. French , M. (1985). Beyond power. On women, men and morals. New York: Ballantine Books. Friedan , B. (1972). The feminine mystique. New York: Dell. Gilligan, C. (1982). In a different voice. Psychological theory and women’s development. Mass., CA: Harvard University Press. Hastjarjo, T.D. (2008). Mengintegrasikan psikologi: Peluang atau mimpi? Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Horney, K. (1967). Feminine psychology. New York: W.W. Norton. Jordan , J.V., & Surrey , J.L. (1986). Empathy and self boundaries. Stone Centre for Development Services and Studies,
Wellesly College, Mass. Kaplan , A.G., & Surrey , J.L. (1984). The relational self in women. Developmental theory and public policy. In L.E. Walker (Ed.), Women and mental health policy. London: Sage. Mead, M. (1935). Sex and temperament in three primitive societies. New York: William Morrow. Miller, J.B. (1976). Toward a new psychology of women. Boston: Beacon Press. Noerhadi, T.H. (1985). Psikologi wanita Indonesia dan aktualisasi diri, mitos ‘Ibu’dan sindrom ‘Ibuisme.’ Dalam S.C.U. Munandar (Ed.), Emansipasi dan peran ganda wanita Indonesia, suatu tinjauan psikologis. Jakarta: UI Press. Noerhadi, T.H. (1991). Wanita dan kepemimpinan. Dalam M.G. Tan (Ed.), Perempuan Indonesia, pemimpin masa depan? Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nurrachman, N. (1993). Wanita Indonesia: Identitas sosial, diri pribadi dan pengembangannya dalam organisasi wanita (Disertasi doktor). Universitas Indonesia, Jakarta.
Paludi, M.A. (1998). The psychology of women. New York: Prentice Hall.
Rich, A. (1976). Of woman born. Motherhood as experience and institution. London: Bantam Books. Rubin, L.B. (1979). Women of a certain age. The midlife search for self. New York: Harper Colophon Books. Ruddick, S. (1982). Maternal thinking. Toward a politics of peace. New York: Ballantine Books. Supratiknya, A. (2008). Tantangan psikologi (di Indonesia). Bukan unifikasi melainkan kontekstualisasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Psikologi Uni-
NANI NURRACHMAN
8
versitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Suryakusuma, J. (1991). State Ibuism. The social construction of womanhood in the Indonesian New Order. NAV, 6(2), June. Willner, A.R. (1976). Expanding women’s horizon in Indonesia. In B.B. Hering (Ed.),
__________________________________ E-mail: nani.nurrachman @atmajaya.ac.id Hp: 0811 865 657
Indonesian women. Some past and current perspective. Centre d’Etude du Sudest Asiatique et de l’extreme Orient, Bruxelles.