PROTES SOSIAL DALAM PUISI “KEPADA PEJUANGPEJUANG LAMA” KARYA SOE HOK GIE (Kajian Sastra Marxis)
Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Srata Satu dalam Ilmu Sastra Indonesia
Oleh: Galang Ari Pratama NIM 13010110141024
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015
HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis” adalah hasil karya penulis sendiri kecuali kutipan yang telah disebutkan sumbernya dalam daftar pustaka. Penulisan skripsi ini belum pernah diajukan pada institusi manapun dan bukan merupakan karya saduran. Tanggung jawab isi pada skripsi ini berada pada keabsaan dan kebenaran penulis sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Semarang, 06 Juli 2015
Galang Ari Pratama
ii
HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi yang berjudul “Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis” ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Tim Penguji Skripsi pada: hari
: Rabu
tanggal
: 29 Juli 2015
Dosen Pembimbing
Dr. Redyanto Noor, M.Hum. NIP 19590307 198603 1 002
iii
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi yang berjudul “Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis” ini telah diterima dan disahkan oleh: Panitian Ujian Skripsi Program Srata Satu Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro; Pada tanggal, 29 Juli 2015
Ketua: Drs. M. Hermintoyo, M.Pd. NIP 19611403 198803 1 001 Anggota I, Drs. Mulyo Hadi Purnomo, M.Hum. NIP 19660815 199903 1 011 Anggota II, Dr. Redyanto Noor, M.Hum. NIP 19590307 198603 1 002
Dekan
Dr. Redyanto Noor, M.Hum. NIP 19590307 198603 1 002
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN “...kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta” (Soe Hok Gie) “Karena yang paling penting bukanlah benar atau tidaknya pengamatan kita, melainkan intens atau tidaknya penghayatan kita.” (Soe Hok Djin/ Arief Budiman) “Lupa bagaimana menggali dan merawat tanah adalah lupa akan diri sendiri” dan “Cinta adalah kekuatan paling lembut di Dunia.” (Mohandas K. Gandhi/ Mahatma Gandhi) “Bercanda itu adalah keseriusanku menjalani hidup...” (Galang Ari Pratama)
Skripsi ini penulis persembahkan untuk surga di bumi yaitu keluarga: mamahku Euis Mardiana yang selalu ikhlas merawatku sampai kapan pun; bapakku Sugeng P. Putro yang mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya untuk diri (kita) sendiri, tetapi anak dan generasi kita juga harus merasakan hal itu; adik laki-lakiku Rizki Dadung dan Odiva yang mengajarkan betapa pentingnya tanggungjawab seorang abang Dari penulis untuk mereka: kakekku Alm. Suwarna dan Alm. Heru Dalmadi nenekku Alm. Hasmani dan Nenekku Jamini
v
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya. Shalawat serta salam hanya untuk Nabi Muhammad Saw beserta para sahabatnya yang senantiasa selalu melimpahkan syafaat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis” ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan srata satu (SI) pada program studi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis cukup banyak mengalami kendala dalam hal waktu, buku-buku refrensi, pengetahuan pengaplikasian teori dan juga halhal yang lain. Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini, antaranya: Pertama, pada Bapak Dr. Redyanto Noor, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan juga sekaligus dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, kondisi, diskusi, memberikan masukan, pengetahuan, dan tempat (rumahnya) sehingga bisa membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kedua, Bapak Drs. Suharyo, M.Hum, selaku ketua program studi Sastra Indonesia yang memberi sapaan dan senyuman. Ketiga, Ibu Laura Andri Retno Martini, S.S., selaku dosen wali yang selalu menerima mahasiswanya diskusi tentang kuliah atau pun non−kuliah. Keempat, seluruh dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan pembelajaran betapa pentingnya kuliah di kelas maupun di luar kelas khususnya bagi Embahkung Drs. Yudiono K. S., S.U., Bapak M. Hermintoyo, M.Pd., Bapak Drs. Hendarto Supatra, S.U., dan Bapak Dr. Agus Maladi Irianto, M.A., serta para staf vi
karyawan administrasi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan, Akademik, dan juga Mbak Yanti, Mbak Lestari, dan Mbak Sari yang rela membantu kelancaran pengurusan administrasi. Kelima, mamah-bapak yang memberikan doa, finansial, dan kepercayaan untuk anaknya dalam mengenyam pendidikan dan juga kedua adik laki-laki yang selalu menjaga dan menolong Orang Tua di rumah, serta saudara-saudara dan teman-teman di Jakarta maupun di Semarang khusunya Embah Putri yang merawat penulis dalam asupan gizi dan tempat tinggal selama di Semarang. Keenam, teman-teman Sastra Indonesia Angkatan 2010 (SESEPUH) khusunya untuk mereka yang sering bertukar pikiran Gigih P. U., Alvidyansyah P. A., Nia, Anin, Ipul, serta teman-teman Sastra Indonesia lintas angkatan 2006-2014 yang percaya bahwa kekeluargaan itu nyata dan juga teman-teman musik Efek Rumah Makan Company; Ajoy, Gudhel, Oka, Unggul, kakak Dissa, Yoga, dan Najib. Ketujuh, rekan-rekan Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya; Ipul, Hasna, Alfu dan junior-junior militan yang selalu mengajarkan penulis betapa pentingnya mendengar dan melihat suatu keadaan. Kedelapan, teruntuk enam belas teman-teman KKN Tim I Kecamatan Buaran, Kelurahan Simbang Kulon, Pekalongan, teman-teman Silat Nasioal Perisai Diri Indonesia Undip Semarang, teman-teman Fotografi Semarang, teman-teman Bike To Work Semarang, temanteman Pendaki Nusantara dan The Badai Men Company. Kesembilan, orang-orang yang mengajarkan asiknya menjalani hidup, khususnya untuk Bapak Jongkie Tio, Om Idang Rasjidi, Opah Herman Lantang, Mas Agus Noor, Om Arbain Rambey, Om Martin Aleida, mbak Okky Madasari, kang Putu dan langganan buku loak; di Semarang, Jogja dan Jakarta.
vii
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang membacanya. Penulis juga berharap skripsi ini (bisa) rusak karena sering dibaca dan bukan rusak karena terlalu lama disimpan di dalam lemari perpustakaan. Maka buka dan bacalah. Amin. Wassalam.
Semarang, 06 Juli 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
PRAKATA ....................................................................................................
vi
DAFTAR ISI.................................................................................................
ix
INTISARI ....................................................................................................
xii
ABSTRACT .................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang dan Masalah .......................................................
1
1. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
5
E. Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
6
F. Tinjauan Pustaka .........................................................................
7
1. Penelitian Sebelumnya ..........................................................
7
2. Landasan Teori ......................................................................
8
a. Teori Puisi .......................................................................
8
b. Teori Marxis ....................................................................
9
c. Protes Sosial dalam Sastra ..............................................
10
G. Metode Penelitian .......................................................................
11
H. Sistematika Penulisan .................................................................
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ..................
13
A. Tinjauan Pustaka .........................................................................
13
B. Landasan Teori ............................................................................
14
1. Unsur Puisi ............................................................................
15
ix
a. Diksi (Pemilihan Kata) ...................................................
15
b. Pengimajian .....................................................................
16
c. Bahasa Kiasan .................................................................
17
d. Versifikasi (Irama) ..........................................................
21
e. Tata Wajah (Tipografi) ...................................................
22
f. Tema ...............................................................................
23
g. Perasaan (feeling) dan Suasana .......................................
26
h. Amanat ............................................................................
26
2. Protes Sosial ..........................................................................
27
3. Sosiologi Sastra .....................................................................
28
4. Sastra Marxis ........................................................................
29
BAB III ANALISIS STRUKTUR PUISI DAN SASTRA MARXIS PADA PUISI “KEPADA PEJUANGPEJUANG LAMA” ......................................................................
31
A. Analisis Struktur Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ...............
31
1. Diksi (Pemilihan Kata) ...............................................................
33
2. Pengimajian .................................................................................
39
a. Imaji Penglihatan (Imaji Visual) ...........................................
39
b. Imaji Pendengaran (Imaji Auditif) ........................................
41
c. Imaji Taktil (Perasaan) ..........................................................
44
3. Bahasa Kiasan .............................................................................
46
a. Perbandingan (Simile) ...........................................................
46
b. Metafora ................................................................................
47
c. Perumpamaan Epos (Epic Simille) ........................................
48
d. Personifikasi ..........................................................................
49
e. Metonimia .............................................................................
50
f. Sinekdoki (Synecdoche) ........................................................
52
g. Alegori ..................................................................................
53
4. Versifikasi (Irama) ......................................................................
55
5. Tata Wajah (Tipografi) ...............................................................
57
a. Bentuk dan Arti Tipografi .....................................................
57
x
b. Unsur Nonbahasa Lain ..........................................................
58
c. Enjembemen .........................................................................
59
6. Tema ...........................................................................................
60
7. Perasaan (Feeling) ......................................................................
62
8. Suasana .......................................................................................
63
9. Amanat ........................................................................................
64
B. Analisis Teori Sastra Marxis Pada Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ................................................................................................
66
1. Refleksi dalam “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ...............
66
2. Penciptaan Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” .............
67
3. Landasan Bahasa “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ............
68
BAB IV PENUTUP .....................................................................................
70
A. Simpulan .....................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
71
LAMPIRAN .................................................................................................
73
A. Bografi Singkat Soe Hok Gie ...........................................................
73
B. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ...........................................
75
C. Tentang Penulis .................................................................................
77
xi
INTISARI
Pratama, Galang Ari. 2015. Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis. Skripsi. Program Srata I dalam Ilmu Sastra Indonesia. Semarang. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. Dosen pembimbing oleh Dr. Redyanto Noor, M. Hum. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” merupakan salah satu puisi karya Soe Hok Gie yang terbit pada tahun 1965. Puisi itu diciptakan pada masa pergantian rezim lama kepada rezim baru. Puisi pada saat itu menjadi bentuk ekspresi pengarang dalam menyampaikan protes atau sindiran. Puisi menjadi medianya. Teori yang penulis gunakan adalah teori struktural puisi dan teori sastra Marxis. Tujuannya dari analisis struktural adalah untuk mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam puisi tersebut. Sastra Marxis juga bertujuan untuk mengetahui protes sosial yang terkandung dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang lama”. Kedua teori tersebut dapat mempermudah penulis dalam menganalisis puisi tersebut. Hasil dari analisis puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” adalah terdapat sikap protes sosial yang disampaikan oleh Gie terhadap kawan-kawannya mantan eks. demonstran. Mantan eks. demonstran adalah yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Angkatan ‘66. Keadaan sosial pada saat itu memang menjadi sangat penting dalam negara Indonesia karena pada tahun 1965 adalah masa rezim sedang berkuasa. Bentuk lunturnya idealis mahasiswa juga tercermin pada puisi ini. Gie sangat berani dalam memprotes kawan-kawannya dan keadaan sosial pada saat itu.
Kata Kunci
: Puisi, struktural, sastra Marxis, protes sosial, Soe Hok Gie.
xii
ABSTRACT
Pratama, Galang Ari. 2015. Protes Sosial Dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis. Skripsi. Program Srata I dalam Ilmu Sastra Indonesia. Semarang. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. Dosen pembimbing oleh Dr. Redyanto Noor, M. Hum. “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” is a poem written by Soe Hok Gie which published in 1965. That poem was created when a transition of the old regime to the new regime happened. A poem for that period became an expression of writers in a way of conveying some protests or satires. A poem became its media. The researcher used two theories for this research: A structural and a Marxist Literary theory. This structural research appears to have an aim: to know what intrinsic and extrinsic elements in that poem are. A Marxist literary was also purposed to know what social protests which contained in “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” poem are. Both of theories could make an easier way to analyze the poem. The result of “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” poem analysis is that there was some social protests which conveyed by Gie to his ex-demonstrator friends. Persons called ex-demonstrators are ones who incorporated in KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) or ’66 Generation. The social circumstance at that time became really important in Indonesia because 1965 was an era where the regime was ruling the country. A fading of collegers’s idealist reflected in this poem. Gie really was a brave one to protested his friends and the social circumstance which happened in his society.
Keyword
: Poem, Structural, Marxist literary, Social protest, Soe Hok Gie.
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Protes sosial kadang-kadang menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan untuk menuangkan atau mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hati. Di dalam konfrontasinya dengan realitas, kesadaran manusia dapat mengambil dua pilihan (alternatif), yaitu menolak atau menerima realitas itu. Menolak berarti prihatin terhadapnya, menyanggah dan mengutuk. Dalam keterarahan ini berada dalam lingkungan tindak protes (Saini K.M., 1986:2). Saini K.M. dalam Protes Sosial dalam Sastra (1986:2-3) menegaskan kalau keterarahannya memilih jalur protes, akan terciptalah karya-karya yang membawa pembaca untuk menghayati kenyataan-kenyataan yang menimbulkan keprihatinan, penolakan, penyanggahan dan pengutukan. Puisi seringkali dijadikan media oleh para mahasiswa untuk melakukan pergerakan sosial atau protes sosial. Dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Soe Hok Gie terkandung protes sosial yang memprotes Angkatan ‘66 eks. demonstran. Soe Hok Gie yang biasa dikenal dengan sebutan Gie adalah salah satu mahasiswa Fakultas Sastra yang berada di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Gie sering melakukan demonstrasi. Ia juga sering menulis puisi untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Dalam puisi-puisi karya Gie ada empat puisi yang mengungkapkan protes sosial, salah satunya adalah puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”.
1
2
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif) (Waluyo, 2003:1). Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ini memprotes Angkatan ’66 eks. demonstran yang sedang goyang dari idealisnya. Pada waktu itu memang sedang terjadi pergantian rezim, dari Orla (Orde Lama) yang dipimpin Presiden Soekarno ke Orba (Orde Baru) yang dipimpin Presiden Soeharto. Sebagian eks. demonstran telah goyah dengan apa yang ditawarkan oleh rezim Orba yang dikuasai Soeharto. Di artikel Widodo blog mereka ditawarkan dan duduk di bangku parlemen, dan akhirnya sejumlah tawaran memilih bergabung dalam DPR-GR bentukan Presiden Soeharto saat itu. Kawankawannya ini mendapat kompensasi ekonomi yang menggiurkan dari Jenderal Soeharto: mobil holden, rumah dinas mewah, dan seterusnya1. Berdasarkan teori sastra yang ada, protes sosial dalam puisi ini lebih tepat dengan menggunakan pendekatan teori Sastra Marxis. Pendekatan Sastra Marxis terhadap sastra mencangkup bidang yang amat luas. Sebelum dikaitkan dengan sastra, Marxisme merupakan teori yang erat kaitannya dengan ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi (Noor, 2009:120). Di blog artikel Pondok Bahasa teori Marxis adalah teori yang memunculkan adanya wacana untuk menyamakan status sosial dan ekonomi antara kaum proletar dengan kaum borjuis2.
1
KELUARGA MAHASISWA PENCINTA DEMOKRASI (KMPD) "Kita Menertawakan Kita". 2010. “dari hok-gie "kepada pejuang-pejuang lama"”. http://amokkmpd.blogspot.com/2010/02/dari-hok-gie-kepadapejuang-pejuang.html. Diakses pada tanggal 25 Februari 2015 2 Pondok Bahasa dan Sastra. 2012. “Teori Marxisme Dan Aplikasinya Dalam Kajian Sastra”. http://rsbikaltim.blogspot.com/2012/01/v-behaviorurldefaultvmlo_11.html. Diakses pada tanggal 3 Aril 2015.
3
Realisme sosial adalah gaya yang dapat dianggap sebagai pemberontakan terhadap gaya borjuis; dengan demikian dapat dipahami kalau anggapan-anggapannya bertentangan dengan gaya borjuis (Saini K.M., 1986:11). Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ini memang sangat terlihat protes yang dilontarkan dengan gaya puisi yang sangat kritis. Ada juga salah satu dari sekian penyair yang menggunakan puisi sebagai protes sosial, yaitu Wiji Thukul dan W.S. Rendra. Tema keadilan sosial ditampilkan oleh puisipuisi yang menuntut keadilan bagi kaum yang tertindas. Puisinya juga disebut sebagai puisi protes karena mengungkapkan protes terhadap ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh kaum kaya, penguasa, bahkan negara terhadap rakyat jelata. Puisi Rendra berikut ini menunjukkan protes terhadap ketidakadilan yang terjadi antara burung kondor (rakyat jelata yang miskin) dengan Mastodon (pejabat kaya yang korup) (Waluyo, 2003:28). Ternyata protes sosial memang tidak luput bagi para demonstran dan juga para sastrawan untuk menuangkan protesnya melalui puisi sebagai medianya. Gaya borjuis tumbuh dan berkembang ketika masyarakat Eropa membebaskan diri dari feodalisme dan kolektivisme sosialpolitik maupun kolektivisme agama. Gaya realisme−sosial merupakan reaksi terhadapnya dan merupakan ungkapan dari kebangkitan ideologi Marxis dalam perlawanannya terhadap ideologi borjuisi−kapitalis (Saini K.M., 1986:12). Mahasiswa muda seperti Gie memang orang yang sangat kritis dalam keganjilan yang ia alami, apalagi dengan tingkah yang dilakukan oleh Angkatan ’66 eks. demostran yang mulai terbawa dengan kondisi di zaman rezim Soeharto. Puisi “Kepada PejuangPejuang Lama” ini memang sangat menyentuh para eks. demonstran yang duduk di
4
bangku parlemen beserta kekuasaan yang dimilikinya. Gie bukan penyair, tetapi ia juga trampil dalam menyusun sebuah kata ke dalam bentuk puisi. Puisi sebagai teman untuk sejenak singgah dan merenungi apa yang sedang ia lakukan terhadap kehidupannya. Ada beberapa puisi-puisi yang ia ciptakan dengan suasana dan tema yang berbeda-beda; salah satunya adalah puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”. Tidak mudah memang untuk memahami sebuah puisi yang merupakan protes sosial
dari
pengarang
untuk
penguasa-penguasa
pada
zamannya
dan
teman
seperjuangannya sendiri Angkatan ’66. Hal ini juga yang melatarbelakangi penulis mengambil judul “Protes Sosial dalam Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Karya Soe Hok Gie: Kajian Sastra Marxis.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah memang sangat diperlukan dalam suatu penelitian, agar penelitian tersebut tidak melenceng dari tujuan penelitian. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” (selanjutnya disebut “KPPL”) karya Soe Hok Gie, sebagaimana penulis nyatakan bahwa puisi ini menggambarkan protes sosial terhadap Angkatan ’66 eks. demonstran. Ada beberapa jenis protes dalam sastra sesuai dengan sisi-sisi realitas yang merangsangnya.
Lingkungan
pergaulan
yang
lebih
luas,
misalnya
pergaulan
antarkelompok dalam masyarakat atau antarbangsa, dapat juga menimbulkan protes. Inilah yang biasa dimasukkan ke dalam protes sosial (Saini K.M., 1986:3). Budi Jatmiko dalam situs mengatakan dampak positif dan negatif akan muncul dari penerapan teori marxisme ini. Dampak positifnya adalah adanya kesetaraan status
5
sosial, di mana kesempatan
kaum
marginal (proletar) untuk memenuhi keinginan
hidupnya dan hak kemanusiaannya akan terbuka sangat lebar, selain itu kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup dalam hal ekonomi juga akan terbuka lebar. Tetapi akan muncul juga adanya kondisi masyarakat materialis yang egois−sentris3. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis struktur puisi untuk mengetahui unsur Marxis yang terdapat di dalam teks puisinya. Selanjutnya protes sosial yang dituangkan dalam puisi “KPPL”. Berdasarkan latar belakang dan uraian persoalan di atas, dapat penulis rumuskan dua permasalahan, yaitu: 1. bagaimana struktur puisi yang terkandung dalam puisi yang berjudul “KPPL”?; 2. bagaimana bentuk protes sosial yang diungkapkan dalam puisi yang berjudul “KPPL”?
C. Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai penelitian ini adalah: 1. menjelaskan struktur puisi dalam puisi yang berjudul “KPPL”.; 2. menjelaskan bentuk protes sosial yang terkandung dalam puisi “KPPL”.
D. Manfaat Penelitian Sebagaimana umumnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dua segi, yaitu manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis memperluas wawasan
3
Pondok Bahasa dan Sastra. 2012. “Teori Marxisme Dan Aplikasinya Dalam Kajian Sastra”. http://rsbikaltim.blogspot.com/2012/01/v-behaviorurldefaultvmlo_11.html. Diakses pada tanggal 3 April 2015.
6
pembaca mengenai sastra Marxis serta mengetahui intisari yang ingin disampaikan penyair melalui puisi yang dianalisis dalam penelitian ini. Manfaat praktis dapat membantu meningkatkan jumlah refrensi yang akan digunakan dalam penelitianpenelitian selanjutnya dan juga berkaitan dengan kajian sastra Marxis−protes sosial dalam sastra.
E. Ruang Lingkup Penelitian Pada subbab ini penulis akan memaparkan ruang lingkup penelitian tentang protes sosial dalam sebuah puisi. Selain memang objek materialnya berasal dari sebuah puisi, yaitu “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” merupakan hasil karya dari Soe Hok Gie yang terbit pada tahun 1965. Penulis menggunakan dua objek dalam ruang lingkup penelitian ini. Pertama, penulis menggunakan objek material yang diperoleh dari sebuah puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”, karena puisi tersebut merupakan sumber data yang akan dianalisis. Kedua, yaitu objek formal yang diperoleh dari rumusan masalah dalam penelitian. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Gie ini sangat berani dalam memprotes keadaan pada saat itu. Puisi tersebut mengandung unsur protes pada suasana, teman-temannya, dan juga protes terhadap sebuah rezim. Dari banyak tema yang diangkat oleh Gie, maka penulis tidak akan meneliti keseluruhannya. Sebab, penelitian ini hanya berdasarkan tema atau tematik, maka hanya dipilih tema yang sesuai dengan topik, yaitu protes sosial.
7
F. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Sebelumnya Berdasarkan Katalog Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro diketahui bahwa puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” belum ada yang meneliti. Tetapi Maryati pernah meneliti puisi Soe Hok Gie yaitu mahasiswi Fakultas Ilmu Pengetauan Budaya, Universitas Indonesia. Ada juga beberapa tulisan yang menyangkut tentang puisi Gie yaitu Widodo blog dalam situs internet dan ada juga sebuah buku yang menulis Soe Hok Gie Biografi Sang Demonstran karya Muhammad Rifai yang terbit pada tahun 2010. Di buku itu juga belum bisa dianggap suatu penelitian, namun bisa menjadi bahan tambahan bagi penulis. Apabila pada akhirnya penulis berniat mengangkat puisi “KPPL” dengan menggunakan kajian sastra Marxis, yaitu mengungkap protes sosial yang terkandung dalam teks puisi “KPPL” untuk karya penulisan skripsi, selain karena berbagai alasan yang telah dikemukakan, juga karena di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, penulis belum menemukan penelitian dengan objek yang sama. Pada penjelasan di atas, penulis dapat memfokuskan pada tema protes sosial yang disampaikan melalui media puisi. Puisi biasanya ditulis dengan kata-kata yang mendayudayu, tetapi sastra pun juga bisa dijadikan alat protes untuk kehidupan sosial. Untuk mengungkapkan protes apa yang disampaikan melalui puisi “KPPL” karya Gie, penulis menggunakan teori sastra Marxis dan analisis struktur puisi dalam mengungkapkan protes sosial dalam sastra.
8
2. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan dua teori utama untuk dapat menganalisis unsur protes sosial dalm puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”. Di antaranya penulis menggunakan teori struktural puisi untuk menganalisis unsur internal dan eksternal, serta Sastra Marxis untuk mengungkap protes sosial dalam puisi tersebut. Berikut penjelasan teori-teori yang akan digunakan.
a. Teori Puisi Secara konvensional puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat oleh baris, bait, rima, dan sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat dalam membicarakan pengertian puisi. Semua hampir sama bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, susunan katakata kiasan, kepadatan dan sebagainya (Noor, 2009:25). Kadang-kadang unsur di dalam sebuah puisi juga bisa bermakna ganda. Aristoteles berpendapat, bahwa puisi memang lebih filosofis daripada sejarah, tetapi puisi bukan filsafat (F. Else, 2003:12). Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan katakata kias (imajinatif). Kata-kata yang betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat dan padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (irama). Katakata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata
9
dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif (Waluyo, 2003:1).
b. Teori Marxis Pendekatan Marxis terhadap sastra mencakup bidang yang amat luas. Sebelum dikaitkan dengan sastra, Marxisme merupakan teori yang erat kaitannya dengan ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi (Noor, 2009:120). Di balik bermacam-macam ciri teori-teori sastra Marxis terdapat satu dasar pemikiran, yaitu setiap karya sastra dapat dipahami setepat-tepatnya hanya dalam ruang lingkup kajian realitas dalam arti luas. Menurut konsep pemikiran Marxis, semua teori kajian sastra yang bersifat khusus, yang memisahkannya dari masyarakat dan sejarah, tidak akan dapat memberikan penjelasan tentang hakikat sastra (Noor, 2009:121). Model refleksi merupakan salah satu teori yang paling berpengaruh dalam kajian hubungan sastra dengan realitas sosial (2009:123). Sastra adalah pengetahuan tentang realitas, dan pengetahuan realitas tidak sama artinya dengan masalah persamaan satu lawan satu antar objek dunia nyata dengan konsep dalam pikiran (2009:123). Realisme sosial di antaranya beranggapan bahwa sastra harus merupakan salah satu alat dari perjuangan kelas dalam hal ini kelas proletar-pekerja (Saini K.M., 1986:11).
10
c. Protes Sosial dalam Sastra Menurut Saini K.M.(1986:2-3), dalam bukunya yang berjudul Protes Sosial dalam sastra merupakan tulisan dan pendapat para sastrawan yang waktu itu terlibat diskusi serta tulisan Saini yang beberapa diantaranya dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung. Buku itu ditulis dalam jangka waktu kurang lebih sepuluh tahun dari beberapa kesempatan. Di dalam konfrontasinya dengan realitas, kesadaran manusia dapat mengambil dua pilihan (alternatif), yaitu menolak atau menerima relitas itu. menolak berarti prihatin terhadapnya, menyanggah dan mengutuk (1986:2). Kalau keterarahannya memilih jalur protes, akan terciptalah karya-karya yang membawa pembaca untuk menghayati
kenyataan-kenyataan
yang
menimbulkan
keprihatinan,
penolakan,
penyanggahan dan pengutukan (1986:3). Ada beberapa jenis protes dalam sastra sesuai dengan sisi-sisi realitas yang merangsangnya. Pengalaman pahit−getir hubungan perorangan antara dua jenis kelamin yang berbeda menghasilkan begitu banyak karya sastra yang indah dalam sastra berbagai bangsa; di dalamnya termasuk protes, yaitu protes pribadi. Lingkungan pergaulan yang lebih luas, pergaulan antar−kelompok dalam masyarakat atau antar−bangsa dapat juga menimbulkan protes (1986:3).Yang harus lebih mendapat perhatian bukanlah pokokpokok itu, akan tetapi kesejatian (otensitas) pengalaman mengenai pokok-pokok itu. Kewajiban kita semula untuk memperbaiki kerusakan yang mereka tinggalkan (Saini K.M.(1986:3-6).
11
G. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Hal tersebut berarti penelitian akan dipusatkan pada sumber pustaka. Data-data yang diperlukan untuk penelitian ini penulis dapatkan dari sumber yaitu buku-buku, internet dan Soe Hok Gie Sekali Lagi (SHGSL). Berdasarkan dengan apa yang ingin dituju dan dinginkan dalam penelitian ini, serta teori yang akan penulis gunakan dalam analisis adalah metode dalam membedah puisi tersebut menggunakan teori struktural dan sastra Marxis. Penulis menggunakan teori struktural untuk mengetahui unsur protes sosial yang terkandung dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”.
H. Sistematika Penelitian Sebuah sistematika, dalam laporan penelitian atau karya tulis secara umum, merupakan hal penting. Dengan adanya sistematika, diharapkan bisa mempermudah pemahaman isi bagi para pembaca. Adapun sistematika penulisan ini dibagi dalam empat bab, yaitu: Bab pertama merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematik penelitian. Bab kedua merupakan teori yaitu teori puisi (diksi (pemilihan kata), pengimajian, kata kongkret, bahasa figuratif, versifikasi (rima, ritma, dan metrum, tema, dan sebagainya), teori Sastra Marxis dan beserta protes sosial dalam sastra.
12
Bab ketiga adalah paparan yang menjelaskan proses analisis struktural puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Gie dan analisis protes sosial berdasarkan teori sastra Marxis. Bab keempat berupa penutup yang meliputi paparan simpulan dari keseluruhan analisis.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Bab ini terdiri atas dua subbab, yakni subbab tinjauan pustaka dan landasan teori. Tinjauan pustaka terdapat penelitian-penelitian sebelumnya, penulis menjelaskan tentang penelitian yang terkait dengan skripsi ini, sedangkan subbab landasan teori berisi uraian teori-teori pokok yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori struktur puisi dan teori sastra Marxis.
A. Tinjauan Pustaka Objek yang serupa di dalam kalangan akademisi Fakulas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro belum pernah penulis temukan, yaitu puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Soe Hok Gie yang terbit pada tahun 1965. Penulis hanya menemukan teori yang serupa, yaitu teori struktural. Hanya beberapa teori struktural yang penulis masukan, salah satunya adalah Zen Marten Nurullah (2014) dengan judul “Kajian Struktural dan Hermeutika Atas Kumpulan Puisi Nikah Ilalang karya Dorothea Rosa Herliany” dan Azzizatul Khusniyah (2013) dengan judul “Puisi “Siapa Menyuruh” dan “Di Arafah” karya Gus Mus di Twitter (Pendekatan Struktural-Semiotik)”. Adapun penelitian yang penulis temukan pada objek dan teori tidak jauh berbeda, ialah Maryati dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dengan judul “Sajak-Sajak Soe Hok Gie Tahun 1960-1969: Pendekatan Sosiologi Sastra” (2009). Penelitian tersebut membahas keadaan sosial pada puisi yang terbit pada kisaran tahun 1960-1969.
14
B. Landasan Teori Teori strukturalisme diperlukan dalam membedah karya sastra khususnya puisi, karena untuk mengetahui makna puisi seutuhnya. Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya (Pradopo, 2005:118). Melihat latar belakang puisi Gie yang mengandung makna protes sosial, penulis tidak meninggalkan latar budaya sosialnya. Strukturalisme adalah aliran ilmu dan kritik yang memusatkan perhatian pada relasi-relasi antarunsur (Noor, 2009:76). Noor memberikan pendapat dengan relasi antarunsur sebagai berikut: Relasi yang ditelaah dapat berkaitan dengan unsur-unsur dalam mikroteks (misalnya kata-kata dalam satu kalimat), atau dalam keseluruhan yang lebih luas (misalnya baris-baris atau bait-bait dalam sebuah sajak; bab-bab dalam fiksi); relasi intertekstual (karya sastra dengan karya sastra lain dalam periode tertentu) (Noor, 2009:77). Analisis struktural tidak bisa terlepas dengan struktur. Dalam pengertian struktur Hawkes melalui Pradopo (2005:119), terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (selfregulations). Menurut hemat Rachmat Djoko Pradopo, ketiga ide dasar tersebut dipaparkan sebagai berikut: Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan bahan baru. Ketiga, struktur mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya (Pradopo, 2005:119).
15
Setiap struktur mempunyai fungsinya sendiri dalam letak strukturnya. Pradopo beranggapan bahwa strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur seperti tersebut di atas (2005:119).
1. Unsur Puisi a. Diksi (Pemiihan Kata) Karya sastra memang bukanlah sekumpulan fakta telanjang, melainkan menampilkan atau menyatakan fakta yang telah diolah dengan subjektivitas sastrawan, atau sebutlah hal itu sebagai fakta yangterindahkan (Wachid, 2005:6). Sastra yang diindahkan juga memerlukan kata-kata yang tepat dalam pembuatan karya sastra. Hasanuddin W.S. dalam bukunya Membaca dan Menilai Sajak; Pengantar Pengkajian dan Interpretasi berpendapat, kegiatan memilih kata setepat mungkin untuk mengungkapkan gagasan disebut dengan istilah diksi (2012:79). Pemilihan diksi juga menjadi penting dalam membangun karya sastra. Sastra terbentuk juga dari susunan kata-kata. Hal tersebut dipertegas oleh Pradopo dalam Pengkajian Puisi bahwa, pemilihan kata dalam sajak disebut diksi (2005:54). Barfield sebagaimana dikutip oleh Pradopo (2005:54) dalam Pengkajian Puisi mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Diksi menjadi alat penting bagi sastrawan
16
dalam mengkonsep cerita yang akan dibangunnya. Memilah diksi yang baik, menjadi modal kepintaran pengarang (penulis) untuk membina struktur cerita yang enak dibaca. Diksi tidak hanya sebatas alat untuk membangun sebuah cerita, tetapi juga sebagai pengungkap peristiwa. Sudjiman menegaskan melalui Hasanuddin (2012:79) dalam Membaca dan Menilai Sajak; Pengantar Pengkajian dan Interpretasi bahwa diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan atau peristiwa.
b. Pengimajian Pada hakikatnya pengimajian masih berkaitan dengan diksi. Pengarang secara diksi juga menciptakan pengimajian (pencitraan) dalam puisi. Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair (Waluyo, 2003:10). Imajinasi dibuat oleh pengarang untuk membangun gambaran atau bayangan bagi pembaca dalam membaca karya sastra khususnya puisi. Seperti dijelaskan dalam diksi tentang diksi puitis, agar gambaran dalam pikiran, penginderaan, dan guna menarik perhatian bagi pembaca. Akan tetapi, itu semua tergantung kepada kemampuan masing-masing pembaca. Lebih lanjut, Waluyo (2003:10) dalam Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa menjabarkan, bahwa melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolaholah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil). Berikut jabaran menurut hemat Waluyo dari ketiga gambaran tersebut: Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca; Imaji auditif
17
(pendengaran) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair; Imaji taktil (perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 2003:10-11). Paparan di atas sebagai cara pengarang mengkongkretkan ide yang semula masih abstrak menjadi mudah ditangkap oleh pembaca. Hasanuddin menegaskan bahwa ide yang semula masih abstrak dapat ditangkap seolah-olah dilihat, didengar, dirasa, dicium, diraba, atau dipikirkan (2012:89). Pembaca juga dapat berkontemplasi dan menimbulkan suasana di dalam batinnya. Coombes melalui Pradopo mengemukakan bahwa dalam tangan sebuah penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahaannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya (2005:80). Melalui imaji pengarang, kata-kata yang dibangun membuat citraan kembali menimbulkan kesan pikiran baru dalam kreasi puitis. Altenbernd melalui Padopo juga menegaskan citraan, bahwa citraan adalah salah satu alat kepuitisan yang terutama dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan menyaran (2005:89).
c. Bahasa Kiasan Bahasa figuratif atau biasa dikenal dengan bahasa kiasan (figurative languange) adalah salah satu unsur untuk mendapatkan kepuitisan sebuah puisi. Pradopo berpendapat bahwa bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup (2005:62). Bahasa kiasan memang
18
banyak dipakai untuk membangun karya sastra, apalagi puisi yang salah satu genre paling banyak menggunakan bahasa atau makna kiasan. Menurut Altenbernd melalui Pradopo bahwa bahasa kiasan ada beberapa macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (2005:62). Lanjut Pradopo dalam memformulasikan dari macam-macam bahasa kiasan ke dalam jenis-jenisnya, yaitu perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdoki (synecdoche). Pertama adalah perbandingan (simile). Perbandingan merupakan hal penting dalam bahasa kiasan. Dengan membandingkan sebuah kata pada kata-kata yang lain, bisa terlihat persamaan satu hal di dalam bahasa kiasan. Bahasa kiasan yang menyamakan satu hal-hal lain dengan mempergunakan kata-kata perbandingan seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata perbandingan yang lain (Pradopo, 2005:62). Bahasa kiasan di atas dalam perbandingan yang relatif sederhana dan banyak digunakan dalam pembuatan puisi. Kedua adalah metafora. Metafora dalam bahasa kiasan tidak jauh berbeda dengan perbandingan. Dari kata-kata perbandingan di atas, ada sebagian yang tidak dipakai oleh metafora, yaitu bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Becker berpendapat melalui Pradopo (2005:66) bahwa metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Dalam metafora sendiri juga memiliki istilah atau biasa dikenal dengan sebutan term;
19
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan (2005:66). Ketiga adalah perumpamaan epos. Pradopo mempercayai bahwa perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang. Perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frasefrase yang berturut-turut (Pradopo, 2005:69). Dalam perbandingan epos, perbandingan juga untuk memberikan gambaran yang jelas. Perbandingan epos bukan hanya sekadar dipakai untuk membandingkan saja, tetapi juga dipakai untuk
memperdalam dan
menandaskan dari sifat-sifat perbandingan. Keempat adalah alegori. Menurut Suharso dkk. (2005:28) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Lengkap, kata alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu. Kiasan tidak hanya dipakai dalam membangun karya sastra, tetapi juga harus ada nilai moral dalam cerita. Dengan singkat Pradopo menjelaskan bahwa alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2005:71). Lukisan kiasan biasa digunakan pengarang dalam hal penggambaran imaji. Kelima adalah personifikasi. Pradopo menerangkan bahwa, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti manusia (2005:75). Lukisan berupa kiasan menjadi hidup dan benar-benar memberikan gambaran atau bayangan angan yang konkret. Keraf (1984:140) dalam Diksi dan Gaya Bahasa melalui Hasanuddin menegaskan bahwa, personifikasi
20
atau prosopopoenia adalah semacam gaya bahasa bermajas yang menggambarkan bendabenda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (2012:109). Keenam adalah metonimia. Metonima ini sangat jarang sekali dijumpai dalam pemakaian bahasa kiasan, tidak seperti metafora, perbandingan dan personifikasi yang kerap digunakan dalam membangun karya sastra. Dalam bahasa Indonesia hanya sebagai kiasan pengganti nama. Menurut Altenbernd (1970:21) melalui Pradopo menerangkan bahwa, bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut, sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tertentu (2005:77). Melalui personifikasi dalam mengganti objek, juga mempunyai efek yang lebih jelas sebagai berikut: Penggunaan metonimia ini efeknya ialah pertama untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan hal yang konkret itu. Penggunaan hal tersebut lebih dapat menghasilkan imaji-imaji yang nyata. Kedua, pertentangan benda-benda tersebut menekankan pemisahan status sosial antara bangsawan dan orang kebanyakan (2005:78).
Terakhir yakni sinekdoki (synecdoche). Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Pradopo, 2005:78). Bahasa kiasan dalam suatu benda atau mengganti nama menjadi benda, kerap kali pengarang menggunakan sinekdoki dalam membangun karya sastra. Menurut hemat penulis, Altenbernd (1970:22) menegaskan melalui Pradopo bahwa ada dua macam sinekdoki ini, yaitu pars pro toto: sebagai untuk keseluruhan dan tatum pro parte: keseluruhan untuk sebagian (2005:78-79).
21
d. Versifikasi (Irama) Menurut Waluyo (2003:12), irama (ritme) adalah suatu yang berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Irama juga suatu hal pada puisi dalam membicarakan bunyi. Dengan adanya unsur bunyi atau irama dapat menimbulkan suatu gerak yang hidup. Irama dalam bahasa asingnya rhyhm (Ing.), rhythme (Pr.), berasal dari kata Yunani reo, yang berarti riak air (Pradopo, 2005:40). Irama berarti seperti air yang mengalir tanpa putus, terus-menerus dan teratur. Irama menurut bahasa pun bisa berbeda penjelasannya, seperti bahasa asing di atas dan bahasa Indonesia yang penulis jelaskan setelah ini. Dalam bahasa Indonesia, irama adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur (Pradopo, 2005:40). Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama dibagi menjadi dua, yaitu ritme dan metrum. Penulis menggunakan pendapat Pradopo dalam menjelaskan pengertian metrum dan ritme menurut macamnya. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya (2003:40-41). Menurut Teeuw (melalui Hasanuddin, 2012:45) bahwa masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Penulis berpendapat dengan mengacu penjelasan di atas dalam bahasa pun bisa beda penjelasannya, karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan bahasa, beda halnya dengan bahasa asing (Inggris) yang mempunyai tekanan pada bagian suku katanya.
22
e. Tata Wajah (Tipografi) Tipografi atau tata wajah adalah tampak bentuk (gambar) dari sebuah karya sastra khususnya puisi. Mengarah pada pendapat Waluyo, dalam puisi mutakhir (setelah tahun 1976), banyak ditulis puisi yang mementingkan tata wajah, bahkan penyair berusaha menciptakan puisi seperti gambar (2003:13). Dari tipografi yang dilihat, puisi juga mewakili maksud tertentu. Ada juga puisi yang tidak mementingkan tipografinya, puisi dengan tata wajah konvensional, artinya lebih bersifat apa adanya, tanpa membentuk gambar atau bentuk-bentuk tertentu. Tipografi bisa juga menentukan kepuitisan sebuah puisi. Bentuk panjang-pendek tipografi sebuah puisi menjadi sarana memudahkan pembaca dalam memahami makna dari puisi tersebut. Menurut hemat penulis dalam menjelaskan beberapa bentuk tipografi menurut Junus dalam Perkembangan Puisi Melayu Modern melalui Hasanuddin, ada beberapa bentuk dan suasana yang disarankan, berikut ungkapan tersebut: Pertama tipografi yang demikian menggambarkan suasana yang sejajar dan isinya bersamaan; Kedua tipografi yang disusun berserakan, sehingga kelihatan seperti tidak terpola; Ketiga tipografi yang longgar itu melukiskan lompatan yang liar dari segi isinya dan memperlihatkan pemikiran yang tidak berhubungan tipografi semacam intensifikasi menuju suatu klimaks namun juga memberikan suasana terbentur pada suatu dunia atau terkukung; Keempat dapat memberikan gambaran tentang keinginan merinci sesuatu, hanya sekadar untuk eksperimen dan menunjukkan kesan bermain-main (zigzag) (melalui Hasanuddin, 2012:122-123). Uraian di atas memberi gambaran dalam tipografi puisi. Sutardji Calzoum Bachri juga menjadi sastrawan penting dalam pendobrakan tata wajah perpuisian di Indonesia. Lewat kumpulan puisinya O. Amuk, Kapak yang terbit pada tahun 1980-an, Sutardji menumpah-ruahkan berbagai bentuk tipografi yang aneh dan sangat berkarakter dalam ranah perpuisian.
23
f. Tema Tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo, 2003:17). Sebelum pengarang membuat karya sastra, ide atau gagasan harus sudah ada di pikiran pengarang. Dalam memilih tema yang baik, biasanya pengarang memberi sifat khusus (diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan yang terakhir lugas (bukan makna kiasan dari konotasinya). Jadi penyair mempunyai arah, tema apa yang akan diangkat dalam membangun sebuah karya sastra. Ada beberapa tema yang sering sekali digunakan oleh penyair dalam membuat puisi antara lain; tema ketuhanan (religius), tema kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan. Menurut Waluyo, tema-tema yang sering dipakai oleh penyair dalam membuat sebuah puisi yaitu: pertama adalah tema ketuhanan (religius), tema ketuhanan ini sering kali disebut tema religius, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya (2003:18). Dengan menggunakan tema ketuhanan, pengarang lebih seakan sedang berinteraksi kepada Sang Maha Kuasa. Dalam menulis puisi dengan tema tersebut, pengarang lebih memasrahkan dirinya lewat tulisan-tulisannya. Kedua adalah tema kemanusiaan. Melalui peristiwa atau tragedi yang digambarkan penyair dalam puisi, ia berusaha meyakinkan pembaca tentang ketinggian martabat manusia (Waluyo, 2003:19). Pada hakikatnya memang manusia adalah mahkluk yang harus dihargai, dihormati, diperhatikan dan diperlakukan adil dan manusiawi. W.S.
24
Rendra adalah salah satu dari sekian banyak penulis yang sering menulis puisi bertema kemanusiaan. Maka tidak heran ketika membaca karya-karya Rendra serasa dekat sekali dengan masyarakat. Masyarakat (pembaca) merasa disadarkan oleh tulisan-tulisan Rendra untuk selalu menghargai martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Ketiga adalah tema patriotisme. Dengan puisi bertema patriotisme, penyair mengajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air (Waluyo, 2003:21). Tema-tema kepatriotismean biasanya kerap dijumpai dalam karya-karya sejarah salah satunya Pangeran Diponegoro. Pahlawan Diponegoro sering menjadi inspirasi untuk membangun sikap patriot dalam diri maupun juga karya sastra. Keempat adalah tema cinta tanah air. Di atas telah menjelaskan patriotisme dan sikap membela tanah air, maka tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta (2003:23). Maka banyak yang merasa bangga menjadi orang Jawa, Sunda, maupun Batak dengan keberagaman tanah kelahirannya masing-masing. Kelima adalah tema cinta kasih antara pria dan wanita. Tema yang mengandung unsur cinta terhadap lawan jenis. Di dalam puisi lama (pantun) kita juga mengenal tema cinta yang berbentuk pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perpisahan, dan pantun beriba hati (2003:24). Keenam adalah tema kerakyatan atau demokrasi. Tema kerakyatan/demokrasi mengungkapkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan karena sebenarnya rakyatlah yang menentukan pemerintahan suatu negara (2003:27). Seperti perkataan pemerintah sekarang bahwa, mereka kerja untuk rakyat. Ketujuh adalah tema keadilan sosial (protes sosial). Tema yang tidak beda jauh dengan tema kemanusiaan, tetapi ini lebih kepada bentuk protes. Puisi jenis ini juga
25
disebut puisi protes sosial karena mengungkapkan protes terhadap ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh kaum kaya, penguasa, bahkan negara terhadap rakyat jelata, seperti puisi-puisi Wiji Thukul, Mustofa Bisri, W.S. Rendra, dan F. Rahardi (Waluyo, 2003:28). Tema ini sesuai dengan penelitian penulis dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Soe Hok Gie dalam membedah unsur temanya. Kedelapan adalah tema pendidikan atau budi pekerti. Tema yang erat kaitannya dengan guru dan anak muda. Puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan 1945 kebanyakan ditulis oleh para guru, dan juga penyair menasihatkan bahwa kaum muda harus mempersiapkan diri menyongsong masa depan (Waluyo, 2003:30). Terakhir adalah tema-tema lain. Tema puisi lain yang tidak kalah menariknya adalah puisi mbeling. Menurut Mawardi dalam kumpulan esainya Sastra Bergelimang Makna berpendapat bahwa, mbeling mengandung arti kenakalan atau keliaran dengan permainan estetika satire alias kritik pedas (2010:127). Tidak banyak penyair yang berani dalam membuat pusi mbeling, hanya beberapa penulis saja yang berani yaitu salah satunya adalah Remy Silado. Kesembilan tema di atas berguna dalam menentukan tema apa yang disampaikan dalam sebuah puisi. Tema seringkali dihubungkan dengan pesan yang terdapat dalam sebua karya sastra. Dengan cara membaca karya sastra berulang kali, maka pembaca dapat mengetahui maksud pengarang dalam menyampaikan sesuatu melalui tema.
26
g. Perasaan (feeling) dan Suasana Bentuk perasaan penyair biasanya dituangkan melalui puisi. Nada dan perasaan penyair dapat kita tangkap kalau puisi itu kita baca keras dalam poetry reading atau deklamasi (Waluyo, 2003:39). Ketika melihat orang sedang membacakan sebuah puisi, biasanya orang itu mengeluarkan suaranya dengan keras dan juga terkadang lembut, karena itu adalah bentuk ekspresi pembaca dalam menghayati makna yang terkandung di dalam sebuah teks. Pembaca biasanya mendapatkan suasana tertentu dalam sebuah teks puisi. Suasana kadang-kadang terbentuk lewat latar cerita pada sajak (di samping memanfaatkan citraan, bahasa bermajas, dan lain-lain tentunya) (Hasanuddin, 2012:123). Dengan cara membaca teksnya, perasaan dan suasana menjadi hidup di dalam imaji-imaji pembaca.
h. Amanat Amanat (pesan) atau nasihat yang didapat atau dirasakan oleh pembaca setelah selesai membaca karya (teks) sastra. Pembaca sangat mempengaruhi amanat itu ada atau tidak di dalam sebuah teks sastra. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan penyair (Waluyo, 2003:40). Dengan demikian, pembaca dapat menilai dari pendanganya masing-masing.
27
2. Protes Sosial Membahas protes sosial dalam sastra, juga harus mengerti keadaan sosial dalam masyarakat. Menerima atau menolak realitas sosial adalah dua pilihan alternatif dalam kesadaran manusia. Hemat penulis, ada beberapa jenis protes dalam sastra, antaranya protes pribadi dan lingkungan. Menurut Saini K.M. dalam Protes Sosial dalam Sastra bahwa protes sosial dalam bentuk sastra hanya mungkin kalau beberapa syarat dipenuhi (1986:4). Pada dasarnya jalur protes memiliki hakikat kuat dalam menentang apa yang menjadi pertentangan dengan kebenaran. Sastra menjadi alat untuk mengungkap bentuk protes tersebut. Di atas telah dijelaskan dalam tema mengenai tema keadilan sosial (protes sosial). Dalam puisi, protes sosial masuk ke dalam sebuah tema. Tema yang mengandung perlawanan, pertentangan, dan kebijakan terhadap kaum ploletar, masuk dalam bentuk protes sosial. Kedudukan protes sosial dalam sastra sama dan seharkat dengan pokok-pokok lain seperti erotika, patriotisme, religiositas dan sebagainya (Saini K.M., 1986:5). Sebatas pengalaman objektif dan korelatif, seorang sastrawan melihat bahwa masalah cinta adalah faktor-faktor sosial. Kadang-kadang memang sastra yang terdapat unsur protes, jarang diperhatikan ataupun dibicarakan. kalau selama ini sastra protes sosial kurang mendapat perhatian dan penghargaan, hal itu karena pengalaman dunia sastra Indonesia dengan percobaan-percobaan anggota LEKRA/PKI yang kebanyakan gagal memberikan pengalaman objectivecorrelative, pengalaman yang dapat kita dekati dengan dan dalam kebebasan (Saini K.M., 1986:6).
28
3. Sosiologi Sastra Hartoko dan Rahmanto dalam buku Pemandu di Dunia Sastra mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial (melalui Noor, 2009:87). Dari kedua unsur protes sosial dan sastra Marxis mempunyai persamaan dalam kenyataan sosial. Kenyataan sosial dalam konteks pengarang, pembaca, dan teks sastra. Menurut Hartoko melalui Noor (2009:87) bahwa, pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut sosiologi komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis. Pengarang menjadi peran penting dalam keberlangsungan sosiologi komunikasi sastra dalam konteks sosialnya. Konteks sosial pengarang meliputi status sosialekonomi, profesi, pendidikan, ideologi, keterkaitannya pada suatu kelas tertentu, dan sebagainya (Noor, 2009:88). Penulis bermaksud untuk memfokuskan dengan penelitian teks sastra dengan melalui teks dapat mengetahui apa yang terkandung di dalam sebuah teks sastra. Teks sastra menjadi penting dalam membicarakan sosiologi sastra. Dengan masyarakat membaca karya sastra dengan dilihat dari sosiologi sastra, bisa dilihat perubahan masyarakat (pembaca) secara individu ataupun berkelompok (komunal). Perubahan secara sikap, kepribadian, pola pikir, gaya hidup, dan lain sebagainya adalah bentuk perubahan individu, kalau sudah masuk ke dalam ideologi dan sikap sosial itu adalah perubahan di dalam bentuk kelompok. Dalam konteks ini terdapat kemungkinan sebuah teks sastra mampu menimbulkan inspirasi terjadinya sebuah perubahan sosial, bahkan terjadinya revolusi kebudayaan sebuah masyarakat (Noor, 2009:88).
29
Penulis menggunakan sosiologi sastra dalam penelitian teks sastra. Secara penafsiran teks sastra secara sosiologis bahwa sosiologi sastralah yang paling dekat dengan permasalahan penelitian penulis. Hartoko melalui Noor menjelaskan, bahwa penafsiran teks secara sosiologis adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan (2009:89).
4. Sastra Marxis Marxis mempunyai keterkaitan yang amat luas dengan bidang-bidang lain. Marxisme merupakan teori yang erat kaitannya dengan ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi (Noor, 2009:120). Teori Marxis mempunyai perhatian terhadap teori sosial dalam sastra. Kurniawan berpendapat dengan menempatkan sastra sebagai lembaga sosial yang sama seperti hukum, agama, dan ilmu pengetahuan, maka sastra sebagai produk kesadaran dan pikiran manusia mempunyai peran penting sebagai representasi gambaran kelas sosial dan produksi ideologi (2012:40). Teori Sastra Marxis erat kaitannya dengan masyarakat dan realitas sosial. Kelas sosial juga ambil adil dalam menciptakan berbagai kelas yang bertentangan. Ekonomi pun juga dapat menciptakan kelas baru, kekuasaan kelas, dan bentuk pertentangan kelas. Falsafah ekonomi Marx menerangkan bahwa pertentangan kaum borjuis melawan kaum proletar pasti melahirkan revolusi yang menghancurkan sistem kapitalis sehingga tercipta masyarakat tanpa kelas (Noor, 2009:122). Ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan keadaan masyarakat dalam kelasnya. Sastra pun juga bagian budaya jika
30
dikaitkan dengan bentuk interkasi ekonomi. Noor menegaskan bahwa sastra oleh Marx ditempatkan dalam super-structure masyarakat (2009:122). Teori marxis
mempunyai unsur-unsur penting dalam mempengaruhi suatu
ideologi. Pertama, ideologi Marxisme cenderung berlawanan dengan realitas objektif. Kedua, Marx secara mutlak menempatkan sastra dalam super-structure ideologi, yang sejajar dengan agama, filsafat, politik, dan undang-undang (Noor, 2009:123). Sastra Marxis memang selalu dikaitkan dengan adanya kelas. Sosial masyarakat juga dapat terlihat ketika kesenjangan antar manusia mulai mempengaruhi ekonomi dan ideologinya. Sastra akan terus eksis apabila produk pikiran dan perasaan bisa ditentukan oleh faktor-faktor di luar sastra. Perspektif Marx bahwa sastra sangat berkaitan dengan masyarakat. Hal tersebut dijelaskan Luxemburg melalui Kurniawan bahwa, (1) kajian terhadap faktor-faktor di luar sastra (sosial), misalnya pengarang di dalam masyarakat, pembaca, dunia penerbit, dan sebagainya; (2) kajian terhadap hubungan antar−aspekaspek sastra dengan teks sastra mengenai sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya tercermin dalam sastra bahkan sampai pada sastra digunakan sebagai bahan untuk menganalisis sistem masyarakat (2012:46).
31
BAB III ANALISIS STRUKTUR PUISI DAN SASTRA MARXIS PADA PUISI “KEPADA PEJUANG-PEJUANG LAMA”
Pada bab ini penulis melakukan analisis secara struktural dan pendekatan sastra Marxis, karena pendekatan secara struktural digunakan untuk mendapatkan hasil yang komprehensif dan maksimal dalam memahami kerangka atau unsur-unsur puisi. Kerangka puisi yang meliputi beberapa unsur diantaranya ada diksi (pemilihan kata), pengimajian, bahasa figuratif, versifikasi (irama), tata wajah (tipografi), tema, perasaan (feeling), suasana, dan amanat. Pendekatan sastra Marxis digunakan untuk mengetahui protes sosial dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” dan juga memahami maksud Soe Hok Gie dalam penyampaian protes melalui puisi.
A. Analisis Struktur Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Puisi Soe Hok Gie “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” dibuat pada tanggal 19 Desember 1965. Di mana pada saat itu peralihan rezim sedang terjadi dan memperjuangkan dari kediktatoran pemerintah Orde Lama (Orla). Gie membuat puisi ini untuk temantemannya mantan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Angkatan ’66 eks. demonstran yang masuk ke dalam parlemen DPR-GR (Dewan Perwakilan RakyatGotong Royong) pada zaman Presiden Soeharto. Berikut puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
32
Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” di atas mengisahkan keadaan sosial pada masa pergantian rezim penguasa di Indonesia. Struktur puisi di atas terdiri dari 3 bait; bait pertama terdiri dari 4 baris, bait kedua terdiri dari 11 baris, dan bait ketiga terdiri dari 10 baris. Bait pertama terlihat Gie kecewa terhadap teman-temanya yang telah menghianati perjuangan. Tetapi Gie tidak menyebutkan nama teman-temannya ke dalam puisi yang ia buat. Ia hanya menggunakan sebutan /mereka/. Terlihat terutama dibaris 1 dan 2, /Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya./ /Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya./ Tetapi tidak semua teman-temannya yang Gie anggap penghianat perjuangan, /Dan datanglah kau manusia-manusia/ /Yang dahulu menolak, karena takut
33
ataupun ragu./, tercermin pada baris 3 dan 4. Gie masih menganggap ‘mereka’ semua adalah /manusia-manusia yang dahulu menolak/ karena perjuangan sesama mahasiswa dan entah /takut ataupun ragu/. Hanya sebagian temannya saja yang waktu itu bergabung di parlemen. Dalam puisi di atas memang sangat terlihat kata-kata yang menjadi titik fokus dalam pembedahan analisis puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”. Gie menggunakan judul “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karena memang isi dalam puisi tersebut menggambarkan apa yang ia lihat. Seperti rekaman suasana yang masih tersimpan rapih di dalam pikiran Gie sehingga dapat menuangkan ke dalam bentuk puisi.
1. Diksi (Pemilihan Kata) Gie mencurahkan perasaan dan pikiraannya yang ia pendam dalam batinnya. Selain itu, Gie dapat mengekspresikan perasaannya sehingga ia dapat menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam bentuk puisi. Gie dapat memilih kata-kata yang tepat dalam membuat diksi hingga menjadi puisi. Barfield mengemukakan melalui Pradopo dalam Pengkajian Puisi, bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (2005:54). Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” jauh dari kata-kata puitis melainkan puisi semangat protes, berikut puisinya: Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama.
34
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Diksi di atas sangat terasa sekali semangat perjuangan. Gie menggunakan diksi /pejuang-pejuang lama/, /kawan-kawan/, /petualang-petualang masa depan/ dan /pemberontak-pemberontak rakyat/, untuk menimbulkan jiwa semangat. Lihat pada judul “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” yang ia pilih berdasarkan diksi yang tepat, dari kata /kepada/ yang menandai tujuan seseorang, dan /pejuang-pejuang lama/ dimaksud para mantan mahasiswa-mahasiswa atau para eks. demonstran yang dahulu pernah berjuang bersama. Analisis pilihan kata yang terdapat dalam puisi “Kepada Pejuang-pejuang Lama” pada bait pertama yang terdiri dari 4 baris menunjukkan kejadian yang telah terjadi pada teman-teman seperjuangan di masa demonstrasi pergantian rezim karena terdapat katakata pada baris 1 sampai baris 4, sebagai berikut:
35
Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ... Kata /Biarlah/ pada awal baris 1 dan 2 menandakan tidak melarang apa yang mereka inginkan. Pada akhir baris 1 dan 2 mengalami perbedaan kata yaitu /mendapatnya/ yang memang mantan eks. demonstran telah mendapat mobil dan rumah, sedangkan kata /mengambilnya/ berarti apa yang sudah mereka dapat telah diterima. Pada kata /datanglah kau manusia-manusia/ dibaris 3 menunjukkan kepribadian Gie dalam mengajak teman-temannya yang masih /takut/ atau /ragu/ dalam menerima ajakan penguasa Presiden Soeharto. Pada bait kedua terdiri atas 11 baris. Dibaris 1 muncul kata /kita/ yang menandakan Gie individualistis yang sangat kuat. Ia menggunakan kata ‘kita’ pada sajaknya untuk menunjukkan bahwa sajak ini memang bertujuan dibaca oleh temantemannya yang waktu itu sama-sama berjuang, berikut puisinya; ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kautentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ...
36
Baris 2 terdapat kata /kapal/ yang menandakan suatu negara atau benda untuk mengangkut atau membawa para demonstran dari /badai/ yang melukiskan suasanana buruk atau keadaan yang sangat kacau. Baris 3 terdapat petikan /menempuh gelombang/ yang mereka tempuh seakan terobosan semangat yang mereka perjuangkan dalam menembus rezim yang sangat besar. Dan juga terdapat kalimat dalam tanda ( ) seperti menandakan di dalam hati yang sedang ikut berbicara melontarkan kata /pelaut-pelaut lain takut/, berarti tidak semua teman-temannya yang berhasil menembus kekacauan pada masa itu. Dalam tanda ( ) terdapat kalimat /Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila/, kata /kau/ pada awal baris menunjukkan Gie sedang mengingatkan teman-temannya pada suasana di masa demonstrasi dan /masih ingat suara-suara di belakang/ penggambaran suasana masa lalu pada saat masih menjadi demonstran dan juga kata /”mereka gila”/ berarti ada orang di luar para demonstran yang sedang menyaksikan aksi para demonstrasi di jalan, mereka menganggap para demonstran yang sedang di jalan itu tidak biasa (gila). Kata /Hai/ awal baris 5 menandakan ia sedang menyapa teman-temannya mantan eks. demonstran yang di tandai pada /kawan-kawan pejuang lama/. Baris 6 dan 7 Gie seakan sedang melakukan penggambaran ulang pada masa-masa demonstrasi dengan menyebutkan benda-benda seperti; sandal, sepeda, buku-buku, dan sisa-sisa nasi. Gie sangat ingat apa saja benda-benda dan suasana pada masa berdemo di jalan waktu itu. Pada catatan hariannya, dalam buku Catatan Seorang Demonstran (CSD), Gie juga menulis kisah yang mirip sekali dengan kata-kata yang ada di dalam puisi “Kepada Pejuag-Pejuang Lama” pada bait kedua baris 6 dan 7, berikut kutipannya.
37
Hari-hari Menjelang Taufan di Dunia Mahasiswa ... “Mereka “marah” sehingga ada yang buru-buru keluar dan membawa nasi (barangkali mereka kira mahasiswa-mahasiswa ini lapar). Yang diberikan kemudian berteriak. . . “Kita apakan nasi ini?” Kawan-kawan menjawab: “Menghina, lempar saja.” Dan nasi itu dilempar di lantai yang mengkilat. ... Acara hari Kamis acara bersepeda. Fakultas Sastra-Psikologi pergi bersepeda untuk “memacetkan’ lalu-lintas (CSD, 2011:132-140).
Benda-benda yang disebutkan dalam buku CSD maupun puisinya menandakan kemiripan beberapa benda yang memang pada masa itu sempat mereka alami. Bendabenda seperti /sepeda/ dan /sisa-sisa nasi/ memperkuat gambaran suasana lewat diksi yang dibuat oleh Gie. Baris 8 terdapat kata /tinggalkan kenang-kenangan/ dan /kejujuran kita/ yang memang ingatan dan sifat ketulusan hati pada masa demonstrasi harus dilupakan. Serta pada baris 9 terdapat kata /ragu/ yang memang menggambarkan kebingungan atau kurang percaya pada diri mereka. Baris 9 sampai 11 satu kalimat yang berada dalam tanda ( ), terdapat kata /membina kapal tua/ yang terkandung makna membangun sebuah wadah yang sudah hampir lama, kata /di tengah gelombang/ menandakan di pusat arus deras, /kita betah/ mengartikan tahan dalam mengalami penderitaan dan /cinta padanya/ yang memang menggambarkan cinta kepada rakyat yang mereka perjuangkan. Pada bait ketiga ini terdapat 10 baris. Ada beberapa baris yang terdapat pengulangan dari bait pertama yaitu /Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya/ /Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya/ hanya menambahkan /Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya/, berikut petikan puisinya.
38
... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Baris 1 terdapat kata /Tempat kita, petualang-petualang masa depan/ menandakan lokasi atau ruang bagi orang-orang yang mencari kesuksesan di masa yang akan datang. Lanjut baris 2 /pemberontak-pemberontak rakyat/
melawan atau menentang suatu
negara. Baris 3 hanya ada kata /Di sana ...../ berarti menandakan di tempat yang berbeda. Baris 4 terdapat kata /Di tengah rakyat/ menandakan berdiri dan berpihak terhadap rakyat, /kapal-kapal baru/ mempunyai wadah atau ruang baru, dan /gelombang baru/ berarti menerjang masalah baru yang berada di masa depan. Baris 5 terdapat kata /Ayo/ yang menandakan himbauan atau ajakan dan kata /mari kita tinggalkan kapal ini/ melepaskan negara ini atau ruang baru yang sudah lama mereka tempati. Pada baris 6 sampai dengan baris 8 terjadi kesamaan /Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya/ /Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya/ /Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya./ kata /biarlah mereka ingin/ diulangulang untuk mengawalinya dan hanya membedakan kata /pangkat menjabatnya/, /mobil mendapatnya/, dan /rumah mengambilnya/ kata tersebut juga sama pada bait pertama di baris 1 dan 2, bermaksud untuk mempertegas harta benda yang di kasih kepada para anggota parlemen mantan eks. demonstran.
39
Baris 9 terdapat kata /Ayo/ lagi yang mengalami repetisi atau pengulangan dan juga mempertegas ajakan pada baris 5. Pada baris 10 di mana baris terakhir ini menutup dengan kelimaks serta sangat terlihat idealis eks. demonstran yang memang masih memegang ideologinya, /Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini./. Ada kata /laut/ yang mengartikan luas, /pemberontak/ orang yang menentang atau melawan dan /kapal/ adalah suatu negara atau ruang yang memang menjadi alat untuk mengantarkan mereka para demonstran kearah tujuannya.
2. Pengimajian Setiap manusia pasti memiliki hubungan sensoris. Sensoris yang dipunya oleh manusia adalah daya penglihatan (imaji visual), pendengaran (imaji auditif), dan juga perasaan (imaji taktil) yang disentuh atau diraba. Dalam puisi, daya sensoris biasa disebut dengan pengimajian. Pengimajian bisa juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan untuk menimbulkan citra bagi puisinya. Pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” yang ditulis oleh Soe Hok Gie ini dapat ditemukan beberapa imaji yang saling memperkuat dan saling menambahkan penghayatan bagi pembacanya.
a. Imaji Penglihatan (Imaji Visual) Imaji penglihatan nampak sekali dibait pertama pada kata-kata baris 1 dan 2 yang memperlihatkan apa yang dilihat oleh Gie hingga memberi rangsangan kepada indera penglihatan, jadi seolah-olah terlihat, berikut petikannya.
40
Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ... Secara hafiah puisi ini menujukkan daya pemikiran pembaca pada imajinasi penglihatan yang seakan-akan melihat adanya /mobil/ dan /rumah/ pada penglihatan sebenarnya. Pada bait kedua memunculkan penglihatan yang lebih membuat pembaca terbayang akan suasana, sebagai berikut: ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Melalui kutipan di atas kata-kata /pejuang lama/, /kapal/, /badai/, /gelombang/, /sandal-sandal/, /buku-buku/, /sisa-sisa makanan/, /kapal tua/, dan /di tengah gelombang/, seolah-olah pembaca dapat melihat kedudukan suasana dan benda-benda pada kejadian tertentu. Bait ketiga terlihat akan waktu yang terus berjalan ke masa depan. Memancing gambaran atau bayangan dalam mengkomunikasikan intuisi pembaca pada masa yang akan datang. Gie selalu memunculkan benda-benda atau suasana penglihatan yang biasa dilihat dikehidupan sebenarnya.
41
... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Kata-kata di atas dimunculkan melalui benda-benda dan suasana seperti /tempat kita/, /petualang-petualang masa depan/, /pemberontak-pemberontak rakyat/, /di sana/, /di tengah rakyat/, /kapal-kapal baru/, /gelombang baru/, /pangkat menjabatnya/, /mobil mendapatnya/, /rumah mengambilnya/, dan /laut/ yang mempunyai gambaran tidak peduli lagi, tidak lagi mau berjuang bersama dan lebih memilih untuk menerima jabatan atau harta dan juga akan perbedaan masa yang akan datang pada masa sebelumnya.
b. Imaji Pendengaran (Imaji Auditif) Suara yang dihasilkan oleh sebuah puisi dapat dikatakan terdapat imaji pendengaran. Imaji pendengaran yang merangsang pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan dalam puisi. Petikan puisi berikut ini memiliki ungkapan yang dapat dinyatakan sebagai imaji pendengaran (auditif). Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ...
42
Pada bait pertama di atas dibaris 1 dan 2 terdapat kata imaji /Biarlah/ yang memang seperti nada tinggi atau nada ketidak pedulian. Kata /datanglah kau manusiamanusia/ seperti terdengar sedang mengundang orang-orang atau teman-temannya. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Bait kedua di atas timbul dari nada yang dikeluarkan oleh mulut atau pun dari penggambaran suasana. Kata /Dan kita/ nada penghubung yang menyatukan antara individual Gie dan temannya. Berikutnya /kapal ini keluar dari badai/ dan /menempuh gelombang/ terdengar begitu menakutkan karena seakan terdengar seperti berada di sebuah kapal di tengah laut yang berhasil berjuang dan berhasil keluar dari badai atau pun cuaca buruk. Pada /suara-suara di belakang... “mereka gila”/ seperti terdengar penggambaran suasana yang menandakan pada waktu itu tidak hanya para demonstran saja, tetapi juga ada orang-orang di luar dari demonstran. Kata sapaan /Hai/ terdengar seperti nada harapan bagi Gie kepada teman-teman seperjuangannya. Seruan pada /Angkat beban-beban tua/ menandakan untuk membawa sisa-sisa kewajiban atau tanggungan mereka pada masa dahulu.
43
Pada bait ketiga ini terdapat nada-nada sindiran Gie terhadap teman-teman seperjuangannya yang menerima konpensasi jabatan dan harta, dapat dilihat dari kutipan berikut: ... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Bentuk nada-nada harapan dan sindirian di atas terdengar sama seperti nada semangat seperti /petualang-petualang masa depan/ dan /pemberotak-pemberontak rakyat/. Pada /kapal-kapal baru/ dan /tempuh gelobang baru/ terdengar harapan pada masa yang akan datang. Kata /ayo/ membuat intuisi pendengaran merasa menjadi semangat dengan nada ajakan, apalagi ditambah dengan seruan /tinggalkan kapal ini/ menandakan untuk meninggalkan negara yang lama menuju negara yang baru. Kata /Biarlah mereka yang ingin/ terdengar Gie tidak perduli lagi dengan idealis temantemannya yang telah menerima jabatan dan harta di parlemen. Ungkapan /Laut masih luas/ terdengar begitu jauh dan luas. Gie memunculkan nada marah dan penolakan dengan /pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini./ bermaksud untuk tidak lagi percaya kepada teman-temannya yang telah menghianati perjuangan.
44
c. Imaji Taktil (Perasaan) Penciptaan ungkapan perasaan yang ditimbulkan oleh Gie mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh rasa perjuangan demonstrasi. Memilih kata-kata yang bisa membangkitkan emosi pada puisi guna menggiring daya bayang pembaca lewat sesuatu yang seakan-akan bisa dirasakan bagi yang membacanya, maka imaji taktil berguna untuk mengetahui perasaan sipengarang dalam menuangkan rasa amarah, benci, individualistis, dan lain-lain. Begitu pun dengan puisi Gie ini yang mengandung rasa semangat yang tinggi dalam memprotes teman-temannya, berikut petikan puisinya. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ... Pada bait pertama di atas terdapat kata /takut/ dan /ragu/ menggambarkan perasaan tidak berani mengambil keputusan,bimbang dan tidak percaya diri. Serta pada bait kedua perasaan pengarang lebih terlihat betapa lingkungan sosialnya dahulu harus segera ditinggalkan dan bergegas pada kehidupan yang lebih baru. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
45
... Dalam bait kedua terdapat perasaan, ungkapan seperti /Angkat beban-beban tua/ yang menandakan masalah-masalah lama dan /tinggalkan kenangan-kenangan/ seperti ingin pergi dari ingatan yang dahulu, membuat Gie mengungkapkan /kejujuran kita/ meluapkan perasaan kepada lawan−bicaranya. Kata /kita betah dan cinta padanya/ membuat perasaan Gie yang sudah nyaman, pada keadaan yang membuat ia merasa sudah menjadi bagian dengan rakyat. Pada bait ketiga imaji taktil (perasaan) semangat lebih terasa adanya gairah untuk mengajak masuk ke dalam suasana batin Gie. ... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Pada ungkapan di atas /mari kita tinggalkan kapal ini/ menandakan rasa bosan dan sudah tidak nyaman dengan suatu tempat dan /ayo/ dan /laut masih luas/ terasa suasana lebar dan masih jauh untuk ditempuh. Rasa semangat Gie yang memang ingin cepatcepat meninggalkan kisah-kisah lamanya dengan teman-temannya yang satu per satu luntur idealisnya.
46
3. Bahasa Kiasan Bahasa kiasan digunakan untuk menarik perhatian gambaran pada maksud yang disampaikan pada sebuah puisi. Untuk membuat puisi lebih menarik, lebih jelas, dan lebih hidup bahasa kiasan (figurative language) lebih digunakan dalam memanfaatkan bahasa. Dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” bahasa-bahasa kiasan tersebut dihubungkan dengan perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimia, sinekdoki (synecdoche), dan alegori agar mengetahui maksud yang disampaikan oleh Gie melalui sebuah puisinya.
a. Perbandingan (Simile) Bahasa kiasan perban dingan biasa digunakan untuk menyamakan satu hal dengan hal yang lain. Perbandingan banyak dipergunakan dalam puisi karena bentuk bahasanya paling sederhana. Dalam perbandingan melalui puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” dapat terlihat dari petikan berikut. ... Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ... Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini ... Pada petikan di atas terlihat seperti kata /kau/ dan /kita/ ditunjukkan ke orang lain yang ‘ragu’ dalam menerima apa yang mereka dapatkan.
47
b. Metafora Metafora hampir sama dengan perbandingan, tetapi metafora lebih menggunakan perantara benda-benda lain. Metafora adalah salah satu kepintaran atau keunikan sipengarang dalam menyembunyikan maksud atau pengertian sebenarnya. Dapat ditemukan metafor dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”, karena Gie memang bermaksud memprotes teman-temannya eks. demonstran tanpa mendikte satu per satu dari mereka. Pada bait kedua dan ketiga banyak menggunakan metafor dalam puisinya, seperti petikan berikut. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Ada dua term dalam metafora yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok pada puisi di atas adalah /pejuang lama/ dan term kedua
48
adalah /kawan-kawan/ dan /kita/ sebagai term kedua sedangkan /petualang-petualang masa depan/ sebagai term pokok. Dalam puisi di atas tidak disebutkan siapa saja nama-nama teman-temannya itu yang telah menghianati perjuangan pada masa demonstrasi atau yang menolak untuk masuk ke dalam parlemen, dengan menyebut /pejuang lama/ Gie menyimpulkan seluruh teman-teman eks. demonstran Angkatan ’66. Dalam /membawa kapal ini keluar dari badai/ Gie dapat menggambarkan suatu negara yang sedang dalam suasana yang buruk. Kata menempuh gelombang menandakan bahwa berani dalam menghadapi masalah besar, juga /pelaut-pelaut lain/ itu lebih spesifik keteman-temannya yang bergabung di parlemen. Gie menggambarkan negara yang sudah terlalu rapuh dan berumur dengan menggunakan kata /kapal tua/. Gie menyebut teman-temannya yang menolak untuk bergabung ke parlemen dan terus berjuang bersamanya ke masa−depan dengan menyebut /petualang-petualang masa depan/ yang menandakan akan menjelajahi masa yang akan datang. Pada /laut masih luas/ menandakan masih ada tempat untuk meneruskan perjuangan.
c. Perumpamaan Epos (Epic Simille) Perumpamaan epos adalah lanjutan dari perbandingan yang diperpanjang dengan bentuk sifat-sifat pada kalimat-kalimat (frasa-frasa) yang berturut-turut. Terkadang lanjutan ini sangat panjang. Dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” bermacam-macam variasi kalimatnya, dapat dibuktikan sebagai berikut. ... Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
49
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) ... Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini ... Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Perbandingan epos pada petikan puisi di atas untuk memberi gambaran yang jelas dan juga bermaksud untuk lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat perbandingan, tetapi bukan sekadar memberikan persamaan saja pada kalimat-kalimat yang mengandung sifat-sifat perbandingan epos pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”.
d. Personifikasi Personifikasi bisa dis ebut sebagai nyawa bagi benda-benda mati yang dibuat pengarang agar dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya. Kiasan personifikasi ini untuk melukiskan kejelasan atau bayangan keadaan maupun peristiwa. Dengan personifikasi puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” menjadi lebih hidup dan menjadi terang dalam penggambaran suatu peristiwa. Berikut personifikasi pada puisi ini. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) ... Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita
50
Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Bentuk personifikasi pada puisi di atas terlihat pada ungkapan: /mereka yang ingin dapat mobil/; /mereka yang ingin dapat rumah/; /kapal ini keluar dari badai/; /menempuh gelombang/; /beban-beban tua/; /sandal-sandal kita/; /sepeda-sepeda kita/; /Buku-buku kita/; /sisa-sisa makanan kita/; /kapal tua/; /kapal-kapal baru/; /gelombang baru/; /pangkat menjabatnya/; dan /Laut masih luas/. Pada ungkapan personifikasi tersebut mengundang tanggapan pembaca yang mungkin pernah pernah dialaminya. Seolah-olah hal itu benarbenar terjadi dan sama dalam peristiwa sebenarnya.
e. Metonimia Metonimi atau biasa disebut metonimia sering disebut pengganti nama. Altenbernd menerangkan melalui Pradopo dalam Pengkajian Puisi bahwa, bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut, objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (2005:77). Metonimia hanya untuk menunjukkan hal yang konkret, dampaknya akan menghasilkan imaji-imaji yang nyata. Metonimia juga dapat menekankan pemisahan status sosial antara proletariat dan penguasa.
51
Dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” metonimia sangat diperlukan untuk memisahkan status sosial yang terkandung dalam puisi ini, berikut kutipannya. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai ... kapal tua ini ... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat ... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. ... Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Ungkapan /pejuang lama/ untuk mengganti para eks. demonstran atau KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dulu pernah sama-sama berjuang atau berdemo di jalan. Pada ungkapan /kapal ini keluar dari badai/ adalah bahwa /kapal/ yang mengartikan sebuah negara Republik Indonesia dan /badai/ dalam arti masalah atau keadaan buruk, maka Indonesia harus keluar dari keadaan yang sangat buruk. Ungkapan /kapal tua/ sama dengan pembahasan sebelumnya hanya saja menggambarkan sifat dari negara Indonesia yang memang sudah berumur dan rentan akan berbagai penyakit atau masalah. /Petualang-petualang masa depan/ adalah ungkapan dari generasi muda yang terus berjuang ke masa yang akan datang. Pada /pemberontak-pemberontak rakyat/ adalah orang-orang yang besebrangan dengan perjuangan rakyat ataupun para penentang. Ungkapan /membina kapal-kapal baru/ dan /menempuh gelombang baru/ adalah bentuk reformasi dalam melewati masalah-masalah yang terjadi di negara Indonesia. Ungkapan yang terakhir adalah /Laut masih luas/ bentuk dari perjalan ataupun perjuangan yang masih harus diteruskan.
52
f. Sinekdoki (Synecdoche) Kiasan yang berguna untuk menyebutkan suatu bagian yang penting dalam hal ataupun benda. Bagian untuk menandakan keseluruhan biasa dikenal dengan istilah pars pro toto dan kalau keseluruhan untuk menandakan bagian biasa dikenal dengan istilah totum pro parte, berikut kutipan pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”. ... Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai ... Pada petikan puisi di atas adalah pars pro toto, kata /kapal/ menunjukkan sebuah negara yaitu Negara Republik Indonesia. Jika kapal itu terjadi masalah ataupun tenggelam berarti Negara Republik Indonesia ini akan mengalami musibah. Tidak hanya pars pro toto, tetapi totum pro parte juga dibahas pada kutipan puisi berikut: ... Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) ... Petikan puisi di atas adalah bentuk totum pro parte. Ungkapan /menempuh gelombang/ adalah ungkapan yang dibesarkan, untuk memberi suasana dramatis kepada puisinya, karena puisi ini memang membicarakan masalah sosial yang harus dilewati. Padahal yang dimaksud hanyalah arus dari samudra. Begitu juga kata /pelaut-pelaut/, ungkapan dari mahasiswa-mahasiwa atau para demonstran. Padahal yang dimaksud hanyalah nelayan atau orang yang bekerja di lautan. Penggunaan bahasa kiasan sinekdoki guna mengintensifkan arti dan memberi kesan yang kuat kepada pembaca tentang persoalan yang dibicarakan pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama”.
53
g. Alegori Alegori adalah sebuah kiasan suatu keadaan dalam realitas yang membandingkan antara fiksi di dalam puisi maupun kehidupan di dunia nyata. Walaupun alegori banyak bermunculan di puisi-puisi Generasi Balai Pustaka dan Pujangga Baru, tetapi H.B. Jassin pernah mencetuskan Angkatan 66 yang mana di masa itu gerakan politik sangat penting di Indonesia sekitaran tahun 1966. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” dibuat pada tahun 1965, kalaupun Soe Hok Gie harus dimasukkan kedalam periodisasi Sejarah Sastra Indonesia, ia masuk dalam Generasi Kisah di mana nama itu diambil dari majalah Kisah. Gie hanyalah mahasiswa lulusan Prodi Sejarah dan arsitektur demonstrasi yang suka akan sastra, tetapi bukan sastrawan hanya saja ia keturunan penulis terkenal yaitu Soe Lie Piet (Salam Sutrawan). Pada zaman peralihan Orde Lama (Orla) ke zaman Orde Baru (Orba) di mana politik
sedang
gencar-gencarnya.
Puisi
“Kepada
Pejuang-Pejuang
lama”
menggambarkan sebagian kecil dalam dunia perpolitikan Indonesia. Puisi ini hanya memprotes teman-temannya eks. demonstran Angkatan ‘66 yang pada waktu itu telah menghianati perjuangan mereka dengan menerima jabatan dan harta dari Presiden Soeharto, berikut kutipan puisinya. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ...
54
Mereka yang masuk ke dalam parlemen DPR-GR mendapatkan kompensasi berupa harta dan jabatan. Gie geram dengan sebagian teman-temannya yang telah berkhianat, tetapi Gie masih berjuang bersama-sama dengan sebagian teman-temannya yang masih kuat akan ideologi perjuangan mahasiswa, berikut kutipan puisi tersebut. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Gie mengajak sebagian teman-temannya yang tersisa untuk tetap berjuang dan berjalan ke arah idealis. Gie merasa kecewa dengan teman-temannya yang merubah hidupnya menjadi hidup gaya borjuis. Proletariat yang naik tinggkat menjadi pejabat. Hidup secara pragmatis. Walaupun generasi yang dulu sudah lewat, tetapi Gie dan teman-temannya terus berjuang untuk melewati masalah-masalah baru yang timbul di Negara Indonesia, berikut kutipannya. ... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo,
55
Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Ungkapan cerita di atas tidak banyak mengandung arti apabila tidak diberi interpretasi. Keadaan cerita di atas adalah hubungan antara Gie dan teman-temannya. Gie yang memprotes sebagian teman-temannya yang masuk ke dalam parlemen. Untuk dapat mengetahui maksud atau makna alegori yang terkandung dalam puisi “Kepada PejuangPejuang Lama” diperlukan kemampuan imajinatif, pengalaman yang cukup, dan memahami konteks puisi dengan keadaan lingkungan sosialnya pada waktu puisi itu dibuat.
4. Versifikasi (Irama) Irama erat hubungannya dengan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Bunyi yang berulangulang secara teratur melalui varias-variasi bunyi akan menimbulkan suatu gerak yang hidup. Irama sering dianalogikan dengan ‘riak air’ karena gerakan yang terdengar teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus. Pengulangan bunyi dalam sebuah puisi berguna untuk membentuk musikalitas puisi. Dalam bahasa Indonesia irama berhubungan dengan turun-naik, keras-lembut, panjang-pendeknya bunyi bahasa dengan secara teratur. Pradopo membagi irama dalam dua macam, yaitu metrum dan ritme. Irama yang tetap dan sudah pada polanya ialah metrum, tetapi kalau ritme ialah irama yang disebabkan pergantian atau pertentangan bunyi tinggi-rendah secara teratur dan bukan jumlah suku kata yang tetap melainkan bentuk gema dari pengarangnya saja.
56
Pengulangan bunyi yang berturut-turut dan bervariasi akan timbul irama seperti puisi akhir, asonansi, dan aliterasi. Pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” adanya paralelisme-paralelisme, pengulangan kata, dan pengulangan bait. Puisi yang bernada protes ini memang menyebabkan tekanan-tekanan kata yang disebabkan oleh sifat konsonan dan vokal yang panjang-pendek. Metrum biasanya ditemukan pada bahasa Inggris dan jarang ditemukan metrum pada bahasa Indonesia, kalau pun ada itu hanya bersifat individual yang berarti pengarang yang memanipulasi. Ritme yang ditimbulkan pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” lebih terdengar menggebu-gebu atau semangat, berikut petikan puisinya. ... Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Petikan di atas menandakan sajak akhir yang memang menimbulkan pesona hingga pembaca atau pendengar merasa sedang terlibat dalam keadaan extase (bersatu diri dengan objek) dan juga jiwa pembaca atau pun pendengar menyebabkan berkontemplasi seakan meresap ke dalam hati. Pada bait pertama dan bait ketiga terdapat persamaan kalimat yang bisa membuat polanya tetap, berikut petikan puisinya. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. ... Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya ...
57
Pengulangan pada bait ketiga di baris 6 dan 7 menandakan bahwa Gie menggunakan ritme yang beraturan dan tetap pada pola.
5.
Tata Wajah (Tipografi)
a.
Bentuk dan arti Tipografi
Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” merupakan puisi yang tipografinya konvensional (apa adanya). Karena puisi Gie ini dibuat pada tahun 1965, maka tata wajah sebuah puisi tidak terlalu dipentingkan sebab tipografi yang non-konvensional baru muncul setelah tahun 1976. Susunan pada bait dan baris dalam sebuah puisi dinamakan tipografi. Ketika pembaca melihat tata wajah puisinya itu menarik, maka aspek visualnya yang lebih menonjol. Tipografi puisi Gie sangat konvensional karena memang Gie tidak terlalu memikirkan hal itu. Karena puisi ini untuk menyampaikan suasana kacau, protes sosial, dan kesenjangan maka puisi tersebut terlihat tidak terlalu rapi, berikut puisinya. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan
58
pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Bentuk barisnya ada yang panjang dan juga ada yang pendek. Tujuannya adalah agar pembaca dapat memahami makna dalam puisi tersebut dengan melihat baris dan katanya. Seperti pada bait ketiga di baris 9 hanya ada satu kata /Ayo/. Tipografi hanya pengorganisasian ruang tertentu untuk tujuan tertentu. Gie menciptakan puisi tersebut secara sadar, maka tujuan Gie menggunakan tipografi yang konvensional agar pembaca tidak terlalu sulit untuk memahami makna dari puisinya.
b. Unsur Nonbahasa Lain Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” terdapat unsur non−bahasa atau bentuk tanda baca yang berhubungan dengan cara pembacaan berupa pernyataan, berikut kutipan pada bait pertama. Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. ... Pada baris pertama, kedua dan keempat terdapat tanda baca (,) koma yang menandakan untuk mengapit kata tambahan /mendapatnya/ dan (.) noktah untuk mengakhiri pembahasan suatu kalimat. Baris ketiga hanya terdapat tanda baca (-) guna
59
menyambung kata-kata yang sama. Pada bait ketiga cukup beraneka ragam tanda baca yang terlihat, berikut kutipan puisinya. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Pada baris 3 dan 4 terdapat tanda baca ((-)) yang menandakan penghubung dalam beberapa pilihan, (...) titik-titik bermaksud memberi kesan panjang, dan (“...”) menandakan sesuatu di luar pengarang. Pada baris 9 dan 11 terdapat tanda baca (,) yang merupakan penegasan untuk keterangan aposisi atau mengapit keterangan tambahan. Tanda-tanda baca tersebut juga menimbulkan kesan tertentu dalam sebuah puisi dan juga bisa berupa sifat alamiah seakan memberi gambaran realistis dan modern. Dalam sebuah puisi tanda baca juga bisa mengarahkan pembaca maupun pengarangnya sendiri dalam menggunakannya.
c. Enjambemen Enjambemen masih dalam ranah tipografi. Untuk memperkuat dan memberi kesan pada sebuah puisi perlu menggunakan enjambemen. Menurut Atmazaki dalam bukunya Analisis Sajak Teori, Metodologi, dan Aplikasi bahwa, enjambemen adalah pemutusan
60
kata atau frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya (1993:28). Pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” dapat ditemukan enjambemen, berikut petikan puisinya. ... Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... ... Dalam petikan enjambemen di atas untuk memberi penekanan terhadap kata /membina/ pada bait kedua di baris 9 bertujuan untuk memberikan kesan yang sama dengan kata /padanya/, padahal frase itu sebenarnya adalah /membina kapal/. Selain itu, enjambemen pada bait ketiga dibaris 1 dan 2 adalah untuk memberi penekanan pada kata /dan/ untuk menuju frasa berikunya, padahal kata /rakyat/ juga biasanya diucapkan oleh orang-orang yang semangat berjuang sehingga pengucapannya agak diberi penekanan. Itulah yang dimaksud dengan sebutan struktur ritmi baris, padahal secara sintaksis kedua baris itu adalah satu. Enjambemen dalam tipografi tentu membantu untuk mengetahui baris-baris pada puisi yang berkaitan dengan maknanya, walaupun enjambemen kerap menjadi penghias sebuah puisi.
6. Tema Tema menjadi andil peting dalam sebuah karya sastra, khususnya sebuah puisi. Gagasan atau ide pokok tertuang melalui tema (subject matter) dalam membangun karya sastra.
61
Karya yang dibuat pasti mempunyai maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarangnya melalui media tulis, yaitu karya sastra yang berupa puisi. Gie membuat puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” tidak dengan gagasan kosong, tetapi Gie membuat puisi ini ada maksud yang ingin disampaikan untuk teman-temannya yang sudah menghianati perjuangan demonstrasi. Dalam mengetahui sebuah tema, pembaca harus terlebih dahulu mengetahui latar belakang pengarangnya. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” menyiratkan bahwa Gie, memprotes teman-temannya eks. demonstran atau mantan KAMI yang masuk ke dalam parlemen. Sebagian mantan demonstran yang masuk ke dalam parlemen DPR-GR karena harta dan jabatan yang dijanjikan oleh Presiden Soeharto semasa peralihan rezim. Protes sosial yang dilontarkan Gie melalui media puisi ini dapat dikategorikan ke dalam tema keadilan sosial (protes−sosial). Tema keadilan sosial (protes−sosial) biasanya terdapat pada puisi yang mengungkapkan protes ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh para penguasa. Dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” terdapat kata-kata pada bait pertama, /Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya./ /Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya./ /Dan datanglah kau manusia-manusia/ /Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu./, Gie mengecam ‘mereka’ teman-temannya yang mendapatkan mobil dan rumah karena telah luntur dari ideologinya pada saat masih menjadi mahasiswa dan sekaligus menjadi demonstran. Hidup secara pragmatis telah dipilih oleh beberapa teman-teman Gie yang bergabung ke dalam parlemen. Gie ingin mereka membaca puisi ini dan sadar akan
62
perjuangan-perjuangan demonsrasi. Puisi ini adalah betuk kekecewaan Gie yang juga tidak lagi idealis, oportunis dan memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadi. Gie mengambil sikap untuk ‘mereka’, /Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini/ /Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya/ /Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya/ /Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya./ /Ayo,/ /Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini./, Gie tidak lagi peduli dengan teman-temannya yang tidak lagi mau berjuang bersama dan mereka lebih memilih menaikkan martabat mereka dengan mengambil mobil, rumah dan naik pangkat. Tetapi Gie masih perduli kepada sebagian teman-temannya yang tidak memilih hidup pragmatis dengan masih mempertahankan ideologi idealisnya. Dalam menghadapi pemerintahan Indonesia yang semakin otoriter dan diktator, Gie tidak henti-hentinya memprotes atau pun mengkritik pemerintahan yang sudah tidak berpihak kepada rakyat. Gie memprotes siapa pun yang menurut ia tidak sejalan dengan ideologi dirinya maupun bangsa Indonesia. Maka secara garis besar yag bisa ditarik dari kesimpulan di atas, puisi ini memiliki tema keadilan sosial (protes−sosial).
7. Perasaan (Feeling) Mengungkapkan perasaan dalam menciptakan sebuah puisi, itu adalah bentuk ekspresi pengarang terhadap apa yang ia rasakan. Biasanya perasaan dapat diketahui apabila puisi itu dibacakan atau dideklamasikan agar perasaan pengarang dapat dirasakan atau dihayati oleh pembaca. Pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” menggambarkan perasaan Gie yang kecewa pada sebagian teman-temannya yang telah terjerumus oleh harta, benda,
63
dan jabatan yang diberikan oleh penguasa Orde Baru Presiden Soeharto. Gie sudah tidak peduli lagi terhadap mereka yang telah memilih hidup pragmatis dengan masuk ke dalam parlemen DPR-GR. Ideologi dan idealis mereka luntur. Biar perasaan mereka terbuka, Gie membuat kata-kata seperti ini agar mereka merasa tersindir, berikut petikannya. ... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Pada petikan di atas dibait ketiga, memang Gie sangat kecewa pada temantemannya. Perasaan Gie sedikit bersemangat ketika ia menyebut /petualang-petualang masa depan/ dan Gie tidak lagi menerima teman-temannya dengan ditandai /Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini.../ /...dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini./. Puisi di atas adalah sikap protes Gie untuk para teman-temannya yang telah menghianati perasaan perjuangan demonstrasi.
8. Suasana Suasana dalam sebuah puisi sangat membantu untuk menggambarkan kejadian yang dialami oleh pengarangnya. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” berlatar tahun 1965, di mana perpolitikkan di Indonesia sedang bergejolak. Suasana kejiwaan Gie sedang memendam rasa kecewa pada teman-temannya. Suasana pada saat itu membuat Gie
64
kecewa karena sebagian dari beberapa temannya bergabung ke dalam parlemen DPR-GR. Nada protes yang dikeluarkan Gie bertujuan agar teman-temannya yang sudah berkianat supaya sadar akan perjuangan demonstrasi. Nada yang menonjolkan suasana pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” sebagai berikut. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Petikan pada puisi di atas menggambarkan suasana dengan suara-suara yang meneriakkan mereka gila (tidak wajar), beban-beban atau masalah-masalah, dan juga sisa-sisa makanan bekas mereka. Meninggalkan kenangan dan kejujuran adalah bentuk untuk mencurahkan batin Gie kepada teman-temannya. Pergolakan perpolitikan yang mengantar suasana pada puisi ini bersifat semangat dan berani untuk memprotes.
9. Amanat Amanat atau pesan pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” akan lebih mudah ditangkap apabila sudah selesai dibaca. Bentuk intensitas membaca puisi ini dengan cara berulang-ulang akan berpengaruh pada penghayatan dalam menyimpulkan amanat yang disampaikan oleh Soe Hok Gie. Amanat tidak bisa lepas dari tema dan isi yang telah
65
dikemukakan oleh Gie. Puisi ini menampilkan protes kepada kawan-kawan Gie yang telah kalah dengan harta dan jabatan. Pada dasarnya Gie hanya memberi pesan pada teman-temannya melalui puisi “Kepada Pejuang-pjuang Lama” agar tetap terus berjuang dan membela rakyat Indonesia dalam hidup yang sejahtera. Tema pada puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” ini adalah keadilan sosial (protes−sosial) bagi kawan-kawan eks. demonstran Angkatan ’66 yang telah memilih jalur pragmatis, menghianati perjuangan demonstrasi, dan lemah terhadap harta maupun jabatan. Melalui puisi ini dapat menghasilkan beberapa amanat yang bisa diambil bahwa; perjuangan untuk membela kepentingan orang lain itu lebih penting daripada kepentingan pribadi, memupuk rasa idealis dalam menjalani kehidupan, jangan mudah tergoda dengan harta dan jabatan, jangan menghianati perjuangan, saling menjaga kepercayaan sesama teman, bisa menghargai diri sendiri. Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” juga mengungkap berbagai amanat yang antara lain; mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang mempertahankan ideologi perjuangannya, suasana pergantian rezim di Indonesia, penghianatan perjuanga demonstrasi pada Angkatan ’66 atau KAMI eks. demonstran, dan juga permainan politik antara penguasa Orde Baru dengan mahasiswa. Untuk bisa mengetahui makna di dalam puisi ini, pembaca harus ikut teribat perasaan sedih, semangat, marah, senang, dan sebagainya. Kepekaan Gie dalam melihat dan merasakan suasana pada saat itu membuat ia memilih untuk menulis dan berkarya dalam menggambarkan zaman yang masih kacau dengan penguasa rezim. Dalam
66
batinnya, Gie merasakan kekecewaan terhadap teman-temannya dan juga penguasa Orba dalam melunturkan idealis mahasiswa dengan harta dan jabatan. Di tengah-tengah zaman yang masih tegang antara pergantian rezim lama ke rezim baru, Gie menulis puisi yang diyakini tulisan ini akan abadi, selama tulisan ini dibaca walaupun Gie harus mati muda. Gie mengajarkan agar berani memprotes terhadap apapun yang diyakini salah untuk kebenaran.
B. Pendekatan Teori Sastra Marxis pada Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” 1. Refleksi dalam “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Refleksi adalah bentuk kesadaran sosial yang terjadi di masyarakat. Model refleksi merupakan salah satu teori yang paling berpengarung dalam kajian hubungan sastra dengan realitas sosial (Noor, 2009:123). Gie dalam menuangkan rasa kecewanya, ia membuat puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” untuk para teman-temannya yang berebut masuk ke parlemen. Puisi ini bisa menjadi refleksi bagi pemerintah Orde Baru. Penggambaran melalui protes demonstrasi yang sudah dikhianati karena para mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang mulai luntur dari idealisnya dan memilih hidup secara pragmatis. Kata-kata yang digunakan banyak mengandung unsur perjuangan,penolakan, dan semangat untuk terus hidup dalam zaman peralihan rezim. Gie merasa tidak hanya ia yang dikhianati oleh para teman-temannya yang bergabung ke dalam parlemen, tetapi Gie menganggap bentuk dari “penghianatan intelektual” dari sebagian teman-temannya yang setuju ikut bergabung di parlemen.
67
Gie tidak hanya merefleksikan ke dalam puisi, tetapi ia juga melakukan dengan tindakan yang amat kritis dalam protesnya terhadap para teman-temannya di parlemen. Dalam buku Soe Hok Gie ...Sekali Lagi terdapat tindakan sebelum ia melakukan ekspedisi ke Gunung Slamet, ia mengirim sejumlah paket berisikan kutang, pupur, dan gincu kepada eks. demonstran yang jadi anggota parlemen sambil menuliskan kata-kata “gunakan ini agar makin cantik di parlemen” (Badil, 2010:340).
2. Penciptaan Puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Penciptaan ini bertujuan untuk memfokuskan kepada karyanya. Pierre Macherey melalui Noor (2009:125) menganggap, pengarang bukan sebagai pencipta tetapi sebagai orang yang menangani genre sastra, konvensi, bahasa, dan ideologi yang sudah tersedia, lalu mengolahnya menjadi sebuah teks sastra. Teks sastra ada beberapa genre, tetapi Gie memilih genre puisi untuk menuangkan rasa kekecewaannya terhadap kawan-kawannya yang telah menghianati perjuangan demonstrasi. Puisi dijadikan media ekspresi untuk memprotes suatu keadaan yang memang dialami oleh pengarang. Penciptaan bisa juga disebut proses kreatif bagi pengarang. Ideologi yang disampaikan Gie dalam puisinya adalah gambaran ia dalam menciptakaan puisi bertema protes sosial. Berikut petikan puisinya. ... Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita
68
Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya) ... Petikan puisi di atas adalah bentuk penciptaan suasana pada penggambaran Gie di masa itu. Proses penciptaan diawali dari pergolakan batin Gie dalam menuangkan bentuk kekecewaan pada sebagian kawan-kawannya yang telah keluar dari ideologi perjuangan demonstrasi. Gie merasa, mereka telah bermain aman utuk memutuskan bergabung dalam parlemen bentukan Presiden Soharto. Penggunaan kata-kata tersebut menunjukkan pemikiran Gie yang fokus pada masalah politik dan keberanian dalam melontarkan protes. Situasi politik pada saat itu menjadi bermakna pada tahun 1965 di Indonesia karena memang rezim Soeharto telah berkuasa dan sangat berani sampai bisa mengajak para mantan aktivis untuk bisa bergabung dengannya di parlemen DPR-GR. Penciptaan puisi “Kepada Pejuang-pejuang Lama” tidak bisa lepas dari pergolakan batin Gie dan suasana politik pada saat itu.
3. Landasan Bahasa “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” Keterikatan puisi dengan bahasa tidak bisa dipisahkan. Para ahli seperti Mikhail Mikhailovich Bakhtin melalui Noor (2009:130) melihat, bahasa sebagai sarana kebendaan yang dipakai manusia berinteraksi dalam masyarakat, dan mereka melihat bahwa ideologi terdiri atas bahasa dalam bentuk lambang-lambang linguistik. Penggunaan diksi yang membuat semangat untuk terus berjuang terlihat dalam puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” sebagai berikut:
69
... Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini. Petikan puisi di atas pada bait terakhir terlihat semangat melalui bahasa yang mengajak orang untuk terus berjuang melawan pembenrotak dan terus berada di tengahtengah rakyat.
70
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu karya sastra khususnya puisi dibangun dengan struktural yang saling mempengaruhi dan juga dapat membantu terciptanya sebuah puisi. Struktur puisi tersebut berupa unsur; diksi (pemilihan kata), pengimajian, bahasa figuratif, versifikasi (irama), tata wajah (tipografi), tema, perasaan (feeling), suasana, dan amanat. Penelitian puisi “Kepada Pejuang-Pejuang Lama” karya Soe Hok Gie ini terdapat tema keadilan sosial (protes sosial) serta diksi-diksi yang membuat pembaca merasakan keadaan politik pada tahun 1965-an. Puisi ini bentuk protes terhadap teman-teman mantan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa) yang bergabung ke dalam parlemen DPR-GR. Puisi ini juga dapat merefleksikan perjuangan para mahasiswamahasiswa dalam memperjuangkan demonstrasi. Dalam menganalisis puisi ini, penulis menggunakan pendekatan struktural puisi dalam menganalisis dan juga menggunakan pendekatan teori sastra Marxis yang memang erat kaitanya dengan protes sosial dan kehidupan sosialnya. Aspek-aspek dalam pendekatan sastra Marxis terdapat teori, yakni refleksi, penciptaan, dan landasan bahasa. Ketiga aspek tersebut dapat tergambar protes sosial yang dilakukan Gie terhadap kawankawannya yang telah menghianati perjuangan semasa demonstrasi dan cita-cita rakyat Indonesia.
71
DAFTAR PUSTAKA
Badil, Rudy dkk. 2010. Soe Hok-Gie ...Sekali Lagi. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer. B.S., Abdul Wachid. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Else F., Gerald. 2003. Aristotle Poetics. Yogyakarta: Putra Langit. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasanuddin W.S. 2012. Membaca dan Menilai Sajak Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa. Hok Gie, Soe. 2008. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES. Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Khusniyah, Azzizatul. 2013. “Puisi “Siapa Menyuruh” dan “Di Arafah” karya Gus Mus di Twitter (Pendekatan Struktural-Semiotik)”. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang. Maryati. 2009. “Sajak-Sajak Soe Hok Gie Tahun 1960-1969: Pendekatan Sosiologi Sastra”. Skripsi Fakultas Ilmu Pengetauan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Mawardi, Bandung. 2010. Sastra Bergelimang Makna. Solo: Jagat Abjad. Nurullah, Zen Marten. 2014. “Kajian Struktural dan Hermeutika Atas Kumpulan Puisi Nikah Ilalang karya Dorothea Rosa Herliany”. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang. Noor, Redyanto. 2009. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo. Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rifai, Muhammad. 2010. Soe Hok Gie: Biografi Sang Demonstran, 1949-1969. Jogjakarta: Garasi House Of Book.
72
Saini K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi: Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jatmiko, Budi. 2012. “TEORI MARXISME DAN APLIKASINYA DALAM KAJIAN SASTRA”. http://rsbikaltim.blogspot.com/2012/01/vbehaviorurldefaultvmlo_11.html. Diakses pada tanggal 3 Aril 2015. Widodo. 2010. “Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD): Kita menertawakan kita”. http://amokkmpd.blogspot.com/2010/02/dari-hok-gie-kepada-pejuang pejuang.html. Diakses pada tanggal 25 Februari 2015.
73
LAMPIRAN
A. Biografi Singkat Soe Hok Gie Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia adalah putera keempat dari pasangan Soe Lie Pit (Sutrawan) dan Nio Hoei An (Maria Sugiri). Soe juga adik dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) penulis dan budayawan terkenal. Soe percaya bahwa bakat menulisnya turun dari Ayahnya Sutrawan yang juga pada masanya sebagai penulis dan wartawan yang sangat produktif dalam bidang sastra dan jurnalistik. Ketika umur lima tahun ia masuk di sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk masyarakat keturunan Tionghoa. Setelah lulus dari Sin Hwa School ia lanjut ke SMP Strada. Lalu setelah lulus dari SMP Strada asuhan para Broeder Khatolik, Soe Hok Gie melanjutkan sekolahnya di SMA Kanisius Jakarta. Setelah ia melewati masa-masa SMAnya, Soe Hok Gie mengikuti tes masuk universitas. Soe Hok Gie diterima di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) pada Jurusan Sejarah pada tahun 1961. Soe Hok Gie meninggal pada usia 27 tahun pada 16 Desember 1969, satu hari menjelang ulang tahunnya. Soe meninggal ketika sedang melakukan pendakian di Gunung Semeru, Jawa Timur. Tepat di jalur Cemoro Tunggal menuju Puncak Mahameru, Soe Hok Gie berhenti bernafas untuk yang terakhir. Herman O. Lantang sahabat dekat Soe juga sebagai peserta pendakian Semeru. Herman yang mengirim kabar ke pos penjaga untuk dikabarkan kepada keluarganya di Jakarta.
74
Aktivis, penulis, dan juga penikmat alam ini menjadi batu tapal akan tokoh-tokoh berpengaruh di negeri Indonesia. Soe Hok Gie banyak meninggalkan tulisannya di beberapa Media Massa, baik kampus maupun umum. Mahkam Gie yang terletak di daerah Tanah Abang sempat tergusur. Akhirnya keluarga dan kerabat dekat Soe memutuskan untuk mengkremasi jasat Soe Hok Gie dan menaburkannya di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango tepat di Puncak Pangrango, Ladang Edelweis, Jawa Barat.
75
B. Puisi “Kepada PejuangPejuang Lama” Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentu masih ingat suara-suara di belakang .... “mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana ..... Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
76
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo, Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini.
________ Puisi ini ditulis pada 19 Desember 1965
77
C. Tentang Penulis Pria yang kerap disapa Galang ini mempunyai nama lahir Galang Ari Pratama. Lahir pada Sabtu Wage, 11 Januari 1992, Rajab 1412 di Jakarta. Lahir dari rahim Euis Mardiana dan dibesarkan dengan tanggungjawab kepala keluarga Sugeng P. Putro. Kedua adik laki-lakinya yang bernama Rizki Dadung dan Odiva membuktikan jadi abang itu asik. Berawal dari sekolah bermain dan belajar di Taman Kanak-kanak Budi Mulya, Jakarta lanjut ke Sekolah Dasar Negeri 011 Pagi, Jakarta Barat, Sekolah Menengah Pertama Negeri 16, Jakarta Selatan, lalu Sekolah Menengah Atas Negeri 24, Jakarta Pusat, dan mengenyam di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Diponegoro, Semarang. Kegiatan Pramuka Ekatma Triswara mengajarkan pentingnya bekerja sama dalam tim, EXISPAL 24 (Existensi Siswa Pencinta Alam) memberikan ilmu cara bermain di alam bebas seperti; gunung, laut, goa, dan udara dengan safety, dan Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk yang menumbuhkan embriogenesis kewartawanan. Pembaca bisa menyapa penulis di surel
[email protected] dan kicau penulis di @tolettelot