SEMINAR SEHARI 14 April 2012 Memperingati 30 Tahun Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
PROSPEK BISNIS MASYARAKAT DALAM PENYEDIAAN BAHAN BAKAR BIOETANOL Budy Rahmat Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
ABSTRAK Indonesia sebenarnya memiliki sumber bahan baku bioetanol yang berlimpah dan beragam sumber karbohidrat, seperti macam gula, molases, nira; pati yang berasal dari singkong, ubi jalar, gadung dll.; dan selulosa. Proses produksi bioetanol meliputi dua tahap, yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi. Proses sakarifikasi bertujuan untuk memecah karbohidrat menjadi monomer gula. Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, suhu 3035oC, dan kondisi anaerobik. Mikroba yang berperan dalam proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis. Proses fermentasi mampu menghasilkan etanol sampai kadar 12%. Selanjutnya distilasi mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian maksimum 95,6%. Etanol yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar harus mempunyai grade 99,5 - 100%. Untuk mencapai standar itu, bisa dilakukan dengan alternatif : menambahkan entrainer, pemisahan dengan membran, evaporasi, atau menggunakan penyaringan molekul. Selain untuk bahan bakar, etanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, parfum, bahan dasar turunan alkohol, dan minuman keras. Analisis kelayakan usaha produksi bioetanol berbahan baku singkong diperagakan dalam simulasi pabrik bioetanol kapasitas 37 liter per hari. Ternyata usaha tersebut layak hingga pada tingkat suku bunga bank 16%, karena memiliki BC Ratio > 1 dan NPV= 80.956,737. Penggunaan dan produksi bioetanol cocok dengan kondisi sumberdaya Indonesia, sehingga penyediaan bahan bakar bioetanol memberi peluang bagi bisnis masyarakat Kata kunci: bahan bakar, bioetanol, bisnis masyarakat, fermentasi. I. PENDAHULUAN Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan dua ancaman serius, yaitu: (i) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah pasokan, harga dan fluktuasi; (ii) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan 1
hidrokarbon yang tidak terbakar, serta unsur metal seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa peningkatan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global. Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi ataupun pembawa energi yang lebih terjamin keberlanjutannya dan lebih ramah lingkungan. Pemerintah berupaya keras mencari sumber-sumber bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui yaitu bahan bakar nabati (BBN/biofuel) sebagai pengganti sumberdaya energi fosil yang tidak dapat diperbaharui. Sumber BBN adalah tanaman pertanian, utamanya kelapa sawit dan jarak pagar yang menghasilkan biodiesel sebagai pengganti solar; dan ubikayu dan tebu yang menghasilkan bioetanol sebagai pengganti premium (Prajogo et al., 2006). Bioetanol memiliki nama kimia etanol (C2H5OH) atau alkohol yang dibuat dari bahan hasil tumbuhan. Bioetanol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sagu. (Allen et al., 2001; BPPT, 2005). Alkohol atau etanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, parfum, bahan dasar turunan alkohol, minuman keras, dan bahan bakar. Mengingat pemanfaatan etanol beraneka ragam, sehingga grade-nya yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Etanol yang mempunyai grade 90-96,5% dapat digunakan pada industri, sedangkan grade 96-99,5% dapat digunakan sebagai campuran untuk minuman keras dan bahan dasar industri farmasi. Etanol yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kendaraan harus betul-betul kering (anhydrous) supaya dapat bercampur dengan bensin dan tidak korosif, sehingga etanol harus mempunyai grade sebesar 99,5 hingga 100% (Departemen ESDM, 2005). Memperhatikan prospek strategis alkohol seperti diuraikan di atas, maka teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian karbohidrat menjadi alkohol menjadi penting untuk dikuasai terus dikembangkan oleh segenap stake holder di Indonesia. Paper ini bertujuan mengkaji beberapa pustaka untuk mengungkap prospek pengembangan bisnis produksi bioetanol di masyarakat pada level usaha mikro, kecil, dan menengah. II. PROSES PRODUKSI BIOETANOL Proses produksi bioetanol yang selama ini sudah dikembangkan dan diterapkan secara umum meliputi dua tahap, yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi.
Proses sakarifikasi
bertujuan untuk memecah karbohidrat (seperti gula, selulosa dan hemiselulosa) menjadi monomer gula. 2
Pada bahan baku molase, gula bit, dan gula tebu yang selama ini sudah digunakan secara luas sebagai bahan baku etanol, proses pembuatan etanol lebih sederhana karena bahan baku tersebut dapat langsung disakarifikasi dengan menambahkan glukoamilase (Be Miller et al., 1996). Sedangkan untuk bahan baku berpati, sebelum proses sakarifikasi harus dilakukan proses liquefaksi terlebih dahulu, proses dengan bahan baku berpati ini sudah diterapkan secara luas terutama di Brazil dan di Amerika untuk menghasilkan bioetanol, tetapi di Indonesia masih dilangsungkan pada skala rumah tangga (Prihandana et al., 2008). Proses liquefaksi dilakukan karena mikroorganisme fermentasi etanol tidak dapat mengkonversi pati menjadi etanol secara langsung, diperlukan enzim untuk mengkonversi oligosakarida pada pati menjadi maltosa, kemudian melalui proses sakarifikasi diubah menjadi gula sederhana yang mudah difermentasi. Tahapan proses produksi bioetanol adalah sebagai berikut: (1) Proses Liquefaksi Pada tahap liquefaksi terjadi proses gelatinasi untuk memecah pati sehingga pati mejadi dekstrin. Proses liquefaksi dilangsungkan pada suhu tinggi yaitu 80-90 oC dan pH 5 selama 30 menit (Albrecht et al., 2007), proses pemecahan pati dilakukan dengan menambahkan enzim amilase. Amilase yang ditambahkan bisa terdiri dari dua tipe, yaitu endo-amilase yang akan menyerang ikatan a-1,4 glikosidik pada polimer pati secara acak dan ekso-amilase yang akan menghidrolisis glukosa atau maltosa dari ujung pereduksi polimer pati (Agu et al., 1996). (2) Proses Sakarifikasi Proses sakarifikasi bertujuan untuk mengkonversi dekstrin yang dihasilkan pada proses liquefaksi sehingga menghasilkan mono- atau di-sakarida (Albrecht et al., 2007). Proses sakarifikasi dilangsungkan dengan menambahkan glukoamilase. Pada proses ini terjadi pelepasan a-D-glukosa dari ujung gula non pereduksi 1,4-a-glukan. Reaksi berlangsung pada pH 4-5 dan pada temperatur 50-60 oC selama 2 jam (Allen et al., 2001; Prihandana et al., 2008). (3) Proses Fermentasi Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, pada temperatur 30-35 oC (Albrecht et al., 2007; Prihandana et al., 2008) dan kondisi fermentasi dijaga anaerobik. Mikroba yang membantu proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis. 3
Proses fermentasi mampu menghasilkan etanol sampai kadar 12% karena di atas kadar tersebut mikroorganisme yang membantu proses fermentasi tidak dapat bekerja lagi. (4) Proses Pemisahan dan Pemurnian Untuk memisahkan broth etanol dengan biomassa mikroba dilakukan dengan dekantasi. Sebagian biomassa dikembalikan lagi pada tangki fermentasi untuk melakukan fermentasi selanjutnya. Untuk memisahkan etanol dari broth fermentasi dapat dilakukan dengan distilasi secara bertingkat karena kandungan air pada broth masih tinggi. Distilasi bertingkat mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian maksimum 95,6%, karena pada kemurnian tersebut etanol membentuk azeotrop dengan air sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pemisahan biasa. Untuk mendapatkan etanol standar bahan bakar, kemurnian 99%, dapat dilakukan dengan menambahkan entrainer, pemisahan dengan membrane secara evaporasi, ataupun dengan menggunakan molecular sieve (Albrecht et al., 2007). III. PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di AS dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar etanol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar etanol saat ini mencapai 40% secara nasional. Di AS, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung etanol 85% semakin populer di masyarakat dunia. Indonesia memiliki sumber bahan baku, yang berlimpah dan beragam. Dengan demikian, produksi etanol dari bahan alami (bioetanol) dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku di daerah setempat. Bahan pembuat karbohidrat bisa menggunakan bahan dasar gula semacam gula, molases (tetes tebu), nira. Ada juga bahan dasar karbohidrat atau pati, yang berasal dari singkong (ubi kayu), ubi manis (ubi jalar), hingga selulosa. Terdapat beberapa karakteristik internal etanol yang menyebabkan penggunaan etanol pada mesin lebih baik daripada bensin. Etanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 (umumnya motor octane < research octane). Angka tersebut, terutama research octane melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh bensin walaupun setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88. Untuk rasio campuran etanol dan bensin mencapai 60:40%, tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%. 4
Etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang berikatan di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara dan bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 – 19 v% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 – 7.6 v%), pembakaran campuran udara dan bahan bakar etanol menjadi lebih baik. Hal ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara dan bensin, yakni sekitar 4%. Etanol juga memiliki panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg. Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan etanol lebih besar dibandingkan bensin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan bensin. Indonesia telah mengeluarkan regulasi tata-niaga produksi dan pemanfaatan bioetanol melalui Keputusan Menteri tertanggal 26 September tahun 2008 yang memungkinkan dunia usaha mengembangkan produksi bioetanol (biofuel) untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Disamping itu, Kementrian ESDM dan Timnas Bioetanol terus menggalakkan inovasi pengembangan produksi bioetanol di Indonesia. Isi regulasi tersebut adalah : 1) Kewenangan setingkat Gubernur untuk izin operasional kapasitas produksi di atas 5.000 ton/tahun sampai 10.000 ton/tahun. 2) Kewenangan setingkat Bupati/Walikota, untuk izin operasional kapasitas produksi hingga 5.000 ton/tahun. 3) Setiap daerah Propinsi/Kabupaten-Kota wajib memanfaatkan penggunaan bioetanol hingga 15% dari kuota BBM di daerahnya. 4) Penggunaan untuk kendaraan otomotif maksimal 10% dari kuota nasional, dalam bentuk campuran. Catatan: campuran 9 liter bensin premium + 1 liter bioetanol = Petramax-Plus 5) Indikasi harga disesuaikan dengan mekanisme pasar, atau di bawah BBM nonsubsidi 6) Peluang distribusi secara mandiri (independen). 7) Peluang ekspor bioetanol Alokasi pemanfaatan produk bioetanol 1) Kadar 60% - 70%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi) sebagai substitusi BBM jenis minyak tanah 2) Kadar 70% - 80%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi) 5
3) Kadar 70% - 90%, sebagai bahan pendukung produksi makanan & minuman 4) Kadar 99,5% sebagai substitusi BBM jenis bensin. Peluang industri pendukung produksi bioetanol: 1) Kompor Bioetanol, a. Teknologi produksi sederhana dan mudah dikembangkan (inovasi) b. Tidak membutuhkan alat pendukung seperti tabung gas elpiji c. Nilai efisiensi dan ekonomis sangat tinggi : (i) satu liter bioetanol sama dengan dua setengah liter minyak tanahl; (ii) proses pemasakan tidak berjelaga (bercak hitam) pada wadah memasak; (iii) proses pengapian sangat aman; (iv) kualitas pengapian lebih baik dibandingkan gas d. Peluang pasar yang besar dan lebar 2) Depo distribusi bioetanol a. Penjualan produk cCampuran b. Penjualan eceran rumah tangga dan industri 3) Bengkel modifikasi 4) a. Sparepart modifikasi sederhana kendaraan roda dua, atau bengkel modifikasi b. Sparepart modifikasi sederhana generator listrik, atau bengkel modifikasi Bioetanol dalam bentuk lain adalah spirtus, yaitu cairan berwarna biru yang digunakan untuk menyalakan lampu tekan (petromaks). Etanol yang digunakan berkadar 70% dan diberi warna karena etanol asli tidak berwarna alias bening. Keuntungan penggunaan bioetanol adalah adanya unsur oksigen sehingga emisi gas karbon monoksida (CO) pada kendaraan bensin turun signifikan. Namun keberadaan unsur oksigen itu menyebabkan etanol bersifat korosif. Meskipun demikian, adanya "sumbangan" oksigen membantu proses pembakaran dalam mesin bisa berlangsung sempurna, maka power atau tenaga yang dihasilkan jauh lebih tinggi. Rumus kimia etanol adalah C2H5OH, sedangkan bensin adalah C6H6 yang hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen. Campuran bensin etanol juga bisa meningkatkan angka oktan bensin premium. Angka oktan (RON) etanol adalah 117, sedangkan RON bensin premium adalah 88. Jadi jika menggunakan campuran 10% etanol, angka oktan bensin menjadi (90% X 88) + (10% x 117) = 90,9, sedangkan angka oktan jika menggunakan campuran 20% etanol menjadi 93,8. 6
Berdasarkan analisis biaya, ambil saja etanol dari singkong. Setiap 6,5 kg singkong menghasilkan 1 liter bioetanol. Harga jual bioetanol adalah Rp 6.000,00/liter, sedangkan biaya kotor produksi sekitar Rp 3.400,00/liter. Biaya produksi ini terdiri dari penggunaan bahan baku, enzim, ragi, upah kerja, bahan bakar kompor, dan lain-lain. Jadi ada selisih keuntungan kotor Rp 2.600,00/liter. Jika menggunakan campuran bensol 10%, berarti untuk setiap liter bensol memerlukan anggaran (90% X Rp 4.500,00/liter bensin) + (10% X Rp 6.000,00/liter etanol) = Rp 4.650,00. Memang ada kenaikan harga Rp 150,00/liter, namun jika kuota subsidi BBM premium tahun ini 17 juta kiloliter, penggunaan 10% campuran etanol akan mengurangi subsidi menjadi 15,3 juta kiloliter atau berkurang 1,7 juta kl. Dengan asumsi harga subsidi premium Rp 1.421,00 hingga Rp 3.639,00 setiap liter, ada penghematan anggaran sebesar Rp 2,42 triliun hingga Rp 6,19 triliun. Selisih anggaran itu bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mendorong tumbuhnya industri bioetanol berbasis potensi daerah. Kalau hal ini sudah berjalan, maka Pertamina tak perlu mengangkut BBM ke Papua yang menyebabkan harga jual bensin lebih tinggi. Cukup mengolah sagu atau jagung yang tumbuh subur di sana. Ada beberapa hambatan dan tantangan yang bisa ditemui dalam pengembangan produksi dan penggunaan bioetanol, yaitu: 1) Kapasitas produksi tertinggi bioetanol yang diizinkan pemerintah tidak mencukupi untuk memenuhi pasokan kebutuhan nasional dan mengurangi peluang pencapaian laba maksimum. 2) Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran pada setiap wilayah kerja setingkat provinsi dan kabupaten dalam bentuk kemitraan terintegrasi (pendekatan konsorsium) adalah tantangan yang menjanjikan bagi pertumbuhan usaha dan investasi 3) Pergerakan pasar cenderung bersifat lokal – teritorial, sehingga kualitas dan stabilitas kultur korporasi dan kebijakan manajemen menjadi isu utama untuk dibakukan. Memang tak dapat dipungkiri, kendala mendasar dari penerapan bioetanol di Indonesia belum adanya kendaraan bermotor yang bisa mengadopsi bioetanol hingga 100% seperti negara Brasil. Kalaupun ada, saat ini baru sebatas mencampur bensin dengan etanol pada rasio campuran 90% bensin dengan 10% etanol atau 80% bensin dengan 20% etanol. Jika menggunakan etanol murni, dikhawatirkan akan melarutkan karet-karet seal klep, tetapi untuk kendaraan di atas tahun 2000 bisa menggunakan bioetanol.. 7
Seandainya akan menggunakan campuran bensin etanol tak perlu ada modifikasi pada mesin kendaraan, cukup mengatur sistem pengapian agar waktu pembakaran tepat. Jika melihat sejarah pembuatan mesin mobil, Otto dan Henry Ford membuat mesin mobil generasi pertama menggunakan bahan bakar bioetanol berkadar 99%. Pada saat itu belum dikenal bensin yang diperoleh dari pengolahan minyak bumi. IV. KELAYAKAN USAHA BIOETANOL Analisis kelayakan usaha produksi bioetanol berbahan baku singkong diperagakan dalam pabrik skala rumah tangga berkapasitas 37 liter per hari seperti disajikan pada Tabel 1. Langkah awal untuk
melakukan analisis kelayakan pada kasus
investasi
pembangunan digester biogas adalah membuat diagram aliran kas (cash flow diagram) untuk memperjelas fungsi dan posisi dari semua transaksi yang dilakukan (Kastaman, 2005). Tabel 1. Simulasi transaksi biaya dan penerimaan usaha produksi bioetanol 37 L/hari Pos A.
B.
C.
D.
Jenis Transaksi
Rincian (Rp)
Investasi : 1. Pengadaan Instalasi Pengolah 2. Pengadaan alat dan bangunan penunjang Jumlah A
6.000.000 2.000.000
Biaya Tetap per Tahun : 1. Biaya depresiasi 2. Biaya perawatan instalasi dan bangunan Jumlah B
1.160.000 500.000
Biaya Variabel per Tahun : 1. Singkong:250 kg x 240 hari x Rp 500 2. Amilase : 15 g x 240 hari x Rp 80 3. Urea : 0,4 kg x 240 hari x Rp 3000 4. NPK : 0,1 kg x 240 hari x Rp 5000 5. Ragi : 5 g x 240 hari x Rp Rp 80 6. Minyak bakar : 4 L x 240 hari x Rp 6000 7. Upah kerja : 240 hari x Rp 60.000 8. Listrik : 12 bulan x Rp 200.000 Jumlah C
30.000.000 288.000 288.000 120.000 96.000 5.760.000 14.400.000 2.400.000
Penerimaan per Tahun : 1. Bioetanol 95% : 37 L x 240 hari x Rp 6000 2. Kompos Stilage 100 kg x 240 hari x Rp 175 Jumlah D
53.280.000 4.200.000
Jumlah (Rp)
8.000.000
1.660.000
53.352.000
57.480.000 8
Rajendran et al. (2012) mengemukakan bahwa, metode yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan ekonomi suatu investasi usaha dan dapat dilakukan sekaligus, yaitu: 1) Metode rasio manfaat dan biaya (benefit cost ratio analysis) atau lebih dikenal dengan BC Ratio. 2) Metode ekivalensi nilai sekarang (present worth analysis) atau lebih dikenal dengan NPV (Net Present Value). 3) Metode tingkat suku bunga pengembalian modal (rate of return analysis) atau lebih dikenal dengan IRR (Internal Rate of Return). Tabel 2. Analisis finansial pengolahan bioetanol Σ PV Pengeluaran (Rp)
Σ PV Penerimaan (Rp)
12
206305948.4
207202536.1
896587.67
1.00434591
13
201489926.2
202170452.9
680526.75
1.00337747
14
196860650.3
197333494.1
472843.83
1.00240192
15
192408756.3
192681875
273118.78
1.00141947
16
188125442.5
188206399.2
80956.737
1.00043033
17
184002431.1
183898417.4
-104013.7
0.99943472
Suku Bunga (%)
NPV (Rp)
BC ratio
Berdasarkan analisis metode rasio manfaat dan biaya (benefit cost ratio analysis) atau lebih dikenal dengan BC Ratio. Usaha produksi bioetanol tersebut dinilai layak hingga suku bunga bank 16%, karena memiliki nilai BC Ratio > 1. Demikian pula berdasarkan metode ekivalensi nilai sekarang (present worth analysis) atau lebih dikenal dengan NPV (Net Present Value), usaha tersebut layak karena memiliki NPV > 0 sampai suku bunga bank 16%. Selain itu kelayakan usaha itu bisa dinilai dengan metode tingkat suku bunga pengembalian modal (rate of return analysis) atau lebih dikenal dengan IRR (Internal Rate of Return). Pada suku bunga IRR akan diperoleh NPV = 0; dan nilai IRR > dari MARR (minimum attractive rate of return).
9
V. PENUTUP Penggunaan dan produksi bioetanol cocok dengan kondisi sumberdaya alam Indonesia.
Prospek penyediaan bahan bakar bioetanol memberi peluang bagi bisnis
masyarakat. Bisnis ini berbasis sumberdaya lokal, tapi perlu kreativitas masyarakat PUSTAKA Agu, R.,C., Amadife, A., E., Ude, C., M., Onyia, A.,1997, Combined Heat Treatment and Acid Hydrolysis of Cassava Grate Waste (CWG) Biomass for Etanol Production, Vol. 17, Elsevier Science Ltd, Britain, pp. 91-96. Albrecht, A., Grondin, O., Le Berr, F., Le Solliec, G. 2007. Towards a stronger Simulation support for engine control design, a methodological point of view, Oil & Gas Science and Tecnology – Rev. IFB, 62(4), 437-456. Allen, S. G., Schulman, D., Lichwa, J, 2001. A comparison between hot liquid water and steam fractionation of corn fiber. Ind. Eng. Chem. Res., 40, 2934-2941. BeMiller, J. N. &Whistler, R. L. 1996. Carbohydrates. In Food Chemistry (3rd ed. 157-223). New York; New York, Marcel Deker. BPPT, 2005, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioetanol Pada Sektor Transportasi Di Indonesia. Balai Besar Teknologi Pati-BPPT, Jakarta. Departemen ESDM, 2005, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional2005-2025, Pola Pikir Pengelolaan Energi Nasional. Dhewanto, W., 2007, Bioetanol dan Swasembada Energi, Harian Bisnis Indonesia, Jakarta. Kastaman, R., Herwanto, T., dan Iskandar, Y., 2005, Rancang Bangun dan Uji Kinerja Reaktor Kompos Skala Rumah Tangga. Jur. Agrikultura April 2006. Vol. 17: 1-10. Hikmiyati, N., Sandrie, N., 2008, Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisis Asam dan Enzimatis. Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. Prihandana, Rama, Roy Hendroko. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta : AgroMedia Pustaka. Prihandana, Rama, Roy Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta : Penebar Swadaya. Rajendran, K., Aslanzadeh, S., and Taherzadeh, M.J., 2012, Household Biogas Digesters -A Review. Energies Journal, 5(4): 2911-2942 Ranola, Roberto F. 2009. Enchancing The Viability of Cassava Feedstock for Bioetanol In The Philipphines. Jurnal (terhubung berkala).
10
11
.
12