Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN2089-3590 |EISSN 2303-2472
RELEVANSI NILAI RELIGIUSITAS ISLAM DALAM BERKONSUMSI DENGAN KEBAHAGIAAN 1 1,2,3
Ima Amaliah, 2Westi Riani, 3Aan Julia
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Oleh karenanya, manusia rela untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya. Terkadang manusia berharap jika seluruh kegiatan konsumsinya dapat terpenuhi secara mewah dan berlebihan maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Namun ternyata, kebahagiaan tidak selalu muncul bersamaan dengan semakin bertambahnya kekayaan.Penyebabnya karena seringkali manusia tidak menyandarkan kegiatan konsumsinya pada nilai-nilai agama. Dalam pandangan Islam, kegiatan konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisah dengan kegiatan ibadah.Konsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga sebagai bagian dari ibadahnya manusia. Oleh karenanya, dalam berkonsumsi tidak bisa dilakukan sekehendah hati dengan tujuan untuk memuaskan segala keinginan.Islam telah memberikan tuntunan yang sangat konprehensif bagi manusia dalam berkonsumsi. Ini terbukti dengan banyak diturunkannya surat dalam Al-quran serta hadist Rasulullah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi manusia di dalam berkonsumsi. Kepatuhan manusia atas nilai-nilai agama dalam berkonsumsi akan melahirkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai agama. Efeknya akan lahir rasa bahagia (perasaan tentran lahir dan batin) dalam diri manusia. Perasaan cukup, tidak berlaku boros, tidak berlebihlebihan akan menjadi filter bagi individu dari tindakan konsumtif dalam berkonsumsi. Kata kunci: Konsumsi, Nilai Religiusitas, Kebahagiaan
1.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sangat sempurna, di mana Allah telah memberikan panduan yang komprehensif bagi manusia baik dalam kegiatan ibadah maupun kegiatan muamalah.Panduan ini diciptakan Allah agar manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (falah). Dalam kegiatan konsumsi, Allah telah memberikan panduan dengan diturunkannya beberapa surat dalam Al-Quran tentang konsumsi serta beberapa hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan konsumsi dalam Islam tidak hanya bermakna pemenuhan kebutuhan jasmani manusia tetapi juga kebutuhan rohani. Kegiatan konsumsi dalam Islam memiliki makna ibadah. Namun dalam kenyataannya, manusia seringkali lupa kegiatan konsumsi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik semata. Efeknya manusia akan berlombalomba untuk membeli barang dan jasa yang hanya sekedar untuk memenuhi seluruh keinginannya bukan kebutuhannya yaitu untuk meningkatkan gengsinya serta eksistensi dirinya di dalam komunitasnya. Manusia menjadi terjebak dalam kehidupan hedonis yang berimbas pada eksploitasi sumber daya dan pengrusakan lingkungan alam sekitarnya.
113
114 |
Ima Amaliah, et al.
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka masalah-masalah penelitian yang dikaji adalah sebagai berikut: 1) Apa sebenarnya motif ekonomi dalam berkonsumsi secara Islami? 2) Bagaimana keterkaitan antara nilai-nilai religisuitas Islam dengan kegiatan konsumsi? 3) Bagaimana keterkaitan antara kegiatan konsumsi Islami dengan kebahagiaan? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam paper ini adalah sebagai berikut: 1) Menganalisis motif ekonomi dalam kegiatan konsumsi Islami 2) Menganalisis keterkaitan antara nilai-nilai religiusitas Islam dengan kegiatan konsumsi 3) Menganalisis keterkaitan antara kegiatan konsumsi Islami dengan kebahagiaan. Kajian teoritis ini penting dilakukan mengingat : 1) Manusia selalu memandang bahwa sumber kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan materiil semata. 2) Pemahaman agama yang utuh dapat mengerem aktivitas konsumsi yang berlebihan yang dapat memberinya kebahagiaan kepada manusia. 3) Kegiatan konsumsi yang terkendali dapat mengerem fluktuasi harga secara berlebihan yang dapat mendorong terciptanya stabilitas perekonomian secara makro. 1.1 Motif Ekonomi dalam Berkonsumsi Islami Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu yang bertujuan untuk mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhannya.Selain itu, konsumsi dapat didefinisikan juga sebagai perilaku seorang individu untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya (Sarwono, 2011).Artinya, kegiatan menghabiskan dan memanfaatkan sumber daya terkait erat dengan motivasi dari orang yang melakukan kegiatan konsumsi itu sendiri. Dalam pandangan ekonomi konvensional sebagaimana dijelaskan dalam teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow, motivasi dasar manusia dalam memenuhi kebutuhan disusun dari kebutuhan yang paling rendah yaitu terpenuhinya kebutuhan fisiologis (makan, minum, sex, cinta dan lain-lain) sampai kebutuhan yang paling tinggi (kebutuhan akan kekuasaan). Di sini terlihat, motif manusia dalam memenuhi kebutuhannya yaitu untuk memenuhi kebutuhan material yang dapat membahagiakan kehidupan di dunia. Ini sangat berbeda dengan pandangan Islam di mana motif berekonomi harus diarahkan pada pencapaian tujuan syariah (maqashid syariah) (Kara, 2012), yaitu terpelihara agama (Al-dien), terpelihara jiwa (nafs), terpeliharanya akal (aql), terpeliharanya keturunan (nasb) dan terpeliharanya harta benda (maal) Imam Al-Ghazali menempatkan agama sebagai kebutuhan dasar manusia dan kebutuhan fitrah bagi manusia serta kebutuhan yang hakiki bagi manusia. Dengan beragama maka manusia dapat memilih mana yang benar dan salah, mana yang hak dan kewajiban dan lainnya. Dengan agama, seorang individu dapat memilih tentang apa saja yang diperbolehkan dikonsumsi dan tidak boleh menurut agama.Agama dapat menjadi filter moral bagi seorang individu dalam melakukan segala aktivitas hidupnya. Selain itu, Imam Al-Ghazali menempatkan kebutuhan materiil (maal) sebagai Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Relevansi Nilai Religiusitas Islam dalam Berkonsumsi dengan Kebahagiaan
| 115
kebutuhan yang paling akhir. Ini menandakan bahwa kebutuhan materiil (maal) bukan merupakan tujuan awal tetapi sarana untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (falah). 1.2 Keterkaiatan Nilai-Nilai Religiusitas Islam dengan Kegiatan Konsumsi Religiusitas berbeda dengan religion. Religiusitas menunjukkan kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang menjadi keyakinannya.Sementara religion adalah agama dan lebih mengarah pada symbol-simbol yang dipakai dalam agama.Kegiatan konsumsi dari seorang individu sangat erat dengan kualitas penghayatan individu atas nilai-nilai agama yang diyakininya, karena agama merupakan sumber nilai, agama berbicara tentang hal baik dan buruk, benar dan salah.Mayer dalam Monzer Khaf (1995) mendefinisikan agama sebagai seperangkat kepercayaan atau aturan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain, dan terhadap dirinya sendiri.Islam merupakan ajaran yang mengatur kehidupan dalam semua dimensi, baik akidah, akhlak dan syariah.Ajaran Islam bersifat universal dan komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan tidak hanya ibadah tetapi juga muamalah. Di dalam memenuhi konsumsi manusia harus mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memiliki landasan yang sangat berbeda.Keinginan adalah pemenuhan tujuan dengan landasan hawa nafsu. Sedangkan kebutuhan adalah pemenuhan tujuan dengan mendasarkan pada manfaat (Asytuti,2011). Terpenuhinya kebutuhan akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi seorang individu, yaitu kemaslahahan (manfaat dunia dan akhirat). Kemampuan untuk memilih mana kebutuhan dan keinginan berkaitan dengan pemahaman seorang individu atas nilai-nilai agamanya. Dalam aktivitas konsumsi, Allah telah memberikan tuntunan kepada manusia melaluiayat-ayat di dalam Al-Quran. Selain itu, Rasulullah telah banyak memberi contoh dan tauladan bagi manusia dalam menunaikan kegiatan konsumsi. Kedua sumber ini menjadi pedoman manusia dalam membelanjakan hartanya untuk konsumsi. Mannan (1997) dalam Suprayitno (2005) dan Qardhawi (2007) mengungkapkan ada lima nilai atau prinsipkonsumsi yang harus diteladani seorang muslim dalam melakukan aktivitas konsumsi, yaitu : 1. Nilai Keadilan berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor atau hukum agama serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 173 & 168. 2. Nilai Kebersihan benda yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran atau penyakit yang dapatmerusak fisik dan mental manusia. Allah telah mengaturnya dalam surat Al-Maidah ayat 4. 3. Prinsip Kesederhanaan kualitas dan kuantitas konsumsi sesuai kebutuhan. Konsumsi harus dilakukan sesuai kebutuhan bukan keinginan. Hanya keinginan-keinginan yang bermanfaat yang harus dipenuhi sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-A’raaf ayat 31 dan Al-Maidah ayat 87. 4. Prinsip Kemurahan Hati Islam telah memberikan tuntunan bahwa dalam setiap harta yang dimiliki oleh seorang individu ada hak orang lain. Oleh karenanya, sebelum
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
116 |
Ima Amaliah, et al.
memanfaatkan pendapatan yang dimiliki, hendaknya seorang individu mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu. Dalam kegiatan konsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri tetapi juga kebutuhan untuk aktifitas yang sifatnya social (Karim, 2008) sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 96. 5. Prinsip Moralitas Konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh norma dan etika Islam. Rasulullah telah memberikan banyak contoh di mana sebelum makan harus mencuci tangan,berdoa dan selama makan tidak boleh banyak bicara, tidak boleh meniup makanan yang panas.Selain itu, Islam juga melarang manusia untuk memakan makanan yang dapat membahayakan dirinya sebagaimana dijelaskan dalam Al-Maidah ayat 91 dan Al-Maidah ayat 94. Kelima prinsip ini jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka manusia akan memetik manfaat yang sangat besar yaitu tidak akan terjadi kerawan pangan, polusi udara, kerusakan alam lingkungan, inflasi yang berkepanjangan dan lainlain di dalam perekonomian. Dari hasil studi Rajeev et.al.(2005) dalam Awan (2012) menemukan organisasi agama sebagai salah satu penentu arah dari konsumsi dan kebahagian seorang individu yang terlibat di dalamnya.Artinya, individu-individu yang berada di lingkungan agamis sedikit banyak terpengaruh sikap dan perilakunya, sehingga dalam kegiatan berkonsumsipun ikut terwarnai nilai-nilai agama, efeknya individu yang bersangkutan merasakan kebahagiaan. 1.3 Keterkaitan antara Kegiatan Konsumsi Islami dengan Kebahagiaan Kebahagian didefinisikan sebagai kesenangan dan ketentraman lahir dan batin (http://kamusbahasaindonesia.org/kebahagiaan/2014). Lebih lanjut, Prodjo (1999:7) mendefinisikan kebahagiaan sebagai keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik.Kebahagiaan menyangkut kepuasan jasmani dan rohani.Dengan demikian, kepuasan jasmani semata tidak dapat dikatakan kebahagiaan.Kebahagiaan adalah keadaan subyektif yang menyebabkan seseorang merasa terpuaskan keinginan dalam dirinya dan menyadari dirinya memiliki sesuatu yang baik. Keadaan ini hanya akan terjadi jika seorang individu mampu merenungkan dirinya dan sadar akan dirinya sebagai makhluk yang berakal budi. Kebahagiaan tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung (alasting condition) dan bukanlah suatu perasaan atau emosi yang berlalu. Kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan (pleasure). Sangat mungkin hidup seorang individu dipenuhi dengan kenikmatan namun ia tidak menikmati kebahagiaan.Kebahagiaan memberikan bayangan kedamaian dan ketentraman yang lebih lestari sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 46. Kebahagiaan sepenuhnya bersifat spiritual meskipun tidak sama dengan hal-hal yang bersifat keagamaan formal yaitu terkait dengan hati. Spiritualitas adalah suatu daya dalam diri manusia yang bukan hanya lebih tinggi dari daya intelektual melainkan melampaui emosi dan perasaan (Bagir, 2013: 7-8). Pada tataran teoritis dan praktis, filsuf berbeda dengan sufi dalam memandang kebahagiaan. Secara umum, filsuf meletakan pencapaian kebahagaiaan pada kemampuan nalar (akal), sementara sufi meletakan pada penajaman dan penyucian hati
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Relevansi Nilai Religiusitas Islam dalam Berkonsumsi dengan Kebahagiaan
| 117
(zawq). Artinya menurut seorang filsuf, seorang individu akan merasakan kepuasan tertingginya jika ia mampu mengoptimalkan segala kapasitas akalnya. Sedangkan menurut sufi, kebahagiaan hanya akan tercapai jika seorang individu mampu menyucikan hatinya dari segala godaan duniawi. Menurut Al-Farabi (seorang filsuf) capaian tertinggi manusia ialah ketika manusia sanggup menerima limpahan ilmu dan akal aktif sehingga ia dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya (al-aql al fa’lah) (Anhar, 2013: 33). Sedangkan menurut Al-Ghazali (seorang sufi) kebahagiaan tercapai jika hati manusia telah sanggup untuk melintas tabir yang menghalangi penglihatan mata batin manusia untuk melihat rahasiarahasia Allah. Kebahagiaan tertinggi inilah yang disebut dengan ma’rifatulah (AlGhazali, 2011).Hamka memadukan pemikiran tasawuf dan filsafat dalam mendefinisikan kebahagian.Menurutnya hal pokok untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan memberdayakan akal. Akal akan menentukan peringkat bahagia yang dapat dicapai manusia, karena akal dapat membedakan antara yang baik dan buruk, menjadi penimbang dan penyelidik hakikat dan kejadian segala sesuatu. Jika akal semakin sempurna, indah dan murni maka semakin tinggi pulalah peringkat bahagia yang dicapai manusia. Dalam tataran praktis, seseorang dapat saja menyebut dirinya telah mencapai kebahagiaan karena tujuan jangka pendeknya telah tercapai.Namun menurut Hamka, itu bukan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati akan tercapai jika hati dan khayal manusia tidak lagi terikat kepada hal-hal yang bersifat lahiriyah. Sebab keterikatan pada lahiriyah akan menyesatkan manusia dalam mencapai tujuan hakiki. Makna kebahagiaan menurut Al-Quran “Qad Aflaha man tajakka wa dzakarasma rabbihi fashalla yang artinya:”Pasti bahagia orang yang membersihkan diri, hati dan harta dan selalu mengingat Tuhannya, lalu dia shalat.”Artinya seorang individu (karyawan) akan merasakan kebahagiaan jika ia mampu membersihkan dirinya secara jasmani. Badannya yang secara fisik sehat, akan mengantaranya mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaanya baik di lingkungan rumahnya maupun di lingkungan kerja. Setelah jasmaninya sehat, maka tugas berikutnya dari seorang individu (karyawan) yaitu membersihkan hatinya dengan selalu berpikiran positif pada apapun yang tidak menyenangkan hatinya. Selain itu, harta yang didapatnya harus dibersihkan pula dengan cara membayar zakat, infaq maupun shadaqah pada orangorang yang kurang beruntung. Kebahagiaan akan lebih sempurna jika seorang individu senantiasa menghadirkan Tuhan dalam setiap langkahnya serta menunaikan kewajibanya sebagai seorang muslim yaitu shalat. Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh HR.Ad-Dailami dan Qodho’i, Rasulullah pernah bersabda juga bahwa hal yang dapat membahagiakan hidup seorang individu yaitu ketika memiliki umur yang panjang yang digunakan untuk taat kepada Allah. Sementara itu, HR. Ad-Dailami dari Ali ra telah meriwayatkan bahwa ada empat perkara yang menjadi sumber kebahagiaan bagi seorang individu yaitu mempunyai istri yang shalehah, mempunyai anak yang berbakti, mempunyai teman yang shaleh dan mencari rezeki di negerinya sendiriDari penjelasan-penjelasan di atas maka manusia dibagi ke dalam empat golongan (Mangkasaro, 2013:1) yaitu: 1. Manusia yang termasuk “sa’iidun fiddunyaa wa sa’iidun fil aakhirat” yaitu orang-orang yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat itulah karakter orang yang menemukan hasanah fiddunya, hasanah fil aakhirat. Orang yang memiliki jabatan tinggi, hartanya berlimpah, keluarga sehat, taat beribadah
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
118 |
Ima Amaliah, et al.
kepada Allah dan banyak memberi kemanfaatan kepada sesamanya ataupun lingkungannya. 2. Manusia yang termasuk: “Sa’iidun fiddunya, saqiyyun fil aakhirat” yaitu orang-orang yang bahagia di dunia tetapi tidak bahagia (celaka) dalam kehidupan akhiratnya. Artinya secara lahiriyah ia bahagia karena dilimpahi banyak materi tetapi ia jauh dari Allah, tidak mau berbagi dan memberi manfaat pada sesama manusia atau lingkungan sekitarnya.Di tempat kerja, ia mempunyai jabatan tinggi yang berimbas pada kelimpahan materi, namun ia miskin amalan shaleh karena tidak mau berbagi dengan orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan dirinya. Dengan demikian, kelimpahan materi yang diterimanya hanya memberikan kepuasan lahir namun batinnya kosong. 3. Manusia yang termasuk:”Saqiyyun fiddunya, wa sa’iidun fil aakhirat” yaitu orang-orang yang tidak bahagia di dunia, tetapi ia bahagia hidup di akhirat. Di dunia ia hidup dalam keadaan serba kekurangan materi, tidak bahagia dalam pandangan manusia, miskin papa namun ia rajin beribadah kepada Allah, memiliki perangai yang baik dalam menjalani kehidupannya, menikmati kemiskinannya dengan rasa syukur dan baik pergaulannya dengan sesama manusia, banyak memberi manfaat dengan apapun yang dimilikinya. 4. Manusia yang tergolong: “Saqiyyun fiddunya saqiyyun fil aakhirat” yaitu orang yang tidak bahagia hidup di dunia dan tidak bahagia hidup di akhirat. Jenis manusia seperti ini paling sengsara dan paling celaka. Dia hidup miskin, sombong, malas beribadah, selalu mencari permusuhan. Rasulullah pernah bersabda” Aku benci orang kaya yang sombong, tetapi aku lebih benci kepada orang miskin yang sombong.”Dari keempat tipe manusia ini, maka manusia tipe pertama yang paling ideal di mana individu memiliki keseimbangan kehidupan di dunia dan di akhirat. Islam mengajarkan manusia di mana tujuan hidup yang sesungguhnya adalah mencapai falah yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, seorang individu akan merasakan kebahagiaan jika ia mampu memenuhi kebutuhan material, moral dan kebutuhan spiritual keagamaan. Dengan demikian, seseorang akan merasakan kebahagiaan jika dalam hidupnya selalu diwarnai dengan nilai-nilai agama (religiusitas). Agama menjadi bagian yang tidak terpisah dari seluruh aktivitas hidupnya.Agama menjadi penyeimbang dalam pemenuhan seluruh kebutuhan hidupnya. Munir et.al (2011) melakukan pengujian dampak ibadah terhadap kebahagiaan seorang individu di Jamu dan Kasmir Pakistan.Studi menemukan, pengeluaran konsumsi perkapita memiliki hubungan negative dengan tingkat kebahagiaan secara individu. Artinya, semakin tinggi pengeluaran untuk konsumsi maka seorang individu akan merasakan semakin tidak bahagia, karena individu yang bersangkutan menyadari bahwa tindakan boros tidaklah baik dari pandangan agama. Efeknya individu yang bersangkutan merasakan perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia.Lebih lanjut Caldas (2010) menemukan jumlah uang yang besar yang digunakan untuk membeli barang material ternyata tidak secara efektif meningkatkan kebahagiaan seorang individu. Artinya sumber kebahagian bagi seorang individu tidak hanya terletak pada kelimpahan materi.
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Relevansi Nilai Religiusitas Islam dalam Berkonsumsi dengan Kebahagiaan
2.
| 119
Kesimpulan dan Saran
Seseorang akan merasakan kebahagiaan tidak hanya bersumber dari terpenuhinya berbagai macam keinginannya secara berlebihan. Kebahagiaan hanya akan dapat dirasakan oleh seseorang manakala ia dapat melakukan aktivitas konsumsi dengan mendasarkan pada nilai-nilai agama yang menjadi keyakinannya. Manusia tidak memperturutkan hawa nafsunya untuk memenuhi semua keinginannya. Manusia harus mampu memilah apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan. Kemampuan untuk memilih diantara banyak keinginan yang dapat memberinya manfaat dapat memberinya kebahagiaan karena manusia akan terhindar dari tindakan mubajir, berlebihan dan berlaku boros. Perasaan cukup dan penuh dengan rasa syukur akan menyelamatkan seseorang dari jebakan hutang. Efeknya, manusia akan merasakan ketentraman dan ketenangan lahir dan bathin (bahagia). Oleh karena itu, manusia harus mengintegrasikan agama dalam seluruh aktivitasnya. Agama tidak hanya sekedar urusan ritual ibadah tetapi agama harus melingkupi segala urusan manusia. Daftar Pustaka Al-Quranul Karim, Jakarta, Maghfirah Pustaka Al-Ghazali, Imam, 2011,” Ihya Ulumuddin: Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama,” Buku 1, Penerjemah Purwanto, Bandung: Penerbit MARJA Asytuti, Rinda, 2011,” Rekonstruksi Ekonomi Islam dalam Perilaku dan Motivasi Ekonomi,” Pekalongan: RELIGIA, Vol. 14, No. 1, April, h.75-92 Anhar, 2009,”Konsep Kebahagiaan Menurut Tasawuf Hamka,” Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 1 Desember, h. 30-50 Awan, Ashar dan Maria Shiddique, (2012),Religion and wellbeing: A theoretical analysis,Global Advanced Research Journal of Social Science (GARJSS) Vol. 1(6) pp. 106-112 Bagir, Haidar, 2013,” Islam Risalah Cinta & Kebahagiaan,” Bandung: Penerbit Mizan,h.3-29 Caldas Silvio Borrero (2010), The happiness to consumption ratio: An alternative approach in the Quest for Happiness, Journal Happiness, 26 (116) Kamus bahasa Indonesia: http://kamusbahasaindonesia.org/kebahagiaan Kara, Muslim, 2012,” Pemikiran Al-Syatibi tentang Maslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan Ekonomi Syariah,” Jurnal ASSETS, Volume 2, No. 2 Karim, Adiwarman A., 2008,”Ekonomi Mikro Islami,”Edisi Ketiga, Jakarta, Rajagrafindo Persada Khaf, Monzer, 1995,” Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,” Penerjemah Machnun Husein, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Mangkasoro, Gangsar, 2013,”Empat Golongan Manusia,” http://www.kompasiana.com/gangsar/empat-golongan-manusia Munir F, Awan A, Hamdani NH, S., (2011), The Impact of Worship on Individual’s Wellbeing. 3rd SAICON Conference. Retrieved from http://saicon2011.ciitlahore.edu.pk/Business Ethics/11-1195 fozia munir.pdf Prodjo, W. Puspo, 1986,” Filsafat Moral,” Bandung: Remaja Rosda Karya, h. 7 Pujiyono, Arif (2006),Teori Konsumsi Islam, Jurnal Dinamika Ekonomi, Vo.3 No.2, Desember. Qardhawi, Yusuf, (1997), “Norma dan Etika Ekonomi Islam”.Jakarta, Gema Insani
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
120 |
Ima Amaliah, et al.
Sarwono, (2009), Analisis Perilaku Konsumen Perspektif Ekonomi Islam, INNOFARM : Jurnal Inovasi Pertanian Vol.8, No. 1, 41 -53.
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora