Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590 | EISSN 2303-2472
HUBUNGAN ANTARA COPING STRATEGY DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA BANDUNG 1 1,2,3
Silvie Andartyastuti, 2Sri Maslihah, 3Sitti Chitidjah
Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung. Khususnya, hubungan antara problem-focused coping dengan subjective well-being dan hubungan antara emotion-focused coping dengan subjective wellbeing pekerja seks komersial di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 50 orang pekerja seks komersial yang berada di Lokalisasi Saritem dan Dewi Sartika. Data yang diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Untuk kuisioner coping strategy didasarkan pada teori Lazarus (1984), sedangkan untuk kuisioner subjective well-being (Diener) menggunakan Satisfaction With Life Scale dan Scale of Positive and Negative Experience. Hasil menunjukkan 80% pekerja seks komersial menggunakan problem-focused coping dan 66% memiliki subjective wellbeing yang rendah. Tidak terdapat hubungan antara coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung (rxy = 0,111). Hubungan antara problem-focused coping dengan subjective well-being sebesar 0,081, sedangkan antara emotion-focused coping dengan subjective well-being sebesar 0,593. Kontribusi yang diberikan emotion-focused coping terhadap subjective well-being pada pekerja seks komersial di Kota Bandung sebesar 35,17%. Kata kunci : coping strategy, subjective well-being, pekerja seks komersial.
1.
Pendahuluan
Negara yang berkembang menimbulkan kompleksitas akibat dari kemajuan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi serta berbagai mekanisasi, sehingga memunculkan banyak masalah sosial. Salah satu diantaranya adalah masalah prostitusi yang pemeran utamanya adalah pekerja seks komersial. Bonger (dalam Kartono, 2009: 213) mengartikan prostitusi sebagai gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Menurut data Dinas Sosial tahun 2012 pekerja seks komersial yang terjaring sebanyak 319 orang. Data yang dimiliki oleh Klinik Mawar (salah satu klinik yang terjun dalam upaya penyuluhan bagi pekerja seks komersial di Kota Bandung) disebutkan bahwa jumlah pekerja seks komersial pada tahun 2012 di Kota Bandung terdata lebih dari 1.000 orang, baik yang berada di lokalisasi maupun di jalanan. Latar belakang mereka sebagai pekerja seks komersial dominan karena faktor ekonomi di antara faktor-faktor lainnya seperti ketidakpuasan terhadap pasangan, trauma, kurang mendapat perhatian, dsb. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti diketahui permasalahanpermasalahan yang sering timbul di antaranya: (1) masalah keuangan, yaitu mengenai kebutuhan PSK akan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk hidup mereka sendiri maupun untuk keluarga. Selain itu, PSK memiliki beberapa hutang yang harus mereka lunasi, sehingga membuat mereka tetap berada pada profesinya sebagai pekerja seks komersial; (2) perasaan bersalah atau berdosa karena pekerjaan yang PSK lakukan;
677
678 |
Silvie Andartyastuti, et al.
dan (3) perasaan malu atau minder, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar keluarga. Profesi yang memiliki berbagai dinamika ini menimbulkan pertentangan diri yang lalu disertai dengan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya dan memengaruhi bagaimana mereka dalam menghadapi permasalahan tersebut. Cara seseorang dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah disebut dengan coping. Menurut Snyder & Dinoff (dalam Compton, 2005) coping adalah respons yang ditujukan untuk mengurangi beban secara fisik, emosional, dan psikologis yang dihubungkan pada suatu keadaan yang menekan dan percekcokan atau perselisihan dalam kehidupan sehari-hari. Lazarus & Folkman (1984) membagi coping strategy menjadi dua jenis utama, yaitu problem-focused coping (mengarah langsung pada pendefinisian masalah, membangkitkan alternatif solusi, menitikberatkan alternatif pada kerugian dan keuntungan, menentukan pilihan pada alternatif pilihan untuk kemudian dilakukan) dan emotion-focused coping (digunakan saat dirasa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memodifikasi bahaya, ancaman, atau kondisi lingkungan yang menantang). Coping ini dilakukan oleh setiap individu dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah ataupun menghilangkan stres, sehingga dapat kembali pada situasi normal dimana mereka dapat menjalani kehidupan dengan baik. Ashforth dan Kreiner (1999; dalam Arnold & Barling, 2001: 275) mengemukakan mengenai teknik-teknik coping PSK dalam kehidupan sehari-harinya. Adanya ideologi dibalik pekerja seks, seperti argumen bahwa PSK adalah pekerja jasa yang menjual seksualitasnya daripada kemampuan sosialnya, ini merupakan teknik pertama. Teknik lainnya ialah membentuk ulang pemikiran bahwa apa yang dilakukan PSK berada pada bingkai edukasi pada pelanggan dalam hubungan seks yang aman, dan banyak yang akan menggambarkan pekerjaan mereka sebagai „penyembuh‟ yang mengimplikasikan bahwa pekerjaan ini lebih dari hanya sekedar „memuaskan hasrat seksual dari pria kesepian atau pria frustasi‟. Lalu teknik selanjutnya ialah dengan menggunakan obat-obatan terlarang dalam upaya PSK menangani stres yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Tujuan dari penyelesaian masalah dan juga dalam menghadapi tantangan hidup ialah untuk memperoleh kesejahteraan hidup. Pandangan individu terhadap kehidupannya secara menyeluruh disebut sebagai kesejahteraan subjektif (Diener, 1984). Subjective well-being dapat didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap kehidupannya, baik penilaian yang bersifat kognitif maupun penilaian yang bersifat afektif. Penilaian kognitif berkaitan dengan standar dan kepuasan hidup. Sementara itu, penilaian afektif berkaitan dengan seberapa sering seseorang mengalami mood dan emosi yang bersifat positif dan negatif (Diener, Suh, dan Oshi, 1997). Subjective wellbeing menitikberatkan kepada kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pavot dan Diener mengemukakan bahwa individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi diperkirakan akan merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif. Oleh karena itu, individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi cenderung lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan kinerja yang lebih baik. Dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi akan lebih mampu melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan, sehingga dapat merasakan kehidupan yang lebih baik (Compton, 2005).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Hubungan Antara Coping Strategy dengan Subjective ... | 679
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tresnowaty & Sutarmanto (2009) pada waria pekerja seks komersial mengenai kesejahteraan subjektifnya, diperoleh bahwa subjek memiliki kesejahteraan subjektif yang cukup tinggi. Dalam penelitiannya ditemukan adanya sikap “menerima” terhadap kehidupan. Sikap “nrimo” membantu subjek untuk menikmati dan tidak apatis terhadap kehidupan yang dimilikinya. Kesejahteraan subjektif waria PSK dipengaruhi oleh agama, kemakmuran, kepribadian, penerimaan diri, pengakuan dan penerimaan sosial, dan tujuan hidup. Penggunaan strategi koping yang tepat dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif subjek. Kesimpulan penelitian Tresnowaty & Sutarmanto ini diperjelas oleh penelitian yang dilakukan Wei (2010), yang menyatakan bahwa coping strategy memiliki pengaruh yang signifikan pada subjective well-being. Apabila kita berhasil mengatasi suatu permasalahan, maka akan muncul emosi positif, seperti misalnya rasa lega, tentram, dan rileks.
2.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Metode korelasioanl bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung, dan jika terdapat hubungan maka seberapa erat dan seberapa berartinya hubungan itu (Arikunto, 2006). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode survey. Metode survey sendiri menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang kemudian dibagikan kepada responden untuk diisi. Sampel pada penelitian ini diperoleh dengan purposive sampling berdasarkan pada rekomendasi dari Klinik Mawar. Jumlah sampel sebanyak 50 orang pekerja seks komersial yang berada pada Lokalisasi Saritem dan Dewi Sartika Kota Bandung. Kuisioner yang digunakan untuk coping strategy disusun oleh peneliti berdasarkan pada teori Lazarus & Folkman (1984). Setelah uji coba diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,781 dengan jumlah item sebanyak 30 buah item. Skala yang digunakan adalah Likert dengan 5 pilihan jawaban, yaitu tidak pernah (1) sampai dengan selalu (5). Kuisioner subjective well-being yang digunakan adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS) untuk mengetahui kepuasan hidup individu yang merupakan komponen kognitif, dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) yang mengukur afek postif dan negatif individu dan merupakan komponen afektif. Kuisioner SWLS merupakan kuisioner baku yang disusun oleh Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin pada tahun 1985. Terdiri dari 5 item dengan 7 skala jawaban yang memiliki kategorisasi 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat setuju). Instrumen ini disusun dengan menggunakan jenis skala Linkert dan menghasilkan data yang bersifat ordinal. Koefisien reliabilitas untuk SWLS pada penelitian ini adalah 0,714. Untuk SPANE merupakan kuisioner baku yang disusun oleh Diener dan Biswas-Diener, terdiri atas 12 item dan 5 skala jawaban dengan kategorisasi 1 (sangat jarang atau hampir tidak pernah) sampai dengan 5 (sangat sering atau selalu). Instrumen ini disusun dengan menggunakan jenis skala Linkert dan menghasilkan data yang bersifat ordinal. Koefisien reliabilitas untuk SWLS positif pada penelitian ini sebesar 0,837, dan untuk SWLS negatif sebesar 0,895. Analisi data yang digunakan dibantuk dengan program Microsoft Exel dan Software SPSS versi 20.0. Teknik korelasi yang digunakan adalah korelasi Spearman.
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
680 |
Silvie Andartyastuti, et al.
Setelah data diperoleh makan dilakukan analisis data untuk coping strategy dan subjective well-being.
3.
Hasil dan Pembahasan
a. Gambaran coping strategy pekerja seks komersial di Kota Bandung Tabel 1. Gambaran Coping Strategy Coping Strategy Problem-Focused Coping Emotion Focused Coping
Frekuensi 40 10
Presentase 80% 20%
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2, diketahui bahwa sebagian besar pekerja seks komersial di Kota Bandung menggunakan problem-focused coping sebagai usaha mereka dalam menghadapi dan dalam upaya menyelesaikan masalah. Namun begitu, emotion-focused coping juga digunakan, meskipun memiliki frekuensi yang lebih rendah (20%) pada pekerja seks di Kota Bandung. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktavianti (2004) dengan subjek remaja pekerja seks komersial remaja. Pada hasil penelitian Oktavianti diketahui bahwa macam-macam coping remaja pekerja seks komersial ialah dengan problem-focused coping, emotionfocused coping dan religi-focused coping. Pada penelitian Oktavianti dihasilkan satu coping tambahan, yaitu religi-focused coping. b. Gambaran subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung Tabel 2. Gambaran Subjective Well-Being Subjective Well-Being Subjective Well-Being Tinggi Subjective Well-Being Rendah
Frekuensi 17 33
Persentase 34% 66%
Subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung sebagian besar berada pada kategori rendah. Hasil perhitungan ini tidak sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian dari Tresnowaty & Sutarmanto (2009), bahwa subjective well-being waria pekerja seks komersial berada pada tingkat yang cukup tinggi. Faktor-faktor yang memengaruhi subjective well-being waria PSK adalah pemahaman agama dan spiritualitas, kemakmuran, kepribadian, penerimaan diri, pengakuan dan penerimaan sosial, dan adanya tujuan hidup. Subjective well-being memiliki pengertian sebagai penilaian individu mengenai kehidupannya yang meliputi kepuasan hidup dan kebahagiaan, berkaitan dengan hasil pada penelitian ini maka kepuasan hidup dan kebahagiaan berada pada taraf rendah. c. Hubungan antara coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandug Koefisien korelasi coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung (rxy) adalah 0,111. Koefisien korelasi 0,111 berada pada tahap korelasi yang sangat rendah. Kontribusi yang diberikan oleh coping strategy terhadap subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung sebesar 1,23% (KD = = r2 x 100% = (0,111)2 x 100%). Hasil perhitungan kontribusi menunjukan variasi subjective well-being sebesar Koefisien korelasi antara problem-focused coping dan subjective well-being sebesar -
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Hubungan Antara Coping Strategy dengan Subjective ... | 681
0,081, yang menunjukkan taraf korelasi sangat rendah sehingga menandakan hampir tidak terdapat hubungan antara problem-focused coping dengan subjective well-being pekerja seks di Kota Bandung. Hasil penelitian Tresnowaty & Sutarmanto (2009) terhadap waria pekerja seks komersial, menunjukkan bahwa penggunaan coping strategy yang tepat dalam menghadapi masalah dapat meningkatkan subjective well-being subjek. Berdasarkan hasil penelitian dari Tresnowaty & Sutarmanto, maka cara penyelesaian dengan problem-focused coping kurang tepat dilakukan oleh pekerja seks komersial di Kota Bandung bila dikaitkan dengan subjective well-being. Tresnowaty & Sutarmanto (2009) mengatakan bahwa pembentukan kesejahteraan subjektif PSK diawali oleh penerimaan diri, baik secara internal maupun eksternal. Penerimaan ini selanjutnya menentukan proses penyelesaian terhadap masalah yang mereka hadapi. Hasil subjective well-being pada penelitian ini berada pada tingkat yang rendah, hal ini dapat diakibatkan oleh kurangnya penerimaan diri dan juga penerimaan sosial dari lingkungan di luar Lokalisasi. Lokalisasi Saritem dan Lokalisasi Dewi Sartika merupakan rentetan rumah yang bersatu dengan rumah-rumah penduduk lainnya. Keadaan lokalisasi yang berdekatan dengan masyarakat umum memberikan tekanan lain kepada pekerja seks komersial. Lokalisasi Saritem yang berdekatan dengan salah satu pesantren di Kota Bandung memberikan pengaruh terhadap para pekerja seks komersial, yaitu dengan adanya perasaan bersalah, malu dan berdosa. Faktor lingkungan dan kontak sosial ini memberikan pengaruh terhadap subjective well-being pekerja seks komersial sesuai dengan teori Diener (1984). Selanjutnya korelasi antara emotion-focused coping dengan subjective wellbeing pekerja seks komersial di Kota Bandung menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,593 yang memiliki arti korelasi pada taraf sedang atau cukup berarti, disertai dengan subjective well-being yang tinggi. Selain itu, hubungan dari korelasi ini adalah positif sehingga apabila emotion-focused coping bernilai tinggi, maka tinggi pula nilai dari subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung, begitupun sebaliknya. Penggunaan problem-focused coping sebagai strategi dalam penanggulangan masalah pada sebagian besar pekerja seks komersial di Kota Bandung menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk menghadapi masalah dan bersedia mengambil resiko, meskipun dengan mengorbankan diri sebagai pekerja seks komersial. Hal ini karena masalah utama yang dihadapi oleh pekerja seks komersial adalah masalah ekonomi, dan pekerjaan di dunia prostitusi ini merupakan jalan mereka untuk mendapatkan uang. Kontribusi untuk problem-focused coping dengan subjective well-being diperoleh nilai determinasi sebanyak 0,66% (KD = r2 x 100% = (-0,081)2 x 100%) dan untuk emotion-focused coping dengan subjective well-being sebesar 35,17% (KD = r2 x 100% = (0,593)2 x 100%). Kontribusi ini memiliki persentase yang tidak tergolong besar sehingga memungkinkan faktor-faktor lain yang dapat memberikan kontribusi lebih banyak dibandingkan dengan coping strategy terhadap subjective well-being. Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tresnowaty & Sutarmanto (2009), diketahui bahwa faktor-faktor lain yang memengaruhi kesejahteraan subjektif waria PSK adalah pemahaman agama dan spiritualitas, kemakmuran, kepribadian, penerimaan diri, pengakuan dan penerimaan sosial, dan adanya tujuan hidup.
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
682 |
Silvie Andartyastuti, et al.
4.
Simpulan dan Saran 1) Sebagian besar Pekerja Seks Komersial di Kota Bandung menggunakan coping strategy jenis problem-focused coping dibandingkan dengan emotion-focused coping. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pekerja Seks Komersial di Kota Bandung melibatkan suatu perencanaan dalam upaya penyelesaian masalah. 2) Sebagian besar Pekerja Seks Komersial memiliki subjective well-being yang rendah. Ditandai oleh kepuasan hidup yang berada pada kategori kurang puas dan keadaan mood & afektif yang seimbang. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan prostitusi kurang memberikan kepuasan pada pekerja seks komersial.. Keadaan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, pendapatan, tingkat pendidikan, dan lingkungan. 3) Hubungan coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial berada pada tahap korelasi sangat rendah. Kajian lebih lanjut pada hubungan dimensi coping strategy dengan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung, yaitu antara emotion-focused coping dengan subjective wellbeing berada pada kategori sedang atau cukup berarti dengan hubungan yang positif. Hal ini menandakan bahwa penggunaan emotion-focused yang tinggi dapat meningkatkan keadaan subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung. Pada korelasi antara problem-focused coping dengan subjective well-being diperoleh hubungan yang negatif dan tidak berarti.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2006). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Arnold K.A., & Barking J. (2001). Prostitution: An Illustration of Occupational Stress in ‘Dirty Work’. Chapter Ten p. 261-280 Compton, W. C. (2005). Introduction to Possitive Psychology. United States of America: Thomson Wadsworth. Dewi, Pracasta S. & Utami, Muhana S. (2008). Subjective Well-Being Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Jurnal Psikologi Vol. 35, No. 2, 194 - 212 Diener, Ed. (1984). Subjective Well-Being. Psychological Bulletin 1984, Vol. 95 (3), 542-575. Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective wellbeing: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Reviews in Psychology, 54, 403-425. Kartono, Kartini. (2013). Patologi Sosial: Jilid 5. Jakarta: Rajawali Pers. Lazarus, R.S. dan Folkman, S. (1984) . Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. Oktavianti, Isti. (2004). Stress dan Coping Stress pada Remaja PSK. Universitas Gunadarma. [Online] Tersedia: gunadarma.ac.id/library/.../Artikel_10502124.pdf diakses pada 2 Januari 2014 Tresnowaty, Mardha & Sutarmanto, Hadi. (2009). Kesejahteraan Subjektif Waria Pekerja Seks Komersial (PSK). Psikohumanika, II, 2, 46-54. Wei, M. Et al. (2010). Racial Discrimination Stress, Coping, adn Despressive Symptom Among Asian American: A Moderation Analysis. Asian American Journal of Psychology, 1, 130-150
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora