Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590 | EISSN 2303-2472
TINJAUAN PENDEKATAN HUKUM DAN EKONOMI TERHADAP MODEL LISENSI WAJIB PATEN ATAS OBAT DALAM WTO-TRIPS DAN DEKLARASI DOHA 2001 1
Eka An Aqimuddin, 2Iman Sunendar, 3Frency Siska, 4Rahmat J. Tanjung, 5Mayas M 1,2,3,4,5
Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Jl. Ranggadaging No.8 Bandung 40116
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Terdapat hubungan yang kuat antara harga obat tinggi dengan perlindungan hak paten. Satu sisi perlindungan tersebut memberikan dorongan/insentif bagi orang untuk melakukan invensi, namun di sisi lain malah akan mengganggu hak masyarakat untuk mendapatkan kesehatan. Oleh karena itu dalam TRIPs dan Deklarasi Doha telah diatur model lisensi wajib paten atas obat agar dapat menjadikan harga obat terjangkau. Dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, pengaturan lisensi wajib paten atas obat berhasil menyeimbangkan antara insenstif dengan akses sera mencapai efisiensi Pareto Kata Kunci: Lisensi Wajib, Hak Paten, Hukum dan Ekonomi
1.
Pendahuluan
Isu kesehatan publik dengan perdagangan internasional, khususnya akses masyarakat terhadap harga obat yang terjangkau, telah mendapatkan perhatian khusus dari negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO). Salah satu penyebab harga obat menjadi tinggi dikarenakan adanya perlindungan paten yang terdapat WTO-on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai salah satu perjanjian cakupan WTO. Dalam TRIPs sendiri sebenarnya telah diatur beberapa model fleksibilitas terkait paten yang dapat diaplikasikan terhadap obat, yakni: impor paralel, lisensi wajib dan pelaksanaan paten oleh pemerintah.(Correa, 2002: 13) Fleksibilitas tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Deklarasi Doha tentang Perjanjian TRIPs dan Kesehatan Masyarakat tahun 2001 serta putusan Dewan TRIPs mengenai Implementasi Paragraf 6 Deklarasi Doha 2001 pada tahun 2003. Salah satu model fleksibilitas TRIPs terkait paten terhadap obat yang lazim digunakan negara-negara saat ini adalah lisensi wajib. Lisensi wajib adalah tindakan pemerintah untuk memungkinkan pemberian izin kepada perusahaan, perwakilan pemerintah atau pihak lain untuk menggunakan paten tanpa kesepakatan atau izin pemegang paten. (Correa, 2000:93). Pasal 31 TRIPs secara umum telah mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi negara apabila ingin mengeluarkan kebijakan lisensi wajib. Sedangkan dalam paragraf 4 dan 5 (b) Deklarasi Doha 2001 menyatakan bahwa setiap negara diperbolehkan untuk membuat kebijakan demi melindungi kesehatan masyarakat dengan cara menggunakan lisensi wajib. Setiap negara juga diberi kebebasan untuk menentukan dasar atas penggunaan lisensi wajib tersebut. Meskipun ketentuan lisensi wajib paten telah diatur dalam TRIPs, namun dalam praktiknya tidak semua negara dapat menggunakan fleksibilitas tersebut. Hal itu dikarenakan terdapat kebatasan-kebatasan yang dimiliki oleh negara. Dalam lisensi wajib paten di bidang obat juga terdapat kesulitan yang sama.
43
44
|
Eka An Aqimuddin, et al.
Perbedaan antara norma dan praktik tersebut menjadikan hal ini sebagai isu yang menarik. Namun, permasalahan tersebut akan dibahas dalam pendekatan hukum dan ekonomi. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diteliti adalah : a. Bagaimanakah pengaturan lisensi wajib paten dalam TRIPs berdasarkan pendekatan hukum dan ekonomi? b. Bagaimanakah pengaturan lisensi wajib paten atas obat dalam TRIPs dan Deklarasi Doha 2001 ditinjau berdasarkan pendekatan hukum dan ekonomi?
2.
Pembahasan
Dalam studi ilmu hukum modern saat ini sudah tidak memadai untuk menganalisis suatu masalah hanya berdasarkan sudut pandang normatif hukum. Oleh karena itu, untuk memajukan dan memperkaya ilmu hukum itu sendiri diperlukan adanya bantuan dari bidang studi lain di luar ilmu hukum sendiri. Saat ini penggunaan pendekatan bidang studi lain terhadap hukum sudah mulai dilakukan oleh para ilmuwan dan praktisi hukum. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi terhadap hukum sebagai bagian dari bidang hukum dan ekonomi. Pendekatan hukum dan ekonomi adalah bidang studi yang mempelajari penerapan metode-metode ilmu ekonomi guna mengatasi problematika hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Johnny Ibrahim, 2009: 244-245) Pendekatan Hukum dan Ekonomi saat ini bisa dianggap sebagai satu mazhab hukum baru yang sedang tumbuh pesat, khususnya di Amerika. Dengan menggunakan analisis ekonomi terhadap hukum, setidaknya ada dua pertanyaan yang hendak dijawab oleh mazhab tersebut yaitu, Pertama, untuk melihat dampak dari hukum terhadap perilaku manusia, Kedua apakah dampak tersebut secara sosial dikehendaki? (Polinsky dan Shavell, 2005:20) Asumsi dasar dalam hukum dan ekonomi adalah bahwa manusia merupakan makhluk rasional dann senantiasa berusaha memaksimalkan manfaat yang dapat mereka terima dengan mempertimbangkan kelangkaan sumber daya yang mereka miliki. Pengertian manusia sebagai makhluk rasional adalah bahwa setiap manusia diasumsikan akan memperhitungkan unsur keuntungan dan kerugian dalam setiap tindakannya. Kalkulasi untung rugi tidak hanya terjadi pada tingkat kesadaran tetapi juga di tingkat alam bawah sadar manusia (Oktavinanda, 2013:12) Jika sarjana hukum normatif melihat bahwa hukum memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian maka pendekatan hukum dan ekonomi melihat bahwa hukum merupakan insentif bagi perilaku manusia dan alat untuk membuat kebijakan. Adapun asumsi dasar untuk membuat kebijakan yang baik adalah harus memenuhi unsur efisisensi dan distribusi. (Cooter dan Ulen, 2012:9) Insentif menjadi sangat penting dalam pendekatan hukum dan ekonomi karena dianggap hal tersebut mampu mempengaruhi perilaku manusia. Setiap manusia rasional secara alamiah pasti akan merespon insentif dengan cara lebih memilih sesuatu yang mendatangkan keuntungan daripada kerugian. Dengan demikian hukum akan menjadi efektif karena akan dipatuhi dan dapat mengubah perilaku manusia. Dalam pendekatan hukum dan ekonomi, untuk mengukur efisiensi bisa menggunakan dua teori, yaitu Efisiensi Pareto dan Kaldor-Hicks. Menurut efisiensi Pareto, sebuah regulasi dianggap efisien apabila hukum itu dapat memberikan keuntungan (better off) kepada seseorang tanpa merugikan orang lain. Sedangkan berdasarkan teori Kaldor-Hicks dinyatakan bahwa Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 45
hukum dianggap efisien apabila pihak yang diuntungkan masih lebih besar dibandingkan pihak yang dirugikan. (Posner dan Sykes, 2012:13) Pendekatan hukum dan ekonomi dapat diterapkan dalam konsep Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Namun sebelum menjelaskan konsep HaKI, terlebih dahulu akan dijajabarkan mengenai konsep hak milik. Cooter dan Ullen (2012:72) mengajukan empat pertanyaan pokok yang dapat diajukan untuk memahami tentang hukum kepemilikan (law of property). Keempat pertanyaan tersebut adalah: 1. Bagaimanakah hak kepemilikan itu lahir? 2. Apakah yang bisa dimiliki secara pribadi? 3. Apa yang dapat dilakukan oleh pemilik atas kepemilikannya? 4. Apakah balasan bagi pelanggar hak milik? Keempat pertanyaan tersebut penting diajukan sebagai pondasi pendekatan hukum dan ekonomi melihat hak milik. Dari sisi hukum, kepemilikan merupakan sekumpulan hak yang dimiliki seseorang atas sumber daya, di mana sang pemilik memiliki kebebasan untuk menggunakannya dan penggunaan tersebut dilindungi dari campur tangan orang lain (ibid). Pembenaran pemberian perlindungan atas kepemilikan didasari bahwa dengan diberikan hak kepemilikan maka akan timbul insentif bagi seseorang atas pekerjaannya, mencegah timbulnya konflik dan efisiensi sumber daya ( Kaplow dan Shavell, 1999:16) Pembenaran secara sosial dan ekonomi tersebut akan membuat setiap orang untuk menggunakan sumber daya secara efisien. Lantas apakah semua benda dapat dimiliki secara pribadi? Sebelum menjawab hal tersebut maka perlu dibedakan terlebih dahulu antara benda privat (private goods) dan benda publik (public goods). Benda yang memiliki karakteristik privat adalah apabila seseorang telah menggunakannya maka orang lain tidak bisa lagi gunakan. Sedangkan benda publik tidak mempengaruhi kemampuan orang lain untuk mengkonsumsi meskipun seseorang telah melakukannya. Contoh benda privat adalah mobil sedangkan benda publik adalah keamanan. (Cooter dan Ullen, 2012: 102-103) Dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, akan lebih efisien apabila benda privat dapat dimiliki secara perorangan sedangkan benda publik tetap dimiliki oleh masyarakat. Kata kunci untuk menentukan hal tersebut adalah eksternalitas, yang merupakan dampak yang tidak dikehendaki dari suatu tindakan. Berdasarkan biaya eksternalitas tersebut maka pemerintah bisa mendelegasikan kepada swasta untuk mengelola benda publik atau sebaliknya mengambil alih benda privat. Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat dua karakteristik dari hak milik. Pertama bahwa hak tersebut memberikan pemilliknya kewenangan untuk melarang orang lain untuk menggunakan atau memanfaatkannya tanpa izin. Kedua, bahwa hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. (Posner dan Landes, 2003:12) Meskipun berbeda karakteristik dengan hak milik secara fisik, HaKI juga menimbulkan hak eksklusif bagi pemegangnya serta dapat dialihkan kepada orang lain. Hal inalah yang sering dinilai oleh para penganut pendekatan hukum dan ekonomi bahwa dalam HaKI terdapat pertukaran antara insentif dengan akses. Akan tetapi menurut Posner dan Landes (2003:12-21), karakteristik dari HaKI lebih dari itu, yaitu juga melibatkan pertukaran antara keuntungan (benefit) dengan biaya (cost). Keuntungan dalam nomenklatur hak milik dapat dibagi dua, yaitu keuntungan statis dan keuntungan dinamis. Jika yang pertama berhubungan dengan konsep hak milik tradisional karena benda yang dapat dijadikan hak bersifat diam. Contohnya adalah tanah. Sedangkan HaKI
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
46
|
Eka An Aqimuddin, et al.
termasuk ke dalam keuntungan dinamis karena ada investasi terhadap invensi dan pengembangan dari sumber daya yang ada pada masa yang akan datang. Kedua karakteristik tersebut menimbulkan biaya transaksi yang berbeda (Posner dan Landes, 2003: 13) HaKI sebagai bentuk keuntungan dinamis karena berkaitan dengan hasil karya intelektual manusia dimana dalam proses penemuan atau penciptaan tersebut membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena terdapat biaya yang tinggi dalam HaKI maka sangat wajar untuk dilindungi karena jika tidak akan terdapat rent-seeking yang memanfaatkan hasil temuan atau ciptaan tersebut tanpa mengeluarkan biaya tinggi namun untung besar. Dampak lebih lanjutnya adalah bahwa proses invensi dan inovasi akan sulit berkembang. Meskipun demikian, perlindungan terhadap HaKI juga menimbulkan eksternalitas. Bentuk eksternalitas dari perlindungan HaKI yaitu bisa menghambat proses inevsi itu sendiri karena adanya karakteristik monopoli dalam HaKI. Individu atau industri akan mengeluarkan biaya yang besar jika akan melakukan penelitian untuk menemukan atau menciptakan produk baru. Dalam praktik saat ini HaKI meliputi hak-hak yang berkaitan dengan karya-karya sastra, seni dan ilmiah, invensi dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, merek jasa, tanda dan nama komersil, pencegahan persaingan curang, dan hak-hak lain hasil dari kegiatan intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan dan kesenian. (Pasal 2 ayat viii, Konvensi WIPO, 1967) Salah satu perjanjian dalam WTO (World Trade Orgnization) yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Adanya perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) menurut Pasal 7 TRIPs bertujuan untuk mewujudkan inovasi dan transfer teknologi yang menguntungkan antara pemegang HaKI dengan penggunanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, sejatinya perlindungan terhadap HaKI tidak semata-mata untuk pemegang HaKI melainkan terwujudnya keseimbangan dengan kepentingan masyarakat. Salah satu ketentuan HaKI yang diatur dalam TRIPs adalah mengenai perlindungan hak paten. Sebenarnya TRIPs tidak memberikan definisi tentang paten itu sendiri. Definisi paten dapat ditemukan dalam definisi yang dikeluarkan oleh WIPO, menurut lembagai HaKI dunia tersebut paten adalah (Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, 2003: 116) “A Patent is a legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention; the privilage is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribed condition” Berdasarkan definisi WIPO di atas, maka paten merupakan hak yang diberikan atas dasar hukum oleh pemerintah kepada pihak yang melakukan penemuan baru untuk jangka waktu tertentu atas dasar permohonan dan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Atas dasar definisi paten tersebut di atas kemudian Pasal 27 TRIPs menentukan subjek yang dapat dipatenkan. Menurut ketentuan Pasal 27 ayat 1 TRIPs paten dapat diberikan kepada setiap penemuan di bidang teknologi, baik produk maupun proses, yang mengandung kebaruan, langkah inventif dan dapat diaplikasikan dalam industri. Dengan demikian terdapat tiga syarat pokok yang harus dipenuhi untuk mendapatkan paten menurut ketentuan TRIPs yaitu mengandung kebaruan, langkah inventif dan dapat diaplikasikan dalam industri.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 47
TRIPs sendiri tidak menjelaskan lebih detil apa yang dimaksud dalam tiga unsur paten tersebut. Pengertian mengenai unsur-unsur paten tersebut dapat ditemukan dalam Paten Cooperation Treaty (PCT) yang dibuat pada tahun 1970.
a) Kebaruan (Novelty) Berdasarkan Pasal 33 (2), bahwa sebelum proses pemberian paten perlu adanya pemeriksaan pendahuluan. Salah satu pemeriksaan pendahuluan yang harus diperiksa adalah unsur kebaruan. “For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered novel if it is not anticipated by the prior art as defined in the Regulations” Pengertian kebaruan menurut PCT diartikan apabila invensi tersebut tidak dapat diantisipasi oleh penemuan sebelumnya yang diatur dalam regulasi. Ruang lingkup kebaruan (novelty) pada pasal tersebut adalah tidak terantisipasi oleh dokumen pembanding sebelumnya seperti yang didefinisikan dalam regulasi-regulasi dari badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan internasional (Rani Nuradi, 2011:30)
b) Langkah Inventif (Inventive Step) Pengertian langkah inventif menurut Pasal 33 ayat 3 PCT adalah : “For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered to involve an inventive step if, having regard to the prior art as defined in the Regulations, it is not, at the prescribed relevant date, obvious to a person skilled in the art.” Langkah inventif menurut ketentuan di atas selalu dikaitkan dengan produk atau proses paten sebelumnya (prior art). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 64 Regulasi PCT, prior art merupakan penyingkapan rahasia (disclosure) secara tertulis yang dilakukan dalam ruang publik dimanapun yang terjadi sebelum pengajuan permohonan paten baru diajukan. Jadi penentuan apakah dalam permohonan paten terdapat langkah inventif atau tidak selalu dikaitkan dengan paten sebelumnya dan waktu pengajuan.
c) Dapat diaplikasikan dalam industri Pengertian dapat diaplikasikan dalam industri diatur dalam Pasal 33 ayat 4 PCT yaitu: “For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered industrially applicable if, according to its nature, it can be made or used (in the technological sense) in any kind of industry.“Industry” shall be understood in its broadest sense, as in the Paris Convention for the Protection of Industrial Property.” Makna bahwa dapat diaplikasikan dalam industri berarti paten yang dimohonkan pada dasarnya dapat dibuat atau digunakan dalam setiap industri. Sedangkan pengertian industri dalam PCT mengacu pada Paris Convention yang sangat luas yaitu: “...not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products, for example, wines, grain, tobacco leaf, fruit, cattle, minerals, mineral waters, beer, flowers, and flour.” Dalam TRIPs juga ditentukan bahwa tidak semua hasil invensi dapat diajukan permohonan paten. Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa setiap negara peserta dapat memberikan pengecualian atas paten untuk alasan melindungi ketertiban publik (ordre public) atau moralitas, termasuk untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Pengecualian tersebut juga tidak boleh hanya didasarkan bahwa larangan tersebut telah diatur dalam hukum domestik. Ketentuan Pasal 27 ayat 2 berhubungan erat dengan Pasal 8 TRIPs mengenai prinsip dalam TRIPs. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap negara ketika membuat atau mengamandemen hukum HaKI dapat memasukkan ketentuan untuk melindungi kesehatan ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
48
|
Eka An Aqimuddin, et al.
masyarakat dan nutrisi serta kepentingan publik vital lainnya. Dengan demikian pengecualian paten atas dasar untuk melindungi kesehatan masyarakat mempunyai landasan pokoknya. Lisensi wajib di bidang paten diatur dalam Pasal 31 TRIPs. Lisensi wajib adalah tindakan pemerintah untuk memungkinkan pemberian izin kepada perusahaan, perwakilan pemerintah atau pihak lain untuk menggunakan paten tanpa kesepakat atau izin pemegang paten. (Carlos Correa,2000:93) Penggunaan paten oleh pihak lain tanpa izin diperbolehkan apabila penggunaan paten tersebut memenuhi persyaratan mulai dari proses permohonan awal untuk melaksanakan paten sampai dengan pemberian royalti yang memadai terhadap pemegang paten (Tomi Suryo Utomo, 2008:219). Akan tetapi perlu diingat bahwa penggunaan lisensi wajib di bidang paten tidak boleh dilakukan dengan melanggar tujuan dan prinsip dari dibentuknya TRIPs. Pasal 31 TRIPs menyatakan bahwa alasan dikeluarkannya lisensi wajib tidak dibatasi dengan alasan tertentu. Meskipun demikian, ketentuan tersebut tetap memberikan kewajiban yang bersifat substantif dan ketentuan mengenai prosedur pengajuan lisensi wajib (Frederick M. Abbott, 2005:319). Untuk hal yang substansial, Pasal 31 menentukan bahwa pemegang paten harus diberikan ganti rugi (royalti) yang sebanding (adequate) dan pemberian lisensi wajib tidak boleh bersifat eksklusif. Pengertian ekslusif adalah bahwa permohonan atas lisensi wajib harus dipertimbangkan atas dasar kemampuan aplikasi pemohon (ibid.) Perihal prosedural penggunaan lisensi wajib dapat dilakukan dalam dua keadaan. Untuk keadaan normal maka pemohon lisensi wajib harus mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang paten secara sukarela dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Sedangkan untuk keadaan non-normal atau fast track syarat untuk negosiasi meminta permohonan lisensi dari pemegang paten dapat dikesampingkan atas dasar kepentingan nasional atau keadaan darurat lainnya atau untuk kepentingan publik tetapi bersifat non komersil. Lisensi wajib dapat dihentikan apabila keadaan-keadaan yang menjadi dasar dikeluarkannya lisensi wajib dalam skema fast track sudah tidak ada. (ibid.) Pasal 31 (f) menyatakan bahwa pemberian lisensi wajib harus diutamakan (predominantly) untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Jadi hasil dari pemberian lisensi wajib tidak boleh ditujukan untuk ekspor. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila dilakukan untuk mengatasi masalah persaingan usaha. Relasi antara paten dan harga obat ternyata memiliki implikasi yang besar yaitu harga obat menjadi mahal sehingga akses masyarakat terhadap obat menjadi terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, memang terbukti bahwa adanya paten menyebabkan harga obat menjadi mahal (Tomi Suryo Utomo, 2009:1-3) Sebagai contoh adalah harga obat Flucanazole untuk penderita HIV/AIDS. Di India harganya hanya sebesar $55, sedangkan di Philipina harganya $697 dan Indonesia $703. Fakta tersebut terjadi karena Flucanazole di India tidak dilindungi paten (Alan O. Sykes: 2002) Adanya fakta tersebut membuat banyak orang mengkritik agar perlindungan paten terhadap obat agar dikecualikan saja. Namun, berdasarkan studi dari WHO-WTO, perlindungan paten di bidang obat dapat memberikan dampak positif terkait dengan riset dan inovasi di bidang obat. Setidaknya ada tiga alasan kenapa masih diperlukan perlindungan paten di bidang obat yakni, Pertama, dengan adanya paten akan menumbuhkan penemuan obat baru; Kedua, riset dan pengembangan di bidang obat sangat mahal sehingga adanya paten akan melindungi keuntungan komersial; Ketiga, tidak adanya paten maka ongkos untuk pembuatan obat palsu menjadi tinggi (WTO-WHO, 2002:92)
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 49
Meskipun dalam TRIPs terdapat pasal pelindung (safeguard) lisensi wajib, namun ketentuan tersebut menimbulkan beragam tafsir apabila diaplikasikan terhadap invensi di bidang obat. Berdasarkan usulan dari negara-negara berkembang dan organisasi non-pemerintah, maka dibuatlah Deklarasi Doha tahun 2001. Tujuan utama dari Deklarasi Doha adalah untuk mencari penjelasan terhadap penafsiran pasal-pasal pelindung, dalam hal ini lisensi wajib, yang terdapat dalam TRIPs (Tomi Suryo Utomo, 2009:25) Secara garis besar Deklarasi Doha berisi tujuh paragraf yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu paragraf pertama sampai empat merupakan bagian pendahuluan, bagian kedua adalah konfirmasi atas interpretasi terhadap beberapa ketentuan dalam TRIPs yang terdapat dalam paragraf lima dan bagian ketiga adalah mengenai operasionalisasi deklarasi yang terdapat dalam paragraf enam dan tujuh (Correa, 2002:5) Pada paragraf pertama deklarasi, negara-negara sadar bahwa kesehatan masyarakat di negara berkembang dan kurang berkembang sedang mengalami masalah serius khususnya untuk penyakit HIV/AIDS, TBC, Malaria dan penyakit endemik lainnya. Paragraf kedua dan ketiga menyatakan bahwa TRIPs harus ikut berperan dalam menyelesaikan masalah tersebut melalui perlindungan atas invensi obat baru. Meskipun tetap menekankan pentingnya perlindungan HaKI, namun negara peserta deklarasi juga menyadari bahwa ada keterkaitan antara perlindungn HaKI di bidang obat dengan harga yang menjadi tinggi. (Correa, 2002:7) Paragraf tiga dapat diartikan untuk mencari keseimbangan antara kepentingan perusahaan farmasi dan kepentingan konsumen seharusnya menjadi prioritas di dalam melaksanakan Perjanjian TRIPS. Paragraf ini juga menegaskan kembali hak hak pemegang paten dan pada saat yangbersamaan juga memasukkan permasalahan kesehatan masyarakat seperti harga obat yang terjangkau ke dalam paragraf tersebut. (Tomi Suryo Utomo, 2007: 125) Paragraf empat merupakan bagian inti (Tomi Suryo Utomo, 2007:125) sekaligus ketentuan paling kontroversial dan menimbulkan negosiasi paling alot (Correa, 2002: 9). Dalam paragraf ini negara peserta sepakat bahwa ketentuan dalam TRIPs tidak boleh mencegah negara peserta untuk mengambil tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan secara spesifik bahwa akses masyarakat terhadap obat merupakan bagian dari perlindungan atas kesehatan masyarakat. Menurut Correa (2002: 11) bahwa paragraf empat dapat ditafsirkan apabila terjadi benturan antara HaKI dan kesehatan masyarakat, maka ketentuan HaKI (TRIPs) tidak boleh menjadi penghalang untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pada bagian kedua dari paragraf keempat tersebut juga dinyatakan bahwa negara peserta dapat menggunakan secara penuh fleksibiltas yang terdapat dalam TRIPs untuk melindungi kesehatan masyarakat termasuk akses obat murah. Paragraf lima mendeklarasikan bahwa anggota WTO mempunyai hak untuk menafsirkan pasal-pasal yang membela kepentingan kesehatan masyarakat seperti diatur di dalam perjanjian TRIPS, termasuk lisensi wajib atau keadaan darurat nasional. Paragraf lima juga mendukung adanya penafsiran yang seimbang terhadap perjanjian TRIPS yang lebih didasarkan pada hukum internasional dari pada sudut pandang atau kepentingan pribadi dari anggota WTO (Tomi Suryo Utomo, 2007: 126) Paragraf enam deklarasi memberikan penegasan atas fakta ketidakmampuan beberapa negara anggota WTO yang tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi obat sendiri. Keadaan seperti itu akan menyulitkan negara-negara tersebut untuk memanfaatkan lisensi wajib secara efektif. Oleh karena itu, permasalahan ini akan diserahkan kepada Dewan TRIPs (council) untuk mencari
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
50
|
Eka An Aqimuddin, et al.
Paragraf tujuh mengatur tentang penekanan alih teknologi dari negara maju kepada negara berkembang dalam hal produksi obat. Negara-negara maju enggan untuk mengalihkan teknologinya ke negara-negara yang tidak menyediakan perlindungan HaKI yang memadai. Persoalannya adalah negara-negara terbelakang belum tunduk dengan perjanjian TRIPS dan belum menyediakan perlindungan hukum yang memadai. Akibatnya proses alih teknologi ke negara-negara terbelakang menjadi sangat sulit dan terhambat. Negara-negara terbelakang berharap bahwa Deklarasi Doha akan memfasilitasi alih teknologi seperti yang tertuang di dalam Pasal 66.2 Perjanjian TRIPS (Tomi Suryo Utomo, 2007: 127) Pada satu sisi fakta tersebut membenarkan bahwa harga yang harus di bayar oleh konsumen atas produk suatu obat ternyata di atas harga produksi. Namun di sisi lain perlindungan juga harus diberikan kepada inventor karena telah mengeluarkan biaya dalam melakukan riset untuk menemukan obat baru. Sebelum membahas tentang lisensi wajib paten, khususnya terhadap obat maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang karakteristik hukum paten dalam sudut pandang pendekatan hukum dan ekonomi. Secara sederhana, adanya hukum paten merupakan metode yang paling efisien untuk melindungi keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil riset dan pengembangan sekaligus memberikan dorongan bagi orang untuk melakukan inovasi dan pengembangan teknologi (Posner dan Landes, 2003:294) Efisien karena dengan adanya perlindungan melalui hukum biaya orang lain untuk meniru hasil invesi baik proses maupun produk menjadi tinggi. Selain itu juga memberikan hak kepada pemegang paten untuk memanfaatkan hak ekonomi dari apa yang telah inventor hasilkan. Dengan demikian, baik orang maupun industri akan memiliki jaminan atas hasil yang akan mereka temukan sehingga akan memicu untuk terus melakukan riset dan pengembangan. Bahwa tidak semua hasil dari invensi dapat dimintakan menjadi hak paten. Berdasarkan ketentuan PCT dan TRIPs terdapat tiga syarat agar invensi dapat dimintakan hak paten yang harus dipenuhi, yaitu:
1) 2) 3)
Kebaruan (novelty) Langkah Inventif Dapat diterapkan dalam industri (useful)
Syarat pertama mencegah inventor untuk membuang sumber daya-nya atas penelitian yang ternyata sudah pernah ada sebelumnya. Maksudnya adalah agar apa yang inventor riset dan kembangkan memang belum pernah dilakukan dan atau belum pernah didaftarkan. Hal ini dikarenakan dalam praktik negara-negara di dunia terdapat dua sistem dalam pemberian hak paten. Pertama yaitu dengan sistem penemu pertama, Kedua, siapa yang pertama mendaftarkan paten. Menurut Posner dan Landes (2003:303) dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, kedua sistem tersebut berpengaruh terhadap biaya untuk melakukan riset awal tentang ide invensi. Dalam melakukan pencarian ide invensi ada dua cara, pertama meneliti penelitan sebelumnya (prior art) yang bisa saja sudah dilakukan namun belum dipatenkan. Cara kedua adalah dengan melihat daftar paten yang terdapat dalam kantor paten di setiap negara. Diantara kedua cara tersebut, cara kedua menimbulkan biaya tinggi disebabkan karena tidak terdaftar dalam kantor paten maka seolah-olah invensi yang dilakukan adalah sesuatu yang baru. Padahal bisa jadi invensi tersebut telah dilakukan oleh orang lain namun tidak dipatenkan. Jika hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, maka pendaftaran yang dilakukan akan gagal karena tidak memenuhi unsur kebaruan.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 51
Akan tetapi tidak semua negara menganut sistem penemu pertama. Indonesia misalnya lebih menganut pada siapa yang pertama melakukan permohonan paten tersebut. Masalah yang timbul dari sistem siapa yang pertama melakukan permohonan adalah apabila terjadi klaim atas suatu paten yang dikeluarkan. Dari sisi pemerintah yang mengeluarkan hak paten akan lebih mudah karena tinggal melihat di daftar paten. Namun bagi masyarakat hal itu merugikan karena bisa jadi invensi yang dilakukan memang belum atau tidak didaftarkan. Mengapa secara ekonomi sistem siapa yang memohonkan paten untuk pertama tidak efisien karena karakteristik hak paten itu sendiri yaitu sekali invensi dilindungi maka inventor memiliki hak untuk melarang pihak lain menggunakannya serta menikmati nilai ekonomi invensi tersebut. Jika demikian yang terjadi maka yang dirugikan adalah masyarakat secara luas karena akan menimbulkan disinsentif. Syarat langkah inventif selalu berkaitan dengan unsur pertama yaitu kebaruan. Berdasarkan bunyi Pasal 33 ayat 3 PCT memang langkah inventif itu tidak boleh sama dengan invensi sebelumnya (prior art). Permasalahannya adalah bahwa dalam PCT sebuah invensi sebelumnya hanya dapat diakui apabila sudah ada disclosure yang dilakukan secara umum. Ketentuan tersebut sama sebenarnya dengan unsur kebaruan. Kedua unsur tersebut lebih menekankan kepada sistem pemohon pertama bukan penemu pertama. Syarat ketiga untuk dapat mengajukan permohonan paten adalah dapat diterapkan dalam industri. Syarat ini menurut Posner dan Landes (2003:303) memilki tiga pengertian dalam sudut pandang hukum dan ekonomi. Pertama adalah syarat tersebut dapat dibaca untuk menegasikan invensi di bidang penelitian-penelitian dasar (basic research). Artinya adalah untuk invensi di penelitian-penelitian dasar tidak dapat diminta permohonan paten. Kedua adalah untuk menunda invensi yang sedang dalam proses dan berpotensi untuk mendapatkan paten. Invensi tersebut belum sepenuhnya selesai, misalnya masih dalam bentuk purwarupa, maka tidak dapat dimohonkan paten. Ketiga adalah untuk mengurangi ongkos pencarian paten sebelumnya karena paten yang terdaftar hanyalah paten yang benar-benar berguna bagi industri. Sebelumnya sudah dijelaskan pembedaan antara benda privat dan benda publik. Untuk benda privat maka akan efisien jika diserahkan kepada swasta sedangkan benda publik akan lebih efisien jika dilaksanakan oleh negara. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa kesehatan manusia masuk dalam ranah benda publik. Salah satu faktor penting dalam menjaga kesehatan manusia adalah ketersediaan obat yang terjangkau bagi masyarakat. Atas asumsi tersebut maka akan lebih efisien jika perlindungannya dilakukan oleh publik (negara) Akan tetapi, dalam pendekatan hukum dan ekonomi, persoalan alokasi sumber daya sangat penting. Jika kesehatan manusia, termasuk menjamin ketersediaan obat yang terjangkau masuk dalam ranah benda publik apakah negara mempunyai sumber daya untuk melakukan itu? Dalam praktiknya, bahwa invensi di bidang farmasi selama ini dilakukan oleh industri. Hal ini terjadi karena biaya untuk melakukan riset dan pengembangan dalam bidang obat sangat mahal sedangkan alokasi anggaran suatu negara sangat terbatas. Fakta tersebut di atas telah dikonformasi dari hasil penelitian-penelitian empiris bahwa harga obat menjadi mahal karena adanya perlindungan paten. Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa harga jual yang ditentukan oleh industri jauh di atas biaya produksi obat. Hal ini dapat terjadi karena dalam paten memberikan hak eksklusif bagi pemegang paten. Oleh karena itu dalam sudut pandang hukum dan ekonomi hal tersebut tidak efisien. Untuk mengatasi hal tersebut sebenarnya TRIPs memberikan suatu jalan keluar yaitu membatasi masa keberlakuan hak paten selama 20 tahun. Jangka waktu itu merupakan insentif kepada inventor atas biaya yang telah mereka keluarkan untuk melakukan invensi. Akan tetapi
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
52
|
Eka An Aqimuddin, et al.
pemberian insentif tersebut menimbulkan akses tertutup bagi masyarakat untuk memperoleh harga obat yang murah. Inilah masalah yang terdapat dalam perlindungan HaKI yakni tidak dapat dihindarinya pertukaran antara insentif dengan akses. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah insentif yang diberikan sebanding dengan sulitnya masyarakat mendapatkan akses atas obat murah? Selain pembatasan melalui jangka waktu yang terbatas, TRIPs juga mengatur tentang lisensi wajib. Pengertian lisensi wajib paten adalah tindakan pemerintah untuk memungkinkan pemberian izin kepada perusahaan, perwakilan pemerintah atau pihak lain untuk menggunakan paten tanpa kesepakatan atau izin pemegang paten (Carlos Correa,2000:93) TRIPs mengatur ketentuan lisensi wajib paten dalam Pasal 31. Dalam pasal tersebut tidak menggunakan istilah lisensi wajib melainkan penggunaan paten oleh pihak lain tanpa izin. Kewenangan untuk melakukuan hal tersebut diperbolehkan apabila telah memenuhi berbagai persyaratan, mulai dari proses permohonan awal untuk melaksanakan paten sampai dengan pemberian ganti rugi (royalti) Dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, ketentuan lisensi wajib dibuat untuk menyeimbangi hak monopoli dan komersil pemilik paten. Di awal telah dibahas bahwa dalam hak paten akan terjadi pertukaran antara insentif dan akses yang terbatas. Lisensi wajib pada prinsipnya ingin memastikan bahwa insentif yang telah diberikan kepada pemilik paten digunakan dengan tidak merugikan kepentingan publik. Perlu diingat bahwa salah satu eksternalitas dari pemberian hak paten adalah memberikan hak eksklusif kepada pemegangnya baik untuk menggunakan sendiri maupun diberikan kepada pihak lain melalui lisensi. Penanggulangan sebuah eksternalitas akan menjadi efisien apabila dapat dilakukan internalisasi dampak tersebut kepada pelaku. Dalam hak paten, maka ketentuan TRIPs melakukan internalisasi melalui pengaturan lisensi wajib. Ketentuan Pasal 31 menyebutkan bahwa negara dapat dibenarkan untuk membuat regulasi untuk menggunakan paten tanpa izin dari pemegang paten. Penggunaan paten tanpa izin dapat dilakukan oleh pemerintah atau memberikan izin tersebut kepada pihak swasta lain. Dengan adanya ketentuan tersebut maka hak eksklusif pemegang paten dibatasi agar dijalankan sesuai dengan kepentingan publik. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka terdapat peluang bahwa hak pemegang paten akan diambil alih tanpa izin. Berdasarkan ketentuan tersebut maka biaya (cost) pemegang paten untuk menyalahi penggunaannya menjadi tinggi. Internalisasi biaya eksternalisasi kepada pemegang paten bukanlah tanpa masalah. Apabila usaha tersebut dilakukan tanpa perhitungan malah akan menimbulkan disinsentif sehingga tidak ada lagi pihak swasta yang mau investasi di bidang paten apabila jika suatu saat dapat diambil oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam TRIPs juga memberikan tindakan upaya pemulihan bagi pemegang paten. Ada dua ketentuan yang diberikan, yaitu pemberian kompensasi serta upaya hukum melalui peninjauan kembali. Kompensasi merupakan kewajiban bagi pengguna lisensi wajib. Persoalannya adalah seberapa besar jumlah yang diberikan kepada pemegang paten semula. TRIPs tidak menjelaskan secara rinci hanya mensyaratkan bahwa kompensasi dilakukan dengan jumlah yang layak (adequate). Penggunaan istilah kompensasi (royalti) dan bukan pembelian (purchase) dapat diartikan bahwa dalam lisensi wajib paten terdapat hubungan yang sewenang-wenang. Jika pembelian maka terjadi negosiasi antara pemegang paten dan pemohon, maka dalam
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 53
kompensasi tidak demikian. Selama persyaratan substansial dan prosedural permohonan lisensi wajib maka penggunaan paten tanpa otorisasi pemegang paten dapat dilakukan. Dengan adanya mekanisme pembayaran royalti kepada pemegang hak paten awal telah mencapai efisiensi dalam sudut pandang efisiensi Pareto. Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka pihak yang worst-off dalam ketentuan lisensi wajib telah mendapatkan imbalannya. Tentu saja jumlah kompensasi sekali lagi masih menjadi perdebatan berapa nilai yang harus diberikan. Hal tersebut bisa menimbulkan eksternalitas lain. Negara peserta TRIPs sepertinya sadar bahwa dengan adanya pengambilalihan secara paksa akan menimbulkan disinsentif bagi orang yang akan melakukan riset dan pengembangan. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 TRIPs bahwa penggunaan lisensi wajib paten termasuk dalam subjek yang dapat diuji legitimasinya. Dengan demikian, kondisi para pihak diposisikan seperti semula. Adanya dua ketentuan tersebut mengembalikan lagi insentif bagi orang untuk melakukan invensi dan memperoleh paten. Persoalan penting lain dari lisensi wajib dalam TRIPs adalah bahwa penggunaannya hanya untuk kepentingan domestik. Ketentuan ini sebenarnya dibuat untuk memacu industri di tiap negara agar mampu memproduksi sendiri produk paten tersebut. Permasalahannya adalah bahwa tidak semua negara memilki kemampuan untuk memproduksi hal tersebut. Selain itu, ketentuan lisensi wajib berusaha untuk mencegah agar negara-negara maju tidak memanfaatkan ketentuan tersebut untuk mengekspor produk mereka ke negara-negara berkembang. Ketentuan tentang hanya untuk memenuhi kepentingan domestik menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan lisensi wajib. Belum lagi apabila dikaitkan dengan paten yang umumnya membutuhkan proses dan teknologi yang rumit. Dari sisi pendekatan hukum dan ekonomi, ketentuan tersebut menimbulkan biaya yang tinggi bagi negara yang hendak membuat ketentuan tentang lisensi wajib. Dengan demikian, negara tidak bisa lagi seenaknya menggunakan kekuasaannya untuk mengambil alih paten apabila tidak diikuti kemampuan untuk memproduksinya bagi kebutuhan dalam negeri. Seperti telah dijelaskan di awal, bahwa lisensi wajib dalam Pasal 31 TRIPs merupakan ketentuan umum. Artinya ketentuan itu dapat digunakan untuk proses dan produk paten apapun. Sedangkan dalam penelitian ini hanya berkaitan dengan lisensi wajib di bidang obat. Oleh karena itu, negara-negara peserta WTO membutuhkan ketentuan lanjutan yang dapat menafsirkan lebih lanjut lisensi wajib di bidang obat. Akhirnya pada tahun 2001, pada pertemuan tingkat menteri WTO di Doha, Qatar, negara anggota WTO berhasil mengeluarkan sebuah deklarasi yaitu Doha Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health. Tujuan utama dari Deklarasi Doha adalah untuk mencari penjelasan terhadap penafsiran pasal-pasal pelindung, dalam hal ini lisensi wajib, yang terdapat dalam TRIPs (Tomi Suryo Utomo, 2009:25) Meskipun isi deklarasi sangat singkat, yaitu terdiri dari tujuh paragraf, namun telah memberikan penafsiran atas beberap hal yang masih rancu dalam TRIPs. Pada paragraf pertama dan kedua merupakan latar belakang sejarah kenapa negara anggota WTO berhasil membuat Deklarasi Doha, yaitu karena adanya pernyakit-penyakit endemis seperti HIV, Tuberkolosis dan lainnya yang terdapat di negara-negara berkembang. Timbulnya beragam penyakit endemik tersebut menimbulkan keyakinan bahwa TRIPs dapat memberikan peran dalam menanggulangi masalah kesehatan itu. Paragraf ketiga menjadi unsur penegas keterkaitan antara hak paten sebagai faktor pendorong invensi untuk menemukan obat baru dan pengaruhnya terhadap harga obat yang menjadi tinggi. Ketentuan ini dalam sudut pandang ekonomi memberikan penjelasan bahwa
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
54
|
Eka An Aqimuddin, et al.
perlindungan paten dalam bidang obat merupakan pertukaran antara insentif dengan akses. Negara anggtota WTO tinggal memilih salah satu opsi atau mencari titik tengah agar terjadi efisiensi dan distibusi biaya secara merata. Pada akhirnya, Paragraf 4 Deklarasi Doha menegaskan pilihan negara anggota WTO yaitu lebih mengutamakan akses masyarakat atas obat murah. Paragraf 4 juga menyatkan secara jelas bahwa akses terhadap obat murah merupakan bagian dari perlindungan terhadap kesehatan masyarakat (public health). Dengan demikian, dalam pembedaan antara barang publik dan barang privat, obat murah merupakan bagian dari barang publik. Sebagai barang publik, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan lebih efisien jika dilakukan oleh negara. Akan tetapi, perlu diingat adalah jika perlindungan atas obat diserahkan kepada negara maka akan menimbulkan beberapa eksternalitas negatif. Pertama adalah adanya free-rider. Dalam pendekatan hukum dan ekonomi, jika biaya suatu komoditas disubsidi oleh negara maka akan ada pihak yang mengambil keuntungan dari komoditas tersebut karena mereka menganggap tidak keluar biaya sama sekali. Dengan demikian, oleh karena semua biaya produksi obat ditanggung pemerintah maka orang akan cenderung menyalahgunakan harga obat yang murah tersebut. Eksternalitas kedua yang mungkin timbul adalah disinsentif bagi industri untuk melakukan riset dan pengembangan obat baru. Dalam satu sisi pendapat tersebut ada sebenarnya. Jika harga obat bisa murah dengan diproduksi oleh negara lantas buat apa industri melakukan riset dan pengembangan obat baru jika pada ujungnya pemerintah akan mengambil alih melalui lisensi wajib. Seperti diketahui bahwa biaya riset pengembangan obat baru sangat mahal dan industri berharap dengan berinventasi dalam invensi di bidang obat maka mereka akan mendapatkan keuntungan melalui perlindungan paten. Paragraf 5 Deklarasi Doha sekali menegaskan aturan dalam Pasal 31 TRIPs. Jika dalam pemberian lisensi wajib paten dalam Pasal 31 TRIPs setiap negara diberi kebebasan untuk menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan maka keluasan argumentasi pemberian lisensi wajib paten di bidang obat pun sama. Ketentuan ini tentu saja berkaitan dengan ketentuan dalam paragraf sebelumya yaitu salah satunya untuk melindungi kesehatan publik. Dalam paragraf yang sama negara juga diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang dimaksud dengan darurat nasional (national emergency) dan keadaan penting darurat lainnya (other circumstances of extreme urgency). Salah satu contoh yang dimasukkan dalam Paragraf 5 adalah krisis dalam kesehatan masyakat seperti penanggulangan HIV, TBC, Malaria dan penyakit epidemik lainnya. Meski menyebutkan contoh, hal tersebut tidak berati bahwa penyebutan tersebut merupakan batasan. Bunyi Paragraf 5 sangat menggambarkan kemenangan kepentingan negara-negara berkembang atas kepentingan negara maju yang dianggap mewakili kepentingan industri maju. Dalam praktik, pencantuman ketentuan lisensi wajib paten bidang obat di beberapa negara kerap mendapatkan perlawanan oleh industri melalui jalur pengadilan. (Tomi Suryo Utomo, 2009:27) Persoalan sulitnya penerapan dalam Pasal 31 (f) TRIPs mengenai penggunaan lisensi wajib paten hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, Permasalahan utama terhadap Paragraf 6 Deklarasi Doha adalah berkaitan dengan pelaksanaannya di negara-negara berkembang dan terbelakang yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi produkproduk farmasi. Dalam hal ini terjadi pertentangan dengan pasal 31 TRIPs pelaksanaan lisensi wajib di negara-negara WTO adalah untuk pasar domestik saja. Dengan demikian, produksi obat-obatan berdasarkan lisensi wajib tidak boleh diimpor atau keluar negara lain. Akibatnya, negara-negara dengan kapabilitas yang tidak mencukupi atau negara yang sama sekali tidak
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten ...
| 55
mempunyai kemampuan di dalam memproduksi obat-obatan mengalami hambatan dalam memanfaatkan lisensi wajib. (Tomi Suryo Utomo, 2007: 129) Berdasarkan bunyi Paragraf 6 Deklarasi Doha maka jalan keluar terhadap permasalahan implementasi lisensi wajib akan dibahas oleh Dewan TRIPs (The TRIPs Council).. Pada tanggal 30 Agustus 2003, Dewan TRIPs telah mencapai sebuah konsensus mengenai keberadaan Paragraf 6 Deklarasi Doha dengan mengeluarkan Keputusan Dewan Umum terhadap Paragraf 6 Delakrasi Doha Tahun 2003. (Tomi Suryo Utomo, 2007: 31) Hasil dari keputusan Dewan TRIPs tersebut menghasilkan amandemen terhadap Pasal 31 TRIPs dengan menambahman Pasal 31 bis. Menurut Tomi Suryo Utomo, (2007: 34) Pasal tambahan tersebut berisi ketentuan secara umum mengenai cara melaksanakan lisensi wajib baik bagi negara pengimpor maupun bagi negara pengekspor. Pasal 31 bis tidak jauh berbeda dengan keputusan Dewan TRIPs tahun 2004. Salah satu hal penting adalah terkait dengan royalti, yaitu dalam pasal tambahan dinyatakan bahwa kompensasi harus diberikan berdasarkan nilai ekonomi dari paten tersebut. Dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, Keputusan Dewan TRIPs dan Pasal 31 bis TRIPs membuka akses bagi negara untuk mendapatkan harga obat yang muraha meskipun dengan cara impor. Ketentuan tersebut tentu saja bisa merugikan pemegang paten yang telah memasarkan obat tersebut dalam negara pengimpor. Regulasi tersebut bisa saja menimbulkan disinsentif bagi industri farmasi namun berhasil ditanggulangi dengan memberikana hak menerima kompensasi yang nilainya didasarkan dengan nilai ekonomi paten tersebut. Dengan diwajibkannya memberikan kompensasi maka kebijakan lisensi wajib berdasarkan Deklarasi Doha, Keputusan Dewan TRIPs dan Pasal 31 bis sudah memenuhi kriterisa efisiensi Pareto. Oleh karena itu eksternalitas negatif dari regulasi tersebut sudah dapat diatasi.
3.
Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah sebagai
berikut: 1. Dalam sudut pandang hukum dan ekonomi, ketentuan lisensi wajib paten dalam TRIPs dibuat untuk menyeimbangi hak monopoli dan komersil pemilik paten. Lisensi wajib paten pada prinsipnya ingin memastikan bahwa insentif yang telah diberikan kepada pemilik paten digunakan dengan tidak merugikan kepentingan publik. Berdasarkan sudut pandang hukum dan ekonomi, lisensi wajib paten telah memenuhi unsur efisiensi Pareto. 2. Berdasarkan pendekatan ekonomi terhadap hukum, pengaturan lisensi wajib paten atas obat dalam TRIPs dan Deklarasi Doha 2001 telah berhasil mencari titik temu antara insentif dan akses yang berujung pada pemenuhan efisiensi Pareto dan distribusi pendapatan. Daftar Pustaka Cooter, Robert and Thomas Ulen, (2003), Law and Economics, Boston: Pearson Edu Hanim, Lutfiyah. dan Jhamtami, Hira. (2010) Membuka Akses Pada Obat Melalui Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Indonesia, Yogyakarta: INSISTPress Ibrahim, Johnny, (2009) Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, Surabaya: PMN & ITS Press
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 5, No.1, Th, 2015
56
|
Eka An Aqimuddin, et al.
Khor, Martin, (2009) Patent, Compulsory Licences and Access to Medicines; Some Recent Experiences, Malaysia: Third World Network. Landes, M. William and Richard A. Posner, The Economic Structure of Intellectual Property Law (2003) USA: The Belknap Press of Harvard University Press Posner, Erick and Alan O. Sykes (2012), Economic Foundations of International Law, USA: Harvard University Press Posner A., Richard. (1992) Economic Analysis of Law, Boston: Little, Brown and Company Usman, Rachmadi, (2003)Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: Alumni
Jurnal Suryo Utomo, Tomi. (2007) Deklarasi Doha dalam Perspektif Akses Obat Murah dan Terjangkau, UNISIA, Vol. XXX, No. 64 -----------------------, (2007) Implikasi Pasal-Pasal Pelindung (The TRIPs Safeguards) Dalam UU Paten Indonesia: Kritik, Evaluasi Dan Saran Dari Perspektif Akses Terhadap Obat Yang Murah Dan Terjangkau, Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 2 ----------------------, (2009) Implementasi Lisensi Wajib Terhadap Produk Obat Yang Di Petenkan Pasca Deklarasi Doha, Jurnal Refleksi Hukum, Edisi April ----------------------, (2008) Eksistensi “The TRIPs Safeguards” di Dalam Perjanjian TRIPs: Dalam Perspektif Kesehatan Masyarakat, Mimbar Hukum, Vol. 20, No.2
Working Paper, Material Correa, Carlos, (2000), Integrating Public Health Concerns into Patent Legislation in Developing Countries, the South Centre, Swiss. ----------------, (2002), Implications of Doha Declaration on The TRIPs Agreement and Public Health, WHO, Jenewa, Swiss. JICA dan Dirjen HaKI, (2004) Capacity Building Program on The Implementation of The WTO Agreements in Indonesia (TRIPS Component): Training Material on Enforcement of Intellectual Property Rights, Jakarta: Kemenkumham. Kaplow, Louis and Steven Shavell (1999) Economic Analysis of Law, Forthcoming Book. Polinsky, A. Mitchell and Steven Shavell,(2005) Economic Analysis of Law, Forthcoming Book. Pramudya Oktavinanda, Positivisme Hukum Dan Pendekatan Hukum Dan Ekonomi -- Suatu Pembelaan, Makalah Disampaikan Pada Konferensi Nasional Filsafat Hukum, 2013. Sykes, O. Alan. (2002) TRIPs, Pharmaceuticals, Developing Countries, and the Doha “Solution”, John M. Olin Law & Economics Working Paper, No. 140, Chicago.
Tesis Nuradi, Rani. (2011) Fleksibiltas TRIPS Terhadap Kesehatan Masyarakat, Tesis, Unpad, Bandung.
Instrumen Internasional WTO Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Rights, 1994. Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health, 2001. Decision on Implementation of Paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, 2003.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora