Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013 11 September 2014 – FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Meiry Fadilah Noor Nanda Saridewi Erina Hertanti
Desain cover: Siti Robiah Hazan Iin Safrina
Layout: Adi Ilhami
ISBN : 978-602-17290-2-1
Diterbitkan Oleh: Jurusan Pendidikan IPA Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat, Tangerang Telp. (021)7443328 / Fax. (021)7443328
i
KATA PENGANTAR Assalamu’ alaikum wr.wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan Inayah-Nya Seminar Nasional Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar ini bertemakan “Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013.” Seminar ini diikuti oleh guru IPA/Sains di SD, SMP, SMA, SMK; dosen LPTK, pemerhati pendidikan serta mahasiswa. Seminar nasional ini merupakan program kerja Jurusan Pendidikan IPA tahun 2014 untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan potensi diri guru atau calon guru menjadi lebih profesional dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga pengajar. Informasi yang didapatkan berupa: Penggunaan penelitian kependidikan dalam jenis, teknis, dan instrumen penilaian; Pengembangan karya teknologi; serta Penulisan dan publikasi karya ilmiah. Makalah dan abstraksi yang disampaikan berasal dari pemakalah utama dan pemakalah pendamping. Bahasan makalah berupa hasil penelitian atau pemikiran yang berkaitan dengan evaluasi pembelajaran serta pengembangan/penggunaan media pembelajaran. Kumpulan makalah ini, diharapkan dapat berguna dalam pembelajaran yang disesuaikan dengan Kurikulum 2013. Atas nama Jurusan Pendidikan IPA, kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan FITK, narasumber utama, pemakalah, peserta seminar dan panitia yang telah memberikan dukungan atas terselenggaranya seminar nasional ini. Terimakasih juga terucapkan kepada para sponsor yang memberikan dukungan serta sarana untuk kegiatan ini. Semoga kegiatan ini bermanfaat untuk peningkatan kualitas pendidikan IPA di Indonesia. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Jakarta, September 2014
Panitia
ii
DAFTAR ISI Halaman Resume Keynote Speaker 1. Penelitian Pendidikan: Jenis, Teknis, dan Instrumentasi Oleh : Harry Firman. .......................................................................................................................................... 1 Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 10 2. Pembelajaran Saintifik yang Mengintegrasikan TIK Oleh : Uwes Anis Chaeruman .......................................................................................................................... 12 Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 17 3. Kiat Menulis dan Mempublikasikan Karya Ilmiah Oleh: Ely Djulia................................................................................................................................................ 19 Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 22
Abstrak Paralel 4. Analisis Kelayakan Course-Ware untuk Perkuliahan Fisiologi Hewan bagi Mahasiswa Calon Guru Biologi Oleh : Adeng Slamet dan Ijang Rohman .......................................................................................................... 26 5. Profil Kemampuan dan Hambatan Guru dalam Mengembangkan Profesi Melalui Karya Tulis Ilmiah Oleh : Suciati Sudarisman ............................................................................................................................... 33 6. Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya yang Dianalisis Menggunakan Three-Tier Test pada Siswa SMP Oleh : Uswatun Khasanah, Muslim, dan Achmad Samsudin .......................................................................... 37 7. Kreativitas Guru Biologi dalam Merencanakan Pembelajaran Biologi SMA Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal Oleh : Asep Agus Sulaeman, Liliasari, Sri Redjeki, dan Dewi Sawitri .......................................................................................................................................................................... 44 8. Demystifying Math and Science Phobia by Using A Module For Rebuilding Learning Concepts Based on Spiral-Integrated Curriculum and Problem Based Learning (PBL)-Mapping Oleh : Ludjeng Lestari ...................................................................................................................................... 54 9. Rekonstruksi Didaktis Bahan Ajar Perkuliahan Penelitian Laboratorium (PL) Konteks Batu Gamping Berbasis Problem Solving-Decision Making (PSDM) Oleh : Florida Doloksaribu , Ahmad Mudzakir , Hayat Sholihin, Fransisca Sudargo .......................................................................................................................................................................... 60 10. Pemanfaatan Jejaring Sosial “Facebook” pada Diskusi Isu Sosiosaintifik untuk Mengembangkan Keterampilan Berargumentasi Mahasiswa Oleh : Yanti Herlanti ........................................................................................................................................ 68 11. Meningkatkan Literasi Sains Siswa pada Aspek Proses Sains Melalui Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif Oleh : Evi Sapinatul Bahriah ............................................................................................................................ 79
iii
12. Kajian Evaluasi Hasil Belajar Melalui Penerapan Penilaian Berbasis Kelas pada Program Studi Berbasis Sains di Lingkungan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh : Ai Nurlaela dan Erina Hertanti ............................................................................................................. 85 13. Efektivitas Penerapan Pembelajaran Aktif Tipe Mind Maps untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa dalam Kuliah Fisika Teknik Oleh : Usmeldi.................................................................................................................................................. 96 14. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Game terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Momentum dan Impuls Oleh : Ilusi Pangarti dan Erina Hertanti ......................................................................................................... 101 15. Perbedaan Penggunaan Media Pembelajaran Animasi dan Komik terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Sistem Pencernaan (Kuasi Eksperimen di SMP Negeri 1 Parung) Oleh : Lola Novitasari, Meiry Fadilah Noor, dan Ahmad Sofyan ................................................................. 110 16. Perbedaan Hasil Belajar Biologi antara Penggunaan Kartu Card Sort dengan Index Card Match pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia Oleh : Titik Kadarsih, Meiry Fadilah Noor, dan Nengsih Juanengsih .......................................................... 116 17. Pengaruh Media Audio-Visual (Video) terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI pada Konsep Elastisitas Oleh : Ika Risqi Citra Primavera dan Iwan Permana Suwarna ....................................................................... 122 18. Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Mengoptimalkan Praktikum Virtual Laboratory Materi Induksi Elektromagnetik Oleh : Novitasari, Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng ......................................................................... 130 19. Pengaruh Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Menggunakan LKS terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah Oleh : Kosim dan Yuyu Sudarmini ................................................................................................................ 140 20. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan Representasi Chemistry Triangle terhadap Hasil Belajar Siswa untuk Materi Asam Basa Kelas XI SMA Oleh : Iryani, Mawardi dan Andromeda ......................................................................................................... 146 21. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Learning Cycle 7e Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran Konstruktivisme Konsep Sistem Peredaran Darah Oleh : Nengsih Juanengsih, Zulfiani dan Ina Septi Wijaya ............................................................................ 154 22. Analisis Literasi Lingkungan Siswa pada Penggunaan Bahan Ajar Buku Suplemen Berbasis Pendidikan Lingkungan Oleh : Irzaqotul inayah .................................................................................................................................. 161
iv
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Keynote Speaker 1 PENELITIAN PENDIDIKAN: JENIS, TEKNIS, DAN INSTRUMENTASI Harry Firman Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Makalah ini mengupas elemen-elemen dasar dari penelitian pendidikan pendidikan, baik penelitian akademik untuk pengembangan teori maupun penelitian berbasis kelas untuk penyelesaian masalah praktis pembelajaran. Lingkup makalah meliputi hakekat penelitian pendidikan, paradigma-paradigma penelitian pendidikan, jenis, desain, dan teknis penelitian, serta instrumen penelitian. Fokus makalah tertumpu pada isu-isu pokok dalam penelitian pendidikan, yang mencakup fungsi penelitian, kontinum penelitian kuantitatif dan kualitatif, desain-desain dasar dan ranah-ranah mutakhir bagi penelitian pendidikan IPA, serta penelitian tindakan kelas (PTK) sebagai penelitian oleh praktisi pendidikan. Secara khusus makalah menguraikan posisi instrumen penilaian sebagai alat pengumpul data serta obyek dari penelitian pendidikan itu sendiri.
PENDAHULUAN Penelitian pendidikan (educational research) dapat dimaknai sebagai penyelidikan secara sistematik, cermat, dan mendalam, untuk menjawab masalah praktis dalam pendidikan dan/atau berkontribusi pada pengembangan teori pendidikan (McMillan & Wergin, 2002). Hasil penelitian pendidikan ialah pengetahuan baru (fakta-fakta, relasi-relasi, dan hubungaan kausal) tentang fenomena pendidikan tertentu yang belum terungkap sebelumnya. Dengan pengetahuan baru tersebut, fenomena pendidikan terkait dapat lebih dimengerti. Pengetahuan baru hasil penelitan, disamping mengembangkan teori kependidikan, juga memperkaya praktisi pendidikan dengan pedoman yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah praktis pendidikan secara efektif. Dari segi fungsinya, penelitian pendidikan dapat dipandang sebagai suatu kontinum dengan salah satu ujungnya penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research) sebagai ujung lainnya Penelitian terapan berfungsi memecahan masalah praktis pendidikan. Sementara itu penelitian dasar berfungsi mengembangan teori kependidikan, apakah membangun teori (to generate a theory), menguji teori (to test a theory), atau menyempurnakan teori (to refine a theory) (McMillan, 2012). Posisi suatu penelitian pendidikan dapat berada pada satu titik tertentu dalam kontinum tersebut, bergantung pada sifat penelitiannya. Penelitian dasar tidak dituntut untuk dapat menghasilkan temuan yang segera dapat diterapkan dalam praktek. Kalaupun ternyata dapat diterapkan segera untuk pemecahan masalah praktis, hal itu sebetulnya bukan tujuan utamanya. Sebaliknya, walaupun tidak menjadi tujuannya, penelitian terapan mungkin saja dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu kependidikan. Salah satu jenis penelitian yang tergolong penelitian terapan dalam bidang pendidikan adalah “penelitian tindakan kelas (PTK)” atau “classroom action research (CAR)”, yakni penelitian oleh guru sebagai praktisi professional pendidikan untuk memecahkan masalah sehari-hari pembelajaran yang dihadapi. Selain itu, terdapat jenis penelitian yang dinamakan penelitian evaluasi, yang diarahkan untuk memberikan informasi sebagai landasan pembuatan keputusan tentang suatu program pendidikan, apakah dapat dijalankan, apakah efektif, apakah sesuai dengan tujuannya, apakah dampak-dampaknya, dsb. (Gay et al., 2009). Upaya peningkatan mutu pendidikan IPA di Indonesia perlu berbasis pada kajian ilmiah, sehingga memungkinkan upaya tersebut menghasilkan solusi-solusi yang efektif. Oleh karena itu penelitian-penelitian perlu dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan dalam bidang pendidikan IPA secara serempak, baik oleh akademisi maupun praktisi pendidikan IPA. Makalah ini selanjutnya memaparkan secara lebih rinci
1
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
paradigma-paradigma penelitian, desain dan teknis penelitian, ranah-ranah penelitian dalam pendidikan IPA, serta instrumen penelitian. Diharapkan paparan ini dapat menginspirasi dan memperkuat penelitian dalam pendidikan IPA, baik untuk pengembangan teori maupun pemecahamn masalah praktis pendidikan. PARADIGMA-PARADIGMA PENELITIAN PENDIDIKAN Istilah paradigma (paradigm) digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan penelitian yang diterapkan oleh peneliti pada umumnya dalam satu kurun waktu tertentu (Taber, 2013). Dalam konteks pendidikan, sampai sekarang banyak penelitian dilakukan dalam paradigma positivistik, yaitu merujuk pada penelitian dalam Sains yang menitikberatkan pengujian-pengujian hipotesis dengan eksperimen terkendali, randomisasi, dan analisis statistik inferensial, untuk menemukan hukum umum (generalisasi) dalam fenomena pendidikan. Namun, kompleksitas fenomena pendidikan dipandang kurang memadai jika dikaji dengan paradigma positivistic. Bersamaan dengan itu sejumlah peneliti mengembangkan paradigma baru dalam penelitian pendidikan, yang dikenal sebagai paradigma interpretif (pasca-positivistik), yang bertumpu pada eksplorasi dan interpretasi sifat-sifat khusus kasus-kasus individual secara kualitatif. Jika paradigma positivistik mengarahkan penelitian konfirmatori (pembuktian) teori secara kuantitatif, maka paradigma pasca-positivistik (interpretif) mengarahkan penelitian eksploratori secara kualitatif. Penelitian pendidikan dapat berupa penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Kembali perlu ditegaskan bahwa perbedaan keduanya bukan dikhotomi, melainkan suatu kontinum. Banyak penelitian berada pada posisi tertentu dalam kontinum itu, dalam arti menggunakan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif sekaligus sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkannya. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami suatu fenomena pendidikan secara mendalam dan holistik. Sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan untuk menentukan fakta, hubungan, dan pengaruh. Penelitian kualitatif terikat konteks (context-bound) sehingga tak dapat digeneralisasi ke dalam konteks lain, sementara itu penelitian kuantitatif justru mencari generalisasi (kesimpulan umum) yang bebas konteks (context-free). Jika penelitian kualitatif mempelajari fenomena secara holistik (menyeluruh), maka penelitian kuantitatif justru terfokus pada faktor atau variabel tertentu secara terpisah. Dalam pengumpulan data, penelitian kuantitatif bertumpu pada desain, prosedur dan alat ukur standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan dalam penelitian kualitatif prosedur pengumpulan data lebih fleksibel, dilakukan oleh peneliti sendiri (peneliti sebagai instrumen) dan memanfaatkan banyak cara (multimethods). Untuk meyakinkan peneliti dalam menarik kesimpulan, peneliti melakukan “triangulasi”, yakni memperhatikan informasi tentang suatu aspek yang diteliti dari lebih dari satu sumber. Sementara itu, laporan penelitian kuantitatif lebih menitikberatkan pada presentasi angka dan statistik, sedangkan laporan penelitian kualitatif didominasi oleh deskripsi naratif. Dewasa ini berkembang penelitian pendidikan yang menerapkan kedua paradigma penelitian secara terintegrasi dalam bentuk metode campuran (mixed-method), yang memungkinkan peneliti dapat mengatasi keterbatasan tradisi penelitian kuantitatif dan penelitian kuantitatif. Metode campuran dapat menjadi metode yang tepat untuk penelitian yang bertujuan mengungkap sekaligus suatu keterkaitan dan menyediakan eksplanasi bagi keterkaitan tersebut (McMillan, 2012). DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN Teknik penelitian tidak terlepas dari desain penelitian, yaitu bagaimana penelitian dijalankan. Oleh karena itu paparan tentang teknik-teknik penelitian dikemukakan dengan merujuk pada desain penelitiannya. 1. Eksperimen/Quasi-eksperimen/Pra-eksperimen Eksperimen adalah suatu desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki pengaruh suatu perlakuan (treatment) terhadap sekelompok subyek (Fraenkel & Wallen, 2006). Dalam penelitian eksperimen satu variabel (variable eksperimen) secara sengaja “dimanipulasi” (divariasikan) oleh peneliti untuk menentukan pengaruh dari variasi tersebut. Sementara itu variabel-variabel lain (extraneous variable) yang secara teoritis berpengaruh pada hasil eksperimen, dikendalikan (dikontrol) dengan pelbagai cara, antara lain memilih anggota kelompok eksperimen dan anggota kelompok kontrol sebagai pembanding secara acak
2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
(random). Selanjutnya kelompok eksperimen dikenai perlakuan (treatment), yakni dikenai variabel yang dimanipulasi tersebut, sementara kelompok pembanding tidak menerima perlakukan tersebut. Dampak variasi dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran pasca perlakukan (post-test) terhadap kedua kelompok tadi. Untuk lebih meyakinkan bahwa dampak tadi memang karena perlakuan, acapkali pre-test dilakukan dan selisih antara post- dan pre-test (gain atau normalized-gain) turut diperbandingkan. Dalam prakteknya sangat sulit untuk memilih anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara acak, sebab dalam setting alaminya di persekolahan siswa telah dikelompokkan ke dalam rombonganrombongan belajar tertentu. Dengan demikian keacakan pemilihan sampel penelitian tak terpenuhi. Penelitian yang tidak bertumpu pada keacakan (randomness) dalam penugasan kelompok eksperimen dan kelompok, dinamakan penelitian quasi-eksperimen. Namun bukan berarti kedua kelompok sampel dibiarkan tidak setara, karena yang diambil adalah dua kelompok yang lebih mempunyai kesamaan di antara keseluruhan kelompok yang tersedia. Berdasarkan indikator-indikator tertentu ditunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut “setara”, misalnya dari tingkat kecerdasan rata-rata siswa, perolehan hasil belajar, fasilitas belajar yang dipunyai, lingkungan belajar yang dialami, dan lain sebagainya. Sebagai contoh penelitian quasi-eksperimen, seorang peneliti ingin meneliti dampak dari penggunaan media pembelajaran berbasis Information and communications technology (ICT) terhadap pemahaman siswa ketika mempelajari topik struktur atom di kelas satu SMA. Ia memilih dua kelas satu di suatu sekolah yang berdasarkan indikator-indikator rata-rata kelas dalam prestasi belajar, tingkat status ekonomi sosial, dsb. tidak berbeda. Tidak mungkin peneliti membentuk kelas eksperimen dan kelas kontrol sendiri secara acak. Oleh karenanya salah satu kelas ditugasi sebagai kelompok eksperimen (akan menerima perlakukan eskperimen) dan yang lainnya dijadikan kelompok pembanding. Selanjutnya pembelajaran berbasis ICT diterapkan pada kelas eksperimen, sedangkan kelas pembanding menerima pengalaman belajar konvensional. Waktu belajar dan ruang lingkup materi pembelajaran kedua kelas disamakan (dikontrol). Setelah materi pelajaran selesai diajarkan, kepada dua kelas tersebut diberikan suatu tes yang sama, yang mengukur pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut, untuk kemudian diperbandingkan rata-rata skor tes kedua kelompok tersebut secara statistika. Dalam kondisi tertentu yang sangat terbatasi, peneliti terpaksa melakukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh satu fakor yang dihipotesiskan sebagai sebab dengan pengendalian minimum bahkan tidak dilakukan sama sekali terhadap fakor-faktor lain. Metode penelitian seperti ini dinamakan praeksperimen. Oleh karena tidak menggunakan kelompok pembanding, maka sangat sukar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan tetang hubungan kausal dengan penelitian pra-eksperimen. Perbedaan antara hasil post-test dan pre-test (Gain dan Normalized Gain) yang seringkali dijadikan andalan peneliti sebagai bukti adanya pengaruh perlakuan, mungkin saja diakibatkan oleh faktor-faktor lain selain variabel penelitian. Ada tidaknya pengaruh perlakuan dievaluasi dari perbedaan antara selisih nilai post-test dan pre-test pada eksperimen pertama dan eksperimen kedua. 2. Bukan-Eksperimen Beberapa tipe penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode non-eksperimen, yakni penelitian deskriptif, penelitian komparatif, penelitian korelasional, serta penelitian “ex-post facto” (McMillan & Wergin, 2002). Penelitian deskriptif memaparkan suatu fenomena dalam pembelajaran dengan ukuran-ukuran statistik, seperti frekuensi, persentase, rata-rata, variabilitas (rentang dan simpangan baku), serta citra visual dari data misalnya dalam bentuk grafik. Sebagai contoh, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi topik-topik materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit oleh siswa kelas VI SMP di Kota Bandung. Untuk mengumpulkan data, dilakukan survei dengan instrumen kuesioner terhadap sejumlah siswa yang menjadi “sample”dalam penelitian ini. Kekuatan penelitian seperti ini bergantung pada ketepatan melakukan “sampling”, sehingga jumlah anggota sampel yang terbatas itu (misalnya 3-5% dari populasi) dapat representatif (mewakili) populasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari sampel dapat disimpulkan tentang kondisi populasi, yakni topik-topik materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit. Teknik penarikan sampel (sampling technique) dapat dipelajari secara khusus dari buku-buku statistika.
3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Penelitian komparatif meninjau hubungan antara dua atau lebih variabel dengan melihat perbedaan yang ada pada dua atau lebih kelompok subyek penelitian. Jadi, masing-masing kelompok diperbandingkan dari variabel tertentu yang diselidiki. Sebagai contoh suatu penelitian berusaha meninjau hubungan antara tingkatan kelas dan minat pada pelajaran kimia di suatu sekolah, dengan mensurvei minat siswa kelas X, kelas XI, dan kelas XII terhadap pelajaran kimia, dan membedakannya satu sama lain secara statistika (misalnya analisis varians untuk perbedaan antar rata-rata), sehingga hubungan antara minat terhadap pelajaran kimia dan tingkatan kelas dapat disimpulkan. Namun demikian, hubungan yang ditemukan dari penelitian komparatif ini, tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai hubungan kausal (sebab-akibat). Penelitian korelasional menyelidiki hubungan di antara variabel-variabel, yang diungkapkan dengan nilai koefisien korelasi. Untuk mencari korelasi, setiap subyek penelitian memberikan satu skor untuk masing-masing variabel yang diteliti, sehingga terdapat dua himpunan skor yang jika dihitung nilai koefisien korelasinya memperlihatkan derajad kekuatan hubungan di antara variabel-variabel yang diselidiki hubungannya. Contoh penelitian korelasional adalah penelitian tentang kekuatan hubungan antara IQ dengan kemampuan belajar fisika siswa SMA. Contoh lain adalah penelitian tentang daya prediksi nilai kimia tes SBMPTN terhadap IPK mahasiswa program studi kimia di perguruan tinggi. Jika penelitian korelasional melibatkan lebih dari dua variabel sekaligus, maka teknik analisis statistikanya yang lebih rumit diperlukan dalam analisis data, misalnya regresi ganda. Hanya jika keterkaitan hubungan antar variabel dapat dijelaskan secara teoretik, maka korelasi antarvariabel tersebut dapat dimaknai sebagai hubungan kausal. Penelitian “ex-post facto” (setelah terjadi), yang seringkali disebut juga penelitian kausal-komparatif, pada dasarnya merupakan penelitian non-eksperimen yang dipoles sehingga nampak seperti suatu eksperimen. Studi ex-post facto menguji suatu fenomena yang telah terjadi dan berusaha menarik kesimpulan tentang adanya hubungan-hubungan kausal. Contoh pertayaan penelitian dari studi ex-post facto: Apakah siswa SMA yang mengikuti bimbingan belajar mempunyai prestasi belajar biologi lebih tinggi daripada siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar dalam SBMPTN? Pada studi ini mengikuti bimbingan tes dapat dipandang sebagai “perlakuan”, dan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam SBMPTN diselidiki dari perbedaan rata-rata nilai prestasi kedua kelompok tersebut. Analisis konten (content analysis) adalah suatu desain penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang obyektif dan sistematik mengenai isi (content) yang terungkap dalam suatu komunikasi (Zuchdi, 1993). Analisis konten dimanfaatkan untuk memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel, buku ajar, soal ujian, media pembelajaran, rekaman video interaksi belajar-mengajar, dll. Tahapan analisis konten mencakup tahap pendeskripsian yang diikuti dengan tahapan analisis dan inferensi. Analisis dapat dilakukan secara kuantitatif, seperti frekuensi, asosiasi dan korelasi, ataupun dilakukan secara kualitatif yang menekankan pola-pola hubungan yang ada dalam dokumen yang dianalisis. Satu contoh penelitian yang menggunakan analisis konten adalah penelitian tentang kandungan keterampilan proses dalam soal IPA UN SMA. Peneliti mula-mula menentukan rentang tahun penerbitan soal-soal UN yang akan dianalisis, selanjutnya dengan indiator keterampilan-keterampilan proses (interpretasi, menggunakan konsep, komunikasi, menggunakan alat, merancang eksperimen) ia menentukan jenis keterampilan proses yang terkandung dalam setiap butir soal. Pada pada akhirnya peneliti dapat menggambarkan profil soal IPA UN dari segi keterampilan proses yang dikandungnya secara kuantitatif (frekuensinya dan %-tase), serta pola hubungan antara jenis keterampilan proses dan materi pelajaran kimia dalam soal tes tersebut. 3 Etnografi dan Studi Kasus Desain penelitian etnografik diadopsi dari tradisi penelitian antropologi. Etnografi adalah deskripsi analitik secara mendalam tentang suatu situasi budaya (McMillan, 2012). Dalam konteks pendidikan, penelitian etnografik didefinisikan sebagai pendeskripsian secara ilmiah sistem, proses, dan fenomena pendidikan dalam konteks khusus. Penelitian etnografik berkaitan erat dengan observasi, deskripsi, dan pertimbangan kualitatif atau interpretasi terhadap fenomena yang diselidiki. Penelitian etnografi berlangsung dalam setting alami dan berfokus pada proses dalam mencoba memperoleh gambaran tentang obyek studi secara holistik. Seringkali penelitian etnografik tidak mempunyai basis teoretik yang kuat, dan hanya sedikit hipotesis dirumuskan sebelum penelitian dimulai. Justru hipotesis dan teori dibangun selama penelitian dilakukan.
4
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Sebagai contoh, suatu penelitian etnografik dalam pendidikan kimia berangkat dari pertanyaan: “Seperti apa pembelajaran kimia di sebuah sekolah nasional plus?” Observasi dilakukan dalam kelas dan laboratorium kimia, pusat komputer, dan perpustakaan, dalam kurun waktu satu tahun pelajaran. Peneliti membuat catatan lapangan (field notes) secara intensif tentang apa yang diobservasinya, serta melakukan interviu terhadap banyak siswa dan guru. Berdasarkan semua informasi yang dikumpulkannya, peneliti memberikan paparan dan interpretasi yang akurat tentang pembelajaran kimia di sekolah nasional plus yang menjadi situs (site) penelitian. Studi kasus (case study) sering dikaitkan dengan penelitian etnografik. Studi kasus dapat dipandang sebagai jenis khusus metode penelitian karena dapat berkaitan dengan metode-metode penelitian lainnya. Pada dasarnya studi kasus melibatkan pengkajian secara mendalam terhadap sebuah kelompok atau sejumlah sangat terbatas individu. Sebuah penelitian etnografik yang di dalamnya suatu kelomopok dipelajari secara mendalam, dapat dikatakan sebagai studi kasus. Studi kasus umunya bertalian dengan--tetapi tidak terbatas pada--penelitian kualitatif. Penelitian quasi-eksperimen yang dilakukan terhadap jumlah subyek yang sangat sedikit merupakan juga sebuah studi kasus. 4. Penelitian Tindakan Kelas Secara sederhana penelitian tindakan kelas (PTK) dapat dikatakan sebagai suatu penelitian yang dilakukan guru (sebagai praktisi pendidikan) untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan melakukan tindakan-tindakan praktis terencana dalam setting kelasnya, serta mengadakan refleksi berdasarkan dampak dari tindakan-tindakan tersebut (Costello, 2011). PTK lahir dari kebutuhan pragmatik guru untuk meningkatkan kinerja profesional secara berkelanjutan. Dibandingkan dengan “penelitian-penelitian tradisional”, PTK lebih bersifat informal, praktis, fleksibel, formatif. Ada baiknya PTK dilakukan secara kolaboratif antara sejawat guru di suatu sekolah MGMP sekolah) agar terjadi proses saling melengkapi dan saling berbagi pikiran dan pengalaman. Perencanaan Refleksi
SIKLUS I
Pelaksanaan
Pengamatan Perencanaan Refleksi
SIKLUS II
Pelaksanaan
Pengamatan ?
Gambar 1. Proses penelitian tindalan kelas Dari: Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006) Desain PTK dapat digambarkan sebagai rangkaian siklus yang terdiri atas tahap-tahap berikut: Pertama, Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan merencanakan strategi dan tindakan intervensi yang perlu dilakukan (Rencana/Plan); kedua, Melakukan intervensi (Tindakan/Action); ketiga, Melakukan observasi dan pengumpulan data ketika dan setelah tindakan dilakukan (Observasi/Observation); dan keempat, Melakukan analisis dan penafsiran data, serta pengkajian terhadap dampak dari tindakan yang dilakukan (Refleksi/Reflection) Refleksi yang dilakukan mengarahkan penyempurnaan atau perbaikan terhadap rencana yang telah dilakukan, sehingga diperoleh rencana baru untuk dipraktekan dan diamati dampaknya pada siklus berikutnya. Rangkaian siklus seperti ini berjalan terus, sehingga PTK dapat diilustrasikan pada Gambar 1. Selain itu, untuk meningkatkan kemaslahatan hasil PTK, “good practice” yang berhasil dikembangkan perlu disebarluaskan kepada sejawat guru mata pelajaran lain di satu sekolah serta sejawat di sekolah lain (melalui publikasi) sebagai model. Pada tahap identifikasi masalah, hendaknya pertanyaan yang dirumuskan harus bermanfaat untuk kelas, yakni yang jawabannya mengarah pada metode dan teknik pembelajaran yang lebih efektif, misalnya
5
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
“Apakah pembelajaran aktif menyebabkan siswa lebih bergairah dalam belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik?” Pada tahap perencanaan, literatur perlu dirujuk, hanya tidak terlalu merujuk pada sumber primer (laporan riset), tetapi cukup sumber sekunder, misalnya buku-buku tentang pengajaran sains atau informasi praktis dari WWW. Sementara itu metode penelitian yang diterapkan dapat merujuk pada metodemetode standar, namun dapat dibuat lebih praktis, seperti misalnya cukup dengan desain pre-eksperimen atau quasi-eksperimen untuk meninjau hubungan sebab-akibat. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif (skor tes dan hasil survey) ataupun kualitatif (misalnya komentar dan evaluasi siswa pada dialog atau focus group discussion (FGD). Analisis data pada PTK terarah untuk menjawab secara langsung pertanyaan penelitian, misalnya apakah strategi mengajar yang diterapkan membuahkan proses dan hasil belajar yang lebih baik. Pengujian statistika yang canggih terhadap data kuantitatif tidak praktis dalam PTK, karena penelitian ini lebih bersifat studi kasus dan terikat pada konteks sekolah, yang hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke setting yang lebih luas. Sementara itu kesimpulan yang ditarik dari PTK perlu memberikan informasi yang langsung untuk pengambilan keputusan guru dalam menentukan strategi mengajar ke depan. Implikasinya perlu jelas, apakah perlu mengadopsi strategi baru yang dikembangkan (jika ada indikasi memberikan hasil lebih baik), apakah kembali ke strategi seperti biasa (jika ada indikasi lebih buruk), atau memodifiksi strategi baru tersebut untuk diujicobakan lagi (tidak ada indikasi lebih baik, tetapi ada potensi untuk memberikan hasil lebih baik). RANAH-RANAH PENELITIAN PENDIDIKAN IPA Penelitian-penelitian untuk tujuan penulisan skripsi/tesis dalam bidang pendidikan IPA diarahkan terutama pada “classroom based research”, yaitu penelitian yang dilakukan dalam setting kelas secara nyata untuk mempelajari masalah pembelajaran (Wilson, 2013). Tugas melakukan penelitian tipe ini akan memberikan pengalaman belajar kepada calon guru yang dapat mengembangkan profesionalisme guru, termasuk kemampuan mengidentifikasi secara tajam permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran di kelas, mengembangkan solusi bagi permasalahan tadi, serta mengujinya secara ilmiah. Duit (2007) menyatakan bahwa dalam konteks pendidikan IPA, ranah-ranah penelitian yang bersesuaian dengan tujuan itu antara lain sebagai berikut. 1. Analisis Konsepsi dan Miskonsepsi Siswa Penelitian dalam ranah ini mengidentifikasi konsepsi-konsepsi (ide-ide) siswa mengenai konsep-konsep esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs dan SMA/MA dengan berbagai macam metode standar, antara lain asesmen dengan tes diagnostik miskonsepsi dua tingkat (two-tier diagnostic test), interviu klisnis (dengan perekaman) terhadap siswa, atau pemetaan konsep oleh siswa. Hasil studi tipe ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran siswa sekolah menengah pada umumnya. Sesuai dengan kaidah pembelajaran konstruktivis, pengetahuan ini penting sebagai landasan bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif. 2. Remediasi Miskonsepsi dengan Menerapan Teori Pengubahan Konsep Atas dasar miskonsepsi-miskonsepsi yang teridentifikasi dapat dilakukan penelitian untuk mengembangkan dan mengevaluasi efektivitas metode, teknik, dan media (konvensional dan digital) inovatif untuk meremedi kelompok siswa yang mengalami miskonsepsi tersebut. Metode pembelajaran inovatif untuk meremedi miskonsepsi dapat dikembangkan dengan merujuk pada teori tentang pengubahan konsep (conceptual change). Sementara itu metode penelitian yang laik dipakai untuk mengevaluasi efektivitas metode inovatif yang dikembangkan adalah quasi-ekesperimen. 3. Diagnosis Kesalahan Umum Siswa dalam Memecahkan Masalah Numerik IPA Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik terkait IPA (terutama fisika dan kimia) menjadi masalah nyata yang dihadapi siswa. Identifikasi perlu dilakukan terhadap titik kelemahan siswa dalam proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka memperoleh jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap respon tertulis siswa pada penyelesaian soal hitungan serta teknik “thinking-aloud”. Siswa yang menjadi subyek penelitian diminta menyelesaikan soal hitungan sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi dalam pikirkannya,
6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
dan peneliti merekam apa yang dikatakan siswa. Dengan teknik thinking aloud dimungkinkan peneliti menelusuri titik awal siswa berbuat salah dengan metode analisis konten terhadap transkripsi rekaman yang dibuat. 4. Analisis Pembelajaran Maksud dari analisis pengajaran adalah mengobservasi dan merekam interaksi belajar-mengajar yang dilakukan oleh guru piawai ketika mengajarkan suatu topik tertentu pada kurikulum, untuk kemudian melakukan analisis konten terhadap transkripsi interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana guru memfasilitasi siswa dalam mengkontruksi konsep IPA. Strategi guru dalam menerapkan pedagogi sains yang membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-temuan penting dari penelitian semacam ini. Dapat juga perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru pemula, sehingga pengetahuan praktis pembelajaran (practical knowledge of teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar IPA dapat diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru lainnya. 5. Pengembangan dan Ujicoba Lapangan Pembelajaran Penelitian dalam ranah ini berupaya menerapkan teori, prinsip, pendekatan baru dalam mengajar, atau penggunaan teknologi yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran, khususnya yang menyangkut topik yang sesuai. Dalam penelitian tipe ini dikembangkan suatu program pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip, pendekatan yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogical content knowledge (PCK), contextual teaching-learning (CTL), science-environment-technology-society (SETS), problem based learning (PBL), project based approach (PBA), pembelajaran kooperatif/kolaboratif, pembelajaran berbasis ICT, dsb. Program pembelajaran beserta perangkat penunjangnya, seperti RPP, bahan ajar dan media terkait dikembangkan, untuk kemudian diimplementasikan dalam kelas (oleh guru mitra atau peneliti sendiri). Desain quasi-eksperimen diperlukan untuk menguji efektivitas program pembelajaran yang dirancang, di samping observasi terhadap perilaku belajar siswa dalam pembelajaran inovatif yang diujicobakan. 6. Pengembangan dan Validasi Alat Penilaian Kompetensi Praktek penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman konsep. Ketiadaan alat penilaian kompetensi akan menyebabkan yang dievaluasi hanyalah salah satu aspek dari kompetensi saja. Di sisi lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat dijadikan model dalam mengembangkan soal ujian akhir semester atau bahkan ujian akhir sekolah dan ujian akhir nasional, bahkan menyebabkan praktek pembelajaran kembali ke cara-cara lama yang menekankan memorisasi pengetahuan sebagaimana diujikan dalam tes konvensional (test driven instruction). Oleh karenanya model-model prosedur dan alat penilaian (dalam format test atau penilaian alternatif) yang efektif untuk menilai kompetensi IPA (kognitif, afektif dan psikomotor) baik dalam bentuk tes, skala sikap, ataupun rubrik penilaian keterampilan, perlu digagas, dikembangkan, dan divalidasi melalui penelitian empirik. Dalam konteks penelitian tipe ini pula test-tes kompetensi IPA yang digunakan secara internasional (TIMSS & PISA) perlu ditelaah secara mendalam, baik dari segi konstruksi dan, lingkup kompetensi yang dinilai, untuk kemudian menjadi model bagi pengembang tes kompetensi IPA di Indonesia ke depan. INSTRUMEN PENELITIAN PENDIDIKAN Relasi antara instrumen penilaian dan penelitian pendidikan adalah dua arah. Penelitian pendidikan memerlukan instrument (alat pengumpul data) yang pada dasarnya adalah alat penilaian. Variabel-variabel dalam penelitian kuantitatif perlu dipastikan nilainya dengan menggunakan alat penilaian (instrumen) yang sesuai. Variabel capaian hasil belajar dinilai dengan tes hasil belajar, variable penalaran dan aspek-aspek kemampuan psikologis lainnya seperti kemahiran berpikir kritis diukur dengan tes psikologis yang sesuai. Variabel sikap dan motivasi diukur dengan instrumen berbentuk skala sikap dan inventori. Variabel keterampilan diukur dengan rubrik penilaian kinerja. Terdapat bermacam-ragam alat pengumpul data digunakan dalam penelitian pendidikan, antara lain tes, inventori, skala sikap, pedoman observasi, kuesioner (angket), dan pedoman wawancara (Cohen et al., 2007). Dalam berbagai studi kuantitatif, pengumpulan data dinamakan juga pengukuran, sebab peneliti memberikan
7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
nilai numerik (angka) pada fenomena atau obyek yang diamati dan pada respon yang diberikan oleh subyek penelitian. Oleh karena itu dalam studi kuantitatif alat pengumpul data dinamakan juga alat ukur (measuring instrument). Sementara itu dalam studi kualitatif, khususnya studi etnografik, peneliti umumnya mengandalkan dirinya sebagai instrumen (researcher as instrument), sehingga data dan informasi tentang variable-variabel penelitian dituliskan peneliti dalam catatan lapangan (fieldnotes). Kalaupun ada wawancara yang dilakukan dalam studi kualitatif, sifatnya sangat kontekstual dan fleksibel, sehingga peneliti umumnya tidak menyiapkan pedoman wawancara yang terstruktur, cukup daftar pertanyaan-pertanyaan utama saja. Secara rinci instrumen-instrumen penelitian yang luas penggunaanya dipaparkan berikut ini. 1. Tes Test adalah instrumen yang harus direspon oleh subyek penelitian dengan menggunakan penalaran dan pengetahuannya. Ada dua macam tes yang dipakai dalam penelitian pendidikan, yakni tes psikologis (psychological test) dan tes prestasi belajar (achievement test). Test psikologis yang sering dipakai dalam penelitian pendidikan sains umumnya berbetuk tes penalaran berbasis teori Piaget, seperti Test of Logical Thinking (TOLT), Test Longeot, Group Assessment of Logical Thinking (GALT). Baik tes psikologis maupun tes prestasi belajar yang digunakan dalam penelitian harus terstandarisasi (standardized), dalam pengertian teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan pengujian empirik. 2. Inventori Inventori adalah instrumen penelitian yang memuat daftar pernyataan yang direspon subyek dengan menyatakan persetujuannya (ya) atau ketidaksetujuannya (tidak) secara pribadi terhadap pernyataanpernyataan yang diberikan. Inventori disusun sedemikian rupa sehingga mampu mengungkap kecenderungan kepribadian (personality traits) misalnya inventori untuk mengungkap gaya belajar (learning style) dan profil kecerdasan majemuk (multiple intelligence) seseorang. 3. Skala Sikap Skala sikap (attitudes scale) adalah suatu bentuk instrumen untuk mengukur sikap seseorang terhadap obyek sikap tertentu (benda, orang, peristiwa), misalnya pembelajaran sains, bidang studi kimia, ujian nasional, dan guru kimia. Umumnya skala sikap dituliskan dalam format skala Likert, yakni terdapat sejumlah pernyataan sikap, yang direspon subyek dengan menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya dalam beberapa tingkatan, misalnya: Sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). 4. Pedoman Observasi Pedoman observasi merupakan instrumen untuk memfokuskan pengamat terhadap aspek-aspek tertentu yang diselidiki ketika ia melakukan observasinya. Dengan-instrumen ini pula aspek-aspek yang diamati dari sejumlah obyek pengamatan (misalnya indikator-indikator perilaku mengajar guru atau perilaku belajar siswa) dapat diperbandingkan. Dengan perkembangan pada teknologi kamera video digital, obyek yang diamati dapat direkam dan disimpan dalam format VCD, sehingga memungkinkan pengamat dapat mengamati ulang obyek yang diamati ketika menganalisis hasil pengamatannya. 5. Kuesioner (Angket) Kuesioner (questioner atau questionnaire) adalah instrumen penelitian untuk mensurvei pilihan, opini, ekspektasi responden dalam jumlah besar. Tidak ada format khusus bagi kuesioner, namun umumnya berupa: (1) sederetan pertanyaan yang perlu dijawab dengan esai singkat, (2) sejumlah pertanyaan dengan beberapa opsi jawaban tersedia, (3) rating scale untuk menentukan nilai suatu obyek, orang atau peristiwa. Oleh karena peneliti dapat mewakilkan kehadirannya kepada petugas pengumpul data pada saat pengumpulan data dengan kuesioner, maka setiap pertanyaan harus jelas, tidak menimbulkan salah tafsir dan munculnya permintaan penjelasan. 6 Pedoman Wawancara Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang direncanakan diajukan kepada responden. Pada pedoman wawancara diberikan pula ruang untuk pewawancara menuliskan jawaban responden. Namun, pada
8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
saat ini terdapat banyak alat perekam audio dengan sensitivitas yang kuat, yang dapat dipakai merekam jawaban responden. Dengan demikian pewawancara tak perlu menulis jawaban responden, namun pewawancara dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang bersifat “menggali”, untuk memperoleh informasi yang lengkap dari responden. Apapun bentuk instrumennya, harus memenuhi kriteria valid dan reliable. Validitas menunjuk pada kesesuaian antara informasi yang dicari dan pertanyaan yang disusun, sedangkan reliabilitas menunjuk pada konsistensi (keajegan) informasi yang diungkap. Oleh karena itu pada saat dikembangkan, butir-butir pertanyaan instrumen perlu ditulis dengan merujuk pada jenis informasi yang akan digali. Kesesuaian tersebut akan lebih terjamin jika peneliti menyiapkan Tabel Spesifikasi (kisi-kisi) tes yang berformat matriks yang pada kolom pertama memuat informasi yang dicari dan pada kolom berikutnya pertanyaan yang disusun. Timbangan panel ahli (expert judgement), 3-5 orang, diperlukan untuk mengevaluasi validitas isi masing-masing butir pertanyaan. Uji coba tentang keterbacaan pertanyaan-pertanyaan perlu dilakukan, dengan cara memberikan buram (draft) instrumen tersebut kepada sejumlah orang yang dapat dipandang setara dengan responden penelitian, untuk memperoleh informasi tentang aspek-aspek mana dari instrumen yang perlu diperbaiki. Untuk instrumen berbentuk tes, pengujian validitas dan reliabilitas perlu dilakukan secara intensif, dan ciri-ciri psikometrik dari tes yang dipakai perlu dimuat dalam paparan tentang instrumen penelitian sebagai bagian dari metode penelitian. Di sisi lain, instrumen-instrumen penilaian dapat menjadi obyek penelitian pendidikan. Sejak lama pengembangan instrumen penilaian kompetensi IPA yang baku (standardized) menjadi topik-topik penelitian yang dilaporkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Berdasarkan pandangan teoritis terhadap suatu kompetensi IPA dielaborasi komponen-komponen dan indikator kompetensi tersebut, setelah itu butir-butir (items) yang diprediksi mengukur indikator-indokator tersebut dikembangkan, ditimbang isinya oleh sebuah panel pakar untuk memastikan validitasnya, seterusnya diujikan di lapangan terhadap sejumlah responden yang serupa dengan target pengukuran untuk memastikan reliabilitas instrumen yang dikembangkan itu. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S, Suhardjono, Supardi. 2006. Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Cohen L, Mainon L, Morrison K. 2007. Research methods in education. London: Routledge. Costello PJM. 2011. Effective action research: Developing reflective thinking and practice. London: Continuum International Publishing. Duit R. 2007. Science education research internationally: Conceptions, research methods, and domains of research. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1): 3-15. Gay LR, Mills GE, Airasian P. 2009. Educational research: Competencies for analysis and applications. Upper Saddle River, NJ: Pearsoan Education. Fraenkel JR, Wallen NE. 2006. How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill. McMillan JH, Wergin JF. 2002. Understanding and evaluating educational research. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education. McMillan, JH. 2012. Educational research: Fundamentals for the consumer. Boston, MA: Pearson Education. Taber KS. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based research: A guide for education students (287-304). Los Angeles, CA: SAGE Publication. Wilson E. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based research: A guide for education students (24-38). Los Angeles, CA: SAGE Publication.
9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
CURRICULUM VITAE
Nama Tgl. Lahir Alamat
E-mail
: Dr. Harry Firman, M.Pd. : 8 Oktober 1952 : Rumah: Jalan Titimplik 64 Bandung 40133 Indonesia; Telp (022) 2500271; Cell-phone 08122030864 Kantor: Ruang S-110 FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jalan Dr. Setiabudhi 229 Bandung 40154 Telp & Fax: (022) 2000579 :
[email protected]
A. Pendidikan No Universitas/institut IKIP Bandung 1 IKIP Bandung 2 Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung 3 Malim, Malaysia
Gelar S1 S2
Tahun Lulus 1977 1983
Bidang Studi Pendidikan Kimia Pendidikan Sains
S3
2013
Pendidikan Kimia
B. Pelatihan Modern method of science teaching (3 months), SEAMEO-RECSAM, Penang Malaysia (1978). Science Education (6 months), School of Education, State University of New York at Albany, Albany New York (1986). Science Education (2 months), School of Education, University of Houston, Texas (1993). Science Teacher Education (2 months), College of Education, Ohio State University, Columbus Ohio (1994). Professional Training for Higher Education Teaching Staff and Trainers (1 week), Jakarta, The British Council Indonesia, (1999). C. Pekerjaan Guru kimia SMA Santa Maria Bandung (1976-1980). Dosen pada Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Bandung (kemudian menjadi UPI), 1978-sekarang. Anggota Tim Pengembanga GBPP Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 1994, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Depdibud (1991-1993). Dekan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia (2000-2004) Anggota Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Ditjen Dikti (2006). Visiting professor pada Center for the Study of International Cooperation in Education, Hiroshima University (Agustus – Desember 2006) Anggota Tim Studi PISA, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas (2007) D.
Publikasi
Artikel untuk Handbook: Pendidikan Kimia di Indonesia (Dalam Handbook Teori dan Aplikasi Pendidikan, Pedagogiana, 2007). Artikel Jurnal: The Future of Schooling in Indonesia. Journal of International Cooperation in Education, Hiroshima University Center for the Study of International Cooperation in Education, Vol. 11 No. 1(2008) pp 71-84.
Makalah Seminar : Future Trends of Science Education in Indonesia (International Seminar on Science Education, P4TK IPA, Bandung, 29 November 2007).
10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Peta Penelitian Pendidikan Kimia (Lokakarya Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia UPI, Bandung 2008). Framework for Staff and Student Research on Chemistry Education, International Conference on Research, Implementation, and Education, of Mathematics and Science 2014 (ICRIEMS 2014), Universitas Negeri Yogyakarta, May 18-21, 2014. Laporan Penelitian: Analisis Capaian Siswa Indonesia dalam Studi PISA Nasional (Sponsor: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2007). Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Kimia tentang Pengajaran Kimia di SMA (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, malaysia, 25-27 November 2008). Mengukuhkan Dampak Positif dan Mengurangi Dampak Negatif Ujian nasional dalam Konteks Mata pelajaran Kimia SMA (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti Pendidikan Indonesia, Bandung, 8-10 November 2010). Alignment between National Curriculum Content and National Examination Test – Secondary School Chemistry (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam International Seminar on Science, Math dan Computer Education, FPMIPA UPI, September 2013) Aktivitas Profesi: Anggota Hipunan Kimia Indonesia (HKI) cabang Jawa Barat (1980 – sekarang). Anggota Himpunan Sarjana Pendidikan IPA (HISPIPAI) (1995- sekarang)
11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Keynote Speaker 2 PEMBELAJARAN SAINTIFIK YANG MENGINTEGRASIKAN TIK Uwes Anis Chaeruman Pustekkom, Kemdikbud
[email protected]
Peserta seminar yang berbahagia, Pembelajaran, sebagai upaya membuat peserta belajar mengalami peristiwa belajar yang mendalam telah menajdi obyek penelitian, pengembangan dan penerapannya di lapangan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma pembelajaran telah bergeser dari pembelajaran yang tradisional yang dicirikan dengan istilah pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher-centered instruction) ke pembelajaran modern yang lebih berorientasi pada siswa (student-centered center). Kurikulum 2013, memiliki semangat pembelajaran moder yang lebih menekankan pada pengalaman belajar sebagai peserta aktif, daripada hanya sekedar pendengar aktif. Melalui pendekatan saintifik, yang dikenal dengan istilah 5M (mengamati, menanya, mengasosiasi, meneksperimentasi, mengkomunikasikan), mendorong peserta belajar untuk menjadi pemain utama dalam situasi pembelajaran. Di sisi lain, masuknya pengaruh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan warna baru dalam praktek penerapan pembelajaran modern. TIK memberikan peluang sekaligus tantangan yang besar guna mewujudkan terjadinya proses pembelajaran yang optimal pada diri peserta belajar, jika diterapkan secara tetap guna. Jika tidak, akan memberikan dampak yang sebaliknya. Dalam prakteknya, penerapan pembelajaran modern yang mengintegrasikan TIK tersebut memerlukan pemahaman yang utuh dan kreatifitas dalam merancang pembelajaran yang tidak hanya efektif dan efisien tapi juga meanrik dan menantang. Dalam pidato kunci yang singkat ini, saya ingin mencoba mengajak peserta seminar mencermati beberapa point kunci dalam konteks pembelajaran modern berpendekatan saintifik dan mengintegrasikan TIK. Peserta seminar yang terhormat, Untuk menjawab permasalahan tersebut mari kita kaji empat contoh kasus ilustratif berikut. Melalui kasus-kasus ini saya mengajak Anda untuk dapat membedakan dari sekian kasus tersebut, manakah yang termasuk dalam kategori pembelajaran modern? Kasus Ilustratif #1: Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali. Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk mengambil apa saja yang ada disekitar lapangan sekolah tersebut dan dikumpulkan di lapangan. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk dapat mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas. Setelah itu, siswa diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam kelas hasil dari klasifikasi tersebut dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi. Kasus Ilustratif #2: 12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali. Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk membawa Handphone masing-masing dan memotret apa saja yang bisa dipotret dengan kamera HP. Setelah itu guru mengajak kedalam kelas dan duduk berkelompok. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk dapat mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas dalam bentuk folderisasi dalam komputer. Setelah itu, siswa diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam kelas hasil dari klasifikasi tersebut. kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi dari guru. Kasus Ilustratif #3: Seorang guru SM, ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar. Setiap kelompok masing-masing diberikan satu bacaan tentang satu teori penciptaan alam semesta. Masing-masing kelompok diminta untuk mengkaji dan menyajikan ulang dengan media dan aplikasi TIK yang mereka kuasai tentang teori tersebut. Yang menguasai slide presentasi dengan slide presentasi, yang menguasai gambar dengan gabar, dan lain-lain. Bahkan bagi yang bisa menyanyi dapat menyajikannya dalam bentuk lagu. Salah satu siswa anggota dari masing-masing kelompok diminta memperesentasikan hasilnya dan dilanjutkan dengan diskusi. Pelajaran kemudian diakhiri dengan memberikan kesimpulan bersama dan tugas kelompok berupa proyek tertentu. Kasus Ilustratif #4: Sama seperti kasus #3, seorng guru ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta. Guru kemudian membuat slide presentasi tentang penciptaan alam semesta. Katakan, dia berhasil membuat sebanyak 54 slide prsentasi. Kemudian ketika masuk dalam kelas, guru langsung mengajar dengan menggunakan slide prsentasi tersebut, diproyeksikan dengan menggunakan overhead projector dan siswa menjadi pendengar setia. Pembelajaran diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dan tugas kelompok sebagai pekerjaan rumah. Peserta seminar sekalian, Dari keempat kasus ilustratif tersebut, pada dasarnya manakah yang termasuk dalam kategori pembelajaran modern? Inilah jawabnya! Kasus ilustratif #4 saya katakan termasuk dalam kategori pembelajaran KUNO DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Kasus ilustratif #1 saya katakana termasuk dalam kategori pembelajaran MODERN WALAU DENGAN TEKNOLOGI SEADANYA. Kasus ilustratif #2 dan #3 adalah pembelajaran MODERN DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Sebagai guru atau calon guru, kasus mana yang akan Anda pilih? Tentu, kita akan tinggalkan kasus ilustratif #4. Kita akan praktekkan seperti kasus ilustratif 1, 2 dan 3. Mengapa demikian? Sebenarnya apa yang membedakan antara pembelajaran modern dan pembelajaran “kuno”? Jawabnya sederhana. Ketika dalam suatu situasi pembelajaran, siswa menjadi PENONTON UTAMA sementara guru menjadi PEMAIN UTAMA, maka dapat dikatakan pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Itulah pembelajaran “KUNO”. Tapi, ketika dalam suatu situasi pembelajarab, siswa menjadi PEMAIN UTAMA sementara guru menjadi SUTERADARA, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada siswa. Itulah yang dimaksud dengan pembelajaran MODERN. 13
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Saudara-saudara sekalian, Seperti yang disampaikan oleh Driscoll (2004) menyatakan bahwa esensi belajar adalah MENGALAMI. Belajar terjadi ketika ada interaksi antara yang belajar dengan dunia (sumber belajar). Semakin mengalami maka semakin tinggi derajat peristiwa belajar terjadi. Oleh karena itu, dalam semangat kurikulum 2013 menekankan pada pendekatan sainitifik yang kita kenal dengan istilah 5M (mengamati, mencoba/mengeksperimentasi, menalar, menanya dan mengkomunikasikan). Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat mengalami atau peristiwa belajar pada diri siswa. Dalam kasus ilustratif #1, #2 dan #3 terlihat jelas bahwa peristiwa mengalami pada diri siswa memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pada kasus ilustratif #4. Bahkan, pada kasus #2 dan #3, tidak hanya menekankan pada proses mengalami, tapi juga proses mengalami tersebut ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi yang relevan. Inilah yang dimaksud dengan mengintegrasikan TIK untuk pembelajaran. Karena dalam kasus tersebut telah menunjukkan peristiwa belajar dengan teknologi (sebagai ciri pembelajaran modern), bukan mengajar dengan teknologi (sebagai ciri pembelajaran kuno tapi berteknologi modern) seperti pada kasus ilustratif #4. Dalam konteks ini guru harus lebih berperan sebagai fasilitator dan sutradara pembelajaran, dimana siswa sebagai pemain utama dalam “sinetron pembelajaran” tersebut. Oleh karena itu, jika Anda menjadi guru atau telah menjadi guru, coba perhatikan beberapa hal berikut: 1. Ketika akan mengajar, jangan pikirkan materi apa yang akan saya pelajari. Tapi, pikirkan aktivitas belajar (pengalaman belajar) seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa untuk dapat menguasai materi tersebut. 2. Selama tiap dua jam pelajaran atau satu semester, pertimbangkan, berapa banyak waktu yang tersita oleh kita untuk mengajar dibandingkan dengan waktu yang tersita oleh siswa mengalami aktifitas belajar? Peserta seminar yang saya hormati, Mengapa pembelajaran yang mengintegrasikan TIK penting? Tantangan pendidikan abad 21, menurut PBB adalah membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society) yang memiliki (1) keterampilan melek TIK dan media (ICT and media literacy skills), (2) keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills), (3) keterampilan memecahkan masalah (problemsolving skills), (4) keterampilan berkomunikasi efektif (effective communication skills); dan (5) keterampilan bekerjasama secara kolaboratif (collaborative skills). Keempat karakteristik masyarakat abad 21 menurut PBB tersebut dapat dibangun melalui pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya peran TIK adalah sebagai “enabler” atau alat untuk memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Jadi, TIK dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Jika Anda diberikan suatu pertanyaan, ”Apakah TIK di sekolah telah dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran atau masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari?” atau ”Apakah siswa sudah belajar dengan TIK atau siswa masih belajar tentang TIK?” Apa jawaban jujur Anda? Pasti, Anda menjawab bahwa TIK di sekolah masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari atau siswa masih diposisikan sebagai orang yang sedang belajar TIK. Padahal, apa yang seharusnya terjadi adalah sambil belajar tentang TIK (learning about ICT), siswa juga belajar dengan menggunakan atau melalui TIK (learning with and or through ICT). Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati, Bagaimanakah peran guru dan siswa dalam pembelajaran yang mengintegrasikan TIK? Bila dilihat dari sisi peran TIK bagi guru, maka pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran seharusnya memungkinkan dirinya untuk: 1. menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar. 2. dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Jika, pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran hanya bertujuan untuk mempermudah guru menyampaikan materi, dimana ia berperan sebagai satusatunya sumber informasi dan sumber segala 14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
jawaban, maka lima keterampilan masyarakat abad 21 yang dicanangkan PBB seperti dijelaskan di atas tidak akan berhasil. (adaptasi dari Division of Higher Education, UNESCO, 2002). Sementara itu, bila dilihat dari sisi peran TIK bagi siswa, maka pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran harus memungkinkan siswa: 1. menjadi partisipan aktif; 2. menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan sert berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. 3. belajar secara individu, sebagai mana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain. Jika pemanfaatan TIK dalam pembelajaran masih membuat siswa tetap pasif, mereproduksi pengetahuan (sekedar menghafal), seperti guru mengajar dengan menggunakan slide presentasi dimana yang masih dominan adalah dirinya, maka sia-sialah teknologi tersebut diiintegrasikan dalam proses pembelajaran yang kita lakukan. Percayalah, jika itu yang terjadi, maka siswasiswi kita nanti hanya akan memiliki ”PENGETAHUAN TENTANG ....” bukan KEMAMPUAN UNTUK .....”. (adaptasi dari Division of Higher Education, UNESCO, 2002) Jadi, secara teoretis, integrasi TIK dalam pembelajaran yang sesungguhnya harus memungkinkan terjadinya proses belajar yang: 1. Aktif; memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna. 2. Konstruktif; memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya. 3. Kolaboratif; memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya. 4. Antusiastik; memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 5. Dialogis; memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah. 6. Kontekstual; memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau casebased learning”. 7. Reflektif; memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al. (2001)). 8. Multisensory; memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000). 9. High order thinking skills training; memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001). Disinilah letak perbedaan antara guru abad 21 dengan guru tradisional. Kita sebagai guru abad 21 guru yang telah menggeser paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) dimana ia lebih berperan sebagai desainer pembelajaran, fasilitator, pelatih dan manajer pembelajaran. Bukan sebagai pencekok informasi dan satu-satunya sumber belajar, sang maha tahu. Oleh karena itu, guru harus mampu mendesain pembelajaran atau menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang mencirikan paradgma baru pembelajaran seperti dijelaskan di atas dengan mengintegrasikan TIK sebagai sarananya. Saudara-saudara sekalian, Demikianlah point-point kunci yang dapat saya sampaikan dalam pidato kunci ini. Sebagai kesimpulan, saya hanya ingin menekankan empat point sebagai berikut: 1. Esensi belajar terjadi karena peristiwa mengalami. Tanpa mengalami tidak ada peristiwa belajar. Semakin rendah kadar mengalami semakin rendah kadar peristiwa belajar terjadi. 15
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
2.
3.
4.
Itulah sebabnya, kurikulum 2013 lebih mendorong kita untuk berpindah dari paradigma lama belajar yang berorientasi pada siswa menjadi belajar yang berorientasi pada siswa aktif(pembelajaran modern). Dalam implementasinya, juga lebih menekankan pada pendekatan saintifik (mengamati, mencoba/mengeksperimentasi, mengasosiasi, menanya dan mengkomunikaiskan). Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan derajat peristiwa belajar terjadi pada diri siswa. Dalam era informasi dewasa ini, peristiwa mengalami tersebut dapat ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tepat guna. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengintegrasikan TIK dalam proses pembelajaran. Integrasi TIK dalam proses pembelajaran sangat penting guna mendorong terbangunnya karakter generasi abad 21 seperti kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, bekerja kolaboratif, komunikasi efektif dan melek teknologi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA Driscoll, Marcy P. 2004. Pshycology of Learning for Instruction (third Edition). Boston,USA: Allyn and Bacon Dryden, Gordon, Voss, Jeanette. 1999. The Learning Revolution: to Change the Way the World Learn. the Learning Web. Torrence, USA. http://www.thelearningweb.net. Fryer,
Wesley A. 2001. Strategy for effective Elementary http://www.wtvi.com/teks/integrate/tcea2001/powerpointoutline.pdf
NIE,
Singapore. General Typology http://www.microlessons.com.
of
Teaching
Strategies
in
Technology
Integrated
Integration.
Learning
System.
Norton P, Spargue D. 2001. Technology for Teaching. Boston, USA: Allyn and Bacon. UNESCO Institute for Information Technologies in Education. 2002. Toward Policies for Integrating ICTs into Education. High-Level Seminar for Decision Makers and Policy-Makers, Moscow. UNESCO. 2002. Information and Communication Technologies in Teacher Education: a Planning Guide. Division of Higher Education,
16
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
CURRICULUM VITAE Name Place, Date of Birth Nationality Sex Religion Marital Status Address Mobile Phone Email
: Uwes Anis Chaeruman : Rangkasbitung, 11 March 1974 : Indonesia : Male : Moslem : Married : Kompleks Lembah Pinus Sasmita Jaya Blok B3 No 4 RT 05 RW 24, Kel. Pamulnag Barat, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan : 0812 9092 451 :
[email protected]
A. EDUCATIONAL BACKGROUND Year 2010 Studying doctoral degree (on progress) in educational technology at the State University of Jakarta 2006 Graduated master degree in educational technology at the State University of Jakarta 1999 Graduated bachelor degree in deucational technology at the State University of Jakarta B. WORKING EXPERIENCES Year Position` 1998-2000 Lecturer Assistant at the Department of Educational Technology, the State University of Jakarta 2000-now Lecturer at the Department of Educational Technology, the State University of Jakarta 2007-now Lecturer at the Post--‐Graduate Program, Department of Educational Technology, Islamic University of Assyafi’iyah Jakarta 2007-now Lecturer at the Post--‐Graduate Program, Department of Educational Technology, State University of Sultan Ageng Tirtayasa, Banten 2008-2010 Educational research board member on the application of information and communication technology for the Ministry of National Education expert staff 2008-now Educational consultant for Balai Balai Tekkom Pendidikan, Province of Banten 2008-2009 Educational consultant, providing technical assistance for the Center of Religious Affairs Training and Education, Ministry of Religious Affairs in developing distance training thorugh e--‐learning system (online training system) 2009-now Educational consultant, assisting providing technical assistance the Center of Health and Medical Training and Education, Minsitry of Health, in developing online training system. 2011-2012 Educational consultant, providing technical assistance Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joint Cooperation with USAID and Manajemen Sistem Informasi (MSI) in developing e--‐Learning media. 2013-now consultant (coffey international foundation), providing technical assistance in the project of distance education development for Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang, Minsitry of Health joint cooperation with AusAID.
17
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
C. LAST FIVE YEARS PARTICIPATION IN TRAINING/SEMINAR/WORKSHOP Trainer and Facilitator in the Training of Trainer Conducted by the Center of ICT for Education, Bogor and Pontianak, 2012. Topic: “Developing ICT--‐integrated Lesson Plan” National Seminar Speaker in the 21th Anniversary of Educational Technology Postgraduate Program, the State University of Sebelas Maret , Solo. Topic: Implementing Blended Learning in Higher Education: A Case--‐based Sharing Experience. (November 2011) Instructor and facilitator in the training of assessment and test development, the Center of Finance Audit, Body of Financial Audit, Ministry of Finance (September, 2011) Speaker and participant of International Seminar of Educational Technology conducted by the State University of Jakarta, Jakarta June, 2011. Paper titled: Implementing Blended Learning in Higher Education: A Case--‐based Sharing Experience Seminar Speaker in the event of “Festival e--‐Pendidikan” in 10 Towns around Indonesia. Topic: “Integrating ICT into Teaching and Learning” ((August – October 2010) Speaker on the Training of e--‐Learning for the State University of Semarang Lecturers. Topic: “Designing Effective Blended Learning Strategy” (Sept 2010) Participant of APEC e--‐Learning Training Program, Seoul and Busan, South Korea (Sept, 2009) Judge Board Member of e--‐Learning Award (2006 – 2009) National Judge Member of Indonesia ICT Award (INAICTA) conducted by Ministry of Communication and Information (2007 – 2011) Speaker and active participant in regular annual National Seminar of Educational Technology, since 2004 – now Speaker and participant in International Symposium on e--‐Learning, Melbourne, Australia, Dec, 2007. st Partcipant of the 21 Century Education Leadership conducted by Partner in Learning Program, Microsoft Indonesia, Singapore, 2006. D. PUBLICATIONS “e--‐Learning dan Pendidikan Jarak Jauh”, ini “Mozaik Teknologi Pendidikan”, Prenada, Jakarta, 2013. Instructional Strategy that Integrate ICT, Training Module, Pustekkom, 2009 The Application of Distcance Education System in Primary and Secondary Education, Universitas Terbuka, 2006 Educational Model with Independent Learning System, Jurnal Teknodik, Pustekkom, 2006 Instructional Design for Development of Instructional Software, in the Development of Instructional Software, Directorate of Secondary Education, Ministry of National Education, 2008 Other publication can be seen at http://teknologipendidikan.net.
18
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Keynote Speaker 3 KIAT MENULIS DAN MEMPUBLIKASIKAN KARYA ILMIAH Ely Djulia Jurusan Pendidikan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Medan
[email protected]
PENDAHULUAN Mempublikasikan hasil penelitian dalam bidang studi apapun merupakan hal yang mutlak diperlukan di dunia Pendidikan . Karena melalui publikasilah baik secara lisan maupun tulisan, berbagai temuan dan inovasi dapat disebarluaskan kepada para pembaca di seluruh dunia, direview, diamplikasikan, serta diteliti lebih dalam oleh para peneliti berikutnya. Maka khasanah ilmupun menjadi bertambah dan berkembang. Publikasi secara lisan dapat kita simak melalui berbagai kegiatan seminar baik nasional, regional, maupun internasional. Melalui kegiatan seminar para peserta bisa menyimak paparan hasil penelitian secara langsung dari penelitinya, berdialog, tanya jawab, berdiskusi tentang penelitian yang sedang atau akan dilakukan, bahkan merencanakan penelitian bersama. Namun publikasi secara lisan ini hanya dapat diikuti oleh kalangan tertentu, jumlah orang tertentu, dan waktu tertentu. Ada cara lain untuk mengatasi kendala publikasi lisan ini yaitu publikasi secara tertulis. Publikasi tertulis ini sangat penting dan strategis karena bisa ditelaah oleh para pembaca di seluruh dunia, dengan jumlah yang tak terbatas dibanding dengan komunikasi lisan dalam bentuk pertemuan ilmiah. Walaupun demikian publikasi ilmiah dari para penulis Indonesia hingga saat ini masih minim dibanding negara-negara lain. Untuk itu diperlukan upaya yang terprogram, secara bertahap dan berkelanjutan oleh para dosen, para guru, para mahasiswa agar dapat menghidupkan publikasi ilmiah di segala bidang termasuk dunia pendidikan. Kemampuan menulis karya ilmiah ini memerlukan kemampuan berbahasa yang lugas, berpikir sistematis, penguasaan bidang studi, gaya bahasa yang mudah dipahami pembaca, serta yang terpenting adalah menginspirasi pembaca. Untuk itu maka makalah ini akan mengenalkan beberapa bentuk manuskrip, penggunaan gramatika, pengenalan umum struktur karya ilmiah, serta cara submit pada Journal internasional. TIPE TIPE MANUSKRIP Jika kita menelaah isi sebuah Journal Internasional, maka ada beberapa tipe manuskrip sebagai berikut: 1. Research Paper Kategori ini merupakan paper yang melaporkan berbagai tipe penelitian yang sudah dilakukan oleh penulisnya, bisa individual maupun group. Penelitian ini meliputi pengujian model atau kerangka kerja, action research, pengujian data, survey empiris, saintifik, atau penelitian klinis. 2. Viewpoint Kategori ini merupakan paper yang isinya berdasarkan pada opini dan interpretasi penulis termasuk studi jurnalistik 3. Conceptual Paper Kategori ini tidak berdasarkan hasil penelitian, tetapi merupakan pengembangan hipotesis, diskusi teori baik secara filosofis, studi komparatif tentang suatu kegiatan atau pemikiran. 4. Technical Paper Paper ini memaparkan dan mengevaluasi berbagai produk, proses, atau layanan teknis 5. Literatur Review Diharapkan semua paper merujuk pada setiap literature relevan, kategori paper ini digunakan hanya jika tujuan utama paper untuk merujuk atau mengkritik literature tentang bidang tertentu. Bisa jadi berupa bibliografi yang memberikan masukan tentang sumber informasi secara komprehensif yang bertujuan untuk mengembangkan suatu topic tertentu dan mengeksplorasi padangan-pandangan yang berbeda. 6. General Review Kategori ini memuat paper yang memberikan overview atau pengujian historis tentang konsep, teknik atau fenomena. Paper sifatnya lebih deskriptif atau instruksional (How to). KOMPONEN PAPER Berikut Ini dipaparkan komponen-komponen paper beserta karakteristik sebagaimana lazimnya pada Journal Internasional yaitu:
19
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Title & Affiliations Normalnya kurang dari 12 kata. Jelas, singkat dan tajam, merupakan frase yang mendeskripsikan atau merefleksikan isi paper. Tertulis nama penulis beserta afiliasinya, serta korespondennya (No. HP, email, fax, alamat lengkap). Nama harus konsisten. Padat dan informative karena judul paper sering digunakan didalam system penggalian informasi. Hindari singkatan nama. Abstract Abstrak terdiri dari 100-200 kata, terkadang maksimum 250 kata, informative dan bersifat selfexplanatory. Menyajikan topic secara jelas dan singkat terdiri dari pengantar, tujuan, metodologi, temuan, kesimpulan, implikasi, serta rekomendasi. Kalimat harus lengkap menggunakan passive verbs, past tense, tidak usah menyebutkan kata ganti orang ketiga (dia), tidak ada singkatan. Tidak ada kutipan didalam abstrak, karena abstrak Anda merupakan ringkasan dari hasil kerja atau penelitian Anda sendiri. Keywords Biasanya 3-8 kata, lebih dianjurkan 5 kata. Kata kunci ini berguna untuk indeks atau referensi, untuk pencarian di data base, namun tidak harus menyebutkan semua kata yang tertera pada judul. Beberapa jurnal terutama yang submitnya melalui Scholar One Manuscript Central sudah mengkhususkan katakata kunci pada bidang kajian yang dipilih. Introduction Pendahuluan perlu mencermati berbagai hal berikut ini: a. Normalnya berisi 1-1,5 halaman, kecuali paper bidang management bisa lebih dari itu. b. Pendahuluan harus memuat pernyataan yang jelas tentang masalah, literature yang relevan tentang bidang tertentu, serta pendekatan atau solusi yang diajukan saat ini. c. Berbagai overview atau latar belakang tentang mengapa paper ini ditulis merupakan hal yang sangat penting meliputi definisi istilah-istilah yang relevan, review literature, hipotesis, serta bagaimana paper ini berbeda dari kajian-kajian atau paper lain pada topic tersebut. d. Pendahuluan juga menyampaikan berbagai pandangan tentang masalah terdahulu dan masalah terkini. Semua yang dipaparkan itu harus dapat dipahami para kolega minimal yang memiliki disiplin ilmu yang sama. e. Pendahuluan perlu merujuk 10-15 referensi pada 1-3 tahun terakhir dari waktu sumbit paper. Misalnya jika kita submit paper tahun 2014, maka perlu merujuk pada referensi hasil penelitian yang relevan dari Journal-journal yang terbit tahun 2013, 2012, 2011 meskipun penelitian Anda telah dilakukan 5 tahun yang lalu. f. Pendahuluan perlu berisi pertanyaan penelitian, serta garis besar tentang bagaimana kajian Anda menambah atau mengisi gap. g. Tujuan penelitian harus disampaikan pada bagian akhir paragraph pendahuluan. Methods & Materials a. Bagian ini tidak ada batasan halaman. b. Metode penelitian harus dipaparkan secara lengkap tentang bagaimana eksperimen itu direplikasi atau dilakukan. c. Setiap prosedur baru harus dideskripsikan secara rinci. Prosedur yang sudah dipublikasikan sebelumnya harus dirujuk, modifikasi-modifikasi penting dari prosedur yang sudah terpublikasi itu harus disebutkan dengan jelas. d. Sub judul perlu digunakan dan konsisten dengan metodologi yang digunakan. e. Metode-metode yang digunakan secara umum atau yang sudah biasa, tidak perlu dideskripsikan secara rinci. Perlu juga dijelaskan mengapa Anda memilih populasi dan sampel tersebut sebagai partisipan. f. Penelitian relevan lain harus disajikan secara memadai. Jelaskan juga mengapa Anda menggunakan pertanyaan atau instrument tertentu ?. Jelaskan juga misalnya mengapa Anda menggunakan pertanyaan Likert berskala 4 atau 5? Results & Discussion a. Kata kunci untuk bagian ini adalah jelas dan padat. Metodologi dipaparkan menggunakan kata kerja past tense. b. Jelaskan dan diskusikan mengapa Anda memperoleh begitu banyak data, begitu banyak referensi, untuk perbandingan. c. Data lebih baik ditampilkan dalam bentuk bentuk charta, grafik, daripada table. Semua gambar dan table perlu dirujuk sedekat mungkin dengan isi teksnya.
20
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
7.
8.
d. Kata kerja past tense digunakan ketika mendeskripsikan temuan dari hasil eksperimen penulis, sedangkan temuan yang sudah dipublikasi sebelumnya harus ditulis dalam bentuk present tense. Jelaskan data Anda, bandingkan dan diskusikan dengan literature terdahulu. Conlusion a. Bagian ini harus memenuhi tujuan penelitian, misalnya dua kesimpulan untuk dua tujuan penelitian, termasuk bagaimana paper ini memperkaya penelitian di bidang studi Anda, apa keunikannya, kontribusinya serta inovasinya. b. Kesimpulan itu merujuk hanya pada penelitian yang telah Anda lakukan. c. Redaksi kesimbulan tidak lebih dari sepertiga halaman, lebih disarankan berupa 1-2 paragraf. d. Kesimpulan juga mengandung implikasi praktis terhadap ruang lingkup bidang studi Anda. e. Kesimpulan juga memuat rekomendasi terhadap penelitian lanjutan yang harus diarahkan pada berbagai perbaikan yang perlu dilakukan oleh peneliti berikutnya. References Setelah dipaparkan komponen manuskrip di atas, bagian yang tidak kalah pentingnya dan perlu dicermati adalah bahwa tanggung jawab akurasi kutipan itu sepenuhnya berada pada PENULIS.
Kutipan dalam teks. Beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kutipan pada teks adalah sebagai berikut: a. Kutiplah hasil penelitian Anda sendiri yang terdahulu dan relevan ketika menulis manuskrip untuk disubmit ke Journal saat ini. b. Pastikan bahwa setiap referensi yang dikutip didalam teks juga tertera didalam daftar referensi, dan sebaliknya. c. Hindari kutipan didalam abstrak d. Hasil-hasil studi serta catatan komunikasi personal yang tidak terpublikasikan, tidak perlu dimasukkan kedalam daftar referensi, tetapi bisa saja tersampaikan didalam teks e. Kutipan referensi yang sedang “in press” mengimplikasikan bahwa referensi tersebut telah diterima untuk publikasi. f. Kutipan didalam teks harus mengikuti pola referensi yang digunakan oleh the American Psychological Association (APA), Chicago atau Harvard g. Anda dapat merujuk pada the Manual Publication of the American Psychological Association, Fifth Edition, ISBN 1-55798-790-4, copies of which may be ordered from http://www.apa.org/books/4200061.html or APA Order Dept., P.O.B.2710, Hyattsville, MD 20784, USA or APA, 3 Henrietta Street, London, WC3E 8LU, UK h. Rincian mengenai pola reference ini juga dapat ditemukan di http://humanities.byu.edu/linguistics/Henrichsen/APA/APA01.html i. Daftar Penulis. Referensi harus disusun secara alfabetis dan kronologis, apabila perlu diberi nomor. Jika terdapat beberapa referensi dari satu nama yang sama pada tahun yang sama, maka perlu dituliskan secara berurutan menggunakan huruf a, b, c dituliskan setelah tahun publikasinya. Jika terdapat lebih dari 3 penulis pada satu referensi, maka gunakan et.al dan ditulis miring didalam teks, tetapi ditulis penuh didalam daftar referensi j. Kutipan dari Referensi Web. Kini referensi bukan hanya berasal dari buku atau Journal cetakan, tetapi juga tersedia dari web. Referensi web dapat ditulis secara terpisah misalnya setelah daftar referensi dengan diberi tanda berbeda, atau dapat juga dicantumkan didalam daftar referensi, bergantung pada panduan Journalnya. Demikian paparan singkat mengenai komponen manuscript, semoga bermanfaat bagi para akademisi, para guru, para mahasiswa untuk membantu berlatih mengembangkan kemampuan menulis hasil penelitiannya sehingga bisa dipublikasikan kedalam Journal baik nasional maupun Internasional. Kemampuan mengkomunikasikan hasil karya ilmiah ini akan semakin meningkatkan kapasitas serta profesionalisme sebagai pendidik agar dihasilkan generasi masa mendatang yang lebih bermutu. DAFTAR PUSTAKA Kamaruzaman J. 2012. Bahan Workshop Publikasi Internasional di UNIMED. Ecxellence in Higher Education.Journal of Life Science Education
21
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
CURRICULUM VITAE Nama lengkap NIP Tempat Tgl Lahir Jenis Kelamin Pangkat/Gol Jabatan Bidang Keahlian
Bidang lain yang ditekuni Unit Kerja Alamat Rumah Telepon/HP Email A. PENDIDIKAN NO Universitas/Institut 1 IKIP Bandung 2 IKIP Bandung 3 UPI – Bandung
: Dr. Ely Djulia, M.Pd : 19660724 199103 2012 : Sumedang 24 Juli 1966 : Perempuan : Lektor Kepala / III/c : Staff Pengajar : Pendidikan Sains, Strategi Pembelajaran, Perencanaan dan Evaluasi Pembelajaran, Seminar Pendidikan Biologi : Ekologi Tumbuhan, Pendidikan Berbasis Gender : FMIPA : Perum Bandar Setia Asri No. A-25 Jl Pembinaan Medan : 081320403008 :
[email protected]
Gelar S1 S2 S3
Tahun Lulus 1989 1995 2005
B. PENGALAMAN PENELITIAN TAHUN JUDUL PENELITIAN Analytical Capacity Development Partnership 2012-2013 (ACDP) – 10: Pendidikan Lingkungan Penelitian Tindakan Kelas di SDN 104242 2007-2009 Lubuk Pakam SUMUT Survey Baseline Danau Toba Sebagai Sumber 2009 Belajar Biologi di Sekolah Menengah Pengembangan Video Pembelajaran Untuk Meningkatkan Penguasaan Metode-Metode 2008 Pembelajaran Aktif pada Perkuliahan Strategi Belajar Mengajar Biologi. Penerapan Metode Bermain Peran pada 2007 Pembelajaran Biologi Struktur dan Fungsi Sel di SMAN 5 Binjai 2006
2004
1995
Studi Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja di Sumut. PSGPA – Lemlit UNIMED Peran Budaya Lokal dalam Pendidikan Sains:: Studi Naturalistik tentang Pemerolehan sains Kelompok Siswa SMA Budaya Sunda tentang Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan pada Konteks Sekolah dan Lingkungan Pertanian. Disertasi Program Pascasarjana. Pendidikan IPA. UPI. Konsepsi Siswa SMA tentang Fotosintesis. Thesis Program Magister. Pendidikan IPA. UPI.
C. PUBLIKASI DAN SEMINAR TAHUN JUDUL PAPER / ARTIKEL The Effect of Using Various Power point in Junior Secondary Biology Classroom into 2013 Students Scientific Attitude and Students
22
Bidang Studi Pendidikan Biologi Pendidikan IPA Pendidikan IPA
JABATAN Provincial Research Coordinator: Jambi Ketua Peneliti Ketua Peneliti
SUMBER DANA ADB PUSKURBUK Florida State University Research Grant – PHKI
Ketua Peneliti
Teaching Grant – PHKI
Ketua Peneliti
DIKTI
Anggota Peneliti
Kementrian pemberdayaan Perempuan
Ketua Peneliti
TMPD - DIKTI
Ketua Peneliti
TMPD - DIKTI
PERAN Poster Presenter
PUBLIKASI/SEMINAR The 5th International Conference on Science and Mathematics Education,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Achievement of Photosynthesis Salamah, Ely Djulia, Syahmi Edi
Peserta
2013
2013
Analisis Kompetensi Guru Biologi SMA yang Sudah Lulus Sertifikasi di Kota Medan Retnita Ernayani Lubis, Ely Djulia, Hasruddin
Tim Pembimbing dan Penulis
2012
Peserta
2012
Peserta
2011
Active Learning in Language Study and Science: Transforming Teacher Practice in North Sumatera’s Elementary Schools Ely Djulia, Tita Juwitaningsih, Abdul Hamid, Roslin Siallagan, Parapat Gultom, Inayah Hanum, Khairil Anwar, Nurul Wardhani Lubis
2011
Developing Active Learning for Higher Education (ALFHE) Strategy in Indonesia Universities to improve Quality of Higher Education Achievement
2009
Improving Quality of Science Classroom in Elementary School through Implementation of Active Learning Strategy in North Sumatera.
Ketua Peneliti dan Penulis
Oral Presenter
Penulis, Presenter
2008
Biological Thinking Skills Promoted by Indonesian Senior High School Student on Teaching Learning Process of Plant Metabolism .
Penulis, Presenter
2008
Local Science Knowledge about Traditional Farming Constructed by Indonesian People and their Ecological Wisdom into Nature.
Penulis, Presenter
2007
Green Revolution: Modern Technology vs Ecological Wisdom.
Penulis
2006
The Natural Wisdom from Mountain Kendeng.
23
Penulis
Penang Malaysia, 11-14 November 2013 ICASE Borneo World Conference on Science and Technology Education (WorldSTE) 2013, 30 Sept -5 October 2013 , UNIMAS Kuching Malaysia Journal Penelitian Pendidikan MIPA UPI, Edisi Maret 2013 The 4th International Conference in Bioscience and Biotechnology. 20-21 September 2012 Udayana University, Bali International Research Conference for Globalization and Sustainability, August 14-16, 2012, Iloilo City Philippines
EHE Journal No 2 Winter Edition (2011): 90-96 The 4th International Conference on Science and Mathematics Education, Penang Malaysia, 15-17 November 2011 National Conference on Collaborative Action Research in Education. Universitas Terbuka collaborated with Florida State University, DBE-2 USAID. Tangerang, December 4-5. 2009. Indonesia Asia Pasific Educational Research Association (APERA) Conference. Singapore, November 2628, 2008 Conference of Asian Science Education (CASE 2008), Kaohsiung, Taiwan, February 20-24. 2008. Indigenous Science Network Bulletine (ISNB) Vol.10 (6). December Indigenous Science Network Bulletine (ISNB)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Vol.9 (3). June.
2006
A naturalistic study of Science Acquisition of Sundanese High School Students on Photosynthesis and Plant Respiration in the Context of School and Agricultural Environment (Abstract).
Penulis
2006
Peran Budaya Lokal dalam Pemerolehan Sains.
Penulis
2005
A Naturalistic Study of Science Acquisition of Sundanese High School Students on Photosynthesis and Plant Respiration in The Context of School and Agricultural Environment.
Penulis, Presenter
2005
Harvest Party Ceremony in Indonesian Traditional Community: Seren Taun Ceremony in Kampong Gede Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi.
Penulis
2004
Paradigma Ekokultural Pendidikan Sains.
Penulis
2003
The perspective of Positivism and Postmodernism about Science.
Penulis
2003
The Diversity of Oryza sativa” from community knowledge in West Java traditional community about local rice variety into genetic engineering rice variety to keep scientific and cultural values.
Penulis, Presenter
2003
Virtual Class in Higher Education Biology Classroom by using internet.
Penulis, Presenter
School and Community Science Evaluation as Alternative Strategy of Classroom-based Evaluation in Science Education.
Penulis, Presenter
2003
2001
Proposition Generating Task (PGT): An Evaluation Analysis of learning metabolism in Senior Secondary School.
Penulis, Presenter
2000
High School Students’conception of Photosynthesis.
Penulis, Presenter
24
Indigenous Science Network Bulletine. (ISNB) Vol.9 (2). April Mimbar Pendidikan No.3 Tahun XX, 2006 International Conference of Science and Mathematics Education (CosMED 2005). RECSAM. Penang. Malaysia. December. Indigenous Science Network Bulletine. (ISNB) Vol.8 (5). October Mimbar Pendidikan No.2 Tahun XXIII, 2004 Visi Wacana, Vol.IX.No.12 JanuariApril 2003; National Seminar. Indonesian Society for Plant Taxonomy. Surakarta National University. Solo. National Seminar of Science Education in cooperation with JICA. National Seminar of Science Education. School of Mathematics and Science Education. Indonesia University of Education. National Seminar on The Role of Science and Mathematics Education, Indonesia University of Education in cooperation with JICA and Directorate General of Higher Education. National Seminar. The Indonesian Society for Biology in cooperation with Bandung Institute of Technology, Pajajaran University, and Indonesia University of Education
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
D. PENGALAMAN PROFESIONAL NO PEKERJAAN Lecturer, Research Advisor 1
TEMPAT FMIPA, Pascasarjana UNIMED
5
Education Development Center (EDC), USAID PRIORITAS, Teacher Training Institute Development Specialist Education Development Center (EDC), USAID PRIORITAS, Teacher Training Primary Reviewer Journal EDUSAIN UIN Syarif Hidayatullah Mitra Bestari Journal Pendidikan Dasar PGSD UPI
6
Koordinator Pendidikan Profesi Guru (PPG)
UNIMED
Education Development Center (EDC), USAID – DBE-2, University Advisor Academy for Educational Development (AED), USAID DBE-2, University Advisor Module Development Team (MDT), USAID – DBE-2
Medan, Sumatera Utara Medan, Sumatera Utara Medan, Sumatera Utara Nias Island, North Sumatera
2 3 4
7 8 9 10
Research Consultant, Save the Children
11
Evaluation Task Force, JICA IMSTEP, Lesson Study IPA SMP- Biologi SMA
25
TAHUN 1991 - Sekarang
Medan, Sumatera Utara
April 2014 sekarang
Medan, Sumatera Utara
September 2012 – Maret 2014
Jakarta
2012
Bandung
2013 - sekarang Juni 2011 – Februari 2014 March– July 2011 Sept 2008 – July 2010
UPI Bandung
2006-2007 2007 2003-2004
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
ANALISIS KELAYAKAN COURSE-WARE UNTUK PERKULIAHAN FISIOLOGI HEWAN BAGI MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI Adeng Slamet Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sriwijaya, Email:
[email protected]
Ijang Rohman Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Email:
[email protected] Abstrak Studi ini bertujuan untuk memperoleh kelayakan course-ware yang dikembangkan untuk perkuliahan fisiologi hewan yang difokuskan pada topik-topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, sistem ekskresi dan osmoregulasi. Metode dalam studi ini adalah metode deskriptif, di mana pemilihan lokasi maupun subjek dilakukan secara purposif. Dalam studi ini melibatkan 20 orang mahasiswa calon guru biologi angkatan 2012/2013 di program S1 Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA) FKIP Universitas Sriwijaya. Untuk mengoleksi data kelayakan courseware dilakukan dengan meminta mahasiswa mengisi instrumen yang sebelumnya telah mendapat penimbangan oleh pakar (expert judgment). Kriteria kelayakan didasarkan atas tingkat keterbacaan, operasi teknis, dan daya tarik. Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan statistik deskriptif. Hasil studi menunjukkan berdasarkan tanggapan mahasiswa tingkat keterbacaan dan operasi teknis course-ware yang dikembangkan, tidak sulit untuk digunakan. Demikian pula sajian course-ware yang dikembangkan memiliki daya tarik yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa course-ware yang dikembangkan sudah lay`ak untuk kegiatan pembelajaran topik sistem respirasi, sirkulasi, ekskresi dan osmoregulasi dalam perkuliahan fisiologi hewan bagi mahasiswa calon guru biologi. Kata Kunci : Course-ware, Fisiologi Hewan, Mahasiswa Calon Guru Biologi
PENDAHULUAN Di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk membekali kompetensi profesional bagi mahasiswa calon guru difasilitasi melalui mata kuliah keahlian. Dalam struktur kurikulum khususnya pada program studi pendidikan biologi, salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa calon guru biologi adalah fisiologi hewan.Tuntutan kurikulum mata kuliah tersebut menghendaki agar mahasiswa mampu memahami konsep-konsep serta interelasi antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam membangun fungsi organ tubuh pada berbagai kelompok hewan, terutama golongan vertebrata (Tn, 2011). Kalau ditinjau dari aspek tuntutan kurikulum sebagaimana dijelaskan di atas serta unsur muatan yang diajarkan dalam mata kuliah tersebut, dapat dinyatakan bahwa kedudukan mata kuliah fisiologi hewan dalam stuktur kurikulum pada program studi pendidikan biologi menempati posisi strategis bagi upaya membekali kompetensi profesional calon guru biologi. Mengingat substansi materi yang dikaji dalam ruang lingkup mata kuliah tersebut memiliki jalinan fungsional dengan mata kuliah lain, beberapa materi mendasari bagi pemahaman materi pada mata kuliah lain yang lebih lanjut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan perkuliahan fisiologi hewan pada prodi pendidikan biologi FKIP Universitas Sriwijaya terungkap bahwa para mahasiswa dalam mengikuti proses perkuliahan fisiologi hewan tidak jarang menemui kesulitan dalam memahami materi subjek yang disajikan dosen, alasan mereka karena materi fisiologi hewan banyak menyangkut mekanisme kerja organ (Slamet, 2010). Informasi dari hasil wawancara tersebut, tampaknya sesuai dengan data dokumentasi yang tersedia di program studi pendidikan biologi sebelumnya, dimana perolehan rata-rata hasil belajar mahasiswa dalam penguasaan materi fisiologi hewan masih berada dalam kisaran sedang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil belajar yang diperoleh dari tahun akademik 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009 secara berturut-turut adalah 6,75; 6,80; dan 6,64. Jika dibandingkan dengan target minimal hasil belajar yang ditetapkan untuk mata kuliah tersebut (70,00) tentu rata-rata nilai yang dicapai belum sesuai dengan harapan. Timbul pertanyaan, apa penyebab hal itu bisa terjadi? Kalau ditelaah patut diduga, salah satu faktornya adalah kemungkinan ada hubungannya dengan kurang lancarnya komunikasi dalam konteks 26
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
pembelajaran antara dosen dengan mahasiswa sebagai akibat adanya ketidaktepatan dosen pengasuh dalam menerapkan strategi perkuliahan yang dilakukan selama ini. Alasan tersebut didukung dari hasil observasi yang dilakukan, di mana ada kecenderungan dalam melaksanakan praktik pembelajaran fisiologi hewan, dosen masih menggunakan strategi teacher centered yang ditandai dengan masih dominannya kesan mengajar (teaching) daripada membelajarkan (learning). Dalam praktik pembelajarannya tampak dosen lebih dominan membekali mahasiswa dengan fokus pada pemahaman dan penimbunan informasi (rote learning). Dengan kata lain, kegiatan perkuliahan didominasi kegiatan mengajar di mana fokus pembelajaran cenderung hanya bersifat mewariskan pengetahuan (transfer of knowledge, content transmission) bukan kegiatan membelajarkan, sehingga banyak mahasiswa merasakan kesulitan dalam pembelajaran yang mereka ikuti. Tampaknya dugaan tersebut seiring dengan apa yang dinyatakan Michael (2007) yang telah melaporkan hasil survei terhadap mahasiswa untuk menjawab pertanyaan:”Mengapa fisiologi hewan itu sulit dipelajari oleh mahasiswa?”. Dari laporan survei Michael (2007) tersebut, teridentifikasi ada empat faktor utama yang menyebabkan fisiologi sulit dipelajari oleh mahasiswa, yaitu: (1) hakikat disiplin fisiologi sendiri yang banyak membutuhkan kemampuan berpikir atau penalaran mengenai hubungan sebab akibat; (2) faktor bagaimana cara mengajar fisiologi yang memerlukan pengemasan materi secara pedagogis; (3) faktor bagaimana mahasiswa belajar fisiologi, hal ini terutama berkaitan dengan kesiapan dan kemampuan bernalar mahasiswa; dan (4) faktor-faktor di luar kelas. Mengingat Fisiologi hewan banyak memuat konsep-konsep yang abstrak dan rumit, lebih-lebih untuk menjelaskan hubungan antar konsep dalam mendeskripsikan fungsi sebuah organ, maka dengan karakteristiknya yang demikian tentu dibutuhkan kreativitas dan inovasi dari dosen pengasuh kaitannya dengan upaya untuk menciptakan atmosfir perkuliahan yang kondusif sehingga diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran yang diberikan. Banyak upaya yang dapat dilakukan dosen untuk untuk mengatasi kesulitan belajar mahasiswa, salah satu langkahnya adalah dengan menyediakan media pembelajaran yang sesuai. Karena seperti dinyatakan Sadiman dkk (2009) media pembelajaran merupakan salah satu aspek penting dalam proses pendidikan yang berperan sebagai pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan dengan pemanfaatan media yang bervariasi dalam kegiatan pembelajaran dapat mengatasi sikap pasif peserta didik dan mampu membangkitkan antusiasme belajar peserta didik. Berdasarkan hasil penelusuran beberapa pustaka, berbagai media telah dikenal dan dimanfaatkan bagi kebutuhan pembelajaran mulai dari media yang sederhana hingga yang canggih. Namun saat ini, seiring dengan pesatnya kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ragam media banyak mengarah ke pengintegrasian teknologi informasi. Salah satu di antaranya adalah memanfaatkan kelebihan teknologi komputer, yang dapat mengemas program berupa perangkat lunak (software) yang secara khusus untuk program pendidikan dikenal dengan istilah course-ware (educational software) yang dapat membantu peningkatan hasil belajar. Sebagaimana disebutkan Munir (2005) komputer menjadi popular sebagai media pengajaran karena komputer memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media pengajaran lain sebelum adanya komputer. Komputer sebagai salah satu produk teknologi dinilai tepat digunakan sebagai alat bantu pembelajaran dan memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Komputer mampu menampilkan berbagai komponen media, seperti video, gambar, teks, animasi, dan suara sehingga dapat merangsang lebih banyak indra. Kleinsmith (Siegel & Foster, 2001) menyebutkan pembelajaran dengan berbantuan komputer (CAI) mempuyai efek positif terhadap peningkatan skor hasil belajar anatomi dan fisiologi dalam beberapa materi subjek. Demikian pula Griffin (2003) melaporkan berbagai program pembelajaran dengan menggunakan fasilitas komputer dapat meningkatkan efektivitas waktu pembelajaran, kreativitas, keahlian dan kemampun berpikir peserta didik. Di lain pihak, Andrews & Collin (1993) menyatakan penggunaan komputer dalam pembelajaran dapat memberi manfaat terhadap motivasi belajar peserta didik yang diikuti peningkatan prestasi belajar. Demikian pula Sefton (2001) strategi pembelajaran berbasis komputer yang interaktif dapat mendorong cara belajar aktif peserta didik apabila dirancang dengan baik pada pembelajaran fisiologi. Bahkan Kulik (Heinich, 1996) secara spesifik telah melaporkan bahwa pembelajaran melalui media komputer membantu meningkatkan rata-rata prestasi peserta didik antara 1018% dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Melalui berbagai keunggulan yang dimiliki komputer di mana media komputer dapat menampilkan perpaduan antara teks, gambar, animasi, gerak, dan suara secara bersamaan atau saling bergantian, sering kali para peserta didik ketika bekerja dengan komputer mereka sangat menikmatinya dan dapat melakukan pembelajaran yang mandiri (Rusman dkk, 2011). Mengingat peran strategis dari media pembelajaran sebagai salah salah satu aspek penting dalam proses pendidikan, sedangkan di lain pihak karakteristik materi mata kuliah fisiologi hewan yang memuat konsep-konsep abstrak dan sulit difahami, maka dikembangkannya suatu perangkat lunak pembelajaran yang diharapkan efektif mengatasi masalah tersebut merupakan satu langkah yang tepat untuk pembaharuan proses pendidikan. Oleh karena
27
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
itu, bertolak dari urgensi tersebut maka dilakukan studi analisis terhadap course-ware yang dikembangkan untuk mengetahui seberapa jauh kelayakannya menurut persepsi mahasiswa calon guru biologi. Untuk itu, pada studi ini dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu ”Bagaimana kelayakan course-ware yang dikembangkan untuk perkuliahan fisiologi hewan menurut persepsi mahasiswa pada topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem ekskresi/osmoregulasi? Urgensi penelitian ini dilakukan sebagai basis data untuk penelitian lebih lanjut. Dengan pengembangan media ini diharapkan akan membantu membangkitkan antusiasme mahasiswa dalam pembelajaran fisiologi hewan yang mereka ikuti. METODE PENELITIAN Metode dalam studi ini adalah metode deskriptif. Pemilihan lokasi maupun subjek dilakukan secara purposif (Creswell, 2009). Subjek dalam penelitian ini adalah 20 orang mahasiswa calon guru biologi program S1 Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA) FKIP Universitas Sriwijaya yang mengikuti perkuliahan fisiologi hewan. Untuk mengoleksi data mengenai seberapa jauh tingkat kelayakan course-ware yang dikembangkan dilakukan dengan meminta mahasiswa mengisi instrumen. Baik course-ware maupun instrumen yang digunakan pada studi ini sebelumnya telah mendapat penimbangan oleh pakar (expert judgment). Tingkat kelayakan course-ware yang dikembangkan ditentukan berdasarkan kriteria aspek keterbacaan, teknis operasi, dan daya tarik. Data yang diperoleh dianalisis dan diolah dengan statistik deskriptif (Susetyo, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dalam studi ini adalah persentase setiap indikator pernyataan pada masing-masing aspek yang diukur yakni keterbacaan, operasi teknis, dan daya tarik yang diberikan mahasiswa calon guru biologi. Untuk penjelasan lebih rinci mengenai hasil pengolahan data dan pembahasan dijelaskan melalui Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, dan Gambar 1. Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Respirasi Berdasarkan Tabel 1 tampak pada course-ware dengan topik sistem respirasi dari 13 indikator pernyataan yang disajikan sebagian besar mahasiswa menunjukkan respon yang positif terhadap course-ware yang dikembangkan. Tabel 1. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Pokok Bahasan Sistem Respirasi Jawaban Mahasiswa (%) No Pernyataan ST SS S TS S A. KETERBACAAN 1 Petunjuk mudah dipahami 50 50 2 Perintah-perintah mudah dipahami 45 55 3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 35 65 4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol 50 50 seimbang 5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah dibaca 65 35 6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan, dan 50 45 5 sejenisnya kontras 7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 45 45 10 8 Gambar animasi mudah dimengerti 45 45 10 9 Bahasa yang digunakan komunikatif 25 75 B. OPERASI TEKNIS 10 Course-ware mudah dioperasikan 50 50 11 Tautan (link) bekerja dengan lancer 55 40 5 12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancer 75 25 C. DAYA TARIK 13 Tampilan course-ware menarik 70 20 10 Rata-rata 50,77 46,15 3,08 Hal tersebut ditandai dengan tingginya jumlah persentase respon mahasiswa yang memberikan jawaban terhadap kategori sangat setuju dan setuju pada setiap indikator pernyataan pada ketiga aspek kriteria kelayakan. 28
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Bahkan untuk aspek keterbacaan pada indikator pernyataan tentang kemudahan petunjuk, kemudhan perintahperintah, kejelasan teks atau tulisan, keseimbangan peletakan tampilan (layout), ukuran/jenis huruf, dan penggunan bahasa, serta aspek operasi teknis pada indikator pernyataan mengenai kemudahan operasi teknis dan kelancaran fungsi tombol-tombol navigasi, persentase respon positif menunjukkan nilai 100%. Untuk indikator pernyataan tentang kekontrasan Indikator Pernyataan mengenai visualisasi komposisi warna pada aspek keterbacaan dan indikator pernyataan pada aspek operasi teknis berkaitan dengan kelancaran tautan jumlah persentasenya mencapai 95%, sedangkan indikator pernyataan mengenai kejelasan bagan-bagan, gambar animasi pada aspek keterbacaan dan indikator pernyataan mengenai daya tarik course-ware jumlah persentasenya 90%. Dengan demikian, bertolak dari tingginya persentase respon positif pada setiap indikator yang diberikan mahasiswa bisa dikatakan secara keseluruhan tingkat kelayakan course-ware yang berisi materi tentang sistem respirasi sudah mencapai kategori baik, Namun demikian, di lain pihak ditemukan juga adanya respon negatif terhadap course-ware yang dikembangkan yakni pada aspek keterbacaan pada indikator pernyataan mengenai kekontrasan visulisasi komposisi warna dan indikator kelancaran tautan pada aspek operasi teknis dengan persentase 5%, sedangkan pada indikator kejelasan bagan-bagan dan kemudahan gambar animasi pada aspek keterbacaan dan indikator daya tarik, masing-masing menunjukkan respon negatif sebesar 10%. Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Sirkulasi Pada Tabel 2 tampak untuk course-ware sistem sirkulasi dari 13 indikator pernyataan sebagian besar mahasiswa menunjukkan respon positif yang mirip dengan course-ware yang dikembangkan pada topik sistem respirasi (Tabel 1). Hal ini tampak dari persentase respon positif yang mencapai 100%, di mana dari 13 indikator pernyataan pada topik sirkulasi terdapat delapan indikator yang mencapai persentase maksimal (100%), yakni pada aspek keterbacaan ditunjukkan pada indikator-indikator kemudahan petunjuk, kemudahan perintah-perintah, kejelasan teks atau tulisan, kejelasan ukuran dan jenis huruf ; pada aspek operasi teknis pada indikator-indikator kemudahan operasi, kelancaran tautan, kelancaran tombol-tobol navigasi, serta indikator kemenarikan pada aspek daya tarik. Tabel 2. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Topik Sistem Sirkulasi Jawaban Mahasiswa(%) No Pernyataan SS S TS STS A. KETERBACAAN 1 Petunjuk mudah dipahami 60 40 2 Perintah-perintah mudah dipahami 55 45 3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 55 45 4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol 40 55 5 seimbang 5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah 55 45 dibaca 6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan, 55 40 5 dan sejenisnya kontras 7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 50 40 10 8 Gambar animasi mudah dimengerti 40 50 10 9 Bahasa yang digunakan komunikatif 35 60 5 B. OPERASI TEKNIS 10 Course-ware mudah dioperasikan 65 35 11 Tautan (link) bekerja dengan lancer 60 40 12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancar 60 40 C. DAYA TARIK 13 Tampilan course-ware menarik 55 45 Rata-rata 52.69 44.62 2.69 Tabel 2 juga dapat dijelaskan adanya respon negatif mengenai course-ware yang dikembangkan. Namun demikian, tampaknya sebaran indikator yang mendapat respon negatif pada course-ware dengan topik sistem sirkulasi berbeda dengan topik sistem respitasi (Tabel 1), di mana indikator yang mendapat respon negatif semuanya ditemukan pada indikator- indikator dalam aspek keterbacaan, yakni pada indikator keseimbangan peletakan tampilan, kekontrasan visualisasi warna, kejelasan bagan-bagan, kemudahan gambar animasi untuk 29
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
dimengerti, kebahasaan yang komunikatif, dengan persentase berturut-turut: 5%, 5%, 10%. 10%, dan 5%. Akan tetapi, jika dibandingkan antara persentase indikator-indikator respon negatif dengan persentase mahasiswa yang memberikan respon positif, tampak sebagian besar mahasiswa yang berespon positif masih jauh lebih tinggi dengan rata-rata persentase antara 90%% s.d. 95%. Hal lain yang menarik, pada course-ware topik sistem sirkulasi, semua indikator pada aspek operasi teknis dan aspek daya tarik seluruhnya menunjukkan persentase yang maksimal (100%). Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Ekskresi dan Osmoregulasi Hasil analisis course-ware topik sistem ekskresi dan osmoregulasi yang tertera pada Tabel 3 tampak dari 13 indikator pernyataan pada seluruh aspek hanya ada enam indikator yang mencapai persentase 100%. Indikatorindikator yang mencapai 100% yaitu; kemudahan perintah-perintah, kejelasan teks atau tulisan, ukuran dan jenis huruf, dan penggunaan bahasa pada aspek keterbacaan, selain itu indikator kelancaran tautan pada aspek operasi teknis, dan indikator kemenarikan pada aspek daya tarik, sedangkan untuk indikator pernyataan lainnya yakni indikator-indikator kemudahan petunjuk, keseimbangan peletakan tampilan, kekontrasan visualisasi warna, kejelasan bagan-bagan, dan gambar animasi pada aspek keterbacaan dan indikator kemudahan operasi courseware, kelancaran tombol-tombol navigasi pada aspek operasi teknis persentase respon positif mahasiswa berada pada kisaran antara 90% sampai dengan 95%. Tabel 3. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Topik Sistem Ekskresi dan Osmoregulasi Jawaban Mahasiswa(%) No Pernyataan SS S TS STS A. KETERBACAAN 1 Petunjuk mudah dipahami 50 45 5 2 Perintah-perintah mudah dipahami 55 45 3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 50 50 4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol 60 30 10 seimbang 5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah 55 45 dibaca 6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan, 65 30 5 dan sejenisnya kontras 7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 50 45 5 8 Gambar animasi mudah dimengerti 55 35 10 9 Bahasa yang digunakan komunikatif 60 40 B. OPERASI TEKNIS 10 Course-ware mudah dioperasikan 65 25 10 11 Tautan (link) bekerja dengan lancar 70 30 12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancar 65 30 5 C. DAYA TARIK 13 Tampilan course-ware menarik 70 30 Rata-rata 59.23 37.31 3.46 Berdasarkan Tabel 3 tampak di samping respon positif, ditemukan juga pada beberapa indikator mahasiswa memberikan respon yang negatif yakni indikator pernyataan mengenai keseimbangan peletakan tampilan, animasi gambar, kemudahan operasi course-ware, dengan persentase masing-masing 10%, serta indikator pernyataan kemudahan petunjuk, kekontrasan visualisasi warna, kelancaran tombol-tombol navigasi, dengan persentase masingmasing indikator 5%. Berdasarkan data-data tersebut, maka secara keseluruhan dapat dibuat rekapitulasi mengenai rata-rata persentase respon mahasiswa pada seluruh topik yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1. Tampak dari grafik yang tertera pada Gambar 1 rata-rata mahasiswa memberikan respon positif yang tinggi terhadap ketiga course-ware yang dikembangkan, yaitu terhadap course-ware pada topik sistem respirasi rata-rata respon positif mencapai 96,82%, sistem sirkulasi mencapai 97,31%, dan pada sistem ekskresi dan osmoregulasi mencapai 96,54%. Dengan mencermati tingginya persentase respon positif, maka secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa berpatokan kepada
30
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
kriteria aspek keterbacaan, operasi teknis dan daya tarik secara komprehesif course-ware yang dikembangkan layak digunakan untuk kebutuhan dalam pembelajaran fisiologi hewan pada topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem ekskresi/ osmoregulasi. Hal tersebut tampaknya sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang mahasiswa, umumnya mereka merasa puas dan ingin terus belajar dengan menggunakan courseware yang dikembangkan. Mereka juga berpendapat melalui penggunaan course-ware dalam perkuliahan fisiologi hewan mereka merasakan adanya variasi dalam perkuliahan yang berbeda dengan perkuliahan selama ini.
Gambar 1. Rekapitulasi Perbandingan Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap course-ware antar topic Sistem Respirasi, Sistem Sirkulasi dan Sistem Ekskresi/Osmoregulasi Namun demikian, adanya respon negatif dari mahasiswa terhadap produk course-ware yang dikembangkan, hal itu merupakan bahan revisi yang akan dilakukan. Revisi produk akan dilakukan berdasarkan komentar dan saran yang diberikan mahasiswa terhadap aspek yang menunjukkan respon negatif. Dari ketiga topik course-ware yang dikaji, tampak ada kecenderungan topik sistem ekskresi dan osmoregulasi merupakan topik yang paling banyak menunjukkan respon negatif meskipun persentasenya relatif rendah. KESIMPULAN Hasil analisis ditemukan course-ware yang dikembangkan ditinjau dari aspek keterbacaan, operasi teknis, dan daya tarik penyajian menurut tanggapan mahasiswa tidak sulit untuk digunakan dan mendapat respon positif dengan rata-rata di atas 90% untuk masing-masing course-ware dengan topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem ekskresi serta osmoregulasi. SARAN Dengan demikian dapat direkomendasikan bahwa course-ware yang dikembangkan layak dan dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran mata kuliah fisiologi hewan khususnya pada topik sistem respirasi, sirkulasi, ekskresi dan osmoregulasi bagi mahasiswa calon guru biologi. DAFTAR PUSTAKA Andrews SE, Collins MAJ. 1993. Computer Enhanced Learning in Biology. in Tested studies for laboratory teaching, 14, . Proceedings of the 14 th workshop/Conference of the Association for Biology Laboratory Education (ABLE), 169-190. Available at:http://www.zoo.utoronto.ca/able/volumes/copyright.htm. [20 Januari 2014]. Creswell JW. 2009. Research Design.Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3th ed. California: SAGE Publications, Inc. Griffin JD. 2003. Technology in the teaching of Neuroscience.Enhanced Student Learning. Journal Advances in Physiology Education. 27: 146-155. Heinich R, Molenda M, Russel JD. 1993. Instructional Media and The New Technologies of Instruction (4thed). New York: Macmillan Pub. Co. 31
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Michael J. 2007. What Makes Physiology Hard for Student to Learn? Result of a Faculty Survey.Adv. Physiol. Educ. 31: 34-40. Munir. 2005. Konsep dan Aplikasi Program Pembelajaran Berbasis Komputer (Computer Based Instrucion). Bandung: P3MP UPI. Rusman, Kurniawan D, Riyana C. 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Radjawali Pers. Sadiman A, Rahardjo R, Haryono, Anung RR. 2009. Media Pendidikan, Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sefton AJ. 1998. The Future of Teaching Physiology: An International Viewpoint. Adv. Physiol. Educ. 20(1): 53-58. Siegel D, Foster T. 2001. Laptop Computers and Multimedia and Presentation Software: Their Effects on Students Achievement in Anatomy and Physiology. Journal of Research on Technology in Education. 34(1): 29-37. Slamet A. 2010. Studi Persepsi dan Pemahaman Konsep-konsep Fisiologi serta Berpikir Kritis pada Perkuliahan Fisiologi Hewan di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sriwijaya. Laporan Field Study.Tidak diterbitkan. Susetyo B. 2010. Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Tn. 2011. Pedoman Akademik FKIP Unsri. Palembang: Universitas Sriwijaya
32
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PROFIL KEMAMPUAN DAN HAMBATAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN PROFESI MELALUI KARYA TULIS ILMIAH Suciati Sudarisman Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNS email:
[email protected] Abstrak Profesional dalam berbagai profesi merupakan tuntutan dalam menghadapi tantangan abad 21. Mengembangkan profesi secara berkesinambungan merupakan salah satu ciri sebagai guru profesional sebagaimana diamanahkan dalam Undang Undang Guru dan Dosen (2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan guru dalam mengembangkan profesinya. Penelitian menggunakan metode survei yang melibatkan 80 orang guru sebagai responden. Data dihimpun melalui angket dan wawancara yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk bagan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkaitan dengan pengembangan profesi, sebanyak 67,5% guru mengalami hambatan, 18,75% lancar, 13,75% tidak merespon. Dapat disimpulkan bahwa membuat karya tulis ilmiah merupakan salah satu faktor penghambat bagi guru dalam mengembangkan profesi. Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi rendahnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis ilmiah yaitu: 1) kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas; 2) rendahnya kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran; 3) kurangnya pengetahuan guru tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku. Kata Kunci: pengembangan profesi guru, karya tulis ilmiah.
PENDAHULUAN Keterbukaan yang merupakan ciri globalisasi telah menciptakan situasi seolah dunia tanpa batas, akibatnya nilai-nilai baru semakin mudah masuk dalam kehidupan yang memunculkan ketidak pastian, ketidak seimbangan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pola hidup di masyarakat. Kondisi ini membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas handal, sehingga dunia pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan peserta didik yang inovatif, kreatif dan kompetitif agar mampu survive secara produktif di tengah derasnya peluang dan tantangan kehidupan global yang semakin kompleks. Oleh karenanya, pendidikan harus didukung oleh pendidik (guru ) yang profesional. Menurut American Association Colleges of Teacher Education / AACTE (2010) bahwa guru abd-21 dituntut menguasai kompetensi yang dapat memfasilitasi belajar peserta didik sesuai dengan hasil belajar yang dipersyaratkan yaitu mampu: menggabungkan antara teknologi dengan pedagogi dan materi pelajaran yang mendorong kreativitas peserta didik, menguasai model-model pembelajarana dan berbagai model asesmen yang dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, bertindak sebagai mentor, aktif dalam asosiasi profesi serta selalu meningkatkan profesionaltasnya sebagai guru. Hal ini relevan dengan isi Undang Undang Guru dan Dosen (2005) dimana guru dituntut memiliki 4 kompetensi yang meliputi: kompetensi profesional, kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, dan kompetensi personal. Dengan demikian guru profesional harus menguasai materi keilmuan yang dibidanginya, mampu mentransfer pengetahuan sesuai kaidah dasar-dasar kependidikan, mampu bersosialisasi dengan lingkungan serta memiliki kepribadian yang baik yang dapat menjadi panutan bagi peserta didiknya. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan IPTEK, persaingan global, otonomi pendidikan dan perkembangan kurikulum, profesionalitas guru merupakan sebuah keharusan (Saud, 2009). Hal ini relevan dengan isi Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu, guru yang profesional dituntut untuk terus-menerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, ataupun internasional. Pengembangan profesi guru dapat ditempuh melalui berbagai jalur. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) No 16 Tahun 2009 Tanggal 10 November 2009, maka: mulai tahun 2011 bagi Guru PNS yang akan mengusulkan kenaikan
33
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
pangkatnya harus memenuhi kriteria pemerolehan angka kredit yang didapat dari: 1) Kegiatan pengembangan diri (Pelatihan atau Kegiatan Kolektif); 2) Karya Tulis Ilmiah; 3) Membuat Alat Peraga, Alat Pembelajaran; 4) Karya Teknologi/Seni; dan 5) Pengembangan Kurikulum. Karya tulis ilmiah khususnya dalam bentuk hasil penelitian tindakan kelas (PTK) menjadi salah satu poin yang dipersyaratkan dalam kenaikan pangkat golongan guru. Dengan demikian, setiap guru profesional idealnya mampu membuat karya tulis ilmiah yang bersumber dari pengalaman pembelajaran di kelas yang menjadi tugas kesehariannya. Penulisan karya ilmiah merupakan kegiatan yang sangat penting bagi seorang guru yang profesional. Kegiatan ini tidak saja perlu dilakukan dalam rangka memperoleh angka kredit untuk kenaikan jabatan atau untuk keperluan sertifikasi melalui portofolio, tetapi terlebih lagi perlu dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan kelas, kualitas layanan kepada anak didik, dan juga peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. Keterampilan menulis khususnya menulis karya ilmiah sangat penting artinya bagi guru. Guru yang tidak mampu menulis dengan baik akan mengalami berbagai kendala dalam berkomunikasi karena dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari seorang guru dituntut mampu menulis seperti menulis surat lamaran pekerjaan, menulis surat dinas, dan menulis laporan suatu kegiatan, dan yang terutama menulis karya ilmiah dalam rangka kenaikan pangkat (Keraf, 1996). Senada dengan hal di atas, Akhadiah (1998) mengatakan bahwa menulis membawa seseorang mengenali potensi diri, memperluas cakrawala, mendorong seseorang belajar aktif, dan membiasakan seseorang berpikir dan berbahasa secara tertib. Melalui kegiatan menulis, seseorang dapat merekam, memberitahukan, meyakinkan, dan mempengaruhi orang lain. Bahkan, kiranya tidak berlebihan apa yang dikatakan Tarigan (1994) bahwa menulis merupakan suatu ciri orang terpelajar atau bangsa terpelajar. Pada satu sisi, memang disadari betapa pentingnya keterampilan menulis karya ilmiah bagi guru, tetapi pada sisi lain, seperti yang dikemukakan dalam Kompas, 14 Desember 2007, bahwa banyak guru yang stagnan pada pangkat/golongan IVA karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka untuk menulis karya ilmiah. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa realitas seperti ini secara statistik sangat jelas terlihat, misalnya, pada data Badan Kepegawaian Nasional tahun 2005. Dari 1.461.124 orang guru saat itu, ditinju dari golongan/ruang kepangkatannya, tercatat sebanyak 22.87% guru golongan IVA; 0.16% guru golongan IVB; 0.006% guru golongan IVC; 0.001% golongan IVD, dan 0,00% guru golongan IVE. Data ini jelas menunjukkan betapa rendahnya aktivitas guru di Indonesia dalam menulis karya ilmiah. Namun secara faktual kemampuan guru di berbagai jenjang pendidikan dalam membuat karya tulis ilmiah tampaknya belum optimal. Secara umum guru masih mengalami hambatan terutama dalam membuat PTK. Meski telah dilakukan upaya-upaya peningkatan kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Pihak institusi terkait dan guru sendiri, tampaknya belum menemukan cara yang tepat untuk dapat mengakselerasi kompetensi dalam membuat karya tulis ilmiah secara efektif. Belum tersedianya data tentang kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah, menyebabkan upaya percepatan profesionalitas guru menjadi terhambat. Oleh karenanya, perlu dilakukan pemetaan kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah, agar dapat diketahui profil kemampuan dan hambatan guru dalam mengembangkan profesinya. METODE Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan guru dalam mengembangkan profesinya serta hambatan-hambatan yang dialami guru dalam mengembangkan profesinya khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah khususnya PTK. Penelitian menggunakan metode survei yang melibatkan 80 orang guru jenjang SMA sebagai responden yang ada di wilayah kota Solo. Data dihimpun melalui angket dan wawancara yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk bagan persentase.
34
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Respon Guru Berkaitan dengan Pengembangan Profesi Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa dari 80 orang responden, hanya 18,75% guru yang pengembangan profesinya lancar (tidak mengalami hambatan). Sebanyak 13,75% tidak memberikan respon apapun terkait dengan pengembangan profesinya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak adanya respon dari responden dikarenakan para guru merasa pasrah dengan keadaan karena peluang pengembangan profesinya sudah mentok disebabkan faktor usia dan masa kerja yang telah mendekati pensiun. Sementara sebanyak 67,5% guru menyatakan mengalami hambatan dalam pengembangan profesi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa guru tersebut pada umumnya cenderung mengalami hambatan dalam pengembangan profesinya melalui kenaikan pangkat terutama dalam memenuhi persyaratan terkait karya tulis ilmiah khususnya penelitian tindakan kelas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat dalam pengembangan profesi guru dikarenakan beberapa hal. Pertama, kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas. Di dalam melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terkesan hanya sekedar menggugurkan kewajiban mengajar sesuai jam yang telah ditetapkan. Akibatnya pembelajaran berlalu tanpa upaya perbaikan, sehingga menjadi kurang bermakna. Idealnya setiap pembelajaran selesai, guru melakukan analisis sebagai refleksi. Jika terdapat kekurangan-kekurangan dalam praktik pembelajaran tersebut, maka dapat dijadikan landasan untuk melakukan perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Sementara berbagai hasil penelitian berbasis refleksi seperti lesson study, terbukti sangat efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini didukung oleh pernyataan (Arani, 2011:37) bahwa tahapan plan, do/observation, dan reflection yang merupakan ruh dari lesson study, sangat efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Hasil refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan guru dapat menjadi landasan bagi upaya perbaikan pembelajaran selanjutnya dan tanpa disadari sesungguhnya guru tersebut telah melakukan langkahlangkah PTK secara praktis. Guru hanya menuangkannya dalam bentuk karya tulis ilmiah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan profesi. Kedua, kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran rendah. Ruh PTK adalah perbaikan kualitas pembelajaran di kelas (Arikunto, dkk., 2006). Dengan demikian, strategi pembelajaran konvensional yang cenderung kurang efektif, perlu dilakukan inovasi pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran lain yang lebih kreatif dan inovatif. Guru dituntut memahami berbagai strategi, pendekatan, metode, model pembelajaran inovatif sebagaimana disarankan dalam Kurikulum 2013 seperti: pembelajaran berbasis penemuan (inquiry, discovery, dll.), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis proyek (problem based project) (Kemendiknas, 2013). Berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa guru masih mengalami kendala dalam melakukan inovasi pembelajara, sehingga memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan model-model pembelajaran terutama pembelajaran konstruktivis dengan paradigma student center. Ketiga, pengetahuan guru tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku masih kurang. Hasil wawancara menunjukkan bahwa menuangkan hasil pengalaman praktis guru dalam proses pembelajaran ke dalam bentuk karya tulis ilmiah merupakan hambatan terbesar. Umumnya guru kurang memiliki informasi tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baik dan benar sesuai yang dipersyaratkan. Kurangnya sumber informasi dan rendahnya motivasi diri untuk memperoleh informasi merupakan kendala utama.
35
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa melakukan wawancara dan pemberian angket terkait dengan kemampuan guru dalam melalui pembuatan karya tulis ilmiah dalam penelitian ini, merupakan salah satu bentuk pemetaan sederhana yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan yang terkait sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami guru dalam pengembangan profesinya. Profil ini merupakan sumber informasi penting dalam upaya mendorong percepatan profesi guru pada umumnya. KESIMPULAN Berdasar hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Profil kemampuan dan hambatan guru-guru di wilayah kota Solo secara umum masih belum optimal khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah melalui PTK; 2) Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi rendahnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis ilmiah yaitu: a) kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas; b) rendahnya kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran; c) kurangnya pengetahuan guru tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku. SARAN Keberadaan profil tentang kemampuan dan hambatan guru dalam pengembangan profesi sangat penting bagi peningkatan profesionalitas guru, maka dapat dikemukan saran bahwa penelitian terkait profil kemampuan dan hambatan guru dalam mengembangkan profesinya seyogyanya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan yang terkait di semua wilayah dan jenjang pendidikan, agar percepatan peningkatan profesionalitas guru secara luas dapat segera terwujud. DAFTAR PUSTAKA Akhdiah S, Arsjad MG, Ridwan, Sakura H. 1998. Menulis I. Jakarta: Depdikbud. Arani SR. 2011. Transnational Learning: The Integration of Jugyou kenkyuu inti Iranian Teacher Training. Tokyo: Education Science Publishing House. Arikunto S. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Keraf G. 1996. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka. Kompas. 14 Desember 2007. Saud US. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Suandi IN. 2008. Gerakan Menulis Karya Ilmiah (Sebuah Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru). Singaraja: Undiksha. Sutrisno. 2012. Kreatif Mengembangkan Aktivitas Pembelajaran Berbasis TIK. Jakarta: Referensi. Tarigan HG. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa: Bandung Tim. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendiknas. Tim. 2005. Undang Undang Guru dan Dosen. Jakarta: Kemendiknas.
36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PROFIL PEMAHAMAN KONSEP PEMANTULAN CAHAYA YANG DIANALISIS MENGGUNAKAN THREE-TIER TEST PADA SISWA SMP Uswatun Khasanah Pendidikan Fisika, FPMIPA, UPI
[email protected]
Muslim Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA , UPI
Achmad Samsudin Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA , UPI Abstrak Fakta bahwa siswa lebih sering mendapatkan evaluasi dalam bentuk tes pilihan ganda atau uraian. Pilihan ganda yang sering dipakai oleh guru yaitu hanya satu tingkat dan sederhana tanpa ada tambahan kolom alasan. Tes pilihan ganda memungkinkan peluang menebak jawaban lebih besar dan kurang menyaring pemahaman konsep secara mendalam. Kemudian pilihan ganda biasa ini ditambahkan dengan pilihan alasan (tingkat dua) disebut pilihan ganda dua tingkat atau two-tier test. Namun, two-tier test masih ada peluang untuk menebak jawaban, maka ditambahkan lagi berupa tingkat keyakinan (tingkat tiga), maka disebut threetier test. Selain itu, three-tier test dapat mendeteksi miskonsepsi. Tujuan penelitian ini menganalisis profil pemahaman konsep pemantulan cahaya menggunakan three-tier test. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat dengan 37 subyek penelitian. Hasil skor rata-ratanya diperoleh yaitu 34 (sedang), artinya tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya sedang. Kata Kunci: three-tier test, pemahaman konsep
PENDAHULUAN Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Dalam sistem pembelajaran, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Arifin, 2009). IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga suatu proses penemuan atau penyelidikan ilmiah (Standar Isi Permen No. 22 tahun 2006). Fisika adalah salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun IPA. Pembelajaran fisika memiliki ciri khas sendiri yaitu berhubungan erat dengan fenomena dan konsep. Salah satu tujuan pendidikan fisika di sekolah agar siswa paham terhadap fenomena alam secara ilmiah, memahami konsep, dan menerapkan atau mengaplikasikannya secara fleksibel dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di lapangan, pembelajaran berpusat pada guru, akibatnya siswa lebih mampu menguasai materi pada tingkat hafalan dan kurang memahaminya. Guru juga kurang memberikan pertanyaan kepada siswa dan jarang praktikum. Peneliti menganalisis soal-soal IPA-fisika berupa pilihan ganda yang menunjukkan bahwa soal fisika rata-rata lebih banyak bersifat kuantitatif, sedangkan soal yang bersifat kualitatif sedikit. Diasumsikan jika siswa sudah dapat mengerjakan soal fisika yang bersifat kuantitatif atau hitungan, maka siswa dianggap sudah paham konsep. Berdasarkan pengamatan di lapangan, skor rata-rata siswa terhadap soal konseptual lebih rendah daripada skor rata-rata soal hitungan. Solusi alternatif untuk mengukur pemahaman konsep, yaitu dengan pilihan ganda multi-tier. Pilihan ganda dua tingkat atau two tier test pertama kali dikembangkan oleh Treagust (Treagust et al, 2007). Two-tier test yaitu pengembangan pilihan ganda menjadi dua tingkat. Tingkat pertama yaitu pertanyaan pilihan ganda biasa. Tingkat kedua yaitu pilihan alasan menjawab soal tingkat pertama dengan empat pilihan jawaban. Menurut Hasan, Bagoyo, dan Kelley (Pesman dan Erylimas, 2010) bahwa two-tier test tidak dapat membedakan antara miskonsepsi dan tidak paham konsep. Sehingga, two-tier test dikembangkan lagi menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada tingkat ketiga. Pilihan ganda tiga tingkat ini disebut three-tier test.
37
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus permasalahan yang akan diteliti ialah “Bagaimana profil pemahaman konsep pemantulan cahaya yang dianalisis menggunakan three-tier test pada siswa SMP kelas VIII?”. METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Tujuannya menganalisis profil pemahaman konsep pemantulan cahaya menggunakan three-tier test. Penyusunan three-tier test diadaptasi dari model penyusunan two-tier test Treagust seperti dalam Gambar 1. (Treagust et al, 2007).
Gambar 1. Tahap Penyusunan three-tier test Pemantulan Cahaya Subyek penelitian ada 37 siswa dan lokasi penelitian adalah di salah satu SMP Negeri di Lembang, Bandung Barat. Contoh soal three-tier test pemantulan cahaya yang diberikan terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh soal three-tier test Pemantulan Cahaya
38
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Aturan penskoran three-tier test ini (Pesman, 2010: 39-40) yaitu: a. Skor A. Memberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah pada tingkat satu. b. Skor B. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dan tingkat dua. Jika jawabanya salah pada salah satu tingkat maka diberi skor 0. c. Skor C. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dua dan yakin atas jawabannya, selain itu diberi skor 0. d. Skor tingkat keyakinan. Memberi skor 1 untuk jawaban yakin pada tingkat tiga. Jika jawabannya tidak yakin maka diberi skor 0. Pengkategorian siswa paham konsep, tidak paham konsep, error, dan miskonsepsi dari hasil skor C seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Jawaban Siswa Berdasarkan Hasil Skor C Kategori
Tingkat satu
Tingkat dua
Paham konsep
Benar
Benar
Benar
Benar
Benar
Salah
Salah
Benar
Salah
Salah
Salah Benar Salah
Benar Salah Salah
Tidak paham konsep (lack of knowledge)
Error Miskonsepsi
Tingkat tiga Yakin Tidak Yakin Tidak Yakin Tidak Yakin Tidak Yakin Yakin Yakin Yakin
(Kaltakci & Nilufer, 2007:500) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penskoran three-tier test pemantulan cahaya dengan skor C dan hasil data statistik ditujukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi Semua Data Statistik Three-Tier Test Berdasarkan Hasil Skor C Statistik N Siswa 37 Jumlah butir soal three-tier test 15 pemantulan cahaya Skor ideal 100 Skor minimum 0 Skor maksimum 67 Rata-rata 34 Tingkat kesukaran Jumlah dan nomor soal 0,00-0.25 (Sukar) 7 (5, 8, 9, 11, 12, 13, 14) 0,26-0,75 (Sedang) 7 (1, 2, 3, 6, 7, 10, 15) 0,76-1,00 (Mudah) 1 (4) Catatan : reliabilitas = 0,82 dan validitas = 0,69 Hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan Berdasarkan hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan linier atau hubungan positif antara skor B dengan tingkat keyakinan. Artinya, siswa menjawab benar pada tingkat satu dua, maka yakin atas jawabannya. Jika siswa memperoleh skor tinggi, maka tingkat keyakinanya juga tinggi. Semakin besar perolehan skor B, maka semakin tinggi tingkat keyakinan siswa. Siswa menjawab benar tingkat satu dua, dan yakin atas jawabannya, berarti paham konsep (Gambar 3).
39
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Gambar 3. Grafik Hubungan antara Skor B dengan Tingkat Keyakinan Cataloglu (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), menegasakan bahwa siswa yang memiliki skor tinggi diperkirakan lebih yakin daripada siswa yang memiliki skor rendah. Perkiraan ini dapat di amati dari tiap butir soal tes yang berfungsi baik. J. Cohen (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), juga menegaskan bahwa jika nilai koefisien korelasi Pearson product-moment> 0,50, maka ada hubungan kuat antara skor B dengan tingkat keyakinan. Validitas three-tier test yaitu 0,69. Artinya, nilai validitasnya lebih besar dari 0,50. Kesimpulannya tiap butir soal three-tier test pemantulan cahaya berfungsi dengan baik. Perbandingan Skor A, Skor B, dan Skor C Perbandingan skor A, skor B, dan skor C. Hasil rekapitulasi skor A, skor B, dan skor C dapat dilihat pada Gambar 4. 35 32
29 27
Jumlah Siswa
30 25 20
33
32
21
25 21 22
19
17
30
29 21
15
17
16
14 11
10
10
7 6
5
1110 5
3
1
15
12 11
0
0 1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 No. butir Soal skor A skor B
11
12
13
14
15
Gambar 4. Jumlah Siswa yang Merespon Benar pada Masing-Masing Tingkat Tiap Butir Soal Gambar 4, disimpulkan bahwa pada skor A, siswa rata-rata menjawab benar paling tinggi. Artinya, pada tingkat satu berupa pilihan ganda biasa ini tingkat kesulitannya rendah. Semakin naik tingkatanya, maka jawaban benar siswa semakin rendah, karena tingkat kesulitannya semakin tinggi. Skor B dan skor C ratarata nilainya sama. Bentuk soal three-tier test berbeda dengan tes pilihan ganda biasa, akibatnya waktu pengerjaan soal three-tier test lebih banyak daripada soal pilihan ganda biasa. Kelebihan three-tier test pemantulan cahaya, yaitu memperkecil peluang menebak jawaban, membedakan siswa yang paham konsep, tidak paham konsep (lack of knowledge), miskonsepsi, dan error. Pengategorian Berdasarkan Skor C Pengategorian berdasarkan skor C, terdiri dari: paham konsep, tidak paham konsep (lack of knowledge), miskonsepsi, dan error.Indikasi paham konsep, yaitu jawaban siswa tingkat satu dua benar dan menjawab “ya, yakin”. Hasil pengkategorian berdasarkan skor C ditunjukkan pada Gambar 5.
40
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Gambar 5. Pengkategorian Berdasarkan Hasil Skor C Gambar 5, bahwa pemahaman konsep tertinggi pada nomor soal 4 dengan indikator menglompokkan benda yang tembus cahaya. sebesar 57% siswa paham konsep sifat cahaya yaitu cahaya dapat merambat lurus. Sebelumnya siswa sudah memiliki pengetahuan awal, yaitu ketika benda yang transparan diletakkan di depan sumber cahaya, maka cahaya tersebut masih bisa terlihat oleh mata. Sedangkan pemahaman konsep terendah pada nomor soal 11 dengan indikator meramalkan letak benda pada cermin cekung. Persentasi siswa yang tidak paham konsep sebesar 59%. Siswa tidak paham konsep bahwa ketika benda diletakkan di titik fokus cermin cekung, maka bayangannya tak terhingga. Berdasarkan percobaan bahwa bayangan benda semakin jauh dan semakin besar terlihat pada layar. Namun, siswa belum pernah melihat fenomenanya dan belum pernah melakukan percobaan. Pada nomor 9 dengan indikator membandingkan perbesaran bayangan pada cermin cembung, siswa mengalami tidak paham konsep tertinggi. Hal ini karena siswa tidak hafal rumus perbesaran bayangan dan siswa tidak terbiasa dengan pilihan jawaban berupa simbol. Siswa sudah terbiasa dengan soal yang berisi pilihan angka. Miskonsepsi tertinggi pada nomor soal 5 dengan indikator mengelompokkan cermin cembung dari gambar. Sebesar 65% siswa mengalami miskonsepsi tentang cermin cembung. Siswa beranggapan bahwa cermin cembung selalu bentuk permukaannya cembung, sedangkan kaca spion bentuknya datar dan termasuk contoh cermin cembung. Miskonsepsi yang dibawa siswa yaitu kaca spion bentuk permukaannya datar, sifat bayangannya yaitu maya dan tegak, sehingga kaca spion termasuk cermin datar. Erorr tetinggi pada nomor soal 15 dengan indikator mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap jarak bayangan. Siswa mengalami kekeliruan mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap jarak bayangan, karena pada soal tidak dicantumkan tabel data jarak benda dan jarak bayangan. Siswa belum mampu mengilustrasikan grafik. Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya dari Hasil Three-Tier Test Data hasil skor C digunakan peneliti untuk mengukur pemahaman konsep pemantulan cahaya siswa. Skor totalnya dikelompokkan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Kategori Tingkat Pemahaman Siswa dari Hasil Skor Total No. Interval skor Kategori tingkat Jumlah pemahaman konsep siswa siswa 1. 0-27 Rendah 16 2. 28-72 Sedang 21 3. 73-100 Tinggi 0 Skor rata-rata three-tier test sebesar 34 (sedang). Tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya yaitu sedang. Hal ini karena pertama, materi cahaya bersifat abstrak, sehingga siswa harus mengkonstruksi pikirannya terlebih dahulu dengan contoh atau peristiwa yang konkret. Kedua, pada saat pembelajaran pemantulan cahaya, guru jarang memberi contoh konkret fenomena pemantulan cahaya dan tidak menggunakan media pembelajaran yang mendukung. Keempat, siswa tidak hafal, tidak paham sinar-sinar
41
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
istimewa pada cermin cembung maupun cermin cekung. Akibatnya, siswa kesulitan menggambarkan pembentukan bayangan pada cermin cekung maupun cermin cembung. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, siswa tidak terbiasa dengan soal berbentuk pemahaman konsep dan bentuk soal three-tier test. Sebelumnya, siswa belum pernah mengerjakan soal three-tier test. Hasil penelitian Kumaedi (2000) bahwa siswa yang paham konsep pemantulan cahaya hanya 41 siswa dari 172 siswa atau hanya sebesar 24% siswa. Werdhiana (2010) juga menegaskan bahwa skor rata-rata hitungan lebih tinggi daripada skor rata-rata pemahaman konsep. Selain itu, menurut Mazuir (Werdhianaa, 2010: 2) bahwa skor rata-rata siswa terhadap masalah konseptual lebih rendah daripada skor rata-ratanya terhadap masalah hitungan. Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan memecahkan masalah hitungan itu seperti pekerjaan mekanis yang hanya “memasukan” angka dalam rumus tertentu tanpa memahami atau menghayati “arti fisis” yang terkandung dalam konsep atau rumus itu. Keuntungan three-tier test, yaitu: Pertama, dapat membedakan siswa yang paham konsep, tidak paham konsep, miskonsepsi, dan error. Kedua, dapat diselenggarakan untuk sampel yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Ketiga, semua isi materi dapat diujikan, dan mudah dalam penskorannya. SIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah profil pemahaman konsep pemantulan cahaya dengan menggunakan bentuk soal three-tier test yaitu sedang dengan skor rata-rata 34. Berdasarkan dari hasil perbandingan skor A, skor B, skor C, bahwa nilai skor A paling tinggi. Hal ini mengidentifikasi bahwa siswa dominan menjawab benar pada tingkat satu dengan bentuk soal pilihan ganda biasa dan tingkat kesulitannya paling mudah dari pada soal two-tier test atau three-tier test. Namun, skor B dan skor C rata-rata nilainya sama. Hanya siswa yang memiliki pemahaman konsep yang baik akan mendapatkan skor C lebih tinggi. Dari hasil soal three-tier test ini, presentase siswa yang paham konsep rata-rata rendah dibandingkan presentase siswa yang miskonsepsi, tidak paham konsep, maupun error. Siswa memahami konsep pemantulan cahaya sedang. Hal ini karena kurang termotivasi belajar memahami konsep. Siswa tidak hafal dan tidak paham sinar-sinar istimewa cermin cekung maupun cermin cembung, serta tidak paham cara menggambarkan pembentukan bayangan oleh pemantulan cermin cekung maupun cermin cembung. Siswa lebih tertarik menghafal rumus daripada memahami arti fisisnya. SARAN Setelah melakukan penelitian ini, peneliti menyarankan agar pada pembelajaran optik geometri siswa diharapkan mampu menggambarkan proses pembentukan bayangan benda dari pemantulan cahaya. Jika ditambahkan dengan kegiatan praktikum pemantulan cahaya, pemahaman konsep siswa akan menjadi kuat dan bertahan lama. DAFTAR PUSTAKA Anderson LW, Krathwohl DR. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing (A Revisions of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addison Wesley Longman Inc. Arifin Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Caleon I, Subramaniam R. 2010. “Development and Application of a Three-Tier Diagnostic Test to Assess Secondary Students’ Understanding of Waves”. International Journal of Science Education. 32(7):939-961. Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. Standar Isi Peraturan Mentri Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdikbud. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2009. Soal UN IPA-Fisika Kode Soal P1 Tahun Ajaran 2009/2010. Ikhsan M. 2011. Soal UKK IPA Fisika Kelas VIII Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung. Bandung; Tidak Diterbitkan Ikhsan M. 2011. Soal Pra-UN IPA Fisika Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung. Bandung; Tidak Diterbitkan
42
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Kaltakci D, Nilufer D. 2007. Identification of Pre-Service Physics Teachers' Misconceptions on Gravity Concept: A Study with a 3-Tier Misconception Test. Sixth International Conference of the Balkan Physical Union: American Institute of Physics. Kilic D, Saglam N. 2009. “Development of a Two-Tier Diagnostic Test to Determine Students’ Understanding of Concepts in Genetics”. Eurasian Journal of Educational Research. 227-244. Kumaedi. 2000. Analisis Miskonsepsi Siswa MAN Dalam Pembelajaran Pembentukan Bayangan Oleh Cermin Datar, Cekung, Dan Cembung.Tesis pada Pascasarjana Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak Diterbitkan. Pesman H. 2010. Development Of A Three-Tier Test To Assess Misconceptions About Simple Electric Circuits. Tesis pada Pascasarjana Pendidikan Fisika Firat University Turkey: Tidak Diterbitkan. Pesman H, Eryilmaz A. 2010. “Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple Electric Circuits”. The Journal of Educational Research. 103, 208-222. Sri E. 2010. Profil Tes Open Book Sesuai Dengan Tahap Perkembangan Intelektual. Tesis pada Pascasarjana Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak Diterbitkan Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Team Erlangga. 2012. E-book Soal TO UN IPA-Fisika SMP/MTs 2012. Jakarta; Erlangga. Treagust DF, Chandrasegaran AL. 2007. “The Taiwan National Science Concept Learning Study in an International Perspective”. International Journal of Science Education. 29, (4), 391-403. Universitas Pendidikan Indonesia. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI. Werdhiana IK. 2010. Pengembangan tes pemahaman konsep fisika siswa SMA. Disertasi pada Pascasarjana Pendidikan IPA Bandung; Tidak Diterbitkan
43
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
KREATIVITAS GURU BIOLOGI DALAM MERENCANAKAN PEMBELAJARAN BIOLOGI SMA BERBASIS KOMODITAS HAYATI UNGGULAN LOKAL Asep Agus Sulaeman PPPPTK IPA
Liliasari, Sri Redjeki, Dewi Sawitri Universitas Pendidikan Indonesia Institut Teknologi Bandung Abstrak Kajian ini dilakukan untuk mengetahui kreativitas guru Biologi SMA dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Kajian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kreativitas guru dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Instrumen yang digunakan untuk menilai kreativitas guru biologi SMA, yaitu instrumen penilaian produk kreatif untuk rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang dihasilkan guru yang memuat topik-topik yang terkait dengan seluruh aspek salah satu jenis komoditas hayati unggulan lokal. Data diperoleh dengan menilai dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa mata pelajaran biologi SMA yang dibuat oleh guru dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Analisis data terhadap dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran biologi dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kriteria sesuai instrumen yang telah dikembangkan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada umumnya guru biologi SMA sudah dapat mengintegrasikan aspek komoditas hayati unggulan ke dalam RPP dengan baik, dengan nilia paling rendah adalah dalam merumuskan tujuan pembelajaran, yaitu 71,25 dan nilainya paling besar adalah kemampuan merencanakan penilaian, yaitu 95. Guru biologi juga sudah bisa membuat LKS yang memberikan nilai kebermaknaan dan kemanfaatan dengan nilai tertinggi dari aspek-aspek lainya, yaitu dengan nilai 100 dan aspek kelengkapan materi dalam memperoleh nilai yang paling kecil, yaitu 76,32. Kata Kunci: RPP, LKS, deskriptif kuantitatif
PENDAHULUAN Di wilayah pertanian, seperti di Indonesia, salah satu konteks pembelajaran yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran adalah komoditas hayati unggulan lokal pertanian. Komoditas unggulan lokal adalah komoditas yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan, baik karena potensi alam maupun karena komoditas ini dipengaruhi oleh tingkat produksi, skala usaha, dan pemasarannya sebagai upaya menghasilkan produk pertanian yang memiliki keunggulan (Susanto & Sirappa, 2005). Komoditas hayati unggulan lokal pertanian merupakan konteks yang dekat dengan siswa di wilayah agraria, seperti Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Hofstein & Kesner (2006), menyatakan dalam pengembangan pembelajaran kimia kontekstual di wilayah industri, salah satu prinsip dalam mengintegrasikan industri kimia ke dalam pembelajaran adalah industri yang berperan dalam kepentingan lokal dan berbahan dasar material lokal. Oleh karena itu, konteks komoditas hayati unggulan lokal pertanian memungkinkan untuk dapat diintegrasikan dalam pembelajaran biologi di sekolah oleh guru di lingkungan wilayah pertanian. Berkaitan dengan integrasi pertanian dalam sains sebagai konteks, Balschweid (2002) menjelaskan bahwa lebih dari 90% subyek penelitian menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa berpartisipasi dalam kelas biologi yang menggunakan pertanian sebagai konteks membantu mereka untuk memahami hubungan antara sains dan pertanian. Lebih dari 85% siswa menanggapi setuju atau sangat setuju bahwa berpartisipasi dalam kelas biologi dengan konteks peternakan menyebabkan mereka menghayati sifat kompleks peternakan hewan. Balschweid (2002) juga menyimpulkan bahwa sains yang diajarkan dalam konteks peternakan oleh guru yang berpengalaman memiliki dampak positif pada sikap siswa terhadap pertanian dan mereka yang bekerja di industri pertanian. Adapun Balschweid & Huerta (2008) menyatakan bahwa pembelajaran Biologi dalam konteks pengetahuan tentang hewan ternak dapat meningkatkan informasi langsung kepada siswa tentang tempat kerja dan memberikan siswa landasan untuk memilih pendidikan pasca-sekolah menengah. Begitu pula
44
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
sebaliknya, hasil penelitian mendukung pernyataan bahwa integrasi sains ke kurikulum pertanian adalah cara yang lebih efektif untuk mengajarkan sains. Siswa yang diajar dengan mengintegrasikan pertanian dan prinsip-prinsip ilmiah menunjukkan prestasi yang lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pendekatan tradisional (Balschweid & Huerta, 2008). Penggunaan kurikulum pertanian sebagai kerangka kontekstual untuk mendukung akuisisi pendidikan IPA akan meningkatkan pembelajaran dan bermakna bagi siswa sehingga dapat menerapkan pembelajaran yang telah mereka peroleh (Myers & Washburn, 2007) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bailey dan Merritt dalam Balschweid (2002), menunjukkan bahwa peserta didik gagal mengembangkan pemahaman mendalam tentang sains dan matematika di kelas tradisional yang menyebabkan gagalnya menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan di luar kelas. Oleh karena itu, sekolah harus membantu siswa memenuhi kebutuhan kehidupan pribadinya dalam kontribusi ke arah kesejahteraan keluarga, komunitas keluarga dan masyarakat. Dalam pembelajaran Sains, guru harus memberikan kegiatan pembelajaran untuk peserta didik agar meningkatkan kemampuan mental dan pengembangan sikapnya (Dailey, et al., 2001). Oleh karena itu, guru-guru biologi SMA di Indonesia perlu mengembangakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal sebagai cara untuk memberikan pembelajaran bermakna kepada siswanya. Saat pengembangan bahan pembelajaran di kelas, berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal, guru ditantang untuk kreatif sehingga mampu mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran. Guru biologi SMA harus kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu biologi dan ilmu-ilmu yang terkait (Depdiknas, 2007). Guru ditantang untuk menghasilkan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa dalam memahami sains dan relevansinya yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa (Marshall, 2010). Konteks berpikir kreatif guru dalam pembelajaran adalah kemampuan guru dalam menciptakan berbagai ide dan kemungkinan-kemungkinan baru dan asli, serta kemampuan berpikirnya sebagai hasil refleksi dari wawasan, keingintahuan, kelenturan, keaslian, dan kemampuan menghubungkan antara konsep-konsep atau ide-ide yang terkadang dilupakan oleh guru itu sendiri ketika menyusun program pembelajaran (Meintjes & Grosser, 2010). Dalam konteks integrasi komoditas hayati unggulan lokal, guru dituntut dapat melihat fakta bahwa setiap wilayah memiliki jenis komoditas unggulan hayati lokalnya masing-masing dengan seluruh aspeknya, mulai aspek budidaya sampai ke industri pengolahan serta pemasarannya. Selanjutnya, aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal dapat dipetakan dengan topiktopik dalam pembelajaran biologi di SMA. Saat ini, guru-guru biologi belum mengembangkan rencana pembelajaran dan lembar kegiatan pembelajaran yang mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Mengajar dengan kreatif adalah guru menggunakan berbagai pendekatan untuk mewujudkan pembelajaran yang lebih menyenangkan, melibatkan siswa secara aktif dan efektif (Ellis & Read, 2006). Meintjes & Grosser (2012) merangkum dari beberapa peneliti sebelumnya bahwa kreativitas guru dalam mengambangkan pembelajaran merujuk pada kreativitas guru sebagai fungsi kognitif yang mengacu pada kemampuannya untuk menghasilkan ide-ide dan konsep-konsep baru, serta kemampuan untuk berpikir divergen dan berpikir produktif dalam domain akademik. Salah satu bentuk kreativitas adalah keterampilan penting dalam memproduksi ide baru yang dapat memecahkan masalah pembelajaran serta membantu para siswa dalam belajar biologi (Diki, 2013). Guru sendiri perlu untuk menjadi pemikir kreatif dalam merancang program pembelajaran yang tepat dan untuk memelihara kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Guru bertanggung jawab untuk merancang dan membangun lingkungan belajar yang relevan, menantang, dan berpusat pada peserta didik. Salah satu bentuk kreativitas guru adalah mengembangkan program pembelajaran yang unik dan merangsang pelajaran yang relevan dengan masukan dari budaya lokal. Berdasarkan hal tersebut, Sulaeman dkk. (2014) mengembangkan program diklat kreativitas guru biologi SMA dalam pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal yang diharapkan menjadi fasilitas bagi guru biologi untuk memperoleh pengetahuan komoditas hayati unggulan lokal dan keterampilan menganalisisnya sehingga mereka kreatif membuat pembelajaran biologi di SMA berbasis keunggulan hayati lokal. Kompetensi guru sebagai hasil dari program ini adalah; (1) memahami konsep komoditas hayati unggulan lokal dan manfaatnya di suatu wilayah; (2) menganalisis komoditas unggulan lokal berdasarkan data primer dan sekunder; (3) kreatif mengaitkan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya dengan konsep-konsep biologi di SMA; (4) mengimplementasikan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya ke dalam rencana pembelajaran; (5) mengimplementasikan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya ke dalam lembar kegiatan siswa; (6) berkreasi menyusun pembelajaran biologi yang mendukung pengembangan komoditas hayati unggulan lokal di wilayahnya masing-masing. Hasil kajian Sulaeman dkk (2014) setelah melaksanakan program ini menunjukkan bahwa, melalui penggunaan mind map guru-guru biologi sudah kreatif memetakan keberkaitan di antara aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal. Mereka juga sudah dapat memetakan aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal tersebut ke dalam topik-topik pembelajaran biologi di SMA. Hasilnya adalah guru dapat memetakan 10 jenis komoditas hayati unggulan lokal di Kabupaten Majalengka dengan 15 topik biologi
45
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
SMA dan mengajukan 76 alternatif pembelajaran yang tersebar di setiap jenjang kelas SMA. Jumlah terbanyak alternatif pembelajaran terdapat di kelas X semester 2, yaitu sebanyak 36 jenis. Adapun jumlah paling sedikit terdapat di kelas XII semester 2, yaitu sebanyak 2 jenis. Hasil pemetaan ini harus ditindaklanjuti oleh guru-guru biologi dengan mengaplikasikannya ke dalam rencana pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus kreatif mengembangkan rencana pembelajaran dan LKS biologi SMA yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Sejalan dengan hal tersebut, Kajian ini dilakukan untuk mengetahui Kreativitas guru Biologi SMA dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal. METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kreativitas guru dalam mengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Kajian ini dilakukan pada bulan April 2014. Pengambilan data dilakukan terhadap kreativitas guru-guru biologi SMA di kabupaten Majalengka yang mengikuti pendidikan dan pelatihan kreativitas guru biologi SMA dalam pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Responden dalam kajian ini adalah 20 guru biologi SMA yang menjadi perwakilan setiap SMA Negeri dan Swasta yang terdapat di Kabupaten Majalengka. Instrumen yang digunakan untuk menilai kreativitas guru biologi SMA yaitu instrumen penilaian produk kreatif untuk rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang dihasilkan guru yang memuat topik-topik yang terkait dengan seluruh aspek salah satu jenis komoditas hayati unggulan lokal. Pengembangaan instrumen dilakukan berdasarkan atas komponen-komponen yang terdapat di dalam komponen rencana pelaksanaan pembelajaran, dan komponen lembar kegiatan siswa. Komponen rencana pelaksanaan pembelajaran terdiri atas merumuskan tujuan pembelajaran, mengorganisasikan materi, media dan sumber belajar, merencanakan skenario pembelajaran, dan menyiapkan alat penilaian. Adapun komponen lembar kegiatan siswa terdiri atas kebermaknaan dan kebermanfaatan, melibatkan siswa secara aktif, kelengkapan materi, keakuratan materi, dan sistematika keilmuan. Selanjutnya setiap komponen ini dibuatkan deskriptor penilaiannya berdasarkan komponen produk kreatif yang dikembangkan oleh Besmer and O' Quin (1986), yang terdiri atas novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem solving (kemampuan menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan bentuk kreasi), dan scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah). Indikator masing-masing aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal sebagai kontennya. Dalam kajian ini, data diperoleh dengan menilai dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa mata pelajaran biologi SMA yang dibuat oleh guru dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Analisis data terhadap dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran biologi berbasis komoditas hayati unggulan lokal dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kriteria sesuai instrumen yang telah dikembangkan. Analisis data dokumen lembar kegiatan siswa juga dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kriteria sesuai instrumen yang telah dikembangkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Diklat Kreativitas Guru Biologi dalam Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal, guru dibekali beberapa keterampilan, yaitu memahami keanekaragaman hayati di Indonesia, memahami komoditas unggulan lokal dan manfaatnya bagi pengembangan wilayah, menganalisis komoditas unggulan lokal berdasarkan dokumen perencanaan, merancang keberkaitan antara komoditas hayati unggulan lokal serta diversifikasinya dan konsep-konsep biologi di SMA, menyusun perangkat rencana pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal, dan menyusun lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Di awal kegiatan diklat, guru dibekali pengetahuan tentang keanekaragaman hayati di Indonesia. Selanjutnya, guru dibekali pengetahuan tentang komoditas unggulan lokal dan manfaatnya bagi pengembangan wilayah. Setelah itu, guru dilatih menganalisis komoditas hayati unggulan lokal berdasarkan dokumen perencanaan dari Bappeda dan Dinas Pertanian sehingga guru dapat menentukan jenis komoditas unggulan di Kabupaten Majalengka. Selanjutnya guru biologi dibekali cara memetakan topik-topik dari seluruh aspek komoditas hayati unggulan lokal dan praktik memetakannya ke dalam pembelajaran biologi SMA. Setelah guru mampu memetakan topik-topik dari seluruh aspek komoditas hayati unggulan lokal ke dalam pembelajaran, guru dituntut untuk dapat mengembangkan pembelajaran biologi SMA berbasis komoditas hayati unggulan lokal, yaitu dengan mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kegiatan siswa (LKS).
46
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Pembelajaran biologi yang difasilitasi guru dapat difokuskan untuk memperkenalkan konten baru, mengulas materi, atau menerapkan apa yang telah dipelajari melalui pemecahan masalah. Dalam mengembangkan pembelajaran saat persiapan mengajar, sangat penting bagi guru biologi SMA untuk menemukan cara dalam menghubungkan konten sains dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru memiliki kesempatan untuk berpikir secara mendalam tentang materi pelajaran, termasuk cara mempresentasikan materi yang terdapat di dalam buku teks atau aspek-aspek lainnya, seperti struktur kurikulum yang menjadi standar dan tolok ukur ketika mengembangan rencana pembelajaran. Mereka juga memiliki waktu untuk mengembangkan kegiatan pedagogis atau metode yang memungkinkan siswa untuk mudah dalam memahami materi pelajaran. Artinya, guru harus memikirkan komptensi yang harus siswa pahami dan menentukan proses terbaik agar mudah memahami isinya. Guru tidak akan dapat merancang, merencanakan, atau menerapkan pembelajaran yang diinginkan dengan baik jika tidak melalui suatu siklus rasional yang dimulai dengan merumuskan tujuan, memutuskan untuk memilih strategi pembelajaran tertentu, memilih sumber daya dan media, mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi hasilnya (John, 2006). Membuat persiapan mengajar dengan menyusun RPP merupakan tugas guru yang sangat penting karena kegiatan yang telah dirancang dengan baik, biasanya dapat diimplementasikan dengan baik pula (Rustaman, 2007). Rencana pembelajaran merupakan hasil aktivitas individual guru yang dibentuk oleh latar belakang guru, pengalaman, kecenderungan dan keyakinan guru, serta kemampuan profesionalitasnya yang dihubungkan dengan kebutuhan siswa (Ellis & Read, 2006). Langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran adalah pemilihan topik atau komponen dari subjek yang akan diajarkan. Karakteristik materi, karakteristik siswa, dan kemampuan siswa merupakan faktor utama sebagai pertimbangan awal dalam menentukan tujuan dan sasaran yang tepat. Langkah kedua adalah menetapkan maksud dan tujuan, yang keduanya harus dikaitkan dengan pertimbangan kurikulum yang lebih luas, yaitu gabungan antara domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Langkah ketiga adalah penyusunan konten yang akan dibahas dan menentukan metode pengajaran dan pengalaman belajar terbaik yang akan membawa siswa mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya RPP dikembangkan menjadi bentuk langkah-langkah pembelajaran yang terdiri atas aktivitas rincian aktivitas siswa dan alokasi waktunya. Langkah keempat adalah proses perencanaan penilaian terhadap efektivitas metode pembelajaran dan kegiatan belajar sehingga dapat diukur pencapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Kreativitas Guru dalam Mengembangkan RPP Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal Salah satu keterbatasan guru IPA saat ini adalah kemampuan untuk mengintegrasikan kehidupan seharihari ke dalam kurikulum pembelajaran IPA di kelas (Balschwed, 2002). Begitu pula kelemahan untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal, kendalanya adalah keterbatasan kemampuan guru biologi dalam memetakan komoditas ke dalam topik-topik biologi, mengkorelasikan antara topik-topik dari aspek komoditas hayati unggulan lokal dan pembelajaran untuk kemudian diintegrasikan ke dalam pembelajaran. Pada umumnya guru-guru biologi SMA belum pernah menganalisis komoditas unggulan lokal, tidak mengetahui cara menganalisis komoditas unggulan hayati lokal secara sistematis sehingga mereka belum pernah membuat rencana pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal (Sulaeman, dkk., 2012). Mereka tidak mengetahui cara membuat rencana pembelajaran berbasis keanekaragaman hayati unggulan lokal secara sistematis. Dengan menggunakan mind map pada proses diklat, akhirnya guru mampu memetakan topik-topik komoditas hayati unggulan lokal ke dalam pembelajaran biologi SMA. Berdasarkan hasil kajian sebelumnya, guru berhasil memetakan topik-topik biologi dan alternatif jenis kegiatan pembelajaran biologi SMA yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal dengan mengunakan mind map (Sulaeman, 2014). Pada kajian ini, guru-guru biologi SMA mengembangkan RPP biologi berbasis komoditas hayati unggulan lokal dari satu altenatif jenis kegiatan pembelajaran yang telah dipetakan sebelumnya. Selanjutnya, guru-guru merancang rencana pembelajaran dengan lengkap, mulai dari menentukan indikator pencapaian kompetensi, menentukan tujuan pembelajaran, memilih metode, mengembangkan materi ajar, menentukan langkah pembelajaran, dan merencanakan penilaian yang dihubungkan dengan topik komoditas hayati unggulan lokal. Indikator penilaian kemampuan guru biologi SMA dalam mengembangkan RPP berbasis komoditas hayati unggulan lokal terdiri atas (1) merumuskan tujuan pembelajaran, (2) mengorganisasikan materi, media dan sumber belajar, (3) merencanakan langkah pembelajaran, dan (4) merencanakan penilaian. Pada awalnya guru tidak mengenal komoditas hayati unggulan dan tidak mampu mengidentifikasi komoditas hayati unggulan lokal di daerahnya karena tidak mengetahui kriterianya. Kondisi tersebut menyebabkan guru tidak pernah membuat indikator dan tujuan pembelajaran biologi di SMA dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Setelah dibekali pengetahuan tentang komoditas hayati unggulan lokal dan cara menganalisisnya, akhirnya guru dapat menentukan jenis komoditas hayati unggulan
47
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
lokal. Berdasarkan hasil analisis ini, guru-guru biologi menetapkan indikator dan tujuan pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditetapkan dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Dalam pengembangan pembelajaran dengan konteks lokal, interpretasi pertama oleh guru adalah memfokuskan pada isi kurikulum yang dipilih untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan minat dan pengalaman peserta didik di kehidupan sehari-hari (Kasandaa et al., 2005). Melalui Diklat Kreativitas Guru Biologi dalam Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal, guru sudah dapat merumuskan indikator hasil belajar dan merumuskan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal, serta merancang dampak pengiring berbentuk kecakapan hidup (life skills) berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal. Kemampuan guru mengembangkan RPP berbasis komoditas hayati unggulan lokal dapat terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kemampuan Guru dalam Membuat RPP Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa pada umumnya guru biologi sudah dapat mengintegrasikan aspek komoditas hayati unggulan ke dalam RPP dengan baik. Artinya, guru sudah bisa merencanakan pengalaman belajar untuk siswanya sesuai tuntutan kompetensi dasar yang dihubungkan dengan pemahaman komoditas hayati unggulan lokal bagi siswanya. Indikator merumuskan tujuan pembelajaran dalam RPP yang memperoleh nilai paling rendah, yaitu 71,25, akan tetapi nilai tersebut masih dalam katagori baik. Tujuan pembelajaran merupakan titik tolak atau pijakan guru dalam membuat rencana dan menilai keberhasilan rencana pembelajarannya (Rustaman, 2007). Tanpa ada tujuan, rencana pembelajaran tidak dapat disusun, demikian juga untuk merancang evaluasinya. Adapun aspek yang nilainya paling besar adalah kemampuan merencanakan penilaian, yaitu 95. Dalam menetapkan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran, sebagian besar guruguru biologi sudah mampu memilih kata kerja operasional yang sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan dalam standar isi. Selain itu, guru-guru juga sudah mampu mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal, baik dari aspek pengetahuan maupun keterampilannya ke dalam pembelajaran. Banyak indikator pencapaian kompetensi yang dihasilkan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Sebagai contoh, indikator pencapaian kompetensi dari aspek pengetahuan komoditas hayati unggulan lokal yang dihasilkan oleh guru adalah (1) menjelaskan pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tanaman cabe merah (Capsicum annuum L.), dan (2) menjelaskan kandungan zat makanan pada kentang (Solanum tuberosum L.), dan jagung (Zea mays). Berdasarkan contoh indikator pencapaian kompetensi tersebut, jenis komoditas hayati unggulan adalah cabe merah, jagung, dan ubi jalar. Adapun pengetahuan yang akan dicapai oleh siswa dalam pembelajaran tersebut adalah (1) faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan (2) kandungan zat gizi pada makanan. Contoh indikator pencapaian kompetensi dari aspek keterampilan yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal yang dihasilkan oleh guru adalah (1) mempraktikkan pemanfaatan ikan nila (Oreochromis niloticus) menjadi makanan ringan, (2) mempraktikkan pembuatan medium jamur merang dari jerami padi (Oryza sativa L.), dan (3) menganalisis hasil fermentasi kentang (Solanum tuberosum L). Berdasarkan contoh tersebut, jenis komoditas hayati unggulannya adalah ikan nila, padi, dan kentang. Adapun keterampilan yang akan dicapai oleh siswa adalah mengolah ikan nila, membuat medium tumbuh jamur merang, dan membuat donut. Pengetahuan dan keterampilan yang menjadi pengalaman belajar siswa ini dapat memberikan motivasi bagi siswa untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan komoditas hayati unggulan lokal di kehidupan nyatanya di luar sekolah. Nilai dari aspek mengorganisasikan materi, media dan sumber belajar sangat baik, yaitu 81,4. Pada aspek ini guru harus mengembangkan dan mengorganisasikan materi pembelajaran sesuai tujuan, menentukan dan mengembangkan media pembelajaran, memilih sumber belajar yang sesuai yang berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal. Untuk membuat pembelajaran IPA relevan dengan lingkungan siswa, diperlukan perencanaan dan persiapan dari pengajar (Marshall, 2010). Guru-guru tidak hanyak
48
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang konsep-konsep IPA baik. Dalam penyampaiannya, guru-guru harus lebih berperan sebagai fasilitator untuk siswanya daripada hanya sebagai pemberi informasi. Dalam kajian ini, guru sudah mampu menampilkan materi ajar yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Dalam pengembangannya pun, pengetahuan tentang komoditas hayati unggulan lokal yang berkaitan dengan konten pun ditambahkan ke dalam pembelajaran oleh guru-guru. Dalam pemilihan media, guru-guru sudah mampu memilih media pembelajaran yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Misalnya pada kegiatan uji makanan, pada awalnya guru-guru menyediakan jenis makanan yang akan diuji yang sesuai dengan jenis makanan yang terdapat di LKS yang dikembangkan oleh penerbit, tanpa ada kemamuan guru untuk mengubahnya. Sekarang, guru sudah menambahkan jenis-jenis komoditas hayati unggulan lokal sebagai objek yang diuji. Contoh lainnya, dalam pembelajaran dengan materi pengolahan limbah organik, biasanya guru-guru mengembangkan pembelajaran dengan mendaur ulang kertas bekas sesuai LKS di buku. Pada kajian ini, guru mampu menampilkan kegiatan lain untuk materi pengolahan limbah organik, yaitu pembuatan media jamur merang dengan memanfaatkan limbah jerami padi. Jerami padi merupakan limbah padi yang sangat berlimpah di lingkungan wilayah pertanian. Artinya, berdasarkan uraian tersebut guru-guru sudah mampu memanfaatkan aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal sebagai media dalam pembelajaran. Dalam merencanakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan guru mendapatkan nilai sangat baik, yaitu 84,8. Perangkat pembelajaran yang disusun seharusnya memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan siswa dengan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar (Utami dan Jailani, 2012). Kegiatan pembelajaran dengan konteks lokal, seperti pembelajaran biologi berbasis komoditas hayati unggulan lokal merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa kerena guru harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki siswa pada saat membelajarkan suatu topik. Oleh karena itu, di dalam perencanaan pembelajaran harus tergambarkan kegiatan-kegiatan yang menggali dan memberdayakan pengetahuan dan keterampilan siswa di kehidupan sehari-hari. Salah satu elemen penting dalam membelajarkan siswa dengan konteks lokal ke dalam pembelajaran kepada siswa adalah dengan mempraktikkan langsung keterampilan yang berkaitan dengan aspek lokal (Gilbert, et al., 2011). Dalam memilih metode pembelajaran, guru-guru harus bisa menyajikan pembelajaran biologi yang membekalkan keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan penanganan komoditas hayati unggulan lokal kepada siswa. Dalam kajian ini pada umumnya sudah mampu merencanakan pembelajaran yang membekalkan keterampilan penanganan komoditas hayati unggulan lokal. Beberapa keterampilan dimunculkan guru dalam perencanaan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan dalam bentuk konten ataupun konteks yang dibelajarkan kepada siswa. Salah satu contoh keterampilan mengolah komoditas hayati unggulan lokal yang menjadi konten pembelajaran adalah mengolah dan memproduksi makanan dari komoditas hayati unggulan lokal, yaitu ketika membelajarkan manfaat keanekaragaman hewan dan tumbuhan. Adapun contoh keterampilan yang menjadi konteks dalam pembelajaran adalah membuat donut dengan berbahan dasar kentang atau ubi ketika membelajarkan pengetahuan tentang metabolisme dan bioteknologi. Terdapat dua kriteria dalam merencanakan penilaian, yaitu menentukan prosedur dan menunjukan bahwa jenis penilaian yang sesuai tujuan pembelajaran yang mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa dan guru dapat diketahui melalui kegiatan penilaian. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dibuat, guru-guru sudah mampu menentukan tujuan pembelajaran dengan mempertimbangkan antara kompetensi, konten, dan komoditas hayati unggulan lokal. Dalam pengembangan konteks lokal ke dalam pembelajaran, harus dipertimbangkan aspek pengetahuan dan keterampilan lokal sebagai pengalaman belajar siswa. Sejalan dengan tuntutan kurikulum 2013, bahwa seluruh aspek siswa harus dinilai secara otentik, guru dituntut mampu mengembangkan instrumen penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Kemdikbud, 2013). Oleh karena itu, dalam penilaian, guru juga harus mempertimbangkan aspek pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal yang dibelajarkan kepada siswa. Dalam pengembangan evaluasinya, guru sudah mampu mengembangan perangkat penilaiannya, baik dari aspek sikap, pengetahuan yang berkaitan dengan komoditas, dan keterampilan yang berkaitan dengan komditas hayati unggulan lokal. Pada umumnya, guruguru merencanakan penilaian dengan baik, tetapi dalam pengembangannya tidak terbiasa mengembangkan melalui tahap kisi-kisi, terutama dalam pengembangan soal tes. Guru-guru terbiasa mengembangkan soal berdasarkan perkiraan dengan merujuk pada tujuan pembelajaran. Adapun untuk aspek keterampilan, guru sudah bisa mengembangkan instrumen pengamatan keterampilan siswa ketika melakukan praktik. Diklat yang telah dilakukan membantu guru untuk kreatif dalam membuat pembelajaran sehingga guru lebih mengenal komoditas hayati unggulan lokal dan mengimplementasikannya ke dalam pembelajaran. RPP merupakan produk kreatif dari guru. Meintjes & Grosser (2012) yang merangkum dari beberapa peneliti sebelumnya menyatakan bahwa kreativitas guru dalam mengembangkan pembelajaran merujuk pada
49
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
kreativitas guru sebagai fungsi kognitif yang mengacu pada kemampuannya untuk menghasilkan ide-ide dan konsep-konsep baru, dan kemampuan untuk berpikir divergen dan berpikir produktif dalam domain akademik. Adapun kriteria yang digunakan untuk menilai kreativitas guru dalam mengembangkan RPP adalah novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem solving (kemampuan menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan bentuk kreasi), dan scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah). Indikator masing-masing aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal sebagai kontennya (Besmer & O' Quin, 1986).
Gambar 2. Kreativitas Guru dalam Membuat RPP Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal Berdasarkan Gambar 2 tampak bahwa nilai kreativitas guru dalam mengembangkan RPP dengan mengintegrasikan aspek komoditas hayati unggulan termasuk katagori sangat baik. Artinya, guru sudah bisa merencanakan pengalaman belajar untuk siswa sesuai kompetensi dasar yang dihubungkan dengan pemahaman komoditas hayati unggulan lokal. Nilai kreativitas dari aspek style of creation (menghasilkan bentuk kreasi) menghasilkan nilai paling rendah, yaitu 80. Akan tetapi nilai tersebut masih dalam katagori yang sangat baik. Niali kreativitas tertinggi dari aspek applicability to problem solving (kemampuan menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), yaitu 100. Kreativitas Guru dalam Mengembangkan LKS Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal Salah satu alternatif bahan ajar untuk belajar mandiri siswa adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS dapat dikembangkan sesuai kebutuhan siswa, konten yang dibelajarkan, dan konteks yang tersedia sehingga mempermudah siswa dalam memahami konsep dan membantu siswa dalam mencapai kompetensinya. LKS yang disusun dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan siswanya, misalnya keterampilan mengolah jenis koditas hayati unggulan lokal. Sebagai hasil kerja guru, penilaian LKS yang telah dibuat meliputi aspek kebermaknaan dan kemanfataan, pelibatan siswa secara aktif, kelengkapan mater, dan sitematika materi. Secara khusus, pengembangan indikator dari masing-masing aspek penilaian LKS tersebut dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal. Berdasarkan Gambar 3, tampak bahwa pada umumnya guru sudah bisa mengembangkan LKS yang membekalkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal dalam kegiatan pembelajaran biologi. Guru sudah dapat mengaplikasikan pemahaman jenis komoditas hayati unggulan lokal dan prosesnya sebagai bahan aktivitas siswa. Berdasarkan aspeknya, guru sudah bisa membuat LKS yang memberikan nilai kebermaknaan dan kemanfaatan dengan nilai tertinggi dibandingkan aspek-aspek lainya, yaitu dengan nilai 100. Adapun aspek kelengkapan materi dalam LKS yang telah dibuat oleh guru memperoleh nilai yang paling kecil, yaitu 76,32. Kondisi tersebut berkaitan dengan kebiasaan guru yang jarang mengembangkan materi dan hanya menggunakan bahan ajar yang sudah ada.
50
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Gambar 3. Kemampuan Guru dalam Membuat LKS Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal Salah satu domain akademik yang dihasilkan guru sebagai bentuk kreativitasnya adalah LKS. Seperti dalam penilaian RPP, kriteria yang digunakan untuk menilai kreativitas guru dalam mengembangkan LKS adalah novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem solving (kemampuan menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan bentuk kreasi), dan scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah). Indikator masing-masing aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal sebagai kontennya (Besmer and O' Quin, 1986).
Gambar 4. Kreativitas Guru dalam Membuat LKS Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, pada umunya sudah dapat mengintegrasikan aspek komoditas hayati unggulan ke dalam lembar kegiatan siswa. Aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal dijadikan bagian dari kegiatan pembelajaran sebagai objek langsung dalam pembelajaran. Dari keseluruhan aspek, seluruh guru sudah bisa memberikan nilai kebermanfaatan komoditas hayati unggulan lokal untuk siswanya. Artinya, dalam mengembangkan LKS, guru-guru biologi SMA sudah mampu mengaitkan konsep, menawarkan kegiatan pembelajaran, dan memberikan kemudahan kepada siswa dalam memahami suatu konsep yang dikaitkan komoditas hayati unggulan lokal. Lebih dari itu, guru juga sudah mampu membelajarkan beberapa keterampilan yang berkaitan dengan pengolahan komoditas unggulan lokal melaui kegiatan pembelajaran yang difasilitasinya. Guru juga sudah dengan baik pula mengembangkan aspek sistematika materi, keakuratan materi dan pelibatan siswa aktif di dalam LKS-nya yang dihubungkan dengan komoditas hayati unggulan lokal. Adapun untuk aspek kelengkapan materi mendapatkan nilai paling rendah. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan guru memberikan apa yang mencakup materi yang ada dalam kurikulum yang berlaku dan dikaitkan dengan komoditas hayati unggulan lokal serta mencakup seluruh kompetensi dasar. Kondisi ini terjadi karena pada umumnya guru tidak terbiasa mengembangkan materi sendiri sesuai konteks lingkungan sekolah dan objek pembelajaran. Dalam mengembangkan materi, guru lebih mengandalkan dari buku paket atau buku LKS yang sudah dikembangkan oleh penerbit. Kondisi tersebut sejalan dengan kajian Marshall (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar guru di Amerika Serikat selalu menggunakan permasalan dan bahan pembelajaran dari buku teks dan LKS yang sudah ada, yang hampir sama di seluruh negara. Padahal dalam konteks pembelajaran berbasis bahan lokal seharusnya
51
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
guru harus lebih kreatif menyediakan bahan pembelajaran sendiri, bukan hanya menggunakan bahan pembelajaran yang sudah ada (Hofstein & Kesner, 2006). PENUTUP Kesimpulan Guru-guru biologi memiliki banyak tanggung jawab terhadap siswa untuk mengembangkan sikap, materi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sehingga siswa bisa lebih berperan dan berkiprah di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Guru harus dapat menyediakan kegiatan pembelajaran yang berarti yang akan memperdalam pengetahuan mereka, memperluas wawasan mereka dan menanamkan keinginan untuk mempelajari lebih lanjut tentang materi dan keterampilan yang telah mereka pelajari di dalam maupun di luar kelas. Sebenarnya siswa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang kaya tentang lingkungannya yang seharusnya dapat dibawa dan lebih diperkuat lagi oleh gurunya dalam pembelajaran di kelas. Jangan sampai pengetahuan tentang komoditas hayati unggulan lokal yang telah mereka miliki menjadi tidak berkembang atau bahkan menjadi hilang karena tidak diberi kesempatan untuk dibelajarkan dalam kelas karena guru memberikan pengetahuan dan keterampilan mata pelajaran biologi yang hanya terpaku kepada buku teks dan LKS yang telah dikembangkan penerbit. Kreativitas guru dalam mengembangakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal dapat tercermin dari RPP dan LKS yang telah mereka hasilkan. Kemampuan mengembangan RPP dan LKS berbasis komoditas hayati unggulan lokal merupakan keterampilan baru bagi sebagian besar guru biologi karena selama ini mereka mengembangkannya hanya berpedoman pada buku teks dan LKS yang sudah disediakan penerbit yang tidak memperhatikan aspek kehidupan sehari-hari siswa sesuai daerahnya. Melalui kegiatan Diklat Kreativitas Guru Biologi SMA dalam Pembelajaran Berbasis komoditas Hayati Unggulan Lokal, guru-guru biologi sudah dapat kreatif dalam mengintegrasikan topik-topik dari seluruh aspek komoditas hayati unggulan lokal di wilayahnya. Selanjutnya, melalui penyusunan RPP dan LKS berbasis komoditas hayati lokal, guru-guru sudah mampu menyediakan langkah-langkah pembelajaran yang membekalkan pengetahuan dan keterampilan tentang komoditas hayati unggulan lokal kepada siswanya. Selanjutnya, kreativitas guru biologi juga harus terus dikembangkan dalam implementasi pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Dalam aplikasinya, guru tidak hanya dituntut untuk kreatif dalam memetakan aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal ke dalam topik-topik biologi SMA, untuk kemudian dibuatkan RPP dan LKS-nya, tetapi mereka juga dituntut juga untuk kreatif mengimplementasikannya secara nyata pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal di sekolah. Oleh karena itu, guru dituntut harus terus kreatif dalam mengembangkan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal sehingga mampu memberikan pembelajaran bermakna bagi siswanya. DAFTAR PUSTAKA Balschweid, M. 2002. Teaching Biology Using Agriculture as The Context: Preceptions of High School Students. Journal of Agricultural Education 56. Volume 43, Number 2 Balschweid, M. Huerta. 2008. Teaching Advanced Life in Animal Context: Agricultural Science Teacher Voices. Journal of Agricultural Education. Volume 49, Number 1 Bessemer, O’Quin. 1986. Analyzing Creative Product: Refinement and Test of Judging Instrument. Journal of Creative Behaviour. Vol 20, No. 2. PP. 107-114 Braund M, Reiss M. 2006. Toward a More Authentic Science Curiculum : The Contribution of Out-ofSchool Learning. 2006. International Journal of Science Education. Vol. 28. No. 12; pp. 1373-1388 Dailey AL, Conroy CA, Shelley-Tolbert CA. 2001. Using Agricultural Education's The Context to Teach Life Skills. Journal of Agricultural Education, Volume 49, Number 1, pp. 17 - 27. Depdiknas. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta Diki D. 2013. Creativity for Learning Biologi in Higher Education. Lux: A Journal of Trandisciplinary Writing and Research from Claremont Graduated University. Vol. 3, Issue 1. Article 3. Gilbert JK, Bulte AMW, Pilot A. 2011. Concept Development and Transfer in Context-Based Science Education. International Journal of Science Education Vol 33., No. 6. Pp 817-837.
52
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Feierabend T. dan Eilks I. 2010. Raising students’ perception of the relevance of science teaching and promoting communication and evaluation capabilities using authentic and controversial socioscientific issues in the Framework of climate change. Science Education International. Vol.21, No.3, September 2010, pp. 176-196 Hofstein A, Kesner M. 2006. Industrial Chemistry and School Chemistry: Making Chemistry Studies more Relevant. International Journal of Science Education. Vol. 28. No. 9; pp. 1017-1039 John PD. 2006. Lesson Planning and The Student Teacher: Re-Thinking The Dominant Model. J. Curriculum Studies, 2006, VOL. 38, NO. 4, 483–498 Kasandaa C, Lubbenb F, Gaoseba N, Kandjeo-Marengaa U, Kapendaa H, Campbell B. 2005. The Role of Everyday Contexts in Learner-centred Teaching: The practice in Namibian secondary schools. International Journal of Science Education Vol. 27, No. 15, 16 December 2005, pp. 1805–1823 Keles O. 2011. Mind Maps and Scoring Scale for Environmental Gains in Science Education. International conference on New Horizons in Education Conference Proceedings Book. Marshal G. 2010. Student Centered, Active Learning Pedagogies in Chemistry Education. Making Chemistry Relevant, Sharsmistha, B. (ed.). A John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. Meintjes H, Grosser M. 2010. Creative Thinking in Prosfectif Teacher: The Status Quo and The Imfact of Contextual Factor. South African Journal of Education. Vol 30:361-386 NRC. 1996. National Science Education Standards. Washington DC : National Academic Press Oloruntegbe, et al. 2010. Teachers’ Involvement, Commitment and Innovativeness in Curriculum Development and Implementation. Educational Research, Vol. 1(12) pp. 706-712 Purwati, T. 2008. KTSP, Prospek dan Problema dalam Tataran Aplikasinya. Paradigma, Tahun XIII, Nomor 25. Januari-Juni 2008. Sastradipradja, SD, Widjaja EA. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan. LIPI Press; Jakarta Sudaryanto T, Rusastra IW, Simatupang P. 2002. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berbasis Agribisnis. Prosiding Seminar dan Ekspose Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Jawa Timur. BPTP Jawa Timur: Surabaya Susanto AN, Sirappa MP. 2005. Prospek dan Strategi Pengembangan Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 24(2): 70-79. Wahyu U, Jailan. 2009. Permasalahan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ISBN : 978-979-16353-8-7 Walujo EB. 2011. Keanekaragaman Hayati untuk Pangan. Disampaikan Pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional X, Jakarta, 8 – 10 Nopember 2011. Diunduh Dari Http://Www.Opi.Lipi.Go.Id/Data/1228964432/Data/13086710321320841770.Makalah.Pdf Yager SO, Dogan, OK, Haceeminoglu E, Yager RE. 2012. The Role of Student and Teacher Creativity in Aiding Current Reform Efforts in Science and Technology Education. National Forum of Applied Educational Research Journal. Vol 25. No. 3; 1-2
53
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DEMYSTIFYING MATH AND SCIENCE PHOBIA BY USING A MODULE FOR REBUILDING LEARNING CONCEPTS BASED ON SPIRAL-INTEGRATED CURRICULUM AND PROBLEM BASED LEARNING (PBL)-MAPPING Ludjeng Lestari CEO Ludjeng Math and Science Center
[email protected] Abstrak Mengobati Fobia Matematika dan IPA dengan Menggunakan Modul yang Dirancang Berdasarkan Kurikulum Spiral Terintegrasi dan Pemetaan Problem Based Learning (PBL) untuk Membangun Ulang Pemahaman Kosep Belajar. Fobia matematika dan IPA kerap terjadi pada siswa.Ketakutan ini merupakan reaksi siswa akibat belajar matematika dan IPA yang disertai dengan pengalaman kurang menyenangkan atau adanya salah pemahaman terhadap konsep yangdipelajari. Fobia ini seringkali tergambar sebagai sikap siswa yang tidak atau kurang berpartisipasi dalam mengerjakan soal-soal matematika dan IPA atau bahkan sampai siswa mengucapkan “Saya tidak suka matematika dan IPA”. Studi ini akan mengidentifikasi berbagai masalah dan penyebab fobia matematika dan IPA di antara siswa Sekolah Dasar sampai siswa Sekolah Menengah Atas, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap prestasi belajar siswa di sekolah.Sebuah modul pembelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi dan metode Problem Based Learning (PBL) sedang dikembangkan sebagai suatu bentuk usaha untuk mengobati fobia matematika dan IPA pada siswa.Kurikulum spiral terintegrasi memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas, menyediakan sebuah kerangka pembelajaran yang mencakup keterkaitan seluruh materi dari tingkat dasar sampai tingkat atas dan tema-tema pembelajaran yang terintegrasi dalam kurikulum.Problem Based Learning (PBL) menggunakan pendekatan konstruktivisme.Ide dasar metode ini adalah memberi kesempatan pada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri melalui berbagai aktivitas berupa praktek ataupun penyelesaian masalah (soal-soal cerita).Pada akhirnya penggunaan modul pembelajaran ini dianggap sebagai salah satu upaya terbaik dalam mengikis fobia matematika dan IPA pada siswa.. Kata Kunci: fobia matematika dan IPA, modul pembelajaran, kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan - problem based learning (PBL).
PENDAHULUAN Pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan masa depan seseorang. Tanpa pendidikan, seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak berkualitas, dia akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak mengenal aturan, seenaknya sendiri, malas dan cenderung memiliki mental yang lemah, tidak memiliki daya juang positif yang akhirnya akan membuat arah hidupnya tidak jelas, tidak terkendali dan dapat terjerumus ke halhal negatif. Tanpa pendidikan, manusia akan sangat mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan pribadi. Peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa.Pendidikan kita peroleh di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain Dalam proses pendidikan manusia, belajar matematika dan IPA memegang peranan yang amat penting. Matematika bukan hanya sekedar kumpulan teknik mendapat jawaban soal atau definisi, teorema ataupun pembuktian, melainkan matematika kaya akan koneksi yang meliputi visualisasi, imajinasi, analisa, pengabstrakan ide asosiasi Sementara itu, IPA merupakan ilmu pengantar teknologi.Dengan menguasai IPA maka dapat mengembangkan teknologi.Dengan menguasai teknologi maka dapat mengolah sumber daya alam. Belajar IPA memerlukan ilmu matematika sebagai pembentuk pola logika dan alat hitung. Pembelajaran matematika dan IPA seharusnya bersinergi dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal dan pencari tahu.Matematika dengan berbagai problem solving merupakan ilmu alat pengasah dan pembangun logika
54
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
berpikir. Sedangkan IPA melalui metode saintifiknya (pendekatan ilmiah: pengamatan, bertanya, percobaan, mengolah data, menyajikan data, menganalisis, menalar, menyimpulkan dan mencipta) sangat sesuai dengan fitrah manusia yang selalu ingin mencari tahu tentang sesuatu yang asing di sekelilingnya. Tujuan belajar matematika adalah untuk pembentukan mental matematika siswa, yang nantinya akan menjadi sebuah keahlian, menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, dari hal yang sederhana sampai hal yang kompleks. Tujuan belajar IPA adalah untuk pembangunan keahlian IPA/science Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: any relatively permanent change in an organism’s behavioural repertoire that occurs as a result of experience. Belajar adalah perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Reber dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang representative karena tidak mengikusertakan perolehan keterampilan nonkognitif. Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar. 1. Relatively permanent, yang secara umum menetap. Bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisik tidak termasuk belajar 2. Response potentiality, kemampuan bereaksi. Menunjukkan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dengan penampilan atau kinerja hasilhasil belajar.Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur. 3. Reinforcel, yang diperkuat. Kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin akan hilang apabila tidak diberi penguatan. 4. Practice, praktik atau latihan. Proses belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa (Syah, 2013: 89). Ekpo (1999) mengkategorikan lima strategi pembelajaran dan pengajaran efektif untuk pelajaran IPA, teknologi dan matematika. Strategi tersebut meliputi: 1. Merencanakan instruksi pembelajaran: Pada tahap perencanaan pengajaran dan pembelajaran konsep matematika dan IPA, para guru harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: area materi yang akan diajarkan, usia dan kemampuan pelajar, bahasa pengajaran yang digunakan, waktu dan ruang yang tersedia untuk proses pengajaran serta gaya mengajar yang sesuai. 2. Teknik Instruksional: Teknik/pendekatan instruksional meliputi berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan dalam mengajar IPA dan matematika. Beberapa teknik mengajar yang efisien seperti: strategi pembelajarn kooperatif, strategi problem solving, strategi permainan, dan pemanfaatan laboratorium baik untuk IPA maupun matematika 3. Lingkungan mengajar dan belajar: Kelas atau suasana belajar yang nyaman berpengaruh besar pada pencapaian belajar siswa. Berkaitan dengan ini, lingkungan sekolah dan ruang kelas haruslah kondusif untuk pelaksanaan proses pembelajaran. 4. Menjaga kedisiplinan: Suatu pengajaran dan pembelajaran yang efektif selalu dicapai dalam kelas yang terjaga kedisiplinan di dalamnya. Ukeje (1997) menggambarkan sebuah kelas matematika dan IPA yang disiplin merupakan kelas di mana gurunya memegang kendali penuh. 5. Evaluasi perkembangan pelajar: Evaluasi hasil belajar merupakan hal yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses pembelajaran yang telah dilakukan (Gbolagade & Sangoniyi, 2013). Namun dalam proses berlangsungnya pembelajaran IPA dan matematika di sekolah, sering terjadi bahwa tujuan pendidikan tidak tercapai dengan baik. Belajar matematika yang seharusnya berperan sebagai asah logika dan belajar IPA yang seharusnya melatih keahlian saintifik beralih menjadi kebiasaan menghapal.Kebiasaan menghapal tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi di sekolah.Banyak siswa yang mengalami kegagalan belajar matematika dan IPA, mendapat nilai jelek atau bahkan menjadi tidak suka (fobia) terhadap kedua pelajaran ini.
55
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Selain kebiasaan menghapal, fobia matematika dapat juga disebabkan oleh beberapa hal seperti: (1) Kurangnya kompetensi guru (kompetensi akademik, kompetensi psikologis dalam berinteraksi dengan siswa), (2) Ketidakcocokan antar cara belajar siswa dengan metode mengajar guru, (3) Kurangnya motivasi dari orang tua (orang tua sibuk, orang tua mengatakan tidak suka matematika) , (4) Motivasi teman/pergaulan, (5) Kematangan pribadi siswa (motivasi dari dalam diri, tingkat kesadaran akan tujuan yang ingin dicapai, untuk siswa perempuan terdapat anggapan bahwa matematika dan IPA adalah hal berat bagi perempuan). Untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran matematika dan IPA, digunakan modul sebagai media pembelajaran. Modul merupakan bahan belajar yang dapat digunakan siswa untuk belajar secara mandiri dengan bantuan seminimal mungkin dari orang lain. Modul dibuat berdasarkan program pembelajaran yang utuh dan sistematis serta dirancang system pembelajaran mandiri.Di dalamnya mengandung tujuan, bahan dan kegiatan belajar, serta evaluasi.Oleh karena itu, cakupan bahasan materi dalam modul lebih fokus dan terukur, serta lebih mementingkan aktivitas belajar pembacanya, semua sajiannya disampaikan melalui bahasa yang komunikatif. Dengan sifat penyajian tersebut, maka proses komunikasinya dua arah bahkan dapat dikatakan bahwa modul dapat menggantikan beberapa peran pengajar (Munadi, 2012: 99). Modul dalam pembahasan ini, disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi dan pemetaan problem based learning. Prinsip kurikulum spiral dimulai dengan hipotesis bahwa semua mata pelajaran dapat diajarkan kepada semua siswa dengan berbagai tingkat intelektual. Beberapa ciri kurikulum ini adalah : (1) Siswa mendapat kesempatan untuk mempelajari sebuah topik bahasan beberapa kali selama masa pembelajaran sekolah mereka, (2) Kompleksitas sebuah topik makin meningkat setiap kesempatan pembelajaran berikutnya, (3) Pembelajaran yang baru saling terhubung dengan pembelajaran yang lama dan disajikan secara konstekstual. Kelebihan kurikulum spiral: (1) Interaktif, konkrit, pendekatan-pendekatan instruksional dapat dimanipulasi sejak tingkat awal untuk mengenalkan topic-topik umum yang banyak terdapat di setiap mata pelajaran. Kurikulum spiral sangat memungkinkan digunakan di banyak pembahasan pada pelajaran matematika dan IPA, (2) Mengaktifkan pengetahuan/konsep awal, membangun konsep baru di atas konsep lama, menghasilkan pencapaian belajar yang bagus terlepas dari tingkat usia perkembangan (Bruner, 1960). PBL hadir sebagai metode mengajar yang dibangun di atas ide konstruktivisme dan student-centered learning.Ketika menggunakan PBLdalam mengajar, guru membantu siswa agar fokus pada penyelesaian masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari, menyemangati mereka memilah dan menentukan situasi di mana masalah ditemukan ketika mencari penyelesaian. Menurut Plucker & Nowak (1999), beberapa ciri PBL: (a) Manfaat dari kolaborasi kerja kelompokkelompok kecil, (b) pendekatan student centered, (c) Peran guru sebagai fasilitator dan (d) Penggunaan masalah-masalah nyata dalam kehidupan sebagai topik pembahasan. Aplikasi PBL meliputi enam aspek penting: (1) Peranan kasus-kasus yang dipelajari, (2) Peranan guru, (2) Peranan siswa, (4) Peranan keahlian berpikir, (5) Peranan interaksi social, (6) Peranan tugas-tugas (Nasir & Taylor, 2008). Penjabaran tema pembelajaran dalam modul ini akan disajikan secara pemetaan. Setiap kasus akan dijabarkan dari tingkat dasar sampai tingkat kompleksitas tertinggi berdasarkan tingkatan level belajar. Pemetaan kasus-kasus dan konsep dilakukan berdasarkan konsep mind mapping. Mind Map adalah “alternatif pemikiran keseluruhan otak terhadap pemikiran linear. (Mind Map) menggapai ke segala arah dan menangkap berbagai pikiran dari segala sudut. Michael Michalko, Cracking Creativity.Mind Map akan: 1. Mengaktifkan seluruh otak 2. Membersekan akal dari kekusutan mental 3. Memungkinkan kita berfokus pada pokok bahasan 4. Membantu menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling terpisah 5. Memberi gambaran yang jelas pada keseluruhan dan perincian 6. Memungkinkan kita mengelompokkan konsep, membantu kita membandingkannya. 7. Mensyaratkan kita untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang membantu mengalihkan informasi tentangnya dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang (Buzan, 2007). Dalam setengah abad pertama abad ke-20 ditemukan bahwa jumlah sel otak bukan beberapa juta-tapi satu juta juta (1000 000 000 000), 167 kali jumlah manusia di planet ini.Makna dari jumlah ini sangat luas, bahkan jika setiap sel hanya dapat melakukan beberapa operasi mendasar. Tetapi, jika setiap sel otak penuh daya, maka makna jumlah mereka akan membawa para ilmuwan ke dalam realisme yang nyaris supernatural.
56
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Modul yang disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi, dan pemetaan problem based learning telah digunakan dalam beberapa periode pembelajaran yang dijalankan oleh peneliti. Dan selama itu pula modul ini terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar matematika dan IPA siswa dan menghilangkan fobia matematika dan IPA pada siswa. Modul ini membantu guru dalam membuka paradigma baru pada siswa, bahwa menjadi bisa dan berhasil dalam pembelajaran matematika dan IPA adalah sesuatu yang sangat mungkin. Adapun rumusan masalah meliputi beberapa hal. Pertama, fenomena fobia matematika dan IPA di kalangan siswa berbanding terbalik dengan idealisme pentingnya matematika dan IPA bagi kehidupan. Kedua, fobia matematika dan IPA merupakan salah satu penyebab siswa tidak memiliki kesempatan mengembangkan potensi berpikir logis dan jiwa saintis dalam penyelesaian masalah sehari-hari. Ini merupakan penyia-nyiaan sumber daya manusia. Ketiga, suatu bentuk solusi yang tepat guna namun ringan amat diperlukan kehadirannya di tengah-tengah kejenuhan siswa dalam belajar matematika dan IPA. Tujuan metode ini meliputi. Pertama, mengidentifikasi gejala fobia matematika dan IPA pada siswa sebagai reaksi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kedua, menjelaskan keunggulan model SPM (Spiral-integrated curriculum, Problem Based Learning/PBL, dan Mind Mapping) dalam mengatasi fobia matematika dan IPA. Manfaat penelitian yang dilakukan antara lain: Pertama, memberikan gambaran tentang penyebab, ciriciri dan solusi akan fobia matematika dan IPA, sehingga dapat merencanakan dan melakukan tindakan preventif; Kedua, memperkuat peran modul terprogram sebagai media pembelajaran untuk mendukung keberhasilan proses belajar dan mengajar. METODE Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif.Penelitian ini berusaha menggambarkan peranan modul SPM (Spiral-integrated curriculum, Problem Solving Learning/PBL, Mind Mapping) dalam mengatasi fobia matematika dan IPA pada siswa. Pendekatan kualitatif dianggap tepat oleh penulis dalam penelitian ini karena penulis dapat memahami secara langsung mengamati, menjalankan dan mengevaluasi seluruh proses pembelajaran sebagai bahan penelitian. Sedangkan populasi meliputi siswa dari berbagai level sekolah, dari sekolah yang berbeda dan jenis kurikulum berbeda (nasional dan internasional). Jumlah siswa per level: SD 50 orang, SMP 50 orang dan SMA 50 orang. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: pertama, data kognitif: nilai yang diperoleh di sekolah (nilai ulangan harian, project, nilai ulangan tengah semester dan akhir semester), nilai hasil evaluasi pembelajaran modul Spiral PBL Mapping (nilai evaluasi per tema, try outs) ; kedua, data non kognitif: Motivasi belajar dan tingkat fobia matematika dan IPA sebelum dan setelah menggunakan modul SPM. Data yang didapat dianalisis dengan teknik yang digunakan berupa analisa persentasi rata-rata perubahan yang terjadi pada tiap penilaian instrument. Waktu untuk pengambilan data penelitian dikumpulkan pada beberapa waktu yang berbeda. Pertama, Pra-data, data diambil pada awal siswa masuk program pembelajaran dengan modul SPM. Data berupa: Matematika: test diagnose mental matematika. IPA: Test diagnose keahlian sains. Nilai pencapaian di sekolah sebelum program. Kedua, data berdasarkan observasi harian yang tertulis dalam laporan perkembangan belajar siswa. Lama observasi 3 – 6 bulan (tercatat dalam laporan perkembangan pelajar). Ketiga, Post-data diambil setelah selesai mengikuti program pembelajaran. Sedangkan pelaksanaan penelitian di luar sekolah sebagai asistansi pembelajaran bagi siswa untuk membantu mengatasi kesulitan belajar dan meningkatkan prestasi belajar di sekolah. Lama penelitian selama 6 bulan untuk setiap satu paket program pembelajaran. Penelitian berulang telah dilaksanakan selama 10 x 6 bulan (satu paket program pembelajaran SPM) Pada pelaksanaan informan yang ikut membantu dalam penelitian adalah guru di sekolah, tim guru pada program pembelajaran yang menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem based learning). Adapun tahapan pelaksanaan yang dilakukan peneliti sebagai berikut. Pertama, Peneliti menghadiri seluruh sesi belajar selama masa observasi, meliputi seluruh level, SD, SMP, dan SMA dan meliputi seluruh subjek pelajaran yang diteliti yaitu Matematika, IPA (Biologi, Fisika, Kimia). Jumlah total sesi belajar untuk masing-masing subjek pelajaran: Matematika 40 sesi. IPA untuk tiap subjek pelajaran masing-masing sebanyak 25 sesi. Kedua, Peneliti menganalisa secara langsung proses belajar dengan menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem based learning) ini kemudian mengevaluasi tingkat keberhasilan pembelajaran.
57
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Problem Based Learning pada pelajaran matematika dan IPA PBL mendorong kepercayaan diri siswa dalam keahlian menyelesaikan masalah. Keahlian ini akan sangat menunjang kelanjutan pengembangan akademik maupun karir. PBL mengangkat potensi meta kognisi dan memacu keinginan sisa untuk belajar seiring dengan aktivitas siswa memproduksi strategi dalam menganalisa kasus, mengumpulkan informasi, menganalisa data, membangun dan mengevaluasi hipotesis. PBL membawa siswa belajar dengan cara yang sama manusia menghadapi permasalahan dalam kehidupan nyata. Pembelajaran lebih merupakan sebuah pemahaman bukan replikasi. Kasus-kasus dan solusi berkaitan dengan jelas, sehingga akan mudah diingat (Smith, 1999). PBL sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran IPA karena prinsip-prinsip utama PBL sejalan dengan pengembangan keahlian IPA melalui aplikasi pendekatan saintifik dalam pemecahan masalah. PBL memungkinkan siswa mengembangkan cara berpikir kritis, kemampuan menganalisa dan menyelesaikan masalah yang kompleks, masalah-masalah dalam kehidupan nyata, bekerjasama dalam kelompok, serta berkomunikasi secara oral ataupun tertulis (Behiye, 2009). Penerapan PBL pada pelajaran matematika, mendorong siswa menyelesaikan kasus-kasus matematika yang kompleks dan abstrak menjadi lebih memiliki arti dan mudah untuk diselesaikan.Sejak kasus pembuka sampai kasus yang menuntut penyelesaian aplikasi, siswa diharapkan dapat mengeksplorasi kasus, membuat hubungan-hubungan dan membuat persamaan matematika serta penyelesaian secara matematis. Dan menggunakannya pada contoh kasus yag sama namun dalam konteks yang berbeda (Dianne & Erickson, 1999). Kurikulum Spiral terintegrasi memungkinkan siswa pada level tertentu mendapatkan materi yang lengkap dari level sebelumnya. Namun dikemas secara sederhana dan ringan. Sinergi pembelajaran SPM dalam mengatasi fobia matematika dan IPA. Penyusunan problem konstruktivisme dari masalah paling sederhana sampai masalah paling kompleks. Keterkaitan antar problem dan konsep terhubung secara pemetaan yang searah dengan pola kerja otak (sel-sel syaraf). Kurikulum spiral juga memungkinkan siswa dari level pendidikan yang sama maupun dari level pendidikan yang berbeda untuk berkumpul dan berdiskusi secara kelompok menyelesaikan masalah tematik. Observasi fobia matematika dan IPA terhadap siswa sebelum mengikuti program pembelajaran. Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA Persentasi jumlah siswa Faktor penyebab fobia matematika dan IPA
Sekolah Dasar (SD) 60 % 20 % 80 % 10 % 60 %
Kurangnya kompetensi guru Ketidakcocokan cara belajar siswa dengan metode mengajar guru Kurangnya motivasi dari orang tua Motivasi/pengaruh negati teman/pergaulan Kurangnya kematangan pribadi siswa
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 70% 35 % 60 % 70 % 80 %
Sekolah Menengah Atas (SMA) 75 % 40 % 60 % 50 % 50 %
Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM Tabel 2. Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM Kategori sikap yang diukur Tingkat kesadaran akan pentingnya belajar matematika dan IPA Tingkat kenyamanan belajar matematika dan IPA Tingkat motivasi diri
Rata-rata Presentasi perubahan jumlah siswa
Kategori perubahan nilai akademik
Rata-rata Presentasi perubahan nilai
+ 30 – 50 %
Nilai ulangan harian/umum
+ 30 - 50 %
+ 20 – 40 %
Nilai project
+ 30 – 50 %
+ 20 – 30 %
Try Out
+ 20 – 50 %
Penggunaan modul ini terbukti efektif dan efisien dalam mengatasi fobia matematika dan IPA pada siswa. Penyajian modul sebagai alat bantu pembelajaran tidak hanya merangsang perkembangan otak kiri (untuk berpikir logis dan teratur) tetapi juga perkembangan otak kanan melalui pola berpikir kreatif. Pembelajaran ini diharapkan dapat mengembalikan manusia ke fitrah pembelajarannya semula, sebagai makhluk berpikir dengan menggunakan anugerah terindah dari Allah yakni akal.Manusia memahami alam dengan logika dan merekam dan menyimpan konsep pengetahuan ke dalam memori jangka panjang otak.
58
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
SIMPULAN 1. Pembangunan ulang mental matematika siswa dan keahlian IPA siswa dapat dilakukan melalui pemetaan logika berpikir dan konsep belajar. 2. Siswa yang telah dipetakan mental matematika dan keahlian IPA (konsep belajar IPA nya) lebih dapat mengatasi fobia matematika dan IPA. 3. Problem Based Learning (PBL) mampu menempatkan siswa pada suasana belajar yang kondusif untuk perkembangan logika berpikir yang kreatif dan kemampuan aplikasi metode saintifik yang lebih nyata dan konstektual. 4. Konsep dan kasus pembelajaran dalam PBL yang disajikan sesuai dengan konsep mind mappingakan mempermudah dan mempercepat siswa mengembangkan dan menyusun ulang memori belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran. 5. Kurikulum spiral terintegrasi memungkinkan siswa membangun ulang mental matematika dan keahlian IPA dengan melengkapi pemahaman konsep belajar pada titik yang tidak lengkap. SARAN 1. Semakin merebaknya kasus fobia matematika dan IPA, hendaknya segera diaplikasikan semua solusi yang memungkinkan untuk dilakukan saat ini. 2. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam penentuan keberhasilan dalam belajar, seperti orang tua, guru, teman, dan lingkungan hendaknya menyadarai betapa pentingnya peranan mereka dalam ,e,bantu kesuksesan siswa selama masa perkembangan yang singkat ini. DAFTAR PUSTAKA Behiye AKCAY. 2009. Problem-Based Learning in Science Education. Journal of Turkish Science Education, Volume 6, Issue 1, Turky. Bruner, J. 1960. The Process of Education.Cambridge, MA: The President and Fellows of Harvard College. Buzan, T. 2007. Mind Map, Buku Pintar. Cetakan ke-7, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Erickson, Dianne. K. A. 1999. Problem-Based Approach to Mathematics Instruction, Connecting Research to Teaching Journal, Vol. 92, No 6, New York. Gbolagade, A.M., Sangoniyi S.O. 2013. Demystifying Mathematics Phobia in Schools for Transforming Nigeria in Attaining Vision 20:2020. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences. Vol. 3, No. 2, ISSN: 2222-6990. Munadi, Y. 2012. Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, Jakarta: Gaung Persada Press. Page 99 Nasir, NS., Hand, V., & Taylor, E. V. 2008. Culture and mathematics in school: Boundaries between “cultural” and “domain” knowledge in the mathematics classroom and beyond. Review of Research in Education, 32, 187-240. Smith, CA. 1999. Problem-based learning. Biochemical Education, 15, England. Syah, M. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan ke-18, Bandung: Rosda. Page 89.
59
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
REKONSTRUKSI DIDAKTIS BAHAN AJAR PERKULIAHAN PENELITIAN LABORATORIUM (PL) KONTEKS BATU GAMPING BERBASIS PROBLEM SOLVINGDECISION MAKING (PSDM) Florida Doloksaribu, Ahmad Mudzakir, Hayat Sholihin, Fransisca Sudargo Universitas Cenderawasih Jayapura dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
[email protected] ABSTRAK PL merupakan mata kuliah wajib pendidikan kimia UNCEN, disinergikan dengan mata kuliah pilihan. Tujuannya menghasilkan guru professional dibidang penelitian dan pengajaran kimia. Kenyataannya, perkuliahan tidak menunjukkan pencapaian maksimal. Studi pendahuluan menunjukkan tidak tuntasnya perkuliahan disebabkan ketidak mampuan mahasiswa mengelola PL. Rencana/dan hasil PL sering gagal disebabkan penelitian tidak menunjukkan originalitas (plagiat), yang berdampak pada pengulangan penelitian. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti merekonstruksi bahan ajar PL konteks batu gamping berbasis PSDM untuk meningkatkan keterampilan berpikir penelitian mahasiswa. Penelitian menggunakan metode R & D Model Education Rekonstruksi/MER (Duit 2007). Instrumen berupa kuesioner respon ahli untuk menentukan kelayakan materi buku teks sesuai tingkat kognitif mahasiswa dengan kurikulum. Karakteristik bahan ajar : 1) dikembangkan sesuai aspek dan sikap PSDM Myers-Briggs Type Indikator (MBTI), 2) konteks perkuliahan sesuai isu kimia bahan galian batu gamping, 3) konten sesuai tingkat kognitif mahasiswa kriteria accesible, 4) Perancangan bahan ajar menggunakan urutan pembelajaran Sains dan Teknologi, 5) Perspektif mahasiswa terhadap konsep materi melalui wawancara. Hasil wawancara menunjukkan >80 % mahasiswa memiliki prakonsepsi salah tentang pemaknaan metode ilmiah dan berpikir penelitian berbasis PSDM. Oleh karena itu, penyisipan materi berpikir penelitan berbasis PSDM pada bahan ajar perlu dimunculkan. Validasi metode CVR memperoleh nilai rata-rata 0,84, dan CVI hitung > CVI tabel menunjukkan bahan ajar cocok digunakan pada kuliah PL konteks kimia batu gamping. Kata Kunci: Bahan Ajar, penelitian laboratorium, problem solving-decision making MBIT, dan MER
PENDAHULUAN Matakuliah PL disajikan sebagai matakuliah wajib bagi mahasiswa calon guru kimia UNCEN, tujuannya untuk mengemban misi perkuliahan dan standar kelulusan yang mampu mengelola secara sains sumber daya alam Papua yang berlimpah. Mahasiswa calon guru kimia selain professional dibidang pengajaran juga harus professional dibidang penelitian laboratorium. Untuk dapat mencapai tujuan perkuliahan mahasiswa perlu dibekali pemahaman konsep penelitian laboratorium secara bermakna yang ditunjang dengan strategi perencanaan penelitian melalui konteks yang diteliti. Mengarahkan pola berpikir penelitian pada perencanaan penelitian seperti seleksi topik, mengidentifikasi masalah, mencari teori pendukung/literatur yang relevan, memulai bertanya tentang penelitian atau hipotesis, mengidentifikasi desain penelitian, metode, dan pendekatan identifikasi analisis data. Dengan demikian perkuliahan PL yang disinerjikan dengan mata kuliah pilihan dapat terlaksana secara efektif. Menurut Skoumios & Passalis (2010), banyak penelitian yang ditemukan di lapangan tidak mencerminkan penggalian ide sesungguhnya, tetapi cenderung sebagai pelaksanaan tugas yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan tugas akhir, sehingga kelihatan lebih cenderung sebagai penelitian plagiarism. Dalam memahami konsep penelitian laboratorium ada hal yang harus dipikirkan sehingga dapat menindak lanjuti penelitian, mengarahkan berpikir pada perencanaan penelitian yang berpedoman pada 1) seleksi topik, 2) mengidentifikasi masalah penelitian, 3) mencari teori-teori pendukung/literatur 4) memulai bertanya tentang penelitian atau hipotesis, 5) mengidentifikasi desain penelitian, 6) metode determinasi, 7) pendekatan mengidentifikasi analisis data (Ross & Morrison, 2003). Untuk tujuan di atas sebaiknya para tenaga pendidik membuat suatu rancangan perkuliahan yang dapat memacu berpikir mahasiswa dalam
60
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
melakukan penelitian, untuk meningkatkan kognitif, afektif,dan psikomotorik dalam keterampilan laboratorium (Donnel et al., 2007). Keterampilan berpikir pada penelitian sangat diperlukan oleh mahasiswa agar dapat melaksanakan suatu perencanaan penelitian yang lebih bermakna. Selain itu mahasiswa harus memahami pola, tata cara, dan tahapan yang harus dilaksanakan. Menurut Ross dan Morisson (2003), dalam penelitian ada beberapa langkah yang harus di ikuti dan perlu di pahami oleh mahasiswa seperti: 1) pentingnya memilih topik untuk memberikan daya tarik pembaca atau yang ingin mendalami penelitian, 2) mengidentifikasi masalah penelitian, dalam hal ini agar si peneliti dapat memberi batasan penelitian, 3) literatur, yaitu untuk mencari informasi penting dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dalam hal literatur dasar, 4) pertanyaan penelitian atau hipotesis 5) metode penelitian, 6) teknik analisis data, 7) hasil, diskusi, dan publikasi penelitian. Tahapan pengambilan keputusan dimana solusi benar-benar dilaksanakan yaitu: 1) bingkai masalah: apa yang diputuskan dan mengapa hal itu diputuskan, 2) memilih orang yang tepat yang dapat membantu langkah-langkah pengambilan keputusan, 3) proses yang benar sesuai dengan signifikansi dan kompleksitas keputusan, 4) sebuah set alternatif lengkap yang tergantung pada bagaimana pertanyaan dibingkai, yaitu secara lengkap dan berbeda satu sama lain, 5) menetapkan nilai preferensi alternatif yang dapat dinyatakan dengan atribut yang diinginkan dan tidak diinginkan, 6) informasi yang menggambarkan nilai dari alternatif. Pengambilan keputusan yang baik tidak hanya menuntut fakta-fakta tetapi memahami batas-batas pengetahuan. Model of educational reconstruction (MER) (Duit et al., 2012 ) didesain dengan tujuan spesifik yang menyediakan kerangka teori untuk peserta didik agar bermanfaat dan memungkinkan untuk mengajarkan fakta sains dengan komponen analisis struktur konten, penelitian mengajar dan belajar,dan pengembangan dan evaluasi pelajaran. Tujuannya untuk mengklarifikasi konsepsi sains spesifik dan struktur konten dari sudut pandang pendidikan. penyajian konten secara ilmiah langsung dari buku teks merupakan hal yang tidak accessible karena itu perlu “penyederhanaan”. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah rekonstruksi didaktis perkuliahan penelitian PL pada konteks kimia batu gamping berbasis PSDM. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan dalam meningkatkan berpikir penelitian mahasiswa. Metode penelitian dan pengembangan (educational research dan development) MER (Duit,et al 2012). Penelitian dilakukan di pendidikan kimia Universitas Cenderawasih. Selama 1 semester, partisipan mahasiswa yang telah menyelesaikan perkuliahan semester 1-6. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini didasarkan kriteria PSDM type Indicator Myers-Briggs type Indicator (MBTI) menurut William (1992), data yang dikumpulkan dianalisis dengan menguji kelayakan buku ajar yang direkonstruksi berdasarkan nilai content validity ratio(CVR) ahli. Sedangkan prosedur penelitian terdiri dari 3 tahapan besar yaitu: klarifikasi dan analisis konten sains, analisis instrumen pada partisipan, desain dan evaluasi bahan ajar perkuliahan . 3). Hasil konstruksi Bahan ajar PL Konteks Batu gamping berbasis PSDM.
Melalui tahapan STL, tahap kontak, elaborasi sampai tahapan nexus
2) Desain dan Evaluasi bahan ajar Perkuliahan : pada perkuliahan Penelitian laboratorium pada konteks kimia bahan galian pada topik batu gamping. Berbasis PSDM.
1).Klarifikasi dan analisis konten sains (klarifikasi materi subjek dan analisis signifikansi pendidikan Problem solving-decision making, kimia bahan galian : batu gamping.
Instrumen skala sikap, teks asli konten, analisis eksplanasi, penghalusan konten, teks asli konteks berbasis PSDM, penghalusan konteks,
Indikator dan tujuan aspek sikap, indikator dan tujuan aspek kognitif, validasi analisis konsep, validasi bahan ajar/perkuliahan
Gambar 1. Sekilas Skema tahapan penelitian rekonstruksi didaktis bahan ajar penelitian laboratorium konteks batu gamping berbasis PSDM
61
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang diperoleh meliputi karakteristik bahan ajar penelitian laboratorium konteks batu gamping berbasis PSDM, gambaran persfektif mahasiswa terhadap isu penelitian laboratorium konteks batu gamping yang berbasis PSDM, .penilaian para ahli terhadap bahan ajar perkuliahan penelitian laboratorium konteks batu gamping berbasis PSDM. Bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan aspek kompetensi dan sikap problem solving decision making MBTI- 2007 dan beberapa sikap PSDM yang dikembangkan melalui kriteria PSDM berdasarkan tinjauan pustaka yang dibangun kembali dengan memperhatikan tujuan pendidikan pada aspek kognitif dan afektif dan psikomotorik (Duit et al., 2012) yang didukung dengan kurikulum 2013 dimana peserta didik yang mampu berkompetensi yang ditandai oleh kompetensi sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik. Tabel 1. Kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, kompetensi berpikir Kompetensi Berpikir (PSDM) sebagai skala sikap Mahasiswa harus menjadi insan yang mandiri, dan menjauhkan sikap yang tidak memenuhi etika keilmuan seperti kriteria plagiarism karya orang lain yang akan memunculkan penelitian yang bersifat plagiarism.
Sikap MBTI Ekstravert: Menunjukkan kemampuan mengemukakan masalah terkait batu gamping
Indikator Berpikir keras dalam menggali permasalahan yang terkait batu gamping.
Intravert: Menunjukkan kemampuan berpikir logik merepleksikan rmasalah terkait batu gamping. Sensing: Menunjukkan kemampuan menjabarkan pengalaman dalam mempraktekkan suatu solusi. Intuitif : kemampuan memaknai secara mendalam tentang fakta, dan solusi pada situasi permasalahan yang menandakan sesuatu prospek yang bersifat original. Thinking: Kemampuan memahami suatu solusi berdasarkan fakta, model, dan/atau prinsip-prinsip. Feeling: Kemampuan mempertimbangkan solusi yang tepat memberikan pengaruh kuat pada manusia. Judging: Kemampuan membuat keputusan yang dapat diimplemantasikan secara bertahap sesuai prosedur. Perceiving: Solusi-yang fleksibel, dapat diadaptasi, informasi yang cukup yang tersedia untuk solusi yang benar-benar dipertimbangkan
Berpikir keras menyelidiki secara seksama, dan merenungkan permasalahan terkait batu gamping. Menseringkan nilai,ide, fakta ditemukan secara induksi mengenai materi terkait batu gamping Mengklasifikasi , mengidentifikasi permasalahan, memberikan alas an secara deduktif dengan asumsi yang menantang, secara visualisasi Bagaimana mengklasifikasi, menkategorikan, menganalisis, menrangkai analisis, dan tugas analisis. Menseringkan nilai pribadi, serta mendengar nilai orang lain. Dan mengklarifikasi nilai-nilai tersebut. Mengevaluasi, teknik-teknik evaluasi, rencana terbalik, dan memilih satu solusi.
Kompetensi Pengetahuan Standar Kompetensi Dasar Kompetensi Menerapkan konsep 1.1.Memberikan gambaran efektif dari Batu Gamping) permasalahan yang dapat digali dari sebagai konteks konsep batu gamping berdasarkan uraian penelitian dasar , pembentukan, sifat, aplikasi batu laboratorium yang gamping berbasis PSDM .
1.2.Mempertimbangkan konstruksi permasalahan dengan solusi yang akan dirancang dalam rumusan permasalahan 1.3.Mempertimbangkan aplikasi pada penelitian laboratorium melalui tahapan berpikir problem solving-Decision making. 1.4.Menerapkan poin 1.1.-1.3. dalam penelitian laboratorium melalui tahapan berpikir /berbasis PSDM
Memiliki gagasan cemerlang, dengan berbagai teknik , dengan bias diperdebatkan, untuk membuat perspektif orang lain.
62
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PSDM-MBTI tidak semata-mata berupa pengukuran tingkat pemahaman terhadap penelitian laboratorium, tetapi juga pemahaman terhadap aspek proses (kompetensi) berpikir penelitian, sikap berpikir penelitian, serta kemampuan mengaplikasikan berpikir tersebut pada pengetahuan. Dari hasil validasi kesesuaian indikator dengan tujuan perkuliahan terhadap sikap berpikir PSDM, diperoleh indikator yang telah dinyatakan valid. Berikut hasil validasi terhadap kesesuaian indikator dengan tujuan perkulaihan yang ditunjukkan tabel 2. Tabel 2. Rekapitulasi CVR Indikator dan tujuan perkuliahan pada aspek kognitif Konteks Konversi lahan gambut dan netralisasi pH lahan gambut
Kapur Tohor dan kapur padam
Bahan Pemutih
Pupuk an Organik
Penjernihan air
Konten
Proses Kompetensi Standarisasi
Indikator
Batu gamping
Mengidentifikasi , merumuskan , mengeksplorasi strategi pemecahan, melaksanakan strategi pemecahan, mengevaluasi strategi masalah.
Menjelaskan peranan batu gamping pada netralisasi pH lahan gambut
Kalsinasi Batu gamping
Pemutusa n ikatan
Defisiens i kalsium
Sediment asi
Mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, mengeksplorasi strategi pemecahan masalah, melaksanakan strategi pemecahan masalah, mengevaluasi strategi masalah. Mengidentifikasi , merumuskan masalah, mengeksplorasi strategi pemecahan masalah, melaksanakan strategi pemecahan masalah, mengevaluasi strategi masalah.
Mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, mengeksplorasi strategi pemecahan masalah, melaksanakan strategi pemecahan masalah, mengevaluasi strategi masalah. Mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, mengeksplorasi strategi pemecahan masalah, melaksanakan strategi pemecahan masalah, mengevaluasi strategi masalah.
0,77
1.2.Mahasiswa mampu memberikan gambaran efektif dari permasalahan terungkap seputar pH lahan gambut
0,66
2.1. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan pengungkapan masalah, dan merumuskan solusi dan evaluasi masalah dibiang rekayasa batu gamping
Menyelidiki, mengungkap, menjelaskan, dan memahami peran batu gamping
3.1.Mahasiswa mampu menjelaskan masalah yang terdapat disekitar kehidupan, dengan mengemukakan berbagai peranan batu gamping sebagai pemecah masalah. 3.2. Mahasiswa mampu memberikan gambaran permasalahan yang berhubungan dengan blecing, batu gamping sebagai solusi.
Menyelidiki, mengungkap, menjelaskan, dan memahami manfaat batu gamping pupuk anorganik Menyelidiki, mengungkap, menjelaskan, dan memahami manfaat batu gamping, penjernihan air
CVR rerata
1.1. Mahasiswa mampu mengungkap berbagai masalah yang menyangkut rekayasa batu gamping pada bidang penetralan pH.
Menjelaskan dan memahami terbentuknya kapur tohor sebagai proses fisika kimia
CVR
CVR didapat dari rumus CVR =
Tujuan perkuliahan aspek kognitif
0,88
0,88
0,77
4.1.Mahasiswa mampu memberikan suatu gambaran permasalahan yang berhubungan dengan defisiensi mineral kalsium pada tanaman
1
5.1.Mahasiswa mampu menjelaskan, memahami kontribusi batu gamping dalam proses penjernihan air melalui sedimentasi
0,88
0,83 𝑁 𝑁𝑒−( 2 )
𝑁/2
, CVR hitung 0,83 > CVR tabel 0, 68 hal ini menunjukkan indikator
dan tujuan perkuliahan dengan aspek kognitif adalah valid.
63
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 3. Rekapitulasi CVR Indikator dan Tujuan Perkuliahan aspek sikap PSDM MBTI Konteks
Konten
Sikap PSDM-MBTI
1. Konversi lahan gambut dan netralisasi pH lahan gambut
Netralisasi pH dengan Batu gamping
1. Ekstravert: Menunjukkan kemampuan mengemukakan permasalahan terkait batu gamping
2. Kapur Tohor dan kapur padam
Kalsinasi CaCO3
3. Bahan Pemutih
Pemutusan ikatan
4. Pupuk an Organik
5. Penjernihan air
Defisiensi Kalsium
Sedimentasi
Indikator
2. Intravert: Menunjukkan kemampuan berpikir logik dengan ide-ide cemerlang yang mampu merepleksikan permasalahan terkait batu gamping. 3. Sensing: Menunjukkan kemampuan menjabarkan pengalaman diri, mempraktekkan suatu solusi sesuai dengan kemampuan diri terkait batu gamping 4. Intuitif : kemampuan memaknai mendalam tentang fakta-fakta, dan solusi-solusi pada permasalahan yang menandakan sesuatu prospek yang bersifat original terkait batu gamping. 5. Thinking: Kemampuan memahami suatu solusi-solusi berdasarkan ffakta, models, prinsip batu gamping. 6. Feeling: Kemampuan mempertimbangkan solusi tepat yang memberikan pengaruh kuat pada manusia 7. Judging: Kemampuan membuat keputusan yang dapat diimplemantasikan sesuai dengan prosedur yang tepat. 8. Perceiving: Solusi-solusi yang fleksibel dan dapat diadaptasi, informasi-informasi yang cukup tersedia untuk solusi yang benar-benar dipertimbangkan.
CVR
Berpikir keras dalam menggali permasalahan yang berkaitan dengan batu gamping,
Tujuan Perkuliahan aspek sikap Mahasiswa tidak melakukan aksi meniru, menjiplak, sikap plagiarism terkait gamping
̅̅̅̅̅ 𝒄𝒗𝒓
1
Berpikir keras dengan menyelidiki secara seksama, dan merenungkan permasalahan yang ditemukan berkaitan dengan batu gamping.
0,77
Menseringkan (share) ide-ide, dan fakta-fakta yang ditemukan secara induksi mengenai materi yang berkaitan dengan batu gamping.
0,88
Mengklasifikasi , mengidentifikasi , memberikan alasan secara deduktif dengan asumsi yang menantang, memberikan gambaran secara visualisasi,dan mensintesis materi terkait batu gamping.
0,88
Bagaimana mengklasifikasi, menkategorikan, menganalisis, merangkai analisis tugas analisis terkait batu gamping
0,77
Menseringkan nilai-nilai , serta mendengar nilai-nilai orang lain, mengklarifikasi nilai-nilai tersebut untuk mengungkap ide – ide terkait batu gamping. Mengevaluasi, teknik-teknik evaluasi, rencana terbalik, dan memilih satu solusi yang tepat dalam mengungkap ide yang berkaitan dengan batu gamping. Memiliki gagasan-gagasan cemerlang, dengan berbagai teknik-teknik , dengan bias yang diperdebatkan, untuk membuat perspektif orang lain pada materi batu gamping. 0,86
Berdasarkan Tabel 4, CVR hitung 0,86 > dari CVR hal ini menunjukkan indikator dan tujuan perkuliahan pada aspek sikap PSDM MBTI dapat diterima.
64
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 4. Rekapitulasi Penilaian terhadap Rancangan Bahan Perkuliahan Penelitian Laboratorium Konteks Batu Gamping Berbasis PSDM Tahapan STL
Kesesuaian materi dengan kurikulum
Tahap Kontak
1. Konversi lahan gambut dan netralisasi pH lahan gambut
2. Kapur Tohor dan kapur padam
3. Bahan Pemutih 4. Pupuk an Organik 5. Penjernihan air
Ketepatan gambar dan tugas
Kesesuaian materi : kemampuan mahasiswa
CVR ratarata
CVR
CVR
CVR
1
0,66
0,66
0,77
0,66
1
1
0,88
1
0,66
1
0,88
0,66
0,66
1
0,88
0,66
0,66
1
0,66
CVR
0,81
Tabel 5. Rancangan bahan perkuliahan penelitian laboratorium konteks berbasis PSDM dengan nilai pada tahap kontak dengan nilai CVR
Tahapan Elaborasi Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menerapkan konsep batu gamping pada penelitian laboratorium berbasis PSDM 2 . Mahasiswa dapat menerapkan konsep pembentukan batu gamping pada penelitian laboratorium berbasis PSDM 3. Mahasiswa dapat menerapkan konsep sifat fisik-kimia batu gamping pada penelitian laboratorium berbasis PSDM Tahap Nexus
Ketepatan materi konten dan konteks
Kesesuaian antara konten dan konteks
CVR
CVR
Kesesuaian materi dengan kurikulum (tujuan perkuliahan) CVR
1.
1.
2. 3.
Contoh soal 1. Pembentukan batu gamping Contoh soal 2. Sifat fisik batu gamping Tugas
CVR ratarata
CVR
Kesesuaian materi dengan kemampuan mahasiswa CVR
1
0,66
0,79
Ketepatan gambar, ilustrasi,
1 0,66
0,66
1
1
0,66
1
0,66
0,86
0,66
0,66
0,66
0,66
1
0,72
CRV
CRV
CRV
CRV
CRV
CVR ratarata
1
0,66
0,66
1
1
0,86
1
1
0,66
0,66
0,66
0,79
0,66
0,66
0,66
1
1 CVR
0,79 0,80
Pada Tabel 5 menunjukkan rancangan bahan perkuliahan penelitian laboratorium konteks berbasis PSDM dengan nilai pada tahap kontak dengan nilai CVR 0,80 artinya responden mempunyai persfektif baik terhadap kesesuaian materi dengan kurikulum 2013, ketepatan gambar, serta kesesuaian materi dengan kemampuan mahasiswa, dengan CVI hitung 0,80 > 0,67 (nilai batas minimum CVI tabel). Hal ini menunjukkan bahwa tahapan penyusunan bahan ajar STL pada tahap kontak alur konversi lahan gambut dan netralisasi pH lahan gambut, kapur tohor dan kapur padam, bahan pemutih, pupuk anorganik, dan penjernihan air memberikan kesesuaian dengan teks keluaran. Demikian juga pada tahap elaborasi yaitu dimana mahasiswa dapat menerapkan konsep batu gamping, pembentukannya, sisfat fisika kimianya pada
65
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
penelitian laboratorium berbasis PSDM. Selain itu tahap nexus memahami contoh serta menyelesaikan tugas rancangan PL berbasis PSDM terkait batu gamping, hal ini ditunjukkan pada nilai CVR 0,66-1menunjukkan persfektip yang baik berdasarkan ketepatan materi konten dan konteks, kesesuai antara konten dan konteks, kesesuaian materi dengan kurikulum,ketepatan gambar, dan kesesuaian materi dengan kemampuan mahasiswa dengan nilai CVI hitung 0,81> CVI tabel (0,67), dalam hal ini tingkat kesesuaian yang amat baik. Tingkat penerimaan mahasiswa kepada bahan ajar melalui analisis materi subjek batu gamping berbasis PSDM. Komponen pertama MER adalah klarifikasi struktur konten yaitu klarifikasi materi subjek dan analisis signifikansi pendidikan. Pada penelitian ini ada empat buku teks yang dijadikan acuan dalam melakukan analisis konten secara kualitatif. Secara keseluruhan tampilan naskah dari beberapa buku teks meliputi: pengantar, isi pokok, penilaian, dan rangkuman. Konten sains harus diproses sesuai dengan rekonstruksi didaktis (Duit, 2012). Sehingga struktur konten asli dari buku teks asli yang sudah ditetapkan, dipindahkan kedalam struktur konten perkuliahan melalui tahap elementasi dan konstruksi “proses penyederhanaan” untuk pengurangan tingkat kesulitan bahan ajar agar mahasiswa dapat memahami dengan mudah melalui penghalusan, penyisipan dan penghapusan kata atau frasa. Tahap Kontak, dikembangkan isuisu serta beberapa permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar yaitu, isu konversi lahan gambut, konversi batu gamping menjadi bahan semen, bahan bleching (pemutih), defisiensi unsur hara tanaman, dan penjernihan air. Dalam hal ini agar mahasiswa menyadari dan membuka cakrawala berpikirnya bahwa material bahan gamping merupakan sesuatu yang penting dipahami dan ditelusuri untuk kebutuhan pengembangan ilmu dan sains. Tahap Kuorisiti, pada tahap ini mahasiswa diberikan pertanyaan PSDM sesuai dengan isu atau fakta yang terjadi pada kehidupan sehari-hari. 1. Tahap Elaborasi, pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pada tahap kuriositi dapat terjawab. 2. Tahap pengambilan keputusan, melakukan analisis dan evaluasi terhadap masalah yang ada. Tahapan ini mengajak mahasiswa menggali jawaban terkait dengan konteks permasalahan melalui berbagai proses penelusuran terkait batu gamping. 3. Tahap Nexus, tahap ini merupakan fase dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Penyajian susunan wacana teks yang telah dijabarkan pada bahan perkuliahan yang dirangkum untuk proses pengambilan intisari. Dalam hal ini konteks lain yang dikembangkan adalah mengenai pembentukan batu gamping, sifat fisika kimia, dan berbagai aplikasi pada bidang kehidupan. Perspektif mahasiswa terhadap isu PL terkait batu gamping berbeda-beda. Berdasarkan wawancara dengan 10 pertanyaan pada 10 mahasiswa angkatan yang berbeda-beda yaitu bagaimana keterkaitan konsep batu gamping pada konteks penelitian. Pertanyaan nomor 1-5 menanyakan prakonsepsi mahasiswa tentang batu gamping sedangkan pertanyaan 6-10 menanyakan tentang sikap dan ketertarikan mahasiswa terhadap isu kimia bahan galian batu gamping yang telah berkembang. Pada Tabel 6 pertanyaan nomor 1 dan 2 pada hanya 20% menjawab pernah mendengar dan membacanya. Nomor 3 dijawab benar hanya 10%. Melihat pola jawaban yang diberikan 10 mahasiswa, dapat diketahui bahwa pengetahuan mahasiswa tentang batu gamping sebagai prospek PL kimia masih sangat minim (blank mind). Pertanyaan nomor 4 pada hanya dijawab benar (40%), selebihnya pada penggunaan secara fisik saja. Nomor 5, 100% menjawab secara singkat tanpa penjelasan konkrit. Pertanyaan nomor 6 sebanyak 20% memberikan alasan dengan sikap yang diinginkan. Pertanyaan nomor 7 dijawab baik oleh 100% mahasiswa.Pertanyaan nomor 8 dijawab 100% mahasiswa pendapat yang sangat dangkal. Pertanyaan nomor 9 dijawab 100% mahasiswa, dengan tidak ada keterkaitan antara PL dengan mata kuliah. Pertanyaan nomor 10, 100% menunjukkan respon yang sangat baik. Berdasarkan wawancara tersebut dapat dikatakan > 80 % mahasiswa sangat minim memahami batu gamping sebagai prospek penelitian kimia. Sehingga perlu dimunculkan perkuliahan PL konteks batu gamping berbasis PSDM.
66
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 6. Pedoman Wawancara Mahasiswa No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7. 8. 9. 10.
Pertanyaan Apakah kamu pernah membaca atau mengetahui tentang kimia batu gamping sebagai bahan (penetral keasaman tanah, bahan pembuatan semen, bahan pemutih, sebagai pupuk anorganik, dan penjernih air)? Dari manakah kamu mendapatkan informasi tersebut? Menurut pendapatmu apakah batu gamping sangat berarti bagi perkembangan penelitian kimia? Berikanlah salah satu contoh aplikasi batu gamping pada kehidupan yang pernah anda ketahui. Apakah anda pernah mendengar/atau membaca tentang permasalahan kimiawi menyangkut batu gamping? Menurut pendapatmu, adakah perbedaan pemahaman anda pada batu gamping yang anda lihat selama ini dengan batu gamping pada prospek kimiawi? Apakah yang kamu pikirkan tentang gambar dibawah ini
Tanggapan
Bila ada permasalahan yang anda temui di lingkungan sekitar anda. Solusi apa yang anda dapat berikan, bila hal itu dapat diselesaikan dengan cara mengaplikasikan keberadaan batu gamping? Pernahkah anda mendengar prinsip-prinsip tentang pengelolaan lingkungan dengan pemanfaatan batu gamping?, keuntungan apakah yang anda dapat peroleh jika mengikuti prinsip kimiawi batu gamping? Apakah bahan perkuliahan yang kamu gunakan telah mengkaitkan antara konten kimia bahan galian dengan konteks penelitian laboratorium? Menurut anda, perlukah perkuliahan kimia bahan galian dirancang menjadi suatu prospek penelitian laboratorium ? apa alasan anda?
KESIMPULAN Temuan dan analisis data penelitian memiliki karakteristik bahan ajar yang dikembangkan melalui MER yaitu: bahan ajar dikembangkan sesuai dengan aspek kompetensi dan sikap PSDM-MBT, konteks pembelajaran disesuaikan dengan isu sosial-ilmiah (PSDM) dan kurikulum 2013, konten perkuliahan disesuaikan dengan tingkat kognitif mahasiswa kriteria accesible, peracangan bahan perkuliahan menggunakan urutan pengajaran STL dengan tahap perkuliahan berbasis PSDM, konsep PL konteks kimia batu gamping yang berbasis PSDM. 1. Perspektif mahasiswa terhadap isu PL konteks batu gamping berbasis PSDM digali melalui hasil wawancara, > 80% prakonsepsi salah terhadap penelitian. 2. Penilaian bahan ajar keseluruhan meliputi : 1).Ketepatan materi (konten dan konteks), 2) Kesesuaian antara konten dan konteks, 3) Kesesuaian materi dengan kurikulum (tujuan pembelajaran), 4) Ketepatan gambar dan tugas percobaan, dan 5) Kesesuaian materi dengan kemampuan mahasiswa. Berdasarkan poin penilaian tersebut maka diperoleh CVR rata-rata untuk bahan ajar perkuliahan adalah 0,84. CVIh> CVIt(0,83> 0,68) ini menandakan bahwa bahan perkuliahan yang dihasilkan layak untuk mahasiswa pendidikan kimia. DAFTAR PUSTAKA Donnel CM, Cristine O, Michael KS. 2007. ”Developing Practical Chemistry Skill by Means of StudentsDriven Problem Based Learning Mini-Projects Mini”. Journal Chemistry Education Research and Practice. 8, (2),130-139. Duit R, Harald G, Kattmann U, Komorek M, Ilka P. 2012. ” The Model of Educational Reconstruction-A Framework for Improving Teaching and Learning Science”. Science Education Research and Practice in Europe. Huitt G, William. 1992. “Problem solving decision making, consideration of individual differences using the Meyers Briggs Type Indicator. [online] Avalaible: http://www.edssyanteractive.org/pgpers/prbsm Ross MS, Morrison GR. 2003. Hand Book: Research Methods in Experimental. The University of Memphis & Wayne State University. Aect.org/edtech/ed 1/38 pdf.
67
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PEMANFAATAN JEJARING SOSIAL “FACEBOOK” PADA DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERARGUMENTASI MAHASISWA Yanti Herlanti Pendidikan Biologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] Abstrak Makalah ini memaparkan cara memanfaatkan jejaring sosial “facebook” sebagai media diskusi isu sosiosaintifik. Jejaring sosial “facebook” merupakan media yang popular di Indonesia. Ada sekitar 50 juta pengguna facebook di Indonesia, namun pemanfaatannya masih bersifat entertainment. Padahal dunia pendidikan dapat memanfaatkan facebook sebagai media diskusi, terutama diskusi isu sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosaintifik adalah diskusi isu-isu sains yang dipandang tidak hanya dengan sudut pandang sains tetapi juga sosial yaitu politik, ekonomi, budaya, dan etika. Beberapa penelitian menunjukkan diskusi isu sosiosaintifik lebih mudah meningkatkan keterampilan berargumentasi. Facebook dimanfaatkan sebagai media diskusi isu sosiosaintifik karena, facebook memiliki fasilitas grup. Fasilitas grup dapat mengumpulkan partisipan dalam satu kelompok diskusi. Fasilitas kirim tulisan dan komentar yang bersifat interaktif dapat dimanfaatkan sebagai media diskusi antara partisipan. Kata Kunci: jejaring sosial, facebook, diskusi isu sosiosaintifik, argumentasi.
PENDAHULUAN Penggunaan jejaring sosial facebook (facebookers) Indonesia cukup banyak, namun pemanfaatannya dalam bidang pendidikan masing kurang. Padahal jejaring sosial ‘facebook’ mempunyai beberapa kelebihan yang berpotensi untuk digunakan dalam pembelajaran. Jejaring sosial memiliki karakter interaksi dan umpan balik, sehingga antar partisipan dapat berhubungan, berbagi, dan berkolaborasi (Bosman & Zagenczyk, 2011), serta dapat melakukan konstruksi pengetahuan secara kolaboratif (Serrano, 2011). Selain itu menurut Brunsell & Cimino (2009:) sifat komunikasi tulis secara maya pada jejaring sosial menciptakan lingkungan belajar yang bersifat partisipatif dan ramah (bebas dari waswas dan malu). Salah satu pemanfaatan jejaring sosial dalam pembelajaran sains adalah sebagai media diskusi isu sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosantifik adalah permasalahan atau isu sainstifik yang menimbulkan kontroversi di masyarakat karena dipengarui oleh sudut pandang sosial politik (Salder & Zeidler, 2004; Sadler, 2011; Dawson & Venville, 2009; Robert & Gott, 2009). Kelebihan diskusi isu sosiosaintifik menurut Cross et al. (2008) adalah sangat efektif dalam mengkontruksi pengetahuan, karena para pelajar mengemukakan ideanya, bertanya, memberikan umpan balik, dan mengevaluasi idenya. Kelebihan lainnya menurut penelitian Osborne (2005), Chang & Chiu (2008), dan Dawson & Venville (2009) adalah peningkatan kemampuan argumentasi pelajar. Menurut Osbone, Eduran & Simon (2005); McNeill, (2009) peningkatan kemampuan argumentasi terjadi karena partisipan diskusi membangun, mempertimbangkan, dan mendebatkan argumennya, sehingga terjadi keluasan diskusi tidak hanya melibatkan pengetahuan saintifik, tetapi sosial, politik, etika atau nilai. Kelebihan lainnya menurut Osborne (2005) diskusi isu sosiosaintifik peningkatan partisipasi dalam diskusi, karena partisipan berargumen dengan berbagai sudut pandang. Facebook menawarkan sebuah media diskusi isu sosiosaintifik untuk meningkatkan keterampilan berargumentasi. Makalah ini akan memaparkan bagaimana memanfaatkan facebook sebagai sarana diskusi isu sosiosaintifik yang dapat meningkatkan keterampilan berargumentasi partisipan diskusi. DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK Selama tahun 1970-1990-an diyakini bahwa strategi Science Technology Society (STS) merupakan cara terbaik untuk mempromosikan literasi sains (DeBoer, 1991). Yager (1996) menyatakan STS bertolak dari isu yang kemudian digunakan untuk mengorganisasikan pembelajaran sains di sekolah. Pada STS pembelajar
68
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
berperan merencanakan dan melaksanakan aktivitas pemecahan masalah berdasarkan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa kini (2000-an), STS saja dipandang belum lengkap. Zelder et al. (2005) menyatakan pengetahuan dan pemahaman tentang keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknologi, masyarakat, dan lingkungan merupakan komponen utama dari pengembangan literasi sains, tetapi konteksi antara kompetensi utama tersebut sangat berkaitan dengan “keyakinan” yang bersumber dari kognitif personal dan perkembangan moralnya. Keyakinan ini akan memunculkan perbedaan persepsi atau pluralisme pendapat, dan STS belum mengakomodasi ini. Zelder et al. (2005) mengusulkan perlunya melibatkan unsur sosisiosaintifik untuk mempromosikan literasi sains. Unsur-unsur sosiosaintifik yang dapat meningkatkan literasi sains terlihat pada Gambar 1. Isu budaya, kritis, kasus, dan saintifik kemudian diistilahkan dengan isu sosiosaintifik. Dawson & Venville (2009) menafsirkan isu sosiosaintifik sebagai isu berbasis konsep dan masalah sainstifik, kontroversi yang terjadi, dan diskusi publik yang banyak dipengaruhi sosial politik. Chang & Chiu (2008) menyatakan isu-isu sosiosaintifik terjadi karena hubungan sains dan sosial. Robert & Gott (2009) menyatakan isu sosiosaintifik melibatkan komponen sosial sebagaimana keterlibatan saintifik. Berdasarkan definisi di atas, isu sosiosaintifik adalah isu kontroversial terkait dengan sains yang terjadi di masyarakat. Kontroversial terjadi karena isu tersebut dipandang dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang sains tetapi juga sudut pandang budaya, sosial politik, moral dan etika.
Meningkatkan
Gambar 1. Unsur-unsur sosiosaintifik meningkatkan literasi sains (Zeidler, et al., 2005) Promosi literasi sains melalui pendekatan isu sosiosaintifik di kelas sains dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya diskusi. Menurut Lewis (2003) diskusi isu sosiosaintifik memiliki kelebihan, yaitu menjadikan kelas sains lebih hidup karena adanya perdebatan saintifik, pembelajaran sains pun mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan membuat keputusan. Beberapa penelitian menunjukkan diskusi isu sosiosaintifik dapat mempromosikan literasi sains (Osborne, 2005; Dawson & Venville, 2009; Marreo & Mensah, 2010; Nuangchalernm, 2010). Penelitian lain menggambarkan diskusi isu sosiosaintifik di kelas sains, membuat sains lebih manusiawi dan lebih menarik bagi siswa. Lee (2008) menyatakan strategi hakikat sains melalui diskusi isu sosiosaintifik (NOS SSI) telah mengubah pandangan siswa terhadap sains. Sains semula digambar sebagai kegiatan laboratorium yang kaku menjadi lebih humanis. NOS SSI pun telah membuat siswa terpacu untuk mencari informasi dan bertanggung jawab secara sosial terhadap keputusannya. Harris & Ratcliffe (2005) menyatakan diskusi isu sosiosaintifik membuat siswa lebih tertarik pada sains, karena sains lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.
69
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK DAN KETERAMPILAN BERARGUMENTASI “I’m not really interested in it (Biology), but the ethical side was really interesting and made it more life” (from a student, Harris, R. & Ratcliffe, M., 2005) Pernyataan di atas diungkapkan oleh peserta didik yang telah melakukan diskusi isu sosiosaintifik. Hasil penelitian mengungkapkan diskusi isu sosiosaintifk membuat pembelajaran sains lebih humanis dan juga meningkatkan keterampilan berargumentasi (Osborne, 2005; Chang & Chiu, 2008; Dawson & Venville, 2009). Argumen dan argumentasi memiliki makna tersendiri. Argumen diartikan sebagai sebuah penyataan yang berisi sebuah klaim yang didukung oleh data dan dikemukakan untuk mempengaruhi seseorang (Inch, et al., 2006). Kuhn & Udell (2003) mendefinisikan argumen sebagai sebuah pernyataan dengan disertai pembenaran. Mean and Voss (Dawson & Venville, 2009) menggambarkan argumen sebagai pendapat dari suatu kesimpulan yang didukung minimalnya oleh satu alasan. Girle (1991) mendefinisikan argumen sebagai serangkaian pendapat yang bersifat interakif yang memungkinkan untuk disanggah. Menurut Inch et al. (2006) argumen memiliki tiga karakteristik. Pertama, sebuah klaim berupa opini atau kesimpulan yang ingin diterima pembantah. Kedua, sebuah klaim didukung oleh fakta dan alasan atau kesimpulan yang terhubung antara fakta ke klaim. Ketiga, sebuah argumen berusaha mempengaruhi pendapat seseorang yang berada dalam ketidaksetujuan. Ciri sebuah argumen yang baik menurut Toulmin (2003) mengangung komponen klaim, data, penjamin, pendukung, kualifer, dan reservasi. Komponen ini menggambarkan sebagai fungsi dalam argumen. Gambar 2 memperlihatkan komponen argumentasi dan keterkaitannya D
Maka Q, K Kecuali R Karena W
Berdasarkan B
Gambar 2. Model lengkap argumentasi Toulmin (Toulmin, 2003) Keterangan: D = Data, Q = Qualifier/kualifer, K = Klaim, B = Backing/pendukung, W = warrant/penjamin Inch et al. (2006) dan Freeley & Steinberg (2009) menjelaskan lebih lanjut keenam komponen tersebut yaitu. 1. Data (grounds) adalah sinonim dari bukti (evidence). Data/bukti adalah fakta atau kondisi obyektif yang dapat diamati, kepercayaan, atau premis yang telah diterima sebagai sebuah kebenaran oleh audien atau kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ringkasnya, data adalah bukti dan alasan untuk menyokong dasar dari argumen. 2. Klaim (claim) adalah pendapat atau kesimpulan yang dikemukan oleh orang yang berpendapat dan ingin diterima audien. 3. Penjamin (warrant) adalah penalaran yang digunakan untuk menghubungkan data dan klaim. Bukti dan alasan dikembangkan menjadi klaim yang tak terbantahkan kebenarnya.
70
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Data
Penjamin
Klaim
Teroris melakukan aksi terror untuk mendapatkan publisitas
Media sensasional memberikan peluang bagi publikasi teroris
Pelarangan media sensasional akan mengurangi aksi terorisme
Sumber: Freeley & Steinberg (2009) 1. Pendukung (backing) adalah fakta lebih lanjut atau penalaran yang digunakan untuk mendukung atau melegitimasi prinsip yang ada pada penjamin.
Data
Penjamin
Klaim
Kekerasan oleh anak menghasilkan kematian dan kecelakaan
Karena media kekerasan menghantarkan pada kekerasan pada anak
Pelarangan media kekerasan akan mengurangi kematian dan kecelakaan
Pendukung: Kajian memperlihatkan hubungan antara media dan kekerasan dan kekerasan pada anak Sumber: Freeley & Steinberg (2009)
2. Kualifikasi (modal qualifications) adalah kata keterangan sehari-hari (adverb) atau kalimat keterangan tambahan (adverbial frase) yang memodifikasi klaim dan menunjukkan kekuatan rasional atau derajat kekuatan dari orang yang berpendapat tersebut. Ketika berpendapat derajat kekuatan pendapat biasanya tercermin dari ungkapan atau tulisannya dengan beberapa kata seperti “kuat/sangat (stongly), kemungkinan (probably), tentu (certainly), bisa saja (possibly)”. 3. Pengecualian (reservation) adalah keadaan atau kondisi yang melemahkan argumen. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan atau pengecualian yang membatalkan penerapan penjamin. Reservasi ini dikemukan oleh ini Inch et al. (2006). Adapun Freeley & Steinberg (2009) menyatakan komponen keenam adalah penyanggah (rebutal), yaitu bukti atau alasan yang akan melemahkan atau menghancurkan klaim. Menurut Inch et al. (2006) ada empat model argumentasi Toulmin yang mungkin terjadi dalam sebuah teks. Keempat model tersebut adalah sebagai berikut. a) Data – Klaim (DK) b) Data – Penjamin/Warrant – Klaim (DWK) c) Data – Penjamin – Pendukung/Backing – Klaim (DWBK) d) Data–Penjamin–Pendukung – Reservasi-Qualifier– Klaim (DWBRQK) Keempat model argumentasi Toulmin yang dikemukan Inch et al. (2006) merupakan argumentasi informal. Menurut Chang & Chiu (2008) argumentasi informal dapat dibedakan dengan formal dari cara pengambilan klaim. Pengajuan klaim pada argumentasi formal didasarkan pada premis-premis yang baku, penambahan dan penghapusan isi premis tidak diperbolehkan. Pengajuan klaim pada argumentasi informal mengandung fitur kognitif dan afektif, individu dapat mengubah premis berdasarkan pengetahuan dan keyakinan pribadi, informasi dari media massa, buku teks, atau pengalaman hidup, dan lain-lain. Berdasarkan perbedaan ini, argumentasi informal memiliki karakteristik membuat klaim, menyediakan alasan, menyajikan argumen kounter, menunjukkan kualifer, dan mengevaluasi argumen. Argumentasi yang terjadi pada diskusi isu sosiosaintfik bersifat argumentasi informal. Argumentasi informal dikembangkan berdasarkan model Toulmin. Argumentasi pada model Toulmin merupakan
71
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
aktivitas rasional yang melibatkan klaim yang dikembangkan dan didukung oleh data, penjamin yang menghubungkan data pada klaim. Klaim mempunyai kualifer dan penjamin didukung oleh pendukung/backing. Lebih jauh lagi, aktivitas diskusi berkaitan dengan memberikan sanggahan (rebuttal) terhadap argumen. Pengembangan argumentasi di kelas sains dapat dilakukan dengan metode diskusi berbasis isu sosiosaintifik (Osbone, 2005; Erduran et al., 2005, Dawson & Venville, 2009), dan dengan melakukan perdebatatan isu saintifik di kelas (Aleixandre et al., 2000; Hakyolu & Bekiroglu, 2011). Diskusi isu sosiosaintifik mempunyai potensi yang lebih besar dalam meningkatkan kualtias argumentasi, karena argumentasi pada konteks sosiosaintifik lebih mudah. Pada konteks isu sosiosaintfik peserta didik berargumen dengan sudut pandang yang dikuasainya atau diminatinya, akibatnya argumentasi pun meluas tidak hanya menggambarkan pengetahuan ilmiah, tetapi juga etika dan nilai (Osborne, 2005). Osborne dan Erduran adalah pakar yang mengembangkan keterampilan argumentasi dalam pembelajaran sains. Osborne dan Erduran mengembangkan penilaian kualitas argumentasi berdasarkan model argumentasi Toulmin. Osborne (2005) mengklasifikasikan argumen ke dalam tiga kelompok yaitu: 1) klaim sederhana, 2) argumen dengan justifikasi, dan 2) argumen dengan justifikasi dan penyanggah. Tiga kelompok ini kemudian dikuantifikasi menjadi lima level argumentasi, yang merupakan sebuah kerangka kerja analitik untuk menilai kualitas argumentasi. Kerangka kerja analitik untuk menilai kualitas argumentasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kerangka analitik digunakan untuk menilai kualitas argumentasi pada diskusi isu sosiosaintifik kelas Level Keterangan Argumen meunjukkan keluasan argumen dengan lebih dari satu sanggahan 5 4 3 2 1
Argumentasi menunjukkan beberapa argumen dengan klaim atau klaim-klaim dan klaim balasan dengan sanggahan yang jelas Argumentasi mengandung beberapa argumen dengan serangkaian klaim atau klaim balasan dengan data, penjamin atau pendukung dengan terkadang sanggahan yang kurang bagus Argumentasi mengandung beberapa argumen yang mengandung klaim dengan data, penjamin, atau pendukung, tapi tidak ada sanggahan Argumentasi mengandung beberapa argumen yaitu klaim sederhana lawan sebuah klaim balasan atau klaim lawan klaim
Sumber Osborne (2005: 371) dan Erduran et al., (2005:390).
Kerangka analitik kualitas argumen yang dikembangkan Osborne, Erduran, & Simon (2005) sangat cocok digunakan untuk menganalisis dialog yang digunakan siswa pada sebuah diskusi isu sosiosaintifik dalam bentuk berpasangan atau kelompok kecil, penyanggah merupakan komponen penting pada kerangka ini (Dawson & Venville, 2009). Bagi diskusi yang kurang memberi kesempatan untuk memunculkan penyanggah, Dawson & Venville (2009) memodifikasi kerangka Osborne, Erduran, & Simon menjadi kerangka baru (lihat Tabel 2).
Level 4 3 2 1
Tabel 2. Kerangka analitis kualitas argumentasi Keterangan Klaim, data, penjamin, pendukung, dan kualifer Klaim, data, penjamin, pendukung (asumsi yang mendukung penjamin) atau kualifer (kondisi tentang ketepatan klaim) Klaim, data (bukti yang mendukung klaim), dan/atau penjamin (penghubung antara data dan klaim) Klaim (pernyataan, kesimpulan, proposisi saja)
Sumber: Dowson & Venville (2009: 1432-1433) memodifikasi dari Osborne & Erduran, et al. (2005: 371, 390)
72
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK MELALUI JEJARING SOSIAL “FACEBOOK” Media sosial memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia, dilihat dari dua sisi yaitu jumlah pengguna dan sifat media sosial. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia cukup besar terutama terutama facebook. Sejak didirikan pada tahun 2004 sampai tahun 2012, situs socialbakers mencatat pengguna facebook aktif di seluruh dunia berjumlah 900 juta orang, dan pengguna facebook di Indonesia mencapai hampir 44 juta. Pada 1 Febuari 2013 jumlah pengguna facebook di Indonesia meningkat menjadi 48.777.600. Menurut Wahyudi (2011) ada 55 juta pengguna internet di Indonesia, berdasarkan data ini maka hampir 80% pengguna internet di Indonesia adalah pengguna facebook. Facebook merupakan situs jejaring sosial yang memungkinkan seseorang berhubungan dengan orang lain secara bertatapan muka (face to face) secara online tertulis ataupun interaksi secara multilog pada sebuah komunitas (group facebook). Seperti media sosial lainnya, faceebook pun memiliki sifat berhubungan, berbagi, dan berkolaborasi (connecting, sharing, and collaborating). Sifat media sosial seperti ini memberikan beberapa keuntungan antara lain menambah kuantitas komunikasi antara pengajar dan pembelajar, membuka peluang berdiskusi dan berkolaborasi dalam penyelesaian tugas, dan meningkatkan partisipasi serta keterlibatan pembelajar dalam berbagai program aksi di sekolah. Sifat dan kepopuleran facebook berpotensi digunakan sebagai media diskusi isu sosiosaintifik. Ragupathi (2011) mengemukakan facebook bersifat kontruksi sosial yaitu peserta didik mengirim dan bebagi pandangannya dan peserta lain memberi komentar. Saikaew (2011) menyatakan facebook bersifat memberi kenyamanan dan kemudahan dalam berinteraksi sosial dalam berdiskusi. Popularitas facebook di kalangan peserta didik, membuat kiriman guru cepat ditanggapi oleh peserta didik. Perbandingan antara blog dan facebook terlihat dari Tabel 3. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12.
Tabel 3. Perbandingan Blog dan Facebook Fasilitas Weblog Pembuatan akun gratis V Pembuatan dan pengeloaan mudah (tidak V menggunakan bahasa program/webmaster) Pengiriman tulisan V Pemberian komentar V Pemberitahuan setiap tulisan/komentar V Pemberitahuan terintegrasi secara “mobile” melalui X telepon gengam Tulisan dan komentar yang dikirimkan bersifat terbuka V bagi public Tulisan dan komentar yang dikirimkan dapat dibuat X tertutup hanya untuk jaringan teman Grup diskusi dan partisipan dapat dipilih (dapat X bersifat tertutup atau terbuka pada publik) Penanda (tag in) yang dapat terkoneksi secara mobile X dan muncul dalam pemberitahuan, untuk memanggil pengguna lain, sehingga aktif berdiskusi. Satu tulisan dapat menampung lebih dari 100 X komentar tanpa “low loading” Selain diskusi ON I OFF juga dapat dilakukan diskusi X online
Facebook V V V V V V V V V V
V V
Keterangan: V = ada, X = tidak ada
Dibandingkan dengan weblog, facebook memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah. a. Daya tampung komentar dan kecepatan akses. Daya tampung komentar pada grup jejaraing facebook dapat mencapai ratusan dalam satu halaman/satu kiriman status, tanpa mengalami kelambatan muat (low
73
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
b. c.
d. e.
loading). Jumlah komentar lebih dari seribu pada grup jejaring facebook pun tidak mengalami kelambatan muat (low loading). Sistem unggah komentar. Pada grup facebook, setiap komentar akan terunggah dengan baik, walaupun ada beberapa komentar yang masuk bersamaan. Fasilitas mengaktifkan partisipan dalam diskusi. Partisipan yang mempunyai nilai rendah, cenderung rendah tingkat partisipasinya. Moderator dapat memanggil partisipan yang belum memberi komentar/tanggapan untuk berpartisipasi dalam diskusi, melalui fasilitas “menandai/tag in/@” yang tersedia dalam facebook. Penandaan oleh moderator pada partisipan, akan muncul pada pemberitahuan/notifikasi facebook partisipan, hal ini akan mendorong partisipan untuk berpartisipasi. Kemudahan akses. Facebook dapat diakses dengan mudah melalui telepon genggam, sehingga partisipasi dapat dilakukan secara mobile. Pemberian rasa nyaman. Grup pada facebook dapat dibuat terbuka atau tertutup. Jika dibuat tertutup, maka hanya anggota grup yang dapat mengakses dan melihat perbincangan yang terjadi, sehingga privasi dan kenyamaan partisipan terlindungi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan facebook sebagai media diskusi isu sosiosaintifik adalah sebagai berikut. 1. Sesi diskusi untuk menghantarkan pada literasi sains Empat sesi diskusi dilakukan untuk menghantarkan pada literasi sains partisipan. Empat sesi pada diskusi isu sosiosaintifik bersifat kontekstual, konstruksional, dan problem solving. Sesi I (polemik) berdiskusi isu kontekstual dan kontroversial yang terjadi di masyarakat. Pada sesi I, isu sains bersifat sosial yang menimbulkan kontroversi, karena perbedaan sudut pandang. Argumentasi pro dan kontra akan didukung data, fakta, dan alasan logis serta rasional, penilaian bukan salah dan benar, tetapi kuat dan tidak argumentasi yang dikemukakan. Tujuan dari sesi I adalah mengeksplorasi kemampuan argumentasi partisipan. Sesi II (eksplorasi) mengkonstruksi pengetahuan sains secara kolaboratif. Sesi dua lebih membahas tentang hakikat dan penjabaran sainstifik tentang pokok persoalan yang dipermasalahkan (menjadi isu). Sesi ini bertujuan untuk mengembalikan isu sosial kepada isu sains, sehingga partisipan memperoleh literasi sains tentang topik yang sedang didiskusikan. Literasi sains yang sudah diperoleh pada sesi kedua, menjadi sebuah patokan untuk menyikapi isu yang terjadi di masyarakat secara benar. Sesi (III) merumuskan solusi dan berperan aktif memberi pemahaman pada masyarakat terhadap permasalahan kontroversial yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang calon guru sains yang memiliki literasi sains, solusi terhadap isu sosiosaintifik harus kembali diletakkan secara sainstifik, sehingga masyarakat dapat memperoleh solusi praktis dan ilmiah (saintifik). Sesi IV (kesimpulan) menegaskan kembali posisi terhadap isu yang berkembang. Partisipan pun mengkontruksi argumen yang lebih kaya daripada argumen sebelum diskusi dilaksanakan. Hal yang patut diperhatikan pada setiap sesi diskusi adalah waktu jeda. Waktu jeda setiap sesi diskusi diperlukan partisipan untuk mencari dan membaca literatur yang relevan dengan topik diskusi. Kejelasan alokasi waktu jeda setiap sesi diskusi sangat diperlukan untuk memberi kesempatan pada partisipan memahami dan mencerna isi diskusi. 2. Aturan diskusi Aturan diskusi merupakan bagaian penting dalam diskusi isu sosiosaintifik, karena tujuan diskusi adalah meningkatkan mengembangkan kualitas argumentasi secara individual maupun sosial. Secara individual, kualitas argumentasi akan terasah dengan seringnya memberi argumen pada saat diskusi berlangsung. Aturan diskusi isu sosiosaintifik yang ditampilkan pada media facebook adalah sebagai berikut. Aturan diskusi: a. Diskusi ini akan dimoderatori oleh saya Yanti Herlanti Full. b. Sesi 1: Polemik E. sakazakii akan berlangsung 1 hari saja, yaitu 20 November Pukul 19.00 WIB 21.00 WIB, secara online, so tune on and stay on selama 2 jam. c. Pukul 19.00-19.05, ditunggu untuk posting pertama: satu orang mengemukan pendapat pro, dan satu orang mengemukakan pendapat kontra.
74
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
d. Posting kedua dan selanjutnya, dimulai pukul 19.05, posting dapat berupa menambahkan atau memperkuat argumen posting sebelumnya, dengan cara merujuk pendapat sebelumnya, caranya dengan memberi "tag (ketik @ lalu nama orang yang dirujuk pendapatnya)" berikan juga hastag (#) sebagai identifikasi anda berada dikubu mana, misalnya #KubuKontraIPB artinya berpendapat bahwa IPB harus mengumumkan susu formula E. sakazakii, atau #KubuProIPB artinya berpendapat bahwa IPB tidak perlu mengumumkan susu formula E. sakazakii. e. Ingat tanda/simbol yang moderator berikan: ..... = diskusi lanjutkan ,,,,,, = diskusi stop untuk jeda sementara waktu XXX = diskusi diakhiri untuk dilanjutkan pada dinding baru/sesi berikutnya, partisipan tidak berkomentar lagi di dinding yang telah diberikan f. Untuk setiap posting, perolehan point akan mengikuti penilaian seperti terlampir (atau termuat di bagian D. Evaluasi BlogQuest 1.02 pada weblog) g. Pada saat memandu diskusi, moderator akan menggunakan HURUF KAPITAL, partisipan dilarang menggunakan huruf kapital. SILAHKAN BERI JEMPOL ANDA, JIKA ANDA SUDAH MEMBACA DAN MEMAHAMI ATURAN DISKUSINYA! Penggunaan simbol dan huruf kapital oleh moderator dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem facebook. Beberapa kelemahan pada sistem facebook adalah sebagai berikut. a. Komentar moderator terlihat jelas pada pengiriman status (standpoint), tetapi sukar terlihat bedanya pada proses diskusi. Oleh sebab itu pada proses diskusi moderator mengarahkan diskusi melalui kolom komentar dengan penggunaan huruf kapital untuk moderator. b. Komentar yang dikirmkan cepat mengalami penggulungan (scrolling). Hal ini karena layar komputer memuat jumlah komentar sesuai luas pandangan partisipan yaitu sebanyak 10 komentar atau setara dengan 215 kata atau 1.391 karakter atau 10 kali twit (1 kali twit pada twitter = 140 karakter). Ketika moderator memberikan arahan diskusi pada kolom komentar pada pukul 19.40, maka pada pukul 19.41 baru ada komentar yang menanggapi moderator, tetapi dominanya masih membahas permasalahan sebelumnya. Dalam satu menit, komentar yang masuk mencapai 571 kata atau setara 4.619 karakter (setara 32 twit, luas pandang layar hanya 10 twit). Facebook tidak memiliki fasilitas memunculkan komentar penting dari moderator secara permanen, sehingga huruf kapital dan pengulangan arahan sangat diperlukan dan untuk hal-hal yang berkaitan dengan jeda dan berhenti diskusi digunakan tanda tersendiri agar lebih jelas terlihat partisipan. c. Sistem penggulungan yang cepat dan tidak adanya fasilitas mendeteksi duplikasi komentar memyebabkan partisipan sering sekali mengulang-ulang tautan yang dirujuk dan mengulang-ulang pendapat sebelumnya. Penggunaan sistem minus point belum mampu mengendalikan komentar multi ganda, karena berdasarkan 32 kuisioner yang diisi oleh partisipan menunjukkan 38% menyatakan membaca penilaian, tetapi tidak memperhatikan lagi ketika diskusi isu sosiosaintifik dilaksanakan 3. Menyediakan rubrik penilaian dengan sistem minus point Facebook adalah media diskusi informal, hal ini menyebabkan partisipan sering memberi komentar diluar konteks dari diskusi isu sosiosaintifik. Untuk mengatasi hal ini dan untuk menjaga kualitas argumen partisipan maka digunakanlah sistem penilaian minus. Penelitian menunjukkan sistem minus point (sistem penilaian minus) berhasil dalam mengendalikan komentar partisipan. Penelitian Cowan (2002) tentang penggunaan sistem nilai minus (plus/minus marking) menghasilkan hasil yang sama. Penskoran dengan sistem minus menjadi assesmen diri bagi mahasiswa (self assesment) dan menjadi pendorong untuk memperoleh kinerja yang lebih baik. Rubrik sistem minus point dapat dilihat pada Tabel 4.
75
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 4. Rubrik penilaian untuk komentar yang diberikan pada diskusi isu sosiosaintifik pada jejaring sosial dengan sistem minus point Skor -2 -1.5 -1 -0.5 0
Penjelasan Memberi komentar yang tidak berkaitan dengan topik diskusi Memberi komentar berupa klaim, data dan penjamin yang serupa dengan pada komentar sebelumnya (plagiasi) Memberi komentar berupa klaim, data dan penjamin yang senada dengan pada komentar sebelumnya (tidak mengandung kebaruan data, klaim, dan penjamin, walaupun dikemas dalam bahasa berbeda) Memberi data/penjamin/pendukung/pengecualian/klaim yang memiliki kesamaan dengan komentar sebelumnya Memberi persetujuan/ketidaksetujuan tanpa menyebutkan Klaim yang disetujui/tidak disetujui
Memberi komentar berupa klaim saja, dan tidak mengkaitkan dengan pendapat sebelumnya. NEW KLAIM Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau 2 membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru. COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW KLAIM Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau 3 membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru yang dilengkapi dengan bukti (Data/Evidence) COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW KLAIM+D Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau 4 membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru yang dilengkapi dengan bukti (Data*/Evidence) dan alasan (jaminan/reasoning) COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM + DW Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru tegas/kuat memperlihatkan kualitas/pengecualian 5 yang dilengkapi dengan bukti (Data*/Evidence) dan alasan (jaminan/reasoning) disertai penyataan yang mendukung terhadap penjamin COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW KLAIM + DWBRQ Keterangan: *) data merupakan data/fakta baru yang dikemukan bukan berasal dari bagian Pendahuluan pada quest 1
4. Peran moderator Pada pelaksanaan diskusi, setiap sesi moderator memberikan standpoint, menilai kualitas argumen, memanggil partisipan (mention) yang belum aktif, dan memfokuskan permasalahan. Contoh tindakan moderator dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tindakan Moderator pada Diskusi Isu Sosiosaintifik Tindakan moderator Memberikan standpoint
Menilai kualitas argument
Memanggil partisipan
Memfokuskan permasalahan
Contoh "Perlukah IPB mengumumkan nama merk Susu Formula dan Makanan Bayi yang terkontaminasi E. sakazakii didasarkan pada hasil penelitian Sri Estuningsih 2006? “ Record point anda, 14.12-15.10= Cuda Lupita4, Anisa Lina Anggraeni=1, Murti MSari=1, Lianda Shasyli=3,Nuri Shabania=6, Muhammad Fuad Fahrudin=1, Endah Lestari=2,Reny Pujiati Sakhi=5, Azkiah Rahmi=1, Alie Akbar=1, @rosihananwar= 2, arifa=1, Dini=1 menarik Endah Lestari, menyinggung gugatan Bapak David yang dimenangkan pengandilan, mungkin kubu kontra bisa menanggapi??? kita tunggu saja, bagaimana komentar dari Adjie Pratama, Ichi Ajjah Dech, Novia Btari Krishnamuty, Disa Fajriah Arifin, BebHilaliyah Hilda Ningsih, dan ani!! Kita beralih ke bakteri ataupun mikroba secara umum ya!!! Mana yang lebih banyak, bakteri yang merugikan atau bakteri yang bersahabat? siip, Sekarang. Closing statement, terhadap hasil ekplorasi ES!!!
PENUTUP Facebook dapat dijadikan sebagai media diskusi isu sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosaintifik melalui facebook memberikan peluang untuk meningkatkan keterampilan berargumentasi dengan syarat harus memperhatian hal-hal berikut yaitu penyelenggaraan sesi diskusi, penggunaan rubrik menilai keterampilan berargumentasi dengan sistem minus point, pengaturan aturan-aturan diskusi, dan peranan moderator dalam memfasilitasi diskusi isu sosiosaintifik.
76
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Aleixandre MPJ, Rodri´Guez AB, Duschl RA. 2000. “Doing the Lesson” or “Doing Science”: Argument in High School Genetics. Science Education, 84(6):757-792 . Bosman L, Zagenczyk T. 2011. Revitalize Your Teaching: Creative Approaches to Applying Social Media in the Classroom. White, B., King, I., & Tsang, P. (Eds). Social Media Tools and Platforms in Learning Environtment. London: Springer. Brusell E, Cimino C. 2009. Investigating the Impact of Weekly Weblog Assignments on the Learning Environment of a Secondary Biology Course. Technology & Social Media (Special Issue, Part 1), 15(2). Chang SN, Chiu MH. 2008. Lactos’s Scientific Research: Programmes as a Framework for Analysing Informal Argumentation about Sosio-scientific Issues. International Journal of Science Education, 30 (17):1753-1773. Cowan J. 2002. Plus/Minus Marking: a method of assessment worth considering. The Higher Education Academy. Tersedia secara online di: http://jisctechdis.ac.uk [Akses 6 Febuari 2014] Cross D, Taasoobshirazi G, Hendricks S, Hickey, DT. 2008. Argumentation: a Strategy for improving achievement and revealing scientific identities. International Journal of Science Education, 30(6), 837-861. Dawson V, Venville GJ. 2009. High School Student’s Informal Reasoning and Argumentation about Biotechnology: An Indicator of Science Literacy?. International Journal of Science Education, 31(11): 1412-1445. DeBoer GE. 1991. A history of Ideas in Science Education. New York: Teacher College Press. Erduran S, Ardac D. Guzel BY. 2006. Learning to Teach Argumentation: Case Studies Secondary Science Teachers. Eurasia Journal of Matematics Science and Teachnology Eduacation. 2(2):1-12 Freeley AJ, Steinberg DL. 2009. Argumentation and Debate. Miami: Wadsworth Cengage Learning. Girle RA. 1991. Dialogue and the Teaching of Reasoning. Educational Philosophy and Theory, 23 (1):45– 55. Hakyolu H, Bekiroglu FO. 2011. Assessment of Students’ Science Knowledge Levels and Their Involvement with Argumentation. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education (IJCDSE), 2(1): 264-270. Harris R. Ratcliffe M. 2005. Socio-scientific Issues of Exploratory Talk-What Can be Learned from School Involved in a ‘Collapsed Day Project’?. The Curriculum Journal. 16(4): 439-453. Inch ES, Warnick B, Endres D. 2006. Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument. Boston: Pearson Education Inc. Khun D, Udell W. 2003. The Development of argumentation Skill. Child Development, 74(5): 1245-1260. Lee CK. 2008. A Proposed Instructional Model Using Socioscientific Issues to Illustrate the Nature of Science (NOS-SSI Instructional Model). Tersedia online di http://aracte.org. [Unduh 3 Maret 2011] Lewis SE. 2003. Issue-Based Teaching in Science Education. American Institute of Biological Sciences. Tersedia online di http://www.actionbioscience.org. [Unduh 3 Juni 2012] Marrero ME, Mensah FMM. 2010. Socioscientific Decision Making the Ocean: The Case Study of 7 th Grade Life Science Students. Electronic Journal of Science Education, 14(1). Mc Neill KL. 2009. Teachers’ Use of Curriculum to Support Students in Writing Scientific Arguments to Explain Phenomena. Journal of Science Education 93, 223-268. Tersedia online di http://interscience.wiley.com [Unduh 3 Juni 2012] Nuangchalern P. 2010. Engaging Students to Perceive Nature of Science Though Socioscientific Issue-Based Instruction. European Journal of Social Science. 13(1): 34-37.
77
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Osborne J, Eduran S, Simon J. 2005. “The role of argument in Developing Science Literacy”. K. Boesma, M. Goedhart, O. De Jong, & H. Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger. Osborne J. 2005. The Role of argument in Science Education. K. Boesma, M. Goedhart, O. De Jong, & H. Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger. Ragupathi W. 2011. Facebook for Teaching and Learning. Technology in Pedagogy, 1. Tersedia online di http://www.cdtl.nus.edu.sg. [Unduh 18 April 2013] Robert R, Gott R. 2009. A framework for Practical Work, Argumentation, and Scientific Literacy. G.Cakmaci, MF Tafsar [Eds]. a Collection of papers presented at ESERA 2009 Conference. Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science. pp. 99–105. Ankara: Pegem Akademi. Sadler TD. 2011. Socio-scientific Issues in The Clasroom: Teaching, Learning, & Research. Dordrecht: Springer. Sadler TD, Zeidler DL. 2004. The Morality of Sosioscientific Issues: Construal and resulution on genetic engineering dillemas. Journal of Science Education 88:4-27. Tersedia online di http://interscience.wiley.com. [Unduh 3 Juni 2012] Serrano MJH. 2011. Progressing the Social Dimension Toward the Collaborative Construction of Knowledge in 2.0 Learning Environments: A Pedagogical Approach. White, B., King, I., & Tsang, P. (Eds). Social Media Tools and Platforms in Learning Environtment. London: Springer. Toulmin SE. 2003. The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press. Wahyudi R. 2011. Naik 13 Juta, Pengguna Internet Indonesia 55 Juta Orang. http://tekno.kompas.com [Unduh 18 April 2013]
Tersedia online di
Yager RE. 1996. Science Technology Society as Reform in Science Education. New York: State University of New York Press. Tersedia online di http://books.google.co.id Zeidler DL, Sadler TD, Simmons ML, Howets SE. 2005. Beyond STS: A Research-Based Framework for Socioscientific Issues Education. Wiley Periodicals, Inc. Tersedia online di http://faculty.education.ufl.edu. [Unduh 12 April 2012]
78
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA ASPEK PROSES SAINS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF Evi Sapinatul Bahriah Dosen Prodi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]/
[email protected] Abstract This study aims to improve the scientific literacy of students in aspects of the process of science through interactive multimedia based learning on the theme of chemical equilibrium in living creatures and industry. The research method used is weak experimental with The OneGroup Pretest-Postest Design. Research instrument in the form of pieces of scientific literacy test in the form of multiple choice questions. The trial results demonstrate scientific literacy of students in every aspect of the process of science has increased with an average value of NGain (%) on the indicator "Identifying scientific issues" of 74.2 (high category), indicators of "Explaining phenomena scientifically" by 72, 5 (high category), and indicators of "Using scientific evidence" of 78.5 (high category). Keywords: Science Literacy, Aspects of Process Science, Interactive Multimedia Software, Chemical Equilibrium, Weak Experimental.
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah proses akademik yang tujuannya untuk meningkatkan nilai sosial, budaya, moral, serta mempersiapkan sumber daya manusia yang melek sains dan teknologi, yang mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata baik pada lingkup lokal maupun global. Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2006). Potensi ini akan terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi, melek sains, serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman (Mudzakir, 2005). Arti lebih lanjut adalah bahwa pendidikan sains harus mampu menghasilkan masyarakat yang literate terhadap sains (Hayat & Yusuf, 2010). Literate dalam sains ini dikenal dengan literasi sains. PISA (Programme for International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas individu dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami serta interaksi manusia dengan alam (OECD, 2009). Namun, berdasarkan hasil studi penilaian yang dilakukan oleh PISA (Programe for International Student Assessment) mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan kemampuan literasi sains. Hal ini terungkap berdasarkan hasil studi PISA pada tahun 2000 Indonesia berada pada peringkat ke-38 dari 41 negara peserta PISA dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2003 Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 41 negara peserta dengan nilai rerata tes 395; pada tahun 2006 juga menunjukkan tingkat literasi sains anak-anak Indonesia masih rendah, yakni: 29% untuk konten, 34% untuk proses, dan 32% untuk konteks dengan rerata tes 395; dan terakhir pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-57 dari 65 negara peserta dengan skor 383 (OECD, 2009).
79
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Literasi sains terhadap materi pelajaran kimia saat ini juga masih belum menggembirakan salah satu sebabnya adalah proses pembelajaran kimia yang terjadi di Indonesia masih menitikberatkan pada aspek menghafal konsep, teori, dan hukum tanpa diikuti pemahaman yang bisa digunakan siswa dalam kehidupan nyata mereka. Keadaan ini diperparah dengan pembelajaran yang berorientasi pada tes akhir. Akibatnya ilmu kimia sebagai proses, sikap, dan aplikasi belum tersentuh seutuhnya dalam pembelajaran. Implikasi dari kenyataan tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di sekolah dihadapkan pada tantangan bagaimana pembelajaran kimia dirancang dan diimplementasikan agar aktif, inspiratif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Bagaimanapun pemilihan dan penggunaan metode dan media pembelajaran yang inovatif dan komunikatif dalam penyampaian materi merupakan komponen pembelajaran yang masih perlu diantisipasi oleh guru. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, sangat penting untuk dikembangkan suatu model pembelajaran alternatif yang menyenangkan dan interaktif, yang dapat meningkatkan literasi sains tetapi tidak mengurangi esensi materi pelajaran yang dituntut dalam kurikulum nasional. Salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam mengatasi masalah ini adalah dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam bentuk multimedia interaktif. Beberapa pakar multimedia interaktif (Muhammad, 2002; Setiawan, 2007) mengemukakan bahwa pembelajaran multimedia interaktif dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar. Bentuk-bentuk media yang ditampilkan harus mencerminkan pengalaman belajar. Peningkatan kualitas pengalaman belajar lebih berarti bagi siswa, sehingga diharapkan berdampak pula pada hasil belajarnya. Penelitian yang mengkaji bagaimana pengaruh penggunaan komputer sebagai multimedia terus berkembang. Hasil penelitian Polla (2000), mengungkapkan bahwa pembelajaran berbantuan komputer mampu menciptakan suatu proses belajar mengajar yang interaktif, sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi siswa dan guru dalam mencapai tujuan pendidikan. Wiratama (2010) mengungkapkan bahwa pemanfaatan laboratorium virtual interaktif pada pembelajaran kesetimbangan kimia dapat meningkatkan kemampuan generik sains dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA. Bahriah, E.S (2012) juga mengungkapkan bahwa penggunaan multimedia interaktif dapat meningkatkan literasi sains siswa baik pada aspek konten, proses, konteks, dan sikap sains siswa. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pembelajaran dengan multimedia interaktif dapat diterapkan pada berbagai level pembelajaran dan memberikan dampak positif terhadap hasil belajar. Hal ini sejalan dengan hasil studi PISA yang mengungkapkan bahwa penggunaan komputer sebagai produk teknologi informasi dan komunikasi berhubungan erat dengan pencapaian akademik yang tinggi (Horrison, et al. dalam OECD, 2009). Oleh karena itu, dipandang perlu adanya penelitian lebih lanjut. Materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kesetimbangan kimia. Hal ini dikarenakan materi kesetimbangan kimia berkaitan dengan kompetensi proses yaitu pengetahuan tidak hanya mengandalkan daya ingat siswa dan berkaitan hanya dengan informasi tertentu dan merupakan salah satu materi kimia yang bersifat abstrak tetapi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena aplikasinya luas. Oleh karena itu, dalam memahami konsep tersebut, siswa dituntut untuk memiliki pemahaman abstraksi yang baik. Untuk membantu mengembangkan konsep abstraksi tersebut guru harus pandai memilih media. Berdasarkan paparan tersebut, masih jarang peneliti yang mengembangkan pembelajaran multimedia interaktif kesetimbangan kimia untuk meningkatkan literasi sains pada aspek proses sains. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengembangkan lebih lanjut tentang bagaimana meningkatkan literasi sains siswa pada aspek proses sains melalui pembelajaran berbasis multimedia interaktif. KAJIAN TEORI Literasi Sains Paul de Hart Hurt dari Stamford University menyatakan bahwa Scientific Literacy berarti memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi sains menurut National Science Education Standards adalah suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan
80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya, dan pertumbuhan ekonomi. PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. PISA juga memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan warga negara masa depan, yakni warga negara yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan peserta didik memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan limitasi sains. Peserta didik perlu memahami bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains. Karakteristik utama sains mencakup: pengumpulan data dipandu oleh gagasan dan konsep, sifat tentatif dari pengetahuan sains, keterbukaan terhadap pengujian dan pengkajian, menggunakan argumen logis, serta kewajiban untuk melaporkan metode dan prosedur yang digunakan dalam pengumpulan bukti. Oleh karena itu, PISA menjadikan proses sains ini sebagai salah satu domain penilaiannya. Namun dalam perkembangan terakhir, PISA memilih istilah “Kompetensi Sains” sebagai pengganti proses sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak di jawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang tersedia. PISA juga menetapkan tiga aspek dari komponen proses dalam penilaian literasi sains, yakni: (1) Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah; yaitu pertanyaan ilmiah meminta jawaban berlandaskan bukti ilmiah. Termasuk di dalamnya mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang diberikan, mengidentifikasi kata-kata kunci untuk mencari informasi ilmiah tentang suatu topik yang diberikan. (2) Menjelaskan fenomena secara ilmiah; dimana peserta didik mendemonstrasikan kemampuan proses sains ini dengan mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan. Kompetensi ini mencakup mendeskripsikan atau menafsirkan fenomena, memprediksi perubahan. Kompetensi ini melibatkan pengenalan dan identifikasi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang sesuai. (3) Menggunakan bukti ilmiah; Kompetensi yang menuntut peserta didik memaknai temuan ilmiah sebagai bukti untuk suatu kesimpulan. Multimedia Pembelajaran Interaktif Secara etimologis multimedia berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata yaitu multi yang berarti banyak atau bermacam-macam dan medium yang diartikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju ke penerima (Heinich et al., 1996). Konsep multimedia didefinisikan oleh Haffost (Munir, 2008) sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware dan software yang memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik, animasi, suara, teks, dan data yang dikendalikan oleh komputer. Sejalan dengan hal tersebut, Thomson (1994) mendefinisikan multimedia sebagai suatu sistem yang menggabungkan gambar, video, animasi, suara secara interaktif. Arsyad (2011) juga mengemukakan bahwa multimedia dapat diartikan sebagai lebih dari satu media. Ini bisa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, atau video, yang mana perpaduan dan kombinasi dua atau lebih jenis media ditekankan pada satu kendali komputer sebagai penggerak keseluruhan gabungan media itu. Multimedia juga merupakan media pengajaran dan pembelajaran yang efektif dan efisien berdasarkan kemampuannya menyentuh berbagai panca indera seperti penglihatan, pendengaran, dan sentuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Schade dalam Munir (2008):“Multimedia improves sensory stimulation, particulary due to the inclusion of interactivity”. Penggunaan media pembelajaran dapat mendukung keberhasilan pembelajaran karena menurut Munir (2008) media pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan sebagi berikut: (1) Dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap materi pembelajaran yang sedang dibahas, karena dapat menjelaskan konsep yang
81
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
sulit atau rumit menjadi mudah atau lebih sederhana. (2) Dapat menjelaskan materi pembelajaran atau objek yang abstrak menjadi konkrit. (3) Membantu pengajar menyajikan materi pembelajaran menjadi lebih mudah dan cepat, sehingga materi pun mudah dipahami, lama diingat, dan mudah diungkapkan lagi. (4) Menarik dan membangkitkan perhatian, minat, motivasi, aktivitas, dan kreativitas belajar peserta didik, serta dapat menghibur peserta didik. (5) Memancing partisifasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan memberikan kesan yang mendalam dalam peserta didik. (6) Materi pelajaran yang sudah dipelajari dapat diulang kembali (playback). (7) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. (8) Membentuk sikap peserta didik dan meningkatkan keterampilan. (9) Peserta didik dapat belajar sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan, minat, dan bakatnya, baik belajar secara individual, kelompok, atau klasikal. (10) Menghemat waktu, tenaga, dan biaya. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah weak experimental dengan desain The One-Group PretestPostest Design (Fraenkel, et al., 2006). Desain The One-Group Pretest-Postest Design adalah desain penelitian yang hanya menggunakan satu kelas, dimana sebelum dan setelah perlakuan diberikan tes. Berikut adalah gambaran desain penelitian yang digunakan.
O1
X
O2
Gambar 1. Weak Experimental dengan Desain The One-Group Pretest-Postes Design Dimana: O1 = Pretes; O2 = Postes; X = Pembelajaran dengan multimedia interaktif Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA-Reguler Tahun Pelajaran 2011/2012 di SMA X Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 31 siswa yang terdiri dari 17 orang siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan dan dipilih dengan cara purposive sampling. Adapun instrumen yang digunakan adalah tes pilihan ganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan selama 4 kali pertemuan (6x40‘). Pada pertemuan pertama dilakukan pretes dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan literasi awal siswa. Pertemuan kedua dan ketiga dilakukan implementasi pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif kesetimbangan kimia. Setelah proses perlakuan selesai, kegiatan diakhiri dengan pemberian postes, yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa pada aspek proses sains. Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data skor pretes, postes, dan N-Gain (%) tentang kemampuan literasi sains siswa. Berikut adalah Tabel 1 yang menggambarkan hasil belajar siswa pada aspek proses sains sebelum dan setelah implementasi pembelajaran dengan menggunakan software multimedia interaktif. Tabel 1. Hasil Belajar Siswa pada Aspek Proses Sains Rata-rata (%) Indikator N-Gain No. Soal Proses Sains (%) Pretes Postes Mengidentifikasi isu ilmiah 18, 22 17,7 82,3 74,2 Menjelaskan fenomena ilmiah 1, 2, 52,3 89,7 72,5 3,4,5,6,7,8,9,10,12,1 3,14,15,17,19,21,23, 24,25 Menggunakan bukti ilmiah 11, 16, 20 21,5 84,9 78,5 Rata-rata 30,5 85,6 75,1 Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain (%) sebesar 75,1
82
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
(kategori tinggi) yang menunjukkan adanya peningkatan rata-rata tes dari 30,5 menjadi 85,6. Peningkatan hasil belajar pada aspek proses sains dapat dilihat juga pada Gambar 2 di bawah ini.
100,0
Rata-rata
80,0
82,3 74,2
85,0 78,5
72,5 52,3
60,0 40,0
89,7
PRETES 21,5
17,7
POSTES N-Gain (%)
20,0 0,0 P-1
P-2
P-3
Aspek Proses Sains Gambar 2. Grafik peningkatan hasil belajar siswa pada aspek proses sains dengan P-1= Mengidentifikasi isu ilmiah; P-2= Menjelaskan fenomena ilmiah; dan P-3= Menggunakan bukti ilmiah Berdasarkan data pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain (%) dari masing-masing indikator. Nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Mengidentifikasi isu ilmiah” yaitu sebesar 74,2 (kategori tinggi), nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah” yaitu sebesar 72,5 (kategori tinggi), dan nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Menggunakan bukti ilmiah” yaitu sebesar 78,5 (kategori tinggi). Setiap indikator pada aspek proses sains mengalami peningkatan pada kategori tinggi. Hal ini dikarenakan dalam penyampaian konsep kesetimbangan banyak ditampilkan simulasi, gambar, animasi, dan video yang memuat konteks-konteks yang dekat dengan siswa dan merangsang keingintahuan mereka untuk memperdalam lebih jauh konsep ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Levie dan Lentz (1982) yang mengemukakan bahwa media visual berfungsi untuk atensi, afektif, kognitif, dan kompansatoris. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa literasi sains siswa pada setiap aspek proses sains mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata N-Gain (%) pada indikator “Mengidentifikasi isu ilmiah” sebesar 74,2 (kategori tinggi), indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah” sebesar 72,5 (kategori tinggi), dan indikator “Menggunakan bukti ilmiah” sebesar 78,5 (kategori tinggi). SARAN Adapun saran-saran demi perbaikan antara lain: software multimedia yang dihasilkan belum dapat memberikan konstribusi yang maksimal untuk mamantapkan konsep-konsep yang bersifat hitungan sehingga diperlukan penguatan dengan penambahan jam pelajaran. Software multimedia interaktif ini juga masih perlu perbaikan terutama pada simulasi percobaan serta konsep-konsep yang bersifat mikroskopik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad A. 2004. Media pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bahriah ES. 2012. Pengembangan Multimedia Interaktif Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Fraenkel J, Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San Francisco: The McGraw-Hill Companies. Holbrook J. 1998. “A Resource Book for Teachers of Science Subjects”. UNESCO.
83
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Hayat B, Yusuf S. 2010. Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Heinich R, et al. 1996. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Pretince Hall. Inc. Meltzer DE. 2002. “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Grains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostice Pretest Scores”. American Journal Physics. 70, (12), 1259-1286. Matlin MW. 1994. Cognition. Fort Worth: Harcourt Brace Publishers. Mudzakir A. 2005. Chemie im Kontext (Konsepsi Inovatif Pembelajaran Kimia di Jerman). Seminar Nasional Pendidikan Kimia. Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta. OECD-PISA. 2006. Science Competencies for Tomorrow’s World. Volume 1: Analysis. USA. OECD-PISA. OECD. 2009. PISA 2009 Assesment Framework: Key Competences in Reading, Mathematics, and Science. PISA. 2000. The PISA 2000 Assesment of Reading, Mathematical and Scientific Literacy. [Online]. Tersedia: http://www.pisa.oecd.org/dataoecd/44/63/33692793.pdf. [26 Februari 2011]. Polla Gerardus. 2000. Buletin Pelangi Indonesia. Jakarta: UNJ. Retmana LR. 2010. Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Setiawan A. 2007. Dasar-dasar Multimedia Interaktif (MMI). Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Thiagarajan S, et al. 1974. Intructional Development for Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Jakarta: Depdiknas. Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San Francisco: The McGraw-Hill Companies. Wiratama BS. 2010. Pemanfaatan Laboratorium Virtual Interaktif Pada Pembelajaran Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Kemampuan Generik Sains dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
84
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
KAJIAN EVALUASI HASIL BELAJAR MELALUI PENERAPAN PENILAIAN BERBASIS KELAS PADA PROGRAM STUDI BERBASIS SAINS DI LINGKUNGAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Ai Nurlaela Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Erina Hertanti Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini mengkaji keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek UIN Syarif Hidayatullah jakarta, semester 1 pada praktikum Fisika Dasar bab Pengenalan Alat Ukur. Keterampilan proses sains yang dinilai adalah keterampilan merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, berkomunikasi, klasifikasi, dan interpretasi. Dari penelitian ini diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK sebesar 87% dan mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86%. Kedua nilai persentase tersebut setelah dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata sebesar α 0,025 menghasilkan nilai z hitung sebesar 0,272978. Nilai z hitung ini lebih rendah dari z α 1,96 sehingga kesimpulannya terima H0, yaitu tidak terdapat perbedaan antara nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dengan mahasiswa Fisika Saintek. Apabila ditinjau dari setiap indikator keterampilan proses sains, mahasiswa pendidikan Fisika FITK memiliki nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi dengan nilai 100%, berkomunikasi 95%, klasifikasi 89%, menggunakan alat/bahan 81,67%, merencanakan percobaan 79%, dan menerapkan konsep 67%. Sementara pada mahasiswa Fisika Saintek diperoleh rata-rata persentase ketercapaian indikator berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah keterampilan mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai 100%, klasifikasi 89%, menggunakan alat/bahan 87,33%, menerapkan konsep 77%, dan merencanakan percobaan 50%. Dari semua keterampilan proses sains hanya keterampilan merencanakan percobaan yang menunjukkan perbedaan yang nyata antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dengan mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai persentase rata-ratanya berturut-turut adalah 79% dan 50%. Dalam hal ini, mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul dari mahasiswa Fisika Saintek. Kata Kunci: Keterampilan proses sains, hasil belajar, evaluasi
PENDAHULUAN Evaluasi dan penilaian memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Dalam praktek pembelajaran secara umum, pelaksanaan evaluasi menekankan pada evaluasi proses pembelajaran atau evaluasi manajerial, dan evaluasi hasil belajar atau evaluasi substansial. Kedua jenis evaluasi ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan dan hasil pembelajaran. Selanjutnya pada gilirannya dapat dipergunakan sebagai dasar memperbaiki kualitas proses pembelajaran menuju ke perbaikan kualitas hasil pembelajaran. Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan
85
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, pendidik, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta, serta keberadaan kurikukulum. Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, salah satu diantaranya adalah menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi. Dalam hal ini kompetensi diartikan sebagai (1) Seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (SK. Mendiknas No. 045/U/2002); (2) Kemampuan yang dapat dilakukan oleh peserta didik yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku; (3) Integrasi domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang direfleksikan dalam perilaku. Mengacu pengertian kompetensi tersebut, maka hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasikan dalam tiga ranah/domain, yaitu (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi penilaian pembelajaran sains selama ini cenderung lebih difokuskan pada penilaian domain kognitif dan kurang memperhatikan domain afektif dan psikomotor. Saat praktikum, pendidik kerapkali mengabaikan keterampilan dan sikap ilmiah peserta didik dalam melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya. Sesungguhnya menurut Roth, kegiatan praktikum dan eksperimen dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses peserta didik, karena dalam kegiatan praktikum peserta didik dituntut untuk merumuskan masalah, membuat hipotesis, merancang eksperimen, merakit alat, melakukan pengukuran secara cermat, menganalisis data, membuat kesimpulan tentang konsep yang dipelajari melalui berbagai fakta langsung sehingga konsep tersebut menjadi lebih nyata dan bermakna bagi peserta didik. Penilaian kegiatan praktikum biasanya lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui laporan hasil praktikum peserta didik. Hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logikamatematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5% terhadap kesuksesan kehidupan seseorang. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar, yaitu 80%. Kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5%. Oleh sebab itu, sudah seharusnya paradigma penilaian berubah dari sesuatu yang mudah dinilai menjadi sesuatu yang penting dinilai. Artinya, kompetensi inti yang harus dimiliki oleh pendidik adalah kompetensi menyelenggarakan penilaian dan evaluasi hasil belajar. Untuk menilai sejauhmana peserta didik telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, salah satunya dengan menerapkan penilaian berbasis kelas. Penilaian berbasis kelas merupakan salah satu pilar dalam kurikulum berbasis kompetensi. Penilaian berbasis kelas adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh pendidik untuk pemberian nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga didapatkan potret/profil kemampuan peserta sesuai dengan daftar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini akan diterapkan penilaian berbasis kelas, yaitu penilaian unjuk kerja. Penilaian unjuk kerja untuk mengungkap hasil belajar peserta didik dalam domain psikomotorik. Menurut Pusat Kurikulum Balitbang, penilaian unjuk kerja tepat digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu. Misalnya, tugas untuk melakukan percobaan, pengamatan, hipotesis, ataupun tugas keterampilan proses sains lainnya saat praktikum di laboratorium. Mengingat kegiatan evaluasi yang belum optimal dan kenyataan di lapangan pun menunjukkan adanya kesenjangan antara pembelajaran sains dengan teknik penilaiannya, maka penelitian ini dirasakan sangat penting sebagai upaya terobosan alternatif penilaian komprehensif. Realitas menunjukkan bahwa penilaian dengan cara konvensional belum mampu mengungkap hasil belajar peserta didik dari aspek unjuk kerja peserta didik secara aktual. Oleh sebab itu diperlukan penerapan penilaian yang dapat mengungkap aspek tersebut. Penilaian dengan cara ini dirasakan lebih adil dan fair bagi peserta didik, selain itu juga dapat meningkatkan motivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
86
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejasian yang terjadi pada saat sekarang. Sedangkan deskriptif analitik adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Pada penelitian ini obyek yang ditelitinya adalah keterampilan proses sains mahasiswa prodi Fisika fakultas Saintek dan mahasiswa Prodi pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian Persiapan Penelitian Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:1) Melakukan studi pustaka mengenai teori yang melandasi penelitian; 2) Melakukan survey ke fakultas yang akan dijadikan tempat penelitian; 3) Melakukan konsultasi dengan laboran di tempat dilaksanakannya penelitian; 4) Melakukan penentuan populasi dan sampel; dan 5) Melakukan pembuatan instrument. Pelaksanaan Penelitian Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: Pertama, Penilaian terhadap aspek psikomotor terhadap mahasiswa yang melakukan praktikum sains; Kedua, Analisis data terhadap aspek psikomotor mahasiswa dalam melakukan praktikum. Adapun teknik analisis datanya adalah dengan menggunakan uji selisih dua proporsi dengan rumus. Uji ini adalah mencari nilai z hitung melalui persamaan
z
p1 p 2
(1)
1 1 pˆ qˆ n1 n2 x x2 pˆ 1 n1 n2 qˆ 1 pˆ
(2) (3)
dengan taraf nyata α = 0,025. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek dan mahasiswa Pendidikan Fisika FITK semester 1. Keterampilan proses sains yang diukur pada penelitian ini meliputi enam keterampilan, yaitu merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, klasifikasi, berkomunikasi, dan interpretasi. Pada penelitian ini penilaian dilakukan dengan menggunakan lembar observasi dengan skala penilaian ya dan tidak. Penilaian dilakukan pada saat praktikum Fisika Dasar pada bab pengenalan alat ukur. Observasi dilakukan terhadap enam kelompok mahasiswa, setiap kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang mahasiswa. Observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan masing-masing observer mengobservasi tiga kelompok praktikan. Adapun penilaiannya adalah dengan melihat indikator pada masingmasing keterampilan proses sains. Selanjutnya dari lembar observasi masing-masing kelompok dihitung persentase ketercapaian setiap indikator pada masing-masing keterampilan proses sains. Berikut adalah tabel persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek pada praktikum pengenalan alat ukur. Tabel 1. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK Persentase ketercapaian indikator (%) Keterampilan Proses Sains Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata Merencanakan percobaan 75 100 75 75 75 75 79 Mengajukan pertanyaan 100 100 100 100 100 100 100 menggunakan alat/bahan 83 83 75 83 83 83 81.67 Menerapkan konsep 60 60 80 60 60 80 67 Klasifikasi 100 67 100 67 100 100 89 Berkomunikasi 100 100 67 100 100 100 95 Interpretasi 100 100 100 100 100 100 100 Rata-rata 88 87 85 84 88 91 87
87
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK sebesar 87%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada di urutan kedua adalah keterampilan berkomunikasi dengan nilai 95%. Diikuti oleh keterampilan klasifikasi yang berada di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 89%. Selanjutnya keterampilan menggunakan alat dan bahan dengan nilai rata-rata persentase 81,67% menempati urutan ke empat. Ketiga nilai rata-rata tersebut apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat baik. Selanjutnya keterampilan merencanakan percobaan menempati urutan ke lima dengan nilai rata-rata persentasenya 79%. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan keterampilan proses dengan nilai rata-rata terendah pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK adalah keterampilan menerapkan kosep dengan nilai rata-rata persentasenya sebesar 67%. Nilai rata-rata persentase ini berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti cukup. Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tabel 2, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, berkomunikasi dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100%. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada di urutan kedua adalah keterampilan klasifikasi dengan nilai rata-rata 89%. Diikuti oleh keterampilan menggunakan alat/bahan yang berada di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 87,33%. Tabel 2. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Fisika Saintek Persentase ketercapaian indikator (%) Keterampilan Proses Sains Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata Merencanakan percobaan
50
50
50
50
50
50
50
Mengajukan pertanyaan
100
100
100
100
100
100
100
menggunakan alat/bahan
83
83
100
100
75
83
87.33
Menerapkan konsep
80
80
80
80
80
60
77
Klasifikasi
100
100
100
100
67
67
89
Berkomunikasi
100
100
100
100
100
100
100
Interpretasi
100
100
100
100
100
100
100
88
88
90
90
82
80
86
Rata-rata
Kedua nilai rata-rata tersebut apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat baik. Selanjutnya keterampilan menerapkan konsep menempati urutan ke empat dengan nilai rata-rata persentasenya 77%. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan keterampilan proses dengan nilai rata-rata terendah pada mahasiswa Fisika Saintek adalah keterampilan merencanakan percobaan dengan nilai rata-rata persentasenya sebesar 50%. Nilai rata-rata persentase ini berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti kurang dari cukup. Kedua tabel 1 dan 2 dapat disajikan dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu dengan mengambil nilai rata-rata persentase ketercapaian keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek. Seperti terlihat pada tabel 3 keterampilan merencanakan percobaan mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul dari mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai rata-rata 79% untuk mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan 50% untuk mahasiswa Fisika Saintek. Jadi dalam hal ini, keterampilan merencanakan percobaan mahasiswa Fisika Saintek masih kurang dari cukup. Di lain pihak, untuk keterampilan menggunakan alat dan bahan nilai tertinggi dicapai oleh mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 87,33%, sementara mahasiswa pendidikan Fisika FITK hanya mencapai nilai 81,67%. Walaupun demikian keduanya sudah mencapai nilai dengan indikator sangat baik.
88
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 3. Perbandingan Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek Persentase ketercapaian indikator (%) Keterampilan Proses Sains FITK Saintek Merencanakan percobaan 79 50 Mengajukan pertanyaan 100 100 menggunakan alat/bahan 81.67 87.33 Menerapkan konsep 67 77 Klasifikasi 89 89 Berkomunikasi 95 100 Interpretasi 100 100 Rata-rata 87 86 Keterampilan menerapkan konsep mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 77% dari mahasiswa pendidikan Fisika FITK yang hanya memiliki nilai rata-rata persentase 67%. Dalam hal ini mahasiswa pendidikan Fisika FITK masih memiliki nilai dengan kategori cukup. Demikian pula untuk keterampilan berkomunikasi, mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dari mahasiswa pendidikan Fisika FITK. Namun keduanya sudah menunjukan nilai persentase rata-rata dengan kategori sangat baik. Sementara itu, keterampilan klasifikasi dan interpretasi antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek keduanya memiliki nilai pencapaian yang sama yaitu 100%. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana perbedaan persentase ketercapaian indikator dari setiap keterampilan proses sains, dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata (α) 0,025. Untuk taraf nyata 0,025 ini proporsi keberhasilan diuji dengan wilayah kritik z > 1,96. Apabila nilai z yang diperoleh lebih besar dari 1,96 maka tolak H0, berarti persentase ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains dari mahasiswa FITK dan Saintek berbeda nyata. Sebaliknya apabila nilai z yang diperoleh lebih kecil dari 1,96 maka terima H0, berarti persentase ketercapaian indikator antara mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek tidak berbeda nyata. Berikut adalah tabel hasil pengujian selisih antara dua proporsi ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains mahasiswa pendidikan fisik FITK dan mahasiswa fisika Saintek. Tabel 4. Pengujian Selisih antara Dua Proporsi Ketercapaian Indikator KPS Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek Keterampilan Proses Sains
Persentase ketercapaian indikator (%) FITK
Merencanakan percobaan Mengajukan pertanyaan
Uji selisih dua proporsi
Saintek 79
50
2.099411
Tolak H0
100
100
0.000000
Terima H0
81.67
87.33
0.938391
Terima H0
Menerapkan konsep
67
77
0.862582
Terima H0
Klasifikasi
89
89
0.000000
Terima H0
menggunakan alat/bahan
Berkomunikasi Interpretasi Rata-rata
95
100
1.240356
Terima H0
100
100
0.000000
Terima H0
87
86
0.272978
Terima H0
Data-data yang tersaji pada tabel 4 memperlihatkan keterampilan merencakan percobaan antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek berbeda nyata (tolak H0). Sementara untuk keterampilan proses yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (terima H0). Data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk grafik batang seperti yang terlihat pada Gambar 1.
89
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Gambar 1. Perbandingan Nilai Rata-rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Gambar 1 memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada keterampilan merencanakan percobaan. Perbedaan yang tidak terlalu signifikan pada keterampilan menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, dan berkomunikasi. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan-keterampilan yang biasa dilakukan ilmuwan untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan proses ini perlu untuk dikaji karena sangat bermanfaat bagi mahasiswa. Mahasiswa yang terlatih menggunakan keterampilan proses ini akan mudah menerapkan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa keterampilan proses sains pada penelitian ini hanya mengambil tujuh keterampilan proses sains yang diobservasi pada mahasiswa saat melakukan praktikum pengenalan alat ukur. Berikut akan dijelaskan hasil observasi pada masing-masing keterampilan proses sains Merencanakan Percobaan Keterampilan merencanakan percobaan pada penelitian ini meliputi beberapa indikator yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pada saat memulai praktikum pengenalan alat ukur. Adapun beberapa indikator tersebut adalah: 1. Membaca buku panduan praktikum dengan baik sebelum praktikum dimulai 2. Menyiapkan/memeriksa alat dan bahan sesuai yang tercantum dalam buku panduan praktikum 3. Melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum 4. Melakukan aspek-aspek keamanan (diri, alat, dan lingkungan) sesuai dengan pedoman kerja Berdasarkan Tabel 1, hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK diperoleh nilai persentase ketercapaian indikator rata-rata sebesar 79%. Dari ke enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK yang diobservasi, tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum. Sedangkan hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika saintek dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk mahasiswa saintek sebesar 50%. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum dan indikator ke 4 yaitu melakukan aspek-aspek keamanan (diri, alat, dan lingkungan) sesuai dengan pedoman kerja. Pengujian selisih dua proporsi untuk nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan merencanakan percobaan antara mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai taraf nyata (α) 0,025 menghasilkan nilai z sebesar 2.099411. Keputusannya adalah tolak H0 karena nilai z hitung lebih besar dari zα, hal ini mengindiasikan bahwa mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul ketercapaian indikator merencanakan percobaanya daripada mahasiswa Fisika Saintek. Apabila dilihat secara keseluruhan baik mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa Fisika Saintek belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat sebelum melakukan pengukuran. Pada saat mereka menggunakan jangka sorong, mikrometer skrup dan neraca analitik semua kelompok langsung menggunakan alat-alat ukur tersebut tanpa memastikan bahwa skala pada alat tersebut benar-benar sudah berada di posisi nol. Keterampilan merencanakan percobaan ini penting karena dari pengukuran keterampilan ini dapat dilihat kesiapan mahasiswa untuk melakukan percobaan dalam hal ini penggunaan alat ukur. Apabila mahasiswa sudah mengalami kesalahan pada tahap ini maka akan berakibat pada kesalahan selanjutnya. Mengenai kalibrasi alat sebelum digunakan, pada buku panduan praktikum Fisika Dasar Pendidikan Fisika FITK itu
90
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
sudah tercantum dengan jelas pada langkah pertama baik itu untuk penggunaan alat ukur mikrometer sekrup, jangka sorong maupun neraca analitik. Namun pada saat praktikum kemungkinan mahasiswa tidak menyadari bahwa kalibrasi itu benar-benar penting dan harus selalu dilakukan di awal pengukuran. Dalam hal ini peran asisten lab diperlukan untuk selalu mengingatkan praktikan agar melakukan kalibrasi. Sementara itu, pada buku panduan praktiukum Fisika Dasar mahasiswa Fisika Saintek tidak dicantumkan tahap kalibrasi ini. Ini bisa dijadikan masukan kepada tim penyusun buku panduan praktikum bahwa tahap kalibrasi harus dinyatakan secara eksplisit dalam buku panduan praktikum. Adapun mengenai aspek-aspek keselamatan diri mahasiswa masih terlihat tidak terlalu memperhatikan hal ini karena mereka menganggap bahwa praktikum Fisika tidak sebahaya praktikum Kimia. Akibatnya mereka terlihat tidak hati-hati dalam menggunakan alat bahkan ada beberapa orang yang justeru memainkan beberapa alat ukur, becanda dengan teman dan masih ada beberapa tidak menggunakan jas lab. Petunjuk praktikum fisika dasar yang sudah ada, menyebutkan tujuan, alat dan bahan praktikum serta langkah kerja dengan rinci, sehingga mahasiswa tinggal melaksanakan praktikum, tanpa membuat perencanaan percobaan terlebih dahulu. Sehingga dalam pelaksanaan, petunjuk praktikum yang digunakan selama ini kurang mengembangkan keterampilan ilmiah. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wawan Kuriawan dan Diana Endah H mengenai pembelajaran fisika dengan metode inquiry terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains menjelaskan bahwa buku panduan praktikum dapat dibuat sedemian rupa sehingga menuntut mahasiswa calon guru untuk dapat mengembangkan keterampilan ilmiah. Wawan Kurniawan juga memaparkan dalam jurnalnya bahwa yang jadi penyebab rendahnya keterampilan merencanakan percobaan salah satunya dimungkinkan karena mahasiswa belum memiliki persiapan dalam menghadapi praktikum. Hal ini disebabkan mungkin karena mahasiswa saat belajar di sekolah menengah jarang atau belum pernah melakukan praktikum fisika. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wawan Kurniawan tersebut keterampilan merencanakan percobaan hanya mencapai nilai rata-rata persentase pada siklus satu sebesar 60,01% yang berarti kategori nilai tersebut masih kurang dari cukup. Mengajukan pertanyaan Keterampilan mengajukan pertanyaan merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki peserta didik sebelum mempelajari suatu masalah lebih lanjut. Pertanyaan yang diajukan dapat meminta penjelasan, tentang apa, mengapa, bagaimana, atau menanyakan latar belakang hipotesis. Hasil observasi terhadap mahasiswa secara keseluruhan mahasiswa sudah menunjukkan keterampilan untuk bertanya dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 100%. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai tersebut mempunyai arti sangat baik. Sebelum praktikum mahasiswa menanyakan beberapa pertanyaan terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan praktikum. Rata-rata mereka menanyakan apa saja yang akan diukur. Menggunakan alat/bahan Keterampilan menggunakan alat dan bahan merupakan keterampilan proses selanjutnya yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Pada keterampilan ini menurut Zulfiani aspek-aspek yang diukur antara lain adalah keterampilan untuk memkai alat/bahan, mengetahui alasan mengapa menggunakan alat/bahan, mengetahui bagaimana menggunakan alat/bahan. Karena pada penelitian ini peneliti mengukur aspek psikomotor mahasiswa selama melakukan praktikum pegenalan alat ukur, maka peneliti menentukan beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam pengukuran keterampilan menggunakan alat/bahan. Indikator-indikator tersebut adalah: 1. Menggunakan jangka sorong ketika mengukur diameter dalam, luar dan kedalaman 2. Menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang diukur 3. Menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong 4. Mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas 5. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala nonius pada jangka sorong ketika melakukan pengukuran 6. Menggunakan mikrometer skrup ketika mengukur ketebalan suatu benda 7. Menjepit benda yang diukur diantara poros tetap dan poros geser sampai terjepit dengan tepat 8. Memutar pengunci poros penggeser pada mikrometer skrup sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa bergerak lagi 9. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala putar pada mikrometer ketika mengukur 10. Meletakkan benda yang diukur massanya pada neraca analitik 11. Menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil 12. Membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis sejajar sudah seimbang (panah sudah berada di titik setimbang 0)
91
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK menghasilkan data rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan sebesar 81,67% seperti tertera pada Tabel 1 di atas. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu penggeser pada micrometer skrup sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa bergerak lagi. Dan satu kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong. Sementara itu untuk mahasiswa Fisika Saintek, hasil observasi terhadap enam kelompok diperoleh data rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan menggunakan alat/bahan seperti terlihat pada Tabel 2, yaitu sebesar 87,33%. Ada 4 kelompok yang tidak melakukan indikator ke 2 yaitu menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan dengan benda yang diukur, 2 kelompok tidak melakukan indikator ke 4 yaitu mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas, 2 kelompok tidak melakukan indikator ke 11 yaitu menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil, 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 12 yaitu membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis sejajar sudah seimbang. Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan pada mahasiswa fisika Saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan Fisika FITK seperti dapat dilihat pada grafik Gambar 1. Namun demikian, nilai pengujian selisih antara dua proporsi menghasilkan nilai z hitung sebesar 0,938391, nilai ini lebih kecil dari zα sehingga keputusannya adalah terima H0 berarti perbedaan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan untuk mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek tidak berbeda secara nyata. Apabila dikaji lebih lanjut kelemahan yang terjadi pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek berbeda. Mahasiswa pendidikan Fisika FITK lemahnya pada penggunaan jangka sorong, mereka tidak melakukan pengukuran diameter dalam, luar dan kedalaman. Hal ini memang terjadi karena di buku pedoman praktikum tidak dinyatakan secara eksplisit perintah untuk melakukan pengukuran diameter dalam, luar dan kedalaman. Adapun pada mahasiswa fisika saintek kelemahanya adalah pada penggunaan jangka sorong, mahasiswa tidak menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang diukur dan tidak mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas. Pada tahun 2010 Wawan Kurniawan dan Diana Endah dalam jurnal penelitiannya mengenai pembelajaran fisika dengan metode inkuiri terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains menemukan hasil pengukuran terhadap keterampilan proses melaksanakan pada siklus I dengan nilai rata-rata presentase keberhasilan indikator sebesar 63,43%. Nilai tersebut berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti cukup. Pengukuran terhadap mahasiswa tersebut dilakukan pada saat praktikum fisika dasar dengan materi fluida. Wawan Kurniawan mengemukakan bahwa rendahnya nilai tersebut dimungkinkan akibat mahasiswa kurang mengenal alat ukur yang digunakan. Kemungkinan yang lain mahasiswa juga kurang memahami dalam penggunaan alat ukur tersebut. Sehingga mahasiswa menjadi kurang teliti dalam membaca alat ukur. Hasil temuan tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa keterampilan menggunakan alat/bahan dalam hal ini adalah alat ukur merupakan keterampilan yang sangat penting untuk melakukan praktikum-praktikum lebih lanjut. Apabila penggunaan alat ukur dasar mahasiswa lemah, maka pada saat praktikum berikutnya mahasiswa akan kesulitan dalam melakukan pengukuran. Menerapkan Konsep Keterampilan menerapkan konsep ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan menggunakan konsepkosep yang telah dipahami untuk menjelaskan peristiwa baru, menerapkan konsep yang dikuasai pada situasi baru atau menerapkan rumus-rumus pada pemecahan soal-soal baru. Pada penelitian ini indikator-indikator untuk keterampilan menerapkan konsep disesuaikan dengan praktikum yang dilakukan yaitu pengenalan alat ukur, adapun indikator-indikatornya ntara lain: 1. Melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali 2. Membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik 3. Menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting 4. Mengetahui nilai skala terkecil (nst) dari jangka sorong, micrometer skrup, dan neraca analitik 5. Menjawab pertanyaan yang tercantum dalam buku panduan praktikum Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK seperti terlihat pada Tabel 1 adalah sebesar 67%. Keenam kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting, 3 kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik dan 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali ulangan. Ketercapaian indikator keterampilan menerakan konsep ini termasuk ke dalam kategori cukup.
92
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Sementara itu, hasil yang diperoleh dari observasi terhadap mahasiswa fisika saintek diperoleh nilai ratarata persentase ketercapaian indikator ketempilan menerapkan konsep sebesar 77%. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting, 3 kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik, 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali. Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa fisika saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan fisika FITK. Dapat dilihat pada grafik nilai rata-rata untuk mahasiswa fisika saintek grafik batangnya lebih tinggi dari mahasiswa pendidikan fisika FITK. Namun dari pengujian selisih dua proporsi nilai z hitung yang didapat sebesar 0,862582 lebih kecil dari zα , hal ini berarti perbedaan antara keduanya tidak nyata. Apabila dibandingkan dengan keterampilan proses lainnya, keterampilan menerapkan konsep ini berada pada nilai yang paling rendah baik pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa fisika Saintek. Gambar 1 memperlihatkan grafik batang untuk keterampilan menerapkan konsep ini paling rendah dibandingkan keterampilan lainnya. Rata-rata kelompok belum bisa menerapkan konsep penulisan angka penting. Selain itu, masih ada beberapa kelompok yang tidak dapat membaca hasil pengukuran dengan cepat. Masih ada beberapa kelompok yang terlalu lama dalam menentukan berapa nilai hasil pengukuran yang didapat dari masing-masing alat ukur terutama pada neraca analitik. Klasifikasi Dasar keterampilan mengklasifikasikan adalah kemampuan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan anatara berbagai objek yang diamati, atau bisa juga disebut sebagai keterampilan dalam mengelompokkan atau menggolong-golongkan. Dasar yang perlu diperhatikan dalam membuat klasifikasi, seperti mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan, dan mencari dasar pengelompokan. Indikator-indikator yang dibuat pada saat penilaian keterampilan mengklasifikasi pada penelitian ini disesuaikan dengan praktikum pengenalan alat ukur. Adapun indikator-indikatornya adalah: 1. Mencatat hasil pengukuran jangka sorong dalam satuan cm 2. Mencatat hasil pengukuran mikrometer skrup dalam satuan mm 3. Mencatat hasil pengukuran neraca analitik dalam satuan gram Dari hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan mengklasifikasi adalah 89%. Masih ada kelompok yang salah dalam menuliskan satuan hasil pengukuran. Demikian pula hasil observasi terhadap mahasiswa fisika Saintek diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator dengan nilai yang sama yaitu 89%. Hampir sama dengan mahasiswa pendidikan Fisika FITK, masih ada beberapa kelompok yang salah dalam penulisan satuan. Berkomunikasi Berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan menginformasikan hasil pengamatan, hasil prediksi atau hasil percobaan kepada orang lain. Bentuk komunikasi ini bisa dalam bentuk lisan dan tulisan. Jenis komunikasi dapat berupa paparan sistematis (laporan) atau transformasi parsial, menggambarkan data empiris dengan tabel, grafik atau diagram. Pada penelitian ini, indikator-indikator keterampilan berkomunikasi yang dinilai selama praktikum pengenalan alat ukur adalah: 1. Mendiskusikan hasil pengukuran dengan teman sekelompok 2. Menyajikan semua data hasil pengukuran pada sebuah tabel 3. Menyusun laporan praktikum secara sistematis Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan berkomunikasi adalah 100%. Begitu pula hasil yang didapat dari observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika Saintek sebesar 100%. Ini mengindikasikan keterampilan mahasiswa dalam berkomunikasi sudah sangat baik. Semua mahasiswa mendiskusikan semua yang mereka dapatkan dari hasil pengukuran, setiap anggota kelompok terlihat saling bekerja sama dengan baik pada saat praktikum. Semua mahasiswa juga melakukan serta menyajikan hasil pengukuran dalam tabel. Mereka pun sangat rapi dalam menyusun laporan dan menyajikannya secara sistematis sesuai denga petunjuk yang ada pada buku panduan praktikum. Hal ini tentunya merupakan hasil kerjasama antara dosen pengajar dengan asisten praktikum yang memotivasi mahasiswa untuk sungguh-sungguh dalam penyusunan laporan. Interpretasi Keterampilan interpretasi merupakan keterampilan dalam menafsirkan. Keterampilan interpretasi meliputi keterampilan mencatat hasil pengamatan, menghubung-hubungkan hasil pengamatan, dan
93
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
menemukan pola keteraturan dari satu seri pengamatan hingga memperoleh kesimpulan. Pada penelitian indikator keterampilan interpretasi ini adalah membuat kesimpulan hasil praktikum. Hasil observasi pada enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek diperoleh nilai rata-rata ketercapaian indikator 100%. Semua mahasiswa sudah sangat baik dalam menuangkan sebuah hasil praktikum dalam sebuah laporan serta membuat kesimpulan hasil praktikum dengan baik. Hal tersebut tentunya didukung oleh adanya buku panduan praktikum yang baik. Pada buku panduan praktikum fisika dasar mahasiswa pendidikan fisika FITK maupun buku panduan praktikum fisdas mahasiswa fisika saintek telah mencantumkan cara-cara pembuatan laporan disertai dengan contoh format laporannya. Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Hasil observasi secara keseluruhan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan fisika FITK adalah sebesar 87% sementara untuk mahasiswa fisika Saintek 86%. Diantara keduanya memiliki perbedaan yang sangat kecil. Berdasarkan pengujian selisih dua proporsi antara nilai rata-rata persentase keduanya diperoleh nilai z hitung 0,272978. Nilai z hitung ini lebih kecil dari zα, sehingga perbedaan antara keduanya tidak nyata. Dengan demikian, penilaian berbasis kelas yang berupa penilaian kinerja pada praktikum pengenalan alat ukur ini secara umum telah dapat mengukur hasil pembelajaran mahasiswa khususnya mengenai alat ukur dan konsep-konsep penting di dalam pengukuran seperti penulisan angka penting, penggunaan alat ukur yang benar, nilai skala terkecil suatu alat ukur dan besaran serta satuan. Dari penilaian ini terlihat aspek-aspek mana saja yang telah memenuhi indikator keberhasilan dan aspek mana yang belum memenuhi indikator keberhasilan. Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa pada umumnya mahasiswa telah menunjukkan keterampilan proses yang baik terutama pada praktikum pengenalan alat uku. Adapun mengenai beberapa aspek yang belum dipenuhi dengan baik, dimungkinkan karena praktikum pengenalan alat ukur merupakan praktikum pertama dan mahasiswa belum memiliki pengalaman praktikum sebelumnya. SIMPULAN Penelitian ini memperoleh hasil yang mengindikasikan keterampilan proses sains antara mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika saintek tidak berbeda nyata. Mahasiswa fisika FITK memiliki nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 87% dan mahasiswa fisika Saintek nilai rata-rata persentase ketercapaiannya sebesar 86%. Namun demikian, apabila dilihat dari setiap indikator mahasiswa pendidikan Fisika memiliki keterampilan proses sains dengan urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 100%, keterampilan berkomunikasi 95%, keterampilan klasifikasi 89%, keterampilan menggunakan alat/bahan 81,67%, keterampilan merencanakan percobaan 79%, dan keterampilan menerapkan konsep 67%. Sementara itu, untuk mahasiswa fisika Saintek jika dilihat dari setiap indikator memiliki keterampilan proses dengan urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 100%, keterampilan klasifikasi 89%, keterampilan menggunakan alat/bahan 87,33%, keterampilan menerapkan konsep 77%, dan keterampilan merencanakan percobaan 50%. Dari beberapa indikator keterampilan proses sains, untuk mahasiswa pendidikan fisika FITK keterampilan menerapkan konsep menempati pada posisi nilai ketercapaian indikator paling bawah dengan nilai 67%, sementara untuk mahasiswa fisika Saintek keterampilan dengan pencapaian indikator paling rendah adalah keterampilan merencanakan percobaan yaitu 50%. Adapun hasil pengujian selisih antara dua proporsi, hanya keterampilan untuk merencanakan percobaan yang menunjukkan perbedaan yang nyata. Mahasiswa pendidikan fisika FITK lebih tinggi ketercapaian indikator keterampilan merencanakan percobannya dengan nilai 79% dari mahasiswa fisika saintek dengan nilai 50%. Sedangkan untuk keterampilan proses lainnya tidak berbeda nyata. Hampir semua kelompok mahasiswa belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat ukur sebelum digunakan. Dan ada beberapa kelompok belum memperhatikan pentingnya aspek-aspek keamanan dan keselamatan diri, alat dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wawan Kurniawan dan Diana Endah H yang memaparkan penemuannya pada penilaian keterampilan proses sains mahasiswa saat praktikum fisika dasar dengan materi fluida, bahwa nilai persentase ketercapaian indikator merencanakan percobaan masih menunjukkan ketercapaian yang kurang dari cukup dikarenakan mahasiswa tidak siap untuk melakukan percobaan, karena pada saat mereka belajar di sekolah menengah jarang melakukan praktikum atau bahkan mungkin belum pernah sama sekali.
94
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
SARAN Dari penelitian yang telah dilakukan ini, maka disarankan : 1. Perlunya penelitian lanjutan terhadap keterampilan proses sains untuk materi-materi fisika dasar yang lain seperti gerak harmonik sederhana, mesin atwood, dan fluida 2. Agar dapat lebih memperlihatkan pencapaian hasil belajar data penilaian kinerja ini perlu didukung oleh data tes tertulis mengenai kemampuan kognitif mahasiswa agar dapat diketahui apakah hasil yang diperoleh dari penilaian unjuk kerja berbanding lurus atau tidak tingkat pemahaman mahasiswa pada materi tersebut 3. Bagi tim pembuat buku panduan praktikum fisika dasar, agar membuat buku panduan praktikum yang dapat lebih mengeksplore keterampilan proses sains mahasiswa tanpa harus menuangkan semua langkahlangkah kerja praktikum 4. Bagi asisten praktikum, agar lebih memberikan pengarahan yang baik mengenai pentingnya menjaga tata tertib pelaksanaan praktikum serta perlunya menjaga keselamatan diri, alat dan lingkungan. 5. Bagi dosen pengampu mata kuliah fisika dasar dan alat ukur agar memberikan pemahaman yang lebih baik lagi kepada mahasiswa mengenai penggunaan alat ukur yang baik serta mengenai penulisan angka penting. DAFTAR PUSTAKA Arifin Z. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Rosdakarya. Bambang S. 2011. Pengukuran Kreativitas Keterampilan Proses Sains dalam Konteks Assesment for Learning. Cakrawala Pendidikan, Februari 2011, Th. XXX, No. 1 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2008. Sistem Penilaian Kelas SD SMP SMA dan SMK, Kompetensi Supervisi Akademik: Stategi Pembelajaran MIPA. Jakarta. http://elearning.unesa.ac.id/metode-pembelajaran-dengan-penilaian/ Majid A. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Muslich M. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan Semiawan C. 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia Sofyan A, dkk. 2006. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Sudjana N, Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Surapranata S. 2007. Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Rosdakarya Wawan K, Diana EH. Pembelajaran Fisika dengan Metode Inquiry Terbimbing untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains. JP2F, Volume 1 Nomor 2 September 2010 Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
95
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN AKTIF TIPE MIND MAPS UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA MAHASISWA DALAM KULIAH FISIKA TEKNIK Usmeldi Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang
[email protected] Abstrak Fisika Teknik merupakan salah satu mata kuliah pendukung di Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang (FT UNP). Survei awal menunjukkan bahwa mahasiswa kurang menguasai konsep fisika, sehingga sulit menerapkannya dalam mata kuliah keahlian yang relevan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan efektivitas penerapan pembelajaran aktif tipemind mapsuntukmeningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswadalam kuliah Fisika Teknik. Penelitian menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain satu grup pretestpost-test. Subyek penelitian adalah mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Elektro FT UNP yang mengikuti kuliah Físika Teknik, sebanyak 36 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan format observasi, format penilaian pelaksanaan pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika.Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia flash.Hasil penelitian menunjukkan bahwapembelajaran aktif tipe mind mapsefektif untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh;(1) kemampuan mahasiswa dalam membuat mind maptermasuk kategori baik, (2) kemampuan berdiskusi dalam kelompoktermasuk kategori baik, (3)kemampuan mempresentasikan hasilmind maptermasuk kategori sangat baik, (4) kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, (5) peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang.Saran diajukan kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa. Kata Kunci:pembelajaran aktif, mind maps,penguasaan konsep fisika.
PENDAHULUAN Peningkatan mutu pendidikan sangat penting untuk mengantipasi perkembangan teknologi.Perkembangan teknologi tidak terlepas dari perkembangan fisika.Fisika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi.Untuk dapat menguasai dan mencipta teknologi diperlukan penguasaan fisika dan matematikayang kuat sejak dini (Depdiknas, 2004).Sejalan dengan perkembangan teknologi, pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan, diantaranya adalah peningkatan mutu pendidikan.Rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari kemampuan peserta didik, mereka kurang mampu menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor penyebabnya adalah proses pembelajaran yang bersifat informatif sehingga pelajaran kurang bermakna. Peserta didik kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran.Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen, tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan terutama bila diinginkan hasil belajar yang baik. Rendahnya hasil belajar fisika mahasiswa diduga disebabkan oleh kesulitan memahami konsep fisika.Fakta menunjukkan pada saat pembelajaran berlangsung sebagian besar mahasiswa kurang antusias menerimanya, mahasiswa bersifat pasif, tidak berani mengemukakan pendapatnya. Mata kuliah Fisika Teknikdi Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang (FT UNP) berfungsi sebagai mata kuliah pendukung bagi mata kuliah keahlian (MKK) yang relevan. Diharapkan mahasiswa dapat menguasai konsep fisika dan memiliki keterampilan dalam melakukan kegiatan praktikum fisika teknik. Kemampuan menguasai konsep fisika dan melakukan praktikum fisika teknik diperlukan oleh mahasiswa pada saat mengikuti MKK yang relevan. Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep fisika, telah dilakukan survei terhadap perkuliahan fisika teknik bagi mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP. Hasil survei menunjukkan bahwa: (1) Perkuliahan fisika teknik dilaksanakan secara teori. (2) Dosen lebih dominan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab. (3) Dosen menyajikan pelajaran dengan media power point. (4) Penguasaan konsep fisika mahasiswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai fisika teknik adalah C (55-59). Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep fisika,salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran aktif tipe mind maps (peta pikiran).Menurut Buzan
96
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
(2004) mind map adalah metode untuk menyimpan suatu informasi yang diterima oleh seseorang dan mengingat kembali informasi yang diterima tesebut. Mind map merupakan teknik meringkas bahan yang akan dipelajari dan memproyeksikan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk peta atau grafik sehingga lebih mudah memahaminya. Mind map merupakan metode belajar yang efektif untuk memahami kerangka konsep suatu materi pelajaran. Menurut Buzan (2004) mind map dapat menghubungkan konsep yang baru diperoleh mahasiswa dengan konsep yang sudah didapat dalam proses pembelajaran, sehingga menciptakan hasil peta pikiran berupa konsep materi yang baru. Mind map merupakan salah satu produk kreatif yang dihasilkan oleh mahasisw dalam kegiatan belajar. Buzan (2006) menyatakan bahwa pembelajaran fisika dengan menggunakanmetode mind mapdapat meningkatkan daya hafal dan motivasibelajar siswa yang kuat, serta mahasiswa menjadi lebih kreatif. Selanjutnya menurut Buzan (2008) bahwa pembelajaran denganmenggunakan metode mind map dapat membantu mahasiswa: (1) Mudah mengingat sesuatu; (2) Mengingat fakta, angka, dan rumus dengan mudah;(3) Meningkatkan motivasi dan konsentrasi; (4) Mengingat dan menghafalmenjadi lebih cepat. Menurut Pandley (1994) tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan metode mind map adalah: (1) Dosen menyampaikan tujuan dan materi pembelajaran. (2) Mahasiswa mempelajari konsep tentang materi pelajaran dengan bimbingan dosen. (3) Setelah mahasiswa memahami materi yang telah dijelaskan, dosen mengelompokkan mahasiswa ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan tempat duduk yang berdekatan. Kemudian mahasiswa diminta untuk membuat mind map dari materi yang dipelajari. (4) Untuk mengevaluasi mahasiswa tentang pemahaman terhadap konsep-konsep yang dibahas, dosen menunjuk beberapa mahasiswa untukmempresentasikan hasil mind map yang telah dibuat. (5) Dari hasil presentasi yang disajikan oleh mahasiswa, dosen membimbing mahasiswa untuk membuat kesimpulan. (6)Dosen memberikan soal latihan tentang materi yang telah dipelajarikepada siswa untuk dikerjakan secara individu. (7) Pada akhir pembelajaran, dilaksanakan tes untuk mengetahui penguasaankonsep fisika mahasiswa.Penilaian mind map menggunakan rubrik yang terdiri atas delapan aspek penilaian, yaitu: (1) gambar ditengah mind map, (2) struktur mind map, (3) kesesuaian kata kunci kode dan simbol, (4) kesesuaian kata kunci istilah, (5) pemilihan warna, (6) pemilihan sub tema, (7) pemilihan keterangan tambahan, (8) pemilihan kata sambung (Tee, 2009). Berdasarkan pada kondisi perkuliahan fisika teknik yang telah diuraikan di atas maka dilakukan penelitian tentang penerapan metode pembelajaran aktif tipe mind mapuntuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menguasai konsep fisika. Masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa? Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain one group pretest-posttest (Creswell, 1994). Pre-test dan post-test diberikan pada mahasiswa kelas eksperimen dengan menggunakan soal yang setara. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP yang mengikuti kuliah Fisika Teknik yang berjumlah 36 orang. Materi fisika teknik yang disajikan dalam penelitian adalah konsep listrik arus searah, rangkaian listrik, dan hukum dasar rangkaian. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian adalah: (1) melakukan survei pendahuluan, (2) menyiapkan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (3) memvalidasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (4) melakukan ujicoba instrumen penelitian, (5) menganalisis data ujicoba, (6) memberikan pre-test, (7) memberikan perlakuan dengan melaksanakan pembelajaran aktif tipe mind map, (8) memberikan post-test(9) menganalisis data, dan (10) menginterpretasi hasil yang diperoleh. Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia flash. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa: lembaran observasi, lembaran penilaian proses pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika. Lembaran observasi digunakan dalam survei pendahuluan. Lembaran penilaian proses pembelajaran digunakan untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam membuat mind map, berdiskusi dalam kelompok, dan mempresentasikan hasil mind map. Tes penguasaan konsep fisika berbentuk tes esei dengan mengutamakan pertanyaan konsep fisika daripada penyelesaian soal berupa perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus fisika. Naskah soal ini disusun oleh peneliti dengan bantuan penimbang ahli (expert judgment) untuk mengetahui validitas isi tes. Validitas konstruksi dan reliabilitas tes diperoleh melalui ujicoba instrumen penelitian. Data penilaian proses pembelajaran dan penguasaan konsep fisika dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui efektivitas pembelajaranaktif tipe mind maps. Data penilaian proses pembelajaran dianalisis dengan membandingkan rata-rata skor dengan kategori skor. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dianalisis dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi dari skor pre-test dan post-test.
97
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Efektivitas pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa dalam kuliah Fisika Teknik ditinjau dari kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, kemampuan menguasai konsep fisika, dan peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa. Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran Dalam pembelajaran aktif tipe mind mapdilakukan penilaian proses dan hasil belajar. Hasil penilaian proses pembelajaran digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, yakni kemampuan dalam; (1) membuat mind map, (2) berdiskusi dalam kelompok, (3) mempresentasikan hasil mind map. Data yang diperoleh melalui lembaran penilaian proses pembelajaran dikelompokkan berdasarkan pada aspek kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran No. 1 2 3
Aspek Kemampuan Membuat mind map (MM) Berdiskusi dalam kelompok (BK) Mempresentasikan hasilmind map (MH)
Rata-rata 68,15 72,23 82,27
Standar Deviasi 11,14 6,21 5,53
Merujuk pada Tabel 1 dan kategori penilaian dalam buku pedoman akademik Universitas Negeri Padang dapat dinyatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: (1) membuat mind map termasuk kategori baik, (2) berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori baik, (3)mempresentasikan hasil mind maptermasuk kategori sangat baik. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran dalam Tabel 1 dapat divisualisasikan dengan grafik (Gambar 1). 100
Rata-rata
80
60 40 20 0 MM
BK
MH
Aspek Kemampuan
Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran Kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran denganmetode mind map secara keseluruhan termasuk kategori baik. Namun demikian ditemukan sejumlah mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam membuat mind map. Faktor penghambat dalam pembuatan mind mapping yang berasal dari kesalahan mahasiswa adalah: (1) Pusat mind map. Mahasiswa malas membuat gambar dan lebih memilih menuliskan langsung judulnya. (2) Cabang Utama. Mahasiswa kesulitan mencari cabang utama jika struktur materi tidak terlalu sistematis. (3) Kata Kunci. Kesulitan mahasiswa mencari kata kunci suatu kalimat untuk dituliskan di atas cabang mind map. (4) Cabang-cabang.Mahasiswa membuat cabang-cabang dalam mind map tidak menyebar ke segala arah. (5) Warna.Mahasiswa malas menggunakan beberapa warna karena merasa repot mewarnai. (6) Gambar.Mahasiswa malas menggunakan atau menambahkan gambar dalam mind map. Mereka tidak tahu apa yang harus digambar. (7) Tata Ruang. Ketidakrapian mahasiswa dalam hal tata ruang dalam membuat mind map. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Kemampuan mahasiswa menguasai konsep fisika diperoleh melalui tes penguasaan konsep fisika. Ratarata skor pre-test adalah 62,52 dengan standar deviasi 6,85. Rata-rata skor post-test adalah 71,48 dengan standar deviasi 7,76. Kemampuan mahasiswa dalammenguasai konsep fisikasetelah pembelajaran dengan mind maptermasuk kategori baik. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dapat diketahui dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi (NG) dari skor pre-test dan post-test (Tabel 2). Setelah melalui proses analisis data diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,43. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang.
98
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 2. Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa No. 1 2 3
Kelompok Uji Pre-test Post-test NG
Rata-rata 62,52 71,48 0,43
Standar Deviasi 6,85 7,76 0,54
Rata-rata
Rata-rata skor penguasaan konsep fisika mahasiswa dalam Tabel 2 dapat divisualisasikan dengan grafik 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pre-test
Post-test
NG (%)
Gambar 2. Grafik Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode mind map dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa. Adanya peningkatan penguasaan konsep mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal yang merupakan kelebihan dalam metode pembelajaran Mind Mapping. Penggunaan metode pembelajaran aktif tipemind mapping memiliki serangkaian proses yang membuat mahasiswa memiliki pengalaman belajaryang baik dan mandiri. Selain itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir dan mengolah materi pelajaran bukan dengan cara menghafal tetapi menyimpan dan meringkas materi dengan ingatan. Dalam pembelajaran Mind Mapping, mahasiswa dituntun untuk menemukan dan mengelola pengetahuan secara mandiri yaitu mendapatkan pengetahuan dengan mengkaji berbagai sumber yang relevan. Mahasiswa membuat ide dasar untuk topik sentral, biasanya adalah judul bab atau sub bab dari materi yang mereka pelajari. Mahasiswa melengkapi ide dasardengan cabang-cabang yang berisi data-data pendukung yang terkait, seluruh data-data harus ditempatkan dalam setiap cabang ide dasar.Setiap cabang dilengkapi oleh siswa dengan gambar atau simbol yang membuat mind mapping tersebut menjadi menarik sehingga lebih mudah untuk dimengerti dan diingat.Menurut Sugiarto (2004) mind map merupakan suatu metode pembelajaran yang sangat baik digunakan untuk meningkatkan daya hafal, pemahaman konsep, dan daya kreativitas mahasiswa melalui kebebasan berimajinasi. Connor (2011) menyatakan bahwa mind map memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menunjukkan tingkat pemahamannya. Metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat membentuk pola pikir kreatif bagi mahasiswa dengan aktivitas belajar mandiri untuk menghasilkan ide-ide, mengeluarkan informasi dengan bahasa sendiri, menemukan contoh dan mencatat pelajaran dengan cara yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Silberman (2009) yang menyatakan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat melatihkretivitas mahasiswa secara individual untuk menghasilkan ide-ide, mencatat pelajaran, atau merencanakan penelitian baru.Mind map dapat membantu mahasiswa mengembangkan potensi berpikir secara kreatif. Melalui mind map mahasiswa dapat memfokuskan perhatian pada masalah atau materi yang dipelajari, mengembangkan imajinasi, dan memberikan penguasaan konsep yang lebih utuh. Mustami (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif, sikap kreatif, dan penguasaan materi pelajaran. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran aktif tipe mind maps efektif untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh; (1) kemampuan mahasiswa dalam membuat mind map termasuk kategori baik, (2) kemampuan berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori baik, (3) kemampuan mempresentasikan hasil mind map termasuk kategori sangat baik, (4) kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, (5) peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang.
99
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
SARAN Saran diajukan kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Buzan T. 2004.Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas. Jakarta: Gramedia. Buzan T. 2006.Mind Map: The Ultimate Thinking Tool. London: Thorson. Buzan T. 2007.Buku Pintar Mind Map untuk Anak. Jakarta: Gramedia. Buzan T. 2008. The Buzan Study Skills Handbook: The Shortcut to Success in Your Studies with Mind Mapping, Speed, Reading and Winning Memories Tchniques. China: BBC Active. Connor R. 2011. “The Used on Mind Maps as an Assessment Tool”.International Conference on Engaging Pedagogy. Dublin, Inland. December 16, 2001. Creswell JW. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: SAGE Publications. Depdiknas. 2004. Model Pembelajaran Matematika. Jakarta: Gramedia. Mustami. 2007. “PengaruhModel Pembelajaran Synectics Dipadu Mind Maps Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif dan Penguasaan Materi Biologi”. Lentera Pendidikan, edisi X No. 2. p. 173-184. Silberman, M Sarjuli dkk. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif.. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Sugiarto I. 2004. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. Jakarta: Gramedia. Tee TK, Jailani, Baharom, Widad, Yee MH. 2009. “Pengintegrasian Kemahiran Berfikir Aras Tinggi Menerusi Peta Minda bagi Mata Pelajaran Kemahiran Hidup”. Persidangan Kebangsaan Pendidikan Sains dan Teknologi 2009. p.114-121.
100
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN GAME TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP MOMENTUM DAN IMPULS Ilusi Pangarti Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Erina Hertanti Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Penelitian dilakukan di kelas X IPA 2 dan X IPA 4 MAN 4 Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari sampai Februari 2014. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen non tes berupa lembar observasi dan angket. Berdasarkan analisis data tes, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t. Hasilnya adalah nilai thitung = 2,59 sedangkan nilai ttabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai thitung ttabel. Selain itu, pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan game terbukti unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Selanjutnya, berdasarkan analisis data non tes berupa lembar observasi, penerapan game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik. Hasil analisis angket pun menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game berada pada kategori baik sekali. Kata kunci: STAD, Game, Hasil Belajar, Lembar Observasi, Angket.
PENDAHULUAN Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualis telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi. Siswa mendapatkan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualis, guru menempatkan siswa pada tempat duduk yang terpisah dari siswa lain. Kata-kata dilarang mencontoh, geser tempat dudukmu, kerjakan tugasmu sendiri, dan jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri, sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualis. Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sampai sekarang. Kelebihan dari belajar kompetitif dan individualis adalah dapat memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik dalam kegiatan pembelajaran. Namun, belajar kompetitif dan individualis memiliki kelemahan yaitu: pertama, menimbulkan kompetisi antar siswa yang tidak sehat. Kedua, siswa yang berkemampuan rendah kurang termotivasi. Ketiga, siswa yang berkemampuan rendah sulit untuk sukses dan semakin tertinggal. Keempat, dapat menimbulkan frustasi pada siswa lain. Kelima, siswa sulit untuk bersosialisasi dan bekerjasama. Kurangnya motivasi dalam belajar, keadaan frustasi dan ketertinggalan dalam pelajaran dapat berdampak pada rendahnya hasil belajar. Tujuan dari pendidikan bukan hanya mencerdaskan siswa, tetapi juga membentuk budi pekerti yang baik. Melahirkan generasi yang mempunyai kepedulian yang tinggi, mampu bersosialisasi, bekerjasama dengan baik dan dapat berkompetisi dengan sehat. Untuk itu perlu sebuah cara yang dapat meningkatkan kemampuan dalam bersosialisasi, kerjasama, dan berkompetisi sekaligus meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan
101
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa untuk bersosialisasi, bekerjasama dan lebih bergairah dalam belajar. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu: presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim. Dengan menggunakan model pembelajaran STAD, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran yang memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi antar siswa. Hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Namun dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD banyak masalah yang timbul pada tahapan tim yaitu: pertama, perilaku siswa yang melalaikan tugas dalam kelompok. Kedua, gagal untuk mencapai kebersamaan. Dan ketiga pemanfaatan waktu kelompok yang tidak efektif. Untuk itu perlu sebuah inovasi untuk mengatasi masalah yang sering terjadi pada tahapan tim. Tahapan tim dapat dimodifikasi dengan game atau permainan yang menggunakan komputer. Game yang dapat dimasukkan pada tahapan ini adalah game Who Wants to be a Winner. Game Who Wants to be a Winner adalah game yang diadopsi dari kuis Who Wants to be Millionaire. Pada game Who Wants to be a Winner siswa secara berkelompok akan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan waktu tertentu dan secara acak anggota kelompok harus menjelaskan jawaban kelompok mereka. Apabila jawaban dari kelompok tersebut salah, maka akan digantikan oleh kelompok lain yang memiliki skor tertinggi. Dengan menggunakan game tidak ada siswa yang melalaikan tugas dalam kelompoknya karena setiap siswa berpeluang untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Masalah dalam mencapai kebersamaan pun dapat teratasi karena ketika anggota kelompok tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan guru, maka tim mereka akan gugur. Dengan begitu setiap anggota kelompok akan lebih termotivasi untuk membantu mengatasi kesulitan anggota kelompoknya. Selain itu, dengan menggunakan game masalah dalam pemanfaatan waktu dalam kelompok ketika berdiskusi dapat teratasi karena game membuat tim lebih termotivasi untuk lebih cepat mengerjakan tugas yang diberikan. Dengan aturan yang ada pada game Who Wants to be a Winner diharapkan dapat mengatasi permasalahan pada tahapan tim. Adapun dipilihnya konsep momentum dan impuls dalam penelitian ini karena pada konsep ini diperlukan kemampuan matematis yang baik. Namun, tidak semua siswa mempunyai kemampuan matematis yang baik. Misalnya dalam menghitung kecepatan setelah tumbukan diperlukan kemampuan matematis seperti subsitusi dan eliminasi. Terbatasnya waktu membuat guru tidak mungkin menjelaskan aturan subsitusi atau eliminasi karena masih banyak materi yang harus dijelaskan. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa yang mempunyai kemampuan matematis yang baik dapat membantu teman sekelompoknya. Selain itu, pada konsep momentum dan impuls banyak sekali perhitungan yang membuat siswa jenuh. Game membuat siswa tidak merasa bahwa dirinya sedang mengerjakan soal, sehingga membuat siswa menjadi betah belajar. Betah belajar inilah yang membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls? Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa fokus pertanyaan penelitian meliputi: (1) Bagaimana hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? (2) Bagaimana aktivitas siswa saat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? (3) Bagaimana respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls, dan secara khusus yaitu: (1) Untuk mengetahui hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. (2) Untuk mengetahui aktivitas siswa saat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. (3) Untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game.
102
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Pembelajaran kooperatif berasal dari kata “cooperative” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dengan sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Effandi Zakaria, pembelajaran kooperatif dirancang bagi tujuan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran menerusi perbincangan dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil. Pembelajaran ini memerlukan siswa bertukar pendapat, memberi tanya-jawab serta mewujudkan dan membina proses penyelesaian kepada suatu masalah. Anita Lie menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Tipe STAD (Student Team Achievement Division) merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Tipe STAD adalah model pembelajaran kooperatif yang mengelompokkan siswa secara heterogen dan melibatkan pengakuan tim serta tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran setiap anggota. Permainan adalah sebuah aktivitas peserta yang mengikuti peraturan yang telah ditetapkan yang berbeda dari kehidupan nyata, mereka berusaha untuk mencapai tujuan yang menantang. Permainan adalah kegiatan yang kompleks yang didalamnya terdapat peraturan, play dan budaya. Sebuah permainan adalah sebuah sistem yang pemainnya terlibat dalam konflik buatan, disini pemain berinteraksi dengan sistem dan konflik dalam permainan merupakan rekayasa atau buatan, dalam permainan terdapat peraturan yang bertujuan untuk membatasi perilaku pemain dan menentukan permainan. Permainan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh beberapa anak untuk mencari kesenangan yang dapat membentuk proses kepribadian anak dan membantu anak mencapai perkembangan fisik, intelektual, sosial, moral dan emosional. Beberapa kelebihan dari metode permainan adalah (1) siswa dirangsang untuk aktif, berfikir logis, sportif dan merasa senang dalam proses belajar mengajar. (2) Materi pembelajaran dapat lebih cepat dipahami. (3) Kemampuan memecahkan masalah pada siswa dapat meningkat. Belajar adalah suatu upaya pembelajar untuk mengembangkan seluruh kepribadiannya, baik fisik maupun psikis. Belajar juga dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh aspek inteligensi sehingga anak didik akan menjadi manusia yang utuh, cerdas secara inteligensi, cerdas secara emosi, cerdas psikomotornya, dan memiliki keterampilan hidup yang bermakna bagi dirinya. Proses belajar menimbulkan hasil yang disebut dengan hasil belajar. Menurut Nana Sudjana hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. METODE Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap Tahun Ajaran 2013-2014. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014. Adapun tempat penelitiannya di MAN 4 Jakarta yang berlokasi di Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan Nonequivalent Control Group Design. yaitu desain penelitian yang dilakukan pada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Sebelum diberikan perlakuan, pada kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal, adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, serta untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar siswa pada konsep momentum dan impuls. Kemudian keduanya diberikan perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok eksperimen akan diberikan
103
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game, sedangkan kelompok kontrol akan diberikan perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Setelah diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui sejauh mana pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa MAN 4 Jakarta dengan populasi sasarannya adalah seluruh siswa kelas X di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling dan terpilih kelas X IPA 2 sebagai kelas kontrol dan kelas X IPA 4 sebagai kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini berupa tes dengan instrumen berupa soal tes objektif tipe pilihan ganda, dan nontes berupa lembar observasi dan angket. Instrumen tes penelitian ini diuji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Sedangkan pengujian instrumen nontes dilakukan dengan pertimbangan ahli. Pertimbangan para ahli ini berhubungan dengan validitas isi yang bekaitan dengan butir-butir pernyatan yang terdapat pada lembar observasi dan angket. Analisis data tes, dilakukan dua tahapan, yaitu uji prasyarat analisis dan uji hipotesis. Sebelum melakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji prasyarat analisis untuk menentukan rumus statistik yang akan digunakan dalam uji hipotesis. Uji prasyarat analisis yang digunakan adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji t, prinsip uji t ini yaitu membandingkan rata-rata (mean) kelompok kontrol dan eksperimen. HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi Hasil Belajar Hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif dapat dilihat pada gambar berikut ini. 100%
93%
98% 86%
83%
90%
89%
77%
80%
71%
Persentase
70% 57%
60% 50%
40%
40% 31% 30%
34% 27%
30%
29% 16%
20%
21%
10% 0% C1
C2
C3
Ranah Kognitif Pretest Kontrol Pretest Eksperimen
C4
Posttest Kontrol Posttest Eksperimen
Gambar 1. Diagram Hasil Pretest dan Posttest pada Jenjang kognitif Berdasarkan diagram Gambar 1, terlihat bahwa hasil belajar akhir (posttest) kelas kontrol dan kelas eksperimen mengalami peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 31%, memahami (C2) 34%, menerapkan (C3) 40%, dan menganalisis (C4) 16%. Pada saat posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 93%, memahami (C2) 77%, menerapkan (C3) 86%, dan menganalisis (C4) 57%. Sementara kemampuan kelas eksperimen pada saat pretest dalam hal mengingat (C1) 27%, memahami (C2) 30%, menerapkan (C3) 29%, dan menganalisis (C4) 21%. Pada saat posttest kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat (C1) 98%, memahami (C2) 83%, menerapkan (C3) 89%, dan menganalisis (C4) 71%.
104
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Pengujian normalitas dilakukan terhadap dua buah data, yaitu hasil pretest dan posttest kedua kelas, dengan menggunakan rumus uji kai kuadrat (chi square). Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut: Tabel 1. Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat Pretest dan Posttest Pretest Posttest Statistik Kelas Kelas Kelas Kelas Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Nilai X2hitung 9,177 3,758 4,620 10,469 Nilai X2tabel 11,070 Data Data Data Data Keputusan terdistribusi terdistribusi terdistribusi terdistribusi normal normal normal normal Pengujian homogenitas dilakukan pada kedua data pretest dan posttest. Berikut adalah hasil yang diperoleh dari uji homogenitas. Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posstest Pretest Posttest Statistik Kelas Kelas Kelas Kelas Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Nilai Varians 8,79 9,48 15,91 13,07 Nilai Fhitung 1,16 1,48 Nilai Ftabel 1,88 Keputusan Kedua data homogen Kedua data homogeny Berdasarkan uji prasyarat analisis statistik, diperoleh bahwa kedua data terdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan analisis tes statistik parametrik. Perhitungan untuk menentukan nilai thitung disajikan pada lampiran. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Statistik thitung ttabel Keputusan
Pretest 1,20
Posttest 2,59 2,00
Ha ditolak
Ha diterima
Hasil Analisis Data Lembar Observasi Hasil observasi direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing kelompok untuk setiap indikator. Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Lembar Observasi Aktivitas Pembelajaran No. 1 2 3 4 5 6
Indikator Lembar Observasi Bekerja sama dengan teman satu tim untuk menyelesaikan tugas Mengerjakan tugas yang diberikan guru Bertukar pendapat antar teman dalam tim Kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota tim Mengumpulkan tugas tepat waktu Menggunakan waktu untuk mengerjakan tugas Rata-rata
Diskusi Kelompok Persentase Kesimpulan
Game Persentase Kesimpulan
82%
Baik sekali
83%
Baik sekali
99%
Baik sekali
88%
Baik sekali
74%
Baik
78%
Baik
63%
Baik
83%
Baik sekali
25%
Kurang
58%
Cukup
79%
Baik
82%
Baik sekali
70%
Baik
79%
Baik
105
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Hasil Analisis Data Angket Hasil data angket direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing siswa untuk setiap indikator. Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5.
No
1
2
3
4
5 6 7 8 9
Indikator Angket Bekerja sama dengan teman satu tim untuk menyelesaikan tugas Mengerjakan tugas yang diberikan guru Bertukar pendapat antar teman dalam tim Kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota tim Mengumpulkan tugas tepat waktu Menggunakan waktu untuk mengerjakan tugas Senang belajar Aktif dalam pembelajaran Memahami materi Rata-rata
Tabel 5. Hasil Angket Respon Siswa Diskusi kelompok Game Persentase Kesimpulan Persentase Kesimpulan
85%
Baik sekali
86%
Baik sekali
80%
Baik
81%
Baik sekali
87%
Baik sekali
90%
Baik sekali
80%
Baik
86%
Baik sekali
79%
Baik
84%
Baik sekali
72%
Baik
89%
Baik sekali
77%
Baik
84%
Baik sekali
83%
Baik sekali
84%
Baik sekali
76% 79%
Baik Baik
79% 84%
Baik Baik sekali
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap data posttest. Hasilnya adalah nilai thitung = 2,59 sedangkan nilai ttabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai thitung ttabel . Dilihat dari nilai rata-rata (mean) pun siswa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran STAD. Selisih nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 10,00. Keadaan ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa, pada konsep momentum dan impuls lebih baik menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aji Anugrah Wijaya dan J.A. Pramukantoro yang berjudul ”Pengaruh Pembelajaran Aktif dengan Strategi Who Wants To Be Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi Menerapkan Dasar-dasar Elektronika Kelas X Di SMK Negeri 1 Blitar”, menunjukkan bahwa pengaruh pembelajaran aktif dengan strategi who wants to be smart dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Jika dilihat lebih rinci, game lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar pada semua jenjang kognitif dibandingkan dengan diskusi kelompok. Peningkatan hasil pretest dan posttest menunjukkan bahwa game dapat meningkatkan kemampuan mengingat (C1) sebesar 71%, memahami (C2) sebesar 53%, menerapkan (C3) sebesar (60%), dan menganalisis (C4) sebesar 51%. Hal tersebut sejalan dengan hasil
106
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
penelitian dari beberapa peneliti dan psikolog pendidikan yang menyatakan bahwa game dapat membangun kemampuan kognitif siswa. Game who wants to be a winner mampu meningkatkan kemampuan mengingat (C1). Ketika siswa belajar menggunakan game siswa berusaha mengingat materi untuk memenangkan game. Siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini terbukti dari angket respon siswa yang menyatakan bahwa game mendorong siswa untuk aktif dalam pembelajaran dengan sangat baik. Sejalan dengan pendapat Neville Bennet yang mengatakan bahwa game dapat meningkatkan mutu pembelajaran karena game mampu membuat siswa mengingat hal-hal yang dilakukan, dibandingkan dengan mengerjakan tugas yang membuat siswa merasa terbebani. Granic juga menyatakan bahwa game dapat meningkatkan kemampuan navigasi, berpikir, mengingat, dan menerima informasi baru. Game who wants to be a winner juga mampu meningkatkan kemampuan memahami (C2). Animasi yang terdapat dalam game who wants to be a winner menurut ahli materi telah sesuai dengan konsep momentum dan impuls, sehingga mampu membantu siswa dalam memahami pertanyaan dalam game. Animasi membantu siswa dalam memvisualisasikan hal yang sulit dibayangkan oleh siswa. Hasil angket siswa pun mendukung bahwa game who wants to be a winner mampu membuat siswa memahami materi momentum dan impuls dengan baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet Anwar yang berjudul ”Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap Pemahaman Siswa” menunjukkan bahwa penggunaan animasi membuat siswa lebih memahami materi yang diberikan. Kemampuan menerapkan (C3) juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan game who wants to be a winner. Game ini mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Penerapan ini dilakukan ketika siswa menjawab soal dalam game. Hasil angket pun mendukung hal tersebut, terlihat pada indikator siswa mengerjakan tugas, memperoleh persentase sebesar 81% (baik sekali). Artinya, game mampu mendorong siswa mengerjakan tugas yang diberikan guru. Mengerjakan tugas berarti siswa telah menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, hasil angket pada indikator bekerja sama dengan teman satu tim memperoleh persentase sebesar 86% (baik sekali). Hal tersebut menunjukkan bahwa game mendorong siswa untuk bekerja sama dengan teman satu tim. Bekerja sama membuat siswa saling membantu menerapkan kemampuan yang dimiliki untuk memenangkan game. Senada dengan penelitian BBC News dan TEEM (Teachers Evaluating Educational Media) yang menunjukkan bahwa game dapat mengembangkan kemampuan matematis (menerapkan rumus atau pengetahuan yang telah dimiliki) untuk mengambil keputusan dalam menjawab pertanyaan dalam game. Game who wants to be a winner pun mampu meningkatkan kemampuan menganalisis (C4). BBC News dan TEEM (Teachers Evaluating Educational Media) juga berpendapat bahwa game berkontribusi dalam kurikulum dengan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Game menyediakan tantangan yang harus di atasi siswa untuk menyelesaikan game dengan sukses. Jika siswa telah berhasil memecahkan masalah, tentu siswa juga telah berhasil dalam menganalisis tantangan yang ada pada game. Salah satu tantangan yang terdapat dalam game adalah menjawab soal analisis. Soal analisis termasuk soal yang sulit untuk dikerjakan, soal yang sulit cenderung membuat siswa untuk malas mengerjakan. Namun, game dapat membuat siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil observasi dimana pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru, memperoleh persentase sebesar 88% (baik sekali). Selain itu, hasil angket pun menunjukkan bahwa game mampu mendorong siswa dengan sangat baik (90%) untuk bertukar pendapat dengan teman satu tim. Saling bertukar pendapat membuat siswa mampu untuk menganalisis soal yang diberikan. Game pun sangat baik dalam mendorong siswa untuk memiliki kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota. Dengan begitu, siswa yang berkemampuan rendah pun dapat terbantu dalam menganalisis soal yang diberikan dalam game. Selain kelebihan game yang telah dijelaskan di atas, game juga memiliki kelebihan lain dibandingkan dengan diskusi kelompok, yaitu: pertama, game who wants to be a winner juga unggul dalam pemanfaatan waktu dibandingkan dengan diskusi kelompok. Tantangan pada game berupa waktu yang terbatas untuk menjawab pertanyaan, membuat siswa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Selain itu, tantangan tersebut membuat siswa berlomba-lomba dalam mengumpulkan jawaban agar dapat memenangkan game.
107
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Kedua, berdasarkan angket siswa, game juga mampu untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam menguasai materi dibandingkan dengan diskusi kelompok. Hal ini terlihat pada saat pelaksanaan game siswa tampak sangat antusias. Game dapat membangun motivasi siswa yang tidak didapatkan dari pembelajaran lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game dapat meningkatkan hasil belajar. Selain itu, inovasi penggunaan game pada tahapan tim lebih baik dibandingkan dengan diskusi kelompok. Namun, game juga memiliki kelemahan dibandingkan dengan diskusi kelompok, yaitu pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal ini mungkin disebabkan siswa terlalu terfokus untuk memenangkan game, sehingga lupa untuk menulis jawaban pada lembar kegiatan mereka sendiri. Senada dengan pendapat Sharon, Deborah, dan James dalam buku Instructional Technology & Media for Learning yang menyebutkan bahwa game memiliki kelemahan yaitu tujuan belajar (tugas) mungkin terlupakan karena adanya keinginan menang dibandingkan sekedar belajar. Untuk itu, agar pelaksanaan game dalam pembelajaran dapat berjalan lebih baik, sebaiknya guru berupaya mengingatkan siswa untuk mengerjakan tugas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Pengaruh tersebut terlihat dari nilai t hitung ttabel. Dilihat dari nilai rata-rata pun hasil belajar siswa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan siswa kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terbukti lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Ditinjau dari proses pembelajaran, game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik dengan persentase (79%). Selain itu, respon siswa terhadap game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik sekali. SARAN Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan. Pertama, pada pelaksanaan game. Agar pelaksanaan game who wants to be a winner dapat berjalan lebih baik, sebelum penelitian dimulai, guru harus memastikan bahwa siswa telah memahami tata cara dan aturan dalam game. Kedua, tampilan game yang kurang menarik. Solusi untuk kelemahan ini adalah menyesuaikan warna animasi dengan keadaan sebenarnya. Jika penelitian ini akan dilanjutkan, maka sebaiknya software game who wants to be a winner dilengkapi materi agar pengguna dapat lebih memahami tentang momentum dan impuls. DAFTAR PUSTAKA Anugrah W, Aji, JA Pramukantoro. 2013. Pengaruh Pembelajaran Aktif dengan Strategi Who Wants To Be Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi Menerapkan Dasar-dasar Elektronika Kelas X di SMK Negeri 1 Blitar. Jurnal Pendidikan.Teknik Elektro Volume 01 Nomor 1. Anwar S. Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap Pemahaman Siswa. Jurnal IKIP Veteran Semarang. Arikunto S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Slavin ER. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Hamalik O. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Putro WE. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Huda M. 2013. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antar Peserta Didik cet. III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jacobsen, David A., Eggen, Paul, Kauchak, Donald. 2009. Methods for Teaching Edisi ke-8. Jakarta: Pustaka Pelajar.
108
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Lestari, Dewi. Definisi Game. Artikel Game Universitas Muhammadiyah Sukabumi. Neville Bennet, Liz Wood, dan Sue Rogers. 2005. Teaching Through Play (Teachers Thinking and Classroom Practice). Jakarta: Grasindo. Nikmah S. 2012. Penggunaan Metode Permainan Dalam Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 11 Sungai Melayu Rayak. Artikel Penelitian pada Universitas Tanjungpura Pontianak. Rahmawati I. “Media Permainan Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa”, http://suaraguru.wordpress.com, 24 Agustus 2013. Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sharon, Deborah, James. 2005. Instructional Technology and Media for Learning. Amerika: Pearson, Sharon, Deborah, James. 2011. Instructional Technology & Media for Learning: Teknologi Pembelajaran dan Media untuk Belajar, Terj. Arif Rahman. Jakarta: Kencana. Suciati. Implementing Computer Games in Formal Learning. Artikel Universitas Negeri Yogyakarta. Sudijono A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudjana N. 1992. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana. Usman, Husaini, R. Purnomo S. 2006. Pengantar Statistik Cet. I. Jakarta: Bumi Aksara. Dahar RW. 2006. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Winkel WS. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. “Ini Nilai Positif Bermain Game”, Tempo online, 27 November 2013.
109
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PERBEDAAN PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI DAN KOMIK TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP SISTEM PENCERNAAN Lola Novitasari Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Meiry F. Noor, Ahmad Sofyan Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar biologi pada siswa yang diajar menggunakan media animasi dan media komik pada konsep sistem pencernaan. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Parung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) dan penentuan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II secara acak. Sampel penelitian yang pertama berjumlah 35 siswa untuk kelas eksperimen I dengan menggunakan media animasi. Sampel yang kedua berjumlah 33 siswa untuk kelas eksperimen II dengan menggunakan media komik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa berupa tes pilihan ganda dan angket. Analisis data tes kedua kelompok menggunakan uji t pada taraf signifikan α = 0.05, diperoleh hasil t hitung 3.84 dan ttabel sebesar 1.67, maka thitung lebih besar dari ttabel. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar secara signifikan, sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar biologi siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan menggunakan media komik. Kata Kunci: Media Animasi, Media Komik, Sistem Pencernaan, Hasil Belajar PENDAHULUAN Pembelajaran sebagai perwujudan real dari proses pendidikan menempati posisi strategis dalam mengupayakan perubahan kearah yang lebih baik dari kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akal sudah sewajarnya memikirkan pemecahan masalah berdasarkan informasi yang dicapainya sehingga kehidupan menjadi lebih dinamis. Generasi baru yang lahir akan terus terlibat dalam proses transformasi dengan belajar pada generasi sebelumnya dan mengupayakan kondisi yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Oleh karena itu pendidikan menjadi komponen yang mutlak adanya. Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi yang berkaitan dengan segala usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses komunikasi yang dimaksud adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari sumber belajar kepada penerima untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Berkaitan dengan hasil belajar, berbagai survei nasional dan internasional menunjukan bahwa pencapaian hasil belajar Indonesia masih di bawah Negara-negara tetangga. Berdasarkan analisis Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) rendahnya pencapaian hasil belajar dikarenakan tenaga pendidik Indonesia masih menggunakan pembelajaran konvensional dan bersifat verbalistik (Asyhar, 2011). Verbalistik disini berarti guru menyampaikan informasi kepada peserta didik hanya dengan berbicara (Asnawir dan Usman, 2002). Tidak akan menjadi suatu masalah apabila kata verbal mengungkapkan sebuah benda, akan tetapi apabila ia merujuk pada sebuah peristiwa, konsep, hubungan, dan lain-lain seperti yang menjadi tujuan dalam pembelajaran biologi maka akan memunculkan masalah komunikasi yang lebih rumit, sehingga dapat saja komunikasi bersifat tak efektif (Munadi, 2008). Banyak pembicaraan yang sering diucapkan oleh seseorang tidak efektif, termasuk seorang pendidik. Oleh karena itu, untuk menghindari komunikasi yang tidak efektif dalam proses pembelajaran hendaknya guru disamping mengetahui karakteristik simbol (bahasa) verbal juga dapat membantu siswa pada pemahaman kata-kata verbal dengan cara menunjukan referennya yakni menghadirkan simbol-simbol non
110
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
verbal dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah gambar, grafik, diagram, bagan, dan peta yang dituangkan dalam berbagai penyalur pesan visual (media visual) secara variatif (Munadi, 2008) Ada dua faktor yang turut mempengaruhi proses dan hasil belajar, faktor-faktor tersebut berasal dari dalam diri manusia itu sendiri atau yang disebut faktor internal, dan faktor yang berasal dari luar diri manusia itu atau yang disebut faktor eksternal. Salah satu aspek penting dalam perkembangan kognitif yang berkaitan erat dengan faktor eksternal adalah persepsi. “Persepsi merupakan interpretasi seseorang tehadap sebuah rangsangan” (Trianto, 2010). Setelah individu mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian informasi ini diproses sampai timbulah makna tentang objek. Kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra penglihatan, dan hanya 5% diperoleh melalui indra dengar, dan 5% lainnya diperoleh melalui indra yang lain (Munadi, 2008). Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan seseorang paling banyak diperoleh indra pengelihatan. Dengan demikian, penggunaan media pembelajaran, khususnya media pembelajaran yang dapat dilihat (visual) menjadi poin penting dalam kegiatan pembelajaran. Media visual adalah media yang melibatkan indera pengelihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film strip film bingkai), foto, gambar atau lukisan, cetakan. Tetapi ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, film kartun (Faturrahman dan Sutikno, 2007). Media grafis termasuk kedalam media visual, dimana pesan disampaikan dengan menggunakan lambang atau simbol komunikasi visual (Asnawir dan Usman, 2002). Dua diantara media grafis ialah media komik dan media animasi. Media komik dan animasi memilki kesamaan yakni menampilkan informasi dalam bentuk gambar, selain itu keduanya juga memiliki fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris sebagai media pembelajaran. Akan tetapi disamping sejumlah persamaan tersebut, kedua media ini berbeda dalam hal penyajiannya. Jika media animasi disajikan dalam bentuk penggambaran yang bergerak (visual gerak), berbeda halnya dengan media komik, media komik menyajikan informasi dalam bentuk gambar yang diam (visual diam). Dalam kerucut pengalaman Edgar Dale, 30% informasi yang diperoleh oleh siswa berasal dari media visual, akan tetapi media yang bergerak (animasi) lebih dapat diingat dan dipahami oleh siswa dibandingakan denga gambar yang tidak bergerak (komik). Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 1 Parung, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan masih tergolong rendah hal ini didasarkan pada hasil belajar siswa yang hampir 50% di bawah KKM. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui perbedaan media animasi berkarakter dengan penyajian gambar yang bergerak, dan media komik dengan penyajian gambar yang diam pada konsep sistem pencernaan terhadap hasil belajar siswa. Melalui penelitian ini, penggunaan kedua media ini diharapkan dapat menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode ini dinamakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic (Sugiono, 2010). Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen (eksperimen semu), yaitu penelitian yang tidak dapat memberikan kontrol penuh. Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik komparasi. Dalam penelitian ini sampel yang telah diambil dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II. Kelompok eksperimen I diberikan perlakuan dengan menggunakan menggunakan media pembelajaran berupa animasi, dan kelompok Eksperimen II diberi perlakuan dengan menggunakan media komik. Adapun desain penelitian menggunakan Two Group Pretest-Postest Design. Untuk hasil kognitif, pada awal kegiatan penelitian, siswa akan dikenakan test awal (pretest) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pada penelitian ini terdapat dua kelompok yang sama-sama diberi perlakuan.Kelompok I atau kelas eksperimen I merupakan kelas yang diberi perlakuan pengajaran dengan menggunakan media animasi, sedangkan kelompok II atau kelas eksperimen II adalah kelas yang diberikan perlakuan pengajaran dengan menggunakan media komik. Kedua variabel tersebut merupakan variabel X. pada akhir penelitian kedua
111
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
kelompok ini akan dikenakan test akhir (posttest). Hasil kedua penelitian tersebut akan dipakai sebagai data penelitianuntuk diolah dan dibandingkan hasilnya. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Parung. Populasi terjangkau adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Parung sebanyak 9 kelas. Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel dilakukan dengan dua cara. Penentuan sampel mula-mula menggunakan teknik purposive sampling. Sampel diambil dari VIII-1 yang terdiri atas 33 siswa dan VIII-2 yang terdiri atas 35 siswa. Tujuan pengambilan kelas VIII-1 dan VIII-2 berdasarkan kebijakan guru karena memiliki tingkat pemahaman sama. Selanjutnya penentuan sampel untuk dijadikan kelas eksperimen I dan eksperimen II dilakukan secara acak (random sampling). Dalam hal ini kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen I dan kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen II. Penentuan secara acak ini dimaksudkan agar peneliti dalam menentukan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II tidak bersikap subjektif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes dan non-tes. Tes berupa pilihan ganda sebanyak 25 dengan empat pilihan jawaban. Test ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu dengan cara pengambilan soal pretest dan posttest. Soal pretest diberikan kepada siswa sebelum pembelajaran, test berupa soal pilihan ganda. Sementara soal posttest diberikan kepada siswa setelah pembelajaran. Sedangkan instrument nontes berupa angket. Angket mengukur tingkat persepsi siswa terhadap media yang digunakan oleh guru, angket terdiri dari sebelas pernyataan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda dengan empat pilihan. Soal test disusun berdasarkan ruang lingkup materi serta disesuaikan dengan pengukuran ranah kognitif, yang meliputi aspek ingatan, pemahaman, aplikasi, dan analisis siswa pada konsep pencernaan. Selain menggunakan tes tertulis, penelitian ini juga menggunakan angket sebagai alat bantu dalam mendukung penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini disajikan data dari dua kelompok subjek penelitian, yaitu kelompok yang menggunakan media animasi (eksperimen I) dan kelompok yang menggunakan media komik (eksperimen II) yang diambil dari hasil pretest dan posttest. Tabel 1. Data Pretest dan Postest Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi Nilai terkecil Nilai terbesar Mean Median Modus Standar deviasi
Pretes Eks. I 32 64 44.44 45 46.5 8.24
Postes Eks. II 32 64 47.77 47.83 47 9.58
Eks. I 52 96 83.16 85.37 87.71 9.57
Eks. II 48 96 74.55 75.94 79.7 11.58
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai mean pretest eksperimen I dan eksperimen II memiliki selisih 3.33, ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelas. Setelah diberi perlakuan, nilai mean posttest kelas eksperimen I lebih besar dari pada kelas Eksperimen II dan memiliki selisih yang cukup besar, yaitu 8.61. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang dijar dengan menggunakan media animasi dan media komik Hal ini sejalan dengan pengujian hipotesis data pretest yang dilakukan, diperoleh bahwa thitung < ttabel (1.51 < 1.67), dapat diartikan bahwa thitung berada diluar daerah penolakan H0 atau dengan kata lain H0 diterima. Sehingga pernyataan hipotesisnya adalah tidak terdapat perbedaaan antara hasil belajar siswa yang menggunakan media animasi dengan media komik. Hal ini menunjukan bahwa kelas yang menggunakan media animasi (eksperimen I) dan kelas yang menggunakan media komik (eksperimen II), kedua kelas terebut sudah memiliki kemampuan awal yang sama sehingga memenuhi persyaratan sebagai sampel penelitian.
112
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Setelah diberi perlakuan pada kedua kelas dalam proses pembelajaran, hasil uji hipotesis data posttest diperoleh bahwa thitung > ttabel (3.84 >1.67), dapat diartikan bahwa thitung berada diluar daerah penerimaan H0 atau dengan kata lain H0 ditolak. Maka , hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar biologi siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata hasil belajar biologi yang diajar dengan menggunakan media komik diterima pada taraf signifikansi 5%. Dengan demikian terdapat perbedaan hasil belajar dari kedua kelas. Tabel 2. Nilai N-gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi
Eks. I
Eks. II
N Rendah Sedang Tinggi
35 2.86 % 45.71 % 51.48 %
33 15.15 % 69.70 % 15.15 %
Rata-rata
0.68
0.52
Untuk mengetahui keunggulan dari kedua media maka dilakukan pengukuran peningkatan hasil belajar, berdasarkan penghitungan N-gain hasil belajar. Didapatkan kriteria N-gain kelas eksperimen I dan eksperimen II dalam kategori sedang, akan tetapi, nilai N-gain kelas eksperimen I mendekati kiteria tinggi (0.63) jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II dalam nilai N-gain kelas eksperimen II (0.58). Tingginya nilai N-gain pada kelas eksperimen I dikarenakan sebanyak 51.43 % siswa mengalami peningkatan ke kriteria tinggi, bila dibandingkan dengan kelas eksperimen II yang hanya 15.15 % siswa yang dapat mengalami peningkatan ke kriteria tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa media animasi lebih baik dibandingkan dengan media komik. Tabel 3. Nilai Rata-Rata Gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Kelas Eks. I Jumlah Eks.II Jumlah
Rata-rata Gain C2 C3 2.6 2.486
C1 2.171 2.152
4.771 2.485 4.637
C4 2.3429 4.829
1.242
0.9697 2.212
Agar dapat mengetahui lebih lanjut mengenai peningkatan hasil belajar siswa, maka peneliti mengukur empat jenjang pengetahuan yang digunakan dalam penelitian, yaitu jenjang C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis). Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenjang pengetahuan yang mengalami peningkatan tertinggi. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa peningkatan gain pada kelas eksperimen I berbeda dengan kelas eksperimen I, baik pada jenjang C1, C2, C3, maupun C4. Kelas eksperimen I memiliki nilai gain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II. Khususnya pada jenjang C3 dan C4. Hal ini dikarenakan jenjang C3 dan C4 mewakili soal-soal yang berhubungan dengan sebuah peristiwa, konsep dan hubungan, sehingga siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi cenderung lebih dapat mengingat informasi karena informasi disajikan secara lebih konkret dan dapat menghindari salah persepsi oleh siswa. Tabel 4. Data Angket Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi Menyerap Memahami Menilai Rata-rata
Eks. I 80 % 82 % 84% 82%
Kriteria Amat baik Amat baik Amat baik -
113
Eks. II 75% 76 % 75% 75%
Kriteria Baik Baik Baik -
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Kelebihan media animasi sejalan dengan hasil angket yang diisi oleh siswa. Siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi memiliki tingkat penyerapan dan pemahaman materi yang sangat baik jika dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan menggunakan media komik. Pada Tabel 4 terlihat bahwa rata-rata persepsi siswa terhadap media animasi sebesar 82 %, hal ni berbeda nyata dengan siswa yang diajarkan dengan media komik yang memiliki rata-rata sebesar 75 %. Terkait dari hasil persentase yang diperoleh, hasil penelitian Rotbain, dkk dalam artikel yang berjudul Using a Computer Animation to Teach High School Molecular Biology, mengindikasikan bahwa kelompok siswa yang menggunakan animasi komputer memperlihatkan pemahaman konsep yang signifikan (Robtain et al., 2008) Selain mengukur daya serap dan tingkat pemahaman siswa, hasil angket ini juga mengukur penyajian kedua media, berupa bahasa yang digunakan, alur, kesesuaian media dengan materi pembelajaran serta daya humor kedua media. Berdasarkan hasil penghitungan angket didapatkan bahwa isi media animasi lebih baik dibandingkan dengan media komik. Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang menganggap komik tidak terlalu mengandung unsur humor, sehingga mempengaruhi hasil penghitungan angket. Pada media aniamasi unsur humor dapat tergambar baik melalui gerakan-gerakan, yang tidak dapat digambarkan oleh media komik. Sebagai bentuk umpan balik untuk mengukur pemahaman siswa dalam menerima informasi dibagian eksplorasi, kedua kelas diberikan lembar kerja siswa (LKS) yang dielaborasikan dengan pembelajaran kooperatif tipe think, pairs and share (TPS). Adapun tahap-tahap TPS yang digunakan di kdua kelas adalah sebagai berikut; Tahap think, siswa di kedua kelas mengerjakan LKS secara individu. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan setiap siswa dalam menerima informasi yang diberikan melalui media. Berdasarkan observasi peneliti, baik siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi ataupun dengan menggunakan media komik tidak memiliki kesulitan yang berarti ketika mengerjakan LKS; Tahap pairs, siswa berpasangan dengan teman sebangku untuk mendiskusikan jawaban dari LKS yang telah diisi secara individu. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling mencocokkan jawaban dan mengetahui jawaban yang tepat dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di LKS melalui kegiatan diskusi;Tahap share, beberapa siswa diminta untuk menginformasikan jawaban dari LKS tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan jawaban yang telah dikerjakan secara individu dan diskusi bersama teman sebangku terhadap siswa lain, sehingga menjadi bahan diskusi bersama terkait jawaban yang paling tepat. Setelah dilakukan penghitungan nilai LKS yang menjadi alat ukur umpan balik media, kelas eksperimen I memperoleh nilai yang lebih tinggi (82) dibandingkan kelas eksperimen II (80). Hal tesebut menunjukan bahwa pembelajaran konsep sistem pencernaan manusia yang dieksplorasikan dengan menggunakan media animasi dapat memudahkan siswa untuk memahami berbagai proses yang terjadi selama berlangsungnya pencernaan pada manusia. Animasi menjelaskan konsep sistem pencernaan manusia menjadi lebih rinci khususnya pada proses pencernaan karena animasi menampilkan efek berupa gerakan. Sehingga video animasi mampu membuat suatu konsep yang sifatnya abstrak menjadi konkret. Hal ini didasarkan pada kerucut pengalaman (cone of experience) yang di kemukakan oleh Dale (Arsyad, 2010) Berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan media komik, yang tidak menampilkan efek berupa gerakan. Tentu selama pembelajaran berlangsung, siswa masih agak kesulitan memahami bagaimana proses mencerna makanan. Sekalipun gambar didukung dengan adanya panah-panah yang menandakan bahwa gambar tersebut menunjukkan makna sebuah gerakan, namun siswa masih merasa kesulitan untuk dapat memahami proses pencernaan pada manusia. Menurut kerucut pengalaman Dale, bahwa media gambar komik yang hanya mengedepankan efek visual diam, tentu masih membuat konsep sistem pencernaan manusia terlihat abstrak (Arsyad, 2010) Dilihat dari kaidah pembelajaran, meningkatkan kadar hasil belajar yang tinggi sangat ditunjang oleh peggunaan media pembelajaran. Melalui media potensi indra peserta didik dapat diakomodasi sehingga kadar hasil belajar akan meningkat (Asyhar, 2011). Namun penggunaan media tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan penyampaian informasi terhadap konsep. Media Animasi sebagai media pendidikan, memiliki kemampuan untuk dapat memaparkan sesuatu yang rumit atau kompleks, yang sulit untuk dijelaskan hanya dengan gambar atau kata-kata saja menjadi lebih sederhana dan mudah untuk dipaparkan. Dengan kemampuan ini media animasi sangat baik digunakan untuk
114
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
materi-materi yang secara nyata tidak dapat terlihat oleh mata menjadi lebih tergambarkan dalam bentuk visual. Dengan visualisasi, materi yang dijelaskan dapat tergambarkan dengan baik oleh siswa. Bahkan Hofler dan lautner dalam jurnalnya yang berjudul Instructional animation versus static pictures juga mengidentifikasikan bahwa animasi dapat membantu otak untuk memproses informasi lebih baik, dibandingkan dengan gambar statis yang dapat menimbulkan salah persepsi (Hoffler dan Lautner, 2007). Pemanfaatan media animasi dalam menjelaskan materi yang berhubungan dengan kerja tubuh manusia, seperti halnya pada sistem pencernaan manusia dapat memudahkan siswa untuk menangkap pesan atau informasi selama kegiatan belajar mengajar. Selain itu, media animasi dapat menarik minat dan motivasi siswa selama pembelajaran berlangsung, sehingga memudahkan siswa dalam memahami konsep. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miri Barak, Tamar Ashkar, dan Yhudit J Dori yang dituliskan dalam jurnal yang berjudul Teaching Science via Animated Movies: It’s Effect on Students Learning Outcomes and Motivation, bahwa media animasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan dapat memotivasi siswa dalam belajar (Barak, 2010). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa penggunaan media animasi pada konsep sistem pencernaan memberikan nilai yang lebih baik daripada penggunaan media komik. Hal ini didukung dengan pencapaian nilai rata-rata keseluruhan hasil belajar siswa yang menggunakan media animasi sebesar 83.16. Keberhasilan prestasi siswa dalam proses pembelajaran sangat didukung oleh penggunaan media pembelajaran yang dapat menampilkan suatu proses secara lebih rinci, sehingga konsep-konsep yang tadinya bersifat abstrak menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi dengan siswa yang diajar dengan menggunakan media komik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penghitungan uji hipotesis hasil belajar dengan taraf signifikansi 95% didapat t-hitung sebesar 3.84. Nilai ini berada pada daerah penolakan H0. Berdasarkan perbedaan nilai rata-rata posttest antara kelompok eksperimen I (media animasi) dan kelompok eksperimen II (media komik), kelompok eksperimen I mendapatkan nilai lebih baik daripada kelompok eksperimen II yakni 83.16 > 74.55. Pengaruh dari perlakuan juga terlihat dari rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen I sebesar 0,68 dan untuk kelas Eksperimen II sebesar 0,52. Selain itu, hasil angket menunjukan bahwa persepsi siswa terhadap media animasi menunjukan hasil yang amat baik jika dibandingkan dengan persepsi siswa yang menggunakan media komik yang menunjukan hasil baik. DAFTAR PUSTAKA Arsyad A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Asnawir, Basyiruddin U. 2002.Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press. Asyhar R. 2011.Kreatif mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: GP press. Barak M.2010. Teaching Science via Animated Movies. Fathurrohman, Pupuh, Sobry S. 2007.Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama. Hoffler, Tim N, Detlev L. 2007.Instructional animation versus static picture, Learning and Instruction. Munadi Y. 2008. Media Pembelajaran. Ciputat: Gaung Persada Press. Rotbain, Yosi, Marbach-Ad, Ruth Stavy. 2008. Using a Computer Animation to Teach High SchoolMolecular Biology, Journal of Science Educational Technology, 17. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:CV. Alfabeta, 2010.
115
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PERBEDAAN HASIL BELAJAR BIOLOGI ANTARA PENGGUNAAN KARTU CARD SORT DENGAN INDEX CARD MATCH PADA KONSEP SISTEM REPRODUKSI MANUSIA Titik Kadarsih Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Meiry Fadilah Noor, Nengsih Juanengsih Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Teknik Card Sort dan Index Card Match dapat digunakan untuk pembelajaran aktif di kelas. Kedua teknik ini dapat membuat siswa aktif berpikir (mental) dan aktif bergerak (fisik) secara berkelompok dalam proses pembelajaran, sehingga siswa memperoleh pemahaman dan menguasai konsep yang dipelajari. Namun, pada Card Sort keaktifan siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil, sedangkan Index Card Match dibentuk dari kelompok besar menjadi kelompok kecil (berpasangan). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang diajar melalui strategi pembelajaran aktif teknik card sort dengan teknik index card match pada konsep sistem reproduksi. Populasi penelitian ini adalah siswa SMAN 05 Depok. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain Two Group Pretest-postest design. Sampel ditentukan dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen satu dengan kelas eksperimen dua. Hasil ini diperoleh dari thitung 2,98 dan ttabel 1,99 (2,98 > 1,99) pada taraf signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar biologi antara siswa yang diajar melalui strategi pembelajaran aktif teknik card sort lebih baik (90,50) dibandingkan dengan teknik index card match (88) pada konsep sistem reproduksi manusia. Kata kunci: Pembelajaran Aktif, Hasil Belajar, Card Sort dan Index Card Match
PENDAHULUAN Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memiliki tujuan untuk membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam mengemban amanat tersebut, pemerintah harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi dalam pendidikan baik dalam hal manajemen maupun komponen-komponen yang terkait dalam pendidikan. Salah satu upaya pendidikan nasional dalam pemerataan pendidikan adalah dengan dibangun program wajib belajar 9 (Sembilan) tahun. Sistem pendidikan nasional terus menerus berupaya memberikan inovasi dalam kegiatan kependidikan (BNSP, 2006). Sekolah sebagai salah satu lembaga yang penting dalam upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia, sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang terdapat didalamnya. Kualitas pendidikan di sekolah terlihat dari komponen-komponen yang terkait dalam suatu sistem yaitu guru, metode pembelajaran, kurikulum, siswa, sarana dan prasarana sekolah dan lain sebagainya. Komponen penting dalam sistem pendidikan di sekolah adalah kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar di sekolah, para guru cenderung belum mengoptimalkan pemilihan strategi pembelajaran baik bahan ajar, metode, teknik, maupun media pembelajaran. Ketidakoptimalan menjadikan pembelajaran tidak kreatif dan tidak menarik. Apalagi pembelajaran yang tidak menuntun siswa ikut serta aktif dalam proses belajar. Padahal kesuksesan siswa disertai dengan keaktifannya dalam berfikir, menyusun konsep, dan kebermaknaan dalam belajar (Warsita, 2008).
116
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas menjadikan mereka lebih mudah untuk memahami dan membuat materi pelajaran dapat lebih lama berada dalam memorinya. Salah satu strategi yang diharapkan dapat melibatkan lebih banyak kegiatan pembelajaran siswa secara komprehensif adalah strategi pembelajaran aktif (Rusdiana, 2006; Silberman, 2007). Proses belajar yang mengaktifkan siswa tidak hanya mengandalkan guru dalam mendapatkan materi pembelajaran, namun dibutuhkan teknik yang tepat untuk mendukung aktivitas belajar didalamnya. Penggunaan teknik sebagai suatu cara untuk menyampaikan informasi dalam suatu pembelajaran diperlukan kreativitas guru, sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien sesuai dengan kesederhanaan fasilitas sekolah. Teknik yang dapat digunakan dengan fasilitas yang memadai adalah teknik card sort dan teknik index card match. Kedua tehnik ini menggunakan kartu sebagai alat bantu dalam pembelajaran (Silberman, 2007). Keduanya juga membantu siswa dalam memperkuat daya ingat setelah materi diberikan (Hamruni, 2011). Namun pada Card sort kartu dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori mengenai materi pelajaran (Hamruni, 2011). Sehingga, siswa diaktifkan dengan mencari kartu yang memiliki kategori yang sama dengan memilah-milah kartu yang berada di tangan siswa lain (Kadir, 2008). Sedangkan kartu pada index card match dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok yang berisikan pertanyaan dan kelompok yang berisikan jawaban (Yasin, 2008). Berdasarkan perbedaan tersebut, maka diperlukan pengujian untuk membedakan efektifitas kedua tehnik ini dalam mempengaruhi hasil belajar. Oleh karena itu, dilakukannya perbandingan hasil belajar siswa antara teknik pembelajaran aktif teknik card sort dan index card match. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen jenis quasi experimental. Metode ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabelvariabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen (Arikunto, 2005). Dalam penggunaan metode penelitian ini, peneliti meniadakan kelas kontrol tetapi memberikan perlakuan kepada kedua kelas dan kemudian membandingkannya. Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan two group pretest and postest design, dimana penentuan kelompok eksperimen satu (E1) maupun kelompok eksperimen dua(E2) dipilih secara random (Sugiyono, 2007). Variabel penelitian dengan dua variabel, yaitu strategi pembelajaran dengan card sort sebagai variabel bebas satu (variabel X E1) dan index card match sebagai variabel bebas dua (variabel X E2). Sedangkan hasil belajar biologi siswa sebagai variabel terikat (variabel Y). Dalam penelitian ini, peneliti menentukan seluruh siswa SMAN 5 Depok yang terdaftar dalam semester 2 pada tahun ajaran 2012-2013 sebagai populasi target. Adapun untuk populasi terjangkaunya adalah SMAN 5 Depok kelas XI semester 2 tahun ajaran 2012-2013. Kemudian yang dijadikan sampel adalah dua kelas dari seluruh kelas XI yang ada di SMAN 5 Depok pada semester 2 tahun ajaran 2012-2013, dimana kelas XI A 5 sebagai kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas XI A 4 sebagai kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tes tertulis berupa pilihan ganda yang ditujukan untuk mengukur hasil belajar siswa. Sedangkan lembar observasi digunakan untuk mengamati keterlaksanaan strategi pembelajaran aktif oleh guru dan partisipasi siswa dalam pembelajaran di kelas. Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan pensekoran bentuk soal pilihan ganda sejumlah 35 soal. Adapun indikator hasil belajar merujuk pada Taksonomi Bloom pada tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Penskoran data bentuk soal pilihan ganda yaitu setiap butir soal yang dijawab benar diberi skor 1, dan untuk butir soal yang dijawab dengan salah diberi skor 0. Kemudian data diuji kenormalitasannya dengan uji Liliefors, dan dengan uji Fisher untuk menguji kehomogenannya pada taraf signifikansi 0,05 (. Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t (Sudijono, 2010). Pada penelitian ini juga menggunakan lembar observasi yaitu mengamati keterlaksanaan penerapan Penggunaan kartu oleh peneliti. Lembar observasi ini digunakan oleh pengamat pada setiap kali pertemuan
117
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
proses pembelajaran. Adapun hasil pengamatan lembar observasi tersebut diolah dengan menghitung persentasenya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dikumpulkan dua jenis data yakni kuantitatif dan kualitatif. Adapun data kuantitatif berupa tes bentuk pilihan ganda sejumlah 35 soal. Kemudian data kualitatif berupa lembar observasi keterlaksanaan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil dari pengolahan data berupa tes kognisi dalam bentuk pilihan ganda kepada kedua kelas sebelum dan setelah perlakuan didapatkan statistik kemampuan siswa pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Data Sebelum dan Setelah Perlakuan Data Statistik Nilai tertinggi Nilai Terendah Rata-rata Simpangan baku Jumlah siswa
Eksperimen 1 Pretes Postes 28 60 60 100 44 90,5 9,40 7,7 45 45
Eksperimen 2 Pretes Postes 28 73 63 97 43 88 7,48 6,42 44 44
Berdasarkan data rata-rata pretest di kedua kelas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang jauh di antara keduanya. Setelah diberikan perlakuan, didapatkan perbedaan hasil belajar dengan kelas yang menggunakan teknik card sort lebih baik dibandingkan ICM. Berdasarkan hasil penghitungan uij-t pada data pretest diperoleh thitung < ttabel, (1,28<1,99) maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima. Dengan demikian bahwa hasil pretest kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) tidak berbeda nyata. Maka dapat dinyatakan bahwa kemampuan awal siswa di kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) sebelum proses pembelajaran tidak ada perbedaan yang signifikan. Namun setelah diberi perlakuan, maka hasil uji hipotesis pada skor posttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2), dimana nilai thitung lebih dari ttabel (2,98>1,99). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hasil belajar biologi siswa antara kelas kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) dalam pembelajaran aktif terdapat perbedaan yang signifikan, dimana penggunaan teknik card sort lebih baik dibandingkan dengan teknik index card match dalam strategi pembelajaran aktif. Hasil belajar biologi siswa yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi dari pada hasil belajar biologi siswa yang menggunakan teknik index card match sebesar 90,5 > 88. Walaupun peningkatan hasil belajar di kedua kelas ini dalam kategori tinggi, namun rata-rata ketercapaian penggunaan teknik belajar di kelas E2 lebih tinggi. Kondisi demikian juga dapat terlihat pada aktifitas siswa pada lembar observasi, dimana kelas E1 aktifitas siswa lebih tinggi dibandingkan dengan kelas E2. Hal tersebut dikarenakan dalam pembelajaran menggunakan teknik card sort siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar di kelas. Keaktifan tersebut ditunjukan pada saat siswa bersama-sama mencari kartu dengan kategori yang sama kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil yang memiliki kategori yang sesuai. Hal ini sejalan dengan Widiastusi (2010), dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa dengan menggunakan pembelajaran aktif teknik card sort memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif baik aktif fisik yang ditunjukan dengan pencarian kartu yang satu kategori maupun aktif berkomunikasi yang ditunjukan dengan diskusi kelompok, memberikan pertanyaan maupun menyajikan hasil kerja kelompok melalui presentasi. Menurut Roziq (2012) yang dalam penelitiannya mengatakan bahwa card sort lebih mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan cara membuat kelompok-kelompok kecil, sehingga memungkinkan siswa untuk mendapatkan kelompok yang bervariatif dan lebih mudah dalam proses pembelajaran. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil merupakan salah satu tujuan yang membuat siswa lebih mudah berdiskusi, dimana diskusi kelas merupakan aspek yang sangat penting dari pembelajaran aktif. Dari faktor-faktor tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan teknik card sort lebih efektif dibandingkan menggunakan teknik index card match.
118
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Keefektifan kelas card sort dari pada index card match dapat dilihat dari hasil uji Peningkatan hasil belajar (N-Gain) yang menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan teknik card sort dengan siswa yang menggunakan teknik index card match, hasil yang diperoleh adalah bahwa kelas card sort lebih baik dari kelas index card match. dapat diamati dalam Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-Gain) Kelas Berteknik Card Sort (E1) dan Kelas Berteknik Index Card Match (E2) Kategori
Persentase
Tinggi Sedang Rendah
(EI) 86,70 13,30 0
(E2) 77,30 22,70 0
Kategori
Tinggi
Tinggi
Selama proses pembelajaran dilakukan penilaian aktifitas siswa oleh guru mata pelajaran sebagai observer, penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran mengacu pada lembar observasi dalam bentuk persentase nilai rata-rata kelompok dengan nilai maksimal 100% yang berkategori sangat baik. Hasil pengamatan dari tiga pertemuan oleh observer diperoleh nilai rata-rata pada kedua kelompok baik kelompok kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) maupun kelompok kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2). Adapun persentase hasil penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran diperoleh data yang digambarkan pada Tabel 2. Tabel 3. Data Persentase (%) Hasil Penilaian Aktifitas Siswa Kelas Berteknik Card Sort (E1) dan Kelas Berteknik Index Card Match (E2) Persentase Aktifitas Siswa (%) Aktifitas Siswa E1 E2 Mendengarkan dengan aktif 80 79 Membaca buku siswa 93,3 80 Mengajukan pertanyaan seputar materi 82 80 Berdiskusi dengan anggota kelompok 90 82,3 Mengerjakan Lembar Kerja Siswa 82,3 80,7 Melakukan permainan kartu 100 90 Presentasi 77 79 Membuat Kesimpulan 87 79 Rata-rata 86,45 81,25 Kategori Baik Baik Berdasarkan Tabel 3, persentase ketercapaian hasil penilaian aktifitas siswa dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil observasi tersebut, rata-rata yang diperoleh untuk kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) lebih tinggi dari kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) yaitu sebesar 86,45% termasuk ke dalam kategori baik. Sedang kelas berteknik index card match (E2) sebesar 81,25% dan juga dalam kategori baik. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya kedua teknik ini dapat membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Seluruh indikator dicapai oleh kedua kelas, persentase setiap indikator di kelas eksperimen satu (E1) selalu lebih tinggi dari kelas eksperimen dua (E2). Bahkan pada indikator melakukan permainan kartu mencapai nilai 100%, hal ini menunjukan bahwa saat melakukan kegiatan pelaksanaan teknik card sort semua siswa terlibat dengan antusias yang tinggi. Tetapi pada indikator pelaksanaan presentasi, kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) memiliki nilai lebih kecil di bandingkan dengan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) yakni sebesar 77% dan 79%. Hal ini disebabkan siswa kelas eksperimen dua (E2) lebih siap dan lebih baik dalam melaksanakan presentasi di kelas. Terdapat perbedaan dari hasil penilaian observasi aktifitas siswa untuk kedua kelas, kelas yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi dengan perolehan persentase 86,45% dari pada kelas yang menggunakan teknik index card match dengan perolehan persentase 81,25% (86,45% > 81,25% ), meski
119
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
memiliki kategori yang juga baik. Hal ini dikarenakan semua siswa mengikuti semua aspek dan indikator yang rata-rata memperoleh nilai 4 dari skor ideal 5 pada kelas yang menggunakan teknik card sort berbeda dengan kelas yang menggunakan teknik index card match rata-rata perolehan nilai 3,2 dari skor ideal 5. Kondisi ini menunjukan partisipasi siswa lebih baik pada kelas berteknik card sort dibandingkan dengan kelas berteknik index card match. Diketahui pula pada aspek mendengarkan dengan aktif, membaca buku siswa, mengajukan pertanyaan seputar materi, berdiskusi dengan anggota kelompok, mengerjakan lembar kerja siswa, melakukan permainan kartu dan membuat kesimpulan kelas yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi pencapaiaannya dibandingkan dengan kelas yang berteknik index card match. Dalam kegiatan pembelajaran menggunakan teknik card sort dan index card match peneliti menggunakan metode diskusi kelompok kecil yang disertai kartu sebagai alat bantu dari teknik yang digunakan. Tujuan penggunaan metode diskusi kelompok kecil yang membagi siswa ke dalam berbagai kelompok untuk lebih memfokuskan siswa pada kerja kelompok dan mengikuti langkah-langkah pembelajaran. Langkah pertama siswa menyimak materi yang disampaikan guru, setelah pemberian materi selesai, guru memberikan arahan untuk melakukan teknik pembelajaran menggunakan kartu, setelah siswa merasa siap melakukan permainan kartu, guru memberikan Lembar Kerja Siswa yang akan dikerjakan siswa setelah melakukan permainan kartu. Pada saat pelaksanaan teknik card sort siswa mencari kategori yang sesuai dengan kartu yang dimilikinya dan duduk bersama dalam satu kelompok kemudian mengerjakan LKS yang telah disediakan melalui proses diskusi bersama. Kemudian setelah diskusi selesai siswa diperkenankan melakukan presentasi hasil kerja kelompok masing-masing. Pada pelaksanaan pembelajaran kelas E1 yang menggunakan teknik card sort terlihat siswa antusias melihat kartu-kartu yang dibawa oleh guru. Kemudian ketika siswa dijelaskan tentang mekanisme penggunaan teknik card sort awalnya siswa merasa bingung dan banyak bertanya yang menimbulkan suasana kelas menjadi gaduh. Tetapi setelah guru menerangkan penggunaan teknik card sort siswa mulai mengerti dan siswa mulai fokus menjalankan kegiatan pembelajaran. Pada saat pertemuan pertama siswa masih banyak yang harus mengingat mekanisme penggunaan teknik card sort terlebih jika siswa belum membaca materi yang akan dipelajari sebelumnya, sehingga pada saat pencarian teman dengan kategori yang sama, siswa kebingungan karena tidak dapat menentukan kategori kartu yang dimilikinya. Pertanyaan pun bermunculan dari para siswa mengenai teknik permainan kartu tersebut, guru sebagai fasilitator memberi arahan kepada siswa untuk dapat menemukan kelompoknya. Tetapi pada pertemuan selanjutnya siswa mulai beradaptasi dengan teknik pembelajaran card sort, siswa mulai kompak, antusias mencari teman dengan kategori yang sama, kelas lebih kondusif karena siswa fokus melaksanakan kegiatan pembelajaran. Hal yang berbeda terjadi pada kelas E2, pada pertemuan pertama, setelah guru menjelaskan mekanisme pelaksanaan teknik index card match siswa langsung mengerti dan suasana pembelajaran lebih kondusif. Karena pelaksanaan teknik index card match lebih mudah, hanya mencari pasangan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan kartu yang didapat masing-masing siswa. Pelaksanaan perlakuan pada kelas E1 siswa bekerja sama dengan kelompok dengan kategori yang sama, berdiskusi untuk mengisi LKS dan sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum dipahami, berbeda dengan kelas E2, siswa bekerja sama dengan kelompok dan jarang mengajukan pertanyaan kepada guru. Hal ini dikarenakan pada kelas E2, setiap kelompok sudah memegang kartu masing-masing yang sudah terdapat pertanyaan dan jawaban yang sesuai. Pada kelas E2 interaksi kelompok tergolong rendah, masih ada beberapa siswa yang mengandalkan teman satu kelompok dalam mengisi LKS, sehingga hanya mengkopi pekerjaan teman satu kelompoknya. Berbeda dengan kelas E1, interaksi antar kelompok tergolong lebih baik, karena setiap siswa dalam kelompok aktif mengerjakan LKS dengan kemampuannya masing-masing. Pada aspek presentasi, siswa kelas E2 lebih baik dan lebih memiliki persiapan dalam hal penguasaan materi hal tersebut terbukti ketika kelompok presentator mempresentasikan hasil kerja kelompok, mereka dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Berbeda dengan kelas E1, berdasarkan hasil observasi, satu-satunya aspek yang memiliki presentase lebih kecil dibandingkan kelas E2 adalah pada aspek presentasi, hal ini dikarenakan kebanyakan kelompok presentator belum mampu menjawab pertanyaan kelompok lain dengan baik.
120
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Secara umum dari berbagai aspek yang diteliti, mulai dari aktifitas siswa dalam kelas melalui lembar observasi oleh guru mata pelajaran, kemudian hasil posttest dan N-Gain yang menghasilkan perolehan angka yang signifikan, kelas yang diajar menggunakan card sort lebih baik dibandingkan dengan kelas yang diajar menggunakan teknik index card match terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep sistem reproduksi. Rusdiana dalam jurnalnya mengatakan belajar aktif bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk mengembangkan kemampuan daya pikir dan daya ciptanya yang terlibat langsung dalam proses belajar mengajar, salah satunya melalui teknik card sort (Rusdiana, 2010). SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar biologi siswa antara siswa yang diajar melalui teknik card sort dengan teknik index card match pada konsep sistem reproduksi manusia kelas XI semester 2 SMA Negeri 5 Depok tahun ajaran 2012/2013. Perbedaan tersebut lebih baik pada penggunaan teknik card sort berdasarkan rata-rata hasil belajar dan aktivitas siswa. SARAN Penerapan teknik card sort dan index card match disamakan jumlah kategorinya. Sehingga pada index card match terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kategori yang selanjutnya ditiap kategori tersebut dibagi kembali menjadi 2 kelompok kartu, yaitu kartu pertanyaan dan kartu jawaban. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. _____________. 2010. Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktik), Jakarta: Rineka Cipta. BSNP. 2006.. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Balitbang Depdiknas. Hamruni. 2011. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani. Kadir SF. 2008. Ragam Strategi Pembelajaran. Jurnal Al-Ta’Dib Vol 1 No.1, Rusdiana. 2006. Penerapan Belajar Aktif Dalam Pembelajaran. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Vol 4 No.5. Silberman ML. 2007..Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Sudijono A. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Warsita B. 2008. Teknologi Pembelajaran dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Widiastuti K. Peningkatan Keaktifan Bertanya Siswa Melalui Strategi Motivasi Dalam Model Pembelajaran Aktif Tipe Card Sort di kelas RSBIXI IPA SMAN 01 Surakarta. Skripsi FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Tidak dipublikasikan Uzlul RA. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dengan Strategi Kartu Sortir (Card Sort) Terhadap Prestasi Belajar Fisika Pada Materi Fluida Statis. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisik. Yasin FA. 2008. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang press.
121
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGARUH MEDIA AUDIO-VISUAL (VIDEO) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI PADA KONSEP ELASTISITAS Ika Risqi Citra Primavera Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Iwan Permana Suwarna, M.Pd Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Media audio-visual (video) ini dibuat menggunakan software AVS Video Editor. Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 SMA Negeri 87 Jakarta. Penelitian berlangsung pada bulan November 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control group design dan teknik pengambilan sampel purpossive sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa angket. Data hasil instrumen tes dan nontes dianalisis secara kuantitatif, namun hasil data nontes dikonversi ke dalam bentuk kualitatif. Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil terdapat pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Hasil uji hipotesis terhadap data posttest menunjukkan nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,41 dan nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,99. Nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga 𝐻0 ditolak. Rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan media audio-visual (video) lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih unggul pada jenjang kognitif C2, C3, dan C4. Pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) ini memiliki daya dukung terhadap proses pembelajaran pada kategori baik dengan persentase sebesar 79%. Kata kunci: AVS Video Editor, media audio-visual (video), hasil belajarsiswa, elastisitas.
PENDAHULUAN Fisika adalah salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena atau gejala alam, baik yang bersifat makroskopis (berukuran besar) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran kecil). Gejala-gejala alam tersebut pada mulanya adalah apa yang tertangkap oleh alat indera, misalnya penglihatan, pendengaran, dan indera peraba. Kemudian diolah menjadi suatu konsep-konsep yang bisa menjelaskan kenapa suatu gejala alam bisa terjadi dan berdampak pada gejala alam lainnya. Dengan kata lain, fisika memungkinkan manusia memperoleh kebenaran ilmiah dari gejala-gejala alam, sehingga memudahkan dalam menggambarkan dan mengatur alam. Namun beberapa siswa masih kesulitan mengolah konsep-konsep tersebut. Hal ini tidak lain karena proses pembelajaran terkadang tidak berjalan dengan baik. Ditambah lagi kecenderungan beberapa siswa yang menganggap bahwa fisika adalah pelajaran yang sulit, mereka akan mulai kesulitan saat dihadapkan pada soal-soal yang berisi banyak notasi matematis. Padahal mempelajari fisika bukan hanya menyelesaikan soal-soal yang rumit namun juga pemahaman konsep yang tepat, sehingga dari pemahaman tersebut siswa dapat mengembangkan konsep dan mengaitkannya dengan konsep-konsep lain. Konsep fisika dapat diamati pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan maupun lingkungan sehari-hari. Beberapa fenomena dapat dengan jelas terlihat dan dirasakan oleh alat indera. Namun beberapa lagi terjadi secara cepat, sehingga tidak dapat tertangkap secara langsung karena keterbatasan
122
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
indera manusia,. Jika tidak menggunakan alat bantu dalam mempelajarinya, siswa akan kesulitan mengamati fenomena yang sedang dipelajari. Dengan demikian siswa hanya mengetahui fenomena tersebut dari penjelasan verbal guru. Padahal penjelasan verbal diterima dan diproses oleh siswa secara berbeda-beda. Bagi siswa yang sulit berimajinasi, dia hanya akan terbiasa menghafal konsep fisika tanpa tahu gambaran prosesnya secara nyata. Siswa yang mampu berimajinasi tidak berarti menjadi lebih paham, karena penjelasan tersebut akan divisualisasikan secara berbeda-beda oleh tiap siswa sesuai tingkat imajinasinya masing-masing. Dengan begitu, siswa tidak dapat menguasai konsep secara tepat. Konsep yang tidak tepat itu kemudian akan mengakibatkan miskonsepsi. Dari ketidaktepatan konsep, siswa akan lebih kesulitan lagi meyelesaikan persoalan-persoalan fisika baik secara teori ataupun matematis. Jika dibiarkan terus menerus akan berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat menggambarkan konsep fisika secara nyata. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah video. Video merupakan media audio-visual yang dapat mengungkapkan objek dan peristiwa seperti keadaan sesungguhnya. Dengan menggunakan video, siswa mampu memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna sehingga informasi yang disampaikan melalui video tersebut dapat dipahami secara utuh. Video jarang digunakan dalam pembelajaran fisika, keberadaannya mulai tergeser dengan multimedia lain yang berisi animasi ataupun simulasi. Padahal penggunaan video dapat memudahkan guru menyampaikan materi secara sederhana karena memberi gambaran nyata yang biasa terjadi di kehidupan ataupun lingkungan sehari-hari. Tampilan video juga dapat menjadi daya tarik sehingga mampu mempertahankan perhatian siswa selama video tersebut diputar. Dengan melihat karakteristik media tersebut, salah satu konsep yang sesuai untuk disampaikan menggunakan video adalah elastisitas. Elastisitas merupakan salah satu konsep fisika yang diajarkan di jenjang SMA kelas XI. Materi elastisitas sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari -hari, terlihat dari subkonsep elastisitas yaitu susunan pegas seri paralel yang aplikasinya digunakan dalam shockbreaker, spring bed, dan lain-lain. Beberapa subkonsep lagi berisi banyak notasi matematis yang berasal dari fenomena pegas. Namun beberapa fenomena sulit diamati karena pergerakan pegas berlangsung sangat cepat. Karakteristik dari konsep elastisitas tersebut dapat dijelaskan oleh video. Video dapat memperlambat tampilan gerakan objek dan menampilkan suatu peristiwa seperti keadaan sesungguhnya, contohnya peristiwa gerak harmonis sederhana pada pegas, saat gaya pemulih bekerja pada pegas dan mendorong benda ke posisi kesetimbangan. Peristiwa kembalinya pegas pada keadaan setimbang seringkali sulit diamati. Namun dengan bantuan video, dapat tervisual isasikan besaranbesaran (simpangan, amplitudo, satu gelombang, dan lain-lain) yang terkait ketika pegas itu digetarkan, sehingga proses penyerapan materi elastisitas dapat berlangsung secara maksimal. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media audio-visual (video), dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Menurut Munadi (2010), media audio-visual merupakan peralatan suara dan gambar dalam satu unit, seperti film bersuara, televisi, dan video. Namun, ada pengelompokan lain dari media audio-visual yaitu peralatan visual seperti slide dan OHP yang diberi unsur suara dari rekaman kaset yang dimanfaatkan secara bersamaan dalam satu waktu atau satu proses pembelajaran. Video merupakan salah satu jenis media-audio visual yang merupakan serangkaian gambar gerak yang disertai suara yang membentuk satu kesatuan yang dirangkai menjadi sebuah alur, dengan pesan-pesan di dalamnya untuk ketercapaian tujuan pembelajaran yang disimpan dengan proses penyimpanan pada media pita atau disk.Video memiliki banyak kelebihan yang dapat mengatasi keterbatasan dalam pembelajaran diantaranya, menampilkan suatu objek atau peristiwa seperti keadaan sesungguhnya. Sudjana (2009) menyatakan bahwa hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Pada hakikatnya kemampuan-kemampuan tersebut berupa perubahan tingkah laku yang berdasarkan klasifikasi Bloom mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan-kemampuan yang berupa perubahan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa,
123
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
diukur oleh guru berdasarkan klasifikasi tertentu. Perubahan tingkah laku ini berupa peningkatan atau pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya dan dapat dijadikan tolak ukur oleh guru maupun siswa untuk pembelajaran selanjutnya. Pada penelitian ini, peneliti hanya akan mengukur hasil belajar pada ranah kognitif (C1-C4). Dengan menggunakan video, memvisualisasi konsep-konsep fisika yang terjadi terlalu cepat diharapkan dapat tervisualisasi sehingga siswa dapat memahami konsep tersebut dengan baik dan hasil belajarnya meningkat.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Desain yang digunakan yaitu Nonequivalent Control Group Design.Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak, namun dipilih dengan pertimbangan tertentu agar memiliki homogenitas yang relatif sama. Kemudian diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal kemampuan siswa pada konsep elastisitas. Setelah didapatkan hasil pretest-nya barulah masing-masing kelas diberikan perlakuan berbeda. Kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen diberikan perlakuan menggunakan media audio-visual (video). Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan posttest untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa pada konsep elastisitas setelah diberikan perlakuan. Desain penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Desain Penelitian Kelompok A B
Pretest Y1 Y1
Perlakuan XA XB
Posttest Y2 Y2
Keterangan: A= Kelas eksperimen B = Kelas kontrol XA = Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupapenggunaan media audio-visual (video) XB = Perlakuan yang dilakukan pada kelompok kontrol berupa pembelajarankonvensional, Y1 = Pretest Y2 = Posttest.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 87 Jakarta dengan populasi sasarannya adalah seluruh siswa kelas XI di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling. Data diambil dari hasil pretest dan posttest menggunakan soal pilihan ganda dan data penunjang diambil dari angket respon siswa. Data hasil tes kemudian dianalisis dengan menggunakan uji prasyarat analisis dan uji hipotesis dengan menggunakan uji t. sedangkan respon angket siswa dianalisis secara kuantitatif dan hasilnya dikonversi ke dalam bentuk kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Belajar Siswa Berdasarkan data hasil pretest siswa, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 22,96 dan nilai rata-rata kelas kontrol 23,55. Meskipun demikian, hasil uji homogenitas dari rata-rata hasil pretest menunjukkan bahwa kedua kelas homogen, artinya tidak ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen mengenai konsep elastisitas sebelum diberikan perlakuan. Setelah masing-masing kelas diberikan perlakuan yang berbeda, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 65,82 dan nilai rata-rata kelas kontrol 57,68. Hasil analisis data menunjukkan nilai t hitung = 2,41 dan nilai t tabel = 1,99, artinya nilai t hitung lebih besar dibanding nilai t tabel . Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. Hasil ini pun didukung oleh selisih nilai ratarata posttest dengan pretest antara kedua kelas, kelas eksperimen yang menggunakan media audio-visual (video) lebih unggul sebesar 8,73 dibanding kelas kontrol yang hanya menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa pada ranah kognitif dapat dilihat pada diagram berikut:
124
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
67%
70% 60%
67%
58%
67% 61%
58%
53% 53%
Persentase
50% Pretest Kontrol
40% 28%
30% 21% 20%
27%
23%
23%
Posttest Kontrol
26% 21%
Pretest Eksperimen
13%
10% 0% C1
C2 Ranah Kognitif
C3
C4
Gambar 1. Diagram Hasil Belajar Siswa Pretest dan Posttest Kedua Kelas pada Ranah Kognitif Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa hasil belajar akhir (posttest) kedua kelas mengalami peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest, kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 13%, memahami (C2) 23%, menerapkan (C3) 27%, dan menganalisis (C4) 26%. Sementara kemampuan kelas eksperimen pada saat pretest dalam mengingat (C1) 21%, memahami (C2) 28%, menerapkan (C3) 23%, dan menganalisis (C4) 21%. Pada saat posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 53%, memahami (C2) 58%, menerapkan (C3) 58%, dan menganalisis (C4) 61%. Sementara kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat (C1) 53%, memahami (C2) 67%, menerapkan (C3) 67%, dan menganalisis (C4) 67%. Diagram di atas juga menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas, hasil belajar siswa (posttest) kelas eksperimen lebih unggul pada kemampuan berpikir C 2, C3, C4, sedangkan pada kemampuan berpikir C1, kedua kelas memiliki kemampuan yang sama. Jika ditinjau dari segi peningkatan, hasil peningkatan dari masing-masing ranah kognitif dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: 50%
Persentase
40%
46%
44% 40% 32%
39% 35%
35% 31%
30% Kontrol 20%
Eksperimen
10% 0% C1
C2
C3
C4
Ranah Kognitif
Gambar 2. Diagram Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kedua Kelas pada Ranah Kognitif Hasil peningkatan ini didapatkan dari selisih hasil pretest dan posttest masing-masing kelas. Kelas kontrol unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C 1 (meningkat 40%). Sementara kelas eksperimen lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C2 (meningkat 39%), C3 (meningkat 44%), C4 (meningkat 46%). Respon Siswa terhadap Penggunaan Media Audio-Visual (Video) Hasil data angket yang telah diperoleh selanjutnya dihitung secara kuantitatif, menghasilkan data berupa persentase kemudian dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
125
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 2. Hasil Angket Penggunaan Media Audio-Visual (Video) Kelas Eksperimen Indikator Angket Persentase
Kesimpulan
Perpaduan antara suara dan tampilan
79%
Baik
Tampilan warna dan desain secara keseluruhan
81%
Baik Sekali
Kemudahan isi pesan untuk dipahami
81%
Baik Sekali
Kesesuaian isi video dengan materi pelajaran
75%
Baik
Kesesuaian media dengan pengguna (siswa)
80%
Baik
Rata-Rata
79%
Baik
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa secara keseluruhan penggunaan media audio-visual (video) dalam pembelajaran fisika konsep elastisitas mendapatkan respon yang baik dari para siswa. Artinya, penggunaan media audio-visual (video) menarik bagi para siswa dan mampu membantu siswa dalam memahami materi. Namun pada indikator keempat, didapat persentase sebesar 75%. Hal itu mengindikasikan bahwa sebagian kecil siswa menganggap isi video tidak sesuai dengan materi pelajaran. Meskipun begitu, indikator tersebut tetap berada dalam kategori baik. Pembahasan Dalam penelitian ini, kelas eksperimen unggul dalam meningkatkan kemampuan memahami (C2) sebesar 39%, menerapkan (C3) sebesar 44%, menganalisis (C4) sebesar 46%. Pembelajaran dengan menggunakan media audio-visual (video) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional diantaranya, dengan melihat program video bersama-sama, sekelompok siswa yang berbedabeda bisa membangun kesamaan pengalaman untuk membahas sebuah isu secara efektif, dengan kata lain setiap siswa memiliki pemahaman yang seragam terhadap suatu materi, dalam hal ini pada konsep elastisitas. Hal tersebut menyebabkan kelas eksperimen yang menggunakan media ini memiliki peningkatan kemampuan dalam memahami (C2) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang menekankan pada penyampaian materi secara verbal. Hal ini didukung oleh angket siswa, yaitu sebesar 81% siswa memberi respon yang baik sekali mengenai kemudahan isi pesan untuk dipahami. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryoko (2009), ia menyatakan bahwa media audio-visual (video) dapat memperlancar pemahaman sehingga para siswa dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensinya. Media audio-visual (video) juga menyajikan materi secara bertahap, dimana gerakan ditampilkan secara berurutan (Smaldino, 2011). Dengan begitu, siswa mendapatkan gambaran yang nyata terhadap konsep elastisitas dan mampu menerapkan kembali materi yang telah dipelajarinya, sehingga kemampuan menerapkan (C3) siswa di kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan dalam pembelajaran konvensional dimana siswa hanya dapat membayangkan apa yang disampaikan oleh guru. Hal ini didukung oleh hasil angket siswa yang menolak pernyataan “cuplikan video tidak dapat menggambarkan konsep elastisitas secara nyata”. Artinya, 75% siswa beranggapan bahwa cuplikan video dapat menggambarkan materi secara nyata. Hasil validasi ahli materi pun pada indikator kesesuaian cuplikan video dalam menggambarkan aplikasi dari konsep elastisitas mendapat skor 4 (kategori baik), keterwakilan penjelasan konsep oleh cuplikan video dalam media mendapat skor 5 (kategori sangat baik). Penampilan video yang dapat diulang sesuai dengan keinginan, membuat para siswa termotivasi untuk mengamati dan menganalisis fenomena dalam kehidupan sehari-hari (Smaldino, 2011). Walaupun diulang, siswa tidak mengalami kejenuhan, sebaliknya, siswa dapat lebih paham dengan pengulangan tampilan video dalam cuplikan tertentu. Hal ini didukung oleh angket siswa yang menunjukkan 81% siswa beranggapan bahwa tampilan media menarik sehingga tidak membosankan. Ditambah lagi, cuplikan video berisi beberapa
126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya gambaran terhadap fenomena tersebut dan disajikan dengan tampilan menarik, siswa akan lebih termotivasi karena konsep yang sedang ia pelajari itu ada di sekitarnya, sehingga siswa mampu menganalisis konsep tersebut. Hal itu yang menyebabkan hasil belajar siswa pada ranah kognitif dalam tingkatan menganalisis (C4) yang menggunakan media audio-visual (video) lebih unggul dibanding kelas kontrol yang hanya didominasi oleh ceramah. Namun pada kemampuan mengingat (C1), hasil belajar siswa yang menggunakan media audio-visual (video) lebih rendah (meningkat sebesar 32%) dibandingkan dengan kelas kontrol yang diberikan perlakuan pembelajaran konvensional (meningkat sebesar 40%). Pembelajaran konvensional cenderung berorientasi pada target penguasaan materi dengan cara menghapal karena pembelajaran didominasi oleh ceramah. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Haryoko dalam penelitiannya. Dari sisi penguasaan materi, menghapal terbukti berhasil dalam meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam jangka panjang dan juga proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lama (Haryoko, 2009). Penyajian materi melalui ceramah pun hanya akan mempermudah siswa yang memiliki tipe belajar auditif, karena mereka terbiasa memahami materi pembelajaran dengan mengandalkan pendengaran. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang didominasi oleh ceramah, keberhasilan media audiovisual (video) salah satunya disebabkan karena siswa menyerap materi lebih banyak saat menyaksikan video. Hal ini juga dikemukakan oleh Porter (2010), penggagas Quantum Learning, bahwa manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dilakukan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio-visual), 30% dari yang dilihat, 20% dari yang didengar, dan hanya 10% dari apa yang dibaca. Hasil pengamatan dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa beberapa siswa memiliki tipe belajar auditif, dan sebagian lagi memiliki tipe visual. Dengan begitu pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) dapat menyentuh gaya belajar setiap siswa. Siswa yang terbiasa mengandalkan pendengaran dalam pembelajaran (tipe auditif) akan terbantu dengan adanya narasi dan backsound di dalam video. Sedangkan siswa yang mengandalkan penglihatan (tipe visual) akan terbantu dengan gambaran yang ditampilkan oleh video. Terbukti respon siswa terhadap perpaduan antara suara dan tampilan video berada dalam kategori baik (79%) serta tampilan warna dan desain secara keseluruhan berada dalam kategori baik sekali (81%). Hasil validasi ahli media pada indikator keterlibatan beberapa indera mendapatkan skor 4 (kategori baik). Berdasarkan penjelasan di atas, pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Oleh sebab itu dapat diambil kesimpulan bahwa media audio-visual (video) berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Pengaruh tersebut terlihat dari: 1. Pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) terbukti lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Sedangkan pembelajaran di kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat (C1). 2. Respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) berada pada kategori baik. SARAN Pada penelitian ini terdapat dua kelemahan. Pertama, tampilan video kurang membangun interaktivitas siswa dalam pembelajaran, solusi untuk kelemahan ini adalah dibutuhkan desain dan skenario yang matang untuk membuat video yang dapat berinteraksi dengan siswa serta membuat siswa tidak sadar sedang belajar dan mampu bertahan dalam menonton video yang ditampilkan. Kedua, kurang mendalamnya materi yang disajikan, sehingga saran yang dapat diajukan untuk penelitian ke depan, yaitu menambahkan materi ke dalam video secara efektif sehingga durasinya tidak menjadi terlalu lama.
127
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DAFTAR PUSTAKA A Sahertian P. 2008.Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Afifah N, dkk. 2013. Penerapan Pendekatan Kontekstual Menggunakan Media Video untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Kelas XI RPL 1 SMKN 8 Semarang. Seminar Nasional 2nd Lontar Physics Forum. Ariani N, Haryanto D. 2010.Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Arikunto S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IX. ------------------------. 2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. XII. Arsyad A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XV. Daryanto. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. V. Dimyati. Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III. E. Barron A, et al. 2002.Technologies for Education. United States: Libraries Unlimited, Fourth Edition. E Smaldino S, et a.l. 2011.Instructional Technology and Media for Learning. Jakarta: Kencana Prenada Group, Cet. I. Fansuri H. 2013. Penerapan Video Pembelajaran untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas X Teknik Fabrikasi Logam pada Mata Pelajaran Teori Las Oxy-Acetylene di SMK Negeri 1 Seyegan. Jurnal Skripsi UNY. Fechera B, dkk. 2012.Desain dan Implementasi Media Video Prinsip-Prinsip Alat Ukur Listrik dan Elektronika. Portal Jurnal UPI. 8. George M, Nalliveettil, Odeh H, Ali. 2013.A Study on the Usefulness of Audio-Visual Aids in EFL Classroom: Implication for Effective Instruction. Sciedu Press. 2. Hamalik O. 2008.Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, Cet. VIII. Haryoko S. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-Visual sebagai Alternatif Optimalisasi Model Pembelajaran. Jurnal Edukasi Elektro. 5. Ikrayenti Y, dkk. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbentuk Video Tutorial Berbahasa Inggris pada Pembelajaran Fisika SMA. Pillar of Physics Education. 1. Kanginan M. 2002. Fisika 2A untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. M Soelarko, R. 1980. Audio Visual: Media Komunikasi Ilmiah Pendidikan Penerangan. Bandung: Binacipta, Cet. I. Munadi Y. 2010.Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. 3. Munir. 2012. Multimedia: Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Quarcoo NR., et al. 2012.Impact of Audio-Visual Aids on Senior High School Student’s Achievement in Physics. Eurasian Journal of Physics and Chemistry Education. Rusman, dkk. 2012.Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rawajali Press, Cet. II. S Sadiman A, dkk. 2011.Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XV. Sudijono A.2008.Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudijono A.2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudjana N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. XIV. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito, Cet. I. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Trianto. 2010.Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kencana, Cet. I. Usman H, Setiady A, Purnomo.1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. WA Lorin, R Krathwohl, David. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: a revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Zhang D, et al.2006.Instructional Video in E-Learning: Assessing the Impact of Interactive Video on Learning Effectiveness. Elsevier.
129
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) UNTUK MENGOPTIMALKAN PRAKTIKUM VIRTUAL LABORATORY MATERI INDUKSI ELEKTROMAGNETIK Novitasari Pendidikan Fisika, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
Email:
[email protected] Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng Dosen Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lampung
Abstrak Perubahan medan magnetik dijadikan objek yang ditinjau dalam Materi Induksi Elektromagnetik. Alat praktikum nyata sulit menvisualisasikan perubahan medan magnetik terjadi saat magnet bergerak terhadap kumparan. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan praktikum visrtual laboratory menjadi pilihan yang tepat untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Salah satu upaya guru agar siswa tidak hanya mencapai tujuan pembelajaran kognitif produk tetapi juga proses (KPS siswa), guru membutuhkan LKS untuk mengoptimalkan praktikum virtual laboratory. Tujuan penelitian pengembangan ini untuk mengetahui bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik, mengetahui hasil belajar ranah kognitif produk dan KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan. Subjek penelitian dalam penelitian pengembangan ini adalah siswa kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung. Penelitian pengembangan ini memiliki tujuh tahapan pengembangan yang terdiri dari analisis kebutuhan, identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, identifikasi spesifikasi produk, pengembangan produk, uji internal (uji materi, uji desain, uji kesesuaian RPP dengan LKS yang dikembangkan dan alat praktikum virtual laboratory, uji kualitas LKS, dan uji satu lawan satu), uji eksternal (uji kelompok kecil, uji kemenarikan dan kemudahan LKS), dan produksi. Berdasarkan penelitian pengembangan ini, dapat disimpulkan bahwa bentuk LKS yang dikembangkan dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik. Hasil belajar kognitif produk setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan telah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS. Kata Kunci: LKS, praktikum virtual laboratory, Induksi Elektromagnetik, KPS, Hasil belajar
PENDAHULUAN Pembelajaran fisika tidak hanya menekankan pada suatu penguasaan kumpulan pengetahuan, tetapi juga suatu proses penemuan. Hal ini mengakibatkan proses penguasaan kumpulan pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran ditekankan pada pemberian pengalaman langsung. Oleh karena itu, pembelajarannya dilaksanakan dengan menggunakan model inkuiri dan metode eksperimen. Model inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran berpusat pada siswa (Student Center Learning). Model inkuiri cocok digunakan dalam kegiatan pembelajaran karena pembelajarannya menekankan pada proses penemuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suyanto (2006:11) yang menyatakan bahwa esensi dari model pembelajaran inkuiri untuk melibatkan siswa dalam masalah yang sesungguhnya dengan cara memberikan tantangan kepada suatu area (lingkup) penyelidikan, membantu mereka untuk mengidentifikasi suatu masalah secara konseptual atau bersifat metodologis, dan merekayasa mereka untuk merancang cara pemecahan masalah tersebut. Pernyataan tersebut secara impilit mengungkapkan bahwa materi pelajaran tidak diberikan secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model tersebut. Melainkan siswa dituntut untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing. Model inkuiri terbagi menjadi berbagai jenis inkuiri. Tentunya, pemilihan jenis inkuiri yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran bergantung pada kondisi siswa yang ada di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara tak langsung dengan guru yang mengajar di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung, guru belum pernah menggunakan model pembelajaran inkuiri. Model inkuiri yang belum pernah digunakan dalam proses
130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
pembelajaran di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung mengakibatkan siswa belum berpengalaman belajar dengan model inkuiri sehingga guru perlu menyediakan bimbingan dan petunjuk dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, model yang cocok digunakan dalam penelitian pengembangan yang dilaksanakan di IX SMPN 1 Bandar Lampung adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry). Keunikan dari model pembelajaran tipe inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tipe lainnya menurut Trowbridge dalam Sahrul (2009:1) adalah guru dapat memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran. Selain itu, Inkuiri terbimbing biasanya digunakan terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Oleh karena itu, pembelajaran di SMPN 1 Bandar Lampung yang belum terbiasa dengan penggunaan model inkuiri membuat jenis inkuiri terbimbing menjadi pilihan. Metode yang sesuai dengan model inkuiri terbimbing dan tepat digunakan dalam pembelajaran fisika adalah metode eksperimen. Hal ini dikarenakan cara penyajian pembelajarannya bersifat pemberian pengalaman langsung. Djamarah & Zain (2010:84) mengungkapkan bahwa cara penyajian pembelajaran dalam metode eksperimen berkarakteristik siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Selain itu, sejumlah kegiatan mengekspesikan pengalaman langsung didalam metode eksperimen di mana siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen sendiri berdasarkan langkah-langkah yang telah ditentukan, yaitu mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu obyek, keadaan atau proses sesuatu. Pemilihan dan penyelenggaraan metode pembelajaran tidak hanya memperhatikan karakteristik siswa dan jenis pelajaran yang dibelajarkan, namun materi pembelajaran yang dibelajarkan perlu diperhatikan. Garis medan magnetik yang merupakan objek yang akan ditinjau dalam Materi Induksi Elektromagnetik membuat guru dituntut dapat menyelenggarakan praktikum di mana garis medan magnetik seolah-olah dapat diamati. Alat praktikum nyata belum tentu dapat memvisualisasikan garis medan magnetik agar dapat terlihat sehingga praktikum dilakukan bersifat virtual yang diselenggarakan dalam laboratorium virtual atau virtual laboratory. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:851 dan 1801), laboratorium virtual adalah ruangan yang dilengkapi dengan peralatan khusus untuk melakukan percobaan maya. Peralatan tersebut software dan hardware yang mendukung percobaan maya. Software dapat berupa suatu multimedia interaktif dan hardware dapat berupa seperangkat komputer, LCD, dan sebagainya yang dapat mendukung dilakukannya percobaan maya. Berdasarkan hasil observasi secara langsung di SMP N 1 Bandar Lampung mengungkapkan bahwa SMPN 1 Bandar Lampung sudah memiliki LCD dan seperangkat komputer yang ada di dalam laboratorium multimedia. Hal ini menjadikan penyelenggaraan praktikum virtual laboratory dalam kegiatan pembelajaran adalah pilihan yang tepat. Selain karakteristik siswa, jenis pelajaran yang dibelajarkan, dan materi pembelajaran, Trianto (2011:137) juga mengungkapkan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelaksanaan praktikum adalah pengadaan alat dan bahan dan ketersediaan waktu. Dari segi alat dan bahan, jumlah alat dan bahan di dalam melakukan sebuah percobaan harus cukup untuk tiap siswa sehingga siswa dapat merasakan sendiri pengalaman dari kegiatan percobaan yang dilakukan. Selain itu, kondisi alat dan bahan yang akan digunakan harus baik dan bersih sehingga sebelum melakukan praktikum atau percobaan diperlukan persiapan untuk mengecek masing-masing alat dan bahan. SMPN 1 Bandar Lampung yang sudah memiliki satu LCD di setiap kelas dan laboratorium, jumlah perangkat komputer yang sesuai dengan rombel siswa dalam laboratorium multimedia, dan setiap siswa juga telah memiliki laptop, menjadikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyeleggaraan pelaksanaan praktikum tidak perlu dikhawatirkan dan dapat dipastikan penyelenggaraan praktikum dalam berjalan dengan lancar dan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Banyak sekali jenis sajian multimedia yang dapat mendukung metode eksperimen. Salah satunya adalah format sajian multimedia. Tujuan format sajian ini adalah pengguna diharapkan dapat menjelaskan suatu konsep atau fenomena tertentu berdasarkan eksperimen yang dilakukan secara maya. Format sajian ini lebih ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat eksperimen, seperti kegiatan praktikum dalam laboratorium fisika. Format sajian ini menyediakan serangkaian alat dan bahan yang kemudian dilanjutkan dengan
131
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
kegiatan eksperimen berdasarkan petunjuk yang telah disediakan (Daryanto, 2010:54). Contoh sajian multimedia yang menampilkan cara eksperimen adalah berbagai eksperimen maya yang dikembangkan Universitas Colorado dalam bentuk program PhET. Siswa seolah-olah melakukan serangkaian kegiatan eksperimen (mulai dari menyiapkan dan merangkai alat dan bahan sampai melakukan percobaan) dalam sajian multimedia percobaan. Penyelenggaraan praktikum belum cukup dengan mengandalkan adanya media. Perlu adanya Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dapat mengoptimalkan media tersebut sehingga siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Hal ini dikarenakan LKS memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh siswa, membuat penilaian tidak hanya dilihat dari segi hasil belajar kognitif produk tetapi juga proses (Keterampilan proses sains siswa) (Trianto, 2010:222). Selain itu, belum ada LKS yang dapat mendukung program PhET yang digunakan dalam kegiatan praktikum. Menindaklanjuti kondisi tersebut, Penulis mencoba memberikan alternatif dengan membuat LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory Materi Induksi Elektromagnetik. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Mengoptimalkan Praktikum Virtual Laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik.” Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Eketromagnetik, hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa yang menggunakan LKS yang telah dikembangkan. METODE Subjek penelitian dalam penelitian pengembangan ini adalah seluruh siswa kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 6 kelas dengan masing-masing kelas berjumlah 24 orang. Penelitian pengembangan dalam penelitian ini berpedoman pada prosedur pengembangan Suyanto dan Sartinem (2009:322). Prosedur pengembangan ini memiliki tujuh tahap pengembangan produk, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, (3) identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna, (4) pengembangan produk, (5) uji internal: uji kelayakan produk, (6) uji eksternal: uji kemanfaatan produk oleh pengguna, dan (7) produksi. Tahap analisis kebutuhan dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap salah satu orang guru Fisika SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dilakukan dengan cara observasi langsung di SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi spesifikasi produk diawali dengan melakukan analisis kurikulum, kemudian menyusun peta kebutuhan LKS, menentukan jumlah LKS, dan menentukan format LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory dengan memperhatikan hasil analisis kebutuhan dan hasil identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan. Hasil dari identifikasi sumber daya dijadikan sebagai panduan untuk tahap pengembangan produk. Tahap pengembangan produk dilakukan dengan cara merancang produk berdasarkan tahap sebelumnya yang disesuaikan dengan KPS yang dapat dimunculkan dalam LKS yang dikembangkan. Hasil dari pengembangan produk ini menjadi prototipe I. Tahap uji internal dilakukan dengan cara menguji prototipe I melalui uji materi, uji desain, uji kualitas LKS, uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory, dan uji satu lawan satu. Kelima uji tersebut menghasilkan data kualitatif. Selanjutnya dilakukan revisi berdasarkan hasil yang telah diperoleh. Hasil revisi uji internal dijadikan sebagai prototipe II. Tahap uji eksternal dilakukan dengan cara menggunakan LKS dalam kondisi pembelajaran yang sebenarnya untuk melihat hasil belajar kognitif produk, KPS, keefektifan produk, kemenarikan, dan kemudahan menggunakan produk. Hasil prototipe II akan dikenakan uji eksternal yaitu uji kebermanfaatan produk oleh pengguna. Pada uji ini, produk diberikan kepada siswa untuk digunakan sebagai media belajar. Desain penelitian yang digunakan dalam uji kebermanfaatan produk oleh pengguna adalah desain one shot study case di mana sampel diberikan treatment yaitu penggunaan produk di dalam pembelajaran kemudian sampel diberi soal posttest dilihat dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk. Gambar Desain one shot study case dapat dilihat pada gambar 1. Sebelum posttest dilakukan, instrumen soal posttest diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Setelah valid dan reliabil, uji Keefektivan produk (LKS) dilihat dari segi
132
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dilakukan di kelas IX.3 yang berjumlah 24 orang siswa. Tentunya penilaian tidak hanya dilakukan dengan memberikan soal posttest, namun penilaian KPS siswa juga dilakukan selama proses pembelajaran.
X
O
Gambar 1. Desain One Shot Case Study Di mana
X: Treatment, penggunaan produk O: Hasil belajar siswa, posttest
Selain uji coba kemanfaatan produk oleh pengguna dari segi keefektivan produk dilihat dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, uji coba kemanfaatan produk oleh pengguna juga dilihat dalam segi kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk. Kemudian dilakukan revisi berdasarkan hasil dari uji eksternal dan dijadikan sebagai prototipe III. Prototipe III merupakan produk yang diproduksi dalam penelitian pengembangan ini. Secara keseluruhan, data, jenis data, sumber data, dan jenis instrumen penilaian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
No 1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
Tabel 1. Data, Jenis Data, Sumber Data, dan Jenis Instrumen Penilaian Jenis Instrumen Data Jenis data Sumber Data Penilaian Satu orang dosen yang Uji desain Data Kualitatif Lembar angket ahli desain Satu orang dosen yang Uji materi Data Kualitatif Lembar angket ahli materi Uji kesesuaian RPP dengan Dua orang dosen yang LKS dan alat praktikum Data Kualitatif Lembar angket ahli dalam bidang sains virtual laboratory Dua orang guru fisika Uji Kualitas LKS Data Kualitatif SMPN 1 Bandar Lembar angket Lampung Uji kemanarikan dan Data siswa-siswa kelas IX.3 Lembar angket kemudahan Kuantitatif Uji keefektivan dalam segi ketercapaian tujuan Data siswa-siswa kelas IX.3 Tes Hasil Belajar pembelajaran kognitif Kuantitatif produk Uji keefektivan dalam segi Data siswa-siswa kelas IX.3 Lembar Observasi KPS Siswa Kuantitatif
Teknik analisis data penilaian untuk uji materi, uji desain, uji kualitas LKS, dan uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory memiliki 2 pilihan jawaban sesuai konten pertanyaan, yaitu: “Ya” dan “Tidak”. Revisi dilakukan pada konten pertanyaan yang diberi pilihan jawaban “Tidak”, atau para ahli memberikan masukan khusus terhadap LKS yang sudah dibuat. Sedangkan teknik analisis instrumen penilaian uji kemudahan dan uji kemenarikan LKS memiliki 4 pilihan jawaban sesuai konten pertanyaan, misalnya: “sangat menarik”, “menarik”, “kurang menarik” dan “tidak menarik” atau “sangat mudah”, “mudah”, “sulit” dan “sangat sulit”. Skor penilaian dari tiap pilihan jawaban ini dapat dilihat dalam Tabel 2. Data kemenarikan dan kemudahan LKS sebagai sumber belajar diperoleh dari siswa sebagai pengguna. Angket respon terhadap penggunaan produk.
133
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 2. Skor Penilaian terhadap Pilihan Jawaban Pilihan Jawaban Pilihan Jawaban Skor Sangat menarik Sangat mudah 4 Menarik Mudah 3 Kurang menarik Sulit 2 Tidak menarik Sangat sulit 1 Rumus yang digunakan untuk menentukan kemenarikan dan kemudahan LKS yang dikembangkan adalah sebagai berikut: (1) dengan (2) Keterangan: = rata-rata akhir = nilai uji operasional angket tiap siswa banyaknya siswa yang mengisi angket
Hasil penilaian uji ahli desain dan isi diinterpretasikan ke dalam kriteria pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Penilaian untuk Uji Kemenarikan dan Kemudahan dalam Tahap Eksternal Skor Kualitas Pernyataan kualitas aspek Pernyataan kualitas aspek kemenarikan kemudahan 3,26-4,00 Sangat menarik Sangat mudah 2,51-3,25 Menarik Mudah 1,76-2,50 Kurang menarik Sulit 1,01-1,75 Tidak menarik Sangat sulit Sumber: Suyanto & Sartinem (2009:227)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kebutuhan dalam penelitian pengembangan ini adalah dibutuhkannya LKS dalam kegiatan pembelajaran yang mengacu pada model inkuiri terbimbing dan metode eksperimen dengan memberdayakan sumber, media, dan fasilitas belajar yang disediakan sekolah agar pembelajaran berpusat pada siswa, memudahkan guru untuk memonitor kegiatan, mengembangkan keterampilan proses siswa, dan mengarahkan siswa dalam menemukan konsep. Hasil identifikasi sumber daya berdasarkan kebutuhan adalah dibutuhkannya perangkat komputer atau laptop untuk melaksanakan praktikum virtual laboratory dan sumber belajar yang dapat mendukung LKS. Berdasarkan hasil identifikasi sumber daya, SMPN N 1 Bandar lampung memiliki potensi yang besar dalam pelaksanaan praktikum virtual laboratory. Hal ini dikarenakan sekolah telah memiliki la-boratorium komputer yang lengkap, jaringan hotspot, setiap siswa memiliki laptop, ruang kelas yang telah dilengkapi perlengkapan multimedia, dan setiap siswa telah memiliki sumber belajar pendukung LKS. Hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna adalah Materi yang menjadi pokok bahasan dalam LKS yang dikembangkan adalah Materi Induksi Elektromagnetik, LKS yang dikembangkan berjumlah empat LKS dengan judul-judul LKS meliputi: GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator dan transformator, LKS yang dikembangkan mengacu pada model inkuiri terbimbing dengan metode eksperimen, dan penugasan disetiap kegiatan dalam LKS yang dikembangkan dapat memunculkan KPS siswa. Hasil pengembangan produk mengacu pada hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna. Hasil pengembangan produk dijadikan prototipe I. Hasil Uji internal dalam penelitian pengembangan ini adalah tidak adanya revisi LKS dari segi materi dan adanya revisi LKS dari segi desain, kualitas LKS, keterbacaan produk, dan kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory. Hasil revisi LKS dijadikan sebagai prototipe II.
134
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Hasil uji eksternal dalam penelitian pengembangan ini berupa bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory, data hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa setelah menggunakan produk, data keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, data kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk. Tabel 4. Rangkuman Hasil Belajar Kognitif Produk Jenis LKS
Nomor Soal
Nilai Ratarata siswa
Jumlah Siswa yang lulus KKM 80
Persentase siswa yang lulus KKM
1.
LKS GGL induksi
1, 2, 7
79
2
8,3 %
2.
LKS Faktor-faktor GGL Induksi
3
86
16
67 %
3.
LKS Generator
4
47
5
21 %
4.
LKS Transformator
5, 6
54
1
4,1 %
No.
Ketuntasan tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran belum tuntas Tujuan pembelajaran belum tuntas Tujuan pembelajaran belum tuntas Tujuan pembelajaran belum tuntas
Hasil hasil belajar kognitif produk siswa dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator, dan transformator ≤ 75 % siswa. Oleh karena itu, hasil belajar kognitif produk siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Hasil belajar KPS siswa dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator, dan transformator ≥ 75 % siswa. Oleh karena itu, hasil belajar KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan sudah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS siswa. Tabel 5. Rangkuman Hasil Belajar KPS Siswa No.
Jenis LKS
1. 2.
LKS GGL Induksi LKS Faktor-faktor GGL Induksi LKS generator dan LKS transformator
3.
Persentase ketercapaian tujuan pembelajaran KPS 83 % 88 %
Ketuntasan tujuan pembelajaran KPS Tujuan Pembelajaran KPS tuntas Tujuan Pembelajaran KPS tuntas
75 %
Tujuan Pembelajaran KPS tuntas
Hasil keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa dapat dilihat dari Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, LKS tidak efektif dilihat dari pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa. Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji Keefektifan Produk dari Segi Ketercapaian Tujuan Pembelajaran KPS Siswa dan Kognitif Produk No. 1. 2. 3.
Jenis LKS LKS GGL Induksi LKS Faktor-faktor GGL Induksi LKS generator dan LKS transformator
Persentase ketercapaian tujuan pembelajaran KPS dan kognitif produk 33 %
Hasil kualitas Keefektifan LKS dalam segi KPS dan kognitif produk LKS belum efektif
58 %
LKS belum efektif
4,1 %
LKS belum efektif
Hasil uji kemudahan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, didapatkan kesimpulan bahwa seluruh LKS yang dikembangkan memiliki nilai kuantitas kemudahan 3,26 dengan kategori sangat mudah.
135
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Kemudahan Menggunakan LKS No.
Aspek
Kriteria
1.
Isi
2.
Kebahasaan
Petunjuk dalam LKS Kejelasan Isi Kejelasan Penggunaan Bahasa
Nilai Kuantitas Kemudahan LKS 3,08 3,38
Nilai Kualitas Kemudahan LKS Mudah Sangat Mudah
3,33
Sangat Mudah
Hasil uji kemenarikan dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, secara garis besar LKS yang dikembangkan memiliki nilai kuantitas 3,24 dengan kategori menarik.
No.
1.
2.
Aspek
Tampilan
Isi
Tabel 8. Rangkuman Hasil Uji Kemenarikan Menggunakan LKS Nilai Kuantitas Nilai Kualitas Kriteria Kemenarikan LKS Kemenarikan LKS Desain Cover 3,33 Sangat Menarik Kemenarikan Tulisan (Jenis Font dan Ukuran) Pemilihan Ilustrasi Gambar Desain Lay Out Penggunaan Warna Kesesuaian permasalahan dengan materi Petunjuk dalam LKS Alur Penyajian/Format Keseluruhan Media
3,29
Sangat Menarik
3,17 3,38 3,46
Menarik Sangat Menarik Sangat Menarik
3,04
Menarik
3,08
Menarik
3,21
Menarik
Berdasarkan ketujuh hasil penelitian pengembangan ini, didapat bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory, meliputi: (1) Judul berupa judul materi yang akan dipraktikumkan, (2) Pengantar berupa gambar yang didukung dengan wacana yang berisi apersepsi untuk membuat siswa tertarik melaksanakan kegiatan selanjutnya di dalam LKS, (3) Tujuan percobaan berupa pemaparan tujuan dari percobaan yang akan dipraktikumkan sehingga siswa mengetahui tujuan dari percobaan yang akan dipraktikumkan, (4) Bekal awal berupa penugasan yang menuntun siswa untuk memiliki kemampuan-kemampuan awal sebelum melakukan kegiatan praktikum. Bentuk penugasan berupa tugas membaca yang kemudian diberi tagihan berupa beberapa pertanyaan yang jawabannya didapatkan dari bacaan dan dan tugas mengenai penggunaan alat sebelum melakukan kegiatan praktikum agar siswa mengenal dan mengetahui cara-cara penggunaan alat dari percobaan yang akan dipraktikumkan, (5) Kegiatan I: Penyajian Masalah berupa penyajian serangkaian pertanyaan berbasis masalah dan siswa memprediksi jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan disajikan secara terarah yang akhirnya akan membuat siswa dapat merumuskan dugaan sementara dari prediksi jawaban pertanyaan. Selain itu, kegiatan memprediksi juga bertujuan agar siswa dapat mengajukan pemikiran tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan kecenderungan sehingga siswa memunculkan keterampilan memprediksi, (6) Kegiatan II: Merumuskan dugaan sementara berupa penyajian pertanyaan mengenai hubungan antara dua variabel dan penjelasan dari hubungan tersebut. Jawaban siswa dalam kegiatan ini ada dua macam, yaitu jawaban siswa berdasarkan kegiatan memprediksi dan jawaban siswa berdasarkan kegiatan kajian teoritis. Siswa diharapkan dapat menyatakan hubungan dua variabel atau memperkirakan penyebab sesuatu terjadi dan mengajukan penjelasan yang konsisten beserta bukti-bukti sehingga memunculkan keterampilan berhipotesis, (7) Kegiatan III: Merancang Percobaan berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing menentukan alat dan bahan, variabel-variabel yang diamati, dan langkah percobaan. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menuntun siswa dalam melakukan percobaan. Perangkat komputer atau laptop boleh digunakan dalam kegiatan ini. Siswa diharapkan dapat menentukan alat dan bahan, menentukan
136
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
apa yang diamati, diukur, dan ditulis, dan menuliskan langkah percobaan atau merancang percobaan sehingga memunculkan keterampilan merencanakan percobaan, (8) Kegiatan IV: Melakukan Percobaan berupa penyajian tabel untuk mengisi data hasil pengamatan. Data pada tabel diisi berdasarkan kegiatan melakukan percobaan. Siswa melaksanakan percobaan dengan tepat waktu dan mencatat hasil pengamatan berdasarkan penggunaan indera penglihat di dalam melakukan pengamatan sehingga memunculkan keterampilan melakukan pengamatan dan menafsirkan pengamatan dalam kegiatan ini. Pengisian data hasil pengamatan dengan cara memilih data yang sesuai dengan hasil pengamatan. Pilihan data dapat digaris bawah atau dilingkari, (9) Kegiatan V: Menganalisis Percobaan berupa penyajian serangkaian pernyataan yang kalimatnya masih rumpang untuk menganalisis data hasil pengamatan. Pengisian kalimat rumpang dengan cara memilih kata berdasarkan analisis hasil pengamatan. Pilihan kata dapat digaris bawah atau dilingkari. Siswa diharap-kan dapat memunculkan kegiatan me-nafsirkan pengamatan dan mengomunikasikan dari kegiatan ini, (10) Kegiatan VI, berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing siswa untuk membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis percobaan. Siswa diharapkan dapat memunculkan keterampilan mengomunikasikan. Serangkaian kegiatan di dalam LKS diharapkan dapat membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran dari segi kognitif produk dan KPS siswa. Penilaian KPS siswa dilakukan dengan cara observasi saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Berdasarkan rangkuman hasil belajar KPS pada Tabel 5, siswa yang telah menggunakan LKS hasil pengembangan dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS yang telah ditetapkan. Penilaian hasil belajar kognitif produk dilakukan setelah semua LKS digunakan. Berdasarkan rangkuman hasil belajar kognitif produk siswa pada Tabel 4, siswa yang telah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk yang telah ditetapkan. Selain itu, rangkuman data uji kemudahan pada Tabel 7 mengungkapkan bahwa LKS yang dikembangkan sangat mudah dan rangkuman data uji kemenarikan pada Tabel 8 mengungkapkan LKS yang dikembangkan menarik. Seharusnya jika LKS menarik dan pengisiannya dianggap sangat mudah oleh siswa serta menuntaskan tujuan pembelajaran KPS maka siswa juga dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Ketidakcocokan antara rangkuman hasil belajara KPS, kognitif produk, uji kemudahan, dan uji kemenarikan mengindikasikan ada faktor lain yang siswa belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Kemungkinan faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah kelemahan LKS yang diungkapkan oleh penguji ahli desain, yaitu sebaikbaiknya LKS yang dikembangkan bila guru tidak dapat menguasai kelas, memanajemen kelas dengan baik, dan kreatif dalam melakukan kegiatan pembelajaran maka LKS tidak dapat berjalan secara optimal. Berdasarkan wawancara langsung dengan observer yang mengobservasi KPS siswa, didapatkan beberapa kemungkinan penyebab kegagalan penggunaan LKS untuk menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk, meliputi: (1) Guru belum bisa menguasai kelas sehingga ada beberapa siswa tidak memperhatikan penjelasan dari guru, (2) Guru belum memanajemen kelas dengan baik sehingga pembelajaran yang dilakukan terlihat tergesa-gesa tanpa memperhatikan pemahaman siswa, dan (3) Bahasa yang digunakan guru untuk menjelaskan materi pada siswa belum bisa dipahami oleh siswa tingkat SMP. Berdasarkan wawancara langsung terhadap beberapa siswa, didapatkan fakta bahwa: (1) Ada ujian mata pelajaran lain dilakukan pada hari yang sama dan siswa lebih memilih mempelajari ujian tersebut, (2) Menurut siswa soal-soal yang diujiankan merupakan soal konsep dan siswa belum terbiasa dengan jenis soal tersebut, serta terlalu banyak LKS yang harus dipelajari dan tidak mengerti bagian mana yang harus dipelajari. Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai LKS hasil prototipe III. SIMPULAN Simpulan dari penelitian pengembangan ini sebagai berikut: 1. Bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory Materi Induksi Elektromagnetik, meliputi: a. Judul LKS disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan dipraktikum dalam praktikum virtual laboratory.
137
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
b. Pengantar berupa wacana yang didukung dengan gambar yang dapat memunculkan motivasi dan apersepsi siswa mengenai pokok bahasan yang dipraktikumkan dalam praktikum virtual laboratory. c. Tujuan percobaan tiap LKS mengacu pada tujuan dari percobaan yang dapat dipraktikumkan dalam praktikum virtual laboratory. d. Bekal awal berupa penugasan disertai tagihan agar siswa memiliki kemampuan awal sebelum melakukan praktikum virtual laboratory. Perihal yang ditugaskan mengenai materi yang harus dikuasai sebelum melakukan praktikum dan keterampilan dalam menggunakan piranti-piranti yang akan digunakan dalam praktikum virtual laboratory. e. Kegiatan I: Penyajian masalah berupa penyajian serangkaian pertanyaan berbasis masalah disertai gambar yang diambil dari praktikum virtual laboratory. Siswa memprediksi jawaban dari pertanyaan tersebut. Penyajian serangkaian pertanyaan ini akan menjadi panduan pembuatan rancangan percobaan untuk melakukan praktikum virtual laboratory. f. Kegiatan II: Merumuskan dugaan sementara berupa penyajian pertanyaan mengenai hubungan antara dua variabel dan penjelasan dari hubungan tersebut. Dugaan sementara didapat setelah siswa melakukan kajian teoritis kemudian dugaan dibuktikan dalam analisis percobaan setelah melakukan praktikum virtual laboratory. g. Kegiatan III: Merancang percobaan berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing menentukan alat dan bahan, variabel-variabel yang diamati, dan langkah percobaan yang kemudian menjadi panduan dalam melaksanakan praktikum virtual laboratory. h. Kegiatan IV: Melakukan percobaan berupa penyajian tabel yang membimbing siswa untuk mengisi data hasil pengamatan setelah melakukan pengamatan dalam praktikum virtual laboratory. i. Kegiatan V: Menganalisis percobaan berupa penyajian serangkaian pernyataan yang kalimatnya masih rumpang untuk menganalisis data hasil pengamatan. j. Kegiatan VI, berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing siswa untuk membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis percobaan. 2. Persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran Materi GGL Induksi sebesar 8,3 %, persentase siswa yang tuntas Materi Faktor-Faktor GGL Induksi sebesar 67 %, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran Materi Gene-rator sebesar 21 %, dan persen-tase siswa yang tuntas pembela-jaran Materi Transformator sebe-sar 4,1 %. Berdasarkan bukti empirik hasil uji coba eksternal dapat disimpulkan bahwa hasil belajar kognitif produk setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. 3. Persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi GGL Induksi sebesar 83 %, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi Faktor-Faktor GGL Induksi sebesar 88 %, dan persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi Generator dan Transformator sebesar 75 %. Berdasarkan bukti empirik hasil uji coba eksternal dapat disimpulkan bahwa KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan sudah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS. SARAN Saran penelitian pengembangan ini sebagai berikut: 1. Penggunaan praktikum virtual laboratory bukan sebagai pengganti praktikum nyata tetapi sebagai pelengkap praktikum nyata sehingga siswa memahami kebermaknaan IPA sebagai produk. 2. Pengoptimalan praktikum virtual laboratory difokuskan melengkapi hal-hal yang tidak dapat diamati dalam praktikum nyata sehingga LKS yang didesain untuk menyeimbangkan praktikum virtual laboratory dan praktikum nyata. 3. Penilaian tujuan pembelajaran kognitif produk sebaiknya dilakukan diakhir pembelajaran. 4. LKS yang dikembangkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, menimbang LKS yang mengoptimalkan praktikum virtual laboratory tidak dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk siswa.
138
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Daryanto. 2010. Media Pembelajaran (Peranannya sangat penting dalam tujuan pembelajaran). Gava Media. Yogyakarta. Djamarah, Syaiful B, Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Mitra Pelajar. Surabaya. Sahrul. 2009. Macam-macam Model Pembelajaran Inkuiri. Artikel. Diakses 17 Desember 2011 dari http://sahrulgmail.blogspot.com. Suyanto E. 2006. Penguasaan Teori dan Praktik Membuat Skenario Pembelajaran Mikro. Makalah Mata Kuliah Strategi Pembelajaran Fisika. Universitas Lampung. Bandarlampung. Suyanto E, Sartinem. 2009. Pengembangan Contoh Lembar Kerja Fisika Siswa dengan Latar Penuntasan Bekal Awal Ajar Tugas Studi Pustaka dan Keterampilan Proses Untuk SMA Negeri 3 Bandarlampung. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2009, 322. Trianto. 2010. Pembelajaran IPA Terpadu. Kencana. Jakarta. _____. 2011. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik Cetakan ke-2. Prestasi Pustaka. Jakarta.
139
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGARUH PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS INKUIRI TERBIMBING MENGGUNAKAN LKS TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MADRASAH ALIYAH QAMARUL HUDA BAGU LOMBOK TENGAH Kosim FKIP IPA Universitas Mataram
[email protected]
Yuyu Sudarmini MA Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas XI IPA MA Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah. Sampel penelitian terdiri dari dua kelas yang diambil secara simple random sampling. Kelas yang tepilih pertama menjadi kelas eksperimen yang diberikan perlakukan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbimbing dengan menggunakan LKS dan kelas yang terpilih kedua dijadikan kelas kontrol dengan perlakuan pembelajaran konvensional’. Teknik pengumpulan data menggunakan pretes dan postes pada kedua kelas tersebut dengan materi fisika yang sama, untuk mengetahui kemampuan keterampilan berpikir kritis siswa. Kategori Peningkatan keterampilan berpikir kritis dianalisis menggunakan rumus N-gain. Uji hipotesis menggunakan uji t dua sampel independen dengan bantuan program spss pada taraf signifikansi 0,05 (𝛼 = 5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa Madrasah Aliyah Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah. Kata kunci : Inkuiri terbimbing, LKS, keterampilan berpikir kritis
PENDAHULUAN Pembelajaran fisika yang merupakan bagian dari IPA, diharapkan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPA itu sendiri seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 22 Tahun 2006 bahwa tujuan pembelajaran IPA di sekolah menengah adalah agar siswa berkompeten untuk melakukan metode ilmiah untuk menyelesaikan suatu masalah, menguasai konsep IPA dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah sehingga siswa kurang diberikan kesempatan untuk terlibat aktif selama proses pembelajaran. Hal ini mengakibatkan tidak terlatihnya kemampuan berpikir siswa terutama kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Kondisi ini juga diperkuat oleh pernyataan Keefer dalam Trianto (2007) mengungkapkan bahwa kebanyakan guru masih bertahan pada model pembelajaran klasikal yang didominasi oleh kegiatan ceramah dimana arus informasi lebih bersifat satu arah dan kegiatan berpusat pada guru. Menurut Wirtha & Rapi (2008), guru kurang kreatif dan aktif dalam memaksimalkan peranan siswa dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas proses dan produk pembelajaran fisika masih rendah. Dari segi kualitas terlihat dari pemilihan pendekatan, strategi, metode yang kurang bervariasi. Proses belajar mengajar dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari, pemberian contoh soal dan dilanjutkan dengan memberikan tes. Kondisi ini mengakibatkan proses pembelajaran kurang memberikan kesempatan siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran fisika, padahal tujuan pembelajaran fisika sebagai proses adalah meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sehingga siswa tidak hanya mampu dan terampil dalam bidang psikmotorik, tetapi juga mampu berpikir secara sistematis, objektif dan kreatif. Siswa perlu diberikan kemampuan seperti mengamati, menggolongkan, mengukur, berkomunikasi, menafsirkan data dan bereksperimen secara bertahap sesuai
140
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
tingkat berpikir anak dan materi pelajaran.yang sesuai dengan kurikulum, agar dapat memberikan penekanan lebih besar pada aspek proses. Salah satu cara agar dapat memberikan penekanan lebih besar pada aspek proses adalah dengan mengkondisikan proses pembelajaran sedemikian rupa melalui pembelajaran yang tepat, salah satunya adalah dengan diberikannya pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS karena dalam pembelajaran ini siswa dilatih untuk merumuskan permasalahan berdasarkan hasil observasi dalam bentuk cerita yang terdapat dalam LKS, lalu merumuskan hipotesis, kemudian diuji untuk mencari tahu jawaban dari hipotesis yang telah dibuat melalui kegiatan eksperimen. Dari data yang diperoleh dari kegiatan eksperimen, siswa diharapakan dapat menganalisis sehinga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat terhadap konsep fisika yang ingin ditanamakan pada siswa. Adanya tahapan-tahapan yang dilalui oleh siswa seperti di atas selama proses pembelajaran diharapkan dapat memberikan dampak terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan pretest-postest control group design. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas XI IPA MA Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah. Sampel penelitian diambil secara simple random sampling, sehingga di dapat satu kelas sebagai kelas eksperiment dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Variabel dalam penelitian ini yaitu pembelajaran fisika sebagai variabel bebas dan kemampuan berpikir kritis sebagai variabel terikat. Data skor kemampuan keterampilan berpikir kritis siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes essay sebanyak 8 soal. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis di analisis menggunakan rumus N-gain ternormalisasi dengan rumus
g
( s post s pre ) ( smax s pre )
(1)
Hasil analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis dikategorikan kedalam kategori tinggi, sedang dan rendah seperti ditunjukan pada tabel Tabel 1. Interpretasi Skor Gain Ternormalisasi Nilai (g) Kategori 0,00 < (g) ≤ 0,30 Rendah 0,31 < (g) ≤ 0,70 Sedang 0,71 < (g) ≤ 1.00 Tinggi Pengujian hipotesis menggunakan uji t dua sampel independen dengan taraf kepercayaan 95 % dengan bantuan program spss. Sebelum dilakukan uji hipotesis dilakukan uji prasayarat yaitu uji normalitas pada masing-masing sampel dan uji homogenitas untuk kedua sampel. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data untuk keterampilan berpikir kritis siswa diperoleh dari hasil pretes dan postes baik dari kelas kontrol maupun kelas eksperimen yang ditampilkan pada Gambar 1. Hasil ini menunjukkan bahwa skor rata-rata pretes kelas kontrol lebih tinggi daripada kelas eksperimen namun dengan selisih nilai yang tidak berbeda jauh yaitu sebesar 1,4 %. Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa sebelum diberikan perlakuan pada kedua kelas dapat dikatakan hampir sama. Pada uji homogenitas data pretes menunjukkan bahwa kedua sampel homogen. Setelah diberikan perlakuan pada kedua kelas, persentase skor rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada saat postes untuk kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Demikian pula dengan persentase skor rata-rata peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS mengalami peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada rata-rata
141
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Persentase (%)
peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Persentase Peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis pada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing sebesar 59% termasuk dalam kategori sedang, sementara persntase peningkatan (gain) ternormalisasi keterapilan berpikir kritis pada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional sebesar 30 % termasuk dalam kategori rendah. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
86
59
55,4
PRETES
EKSPERIMEN
30
22 23,4
KONTROL
POSTES
N-GAIN
Gambar 1. Grafik Persentase Skor Rata-rata Pretes, Postes dan N-Gain (g) untuk Kemampuan Berpikir Kritis Hal ini menunjukan dengan adanya pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing degan menggunakan LKS memberikan dampak yang lebih baik terhadap kemampuan berpikir kritis siswa daripada dengan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini berarti terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.Kenyataan ini diperkuat oleh hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t dua sampel independen seperti pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil uji t dengan menggunakan software SPSS Independent Samples Test Lev ene's Test f or Equality of Variances
F NGKBK
Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed
1.482
Sig. .230
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interv al of the Diff erence Lower Upper
Sig. (2-tailed)
Mean Diff erence
5.383
41
.000
.29
.054
.182
.399
5.320
37.479
.000
.29
.055
.180
.401
t
df
Std. Error Diff erence
Berdasarkan Tabel 2, data varian kedua sampel homogeny, maka diperoleh nilai t hitung=5,383 lebih besar daripada nilai sig=0,05. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dan siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini berarti terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Kenyataan ini disebabkan karena dalam pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS menuntut siswa untuk menggunakan seluruh kemampuan berpikirnya terutama kemampuan berpikir kritis dalam menemukan permasalahan yang disajikan dalam LKS, lalu berusaha mencari tahu jawaban atas permasalahan yang telah diajukan oleh siswa melalui kegiatan eksperimen yang telah dirancang sendiri secara ilmiah sehingga mampu menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan konsep yang telah diperoleh dari kegiatan eksperimen tersebut dengan tepat melalui bimbingan yang terdapat dalam LKS. Adanya kondisi pembelajaran seperti ini menuntut siswa untuk mau berpikir, siswa tidak hanya menerima begitu saja tetapi melatih siswa untuk mencari tahu jawaban dengan percobaan yang tepat.
142
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rubiyanto (2010), yang mengungkapkan bahwa terdapat perbedaaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi dengan siswa yang tidak belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi. Kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak belajar dengan kartu inkuiri biologi. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Jufri (2009) yang mengungkapkan bahwa kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa untuk mengembangkan kompetensi yang berkaitan dengan indikator berpikir kritis. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Lawson (2001) dalam (Suardana, 2008) yang menyatakan bahwa siswa dapat ditingkatkan keterampilan berpikir kritisnya jika kurikulum didesain secara eksplisit untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis melalui urutan pembelajaran inkuiri dari konsep yang dipahami dan dapat diamati (observable) menuju konsep yang tidak dipahami dan abstrak. Oleh karena itu pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Karena selama proses pembelajaran berlangsung, tahapan-tahapan dalam pembelajaran inkuiri yang disajikan dalam LKS dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Persentase peningkatan tiap indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol mengalami peningkatan seperti pada Gambar 2 berikut ini. kelas eksperimen
80
kelas kontrol
60 40 20 0
Gambar 2. Grafik Persentase Skor N-Gain setiap Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Gambar 2 menunjukan bahwa kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih tinggi dari pada kelas kontrol pada setiap indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa dapat ditingkatkan dengan pembelajaran yang dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam menggunakan seluruh kemampuan berpikir selama proses pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS. Peningkatan tertinggi terletak pada indikator kemampuan melaporkan hasil observasi sebesar 64,6% pada kelas ekperimen dan 51,2% pada kelas kontrol. Sedangkan peningkatan terendah pada indikator kemampuan menarik kesimpulan untuk kelas eksperimen sebesar 24% dan indikator kemampuan menyatakan tafsiran untuk kelas kontrol sebesar 6,07%. Kenyataan ini disebabkan karena siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuanya dalam berpikir baik kemampuan melaporkan hasil observasi berdasarkan apa yang diamati, kemampuan merancang eksperimen untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan yang muncul dari hasil observasi, kemampuan menyatakan tafsiran dan kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan hasil ekperimen maupun kemampuan menerapakan konsep berdasarkan apa yang telah diperoleh dari hasil ekpserimen melalui pertanyaanpertanyaan penuntun yang terdpat dalam LKS inkuiri, sementara pada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional lebih bersifat mengikuti dan melakukan perintah yang terdapat pada LKS konvensional sehingga siswa tidak dilatih untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol peningkatan tertinggi terletak pada indikator melaporkan hasil observasi. Hal ini disebabkan karena kemampuan ini sudah biasa dilakukan siswa pada kegiatan-kegiatan praktikum sehingga kemampuan melaporkan hasil observasi bukan sesuatu yang baru
143
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
ditemui oleh siswa. Meskipun demikian kemampuan siswa dalam melaporkan hasil observasi pada kelas yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mnggunakan LKS lebih tinggi dari pada kelas yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini dikarenakan siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dilatih untuk dapat melaporkan apa yang diamati secara ilmiah karena selam proses pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk mengamati, dan menganalisis sesuai kemampuan berpikir siswa tanpa ada batasan dari guru. Sedangkan pada kelas yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional, kemampuan siswa dalam mengobservasi bersifat terbatas karena siswa mengamati apa yang sudah diperintahkan dalam LKS sehingga tidak diberikan kesempatan kepada siswa secara luas dalam menggunakan dan mengembangkan kemampuan berpikirnya selama proses pembelajaran. Pada kelas kontrol kemampuan menyatakan tafsiran mengalami peningkatan terendah. Hal ini dikarenakan siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional belum terbiasa untuk menafsirkan atau mengintrepetasikan suatu data terutama dalam bentuk grafik secara tepat, ini berarti tingkat pemahaman terhadap materi tersebut masih rendah. Sedangkan pada kelas eksperimen peningkatan terendah berada pada indikator kemampuan menarik kesimpulan. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran inkuiri siswa dituntut untuk merumuskan dan membuat hipotesis serta merancang suatu percobaan untuk menguji rumusan masalah yang telah dibuat. Hal ini merupakan sesuatu yanag baru, siswa masih membutuhkan bimbingan yang lebih banyak dalam hal menghubungkan antara kesimpulan yang diambil dengan rumusan masalah yang telah dibuat. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. SARAN Rekomendasi yang dapat dijadikan saran yaitu : (1) Guru hendaknya menerapkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dalam proses belajar mengajar karena dapat memberikan dampak positip terhadap kemampuan berpikir kritis siswa;(2).Diharapkan kepada guru untuk mengkombinasikan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dengan model pembelajaran lain terutama untuk materi yang bersifat abstrak; (3) Pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS diharapkan dapat menjadi salah satu cara agar pembelajaran tidak lagi berpusat kepada guru melainkan berpusat kepada siswa, sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator. DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Peraturan Meneteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 22 Tahun 2006 Tentang Standdar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menegah. Jakarta : BSNP Jufri AW. 2009. Peranan Perangkat Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dan Implementasinya Dengan Strategi Kooperatif Terhadap Perkembangan Keterampilan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan Biologi 1(1): 87-92. Rubiyanto. 2010. Penerapan Pembelajaran dengan Kartu Inkuiri Terbimbing Melalui Strategi kooperatif Untuk Meningkatkan Keterampilan Bepikir Kritis Dan Retensi siswa SMPN 2 Mataram. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Mataram. Suardana IW. 2008. Teaching and Learning analysis of basic Chemistry In Developing Teaching and Learning Of Critical Thinking Skils PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education: 551-556. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta : Prestasi Pustaka.
144
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Wirtha IM, Rapi NK. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran dan Penalaran Formal terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Sikap Ilmiah Siswa SMA Negeri 4 Singaraja. JPP. Lembaga penelitian Undiksha, April 2008. Hal 15-28.
145
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGARUH PENGGUNAAN LKS BERBASIS INKUIRI TERBIMBING DENGAN REPRESENTASI CHEMISTRY TRIANGLE TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA UNTUK MATERI ASAM BASA KELAS XI SMA Iryani Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang
[email protected]
Mawardi dan Andromeda Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang Abstrak Kurikulum 2013 menuntut perubahan dalam proses pembelajaran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu. Proses pembelajaran dikembangkan berorientasi pendekatan saintifik, dimana siswa aktif (mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi), untuk itu diperlukan bahan ajar yang berorientasi proses saintifik yang dapat menfasilitasi terjadinya siswa aktif.Salah satu bahan ajar tersebut adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle.Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan LKSberbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle terhadap hasil belajar siswa untuk materi asam basa. Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan pengaruh penggunaan LKS berbasis Inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi asam basa.Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan rancangan “Randomized Control Group Posttest Only Design”.sebagai populasi adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 BatuSangkar sebanyak 4 kelas, tahun ajaran 2013/2014. Sampel terdiri dari dua kelas yaitu: kelas XI IPA4sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA2 sebagai kelas eksperimen. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian tes di akhir penelitian. Dari hasil tes diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen (85,15) dan kelas kontrol (81,15). Hasil uji normalitas dan homogenitas dari hasil tes akhir didapat bahwa kedua kelas sampel terdistribusi normal dan homogen. Analisis data dilakukan dengan uji-t pada taraf nyata 0,05 dengan derajat kebebasan 38 diperoleh thitung= 1.84 dan ttabel= 1,68. Berdasarkan analisis diperoleh bahwa penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, di mana hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing pada materi asam basa di kelas XI SMAN 1Batusangkar. Kata Kunci: inkuiri terbimbing, chemistry triangle, representasi, hasil belajar, asam basa.
PENDAHULUAN Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang komposisi, sifat-sifat, dan transformasi dari suatu materi (Brady, 2010:2).Salah satu materi kimia yang dipelajari di SMA/MA adalah asam basa.Materi asam basa ini dipelajari di kelas XI semester 2 pada kurikulum 2013. Sebagian besar bahan kajian asam basa bersifat abstrak, seperti konsep asam basa Arrhenius, asam basa menurut Bronstead Lowry dan Lewis. Asam menurut Arrhenius adalah zat yang di dalam air menghasilkan ion H + dan basa adalah zat yang di dalam air menghasilkan ion OH-. Ion H+ dan ion OH- yang dihasilkan tersebut tidak dapat diamati secara langsung.Hal ini merupakan suatu hambatan bagi siswa untuk memahami konsep tersebut. Oleh sebab itu dalam proses pembelajarannya guru harus bisa mengonstruksikan model-model atau analogi-analogi yang tepat sehingga konsep mudah diterima oleh siswa. Konsep-konsep asam basa dipelajari dengan urutan tertentu, dimulai dari yang paling sederhana atau mendasar sampai pada yang kompleks, contohnya sesuai dengan salah satu indicator yaitu setelah mempelajari asam basa, siswadituntut untuk menentukan pH larutan asam/basa kuat dan asam/basa lemah. pH suatu larutan dipengaruhi oleh perbandingan jumlah ion H + dan OH-di dalam larutan. Penentuan perbandingan ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun dilakukan dengan cara perhitungan yang memerlukan pemahaman dasar siswa tentang konsep asam basa dan berhubungan dengan konsep materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dan materi kesetimbangan kimia sebelumnya.Dengan demikian, maka pada saat pembelajaran asam basa diperlukan pengetahuan prasyarat yang berhubungan
146
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
dengan konsep yang akan dibahas sehingga siswa mengetahui kaitan konsep terdahulu dengan konsep yang akan dipelajari (Rostianingrum, 2011). Namun kenyataannya, proses pembelajaran kimia selama ini masih berorientasi pada hafalan sehingga proses penemuan konsep menjadi sering terabaikan karena kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran menurut ilmu kognitif menyatakan bahwa orang belajar dengan cara: (1) membangun pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengetahuan awal, pengalaman, keterampilan, sikap, dan keyakinan; (2) mengikuti siklus pembelajaran eksplorasi, pembentukan konsep, dan aplikasi; (3) menghubungkan dan memvisualisasikan konsep-konsep dan representasi yang beragam; (4) mendiskusikan dan berinteraksi dengan orang lain; (5) merefleksikan kemajuan dan menilai kinerja; (6) menginterkoneksikan konseptual dan prosedural pengetahuan dalam struktur mental yang besar (Kuhlthau, 2007). Pembelajaran kimia melibatkan suatu pengenalan terhadap ide-ide pokok, seperti: unsur-unsur kimia secara periodik ditampilkan dalam bentuk sifat fisik dan kimianya, senyawa terdiri dari dua atau lebih unsur yang dalam banyak kasus ini melibatkan penciptaan spesifik, ikatan kimia akan terbentuk apabila electron berpasangan, ada hambatan energik dan geometri untuk terjadinya reaksi kimia, reaksi oksidasi-reduksi menyangkut transfer suatu elektron, ikatan kovalen masalah berbagi elektron, dll. Memahami ide-ide tersebut, melibatkan mental yang menyangkut representasi (gambaran) ide dan fenomena dimana ide tersebut berhubungan, namun demikian cara merepresentasikan gagasan merupakah hal yang tidak mudah karena representasi yang dibuat tidak mengandung informasi (pesan) yang diinginkan. Untuk itu Johnstone mengusulkan model untuk memahami masing-masing elemen inti yang digambarkan menggunakan tiga jenis representasi (Chemistry triangle) di mana ide-ide kimia dinyatakan yaitu : simbolis, makroskopik dan submikroskopis (Gilbert, 2009). Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.Pemerintah khususnya Kemendikbud telah memberlakukan Kurikulum 2013 mulai semester ganjil 2013. Proses pembelajaran yang dituntut dalam kurikulum 2013 ini adalah proses pembelajaran berorientasikan siswa aktif yang ditandai dengan aktivitas peserta didik berupa latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi (kemendikbud, 2013 ).agar tuntutan kurikulum 2013 tersebut bisa terujud, maka diperlukan bahan ajar yang berorientasi proses saintifik yang dapat menfasilitasi terjadinya siswa aktif. Salah satu bahan ajar tersebut adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle. Lembar Kerja Siswa (LKS) disusun berdasarkan siklus belajar inkuiri terbimbing yaitu orientasi, eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi dan penutup.LKS yang berbasis inkuiri terbimbing ini didalamnya terdapat petunjuk penggunaan LKS, orientasi, model, informasi, pertanyaan kunci dan aplikasi atau latihan.Orientasi merupakan materi prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mempelajari materi asam basa. Model-model dan informasi merupakan data atau pusat perhatian yang akan diamati dan dinalisis oleh siswa untuk menemukan konsep-konsep pada materi asam basa. Pertanyaan kunci merupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan membimbing siswa untuk menemukan konsep-konsep pada materi asam basa. Pertanyaan kunci ini merupakan jantung dari kegiatan inkuiri terbimbing untuk membimbing siswa mengeksplorasi suatu model (Hanson.2005.3) Sedangkan aplikasi atau latihan berfungsi untuk memperkuat konsep-konsep pada materi asam basa yang telah ditemukan oleh siswa. Dari hasil observasi dan tanya-jawab penulis dengan guru kimia dan siswa di beberapa SMA di Sumatera Barat, seperti Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Batusangkar, diperoleh suatu kesimpulan bahwa LKS yang digunakan selama ini masih bersifat verbal dan belum ada LKS yang berbasiskan siklus belajar inkuiri terbimbing.LKS yang disediakan hanya berisi soal-soal latihan yang bersifatverbalistis, hafalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui serangkaian latihan secara verbal, serta uraian materi yang terdapat pada LKS belum mendukung siswa dalam proses pencarian dan pembentukan konsep, sehingga penggunaan LKS tersebut belum maksimal. Berdasarkan uraian di atas telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasichemistry triangleterhadap hasil belajar siwa untuk materi asam basa. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apakah penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan
147
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
representasi chemistry triangle untuk materi asam basa mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar siswa Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan pengaruh penggunaan LKS berbasis Inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi asam basa. Hasil penelitian ini dapatdimanfaatkan oleh guru kimia sebagai salah satu bahan ajar alternatif dalam proses pembelajaran untuk materi asam basa dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Hipotesis penelitian adalah “Penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle untuk materi asam basa berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, dimana hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle lebih tinggi daripada hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing. Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2010: 22). Hasil belajar juga merupakan prestasi yang dapat dicapai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Seorang siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila terjadi perubahan tingkah laku dalam dirinya dan perubahan itu terjadi karena latihan dan pengalaman yang mereka peroleh.Hasil belajar tersebut dapat diukur melalui tes yang diberikan kepada siswa. Dari hasil belajar diketahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran. Setelah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan yang dituntut dalam kurikulum, maka perlu dilakukan penilaian terhadap hasil belajar. Penilaian hasil belajar mencakup tiga ranah yaitu : tanah kognitif, afektif dan psikomotor (Bloom dalam Sudjana ,2010 : 22). METODE PENELITIAN Metode dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Rancangan penelitian menggunakan Posttest Only Control Design.Dalam rancangan penelitian ini sampel digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.Kelompok eksperimen dikenakan perlakuan tertentu, yaitu dengan menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing. Pada kelompok kontrol digunakan LKS biasa yang tidak berbasis inkuiri terbimbing sebagai sumber belajar. Pertama-tama dilakukan pengukuran lalu dikenakan perlakuan untuk jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pengukuran untuk kedua rancangan ini. Secara bagan rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut . Tabel 1. Rancangan Penelitian Kelas
Perlakuan
Posttest
Eksperimen
X
T
Kontrol
-
T
(Lufri.2007 : 69) Keterangan: X:Perlakuan terhadap kelas eksperimen yaitu proses pembelajaran dengan penerapan LKS berbasis inquiry). T: Tes akhir yang diberikan kepada kedua kelas sesudah pembelajaran
Inkuiri Terbimbing (guided
Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau benda yang dijadikan objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Batusangkar pada tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri 4 kelas. Menurut Sugiyono (2007:73) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Pengambilan sampel dilakukan dengan suatu teknik penyampelan, yaitu teknik random sampling. Sampel dalam penelitian ini ada dua kelas yaitu kelas XI IPA4 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA2 sebagai kelas eksperimen. Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai.Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Variabel bebas merupakan variabel yang berpengaruh terhadap variabel lain. Pada penelitian ini yang merupakan variabel bebas adalah perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen berupa proses belajar mengajar dengan menggunaan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing (guided inquiry).
148
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
b. Variabel terikat adalah variabel yang berpengaruh karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini yang merupakan variabel terikat adalah hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA SMAN 1Batusangkar tahun pelajaran 2013/2014. c. Variabel kontrol merupakan segala sesuatu yang bisa mempengaruhi hasil belajar siswa selain perlakuan. Pada penelitian ini yang merupakan variabel kontrol adalah alokasi waktu, materi pembelajaran, buku sumber dan guru yang mengajar pada kedua kelas sampel adalah sama. Prosedur Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan perlu disusun prosedur yang sistematis. Secara umum prosedur penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah: Menentukan tempat dan jadwal penelitian, menentukan populasi dan sampel, menentukan kelas kontrol dan kelas eksperimen, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Mempersiapkan LKS berbasis inkuiri terbimbing, membuat kisi-kisi soaldan mempersiapkan soal tes akhir. Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan proses pembelajaran yang berbeda antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pembelajaran yang diberikan kepada kedua kelas sampel adalah sebagai berikut. Tabel 2. Skenario Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol No 1
2
Kelas Eksperimen Pendahuluan Guru menginstruksikan kepada siswa agar berdo’a sebelumajar. Guru mengecek kehadiran siswa dan mengkondisikan kelas agar kondusif sehingga pembelajaran dapat dimulai. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Guru memotivasi siswa dengan menuntun siswa dalam mempelajari topik yang akan dibahas yaitu tentang teori asam basa dan menggali pengetahuan siswa tentang materi asam basa Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah anggota 2 orang perkelompok. Guru membagikan LKS berbasis Inkuiri Tebimbing kepada masing-masing siswa dan menjelaskan isi LKS secara umum.
Kelas Kontrol Pendahuluan Guru menginstruksikan kepada siswa agar berdo’a sebelum belajar. Guru mengecek kehadiran siswa dan mengkondisikan kelas agar kondusif sehingga pembelajaran dapat dimulai. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Guru memotivasi siswa dengan menuntun siswa dalam mempelajari topik yang akan dibahas yaitu tentang teori asam basa dan menggali pengetahuan siswa tentang materi asam basa. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah anggota 2 orang perkelompok dan masing-masing siswa sudah memiliki LKS yang biasa mereka gunakan dalam pembelajaran kimia (bukan LKS berbasis inkuiri terbimbing).
Kegiatan Inti Siswa membaca dan memahami materi prasyarat, yaitu tentanglarutan elektrolit. Siswa mengamati model dan mendiskusikan hasil pengamatan yang terdapat pada LKS tentang teori asam basa menurut Arrhenius, Bronstead Lowry dan Lewis, dan materi asam basa yang lainnya Siswa menjawab pertanyaan kunci pada tiap-tiap model melalui pengamatan terhadap gambar yang ada pada LKS. Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masingmasing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi siswa dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala dalam diskusi. Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil dari proses eksplorasi. Siswa mengerjakan latihan-latihan yang tersedia di dalam LKS dengan bimbingan dari guru. Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi mengenai teorii asam basa, jenis atau kekuatan asam basa. Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan. Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami kesalahan-kesalahan dalam memahami konsep.
Kegiatan inti Guru membantu siswa dalam mengingat kembali materi pelajaran yang terkait yaitu mengenai larutan elektrolit. Siswa membaca mengenai materi yang akan dipelajari, yaitu : teori asam basa menurut Arrhenius, Bronstead Lowry dan Lewis. Siswa menjawab pertanyaan pada LKS yang telah dimilikinya (bukan LKS berbasis inkuiri terbimbing). Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masingmasing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi siswa dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala dalam diskusi. Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil dari proses eksplorasi. Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi mengenai teorii asam basa, jenis atau kekuatan asam basa . Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan. Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami kesalahan-kesalahan dalam memahami konsep
149
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
a.
3
Penutup Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi asam basa yang telah dipelajari . Guru memberikan soal evaluasi tentang materi yang telah dipelajari dan siswa mengerjakannya secara individu. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah.
Penutup Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari Guru memberikan evaluasi mengenai materi yang dipelajari dengan memberikan soal dan siswa mengerjakannya secara individu. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah.
Pada tahap penyelesaian ini yang akan dilakukan adalah: Memberikan tes pada kedua kelas sampel setelah pembelajaran berakhir, mengolah data dari kedua sampel, menarik kesimpulan dari hasil belajar yang didapat dengan teknik analisis data yang digunakan. Instrumen penelitian yang dipakai adalah tes hasil belajar karena yang menjadi objek penelitian adalah hasil belajar siswa.Tes yang digunakan berupa soal objektif yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Analisis Data Untuk menganalisis kebenaran data hasil penelitian digunakan uji hipotesis yaitu dengan uji perbedaan dua rata-rata atau uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas menggunakan uji Lilierfors (Sudjana, 2005: 466) dan tujuan melakukan uji homogenitas (Sudjana, 2005:249). Uji hipotesis yaitu uji dengan kesamaan rata-rata dengan uji satu pihak yaitu uji pihak kanan yang sejalan dengan hipotesis penelitian. Perumusan umum untuk uji pihak kanan mengenai rata-rata μ berdasarkan Ho dan H1 adalah: Ho : μ1≤μ2 H1 : μ1>μ2 Keterangan: 1 = Skor rata-rata kelas eksperimen
2 = Skor rata-rata kelas kontrol Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas diperoleh bahwa kedua kelas mempunyai nilai hasil belajar siswa yang terdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen.Oleh karena itu untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t Sudjana ( 2005: 239). Hasil perhitungan diperoleh harga thitung 1,84 pada α = 0,05 dan harga ttabeladalah 1,68, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh penerapan penggunaan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing adalah signifikan dan hipotesis penelitian diterima. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari penelitian yang telah dilakukan pada kedua kelas sampel, diperoleh data tentang hasil belajar siswa, seperti yang tertera pada Tabel 3 dan 4.Data tersebut diperoleh dari tes akhir pada kegiatan penelitian. Tabel 3. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai 58 63 65 70 73 78 80 83 85 88 90 93
150
Frekuensi 1 1 1 1 1 1 2 2 2 3 3 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 4. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nilai 65 70 80 85 88 90 93 98
Frekuensi 1 2 3 5 2 3 1 3
Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4 nilai terendah pada kelas kontrol adalah 58 yang diperoleh oleh 1 orang siswa, sedangkan pada kelas eksperimen nilai terendah adalah 65 yang diperoleh oleh 1 orang siswa. Nilai tertinggi pada kelas kontrol adalah 93 dan pada kelas eksperimen adalah 98. Data hasil belajar disusun berdasarkan distribusi frekuensinya, kemudian ditentukan nilai rata-rata (𝑥̅ ), simpangan baku (S) dan variansi (S2) dari masing-masing kelas eksperimen dan kelas kontrol seperti yang tertera pada Tabel 5 Tabel 5. Nilai Rata-rata, Simpangan Baku dan Variansi Kelas Sampel Kelas
N
̅ 𝒙
S
S2
Eksperimen
20
85,15
9,14
83,61
Kontrol
20
81,15
10,32
106,45
Berdasarkan Tabel 5dimana hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan hasil belajar kelas kontrol.Data hasil penelitian terhadap hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel dianalisis menggunakan “uji t”. Untuk itu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk menentukan sampel terdistribusi normal atau tidak dan memiliki varians yang homogen atau tidak. Setelah itu baru dilakukan uji hipotesis. Uji normalitas untuk data dari kedua kelas sampel digunakan Uji Liliefors.. Uji normalitas melalui uji Liliefors ini dilakukan dengan membandingkan nilai L0 dan Ltabel yang ditentukan pada taraf nyata 0,05 , untuk lebih jelasnya tertera pada Tabel 6. Tabel.6. Hasil Uji Normalitas Data Tes Akhir Kelas Sampel Kelas Sampel
N
Α
L0
Ltabel
Keterangan
Eksperimen
20
0,05
0,1015
0,19
Normal
Kontrol
20
0,05
0,1251
0,19
Normal
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa kedua kelas sampel memiliki nilai L0 yang lebih kecil dibandingkan nilai Ltabel.Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas terdistribusi normal. Uji homogenitas data dilakukan dengan uji F. Uji ini bertujuan untuk melihat apakah kedua kelas sampel memiliki variansi yang homogen atau tidak. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga Fhitung dengan Ftabel yang terdapat dalam tabel distribusi dengan taraf signifikan 5% dan dk pembilang = n 1 – 1 serta dk penyebut = n2 – 1, lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas Kelas Sampel Kelas Sampel
N
Eksperimen
20
Kontrol
α
Fhitung
Ftabel
Keterangan
0,05
1,27
1,84
Variansi homogen
20
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa Fhitung< Ftabel. Hal ini menunjukkan bahwa data mempunyai variansi yang homogen.
151
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, diperoleh bahwa data dari kedua kelas sampel terdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen, sehingga pengujian hipotesis yang dapat digunakan adalah “Uji t” dan data hasil uji hipotesis terangkum pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Hipotesis Tes Akhir Kelas Sampel
thitung
ttabel
Kesimpulan
1,84
1,68
Hipotesis diterima
Eksperimen Kontrol
Tabel 8 terlihat bahwa harga thitung> ttabel, maka disimpulkan H0 ditolak dan hipotesis alternatif diterima pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing lebih tinggi secara signifikan daripada hasil belajar siswa yang tanpa menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing pada materi asam basa di kelas XI IPA SMAN 1 Batusangkar. PEMBAHASAN Berdasarkandatahasil penelitian dan analisis data, diperoleh bahwa penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel.Hasil belajar pada kelas eksperimen dengan menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada kelas kontrol yang menggunakan lembar kerja biasa yang bukan berbasis inkuiri terbimbing. Lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing disusun berdasarkan tahapan pada strategi inkuiri terbimbing yaitu, orientasi, eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi, dan penutup (Hanson, 2005:1), LKS memuat pengetahuan pra syarat atau orientasi, informasi dan model berupa gambar serta tabel, pertanyaan kunci, soal dan latihan. Melalui lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing, siswa dapat menemukan konsep setelah menjawab pertanyaan kunci. Pertanyaan kunci dapat dijawab melalui eksplorasi model maupun informasi. Dalam menjawab pertanyaan kunci inilah siswa berdiskusi sesamanya dan guru dapat mengatur serta membimbing jalannya diskusi yang berarti pembelajaran berpusat pada siswa.Hal ini sesuai dengan kelebihan dari strategi inkuiri terbimbing yang di ungkapkan oleh Suyanti (2010:51). Pembelajaran dengan menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing dapat menarik minat siswa dalam belajar, karena pada lembar kerja berbasis inkuiri terbimbing terdapat model yang berupa gambar dengan ilustrasi makroskopis maupun mikroskopis yang disertai dengan warna yang menarik bagi siswa. Selama kegiatan diskusi berlangsung, siswa antusias untuk menjawab pertanyaan kunci dan juga dalam mengerjakan soal-soal maupun latihan. Antusias dari siswa juga terlihat pada saat akhir pelajaran, yaitu saat konfirmasi dari guru. Siswa berlomba-lomba untuk mengemukakan kesimpulan yang mereka dapatkan mengenai konsep asam basa. Pembelajaran pada kelas kontrol, digunakan lembar kerja siswa yang bukan berbasis inkuiri terbimbing. Lembar kerja siswa ini hanya berisi ringkasan materi dan soal-soal yang tidak membimbing siswa untuk dapat menemukan suatu konsep. Soal yang terdapat pada LKS ini tidak berkaitan antara satu soal dengan soal berikutnya. Dalam menjawab soal-soal tersebut siswa berdiskusi dalam kelompok dan dengan menggunakan buku sumber lain disamping LKS. Peranan guru dalam proses ini bukan menyampaikan konsep, akan tetapi membimbing dan mengarahkan siswa untuk menjawab soal-soal berdasarkan konsep materi asam basa. Tercapainya tujuan pembelajaran terlihat pada hasil belajar yang diperoleh oleh siswa pada kedua kelas sampel. Hasil yang didapatkan berdasarkan tes akhir yang telah diberikan menunjukkan perbedaan pada kedua kelas. Perbedaan tersebut terlihat pada soal C3 yaitu soal penerapan atau aplikasi, yang dijawab lebih banyak oleh siswa pada kelas eksperimen daripada kelas kontrol. Tingkat ketuntasan dan nilai yang diperoleh oleh siswa pada kelas ekperimen jauh lebih tinggi dibandingkan kelaskontrol dan nilai KKM yang ditetapkan yaitu 78. Jadi, hasil belajar siswa dengan menggunakan lembar kerja berbasis inkuiri terbimbing lebih tinggi secara signifikan dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan lembar kerja yang bukan berbasis inkuiri terbimbing pada materi asam basa pada kelas XI SMA Negeri 1Batu sangkar.
152
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
KESIMPULAN Penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasichemistry triangle untuk materi asam basa memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle lebih tinggi secara signifikan padataraf kepercayaan 95% (α 0,05) dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan LKS biasa (tanpa inkuiri terbimbing). SARAN Dari hasil penelitian dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut. 1. Kepada guru kimia disarankan untuk menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbingdengan representasi chemistry trianglesebagai salah satu sumber belajaryang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 dan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi asam basa. 2. Dalam penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle ini sebaiknya strategi pembelajaran yang digunakan adalah sterategi inkuiri terbimbing. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2009. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Citra. Bilgain I. 2009. The Effect Of Guided Inquiry Incorporating a Cooperative Learning Approach ON University Student Achievement Of Acid And Bases Concep And Attitude Toward Guided Inquiry Instruction. Brady JE. 2010. Chemistry The Molecular Nature of Matter 6th Edition. John Wiley and Sons : New York. Gilbert JK, Treagust D. 2009, Introduction: Macro, Submicro, and Symbolic Representaions and the Relationship Between Them: Key Models in Chemistry Education (ed), Multiple Representaions in Chemical Education, Springer. Hamalik O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hanson DM.2006.Instructor’s Guided to Process-Oriented Guided-Inquiry Learning. Lisle, IL: Pacific Crest. Hanson DM. 2005. Designing Process-Oriented Guided-Inquiry Activities. In Faculty Guidedbook: A Comprehensive Tool For Improving Faculty Performance, ed. S. W.Beyerlein and D. K. Apple. Lisle, IL: Pacific Crest. Kemendikbud. 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Balitbang: Kemendikbud. Kuhlthau CC, Maniotes LK, Caspari AK. 2007. Guided Inquiry: Learning in the 21st Centiry. London: Libraries Unlimited Westpor. Lufri. 2007. Metodologi Penelitian. Padang: UNP Press. Putri I. 2013. Pengembangan Bahan Ajar dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Inkuiri Terbimbing pada Materi Asam Basa untuk Pembelajaran Kimia Kelas XI Tingkat SMA/MA. Padang: SkripsiJurusan Kimia FMIPA-UNP. Rostianingrum HA. 2011. “Pengembangan Prosedur Praktikum Kimia pada Topik Indikator Asam Basa Alami yang Layak Diterapkan di SMA”. Jurnal Skripsi. FMIPA UPI Bandung. Straumanis A. 2010. Process Oriented Guided Inquiry Learning. Sudijono A. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung. Sudjana N. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suyanti D. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha lmu.
153
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
PENGARUH PENGGUNAAN LKS BERBASIS LEARNING CYCLE 7E TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME KONSEP SISTEM PEREDARAN DARAH Nengsih Juanengsih Prodi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Zulfiani dan Ina Septi Wijaya Prodi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e (elicit, engage, explore, explain, elaborate, evaluate, dan extend) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah. Penelitian ini dilakukan di SMAN 33 Jakarta tahun ajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain pre-test and post-test group design. Subjek penelitian ini berjumlah 39 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes hasil belajar yang berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Hasil penelitian menunjukkan hasil rerata nilai pengerjaan oleh siswa pada LKS 1 sebesar 88,02, LKS 2 sebesar 86,50 dan LKS 3 sebesar 89,48. Adapun hasil belajar siswa pada pretes sebesar 38,29 dan postes sebesar 84,19, dengan N-Gain 0,74 (kategori tinggi). Berdasarkan hasil uji paired sample t-test menunjukkan bahwa sig-2 tailed 0,000 < 0,050 yang berarti terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e terhadap hasil belajar siswa. Kata Kunci: LKS, learning cycle 7e, hasil belajar.
PENDAHULUAN Mata pembelajaran biologi merupakan salah satu cabang dari pembelajaran IPA. Mata pelajaran biologi dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar. Oleh karena itu pembelajaran biologi seharusnya diajarkan dengan model pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk berpikir sendiri dan mengembangkan pengetahuannya. Belajar biologi bukan hanya sekedar tahu teori dan hafalan saja, lebih jauh siswa diharapkan mampu memahami konsep-konsep yang terkandung di dalamnya dan bukan hanya itu, diharapkan konsep yang dipahami siswa juga bertahan dalam ingatan jangka panjang. Namun kenyataannya pembelajaran biologi banyak yang masih disampaikan dengan cara yang konvensional. Beberapa peneliti sudah mengobservasi kegiatan pembelajaran biologi di kelas, salah satu peneliti yang mengobservasi kegiatan pembelajaran tersebut yaitu Dewi Setyawati Nur Fadhillah, yang melakukan penelitian di SMAN 5 Surakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar waktu belajar siswa di kelas dihabiskan untuk mendengarkan ceramah guru, menghafalkan materi, dan mencatat materi. Pembelajaran dengan model belajar konvensional memberikan dampak yang kurang efektif, yaitu siswa cenderung pasif dan hanya menerima materi saja kemudian menghafalkan materi tersebut (Fadhillah, 2011). Hal tersebut dapat tergambar ketika mereka ditanyakan materi yang sudah dipelajari terkadang mereka diam dan lupa akan konsep-konsep yang telah dipelajari. Ini membuktikan bahwa ingatan yang melekat pada otak mereka hanya ingatan jangka pendek, karena hanya di transfer materi oleh guru. “Belajar kognitif adalah belajar dengan tujuan membangun struktur kognitif siswa” (Suyono & Hariyanto, 2012). Aspek kognitif siswa merupakan aspek yang memberikan pengaruh yang besar dalam keberhasilan proses pembelajaran. Aspek kognitif akan mengarah pada kecakapan hidup siswa. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan aspek kognitif dapat disiasati dengan cara belajar yang 154
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
aktif dan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran yang aktif guru akan lebih banyak memberikan siswa kebebasan untuk menemukan permasalahan sendiri dan menyelesaikannya, sehingga akan terbentuk skema pengetahuan mereka sendiri. Selain solusi tersebut, guru juga dapat mengembangkan aspek kognitif siswa dengan cara menerapkan model pembelajaran di kelas yang dapat merangsang pengetahuan awal siswa. Salah satu pembelajaran yang sesuai dengan konsep tersebut, yaitu pembelajaran konstruktivisme. Melalui pembelajaran konstruktivisme siswa dapat membangun pengetahuan mereka sendiri. Ketika belajar siswa diharapkan mampu mengaitkan suatu konsep yang diajarkan dengan kenyataan pada pengalaman mereka, dengan demikian siswa lebih mudah memahami konsep yang diajarkan oleh guru. Jean Piaget merupakan pencetus filsafat konstruktivisme. Model konstruktivisme berpandangan bahwa proses belajar diawali dengan terjadinya interaksi antara konsep awal siswa dengan fenomena yang baru didapat, sehingga diperlukan perubahan struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan. Salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme yaitu pembelajaran dengan model learning cycle. Pembelajaran learning cycle sendiri pada awalnya memang merupakan model pembelajaran dikembangkan dalam kurikulum pembelajaran sains. Pada awalnya learning cycle hanya terdiri dari tiga tahap, kemudian berkembang menjadi lima tahap, dan sekarang berkembang lagi menjadi tujuh tahap. Learning cycle memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran model ini akan dapat menumbuhkan kegairahan belajar siswa dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Model pembelajaran ini dapat mempermudah siswa untuk mengingat kembali materi pelajaran yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Guru memiliki posisi yang menentukan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Bahan pengajaran merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar sebaiknya dirancang sedemikian rupa dengan memperhatikan beberapa komponen dalam pembelajaran. Materi pembelajaran harus diidentifikasi secara tepat sehingga dapat memudahkan guru dalam menentukan pendekatan, strategi, metode, model, media dan penilaiannya. Dengan rancangan pembelajaran yang baik, maka proses pembelajaran akan berlangsung efektif, efisien, menarik, dan hasil pembelajaran menjadi bermutu. Pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan teori belajar konstruktivistik, siswa harus diperhatikan secara sistematis, kedisiplinan kelas perlu dijaga, kebutuhan individu siswa perlu ditentukan dan komunikasi guru-murid harus disediakan oleh guru. Dalam menciptakan kondisi pembelajaran tersebut, guru dapat memanfaatkan Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS adalah bahan pengajaran yang efektif dalam penerapan prinsip-prinsip teori belajar konstruktivis. LKS didefinisikan sebagai alat dasar yang berisi langkah-langkah proses yang diperlukan dan membantu siswa untuk mengatur pengetahuan dan pada saat yang bersamaan memberikan partisipasi penuh dari seluruh kelas dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, LKS memberikan panduan dan menawarkan solusi untuk masalah yang muncul dalam proses pembelajaran. LKS juga memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam proses belajar aktif dan meningkatkan prestasi siswa (Celikler, 2010). LKS yang digunakan saat ini masih ringkasan materi dan soal-soal. Sebenarnya sudah banyak LKS yang diterbitkan dan memenuhi karakteristik pembelajaran konstruktivisme, namun guru tidak memanfaatkan dan memaksimalkan kegiatan yang terdapat di LKS dan hanya menyuruh siswa mengerjakan soal-soalnya saja. Seharusnya guru dapat memaksimalkan fungsi LKS tersebut dalam pembelajaran. LKS yang digunakan di sekolah biasanya dibeli melalui penerbit, padahal LKS dapat dibuat dan dikembangkan oleh guru, disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, kondisi lingkungan belajar, dan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan demikian LKS yang dibuat guru akan lebih tepat sasaran dalam mencapai tujuan pembelajaran. LKS yang ada saat ini jarang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Model learning cycle dirasa cocok diterapkan dalam LKS, karena model pembelajaran learning cycle sesuai dengan teori konstruktivisme, selain itu model pembelajaran learning 155
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
cycle juga membantu berpikir siswa dari berpikir abstrak ke konkrit. Dengan dimasukkannya model pembelajaran learning cycle dalam LKS diharapkan dapat membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui fenomena dan pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam LKS. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji penggunaan LKS berbasis learning cycle, yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model learning cycle. Sistem peredaran darah merupakan salah satu konsep yang dipelajari pada semester ganjil kelas XI SMA. Marlina menjelaskan bahwa konsep sistem peredaran darah memuat materi mengenai jantung, pembuluh darah, darah, peredaran darah, dan penyakit pada sistem peredaran darah. Dalam bab ini siswa mengalami kesulitan mengidentifikasi penggolongan darah dan mekanisme transfusi darah selain itu pada umumnya bahasa latin yang masih asing terdengar oleh siswa (Marlina, 2011). Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) termuat Kompetensi Dasar (KD) yang harus dicapai siswa pada konsep sistem peredaran darah, yaitu menjelaskan keterkaitan antara struktur, fungsi, dan proses serta kelainan atau penyakit yang dapat terjadi pada sistem peredaran darah. Bila dilihat berdasarkan KD tersebut, siswa dituntut untuk menjelaskan keterkaitan fungsi dan proses. “Materi pembelajaran biologi, khususnya tentang Sistem Peredaran Darah Pada Manusia, memiliki karakteristik kompleks dan abstrak”. Konsep abstrak tersebut antara lain struktur bagian jantung, mekanisme proses kerja jantung, peredaran darah pada tubuh, dan proses jantung memompa darah. Materimateri tersebut sulit diamati secara langsung, oleh karena itu untuk memudahkan siswa mengkonkritkan hal yang abstrak dapat dipakai model pembelajaran learning cycle, agar penerapannya lebih mudah dibantu dengan LKS. Tahapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E Menurut Bently, Ebert II, dan Ebert model learning cycle 7e terdiri dari 7 tahap, yaitu elicit, engage, explore, explain, elaborate, evaluate, dan extend. Elicit merupakan perluasan dari tahap engage, sedangkan extend diperluas dari tahap elaborate dan evaluate. Ketujuh tahap tersebut digambarkan sebagai berikut ini (Bently, 2007):
Gambar 1. Tahapan Learning Cycle 7e Menurut Eisenkraft terdapat tujuh tahap pembelajaran dalam learning cycle 7e , ketujuh tahapan dijabarkan di bawah ini (Eisenkraft, 2003): 1) Elicit, yaitu fase yang dimulai dengan pertanyaan mendasar terkait pelajaran yang akan dipelajari. Fase ini bertujuan untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa, dengan memberikan pertanyaanpertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar muncul respon pemikiran siswa. 2) Engage, yaitu fase dimana guru menarik perhatian siswa untuk belajar dan memastikan siswa sudah siap untuk belajar. Guru memberi tahu siswa tentang ide dan rencana pembelajaran sekaligus memotivasi siswa agar lebih berminat untuk mempelajari konsep dan memperhatikan guru dalam mengajar. 156
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
3) Explore, yaitu fase yang memberikan kesempatan siswa mengamati, mencatat data, merencanakan percobaan, menginterpretasikan hasil percobaan dan mengorganisasikan temuan. 4) Explain, yaitu fase dimana siswa diperkenalkan pada model, hukum-hukum dan teori. Siswa merangkum hasil penyelidikan pada teori/konsep baru. Guru membantu siswa megeneralisasikan hasil penyelidikan. 5) Elaborate, yaitu fase yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan. Fase ini menyediakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang dipelajari, untuk diselesaikan. 6) Evaluate, yaitu fase untuk mengevaluasi hasil pembelajaran yang telah dilakukan. 7) Extend, yaitu fase yang bertujuan untuk memperluas konsep dan mengingatkan guru pentingnya transfer pembelajaran. Guru dapat meyakinkan bahwa pengetahuan diterapkan oleh siswa dan tidak terbatas pada elaborasi sederhana. Adapun permasalahan yang ingin dicari jawaban dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Learning Cycle 7e Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Konstruktivisme Konsep Sistem Peredaran Darah? METODE Metode dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment). Desain penelitian ini menggunakan Pre-test and Post-test design. Sebelum diberikan perlakuan, pada kelompok eksperimen diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan dasar siswa pada konsep sistem peredaran darah. Kemudian diberikan perlakuan pembelajaran dengan menggunakan LKS berbasis learning cycle 7e. Setelah diberikan perlakuan, diberikan posttest untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa terhadap konsep sistem peredaran darah. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 semester 1 SMAN 33 Jakarta berjumlah 39 siswa. No 1
Tahap/Fase Elicit
2
Engage
3
Explore
4
Explain
5
Elaborate
6
Evaluate
7
Extend
Tabel 1. Desain LKS Berbasis Learning Cycle 7e Kegiatan pada LKS Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait materi yang akan dipelajari untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan awal siswa, sehingga muncul respon pemikiran awal siswa. Artikel maupun kegiatan yang dapat menimbulkan rasa penasaran dan minat belajar siswa pada materi yang akan dipelajari. Kegiatan penyelidikan baik pengamatan maupun percobaan, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji hipotesis dan mencatat data percobaan. Kegiatan penyelidikan yang dilakukan, antara lain: uji golongan darah, mengamati anatomi dan cara kerja jantung manusia melalui video, dan penghitungan denyut nadi. Kegiatan diskusi untuk menjelaskan konsep-konsep dan definisi-definisi awal yang mereka dapatkan selama fase eksplorasi. Pada LKS terdapat pertanyaan yang membimbing siswa untuk berdiskusi dan menyimpulkan konsep/definisi. Pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari konsep yang dipelajari untuk menerapkan konsep yang telah diperoleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan untuk menilai/mengevaluasi pembelajaran yang telah dilakukan, sesuai dengan indikator pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat memperluas konsep yang telah diperoleh siswa, sehingga siswa dapat mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.
157
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes (pre-test dan post-test) dan non test (lembar observasi). Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif, meliputi pengetahuan dan pemahaman konsep siswa. Tes yang digunakan berupa soal pilihan ganda. Lembar observasi digunakan untuk mengamati proses belajar siswa dan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Data berupa hasil pretes dan postes kemudian diolah menggunakan uji statistik paired sample t-test dengan menggunakan program SPSS 20 sedangkan data berupa hasil observasi dideskripsikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengerjaan LKS berbasis learning cycle 7e pada konsep sistem peredaran darah dibagi ke dalam 3 LKS, yang dibagi berdasarkan sub bab yang terdapat pada sistem peredaran darah. LKS 1 berisi materi mengenai darah. LKS 2 berisi meteri mengenai alat-alat peredaran darah. LKS 3 berisi materi mengenai sistem limfatik dan gangguan atau kelainan yang terjadi pada sistem peredaran darah. LKS berbasis learning cycle 7e memiliki 7 tahap pembelajaran. Pada LKS berbasis learning cycle 7e terdapat 7 tahap, diawali dengan tahap elicit dan diakhiri dengan tahap extend. Hasil penilaian pengerjaan LKS dengan menggunakan LKS berbasis learning cycle 7e disajikan pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Hasil Penilaian LKS Learning Cycle 7e Hasil/Nilai LKS Data LKS 1 LKS 2 LKS 3 Maksimum
98,63
96,15
97,40
Minimum
73,97
70,51
68,83
88,02
86,50
89,48
5,61
6,80
7,28
SD
Tabel 3. Data Pre-test dan Post-test Pre-test Deskripsi Pretes postes
Mean
pretes Pair 1 -45,89718 postes
Minimum
16,67
66,67
Maximum
66,67
96,67
Mean
38,29
84,19
SD
11,18
9,63
Tabel 4. Hasil Paired Samples Test Paired Differences Std. Std. Error 95% Confidence Interval Deviation Mean of the Difference
13,12361
2,10146
Lower
Upper
-50,15136
-41,64300
t
df
Sig. (2tailed)
-21,841
38
,000
Berdasarkan tabel 4 di atas diperoleh sig(2-tailed) adalah 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa Ho ditolak. 158
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Pembahasan Hasil uji hipotesis pada hasil belajar siswa (post-test) menunjukkan kesimpulan bahwa H0 ditolak. Ditolaknya H0 menjelaskan bahwa terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah. Rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan dengan LKS berbasis learning cycle 7e berada dalam kategori tinggi (84,19). Hasil tersebut menjelaskan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan LKS berbasis learning cycle 7e hasil belajarnya sangat baik. Pada proses pembelajaran terdapat 3 LKS yang dikerjakan. Pembagian LKS ini disesuaikan dengan sub bab pada materi sistem peredaran darah manusia. LKS 1 masing-masing LKS memuat materi mengenai darah, yang terdiri dari komponen dan fungsi darah, penggolongan darah, dan transfusi darah. LKS 2 memuat materi mengenai alat-alat peredaran darah, yang terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan macam-macam peredaran darah. LKS 3 memuat materi mengenai sistem limfatik dan gangguan/kelainan yang terjadi pada sistem peredaran darah manusia. Pada kelas eksperimen proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan LKS berbasis learning cycle 7e. Pembelajaran dimulai dengan pengerjaan LKS tahap elicit. Pada tahap ini peneliti menyediakan beberapa pertanyaan mendasar terkait materi yang akan dipelajari untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa, sehingga muncul respon pemikiran siswa. Selanjutnya terdapat tahap explore, explain, elaborate, dan evaluate. Pada tahap akhir LKS berbasis learning cycle 7e, terdapat tahap extend. Pada tahap extend siswa memperluas konsep yang sudah mereka dapatkan, selain itu siswa juga mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari. Model pembelajaran learning cycle 7e merupakan pengembangan dari model learning cycle 5e, seperti yang dijelaskan oleh Eisenkraft dalam Ebert II, Ebert, dan Bentley, versi siklus belajar (learning cycle) bermunculan dengan fase yang berkisar dari 3 ke lima (5e) sampai tujuh (7e). Dengan demikian,siswa yang diajarkan dengan LKS berbasis learning cycle 7e memiliki respon pemikiran awal dan membangun persepsi mereka pada tahap awal pembelajaran sambil mengingat/membangkitkan konsep yang sudah ada melalui tahap elicit. Selain itu, pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan LKS berbasis learning cycle 7e, siswa memiliki kesempatan yang lebih untuk memperluas pengetahuannya dan mencari hubungan konsep yang telah mereka dapatkan pada proses pembelajaran dengan konsep lain yang berhubungan, pada tahap extend yang mereka kerjakan di rumah dan mencari referensi-referensi yang berkaitan. Pada LKS berbasis learning cycle 7e terdapat tahap elicit yang merangsang pengetahuan awal siswa agar muncul respon pemikiran siswa. Pada akhir LKS berbasis learning cycle 7e juga terdapat tahap extend yang merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari. Kedua tahap tersebut cukup memberikan dampak. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru diamati melalui lembar observasi. Berdasarkan hasil observasi, terlihat bahwa pada tahap elicit guru memberikan pertanyaan mendasar pada LKS yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Pada tahap engage, hasil observasi menunjukkan bahwa guru membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa melalui artikel/kegiatan pada LKS. Pada tahap explore, hasil observasi menunjukkan bahwa guru memberi waktu siswa untuk melakukan percobaan pada uji golongan darah dan penghitungan denyut nadi. Guru juga mamfasilitasi siswa untuk melakukan percobaan dan menyediakan tabel pada LKS untuk mencatat data hasil percobaan. Pada tahap explore pengamatan anatomi dan cara kerja jantung melalui video, guru memutarkan video, memberi waktu siswa untuk memperhatikan video, dan menyediakan kolom pada LKS untuk membuat resume video. Pada tahap explain, hasil observasi menunjukkan bahwa guru membimbing siswa untuk menginterpretasikan hasil percobaan dan mengarahkan diskusi siswa melalui pertanyaan yang terdapat pada LKS. Pada tahap elaborate, hasil observasi menunjukkan bahwa guru menyediakan permasalahan baru untuk diselesaikan yang mirip dengan konsep yang dipelajari. Pada tahap evaluate, hasil observasi menunjukkan bahwa guru melakukan evaluasi pada keseluruhan fase pembelajaran yang sesuai dengan indikator yang harus dicapai. Pada tahap extend, hasil observasi menunjukkan bahwa guru memberikan kesempatan untuk mentransfer pengetahuan siswa pada LKS dan memberikan pertanyaan pada LKS yang berkaitan dengan konsep lain. 159
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Observer juga mengamati proses belajar siswa di kelas, pada setiap pertemuan. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam proses pembelajaran menggunakan LKS lebih dari 50%. Ini berarti bahwa hampir seluruh siwa berpartisipasi pada saat proses pembelajaran, dalam hal ini pada saat pengerjaan LKS. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa LKS berbasis learning cycle 7e memberikan pengaruh pada proses pembelajaran siswa dan hasil belajarnya. Hasil tersebut relevan dengan penelitian Nuhoglu dan Yalcin (2006) yang menunjukkan bahwa model learning cycle membantu siswa untuk belajar secara efektif dan mengatur pengetahuan dalam cara yang berarti. Model ini dapat membuat pengetahuan jangka panjang. Siswa menjadi lebih mampu menerapkan pengetahuan mereka di bidang lain di luar konteks aslinya. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah. SARAN Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, khususnya kepada para guru sebagai orang yang langsung berinteraksi dengan siswa disarankan untuk membuat dan memilih lembar kegiatan siswa (LKS) yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan indikator pembelajaran. Dengan demikian tujuan pembelajaran akan tercapai dengan lebih efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet XIV. Jakarta: Rineka Cipta. Bentley, Michael L, et al. 2007. Teaching Contructivist Science, K-8: Nurturing Natural Investigators in The Standards-based Classroom. United States of America: Corwin Press. Celikler D. 2010. The Effect of Worksheets Developed for the Subject of Chemical Compounds on Student Achievement and Permanent Learning. The International Journal of Research in Teacher Education, 1. Ebert II, Edward S, et al. 2011. The educator’s Field Guide: From Organization to Assessment (and Everything in Between). United States of America: Corwin Presss. Eisenkraft A. 2003. Expanding The 5E Model: A proposed 7E Model Emphasized “Transfer of Learning” and The Importance of Eliciting Prior Understanding. National Science Teacher Association. Fadhillah DSN. 2011. Hasil Belajar Biologi Melalui Penerapan Metode Talking Stick dalam Model Learning Cycle Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa di SMA Negeri 5 Surakarta. Jurnal Pendidikan Biologi, Tidak dipublikasikan. Marlina L. 2011. “Pengaruh Model Cooperative Learning Teknik Think-Pair-Share Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa pada Konsep Sistem Sistem Peredaran Darah”, Skripsi pada Sarjana UIN Syarif HIdayatullah Jakarta: Tidak dipublikasikan. Nuhoglu H, Yalcin N. 2006. The Effectiveness of The Learning Cycle Model to Increase Students’ Achievement In The Physics Laboratory. Journal of Turkish Science Education, 3. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 2006. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Suyono H. 2012. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Cet III. Bandung: Remaja Rosdakarya. Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Cet I. Jakarta: Prestasi Pustaka.
160
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
ANALISIS LITERASI LINGKUNGAN SISWA PADA PENGGUNAKAN BAHAN AJAR BUKU SUPLEMEN BERBASIS PENDIDIKAN LINGKUNGAN Irzaqotul Inayah Pendidikan kimia, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi lingkungan pada siswa terhadap penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan melalui tahapan pembuatan bahan ajar buku suplemen yang diintegrasikan pendidikan sebagai media pembelajaran yang kemudian diimplementasikan kepada siswa dan menganalisis kemampuan literasi lingkungan yang dimiliki oleh siswa. Kemampuan literasi lingkungan yang diukur meliputi tiga aspek yaitu knowledge (pengetahuan), attitude (sikap) dan skill (keahlian). Pada tahap pembuatan bahan ajar yang digunakan, telah divalidasi oleh dua pakar dari akademisi dan praktisi. Jumlah sampel sebanyak 39 siswa kelas X-1 dari sekolah SMAN 11 Tangerang. Berdasarkan analisis kamampuan literasi lingkungan siswa diperoleh hasil rata-rata pada aspek pengetahuan tentang lingkungan (knowledge) 82,21%, sikap (attitude) terhadap lingkungan 69,56%, keahlian menentukan keputusan terhadap lingkungan (skill) 75,02%. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatagorikan rata-rata pencapaian literasi lingkungan siswa dengan kriteria baik. Dan dapat disimpulkan kemampuan literasi lingkungan dapat didukung oleh penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan khususnya pada aspek pengetahuan. Selain itu respon siswa terhadap penggunaan bahan ajar buku suplemen untuk literasi lingkungan sangat positif Kata Kunci: Buku Suplemen, Pendidikan Lingkungan, Literasi Lingkungan
PENDAHULUAN Tantangan pendidikan saat ini bagi bangsa Indonesia adalah salah satunya bagaimana siswa dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diajarkan dengan realita kehidupan sehari-hari, sehingga pendidikan sekolah benar-benar dapat dijadikan proses pengembangan kemampuan akademik serta karakter yang baik bagi lingkungan sekitar dan dalam bermasyarakat. Sebagaimana kita ketahui saat ini negara menggunakan minyak bumi, batubara dan gas sebagai sumber energi utama yang menimbulkan banyak pencemaran bagi lingkungan, serta masih banyaknya siswa yang kurang sadar terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan seperti penggunaan energi yang kurang hemat, malasnya memakai masker saat di jalan. Sehingga dapat dibuat tanggapan hipotesis bahwa pengaturan lingkungan adalah pada dasarnya seiring dengan pengaturan aktifitas manusia. Nurmalahayati (2011) menuturkan pendidikan kimia yang diharapkan meliputi tujuan dari produk, proses, sikap dan tujuan dari penerapan dari konsep dan teknologi terlihat kehilangan tujuan sepenuhnya, saat ini pembelajaran sains lebih diarahkan untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Salah satunya yaitu upaya menjadikan pelajar yang berilmu dan sadar akan hubungan dengan lingkungan dan tanggung jawabnya. Berhubungan dengan pelajaran kimia dan pelajaran pengetahuan alam lainnya, pendidikan lingkungan adalah penting untuk mendapatkan perhatian sebagai salah satu pendidikan berkelajutan. Konsep pendidikan lingkungan pertama kali muncul dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Massacusets pada tahun 1969. istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Charles E. Roth pada tahun 1968 sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan media tentang ketidakpedulian terhadap lingkungan, yaitu “siapakah yang telah mencemari lingkungan”
161
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Selain tentang pengetahuan, pengembangan karakter adalah tujuan pendidikan kimia. Pembangunan karakter memiliki aspek yang sangat penting dalam hidup bernegara. Salah satu karakter sebagai hamba Tuhan yang harus ditanamkan oleh peserta didik adalah peka dan cinta terhadap alam dan lingkungan. Karakter peka terhadap lingkungan dan tanggung jawab sebagai warga negara tersebut dapat dibentuk melalui pendidikan kimia yang dihubungkan dengan sikap individu yang diimplementasikan terhadap kehidupan dimana mereka tinggal (Nurmalahayati, 2011). Wilke (1995) sebagaimana dikutip oleh Mony, menuturkan bahwa pendidikan lingkungan ini meliputi sebuah pemahaman peran manusia di alam, kepentingan memelihara lingkungan hidup, dan prinsip ilmu dasar yang dihubungkan dengan pemanfaatan alam. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan yang harus dicapai yaitu pendidikan yang holistik atau menyeluruh, dimana prinsip dasarnya adalah interaksi atau hubungan antara individu dengan lingkungannya (relation), tanggung jawab (responsibility) untuk menciptakan dan menjaga hubungan yang harmonis dan sinergis dengan alam semesta. Tujuan awal dari pendidikan lingkungan adalah membangun literasi lingkungan pada beberapa tingkatan kompetensi. Pada dasarnya pengertian litarasi selalu berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Roth (1992) menyatakan bahwa literasi lingkungan adalah kemampuan menghayati dan mengartikan sistem kesahatan lingkungan yang tidak menentu dan mengambil tindakan yang sesuai untuk memelihara, memperbaiki, atau meningkatkan kesehatan dari sistem tersebut. Literasi lingkungan dapat dikatakan sebagai kemampuan dimana seseorang mampu melihat dan menjaga alamnya dari berbagai kemungkinan yang merugikan. Seseorang dapat melihat keadaan alamnya serta bahayabahaya yang mengancamnya, seperti kegiatan eksploitasi alam yang akan menyebabkan ketidakseimbangan alam seperti banjir, naiknya suhu bumi yang membahayakan lingkungan alam dan kehidupan tersebut. Dengan berliterasi lingkungan seseorang memiliki rasa peduli, perhatian, motivasi untuk melakukan sebuah tindakan dan perumusan strategi dalam memelihara alam, lebih jauh lagi dapat diaplikasikan dalam masalah-masalah social Lalu bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melihat faktorfaktor penunjang proses belajar mengajar tersebut. Salah satunya yaitu penggunaan sumber belajar yang tepat. Sumber belajar akan menentukan darimana para siswa memperoleh pengetahuan, dan saat ini sumber belajar yang paling umum adalah buku. Pada saat ini pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari buku. Lewat buku siswa dapat menambah wawasan yang pada akhirnya secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi pola pikir dan sikapnya. Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber yang berisi bahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dituntut dalam kurikulum (Sitepu, 2012). Oleh karena itu buku teks memainkan peran yang penting dalam proses belajar mengajar di kelas (Maya 2011). Lebih lanjut Masnur (2010) menyatakan lewat membaca buku, anak akan terpengaruh perkembangan minat, sikap sosial, emosi dan penalarannya sehingga buku dapat mempengaruhi siswa itu sendiri. Dalam teori pedagogi setidaknya ada tiga unsur yang menunjang tercapainya proses belajar mengajar yaitu pembelajar, pengajar dan materi subjek (Yanti, 2008). Saat ini pemerintah telah memberikan kebebasan kepada satuan tingkat pendidikan untuk mengembangkan indikator-indikator serta bahan ajar yang ada dengan rambu-rambu penyusunan dan pengembangannya yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran. Dengan demikian, guru diharapkan untuk mengembangkan bahan ajar sebagai salah satu sumber belajar. Menurut pusat kurikulum dan perbukuan nasional terdapat empat jenis buku yang dugunakan dalam dunia pendidikan yaitu (1) Buku Teks Pelajaran; (2) Buku Pengayaan/buku suplemen; (3) Buku Referensi; dan (4) Buku Panduan Pendidik. Buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan adalah buku yang digunakan untuk melengkapi materi pelajaran yang disusun dengan isi yang berhubungan dan berdasarkan tujuan dari pendidikan lingkungan itu sendiri. Hubungan antara pengembangan buku ajar dan suplemen dengan nilai budaya tertentu yang akan dicapai dapat dilakukan dengan menggabungkan konsep meteri dengan nilai yang akan diperoleh. Sebagaimana
162
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Suja dengan judul “Pengembangan Buku Ajar Sains SMP Mengintegrasikan Content dan Context Pedagogi Budaya Bali”, dapat meningkatkan kualitas dan proses hasil belajar. Temuan tersebut sesuai dengan temuan Supriadi (1997) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna terhadap prestasi belajar. Mengingat betapa pentingnya faktor penunjang pencapaian pendidikan lingkungan bagi siswa dan buku pelajaran dalam menunjang pencapaian pembelajaran, dimana tidak semua buku mencakup nilai tersebut, maka dalam penelitian ini dilakuakan analisis atau peninjauan seberapa besar kontribusi buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan terhadap pencapaian literasi lingkungan. Menurut Palmer (1994) dimensi literasi lingkungan yang tertuang dalam pendidikan lingkungan meliputi tiga aspek yaitu: pengetahuan dan pemahaman (knowledge and understanding), keahlian (skill) dan sikap (attitude). Semua dimensi tersebut dibagi lagi dalam berbagai indikator yang digabungkan dengan indikator pada topik minyak bumi. Dalam perencanaan pencapaian kurikulum pendidikan lingkungan dapat dilakukan dari komponen-komponen yang berhubungan sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
Proses Pembelajaran
1. Pengetahuan dan pemahamankonsep 2. Keahlian/ kemampuan 3. Sikap
Pendidikan di dan melalui lingkungan
Gambar 1. Hubungan Komponen Pendidikan Lingkungan Komponen-komponen tersebut dirangkum dan dituangkan dalam bahan ajar buku suplemen dimana siswa dapat belajar mengenai manfaat dan dampak serta bagaimana menjaga kesehatan dari bahaya minyak bumi yang berupa pembelajaran dari lingkungan tentang lingkungan dan untuk lingkungan. METODE Analisis literasi lingkungan pada penelitian ini dilakukan melalui metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Jumlah sampel yang diambil adalah kelas X-1 SMAN 11 Tangsel. Tahapan penelitian diawali dengan persiapan dengan pembuatan bahan ajar buku suplemen yang disusun berdasarkan penggabungan konsep minyak bumi dengan kisi-kisi dan indikator pendidikan lingkungan, selanjutnya pembuatan instrumen penilaian literasi lingkungan. Tahap pembuatan buku suplemen meliputi anilisis kebutuhan bahan ajar, memahami kriteria pemilihan sumber belajar, membuat struktur bahan ajar, kemudian dilakukan validasi. Tahap selanjutnya adalah penerapan bahan ajar buku suplemen dalam proses pembelajaran berdasarkan RPP yang telah disusun. Adapun teknik pengumpulan data secara keseluruhan dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
163
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
No
1*
2
Tabel 1. Jenis Data, Sumber Data dan Instrumen Sumber Teknik data pengumpulan data Kualitas bahan ajar dan perangkat Pakar, Telaah penilaian yang dikembangkan buku dokumen Jenis data
Penilaian kemampuan lingkungan
literasi
Siswa
3
Soal-soal literasi lingkungan dan pertanyaan sikap Dokumentasi
Instrumen
Pedoman validasi Tes Angket
Unjuk kerja siswa dalam kegiatan Siswa Rubrik pembelajaran siswa *Proses pembuatan buku, sebelum dilaksanakannya pengukuran literasi lingkungan
kerja
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa tes literasi lingkungan. Soal-soal disusun berdasarkan indikator literasi lingkungan yang disesuaikan dengan konsep minyak bumi, yang meliputi tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keahlian terhadap lingkungan, dengan kriteria penilaian sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria Penilaian Indikator Pertanyaan Literasi Lingkungan No
Indikator Pertanyaan dan Skor Maksimum
Aspek Literasi Lingkungan
1 Mengetahui keadaan lingkungan baik lokal maupun global
Ilmu dasar tentang lingkungan (16 poin)
Mengetahui dan memahami dari permasalahan lingkungan pada jenjang yang berbeda yang meliputi pemahaman dari perbedaan pengaruh diantara alam dan manusia pada permasalahan-permasalahan yang ada Mengetahui sikap yang harus diambil dan pendekatan untuk menghadapi masalah lingkungan
2 3 4 5
Pengetahuan tentang masalah-masalah lingkungan (6 poin) Penghayatan pengetahuan dalam tindakan (12 poin) Penghayatan kemampuan dalam tindakan (60 poin) Pengidentifikasian masalah (1poin)
6
Memiliki sebuah pengetahuan tentang lingkungan dan kepedulian alam untuk membangun lingkungan Memiliki sebuah sikap yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan dan pemahaman terhadap lingkungan Bersikap baik terhadap lingkungan dan menyampaikan informasi kepada sesama tentang tindakan yang baik terhadap lingkungan Menghubungkan pendapat pribadi dengan pilihan sikap terhadap permasalahan lingkungan, yang meliputi pembenaran sebuah sikap atau pencapaian sebelumnya Mengevaluasi informasi tentang lingkungan, dari sumber yang berbeda untuk dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan
Analisis masalah (10 poin)
7
Perencanaan tindakan (7 poin)
Menyebutkan cara yang sesuai dalam masyarakat untuk membawa perubahan lingkungan yang lebih baik
Setelah semua data terkumpul dilakukan analisis data berdasarkan persentase pencapaian yang dikonversi dalam kriteria berikut:
164
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Tabel 3. Pedoman Penilaian Persentase Tingkat penguasaan Predikat 86 – 100% Sangat baik 76 – 85% Baik 60 – 75% Cukup 55 – 59% Kurang ≤ 54% Kurang sekali Ngalim Purwanto (2010) HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase
Analisis kemampuan literasi lingkungan dilakukan setelah para siswa mendapatkan pembelajaran pada konsep Minyak Bumi yang dihubungkan dengan pendidikan lingkungan, dimana pada penyampaian pendidikan tersebut dilakukan dengan menggunakan media buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan. Sebelum seseorang dapat bertindak secara sadar terhadap fakta permasalahan lingkungan, seseorang tersebut harus disadarkan terhadap permasalahan yang benar-benar ada di sekitar mereka, sehingga pengetahuan terhadap masalah tersebut sebagai prasyarat untuk bertindak. Berdasarkan hasil pengukuran kemampuan literasi lingkungan diperoleh hasil dengan persentase pada aspek pengetahuan sebesar 82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan kognitif) sebesar 75,02% (cukup). Secara keseluruhan diperoleh hasil pengukuran kemampuan literasi lingkungan 100 dengan persentase rata-rata sebesar 75,60% (baik). Dengan rincian pada tabel berikut: 91,03 Kemampuan Literasi Lingkungan 85,26 83,52 72,44 80 71,37 70,09 74,36 67,18 66,15 60 40 20 0 Pengetahuan
Sikap
Kemampuan
MENGETAHUI KEADAAN LINGKUNGAN ALAM BAIK LOKAL MAUPUN GLOBAL MENGETAHUI DAN MEMAHAMI PERMASALAHAN PADA TINGKAT YANG BERBEDA MENGETAHUI SIKAP YANG HARUS DIAMBIL UNTUK MENGHADAPI MASALAH LINGKUNGAN MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG LINGKUNGAN DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN MEMILIKI SIKAP YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN BERSIKAP BAIK TERHADAP LINGKUNGAN DAN MENYAMPAIKAN INFORMASI KEPADA SESAMA MENGHUBUNGKAN PENDAPAT PRIBADI DENGAN PILIHAN SIKAP TERHADAP PERMASALAHAN LINGKUNGAN MENGEVALUASI INFORMASI TENTANG LINGKUNGAN, DARI SUMBER YANG BERBEDA MENYEBUTKAN CARA YANG SESUAI DALAM MASYARAKAT UNTUK MEMBAWA PERUBAHAN LINGKUNGAN YANG LEBIH BAIK
Gambar 2. Diagram Batang Pencapaian Aspek-Aspek Literasi Lingkungan
165
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Pada dimensi pengetahuan (knowledge) ini berisi tentang proses alami yang berlangsung di alam dan dampak dari kegiatan manusia terhadap lingkungan, sebagai dasar aspek pengambilan keputusan. Siswa mengetahui hubungan antara indikator pada konsep minyak bumi dengan aspek pendidikan lingkungan dengan baik dengan pencapaian 82,21%, seperti kegunaan minyak bumi dan keadaan lingkungan mereka saat ini sebagai akibat dari pengaruh kegiatan manusia serta pemberdayaan alam yang ada. Namun masih terdapat beberapa siswa yang belum dapat memahami secara keseluruhan, keterkaitan antara satu aspek yang berakibat kepada aspek lain. Misalnya perubahan suhu yang tidak menentu akibat gas pemanasan global menyebabkan punahnya sebagian ekosistem dan perkembangan yang tidak terkendali dari ekosistem lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh pada dimensi ini, buku suplemen yang digunakan telah memberikan informasi yang baik terhadap pencapaian pengetahuan pada pendidikan lingkungan khususnya pada konsep minyak bumi yang terangkum secara keseluruhan di dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan dari buku suplemen berdasarkan PerMenDikNas Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 6 Ayat 3 yang menyatakan bahwa buku suplemen digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik, khususnya guna pencapaian tujuan pendidikan. Dari pengetahuan tentang lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi modal awal siswa untuk lebih memahami lingkungan, sebagaimana Environment Literacy Council mendefinisikan literasi ekologi yang sebagai hubungan antara makhluk hidup dan pengaruhnya terhadap yang lain sebagai kemampuan untuk bertanya “kemudian apa?” dan bagaimana untuk hidup di bumi?. Kegunaan buku suplemen sebagai bacaan bahan pelajaran sangatlah mungkin, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Siti Maryam (2012) yang menyatakan bahwa cerita pendek sebagai salah satu dari hasil budaya dapat dibuat sebagai media atau bahan untuk mengajarkan nilai sosial dan budaya, sehingga buku suplemen dapat dibuat sebagai media pembawa kebenaran. Dimensi sikap ini merupakan bagian dari pendidikan untuk lingkungan (education for environment). Pencapaian paling tinggi aspek literasi lingkungan pada dimensi ini adalah “Memiliki sebuah sikap yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan dan pemahaman terhadap lingkungan” sebesar 72,4%. Siswa merasa memiliki pemahaman terhadap lingkungan dan dapat mengambil sikap yang baik terhadap permasalahan lingkungan seperti kegiatan hemat energi listrik. Adapun pada aspek yang lainnya diperoleh persentase yang lebih rendah. Dari sini dapat terlihat kemampuan yang dirasakan oleh siswa masih belum sama seutuhnya dengan pencapaian sikap dan tindakan yang mereka miliki. Namun pada hasil penelitian setiap aspek pada dimensi ini memiliki persentase pencapaian yang tidak terlalu jauh sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan pencapaian dimensi sikap dengan kriteria cukup. Pada penilaian dimensi sikap (attitude), siswa menggambarkan masalah-masalah yang ada di dunia nyata bukan hanya di dunia sekolah. Pengetahuan ini membangun sikap kepedulian mereka dalam melihat keadaan alam di sekitar lingkungan mereka. Siswa yang memiliki pengalaman dengan permasalahan yang terkenal menunjukkan reaksi empati yang kuat terhadap alam dalam sebuah perkumpulan (Palmer, 1998). Hal ini menujukkan siswa yang memiliki pengetahuan tentang permasalahan yang umum mampu menggambarkan keadaan lingkungannya sebagai rasa kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Adapun siswa yang tidak termasuk ke dalam persentase pencapaian pada penelitian ini mereka belum dapat menggambarkan secara jelas. Sebagian besar hanya menyebutkan akibat dari penggunaan bahan bakar fosil. Pada aspek ini siswa menilai diri mereka sendiri terhadap penguasaan literasi lingkungan dan menyampaikan sikap yang telah mereka lakukan. Hal ini menjadi tolak ukur atau perasaan siswa untuk mengintrospeksi bagaimanakah pemahaman dan sikap mereka untuk lingkungan, dimana siswa menilai diri mereka sendiri. Berdasarkan data hasil analisis aspek tersebut diperoleh pencapaian sebesar 72,44% dengan kriteria cukup. Penilaian ini sesuai dengan ruang lingkup penilaian pada kurikulum 2013 yang diterapkan khususnya pada dimensi sikap. Siswa yang terbiasa melakukan penilain diri sendiri, mereka akan terbiasa dengan sikap yang lebih objektif. Dari penilaian ini siswa mengukur kemampuan literasi lingkungkungan diri mereka sendiri terhadap
166
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
kegiatan yang yang harus dilakukan untuk lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian dimensi sikap tidak dapat tercapai dengan waktu yang singkat. Pada aspek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu “bersikap baik” berupa tindakan hemat energi atau ramah lingkungan dan “menyampaikan informasi kepada sesama” berupa sosialisasi dari kegiatan tersebut. Sebagian besar siswa melakukan kegiatan ramah lingkungan dengan baik terkait penggunaan energi, yaitu sebesar 71,05% dengan kriteria cukup, namun masih rendah dalam kegiatan sosialisasi terhadap kegiatan untuk alam yaitu sebesar 52,56% dengan kriteria kurang sekali. melakukan kegiatan terhadap lingkungan, yang berupa “satu jiwa satu pohon” sebagai salah satu kepedulian terhadap lingkungan. Siswa melakukan penanaman pohon. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Carl Rogers dalam Sudjana (2009) menyatakan bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif perilakunya dapat diramalkan. Pada dimensi sikap yang dimaksudkan disini merupakan ranah efektif yang mengarah pada hasil belajar psikomotorik. Ranah efektif ini yang berkenaan dengan perasaan, minat dan perhatian keinginan dan penghargaan yang tertuang bagi alam. Kondisi inilah yang menyebabkan siswa memiliki perasaan kebermaknaan belajar mengenai alam dan menunjukkan perilaku atau perbuatan sesuai dengan makna yang terkandung, berupa kemauan melakukan hal yang harus mereka lakukan, meskipun terdapat beberapa siswa yang tidak melakukan kegiatan alam tersebut. Siswa melakukan kegiatan sosialisasi tentang lingkungan berupa kegiatan terhadap lingkungan dengan memberikan informasi tentang lingkungan dan larangan serta kegiatan yang tidak baik. Kepedulian terhadap lingkungan juga merupakan hal penting yang harus dicapai dalam pendidikan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Witherington yang menyatakan bahwa tujuan dari pembelajaran adalah melakukan, berinteraksi, bertindak, mengalami. Hasil dari pembelajaran adalah segala yang diperoleh oleh peserta didik melalui kegiatan mereka sendiri (Bahri, 2006). Pada aspek keahlian (skill) ini siswa menunjukkan kemampuan dasar literasi lingkungan secara fungsional dalam menganalisis permasalahan yang ada dan mencari penyelesaiannya dengan menggunakan strategi utama atau kedua (Roth, 1992). “Isu lingkungan” mewakili hubungan perubahan sosial dan menghubungkannya kepada permasalahan antara akibat positif dan negatif yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Isu tersebut meliputi manusia, teknologi, lingkungan dan aspek ekonomi yang dihubungkan dengan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil yang diperoleh sebesar 75,02% dengan kriteria baik. Dari permasalahan yang diberikan siswa dapat mengidentifikasi permasalahan lingkungan, Mengevaluasi informasi tentang latar belakang permasalahan lingkungan misalnya “faktor ekonomi yang menyebabkan pemerintah kurang memperhatikan perbaikan angkutan umum yang kurang ramah lingkungan” dan menyebutkan cara yang sesuai dalam masyarakat untuk membawa perubahan lingkungan yang lebih baik. Pada dimensi ini, masalah yang diberikan tertuang pada buku suplemen, dari jawaban siswa dapat diambil sebuah kesimpulan tentang keahlian (cognitive skill) yang dimilikinya. Dimensi keahlian ini berkorelasi dengan dimensi pengetahuan yang siswa miliki dari proses membaca dan belajar, khususnya keahlian dalam pengambilan sebuah sikap dan keputusan yang terbaik terhadap lingkungan. Berdasarkan angket yang diberikan kepada 39 responden siswa kelas X-1 di SMAN 11 Tangerang Selatan mengenai penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan, diperoleh hasil rata-rata kepuasan penggunaan sebesar 88,84% dengan kriteria sangat baik. Pertanyaan tersebut berupa bagaimana taggapan siswa terhadap penggunaan buku suplemen sebagai sumber informasi dan bahan ajar yang membantu mereka dalam pembelajaran pendidikan lingkungan. Pada aspek mudah dipahami siswa merasa kurang dalam segi keberurutan penyusunan materi, sehingga perlu diperbaiki. SIMPULAN Literasi lingkungan merupakan pencapaian pendidikan lingkungan yang sangat penting. Sebuah sikap dan tindakan diperlukan pendidikan yang tidak singkat. Begitu pula pada bagian aspek tersebut belum tercapai secara
167
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
maksimal. Siswa masih kurang dalam melakukan kegiatan sosialisasi kegiatan untuk alam, namun pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar siswa menjalankan sikap yang baik untuk lingkungan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang mereka miliki. Pembangunan kemampuan literasi lingkungan memerlukan waktu yang lama. Sebagaimana dijelaskan Charles E. Roth (1992) yang menyatakan tidak ada seorang guru secara pribadi dapat melaksanakan seluruh kegiatan dalam membentuk seseorang hingga pada tingkat tertinggi kompetensi literasi lingkungan, namun masing-masing aspek akan memberikan pengaruh yang signifikan pada komponenen-komponen (dimensi) tertentu. Begitu pula dengan penggunaan bahan ajar suplemen tersebut, dapat terlihat pada aspek manakah diperolah pencapaian yang maksimal atau bagian-bagian tertentu yang harus ditingkatkan, yang pada dasarnya kompetensi literasi lingkungan dapat dibentuk dari pembelajaran tersebut. Pada dasarnya literasi lingkungan merupakan usaha seumur hidup (life long effort). Komponen yang berperan tersebut meliputi keluarga, komunitas, media, organisasi keagamaan dan kelompok yang diminati dan tempat kerja. Sehingga berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, persentase pada aspek pengetahuan sebesar 82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan kognitif) sebesar 75,02% (cukup), dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan ajar suplemen sebagai media memberikan kontribusi dalam pembelajaran pendidikan lingkungan dalam menunjang literasi lingkungan terutama pada dimensi pengetahuan. Dimana siswa merasa lebih faham dan mengerti bagaimana keadaan lingkungan saat ini dan tindakan apa yang harus dilakukan, meskipun hasil yang dicapai belum dicapai secara maksimal khususnya dalam pencapaian literasi lingkungan secara total. SARAN 1. Pembuatan bahan ajar suplemen lebih divariasikan dengan kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat langsung kepada lingkungan guna meningkatkan khususnya dimensi sikap 2. Dalam pencapaian literasi lingkungan perlu adanya peran guru dalam pemanfaatan bahan ajar guna merangsang kemampuan siswa dalam dimensi literasi DAFTAR PUSTAKA Bahri S. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2006. Environment Literacy Council, (Environmental Science and Engineering for the http://www.enviroliteracy.org/article.php/1489.html, diakses pada ) 19 Februari 2012.
21st
Century,
Defianty MK, Ummi. Are English Teacher the Agent of Cultural Imperialism. Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK Press, 2011. Nurmalahayati. Developing Character Building through Chemistry Education in the University in Aceh. Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK Press, 2011. Maryam S. Strengthening the Character: Uphold Ethics in Indonesian Language Study Pass by Supplementary Books, International Journal for Educational Studies, 5(1), 2012. Muslich M. Text Book Writing. Jakarta: Ar-Ruz Media, Cet.1, 2010. Palmer, Joy, Neal, Philip. The Handbook of Environmental Education. London: Routledge, 1994). Purwanto N. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung :Rosda. Roth CE. Environmental Literacy Its Roots, Evolution and Direction in 1990s. Massachusetts: Education Development Center, 1992. Sitepu. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
168
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014
Suja, IW. Pengembangan Buku Ajar Sains SMP Mengintegrasikan Content dan Context Pedagogi Budaya Bali, Jurnal Penelitian, 2002. Sudjana N. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya, Cet ke-14, 2009.
169