PROSIDING Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Call for Paper
Tema:
Standardisasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Sabtu, 23 April 2016 Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
Diselenggarakan Oleh:
Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
PROSIDING Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Standardisasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ISBN: 978-602-386-073-9
Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Penanggungjawab: Ketua Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Penyeleksi Abstrak/Makalah: Prof. Dr. dr. Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN., DLSHTM., PKK. Prof. Dr. dr. Soebijanto Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes. Ketua Editor: Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes. Anggota Editor: Azham Umar Abidin, S.K.M., M.P.H. Risma Arum Lintar Indira, S.K.M., M.P.H. Tim Korektor Prosiding: Bambang Hermawan, S.K.M. Dwi Nurani Ohorella, S.Kep., Ns. Ihya Hazairin Noor, S.K.M. Mahfi Yusuf, S.Pd. Diselenggarakan Oleh: Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281 Tel.: 0274–560300, 581876 Website: www.kesker.fk.ugm.ac.id, E-mail:
[email protected] Penerbit: Gadjah Mada University Press www.ugmpress.ugm.ac.id
SUSUNAN PANITIA Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja Penasehat
: Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial
Penganggungjawab : Ketua Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Prof. Dr. dr. Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN., DLSHTM., PKK.) Ketua Panitia
: Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.
Sekretaris
: Risma Arum Lintar Indira, S.K.M., M.P.H.
Bendahara
: 1. Esty Sundari 2. Pirenaningtyas, A.Md.
Sie Ilmiah
: 1. Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes. 2. Azham Umar Abidin, S.K.M., M.P.H. 3. Dwi Nurani Ohorella, S.Kep., Ns.
Sie Humas
: 1. Mahfi Yusuf, S.Pd. 2. Tiva Gani Agustina, S.S.
Sie Acara
:
Triasih Widiawati
Sie Konsumsi
:
Fadhilla Pratamasari, S.Gz., M.P.H.
Sie Perlengkapan
:
1. Anton Dwi Haryanto 2. Asnandar Prabowo 3. Triandaru
Sie Pubdekdok
:
1. Ihya Hazairin Noor, S.K.M. 2. Bambang Hermawan, S.K.M.
iii
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL K3
Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Alhamdulillah, atas kehendak-Nya, kegiatan "Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)" hari ini, Sabtu, 23 April 2016, di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, dapat terselenggara. Kegiatan ini merupakan agenda penting yang diselenggarakan oleh Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), pada Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial. Dalam seminar ini, diambil tema: Standardisasi Penerapan K3 di Indonesia Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita ketahui, bahwa persoalan dalam dunia kerja dengan aspek K3-nya begitu luas. Pada sisi lain, tuntutan standardisasi sistem kerja menjadi kebutuhan dasar yang tidak dapat ditawar lagi. Maka, dalam seminar ini, kita akan menelaah berbagai masalah dalam standardisasi K3 di Indonesia dalam iklim MEA yang harus kita hadapi. Seminar ini terdiri dari 2 sesi, pertama paparan ilmu dari para narasumber, kedua adalah presentasi dari para pemakalah yang datang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dari hasil seleksi abstrak dan makalah yang masuk, jumlah makalah yang akan dipresentasikan nanti sebanyak 39 judul, subtopik ilmu dibagi menjadi 4 kelompok. Kita pahami, bahwa keilmuan K3 ditopang oleh 2 subdisiplin ilmu, yaitu (1) ilmu kesehatan - kedokteran, dan (2) ilmu keteknikan - rekayasa. Maka, dalam presentasi call for paper pada seminar ini, judul dan bidang ilmu yang dicakup cukup variatif (interdisipliner). Kami, panitia seminar, mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan pemakalah seminar yang datang dari berbagai kota di Indonesia, dan terima kasih atas partisipasi yang diberikan dalam kegiatan ini. Terima kasih kami haturkan kepada Bapak Dekan Fakultas Kedokteran, Ibu Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial, Bapak Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ini. Mohon dimaafkan atas segala kekurangan. Semoga kegiatan ini menjadi kontribusi bermakna bagi pengembangan K3 di Indonesia. Selamat ber-seminar, dan sukses untuk semuanya! Wassalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Yogyakarta, 22 April 2016 Panitia Seminar Nasional K3 Ketua,
Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.
iv
SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN PERILAKU KESEHATAN, LINGKUNGAN, DAN KEDOKTERAN SOSIAL
Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Kami mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan pemakalah seminar dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta serta institusi lain di Indonesia. Dalam menyongsong industrialisasi global dunia kerja dalam beberapa dekade terakhir ini, peranan para ahli dan pendidik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi semakin penting. Masalah-masalah terkait aspek K3 dalam sektor kerja menjadi semakin luas dan beragam. Di sisi lain, tuntutan standardisasi dalam semua bentuk pekerjaan, baik dalam skala makro maupun mikro, menjadi kepentingan bagi semua jenis industri. Standardisasi ini mencakup baik industri skala kecil, menengah, maupun besar, dan juga dalam sektor industri barang maupun jasa. Kegiatan "Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)” pada hari Sabtu, 23 April 2016, di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ini diselenggarakan untuk turut menjawab tantangan tersebut. Kegiatan ini diinisiasi oleh Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial. Seminar ini bertujuan untuk memerluas wawasan dan pencerahan terkait dengan bidang ilmu K3 sesuai tema dalam seminar ini, yaitu: "Standardisasi Penerapan K3 di Indonesia Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN". Pada seminar ini akan dipaparkan berbagai makalah yang dibagi dalam beberapa subtopik. Presentasi dari para pemakalah akan memerkaya khazanah riset dalam bidang K3 dan aplikasinya di dunia industri. Kami berharap partisipasi dalam kegiatan ini dapat menjadi kontribusi penting dalam pengembangan keilmuan K3 maupun cabang ilmu lain yang berkaitan dengan K3. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ini. Semoga kegiatan ini menjadi tonggak permulaan yang penting bagi pengembangan keilmuan K3 di Indonesia yang lebih luas. Selamat mengikuti seminar, semoga menjadi manfaat besar dan berlipat ganda! Wassalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Yogyakarta, 22 April 2016 Departemen PKLKS Ketua,
dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, M.P.H., Ph.D.
v
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
Assalamualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh Alhamdulillahi robbil ‘alamin, salam sejahtera dan keselamatan untuk kita semuanya. Atas nama Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM), saya selaku Dekan mengapresiasi tinggi atas kerja segenap Panitia pemrakarsa terselenggaranya Prodi S2 Ilmu Kesehatan Kerja dan Panitia atas terselenggara Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Seminar dalam rangkaian peringatan Hari K3 Nasional tahun ini mengangkat tema “Standardisasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA”. Tema ini saya kira sangat relevan untuk merespon mulai diberlakukannya perdagangan bebas dunia, dimana di Asia Tenggara mulai diberlakukan MEA. Pemberlakuan perdagangan bebas ini tentu akan memicu adanya kompetisi global yang tentu menuntut adanya daya saing korporasi dan tenaga kerja/sumber daya manusia (SDM). Salah satu indikator daya saing korporasi adalah penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di lingkungan kerja. Penerapan SMK3 yang terintegrasi menjadi bukan hanya menjadi tuntutan utama dalam pemenuhan standar Internasional untuk produksi dan penjualan produk barang atau jasa, bahkan menjadi faktor penentu kelangsungan usaha perusahaan serta daya saing sebuah negara. Penerapan SMK3 saat ini merupakan kebijakan Pemerintah dan amanat konstitusi Pasal 87 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang telah diatur dalam pedoman penerapan SMK3 melalui Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012. Sebagaimana diketahui bahwa SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenagakerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang selamat, sehat, dan aman. Kondisi ini diharapkan dapat memacu produktifitas kerja dan mensejahterakan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Namun realitas masih menunjukkan bahwa K3 belum menjadi mainstream korporasi dan masyarakat industri di Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan masih mencatat bahwa pada akhir tahun 2015 kecelakaan kerja yang dilaporkan sebanyak 105.182 kasus, dengan korban meninggal dunia 2.375 orang. Dalam bidang kesehatan, pemberlakukan perdagangan bebas, termasuk MEA akan memicu mobilisasi dan perpindahan manusia dalam jumlah besar dalam waktu yang cepat lintas negara. Kondisi ini sangat mungkin akan memicu adanya transmisi penyakit karena transportasi yang melebihi batas inkubasi penyakit. Tantangan yang lebih besar adalah bagaimana transmisi penyakit ini dapat diatasi tanpa menganggu aktivitas perdagangan dan perjalanan internasional. Tentunya ini memerlukan kerjasama sektor kesehatan antar negara dan pemberlakuan aspek legalnya. FK UGM sebagai salah satu instiusi pendidikan dokter, perawat dan ahli gizi tentu merespon positif isu kebijakan kesehatan dunia ini dengan
vi
mempersiapkan tenaga kesehatan kompeten dan berwawasan global. FK UGM mulai tahun akademik 2007/2008 menerapkan inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan strategi Belajar Berdasarkan Masalah (BBM) atau Problem Based Learning (PBL) dan terus mengembangkan Continuing Profesionalism Development/CPD dan Continuing Medical Education/CME untuk meningkatkan kapasitas SDM. Akhirnya kami mengucapkan selamat berseminar, selamat Hari K3 Nasional, dan kami berharap agar forum ini dapat menjadi media yang kondusif dalam upaya memicu akselerasi penerapan K3 dalam berbagai bidang kerja untuk meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan kerja masyarakat. Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Yogyakarta, 22 April 2016 Fakultas Kedokteran UGM Dekan,
Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K)Onk.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ......................................................................................... Data Bibliografi …………………………………………………………... Susunan Panitia …………………………………………………………… Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional K3 …………………………... Sambutan Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial .............................................................................. Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ............. Daftar Isi......................................................................................................
i ii iii iv v vi viii
Subtopik: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Analisis Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi Deskriptif di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek Penerapan OHSAS 18001: 2007) Ayu Agustiana, Rini Fatmawati, Herman
1-7
Analisis Penerapan Budaya Keselamatan Kerja Oleh Radiografer di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta Azidanti Saufi, Ahmad Ahid Mudayana
8 - 14
Efektivitas Penanganan Limbah Padat di Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Veza Azteria
15 - 20
Evaluasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Bengkel St. Yosef Nenuk Atambua Sebastianus Baki Henong
21 - 26
Evaluasi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Unit Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Istika Dwi Kusumaningrum, Widodo Hariyono
27 - 33
Implementasi Manajemen Keselamatan Proses Dengan Revalidasi HAZOP & Klasifikasi SIL Unit Ammonia Pabrik-4 Basuki Rachmad
34 - 44
Implementasi Regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). (Studi Kasus Pada Dua Daerah TK II di Sumbar Kendala Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN) Amrizal Arief, Yulianita
45 - 47
viii
8.
9.
10.
11.
12.
Manajemen Keselamatan Proses Sebagai Bentuk Pengelolaan Potensi Bencana Industri di Indonesia Sidik Mastrilianto
48 - 55
Peran Contractor Safety Management System (CSMS) Dalam Meminimalkan Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Pembangunan Waduk Teritip Kota Balikpapan Erwin Ananta
56 - 63
Program Induksi Terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT Supraco Indonesia. (Studi Kasus: Barge Pioneer Blok Mahakam Kutai Kartanegara) James Evert Adolf Liku, Zulkifli
64 - 69
Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di Perusahaan Sebagai Upaya Menekan Angka Kematian Akibat Kecelakaan Kerja Septa Decelita, Hardi Yanta
70 - 77
Tinjauan Rujukan Daftar Bahaya dan Usulan Tambahan Daftar Bahaya Keselamatan dan Kesehatan Syamsul Arifin
78 - 83
Subtopik: Penyakit Akibat Kerja 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Estimasi Risiko Kejadian Penyakit Degeneratif Akibat Pajanan Polusi Udara NO2 Pada Pekerja Jalan Tol di Jakarta E. Laelasari, H. Kusnoputranto, Budiawan Mustofa
84 - 91
Hubungan Antara Pola Makan dan Gaya Hidup Dengan Sindroma Metabolik Pada Pekerja di PT X Ratih Damayanti, Erwin Dyah Nawawinetu
92 - 98
Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja Dengan Kadar Nikel Dalam Urin Pekerja Sektor Informal Pelapisan Logam Yuliani Setyaningsih
99 - 105
Hubungan Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Karyawan Game4Indo Yogyakarta Suci Khoiriyah, Nor Wijayanti
106 - 112
Pengaruh Frekuensi Menyusui Terhadap Keluhan Sakit Punggung Pada Pekerja Wanita di Perusahaan Garmen Yeremia Rante Ada’, Sumardiyono
113 - 119
Keluhan Gangguan Pernapasan Ditinjau Dari Kadar Debu Total, Masa Kerja, Behavior Based Safety (BBS) Karyawan di PT Borneo Melintang Buana Eksport Kabupaten Sleman Sitti Fatimah Rahmansyah, Dwi Nurani Ohorella, Hening Rizky Permata, Mahfi Yusuf
120 - 125
ix
7.
Pengurangan Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit X Kota Padang Tahun 2016 Fadillah Ulva, Adi Heru Sutomo, Agus Surono
126 - 130
Subtopik: Ergonomi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Analisis Faktor Penyebab Musculoskeletal Disosders Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment Pada Staf Kependidikan UNIDA Tofan Agung E.P., Eka Rosanti, Ratih Andhika A.R., Edwina Rudyarti
131 - 138
Hubungan Intensitas Pencahayaan Dengan Kelelahan Mata Pada Pekerja Home Industry Batik Sragen Seviana Rinawati, Siti Rachmawati
139 - 144
Hubungan Sikap Kerja Pengangkutan Dengan Keluhan Low Back Pain Pada Pekerja Depot Air Minum Arinta Puspita Restu
145 - 152
Identifikasi Postur Kerja Pekerja Pada Usaha Pembuatan Tahu Dengan Menggunakan Metode RULA, REBA, QEC, OWAS dan WERA Chalis Fajri Hasibuan
153 - 159
Kajian Kualitas Udara Dalam Ruangan di Perkantoran untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan Muslikha Nourma Rhomadhoni
160 - 166
Kenyamanan, Kekuatan Otot, Denyut Nadi, dan Kelelahan Mekanik Bengkel Sepeda Motor Konvensional di Kotamadya Padang Amrizal Arief, Erzedin Alwi
167 - 173
Kesejahteraan di Tempat Kerja, Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif, dan Peningkatan Produktivitas Karyawan Charli Sitinjak
174 - 179
Pengaruh Postur Kerja Terhadap MSDs Karyawan Instalasi Central Sterile Supply Department, Laundry, dan Jahit di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta Agustina Dwi Suryawati, Sumardiyono, Yeremia Rante Ada’
180 - 186
Penilaian Risiko Terhadap Kondisi Ergonomi Pengrajin Songket “Fikri Koleksi” di Talang Semut Bukit Tanggal, Palembang Septia Milanda, Desca Olympia Citra
187 - 193
x
10.
11.
Posisi Kerja Ergonomis Berkorelasi Positif Dengan Tingkat Kelelahan Pembatik Yamtana, Ayub Belasihi
194 - 200
Studi Keluhan Muskuloskeletal Pada Pramudi Bus Trans Jakarta Koridor IX (Pendekatan Ergonomi) Tahun 2015 Decy Situngkir
201 - 207
Subtopik: Teknik Pengendalian Kecelakaan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Analisis Kesesuaian Penyediaan Energi di Tempat Kerja Pada Karyawan PTS Gresik Erwin Dyah Nawawinetu, Ratih Damayanti
208 - 212
Aplikasi Sistem Peringatan Dini Pada Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja Aan Burhanuddin, Muchamad Malik
213 - 218
Dow’s Fire dan Explosion Index Sebagai Solusi Alternatif Dalam Penilaian Potensi Bahaya dan Risiko Terjadinya Kebakaran dan Ledakan. (Studi Kasus di Tangki Penyimpanan LPG Pertamina Perak Surabaya) Dani Nasirul Haqi
219 - 226
Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang Dirancang Secara Sederhana Dalam Meminimalisir Faktor Bahaya Debu Pada Industri Informal Saiku Rokhim
227 - 232
Efektifitas Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Dengan Menggunakan Metode Prosedur Standar Oprasional di Barge Pelangi Tirtamas 2 (Studi Kasus PT Pelangi Niaga Mitra Internasional Kutai Kartanegara) M. Isradi Zainal, Mustadin Umar
233 - 239
Excessive Workload Detector “Exator” Sebagai Alat Pencegah Stres Kerja untuk Meningkatkan Perkembangan Electromedic di Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Satria Indra Nugraha, Zahrotul Mahmudati, Hafidzoh Najwati, Zakiyah Islamiyati O.P., Oktavinta Warits P.P., Baju Widjasena
240 - 245
Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, dan Pengendalian Risiko Pada Pekerjaan Tambang Belerang (Studi Pada Pekerja Tambang Belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen) Khairul Anwar, Isa Ma’rufi, Anita Dewi Prahastuti S
246 - 253
Pengetahuan dan Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) Dengan Insiden di Jalan Raya Pada Pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta Eko Maulana S., Ihya Hazairin Noor, Sujiah, Bambang Hermawan
254 - 260
xi
9.
Prototype “SAIRIS Tech” (Alat Penangkap Polutan Udara Dalam Ruangan) Husaini, Abdul Haris
xii
261 - 264
Analisis Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi Deskriptif di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek Penerapan OHSAS 18001: 2007) Ayu Agustiana, Rini Fatmawati, Herman Prodi Ilmu Administras Bisnis, FISIP, Universitas Hang Tuah Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya Tel: (031)5945864. E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa berdasarkan OHSAS 18001: 2007. Berdasarkan hasil wawancara dapat simpulkan Berdasarkan uraian diatas, maka hasil penelitian ini adalah dari seluruh aspek penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja terdapat beberapa aspek yang sudah diterapkan dan belum diterapkan dengan baik oleh perusahan sesuai dengan OHSAS18001: 2007. Dilihat dari aspek sumber daya manusia dan ketrampilan khusus, manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, peningkatan kinerja K3, tenaga kerja, pengembangan dan peninjauan K3, dan konsultasi eksternal dampak K3 belum diterapkan oleh perusahaan. Dan dari aspek infrastruktur, teknologi dan finansial, laporan kinerja K3, pertanggung jawaban laporan K3, pertanggungjawaban laporan K3, pendelegasian pihak manajemen, tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman, evaluasi aktivitas pelatihan, peduli dengan peran dan tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi potensil, komunikasi internal, komunikasi eksternal, merespon komunikasi, identifikasi bahaya, penyelidikan insiden, dan konsutasi internal dampak K3 sudah diterapkan oleh perusahaan. Kata kunci: kerja, kesehatan, keselamatan, sistem manajemen.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan perusahaan jasa saat ini semakin pesat karena tidak terlepas dari peran tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang benar-benar menjaga keselamatan dan kesehatan karyawannya dengan membuat aturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan. Perlindungan tenaga kerja dari kecelakaan kerja sangat dibutuhkan oleh karyawan agar karyawan merasa aman dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya. Pada dasarnya negara telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undangundang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah kewajiban pengusaha melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapi karyawan. Namun tidak sedikit perusahaan yang tidak memaksimalkan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai perlindungan bagi karyawan. Masih banyak perusahaan yang memandang Keselamatan dan Kesehatan Kerja kurang bermanfaat dan hanya menambah beban pengeluaran perusahaan yang semakin besar. Meski
1
begitu, kesalahan tentu tidak boleh hanya dilihat dari pihak perusahaan saja, melainkan juga dari pihak tenaga kerjanya sendiri. Menurut (Dessler, 2003) kondisi yang tidak aman dapat berupa prosedur yang berbahaya, penyimpanan yang tidak aman serta peralatan yang tidak terjaga dengan baik. Sedangkan tindakan yang tidak aman dapat berupa kecerobohan, kesalahan dalam pelaksanaan prosedur dan ketidak telitian. Kondisi dan tindakan yang tidak aman tersebut sangat besar kemungkinan terjadinya di dalam industri jasa freight forwarding. Banyaknya peralatan dan mesin-mesin yang dapat membahayakan keselamatan karyawan menjadikan kecelakaan kerja sangat mungkin terjadi. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat hingga tahun 2010, kecelakaan kerja masih didominasi bidang jasa konstruksi (31,9%), disusul industri (31,6%), transport (9,3%), pertambangan (2,6%), kehutanan (3,8%), dan lain-lain (20%). Tingginya angka kecelakaan kerja di sektor jasa konstruksi itu karena kesadaran dari penyedia jasa terhadap keselamatan kerja masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota yang memiliki sertifikat Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) baru sekitar 5%. Sedangkan, menurut data statistik, kecelakaan akibat kerja di Indonesia masih tinggi, berdasarkan data yang ada di PT. Jamsostek sepanjang tahun 2007 angka kecelakaan kerja yang terjadi mencapai 83.714 kasus, dan pada tahun 2008 angka kecelakaan kerja mencapai 58.600 kasus, kemudian pada tahun 2009 telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan kerja, sedangkan pada tahun 2010 angka kecelakaan kerja mencapai 47.919 kasus, dengan rincian sebanyak 7.965 meninggal dunia, dan jumlah santunan yang dibayarkan sebesar Rp. 150.987 triliun (http://apindo.or.id). Berdasarkan fakta-fakta tersebut perlu segera diselesaikan permasalahan kecelakaan kerja di perusahaan yakni dengan mencari prioritas penanganan terhadap jenis pekerjaan yang nantinya digunakan untuk mengevaluasi keamanan serta mencegah kecelakaan, untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang analisis penerapan dan operasi sitem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swasrika Sentosa yang merupakan perusahaan jasa freight forwarding yang bertaraf Internasional dengan pelayanan yang khusus melayani jasa pengangkutan domestik dan Internasional seperti jasa Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan Custom Clearance. Berdasarkan fenomena masalah yang terjadi peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi Deskriptif di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek Penerapan dan Operasi OHSAS 18001: 2007)” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas untuk memahami kebenaran penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa maka peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut: “Bagaimana Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-aspek penerapan dan operasi OHSAS 18001: 2007.
2
1.3. Kerangka Konsep Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Aspek Sumberdaya, peran, tanggung jawab, akuntabilitas dan wewenang
Aspek Kompetensi, pelatihan dan kepedulian
Aspek Komunikasi, partisipasi dan konsultasi
Penilaian Penerapan dan Operasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Gambar 1. Model Konseptual 2. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti berusaha memperoleh gambaran yang konkret tentang Analisis penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa. Dalam hal ini fokus penelitian yang akan diuraikan oleh peneliti berisi mengenai aspek-aspek yang akan menyaring berbagai informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang diangkat sekaligus sebagai upaya pengukuran atas fenomena yang ada. Untuk membatasi kajian yang akan dibahas dalam penelitian ini maka akan menggunakan fokus dengan aspek-aspek sebagai berikut: aspek sumber daya, peran, tanggung jawab, akuntanbilitas dan wewenang. Sumber daya meliputi: sumber daya manusia dan ketrampilan khusus, infrastruktur, teknologi dan finansial. Peran meliputi: manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, laporan kinerja SMK3. Tanggung jawab meliputi: peningkatan kinerja K3 dan tenaga kerja. Akuntabilitas meliputi:
3
pertanggungjawaban laporan K3. Wewenang meliputi: pendelegasian pihak manajemen dan aspek kompetensi. Pelatihan dan kepedulian meliputi. Kompetensi meliputi: tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman. Pelatihan meliputi: evaluasi aktivitas pelatihan. Kepedulian meliputi: peduli dengan peran dan tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi potensial. Aspek komunikasi, partisipasi dan konsultasi meliputi: komunikasi meliputi: komunikasi internal, komunikasi eksternal, merespon komunikasi. Partisipasi dan konsultasi meliputi: identifikasi bahaya, penyelidikan insiden, pengembangan dan peninjauan K3, konsultasi internal dampak K3, konsultasi eksternal dampak K3. Subyek dan sumber informasi dalam penelitian ini yaitu beberapa orang yang berkompeten untuk memberikan informasi mrngenai penerapan dan operasi SMK3 diantaranya: A. Sumber data primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dari hasil pengamatan langsung ke area perusahaan, wawancara dan diskusi dengan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa diantaranya yaitu: 1. Manajer Operasional 2. Manajer Personalia 3. Manajer Keuangan 4. Staf Operasional 5. Staf keuangan 6. Staf Personalia (koordinator lapangan) 7. Tally 8. Tenaga Kerja Bongkar Muat B. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yang berhubungan dengan penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. 3. Hasil dan Pembahasan Lokasi penelitian yang dipilih penulias adalah PT Citra Swastika Sentosa yang terletak di Jalan Perak Timur 512 Blok D-4 Surabaya, Jawa Timur. Penerapan dan Operasi SMK3 memberikan perusahaan freight forwarding dan transportasi logistik utama yang terbaik dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan terpercaya kepada pelanggan dan Mendukung pelayanan kepabeanan yang efisien dan efektif untuk menjamin daya saing perindustrian transportasi logistik, Melayani sistem distribusi muatan kapal laut dan udara dengan bongkar muat yang efisien, efektif dan aman sampai ketempat tujuan, Mampu memberi solusi terbaik dalam permasalahan pada dunia logistik dan transportasi yang profesional, Mendukung kesejahteraan karyawan demi kemajuan perusahaan. Ketentuan PT Citra Swastika Sentosa untuk mendukung keselamatan kerja karyawannya adalah dengan cara memenuhi kelengkapan alat pelindung diri untuk menunjang keselamatan kerja di lapangan, antara lain: rompi, sepatu pelindung, helm pelindung, dan masker.
4
3.1. Aspek Sumber Daya, Peran, Tanggung Jawab, Akuntabilitas, dan Wewenang Berdasarkan analisis pada aspek pertama yang terdiri dari aspek sumber daya, peran, tanggung jawab, akuntabilitas dan wewenang, jika dilihat dari segi manajemen dapat menunjukkan bahwa manajemen di PT Citra Swastika Sentosa masih belum mempunyai sumber daya manusia yang khusus bertanggung jawab dalam pengolahan SMK3 di perusahaan, tetapi di sisi lain tanggunng jawab dan pelaksanaan SMK3 telah dibebankan menjadi satu kepada staf personalia yang selaku koordinator lapangan juga, selain itu pelaksanaan SMK3 juga telah berjalan dengan baik meskipun tidak sepenuhnya terlaksana seperti yang diterapkan pada OHSAS 18001: 2007. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Salafudin (2013), Suprijo (2012) dan Suhara (2008) yang ketiganya menyatakan bahwa pada perusahaan yang diteliti telah menerapkan SMK3 yang berupa program, kebijakan, peraturan, prosedur dan pedoman yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkan pada kenyataannya pada PT. Citra Swastika Sentosa belum sepenuhnya menerapkan SMK3 dan hanya beberapa program dan peraturan saja yang di terapkan dalam lingkungan kerja perusahaan guna mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja, hal tersebut menandakan bahwa penerapan SMK3 di PT Citra Swastika Sentosa belum sepenuhnya diterapkan dibuktikan dengan adanya nilai negatif (-) yang menandakan belum diterapkannya suatu aspek dalam K3 menurut OHSAS 18001: 2007, seperti pada sub indikator sumber daya manusia dan ketrampilan khusus, manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, peningkatan kinerja serta tugas dan tanggung jawab diatur dalam ketentuan perusahaan sesuai dengan masingmasing bidang. Hal ini dikarenakan kurangnya karyawan khususnya untuk tenaga ahli pada bidang K3 pada PT. Citra Swastika Sentosa dan untuk menanggulanginya pihak menajemen perusahaan menggunakan SDM yang ada untuk menggandakan pekerjaannya untuk mengurusi tentang K3 di perusahaan. 3.2. Aspek Kompetensi, Pelatihan, dan Kepedulian Berdasarkan analisis pada aspek kedua yang terdiri dari aspek kompetensi, pelatihan dan kepedulian, menunjukkan hasil yang sudah baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprijo (2012) yang mengungkapkan bahwa faktor penunjang yang paling tinggi adalah pelatihan yang kemudian ditambah dengan tersediaannya APD untuk para pekerja di lapangan. Berbeda dengan Salafudin (2013) dan Suhara (2008) yang mengungkapan tentang keseluruhan SMK3 pada perusahaan yang diteliti sudah cukup baik. Pada kenyataannya hanya aspek kompetensi, pelatihan dan kepedulian pada PT. Citra Swastika Sentosa yang sudah diterapkan dengan baik, hal ini ditandai dengan adanya nilai positif (+) pada seluruh sub indikator yang berlaku sesuai OHSAS 18001: 2007 seperti tingkat pendidikan, pelatihan/ pengalaman, evaluasi aktivitas pelatihan, peduli dengan peran tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi potensial. Hal ini dikarenakan perusahaan telah menerapkan program kompetensi, pelatihan dan kepedulian untuk karyawan terutama untuk karyawan yang baru masuk ke dalam perusahaan.
5
3.3. Aspek Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi Berdasarkan analisis pada aspek ketiga yang terdiri dari aspek komunikasi telah menunjukkan hasil baik, sedangkan pada aspek partisipasi dan konsultasi menunjukkan hasil yang sudah baik namun perlu danya beberapa perbaikan pada indikator pengembangan dan peninjauan K3 dan konsultasi eksternal K3. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan ketiga penelitian terdahulu seperti Salafudin (2013), Suprijo (2012) dan Suhara (2008) karena hasil penelitian ketiganya pada perusahaan yang diteliti telah menerapkan SMK3 dengan baik pada perusahaannya. Sedangkan pada kenyataannya SMK3 di PT Citra Swastika Sentosa belum sepenuhnya berjalan dengan baik terbukti dengan adanaya nilai negatif (-) pada kedua indikator yang tidak terbukti berlaku sesuai OHSAS 18001: 2007. Artinya bahwa penerapannya belum dijalankan dengan baik oleh perusahaan, hal itu akan mempengaruhi penilaian pada aspek ketiga ini secara keseluruhan. Permasalahan tersebut dapat di atasi dengan cara manajemen menunjuk pihak tertentu untuk khusus mengatur dan bertanggung jawab atas K3 di perusahaan. 4. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, maka hasil penelitian ini adalah dari seluruh aspek penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja terdapat beberapa aspek yang sudah diterapkan dan belum diterapkan dengan baik oleh perusahan sesuai dengan OHSAS 18001: 2007. Dilihat dari aspek sumber daya manusia dan ketrampilan khusus, manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, peningkatan kinerja K3, tenaga kerja, pengembangan dan peninjauan K3, dan konsultasi eksternal dampak K3 belum diterapkan oleh perusahaan. Aspek infrastruktur, teknologi dan finansial, laporan kinerja K3, pertanggung jawaban laporan K3, pertanggungjawaban laporan K3, pendelegasian pihak manajemen, tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman, evaluasi aktivitas pelatihan, peduli dengan peran dan tanggungjawab, peduli dengan konsekuensi potensil, komunikai internal, komunikasi eksternal, merespon komunikasi, identifikasi bahaya, penyelidikan insiden, dan konsutasi internal dampak K3 sudah diterapkan oleh perusahaan. 5. Saran Atas dasar temuan penelitian, berikut merupakan saran peneliti untuk menerapkan sistem manajemen K3 sesuai dengan OHSAS 18001: 2007 adalah dari aspek sumberdaya manusia dan ketrampilan khusus diperlukan adanya manajemen yng bertanggung jawab tentang SMK3 dan dari tenaga kerja juga sebaiknya memiliki peran dan tanggung jawab atas K3. Dengan adanya manajemen khusus dan tenaga kerja yang bertanggung jawab maka peningkatan kinerja K3 juga akan terlaksana dengan baik. Kemudian sebaiknya juga dilakukan pengembangan dan peninjauan K3 agar perusahaan dapat mengetahui bagaimana kondisi K3 di perusahaan dan melakukan konsultasi eksternal dampak K3 juga sebaiknya dilakukan agar perusahaan mendapat masukan baru mengenai dampak K3 dan cara penyelesaian dampak tersebut.
6
Daftar Pustaka Dessler . Keselamatan dan kesehatan kerja. Jakarta: Bumi Aksara ; 2003 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Occupational Health and Safety Assesment Series (OHSAS) 18001: 2007 Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Undang-undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan http://apindo.or.id/kementerian-tenaga-kerja-kecelakaan-kerja/2010/05/html (diakses, Jumat, 11 September 2015)
7
Analisis Penerapan Budaya Keselamatan Kerja Oleh Radiografer di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta Azidanti Saufi, Ahmad Ahid Mudayana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan Jalan Prof. Dr. Soepomo, SH., Janturan, Warungboto, Yogyakarta Tel: 085643709243. E-mail:
[email protected]
Abstrak Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 164 menyatakan bahwa upaya keselamatan dan kesehatan kerja harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan seperti di Instalasi Radiologi sebab menggunakan radiasi. Program keselamatan kerja sebaiknya dimulai dari tahap yang paling dasar yaitu membentuk budaya keselamatan kerja bagi radiografer yang dapat terwujud melalui tindakan aman dalam melakukan pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan budaya keselamatan kerja oleh radiografer di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta. Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Instalasi Radiologi di RS Paru Respira Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 10 responden yang meliputi 1 orang kepala Instalasi Radiologi, dan 9 orang radiografer. Teknik pengumpulan data dengan wawancara. Keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Rumah sakit memiliki sistem manajemen keselamatan yang cukup baik yang diwujudkan dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD), adanya jaminan kesehatan, pemeriksaan kesehatan berkala, mendukung adanya pelatihan bagi radiografer, standar operasional prosedur, dan terjalin komunikasi yang baik antara pimpinan dengan radiografer maupun antar radiografer. Lingkungan kerja di Instalasi radiologi sudah cukup baik karena sudah dikelilingi timbal. Radiografer sudah memiliki kesadaran yang cukup baik namun masih sering tidak menggunakan APD karena sudah bekerja di balik tabir timbal dan menggunakan Thermoluminisence Dosemeter (TLD) saat terpapar radiasi saja. Penerapan budaya keselamatan kerja oleh radiografer di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta sudah cukup baik meskipun ada radiografer yang tidak menggunakan APD secara lengkap. Kata kunci: analisis, keselamatan kerja, penerapan, rumah sakit.
1. Pendahuluan Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 164, menyatakan upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Jika memperhatikan isi dari pasal tersebut, maka rumah sakit termasuk tempat kerja yang memiliki potensi mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja khususnya di Instalasi Radiologi sebab menggunakan sumber radiasi[1]. Instalasi Radiologi merupakan salah satu instalasi penunjang medik sebab menggunakan sumber radiasi pengion untuk mendiagnosis adanya suatu penyakit dalam bentuk gambaran anatomi tubuh yang ditampilkan dalam film radiografi[2]. Instalasi Radiologi memiliki beberapa tenaga kerja yang bertugas dalam mengoperasikan peralatan sinar-X yang selanjutnya disebut radiografer. 8
Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab meliputi: (1) Melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi; (2) Melakukan teknik penyinaran radiasi pada radioterapi; (3) Menjamin terlaksananya penyelenggaraan pelayanan kesehatan bidang radiologi atau radiografi sebatas kewenangan dan tanggungjawabnya; (4) Menjamin akurasi dan keamanan tindakan proteksi radiasi; (5) Melakukan tindakan jaminan mutu peralatan radiografi[3]. Tugas dan tanggung jawab tersebut maka seorang radiografer harus mendapatkan perlindungan terkait keselamatan kerja. Mengingat pekerjaan seorang radiografer berhubungan dengan sinar-X maupun radiasi pengion lainnya yang mempunyai karakteristik dapat menimbulkan efek deterministik (kerusakan jaringan) maupun genetik[4]. Radiasi ini memiliki efek bagi radiografer jika radiografer tidak bekerja secara aman. Rendahnya kesadaran terhadap keselamatan kerja merupakan salah satu bentuk perilaku terhadap keselamatan kerja yang kurang baik. Program keselamatan kerja sebaiknya dimulai dari tahap yang paling dasar yaitu membentuk budaya keselamatan kerja. Budaya keselamatan kerja yang baik dapat membentuk perilaku terhadap keselamatan kerja yang baik, yang dapat terwujud melalui tindakan aman dalam melakukan pekerjaan[5]. INSAG-4 mendefinisikan budaya keselamatan sebagai gabungan dari karakteristik dan sikap dalam organisassi dan individu yang menetapkan bahwa, sebagai prioritas utama, masalah keselamatan instalasi nuklir memperoleh perhatian yang sesuai dengan kepentingannya. Meskipun budaya keselamatan kerja merupakan konsep yang abstrak namun memiliki peran penting dalam menentukan keselamatan pekerja dan lingkungan di tempat kerja yang menggunakan teknik radiografi[6]. Oleh sebab itu, seorang radiografer harus memiliki dan menerapkan budaya keselamatan kerja selama bekerja dengan radiasi. Berbagai model dan indikator budaya keselamatan telah diterapkan, mulai dari yang paling sederhana hingga model yang paling komplek. Budaya keselamatan kerja merupakan sebuah kesatuan dari tiga (3) aspek yaitu aspek organisasi dan manajemen keselamatan kerja yang ada di perusahaan (safety management system), aspek nilai-nilai dan persepsi keselamatan kerja dari setiap pekerja terhadap lingkungan kerja (safety climate), dan aspek perilaku K3 dalam bekerja sehari-hari (safety behaviour)[7]. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif sebagai upaya pengendalian[8]. Selain itu, Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) nomor 01/Ka-Bapeten/V-99 tentang Ketentuan Kerja terhadap Radiasi, yang memuat nilai batas dosis yaitu radiografer <50 mSv/tahun dan masyarakat umum <5 mSv/tahun[9]. Permasalahan yang ada di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta yaitu sudah tersedia Alat Pelindung Diri (APD) radiasi untuk radiografer namun belum rutin digunakan setiap kali melakukan pemeriksaan, karena sudah terdapat tabir timbal sehingga petugas tidak menggunakan APD lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis penerapan budaya keselamatan kerja oleh radiografer di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta.
9
2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Subjek dalam penelitian ini, meliputi dokter spesialis radiologi yang menjabat sebagai kepala Instalasi Radiologi, dan 9 radiografer. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan dengan purposive sampling. Pertimbangan dalam penelitian ini yaitu masa kerja di atas 2 tahun. Teknik pengumpulan data dengan wawancara (indept interview). Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Lokasi penelitian di Instalasi Radiologi di RS Paru Respira Yogyakarta. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Sistem Manajemen Keselamatan Hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa sistem manajemen keselamatan yang ada di rumah sakit sudah cukup baik terkait dengan komitmen yang diberikan pimpinan, peraturan dan prosedur keselamatan, komunikasi, keterlibatan, dan kompetensi radiografer. 3.1.1.1. Komitmen Top Management Rumah sakit cukup memberikan perhatian masalah keselamatan kerja bagi radiografer, sebagaimana yang diungkapkan responden sebagai berikut: “Sebenarnya dikatakan perhatian ya perhatian, kalau kurang ya kurang. Masalahnya mungkin karena pengetahuan tentang keselamatan kerja belum sepenuhnya dipahami jadi perhatiannya kurang.”(P2) “Iya memperhatikan, tapi karena mereka tidak begitu tahu masalah tentang radiologi jadi mereka mendukung sepenuhnya. Kebetulan di radiologi itu menjadi syarat untuk perpanjangan (ijin). Kalau disini sepertinya hanya pemeriksaan kesehatan, pelatihan tentang keselamatan radiasi saja.”(P3) 3.1.1.2. Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja Peraturan dan prosedur kerja sedang dalam proses penyusunan sebab rumah sakit baru akan akreditasi, sebagaimana yang diungkapkan responden sebagai berikut: “Prosedurnya ada tapi belum tertulis (dalam proses pembuatan) karena belum disahkan direktur, tapi sudah ada. Baru akan akreditasi. Sekarang memakai yang sementara pernah ada, pakai BP4 (Balai Pengobatan ParuParu). Tapi hanya thorax, belum semua. Kalau yang mau dibuat itu SOP pemeriksaan, SOP alur, SOP alat, SOP pemeliharaan alat, pemeliharaan alat, keselamatan pasien juga ada, tapi baru mau dibuat.” (P1) “Prosedur ada. Prosedur kerja standarnya ya begitu kalau kita kerjanya sesuai standar itu sudah pasti, sudah terbiasa” (P4) 3.1.1.3. Komunikasi, Kompetensi, dan Keterlibatan Pekerja Komunikasi yang terjalin cukup baik meskipun beda lokasi dengan pimpinan rumah sakit. Komunikasi yang baik antara manajemen dan radiografer akan meningkatkan kompetensi dan keterlibatan radiografer, sebagaimana yang diungkapkan responden terkait komunikasi, kesadaran akan risiko, dan keterlibatan dalam pembuatan SOP, sebagai berikut: “Ya karena posisinya jauh kalau sesama kita yang di sini mudah, kalau manajemen ya karena posisinya jauh (di daerah Minggiran, Yogyakarta) ya kurang. Pergantian shift juga tidak ada masalah.” (P1)
10
“Sejauh ini lancar-lancar saja, meski kita tidak sering bertemu karena shift tapi kita komunikasi lewat sosial media kalau ada informasi nanti di share di grup itu.” (P3) “Iya kalau risiko itu selalu ada tapi bagaimana usaha kita untuk menekan risiko itu. Seminimal mungkin. Kerja hati-hati. Yang perlu dilakukan ya dilakukan, kontak dengan pasien juga secukupnya, pakai APD.” (P2) “Drafnya (SOP) dari kita, semua terlibat. Jadi di bagi-bagi nanti kan kalau sudah ajdi dikoreksi lagi. Jadi ada yang bikin, ada yang verivikator, baru naik ke menajemen untuk penomoran sama tanda tangan.” (P1) “Kalau pembuatan SOP ya kita semua ikut membuat, hanya dibagi-bagi.” (P4) 3.1.2. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja yang yang kondusif dapat mendukung penerapan program keselamatan kerja dengan optimal bila seluruh radiografer mengutamakan program keselamatan. “Kurang besar. Lahannya kurang. Kalau istirahat disini.” (P1) “Sudah rata-rata. Kalau dibilang nyaman sekali ya tidak, dibilang tidak nyaman ya tidak juga, tempatnya bersih, dan ada AC-nya, bersih kamar mandinya.” (P2) 3.1.3. Perilaku Keselamatan Perilaku keselamatan berhubungan dengan kepatuhan dalam menggunakan APD, melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan pemeriksaan dosis radiasi. Radiografer jarang menggunakan APD dengan asumsi bahwa sudah aman sebab bekerja di balik tabir timbal. Sebagaimana yang diungkapkan responden sebagai berikut: “Kalau rontgen tidak perlu karena sudah ada tabir Pb-nya. Ada apron gonad, thyroid, semua ada. Digunakannya di situasi tertentu kalau membutuhkan. Apron biasanya digunakan untuk pasien hamil dan anak atau radiografer yang memegangi anak kecil itu pakai apron” (P1) “Sebenarnya ada banyak (APD). Apronnya sudah lengkap tapi jarang dipakai juga. Karena sudah di balik tabir, misalkan pasien anak-anak susah untuk diam jadi harus dipegangi. Karena ga terbatas jadi yang pakai radiografernya yang bantu pegangin. Apron ada 2 tapi ada tambahan tapi saya belum hitung. Kalau thyroid dan gonad masing-masing satu. Sarung tangan itu cuma administratif, tapi kalau sekarang belum dipakai. Biasanya untuk pemeriksaan fluroskopi tapi di sini belum ada.” (P2) Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pemantauan dosis radiasi menggunakan alat untuk mengukur dosis radiasi secara akumulasi, sesuai dengan yang diungkapkan responden sebagai berikut: “Paling medical check up ya. Dilakukan setahun sekali kalau akan ijin (perijinan alat). Pemeriksaan yang dilakukan itu rontgen sama darah lengkap.” (P1) “Ada, rutin setahun sekali. Pemeriksaan laboratorium, rontgen.” (P4) “TLD itu kan untuk dosis jadi kita perbulannya berapa. Nanti dinilaikan dan dilaporkan ke Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) di Jakarta. Sejauh ini dosisnya masih normal.”(P1) “Ada monitor radiasi, jenis TLD.”(P4)
11
3.2. Pembahasan Penerapan budaya keselamatan kerja di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta tahun 2016 meliputi sistem manajemen keselamatan, lingkungan kerja, dan perilaku keselamatan. 3.2.1. Sistem Manajemen Keselamatan 3.2.1.1. Komitmen Top Management Komitmen yang diberikan pimpinan sangat berpengaruh untuk terwujudnya budaya keselamatan bagi radiografer. Komitmen top manajemen merupakan faktor utama sesuai bahwa komitmen pihak manajemen baik yang berupa tindakan, tulisan, maupun kata-kata, menjadi faktor terpenting untuk terciptanya budaya keselamatan. Komitmen dari manajemen dapat terwujud dengan memberikan perlengkapan keselamatan kerja, pengawasan, membuat peraturan dan prosedur kerja yang mudah dipahami dan dilaksanakan[10]. 3.2.1.2. Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja Rumah sakit juga sudah memberikan dan memberlakukan peraturan dan prosedur kerja dalam bentuk SOP yang wajib dilaksanakan oleh seluruh pekerja termasuk radiografer. Peraturan dan prosedur yang baik dan benar, mudah dimengerti dan mudah diterapkan oleh pekerja. Terdapat sanksi apabila melanggar peraturan dan prosedur tersebut[10]. 3.2.1.3. Komunikasi, Kompetensi, dan Keterlibatan Pekerja Komunikasi antara manajemen dan staf merupakan faktor sangat penting untuk meningkatkan kompetensi dan keterlibatan pekerja, dimana dua faktor ini sangat berpengaruh pada perilaku pekerja. Oleh karena itu komunikasi menjadi sangat penting diperhatikan untuk memperbaiki perilaku sikap pekerja radiasi rumah sakit[6]. Jika radiografer memiliki kompetensi yang baik, diharapkan mampu meminimalisir risiko terjadi kecelakaan kerja dan meningkatkan kompetensi radiografer yang lain terhadap keselamatan kerja. 3.2.2. Lingkungan Kerja Persepsi seseorang mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap keselamatan kerja. Mengidentifikasi persepsi dan radiografer dengan melakukan survei tentang pandangan atau persepsi radiografer tentang lingkungan kerja yang mempengaruhi keamanan selama bekerja[7]. Lingkungan kerja yang baik dapat menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman bagi radiografer sehingga tidak mudah bosan dan lelah selama bekerja. 3.2.3. Perilaku Keselamatan Hampir semua radiografer tidak patuh dalam memakai APD karena radiografer menganggap mereka berada di balik tabir timbal, sehingga mereka merasa aman walaupun bekerja tanpa memakai APD. Selain itu hasil TLD selama ini selalu di ambang batas normal yaitu 0.10 mSv. APD yang harus dipakai cukup berat, misalnya apron seluruh tubuh yang beratnya mencapai 2kg[11]. Alasan lainnya yaitu untuk menghindari pengulangan foto pada pasien terutama pasien yang perlu dibantu saat melakukan foto (dipegang) maka radiografer tidak menggunakan apron agar waktu digunakan lebih cepat. Selain penggunaan apron, radiografer harus memakai masker setiap kali bekerja demi terhindar dari efek nosokomial yaitu penularan penyakit dari pasien ke radiografer dan sebaliknya[11].
12
Mengingat RS Paru Respira merupakan rumah sakit khusus yang menangani penyakit paru-paru dan pernafasan dan penularannya dapat melalui udara. Pemeriksaan kesehatan bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan pekerja radiasi baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja minimal hingga 30 tahun data kesehatan disimpan. Pemeriksaan kesehatan meliputi anamnesis riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendukung antara lain rontgen dan pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui keadaan umum dan khusus dari metabolisme tubuh terutama yang berhubungan dengan paparan radiasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium juga mencakup pemeriksan kromosom, analisis sperma[12]. Dosis radiasi yang aman bagi manusia yaitu dosis maksimum yang dapat diterima oleh tubuh manusia tanpa menimbulkan efek terhadap manusia dan sesuai dengan Nilai Batas Dosis (NBD). NBD ditentukan berdasarkan penetapan organisasi internasional yang menangani proteksi radiasi yaitu International Commission on Radiological Protection (ICRP). Selain mengacu pada ICRP, untuk menentukan NBD juga mengacu pada instansi yang berwenang dalam bidang tenaga nuklir (atom) yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yaitu <50 mSv/tahun[9] [13]. 4. Kesimpulan Penerapan budaya keselamatan oleh radiografer harus didukung dengan sistem manajemen keselamatan yang meliputi komitmen top manajemen, peratudan dan prosedur keselamatan, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan radiografer, serta lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Semua ini harus didukung oleh perilaku radiografer yang mengutamakan keselamatan kerja selama bekerja. Daftar Pustaka 1. Undang-Undang RI, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tentang Kesehataan, Jakarta. 2. Maryanto, D., Solichin, Zaenal, A., 2008, “Analisis Keselamatan Kerja Radiasi Pesawat Sinar-X di Unit Radiologi RSU Kota Yogyakarta”, Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, BATAN:679-690 3. Kepmenkes RI, 2007, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 375/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Radiografer, Jakarta. 4. Akhadi, M., 2002, “Budaya Keselamatan dalam Pemanfaatan Radiasi di Rumah Sakit”, Buletin ALARA, Jakarta, dalam Mayerni dkk, 2013, “Dampak Radiasi terhadap Kesehatan Pekerja Radiasi di RSUD Arifin Achmad, RS Santa Maria dan RS Awal Bros Pekanbaru”, Jurnal Ilmu Lingkungan, 7 (1):Pp. 114-127 5. Terinate, Kelvin dan Oentoro, Albert, 2010, Pengaruh Budaya Keselamatan Kerja Pada Proyek Konstruksi Terhadap Unsafe Act Pekerja, Skripsi, Universitas Kristen Petra. 6. Khoiri, Muhammad, 2010, “Upaya Peningkatan Budaya Keselamatan Pekerja Radiasi Rumah Sakit di Indonesia”, Seminar Nasional VI SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, BATAN:571-576
13
7. 8.
9.
10.
11.
12. 13.
Cooper, Dominic, 2001, Improving Safety Culture: A Practical Guide, Apllied Behaviour Science, Hull. Pp: 14-27 Peraturan Pemerintah RI, 2007, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, Jakarta. BAPETEN, 1999, Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor:01/Ka-Bapeten/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi, Jakarta. Andi, Ratna, S. A., Aditya, C., 2005, “Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya Keselamatan Kerja pada Perilaku Pekerja di Proyek Konstruksi”, Jurnal Teknik Sipil, 12(3):Pp. 127-136 Hendra, dkk, 2011, “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada Radiografer di Instalasi Radiologi 4 Rumah Sakit di Kota Semarang”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 7 (1):Pp. 9-1 Tetriana, D., Evalisa, M., 2006, “Sangat Penting, Pemeriksaan Kesehatan Pekerja Radiasi”, Buletin ALARA, 7 (3): Pp. 93-101 Wardhana, W.A., Teknologi Nuklir Proteksi Radiasi dan Aplikasinya, ANDI, Yogyakarta, Hal. 189-192
14
Efektivitas Penanganan Limbah Padat di Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Veza Azteria Prodi D4 K3, Universitas Balikpapan
E-mail:
[email protected] Abstrak Limbah padat rumah sakit mengandung bahan berbahaya (bersifat infeksius, toksik dan radioaktif) jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan polusi bagi lingkungan serta berbahaya terhadap kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektifitas penanganan limbah padat Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanudjoso Djatiwibowo. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional deskriptif yang dilakukan secara cross sectional dengan pengamatan, menganalisa, observasi dan mengolah data serta informasi yang telah dikumpulkan secara sistematik. Hasil penelitian pengelolaan limbah padat rumah sakit Dr. Kanudjoso Djatiwibowo mulai dari minimasi limbah, pemilahan, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, pemusnahan dan pembuangan limbah padat sudah sesuai berdasarkan Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Namun yang perlu diperbaiki adalah kesadaran petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Sehingga perlu ditingkatkan dari segi pengawasan dan pelatihan secara berkala. Kata kunci: limbah padat, lingkungan, rumah sakit.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Rumah sakit dalam melaksanakan fungsinya menghasilkan limbah baik limbah padat maupun cair. Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit. Beban limbah rumah sakit tergantung pada jumlah pasien yang dilayani oleh rumah sakit dan akan meningkat seiring dengan peningkatan kapasaitas pelayanan rumah sakit. Penanganan limbah padat infeksius di rumah sakit diperlukan sejak awal kegiatan, karena jika penanganan awal sudah dilaksanakan diharapkan buangan tersebut tidak menimbulkan gangguan pada instalasi pengolah limbah. Limbah rumah sakit merupakan limbah infeksius yang dapat menimbulkan infeksi nosokomial, dapat membahayakan bagi pasien rawat inap maupun karyawan (medis, non medis, perawat) yang ada pada rumah sakit tersebut serta pengunjung atau pasien yang menjalani rawat jalan maupun terhadap lingkungan yang ada di sekitar rumah sakit. Limbah buangan dari rumah sakit berasal dari bagian tubuh maupun jaringan manusia, darah atau cairan darah, zat ekskresi, obat obatan maupun produk kimia, kain pel ataupun pakaian, jarum suntik, gunting dan benda tajam lainnya. Sehingga limbah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori (Amro 15
Atik 2011) yaitu: limbah umum (limbah dari makanan atau minuman, limbah cuci, bahan pengemas), limbah patologis (plasenta, darah dan cairan tubuh), limbah infeksius, limbah benda tajam (jarum suntik, gunting), limbah farmasi (obat-obatan), limbah sitotoksik, limbah radioaktif. Adapun sarana pengelolaan limbah dirumah sakit salah satunya menggunakan insinerator. Dengan adanya unit insinerator diharapkan selain mengurangi volume sampah sebelum dibuang dapat juga menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya. Sedangkan untuk limbah domestik padat dibuang pada tempat pembuangan sampah sementara. Berdasarkan adanya aktifitas pelayanan rumah sakit dalam pelayanan medis yang menghasilkan limbah padat, maka peneliti melihat penting untuk dilakukan penelitian terhadap efektifitas penanganan limbah padat yang ada di Rumah Sakit Dr. Kanudjoso Djatiwibowo. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penanganan limbah padat Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanudjoso Djatiwibowo. 2. Metode Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ada tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisa data. 2.1. Tahap Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan seperti proses administrasi, pelaksanaan evaluasi, studi literatur hingga penyusunan laporan. 2.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di RS. Dr.Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan Jl. MT Haryono No. 656 dimulai dari bulan Juli 2015 – Agustus 2015. Data yang diperoleh dan dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. 1. Data Primer a. Melalui interview, penulis melakukan wawancara langsung kepada pembimbing lapangan dan pegawai rumah sakit. b. Melalui observasi lapangan, penulis melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi di rumah sakit dan mengamati proses pengelolaan limbah padat mulai dari sumber timbulan limbah padat, kuantitas dan pengelolaan limbah padat. 2. Data Sekunder a. Data laporan harian b. Dokumen dan referensi dari rumah sakit c. Data gambaran umum rumah sakit d. Data sumber timbulan limbah padat e. Data-data lain sebagai penunjang. 2.3. Tahap Analisa Data Penelitian ini dirancang sebagai penelitian evaluasi bersifat observasional deskriptif yang dilakukan secara cross sectional dengan pengamatan, menganalisa, observasi dan mengolah data serta informasi yang telah dikumpulkan secara sistematik. Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisa berdasarkan standar yang ada di rumah sakit. Analisa data dikhususkan pada sumber timbulan dan kuantitas limbah padat dalam proses pengelolaan limbah padat. Selain itu membandingkan dengan peraturan menteri kesehatan
16
dengan membandingkan dengan kondisi lapangan yang sebenarnya kemudian membuat kesimpulan dan memberikan saran apabila diperlukan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Dasar Hukum Efektifitas penanganan limbah padat yang ada di RS Dr. Kanudjoso Djatiwibowo mengacu pada Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Peraturan tersebut menetapkan prosedur untuk pengelolaan limbah padat rumah sakit dalam mengelola limbah mulai dari minimasi limbah, pemilahan, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, pemusnahan dan pembuangan limbah padat. 3.2. Limbah Padat Limbah padat rumah sakit dibagi kedalam dua jenis yaitu limbah non medis dan limbah medis. Adsavakulchai (2002) limbah medis meliputi: a. Non medis limbah: benda tajam seperti jarum suntik, pipa pasteur, perlengkapan intravera, botol obat, infus plastik, tabung, masker bedah dan perban. b. Patologi limbah: darah cairan tubuh, jaringan dan bagian tubuh c. Limbah farmasi: obat yang kadaluarsa, obat yang tersisa. Menurut Reinhardt (1991) limbah medis merupakan limbah patologi, limbah infeksius, benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik dan limbah radioaktif. 3.3. Analisa Penanganan Limbah Padat Non Medis Banyak limbah yang dihasilkan dari rumah sakit. Tidak semua limbah yang dihasilkan berbahaya, tetapi prosedur penanganan yang paling berbahaya dan membutuhkan spesifik yang tidak menimbulkan ancaman saat menangani. 3.3.1. Pemilahan dan Penyimpanan Sampah biasanya ditampung di tempat penampungan dengan bentuk, ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan jumlah sampah serta kondisi setempat. Adapun persyaratan penampungan sampah antara lain (Departemen Kesehatan, 2002): a. Bahan tidak mudah berkarat b. Kedap air terutama untuk menampung limbah basah c. Bertutup rapat d. Mudah dibersihkan e. Mudah dikosongkan atau diangkut f. Tidak menimbulkan bising g. Tahan terhadap benda tajam atau runcing. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan, di Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo sudah melakukan semua prosedur tersebut dengan baik. Untuk memudahkan pengosongan dan pengangkutan, pihak petugas menggunakan kantong plastik kuning pelapis dalam bak sampah. Kantong plastik tersebut membantu membungkus sampah pada saat pengangkutan sehingga mengurangi kontak dengan manusia, mengurangi bau dan tidak terlihat sehingga lebih estetis dan memudahkan dalam pencucian bak sampah (Wilson, l977).
17
3.3.2. Pengangkutan Untuk merencanakan pengangkutan sampah rumah sakit perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Wilson, 1977): a. Penyebaran tempat penampungan sampah b. Jalur jalan dalam rumah sakit c. Jenis dan kapasitas sampah d. Jumlah tenaga dan sarana yang tersedia. Pengangkutan limbah padat dilakukan setiap hari yaitu pada waktu pagi (05.30 - 07.00) dan sore hari (15.00 – 17.00) dengan menggunakan troli. Troli digunakan untuk mengangkut limbah medis dan non medis secara bersamaan. Petugas yang mengangkut limbah harus dilengkapi dengan menggunakan perlengkapan seperti pakaian kerja khusus, sarung tangan dari bahan neophrane, masker, topi pengaman dan sepatu boot atau lars. 3.3.3. Pembuangan Untuk sampah non medis pembuangan limbah dilakukan setiap hari pada sore hari. Pembuangan limbah non medis langsung ditangani oleh Pihak Kebersihan Kota Balikpapan yang langsung diangkut ke tempat pembuangan akhir Manggar. Keberadaan sampah dengan daur ulang dapat dilakukan seperti limbah plastik yang digunakan sebagai botol minuman, kaleng minuman, kardus. 3.4. Analisa Penanganan Limbah Medis Tidak semua limbah medis berbahaya, tetapi sebagian besar membahayakan sehingga memerlukan prosedur penanganan, penampungan dan pengangkutan serta pemusnahannya karena alasan sebagai berikut (Wilson,1977): a. Volume limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan pembuangannya b. Beberapa limbah berpotensi menimbulkan bahaya dalam pembuangan apabila tidak ditangani dengan baik. Limbah ini menimbulkan pencemaran lingkungan bila mereka dibuang secara sembarangan dan akhirnya membahayakan atau menganggu kesehatan masyarakat. Coloni (2001) menyatakan bahwa risiko penularan akan muncul pada saat pembuangan dari sumbernya, proses pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan hingga penanganan baik onsite maupun offsite. 3.4.1. Pemilahan dan Pengumpulan Hal yang paling penting dalam mengurangi risiko dalam menangani limbah adalah dengan menggunakan pewadahan dengan tepat. Yaitu dengan menangani limbah dari sumber. Bila hal ini dilakukan dengan benar, maka kontak selama penanganan saat sorting dan repacking yang berisiko penyebab terjadinya penularan bisa dihindari. Menurut Reinhardt (1991) pertimbangan pertama adalah untuk mengetahui tipe limbah infeksius, dimana digolongkan menjadi tiga tipe yaitu limbah padat, limbah benda tajam dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan besar secara fisik, kimia dan risiko. Tempat sampah dalam penggunaannya harus dilapisi plastik kuning dengan ukuran 60x100 cm yang biasa ditemui di ruang perawatan, ruang operasi, radiologi, ruang medis, dan farmasi. 3.4.2. Pengangkutan Pengaturan waktu pembuangan sudah cukup jelas yaitu shift pagi (05.30 07.00) dan sore (15.00 – 17.00). Rute transportasi limbah sebagian besar melalui jalan-jalan yang dilalui oleh pasien seperti koridor dll. Kekurangan yang dihadapi dalam pengangkutan limbah padat atau limbah medis, ada beberapa petugas
18
pengangkut yang tidak menggunakan kelengkapan standar yang terkandung dalam Peraturan Departemen Kesehatan. Selain itu, troli pengangkut yang tidak ditutup. Kurang lengkapnya standar ini menyebabkan mudahnya transmisi penyakit kepada petugas pengelolaan limbah padat. Selama proses pengumpulan dari setiap bin ke transportasi dari pembuangan, petugas yang bekerja kadang tidak menggunakan peratan keselamatan yang diberikan. Perangkat keselamatan yang harus digunakan antara lain sarung tangan, masker, sepatu bot (World Health Organization, 1999). Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwobowo sendiri telah membuat aturan, tetapi kurangnya pengawasan dan kesadaran personil sendiri masih kurang efektif. 3.4.3. Penyimpanan Untuk limbah medis setelah trasnportasi dilakukan, limbah tas kuning dikumpulkan dalam ruang khusus. Fungsi penyimpanan adalah untuk mengumpulkan limbah medis sebelum dibakar atau dikirm ke insinerator. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penularan melalui udara, kontak langsung atau melalui hewan. Pada prinsipnya limbah medis harus segera diproses secepat mungkin. Untuk limbah medis Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo penyimpan dilakukan 1 x 24 jam. Limbah tidak boleh disimpan terlalu lama pada suhu kamar, karena dapat mendorong pertumbuhan penyakit, disamping bahan-bahan pertimbangan estetika. Membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang bisa memasuki area, melakukan pelabelan dan pemilihan tempat yang tepat untuk penyimpanan. 3.4.4. Pengolahan Limbah Medis Dalam pengolahan limbah medis rumah sakit dilihat dari segi ekonomi, teknis, lingkungan dan sosial dengan adanya partisipasi dari pihak swasta. Metode yang paling direkomendasikan adalah dengan menggunakan insinerator (Tchobanoglous, 1993). Proses Pembakaran yang dilakukan pihak Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan menggunakan insinerator dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 25 tahun 2010 Tentang Izin Pengoperasian Alat Pengolahan (Insinerator) Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Infeksius.
Gambar 1. Insinerator (Kiri) Residu Hasil Pembakaran (Kanan) Pembakaran dilaksanakan oleh dua orang petugas cleaning service dan satu orang operator, dengan metode kerja shift. Waktu pembakaran dilakukan setiap hari pada pukul 17.00 WITA, pada waktu ini dianggap efektif karena dianggap tidak menganggu pegawai atau masyarakat yang beraktifitas disekitar rumah sakit.
19
Kecuali yang berada di wilayah parkir belakang gedung anggrek hitam rumah sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo. Timbulan limbah medis padat yang dibakar berkisar 120 – 150 kg/hari, dengan daya tampung yang dimiliki insinerator adalah 3 kubik. Pada pengoperasian insinerator lebih diperhatikan pada residu yang dihasilkan baik ke udara maupun abu yang akan dibuang. Berdasarkan lokasinya insinerator dapat bersifat onsite ataupun offsite. Pada Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo uji emisi insinerator dilakukan 3-6 bulan sekali, yang dilakukan oleh pihak Sucofindo atau Mutu Agung Samarinda. Proses pembuangan abu pembakaran di Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dilakukan oleh pihak ketiga atau rekanan yang mengambil hasil abu/residu dari abu pembakaran limbah padat infeksius. Proses pengambilan abu atau residu sisa pembakaran dilakukan 2-3 hari dengan jumlah pembuangan abu berkisar 1 ton. Namun, masih banyak kekurangan dalam penerapannya limbah padat. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Salah satu penyebabnya kurang adanya pengawasan, pelatihan yang sifatnya berkala, dan pengetahuan mengenai limbah padat. 4. Kesimpulan Dari hasil pemaparan dan penelitian diatas, maka dapat diketahui bahwa limbah rumah sakit dapat menimbulkan polusi bagi lingkungan serta serta berbahaya terhadap kesehatan pasien apabila tidak dikelola dengan baik. Maka perlu dilakukan penanganan yang baik dari sumber limbah hingga pemusnahan limbah tersebut. Berdasarkan Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, penanganan limbah padat di rumah sakit dr.Kanudjoso Djatiwibowo sudah cukup baik dalam mengelola limbah mulai dari minimasi limbah, pemilahan, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, pemusnahan dan pembuangan limbah padat. Namun yang perlu diperbaiki adalah kesadaran petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Sehingga perlu ditingkatkan dari segi pengawasan, dan pelatihan secara berkala. Daftar Pustaka Adsavakulchai. 2002. Study on Waste from Hospital and Clinic Phitsanulok. Vol 1. Issue 3 Atik, AMA. 2011. Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat Secara Terpadu di Rumah Sakit. Vol 11. No 2. Jurnal Dian. [ 2 Mei 2011] Colony,S. 2001. Hospital Waste Management at SMF. http://www.SMF-Hospital Waste Management.htm Reinaldht,PA and Gordon JG. 1991. Infectious and Medical Waste Management. Michigan. Lewis Publisher Inc. Tchobanaglous, George and Vigil, Samuel. 1993. Integrated Solid Waste Engineering. Singapore; Mc Graw-Hill Book Co. Wilson,D.G. 1977. Handbook Of Solid Waste Management. New Work. Van Nostrand Reinhold Co. World Health Organization.1999. Safe Management of Waste from Health-care Activities.
20
Evaluasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Bengkel St. Yosef Nenuk Atambua Sebastianus Baki Henong Fakultas Teknik, Prodi Teknik Sipil, Universitas Katolik Widya Mandira E-mail:
[email protected]
Abstrak Sumber daya manusia memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan, oleh karena itu sumber daya manusia merupakan aset hidup yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Kenyataan bahwa manusia sebagai aset utama dalam organisasi atau perusahaan, harus mendapatkan perhatian serius dan dikelola dengan sebaik mungkin. Penelitian dilakukan di bengkel St. Yosef Nenuk. Bengkel ini terdiri dari unit bengkel kayu (mebel), dan unit bengkel besi (otomotif), dengan mempekerjakan sekitar 50 orang tenaga kerja. Penelitian ini diselesaikan menggunakan metode frekuensi sederhana, dengan membagikan kuisioner kepada para pekerja. Hasil penelitian menunjukan bahwa 62 % karyawan telah mengetahui dan memahami keselamatan dan kesehatan kerja, dengan menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja, sedangkan 38 % sudah mengetahui adanya Keselamatan dan Kesehatan Kerja namun dalam pelaksanaan tidak menggunakan alat pelindung diri sehingga masih terjadi kecelakaan. Karena itu solusi yang diberikan adalah perlu adanya peringatan baik dari teman kerja maupun manajemen untuk menegur bahkan memberikan sanksi kepada para karyawan jika tidak menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja sehingga dengan demikian kecelakaan kerja dalam pelaksanaan konstruksi dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Kata kunci: bengkel, kerja, kesehatan, keselamatan.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sumber daya manusia memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan, oleh karena itu sumber daya manusia merupakan aset hidup yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Kenyataan bahwa manusia sebagai aset utama dalam organisasi atau perusahaan, harus mendapatkan perhatian serius dan dikelola dengan sebaik mungkin. Hal ini dimaksudkan agar sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Dalam pengelolaan sumber daya manusia inilah diperlukan manajemen yang mampu mengelola sumber daya secara sistematis, terencana, dan efisien. Salah satu hal yang harus menjadi perhatian utama bagi manajer sumber daya manusia ialah sistem keselamatan dan kesehatan kerja (Ryska, 2013). Keselamatan dan kesehatan kerja termasuk salah satu program pemeliharaan yang ada di perusahaan. Pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan sangatlah penting karena bertujuan untuk menciptakan sistem keselamatan dan kesatuan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mengurangi kecelakaan. Bengkel St. Yosef Nenuk terdiri dari unit bengkel kayu (mebel) dan unit bengkel besi (otomotif). Berdasarkan pengakuan beberapa konsumen hasil mebel 21
maupun reparasi otomotif dari bengkel ini, merasa sangat puas karena perabotan yang dihasilkan sangat berkualitas, murah sehingga mampu dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu banyak konsumen yang memesan mebel (meja, kursi, lemari dll) di bengkel ini. Berdasarkan data yang diperoleh di Bengkel St. Yosef Nenuk, hampir setiap tahun tenaga kerja yang bekerja di bengkel ini mengalami kecelakaan kerja, padahal penerapan keselamatan dan kesehatan kerja sudah diterapkan semaksimal. Data kecelakaan kerja selama lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Data Kecelakaan Kerja Bengkel St. Yosef Nenuk Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
Jumlah Kecelakaan Kerja 5 6 4 7 5 28
Keterangan Tangan luka terkena gergaji, kaki ditimpa benda tajam Tangan terluka, terjatuh di lantai dan tertimpa balok Kaki tertimpa kayu dan terjatuh di lantai Kaki tertimpa kayu, tangan luka Tangan terluka, terjatuh di lantai dan tertimpa balok
Sumber: Bengkel St. Yosef Nenuk Berdasarkan data yang ada maka perlu diadakan evaluasi keselamatn dan kesehatan kerja di Bengkel St. Yosef Nenuk Atambua sehingga kecelakaan kerja dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. 1.2. Tinjauan Pustaka 1.2.1. Pengertian Kecelakaan Kerja 1. Menurut Sulaksmono (1997) kecelakaan adalah suatu kejadian tak diduga dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur. 2. Menurut (OHSAS 18001, 1999) dalam Shariff (2007), kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda atau kerugian waktu. Dari kedua pengertian dapat dijelaskan bahwa kecelakaan kerja adalah kejadian tak terduga dan juga tak diinginkan, yang mengacaukan proses aktivitas dan juga menimbulkan kerugian pada manusia dan harta benda. 1.2.2. Penyebab Kecelakaan Kerja Menurut Anizar (2009), ada dua faktor penyebab kecelakaan yaitu unsafe action (faktor manusia) dan unsafe condition (faktor lingkungan). Unsafe Action dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain: 1. Ketidakseimbangan fisik tenaga kerja yaitu: posisi tubuh yang menyebabkan mudah lelah, cacat fisik, cata sementara, kepekaan panca indra terhadap sesuatu. 2. Kurang pendidikan: kurang pengalaman, salah pengertian terhadap suatu perintah, kurang terampil, salah mengartikan Standart Operational Procedure (SOP) sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat kerja. 3. Menjalankan pekerjaan tanpa mempunyai kewenangan 4. Menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya. 5. Pemakaian alat pelindung diri (APD) hanya berpura-pura 6. Mengangkut beban yang berlebihan
22
7. Bekerja berlebuhan atau melebihi jam kerja Unsafe condition dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain: 1. Peralatan yang sudah tidak layak pakai 2. Ada api ditempat bahaya 3. Pengamanan gedung yang kurang standar 4. Terpapar bising 5. Pencahayaan dan ventilasi yang kurang atau berlebihan 6. Kondisi suhu yang membahayakan 7. Dalam keadaan pengamanan yang berlebihan 8. Sistem peringatan yang berlebihan 9. Sifat pekerjaan yang mengandung bahaya 1.2.3. Klasifikasi Kecelakaan Akibat Kerja Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) (1962) seperti dikutip oleh Anizar (2009) mengklasifikasikan kecelakaan akibat kerja antara lain: 1) Klasifikasi menurut jenis pekerjaan: a. Terjatuh b. Tertimpa benda jatuh c. Tertumbuk atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh d. Terjepit oleh benda e. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan f. Pengaruh suhu tinggi g. Terkena arus listrik h. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi i. Jenis-jenis lain termasuk kecelakaan-kecelakaan yang data-datanya tidak cukup atau kecelakaan-kecelakaan lain yang belum masuk klasifikasi kecelakaan diatas. 2) Klasifikasi menurut penyebab: a. Mesin: pembangkit tenaga, terkecuali motor-motor listrik, Mesin penyalur, mesin-mesin untuk mengerjakan logam, mesin-mesin pengolah kayu, mesin-mesin pertanian, mesin-mesin pertambangan, mesin-mesin lain yang tidak termasuk klasifikasi tersebut. b. Alat angkut dan alat angkat: mesin angkat dan peralatannya, alat angkutan diatas rel, alat angkutan lain yang beroda, terkecuali kereta api, alat angkutan udara, alat angkutan air, alat-alat angkutan lain. c. Peralatan lain: bejana bertekanan, dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, instalasi listrik termasuk motor listrik tetapi dikecualikan alatalat listrik tangan, alat-alat listrik (tangan), alat-alat kerja dan perlengkapannya, kecuali alat-alat listrik, tangga, perlatan lain yang belum termasuk klasifikasi tersebut. d. Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi: bahan peledak, debu, gas, cairan dan zatzat kimia terkecuali bahan peledak, benda-benda melayang, radiasi, bahan dan zat lain yang belum termasuk golongan tersebut. e. Lingkungan kerja: di luar bangunan, di dalam bangunan, di bawah tanah 3) Klasifikasi Menurut Sifat Luka atau Kelainan a. Patah tulang b. Dislokasi/kaseleo c. Regang otot/urat d. Memar dan luka dalam yang lain
23
e. Amputasi f. Luka dipermukaan g. Gegar dan remuk h. Luka bakar i. Keracunan-keracunan mendadak j. Mati lemas k. Pengaruh arus listrik l. Pengaruh radiasi m. Luka-luka yang banyak dan berlainan sebabnya 4) Klasifikasi menurut Letak Kelainan atau Luka di Tubuh a. Kepala b. leher 1.2.4. Kerugian Akibat Kecelakaan Setiap kecelakaan kerja pasti akan menimbulkan kerugian-kerugian, baik itu kerugian material maupun fisik. Menurut Anizar (2009) kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja antara lain: 1. Kerugian Ekonomi: a. Kerusakan alat/mesin, bahan dan bangunan b. Biaya pengobatan dan perawatan c. Tunjangan kecelakaan d. Jumlah produksi dan mutu yang berkurang e. Kompensasi kecelakaan f. Penggantian tenaga kerja yang mengalami kecelakaan 2. Kerugian non ekonomi yang meliputi: a. Penderitaan korban dan keluarga b. Hilangnya waktu selama sakit, baik korban maupun pihak keluarga c. Keterlambatan aktivitas akibat tenaga kerja lain berkerumun/berkumpul, sehingga aktivitas terhenti sementara d. Hilangnya waktu kerja 3. Kerugian langsung: pengobatan dan perawatan, kompensasi, kerusakan bangunan, kerusakan perkakas dan peralatan. 4. Kerugian tidak langsung: tertundanya produksi, biaya untuk mendapatkan karyawan penggantinya, biaya training, upah lembur, waktu kerja dari pengawas tambahan, hilangnya waktu kerja si korban, hilangnya waktu kerja bagi keluarga yang datang menjenguk si korban, waktu untuk menyelesaikan urusan administrasi, biaya untuk membayar karyawan pendamping. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode frekuensi sederhana. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dan wawancara (Sugiyono, 2013). Data responden dihimpun lalu dijumlahkan. Pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner dijawab dengan setuju atau tidak. Berapa orang yang menyetujui setiap pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner. Selain itu juga diadakan wawancara dengan pihak manajemen maupun beberapa tukang.
24
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Dari 60 kuesioner yang disebar ke responden (karyawan bengkel), kembali ke peneliti sebanyak 50 dengan rincian, umur responden berkisar antara 25-60 tahun. Pendidikan responden berkisar antara Sekolah dasar dan Sekolah menengah pertama dan semua responden telah menikah dan mempunyai anak. Ada sepuluh pertanyaan yang diberikan kepada para responden dalam kuesioner dan jawaban yang diperoleh dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2. Jawaban Kuesioner No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pertanyaan Apakah dibengkel selalu disediakan pelindung kerja seperti helm, sepatu boots, sarung tangan, masker, dll yang dapat menghindarkan saya dari kecelakaan kerja Apakah pelindung kerja seperti helm, sepatu boots, sarung tangan, masker, dll dalam keadaan baik? Apakah semua peralatan kerja dalam kondisi baik dan layak pakai? Apakah peralatan yang berbahaya telah diberi suatu tanda peringatan Apakah perusahaan memberikan pelatihan dan pendidikan bagi setiap karyawan untuk bertindak dengan aman dalam menyelesaikan pekerjaan? Melalui pendidikan yang saya peroleh, saya dapat menjalankan tugas dan dapat memperbaiki kualitas kerja saya Setiap karyawan yang bekerja berada dalam kondisi lingkungan kerja yang aman dan bersih Apakah perusahaan melakukan pengawasan secara lebih intensif terhadap pelaksanaan pekerjaan saya Apakah perusahaan memberikan metode/ petunjuk kerja yang dapat mempermudah pekerjaan saya Apakah perusahaan menyediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama apabila terjadi kecelakaan Apakah perusahaan memberikan jaminan kesehatan kepada setiap karyawan
Jawaban Ya Tidak 31 19
Ya % 62
31
19
62
31
19
62
38
12
76
37
13
74
42
8
84
42
8
84
33
27
66
35
15
70
42
8
84
42
8
84
3.2. Pembahasan Dari analisa yang telah dipaparkan dalam tabel 2, dapat dijelaskan: 1. Pada umumnya manajemen di bengkel St. Yosef Nenuk – Atambua telah mengetahui akan pentingnya Alat Pelindung Diri (APD) sehingga manajemen menyediakan APD yang dibutuhkan oleh para karyawan. Namun ada beberapa alat pelindung yang tidak terlihat misalnya helm dan kaos tangan. Hal ini ditujukan dengan 62 % responden menyetujui pertanyaan pertama. Selain itu juga pihak manajemen juga menyediakan obat-obatan dalam kotak P3K. Hal ini dapat membantu para pekerja sehingga ketika terjadi kecelakaan para pekerja perlu mendapatkan pertolongan pertama sebelum di bawa ke Rumah Sakit dan para pekerja mengetahui akan hal ini. 2. Pihak manajemen juga menyediakan waktu serta tenaga (pekerja) untuk mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan pada kursus-kursus baik yang diadakan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi. Selain itu juga
25
tenaga-tenaga terampil dari Bengkel ini diminta untuk membimbing para siswa (magang) dari beberapa Sekolah Kejuruan. 3. Pihak manajemen selalu mengawasi pekerja di bengkel, dan selalu memberitahu/mengajari penggunaan alat-alat secara benar sehingga para pekerja tidak bekerja sendiri dalam ketidaktahuan tetapi selalu mendapat bimbingan. 4. Ada beberapa karyawan yang seringkali lalai dalam menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen misalnya tidak menggunakan APD secara baik dan benar, meninggalkan bengkel dalam keadaan kotor dan alat kerja yang berserakan di lantai, kerja tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh pengawas sehingga pihak manajemen. 4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan bahwa 62 % karyawan telah mengetahui dan memahami keselamatan dan kesehatan kerja, dengan menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja, sedangkan 38 % sudah mengetahui adanya Keselamatan dan Kesehatan Kerja namun dalam pelaksanaan tidak menggunakan alat pelindung diri sehingga masih terjadi kecelakaan. 5. Saran 1. Berhadapan dengan karyawan yang kurang tertib dalam menjalankan tugasnya, misalnya terlambat hadir tepat waktu, tidak menggunakan APD ketika bekerja, membiarkan alat kerja berhamburan di lantai pihak manajemen sebaiknya memberikan teguran langsung maupun tertulis. Jika masih terus dilanggar hendaknya diberi sanksi, karena selama ini sanksi belum pernah diterapkan kepada pekerja. 2. Pihak manajemen hendaknya terus mengawasi pekerja, sehingga para pekerja tidak bekerja sendirian. Ketika terjadi ketidaktahuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau penggunaan mesin, para pekerja langsung bertanya dan mendapat jawaban yang benar, dengan demikian pekerja merasa aman, nyaman dan produktif. Daftar Pustaka Ryska, R, Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT Ceria Utama Abadi, cabang Palembang, 2013 Sulaksmono, Handout: Manajemen Keselamatan Kerja, Surabaya, 1997 Shariff, S.M, Occupational Safety and Health Management, University Publication Centre (UPENA), Malaysia: Universiti Teknologi MARA. 2007 Anizar, Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri, Graha Ilmu Yogyakarta, 2012 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta Bandung, 2013
26
Evaluasi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Unit Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Istika Dwi Kusumaningrum1, Widodo Hariyono2 1
Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Surya Global, Yogyakarta Jalan Ring Road Selatan, Blado Potorono, Banguntapan, Bantul Tel: 085643301114. E-mail:
[email protected] 2 Prodi IKM, FKM, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Abstrak Pelayanan yang diberikan kepada pasien hemodialisa infeksius dengan mengutamakan pencegahan penularan infeksius dengan menggunakan alat pelindung diri (APD). Faktor ketidakpatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri diantaranya adalah kurangnya pengetahuan petugas terhadap bahaya risiko, alat pelindung diri dirasa kurang nyaman, serta sistem pengawasan yang buruk terhadap penggunanaan alat pelindung diri. Penggunaan APD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II belum maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat unit Hemodialisa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan hasil disajikan secara deskriptif dengan rancangan penelitian studi kasus (case study). Subjek penelitian ini dilakukan kepada Direksi dan perawat unit Hemodialisa. Objek penelitian ini adalah Penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat unit Hemodialisa. Metode telusur didapatkan hasil bahwa temuan dari hasil observasi, bukti pelaksanaannya hanya dapat ditemukan sebagian saja yang dilaksanakan. Kebijakan maupun prosedur sudah ditetapkan dan dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertahankan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa evaluasi penggunaan APD di unit Hemodialisa masih kurang. Penggunaan APD di unit Hemodialisa tidak dilaksanakan dengan baik karena sebagian petugas tidak mengenakan APD secara lengkap. Pengawasan di unit Hemodialisa belum maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga fungsi managerial belum terlaksana dengan baik. Kata kunci: alat pelindung diri (APD), perawat, unit hemodialisa.
1. Pendahuluan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, khususnya pasal 165: “Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja”. Berdasarkan pasal diatas maka pengelola tempat kerja di Rumah Sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja1. Kementerian Kesehatan melakukan revitalisasi Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit yang merupakan salah satu pilar menuju patient safety. Diharapkan kejadian infeksi di rumah sakit dapat diminimalkan serendah mungkin sehingga masyarakat dapat menerima pelayanan kesehatan secara optimal. Sebagai perbandingan, bahwa tingkat infeksi nosokomial yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Amerika adalah rendah yaitu sekitar 1% dibandingkan dengan kejadian di negara-negara Asia, Amerika
27
Latin dan Sub-Afrika yang tinggi hingga mencapai lebih dari 40% dan menurut data WHO, angka kejadian infeksi di RS sekitar 3 – 21% (rata-rata 9%). Hasil laporan National Safety Council (NCS) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/ terpotong, luka bakar dan penyakit lainnya2. Hemodialisa (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi glomerulus yang rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Saat ini unit hemodialisis di Indonesia yang terdata di PERNEFRI sebanyak ± 4000 unit, sementara Indonesia membutuhkan sekitar 6000 unit mesin hemodialisis. Adanya globalisasi dalam sektor kesehatan ini berdampak dalam pelayanan kesehatan terutama dalam melakukan tindakan. Pelayanan kesehatan baik dalam terapi, pemberian resep maupun pemakaian alat kesehatan mengikuti perkembangan globalisasi tersebut. Dengan meningkatnya penderita gagal ginjal kronik dari tahun ke tahun maka hemodialisis menjadi kebutuhan yang tidak dihindari lagi3. Pelayanan yang diberikan kepada pasien hemodialisa infeksius dengan mengutamakan pencegahan penularan infeksius dengan menggunakan alat pelindung diri (APD). Alat pelindung diri (APD) adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri dari atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi peralatan pelindung tidak menghilangkan atau mengurangi bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dan bahaya dengan cara penempatan dan penghalang antara tenaga kerja dan bahaya4. Dari beberapa komponen pelayanan kesehatan di rumah sakit, perawat adalah salah satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien yang intensitasnya paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Perawat sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit (4060 %) dimana pelayanan keperawatannya yang diberikan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan memiliki peran kunci dalam mewujudkan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit5. Faktor ketidakpatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri diantaranya adalah kurangnya pengetahuan petugas terhadap bahaya risiko, alat pelindung diri dirasa kurang nyaman, serta sistem pengawasan yang buruk terhadap penggunanaan alat pelindung diri. Sesuai dengan fungsi sarana kesehatan tersebut semua pekerja di rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan bahaya potensial bila tidak ditanggulangi dengan baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keselamatan dan kesehatannya, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerjanya6. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II memiliki mesin HD sebanyak 25 buah (22 mesin untuk pasien umum, 2 mesin khusus pasien infeksius), yang mana setiap hari 24 mesin yang dioperasionalkan secara rutin sedangkan yang 1 digunakan apabila ada keadaan emergensi sebagai cadangan. Kecelakaan kerja yang sering terjadi adalah tertusuk jarum bahkan terinfeksi Hepatitis. Sedangkan program pemeriksaan Hepatitis B, C dan HIV baru diusulkan. Penggunaan APD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II belum maksimal. Baju kerja khusus HD hanya tersedia 2 untuk masing-masing perawat, sedangkan terpapar
28
oleh pecikan darah sangat tinggi. Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang evaluasi penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat Unit Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II. 2. Metode Penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan hasil disajikan secara deskriptif dengan rancangan penelitian studi kasus (case study)7. Subjek penelitian ini dilakukan kepada Direksi (Direktur, Manajer Keperawatan, Tim PPI dan perawat Hemodialis) dengan teknik purposive sampling. Objek penelitian ini adalah penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat unit Hemodialisa. Evaluasi penggunaan APD dilakukan dengan cara: telusur dokumen, observasi lapangan, diskusi kelompok terfokus (FGD/Focus Group Discussions). Analisis data dengan menggunakan checklist observasi dan model telusur dokumen untuk mendapatkan informasi tentang kesesuaikan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD) di unit Hemodialisa. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Hasil Observasi Dari hasil observasi petugas Hemodialisa terhadap 8 orang perawat pada bulan Maret 2015, didapatkan hasil bahwa masih banyak petugas yang belum membiasakan untuk menerapkan 5 Moments for Hand Hygiene. Panduan patient safety, prosedur handwash dan handrub masing-masing unit diberikan tetapi jarang untuk diterapkan. Sebanyak 87% petugas tidak membersihkan tangan (handwash) sebelum menggunakan sarung tangan (handscoen). Setelah melepas sarung tangan pun petugas tidak membersihkan tangan terlebih dahulu dan langsung ganti sarung tangan baru kemudian tindakan pasien. Tempat untuk mencuci tangan (handwash) di unit HD ada 3, sedangkan cairan berbasis alkohol (handrub) tersedia 2. Jenis APD di unit Hemodialisa tersedia lengkap meliputi, pelindung badan khusus HD, handscoen, masker dan kacamata. Pelindung badan khusus HD masing-masing perawat unit HD hanya disediakan 2 setel baju kerja khusus HD sebagian ada yang masih disimpan di loker ruang perawat ada juga yang dibawa pulang karena baju kerja khusus HD kebesaran. Hanya 3 petugas yang menggunakan baju kerja khusus HD itupun tidak setiap hari, sedangkan 75% petugas tidak memakai masker, kaca mata digunakan untuk alat reuse saja. Pelindung tangan (handscoen) wajib digunakan untuk tindakan hemodialisa, masing-masing tempat tidur pasien atau mesin HD disediakan 2 pasang handscoen digunakan tiap tindakan memasang dan melepas jarum. Pada tanggal 21 Maret 2015 saat observasi didapatkan petugas yang melakukan handrub pada saat masih menggunakan handscoen kemudian lanjut tindakan ke pasien. Pada hari yang bersamaan petugas melakukan punksi akses vaskuler dan penyuntikan tidak menggunakan handscoen.Saat pelepasan jarum pasien ketika selesai tindakan Hemodialisa juga ditemukan pasien mengalami kebocoran karena kurang pas atau terburu-buru. Dapat disimpulkan bahwa petugas unit HD tidak menggunakan APD lengkap untuk melakukan tindakan pasien infeksius maupun non infeksius.
29
3.1.1.1. Telusur Dokumen Telusur dokumen di unit HD dan IPCN tidak ditemukan prosedur tentang proses reuse dialiser, SPO penggunaan APD di unit HD, SPO pelayanan HD pasien infeksius (untuk petugas) dan kebijakan infeksi kontrol untuk Hepatitis B, C dan HIV di unit HD. 3.1.1.2. Hasil Wawancara dengan Direksi Rekomendasi dari informan kunci (Direktur Diklat) adalah merubah perilaku perawat atau seseorang itu tidak mudah. Merubah seseorang perlu proses maka perlu di gali terus pada hal-hal yang sifatnya membangun, seperti memberi pelatihan maupun sosialisasi ke perawat. Penggunaan APD harus lebih diperhatikan, insiden cidera maupun potensial cidera harus dilaporkan. Seharusnya tim PPI/IPCN membuat PDCA untuk mengembangkan mutu pelayanan rumah sakit. Dari hasil wawancara dengan Direktur rumah sakit dan diikuti dengan telusur dokumen, dihasilkan bahwa prosedur terkait dengan penggunaan alat pelindung diri di unit Hemodialisa belum semuanya terpenuhi. 3.1.2. Hasil FGD/Group Interview 3.1.2.1. Pengetahuan Gambaran pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini, meliputi pengetahuan informan utama dalam menjelaskan dan memaparkan definisi, bahaya, manfaat, jenis alat pelindung diri (APD) di unit Hemodialisa, peraturannya dan memelihara APD. Tidak semua informan utama bisa menjelaskan definisi APD. Sepatu kerja tidak selalu di pakai saat melakukan tindakan, masih ada beberapa petugas mengenakan sandal saat tindakan. 3.1.2.2. Sikap Kendala petugas tidak melakukan hand hygiene (handwash/handrup) karena pada saat pasien selesai melakukan tindakan HD (ending) selalu bersamaan, jadi petugas selama ini hanya mengganti sarung tangan baru dan kembali tindakan pasien berikutnya. Kadangkala juga sampai lupa untuk mengganti sarung tangan baru. Dari hasil wawancara sebetulnya petugas tahu jika sebelum maupun setelah menggunakan sarung tangan harus mencuci tangan dengan air tidak boleh menggunakan cairan beralkohol (handrub) karena bedak handscoen yang menempel pada tangan tidak bisa dibersihkan hanya dengan cairan beralkohol. Baju kerja disimpan di loker ruang perawat. Sedangkan handscoen dibuang di tempat sampah yang letaknya bersebelahan dengan tempat tidur pasien. 3.1.2.3. Keyakinan Gambaran keyakinan yang dimaksud dalam penelitian ini, meliputi keyakinan informan utama dalam menerapkan APD di unit HD, dan bersedia menggunakan sesuai dengan kebijakan dan standar kerja. Standar kerja di unit HD sudah sesuai, untuk penggunaan handscoen masih belum terkontrol. Setiap satu tindakan sudah disediakan 2 pasang namun masih ada petugas yang mengambil handscoen baru di box. Baju kerja HD hanya 2 untuk masing-masing perawat, standarnya 1 shift 1 baju kerja. 3.1.2.4. Ketersediaan APD Ketersediaan APD yang dimaksud pada penelitian ini adalah gambaran mengenai ada atau tidaknya APD yang disediakan rumah sakit dan peraturannya. Dari hasil wawancara dengan informan bahwa APD sudah tersedia dari rumah sakit.
30
3.1.2.5. Kebijakan/SPO SPO yang dimaksud pada penelitian ini yaitu adanya prosedur atau petunjuk kerja di unit hemodialisa. Aturan atau SPO sudah ada terkait dengan hand hygiene, terkendalanya adalah sosialisasi yang kurang. 3.1.2.6. Pengawasan Pengawasan dilakukan oleh supervisor masing-masing unit. Pengawasan belum berjalan secara maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga fungsi managerial belum terlaksana dengan baik. Dokumen atau buku untuk pengawasan petugas HD belum ada di unit HD. 3.2. Pembahasan Risiko penularan infeksi yang dihadapi oleh petugas pelayanan kesehatan disebabkan karena kontak dengan darah dan sekresi tubuh pasien sewaktu tindakan keperawatan rutin. Petugas perawatan kesehatan dapat melindungi diri mereka sendiri dari kontak dengan bahan infeksius atau terpajan pada penyakit menular dengan memiliki pengetahuan tentang proses infeksi. Memang pada kenyataannya masih banyak petugas kesehatan seperti dokter dan perawat tidak menggunakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan keperawatan seperti tindakan menyuntik dengan alasan karena mereka khawatir akan kehilangan kepekaan dan selain itu juga karena merasa tidak nyaman8. Menurut informan kunci penggunaan sarung tangan saat menyuntik atau memasukkan jarum ketubuh pasien sebelum dan sesudah tindakan wajib menggunakan sarung tangan bahwa semua penyakit pasien berisiko atau infeksi berbahaya sehingga mereka harus menggunakan APD karena darah termasuk infeksius. Penggunaan APD seperti sarung tangan sebenarnya sangatlah mutlak dilakukan, disamping penggunaan alat-alat medis yang steril dalam setiap pemberian tindakan keperawatan, pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret dan selaput lendir. Selain melindungi petugas kesehatan, sarung tangan juga mengurangi penyebaran infeksi dari pasien. Cuci tangan dan penggunaan sarung tangan, merupakan komponen kunci dalam meminimalkan penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas infeksi. Baju pelindung bertujuan untuk melindungi baju dari bahan-bahan yang infeksius, melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju atau kulit petugas kesehatan. Penggunaan masker di unit HD menjadi suatu perdebatan. Hemodialisa (HD) potensi menularnya melalui darah bukan melalui udara. Masker bertujuan mencegah membran mukosa petugas terkena kontak dengan percikan darah dan cairan tubuh, sedangkan untuk pasien mencegah kontak droplet dari mulut dan hidung petugas yang mengandung mikroorganisme saat bicara , batuk dan bersin. Berdasarkan informasi dari petugas unit HD menyatakan bahwa pasien di unit HD ada yang menderita penyakit TBC sebanyak 4 orang. Pasien yang menderita TBC sudah diberikan arahan untuk menggunakan masker tetapi pasien tidak mau memakainya karena susah untuk bernafas. Sedangkan petugas sendiri juga enggan untuk memakainya. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa semua informan utama memiliki pengetahuan tentang alat pelindung diri (APD). Untuk sikap yang dimiliki informan utama dalam menggunakan APD bersikap positif. Sedangkan keyakinan dalam penggunaan APD informan utama sangat yakin jika ada
31
ketentuannya karena APD dapat melindungi petugas. Penelitian lain yang mendukung adalah, penggunaan sarung tangan, relevansi untuk praktik klinis, pendidikan dan prakek cuci tangan yang benar dan pemakaian sarung tangan antara kesehatan rumah sakit dan dukungan pekerja yang diperlukan9. Di unit HD pengawasan belum berjalan dengan maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga fungsi manajerial belum terlaksana dengan baik. Waktu pengawasan juga belum terjadwal dengan baik. Pengawasan yang dilakukan secara berkala dan intens, kondisi yang berbahaya atau kegiatan yang tidak aman dapat diketahui dengan segera dan dapat dilakukan usaha untuk memperbaikinya. Teknik pengawasan dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung10. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Ayu dan Denny (2013), bahwa pengawasan yang dilakukan setiap hari oleh supervisor dapat membentuk perilaku perawat agar disiplin untuk berperilaku aman dalam bekerja, dan dengan adanya pengawasan akan mengurangi risiko yang ada misalnya kesalahan perawat dalam menangani pasien11. 4. Kesimpulan Penggunaan APD di unit Hemodialisa tidak dilaksanakan dengan baik karena sebagian petugas tidak mengenakan APD secara lengkap. Pengetahuan petugas, sikap, dan keyakinan tentang alat pelindung diri (APD) sudah cukup baik hal ini terbukti dari jawaban yang petugas sampaikan, namun juga hanya sebatas pengetahuan saja karena tidak semua diterapkan saat tindakan Hemodialisa. Kebijakan atau SPO di unit Hemodialisa untuk pelaksanaan Hemodialisa sudah sesuai, namun SPO untuk petugas dalam penggunaan APD penanganan pasien Hemodialisa infeksius maupun non infeksius belum ada, SPO proses reuse dialyzer juga belum ada. Sedangkan kebijakan infeksi control, Hepatitis B, C dan HIV di unit Hemodialisa masih diusulkan. Pengawasan di unit Hemodialisa belum maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga fungsi managerial belum terlaksana dengan baik. Rekomendasi yang perlu dilakukan adalah manajemen rumah sakit yang arahnya mendukung akreditasi harus ditingkatkan. Pelatihan maupun sosialisai untuk petugas terkait dengan pencegahan infeksi yang sudah diberikan wajib diterapkan serta melengkapi standar prosedur operasional (SPO) yang belum ada di unit Hemodialisa. Daftar Pustaka 1. Direktorat Bina Kesehatan Kerja. 2010. Kep Menkes RI/No.1087/Menkes/SK/VIII/ 2010. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di RS. Jakarta. KepMenkes RI 2. Surveilans infeksi rumah sakit. 2010. Situs: http://buk.depkes.go.id/ index.php option=com content & view=article & id=123: surveilans-infeksi-di rumah sakit. 3. Direktoran Bina Pelayanan Medik Spesialistik. 2009. Pedoman Pelayanan Hemodialisis di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI 4. Suma’mur, P.K. 2009. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta. CV Haji Masagung.
32
5. Depkes RI. 2006. Peningkatan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK) Perawat dan Bidan, Pusdiklat SDM Kesehatan bekerjasama dengan Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan. Jakarta. 6. Hasyim, H. 2005. Manajemen Hiperkes dan Kesehatan Kerja di RS (Tinjauan Kegiatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Institusi Sarana Kerja). Sumatera Selatan. FK Prodi Kesmas Universitas Sriwijaya. 7. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta. 8. Demak, Denisa Listy. 2013. Analisis Penyebab Perilaku Aman Bekerja Pada Perawat di RS Islam Asshobirin Tangerang Selatan Tahun 2013. Jakarta. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. 9. Sharon, WM Pang. 2011. An Evaluation of Hospital Hand Hygiene Practise and Glove Use in Hongkong. Journal of Clinical Nursing volume 20. 10. Sarwono, SW. 2009. Teori-teori Psikologi Sosial. CV. Jakarta. Rajawali. 11. Ningsih, AR; Denny AW. 2013. Evaluasi Pelaksanaan Behavior Based Safety Pada Program Stop Dalam Membentuk Perilaku Aman Tenaga Kerja di PT X Tahun 2013. FKM Universitas Airlangga.
33
Implementasi Manajemen Keselamatan Proses Dengan Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL Unit Ammonia Pabrik-4 Basuki Rachmad Turn Around Department, PT Pupuk Kalimantan Timur Tel: 0062-548-41202 ext 2620. E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan dilakukannya Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL ini adalah untuk mereview kembali dokumen HAZOP existing yang dilakukan sejak masa proyek Kaltim-4 berdasarkan kondisi operasi saat ini dengan metode HAZOP yang sesuai antara lain dilakukan risk score dan menerapkan konsep IPL (Independent Protection Layer), serta mengevaluasi dan mengendalikan potensi bahaya yang baru teridentifikasi dan merekomendasikan bila ditemukan safeguard belum mencukupi atau diperlukan safeguard tambahan ataupun ada kesalahan safeguard agar potensi bahaya risiko yang tinggi dapat diturunkan sampai batas yang dapat ditoleransi. Dan agar sistem interlock di Ammonia Pabrik-4 memiliki klasifikasi SIL untuk meningkatkan keandalan sistem interlock Ammonia Pabrik-4. Juga untuk menindak lanjuti arahan pemegang saham. Tahap pertama dipilih unit Ammonia untuk dilakukan Studi HAZOP SIL karena mempunyai potensi bahaya tertinggi. Existing HAZOP terdiri dari 17 Node kemudian dilakukan revalidasi dengan menggunakan metode HAZOP yang sesuai antara lain dilakukan risk score dan menerapkan konsep IPL (Independent Protection Layer). Revalidasi HAZOP di Ammonia Pabrik-4 diperoleh bahwa dari 17 node yang tidak ada rekomendasi sebanyak 5 node karena safeguard yang ada sudah cukup, adapun 12 node lainnya ada rekomendasi sejumlah 20 rekomendasi untuk menurunkan tingkat risiko yang dapat ditoleransikan. Adapun analisis klasifikasi SIL dengan metode LOPA dari 116 interlock system di Unit Ammonia Pabrik-4, ada 83 interlock system dengan klasifikasi SIL-3, 18 interlock system klasifikasi SIL-2, 5 interlock system klasifikasi SIL-1 dan 10 interlock system tergolong Non SIL. Kata kunci: ammonia, HAZOP, klasifikasi SIL, layer of protection analysis, risk score.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sejak beroperasi tahun 2002 Pabrik-4 sampai saat ini belum pernah dilakukan revalidasi HAZOP. Sejauh ini sudah banyak modifikasi yang telah dilakukan, namun dokumen yang terkait dengan perubahan tersebut salah satunya dokumen P&ID belum dilakukan up dating. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan pengoperasian maupun pemeliharaan. Kesalahan pengoperasian maupun pemeliharaan dapat berdampak safety, environment maupun asset. Berdasarkan Pedoman Manajemen Keselamatan Proses dari Pupuk Indonesia (Dok no F01000-PP-093) pada elemen 2 hal 8 disebutkan bahwa setidaknya setiap lima tahun sekali dilakukan evaluasi dan validasi ulang HAZOPS. Demikian juga dengan sistem interlock di Pabrik-4 sampai saat ini belum ada klasifikasinya. Berdasarkan standard internasional ANSI/ISA–84.01 klasifikasi sistem interlock adalah Safety Integrity Level (SIL). Ada 4 klasifikasi
34
SIL yakni SIL1, SIL2, SIL3 dan SIL4. Untuk melakukan klasifikasi sistem interlock tersebut diperlukan suatu metode antara lain Layer Of Protection Analysis (LOPA). Saat ini umumnya implementasi HAZOPS diintegrasikan dengan implementasi SIL agar dalam mengimplementasi keduanya lebih efektif dan efisien dari segi waktu maupun biaya. 1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut; 1. Apakah metode studi HAZOP SIL efektif untuk revalidasi studi HAZOP existing? 2. Bagaimana mereview studi HAZOP existing? 3. Bagaimana menentukan risk score? 4. Bagaimana menentukan klasifikasi SIL? 1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk evaluasi manajemen pemeliharaan SIS pada unit Ammonia Pabrik-4, juga dapat digunakan sebagai acuan untuk evaluasi sistem sejenis lainnya. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut ; 1. Untuk mereview kembali dokumen HAZOP existing, mengevaluasi dan mengendalikan potensi bahaya yang baru teridentifikasi. 2. Untuk menentukan klasifikasi SIL suatu SIF berdasarkan asesmen risiko yang berdampak pada manusia (safety), potensi kerusakan yang berdampak lingkungan (environment) juga potensi kerusakan yang berdampak pada biaya pemeliharaan dan kehilangan produksi (asset). 3. Agar semua potensi bahaya dapat teridentifikasi dan merekomendasikan bila ditemukan safeguard belum mencukupi atau diperlukan safeguard tambahan ataupun ada kesalahan safeguard agar potensi bahaya risiko yang tinggi dapat diturunkan sampai batas yang dapat ditoleransi. 4. Agar sistem interlock Pabrik-4 memiliki klasifikasi SIL untuk meningkatkan keandalan sistem interlock Pabrik-4. 1.4. Ruang Lingkup Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL Pabrik-4 meliputi unit Utility, Ammonia dan Urea. Tahap pertama dipilih unit Ammonia karena dari ketiga unit tersebut yang mempunyai potensi bahaya tertinggi adalah unit Ammonia, adapun dokumen HAZOP Ammonia Pabrik-4 existing yang akan dilakukan Revalidasi HAZOP & Klasifikasi SIL yakni; HAZOP Report for Ammonia Unit K-4 Project (Doc. No.: K4-01-P1-OR-001-R, Rev.1, 5 September 2000). Unit Ammonia Pabrik-4 terdiri dari 17 Node; (1) Desulphurization, (2) Reforming, (3) CO Conversion, (4) Process Gas Cooling, (5) C02 Absorption, (6) C02 Stripping, (7) MDEA Preparation, Storage & Drain, (8) Methanation, (9) Natural Gas Feed & Compression, (10) Process Air Compressor, (11) Syn Gas Compression, (12) Ammonia Synthesis Loop, (13) Ammonia Refrigeration, (14) Ammonia Receiver and Ammonia Product Transferring, (15) Process Condensate Stripping, (16) Boiler Feed Water dan (17) Steam System. Adapun analisis klasifikasi SIL terhadap interlock system Ammonia Pabrik4 akan dimulai dari interlock system yang berdasarkan hasil studi revalidasi HAZOP risk score-nya yang kategori critical kemudian dilanjutkan kategori medium critical, sedangkan yang kategori non critical langsung dapat
35
diklasifikasikan Non SIL. Jumlah interlock system di unit Ammonia Pabrik-4 sekitar 116 interlock system. 2. Metode Penelitian Metode Hazard and Operability Study (HAZOP) adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi potensi hazard dan masalah operabilitas yang disebabkan oleh penyimpangan dari tujuan desain pada suatu proses pabrik (Dieltjens, 2010). Teknik HAZOP (Hazard & Operability Study) yakni dengan cara mengkombinasikan antara parameter dan guide word menjadi deviasi dari design intent suatu node. Kemudian penyebab dan konsekuensi dari deviasi diidentifikasi, dengan mengases safeguard yang terkait. Severity (S) dari konsekuensi ditentukan berdasarkan Risk Matrix, demikian juga likelihood (L) terjadinya causes juga ditentukan berdasarkan Risk Matrix, sehingga diperoleh R (Risk Score). Action adalah tindakan untuk mengeliminasi dan memitigasi potensi bahaya yang telah teridentifikasi.Penyebab (causes) yang tidak dianggap dalam studi HAZOP adalah sebagai berikut; (a) Kegagalan simultan lebih dari satu independent protection device, (b) Kejadian simultan dari dua insiden yang tidak berkaitan, (c) Kelalaian manusia, (d) Bencana alam, (e) Sabotase, (f) Analisis HAZOP bukan merupakan design review, (g) Equipment/machinery telah di desain, difabrikasi dan diinspeksi dengan baik tidak ada kerusakan dan (h) Mechanical protection device (PSV, rupture disc) dianggap bekerja baik. Klasifikasi SIL dengan metode Layer Of Protection Analysis (LOPA), adalah suatu proses (metode, system) untuk mengevaluasi efektifitas dari independent protection layer dalam mereduksi kemungkinan terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan. Langkah awal dalam melakukan studi SIL adalah mengidentifikasikan SIF (Safety Instrumented Function) atau interlock system dengan benar. Tujuan dipasangnya suatu SIF adalah untuk mencegah hazardous situation menjadi hazardous event.Masing-masing SIF diidentifikasi dan diklasifikasi dengan menggunakan LOPA worksheet.Fungsi yang terkait dengan pushbutton, fire&gas alarm system, control dan electrical tidak termasuk dalam studi LOPA. Semua sistem interlock yang teridentifikasi di dalam Cause and Effect Diagram atau sistem interlock hasil rekomendasi studi HAZOP akan dibahas dalam studi klasifikasi SIL. Metodologi proses studi HAZOP SIL ditunjukkan secara diagram alir seperti pada Gambar 3.
36
Mulai Perumusan Masalah Menentukan Tujuan & Manfaat Mengumpulkan Data Studi HAZOP SIL no Semua node & interlock yes
Kesimpulan & Saran
Selesai
Gambar 1. Metodologi Studi HAZOP SIL 3. Hasil 3.1. Revalidasi HAZOP 3.1.1. Rekomendasi Hasil Revalidasi HAZOP Dari 17 node yang tidak ada rekomendasi sebanyak 5 node karena safeguard yang ada sudah cukup, adapun 12 node lainnya ada rekomendasi untuk menurunkan tingkat risiko yang dapat ditolenrasikan. Secara lengkap rekomendasi setiap node ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar Rekomendasi Hasil Revalidasi HAZOP NODE 1 2 3 4 5
RECOMMENDATION Pasang flow alarm low dari 1-FT-2005 Pasang temperature alarm low dari 1-TI-2004 Pasang flow alarm low dari 1-FT-2005 Pasang alarm press high 1-PAH-2008 Tidak ada rekomendasi Tidak ada rekomendasi Pasang ESD terpisah dari 1-FIC-3008 Pasang ESD terpisah dari 1-FIC-3006 Pasang high alarm level terpisah dari existing (1-LIC-3009A)
37
RISK
BY
Non Critical Non Critical Medium Critical Critical
Instrument Instrument
Critical Critical
Instrument Instrument
Critical
Instrument
Instrument Instrument
6 7 8 9 10 11 12 13
14
15 16 17
Kondisi saat ini masih disable untuk 1-PSL3004 sehingga perlu di enable Tidak ada rekomendasi Install low pressure alarm 1-PI-4041 Tidak ada rekomendasi Tidak ada rekomendasi Pasang 1-PIC/PV-7002, untuk venting Pasang interlock dari 1-TAHH-5022 to close 1HV-5003 Pasang 1-PAL-4065 Pasang High Alarm bukan 1-LT-5006 + Prosedur pengamanan Pasang High pres. alarm 1-PAH-5011 Pasang LSLL interlock trip to 2-P-204A/B & 2P-201A/B Modifikasi dengan menambah kapasitas 2-E211/2-C-202 untuk mengurangi pencemaran lingkungan Pasang interlock system terpisah dengan 1-LIC7001 by I-752 Pasang line pengarah overflow ke lokasi aman Pasang level alarm high terpisah dari 1-LT2001 (gunakan 1-LT-2002) Buat SOP kontingensi planing bila 1-LV-2003 fail open
Non Critical
Instrument
Non Critical
Instrument
Critical
Instrument
Critical
Instrument
Non Critical
Critical
Instrument Instrument Operasi Instrument
Critical
Instrument
Critical
PPE
Critical
Instrument
Non Critical
Istek
Critical
Instrument
Medium Critical
Operasi
Critical
3.2. LOPA 3.2.1. Hasil Analisis Klasifikasi SIL Diperoleh klasifikasi SIL untuk interlock system di Unit Ammonia Pabrik-4 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Dari 116 interlock system di Unit Ammonia Pabrik-4, ada 83 interlock system dengan klasifikasi SIL-3, 18 interlock system klasifikasi SIL-2, 5 interlock system klasifikasi SIL-1 dan 10 interlock system tergolong Non SIL. Tabel 2. Daftar Klasifikasi SIL Interlock Systemdi Unit Ammonia Pabrik-4 SIFs No
Sensor
1
1-FSLL-2002 (1oo1)
2
1-FFSLL-2002 (1oo1)
3
1-FFSLL-2005 (1oo1)
4
1-PSLL-2008 (1oo1)
Design Intent Untuk mencegah kerusakan tube & coil Primary Reformer Untuk mencegah kerusakan tube & coil Primary Reformer Untuk mencegah kerusakan tube & katalis Primary Reformer Untuk menghindari explotion gas di furnace
38
SIL Selection Risk Initial Category SIL
Required SIL
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Safety
SIL3
SIL3
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
1-LSLL-2002 (1oo1) 1-TSHH-2030 (1oo1) 1-FSLL-2010 (1oo1) 1-LSHH-3003 (1oo1) 1-LSHH-3008 (1oo1) 1-PSHH-4174 (1oo1) 1-LSHH-4022 (1oo1) 1-LSHH-4024 (1oo1) 1-LSHH-4026 (1oo1) 1-PSHH-4208 (1oo1) 1-PSLL-4252 (1oo1) 1-ZSHHLL4271 (1oo1) 1-ZSHHLL4274 (1oo1) 1-ZSHHLL4276 (1oo1) 1-XSHH-4271 (1oo1) 1-XSHH-4272 (1oo1) 1-XSHH-4273 (1oo1) 1-XSHH-4274 (1oo1) 1-XSHH-4275 (1oo1) 1-XSHH-4276 (1oo1) 1-PSLL-4201 (1oo1) 1-LSH-4152 (1oo1) 1-SS-4021 (1oo1) 1-TSHH-4023 (1oo1) 1-TSHH-4025 (1oo1)
Untuk mencegah kerusakan WHB Untuk mencegah kerusakan katalis Untuk mencegah coil rupture 1-E-202A/B Untuk mencegah kerusakan katalis Converter Untuk mencegah kerusakan packing 1-V-302 dan furnace Primary Reformer Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & tube condensor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor
39
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Safety
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
1-TSHH-4028 (1oo1) 1-TSHH-4030 (1oo1) 1-LSHH-4022 (1oo1) 1-LSHH-4024 (1oo1) 1-LSHH-4026 (1oo1) 1-LSHH-4062 (1oo1) 1-LSHH-4064 (1oo1) 1-TSHH-4064 (1oo1) 1-TSHH-4068 (1oo1) 1-PSLL-4452 (1oo1) 1-ZSHHLL4471 (1oo1) 1-ZSHHLL4474 (1oo1) 1-ZSHHLL4476 (1oo1) 1-XSHH-4471 (1oo1) 1-XSHH-4472 (1oo1) 1-XSHH-4473 (1oo1) 1-XSHH-4474 (1oo1) 1-XSHH-4475 (1oo1) 1-XSHH-4476 (1oo1)
49
1-PSHH-4473 (1oo1)
50
1-PSHH-4474 (1oo1)
51
1-PSHH-4477 (1oo1)
52
1-PSHH-4478 (1oo1)
53
1-XA-4403 (1oo1)
Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor dan pencemaran lingkungan Untuk mencegah kerusakan compressor dan pencemaran lingkungan Untuk mencegah kerusakan compressor dan pencemaran lingkungan Untuk mencegah kerusakan compressor dan pencemaran lingkungan Untuk mencegah kerusakan turbine
40
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
1-LSH-4352 (1oo1) 1-SS-4061 (1oo1) 1-PSLL-4452 (1oo1) 1-LSHH-3012 (1oo1) 1-LSHH-4042 (1oo1) 1-LSHH-4044 (1oo1) 1-LSHH-4046 (1oo1) 1-TSHH-4043 (1oo1) 1-TSHH-4045 (1oo1) 1-TSHH-4048 (1oo1) 1-PSLL-4352 (1oo1) 1-PSHH-4308 (1oo1) 1-ZSHHLL4371 (1oo1) 1-XSHH-4371 (1oo1) 1-XSHH-4372 (1oo1) 1-XSHH-4373 (1oo1) 1-XSHH-4374 (1oo1) 1-XSHH-4375 (1oo1) 1-XSHH-4376 (1oo1) 1-PSHH-4373 (1oo1) 1-PSHH-4374 (1oo1) 1-PSHH-4377 (1oo1) 1-PSHH-4378 (1oo1)
77
1-FSLL-3008 (1oo1)
78
1-FSLL-3006 (1oo1)
Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & tube condensor Untuk mencegah kerusakan Turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah kerusakan katalis dan Reactor Methanator Untuk mencegah kerusakan katalis dan Reactor Methanator 41
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Safety
SIL3
SIL3
Safety
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
79 80 81 82 83
1-LSHH-5005 (1oo1) 1-PSHH-5002 (1oo1) 1-LSHH-5009 (1oo1) 1-LSHH-7001 (1oo1) 1-LSLL-7001 (1oo1)
84
1-PSHH-2012 (1oo1)
85
1-LSLL-3003 (1oo1)
86
1-LSLL-3005 (1oo1)
87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102
1-PSLL-4152 (1oo1) 1-ZSHHLL4171 (1oo1) 1-ZSHHLL4174 (1oo1) 1-XSHHLL4171 (1oo1) 1-XSHH-4172 (1oo1) 1-XSHH-4173 (1oo1) 1-XSHH-4174 (1oo1) 1-PSHH-4173 (1oo1) 1-PSLL-4101 (1oo1) 1-LSH-4152 (1oo1) 1-SS-4001 (1oo1) 1-ZSHHLL4374 (1oo1) 1-ZSHHLL4376 (1oo1) 1-FSLL-3002 (1oo1) 1-LSLLL6002 (1oo1) 1-FSLL-2005 (1oo1)
Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan coil start up heater Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan packing Stripper Untuk mencegah tube rupture 1-E-701A/B/C Untuk mencegah keluarnya api pembakaran ke lingkungan Untuk mencegah kerusakan 1-P-302A/B & CO2 Absorber Untuk mencegah kerusakan 1-P-301A/B & CO2 Absorber Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan turbine Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah terjadinya explotion gas Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor Untuk mencegah kerusakan Compressor Untuk mencegah kerusakan Compressor Untuk mencegah kerusakan pompa 1-P302A/B Untuk mencegah kerusakan katalis Converter Untuk mencegah kerusakan katalis dan tube Reformer
42
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Asset
SIL3
SIL3
Safety
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL3
SIL2
Asset
SIL3
SIL2
Asset
SIL2
SIL2
Asset
SIL3
SIL2
Asset
SIL1
SIL1
103
1-TSHH-3017 (1oo1)
104
1-TSHH-3019 (1oo1)
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116
1-PSLLL3009 (1oo1) 1-LSLL-6001 (1oo1) 1-LSLL-3010 (1oo1) 1-TSHH-4003 (1oo1) 1-TSHH-4023 (1oo1) 1-TSHH-4025 (1oo1) 1-TSHH-4028 (1oo1) 1-TSHH-4030 (1oo1) 1-FSLL-3001 (1oo1) 1-LSLL-5007 (1oo1) 1-ASHH-7001 (1oo1) 1-PSLL-4401 (1oo1)
Untuk mencegah kerusakan katalis Methanator dan equipment di down stream Untuk mencegah kerusakan katalis Methanator dan equipment di down stream Untuk mencegah kerusakan pompa 1-P302A/B Untuk mencegah kerusakan pompa 1-P-601A Untuk mencegah rupture flash drum Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk mencegah kerusakan compressor Untuk menjaga temperature CO2 product Untuk level di 1-V-502 Untuk mencegah kerusakan tray 1-C-701 Untuk mencegah kerusakan turbine & compressor
Asset
SIL3
SIL1
Asset
SIL3
SIL1
Asset
SIL1
SIL1
Asset
SIL3
SIL1
Safety
SIL3
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
Asset
NR
NR
3.2.2. Rekomendasi Hasil Analisis Klasifikasi SIL Dari analisis klasifikasi SIL ada satu rekomendasi terkait dengan final element (FE) interlock system yang bergabung dengan control system seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar Rekomendasi Hasil Analisis Klasifikasi SIL Sensor
1-LSHH7001 (1oo1)
Logic Solver
1-IS752 (1oo1)
Final Element (FE) 1-LV7001 close (1oo1)
Recommendation Pasang FE interlock system terpisah dengan 1-LV-7001 sehingga antara interlock system dan control system menjadi independen
Required SIL
By
SIL-3
Instrument
4. Kesimpulan Dengan melakukan Risk Scoring pada setiap deviasi akan mempermudah proses studi HAZOP untuk menentukan apakah safeguard yang terpasang sudah cukup atau belum cukup untuk menurunkan risiko pada level yang dapat 43
ditoleransikan. Sehingga mempermudah dalam proses rekomendasi. Dengan melakukan Klasifikasi SIL dengan metode LOPA setelah dilakukan Studi HAZOP adalah suatu langkah yang efektif karena analisis klasifikasi SIL terkait langsung dengan hasil studi HAZOP terutama tentang Causes dan Consequences. Sehingga mempercepat analisis klasifikasi SIL. Hasil Studi HAZOP dan Klasifikasi SIL di Unit Ammonia Pabrik-4 ini dapat dijadikan sharing knowledge management kepada karyawan yang lebih muda karena yang menjadi nara sumber proses studi ini mayoritas adalah karyawan senior berdasarkan pengalaman puluhan tahun. Daftar Pustaka Bingham, Ken dan Goteti, Prasad, 2004, Integrating HAZOP And Sil/Lopa Analysis: Best Practice Recommendations, Reliant Center Houston, Texas Dieltjens, Luc, 2010, SIL classification in Urea Plants, 23rd AFA Int.’l Technical Conference, June 29 – July 1, 2010, Ramada Plaza Tunis Hotel, Tunisia ISA, 2004, Standards Library for Automation and Control, Fisrt edition 2004,ISANetwork, North Carolina. Macdonald, D.M., 2004, Practical Industrial Safety, Risk Assesment and ShutdownSystems, First Published 2004, IDC Technologies, Newnes An imprint of Elsevier,Oxford.
44
Implementasi Regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Studi Kasus Pada Dua Daerah TK II di Sumbar Kendala Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Amrizal Arief, Yulianita Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Baiturrah Padang Jalan By Pass KM 15 Aie Pacah Padang HP: 0811661493, E-Mail:
[email protected] HP: 082172821841, E-Mail:
[email protected]
Abstrak Era Masyarakat Ekonomi ASEAN membuat industri harus siap dengan persoalan K3 yang dihadapi Industri masing-masing, kalau produknya mau memasuki negara-negara ASEAN. Persoalan sekarang tidak semua industri yang berada di daerah TK II di Indonesia, memiliki indikator apakah industrinya memenuhi persyaratan K3 yang dipersyaratkan sesuai dengan komitmen global baik yang berskala bila teral maupun multilateral. Kasus yang dikemukakan disini adalah keterbatasan kemampuan Disnaker/Balai Hiperkes setempat untuk mengevaluasi Nilai Ambang Batas yang berbahaya pada pekerja, membuat industri kesulitan bila pihak Auditor Eksternal mengaudit industri tersebut. Pada Industri lain ditemukan Industri yang mau melaksanakan SMK3, tetapi tidak dapat pembinaan dari Pihak Disnaker. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi oleh Lembaga Pendidikan Tinggi K3, melalui ahli K3 yang dimiliki Lembaga Pendidikan Tinggi, sejauh kepakaran yang dimiliki Perguruan Tinggi diakui oleh lembaga yang berwewenang mengakui profesi K3. Seandainya kasus di industri ini di atas tidak terjembatani secara baik dikhawatirkan persoalan pembinaan K3 di Industri di daerah TK II, merupakan kendala terbesar dalam rangka menghadapi MEA. Kata kunci: Profesi dan Keahlian K3.
1. Latar belakang Dewasa ini kecenderungan penanaman modal untuk berbagai kegiatan industri telah mulai di berbagai daerah, karena telah dipangkasnya berbagai Peraturan daerah yang berhubungan dengan investasi, ini ditandai dengan munculnya beberapa industri skala besar didaerah tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya). Keberadaan industri sudah barang tentu diikuti dengan pembukaan lapangan kerja, sekali gus mengatasi pengangguran yang mungkin terjadi didaerah sekitar. Pada bagian ini penulis akan menampilkan dua perusahaan pada daerah TK II, pertama PT. X di Kabupaten Y, yang bergerak dalam penyediaan, pemprosesan, distribusi material baja dan beton siap pakai untuk industri konstruksi, kelistrikan, pertambangan, telekomunikasi, dan perhubungan. Dalam operasionalnya perusahaan ini didukung oleh lima divisi seperti divisi pipa, divisi tiang besi, divisi elbow, divisi enginering, dan satu divisi perkantoran. Di luar persoalan perizinan lembaga yang berkompeten mengawasi perusahaan tersebut adalah Disnaker setempat. Kasus lain adalah PT Y di Kotamadya Z, yang bergerak dalam
45
pe-ngolahan dan ekspor karet, sebagai perusahaan yang bergerak di daerah Kotamadya, selain Disnaker, juga ada Balai Hiperkes Propinsi. Kedua perusahaan tersebut dalam operasionalnya seperti PT X, kegiatan K3 nya masih belum terkoordinir di bawah P2K3, masih ditangani oleh Pengawas K3 dengan segala keterbatasannya, dalam bekerja sehari-hari, pekerja mengalami kebisingan, Vibrasi dan Temperatur di atas NAB. Sementara PT Y, kegiatan bergerak dalam skspor pengolahan karet, yang telah menerapkan majemen kualitas (ISO-9000, QS-9000) dan manajemen lingkungan (ISO-14000), se-kalipun dalam kegiatan K3 nya sudah ada pengawas K3 dan kegiatannya sudah dipantau oleh P2K3, tetapi gangguan yang berhubungan dengan Higiene Industri, diperusahaan tersebut, seperti gangguan fisik, ergnomi masih saja tetap ada, dan perusahaan tersebut cukup kesulitan mencari mitra yang bergerak dalam K3, apalagi PT Y sudah diharapkan menerapkan Manajemen K3 sesuai tuntutan pasar Internasional 2. Masalah Pertumbuhan industri tidak selalu berkorelasi positif dengan penanganan persoalan K3, baik berupa hygiene industry maupun pembinaan K3 seperti SMK3. Penanganan dilapangan membutuhkan Sumber Daya Manusia yang memahami persoalan K3 secara profesional sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mengandalkan lembaga resmi yang berwewenang dengan K3 seperti Disnaker Tingkat II yang dialami oleh perusahaan PT X, persoalan utamanya adalah keterbatasan wawasan dalam pemahaman dan keahlian dalam bidang K3. Kecendrungan yang sering muncul dari pihak Disnaker adalah sebatas apakah disetujui atau tidak kegiatan industri dilapangan tersebut, artinya pihak pengelola industri dilapangan tidak puas dengan sistem yang ada. Pada PT Y yang sudah memiliki lembaga P2K3, persoalan yang mengemuka adalah tidak adanya pembinaan yang berhubungan dengan SMK3, karena ini sudah merupakan tuntutan Internasional. Dampaknya cukup membikin pengelola perusahaan industri di atas pusing dalam menghadapi tantangan industri ke depan, di satu sisi butuh masalahmasalah dilapangan ini bisa diselesaikan dalam waktu cepat dan tepat, tetapi di sisi lain terkendala dengan keterbatasan SDM baik di internal perusahaan maupun pihak eksternal seperti Disnaker/Balai Hiperkes. 3. Solusi Pihak Perguruan Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang memiliki kajian Ilmu K3 mampu menjembatani kebuntuan situasi yang ada, tetapi dihadapkan adanya semacam ketentuan apakah ahli di Perguruan Tinggi memiliki kewenangan yang setara dengan Ahli K3 yang diakui oleh Kemenaker atau Disnaker setempat, persoalan ini selalu menjadi pertanyaan kalangan Industri, oleh pihak perguruan tinggi sulit untuk diberikan jawabannya. Sekalipun pada PT X, minat K3 FKM Unbrah telah berhasil melaksanakan evaluasi higiene industri dan hasilnyasudah diakui oleh pihak Auditor seperti PT Biro Klarifikasi Indonesia Persero 26 Maret 2016 yang khusus mengaudit SMK3. Misi yang bersamaan pada PT Y yang bergerak dalam kegiatan ekspor karet seperti penyuluhan dan penataran tentang K3 yang berhubungan dengan budaya K3, seperti tiga elemen utama yang membentuk budaya K3, yaitu
46
sikap individual, SMK3 dan Kepemimpinan K3, dalam rangka meningkatkan wasasan K3 diperusahaan tsb. Kedua perusahaan PT X maupun PT Y menilai apa yang telah dilakukan seperti evaluasi lingkungan industri dan penyuluhan dan penataran K3 cukup memuaskan, tetapi bagi minat K3 FKM Unbrah sepertinya kedua perusahaan tersebut, masih mempersoalkan sertifikat K3 yang diakui sebagai Ahli K3 yang telah disahkan oleh Kemenaker. Gambaran yang dikemukakan di atas, akan berimplikasi pada pengakuan profesi K3 yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi. Apakah Ilmuan K3 yang ada memiliki kesetaraan dengan ahli K3 yang ditentukan Kemenaker/Disnaker. Menurut peneliti hal ini harus segera dituntaskan baik oleh Kemenristek Dikti maupun Kemenaker, karena dilapangan orang-orang yang memiliki sertifikat ahli K3 yang dengan beragam latar belakang pendidikan bahkan ada yang tamatan SLTA tetapi memiliki sertifikat ahli K3, eksistensinya diakui oleh pihak Kemenaker/Disnaker, tetapi dalam mengimplementasikan keilmuannya tidak semampu tamatan D3, S1 maupun S2 yang berhubungan dengan K3. 4. Kesimpulan Apabila persoalan tersebut jangka panjang tidak teratasi, menurut peneliti akan berdampak pada animo masyarakat untuk mendalami keilmuan K3, di sisi lain dilapangan pada daerah TK II yang dijadikan kasus penelitian ini membuktikan bahwa Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mempunyai minat K3 mampu memberi solusi pada persoalan yang ada. Permasalaan ini harus segera dicari jalan keluarnya, sebab hubungannya tidak saja pada pertumbuhan minat K3 seperti kajian keilmuan K3, tetapi dilapangan akan berpengaruh pada industri yangsangat membutuhkan SDM, karena pada akhirnya akan menentukan keterlibatan industri tersebut dalam merebut pasaran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Daftar Pustaka PP No 50 Tahun 2012 tenang penerapan SMK3 Permenaker No. Per.05/MEN/1996. Tentang SMK3 Somad I, 2013. Teknik Efektif Dalam Membudayakan K3. Dian Rakyat Jakarta. Thomas R. Krause; 2005. Leading with Safety; John Willey & Sons, Inc, New Jersey. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
47
Manajemen Keselamatan Proses Sebagai Bentuk Pengelolaan Potensi Bencana Industri di Indonesia Sidik Mastrilianto Pusat Kajian K3, Universitas Balikpapan Jalan Pupuk Raya, Balikpapan 76114, Kalimantan Timur HP: +6281351676234, E-Mail:
[email protected]
Abstrak Belajar dari pengalaman bencana di dunia Industri, perkembangan ilmu keselamatan mulaimemberi perhatian lebih pada tingginya tingkat risiko keparahan atau konsekuensinya di Perusahaan yang menyimpan, memproses, dan menyalurkan bahan kimia berbahaya dan beracun. Bencana di industri, menggugah praktisi keselamatan dan rekayasa industri dunia untuk memperbaiki prevensi dan proteksi keselamatan proses industri. Assosiasi dan Institusi di berbagai negara, sudah menetapkan aturan dan pedoman atau recommended practice tentang Process Safety Management. Pelatihan sertifikasi bagi praktisi keselamatan juga banyak berdatangan ke Indonesia. Bahkan banyak perusahaan migas mempersyaratkan sertifikasi Negara lain untuk menjadi seorang ahli K3 Industri. Metode implementasi deskriptif dilakukan penulis terhadap praktisi K3 di industri migasdan Peraturan Pemerintah di Indonesia dengan apa yang sudah dilakukan oleh Perusahaan multinational di beberapa negara. Dalam makalah ini akan diutarakan faktor-faktor yang berkontribusi sistematis suatu bencana industri, dan bagaimana sebaiknya pengelolaan pencegahan bencana industri, keterkaitannya dengan peraturan Pemerintah, pendidikan formal atau pelatihan sertifikasi dalam menciptakan sistem manajemen dan praktisi K3 industri yang mampu bersaing dengan sistem dan praktisi K3 industri asing sertapeningkatan keilmuan Keselamatan Proses di Indonesia. Kata kunci: Bencana industri, manajemen keselamatan.
1. Pendahuluan Perbedaan mendasar dari Keselamatan Kerja yang selama ini banyak diperdalam penerapannya dengan Keselamatan Proses dapat tercermin dari defenisi Manajemen Keselamatan Proses itu sendiri. Manajemen Keselamatan Proses (Process Safety Management - PSM) menurut U.S. OSHA 1993 adalah suatu system pendekatan yang saling berkaitan untuk mengelola bahaya di proses suatu industri dengan tujuan untuk menurunkan tingkat kekerapan (frequency) dan tingkat keparahan (severity) insiden-insiden yang dipicu dari terlepasnya bahan kimia dan sumber energy lainnya. Sistem tersebut merupakan perangkat analitik yang berfokus pada pencegahan terlepasnya suatu bahan kimia berbahaya “highly hazardous chemicals” dari wadah yang semestinya (primary containment). Beberapa system manajemen di ciptakan untuk mengorganisir berupa standard atau petunjuk desain, prosedur operasional, program audit dan metode-metode pencegahan lainnya. Pengalaman di dunia Industri, bencana terlepas dan tersebarnya Methy Isocyante (MIC) di Bhopal, India pada tanggal 3 Desember tahun 1984 merupakan kejadian yang sangat menakutkan dimana ribuan nyawa melayang
48
dengan dampak yang masih tersisa sampai puluhan tahun kemudian. Berselang sekitar setahun setengah kemudian di industri nuklir juga sempat dikejutkan dengan bencana Chernobyl pada tanggal 26 April 1986, namun di era Uni Soviet (USSR) tersebut sedikit sekali informasi yang dapat diperoleh. Dalam perjalanan waktu kemudian industri hilir (downstream) Migas juga tidak kalah menyumbang catatan buruk dunia industri pada tahun 1987, seperti peledakan di BP Grangemouth Hydrocracker tanggal 22 Maret, peledakan depor Shell Port Edouard Herriot, Lyon tanggal 2 Juni dan terlepasnya Hydrogen Fluoride (HF) di Refinery Marathon Oil Texas City, tanggal 30 Oktober, bahkan di industri Hulu (upstream) Migas dengan terjadinya bencana di Laut Utara, terbakarnya platform Piper Alpha pada tanggal 6 Juli tahun 1988(11). Para praktisi keselamatan kerja terlena dengan berfokus pada hal-hal yang hanya berisiko tinggi saja, dimana tinggi tingkat kekerapan dan tinggi tingkat keparahannya. Bencana industri kalau diperhatikan dari tingkat kekerapannyaakan berada pada tingkat yang sangat jarang terjadi, walau bila bencana tersebut terjadi akan sangat mungkin menyebabkan banyak korban (multiple fatality) dengan potensi kerusakan lingkungan (environmental damage) yang berdampak sangat buruk, seperti yang terjadi di teluk Meksiko tanggal 20 April 2010. Di era sekitar tahun sembilan puluhan, Amerika Serikat dan beberapa Negara di Eropa sudah mulai berkolaborasi antara agensi atau assosiasi Keselamatan dengan praktisi Lingkungan, karena keduanya memiliki kepentingan yang sama dalam perlindungan manusia dan lingkungan. Langkah awal yang dilakukan adalah membuat pendekatan sistematis untuk identifikasi bahaya proses, dimana biasanya bersifat laten atau tersembunyi. Ditetapkanlah beberapa peraturan-peraturan, standard-standard, technical codes, recommended practices terkait dengan keselamatan proses. Isi dari aturan aturan tersebut berisi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh industri sebagai bentuk pencegahan atau meminimalisasi konsekuensi atau dampak pelepasan bahan kimia beracun (toxic), reaktif (reactive), mudah terbakar (flammable),atau meledak (explosive), yang dengan pelepasannya dapat menghasilkan bahaya keracunan, kebakaran dan peledakan.
Gambar. 1: Konsep Bow-Tie Diagram – (adopted from CCPS Book)(1) Ilmu Keselamatan Proses mulai difokuskan oleh industri-industri yang menyimpan, memproses dan menyalurkan bahan kimia berbahaya. Bermunculan pengembangan teori-teori keselamatan dan metodologi penilaian risiko, seperti Bow-Tie Analysis, HAZOP-LOPA, Banyak lembaga pelatihan, bahkan sertifikasi memberikan pelatihan-pelatihan bagi para manager, engineer, praktisi K3 sampai ke lini terbawah dari industri.
49
Di Indonesia, sebagian besar industri yang dikatagorikan industri berisiko tinggi sudah banyak yang memenuhi kewajibannya dengan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan bahkan secara sukarela menerapkan beberapa standard internasional terkait Keselamatan Proses. Sampai saat ini Indonesia tidaklah mengalami bencana industri yang cukup signifikan. Hal ini tentu dapat mendatangkan pertanyaan bagi kita, apakah memang Manajemen Keselamatan Proses sudah benar-benar diterapkan dengan baik? Atau sebenarnya masih banyak bahaya laten atau tersembunyi seperti gunung es yang belum teridentifikasi menunggu waktunya muncul ke permukaan dan menjadi bom waktu saja?, yang sewaktu-waktu dapat terjadi konsekuensi yang parah. Latar belakang permasalahan yang diteliti oleh penulis untuk pencapaian cita-cita bahwa Indonesia bebas dari bencana industri diantaranya adalah: 1.1. Sudahkah Indonesia belajar dari pengalaman bencana industri yang terjadi di Negara lain atau bahkan dari insiden-insiden industri di dalam negri yang terjadi / dilaporkan? 1.2. Apakah peraturan-peraturan terkait atau bahkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia sudah secara tidak langsung mengatur tentang manajemen keselamatan proses? 1.3. Apakah industri di Indonesia yang menyimpan, memproses serta menyalurkan bahan kimia berbahaya dan beracun, manajemen dan pekerjanya sudah menyadari akan pentingnya mengimplementasikan Keselamatan Proses? 2. Metode Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah peneilitian kombinasi dokumentasi dan pengalaman lapangan (field experience) yang dalam pengumpulan datanya dilakukan secara langsung dari lokasi penelitian dan studi literatur. Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan implementasi yang merupakan pemaknaan dalam berkonsep dengan melihat kondisi aktual di lapangan dan sistem yang berlaku saat ini. Sehingga akan menghasilkan deskripsi mengenai gambaran situasi yang diteliti serta pemaknaan yang terkandung dalam data hasil pengamatan. Spesifikasi pada penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analisis yaitu penyajian data yang banyak dalam bentuk kata dan bahasa secara holistic pada suatu konteks khusus yang terjadi saat ini dan dengan memanfaatkan berbagai literatur, melakukan analisis secara induktif dengan menggunakan pendekatan implementasi. Jadi penelitian yang dilakukan ini guna menyelidiki kondisi Indonesia saat ini dalam mengelola pencegahan bencana industri (Industrial Catastrophic Incident) berkaitan dengan penerapan manajemen keselamatan proses. 2.1. Objek Penelitian Objek penelitian yang diteliti pada penelitian implementasi deskriptif analisis ini adalah penerapan manajemen keselamatan proses di Perusahaan Migas yang menampung, memproses dan mendistribusikan bahan mudah terbakar dan meledak, serta kebijakan atau peraturan yang berlaku.
50
2.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan sejalan dengan perjalanan penulis menjadi pengajar dan pekerja di salah satu Perusahaan Migas hulu dan hilir, sejak awal tahun 2014 sampai akhir tahun 2015 di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. 2.3. Sumber Data 2.3.1. Sumber Data Primer Data primer penelitian ini adalah kegiatan penerapan manajemen keselamatan proses di Perusahaan Migas hulu dan hilir di Kalimantan Timur. Data diambil dari observasi dan audit internal yang dilakukan peneliti, yang termasuk didalamnya wawancara langsung dengan rekan pelaksana, praktisi K3 dan dinas ketenaga kerjaan setempat. 2.3.2. Sumber Data Sekunder Data sekunder penelitian ini adalah peraturan atau kebijakan yang mengatur penerapan manajemen keselamatan proses dari berbagai Negara dan literatur terkait dengan investigasi bencana industri dan pengelolaan pencegahannya. 2.4. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan pola pikir induktif, yakni peneliti berada langsung di lapangan dengan menjadi pelaksana dan pengamat, yang secara parallel mempelajari manajemen keselamatan proses, menganalisa dengan pendekatan implementasi penerapan yang ada dan membandingkansistem manajemen K3 di Indonesia dibandingkan dengan dari berbagai negara, serta memperkayanya dengan studi literatur terkait penyelidikan bencana industri di berbagai Negara dan industri. 2.4.1. Analisa Faktor Penyebab Sistemik Bencana Industri Dengan menggunakan elemen-elemen systemic factors dari Center for Chemical Process Safety (CCPS), analisa dilakukan terhadap hasil investigasi 15 bencana industri (catastrophic / major incidents) yang terjadi sejak tahun 1984 sampai 2010. 2.4.2. Perbandingan penerapan Manajemen Keselamatan Proses di Industri. Membandingkan standard-standard dan peraturan-peraturan Negara lain, dalam hal ini U.S. OSHA dan CCPS terhadap peraturan-peraturan di Indonesia yang terkait dengan Keselamatan Proses. 2.4.3. Observasi Kepatuhan Kebijakan Manajemen Keselamatan Proses. Mempelajari implementasi penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Proses dilakukan penulis sejak awal tahun 2014 sampai akhir tahun 2015 di salah satu Perusahaan Migas di Indonesia, tepatnya di Lepas pantai, stasiun pengumpul dan fasilitas produksi LPG di Kalimantan Timur. Observasi dilakukan pada hasil audit korporasi di tahun 2015 dengan referensi protokol OSHA & CCPS. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Bencana Industri dan Faktor Penyebab Sistemik Dari 15 bencana industri yang pernah terjadi terdapat 5 hal penting (Top Five) sebagai faktor penyebabsistemnya, diantaranya adalah; (1) Identifikasi bahaya dan penilaian risiko, (2) Kesiapan tanggap darurat (3) Manajemen Perubahan di fasilitas produksi dan operasi (4) Pelatihan kompetensi keselamatan proses, dan (5) Asset Integrity and Reliability.
51
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Process Safety… Compliance with… Process Safety… Workforce… Stakeholder … Process… Hazard… Operating … Safe Work… Asset Integrity … Contractor … Training & … Management of … Operational … Conduct of … Emergency… Incident…
%
Grafik.1: 15 Major Incidents vs. Systemic Contributing Factors(11,12,15) 3.1.2. Penerapan Manajemen Keselamatan Proses U.S. OSHA 1910.119 dan U.K. COMAH Seveso II Directive Mempersyaratan untuk pencegahan atau meminimalisasi konsekuensi dari pelepasan luas dari bahan kimia beracun, reaktif, mudah terbakar dan mudah meledak, dimana dapat mengkasilkan bahaya-bahaya keracunan, kebakaran dan peledakan, menjadi beberapa elemen tersendiri.Ruang lingkupnya bagi suatu proses yang menyimpan, menggunakan dan menyalurkan bahan kimia berbahaya pada atau lebih dari jumlah ambang batasnya (daftar bahan kimia dan NAB nya tersedia) gas yang mudah terbakar (Kategori 1 dalam daftar) atau cairan mudah terbakar dengan titik nyala (flashpoint) dibawah 100 °F (37.8 °C) di satu lokasi, dengan kuwantitas 10,000 pounds (4535.9 kg) atau lebih, kecuali; untuk bahan bakar yang diatur tersendiri, cairan mudah terbakar dengan titik nyala (flashpoint) dibawah 100 °F (37.8 °C) yang disimpan dalam atmospheric tanks atau ditransfer dengan mempertahankan titik didih normalnya tanpa proses pendinginan. Tidak berlaku untuk: Fasilitas Retail, Sumur Pengeboran Migas atau Operasi supportnya, atau fasilitas terpencil yang normal operasinya tidak ditinggali manusia. Pengukuran performa kinerja menggunakan Tier-1 dan Tier-2 sebagai Indikator hasil (lagging indicator) dan Tier-3 dan Tier-4 sebagai Indikator usaha (leading indicator). Di Indonesia dengan 166 Kriteria SMK3 bagi Perusahaan Berisiko Tinggi:Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Namun belum secara detail memiliki pedoman dalam mengelola Keselamatan Proses, masih bersifat umum.
52
Tabel 1. Perbandingan Elemen Manajemen Keselamatan Proses RBPS of CCPS Element I. Commit to Process Safety Process Safety Culture Compliance with Standards Process Safety Competency Workforce Involvement Stakeholder Outreach II. Understanding Hazards and Risk Process Knowledge Management Hazard Identification and Risk Analysis III. Manage Risk Operating Procedures Safe Work Practices Asset Integrity and Reliability Contractor Management Training and Performance Assurance Management of Change Operational Readiness Conduct of Operations Emergency Management Incident Investigation Measurement and Metrics Auditing Management Review &Continuous Improvement
OSHA Element
SMK3 element & Sub-element Elemen 1 - 5
Process Safety Information Employee Participation
Process Safety Information Process Hazard Analysis
Elemen 2 Elemen 6
Operating Procedures Operating Procedures Hot Work Permits Mechanical Integrity Contractors Training Management of Change Pre-startup Safety Review
Sub elemen 6.1 Sub elemen 6.1 Sub elemen 6.1 Sub elemen 6.6 Elemen 12 Sub elemen 6.5
Emergency Planning & Response Incident Investigation
Sub elemen 6.7 Elemen 8
Compliance Audits
Elemen 11
3.1.3. Implementasi Manajemen Keselamatan Proses di Industri Migas. Semua elemen-elemen CCPS sudah diterapkan oleh Industri Migas yang di observasi oleh penulis. Internal Audit dilakukan setiap tahunnya untuk menghadapi tiga tahunan audit Prosess Safety Management dari Korporasi nya. Secara umum hasil Audit Manajemen Keselamatan Proses tahun 2015 adalah “Memuaskan”.
Grafik-2 Hasil Audit Process Safety Management tahun 2015. (18)
53
3.2. Pembahasan 1. Teridentifikasi bahwa terdapat 3 hal utama yang banyak berkontribusi sebagai penyebab sistemik atau dilanggar oleh industri berisiko tinggi, diantaranya adalah: a. Kurangnya komitmen manajemen untuk peningkatan kompetensi pekerja terkait keselamatan Proses, serta kajian manajemen untuk peningkatan berkelanjutan sistem manajemen keselamatan proses terkait integritas asset nya. b. Kurangnya pemahaman pekerja dalam mengidentifikasi bahaya tersembunyi (latent hazard) dan menganalisa risiko proses (process risk), sehingga preventive safeguard dan protective safeguard terutama pada perubahaan yang dilakukan dalam siklus produksi. (MOC) belum mendapatkan perhatian lebih. c. Manajemen Kondisi Darurat danbelajar dari Investigasi insiden merupakan dua element yang masih terdapat ruang untuk peningkatan (room for improvement) 2. Masih terdapat perbedaan presepsi terhadap apa yang dimaksud dengan Perusahaan berisiko tinggi dan kriteria audit SMK3, serta belum secara spesifik menilai implementasi dari Manajemen Keselamatan Proses. 3. Perusahaan Migas sudah melaksanakan penerapan Manajemen Keselamatan Proses dengan acuan dari peraturan atau standard internasional dan atau multinasional korporasinya. Keterlibatan banyak pihak sangatlah di perlukan untuk memastikan bahwa pencegahan dan proteksi (preventive and mitigative safeguards) sudah tersedia atau terpasang, serta dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Mulai dari Pemerintah, Manajemen dan Pekerja di Industi terkait, Pendidik dan Praktisi Keselamatan Kerja, perlu saling bahu membahu menjadikan Indonesia yang aman, selamat dan sehat dari potensi dampak buruk kemungkinan bencana industri yang bisa terjadi. 4. Kesimpulan dan Saran Indonesia belum belajar banyak dari pengalaman buruk bencana industri yang pernah terjadi. Kita belum memiliki ketetapan atau aturan yang secara spesifik mewajibkan bagi perusahaan yang menyimpan, memproses dan mendistribusikan bahan kimia berbahaya dan beracun untuk menerapkan Manajemen Keselamatan Proses. Masih sulit mendapatkan informasi terkait bencana industri yang terjadi di Indonesia dengan minimnya informasi hasil investigasi yang disebar luaskan. Banyak Perusahaan Migas di Indonesia yang sudah menerapkan Manajemen Keselamatan Proses dengan acuan dari peraturan Negara lain atau Multinasional Korporasinya. Hal ini dikarenakan juga Kita belum memiliki aturan khusus mengenai Manajemen Keselamatan Proses. Saran ditujukan pada yang berwenang membuat kebijakan K3, Pendidik dan Praktisi K3 di industri untuk dapat saling bahu membahu membuat aturan spesifik tentang Management Keselamatan Proses yang terintegrasi dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang berlaku.Dengan memanfaatkan banyaknya assosiasi atau perhimpunan profesi K3 untuk memiliki
54
semacam Industrial Safety Committee Board yang dapat membantu inspektur / pengawas ketenagakerjaan dalam investigasi bencana industri yang terjadi dan memberi masukkan kepada pihak yang berwenang dalam pemutakhiran peraturanperaturan terkait pencegahan cedera serius atau kematian dan bencana industri di Indonesia. Daftar Pustaka: OSHA: Process Safety Management of Highly Hazardous Chemical (29 CFR 1910.119), U.S.,1992 Environmental Protection Agency; Risk Management Program rule (40 CFR 68), U.S, 1996. European Commission; Seveso I Directive, 1982 and Seveso II Directive, 1997. Health and Safety Executive COMAH regulations – The control of Major Accident Hazards Regulations, United Kingdom, 1999. OHS Act 1985 (Major Hazard Facilities) Regulation 1999 (SR 1999), National Standard for the Control of Major Hazard Facilities [NOHSC 1014(1996)], Australian Korean OSHA PSM Standard, Industrial Safety and Health Act. – Article 20, Preparation of Safety and Health Management Regulations, Korean Ministry of Environment – Framework Plan on Hazardous Chemical Management, Republic of Korea, 2001 – 2005. ANG Oil & Gas Industry accident prevention regulation, Brazil American Petroleum Institute API RP 750 Department of Occupational Safety and Health, Ministry of Human Resources Section 16 of Act 514, Malaysia. Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 dan Permenaker No 5 Tahun 1996 John Atherton and Frederic Gil; “Incidents That Define Process Safety”, BP plc Process Safety Community of Practice, CCPS - Wiley Publication, 2008. Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Risk Based Process Safety” Wiley Publication, 2007. Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Process Hazard Evaluation Procedures” Third Edition, Wiley Publication, 2008. Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Engineering Design for Process Safety” Second Edition, Wiley Publication, 2012. Andrew Hopskins; Disastrous Decisions “The Human and Organizational Causes of the Gulf of Mexico Blowout”, First published CCH Australia limited, 2012. Trevor A Kletz.; “What Went Wrong? Case Histories of Process Plant Disasters”, Gulf Publishing Company, 1985 “Managing Process Safety within Chevron” Last Edition Handbook, ETC Houston, TX, 2014. Operational Excellent Audit Final Report, Chevron Corporate Health, Environment and Safety Operational Excellence Assurance Group, Nov, 2015
55
Peran Contractor Safety Management System (CSMS) Dalam Meminimalkan Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Pembangunan Waduk Teritip Kota Balikpapan Erwin Ananta Program Studi Diploma IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Balikpapan Kampus: Jalan Pupuk Raya, Kel. Gunung Bahagia, Balikpapan 76114 HP: 081350608600, E-Mail:
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan waduk Teritip Balikpapan dirancang merupakan waduk terbesar di Kota Balikpapan dengan menelan dana sebesar 2,4 trilyun rupiah yang sumber dananya diambil dari APBN dalam tahun jamak (multi years). Pembangunannya dimulai sejak 11 Februari 2014 dan dikerjakan oleh BUMN PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan berlangsung hingga penelitian ini dilakukan. Proyek yang ground beaking dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum ini dirancang bangun untuk mengatasi kekurangan air yang kerap kali menimpa Kota Balikpapan pada musim kemarau dihampir setiap tahunnya. Proyek bernilai trilyunan rupiah itu, sudah barang tentu membutuhkan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang baik pula untuk memastikan pekerja-pekerja yang terlibat dalam proyek ini bekerja dengan aman dan selamat. Contractor Safety Management System (CSMS) merupakan salah satu sistem manajemen dalam mengelola aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam bidang konstruksi dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya risiko kecelakaan kerja yang terjadi dalam setiap kegiatan proyek konstruksi. CSMS apabila tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menimbulkan rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di lingkungan kerja. Jangka panjangnya, akan menimbulkan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, serta kerugian-kerugian lainnya seperti kerusakan lingkungan, kerusakan alat peralatan, produktivitas menurun, dan bahkan dapat merusak nama baik perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan melalui pengamatan (observasi) terhadap suatu sistem manajemen, dengan memberikan gambaran melalui implementative description terhadap penerapan CSMS yang dilaksanakan oleh kontraktor proyek ini, dimana tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran CSMS yang telah dilakukan dengan membandingkan dengan tata kelola K3 proyek yang baik. Kata kunci: Contractor Safety Management System (CSMS), Manajemen K3.
1. Pendahuluan Balikpapan adalah kota yang terletak di pesisir pantai di Provinsi Kalimantan Timur. Setiap kali kemarau melanda, defisit air bersih kerap kali mengancam hampir setiap tahunnya. Penyebabnya adalah air bersih yang digunakan untuk kebutuhan warga kota berasal dari air baku yang diolah menjadi air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagian besar mengandalkan air tadah hujan yang tertampung di Waduk Manggar, Balikpapan Utara. Selama enam bulan ketika tidak turun hujan, Waduk Manggar mampu mencukupi kebutuhan air bersih warga, namun apabila kemarau melanda dan tidak ada turun hujan dengan intensitas cukup di atas waduk lebih dari enam bulan, maka terjadilah defisit air bersih. Kelurahan Teritip yang terletak di Balikpapan Timur dipilih sebagai lokasi
56
yang digunakan untuk menjadi waduk tadah hujan kedua untuk menambah daya tampung air baku. Waduk ini direncanakan menjadi waduk terbesar di kota Balikpapan mengalahkan waduk sebelumnya, yakni Waduk Manggar, juga digunakan sebagai pengendali banjir. Meski demikian air yang digunakan sebagai sumber bahan baku masih sama persis, yakni air hujan yang ditampung. Artinya, ketika kemarau panjang melanda, maka tidak tertutup kemungkinan kedua waduk ini bisa menjadi kering. Tapi setidaknya dengan adanya penambahan Waduk Teritip, akan mampu memperpanjang usia pelayanan air bersih dari PDAM ketika hujan tak kunjung turun. Proyek Pembangunan Waduk Teritip ini sendiri menggunakan sistem pendanaan tahun jamak (multiyears system) dengan menelan biaya anggaran APBN murni sebesar Rp2,4 trilyun. Proyek pembangunan waduk yang ditinjau Presiden Joko Widodo bulan Maret 2016 ini yang menelan biaya trilyunan rupiah, maka sudah barang tentu membutuhkan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang baik, dengan menerapkan manajemen K3 yang baik maka dipastikan bahwa pekerjapekerja yang terlibat dalam proGambar 1: Progres Proyek Pembangunan yek ini bekerja dengan aman Waduk Teritip (Maret 2016) dan selamat. Salah satu pendekatan keselamatan dan kesehatan kerja yang cocok untuk diterapkan dalam bidang konstruksi sipil adalah Contractor Safety Management System (CSMS). CSMC merupakan salah satu sistem manajemen dalam mengelola aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam bidang konstruksi dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya risiko kecelakaan kerja yang terjadi dalam setiap kegiatan proyek konstruksi. CSMS apabila tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menimbulkan rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di lingkungan kerja. Jangka panjangnya, akan menimbulkan kecelakaan kerja, kerusakan alat peralatan, produktivitas menurun, dan bahkan dapat merusak nama baik perusahaan. Di samping itu akibat CSMS tidak diterapkan dengan baik, maka perlu dilakukan perbaikan kembali terhadap sistem manajemen K3 yang tengah berlangsung. 2. Metode Penelitian 2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada proyek pembangunan waduk dan bendungan Teritip, kelurahan Teritip, kecamatan Balikpapan timur, kota Balikpapan. Lokasi ini dipilih karena masih dalam kawasan kota Balikpapan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Mengingat proyek ini menelan biaya yang cukup besar dimana saat ground breaking dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum pada Jumat, 11 April 2014 dan kontraktor utama yang mengerjakan proyek ini adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk, yang merupakan perusahaan
57
BUMN dengan menggunakan beberapa sub-kontraktor, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3), khususnya CSMS dalam proyek ini. 2.2 Metodologi Rangkaian kegiatan penelitian ini disusun berdasarkan kegiatan-kegiatan yang akan digunakan meliputi pendekatan penelitian; lokasi dan waktu penelitian; teknik pengumpulan data penelitian; dan pemeriksaan keabsahan (validitas) data yang diterima dan dikumpulkan dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan melalui pengamatan (observasi) terhadap suatu sistem manajemen, dengan memberikan gambaran melalui implementative description terhadap penerapan CSMS yang dilaksanakan oleh kontraktor utama, dimana tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran CSMS yang telah dilakukan dengan membandingkan dengan tata kelola K3 proyek yang baik. Secara prinsip metodologi dalam penelitian ini adalah bagaimana menjawab pertanyaan penelitian yang meliputi metode yang dipergunakan, prinsip dasar dari metode penelitian yang digunakan, prosedur kerja dilakukan, asumsi-asumsi yang mendasari penelitian, instrumen penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, dan alasan substantif yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Teknik dan instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui teknik wawancara mendalam (in depth interviewing), dimana teknik ini diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap narasumber secara langsung. Kegiatan wawancara dilakukan untuk menyempurnakan data yang diperoleh melalui pengamatan (observasi) yaitu berkaitan dengan masalah implementasi CSMS. Reduksi data digunakan untuk memudahkan pemahaman terhadap data yang dihasilkan, dan dilakukan sejak awal dalam langkah analisis data. Teknik reduksi data ini dilakukan dengan membuat rangkuman terhadap pokok-pokok masalah yang ada dalam penelitian. Dilakukan secara sistematis dengan mengesampingkan data yang tidak valid atau data yang tidak diperlukan. Tahapan reduksi data ini dimulai dengan melakukan telaah secara menyeluruh atas hasil data yang diperoleh dari berbagai sumber, berbagai pengamatan, wawancara, dan studi lainnya termasuk studi dokumentasi. Reduksi data juga dilakukan untuk menyeleksi dan menyortir data secara menyeluruh, melakukan penyederhanaan atas data yang diperoleh, kompaksi data dari data mentah (row datum) menjadi data siap olah. Tahapan akhir dari implementative decription adalah penarikan kesimpulan atas data yang telah diperoleh melalui rangkaian analisis sebelumnya dengan terlebih dahulu dilakukan verifikasi atas data tersebut. Penarikan kesimpulan ini dimaksudkan untuk memberikan simpulan akhir terhadap data yang diperoleh dalam bentuk pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan merujuk pada aspek-aspek yang telah diteliti. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Peran CSMS Bidang Konstruksi CSMS merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh korporasi bidang konstruksi yang menjadi bagian secara keseluruhan dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). Seluruh kegiatan mengenai keselamatan dan kesehatan bagi industri, pekerja dan lingkungan diatur dalam suatu rangkaian yang saling terkait.
58
Gambar 2: Posisi CSMS dalam hubungan aktivitas proyek
Gambar 3. Struktur Organisasi Proyek Konstruksi Kontraktor merupakan unsur penting dalam industri konstruksi sebagai bagian yang membantu kegiatan operasional terciptanya kerja yang aman. Kontraktor rawan terhadap kecelakaan dalam menjalankan kegiatan proyek, hal ini disebabkan oleh: (a) tenaga kerja yang dilibatkan oleh kontraktor umumnya bersifat sementara; (b) pekerja-pekerja yang terlibat di lapangan mayoritas adalah pekerja kasar dengan pendidikan relatif rendah; (c) tingkat disiplin terhadap K3 kurang; (d) pemahaman tentang peraturan K3 perusahaan rendah; dan (e) terlibat langsung dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga lebih banyak terpapar bahaya. Kontraktor utama dalam melaksanakan kegiatan proyek konstruksi wajib menekankan pentingnya K3 kepada sub-sub kontraktor yang berada dibawahnya, karena kecelakaan yang menimpa sub-kontraktor tinggi. Kelalaian yang dilakukan oleh sub-kontraktor dapat menimbulkan bahaya dan mempengaruhi kinerja operasional kontraktor utama. Kegiatan sub-kontraktor harus dikelola dengan baik untuk menjamin keselamatan dalam setiap kegiatan proyek konstruksi. Untuk itulah dibutuhkan Contractor Safety Management System dalam pengelolaannya.
59
CSMS sedikit berbeda dengan SMK3 PP 50/2012 pada umumnya, karena pada pekerjaan konstruksi dengan sistem kontrak kerja terdapat batasan waktu, sehingga perlu ada proses berupa tahapan mulai dari pemilihan kontraktor dan subkontraktor sampai dengan berakhirnya pekerjaan sesuai kontrak. Posisi dan peran CSMS dalam hubungannya dengan aktivitas proyek ini dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2. CSMS dalam hal ini, merupakan sistem manajemen untuk mengelola para kontraktor dan sub-sub kontraktor yang bekerja di lingkungan korporasinya. Fungsi dibutuhkan adanya CSMS diantaranya adalah untuk: (a) meningkatkan kinerja K3 di tempat kerja dengan membantu kontraktor dan sub-kontraktor dalam administrasi yang efektif; (b) membantu kontraktor dalam mengelola program K3 sesuai tujuan dan target yang ditetapkan; (c) memfasilitasi kontraktor utama dengan pemilik proyek, dan kontraktor utama dengan para sub-kontraktor dalam kaitannya dengan pekerjaan, seperti terlihat pada struktur organisasi proyek konstruksi Gambar 3. 3.2 Analisis Lapangan Dari hasil observasi di lapangan, pengumpulan data, dan wawancara kepada narasumber didapatkan bahwa proyek pembangunan Waduk Teritip ini dikerjakan dengan kerjasama antara PT Waskita Karya (Persero) Tbk selaku kontraktor utama dengan PT Mettana joint operation dengan PT Teknika Cipta, dengan melibatkan empat sub-kontraktor lokal Balikpapan. Dalam pemilihan sub-kontraktor yang dilibatkan dalam proyek pembangunan pekerjaan sipil tubuh bendungan, pihak PT Waskita Karya (Persero) Tbk menerapkan CSMS melalui beberapa tahapan. PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang telah memiliki sertifikasi ISO 9001 Quality Management, ISO 14001 Environmental Management, OHSAS 18001 Occupational Health and Safety, juga sertifikasi SMK3 PP 50/2010, dalam memilihan sub-kontraktor yang dilibatkan pada proyek ini, menggunakan kebijakan dalam dua tahap utama CSMS, yakni (a) tahap administrasi; dan (b) tahap implementasi. 3.3 Penerapan CSMS Kebijakan kontraktor utama terhadap CSMS seperti diuraikan diatas terdiri dari dua tahap yaitu administrasi dan implementasi. Dalam tahap administrasi, dilakukan analisis terhadap tahapan penilaian risiko kerja (risk assessment), Prakualifikasi sub-kontraktor dan seleksi sub-kontraktor. Pada tahap implementasi terdapat tahapan prelimineary activities, on-going project activities, dan over all evaluation. Tahapan ini dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahapan risk assessment bertujuan untuk: (a) mengetahui tingkat risiko suatu pekerjaan yang akan diserahkan kepada sub-kontraktor; (b) menyesuaikan potensi bahaya dengan kemampuan sub-kontraktor dalam menjalankan pekerjaan dengan aman; dan (c) sebagai dasar menentukan kriteria sub-kontraktor yang sesuai melaksanakan pekerjaan. Sub-kontraktor dalam pekerjaannya diklasifikasikan menurut tingkat risiko bahaya yang mungkin terpapar. Tingkat risiko dibagi tiga, yakni (a) Risiko Tinggi (High risk) dengan nilai minimum 80; (b) Risiko Sedang (Medium risk) dengan nilai minimum 70; dan (c) Risiko Rendah (Low risk) dengan nilai minimum 60.
60
Pada tahapan pa-kualifikasi, dilakukan penyeleksian awal terhadap sub-kontraktor yang memenuhi persyaratan K3 dalam melakukan pekerjaan. Pra-kualifikasi ini juga untuk mengevaluasi dokumen yang diserahkan oleh sub-kontraktor kepada kontraktor utama tentang persyaratan administratif, pengalaman dalam K3, organisasi K3, petugas-petugas K3 yang dimiliki, rekam jejak K3 di proyek sebelumnya, manual-manual K3 yang dimiliki, serta referensi dan sertfikasi yang diperoleh. Tahapan seleksi bertujuan untuk menentukan sub-kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan proses penunjukan atau proses pelelangan, baik secara terbuka ataupun tertutup, berdasarkan kinerja K3 yang baik, penawaran biaya yang rasional baik secara teknikal maupun ekonomis, juga sebagai salah satu unsur dalam menentukan pemenang lelang dari beberapa sub-kontraktor yang mengikuti pelalangan sesuai Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada tahap implementasi, prelimineary activities dilaksanakan setelah pemenang/pelaksana proyek telah ditetapkan. Kegiatan awal sebagai persiapan sebelum proyek dijalankan meliputi antara lain: (a) pertemuan pendahuluan membahas rencana kerja; (b) menentukan strategi pelaksanaan pekerjaan lapangan; (c) menentukan persyaratan perizinan yan diperlukan (d) menentukan persyaratan tenaga kerja yang diperlukan; (e) menentukan sistem supervisi selama pekerjaan berlangsung; dan (f) memberikan kesempatan kepada sub-kontraktor untuk mengenal lebih lanjut lokasi dan aktivitas yang akan dikerjakan. Tahapan on-going project activities meliputi implementasi program K3 yang telah disusun sebelumnya pada saat kegiatan kerja berlangsung. Sub-kontraktor melakukan upaya pencegahan kecelakaan dalam setiap langkah kegiatannya sesuai dengan sifat dan jenis bahaya yang ada, dan program K3 yang dijalankan disesuaikan dengan skala pekerjaan, tingkat risiko dan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Over all evaluation merupakan tahapan dimana dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap hasil kerja K3, CSMS dievaluasi secara berkala, khususnya setelah suatu pekerjaan kontrak selesai dan dilakukan penyerahan pekerjaan dari sub-kontraktor kepada kontraktor utama. Hasil evaluasi digunakan untuk menilai kinerja sub-kontraktor, dan digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan program CSMS berikutnya. Dalam tahapan ini pula dibentuk tim evaluasi yang melibatkan semua unsur terkait dalam.
61
Pada saat penelitian ini berlangsung, tahap administrasi sudah selesai dilaksanakan, sehingga Peneliti hanya bisa melakukan pengamatan dan wawancara mendalam pada tahap implementasi CSMS. Implementasi yang telah dilakukan secara administratif sudah menunjukkan adanya upaya yang baik terhadap penerapan keselamatan dan kesehatan kerja proyek. PT Waskita Karya (Persero) Tbk sejauh ini telah melakukan upaya membudayakan K3 dengan baik. Adanya komitmen dari pihak manajemen untuk mengutamakan K3 dalam setiap kegiatan proyek sudah menunjukkan itikad korporasi dalam menjunjung tinggi K3, namun implementasi di tingkat lapangan masih perlu dibenahi. Diperlukan adanya ketegasan dan keseriusan oleh semua pihak dalam menjalankan program-program K3 di lapangan. 4. Kesimpulan Peran CSMS dalam kegiatan pelaksanaan proyek konstruksi sangat penting untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan kerja terhadap pekerja konstruksi di lapangan yang terpapar secara langsung atas kegiatan yang dilakukan. Mengingat sebagian besar pekerja merupakan pekerja kasar dengan taraf pendidikan yang rendah serta pemahaman K3 yang masih kurang, maka perlu secara terus-menerus disadarkan akan pentingnya K3 melalui beragam program K3 atau kampanye K3. Sejauh penelitian ini dilakukan, tahap implementasi CSMS kepada sub-kontraktor yang mengacu pada pedoman tata kerja organisasi PT Wakita Karya (Persero) Tbk telah cukup baik, adanya komitmen manajemen terhadap K3 sudah menggambarkan upaya serius yang dilakukan korporasi, namun implementasi di tingkat lapangan terdapat beberapa hambatan yang membuat penerapan rencana K3 dalam CSMS tidak bisa diterapkan sepenuhnya, hal ini disebabkan masih belum adanya ketegasan, konsistensi, dan keseriusan dalam menerapkan rencana K3. Kurangnya kesadaran dan budaya K3 yang rendah menjadi penghambat dalam penerapan CSMS di lapangan. Daftar Pustaka Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Pemerintah RI No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 09/Per/M/2008 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Berita Waskita. 2014. Waskita Karya Mulai Kerjakan Bendungan Teritip, Balikpapan. Jakarta: Internal buletin. DuPont. 2016. Contractor Safety Management Consulting. http://www.dupont .com. Geigle. 2015. Developing a Construction Safety Management System. Oregon: OHSA Academy. Ramli, Soehatman. 2008. Contractor Safety Management System. https:// hsek3llmigas.googlecode.com Wendt, Noel and Newman, Peter. 2001. Contractor Safety Management: WHO Manages WHO: A Contractor's Perspective. Queensland: Roche Mining.
62
Waskita Karya (Persero) Tbk, PT. 2014. Kebijakan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Lingkungan dan Mutu (RK3LM) Proyek Pembangunan Lanjutan Bendungan Teritip Kota Balikpapan. Kontrak No. HK.02.03/SNVT.PJ SA.K.III/PKDSA/23/II/2014 tanggal 18 Februari 2014.
63
Program Induksi Terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT Supraco Indonesia (Studi Kasus: Barge Pioneer Blok Mahakam Kutai Kartanegara) James Evert Adolf Liku, Zulkifli Pusat Kajian K3, Universitas Balikpapan Jalan Pupuk Raya, Balikpapan 76114 Kalimantan Timur E-Mail:
[email protected], E-Mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan gambaran mengenai manfaat dilakukannya Induksi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja yang ada di PT. Supraco Indonesia.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan jumlah responden 30 orang dengan sampel purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, pertimbangan yang digunakan untuk menentukan sampel dalam penelitian ini yaitu karyawan baru yang masuk diarea kerja PT. Supraco Indonesia, hal ini dilakukan karena jumlah karyawan baru yang masuk tidak tentu atau tidak dapat diperkirakan. Data dikumpulkan dengan metode angket dengan skala likert dan dokumentasi. Uji kualitas data menggunakan Uji-Chi Square. Dari hasil penilaian rata-rata dalam persentase terhadap jawaban responden yang diterima atas pertanyaan mengenai efektifitas induksi yang berkaitan tentang penyampaian induksi dan juga pokok materi yang disampaikan pada saat induksi yang skor penilaiannya dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden mempunyai jawaban positif tentang induksi yang diberikan, dilihat dari kemampuan menjawab responden 71% dari 15 kuisioner yang diberikan. Disarankan dengan diketahuinya bahwa variabel penyampaian induksi dan variabel pokok materi yang disampaikan pada saat induksi mempunyai hubungan yang signifikan maka perusahaan harus lebih memperhatikan setiap kekurangan dalam langkah proses induksi beserta prosedurnya. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memasukkan teori-teori lainnya sehingga hal ini dapat menambah referensi bagi PT. Supraco Indonesia dan selain itu untuk menambah ilmu pengetahuan secara umum. Kata kunci: kecelakaan kerja, pencegahan, penerapan dan sistem manajemen keselamatan kerja
1. Pendahuluan Situasi dan kondisi kerja pada lokasi kerja mempunyai kekhususan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan terhadap setiap orang yang masuk ke lokasi tersebut terutama karyawan baru, karyawan pindahan dan tamu/visitor. Agar keseragaman pelaksanaan disetiap tempat kerja tercapai maka induksi keselamatan dan kesehatan kerja harus distandarkan.Induksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah pengenalan dasar-dasar keselamatan dan kesehatan kerja khususnya kepada karyawan baru, karyawan pindahan dan tamu. Selain memberikan pemahaman tentang keselamatan kerja dan juga untuk memberikan informasi tentang kondisi dalam area kerja. PT. Supraco Indonesia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa kontraktor khususnya Constructions/Civil. Perusahaan ini termasuk perusahaan yang kompeten dalam persaingan di bidang jasa proyek
64
kontruksi.Dalam kegiatan operasional perusahaan tentunya mempunyai berbagai potensi bahaya pekerjaan yang menyangkut keselamatan dan kesehatan pekerja dan hal ini sangat berpengaruh dalam kegiatan perusahaan untuk mencapai targetnya. Pada Juni 2014 pernah terjadi satu accident di area kerja PT. Supraco khususnya di Barge Pioneer, korban pada waktu itu adalah karyawan baru dengan posisi sebagai Fuel-man, kronologisnya adalah pada waktu korban mengambil sebuah kertas dokumen di lantai atas dan setelah selesai hendak menuruni tangga tiba-tiba korban terpeleset jatuh dan langsung dilarikan di klinik Barge Pioneer. Atas latar belakang tersebut penulis ingin mengetahui dan mempelajari apakah induksi keselamatan kerja dapat mempengaruhi atau bermanfaat bagi personal yang diinduksi yang ada di PT. Supraco Indonesia.Adapun rumusan masalah dalam penulisan tugas akhir ini yaitu: “Apakah induksi keselamatan dan kesehatan kerja dapat meningkatkan pengetahuan karyawan baru untuk mencegah kecelakaan yang ada di area kerja PT. Supraco Indonesia di Barge Pioneer”. 2. Metode Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metodologi deskriptif kuantitatif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu penerapan secara objektif yang menurut Sugiyono (2012). 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitianinidilaksanakan di PT. Supraco Indonesia khususnya dalam area Barge Pioneer ( North Processing Unit, Delta Mahakam, Anggana Kutai Karta Negara ). Penelitian ini dilakukan pada periode Mei 2015 - Agustus 2015. 2.2 Metode Analisis Data Dasar pengambilan keputusan dalam uji chi square dapat dilakukan dengan melihat nilai output “Chi Square Test” hasil olah data dengan SPSS. Dalam pengambilan keputusan kita dapat berpedoman pada dua hal, yakni membandingkan nilai Asymp. Sig dengan batas kritis yakni 0,05 atau dapat dengan chi square tabel. 1. Melihat nilai Asymp. Sig: a. Jika nilai Asymp. Sig < 0,05 , maka terdapat hubungan yang signifikan antara Penyampaian Induksi dengan Materi Induksi b. Jika nilai Asymp. Sig > 0,05, maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Penyampaian Induksi dengan Materi Induksi 2. Melihat nilai chi square: a. Jika nilai Chi square hitung > Chi square tabel, maka terdapat hubungan antara Penyampaian Induksi dengan Pokok Materi Induksi b. Jika nilai Chi square hitung < Chi square tabel, maka tidak terdapat hubungan antara Penyampaian Induksi dengan Pokok Materi Induksi. Pengujian terhadap keterkaitan antara dua buah variabel hasil perhitungan (Count Data), sehingga dasar pengujian yang digunakan adalah selisih nilai proporsi dari nilai observasi dengan nilai harapan dan juga untuk menguji hubungan atau pengaruh dua variabel nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel nominal lainnya (C=Coefesien of contingency).
65
3. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 3.1 Hasil Penelitian 3.1.1 Faktor Intrinsik Penyampaian Induksi (X1) Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan teknik penyampaian induksi sebanyak 5 responden (17%), baik 19 responden (63%), tidak baik 6 responden (20%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). a. Alat Bantu Induksi Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan alat bantu penyampaian induksi sebanyak 0 responden (0%), baik 5 responden (17%), tidak baik 19 responden (63%) dan sangat tidak baik 6 responden (20%). b. Buku Panduan Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan buku panduan yg diberikan setelah induksi sebanyak 6 responden (20%), baik 19 responden (63%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). c. Buku Induksi Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan buku induksi sebanyak 11 responden (37%), baik 19 responden (63%), tidak baik 0 responden (0%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). d. Ruang Induksi Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tempat/ruang induksi sebanyak 4 responden (13%), baik 8 responden (27%), tidak baik 18 responden (60%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). 3.1.2 Faktor Ekstrinsik Pokok Materi Induksi (X2) a. Kebijakan Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kebijakan yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 12 responden (40%), baik 11 responden (37%), tidak baik 7 responden (23%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). b. Target (HSE Program) Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan target yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 11 responden (37%), baik 14 responden (46%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). c. Prosedur Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan prosedur yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 4 responden (14%), baik 14 responden (46%), tidak baik 12 responden (40%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). d. Tanggung Jawab Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tanggung jawab yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 8 responden (27%), baik 14 responden (46%), tidak baik 8 responden (27%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). e. Kondisi gawat darurat Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kondisi gawat darurat yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 12 responden (40%), baik 13
66
responden (43%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). 3.1.3 Pemahaman Induksi (Y) a. Patuh kepada kebijakan yang ada Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kepatuhan kepada kebijakan yang ada sebanyak 6 responden (20%), baik 24 responden (80%), tidak baik 0 responden (0%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). b. Bekerja sesuai dengan prosedur Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kesesuaian antara cara kerja dengan prosedur sebanyak 5 responden (17%), baik 13 responden (43%), tidak baik 11 responden (37%) dan sangat tidak baik 1 responden (3%). c. Aktif dalam pemenuhan HSE Program Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan keaktifan dalam pemenuhan HSE Program sebanyak 1 responden (3%), baik 11 responden (36%), tidak baik 13 responden (43%) dan sangat tidak baik 6 responden (18%). d. Safe Action Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tindakan yang aman saat bekerja sebanyak 4 responden (13%), baik 18 responden (60%), tidak baik 8 responden (27%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). e. Produktivitas kerja Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan produktivitas kerja sebanyak 12 responden (40%), baik 17 responden (57%), tidak baik 1 responden (3%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%). 3.2 Pembahasan 3.2.1 Uji Kualitas Data Berdasarkan dari hasil out put SPSS maka hasil dari pengujian tersebut adalah: a. Case Processing Summary Terdapat 30 data yang semuanya diproses (tidak ada data yang missing atau hilang), sehingga tingkat ke validannya 100%. b. Penyampaian Induksi dan Materi Induksi Terlihat table silang yang memuat hubungan antara variable Penyampaian Induksi dan Pokok Materi yang disampaikan pada saat induksi. c. Chi Square Tests Pada bagian pearson chi square terlihat nilai Asymp. Sig sebesar 0,04. Karena nilai Asymp. Sig 0,04 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, yang artinya “Terdapat hubungan yang signifikan antara Penyampaian Induksi dengan Pokok materi induksi yang disampaikan”. Hal ini dapat diartikan bahwa penyampaian induksi mempunyai korelasi dengan materi yang disampaikan berkaitan dengan pencegahan kecelakaan. Karena faktanya memang pencegahan kecelakaan kepada karyawan baru itu tergantung dari pengenalan awal di area kerja karna induksi K3 memberikan pemahaman tentang keselamatan kerja dan juga untuk memberikan informasi tentang kondisi dalam area kerja sehingga karyawan baru mengerti potensi-potensi bahaya di tempat kerja.
67
Tabel 3.1. Out Put Chi Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) a Pearson Chi Square 52.122 36 .04 Likelihood Ratio 35.856 36 .475 Linear-by-Linear Association .737 1 .391 N of Valid Cases 30 a. 49 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .03.
3.2.2 Pengujian Hipotesis Chi square adalah uji statistik yang biasa digunakan untuk membandingkan data observasi dengan data yang diharapkan untuk menguji hipotesis. Berdasarkan data hasil yang diperoleh mengenai penyampaian induksi yang baik tidak menjamin terhindarnya kecelakaan kerja. Merekap data, menginput data menggunakan software, menerapkan uji sampel data, menghitung derajat kebebasan kemudian output. Berdasarkan output nilai chi square hitung adalah 16,2 (P = 0,04). Adapun tabel silang yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Interprestasi Hasil Karena p-value (0,04) lebih kecil dari tingkat signifikansi (0,05), kita tidak dapat menerima hipotesis nol. Dengan demikian disimpulkan bahwa Ha diterima yaitu ada hubungan antara cara penyampaian induksi dengan materi yang disampaikan. 4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis data terhadap hasil-hasil penelitian sebagai output dari pengumpulan dan pengolahan data secara pengujian hipotesis sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil penilaian rata-rata dalam persentase terhadap jawaban responden yang diterima atas pertanyaan mengenai efektifitas induksi yang berkaitan tentang penyampaian induksi dan juga pokok materi yang disampaikan pada saat induksi yang skor penilaiannya dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden mempunyai jawaban positiftentang induksi yang diberikan, dilihat dari kemampuan menjawab responden71% dari 15 kuisioner yang diberikan. 2. Dari ketiga variabel yang dianalisis menggunakan uji chi square, yaitu sebagai faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi efektifitas induksi dalam pencegahan kecelakaan, ternyata ada dua faktor yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap manfaat induksi, yaitu kriteria teknik penyampaian induksi dan alat bantu yang digunakan dalam proses belangsungnya induksi. Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti buku panduan, buku induksi dan ruang khusus tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efektifitas dari induksi. 3. Faktor penyampaian induksi yang baik (X1) berpengaruh signifikan terhadap efektifits dari induksi (Y) karena teknik penyampaian yang baik berupa tata cara komunikasi yang spesifik, jelas, tidak ambigu, variatif, singkat beserta didukung oleh alat bantu sehingga penyampaian akan mudah dipahami dan dimengerti oleh karyawan baru. 4. Faktor pokok materi yang disampaikan saat induksi (X2) juga berpengaruh signifikan terhadap efektifits dari induksi (Y) karena dengan adanya materi yang sesuai standar yang dianjurkan akan meningkatkan pemahaman kepada
68
karyawan baru sehingga mereka lebih mengerti dengan apa saja yang menyangkut tentang Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan kerja yang ada diperusahaan. 5. Faktor-faktor lain seperti buku panduan dan buku induksi dalam hasil analisis uji chi square juga cukup berpengaruh secara signifikan terhadap efektifitas induksi. Hal ini dapat ditunjukkan secara statistik bahwa nilai Asymp. Sig pada Person chi square sebesar 0,04. Nilai-nilai tersebut lebih kecil dari 0,05, sehingga kita tidak dapat menerima hipotesis nol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ha diterima yaitu ada hubungan antara cara penyampaian induksi dengan materi yang disampaikan. Berdasarkan analisis data serta kesimpulan yang telah diuraikan, maka selanjutnya penulis mengajukan saran yang semoga dapat bermanfaat yaitu: 1. Agar setiap penyampaian induksi mengalami peningkatan, hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji ulang SOP induksi. 2. Agar terbentuknya kenyamanan saat proses induksi maka perlu disediakanfasilitas pelaksana seperti tempat khusus dan alat bantu induksi. 3. Adanya pendokumentasian tentang dilaksanakannya induksi keselamatan dan kesehatan kerja. Daftar Pustaka Cochran WG. (2014). Some methods for strengthening the common χ² tests. Biometrics 1956; l0:4l7-5l. Cristian, adrian. 2011. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta. Handoko, martin. 2012. Orientasi dan penempatan karyawan baru. Semarang. Husna Suad & Heiddjrachman. 2010. Manajemen Personalia. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Instruksi MANAKER 05 Tahun 1996. Tentang Pengawasan Dan Pembinaan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Kontruksi Bangunan. Jakarta. Meidi, 2011. SemuaTentangKeselamatan. Bandung. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. PER.01/MEN/1980. Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Kontuksi Bangunan. Jakarta. Riza pamula achmad.2010. Interisti Sejati. Jakarta. SNI 13-7083-2005. Tata cara induksi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pertambangan. Badan Standarisasi Nasional (BSN). Sriwidianty, 2012. Program Keselamatan Di Tempat Kerja. Jakarta. Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Kombinasi, Penerbit Alfabeta Bandung ISBN 979-8433-71-8, Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970. Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta. Usman, H. & R. Purnomo Setiady Akbar. 2011. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara Yuli, catur. 2011. Orientasi Keselamatan Di Perusahaan. Jakarta
69
Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di Perusahaan Sebagai Upaya Menekan Angka Kematian Akibat Kecelakaan Kerja Septa Decelita1, Hardi Yanta2 1
2
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi E-mail:
[email protected], E-mail:
[email protected]
Abstrak Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat melindungi dan bebas dari kecelakaan kerja, pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Pada tahun 2007 tercatat 65.474 angka kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota Jamsostek dengan jumlah 7 juta orang atau 10% dari seluruh pekerja di Indonesia. Dengan demikian diperlukan sistem manajemen K3 di perusahaan sebagai upaya menekankan angka kematian akibat kecelakaan kerja. Untuk melihat dampak penerapan sistem manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan. Studi ini menggunakan literature review pada beberapa jurnal berbahasa Inggris dan Indonesia yang diambil dari tahun 2005 sampai dengan 2016, pencarian kepustakaan dilakukan dengan memasukkan beberapa kata kunci yaitu: Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Manajemen, Perusahaan kedalam data base yang tersedia meliputi: Google Schoolar, ProQuest, EBSCO. Diperoleh 16 artikel dan terpilih 10 artikel. Sistem manajemen kecelakaan kerja dapat meminimalisir bahaya dan angka kecelakaan kerja, karena masih banyaknya tenaga kerja yang tidak mengetahui dan bagaimana penerapan K3 di perusahaan. Secara teknis manajemen kecelakaan kerja tidak dapat menjamin keselamatan jiwa secara menyeluruh, namun melalui sistem manajemen setidaknya bisa mengurangi risiko angka kematian akibat kecelakaan kerja. Sitem manajemen tersebut dapat diterapkan melalui sosialisasi tentang manfaat, penerapan K3 serta pelatihan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di perusahaan. Penggunaan sistem manajemen kecelakaan kerja merupakan aspek penting dalam menekan angka kematian akibat kecelakaan kerja. Oleh karena itu pengetahuan, kedisiplinan dari tenaga kerja dapat di wujudkan melalui sosialisasi, pelatihan pekerja serta penggunaan alat pelindung diri pada pekerja. Kata kunci: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen, Perusahaan.
1. Pendahuluan Perusahaan mempunyai misi yang ingin dicapai baik itu yang bersifat jangka pendek maupun untuk jangka panjang kedepannya. Perusahan dituntut mampu meningkatkan produktivitas sumber daya manusia. Produktivitas sumber daya manusia ditentukan oleh sejauh mana sistem yang ada di perusahaan mampu menunjang dan memuaskan keinginan seluruh pihak. Apabila suatu perusahaan peduli kesejahteraan karyawan, maka karyawan akan meningkatkan produktivitas kerjanya terhadap perusahaan. Salah satu faktor 70
yang mempengaruhi produktivitas karyawan adalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Menurut Hariandja (2007), K3 merupakan aspek yang penting dalam usaha meningkatkan kesejahteraan serta produktivitas karyawan. Apabila tingkat keselamatan kerja tinggi, maka kecelakaan yang menyebabkan sakit, cacat, dan kematian dapat ditekan sekecil mungkin. Apabila keselamatan kerja rendah, maka hal tersebut akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga berakibat pada produktivitas yang menurun. Kewajiban untuk menyelenggarakan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan besar melalui Undang-undang Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan (Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Pada tahun 2007 menurut jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota jamsostek dengan jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10% dari seluruh pekerja di Indonesia. Dengan demikian diperlukan suatu manajemen risiko kesehatan keselamatan kerja sebagai upaya menekan angka kecelakaan kerja akibat kecelakaan kerja. 2. Metode Penulisan Studi ini menggunakan literature review pada beberapa jurnal berbahasa Inggris dan Indonesia yang diambil dari tahun 2005 sampai dengan 2016. Pencarian kepustakaan dilakukan dengan memasukkan beberapa kata kunci yaitu: Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Manajemen, Perusahaan kedalam data base yang tersedia meliputi: Google Schoolar, ProQuest, EBSCO. Diperoleh 16 artikel dan terpilih 10 artikel. 3. Hasil dan Pembahasan Sistem manajemen kecelakaan kerja dapat meminimalisir bahaya dan angka kecelakaan kerja, karena masih banyaknya tenaga kerja yang tidak mengetahui dan bagaimana penerapan K3 di perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya perhatian ataupun komitmen dari perusahaan untuk melaksanakan program K3 dengan baik. Secara teknis manajemen kecelakaan kerja tidak dapat menjamin keselamatan jiwa secara menyeluruh, namun melalui sistem manajemen setidaknya bisa mengurangi risiko angka kematian akibat kecelakaan kerja. Sitem manajemen tersebut dapat diterapkan melalui sosialisasi tentang manfaat, penerapan K3 serta pelatihan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di perusahaan. Hal tersabut di dukung oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1970 di antaranya karyawan wajib memakai alat pelindung diri seperti helm dan sepatu di lokasi perusahaan yang telah ditentukan, serta karyawan dilarang merokok di
71
ruang AC dan di tempat – tempat yang mudah terbakar. Sebagai wujud dari program keselamatan kerja, PG Krebet Baru menyediakan alat pelindung diri kepada tenaga kerja yang disesuaikan dengan keadaan tiap stasiun kerja. Alat pelindung diri yang dapat digunakan untuk menjaga terlaksananya program keselamatan dan kesehatan kerja antara lain masker, safety glove, safety shoes, welder glasses, helm pengaman, oto las kulit, dan ear plug (penyumbat telinga). Perusahaan juga memasang himbauan keselamatan kerja di berbagai tempat di dalam pabrik seperti poster “Gunakan sepatu safety demi Keselamatan”. Sebagai wujud dari program kesehatan kerja, PG Krebet Baru memberikan fasilitas kesehatan untuk karyawan. Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh PG Krebet Baru adalah poliklinik dan tenaga medis. Perusahaan memberikan minuman yang bergizi (susu) sebagai penawar racun kepada karyawan yang melaksanakan tugas berhubungan dengan bahan beracun dan berbahaya. Mengingat pentingnya Alat Pelindung Diri (APD), Berdasarkan hasil kuesioner dan pengamatan di perusahaan, 8.33% karyawan bagian instalasi mengungkapkan bahwa keselamatan kerja berpengaruh signifikan terhadap produktivitas mereka. Keselamatan kerja membuat beberapa karyawan dapat bekerja lebih cepat dan tepat waktu. Kesadaran karyawan tersebut terhadap keselamatan kerja ditunjukkan dengan penggunaan alat pelindung diri saat bekerja. Sebanyak 41.67% karyawan menyatakan hal yang berbeda bahwa keselamatan kerja tidak berpengaruh terhadap produktivitas. Pada penelitian lain, simultan variabel bebas yang terdiri dari keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat produktivitas kerja karyawan (Y). Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen yaitu keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh cukup besar terhadap produktivitas kerja karyawan sebesar 53,6%. Tingkat kecelakaan kerja memberikan kontribusi pengaruh yang signifikan dalam penurunan produktivitas, sebesar 67,2%. Setiap kejadian kecelakaan kerja dapat menurunkan nilai produktivitas sebesar 27,84 unit. Mengingat tingginya angka kecelakaan kerja, implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (SMK3) perusahaan jasa konstruksi di Kota Kupang termasuk dalam kategori kuning dengan persentase 62,38 % dan tingkat kecelakaan masuk dalam kategori hijau maka implementasi SMK3 berada pada level 2 (cukup aman). Alasan Penerapan SMK3 karena SMK3 bukan hanya tuntutan pemerintah, masyarakat, pasar, atau dunia internasional saja tetapi juga tanggung jawab pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi pekerjanya. Selain itu penerapan SMK3 juga mempunyai banyak manfaat bagi industri kita antara lain manfaat lamgsungnya yaitu: 1) Mengurangi jam kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja, 2) Menghindari kerugian material dan jiwa akibat kecelakaan kerja, 3) Menciptakan tempat kerja yang efisien dan produktif karena tenaga kerja merasa aman dalam bekerja. Perusahaan telah melaksanakan keselamatan kerja karyawan dengan baik dengan upaya menjaga atau melindungi karyawan dari luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan: 1) perusahaan telah menyediakan peralatan kerja dalam kondisi baik dan layak pakai dengan cara mengganti peralatan yang berusia tua, 2) perusahaan menyediakan alat perlindung diri untuk menjaga keselamatan karyawan dari
72
segala risiko kecelakaan di tempat kerja, 3) perusahaan telah memasang ramburambu kecelakan dan tanda larangan seperti larangan merokok, awas listrik tegangan tinggi, awas lubang untuk menjaga keselamatan karyawan, 4) perusahaan memberikan jaminan bahwa karyawan bekerja dalam kondisi lingkungan kerja yang aman dengan menyediakan satpam di tempat kerja 5) perusahaan secara rutin melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja yang dilaksanakan oleh SHE Officer. Perusahaan memberikan sanksi jika menemukan pekerja yang dianggap melanggap aturan di tempat kerja. 6) perusahaan memberikan petunjuk kerja untuk mempermudah pekerjaan 7) perusahaan memberikan pelatihan bagi setiap karyawan mengenai keselamatan kerja untuk bekerja dengan aman. Perusahaan telah melaksanakan kesehatan kerja karyawan dengan baik dengan upaya menjaga atau melindungi kondisi umum fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan: a. Perusahaan menyediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama apabila terjadi kecelakaan sebagai tindakan awal dalam menangani kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. b. Perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi karyawan untuk menjaga agar karyawan selalu dalam keadaan sehat. c. Perusahaan memberikan jaminan kesehatan kepada para karyawan/pekerja. d. Terpeliharanya lingkungan kerja yang sehat dan bersih untuk menjaga kesehatan pekerja dari segala penyakit. e. Tersedia pelayanan kesehatan bagi para karyawan/pekerja. f. Perusahaan memberikan pendidikan mengenai pentingnya kesehatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja adalah lingkungan kerja segi fisik dengan nilai signifikansi sebesar 5.104, lingkungan kerja dari segi psikologis dan sosial dengan nilai signifikansi sebesar 3.808 dan perilaku kerja dengan nilai signifikansi sebesar 1.973. Dan kesehatan kerja mempengaruhi stress kerja dengan nilai signifikansi sebesar 2.169. Variabel keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) baik secara parsial maupuan secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan PT Tracon Industri dan diketahui variabel paling dominan dalam mempengaruhi produktivitas kerja karyawan dalam penelitian ini adalah keselamatan kerja ditunjukkan dengan nilai koefisien t- hitung memiliki nilai-nilai yang lebih besar dari pada variabel komitmen organisasi. Jadi apabila keselamatan kerja tinggi maka produktivitas kerja karyawan juga akan tinggi. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian dari Katsuro et al., (2010) yang menyatakan bahwa keselamatan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja. Selain itu Padminingsih (2007) juga menyatakan keselamatan kerja berpegaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja. Kesehatan kerja dipresentasikan dalam enam indikator yaitu kebersihan lingkungan, pemeriksaan kesehatan berkala bagi karyawan, fasilitas P3K, kondisi balai pengobatan, keadaan ventilasi, tingkat kebisingan. Artinya semakin baik tingkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang diharapkan maka semakin baik pula produktivitas karyawan, begitu sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hariandja (2002: 312) bahwa peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerja perusahaan. Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa untuk mewujudkan Kinerja yang
73
optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Tingkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja dikatakan baik apabila Perusahaan telah memberikan peralatan kerja yang baik dan menjaga lingkungan kerja agar terhindar dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. 4. Kesimpulan Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Daftar Pustaka (Brock & Smith, 2007)Brock, T. P., & Smith, S. R. (2007). An Interdisciplinary Online Course in Health Care Informatics, 71(3), 1–6. Goorden, M., Vlasveld, M. C., Anema, J. R., Mechelen, W. Van, & Roijen, L. H. (2014). Cost-Utility Analysis of a Collaborative Care Intervention for Major Depressive Disorder in an Occupational Healthcare Setting, 555–562. doi:10.1007/s10926-013-9483-4 Green, C., Richards, D. A., Hill, J. J., Gask, L., Lovell, K., Chew-, C., Bland, J. M. (2014). Cost-Effectiveness of Collaborative Care for Depression in UK Primary Care : Economic Evaluation of a Randomised Controlled Trial ( CADET ), 9(8). doi:10.1371/journal.pone.0104225 Group, P. B. (2009). Collaborative Mental Health Care Versus Care as Usual in a Primary Care Setting : A Randomized Controlled Trial, 60(1). Hills, H., & Richards, T. (n.d.). to Advance Behavioral Health Care, 3–8. doi:10.1007/s11414-013-9374-7 Morone, N. E., Belnap, B. H., Hum, B., He, F., Mazumdar, S., Weiner, D. K., & Rollman, B. L. (n.d.). Pain Adversely Affects Outcomes to a Collaborative Care Intervention for Anxiety in Primary Care, 58–67. doi:10.1007/s11606012-2186-2 Nursing, P., & Source, A. H. (2006). Nutrition in Primary Health Care : Using a Delphi Process To Design New Interdisciplinary Services. Zucchero, A., Hooker, E., & Larkin, S. (2010). An interdisciplinary symposium on dementia care improves student attitudes toward health care teams, 312– 320. doi:10.1017/S1041610209991293
74
75
Bella Gloria Ukhisiadan Retno Astutiserta Arif Hidayat (2012)
Bayu Indra Siswanto, (2015)
Much. Djunaidi dan Faizal Abidin (2015)
2.
3.
4.
1.
Nama Penulis (Tahun) Henry Bagus Setiawan, Heru Susilo dan M. Faisal Riza (2014)
No
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei yang bersifat penjelasan (explanatory research). Pengumpulan data menggunakan kuisioner, penelitian dan responnya diukur dengan menggunakan skala likert. StudiLapangan (Field Work Research) dengan cara observasi, wawancara, kuesioner dan Studi Dokumentasi Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan regressi dan korelasi.
Metode
Judul
simultan variabel bebas yang terdiri dari keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat produktivitas kerja karyawan (Y). menunjukkan bahwa variabel independen yaitu keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh cukup besar terhadap produktivitas kerja karyawan sebesar 53,6%. Tingkat kecelakaan kerja memberikan kontribusi pengaruh yang signifikan dalam penurunan produktivitas, sebesar 67,2%. Setiap kejadian kecelakaan kerja dapat menurunkan nilai produktivitas sebesar 27,84 unit.
Keselamatan kerja secara langsung tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas karyawan. Keselamatan kerja secara tidak langsung mempengaruhi produktivitas karyawan melalui kesehatan kerja. Kesehatan kerja secara langsung berpengaruh signifikan terhadap produktivitas karyawan.
Peningkatan Produktivitas Kerja dengan Menerepkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Kelamatan Kerja (SMK3 di Universal Furniture Industri
Pengaruh Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Produktivitas Kerja Kryawan pada PT Pembangunan Perumahan Tbk Cabang Kalimantan di Balik Papan
Analisis Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Produktivitas Karyawan dengan Metode Partial Least Squares
Ada pengaruh yang signifikan secara parsial dari Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan variabel keselamatan kerja karyawan (X1) dan kesehatan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Survei Pada Karyawan PT. PINDAD kerja karyawan (X2) terhadap kinerja karyawan (Y). (Persero) Malang)
Hasil
Tabel Referensi Sistem K3
76
9.
8.
Bobby Rocky Kani, dan R. J. M. Mandagi, J. P. Rantung, serta G. Y. Malingkas (2013) Yunita A. Messah, Yohana Bolu Tena dan I Made Udiana(2012) Dewinta Grahanintyas, Sritomo Wignjosoebroto
Bryan Alfons Willyam Sepang, J. Tjakra, J. E. Ch. Langi, D. R. O. Walangitan (2013)
6.
7.
Iman Kurniawan Wicaksono dan Moses L. Singgih (2011)
5.
Lima risiko tertinggi: lifting material menggunakan tower crane terdapat risiko material terjatuh/ sebagian besar dari material yang diangkar dengan total indeks risiko sebesar 13,95, Steel fixing, formwork, installatioon, concreting, dan pekerjaan eksternal wall memiliki risiko terjatuh dari ketinggian dengan total indeks risiko sebersar 13,16, installation electrical pipe.
Adapun acuan penelitian ini adalah ketentuan yang ditetapkan dalam SMK3. Data yang digunakan berasal dari data kuisioner karyawan pada
Implementasi SMK3 perusahaan jasa konstruksi di Kota Kupang termasuk dalam kategori kuning dengan persentase 62,38 % dan tingkat kecelakaan masuk dalam kategori hijau maka implementasi SMK3 berada pada level 2 (cukup aman). Faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja adalah lingkungan kerja segi fisik dengan nilai signifikansi sebesar 5.104, lingkungan kerja dari segi psikologis dan sosial dengan nilai signifikansi sebesar 3.808 dan
Kriteria kecelakaan tertinggi yaitu terjatuhnya pekerja dengan Risk Level L (Low) sebesar 52% dan sub-kriteria kecelakaan tertinggi yaitu pekerja terjatuh dari tangga dengan Risk Level L (Low) sebesar 52%. Untuk kriteria faktor utama penyebab kecelakaan tertinggi adalah faktor manusia dengan Risk Level L (Low) sebesar 56% dan sub-kriteria faktor penyebab kecelakaan tertinggi adalah tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) dengan Risk Level L (Low) sebesar 56%. Peneliti langsung Masih banyak tenaga kerja yang tidak mengetahui mengadakan survey tentang K3. Hal ini menunjukkan bahwa masih di lapangan untuk kurangnya perhatian ataupun komitmen dari perusahaan mengidentifikasi kontraktor untuk melaksanakan program K3 dengan mengenai risiko K3. baik.
Metode Penilaian menggunakan matriks penilaian risiko yang bersumber dari AS/NZS 4360:2004 Risk Management Standart Metode penilaian risiko dengan menggunakan matrikspenilaian risiko.
Analisa Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja (Studi Kasus: Pabrik The Wonosari
Kajian Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Perusahaan Jasa Konstruksi di Kota Kupang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi (Studi Kasus: Proyek PT. Trakindo Utama)
Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Pemabngunan Ruko Orlens Fashion Manado
Manajemen Risiko K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) pada proyek pembangunan apartemen puncak permai Surabaya
77
10
Ananda Zuliyan Pratomo dan Andre Dwijanto W (2014)
dan Effi Latiffianti (2012)
bagian pemetikan daun sampai dengan pengolahan menjadi produk teh sejumlah 185 karyawan. Penelitian kuantitatif. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah konklusif. variabel keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) baik secara parsial maupuan secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan PT Tracon Industri dan diketahui variabel paling dominan dalam mempengaruhi produktivitas kerja karyawan dalam penelitian ini adalah keselamatan kerja ditunjukkan dengan nilai koefisien thitung memiliki nilai-nilai yang lebih besar dari pada variabel komitmen organisasi.
perilaku kerja dengan nilai signifikansi sebesar 1.973. Dan kesehatan kerja mempengaruhi stress kerja dengan nilai signifikansi sebesar 2.169
Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT Tracon Industri
PTPN XII)
Tinjauan Rujukan Daftar Bahaya dan Usulan Tambahan Daftar Bahaya Keselamatan dan Kesehatan Syamsul Arifin Universitas Balikpapan Jl Pupuk Raya, Gn Bahagia, Balikpapan Tlp (0542) 765442, 764205, E-Mail:
[email protected]
Abstrak Ada beberapa institusi yang dapat dijadikan rujukan ketika melakukan identifikasi bahaya, diantaranya: International Labour Organization (ILO), Occupational Safety and Health Administration (OSHA), Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS), dan Viner. Dengan melakukan penelitian analisis isi, penulis membandingkan daftar bahaya yang disusun tersebut, mengkritisi, dan mengusulkan beberapa tambahan daftar bahaya sehingga bisa menghasilkan suatu daftar bahaya yang lebih komprehensif. Daftar bahaya yang dibahas dapat juga diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial.
Kata kunci: identifikasi, bahaya, keselamatan, kesehatan.
1. Pendahuluan Bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi merugikan (ISO, 2009), baik kerugian pada manusia berupa cedera, penyakit akibat kerja, pencemaran lingkungan, maupun kerugian perusahaan berupa kerusakaan aset atau gangguan produksi. Identifikasi bahaya adalah salah satu langkah krusial dalam pengelolaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Tanpa identifikasi bahaya yang benar, pengendalian dan fokus perhatian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perusahaan bisa jadi salah sasaran, tidak efektif, dan tidak efisien. Salah satu cara mengidentifikasi bahaya adalah dengan berkeliling tempat kerja dan mengamati aktifitas, proses, peralatan, dan bahan yang dipergunakan yang dapat mengakibatkan cedera, penyakit, pencemaran lingkungan atau kerugian perusahaan(1). Namun, sangat mudah sekali untuk mengabaikan beberapa bahaya jika setiap hari kita berada dan bekerja di tempat yang sama. Ada beberapa institusi yang dapat dijadikan rujukan ketika melakukan identifikasi bahaya, diantaranya: ILO (International Labour Organization), Occupational Safety and Health Administration (OSHA), Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS), dan Viner (1991). 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif dengan melakukan teknik analisis konten pada publikasi yang diterbitkan ILO, OSHA, CCOHS dan Viner tentang identifikasi bahaya di tahun 1998-2015. 3. Hasil dan Pembahasan ILO (International Labour Organization) di Ensiklopedia Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang diterbitkannya menyebutkan beberapa bahaya, yaitu: tekanan (kenaikan dan penurunan), biologi, bencana alam dan buatan, listrik, api,
78
panas dan dingin, jam kerja, kualitas udara dalam ruangan, pengendalian lingkungan dalam ruangan, pencahayaan, kebisingan, radiasi (pengion dan bukan pengion), getaran, kekerasan dan tampilan visual alat elektronik (visual display units)(2). Occupational Safety and Health Administration (OSHA) di publikasi berjudul Job Hazard Analysis menyebutkan beberapa tipe bahaya diantaranya: bahan kimia beracun, mudah terbakar, korosif, mudah meledak akibat reaksi kimia dan tekanan berlebih, bahaya tersengat listrik, terbakar akibat listrik, listrik statis, kehilangan sumber listrik, bahaya ergonomi berupa cedera dan kesalahan manusia, runtuhan galian, terjatuh (terpleset, tersandung), api/panas, getaran, mekanik, kegagalan mekanika, kebisingan, radiasi pengion dan radiasi bukan pengion, menabrak benda, ditabrak benda, suhu ekstrim (panas dan dingin), pandangan terhalang, cuaca (salju, hujan, angin, es)(3). OSHA negara bagian Oregon menambahkan beberapa bahaya dari daftar diatas, yaitu bahaya biologi (bakteri, virus, jamur) dan kekerasan di tempat kerja(4). Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS) membagi klasifikasi bahaya menjadi beberapa hal: bahaya kimia, ergonomi (manual handling, pencahayaan, pengaturan kantor, posisi duduk-berdiri, terpleset, terjatuh, tersandung, shift kerja, peralatan dan gangguan kesehatan tulang-otot terkait pekerjaan), kesehatan (biologi, penyakit, wabah), fisik (temperatur, kualitas udara ruangan, jamur, kebisingan, radiasi), psikososial (stres, kekerasan, bullying), keselamatan (berkendara, listrik, alat angkat-angkut, tangga, mesin, platform kerja, perkakas kerja), dan tempat kerja (ruang terbatas, ventilasi, cuaca, bekerja sendirian)(5). Sementara itu, Viner (1991), membagi bahaya berdasarkan klasifikasi sumber energi. Sehingga bahaya menurut Viner dikelompokkan menjadi: energi potensial (gravitasi, fluida bertekanan), kinetik (gerakan), mekanik, akustik dan getaran, listrik, nuklir, panas, kimia, mikrobiologi, dan otot (penyerangan).(6) Beberapa bahaya yang disebutkan di atas sudah cukup menjelaskan dirinya sendiri, namun ada beberapa poin dari daftar bahaya di atas yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan ada beberapa bahaya yang belum terdata dan perlu ditambahkan guna kelengkapan daftar bahaya. ‘Terpleset, terjatuh, dan tersandung’ yang disebutkan OSHA dan CCOHS misalnya, ketiga hal itu seharusnya tidak masuk ke dalam kategori bahaya atau hazard, karena ketiga hal tersebut adalah kejadian atau event. Seperti disebutkan ISO guide 73, kejadian adalah peristiwa atau perubahan kondisi tertentu (occurrence or change of a particular set of circumstances) (7). Sehingga, bahaya dari kejadian ‘terpleset, terjatuh, dan tersandung’ bisa berupa permukaan licin, sandungan, dan perbedaan ketinggan permukaan/lantai. Begitu pula dengan ‘ditabrak benda’ dan ‘menabrak benda’ yang disebutkan OSHA. Kedua hal itu adalah kejadian, bahaya yang tepat untuk dua kejadian itu bisa berupa ‘benda bergerak’ atau ‘benda stasioner di jalur lintasan’. Jika kejadiannya adalah terjepit, maka bahaya yang bisa disebut adalah ‘berada pada jalur lintasan bahaya/berada dijalur pergerakan mesin’. Terutama di fasilitas minyak dan gas yang berusia tua (lebih dari 30 tahun) dan fasilitas pengeboran yang banyak menghasilkan getaran, bahaya benda jatuh menjadi salah satu fokus tersendiri. Potensi benda jatuh menjadi penyebab terbesar kematian dan potensi kecelakaan serius di industri minyak dan gas (8).
79
Data dari HSE UK untuk sumur migas menyebutkan bahwa di 2015, ada lebih dari 30 kejadian benda jatuh, termasuk besi 5 kg jatuh dari ketinggian 6 m, pintu bukaan 5,8 kg jatuh dari 6,5 m, alas karet (20 kg) yang diangkat helikopter jatuh dari 18 m, dan pintu lemari listrik 20 kg yang jatuh dari ketinggian 20 m.(9) Selain potensi benda jatuh, potensi pekerja jatuh karena berada atau bekerja di ketinggian patut juga dijadikan salah satu identifikasi bahaya. Pekerja terjatuh adalah kejadiannya, sedangkan perbedaan ketinggian kerja adalah bahayanya. Peralatan yang tidak standar atau buatan sendiri juga bisa ditambahkan, karena peralatan buatan sendiri tanpa desain teknis, integritas material dan/atau perhitungan kekuatan peralatan bisa meningkatkan risiko cedera. (10) Kemudian, jika ILO menyebutkan tekanan sebagai salah satu bahaya, dan Viner menyebutkan fluida bertekanan, maka segala macam zat bertekanan harusnya diidentifikasi sebagai bahaya juga, semisal gas atau udara terkompresi. OSHA dan Viner menyebutkan bahaya mekanik, sebagai tambahan dan perjelasan, segala mesin atau benda yang berputar atau digerakkan dengan listrik, hidrolik dan semisalnya masuk ke dalam bahaya tersebut. Kontak dengan benda tajam juga dapat menghasilkan kejadian atau insiden. Pada industri teknik, cedera akibat benda tajam bisa terjadi ketika menangani benda atau material bersisi tajam. Data HSE UK menyebutkan bahwa sepertiga cedera tercatat diakibatkan oleh luka dari besi tajam ketika menanganinya. (11) CCOHS dan Viner menyebutkan bahaya kimia, tapi OSHA menambahkan detail berupa karakteristik bahan kimianya yang bisa berupa beracun, korosif, mudah terbakar, mudah meledak dan semisalnya, bisa juga ditambahkan sifat iritan. Meski sudah cukup disebutkan sebagai bahaya bahan kimia, menurut penulis, penambahkan sifat lebih detail tidak mengapa karena akan membantu memudahkan pekerja mengidentifikasi lebih jauh konsekuensi yang bisa terjadi dari suatu bahan kimia. Bahkan menyebutkan fasa bahan kimianya (padat, cair, gas) juga mungkin dapat membantu pekerja mengidentifikasi beberapa bahan kimia yang kasat mata semisal gas berbahaya dari H2S. Jika sebelumnya adalah kehadiran bahan kima yang dapat membuat bahaya, maka ketidakhadiran suatu bahan juga bisa membuat bahaya, seperti kekurangan atau tidak adanya oksigen. Kekurangan atau ketiadaan oksigen bisa terjadi akibat beberapa hal, misalnya penggunaan gas inert, beberapa reaksi kimia (contohnya pengaratan), atau kehadiran gas lain semisal argon, CO2, nitrogen, dan helium bisa mendorongnya keberadaan oksigen.(12) ILO dan CCOH menyebutkan bahaya kualitas udara dalam ruangan dan menyebutkan pula ‘pengendalian lingkungan dalam ruangan’ dan ventilasi. Kedua hal terakhir itu lebih tepat digolongkan sebagai mitigasi rekayasa teknik untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan berada dalam tingkat yang diperbolehkan. CCOH hanya menyebut bahaya radiasi, Viner menyebut nuklir, sedang ILO dan OSHA membagi radiasi berdasarkan "muatan listrik"nya sehingga dipisah menjadi radiasi pengion dan radiasi non-pengion. Klasifikasi ILO dan OSHA lebih baik karena menjelaskan berbedaan pengaruh antara kedua klasifikasi tersebut. Radiasi pengion adalah radiasi yang apabila menumbuk atau menabrak sesuatu, akan muncul partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Peristiwa terjadinya ion ini disebut ionisasi. Ion ini kemudian akan menimbulkan efek atau pengaruh pada bahan, termasuk benda hidup. Radiasi pengion disebut juga radiasi atom atau radiasi nuklir. Termasuk ke dalam radiasi pengion adalah sinar-X, sinar
80
gamma, sinar kosmik, serta partikel beta, alfa dan neutron. Partikel beta, alfa dan neutron dapat menimbulkan ionisasi secara langsung. Meskipun tidak memiliki massa dan muatan listrik, sinar-X, sinar gamma dan sinar kosmik juga termasuk ke dalam radiasi pengion karena dapat menimbulkan ionisasi secara tidak langsung.(13) Radiasi non-pengion adalah radiasi yang tidak dapat menimbulkan ionisasi. Termasuk ke dalam radiasi non-pengion adalah gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya tampak dan ultraviolet.(13) Berbicara mengenai bahaya ergonomi, bisa dibagi menjadi 3 subbidang ergonomi: fisik (postur kerja/postur janggal, penanganan material - beban berlebih, gerakan berulang, penataan tempat kerja), kognitif (beban kerja pikiran, pengambilan keputusan, kinerja manusia, interaksi manusia-komputer/mesin, reliabilitas manusia, stres kerja), dan organisasional (komunikasi, pengelolaan SDM kru, desain kerja, desain waktu kerja, kerjasama tim, dst) (14). ILO dan OSHA menyinggung mengenai ergonomi kognitif, sedang CCOHS membahas ergonomi kognitif dan fisik. Pencahayaan disebut sebagai bahaya, kurang pencahayaan lebih tepat dianggap sebagai bahaya, terutama jika pekerjaan membutuhkan ketelitian. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1405 tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri memberikan acuan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. (15) Bahaya alam dapat didefinisikan sebagai fenomena alamiah yang bisa terjadi secara cepat atau lambat yang mungkin diakibatkan oleh geofisika (gempa bumi, longsor, tsunami dan aktifitas gunung api), hidrologi (banjir bandang), klimatologi (cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan), meteorologi (topan dan badai/ombak besar) atau biologis (epidemis penyakit dan wabah serangga/binantang).(16) ILO menyebutkan bahaya bencana alam dan bencana buatan, sedang OSHA hanya menyebutkan beberapa contoh bencana alam. Potensi bencana alam dan contoh detailnya bisa dijadikan daftar bahaya alamiah. ILO menyebutkan bahaya biologi secara umum, sementara institusi lain menyebutkan beberapa contoh bahaya biologi, semisal bakteri, virus, jamur, mikrobiologi (3,5,6), sedang bahaya biologi berupa makhluk hidup yang lebih besar semisal serangga, binatang vektor/carrier penyakit, pengerat, berbisa dan buas bisa ditambahkan guna melengkapi bahaya biologi. Secara umum, bahaya berasal dari hal fisik yang dapat dilihat (semisal pisau tajam) atau memiliki aroma (semisal cat), tapi ada juga bahaya yang berasal dari interaksi (atau ketiadaan interaksi) dengan orang lain. Saat ini, bahaya psikososial sudah dikenali sebagai salah satu bahaya di tempat kerja.(17) World Health Organization (WHO) menyebutkan beberapa risiko psikososial diantaranya: konten kerja, beban dan irama kerja, jadwal kerja, kendali kerja, lingkungan dan peralatan, budaya dan fungsi organisasi, hubungan interpersonal di tempat kerja, peran di organisasi, pengembangan karir, interaksi rumah dan pekerjaan.(18) Bahaya psikososial, stres kerja, kekerasan, intimidasi, pelecehan, bullying, sudah dapat dianggap sebagai salah satu tantangan keselamatan dan kesehatan kerja. (19,20,21) Maka dari itu, kekerasan, stres, bekerja sendirian di tempat kerja telah masuk ke daftar bahaya yang disebutkan ILO, OSHA, dan CCOHS. Sehingga kekerasan di tempat kerja dari sesama pekerjan atau pelanggan, ancaman
81
keamanan-penipuan, pencurian, perampokan juga perlu diperhitungkan ke dalam daftar bahaya psikososial. Jika CCOHS memasukkan bekerja sendiri sebagai bahaya, maka pekerjaan yang dilakukan secara simultan dengan tim lain atau simultaneous operations (SIMOPS) juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu potensi bahaya. SIMOPS didefinisikan sebagai pelaksanaan dua atau lebih pekerjaan berbeda secara bersamaan.(22) Adanya beberapa pekerjaan/aktifitas berbeda yang berlangsung di area yang berdekatan memberikan ada kemungkinan terjadinya interferensi, bentrok atau terjadi transfer risiko antar pekerjaan.(23) 4. Kesimpulan a. Bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi merugikan. b. Daftar bahaya yang dibahas dapat juga diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial. c. Daftar bahaya fisika bisa berupa permukaan licin, sandungan, perbedaan ketinggian permukaan, benda bergerak, benda stasioner di jalur lintasan, berada pada jalur lintasan bahaya/berada dijalur pergerakan mesin, potensi benda jatuh, potensi pekerja jatuh (perbedaan ketinggian kerja), peralatan tidak standar/buatan sendiri, api, panas dan dingin, gas atau udara dan cairan bertekanan, mekanik, benda berputar, benda tajam, getaran, kebisingan, listrik, listrik statis, radiasi pengion dan radiasi bukan pengion, pencahayaan, bencana alam, cuaca (salju, hujan, angin, es, gelombang laut, gempa bumi, longsor, tsunami, aktifitas gunung api, banjir bandang, cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan, topan, badai/ombak besar, petir). d. Daftar bahaya kimia bisa berupa bahan kimia beracun, mudah terbakar, korosif, mudah meledak akibat reaksi kimia dan tekanan berlebih, iritan, tidak ada/kurang oksigen, kualitas udara dalam ruangan. e. Daftar bahaya biologi bisa berupa mikrobiologi, bakteri, virus, jamur, penyakit, wabah, jamur, binatang berbisa, binatang buas, carrier, serangga, pengerat. f. Daftar bahaya ergonomi bisa berupa tampilan visual alat elektronik (visual display units), jam kerja, manual handling, pengaturan kantor, posisi dudukberdiri, shift kerja, peralatan, gerakan berulang-ulang, posisi janggal, bekerja terlalu lama, beban berlebih, kurang/tidak ada komunikasi, informasi terbatas. g. Daftar bahaya psikososial bisa berupa kekerasan, stres, bullying, bekerja sendirian, keamanan (penipuan, pencurian, perampokan), pelecehan, pekerjaan bersamaan/Simultaneous Operations (SIMOPS). Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Hendra, SKM., MKKK, pengajar K3 FKM Universitas Indonesia atas kesediaannya meninjau isi makalah. Daftar Pustaka: 1. Health and Safety Executive (HSE). Risk assessment - A brief guide to controlling risks in the workplace. 2014. Inggris 2. International Labour Organization (ILO). Encyclopedia of Occupational Health and Safety 4th Edition. 1998. Swiss
82
3. Occupational Safety and Health Administration (OSHA). Job Hazard Analysis. 2002. Amerika 4. Oregon OSHA. Hazard Identification and Control. 2005. Amerika 5. Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS). Hazards. 2015. Kanada 6. Safety Institute of Australia. Hazard as a Concept. 2012. Australia 7. International Organization for Standardization. ISO Guide 73: 2009, Risk management – Vocabulary. 2009. Swiss 8. DROPS Reliable Securing Focus Group. Dropped Objects Awareness and Prevention, Reliable Securing 3.0. 2013. Inggris 9. Drops Online. UK HSE Statistics Dec 2015. Diakses di http://www.dropsonline.org/resources-and-guidance/presentations/ industryupdates/uk-hse-statistics-dec-2015/ pada Januari 2016 10. Helmerich & Payne. IDC’s Composite Catalog of Oilfield Trash. 2010. Amerika 11. HSE UK. HSE information sheet, Preventing injuries from the manual handling of sharp edges in the engineering industry. 1998. Inggris 12. HSE UK. Lack of oxygen in confined spaces. Diakses di http://www.hse. gov.uk/welding/confined-spaces.htm pada Maret 2016 13. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) - Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Pengenalan Radiasi. Desember 2005. Indonesia 14. International Ergonomics Association (IEA). Definition and Domains of Ergonomics. Diakses di http://www.iea.cc/whats/ pada 25 Maret 2016 15. Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan no. 1405 tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. Indonesia 16. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). Types of disasters: Definition of hazard. Diakses di http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/aboutdisasters/definition-of-hazard/ pada Maret 2016 17. Work Safe Alberta. Occupational Health and Safety Teacher Resources. Kanada 18. World Health Organization (WHO). Health Impact of Psychosocial Hazards at Work: An Overview. 2010. Swiss 19. European Agency for Safety and Health at Work (EU-OSHA). Expert forecast on emerging psychosocial risks related to occupational safety and health. 2007. Luxembourg 20. Comcare Australia. Psychosocial hazards. Diakses di: https://www. comcare.gov.au/preventing/hazards/psychosocial_hazards pada Maret 2016 21. Tweedy, James T. Healthcare Hazard Control and Safety Management. 2005. Singapura 22. International Marine Contractors Association (IMCA). Guidance on Simultaneous Operations (SIMOPS). 2010. Inggris
83
Estimasi Risiko Kejadian Penyakit Degeneratif Akibat Pajanan Polusi Udara NO2 Pada Pekerja Jalan Tol di Jakarta E.Laelasari1, H.Kusnoputranto2, Budiawan3, Mustofa4 1
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 3 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 4 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected], 4
[email protected]
Abstrak Saat ini Indonesia mengalami peningkatan morbiditas penyakit tidak menular. Peningkatan tersebut seiring dengan tingginya tingkat polusi udara di kota-kota besar. Bahan kimia lingkungan yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan terjadinya oxidative DNA dan berisiko terhadap kejadian kanker dimasa depan. Studi ini memprediksi munculnya risiko penyakit non-degeneratif akibat pajanan polutan NO2 dikalangan pekerja tol. Aplikasi formula mathematis analisis risiko kesehatan lingkungan memprediksi kejadian 10 tahun kedepan kejadian penyakit degenerative pada 200 karyawan pekerja tol di Jakarta dan sekitarnya. Keseluruhan (100%) pekerja jalan tol memiliki peluang hazard risiko yang kecil untuk terjadinya penyakit degenerative (HQ<1) dari keseluruhan sample. Prediksi berdasarkan konsentrasi udara DKI Jakarta dan setiap area spesifik gerbang tol tidak menemukan peluang yang nyata. Paparan polutan lingkungan baik yang bersifat non karsinogenik atau bahkan karsinogenik memberikan dampak buruk bagi penduduk dan utamanya pekerja yang berada di dalamnya. Walau pun pada saat ini mayoritas pekerja belum memiliki peluang untuk terkena penyakit Non Degeneratif dalam kurun waktu 10 tahun kedepan sejak di deteksi pada tahun 2013, namun tidak menutup kemungkinan peluang tersebut akan terjadi di tahun selanjutnya(>10 tahun). Rekomendasi perlu dilakukan riset lanjutan melibatkan tekhnologi genom, mengingat polutan memiliki kemampuan biomagnifikasi pada makhluk hidup. Penggunaan alat pelindung diri dan penghijauan disarankan disamping monitoring berkala pada ambient udara di perkotaan. Kata kunci: hazard quotient (HQ), pekerja tol, penyakit degenerative, polusi udara, NO2.
1. Pendahuluan Saat ini dunia sedang mengalami peningkatan angka kejadian penyakit tidak menular. Tingginya angka morbiditas penyakit tidak menular tersebut seiring dengan peningkatan tingkat pencemaran lingkungan termasuk pencemaran udara. Hal ini terjadi terutama di daerah perkotaan. Sumber polutan udara terbesar berasal dari emisi kendaraan bermotor, disamping sumber lain seperti industri(1). Polusi udara lingkungan (ambient air pollution) memiliki dampak yang luas dibandingkan dengan polusi dalam ruang (indoor air pollution), hal ini dikarenakan cemaran polusi udara dapat menyebar ke seluruh wahana lingkungan udara di athmosfer tanpa mengenal batas geografis(2). Walau pun curah hujan dan kecepatan angin dapat mempengaruhi pengenceran polutan udara, namun pada saat musim kering yang panjang dapat berdampak sangat buruk bagi kesehatan penduduk dan beberapa racun kimia dari udara dapat merusak sistem organ
84
pernafasan manusia, dan kondisi organ tersebut sulit untuk diperbaharui kembali(1, 3) . Efek negatif nitrogen dioksida pada sistem pernapasan diyakini terutama disebabkan iritasi sepanjang portal masuk, karena sifat reaktif dari senyawa. Saat ini belum ada metoda yang tepat untuk memperkirakan kejadian penyakit tidak menular atau pun kanker pada penduduk yang bermukim di lingkungan udara yang kotor. Kondisi ini sangat dibutuhkan untuk mempertimbangkan apa tindakan selanjutnya yang akan diambil untuk mengurangi dampak polusi udara perkotaan. Suatu tekhnik untuk menilai risiko kesehatan yang terjadi pada penduduk, atau disebut sebagai environmental health risk assessment (EHRA) atau analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL) dikembangkan dari formula matematis untuk memperkirakan dampak yang terjadi di masa depan pada sekelompok penduduk yang terpajan polutan udara. 2. Metode Penelitian Studi ini menggunakan desain cross-sectional study, jumlah sample studi yang terlibat 200 petugas tol, berasal dari 9 kluster pintu gerbang tol utama di sebuah perusahaan jalan tol di Jakarta. Lokasi pengambilan sample studi tersebar di kota Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Studi ini dilaksanakan sejak tahun tahun 2012 hingga 2014. Untuk memprediksi risiko kesehatan yang terjadi diakibatkan oleh NO2 dan TSP, maka dilakukan analisis risiko kesehatan ( Health Risk Assesment), yaitu proses perhitungan dampak potensial yang merugikan kesehatan manusia akibat bahaya pajanan polutan lingkungan(4) guna mengetahui cara mengendalikan dan mengurangi risiko yang dihasilkan(5). WHO, merumuskan Analisis risiko kesehatan terdiri dari 4 langkah utama yaitu Identifikasi bahaya (Hazard Identification), Analisis Pemajanan (Exposure Assesment), Analisis Dosis Respon (Dose Respont Assesment), dan Karakteristik Risiko (Risk Characterization)(4). Identifikasi bahaya digunakan untuk mengetahui secara spesifik (agen risiko, konsentrasi dan media lingkungan), agen risiko apa yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan bila tubuh terpajan. Sebagai pelengkap dalam identifikasi bahaya dapat ditambahkan gejala – gejala gangguan kesehatan apa yang terkait erat dengan agen risiko yang akan dianalisis. Tahapan ini harus menjawab pertanyaan agen risiko spesifik apa yang berbahaya, di media lingkungan yang mana agen risiko eksisting, seberapa besar kandungan/konsentrasi agen risiko di media lingkungan, gejala kesehatan apa yang potensial. Analisis dosis respon melingkupi identifikasi jalur migrasi NO2(pathways) dari suatu agen risiko masuk ke dalam tubuh manusia kemudian membandingkannya dengan konsentrasi referensi (RfC) merujuk pada literature yang tersedia, maka pengukuran pemajanan dan identifikasi jalur migrasi (pathway) pajanan atau asupan polutan yang diterima individu dalam populasi berisiko bisa dihitung(6). The Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) belum mengeluarkan Minimal risk level (MRLs) untuk NO2 untuk setiap masa dan jalur pajanan(7). Begitu pula dengan Environmental Protection Agency (EPA) tidak memiliki daftar RfD, RfC, atau klasifikasi kanker untuk NO2 pada IRIS (4, 7). International Agency for Research on Cancer (IARC) juga tidak memiliki
85
informasi terkait klasifikasi potensi karsinogen (carcinogenicity classification) untuk NO2(8). Namun demikian perhitungan RfC diperoleh dari informasi studi Nukman, 2005, yang telah dikoreksikan dengan nilai UFuntuk RfC-corected untuk NO2 masing-masing 0,02 mg/kg x hari(9). Intake Rate (dalam satuan mg kontaminan per kg berat badan dan perhari) berdasarkan karakteristik antropometri individu dan pola aktifitas populasi berisiko menggunakan rumus(5, 10):
I C
CR EF ED BW AT
Gambar 1. Intake Rate (I) Keterangan: I : Intake rate; asupan jumlah risk agent yang masuk ke dalam tubuh manusia (mg/kg x hari) atau sebagai chronic daily intake (CDI) C : Concentration; konsentrasi rata-rata kontaminan pada jenis exposure (udara: mg/m3) CR : Contact rate; (0.83 m3/hari) EF : Exposure Frequency; frekwensi pajanan (dalam hari per tahun) 8 jam; 264 hari kerja ED : Exposure duration atau actual event duration (real time) BW : Body Weight (kg) AT : Period over which exposure (day/year x 30 year); 30 tahun populasi umum; 25 tahun pada pekerja untuk penyakit kronik non kanker Karakterisasi risiko kesehatan dinyatakan dalam hazard quotient (HQ) untuk efek non kanker. HQ dihitung dengan membagi asupan non karsinogenik dengan dosis reference -nya. RfC adalah toksisitas kuantitatif non karsinogenik yang menyatakan dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun pajanan tersebut berlangsung sepanjang hayat. Hasil perhitungan HQ akan diketahui jika HQ > 1 maka konsentrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan (unsafe).Namun jika HQ < 1 maka konsentrasi agen belum berisiko menimbulkan efek kesehatan. Nilai kuantitatif HQ selanjutnya digunakan untuk merumuskan manajemen risiko kesehatan dari risk agent untuk diminimalkan. Data konsentrasi polutan di udara ambient menggunakan informasi data sekunder dari laporan tahunan polutan udara DKI Jakarta 2013 yang dikeluarkan oleh BLHD DKI Jakarta(11). Pada riset ini dilakukan pengelompokan pemantauan udara ambient berdasarkan titik lokasi gerbang tol terdekat maksimal radius 10-15 km dari station pemantau milik pemerintah yang kemudian terbagi menjadi 5 kluster, masing-masing adalah stasiun pemantau di Ciracas melingkupi gerbang tol Cimanggis utama dan Cibubur (GT.1 dan 2); stasion pemantau udara di Rawa Terate meliputi gerbang tol Cikarang Utama(GT.3); stasion pemantau udara di Kalideres meliputi gerbang tol Karang Tengah, Tangerang Pusat dan cengakareng (GT.4,5 dan 6); stasion pemantau di daerah masjid Istiqlal meliputi daerah pemantau gerbang tol Tomang, wilayah timur halim (GT.7 dan 8); stasion pemantau tebet meliputi pemantauan di gerbang tol Cililitan (GT.9). Notasi ''Nm3'' pada data hasil pemantauan udara oleh BLHD DKI, artinya meter kubik
86
dalam kondisi normal, adalah bahwa jumlah gas yang saat kering,menempati meter kubik pada suhu 25oC dan pada tekanan mutlak 760 milimeter merkuri (1 atm). Jumlah miligram dalam volume kontrol tidak berubah, tetapi perubahan volume, mengubah konsentrasi. 3. Hasil Pada riset ini diperoleh gambaran demografi dari 200 petugas penjaga pintu gerbang tol. Mayoritas petugas berusia 34 tahun, memiliki jenis kelamin laki-laki (75%) dan sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan sekolah menengah atas (75%), serta memiliki masa kerja berkisar median 16 tahun. Tabel 1. Karakteristik Demografi Subjek Variabel Usia (tahun) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SMA Diploma 1/2/3 ≥ S1 Masa kerja (tahun) Berat badan (kg) Jam kerja per hari (jam)
n (%) , mean, median, min-max Mean 38.69 ,Median 38, Min-Max 3054, Modus 34 200 150(75) 50(25) 200 150(75) 13(6.5) 37(18.5) Mean 17.21, Median 16, Min-max 2-35 Mean 71.4, Median 70, Min-max 45-140 Mean 8, Median 8, Min-max 7-12
Tahapan awal dalam menilai risiko non karsinogenik adalah melakukan identifikasi polutan. Pada studi ini polutan yang diteliti adalah Nitrogen Dioksida (NO2). Konsentrasi terendah yang diperoleh dari 9 gerbang tol adalah 7.70 ug/Nm3 dan tertinggi adalah 136.1 ug/Nm3 terlihat di tabel 2. Batasan maksimum di Indonesia adalah 400 ug/m3. Tabel 2. Konsentrasi NO2 di masing-masing gerbang tol Lokasi station pemantau Ciracas
Polutan udara (NO2) Mean min-max 28.77 7.70-75.40
GT1. Cimanggis GT2. Cibubur
Subjek n (%) 34(17) 19(9.5)
Rawa Terate
GT3. Cikarang Utama
31(15.5)
Kalideres
GT4. Karang Tengah GT5. Tangerang Utama GT6. Cengkareng
39(19.5) 13(6.5) 19(9.5)
41.24
22- 70.7
Masjid Istiqlal
GT7. Wilayah Barat GT8. Wilayah Timur
17(8.5) 16(8.0)
35.66
7.7- 74.20
Tebet
GT9. Cililitan
12(6.0)
42.96
9.7 – 136.1
Gerbang tol
Untuk melakukan penilaian Intake Rate, terlebih dahulu diketahui pola aktivitas dari responden yang akan diteliti. Diperlihatkan oleh table 1 untuk 200
87
orang petugas tol, mean untuk berat badan, masa kerja dan jam kerja adalah 71.4 kg; 17 tahun dan 8 jam kerja per hari. Berikut ditampilkan contoh analisis Intake Rate (I) NO2 diambil dari slah satu responden yang bekerja di gerbang tol GT.1. Cimanggis. Hasil perhitungan mengikuti rumus Intake sebagai berikut untuk prediksi selama 10 tahun: I C
CR EF ED BW AT
I 28.77(ug / m3)(1mg / 1000m3)
0.83(m3 / hari) 8( jam) 264(hari) 14tahun 72(kgs) 365(hari) x10(tahun )
I 2.76E 03 atau 2.76 x 10-3 mg/kg/hari Perhitungan estimasi menggunakan formula matematis diperoleh hasil sebagai berikut: Hazard Qutation (HQ)Non-cancer = I/RfC HQ
2.76 E 03 = 0.14 ; (HQ < 1) 0.02(mg / kg / hari)
Dapat dinyatakan bahwa konsentrasi NO2 di kawasan jalan bebas hambatan di Jakarta diestimasikan ke 10 tahun kedepan setelah tahun pengamatan di 2013 masih tergolong normal dan tidak berisiko untuk jenis polutan NO2, namun nilai ini tidak berlaku untuk senyawa lain yang berinteraksi dengan NO2. 4. Pembahasan NO2 adalah polutan lingkungan yang memiiki makna yang penting. NO2 memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan PM10 dalam hal menghasilkan dampak kesehatan bagi penduduk, terutama penduduk yang tinggal di perkotaan. Polutan ini memiliki potensi mengiritasi saluran pernafasan meningkatkan risiko kesakitan terutama pada penduduk manula dan anak-anak(12).Pada dosis yang lebih tinggi, NO2 dapat menurunkan tingkat imunitas tubuh(13). Sesaat setelah tersimpan ke dalam sel tubuh, NO2 cenderung bereaksi cepat dengan jaringan pernapasan, dan NO2 masuk ke dalam aliran darah. Bentuk utama yang ditemukan dalam darah adalah NO2-dan NO3-, dibuat oleh reaksi NO2 dengan air dalam jaringan untuk membentuk nitrous dan nitrat asam (14, 15). Dasar mekanisme molekuler nitrogen dioksida yang menyebabkan cedera paru dijelaskan oleh studi dari Persinger et al, 2002. NO2 adalah gas radikal bebas, dengan elektron tidak berpasangan tunggal pada atom nitrogen. Dengan demikian, ini adalah senyawa yang sangat reaktif dan mampu dengan mudah mengoksidasi molekul seluler. Reaksi ini dapat mengakibatkan berbagai perubahan, termasuk kerusakan sel, peroksidasi lipid, interaksi dengan protein seluler dan tiol, tergantung pada kerentanan molekul seluler terhadap interaksi dengan nitrogen bersifat radikal(16). Terdapat perbedaan antara pada studi ini dengan studi yang lain , seperti nilai frekwensi, durasi dan jumlah hari paparan yang mencerminkan jumlah hari mereka terpajan NO2 di tempat kerja (9, 17). Seluruh responden merupakan subpopulasi pekerja, dimana paparan polutan NO2 dari jalan tol diterima selama minimal 8 jam kerja dan masa kerja mereka merupakan jumlah tahun mereka bekerja, jumlah hari kerja adalah perkalian dari lama mereka bekerja di
88
perusahaan dan jumlah hari kerja (5 hari per minggu). Nazarof, mengklasifikasikan periode pajanan life time untuk penduduk adalah 30 tahun sementara pekerja 25 tahun(10). Eksposur NO2 jangka pendek pada orang dewasa yang sehat telah mencatat perubahan kecil dalam fungsi paru pada konsentrasi rendah 2 ppm(18). Namun pada penderita asma dan orang-orang dengan COPD, yang mewakili populasi sensitif untuk efek pernapasan NO2, umumnya menunjukkan tidak ada efek pada 0,25 ppm dan konsentrasi dibawahnya(19). Perubahan fungsi paru pada penderita asma dimulai pada 0,3 ppm(20) dan semakin parah seiring dengan meningkatnya konsentrasi. Oleh karena nilai NOAEL 0,25 ppm (0.51 mg/m3) diberlakukan bagi indikasi keberadaan perubahan fungsi paru akibat induksi NO2 pada penderita asma. Sejak hal itu diberlakukan untuk populasi yang sensitif, dengan demikian tidak ada faktor ketidakpastian diaplikasikan untuk variabilitas intra-manusia(19). Pada studi ini memperlihatkan nilai maksimum dan minimum untuk polutan NO2 pada tahun 2013 di 9 buah gerbang tol adalah 7.7-136.1 ug/Nm3 atau setara dengan 0.0077-0.136 mg/m3. Jika dibandingkan pada nilai NOAEL, paparan NO2 pada studi ini masih dianggap normal (< 0,51 mg/m3). Jika dibandingkan di kota Kopenhagen, rata-rata per jam konsentrasi nitrogen dioksida yang terletak dekat jalan raya yang sangat sibuk, sering melebihi 940 mg/m3 (0,5 ppm). Konsentrasi per jam NO2 dengan nilai minimum-maksimum di Inggris berkisar 470-750 mg/m3 (0,25-0,4 ppm)(12). Tidak ditemukannya nilai hazard quieten (HQ) yang bermakna pada studi ini menjadi keterbatasan studi. Diperkirakan karena adanya faktor pengenceran udara athmosfer terhadap polutan NO2. Konsentrasi polutan udara di daerah perkotaan bervariasi, sesuai dengan waktu dalam hari, musim tahun dan faktor meteorologi. Pola harian yang khas terdiri dari gambaran grafik naik turun konsentrasi polutan, sesuai dengan waktu jam-jam sibuk lalu lintas di perkotaan yang mengeluarkan emisi nitrogen oksida. 5. Kesimpulan Seluruh responden (100%) tidak memiliki peluang yang berarti akibat pajanan NO2 untuk terjadinya penyakit degenerative pada prediksi life time 10 tahun kedepan sejak saat mereka di observasi (median usia: 38 tahun). Namun kondisi ini tidak berlaku untuk senyawa lain yang berinteraksi dengan NO2. Perlu adanya penelusuran lebih lanjut terkait dampak polutan udara NO2 bagi kesehatan, misalnya penggunaan alat personal dust sampler untuk menilai paparan debu personal. Riset kedepan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti bidang genetika dapat membantu mempelajari mekanisme biotrasnformasi dari polutan ini. Studi ini juga merekomendasikan system perbaikan lingkungan di area sekitar jalan tol terutama program penghijauan, peningkatan gizi pekerja, terutama konsumsi makanan yang kaya anti-oksidan agar dapat menangkal electron bebas dari polusi udara.
89
Daftar Pustaka 1. WHO. 7 Million Premature Deaths Annually Linked To Air Pollution: WHO; 2014 [cited 29/03/2016]. Available from: http://www.WHO.int/mediacentre/news/releases/2014/air-pollution/en/. 2. WHO. Burden of disease: deaths data by region. 2014 [cited 29/03/2016]. Available from: http://apps.WHO.int/gho/data/node.main.156?lang=en. 3. Fleischer NL, Merialdi M, van Donkelaar A, Vadillo-Ortega F, Martin RV, Betran AP, et al. Outdoor air pollution, preterm birth, and low birth weight: analysis of the world health organization global survey on maternal and perinatal health. Environmental health perspectives. 2014 Apr;122(4):425-30. PubMed PMID: 24508912. Pubmed Central PMCID: PMC3984219. Epub 2014/02/11. eng. 4. IRIS. Integrated Risk Information System USA: US EPA; [cited 26/03/2016]. Available from: https://www.epa.gov/iris. 5. Ricci PF. Environmental and health risk assessment and management. The Netherlands: Springer; 2006. 6. US-EPA. Methods for derivation of inhalation reference concentrations and application of inhalation dosimetry. North Carolina, USA.: U.S.EPA. 7. ATSDR. Agency for Toxic Substances and Disease Registry; 2007. 8. IARC. IARC-Monograph on the evaluation of carcinogenic risk to human: WHO- International Agency for Reaserch on Cancer; 2016 [cited 02/04/2016]. Available from: http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/supplements.php. 9. Nukman A, Rahman A, Warouw S, Setiadi MI, Akib CR. Analisis dan manajemen risiko kesehatan pencemaran udara: Studi kasus di sembilan kota besar padat trasnportasi; . Journal ekologi kesehatan. Agustus 2005;4(2):27089. 10. Nazaroff WW, Cohen LA. Environmental Engineering Science, intake rate 8.E.2 on pages 573-574. John Wiley & Sons; 2001. p. 704. 11. BLHD DKI Jakarta. Pemantauan polutan udara DKI Jakarta tahun 2013. In: Indonesia KLH, editor. Jakarta: PEMDA DKI Jakarta; 2013. 12. Jarvis DJ, Adamkiewicz G, Heroux ME, Rapp R, Kelly FJ. Nitrogen dioxide. 2010. In: WHO Guidelines for Indoor Air Quality: Selected Pollutants [Internet]. Geneva: World Health Organization. 5. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK138707/. 13. Ezratty V, Guillossou G, Neukirch C, Dehoux M, Koscielny S, Bonay M, et al. Repeated nitrogen dioxide exposures and eosinophilic airway inflammation in asthmatics: a randomized crossover study. Environmental health perspectives. 2014 Aug;122(8):850-5. PubMed PMID: 24747297. Pubmed Central PMCID: PMC4123022. Epub 2014/04/22. eng. 14. Goldstein BD, Hamburger SJ, Falk GW, Amoruso MA. Effect of ozone and nitrogen dioxide on the agglutination of rat alveolar macrophages by concanavalin A. Life sciences. 1977 Dec 1;21(11):1637-44. PubMed PMID: 600016. Epub 1977/12/01. eng. 15. Saul RL, Archer MC. Nitrate formation in rats exposed to nitrogen dioxide. Toxicology and applied pharmacology. 1983 Feb;67(2):284-91. PubMed PMID: 6836583. Epub 1983/02/01. eng.
90
16. Persinger RL, Poynter ME, Ckless K, Janssen-Heininger YM. Molecular mechanisms of nitrogen dioxide induced epithelial injury in the lung. Molecular and cellular biochemistry. 2002 May-Jun;234-235(1-2):71-80. PubMed PMID: 12162462. Epub 2002/08/07. eng. 17. Ahmad AA, Khoiron., Ellyke. Analisis risiko kesehatan lingkungan dengan risk agent total suspended partikulat di kawasan industri kota Probolinggo (Environmental health risk assessment with risk agent total suspended particulate in industrial area Probolinggo). e-Journal Pustaka Kesehatan. 2014 Mei 2014;2(2). 18. Mohsenin V. Airway responses to 2.0 ppm nitrogen dioxide in normal subjects. Archives of environmental health. 1988 May-Jun;43(3):242-6. PubMed PMID: 3289507. Epub 1988/05/01. eng. 19. Jorres R, Magnussen H. Effect of 0.25 ppm nitrogen dioxide on the airway response to methacholine in asymptomatic asthmatic patients. Lung. 1991;169(2):77-85. PubMed PMID: 2062123. Epub 1991/01/01. eng. 20. Bauer MA, Utell MJ, Morrow PE, Speers DM, Gibb FR. Inhalation of 0.30 ppm nitrogen dioxide potentiates exercise-induced bronchospasm in asthmatics. The American review of respiratory disease. 1986 Dec;134(6):1203-8. PubMed PMID: 3789520. Epub 1986/12/01. eng.
91
Hubungan Antara Pola Makan dan Gaya Hidup Dengan Sindroma Metabolik Pada Pekerja di PT X Ratih Damayanti, Erwin Dyah Nawawinetu Departemen Kesehatan, Fakultas Vokasi, Jl. Srikana 65 Surabaya Tel. 085645662519. E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Salah satu isu penyakit yang berhubungan dengan aktivitas kerja yang rendah adalah gangguan metabolisme yang berujung pada sindrom metabolik. Kemajuan di bidang teknologi pun juga memberikan dampak terhadap perubahan gaya hidup dan pola makan di masyarakat. Ketidakseimbangan asupan gizi akibat salah makan dipengaruhi oleh gaya hidup merupakan faktor risiko yang sangat berperan pada munculnya masalah kesehatan seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia yang menyebabkan penyakit degeneratif bagi masyarakat terutama masyarakat pekerja.Menganalisis hubungan antara pola makan dan gaya hidup dengan sindrom metabolik pada pekerja di PT. X. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain crossectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi pekerja di PT X cenderung berlebih memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 2,182 kali daripada yang memiliki tingkat konsumsi energi kurang dan defisit. Kelompok pekerja yang merokok memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 1,468 kali daripada yang tidak merokok. Sedangkan pekerja yang minum minuman beralkohol memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 0,712 kali daripada yang tidak minum minuman beralkohol. Program yang seharusnya dilakukan yaitu pengaturan pola makan (baik di kantor maupun di rumah), penyuluhan mengenai bahaya merokok, olah raga setiap minggu sekali untuk membantu mempercepat turunnya angka sindrom metabolik. Selanjutnya, perilaku makan saat di kantor dan stress kerja juga ikut diteliti untuk mengetahui kaitan antara beban kerja, stress kerja dan sindroma metabolik. Kata kunci: gaya hidup, pekerja, pola makan, sindroma metabolik.
1. Pendahuluan Peran industri tidak dapat dipungkiri memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia. Perusahaan dituntut dapat memanajemen sumberdaya yang dimiliki seiring dengan perkembangan indsutri yang makin maju secara optimal. Sumber daya yang dimaksud di atas adalah sumber daya manusia atau tenaga kerja. Modal utama yang paling penting di perusahaan atau industri adalah tenaga kerja yang sehat sehingga akan menghasilkan produktivitas yang berkualitas1. Perubahan gaya hidup dan pola makan saat ini banyak dipengaruhi oleh kemajuan di bidang teknologi. Dengan adanya peningkatan jumlah produsen makanan cepat saji, pola konsumsi makanan masyarakat pun ikut berubah. Asupan gizi yang tidak seimbang yang diakibatkan salah konsumsi makanan berperan besar pada timbulnya masalah kesehatan sepeti obesitas, hipertensi, dislipedmia yang menyebabkan penyakit degeneratif seperti sindrom metabolik2. Pada salah satu penelitian menyebutkan bahwa indeks massa tubuh, glukosa darah puasa, trigliserida dan C-reaktif protein (CRP) memiliki hubungan negatif dengan asupan serat makanan berdasarkan usia, jenis kelamin, status diabetes,
92
kebiasaan merokok, kebiasaan minum, total asupan energi, asupan lemak, asupan asam lemak jenuh, ativitas fisik dan penggunaan insulin. Tingkat konsumsi serat berkaitan dengan obesitas abdominal, hipertensi dan sindrom metabolik. Asupan tinggi serat juga dikaitkan dengan kontrol glukosa darah yang lebih baik dan pengendalian faktor risiko penyakit kardiovaskular termasuk penyakit ginjal. Penderita diabetes disarankan untuk lebih banyak mengonsumsi serat pada makanan sehari-hari3. Berdasarkan data-data dan penelitian di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk menurunkan prevalensi sindrom metabolik pada pekerja dengan mengetahui hubungan antara pola makan dan gaya hidup dengan sindrom metabolik pada pekerja di PT. X. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara pola makan dan gaya hidup dengan sindrom metabolik pada pekerja di PT. X. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain crossectional. Lokasi survei penelitian PT. X di Gresik, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu antara bulan Agustus-Oktober 2015. Populasi penelitian ini adalah pekerja di PT. X. Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi penelitian, yaitu pekerja yang terpilih untuk diikutsertakan dalam penelitian. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Pola Konsumsi Makanan dan Sindrom Metabolik Pada penelitian ini pola makan yang dimaksud adalah konsumsi makan sehari hari para pekerja selama 24 jam dengan mempergunakan metode recall 24 hours. Berikut ini adalah tabulasi silang antara konsumsi energi dengan status sindrom metabolik yang terjadi pada para pekerja di PT X. Pada penelitian ini, konsumsi energi dikategorikan menjadi 4 yaitu baik, berlebih, defisit dan kurang. Konsumsi energi tersebut ditabulasi silang dengan status sindrom metabolik yang dialami oleh para pekerja di PT X: Tabel 1. Konsumsi Energi Pekerja di PT X dan Sindrom Metabolik tahun 2015 Konsumsi Energi Baik Berlebih Defisit Kurang Total
Status Sindrom Metabolik Sinrom Metabolik (%) Bukan Sindrom Metabolik (%) 10,61 18,18 6,06 10,61 21,21 25,76 3,03 4,55 39,39 59,09
Total (%) 28,79 16,67 46,97 7,58 100,00
Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian besar konsumsi energinya defisit yaitu masing-masing sebesar 21,21% dan 25,76%. Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok pekerja yang tingkat konsumsi energi totalnya baik dan cenderung berlebih memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 2,182 kali daripada yang memiliki tingkat konsumsi energi kurang dan defisit.
93
3.1.2. Gaya Hidup dan Sindroma Metabolik Gaya hidup merupakan salah satu faktor yang menentukan kesehatan seseorang. Semakin baik gaya hidup maka akan semakin baik pula kesehatannya. Pada penelitian ini gaya hidup yang dimaksud adalah kebiasaan merokok dan kebiasaan minum minuman beralkohol. Kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan terutama pada metabolisme tubuh. Sindrom metabolik adalah salah satu gangguan kesehatan karena adanya gangguan metabolism di dalam tubuh. Berikut ini adalah kaitan antara gaya hidup dengan sindrom metabolik: 1. Kebiasaan Merokok dan Sindrom Metabolik Berikut ini adalah gambaran kelompok pekerja yang merokok dan tidak merokok dan mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik: Tabel 2. Kebiasaan Merokok dan Sindrom Metabolik Pekerja di PT X tahun 2015 Status Sindrom Metabolik Kebiasaan Merokok Sindrom Metabolik (%) Bukan Sindrom Metabolik (%) Ya 19,70 22,73 Tidak 21,21 36,36 Total 40,91 59,09
Total (%) 42,42 57,58 100,00
Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian besar tidak memiliki kebiasaan merokok. Kelompok pekerja yang tidak merokok dan mengalami sindrom metabolik sebesar 21,21%. Sedangkan pekerja yang tidak merokok dan tidak mengalami sindrom metabolik sebesar 36,36%. Sebaliknya pada kelompok yang merokok dan mengalami sindrom metabolik lebih besar dari pada kelompok yang merokok dan tidak mengalami sindrom metabolik yaitu masing-masing sebesar 19,70 % dan 22,73%. Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok pekerja yang merokok memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 1,468 kali daripada yang tidak merokok. 2. Minum Minuman Beralkohol dan Sindrom Metabolik Berikut ini adalah gambaran kelompok pekerja yang memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol dan mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik. Tabel 3. Kebiasaan Minum Minuman Beralkohol dan Sindrom Metabolik Pekerja di PT X tahun 2015 Kebiasaan Minum Minuman Beralkohol Ya Tidak Total
Status Sindrom Metabolik Sindrom Metabolik Bukan Sindrom (%) Metabolik (%) 1,52 3,03 39,39 56,06 40,91 59,09
Total (%) 4,55 95,45 100,00
Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian besar tidak memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Kelompok pekerja 94
yang tidak minum minuman beralkohol dan mengalami sindrom metabolik sebesar 39,39%. Sedangkan pekerja yang tidak merokok dan tidak mengalami sindrom metabolik sebesar 56,06%. Sebaliknya pada kelompok yang minum minuman beralkohol dan mengalami sindrom metabolik lebih kecil dari pada kelompok yang minum minuman beralkohol dan tidak mengalami sindrom metabolik yaitu masingmasing sebesar 1,52% dan 3,03%. Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok pekerja yang minum minuman beralkohol memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 0,712 kali daripada yang tidak minum minuman beralkohol. 3.2 Pembahasan Sindrom metabolik di Indonesia belum terdata secara epidemiologis tetapi prevalensi obesitas sentral pada laki-laki sebesar 19,7% dan pada perempuan sebesar 32,9%. Sedangkan prevalensi hipertensi sebesar 25,8% pada tahun 2013 yang sebenarnya terjadi penurunan dari tahun 2007 yaitu sebesar 31,7%. Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dan gejala yaitu sebesar 2,1%. Data tersebut menunjukkan gambaran bahwa adanya penyakit degeneratif yang merupakan beberapa tanda sindrom metabolik di Indonesia4. Sindroma metabolik dapat dialami oleh siapapun termasuk pekerja. Sindroma metabolik tersebut dapat ditegakkan diagnosisnya jika telah dilakukan pemeriksaan, pengukuran dan observasi pada pekerja. Di PT X setiap tahun pasti dilakukan pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan darah termasuk pemeriksaan gula darah puasa, kolesterol, trigliserida untuk mengetahui kondisi kesehatan pekerja. Penelitian ini dilakukan pada pekerja di PT X dengan menggunakan data sekunder mengenai pemeriksaan kesehatan dan digabung dengan data primer mengenai data antropometri dan data dietetik. Hasil penelitian menujukkan bahwa sebesar 41% dari total populasi yang diteliti mengalami kejadian sindrom metabolik. Penegakkan diagnosis sindrom metabolik pada penelitian ini berdasarkan 3 dari 5 gejala yang merupakan gejala sindrom metabolik. Pekerja yang mengalami overweight atau kelebihan berat badan ada sekitar 56% dan yang mengalami obesitas sebesar 17%. Rasio lingkar pinggang pekerja yang melebihi batas normal (> 90 cm) ada sekitar 52% atau setengah lebih dari total populasi yang diteliti. Hal tersebut juga berlaku pada kadar kolesterol total. Kadar kolesterol total yang melebihi batas normal (> 40 mg/dL) pekerja di PT X sebesar 64% dari total populasi yang diteliti. Sedangkan kadar trigliserida yang melebihi batas normal ada sekitar 53% dari total populasi. Kadar gula darah puasa dan tekanan darah cenderung normal. Dari gambaran tersebut, diagnosa sindrom metabolik dapat diketahui. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa seseorang dikatakan mengalami sindrom metabolik jika terdiagnosa minimal 3 kriteria penilaian seperti gula darah puasa > 110 mg/dL, tekanan darah 130/85 dan lingkar pinggang > 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk perempuan atau kadar kolesterokl HDL < 40 mg/dL pada pria dan < 50 mg/dL pada wanita. Sebagian besar rasio lingkar pinggang > 90 cm (97± 7,6 cm). Kadar gula darah juga melebihi batas normal ≥ 110 mg/dL (132 ± 32,7mg/dL). Tekanan darah juga melebihi batas normal dengan rata-rata sistolik 141,4 ± 12,9 mmHg dan diastolik 93,3 ± 8,5 mmHg. Kasus obesitas sentral dengan IMT > 27 sebesar 70,8%5.
95
Pola makan menjadi salah satu faktor determinan penyebab terjadinya sindrom metabolik. Pada penelitian ini, ternyata para pekerja di PT X memiliki rata-rata tingkat konsumsi lemak yang cenderung berlebih (lebih dari 20%) dibandingkan dengan rata-rata tingkat konsumsi total energi dan karbohidrat. Pekerja di PT X cenderung memiliki rata-rata tingkat konsumsi energi total yang defisit tetapi terjadi sindrom metabolik di kalangan pekerja. Hal tersebut disebabkan karena kebiasaan merokok dan makan makanan yang berlemak tinggi sehingga kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi. Komposisi konsumsi karbohidrat, lemak dan total kalori berpengaruh pada sindrom metabolik. Semakin banyak konsumsi makan semakin tinggi kejadian sindrom metabolik. Total kolesterol ternyata menjadi indikator tertinggi dalam penentuan sindrom metabolik yang kemudian pada selanjutnya adalah lingkar pinggang. Total kalori dan lemak pada variabel konsumsi makanan menjadi indikator tertinggi untuk menyumbang terjadinya kejadian sindrom metabolik6. Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom metabolik dengan meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan. Masa lemak abdomen merupakan sumber asam lemak bebas dalam sirkulasi darah. Penelitian dengan menggunakan model clamp euglycemic hyperinsulinemia menunjukkan efek marker antinatriuretic pada insulin. Peningkatan kejadian sindroma metabolik seiring dengan peningkatan asupan makanan. Makanan yang tinggi kalori akan menyebabkan sindrom metabolik dengan terjadinya peningkatan masa lemak pada daerah perut6,7. Penelitian ini menunjukkan bahwa asupan makanan dengan kadar lemak yang tinggi dikonsumsi oleh sekitar 89, 39% pekerja dan 36,36% pekerja diantaranya mengalami sindroma metabolik. Konsumsi lemak yang berlebih yang dimaksud pada penelitian ini adalah konsumsi lemak lebih dari 20%. Sedangkan asupan lemak yang dianjurkan adalah 20-25% dari dari kebutuhan energi total. Makanan yang mengandung lemak dalam jumlah besar hanya memberikan rasa gurih tanpa memberikan rasa kenyang berarti sehingga jumlah makanan akan terus dikonsumsi agar merasa kenyang. Jumlah makanan dengan kadar lemak yang tinggi ini dapat memberikan energi yang cenderung tinggi. Perilaku makan makanan tinggi lemak akan menyebabkan adanya ketidakseimbangan lemak yang tersimpan di dalam jaringan lemak. Jaringan lemak yang meningkat akan menyebabkan peningkatan leptin sehingga mempengaruhi pengaturan keseimbangan energi dan pada akhirnya akan menimbulkan obesitas. Kadar kolesterol yang tinggi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari akan merangsang reseptor LDL yang dapat meningkatkan LDL dan trigliserida. Hipertrigliseridemia sering dihubungkan dengan berkurangnya kadar HDL pada obesitas. Keadaan hipertrigliserida pada obesitas merupakan faktor risiko terjadinya gangguan metabolik5,8. Gaya hidup yang tidak sehat juga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti sindrom metabolik. Gaya hidup yang tidak sehat tersebut adalah kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, kurangnya manajemen stress, makan makanan yang tidak bergizi dan kaya lemak serta gula ditambah pula dengan kurangnya aktivitas. Gaya hidup yang ada pada penelitian ini adalah kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja di PT X memiliki kebiasaan
96
merokok. Kebiasaan merokok ini memiliki risiko 1,468 kali menyebabkan terjadinya sindroma metabolik. Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner, terjadi peningkatan kolesterol total dan kadar trigliserida serta meningkatkan kejadian resistensi insulin dan pada akhirnya akan memunculkan risiko sindrom metabolik. Kebiasaan merokok ini juga memiliki hubungan dengan sindrom metabolik yang berhubungan dengan ATP III. Merokok, konsumsi makanan tinggi lemak dan rendah serat merupakan kombinasi yang dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan trigliserida9,10. Sebuah penelitian di Korea menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada saat ini memiliki hubungan yang signifikan dengan sindrom metabolik. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya hubungan yang signifikan antara komponenkomponen sindrom metabolik yaitu tingginya kadar trigliserida dan rendahnya kolesterol HDL dengan kebiasaan merokok. Selain itu, ternyata ada pula hubungan yang positif antara kebiasaan merokok dengan obesitas sentral. Minum minuman beralkohol memiliki efek yang tidak baik bagi kesehatan. Salah satu efek kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol adalah meningkatkan kadar kolesterol. Selain itu, jika konsumsi tersebut dalam kadar yang berlebih, akan menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dan tekanan darah9. 4. Kesimpulan 4.1 Kesimpulan Pekerja di PT X yang mengalami sindrom metabolik sebesar 41% dengan ditandai dengan 3 kriteria yaitu obesitas sentral (IMT > 27), kadar kolesterol darah yang melebihi normal ( > 40 mg/dL) dan kadar trigliserida yang melebihi batas normal (> 120 mg/dL). Tingkat konsumsi energi para pekerja di PT X masuk dalam kategori berlebih sehingga meningkatkan risiko sindrom metabolik. Gaya hidup para pekerja di PT X yang menjadi salah satu faktor pencetus sindrom metabolik adalah kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok memiliki risiko meningkatkan kejadian sindrom metabolik. 4.2 Saran Perlu adanya pengaturan pola makan (baik di kantor maupun di rumah), penyuluhan mengenai bahaya merokok dan dipasang peringatan di setiap unit kerja mengenai bahaya merokok serta program olah raga setiap minggu sekali untuk membantu mempercepat turunnya angka sindrom metabolik. Selanjutnya, perilaku makan saat di kantor dan stress kerja juga ikut diteliti untuk mengetahui kaitan antara beban kerja, stress kerja dan sindroma metabolik. Daftar Pustaka Nurjanah, Fitria. 2014. Gaya Hidup dan Kejadian Sindrom Metabolik pada Karyawan Laki-laki Berstatus Gizi Obesitas di PT Indocement Citeureup. Skripsi. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Satoto. 1998. Kegemukan, Obesitas dan penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan Street. Fuji et al. Impact of Dietary Fiber Intake on Glycemic Control, Cardiovascular Risk Factors and Chroni Kidney Disease in Japanese Patients with Type 2 Diabetes Mellitus: the Fukuoka Diabetes Registry. Nutrition Journal 2013, 12:159
97
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI: Jakarta Wiardani NK, Sugiani PP, Gumala NM. Konsumsi lemak total, lemak jenuh dan kolesterol sebagai faktor risiko sindrom metabolik pada masyarakat perkotaan di Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.2011;7(3):121-127 Sargowo D, Andarini S. Pengaruh komposisi asupan makanan terhadap komponen sindrom metabolik. J Kardiol Indones. 2011; 32:14-23Tsai, T., Cheng, I.J. & Iii, I.I.Y.L., 2011. Prevalence of metabolik syndrome and related factors in Taiwanese high-tech industry workers. , 66(9), pp.1531– 1535. Krikken JA, Lely AT, Bakker SJL, Navis G. The effect of a shift in sodium intake on renal hemodynamics is determined by body mass index in healthy young men. Kidney Int 2007;71:260-5. Kapriana, Martalina T dan Sulchan, Muhammad. 2012. Asupan tinggi lemak dan aktivitas olahraga sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi obesitik pada remaja awal. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Program Studi Ilmu Gizi. Skripsi Ye, Han Hui et al. The Association between Shift Work and the Metabolik Syndrome in Female Workers. Annals of Occupation and Environment Medicine 2013, 25:33. Oh, Sang Woo et al. 2005. Association between cigarette smoking and metabolik syndrome. Diabetes Care, volume 28, number 8, Agustus 2005
98
Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja Dengan Kadar Nikel Dalam Urin Pekerja Sektor Informal Pelapisan Logam Yuliani Setyaningsih Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Jl. Prof.Soedarto, SH Tembalang Semarang E-mail:
[email protected]
Abstrak Nikel sangat dibutuhkan tubuh pada kadar atau konsentrasi yang rendah, tetapi kadar nikel yang tinggi akan sangat beracun bagi manusia. Paparan nikel di pelapisan logam merupakan bahaya kesehatan yang potensial. Paparan senyawa nikel dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti alergi, dermatitis kontak, dan keracunan sistem organ. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan adanya potensi karsinogenik akibat paparan senyawa nikel. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis beberapa faktor karakteristik pekerja dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapisan logam. Penelitian ini adalah penelitian explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini diambil secara purposif sebanyak 66 orang pekerja pelapisan logam di kecamatan Talang kabupaten Tegal. Variabel bebas yang diamati meliputi umur, masa kerja, jenis pekerjaan dan status gizi sedangkan variabel terikatnya nya adalah kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam. Data karakteristik responden dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sedangkan kadar urin dianalisis dengan menggunakan AAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar nikel dalam urin pekerja adalah sebesar 72.52 µMol/L. Ada hubungan bermakna antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam (p = 0.041).Sedangkan umur, masa kerja dan status gizi tidak berhubungan dengan kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam. Kata kunci: kadar nikel, karakteristik pekerja, pelapis logam.
1. Pendahuluan Penggunaan senyawa nikel di sektor industri semakin meningkat. Paparan nikel banyak ditemukan pada pekerja, diantaranya ditemukan di pekerja tambang, produksi alat-alat elektronik, industri kaca dan keramik serta industri baja dan pelapisan logam. Paparan nikel pada manusia terjadi terutama melalui inhalasi dan konsumsi. Paparan senyawa nikel mempunyai efek buruk pada kesehatan manusia. Reaksi yang paling umum dan terkenal akibat paparan nikel adalah alergi nikel dalam bentuk dermatitis kontak. Selain itu akumulasi nikel dalam tubuh melalui paparan kronis dapat menyebabkan fibrosis paru-paru, gangguan jantung, penyakit ginjal dan karsinogenik. Studi epidemiologis paparan senyawa nikel pada manusia menyebabkan karsinogen di paru dan kanker hidung pada pekerja tambang nikel, peleburan dan pemurnian (Denkhaus dan Salnikow, 2002; Kasprzak et al, 2003). Sekitar 2% dari angkatan kerja di industri nikel terkena partikel udara yang mengandung nikel dalam konsentrasi mulai 0,1-1 mg/m3 (IARC, 1990; Denkhaus dan Salnikow, 2002). Senyawa nikel diklasifikasikan sebagai karsinogen pada manusia oleh International Agency for Research on Cancer (IARC, 1990).
99
Beberapa pekerja terpapar nikel melalui inhalasi dari uap dan debu. Selain itu juga akibat terjadi kontak kulit dengan garam, campuran logam atau larutan nikel. Hanya sedikit (kurang dari 5 %) mengabsorbsi nikel melalui pencernaan. Manifestasi akibat toksisitas nikel tergantung dari rute paparan dan kelarutan dari senyawa nikel. Rute utama paparan nikel adalah melalui absorbsi paru. Bavazzano et al. dan Kiilunen et al. melaporkan bahwa nikel dapat diabsorbsi secara oral melalui tangan dan mulut yang terkontaminasi. Paparan kulit danpat menyebabkan sensitivitas nikel dan dermatitis kontak (Bavazzano et al., 1994; Kiilunen et al., 1997). Konsentrasi nikel sebesar 5 µg/dL pada sampel urin sesaat dapat dilakukan pada pekerja yang terpapar keracunan akut ( Rendall et al., 1994). Toksisitas nikel dalam tubuh dipengaruhi oleh dosis, lama paparan, umur, status gizi, tingkat kekebalan, jenis kelamin dan jaringan yang terpapar nikel (EPA, 2001). Sentra industri pelapisan logam di kecamatan Talang kabupaten Tegal menggunakan nikel sebagai salah satu bahan kimia pelapisnya. Dari hasil pengamatan awal diketahui bahwa 10 orang mengalami gatal-gatal di tangan, 3 orang diantaranya mengeluh sesak napas. Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri berupa masker, sarung tangan maupun sepatu boot. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa sajakah yang berhubungan paparan nikel pada pekerja pelapis logam di kecamatan Talang kabupaten Tegal. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di sentra pelapisan Logam Kecamatan Talang kabupaten Tegal. Subyek penelitian diambil secara purposive sebanyak 66 orang pekerja pelapisan logam. Variabel bebas yang diamati meliputi umur, masa kerja, jenis pekerjaan dan status gizi sedangkan variabel terikatnya nya adalah kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kepecayaan 0,05 dan confidence interval 95 % dan nilai α =0,05. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi frekuensi Karakteristik Pekerja Pelapis Logam di Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, tahun 2016 No. 1.
2.
3.
4.
Variabel Umur a. > 34 tahun b. < 34 tahun Masa Kerja a. > 14 tahun b. ≤ 14 tahun Jenis pekerjaan a. Pencelup b. Bukan pencelup Status Gizi (IMT) a. normal b. gemuk c. gemuk sekali
100
n
%
36 30
54.5 45.5
31 35
49.97 53.03
37 29
56.06 43.94
34 5 27
51.5 7.6 40.9
Karakteristik pekerja pelapis logam yang dianalisis di penelitian ini meliputi umur, masa kerja, jenis pekerjaan dan status gizi. Tabel 1 menunjukkan bahwa umur pekerja terbanyak adalah > 34 tahun yaitu sebesar 54.5 %. Sedangkan masa kerja terbanyak adalah kurang atau sama dengan 14 tahun yaitu sebesar 53.03 %. Umur berpengaruh langsung terhadap kekuatan otot seseorang yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja untuk bekerja (Phoon, 1988). Secara tidak langsung umur juga berpengaruh terhadap masa kerja yang menentukan durasi paparan bahan kimia ke dalam tubuh pekerja. Pekerjaan pelapis logam terdiri atas pekerjaan pencelup dan non pencelup. Pekerjaan non pencelup meliputi pengamplasan, gerinda, proses pengerjaan akhir seperti pengelapan dan pengepakan. Di Kecamatan Talang jenis pekerjaan terbanyak adalah pencelup logam yaitu sebesar 56.06 %. Pekerja pencelup ini berada dekat dengan bak elektroplating. Pekerja pelapis logam terpapar oleh partikel dan kabut Nikel dan Chromium yang dihasilkan dari proses elektrolisis yang terjadi di bak elektroplating. Partikel dan kabut tersebut terjadi sebagai akibat letupan pada permukaan cairan di bak elektroplating yang berasal dari gelembung oksigen dan hidrogen keluar dari elektroda saat proses pelapisan (Sarkar, 2002). Adapun status gizi responden terbagi atas normal, gemuk, dan gemuk sekali. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu sebesar 51.5 %. 3.2. Keluhan Sakit Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 42.42% pekerja mengaku tidak memiliki keluhan setelah melakukan pekerjaannya. Meskipun demikian ada 12,67 % pekerja pelapis logam yang mengalami 2 atau lebih keluhan sakit akibat pekerjaannya. Keluhan sakit responden paling banyak atau sebesar 15.15 % adalah sesak napas. Hal ini disebabkan karena sebagian besar paparan Nikel masuk ke dalam tubuh pekerja melalui inhalasi. Selain itu 12.12 % responden juga mngeluh gatal-gatal. Hal ini dapat dijelaskan karena reaksi yang paling umum akibat paparan nikel adalah dermatitis kontak (Denkhaus dan Salnikow, 2002).
Gambar 1. Jenis keluhan Sakit yang dialami Pekerja Pelapis Logam di Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, Tahun 2016
101
3.3. Paparan Nikel Kadar nikel pada responden dilihat dengan mengukur kadar nikel dalam urin. Urin pekerja diambil setelah bekerja selama 4 jam kerja dan sebelum istirahat makan siang sebanyak 5 ml. Sampel urin selanjutnya ditampung dalam kontainer polypropylene, Hasil pemeriksaan kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi frekuensi kadar nikel dalam urin Pekerja Pelapis Logam di Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, tahun 2016 No. Kadar nikel n % 1 Lebih dari median ( 65.7 µMol/L) 31 46.97 2 Kurang dari median (65.7 µ Mol/L) 35 53.03 Jumlah 100 100.00 Kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam berkisar antara 9.52 µMol/L185.98 µMol/L. Adapun rerata nikel dalam urin pekerja adalah sebesar 72.52 µMol/L dan median 65.70 µMol/L. Sebanyak 53.03 % pekerja memiliki kadar nikel dalam urinnya kurang dari median. Konsentrasi nikel sebesar 5 µg/dL di dalam spot urin yang dikumpulkan setelah terpapar, menunjukkan bukti adanya keracunan akut pada pekerja (Rendall et al, 1994). Nikel secara normal dibuktikan pada sampel biologi pada kadar yang sangat rendah (0.3-1.2 µg/L dalam serum dan 2.0-6.0 µg/L dalam urine) (Christensen, 1995; Templeton et al, 1994). Kadar nikel dalam urin dapat digunakan untuk memonitor peningkatan paparan nikel dan kadar/konsentrasi diatas 0.5 mg/LdL menunjukkan tanda-tanda serius (Tsai et al, 1996) 3.4. Hubungan antara Umur dengan Kadar Nikel dalam Urin pada Pekerja Pelapis Logam Hubungan antara umur dan Kadar Nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Tabulasi Silang Hubungan antara Umur dengan Kadar Nikel dalam Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014 Kadar Nikel Total Katagori P ≥ median < median umur n % n % n % >34 17 47.2 19 52.8 36 100 1.000 <34 14 46.7 16 53.3 30 100 Total 31 47.0 35 53.0 66 100 Hasil uji statistik menggunakan chi square menunjukkan nilai p sebesar 1.000, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara umur pekerja pelapis logam dengan kadar nikel dalam urin pekerja. Meskipun tidak ada hubungan terlihat bahwa pada usia lebih dari 34 tahun terdapat 47.2% pekerja yang memiliki kadar nikel dalam urinnya lebih dari nilai median (65.7 µMol/L). Angka ini lebih besar dibandingkan pada kelompok usia kurang dari 34 tahun.
102
3.5. Hubungan antara Masa kerja dengan Kadar Nikel dalam Urin pada Pekerja Pelapis Logam Tabel 4 menunjukkan tabulasi silang hubungan antara masa kerja dengan kadar nikel pada pekerja pelapis logam. Proporsi kadar nikel lebih besar dari median lebih besar terjadi pada masa kerja lebih dari 14 tahun, yaitu sebesar 51.6 % dibanding pada usia kurang dan sama dengan 14 tahun yaitu hanya sebesar 42.9 %. Tabel 4. Tabulasi Silang Hubungan antara Masa Kerja dengan Kadar Nikel dalam Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014 Kadar Nikel Total Katagori ≥ median < median P masa kerja n % n % n % >14 16 51.6 16 48.4 31 100 0.642 ≤14 15 42.9 20 57.1 35 100 Total 31 47.0 35 53.0 66 100 Meskipun demikian hasil uji statistik dengan menggunakan chi square menunjukkan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kadar nikel dalam urin dengan nilai p = 0.642. Menurut Phoon, masa kerja yang lebih panjang membantu tenaga kerja beradaptasi terhadap lingkungan kerjanya dan memiliki pengalaman yang lebih baik dalam bekerja dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja yang pendek ( Phoon, 1988). 3.6. Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kadar Nikel dalam Urin pada Pekerja Pelapis Logam Hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam dapat dilihat pada table berikut ini: Tabel 5. Tabulasi Silang Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kadar Nikel dalam Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal , 2014 Kadar Nikel Katagori Total Jenis ≥ median < median P Pekerjaan n % n % n % Pencelup 22 59.5 15 40.5 37 100 0.047 Bukan 9 31.0 20 69.0 29 100 pencelup Total 31 47.0 35 53.0 66 100 Tabel 5 menjelaskan hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel urin pada pekerja pelapis logam. Adapun pekerjaan pada pelapisan logam terdiri atas pekerjaan pencelup dan non pencelup. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square menunjukkan ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel pada urin pekerja pelapis logam dengan nilai p = 0.047. dan OR 3.259 ( CI =1.170-9.079). Ini berarti pekerjaan pencelup memiliki peluang 3.26 kali lebih besar untuk memiliki kadar nikel dalam urin diatas median (65.7 µMol/L) dibandingkan dengan pekerjaan non pencelup. Pekerja pencelup memiliki risiko yang lebih besar karena bekerja menghadapi bak pelapis, terpapar uap bahan kimia secara langsung dan tidak menggunakan alat pelindung diri. 103
Selain itu ventilasi yang tidak adekuat membuat uap nikel terkumpul di sekitar bak elektroplating (Kiilunen et al., 1997; Greenberg et al., 2003) 3.7. Hubungan antara Status Gizi dengan Kadar Nikel dalam Urin pada Pekerja Pelapis Logam Hubungan antara status gizi dengan kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam dapat dilihat pada tabel 6. Status gizi pada penelitian ini terbagi atas normal, gemuk dan gemuk sekali. Tabel 6. Tabulasi Silang Hubungan antara Status gizi dengan Kadar Nikel dalam Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014 Kadar Nikel Total Katagori ≥ median < median Status Gizi p n % n % n % Normal 18 52.9 16 47.1 34 100 0.41 Gemuk 4 80.0 1 20.0 5 100 Gemuk sekali 9 33.3 18 66.7 27 100 Total 31 47.0 35 53.0 66 100 Hasil uji statistik menggunakan chi square menunjukkan nilai p sebesar 0.096, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara status gizi pekerja pelapis logam dengan kadar nikel dalam urin pekerja. Tubuh memerlukan zat makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel dan pertumbuhan, dimana tingkat gizi seseorang berkaitan erat dengan kesehatan dan daya kerja. Banyaknya kalori yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan harus terpenuhi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Jika asupan gizi tidak terpenuhi maka kemampuan pekerja akan berkurang dan mudah letih (Suma’mur PK, 1994) 4. Kesimpulan 1. Kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam berkisar antara 9.52 µMol/L185.98 µMol/L. Adapun rerata nikel dalam urin pekerja adalah sebesar 72.52 µMol/L dan median 65.70 µMol/L. Sebanyak 53.03 % pekerja memiliki kadar nikel dalam urinnya kurang dari median 2. Umur pekerja terbanyak adalah > 34 tahun yaitu sebesar 54.5 %. Sedangkan masa kerja terbanyak adalah kurang atau sama dengan 14 tahun yaitu sebesar 53.03 %. Jenis pekerjaan terbanyak adalah pencelup logam yaitu sebesar 56.06 %. Adapun status gizi responden terbagi atas normal, gemuk, dan gemuk sekali. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu sebesar 51.5 %. 3. Tidak ada hubungan antara umur dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam ( nilai p = 1.000). 4. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.642). 5. Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.041). 6. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.096)
104
Daftar Pustaka Bavazzano P, Bolognesi R, Cassinelli C , 1994, Skin Contamination and low airborne nickle exposure of elektroplaters, Sci Total Environ 155:83 Christensen, J, 1995, Human exposure to toxic Metal: Factors influencing interpretation of biomonitoring result, Sci Total Environ 166: 89 Denkhaus, E, K. Salnikow, 2002, Nickel Essencially, toxicity, and carcinogenicity of nickel compounds, Crit.Rev, Oncol.Hematol, 42 , 35-56 Greenberg, Michael I. Richard J.H., Scott, D.P., Gayla J.M., 2003. Occupational, Industrial and Environmental Toxicology, second edition, Philadelphia: Mosby International Agency for Reseach on Cancer, IARC, 1990, Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, vol 49, Chromium, Nickel and Welding, IARC, Scientific Publication , Lyon, 257-445 International Committe on Nickels Carcinogenesis in Man,1990, Report of the International Commiite on Nickel carcinogenesis in Man, Scand J Work Environ Health , 6:1-82 Kasprzak, K.S., F. William Sunderman Jr, Konstantin Salnikow, 2003, Nickel Carcinogenesis, Mutation Research 533 , 67-97 Kiilunen m, Aitio A, Tossavainen A, 1997, Occupational exposureto Nickel salts in electroplatic aplating, Ann, Occup Hyg 41 (2):189 Phoon, W.1988,Practical Occupational Health, Singapore: PG. Publishing Rendall, R, Phillips J, Renton K, 1994, Death following exposure to fine particulate nickel from a metal process. Ann Occup Hyg , 38: 921 Suma’mur, PK, 1994, Hiperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi, jakarta: Darma Bakti Muara Agung Suyono, Joko . Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2001 Tsai, PJ, Vincent JH, Wahl G et al, 1996 , Occupational exposure to inhalable and Total aerosol in the primary nickelproduction industry, Occup Environ Med %3 (2): 793
105
Hubungan Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Karyawan Game4Indo Yogyakarta Suci Khoiriyah, Nor Wijayanti Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Surya Global Yogyakarta Jalan Ring Road Selatan Blado Potorono Banguntapan Bantul Tel. 1085768767540, 2087737022904 1 E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Kebisingan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Pengukuran kebisingan tempat kerja Game4indo Yogyakarta rata-rata 89,4 dB, melebihi nilai ambang batas berdasarkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999, nilai ambang batas adalah 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kelelahan diartikan suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk melanjutkan kegiatan. Game4indo Yogyakarta setiap harinya karyawan terpapar kebisingan 6-8 jam per hari atau 40 jam per minggu tanpa waktu istirahat. Adanya shift malam berturut-turut tanpa hari libur setelah bekerja. Kelelahan yang dikeluhkan seperti telinga berdengung hingga pusing, mudah lelah diawal bekerja, cepat mengantuk, tidak fokus, rasa malas bekerja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampel dengan total populasi (sampling jenuh). Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh karyawan Game4indo berjumlah 32 orang. Pengumpulan data kebisingan menggunakan alat Sound Level Meter dan data kelelahan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Resource Committe). Analisis data menggunakan uji Kendall’s Tau SPSS versi 21. Ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta dengan nilai P-value 0,043 < α (0,05). Kata kunci: karyawan, kebisingan, kelelahan kerja.
1. Pendahuluan Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar tenaga kerja/masyarakat tenaga kerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor tenaga kerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum.1 Sehat digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan tenaga kerjaannya.2 Kesehatan kerja dapat tercapai secara optimal jika tiga komponen kerja berupa kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja dapat berinteraksi secara baik dan serasi.1 Kebisingan adalah sebagai bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai dengan kontek ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia.3 Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja
106
No. KEP-15/MEN/1999 mendefinisikan kebisingan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.4 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 718/Menkes/Per/XI/ 1987, kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak diinginkan sehingga mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan. Bising ini merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas yang tidak diingini sehingga mengganggu ketentraman orang terutama pendengaran.5 Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan.6 Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja antara lain mengurangi kenyamanan dalam bekerja, tetapi tidak semua tenaga kerja terganggu akan kebisingan yang ada, hal ini disebabkan mereka sudah terbiasa oleh kondisi yang ada dalam jangka waktu yang lama. Kebisingan dapat mengganggu komunikasi atau percakapan antar tenaga kerja, mengganggu konsentrasi, menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara maupun yang permanen.2 Pengukuran kebisingan tempat kerja Game4indo Yogyakarta rata-rata 89,4 dB, melebihi nilai ambang batas berdasarkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999, nilai ambang batas adalah 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Game4indo Yogyakarta setiap harinya karyawan terpapar kebisingan 6-8 jam per hari atau 40 jam per minggu tanpa waktu istirahat. Adanya shift malam berturut-turut tanpa hari libur setelah bekerja. Kelelahan yang dikeluhkan seperti telinga berdengung hingga pusing, mudah lelah diawal bekerja, cepat mengantuk, tidak fokus, rasa malas bekerja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kebisingan di Game4indo Yogyakarta, mengetahui tingkat kelelahan karyawan Game4indo Yogyakarta dan mengetahui hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. 2. Metode Penelitian Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampel dengan total populasi (sampling jenuh). Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh karyawan Game4indo Yogyakarta berjumlah 32 orang. Pengumpulan data kebisingan menggunakan alat Sound Level Meter dan data kelelahan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Resource Committe). Metode analisis data dengan analisis univariat untuk mengestimasi parameter populasi untuk data numerik, menggambarkan setiap variabel yang diteliti secara terpisah dengan cara membuat tabel frekuensi dari masing-masing variabel serta menggunakan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan terikat.7 Penelitian ini analisis bivariat dilakukan dengan uji Kendall’s Tau SPSS versi 21.
107
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1. 2.
Usia (Tahun) < 20 21-30 Total
Frekuensi (F) 6 26 32
Persentase (%) 18,75 81,25 100
Tabel 1, data responden berdasarkan usia bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berusia 21- 30 tahun dengan jumlah 26 responden atau persentase sebesar 81,25%. Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1. 2.
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi (F) 20 12 32
Persentase (%) 62,5 37,5 100
Tabel 2, data responden berdasarkan jenis kelamin bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 responden atau persentase 62,5 %. Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1 2 3 4
Pendidikan SD SMA D3 S1 Total
Frekuensi (F) 1 24 2 5 32
Persentase (%) 3,1 75 6,3 15,6 100
Tabel 3, data responden berdasarkan pendidikan bahwa responden sebagian besar dengan pendidikan SMA sebanyak 24 responden atau persentase 75%. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Bekerja Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1. 2. 3. 4.
Lama Bekerja (Tahun) <1 1-2 2-3 3-4 Total
Frekuensi (F)
Persentase (%)
21 6 4 1 32
65,6 18,8 12,5 3,1 100
Tabel 4, data responden berdasarkan lama bekerja bahwa sebagian besar lama bekerja kurang dari setahun sebanyak 21 responden persentase 65,6%.
108
3.1.2. Analisis Data Tabel 5. Hasil Pengukuran Kebisingan Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1. 2.
Hasil Rata-rata Pengukuran Kebisingan Standar (dibawah NAB yakni < 85) Lebih dari Standar (diatas NAB yakni ≥ 85) Total
Frekuensi (F) 6 26 32
Persentase (%) 18,75 81,25 100
Tabel 5, data hasil rata-rata pengukuran kebisingan menunjukkan bahwa nilai kebisingan dibawah NAB atau memenuhi standar yakni dibawah 85 dB berada pada kategori yang sudah sesuai dengan standar NAB yang ditetapkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999 dengan frekuensi 6 titik pengukuran atau persentase 18,75 %. Data hasil rata-rata pengukuran kebisingan menunjukkan bahwa nilai kebisingan diatas atau sama dengan NAB atau melebihi standar NAB yang ditetapkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999 dengan frekuensi 26 titik pengukuran atau persentase 81,25 %. Tabel 6. Kelelahan Responden (Skor Kelelahan Dengan Kuesioner IFRC) Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. 1. 2. 3.
Kelelahan Ringan Sedang Tinggi Total
Frekuensi (F) 7 18 7 32
Persentase (%) 21,85 56,30 21,85 100
Tabel 6, data kelelahan responden menunjukkan bahwa skor kelelahan dengan kuesioner IFRC sebagian besar responden mengalami kelelahan sedang dengan frekuensi 18 responden atau persentase 56,3%. Tabel 7. Data Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Karyawan Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 Kebisingan Standar Lebih dari Standar Total
F 3
Rendah % 9,375
F 3
Kelelahan Sedang % 9,375
F 0
Tinggi % 0
Jumlah F 6
% 18,75
4
12,5
15
46,875
7
21,875
26
81,3
7
21,875
18
56,25
7
21,87
32
100
Tabel 7, data kebisingan dengan kelelahan kerja diketahui bahwa kebisingan dalam kategori standar atau di bawah NAB dengan kelelahan rendah memiliki frekuensi 3 responden atau persentase 9,375%, kelelahan sedang memiliki frekuensi 3 responden atau persentase 9,375%. Kebisingan dalam kategori lebih dari standar atau atau sama dengan NAB dengan kelelahan rendah memiliki frekuensi 4 responden atau persentase 12,5%, kelelahan sedang memiliki frekuensi 15 responden atau persentase 46,875%, kelelahan tinggi memiliki 7 responden atau persentase 21,875%.
109
3.1.3. Hasil Uji Kendall’s Tau Tabel 8.Hasil Uji Statistik Hubungan Kebisingan dengan Kelelahan Kerja Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 Correlations
Correlation Coefficient Nilai Kebisingan Sig. (2-tailed) N Kendall's tau_b Correlation Coefficient Kategori kelelahan Sig. (2-tailed) N
Nilai Kebisingan 1,000
Kategori kelelahan ,346*
. 32 ,346*
,043 32 1,000
,043 32
. 32
Tabel 8, nilai p-value 0,043 <α (0,05). Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. 3.2. Pembahasan Pengukuran kebisingan di Game4indo Yogyakarta yang melebihi dari standar atau sama dengan NAB (≥ 85 dB) didapatkan nilai kebisingan rata-rata dengan persentase sebesar 81,25 %, sesuai standar atau dibawah NAB (<85 dB) didapatkan persentase 18,75%. Hasil tersebut dibandingkan dengan Kepmenaker No. 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di tempat kerja yang menyebutkan NAB untuk pemajanan 8 jam per hari atau 40 jam dalam satu minggu adalah sebesar 85 dB.4 Kebisingan dapat memaparkan suara bising pada waktu pemajanan 4 menit/hari dan karyawan harus memakai ear plug dalam bekerja, karena ear plug dapat mengurangi intensitas kebisingan suara antara 1015 dB.2 Pengukuran kelelahan kerja karyawan di Game4indo Yogyakarta didapatkan bahwa untuk kelelahan ringan sebanyak 7 responden atau persentase 21,85%, kelelahan sedang sebanyak 18 responden atau persentase 56,30% dan kelelahan tinggi sebanyak 7 responden atau persentase 21,85%. Kelelahan berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh, selain itu juga menyebabkan seseorang berhenti bekerja seperti halnya kelelahan fisiologis berakibatkan tertidur. Kelelahan mudah ditiadakan dengan beristirahat. Tetapi, jika dipaksakan bekerja terus (tidak beristirahat), kelelahan akan bertambah dan dapat mengganggu kesehatan.8 Hasil uji Kendall’s Tau pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai p-value 0,043 < α (0,05), Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. Hasil penelitian tentang kebisingan ini sesuai dengan penelitian Fredianta,dkk (2013) yang menyatakan bahwa semua titik pengukuran tingkat kebisingan tiap operator pekerja melebihi NAB di PT XYZ.9 Berikut pula dengan penelitian Muizzudin (2013) yang menyatakan ada hubungan antara kelelahan kerja dengan produktivitas kerja pada tenaga kerja bagian tenun di PT. Alkatex Tegal, dengan menggunakan metode analisa data yakni Chi square Test.10 Penelitian lain tentang
110
kelelahan kerja yang hasilnya mendukung yaitu penelitian Fahri, dkk (2010) menyatakan rata-rata kebisingan diantara 90,87 dB sampai dengan 93,67 dB dan hasil uji statistik korelasi dan regresi membuktikan nilai p = 0,041 hal ini membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi.11 Penelitian dari Hanifa (2005) menyatakan ada pengaruh kebisingan terhadap kelelahan menggunakan uji korelasi Pearson membuktikan ada hubungan antara kebisingan dengan kelelahan pada tenaga kerja Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani Semarang.12 4. Kesimpulan 1. Kebisingan yang tidak sesuai standar atau diatas NAB dengan frekuensi 26 responden atau persentase sebesar 81,25 %, kebisingan yang sesuai standar atau dibawah NAB dengan frekuensi sebanyak 6 responden atau persentase 18,75 %. 2. Kelelahan kerja kategori kelelahan ringan dengan frekuensi 7 responden atau persentase 21,85%, kelelahan sedang dengan frekuensi 18 responden atau persentase 56,3% dan kelelahan tinggi dengan frekuensi sebanyak 7 responden atau persentase 21,85%. 3. Hasil uji Kendall’s Tau didapatkan nilai p-value 0,043<α (0,05). Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. Daftar Pustaka 1. Suma’mur, P.K., Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Edisi Revisi, Jakarta, Gunung Agung, 2014. 2. Budiono, A.M. Sugeng, Yusuf R.M.S, Pusparini, A, Bunga Rampai Hiperkes dan K3, Semarang, BP Universitas Diponegoro, 2013. 3. Sasongko, D., Kebisingan Lingkungan, Semarang, Universitas BP Diponegoro, 2009. 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-51.MEN/1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja, Jakarta, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 1999. 5. Keputusan Menteri Kesehatan No.718/Menkes/Per/XI/1987 Tentang Kebisingan, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 1987. 6. Anizar, Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012. 7. Notoatmodjo, S, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta, 2012. 8. Suma’mur, P.K, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta, Gunung Agung, 2009. 9. Fredianta, G.D., Huda, N.L., Ginting, E., Analisis Tingkat Kebisingan Untuk Mereduksi Dosis Paparan Bising Di PT.XYZ, e-Jurnal Teknik Industri FT USU, Vol 2, No. 1, Mei 2013 pp. 1-8 10. Muizzudin, A., Hubungan Antara Kelelahan Kerja Dengan Produktivitas Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Tenun di PT. Alkatex Tegal, Skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013.
111
11. Fahri, S., Pasha, E., Kebisingan Dan Tekanan Panas Dengan Perasaan Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi, Prossiding Seminar Nasional Unimus, Semarang, ISBN: 978.979.704.883.9, 2010. 12. Hanifa, Y. T., Pengaruh Kebisingan Terhadap Kelelahan Pada Tenaga Kerja Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani Semarang. Skripsi, Universitas Negeri Semarang, 2005.
112
Pengaruh Frekuensi Menyusui terhadap Keluhan Sakit Punggung Pada Pekerja Wanita di Perusahaan Garmen Yeremia Rante Ada’, Sumardiyono Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 Tel. 081347122037, 08562838920 E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah sakit atau nyeri punggung yaitu 22% dari 1.700.000 kasus. Pekerja di perusahaan garmen umumnya didominasi oleh pekerja wanita, yang dalam salah satu siklus kehidupannya adalah memasuki fase menyusui dan di sisi lain masih harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen di Surakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei bersifat analitik dengan metode cross sectional. Populasi penelitian ini meliputi pekerja wanita dalam siklus menyusui pada 5 perusahaan garmen di Surakarta. Sampel penelitian 67 orang diambil menggunakan purposive quota sampling dengan kriteria: wanita menyusui, usia 20-40 tahun. Analisis statistik menggunakan Chi square Test. Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen (X2=9,656; p=0,002; C=0,355; OR=5,1 CI=1,768-14,712). Sedangkan variabel lain diperoleh: umur (X2=0,567; p=0,451), bagian kerja (X2=3,993; p=0,262), IMT (X2=0,007; p=0,932), masa kerja (X2=2,125; p=0,145).Dengan demikian variabel pengganggu seperti umur, bagian kerja, IMT, dan masa kerja tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung. Frekuensi menyusui berpengaruh secara signifikan sebesar 35% dan berisiko 5 kali lebih besar terhadap keluhan sakit punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen. Kata kunci: frekuensi menyusui, sakit punggung.
1. Pendahuluan Hampir semua orang dapat mengalami sakit/nyeri punggung pada aktivitaskehidupannya. Sakit punggung berbedaterhadap satu orang ke orang lain dan tingkat risikonya bisa ringan sampai parah, serta jangka waktunya bisa singkat maupun panjang. Sakit punggung adalah rasa sakit/nyeri yang terletak di bagian belakang tubuh manusia dari leher sampai ke tulang ekor. Sakit punggung merupakan salah satu cedera fisik paling umum untuk pekerja, tidak hanya mereka yang bekerja di lapangan tetapi juga bagi mereka yang bekerja di kantor maupun industri. Nyeri punggung tidak hanya terjadi untuk mereka yang bekerja mengangkat benda berat, tetapi dapat terpapar risiko sakit punggung jika beraktivitas duduk di kursi kerja, bisa pada saat bekerjapada komputer sepanjang hari, menjahit dengan posisi duduk, atau berdiri untuk jangka waktu lama. Hal yang lebih buruk apabila nyeri punggung bisa menjadi sesuatu yang serius yang dapat menjadi cedera jangka panjang. Sakit punggung sulit untuk dipulihkan, maka lebih baik untuk mencegahnya. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan sakit punggung (The President Post, 2012).
113
Pernyataan dari Wirawan (2004) yang mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Community Oriented Program for Controle of Rheumatic Disease (COPORD),di Indonesia menunjukan prevalensi nyeri punggung 18,2 % pada laki-laki dan 13,6 % pada wanita. Selanjutnya Tarwaka dkk (2004) mengutip pernyataan National Safety Council yang melaporkan bahwasakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah sakit/nyeri pada punggung, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus. Salah satu risiko terjadinya sakit punggung akan dialami oleh para pekerja di perusahaan garmen. Pekerja di perusahaan garmen umumnya didominasi oleh pekerja wanita, yang dalam salah satu siklus kehidupannya adalah memasuki fase melahirkan, menyusui, menopause dan disisi lain masih harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.Nyeri punggung pada wanita menopause biasanya terkait erat dengan kondisi tulang punggung.Susunan tulang punggung manusia sangat kompleks, teratur, pas tingginya, dan ada ujung saraf yang keluar di antara ruas-ruas tulang. Tulang punggung berbeda dari tulang kering karena lebih longgar dan berongga. Sumber sakit punggung paling umum adalah otot-otot yang lemah atau kaku di daerah punggung, perut, dan urat-urat lutut. Masalah punggung sering diperparah oleh gaya hidup sekarang yang lebih banyak duduk, sehingga menyebabkan ketegangan di punggung tetapi juga dapat menyebabkan kegemukan 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei bersifat analitik dengan metode cross sectional. Populasi penelitian ini adalah pekerja wanita yang masih dalam siklus menyusui, dilakukan pada 5 perusahaan garmen di Surakarta. Sampel penelitian 67 orang diambil menggunakan purposive quota sampling dengan kriteria: wanita menyusui, usia 20-40 tahun. Analisis statistik menggunakan Chi square Test. 3. Hasil Penelitian 3.1. Karakteristik Subjek Penelitian Jumlah subjek penelitian yang digunakan sebagai sampel sebanyak 67 orang wanita di perusahaan garmen yang bekerja pada bagian Sewing, QC, Packing, dan bagian lainnya. Subjek bekerja 8 jam perhari dengan 1 jam istirahat. Pengukuran terhadap variabel penelitian saat pekerja melaksanakan pekerjaannya pada shift pagi. Data karakteristik subjek penelitian tersaji pada tabel 1. Variabel utama yang diteliti adalah frekuensi menyusui bayi di malam hari yang dilakukan oleh subjek penelitian. Subjek penelitian adalah wanita/ibu-ibu yang memiliki bayi, yang dalam aktivitasnya di rumah selain merawat bayi juga menyusui bayinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi rata-rata menyusui dalam 2 hari terakhir dari 67 orang subjek yang diteliti diperoleh data minimal 1 kali dan maksimal 7 kali. Nilai rata-rata frekuensi menyusui adalah 4,2 sehingga kategorinya pertama < 4 kali per malam dan kategori kedua > 4 kali per malam.
114
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian No 1.
2.
3.
4.
5.
Karakteristik Frekuensi Menyusui < 4 kali per malam > 4 kali per malam Umur < 28 tahun > 28 tahun Bagian Kerja Sewing QC Packing Lainnya Indeks Massa Tubuh Normal / Kurus Gemuk/ Obesitas Masa Kerja < 6 tahun > 6 tahun
Jumlah (Orang)
Total Subjek (orang)
%
Total (%)
40 27
67
60 40
100
36 31
67
54 46
100
32 8 2 25
48 12 3 37
67
100
50 17
67
75 25
100
37 30
67
55 45
100
3.1.2. Hasil Pengukuran Sakit Punggung Keluhan sakit punggung diukur dengan kuesioner Nordic Body Map. Hasil pengukuran keluhan sakit punggung terhadap 67 orang subjek penelitian tersaji pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengukuran Keluhan Sakit Punggung No 1 2
Kriteria Ada Keluhan Sakit Punggung Tidak Ada Keluhan Sakit Punggung
Jumlah (Orang) 40
% 59,7
27
40,3
% Kumulatif 100
Hasil pengukuran terhadap 67 orang subjek penelitian ditemukan 59,7% merasakan keluhan sakit/nyeri punggung, sedangkan 40,3% tidak merasakan keluhan sakit/nyeri punggung. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa 2/3 tenaga kerja wanitasubjek penelitian yang diukur mengalami keluhan sakit punggung. Karakteristik pekerjaan di industri garmenpada umumnya sangat berkaitan erat dengan sikap kerja yang ergonomis, meliputi posisi kerja duduk,posisi berdiri,material handling, ketelitian cukup tinggi, tingkat pengulangan kerja tinggi pada satu jenis otot, berinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting dan pisau potong, dan paparan bahaya lingkungan kerja.Permasalahan ergonomi kerja di industri garmen terutama sangat terkait dengan posisi postur tubuh pada saat bekerja. Seperti yang dilaporkan oleh David (1999), diantara penyakit kerja yang terkait dengan kondisi lingkungan kerja di persahaan garmen antara lain 70% operator jahit mengalami sakit punggung.
115
3.1.3. Hasil Uji Statistik Pengaruh Frekuensi Menyusui terhadap Keluhan Sakit Punggung Untuk mengatahui apakah ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung pada wanita pekerja perusahaan garmen, seberapa besar pengaruhnya, dan seberapa besar nilai risikonya, maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan Chi Square Test, Contingency Coeficient, dan Odd Ratio. Hasil uji tersaji pada tabel 3. Tebel 3. Hasil Uji Statistik Pengaruh Frekuensi Menyusui Terhadap Keluhan Sakit Punggung Keluhan Sakit Punggung Frekuensi Ada Tidak Ada Menyusui Keluhan Keluhan n % n % < 4 kali per malam 30 75 10 25 > 4 kali per malam 10 37 17 63 Jumlah 40 60 27 40
Jumlah n 40 27 67
% 100 100 100
X2
p
C
9,656 p=0,002 0,355
OR
5,1
Dari tabel 1 tersaji pada kelompok subjek dengan kategori frekuensi menyusui < 4 kali per malam, sebanyak 40 orang yang mengeluh sakit punggung 75% dan tidak mengeluh sakit punggung 25%. Sedangkan subjek dengan kategori frekuensi menyusui > 4 kali per malam, sebanyak 27 orang yang mengeluh sakit punggung 37% dan tidak mengeluh sakit punggung 63%. Adanya pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung dibuktikan melalui Chi Square Test yang diperoleh nilai uji X2=9,656 pada p=0,002. Oleh karena nilai p < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan. Dengan demikian dapat dinyatakan ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung. Frekuensi menyusui > 4 kali per malam yang dilakukan wanita mempengaruhi timbulnya keluhan sakit punggung ditunjukkan oleh nilai C=0,355. Dengan demikian frekuensi menyusui > 4 kali per malam menyebabkan timbulnya keluhan sakit punggung sebesar 35,5%, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi keluhan sakit punggung sebesar 84,5%. Faktor risiko frekuensi menyusui > 4 kali per malam berisiko mengalami keluhan sakit punggung. Besarnya risiko untuk mengalami keluhan sakit punggung pada wanita yang menyusui bayinya > 4 kali per malam dibandingkan frekuensi menyusui < 4 kali per malam sebesar 5 kali yang ditunjukkan oleh nilai OR=5,1. 3.1.4. Hasil Uji Statistik Variabel Pengganggu terhadap Keluhan Sakit Punggung Untuk mengetahui apakah keluhan sakit punggung juga dipengaruhi oleh variabel pengganggu, maka dilakukan uji statistik. Karena banyak variabel pengganggu yang secara teoritis mempengaruhi keluhan sakit punggung, maka penelitian ini hanya mengambil umur, bagian kerja, indeks massa tubuh (IMT), dan masa kerja. Umur diukur dengan wawancara yang dibuktikan diperkuat data kepegawaian perusahaan. Bagian kerja diukur dengan kuesioner yang diperkuat oleh pernyataan kepala bagian produksi. IMT diukur dengan mengukur tinggi badan dalam meter dan berat badan dalam kg yang selanjutnya nilai IMT dihitung dengan rumus. Masa kerja diukur dengan data kepegawaian perusahaan.
116
Tabel 4. Hasil Uji Statistik Variabel Pengganggu terhadap Keluhan Sakit Punggung Variabel Umur < 28 tahun > 28 tahun Bagian Kerja Sewing QC Packing Lainnya IMT Normal / Kurus Gemuk/ Obesitas Masa Kerja < 6 tahun > 6 tahun
Keluhan Sakit Punggung Ada Tidak Ada Keluhan Keluhan N % n %
Jumlah n
%
X2
p
0,567
0,451
23 17
64 55
13 14
36 45
36 31
100 100
19 4 0 17
59 50 0 68
13 4 2 8
41 50 100 32
32 8 2 25
100 100 100 100
3,993
0,262
30 10
60 59
20 7
40 41
50 17
100 100
0,007
0,932
25 15
68 50
12 15
32 50
27 30
100 100
2,125
0,145
Keterangan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor luar menyebabkan keluhan sakit punggung antara lain umur, bagian kerja, indeks massa tubuh, dan masa kerja maka dilakukan uji statistik untuk mengetahui apakah ada pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap timbulnya keluhan sakit punggung. Umur terendah 20 tahun dan tertinggi 37 tahun dengan nilai rata-rata 28,01 tahun, maka digunakan kategori < 28 tahun dan > 28 tahun. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh faktor umur terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05). Bagian kerja dikategorikan menjadi 4 kalegori, yaitu Sewing, Quality Control, Packing, dan bagian lain. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh bagian kerja terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05). Indeks massa tubuh terendah 15,82kg/m2 dan tertinggi 31,9 kg/m2. Data menunjukkan IMT dengan kategori kurus (kekurangan berat badan tingkat ringan) = 13 orang, kategori normal = 37 orang, kategori gemuk (kelebihan berat badan tingkat ringan) = 9 orang dan sangat gemuk (kelebihan berat badan tingkat berat) = 8 orang.Dalam hal ini IMT dikategorikan menjadi 2 kelompok dengan menggabungkan kurus dan normal menjadi kelompok normal sebanyak 50 orang, dan gemuk dan sangat gemuk menjadi kategori gemuk sebanyak 17 orang. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh faktor IMT terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05).Masa kerja terendah 1 tahun dan tertinggi 14 tahun dengan nilai rata-rata 6,19 tahun, maka digunakan kategori < 6 tahun dan >6 tahun. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh faktor masa kerja terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05). 3.2. Pembahasan Pekerja wanita di industri garmen merupakan mayoritas dari keseluruhan pekerja dibanding laki-laki. Dilihat dari permasalahan kesehatan kerja,pekerja memiliki risiko penyakit yang berhubungan dengan otot dan rangka atau yang dikenal dengan sebutan musculoskeletal disorders (MSDs), dimana salah satunya adalah nyeri punggung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita sebagai ibu yang sedang menyusui bayinya lebih dari 4 kali per malam memiliki risiko yang lebih tinggi 117
dibanding ibu yang menyusui bayinya kurang dari frekuensi 4 kali per malam. Tugas wanita yang lebih berat dibanding laki-laki akan terbawa dampaknya ke tempat kerja dikarenakan pekerja wanita ini harus melakukan peran ganda dalam mendukung ekonomi rumah tangga. Dampak yang muncul bisa saja diawali dengan kelelahan karena harus bangun malam hari untuk menyusui bayinya, sehingga besoknya pada saat bekerja tidak dalam kondisikerja yang fit, selanjutnya akan mengalami keluhan gangguan sakit punggung. Akibat dari nyeri punggung yang terjadi pada para pekerja dapat menyebabkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan dan lambat laun dapat menyebabkan perubahan fisik (Suma’mur, 2009). Hasil penelitian ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Davies (2007), yang menyatakan bahwa jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri pada punggung, karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada siklus menstruasi maupun menyusui. selain itu proses menopouse juga dapat menyebabkan kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga memungkinkan terjadinya nyeri punggung. Terkhusus pada wanita menyusui maka faktor frekuensi atau seringnya menyusui di malam hari berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung. Dalam penelitian ini, umur tertinggi 37 tahun dengan rata-rata 28,01 tahun tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung. Hal ini sependapat dengan teori yang disampaikan oleh Tarwaka (2004), yang menyampaikan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal (salah satunya adalah otot punggung) mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Dimana keluhan pertama dirasakan pada umur 35 tahun dan keluhan terus meningkat seiring bertambahnya umur (Tarwaka, 2004). Penelitian lain oleh Lutam (2005), didapatkan bahwa faktor-faktor determinan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri punggung salah satunya adalah status perkawinan. Pada wanita yang menikah memiliki risiko 4,12 kali (OR=4,12; 95% CI= 1,50-11,27) untuk mengalami keluhan sakit/nyeri punggung. Berbeda dengan penelitian Lutam (2005), pada penelitian ini subjek tidak hanya menikah namun sudah pada tahapan menyusui bayinya. Selanjutnya disampaikan oleh Lutam (2005), status gizi mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik pada uji bivariat,tetapi tidak termasuk pada faktor determinan untuk terjadinya nyeri punggung; sedangkan umurtidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan nyeri punggung. Dalam penelitian ini, variabel pengganggu yaitu masa kerja dengan kategori < 6 tahun dan > 6 tahun tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05). Namun hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Khaizun (2013), yang menyatakan ada pengaruh masa kerja dengan kategori < 4 tahun dan ≥4 tahun terhadap keluhan subjektif pada punggung pekerja tenun sarung ATBM di Pemalang (p=0,02; OR=5). Dengan demikian, perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah kategori masa kerja. 4. Kesimpulan Ada pengaruh frekuensi menyusui dengan frekuensi > 4 kali per malamterhadap keluhan sakit punggung (X2=9,656; p=0,002). Faktor frekuensi menyusui > 4 kali per malam menyebabkan timbulnya keluhan sakit punggung sebesar 35,5%, sedangkan 84,5% disebabkan oleh faktor lain. Besarnya risiko
118
untuk mengalami keluhan sakit punggung pada wanita yang menyusui bayinya > 4 kali per malam dibandingkan frekuensi menyusui < 4 kali per malam sebesar 5 kali (OR=5,1). Daftar Pustaka Davies, Kim. 2007. Nyeri Tulang Dan Otot, terjemahan oleh Dina Mardiana. Jakarta: Erlangga. Khaizun, 2013. “Faktor Penyebab Keluhan Subyektif Pada Punggung Pekerja Tenun Sarung ATBM di Desa Wanarejan Utara Pemalang”. Skripsi. Semarang: Jurusan IKMFIK UNNES. Lutam, 2005. “Analisis Nyeri Punggung dengan Faktor-Faktor yang Berhubungan Pada Pekerja Wanita di Penjahitan Pakaian PT X Gunung Putri Bogor Tahun 2005”. Tesis.Perpustakaan Universitas Indonesia, http://www.digilib.ui.ac.id/ opac/themes/libri2/detail.jsp?id=85383. Suma'mur, P.K., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: Sagung Seto. The President Post, 2012. Pencegahan Nyeri Punggung di Kantor. Tarwaka, Solichul HA. Bakri dan Sudiajeng, Lilik. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, Cetakan I, Surakarta: UNIBA Press. Wirawan RB, 2004. “Diagnosis dan Manajemen Nyeri Pinggang”. Kumpulan makalah Towards Mechanism-Based pain Treatment, the Recent Trends and Current Evidences. Yogyakarta, pp: 105-8. David, Mahone. 1999. Ergonomics in the Textile and Apparel Industries. Chicago: CNA Insurance Companies.
119
Keluhan Gangguan Pernapasan Ditinjau dari Kadar Debu Total, Masa Kerja, Behavior Based Safety (BBS) Karyawan PT Borneo Melintang Buana Eksport Kabupaten Sleman Sitti Fatimah Rahmansyah, Dwi Nurani Ohorella, Hening Rizky Permata, Mahfi Yusuf Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tel. 082348079742, E-mail:
[email protected]
Abstrak PT Borneo Melintang Buana Eksport (BMB) merupakan salah satu industri yang bergerak dalam produksi mebel untuk diekspor ke luar negeri. Hazard potential yang terdapat sangat dominan di perusahaan ini adalah debu kayu dalam proses produksi yang dijalankan. Di sisi lain, para pekerja yang terpapar dengan debu kayu tersebut tampak tidak patuh terkait behavior-based safety (BBS), sehingga dicurigai debu kayu tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pernapasan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar debu total, masa kerja, behavior-based safety terhadap gangguan pernapasan pada bagian produksi di PT BMB. Pengambilan data dilakukan secara cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif. Pengukuran kadar debu total menggunakan dust meter, BBS diukur dengan menggunakan kuesioner, masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan dikaji melalui wawancara. Kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya pada karyawan yang tidak menjadi responden di PT BMB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dan behaviorbased safety terhadap keluhan pernapasan. Masa kerja memiliki p-value sebesar 0,631 sedangkan behavior-based safety memiliki p-value sebesar 1,000. Keluhan pernapasan yang terjadi disebabkan oleh kandungan debu yang ada di lingkungan kerja yang melebihi NAB tempat kerja yaitu sebesar 9,9323 mg/m3. Tidak ada hubungan antara masa kerja dan behavior-based safety terhadap keluhan pernapasan. Keluhan disebabkan karena tingginya kadar debu di lingkungan tempat kerja. Kata kunci: Behavior-based safety, debu total, gangguan pernapasan, masa kerja.
1. Pendahuluan Dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), perusahaan dan tenaga kerjanya mendapatkan tantangan untuk meningkatkan produktivitas kerja melalui penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) agar dapat bersaing dan tetap bertahan. Salah satu upaya untuk menerapkan K3 adalah dengan mengendalikan bahaya yang muncul di lingkungan kerja, baik itu bahaya kecelakaan akibat kerja (KAK) maupun bahaya penyakit akibat kerja (PAK)1. PT BMB jika diamati secara langsung, tampak masalah faktor lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan maupun keselamatan kerja pekerjanya. Salah satunya adalah debu kayu yang muncul dari berbagai aktivitas yang dilakukan dalam proses produksi. Di sisi lain, tampak beberapa pekerjaan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) dalam bekerja untuk melindungi pernapasanannya dari paparan debu.
120
Studi membuktikan bahwa terjadi penurunan fungsi paru pada pekerja industri mebel akibat paparan debu kayu2. Penelitian lain menemukan pada pekerja mebel kayu Kota Jayapura menemukan bahwa kadar debu kayu yang terhirup berhubungan dengan kapasitas vital paksa paru karyawan mebel tersebut3. Penggunaan masker dan kadar debu total juga berhubungan dengan keluhan pernapasan 4,5. Di sisi lain, tidak ditemukan adanya hubungan penurunan fungsi paru dengan paparan debu kayu pada karyawan industri mebel6. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku penggunaan APD atau masker berhubungan dengan gangguan pernapasan. Penggunaan masker memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan keluhan pernapasan7, 8. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa kerja serta BBS dengan keluhan gangguan paru oleh pekerja unit produksi PT BMB, serta untuk menganalisis bagaimana kondisi lingkungan khususnya kadar debu total dalam ruangan kerja unit produksi PT BMB. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi potong lintang, dengan pengambilan data untuk variabel terikat dan variabel bebas dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Penelitian dilakukan di perusahaan mebel PT BMB Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada minggu terakhir bulan Maret 2016. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan di bagian produksi PT BMB Kabupaten Sleman Yogyakarta. Didapatkan jumlah sample sebesar sejumlah 153 responden dengan derajat kesalahan sebesar 5%. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar debu total, masa kerja, serta Behavior Based Safety pada karyawan PT BMB Kabupaten Sleman. Variabel terikat adalah keluhan subjektif gangguan pernapasan9. Kadar debu total diperoleh dengan pengukuran menggunakan dust meter. Pengukuran ini dilakukan oleh tim ahli pengukuran faktor fisik lingkungan kerja dari Balai Hiperkes Yogyakarta. Masa kerja, diperoleh dengan menggunakan lembar pertanyaan. Behavior Based Safety diperoleh menggunakan lembar pertanyaan. Keluhan gangguan pernapasan dilakukan menggunakan lembar pertanyaan. Analisa data dilakukan secara deskriptif, untuk menggambarkan kadar debu total dalam ruang kerja, masa kerja, behavior based safety serta keluhan gangguan pernapasan. Bivariat dengan menggunakan chi square, untuk menganalisis hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. 3. Hasil Penelitian 3.1. Analisis Univariat Berdasarkan tabel 1, diperoleh hasil bahwa pekerja laki-laki memiliki persentase yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan yakni sebesar 83,66%. Pekerja lulusan SMA/sederajat adalah yang paling banyak dengan nilai sebesar 78,43% dan pekerja lulusan D3 hanya sekitar 0,65%. Dari data yang telah diperoleh, mayoritas pekerja merokok dengan angka sebesar 52,94%. Selain itu para pekerja juga mengeluhkan adanya keluhan pernapasan seperti batuk, pilek, sesak napas, bahkan nyeri dada dengan frekuensi sebesar 73,9%. Perilaku keselamatan para pekerja secara keseluruhan sebesar 50,3% dan pekerja yang bekerja di PT BMB ini mayoritas adalah pekerja baru dengan frekuensi sebesar 54,2%.
121
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan, Status Merokok, dan Keluhan Pernapasan Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SMP SMA D3 Status Merokok Merokok Tidak Pernah Keluhan Pernapasan Ada keluhan Tidak ada keluhan Behavior based safety Tidak baik Baik Masa kerja Baru Lama
Jumlah (n)
Frekuensi (%)
128 25
83,66 16,34
19 12 120 1
12,42 8,50 78,43 0,65
81 46 26
52,94 30,07 16,99
113 40
73,9 26,1
76 77
49.7 50.3
83 70
54.2 45.8
Tabel 2 menjelaskan bahwa kadar debu dalam ruangan kerja di PT BMB telah melebihi NAB yaitu sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB = 1 mg/m3). Di sisi lain, kadar debu di luar ruangan diperoleh nilainya hampir mendekati baku mutu lingkungan yaitu sebesar 210, 43 µg/m3 (baku mutu = 230 µg/m3). Tabel 2. Pengujian Kadar Debu Pada PT BMB Export10 Lokai Dalam ruang kerja Luar ruang kerja
NAB/ Baku Mutu 1 230
Satuan mg/m3 µg/m3
Hasil Analisa 9,9323 210,43
Keterangan Melebihi NAB Di bawah baku mutu
3.2. Analisis bivariat Tabel 3. Hubungan Masa Kerja dan Behavior Based Safety dengan Keluhan Pernapasan Responden Variabel Masa Kerja Baru Lama Behavior based safety Baik Tidak baik
Keluhan pernapasan Ada keluhan Tidak ada keluhan
P-value
60 (72,3%) 53 (74,7%)
23 (27,7%) 17 (24,3%)
0,631
56 (73,7%) 57 (74%)
20 (26,3%) 20 (26%)
1,000
Tabel di atas menjelaskan bahwa sebagian besar karyawan memiliki keluhan pernapasan, baik ditinjau dari masa kerja maupun behavior based safety. Meskipun banyak karyawan yang memiliki keluhan pernapasan, secara statistik 122
keluhan pernapasan tidak berhubungan dengan masa kerja maupun behavior based safety. 4. Pembahasan Kemampuan fisik seseorang akan berangsur-angsur menurun seiring dengan bertambahnya masa kerja. Masa kerja sangat berpengaruh dimana jika seorang pekerja melakukan pekerjaan di bidang tertentu selama bertahun-tahun dilakukan maka tidak menutup kemungkinan akan mengalami keluhan yang bisa berakibat fatal. Dampak dari semakin lamanya seseorang bekerja dapat menyebabkan gangguan pada fungsi paru dan terjadinya akumulatif timbunan debu ini berhubungan dengan masa kerja pekerja11. Namun, berdasarkan hasil olah data, diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan pernapasan dengan nilai p-value sebesar 0,631. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan pernapasan4. Masa kerja lebih dari 5 tahun tidak berpengaruh terhadap keluhan pernapasan12. Hal ini tergantung dari dosis paparan dan jenis debu yang terhirup tiap harinya. PT BMB menggunakan beberapa jenis kayu tergantung kebutuhan produksinya, yaitu kayu jati, kayu jawa dan kayu Palembang. Adapun jenis kayu selain kayu jati memiliki partikel yang lebih kecil dan halus serta lebih mudah terhirup oleh pekerja meskipun telah menggunakan masker. Hal inilah yang memungkinkan keluhan pernapasan yang dialami oleh pekerja ini cenderung disebabkan oleh jenis kayu yang diolah. Tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan keluhan pernapasan kemungkinan disebabkan karena mayoritas responden memiliki masa kerja yang relatif lebih singkat serta berdasarkan dari wawancara langsung kepada responden, keluhan pernapasan yang sering mereka alami seperti batuk, pilek, sesak napas dan nyeri dada lebih cenderung terjadi saat kondisi fisik lemah dan karena pengaruh cuaca serta jenis kayu yang mereka olah. Behavior based safety (BBS) terdiri atas perilaku penggunaan alat pelindung diri, persyaratan keselamatan dan inisiatif keselamatan. Berdasarkan data, diperoleh hasil bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara perilaku behavior based safety dengan keluhan pernapasan dengan nilai p-value sebesar 1,000. Hal ini kemungkinan disebabkan karena keluhan yang dialami oleh pekerja diakibatkan oleh partikel debu. Para pekerja mengaku bahwa meskipun mereka menggunakan masker tetapi debu tetap masuk ke dalam masker. Selain itu, keluhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluhan subjektif yang berarti bahwa keluhan pada individu itu tergantung pada kepekaan individu itu sendiri. Penyebab lain kemungkinan diakibatkan karena keluhan yang dialami oleh pekerja tergantung pada kondisi lingkungan. Secara keseluruhan, masa kerja lama, masa kerja baru, BBS baik ataupun BBS tidak baik, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keluhan pernapasan pekerja. Berdasarkan data dari Hiperkes, partikel debu diruang kerja melebihi nilai ambang batas yaitu sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB: 1 mg/m3). 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Masa kerja dan behavior-based safety tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik terhadap keluhan pernapasan di PT. Borneo Melintang Buana. Namun, keluhan pernapasan disebabkan karena kadar debu di lingkungan
123
tempat kerja sangat tinggi yang melebihi nilai ambang batas yakni di dalam ruang produksi sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB = 1 mg/m3), serta di luar ruangan sebesar 210, 43 µg/m3 (baku mutu = 230 µg/m3). 5.2. Saran PT Borneo Melintang Buana disarankan melakukan upaya pengendalian kadar debu total di area produksi. Penggunaan alat pelindung diri yang lebih sesuai agar paparan debu dapat diminimalisir sehingga pekerja terlindungi dari penyakit akibat kerja. Pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi dini kemungkinan adanya penyakit paru. 6. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak pengelola PT. Borneo Melintang Buana Export karena telah mengizinkan kami untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut. Ucapan terima kasih kami pula kepada pihak pekerja yang telah membantu memberikan informasi selama penelitian ini berlangsung. Daftar Pustaka 1. Suma’mur, P.K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: CV Sagung Seto 2. Jacobsen, G., Schlunssen V., Schamburg I., Taudorf E., Sigsgaard T. 2008 Longitudinal Lung Function Decline and Wood Dustr Exposure in the Furniture Industry. European Respiratory Journal 31: 334-342 3. Irjayanti, A., Nurjazuli, Ari W. 2012. Hubungan Kadar Debu Terhirup (Respirable) Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Mebel Kayu di Kota Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 11(2): 182-186 4. Sholikhah, A.M., Sudarmaji. 2015. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Kadar Debu Total dengan Keluhan Pernapasan pada Pekerja Industri Kayu X di Kabupaten Lumajang. Jurnal Kesehatan Lingkungan 1 (1): 1-12. 5. Istiharini, D., Yuantari, MG.C., Hartini, E. 2013. Studi Kadar Debu Kapas di Udara pada Pengolahan Kaps UD Tuyaman Desa Sidomukti Weleri Kabupaten Kendal Tahun 2013. Jurnal Online Universitas Dian Nuswantoro http://eprints.dinus.ac.id/id/eprint/6500 6. Baran, S., Swietlik K., Teul I. 2009. Lung Function: Occupational Exposure to Wood Dust. European Journal of Medical Research 14 (5): 14-17. 7. Laga, H., Russeng, S.S., Wahyu, A. 2013. Faktor yang berhubungan dengan kapasitas paru tenaga kerja di kawasan industri mebel antang makassar. Jurnal online kesehatan masyarakat universitas hasanuddin http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6712. 8. Ashari, A., Naiem, M.F., Rahim, M.R. 2013. Gambaran Keluahan Gangguan Kesehatan pada Operator Percetakan Kota Makassar Tahun 2013. Jurnal Online Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin http://repository.unh as.ac.id/handle/123456789/6019 9. Rab, T. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates 10. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 2016. Laporan Pengujian Tanggal 26 Februari 2016. Yogyakarta: Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja
124
11. Fahmi, T. 2012. Hubungan Masa Kerja dan Penggunaan APD dengan Kapasitas Fungsi Paru pada Pekerja Tekstil Bagian Ring Frame Spinning I di PT. X Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1 (2): 828-835 12. Kandung, R.P.B. 2013. Hubungan antara Karakteristik Pekerja dan Pemakaian Alat Pelindung Pernafasan (Masker) dengan Kapasitas Fungsi Paru pada Pekerja Wanita bagian Pengampelasan di Industri Mebel “X”. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2 (1)
125
Pengurangan Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit X Kota Padang Tahun 2016 Fadillah Ulva, Adi Heru Sutomo, Agus Surono Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak Tuntutan pengelolaan program keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit (K3RS) semakin meningkat. Pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat di sekitar rumah sakit berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja. Keselamatan pasien merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan K3RS. Berkaitan dengan hal tersebut RS X telah membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit sejak tahun 2011. Program pertama dari tim ini yaitu membudayakan keselamatan pasien. Pencapaian dari program ini belum 100% atau belum optimal. Tujuan penelitian untuk mengkaji budaya keselamatan pasien di RS X dilihat dari aspek pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dengan penerapan hand hygiene. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Subyek penelitian diambil secara purposive sampling berjumlah 7 orang. Instrumen penelitian melakukan wawancara mendalam, panduan pedoman wawancara berdasarkan instrumen akreditas rumah sakit tahun 2012. Observasi langsung dan telaah dokumen untuk mendukung data wawancara. Pengurangan risiko infeksi di RS X melalui penerapan lima momen untuk cuci tangan. Praktik hand hygiene sudah mulai dilakukan walaupun belum optimal. Praktik hand hygiene belum berjalan pada semua momen cuci tangan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa kendala seperti sarana dan prasarana yang belum maksimal serta kesadaran masing-masing individu. Upaya penerapan keselamatan pasien di RS X melalui praktek hand hygiene belum terpenuhi secara optimal. Sarana dan prasarana perlu dilengkapi. Kata kunci: budaya keselamatan pasien, hand hygiene, keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
1. Pendahuluan Keselamatan telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu: keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, dan keselamatan lingkungan (green productivity). Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan (Kemenkes RI, 2010). Institute of Medicine di Amerika Serikat pada tahun 2000 menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak: “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta berkisar 44.000–98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan 126
angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai negara antara lain Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2–16,6%. Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien (Depkes RI, 2008). Data tentang KTD di Indonesia apalagi kejadian nyaris cedera (near Miss) masih langka. Namun kejadian kesalahan medis pada pasien telah banyak dilaporkan dalam beberapa kasus yang mendapatkan kerugian bermakna bagi pasien. Raharjo (2006) yang mengutip dari Herkutanto (2004) melaporkan adanya 126 kasus tuduhan malpraktek terhadap rumah sakit selama periode 1999 sampai 2004. Majelis Kode Etik Kedokteran juga mencatat 41 kasus malpraktek di DKI Jakarta selama Juli–September 2003. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit maka (Beginta, 2012). Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan bahwa rumah sakit di Indonesia diwajibkan untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui akreditasi rumah sakit minimal dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sekali. Standar akreditasi rumah sakit terdiri dari empat kelompok, yang salah satunya adalah kelompok sasaran keselamatan pasien. Sehingga keselamatan pasien merupakan bagian yang sangat penting dalam akreditasi rumah sakit (KARS, 2012). Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada Juli 2014 diketahui bahwa RS X di Padang belum terakreditasi baik akreditasi nasional maupun JCI. Tim keselamatan pasien RS X di Padang dibentuk pada tahun 2011. Tim keselamatan pasien dipimpin oleh Direktur Medik dan Keperawatan. Tim keselamatan pasien memiliki Sembilan program kerja. Pencapaian dari program ini belum 100% atau belum optimal. Salah satu upaya dalam menerapkan budaya keselamatan pasien yaitu pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan RS X di Padang. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus (case study) yang bertujuan mendiskripsikan keadaan, menilai, serta mengetahui tentang pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X. Subyek dalam penelitian ini adalah Sekretaris Tim Keselamatan Pasien RS X, Anggota Tim Keselamatan Pasien RS X, dan perawat di instalasi rawat inap RS X sebanyak 5 orang. Variabel dalam penelitian ini adalah pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam (in depth interview). Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi (pengamatan langsung) dengan menggunakan lembar checklist, alat tulis dan tape recorder sebagai alat perekam. Data sekunder diperoleh dengan pemanfaatan dokumendokumen yang ada di RS X dengan informan sebagai sumber data. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dari satuan uraian dasar, sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dapat terlaksana.
127
3. Hasil dan Pembahasan RS X telah membuat acuan dalam hand hygiene. Acuan yang digunakan yaitu dari WHO. Upaya pengurangan infeksi melalui prosedur hand hygiene dinilai sebagai cara yang efektif dalam pengurangan rantai infeksi. Hal ini disampaikan oleh informan 4. “Sangat bagus untuk mengurangi risiko penularan ke pasien lain, dari satu pasien ke pasien lain terutama saat ini kan kita sudah banyak pasien kita yang menderita MRSA kan” (Informan 4) Penerapan prosedur hand hygiene masih mengalami beberapa kendala yaitu masih kurangnya sarana dan prasarana serta perilaku individu yang masih belum terbiasa. Hal ini disampaikan oleh informan 4. “Ditanya sarana hand hygiene disini sangat kurang, salah satunya dibilang kurang kita cuma punya washtoffel untuk hand wash satu unit, kalau handrubs kita punya ditiap-tiap pintu kamar pasien yang sudah pasang. Cuma untuk washtoffel kita cuma punya satu unit, itu sudah beberapa kali kita minta. Namun belum ada tindak lanjut” (Informan 4) Penempatan lokasi handrub juga perlu diperhatikan. Handrub yang tersedia hanya satu unit yang dipasang di dinding pintu masuk ruang perawatan. Hal ini akan menyulitkan tenaga medis dalam melaksanakan prosedur hand hygiene, sesuai dengan yang disampaikan oleh informan 2. “Udah berjalan cuma kadang dokter ribet, dia setiap melakukan tindakan harus cuci, setelah itu ulang lagi, mungkin yang pertamanya saja dia lakukan. Kadang ingat kadang tidak. Tapi ribet juga kan, tergantung sebenarnya. Tapi sarananya gak mendukung. Sebenarnya gimana supaya tidak ribet yang dipikirkan. Misalnya dibangsal, ada 10 orang kontak dengan satu pasien kalau cuci tangan keluar dulu, masuk lagi, keluar lagi. Ndak mungkin, menambah waktu lebih lama kan. Habis waktunya untuk itu, belum lagi diagnosanya” (Informan 2) Pengurangan risiko infeksi di RS X dilakukan dengan penerapan lima momen untuk cuci tangan. SPO terkait hand hygiene telah disosialisasikan kepada semua petugas baik melalui surat edaran, pertemuan pre-conference, pamflet, dan simulasi. Petugas telah mengetahui tentang pentingnya hand hygiene dalam upaya pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Namun dalam prakteknya belum terlaksana. Sarana dan prasarana hand hygiene di RS X belum sepenuhnya tersedia. Terdapat beberapa unit yang belum mempunyai fasilitas cuci tangan sehingga harus pergi ke unit disampingnya. Selain itu, penyedian handrub juga terkadang tidak tepat waktu. Hal tersebut menjadi kendala dalam upaya perubahan perilaku untuk mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2014) di ruang rawat inap rumah sakit menunjukkan bahwa kepatuhan hand hygiene perawat ruang rawat inap rumah sakit masih rendah (35%). Angka kepatuhan yang tinggi ditemukan pada momen sesudah kontak atau melakukan tindakan sedangkan kepatuhan cuci tangan sebelum kontak sangat rendah bahkan nol pada momen sebelum kontak dengan pasien.
128
Masih rendahnya kepatuhan hand hygiene dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu antara lain faktor pengetahuan dan penguatan monitoring atau pengawasan. Selain itu juga diperlukan mekanisme sangsi dan penghargaan yang merupakan determinan dalam kepatuhan hand hygiene. Carpenter dalam Mulyatiningsih (2013) menjelaskan bahwa cara yang paling umum diperolehnya infeksi adalah melalui peralatan seperti kateter saluran kemih, infus, pembedahan dan ventilator. Infeksi yang mungkin terjadi adalah infeksi saluran kemih, plebitis, pneumonia berhubungan dengan pemakaian ventilasi mekanik dan infeksi luka operasi berhubungan dengan tindakan pembedahan. Infeksi dan penyebaran infeksi dapat dikurangi melalui upaya pencegahan. Menurut Storr (2005) tidak semua infeksi dapat dicegah namun proporsi yang signifikan yang mempengaruhi infeksi dapat dihindari adalah perilaku dan praktik staf dalam berinteraksi dengan pasien. Mengatasi infeksi di perawatan dengan membuat sesuatu yang sesederhana mungkin sehingga mudah dilaksanakan dan tujuan terhadap pengendalian dan pencegahan infeksi dapat tercapai. Mencuci tangan dianggap sebagai salah satu tindakan terpenting untuk mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi. Penelitian Semmelweis dan banyak penelitian lainnya memperlihatkan bahwa penularan penyakit menular dari pasien ke pasien mungkin terjadi melalui tangan petugas kesehatan. Menurut Boyce, menjaga kebersihan tangan dengan baik dapat mencegah penularan infeksi nosokomial. Hand hygiene merupakan istilah yang digunakan untuk mencuci tangan menggunakan antiseptic pencuci tangan. Pada tahun 2009, WHO mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene untuk petugas kesehatan dengan “My Five Moments for Hand Hygiene”. Lima momen cuci tangan, yaitu melakukan cuci tangan sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan prosedur bersih dan steril, setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, setelah bersentuhan dengan pasien, setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X belum berjalan secara optimal. Penerapan pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X masih terkendala oleh aspek sarana dan prasarana, proses perubahan perilaku. Selain itu, kebijakan terkait dengan keselamatan pasien belum ada hanya panduan atau SPO yang telah tersedia. Saran yang direkomendasikan peneliti yaitu bagi manajemen diharapkan melakukan pengawasan secara berkala terhadap pelaksanaan pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Fasilitas sarana dan prasarana perlu dilengkapi. Bagi manajemen supaya mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan tentang keselamatan pasien berdasarkan pada Permenkes No. 1691/Menkes/Per/ VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Bagi kepala keperawatan, sebaiknya melakukan pendekatan secara berkelanjutan kepada perawat dan menerapkan safety talk dan safety briefing. Bagi perawat diharapkan dapat menerapkan upaya pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X.
129
Daftar Pustaka 1. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1087/MENKES/SK/VIII/2010: Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta. 2. Herkutanto. (2004). Kualitas Visum Et Repertum (VeR) Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Indonesia. 2004;54(9):355-61 3. Depkes, RI. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 4. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (2012). Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta. 5. Kementerian Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta 6. Beginta, R. (2012). Pengaruh Budaya Keselamatan pasien, Gaya Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi tahun 2011. [Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 7. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (2012). Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta. 8. Bea, I.F., Syahrir A.P., Noer. B.N. (2013). Gambaran Budaya Keselamatan pasien di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Tahun 2013 [Jurnal] disitasi dari repository.unhas.ac.id pada tanggal 22 Juli 2014. 9. Muslim, M. Fauzan. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawat Dalam Melaksanakan Identifikasi Pasien di Rumah Sakit Puri Indah Jakarta Barat [Skripsi] disitasi dari http://digilib.esaunggul.ac.id pada tanggal 23 Februari 2015. 10. Nilsson, L., Lindeeroet, O., Gupta, A., & Vegfors, M. (2009). Implementing a pre-operative checklist to increase patient safety: a 1-year follow-up of personnel attitudes. Journal Compilation. Vol.54/No.2 halaman 176-182. Diunduh melalui
[Diakses 23 Februari 2015]. 11. Mulyatiningsih, Sri. (2013). Determinan Perilaku Perawat Dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di Rawat Inap RSAU Dr Esnawan Antariksa Jakarta [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. 12. Choo, J. Hutchinson, A., & Bucknall, T. (2010). Nurses' role in medication safety. Journal of Nursing Management. Vol.18/No.5 halaman 853-861. Diunduh melalui [Diakses 5 Januari 2015]. 13. Flynn, L., Liang, Y., Dickson, G.L., Xie, M., & Suh, D.C. (2012). Nurses’ practice environments, error interception practices, and inpatient medication errors. Journal of Nursing Scholarship Vol.44/No.22 halaman 180-186. Diunduh melalui [Diakses 6 Januari 2015]. 14. Ernawati, Elies, Asih Tri R, dan Satra Wiyanto. (2014) Penerapan Hand hygiene Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014 halaman 89-94.
130
Analisis Faktor Penyebab Musculoskeletal Disorders Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment Pada Staf Kependidikan UNIDA Tofan Agung E.P, Eka Rosanti, Ratih Andhika A.R, Edwina Rudyarti Universitas Darussalam Gontor Jl. Raya Siman Km.5 Siman, Ponorogo Tel. (0352) 483762 E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor memilliki staf kependidikan dengan mayoritas pekerjaan di depan komputer atau Visual Display Unit (VDU) setiap hari dan merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko menimbulkan musculoskletal disorders (MSDs) (Wahlstroom, 2005). Beberapa staff kependidikan menyatakan bahwa mereka mengalami rasa nyeri pada bagian punggung dan leher. Fasilitas yang digunakan termasuk kursi dan meja mempengaruhi postur tubuh staf sehingga menjadi kurang ergonomis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan musculoskeletal disorders dengan metode RULA pada staff kependidikan UNIDA Gontor. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Populasi penelitian adalah staf kependidikan yang bekerja di UNIDA Gontor yang berjumlah 20 orang. Metode pengambilan sampel yaitu total populasi sehingga sampel berjumlah 20 orang. Variabel keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) diukur dengan metode Nordic Body Map (NBM) dan variabel antropometri pekerja diukur menggunakan busur untuk ukuran tubuh dan RULA untuk postur tubuh. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan cross tab dan Koefisien Korelasi (KK). Hasil uji kekuatan hubungan (koefisien korelasi) umur (0.283), masa kerja (0.189), kebiasaan merokok (0.330) dengan musculoskeletal disorders dalam kategori rendah. Kekuatan hubungan (koefisien korelasi) antara antropometri stasiun kerja (0.418) dengan musculoskeletal disorders dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa analisis antropometri dan postur tubuh operator dengan metode RULA menunjukkan semua responden pada action level 2, yang artinya penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan. Mayoritas (12 orang) staf kependidikan UNIDA Gontor mengalami keluhan tingkat rendah musculoskeletal disorders. Kata kunci: musculoskeletal disorders, RULA, staff kependidikan, UNIDA.
1. Pendahuluan Gangguan musculoskeletal adalah masalah kesehatan yang paling umum di Uni Eropa yaitu 25 – 27% dari pekerja Eropa mengeluh sakit punggung dan 23% nyeri otot. Hasil studi Departemen Kesehatan dalan profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005, menunjukkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita pekerja sehubungan dengan pekerjaannya. Gangguan kesehatan yang dialami pekerja, menurut penelitian yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12 kabupaten atau kota di Indonesia, umumnya berupa penyakit musculoskeletal disorders (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (3%) dan gangguan THT (1,5%) (1). 131
Universitas Darussalam Gontor merupakan Universitas baru yang memilliki staf kependidikan dengan mayoritas pekerjaan di depan komputer setiap hari. Pekerjaan di depan komputer atau disebut Visual Display Unit (VDU) merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko menimbulkan musculoskletal disorders (MSDs) (2). Berdasarkan studi observasi awal, beberapa staf kependidikan menyatakan bahwa mereka mengalami rasa nyeri pada bagian punggung dan leher. Selain itu fasilitas yang digunakan termasuk kursi dan meja mempengaruhi postur tubuh staf sehingga menjadi kurang ergonomis. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melakukan penelitian mengenai analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan musculoskeletal disorders staff kependidikan UNIDA Gontor. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross sectional. Penelitian dilakukan di UNIDA Gontor Ponorogo pada bulan Mei 2014. Populasi penelitian ini adalah staf kependidikan yang bekerja di UNIDA yang berjumlah 20 orang dengan pengambilan sampel secara total. Variabel bebas penelitian ini adalah umur, kebiasaan merokok, masa kerja, indeks massa tubuh, iklim kerja, antropometri pekerja, sedangkan variabel terikat yaitu keluhan Musculoskeletal Disorders. Variabel umur, kebiasaan merokok dan masa kerja diperoleh menggunakan kuesioner. Variabel indeks massa tubuh (IMT), iklim kerja, akan dilakukan pengukuran oleh petugas dari laboratorium. Variabel Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) diukur dengan metode Nordic Body Map (NBM). Variabel antropometri pekerja didapatkan dari pengukuran dengan menggunakan busur untuk ukuran tubuh dan RULA untuk postur tubuh. Teknik pengolahan data dilakukan meliputi editing, coding, entry dan cleaning. Analisis data dilakukan menggunakan cross tab dan koefisien korelasi (KK). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Faktor Individu Tabel 2. Antropometri dan postur tubuh responden Bagian tubuh terukur Jangkauan tangan Tinggi badan Tinggi bahu Tinggi siku berdiri Tinggi pinggul Panjang depa Panjang lengan
Posisi berdiri (cm) Mean Min Max 209,4 201 223 165,5 158 173 135,7 129 143 104,5 100 112 95,75 90 102 171 161 179 60,95 56 72
Panjang lengan Atas
26,65
20
34
Panjang lengan bawah
44,55
42
47
132
Bagian tubuh terukur Lebar bahu Lebar pinggul Tinggi duduk Tinggi pinggul Tinggi siku Tinggi lutut Tinggi lipat lutut Jangkauan pantat dan lipat lutut -
Posisi duduk Mean Min Max 42,7 38 49 31,15 23 48 86,55 81 93 22,15 15 27 26 20 31 49,45 31 57 53,9 50 58 43,7
41
49
-
-
-
3.1.2. Distribusi Masing-masing Variabel 3.1.2.1. Umur
Gambar 1. Distribusi umur Berdasarkan gambar 1 diketahui 40% (8 responden) berumur < 23 tahun dan 60% (12 responden) berumur ≥ 23 tahun. 3.1.2.2. Kebiasaan Merokok
Gambar 2. Distribusi kebiasaan merokok Gambar 2 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kebiasaan merokok (55%) dan (45%) memiliki kebiasaan tidak merokok. 3.1.2.3. Masa Kerja
Gambar 3. Distribusi masa kerja Berdasarkan gambar 3 diketahui sebagian besar responden memiliki masa kerja ≤ 1 tahun (65%) dan terdapat 7 responden (35%) memiliki masa kerja lebih dari 1 tahun.
133
3.1.2.4. Iklim Kerja Tabel 3. Pemeriksaan iklim kerja (suhu ruang) Suhu AC Ruang Responden F % o Sesuai NAB (28-32 C) (SNI 16-7061-2004) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja 5 100% dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 13 Tahun 2011) Tidak sesuai NAB (>32oC) 0 0% Total 5 100% Tabel 3 menjelaskan bahwa seluruh ruang responden memiliki suhu AC ruangan dalam batas aman sesuai NAB 28-32oC, untuk beban pekerjaan sedang. 3.1.2.5. Fasilitas Pekerja (Stasiun Kerja)
Gambar 4. Distribusi antropometri meja dan kursi responden Gambar 4 menunjukkan terdapat 16 responden (80%) yang meja dan kursi kerjanya sesuai dan 4 responden (20%) lainnya tidak sesuai dengan nilai normal antropometri stasiun kerja. 3.1.2.6. Keluhan MSD’s
Gambar 5. Distribusi pemeriksaan keluhan MSD’s
134
Gambar 5 menunjukkan responden dengan keluhan MSDs rendah sebanyak 12 orang (60%), keluhan sedang 7 orang (35%), dan keluhan tinggi hanya 1 orang (5%). 3.1.2.7. Tabulasi Silang Antar Variabel Tabel 4. Tabulasi silang antar variabel Tingkat MSD’s Total Rendah Sedang Tinggi (f) (%) (f) (%) (f) (%) (f) (%) Umur ≥ 23 8 66.7 4 33.3 0 0 12 100.0 Umur < 23 4 50 3 37.5 1 12.5 8 100.0 Total 12 60 7 35 1 5.0 20 100.0 yKoefisien Korelasi = 0.283 Kebiasaan Merokok Tidak merokok 7 77.8 2 22.2 0 0.00 9 100.0 Merokok 5 45.5 5 45.5 1 9.1 11 100.0 Total 12 60.0 7 35.0 1 5.00 20 100.0 Koefisien Korelasi = 0.330 Masa Kerja < 1 Tahun 8 61.5 4 30.8 1 7.7 13 100.0 > 1 Tahun 4 57.1 3 42.9 0 0 7 100.0 Total 12 60.0 7 35.0 1 5.0 20 100.0 Koefisien Korelasi = 0.189 Suhu Ruangan >NAB 0 0 0 0 0 0 0 0
Tabel 4 menunjukkan bahwa: a. Besar koefisien korelasi umur dengan keluhan MSDs sebesar 0.283 yang berarti bahwa kekuatan hubungan umur responden dengan kejadian keluhan MSDs rendah. b. Besar koefisien korelasi riwayat merokok dengan keluhan MSDs sebesar 0.330 yang berarti bahwa kekuatan hubungan riwayat merokok responden dengan kejadian keluhan MSDs rendah. c. Besar koefisien korelasi masa kerja dengan keluhan MSDs sebesar 0.189 yang berarti bahwa kekuatan hubungan masa kerja responden dengan kejadian keluhan musculoskeletal disorders rendah.
135
d. Suhu ruangan tempat kerja responden seluruhnya berada dibawah NAB. NAB suhu ruangan adalah antara 28-320C untuk beban kerja sedang. e. Seluruh responden berada pada level risiko 2. Level tindakan (Level action) 2 menunjukkan bahwa diperlukan investigasi lebih lanjut, dan diperlukan adanya perubahan untuk perbaikan sikap kerja. f. Besar koefisien korelasi fasilitas kerja dengan keluhan MSDs sebesar 0.418 yang berarti bahwa kekuatan hubungan stasiun kerja responden dengan kejadian keluhan musculoskeletal disorders sedang. 3.2. Pembahasan 3.2.1. Hubungan Umur dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Keluhan sakit punggung atau musculoskeletal disorders mulai dirasakan oleh pekerja pada usia kerja dan episode pertama untuk kembali sakit biasanya dirasakan pada usia 35 tahun (3). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada operator yang memiliki umur lebih atau sama dengan 23 tahun lebih banyak mengalami keluhan musculoskeletal disorders. Pekerja yang berusia kurang dari 23 tahun mengalami keluhan musculoskeletal disorders lebih sedikit namun memiliki risiko keluhan musculoskeletal disorders yang sama, karena melakukan jenis pekerjaan yang hampir sama. 3.2.2. Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja dengan masa kerja dibawah 1 tahun lebih banyak mengalami keluhan musculoskeletal disorders dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun. Hal ini dikarenakan pada tenaga kerja yang bekerja dengan komputer berada pada posisi statis dalam jangka waktu yang lama dengan aktivitas yang berulang, postur kerja yang buruk, dan desain kursi yang buruk (4). 3.2.3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Hasil penelitian pada studi ini adalah operator yang memiliki kebiasaan merokok lebih banyak mengalami keluhan musculoskeletal disorders dibandingkan dengan operator yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Beberapa studi telah mengamati hubungan tersebut dan menjelaskan bahwa mekanisme timbulnya keluhan otot dimulai dari nikotin yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan dan kandungan rokok menyebabkan kandungan mineral tulang belakang berkurang dan menyebabkan microfractures (5). 3.2.4. Hubungan Antropometri Tubuh (Level Risiko RULA) dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa seluruh responden seluruhnya memiliki level tindakan 2. Level tindakan (level action) 2 menunjukkan bahwa diperlukan investigasi lebih lanjut, dan diperlukan adanya perubahan untuk perbaikan sikap kerja. Hasil penelitian tidak menunjukkan analisis tabulasi silang dan analisis kuat hubungan karena seluruh data level tindakan menunjukkan hasil yang sama, yaitu level tindakan 2. 3.2.5. Hubungan Antropometri Stasiun Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Hasil penelitian menggambarkan bahwa keluhan musculoskeletal disorders mayoritas dialami oleh pekerja yang memiliki stasiun kerja (tempat duduk) yang sesuai dengan tubuh operator container crane. Penelitian Hidayat et al. (6)
136
menyatakan bahwa pekerja yang bekerja dengan posisi kerja yang tidak ergonomis (awkward position) akan mengalami keluhan nyeri pada bagian tubuh tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa operator bekerja dengan stasiun kerja yangsesuai namun mayoritas dari pekerja mengalami keluhan musculoskeletal disorders karena posisi kerja tidak ergonomis. 3.2.6. Hubungan Lingkungan Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu seluruh ruangan tempat penelitian berada dibawah NAB. Kondisi ini mendukung pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Hasil penelitian tidak menunjukkan analisis tabulasi silang dan analisis kuat hubungan karena seluruh data suhu di ruangan menunjukkan hasil yang sama, yaitu dibawah NAB. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu: a. Karakteristik umur staf kependidikan sebagian besar ≥ 23 tahun, mayoritas masa kerja <1 tahun dan sebagian besar memiliki kebiasaan merokok. b. Analisis antropometri dan postur tubuh staf kependidikan berada pada action level 2, yang artinya penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan. c. Sebagian besar stasiun kerja yang digunakan oleh staf kependidikan sesuai dengan antropometri tubuh. d. Seluruh ruangan memiliki iklim kerja sesuai dengan nilai ambang batas (2832 oC). e. Sebagian besar staf kependidikan mengalami keluhan MSD’s pada tingkat rendah. f. Koefisien korelasi antara umur, masa kerja, kebiasaan merokok dengan MSD’s adalah rendah. Sedangkan kekuatan hubungan antara antropometri stasiun kerja dengan musculoskeletal disorders dalam kategori sedang (0.418). 4.2. Saran Saran yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini yaitu: a. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk stasiun kerja (tempat duduk) atau desain work station responden. b. Universitas menyediakan kursi yang dapat disesuaikan dengan tingginya agar dapat disesuaikan dengan ukuran tubuh staf. c. Penggantian stasiun kerja (tempat duduk) yang baru yang lebih ergonomi. Daftar Pustaka (1) Sumiati. Analisa Risiko Low Back Pain (LBP) pada Perawat Unit Darurat dan Ruang Operasi di RS. Prikasih Jakarta Selatan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 2007. (2) Wahlstrom, J. Ergonomics, Musculoskeletal Disorders and Computer Work. Occupational Medicine. Page 168 – 176. http://occmed.oxfordjournals.org/co ntent/55/3/168.full.pdf+html. 2005. (sitasi 9 Nopember 2015)
137
(3) Center For Disease Control. Ergonomics and Musculoskeletal Disorders. http//www.cdc.gov/. 2014. (sitasi 9 Nopember 2015) (4) Vinod Supriya; Arun B. Prevalence of Various Work Related Musculoskeletal Disorders in Software Professionals. Indian Journal of Medical & Health Sciences Vol. 2 No.1. 2015. (5) Mutiah, A; Setyaningsih, Y; Jayanti S. Analisis Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan The BriefTM Survey dan Karakteristik Individu terhadap Keluhan MSDs Pembuat Wajan di Desa Cepogo Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.2 No.2. 2013. (6) Hidayat, R., Huda, L.N., Poerwanto. Analisis Perancangan Alat Bantu Kerja Operator Angkut di Stasiun Pemanenan Pada PT. Perkebunan X. e-Jurnal Teknik Industri FT USU, Ed.4. 2013. No.1: p.25-32.
138
Hubungan Intensitas Pencahayaan Dengan Kelelahan Mata Pada Pekerja Home Industry Batik Sragen Seviana Rinawati, Siti Rachmawati Program Studi D3 Hiperkes dan KeselamatanKerja Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jl. Kol. Sutarto 150K Surakarta, 57126 Tel. (0271) 635819. E-mail: [email protected] Abstrak Intensitas pencahayaan yang tidak sesuai dengan standar pada suatu industri dapat berisiko gangguan penglihatan atau kelelahan mata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada pekerja home industry batik Sragen. Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik, desain cross sectional. Populasi penelitian terdiri dari 102 pekerja dengan sampel penelitian secara random sampling (kriteria inklusi dan eksklusi) diperoleh sejumlah 98 orang yang diukur tingkat kelelahan mata menggunakan reaction timer sensor cahaya dan intensitas pencahayaan menggunakan Luxmeter ANA 999. Analisis data menggunakan Pearson Product Moment (ρ<0,05). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada pekerja home industry batik Sragen ditunjukkan dengan nilai r = -0,423 dan ρ = 0,02. Penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada pekerja home industry batik Sragen. Disarankan adanya penambahan intensitas pencahayaan buatan pada tempat kerja yang belum sesuai dengan standar yang disyaratkan yaitu sebesar 300 Lux. Kata kunci: home industry batik, intensitas pencahayaan, kelelahan mata.
1. Pendahuluan Industri garmen merupakan industri yang mengelola dan memproses bahan kain dengan menggunakan mesin dan peralatan modern. Salah satu faktor permasalahan yang mengganggu kenyamanan kerja tenaga kerja adalah permasalahan mengenai intensitas pencahayaan kurang atau berlebih yang dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan mata. Karena tujuan utama dari K3 adalah untuk meminimalisir bahkan menghilangkan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK). Pencahayaan yang buruk dapat mengakibatkan kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan-keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata, kerusakan alat penglihatan dan meningkatnya kecelakaan. Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek yang dikerjakanya secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu (Suma’mur, 2011). Kelelahan mata adalah gangguan yang dialami mata karena otot-ototnya yang dipaksa bekerja keras terutama saat harus melihat objek dekat dalam jangka waktu lama. Otot mata sendiri terdiri dari tiga sel-sel otot eksternal yang mengatur gerakan bola mata, otot ciliary yang berfungsi memfokuskan lensa mata dan otot iris yang mengatur sinar yang masuk ke dalam mata. Semua aktifitas yang
139
berhubungan dengan pemaksaan otot-otot tersebut untuk bekerja keras, sebagaimana otot-otot yang lain akan bisa membuat mata mengalami gangguan ini. Gejala mata terasa pegal biasanya akan muncul setelah beberapa jam kerja. Pada saat otot mata menjadi letih, mata akan menjadi tidak nyaman atau sakit (Cok Gde, 2006). Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1045/Menkes/SK/XII/ 2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri serta Peraturan Menteri Perburuhan No 07 Tahun 1964 tentang Faktor Higiene di Tempat Kerja, maka ditentukan standar intensitas pencahayaan minimal di tempat kerja, disebutkan bahwa untuk ruangan aktifitas secara umum, harus memiliki rata-rata intensitas pencahayaan minimal 100 Lux, dimana apabila ada aktifitas khusus maka pada lokasi dimana aktifitas dilakukan, ditambahkan pencahayaan lokal dibidang kerja, sehingga intensitas pencahayaan sesuai dengan persyaratan. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di home industry batik Sragen dijumpai intensitas pencahayaan di tempat kerja 100-280 Lux. Padahal jenis pekerjaan membatik memerlukan ketelitian yang tinggi, sehingga semestinya intensitas pencahayaan di ruangan tersebut minimal adalah 300-500 lux (Kemenkes No. 1045, 2002). Sehingga dampak dari kurangnya intensitas pencahayaan tersebut adalah beberapa tenaga kerja yang mengalami keluhan mata pedih, merah, dan penglihatan ganda. Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengadakan penelitian mengenai pengaruh intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada home industry batik Sragen. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan survei bersifat analitik dengan metode cross sectional. Populasi: 102 pekerja dengan sampel penelitian secara random sampling (kriteria inklusi: usia 28-43 tahun, masa kerja lebih dari 3 tahun, tidak mengalami sakit mata, hipertensi dan diabetes mellitus, lama kerja 8 jam sehari dan kriteria eksklusi: tenaga kerja yang tidak bersedia dijadikan responden) diperoleh sejumlah 98 orang yang diukur tingkat kelelahan mata menggunakan reaction timer sensor cahaya dan intensitas pencahayaan menggunakan Luxmeter ANA 999. Analisis data menggunakan Pearson Product Moment (ρ<0,05). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh karakteristik responden berdasarkan usia, masa kerja, riwayat kesehatan, lama kerja. Tenaga kerja rata-rata berusia antara 28 – 43 tahun dari data sebagai berikut: usia 28-31 tahun = 13,33%, usia 32-35 tahun = 36,67%, usia 36-39 tahun = 23,33% dan usia 40-43 tahun = 26,67% sehingga diketahui bahwa tenaga kerja masih memiliki daya akomodasi mata yang baik. Karena usia semakin tua menyebabkan otot-otot mata berangsur-angsur kehilangan elastisitasnya dan agak kesulitan melihat pada jarak dekat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton (1991) bahwa daya akomodasi menurun setelah usia 45-50 tahun, ini berarti mata tenaga kerja masih dapat bekerja dengan baik. Hal yang sama menurut Tarwaka (2010) bahwa usia diatas 40 tahun seseorang lebih rentan terhadap ketajaman mata dan penglihatannya mulai terganggu seiring dengan adanya proses perubahan fisiologis dan penuaan
140
pada mata seseorang, akan tetapi pada penelitian ini usia tidak berpengaruh terhadap kejadian kelelahan kerja. Hal ini diperkuat dengan uji statistik mengenai hubungan usia dan kelelahan mata yang mempunyai hasil p-value sebesar 0,560 yang berarti tidak signifikan. Masa kerja dan lama kerja tenaga kerja bagian pembatikan bekerja lebih dari 3 tahun dan bekerja selama 8 jam per hari dengan waktu istirahat 1 jam. Lamanya waktu kerja dan terus-menerus berisiko terjadinya mata lelah atau astenopia (Afandi, 2002) dan menurut Tarwaka (2010) menyatakan terjadinya perbedaan tingkat kelelahan mata juga dipengaruhi oleh waktu kerja yang lama terutama untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketelitian hal tersebut tidak sesuai karena tenaga kerja bekerja selama 8 jam perhari dengan istirahat 1 jam sehingga tidak melebihi jam kerja yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 77 – 85 yang diperkenankan bekerja adalah 8 jam per hari atau 40 jam perminggu. Riwayat kesehatan tenaga kerja yang dijadikan responden tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan mata maupun kelainan-kelainan pada mata. 3.2 Hasil Intensitas Pencahayaan dan Kelelahan Mata Tenaga Kerja Hasil pengukuran yang telah dilakukan di tempat kerja diperoleh data sebagai berikut: Intensitas pencahayaan pada tenaga kerja pembatikan yang diukur dengan alat ukur Luxmeter ANA 999 masih banyak yang tidak sesuai dengan standar (300-500 Lux) hasil antara 100 - 280 Lux sebesar 70% sedang yang telah sesuai standar 30% dengan hasil antara 304 - 500 Lux di tempat kerja.
Gambar 1. Hasil pengukuran intensitas pencahayaan di tempat kerja Hal ini belum sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh Kepmenkes RI No.1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang persyaratan Kesehatan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri yaitu sebesar 300 Lux untuk kategori jenis pekerjaan yang membutuhkan ketelitian. Pencahayaan yang kurang dari NAB merupakan beban tambahan bagi pekerja, sehingga dapat menimbulkan gangguan performance (penampilan) kerja yang akhirnya dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini sangat erat kaitannya dan mutlak harus ada karena berhubungan dengan fungsi indera penglihatan, yang dapat mempengaruhi produktifitas bagi tenaga kerja (Gempur, 2004). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tri (2013) menunjukkan bahwa intensitas pencahayaan eksisting kurang dari nilai ambang batas
141
pencahayaan untuk pekerjaan hand scarfing berdasarkan Kepmenkes yang berakibat pada cepatnya kelelahan yang dialami responden. Hasil pengukuran kelelahan mata dengan menggunakan alat reaction timer sensor cahaya dan didukung dengan kuesioner terkait keluhan pada mata diperoleh hasil: tenaga kerja mengalami kelelahan mata dengan kategori lelah sebesar 76,67% dari responden dan 23,33% reponden tidak mengalami kelelahan mata. Banyaknya tenaga kerja yang mengalami kelelahan mata disebabkan pencahayaan yang tidak merata di tempat kerja sehingga pencahayaan tidak memenuhi standar yang telah ditentukan dan berdampak pada akomodasi mata yang menimbulkan kelelahan mata. Berdasarkan penelitian Mayangsari (2012) dapat diketahui bahwa tingkat kelelahan kerja yang dialami operator scarfing yaitu kelelahan kerja berat karena pekerjaan hand scarfing sangat berisiko tinggi dan dapat menimbulkan stress bagi operator yang mengerjakan aktivitas tersebut yang disebabkan oleh faktor lingkungan fisik yaitu pencahayaan dan kebisingan. Kurangnya intensitas pencahayaan di home industri dikarenakan tidak tersedia sumber pencahayaan khusus di tempat pembatikan, ventilasi ruangan kurang maksimal untuk masuknya cahaya dari luar ruangan, letak lampu rumah hanya digunakan sebagai pencahayaan umum (bukan untuk tingkat ketelitian tinggi), hemat energi listrik. 3.3 Uji Statistik Intensitas Pencahayaan dengan Kelelahan Mata Berdasarkan data hasil pengukuran yang telah dilakukan di tempat kerja antara data intensitas pencahayaan dan data kelelahan mata selanjutnya dilakukan analisis uji Pearson Product Moment dengan SPSS versi 18 diperoleh hasil: pvalue sebesar 0,020 dengan r = -0,423, maka dinyatakan signifikan karena p < 0,05 yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga ada hubungan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada tenaga kerja di home industri Sragen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara intensitas pencahayaan dan kelainan refraksi mata dengan kelelahan mata pada tenaga para medis di bagian rawat inap RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p-value 0.011 (<0,05) sehingga Ho ditolak. Penelitian yang sama dilakukan oleh Aryanti (2006) bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada karyawan bagian administrasi di PT. Hutama Karya Semarang dengan hasil p sebesar 0,011 (p<0,05). Begitu juga dengan penelitian Nurmawati (2011) analisis statistik dengan menggunakan uji korelasi pearson antara intensitas pencahayaan terhadap kelelahan mata pada pekerja bordir diperoleh nilai p=0,035 yang berarti adanya korelasi antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata (r=0,386) pada taraf sign < = 0,05. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh kesimpulan bahwa intensitas pencahayaan yang kurang dari standar dapat mempengaruhi kelelahan pada mata, hal tersebut dikarenakan jika mengamati pekerjaan kurang jelas biasanya pekerja akan mendekatkan matanya ke obyek untuk memperbesar ukuran obyek sehingga mata harus berakomodasi lebih kuat lagi.
142
Untuk meningkatkan intensitas pencahayaan agar tidak terjadi kelelahan mata maka dapat melakukan hal seperti: pemberian pencahayaan khusus dengan memasang lampu lokal di dekat objek pekerjaan (sesuai standar pekerjaan dengan tingkat ketelitian tinggi = 300 lux) dengan memperhatikan ketinggian dan letak lampu agar tidak mengganggu pekerjaan membatik, membersihkan dengan rutin dan dibuka agar cahaya dapat masuk dan meyebar secara merata. 4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada tenaga kerja di home industri Sragen dengan nilai p-value sebesar 0,020 dengan r = -0,423. Daftar Pustaka
Afandi.2002.Kesehatan Mata Penguna Komputer. Dari: http://www.elektroindone sia.com/elektro/komput6.html. diunggah pada tanggal 2 Februari 2016 Ahmadi. 2009. Fisika Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Aryanti. 2006. Hubungan Antara Intensitas Pencahayaan dan Suhu Udara DenganKelelahan Mata Karyawan Pada Bagian Administrasi PT. Hutama Karya Wilayah Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan UNNES. Ching. 1996. Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja. Jakarta: Bina Cipta. Cok Ghe Rai Padmanaba. 2006. Kesehatan Mata di Lokasi Kerja. Departemen Kesehatan. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Mata. Dewa. 2008. Dampak sistem pencahayaan bagi kesehatan mata. http://Kulit cantik jawabali.com/mata sexy/dampak-sistem-pencahayaanbagi-kesehatan-mata. Diakses tanggal 28 Februari 2016. Dyer dan Morris. 1990. Faktor- faktor Yang Berhubungan Dengan KesehatanMata. Bandung: Alfabeta. Gempur Santoso. 2004. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Prestasi Pustaka.Gibson. 1995. Ilmu Kedokteran. Jakarta: Rineka Cipta. Grandjen. 1998. Fitting The TaskTo The Man a Texbook Of Occuputionalergonomic; 4 Th edition London: Taylor and Francis. Guyton, Arthur C .1991. Fisiologi Kedokteran. EGC Jakarta Gabbard C, LeBlanc Hermawan Ady Prayoga. 2014. Hubungan Antara Intensitas Pencahayaan dan Kelainan Refraksi Mata dengan Kelelahan Mata Pada Tenaga Para Medis di Bagian Rawat Inap RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Unnes Journal of Public Health: ISSN 2252-6528. Keputusan Menteri Kesehatan No 1045/menkes/SK/XII/2002. PersyaratanLingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta. Mayangsari, K. 2012. Analisa Faktor Lingkungan Fisik Terhadap Kelelahan Operator Scarfing di PT. ABC. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Industri Untirta Cilegon Medrofa. 2003. Ilmu Dasar Kesehatan Mata. Surabaya: Mustika. Mochamad Arief. 2004. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta. Nurmawanti, Ema. 2013. Dampak Intensitas Pencahayaan Terhadap KelelahanMata Pada Pekerja Bordir Di Desa Cicarian Kecmatan Kawalu.Tasikmalaya.
143
Peraturan Menteri Perburuhan No 07 Tahun 1964 tentang Faktor Higiene di Tempat Kerja. Pheasant. 1991. Ergonomic, Work and Health. Maryland: Aspan Publiser. Prabu. 2009. Sistem dan Standard Percahayaan Ruangan.http://Putraprabuwordpress.com/2009/01/06/Sistem-dan-standardpercahayaan-ruangan. Diakses pada tanggal 12 Mei 2012. Pusat Hiperkes dan Keselamatan Kerja.1995. Kuesioner Kelelahan Mata. Pusat Hyperkes dan Keselamatan Kerja. 1995. Penelitian Pengaruh Komputer Pada Mata. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja. Sidarta Ilyas. 1991. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suma’mur PK. 2011. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) (Edisi 2). Jakarta: Sagung Seto Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri. Edisi Pertama Cetakan Pertama. Surakarta: Harapan offset Tri Asih Septiana, Yayan Harry Yadi dan Ade Sri Mariawati. 2013. Pengaruh Tingkat Pencahayaan Terhadap Kelelahan Operator Pada Simulasi Scarfing dengan Reaction Time. Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.2, Juni 2013, pp.152-156 ISSN 2302-495X. Jurusan Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
144
Hubungan Sikap Kerja Pengangkutan Dengan Keluhan Low Back Pain Pada Pekerja Depot Air Minum Arinta Puspita Restu Universitas Riau, Pekanbaru E-mail: [email protected]
Abstrak Sikap tubuh yang tidak alamiah dalam aktivitas pengangkutan merupakan salah satu faktor penyebab keluhan Low Back Pain (LBP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan atau explanatory research digunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja depot air minum sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan sampel dengan cara total sampling yaitu sebanyak 30 orang. Instrumen yang digunakan yaitu REBA dan Nordic Body Map (NBM). Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji Fisher). Hasil penelitian didapatkan dari 30 responden, 27 (90%) memiliki sikap kerja pengangkutan dengan risiko tinggi (skor REBA ≥ 8) yang mengeluh LBP sebanyak 18 responden (66,7%) dan 9 responden (33,3%) tidak merasakan sakit. Berdasarkan uji Fisher diperoleh nilai sig. (p-value) sebesar 0,537 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu tidak ada hubungan antara sikap kerja pengangkutan dan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di Kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan variabel utama yang berbeda, misalnya umur, masa kerja, frekuensi angkat angkut, waktu kerja untuk mengetahui hubungannya dengan LBP karena di penelitian ini variabel tersebut hanya sebagi variabel perancu.
Kata kunci: low Back Pain, REBA, sikap kerja.
1. Pendahuluan Nyeri punggung bawah atau disebut juga Low Back Pain (LBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada punggung bawah yang sumbernya adalah tulang belakang daerah spinal atau punggung bawah, otot, saraf, atau struktur daerah lainnya di daerah tersebut1. Sensasi nyeri pada LBP dirasakan pada diskus invertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1. L4-L5 adalah intervetebral disc yang berada di antara lumbar ke-4 dan lumbar ke-5, sedangkan L5-S1 adalah intervetebral disc yang berada di lumbar ke- dan sacrum nomor satu2. Keluhan LBP dapat ditimbulkan dari aktivitas Manual Material Handling (MMH) yang tidak tepat. Banyak cedera yang terjadi akibat pekerjaan MMH yaitu berupa terkilir/keseleo atau ketegangan otot, terutama pada bagian otot pinggang dan punggung disebabkan karena pekerjaan yang tidak benar atau pengerahan tenaga untuk periode yang lama3. LBP memiliki tingkat kejadian tertinggi yaitu sekitar 60% di negara industri4. Angka kejadian nyeri punggung bawah di Indonesia diperkirakan bervariasi antara 7,6% sampai 37%5. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan RI terhadap pekerja industri di kawasan industri Pulo Gadung Jakarta yaitu, sebanyak 502 orang atau 52,8% mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal.
145
Bagian tubuh yang sering mengalami nyeri muskuloskeletal adalah kaki (22,7%), pinggang (17,1%) dan bahu (9,5%)6. Penelitian ini dilakukan terhadap pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunung Pati, Semarang. Depot air minum isi ulang merupakan badan usaha yang mengelola air minum untuk keperluan masyarakat dalam bentuk curah dan tidak dikemas7. Hasil survei yang dilakukan di kelurahan Sekaran, terdapat sekitar 15 usaha depot air minum yang memiliki rata-rata 1-2 pekerja yang bertugas untuk mengangkat dan mengangkut galon air dengan waktu kerja setiap hari lebih dari 8 jam/hari. Semua pekerja di depot air minum berjenis kelamin laki-laki. Proses pengemasan air minum di depot air minum dilakukan secara MMH, yaitu pada kegiatan pemindahan galon air minum. Proses dalam pengemasan air minum di depot air minum isi ulang terdiri dari proses pencucian galon dan proses pengemasan. 1) Proses pencucian galon merupakan proses yang pertama dilakukan, yaitu membersihkan bagian dalam dan luar galon. Pencucian bagian luar galon dilakukan dengan menggunakan sabun untuk menghilangkan kotoran dan kemudian dibilas menggunakan air bersih. Selanjutnya, dilakukan pencucian bagian dalam galon dengan penyikatan menggunakan mesin yang berbentuk sikat, setelah disikat kemudian dibilas menggunakan air bersih dan dilakukan sterilisasi menggunakan air panas untuk menghilangkan kuman atau bakteri yang terdapat di dalam galon tersebut. 2) Proses yang kedua yaitu pengisian air ke kemasan atau galon. Setelah galon disterilkan menggunakan air panas, kemudian galon diisi air dan ditutup. Kemudian diangkat atau dipindahkan dari tempat pengisian air ke lantai. Semua proses dalam pengemasan air di depot tersebut dilakukan selama 2 menit. Sedangkan waktu yang dibutuhkan pekerja untuk memindahkan sebuah galon dari tempat pengisian ke lantai adalah 3-5 detik. Risiko keluhan LBP pada pekerja depot air minum terdapat pada proses kedua yaitu proses pengisian air ke kemasan. Hal tersebut dikarenakan terdapat pemindahan beban berupa menurunkan galon yang sudah berisi air dengan berat 19 kg dari mesin pengisian ke lantai. Pemindahan beban tersebut membutuhkan waktu 3-5 detik per galon. Frekuensi pemindahan kurang lebih 45 sampai 50 galon/hari. Suma’mur, P.K. (2009), menjelaskan bahwa berat beban maksimum untuk orang Indonesia menurut ILO yaitu 35 kg sekali angkat1. Hasil dari metode penilaian risiko manual handling pada saat pemindahan beban pada depot air minum dengan menggunakan metode indikator kunci atau Leitmerk Mal Methode (LMM) didapatkan hasil akhir yaitu 20 dengan tingkat risiko 2 yang artinya situasi beban kerja meningkat dan memungkinkan terjadinya pembebanan fisik pada pekerja tertentu yaitu, pekerja berumur < 21 tahun dan > 40 tahun; tidak diberikan pelatihan pada pekerja baru; pekerja baru sembuh dari sakit dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sikap kerja pekerja pada saat pemindahan adalah posisi tangan pada saat menaikkan dan menurunkan galon air minum yang pada gerakan tersebut terjadi pengurangan sudut antara dua tulang atau fleksi, dan posisi peunggung fleksi sehingga tulang belakang membungkuk dengan menahan beban galon air minum seberat 19 kg. Ditinjau dari sisi ergonomis sikap kerja tersebut menimbulkan kondisi yang tidak nyaman pada otot kaki dan tangan, posisi sikap kerja membungkuk juga dapat menimbulkan kelelahan pada pinggang. Menurut peraturan Worksafe Australia tahun 1986, berat beban 16-45 kg memerlukan penekanan dalam metode angkat2. Berdasarkan
146
hasil survei awal menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) yang dilakukan pada 10 pekerja di depot air minum, diketahui bahwa semua pekerja (100%) mengalami keluhan diantaranya persentase keluhan yang paling besar adalah bagian bahu (70%) dan pinggang (50%). Oleh karena itu, dirasa perlu untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan populasi pada penelitian ini yaitu pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran yang berjumlah 30 orang. Sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik total sampling yang merupakan teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel8 dan pada penelitian ini berjumlah 30 pekerja. Peneltian ini menggunakan instrumen Rapid Entire Body Assessment (REBA) dan Nordic Body Map (NBM). Peneliti menggunakan REBA karena metode REBA dapat mengidentifikasi sekitar 600 posisi tubuh serta merupakan suatu alat analisis postural sangat sensitif terhadap pekerjaan yang melibatkan perubahan posisi secara mendadak atau secara tak terduga dan metode ini dapat menganalisis secara bersamaan dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian atas, badan, leher dan kaki9,10. Selain REBA intrumen lain yang digunakan pada penelitian adalah NBM. Metode NBM digunakan untuk mengukut varibel LBP yang merupakan salah satu alat ukur sederhana yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan atau cedera pada otot9. Metode ini juga dapat dimengerti dengan mudah oleh pekerja atau responden, dimana responden hanya memberikan tanda checklist “√” pada gambar bagian tubuh yang dirasakan responden memiliki keluhan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan REBA dan NBM dalam penelitian ini. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square atau uji alternatifnya. 3. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dengan mengamati sikap kerja 30 responden atau pekerja di depot air minum pada saat pemindahan galon yang beratnya 19 kg yaitu dengan merekam proses pemindahan galon. Rekaman tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis sikap kerja pekerja menggunakan metode REBA. Selain melakukan pengamatan sikap kerja responden, peneliti juga mengambil data keluhan khususnya LBP yang dialami responden secara subyektif dengan menggunakan NBM. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi menurut karakteristik responden yang terdiri dari umur responden, waktu kerja, masa kerja, frekuensi pengangkutan, risiko sikap kerja pengangkutan dan keluhan LBP pada pekerja depot air minum (Tabel 1).
147
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tabel 1. Data Distribusi Karakteristik Responden Presentase Karakteristik Responden Frekuensi (%) Umur < 20 tahun 4 13,3 ≥ 20 tahun 26 86,7 Waktu Kerja ≤ 10 Jam/hari 14 46,7 > 10 jam/hari 16 53,3 Masa Kerja < 3 bulan 2 6,7 ≥ 3 bulan 28 93,3 Frekuensi Pengangkutan ≤ 30 galon/jam 30 100 > 30 galon/jam Risiko Sikap Kerja Pengangkutan Sedang 3 10 Tinggi 27 90 Keluhan LBP Tidak Sakit 11 36,7 Agak Sakit 5 16,7 Sakit 14 46,7
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa jumlah responden berdasarkan umur sebagian besar berumur ≥20 tahun (86,7%). Kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rata-rata kekuatan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai turun, maka risiko terjadinya keluhan otot meningkat11. Pekerja depot air minum sebagaian besar bekerja lebih dari 10 jam per hari (53,3%). Menurut Suma’mur, P. K. (2009), waktu kerja atau lama seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam. Waktu kerja diperpanjang lebih dari kemampuan lama kerja sehari tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan terlihat penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu yang berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan maupun ketidakpuasan1. Menurut Helmi (2012), keluhan LBP dirasakan minimal 3 bulan disertai dengan adanya keterbatasan aktivitas yang mengakibatkan nyeri apabila melakukan pergerakan11. Sebanyak 93,3% responden memiliki masa kerja lebih dari 3 bulan, sehingga responden tersebut lebih berisiko mengalami keluhan LBP. Penelitian ini menunjukkan bahwa 90% responden memiliki tingkat risiko tinggi dengan keluhan sakit 46,7%, mengeluh agak sakit 16,7% dan tidak mengalami keluhan atau tidak sakit 36,7%. Pekerja depot air minum sebagian besar melakukan pemindahan galon, baik berupa galon berisi maupun galon kosong. Galon yang tidak berisi air memiliki berat 79,2 gram dan galon yang berisi air memilik berat 19 kg. Pemindahan galon tersebut dilakukan secara manual atau tidak menggunakan alat bantu. Aktivitas
148
pemindahan galon yang terdiri dari mengangkat, membawa, menarik atau mendoeong galon tersebut dapat menyebabkan LBP, jika pekerja melakukan dengan posisi tubuh tidak alami atau dipaksakan1. Sikap kerja pengangkutan merupakan salah satu variabel yang diduga mempengaruhi terjadinya LBP. Pada penelitian ini cara melihat variabel sikap kerja pengangkutan dengan melakukan pengukuran risiko ergonomi pada proses pengangkutan menggunakan metode REBA. Penelitian ini menggunakan uji fisher exact dengan penggabungan sel karena nilai expected kurang dari lima ada dua sel (50,0%). Berdasarkan dari penelitian ini diketahui bahwa keluhan LBP banyak dialami oleh pekerja dengan risiko pekerjaan tinggi menurut skor REBA. Hasil dari analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP (p 0,537). Walaupun tidak terdapat hubungan signifikan tetapi jika dilihat dari proporsinya, responden yang sikap kerja pengangkutan berisiko tinggi mengalami LBP lebih besar dari 66,7% (Tabel 2). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathoni (2012) yaitu, 10 responden memiliki sikap dan postur kerja yang dapat menyebabkan penyakit muskuloskeletal dan 6 responden mengalami LBP. Namun, hasil uji bivariat penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap kerja dan postur kerja dengan keluhan LBP pada perawat RSUD Purbalingga bulan Januari 2009 (p 0,197)12. Pada hasil penelitian Mayrika (2009) juga menunjukkan dan 30 penjual jamu gendong sebesar 56,7% yang memiliki teknik mengangkat tidak ergonomis dan keluhan nyeri punggung bawah sebesar 83,3% dengan hasil uji bivariat tidak memiliki hubungan signifikan (p 0,628 > 0,05)13. Tabel 2. Hubungan antara Sikap Kerja Pengangkutan dengan Keluhan LBP Keluhan LBP Sikap Kerja Jumlah Nilai (Skor Agak Sakit + Sakit Tidak Sakit p REBA) N % n % N % Risiko 0,537 18 66,7 9 33,3 27 100 Tinggi Risiko 1 33,3 2 66,7 3 100 Sedang Hasil bivariat yang menyatakan tidak adanya hubungan signifikan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di Sekaran, Gunungpati, Semarang ini dapat dipengaruhi oleh variabel pengganggu. Variabel pengganggu dalam penelitian ini yaitu umur, waktu kerja, lama kerja dan frekuensi pengangkutan. Responden pada penelitian ini yang semuanya berjenis kelamin pria, sebanyak 26 orang (86,7%) berumur ≥ 20 tahun. Menurut NIOSH (1997), umur dengan tingkat nyeri punggung tertinggi untuk pria adalah pada kelompok umur 20-2414. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Betti’e et al. (1989) yang menyatakan kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur 20 sampai 29 tahun, dan selanjutnya mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya umur, karena pada penelitian ini dari 26 orang yang berumur lebih dari 20 tahun sebanyak 17 orang (65,4%) mengeluh LBP11. Hasil bivariat dari penelitian yang dilakukan oleh Winda (2012) juga menunjukkan adanya 149
hubungan antara usia dengan keluhan muskuloskeletal, dimana usia lebih dari 30 tahun lebih banyak mengalami keluhan (45,2%). Pada penelitian tersebut juga menunjukkan pekerja dengan usia lebih dari 30 tahun memiliki risiko 4,4 kali mengalami keluhan muskuloskeletal tingkat tinggi dibanding pekerja dengan usia di bawah 30 tahun15. Waktu kerja dapat mempengaruhi timbulnya keluhan LBP pada pekerja. Seseorang dapat bekerja dengan baik dalam sehari yaitu 6-10 jam. Hasil analisis univariat pada penelitian ini, 16 (53,3%) dari 30 responden bekerja lebih dari 10 jam per harinya dan 11 (68,8%) dari 16 responden yang bekerja lebih dari 10 jam/hari mengeluhkan LBP. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jika waktu kerja lebih dari 10 jam dapat menimbulkan terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan maupun ketidakpuasan1. Berdasarkan analisis univariat mengenai lama kerja, didapatkan sebanyak 28 (93,3%) dari 30 responden sudah bekerja di depot air minum selama ≥ 3 bulan dan 18 (64,3%) dari 28 responden yang bekerja lebih dari 3 bulan mengeluhkan LBP. LBP yang merupakan kondisi tidak mengenakkan atau nyeri kronik dirasakan sekurangnya 3 bulan dan disertai adanya keterbatasan aktivitas akibat nyeri apabila melakukan pergerakan atau mobilitas12. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Mayrika (2009) menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa atau lama kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada penjual jamu gendong. Pekerja yang bekerja mengangkat atau membawa beban berat setiap harinya mengakibatkan tulang belakang akan terus mengalami penekanan sehingga merubah sikap tubuh. Perubahan tersebut sebagai akibat dari kebiasaan mereka bertumpu saat membawa beban14. Menurut Tobing (1996) pada penelitian tersebut mengatakan sikap kerja yang salah dalam waktu lama dapat menyebabkan nyeri pinggang kronis16 Variabel penganggu terakhir yang dianalisis univariat dalam penelitian ini adalah frekuensi pengangkutan. Pada penelitian ini, semua responden melakukan frekuensi pengangkutan ≤ 30 galon per jam. Responden yang mengeluhkan LBP sebanyak 19 (63,3%) dari 30 orang yang frekuensi pengangkutannya ≤ 30 galon per jam. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pemindahan barang secara manual dengan frekuensi sering dengan jangka waktu lama dapat mengakibatkan risiko rasa nyeri pada tulang belakang2. Selain itu, penelitian yang dilakukan Sutanto (2013) didapatkan juga hasil yang mendukung teori yaitu ada hubungan antara frekuensi angkat dengan nyeri pinggang pada buruh gendong di pasar Bandungan Kab. Semarang17. Penjelasan mengenai variabel pengganggu pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis bivariat dengan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum dikarenakan pengaruh dari variabel pengganggu. Pengaruh variabel pengganggu tersebut dapat mengakibatkan atau mencegah terjadinya LBP. Menurut Health and Safety Executive (2004), teknik penanganan yang baik pada aktivitas pengangkutan adalah sebagai berikut: sebelum melakukan pengangkutan sebaiknya merencanakan cara angkut beban; kaki harus terpisah dengan satu kaki sedikit ke depan untuk menjaga keseimbangan; pegangan pada beban baik; beban harus sedekat mungkin dengan tubuh; menghindari memutar punggung pada saat mengangkat beban, terutama pada waktu punggung membungkuk; pandangan ke depan, tidak turun pada beban, jika pegangan pada
150
beban sudah aman; meletakkan beban terlebih dahulu kemudian baru menggeser beban ke posisi yang diinginkan18. 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan tetang hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara seikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Daftar Pustaka 1. Suma’mur P.K, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: CV. Segung Setyo, 2009. 2. Nurmianto, Eko, Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Guna Widya, 2008. 3. Tarwaka, Ergonomi Industri: Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja, Surakarta: Harapan Press, 2011. 4. World Health Organization (WHO), Preventing Musculoskeletal Disorders in Workplace, Geneva: WHO, 2003. 5. Ruslan, Nyeri Punggung Bawah [Online], diakses pada 13 Februari 2014, Available: http://www.krakataumedika.com/nyeri-punggung-bawah/ 6. Riyadini, “Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada Pekerja Industri di Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta”, Artikel Penelitian, Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 58, no. 1, Januari 2008, hal. 8-12, 2008. 7. Suprihatin, B., Jurnal Higene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau Kalimantan Timur, vol. 2, no. 2, 2008. 8. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta, 2005. 9. Tarwaka, Ergonomi Industri: Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarata: Harapan Press, 2011. 10. Hignett, S., Technical note: Rapid Entire Body Assessment (REBA), Applied Ergonomics 31, hal. 201-205, 2000. 11. Helmi, N. Z., Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta: Salemba Medika, 2012. 12. Fathoni, “Hubungan Sikap dan Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat RSUD Purbalingga”, Jurnal Keperawatan Soedirman, vol. 7, no. 2, 2012. 13. Mayrika, “Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Keluhan Nyeri Punggung Bawah pada Penjual Jamu Gendong”, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, vol. 4, no. 1, hal.61-67, 2009. 14. NIOSH, Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors, Colombia: NIOSH, 1997. 15. Winda, “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Muskuloskeletal pada Pekerja Angkat-Angkut Industri Pemecah Batu di Kecamatan Karangnongko Kabupaten Klaten”, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 1, no. 2, hal. 836-844. 2012. 16. Tobing, Penatalaksanaan Nyeri Pinggang, FKUI: Jakarta, 1996.
151
17. Sutanto, “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Pinggang pada Buruh Gendong di Pasar Bandungan Kabupaten Semarang”, Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013, vol. 2, no. 2, 2013. 18. HSE, Manual Handling at Work: A Brief Guide [Online], diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Available: www.hse.gov.uk/pubns/indg143.htm, 2004.
152
Identifikasi Postur Kerja Pekerja Pada Usaha Pembuatan Tahu Dengan Menggunakan Metode RULA, REBA, QEC, OWAS dan WERA Chalis Fajri Hasibuan Universitas Medan Area Jl. Kolam No. 1 Medan Estate E-mail: [email protected]
Abstrak Penggunaan tenaga manusia dalam dunia industri masih dominan, terutama kegiatan penanganan material secara manual (Manual Material Handling/MMH). Beban kerja yang berat, postur kerja yang salah dan perulangan gerakan yang tinggi, serta adanya getaran terhadap keseluruhan tubuh merupakan keadaan yang memperburuk penyakit tersebut. Keluhan pada sistem muskuloskeletal diakibatkan penggunaan postur kerja yang tidak baik. Hasil penilaian postur kerja pada bagian pengepresan dengan 11 elemen kerja yaitu mengambil kain, melapis kain kecetakan, mengambil bahan, menuangkan bahan kecetakan, meratakan tahu, menutup kain, menutup papan cetakan, menutup papan cetakan dengan batu, membuka batu, membuka papan, membuka kain yang dilakukan penilaian, postur kerja paling berbahaya terhadap keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) ada pada elemen mengambil bahan dimana pada 5 penilaian postur kerja dengan menggunakan RULA (Rapid Upper Limb Assessment), REBA (Rapid Entire Body Assessment), QEC (Quick Exposure Check), OWAS (Ovako Working Posture Assessment System), dan WERA (Workplace Ergonomic Risk Assessment) menghasilkan tindakan untuk segera dilakukan perbaikan, sedangkan pada elemen kerja membuka kain memiliki penilaian kriteria aman. Rekomendasi perbaikan yaitu perubahan sikap/postur pekerja bagian kaki dan punggung, karena pada bagian tersebut mengalami pembebanan akibat postur kerja yang salah, perubahan tata letak peralatan, pengurangan beban dan perancangan maupun penambahan alat bantu. Kata kunci: MSDs, OWAS, postur kerja, QEC, REBA, RULA, WERA,.
1. Pendahuluan Penanganan material secara manual adalah istilah yang diberikan untuk proses penanganan material yang dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia [1]. Kelebihan Manual Material Handling (MMH) bila dibandingkan dengan penanganan material menggunakan alat bantu adalah fleksibilitas gerakan yang dapat dilakukan untuk beban-beban ringan [2]. Kelebihan MMH bila dibandingkan dengan penanganan material menggunakan alat bantu adalah pada fleksibilitas gerakan yang dapat dilakukan untuk beban-beban ringan. Akan tetapi aktifitas MMH dalam pekerjaan-pekerjaan industri banyak diidentifikasi berisiko besar sebagai penyebab penyakit tulang belakang (low back pain) akibat dari penanganan material secara manual yang cukup berat dan posisi tubuh yang salah dalam bekerja. Faktor lain yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah beban kerja yang berat, postur kerja yang salah dan pengulangan pekerjaan yang tinggi, serta adanya getaran terhadap keseluruhan tubuh. Faktor-faktor yang dapat
153
menimbulkan adanya gangguan pada tubuh manusia jika pekerjaan berat dilakukan secara terus menerus akan berakibat buruk pada kondisi kesehatan pekerja terutama dalam jangka waktu panjang [3]. Salah satu industri kecil yang banyak di Indonesia khususnya di kota Medan adalah industri tahu, 90% usaha tahu yang terdapat di Kota Medan masih bersifat usaha mikro kecil menengah (UMKM) dengan pekerja yang padat karya dan masih minim penggunaan teknologi, minimnya penggunaaan alat yang dapat meringankan tugas pekerja mengakibatkan pekerja harus bekerja secara maksimal sehingga menimbulkan keselahan postur kerja dari pekerja yang apa bila di biarkan terus-menerus akan mengakibatkan cedera pada pekerja, sehingga Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keluhan muscoleskeletal disorders yang dialami pekerja pada industri tahu di kota Medan dan juga mengidentifikasi postur kerja aktual pada pekerja. 2. Metode Penelitian 2.1. Tempat, Waktu dan Objek Penelitian Penelitian dilakukan pada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Tahu UD X yang terdapat di Kota Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2015 sampai dengan bulan Otober 2015. Objek yang diteliti pada penelitian ini adalah postur kerja pekerja yang terdapat pada bagian pengepresan tahu dengan 11 elemen kegiatan. Mulai
Observasi Pendahuluan Dengan Nordic Standard Questionaire
Studi Literatur
Tidak Terjadi Keluhan Pada Bagian Tubuh
Ya
Perumusan Masalah Dan Tujuan Penelitian
Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Primer berupa pencatatan aktivitas kerja 2. Data Tempat Penelitian
Pengolahan Data Dengan Menggunakan Metode RULA, REBA, OWAS, QEC, WERA
Analisa Dan Pembahasan
Kesimpulan Dan Saran
Selesai
Gambar 1. Flowchart Penelitian
154
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pengumpulan Data a. Keluhan Musculoskeletal Untuk mengetahui keluhan musculoskeletal yang dialami operator dapat diketahui melalui penyebaran kuisioner SNQ. Penilaian berdasarkan kuisioner SNQ untuk pembobotan masing-masing kategori berikut: [4] Tidak sakit : bobot 0 Agak sakit : bobot 1 Sakit : bobot 2 Sangat sakit : bobot 3 Berikut ini merupakan hasil rekapitulasi untuk data keluhan musculoskeletal diatas dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 1. Rekapitulasi Hasil SNQ Bagian Tubuh No yang Mengalami Keluhan 0 Sakit kaku di leher bagian atas 1 Sakit kaku di bagian leher bagian bawah 2 Sakit di bahu kiri 3 Sakit di bahu kanan 4 Sakit lengan atas kiri 5 Sakit di punggung 6 Sakit lengan atas kanan 7 Sakit pada pinggang 8 Sakit pada bokong 9
Sakit pada pantat
10
Sakit pada siku kiri Sakit pada siku kanan Sakit pada lengan bawah kiri Sakit pada lengan bawah kanan Sakit pada pergelangan tangan kiri Sakit pada pergelangan tangan kanan Sakit pada tangan kiri Sakit pada tangan kanan
11 12 13 14
15
16 17
Kategori Keluhan Op 1 Sakit
Op 2
Op 3
Op 4
Op 5
Op 6
Op 7
Op 8
Agak Sakit Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Sakit Agak Sakit Sakit
Sakit Sakit
Agak sakit Sakit Agak sakit Sakit
Sakit
Sakit Sakit
Agak sakit Sakit Agak sakit Sakit
Sakit Sakit
Agak sakit Sakit Sakit
Sakit
Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Agak Sakit
Sakit
Agak Sakit
Sakit
Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Sakit
Sangat Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
155
Sakit Agak Sakit Agak Sakit Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit
Sakit Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit Sakit
Sakit
No
18 19 20 21 22 23 24
25
26 27
Bagian Tubuh yang Mengalami Keluhan Sakit pada paha kiri Sakit pada paha kanan Sakit pada lutut kiri Sakit pada lutut kanan Sakit pada betis kiri Sakit pada betis kanan Sakit pada pergelangan kaki kiri Sakit pada pergelangan kaki kanan Sakit pada kaki kiri Sakit pada kaki kanan
Kategori Keluhan Op 1
Op 2
Op 3
Op 4
Op 5
Op 6
Op 7
Op 8
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Tidak sakit Tidak sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Agak Sakit Sakit
Agak Sakit
Sakit
Sakit
Sakit
Agak Sakit
Agak Sakit
Sakit
Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Sakit
Tidak sakit Tidak sakit
Tidak sakit Tidak sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Agak Sakit Agak Sakit
Sakit
Sumber: Pengumpulan Data b. Data Jenis Gerakan Kerja Operator Pada stasiun kerja pengepresan, data-data kerja operator dapat diteliti dan dilihat waktu yang dipakai pada proses pengerjaannya. Data tersebut dapat dilihat pada tabel Tabel 2. Data Jenis Kerja Operator Jenis Pekerjaan Mengambil kain Melapiskan kain ke cetakan Mengambil & menuang bahan yang telah diayak Meratakan Tahu Menutup Kain Mengambil papan penutup Menutup tahu dengan papan Mengambil batu pengepres Mengepres bahan dengan batu Mengangkat batu pengepres Mengembalikan batu pengepres Membuka papan penutup Membuka kain Mengambil batu pengepres Mengepres bahan dengan batu Mengangkat batu pengepres Mengembalikan batu pengepres Membuka papan penutup Membuka kain
Jarak 1m 50 cm
Waktu (Detik) 5 detik 20 detik 120 detik
Berat (kg) -
1m 1m 1m 1m 1m -
30 detik 30 detik 5 detik 15 detik 5 detik 180 detik 5 detik 5 detik 5 detik 5 detik 5 detik 300 detik 5 detik 5 detik 5 detik 5 detik
2 2 5 5 5 5 2 5 5 5 5 2 -
156
c. Data Frekuensi Gerakan Kerja Operator Tabel 3. Data Frekuensi Gerakan Kerja Operator Jenis Pekerjaan Frekuensi Gerakan Mengambil kain 1 kain = 2 detik Melapiskan kain ke cetakan 1 cetakan = 20 detik Mengambil & menuang bahan yang 1 menit = 6x tuang telah diayak 1 cetakan = 2 menit 1 cetakan = 12x tuang Meratakan bahan dengan kayu perata 1 cetakan = 15 detik Menutup tahu dengan kain 1 cetakan = 15 detik Menutup tahu dengan papan 1 cetakan = 15 detik Mengepres bahan dengan batu 1 cetakan = 3 menit Mengembalikan batu pengepres 1 batu = 5 detik Membuka papan penutup 1 cetakan = 5 detik Membuka kain 1 cetakan = 5 detik Mengepres bahan dengan batu 1 cetakan = 3 menit
3.2. Pengolahan Data Penilaian postur kerja dilakukan dengan menggunakan metode RULA. Penilaian postur kerja bertujuan untuk mengetahui elemen gerakan atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya keluhan pada tubuh operator [5][6]. Sehingga gerakan yang menimbulkan keluhan dapat dihilangkan atau diperbaiki. Penilaian postur kerja untuk setiap elemen kerjanya dapat diuraikan sebagai berikut:
Gambar.1 Mengambil Kain Hasil penilaian postur kerja dengan menggunakan metode RULA, REBA, QEC, OWAS dan WERA. Tabel 4. Kriteria Hasil Penilaian Postur Kerja Mengambil Kain Elemen Kriteria Hasil Penilaian Postur kerja Kerja RULA REBA QEC OWAS WERA Mengambil Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman Kain Untuk rekapitulasi penilaian postur kerja keseluruhan dari elemen kerja bagian pengepresan di industri tahu dapat dilihat pada tabel
157
Tabel 5. Kriteria Hasil Penilaian Postur Kerja Pada Seluruh Elemen Elemen Kerja Mengambil kain Melapis kain kecetakan
Mengambil bahan
Menuangkan bahan ke cetakan Meratakan tahu Menutup kain Menutup papan cetakan Menutup papan cetakan dengan batu Membuka batu Membuka papan Membuka kain
RULA Aman
Kriteria Hasil Penilaian Postur kerja REBA QEC OWAS Aman Aman Aman
Diperlukan beberapa waktu kedeapan Tindakan dalam waktu dekat
Mungkin diperlukan
diperlukan
Segera
Diperlukan beberapa waktu kedepan Aman
Segera
WERA Pekerjaan aman Pekerjaan aman
Kecil
Tindakan dalam waktu dekat Diperlukan beberapa waktu kedepan Aman
Diperlukan beberapa waktu kedeapan Diperlukan beberapa waktu kedepan Diperlukan beberapa waktu kedepan Aman
Aman
Aman
Aman
Aman
Pekerjaan aman
Aman
Aman
Aman
Aman
Pekerjaan aman
Aman
Perlu
Aman
Diperlukan beberapa waktu kedepan Aman
Pekerjaan aman
Aman
Diperlukan beberapa waktu kedepan Aman
Aman
Aman
Aman
Aman
Pekerjaan aman
Aman
Aman
Aman
Aman
Pekerjaan aman
Perkerjaan diperlukan inverstigasi Pekerjaan diperlukan investagasi Pekerjaan aman
Pekerjaan aman
4. Simpulan Berdasarkan pengolahan data dan analisis masalah, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada aktifitas proses pengepresan tahu yang terdiri dari 11 elemen kerja teridentifikasi bahwa postur kerja memiliki potensi menimbulkan cidera. Hasil RULA, REBA, QEC, OWAS, WERA mempelihatkan postur kerja yang salah dan perlunya tindakan terhadap perbaikan postur kerja artinya memerlukan perbaikan dengan segera karena postur tersebut berbahaya khususnya pada bagian mengambil bahan. 2. Penilaian dengan menggunakan Nordic questioneir diperoleh bahwa keseluruhan aktifitas pekerja pada bagian pengepresan memiliki nilai sakit dan sangat sakit.
158
Daftar Pustaka 1. Martaleo, M. 2012. Perbandingan Penilaian Risiko Ergonomi dengan Metode REBA dan QEC (Studi Kasus Pada Kuli Angkut Terigu). Jurnal Simposium Nasional RAPI XI FT UMS. ISSN: 1412-9612: 157-163. 2. Astuti, R.D. 2007. Analisis Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Jurnal Gema Teknik. 10 (02): 27-32. 3. Sutrio, 2011, Analisis Pengukuran RULA dan REBA Petugas pada Pengangkatan Barang di Gudang dengan Menggunakan Software Ergolntelligence (Studi kasus: Petugas Pembawa Barang di Toko Dewi Bandung), Prosiding Seminar Nasional RITEKTRA, ISBN: 978-602-97094-38 4. Susihono, 2012, Perbaikan Postur Kerja Untuk Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal Dengan Pendekatan Metode Owas (Studi kasus di UD. Rizki Ragil Jaya – Kota Cilegon), Spektrum Industri, 2012, Vol. 10, No. 1 5. Nevile, 2008, Stanton, Hand Book Of Human Factor and Ergonomics Methods, CRC Press 6. Pratiwi, 2014, Evaluasi Penilaian Risiko Postur Kerja Pada Pekerja Gerabah, Seminar Nasional IDEC 2014, ISBN: 978-602-70259-2-9.
159
Kajian Kualitas Udara Dalam Ruangan di Perkantoran untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan Muslikha Nourma Rhomadhoni Fakultas Kesehatan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya Kampus B UNUSA RSI Jemursari No. 51-57 Surabaya Tel: 031-8479070. E-mail: [email protected] Abstrak Polusi udara dalam ruangan berdampak dua sampai lima kali lebih buruk dari udara luar. Tahun 1989 Environmental Protection Agency Of America (EPA) mengumumkan studi di Amerika isu polusi udara dalam ruang, bahwa polusi udara dalam ruangan lebih berat dari pada di luar ruangan sebab hampir 90% manusia beraktivitas di dalam ruangan. Dampaknya menurunkan produktivitas kerja hingga senilai US $10 miliar. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji sumber polusi udara dalam ruangan, persyaratan dan tata laksana udara di ruangan perkantoran di Indonesia, serta pengaruh kualitas udara ruangan dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Hasil kajian National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) bahwa sumber polusi udara dalam ruangan adalah ventilasi yang tidak baik (52%), kontaminasi dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung (10%), kontaminasi mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%), lain-lain (13%). Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan di perkantoran, Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri telah mengatur persyaratan kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara ruangan yang dimaksud meliputi suhu, kelembaban, debu, pertukaran udara, gas pencemar, mikrobiologi. Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia sebagai pekerja berdampak pada kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan. Sedangkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat menurunkan produktivitas kerja. Kata kunci: perkantoran, produktivitas kerja karyawan, udara dalam ruangan.
1. Pendahuluan Kualitas udara dalam ruang berpengaruh pada kesehatan manusia, sebab hampir 90% hidup manusia berada dalam ruangan.1 Polusi udara dalam ruangan merupakan urutan lima besar risiko lingkungan pada kesehatan Environmental Protection Agency Of America (EPA). Udara dikelompokan menjadi udara luar ruangan (outdoor air) dan udara dalam ruangan (indoor air). Sebanyak 400 sampai 500 juta orang di negara berkembang sedang menghadapi masalah polusi udara dalam ruangan.2 Tahun 1989 EPA melakukan studi di Amerika bahwa polusi udara dalam ruangan lebih berat dari pada di luar ruangan. Dampaknya mampu menurunkan produktivitas kerja hingga senilai US $10 milyar.3 Dalam penelitian lain polusi udara di dalam ruangan telah membunuh 3,5 juta orang di seluruh dunia tahun 2010.4 Kualitas udara yang rendah dalam suatu bangunan berhubungan erat dengan Sick Building Syndrome (SBS). Pegawai yang bekerja di dalam ruangan dengan suhu lebih dari 26ºC mempunyai risiko 3,363 kali lebih besar untuk mengalami SBS, dibanding dengan pegawai yang bekerja dalam
160
ruangan dengan suhu udara 26ºC atau lebih rendah.5 Berdasarkan hasil penelitian di atas peneliti ingin mengkaji sumber polusi udara dalam ruangan, persyaratan dan tata laksana udara di ruangan perkantoran di Indonesia, serta pengaruh kualitas udara ruangan dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah studi pustaka tentang kualitas udara dalam ruangan kerja dan pengaruhnya dengan produktivitas kerja pada publikasi penelitian dan referensi terkait. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Sumber polusi udara dalam ruangan Menurut EPA, polusi udara dalam ruangan dua sampai lima kali lebih buruk dari udara di luar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar rumah terisolasi bahan-bahan beracun yang dihasilkan oleh bangunan itu sendiri, perlengkapan dalam bangunan (karpet, AC, dan sebagainya), kondisi bangunan, suhu, kelembaban, pertukaran udara, dan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku orang-orang yang berada di dalam ruangan, misalnya merokok. Menurut National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) bahwa masalah kualitas udara dalam ruang disebabkan oleh6 ventilasi yang tidak baik (52%), kontaminasi dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung (10%), kontaminasi mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%), lainlain (13%). Sumber polusi udara dalam ruang selain berasal dari bahan-bahan sintetis dan beberapa bahan alamiah yang digunakan untuk karpet, busa, pelapis dinding, dan perabotan rumah tangga (asbestos, formaldehid, Volatile Organic Compound (VOC)), juga berasal dari produk konsumsi (pengkilap perabot, perekat, kosmetik, pestisida/insektisida).7 Unsur utama polutan dalam ruangan seperti formaldehida pada kayu lapis, papan partikel dan perekat; itu ditemukan di sebagian besar lemari, karpet dan dinding. Benzena pada deterjen, cat lateks, minyak, busa, pewarna, karet. Karbon monoksida dihasilkan dari kompor gas, knalpot kendaraan bermotor, dan asap rokok dan trichloroethylene pada cat, lak, shampoo karpet, penghilang spot dan perekat, serta digunakan dalam dry cleaning. 3.2 Persyaratan dan Tata Laksana Udara di Ruangan Untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan terjadinya di perkantoran dan industri Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran meliputi: persyaratan air, udara, limbah, pencahayaan, kebisingan, getaran, radiasi, vektor penyakit, persyaratan lokasi, ruang dan bangunan, toilet dan instalasi. Berikut adalah persyaratan dan tata laksana udara ruang di perkantoran: 3.2.1 Suhu dan kelembaban Persyaratan: Suhu: 18–28°C, Kelembaban: 40% - 60%. Tata laksana: Agar ruang kerja perkantoran memenuhi persyaratan kesehatan perlu dilakukan upayaupaya sebagai berikut: tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m ; bila suhu udara >28oC perlu menggunakan alat penata udara seperti Air Conditioner (AC), kipas angin, dll ; bila suhu udara luar <18oC perlu menggunakan pemanas ruang ;
161
bila kelembaban udara ruang kerja >60% perlu menggunakan alat dehumidifier ; bila kelembaban udara ruang kerja <40% perlu menggunakan humidifier (misalnya: mesin pembentuk aerosol). 3.2.2 Debu Persyaratan kandungan debu maksimal di dalam udara ruangan dalam pengukuran rata-rata 8 jam adalah debu total konsentrasi maksimal 0,15 mg/m ; asbes total konsentrasi maksimal 5 serat/ml udara dengan panjang serat 5 u (Mikron). Tata laksana agar kandungan debu di dalam udara ruang kerja perkantoran memenuhi persyaratan kesehatan maka perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: kegiatan membersihkan ruang kerja perkantoran dilakukan pada pagi dan sore hari dengan menggunakan kain pel basah atau pompa hampa (vacuum pump), pembersihan dinding dilakukan secara periodik 2 kali/tahun dan dicat ulang 1 kali setahun, serta sistem ventilasi yang memenuhi syarat. 3.2.3 Pertukaran udara Persyaratan pertukaran udara ; 0,283 m3/menit/orang dengan laju ventilasi: 0,15 – 0,25 m/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingan harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan sistim ventilasi silang. Tata laksana agar pertukaran udara ruang perkantoran dapat berjalan dengan baik maka perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: untuk ruangan kerja yang tidak ber AC harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang, ruang yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan mendapat pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu dan jendela atau dengan kipas angin, membersihkan saringan/filter udara AC secara periodik sesuai ketentuan. 3.2.4 Gas pencemar Persyaratan kandungan gas pencemar dalam ruang kerja, dalam rata-rata pengukuran 8 jam sebagai berikut: Tabel 3.2 Kandungan Gas Pencemar dalam Ruang Kerja Konsentrasi maksimal No. Parameter mg/m3 ppm 1 1. Asam Sulfida (H2S) 17 25 2. Amonia (NH3) 29 25 3. Karbon Monoksida (CO) 5,60 3,0 4. Nitrogen Dioksida (NO2) 5,2 2 5. Sulfur Dioksida (SO2) Tata laksana agar kandungan gas pencemar dalam udara ruang kerja perkantoran tidak melebihi konsentrasi maksimum perlu dilakukan tindakantindakan sebagai berikut: pertukaran udara ruang diupayakan dapat berjalan dengan baik, ruang kerja tidak berhubungan langsung dengan dapur, dilarang merokok didalam ruang kerja, dan tidak menggunakan bahan bangunan yang mengeluarkan bau yang menyengat. 3.2.5 Mikrobiologi Persyaratan angka kuman kurang dari 700 koloni/m3 udara dan bebas kuman patogen. Tata laksana agar angka kuman di dalam udara ruang tidak melebihi batas persyaratan maka perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai
162
berikut: karyawan yang sedang menderita penyakit yang ditularkan melalui udara untuk sementara waktu tidak boleh berkerja, lantai dibersihkan dengan antiseptik, memelihara sistem ventilasi agar berfungsi dengan baik, dan memelihara sistem AC sentral. 3.3 Pengendalian Studi National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan bahwa tanaman di dalam ruangan dapat mendetoksifikasi hingga 85 % polusi udara dalam ruangan. Dr. Bill Wolverton, peneliti senior dari NASA's, John C. Stennis Space Center, Bay St. Louis, Missisipi, meneliti penggunaan tanaman hidup sebagai penyaring udara selama lebih dari 20 tahun. Dari 40 jenis tanaman yang telah diuji, diantaranya yang paling bermanfaat adalah palem (areca palm), sirih gading (golden photos) dan tanaman jagung. Tanaman tersebut mudah tumbuh di dalam rumah, memerlukan cahaya rendah, dan efektif membersihkan udara. Hasil eksperimen NASA menyebutkan bahwa tanaman-tanaman tersebut efektif dalam memindahkan polutan seperti formaldehyde, karbonmonoksida (CO), dan nitrogen dioksida (NO2).8 NASA dan Associated Landscape Contractors of America (ALCA) telah melakukan penelitian terhadap beberapa jenis tumbuhan. Hasilnya, beberapa tanaman hias di dalam ruangan mampu menyerap polutan dan gas-gas berbahaya seperti benzena, xylene, formaldehide, xilena, nitrogen oksida dan berbagai bahan kimia lain di udara. Tanaman yang dimaksud adalah: 1. Lidah mertua (snake plant) Dikenal dengan Sansieverra, mampu menyerap karbon monoksida, nikotin, benzene, formaldehyde, trychloroethylene, dan dioksin. Lima helai daun Sansieverra dewasa mampu menyerap dan membersihkan ruangan seluas 100m3 dari berbagai jenis polutan . 2. Lidah buaya (Aloe vera) Tanaman ini mampu menetralisir racun benzena dan berbagai bahan kimia lainnya. 3. Spider plant (chlorophytum comosum) Tanaman ini mampu menyerap benzena, formaldehida, karbon monoksida dan xilena, bahkan bahan kimia pada industri, karet dan percetakan. 4. Gerber daisy (gerbera jamesonii) Di Indonesia dikenal sebagai Herbras. Tanaman ini efektif menghilangkan trichloroethylene. Cocok diletakkan di kamar mandi, ruang mencuci atau kamar tidur. 5. Sirih gading (epipremnum aureum) Sirih gading sering disebut golden photos atau devil’s ivy. Tanaman ini mampu menjadi pembersih udara dalam ruangan dan menyerap racun formaldehid dan berbagai polutan lainnya.
163
6. Dragon tree (dracaena marginata) Dragon tree atau red –edged dracaena dari famili asparagaceae. Tanaman ini mampu menyerap xylene, trichloroethylene dan formaldehida yang ada di udara akibat lak, pernis dan bensin. 7. Bunga krisan (chrysanthemum morofolium) Dalam bahasa inggris dikenal sebagai florist’s daisy atau herdy garden mum. Tanaman ini mampu menghilangkan benzena (dari lem, cat, plastik dan detergen), formaldehid dan bahan kimia lainnya di udara. 8. Beringin (ficus benjamina) Tanaman ini mampu membersihkan udara di dalam ruangan terutama menyerap polutan terkait karpet dan furnitur seperti formadehide, benzena dan trychlorosthylene. 9. Rhododendron (Rhododendron simsii) Tanaman ini mampu menyerap polutan formaldehide dari sumber playwood atau insulasi busa. 10. English ivy (hedera helix) Tanaman ini mampu membersihkan udara dalam ruangan dari partikel pengotor udara. Juga menyerap formaldehid pada produk pembersih rumah tangga. 11. Warneck dracaena (dracaena deremensis) Tanaman ini mampu menghilangkan polutan yang diakibatkan oleh pernis dan minyak. 12. Evergen cina (aglaonema crispum) Tanaman ini mampu membersihkan polutan dalam ruangan diantaranya benzena dan formaldehid. 13. Palem bambu (chamaedorea seifrizii) Tanaman ini mampu menyerap polutan benzena dan trychloroethylene serta gas beracun formaldehid yang melekat pada furnitur. 14. Heart leaf philodendron (philodendron oxycardium) Tanaman ini mampu menyerap hampir semua jenis polutan di udara. 15. Peace lily (spathiphyllum) Tanaman ini mampu menghilangkan racun dan polutan di dalam ruangan seperti formaldehide, benzen, trrichloroethylen, toulena dan xilena.
3.4 Udara Ruangan dalam Meningkatkan produktivitas kerja Rasa nyaman penting secara biologis sebab berpengaruh pada kinerja organ tubuh manusia ketika sedang bekerja. Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi kinerja karyawan, adalah pewarnaan, penerangan, udara, suara bising, ruang gerak, keamanan.9 Dampak positif udara ruangan yang baik adalah
164
karyawan akan melaksanakan kegiatannya dengan baik dan mencapai hasil yang optimal, mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan.10 Efisiensi kerja pegawai kantor rata-rata menguntungkan 20% setelah diberi Air Conditioning (AC). Karena penggunaan AC mengatur keadaan udara dengan mengawasi suhu, peredaran, kelembaban, dan kebersihan. Dengan terpenuhinya kualitas dan kuantitas udara yang baik maka akan memberikan banyak keuntungan bagi kantor yaitu meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan mutu kerja kantor, menjaga kesehatan pegawai, meningkatkan semangat kerja dan menimbulkan kesan yang menyenangkan bagi para tamu.11 Kualitas udara ruangan yang buruk dapat menurunkan produktivitas.12 Suhu udara juga berpengaruh signifikan pada kelelahan mata karyawan.13 Pada tempat pengelasan udara yang panas mampu menurunkan tingkat konsentrasi, tingkat kesalahan yang lebih tinggi dan meningkatkan ketidakhadiran pekerja pada saat bekerja, mengurangi produktivitas sehingga meningkatkan biaya pelatihan dan pengobatan karena efek dari kualitas udara dalam ruangan.14 Tahun 1994 OSHA menghitung kerugian pengusaha adalah total biaya tahunan akibat Indoor air quality (IAQ) US $15 miliar karena inefisiensi pekerja dan cuti sakit. Suhu udara akan mengurangi efisiensi kerja dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu udara yang panas menurunkan prestasi kerja. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan peningkatan beban psikis (stres) sehingga menurunkan konsentrasi dan persepsi kontrol terhadap lingkungan kerja yang selanjutnya menurunkan prestasi kerja. Suhu yang terlalu tinggi dapat menimbulkan terjadinya risiko kecelakaan dan kesehatan kerja. 4. Kesimpulan Sumber polusi udara dalam ruangan, ventilasi yang tidak baik (52%), kontaminasi dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung (10%), kontaminasi mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%), lain-lain (13%). Untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan terjadinya di perkantoran, Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri telah mengatur persyaratan kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara ruangan yang dimaksud meliputi suhu, kelembaban, debu, pertukaran udara, gas pencemar, mikrobiologi. Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia sebagai pekerja akan mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan. Sedangkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat menurunkan produktivitas kerja. Daftar Pustaka 1. Susanna, D. et al. Kesehatan dan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 1998. 2. Yoga, Chandra. Polusi Udara dan Kesehatan. Arcan, Jakarta. 1992. 3. Environmental Protection Agency. Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick Building Syndrome (SBS). Environmental Protection Agency, United States//www.epa.gov/iaq/ pubs/sbs.html diakses 20 Agustus 2007. 2007. 4. Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet. 2013.
165
5. Oktora, Bunga. Hubungan antara kualitas fisik udara dalam ruang (suhu dan kelembaba relatif) dengan kejadian sick building syndrome (SBS) pada pegawai kantor pusat perusahaan jasa konstuksi X di jakarta timur. Skripsi. Departemen kesehatan lingkungan. Universitas Indonesia. 2008. 6. Lunau F, Reynolds GL. Indoor Air Quality and Ventilation. London: Selper Ltd., 1990. 7. Environmental Protection Agency. Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick Building Syndrome (SBS). Environmental Protection Agency, United States. (online) http://www.epa.gov/iaq/pubs/sbs.html. 2007. 8. http://lifestyle.liputan6.com/read/2100188/ini-dia-3-vacuum-cleaner-alamiuntuk-serap-polusi- di-rumah-anda, diakses 21 Maret 2016. 9. Yoharnita Nur Fitriana. Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Prestasi Kerja Karyawan Di PT. PJB Service Sidarjo, Skripsi, Prodi Psikologi Institut Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013. hal 20. 10. http://www.kompasiana.com/hadi_santa/pengaruh-kebisingan-temperatur-danpencahayaan-terhadap-performa-kerja_550081c7813311791bfa78ae diakses 10 Maret 2016. 11. Moekijat. Tata Laksana Kantor Manajemen Perkantoran. Bandung: Mandar Maju. 2002. 12. Wyon, D. ‘The effects of Indoor air quality on performance and productivity. 2004. 13. Aryanti, Riski Cahya. Hubungan antara intensitas penerangan dan suhu udara dengan kelelahan mata karyawan pada bagian administrasi di PT. Hutama Karya Wilayah IV Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. 2006. 14. Bjarne, Olesen, Pusat Internasional untuk Indoor Lingkungan dan Energi, Technical University of Denmark. Nils Koppels Alle, Membangun. 402, DK2800 Lyngby, [email protected]
166
Kenyamanan, Kekuatan Otot, Denyut Nadi, dan Kelelahan Mekanik Bengkel Sepeda Motor Konvensional di Kotamadya Padang Amrizal Arief1, Erzedin Alwi2 1
FKM, Universitas Baiturrahmah Padang PT Otomotif Fakultas Teknik, Universitas Negeri Padang E-mail: [email protected], [email protected] 2
Abstrak Masalah ergonomi pada perbengkelan sepeda motor seperti bengkel informal adalah sikap kerja jongkok, pada bengkel formal adalah sikap kerja berdiri, kedua sikap kerja tersebut berpengaruh terhadap produktivitas kerja. kerja jongkok di lantai tentu akan menimbulkan beban kerja tambahan, kerja berdiri akan menimbulkan berbagai masalah pada kaki. Suatu studi dengan ‘treatment bysubject design’ terhadap pekerja dengan sikap kerja jongkok sebagai kontrol dan setelah di’washing out’ subjek diberi intervensi. Intervensi berupa: kerja berdiri menggunakan bike lift dan duduk dikursi tambahan sesuai antropometri pekerja. Variabel yang diteliti adalah: keluhan muskuloskeletal dengan kuesioner Nordiac Body Map, kekuatan otot menggunakan Dynamometer, denyut nadi menggunakan Personal ECG Recorder EP-202©, kelelahan umum menggunakan Reaction Timer, kelelahan otot menggunakan Accutrend ® Lactate. Data dianalisis dengan uji t-paired. Hasil yang diperoleh: 1) dijumpai pengurangan keluhan muskuloskeletal yang sangat berarti, 2) pengurangan kekuatan otot 6,9 %, 3) beban kerja kategori beban kerja sedang dengan pengurangan beban kerja 39,74%, 4) kelelahan umum turun dari kelelahan kerja sedang ke kelelahan kerja ringan dengan penurunan 37,59%, dan 5) kelelahan otot dari ambang aerobik ke keadan normal dan turun sebanyak 45,7%. Kata kunci: denyut nadi, kekuatan otot, kelelahan umum, kenyamanan, otot.
1. Pendahuluan Kesehatan Kerja merupakan terjemahan dari “Occupational Health” adalah bagian dari kesehatan masyarakat, atau aplikasi kesehatan masyarakat di dalam suatu masyarakat pekerja dengan lingkungan kerjanya. Kesehatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan masyarakat pekerja dan masyarakat lingkungan perusahaan yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental, dan sosial, melalui usaha-usaha preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif terhadap gangguan-gangguan kesehatan akibat kerja dan lingkungan kerja (Kurniawidjaja, 2010). Perkembangan industri di Indonesia berlangsung amat pesat, baik industri formal maupun industri informal seperti industri rumah tangga, pertanian, perkebunan. Di antara industri formal, industri otomotif khususnya sepeda motor menunjukkan kemajuan yang sangat berarti, dapat dilihat dengan hadirnya berbagai produk dan jumlah sepeda motor yang masuk ke pasar Indonesia baik dalam bentuk import langsung (Completely Built Up) Knock Down). Menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada tahun 2014 penjualan sepeda motorterus menerus mengalami peningkatan. Keadaan tersebut sangat menggembirakan tidak saja dalam bentuk bisnis kendaraan bermotor, tetapi juga akan ikut berpengaruh dalam bentuk pelayanan purna jual. Hal ini akan 167
merangsang pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja pada dealer,cabang dealer dan perbengkelan yang bersifat informal. Implikasi lain dari berbagai hasil penjualan sepeda motor, berbagai merk sepeda motor mendirikan perbengkelan utama dan cabang-cabangnya sebagai tempat pelayanan purna jual. Tidak saja dikelolanya secara langsung, tetapi juga memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mendirikan perbengkelan dengan persyaratan seperti merk Honda yang bernaung di bawah Astra Honda Authorized Service Station (AHASS), Yamaha dengan Yamaha Service Shop (YSS). Selain implikasi di atas, pengembangan sumber daya manusia berupa peningkatan ketrampilan pekerja seperti training juga dilakukan oleh masingmasing induk perusahaan, maupun bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal seperti Balai Latihan Ketrampilan Industri (BLKI) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Output dari pengembangan sumber daya manusia ini adalah untuk memenuhi tenaga kerja yang akan bekerja pada bengkel resmi, maupun bengkel yang dikelola masyarakat dan bernaung dibawah lembaga resmi masing-masing merk. Peningkatan sumber daya manusia maksudnya adalah, agar pekerja dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan serta mutu kerja yang telah menjadi ketentuan pabrik sepeda motor masing-masing. Selain penyiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana perbengkelan. Kenyataan dilapangan yang disebabkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil, tidak seluruh perawatan sepeda motor bisa dilakukan konsumen pada bengkel resmi, maupun pada bengkel-bengkel yang bernaung di bawah lembaga resmi masing-masing merek. Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan diantaranya jarak bengkel dari tempat tinggal konsumen, kerusakan mendadak dan biaya perbaikan. Kondisi tersebut memacu pertumbuhan perbengkelan tidak resmi yang bersifat informal, dengan kondisi peralatan dan tempat yang kurang sesuai dengan peruntukannya serta sikap kerja mekanik yang tidak sesuai dengan aturan yang menunjang kesehatan kerja. Keberadaan perbengkelan yang bersifat informal, tentu ikut menciptakan lapangan kerja baru dan dapat menyalurkan para pemuda yang telah pernah belajar ketrampilan sepeda motor. Mampu mereduksi kemiskinan akibat pengangguran karena telah ikut menciptakan lapangan kerja, juga dapat menjadi tempat pendidikan yang bersifat informal bagi pemuda putus sekolah. Bengkel sepeda motor informal yang keberadaanya didominasi sektor ekonomi informal diduga kurang memenuhi persyaratan. Chia (2005) menyatakan penyakit akibat kerja pada sektor ini tidak jauh berbeda dengan sektor industri formal, malahan lebih beragam dan mungkin banyak yang tidak dikenali. Penyakit akibat kerja dapat disebabkan fisik (bising, debu, getaran), bahan kimia (pestisida, berbagai penyakit yang berhubungan dengan kimia), ergonomi (penanganan beban, pekerjaan berulang, sikap kerja), biologi (kebersihan air, hewan) dan penyebab lainnya. Secara umum jenis pekerjaan yang dilakukan pada bengkel informal sama dengan bengkel formal yaitu service, maintenance maupun overhaul, tetapi dengan sikap kerja seperti jongkok ataupun duduk sementara di atas balok kayu. Pengadaan bike lift seperti yang terdapat pada bengkel resmi sangat sulit dilaksanakan pada perbengkelan informalkarena dari sisi lokasi kerja, pembiayaan
168
terlalu mahal, serta rumitnya perawatan dan perbaikannya apabila terjadi kerusakan. Bengkel sepeda motor formal atau yang bernaung dibawahnya hanya menangani satu merk sepeda motor, sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada perusahaan tersebut. Pada bengkel sepeda motor informal aktifitasnya melayani semua merk sepeda motor, dan biasanya sepeda motor yang diperbaiki diganjal dengan balok kayu. Mekanik bekerja dalam posisi tubuh yang tidak sempurna yaitu dalam sikap kerja jongkok, sekali-sekali duduk pada balok kayu, dan berakibat pada kesehatan mekanik, karena meningkatnya beban kerja. Bystrom (2004) mengemukakan, beban kerja secara psikologis membuat perasaan lelah dan gangguan pada muskuloskelelatal, kelelahan fisik akan menimbulkan ketidaknyamanan, sedangkan kelelahan mental akan membuat motivasi kerja jadi rendah. Terganggunya kenyamanan kerja akhirnya meningkatkan kelelahan kerja, sehingga akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dari berbagai pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap para mekanik bengkel sepeda motor informal yang peneliti lakukan, terdapat berbagai keluhan karena terlalu lama bekerja dalam sikap kerja jongkok, diantaranya terasa pegal pada bahu serta pinggang, dan posisi punggung membungkuk dan leher menunduk mengakibatkan leher kaku, rasa nyeri dan pegal pada leher dan punggung. Selain itu posisi kaki yang terlipat sewaktu jongkok maupun duduk juga menyebabkan aliran darah ke arah kaki menjadi terhambat, sehingga menimbulkan berbagai keluhan seperti kesemutan pada tungkai bawah dan tebalnya kaki. Dari berbagai kasus pekerjaan pada bengkel sepeda motor informal dan bengkel formal di atas, peneliti mengadakan penelitian pendahuluan yang dilakukan terhadapmekanik bengkel sepeda motor informal dan formal di Kotamadya Padang, ditemukan kasus berikut diantaranya, perbedaan energi pekerja, indeks beban kerja, kekuatan otot, dan kelelahan kerja bengkel informal lebih tinggi dari pada bengkel formal. Alternatif yang diajukan adalah sikap kerja yang lebih dinamis (dudukberdiri), Tarwaka (2004) mengemukakan bahwa sikap duduk-berdiri merupakan sikap terbaik dan lebih dikehendaki dari pada hanya sikap duduk atau berdiri saja. Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti sikap kerja untuk mengurangi kelelahan otot. Achmadi (2013) mengemukakan, bahwa Ilmu Kesehatan Kerja berupaya agar masyarakat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan di-rinya, dengan mempelajari hubungan interaktif antara tiga komponen utama obyek keilmuan, yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Ditegaskan juga bahwa ilmu kesehatan kerja mempelajari teknik, metode serta berbagai upaya penyelesaian masalah dengan cara menyerasikan ketiga kom-ponen keilmuan tersebut, kesehatan kerjayang buruk akan timbul, bila ketiga komponen tersebut tidak serasi. Wibowa (2014) mengemukakan bahwa implementasi program pelayanan kesehatan kerja adalah program pelayanan paripurna, dilaksanakan secara komprehensif, diantaranya berupa penyerasian manusia dengan mesin dan alatalat kerja (ergonomi) yang merupakan salah satu bagian dari pelayanan preventif.
169
Penyerasian manusia dan alat-alat tersebut, adalah merupakan perilaku pemeliharaan kesehatan (Sucipta 2009). Manuaba (2006) mengemukakan, ergonomi dapat mengurangi beban ker-ja, dengan evaluasi fisiologis, psikologis atau cara-cara tidak langsung, beban kerja dapat diukur dan dianjurkan untuk mencari penyesuaian antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang berasal dari lingkungan kerja.Dalam melakukan berbagai usaha perbaikan terhadap faktor pekerjaan (task), lingkungan kerja, haruslah selalu berpusat kepada pekerja. Perbaikan sikap kerja tersebut sesuai dengan penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada mekanik, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Salah satu upaya adalah berusaha menerapkan konsep ergonomi pada sarana kerja dengan mencoba pekerja bekerja dengan menggunaka bike lift sepeda motor, artinya sikap kerja duduk-berdiri (dinamis) dengan bantuan bike lift yang bisa diatur ketinggiannya sesuai dengan kondisi mekanik, dan kursi kerja. Secara umum permasalahan yang timbul pada bengkel sepeda motor gangguan kesehatan kerja pada mekaniknya, lebih banyak disebabkan oleh faktor ketidakseimbangan antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Setelah menggunakan bike lift dengan sikap kerja pekerja yang lebih dinamis, apakah gangguan kesehatan kerja yang dialami mekanik bisa ditekan serendahrendahnya, dan menyamai atau mendekati gangguan kesehatan kerja yang mungkin timbul pada mekanik sepeda motor di bengkel resmi seperti peningkatan kenyamanan, penurunan kekuatan otot, denyut nadi, kelelahan umum dan kelelahan otot. 2. Metode Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimen, desain yang digunakan adalah rancangan sama subjek (Kountur, 2007), maksudnya kelompok yang mendapat perlakuan dan kelompok pengendali sebelum dan sesudah perlakuan selalu diobservasi. Variabel yang akan diukur dan peralatan yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini ialah: Berat badan,Kekuatan otot, Denyut nadi, Asam laktat darah dan Temperatur dan kelembaban menggunakan Hygrometer, bising menggunakan Sound Level Meter 3. Hasil dan Pembahasan Setelah melaksanakan eksperiemen terhadap 10 orang mekanik sepeda motor yang berasal dari bengkel konvensional dari tangal 1 Februari sampai 9 April 2016, yang diawali dengan eksperimen kerja dengan sikap kerja jongkok sebanyak tiga kali, diselingi washing out 27 hari, kemudian dilanjutkan eksperimen kerja duduk berdiri (kerja dinamis) juga tiga kali. Hasil-hasil analisa data berupa kekuatan otot, denyut jantung dan kelelahan dapat dilihat seperti berikut: 3.1 Keluhan Kenyamanan Otot Berdasarkan hasil analisis data kenyamanan otot pada pekerja bengkel konvensional di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 1)
170
Tabel 1. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kenyamanan Otot No 1 2 3
Variabel
n
Total skor Kenya- 10 manan otot pretest Total skor Kenya- 10 manan tot postest Beda total skor 10 kenyamanan otot
P0 (Sikap Kerja Lama) Rerata±SB 102,40±1,897
P1 (Sikap Kerja Baru) Rerata±SB 99,30 ±4,218
104,20±3,938 1,8±4,826
P0-P1
p-value
3,1
0,054
50,10±10,92
49,1
0,000
49,70±12,16 6
-47,9
0,000
3.2 Kekuatan Otot Berdasarkan hasil analisis data kekuatan otot pada pekerja bengkel konvensional di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel2) Tabel 2. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kekuatan Otot No 1 2
3
Variabel
n
Total skor ke10 kuatan otot pretest Total skor ke10 kuatan otot postest Beda total skor 10 kekuatan otot
P0 (Sikap Kerja Lama) Rerata±SB 32,14±3,43
P1 (Sikap Kerja Baru Rerata±SB 31,98±3,62
33,82±3,27
-1,96±1,38
P0-P1
p-value
0,16
0,427
28,65±5,41
5,17
0,001
3,33±3,88
-1,37
0,001
3.3 Denyut Nadi Berdasarkan hasil analisis data denyut nadi sebelum bekerja, denyut nadi saat bekerja, maupun perbedaan denyut nadi saat bekerja dan sebelum kerja pada bengkel konvensional sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 3) Tabel 3. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Denyut Nadi No 1 2 3
Variabel
n
Denyut Nadi saat istirahat (dpm) Denyut Nadi saat kerja (dpm) Beda total Denyut Nadi
10
P0 (Sikap Kerja Lama) Rerata±SB 76,89±4,46
10
109,35±8,98
10
32,46±10,05
P1 (Sikap Kerja Baru Rerata±SB 79,66±4,18
P0-P1
p-value
-2,77
0,245
99,22±4,85
10,13
0,001
19,56±4,87
12,9
0,001
3.4 Kelelahan Umum Berdasarkan hasil analisis data kelelahan pekerja bengkel konvensional pada sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 4)
171
Tabel 4. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kelelahan Umum No 1 2 3
10
P0 (Sikap Kerja Lama) Rerata±SB 165,749±1,210
P1 (Sikap Kerja Baru Rerata±SB 166,41±1,062
10
451,279±11,555
308,52±112,80
10
285,465±12,02
178,147±64,1
Variabel
n
Total Skor Kelelahan umum Pretest Skor Kelelahan umum Postest Beda Skor Kelelahan umum
P0-P1
pvalue
6608 142, 75 107, 31
0,30 8 0,00 3 0,00 0
3.5 Kelelahan Otot Berdasarkan hasil analisis data kelelahan otot pekerja bengkel konvensional pada sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 5) Tabel 5. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kelelahan Otot No 1 2 3
Variabel Total Skor KelelahanPretest Skor Kelelahan Postest Beda Skor Kelelahan
10
P0 (Sikap Kerja Lama) Rerata±SB 2,02±0,12
P1 (Sikap Kerja Baru Rerata±SB 1,97±0,04
10
3,65±0,24
10
1,64±0,22
n
P0-P1
pvalue
0,05
0,248
2,87±0,31
0,78
0,001
0,89±0,33
0,75
0,002
4. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian perobahan sikap kerja mekanik bengkel sepeda motor konvensional dari sikap kerja jongkok kesikap kerja dinamis (dudukberdiri), dapat simpulan sebagai berikut: a. Kenyamanan tubuh mekanik sepeda motor konvensional setelah dirobah jadi sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata penurunan kenyamanan tubuh mekanik bekerja sangat berarti. b. Gangguan kekuatan otot tangan mekanik sepeda motor pada bengkel sepeda motor konvensional, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis (dudukberdiri) ternyata kekuatan otot mekanik tersebut cukup berarti, artinya gangguan otot mekanik sepeda motor tersebut semakin kecil. c. Denyut jantung mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional yang kerja dengan sikap kerja jongkok, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) ternyata denyut nadi mekanik tersebut tuurn cukup berarti, artinya beban kerja mekanik tersebut semakin ringan. d. Kelelahan umum mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata penurunan kelelahan umum mekanik tersebut turun sangat berarti. e. Kelelahan otot mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata kelelahan otot mekanik tersebut turun cukup berarti, artinya kelelahan mekanik sepeda motor tersebut semakin kecil.
172
5. Saran Dari kesimpulan baik berupa penurunan kekuatan otot, penurunan beban kerja yang ditandai dengan penurunan denyut nadi dan penurunan kelelahan, setelah terjadinya perobahan sikap kerja dari semula sikap kerja jongkok ke sikap kerja dinamis (duduk berdiri) pada bengkel sepeda motor konvensional. Perlu kiranya ditindak lanjuti penelitian ini pada sektor informal lainnya, karena bagaimanapun penurunan beban kerja, kekuatan otot, dan kelelahan dengan sendirinya akan berdampak positif terhadap produktivitas kerja. Daftar Pustaka Achmadi, U. F. 2013. Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Bystrom, P., Hanse, J, J. & Kjellberg, A. 2004. Appraised Psychological Workload, Muskuloskeletal Symptoms, and the Mediating Effect of Fatique; A Structural Equation Modeling Approach. Scandinavian Journal of Psychology.Hal 331-341. Chia S.E. 2005. Common Occupational Diseases Among Workers In The Informal Sectors and A suggested Approach to Prevent and Control These Diseases. Presented at International Conference on Occupational Health Aspects of Industrial Development and Informal Sector, 30 November 2005. Yogyakarta Kountur, R. 2007. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Penerbit PPM. Jakarta. Kurniawidjaja, LM, 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press. Jakarta Manuaba, A. 2006. Macro Ergonomics Approach on Work Organization with Special Reference to the Utilization of Total Ergonomich SHIP Approach to Obtain Human, Competitive and Sustainable Work System and Product. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi. Surabaya. Sucipta,IN. 2009. Agro Ergonomi, Dasar-Dasar Ergonomi di Bidang Pertanian. Udayana University Press. Tarwaka, Bakri. H, A, Sudiajeng. L. 2004. Ergonomi, Untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas. Uniba Press. Surakarta. Wibowa, A 2014. Kesehatan Masyarakat Di Indonesia. Konsep, Aplikasi dan Tantangan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
173
Kesejahteraan di Tempat Kerja, Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif, dan Peningkatan Produktivitas Karyawan Charli Sitinjak Program Pascasarjana, Universitas Muhammadyah Malang E-mail: [email protected] Abstrak Dalam dunia kerja sering dijumpai penurunan kualitas produksi dikarenakan ketidaknyamanan karyawan dengan suasana kerja yang penuh tekanan, ketidak harmonisan antar karyawan, bahkan ketidaknyamanan akan peraturan yang dibuat oleh atasan yang dianggap memberatkan karyawan dalam bekerja. Dengan meningkatkan kesejahteraan di ruang lingkup perusahaan diangaap dapat memeberkian jawaban atas problematika yang terjadi, sehingga sebuah perusahaan tidak hanya akan terus berkembang, para pekerja juga jadi saling harmonis satu sama lain. Dalam tulisan ini penulis secara fokus membahas tentang kesejahteraan bagi karyawan juga perusahaan, dengan tujuan untuk membantu suatu perusahaan agar terhindar dari hal-hal yang merugikan. Kata kunci: karyawan, kesejahteraan, ruang lingkup kerja.
1. Pendahuluan Persaingan kerja yang semakin ketat mengakibatkan perusahaan berusaha untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam menghasilkan produk berkualitas tinggi. Apalagi saat ini kita dihadapkan dengan sebuah tantangan besar yaitu MEA (masyarakat ekonomi ASEAN), dengan adanya MEA ini mau tidak mau prusahanaan loka terus berlomba-lomba untuk menunjukan kualitas agar tetap bisa eksis di dunia pasar dalam maupun luar negeri. Dengan adanya optimalisasi demi meningkatkan kualitas kerja tersebut membuat sebuah tekanan yang lebih besar untuk para karyawan yang bekerja. Karyawan dituntut untuk bekerja ekstra dan memberikan kemampuan terbaik mereka, yang bertujuan untuk dapat membantu perusahaan dalam hal kualitas dan kuantitas prodak yang dihasilkan (Harter, Schimidt, & Keyes, 1999). Pada kondisi ini karyawan memainkan peranan yang sangat vital dalam membantu sebuah perusahaan agar tetap eksis. Disaat seperti ini tidak jarang perusahaan memberlakukan kebijakankebijakan sepihak tanpa mempertimbangkan kesejahteraan karyawan yang bekerja. Kebijakan tersebut tidak jarang memberikan dampak yang buruk bagi para karyawan, dan tidak jarang perusahaan juga tidak memperhatikan poin yang terpenting yaitu keselamatan kerja untuk karyawan (Danna, & Griffin, 1999; Magallares, Morales, & Rubio, 2011). Keadaan ini merupakan sebuah keadaan yang dapat merugikan, disatu sisi perusahaan membutuhkan peningkatan produksi dan disisi lain karyawan juga butuh kualitas pelayanan yang baik guna meningkatkan kesejahteraan mereka (Waddell, &Burton, 2006). Untuk menghadapi tantangan-tantangan yang lebih luas yang terjadi akibat adanya MEA, merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh perusahaan yaitu meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya. Disini para pekerja merupakan
174
kunci penentu disebuah perusahaan, mereka merupakan penentu maju mundurnya sebuah perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan para petinggi perusahaan harus mengeluarkan kebijakan tidak melihat dari sisi keuntungan perusahaan saja namun harus melihat dari aspek pekerja juga (Kompas, 2015). Dari permasalahan yang telah diulas pada alinea-alinea sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa, masih banyak perusahaan yang tidak pro kepada karyawan-karyawan mereka. hal ini sudah tentu memberikan dampak negatif bagi pada karyawan. Dampak negatif yang sering terjadi yaitu penurunan loyalitas karyawan, penurunan produktivitas, jenuh ditempat kerja, dan permasalahan lainya. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan tekanan yang sangat tinggi yang mengakibatkan pada pekerja memiliki stress kerja yang tinggi dan penurunan kesejahteraan yang dirasakan oleh pada karyawan (Grebner, Semmer, Faso, Gut, Kalin, & Elfering, 2003). Efek dari stress yang dialami oleh karyawan bisa berakibat sangat fatal, dilihat dari kaca mata medis stress tersebut bisa berakibat pada serangan jantung, stroke, gangguan pencernaan, sakit kepala, pilek dan penyakit lainya, sedangkan penyakit sikologis yang dapat timbul dikarenakan stress ditempat kerja yaiut depresi, kecemasan, panic berlebihan, penurunan kmitmen kerja, dan terhambatnya pembentukan emosi positif (meyer, & Maltin, 2010; Ryff, & Keyes, 1995). Menurut laporan Medibank Private Work Stress, terjadi penurunan pendapatan sampai dengan jumblah $. 14. 1 milyar akibat dari stress karyawan di Australia (Australia Psychological Society Stres Nasional dan Kesejahteraan Survey 2011, 2012, 2014. Pada tahun 2012, (dalam survey stres tahunan Amerika) orang Amerika menyatakan bahwa 65 persen pekerjaan sebagai sumber utama stres, (American Psychological Association (APA). Hanya 37 persen orang Amerika yang disurvei mengatakan mereka melakukan pekerjaan yang sangat baik mengelola stres atau sangat baik. Satu survei 2013 oleh Pusat APA untuk Keunggulan Organisasi juga menemukan bahwa stres yang berhubungan dengan pekerjaan adalah masalah serius. Lebih dari sepertiga orang Amerika yang bekerja dilaporkan mengalami stres kerja kronis dan hanya 36 persen mengatakan organisasi mereka menyediakan sumber daya yang cukup untuk membantu mereka mengelola stres yang dialami. 1.1 Jenis Stres Eustress merupakan stress yang baik, dikatakan baik karena seseorang yang sedang mengalami eustress akan lebih termotivasi untuk bekerja (Spector, Cooper, Sanchez, & O’Driscoll, 2002). Setiap individu membutuhkan stress dalam melaksanakan kerjanya, stress disini memberikan efek tantangan pada diri seseorang untuk lebih produktif lagi dan ketika seseorang tersebut bisa melewati tantangan tersebut mereka akan merasa bahagia. Distress merupakan stres yang berdampak negatif. Distress didefinisikan sebagai stres yang berlangsung secara terus menerus yang tidak dapat di tanggulangi sendiri, meskipun individu tersebut telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi stresnya bekerja (Spector, Cooper, Sanchez, & O’Driscoll, 2002). Stress ini dapat menjadi kronis dan dapat melemahkan indivdu. Efek yang muncul dari stress ini adalah kecemasan, depresi dan gangguan psikologis lainya. Gejala perilaku meliputi makan berlebihan, kehilangan nafsu makan, minum, merokok dan mekanisme koping negatif. Karakteristik distress (Stres negatif):
175
dapat berlangsung jangka pendek atau jangka panjang, dianggap di luar kemampuan kita mengatasi, mengurangi motivasi dan menguras energi kita, sangat tidak menyenangkan, menyebabkan masalah mental dan kesehatan, dan mengurangi kinerja (Leach, & Kiely, 2013). Contoh: cedera pada saat latihan, kematian orang yang dicintai, kerawanan dalam pekerjaan, atau kehilangan pekerjaan, tidak bisa bergaul dengan rekan tim dan pengawas, kurangnya otoritas dan kurangnya pelatihan, jadwal yang terlalu padat, kurangnya ketegasan, dan sering menunda-ninda waktu. Dari penejelasan pada alinea sebelumya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kurangnya kesejahteraan dapat berakibat fatal bagi karyawan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas produksi dari sebuah perusahaan (Dolan, Peasgood, & White, 2008). Oleh karena itu pada penelitian kali ini penelitia ingin meneliti tentang kesejahteraan di tempat kerja yang bertujuan menciptakan lingkungan yang positif dan meningkatkan produktivitas karyawan. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Kesejahteraan Karyawan di Tempat Kerja Kesejahteraan dapat diartikan sebagai seatu keadaan dimana individu merasakan keadaan yang damai, sehat secara jasmani dan rohani, dan padasaat seseorang merasakan kemakmuran pada dirinya. Sedangkan kesejahteraan ditempat kerja dapat didefinisikan sebagai kenyamanan yang dirasakan oleh karyawan kerja yang diapatkan dari lingkungan kerja yang kondusif dan tidak memberikan tekanan berlebih (Sheldon, Elliot, Ryan, Chirkov, Kim, Wu, Demir, & Sun, 2004). Kesejahteraan di dalam ruang lingkup perusahaan bisa dibentuk dengan memberikan balas jasa (berupa materi dan non materi) yang diberikan oleh pihak perusahaan berdasarkan hasil kerja seorang karyawan (prestasi) ataupun diberikan berdasarkan kebijakan yang dilakukan perusahaan (Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011; Doge, Daly, Huyton, & Sanders, 2012). Contoh sederhana yang dapat dilakukan oleh pihak perusahaan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan para pekerja adalah dengan cara memberikan bantuan bagi yang sakit, bantuan tabungan karyawan, asuransi, dan pusat pelayanan kesehatan yang menjadi kewajiban ada disetiap tempat kerja (bisa berupa klinik sederhana) (Australian Institute of Health and Walfare, 2013). Pentingnya program peningkatan kesejahteraan yang diberikan kepada karyawan dengan tujuan menciptakan ruang lingkup yang positif di tempat kerja, akan berdampak pada tingkat kesejahteraan yang baik bagi setiap karyawan, sehingga mereka akan lebih tenang dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan ketenangan tersebut diharapkan para karyawan akan lebih disiplin. Program ini juga dapat memeberikan semangat dan dorongan yang lebih bagi pada karyawan dalam bekerja (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini peneliti menggunakan orientasi studi kasus, dengan tujuan mendeskripsikan tentang konteks dan terjadinya suatu kasus (Hanurawan, 2012). Sampel dalam penelitian ini sebanyak 20 orang karyawan yang memiliki karakteristik telah bekerja di sebuah perusahaan selama minimal 10 tahun. Teknik dalampengambilan sampel
176
dilakukan dengan cara purposive sampling. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara mendalam. 3.1 Metode Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini dengan mengguanakan penelaahan terhadap seluruh data yang didapat melalu wawancara dengan membuat sebuah verbatim. Penelaahan disni dilakukan terhadap pola-pola menonjol dalam data yang terkumpul sehingga dapat dilakukan interpretasi suatu kesimpulan (proporsisi) sebagai hasi penelitian. 3.2 Validasi Kesimpulan Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi data. Triangulasi data dilakukan dengan tujuan mendapatkan keterpercayaan hasil atau temuan penelitian dalam studi kasus. 4. Temuan dan Simpulan 4.1 Temuan Dari ke 20 sampel yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan bahwa 17 orang masih memiliki keluhan yang relatif sama yaitu, kurangnya perhatian yang diberikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan pekerja. Mereka juga menyatakan bahwa hal tersebut sudah membuat banyak teman mereka yang ogahogahan, mangkir dari pekerjaan, dan tidak lagi bekerja dengan sepunuh hati. Para perkerja pun memiliki harapan yang sama yaitu perusahaan harus membuat kebijakan tidak hanya untuk kepentingan perusahaan namun melihat juga dari sisi pekerja. Terkadang banyak pekerja yang sudah lelah dan sakit tetap dipaksakan bekerja hanya karena takut untuk dipecat. Sedangkan 3 pekerja yang lain merasakan sediit lebih baik, mereka bekerja di perusahaan yang notabene dipegang oleh orang asing, dimana mereka telah disediakan segala sesuatunya mulai dari keperluan dalam bekerja, makanan, dan klinik kesehatan serta tunjangan dihari tua yang baik. Hal ini dikatakan oleh mereka dapat menjadi penyemangat mereka dalam bekerja. Dari hasil wawancara juga didapatkan bahwa keseluruhan karyawan juga menuntut hal yang sama, seperti tunjangan-tunjangan, tabungan hari tua, asuransi kesehatan dan lainya dengan tujuan menciptakan ruang lingkup kerja yang positif. Alasan mereka mengingnkan ha-hal tersebut adalah agar mereka tidak berfikiran negatif, dengan menciptakan hal-hal positif seperti memikirkan kesejahteraan karyawan perusahaan secara perlahan mulai membantu karyawan untuk berfikir positif juga dan meringankan beban pikiran mereka, dan dapat dikatan mereka akan terhindar dari distress kerja yang akan berakibat fatal bagi karyawan dan perusahaan. 4.2 Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dapat menjadi penyeimbang dalam diri karyawan, sehingga karyawan sedikit terbantu dalam menghadapi tekanan kerja yang tinggi, apalagi dalam menyongsong MEA produktivitas dan kualitas produk sebuah perusahaan sudah menjadi harga mati untuk ditingkatkan. Dengan berhasilnya perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang positif, maka dapat dikatakan perusahaan tersebut telah siap dalam menyongsong MEA. Atmosfer positif yang terhadap dalam ruang lingkup perusahaan akan sangat berpengaruh kepada penignkatan produktivitas para karyawan, membuat
177
karyawan juga nyaman dalam menikmati pekerjaanya sehari-hari (Haworth, 2015; Bevan, 2010). Daftar Pustaka Australian Institute of Health and Welfare. 2013. Strategies and practices for promoting the social and emotional wellbeing of Aboriginal and Torres strait islander people. Bevan, S. 2010. The business case for employees health and well-being. The Work Foundation. Butterworth P, Leach LS & Kiely KM (2013). The relationship between work characteristics, wellbeing, depression and workplace bullying: technical findings from a survey of 32–36 year old workers in Canberra and Queanbeyan, 2013. Canberra: Safe Work Australia. Danna, K., & Griffin, R. W. 1999. Health and well-being in the work place: A review and synthesis of the literature. Journal of Management, 25(3), 357384. Doge, R., Daly, A. P., Huyton, J., & Sanders, L. D. 2012. The challenge of defining wellbeing. International Journal Wellbeing, 2(3), 222-235. Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, M. 2011. Measuring subjective well-being for public policy. Office for National Statistics. Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. 2008. Do we really know what makes us happy? A review of the economic literature on the factors associated with subjective well-being. Journal of Economic Psychology, 29, 94-122. Grebner, S., et al. (2003). Working conditions, Well-being, and job-related attitudes among call centre agents. European Journal Of Work and Organizational Psychology, 12(4), 341-365. Harter, J.K., Schimidt, F. L., & Keyes, C. L. M. 1999. Well-being in the workplace and its relationship to business outcomes. American Psychological Association, 9, 205-224. Haworth. 2015. Workplace design for well-being. www.haworth.com. http://print.kompas.com/baca/2015/12/01/MEA%2c-Antara-Peluang-dan-A ncaman. Keyes, C. L. M., Smhotkin, D., & Ryff, C. D. 2002. Optimizing well-being: The empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82(6), 1007-1022. Magallares, A., Morales, J. F., & Rubio, M. A. 2011. The effect of work discrimination on the well-being of Obese people. International Journal of Psychology and Psychological Therapy, 11(20), 255-267. Meyer, J. P., & Maltin, E, R. 2010. Employee commitment and well-being: A critical review, theoretical framework and research agenda. Journal of Vocational Behavior, 77, 323-337. Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 89(4), 719-727. Sheldon, K. M., Elliot, A. J., Ryan, R. M., Chirkov, V., Kim, Y., Wu, C., Demir, A., & Sun, Z. 2004. Self-concordance and subjective well-being in four cultures. Journal of Cross –Cultural Psychology, 32(2), 209-223.
178
Spector, P. E., Cooper, C. L., Sancez, J, I., & O’Driscoll, M. 2002. Locus of control and well-being at works: How generalizable are western findings? Academy of Management Journal, 45(2), 453-466. Waddell, G., & Burton, A. K. 2006. Is work god for your health and well-being. www.tsoshop.co.uk.
179
Pengaruh Postur Kerja Terhadap MSDs Karyawan Instalasi Central Sterile Supply Department, Laundry, dan Jahit di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta Agustina Dwi Suryawati1, Sumardiyono2, Yeremia Rante Ada’2 1
Mahasiswi Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 2 Dosen Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 E-mail: [email protected]
Abstrak Aktivitas kerja Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi Surakarta mayoritas menggunakan manual handling seperti penerimaan alat, pencucian alat, pengemasan alat, pengambilan linen, pemilahan linen kotor, penimbangan linen, dsb. Pekerjaan tersebut berpotensi menyebabkan MSDs (Musculoskeletal Disorders) karena dilakukan secara repetitif dengan postur tubuh tidak alamiah seperti membungkuk, memuntir, mengangkat tangan terlalu tinggi, dll. Metode penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. Teknik pengambilan data menggunakan rancangan perlakuan ulang (one group pre and posttest design). Pengukuran efek dilakukan sebelum dan sesudah bekerja. Postur kerja dinilai menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment), MSDs dinilai menggunakan kuesioner NBM (Nordic Body Map). Populasi penelitian 42 orang, sampel diambil 30 orang dengan teknik random sampling. Analisis statistik menggunakan Wilcoxon Test. Menurut penilaian REBA, terdapat dua tingkat risiko kerja yaitu Sedang (skor 5-7) dan Tinggi (skor 8-9). Pada uji statistik perbedaan MSDs berdasarkan risikonya diperoleh p=0,335;t=-0,964. Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan MSDs pada pekerja dengan risiko Sedang dan Tinggi. Selanjutnya dilakukan uji statistik sebelum dan sesudah bekerja pada masing-masing risiko, dihasilkan: Risiko sedang (t=-3,519; p=0,000), risiko tinggi (t=-3,183; p=0,001), risiko sedang dan tinggi (t=-4.706; p=0,000). Sedangkan variabel pengganggu: jenis kelamin (t=-0,958; p=0,338), kebiasaan merokok (t=-0,338;p=0,736), IMT (r=0,189; p=0,318), umur (r=0,397; p=0,030). Tidak ada perbedaan MSDs pada risiko postur kerja Sedang dan Berat, tetapi ada perbedaan MSDs sebelum dan sesudah bekerja. Variabel jenis kelamin, kebiasaan merokok, IMT tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian ini, sedangkan umur berpengaruh terhadap MSDs. Kata kunci: MSDs, postur kerja,.
1. Pendahuluan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah keluhan pada bagian otot-otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan yang sangat ringan sampai berat apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam kurun waktu yang lama maka dapat menyebabkan kerusakan pada otot, saraf, tendon, persendian, kartilago, dan discus interveteblaris.[1] Faktor penyebab terjadinya keluhan muskuloskeletal yaitu peregangan otot yang berlebihan (overexertion), aktivitas berulang, dan sikap kerja tidak alamiah. Faktor penyebab sekundernya ialah tekanan, getaran, dan mikroklimat. Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan
180
fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal.[2] Hasil Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit infeksi dan lain-lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain prevalensi 42% dan di AS insiden cedera muskuloskeletal 4,62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas, namun diyakini banyak keluhan-keluhan dari para petugas RS sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS. [3] Beragamnya jenis pekerjaan, mayoritas masih menggunakan manual handling dan bersifat repetitif, karyawan di Rumah Sakit sangat rentan terhadap gangguan sistem muskuloskeletal. RSUD Dr. Moewardi merupakan rumah sakit terbesar di Surakarta. Salah satu pekerjaan di RSUD Dr. Moewardi yang menggunakan manual handling ialah pekerjaan di Instalasi CSSD (Central Sterile Supply Department), Laundry dan Jahit. Pekerjaan yang ada di CSSD antara lain penerimaan alat, pencucian alat, setting alat IBS (Instalasi Bedah Sentral), pengemasan alat, kasa, dan linen IBS, serta sterilisasi. Instalasi Laundry pekerjaan yang dilakukan antara lain pengambilan linen, pemilahan linen kotor, penimbangan, pencucian linen, pengeringan linen, pemilahan linen bersih, penyeterikaan, pelipatan linen, dan penyimpanan linen. Instalasi Jahit kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan linen yang belum terencana dan daur ulang atau permak linen.[4] Aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan dengan posisi berdiri maupun duduk dan berpotensi menyebabkan MSDs karena dilakukan secara repetitif dengan postur tubuh tidak alamiah seperti membungkuk, memuntir, mengangkat tangan terlalu tinggi, dll. Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan, beliau mengeluh nyeri pinggang setelah melakukan pekerjaanya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Postur Kerja terhadap MSDs pada Karyawan Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. 2. Metode Penelitian Penilitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan data menggunakan rancangan perlakuan ulang (one group pre and posttest design). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan di Instalasi CSSD, Laundry, dan Jahit RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 42 orang dan yang diambil sebagai sampel adalah 30 orang dengan menggunakan teknik sampling simple random sampling. Simple random sampling adalah metode penarikan dari sebuah populasi dengan cara tertentu sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama untuk terpilih atau terambil.[5] Postur kerja dinilai menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Penilaian tingkat keluhan muskuloskeletal menggunakan kuesioner NBM (Nordic Body Map) yang dilakukan 2 kali, yaitu pada saat sebelum bekerja dan sesudah bekerja. Pengaruh tingkat risiko postur kerja terhadap MSDs
181
dianalisis menggunakan Mann Whitney Test sedangkan perbedaan keluhan muskuloskeletal sebelum dan sesudah bekerja dianalisis menggunakan Wilcoxon Test, karena termasuk uji hipotesis komparatif dengan variabel numerik dua kelompok (berpasangan) dan data tidak berdistribusi normal.[6] Faktor risiko yang berhubungan dengan MSDs seperti jenis kelamin dan kebiasaan merokok dianalisis dengan Mann-Whitney Test, usia dan Indeks Massa Tubuh dianalisis dengan Spearman Test. 3. Hasil Penelitian 3.1. Karakteristik Sujek Penelitian Jumlah subjek penelitian sebanyak 30 orang, adapun karakteristik subjek penelitian tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian No. 1. 2. No.
Karakteristik Umur (tahun) Indeks Massa Tubuh (kg/m2) Karakteristik
3.
Jenis Kelamin
4.
Kebiasaan Merokok
SD 9,9 4,1 Frekuensi 23 7 24 6
37,5 25,1 Varian Laki-Laki Perempuan Tidak Merokok Merokok
Range 24–57 17,9–37,6 Persentase 76,7% 23,3% 80% 20%
3.2. Hasil Penilaian REBA Tabel 2. Hasil Penilaian REBA No. 1.
2.
3. 4. 5.
Pekerjaan Penyeterikaan Linen Pemilahan Linen Bersih Pengemasan Kasa Penjahitan Linen Penyimpanan Linen Sterilisasi Alat Pengemasan Linen IBS Pelipatan Linen Penyettingan Alat IBS Pemilahan Linen Kotor Pencucian Alat Pencucian Linen Kotor
REBA
Tingkat Aksi
Tingkat Risiko
5
2
Sedang
6
2
Sedang
7 8
2 3
Sedang Tinggi
9
3
Tinggi
Berdasarkan tabel diatas pekerjaan di Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit termasuk dalam tingkat risiko sedang dan tinggi. Dalam penelitian ini karyawan yang bekerja dengan postur kerja tingkat risiko sedang sebanyak 17 orang (56,7%) dan tingkat risiko tinggi sebanyak 13 orang (43,3%). 3.3. Hasil Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal Hasil pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map yang dilakukan sebelum dan sesudah bekerja tersaji pada tabel hasil pengukuran MSDs dibawah ini.
182
Tabel 3. Hasil Pengukuran MSDs No. 1 2
Keluhan Muskuloskeletal Sebelum Bekerja (∑ total skor) Sesudah Bekerja (∑ total skor)
29,7 42,1
SD 5,2 10,4
Range 28–40 28–72
Skor gangguan muskuloskeletal dapat dikategorikan tingkat risikonya berdasarkan total skor. Risiko rendah (28-49), risiko sedang (50-70), risiko tinggi (71-91), dan risiko sangat tinggi (92-112).[2]Apabila hasil penelitian ini dikategorikan berdasarkan tingkat risikonya dapat disajikan pada gambar 1.
Interpretasi pada gambar 1 tersebut menunjukkan tingkat keluhan muskuloskeletal karyawan meningkat sesudah bekerja, pada risiko tinggi dari 0% menjadi 3,3%, pada risiko sedang (3,3% menjadi 13,3%). Dan untuk risiko sedang menurun dari 96,7% menjadi 83,3%. 3.4. Hasil Uji Statistik Tabel 4. Hasil Uji Statistik Variabel No. Bebas 1.
Umur
2.
IMT
3.
Jenis Kelamin
4. 5.
6.
7.
6.
Kebiasaan Merokok Postur Kerja Postur Kerja Risiko Sedang Postur Kerja Risiko Tinggi Postur Kerja Sedang dan Tinggi
Variabel Terikat (Skor MSDs) Sebelum Bekerja Sesudah Bekerja Sebelum Bekerja Sesudah Bekerja Sebelum Bekerja Sesudah Bekerja Sebelum Bekerja Sesudah Bekerja Sebelum Bekerja Sesudah Bekerja
n 30 30 30
Uji Statistik
Hasil Uji
P
Simpulan
Spearman Test Spearman Test
r = -0,052 r = 0,397 r = 0,131 r = 0,189 t = -0,526
0,786 0,030 0,489 0,318 0,599
Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
MannWhitney Test t = -0,958
MannWhitney Test Mann30 Whitney Test 30
0,338
t = -0,111 t = -0,338 t = -0,359 t = -0,964
0,911 0,736 0,719 0,335
Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
Sebelum dan Sesudah Bekerja
17
Wilcoxon Test
t = -3,519
0,000
Signifikan
Sebelum dan Sesudah Bekerja
13
Wilcoxon Test
t = -3,183
0,001
Signifikan
Sebelum dan Sesudah Bekerja
30
Wilcoxon Test
t = -4,706
0,000
Signifikan
183
4. Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran REBA, pekerjaan yang ada di Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi termasuk dalam tingkat risiko sedang dan tinggi, karena pekerjaan mereka dilakukan dengan posisi tubuh yang tidak alamiah seperti mengangkat tangan terlalu tinggi pada pemilahan linen kotor, mengangkat beban yang berat pada saat penerimaan alat kotor, membungkuk pada saat pencucian alat, memuntir saat memasukkan linen ke mesin cuci (Gambar untuk setiap pekerjaan tersaji di lampiran). Pekerjaanpekerjaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, baik dalam posisi duduk maupun berdiri. Peter Vi menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal ialah peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang dan sikap kerja tidak alamiah.[7] Sehinga karyawan di Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi berisiko terkena gangguan Muskuloskeletal Disorders (MSDs). Analisis statistik hubungan antara usia dengan keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hal ini berarti usia tidak berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja. Namun, hasil analisis statistik hubungan antara umur dengan keluhan muskuloskeletal sesudah bekerja menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05). Nilai r=0,397, menunjukkan kekuatan hubungan lemah dan arah hubungan. Dengan demikian semakin tinggi usia karyawan, semakin tinggi pula tingkat risiko keluhan MSDs yang dirasakan karyawan setelah bekerja. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT), jenis kelamin dan kebiasaan merokok dengan keluhan muskuloskeletal baik sebelum maupun sesudah bekerja didapatkan hasil analisis statistik yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini IMT, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok tidak mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal, baik sebelum maupun sesudah bekerja. Perbedaan keluhan muskuloskeletal pada postur kerja tingkat risiko sedang dan tinggi, baik sebelum maupun sesudah bekerja didapatkan hasil statistik yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan MSDs antara risiko postur kerja sedang dan tinggi. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan yang dilakukan bervariasi, selalu dilakukan rolling pekerjaan setiap 2 hari sekali, tersedia waktu pemulihan atau recovery setelah karyawan melakukan pekerjaan. Pada analisis statistik perbedaan keluhan muskuloskeletal sebelum dan sesudah bekerja pada masing-masing tingkat risiko postur kerja yaitu sedang dan tinggi, keduanya menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05). Kemudian dilakukan analisis terhadap keluhan MSDs sebelum dan sesudah bekerja pada kedua risiko postur kerja (digabung), didapatkan hasil yang signifikan pula sebesar 0,000 (p < 0,05), nilai t bernilai negatif sebesar -4,706 menunjukkan ratarata skor untuk keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata skor keluhan muskuloskeletal setelah bekerja, artinya ada peningkatan keluhan muskuloskeletal setelah responden melakukan pekerjaan. 5. Kesimpulan Tidak ada perbedaan keluhan muskuloskeletal pada risiko postur kerja sedang dan berat, tetapi ada perbedaan keluhan muskuloskeletal sebelum dan
184
sesudah bekerja.Terjadi peningkatan keluhan muskuloskeletal setelah responden bekerja.Variabel jenis kelamin, kebiasaan merokok, IMT tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian ini, sedangkan umur berpengaruh terhadap MSDs, semakin bertambahnya umur karyawan semakin tinggi pula keluhan MSDs yang dirasakan. Daftar Pustaka 1. Tarwaka, Solichul H.A., Bakri, Lilik. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Surakarta: Uniba Press. 2. Tarwaka, 2010. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press Solo. pp: 283-333. 3. Menteri Kesehatan RI. 2007. Pengantar Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. pp: 4. 4. RSUD Dr. Moewardi. 2015. Instalasi Pencuci Hama dan Jahit. http://rsmoewardi.jatengprov.go.id/dtlpelayanan-40-instalasi-pensuci-hamadan-cuci-jahit.html. (11 Maret 2016) 5. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. pp: 126. 6. Dahlan M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. pp: 66-79. 7. Peter Vi. 2000. Construction Health: Musculoskeletal Disorder what are the causes and controls in costruction. Magazine Vol 11 No.3.
185
Lampiran
Gambar 1. Pencucian Alat
Gambar 2. Penyettingan Alat IBS
Gambar 4. Pengemasan Kasa
Gambar 5. Sterilisasi Alat
Gambar 3. Pengemasan Linen IBS
Gambar 6. Pemilahan Linen Kotor
Gambar 7. Pencucian Linen
Gambar 8. Pemilahan Linen Bersih
Gambar 9. Penyeterikaan Linen
Gambar 10. Pelipatan Linen
Gambar 11. Penyimpanan Linen Bersih
Gambar 12. Penjahitan Linen
186
Penilaian Risiko Terhadap Kondisi Ergonomi Pengrajin Songket “Fikri Koleksi” di Talang Semut Bukit Tanggal, Palembang Septia Milanda, Desca Olympia Citra Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya, Indralaya Tel. 089698000451, E-mail: [email protected] Tel. 089627231319, E-mail: [email protected]
Abstrak Dunia industri di zaman modern saat ini selalu menginginkan dan menuntut produktivitas kerja yang optimum dari para pekerjanya. Perkembangan IPTEK dapat meningkatkan produktvitas dengan berbagai metode baik menggunakan alat, sistem, ataupun prosedur tertentu untuk menjaga kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Di dunia industri yang belum konvensional, aktivitas manual seperti mengangkat, mengambil, menaruh, mendorong, dan menarik benda masih dilakukan. Bila aktivitas ini dilakukan berulang akan membahayakan kesehatan pekerja dan dapat mengakibatkan keluhan berupa musculoskeletal disorder atau fatigue karena postur tubuh yang salah. Metode penulisan dengan observasi dan alat ukurnya berupa dokumentasi guna mendapatkan data primer dan menggunakan software RULA (Rapid Upper Limb Assessment) sebagai media penghitungan rating beban musculoskeletal dalam suatu pekerjaan dimana seseorang memiliki risiko pada pembebanan bagian atas tubuh dan leher kemudian diinterpretasikan dalam bentuk scoring. Berdasarkan hasil analisis, postur kerja pengrajin songket “Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang Tangga Buntung bernilai 5 menurut metode alat ukur RULA. Hasil scoring 5 menunjukkan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi kerja yang menimbulkan cidera. Beberapa gerakan berulang (repetitive motion) bisa menimbulkan kelelahan. Dengan demikian, pekerja pada pengrajin songket di “Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang melakukan pekerjaan dengan posisi kerja belum tepat sehingga bisa menimbulkan cidera. Perlunya evaluasi lebih lanjut dan perubahan postur tubuh selama bekerja. Kata kunci: ergonomi, pengrajin songket, penilaian risiko, RULA.
1. Pendahuluan Dunia industri di zaman modern saat ini selalu menginginkan dan menuntut produktivitas kerja yang optimum dari para pekerjanya. Perkembangan IPTEK dapat meningkatkan produktvitas dengan berbagai metode baik menggunakan alat, sistem, ataupun prosedur tertentu untuk menjaga kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Di dunia industri yang belum konvensional, aktivitas manual seperti mengangkat, mengambil, menaruh, mendorong, dan menarik benda masih dilakukan. Bila aktivitas ini dilakukan berulang akan membahayakan kesehatan pekerja dan dapat mengakibatkan keluhan berupa musculoskeletal disorder atau fatigue karena postur tubuh yang salah, sehingga perkembangan ergonomic terjadi sekitar pertengahan abad ke-20 mulai berkembang disiplin ilmu tentang perancangan peralatan dan fasilitas kerja yang berdasarkan kondisi fisiologi, yang dikenal dengan ergonomi, negara di Eropa Barat dikenal dengan istilah Human Factor Engineering atau Human Engineering. Definisi ergonomi yang disebut
187
sebagai “human factor”. (Wignjosoebroto, 1995). Penekanan pada keberadaan manusia dan interaksinya dengan produk, perlengkapan,fasilitas, prosedur dan lingkungan kerjanya sehari-hari. Tujuan “human factor” meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Dari hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa mayoritas responden pada usia berisiko. Pada umumnya nyeri keluhan pada musculoskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan bertambahnya umur. Hal ini dikarenakan kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun, sehingga risiko terjadinya keluhan muskuloskletal meningkat. Dari hal tersebut maka usia mempengaruhi terjadinya keluhan subjektif pada punggung (Koesyanto, H. 2013). Menurut (Hendra dan Suwandi Rahardjo, 2009) bahwa pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko gangguan muskuloskeletal 2,775 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Menurut Boshuzen dalam Mayrika dkk. (2009), usia lebih dari 5 tahun lebih berisiko terkena nyeri punggung dibandingkan dengan responden dengan masa kerja kurang dari 5 tahun. Kemudian, nyeri dan rasa tidak nyaman pada tengkuk pada umumnya terjadi pada waktu kerja dengan pekerjaan yang beban kerja berat, pekerjaan manual dengan duduk terus menerus (Depkes R1 2004). Pada penelitian ini, pengrajin songket dipilih sebagai sampel untuk mengetahui seberapa besar mengalami cidera akibat posisi tidak ergonomis dalam menenun songket. Pengukuran terhadap kondisi ergonomi bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu RULA (Rapid Upper Limb Assessment). RULA merupakan suatu pengembangan metode penelitian pada pemeriksaan workplace yang ergonomis dimana kerja yang dilakukan berhubungan dengan tubuh bagian atas (upper limb) yang secara tidak teratur. RULA ini merupakan suatu alat rekaman yang memproses biomekanika dan postur tubuh dengan peringatan pada leher, punggung dan tubuh bagian atas (Mc Actamney dan Corlett, 1993). 2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode observasi lapangan dan alat ukurnya berupa dokumentasi guna mendapatkan data primer dan menggunakan software RULA (Rapid Upper Limb Assessment) sebagai media penghitungan rating beban musculoskeletal dalam suatu pekerjaan. Penelitian ini dilakukan terhadap pengrajin songket “Fikri Koleksi” yang ada di Talang Semut Bukit Tanggal, Palembang. 3. Hasil dan Pembahasan RULA (Rapid Upper Limb Assessment) sebagai media penghitungan rating beban musculoskeletal dalam suatu pekerjaan dimana seseorang memiliki risiko pada pembebanan bagian atas tubuh dan leher kemudian diinterpretasikan dalam bentuk scoring. Prosedur dalam pengembangan metode RULA meliputi 3 (tiga) tahap yaitu tahap pengembangan metode untuk merekam postur kerja, tahap pengembangan sistem penilaian dengan skor, dan tahap pengembangan dari skala tingkat tindakan yang memberikan panduan pada tingkat risiko dan kebutuhan untuk mengadakan penilaian yang lebih detail dan tahap-tahap tersebut dan memiliki 12 langkah dapat dijelaskan sebagai berikut:
188
a. Tahap 1: Pengembangan metode untuk merekam postur kerja; penilaian sikap dan posisi tubuh pada saat bekerja yang dibagi menjadi kelompok A dan B. A terdiri dari lengan atas, bawah, dan pergelelangan tangan disebut dengan skor A b. Tahap 2: Pengembangan system skor untuk pengelompokan bagian tubuh c. Tahap 3: Pengembangan Grand Score dan Action List
STEP 1
STEP 2
189
STEP 3 Sampai STEP 5
STEP 6 Sampai STEP 9
190
STEP 10 Sampai STEP 11
STEP 12 dan Kesimpulan
Hasil observasi dan pengukuran diatas terhadap posisi ergonomi pengrajin songket “Fikri Koleksi” bernilai 5. Hasil scoring 5 menunjukan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi kerja yang menibimbulkan cidera. Beberapa gerakan berulang (repetitive motion) bisa menimbulkan kelelahan. Dengan demikian, pekerja pada pengrajin songket di ”Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang melakukan pekerjaan dengan posisi kerja belum tepat sehingga bisa menimbulkan cidera
191
Tabel 1. Kategori tindakan RULA Kategori Tindakan 1-2 3-4 5-6 7
Level Risiko Minimum Kecil Sedang Tinggi
Tindakan Aman Diperlukan beberapa waktu kedepa Tindakan dalam waktu dekat Tindakan sekarang juga
Penelitian sebelumnya, penilaian risiko dengan subjek keluhan Musculoskeletal Disorders menggunakan desain penelitian cross sectional dengan melalukan observasi dan penyebaran kuesioner pada pengrajin dari pekerjaan bertenun songket menunjukan tingkat ergonomi tinggi skor RULA bernilai tujuh (Elza, 2012) Penilaian risiko dengan menggunakan metode RULA terhadap pengrajin songket di “Fikri Koleksi” pada proses pembuatan songket dengan menggunakan alat konvensional yaitu “dayan” termasuk pada level risiko sedang (5). Hal ini memberikan informasi bahwa aktivitas proses pembuatan songket diambil tindakan dalam waktu dekat. 4. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan penelitian diatas diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil observasi dan pengukuran menggunakan software RULA terhadap posisi ergonomi pengrajin songket “Fikri Koleksi” dapat disimpulkan bernilai 5. Hasil scoring 5 menunjukkan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi kerja yang menimbulkan cidera. 2. Penilaian risiko menggunakan software RULA terhadap pekerja pada pengrajin songket di “Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang dengan hasil scoring 5. Hal ini memberikan informasi bahwa aktivitas proses pembuatan songket diambil tindakan dalam waktu dekat. Adapun rekomendasi yang disarakan yaitu evaluasi lebih lanjut dan perubahan postur tubuh selama bekerja atau penyesuaian alat songket terhadap posisi pekerja serta penyuluhan yang diberikan berkesinambungan kepada pengrajin tentang ergonomi saat bekerja terutama pada pembuatan songket untuk menghindari risiko kerja. Daftar Pustaka Ahmad H. Asdie, 1999, Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Yogyakarta: EGC. Berkeley Vale. Bridger, R.S. 1995. Introduction to The Ergonomic, International Edition. McGraw-Hill. New York Canadian Centers for Occupational Health & Safety. 2005. WMSDs (online). Depkes RI, 2004, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran, Disorders Pada Pekerja Panen Kelapa Sawit. Makalah disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional Ergonomi XI Semarang, 17-18 November 2009 Elza, D.S. 2012. Gambaran Tingkat Risiko Ergonomi dan Keluhan Subjektif Muscoluskeletal Disorders pada Pengrajin Songket Tradisional Silungkang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.
192
______Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keluhan Nyeri Punggung Pada Penjual Jamu Gendong, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 4(1):61-67. Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hendra & Rahardjo, S. 2009. Risiko Ergonomi dan Keluhan Muskuloskeletal. http://www.ccohs.ca/oshanwers/ergonomics/riks.html (diakses 25 maret 2016) Humantech, 1995. Aplied Ergonomics Training Manual 2nd Edition. Australia: J. Jayaratnam & David KOH, 2010, Kedokteran Kerja, Jakarta, di terjemahkan oleh Suryadi, Jakarta: EGC. Khaizun. 2013. Faktor penyebab keluhan subyektif pada punggung pekerja tenun sarung ATBM di desa wanarejan utara pemalang. Koesyanto, H. 2013. Masa Kerja dan Sikap Kerja Duduk Terhadap Nyeri Punggung. Kesehatan Masyarakat, KEMAS 9 (1), 9-14. NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Faktors: A Critical Review NIOSH: Centers of Disease Contrrol and Prenvention. 1997. Nurhikmah. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Furnitur Di Kecamatan Benda Kota Tangerang Tahun 2011. S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oesman, T.I., dan Simanjuntak, R.A. 2011. Analisis Postur Kerja dengan Risk Assesment Methods pada Penambang Pasir. Proceeding Seminar Nasional “Industrial Services”. Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta: 72-80. of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disoeder. Sutalaksana, 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Jurusan Teknik Industri. Institut Teknologi Bandung. Wignjosoebroto Sritomo, Gunani Sri,Putri Denik, 2001, Evaluasi Ergonomis Dalam Perancangan Fasilitas dan Tata Cara Kerja Di Sektor Industri KecilMenengah Tradisional. Wignjosoebroto, S. 1995,” Ergonomi Studi Gerak dan Waktu”, PT Candimas Metropolis, Jakarta Wignjosoebroto, S. 2008. Ergonomi, Studi Gerak Dan Waktu. Jakarta: Guna Widya.
193
Posisi Kerja Ergonomis Berkorelasi Positif Dengan Tingkat Kelelahan Pembatik Yamtana, Ayub Belasihi Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta Jl. Tatabumi No. 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta. Tel. (0274) 617601, HP: 081344782344, Email: [email protected]
Abstrak Posisi kerja duduk yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja. Hal ini disebabkan karena kursi yang digunakan tidak sesuai dengan ukuran antropometri tenaga kerja. Demikian pula halnya yang dialami oleh para pembatik pada umumnya. Hasil survei pendahuluan pada salah satu industri batik di Yogyakarta, melakukan wawancara menggunakan kuesioner diperoleh hasil 100% responden mengalami keluhan kelelahan kerja.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitiannya yaitu 30 orang pembatik (responden), sedangkan obyek penelitian adalah 4 industri batik di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Adapun kriteria respondennya yaitu tenaga kerja perempuan, usia 20-45 tahun, menggunakan kursi saat membatik, mempunyai beban kerjanya sama, kondisi tubuh sehat, lama kerja 6-8 jam/hari, lama istirahat 1 jam. Pengumpulan data menggunakan alat: rol meter, reaction timer untuk mengukur tingkat kelelahan, dan kuesioner. Data penelitian dianalisis secara deskriptif, dan inferensial menggunakan uji pasti Fisher Chi Square dengan α = 0,05. Hasil penelitian diperoleh bahwa posisi kerja ergonomis sebanyak 10 responden (33,33%), posisi kerja tidak ergonomis sejumlah 20 responden (66,67%). Sebanyak 10 responden (33,33%) tidak lelah (normal), 20 responden (66,67%) mengalami kelelahan. Klasifikasi kelelahannya yaitu 16 responden (53,33%) mengalami lelah ringan, dan 4 responden (13,33%) lelah sedang. Berdasarkan uji pasti Fisher Chi Square diperoleh nilai p = 0,003, berarti ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Saran kepada pengusaha industri batik supaya menyediakan kursi kerja yang ergonomis. Kursi kerja yang ergonomis antara lain, tinggi dataran duduknya sesuai dengan panjang tungkai (kaki) tenaga kerja, atau sesuai yang direkomendasikan yakni setinggi 39–45 cm. Kursi harus mempunyai sandaran punggung, dan lebar papan duduk minimal 35 cm.
Kata kunci: ergonomis, kelelahan, pembatik posisi kerja. 1. Pendahuluan Usaha sektor informal salah satunya adalah industri batik, dan sampai sekarang masih sebagai potensi UKM unggulan di Kota Yogyakarta. Sebagai industri kecil menengah, industri batik mampu menyerap 892 tenaga kerja. Sampai saat ini kegiatan usaha industri batik, untuk menghasilkan produksinya masih menggunakan tenaga manusia dan peralatan tradisional. Dalam proses pembatikan diperlukan keterampilan dan ketelitian. Adapun proses produksi di industri batik meliputi beberapa tahapan, antara lain: proses persiapan, proses pembatikan, proses pelepasan lilin, dan finishing. Pekerja batik tulis pada umumnya dikerjakan oleh perempuan, bekerja dengan cara duduk, jenis tempat duduknya berbeda-beda, baik bentuk dan ukurannya. Umumnya tempat duduk yang digunakan belum memenuhi kaidah194
kaidah ergonomis, sehingga menyebabkan tidak nyaman dan cepat merasakan kelelahan. Ketidaknyamanan pada saat bekerja disebabkan oleh posisi duduk, akhirnya menimbulkan kelelahan, bahkan rasa sakit di beberapa bagian tubuh. Bagian-bagian tubuh yang merasakan lelah antara lain: bahu, lengan atas, punggung atas, punggung bawah, lengan bawah, pergelangan tangan, paha, lutut dan kaki. Sedangkan bagian tubuh yang merasakan sakit adalah dari punggung atas sampai kaki1). Survei pendahuluan terhadap 10 pekerja pada bagian pembatikan di industri batik yang berlokasi di Kota Yogyakarta, dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner diperoleh hasil 100% pembatik mengalami keluhan (subyektif) kelelahan kerja. Kelelahan kerja tersebut seperti: lelah seluruh badan, bahu, lengan atas, punggung atas, punggung bawah, lengan bawah, pergelangan tangan, paha, lutut dan kaki, merasa lesu, mengantuk, pusing, hingga ingin berbaring. Sebagian kegiatan dari proses produksi batik mengharuskan posisi pekerja duduk. Sedangkan kebanyakan kursi yang digunakan oleh para pekerja adalah kursi yang tidak ada sandaran tangan. Umumnya posisi pekerja tersebut dalam bekerja keadaannya bersikap duduk membungkuk. Posisi kerja yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja. Hal ini disebabkan karena posisi tersebut tidak sesuai dengan kemampuan maupun ukuran antropometri tenaga kerja. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengerahan tenaga yang lebih besar dan akan mempercepat kelelahan, dan berdampak pada menurunnya produktivitas kerja2). Kelelahan kerja ini jika dibiarkan terus-menerus setiap hari akan dapat menjadi kelelahan kronis. Tanda-tanda psikis adanya kelelahan sering disertai kelainan-kelainan psikosomatis, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru-paru dan jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan pencernaan dan sulit tidur3). Atas dasar tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini apakah ada hubungan posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik ? Tujuan penelitiannya untuk mengetahui hubungan antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. 2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitiannya adalah 12 industri batik di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta. Setiap industri memiliki karyawan antara 3-12 pembatik. Sampel/obyek penelitian diambil secara acak pada 4 industri. Kemudian dari 4 industri tersebut ditentukan subyek penelitian secara proporsional, selanjutnya disebut responden berjumlah 30 pembatik. Kriteria respondennya yaitu: menggunakan kursi saat membatik, menggunakan alat canting dan tungku, bahannya kain dan malam, jenis kelamin perempuan, tidak cacat fisik dan tidak sakit, lama kerja 6-8 jam/hari, waktu istirahat 1 jam, usia antara 20-45 tahun, beban kerjanya sama. Variabel bebas penelitian ini adalah posisi kerja ergonomis, variabel terikatnya tingkat kelelahan. Interpretasi hasil pengukuran dari reaction timer, yaitu: a. Lelah: apabila hasil rerata 3 kali ulangan pengukuran menunjukkan angka 0–36 per menit; b. Tidak lelah: apabila hasil rerata 3 kali ulangan pengukuran menunjukkan angka >37 per menit. Variabel pengganggu, yaitu: suhu ruangan, pencahayaan, jenis kelamin, dan umur. Data penelitian dianalisis secara deskriptif,
195
dan inferensial menggunakan uji turunan chi square yaitu uji pasti fisher, dengan taraf signifikan sebesar 95% atau α=0,05. Data diolah menggunakan komputer program SPSS for windows versi 12.0. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Karakteristik dan posisi kerja ergonomis Responden penelitian ini 30 pembatik pada 4 industri batik di Kecamatan Mantrijeron dengan tingkat pendidikannya lulusan: sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan kursus. Dalam bekerja responden menggunakan kursi kayu yang mempunyai sandaran punggung, alas duduk berbentuk persegi berukuran lebar 29 cm sampai 42 cm. Ruang kerja umumnya berada pada bagian dalam bangunan, menggunakan penerangan alami sinar matahari, ruang terbuka hijau dengan taman di bagian tengahnya. Keadaan ini memungkinkan masuknya cahaya matahari dan sirkulasi udara, serta terdapat ventilasi alami pada beberapa sisi ruang kerja. Kegiatan proses produksi batik berlangsung mulai pagi hingga sore, yaitu sejak pukul 08.00 WIB atau 09.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB atau 16.00 WIB. Waktu kerja diselingi istirahat selama 1 jam, biasanya secara bergantian antara pukul 11.00 WIB hingga 13.00 WIB. Variabel penelitian posisi kerja ergonomis (ergonomis atau tidak ergonomis) diperoleh dengan cara mengukur kursi kerja, yang meliputi: tinggi dataran duduk, lebar papan duduk, dan tinggi papan tolak punggung. Selanjutnya ukuran kursi tersebut dibandingkan dengan ukuran antropometri pembatik, yang meliputi: tinggi duduk, jarak lekuk lutut-garis punggung, dan jarak lekuk lutut-telapak kaki. Pengukuran posisi kerja ergonomis dan tingkat kelelahan terhadap 30 responden pada 4 industri batik di Yogyakarta diperoleh data, sebagai berikut. Tabel 1. Distribusi frekuensi posisi kerja ergonomis dan tingkat kelelahan responden pada industri batik di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta Tahun 2012 No. 1 2 1 2 3
Kriteria Ergonomis Tidak Ergonomis Jumlah Normal (tidak lelah) Lelah ringan Lelah sedang Jumlah
Jumlah responden 10 20 30 10 16 4 30
Persentase (%) 33,33 66,67 100 33,33 53,34 13,33 100
3.2. Tingkat kelelahan responden Tingkat kelelahan responden diperoleh dengan menggunakan alat pengukur kelelahan (reaction timer) untuk mengetahui seberapa besar tingkat kelelahan responden. Secara deskriptif terlihat bahwa kebanyakan responden mengalami kelelahan ringan sejumlah 16 orang atau 53,33% dari seluruh responden. Data tersebut kemudian dikelompokkan menjadi lelah dan tidak lelah, dengan ketentuan yang termasuk dalam kelompok lelah adalah responden yang lelah ringan, lelah sedang, dan lelah berat. Sedangkan responden yang termasuk dalam kelompok tidak lelah adalah responden yang masuk dalam kategori prima dan normal.
196
Tabel 2. Hubungan posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan responden pada industri batik di Mantrijeron Yogyakarta Tahun 2012 No. 1 2 Total
Kriteria Ergonomis Tidak ergonomis
Tingkat kelelahan Normal (tidak lelah) Lelah Jumlah Persen Jumlah Persen 7 23,33 3 10 3 10 17 56,67 10
33,33
20
66,67
Total Jumlah
Persen
10 20
33,33 66,67
30
100
Data penelitian selanjutnya diuji pasti Fisher Chi square dengan α=0,05, diperoleh hasil bahwa p=0,003. Hasil tersebut menunjukkan p < α, ini berarti ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. 3.3. Pembahasan Hasil analisis data penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Hal ini sesuai pendapat Nurmianto (2004), bahwa tujuan penerapan ergonomi adalah mencegah kecelakaan kerja dan mencegah tidak efisiennya kerja2). Selain itu ergonomis juga dapat mengurangi beban kerja, karena apabila peralatan kerja tidak sesuai dengan kondisi dan ukuran tubuh pekerja akan menjadi beban kerja tambahan. Saat ini batik sudah menjadi identitas yang begitu melekat di masyarakat Indonesia. Industri batik merupakan industri tradisional yang sudah ada sejak dulu secara turun temurun. Proses dasar membatik menggunakan alat canting, demi menjaga nilai seni tradisional dan warisan sejarah, sehingga membutuhkan waktu lama dalam mengerjakannya. Selembar kain batik tulis bisa saja dibuat dalam waktu 1 sampai 1,5 bulan. Dalam proses membatik memerlukan kecermatan dan ketelitian tinggi sehingga pekerja akan mudah mengalami kelelahan, oleh karena itu posisi kerja ergonomis sangat penting. Posisi kerja ergonomis maksudnya peralatan yang digunakan (kursi) untuk membatik sesuai dengan ukuran tubuh, sehingga pekerja akan nyaman dan tidak cepat mengalami kelelahan serta memperoleh efisiensi kerja yang optimal. Pembatik pada umumnya perempuan, bekerja dengan cara duduk, tempat duduk yang berbeda-beda, baik bentuk dan ukurannya. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, kebanyakan kursi kerja pembatik mempunyai ukuran tinggi kursi maupun lebar alas duduk tidak sesuai jika dibandingkan dengan antropometri pekerja. Pengukuran posisi kerja ergonomis dilakukan dengan cara membandingkan ukuran kursi kerja dengan ukuran antropometri pekerja. Ukuran alat-alat kerja erat kaitannya dengan antropometri tubuh penggunanya. Jika alat-alat tersebut tidak sesuai, maka tenaga kerja akan merasa tidak nyaman, dan akan lebih lamban dalam bekerja serta dapat menimbulkan kelelahan kerja atau gejala penyakit otot yang lain akibat melakukan pekerjaan dengan cara yang tidak alamiah. Antropometri sebagai unsur dalam penerapan ergonomi. Sebagaimana pendapat Suma’mur (1984), bahwa ukuran-ukuran antropometri terpenting sebagai dasar ukuran-ukuran untuk posisi duduk antara lain tinggi duduk, jarak lekuk lutut-garis punggung, dan jarak lekuk lutut-telapak kaki4). Kursi kerja yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja bagi pembatik. Apabila dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan ketidaknyamanan 197
bagi responden yang akhirnya dapat menimbulkan kecelakaan kerja sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, para pembatik tersebut bekerja dengan sikap duduk yang cenderung harus menyesuaikan dengan kursi yang digunakannya. Hasil uji inferensial menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Hal ini sesuai dengan Kasjono dan Haryono (2007), bahwa kelelahan kerja dapat disebabkan oleh lingkungan yang buruk termasuk posisi kerja ergonomis. Hal ini dapat dilihat bahwa kursi yang digunakan ukurannya tidak sesuai dengan ukuran antropometri pembatik5). 3.3.1. Tinggi dataran duduk Tinggi dataran duduk harus sesuai dengan tinggi lutut, sedang paha dalam keadaan datar, diukur dari lantai sampai pada permukaan atas dari bagian depan alas duduk. Ukuran yang dianjurkan untuk orang Indonesia adalah 38–48 cm. Tinggi dataran duduk harus lebih pendek dari jarak antara lekuk lutut dan telapak kaki3). Tinggi dataran duduk kursi yang digunakan oleh para pembatik atau 30 responden, berukuran mulai dari 32 cm hingga 49 cm atau rata-rata setinggi 36,9 cm. Ini berarti kursi yang digunakan tidak memenuhi syarat ergonomi. Selain itu, tinggi dataran duduk tersebut terdapat 2 kursi yang terlalu pendek hingga 13 cm dari jarak antara lekuk lutut dengan telapak kaki, bahkan ada yang justru lebih tinggi hingga 7 cm sebanyak 1 kursi. Hal ini akan mengakibatkan telapak kaki tidak dapat menyentuh tanah, dan paha tidak dalam keadaan datar sehingga dapat menyebabkan kelelahan karena kaki tidak dapat melakukan istirahat (foot rest). Sebanyak 10 kursi kerja yang lain mempunyai tinggi dataran duduk berukuran antara 37 cm hingga 44 cm, dengan selisih jarak antara lekuk lutut dengan telapak kaki sebesar 1 cm hingga 3 cm sehingga dapat dikatakan ergonomis. Dudukan kursi yang sesuai dengan tinggi dan bentuk tubuh orang yang sedang duduk akan dapat memberikan kenyamanan bagi penggunanya. 3.3.2. Papan tolak punggung Papan tolak punggung tingginya dapat diatur dan menekan pada punggung3). Sebagaimana pada 30 responden yang diteliti, seluruhnya mempunyai papan tolak punggung sebagai sandaran punggung, dan tingginya dapat menahan bagian punggung. Namun ukuran tinggi papan tolak punggung tersebut tidak dapat diatur. Hal ini sesuai dengan penelitian Andariyati (2008), bahwa timbulnya nyeri pinggang erat kaitannya dengan cara kerja, sikap kerja, dan posisi kerja6). Dengan memperhatikan dan mengingat faktor-faktor penyebab dan pencetusnya, insiden nyeri pinggang pekerja dapat diminimalisasir atau dicegah kejadiannya, diantaranya dengan penggunaan kursi yang memiliki sandaran (papan tolak punggung). 3.3.3. Lebar papan duduk Menurut Nurmianto (2004), lebar papan duduk tidak boleh kurang dari 35 2) cm . Berdasarkan ukuran lebar papan duduk yang digunakan responden, terdapat 1 kursi yang tidak memenuhi syarat ergonomis (dari 20 kursi yang dinyatakan tidak ergonomis) karena lebar papan duduk berukuran 29 cm. Sekaitan itu ukuran lebar papan duduk harus menyesuaikan dengan lebar rata-rata pantat orang Indonesia. Jika lebar papan duduknya kurang dari 35 cm, menyebabkan kursi tersebut kurang bisa menahan seluruh beban tubuh manusia, sehingga akan mengakibatkan kelelahan pekerja terutama pada bagian pinggang.
198
3.3.4. Jarak bahu ke tungku Panjang tangan pembatik diukur dari ujung bahu hingga ujung (jari) tangan, yaitu sepanjang 53 cm hingga 66 cm. Jarak antara bahu ke tungku sejauh 59 cm hingga 77 cm, sehingga pekerja mengharuskan tubuh ikut bergerak untuk menjangkau malam (lilin cair) dalam wajan di atas tungku. Setiap responden memiliki jarak antara tangan yang memegang alat canting terhadap malam cair dalam wajan di tungku berbeda-beda. Jarak responden terhadap tungku terdekatadalah 1 cm hingga yang terjauh 11 cm (panjang tangan 66 cm dengan jarak bahu ke tungku 77 cm). Kondisi ini mengakibatkan tubuh harus ikut bergerak menyesuaikan jarak yang timbul, dan berdampak pada beban kerja otot hingga kelelahan kerja. 3.3.5. Rekomendasi kursi Desain kursi yang tidak sesuai dengan antropometri dapat menimbulkan kelelahan hingga keluhan pada pinggang, leher, pinggul, dan bagian tubuh lainya. Hal ini sesuai dengan Nurmianto (2003) dan Enggarani (2004), serta sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan2, 7). Kursi yang ergonomis dapat mampu memberikan postur dan sirkulasi yang baik, dan kenyamanan bagi penggunanya. Pilihan kursi yang nyaman dapat diatur dan memiliki penyangga punggung. Adapun, ukuran kursi kerja sesuai dengan hasil pengukuran dan teori yang berkembang, yaitu terkait ukuran tinggi dataran duduk, lebar papan duduk, papan tolak punggung, dan posisi kursi yang mendukung jarak antara pembatik (tangan yang membawa canting) terhadap malam dalam wadah di atas tungku. Secara umum tinggi dataran duduk harus sesuai dengan tinggi lutut, sedangkan paha dalam keadaan datar. Tinggi dataran duduk diukur dari lantai hingga permukaan atas dari bagian depan alas duduk. Ukuran yang dianjurkan untuk orang Indonesia adalah 38–48 cm. Tinggi dataran duduk harus lebih pendek dari jarak antara lekuk lutut dan telapak kaki3). Dalam pengukuran didapatkan antropometri jarak lekuk lutut hingga telapak kaki responden sebagai acuan tinggi dataran duduk yaitu sebesar 39 cm hingga 45 cm (dengan rata-rata 41,73 cm). Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 cm, dan memiliki papan tolak punggung tingginya dapat diatur, dan dapat menahan bagian punggung3). Kursi pembatik yang dianjurkan yaitu papan tolak punggung dapat diatur tinggi rendahnya. Ukuran kursi untuk membatik ini hanya salah satu alat yang dapat diberikan untuk mengurangi kelelahan, dan masih banyak aspek yang perlu dikaji lebih lanjut dari kerajinan membatik ini. Hasil pengukuran jarak bahu terhadap malam cair dalam wajan di atas tungkupun hampir seluruhnya lebih panjang daripada jarak bahu terhadap ujung tangan yang memegang canting. Kondisi ini mengakibatkan tubuh harus ikut bergerak agar tangan yang memegang canting dapat menjangkau hingga ke malam dalam wadah di atas tungku. Untuk itu, penempatan kursi perlu disesuaikan dengan tangan yang memegang canting leluasa menjangkau malam dalam wadah di atas tungku, sehingga tubuh tidak harus ikut bergerak agar tangan yang memegang canting dapat menjangkaunya. Hal ini tentu saja akan mempercepat terhadap tingkat kelelahan pembatik. Posisi kerja yang tidak ergonomis akan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada manusia tersebut. Dampak negatif bagi manusia tersebut akan terjadi baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. Bekerja pada posisi kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan berbagai masalah
199
antara lain: nyeri, kelelahan, bahkan kecelakaan kerja. Untuk itu tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga memberikan relaksasi (kenyamanan) bagi otot dan tulang yang sedang bekerja. Selain itu tidak menimbulkan tekanan pada bagian tubuh yang dapat mengganggu sirkulasi darah. Gejala-gejala kelelahan yang dirasakan oleh responden termasuk dalam kelelahan fisik. Kelelahan menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat (Suma’mur, 1994), bahwa kelelahan kerja cenderung meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja3). Kondisi tersebut akan merugikan bagi pekerja maupun perusahaan. Sehingga ukuran peralatan kerja harus sesuai dengan pekerja, lingkungan kerja harus mendukung fungsi tubuh yang sedang bekerja, serta mampu berproduksi secara optimal. Kursi pembatik yang direkomendasikan dari penelitian ini, antara lain: tinggi dataran duduk antara 3848 cm, lebar papan duduk lebih dari 35 cm, jarak bahu ke tungku dapat menyesuaikan (dapat digeser), papan tolak punggung ketinggiannya dapat diatur. 4. Kesimpulan a. Ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik pada industri batik di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta dengan nilai p = 0,003. b. Sebanyak 20 responden atau 66,67% pembatik bekerja dalam posisi duduk yang tidak ergonomis dan mengalami kelelahan. Klasifikasi kelelahan 4 responden atau 13,33% mengalami lelah sedang, dan 16 responden atau 53,33% mengalami lelah ringan. Daftar Pustaka Dominica. 2004. Analisis Ergonomis tentang Kerja Pembatik pada Industri Batik. Diunduh tanggal 15 Februari 2012 dari http://digilib.itb.ac.id/ 1999_TS_PP_Dewa_1.pdf. 2 Nurmianto, E. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya 3 Suma’mur, P.K. 1994. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung Agung. 4 Suma’mur, P.K. 1984. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: Yayasan Swabhawa Karya. 5 Kasjono, H.S., Haryono. 2007. Higiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra Cendikia. 6 Andariyati, S.N., 2008. Hubungan Posisi Kerja dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Perawat di RSUD Sleman. Skripsi Diploma IV Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Depkes Yogyakarta. 7 Enggarani, R., 2004. Tinjauan Aspek Ergonomi pada Kursi Kerja Pengrajin Batik di Tamansari Yogyakarta. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Semarang: Universitas Diponegoro. 1
200
Studi Keluhan Muskuloskeletal Pada Pramudi Bus Trans Jakarta Koridor IX (Pendekatan Ergonomi) Tahun 2015 Decy Situngkir Prodi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Indonesia Jl. Margonda Raya Gg. Kober No.33 Depok HP: 08983697021, E-mail: [email protected]
Abstrak Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara dengan angka kecelakaan lalu lintas yang masih cukup tinggi.Berdasarkan data Global Status Report on Road Safety, Indonesia mengalami peningkatan kecelakaan lalu lintas hingga 80% dan hal ini didominasi oleh kendaraan umum.1 Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, di antaranya faktor pramudi, lingkungan, dan kendaraan seperti kabin pramudi yang tidak ergonomis baik tata letak mesin, desain kursi yang tidak sesuai sehingga merintangi jangkauan kaki ke pedal, mengakibatkan ketegangan otot pada anggota tubuh bagian bawah, dan meningkatkan risiko kecelakaan.2 Mengemudi menyebabkan prevalensi keluhan muskuloskeletal dan nyeri yang tinggi di pinggang karena sebagian besar aktivitas mengemudi bersifat statis. Di Jakarta, salah satu jenis kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas adalah bus Trans Jakarta.Penelitian observasi deskriptif ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah subjek penelitian sebanyak 70 pramudi. Instrumen dalam penelitian ini adalah kursi antropometri, meteran, busur, kamera digital. Penelitian yang dilakukan kepada pramudi bus Trans Jakarta Koridor IX ditemukan bahwa sebesar 81,4%merasakan keluhan muskuloskeletal dengan keluhan terbesar pada leher bagian atas dikarenakan mengemudi menuntut konsentrasi yang tinggi, postur duduk statis dan lama, kursi yang tidak ergonomis dan getaran. Dan sebesar 18,6 persen tidak merasakan keluhan muskuloskeletal. Kebanyakan pramudi merasakan keluhan setelah mengemudi. Dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan beristirahat dan dipijat. Risiko tinggi adalah pada saat postur duduk statis dan lama, menekan tombol transmisi dan tombol pintu penumpang. Kata kunci: ergonomis, getaran, muskuloskeletal, pramudi, postur duduk stastis.
1. Pendahuluan Bus Trans Jakarta merupakan Bus Rapid Transit atau sistem transportasi bus cepat, namun masih memiliki angka kecelakaan yang tinggi (tabel 1).
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1. Data Kecelakaan PT. Trans Jakarta3 Jumlah Kasus Tahun Keterangan Kecelakaan 2009 264 2010 246 Sterilisasi sistem 2011 252 2012 563 2013 852 2014 773
201
Tingginya angka kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pramudi, faktor kendaraan dan faktor lingkungan. Ketidaksesuaian ukuran-ukuran komponen di tempat kerja dengan pekerja mengharuskannya bekerja dengan posisi sulit seperti membungkuk, mengangkat satu lengan, atau aktivitas hanya dilakukan dengan satu tangan, dan lain-lain. Keluhan muskuloskeletal sering kali terjadi karena meja kerja, peralatan dan mesin didesain dengan ukuran yang lebih besar, agar dapat dipakai juga oleh pramudi yang lebih kecil. Prinsip ergonomis yang benar mengharuskan meja kerja yang sesuai atau dapat disesuaikan dengan ukuran individu yang menggunakannya atau dikenal dengan istilah perancangan “manmachine interface” .4,5,6 Menurut OSHA dalam Ojo et al keluhan muskuloskeletal menyebabkan kerugian sebesar 15 juta USD sampai dengan 20 juta USD setiap tahun. Pekerjaan yang berisiko tinggi keluhan muskuloskeletal adalah aktivitas pegawai kantor sampai mengemudi. Prevalensi keluhan muskuloskeletal pada pengemudi terbilang tinggi, berkisar 53% - 91% di dunia.7 Hal ini disebabkan oleh desain kursi yang tidak nyaman, lama mengemudi, angkat berat, kurangnya aktivitas fisik, usia, sikap duduk untuk waktu yang lama, getaran seluruh tubuh, postur kerja yang salah, misalnya sikap duduk yang merosot, condong pada satu sisi, membungkuk dan menjangkau berlebihadan faktor psikososial sehingga mengakibatkan beban yang cukup besar pada individu, masyarakat, dan industri dalam hal absensi dan biaya pengobatan.8,9,10 Penelitian Tamrin et al pada 1.181 pengemudi bus menunjukkan bahwa seluruh bagian tubuh mengalami keluhan muskuloskeletal dengan nyeri punggung bagian bawah yang merupakan risiko paling tinggi (58,5%), diikuti nyeri leher (51,7%), nyeri punggung bagian atas (39,0%), nyeri bahu (36,1%), nyeri pada betis (28,9%), nyeri pada lutut (27,5%), nyeri pada bagian paha (19,9%), nyeri pada lengan (17,5%) dan nyeri pada bagian siku (10,2%).11 2. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan desain cross sectional12 yang dilakukan di halte busway Pinang Ranti pada bulan Mei s/d Juni 2015, dengan beberapa instrument seperti: kuesioner, busur, vibration meter, kuesioner Nordic Body Map, kursi antropometri, meteran, dan kamera digital. Populasi penelitian adalah pramudi bus dan bus Trans Jakarta Koridor IX yang beroperasi daerah Pinang Ranti – Pluit. Kriteria sampel yang ditetapkan masuk dalam penelitian ini sebagai berikut masa kerja ≥ 1 tahun, tidak memiliki riwayat kecelakaan, tidak memiliki riwayat penyakit seperti diabetes, lupus, RA dan bersedia menjadi subjek penelitian sampai selesai. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow13, maka didapat besar sampel sebanyak 49 pramudi, namun untuk menghindari bias peneliti menggunakan semua data yang terkumpul sebanyak 70 pramudi. Untuk faktor kendaraan, sampel yang digunakan 4 jenis bus Trans Jakarta Koridor IX yaitu Korindo(K), Laksana(L), Restu Ibu (RI) dan Trisakti (TS).
202
3. Hasil dan Pembahasan
Leher atas 43,9% Punggung 40,4% Pinggang 38,6 % Leher bawah 36,8 % Betis kiri 36,8 % Bahu kiri 33,3 % Bahu kanan 29,8 % Betis kanan 25% Gambar 1.Gambaran keluhan Musculoskeletal Symptoms dengan Nordic Body Map
N 57
Tabel 2. Ada/Tidaknya Keluhan Muskuloskeletal Keluhan MSS Ya Tidak % N % 81,4 13 18,6
Hasil penelitan menyimpulkan bahwa 81,4% (57 pramudi) merasakan keluhan subjektif muskuloskeletal, artinya mereka berisiko terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal. Bagian tubuh yang paling sering merasakan keluhan otot adalah leher, punggung atas, pinggang, bahu dan betis. Keluhan-keluhan tersebut tidak muncul begitu saja, peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal: 3.1 Faktor individu Berdasarkan demografi, pramudi yang paling berisiko keluhan muskuloskeletal adalah pramudi yang berusia 30-45 tahun (83,6%), 40 pramudi (70,02%) dengan masa kerja 1-3 tahun, 40 pramudi (51,4%) yang tidak biasa berolah raga dan pramudi yang memiliki berat badan normal sebanyak (79,5%). Genaidy et all bahwa usia 20-29 tahun adalah usia dimana sesorang memiliki SCTL (Spinal Compression Tolerance Limit) terbesar, yang akan menurun 22% pada 10 tahun berikutnya, turun 26% pada 10 tahun berikutnya, dan 42% pada 10 tahun berikutnya, sehingga pada usia 60 tahun atau lebih SCTL telah menurun lebih dari 53%. Pendek kata, semakin, semakin tua seseirang semakin tinggi risikonya mengalami elastisitas tulang.14 Empat puluh pramudi (70,02%) dengan masa kerja 1-3 tahun yang berisiko keluhan muskuloskeletal diduga terjadi akibat menurunnya endurance otot. Berbeda dengan pramudi yang
203
memiliki masa kerja > 5 tahun, yang tidak merasakan keluhan mungkin memiliki nilai ambang keluhan yang lebih tinggi atau terjadi health worker effect bias dimana pramudi dengan masa kerja > 5 tahun yang merasakan keluhan MSS telah berhenti bekerja sehingga seolah-olah prevalensinya rendah.15 Seseorang yang tidak biasa berolahraga berisiko mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan otot akan meningkat akibat kurangnya kelenturan otot sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik tanpa kesegaran jasmani16 Atau dapat disimpulkan semakin tinggi tingkat kesegaran jasmani seseorang semakin kecil risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal.17 Pramudi berbadan normal yang merasakan keluhan muskuloskeletal sebenarnya masih dalam batas yang normal. Keluhan tersebut muncul diakibatkan oleh faktor lain. Namun, perlu diperhatikan bagi pramudi yang berbadan kurus dan gemuk. 3.2 Faktor Kendaraan 3.2.1 Kursi pramudi Berdasarkan hasil kesesuaian antropometri pramudi dan kursi, beberapa elemen kursi tidak sesuai diantaranya panjang alas duduk, lebar alas duduk, ukuran tinggi kursi, dan panjang sandaran lengan yang mungkin berkontribusi terjadinya keluhan muskuloskeletal. Panjang alas duduk seharusnya lebih pendek dari lekuk lutut sampai dengan garis punggung (panjang tungkai atas). Hasil pengukuran panjang alas duduk seri bus, K: 54 cm, L:45 cm, TS: 50 cm dan RI: 50 cm sedangkan untuk panjang lutut bagian belakang menggunakan persentil 5% yaitu 38,08 cm. Alas duduk lebih panjang dari panjang lutut bagian belakang dan untuk kursi seri bus L, Ts dan RI tidak ergonomis karena tidak adjustable . Alas duduk yang terlalu panjang menyebabkan penekanan di daerah belakang lutut sehingga pramudi akan merasakan pegal dan sakit pada bagian tersebut, membatasi pramudi untuk bersandar sehingga menyebabkan keluhan di punggung. Untuk lebar alas duduk memang tidak sesuai. Berdasarkan hasil pengukuran lebar alas duduk semua bus lebih besar daripada lebar pinggul pramudi. Namun ini tidak mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal pada pramudi 4,18 Tinggi tempat duduk bus seri L dan TS kecuali bus seri K terlalu pendek dan RI lebih tinggi dari pada ukuran tinggi lutut pramudi, tidak ergonomis. Standar ukuran tinggi kursi yang diusulkan adalah 40-52,5 cm. 19Tinggi tempat duduk yang tidak ergonomis dapat menyebabkan sikap duduk yang tidak ergonomis seperti kaki selonjor, kaki menggantung karena kursi terlalu tinggi yang dapat mengakibatkan nyeri dan pegal-pegal di bagian kaki. Kaki ditekuk di bawah kursi karena terlalu pendek juga tidak baik karena akan menghentikan aliran darah dan menyebabkan kaki menjadi kesemutan. Panjang sandaran lengan yang digunakan tidak sesuai dengan antropometri pramudi karena hasil pengukuran antropometri lebih besar dari pada hasil dimensi kursi. 4,18 3.2.2 Setir Ukuran setir untuk setiap seri bus Transjakarta Koridor IX sesuai dengan standar, berdiameter 50 cm dan memiliki sudut inklanasi dari setir 15-320 ke arah vertikal.20 Namun hal ini mempersulit pramudi yang bertubuh gemuk dikarenakan jarak setir ke alas duduk cukup dekat. Untuk itu, sebaiknya kursi pramudi merupakan kursi yang adjustable sehingga posisi duduk pramudi juga dapat diatur.
204
3.3 Faktor Pekerjaan 3.2.3.1 Durasi dan frekuensi pekerjaan Kelompok yang paling banyak mengalami keluhan berdasarkan durasi kerja adalah kelompok pramudi dengan durasi kerja > 8 jam dan mengemudi sebanyak 2-3 rit. Pekerjaan yang biasa, tidak terlalu berat atau ringan produktivitasnya akan mulai menurun setelah 4 jam bekerja. Karuniasih mengatakan bahwa supir yang telah bekerja/mengendarai lebih dari 2 jam merasakan pegal-pegal pada punggung dan leher. Kadar gula darah juga menurun sehingga perlu istirahat dan kesempatan untuk makan guna meningkatkan kadar gula kembali. Durasi waktu mengemudi yang cukup lama dan frekuensi yang terlampau sering akan mendorong fatigue dan ketegangan otot tendon. Ketegangan otot tendon dapat dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang digunakan untuk peregangan otot.16 Tabel 3. Hasil kesesuaian data antropometri pramudi dengan data kursi pramudi bus Transjakarta Koridor IX No
Variabel
Dimensi Tubuh 5%
X 95% 67.62
Variabel Tinggi sandaran punggung
34.88
Tinggi sandaran lengan Panjang alas tempat duduk
1
Tinggi bahu duduk
2
Tinggi siku duduk
27.27
3
Panang dari pantat sampai bagian lutut belakang
37.22
4
Tinggi lutut bagian belakang
38.08
5
Lebar bahu atas
46.35
6
Lebar pinggul
42.03
7
Panjang dari siku ke ujung jari Tinggi duduk
34.3
8
79.65
Dimensi Kursi
90.47
Ukuran K: 68 cm L: 52 cm TS: 55 cm RI: 60 cm K: 25 cm
K: 52 cm L:45 cm Ts: 45 cm RI: 50 cm Tinggi tempat K: 37 cm duduk L: 40 cm TS: 45 cm RI: 49 cm Lebar sandaran K: 46 cm punggung L: 45 cm TS: 46 cm RI: 46 cm Lebar alas tempat K: 54 cm duduk L: 55 cm TS:50 cm RI: 54 cm Panjang sandaran K: 25 cm lengan Tinggi kursi K:85 cm L: 67 cm TS: 73 cm RI: 80 cm
3.3.1
Keterangan K: Sesuai L: Sesuai TS: Sesuai RI: Sesuai Tdk sesuai K: Tdk sesuai L: Tdk sesuai TS: Tdk sesuai RI: Tdk sesuai K: Sesuai L: Tdk sesuai TS: Tdk sesuai RI: Tdk sesuai K: Sesuai L: Sesuai TS: Sesuai RI: Sesuai K: Tdk sesuai L: Tdk sesuai TS: Tdk sesuai RI: Tdk sesuai K: Tdk sesuai K: Sesuai L: Tdk sesuai TS: Tdk sesuai RI: sesuai
Postur kerja Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti terhadap aktivitas mengemudi pada postur leher, punggung, kaki, lengan, pergelangan tangan serta durasi dan frekuensi. Tingkat risiko ergonomi terbesar pada saat mengemudi adalah pada aktivitas menekan tombol transmisi dan pintu penumpang dan postur
205
dominan mengemudi. Pada umumnya posisi leher pramudi berada pada kisaran 300. Postur ini merupakan postur yang berisiko karena mengalami fleksi ≥ 200 sehingga hal ini dapat meningkatkan keluhan.14 Selain itu, tuntutan intensitas konsentrasi yang tinggi pada saat mengemudi juga menyebabkan kerja otot yang lebih pada leher. Postur ini terjadi pada aktivitas menekan tombol transmisi dan tombol pintu penumpang. Postur punggung pada aktivitas mengemudi berkisar 300 dan postur batang tubuh pada pramudi ini bersifat statis. Sutajaya mengatakan bahwa sikap duduk yang tidak alamiah akan menimbulkan kontraksi otot secara isometris (melawan tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat dalam pekerjaan. Otot-otot punggung bekerja keras menahan beban anggota gerak atas yang sedang melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan beban kerja pramudi bertumpu di daerah pinggang dan menyebabkan otot pinggang sebagai penahan beban utama akan mudah mengalami kelelahan dan selanjutnya akan terjadi nyeri pada otot sekitar pinggang atau punggung bawah. Postur ini terjadi pada aktivitas menekan tombol transmisi dan tombol pintu penumpang, sikap duduk yang lama. Postur kaki pada saat mengemudi berada dalam postur yang stabil, hanya aktivitas pedal gas dan rem berulang-kali secara bergantian selama perjalanan membutuhkan kontrakasi otot pada betis sehingga kaki dengan kondisi postur yang statis dan kebutuhan tenaga yang harus dikeluarkan, membuat zat sisa pada betis yang berupa asam laktat menumpuk dan menimbulkan rasa pegal. 3.4 Faktor lingkungan Faktor lingkungan ialah getaran. Getaran yang timbul darikeempat jenis bus > nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan yaitu 0,5 m/s2 seperti tertulis dalam Permenakertrans No. 13 Tahun 2011.22 Jika terpajan getaran dalam jangka pendek menyebabkan nyeri dada,dan sakit perut akibat goyangan organ di dalam rongga dada dan perut, sakit kepala, mual, dan gangguan keseimbangan, penglihatan kabur sehingga tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ketelitian, nafas pendek, dan gangguan bicara. Sedangkan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gesekan tulang dan seni, perubahan medulla spinalis, skoliosis lumbalis, cedera diskus intervertebralis dan hernia nucleus pulposus, juga gangguan jantung, varises, varikikel dan thrombus akibat terhambatnya darah kembali ke jantung. 4. Kesimpulan 57 pramudi (81,4%) bus Trans Jakarta merasakan keluhan muskuloskeletal. Keluhan paling banyak dirasakan pada bagian leher bagian atas (43,9%), punggung (40,4%), pinggang (38,6%), betis kiri (36,8%), leher bagian bawah (36,8%) dan betis kiri (36,8%). Hal ini disebabkan oleh faktor pekerjaan, faktor individu, faktor kendaraan dan faktor lingkungan. Umumnya, gejala yang dirasakan pramudi adalah pegal dan nyeri/sakit pada bagian tubuh tertentu.Waktu timbulnya keluhan mayoritas pramudi mersakan setelah mengemudi. Dan kebanyakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa keluhan tersebut adalah dengan beristirahat dan dipijat. Daftar Pustaka WHO. Global Status on Report Safety 2013: Supporting a Decade of Action. Geneva: WHO; 2013
1
206
2
Lukito NA, Sulistio H, Kusuma A. Karakteristik Pengemudi dan Model Peluang Terjadinya Kecelakaan Bus Antar Kota Antar Propinsi. Jurnal Rekayasa Volume 6 No.1, hal 42-54; 2012. 3 Trans Jakarta PT. Data Kecelakaan PT. Trans Jakarta. Jakarta; 2015 4 Harrianto R. Buku Ajar Kesehatan Kerja.Jakarta: EGC; 2009. 5Wignjosoebroto S. Ergonomi, Suatu Studi Gerak dan Waktu.Surabaya: Guna Widya; 2003 6 Nurmianto E. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya; 2008 7 Ojo AO, Oluwaseun O, Rufus A, Adaobi O. Assesment of Work Related Musculoskeletal Pain Among Professional Drivers in The Service of A Tertiary Institution. American Journal of Health Research Vol 2, hal 56-6; 2014. 8 Najenson D, Santo Y, Masharawi Y, Katz-Leuter m, Ushvaev D, Kalichman L. Low Back Pain Among Professional Drivers: Ergonomic and OccupationalPsychosocial Risk Factors. IMA Journal Vol 12 (1): 26-31; Januari 2010. 9 Akinpelu AO, Oyowole OO, Odole AC, Olukoya RO. Prevalence of Musculoskeletal Pain and Health Seeking Behaviour among Occupational Drivers in Ibadan, Nigeria. Afr. J. Biomed. Res.2011; 14, 89-94. 10 Sadri, HG. Risk Factors of Musculoskeletal Disorders in Bus Drivers. 6 (2003), 214-215; 2003. 11 Tamrin SBM, Yokoyama K, Aziz N, Maeda S. Association of Risk Factors with Musculoskeletal Disorders among Male Commercial Bus Drivers in Malaysia. Human Factor Erognom. Service Industry. DOI: 10.1002/hfm.20387 12 Arikunto S. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta 13 Lemeshow S, Hosmer WD, Klar J. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press: Jogjakarta; 1997. 14 Bridger RS. Introduction to Ergonomics. London: Mc Graw Hill, Inc; 1995. 15 Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press: Jogjakarta; 1987. 16 Karuniasih. Tinjauan Faktor Risiko dan Keluhan Subjektif Terhadap Timbulnya Muskuloskeletal Disorders Pada Pengemudi Travel X Trans Tujuan JakartaBandung Tahun 2009. Depok: FKM UI; 2009. 17 NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical Review of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disorders; 1997. 18 Pheasant, S. 2003. Bodyspace: Anthropometry, Ergonomics and Design. Second Edition. USA: Taylor & Francis 19 Humantech. Applied Ergonomics Training Manual. Humantech Inc: Berkeley Australia; 2003. 20 Kompier JAM. Bus Drivers: Occupational Stress and Stress Prevention. Geneva: International Labour Office, 1996. 21 ________Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia: Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta; 2011
207
Analisis Kesesuaian Penyediaan Energi di Tempat Kerja PadaKaryawan PTS Gresik Erwin Dyah Nawawinetu, Ratih Damayanti Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga Jl. Srikana 65 Surabaya 60286 Tel. 031-5033869. E-mail: [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian penyediaan energi di tempat kerja pada karyawan PTS. Penelitian dilakukan dengan metode observasional deskriptif pada responden (66 orang karyawan PTS dari 97 orang yang masuk dalam program gizi dan yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini). Variabel yang diteliti adalah status gizi responden (menurut Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Perut), kecukupan energi sehari dari responden (diambil dengan metode food recall), kecukupan energi yang disediakan oleh katering perusahaan (dilakukan pengamatan selama 10 hari), beban kerja responden. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan tabulasi silang dibandingkan dengan teori dan peraturan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden: memiliki status overweight (55%) menurut IMT namun hanya 44% yang mengalami belly obesity, dan mengasup energi melebihi kecukupan energi yang dianjurkan (hasil food recall), terutama yang berasal dari lemak. Makanan yang disediakan oleh katering perusahaan (3 katering) seluruhnya masih belum memenuhi kecukupan energi yang dibutuhkan oleh responden menurut beban kerja responden (ringan, sedang, berat). Disimpulkan bahwa penyediaan energi dari makanan yang disediakan perusahaan belum sesuai dengan kebutuhan energi responden. Status gizi lebih (overweight dan obesity) berasal dari pola makan responden di luar tempat kerja. Disarankan agar perusahaan mengadakan health education bagi karyawan mengenai pola hidup yang sehat untuk mengatasi masalah kelebihan gizi serta melakukan perbaikan menu gizi yang disediakan. Kata kunci: kecukupan energi, status gizi.
1. Pendahuluan Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat hubungan antara status gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan gizi optimal terpenuhi (1). Gizi sangat dibutuhkan oleh setiap orang, salah satunya untuk pekerja. Pekerja memerlukan zat-zat gizi sesuai dengan jenis pekerjaannya. Zat-zat gizi yang berasal dari makanan sehari-hari berfungsi sebagai zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Kebutuhan akan zat-zat gizi tergantung dari usia, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan jenis aktivitas. Gizi pada pekerja ditujukan untuk kesehatan pekerja agar mampu bekerja secara optimal. Zat gizi utama yang paling dibutuhkan oleh pekerja adalah karbohidrat sebagai sumber energi untuk kerja otot. Selain karbohidrat, pekerja tetap memerlukan protein untuk memelihara fungsi tubuh dan sebagai sumber energi (2).
208
Banyak faktor yang dapat memengaruhi status gizi seseorang, yang terdiri dari faktor biologis, faktor sosial ekonomi, konsumsi makanan, faktor perilaku, dan status kesehatan. Salah satu diantaranya adalah konsumsi makanan berupa asupan energi. Hasil survei awal yang telah dilakukan peneliti menunjukkan bahwa 46 % pekerja PTS mengalami status gizi lebih. Kondisi ini apabila dibiarkan akan berakibat pada gangguan kesehatan, terutama munculnya penyakit degeneratif serta gangguan metabolik lain. Perusahaan telah menyediakan makan siang, namun belum pernah dianalisis kecukupan energi dan zat gizi yang diberikan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan responden sebanyak 66 orang yang diambil secara purposif pada populasi karyawan yang mengalami masalah terkait dengan sindroma metabolik dan menjadi sasaran program gizi di PTS. Variabel yang diteliti adalah status gizi (menurut IMT dan lingkar perut), kecukupan energi sehari (dari konsumsi makan sehari yang diperoleh dengan food recall), kecukupan energi yang disediakan oleh katering perusahaan, dan beban kerja. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan membuat tabulasi silang serta dibandingkan dengan teori maupun peraturan yang berlaku. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Status Gizi Status gizi menurut IMT menunjukkan bahwa sebagian besar responden (36 orang atau 55%) mengalami overweight dan 11 orang responden ( 17% ) mengalami obesitas. Status gizi menurut lingkar perut menunjukkan bahwa 32 orang ( 48%) mengalami belly obesity dan sisanya 34 orang (52%) memiliki lingkar perut normal. Penilaian status gizi pekerja perlu dilakukan, karena dengan mengetahuistatus gizi pekerja dapat ditentukan kebutuhan gizi yang sesuai serta pemberian intervensi gizi bila diperlukan. Pemeriksaan status gizi dapat dilakukan melalui beberpa cara, antara lain melalui pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, pemeriksaan biofisik dan antropometri. Antropometri merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penilaian status gizi(3). Metode ini menggunakan parameter BB dan TB untuk menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT) dan pengukuran lingkar perut (LP). Pada penelitian ini pemeriksaan status gizi dilakukan dengan cara antropometri, yaitu dengan menghitung IMT dan LP. Lingkar perut dikatakan normal untuk laki-laki adalah kurang atau sama dengan 90 cm. Menurut A. Esmailladeh, dkk (2004), lingkar perut merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk mengetahui obesitas perut dalam suatu populasi. Pada responden penelitian ini ternyata responden yang memiliki status gizi menurt LP normal, lebih banyak yang memiliki IMT normal (4). Tabel 1. Status gizi responden menurut LP dan IMT Status gizi menurut IMT Normal Overweight Obesitas
Status gizi menurut Lingkar Perut Normal Belly obesity jumlah % jumlah % 15 79 4 21 16 44 20 56 2 27 9 73
209
Total Jumlah 19 36 11
% 100 100 100
Namun, di sini juga tampak bahwa ada responden yang menurut IMT tergolong overweight (44%) dan obesitas (27%), ternyata lingkar perutnya normal. Ada pula responden yang status gizi menurut IMT normal, namun ternyata ia mengalami bellyobesity (21%). Jadi pengukuran status gizi memang sebaiknya dilakukan menggunakan lebih dari satu indikator agar dapat segera diwaspadai jika ada risiko terkait dengan kelebihan status gizi. Akibat apabila seseorang mengalami gizi lebih adalah kegemukan (obesitas). Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya berbagai macam penyakit degeneratif, seperti penyakit diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, hati, dan kantung empedu (3). Berbagai penelitian mengenai status gizi menyebutkan bahwa prevalensi terjadinya gizi lebih cenderung meningkat di Indonesia. Berdasarkan penelitian Hellen Keller Indonesia pada tahun 1999 prevalensi status gizi lebih sebesar 14,0% meningkat pada tahun 2000 menjadi 17,4%, sehingga masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia(4). 3.2. Beban kerja Beban kerja responden menurut hasil wawancara aktifitas kerjanya adalah ringan sampai dengan berat dengan sebaran sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi frekuensi beban kerja responden, Gresik, Agustus 2015 Beban kerja Ringan Sedang Berat Total
Jumlah 6 55 5 66
Persen 7,9 72,4 6,6 100
Beban kerja adalah beban yang ditanggung oleh tubuh pekerja akibat pekerjaannya. Menurut Christensen, beban kerja dapat diukur dengan berbagai macam cara, antara lain observasi kegiatan kerja, pengukuran denyut nadi, pengukuran konsumsi oksigen selama bekerja, dan lain-lain(5). Pada penelitian ini beban kerja diketahui dari penjelasan responden dan supervisor mengenai aktifitas kerja yang dilakukan. Sebagian besar responden memiliki beban kerja sedang (72,4%) dan hanya, 6% yang memiliki beban kerja berat berat sisanya 7,9% memiliki beban kerja ringan. Beban kerja ringan, sedang dan berat tersebut setara dengan penggunaan kalori sebesar 100-200 kalori/jam untuk beban kerja ringan, >200-350 kalori/jam untuk beban kerja sedang dan >350-500 kalori/jam untuk beban kerja berat (6). Beban kerja perlu diketahui dalam penelitian ini untuk menganalisis kecukupan energi yang diasup responden, baik yang berasal dari hasil food recall selama 24 jam maupun dari menu makan siang yang disediakan katering perusahaan. Hal ini penting dilakukan, karena jika asupan makanan melebihi energi yang dikeluarkan, maka akan menyebabkan terjadinya malnutrisi. Seperti pada penelitian ini dimana responden sebagain besar mengalami kelebihian gizi (obesitas dan overweight) serta masalah sindroma metabolik yang kemungkinan akibat asupan zat gizi yang tidak sesuai dengan beban kerjanya. Asupan energi dari karbohidrat, protein dan lemak perlu diperhatikan agar status gizi responden tetap baik yang selanjutnya akan berdampak pada status kesehatan serta produktivitas kerja.
210
3.3. Kecukupan energi Kecukupan Energi yang diteliti di sini adalah kecukupan energi yang berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein yang diberikan di perusahaan maupun yang biasa dikonsumsi oleh responden. Hasil food recal sebagai berikut: Tabel 3. Rerata konsumsi energi harian menurut hasil food recall, Gresik-Agustus 2015 Rerata konsumsi energi harian (Kkal) 2490
Energi dari KH (Kkal) 322
Energi dari Protein (Kkal) 96
Energi dari Lemak (Kkal) 92
Kecukupan energi harian untuk orang yang bekerja dengan berbagai beban kerja adalah berbeda-beda. Hasil food recall kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan kecukupan energi untuk setiap beban kerja. Tabel 4. Kecukupan energi menurut food recall dibandingkan dengan kebutuhan energi menurut beban kerja Kecukupan energi Jumlah Persen Kurang 35 53 Cukup 0 0 Lebih 31 47 Total 66 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kecukupan energi menurut hasil food recall pada responden adalah sebesar 2490 kalori, yang berasal dari nilai rerata karbohidrat sebesar 322 kalori, protein sebesar 96 kalori dan lemak sebesar 92 kalori. Persentase responden yang nilai kecukupan energinya kurang sesuai dengan nilai anjuran adalah sebanyak 53% sedang sisanya (47%) kecukupan energinya melebihi anjuran. Kecukupan energi yang tidak sesuai dengan anjuran akan menyebabkan masalah malnutrisi, baik gizi lebih maupun gizi kurang yang selanjutnya dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Namun pada penelitian ini responden yang dari hasil food recall menunjukkan kecukupan energinya kurang, ternyata tidak ada yang mengalami kurang gizi. 3.4. Kecukupan energi makan siang Kecukupan energi dihitung berdasarakan asupan energi rata-rata pada menu yang diberikan selama 10 hari pengamatan yang dibandingkan dengan anjuran kecukupan energi sesuai beban kerja. Menu tersebut adalah berasal dari 3 katering yang bekerja sama dengan perusahaan yaitu katering 1, 2 dan 3. Hasil analisis kecukupan energi makan siang adalah sebagai berikut: Tabel 5. Hasil perhitungan energi makan siang yang disediakan perusahaan, Gresik- Agustus 2015 Energi (Kal) makan siang dari katering 1 2 3
MENU MAKAN SIANG (Kal) MEAN SD 601 101 583 125 629 133
211
ANJURAN Energi (Kal) BEBAN KERJA RINGAN SEDANG BERAT
MEAN 956 945 1039
SD 118 58 112
Tabel tersebut menunjukkan bahwa rerata (mean) energi makan siang yang disediakan ketiga katering perusahaan selama pengamatan masih kurang dari nilai anjuran untuk seluruh kategori beban kerja. Setelah dilakukan perhitungan sesuai dengan data beban kerja, usia dan jenis kelamin (semua responden laki-laki), maka energi yang harus disediakan oleh katering perusahaan pada menu makan siangnya adalah sebagai berikut: Tabel 6. Makanan yang seharusnya disediakan untuk setiap beban kerja pada menu makan siang Beban Kerja Ringan Sedang Berat
Karbohidrat Kal. Gram 503 s/d 645 126 s/d 161 532 s/d 602 133 s/d 150 556 s/d 690 139 s/d 173
Protein Kal. gram 168 s/d 214 42 s/d54 176 s/d 200 45 s/d 50 190 s/d 234 48 s/d 58
Lemak Kal. gram 168 s/d 214 19 s/d 24 177 s/d 201 20 s/d 22 185 s/d 229 21 s/d 25
4. Kesimpulan dan saran Disimpulkan bahwa penyediaan energi dari makanan yang disediakan perusahaan belum sesuai dengan kebutuhan energi responden. Status gizi lebih (overweight dan obesity) berasal dari pola makan responden di luar tempat kerja. Disarankan agar perusahaan mengadakan health education bagi karyawan mengenai pola hidup yang sehat untuk mengatasi masalah kelebihan gizi serta melakukan perbaikan menu gizi yang disediakan. Daftar Pustaka 1. Wiryo Hananto. (2002). Peningkatan gizi bayi, anak, ibu hamil dan menyusui dengan bahan makanan local. Jakarta: Sagung Seto. 2. Djunaedi, H. 2001. Gizi Kerja untuk Meningkatkan Produktivitas, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Tahun XXIX, Nomor 2. 3. Almatsier. (2005). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan V. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 4. Depkes RI (2005) Pedoman Pemberian ASI Eksklusif, Jakarta: WHO. 5. Tarwaka, 2011. Ergonomi Industri. Solo: Harapan Press Solo 6. BSN. 2009. Penilaian beban kerja berdasarkan tingkat kalori menurut pengeluaran energi. SNI 7269: 2009
212
Aplikasi Sistem Peringatan Dini Pada Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja Aan Burhanuddin1, Muchamad Malik2 1
Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas PGRI Semarang Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 - Dr. Cipto, Semarang E-mail: [email protected] 2 Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam perkembangannya akan lebih menakankan pada pencegahan timbulnya kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Lingkungan kerja yang bersinggungan langsung dengan bahan beracun akan sangat membahayakan bagi tubuh manusia apabila terpapar secara terus-menerus. Sebuah lingkungan kerja yang mengandung bahan gas beracun sebagai contoh gas CO, SO atau gas LPG dalam konsentrasi tertentu dapat menimbulkan iritasi mata atau sesak napas. Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem peringatan dini yang dapat mengukur konsentrasi gas tersebut dan dapat memberikan peringatan kepada pekerja yang terkait dengan konsentrasi gas tersebut kepada para pekerja. Sistem peringatan dini ini dibuat menggunakan tiga sensor gas, tiga sensor panas, LED dan buzzer. Pembacan dan pengolahan sensor tersebut diproses oleh mikrokontroler 16 bit yang akan mengondisikan ruangan. Dalam pembuatan sistem tersebut algoritma permogramannya digunakan fuzzy yang sebelumnya telah disimulasikan dengan MATLAB, sehingga logika pemrogramannya mengacu pada hasil simulasi, miniatur ruangan dibuat dengan tiga ruang utama untuk pekerja dalam sebuah lorong dan sebuah pintu darurat. Hasil dari sistem tersebut adalah apabila pada suatu ruangan terdeteksi konsentrasi gas yang melebihi ambang batas, maka sistem akan mengaktifkan buzzer dan akan mengaftikan LED sebagai arah jalur evakuasi paling aman. Kata kunci: fuzzy, keamanan K3, MATLAB, sensor gas.
1. Pendahuluan Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak hanya menjadi salah satu unsur perlindungan tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin keselamatan bagi para pekerja saja, namun juga untuk menjamin agar sumber-sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien serta menjamin kelancaran proses produksi yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas [1]. Keselamatan dan kesehatan kerja dalam perkembangannya akan lebih menakankan pada pencegahan timbulnya kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Lingkungan kerja yang bersinggungan langsung dengan
213
bahan beracun akan sangat membahayakan bagi tubuh manusia apabila terpapar secara terus-menerus [2]. Beberapa contoh tempat kerja yang terpapar langsung oleh gas beracun adalah pabrik pengolahan gas LPG, pabrik pupuk, Stasiun bahan bakar gas dan lain sebagainya. Untuk meminimalisir bahaya gas polutan dalam ruangan, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mendeteksi gas berbahaya tersebut, dan memberikan solusi arah evakuasi yang paling cepat dan paling aman. 2. Studi Pustaka Dalam melakukan penelitian, penulis telah melakukan berbagai studi pustaka sebelum merancang sistem peringatan dini pada keselamatan kerja tersebut.Dengan cara ini penulis berusaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan data-data, informasi, konsep-konsep yang bersifat teoritis dari buku, bahan-bahan kuliah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan. 2.1. Kesehatan, keselamatan kerja Perlindungan terhadap pekerja harus menjadi prioritas bagi sebuah perusahan dan Negara, hal ini sesuai undang-undang yaitu Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas: a. Keselamatan dan kesehatan kerja b. Moral dan kesusilaan c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Sedangkan ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa “untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.” (ayat 2), “Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (ayat 3). Dalam Pasal 87 juga dijelaskan bahwa Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen [3]. 2.2 Sensor Sensing atau pengindraan adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang objek fisik atau proses, termasuk terjadinya peristiwa (yaitu, perubahan suatu keadaan seperti penurunan suhu atau tekanan). Sebuah objek yang melakukan suatu tugas penginderaan disebut sensor. Sebagai contoh, tubuh manusia dilengkapi dengan sensor yang mampu menangkap informasi optik dari lingkungan (mata), informasi akustik seperti suara (telinga), dan bau (hidung) [4,5,6].
Gambar 1. Akuisisi Data 214
Pada Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa sinyal-sinyal listrik yang dihasilkan seringkali tidak siap untuk segera diproses, karena itu mereka melewati tahap pengondisian sinyal. Berbagai operasi dapat diterapkan pada sinyal sensor untuk mempersiapkan untuk digunakan lebih lanjut. 2.3 Fuzzy Logic Logika Fuzzy ( logika samar ) merupakan logika yang berhadapan langsung dengan konsep kebenaran sebagian, dimana logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam binary 0 atau 1. Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Karena alasan diatas maka pada penelitian ini akan dibuat perancangan perangkat lunak dan perangkat keras robot avoider dengan mengunakan aplikasi fuzzy logic sebagai kendali sistem [7,8]. 3
Metode Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan metode rancang bangun, yang diawali dari: studi pustaka, pembuatan rangkaian elektronika, pembuatan logika fuzzy dengan MATLAB, pengujian, dan implementasi. 3.1. Pembuatan Rangkaian Elektronika Rangkaian elektronika dalam sistem simulasi ini terdiri dari mikrokontroler sebagai pusat pengendali, sensor sebagai actuator dan input penginderaan, buzzer dan LED sebagai output. Rangkaian elektronika sebagaimana dalam Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa sensor gas pada rangkaian tersebut ada tiga buah, sensor satu terkoneksi dengan pin analog 1, sensor 2 terkoneksi dengan pin analog 3 dan sensor tiga terkoneksi dengan pin analog 5. Apabila suatu keadaan atau konsentrasi gas melebihi ambang batas, maka sensor akan terpicu, gas tersebut akan dirubah menjadi panas oleh rangkaian sensor, panas tersebut kemudian akan diubah menjadi suatu sinyal listrik (tegangan) yang kemudian dikirim ke mikrokontroler melalui pin analog yang kemudian akan diproses menjadi output. Output tersebut yaitu berupa switch otomatis yang akan menghidupkan buzzer dan LED.
Gambar 2. Rangkaian Elektronika 3.2. Penerapan Fuzzy Logic MATLAB adalah sistem perangkat lunak interaktif dengan elemen dasar basis data array. Hal ini memunginkan seorang pengguna (user) dapat 215
memecahkan masalah yang berhubungan dengan komputasi dan matematika. Software MATLAB digunakan untuk simulasi pada logika fuzzy sehingga pembuatan aturan logikanya dapat terpenuhi.
Gambar 3. Simulasi MATLAB Proses simulasi tersebut membutuhkan tiga inputan seperti pada Gambar 3 yaiyu Gas 1, Gas 2, Gas 3. Inputan dari himpunan fuzzy tersebut kemudian dijadikan nilai crips yang kemudian ditentukan besar domain dan daerah batasan crips nya. Output dari simulai tersebut bergantung pada aturan-aturan yang diterapkan pada logika fuzzy yang dibuat. Aturan-aturan tersebut yang nantinya akan diaplikasikan kedalam kode program yang nanti akan dimasukkan ke dalam mikrokontroler. 4. Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian ini, purwarupa raungan dibuat dengan ukuran 20 cm x 50 cm yant terdiri dari tiga ruang utama yang diasumsikan sebagai ruang kerja. Tiap ruangan mempunyai lorong sehingga terdapat tiga lorong yang saling terhubung dan sebuah jalur evakuasi. R1
R2
E4 E1 E1
R3
E2
E3
E1
E1
Gambar 4. Desain Ruangan
Gambar 4 merupakan desain layout maket ruangan yang dapat dijelaskan bahwa R1 adalah ruang satu, R2 adalah ruang dua, R3 adalah ruang tiga, E1 adalah lorong satu, E2 adalah lorong dua, E3 adalah lorong tiga dan E4 adalah lorong empat. Pada tiap ruangan tersebut akan diberikan sensor gas sebagai pendeteksi gas dalam ruangan. Pada setiap lorong akan diberikan LED warna merah sebagai penunjuk bahaya dan led warna hijau sebagai penunjuk jalur evakuasi yang aman. Dalam membuat logika sistem keamanan tersebut harus memenuhi aturan yang telah dibuat. Tabel 1. Aturan Logika No 1 2
Sensor If Sensor R1, R2, R3 < setpoint If Sensor R2 > setpoint
Led Merah E1, E2, E3, E4= Mati E1, E3,E4 = Mati, E2 = Hidup
216
Led Hijau E1, E2, E3, E4= Hidup E1,E3, E4 = Hidup, E2 = Mati
Buzzer Mati
Keterangan Gedung aman
Hidup
Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 2
3
If Sensor R3 > setpoint
4
If Sensor R 1> setpoint
5
If Sensor R1, R2 > setpoint
6
If Sensor R2, R3 > setpoint
7
If Sensor R1, R3 > setpoint
8
If Sensor R1, R2,R3 > setpoint
E1, E2,E4 = Mati, E3 = Hidup E2, E3,E4 = Mati, E1 = Hidup E3,E4 = Mati, E1, E2 = Hidup E1,E4 = Mati, E2, E3 = Hidup E2,E4 = Mati, E1, E3 = Hidup E4 = Mati, E1, E2, E3 = Hidup
E1,E2, E4 = Hidup, E3 = Mati E2,E3, E4 = Hidup, E1 = Mati E3, E4 = Hidup, E1,E2 = Mati E1, E4 = Hidup, E2,E3 = Mati E2, E4 = Hidup, E1,E3 = Mati E4 = Hidup, E1,E2, E3 = Mati
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 3 Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 1 Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 1,2 Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 2,3 Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 1,3 Terjadi Ketidakamanan pada Ruang 1,2,3
Gambar 5. Hasil Logika Fuzzy Dari tabel 1 tersebut maka dibuat sebuah algoritma permograman yang sesuai dengan rule tersebut yang dapat dimasukkan ke dalam mikrokontroler. Maka relasi dari tiap-tiap input terhadap rule atau aturan akan menghasilkan beberapa output yang sama seperti ditunjukkan pada gambar 5. Hasil dari algoritma tersebut adalah apabila dalam ruangan tersebut tidak ada gas berbahaya yang terdeteksi maka akan dianggap aman dengan indikator LED warna hijau menyala, apabila di ruang satu (R1) terdapat kandungan gas yang berbahaya maka LED hijau pada lorong satu (E1) akan mati dan LED merah akan menyala, sedangkan LED pada lorong lainnya akan menyala dan buzzer akan bunyi sebagai tanda peringatan. Apabila ruang satu dan ruang dua terdeteksi ada gas berbahaya, maka LED merah pada lorong satu dan dua akan hidup dan LED warna hijau akan mati, sedangkan di lorong lain akan menyala. Apabila semua ruangan terdeteksi ada gas berbahaya, maka hanya akan ada LED hijau pada lorong jalur darurat (E4) yang menyala sedang lorong lain akan menghidupkan LED merah, sehingga dapat diasumsikan bahwa keadaan jalur evakuasi paling aman adalah melalui pintu darurat.
217
5. Kesimpulan Dari hasil penelitan yang telah dilakukan, sensor gas memiliki kepekaan yang sangat sensitif, sehingga respon terhadap output nya juga sangat cepat. Hal ini dapat menjadikan sistem ini menjadi lebih responsif dan bermanfaat terhadap pekerja sebagai peringatan dini apabila terjadi kebocoran gas, kebakaran maupun sebagai detektor polutan. Hasil dari simulasi pada MATLAB dan implementasi logika fuzzy pada mikrokontroler berjalan sesuai aturan yang dibuat sebelumnya, sehingga sistem ini dianggap tepat dan presisi. Sistem peringatan dini terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja ini perlu adanya pengembangan lanjutan yaitu perlu adanya simulasi yang menyakup keadaan ruangan yang lebih banyak dan dapat diemplementasikan di suatu gedung yang mempunyai lantai lebih dari satu. Daftar Pustaka [1].Hidayah. Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyaean di PT Tirta Investama Wonosobo. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta; 2013. [2].Kosegeran, Victor. Perancangan Alat Ukur Kadar CO,CO2 dan HC pada Gas Buang Kendaraan Bermotor. Manado: Universitas Samratulangi. 2013 [3].Undang Republik Indonesia. No. 13 Tahun 2003 Pasal 86 ayat 1, Tentang Ketenaga Kerjaan. [4].Mukhopadhyay, Subhas Chandra. Intelligent Sensing, Instrumentation and Measurements. New Zealand: School of Engineering and Advanced Technology, Massey University (Turitea Campus), Palmerston North.; 2013 [5].Mukhopadhyay, Subhas Chandra. Smart Sensors, Measurement and Instrumentation. New Zealand: School of Engineering and Advanced Technology, Massey University (Turitea Campus), Palmerston North. 2013 [6].Dargie, Waltenegus. Wireless Sensor Network Theory and Practice. Germany: Technical University of Dresden. 2010. [7].Ross, Timothy J. Fuzzy Logic with Engineering Appli ations, Third Edition. Canada: John Wiley & Sons, Ltd, ISBN 978-0-470-74376-8; 2010. [8].Lilly, John H. Fuzzy Control and Identification. Canada: John Wiley & Sons, Ltd,ISBN 978-0-470-54277-4, 2010
218
Dow’s Fire dan Explosion Index Sebagai Solusi Alternatif Dalam Penilaian Potensi Bahaya dan Risiko Terjadinya Kebakaran dan Ledakan (Studi Kasus di Tangki Penyimpanan LPG Pertamina Perak Surabaya) Dani Nasirul Haqi Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Jl. Mulyorejo, Kampus C, UNAIR Surabaya Tel. 0857303096977, E-mail: [email protected]
Abstrak Depot Liquified Petroleum Gas (LPG) Pertamina Tanjung perak Surabaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam menyimpanan dan pendistribusian LPG. Dalam proses kegiatanya banyak menggunakan bahan–bahan kimia yang bersifat flamable, yaitu bahan bakar yang mudah terbakar. Sehingga potensi untuk terjadinya kebakaran dan ledakan di Depot LPG Pertamina Tanjung perak besar. Metode Dow’s Fire and Explosion Index yaitu suatu instrumen untuk melakukan evaluasi secara bertahap risiko bahaya kebakaran, ledakan, dan potensial reaktifitas dari peralatan beserta isinya secara obyektif dan realistis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam klasifikasi tingkat bahaya parah. Luas daerah pajanan apabila terjadi kebakaran dan ledakan adalah sebesar 18352,07 m². Besarnya nilai/harga dari peralatan sebagai bentuk kerugian karena berada di daerah paparan bahaya dan terpapar risiko terjadinya kebakaran maupun peledakan pada unit proses adalah sebesar Rp. 7.237.989.100.000. Besarnya kerugian akibat adanya paparan dari material faktor pada suatu area paparan (area of exposure) tertentu dalam proses unit ketika kecelakaan adalah sebesar Rp 8.742.767.000.000. Besarnya faktor yang dapat mengendalikan kerugian sebesar 0,5. Besarnya kerugian sebenarnya yang diderita jika terjadi kebakaran dan ledakan sebesar Rp 4.371.383.500.000. Kata kunci: Kebakaran, Ledakan, Liquified Petroleum Gas.
1. Pendahuluan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu program yang dibuat pekerja maupun pengusaha sebagai upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tujuan dari dibuatnya program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) seharusnya menjadi prioritas utama dalam suatu perusahaan, namun sayangnya tidak semua perusahaan memahami akan arti pentingnya K3 dan mengetahui bagaimana cara mengimplementasikannya dengan baik dalam lingkungan perusahaan. Potensi kerugian perusahaan akibat lemahnya implementasi K3 sangat besar diantaranya yaitu terganggunya proses produksi dan perbaikan alat produksi yang rusak karena kecelakaan kerja serta perusahaan
219
kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan karena rendahnya produktivitas kerja karyawan. Salah satu hal yang paling ekstrim apabila perusahaan tidak menerapkan aspek K3 dengan baik adalah terjadinya kebakaran dan ledakan. Kebakaran dan ledakan dapat mengakibatkan kecelakaan yang serius dan menghasilkan kerugian materi serta kehidupan yang besar. Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil maupun besar pada tempat yang tidak dikehendaki, merugikan dan pada umumnya sukar dikendalikan. Kebakaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Bahkan di hutan, perumahan, perkantoran, pertokoan, dan gedung-gedung tinggi. Tidak ada tempat kerja yang dapat dijamin bebas dari risiko bahaya kebakaran. Kebakaran di tempat kerja membawa konsekuensi yang berdampak merugikan banyak pihak baik pengusaha, tenaga kerja, maupun masyarakat luas. Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran di tempat kerja dapat mengakibatkan korban jiwa, kerugian material, hilangnya lapangan pekerjaan dan kerugian lainya yang tidak langsung (Direktorat Pengawasan Keselamatan Kerja Ditjen Pembina Pengawasan Ketenagakerjaan, 2004). Depot LPG Pertamina Tanjung perak Surabaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam menyimpanan dan pendistribusian Liquified Petroleum Gas (LPG). Dalam proses kegiatanya banyak menggunakan bahan–bahan kimia yang bersifat flamable, yaitu bahan bakar yang mudah terbakar. Sehingga potensi untuk terjadinya kebakaran dan ledakan di Depot LPG Pertamina Tanjung perak juga besar. Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, maka diperlukan suatu penilaian terhadap potensi kebakaran dan ledakan. Ada beberapa cara untuk melakukan penilaian terhadap potensi bahaya dan risiko kebakaran dan ledakan, salah satunya dengan menggunakan metode Dow’s Fire and Explosion Index yaitu suatu instrumen untuk melakukan evaluasi secara bertahap risiko bahaya kebakaran, ledakan, dan potensial reaktifitas dari peralatan beserta isinya secara objektif dan realistis. 2. Metode Penelitian Berdasarkan metode yang digunakan jenis penelitian ini adalah penelitian survei (survey research method). Penelitian survei adalah suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Berdasarkan sifatnya jenis penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat analitik (analytical). Penelitian survei analitik diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi. Pada penelitian ini menjelaskan risiko bahaya kebakaran, ledakan, dan potensial reaktifitas dari peralatan beserta isinya secara obyektif dan realistis di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak Surabaya. Berdasarkan waktu pelaksanaannya, jenis penelitian ini termasuk penelitian cross sectional karena penelitian dilaksanakan pada periode waktu tertentu. Teknik Pengumpulan Data. Data primer yang dikumpulkan adalah data hasil wawancara dan observasi di Depot LPG Tanjung Perak Surabaya. Data yang diperoleh dalam observasi ini adalah data mengenai luas area penyimpanan LPG, dan mengenai sistem pencegahan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan yang sudah diterapkan di tangki penyimpanan LPG. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil wawancara yaitu data berupa unit proses pada tangki penyimpanan LPG, besarnya biaya yang ditanggung atau kerugian akibat kebakaran dan
220
ledakan. Data skunder yang dikumpulkan dalam kegiatan ini berupa: data mengenai profil perusahaan,yang terdiri dari gambaran umum perusahaan, kebijakan K3 yang diterapkan, kegiatan K3 yang dilaksanakan, dan data-data lainya yang diperlukan untuk menunjang penelitian. Dalam penelitian ini data dimasukkan ke dalam formulir Fire and Explosion Index untuk dilakukan perhitungan-perhitungan sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam pedoman Dow’s Fire and Explosion Index. Perhitungan dilakukan secara manual dan dengan bantuan piranti lunak computer. 3. Hasil dan Pembahasan Menentukan Fire and Explosion Index dengan memasukkan hasil analisis MF, F1, F2, dan F3 ke formulir Fire and Explosion Index pada Pedoman Dow’s Fire and Explosion Index. Hasil perhitungan Fire and Explosion Index dapat dilihat pada lampiran 1 Formulir Perhitungan Fire and Explosion Index. Tingkat bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam klasifikasi tingkat bahaya parah. Radius of exposure di peroleh dengan mengalikan F & EI dengan konstanta 0,84. Maka radius pajanan adalah: Radius of exposure (ft)= 0,84 x (F&EI) = 0,84 x 298,62 = 250,84 ft = 76,45 m Luasan yang terpapar apabila LPG storage tank mengalami peledakan maupun kebakaran. Area of exposure = π x radius of exposure² = 3,14 x (76,45)² = 18352,07 m² Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian teknik di Depot LPG Pertamina Perak. Didapatkan niali original cost sebesar Rp. 14.880.000.000. Sehingga jika niali tersebut dikalikan dengan 0,82 dan escalation factor (593,2). Didapatkan nilai pengganti sebesar Rp. 7.237.989.100.000. Nilai Daerah Pajanan = Rp. 7.237.989.100.000. Menentukan Faktor Kerusakan (Damage Factor). Item ini menunjukkan keseluruhan efek/dampak kerusakan yang terjadi akibat pelepasan energi pada suatu unit proses. Adapun penilaian pada item ini mengikuti formulasi sebagai berikut: MF = 21 ; F3 (X) = 14,22 Damage factor (Y) = 0,340314 + (0,076531 x (X)) + (0,003912 x (X)²) – (0,00073 x (X)³) = 0,340314 + (0,076531 x (14,22)) + (0,003912 x (14,22)²) – (0,00073 x (14,22)³) = 1,2079 Kerugian akibat adanya paparan dari material faktor pada suatu area paparan (area of exposure) adalah Base MPPD = Damage Factor x Value of The Area of Exposure = 1,2079x Rp.7.237.989.100.000 = Rp 8.742.767.000.000
221
Pada bagian konstruksi berbagai plant/process unit, harus disertakan nilainilai dari indeks pencegahan dan kontrol terhadap bahaya kebakaran maupun peledakan dari proses unit tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang berlaku. Dalam pemenuhan persyaratan-persyaratan dasar khususnya terhadap bagian dari pengendalian kerugian (loss control) harus didasarkan pengalaman dalam pencegahan terjadinya insiden yang serius dan mengurangi kemungkinan terjadinya insiden tersebut. Ada tiga kategori yang menandakan bagian-bagian dari pengendalian kerugian (loss control) yaitu Process Control (C1), Material Isolation (C2), dan Fire Protection (C3). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Supervisor LPG di bagian Maintenance, didapatkan analisis Loss Control Credit Factor sebagai berikut: LCCF = C1 x C2 x C3 = 0,73 x 0,94 x 0,73 = 0,5 Actual Maximum Probable Property Damage merupakan besarnya kerugian akibat adanya paparan dari material factor pada suatu area paparan (area of exposure) tertentu dalam suatu proses unit. Besarnya kerugian ini diterima ketika terjadi kecelakaan walaupun pada unit proses telah tersedia peralatan yang dilengkapi sistem pengamanan terhadap timbulnya kondisi abnormal penyebab kecelakaan itu. Nilai ini dapat dianggap sebagai bentuk kerugian material yang ditanggung walau ada bentuk pengendalian untuk mengurangi kerugian baik pada pengendalian unit proses yang berbahaya, serta sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran pada unit proses tersebut. Adapun nilai Actual MPPD ditentukan sebagai berikut: Actual MPPD = LCCF x Base MPPD = 0,5 x Rp 8.742.767.000.000 = Rp 4. 371. 383. 500.000 4. Kesimpulan Tingkat bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam klasifikasi tingkat bahaya parah. Luas daerah pajanan apabila terjadi kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG adalah sebesar 18352,07 m². Besarnya nilai/harga dari peralatan sebagai bentuk kerugian karena berada di daerah paparan bahaya dan terpapar risiko terjadinya kebakaran maupun peledakan pada unit proses adalah sebesar Rp. 7.237.989.100.000. Besarnya kerugian akibat adanya paparan dari material faktor pada suatu area paparan (area of exposure) tertentu dalam proses unit ketika kecelakaan adalah sebesar Rp 8.742.767.000.000. Besarnya faktor yang dapat mengendalikan kerugian jika terjadi kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak sebesar 0,5. Besarnya kerugian sebenarnya yang diderita jika terjadi kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak Surabaya sebesar Rp 4.371.383.500.000. Daftar Pustaka American Institute Of Chemical Engineers. 1994. Dow’s Fire and Explosion Index Hazard Classification Guide, 7th edn. New York: American Institute of Chemical
222
American Petroleum Institute. 2006. Management of Atmospheric Storage Tank Fire, 4th. American Petroleum Institute. Building & Plant Institute dan Ditjen Binawas Depnaker RI. 2005. Training Penanggulangan Kebakaran. Jakarta. Chandra, V. 2006. Fundamentals of Natural Gas. Oklahoma: PennWell Cooperation. Chemical Engineering Magazine. 2011. Chemical Engineering Plant Cost Index, April 2011. Chemical Engineering Magazine. Center For Chemical Process Safety. 2003. Guidelines for Fire Protection in Chemical, Petrochemical, and Hydrocarbon Processing Facilities. New York: Center for Chemical Process Safety of the American Institute of Chemical Engineers. Crowl, D.A. 2003. Understanding Explosions. New York: Center for Chemical Process Safety of the American Institute of Chemical Engineers. Direktorat Pengawasan Keselamatan Kerja Ditjen Pembina Pengawasan Ketenagakerjaan. 2004. Pengawsan K3 Penanggulangan Kebakaran. Edisi I. Jakarta: Depnakertrans RI. Furness, A & Muckett, M. 2007. Introduction to Fire Safety Management. UK: Elsevier. Imamkhasani, S. 1991. Bahan – bahan Kimia Berbahaya. IN NEDVED, M.& IMAMKHASANI, S. (Eds.) Dasar – dasar Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya besar. Jakarta: ILO. Less, F. P. 1996. Loss Prevention in the Process Industries: Hazard Identification, Assessment and Control.Oxford: Butterworth-Heinemann. Marzuki. 2002.Metodologi Riset. Yogyakarta: BPFE-UII. Material Safety Data Sheet. 2007. Liquefied Petroleum Gas (LPG). Jakarta: Pertamina. National Fire Protection Association. 1991. NFPA 30: Flammable and Combustibles Liquid Code 1990 Edition. National Fire Codes.Massachusetts. National Fire Protection Association. 2003. NFPA 101:Life Safety Codes. One Batterymarch Park. Quincy. Massachusetts. Nedved, M. 1991a. Pencegahan dan Perlindungan Terhadap Kebakaran dan Peledakan. IN NEDVED, M. & IMAMKHASANI, S. (Eds.). Dasar-dasar Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta: ILO. Nolan, D. P. 1996. Handbook of Fire and Explosion Protection Engineering Principles For Oil, Gas, Chemical, and Related Facilities. New Jersey: Noyes Publications. Notoamodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Cetakan pertama. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Permenaker RI No.04/Men/1980. Syarat-Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan. Jakarta. Ramli, S. 2010a. Manajemen Kebakaran. Jakarta: Dian Rakyat. Sari, KJ.2007. Evaluasi Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Pada Gedung Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Kampus Depok, Tahun 2007, [Skripsi]. Program Sarjana Kesehatan
223
MasyarakatPeminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Indonesia, Depok. Siswoyo.2007. Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran Aktif dan Sarana Penyelamatan Jiwa Di Gedung Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2007, [Skripsi].Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatandan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,Depok. Suardin, J. 2005. The Integration Of Dow’s Fire and Explosion Index Into Process Design And Optimization To Achieve An Inherently Safer Design Master of Science. Texas: Texas A&M University. Triyono, A. 2001. Teknik Penanggulangan Bahaya Kebakaran Di Perusahaan. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, vol. XXXIV, no. 3, JuliSeptember, hal. 34. Jakarta: Depnaker. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
224
225
LOCATION Surabaya
DATE 23 Oktober 2014
MATERIALS IN PROCESS UNIT LPG STATE OF OPERATION BASIC MATERIAL(S) FOR MATERIAL FACTOR ___ DESIGN ___ START UP _√__ NORMAL Propana dan Butana OPERATION___ SHUTDOWN MATERIAL FACTOR (See Table 1 or Appendices A or B) Note requirements when unit temperature 21 o o over 140 F (60 C) 1. General Process Hazards Penalty Penalty FacFactor Range tor Used(1) 1.00 1.00 Base Factor .................................................................................................................... 0.00 to 1.25 A. Exothermic Chemical Reactions 0.00 to 0.40 B. Endothermic Processes 0.00 to 1.05 0.85 C. Material Handling and Transfer 0.00 to 0.90 D. Enclosed or Indoor Process Units 0.00 to 0.35 0.35 E. Access 0.00 to 0.50 0,25 F. Drainage and Spill Control 2.45 General Process Hazards Factor (F1) (SUM A to F) ...............................................................................
PROCESS UNIT LPG Storage Tank APPROVED BY: (Production Manager) REVIEWED BY: (Technology) REVIEWED BY:(Safety/Environment)
BUSINESS GROUP Depot LPG Pertamina Perak
SITE EHS PREPARED BY: Dani Nasirul Haqi REVIEWED BY: (Management)
AREA / COUNTRY Indonesia
Tabel 1. Formulir Perhitungan Fire and Explosion Index (F & EI)
Lampiran 1
226
2. Special Process Hazards 1.00 Base Factor .................................................................................................................... 0.0 to 0.80 A. Toxic Material(s) 0.50 B. Sub-Atmospheric Pressure (< 500 mm Hg) C. Operation In or Near Flammable Range _√__ Inerted ___ Not Inerted 0.50 1. Tank Farms Storage Flammable Liquids 0.30 2. Process Upset or Purge Failure 0.80 3. Always in Flammable Range 0.00 to 2.00 D. Dust Explosion (See Table 3) E. Pressure (See Figure 2) Operating Pressure 0 psig or kPa gauge Relief Setting 0 psig or kPa gauge 0.0 to 0.30 F. Low Temperature G. Quantity of Flammable/Unstable Material: Quantity= 9831457,79 lbor kg HC = 19,8 x 10^3 BTU/lb or kcal/kg 1. Liquids or Gases in Process (See Figure 3) 2. Liquids or Gases in Storage (See Figure 4) 3. Combustible Solids in Storage, Dust in Process (See Figure 5) 0.00 to 0.75 H. Corrosion and Erosion 0.00 to 1.50 I. Leakage – Joints and Packing J. Use of Fired Equipment (See Figure 6) 0.00 to 1.15 K. Hot Oil Heat Exchange System (See Table 5) 0.00 - 0.50 L. Rotating Equipment Special Process Hazards Factor (F2) (A to L) ...................................................................................... Process Unit Hazards Factor (F1 x F2) = F3 ........................................................................................ Fire and Explosion Index (F3 x MF = F&EI) ....................................................................................... 0.69 0.50 1.50 5,804 14,22 298,62
0.30
0.50 0.80 0.314
1.00 0.20 -
Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang Dirancang Secara Sederhana Dalam Meminimalisir Faktor Bahaya Debu Pada Industri Informal Saiku Rokhim Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Jl. Ahmad Yani 117 Surabaya Tel. 031-8410298, E-mail: [email protected]
Abstrak Debu merupakan salah satu bahan kimia yang bersifat partikel dan dapat timbul pada proses produksi, sehingga dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan tenaga kerja. Salah satu industri informal dengan bahaya potensial berupa debu adalah industri di bidang penggilingan padi. Tenaga kerja di penggilingan padi akan berisiko mengalami gangguan pada saluran pernapasan apabila tidak ada pengendalian terhadap faktor debu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Obyek penelitian ini adalah LEV yang dirancang secara sederhana dan diaplikasikan pada penggilingan padi Desa Pandan Pancur Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan. Variabel penelitian ini meliputi efektifitas penggunaan LEV yang dirancang secara sederhana serta kadar debu total (total dust) sebelum dan sesudah pemasangan LEV tersebut. Análisis penelitian dilakukan dengan cara membandingan kadar debu total antara C2 (sesudah pemasangan LEV) dan C1 (sebelum pemasangan LEV). Pada LEV dirancang dengan lima bagian yang sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu hood, duct, air cleaner, fan dan exhaust stacks. Kemudian diaplikasikan di industri penggilingan padi dengan penempatan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi semaksimal mungkin. Hasil pengukuran pada salah satu industri penggilingan padi didapatkan: Kadar debu total sebelum pemasangan LEV pada sumber kontaminan sebesar 6,1 mg/m3 dan pada tempat istirahat tenaga kerja sebesar 3,6 mg/m3. Hasil pengukuran kadar debu total sesudah pemasangan LEV pada sumber kontaminan sebesar 2,4 mg/m3 dan pada tempat istirahat tenaga kerja sebesar 0,6 mg/m3. Hasil analisis efektifitas penggunaan LEVmenunjukkan bahwa kadar debu total sesudah pemasangan LEV lebih kecil dari kadar debu total sebelum pemasangan LEV baik pada sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa LEV yang dirancang secara sederhana adalah efektif dalam meminimalisir faktor bahaya debu di industri informal penggilingan padi. Saran yang dapat diberikan adalah dalam melakukan pengukuran kadar debu sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengetahui tingkat efektifitas LEV. Kata kunci: kadar debu, local exhaust ventilation, penggilingan padi.
1. Pendahuluan Debu merupakan salah satu bahan kimia yang bersifat partikel dan dapat timbul atau terjadi pada sebagian proses produksi dan dapat menyebabkan gangguan terhadap tenaga kerja baik kesehatan maupun keselamatan kerjanya [1]. Salah satu industri informal dengan bahaya potensial berupa debu adalah industri di bidang penggilingan padi. Tenaga kerja di penggilingan padi akan berisiko
227
mengalami gangguan pada saluran pernapasan apabila tidak ada pengendalian terhadap faktor debu. Secara umum pengaruh bahan yang masuk melalui inhalasi baik yang berupa gas maupun debu akan menimbulkan efek terhadap kesehatan yang dapat berupa efek akut maupun kronik. Efek akut terjadi langsung setelah kontak dengan bahan kontaminan, sedangkan efek kronik terjadi pada paparan yang berjangka lama [2]. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Octoranova 2004 terdapat sebanyak 75% tenaga kerja dari 80 responden yang telah mengalami keluhan pada saluran pernapasan berupa batuk akibat paparan debu. Begitu juga penelitian yang dilakukan Aditya 2006, bahwa sebanyak 87,5% tenaga kerja dari 24 responden menyatakan adanya keluhan subyektif pada saluran pernafasan akibat paparan debu di tempat kerja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi tenaga kerja dari faktor debu adalah pengadaan sistem ventilasi. Sistem ventilasi merupakan proses pertukaran udara dengan cara pengeluaran udara terkontaminasi dari suatu ruang kerja umum melalui saluran buang dan pemasukan udara segar melalui saluran masuk. Prinsip-prinsip umum dalam pertukaran udara secara alami terjadi karena adanya aliran udara dari satu titik ke titik lainnya yang disebabkan karena perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan menghasilkan suatu kekuatan pada udara yang menyebabkan udara mengalir dari titik yang bertekanan lebih tinggi ke tempat yang bertekanan lebih rendah. Diantara jenis ventilasi yang sangat efektif untuk mengeluarkan udara kontaminan adalah Local Exhaust Ventilation (LEV). Local Exhaust Ventilation (LEV) mengeluarkan kontaminan udara dari sumbernya tanpa memberi kesempatan kepada kontaminan untuk mengadakan difusi dengan udara di lingkungan kerja, karena Local Exhaust Ventilation (LEV) sendiri diletakkan sangat dekat dengan sumber emisi. Local Exhaust Ventilation (LEV) berfungsi menghirup kontaminan keluar dari lingkungan kerja dan mengendapkan kontaminan dalam suatu kolektor, sehingga kontaminan tidak berhamburan di lingkungan kerja yang akan mengganggu kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja [3]. Agar LEV yang dipakai dapat mencapai efektifitas yang maksimum, maka perancangan dalam pembuatan komponen-komponen LEV harus diperhatikan. Efektifitas menunjukkan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini yaitu untuk menurunkan kadar debu di tempat kerja. 2. Metode Penelitian 2.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen, yaitu melakukan percobaan penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana. 2.2. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana dan diaplikasikan pada penggilingan padi Desa Pandan Pancur Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan. 2.3. Variabel Penelitian a. Efektifitas penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana.
228
b. Kadar debu total (total dust) sebelum pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV). c. Kadar debu total (total dust) sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV). 2.4. Analisis Data Data hasil pengukuran kadar debu total sebelum dan sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) diolah dan dianalisis dengan cara membandingan kadar debu total antara C2 (sesudah pemasangan LEV) dan C1 (sebelum pemasangan LEV). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil 3.1.1. Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana terdiri dari lima bagian yang sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu hood, duct, air cleaner, fan dan exhaust stacks.
Gambar 1. Desain Local Exhaust Ventilation (LEV)
229
3.1.2. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sebelum Pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Tabel 1. Distribusi hasil pengukuran kadar debu total sebelum pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) No
1 2
Lokasi Pengukuran
Sumber kontaminan Tempat istirahat tenaga kerja
90,5
91,6
90,6
90,7
Kecepatan Alira Udara / Flowrate (liter/menit) 5,5
90,5
91,3
90,7
90,9
5,5
X1 (mg)
Berat Filter (mg) X2 Y1 Y2 (mg) (mg) (mg)
Waktu Paparan (menit) 30
Kadar Debu Total (mg/m3) 6,1
30
3,6
3.1.3. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sesudah Pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Tabel 2. Distribusi hasil pengukuran kadar debu total sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Berat Filter No 1 2
Lokasi Pengukuran Sumber kontaminan Tempat istirahat tenaga kerja
Kecepatan Alira Udara / Flowrate (liter/menit)
Waktu Paparan (menit)
Kadar Debu Total (mg/m3)
X1 (mg)
X2 (mg)
Y1 (mg)
Y2 (mg)
90,3
90,7
90,8
90,8
5,5
30
2,4
90,5
90,7
90,8
90,9
5,5
30
0,6
3.2. Pembahasan 3.2.1. Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV) terdiri dari lima bagian, yaitu: 1. Hood. Bahan yang digunakan untuk membuat hood yaitu menggunakan bahan aluminium yang tahan korosi. Bahan yang digunakan untuk membuat hood harus terbuat dari bahan yang tahan korosi [4]. Demikian pula desain hood yang dibuat dengan bentuk bulat. Hood inlet yang berbentuk bulat adalah lebih efisien dari hood inlet yang berbentuk kotak [4]. 2. Duct. Berfungsi membawa kontaminan yang sudah tertangkap oleh hood menuju ke air cleaner, terbuat dari pipa berbentuk bulat yang memiliki permukaan yang halus. Duct yang berbentuk bulat dan permukaannya halus sangat baik untuk local exhaust system [5]. 3. Air cleaner. Tipe air cleaner yang digunakan yaitu tipe pengumpul debu dan partikel (dust and particel collector) yang terdiri dari penyaring udara dan pengumpul debu yang dipasang di dalam bag filter. 4. Fan. Menggunakan tipe centrifugal fan dengan bentuk straight (radial blade). Tipe fan yang digunakan bila kadar debu dalam udara tempat kerja tinggi atau sangat tinggi yaitu centrifugal fan dengan bentuk straight (radial blade) [5]. 5. Exhaust stacks. Terbuat dari pipa berbentuk bulat dengan menggunakan bahan yang tahan terhadap korosi [4].
230
3.2.2. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sebelum Pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1997 bahwa NAB debu total (total dust) adalah 10 mg/m3 dengan tidak mengandung asbes dan kandungan silika bebas < 1% [6]. Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa kadar debu total sebelum pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) baik pada sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga kerja masih berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) kadar debu total. Walaupun demikian, kadar debu yang terukur di penggilingan padi tersebut dapat dikatakan cukup tinggi terutama di bagian sumber kontaminan yaitu 6,1 mg/m3. Hal ini dikarenakan mesin penggiling padi tidak tertutup rapat dan terdapat kebocoran pada penampung padi sehingga debu padi keluar berterbangan di udara. Kualitas udara di dalam ruangan mempengaruhi kenyamanan lingkungan ruang kerja. Kualitas udara yang buruk akan membawa dampak negatif terhadap tenaga kerja berupa keluhan kesehatan [7]. Debu padi merupakan debu organik yang dapat menyebabkan penyakit pada pernafasan. Ini karena kepekaan dari saluran nafas bagian bawah terutama alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran udara yang keluar masuk paru dan akibatnya sesak nafas. Jika tenaga kerja terpapar debu tersebut secara terus-menerus maka lama kelamaan debu tersebut merusak paru bahkan sampai menimbulkan penyakit akibat kerja. Efek yang lama dari paparan debu yang tertimbun di paru akan menyebabkan paralysis cilia, hipersekresi, dan hipertrofi kelenjar mucus. Keadaan ini menyebabkan saluran nafas rentan terhadap infeksi dan timbul gejala batuk menahun yang produktif[8]. 3.2.3. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sesudah Pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) Berdasarkan tabel 2. dapat diketahui bahwa kadar debu total sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) baik pada sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga kerja masih berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) kadar debu total. Dengan adanya Local Exhaust Ventilation (LEV) maka kadar debu di penggilingan padi dapat dikendalikan. Dengan menurunnya kadar debu di tempat kerja maka diharapkan lingkungan kerja menjadi sehat yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas kerja. 3.2.4. Analisis Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang Dirancang Secara Sederhana Berdasarkan hasil pengukuran kadar debu total pada sumber kontaminan yang semula 6,1 mg/m3 menjadi 2,4 mg/m3 sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV). Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar debu total sebesar 3,7 mg/m3. Sementara kadar debu total pada tempat istirahat tenaga kerja yang semula 3,6 mg/m3 menjadi 0,6 mg/m3 sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV). Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar debu total sebesar 3 mg/m3. Dari hasil análisis tersebut didapatkan bahwa penurunan kadar debu total baik pada sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga kerja yaitu lebih dari 25%, hal ini berarti bahwa Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana adalah efektif.
231
4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana dan di aplikasikan pada penggilingan padi menunjukkan bahwa kadar debu total mengalami penurunan lebih dari 25%, hal ini menunjukkan bahwa Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana adalah efektif. 4.2. Saran Pengukur kadar debu total (total dust) sebelum dan sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali pada satu titik tertentu, tetapi sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengetahui tingkat efektifitas Local Exhaust Ventilation (LEV).
Daftar Pustaka 1. Depertemen Tenaga Kerja R.I. 1995. Penyusunan Standart Pengukuran Kadar Debu Total di Lingkungan Kerja. Jakarta: Depnaker. 2. Aditama, T. Y., dan Giri Putro, S. 1996. Polusi Udara dan Kesehatan Paru. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXIV, Nomor 3. 3. Hidayat, I. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Semarang: Universitas Diponegoro. 4. Siswanto, A. 1991b. Ventilasi Industri. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa Timur: Depnaker. 5. Waille, G dan Koley, D. 1997. Environmental, Safety and Health Enginering. John Wiley and Sons, Inc. 6. Depertemen Tenaga Kerja R.I. 1997. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1997 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Lingkungan Kerja. Jakarta: Depnaker. 7. Djojodibroto, D. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 8. Yunus, F. 1997. Diagnosa Penyakit Paru Kerja. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 70: 18-23.
232
Efektifitas Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Dengan Menggunakan Metode Prosedur Standar Oprasional di Barge Pelangi Tirtamas 2 (Studi Kasus PT Pelangi Niaga Mitra Internasiona lKutai Kartanegara) M. Isradi Zainal1, Mustadin Umar2 1 Prodi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Universitas Balikpapan 2 Mahasiswa Program Studi D4 K3, Universitas Balikpapan Jl. Pupuk Raya, Balikpapan 76114 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui Sejauh mana efektivitas simulasi tanggap darurat kebakarandengan menggunakan Metode Prosedur standar Operasional di Barge Pelangi Tirtamas 2 PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional di Kutai Kartanegara. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan data melalui observasi dengan alat bantu checklist. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tanpa adanya sebuah simulasi atau latihan dimana pekerja ditempatkan sedemikian rupa di dalam suasana yang menyerupai kejadian sebenar-benarnya. Hal ini sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan para pekerja dalam menangani sebuah situasi darurat kebakaran yang mungkin terjadi mengingat besarnya risiko-risiko tersebut seperti yang ada pada industri migas. Dari hasil penelitian yang dilakukan dan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa simulasi dilakukan dengan konsisten dan dari hasil penelitian yang dilakukan dan hasil analisa serta pembahasan hasil penelitian secara keseluruhan didapatkan kesimpulan bahwa efektifitas simulasi tanggap darurat kebakaran dengan metode prosedur standar operasional di Barge Pelangi Tirtamas 2 masih pada tingkat persentase yang sangat baik. Kata kunci: efektifitas, simulasi, standar operasional prosedur
1. Pendahuluan Dalam situasi keadaan Darurat bencana sering terjadi kegagapan pananganan dan kesimpang siuran informasi dan data korban maupun kondisi kerusakan, sehingga mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk penanganan darurat bencana. Sistem koordinasi juga sering kurang terbangun dengan baik, Penyaluran bantuan, distribusi logistic sulit terpantau dengan baik sehingga kemajuan kegiatan penanganan tanggap darurat kurang terukur dan terarah secara objektif. Situasi dan kondisi di lapangan yang seperti itu disebabkan belum terciptanya mekanisme dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana yang baik, terstruktur dan sistematis. Dalam kondisi Kedaruratan Bencana diperlukan sebuah institusi yang menjadi pusat koordinasi kedaruratan bencana sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencana yang terjadi. Koordinasi Tanggap Darurat Bencana dapat dilengkapi dengan Posko Lapangan Tanggap Darurat Bencana dengan gugus tugas yang terdiri dari unit kerja yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan sistem yang terpadu. Industri di Indonesia sendiri sangat beragam, mulai dari industri perkebunan, pertambangan, minyak dan gas serta yang lainnya. Dalam hal industri minyak dan gas, berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek 233
ini sering kali adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan material ataupun pekerja dalam hal melaksanakan keselamatan kerja dengan baik, lokasi kerja yang berpindah-pindah dan berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, ataupun waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang bervariasi dari yang terlatih sampai yang tidak terlatih. Apabila ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja rentan terpapar oleh kecelakaan. Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sudah sejak lama pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan tentang keselamatan kerja untuk menanggulangi risiko-risiko tersebut. Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai studi menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991). Sangat diperlukan sekali dengan khusus dukungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk mencegah dan mengurangi angka kecelakaan kerja, dengan menerapkan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja. Dukungan tersebut harus dimulai dari tingkat manajemen paling atas sampai tingkat kalangan pekerja yang paling bawah. Berbagai program keselamatan dibuat dan di implementasikan di tempat kerja guna mencegah dan mengurangi kecelakaan terjadi. Baik program yang dibuat sebelum pekerjaan dimulai, dan ketika pekerjaan tersebut sedang berlangsung, maupun setelah pekerjaan tersebut selesai. Salah satu program untuk mencegah kecelakaan kerja/ mengurangi angka kecelakaan di tempat kerja pada saat pekerjaan itu sedang berlangsung adalah melakukan latihan tanggap darurat secara terus-menerus agar setiap orang terbiasa dan secara cepat akurat dalam melakukan hal-hal yang diperlukan pada saat ada kejadian bencana kebakaran, kapal tenggelam, kapal tabrakan, badai atau gempa pada alam yang terjadi yang dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada nyawa dan harta benda. Pada penerapan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, latihan tanggap darurat banyak digunakan untuk paling tidak mengurangi risikorisiko yang mungkin akan timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di lokasi kerja seperti yang dilakukan oleh PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional yang bergerak dalam usaha di bidang kemaritiman dan berada di laut lepas yang akses penyelamatan dan ruang geraknya terbatas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peneliti memandang perlu untuk dilakukan penelitian dalam hal latihan tanggap darurat kebakaran dalam rangka
234
mengurangi risiko-risiko akibat kebakaran yang akan terjadi dan kemungkinan akan lebih besar apabila tidak dapat ditanggulangi dengan segera. 2. Metode Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metodologi deskriptif persentase(kuantitatif) yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu penerapan secara objektif yang menurut Sugiyono (2014) dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan persentase. Metode kuantitatif digunakan apabila masalah merupakan penyimpangan antara seharusnya dengan yang terjadi, antara aturan dengan pelaksanaan, antara teori dengan praktik, antara rencana dengan pelaksanaan. Ketepatan dalam penggunaan metode penelitian akan menetukan objektifitas hasil penelitian. Oleh sebab itu, dalam penelitian yang dilakukan terhadap latihan tanggap darurat kebakaran di atas kapal Pelangi Tirtamas 2 milik PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional di lokasi Total E&P Indonesie selat Makassar, peneliti akan mengguanakan metode penelitian deskriptif persentase dengan pendekatan kuantitatif. Deskriptif ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana yang bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ini lebih ditekankan pada memberikan gambaran objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Penelitian terhadap teori dan praktek adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis bertujuan melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas sosial dan menggambarkan objek pokok permasalahan. 3. Hasil dan Pembahasan 1. Evakuasi Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Api Kecil
Gambar 1. Diagram Kesesuaian Penerapan Simulasi Kebakaran Api Kecil Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 9 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).
235
2. Evakuasi Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Api Besar
Gambar 2. Diagram Kesesuaian Penerapan Simulasi Kebakaran Api Besar Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 11 (91%) dan tidak sesuai 1 (9%). 3. Barge Master
Gambar 3. Diagram Kesesuaian Tugas Barge Master Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 5 (83%) dan tidak sesuai 1 (17%).
236
4. Chief Officer
Gambar 4. Diagram Kesesuaian Tugas Chief Officer Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 2 (29%) dan tidak sesuai 5 (71%). 5. Radio Operator Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 3 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 6. On Scene Commander /Safety on duty Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 8 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 7. Safety Officer of Duty/Muster checker Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 7 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 8. Paramedic Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 3 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 9. Chief Engineer Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 4 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 10. ERT I
Gambar 5. Diagram Kesesuaian Tugas ERT I
237
Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 2 (67%) dan tidak sesuai 1 (33%). 11. ERT II Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 5 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 12. ERT III/Stretcher Team Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 4 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 13. ERT IV/Mekanik dan Elektrik Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 2 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%). 14. Tugas dari Personal On Board
Gambar 6. Diagram Kesesuaian Tugas Personal On Board Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 4 (80%) dan tidak sesuai 1 (20%). 4. Kesimpulan b. Dari hasil penelitian yang dilakukan dan hasil analisa serta pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Kesesuaian Keseluruhan Tentang Efektifitas Simulasi Tangap Darurat Kebakaran dengan menggunakan metode Prosedur Standar Operasional di Barge Pelangi Tirta Mas 2 pada langkah-langkah kejadian Kategori Api Besar & Kecil di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional masih tinggi yaitu 95% mendekati “Sesuai dengan Standar Operasional Prosedur” c. Pada Point 12 SOP tentang langkah-langkah kejadian dari simulasi keadaan gawat darurat Kategori Api Besar blm sesuai dengan SOP yang berlaku (Skoci Penyelamat tidak diturunkan). d. Kesesuaian SOP dengan tugas dan tanggung jawab yang telah dilaksanakan masih dalam ratting baik dengan persentase 88% karena dari semua item check list masih banyak pemenuhan dengan SOP yang berlaku.
238
Daftar Pustaka Hidayat.1986.Teori Efektifitas dan Efisiensi.Alphabeta.Bandung Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP186/MEN/1999, “Unit Penanggulangan Kebakaran Ditempat Kerja”, Jakarta Keputusan Presiden Republik Indonesia no 65 tahun 1980, “Mengesahkan international conventionfor the safety of life at sea, 1974 sebagai hasil konferensi internasional tentang Keselamatan Jiwa Di Laut 1974, yang telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia,di London, Pada tanggal 01 Nopember 1974, yang merupakan pengganti International Convention For The Safety Of Life At Sea 1960 “. Kountur, ronny. (2003), “Metologi Penelitian”, Jakarta:Penerbit PPM. Putra Darma. 2014. Prosedur Fire Drill. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 45 tahun 2012, “Manajemen Keselamatan Kapal ”, Jakarta Sugiono.2014.Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan Metode Kombinasi.Yogyakarta Syukri, Sahab.1997.Teknik Manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja.Jakarta:PT. Bina Sumber Daya Manusia The International Convention for the Safety of Life at Sea, regulation 22, “ Entries in log”, 1974 The International Convention for the Safety of Life at Sea, regulation 26, “ Practice musters and drills”, 1974Undang – undang RI no 1 tahun 1970, “Keselamatan kerja” Jakarta Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 “Tentang Penanggulangan Bencana” Undang – undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008, “Pelayaran”.
239
Excessive Workload Detector“Exator” Sebagai Alat Pencegah Stres Kerja untuk Meningkatkan Perkembangan Electromedic di Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Satria Indra Nugraha1, Zahrotul Mahmudati2, Hafidzoh Najwati3, Zakiyah Islamiyati O.P4, Oktavinta Warits P.P5, Baju Widjasena6 1
Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Diponegoro 6 Dosen Jur. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Diponegoro Jl. Prof Soedarto, SH-Tembalang, Semarang. Tel: (024)7460013 E-mail:[email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] 2,3,4,5
Abstrak Pembangunan nasional dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kini memasuki era industrialisasi yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi. Beban kerja merupakan kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Beban kerja yang diterima seseorang harus disesuaikan dengan kemampuan fisik, kognitif maupun keterbatasan pekerja. Beban kerja berlebih akan mengakibatkan stres kerja yang berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terkena penyakit tidak menular, dan menurunkan daya tahan tubuh. Untuk mencegah timbulnya stres kerja, maka penulis menciptakan sebuah alat electromedic baru yang bernama Exator. Pengujian efektifitas alat menggunakan metode eksperimen. Responden yang berjumlah sepuluh orang diukur denyut nadinya secara manual dan menggunakan alat Exator. Pengukuran dilakukan kepada responden sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Perlakuan yang diberikan berupa aktivitas fisik yang dapat meningkatkan denyut jantung responden. Apabila denyut jantung kelompok eksperimen melebihi 100 bpm, aktuator akan memberikan peringatan terkait kondisi beban kerja responden. Hasil pengukuran responden menggunakan Exator kemudian dibandingkan dengan pengukuran secara manual. Tingkat akurasi Exator untuk pengukuran denyut jantung sebelum perlakuan sebesar 94,9%. Sedangkan tingkat akurasi Exator untuk pengujian sesudah perlakuan sebesar 98,6%. Tingkat kesalahan atau error sebesar 5,1% pada pengujian sebelum perlakuan dan error sebesar 1,4% setelah perlakuan disebabkan karena resolusi sensor dan hambatan dalam rangkaian sehingga alat tidak 100% presisi. Kata kunci: beban kerja berlebih, electromedic, exator, stres kerja.
1. Pendahuluan Pembangunan nasional dalam mengadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kini memasuki era industrialisasi yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi. Produktivitas dan efisiensi kerja yang baik bagi pekerja dan perusahaan merupakan landasan yang kuat dalam memacu peningkatan status kesejahteraan nasional. Namun pembangunan berteknologi tinggi memiliki risiko hazard dan penyakit akibat kerja yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja, efisiensi perusahaan sehingga dapat menghambat laju kemajuan nasional.1 Setiap pekerjaan memiliki beban kerja yang berbeda tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Kesesuaian beban kerja yang diatur oleh perusahaan
240
terhadap kondisi pekerja perlu diperhatikan. Beban kerja yang berlebih dapat menimbulkan suasana kerja yang kurang nyaman bagi pekerja karena dapat memicu timbulnya stres kerja yang lebih cepat. Sebaliknya kekurangan beban kerja dapat menimbulkan kerugian bagi organisasi1. Bagi para pekerja, stres sering disebut sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan, ketidakpuasan kerja, dan sakit akibat kerja seperti penyakit jantung koroner, alkoholisme dan hipertensi2 Penelitian Christensen (2001) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi energi, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung, dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang linear dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian penelitian Konz tahun 1996 mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan konsodilatasi.3,5 Tanda-tanda reaksi stres manusia meliputi reaksi fisik, antara lain tingginya detak jantung (increased heart rate), naiknya tekanan darah (elevated blood pressure), dan berkeringat dingin (cold hand). Stres meliputi empat kondisi, yaitu tegang (s = stressed), cemas (t = tense), tenang (c = calm), dan rileks (r = relaxed) 4,5 . Pengukuran detak jantung tubuh sebagai salah satu tanda reaksi stres kerja saat ini masih menggunakan peralatan yang belum terintegrasi, sehingga kurang efektif dan efisien jika digunakan sebagai pengukur tingkat stres. maka diperlukan suatu alat yang mampu digunakan untuk mengukur tingkat stres pada manusia. Dengan berkembangannya teknologi yang semakin meningkat terutama di bidang ilmu elektronika. mendorong perancangan alat pengukur tingkat stres secara otomatis. Excessive Workload Detector “EXATOR” ini berfokus pada pembuatan alat yang mampu mengukur tingkat stres dengan parameter detak jantung berbasis Vibrator dan Optocoupler Sensor dengan bahasa pemrograman arduino dan teknik Debugging sehingga performa Exator mencapai sesuai yang diharapkan. 2. Metode Penelitian Keseluruhan sistem EXATOR dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.1. Perancangan Hardware Secara hardware, Exator terdiri dari pulse sensorsebagai sensor (input device), mikrokontroler Arduino Uno sebagai processing device yang akan mengolah data, kemudian data hasil olahan Arduino Uno dikirim sebagai sinyal keluaran untuk ditampilkan pada LCD (output device).
Gambar 1. Blok Diagram Exator
241
Exator akan membaca denyut nadi (beat per minute/ bpm) secara kontinyu selama alat digunakan. Pulse sensor yang digunakan membaca tiap pulse wave yang terjadi setiap detakan[1]. Prinsip kerja pulse sensor tersebut adalah cahaya yang dipancarkan oleh LED hijau akan terpantul saat sensor dikenakan. Pantulan tersebut kemudian ditangkap oleh receiver. Jeda waktu pembacaan dan perubahan intensitas cahaya terpantul akan dikalkulasikan dan menjadi nilai input bagi processing device berupa sinyal digital. Processing device berupa arduino akan mengolah sinyal input dan hasil olahan menjadi sinyal output. Sinyal output berisi informasi yang harus ditampilkan pada LCD, kemudian LCD akan menampilkan hasil pembacaan beban kerja yang dapat dibaca oleh pengguna.
Gambar 2. Pulse sensor, Arduino Uno, dan LCD 16x2 3. Perancangan Software Perancangan software Exator dilakukan dengan Arduino IDE sesuai bahasa pemrograman Arduino. Berdasarkan pengklasifikasian BPM pada [2] maka flow chart kerja Exator dirancang sebagai berikut:
Gambar 3. Flowchart Exator Algoritma dari Exator adalah: 1. Mulai 2. Pulse sensor membaca BPM 3. Bila BPM dibawah 90, cetak pada LCD “Anda sehat”
242
Gambar 4. Hasil cetak pada LCD BPM<90 4. Bila BPM diantara 90-100, cetak pada LCD “Anda lelah”
Gambar 5. Hasil cetak pada LCD BPM 90-100 5. Bila BPM lebih dari 100, cetak pada LCD “Terlalu lelah”
Gambar 6. Hasil cetak pada LCD BPM>100 6. Bila BPM gagal terbaca, cetak pada LCD “error” 7. Bila Reset ditekan, kembali ke state awal 8. Selesai Kemudian algoritma tersebut dimasukkan dalam arduino dengan bahasa pemrograman milik arduino. Debugging dilakukan hingga performa Exator mencapai sesuai yang diharapkan. 4. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Pengujian Akurasi Exator sebelum Perlakuan Pengukuran Manual 62 98 80 74 90 72 80 116 80 82 Error Rata-Rata
Pengukuran BPM Pengukuran Dengan Exator 64 98 75 75 85 79 82 100 87 80
Error (%) 3,2 0,0 6,3 1,4 5,6 6,9 2,5 13,8 8,8 2,4 5,1
Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa Exator mempunyai rata-rata tingkat error 5,1%.Dengan demikian dapat diperoleh
243
tingkat akurasi dari Exator yang dibuat sebesar 94,9%. Error yang cukup besar pada data ke-8 disebabkan oleh interferensi gelombang sehingga intensitas cahaya yang ditangkap pulse sensor berubah nilainya. Tabel 2. Pengujian Akurasi Exator sesudah Perlakuan Pengukuran Manual 110 120 120 120 120 109 126 122 97 102 Error Rata-Rata
Pengukuran BPM Pengukuran Dengan Exator 110 126 125 120 118 110 124 123 112 103
Error (%) 0,0 5,0 0,0 0,0 0,9 1,6 0,8 1,8 1,8 1,0 1,4
Dari tabel diatas terlihat error1,4%, hal itu disebabkan resolusi sensor dan hambatan dalam rangkaian sehingga alat tidak 100% presisi. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:Tingkat akurasi Exator untuk pengukuran denyut jantung sebelum perlakuan sebesar 94,9%. Sedangkan tingkat akurasi Exator untuk pengujian sesudah perlakuan sebesar 98,6%. Hasil tersebut merupakan perbandingan dengan pengukuran manual. 6. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset, Teknologi,dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis dalam rangka Progam Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta. Daftar Pustaka 1. Lituhayu, Rizaini. Mangkuprawiru, Tb Sjafri. Dhewi, Ratih Maria. Analisa Beban Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi Kasus Pada Head Office PT. Lerindro International Jakarta). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2008. 2. Teasdale, JD, et. al. Prevention of relapse/recurrence in major depression by mindfulness-based cognitive therapy. MA J Consult Clin Psychol. Aug; 68(4):615-23. 2000. 3. Tarwaka, Solichul H, Bakri A, dan Sudiajeng Lilik. Ergonomi Untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan Produktivitas. UNIBA Press. Surakarta. 2004. 4. Elizabeth Scott, M. S. 2010. Stress Effect . http://www.stress.about.com/stres s-effect.html.Diunduh 1 April 2013
244
5. Kresna Pradhipta, dkk. Rancang Bangun Alat Pengukur Tingkat Stres Menggunakan MetodeFuzzy Logic. Journal of Control and Network Systems. Vol. 4, No.1. Hal 13. 2013. Lampiran
Gambar 7. Pengukuran manual sebelum perlakuan
Gambar 8. Pengukuran dengan Exator sebelum perlakuan
Gambar 9. Pengukuran manual perlakuan
Gambar 10. Pengukuran dengan Exator setelah perlakuan
Gambar 11. Informed Consent Responden
245
Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko,dan Pengendalian Risiko Pada Pekerjaan Tambang Belerang Studi Pada Pekerja Tambang Belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen Khairul Anwar, Isa Ma’rufi, Anita Dewi Prahastuti S Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember Jl. Kalimantan 37, Jember Tel. 085745106202, E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian Gunung berapi di Jawa Timur yang masih aktif, terletak di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi. Gunung Ijen mengandung derajat keasaman dan kandungan belerang yang sangat tinggi,tingginya kandungan belerang menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah pertambangan belerang yang dilakukan secara tradisional. Permasalahan pekerja tambang di wilayah Gunung Ijen adalah manajemen risiko diantaranya beban kerja, alat pelindung diri yang tidak standart, jaminan sosial tenaga kerja yang buruk, masalah kesehatan kerja, psikologis pekerja dan iklim kerja. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bahaya, menilai risiko dan menyusun pengendalian risiko dari proses kerja. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif melalui pendekatan mix methods. dengan modifikasi metode what-if dan Job Safety Analysis. Hasil identifikasi dan analisis risiko diketahui risiko sangat tinggi (very high) adalah paparan gas Hidrogen Sulfida (H2S) pada proses penurunan kedasar kawah, pengambilan belerang di dasar kawah, pengangkutan belerang dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen. Kata kunci: bahaya, risiko, tambang belerang,.
1. Pendahuluan Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian Gunung berapi di Jawa Timur, Gunung tersebut masih aktif dan terletak di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi yaitu pada wilayah Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi dan Kecamatan Klobang, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Gunung Ijen telah mengalami 12 kali erupsi1. Gunung Ijen memiliki ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut. Secara geografis Gunung Ijen berada pada posisi 8º03’30” LS dan 114º14’30” BT, pada puncak Gunung terdapat Danau Kawah Ijen dengan panjang dan lebar masing-masing sebesar 800 meter dan 700 meter serta kedalaman danau mencapai 180 meter2. Selain terkenal sebagai obyek wisata juga memiliki kandungan belerang yang tinggi. Sedikitnya jumlah belerang yang dihasilkan adalah sebanyak 14 ton per harinya. Jumlah tersebut baru sekitar 20% dari potensi yang sesungguhnya disediakan oleh alam3. Berdasarkan pengukuran gas belerang yang dilakukan oleh tim Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) di wilayah Gunung Ijen yang dilakukan pada tujuh titik pengukuran. Hasil dari pengukuran tersebut yaitu kadar gas belerang diketahui yang tertinggi yaitu sebesar 47 ppm (batas normal 10 ppm)4. Tingginya kandungan belerang yang terdapat di Kawah Ijen menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah pertambangan, pada umumnya aktivitas penambangan dilakukan secara tradisional oleh pekerja, sehingga, kesehatan dan keselamatan pekerja penambang belerang di Gunung Ijen berisiko terganggu. 246
Berdasarkan studi pendahuluan ke Gunung Ijen pada tanggal 21 Maret 2015, diketahui upah yang didapatkan oleh pekerja tambang belerang di Kawah Gunung Ijen yaitu setiap kilo dihargai Rp.925/kg untuk angkutan pertama dan Rp. 1.025/kg untuk angkatan keduadan pekerja tiap angkut mampu membawa belerang 50-80 kg dengan dua kali angkut jadi jumlah perhari bisa mengangkut belerang sebanyak 100 kg–160 kg. Masalah utama pada pekerja penambangan belerang Ijen adalah masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tidak mendapatkan perlindungan secara maksimal, baik dari perusahaan maupun dari pemerintah. diketahui terdapat beberapa masalah keselamatan dan kesehatan yaitu pekerja terpapar langsung dengan bahan kimia yang dikeluarkan seperti gas sulfatara (S, SO2, SO3, H2S), uap fumarol (uap air panas (H2O), gas nitrogen), gas asam arang, CO, hidrogen klorida, hidrogen fluorida dapat mengancam para pekerja setiap saat, beban kerja, tidak standarnya alat pelindung diri (APD) yang dipakai. pemberian jaminan sosial tenaga kerja yang buruk, iklim kerja dan psikologis pekerja selain itu, masalah kesehatan seperti tulang keropos, batuk, sakit gigi, nyeri persendian, dan sesak napas5. Segala bentuk permasalahan diatas diketahui pula bahaya yang sangat besar dan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi, dan sebuah rekomendasi atau pengendalian risiko dalam proses manajemen risiko guna mengurangi risiko pada pekerjaan tambang belerang di Kawah Ijen. Frekuensi penambang belerang untuk melakukan penambangan tergantung dari kekuatan fisik masing-masing penambang. Dampak ergonomi atau sikap kerja yang salah dan paparan gas H2S yang terus menerus tentunya berdampak negatif bagi keselamatan dan kesehatan penambang belerang. Oleh karena itu sebagai upaya tindakan preventif dan promotif akibat adanya bahaya dan risiko kerja maka perlu dilakukan penelitian tentang manajemen risiko pada pekerjaan tambang belerang di Kawah Gunung Ijen. tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bahaya, menilai risiko dan menyusun upaya pengendalian dari langkah kerja, proses kerja dan risiko kecelakaan kerja pada pekerja tambang belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. 2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif denganpendekatan mix methods, fokus penelitian adalah identifikasi sumber bahaya pada alat kerja, bahan dan proses pekerjaan. Tempat penelitian dilakukan di Gunung Ijen Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi dan waktu penelitian mulai Juli sampai September 2015. Metode identifikasi bahaya dan analisis risiko mengunakan checklist hazard identification and risk assessment (HIRA) dengan modifikasi What If (What If Analysis/ETA) dan JSA (Job Safety Analisys). Metode yang digunakan untuk memperoleh data penelitian menggunakan metode wawancara dan observasi yang dilengkapi dengan instrumen wawancara dan lembar observasi. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1.Hasil 3.1.1. Identifikasi Bahaya Berdasarkan hasil penelitian pada penambangan belerang di kawah Gunung Ijen diketahui alat yang digunakan untuk penambangan belerang yaitu keranjang yang terbuat dari bambu, karung, troli, alat pengungkit (linggis), alat penimbangan berupa neraca gantung dan neraca duduk, mesin pompa air dan
247
handuk sebagai masker. Peralatan yang digunakan oleh penambang belerang memiliki risiko masing-masing seperti keranjang dan karung yang digunakan sebagai alat angkut memiliki risiko tersandung, terkilir dan nyeri sendi/encok, alat pengungkit dan neraca gantung memiliki risiko tergores, mesin pompa air memiliki risiko kebisingan, dan handuk memiliki risiko keracunan gas berbahaya yang bisa mengakibatkan cidera ataupun meninggal. Bahan yang digunakan dalam proses penambangan adalah sulfatara dan solar sebagai pembangkit mesin pompa air pada proses sublimasi. Adapun hasil dari identifikasi bahaya pada proses penambangan belerang dijelaskan pada empat tahapan yaitu tahap persiapan, tahap eksploitasi, tahap pengangkutan dan tahap penimbangan. a. Tahap persiapan Tahap persiapanterdiri dari proses mempersiapkan peralatan dan perbekalan, proses pendakian ke puncak Gunung Ijen dan proses penurunan menuju dasar Kawah Ijen. Pada tahap ini terindentifikasi risiko yaitu terjatuh dari motor saat perjalanan ke Paltuding dan serangan hewan buas seperti macan tutul dan babi hutan, tersandung, terkilir, gigitan hewan berbisa seperti ular atau kalajengking, iritasi mata, terhirup gas H2S dan nyeri sendi/encok. Sedangkan sumber bahaya diketahui dari faktor unsafe condition yaitu kondisi jalan yang berlubang, licin, dan menanjak, jarak tempuh yang sangat jauh, terjadi hujan, kabut tebal, kondisi gelap akibat tidak ada penerangan, paparan gas CO2, SO2, SO4, dan gas hidrogen sulfida (H2S), dari faktor unsafe action yaitu mengantuk dan tidak mengunakan APD (safety shoes, marks respiratory) sedangkan dampak risiko bisa terjadi cidera, memar, pendarahan atau meninggal. b. Tahap Eksploitasi
Gambar 1. Proses pengambilan belerang di dasar Kawah Ijen. Tahap eksploitasi terdiri dari dua proses yaitu pengambilan bongkahan belerang di dasar Kawah Ijen, proses penataan bongkahan belerang ke atas keranjang. Pada tahap ini teridentifikasi beberapa risiko yaitu terhirup atau keracunan gas berbahaya (H2S), tertimpa bebatuan dari atas tebing, tergores alat pengungkit (linggis), terkilir, iritasi mata nyeri sendi pada punggung. Sumber bahaya yang diketahui dari faktor unsafe condition yaitu kondisi gelap akibat tidak ada penerangan, paparan gas CO, SO2, SO4, HCl, dan gas H2S. Sedangkan dari faktor unsafe action yaitu tidak mengunakan APD (safety shoes, safety helmet, safety goggle, marks respiratory) risiko pada tahap ini bisa berdampak cidera, penyakit pernafasan, pingsan atau bahkan meninggal dunia.
248
c. Tahap Pengangkutan
Gambar 2. Proses pengangkutan belerang dari dasar Kawah Ijen. Tahap pengangkutan terdiri dari dua proses yaitu proses pengangkutan belerang dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen dan proses pengangkutan dari puncak Gunung Ijen menuju Paltuding (Tempat penimbangan akhir). Pada tahap ini terindentifikasi beberapa risiko yaitu terhirup atau keracunan gas H2S, tertimpa bebatuan dari atas tebing, tersandung, kaki terkilir, iritasi mata, nyerisendi/encok pada persendian dan tergores alat angkut. Sumber bahaya dari faktor unsafe condition yaitu paparan gas CO, SO2, SO4, HCl, gas hidrogen sulfida (H2S), kondisi jalan sempit, curam, menanjak, jarak tempuh, jalan berbatu dan jalan menuju Paltuding berpasir dan berdebu,beban angkut yang sangat berat (>40kg) dari faktor unsafe action yaitu kelelahan kerja, riwayat penyakit, usia dan tidak mengunakan APD (safety shoes, marks respiratory). Dampak risiko pada tahap ini bisa terjadi cidera, memar, pendarahan ataupun meninggal dunia. d. Tahap Penimbangan Tahap ini terdiri dari dua proses yaitu proses penimbangan di tempat peristirahatan pertama (pondokan) dan Proses penimbangan akhir di Paltuding. Pada tahap ini terindentifikasi jenis risiko yaitu terkilir, terjatuh, nyeri sendi pada pungung. Sumber bahaya dari faktor unsafe condition yaitu tempat licin, berdebu, beban angkut yang berat (>40kg), beban kerja tinggi, sedangkan faktor unsafe action yaitu tidak mengunakan APD (safety shoes) risiko pada tahap ini bisa berdampak kelelahan kerja dan cidera. 3.1.2. Penilaian Risiko Penilaian risiko merupakan salah satu proses dari analisiss risiko, penilaian risiko dalam penelitian ini mengunakan metode semi kuantitatif yaitu dengan mengkalikan tingkat kemungkinan (probability), konsekuensi (consequences) dan paparan (exposure) berdasarkan standart dari AS/NZS 4360 melalui wawancara kepada informan utama dan informan kunci. bertujuan untuk mengetahui nilai risiko dan level risiko. Hasil penilaian risiko pada proses penambangan belerang di wilayah Gunung Ijen dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 1. Penilaian risiko proses penambangan belerangGunung Ijen Proses kerja Mempersiapkan peralatan Proses pendakian Gunung Ijen Proses penurunan menuju
Jenis Risiko Terjatuh Serangan hewan Tersandung Terkilir Terigit hewan berbisa Tertimpa bebatuan
249
Nilai Risiko 75 15 300 300 75 150
Level Risiko Substansial Acceptable Priority 1 Priority 1 Substansial Substansial
Proses kerja bibir Kawah Ijen
Proses pengambilan endapan belerang di bibir Kawah Ijen
Proses penataan bongkahan belerang ke alat angkut
Proses pengangkutan belerang menuju puncak Gunung
Proses pengangkutan menuju paltuding
Proses penimbangan pondokan Proses penimbangan di paltuding
Jenis Risiko Tersandung Terkilir Iritasi mata Terhirup gas H2S Nyeri sendi/encok Terhirup gas H2S Tertimpa bebatuan Tergores Terkilir Iritasi mata Nyeri sendi/encok Terkena cairanbelerang Terhirup gasH2S Tertimpa bebatuan Tangan terkilir Iritasi mata Nyeri sendi/encok Terhirup gas H2S Tertimpa bebatuan Terjatuh Kaki terkilir Iritasi mata Nyeri sendi/encok Kaki terkilir Terpleset Nyeri sendi/encok Tergores alat angkut Terkilir Nyeri sendi/encok Terjatuh Terkilir Nyeri sendi/encok
Nilai Risiko 300 300 100 6000 100 6000 150 300 300 100 100 1500 6000 150 300 100 100 6000 150 450 300 100 100 300 900 100 150 300 100 150 300 100
Level Risiko Priority 1 Priority 1 Substansial Very High Substansial Very High Substansial Priority 1 Priority 1 Substansial Substansial Very High Very High Substansial Priority 1 Substansial Substansial Very High Substansial Very High Priority 1 Substansial Substansial Priority 1 Very High Substansial Substansial Priority 1 Substansial Substansial Priority 1 Substansial
Berdasarkan tabel di atas, dari hasil observasi dan wawancaradengan pekerja tambang diketahui risiko pada proses penambangan belerang secara keseluruhan yang tertinggi adalah terhirup gas berbahaya Hidrogen Sulfida (H2S), dengan nilai risiko 6000 dan level risiko sangat tinggi (very high). 3.1.3. Pengendalian Risiko Risiko yang memiliki level tertinggi yaitu terhirup gas berbahaya Hidrogen Sulfida (H2S) adapun pengendaliannya adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hirarki dan pengendalian risiko proses penambangan Jenis Risiko Terhirup gas berbahaya Hidrogen Sulfida (H2S)
Hierarki of Control Engineering Administrative
Pengendalian (rekomendasi) Terdapat alat pendeteksi adanya gas berbahaya Membuat Standart Operasional Prosedur bagi pekerja yang melakukan pekerjaan di dapur belerang Melakukan inspeksi dan pengukuran secara berkala terkait paparan gas H2S Pembatasan izin memasuki area dabur belerang
250
Jenis Risiko
Hierarki of Control
Training PPE/APD
Pengendalian (rekomendasi) dan dasar kawah Melakukan pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus kepada pekerja Menyediakan klinik kesehatan sebagai tindakan emergency Safety Talks sebelum memasuki area, Melatih penangungjawab area dapur belerang Chemical Catrige Respiratory, Gas Mask, Self Consumed Breathing Apparatus (SCBA)
3.2.Pembahasan Hasil identifikasi bahaya dalam penelitian ini, ditemukan risiko yang memiliki level risiko sangat tinggi (very high) sehingga dapat mengakibatkan kecelakaaan kerjapenyakit akibat kerja yaitu adalah risiko terhirup atau keracunan gas Hidrogen Sulfida (H2S). Bahaya paparan gas H2S tidak hanya teridentifikasi pada proses penurunan belerang namun juga terdapat pada proses pengambilan belerang didasar kawah, proses penataan belerang didasar kawan dan pengangkutan belerang dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen artinya bahaya ini setiap saat akan selalu mengintai para pekerja kapanpun dan disetiap proses kerja saat penambangan belerang, sehingga hal ini perlu adanya tindakan khusus dalam upaya preventif promotif yang dilakukan oleh pihak stakeholder baik perusahaan, pemerintah setempat atau para pekerja tambang itu sendiri. Penelitian ini berhubungan dengan temuan dari penelitian sebelumnyayaitu: diketahui hasil penelitian Ma’rufi dkk. (2014) menyatakan bahwa terdapat keluhan pernafasan, sebagian besar penambang belerang di Gunung Ijen berupa mengeluh batuk berdahak yaitu sebesar 74%, keluhan pada mata, berupa mata berair ketika menambang sebesar 94%, keluhan pada gigi, berupa gigi linu sebesar 68%5, dan hasil penelitian Dyah Pranani (2008) menyatakan bahwa paparan uap belerang merupakan faktor risiko untuk terjadinya erosi gigi sedang/berat, subjek penelitian yang terpapar uap belerang mempunyai risiko untuk mengalami erosi gigi sedang/berat sebesar 42,25 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang tidak terpapar uap belerang10. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufiq (2012) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara faal paru pekerja tambang belerang di Gunung Ijen dengan bukan penambang belerang di lingkungan sekitar Gunung Ijen11. pekerjaan tambang di Kawah Ijen memiliki risiko yang sangat komplek terutama di bidang kesehatan pekerja. Risiko yang paling tinggi dari proses penambangan belerang adalah terhirup gas berbahaya H2S. Hidrogen Sulfida (H2S) merupakan suatu gas tidak berwarna, sangat beracun, mudah terbakar dan memiliki karakteristik bau seperti telur busuk. Hydrogen sulfida dikenal juga dengan sebutan sebagai gas rawa atau asam sulfide7. Gas ini dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan, hydrogen sulfide mempunyai efek anoksit dan merusak secara langsung sel-sel sistem syaraf pusat. Jika kadar di atas 50 ppm akan menyebabkan sakit kepala, tidak dapat tidur, mual, batuk, badan lemah, mengantuk, edema paru dan kojungtivitas yang disertai rasa sakit. Sedangkan jika kadar gas H2S di atas 500 ppm dapat menyebabkan tidak sadar dengan segera depresi pernapasan dan kematian dalam waktu 30-60 menit8. Risiko paparan gas H2S kemungkinan terjadi 251
kontak dengan pekerja, saat turun hujan di siang atau sore hari. Ketika gas H2S di atas air danau gas ini mampu di bawa permukaan akibat hembusan angin, jika gas ini terpapar lasung oleh pekerja maka dapat mengakibatkan cidera bahkan meninggal dunia. Bahan kimia beracun seperti gas H2S dapat masuk kedalam tubuh kemudian masuk melalui aliran darah ke dalam tubuh melalui: saluran pernafasan, penyerapan melalui kulit (absorbsi) dan saluran pencernaan, saluran pernafasan terdiri dari dua yaitu bagian atas (hidung, tengorokan, trachea, dan sebagaian besar pipa bronchial yang membawa ke cuping dan paru-paru) dan alveoli dimana dapat terjadi pemindahan gas yang menembus dinding sel yang tipis. Gas dan uap dengan daya larut yang rendah, namun berdaya larut tinggi didalam lemak melewati lapisan alveoli kemudian masuk kedalam aliran daran dan dibawa (disebarkan) ke organ-organ yang memiliki afinitas khusus9. Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko6. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi lokasi penambangan belerang di Gunung Ijen. Menurut OHSAS 18001 pengendalian risiko yang lebih spesifik untuk bahaya K3 adalah 1) Eliminasi, 2) Subtitusi, 3) Pengendalian Teknis, 4) Pengendalian Administratif 5) Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Pengendalian risiko pada tingkat risiko sangat tinggi diketahui yaitu penyediaan alat deteksi gas berbahaya (H2S, CO, SO4) yang terintegrasi dengan alarm, membuat standar operasional prosedur (SOP) bagi pekerja yang melakukan pekerjaan di dapur belerang, melakukan inspeksi dan pengukuran secara rutin, pembatasan izin memasuki area dapur belerang, melakukan pemeriksaan kesehatan dan menyediakan klinik kesehatan di lingkungan pertambangan. Mananjemen risiko pada proses penambangan belerang di Kawah Ijen kabupaten Banyuwangi secara keseluruhan belum dikelola secara maksimal baik oleh perusahaan PT. Candi Ngrimbi ataupun pemerintah setempat. Oleh sebab itu agar setiap langkah dan proses kerja penambangan dapat berjalan aman, sehat dan produktif maka seharusnya dilakukan sebuah manajemen risiko secara terencana dan komprehensif. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian padapekerjaan tambang belerang di kawah Gunung Ijen diketahui risiko tertinggi yaitu terhirup gas berbahaya Hidrogen Sulfida (H2S), upaya pengendalian berupa rekomendasi adanya gas detector, safety talk, klinik emergency dan APD berupa Chemical Catrige Respiratory, atau Gas Mask. Saran atau rekomendasi yang dapat diberikan dari peneliti adalah diharapkan perusahaan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk segera melakukan upaya pencegahan, pengendalian risiko pada proses penambangan belerang di Kawah Gunung Ijen berupa melaksanakan program tentang keselamatan dan kesehatan kerja diantaranya memasangan safety sign ramburambu bahaya, melakukan sosialisasi tentang K3 secara rutin, menyediakan APD, membuat prosedur kerja, memberikan bantuan alat angkut yang ergonomis, membangun layangan kesehatan sebagai upaya tidakan emergency jika terjadi kecelakaan kerja.
252
Daftar Pustaka 1. ZaennudinA, Wahyudin D, Sumaryadi M, Kusdinar E. 2012. Prakiraan Bahaya Letusan Gunung Api Ijen Jawa Timur. Bandung: Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 3 (2) Agustus 2012: 109-132. 2. Badan Geologi. Peningkatan Kegiatan Gunung Ijen dari Waspada Menjadi Siaga. [internet] 2012 Apr [cited 23 September 2014] Available from:http://www.vsi.esdm.go.id. 3. WittiriS. Artikel Gunung Ijen Penghasil Belerang Terbesar. [internet] 2010 [cited 24 Februari 2015] Available fromhttp://www.esdm.go.id/. 4. BPPD Bondowoso. 2013. Awas Kadar Gas Gunung Ijen Berbahaya. [internet] 2013 [cited 23 Februari 2010] Available from http://www.bpbd.bondowosokab.go.id/ 5. Ma’rufi I, Dewi A, Ismi R,2014. Identifikasi Keluhan Kesehatan Akibat Paparan Bahan Pencemarn Belerang (Studi Kasus pada Pekerja di Kawasan PeGunungan Ijen Kabupaten Banyuwangi). Proceding Jurnal 12-13 Sept 2014Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali. 6. Ramli S. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. Jakarta: Dian Rakyat; 2010. 7. Soemiarat J. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1999. 8. Irianto K. Pencegahan dan Penaggulangan Keracunan Bahan Kimia Berbahaya. Yrama Widya. Bandung. 2013. 9. Soeripto M. Higiene Industri. Jakarta. Balai Penerbit FKM UI Depok. 2008. 10. Pranani D. Pengaruh Paparan Uap Belerang terhadap Kejadian Erosi Gigi (Studi pada Pekerja Tambang Belerang di Gunung Ijen Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur): Semarang 2008 Aug: 28. 4-6. 11. Taufiq. Perbedaan Faal Paru antara Pekerja Penambang Belerang dan Bukan Penambang Belerang di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi: Jember 2012 Aug; 03. 47-66.
253
Pengetahuan dan Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) Dengan Insiden di Jalan Raya Pada Pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta Eko Maulana Syaputra, Ihya Hazairin Noor, Sujiah, Bambang Hermawan Minat Keselamatan dan Kesehatan Kerja S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada E-mail: [email protected]
Abstrak SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang berlokasi dekat dengan pusat kota, Malioboro, dan pusat perbelanjaan sehingga volume kendaraan yang melalui sekolah tersebut sangat tinggi. Pelajar sekolah tersebut juga sebagian besar menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi utama untuk ke sekolah, padahal penggunaan sepeda motor jika tidak diiringi dengan pengetahuan dan sikap yang baik dalam berkendara maka dapat menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Data dari Sat Lantas Polresta Kota Yogyakarta pada Januari 2013 sampai dengan Februari 2016 telah terjadi lebih dari 1771 kecelakaan lalu lintas dan melibatkan 2502 unit sepeda motor dengan sebagian korban kecelakaan lalu lintas merupakan pelajar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya pada pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan studi cross-sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara statistik antara pengetahuan keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya dengan pvalue 0.035. Terdapat hubungan secara statistik antara sikap keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya dengan p-value 0.036. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan secara statistik antara pengetahuan keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya. Ada hubungan signifikan secara statistik antara sikap keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya.
Kata kunci: insiden jalan raya, pengetahuan, sikap, safety riding.
1. Pendahuluan Populasi dan tingkat kepemilikan sepeda motor di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini terus tumbuh dengan cepat1, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta, tercatat lebih dari 1,7 juta sepeda motor (single motorcycle) yang terdaftar pada tahun 20142. Salah satu penyebab pertumbuhan tersebut karena harga sepeda motor yang relatif terjangkau serta kemudahan dalam penggunaan3. Namun, jumlah sepeda motor yang terus meningkat ini diikuti pula dampak negatif yaitu pertambahan insiden di jalan raya. Data unit kecelakaan Sat Lantas Polresta Kota Yogyakarta diketahui bahwa pada tahun 2015 telah terjadi 651 kecelakaan lalu lintas (naik 31,7% dari tahun 2014) dan melibatkan 947 sepeda motor. Tercatat 45 korban meninggal dunia dan 899 korban luka ringan. Total kerugian material mencapai lebih dari 559 juta
254
rupiah4 dengan segmen usia yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di dominasi oleh usia dewasa muda (16-30 tahun) yaitu sebesar 48.5%2. Diketahui pula bahwa lokasi kecelakaan paling banyak terjadi di kawasan permukiman, kawasan pertokoan/mall dan pusat perbelanjaan4. SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang berada di lokasi berpotensi terjadi kecelakaan karena letaknya yang berdekatan denganpusat kota, kawasan Malioboro, dan pusat pertokoan/mall sehingga volume kendaraaan yang melalui ruas jalan di sekolah tersebut sangat tinggi pada jam-jam tertentu. Sebagian pelajar juga menggunakan sepeda motor untuk berangkat kesekolah. Berdasarkan hasil observasi oleh peneliti secara detail mengenai faktor potensial yang dapat mengakibatkan insiden di jalan raya pada pelajar sekolah tersebut diantaranya adalah: (1) Terdapat beberapa pelajar yang kurang terampil dalam menggunakan sepeda motor. (2) Terdapat beberapa pelajar yang menggunakan sepeda motor namun belum memiliki surat menyurat berkendara (SIM/STNK). (3) Terdapat beberapa pelajar yang tidak disiplin dalam berkendara, seperti berbelok tanpa menggunakan lampu penunjuk arah (sein) dan menggunakan handphone saat berkendara. (4) Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa beberapa pelajar pernah mengalami insiden di jalan raya seperti pernah ditilang, hampir mengalami kecelakaan (nearmiss) dan kecelakaan (menabrak maupun ditabrak pengendara lain). Berbagai persoalan yang menjadi penyebab potensial tersebut akhirnya akan menghasilkan dampak negatif pada pelajar, yaitu terjadinya insiden di jalan raya. Sehingga berdasarkan temuan diatas, perlu dilakukan pengkajian mengenai tingkat pengetahuan dan sikap pelajar terkait dengan keselamatan berkendara (safety riding). Perlu juga diketahui bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap tersebut dengan insiden di jalan raya pada pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya pada pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: (1) Hubungan antara pengetahuan mengenai keselamatan berkendara dengan insiden di jalan raya yang dialami oleh pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta. (2) Hubungan antara sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya yang dialami oleh pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan rancangan studi cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pelajar SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta yang berjumlah 311 orang. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria: (1) Bersedia menjadi responden (2) Berada di sekolah saat penelitian dilakukan. (3) Sering menggunakan sepeda motor untuk beraktivitas (min. 4x dalam seminggu). Dari kriteria tersebut didapatkan sebanyak 111 orang untuk menjadi responden penelitian. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu: (1) Pengetahuan, adalah kemampuan responden dalam memberikan jawaban pertanyaan mengenai keselamatan berkendara (safety riding) yang diukur menggunakan kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Pengetahuan
255
baik jika skor hitung >70 (b) Pengetahuan tidak baik jika skor hitung ≤706. (2) Sikap adalah tanggapan responden mengenai keselamatan berkendara (safety riding), baik berupa penerimaan (setuju) maupun penolakan (tidak setuju) yang diukur menggunakan kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Sikap baik jika skor hitung > mean (b) Sikap tidak baik jika skor hitung ≤ mean7. Variabel terikat yaitu: insiden di jalan raya, adalah kejadian yang pernah dialami responden selama 12 bulan terakhir, dapat berupa kecelakaan lalu lintas ringan, sedang8 maupun kejadian hampir celaka yang diukur dengan menggunakan kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Pernah, jika responden pernah mengalami insiden (b) Tidak pernah, jika responden tidak pernah mengalami insiden. Kuesioner yang digunakan untuk menilai pengetahuan dan sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) serta insiden di jalan raya dimodifikasi dari penelitian Mahawati dan Prasetya9. Analisis data yang digunakan yaitu analisis univariat untuk mendeskripsikan distribusi dan persentase dari tiap variabel dan analisis bivariat untuk menguji variabel bebas dan terikat yang diduga berhubungan dengan menggunakan uji chi square. 3. Hasil penelitian dan Pembahasan 3.1 Analisis data 3.1.1 Analisis Univariat Tabel 1. Distribusi usia, jenis kelamin, pengetahuan, sikap, dan insiden di jalan raya yang dialami responden. F(%) n = 111 Usia 14-15 16-17 ≥18 Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Pengetahuan Baik Tidak baik Sikap Baik Tidak baik
25 (22.5) 80 (72.1) 6 (5.4)
F(%) n = 111 Kejadian hampir celaka Tidak pernah <2 2-4 >4
51 (45.9) 35 (31.5) 17 (15.3) 8 (7.2)
Kejadian kecelakaan Tidak pernah <2 2-4 >4
62 (55.9) 35 (31.5) 9 (8.1) 5 (4.5)
58 (52.3) 53 (47.7) 79 (71.2) 32 (28.8) 82 (73.9) 29 (26.1)
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa mayoritas responden berusia 16-17 tahun (72.1%), berjenis kelamin perempuan (52.3%) dan memiliki pengetahuan yang baik (71.2%) serta sikap yang baik (73.9%) mengenai keselamatan berkendara (safety riding). Sebagian besar responden belum pernah mengalami insiden di jalan raya berupa kecelakaan (55.9%), namun lebih dari setengah dari responden (54.15%) pernah mengalami insiden di jalan raya berupa kejadian hampir celaka (near miss).
256
3.1.2
Analisis Bivariat Tabel 2. Hubungan Antara Pengetahuan Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya
Insiden jalan raya Tidak pernah 7 (21.9%) Pengetahuan Tidak baik 36 (45.6%) Baik 43 (37.7%) Total
Pernah 25 (78.1%) 43 (54.4%) 68 (61.3%)
Total 32 (100%) 79 (100%) 111 (100%)
pvalue 0.035 < 0.05
Dari tabel 2 diatas diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara statistik antara pengetahuan mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. Tabel 3. Hubungan Antara Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya Sikap
Insiden jalan raya Tidak pernah 6 (20.7%) Tidak baik 37 (45.1%) Baik 43 (38.7%) Total
Pernah 23 (79.3%) 45 (54.9%) 68 (61.3%)
Total 29 (100%) 82 (100%) 111 (100%)
pvalue 0.036 < 0.05
Dari tabel 3 diatas diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara statistik antara sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. 3.2 Pembahasan 3.2.1 Hubungan Antara Pengetahuan Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya Tabel 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden (79 responden) memiliki pengetahuan yang baik mengenai keselamatan berkendara. Namun masih banyak responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi pernah mengalami insiden lalu lintas (45 responden). Penyebabnya adalah belum adanya kesadaran dan pemahaman mereka tentang pentingnya berkendara dengan aman, responden hanya sekedar tahu tanpa bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari10, hal inilah yang mendukung terjadinya insiden di jalan raya. Hasil uji dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara statistik antara pengetahuan mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. Hasil dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariwibowo11 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan secara statistik antara pengetahuan terhadap praktik safety riding awareness pada pengendara ojek sepeda motor dengan p-value 0,024. Nani12 menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mendasari seseorang dalam berperilaku. Pengetahuan bermanfaat bagi seseorang dalam memutuskan tindakan yang diambil benar atau salah sehingga seseorang yang memiliki pengetahuan yang luas maka akan lebih bijak dalam memutuskan suatu tindakan dan pengetahuan tersebut membuat perilaku yang seseorang lakukan bersifat langgeng atau berkelanjutan, termasuk dalam hal berkendara.
257
Pengetahuan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya insiden di jalan raya. Semakin seseorang memiliki pengetahuan yang benar dan memadai tentang moda jalan raya sebelum mereka mengemudikan kendaraan, memahami dan mematuhi aturan-aturan/kaidah-kadiah maupun rambu lalu lintas maka akan menurunkan potensi untuk mengalami kecelakaan. Pengetahuan yang baik mengenai keselamatan berkendara (safety riding) juga dapat mengembangkan keahlian dalam mengendarai, hal ini secara positif akan mempengaruhi perilaku berkendara, menciptakan kebiasaan mengemudi yang lebih aman dan menghasilkan penurunan jumlah insiden lalu lintas13. 3.2.2 Hubungan Antara Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya Tabel 3 menjelaskan bahwa sebagian besar responden (82 responden) memiliki sikap yang positif atau baik mengenai keselamatan berkendara (safety riding) namun masih banyak responden yang memiliki sikap baik tetapi pernah mengalami insiden lalu lintas (45 responden). Hal ini dapat disebabkan bahwa sikap responden dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya sehingga bisa saja responden bersikap baik atau positif terhadap keselamatan berkendara (safety riding) namun kenyataannya responden dalam penelitian ini cenderung memiliki perilaku yang berisiko dalam berkendara sehingga meningkatkan insiden di jalan raya14. Hasil uji dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara statistik antara sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. Hasil dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Notosiswoyo11 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan secara statistik antara sikapdengan perilaku pencegahan kecelakaan sepeda motorpada siswa SLTA di Kota Bekasi dengan p-value 0,021. Notoadmodjo15 menjelaskan bahwa praktik seseorang didasari oleh adanya persepsi yang dapat memunculkan suatu tindakan nyata atau sikap seseorang dalam berperilaku. Baik atau buruknya sikap juga saling terkait dengani oleh besar tingkat pengetahuan seseorang. Oleh karena itu suatu sikap yang baik sangat diperlukan dalam berkendara sehingga dapat mencegah terjadinya insiden di jalan raya. Hakim dan Nuqul1 di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keselamatan berlalu lintas dipengaruhi oleh sikap para pengguna jalan, sehingga mengetahui sikap pengendara merupakan aspek penting untuk mengurangi insiden di jalan raya. Sejalan dengan hal tersebut, Pamungkas13 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa secara singkat, pengendara memiliki dua fungsi utama dalam sistem berkendara. Pertama pengendara menggunakan sistem untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya dalam suatu periode waktu tertentu. Kedua, disaat yang bersamaan pengendara bertindak sebagai petunjuk dan sistem kendali bagi kendaraan. Untuk melakukan tindakan atau berperilaku seperti apa dan bagaimana, pengemudi harus mendeteksi dan menseleksi informasi dari lingkungan sekitarnya, termasuk bentuk geometris jalan, menterjemahkan keputusan ke dalam bentuk tindakan terhadap kendaraan sekaligus memperhitungkan keselamatan, kemudahan dan kenyamanan pengendara harus memiliki sikap dan motif dalam berkendara. Sikap dan motif inilah yang nantinya dapat menentukan bagaimana seorang pengendara bereaksi terhadap situasi
258
berkendara, sehingga sikap dan motif yang positif atau baik berperan penting dalam keselamatan berkendara. 4. Kesimpulan Dan Saran 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan diambil kesimpulan bahwa sebagian besar pengetahuan dan sikap responden mengenai keselamatan berkendara (safety riding) sudah baik. Meskipun angka terjadinya insiden di jalan raya masih cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan pengetahuan dan sikap yang positif atau baik tidak selalu disertai dengan tindakan yang positif oleh individu, karena norma individu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor lingkungan dan orang terdekat. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara pengetahuan terhadap insiden di jalan raya dan sikap terhadap insiden di jalan raya pada siswa SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta dengan p-value masing-masing 0.035 dan 0.036. 4.2 Saran Setelah dilakukannya penelitian ini dapat direkomendasikan kepada instansi terkait, yaitu dinas perhubungan dan jajaran polisi lalu lintas Kota Yogyakarta agar lebih giat mengkampanyekan program mengenai budaya selamat berkendara (safety riding) terutama pada kelompok pelajar SMA karena usia pada kelompok tersebut sangat berisiko untuk mengalami insiden di jalan raya Saran juga dapat diberikan pada penelitian selanjutnya agar dapat meneliti variabel lain seperti pengaruh perilaku, kondisi fisik dan psikologis pengendara, intensitas pemakaian helm, dan pengaruh pelatihan keselamatan berkendara (safety riding), demi penyebarluasan ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah mengenai keselamatan berkendara di Kota Yogyakarta dapat menjadi lebih baik. Daftar Pustaka 1. Hakim, L. dan Nuqul, F. L. 2011. Analisa Sikap terhadap Aturan Lalu-Lintas pada Komunitas Bermotor. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol.8, No. 2, hal.93103. 2. Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta. 3. Bolla, M. E. 2011. Kajian Karakteristik Kecelakaan Sepeda Motor Di Kota Surabaya. Jurnal Teknik Sipil. Vol. 1, No.1, hal. 67-69. 4. Polresta Kota Yogyakarta. 2016. Data Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2013Ferbruari 2016, Yogyakarta. 5. Notoatmodjo, S. 2007, Kesehatan masyarakat Ilmu & Seni, Rineka Cipta, Jakarta. 6. Sugiyono. 2009. Metode Penilaian Kuanttatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 7. Azwar. 2010. Sikap Manusia Teori dan Perilaku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
259
9. Mahawati, E dan Prasetya, J. 2013. Pola Interaksi Determinan Perilaku “Safety Riding” dalam Upaya Eleminasi Gangguan Kesehatan dan Kecelakaan Lalu Lintas Guna Meningkatkan Kualitas Hidup Generasi Muda. Laporan Akhir Penelitian Dosen Pemula. Universitas Dian Nuswantoro Semarang. 10. Asdar, M., Rismayanti, Sidik, D. 2013. Perilaku Safety Riding pada Siswa SMA Di Kabupaten Pangkep. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456 789/4246. 11. Ariwibowo, R. 2013. Hubungan antara Umur, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, Sikap terhadap Praktik Safety Riding Awareness pada Pengendara Ojek Sepeda Motor Di Kecamatan Banyumanik. Undergraduated thesis. Universitas Diponegoro. 12. Sundari, N.P. 2010. Perilaku Pengendara Sepeda Motor pada Remaja terhadap Risiko Kecelakaan Lalu Lintas. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php? id=gdlhubgdl-s1-2010-sundarinan-12659&width=300&PHPSESSID=e99 ecec43aeb91a73c0e368ce140cf5f. 13. Pamungkas, N.S. 2014. Mengenal Perilaku Pengendara Kendaraan dalam Upaya Mencegah Terjadinya Kecelakaan di Jalan Raya. Teknis. Vol.9, No.1.hal. 13-18. 14. Agung, I.A. 2014. Model Perilaku Pengendara Berisiko pada Remaja. Jurnal Psikologi Integratif. Vol. 2, No. 2, hal. 35-41. 15. Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Ilmu Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi offset.
260
PROTOTYPE “SAIRIS TECH” (Alat Penangkap Polutan Udara Dalam Ruangan) Husaini1, Abdul Haris2 1
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, 70714. 2 Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Depkes RI Banjarmasin Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 E-mail: [email protected],[email protected]
Abstrak Polutan udara yang mencemari udara dalam ruangan harus mampu dikendalikan sehingga tidak berbahaya bagi pekerja dan lingkungan sekitarnya, terutama berbagai industri, termasuk industri karet. Prototipe alat “SaiRis Tech” adalah salah satu pengendalian berbagai macam polutan udara dalam ruangan dan alat ini diberi nama “SaiRis Tech” adalah berdasarkan penemunya yaitu “Husaini dan Abdul Haris” yang kemudian disingkat menjadi “SaiRis Tech”. Tujuan penelitian ini adalah mendesain/membuat Protipe alat penangkap berbagai polutan udara yang terdapat dalam ruangan, serta melakukan berbagai uji terhadap polutan. Alat ini sudah lulus uji laboratorium dengan jenis polutan SO2 dengan efisiensi menurunkan kadar SO2 sampai 97%. Manfaatnya adalah memberikan informasi keberbagai pihak dalam rangka pengendalian polutan udara dalam ruangan. Kata kunci: alat penangkap polutan, gas SO2, prototype.
1. Pendahuluan Polutan udara dalam ruangan sebuah industri merupakan ancaman serius terhadap pekerja, oleh sebab itu diperlukan pengendalian secara teknis. Salah satu prototipe alat untuk menangkap atau menurunkan kadar polutan dalam ruangan industri, khususnya industri karet adalah prototipe “SaiRis Tech” yang telah lulus uji laboratorium. Studi pendahuluan yang dilakukan dalam penggunaan prototipe alat SaiRis Tech ini adalah terhadap kadar sulfur dioksida dari asap pembakaran rubber sheet yang menunjukkan bahwa rata-rata kandungan sulfur dioksida sebesar 0,856 ppm setara dengan 2247 µgr/m3 [6]. Ini melebihi nilai ambang batas baku mutu udara ambient nasional Republik Indonesia PP nomor 41 tahun 1999 [1] yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja [2] pada ruang pengasapan maupun pada masyarakat yang berada di sekitar ruang pengasapan suatu industri rubber sheet. Polutan jenis SO2 bersifat karsinogenik terhadap kesehatan paru manusia [3], juga menyebabkan kelainan paru restriktif, obstruktif dan gabungan serta kelainan imunoglobulin jenis total IgE dan IgG [4]. Oleh sebab itulah dilakukan perancangan alat untuk menurunkan kadar berbagai polutan dalam udara, seperti penelitian ini penurunan polutan SO2 pada ruang pengasapan rubber sheet berupa prototipe SaiRis Tech. Kinerja alat ini sangat efisiensi menurunkan cemaran atau polutan SO2 sampai 97 % [6].
261
2. Tujuan Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyebarluaskan teknologi sederhana yang tepat guna dalam pendalikan pencemaran udara dari aktivitas pengeringan rubber sheet atau aktivitas industri karet. 3. Manfaat Alat ini bermanfaat untuk menurunkan risiko pencemaran lingkungan atau kualitas udara di dalam industri rubber sheet dan lingkungan sekitar industri tersebut. 4. Metode A. Alat Utama SaiRis Tech Alat utama SaiRis Tech terdiri dari kolom dari pipa stainless berdiameter 2 inchi dengan total tinggi 30 cm. Pada bagian dalam terdapat bantalan penahan gas kotor untuk memperlambat laju aliran gas kotor. Selain itu pada bagian atas diletakkan sedemikian rupa sprayer berdaya sebar 78,5 cm2, dengan sebaran berbentuk lingkaran [5]. B. Penggunaan Tekanan Tekanan yang digunakan pada cairan kontak adalah 30 – 50 psi [6]. Tekanan paling efektif adalah pada 40 psi. Cairan kontak yang digunakan adalah air bersih dengan kekeruhan < 5 NTU [6]. C. Peralatan Pendukung Peralatan pendukung untuk mengoperasikan SaiRis Tech adalah berupa kompresor udara dengan kapasitas minimum 16 liter dengan daya ¾ HP, tabung air bertekanan kapasitas minimum 100 liter untuk pengoperasian selama 2 jam [6]. Udara Bersih Pressure gauge
Valve
Nozzle
Pipa Udara Bertekanan
Ø
Pipa Air Bertekanan
Valve
Kompressor
Sairis Tech
Tabung Air Bertekanan Bed
Inlet Gas Kotor Dari Ruang Asap
Air Kotor
Gambar 1. Sairis Tech Dengan Peralatan Tambahan
262
5. Hasil SaiRis Tech telah diuji coba untuk menurunkan kandungan SO2 yang terdapat pada ruang pengasapan industri rubber sheet. Uji coba dilakukan pada skala laboratorium dengan gambaran kinerja pada tabel di bawah [6]: Tabel 1. Hasil Uji Coba Kandungan SO2 dengan Prototipe Alat Sairis Tech Kontrol Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom Variasi Bed, Tekanan, Kolom, Pengulangan 3;40;1,1 3;40;1,2 3;40;1,3 3;40;1,4 3;40;1,5
Konsentrasi Kontrol (ppm) 0.93 0.69 0.96 1.12 0.58
Rerata Kontrol (ppm) 0.856 0.856 0.856 0.856 0.856
0.856 0.856 0.856 0.856 0.856
Hasil Uji
Efisiensi (%)
0.01 0 0.03 0.04 0.04
99 100 96 95 95
Bila disajikan dengan diagram batang, maka akan terlihat hasil uji coba sebagai berikut [6]:
Diagram 1. Gambaran Efisiensi Sairis Tech Selama Lima Kali Pengulangan 6. Kesimpulan Dari hasil uji coba SaiRis Tech dapat disimpulkan bahwa alat ini mampu menurunkan kandungan SO2 pada ruang pengasapan rubber sheet antara 95–100 % [6].
263
Daftar Pustaka [1] Anonimous. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Jakarta [2] Mukono, H.J. 2008. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press. [3] Eva, M., Faisal, Y., Wiwien, H.W., dan Mukhtar, I. 2003. Pengaruh Inhalasi Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan Paru. J Cermin Dunia Kedokteran. [4] Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi Dengan Gangguan Fungsi Paru Dan Kadar Imunoglobulin Serum Perajin Logam, Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. [5] Haris, A. 2011. Penurunan Debu Padi Menggunakan Wet Scrubber. Tesis. Surabaya: Institut Sepuluh Nopember Surabaya. [6] Husaini, dan Haris, A. 2016. Penurunan Sulfur Dioksida (SO2) Ruang Pengasapan Rubber Sheet Menggunakan Wet Scrubber Prototipe “SaiRis Tech” [Belum di Publish].
264