PROSIDING Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pendidikan Fisika UHAMKA
PROSIDING Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani” (http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/)
ISBN: 978-602-74703-0-9
Editor: Tim Prosiding EduFi2016
c 2016 Program Studi Pendidikan Fisika UHAMKA
Diterbitkan oleh: Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jl. Tanah Merdeka, Pasar Rebo, Jakarta 13830
Prosiding EduFi 2016 (http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/)
5 Maret 2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Seminar Nasional EduFisika 2016 (”EduFi 2016”) dengan tema ”EduFisika & Negeri Madani” yang dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2016 di Jakarta merupakan kegiatan ilmiah yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA. Seminar ini merupakan tempat untuk saling bertukar fikiran tentang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang fisika dan pendidikan fisika, baik bagi para dosen, peneliti, guru, dan mahasiswa. Seminar ini menghadirkan pembicara dari berbagai institusi, yaitu Prof. Dr. Terry Mart (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Dr.-Ing. Cuk Imawan (Departemen Fisika, Universitas Indonesia), dan Dr. Soenaryo (Jurusan Fisika, Universitas Negeri Jakarta), serta pembicara kunci Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim (Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Ada 30 (tiga puluh) pemakalah dari berbagai universitas di Indonesia yang mendaftar dalam seminar ini. Dari jumlah tersebut, 24 (dua puluh empat) pemakalah hadir dalam seminar. Praktis, makalah-makalah ini terdiri atas dua pokok utama, yaitu pendidikan fisika (model, media, dan evaluasi pembelajaran) serta fisika sains (teori, partikel dan nuklir, material, dan geofisika). Enam makalah terpilih akan dimasukkan ke dalam Jurnal Omega (http://omega.uhamka.ac.id). Di sisi lain, jumlah peserta seminar non pemakalah adalah sekitar 30 peserta. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Ariadne L. Juwono (Ketua Himpunan Fisika Indonesia, Cabang Jakarta) dan Bapak Dimas, S.Si. (Pusat Diseminasi dan Kemitraan, Badan Tenaga Nuklir Nasional - BATAN) atas dukungan dan kerjasamanya. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada segenap sivitas akademika UHAMKA dan semua pihak yang telah mendukung acara seminar ini. Semoga kegiatan ini bermanfaat bagi kita semua.
Dr. A. Kusdiwelirawan, M.MSi. Ketua EduFi 2016
1
Prosiding EduFi 2016 (http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/)
5 Maret 2016
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . PENDIDIKAN FISIKA Inovasi Model Pembelajaran Fisika Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Ajar Kalor Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay - Two Stray Kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Misbah, Syubhan Annur, Alif Ulil Albab Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Mustika Wati, Sri Hartini, Nurnida Inayati Meningkatkan Aktivitas Sosial Siswa Kelas VIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sri Hartini, Zainuddin, Asrar Pengembangan Penilaian Psikomotor Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Kooperatif pada Pokok Bahasan Fluida Statis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Suhartono, Windawaty Desain Didaktis Konsep Hubungan Percepatan, Kecepatan Awal, Kecepatan Akhir, dan Perubahan Waktu Berdasarkan Hambatan Belajar Peserta Didik Kelas X SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Wina Fitria Dewi Marieta, Heny Rusnayati, Agus Fany Chandra Wijaya Perbandingan Model Siklus Belajar 5E dan Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Gerak Lurus Kelas X Semester I di SMA N 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Dian Nita Novita Sari, Sri Fatmawati, Luvia Ranggi Nastiti Desain Didaktis Materi Penjumlahan Vektor Berdasarkan Hambatan Belajar pada Siswa SMA Kelas X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Evi Fauzy Pebriani, Ida Kaniawati, Heni Rusnayati Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Puji Anastasia, Siswoyo, Vina Serevina Pengaruh Pengaruh Model Pembelajaran Problem Solving Melalui Metode AIR (AuditoryIntellectually-Repetition) Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMAN 1 Gunungsindur . . . . . . . . . . Irfan Abdul Gaffar Siddiq, Tri Isti Hartini Pengembangan Media Pembelajaran Fisika Meningkatkan Aktivitas Siswa di Kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Menggunakan Media Permainan Dadu . . . . . Syubhan Annur, Mastuang, Maulida Rahmah Pengembangan Pedoman Guru Fisika Materi Efek Fotolistrik Menggunakan PhET Simulations dengan Pendekatan Guided Discovery Learning . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Irenie Febristika Ningtias, Siswoyo, Esmar Budi Pengembangan Media Edukasi Fisika Berbentuk Kartu-Kartu Soal pada Permainan Ludo untuk Materi Fluida Statis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Khasanah Windarini, Sunaryo, Vina Serevina
3
1 3
5
10
14
18
22
30
34
38
39
43
49
52
Prosiding EduFi 2016 (http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/)
5 Maret 2016
Asesmen dan Evaluasi Pembelajaran Fisika Tiga Metode Kerja Ilmu Pengetahuan (Induktivisme, Falsifikasionisme, Paradigma Thomas Khun) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Surajiyo Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Bentuk Tes Formatif Uraian Terhadap Prestasi Belajar Fisika (Studi Eksperimen Strategi Pembelajaran di SMPN 13 Jakarta Selatan) . . . . . . . . . . . . . . . . . A. Kusdiwelirawan, Lalu Ria Suhardiman FISIKA SAINS Fisika Partikel dan Nuklir Fotoproduksi η Meson pada Nukleon dengan Model Isobar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Feli Cianda Adrin Burhendi, Agus Salam Fisika Material Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Tempurung Kemiri untuk Penyerap . . . . . . . . . . . M. Anas, R. Eso, I. Usman, V. Hastuti, Hunaidah, Erniwati, Radikal, Ramlah, Hardianti Geofisika Perangkat Lunak Berbasis Graphical User Interface (GUI) untuk Analisis Data Radiasi Matahari Harian dengan Portlog Rainwise Automatic Weather Station . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Ryantika Gandini, Nanang Dwi Ardi, Cahyo Puji Asmoro, Nia Nurhayati, Binta Yunita Interpretasi Struktur Geologi di Daerah Sumatera Utara Berdasarkan Analisa Percepatan dan Intensitas Gempa Bumi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Diyan Parwatiningtyas
4
55
61
67
68
72
75
Prosiding EduFi 2016 5 - 9 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Ajar Kalor Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay - Two Stray Kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin Misbah∗ , Syubhan Annur, Alif Ulil Albab Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen H Hasan Basri, Banjarmasin 70123
Abstrak Rendahnya hasil belajar siswa pada pembelajaran fisika dikarenakan kegi- atan pembelajaran masih terpusat pada guru dan diperoleh hasil ujian materi sebelumnya dari 32 siswa hanya 4 siswa yang tuntas. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan cara me- ningkatkan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay - Two Stray (TSTS) kelas VIIB SMP Negeri 11 Banjarmasin pada materi ajar kalor. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari 2 siklus setiap siklusnya terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian adalah 32 siswa kelas VIIB SMP Negeri 11 Banjarmasin. Teknik pengumpulan data menggunakan tes, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan pembelajaran TSTS dapat meningkatkan: 1) persentase keterlaksanaan RPP pada siklus I sebesar 83,85% (sangat baik), dan siklus II sebesar 91,91% (sangat baik), 2) keterampilan sosial siswa mengikuti pembelajaran TSTS pada siklus I didapatkan 5 aspek yang memiliki kategori aktif, dan siklus II didapatkan 5 aspek yang memiliki kategori sangat aktif, 3) hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 40,63% (tidak tuntas), dan siklus II sebesar 81,25% (tuntas). Dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi ajar kalor mampu untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIIB SMP Negeri 11 Banjarmasin. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: hasil belajar, pembelajaran kooperatif tipe TSTS ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
tahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat yang pada akhirnya akan membentuk pribadi Pembelajaran yang diharapkan dalam pengem- yang terampil dan mandiri, (2) berorientasi pada bangan kompetensi siswa dengan menggunakan hasil belajar dan keberagaman, (3) penyampaian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan yang mengacu pada standar nasional pendidikan metode yang bervariasi, (4) sumber belajar bukan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan na- hanya guru, tetapi unsur lainnya yang memenuhi sional tersebut, KTSP dikembangkan berdasarkan unsur edukatif, (5) penilaian menekankan pada prinsip-prinsip diantaranya peserta didik memi- proses dan hasil dalam upaya penguasaan atau penliki posisi sentral untuk mengembangkan kom- capaian suatu kompetensi [2]. petensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Proses yang dilakukan dalam pelaksanaan penberakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, didikan khususnya di sekolah berupa proses belajar mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis mengajar yang sesuai dengan KTSP 2006 diatur serta bertanggung jawab [1]. Karakteristik KTSP: dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang siswa baik secara individual maupun klasikal, pe- diperjelas dengan Peraturan Menteri Pendidikan serta didik dibentuk untuk mengembangkan penge- Nasional Nomor 19 tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007
Misbah et al. / Prosiding EduFi 2016 5 - 9
tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa mutu pembelajaran di sekolah dikembangkan dengan menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada standar proses, melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendorong kreatifitas, dan dialogis, diharapkan siswa mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktifitas intelektual yang berupa berpikir, mempertanyakan, mengkaji, menemukan dan memprediksi. Dengan ini diharapkan peserta didik mampu untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat meningkatkan prestasi peserta didik tersebut. Peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu unsur konkrit yang sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sejalan dengan itu, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah masalah prestasi belajar. Masalah umum yang sering dihadapi oleh peserta didik khususnya siswa adalah masih cukup banyak yang belum dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan prestasi belajar tersebut mengalami kegagalan dalam bidang akademik baik faktor-faktor yang berada dalam diri siswa maupun faktor-faktor yang berada di luar diri siswa seperti tingkat intelegensi yang rendah, kurangnya motivasi belajar, cara belajar yang kurang efektif, minimnya frekuensi dan jumlah waktu belajar, tingkat disiplin diri yang rendah, media belajar atau bahan ajar yang masih kurang disediakan pihak sekolah dan sebagainya. Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 11 Banjarmasin, siswa kurang terlibat aktif saat pembelajaran berlangsung. Hal ini dikarenakan kegiatan pembelajaran masih terpusat pada guru, serta dalam proses belajar mengajar siswa jarang dalam mendiskusikan tugas, kerjasama, dan menyampaikan pendapat/informasi, menanggapi pernyataan dari siswa dan gurunya serta sulitnya anak untuk bertanya kepada guru. Hal ini membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran, dan dampaknya hasil belajar siswa masih rendah. Rendahnya hasil belajar siswa dapat terlihat berdasarkan nilai hasil ulangan harian siswa kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin pada semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016 untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Terpadu, dari 32 siswa kelas VII B hanya 12,50% atau 4 siswa yang memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) IPA Terpadu yang ditetapkan sekolah yaitu sebesar 75. Sisanya 87,50% atau 28 siswa yang mendapat nilai di bawah standar. Hal ini terlihat pada sangat sedikitnya siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) pada pelajaran IPA Terpadu. Menurut [3], tahap operasional formal ini ditandai dengan karakteristik menonjol yaitu indi-
vidu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi dan mulai mampu berpikir logis dengan obyek-obyek yang abstrak, serta dapat memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis, bahkan mulai membuat perkiraan di masa depan untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri sendiri dapat berkembang dengan baik untuk membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang dewasa, sehingga mampu untuk menyadari diri, mempertahankan kepentingan masyarakat di lingkungannya, dan kepentingan seseorang dalam masyarakat tersebut. Dalam pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi harus membangun dalam fikirannya juga. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dalam menerapkan ide-ide mereka. Hal ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri [4]. Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab dan sikap menghormati sesama. Peserta didik bertanggung jawab atas belajar mereka dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang dihadapkan mereka [5]. Model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992) [6]. Struktur dua tinggal dua tamu memberi kesempatan kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Model pembelajaran kooperatif dua tinggal dua tamu adalah dua orang siswa tinggal di kelompok dan dua orang siswa bertamu ke kelompok lain. Dua orang yang tinggal bertugas memberikan informasi kepada tamu tentang hasil kelompoknya, sedangkan yang bertamu bertugas mencatat hasil diskusi kelompok yang dikunjunginya.
Metode Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), merupakan suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan untuk mengatasi adanya masalah yang ada dalam kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin berkaitan dengan hasil belajar siswa yang rendah. Adapun alur penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alur penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Taggart [7]. Subjek penelitian adalah peneliti sebagai guru dan siswa kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin tahun ajaran 2015/2016. Seluruh siswa berjumlah 32 orang, terdiri dari 17 orang siswa laki-laki dan 15 orang siswa perempuan.Tempat penelitian adalah 6
Misbah et al. / Prosiding EduFi 2016 5 - 9
SMP Negeri 11 Banjarmasin yang berlokasi di Jl. Tembus Mantul Kelurahan Basirih, Banjarmasin. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2015 s/d Januari 2016. Kegiatan pembelajaran pada subyek penelitian hanya 2 pertemuan setiap 1 siklus dan akan berlangsung sebanyak 2 siklus dengan alokasi waktu 2 x 40 menit pada materi ajar kalor. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini diantaranya adalah: (1) Tes untuk mengetahui peningkatan ketuntasan belajar secara keseluruhan pada pokok bahasan kalor. Tes dilakukan pada setiap akhir pertemuan siklus I, dan siklus II. (2) Observasi dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan RPP dengan model pembelajaran TSTS keterampilan sosial siswa. (3) Dokumentasi yang diambil pada saat pembelajaran berlangsung di SMP Negeri 11 Banjarmasin tahun pelajaran 2015/2016. Adapun perangkat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS), dan tes hasil belajar (THB). Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah keterlaksanaan RPP minimal berkategori baik, ketuntasan hasil belajar siswa minimal 80%, keterampilan sosial minimal berkategori aktif.
Keterlaksanaan RPP model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah skor yang diperoleh dalam pembelajaran berdasarkan RPP yang diukur dengan lembar pengamatan dan dinyatakan dengan rata-rata penilaian keterlaksanaan oleh dua orang pengamat yang selanjutnya dikategorikan dengan kriteria sangat kurang, kurang, cukup, baik, dan sangat baik. Keterlaksanaan RPP pada siklus I secara keseluruhan sudah terlaksana dengan sangat baik yaitu 3,31 dengan reliabilitas 92%. Keterlaksanaan RPP pada siklus II secara keseluruhan yaitu 3,68 yang berkategori sangat baik. Seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap fase pun sudah berkategori sangat baik. Keterlaksanaan RPP pada siklus II mengalami peningkatan dibandingkan pada siklus I. Meningkatnya keterlaksanaan RPP pada siklus II dibandingkan pada siklus I karena guru sudah berpengalaman pada siklus I. Adapun penilaian keterampilan sosial siswa pada siklus I dan siklus II adalah sebagai berikut. Tabel 3 Hasil analisis keterampilan sosial siswa pada siklus I No Aktivitas yang diamati 1 2
Bekerja sama Menyampaikan pendapat 3 Bertanya 4 Menjadi pendengar yang baik 5 Menanggapi pendapat orang lain Σ Rata-rata Reliabilitas
Hasil dan Pembahasan Hasil dari observasi keterlaksanaan RPP model pembelajaran kooperatif tipe TSTS oleh kedua pengamat melalui lembar pengamatan keterlaksanaan RPP yang telah dibuat pada siklus I dan siklus II adalah sebagai berikut.
Rata-rata 3,40 3,17 3,75 3,25 3,00 3,42 3,33 83,85% 92%
No Aktivitas yang diamati
Kategori Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Baik Sangat Baik
1 2
Bekerja sama Menyampaikan pendapat 3 Bertanya 4 Menjadi pendengar yang baik 5 Menanggapi pendapat orang lain Σ Rata-rata Reliabilitas
Sangat Baik Sangat Baik
Tabel 2 Rekapitulasi keterlaksanaan RPP siklus II No Fase 1 I 2 II 3 III 4 IV 5 V 6 VI Rata-rata Persentase Reliabilitas
Rata-rata 3,86 3,85 4,00 3,50 3,63 3,69 3,68 91,91% 94%
66,80% 61,91%
Aktif Aktif
70,51%
Aktif
66,72% 94,99%
Aktif
Tabel 4 Hasil analisis keterampilan sosial siswa pada siklus II
Tabel 1 Rekapitulasi keterlaksanaan RPP siklus I No Fase 1 I 2 II 3 III 4 IV 5 V 6 VI Rata-rata Persentase Reliabilitas
Siklus I Rata-rata Kriteria 72,46% Aktif 61,91% Aktif
Kategori Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik
Siklus I RataKriteria rata 84,77% Sangat Aktif 85,74% Sangat Aktif 86,72% Sangat Aktif 83,79% Sangat Aktif 85,94% Sangat Aktif 85,39% Sangat Aktif 98,27%
Nilai rata-rata keterampilan sosial siswa selama proses pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada siklus I berkategori Aktif. Skor rata-rata keterampilan prosedural siswa pada siklus II menjadi berkategori sangat aktif, terdapat peningkatan nilai rata-rata keseluruhan keterampilan sosial siswa pada siklus II dibandingkan pada siklus I yaitu dari 66,72% menjadi 85,39%. Meningkatnya keterampilan sosial siswa siswa pada siklus II
Sangat Baik Sangat Baik
7
Misbah et al. / Prosiding EduFi 2016 5 - 9
karena melalui model pembelajaran tipe TSTS setiap siswa akan saling berkontribusi dengan pasangan perannya, untuk siswa yang berperan sebagai tuan rumah, mereka akan saling bergantian menyampaikan informasi kepada tamunya, begitu juga bagi pasangan yang berperan sebagai tamu di kelompok lain, mereka akan saling bergantian tugas untuk mencari informasi dari kelompok yang mereka tamui. Pada dasarnya model pembelajaran ini mudah diikuti oleh siswa yang memiliki kecerdasan spiritual rendah karena mereka dapat saling berganti peran dengan pasangannya dan tidak harus berperan penuh selama awal pembelajaran sampai pembelajaran selesai, mereka dapat saling berganti peran dan bagi siswa yang memiliki kecerdasan spiritual rendah dapat memperoleh bimbingan dari teman atau bantuan dari teman yang lain. Hasil belajar siswa didapatkan dari tes hasil belajar (THB) yang dilakukan kepada seluruh siswa kelas VII B SMP Negeri 11 Banjarmasin pada akhir siklus I dan siklus II sebagai berikut.
hasil belajar berkaitan dengan penggunaan tes hasil belajar untuk mengukur tingkat ketuntasan belajar siswa. Hasil belajar ini berkaitan dengan mengingat kembali materi yang telah dipelajari melalui kegiatan diskusi kelompok atau penyelidikan yang dilakukan. Namun, pada siklus I dan siklus II ketuntasan klasikal masih belum mencapai 100% disebabkan masih ada beberapa siswa yang tidak fokus dalam pembelajaran berlangsung sehingga kesulitan dalam pembelajaran.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh temuan hasil penelitian sebagai berikut. Keterlaksanaan RPP dengan mennggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two StayTwo Stray (TSTS) telah mencapai kategori terlaksana sangat baik pada siklus I maupun siklus II. Meskipun terdapat beberapa aspek yang belum mencapai keterlaksanaan maksimal. Keterampilan sosial siswa mengalami penTabel 5 Hasil belajar siswa siklus I ingkatan. Keterampilan sosial siswa pada sisklus Kualifikasi Ketuntasan Jumlah Ketuntasan I memiliki persentase sebeesar 66,72% berkategori minimal per siswa klasikal aktif dan pada siklus II meningkat menjadi 85,39% individu (%) berkategori sangat aktif. Tuntas ≥ 75 13 40,63 Hasil belajar siswa pada siklus I memiliki keTidak tuntas ≤ 75 19 59,37 tuntasan klasikal sebesar 40,63% atau 13 dari 32 Jumlah 32 100 siswa tuntas dan telah memenuhi KKM, pada siklus Tabel 6 Hasil belajar siswa siklus II II terjadi peningkatan dengan ketuntasan klasikal Kualifikasi Ketuntasan Jumlah Ketuntasan sebesar 81,25% atau 26 dari 32 siswa tuntas dan telah mencapai KKM. minimal per siswa klasikal Tuntas Tidak tuntas Jumlah
individu ≥ 75 ≤ 75
26 6 32
(%) 81,25 18,75 100
Ucapan Terima Kasih Dalam kesempatan ini, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal. Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, khusunya kepada kepala SMP Negeri 11 Banjarmasin yang telah bersedia menjadi tempat penelitian bagi penulis, Mustika Wati, M. Sc., Sri Hartini, M. Sc., dan Mastuang, M. Pd., yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan nasihat.
Pada siklus I siswa masih banyak belum bisa menjawab soal terutama pada no 6, 7, dan 8. Hal ini dikarenakan pada soal no 6, 7, 8 siswa masih banyak kesulitan dalam menjawab soal berupa analisis dan siswa kurang minatnya belajar serta siswa masih malu-malu bertanya saat pembelajaran berlangsung sehingga mengakibatkan siswa belum paham dan mendapatkan kesusahan menjawab soal tes hasil belajar (THB). Pada siklus II, mengalami peningkatan dimana ketuntasan klasikalnya 81,25% karena hasil refleksi dari siklus I peneliti terapkan seperti kekurangan dalam membimbing siswa berkelompok dan melakukan evaluasi peneliti perbaiki dengan mempersiapkan siswa dengan baik, kemudian memberikan bimbingan kepada siswa masing-masing berkelompok secara merata dan juga guru memberikan ketegasan kepada siswa apabila mereka tidak paham dengan pembelajaran berlangsung untuk bertanya sehingga siswa tidak kesulitan menjawab LKS pada siklus II. Dengan ini, peningkatan
Referensi [1] BSNP, Panduan Penyusunan KTSP Jenjang KTSP, (BSNP, Jakarta, 2006). [2] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013). [3] M. Asrori, Psikologi Pembelajaran, (CV. Wacana Prima, Bandung, 2012). [4] A. Majid, Strategi Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013). 8
Misbah et al. / Prosiding EduFi 2016 5 - 9
[5] A. Suprijono, Cooperative Learning dan Aplikasi PAIKEM, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009). [6] A. Shoimin, 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013, (Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2014).
[7] S. Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas, (Bumi Aksara, Jakarta, 2008).
9
Prosiding EduFi 2016 10 - 13 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Mustika Wati∗ , Sri Hartini, Nurnida Inayati Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen H Hasan Basri, Banjarmasin 70123
Abstrak Kondisi pembelajaran yang ada di sekolah masih bersifat konvensional dan tidak melibatkan siswa secara aktif pada saat pembelajaran berlangsung sehingga berdampak pada hasil belajar yang rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk meningkatkan aktivitas siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) keterlaksanaan RPP, (2) aktivitas siswa selama pembelajaran, dan (3) hasil belajar siswa setelah pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang mengacu pada model Kemmis & Mc Taggert. Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin. Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua siklus dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) keterlaksanaan RPP pada saat pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe NHT berkategori terlaksana dengan sangat baik, (2) peningkatan aktivitas siswa selama pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe NHT memiliki kriteria sangat aktif, dan (3) peningkatan hasil belajar siswa setelah dilaksanakan pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe NHT adalah memiliki ketuntasan ≥75%. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: aktivitas siswa, NHT ∗ Penulis koresponden. Alamat email: mustika
[email protected]
Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik [1]. Pendidikan merupakan proses interaksi yang mendorong terjadinya belajar. Dengan adanya belajar terjadilah perkembangan jasmani dan mental siswa [2]. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pen-
didikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan prinsip-prinsip diantaranya peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Proses belajar mengajar sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang diperjelas dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 Tanggal 23 Mei 2007 [3] tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa mutu pembelajaran di sekolah dikembangkan dengan menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada standar proses, meli-
Mustika Wati et al. / Prosiding EduFi 2016 10 - 13
batkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis, diharapkan siswa mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan, dan memprediksi. Berdasarkan wawancara dengan bapak Cuk Soebiyanto selaku guru fisika di SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin dan observasi peneliti selama melakukan kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL II), menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih bersifat tradisional yang mengutamakan peran guru dari pada siswa. Hal ini terlihat pada aktivitas siswa yang kurang terlibat dalam proses pembelajaran, seperti bertanya dan mengemukakan ide. Studi pendahuluan peneliti dalam proses pembelajaran fisika di kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin diantaranya: (1) ketika mengerjakan tugas, baik tugas kelompok maupun individu tidak semua siswa mengerjakan, melainkan hanya beberapa saja, (2) cara guru kurang bervariasi dan kurang melibatkan siswa dalam menyampaikan materi pelajaran membuat siswa menjadi kurang aktif. Hal ini menyebabkan rendahnya hasil belajar dan aktivitas siswa di dalam kelas. Rendahnya hasil belajar dan kurangnya aktivitas siswa di sekolah dikarenakan pembelajaran yang dilakukan masih dengan cara konvensional. Dalam kegiatan belajar mengajar sangat ditentukan sekali oleh partisipasi siswa, terutama aktivitas siswa dalam pembelajaran. Begitu juga peran guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar metode yang biasa dilakukan adalah ceramah dan mengerjakan soal sehingga siswa sering kali pasif dan cepat bosan karena kurang diberdayakan, sehingga kondisi belajar mengajar di dalam kelas menjadi tidak kondusif. Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas maka diperlukan suatu solusi untuk mengatasinya, yaitu dengan memperbaiki kualitas proses dan hasil belajarnya. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah pembelajaran fisika dengan penerapan model kooperatif tipe numbered heads together (NHT). Mutu pembelajaran di sekolah dikembangkan dengan menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada standar proses melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis, diharapkan siswa mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas belajar siswa secara wajar.
tian tindakan kelas (classroom action research) karena penelitian ini bertujuan untuk mengatasi adanya masalah yang ada dalam kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin berkaitan dengan hasil belajar dan aktivitas siswa yang masih rendah. Peneliti berusaha mengamati, merefleksikan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Tindakan berulang-ulang dapat dilakukan dalam rangka untuk peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam pembelajaran fisika. Adapun alur penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alur penelitian tindakan kelas model Kemmis dan McTaggart. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas dalam kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin dengan jumlah 17 orang, terdiri dari 4 orang siswa laki-laki dan 13 orang siswa perempuan, serta memiliki rata-rata umur 14 s/d 15 tahun. Waktu penelitian dimulai dari Februari sampai Agustus 2015.
Hasil dan Pembahasan Keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara keseluruhan melauli model pembelajaran kooperatif tipe NHT ini memiliki nilai rata-rata keterlaksanaan RPP pada fase I sangat tinggi yaitu sebesar 3,66 dengan kategori sangat baik, hampir semua siswa termotivasi terhadap pembelajaran yang akan diajarkan, fase II menyajikan informasi sebesar 3,82 dengan kategori sangat baik, fase III mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar sebesar 3,63 dengan kriteria sangat baik, fase IV membimbing kelompok belajar dan bekerja sebesar 3,38, fase V evaluasi sebesar 3,38, dan fase VI memberikan penghargaan sebesar 3,88, serta penutup sebesar 3,77. Keterlaksanaan RPP dikatakkan baik apabila mencapai persentase 61-80% atau mencapai nilai 3 dan dikatakan sangat baik apabila aktivitas siswa mencapai persentase sebesar 81-100% atau mecapa nilai 3,0 sampai dengan 4. Dari data diketahuai persentase keseluruhan keterlaksanaan RPP adalah sebesar 91,04% atau rata-rata nilai keselurahnnya sebes 3,64 dengan kategori terlaksana dengan sangat baik, dan reliabilitas sebesar 94,64% dengan kategori baik. Berbagai permasalahan yang dialami selama penelitian akan menjadi bahan introspeksi dan menambah pengalaman bagi peneliti dalam menerapkan pembelajaran serupa ke depannya.
Aktivitas Siswa Siswa kelas X-A skor secara keseluruhan dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif Metode tipe NHT ini memiliki nilai aktivitas membaca sanRancangan Penelitian gat tinggi yaitu sebesar 18,70 dengan kriteria sanJenis penelitian yang digunakan adalah peneli- gat aktif, hampir semua siswa membaca dengan 11
Mustika Wati et al. / Prosiding EduFi 2016 10 - 13
tertib, mendengarkan penjelasn guru sebesar 17,87 dengan kriteria sangat aktif, siswa memiliki aktivitas bertanya sebesar 17,30 dengan kriteria sangat aktif, namun masih ada siswa yang kurang aktif dalam bertanya ini dibuktikan dari data aktivitas siswa yang diperoleh hanya sebesar 17,30 saja, aktivitas berdiskusi siswa pada proses pembelajaran ini cukup tinggi ini dapat dilihat dari skor yang diperoleh yaitu sebesar 17,80 dengan kriteria sangat aktif, dan aktivitas menyumbangkan pendapat sebesara 17,28 dengan kriteria sangat aktif. Aktivitas siswa dikatakan aktif apabila mencapai skor 13-16, dan dikatakan sangat aktif apabila aktivitas siswa mencapai skor 17-20. Dari data diketahuai nilai rata-rata skor aktivitas siswa secara kesuluruhan adalah 17,80 dengan kriteria sangat aktif. Tabel 1 Hasil akhir rata-rata aktivitas siswa siklus I dan II No
Aktivitas yang diamati 1 Membaca 2 Mendengarkan penjelasan guru 3 Bertanya 4 Berdiskusi 5 Menyumbangkan pendapat Rata-rata Reliabilitas
Skor
Kriteria
18,70 17,87
Sangat Aktif Sangat Aktif
17,30 17,80 17,28
Sangat Aktif Sangat Aktif Sangat Aktif
17,80 90,00
Sangat Aktif Baik
Peningkatan yang terjadi dikarenakan siswa telah terbiasa dengan diterapkannya model pembelajaran kooperastif yang mengharuskan siswa aktif dan bekerja sama. Aktivitas siswa merupakan aktivitas positif siswa yang harus dimiliki siswa terkait dengan tujuan pembelajaran yang harus dicapai dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan aktivitas siswa. Aktivitas siswa sangat penting dalam sebuah pembelajaran agar siswa bisa belajar mandiri, aktif-kreatif, dan bersifat linear, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan sosial dan dapat membentuk kepribadian yang mandiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, serta menjadikan suasana kelas pada saat proses pembelajaran menjadi hidup. Analisis hasil belajar siswa Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa terjadi peningkatan pada hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar 64,71%. Pada siklus I ada 4 siswa yang tuntas dari 17 siswa, dan pada siklus II ada 15 siswa yang tuntas dari 17 siswa. Ketuntasan klasikal yang harus dicapai siswa untuk tuntas adalah sebesar 75% atau dapat dikatakan tuntas apabila siswa bisa menjawab soal dengan benar dan memperoleh nilai minimal 12
75 dari skor maksimal 100. Ketuntasan hasil belajar dari siklus I adalah sebesar 23,53% dari 100% atau hanya 4 orang siswa yang mencapai ketuntasan individualnya dari jumlah siswa 17 orang. Ketuntasan hasil belajar yang diperoleh pada siklus II mengalami peningkatan dari siklus I, yang mana pada siklus II ketuntasan hasil belajar siswa mencapai 86,24% dari 100% atau sekitar 15 orang siswa yang mencapai nilai ketuntasan di atas 75, dan hanya 2 orang siswa yang tidak tuntas atau memperoleh nilai di bawah 75. Pada siklus I siswa masih kesulitan dalam mengerjakan soal terkait pembelajaran dengan berkelompok. Sebagian besar siswa dalam mengerjakan soal terapan masih mengalami kesulitan dalam hal menjelaskan dan menganalisis, selain itu juga siswa mengerjakan soal tanpa menuliskan satuan dari besaran yang ditanyakan. Hal tersebut kemudian direfleksi lagi dengan memberikan penguatan dari setiap aspek pembelajaran yang telah dilewati dan penjelasan lebih lanjut mengenai cara pengerjaan soal yang benar. Dari hasil belajar ini terlihat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat menumbuhkan interaksi secara intens antar siswa dalam menjawab soal dan dapat meningkatkan hasil belajar akademis siswa secara merata. Hasil belajar menurut [4] adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, apresiasi, dan keterampilan. Keterampilan yang diamati peneliti berupa membaca, mendengarkan penjelasan guru, bertanya atau mengajukan pertanyaan, berdiskusi atau bekerjasama, dan mengajukan atau mengemukakan pendapat.
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh simpulan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT efektif meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas X-A SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin pada pembelajaran fisika dengan materi ajar suhu dan kalor. Agar Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dapat tercapai dengan baik guru lebih memperhatikan setiap fase yang ada pada RPP dan menyesuaikan dengan tahap-tahap pembelajaran model kooperatif tipe NHT. Keterlaksanaan RPP diukur melalui lembar pengamatan keterlaksanaan RPP dengan terlaksana dengan sangat baik. Agar aktivitas siswa selama pembelajaran di dalam kelas dapat aktif guru lebih melibatkan siswa dalam hal pembelajaran, baik dalam hal penyampaian materi maupun dalam penyelesaian permasalahan, yaitu dengan membagikan LKS dan siswa diminta mengerjakan secara bersama-sama dengan kelompoknya masing-masing. Aktivitas siswa pada saat proses pembelajaran merupakan ranah afektif berpikir siswa meliputi membaca, mendengarkan,
Mustika Wati et al. / Prosiding EduFi 2016 10 - 13
bertanya, berdiskusi, serta menyumbangkan pendapat, dan dinilai melalui rubrik aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung yang dinyatakan dengan sangat aktif. Agar ketuntasan klasikal siswa dapat tercapai dengan baik guru memberikan pengajaran materi serta pemahaman kepada siswa, guru juga memberikan evaluasi kepada siswa untuk mengecek pemahaman siswa terhadap pembelajaran. Tingkat pencapaian ketuntasan belajar siswa diukur melalui tes hasil belajar dan dinyatakan ≥ 75% siswa tuntas.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada sekolah SMA Muhammadiyah 1 Banjarmasin baik kepala sekolah, guru
13
pengajar fisika maupun staf, yang telah memberikan izin waktu dan tempat penelitian bagi peneliti, juga terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu.
Referensi [1] A. Majid, Strategi Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013). [2] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006). [3] Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan SMA, Dokumen WWW, (ftp://ftp.unm.ac.id/permendiknas2006/Nomor%2023%20Tahun%202006.pdf). [4] A. Suprijono, Cooperative Learning dan Aplikasi PAIKEM, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014).
Prosiding EduFi 2016 14 - 17 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Meningkatkan Aktivitas Sosial Siswa Kelas VIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Sri Hartini∗ , Zainuddin, Asrar Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen H Hasan Basri, Banjarmasin 70123
Abstrak Keterlibatan seluruh siswa dalam aktivitas pembelajaran rendah. Kegia- tan pembelajaran didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan. Hal ini berdampak terhadap aktivitas sosial dan hasil belajar siswa yang rendah. Untuk mengatasi hal ini dilakukan penelitian tindakan kelas de- ngan model pembelajaran koopertif tipe Numbered Head Together (NHT) untuk meningkatkan aktivitas sosial siswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) keterlaksanaan RPP selama proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT, (2) aktivitas sosial siswa selama proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT, (3) hasil belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT. Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus dengan dua pertemuan setiap siklus. Subjek penelitian siswa kelas VIIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin.Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, tes, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan (1) keterlaksanaan RPP menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT siklus I dan II terlaksana sangat baik, (2) terjadi peningkatan aktivitas sosial siswa dari siklus I berkategori aktif menjadi sangat aktif pada siklus II, (3) ketuntasan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II meningkat. Diperoleh simpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan aktivitas sosial siswa kelas VIIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: pembelajaran kooperatif, NHT, aktivitas sosial ∗ Penulis koresponden. Alamat email: t2n
[email protected]
Pendahuluan Pemerintah Indonesia memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. KTSP pada dasarnya merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP bisa dikatakan sebagai paradigma baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan perlibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses pembelajaran di sekolah [1]. Proses belajar mengajar sesuai KTSP 2006 diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang diperjelas dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa mutu pembelajaran di sekolah dikembangkan dengan: (1) menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada standar proses, (2) melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreatifitas, dan dialogis, (3) tujuan agar peserta didik mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan, dan memprediksi, (4) pemahaman bahwa keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam untuk mencapai pemahaman konsep, tidak terbatas
Sri Hartini et al. / Prosiding EduFi 2016 14 - 17
pada materi yang diajarkan oleh guru. Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagi metode. Pada dasarnya pembelajaran ilmu pengetahuan di sekolah sangat banyak, salah satunya yaitu Ilmu Pengetahuan Alam. Pembelajaran IPA di sekolah biasanya dilakukan oleh guru dengan menggunakan pengajaran satu arah dengan metode ceramah. Hal tersebut membuat siswa pasif dan cepat bosan, selain itu dengan metode ceramah siswa tidak banyak menyerap ilmu yang telah disampaikan guru dikarenakan rasa bosan tersebut. Padahal masih banyak lagi model-model, metode, dan pendekatan yang dapat digunakan agar siswa-siswi dapat belajar IPA yang lebih menyenangkan. Berdasarkan hasil pengamatan pada siswa kelas VIIA Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 11 Banjarmasin pada tanggal 22 September 2015 masih tergolong kurang aktif. Interaksi antara guru dan siswa yang rendah sehingga mengakibatkan banyak siswa yang memiliki tingkat keaktifan yang rendah juga. Siswa hanya diam sebagai pendengar dan pencatat. Adapun informasi yang diperoleh dari guru IPA di SMP Negeri 11 Banjarmasin: (1) hasil ujian pada materi sebelumnya menunjukkan bahwa siswa yang tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimum (KKM) IPA sebesar 81,25% , (2) keterlibatan seluruh siswa dalam aktivitas pembelajaran yang sangat kecil, karena kegiatan pembelajaran didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi sementara yang memiliki kemampuan rendah hanya diam dan mendengarkan (pasif). Oleh karena itu, diperlukan upaya yang dapat meningkatkan aktivitas sosial siswa dalam proses pembelajaran yang dapat dilihat dari hasil belajar siswa. Salah satu model yang dapat digunakanan untuk meningkatkan aktivitas sosial siswa dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif. Model Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat membangun kepercayaan diri siswa dan mendorong partisipasi siswa dalam kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Model pembelajaran kooperatif tipe NHT membantu siswa mengintepretasikan ide siswa bersama dan memperbaiki pemahaman. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi, 15
sehingga terciptanya suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian jelas bahwa melalui model tipe NHT, siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran tipe NHT sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan aktivitas sosial siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT tepat digunakan di SMP karena kondisi siswa SMP yang masih dalam masa remaja membuat mereka menyukai hal baru dan lebih terbuka dengan teman sebaya dalam memecahkan permasalahan yang siswa hadapi. Menurut [2], dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan interaksi positif (aktivitas sosial) antar anggota kelompok, meningkatkan keterampilan sosial kelompok, serta dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran dan prestasi akademik. Model pembelajaran ini bersesuaian dengan teori belajar Vygotsky yang menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis [3]. Referensi [4] menyatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran bangun datar dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada siswa kelas VB SDN 4 Tonja Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data penelitian yang menunjukkan: (1) rata-rata skor aktivitas belajar siswa pada siklus I berkategori cukup aktif dan siklus II berkategori aktif, (2) rata-rata nilai kelas (M) pada siklus I sebesar 70,62 dan siklus II 75,62, ketuntasan belajar (KB) pada siklus I sebesar 66,67% dan siklus II 88,10%, dan daya serap (DS) pada siklus I 75,62% dan siklus II sebesar 75,62%. Berdasarkan uraian di atas peneliti memilih untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Peneliti meyakini bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan aktivitas sosial siswa kelas VIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin. Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut [5]. Belajar bukanlah hanya sekedar menghapal fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat, memperoleh pengalaman tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena itu, strategi pembelajaran harus
Sri Hartini et al. / Prosiding EduFi 2016 14 - 17
dapat mendorong aktivitas siswa. Aktivitas tidak dimaksudkan terbatas pada aktivitas fisik, akan tetapi juga meliputi aktivitas yang bersifat psikis seperti aktivitas mental [6]. Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup masyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masingmasing [7]. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan kerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif, yang anggotanya terdiri dari 4 sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen [8]. NHT merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. NHT diawali dengan numbering, guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap anggota kelompok diberi nomor. Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap kelompok. Langkah berikutnya guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok untuk memberikan jawaban atas pertanyaan. Hal itu terus dilakukan hingga setiap anggota dengan nomor yang sama dari semua kelompok memaparkan jawaban atas pertanyaan guru. Berdasarkan jawaban-jawaban itu guru dapat mengembangkan diskusi lebih dalam, sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh [9]. Hasil belajar tampak sebagai perubahan tingkah laku pada diri siswa yang diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibanding dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan dan sebagainya [2].
tan, yaitu: 1) perencanaan tindakan, 2) tindakan, 3) observasi, dan 4) refleksi. Keempat aspek itu dihubungkan sebagai suatu siklus. Berdasarkan observasi awal dirancang suatu tindakan untuk meningkatkan aktivitas sosial siswa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Untuk memperoleh hasil yang maksimal pada penelitian ini dilakukan dalam siklus, jika satu siklus belum memperoleh hasil yang diharapkan, maka dilanjutkan siklus berikutnya yang disesuaikan dengan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Dalam penelitian ini, dilakukan dua jenis penilaian, yaitu penilaian proses pembelajaran berupa penilaian terhadap aktivitas sosial siswa dan penilaian hasil belajar siswa yang lebih khusus penilaian terhadap kemampuan kognitif siswa. Dengan demikian, penilaian terhadap proses pembelajaran siswa diperoleh dari kajian dokumentasi terhadap data-data pada aktivitas sosial siswa, sedangkan penilaian terhadap hasil belajar siswa diperoleh berdasarkan hasil tes pada tiap siklus. Penelitian ini dikatakan berhasil apabila target yang telah direncanakan pada penelitian ini tercapai. Target penelitian tersebut disusun oleh peneliti dan guru dengan memperhatikan kondisi awal kelas yang dijadikan subjek penelitian. Adapun untuk target dalam penelitian ini yaitu: (1) keterlaksanaan RPP selama KBM minimal berkategori sangat baik, (2) indikator aktivitas sosial siswa minimal berkategori sangat aktif, dan (3) hasil belajar siswa memenuhi ketuntusan individual dengan KKM 75 dan ketuntasan klasikal ≥ 80% dari seluruh siswa.
Hasil dan Pembahasan
Dengan menerapkan tindakan yang mengacu pada pembelajaran kooperatif tipe NHT, selalu terjadi peningkatan aktivitas sosial siswa dalam pembelajaran IPA. Melalui kegiatan siswa berupa bekerja sama, melakukan percobaan, menjadi pendengar yang baik, dan mengajukan pertanyaan sehingga dapat merangsang siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini terlihat dalam lembar observasi aktivitas sosial siswa terjadi peningkatan ketercapaian aktivitas sosial siswa, yaitu pada siklus 1 sebesar 69,63% yang berkategori aktif. Namun, hasil ini belum memenuhi target yaitu pada kategori sangat aktif. Maka dilanjutkan dengan siklus kedua dengan penekanan pada memotivasi dan melibatkan siswa dalam setiap aspek yang ingin dicapai. Dan guru lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi atau teguran bagi siswa Metode yang membuat keributan atau kegiatan yang kuMetode penelitian yang digunakan pada peneli- rang bermanfaat. Tindakan yang kedua ini tertian ini adalah metode Classroom Action Research bukti berhasil meningkatkan ketercapaian aktivi(CAR) atau Penelitian Tindakan Kelas (PTK). tas sosial siswa menjadi 87,84% yang berkategori Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan sangat aktif. Hal ini menunjukkan terjadi pendengan empat aspek utama yang saling berkai- ingkatan persentase ketuntasan pada nilai aktivi16
Sri Hartini et al. / Prosiding EduFi 2016 14 - 17
tas sosial siswa pada rangkaian proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe NHT, dan akhirnya tercapai target awal pada siklus yang kedua. Lebih jelasnya peningkatan yang terjadi melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap aktivitas sosial siswa tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Hasil pengamatan aktivitas sosial siswa siklus I dan II No Aktivitas 1 2
Bekerja sama Melakukan percobaan 3 Menjadi pendengar yang baik 4 Mengajukan pertanyaan Σ Rata-rata
Sangat Aktif
Aktif
Sangat Aktif
Aktif
Sangat Aktif
Tabel 2 Hasil belajar siswa siklus I dan II Kualifikasi
Tuntas Tidak tuntas
Kriteria Siklus I Siklus II Aktif Sangat Aktif Aktif Sangat Aktif Aktif
lajar. Lebih jelasnya peningkatan yang terjadi melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap hasil belajar siswa tersaji pada Tabel 2 berikut.
Ketuntasan minimal per individu ≥ 75 ≤ 74
Siklus I (%)
Siklus II (%)
56,25 43,75
81,25 18,75
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan aktivitas sosial siswa kelas VIIA SMP Negeri 11 Banjarmasin.
Hasil belajar siswa berupa ketuntasan belajar siswa yang dilihat dari ketuntasan klasikal. Hasil belajar diukur berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami materi pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe NHT yang diterapkan. Pada siklus I hasil belajar siswa yang diperoleh sebesar 56,25% dan pada siklus II sebesar 81,25%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan pada hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar 25,00%. Pada siklus I ada 18 siswa yang tuntas dari 32 siswa, dan pada siklus II ada 26 siswa yang tuntas dari 32 siswa. Ketuntasan klasikal yang harus dicapai siswa untuk tuntas adalah sebesar 80% atau dapat dikatakan tuntas apabila siswa bisa menjawab soal dengan benar dan memperoleh nilai minimal 75 dari skor maksimal 100. Adanya peningkatan ketuntasan hasil belajar dari siklus I yang hanya mencapai 56,25% dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 81,25%, dengan diperolehnya nilai ketuntasan siswa pada siklus II sebesar 81,25% dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe NHT ini berhasil dan mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan karena nilai ketuntasan siswa mencapai ≥ 75%. Siklus II mengalami peningkatan karena hasil refleksi dari siklus I peneliti terapkan seperti kekurangan dalam membimbing siswa berkelompok dan melakukan evaluasi peneliti perbaiki dengan mempersiapkan siswa dengan baik, kemudian memberikan bimbingan kepada siswa masing-masing berkelompok secara merata. Peningkatan hasil belajar berkaitan dengan penggunaan tes hasil belajar untuk mengukur tingkat ketuntasan belajar siswa. Hasil belajar ini berkaitan dengan mengingat kembali materi yang telah dipelajari melalui kegiatan diskusi kelompok. Dari hasil belajar ini terlihat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil be17
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada sekolah SMP Negeri 1 Banjarmasin baik kepala sekolah, guru pengajar maupun staf, yang telah memberikan izin waktu dan tempat penelitian bagi peneliti, juga terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu.
Referensi [1] Isjoni, Pembelajaran Kooperatif, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012). [2] Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen, (Remaja Rosda Karya, Bandung, 2012). [3] A. Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Rineka Cipta, Jakarta, 2005). [4] N.L. Suwestarini, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran Bangun Datar pada Siswa Kelas VB SDN 4 Tonja Tahun Pelajaran 2012/2013, (Denpasar, Tidak Dipublikasikan). [5] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011). [6] W. Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014). [7] Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, (Scripta Cendekia, Banjarbaru, 2012). [8] A. Majid, Strategi Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013). [9] A. Suprijono, Cooperative Learning, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013). [10] O. Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2013).
Prosiding EduFi 2016 18 - 21 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengembangan Penilaian Psikomotor Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Kooperatif pada Pokok Bahasan Fluida Statis Suhartono∗ , Windawaty IAIN Palangka Raya Jl. G. Obos, Palangka Raya 74874
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrumen dalam mengukur penguasaan hasil belajar keterampilan psikomotor berdasarkan karekteristik jenis model pembelajaran yang digunakan, instrumen uji coba berdasarkan materi fisika yang diajarkan di sekolah tingkat SMA pada materi fisika Fluida Statis yang diujikan setelah seluruh materinya diajarkan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif menggunakan 2 kelas yang berbeda. Hasil belajar keterampilan psikomotor dinilai melalui lembar pengamatan psikomotor diisi oleh pengamat dengan melakukan tes perorangan. Pengamat terdiri atas 6 orang yaitu pengamat dari luar selain peneliti dan telah pernah menjadi asisten fisika dasar. Pengujian instrumen ini dilakukan dengan 33 orang siswa menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan 31 orang menggunakan model kooperatif Tahapan Pengambilan data hasil belajar psikomotorik dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah yaitu penyampaian masalah, memberikan LKPD kepada siswa, meminta siswa menyelesaikan masalah dengan mengamati alat dan bahan yang telah disediakan, masing-masing siswa membuat langkah percobaan berdasarkan penyelesaian masalah selama 10 menit pada satu lembar kertas yang akan dikumpulkan, pengenalan alat, melakukan pengambilan data berdasarkan lembar langkah percobaan yang telah dikumpulkan, dan mengambil data dengan bimbingan pengamat selama 20 menit tiap siswa sehingga pengambilan data untuk setiap pengamat mengamati 6-7 siswa. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif yaitu penyajian informasi tentang pengenalan alat kepada siswa, memberikan LKPD kepada siswa, meminta siswa membaca LKPD selama 5 menit, melakukan pengambilan data yaitu seluruh siswa keluar ruangan, lalu siswa dipanggil satu persatu berdasarkan nama yang disebutkan pengamat, dan siswa mengambil data selama 20 menit tiap siswa sehingga setiap pengamat mengamati 6-7 siswa. Hasil belajar psikomotorik yang didapatkan baik menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif semua siswa tuntas dengan persentase 100%. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: psikomotor, model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran kooperatif, fluida statis ∗ Penulis koresponden. Alamat email: suhartono
[email protected]
Pendahuluan
bermakna secara signifikan dibandingkan dengan tes pilihan ganda terstandar sekali pun [1]. PenilaPenilaian pendidikan sebagai proses pengumpu- ian autentik harus mampu menggambarkan sikap, lan dan pengolahan informasi untuk mengukur pen- keterampilan, dan pengetahuan apa yang sudah capaian hasil belajar peserta didik salah satunya atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana penilaian otentik. Penilaian otentik merupakan pe- mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal nilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan menilai mulai dari masukan (input), proses, dan perolehan belajarnya. Dalam suatu penilaian pemkeluaran (output) pembelajaran [1]. Secara umum belajaran, kebanyakan guru masih terfokus pada penilaian autentik mencakup tiga ranah hasil be- aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek lajar yaitu ranah afektif, kognitif, dan psikomo- yang lainnya seperti aspek afektif dan psikomotor. tor. Secara konseptual penilaian autentik lebih
Suhartono et al. / Prosiding EduFi 2016 18 - 21
Artinya penilaian dilaksanakan hanya sebagai tugas sekolah untuk memberi materi tanpa ada pemaknaan yang serius [2]. Penilaian autentik dapat dilaksanakanan menggunakan beberapa model pembelajaran yang sudah dikembangkan dan telah biasa diterapkan di sekolah-sekolah. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman yang digunakan dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu siswa sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai [3]. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Beberapa contoh model pembelajaran yang dapat digunakan untuk penilaian autentik adalah model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran berbasis masalah ini dikenal sejak zaman John Dewey. Pada saat ini model pembelajaran berbasis masalah mulai diangkat sebab ditinjau secara umum terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan penemuan [3]. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengebangkan pengetahuan dasar maupun kompleks [3]. Pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygosky, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi hasil belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan pengetahuan dengan keterampilan. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan kerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif, yang anggotanya terdiri dari 4 sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen [4]. Berdasarkan dari dua hal di atas yaitu penilaian autentik dan model pembelajaran, peneliti mengembangkan penilaian dan langkah prosedur penilaian yang sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang digunakan, secara khusus pada aspek psikomotor yang dapat diamati, menggunakan materi fisika yang diajarkan di sekolah
19
tingkat SMA pada materi fisika fluida statis menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran kooperatif.
Metode Panelitian ini merupakan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (Educational Research and Developmnet) awal dari hasil penelitian pendidikan komparatif quasi eksperimen. Menurut Borg & Gall (1983), Educational Research and Development adalah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produkproduk pendidikan [5]. Produk pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Tahapan Penilaian Pembelajaran, Media Pembelajaran, dan Lembar Kerja Peserta Didik.
Hasil dan Pembahasan Hasil Belajar Psikomotorik Tahapan pelaksanaaan penilaiaan psikomotor model pembelajaran berbasis masalah (PBL) (Tabel 1) dan model pembelajaran kooperatif (CL) (tabel 2) dilakukan setelah seluruh materi fluida statis diajarkan. Hasil belajar psikomotor dinilai melalui lembar pengamatan psikomotor diisi oleh pengamat dengan melakukan tes perorangan yang dilaksanakan pada hari lain di luar jam pelajaran yaitu pada hari tertentu yang sudah ditentukan dan disepakati oleh peneliti dan guru di sekolah. Pengamat terdiri atas 6 orang yaitu pengamat dari luar selain peneliti dan telah pernah menjadi asisten fisika dasar. Setiap pengamat memegang nama beberapa orang siswa, dengan waktu 20 menit untuk setiap siswa dalam melakukan percobaan secara bergantian. Hasil dari penilaian tes psikomotor digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan siswa dalam melakukan percobaan mengenai hukum Archimedes. Aspek yang diamati adalah penggunaan neraca pegas dan neraca Ohauus untuk mendapatkan berat benda di air dan di udara serta massa jenisnya. Berdasarkan hasil pengamatan psikomotor untuk kelas PBL, terlihat bahwa rata-rata skor yang diperoleh siswa adalah 33,91 dengan nilai 84,77 dan konversi 3,39 yaitu keseluruhan siswa tuntas. Hasil pengamatan psikomotor untuk kelas CL terlihat bahwa rata-rata skor yang diperoleh siswa adalah 33,61 dengan nilai 84,03 dan konversi 3,36 yaitu keseluruhan siswa tuntas. Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menuntut siswa aktif melakukan percobaan untuk menyelesaikan permasalahan yang diajukan oleh guru saat di awal pembelajaran. Sedangkan model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengutamakan kerja sama dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Suhartono et al. / Prosiding EduFi 2016 18 - 21
Tabel 1 Tahapan penilaian psikomotor model pembelajaran berbasis masalah (PBL) No Tahapan
Aktivitas Siswa
I II
Penyampaian masalah dengan membagikan LKPD Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati, meneliti alat yang telah disediakan Memberikan waktu ke setiap siswa untuk membuat langkahlangkah percobaaan di kertas jawaban untuk dapat menyelesaikan masalah Memberikan kesempatan setiap siswa secara bergiliran untuk melakukan percobaan dan mengambil data dengan alat yang disediakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan
Penyampaian masalah Observasi alat dan bahan
III Membuat langkah-langkah percobaan untuk menyelesaikan masalah IV Pengambilan data percobaan dengan menggunakan alat
Waktu (menit) 2 5-7 15 - 20
20
Tabel 2 Tahapan penilaian psikomotor model pembelajaran kooperatif (CL) No Tahapan
Aktivitas Siswa
I
Memberikan kesempatan pada siswa secara berkelompok untuk mengamati, meneliti alat yang telah disediakan
Menyajikan informasi tentang pengenalan alat secara berkelompok II Memberikan LKPD kepada kelompok siswa III Diskusi secara berkelompok IV Pengambilan data percobaan dengan menggunakan alat
Memberikan kesempatan pada siswa secara kelompok untuk mempelajari LKPD yang telah dibagikan Memberikan waktu ke setiap siswa untuk berdiskusi langkahlangkah percobaaan di LKPD Memberikan kesempatan setiap siswa secara bergiliran untuk melakukan percobaan dan mengambil data dengan alat yang disediakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan
Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima fase yaitu fase orientasi siswa pada masalah dengan penyampaian masalah oleh guru terkait masalah dalam kehidupan sehari-hari, fase mengorganisasikan siswa untuk belajar dimana siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok yang ditugaskan melakukan percobaan, fase membimbing kelompok untuk membantu siswa mencari solusi pemecahan dari masalah yang diajukan guru, fase mengembangkan dan menyajikan hasil karya yaitu solusi yang diperoleh tiap kelompok disampaikan di depan kelas dan fase menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yaitu di akhir pembelajaran, guru menganalis bersama-sama tentang pemecahan masalah, di akhir pembelajaran guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran, kemudian guru memberikan soal evaluasi untuk mengevaluasi siswa secara individu serta menginformasikan materi selanjutnya kepada siswa.
Waktu (menit) 2
5-7 15 - 20 20
serta kelompok lainnya bersama mengevaluasi hasil belajar terkait materi yang telah dipelajari, dan fase memberikan penghargaan yaitu guru memberikan penghargaan terhadap hasil kerja kelompok serta di akhir pembelajaran guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran, kemudian guru memberikan soal evaluasi untuk mengevaluasi siswa secara individu serta menginformasikan materi selanjutnya kepada siswa.
Hasil belajar psikomotorik diperoleh dari penilaian 6 orang pengamat yaitu teman-teman mahasiswa yang pernah menjadi asisten saat praktikum fisika dasar. Penilaian psikomotorik peneliti hanya mengambil salah satu sub topik dari materi fluida statis yaitu tentang hukum Archimedes sebagai ujian psikomotorik dengan lembar kerja siswa menyesuaikan model pembelajaran yang diterapkan. Data hasil belajar psikomotorik tidak dianalisis untuk mencari uji beda dikarenakan data Pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase tersebut merupakan data yang diperoleh setelah yaitu fase menyampaikan tujuan dan memotivasi diberikan perlakuan dengan menerapkan model siswa dengan demonstrasi atau memberikan suatu pembelajaran berbasis masalah dan model pempertanyaan, fase menyajikan informasi yaitu guru belajaran kooperatif. Sedangkan data sebelum menyajikan informasi kepada siswa terkait materi diberikan perlakuan tidak dilakukan karena waktu pembelajaran, fase mengorganisasikan siswa dalam dalam pengambilan data cukup lama serta menkelompok belajar yaitu siswa dibagi ke dalam be- cari hari yang tepat untuk pengambilan data sulit berapa kelompok yang ditugaskan untuk melakukan dikarenakan sekolah mengejar materi yang belum percobaan, fase membimbing kelompok bekerja dan disampaikan, dan pada saat pengambilan data perbelajar guna membantu siswa dalam melakukan lakuan yang diberikan juga berbeda. Kelas PBL secara keseluruhan siswa tuntas denpercobaan dan diskusi kelompok, fase evaluasi yaitu siswa mempresentasikan hasil kerjanya dan guru be- gan perolehan nilai rata-rata yaitu 84,77. Sedan20
Suhartono et al. / Prosiding EduFi 2016 18 - 21
gkan untuk kelas CL secara keseluruhan siswa tuntas dengan perolehan nilai rata-rata yaitu 84,03. Berdasarkan hasil belajar psikomotorik untuk kelas PBL dan kelas CL memiliki selisih yang tidak jauh berbeda, nilai tersebut menunjukkan bahwa siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol mampu dalam melakukan percobaan penggunaan alat.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini terutama kepada rekan-rekan di Prodi Tadris Fisika, Asisten Fisika Dasar Angkatan 2011 selama ini membantu hingga pelaksanaan dalam proses pembelajaran dan penelitiannya dapat berjalan dengan baik.
Kesimpulan Dari hasil belajar psikomotorik yang dilakukan oleh pengamat didapakan ketuntasan yang sama, belum didapatkan perbedaan yang terlalu jauh, dimungkinkan faktor pengamat yang masih belum dapat membedakan secara lebih objektif. Hal ini juga dapat disebabkan instrumen masih perlu lebih disempurnakan dalam kejelasan indikatornya. Diharapkan bahwa hasil belajar psikomotorik dapat bisa berbeda hal ini disebabkan tingkat kesulitan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada model pembelajaran kooperatif.
21
Referensi [1] Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013. [2] N.N. Anggraheni, Radiasi 7 (2), (2015). [3] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Kencana, Jakarta, 2009). [4] A. Majid, Strategi Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013). [5] I. Kaniawati, dalam Seminar Internasional 1 Pendidikan Sains (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2007).
Prosiding EduFi 2016 22 - 29 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Desain Didaktis Konsep Hubungan Percepatan, Kecepatan Awal, Kecepatan Akhir, dan Perubahan Waktu Berdasarkan Hambatan Belajar Peserta Didik Kelas X SMA Wina Fitria Dewi Marieta∗ , Heny Rusnayati, Agus Fany Chandra Wijaya Departemen Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudi, Bandung 40154
Abstrak Proses penyusunan rencana pembelajaran hendaknya mempertimbangkan respon dari peserta didik. Karena pada kenyataanya, ketika proses pembelajaran berlangsung banyak muncul respon dari peserta didik yang tidak terdapat pada rencana pembelajaran. Jika respon ini tidak diantisipasi dengan baik, dapat menjadi hambatan belajar bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidik sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran serta sebagai pihak yang bertanggung jawab di dalam kelas harus mampu untuk membuat suatu desain didaktis yang dapat mengantisipasi munculnya hambatan tersebut. Hambatan yang muncul dapat berasal dari diri peserta didik sendiri (hambatan ontogeni), keterbatasan konteks peserta didik dalam memahami suatu konsep (hambatan epistemologis) atau pun hambatan yang muncul dikarenakan kekeliruan pada proses pembelajaran (hambatan didaktis). Tujuan penelitian ini adalah membuat suatu disain didaktis yang disusun berdasarkan hambatan epistemologis (dilihat dari hasil tes kemampuan responden) dan hambatan didaktis (dilihat dari proses pembelajaran berlangsung) yang ada pada materi GLBB sehingga dapat mengantisipasi hambatan belajar yang muncul. Desain ini diimplementasikan pada tiga kelas yang berbeda, dengan anggapan kemampuan peserta didik yang sama. Disain penelitian yang digunakan adalah Didactical Design Research dengan metode kualitatif deskriptif. Hasil utama dari penelitian ini adalah disain didaktis pada konsep hubungan percepatan, kecepatan awal, kecepatan akhir dan perubahan waktu. Desain didaktis untuk konsep ini secara singkat, yaitu sebagai berikut, ketika masuk pada tahap intruksional, ditampilkan dua buah animasi gerakan benda, kemudian dilihat bagaimana kecepatan benda setiap waktunya, pada tahap ini peserta didik harus memahami percepatan sebagai perubahan kecepatan setiap waktu, setelah itu melalui lembar kerja peserta didik, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep hubungan percepatan, kecepatan awal, kecepatanya akhir dan perubahan waktu . Untuk mengukur pemahaman siswa digunakan media animasi moving man, pada bagian charts, dengan menampilkan grafik yang memiliki kesulitan pada setiap segmen yang berbeda-beda. Selain untuk mengukur pemahaman siswa, melalui tahap ini peserta didik dapat memahami karakteristik grafik v(t). Konsep ini diberikan melalui metode diskusi kelompok kemudian pleno kelas. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: desain didaktis, hambatan belajar, konsep hubungan percepatan, kecepatan awal, kecepatanya akhir dan perubahan waktu ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
komponen yang membentuknyanya, hambatan ini dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian yaitu hamBerdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan batan ontogeni, hambatan didaktis dan hambatan oleh penulis terdapat hambatan yang dialami pe- epistemologis [1]. Oleh karena itu pendidik harus serta didik. Hambatan ini dapat muncul dise- mengetahui hambatan apa yang biasanya terjadi babkan oleh beberapa hal. Meskipun kita tidak bisa pada materi yang akan diajarkan sehingga dapat menyalahkan pada salah satu interaksi yang terben- mengatasi hambatan tersebut dengan melakukan tuk antar komponen saja namun jika dilihat dari
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
suatu treatment yang benar, sehingga pembelajaran yang dilakukan bukan sekedar meniru atau melanjutkan saja namun berlandaskan pada alasan dan tujuan yang kuat [2]. Dengan demikian perlu dibuat suatu desain didaktis yang didasarkan pada hambatan yang ada sehingga dapat mengantisipasi hambatan belajar peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung.
Metode Merujuk pada [3], desain penelitian yang digunakan adalah penelitian desain idaktis atau lebih dikenal sebagai Didactical Design Research (DDR) yaitu kerangka berpikir yang meliputi berpikir sebelum, pada saat dan setelah pembelajaran. Menurut [4] penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa desain didaktis hipotesis termasuk antisipasi didaktis dan pedagogis. Tahapan kedua yaitu analisis metapedadidaktik yaitu menganalisis proses pembelajaran berlangsung. Serta tahapan terahir yaitu analisis retrospektif, dengan mengaitkan analisis pada tahapan pertama dengan analisis pada tahapan kedua. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMA di Kota Bandung, dengan subjek penelitiannya adalah tiga kelas di kelas X IPA SMA semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 dan salah satu kelas X SMA semester genap tahun ajaran 2014/2015 . Adapun salah satu kelas X dengan tahun ajaran 2014/2015 semester genap hanya digunakan untuk TKR awal saja. Teknik sampling yang dipilih adalah convinience sampling. Merujuk pada penelitian [3], metoda yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik triangulasi. Pengumpulan data ini berupa observasi partisipatif, dimana peneliti terlibat dengan kegiatan objek yang diamati, dalam hal ini peneliti berperan sebagai guru model, teknik wawancara yang dilakukan bersamaan dengan observasi partisipatif dan teknik dokumentasi berupa TKR awal dan akhir yang dilakukan sebelum dan sesudah implementasi desain didaktis, serta perekaman implementasi desain didaktis dengan menggunakan handycam. Adapun tahapan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
• Membuat soal esai sebagai bahan Tes Kemampuan Responden (TKR) yang dibuat berdasarkan konsep esensial yang didapat. • Melakukan judgement soal minimal pada ahli. • Mengujikan TKR kepada peserta didik yang sebelumnya telah mempelajari konsep tersebut. • Mengidentifikasi hambatan belajar peserta didik yang didapat dari hasil TKR. Hambatan ini dapat dilihat dari pola jawaban pada hasil TKR peserta didik. • Membuat hipotetical learning trajectory dan memikirikan antisipasi tindakan berdasarkan respon yang didapat dari jawaban peserta didik dalam TKR. • Merancang desain didaktis awal. Analisis Metapedadidaktis • Menerapkan desain didaktis yang dikembangkan dalam pembelajaran GLBB. • Mengujikan TKR pada peserta didik. Analisis Retrospektif • Mengidentifikasi respon peserta didik terhadap desain didaktis yang dikembangkan melalui analisis TKR untuk mengetahui apakah hambatan belajar sebelumnya muncul kembali atau terantisipasi dengan baik sehingga tidak ada hambatan yang muncul dan menganilisis hasil implementasi desain didaktis melalui video ketika implementasi dilakukan. • Menyusun desain didaktis revisi.
Hasil dan Pembahasan
Analisis Situasi Didaktis Sebelum Pembelajaran Untuk mengetahui hambatan yang ada, maka disajikan sebuah soal dengan empat buah segmen grafik dengan dua gerakan benda yang sama, diharapkan dapat memperlihatkan kekonsistensian peserta didik ketika mengerjakan soal. Apakah dengan konteks yang berbeda peserta didik dapat terjebak atau tidak. Ketika menghitung perceptan sebuah grafik dalam fisika, peserta didik harus • Menentukan materi (pada penelitian ini yaitu mampu untuk menentukan fitur dalam grafik yang gerak lurus berubah beraturan pada arah horberhubungan dengan konsep fisika, dalam hal ini izontal). yaitu dua buah titik pada gradien tersebut. Untuk menjawab soal ini dengan benar, peserta didik Analisis Situasi Didaktis Sebelum Pembelajaran harus mengerti mengenai makna gradien dari grafik • Melakukan repersonalisasi terhadap materi v(t) dan mengetahui hubungan antara kecepetan yang telah dipilih, dari repersonalisasi didaakhir, kecepatan awal dan perubahan waktu dari patkan konsep esensial dari materi tersebut. benda yang bergerak dipercepat ataupun diperlam• Melakukan rekontekstualisasi materi ajar bat. Gambar 1 merupakan soal yang diberikan yaitu bagaimana materi diajarkan. dalam Tes Kemampuan Responden (TKR). 23
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
Gambar 1 Soal TKR.
TKR awal diberikan pada kelas X pada semester genap tahun ajaran 2014/2015, sebagai dasar penyusunan desain didaktis awal. TKR 1 diberikan kepada kelas X pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 yang telah mengikuti implementasi desain didaktis awal, hasil dari TKR 1 dijadikan sebagai salah satu bahan untuk merevisi desain didaktis awal (selanjutnya disebut desain revisi 1). Sama halnya dengan TKR 1, TKR 2 diberikan kepada kelas kedua yang telah mengikuti implementasi desain didaktis revisi 1, hasil TKR 2 akan dijadikan sebagai salah satu bahan untuk merevisi disain didaktis revisi 1(selanjutnya disebut desain revisi 2). TKR 3 pun diberikan kepada kelas ketiga yang telah mengikuti implementasi desain didaktis revisi 2, hasil dari TKR 3 dijadikan sebagai salah satu bahan untuk merevisi desain didaktis revisi 2 (selanjutnya disebut desain revisi 3). Dengan menganalisis jawaban peserta didik pada TKR tersebut kemudian mengelompokkan jawaban tersebut ternyata peserta didik mengalami jenis hambatan yang sama. Keempat jenis hambatan epistemologis tersebut adalah sebagai berikut. Jenis pertama yaitu siswa belum memahami percepatan atau perlambatan sebagai perubahan kecepatan setiap waktu. Siswa menganggap percepatan sebagai perubahan kecepatan saja, seperti pada Gambar 2.
Untuk mengantisipasi hambatan ini siswa mengamati dua buah video yang membandingkan gerakan dengan kecepatan konstan dan benda yang bergerak dengan percepatan konstan. Kemudian pendidik menayakan perbedaannya, ketika siswa menjawab pada video kedua kecepatannya berubah, pendidik menanyakan berapa, dan setiap berapa sekon, dari sini pendidik dapat memunculkan konsep percepatan sebagai perubahan kecepatan setiap selang waktu tertentu. Untuk menguatkan agar hambatan ini dapat terantisipasi, siswa dapat menganalisis satuan dari percepatan. Jenis kedua yaitu siswa belum memahami bahwa perubahan kecepatan untuk menentukan percepatan ataupun perlambatan merupakan kecepatan akhir dikurangi dengan kecepatan awal. Siswa memahami perubahan kecepatan sebagai selisih kecepatan saja, sehingga nilai yang besar dikurangi yang kecil, seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Respon siswa dengan hambatan jenis ke-2.
Untuk mengantisipasi hambatan ini, setelah siswa memahami percepatan sebagai perubahan
Gambar 2 Respon siswa dengan hambatan jenis ke-1.
24
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
kecepatan setiap selang waktu tertentu, pendidik menanyakan apa arti perubahan pada perubahan kecepatan tersebut. Untuk menguatkan agar hambatan ini dapat terantisipasi, dengan bantuan LKS pada stage dua siswa diminta untuk menghitung percepatan pada setiap waktunya. Hambatan ketiga yaitu peserta didik tidak dapat menentukan kecepatan awal dan atau kecepatan akhir. Hambatan terakhir adalah peserta didik tidak dapat menentukan waktu awal dan atau waktu akhir. Hambatan ini saling berkaitan, dimana peserta didik tidak dapat mengidentifikasi variabel pada konsep ini seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
sekaligus mengetahui pemahaman siswa, pendidik dibantu oleh LKS pada stage 3, meminta setiap kelompok untuk menghitung percepatan pada setiap segmnen pada Gambar 5. Kemudian masing-masing dari perwakilan kelompok menuliskan hasil pengerjaannya pada papan tulis dan pendidik mengkonfirmasi jawaban tersebut. Secara singat ditemukan empat jenis hambatan epistemologis pada peserta didik. Perbandingan persentase pada TKR awal, TKR1, TKR2, dan TKR 3dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 4 Respon siswa dengan hambatan jenis ke-3.
Gambar 6 Persentase hambatan.
Analisis Metapedadidaktis Pada tahap prainstruksional di implementasi Gambar 5 Latihan untuk siswa. pertama, pendidik menampilkan Gambar 7, unUntuk mengantisipasi kedua hambatan ini, pada tuk mengetahui bagaimana pengetahuan awal pesaat siswa mengidentifikasi variabel-variabel terse- serta didik, semua teori belajar mengatakan bahwa but dituntun oleh pendidik. Untuk memperkuat pengetahuan awal sangat penting.
Gambar 7 Apersepsi implemetasi pertama.
Hasilnya terdapat beberapa siswa yang telah mengenal besaran percepatan, terlihat ketika siswa mengartikan bahwa adanya perubahan nilai kecepatan (pada grafik ke dua dan tiga pada gambar tiga) sebagai percepatan. Dengan harapan dapat lebih mengefisienkan waktu, jika menggunakan satu grafik namun dengan kriteria yang dapat menggali pengetahuan awal siswa (dilihat pada pertemuan 25
sebelumnya hambatan muncul pada grafik dengan bentuk ini, lihat Gambar 8). Hasilnya pengetahuan awal pada kelas implementasi kedua lebih baik, dimana siswa dapat menjelaskan grafik tersebut dengan baik. Pendidik mengkonfirmasi jawaban siswa dengan menampilkan animasi gerakan benda, dengan harapan dapat terjadi proses belajar tahap dua yaitu in-
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
ternalisasi pada diri siswa [5]. Sedangkan pada implementasi ketiga pendidik hanya menampilkan dua buah grafik s(t) saja, baru peserta didik mengubahnya menjadi grafik v(t) dan menjelaskan pergerakan bendanya. Hasilnya peserta didik tidak mengalami hambatan apapun pada tahap ini, hanya terdapat beberapa siswa yang merasa kesulitan ketika mengubah bentuk grafik s(t) menjadi v(t).
dalam keadaan yang lebih sederhana seperti pada implementasi ke tiga, lihat Gambar 10. Hal ini membuktikan bahwa peserta didik memiliki masukan yang sama yang berarti tingkat pengetahuan awal yang sama. Pada tahap intruksional pada implementasi pertama, ketika pendidik menunjukkah dua buah video, peserta didik sudah mengemukakan jawabannya langsung terfokus pada percepatan, bahkan peserta didik sudah mengetahui arti dari percepatan, seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Respon siswa pada implementasi ke-1 Pembicara Waktu Dialog Peserta 30.37 Kalau yang pertama kedidik 1 cepatannya dipercepat, kalau yang kedua itu .... Pendidik 30.41 Maksudnya kecepatan dipercepat bagaimana? Peserta 30.55 Jadi kecepatannya bertambah didik 3 setiap waktu Bu, tidak stabil.
Gambar 8 Apersepsi implemetasi kedua.
Sebagai jembatan antara tahap prainstruksional dan instruksional, pendidik meminta siswa untuk memprediksikan grafik yang terbentuk ketika benda bergerak dengan kondisi tertentu. Pada implementasi kedua pendidik menampilkan tabel yang sama seperti pada Gambar 9.
Gambar 9 Respon siswa pada kegiatan memprediksi.
Gambar 10 Respon siswa pada kegiatan memprediksi pada implementasi ke-3.
Peserta didik masih keliru ketika membuat grafik, bahkan ketika pendidik memberikannya 26
Karena peserta didik sudah mencapai tujuan yang diinginkan yaitu memahami percepatan sebagai perubahan kecepatan setiap selang waktu tertentu maka pendidik tidak melanjutkan tahapan selanjutnya pada desain yang dibuat. Hal ini terjadi pula pada implementasi kedua dan ketiga, dengan menggunakan respon yang diterima dari peserta didik, pendidik menguatkannya kembali dengan melanjutkan desain yang telah disusun. Pada implementasi kedua dan ketiga, untuk mengatasi hambatan ini pendidik menambahkan tahapan pada desain dengan menuliskan jawaban peserta didik ketika memaparkan jawabannya dan menampilkan kembali animasi benda yang bergerak GLBB, sehingga siswa tahu persis berapa perubahan kecepatan setiap detiknya, setelah itu barulah pendidik menuliskannya dalam bentuk simbol. Selain itu peserta didik pun diajak untuk memahami arti fisis dari percepatan, sehingga percepatan yang konsepnya abstrak dapat dilihat secara lebih nyata oleh siswa. Pada implementasi pertama untuk mengantisipasi hambatan jenis kedua, pendidik melewatkan salah satu tahapan pada desain tersebut, yaitu menanyakan arti dari perubahan pada perubahan kecepatan dan waktu yang dipahami oleh siswa. Hal ini penting karena dengan menanyakan hal ini pendidik dapat mengetahui pengetahuann awal siswa. Pengetahuan awal siswa sangatlah berpengaruh pada belajar selanjutnya [6]. Hambatan seperti ini merupakan hambatan didaktis dimana hambatan muncul dikarenakan kekeliruan proses pembelajaran [1]. Ketika peserta didik mengerjakan LKS secara berkelompok, peserta didik merasa bingung dengan bentuk soal cerita. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang salah dalam menggambarkan grafik yang
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
diminta berdasarkan cerita tersebut. Pendidik melakukan intuisi dengan membimbiing peserta didik dan sedikit mengubah data pada soal tersebut untuk memudahkan siswa dalam pengerjaannya. Menurut [7], sangatlah diperlukan terutama untuk membantu terjadinya aktivitas mental mengarah pada pembentukan obyek mental baru. Dengan melakukan intuisi ini terbukti peserta didik dapat lebih memahami tujuan dari soal tersebut seperti pada Tabel 2. Berdasarkan hal ini maka pada implementasi kedua dan ketiga pendidik mengubah soal yang disajikan kedalam bentuk tabel, dan mengubah data yang disajikan menjadi lebih mudah seperti pada Gambar 11.
Gambar 11 Respon siswa pada implementasi ke-1. Tabel 2 Respon siswa Pembicara Waktu Dialog Pendidik 46.24 .... perubahan kecepatannya lima meter per second setiap lima detik, berati dia itu kecepatannya berubah lima meter per second setiap lima detik Peserta 46.34 Lima meter per ... Oooh didik Pendidik 46.40 Lima meter per second per lima detik berarti dia, bertambah kecepatannya setiap second? Peserta 46.47 Satu, satu, satu didik Pendidik 46.49 Satu meter per second setiap satu detik, ....
Implementasi pertama dari antisipasi untuk hambatan ketiga dan keempat, dilakukan melalui diskusi kelompok, masing-masing kelompok menyelesaikan bagian segmen yang berbeda, ternyata dengan seperti peserta didik hanya fokus dengan bagiannya saja. Oleh karena itu pada implementasi kedua dan ketiga setiap kelompok diberikan waktu kemudian diakhir pendidik baru meminta perwakilan kelompok untuk menjelaskan bagianbagian dari segmen tersebut. Analisis Retrospektif Setelah implementasi pertama, jenis hambatan pertama mengalami perubahan yang positif sebesar 1,13%. Namun terdapat siswa yang salah dalam 27
menentukan satuan dari percepatan meskipun hanya satu siswa namun hal ini bisa saja dihindari jika pendidik mengimplementasikan desain yang telah dibuat. Maka desain ini direvisi dengan pendidik menuliskan jawaban peserta didik dan simpulan yang didapat pada papan tulis, menurut [8] ketika menyimpulkan pendidik dianjurkan untuk menuliskannya pada papan tulis. Selain itu ketika peserta didik menjawab perbedaan pada kedua video yaitu adanya perubahan kecepatan, pendidik menampilkan kembali video tersebut dan mengamati perubahan kecepatan setiap saatnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi eksternal untuk mempelajari konsep, menurut [6] dalam memahami konsep dapat dilakukan dengan mengamati suatu demonstrasi. Dari sinilah pendidik mengganti kata-kata yang dikemukaan oleh peserta didik menjadi simbol. Selain itu peserta didik dibimbing oleh pendidik untuk memahami arti fisis dari percepatan. Setelah implementasi kedua dan ketiga jenis hambatan pertama ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dimana hambatan jenis ini tidak lagi muncul, jika dilihat dari implementasinya, respon dari peserta didik sesuai dengan yang diprediksikan sebelumnya sehingga dapat diantisipasi dengan baik. Oleh karena itu desain untuk hambatan ini tidak ada revisi. Jenis hambatan yang kedua, setelah dilakukannya implementasi yang pertama mengalami perubahan yang negatif sebesar 1,25%, jika dilihat jenis hambatan ketiga dan keempat pun mengalami hal serupa, dengan perubahan sebesar 7,31% dan 0,08%. Hal ini membuktikan bahwa ketiga hambatan ini saling berhubungan, oleh karena itu pada implementasi selanjutnya ketiga hambatan ini diantisipasi dengan satu rangkaian desain. Jika dilihat pada implementasinya, ketika menentukan percepatan pada LKS stage dua, pendidik hanya membimbing peserta didik pada bagian perubahan kecepatannya saja, tidak dengan perubahan waktunya, selain itu pendidik juga tidak mengkonfirmasi besar percepatan ketika stage tiga dilakukan, pendidik hanya mengkonfirmasi pergerakan bendanya saja. Pada implementasi selanjutnya pendidik dapat dengan teliti dalam menginmplementasikan desain yang telah dibuat, sehingga tidak ada tahapan yang terlewat. Hal ini termasuk kedalam hambatan didaktis dimana hambatan muncul karena kekeliruan proses pembelajaran [1]. Untuk media yang digunakan, pada LKS stage 2 dari pada peserta didik mencari percepatan secara terpisah, lebih baik jika pada stage dua diberikan ruang bagi peserta didik untuk menghitung percepatannya sendiri, sebelum membentuk grafik, sehingga peserta didik dapat lebih memahami mengenai variabel-variabel yang ada. Untuk memudahkan peserta didik mengerjakan, pendidik dapat mengubah bentuk data dari cerita menjadi ben-
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
tuk tabel. Setelah dilakukan pembelajaran pada implementasi kedua hambatan jenis-jenis ini dapat mengalami perubahan yang positif sebesar 4,29% dan 2,14% meskipun pada hambatan jenis keempat tidak ada perubahan. Jika dilihat pada implementasinya pada LKS stage 2 peserta didik sudah bisa mencari percepatan dengan baik, dengan diberikannya ruang bagi peserta didik untuk menghitung percepatannya sendiri, sebelum membentuk grafik selain membantu peserta didik dalam memahami bahwa percepatan pada GLBB konstan juga peserta didik dapat lebih memahami mengenai variabel-variabel yang ada. Bentuk data yang menjadi bentuk tabelpun mempercepat peserta didik dalam membaca data dan mempermudah perhitungan. Ketika penyampaian pendidik dapat menyampaikannya dengan baik. Agar hambatan yang ada dapat menghasilkan perubahan positif lebih signifikan, maka pada implementasi ketiga pendidik dapat lebih menekankan pada cara menentukan variabel kecepatan dan waktu. Pada saat melakukan stage 2, dapat dilakukan secara pleno, sehingga semua peserta didik dapat ikut terlibat dalam pembahasan, dan dapat mengemukakan pendapat serta pandangannya serta pendidik dapat membenarkan atau meluruskan respon dari peserta didik. Sebagai latihan bagi peserta didik, pada bagian prainstruksional selain menyakan mengenai cara mencari kecepatan dari grafik kecepatan terhadap waktu, pendidik pun dapat meminta peserta didik untuk mencari besarnya, sehingga peserta didik dapat terlatih dalam menentukan data untuk variabel pada sebuah grafik. Pada implementasi ketiga terdapat respon dari peserta didik yang cukup menarik. Ketika pendidik membimbing peserta didik pada bagian kedua terdapat peserta didik yang memberikan penemuan yang cukup menarik. Anak tersebut mengemukakan bahwa ketika menentukan kecepatan akhir, kecepatan awal, dan waktu awal dan waktu akhirnya berbeda, peserta didik tersebut menemukan hasil yang sama. Hal itu menjadi topik diskusi pada kegiatan pleno, dan peserta didik lain mengemukakan kesimpulannya bahwa itu tidak apa-apa asalkan dia konsisten dalam memilih keadaan awal dan akhirnya. Peserta didik lain pun menambahkan bahwa memang seharusnya menghasilkan hasil yang sama karena percepatan pada GLBB bernilai konstan. Hal ini membuktikan bahwa meskipun kegiatan kelas bersifat pleno namun interaksi antar peserta didik masih terjadi, sehingga hubungan saling belajar pun dapat terbentuk dengan baik. Setelah itu pendidik menuliskan kesimpulan tersebut pada papan tulis. Ternyata dengan digunakannya kegiatan pleno ketika melakukan stage 2, dapat membuat 28
peserta didik terlibat dalam pembahasan, dan dapat mengemukakan pendapat serta pandangannya sehingga terjadi hubungan saling belajar. Dengan dilakukannya pleno pun terdapat hal yang menarik ketika peserta didik mengemukakan penemuannya sehingga peserta didik lain ikut terlibat dalam diskusi kelas tersebut. Hal ini menyumbang perubahan positif yang terjadi pada ketiga jenis hambatan ini, dimana hambatan jenis kedua dan ketiga tidak muncul lagi, sedangkan untuk jenis hambatan ketiga mengalami perubahan positif sebesar 3,37%. Dengan harapan pada implementasi berikutnya dapat dimunculkan kembali respon seperti itu dari peserta didik, maka respon peserta didik tersebut akan dimasukan kedalam desain revisi untuk implemetasi berikutnya.
Kesimpulan Konsep hubungan percepatan, kecepatan awal, kecepatanya akhir dan perubahan waktu, ketika masuk pada tahap instruksional, ditampilkan dua buah animasi gerakan benda, kemudian dilihat bagaimana kecepatan benda setiap waktunya, pada tahap ini peserta didik harus memahami percepatan sebagai perubahan kecepatan setiap waktu, setelah itu melalui lembar kerja peserta didik, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep hubungan percepatan, kecepatan awal, kecepatanya akhir dan perubahan waktu. Untuk mengukur pemahaman siswa digunakan media animasi moving man, pada bagian charts, dengan membuat menampilkan grafik yang memiliki kesulitan pada setiap segmen yang berbeda-beda. Selain untuk mengukur pemahaman siswa, melalui tahap ini peserta didik dapat memahami karakteristik grafik v(t). Konsep ini diberikan melalui metode diskusi kelompok kemudian pleno kelas.
Ucapan Terima Kasih Terimakasih kepada salah satu SMA Negeri di Kota Bandung yang telah bersedia dijadikan tempat penelitian dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Referensi [1] G. Brosseau, Theory of Didactical Situations in Mathematics, (Kluwer Academic Publisher, New York, 2002). [2] D. Suryadi dan T. Suratno, Kemandirian Pendidik Kisah Pendidik Reflektif dan Profesional Pembelajaran, (Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2014). [3] L. Nuraeni et al., KNPM V, 537 (2013). [4] D. Suryadi, Didactical Design Research (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika, (JICA, Bandung, 2013).
Wina Fitria Dewi Marieta et al. / Prosiding EduFi 2016 22 - 29
[5] D. Suryadi et al., Model Antisipasi dan Situasi Didaktis dalam Pembelajaran Matematika Kombinatorik Berbasis Pendekatan Tidak Langsung., Dokumen WWW, (http://didisuryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/MODELANTISIPASI-DAN-SITUASIDIDAKTIS.pdf).
29
[6] R.W. Dahar, Teori - Teori Belajar, (Erlangga, Bandung, 1989). [7] D. Suryadi, dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (2010). [8] S. Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Alfabeta, Bandung, 2014).
Prosiding EduFi 2016 30 - 33 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Perbandingan Model Siklus Belajar 5E dan Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Gerak Lurus Kelas X Semester I di SMA N 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 Dian Nita Novita Sari, Sri Fatmawati∗ , Luvia Ranggi Nastiti Program Studi Tadris Fisika, IAIN Palangka Raya Jl. G. Obos, Palangka Raya 74874
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan model siklus belajar 5E dan model pembelajaran langsung pokok bahasan gerak lurus kelas X Semester I di SMA Negeri 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016, dan (2) mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran menggunakan model siklus belajar 5E dan model pembelajaran langsung pokok bahasan gerak lurus kelas X Semester I di SMA Negeri 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016. Populasi penelitian adalah kelas X semester 1 SMA N 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016, sampel penelitian adalah kelas X-10 berjumlah 37 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas X-4 berjumlah 36 orang sebagai kelas kontrol. Analisis data pretest dan posttest hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis menggunakan program SPSS versi 17.0 for Windows. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) tidak terdapat perbedaan signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar dengan model siklus belajar 5E dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung pada taraf signifikansi 0,05, (2) terdapat perbedaan signifikan N-gain antara siswa yang diajar dengan model siklus belajar 5E dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung pada taraf signifikansi 0,05. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: model siklus belajar 5E, model pembelajaran langsung, hasil belajar, berpikir kritis, dan gerak lurus ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan Salah satu model pembelajaran fisika yang dikembangkan oleh pakar pendidikan dan pembelajaran adalah model Learning Cycle. Cohen dan Clough menyatakan bahwa Learning Cycle merupakan model pembelajaran sains di sekolah yang baik karena dapat dilakukan secara optimal dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa [1]. Model pembelajaran Learning Cycle mengharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali, menganalisis, dan mengevaluasi pemahamannya terhadap konsep yang dipelajari [2]. Model pembelajaran siklus belajar pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study (SCIS). Menurut Lorsbach model pembelajaran siklus belajar (Learning Cycle)
5E mempunyai lima tahapan. Tahapan tersebut diantaranya tahap pembangkitan minat (engagement), tahap eksplorasi (exploration), tahap penjelasan (explanation), tahap elaborasi (elaboration), dan evaluasi (evaluation) [3]. (1) Tahap pembangkitan minat (engagement). Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada tahap ini guru berusaha membangkitkan dan mengembangkan minat dan keingintahuan siswa tentang topik yang ingin diajarkan. (2) Tahap eksplorasi (exploration). Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi dibentuk kelompokkelompok kecil antara 2-4 siswa, kemudian diberi kesempatan untuk berkerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung dari guru. (3) Tahap penjelasan (explanation). Penjelasan meru-
Dian Nita Novita Sari et al. / Prosiding EduFi 2016 30 - 33
pakan tahap ketiga dalam siklus belajar. Pada tahap penjelasan, guru dituntut mendorong siswa untuk menjelaskan suatu konsep dengan kalimat / pemikiran sendiri, meminta bukti dan klarifikasi atas penjelasan siswa dan saling mendengar secara kritis penjelasan antar siswa atau guru. (4) Tahap elaborasi (elaboration). Tahap elaborasi adalah tahap keempat dari Learning Cycle. Elaborasi merupakan tahap dimana siswa menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru atau konteks yang berbeda. Dengan demikian siswa dapat belajar secara bermakna, karena telah dapat menerapkan / mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya dalam situasi baru. (5) Evaluasi (evaluation). Evaluasi merupakan tahap terakhir dari siklus belajar. Pada tahap evaluasi, guru dapat mengamati pengetahuan atau pemahaman siswa dalam menerapkan konsep baru. Salah satu fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di SMA/MA adalah mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif [4]. Guru dalam menjalankan perannya perlu mempertimbangkan bagaimana mengembangkan keterampilan berpikir siswa, sehingga siswa terlatih bersikap kritis dan mampu menjadi pribadi sebagai pemecah masalah. Banyak hasil penelitian yang menunjukan bahwa model pembelajaran yang diterapkan guru di kelas dapat mempengaruhi keterampilan berpikir siswa. Al-Quran secara tersirat juga mengajurkan seseorang untuk kritis dalam menyelesaikan suatu masalah, seperti yang tertuang dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Menurut Ennis bahwa berpikir kritis merupakan proses yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal mengenai apa yang kita percayai dan apa yang kita kerjakan [5]. Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir yang lebih tinggi. Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan karena dalam kehidupan di masyarakat, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Membuat keputusan yang logis dan tepat, diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik. Krulick dan Rudnick mengemukakan bahwa penalaran meliputi berpikir dasar, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Terdapat delapan aspek yang dapat dihubungkan dengan berpikir kritis yaitu menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari sebuah situasi atau masalah, 31
mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, menetukkan masuk akal tidaknya sebuah jawaban, menarik kesimpulan yang valid, memiliki sifat analitis dan refleksi [5]. Aspek kemampuan berpikir kritis yang diuraikan oleh Robert H. Ennis dengan indikator keterampilan berpikir kritis dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1) Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), (2) Membangun keterampilan dasar (basic support), (3) Membuat inferensi (inferring), (4) Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), (5) Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics) [6]. Keterampilan berpikir kritis dalam penelitian ini dijabarkan dalam 6 sub-indikator yaitu elementary clarification (memberikan penjelasan sederhana) dengan subindikator menganalisis argumen, advanced clarification (membuat penjelasan lebih lanjut) dengan subindikator yaitu induksi dan mempertimbangkan induksi dengan membuat sebuah kesimpulan, inference (menyimpulkan) dengan sub-indikator yaitu membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan, strategis and tactics (strategi dan taktik) dengan sub-indikator yaitu memutuskan suatu tindakan, dan eelementary [7]. Beberapa penelitian mendukung bahwan model Learning Cycle dapat mengembangkan hasil belajar dan keterampilan berpikir siswa. Penggunaan model pembelajaran Learning Cycle 5E secara signifikan dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa SMA daripada pembelajaran konvensional [8]. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah penerapan model siklus belajar (Learning Cycle) 5E, dengan artian model siklus belajar (Learning Cycle) 5E yang diterapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa [9].
Metode Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu melibatkan 2 (dua) kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran menggunakan model siklus belajar 5E dan kelas kontrol diberi perlakuan pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung. Materi ajar pada masing-masing kelas adalah Gerak Lurus. Masing-masing kelas diberikan pretest dan posttest. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3 Palangka Raya Kelas X Tahun Ajaran 2015/2016. Pelaksanaan penelitian adalah pada bulan September 2015 sampai dengan bulan November 2015. Instrumen Penelitian yaitu Tes Hasil Belajar dan Tes Keterampilan Berpikir Kritis. Analisis data dibantu oleh program SPSS 17. Peningkatan Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa dianalisis menggunakan gain
Dian Nita Novita Sari et al. / Prosiding EduFi 2016 30 - 33
dinormalisasi (N-gain) yang dikembangkan oleh akhir guru mengevaluasi tentang konsep yang baru Hake [10] sebagai berikut. dipelajari. Pada kelas kontrol yang diterapkan model pemskor posttest − skor pretest belajaran langsung. Model ini adalah yang paling (g) = skor ideal − skor pretest dominan dilaksanakan pada tempat penelitian dilakukan. Direct instruction dirancang khusus unTabel 1 Interpretasi gain dinormalisasi yang tuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dimodifikasi dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan Nilai gain Interpretasi prosedural yang terstruktur dengan baik dan dapat ternormalisasi diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap se−1, 00 ≤ g < 0, 0 Terjadi penurunan langkah demi selangkah [12]. g = 0, 00 Tidak terjadi peningkatan 0, 00 < g < 0, 30 0, 30 ≤ g < 0, 70 0, 70 ≤ g ≤ 1, 00
Rendah Sedang Tinggi
b. Keterampilan Berpikir Kritis Hasil analisis nilai keterampilan berpikir kritis siswa dari sub 6 indikator disajikan secara singkat pada Tabel 4 berikut.
Hasil dan Pembahasan a. Hasil Belajar Data hasil pretest, posttest, dan N-gain pada materi gerak lurus pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 2 dan hasil uji hipotesis skor pretest, posttest, gain dan N-gain pada materi gerak lurus kedua kelas dapat dilihat pada Tabel 3 (signifikansi 0,05). Tabel 2 Rata-rata nilai hasil belajar siswa Kelompok N Pretest Posttest N-gain Eksperimen 37 27,89 82,50 0,76 Kontrol 36 26,02 79,82 0,73
Signifikansi Keterangan 0,436 0,177 0,328
Tes KBK N-gain Kategori N Pretest Posttest Eksperimen 37 47,84 77,84 0,58 Sedang Kontrol 36 52,23 77,41 0,49 Sedang Kelompok
Tabel 5 Hasil uji keterampilan berfikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol No Sumber data 1 Pretest 2 Posttest 3 N-gain
Kategori Tinggi Tinggi
Tabel 3 Hasil uji hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol No Sumber data 1 Pretest 2 Posttest 3 N-gain
Tabel 4 Rata-rata nilai keterampilan berfikir kritis (KBK) siswa
Tidak berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan
Hasil belajar kognitif antara kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Masing-masing kelas menunjukkan peningkatan hasil belajar yang tergolong tinggi. Pada kelas eksperimen ini siswa lebih banyak terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru juga tergolong dalam kategori baik. Pada kegiatan awal guru membangkitkan minat belajar peserta didik dengan mengaitkan kegiatan atau pertanyaan-pertanyaan yang faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan konsep yang akan dibahas. Hal ini membuat siswa lebih siap untuk belajar. Selanjutnya, guru memberi kesempatan yang luas untuk belajar dan bekerja sama dalam kelompok kecil secara mandiri. Konsep belajar seperti ini akan berdampak positif terhadap hasil belajar. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan [11]. Pada kegiatan 32
Signifikansi Keterangan 0,106 0,744 0,002
Tidak berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan Ada perbedaan signifikan
Peningkatan keterampilan berpikir kritis (KBK) siswa pada masing-masing kelas tergolong pada kategori sedang. Masing-masing kelas menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan keterampilan berpikir kritis yang tergolong dalam kategori paling tinggi adalah pada sub indikator membuat induksi dan mempertimbangkan induksi dengan membuat sebuah kesimpulan dan yang tergolong dalam kategori paling rendah adalah memfokuskan pertanyaan. Hal ini mengindikasikan bahwa model pembelajaran Learning Cycle mampu mendorong keterampilan berpikir secara induktif. Kelebihan dari model Learning Cycle yaitu mampu meningkatkan motivasi belajar, membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa dan pembelajaran menjadi lebih bermakna, dan di sisi lain model ini menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran, pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi [1]. Pembelajaran Learning Cycle berpusat pada siswa (student center). Salah satu kegiatan siswa dalam pembelajaran ini adalah siswa diberikan kesempatan mencoba alternatif pemecahan dengan teman sekelompok, mencatat pengamatan, serta mengembangkan ide-ide baru [3]. Pembelajaran langsung lebih berpusat pada guru (teacher center). Kritik utama adalah model ini berpusat pada
Dian Nita Novita Sari et al. / Prosiding EduFi 2016 30 - 33
guru dan terlalu menekankan teacher talk menggunakan antara setengah sampai tiga per empat dari setiap periode pengajaran di kelas [12].
Kesimpulan Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajarkan menggunakan model siklus belajar 5E dan model pembelajaran langsung pokok bahasan gerak lurus kelas X di SMA Negeri 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016. Ada perbedaan yang signifikan antara peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang diajarkan menggunakan model siklus belajar 5E dan model pembelajaran langsung pokok bahasan gerak lurus kelas X di SMA Negeri 3 Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih pada pihak sekolah SMA Negeri 3 Palangka Raya yang telah berkenan menjadi tempat penelitian.
Referensi [1] Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, (Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2012). [2] Muhtar dan Yamin, Metode Pembelajaran yang Berhasil, (PT. Nimas Multima, Jakarta, 2005).
33
[3] M. Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Bumi Aksara, Jakarta, 2010). [4] Depdiknas, Mata Pelajaran Fisika Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , (Depdiknas, Jakarta, 2003). [5] Ahmadi dan Amri, Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas, (Prestasi Pusakarya, Jakarta, 2010). [6] J. Sutrisno, Menggunakan Keteramplan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran, (Erlangga, Jakarta, 2010). [7] A.L. Costa, Goal for Critical Thinking Curriculum. In Developing Minds: A. Resource Book for Teaching Thinking, (ASCD, Alexandria, 1985). [8] A. Latif, Penerapan Pembelajaran Learning Cycle 5E untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa SMA, (Bandung, Skripsi, Tidak Diterbitkan). [9] Y. Yuliati, Pengaruh Model Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa, (Bandung, Skripsi, Tidak Diterbitkan). [10] R. Sundayana, Statistika Penelitian Pendidikan, (Alfabeta, Bandung, 2014). [11] Slameto, Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya, (Rineka Cipta, Jakarta, 2003). [12] R.I. Arents, Learning to Teach Belajar untuk Mengajar, (Pustaka Belajar ,Yogyakarta, 2008).
Prosiding EduFi 2016 34 - 37 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Desain Didaktis Materi Penjumlahan Vektor Berdasarkan Hambatan Belajar pada Siswa SMA Kelas X Evi Fauzy Pebriani∗ , Ida Kaniawati, Heni Rusnayati Departemen Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudi, Bandung 40154
Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif menggunakan langkah-langkah penelitian desain ditaktis. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA kelas X di salah satu SMA di kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan belajar (learning obstacle, dalam hal ini hambatan epistimologis) siswa pada materi penjumlahan vektor pada pembelajaran fisika SMA kelas X. Hambatan epistimologi dipilih dengan asumsi bahwa pembelajaran fisika dengan materi penjumlahan vektor yang telah diberikan guru di kelas sebelumnya. Sehingga, hambatan belajar yang mungkin muncul adalah hambatan yang terjadi karena keterbatasan seseorang hanya pada suatu konteks tertentu atau pemahaman sebuah konsep yang tidak lengkap/tidak utuh. Fokus dari penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hambatan belajar yang dialami siswa dalam mempelajari materi penjumlahan vektor dalam pembelajaran fisika SMA kelas X dan kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan desain didaktis yang disesuaikan dengan karakteristik siswa. Dengan desain didaktis ini akan disusun suatu alternatif desain didaktis yang diharapkan mampu mengatasi sebagian atau seluruhnya hambatan belajar pada materi penjumlahan vektor pada pembelajaran fisika SMA kelas X. Selain itu juga, diharapkan dengan bahan ajar ini siswa akan diarahkan pada pembentukan suatu pemahaman yang utuh dan mampu mengaplikasikan konsep yang dipelajari. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: desain ditaktis, hambatan belajar, vektor ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian [1] terkait learning obstacle yang dialami siswa SMA kelas X pada materi penjumlahan vektor, yaitu bersumber pada pemahaman siswa terhadap vektor yang terlalu matematis, penggambaran vektor yang tidak sesuai dengan aturan sehingga terjadinya obstacle dalam menjumlahkan vektor secara grafis, kurangnya pengetahuan siswa terhadap trigonometri yang menyebabkan terjadinya obstacle pada penjumlahan vektor dengan menggunakan rumus dan penjumlahan vektor secara analitis menggunakan penguraian komponen-komponen vektor. Merujuk pada referensi [2] yang menjelaskan bahwa ”hambatan belajar (learning obstacle) yang dialami oleh seseorang dapat diminimalisir bahkan dihilangkan melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan learning obstacle yang dialaminya”. Selanjutnya dibuatlah desain pembelajaran
yang tidak hanya bertumpu pada materi, siswa ataupun guru secara terpisah, namun desain yang mencakup hubungan antara guru-siswa-materi. Menurut Kansanen dalam referensi [3] terdapat dua aspek dalam suatu proses pembelajaran, yaitu hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-materi. Hubungan guru-siswa-materi digambarkan sebagai sebuah ”segitiga didaktis yang menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa”. Learning obstacle diperlukan dalam merancang desain didaktis, agar mengetahui cara berpikir siswa dalam memahami suatu materi kemudian membantu guru dalam menciptakan situasi didaktis agar siswa dapat belajar (hubungan guru-siswamateri). Sehingga desain didaktis dapat meminimalisir atau menghilangkan obstacle siswa pada suatu materi.
Evi Fauzy Pebriani et al. / Prosiding EduFi 2016 34 - 37
Gambar 1 Segitiga didaktis yang dimodifikasi [3].
Metode Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan langkah-langkah penelitian Didactical Design Research (DDR). Berdasarkna referensi [3] ada tiga tahapan dalam DDR, yaitu (1) analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang berupa desain didaktis hipotesis termasuk ADP, (2) analisis metapedadidaktis, dan (3) analisis retrosfektif, yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil metapedadidaktis. Selanjutnya guru perlu mempertimbangkan berbagai jenis obstacle yang akan dialami oleh siswa paling tidak ada tiga jenis learning obstacle yang dapat terjadi, pertama karena ketidaksesuaian tingkat kemampuan berpikir siswa, baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah dari apa yang dituntut dan terkandung dalam bahan ajar (hambatan ontogeni); kedua karena keterbatasan konteks pada suatu konsep, sehingga jika disajikan dalam konteks berbeda siswa akan mengalami hambatan (hambatan epistimologis); dan ketiga karena adanya kekeliruan pada desain yang dibuat guru (hambatan didaktis) dalam membangun konsep pada siswa [4]. Penelitian dilakukan di salah satu SMA di Kota Bandung, dengan subjek penelitian di kelas X semester 2 sebagai subjek yang diberikan Tes Kemampuan Responden (TKR) untuk acuan dalam mengembangkan desain didaktis awal, kemudian tiga kelas siswa kelas X semester 1, sebagai subjek untuk implementasi desain didaktis dan pengambilan data melalui TKR untuk pengembangan desain didaktis materi penjumlahan vektor.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang akan disajikan yaitu desain didaktis berdasarkan hambatan belajar (learning obstacle) penjumlahan vektor. Desain didaktis penjumlahan vektor secara grafis dengan metode segitiga berdasarkan learning obstacle siswa
yang telah belajar materi penjumlahan vektor sebelumnya, yaitu: 1) tidak memahami cara penempatan penjumlahan vektor dari pangkal ke ujung, 2) tidak menggambarkan panah pada vektor, 3) tidak dapat menarik resultan vektor secara tepat, dan 4) tidak dapat menggambarkan vektor secara tepat baik bentuk maupun ukurannya. Umumya, siswa menganggap vektor sebagai sesuatu yang matematis sebab minimnya pengetahuan siswa terhadap contoh secara fisis. Sehingga dari hasil temuan learning obstacle siswa, dirancanglah desain didaktis awal kemudian diimplementasikan pada siswa yang belum belajar mengenai penjumlahan vektor. Desain didaktis mengalami dua kali revisi dan tiga kali implementasi di kelas. Rancangan desain didaktis penjumlahan vektor metode segitiga yaitu sebagai berikut. Langkah pertama, guru mengulas konsep dasar vektor disertai contoh yang membedakannya dengan skalar. Misalnya dengan siswa berjalan ke kanan dan ke kiri sehingga didapatkan besar dan arah perpindahannya. Vektor digambarkan dengan arah panah dan ukuran vektor bergantung pada besar perpindahan yang dilakukan. Hal ini dilaksanakan agar sisa dapat memegang prinsip bahwa suatu vektor jika digambarkan harus memperhatikan penggambaran panah dan ukuran serta bentuk yang konsisten skalanya dengan bantuan media serta manual di papan tulis untuk melatih siswa dalam menggambar. Selanjutnya siswa diberikan contoh dua vektor perpindahan dengan panjang dan kemiringan beragam kemudian siswa diminta untuk menarik resultan perpindahannya sesuai dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya, agar pembelajaran dapat menjadi pembelajaran bermakna yang sejalan dengan teori belajar Ausubel berdasarkan referensi [5] pembelajaran bermakna merupakan ”suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang”. Dari cara penarikan tersebut siswa memperhatikan tata cara penjumlahan vektor perpindahan yang digambarakan pangkal vektor bertemu dengan titik ujung vektor yang lain dan resultan vektor ditarik dari titik pangkal vektor pertama sampai titik ujung vektor kedua dan hasilnya membentuk geometri segitiga sehingga disebut penjumlahan vektor metode segitiga. Pemberian contoh dengan vektor perpindahan dimaksudkan agar siswa paham dulu mengenai tata cara penempatan penjumlahan vektor pangkal-ujung, setelah itu barulah dibimbing untuk menyelesaikan permasalahan dengan contoh besaran vektor lainnya, seperti gaya, kecepatan, dan percepatan.
Pada penjumlahan vektor secara grafis dengan metode segitiga berdasarkan hasil penelitian refer- Desain didaktis penjumlahan vektor secara ensi [1], terdapat 4 tipe learning obstacle yang dite- grafis dengan metode poligon berdasarkan learnmukan pada hasil TKR yang diberikan pada siswa ing obstacle siswa 35
Evi Fauzy Pebriani et al. / Prosiding EduFi 2016 34 - 37
Pada penjumlahan vektor secara grafis dengan metode poligon, menurut referensi [1] ditemukan learning obstacle dengan tipe-tipe hambatan yang sama dengan yang teridentifikasi pada penjumlahan vektor dengan metode segitiga.
obstacle siswa pada saat menjumlahkan dua buah vektor dengan aturan penjumlahan metode jajaran genjang yang kurang tepat, penarikan gambar resultan vektor, dan penentuan sudut apit antara dua buah vektor. Desain didaktis konsep penjumlahan vektor secara grafis menggunakan metode jajaran genjang, yaitu pertama tiga orang siswa maju ke depan, satu orang ditarik oleh dua orang temannya dengan arah penarikan saling tegak lurus. Siswa diminta untuk memperhatikan ke arah mana temannya terjatuh. Kemudian siswa diarahkan untuk menggambarkannya dalam LKS sebagai awal untuk memperkenalkan penjumlahan vektor metode jajaran genjang. Siswa kemudian mengerjakan contoh penjumlahan vektor lain dengan vektor yang tidak tegak Gambar 2 Jawaban TKR siswa [1]. lurus, sehingga gambarnya menyerupai bentuk jajaran genjang. Kesimpulan mengenai metode yang Pada Gambar 2, siswa pada dasarnya tidak digunakan disebut metode jajaran genjang didapat merepresentasikan melalui gambar dengan baik dan dengan membiarkan siswa untuk mengkonstruksi benar sehingga berdampak pada tidak dapat menpemikirannya sendiri yang berdasarkan pengejumlahakan vektor dengan metode poligon yang attahuan yang telah diterimanya mengenai metode urannya sama dengan metode segitiga, dengan tipe segitiga dan poligon. Pencarian sudut apit antaran soal yang diberikan yaitu masih berupa dua jenis dua buah vektor yang dijumlahkan dengan metode soal yang sama konsep, berbeda konteks. jajaran genjang berguna untuk mencari besar resulDari hasil penemuan obstacle yang dialami tan vektor dengan metode lain secara perhitungan siswa, dirancanglah desain didaktis awal yang menggunakan rumus. dilengkapi dengan prediksi respon siswa disertai antisipasi didaktisnya, kemudian diimplementasikan Desain didaktis penjumlahan vektor menggupada kelas dengan siswa yang belum belajar veknakan rumus berdasarkan learning obstacle siswa tor serta mengalami dua kali revisi. Pada penjumlahan vektor secara analitis mengPada konsep ini, pembelajaran dirancang agar gunakan rumus, terdapat 2 tipe learning obstacle dapat mendorong siswa untuk mengkonstruksi yang ditemukan pada hasil TKR yang diberikan pengetahuannya sendiri dengan menghubungkan pada siswa yang telah belajar materi penjumlapengetahuan yang telah diterima sebelumnya han vektor sebelumnya, yaitu: 1) tidak dapat melalui kegiatan bimbingan secukupnya dari orang menuliskan rumus (aturan cosinus) dengan tepat, dewasa (guru) atau teman yang lebih cakap, sesuai 2) tidak dapat menentukan sudut yang digunakan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Vydalam perhitungan. Hal ini berarti siswa mengotski [6]. Pada pembelajaran penjumlahan vektor galami obstacle yang disebabkan karena pengedengan metode poligon, siswa menggunakan pengetahuan siswa yang kurang pada materi trigonometri tahuannya pada penjumlahan vektor metode segit[1]. iga dengan contoh dua buah vektor perpindahan yang dijumlahkan membentuk bangun datar segitiga sehingga disebut metode segitiga. Pengetahuan itulah yang diharapkan menjadi dorongan untuk siswa agar dapat menyimpulkan metode poligon karena geometri yang dibentuk berupa poligon sebagai hasil dari penjumlahan beberapa vektor. Desain didaktis penjumlahan vektor secara grafis dengan metode jajaran genjang berdasarkan learning obstacle siswa
Pada penjumlahan vektor dengan metode jajaran genjang, berdasarkan referensi [1] didapatkan temuan learning obstacle diantaranya masih sama dengan hambatan yang teridentifikasi pada metode segitiga dan poligon yakni terkait dengan representai vektor melalui gambar. Dua tipe lainnya, yaitu: 36
Gambar 3 Penurunan rumus cosinus.
Desain didaktis konsep penjumlahan vektor menggunakan rumus, yaitu siswa menemukan rumus cosinus yang ditemukan dari penurunannya secara singkat disesuaikan dengan kemampuan siswa, minimal diberitahukan asal muasal digunakan rumus cosinus yang dikaitkan dengan kesebangunan bangun datar dari bangun datar segitiga se-
Evi Fauzy Pebriani et al. / Prosiding EduFi 2016 34 - 37
hingga memudahkan siswa untuk menghafal rumusnya dibimbing guru seperti pada Gambar 3. Pada awal mempelajari penggunaan rumus, siswa diwajibkan untuk menggambarkan sketsa gambar penjumlahan dua vektor dengan metode jajaran genjang agar sudut yang akan digunakan dalam rumus dapat ditentukan dengan jelas. Minimal siswa menggambarkan sketsa penggabungan dua buah vektor dengan menempatkan kedua titik pangkalnya pada satu titik seperti pada metode jajaran genjang. Penjumlahan vektor menggunakan rumus menggunakan pembelajaran yang harus dapat memberikan makna pada siswa, salah satunya dengan memberikan pengetahuan dari mana rumus tersebut berasal. Meski demikian, untuk siswa SMA kelas X rumus diberikan dengan dimensi penerimaan seperti yang dikatakan oleh Ausubel dalam teori belajar bermakna, siswa menganalisis hadirnya rumus berdasarkan pengetahuan kognitif yang telah dimilikinya, seperti konsep bangun datar segitiga. Desain didaktis penjumlahan vektor secara analitis menggunakan penguraian komponen vektor berdasarkan learning obstacle siswa
Learning obstacle yang dialami siswa terjadi pada saat menguraikan komponen-komponen vektor pada sumbu x maupun pada sumbu y, sehingga berakibat pada tidak tepatnya dalam melakukan penjumlahan vektor dengan benar dan resultan yang didapatkan keliru. Kekeliruan siswa terjadi karena cara belajar siswa masih dalam tahap menghafal, belum memaknai arti dari penguraian komponen vektor sehingga dalam menentukan besar sudut dan penggunaan sinus cosinus masih terbalik dan tidak tepat. Hal ini diakibatkan karena keterbatasan siswa dalam memahami konsep trigonometri. Desain didaktis pada konsep penjumlahan vektor secara analitis menggunakan penguraian komponen vektor berdasarkan temuan obstacle pada pembahasan sebelumnya, yaitu pertama, guru menjelaskan bahwa pada suatu vektor yang terletak dalam sistem koordinat memiliki komponenkomponen vektor, kemudian guru memperlihatkan sistem koordinat disertai sebuah vektor, kemudian dilakukan pemecahan komponen vektor terhadap kedua sumbu koordinat. Guru menjelaskan bahwa siswa harus menjumlahkan komponen-komponen vektor terlebih dulu di masing-masing sumbu. Pembelajaran sebaiknya digunakan pembelajaran yang harus dapat memberikan makna pada siswa, sehingga siswa tidak harus menghafalkan
37
rumus atau menghafalkan penggunaan sin atau cos. Siswa belajar melalui belajar penerimaan berdasarkan teori belajar Ausubel dengan menghadirkan tiga rumus trigonometri. Kemudian diterapkan pada bangun datar yang dibentuk pada saat menguraikan penguraian komponen yang pertama pada sumbu x misalnya, kemudian siswa harus mengkonstruktif pengetahuannya sendiri ketika menguraikan komponen vektor pada sumbu y dan penguraian komponen pada vektor lain berdasarkan teori belajar konstruktif Vygotski. Siswa dibiarkan untuk melihat bangun datar yang dibangun oleh Fx , Fy , dan F agar siswa paham mengapa digunakan rumus phytagoras untuk menentukan besar resultan vektor.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa desain didaktis pembelajaran materi penjumlahan vektor dirancang berdasarkan learning obstacle yang teridentifikasi, sehingga desain tersebut dapat menjadi desain didaktis alternatif pembelajaran yang diterapkan melalui implementasi pembelajaran untuk dapat melihat kesesuaian antara prediksi respon siswa dengan respon siswa yang terjadi di lapangan, dengan urutan konsep: a) penjumlahan vektor metode jajaran genjang, b) penjumlahan vektor metode segitiga dan poligon, c) penjumlahan vektor menggunakan rumus cosinus, dan d) penjumlahan vektor metode analitis melalui penguraian komponenkomponen vektor.
Referensi [1] BSNP, Panduan Penyusunan KTSP Jenjang KTSP, (BSNP, Jakarta, 2006). [2] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013). [3] M. Asrori, Psikologi Pembelajaran, (CV. Wacana Prima, Bandung, 2012). [4] A. Majid, Strategi Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013). [5] A. Suprijono, Cooperative Learning dan Aplikasi PAIKEM, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009). [6] A. Shoimin, 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013, (Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2014). [7] S. Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas, (Bumi Aksara, Jakarta, 2008).
Prosiding EduFi 2016 38 - 38† http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis Puji Anastasia∗ , Siswoyo, Vina Serevina Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda, Jakarta 13220
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share (TPS) pada materi Elastisitas dan Hukum Hooke di SMA. Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 89 Jakarta pada bulan Januari 2015. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen dengan jenis eksperimen semu (quasi experiment). Sampel yang digunakan sebanyak 36 siswa yang mempunyai kondisi yang sama. Sampel dari penelitian ini adalah 2 kelas yang terdiri dari 36 siswa dari kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen dan 36 siswa dari kelas X MIA 2 sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Elastisitas dan Hukum Hooke berbentuk essai sebanyak 10 soal. Reliabilitas pada soal uji coba diukur dengan rumus alpha. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Lilliefors dengan taraf signifikan α = 0, 05. Pe- ngujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Bartlet dengan taraf signifikan α = 0, 05. Sedangkan uji hipotesis dengan menggunakan uji t. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: Think-Pair-Share, Elastisitas dan Hukum Hooke, kemampuan berpikir kritis ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
† Naskah lengkap tidak tersedia (not available, N/A)
Prosiding EduFi 2016 39 - 42 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengaruh Model Pembelajaran Problem Solving Melalui Metode AIR (Auditory-Intellectually-Repetition) Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMAN 1 Gunungsindur Irfan Abdul Gaffar Siddiq, Tri Isti Hartini∗ Prodi Pendidikan Fisika, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jl. Tanah Merdeka, Jakarta 13830
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem solving melalui metode AIR (Auditory-Intellectually-Repetition) terhadap prestasi belajar fisika siswa di SMAN 1 Gunungsindur. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN 1 Gunungsindur. Sampel penelitian 31 siswa ditentukan dengan sampling purposive. Hasil analisis deskripsi mengungkapkan, bahwa nilai rata-rata pretest siswa sebelum dilakukan perlakuan sebesar 37,58 dan nilai posttest setelah diberi perlakuan sebesar 78,61. Hasil analisis korelasi menunjukan pengaruh model pembelajaran problem solving melalui metode AIR memberikan hubungan yang sangat signifikan (rxy = 0, 975; thitung = 3, 525; ttabel 1,697 dan 2,460) terhadap prestasi belajar fisika siswa. Hasil analisis korelasi mengungkapkan adanya sumbangan positif yang sangat signifikan model pembelajaran problem solving melalui metode AIR terhadap prestasi belajar fisika siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran problem solving melalui metode AIR terhadap prestasi belajar fisika siswa di SMAN 1 Gunungsindur. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: belajar, model problem solving, metode AIR (Auditory-Intellectually-Repetition), fisika, prestasi belajar ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
model pembelajaran pemecahan masalah yang Fisika merupakan cabang ilmu sains yang mem- pada proses pemecahan masalah tersebut dilakukan pelajari tentang fenomena atau kejadian yang ter- dengan mengintegrasikan kegiatan auditory, inteljadi di alam ini. Fisika adalah ilmu yang mempela- lectually, dan repetition. jari hubungan antara materi dan energi [1]. Keberadaan fisika di sekolah merupakan bagian pent- Kajian Pustaka ing yang harus dipelajari oleh siswa, karena berkaiJames O. Whittaker, merumuskan ”belajar setan dengan permasalahan fisika dalam kehidupan bagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau sehari-hari. Menurut Edger Dale daya ingat dapat diubah melalui latihan atau pengalaman” [3]. Bemencapai 70% - 90% jika siswa melakukan kegiatan lajar merupakan proses belajar hasil dari kegiatan berpartisipasi dalam lokakarya, merancang pembe- latihan yang secara terus menerus yang akan memlajaran berkolaborasi, melakukan pengalaman sim- peroleh pengalaman yang tidak akan dilupakan. ulasi nyata, dan melakukan pertunjukan [2]. Latihan merupakan belajar dengan cara membiSalah satu model pembelajaran dan metode pembelajaran yang mampu memecahkan permasalahan di atas adalah model pembelajaran problem solving melalui metode AIR (AuditoryIntellectualy-Repetition). Model pembelajaran problem solving melalui metode AIR merupakan
asakan diri dengan mengulang. Belajar dengan cara latihan termasuk memperkuat ingatan. Semakin sering melakukan latihan maka akan terjadi perubahan tingkah laku berupa semakin terampilnya melakukan segala usaha serta memperoleh pengalaman langsung.
Irfan Abdul Gaffar Siddiq et al. / Prosiding EduFi 2016 39 - 42
Menurut Zainal Arifin dalam buku Evaluasi, prestasi belajar pada umumnya berkenaan pada aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik [4]. Prestasi belajar dan hasil belajar mempunyai perbedaan dimana prestasi merupakan hasil yang telah diperoleh siswa dalam bentuk kognitifnya sedangkan hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik dan afektif. Menurut Sofan Amri dalam buku Pengembangan Model pembelajaran dalam Kurikulum 2013 mengatakan bahwa model pembelajaran adalah sebagai suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa [5]. Model pembelajaran merupakan desain yang menggambarkan situasi dalam lingkungan pembelajaran yang didalamnya terjadi interaksi sehingga siswa mengalami perubahan atau perkembangan dalam dirinya. Model pembelajaran problem solving menekankan pada kegiatan belajar siswa yang bersifat optimal, dalam menemukan jawaban atau pemecah terhadap suatu permasalahan, belajar semacam ini memungkinkan siswa mencapai pemahaman yang tinggi terhadap apa yang dipelajari. Disamping itu proses belajar menekankan prinsip - prinsip ilmiah yang bersifat kritis dan analitis. Dalam problem solving tugas guru adalah memberikan kasus atau masalah kepada peserta didik untuk dipecahkan [6]. Metode Pembelajaran AIR (AuditoryIntellectualy-Repetition) merupakan kombinasi tipe belajar dari auditory, intellectualy, dan repetition. Ketiga tipe tersebut saling berkaitan [7]. Belajar dengan auditory merupakan gaya belajar dengan mengaktifkan indra pendengaran, intellectualy merupakan kekampuan diri dalam menciptakan, memecahkan masalah, membangun makna dan merenung, sedangkan repetition (repetisi) merupakan aktivitas belajar dengan cara mengulangi pelajaran agar siswa atau anak didik dapat menerima dan mengerti apa yang telah diajarkan [8]. Problem solving dengan menggunakan metode AIR merupakan kegiatan pemecahan masalah yang dilakukan dengan mengandung kegiatan auditory, intellectualy dan repetition. Proses pemecahan masalah tersebut dilakukan pada kegiatan belajar auditory, intellectualy dan repetition yang diharapkan dapat menyelesaikan dengan benar permasalahan yang telah diberikan. Problem solving dengan metode AIR memiliki langkah-langkah sebagai berikut : • Menyajikan masalah. Siswa dihadapkan pada permasalahan yang ada di sekitar lingkungan siswa tersebut. 40
Guru menyampaikan permasalahan yang akan diselesaikan oleh siswa. Penyampaian tersebut dapat dilakukan dengan menggali pengalaman pendahuluan siswa yang pernah dialami dalam kehidupannya. Caranya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan. Lalu siswa dirangsang untuk mengungkapkan pendapatnya, diberi kesempatan mengemukakan faktafakta, tanggapan, dan penafsiran suatu argumen. • Memahami masalah dan mengidentifikasi permasalahan. Siswa setelah menyadari adanya permasalahan harus dirangsang untuk menelaah masalah tersebut agar mendapatkan gambaran yang luas terhadap masalah. Kemudian menguraikan masalah menjadi khusus. Siswa dengan singkat merumuskan masalah sebenarnya hal ini merupakan latihan berfikir tepat, tegas dan kreatif. • Merencanakan penyelesaian permasalahan dan mencari alternatif penyelesaian masalah. Dengan kemampuan intelektual yang dimiliki siswa memulai untuk merencanakan penyelesaian masalah. Dalam mencari alternatif penyelesaian masalah Siswa melakukan percobaan atau mengemukakan argument dalam proses pembelajaran. Pada proses mencari altrnatif penyelesaian masalah dengan mengumpulkan data data siswa didiorong untuk belajar memverifikasi, mengklasifikasikan, mengkategorikan dan mereduksi data-data. • Menilai setiap alternatif pemecah masalah. Kemampuan siswa menilai setiap permasalahan agar mendapatkan penyelesaian yang sempurna. Siswa berkomunikasi dan melakukan kerja sama dengan guru dan siswa lainya untuk mengemukakan pendapatnya tentang pemecahan masalah yang mungkin dilakukan. • Melakukan pengecekan kembali setiap langkah dan melakukan uji hipotesis. Menguji hipotesis merupakan mencari bukti yang dapat menguatkan atau menolak hipotesis tersebut. Dalam pengujian hipotesis pengulangan terhadap langkah-langkah penting dilakukan agar mendapatkan kebenaran dalam penyelesaian masalah. • Menarik kesimpulan. Siswa membuat penyelesaian masalah mulai dari langkah awal hingga akhir dan menarik kesimpulan atas penyelesaian tersebut. Siswa mengemukakan hasil diskusinya yang telah melewati pengecekan kembali.
Irfan Abdul Gaffar Siddiq et al. / Prosiding EduFi 2016 39 - 42
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen awal atau pre-experiment dengan desain One-Group Pretest-Posttest Design yaitu penelitian eksperimen yang perlakuannya hanya pada satu kelompok tanpa ada kontrol terhadap validitas internal. Di dalam penelitian ini observasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen disebut pre-test dan observasi sesudah eksperimen disebut post-test [9]. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling, sehingga kelas XI-IPA 1 belajar fisika dengan menggunakan model pembelajaran problem solving melalui metode AIR sebagai kelas eksperimen dengan materi pelajaran teori kinetik gas.
Gambar 1 Distribusi frekuensi skor sebelum perlakuan.
Dari data yang diperoleh siswa yang dijadikan sampel pada kelas eksperimen berjumlah 31 siswa. Dari hasil perhitungan diperoleh skor terendah 52 dan tertinggi 96. Maka rentangan data (R) yaitu 96 - 52= 44. Banyaknya interval kelas (K) = 5,95 dibulatkan menjadi 6. Dan panjang interval kelas (P ) adalah 8. Perhitungan data dengan frekuensi Hasil dan Pembahasan Dari hasil perhitungan skor, diperoleh skor terbanyak (modus) = 79,67, perhitungan data tenterendah 20 dan skor tertinggi 50. Maka rentangan gah (median) = 79,5. Dan rata-rata (mean) = data (R) yaitu 50 - 20 = 30, banyaknya interval ke- 78,76, sedangkan simpangan baku (S) diperoleh = las (K) = 5,95 dibulatkan menjadi 6 dan panjang 7,57. interval kelas (P ) = 6. Perhitungan data dengan Tabel 2 Distribusi frekuensi skor sesudah perlakuan frekuensi terbanyak (modus) = 39,68. Dengan ratarata (mean) = 38,56, dan perhitungan nilai tengah (median) = 39. Sedangkan simpangan baku diperoleh (S) = 8,93. Tabel 1 Distribusi frekuensi skor sebelum perlakuan
Tabel 2 merupakan distribusi skor prestasi siswa setelah diberi perlakuan. Dari tabel tersebut terlihat skor prestasi siswa setelah perlakuan sudah tinggi atau meningkat dari sebelumnya. Hal ini terlihat dari siswa yang memperoleh skor diatas batas Tabel di atas merupakan distribusi skor prestasi keriteria ketuntasan minimal belajar dengan skor siswa sebelum diberi perlakuan. Dari tabel terse- 75 sebanyak 24 siswa. but terlihat skor prestasi siswa sebelum perlakuan masih rendah. Hal ini terlihat dari frekuensi skor tertinggi dengan rentang 50 sampai 55 yang diperoleh siswa sebanyak 5 siswa dari 31 siswa, meskipun belum mencapai standar ketuntasan belajar yaitu 75. Gambar 1 menyajikan distribusi frekuensi prestasi belajar sebelum diberi perlakuan. Pada sumbu X merupakan interval kelas dan pada sumbu Y merupakan jumlah frekuensi. Dari grafik tersebut terlihat frekuensi tertinggi yaitu 10 dengan kelas interval 38 sampai 43 dan frekuensi terendah yaitu 2 dengan kelas interval 20 sampai 25 dan 44 sampai 49. Gambar 2 Distribusi frekuensi skor sesudah perlakuan. 41
Irfan Abdul Gaffar Siddiq et al. / Prosiding EduFi 2016 39 - 42
Grafik di atas menggambarkan distribusi standar ketuntasan kompetensi mengajar frekuensi siswa setelah diberikan perlakuan. Pada sebesar 75. sumbu X yaitu interval kelas dan pada sumbu Y • Berdasarkan hasil uji korelasi antara variabel yaitu frekuensi. Dari grafik tersebut sebagian besar model pembelajaran problem solving melalui siwa,memperoleh nilai 76 - 83 yaitu dengan nilai metode AIR terhadap prestasi belajar fisika 76 sebanyak enam siswa. Untuk nilai tertinggi tersiswa memperoleh korelasi sebesar 0.978 dan letak pada 92 - 99 yaitu dengan nilai 96 sebanyak berdasarkan interpretasi, korelasi 0,978 tergosatu siswa. Dan untuk nilai terendah terletak pada long sangat tinggi. 52 - 59 dengan nilai 52 sebanyak satu siswa. Pada hipotesis statistik terjadi penerimaan H0 • Dalam perhitungan uji-t didapatkan thitung karena H0 = µ1 ≤ µ2 dan penolakan H1 karena sebesar 3,525, dengan taraf signifikansi α = µ1 > µ2 dimana nilai rata-rata pre-test lebih kecil 0, 05 dan derajat kebebasan (db) = 30 sedaripada rata-rata post-test [10]. Dan dalam perhingga didapatkan ttabel = 1, 967 dan taraf hitungan uji-t didapatkan sebesar 3,525 dan ttabel signifikan α = 0, 01 dan derajat kebebasan sebesar 1,697 maka thitung > ttabel yaitu 3, 525 > (db) = 30 didapatkan ttabel = 2, 46. Hasilnya 1, 697, maka terdapat pengaruh antara problem thitung > ttabel yaitu 3, 525 > 1, 697 dan 2,46, solving melalui metode AIR terhadap prestasi belamaka H0 ditolak. Dengan demikian H1 dijar yang ditandai dengan penerimaan H1 . Daerah terima yang menyatakan terdapat pengaruh yang diasir merupakan penerimaan H1 sebesar model pembelajaran problem solving melalui 3,525 dan daerah penolakan 1,697. metode AIR terhadap prestasi belajar fisika Berdasarkan hasil penelitian dan pengolasiswa di SMAN 1 Gunungsindur. han data prestasi belajar siswa, terdapat pengaruh model pembelajaran problem solving melalui Dari kesimpulan penelitian ini maka diberikan metode AIR terhadap prestasi belajar siswa di saran sebagai berikut. SMAN 1 Gunungsindur. Hal ini dilihat dari ni• Pembelajaran hendaknya memilih dan menglai rata-rata prestasi belajar pada materi ajar gunakan model pembelajaran dan metode teori kinetik gas, yaitu sebelum diberikan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang pembelajaran ini adalah 37,58, sedangkan sesudah akan diajarkan sehingga kegiatan pembeladiberikan adalah 78,61. jaran di kelas lebih efektif dan tercapainya tuPada hipotesis statistik terjadi penerimaan H0 juan pembelajaran yang diinginkan. karena H0 = µ1 ≤ µ2 dan penolakan H1 karena µ1 > µ2 dimana nilai rata-rata pre-test lebih kecil • Pembelajaran dilengkapi dengan mediadari pada rata-rata post-test. Dan dalam perhitunmedia pembelajaran yang menarik sehingga gan uji-t didapatkan sebesar 3,525 dan ttabel sebesiswa turut ikut dalam proses pembelajaran. sar 1,697 maka thitung > ttabel yaitu 3, 525 > 1, 697, maka terdapat pengaruh antara problem solving melalui metode AIR terhadap prestasi belajar Referensi [1] M. Kanginan, Fisika untuk SMA X, (Eryang ditandai dengan penolakan H0 . Adanya penlangga, Jakarta, 2007). garuh yang sangat signifikan dalam perlakuan pen[2] R.A. Sani, Inovasi Pembelajaran, (Bumi Akgaruh model pembelajaran problem solving melalui sara, Jakarta, 2013). metode AIR terhadap prestasi belajar siswa di [3] S.B. Djamarah, Psikologi Belajar, (Rineka SMAN 1 Gunungsindur. Cipta, Jakarta, 2011). [4] Z. Arifin, Evaluasi Pendidikan, (Remaja Kesimpulan dan Saran Rosda Karya, Bandung, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan [5] S. Amri, Pengembangan Model pembelajaran di SMAN 1 Gunungsindur selama 6 kali perteKurikulum 2013, (Prestasi Pustaka Raya, muan dengan model pembelajaran problem solving Jakarta, 2013). melalui metode AIR (Auditory-Intellectualy- Rep[6] L. Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Waetition) dapat disimpulkan sebagai berikut. cana Prima, Bandung, 2009). [7] Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, • Terdapat pengaruh model pembelajaran prob(Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2014). lem solving melalui metode metode AIR ter[8] M. Dave, The Accelerated Learning, (Kaifa, hadap prestasi belajar fisika siswa di SMAN Bandung, 2002). 1 Gunungsindur. [9] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Al• Hasil perhitungan prestasi belajar fisika siswa fabeta, Bandung, 2013). didapatkan untuk rata -rata pre-test yaitu [10] A. Kusdiwelirawan, Statistika Pendidikan, 38,56 dan rata-rata post-test 78,76 dimana (Uhamka Press, Jakarta, 2014). 42
Prosiding EduFi 2016 43 - 48 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Meningkatkan Aktivitas Siswa di Kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Menggunakan Media Permainan Dadu Syubhan An’nur∗ , Mastuang, Maulida Rahmah Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjen H Hasan Basri, Banjarmasin 70123
Abstrak Tidak aktifnya siswa dikarenakan pembelajaran hanya dilakukan dengan metode ceramah, mengerjakan soal dan mengumpulkannya pada pertemuan berikutnya, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang bertujuan meningkatkan aktivitas belajar siswa di kelas VII SMP Negeri 7 Banjarmasin. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) keterlaksanaan RPP, (2) aktivitas siswa, (3) hasil belajar. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) model Hopkins yang terdiri atas tiga siklus, dimana setiap siklus meliputi plan, action/observation, dan reflective. Data diperoleh melalui tes, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) keterlaksanaan RPP model pembelajaran kooperatif pada siklus I secara umum terlaksana baik, siklus II terlaksana sangat baik, dan siklus III terlaksana sangat baik, (2) aktivitas siswa terdiri dari menjadi pendengar yang baik, mengajukan pertanyaan, bekerja sama di dalam kelompok, menyajikan hasil diskusi, melakukan percobaan dan berpartisipasi dalam turnamen secara umum pada siklus I berkategori cukup baik, pada siklus II berkategori baik sedangkan pada siklus III berkategori sangat baik, (3) peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa yaitu siklus I sebesar 9,09% (tuntas), siklus II sebesar 39,39% (tuntas) dan siklus III sebesar 84,85% (tuntas). Dapat disimpulan bahwa aktivitas siswa kelas VII SMP Negeri 7 Banjarmasin dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) menggunakan media permainan dadu pada materi ajar suhu dan pemuaian. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: kooperatif tipe TGT, aktivitas belajar, permainan dadu ∗ Penulis koresponden. Alamat email: subhan
[email protected]
Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik [1]. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 diatur dalam Peraturan Pemerintahan RI
Nomor 19 Tahun 005 tentang Standar Nasional Pendidikan Nasional yang diperjelas dengan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2007 Tanggal 23 Mei 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa mutu pembelajaran di sekolah dikembangkan dengan menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada standar proses, melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreatifitas, dan dialogs, diharapkan siswa mencapai pada pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan dan memprediksi [2]. Dalam KTSP memiliki karakteristik sebagai
Syubhan An’nur et al. / Prosiding EduFi 2016 43 - 48
berikut: (1) KTSP peserta didik dibentuk untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat yang pada akhirnya akan membentuk pribadi yang terampil dan mandiri, (2) KTSP berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapain suatu kompetensi [3].
yang berpusat pada pendidik (teacher centered) dengan teknik pembelajaran ekspositori, yaitu pemindahan pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik secara langsung. (2) Dalam belajar siswa kurang aktif sehingga berdampak pada hasil belajar siswa yang masih rendah. Rendahnya hasil belajar siswa dapat terlihat berdasarkan nilai hasil ulangan harian siswa kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin pada semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016 untuk mata pelajaran IPA Terpadu, dari 33 siswa kelas VII A semua siswa dinyatakan tidak tuntas dan berada di bawah kriteria Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Na- ketuntasan minimal (KKM) standar yaitu 80. (3) sional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Siswa menyatakan bahwa pembelajaran IPA kurang Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kom- menyenangkan karena materi terlalu sulit, selama petensi Guru, dijelaskan bahwa standar kompe- proses pembelajaran siswa lebih banyak mendentensi guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompe- garkan penjelasan dan mencatat pelajaran yang tensi utama, yaitu: kompetensi pedagogik, keprib- berdampak pada kurang aktifnya siswa. adian, sosial, dan profesional. Guru mempunyai Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di tugas yang berat karena dalam Undang-Undang atas maka diperlukan suatu solusi untuk mengubah No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab pembelajaran yang bermula berpusat pada guru I Pasal 1 dijelaskan bahwa guru adalah pendidik (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa profesional dengan tugas utama mendidik, men- (student centered), dimana pada proses pembelagajar, membimbing, mengarahkan, melatih, me- jaran ini terjadi interaksi antara guru dengan siswa nilai dan mengevaluasi peserta didik pada pen- dan siswa dengan siswa lainnya. Oleh karena itu didikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pen- peneliti tertarik untuk menggunakan salah satu didikan dasar dan pendidikan menengah. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games diharapkannya guru menjadi pendidik yang profe- Tournament (TGT), yaitu salah satu tipe dari sional, pembelajaran hendaknya dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif yang melibatkan menekankan adanya kerja sama antar siswa dalam aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan kelompoknya untuk mencapai tujuan belajar. Den- jenis kelamin, ras, maupun etnis, melibatkan peran gan demikian siswa bisa mencapai hasil belajar se- siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unbagaimana teman-temannya. Dalam sistem pem- sur permainan (game academic) untuk mencapai belajaran kooperatif terdapat saling ketergantun- tujuan pembelajaran berupa prestasi belajar siswa gan positif untuk mencapai tujuan belajar, sehingga dan minat siswa yang positif terhadap pembelasiswa dapat mengembangkan potensi secara opti- jaran. Pada pembelajaran ini guru memegang permal dengan cara berpikir aktif dalam proses bela- anan penting dalam mengkondisikan siswa untuk jar. Selama proses pembelajaran, kesulitan mem- belajar. pelajari Ilmu Pengetahuan Alam(IPA) dapat ditinModel pembelajaran kooperatif tipe Teams jau dari kelemahan pembelajaran IPA selama ini, Games Tournament (TGT) namun dengan media yaitu lebih menekankan pada aspek menghafal se- tambahan berupa permainan dadu. Permainan jumlah konsep (kognitif), dan kurang menekankan dadu merupakan salah satu permainan terkenal pada penguasaan/pemahaman konsep alam seki- di dunia. Tujuan permainan ini adalah melewati tar melalui pendekatan keterampilan proses karena semua petak-petak yang disediakan. Setiap peIPA merupakan suatu proses dan produk. Se- main melemparkan dadu secara bergiliran untuk baiknya kegiatan pembelajaran IPA lebih diarahkan memindahkan gacunya, dan apabila ia mendarat di pada pembelajaran aktif (active learning) agar guru petak yang sama dengan gacu lainnya maka gacu berperan sebagai fasilitator dan motivator bagi sebelumnya harus kembali bermain dari awal. Nasiswa, sehingga siswa akan lebih aktif dan termo- mun kali ini dengan modifikasi permainan yang tivasi melakukan demonstrasi, percobaan, dan ek- dinamakan permainan dadu sains/fisika. Pembesplorasi atau penemuan tanpa mengabaikan tujuan lajaran kooperatif TGT merupakan pembelajaan hasil pembelajaran [4]. yang melibatkan siswa dan menggunakan turnaBerdasarkan hasil wawancara dan observasi awal yang dilakukan peneliti dengan guru Hasanah, S.Pd di kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin menyatakan bahwa: (1) Dalam proses pembelajaran guru hanya menggunakan pembelajaran langsung (direct instruction) merupakan pembelajaran 44
men permainan akademik. Dalam turnamen siswa berkompetisi dengan anggota tim lain agar dapat menyumbangkan poin pada skor tim mereka. Timtim yang berkinerja tinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk-bentuk penghargaan tim yang lain, tim terdiri dari 4 atau 5 siswa yang mewakili seluruh
Syubhan An’nur et al. / Prosiding EduFi 2016 43 - 48
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan mempersiapkan untuk mengerjakan soal turnamen dengan baik [5]. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dan meningkatkan prestasi belajarnya. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian [6], [7], dan [8], yang menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin maka perlu dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang diajukan untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) menggunakan media permainan dadu.
gatahuan awal siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran, menyampaikan aturan main TGT, menyampaikan keterampilan kooperatif, membagi kelompok-kelompok heterogen, membimbing kelompok memahami materi, mengarahkan siswa menuju meja pertandingan, mengingatkan aturan main, membimbing siswa melakukan pertandingan, memberikan skor dan penghargaan, pemantapan dan evaluasi. Observasi Selama melakukan tindakan kelas, pengamatan dilakukan oleh observer (teman sejawat). Pengamatan dilakukan pada keterlaksanaan RPP dan Aktivitas yang dilakukan oleh siswa selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, serta pengelolaan pembelajaran guru, setelah proses pembelajaran dilakukan tes hasil belajar.
Reflektif Setelah semua data terkumpul meliputi keterlaksanaan RPP, Aktivitas siswa, dan tes hasil belajar, selanjutnya dilakukan analisis dan refleksi antara guru/peneliti dan observer. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, paparan, dan kesimpulan. Selanjutnya refleksi untuk mengkaji tindakan terhadap keberhasilan pencapaian berbagai tujuan dan perlu tidaknya ditindak lanjuti dalam rangka mencapai tujuan akhir. Berdasarkan hasil Metode refleksi, maka kesalahan-kesalahan yang terjadi seJenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan lama pembelajaran dijadikan pertimbangan untuk kelas, karena digunakan untuk mengatasi adanya memperbaiki kesalahan pada siklus selanjutnya. masalah di kelas VII A SMPN 7 Banjarmasin yang Subjek dan Waktu Penelitian berkaitan dengan rendahnya aktivitas dan hasil Subjek penelitian adalah peneliti sebagai pengabelajar siswa dengan menerapkan model pembela- mat dan siswa kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarjaran kooperatif tipe TGT. Alur PTK ini menggu- masin Tahun Ajaran 2015/2016. Seluruh siswa nakan model Hopkins. berjumlah 33 orang, terdiri dari 15 orang siswa laki-laki dan 18 orang siswa perempuan. Penelitian Rencana Rencana merupakan rancangan awal yang harus ini dilaksanakan dari bulan November s/d Januari dilaksanakan peneliti sebelum melakukan sesu- 2016. atu. Rencana yang dilaksanakan meliputi: (1) Teknik Pengumpulan Data Menyusun RPP pembelajaran kooperatif tipe TGT Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dengan 3 siklus (1 siklus dilaksanakan dalam 1 data dalam penelitian ini adalah dengan mengpertemuan), (2) Menyusun hand out I: suhu, hand gunakan lembar pengamatan keterlaksanaan RPP out II: pemuaian pada zat padat, hand out III: pe- dalam kegiatan belajar mengajar, lembar Aktivitas muaian pada zat cair dan gas, (3) Menyusun THB siswa dalam kegiatan belajar mengajar, dan analiI: suhu, THB II: pemuaian pada zat padat, THB sis hasil belajar siswa. III: pemuaian pada zat cair dan gas, (4) Menyusun properti berupa papan dadu, soal dan jawaban tiap Teknik Analisis Data siklusnya, dan (5) Menyusun lembar pengamatan Dari data hasil penelitian ini dianalisis secara keterlaksanaan RPP dan lembar Aktivitas siswa. deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif akan dianalisis dengan mengTindakan gunakan persentase, sedangkan data yang bersifat Setelah kegiatan perencanaan selesai tahap kualitatif berupa data yang berupa kata-kata atau berikutnya adalah melakukan implemenkalimat yang dapat dikualifikasikan sesuai kriteria tasi/tindakan di kelas sesuai dengan langkahtertentu. langkah pembelajaran yang disusun dalam rencana pembelajaran. Adapun rencana pembelajaran yaitu memotivasi siswa, menggali pen45
Syubhan An’nur et al. / Prosiding EduFi 2016 43 - 48
Hasil dan Pembahasan
lembar pengamatan aktivitas yang diamati oleh Setelah dilakukan penelitian, berikut deskripsi 2 pengamat dengan rubrik yang telah disediakan. tentang pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Aktivitas siswa yang dimaksud adalah menjadi pendengar yang baik, mengajukan pertanyaan, bekTGT. erja sama di dalam kelompok, menyajikan hasil Keterlaksanaan RPP diskusi, melakukan percobaan dan berpartisipasi Keterlaksanaan RPP dilihat dari kemampuan dalam turnamen. Menjadi pendengar yang baik guru melaksanakan setiap fase pada model pem- maksud di sini adalah siswa mendengarkan penbelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan me- jelasan guru dengan tertib, seksama dan meredia dadu yang diukur dengan lembar pengamatan spon. Mengajukan pertanyaan maksudnya adalah dan dinyatakan dengan rata-rata penilaian keter- siswa bertanya dengan serius, dan pertanyaannya laksanaan dari kedua pengamat. Keterlaksanaan bersangkutan dengan materi pelajaran yang dibaRPP dikategorikan sangat kurang, kurang, cukup has. Bekerja sama di dalam kelompok maksudbaik, baik, dan sangat baik. nya adalah semua siswa berdiskusi dengan tertib, Hasil observasi keterlaksanaan RPP pada siklus dan ada yang memimpin diskusi dalam kelomI (telah terlaksana dengan baik dengan persen- pok. Menyajikan hasil maksudnya adalah siswa tase rata-rata adalah sebesar 77,80% dengan kat- menyajikan hasil diskusi/hasil yang didapat saat egori terlaksana baik dan reliabilitas yaitu sebesar percobaan, memperlihatkan data percobaan yang 98,40% dengan kategori tinggi. Meskipun keter- didapatkan dan menjelaskan secara keseluruhan. laksanaan RPP siklus I memiliki kategori terlak- Melakukan percobaan mengenai suhu maksudnya sana baik, hal ini terjadi adanya beberapa faktor adalah siswa melakukan percobaan sesuai prosedur yang menjadi kendala yang harus diperbaiki dan dengan tertib. Serta berpastisipasi dalam turnaditingkatkan. Diantaranya adalah membimbing men maksudnya adalah siswa bersemangat dalam kelompok, melakukan tournament karena masih turnamen serta menjawab pertanyaan dengan beada beberapa siswa yang kurang begitu mengerti nar. Aktivitas siswa pada siklus I, II dan III sesuai dengan aturan model pembelajaran ini karena prosedur dengan tertib. mereka belum pernah mempraktekkannya sebelumPada siklus I aktivitas siswa yaitu menjadi pennya dan ada yang lupa dengan cara memainkan dengar yang baik, mengajukan pertanyaan, bekpermainan dadu. Kemudian peneliti merefleksi un- erja sama di dalam kelompok, menyajikan hasil tuk lebih memperhatikan aspek pada aturan main diskusi, dan berpartisipasi dalam turnamen, seTGT, aturan permainan dadu dan lebih meman- cara keseluruhan dalam persentase memiliki kriteria tau lagi jika masih ada siswa yang masih belum cukup. Secara keseluruhan siswa kurang sepenuhmengerti. Peneliti merefleksi dengan meminta siswa nya mengikuti proses pembelajaran dalam model lebih memperhatikan saat penyampaian aturan kooperatif tipe TGT menggunakan media dadu ini. TGT dan permainan serta memperhatikan setiap Karena mereka belum pernah menggunakannya selangkah dan aspek dalam model pembelajaran ko- belumnya. Siklus II diperoleh rerata skor aktivoperatif tipe TGT. Hal ini terbukti cukup berhasil itas siswa berkategori cukup baik hampir sama pada siklus II terjadi peningkatan dengan rata-rata seperti sebelumnya namun ada 2 kategori yang suketerlaksanaan RPP adalah 85,60% dengan kate- dah baik dan 1 kategori yang sangat baik, hal ini gori terlaksana sangat baik dan reliabilitas yaitu mengalami peningkatan dari semua aspek aktivitas sebesar 93,70% dengan kategori tinggi, dan pada yang diukur. Sedangkan pada siklus III aktivitas siklus III juga mengalami cukup berhasil dan men- siswa meningkat menjadi kategori baik dan sangat galami peningkatan yaitu menjadi 94,05% dengan baik. kategori sangat baik dan reliabilitas sebesar 93,20% Siswa kelas VII A persentase secara keseluruhan dengan kategori tinggi. Secara keseluruhan keterdengan diterapkannya model pembelajaran kooperlaksanaan RPP siklus II dan III telah memenuhi inatif tipe TGT menggunakan media dadu ini memidikator keberhasilan yang ditentukan sebelumnya. liki nilai aktivitas menjadi pendengar yang baik Dimana keterlaksanaan RPP dikatakan baik apadengan kriteria baik, hampir semua siswa mendenbila keterlaksanaanya mencapai nilai 61-80% dan garkan penjelasan guru dengan tertib, seksama, dan 81-100% dikatakan sangat baik, dengan demikian merespon. Mengajukan pertanyaan dengan katerata-rata keseluruhan keterlaksanaan RPP dari gori cukup karena tidak semua siswa bertanya denketiga siklus dapat dikatakan terlaksana dengan gan serius, dan pertanyaannya bersangkutan densangat baik. gan materi pelajaran yang dibahas. Bekerja sama Aktivitas siswa di dalam kelompok berkategori baik semua siswa Aktivitas siswa merupakan kegiatan positif berdiskusi dengan tertib, dan ada yang memimpin siswa selama proses pembelajaran berlangsung diskusi dalam kelompok. Menyajikan hasil berkatterutama pada saat berkelompok mengerjakan lem- egori baik semua siswa menyajikan hasil diskusi, bar kerja siswa (LKS) yang diukur menggunakan memperlihatkan data percobaan yang didapatkan 46
Syubhan An’nur et al. / Prosiding EduFi 2016 43 - 48
dan menjelaskan secara keseluruhan. Melakukan percobaan pemuaian zat cair yang berkategori baik. Berpastisipasi dalam turnamen berkategori sangat baik. Aktivitas siswa dikatakan cukup apabila mencapai rata-rata 1,6 - 2,4 dengan kriteria cukup, dan dikatakan baik apabila aktivitas siswa mencapai rata-rata 2,4 - 3,2. Dari data diketahui nilai rata-rata aktivitas siswa secara kesuluruhan adalah 2,52 dengan kriteria baik. Meskipun memiliki kriteria cukup, namun rata-rata yang diperoleh belum mencapai maksimal agar rata-rata dapat mencapai baik bahkan sangat baik, namun dari rata-rata tiap siklus aktivitas siswa selalu mengalami peningkatan. Aktivitas siswa merupakan aktivitas positif siswa yang harus dimiliki siswa terkait dengan tujuan pembelajaran yang harus dicapai dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan media dadu dapat meningkatkan aktivitas siswa. Aktivitas siswa sangat penting dalam sebuah pembelajaran agar siswa bisa belajar mandiri, aktif-kreatif, dan dalam proses pembelajaran tidak menciptakan suasana yang membosankan.
capai ketuntasan minimal. Pada tes hasil belajar yang kedua, ketuntasan yang dicapai siswa belum memenuhi standar minimal dikarenakan sebagian besar siswa mengerjakan soal hitungan ada yang tidak menuliskan besaran apa saja yang diketahui dari soal dan apa yang ditanyakan pada soal, padahal setiap langkah tersebut memiliki nilai tersendiri. Kemudian langkah yang diambil guru yaitu memberitahukan pada siswa bahwa menuliskan besaran yang diketahui dan juga apa yang ditanyakan juga akan mendapatkan nilai. Dan pada tes hasil belajar ketiga, siswa sudah memahami kesalahan ketika menjawab soal tes hasil belajar sebelumnya. Pada tes hasil belajar ketiga ini ketuntasan hasil belajar minimal sudah tercapai. Adanya peningkatan ketuntasan hasil belajar dari siklus I yang hanya mencapai 9,09% dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 39,39% dan juga mengalami peningkatan pada siklus III yaitu menjadi 84,85%, dengan diperolehnya nilai ketuntasan siswa pada siklus III sebesar 84,85% dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe TGT ini berhasil dan mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan Hasil belajar karena nilai ketuntasan siswa mencapai ≥ 80%. Hasil belajar berupa ketuntasan belajar siswa Siklus II dan III mengalami peningkatan karena yang dilihat dari ketuntasan klasikal. Berdasarkan hasil refleksi dari siklus I peneliti terapkan seperti kemampuan siswa dalam memahami materi pembekekurangan dalam membimbing siswa berkelompok lajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe dan melakukan evaluasi peneliti perbaiki dengan TGT yang diterapkan. mempersiapkan siswa dengan baik, kemudian memBerdasarkan peningkatan pada hasil belajar berikan bimbingan kepada siswa masing-masing siswa dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar 30,30%. berkelompok secara merata. Dari hasil belajar Siklus II ke siklus III sebesar 45,46%. Pada sikini terlihat bahwa model pembelajaran kooperatife lus I ada 3 siswa yang tuntas dan 30 siswa yang tipe TGT selain dapat meningkatkan aktivitas juga tidak tuntas 33 siswa, pada siklus II ada 13 siswa dapat meningkatkan hasil belajar. yang tuntas dan 20 siswa yang tidak tuntas dari 33 siswa, dan pada siklus III ada 28 siswa yang tuntas dan 5 siswa yang tidak tuntas dari 33 siswa. Ke- Kesimpulan tuntasan klasikal yang harus dicapai siswa untuk Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan tuntas adalah sebesar 80% atau dapat dikatakan diskusi yang telah dilakukan, diperoleh temuan tuntas apabila siswa bisa menjawab soal dengan hasil penelitian sebagai berikut. Keterlaksanaan benar dan memperoleh nilai minimal 80 dari skor RPP dengan menggunakan kooperatif tipe TGT maksimal 100. Pada siklus I siswa masih kesuli- pada materi pokok suhu dan pemuaian di kelas tan dalam mengerjakan soal terkait pembelajaran VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin didapatkan pada dengan berkelompok. Sebagian besar siswa dalam siklus I adalah 77,80%, siklus II adalah 85,60%, mengerjakan soal terapan masih mengalami kesuli- dan siklus III adalah 94,05%. Aktivitas siswa yang tan dalam hal menjelaskan dan menganalisis, selain mengikuti pembelajaran dengan penerapan pembeitu juga siswa mengerjakan soal tanpa menuliskan lajaran kooperatif tipe TGT menggunakan media diketahui dan ditanyakan. Hal tersebut kemudian ular tangga pada materi pokok suhu dan pemuaian direfleksi lagi dengan memberikan penguatan dari di kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin untuk setiap aspek pembelajaran yang telah dilewati dan melakukan pengamatan dan bekerja pada siklus I penjelasan lebih lanjut mengenai cara pengerjaan adalah rata-rata 2,33 dengan kategori cukup, siklus soal yang benar. II adalah 2,54 dengan kategori baik, dan siklus III Pada tes hasil belajar pertama, pada soal adalah 3,13 dengan kategori baik. Hasil belajar nomor 1 kebanyakan dari siswa hanya menye- siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperbutkan suhu itu panas saja padahal siswa diminta atif tipe TGT pada materi pokok suhu dan pemenjelaskan mengenai suhu. Karena pada setiap muaian di kelas VII A SMP Negeri 7 Banjarmasin langkah mengerjakan soal mendapatkan nilai, ini diperoleh dengan persentase ketuntasan siswa seyang menjadi kendala sebagian siswa belum men- cara klasikal yaitu 9,09% untuk siklus I, 39,39% 47
Syubhan An’nur et al. / Prosiding EduFi 2016 43 - 48
untuk siklus II dan 84,85% untuk siklus III.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada sekolah SMP Negeri 7 Banjarmasin baik kepala sekolah, guru pengajar maupun staf, yang telah memberikan izin waktu dan tempat penelitian bagi peneliti, juga terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu.
Referensi [1] A. Majid, Perencanaan Pembelajaran, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012). [2] Depdiknas, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah, (BSNP, Jakarta, 2007). [3] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011).
48
[4] S. Tampubolon, Penelitian Tindakan Kelas, (Erlangga, Jakarta, 2013). [5] R.E. Slavin, Cooperative Learning, (Nusa Media, Bandung, 2005). [6] D. Silalahi, Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament pada Materi Biosfer di Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai, Dokumen WWW, (http://DiniatiSilalahi.blogspot.com/2011/11 /model-teams-games-tournament.html). [7] Rasyid, Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Batu Ampar pada materi zat dan wujudnya melalui pembelajaran tipe TGT, (Skripsi Sarjana, FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Tidak dipublikasikan). [8] N. Zaitunnisa, Penggunaan model pembelajaran TGT berbantuan media permainan ular tangga terhadap hasil belajar siswa pada materi sistem koloid, (Skripsi Sarjana, FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Tidak dipublikasikan).
Prosiding EduFi 2016 49 - 51 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengembangan Pedoman Guru Fisika Materi Efek Fotolistrik Menggunakan PhET Simulations dengan Pendekatan Guided Discovery Learning Irenie Febristika Ningtias∗ , Siswoyo, Esmar Budi Jurusan Fisika, Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda, Jakarta 13220
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Buku Pedoman Guru Fisika yang dapat digunakan sebagai panduan guru Fisika dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas XII SMA/MA materi Efek Fotolistrik menggunakan aplikasi PhET Simulations. Efek Fotolistrik merupakan salah satu materi yang abstrak dan cukup sulit untuk dijelaskan, disebabkan karena tidak tersedianya alat peraga untuk materi Efek Fotolistrik di sekolah. Adapun media pembelajaran lain yang dapat menunjang pembelajaran Fisika saat ini telah tersedia dalam bentuk virtual lab, salah satu diantaranya adalah aplikasi PhET Simulations. Aplikasi ini telah cukup banyak digunakan, akan tetapi penggunaannya masih belum maksimal dan belum mampu mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran Fisika yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya tuntunan penggunaan aplikasi PhET Simulations bagi guru Fisika di sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut dibutuhkan suatu panduan guru dalam mengajar menggunakan aplikasi PhET Simulations. Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan (R&D) yang merujuk pada pengembangan Borg and Gall yang meliputi tujuh kegiatan yang telah dimodifikasi peneliti tanpa mengurangi esensinya, diantaranya: (1) Penelitian dan pengumpulan data, (2) Perencanaan, (3) Pengembangan draf produk, (4) Uji coba lapangan awal, (5) Merevisi hasil uji coba, (6) Validasi Ahli, dan (7) Perbaikan. Data yang diperoleh berasal dari ahli materi, ahli media, dan implementasi pada guru Fisika. Instrumen penilaian produk dan respon guru berupa lembar angket yang terdiri atas 4 komponen yaitu kelayakan materi, penyajian, bahasa, dan grafika. Instrumen penilaian yang akan digunakan berpedoman pada instrumen penilaian buku panduan pendidik yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk). c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: Pedoman Guru Fisika, PheT Simulations, Guided Discovery Learning, Efek Fotolistrik ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan Menurut referensi [1] dari waktu ke waktu perkembangan yang berhubungan dengan sistem pendidikan di sekolah terus terjadi, sehingga menuntut adanya perubahan metode guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Ciri metode pembelajaran yang baik yaitu metode pembelajaran yang bisa mengkonstruksi pola pikir siswa dari pengetahuan yang pernah diterimanya dengan pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru. Salah satu metode tersebut yaitu metode penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning). Metode penemuan terbimbing (Guided Discov-
ery Learning) sangat efektif jika digunakan dalam proses pembelajaran fisika. Dalam penelitian [2] yang dilakukan di MTs Darul Ulum Beringin Semarang tentang penerapan model pembelajaran Guided Discovery dapat diterapkan oleh guru fisika, karena mampu membantu siswa dalam penguasaan konsep materi pelajaran fisika dan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan hasil belajar baik ranah afektif, kognitif dan psikomotorik. Dengan hasil penelitian yang dilakukan pada 24 siswa (100%) kelas VII A, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I sampai siklus III. Dari hasil penelitian diperoleh peningkatan rata-rata hasil be-
Irenie Febristika Ningtias et al. / Prosiding EduFi 2016 49 - 51
lajar siswa dari 64,58 pada siklus I, 70,40 pada siklus II dan 76,67 pada siklus III. Dan ketuntasan klasikal belajar siswa juga mengalami peningkatan dari 50% pada siklus I, 70,83% pada siklus II dan 87,5% pada siklus III. Hasil belajar aspek afektif pada siklus I nilai rata-ratanya adalah 63,08, pada siklus II nilai rata-ratanya 66,20 dan pada siklus III rata-ratanya adalah 73,53. Sedangkan hasil belajar aspek psikomotorik pada siklus I nilai rata-ratanya 65,38, pada siklus II nilai rata-ratanya adalah 72,47 dan nilai rata-rata pada siklus III adalah 72,69. Oleh karena itu pembelajaran fisika di sekolah menekankan pada belajar penemuan yang memerlukan aktivitas siswa, seperti melakukan demonstrasi atau eksperimen. Kegiatan demonstrasi atau eksperimen biasa dilakukan di laboraturium nyata, akan tetapi saat ini telah banyak tersedia dalam bentuk software (virtual lab), salah satu aplikasinya adalah PhET Simulations. Menurut referensi [3] PhET Simulations merupakan media simulasi interaktif yang menyenangkan dan berbasis penemuan (research based) yang berupa software dan dapat digunakan untuk memperjelas konsep-konsep fisis atau fenomena yang akan diterangkan. Dalam penelitian [4] pada uji coba pembelajaran fisika menggunakan media PhET Simulations di SMKN 7 Surabaya diperoleh rata-rata hasil belajar kelas eksperimen adalah 87,58 dari total 40 siswa kelas X TITL 3 dan nilai rata-rata hasil belajar kelas kontrol asalah 79,17 dari total 40 siswa kelas X TITL 1. Dari hasil respon 40 siswa (100%) kelas eksperimen terhadap pembelajaran fisika dengan menggunakan metode PhET Simulations dikatakan positif, dengan presentase rata-rata respon siswa yang menjawab sangat baik 56,40% baik 43,30% dan cukup baik 0,30%. Oleh karena itu aplikasi PhET Simulations sangat cocok digunakan sebagai media pembelajaran fisika di sekolah. Aplikasi ini memang telah banyak digunakan di beberapa sekolah menengah atas untuk pembelajaran fisika, akan tetapi penggunaan aplikasi ini belum maksimal dan belum mampu mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran fisika yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya tuntunan penggunaan aplikasi PhET Simulations bagi guru fisika di sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut dibutuhkan suatu panduan guru dalam mengajar menggunakan aplikasi PhET Simulations. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penelitian ini bermaksud akan mengembangkan Pedoman Guru Berbasis PhET Simulations dengan Pendekatan Guided Discovery Learning untuk Pembelajaran Fisika Kelas XII Sekolah Menengah Atas pada materi Efek Fotolistrik. Pedoman guru yang dikembangkan akan menyajikan petunjuk penggunaan aplikasi PhET Simulations, 50
langkah-langkah melakukan kegiatan pembelajaran (Silabus dan RPP) fisika materi efek fotolistrik menggunakan aplikasi PhET Simulations, langkahlangkah melakukan praktikum menggunakan program PhET Simulations untuk percobaan efek fotolistrik disertai dengan lembar kerja siswa, dan petunjuk penilaian belajar siswa. Materi efek fotolistrik dipilih karena merupakan salah satu materi yang dianggap sulit untuk diajarkan. Disebabkan oleh ketersediaan media pembelajaran yang minim, kemampuan guru dalam penguasaan materi yang terbatas dan tidak adanya pedoman guru mengajar materi efek fotolistrik menggunakan media pembelajaran yang menarik. Diharapkan dengan adanya Pedoman Guru Fisika Materi Efek Fotolistrik menggunakan PhET Simulations dengan Pendekatan Guided Discovery Learning ini dapat menjadi panduan guru fisika dalam melaksanakan kegiatan mengajar di kelas.
Metode Pada penelitian ini digunakan metode penelitian pengembangan (research and development). Menurut referensi [5] metode penelitian pengembangan digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji kefektifan produk tersebut. Metode penelitian ini merujuk pada referensi [6] dengan sedikit penyesuaian sesuai konteks penelitian. Metode ini bertujuan untuk menghasilkan produk baru melalui proses pengembangan. Produk yang dibuat adalah buku pedoman guru fisika materi efek fotolistrik menggunakan PhET Simulations dengan pendekatan Guided Discovery Learning yang dapat digunakan sebagai panduan guru fisika dalam melaksanakan kegiatan mengajar di kelas XII SMA/MA materi efek fotolistrik menggunakan aplikasi PhET Simulations. Langkahlangkah penelitian dan pengembangan tersebut yang telah dimodifikasi peneliti tanpa mengurangi esensinya, yakni (1) penelitian dan pengumpulan data (research and information collecting), (2) perencanaan (planning), (3) pengembangan draf produk (develop preliminary form of product), (4) uji coba lapangan awal (preliminary field testing), (5) merevisi hasil uji coba (main product revision), (6) validasi ahli, dan (7) perbaikan.
Hasil dan Pembahasan Sebelum prototipe buku pedoman guru fisika berbasis pendekatan Guided Discovery Learning pada materi efek fotolistrik menggunakan PhET Simualtions disusun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menganalisis kebutuhan para pendidik dalam hal ini guru fisika berkenaan buku pedoman guru ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana kebutuhan akan pengunaan me-
Irenie Febristika Ningtias et al. / Prosiding EduFi 2016 49 - 51
dia pembelajaran yang akan dikembangkan. Buku pedoman guru fisika yang akan dikembangkan ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berisi tentang petunjuk umum pembelajaran fisika menggunakan PhET Simulations dengan pendekatan Guided Discovery Learning, dan penilaian dalam pembelajaran fisika. Bagian kedua menguraikan strategi pembelajaran fisika materi efek fotolistrik, sesuai Kurikulum 2013 dan buku siswa. Uraian materi efek fotolistrik disajikan untuk setiap rencana tatap muka. Pada setiap tatap muka berisi materi pengayaan untuk guru beserta potensi miskonsepsi pada peserta didik berkaitan dengan materi tersebut, pembelajarannya, serta alternatif penilaiannya.
cara terbatas untuk memperoleh keefektifan buku pedoman guru fisika. Uji efektifitas yang akan dilakukan untuk menguji buku pedoman guru fisika layak atau tidak digunakan dalam pembelajaran.
Kesimpulan Pada penelitian ini akan menghasilkan pengembangan buku pedoman guru fisika materi efek fotolistrik menggunakan PhET Simulations dengan pendekatan Guided Discovery Learning. Namun penelitian pengembangan ini belum menyelesaikan tahap pembuatan produk dan validasinya, pada saat makalah ini ditulis.
Ucapan Terima Kasih Alhamdulillahirabbilalamiin, puji syukur atas segala nikmat Allah SWT yang tak terhingga, yang tanpa-Nya saya tidak akan menjadi apa-apa. Terima kasih kepada orang tua dan keluarga saya yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya dengan ikhlas, kepada bapak Siswoyo dan bapak Esmar Budi yang telah begitu sabar membimbing penelitian saya, serta kepada teman-teman di Jurusan Fisika Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan semangat dalam penelitian ini.
Referensi Gambar 1 Tampilan cover buku pedoman guru fisika.
Buku pedoman guru fisika yang akan dihasilkan diuji ahli untuk memperoleh penilaian dari ahli materi, ahli media pembelajaran, editor, dan guru mata pelajaran fisika. Berdasarkan penilaian dan saran yang diberikan oleh para ahli, peneliti akan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perbaikan terhadap produk buku pedoman guru fisika materi efek fotolistrik yang akan dikembangkan. Dengan adanya perbaikan terhadap produk yang dihasilkan atas saran dari para ahli, diharapkan nantinya dihasilkan produk buku pedoman guru fisika dengan standar mutu buku panduan pendidik yang lebih baik. Dengan demikian setelah peneliti memperoleh masukan dari para ahli, peneliti segera melakukan perbaikan atau revisi terhadap bagian buku pedoman guru fisika yang perlu direvisi. Setelah diperoleh hasil penilaian dari ahli, kemudian buku pedoman guru fisika ini akan diuji se-
51
[1] L. Muzaki, S. Slamin, dan D. Dafik, Pancaran 3 (2), 25-34 (2014). [2] A.T. Haryani, Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery pada Materi Pokok Kalor untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII A MTs Darul Ulum Beringin Semarang Semester Gasal Tahun 2010/2011, Skripsi Tadris Fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang (Tidak dipublikasikan). [3] D.P. Sari, A. Luthfi, dan A. Qosyim, Jurnal Pendidikan Sains e-Pensa 01 (02), 15-20 (2013). [4] M.E.D. Yuafi dan Endryansyah, Jurnal Pendidikan Teknik Elektro 04 (02), 407-414 (2015). [5] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Alfabeta, Bandung, 2009), pp. 407. [6] M.D. Gall, J.P. Gall, dan W.R. Borg, Educational Research An Introduction Fourth Edition, (Longman Inc, New York, 1989), pp. 784-785.
Prosiding EduFi 2016 52 - 54 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengembangan Media Edukasi Fisika Berbentuk Kartu-Kartu Soal pada Permainan Ludo untuk Materi Fluida Statis Khasanah Windarini∗ , Sunaryo, Vina Serevina Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda, Jakarta 13220
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk berupa media edukasi fisika berbentuk kartu-kartu soal pada permainan ludo untuk materi fluida statis yang selanjutnya disebut sebagai permainan edukatif ludo fisika. Diharapkan produk ini dapat memenuhi kriteria baik. Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan yang menggunakan metode research and development (R&D). Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model Borg dan Gall. Data yang diperoleh berasal dari ahli materi, ahli media, dan siswa sebagai res- ponden. Pada uji coba kelompok kecil diambil sampel sebanyak 16 siswa. Pada uji coba kelompok besar diambil sampel sebanyak satu kelas di SMA Negeri 99 Jakarta dan SMA Negeri 107 Jakarta. Teknik pengumpulan data adalah dari angket dan wawancara. Teknik analisis data yang dilakukan menggunakan penilaian skala Likert. Tahapan-tahapan dalam pengembangan ini yaitu: (1) Tahap pendahuluan meliputi: (a) Studi literatur dan (b) Analisis kebutuhan, (2) Tahap pengembangan produk meliputi: (a) Penentuan isi materi, (b) Penentuan aturan permainan, (c) Membuat desain papan permainan, (d) Membuat desain kartu permainan, (e) Validasi oleh para ahli dan (f) Revisi produk, (3) Uji produk, dan (4) Penyempurnaan Produk. Permainan edukatif ludo fisika terdiri dari papan permainan, kartu-kartu soal, kartu skor, dadu, pion, petunjuk permainan dan hand out jawaban kartu soal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah permainan edukatif ludo fisika untuk materi fluida statis telah dikembangkan dan kualitas dari permainan ini adalah sangat menarik, mudah dimainkan dan sangat berguna. Selanjutnya, permainan edukatif ini efektif bila digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: research & development, kartu-kartu soal, permainan edukatif ludo fisika, fluida statis ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi. Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Dalam penelitian [1] diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan erat antara motivasi belajar dengan prestasi belajar pada taraf signifikansi 1%, korelasinya ryx2 = 0.617 menunjukkan bahwa bimbingan guru dan motivasi belajar secara bersamasama hubungannya erat dengan prestasi belajar pada taraf signifikansi 1%, dengan nilai korelasinya ryx1 x2 = 0.647. Berdasarkan hasil angket analisis kebutuhan yang disebar kepada 60 siswa (100%) dari 2 sekolah di Jakarta, yaitu SMAN 99 dan SMAN 107, diperoleh bahwa 70,00% siswa menggunakan sumber be-
lajar lain selain buku pelajaran dan 53,33% siswa mencari bahan belajar dari internet apabila terdapat waktu luang. Dalam hal ini dibutuhkan sumber belajar yang dapat membuat siswa termotivasi untuk belajar fisika, seperti permainan edukatif. Menurut [2] media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Permainan edukatif adalah sebuah permainan yang mendidik, memunculkan rasa gembira, dan menambah motivasi siswa untuk mengetahui materi yang sedang dipelajari. Dalam penelitian [3] diperoleh bahwa hasil uji lapangan terhadap siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 1 Gadingrejo tahun pela-
Khasanah Windarini et al. / Prosiding EduFi 2016 52 - 54
jaran 2012/2013 dengan jumlah peserta 30 siswa (100%), diperoleh rata-rata hasil tes siswa sebesar 84,43 dengan presentase ketuntasan siswa 90%. Dapat dilihat bahwa motivasi dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Pada umumnya permainan edukatif direalisasikan dalam sebuah permainan ular tangga. Permainan ular tangga dapat dimainkan oleh lebih dari 4 orang. Dalam penelitian [4] pada uji coba kelompok besar yang dilakukan kepada 30 siswa (100%) di SMP Negeri 2 Gondangrejo dan MTs. Negeri Gondangrejo didapatkan bahwa 100% siswa SMP Negeri 2 Gondangrejo menyatakan media Ular Tangga Fisika pada kriteria sangat baik. Sedangkan di MTs. Negeri Gondangrejo didapatkan 80% siswa menyatakan Ular Tangga Fisika berada pada sangat baik dan 20% menyatakan bahwa media ini berada pada kriteria baik. Hal ini memberikan bukti bahwa materi pelajaran yang disajikan dalam bentuk permainan dapat menambah motivasi siswa dalam belajar fisika. Sama halnya dengan ular tangga, terdapat permainan serupa namun belum pernah dikembangkan menjadi permainan edukatif. Ludo merupakan sebuah permainan yang memiliki konsep permainan sederhana, peraturannya mudah dan permainannya menarik. Berdasarkan hasil angket analisis kebutuhan yang disebar ke 60 siswa (100%) dari 2 sekolah di Jakarta, yaitu SMAN 99 dan SMAN 107, diperoleh bahwa 75,00% siswa mengisi waktu luangnya dengan bermain games. Berdasarkan hasil angket analisis kebutuhan yang disebar kepada 60 siswa (100%) dari 2 sekolah di Jakarta, yaitu SMAN 99 dan SMAN 107, sebanyak 78,33% siswa tidak senang mengulang pelajaran fisika di luar jam pelajaran. Kemudian sebanyak 61,67% siswa tidak suka membaca buku paket fisika apabila terdapat waktu luang. Hal ini yang menjadi alasan penting bahwa media pembelajaran yang menarik harus ada dan bisa menciptakan ketertarikan siswa untuk belajar fisika secara mandiri. Dari hasil angket juga didapatkan bahwa sebanyak 73,33% siswa merasa bosan dengan mata pelajaran fisika karena media belajar fisika yang kurang menarik. Artinya media yang ada kurang menarik minat siswa untuk belajar mandiri. Kemudian 86,67% siswa menginginkan adanya media pembelajaran mandiri berupa papan permainan fisika. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penelitian ini bermaksud melakukan ”Pengembangan Media Edukasi Fisika Berbentuk Kartu-kartu Soal pada Permainan Ludo untuk Materi Fluida Statis”. Diharapkan pengembangan media ini dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar fisika secara mandiri, serta memberikan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang ilmuilmu fisika kepada pemainnya, khususnya pada ma53
teri tersebut.
Metode Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development). Research and development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut [5]. Menurut [6] langkah-langkah penelitian pengembangan secara umum adalah (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) perbaikan desain, (6) ujicoba produk, (7) revisi produk, (8) ujicoba pemakaian, (9) revisi produk, dan (10) produk masal. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan, maka kegiatan penelitian ini hanya dibatasi sampai tahap revisi produk setelah tahap ujicoba produk. Penelitian pengembangan ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 di SMA Negeri 99 Jakarta dan SMA Negeri 107 Jakarta. Prosedur penelitian pengembangan permainan yang dilakukan untuk menghasilkan permainan ludo fisika yang memenuhi syarat sebagai media edukasi terdiri dari beberapa tahap, diantaranya adalah (1) tahap pendahuluan: (a) studi literatur dan (b) analisis kebutuhan; (2) tahap pengembangan produk: (a) menentukan materi, (b) menentukan aturan permainan, (c) membuat desain papan permainan, (d) membuat desain kartu permainan, (e) validasi oleh ahli, dan (f) revisi produk; (3) tahap uji produk; dan (4) tahap penyempurnaan produk. Instrumen penelitian ini berupa angket dari instrumen analisis kebutuhan untuk siswa tingkat SMA, instrumen uji validasi oleh ahli media dan ahli materi serta instrumen uji coba untuk siswa SMA. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen uji coba berupa angket dengan skala perhitungan menggunakan skala Likert. Teknik pengambilan data dilakukan melalui pengumpulan angket dari instrumen penelitian yang telah dibuat. Sumber data diperoleh dari responden yang terlibat dalam uji coba produk permainan ludo fisika, yaitu ahli materi, ahli media, dan siswa SMA kelas X yang telah mendapatkan materi fluida statis.
Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian pengembangan ini adalah media edukasi fisika berbentuk kartu-kartu soal pada permainan ludo untuk materi fluida statis. Pengembangan media edukasi ini dibuat dengan mempertimbangkan kekurangan-kekurangan yang ada pada media edukasi yang telah ada, selain ini media ini dibuat dengan mempertimbangkan hasil analisis kebutuhan. Adapun secara rinci hasil dari setiap tahapan
Khasanah Windarini et al. / Prosiding EduFi 2016 52 - 54
prosedur pengembangan yang dilakukan yaitu: 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan yang pertama dilakukan dalam penelitian ini yaitu observasi sarana dan prasarana sekolah. Observasi yang dilakukan yaitu mengenai ketersediaan fasilitas pendukung yang menunjang proses pembelajaran fisika, keadaan laboraturium fisika yang menunjang proses pembelajaran, dan sumber daya sekolah. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi sarana dan prasarana di SMA Negeri 99 Jakarta dan SMA Negeri 107 Jakarta sangat baik. Kemudian dilakukan penyebaran angket analisis kebutuhan kepada 60 siswa yang berasal dari kedua SMA tersebut. Angket tersebut terdiri dari 28 pertanyaan yang membutuhkan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Hasil angket analisis kebutuhan siswa diketahui bahwa perlu dikembangkan permainan edukatif mengenai materi fluida statis yang membuat siswa belajar dengan aktif dan menyenangkan.
Gambar 2 Desain kartu-kartu rumah.
Gambar 3 Desain kartu bisa dan kartu cerdas.
4. Hasil Validasi Ahli dan Revisi Adapu responden penelitian ini adalah responden ahli (expert review) dan responden uji (field test). Permainan ludo fisika ini akan diujicobakan kepada ahli media pembelajaran, ahli materi fisika, guru fisika SMA, dan siswa SMA kelas X untuk diketahui tanggapan terhadap alat yang dikembangkan ini sebagai media edukasi. Adapun siswa yang menjadi responden dari penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 99 Jakarta dan SMA Negeri 2. Hasil Validasi Soal Adapun validasi soal dilakukan di SMA Negeri 107 Jakarta. Instrumen uji coba yang digunakan 107 dengan responden berjumlah 36 siswa dan soal berupa angket rating scale dengan teknik analisis yang diujikan berjumlah 70 soal. Hasil yang diper- data pilihan skor hingga 1-4. oleh yaitu terdapat 4 soal yang tidak valid dan sisanya valid. Kesimpulan 3. Rancangan Media Edukasi Adapun media edukasi fisika yang peneliti kembangkan bernama permainan Ludo Fisika. Papan permainan ini terdiri dari empat warna yang mewakili posisi setiap pemain. Permainan ludo fisika merupakan modifikasi dari permainan ludo. Semula jumlah maksimal pemainnya 4 orang, namun permainan ludo fisika ini dirancang dengan jumlah pemain maksimal adalah 16 orang dalam 4 kelompok (masing-masing kelompok berjumlah 4 orang). Permainan Ludo Fisika terdiri dari papan permainan, pion, dadu, petunjuk permainan, serta kartu-kartu soal yang terdiri dari 3 tingkatan, yaitu sukar (kartu cerdas), sedang (kartu rumah/pintar), dan mudah (kartu bisa). Permainan ludo fisika merupakan modifikasi dari permainan ludo. Papan permainan ini berukuran 150 x 150 cm.
Gambar 1 Desain papan permainan ludo fisika.
54
Pada penelitian ini telah berhasil dikembangkan permainan ludo fisika sebagai media edukasi fisika SMA. Penulis melakukan pengembangan baik pada materi fisikanya berupa kartu-kartu soal maupun pada permainannya. Namun penelitian pengembangan ini belum menyelesaikan tahap validasinya pada saat makalah ini ditulis.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Jakarta, SMA Negeri 99 Jakarta, dan SMA Negeri 107 Jakarta.
Referensi [1] Sukirman, Ilmu Pendidikan 1 (1), 20 (2011). [2] A.S. Sadiman dan R. Rahardjo, Media Pendidikan, (PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008), pp. 7. [3] E.H. Tiarto, A. Suyatna, dan F. Sesunan, Pendidikan 1 (3), 23 (2013). [4] R.F. Karimah, Pendidikan Fisika 2 (1), 14 (2014). [5] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuuantitatif, Kualitatif, dan R&D , (Alfabeta, Bandung, 2008), pp. 405. [6] M.D. Gall, J.P. Gall, dan W.R. Borg, Educational Research An Introduction, (Longman Inc, New York, 1989).
Prosiding EduFi 2016 55 - 60 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Tiga Metode Kerja Ilmu Pengetahuan (Induktivisme, Falsifikasionisme, Paradigma Thomas Khun) Surajiyo Universitas Indraprasta PGRI Jl. TB Simatupang, Jakarta 12530
Abstrak Metodologi merupakan hal yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Pada dasarnya di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apa pun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial ataupun ilmu-ilmu alam masing-masing menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk obyek material dan obyek formal yang tercakup di dalamnya pendekatan, sudut pandang, tujuan, dan ruang lingkup masing-masing disiplin ilmu. Dalam zaman modern, ilmu mendapat penghargaan sangat tinggi. Ada berbagai pandangan tentang bagaimana membuktikan kebenaran suatu ilmu. Induktivisme dengan bertolak bahwa ilmu berasal dari fakta-fakta pengalaman. Karl Popper mengembangkan teori falsifikasinya. Thomas S Khun membela revolusi ilmiah dan perlunya kelahiran paradigma-paradigma baru. Tulisan ini membahas tentang cara kerja ketiga metode tersebut. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: metode, induksi, falsifikasi, paradigma Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
laskan perubahan yang terjadi, baik alam semesta Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sal- maupun pada manusia sendiri. Dari penelitian ing terkait, baik secara substansial maupun historis alam semesta dan manusia, muncullah ilmu-ilmu karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan fil- seperti astronomi, kosmologi, fisika, kimia, bisafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat ologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Ilmukeberadaan filsafat. Kelahiran filsafat di Yunani ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialmenunjukkan pola pemikiran bangsa Yunani dari isasi dalam bentuk yang lebih khusus lagi dan pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gili- sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya. rannya rasiolah yang dominan. Dengan filsafat, Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah merefleksi, radikal dan integral mengenai hakekat menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Ke- ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merujadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap pakan penerusan dalam pengembangan filsafat sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi meru- pengetahuan (epistemologi), sebab ”pengetahuan pakan kejadian alam yang disebabkan oleh mata- ilmiah” tidak lain adalah ”a higher level” dalam hari, bulan, dan bumi berada pada garis yang seja- perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum jar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa seba- sebagaimana kita terapkan dalam kehidupan seharigian permukaan bumi. hari [1]. Perubahan dari pola pikir mite-mite ke rasio membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang selama itu ditakuti kemudian didekati dan bahkan bisa dikuasai. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukumhukum alam dan teori-teori ilmiah yang menje-
Dalam zaman modern, ilmu mendapat penghargaan sangat tinggi. Ada berbagai pandangan tentang bagaimana membuktikan kebenaran suatu ilmu. Induktivisme dengan bertolak bahwa ilmu berasal dari fakta-fakta pengalaman. Karl Popper mengembangkan teori falsifikasinya. Thomas S
Surajiyo / Prosiding EduFi 2016 55 - 60
Khun membela revolusi ilmiah dan perlunya kelahiran paradigma-paradigma baru. Tulisan ini akan mengulas tiga pandangan tersebut disertai contohcontohnya yang sederhana, yang sebelumnya akan dibahas tentang apa itu metodologi. Pengertian Metodologi Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi berarti bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (ialah: menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (ialah: jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu [2]. Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu cara, jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi disebut juga sebagai ”Science of Methods”, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena itu metodologi belum memiliki langkah-langkah praktis, adapun derivasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum serta ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu dari suatu metode, atau dasar dari langkah praktis penelitian. Seorang peneliti dapat memilih suatu metode dengan dasar-dasar filosofis tertentu, yang konsekuensinya diikuti dengan metode penelitian yang konsisten dengan metodologi yang dipilihnya [3]. Jadi metode bisa dirumuskan suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsipprinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode-metode, aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus [4]. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan-aturan dan patokan-patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Sedangkan metode adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menurut metodologi itu, agar tercapai suatu tujuan, yaitu kebenaran 56
ilmiah. Peter R. Senn dalam membedakan metode dengan metodologi [5] berpendapat bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Induktivisme Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dipercaya, karena itu telah dibuktikan kebenarannya secara obyektif. Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh lewat observasi & eksperimen. Sains didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar, rasakan, dan sebagainya. Pendapat atau kesukaan subyektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di dalam ilmu. Ilmu itu obyektif. Pandangan tersebut pertama kali menjadi populer selama dan sebagai suatu akibat Revolusi ilmiah abad 17, dan diperkenalkan oleh ilmuwanilmuwan seperti Galileo, Newton, dan Bacon. Francis Bacon dan banyak rekan-rekan sezamannya telah mengikhtisarkan sikap-ilmiah dan mengemukakan pada ketika itu bahwa apabila kita hendak memahami alam, seharusnya kita berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Terdorong oleh sukses yang telah dicapai oleh pengeksperimen-pengeksperimen besar seperti Galileo, akhirnya memandang pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Jadi ilmu adalah suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta. Misalnya Galileo Galilei membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang astronomi. Ia melihat bahwa planet Venus dan Mercurius menunjukkan perubahanperubahan seperti halnya bulan, sehingga ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari [6]. Induktivis Naif Pandangan induktivis naif adalah sains bertolak dari observasi, dan observasi memberi dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan ilmu pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Bukanlah pertama-tama observasi dan eksperimen yang menyebabkan Galileo meninggalkan tradisi, melainkan sikapnya. Baginya, fakta-fakta yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen diperlukan sebagai fakta yang obyektif. Pertanyaan-
Surajiyo / Prosiding EduFi 2016 55 - 60
pertanyaan tentang keadaan dunia, dapat ditetapkan sebagai kebenaran dengan cara penggunaan indera-indera pengamatan secara langsung. Pernyataan yang dihasilkan dengan cara ini disebut keterangan-keterangan observasi. Misalnya, sebatang tongkat yang sebagian tercelup di dalam sungai nampak bengkok. Kemudian keterangan observasi menjadi dasar untuk menarik hukum-hukum dan teori-teori yg membentuk pengetahuan ilmiah. Hukum-hukum dan teori-teori yang membentuk pengetahuan disebut keterangan-keterangan universal. Misalnya, planet-planet bergerak menurut garis ellips mengitari matahari (astronomi), binatang pada umumnya mempunyai suatu kebutuhan inheren untuk melampiaskan sesuatu yang agresif. Dengan terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu, maka dapat dibenarkan melakukan generalisasi dari serangkaian terbatas keterangan observasi menjadi hukum universal. Misalnya: Logam satu dipanasi memuai. Logam dua dipanasi memuai. Logam tiga dipanasi memuai. Jadi semua logam dipanasi memuai. Kesimpulan semua logam dipanasi memuai adalah menggeneralisasi dari kasus-kasus yang khusus. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menarik generalisasi adalah (1) jumlah keterangan obervasi yang membentuk dasar suatu generalisasi harus besar, (2) observasi harus diulang-ulang pada variasi kondisi yang luas, dan (3) keteranganobservasi yang sudah dapat diterima, tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi kesimpulannya. Pernyataan bahwa semua logam dipanasi memuai, tidak bisa digeneralisasi kalau hanya didasarkan pada observasi dari sepotong logam saja. Untuk generalisasi, harus banyak logam yang diamati, bahkan harus pada berbagai tempat dan situasi. Dengan kata lain pernyataan yang dimaksudkan untuk menarik generalisasi harus didasarkan pada induksi reasoning. Jadi universal statement hanya bisa terbentuk dengan induksi reasoning yang didasarkan pada banyak pengamatan. Sehingga, ciri utama sains dalam perspektif induktivis adalah kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan. Suatu pengetahuan adalah ilmiah bila memungkinkan seorang ahli astronomi dapat menjelaskan gerhana matahari dan meramalkan kapan gerhana matahari berikutnya akan terjadi. Sekali seorang ilmuwan memiliki hukum dan teori-teori universal, maka akan memungkinkan ia menarik konsekuensi-konsekuensi yang bisa digunakan untuk memberi penjelasan-penjelasan dan prediksiprediksi. Prediksi dan penjelasan (eksplanasi) yang didasarkan pada hukum dan teori yang telah ditarik berdasarkan logika dikatakan sebagai inductive reasoning. 57
Perbedaan antara berpikir induktif dan berpikir deduktif: berpikir induktif adalah menarik pernyataan yang didasarkan pada hasil-hasil pengamatan, sedangkan berpikir deduktif adalah penarikan pernyataan yang didasarkan pada hukum dan teori. Kalau digambarkan adalah sebagai berikut: A −→ B ←− C Keterangan: A : Fakta diperoleh melalui pengamatan B : Hukum dan teori C : Prediksi dan eksplanasi −→ : Induktif ←− : Deduktif
Induktivis naif telah memformulasikan beberapa kesan populer tentang sifat sains, tentang daya menjelaskan dan memprediksi, obyektivitas dan reliabilitasnya dibanding bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Reliabilitas (dapat dipercaya/diandalkan) suatu ilmu adalah kelanjutan dari klaim-klaim kaum induktivis tentang observasi dan induksi. Keterangan observasi membentuk landasan sains menjadi terjamin dan terpercaya, karena bisa diuji kebenarannya. Selanjutnya, reliabilitas keterangan-observasi bisa ditarik menjadi teori-teori. Falsifikasionisme Induktivis didalam menetapkan kriteria ilmiah melalui prinsip verifikasi: membuktikan secara empiris. Karl Popper menolak prinsip verifikasi dengan mengajukan prinsip falsifikasi [7] sebagai berikut. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis, tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifikasi, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris. Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa se-
Surajiyo / Prosiding EduFi 2016 55 - 60
buah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Jika ada pernyataan ”semua angsa itu berbulu putih”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh. Berdasarkan paham falsifikasi, ketidakcocokan bisa terjadi baik karena keadaan yang melekat pada manusia yang memberikan observasi maupun karena keadaan lingkungan dan waktu dari obyek yang diobservasi. Jadi perbedaan proses berpikir antara penganut induktivisme dengan penganut falsifikasionisme adalah (1) ilmu menurut paham induktivisme dimulai dari pengamatan dan pengalaman → secara induktif ditarik suatu kesimpulan yang dianggap sebagai teori → berdasarkan teori tersebut dilakukan logika deduktif untuk menjelaskan (eksplanasi) dan kemudian membuat ramalan (prediksi) → diuji kembali pengamatan → diperoleh kesimpulan baru sebagai teori baru → dan seterusnya, dan (2) ilmu menurut paham falisikasi dimulai dari masalah yang terdapat dalam dunia nyata → mengemukakan hipotesis berdasarkan eksplanasi yang telah ditarik secara deduktif → memecahkan masalah berdasarkan hipotesis → diperoleh kesimpulan sebagai teori → ada kesimpulan yang bisa memecahkan masalah dan ada kesimpulan yang tidak bisa memecahkan masalah (sebagai ciri ketidakcocokan/falsely) → yang tidak bisa memecahkan masalah dianggap masalah yang perlu dipecahkan dengan hipotesis baru → dan seterusnya. Sains menurut falsifikasionisme, berkembang maju lewat percobaan dan kesalahan, melalui dugaan dan penolakan. Hanya teori yang paling cocok yang bertahan. Teori yang benar dianggap sah apabila belum terbukti salah sehingga dapat dikatakan sebagai terbaik dari yang diperoleh. Apabila suatu teori gagal menghadapi ujian observasi dan eksperimen, berarti telah ia difalsifikasi. Bila ia lulus, berarti ia telah dikonfirmasi. Progresivitas sains ditandai dengan falsifikasi dan konfirmasi atas teori-teori. Arti penting konfirmasi terkait dengan konteks sejarah. Konfirmasi punya jasa tinggi bagi suatu teori bila merupakan hasil uji terhadap ramalan baru. Misalnya, mengkonfirmasi teori New58
ton dengan menjatuhkan batu ke tanah. Menfalsifikasi: gaya gravitasi antara 2 benda tergantung pada temperatur kedua benda tersebut. Contoh pemikiran falsifikasionisme dapat dilihat pada kasus ”kelelawar” yang bisa terbang malam dengan menghindari rintangan tetapi penglihatannya sangat lemah kalau siang hari. Hipotesis yang diajukan, bahwa walapun kelelawar mempunyai penglihatan lemah tetapi pada malam hari bisa terbang dengan menggunakan matanya secara baik sehingga bisa menghindari rintangan secara tepat. Hipotesisis ini diuji dengan mencoba melepaskan sebagian kelelawar di ruangan gelap, dan sebahagian lagi ditutup matanya, kemudian dilepaskan di ruangan gelap pula. Kemudian dibuat logika deduktif: - Premis mayor: Kelelawar bisa menghindari rintangan dengan menggunakan matanya. - Premis minor: Kelelawar sampel ini tidak bisa melihat karena matanya ditutup. Dengan menggunakan logika deduktif penguji menarik kesimpulan: Kelelawar yang ditutup matanya tidak mungkin bisa menghindarkan rintangan. Tetapi setelah kedua kelompok kelelawar dilepaskan ternyata kelelawar yang ditutup matanya malahan bisa menghindari rintangan lebih baik lagi. Hipotesis baru diajukan dengan memperhitungkan pendengaran. ”Telinga kelelawar turut membantu menghindari rintangan”. Hipotesis baru ini diuji dengan cara menutup telinganya kemudian dilepaskan. Ternyata kelelawar bisa menghindari rintangan jauh lebih baik lagi. Hipotesis baru diajukan lagi bahwa ”kelelawar bisa terbang menghindari rintangan dengan baik apabila tidak terganggu oleh getaran sesuatu yang didengarnya”. Kemudian dilakukan pengujian lagi. Kalaupun pengujian itu mendukung hipotesis, penganut falsifikasi masih memandang adanya ketidakcocokan baik yang menyangkut sampel yang diambil maupun lingkungan di mana pengujian dilakukan. Paradigma Thomas S. Kuhn Konsep-konsep Popper kemudian banyak dikritik oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang menuliskan gagasan dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1962). Popper dianggap sebagai pendukung positivisme terselubung, karena Popper masih mempercayai kesatuan ilmu. Padahal menurut Kuhn, ilmu itu tidaklah tunggal melainkan plural. Ilmu-ilmu atau teori-teori muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat dianggap sebagai superteori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori [8]. Intisari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum,
Surajiyo / Prosiding EduFi 2016 55 - 60
metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan Untuk lebih memahami pemikiran Thomas sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karak- Kuhn berikut ini model (pola) pemikirannya: ter ilmu pengetahuan itu sendiri. Paradigm ANormal scienceAnomaliesCrisisScenParadigma menjadi kerangka konseptual dalam tific RevolutionParadigm B. mempersepsi kenyataan. Dengan demikian tidak ada observasi yang netral seperti anggapan positivisme. Apa yang kita tangkap dari realitas dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita miliki, jadi bukan realitas apa adanya. Suatu pemikiran dapat berkembang menjadi paradigma apabila (1) Memiliki cukup banyak pengikut, yang berarti ada banyak komunitas ilmiah yang mendukungnya, dan (2) Pemikiran tersebut membicarakan dan membuka cukup banyak daerah persoalan yang merangsang para ilmuwan untuk mencari pemecahannya. Komunitas ilmuwan itulah yang kemudian memberi legitimasi kebenaran suatu teori, jadi suatu paradigma mendapatkan legitimasinya bukan secara obyektif melainkan secara intersubyektif (antar ilmuwan). Positivisme dapat berkembang bukan karena dirinya obyektif, melainkan karena ada komunitas ilmuwan yang menjunjung dan terus memperbaharuinya. Bagi Kuhn [9], Popper sangat dipengaruhi oleh idea of progress, yaitu keyakinan bahwa perkembangan akan berjalan secara linear dan bahwa setiap pergantian paradigma lama oleh paradigma baru selalu berarti kemajuan. Kuhn meyakini bahwa idea of progress tidaklah benar, atau suatu model yang tidak memiliki bukti dalam sejarah ilmu pengetahuan, karena (1) Apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosisnya, maka yang pertama harus disalahkan bukanlah teori utama yang menjadi dasar prognosis itu, melainkan ilmuwan yang merencanakan prosedur penelitian. Seorang ilmuwan yang terburuburu menyalahkan teorinya sama seperti seorang tukang kayu yang menyalahkan gergajinya ketika kursi yang dibuat tidak sesuai dengan model yang dipesan, (2) Eksperimen yang secara sungguhsungguh hendak menjatuhkan suatu teori (experimentum crucis) merupakan peristiwa yang sangat langka. Experimentum crucis diadakan bila terdapat krisis yang melanda suatu bidang ilmu tertentu, dan karena itu mengundang para ilmuwan untuk mengatasinya. Krisis yang dimaksud biasanya dimulai dengan munculnya persoalan yang tak bisa dipecahkan oleh teori yang ada, dan (3) Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah, yaitu kerja ilmiah normal dan kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan dan penerapan suatu teori. Kekeliuran Popper adalah menganggap seluruh kerja ilmiah sebagai kerja revolusi yang mengetes suatu teori kemudian menggugurkannya. Popper mengabaikan cara kerja ilmiah normal, padahal banyak ilmuwan yang disiapkan untuk mengikuti cara kerja ilmiah normal ketimbang cara kerja ilmiah revolusioner. 59
Dari model tersebut dapat dikemukakan bahwa: (1) Pra-ilmiah: aktivitas yang terpisah dan tidak terorganisir mengawali pembentukan suatu sains, hingga menjadi tersusun dan terarah menjadi suatu paradigma tunggal yang dianut suatu masyarakatilmiah. Suatu paradigma terdiri dari asumsi teoritis, dalil, teknik menerapkan, yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah. (2) Paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Misalnya tentang mekanika Newton, optik gelombang, atau kimia analitik, mempraktekkan apa yang Kuhn sebut sebagai normal science. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. (3) Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai. (4) Menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Krisis memaksa komunitas ilmuwan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-daar ontologis, metodologis dan nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Krisis pada akhirnya mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya. (5) Krisis teratasi bila lahir paradigma yang sepenuhnya baru dan makin banyak menarik kepercayaan para ilmuwan. Perubahan terus-menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah. Lantas paradigma baru membimbing aktivitas ilmiah, sampai jatuh pada kesukaran yang serius, timbul krisis yang diikuti suatu revolusi baru. Jadi pergerseran paradigma dari paradigma A menjadi paradigma B ditandai dengan (1) munculnya cara berpikir baru, (2) prinsip yang senantiasa hadir, meski tidak disadari, (3) paradigma baru tak akan bisa diaplikasikan tanpa meninggalkan paradigma lama (prinsip incommonsurable), dan (4) paradigma baru selalu ditanggapi dengan sikap kecurigaan dan permusuhan (misalnya, Galileo). Penganut paradigma tertentu terbiasa dan terlatih dengan paradigma yang dimilikinya, sehingga
Surajiyo / Prosiding EduFi 2016 55 - 60
terikat secara emosional. Peralihan paradigma menuntut perubahan perspektif ontologi, epistemologi, dan metodologi. Contoh pergeseran paradigma itu adalah (1) Paradigma: teori Aristoteles (misalnya) dijadikan model untuk menjelaskan fenomena alam. Normal Sciences: paradigma Aristoteles cukup memuaskan dalam menjelaskan fenomena alam dan bertahan untuk waktu yang cukup lama. (2) Metode Aristoteles mulai dirasa tidak memadai lagi untuk menjelaskan fenomena alam oleh para ilmuwan Rennaisance (Copernicus, Galieo Galilei, dan Newton). Anomalies: muncul fakta bahwa teori-teori lama tidak memuaskan lagi dan tidak mampu menyelesaikan problem-problem baru. Crisis: muncul ketidakpercayaan pada paradigma lama. Scientific revolution: krisis memuncak, lahirlah ilmuwan yang menemukan paradigma baru, misalnya Newton dengan hukum gravitasi universal. Muncul paradigma baru.
Kesimpulan Induktivisme dengan bertolak bahwa ilmu berasal dari fakta-fakta pengalaman. Karl Popper mengembangkan teori falsifikasinya. Thomas S Khun membela revolusi ilmiah dan perlunya kelahiran paradigma-paradigma baru. Bagi induktivisme pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dipercaya, karena itu telah dibuktikan kebenarannya secara obyektif. Teoriteori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari faktafakta pengalaman yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen. Sains didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar, rasakan, dan sebagainya. Pendapat atau kesukaan subyektif dan dugaandugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di dalam ilmu. Ilmu itu obyektif. Perbedaan pemikiran Karl R. Popper dengan Thomas Kuhn dapat disimpulkan sebagai berikut. Karl R. Popper (Ilmu pengetahuan bukan sematamata produk kesepakatan sosial, ilmu pegetahuan berkembang secara evolusioner, perkembangan ilmu pengetahuan melalui subyek peneliti, rumus
60
perkembangan ilmu: problem 1 → teori tentatif → error elimination → problem 2, perkembangan ilmu berlangsung secara sinambung, dan antar teori dapat diperbandingkan walaupun asumsinya berbeda). Sedangkan menurut Thomas Kuhn (Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan intersubyektif, ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner, perkembangan ilmu pengetahuan melalui subyek peneliti dalam satu komunitas ilmu pengetahuan, rumus perkembangan ilmu: paradigm A → normal science → anomalies → crisis → scientific revolution → paradigm B, perkembangan ilmu berlangsung dalam ketidaksinambungan, dan antar teori tidak dapat diperbandingkan bila asumsinya berbeda).
Referensi [1] K.W. Siswomihardjo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (UMS, Surakarta, 1994), pp. 18. [2] A. Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984), pp. 10. [3] Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2005), pp. 7. [4] S. Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, ( Ar-Ruzz, Yogayakarta, 2005), pp. 94-95. [5] J.S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Sinar Harapan, Jakarta, 1987). [6] R. Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Liberty bekerja sama dengan YP Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1996). [7] R. Mustansyir dan M. Munir, Filsafat Ilmu, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001). [8] T.S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terjemahan, (Remadja Karya, Bandung, 1989). [9] E. Ardianto, et al., Filsafat Ilmu Komunikasi, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007), pp. 118-119.
Prosiding EduFi 2016 61 - 66 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Bentuk Tes Formatif Uraian Terhadap Prestasi Belajar Fisika (Studi Eksperimen Strategi Pembelajaran di SMPN 13 Jakarta Selatan) A. Kusdiwelirawan∗ , Lalu Ria Suhardiman Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Sekolah Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jl. Warung Buncit Raya, Jakarta 12740
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh strategi pembelajaran dan bentuk tes formatif uraian terhadap prestasi belajar fisika. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2 x 2. Populasi penelitian adalah seluruh siswa SMP Negeri 13 Jakarta sebanyak 811 siswa dan sampel sebanyak 65 siswa kelas IX SMP Negeri 13 Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang mendapat strategi pembelajaran inkuiri dengan kelompok siswa yang mendapat strategi pembelajaran berbasis masalah dengan Fhitung = 6, 940 > Ftabel = 4, 08 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 2) tidak terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian terstruktur dengan kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur dengan Fhitung = 3, 904 < Ftabel = 4, 08 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 3) terdapat pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dengan bentuk tes formatif uraian terhadap prestasi belajar fisika siswa dengan Fhitung = 43, 373 > Ftabel = 4, 08 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 4) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian terstruktur setelah dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inkuiri dan strategi pembelajaran berbasis masalah dengan Qhitung = 9, 22 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 5) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur setelah dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inkuiri dan strategi pembelajaran berbasis masalah dengan Qhitung = 3, 95 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 6) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inkuiri setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur dan tes formatif uraian tidak terstruktur dengan Qhitung = 8, 56 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05, 7) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran berbasis masalah setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur dan tes formatif uraian tidak terstruktur dengan Qhitung = 4, 61 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: strategi pembelajaran, bentuk tes formatif uraian, prestasi belajar fisika ∗ Penulis koresponden. Alamat email: galing
[email protected]
Pendahuluan
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan den- menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. gan cara mencari tahu tentang alam secara sistema- Proses pembelajarannya menekankan pada pembetis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpu- rian pengalaman langsung untuk mengembangkan lan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep- kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga meru- sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan pakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA di- untuk inquiry dan berbuat sehingga dapat memharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik
A. Kusdiwelirawan et al. / Prosiding EduFi 2016 61 - 66
bantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Fisika sebagai bagian dari IPA merupakan ilmu paling mendasar yang sangat berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Berbagai produk teknologi dapat tercipta salah satunya dengan penguasaan ilmu fisika dengan benar. Fisika sebagai salah satu cabang IPA pada dasarnya bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan sifat zat serta penerapannya. Ilmu fisika membantu kita untuk menguak dan memahami tabir misteri alam semesta ini. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan (PISA, 2012; TIMSS, 2011). Kondisi ini juga terlihat di SMPN 13 Jakarta dimana kualitas belajar IPA (fisika) siswa masih tergolong rendah. Fakta ini diperkuat dari perolehan nilai ulangan semester dengan rata-rata ketuntasan belajar siswa kelas IX SMPN 13 Jakarta pada mata pelajaran IPA (fisika) masih berada di bawah KKM. Pencapaian prestasi belajar fisika siswa SMPN 13 Jakarta secara umum masih belum sesuai harapan. Guru sebagai pelaku dalam kegiatan belajar mengajar belum efektif dalam menggunakan strategi, metode, atau media pembelajaran fisika. Proses pembelajaran yang dibangun oleh guru masih menggunakan strategi pembelajaran yang bersifat konvensional. Hal ini terlihat dari kurangnya keterlibatan siswa saat proses belajar mengajar, siswa cenderung diam dan bahkan berbicara sendiri ketika guru menyampaikan materi. Keadaan ini menunjukkan bahwa suasana proses belajar mengajar kurang menyenangkan sehingga siswa mencari kesenangan sendiri daripada hanya mendengarkan materi. Rendahnya prestasi belajar fisika siswa juga disebabkan masih banyak siswa yang beranggapan bahwa fisika sulit untuk dipelajari karena hanya merupakan kumpulan rumus-rumus belaka yang kurang dapat dimengerti maknanya. Karena siswa tidak menyukai mata pelajaran ini, akhirnya siswa merasa enggan untuk memfokuskan diri ketika belajar fisika. Dampak dari hal tersebut adalah siswa akan mengalami kegagalan dalam mata pelajaran ini yang berimbas pada rendahnya prestasi belajar fisika siswa.
Metode Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan disain faktorial 2 x 2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh strategi pembelajaran dan bentuk tes formatif uraian terhadap prestasi belajar fisika siswa. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 13 Jakarta yang beralamat di Jl. Tirtayasa Raya Blok O/1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. 62
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa IX.8 dan siswa kelas IX.7 SMP Negeri 13 Jakarta. Total siswa yang dijadikan sampel penelitian adalah 65 orang dengan perincian siswa kelas IX.8 berjumlah 33 orang dan siswa kelas IX.7 berjumlah 32 orang. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik cluster random sampling. Analisis data merupakan prosedur penelitian yang digunakan untuk memproses dan mengolah data hasil penelitian dari pengumpulan data yang bertujuan untuk membuktikan kebenaran dan menguji hipotesis. Analisis data pada penelitian ini terdiri atas analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif berupa penyajian data dengan daftar distribusi frekuensi dan histogram, mean, median, modus, simpangan baku, dan rentang teoritis. Sedangkan analisis inferensial berupa Analisis of Variance (ANAVA) dua jalur untuk menguji hipotesis dan akan dilanjutkan dengan uji Tukey.
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan inquiry dan pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan prestasi belajar siswa secara signifikan. Namun strategi pembelajaran inquiry memberikan pengaruh yang lebih baik daripada strategi pembelajaran berbasis masalah terhadap prestasi belajar fisika. Perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang mendapat strategi pembelajaran inquiry dengan kelompok siswa yang mendapat strategi pembelajaran berbasis masalah
Pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa ”terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang menggunakan strategi pembelajaran inquiry dengan kelompok siswa yang menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah”. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Fhitung = 6, 940 > Ftabel = 4, 08 pada taraf signifikansi α = 0, 05. Strategi pembelajaran inquiry merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses mencari dan menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapinya [1]. Strategi pembelajaran inquiry dibentuk atas dasar discovery [2]. Discovery dalam proses pembelajaran merupakan proses menemukan sendiri sesuatu hal yang baru [3]. Dalam penelitian ini jenis inquiry yang digunakan adalah inquiry terbimbing (guided inquiry approach). Dalam proses pembelajaran, inquiry terbimbing merupakan model pembelajaran yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa [4]. Pembelajaran dengan inquiry terbimbing mengarahkan siswa untuk mengetahui sesuatu yang dihadapkan kepada mereka. Berkaitan dengan hal
A. Kusdiwelirawan et al. / Prosiding EduFi 2016 61 - 66
ini, siswa diberikan peran untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Guru sendiri berperan sebagai pengarah untuk membimbing siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran [5]. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana terjadi interaksi dua arah antara pebelajar dengan lingkungan [6]. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dalam rangka memahamai permasalahan melalui situasi dan masalah yang dihadapinya serta mengkondisikan siswa sebagai pebelajar yang mandiri [7]. Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan proses pembelajaran yang menyajikan masalah yang bersifat kontekstual dan selanjutnya siswa menyelesaikan masalah-masalah tersebut untuk mendapatkan pengetahuan baru. Pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah menekankan pada upaya menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata. Perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian terstruktur dengan kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur
Tes uraian tidak terstruktur merupakan bentuk jawaban dari tes uraian dimana peserta tes hanya dibatasi oleh waktu yang tidak terikat pada kedalaman, keluasan maupun pengorganisasian jawaban [8]. Jenis tes uraian ini memberikan kebebasan bagi siswa untuk menghubungkan informasi-informasi faktual, mengorganisasikan jawaban menurut penilaian mereka sendiri, mengintegrasikan dan mengevaluasi ide yang mereka anggap tepat. Jawaban peserta tes atas pertanyaan pada tes uraian tidak terstruktur menunjukkan kemampuannya untuk memilih dan mengingat fakta-fakta yang menurutnya saling berhubungan, mengatur dan menyajikan ide-idenya dalam bentuk yang logis dan koheren. Hal ini menyebabkan tes uraian tidak terstruktur tidak efisien dalam mengukur pengetahuan yang bersifat factual serta penskoran dalam tes uraian tidak terstruktur sulit dan mungkin tidak reliabel karena susunan jawaban dari informasi faktual memiliki derajat kebenaran yang bervariasi [11]. Pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dengan bentuk tes formatif uraian terhadap prestasi belajar fisika
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa ”terdapat pengaruh interaksi antara strategi Pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa pembelajaran dengan bentuk tes formatif uraian ”tidak terdapat perbedaan prestasi belajar fisika terhadap prestasi belajar fisika”. Hasil pengujian antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif menunjukkan bahwa Fhitung = 43, 373 > Ftabel = uraian terstruktur dengan kelompok siswa yang 7, 31 pada taraf signifikansi α = 0, 05. diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur”. Karakteristik materi pelajaran IPA fisika Hasil pengujian menunjukkan bahwa Fhitung = membutuhkan penalaran tinggi dengan perhitun3, 094 < Ftabel = 4, 08 pada taraf signifikansi α = gan menggunakan rumus-rumus. Fisika meru0, 05. Tes uraian terstruktur merupakan soal jawa- pakan mata pelajaran yang menggunakan metode ban singkat yang berisi unsur-unsur pengantar soal, ilmiah, serta berfungsi untuk memperluas wawasan seperangkat data, dan serangkaian subsoal [8]. Tes pengetahuan, meningkatkan keterampilan ilmiah, uraian terstruktur berisi pertanyaan-pertanyaan menumbuhkan sikap ilmiah, dan kesadaran serta yang terstruktur dan dibatasi, ruang lingkup jawa- kepedulian pada produk teknologi dan menyadari ban yang telah didefinisikan dan dibatasi [9]. Jawa- kebesaran Tuhan Yang Maha Esa [12]. Dalam hal ban yang diberikan oleh siswa berada pada batas ini bentuk tes uraian (terstruktur dan tidak tertertentu yang sudah dikendalikan [10]. Pembat- struktur) mempengaruhi penentuan strategi pemasan ini membuatnya lebih efisien untuk men- belajaran fisika. Dapat dikatakan bahwa strategi gukur pengetahuan tentang materi-materi fisika pembelajaran yang diberikan kepada siswa tidak yang bersifat faktual. Item soal berupa pertanyaan- selamanya memberikan hasil yang sama baik unpertanyaan yang terarah dan ditujukan sesuai den- tuk semua kondisi dan situasi. Oleh karena itu, gan jawaban yang diinginkan. Tes uraian terstruk- untuk meningkatkan prestasi belajar fisika siswa tur dapat digunakan untuk mengukur kemampuan- yang maksimal perlu ada keserasian antara benkemampuan seperti: menjelaskan hubungan se- tuk tes dengan strategi pembelajaran. Dengan bab akibat, mendeskripsikan aplikasi dari suatu demikian terdapat interaksi antara strategi pembehukum/prinsip, memberikan argument yang rel- lajaran dengan bentuk tes uraian. Interaksi antara evan, menyusun hipotesis yang bisa dipertang- strategi pembelajaran dengan bentuk tes formatif gungjawabkan, menyusun kesimpulan yang valid, terhadap prestasi belajar fisika dapat dilihat pada merumuskan asumsi yang penting, mendeskripsikan Gambar 1. kelemahan suatu, menjelaskan metode dan prosedur [11]. Ini berarti bahwa tes uraian terstruktur dapat mengungkapkan banyak aspek yang diinginkan. 63
A. Kusdiwelirawan et al. / Prosiding EduFi 2016 61 - 66
serta pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi, ruang dan waktu [13]. Karakteristik mata pelajaran fisika sangat sesuai dengan karakteristik tes uraian terstruktur, karena dalam jenis tes ini siswa dituntut untuk mampu mengidentifikasi apa yang diketahui dalam soal dan apa yang ditanyakan dalam soal. Perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur setelah dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inquiry dan strategi pembelajaran berbasis masalah
Gambar 1 Visualisasi interaksi antara strategi pembelajaran dan bentuk tes formatif uraian dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar fisika. Perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian terstruktur setelah dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inquiry dan strategi pembelajaran berbasis masalah
Pengujian hipotesis keempat menunjukkan bahwa ”terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran inquiry dengan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur”. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Qhitung = 9, 22 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05. Tes uraian terstruktur berisi pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur dan dibatasi, ruang lingkup jawaban telah didefinisikan dan dibatasi. Jawaban yang diberikan oleh siswa berada pada batas tertentu yang sudah dikendalikan [9]. Pembatasan ini membuatnya lebih efisien untuk mengukur pengetahuan tentang materi-materi fisika yang bersifat faktual. Strategi pembelajaran inquiry merupakan model pembelajaran dimana dengan proses mentalnya sendiri siswa dapat menemukan suatu konsep atau prinsip. Strategi pembelajaran inquiry adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan [1]. Proses berfikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa [1]. Pada pembelajaran ini siswa diarahkan untuk lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreatifitas dalam pemecahan masalah. Fisika merupakan pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen [12]. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penyelidikan dan penemuan 64
Pengujian hipotesis kelima menunjukkan bahwa ”terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran inquiry dengan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah setelah diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur”. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Qhitung = 3, 951 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05. Tes uraian tidak terstruktur merupakan tes dimana jawaban siswa tidak dibatasi, bergantung pada pandangan siswa itu sendiri [10]. Hal ini disebabkan oleh isi pertanyaan uraian bebas sifatnya umum. Artinya bahwa siswa diberikan kebebasan dalam menjawab soal yang diberikan. Kebebasan ini membuat tes uraian tidak terstruktur sangat tidak efisien dalam mengukur hasil belajar yang spesifik dan tes uraian bebas juga memiliki kesulitan dalam penskoran karena terbatas penggunaannya dalam instrumen pengukuran. Strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah. Masalah dalam strategi pembelajaran berbasis masalah bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah tersebut belum pasti. Setiap siswa, bahkan guru, dapat mengembangkan kemungkinan jawaban. Karakteristik pembelajaran berbasis masalah ini sangat sesuai dengan karakteristik tes uraian tidak terstruktur yang bersifat bebas. Dalam uraian bebas jawaban siswa tidak dibatasi, bergantung pada pandangan siswa itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh isi pertanyaan uraian bebas sifatnya umum. Dengan demikian prestasi belajar fisika siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran inquiry lebih rendah dibandingkan dengan prestasi belajar fisika siswa yang dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah. Perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran inquiry setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur dan tes formatif uraian tidak terstruktur
Pengujian
hipotesis
keenam
menunjukkan
A. Kusdiwelirawan et al. / Prosiding EduFi 2016 61 - 66
bahwa ”terdapat perbedaan prestasi belajar fisika Keterbatasan penelitian antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif • Penelitian ini dilakukan hanya di satu sekouraian terstruktur dengan kelompok siswa yang lah saja yaitu SMPN 13 Jakarta. Subyek diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur penelitian hanya pada siswa kelas IX sesetelah dibelajarkan menggunakan strategi pembanyak 65 orang yang terbagi dalam 2 kebelajaran inquiry”. Hasil pengujian menunjukkan las dengan masing-masing kelas terdiri dari bahwa Qhitung = 8, 56 > Qtabel = 3, 82 pada taraf 33 dan 32 orang siswa. Hal ini menyebabkan signifikansi α = 0, 05. Strategi pembelajaran inhasil penelitian ini hanya bisa digeneralisasquiry merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran ikan untuk sekolah-sekolah yang karakterisyang menekankan pada proses berpikir secara kritiknya sama dengan SMPN 13 Jakarta. tis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan [1]. Proses • Peneliti tidak diberikan kesempatan yang berfikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya luas untuk terlibat secara langsung dalam jawab antara guru dan siswa. Pada pembelajaran proses eksperimen terutama terkait optimalini siswa diarahkan untuk lebih banyak belajar isasi penggunaan Silabus dan RPP yang telah sendiri, mengembangkan kreatifitas dalam pemecdisusun oleh peneliti, sehingga peneliti tidak ahan masalah. Siswa yang dibelajarkan dengan mengetahui secara pasti kedalaman materi strategi pembelajaran inquiry yang diberi tes benyang diajarkan oleh guru pengampu. tuk uraian terstruktur diduga akan meningkatkan prestasi belajar fisika yang optimal, karena tes ben• Proses pembelajaran lebih difokuskan pada tuk uraian terstuktur merupakan bentuk tes uraian orientasi keberhasilan siswa pada Ujian Nadimana satu soal bisa terdiri atas beberapa subsoal sional, hal ini menyebabkan atau pertanyaan, setiap pertanyaan yang diajukan mengacu kepada suatu data tertentu sehingga lebih • Perubahan kondisi psikologis siswa selama jelas dan terarah, serta soal-soal berkaitan satu dilakukannya penelitian baik selama proses sama lain dan bisa diurutkan berdasarkan tingkat pembelajaran berlangsung maupun ketika kesukarannya. siswa diberikan instrument tes prestasi belajar fisika tidak diamati secara khusus sehingga Perbedaan prestasi belajar fisika antara mungkin saja berpengaruh terhadap prestasi kelompok siswa yang dibelajarkan dengan belajar fisika. strategi pembelajaran berbasis masalah setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur dan tes formatif uraian tidak terstruktur
Pengujian hipotesis ketujuh menunjukkan bahwa ”terdapat perbedaan prestasi belajar fisika antara kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian terstruktur dengan kelompok siswa yang diberikan tes formatif uraian tidak terstruktur setelah dibelajarkan menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah”. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Qhitung = 4, 61 > Qtabel = 3, 82 pada taraf signifikansi α = 0, 05. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah [14]. Siswa yang diajar dengan strategi pembelajaran berbasis masalah lebih cocok diberi tes bentuk uraian tidak terstruktur, karena masalah dalam strategi pembelajaran berbasis masalah bersifat terbuka (belum pasti). Setiap siswa dapat mengembangkan berbagai kemungkinan jawaban. Dalam tes uraian tidak terstruktur, jawaban siswa tidak dibatasi tetapi bergantung pada pandangan siswa itu sendiri [8]. Dengan demikian, strategi pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi, mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
65
• Siswa tidak terbiasa mengerjakan tes berbentuk uraian dikarenakan selama ini tes yang diberikan kepada siswa dominan berbentuk tes pilihan ganda sehingga menyebabkan siswa merasa kesulitan. Hal ini bedampak pada hasil penelitian yang kurang maksimal.
Penutup Berdasarkan temuan yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar fisika siswa yang mendapat strategi pembelajaran inquiry dengan yang mendapat strategi pembelajaran berbasis masalah setelah diberikan setelah diberikan tes formatif uraian terstruktur dan tidak terstruktur.
Ucapan Terima Kasih Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan, kritik dan saran yang diberikan terutama kepada H. T. Ramli Zakaria, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi PEP, Prof. Dr. H. R. Santosa Murwani dan Dr. A. Kusdiwelirawan, M.MSI, selaku Pembimbing 1 dan 2, Kepala SMPN 13 Jakarta yang telah memberikan
A. Kusdiwelirawan et al. / Prosiding EduFi 2016 61 - 66
izin penelitian, serta semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian dapat diselesaikan.
Referensi [1] W. Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Kencana, Jakarta, 2007). [2] S. Anitah W. et al., Strategi Pembelajaran Matematika, (Universitas Terbuka, Jakarta, 2007). [3] E. Suherman et al., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2003). [4] C.C. Kuhlthau, School Libraries Worldwide 16 1, (2010). [5] Danokarsa, Macam-macam Model Pembelajaran Inkuiri, Dokumen WWW, (http://www.wordpress.com/2009/11/07macam-macam-model-pembelajaran-inkuiri/). [6] Trianto, Mengembangkan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah, (Majalah Ilmiah Guru Dwikarya, 2009). [7] S. Kardi dan M. Nur, Pengajaran Langsung, (Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, 1999).
66
[8] N. Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991). [9] W.A. Mehren dan I. J. Lehmann, Measurement and Evaluation in Education and Psychology, (Holt, Rinehart and Winston, Inc, New York, 1973). [10] V.K. Maheshwari dan R. Maheshwari, Essay Test-Measurement of Creative Expression, Dokumen WWW, (http://www.vkmaheshwari.com/WP/?p=666). [11] N.E. Gronlund, Measurement and Evaluation in Teaching 5th Editon, (Macmillian Publishing Company, New York 1985). [12] B. Crowell, Newtonian Physics, (Light and Matter, California, 2001). [13] M.K. Zorn, C. Ezrailson, dan D. Zike, Electricity and Magnetism, (McGraw-Hill Companies, Inc, Columbus, 2005). [14] A. Sudrajat, Pembelajaran Inquiry, Dokumen WWW, (http://akhmadsudrajat. wordpress.com/2011/09/12/pembelajaraninquiry/).
Prosiding EduFi 2016 67 - 67† http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Fotoproduksi η Meson pada Nukleon dengan Model Isobar Feli Cianda Adrin Burhendi∗ , Agus Salam Departemen Fisika, Universitas Indonesia Kampus UI Depok, Depok 16424
Abstrak Reaksi fotoproduksi η meson dengan menggunakan partikel gamma (foton) sebagai proyektil dan nukleon sebagai target untuk mencari gamma (foton) yang terhambur. Reaksi fotoproduksi yang ditinjau adalah γN → ηN dengan model isobar. Amplitudo transisi diagram Feynman pada kerangka pusat massa digunakan untuk mencari amplitudo kuadrat de- ngan melibatkan s-channel, u-channel, dan t-channel pada suku Born dan resonan. Nilai yang dicari adalah nilai penampang lintang differensial dengan menggunakan energi sistem mulai dari 1.685 MeV hingga 2.795 MeV dalam beberapa variasi sudut θ. Fitting grafik hubungan antara penampang lintang differensial dengan energi sistem dalam beberapa variasi sudut agar diketahui besarnya kontribusi dari amplitudo transisi pada setiap channel dari suku Born dan resonan pada proses perhitungan data eksperimen CLAS. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: fotoproduksi, amplitudo transisi, penampang lintang differensial ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
† Naskah lengkap tidak tersedia (not available, N/A)
Prosiding EduFi 2016 68 - 71 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Tempurung Kemiri untuk Penyerap M. Anas1,∗ , R. Eso1 , I. Usman2 , V. Hastuti1 , Hunaidah1 , Erniwati1 , Radikal1 , Ramlah1 , Hardianti1 1
Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Halu Oleo 2 Jurusan Fisika, Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari 93132
Abstrak Pembuatan dan karakterisasi karbon aktif dari tempurung kemiri telah dilakukan. Tempurung kemiri dipecah menjadi pecahan kecil-kecil, dicuci dan kemudian dikarbonasi. Karbon lalu digerus dan diayak dengan ukuran 60 mesh. Karbon diaktivasi selama 60 menit dan temperatur aktivasi divariasi serta dialiri gas nitrogen selama aktivasi. Sampel selanjutnya dikarakterisasi dengan analisis proksimat untuk menentukan kadar air, kadar abu, zat mudah menguap dan karbon terikat, SEM dan FTIR untuk mengamati morfologi permukaan dan gugus fungsional, serta analisis daya serap terhadap iodium (I2 ) dan metilen biru (MB) sekaligus digunakan mengestimasi luas permukaan. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan karbon terikat naik seiring dengan naiknya temperatur aktivasi sampai mencapai sebesar 95,65% pada temperatur aktivasi 800o C dan turun sampai sebesar 93,78% pada temperatur aktivasi 950o C. Hasil scan dengan SEM memperlihatkan bahwa sebelum akrivasi hanya sedikit pori permukaan yang nampak sedang pada aktivasi dengan temperatu 800o C nampak pori permukaan semakin banyak. Hasil FTIR menjunjukkan puncak serapan pada bilangan gelombang sekita 1400 cm−1 yang diindentifikasi sebagai gugus C=C. Daya serap terhadap MB, I2 dan luas permukaan pada temperatur aktivasi 800o C adalah 14,71 mg/g, 615,01 mg/g dan 497,33 m2 /g secara berurutan. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: karbon aktif tempurung kemiri, penyerap, metilen biru, iodium, luas permukaan ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
Tenggara sebesar 2.149 ton pada tahun 2012 [7]. Jika dalam sebuah kemiri gelondong, dua per tiga dari beratnya adalah tempurung atau cangkang, maka potensi tempurung kemiri sekitar 1.430 ton. Dalam penelitian ini, tempurung kemiri dipilih sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif dan diaktivasi dengan aktivasi fisika menggunakan gas nitrogen sebagai agen aktivasi. Kemampuan menyerap diuji dengan menggunakan iodium (I2 ) dan metilena biru (MB). Selanjutnya, luas permukaan arang aktif tempurung kemiri diestimasi dengan formula dalam Nunes dan Guerreiro [8].
Penelitian tentang pembuatan karbon aktif dan aplikasinya telah banyak dilakukan oleh para peneliti sejak zaman dahulu kala. Karbon aktif dapat dibuat dari berbagai bahan baku. Sejauh ini pemanfaatan biomassa dari sampah pertanian sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif telah menarik perhatian para peneliti karena biaya yang relatif rendah. Limbah pertanian seperti kulit biji mete [1-2], sekam padi [3], kulit durian [4], tempurung kemiri [5], Albizia lebbeck [6] telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Salah satu limbah pertanian yang melimpah di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah tempurung Metode kemiri. Sejauh ini, tempurung kemiri dianggap Tempurung kemiri dipecah menjadi pecahan tidak memiliki nilai jual, sehingga hanya dibuang kecil-kecil, dicuci dengan aquades dan dikeringkan atau dibakar. Produksi kemiri di Provinsi Sulawesi di bawah sinar matahari selama seharian. Tem-
Muhamad Anas et al. / Prosiding EduFi 2016 68 - 71
purung kemiri yang sudah kering kemudian dikarbonasi pada temperatur sekitar 400o C selama 6 jam. Karbon lalu digerus dan diayak dengan ukuran 60 mesh. Karbon diaktivasi selama 60 menit dan temperatur aktivasi divariasi serta dialiri gas nitrogen dengan kecepatan alir dipertahankan konstan selama aktivasi. Penjelasan detail pembuatan sampel telah dipaparkan dalam [9-11]. Sampel selanjutnya dikarakterisasi dengan analisis proksimat untuk menetukan kadar air, kadar abu, zat mudah menguap dan karbon terikat, SEM untuk mengamati morfologi permukaan dan FTIR untuk menganalisis gugus fungsional. Disamping itu, daya serap karbon tempurung kemiri diuji dengan menganalisis daya serap terhadap iodium (I2 ) dan metilen biru (MB). Hasil analisis daya serap ini kemudian digunakan mengestimasi luas permukaan karbon aktif dari tempurung kemiri.
baliknya kadar abu semakin besar dengan naiknya temperatur aktivasi. Sedangkan, karbon terikat naik dari 93,75% pada temperatur aktivasi 500o C menjadi 95,65% pada temperatur aktivasi 800o C kemudian turun lagi menjadi 93.80% pada temperatur aktivasi 950o C. Semua parameter yang dianalisis memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia [12]. Hasil pindai SEM dengan perbesaran 5000x ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil SEM cangkang kemiri yang telah dikarbonisasi (Gambar 1a) memperlihatkan bahwa pori-pori pada permukaan arang cangkang kemiri mulai terbentuk, namun masih tampak sebagian besar permukaan masih licin tanpa adanya retakan. Hal ini menunjukkan bahwa karbon dari tempurung kemiri masih tertutupi oleh senyawa hidrokarbon. Setelah diativasi sampai temperatur 800o C, terlihat bahwa sebagian besar permukaan karbon aktif tempurung kemiri sudah terbentuk pori. Ukuran pori permukaan ini mencapai Hasil dan Pembahasan 8000nm, jadi termasuk makropori. Namun, ukuran Tabel 1 menampilkan hasil penentuan kadar air, makropori permukaan menjadi lebih kecil jika samkadar abu, zat mudah menguap dan karbon terikat pel diaktivasi pada temperatur 950o C. Bonelli, et dari karbon aktif tempurung kemiri dengan temper- al. [13] menjelaskan bahwa perbedaan temperatur atur akrivasi yang berbeda. Hasil analisis memper- aktivasi menyebakan lepasnya zat mudah terbang lihatkan bahwa kadar air dan zat mudah menguap yang menghantarkan pembentukan dan perbesaran menurun dengan naiknya temperatur aktivasi, se- pori. Tabel 1 Hasil analisis proksimat karbon aktif dari tempurung kemiri o
Ta ( C) 500 650 800 950
Kadar air (%) 0.40 0.34 0.16 0.10
Kadar abu (%) 0.45 1.10 2.49 5.50
Zat mudah menguap (%) 5.40 4.28 1.70 0.63
Karbon terikat (%) 93.75 94.27 95.65 93.78
Gambar 1 Morfologi permukaan tempurung kemiri, kiri (a) sebelum aktivasi dan kanan (b) aktivasi 800o C.
Jumlah I2 dan MB teradsopsi serta luas permukaan karbon aktif tempurung kemiri dengan variasi temperatur ditampilkan pada Tabel 2. Tabel ini menunjukkan bahwa jumlah I2 teradsorpsi jauh lebih besar dari jumlah MB teradsorpsi. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa telah terbentuk 69
mesopori dan mikropori dalam karbon aktif tempurung kemiri dengan aktivasi pada temperatur tinggi. Serapan terhadap iodium dalam penelitian ini masih dibawah SNI yaitu 750 mg/g. Dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah I2 yang terserap cenderung semakin menurun seiring den-
Muhamad Anas et al. / Prosiding EduFi 2016 68 - 71
gan meningkatnya temperatur aktivasi. Hal ini terjadi karena pada proses aktivasi temperatur tinggi menyebabkan sebagian karbon telah menjadi abu. Abu yang dihasilkan bersatu dengan karbon, menutupi sebagian pori-pori karbon dan menghalangi daya serap karbon aktif. Luas permukaan karbon aktif dalam penelitian ini diestimasi dengan menggunakan formula [8] S(m2 g−1 ) = 2.28 × 102 − 1.01 × 10−1 MBN + 3.00 ×
10−1 IN+1.05×10−4 MBN2 +2.00×10−4 IN2 +9.38× 10−4 MBN IN. Dengan S adalah luas permukaan (m2 /g); MBN adalah bilangan MB (mg/g) dan IN adalah bilangan iodium (mg/g). Berdasarkan formula di atas, luas permukaan karbon aktif tempurung kemiri dalam penelitian ini diperoleh seperti pada Tabel 2 kolom 4. Luas permukaan spesifik naik sedikit terhadap kenaikan temperatur aktivasi.
Tabel 2 Jumlah MB teradsorpsi, Jumlah I2 serta luas permukaan karbon aktif tempurung kemiri Ta (o C) 500 650 800 950
Jumlah MB teradsorpsi (mg/g) 11.90 14.44 18.71 18.07
Jumlah I2 teradsorpsi (mg/g) 618.17 616.47 615.03 617.55
Luas permukaan (m2 /g) 495.59 495.86 497.33 498.21
Gambar 2 Spektogram FTIR karbon aktif tempurung kemiri untuk perlakuan temperatur yang berbeda.
Gambar 2 memperlihatkan spektrogram FTIR tempurung kemiri yang bisa memberikan informasi tentang gugus fungsional. Spektrum serapan diukur pada rentang bilangan gelombang 400 - 4000 cm−1 . Hasil FTIR mengungkapkan bahwa puncak serapan untuk sampel yang tidak diaktivasi muncul pada bilangan gelombang 716, 870, 1425, 1595, dan 3400 cm−1 . Puncak pada 870, 1425, 1595, dan 3400 cm−1 sangat dekat dengan hasil yang diperoleh Ahamed et al. [6] yang diidentifikasi sebagai gugus C–H, gugus C=C, gugus aromatic lignin dengan mode vibrasi stretching C=O dan gugus hidroksil secara berurutan.
Kesimpulan Tempurung kemiri dapat menjadi salah satu bahan baku pembuatan karbon aktif dengan kadar air, kadar abu, zat mudah terbang dan karbon terikat memenuhi SNI. Hasil SEM memperlihatkan bahwa pori permukaan semakin terbentuk dengan naiknya temperatur aktivasi dan maksimum pada temperatur aktivasi 800o C. Hasil FTIR menjunjukkan puncak serapan pada bilangan gelombang sekitar 1400 cm−1 yang diindentifikasi sebagai gugus C=C. Serapan terhadap MB dan I2 serta luas permukaan karbon aktif tempurung kemiri pada temperatur aktivasi 800o C adalah 14,71 mg/g, 615,01 mg/g dan 497,33 m2 /g secara berurutan.
Puncak serapan pada 716 cm−1 diasosiasikan oleh Socrates dalam Al Qodah dan Shawabkah [14] sebagai vibrasi deformasi cincin aromatik. Puncak Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan pada kepala serapan pada bilangan belombang 1595 cm−1 tidak muncul lagi setelah temperatur aktivasi 800o C. Ser- Laboratoriun Energi ITS atas pemindaian dengan apan pada bilangan gelombang 1425 cm−1 semakin spektrofotometer FTIR. Juga, terima kasih kepada besar. Dekan FMIPA UHO atas penggunaan Laboratorium untuk aktivasi dan SEM serta analisis serapan.
70
Muhamad Anas et al. / Prosiding EduFi 2016 68 - 71
Referensi [1] S. Tangjuank, N. Insuk, V. Udeyedan, dan J. Tontrakoon, Int. J. of Phys. Sci. 4 (8), 412 (2009). [2] M. Anas, M. Jahiding, Ratna, A. Hasanah, dan D. Kurniadi, Pros. Pert. Ilmiah XXVIII HFI Jeteng dan DIY, 21-23, (2014). [3] N.K.E.M Yahayaa, M.F.P.M. Latiff, I. Abustan, O.S. Bellob, dan M.A. Ahmad, IJETIJENS 10 (6), 27 (2010). [4] T.Y. Jun, S.D. Arumugam, N.H.A. Latip, A. M. Abdullah, dan P.A. Latif, Envir. Asia 3 (special issue), 143 (2010). [5] S. Gunawan, G. Pari, dan K. Sufyan, Jurnal Ilmu dan Teknolgi Hasil Hutan 2 (2), 51 (2009). [6] K.R. Ahamed, T. Chandrasekaran, dan A.A. Kumar, IJIRI 1 (1), 26 (2013).
71
[7] BPS Sultra, Sulawesi Tenggara dalam Angka, (2013). [8] C.A. Nunes dan M.C. Guerreiro, Qu´ım. Nova 34 (3), 472 (2011). [9] Radikal, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari, 2014 (Tidak dipublikasikan). [10] Ramlah, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari, 2014 (Tidak dipublikasikan). [11] Hardianti, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari, 2015 (Tidak dipublikasikan). [12] Badan Standardisasi Nasional Indonesia, SNI 06-3730-1995, (BSNI, Jakarta, 1995). [13] P.R. Bonelli, P.A. Della Rocca, E.G. Cerrella, dan A.L. Cukierman, Biores. Tech., 76 (1), 15 (2001). [14] Z. Al-Qodah dan R. Shawabkah, Braz. J. of Chem. Eng., 26 (1), 127 (2009).
Prosiding EduFi 2016 72 - 74 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Perangkat Lunak Berbasis Graphical User Interface (GUI) untuk Analisis Data Radiasi Matahari Harian dengan Portlog Rainwise Automatic Weather Station Ryantika Gandini∗ , Nanang Dwi Ardi, Cahyo Puji Asmoro, Nia Nurhayati, Binta Yunita Program Studi Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudi, Bandung 40154
Abstrak Kontribusi yang penting dalam memahami lansekap adalah dengan radiasi matahari yang diterima permukaan bumi. Pemanfaat ananalisis data radiasi matahari di Indonesia belum dapat dioptimalkan secara baik dikarenakan kendala instrumen pengukuran serta perangkat lunak yang handal. Pengamatan cuaca harian dengan Automatic Weather Station telah rutin dilakukan, namun data yang tersedia belum diterapkan analisis berbasis perangkat lunak yang baik. Data dengan akurasi pengukuran dalam tiap detik membutuhkan analisis perhitungan yang cepat dalam memproses hasil yang terjadi. Metode Fast Fourier Transform (FFT) digunakan dalam analisis data radiasi matahari untuk mengetahui siklus intensitas cahaya matahari setiap jam sehingga diperoleh radiasi matahari maksimum dalam satuan energi tiap satuan luas. Hasil analisis data sampel dalam satu hari dengan periode dalam 479 jam atau 20 hari diperoleh nilai intensitas cahaya matahari maksimum sebesar 1156 W/m2 . Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan ketersediaan matahari sebagai energi alternatif di masa depan serta analisis sederhana dalam waktu singkat untuk memahami fenomena pemanasan global. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: Fast Fourier Transform, radiasi matahari, Automatic Weather Station, perangkat lunak ∗ Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan
hingga hanya sebagian kecil saja dari radiasi mataMatahari merupakan pusat tata surya yang hari yang mencapai bumi [3]. Radiasi matahari menjadi sumber utama energi Bumi. Dengan suhu yang diterima 2di puncak atmosfer bumi kita sebepermukaan sebesar ± 6.000 K, matahari mampu sar 1360 W/m dan rata-rata setengah nilai tersememancarkan energi rata-rata sebesar 6,2 KW but diterima di permukaan bumi setelah mengalami (9, 2 × 104 kal/menit) per satuan luas matahari proses pemantulan dan penyerapan oleh awan serta (cm2 ) [1]. Energi dalam bentuk gelombang elek- partikel-partikel [4]. Besar energi radiasi yang ditertromagnetik ini dipancarkan ke segala arah dengan ima di permukaan bumi ditentukan oleh beberapa kecepatan cahaya dan merupakan penyebab utama hal diantaranya adalah (i) jarak bumi-matahari, (ii) perubahan pergerakan atmosfer sehingga dapat di- sudut datang matahari, (iii) panjang siang, dan (iv) anggap sebagai pengendali iklim dan cuaca yang pengaruh atmosfer [5]. besar [2]. Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, radiasi adalah pemancaran dan perambatan gelombang yang membawa tenaga melalui ruang atau antara, misal pemancaran dan perambatan gelombang elektromagnetik. Dalam penjalarannya, radiasi matahari yang memancar ke segala arah akan mengalami penghamburan dan penyerapan oleh molekul debu dan partikel atmosfer se-
menerima pancaran energi matahari dengan ratarata waktu 7 jam setiap harinya. Hal ini merupakan keuntungan bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan energi matahari menjadi energi alternatif. Untuk memanfaatkan energi matahari menjadi energi alternatif yang dapat digunakan secara optimal, perlu diketahui besar energi yang dipancarkan oleh matahari setiap harinya. Pengamatan cuaca
Ryantika Gandini et al. / Prosiding EduFi 2016 72 - 74
harian menggunakan Automatic Weather Station (AWS) memungkinkan kita untuk mengetahui besar energi yang dipancarkan oleh matahari setiap menit. Menurut Bores Sign. Prog, sinyal adalah suatu parameter variabel dimana informasi di sampaikan melalui suatu rangkaian elektronik. Sinyal dapat diartikan sebagai suatu isyarat yang membawa informasi. Suatu sinyal mempunyai beberapa informasi yang dapat diamati, misalnya amplitudo, frekuensi, perbedaan fase, dan gangguan akibat noise [6]. Dalam data pengamatan meteorologi, data radiasi matahari merupakan sinyal diskrit yang didefinisikan dalam suatu saat waktu diskrit, amplitudonya mempunyai nilai hanya pada saat tertentu saja. Agar sinyal dapat bermanfaat sesuai kebutuhan manusia dengan efisien dan optimal, maka diperlukan pengolahan sinyal dengan menggunakan suatu sistem elektronika analog maupun yang digital [7]. Oleh karena itu dilakukan pengolahan sinyal untuk mengetahui siklus intensitas cahaya matahari maksimum digunakan Metode Fast Fourier Transform (FFT). FFT adalah suatu metode matematik yang digunakan untuk mengubah domain suatu besaran menjadi domain frekuensi yang didefinisikan melalui persamaan (1) [8]. Z ∞ F (ω) = f (x)e−iωx dx (1)
nak analisis radiasi matahari. Melalui GUI yang sudah dibuat (Gambar 1), data radiasi matahari awal dengan domain waktu diplot untuk mengetahui pola radiasi matahari sehingga dihasilkan grafik seperti pada Gambar 2. Dari grafik domain waktu radiasi matahari diperoleh bentuk diskrit dengan nilai intensitas tertinggi sebesar 1156 W/m2 . Untuk memperoleh periode intensitas radiasi matahari tertinggi tersebut, terlebih dahulu dilakukan transformasi Fourier untuk mengubah data radiasi matahari domain waktu menjadi data radiasi dalam domain frekuensi.
−∞
Transformasi Fourier umumnya digunakan untuk mengetahui nilai frekuensi maksimum (nilai eigen frekuensi) baik itu pada sebuah citra maupun pada suatu sinyal [9]. Dalam penelitian ini sinyal diskrit radiasi matahari berdomain waktu yang diperoleh menggunakan AWS akan ditransformasi menggunakan transformasi fourier sehingga diperoleh sinyal radiasi matahari dalam domain frekuensi.
Gambar 1 Tampilan perangkat lunak analisis radiasi matahari.
Metode Metode FFT digunakan dalam analisis data radiasi matahari untuk mengetahui siklus intensitas cahaya matahari setiap menit sehingga diperoleh radiasi matahari maksimum dalam satuan energi tiap satuan luas. Data radiasi matahari berupa sinyal diskrit yang diperoleh dari pengaGambar 2 Grafik intensitas radiasi matahari dalam matan menggunakan AWS yang dilakukan pada domain waktu. tanggal 19 November 2015 pukul 09.02 - 17.01 WIB. Selanjutnya data radiasi matahari ditransHasil dari transformasi Fourier tersebut adalah formasi menggunakan FFT pada GUI yang sudah bilangan kompleks. Oleh karena itu nilai tersebut dibuat untuk memperoleh nilai intensitas radiasi dikuadratkan sehingga diperoleh frekuensi tertinggi maksimum dan periodanya. untuk data tersebut seperti yang terlihat dalam grafik Gambar 3. Dari grafik tersebut kemudian Hasil dan Pembahasan dilakukan perubahan nilai frekuensi menjadi periPengolahan data radiasi matahari diawali den- ode sehingga diperoleh nilai 479 dengan satuan jam gan pembuatan GUI (Graphical User Interface) se- sebagai periode intensitas radiasi matahari sebesar bagai langkah awal untuk membuat perangkat lu- 1156 W/m2 (Gambar 4). 73
Ryantika Gandini et al. / Prosiding EduFi 2016 72 - 74
oleh AWS. Sehingga nilai intensitas radiasi matahari maksimum pun akan berbeda untuk setiap pengukuran. Namun hasil yang diperoleh saat ini dapat mewakili keadaan intensitas radiasi matahari secara umum di Indonesia. Sehingga dengan mengetahui siklus intensitas radiasi maksimum kita bisa memanfaatkannya sebagai panduan maupun acuan untuk energi alternatif di Indonesia.
Kesimpulan Berdasarkan hasil transformasi Fourier pada data radiasi matahari domain waktu diperoleh siklus intensitas radiasi maksimum sebesar 1156 W/m2 yang akan berulang pada hari ke-20 atau 479 jam kemudian. Nilai tersebut sesuai dengan keadaan kecerahan langit yang mempengaruhi intensitas radiasi matahari yang sampai ke bumi.
Gambar 3 Hasil transformasi Fourier radiasi matahari.
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nanang Dwi Ardi serta kepada Bapak Agus Fany yang telah membimbing kami untuk menyusun artikel ini dengan baik.
Referensi Gambar 4 Grafik periode radiasi matahari.
Gambar 5 Tampilan perangkat lunak analisis radiasi matahari setelah pengolahan data dilakukan.
Hasil yang diperoleh dari transformasi tersebut tidak akan selalu sama untuk pengukuran pada waktu lainnya. Hal ini disebabkan keadaan beberapa parameter cuaca seperti kecerahan langit atau keadaan awan saat pengukuran akan mempengaruhi intensitas radiasi matahari yang terukur
74
[1] I.W. Sudiarta, et al., Pengantar Meteorologi, (Program Studi Fisika FMIPA Universitas Mataram, Mataram, 2013), pp. 19-21. [2] A.G. Kartasapoetra, Klimatologi Pengaruh Cuaca Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman, (Bumi Aksara, Jakarta, 1986). [3] N.D. Maharani, Radiasi Matahari, (Laporan Praktikum Agroklimatologi, Laboratorium Agroklimat Universitas Bengkulu, 2012). [4] Handoko, Klimatologi Dasar, (Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB, Bogor, 1993). [5] H. Saipul dan Sumaryati, (Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 2014). [6] I. Kurniawan, Diktat / Bahan Ajar Mata Kuliah Pengolahan Sinyal, (Politeknik Jambi, Jambi). [7] Krisnawati, Transformasi Fourier dan Transformasi Wavelet pada Citra, (STMIK Amikom, Yogyakarta). [8] R. Heilbronner dan S. Barrett, Image Analysis in Earth Sciences Microstructures and Textures of Earth Materials, (Springer, Berlin, 2013). [9] P.S. Heckbert, Computer Graphics 2, (1998).
Prosiding EduFi 2016 75 - 77 http://fi.uhamka.ac.id/edufi2016/
Seminar Nasional EduFisika 2016 ”EduFisika & Negeri Madani”
Interpretasi Struktur Geologi di Daerah Sumatera Utara Berdasarkan Analisa Percepatan dan Intensitas Gempa Bumi Diyan Parwatiningtyas Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Indraprasta PGRI Jl. TB Simatupang, Jakarta 12530
Abstrak Salah satu akibat yang ditimbulkan dari penjalaran gelombang gempa bumi di suatu tempat adalah besarnya percepatan gempa pada tanah dan intensitas yang ditimbulkan. Besar kecilnya percepatan tanah dan intensitas tersebut menunjukan resiko gempa yang perlu diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Setiap gempa yang terjadi akan menimbulkan satu nilai percepatan tanah dan besar intensitas yang akan diperhitungkan pada perencanaan bangunan. Salah satu metode untuk menghitung percepatan tanah adalah metode empiris Mc. Guire. Berdasarkan data daerah yang mencakup wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya yang dibatasi dalam luasan 0o LU - 4o LU dan 97o BT - 102o BT. Data yang digunakan merupakan data historis gempa bumi di daerah Sumatera Utara dan sekitarnya yang dikumpulkan selama 40 tahun terakhir (1970 2010). Dengan menggunakan metode empiris Mc. Guire didapat nilai percepatan tanah maksimum untuk daerah Sumatera Utara. Dari hasil perhitungan nilai percepatan tanah maksimum yang didapat pada setiap latitude dan longitude-nya, dapat ditentukan besar intensitasnya dengan memakai skala MMI (Modified Mercally Intensity). Kemudian, hasil perhitungan percepatan dan intensitas yang didapatkan akan diinterpretasikan berdasarkan peta geologi, pergerakan geodinamiknya sebagai acuan keamanan pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut. c 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Pendidikan Fisika UHAMKA
Review oleh Komite Saintifik EduFi 2016
Kata kunci: percepatan tanah, besar intensitas, interpretasi geologi Penulis koresponden. Alamat email:
[email protected]
Pendahuluan Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai resiko tinggi terhadap gempa bumi, salah satunya adalah wilayah Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara terletak pada 0o LU 4o LU dan 97o BT - 102o BT. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km2 . Sumatera utara merupakan daerah yang sangat potensial akan rawan gempa bumi. Hal ini diakibatkan karena daerah Sumatera merupakan pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Eurasia dan Indo-Australia serta diperkuat dengan adanya sesar aktif Semangko. Dengan bertemunya kedua lempeng tersebut, terbentuklah zona subduksi yang mengakibatkan frekuensi gempa bumi di sana cukup tinggi dan Sumatera Utara merupakan daerah yang dilalui tiga patahan yakni Patahan Renun, Patahan Toru dan Patahan Angkola sepanjang 475 kilometer, dimana ketiga segmen patahan ini merupakan sumber dan jalur
perambatan gempa bumi di darat [1]. Aktifnya kegempaan yang ada, akan mengakibatkan labilnya struktur lapisan permukaan di wilayah Sumatra Utara [2]. Biasanya hal ini disebabkan oleh pergerakan lempeng tektonik yang terjadi di sekitar batas lempeng. Besarnya kerusakan tergantung pada besarnya getaran yang sampai ke permukaan bumi. Efek ini memberikan pengaruh pada pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut. Untuk itulah kita mencoba untuk menghitung nilai percepatan tanah maksimum serta intensitas gempa bumi di wilayah Sumatera Utara, dengan metoda Mc. Guire. Dari hasil perhitungan nilai percepatan Tanah Maksimum yang didapat pada setiap latitude dan longitudenya, dapat ditentukan besar intensitasnya dengan menggunakan skala MMI (Modified Mercally Intensity) [3]. Kemudian, hasil perhitungan percepatan dan intensitas yang didapatkan akan diinterpretasikan berdasarkan peta geologi, pergerakan geodinamiknya sebagai acuan keamanan
Diyan Parwatiningtyas / Prosiding EduFi 2016 75 - 77
pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut.
mengindikasikan tembok-tembok retak, bangunan dan jalanan banyak yang rusak.
Metode Daerah data berasal dari data historis gempa bumi dari Pusat Gempa Nasional [2] dan [5] yang diambil selama 43 tahun (1970 - 2010) mencakup wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya yang dibatasi dalam luasan 0o LU - 4o LU dan 97o BT 102o BT. Adapun langkah metode penelitian dalam pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut. • Menyusun data historis gempa bumi (latitude, longitude, magnitude dan kedalaman). • Mengkonversi data yang didapat dari satuan magnitude gelombang body (mb) menjadi magnitude gelombang permukaan (Ms) dengan menggunakan rumusan dari Gutenberg dan C.F. Richter. Setelah dikonversi, data yang dipakai kemudian dipilih, yaitu hanya yang memiliki magnitude M ≥ 5.0 SR dengan kedalaman sumber gempa ≤ 65 km.
Gambar 1 Peta nilai percepatan tanah wilayah Sumatera Utara.
• Menghitung nilai percepatan tanah, dengan rumus Mc. Guire R.K, dikutip dari referensi [2] dan [4] dengan persamaan: α=
472.3 × 100.278M (R + 25)1.301
(1)
dengan α adalah percepatan tanah permukaan (gal), M magnitude permukaan (SR), dan R jarak hiposenter (km). • Perhitungan dipermudah dengan software Matlab dan Excel. Menentukan nilai intensitas berdasarkan Skala Intensitas oleh Modified Mercalli Intensity (MMI).
Gambar 2 Peta skala Intensitas MMI wilayah Sumatera Utara.
• Membuat peta kontur percepatan tanah dan intensitas kegempaan dengan software View Arc GIS. • Menginterpretasikan keadaan percepatan dan Intensitas gempa berdasarkan peta geologi.
Hasil dan Pembahasan Dari hasil pengolahan data, dapat diinterpretasikan bahwa daerah Asahan dan Labuhan Batu memiliki nilai percepatan gempa sebesar 27.603 73.19 (gal) dengan nilai Intensitas MMI 6. Sesar yang mendominasi di sini adalah sesar normal. Hal ini mengartikan bahwa area ini tidak mengalami gempa yang besar. Kerusakan hanya pada bangunan dengan skala kecil. Sedangkan daerah Tapanuli Selatan, Deli Serdang, dan Medan memiliki seismisitas yang sedang, dengan nilai percepatannya 73.19 - 118.778 dan skala Intensitas MMInya bernilai 7, sesar naik, yang menerobos lempeng tektonik sekitar Labuhan Batu dan Asahan. Area ini 76
Gambar 3 Peta nilai percepatan tanah dan skala Intensitas di wilayah Sumatera Utara.
Kemudian, zona gempa yang paling berat kerusakannya diindikasikan pada daerah Tapanuli Utara, Simalungun dan Langkat, yang mana area ini memiliki sesar naik yang deformasi lempengnya bergerak terus menjadi deformasi lempeng baru,
Diyan Parwatiningtyas / Prosiding EduFi 2016 75 - 77
mendekati wilayah Aceh, dan memiliki nilai per- besarnya kepada Panitia Seminar Edufisika 2016, cepatan gempa sebesar 118.778 - 164.336 dan skala para Staff Pusat Data Gempa Nasional, serta para Intensitas MMInya bernilai 8. Teknisi di Dinas Bagian Seismologi BMKG Jakarta, yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Semoga Tuhan YME membalas keKesimpulan baikan budi kalian semua. Hasil perolehan perhitungan nilai percepatan tanah maksimum dan penentuan nilai intensitas menandakan adanya variasi resiko gempa bumi ter- Referensi hadap bangunan di wilayah Sumatera Utara dan [1] Murjaya, JG. Ibrahim, dan M. Said, Proceedsekitarnya. Zona gempa terbesar berada di area ing PIT-22 HAGI, Bandung, 1997. Tapanuli Utara, Simalungun dan Langkat, yang [2] S.M. Nesia, Analisa Percepatan Pergerakan mana area ini memiliki sesar naik yang deformasi Tanah Maksimum dan Intensitas Gempa lempengnya bergerak terus menjadi deformasi lemBumi Sumatera Utara, Jurusan Fisika, Unipeng baru, mendekati wilayah Aceh, dan memiliki versitas Nasional Jakarta, (Tidak diternilai percepatan gempa sebesar 118.778 - 164.336 bitkan). dan skala Intensitas MMInya bernilai 8. Area ini [3] Subardjo et al., J. Met. Geo. 24, (2002). tentunya membutuhkan penanganan khusus dalam [4] Subardjo et al., Bulletin Meteorologi dan Gehal pengelolaan wilayah pembangunan infrastrukofisika No. 4, (1998). turnya. [5] J. Tarigan, Kajian Struktur Bangunan di Kota Medan Terhadap Gaya Gempa di Masa Yang Ucapan Terima Kasih Akan Datang, (Universitas Sumatera Utara, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarMedan, 2007).
77