PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MIGRASI DAN ADAPTASI MIGRAN SIRKULER PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN
Sumartono
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Proses Pengambilan Keputusan Migrasi dan Adaptasi Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2012
Sumartono NRP. I353090041
ii
ABSTRACT SUMARTONO. The Process of Decision Making of Migration and Adaptation of Circular Migrants Working As Moving Vendors in Pamulang Sub-district, Tangerang Selatan. Advised by EKAWATI SRI WAHYUNI and SAID RUSLI. The research is intended to study (1) the process of decision making of circular migrants; (2) the process of adaptation of the circular migrants; and (3) the change of social-economic and cultural aspects of circular migrant households. The research shows some factors that significantly influence the process of decision making to migrate in accord with the theory developed by Lee, i.e. (1) the factor originate from the migrants’ homeland as the pushing ones; (2) the factor of the migration destination as the pulling ones; (3) the aspect of obstruction; and (4) the personal factor. In addition to the four factors, this study shows a new aspect accelerates the migration process, i.e. the power of social network among migrants comprising of the earlier migrants who have succeeded in their migration. However, the economic motive and personal decision are two factors which could not be abandoned. The accomplishment of the adaptation is generally induced by personal characters: strong personality, durability, persistence and gallantry to live a difficult life. The external factor strengthening the process of adaptation of the migrants in their new milieu is the availability of the people originally from the same homeland. The success of the circular migrants is also influenced by their ability to maintain and develop certain institutions. They are comprising of (1) entrepreneurial institutions with their networks; (2) the system of remittent transfer; (3) saving and loaning institutions; and (4) social security system. The circular migrants working as moving vendors (PKL) are generally getting additional values as the better change of their social, economic and cultural household aspects. The change is known through several indicators: (1) the improved quality or quantity of their dwellings in their homeland; (2) the increase of their properties or jewelries; (3) the trend of self-ownership among the moving vendors’ businesses; (4) the trend of business income of the moving vendors; (5) the trend of the average of remittent nominal; (6) the trend of marital status of the moving vendors; and (7) the change of the behavioral aspects of the circular migrants from traditional pattern into the more modern one.
Keywords: process and decision to migrate; adaptation, the change of social, economic and cultural status; circular migrants; moving vendors (PKL)
iii
RINGKASAN SUMARTONO. Proses Pengambilan Keputusan Migrasi dan Adaptasi Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI dan SAID RUSLI. Gerakan atau perpindahan penduduk dari desa ke kota sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Perpindahan penduduk tersebut ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat sementara atau non permanen disebut migrasi sirkuler. Dijelaskan oleh Hugo (1986), bahwa perbedaan antara permanen dan non permanen terletak pada tujuan pergerakannya. Apabila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, maka dapat dikategorikan sebagai migran permanen. Jika tidak ada niat untuk tinggal menetap di daerah tujuan, maka disebut sebagai migran non permanen atau migran sirkuler. Migran sirkuler yang meskipun bekerja di daerah tujuan tetapi umumnya keluarga masih tetap tinggal di daerah asal. Mereka meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah. Mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanen mereka di daerah asal dimana terdapat keluarganya (Jellinek, 1986). Migrasi sirkuler banyak dilakukan dari desa ke kota. Menurut Ram (1989), migrasi sirkuler sesungguhnya merupakan salah satu reaksi spontan rasional penduduk miskin di daerah perdesaan terhadap kesenjangan peluang bekerja dan berusaha serta penghasilan di desa dan di kota. Kota dianggap sebagai daerah tujuan yang menyimpan berbagai kelebihan termasuk besarnya kesempatan kerja di sektor informal. Migran sirkuler umumnya meyakini bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraannya, orang harus pergi meninggalkan desa untuk sementara waktu bekerja di kota. Hal ini dikuatkan oleh Hugo (1986), yang melakukan penelitian di beberapa desa yang terletak di Propinsi Jawa Barat (14 desa) pada tahun 1973. Selain itu, juga melakukan penelitian terhadap kegiatan kerja para migran di kota tujuan, yaitu Bandung dan Jakarta. Sebagian besar migran sirkuler pada waktu mereka berada di kota bekerja di sektor informal. Ada dua alasan mengapa para migran sirkuler bekerja di sektor informal, yaitu: (1) Sektor informal mempunyai daya serap yang tinggi terhadap tenaga kerja, sehingga tenaga kerja menganggap lebih mudah untuk masuk sektor ini dan (2) Migran sirkuler yang bekerja di sektor informal bebas menentukan hari dan jam kerja. Kebebasan waktu inilah yang dibutuhkan para migran untuk melakukan sirkulasi secara pulang pergi dari/ke desa-kota. Fleksibilitas waktu dan sarana lalu lintas dan angkutan yang relatif murah dan mudah memungkinkan migran sirkuler melakukan perjalanan pergi dan pulang ke/dari kota dengan mudah dan sewaktu-waktu. Pada saat pulang ke desa iv
seperti itulah, para migran membawa sebagian dari penghasilannya baik berupa uang atau barang sebagai bentuk dari tanggung jawab dan ikatan kekeluargaan yang kuat dengan daerah asal. Menurut Hidayat (1991), salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari kebiasaan mengirimkan uang atau barang-barang berharga (remiten) kepada keluarga di desa adalah meningkatnya status sosial ekonomi keluarga tersebut. Tingginya penduduk desa yang melakukan migrasi sirkuler dan memiliki hubungan yang kuat dengan daerah asal, terbukti mereka dapat berperan sebagai agen pembaharuan di daerah asal mereka (Ram, 1989). Meskipun berbagai penelitian tentang migrasi sudah banyak dilakukan, namun hal itu masih merupakan isu yang menarik karena menyangkut dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian yang dilaksanakan di kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan ini bertujuan mengkaji tentang berbagai masalah berkaitan dengan migrasi sirkuler. (1) proses pengambilan keputusan migrasi, (2) proses adaptasi migran sirkuler, dan (3) perubahan status sosial ekonomi migran sirkuler. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan yaitu pendekatan survai kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh tambahan
informasi
kualitatif
pada
data
kuantitatif
(Singarimbun,
1989).
Informasi/data kuantitatif dikumpulkan menggunakan kuesioner dari hasil wawancara terhadap 60 responden. Untuk memperoleh informasi bersifat kualitatif, peneliti melakukan wawancara secara bebas dan mendalam pada informan yang sudah ditentukan. Responden adalah individu yang mempunyai karakteristik sebagai migran sirkuler yang merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kegiatan usaha sektor informal perkotaan sebagai pedagang kaki lima (PKL) yang melakukan usahanya di wilayah kecamatan Pamulang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan migrasi, sesuai teori yang dikembangkan oleh Lee, yaitu (1) Faktor yang terdapat di daerah asal migran sebagai faktor pendorong, (2) Faktor yang terdapat di daerah tujuan migran sebagai faktor penarik, (3) Faktor penghalang/rintangan dan (4) Faktor Pribadi. Selain empat faktor tersebut, kajian ini menunjukkan bahwa ada temuan baru yang berperan sebagai akselerator proses migrasi yaitu kekuatan jejaring sosial migran yang terdiri dari para migran yang sudah terlebih dahulu berhasil. Migran yang sudah lebih dahulu berhasil terbukti merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk dapat mengajak saudara atau teman se daerah asal menjadi migran. Meskipun demikian, sesungguhnya pengambilan keputusan
v
seseorang untuk menjadi migran sirkuler lebih karena motif ekonomi dan mayoritas ditentukan oleh keputusan pribadi/individu. Proses adaptasi migran sirkuler dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Keberhasilan proses adaptasi migran sirkuler ditentukan oleh sifat-sifat internal yaitu kepribadian yang kuat, tahan uji, ulet dan berani menghadapi tantangan hidup prihatin sekalipun. Faktor eksternal yang menguatkan proses adaptasi migran terhadap tempat tinggal adalah bahwa di lingkungan tempat tinggalnya cukup banyak warga migran yang berasal dari satu daerah asal. Adaptasi di lingkungan pekerjaan cenderung lebih mudah. Pengalaman berganti-ganti lokasi dan jenis pekerjaan serta lamanya menekuni pekerjaan, merupakan faktor yang menunjang keberhasilan proses adaptasi terhadap pekerjaan. Untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga migran, remiten menjadi salah satu yang amat penting, selain frekuensi pulang kampung migran itu sendiri. Maraknya penggunaan handphone dapat memperlancar komunikasi dengan keluarganya dan hal ini mampu mengurangi frekuensi migran untuk pulang ke kampungnya. Keberhasilan migran sirkuler dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya dilakukan dengan membangun kelembagaan yang berfungsi untuk mengamankannya. Kelembagaan tersebut antara lain (1) Lembaga Bisnis, salah satunya dengan mengembangkan jaringan usahanya, (2) Sistem Pengiriman Dana Remiten, (3) Lembaga simpan pinjam, dan (4) Sistem Keamanan Sosial, misalnya membangun kemitraan dengan preman. Migran sirkuler sektor pedagang kaki lima (PKL), umumnya mendapatkan nilai tambah berupa perubahan status sosial ekonomi dan budaya dalam rumah tangga migran yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan itu ditandai dengan berbagai hal: (1) semakin baiknya kondisi bangunan rumah tinggal mereka di daerah asal, (2) peningkatan kepemilikan barang berharga, (3) trend perubahan kepemilikan modal usaha PKL pada kepemilikan usaha mandiri, (4) trend peningkatan pendapatan PKL, (5) trend peningkatan rata-rata dana remiten, (6) trend perubahan status perkawinan dan (7) perubahan perilaku/kebiasaan PKL dari yang tradisional ke yang lebih modern. Selain itu, indikasi adanya peningkatan ekonomi rumah tangga migran, diperlihatkan oleh selisih skor Indeks Peningkatan Ekonomi (IPE) antara sebelum dan sesudah migrasi.
vi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
TESIS
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MIGRASI DAN ADAPTASI MIGRAN SIRKULER PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN
oleh Sumartono
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Master Sains Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
viii
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr.
ix
Judul Tesis
: PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MIGRASI DAN ADAPTASI MIGRAN SIRKULER PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN
Nama
: Sumartono
NRP
: I353090041
Program Studi : Sosiologi Pedesaan
Disetujui,
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS Ketua
Ir. Said Rusli, MA Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah
Tanggal Ujian : 21 Nopember 2012
Tanggal lulus : …………………
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Proses Pengambilan Keputusan Migrasi dan Adaptasi Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan” telah dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, ucapan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS, selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Said Rusli, MA selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dengan tulus sejak proses penyusunan proposal hingga selesainya penyusunan tesis ini. Bahkan lebih dari itu, selain memberikan saran dan masukan-masukan yang kritis, beliau berdua tersebut dapat membangkitkan semangat dan motivasi penulis sehingga terpacu untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga amal dan kebaikan beliau berdua diterima oleh Allah SWT dan mendapatkan imbalan yang setimpal; 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr, selaku dosen penguji luar komisi ujian sidang tesis. Selaku dosen penguji dari luar komisi, beliau telah memberikan saran dan masukan-masukan yang kritis demi penyempurnaan tesis ini. Semoga amal kebaikan beliau mendapatkan imbalan yang sesuai dari Allah SWT; 3. Ibu dan Bapak dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, yang telah memberikan kepemilikan sebagian ilmunya dan menanamkan tradisi berfikir secara kritis terhadap setiap persoalan melalui pertemuan perkuliahan ataupun lainnya, sehingga penulis menjadi termotivasi dan tertantang untuk menyelesaikan studi ini; 4. Pimpinan Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku pimpinan program studi, beliau telah dengan serius memberikan perhatian, motivasi dan pengarahan dalam menyusun rencana strategi penyelesaian tesis melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan secara berkala; 5. Rektor Universitas Terbuka Prof. Dr. Tian Belawati, M.Ed; Pembantu Rektor I Universitas Terbuka Dr. Yuni Tri Hewindati; Dekan FMIPA Universitas Terbuka Dr. Nuraini Soleiman, M.Ed; Pembantu Dekan I FMIPA Universitas Terbuka Dr. Sri Listyarini, M.Ed; Pembantu Dekan II FMIPA Universitas Terbuka Ir. Subekti xi
Nurmawati, M.Si; Ketua Prodi Pengembangan Wilayah dan Kota FMIPA Universitas Terbuka Ir. H. Edi Rusdiyanto, M.Si; Ketua PSDM Universitas Terbuka Dr. Lina Warlina, M.Ed; yang telah memberikan kesempatan dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis untuk melanjutkan studi S-2 di IPB Bogor; 6. Migran sirkuler pedagang kaki lima dan stake holder lainnya di wilayah Pamulang, yang telah bersedia terlibat dan membantu memberikan informasi seputar permasalahan proses pengambilan keputusan migrasi dan adaptasi migran sirkuler dan perubahan status sosial ekonomi migran sirkuler untuk mendukung penulisan tesis ini; 7. Teman-teman seangkatan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB angkatan 2009/2010, Nur Isiyana Wianti, Mahmudi Siwi, Fatriyandi Nur Priyatna dan Bambang Capricoren, atas kebersamaan dalam diskusi-diskusi kritisnya yang bermanfaat bagi perkuliahan kita. Semoga soliditas dan solidaritas tetap terus terjaga dan terbangun diantara kita; 8. Isteri tercinta Sri Eny Nurwidayati, S.Pd dan anak kami Aria Surya Chandra, SE dan Aria Santya Irawan atas dukungan, pengertian, keikhlasan, pengorbanan dan do’anya. Semoga karya tesis ini bermakna bagi kehidupan keluarga kami dan dapat memberi motivasi belajar pada anak-anak kami. 9. Bapak dan ibu mertua Drs. H. Supriyo dan Hj. Suparni serta saudara-saudaraku H. Gunarso dan keluarga, Drs. Mujadi dan keluarga, Ir. H. Bambang Sugeng Ismanta, MBA dan keluarga, Ir. Lilis Suryaningsih, MM. dan keluarga, dan Etik Ipda Riyani, SE.Akt dan keluarga yang telah memberikan motivasi, doa dan dukungannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan karena faktor keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karenanya, segala saran, kritik dan masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Atas segala doa, dukungan dan perhatian dari semua pihak, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih dan menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak, Ibu dan saudara semua. Bogor, Nopember 2012 Penulis
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis, Sumartono dilahirkan di desa Karangwuluh, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1958 dari orang tua yang bernama R. Somosukarto dan Sudimah. Pada tahun 1985 penulis menikah dengan Sri Eny Nurwidayati, S.Pd dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu Aria Surya Chandra, SE dan Aria Santya Irawan. Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis yaitu Sekolah Dasar (SD) Negeri Janten, SMP Negeri 1 Wates, SMA Negeri 1 Wates. Pendidikan tingkat sarjana S-1 diperoleh dari Jurusan Kependudukan dan Demografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan pada program master di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), Institut Pertanian Bogor. Tahun 1984-1986, penulis bekerja menjadi staf Tenaga Harian Lepas (THL) pada Kantor Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen. Agraria, Departemen Dalam Negeri. Tahun 1987-1989 awal, penulis bekerja sebagai Penanggungjawab Distribusi dan Pemasaran Penerbitan Majah Rona, dibawah naungan Yayasan Nusantara Jakarta. Tahun 1989-1998 bekerja sebagai Staf Tenaga Pengajar FMIPA Universitas Terbuka yang diperbantukan di Pusat Pengujian Universitas Terbuka. Tahun 1998-2006 diperbantukan sebagai Kepala SMP Dharma Karya Universitas Terbuka. Tahun 2007sekarang, bekerja sebagai staf edukatif di Program Studi Pengembangan Wilayah Kota dan Lingkungan FMIPA Universitas Terbuka. Sebagai tugas tambahan pada tahun 2007-2009, penulis mendapat amanah dari Ketua Badan Pengurus Yayasan Pembina Universitas Terbuka sebagai Staf Bidang Pendidikan di yayasan tersebut. Pengalaman dalam berorganisasi dilakukan diluar kedinasan adalah sebagai Pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), yaitu pada tahun 2000-2004 menduduki jabatan Sekretaris BMPS Kabupaten Tangerang, tahun 2011-2016 menduduki sebagai Wakil Sekretaris BMPS Provinsi Banten, dan tahun 2012-2017 merangkap sebagai Wakil Sekretaris BMPS Kota Tangerang Selatan. Selain itu, terhitung sejak tahun 2000 sampai sekarang, penulis menjadi Tim Asesor Akreditasi Sekolah Tingkat TK, SD dan SMP di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
xiii
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT ……………………………………………………………............... RINGKASAN ……………………………………………………………………. PRAKATA ……………………………………………………………………….. RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... DAFTAR TABEL ………………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..
iii iv xi xiii xiv xvi xix xx
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………… 1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………… 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 1.4. Kegunaan Penelitian …………………………………………….
1 1 3 5 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 2.1. Pengertian Proses Migrasi ……………………………………… 2.2. Teori Migrasi dan Migrasi Sirkuler …………………………….. 2.3. Teori Adaptasi ………………………………………………….. 2.4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Pengarah ………………….. 2.4.1. Kerangka Pemikiran ……………………………………... 2.4.2. Hipotesis Pengarah ………………………………………. 2.5. Definisi Konseptual dan Operasional ….………………………..
7 7 8 14 18 18 19 19
BAB III
METODE PENELITIAN …………………………………………….. 3.1. Pendekatan Studi ……………………………………………….. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………… 3.3. Populasi, Sampel dan Unit Analisis ……….…………………… 3.4. Pengolahan dan Analisa Data …………………………………...
25 25 25 26 27
BAB IV
GAMBARAN UMUM KEADAAN WILAYAH DAN PENDUDUK MIGRAN DI KECAMATAN PAMULANG …...…………………… 4.1. Lingkungan Fisik dan Geografis ……………………...………... 4.2. Lingkungan Sosial Masyarakat ………………………………… 4.3. Lingkungan Budaya Masyarakat ………………………………. 4.4. Data Penduduk Migran di Pamulang ..………………………….
29 29 32 33 35
BAB V
KARAKTERISTIK MIGRAN DAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI MIGRAN SIRKULER …………………. 5.1. Karakteristik Migran …………………………………………… 5.2. Strategi Nafkah dan Mata Pencaharian Migran ..……………… 5.3. Daerah Asal Migran Sirkuler ………………………………….... 5.4. Motivasi dan Pandangan Responden Terhadap Migran Sirkuler. 5.5. Jejaring Sosial Sebagai Pelengkap Teori Migrasi “Lee” ………. 5.6. Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Migran Sirkuler ……..
41 41 45 48 49 52 53
BAB VI
PROSES ADAPTASI MIGRAN SIRKULER ..……………………. 6.1. Proses Adaptasi Migran ………………………………... ……… 6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Adaptasi Migran …..
57 57 58
xiv
6.3. Tindakan Awal Sebelum Memutuskan Menjadi Migran Sirkuler 6.4. Proses Adaptasi Migran Pada Lingkungan Tempat Tinggal ….. 6.5. Proses Adaptasi Migran Pada Lingkungan Pekerjaan ………… 6.6. Proses Adaptasi Migran Dalam Kehidupan Rumah Tangga …. 6.7. Jaringan Sosial Dalam Komunitas Migran ……………………. 6.8. Adaptasi Migran Pada Kebijakan Pemerintah ………………… 6.9. Prospek Migran . ………………………………………………. 6.10. Strategi Bertahan Hidup Migran Sirkuler ……………………… BAB VII PERUBAHAN STATUS SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA MIGRAN SIRKULER ………………………………… 7.1. Perubahan Status Sosial Ekonomi Rumah Tangga Migran …... 7.1.1. Indikator Bangunan Rumah ……………………………. 7.1.2. Indikator Kepemilikan Barang …………………………. 7.1.3. Kepemilikan Modal Usaha, Tingkat Pendapatan dan Dana Remiten ………………………………………….. 7.1.4. Indikator Pendidikan, Status Perkawinan dan Status Dalam RumahTangga………………………………….. 7.2. Perubahan Gaya Hidup dan Kebiasaan Dalam Rumah Tangga Migran Sirkuler ……………………………………………… 7.3. Indeks Peningkatan Ekonomi Rumah Tangga Migran ………..
60 61 64 71 74 77 80 81 85 86 87 91 93 97 103 107
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 8.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 8.2. Saran dan Kebijakan …………………………………………...
111 111 113
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… LAMPIRAN ……………………………………………………………………..
115 119
xv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Perbedaan antara Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan …………….
17
Tabel 4.1. Gambaran Umum Penduduk (tidak termasuk migran sirkuler) Kota Tangerang Selatan, 2010 …………………………………………….
33
Tabel 4.2. Daftar Penduduk Migran Baru Yang Masuk ke Wilayah Kalurahan di Kecamatan Pamulang Pasca Hari Raya Idul Fitri Tahun 2011 …...
37
Tabel 4.3. Data Penduduk Migran Sirkuler Yang Masuk Wilayah Kalurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 …………………………………………………………..
38
Tabel 5.1. Persentase Migran Berdasarkan Besarnya Pendapatan dan Status Perkawinan Pada Saat ini …………………………………………….
44
Tabel 5.2. Persentase Migran Berdasarkan Lamanya Menjadi Migran dan Frekuensi Pergantian Jenis Pekerjaan, 2012 …………………………
47
Tabel 5.3. Penyebaran Responden Migran Sirkuler Berdasarkan Daerah Asal dan Jenis Pekerjaan Responden, Tahun 2012 ………………………..
48
Tabel 5.4. Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Luas Lahan Pertanian Sawah di Daerah Asal Migran, 2012 ……………………...
56
Tabel 6.1. Tempat Tinggal Responden Pertama Kali Tinggal di Kota Tujuan Migran (Wilayah Pamulang), Tahun 2012 …………………………..
63
Tabel 6.2. Hubungan Antara Umur Pekerja Migran Sirkuler Dengan Kepemilikan Modal Usaha …………………………………………..
66
Tabel 6.3. Periode dan Frekuensi Kunjungan Migran ke Rumah di Daerah Asal, Tahun 2012 …………………………………………………………..
73
Tabel 6.4. Persentase Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Pernah Tidaknya Digusur oleh Pemda Setempat, 2012 ……………...
79
Tabel 6.5. Sikap Migran Terhadap Pernyataan Bahwa Menjadi Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima Meningkatkan Kesejahteraan, 2012 …………..
80
Tabel 6.6. Pemanfaatan Sebagian Pendapatan Migran Sirkuler Untuk Kebutuhan Sekunder, 2012 ………………………………………….
81
Tabel 7.1. Perbandingan Lantai Rumah Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……………………..
87
Tabel 7.2. Perbandingan Atap Rumah Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……………………..
88
xvi
Tabel 7.3. Perbandingan Dinding Rumah Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……………………..
89
Tabel 7.4. Perubahan Bentuk Rumah Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……………………..
90
Tabel 7.5. Pemanfaatan Sebagian Pendapatan Migran Selain Untuk Biaya Pendidikan Berdasarkan Lamanya Migrasi, Tahun 2012 ……………
91
Tabel 7.6. Perbandingan Jumlah Kepemilikan Sepeda Motor Rumah Tangga Migran Antara Sebelum dan Sesudah Migrasi, 2012 ………………..
92
Tabel 7.7. Trend Pergeseran Kepemilikan Modal Usaha Pedagang Kaki Lima Migran Sirkuler di Pamulang, Tahun 2012 …………………………..
93
Tabel 7.8. Tingkat Pendapatan Migran Per Bulan Berdasarkan Kelompok Lamanya Menjadi Migran Sirkuler di Kecamatan Pamulang, 2012 …
94
Tabel 7.9. Besarnya Dana Remiten Rumah Tangga Migran Berdasarkan Lamanya Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……………………
96
Tabel 7.10. Proporsi Responden Berdasarkan Ada Tidaknya Pekerjaan Sampingan, Tahun 2012 …………………………………………….
97
Tabel 7.11. Perbandingan Tingkat Pendidikan Migran Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler di Pamulang, Tahun 2012 ………………..
98
Tabel 7.12. Besarnya Migran Yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Sebagian Pendapatannya Untuk Biaya Pendidikan Keluarga Migran Sirkuler, Tahun 2012 ………………………………………………..
99
Tabel 7.13. Proporsi Migran Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir Migran dan Tingkat Pendidikan Anggota Keluarga Yang Dibiayai oleh Migran Sirkuler, 2012 ………………………………………………
100
Tabel 7.14. Perubahan Status Perkawinan Migran Saat Pertama Kali Menjadi Migran dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler di Pamulang, tahun 2012 ………........................................................................................
101
Tabel 7.15. Perubahan Status Migran Dalam Rumah Tangga Saat Pertama Kali Menjadi Migran dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler di Pamulang, Tahun 2012 ……………………………………………...
102
Tabel 7.16. Perbandingan Penggunaan Alas Tidur Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……...
104
Tabel 7.17. Penggunaan Bahan Bakar Rumah Tangga Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 ……...
105
xvii
Tabel 7.18. Perubahan Penggunaan Sarana Mandi Cuci Kakus Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 …………………………………………………………………
106
Tabel 7.19. Skor Indeks Ekonomi Rumah Tangga Migran Sirkuler Sebelum dan Sesudah Migrasi, 2012 ……………………………………………...
108
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Teori Migrasi (Everett S. Lee) …………………………………...
11
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran Proses Migrasi Sirkuler …………….
20
Gambar 4.1. Peta Lokasi Kecamatan Pamulang, 2012 …………………….......
30
Gambar 5.1. Rata-rata Umur Migran Sirkuler Pada Saat Migrasi Pertama, Pertama Pindah ke Pamulang dan Sekarang, Tahun 2012 ……….
42
Gambar 5.2. Tingkat Pendidikan Migran Sirkuler, Tahun 2012 ………………
43
Gambar 5.3. Status Perkawinan Migran Sirkuler, Tahun 2012 ………………..
43
Gambar 5.4. Rata-rata Pendapatan Migran Sirkuler Berdasarkan Kelompok Lamanya Menjadi Migran, Tahun 2012 …………………………
45
Gambar 5.5. Alasan Rumah Tangga Migran Memilih Harus Meninggalkan Daerah Asalnya Untuk Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 .....
50
Gambar 5.6. Alasan Rumah Tangga Migran Memilih Kota Tujuan Menjadi Tempat Aktivitas Kegiatan Usaha Mata Pencaharian Sebagai Migran Sirkuler ..............................................................................
52
Gambar 5.7. Pengambil Keputusan Terhadap Seseorang Menjadi Migran Sirkuler …………………………………………………………...
54
Gambar 5.8. Proporsi Rasa Khawatir dan Tidak Khawatir Dalam Keberhasilan Menjadi Migran Sirkuler di Wilayah Pamulang …………………
55
Gambar 6.1. Jenis Pekerjaan Orang Tua Migran Sirkuler (di daerah asal) ……
67
Gambar 6.2. Besarnya Jumlah Uang Per Rumah Tangga Migran Sirkuler Per Bulan Yang Dapat Dikirimkan Untuk Keluarga di Kampung, Tahun 2012 …................................................................................
72
Gambar 6.3. Penertiban PKL Wilayah Kota Tangerang Selatan oleh Aparat Pemda Kota Tangerang Selatan, 2011 …………………………...
78
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Skor Variabel Sosial Ekonomi Rumah Tangga Migran Sebelum Migrasi …………………………………………………………
A
Lampiran 2. Skor Variabel Sosial Ekonomi Rumah Tangga Migran Sesudah Migrasi …………………………………………………………
B
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ……………………………………………
C
xx
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gerakan atau perpindahan penduduk dari desa ke kota sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Perpindahan penduduk tersebut ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat sementara atau non permanen disebut migrasi sirkuler. Seperti halnya dijelaskan oleh Hugo (1986), bahwa migrasi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu permanen dan non permanen. Perbedaannya terletak pada tujuan pergerakannya. Apabila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, maka dapat dikategorikan sebagai migran permanen. Sebaliknya, jika tidak ada niat untuk tinggal menetap di daerah tujuan, maka disebut sebagai migran non permanen atau migran sirkuler. Berbeda dengan migrasi permanen yang memboyong seluruh anggota keluarganya untuk menetap di daerah tujuan, migrasi sirkuler yang meskipun bekerja di daerah tujuan tetapi umumnya keluarga masih tetap tinggal di daerah asal. Migran sirkuler adalah migran yang meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanen mereka di daerah asal tempat keluarganya berada/tinggal (Jellinek, 1986). Migrasi sirkuler banyak dilakukan dari desa ke kota. Menurut Ram (1989), migrasi sirkuler sesungguhnya merupakan salah satu reaksi spontan rasional penduduk miskin di daerah perdesaan terhadap kesenjangan peluang bekerja dan berusaha serta penghasilan di desa dan di kota. Kemiskinan masyarakat di perdesaan disebabkan oleh adanya berbagai keterbatasan, antara lain bagi petani di Jawa dengan semakin menyempitnya rata-rata luas pemilikan tanah dari pembagian warisan, mengakibatkan pendapatan rata-rata petani menjadi semakin turun, disamping peluang kerja dan berusaha di luar sektor pertanian yang juga terbatas.
Sementara, kota dianggap
sebagai daerah tujuan yang menyimpan berbagai kelebihan termasuk besarnya kesempatan kerja terutama di sektor informal. Pada umumnya, para migran melakukan migrasi sirkuler didorong oleh motif ekonomi, yaitu dengan mencari pekerjaan di kota dengan penghasilan yang lebih tinggi untuk memberikan tambahan pendapatan keluarga atau bahkan menjadi penghasilan utama keluarga. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ekonomi tersebut, para migran rela melakukan perilaku boro. Beberapa bentuk perilaku yang relevan dengan boro tersebut, antara lain : bersedia hidup prihatin, sifat rajin dan mau bekerja keras, hidup hemat, sikap berhati-hati, mementingkan kerukunan dan
2
kebersamaan sesama migran sirkuler dari satu desa/daerah, memperkuat motivasi (Ram, 1986). Bentuk keprihatinan migran sirkuler, ditunjukkan pada tukang becak di Yogyakarta asal Klaten bahwa untuk menghindari biaya rumah tinggal, mereka tidur malam di becak mereka sendiri (Mantra, 1995). Pelaku migran sirkuler pada umumnya meyakini bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, orang harus pergi meninggalkan desa untuk sementara waktu bekerja mencari tambahan penghasilan di kota. Hal ini dikuatkan oleh Hugo (1981), yang melakukan penelitian di Jawa Barat, disamping melakukan penelitian terhadap beberapa desa yang terletak di Propinsi Jawa Barat (14 desa) juga melakukan penelitian terhadap kegiatan kerja para migran di kota tujuan, yaitu Bandung dan Jakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian terbesar dari migran sirkuler pada waktu mereka berada di kota melakukan pekerjaan di sektor informal. Ada dua alasan mengapa para migran sirkuler bekerja di sektor informal, yaitu (1) sektor informal mempunyai daya serap yang tinggi terhadap tenaga kerja, sehingga tenaga kerja menganggap lebih mudah untuk masuk sektor ini dan (2) migran sirkuler yang bekerja di sektor informal bebas (fleksibel) menentukan hari dan jam kerja. Adanya kebebasan waktu inilah yang dibutuhkan oleh para migran untuk melakukan sirkulasi secara pulang pergi dari/ke desa-kota. Lebih lanjut, pilihan hidup menjadi migran sirkuler sangat dimungkinkan, karena didukung oleh sarana lalu lintas dan angkutan yang relatif murah dan memadai, sehingga migran sirkuler dapat melakukan perjalanan pergi dan pulang ke/dari kota dengan mudah dan sewaktu-waktu. Pada saat pulang ke desa seperti itulah, para migran membawa sebagian dari penghasilannya baik berupa uang atau barang sebagai bentuk dari tanggung jawab dan ikatan kekeluargaan yang kuat dengan daerah asal. Menurut Hidayat (1991), salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari kebiasaan mengirimkan uang atau barang-barang berharga kepada keluarga di desa adalah meningkatnya status sosial ekonomi keluarga tersebut. Hasil penelitian Abustam (1987) melaporkan bahwa ternyata sumbangan uang yang diberikan kepada rumah tangga di desa asal oleh migran sirkuler lebih besar daripada migran permanen. Tingginya penduduk desa yang melakukan migrasi sirkuler dan memiliki hubungan yang kuat dengan daerah asal, terbukti mereka dapat berperan sebagai agen pembaharuan di daerah asal mereka (Ram, 1989). Dari berbagai hasil penelitian tersebut, memberikan gambaran bahwa migrasi sirkuler mempunyai implikasi positif terhadap kehidupan rumah tangga migran.
3
Berbagai upaya yang dilakukan oleh migran sirkuler sehingga berhasil secara ekonomi dan sosial, tentu banyak pula rintangan dan tantangan yang dihadapinya. Permasalahan yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan untuk menjadi migran sirkuler dan proses adaptasi menjadi migran sirkuler, dipastikan membutuhkan pertimbangan, pemikiran, persiapan dan perjuangan yang sangat serius. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi hasil-hasil penelitian terdahulu dengan mengkaji masalah yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan migrasi dan adaptasi migran sirkuler. Penelitian ini dilakukan di wilayah kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti sejak tahun 1990 hingga saat ini, di wilayah ini telah terjadi pertumbuhan jumlah pedagang kaki lima yang amat pesat. Pedagang kaki lima pada umumnya para pencari nafkah yang berasal dari daerah di luar kecamatan Pamulang dan sebagian besar berasal dari masyarakat perdesaan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pedagang kaki lima pada umumnya menjalani kehidupannya sebagai migran sirkuler. Indikasi banyaknya migran sirkuler di wilayah kecamatan Pamulang inilah yang kemudian mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang migrasi sirkuler di wilayah ini. Di samping itu, berdasarkan pengamatan peneliti sampai saat ini penelitian tentang migrasi sirkuler di wilayah Kecamatan Pamulang belum pernah dilakukan. 1.2. Rumusan Masalah Di bagian latar belakang telah diuraikan berdasarkan hasil dari berbagai penelitian terdahulu tentang migrasi sirkuler. Nampaknya motif ekonomi menjadi faktor yang sangat menentukan apakah seseorang kemudian akan melakukan migrasi atau tidak. Mengingat migrasi sirkuler banyak dilakukan dari desa-kota, maka penjelasan ini mengindikasikan bahwa terjadi kesenjangan ekonomi antara masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Meskipun demikian, keputusan untuk melakukan migrasi bagi seseorang tidaklah semudah karena persoalan motif ekonomi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Menurut teori migrasi yang dikembangkan oleh Lee (1980), setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan migrasi, yaitu (1). faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2). faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan (3). rintangan-rintangan yang menghambat, dan (4). faktor-faktor pribadi/individu.
4
Faktor yang memotivasi terhadap keputusan seseorang untuk melakukan migrasi yang terdapat di daerah asal disebut faktor pendorong, sedangkan di daerah tujuan disebut sebagai faktor penarik. Faktor pendorong di daerah asal merupakan faktor yang bersifat negatif, artinya sebagai faktor yang menyebabkan seseorang ingin meninggalkan daerah asal tersebut. Misalnya: sulitnya mencari nafkah di perdesaan. Sebaliknya faktor penarik di daerah tujuan merupakan faktor yang menyebabkan seseorang tertarik ingin pindah ke daerah tujuan tersebut. Misalnya: mudahnya mencari nafkah di perkotaan. Oleh karena itu, kecenderungan migrasi sirkuler merupakan perpindahan penduduk secara sirkuler dari desa ke kota. Meskipun demikian, faktor pribadi atau individu masih merupakan faktor yang sangat menentukan apakah kemudian seseorang mengambil keputusan untuk menjadi migran sirkuler atau tidak, walaupun seringkali keputusan pribadi dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari anggota rumah tangganya. Migrasi sirkuler dari desa ke kota, secara sosiologis tidak sekedar gerak penduduk berkenaan dengan melintasi batas-batas wilayah administrasi atau geografi, melainkan juga melintasi batas-batas sosial-budaya pedesaan yang tradisional menuju sosial-budaya perkotaan yang lebih modern. Perbedaan kondisi sosial, ekonomi dan budaya antara di perdesaan dan perkotaan inilah yang kemudian seringkali menjadi tantangan sekaligus hambatan bagi berhasil tidaknya seorang migran. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu keberhasilan dalam arti capaian yang baik pada aspek sosial, ekonomi dan budaya pada seorang migran, dibutuhkan suatu proses adaptasi yang harus diperjuangkan. Adaptasi adalah suatu proses untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Lebih lanjut, sebagai migran sirkuler yang sifatnya tinggal sementara di kota tetapi sesungguhnya lebih banyak waktunya dipergunakan untuk tinggal di kota tersebut, mempunyai implikasi permasalahan baik secara sosial, ekonomi dan budaya terhadap migran itu sendiri maupun keluarga rumah tangga migran yang ditinggalkan di daerah asalnya. Meskipun demikian, banyak rumah tangga migran yang diduga merasakan manfaat dan keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan setelah menjadi migran sirkuler. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pengambilan keputusan menjadi migran sirkuler? 2. Bagaimana proses adaptasi menjadi migran sirkuler?
5
3. Bagaimana perubahan status sosial ekonomi yang terjadi pada rumah tangga migran? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian tentang latar belakang penelitian dan mengacu pada rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian adalah: 1. Mengkaji proses pengambilan keputusan menjadi migran sirkuler; 2. Mengkaji proses adaptasi menjadi migran sirkuler; 3. Mengkaji perubahan status sosial ekonomi rumah tangga migran. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika kehidupan rumah tangga masyarakat migran khususnya migran sirkuler yang berasal dari masyarakat perdesaan yang kemudian mencari mata pencaharian sebagai sumber penghidupan di wilayah perkotaan. Dengan demikian penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan masukan baik kepada pemerintah maupun masyarakat bahwa migrasi sirkuler sebagai suatu bentuk tindakan positif dalam rangka usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam rumah tangga dan masyarakat perdesaan pada umumnya. Perbedaan karakteristik masyarakat perdesaan pada umumnya akan berpengaruh pada adanya perbedaan jenis kegiatan usaha sebagai sumber penghidupan ketika berstatus sebagai migran sirkuler di perkotaan. Perbedaan karakteristik migran tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengambil suatu model kebijakan yang tepat khususnya yang berkaitan dengan kebijakan kependudukan. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat dijadikan bahan masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam rangka mengambil kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Dari aspek pengembangan keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu tambahan wawasan mengenai dinamika kehidupan rumah tangga migran sirkuler dari perdesaan ke perkotaan yang mempunyai kegiatan usaha di sektor informal pedagang kaki lima. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai referensi atau pembanding bagi penelitian berikutnya serta dapat memberikan landasan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan khususnya tentang migran sirkuler.
6
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Proses Migrasi Semenjak hidup menetap, persepsi manusia terhadap lahan mengalami pergeseran. Semula manusia hanya menganggap lahan sebagai jalur yang dilewati ketika hidup secara berpindah dan hanya beberapa lama didiami. Akan tetapi dalam perkembangannya lahan memiliki makna penting, tidak lagi sebagai tempat singgah sementara, tetapi sebagai tempat hidup. Ketika konsep pertanian dikenal, manusia mulai memanfaatkan lahan sebagai sumber produksi untuk bertahan hidup. Mulai saat inilah konsep lahan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat agraris. Perdesaan Jawa sebagian besar merupakan wilayah agraris yang masyarakatnya memandang lahan sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan lahan merupakan sumberdaya alam yang diolah untuk menghasilkan bahan yang dibutuhkan manusia. Lahan bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan. Dengan kata lain keberlangsungan hidup masyarakat petani di perdesaan sangat tergantung pada lahan yang merupakan bagian dari faktor alam. Ketika faktor alam sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kebutuhan untuk mensejahterakan masyarakat, maka yang terjadi adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu masalah pelik yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Pada saat ini, kemiskinan bukanlah istilah baru dalam “kamus” pembangunan ekonomi Indonesia. Hampir seluruh lapisan masyarakat mengakui kenyataan bahwa adanya kemiskinan pada sebagian masyarakat di negara Indonesia. Kemiskinan merupakan persoalan yang mengandung banyak dimensi dan menuntut pemecahan dengan ragam pendekatan. Salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah melalui sustainable livelihood, yaitu pendekatan yang tidak hanya berbicara mengenai pendapatan dan pekerjaan tetapi lebih pada memahami bagaimana kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka dan strategi apa yang dapat membantu mereka (Widiyanto, 2009:5). Jamasy (2004), mengklasifikasikan kemiskinan kedalam empat bentuk, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan karena pendapatan penduduk di bawah “garis kemiskinan” atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
8
kebutuhan minimum. Kemiskinan relatif adalah kondisi pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan kultural karena mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki kehidupannya, malas, pemboros, dan atau tidak kreatif. Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Berdasarkan pengalaman petani di perdesaan, terutama petani pemilik dan penggarap bahwa proses kemiskinan atau penurunan kesejahteraan sangat mungkin dan sering terjadi, terutama bila produktivitas usaha tani mengalami penurunan, misalnya terjadi gagal panen, dan penurunan harga-harga hasil usaha tani. Oleh sebab itu, para petani menggambarkan kesejahteraan mereka bagaikan sebuah gelombang di lautan, kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun (Fajar, 2009:214). Gambaran ini menunjukkan bahwa pemiskinan karena produktivitas yang rendah dan pengaruh tekanan harga hasil usaha tani. Dalam hal menghadapi kemiskinan, banyak petani Jawa yang kemudian banting setir menjadi migran ke kota dan berupaya meningkatkan kehidupan di sana (Saifuddin, 2005). Migrasi penduduk dari desa ke kota sudah terjadi sejak lama. Sampai pada saat ini, proses migrasi desa-kota tersebut masih tetap terjadi sebagai akibat dari suatu realitas ketenagakerjaan, yaitu kurangnya minat angkatan kerja muda untuk bekerja di sektor pertanian perdesaan (Tarigan, 2004). Motif ekonomi diduga menjadi faktor pemicu utama terjadinya proses migrasi. Meskipun demikian, jika dikaji lebih mendalam sesungguhnya banyak faktor yang ikut mempengaruhi seseorang melakukan proses migrasi. Proses migrasi sesungguhnya merupakan serentetan peristiwa yang dilakukan oleh seseorang semenjak akan memutuskan menjadi migran hingga menjadi migran. Oleh karena itu proses migrasi juga mencakup ketika calon migran tersebut melakukan proses pengambilan
keputusan
dengan
mempertimbangkan
berbagai
faktor
yang
mempengaruhinya dan proses adaptasi menjadi migran di daerah tujuan. 2.2. Teori Migrasi dan Migrasi Sirkuler Gerak penduduk biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik atau geografis, baik yang bersifat permanen maupun non permanen. Menurut Rusli (1989), migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan gerak penduduk non permanen terdiri dari sirkulasi dan komutasi. Lanjutnya Rusli mendefinisikan,
9
migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Oleh karena migrasi bersifat permanen dan bertujuan menetap, maka secara umum bermakna sebagai migrasi jangka panjang, sedangkan sirkulasi dan komutasi karena bersifat non permanen, maka secara umum bermakna sebagai gerak penduduk yang berciri jangka pendek. Wirosuhadjo1 (1981:116) mendefinisikan
migrasi sebagai perpindahan
penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/Negara ataupun batas administratif/batas bagian Negara. Selanjutnya Wirosuhardjo mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bermaksud menetap di daerah yang didatangi dan telah tinggal di daerah itu kurang dari tiga bulan, maka orang tersebut dapat digolongkan dalam migrasi sirkuler. Mantra (1988), menyatakan bahwa batasan tempat dan waktu tersebut lebih banyak ditentukan berdasarkan kesepakatan. Dalam berbagai penelitian lainnya, seperti oleh Tarigan (2004), Hidayat (1991), Hugo (1973), memahami istilah sirkulasi juga sebagai migrasi sirkuler. Menurut Zelinsky dalam Rusli (1989), sirkulasi yang sering disebut migrasi sirkuler, secara umum bermakna: berbagai macam gerak yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dimana punya kesamaan dalam hal tak nampak niat yang jelas untuk merubah tempat tinggal yang permanen. Dengan demikian ciri pokok sirkulasi atau migrasi sirkuler adalah proses perpindahan tempat tinggal tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Migran sikuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung tegal, yang sehari-harinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya dalam waktu tertentu atau beberapa bulan sekali. Hadisupadmo (1991) menambahkan bahwa ciri selanjutnya migran sirkuler adalah masih tercatat sebagai penduduk daerah asal secara resmi, bukan sebagai penduduk daerah tujuan. Alat bukti yang kuat adalah kepemilikan Kartu Tanda Penduduk yang tercatat di daerah asal bagi seorang migran sirkuler. Dalam penelitian ini, migran sirkuler adalah mereka yang bekerja di sektor informal, khususnya pedagang kaki lima. Kehidupan migran sirkuler menurut Mantra (1978) dalam istilah Jawa sebagai boro atau pengembara. Dijelaskan dalam Wariso, 1989, bahwa boro merupakan bentuk usaha mencari keuntungan, mengandung unsur______________________ 1
diunduh pada tanggal 10 September 2012 dari http://robir08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/pengaruhtelevisi-terhadap-masyarakat-dan-sistem-komunikasi-di-indonesia
10
unsur (1) pergi ke daerah lain; (2) atas kemauan sendiri; (3) memiliki tempat tujuan; (4) tujuannya mencari nafkah; (5) penghasilannya dibawa pulang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Secara teori, migrasi dan migrasi sirkuler karena menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial ekonomi manusia, maka faktor-faktor yang mempengaruhi dan permasalahannya menjadi kompleks. Menurut teori yang dikembamgkan oleh Lee, 1980, seperti telah disebutkan sebelumnya, ada empat faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: (1). faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2). faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan (3). rintanganrintangan yang menghambat (4). faktor-faktor pribadi/individu. Di daerah asal maupun daerah tujuan terdapat faktor-faktor positif (+), faktor negatif (-) dan faktor netral (o). Faktor positif adalah faktor yang memberikan keuntungan apabila bertempat tinggal di daerah tersebut. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah tersebut yang menjadikan alasan untuk pergi dari daerah tersebut. Sedangkan yang dimaksud faktor netral adalah faktor yang ada pada daerah asal dan daerah tujuan namun tidak mempengaruhi individu untuk berada di daerah tersebut. Berdasarkan teori migrasi yang dikembangkan oleh Lee, faktor terpenting setiap individu dalam melakukan migrasi adalah faktor individu itu sendiri. Faktor individu memberikan penilaian apakah suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak. Rintangan antara dapat berupa biaya pindah yang tinggi, topografi daerah dan juga sarana transportasi. Namun demikian, alasan yang paling kuat mengapa seseorang individu melakukan migrasi adalah faktor ekonomi. Dalam teori migrasi oleh Lee, 1980, daerah asal sebagai daerah yang dianggap mempunyai faktor pendorong seseorang melakukan migrasi. Di daerah asal faktor pendorong adalah faktor yang bersifat negatif. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai faktor pendorong bagi perdesaan adalah (1) makin berkurangnya sumbersumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu dan sebagainya, (2) menyempitnya lapangan pekerjaan pekerjaan di daerah asal, misalnya kepemilikan tanah pertanian di perdesaan yang semakin berkurang, (3) adanya tekanan-tekanan politik, agama, suku, sehingga mengganggu hak azasi penduduk di daerah asal, (4) alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan, (5) bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, wabah penyakit dan musim kemarau yang berkepanjangan.
11 4
1 + + o o
o - + o - o - + o - + o+ - + o - o + + - o + - o
O-+ o +oO+ - (1)
2
3
+ o - + o - o + oo- -+o-o o - + + + o+ - + o - + o - o +-+o-+ + o
O-+ o +oO+ Gambar 2.1. Teori Migrasi (Everett S. Lee)(2) (Sumber: Lee, 1980)
Daerah tujuan, dalam teori migrasi merupakan daerah yang dianggap mempunyai daya tarik bagi calon migran apabila bertempat tinggal di daerah tersebut. O Faktor-faktor yang memberikan daya tarik yang umum disebut sebagai pull factor ooooooooo+== =_
merupakan faktor positif, antara lain (1) adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup, (2) adanya kesempatan memperoleh
pendidikan yang lebih baik, (3) keadaan lingkungan hidup yang indah dan menyenangkan, misalnya adanya taman, perumahan yang rapih, dsb (4) adanya fasilitas dan aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah. Menurut Robert Norris dalam Puspitasari (2010), gambar yang dibuat Lee perlu ditambah dengan tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara dan migrasi paksaan. Norris berpendapat bahwa faktor terpenting dalam terjadinya migrasi adalah daerah asal. Kesempatan antara merupakan kota-kota kecil atau sedang yang terletak antara desa pengirim migran dan kota tujuan migrasi. Migrasi kembali adalah proses migrasi migran kembali ke daerah asal karena berbagai alasan, umpamanya karena migran tersebut sudah sukses di daerah tujuan dan karena daerah asal merupakan rumah pertama bagi mereka maka mereka ingin menghabiskan masa hidupnya kembali di daerah asal. Alasan lainnya misalnya karena migran tersebut tidak dapat menyesuaikan dan mendapatkan apa yang dia inginkan di kota tujuan maka migran tersebut akan kembali ke daerah asal. Yang dimaksud dengan migrasi terpaksa adalah migrasi yang dilakukan karena keadaan darurat misalnya terjadinya perang, wabah penyakit ataupun bencana alam. Todaro (1992) menyatakan migrasi merupakan suatu proses yang sangat selektif yang mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu, maka pengaruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi
12
dan non ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Beberapa faktor non ekonomis yang mempengaruhi keinginan seseorang melakukan migrasi adalah: (1) faktor-faktor sosial, termasuk keinginan para migran untuk melepaskan dari kendalakendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka. Ada kecenderungan bahwa orang tidak menyukai dengan adanya pengekangan, (2) faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis, seperti banjir dan kekeringan. Keberhasilan kaum migran kadangkala dipacu oleh kondisi fisik alam yang telah menempanya di daerah asal. Motivasi untuk memperoleh kesuksesan secara ekonomi dan sosial di daerah tujuan migrasi seringkali muncul akibat tekanan sosial ekonomi yang sangat berat. Bahkan ada semacam semboyan “kalau belum sukses di rantau belum berani pulang ke daerah asalnya”, (3) faktor-faktor demografi, termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di suatu daerah tanpa diimbangi adanya daya dukung ekonomis, menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan kesejahteraan penduduknya, (4) faktorfaktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian hubungan keluarga besar yang berada pada tempat tujuan migrasi. Hubungan keluarga besar di daerah tujuan migrasi mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingkat migrasi. Keberhasilan di daerah tujuan migrasi yang disosialisasikan oleh keluarga besar migran merupakan suatu daya tarik bagi penduduk daerah asal migran, (5) faktor-faktor komunikasi, termasuk kualitas seluruh sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh media massa atau media elektronik. Media komunikasi mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai corong yang berfungsi untuk memberikan informasi yang menarik tentang keadaan perkotaan. E.G.Ravenstein dalam Munir (1981) mengemukakan teori yang merupakan penggeneralisasian dari migrasi, sebagai berikut : (1) Migrasi dan jarak, artinya (a) banyak migran pada jarak yang dekat, (b) semakin jauh jarak semakin berkurang volume migran, dan (c) migran jarak jauh lebih tertuju ke pusat-pusat perdagangan dan industri yang penting. Semakin dekat dengan pusat kota, maka tingkat migrasi penduduk dari daerah ke kota tersebut akan semakin tinggi. Migrasi jarak jauh pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu yang menjadi sasaran migrasi adalah daerah perkotaan dimana daerah tersebut merupakan daerah-daerah industri dan pusat perdagangan, (2) Migrasi Bertahap,
13
artinya (a) adanya arus migrasi yang terarah, dan (b) adanya migrasi dari desa-kota kecil-kota besar. Migrasi bertahap memberikan penjelasan bahwa secara terstruktur lebih banyak penduduk perdesaan yang melakukan migrasi ke kota-kota kecil, dan penduduk di kota-kota kecil akan bermigrasi ke kota-kota yang lebih besar. Migrasi penduduk perdesaan yang langsung ke kota-kota besar pada umumnya lebih sedikit, (3) Arus dan Arus Balik, artinya setiap arus migrasi utama akan menimbulkan arus balik penggantiannya. Meskipun migrasi desa-kota mendominasi arus migrasi, namun selalu ada arus balik pada arah yang berlawanan sehingga migrasi neto dari kedua titik migrasi selalu lebih kecil dari migrasi kotornya, (4) Perbedaan antara desa dan kota mengenai kecenderungan melakukan migrasi. Penduduk kota kurang berminat untuk bermigrasi dibandingkan orang dari desa. Bahkan orang dari daerah yang bermigrasi ke kota kemudian di kota tidak memperoleh keberhasilan di bidang ekonomipun pada umumnya enggan migrasi kembali ke daerah asalnya, (5) Wanita melakukan migrasi pada jarak yang dekat dibandingkan pria. Tingkat keberanian, mental rata-rata kaum laki-laki pada umumnya jauh lebih tinggi dari pada kaum perempuan. Kaum laki-laki pada umumnya mempunyai keberanian migrasi yang lebih jauh, meskipun pada saat ini perlu dilakukan penelitian apakah benar demikian, karena tidak sedikit tenaga kerja wanita migran yang bekerja di luar negeri, (6) Teknologi, komunikasi dan migrasi. Arus migrasi mempunyai kecenderungan meningkat sepanjang waktu akibat meningkatnya sarana komunikasi, perhubungan dan akibat perkembangan industri serta perdagangan, (7) Motif ekonomi merupakan dorongan utama orang melakukan migrasi. Dorongan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi senantiasa lebih dominan dari pada faktor lainnya dalam mengambil keputusan migrasi. Mabogunje dalam Mantra (2000), menyebutkan bahwa hubungan migran dengan desa asal dapat dilihat dari materi informasi yang mengalir dari kota atau daerah tujuan ke desa asal. Jenis informasi itu bersifat positif dan negatif. Informasi positif biasanya datang dari para migran yang berhasil. Informasi yang positif dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut : (a) Stimulus untuk pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di desa, (b) Pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa ke luar semakin longgar, (c) Arah pergerakan penduduk tertuju ke kotakota atau daerah tertentu, (d) Perubahan pola investasi dan pemilikan tanah di desa karena tanah mulai dilihat sebagai suatu komoditi pasar. Sementara itu informasi negatif biasanya datang dari para migran yang gagal atau kurang berhasil sehingga mengakibatkan dampak sebaliknya. Namun sebagian
14
besar migran yang gagal memiliki gengsi yang besar ketika harus mengatakan mereka gagal di daerah perantauan, sehingga informasi positif lebih mudah menyebar daripada informasi negatif. Mabogunje melihat bahwa kontribusi migran terdahulu di kota sangat besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah yang sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan. Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan tertentu di suatu kota atau daerah sering didominasi oleh migran yang berasal dari desa atau daerah tertentu pula karena proses mencari pekerjaan itu biasanya berkisar antar relasi migran se daerah juga. Dari keseluruhan yang digambarkan dalam teori migrasi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Rasionalitas oleh Weber bahwa migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah merupakan tindakan bersifat rasional. Weber menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan sebagai tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Weber menggunakan konsep rasionalitas dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional menurut Weber atas pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan/dilakukan (Lawang, 1986). 2.3. Teori Adaptasi Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan suatu ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Untuk dapat memenuhi apa yang menjadi keinginan atau harapan setiap manusia tersebut, maka banyak cara atau strategi yang dapat dilakukannya. Cara yang harus dilakukan manusia diantaranya bagaimana cara mengadaptasi diri dengan lingkungannya dimana berada. Misalnya bagaimana beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan pekerjaan. Tjitrajaya (1981) menjelaskan bahwa strategi adaptasi merupakan cara atau pola tingkah laku yang direncanakan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Untuk melihat salah satu bentuk dan ukuran adaptasi seorang migran misalnya, Pelly (1998) mengatakan bahwa strategi adaptasi adalah cara-cara yang digunakan oleh perantau (istilah lain dari migran) untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantau. Suparlan (1981), mendefinisikan adaptasi sebagai suatu proses yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai suatu keadaan biologis, alam, lingkungan, sosial tertentu untuk dapat memenuhi syarat-syarat dasar yang ada agar dapat
15
melangsungkan hidupnya. Dijelaskan agar dapat dan tetap melangsungkan kehidupannya, maka menurutnya ada tiga syarat utama yang harus dipenuhinya yaitu (1) syarat-syarat dasar alamiah-biologis (manusia harus makan, minum, menjaga kestabilan temperatur tubuhnya, menjaga tetap berfungsinya organ-organ tubuh lainnya), (2) syarat-syarat kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterkucilan, gelisah dan berbagai masalah kejiwaan lainnya), (3) syarat-syarat dasar dasar sosial (membutuhkan hubungan dengan orang lain untuk dapat melangsungkan keturunan, agar merasa tidak terkucil, untuk dapat belajar mengenai kebudayaan, untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan sebagainya). Dengan demikian, adaptasi adalah kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam proses menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Gerungan (2004), menjelaskan bahwa adaptasi merupakan suatu proses untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan. Secara luas keseimbangan itu bisa dicapai dengan dua cara. Cara pertama adalah cara pasif, yakni dengan mengubah diri sesuai dengan lingkungan. Proses ini dikenal dengan istilah autoplastis. Ada dua alasan utama orang melakukan adaptasi autoplastis yaitu adanya kesadaran bahwa orang lain atau lingkungan bisa memberi informasi yang bermanfaat dan upaya agar diterima secara sosial sehingga terhindar dari celaan. Cara kedua adalah cara aktif, yakni dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan atau kebutuhan dirinya sendiri, baik terhadap lingkungan psikis misalnya bagaimana cara orang bergaul, terhadap lingkungan alamiah, maupun lingkungan rokhaiah misalnya migran dapat saja mempengaruhi dan mengubah taraf pengetahuan dan cara berfikir masyarakat di lingkungan barunya. Proses adaptasi seperti ini disebut menyesuaikan diri secara aloplastis dengan lingkungannya, dimana lingkungan yang diubah oleh dirinya. Setiap perubahan dalam lingkungan kehidupan orang dalam arti yang luas menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Morgan dalam Mariang (2003) menyebutkan tentang adanya indikator adaptasi yang berhasil dalam suatu permukiman antara lain (1) meningkatnya kesehatan penduduk, (2) meningkatnya penghasilan yang dapat dilihat dalam perbelanjaan
16
keluarga, (3) kemasyarakatan yang dapat tercermin dalam hubungan sosial atau organisasi sosial untuk menunjang hidupnya, (4) mengembangkan cara hidup yang memungkinkan mereka dapat mempertahankan hidupnya secara lebih baik. Bagi migran sirkuler dari daerah perdesaan ke perkotaan, salah satu yang menjadi hambatan dan tantangan adalah bagaimana mengatasi permasalahan terjadinya perbedaan cara hidup, kebiasaan dan perilaku sewaktu di lingkungan perdesaan kemudian harus merubah dengan cara hidup, kebiasaan dan perilaku di lingkungan perkotaan yang sama sekali berbeda. Dalam proses migrasi sirkuler dari desa ke kota, berarti terjadi peristiwa kontak sosial antara migran sebagai warga pendatang dengan lingkungan masyarakat yang sudah ada di daerah tujuan. Cara bergaul, cara hidup dan cara berinteraksi dengan lingkungan yang dibawa oleh migran sirkuler berbeda dengan yang dimiliki oleh masyarakat kota. Migran dituntut untuk melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu karakteristik manusia akan sangat menentukan apakah kemudian mereka mampu bertahan menjadi migran atau tidak, karena sebagai individu, manusia mempunyai kemampuan yang berbeda dan akan memberi tanggapan yang berbeda pula terhadap lingkungannya tergantung dari pemahaman, persepsi dan idea atau gagasan mereka. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap lingkungan sosial masyarakat mempunyai tatanan budaya masing-masing. Antara lingkungan satu dan yang lainnya, apalagi antara masyarakat desa dengan kota tentu memiliki budaya berbeda-beda. Perbedaan antara lingkungan sosial budaya masyarakat pedesaan dan perkotaan dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Landis1, desa dicirikan dengan karakteristik masyarakatnya, yaitu (1) adanya pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, (2) ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuan terhadap kebiasaan, (3) cara berusaha (ekonomi) adalah dari agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Karakteristik yang lain dari masyarakat perdesaan adalah (4) didalam masyarakat perdesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat perdesaan di luar batas wilayahnya, (5) sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan, (6) sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian, (7) masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
17
Pada masyarakat perkotaan, dicirikan dengan (1) kehidupan keagamaan berkurang dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa, (2) orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu, (3) pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata, (4) kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa, (5) interaksi yang lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi, (6) pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu, (7) perubahan perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh. Perbedaan antara masyarakat perdesaan dan masyarakat perkotaan karena masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masingmasing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta prosesproses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan”. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat dan sistematis pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbedaan antara Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan Masyarakat Pedesaan a. Perilaku homogen. b. Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan. c. Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status. d. Isolasi sosial, sehingga statis. e. Kesatuan dan keutuhan kultural. f. Banyak ritual dan nilai-nilai sakral. g. Kolektivisme.
Masyarakat Perkotaan a. Perilaku heterogen. b. Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan. c. Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi. d. Mobilitas sosial, sehingga dinamis. e. Kebauran dan diversifikasi kultural. f. Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekuler. g. Individualisme.
Sumber : Poplin (1972)
Perbedaan tersebut pada akhirnya menuntut setiap migran harus berusaha beradaptasi. Jika hal itu dapat dilakukan dengan baik maka akan tercipta keseimbangan. Namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan kemungkinannya migran tersebut akan mengalami stress. Proses adaptasi sosial dalam bentuk kolektif memungkinkan untuk _______________________ 1
diunduh pada tanggal 14 September 2012 dari http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND. _ SEJARAH/196303111989011-AYI_BUDI_SANTOSA/masyarkat_pedesaan/I.pdf
18
menghasilkan perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. 2.4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Pengarah 2.4.1. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian tentang migran sirkuler, ada beberapa aspek utama yang menjadi fokus perhatian yaitu proses pengambilan keputusan menjadi migran, proses adaptasi migran dan implikasinya terhadap perubahan status sosial ekonomi dan budaya rumah tangga migran itu sendiri. Pada tahap awal yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah menggali faktor-faktor yang berpeluang menyebabkan seseorang akan melakukan migrasi, hingga pada akhirnya mengambil keputusan menjadi migran. Dalam waktu antara calon migran memutuskan menjadi migran sampai dengan melakukannya menjadi migran, terdapat proses pengambilan keputusan untuk migrasi. Kajian terhadap proses migrasi antara lain dengan mempelajari faktor-faktor penyebab migrasi dan proses adaptasi yang dilakukan migran dalam rangka mempertahankan eksistensinya dan bahkan keberhasilannya. Dalam mempelajari pola adaptasi migran sirkuler dalam penelitian ini akan mengkaji tentang bagimana upaya migran menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan tempat tinggal, di lingkungan pekerjaan dan bagaimana menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam rumah tangganya. Dalam lingkungan sosial migran bertempat tinggal, akan dipelajari bagaimana perilaku migran dalam hubungannya dengan lingkungan yang mencakup lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Kajian terhadap proses adaptasi migran dalam lingkungan pekerjaan, mencakup tentang bagaimana migran mengelola secara teknis kualitas pekerjaannya dan bagaimana mengelola pekerjaan dari pengaruh faktor-faktor eksternal. Dalam proses adaptasi dengan lingkungan rumah tangganya, akan dikaji tentang bagaimana kemampuan rumah tangga migran dalam menjaga dan memelihara keutuhan dan keberhasilan, baik secara sosial, ekonomi dalam rumah tangganya. Fakta yang tidak dapat dihindari bagi migran sirkuler adalah adanya pembatas jarak antara tempat tinggal migran sirkuler dengan anggota rumah tangganya yang menetap di daerah asal.
19
Berkaitan dengan eksistensi migran, juga akan dibahas mengenai faktor eksternal terutama keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan dan kebijakan tentang pekerja migran sektor informal pedagang kaki lima. Selain mengkaji proses adaptasi migran, juga akan diungkapkan secara lebih mendalam latar belakang dan proses terbentuknya jaringan sosial. Selain itu, jaringan sosial juga dapat ditinjau dari aspekaspek yang lain seperti fungsi, peran dan sejauhmana kontribusi jaringan sosial dalam menjaga dan memelihara eksistensi migran sirkuler. Kajian terhadap migran sirkuler, tidak saja tentang proses adaptasi migran, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah implikasinya terhadap perubahan sosial ekonomi dan budaya terutama pada masyarakat dan rumah tangga migran itu sendiri. Penelitian ini juga akan mengkaji tentang prospek pekerja migran sirkuler sektor informal dalam jangka panjang. 2.4.2. Hipotesis Pengarah Dari kajian terhadap rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka berfikir, maka dapat dibuat hipotesa sebagai pengarah penelitian sebagai berikut: 1. Pada tujuan penelitian yang pertama, rumusan hipotesanya adalah : Latar belakang kehidupan sosial ekonomi budaya masyarakat daerah asal mempunyai peran yang sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan menjadi migran sirkuler dan menentukan pilihan usahanya. 2. Pada tujuan penelitian yang ke dua, rumusan hipotesanya adalah : Proses transformasi sosial ekonomi dan budaya rumah tangga dari perdesaan ke perkotaan merupakan bagian yang harus dilalui oleh migran sirkuler dan dipastikan membutuhkan suatu proses perjuangan melalui cara-cara adaptasi terhadap lingkungannya. 3. Pada tujuan penelitian ke tiga, rumusan hipotesanya adalah : Migrasi sirkuler usaha sektor informal perkotaan bagi masyarakat perdesaan cenderung menjadi strategi nafkah utama, karena dipandang mampu berperan merubah orientasi nilai status sosial ekonomi meningkatkan kesejahteraan rumah tangga migran sirkuler. 2.5. Definisi Konseptual dan Operasional Untuk dapat lebih memahami tentang kerangka penelitian ini dengan memperhatikan uraian terdahulu, maka berikut disajikan beberapa pengertian yang berhubungan dengan definisi konseptual dan operasional yang menjadi pedoman atau landasan berfikir dan melakukan tindakan penelitian.
20
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran : Proses Migrasi Sirkuler
Motif Ekonomi
Faktor Pendorong
Faktor Penarik
Faktor Kendala
Faktor Pribadi/Individu
Keputusan melakukan Migrasi Sirkuler
Keikutsertaan Dalam Jaringan Sosial
Proses Migrasi
Tempat tinggal di kota tujuan
Proses Adaptasi
Bekerja/Usaha Sektor Informal (pedagang kaki 5)
Rumah Tangga Migran
Kebijaksanaan Pemerintah
Prospek Pekerja Sektor Informal Pedagang K5
Perubahan sosial ekonomi rumah tangga migran di daerah asal
21
1). Faktor Pendorong Faktor Pendorong adalah faktor-faktor yang bersifat negatif yang terdapat di daerah asal migran sebagai faktor pendorong yang mempengaruhi responden untuk mengambil keputusan melakukan tindakan migrasi sirkuler. Faktor pendorong diidentifikasi dari pernyataan atau jawaban responden yang menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan daerah asal mereka. 2). Faktor Penarik Faktor Penarik adalah faktor-faktor yang bersifat positif yang terdapat di daerah tujuan migran sebagai faktor yang menarik yang mempengaruhi responden untuk mengambil keputusan melakukan tindakan migrasi sirkuler. Untuk mengetahui faktor penarik, peneliti mengidentifikasi dari pernyataan atau pertanyaan tentang mereka yang menyebabkan pergi ke kota daerah tujuan migran (Pamulang) 3). Faktor Kendala Faktor Kendala adalah faktor-faktor yang bersifat sebagai hambatan atau rintangan yang mempengaruhi responden untuk mengambil keputusan melakukan tindakan migrasi sirkuler. Untuk mengetahui faktor kendala bagi responden, peneliti mengidentifikasi hambatan responden dalam proses keberangkatan menjadi migran. 4). Faktor Pribadi/Individu Faktor Pribadi adalah faktor-faktor yang bersifat internal karakteristik kepribadian dalam setiap responden yang mempengaruhi responden tersebut untuk mengambil keputusan melakukan tindakan migrasi sirkuler. Karakteristik pribadi seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga/masyarakatnya. Karakteristik pribadi dapat berupa sifat keberanian, kecerdasan dan kepandaian, keuletan, rajin. 5). Keputusan Migrasi Keputusan Migrasi adalah suatu tindakan yang diambil oleh responden atau dengan keluraga rumah tangga responden untuk memastikan diri melakukan tindakan migrasi sirkuler. 6). Migrasi Sirkuler dan Proses Migrasi a. Migrasi Sirkuler Migrasi Sirkuler adalah proses perpindahan penduduk dari suatu tempat/daerah asal ke tempat/daerah tujuan, tetapi tidak bermaksud untuk
22
menetap di tempat/daerah tujuan tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud tempat/daerah asal adalah tempat/daerah di luar wilayah kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, sedangkan tempat/daerah tujuan adalah wilayah Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Tempat tinggal tetap migran sirkuler ada di daerah asal, meskipun secara faktual, migran sirkuler lebih banyak waktunya untuk berada di daerah tujuan. Oleh karenanya, migran sirkuler selalu melakukan gerakan yang berupa kunjungan terhadap keluarganya di daerah asal pada waktu-waktu yang diinginkan. b. Proses Migrasi Proses migrasi sesungguhnya merupakan serentetan peristiwa yang dilakukan oleh seseorang semenjak akan memutuskan menjadi migran hingga menjadi migran. Oleh karena itu proses migrasi juga mencakup ketika calon migran
tersebut
melakukan
proses
pengambilan
keputusan
dengan
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhinya dan proses adaptasi menjadi migran di daerah tujuan. 7). Adaptasi Mengacu pada teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang dimaksud adaptasi
adalah kemampuan atau kecenderungan
sesesorang dalam
proses
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. 8). Rumah Tangga dan Keluarga Rumah Tangga Biasa (Ordinary Household) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur (http://jakarta.bps.go.id/index.php). Yang dimaksud dengan makan satu dapur adalah kebutuhan rumah tangga yang biasanya diurus bersama menjadi satu. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998). Rumah Tangga Migran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang terdiri dari responden sebagai migran sirkuler bersama dengan
23
anggota rumah tangganya yang tinggal di daerah asal, yang secara sosial ekonomi kebutuhan rumah tangga tersebut dibawah tanggung jawab kepala rumah tangganya. 9). Jaringan Sosial Migran Jaringan sosial migran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperangkat hubungan-hubungan khusus atau spesifik yang dibentuk oleh sekolompok orang yang berstatus
sebagai
migran,
dimana
karakteristik
hubungan
tersebut
untuk
menginterpretasikan motif-motif perilaku sosial yang terlibat di dalamnya. 10). Pedagang Kaki Lima Dalam penelitian ini, pedagang kaki lima yang dimaksud adalah mereka yang melakukan usahanya dengan (1) memanfaatkan lahan usaha terbatas, (2) usahanya menggunakan gerobag atau bangunan tenda non permanen (bongkar-pasang), (3) tidak memiliki izin usaha secara resmi dari pemerintah. 11). Remiten Umumnya, yang dimaksud remiten (remittance) adalah uang dan barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal (Connell, 1976). Bahkan sesungguhnya keterampilan dan ide juga digolongkan sebagai remiten bagi daerah asal. Keterampilan yang diperoleh dari pengalaman bermigrasi akan sangat bermanfaat bagi migran jika nanti kembali ke desanya. Ide-ide baru juga sangat menyumbang pembangunan desanya. Misalnya cara-cara bekerja, membangun rumah dan lingkungannya yang baik, serta hidup sehat. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk mengukur besarnya remiten adalah uang yang dikirim oleh migran kepada anggota rumah tangga di daerah asal, mengingat data-data lain tidak ditanyakan dalam penelitian. 12). Perubahan Status Sosial Ekonomi Perubahan status sosial ekonomi rumah tangga migran dalam penelitian ini menggambarkan perubahan kondisi sosial ekonomi yang terjadi pada rumah tangga migran. Untuk mengkaji perubahan status sosial ekonomi, dilakukan dengan cara membandingkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga migran antara sebelum menjadi migran dan kondisi saat penelitian (sesudah menjadi migran). Perubahan ekonomi diukur dengan menggunakan Indeks Peningkatan Ekonomi. Untuk mengukur Indeks Peningkatan Ekonomi, dilakukan dengan menghitung selisih jumlah skor pada aspek-aspek yang dapat mengindikasikan perubahan ekonomi rumah tangga migran pada waktu sebelum dan sesudah migrasi. Untuk mengetahui perubahan sosial, dilakukan dengan membandingkan aspek-aspek sosial migran.
24
Misalnya: membandingkan status perkawinan migran antara sebelum dan sesudah migrasi, membandingkan perubahan gaya hidup migran antara sebelum dan sesudah migrasi.
25
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Studi Dalam upaya memperkaya data dan untuk lebih memahami fenomena sosial yang diteliti maka dalam penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan yaitu pendekatan survai kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh tambahan informasi kualitatif pada data kuantitatif (Singarimbun, 1989). Dalam survai, informasi dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan yang datanya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden. Responden adalah individu yang mempunyai karakteristik sebagai migran sirkuler. Dalam penelitian ini, migran sirkuler yang dimaksud adalah mereka yang bekerja di sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL) yang melakukan usahanya di wilayah kecamatan Pamulang. Selain itu, untuk memperoleh informasi yang mendalam maka peneliti melakukan wawancara secara bebas dan mendalam kepada informan-informan tertentu yang mempunyai informasi berkaitan dengan kegiatan migran pada usaha sektor informal di perkotaan. Menurut Bogdan dan Tylor dalam Mariang (2003), pendekatan kualitatif diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Oleh sebab itu wawancara yang mendalam dengan informan ini dilakukan secara langsung dan pada umumnya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan wawancara yang menggunakan kuesioner pada responden. Hasil data yang terkumpul digunakan sebagai analisis untuk memahami berbagai aspek latar belakang migran, strategi dalam proses adaptasi migran dan implikasinya terhadap fenomena perubahan status sosial ekonomi dan budaya pada rumah tangga migran sirkuler pedagang kaki lima di wilayah Kecamatan Pamulang. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus tentang migrasi sirkuler usaha sektor informal perkotaan, dimana daerah penelitian ditentukan secara Purposive Sampling. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Pemilihan daerah penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut (1) Merupakan daerah pengembangan wilayah perkotaan baru, sebagian wilayahnya
26
berbatasan dengan kota Jakarta. (2) Dicirikan dengan pesatnya pertumbuhan kegiatan usaha sektor informal pedagang kaki lima. Mereka pada umumnya sebagai migran sirkuler yang berasal dari daerah perdesaan asal pulau Jawa. Kegiatan penelitian ini dimulai dari pembuatan proposal penelitian. Setelah selesai penyusunan proposal, selama sekitar dua bulan dilakukan turun lapang dalam rangka pengambilan dokumentasi dan data. Pengambilan data primer dilakukan melalui kuesioner terstruktur kepada responden. Untuk pengambilan data yang berupa informasi diskriptif kualitatif dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan beberapa informan tertentu. Penulisan draft pembahasan dan analisis penelitian dilakukan selama tiga bulan. 3.3. Populasi, Sampel dan Unit Analisis Populasi penelitian adalah seluruh migran sirkuler yang melakukan aktivitas usahanya di lingkungan wilayah kecamatan Pamulang yang mempunyai kegiatan usaha di sektor informal pedagang kaki lima, dengan ketentuan berasal dari rumah tangga di perdesaan. Mengingat luasnya wilayah kecamatan Pamulang dan besarnya jumlah populasi migran sirkuler pedagang kaki lima, maka dalam menentukan sampel wilayah penelitian dan responden dilakukan secara cluster pada wilayah yang ditentukan secara purposive sampling. Untuk membatasi jumlah responden dalam penelitian ini, maka sampel wilayah penelitian ini ditetapkan pada responden yang melakukan usahanya di wilayah sekitar kota kecamatan Pamulang, meliputi kelurahan Pamulang Barat dan Pamulang Timur. Wilayah Pamulang Barat merupakan wilayah kelurahan yang sebagian besar merupakan pusat kota kecamatan Pamulang. Di wilayah inilah, berbagai jenis usaha sektor informal termasuk pedagang kaki lima tumbuh dengan pesat seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pusat kota kecamatan Pamulang dan pertumbuhan penduduk di wilayah ini. Banyaknya jenis usaha sektor informal di wilayah sekitar pusat kota kecamatan Pamulang, diharapkan dapat mewakili berbagai jenis usaha pedagang kaki lima yang ada di wilayah kecamatan Pamulang. Sebagai informasi tambahan bahwa wilayah kecamatan Pamulang terdiri dari delapan wilayah kelurahan yaitu kelurahan (1) Pamulang Barat, (2) Pamulang Timur, (3) Pondok Benda, (4) Bambu Apus, (5) Benda Baru, (6) Kedaung, (7) Pondok Cabe Ilir dan (8) Pondok Cabe Udik.
27
Dalam menetapkan responden, peneliti bekerja berdasarkan petunjuk dari pejabat Kantor Kecamatan Pamulang. Berdasarkan informasi dari Filipo Da Costa1 selaku tim survai penduduk migran di wilayah kecamatan Pamulang, dilaporkan bahwa penduduk migran sirkuler lebih banyak tinggal di wilayah-wilayah tertentu yang dibangun rumah-rumah petak atau kontrakan. Beberapa wilayah tersebut sebagian besar berada di wilayah perkampungan dan dalam keseharian mereka berada di lingkungan penduduk kampung tersebut. Menurut tim survai tersebut, populasi responden yang paling besar berada di wilayah sekitar Gang Asem di wilayah Kelurahan Pamulang Barat. Oleh karena itu strategi untuk menemukan responden dilakukan melalui kunjungan langsung ke rumah-rumah petak kontrakan di lokasi tersebut. Disamping itu, penelusuran responden juga dilakukan pada saat mereka melakukan kegiatan usahanya di lokasi tempat bekerja, terutama pada saat mereka tidak pada jam-jam sibuk ketika banyak pelanggan yang harus dilayaninya. Dalam penelitian ini, sektor informal yang dimaksud adalah jenis usaha dagang kaki lima jasa penjualan makanan/minuman dan dalam berdagang menggunakan gerobag dan tenda sebagai alat untuk mengantisipasi kalau terjadi hujan/panas dan menentukan luas area yang dikuasainya. Dengan demikian migran sirkuler yang dimaksud disini adalah terbatas pada gerak penduduk yang bertujuan untuk melakukan usaha mencari penghasilan di kota (wilayah Pamulang), untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sosial ekonomi yang diharapkan rumah tangganya. Penelitian ini menggunakan unit analisis dan pengamatan individu yang merupakan salah satu dari anggota rumah tangga migran sirkuler dan mempunyai domisili serta kegiatan usaha sektor informal pedagang kaki lima di wilayah Kecamatan Pamulang. 3.4. Pengolahan dan Analisa Data Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan alat bantu program SPSS, sedangkan untuk penulisan kualitatif dengan mengolah hasil wawancara baik dari responden maupun informan. Hasil wawancara yang dituangkan dalam bentuk draft dirubah menjadi bentuk kalimat yang lebih terstruktur, untuk kemudian digunakan sebagai suplemen dalam memberi penjelasan terhadap isi pokok bahasan dalam tesis. Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam proses analisa ini digunakan program ____________________________ 1
adalah Pejabat yang menduduki Kepala Seksi Kependudukan dan Catatan Sipil Kantor Kecamatan Pamulang
28
SPSS yang berfungsi menyederhanakan data penelitian yang besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk difahami. Analisis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa diskriptif kuantitatif, yang menganalisa dengan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain, misalnya analisis komparatif atau asosiatif. Untuk mempertajam analisa pembahasan dari penelitian ini dilakukan dengan menambah informasi hasil wawancara bebas dan mendalam terhadap pihak-pihak informan sebagai pendekatan kualitatifnya.
29
BAB IV GAMBARAN UMUM KEADAAN WILAYAH DAN PENDUDUK MIGRAN DI KECAMATAN PAMULANG Salah satu yang menjadi acuan atau modal dasar dalam menyusun strategi pembangunan suatu wilayah adalah potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik yang berupa kekayaan sumber daya alam dan lingkungan maupun potensi sumber daya manusianya. Dalam proses pembangunan, kedua aspek tersebut saling melengkapi. Melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa didukung oleh kemampuan sumber daya manusia untuk mengolahnya, maka hasilnya menjadi tidak optimal. Oleh karena itu
sumber daya manusia yang berkualitas
menjadi sesuatu yang amat penting dalam menunjang pembangunan suatu wilayah. Sumber daya manusia yang berupa besarnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah negara, tidak selalu memberikan kontribusi yang positif terhadap pembangunan. Besarnya jumlah penduduk tanpa diikuti dengan tingkat kualitas yang baik acapkali justru akan menjadi beban tanggungan bagi negara tersebut. Oleh karena itu dalam membangun suatu bangsa dan negara, sudah selayaknyalah negara ini memberikan perhatian yang lebih pada aspek yang menentukan kualitas bangsanya seperti: pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam skala yang lebih kecil, di era otonomi daerah (OTDA), yang bertanggungjawab dan berkewajiban memberikan perhatian terhadap pembangunan wilayahnya adalah pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, masyarakat dari kelompok manapun dalam suatu wilayah berhak untuk mendapatkan perhatian dalam hal peningkatan kualitas hidupnya dari pemerintah daerah setempat. 4.1. Lingkungan Fisik dan Geografis Wilayah kecamatan Pamulang merupakan bagian dari wilayah Kota Tangerang Selatan yang berada dalam wilayah Propinsi Banten. Secara geografis Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur wilayah Propinsi Banten. Secara administratif Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan, 49 kelurahan dan lima desa dengan luas wilayah 147,19 kilometer persegi. Menurut “Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun 2007/2008”, luas wilayah kecamatan-kecamatan yang berada di Kota Tangerang Selatan (yang kemudian diambil sebagai luas wilayah Kota Tangerang Selatan) adalah sebesar 150,78 kilometer persegi, sedangkan menurut “Kompilasi Data untuk Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang
30
Selatan” adalah sebesar 147,19 kilometer persegi dengan rincian luas kecamatan masing-masing yang berbeda pula. Semula seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang berstatus perdesaan dan masuk dalam wilayah Kabupaten Tangerang. Perubahan Peta Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan DKI Jakarta Prov. Banten
Kec. Pamulang
Kab. Bogor
Depok
-Gambar 4.1. Peta Lokasi Kecamatan Pamulang, 2012 status wilayah dari perdesaan menjadi perkotaan terjadi ketika wilayah Tangerang Selatan memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan yang sering disebut Tangsel, dibentuk berdasarkan UU No. 32/2007 tanggal 29 Oktober 2008, yang wilayahnya meliputi Kecamatan Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu. Pada Gambar 4.1. menunjukkan bahwa wilayah kecamatan Pamulang merupakan wilayah yang terletak di bagian paling timur dari wilayah Kota Tangerang Selatan (sebelumnya merupakan bagian wilayah Kabupaten Tangerang). Secara geografis, wilayah kecamatan Pamulang di sebelah timur berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan kota Depok, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah kota Depok, sebelah barat berbatasan dengan wilayah kota kecamatan Setu dan Serpong, sedangkan di wilayah utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur. Sebagian besar wilayah kecamatan Pamulang dipadati oleh komplek-komplek perumahan penduduk yang dibangun oleh para pengembang/developer, dan oleh masyarakat lokal setempat sering disebut wilayah perkotaan. Selebihnya merupakan wilayah-wilayah yang sebagian besar dihuni oleh penduduk pribumi yaitu penduduk
31
yang mempunyai nenek moyang yang lahir dan dibesarkan di wilayah itu yang masyarakat
pada
umumnya
menyebut
wilayah
tersebut
sebagai
wilayah
perkampungan. Wilayah kecamatan Pamulang merupakan wilayah yang sangat strategis. Dari sisi akses jalan baik menuju ibukota negara Jakarta, kota Bogor dan ibukota propinsi Banten yaitu Serang, dihubungkan dengan jalan raya yang dapat dilalui kendaraan besar seperti mobil, bus, truk. Namun demikian permasalahan akses ke kota-kota tersebut menjadi semakin besar, ketika pada jam-jam tertentu jumlah/volume arus kendaraan menjadi penyebab terjadinya kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh besarnya pertumbuhan penduduk dan jumlah kendaraan yang sangat pesat tidak sebanding dengan pertumbuhan panjang dan lebar ruas jalan raya. Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan ada beberapa hal yang dapat diindikasikan bahwa wilayah kecamatan Pamulang sedang mengalami proses transformasi dan dinamika sosial yang pesat. (1) Tingginya mobilitas sirkuler penduduk yang nglaju setiap hari dari wilayah di sekitar pinggiran ibukota Jakarta (termasuk Pamulang) yang bekerja menuju ibukota Jakarta. Hal ini ditandai dengan padatnya arus kendaraan yang bergerak setiap hari dari wilayah di sekitar pinggiran kota Jakarta menuju kota Jakarta pada pagi hari dan arus balik dari Jakarta menuju wilayah di sekitar pinggiran kota Jakarta pada sore hari, baik kendaraan roda dua (motor) maupun roda empat (mobil). (2) Pertumbuhan permukiman baru yang sangat pesat. Munculnya komplek-komplek perumahan baru telah mengakibatkan tingginya tingkat pertumbuhan pemukiman di wilayah kecamatan Pamulang. Sejak sepuluh tahun terakhir jumlah komplek perumahan baru telah bertambah puluhan komplek yang rata-rata telah habis terjual dan dihuni oleh keluarga migran. Beberapa contoh komplek permukiman baru antara lain: Komplek Perumahan Pamulang Estate, Komplek Villa Inti Persada, Perumahan Sasmitajaya, Perumahan Pamulang Elok, Perumahan Villa Dago, Perumahan Bukit Modern, dan Perumahan Gardenia. (3) Tingginya pertumbuhan kebutuhan akan infrastruktur dan fasilitas pelayanan sosial. Misalnya: munculnya beberapa rumahsakit atau klinik kesehatan yang baru dan selalu dipenuhi oleh pelanggan, serta pertumbuhan lembaga pendidikan formal baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang selalu dipenuhi peserta didik dan mahasiswa. (4) Pertumbuhan kegiatan usaha profit baik skala besar maupun skala kecil. Pada skala besar usaha tersebut membutuhkan fasilitas dan modal usaha yang besar, sedangkan skala kecil hanya membutuhkan modal usaha yang kecil. Untuk kegiatan usaha skala besar misalnya dalam bentuk menjamurnya swalayan (Indomart,
32
Alfamart, Superindo, Giant, Carrefour dsb). Kegiatan usaha kecil dapat berupa pelaku usaha sektor informal seperti pedagang kaki lima yang pada umumnya dilakukan oleh para migran sirkuler. 4.2. Lingkungan Sosial Masyarakat Wilayah kecamatan Pamulang, meskipun secara administratif termasuk bagian dari wilayah propinsi Banten, namun secara geografis letaknya lebih dekat dengan propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta daripada ibukota propinsi Banten. Jarak pusat kota kecamatan Pamulang dengan perbatasan wilayah Jakarta hanya sekitar 8 km, sedangkan dengan kota Serang sebagai ibukota propinsi Banten mencapai sekitar 90 km. Letak geografis ini secara tidak langsung mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah kecamatan Pamulang. Wilayah kecamatan Pamulang merupakan bagian dari wilayah penyangga ibukota Jakarta. Setidaknya ibukota Jakarta sebagai sentral kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan pusat pemerintahan, menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi penduduk di luar DKI Jakarta yang ingin mengadu nasib untuk memperbaiki kehidupannya. Demikian proses ini berjalan dari waktu ke waktu hingga DKI Jakarta tidak mampu lagi memberikan tempat untuk bermukim dan berlindung bagi penduduk migran tersebut. Sebagai dampak dari fenomena sosial ini, maka wilayah-wilayah pinggiran kota Jakarta menjadi penyangga ibukota Jakarta. Akibat dari kondisi sosial tersebut, maka menjadi suatu kenyataan bahwa luberan penduduk telah mengakibatkan pertumbuhan penduduk di wilayah pinggiran Jakarta pada umumnya menjadi sangat tinggi. Kondisi ini terjadi di wilayah kecamatan Pamulang dan wilayah-wilayah kecamatan lainnya di Kota Tangerang Selatan. Gambaran umum jumlah, tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Tangerang Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kecamatan Pamulang merupakan wilayah yang berpenduduk terbanyak ke-2 setelah Kecamatan Pondok Aren. Tingkat kepadatan penduduknya, wilayah Kecamatan Pamulang menduduki urutan ke-4 setelah wilayah Ciputat Timur, Pondok Aren dan Ciputat. Angka pertumbuhan penduduknya, di setiap wilayah kecamatan Kota Tangerang Selatan menujukkan angka yang lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk nasional. Angka pertumbuhan penduduk nasional tahun 2010 sebesar 1,49 persen (BPS, 2010).
33
Tabel 4.1. Gambaran Umum Penduduk (tidak termasuk migran sirkuler) Kota Tangerang Selatan, 2010 No (1) 1
Kecamatan (2) Setu
Jumlah Penduduk PeremLaki-laki Jumlah puan (3) (4) (5) 33.260 31.725 64.985
Luas Wilayah (km2) (6) 15,61
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) (7) 4.163
Distribusi (%) (8) 4,99
Pertumbuhan*) (%) (9) 4,90
2
Serpong
68.129
69.269
137.398
24,87
5.525
10,54
5,52
3
Pamulang
146.141
142.370
288.511
27,66
10.431
22,13
4,19
4
Ciputat
99.387
96.513
195.900
18,54
10.566
15,03
4,53
5
Ciputat Timur
93.057
90.273
183.330
16,42
11.165
14,06
3,80
6
Pondok Aren
155.838
151.316
307.154
28,83
10.654
23,56
5,05
7
Serpong Utara
62.889
63.402
18,85
6.700
9,69
6,32
Jumlah
658.701
644.868
126.291 1.303.56 9
150,78
8.646
100,00
-
*) Pertumbuhan 2000-2010 Sumber : BPS Kabupaten Tangerang, 2011
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa besarnya jumlah dan angka pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Tangerang Selatan (termasuk kecamatan Pamulang) memberikan gambaran bahwa setidaknya wilayah tersebut merupakan wilayah yang dinamis dan sedang mengalami perubahan sosial yang sangat pesat. Dinamika sosial yang terjadi di wilayah Pamulang, memberikan peringatan dan tantangan kepada pemerintah daerah setempat, agar dilakukan upaya pengelolaan dan penataan wilayah yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan yang berwawasan lingkungan ini sangat penting agar seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota, tetap tidak terjadi kerusakan lingkungan yang menyebabkan kerugian bagi manusia terutama yang bermukim di wilayah tersebut. Di sisi yang berbeda, jumlah dan dinamika penduduk yang tinggi memberikan cerminan bahwa di wilayah tersebut sangat berpotensi dan memberikan peluang yang amat besar bagi setiap manusia untuk melakukan kegiatan usaha yang merupakan mata pencaharian sebagai bagian dari mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika di daerah padat penduduk kemudian bermunculan orangorang sebagai migran yang berspekulasi menekuni hidupnya di sektor informal. 4.3. Lingkungan Budaya Masyarakat Sebagaimana halnya masyarakat sekitar pinggiran kota Jakarta lainnya, masyarakat di wilayah kecamatan Pamulang mempunyai ciri dan corak budaya yang hampir sama. Dalam struktur masyarakat yang heterogen akibat masuknya individuindividu dari masyarakat luar daerah yang berbeda-beda secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku budaya masyarakat di wilayah kecamatan Pamulang.
34
Dari hasil wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat pribumi, diperoleh penjelasan bahwa sekitar duapuluh tahun yang lalu, ketika wilayah Pamulang masih didominasi oleh penduduk pribumi, sebagian besar aktifitas mata pencaharian masyarakatnya sebagai pedagang kecil atau bekerja di sektor pertanian. Namun ketika banyak penduduk dari luar daerah berpindah menjadi migran di wilayah Pamulang, maka wilayah Pamulang ini mengalami perubahan yang sangat pesat pada berbagai aspek tidak terkecuali pada aspek budaya dan mata pencaharian penduduk/ masyarakatnya. Dengan semakin pesatnya pembangunan baik secara fisik maupun non fisik di wilayah ini, berakibat semakin besar pula jenis peluang kerja dan usaha yang dapat dilakukan oleh penduduk sebagai mata pencaharian masyarakat. Terbukanya sektor jasa yang semakin luas, berakibat pada semakin besarnya peluang pekerjaan di sektor tersebut. Sebagai contoh, banyaknya masyarakat yang beralih profesi dari petani atau pedagang ketika menjalani kehidupan sebagai masyarakat desa kemudian setelah wilayah ini berubah menjadi kota, mereka beralih di sektor jasa layanan transportasi seperti sopir angkutan umum, tukang ojek, cuci motor/mobil, jasa pengiriman dan sebagainya. Dengan demikian, terjadinya pembangunan infra struktur dan perubahan pola perilaku mata pencaharian masyarakat, secara tidak langsung hal ini membentuk karakteristik budaya baru dalam suatu masyarakat. Pada aspek budaya yang lain, pola dan perilaku kehidupan masyarakat pendatang (migran), acapkali menjadi faktor yang mempengaruhi pola dan perilaku pada masyarakat pribumi. Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Betawi (Nsd, 52 tahun), menunjukkan bahwa terdapat persepsi publik terhadap masyarakat pendatang khususnya dari masyarakat Jawa (yang dimaksud masyarakat yang bahasa ibu menggunakan bahasa Jawa), sebagai masyarakat yang mempunyai sifat-sifat tekun dan ulet, pekerja keras, berani hidup prihatin dan mandiri, toleran, dan gemi (tidak boros). Sifat-sifat inilah yang kemudian banyak ditiru sebagian masyarakat pribumi (Betawi). Tidak sedikit masyarakat pribumi yang berhasil dalam kehidupan sosial ekonominya, ketika mereka mengadopsi pola dan perilaku kehidupan budaya masyarakat pendatang khususnya masyarakat Jawa. Menurut Castles dalam Koentjaraningrat (1984), orientasi kearah agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari orang Jakarta asli, juga merupakan suatu faktor yang menghalangi keinginan mereka untuk bersekolah. Sekolah mereka hubungkan dengan cara hidup orang Kristen (Belanda) atau orang Cina, yang dalam hati sanubari mereka tak disukai. Disisi lain, pengaruh dari guru-guru mengaji
35
mendorong mereka untuk memilih belajar mengaji atau masuk pesantren atau madrasah dan tidak pergi ke sekolah orang Kristen. Kondisi sosial budaya masyarakat Jakarta asli dengan sebutan Betawi nampaknya tersebar secara meluas. Seperti halnya masyarakat pribumi di Pamulang, pada umumnya orang tua dari anak-anak Betawi mempunyai kecenderungan lebih memprioritaskan kegiatan mengaji daripada pendidikan formal di sekolah. Oleh karena itu dengan masuknya masyarakat pendatang dari luar daerah akan mampu mendorong dan memotivasi masyarakat pribumi melakukan perubahan pola dan budaya kehidupannya dan menyadari bahwa hidup membutuhkan suatu perjuangan yang harus diperjuangkan. Bagi masyarakat pribumi pada umumnya, masuknya budaya baru dari luar daerah dianggap menambah warna budaya di wilayah sekitar pinggiran Jakarta. Mereka tidak mempertentangkan masuknya budaya luar. Beberapa kelompok masyarakat pribumi menganggap bahwa budaya baru sebagai bentuk budaya yang perlu dipelajari dan bahkan ditiru, terutama budaya-budaya masyarakat pendatang yang dianggap positif, seperti cara hidup yang ulet, tidak boros, pekerja keras, berfikir dan bekerja untuk masa depan. Pada sisi budaya yang lain, tidak sedikit masyarakat pribumi yang masih mempertahankan dan memelihara kebudayaan asli daerahnya. Dalam kegiatan upacara-upacara tradisional keagamaan misalnya: upacara perkawinan, pelaksanaan adat masih sangat dipertahankan. Dalam mempertahankan tradisinya ini, misalnya upacara pernikahan seringkali mengabaikan hal-hal yang diluar kemampuannya. Ada pepatah masyarakat pribumi (Betawi) yang mengatakan “Biar Tekor Asal Nyohor”. Kalimat ini mengandung makna bahwa misalnya dalam menyelenggarakan upacara pernikahan, biarpun rugi harta yang penting tersanjung dan populer. Setelah selesai upacara pernikahan tidak jarang keluarga menanggung hutang untuk biaya pernikahan tersebut. Pada akhirnya harta kekayaan yang pada umumnya berupa tanah terpaksa harus dijual. 4.4. Data Penduduk Migran di Pamulang Pada umumnya data-data migrasi penduduk yang menggambarkan besar kecilnya pertumbuhan penduduk migran dari waktu ke waktu dalam suatu wilayah kecamatan apalagi di tingkat kabupaten atau kota sangat sulit ditemukan. Kondisi ini tidak lepas dari lemahnya sistem administrasi dan pendataan penduduk di suatu wilayah yang kurang akurat. Pengawasan terhadap keluar masuknya penduduk migran dalam suatu wilayah seringkali tidak terdata dengan baik. Migran seringkali sengaja
36
tidak melakukan lapor diri di wilayah Rukun Tetangga (RT). Andaikatapun lapor, seringkali pihak Ketua RT kurang responsif untuk kemudian segera melaporkan data tersebut di tingkat pemerintahan di atasnya. Keadaan seperti inilah yang kemudian menyebabkan data migrasi penduduk di tingkat kelurahan dan kecamatan menjadi tidak lengkap dan akurat. Demikian pula sepertinya kondisi ini juga terjadi di kecamatan Pamulang. Meskipun data migrasi secara berkala di wilayah kecamatan Pamulang sulit ditemukan, namun dapat dipastikan bahwa penduduk migran yang masuk ke wilayah Pamulang cukup besar. Beberapa hal yang dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi proses migrasi penduduk dari luar daerah yang memasuki wilayah kecamatan Pamulang antara lain adalah (1) tingginya angka pertumbuhan penduduk di wilayah kecamatan Pamulang pada tahun 2000-2010 yaitu sebesar 4,19 persen (tersaji pada Tabel4.1.), (2) tingginya pertumbuhan rumah kontrakan (hasil pengamatan di lapangan) yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat pendatang, (3) besarnya jumlah pekerja sektor informal seperti pedagang keliling (hasil pengamatan di lapangan) yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pendatang dari luar daerah. Setidaknya dengan tiga hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa di wilayah kecamatan Pamulang sedang terjadi proses dan dinamika penduduk yang sangat pesat. Tingginya migran sirkuler masuk di wilayah Pamulang juga diindikasikan oleh angkaangka yang diperoleh dari data survai yang dilakukan oleh Sie Pemerintahan, Kantor Kecamatan Pamulang. Hasil survai yang dilakukan pada bulan September tahun 2011 pasca Idul Fitri 1432 H, menunjukkan bahwa jumlah penduduk migran sirkuler baru sangat besar jika dibandingkan jumlah penduduk migran sirkuler secara keseluruhan pada tahun yang sama. Sebagai contoh, Tabel 4.2. menunjukkan bahwa penduduk migran sirkuler baru yang masuk wilayah kelurahan Pamulang Barat pada pasca Idul Fitri 1432 H di bulan September 2011 sebanyak 98 orang, sedangkan penduduk migran sirkuler yang masuk selama tahun 2011 (sampai bulan September) sebanyak 152 orang. Ini berarti bahwa angka pertambahan penduduk migran sirkuler pada pasca Idul Fitri 1432 H mencapai angka 181 persen. Filipo Da Costa1 selaku tim survai penduduk migran sirkuler di wilayah _________________________ 1
Ketua Tim Survai penduduk migran sirkuler di wilayah kecamatan Pamulang dan yang bersangkutan menjadi Pejabat Kasi Dukcapil Kecamatan Pamulang.
37
Tabel 4.2. Daftar Penduduk Migran Baru Yang Masuk ke Wilayah Kelurahan di Kecamatan Pamulang Pasca Hari Raya Idul Fitri Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelurahan Pamulang Barat Pamulang Timur Kedaung Bambu Apus Pondok Cabe Udik Pondok Cabe Ilir Benda Baru Pondok Benda Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
%
60 33 56 18 45 47 27 30
38 26 40 14 42 45 22 27
98 59 96 32 86 92 49 57
17.22 10.37 16.87 5.62 15.11 16.17 8.61 10.02
316
253
569
100,00
Sumber : Kantor Kecamatan Pamulang, September 2011.
kecamatan Pamulang menjelaskan bahwa tingginya angka pertambahan penduduk migran sirkuler di wilayah ini karena adanya perubahan status administrasi wilayah Pamulang sejak tahun 2008 dari bagian wilayah Kabupaten Tangerang menjadi wilayah baru yaitu Kota Tangerang Selatan. Perubahan wilayah menjadi bentuk pemerintahan baru
setidaknya memberikan banyaknya peluang pekerjaan baru.
Menurut Filipo Da Costa, di samping peluang kerja di lembaga pemerintahan, di sektor swasta juga memberikan peluang kerja yang sangat besar. Beberapa yang disebutkannya merupakan peluang di sektor informal antara lain adalah peluang kerja pada bidang jasa advertising, transportasi, restoran, bengkel, usaha dagang, sales, pedagang keliling (kaki lima). Keberhasilan para migran sirkuler yang datang pada waktu-waktu sebelumnya merupakan kunci yang mempengaruhi besarnya angka penduduk migran sirkuler di wilayah ini. Jika sebelumnya yang menjadi penduduk migran adalah para suami, maka tahap berikutnya mereka akan mengajak isteri, anak, saudara dan bahkan teman-teman sekampungnya. Data pada Tabel 4.3. memberikan gambaran bahwa penduduk migran yang terjadi
di
wilayah
kelurahan
Pamulang
Barat
Kecamatan
Pamulang
ada
kecenderungan semakin jauh daerah asal migran, proporsinya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan teori E.G. Ravenstain dalam Munir (1981), bahwa semakin jauh jarak antara daerah asal dengan daerah tujuan menunjukkan kecenderungan volume migran yang semakin kecil. Sebagai contoh membandingkan antara besarnya jumlah migran dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana Jawa Barat sebesar 32,89 persen, Jawa
38
Tabel 4.3. Data Penduduk Migran Sirkuler Yang Masuk di Wilayah Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Tahun 2011 (sd. bulan September 2011). No 1 2
3
4 5
6
Wilayah DKI Jakarta Jawa Barat Depok Bogor Tasikmalaya Ciamis Bekasi Indramayu Cirebon Cianjur Garut Bandung Sukabumi Jawa Tengah Tegal Cilacap Pekalongan Banyumas Purbalingga Brebes Kulon Progo Wonogiri Kebumen Demak Jawa Timur Ngawi Blitar Banten Tangerang Pandeglang Serang Luar Jawa Riau Sumatera Utara Jambi Lampung Nusa Tenggara Timur (NTT) Jumlah
Jumlah Migran
Imigran
%
35 50 9 8 7 6 5 4 3 3 3 1 1 38 13 5 5 3 3 2 2 2 2 1 4 3 1 15 9 5 1 10 4 2 2 1 1
23.03 32.89 25.00 2.63 9.87 6.58 -
152
100.00
Sumber : Data Sekunder Kantor Kecamatan Pamulang, 2011
Tengah sebesar 25,00 persen dan Jawa Timur yang letaknya paling jauh angkanya paling kecil yaitu sebesar 2,63 persen. Demikian juga di Jawa Barat, migran daerah asal dari Depok dan Bogor yang letaknya lebih dekat dengan wilayah Pamulang Barat menunjukkan angka yang lebih besar dari wilayah-wilayah lainnya seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Cirebon, Indramayu, Bekasi, Ciamis dan Tasikmalaya. Dikaitkan dengan penelitian ini, maka gambaran umum keadaan wilayah Kecamatan Pamulang, dapat memberikan informasi yang meyakinkan bahwa data kependudukan yang berupa jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang
39
sangat tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi dinamika penduduk yang sangat tinggi di wilayah kecamatan Pamulang. Dinamika penduduk yang ditandai dengan tingginya angka pertumbuhan mengindikasikan bahwa di wilayah tersebut terjadi aktivitas dan transaksi ekonomi yang tinggi. Hal ini merupakan magnet yang kuat dan menjadi daya tarik bagi para migran sirkuler, dengan harapan sebagian dari aktivitas dan transaksi ekonomi masyarakat dapat terjadi pula pada masyarakat migran sirkuler. Inilah yang peneliti menduga bahwa tumbuhnya migran sirkuler di wilayah Pamulang karena adanya secercah harapan untuk mengais kehidupan.
BAB V KARAKTERISTIK MIGRAN DAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI MIGRAN SIRKULER Bab ini, pada bagian awal akan disajikan tentang gambaran umum karakteristik migran sirkuler yang diambil dari data responden penelitian ini. Karakteristik migran sirkuler amat perlu diketahui untuk memberikan penjelasan kepada para pembaca, agar mampu memahami latar belakang secara rasionalitas terhadap responden hingga kemudian mengambil keputusan untuk menjadi migran sirkuler. Beberapa karakteristik migran yang akan disajikan dalam penelitian ini antara lain: umur migran, tingkat pendidikan migran, status perkawinan migran, pendapatan migran. Sisi lain yang akan dikaji dari migran adalah pengalaman migran, pandangan migran terhadap kota, daerah asal migran, motivasi dan pandangan migran terhadap migrasi. Pada bagian berikutnya, bab ini akan memberikan penjelasan tentang bagaimana proses pengambilan keputusan untuk menjadi migran sirkuler. Seperti telah disebutkan pada Bab II di atas oleh Lee (1966), bahwa ada 4 (empat) faktor penting yang mempengaruhi seseorang atau individu mengambil keputusan untuk melakukan migrasi. Empat faktor tersebut adalah (1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2) faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, (3) rintangan-rintangan atau kendala yang menghambat, dan (4) faktor individu yang bersifat pribadi. 5.1. Karakteristik Migran Karakteristik migran yang diambil dari data responden, secara umum sangat penting disajikan dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran umum kondisi sosial ekonomi migran sirkuler. Karakteristik migran yang disajikan dalam penelitian ini antara lain: umur migran, pendidikan migran, status perkawinan migran dan pendapatan migran. Dengan memahami karakteristik sosial ekonomi migran sirkuler, diharapkan pembaca dapat mengetahui latar belakang migran secara umum sebagai suatu alasan rasional mengapa kemudian migran tersebut memutuskan untuk menjadi migran sirkuler. Meskipun pada hakikatnya tidak setiap migran selalu mempunyai alasan yang sama untuk memutuskan menjadi migran sirkuler, karena pada dasarnya setiap individu dapat saja mempunyai permasalahan yang berbeda. Meskipun demikian, gambaran karakteristik migran secara umum setidaknya menjadi petunjuk
42
yang jelas dan wajar bagi mereka yang kemudian memutuskan menjadi migran sirkuler. Dari hasil analisis data primer dapat terungkap pada Gambar 5.1. bahwa ratarata umur migran saat pertama kali menjadi migran sirkuler adalah 19,07 tahun. Rata-rata umur migran (tahun) 40,00
34,70
35,00 30,00 25,00 20,00
25,43 19,07
saat migrasi
15,00
pertama pindah ke pamulang
10,00
sekarang
5,00 0,00
saat migrasi
pertama pindah ke pamulang
sekarang
Gambar 5.1. Rata-rata Umur Migran Sirkuler Pada Saat Migrasi Pertama, Pertama Pindah Ke Pamulang dan Sekarang, Tahun 2012. Rata-rata umur migran ketika pertama pindah ke Pamulang adalah 25,43 tahun, dan rata-rata umur migran pada saat ini adalah 34,70 tahun. Jika dilihat dari rata-rata umur saat pertama kali menjadi migran, maka sangat jelas bahwa peristiwa migrasi sirkuler pada umumnya dilakukan oleh angkatan kerja muda. Angkatan kerja muda ini sangat relevan dengan rata-rata tingkat pendidikan mereka yang pada umumnya rendah. Pada Gambar 5.2. menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden terbesar pada kelompok Tamat Sekolah Dasar (SD), dan jumlahnya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, yaitu sebesar 46,70 persen, baik saat pertama kali menjadi migran sirkuler, kemudian pertama pindah di wilayah Pamulang dan pada saat sekarang. Ini berarti bahwa kelompok migran dengan tingkat pendidikan Tamat Sekolah Dasar sejak awal menjadi migran sampai saat ini tidak pernah berusaha menempuh jenjang pendidikan di tingkat yang lebih tinggi. Pada Gambar 5.2, menunjukkan bahwa pekerja migran sektor informal pedagang kaki lima didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah, yaitu Sekolah Dasar (SD) sebesar 46,70%. Di sisi lain, sektor informal pedagang kaki lima terbukti merupakan sektor yang tergolong mudah dimasuki oleh pasar tenaga kerja, tanpa harus dilakukan seleksi terhadap tingkat pendidikan mereka.
43
50,00%
Tingkat Pendidikan Responden/Migran
46,70%
40,00%
Tamat SD
30,00%
30,00%
Tamat SMP
21,70%
Tamat SMA
20,00%
Lulus S1
10,00%
1,70%
0,00% Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Lulus S1
Gambar 5.2.Tingkat Pendidikan Migran Sirkuler, Tahun 2012. Besarnya jumlah migran sirkuler cenderung terjadi, salah satunya karena kekuatan jaringan migran itu sendiri. Kemampuan pekerja migran dalam membentuk relasi antar migran merupakan jaringan yang kuat dan mampu memberikan motivasi bagi calon migran lainnya, apalagi adanya informasi yang bersifat positif tentang keberhasilan migran sirkuler yang bekerja di kota. Karakteristik migran sirkuler yang digambarkan dalam posisi status perkawinan pada saat pertama kali menjadi migran, pertama kali pindah di wilayah Pamulang dan pada saat ini dapat ditunjukkan pada Gambar 5.3. Gambar 5.3. memberikan informasi bahwa pada saat pertama kali seorang pekerja menjadi migran sirkuler, sebagian besar (86,7 persen) dilakukan ketika mereka masih berstatus belum kawin. Pada saat migran pindah ke wilayah Pamulang, jumlah migran yang sudah kawin meningkat menjadi sebesar 53,3 persen, jika dibandingkan ketika pertama kali responden menjadi migran yang hanya sebesar 13,3 persen. Pada saat ini, sebagian besar dari migran telah berubah status perkawinannya, yaitu sebesar 76,7 persen berstatus sudah kawin. 100
86,7 %
76,7%
80 60
46,7%
53,3%
Belum Kawin
40 20 0
Migrasi Pertama
Kawin
21,7%
13,3% 0
Status Perkawinan Migran :
0 Pertama di Pamulang
Janda/Duda 1,6%
Saat Ini
Gambar 5.3. Status Perkawinan Migran Sirkuler, Tahun 2012
44
Bagi migran, disamping faktor usia, kecenderungan untuk tetap berstatus lajang juga dipengaruhi faktor pendapatan. Pada Tabel 5.1. nampak bahwa migran yang berpendapatan kurang dari Rp 2.000.000, terbukti jauh lebih banyak yang belum kawin, yakni sebesar 84,6 persen dibandingkan migran yang belum kawin berpendapatan lebih dari Rp 2.000.000, yakni sebesar 15,4 persen. Tabel 5.1. Persentase Migran Berdasarkan Besarnya Pendapatan dan Status Perkawinan Pada Saat ini, Tahun 2012. Pendapatan Per Migran
No (1)
Tidak Kawin N %
Kawin N %
Janda/Duda N % (7)
(8)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
11
84,6
21
44,7
0
0
2
>Rp 2.000.000
2
15,4
26
55,3
1
100,00
Jumlah
13
100,00
47
100,00
1
100,00
%
21,7
76,7
1,6
Sumber : Data Primer, 2012
Karakteristik pendapatan migran mengalami perubahan dari waktu ke waktu dapat diketahui dari rata-rata pendapatan migran berdasarkan lamanya menjadi migran. Karakteristik pendapatan migran tersebut diperlihatkan pada Gambar 5.4. yang menunjukkan bahwa trend rata-rata pendapatan migran per bulan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Rata-rata pendapatan migran yang mempunyai lama bekerja sampai pada sepuluh tahun pertama menjadi migran sirkuler yakni sebesar Rp 2.086.666,- per bulan, termasuk kelompok yang berpendapatan paling rendah. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pekerja pada majikan. Migran yang ikut bekerja pada majikan cenderung diberi upah rendah, akan tetapi disediakan fasilitas rumah tinggal dan kebutuhan sehari-hari seperti makan, merokok dan sebagainya. Namun demikian, jika dibandingkan dengan batas garis kemiskinan Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik, 2012 (http://www.bps.go.id), yaitu sebesar Rp 248,707.00 per orang per bulan, maka pendapatan rata-rata terendah per bulan seorang migran sirkuler dapat setara dengan 8 (delapan) orang yang berpendapatan per bulannya pada batas garis kemiskinan. Tren pendapatan migran rata-rata per bulan, menunjukkan bahwa semakin lama menjadi pekerja migran sirkuler, pendapatan mereka semakin meningkat. Migran yang bekerja antara 1-10 tahun memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp 2.086.666,jauh lebih rendah dari migran yang bekerja antara 11-20 tahun, yakni sebesar Rp
45
3.385.833. Demikian pula pada migran yang bekerja di atas 20 tahun, pendapatan mereka rata-rata mencapai Rp 3.538.888,-. Pendapatan Migran Rata-rata (Rp Per Bulan) 4000000
Rp 3.385.833
Rp 3.538.888
Masa Kerja:
3000000 Rp 2.086.666
1-10 tahun
2000000
11-20 tahun > 20 tahun
1000000 0
1-10 tahun
11-20 tahun
> 20 tahun
Gambar 5.4. Rata-rata Pendapatan Migran Sirkuler Berdasarkan Kelompok Lamanya Menjadi Migran, Tahun 2012. Keterkaitan status pekerja migran sebagai pekerja pada orang lain cenderung memperoleh pendapatan lebih kecil dari pada migran yang bekerja dengan mengelola modal sendiri. Pergeseran status pekerja dari bekerja pada orang lain menjadi bekerja dengan modal sendiri, pada umumnya ditentukan pula oleh lamanya menjadi migran. Migran yang mempunyai masa kerja di atas 20 tahun, rata-rata posisi migran sudah bekerja dengan modal sendiri. Pendapatan mereka tidak tergantung lagi dari upah, melainkan sudah mengelola modal usaha sendiri. Migran yang sudah mampu mengelola modal usaha sendiri, yang diperlukan adalah kehati-hatian dalam mengelola penggunaan keuangan untuk mendukung usahanya. 5.2. Strategi Nafkah dan Mata Pencaharian Migran Sirkuler Dalam sistem nafkah pada masyarakat perdesaan sesungguhnya dapat diamati melalui strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga masyarakatnya. Menurut Scoones (1998) dalam Dharmawan (2001:90), strategi nafkah yang umumnya diterapkan pada masyarakat perdesaan ada tiga macam, yaitu (1) intensifikasi atau diversifikasi pertanian; (2) pola nafkah ganda (keragaman nafkah); dan (3) migrasi. Strategi pertama dan kedua pada umumnya dilakukan masih dalam konteks pengelolaan terhadap sumber daya alam yang ada di lingkungan perdesaan. Strategi ke tiga dilakukan dengan meninggalkan daerah asal yang pada umumnya terjadi karena carrying capacity ekologi di perdesaan. Carrying capacity adalah suatu kondisi
46
ekologi yang sudah melampaui batas kemampuan maksimum sehingga upaya apapun yang dilakukan, kondisi ekologi sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga masyarakatnya (Mardiyaningsih, 2010:87). Beberapa penelitian migrasi seperti yang dilakukan oleh Mantra (1995), Antono (1997), Murdiyanto (2001) menunjukkan bahwa peristiwa migrasi baik permanen maupun sirkuler pada umumnya terjadi karena adanya motif ekonomi. Masyarakat migran dari perdesaan pada umumnya memandang bahwa kota secara ekonomi memberikan daya tarik yang sangat besar. Gemerlap lampu kota, padatnya arus kendaraan roda empat, hiruk pikuk gerakan penduduk kota dianggap sebagai magnet yang mengindikasikan adanya kegiatan ekonomi yang sangat tinggi, yang berarti terjadi perputaran uang yang sangat besar. Bagi migran sirkuler, kondisi perkotaan yang seperti ini dianggap sebagai peluang usaha yang dapat memberikan harapan ekonomi kepada mereka. Daerah perkotaan yang padat penduduk merupakan tempattempat usaha sektor informal yang sangat cocok. Penduduk yang padat identik dengan sumber keuangan yang besar. Oleh karenanya, pedagang sektor informal kaki lima atau pedagang keliling pada umumnya tumbuh dengan pesat di daerah komplekkomplek perumahan penduduk, selain di sekitar keramaian seperti pasar, daerah perkantoran, pusat kegiatan anak sekolah dan sebagainya. Akibatnya, arus migrasi desa-kota terjadi ketika sebagian masyarakat perdesaan ingin memperoleh peningkatan ekonomi yang lebih baik. Hasil wawancara dengan para responden yang bergerak pada usaha sektor informal pedagang kaki lima menunjukkan bahwa mereka itu adalah para migran sirkuler yang pada umumnya berasal dari perdesaan di luar kota Tangerang Selatan yang bergerak melalui proses yang panjang menuju wilayah Kecamatan Pamulang. Banyak liku-liku kehidupan dilalui yang menyebabkan mereka melakukan kegiatan ekonomi yang berujung pada usaha sektor informal pedagang kaki lima di Kecamatan Pamulang. Pada umumnya untuk memutuskan menjadi migran sirkuler dipengaruhi oleh keadaan latar belakang ekonomi keluarga di daerah asalnya yang dapat dikategorikan bahwa mereka secara ekonomi belum merasa tercukupi. Motif ekonomi menjadi alasan mereka meninggalkan daerah asalnya. Dalam rumah tangga migran di daerah asalnya mempunyai karakteristik jenis mata pencaharian pokok yang bervariasi, antara lain sebagai buruh tani, jual sayur, tukang kredit, pengangguran, pelayan toko, kuli di pasar, kerja proyek, penjahit dan sebagainya. Variasi jenis mata pencaharian tersebut, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam rumah tangga migran itu sendiri. Migran yang dibesarkan dalam
47
rumah tangga dari keluarga petani, umumnya dari mereka ketika di daerah asalnya juga bekerja sebagai petani. Hasil wawancara dengan responden yang orang tuanya bekerja sebagai petani mengatakan : “ ….. bahwa kami (migran) ini kalau di kampung dulu umumnya bekerja sebagai petani, karena ya awalnya membantu pekerjaan orang tua sebagai petani. Tetapi karena sebagai petani sepertinya tidak mempunyai masa depan yang baik, maka kemudian kami merantau saja ke kota. Lebih baik cari kerjaan di kota supaya punya penghasilan yang lebih baik. Kebetulan banyak teman yang sudah merantau lebih dulu di kota”.
Meskipun demikian, migran yang berlatar belakang dari rumah tangga keluarga petani tidak sedikit yang berhasil ketika melakukan usaha sektor informal pedagang kaki lima. Mayoritas dari migran yang diteliti berasal dari rumah tangga keluarga petani, dan ketika menjadi migran mereka kemudian memilih jenis pekerjaannya yang berbeda-beda sesuai keterampilan yang mereka peroleh dari proses adaptasi dalam suatu pekerjaan tertentu. Pada kelompok migran yang berusia lebih tua dan lebih lama menjadi migran sirkuler ada kecenderungan mereka lebih sering berganti-ganti jenis pekerjaan atau berpindah lokasi tempat bekerja. Informasi tersebut ditunjukkan oleh Tabel 5.2. Tabel 5.2. Persentase Migran Sirkuler Berdasarkan Lama Menjadi Migran dan Frekuensi Pergantian Jenis Pekerjaan, 2012 Lama Menjadi Migran (th)
1x
Frekuensi Pergantian Jenis Pekerjaan % 2x % > 3x (3)
(4)
(5)
(6)
< 1-2
11
32,35
2
11,11
1
12,5
3-4
7
20,59
4
22,22
0
0,00
>4
16
47,06
12
66,67
7
87,6
Jumlah
34
100,00
18
100,00
8
100,00
(1)
(2)
% (7)
Sumber : Data Primer, 2012
Meskipun demikian, pekerjaan migran sirkuler sebagai pedagang kaki lima yang dilakukan pada saat ini di wilayah kecamatan Pamulang, pada umumnya merupakan jenis pekerjaan yang akan dilanjutkan dan dikembangkan. Bahkan beberapa responden yang saat ini masih sebagai tenaga kerja dibawah tanggung jawab “bos”nya, mereka ingin sekali suatu saat dapat mengelola jenis pekerjaan seperti tersebut secara mandiri dan jika memungkinkan ingin meraih kesuksesan seperti “bos”nya. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa pekerjaan sebagai migran sirkuler pedagang kaki lima ini merupakan pekerjaan yang utama. Tak satupun dari mereka yang mempunyai pekerjaan sampingan, baik di daerah tujuan maupun di daerah asalnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pekerjaan sebagai
48
pedagang sektor informal kaki lima ini merupakan strategi nafkah yang utama bagi para migran sirkuler di Kecamatan Pamulang. 5.3. Daerah Asal Migran Sirkuler Dari seluruh responden yang berhasil diwawancarai, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.3. sebesar 43,33 persen migran sirkuler berasal dari Jawa Barat, 41,67 persen dari Jawa Tengah, 8,33 persen dari Jawa Timur serta sisanya berasal dari Banten dan Lampung. Jika membandingkan besarnya jumlah responden yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka ada kecenderungan bahwa ruang gerak migran sirkuler semakin jauh asal migran dari daerah tujuan, maka akan semakin menurun jumlahnya. Keadaan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh E.G. Ravenstain dalam Munir 1981, bahwa semakin jauh jarak antara daerah asal dengan daerah tujuan menunjukkan kecenderungan volume migran yang semakin menurun. Pada Tabel 5.3. memberikan informasi tentang jumlah responden berdasarkan daerah asal dan jenis pekerjaan responden pada saat ini di wilayah tujuan migrasi yaitu di wilayah Kecamatan Pamulang. Tabel 5.3. Penyebaran Responden Migran Sirkuler Berdasarkan Daerah Asal dan Jenis Pekerjaan Responden, Tahun 2012 No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jenis Pekerjaan (2) Jual soto Jual bakso Jual bubur Jual empal gentong Jual empek-empek Jual es Jual gado-gado Jual gorengan Jual Jamu Jual kebab Jual ketoprak Jual martabak Jual mie Jual nasi goreng Jual pecel lele Jual rujak Jual sate padang Jual siomay Jual susu kedelai
Beda Kabupaten (3)
1
Daerah Asal Responden Luar Jabar Jateng Jawa (4) (5) (6) 2 4 1 7 4 1 1 2 6 1 1 1 1 2 1 1 3 4 2
3
1 1
Jatim (7) 2
1 3
1
Total (8) 9 7 4 1 1 2 6 2 1 1 2 1 10 2 3 1 1 3 1
Jumlah
1
3
26
25
5
60
%
1,67
5,00
43,33
41,67
8,33
100
Sumber : Data Primer, 2012
49
Teori itu menjadi kurang tepat ketika melihat data bahwa migran sirkuler yang berasal dari wilayah Banten, dimana Pamulang sebagai bagian dari wilayah itu, ternyata angkanya paling rendah (1,81 persen). Rendahnya angka tersebut kemudian dapat dijelaskan oleh Kepala Seksi Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kecamatan Pamulang “Filipo Da Costa”: “ ….bahwa sesungguhnya cukup banyak migran sirkuler yang berasal dari wilayah Banten yang berdomisili di Pamulang, namun yang bekerja di sektor informal pedagang kaki lima sangat jarang. Kebanyakan mereka bekerja sebagai tukang pijit, pembantu rumah tangga, dan pekerja kasar seperti tukang bangunan”.
Di bagian lain faktor budaya daerah asal migran sangat menentukan jenis pekerjaan yang akan dipilih ketika menjadi migran sirkuler di daerah tujuan. Ada kecenderungan setiap daerah asal migran mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang fokus dan bahkan menjadi trade mark pada jenis kegiatan usaha tertentu. Hasil observasi permulaan di lapangan menunjukkan bahwa migran sebagai penjual bakso di sekitar Pamulang pada umumnya berasal dari Wonogiri. Sebagai pedagang kaki lima penjual nasi uduk pecel lele pada umumnya berasal dari Lamongan. Usaha warung tegal atau “warteg” sebagai sebutan populernya, berasal dari Tegal (penjual warteg tidak ada yang masuk sebagai responden). Ciri kedaerahan yang mempengaruhi kecenderungan migran dalam melakukan spesifikasi kesamaan usaha dagang kaki lima diduga karena adanya faktor jaringan sosial migran dari kesamaan daerah asal. Pada Tabel 5.3., pedagang bakso sebanyak 7 (tujuh) orang berasal dari Jawa Tengah, rata-rata berasal dari daerah Wonogiri. Demikian juga kelompok migran sebanyak 6 (enam) orang penjual gado-gado dan 4 (empat) orang penjual bubur berasal dari daerah Jawa Barat. 5.4. Motivasi dan Pandangan Responden Terhadap Migran Sirkuler Menurut persepsi responden sebagai masyarakat migran sirkuler di Pamulang, terungkap bahwa untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan dalam kehidupan secara sosial ekonomi, prinsipnya harus mau pergi dan bekerja di luar daerah asalnya. Dari hasil kajian terhadap rumah tangga masyarakat migran sirkuler di Pamulang, ada beberapa alasan secara lebih rinci mengapa mereka memilih harus meninggalkan daerah asalnya, kemudian mencari nafkah di daerah lain. Beberapa alasan tersebut dilukiskan pada Gambar 5.5., antara lain (1) migran sirkuler merasa sulit mencari pekerjaan/nafkah di daerah asal, (2) andaikata ada pekerjaanpun upahnya rendah, (3) tidak punya warisan lahan garapan pertanian yang memadai, (4) pekerjaan menjadi
50
pekerja pertanian tidak menarik terutama bagi angkatan kerja muda. Itulah beberapa motivasi yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan migran, yang pada intinya adalah ingin memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi. Oleh karenanya ada kecenderungan angkatan kerja muda di perdesaan lebih banyak yang melakukan migrasi dari pada angkatan kerja yang sudah tua. Dalam pandangan rumah tangga migran sirkuler di Pamulang, ada beberapa alasan yang menguatkan mengapa mereka memilih kota sebagai tujuan tempat melakukan kegiatan usaha mencari nafkah. Beberapa alasan tersebut yaitu (1) kota dianggap mempunyai banyak menyediakan kesempatan atau peluang pekerjaan, (2) diajak saudara atau teman yang sudah terlebih dahulu berhasil menjadi migran di kota yang memberikan harapan kepada mereka, (3) informasi tentang upah tenaga kerja di kota yang jauh lebih menarik daripada di perdesaan, (4) ditunjang dengan jarak antara daerah perdesaan dan perkotaan yang terasa dekat karena sarana transportasi dan komunikasi yang semakin baik, (5) kota-kota baru berkembang seperti Pamulang lebih banyak menyediakan ruang (space) untuk memulai usaha kegiatan mencari nafkah. Faktor yang paling dominan mengapa angkatan kerja muda di perdesaan cenderung meninggalkan daerahnya, menurut pandangan responden sebagai migran sirkuler, bahwa angkatan kerja muda di perdesaan ada kecenderungan tidak menyukai pekerjaan di bidang pertanian (56.7 persen).
Alasan Migran Sirkuler Meninggalkan Daerah Asal 56.7%
60
Sulit mencari pekerjaan/nafkah di daerah asal
50
Upah rendah
40
Tidak punya warisan lahan garapan pertanian
30
Pekerjaan bidang pertanian tidak menarik
20 10
20,0% 13.3%
10,0%
0
Gambar 5.5 : Alasan Rumah Tangga Migran Memilih Harus Meninggalkan Daerah Asalnya Untuk Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012.
51
Menurut Tarigan (2004), selain terkait dengan pendapatan, kurangnya minat angkatan kerja muda terhadap pekerjaan pertanian lebih disebabkan oleh alasan yang bersifat sosial. Sifat pekerjaan pertanian yang dipandang kotor, melelahkan, dan kurang prospektif, memunculkan perasaan “kurang terhormat” dengan status sebagai pekerja pertanian. Paling dominan alasan bagi migran sirkuler memilih kota tujuan untuk melakukan aktivitas usaha mata pencaharian adalah ikut saudara atau teman yang sudah terlebih dahulu berhasil menjadi migran di kota (53,3 persen). Dari hasil wawancara terhadap beberapa responden terungkap mengapa memilih ikut saudara atau teman. Salah satu responden (Th, 33 tahun), yang pertama kali migrasi ikut saudara menjelaskan : “Saya merasa lebih tenang kalau ikut saudara atau ikut teman, karena paling tidak kalau saya sementara sedang mencari pekerjaan atau belajar bekerja di kota itu, saya sudah tidak memikirkan lagi harus mencari tempat tinggal karena dapat ikut di tempat tinggal saudara atau teman saya tersebut”.
Beberapa responden merasa lebih senang melakukan aktivitas usahanya memulai di daerah yang baru berkembang, seperti halnya di wilayah Pamulang. Penjual rujak buah (Iny, 31 tahun), yang menempati lokasi jualan di depan Gedung Serbaguna Komplek Pamulang Indah MA memberikan komentar sebagai berikut : “Kulo remen sadean rujak dateng komplek mriki, amargi pados panggenan kangge usaha taksih gampil tur menawi cuacanipun sae ingkang sami tumbas rujak katah, sampun sami langganan. Rencang-rencang kulo ingkang sami sadean sanesipun inggih sami remen. Masyarakat komplek mriki sae-sae”. Artinya : “Saya suka jualan rujak di komplek ini, sebab cari tempat untuk jualan masih mudah dan kalau cuacanya baik yang beli banyak, sudah menjadi langganan. Temanteman saya lainnya yang jualan disini juga merasa senang. Masyarakat komplek disini baik-baik”.
Pada umumnya, rumah tangga masyarakat migran sirkuler berasumsi bahwa menjadi migran sirkuler yang berusaha di sektor informal pedagang kaki lima mempunyai prospek sosial ekonomi yang lebih baik jika dibandingkan apabila menjalani kehidupannya di daerah asal. Dari aspek ekonomi, sebagian besar responden (95 persen) mengakui bahwa penghasilan sebagai pekerja/usaha migran sirkuler di sektor informal pedagang kaki lima lebih menjanjikan jika dibandingkan ketika mencari nafkah di desa asalnya. Oleh karenanya mereka lebih baik tetap berusaha mencari nafkah di kota, meskipun pada umumnya di hari tua mereka ingin kembali berdomisili di daerah asalnya. Sebesar 86 persen responden menyatakan mempunyai rencana tinggal dan menikmati kehidupan hari tua di kampung halaman bersama anak cucunya.
52
5.5. Jejaring Sosial Sebagai Pelengkap Teori Migrasi “Lee” Kajian terhadap alasan migran sirkuler dalam memilih kota tujuan Pamulang menunjukkan adanya suatu fenomena baru yang dapat melengkapi teori migrasi yang telah dikembangkan oleh Everett S. Lee. Faktor yang mempengaruhi seseorang mengambil suatu keputusan migrasi ke daerah lain, selain empat faktor yang telah dikembangkan oleh Lee, terungkap adanya faktor lain yang lebih akseleratif dan fenomenal. Faktor tersebut adalah keberadaan saudara atau teman yang sudah lebih dulu berhasil menjadi migran yang berperan sebagai faktor yang paling mempengaruhi keputusan migrasi seseorang. Saudara atau teman yang sudah lebih dulu berhasil sebagai migran, dipandang sebagai faktor yang tidak diletakkan di daerah asal atau daerah tujuan, melainkan dipandang sebagai faktor jejaring sosial yang terlepas dari teori yang telah dikembangkan oleh Lee dan diposisikan sebagai variabel antara. Dalam posisi sebagai variabel antara tidak dilihat sebagai faktor kendala atau penghambat, melainkan kajian sebagai peran positif yang kemudian lebih membantu sebagai peran yang dapat meningkatkan volume migran. Gambar 5.6 memberikan informasi bahwa studi ini telah membuktikan peran jejaring sosial komunitas migran yang terdiri dari teman atau saudara migran yang sudah berhasil lebih dulu menjadi migran.
Alasan migran sirkuler memilih kota tujuan Pamulang
Kota dianggap banyak menyediakan peluang pekerjaan
21.7%
15.0%
6.7%
Diajak saudara atau teman yang sudah terlebih dahulu berhasil menjadi migran di kota Informasi tentang upah tenaga kerja di kota yang jauh lebih menarik daripada di perdesaan
3.3% 53.3%
Jarak antara daerah perdesaan dan perkotaan yang terasa dekat karena sarana transportasi dan komunikasi yang semakin baik Kota-kota baru berkembang lebih banyak menyediakan ruang (space) untuk memulai usaha kegiatan mencari nafkah
Gambar 5.6. Alasan Rumah Tangga Migran Memilih Kota Tujuan Menjadi Tempat Aktivitas Kegiatan Usaha Mata Pencaharian Sebagai Migran Sirkuler, Tahun 2012
53
Jejaring sosial migran ini merupakan faktor yang paling besar peranannya (53,3%) terhadap proses pengambilan keputusan calon migran yang kemudian menjadi migran sirkuler di Pamulang. Dengan kata lain, jejaring sosial migran dapat dikatakan sebagai akselerator migrasi. Jejaring sosial seperti ini sering disebut genealogis networking. Oleh karenanya, dalam penelitian ini ada satu temuan baru untuk melengkapi teori yang telah dikembangkan oleh Lee, bahwa empat faktor yang mempengaruhi migrasi yaitu (1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2) faktorfaktor yang terdapat di daerah tujuan, (3) rintangan-rintangan atau kendala yang menghambat, dan (4) faktor individu yang bersifat pribadi, kemudian temuan baru yang ke (5) yaitu faktor jejaring sosial migran. 5.6. Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Migran Sirkuler Proses pengambilan keputusan bagi seseorang untuk bekerja mencari nafkah dengan meninggalkan keluarga dan daerah asalnya pada umumnya merupakan keputusan yang tidak mudah. Apalagi jika orang tersebut sudah berumah tangga. Sebagai migran sirkuler, meskipun tinggal di kota tujuan bersifat sementara, tetapi banyaknya waktu yang digunakan untuk tinggal di kota dalam rangka bekerja mencari nafkah justru lebih lama daripada ketika ia pulang bersama anggota keluarganya. Sebagai seorang suami merangkap kepala keluarga kemudian menjadi migran sirkuler, beban yang harus dipikul setidaknya adalah (1) bagaimana memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari untuk keluarga tersebut, (2) bagaimana adaptasi menjalani kehidupan secara terpisah dengan keluarga dalam waktu yang relatif lama (misalnya bulanan), (3) bagaimana harus hidup beradaptasi di daerah tujuan, dan sebagainya. Pada masyarakat Jawa sesungguhnya kehidupan yang prihatin dan subsisten merupakan sesuatu hal yang biasa. Namun demikian, tidak seorangpun yang dapat menghalangi seseorang untuk memperjuangkan kehidupannya yang lebih baik. Oleh karenanya, banyak pertimbangan yang harus diambil ketika seseorang harus memilih pilihan untuk hidup seperti itu. Diantara faktor-faktor yang telah dikemukakan oleh Lee (1966) di sub bab di atas, salah satunya terdapat faktor pribadi yang bersifat individu. Meskipun demikian faktor pribadi tersebut sesungguhnya dapat dipengaruhi oleh pihak-pihak lain. Besar kecilnya dorongan keluarga (dalam hal ini; suami atau isteri, orang tua, saudara dan anak kandung) kepada calon migran sangat berarti dalam proses pengambilan keputusan migrasi ke kota tujuan. Dalam proses pengambilan keputusan apakah seseorang memastikan menjadi migran sirkuler atau tidak, seringkali pihak orang tua
54
atau bagian keluarga yang lain ikut berperan dalam mengambil keputusan. Kajian terhadap proses pengambilan keputusan menjadi migran sirkuler di wilayah kecamatan Pamulang, dapat dilihat pada Gambar 5.7. Migran sirkuler sektor informal pedagang kaki lima dalam pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan menjadi migran sirkuler secara mayoritas adalah keputusan yang ditentukan oleh migran sendiri (75 persen). Meskipun demikian ada sebagian yang melakukan kompromi dengan pihak keluarganya. Sangat kecil kepergian seorang migran sirkuler yang hanya ditentukan oleh orang tuanya.
Pengambilan Keputusan Migran Sirkuler 80
75.00%
70 60
Keterangan:
50
Sendiri
40
Orang tua Kompromi keluarga
30
23.3%
20 10
1.7%
0 Sendiri
Orang tua
Kompromi keluarga
Gambar 5.7. Pengambil Keputusan Terhadap Seseorang Menjadi Migran Sirkuler, 2012.
Sesungguhnya di awal proses pengambilan keputusan untuk menjadi migran sirkuler, tidak semua migran sirkuler merasa optimis akan keberhasilan mereka. Bahkan sebagian migran (55%) merasa khawatir akan keberhasilannya. Beberapa alasan mereka khawatir menghadapi tantangan di kota ketika akan memutuskan menjadi migran, antara lain, Shr (33 tahun), mengatakan bahwa di kota yang baru dikunjungi ia akan merasa asing dan pergaulan belum luas, sedangkan Ksn (37 tahun) mengatakan bahwa ketika memutuskan menjadi migran masih berumur 15 tahun, sehingga perasaan takut terhadap risiko keamanan dan keselamatan jiwanya. Lain lagi yang dihadapi oleh Ash (30 tahun), yang sebelum berangkat ke kota dibayangi dengan
55
rasa khawatirnya karena menurut teman yang mengajaknya akan dipekerjakan di Mall Bekasi yang harus menghadapi costumernya. 35
55%
45%
30
Keterangan:
25
Ya
20
Tidak
15 10 5 0 Ya
Tidak
Gambar 5.8. Proporsi Rasa Khawatir dan Tidak Khawatir Dalam Keberhasilan Menjadi Migran Sirkuler di Wilayah Pamulang, Tahun 2012
Selain rasa kekhawatiran pada saat akan memutuskan menjadi migran terhadap bayangan di kota, ada beberapa hal di awal yang menyebabkan sebagian migran sirkuler merasa khawatir akan keberhasilannya adalah (1) biaya hidup di kota yang dikhawatirkan mahal dan tidak terjangkau, (2) risiko keselamatan/keamanan di kota yang diasumsikan oleh calon migran sebagai suatu daerah yang rawan, dan (3) kekhawatiran karena migran membayangkan akan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada akhirnya keputusan seorang calon migran yang kemudian memilih menjadi migran sirkuler adalah dengan pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi rumah tangga mereka. Sadar akan sulitnya meraih keberhasilan sosial ekonomi tanpa bekerja dan berusaha di daerah lain, maka informasi-informasi yang diperoleh dari keluarga migran yang telah meraih sukses terlebih dahulu merupakan salah satu spirit yang memberikan motivasi kepada mereka. Motif ekonomilah pada akhirnya yang menjadi faktor yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan pada seseorang untuk memilih menjadi migran sirkuler atau tidak. Dari aspek kepemilikan lahan pertanian di daerah asal, nampak bahwa responden yang kemudian menjadi migran sirkuler, hanya sebagian saja yang masih memiliki sawah sebagai kegiatan usaha pertanian. Informasi tentang persentase kepemilikan lahan pertanian sawah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.4.
56
Tabel 5.4. Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Luas Lahan Pertanian Sawah Di Daerah Asal Migran, 2012
No.
Luas Lahan Pertanian Sawah (m2)
(1)
(2)
0
46
76,7
2
200 – 500
6
10,0
3
> 500 – 1.000
4
6,7
4
> 1.000 – 1.500
4
6,7
Jumlah
60
100,0
1
N (3)
% (4)
Sumber : Data Primer, 2012 Tabel 5.4. menunjukkan bahwa sebagian besar migran, yaitu 76,7 persen tidak memiliki lahan pertanian sawah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa responden tidak mempunyai harapan terhadap penghasilan dari sektor pertanian untuk menjamin kehidupan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu bagi responden yang semula di daerah asal menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian, akhirnya menjadi sangat wajar ketika mereka kemudian memilih menjadi migran sirkuler sebagai alasan ekonomi untuk mencari nafkah yang lebih baik di kota.
BAB VI PROSES ADAPTASI MIGRAN SIRKULER 6.1. Proses Adaptasi Migran Pada dasarnya dalam setiap diri manusia membutuhkan suatu kenyamanan, ketenangan, kesejahteraan dan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Untuk dapat memenuhi apa yang menjadi keinginan atau harapan setiap manusia tersebut, maka banyak cara atau strategi yang dapat dilakukannya. Cara yang dilakukan manusia diantaranya beradaptasi diri dengan lingkungannya dimana ia berada. Misalnya, beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal, di lingkungan pekerjaan, di lingkungan suatu organisasi, dan bahkan di lingkungan keluarganya. Tjitrajaya (1981) menjelaskan bahwa strategi adaptasi merupakan cara atau pola tingkah laku yang direncanakan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Untuk melihat salah satu bentuk dan ukuran adaptasi seorang migran, Pelly (1998) mengatakan bahwa strategi adaptasi adalah cara-cara yang digunakan oleh perantau (istilah lain dari migran) untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan. Penduduk migran di wilayah kecamatan Pamulang, merupakan penduduk yang pada umumnya berasal dari wilayah perdesaan berpindah melintasi batas-batas wilayah geografis ataupun administratif yang bergerak menuju perkotaan di wilayah Pamulang. Namun demikian kajian secara sosiologis, migrasi dari desa ke kota tersebut sesungguhnya tidak hanya sekedar perpindahan penduduk yang terkait dengan lintas batas geografi atau administrasi saja. Ada hal yang jauh lebih mendasar yaitu gerakan penduduk yang melintasi batas-batas wilayah budaya agraris-tradisional menuju budaya modern. Migran asal perdesaan memiliki wujud kesatuan atas dasar tinggal dekat dan atas dasar keturunan masih dijunjung tinggi. Kehidupan sosial dan ekonomi bertumpang-tindih dalam tindakan kolektif karena adanya saling ketergantungan ekologi maupun proses-proses biologi dalam berproduksi (Hayami dan Kikuchi, 1987). Interaksi antar tetangga rumah, antar tetangga dusun, antar tetangga desa berlangsung dengan berhadapan muka dan secara mendalam. Untuk membangun
hubungan
silaturahmi
dan
bercengkerama
dengan
masyarakat
lingkungannnya hingga mengorbankan waktu senggangnya yang besar merupakan bagian dari kebutuhan dasar mereka.
58
Migran yang bekerja di kota tidak serta merta dengan mudah dapat melupakan konsep nilai-nilai budaya asalnya yang tradisional agraris yang sudah mengakar dan melekat dalam kehidupannya. Acapkali muncul pertentangan dalam diri kaum migran, antara ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat di desa asalnya dengan kondisi perkotaan yang cenderung menunjukkan interaksi antar warga yang relatif jauh/longgar dan bersifat individualistis. Di sisi lain, budaya kerja antara masyarakat desa dan kota sangat jauh berbeda. Kebiasaan kerja di desa terutama pada sektor pertanian umumnya sangat bebas, tidak terlalu terikat oleh waktu, kompromis tetapi ketika di kota harus bekerja profesional, pengaturan waktu menjadi penting dan bahkan seringkali dituntut dengan target capaian, dan rasional dalam mengambil keputusan suatu tindakan. Dua kondisi sosial budaya yang berbeda itulah yang kemudian memunculkan tuntutan bagi setiap migran asal perdesaan yang ingin berusaha untuk tetap eksis dalam mepertahankan kehidupannya di lingkungan yang baru di perkotaan. Proses agar dapat tetap bertahan menyesuaikan diri dengan kehidupan di lingkungan yang baru inilah yang disebut dengan proses adaptasi. Migran sirkuler sektor informal pedagang kaki lima di wilayah Pamulang, mempunyai kesamaan dengan migran-migran di kota yang lain. Untuk dapat tetap eksis dan bertahan menghadapi tantangan kehidupan di kota diperlukan upaya-upaya yang harus dilakukan dan diperjuangkan oleh para migran dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dalam proses adaptasi migran menurut kajian peneliti ada beberapa proses yang harus dilakukan, antara lain adalah (1) Tindakan awal sebelum menjadi migran sirkuler. Untuk menjadi migran sirkuler, menurut responden penjual bakso (Tkd, 43 tahun) perlu adanya persiapan dengan mempertimbangkan berbagai hal mengenai kesiapan mental, bekal dan akomodasi untuk kebutuhan di kota tujuan. Untuk menjadi migran sirkuler, pengambilan keputusan sebaiknya benar-benar dilakukan secara rasional. (2) Tahap proses adaptasi terhadap lingkungan rumah tinggal di kota tujuan, dan (3) Tahap proses adaptasi dengan lingkungan pekerjaan, (4) Proses adaptasi dengan kehidupan rumah tangganya sendiri. 6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Adaptasi Migran Proses adaptasi bagi migran termasuk migran sirkuler merupakan serangkaian proses penyesuaian diri yang dilakukan untuk membuat seseorang nyaman berada dalam suatu lingkungan yang baru di daerah tujuan dimana mereka mencari
59
nafkah/mata pencaharian, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan tempat bekerja. Pada dasarnya tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama dalam beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini seringkali berhubungan erat dengan sifat-sifat dan karakteristik masing-masing orang. Bagi seseorang yang terbuka dan pandai bergaul umumnya lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, akan tetapi bagi orang yang mempunyai sifat tertutup, pemalu dan tidak pandai bergaul pada umumnya sulit untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Bagi orang yang mudah untuk beradaptasi pada umumnya lebih cepat kerasan (betah) tinggal di daerah tujuan. Sebaliknya bagi orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru, pada umumnya juga tidak mudah untuk kerasan karena tidak merasa nyaman tinggal di daerah tersebut. Kemampuan berdaptasi dengan lingkungan merupakan salah satu modal dasar yang ikut menentukan berhasil tidaknya seorang migran. Ketahanan seorang migran dalam mengatasi adanya tekanan kehidupan dalam suatu lingkungan masyarakat, sangat tergantung dari mental dan bagaimana cara migran tersebut menyikapi dan menanggapinya. Sikap dan mental seorang migran, pada umumnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya ketika ia dibesarkan sebelumnya. Bagi seorang migran yang mempunyai pengalaman mengarungi dan menghadapi likuliku kehidupan yang penuh dengan tantangan, pada umumnya mempunyai sikap mental yang lebih berani, kuat dan tangguh (tidak cengeng). Sebaliknya bagi migran pemula yang belum berpengalaman menghadapi tantangan kehidupan, maka mereka pada umumnya mempunyai sikap dan mental yang tidak kuat dan tangguh (cengeng), sehingga mereka sangat tidak survive menghadapi situasi yang berbeda dengan kebiasaan di daerah asalnya. Oleh karena itu karakteristik pribadi seseorang sangat menentukan berhasil tidaknya seorang migran sirkuler dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam proses adaptasi, karakteristik pribadi seseorang merupakan faktor internal yang sangat menentukan keberhasilan seorang migran. Selain faktor internal, berhasil-tidaknya migran juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar diri pribadi seseorang. Misalnya: faktor lingkungan sosial, faktor relasi dengan pihak lain, faktor alam, faktor perubahan ekonomi makro, peristiwa musibah, dan sebagainya. Seorang migran dituntut beradaptasi dengan kondisi eksternal. Bagaimana mensiasati usahanya jika terjadi musibah atau bencana alam, jika terjadi krisis moneter dan sebagainya. Bagaimana bernegosiasi dan memilih lokasi usaha dagang kaki lima agar tempat usahanya tidak digusur oleh Pemda. Kemampuan seorang
60
migran dalam menanggapi dan menyikapi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi usahanya tersebut merupakan bentuk dari proses adaptasi migran. 6.3. Tindakan Awal Sebelum Memutuskan Menjadi Migran Dalam melakukan suatu tindakan apapun, akan menghasilkan sesuatu yang lebih sempurna apabila tindakan tersebut dipersiapkan dan dirancang dengan sebaikbaiknya. Oleh karena itu, seperti halnya seseorang yang akan melakukan tindakan migrasi sirkuler dari daerah asal perdesaan menuju perkotaan dalam rangka mencari pekerjaan sebagai mata pencaharian, maka harus dipersiapkan dengan baik dan matang. Beberapa hal yang pada umumnya dilakukan oleh calon migran sirkuler adalah mencari informasi-informasi tentang peluang pekerjaan di daerah tujuan. Informasi tersebut umumnya diperoleh dari saudara atau teman yang sudah menjadi migran di kota. Teman atau saudara yang sudah bekerja di kota merupakan jaringan migran yang amat penting sebagai sumber informasi tentang daerah tujuan migran, terutama yang berhubungan dengan peluang kerja di perkotaan. Berbekal dari informasi yang dibawa oleh teman atau saudara tersebut, dan dengan mempertimbangkan berbagai hal dalam kehidupan sosial ekonomi rumah tangganya, kemudian secara sendiri atau bersama keluarga mengambil suatu keputusan untuk melakukan migrasi. Sudah barang tentu dalam pertimbangan tersebut sudah dipikirkan apa yang dibutuhkan selama proses migrasi, termasuk uang transpor, uang saku, kemudian bagaimana untuk rumah tinggal dan kebutuhan untuk hidup sementara di kota tujuan. Demikian pula kesiapan mental bagi anggota rumah tangga yang ditinggalkannya. Meskipun demikian tidak sedikit migran sirkuler (55%) merasa khawatir terhadap bagaimana nasib di kemudian hari ketika sudah tiba di kota tujuan. Beban yang paling berat dirasakan oleh suatu rumah tangga migran sirkuler adalah pada tahap awal proses migrasi. Antara anggota rumah tangga yang ditinggalkan dengan yang meninggalkan saling memendam rasa rindu, dan muncul perasaan khawatir dengan keadaan kesehariannya. Namun seiring dengan proses berjalannya waktu, dan kesibukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, pada akhirnya perbedaan tempat tinggal sementara dengan anggota rumah tangganya merupakan hal yang biasa.
61
6.4. Proses Adaptasi Migran Pada Lingkungan Tempat Tinggal Di manapun manusia bertempat tinggal, selalu dihadapkan pada situasi yang memberikan tekanan dan tantangan yang membutuhkan suatu bentuk perjuangan dan perlawanan. Tekanan dan tantangan tersebut dapat muncul dari lingkungan, baik lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahkan lingkungan alam itu sendiri. Disisi yang lain, manusia mempunyai kemampuan untuk mengatasi tekanan dan tantangan yang bermacam-macam tersebut. Sejauh mana kemampuan migran sirkuler dapat mengatasi adanya tekanan dan tantangan dalam lingkungan tempat tinggal baru dalam suatu komunitas sosial merupakan bentuk dari proses adaptasi yang dibahas dalam penelitan ini. Migran sirkuler yang diamati, pada umumnya berasal dari daerah perdesaan. Daerah asal mereka memiliki karakteristik lingkungan tempat tinggal yang pada umumnya berbeda dengan daerah tujuan migran di wilayah Pamulang. Perbedaan karakteristik lingkungan itulah yang kemudian membutuhkan kemampuan seorang migran untuk melakukan adaptasi. Banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi migran sirkuler untuk tetap dapat atau tidak mempertahankan sebagai migran dengan tempat tinggal dalam lingkungan sosial masyarakat yang baru. Secara umum keberhasilan migran sirkuler karena mempunyai sifat-sifat kepribadian yang kuat, tahan uji dan berani menghadapi tantangan hidup prihatin sekalipun. Tanpa dilandasi oleh sifat kepribadian tersebut, sulit bagi seorang migran sirkuler akan mampu bertahan dan mencapai kesuksesan dalam kehidupan sosial ekonominya. Hasil pengamatan terhadap rumah-rumah petak tempat tinggal migran sirkuler di Gang Asem Pamulang Barat, pada umumnya dengan fasilitas peralatan rumah tangga yang terbatas dan sederhana. Seperti alat memasak mereka menggunakan kompor minyak. Tidak ada lemari pakaian. Tempat tidur mereka di lantai dengan alas karpet/kasur lipat. Kamar tidur juga dipergunakan sebagai kamar tamu. Kamar mandi dan WC berada di luar rumah, dengan perbandingan setiap kamar mandi dan WC dipergunakan untuk 4-5 keluarga. Meskipun demikian wajah keceriaan dan kebahagiaan tercermin ketika peneliti datang ke rumah mereka. Salah satu faktor yang menguatkan proses adaptasi mereka terhadap tempat tinggal adalah bahwa di lingkungan tempat tinggalnya cukup banyak warga migran yang berasal dari satu daerah asal. Ikatan sosial antar migran se daerah asal ini nampaknya menjadi faktor yang mampu menguatkan mereka untuk tetap tinggal di
62
lingkungan itu. Satu daerah asal dapat berupa berasal dari satu kampung atau satu kota dan bahkan satu wilayah kabupaten ataupun asal satu suku, mereka merasa satu daerah asal. Mereka merasakan bahwa persaudaraan menjadi lebih kuat dan akrab karena merasa satu nasib dan satu level dalam perjuangan hidupnya. Selain faktor yang telah disebutkan, ada beberapa faktor lainnya yang dapat sebagai faktor pemicu yang melemahkan ketahanan migran untuk tinggal dalam lingkungan sosial masyarakat kota tujuan. Faktor tersebut adalah faktor yang terdapat di daerah kota tujuan pada umumnya, adalah (1) apabila migran tidak segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan, (2) andaikatapun memperoleh pekerjaan pendapatannya tidak mencukupi, (3) biaya hidup di daerah tujuan (kota) cukup mahal, (4) faktor risiko keamanan dan keselamatan bagi jiwanya. Proses adaptasi migran sirkuler dengan lingkungan rumah tinggal terjadi ketika migran sudah tiba dan bertempat tinggal di kota tujuan. Adaptasi mulai dari proses pertama kali migran tersebut dapat memperoleh tempat tinggal di wilayah kota tujuan Pamulang, dan kemudian bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal yang baru. Untuk beradaptasi dengan tempat tujuan migran, pada umumnya melalui proses yang panjang. Hasil wawancara dengan salah satu migran (MS, 52 tahun), terungkap bahwa yang bersangkutan telah melakukan tujuh kali pindah lokasi pekerjaan sebagai migran. Bahkan di wilayah Pamulang, ia juga sudah melakukan dua kali pindah lokasi pekerjaan. Beberapa pernyataannya adalah: “Saya…. merantau sudah lama. Saya asalnya dari Wonogiri. Sebelum ke Pamulang, saya sudah berkali-kali pindah lokasi dan berganti pekerjaan. Saya sudah tujuh kali pindah lokasi pekerjaan dan sudah sembilan kali berganti pekerjaan. Mulai dari bekerja ikut bos membantu di warung nasi di Wonogiri, jadi pelayan toko di Solo, kerja sebagai transmigran, menjadi pembantu tukang sayur di Rawa Belong, kerja di PT Sunrise Bumi Textile di Bekasi, bekerja di konstruksi baja di Bekasi, bekerja di PT. Sunlie di Meruya Ilir, jualan bakso di Pamulang Timur dan sekarang jualan soto mie di Komplek Pamulang Indah. Saat ini saya sudah bekerja mandiri, artinya usaha dagang dengan modal sendiri. Saya tidak merasa kesulitan mencari tempat tinggal di wilayah Pamulang, karena saya sudah tahu lokasinya. Sebelumnya saya sudah survai lokasi untuk membangun usaha dagang di wilayah Pamulang. Saya masih kontrak di rumah petak, yang terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tidur dan satu dapur. Tinggal di Pamulang ini tidak ada masalah. Anak-anak saya sudah besar-besar. Ada yang kuliah di Solo.
Meskipun keluarga MS tersebut masih mengontrak rumah di Pamulang, namun sesungguhnya ia memiliki rumah sendiri yang ada di daerah asalnya. Oleh sebab itu secara pribadi pada saat ini keluarga tersebut sudah merasa dapat menikmati kehidupan mereka.
63
Informasi berikutnya bahwa mayoritas responden menyatakan tujuan migran pertama kali bukan di Pamulang. Oleh karena itu ketika ditanyakan di rumah siapa pertama kali tiba di kota tujuan migran di wilayah Pamulang, sebagian besar dari mereka tidak mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Tabel 6.1. menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka (51,7 persen) pertama kali tinggal di wilayah Pamulang dengan menyewa rumah petak. Tabel 6.1. Tempat Tinggal Responden Pertama Kali Tinggal di Kota Tujuan Migran (wilayah Pamulang), Tahun 2012 No
Tempat Tinggal Migran Pertama Kali
N
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Di rumah saudara Di rumah teman Kost kamar Sewa rumah bersama teman (boro) Sewa rumah petak
8 3 8 10 31
13,3 5,0 13,3 16,7 51,7
Jumlah
60
100,00
1 2 3 4 5
Sumber : Data Primer, 2012
Mayoritas migran sirkuler sebelum pertama kali masuk di wilayah Pamulang, sudah menjadi migran di wilayah lain seperti di DKI Jakarta, Bekasi. Ketika akan pindah ke wilayah Pamulang, mereka sudah melakukan survai atau orientasi wilayah terlebih dahulu termasuk mencari tempat tinggal yang akan dihuni berupa menyewa rumah petak yang berlokasi dekat dengan tempat usahanya. Pada umumnya mereka memiliki jaringan pertemanan atau persaudaraan dengan migran-migran yang telah lebih dulu berada di wilayah Pamulang. Salah satu informan yang juga responden (Tkd, 43 tahun), mengungkapkan bahwa untuk pertama kali menjadi migran sirkuler tahun 1988 di Cibubur Jakarta Timur, agar dapat bertahan hidup dilakukan melalui suatu perjuangan yang keras. Ia tinggal di rumah yang dikontrak oleh “bos”nya bersama-sama dengan migran yang lain (boro). Bekerja sebagai buruh mebel rotan di Jakarta Timur. Tidur dalam satu kamar untuk beberapa orang. Suasana di kamar terasa panas. Dalam waktu-waktu senggang digunakan untuk istirahat atau ngobrol-ngobrol dengan teman. Tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar tempat tinggal, kecuali temanteman seprofesi kerja. Makan seadanya yang terpenting kenyang sehingga mempunyai tenaga untuk dapat bekerja rutinitas dengan waktu yang teratur. Ketika hasil penjualan mebel semakin menurun (sepi pembeli), ia merasa semakin berat beban hidupnya, karena pendapatan tambahan dari bonus atau kerja lembur menjadi tidak ada lagi. Berbekal dari komunikasinya dengan teman-teman
64
sekampungnya dari Wonogiri yang bekerja sebagai penjual bakso di Jakarta, akhirnya ia memilih alih profesi menjadi pedagang bakso. Kebetulan pekerjaan membuat dan dagang bakso mendapat kemudahan dari belajar dengan teman-teman yang sudah berdagang bakso. Meskipun demikian, ia tetap bekerja keras. Belanja untuk bahanbahan membuat bakso sekitar pukul 04.30 sampai dengan 05.30 di pasar Ciputat. Mengolah dan memasak bahan-bahan bakso tersebut sekitar pukul 06.00 sampai dengan pukul 09.00. Demikian kegiatan pedagang bakso ini dilakukan setiap hari. Lokasi kerja di Pamulang diketahuinya dari hasil survai ketika ia diajak temanteman seprofesi penjual bakso. Menurutnya, yang menjadi alasan mengapa mereka memilih wilayah Pamulang sebagai lokasi usaha dagang, karena Pamulang merupakan wilayah sedang berkembang. Ia tahu bahwa daerah ini semakin ramai. Ia memperkirakan daerah ini sangat cocok untuk usaha dagang bakso. Terbukti selama 12 tahun ia berdagang bakso sejak tahun 1999 sampai saat ini, omzet dagangan bakso semakin meningkat. Ia sudah merasa cocok dan sudah menguasai sebagai pedagang bakso dengan modal usaha milik sendiri. Sekarang ia merasa lebih tenang tinggal di rumah petak kontrakan di Jalan Pinang Pamulang Timur, sebagai penjual bakso di dekat kantor Kelurahan Pamulang Timur. Keuntungan dari berdagang bakso, selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sebagian digunakan untuk membeli tanah dan merenovasi rumah di kampung, untuk ditabung, membeli motor dan membiayai sekolah anak-anak. Meskipun usahanya dapat dikatakan lumayan, tetapi seluruh anaknya (4 orang) yang masih sekolah dari tingkat SD sampai SLTA saat ini masih sekolah di kampung. Ia tinggal di Pamulang bersama isterinya. Pulang ke kampung halamannya, sekitar 3-4 bulan sekali. Kegiatan pulang kampung selain menengok keluarganya, juga mengirim uang dan barang-barang kebutuhan untuk rumah tangganya. Meskipun demikian, pada usia yang sudah mulai lanjut ini, jika ditanyakan apakah ada keinginan untuk tetap menjadi penjual bakso selamanya di Pamulang, ia menyatakan bahwa di hari tuanya tetap ingin menikmati hidup di kampung bersama anak cucunya. 6.5. Proses Adaptasi Migran Pada Lingkungan Pekerjaan Pada bab terdahulu telah dijelaskan bahwa karakteristik perilaku budaya kehidupan masyarakat di perdesaan sangat berbeda dengan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, bagi migran sirkuler asal perdesaan untuk dapat survival mencari nafkah di sektor informal pedagang kaki lima di perkotaan, tentu harus ada upayaupaya strategi penyesuaian diri dengan budaya kehidupan masyarakat di perkotaan.
65
Dalam aspek budaya kerja, migran sirkuler sektor informal pedagang kaki lima dituntut harus dapat merubah budaya kerja yang biasa dilakukan di perdesaan yang kemudian menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan budaya kerja di perkotaan. Meskipun demikian, perilaku adaptif yang tetap dikembangkan untuk dapat bertahan oleh migran sirkuler asal perdesaan ini adalah prinsip kebiasaan hidup yang biasa dilakukan di perdesaan, seperti hidup prihatin, hidup hemat/menabung, kebiasaan makan seadanya. Hal yang berbeda, penyesuaian budaya kerja yang kemudian disebut sebagai strategi adaptasi migran dalam lingkungan pekerjaan antara lain adalah merubah budaya kerja yang biasa dilakukan di desanya. Pengamatan pada hasil wawancara terhadap responden dapat dijelaskan bahwa beberapa perubahan budaya kerja antara lain kebiasaan malas menjadi lebih rajin, kebiasaan bekerja lebih santai menjadi bekerja lebih disiplin, tertib dan teratur serta menghargai waktu. Sebagai migran sirkuler yang tinggal sementara di kota meninggalkan sebagian anggota rumah tangganya, memunculkan rasa tanggungjawab terhadap keluarganya. Mayoritas migran kemudian bekerja keras pada umumnya muncul karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Bagi migran sirkuler, keberanian untuk menjadi pekerja di sektor informal pedagang kaki lima bukan tanpa alasan. Pekerjaan sektor informal pedagang kaki lima menurut mereka merupakan pekerjaan yang paling mudah dipelajari dan dilakukan. Pekerjaan ini hanya membutuhkan keterampilan dan kemauan. Seorang responden (Sr, 25 tahun), menyatakan sebagai berikut : “…. saya merasa senang berjualan mie ayam, karena disamping persiapannya mudah, bahan-bahannya gampang, modalnya tidak besar, keuntungannya juga lumayan. Waktu kerjanya juga bebas, mau meliburkan diri juga bisa. Menjadi penjual mie ayam tidak harus sekolah tinggi-tinggi. Yang penting mau belajar kerja, dan sekarang saya sudah merasa ahli bikin mie ayam. Saya merasa pendidikannya rendah, maka saya tahu diri tidak memilih menjadi PNS. Kalau pendidikan saya tinggi saya lebih memilih jadi PNS. Masa depannya jelas dan pasti”.
Pada umumnya migran sirkuler tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan pekerjaannya. Bagi migran yang baru pertama kali bekerja di sektor informal pedagang kaki lima, paling lama hanya membutuhkan waktu magang selama kurang dari satu bulan. Bahkan beberapa responden yang bekerja sebagai pedagang rujak, gado-gado, mereka hanya membutuhkan waktu dalam hitungan hari untuk dapat beradaptasi dan dilepas untuk bekerja sendiri. Meskipun demikian, untuk pekerjaan sederhana sekalipun tentu membutuhkan proses belajar. Cepat atau lambatnya seseorang untuk dapat bekerja dengan baik, sangat tergantung dari kemampuan orang
66
tersebut. Pada umumnya pekerja migran sirkuler usia muda cenderung masih menjalankan pekerjaan milik orang lain yaitu majikan atau “bos”nya. Tabel 6.2. menunjukkan bahwa ada asosiasi atau hubungan antara umur pekerja migran sirkuler dengan kepemilikan modal kegiatan usaha sektor informal pedagang kaki lima. Umur yang semakin tua ada kecenderungan bahwa migran sirkuler sudah mampu memiliki modal usaha sendiri. Sebaliknya pada pekerja migran sirkuler umur muda (<25 tahun), pada umumnya masih ketergantungan dari pemilik modal orang lain baik modal milik majikan yang masih ada hubungan keluarga maupun majikan bukan dari keluarga atau orang lain. Bagi migran sirkuler usia muda (<25 tahun), ketergantungan pekerjaan terhadap pihak lain (“bos”) pada tahap awal membutuhkan suatu proses belajar dan perjuangan yang keras terutama dalam beradaptasi dengan pekerjaannya. Migran harus belajar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh “bos”nya. Mereka belajar pada rutinitas kerja yang sama sekali tidak pernah dilakukan ketika masih tinggal di desa asalnya. Perbedaan kebiasaan hidup dan mata pencaharian di daerah asal, ternyata mempengaruhi cepat tidaknya seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya. Migran sirkuler yang baru mengenal jenis pekerjaan yang digeluti ketika di kota pada umumnya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama. Salah seorang penjual bakso (KD, 42 tahun), mengatakan baru dapat menyajikan bakso yang enak setelah bekerja magang sampai puluhan hari bekerja dengan majikannya. Semangkuk bakso akan terasa enak ketika ukuran bumbu dan kematangannya sudah sesuai. Demikian hal serupa juga dialami oleh beberapa pekerja migran yang melayani jualan mie ayam. Rebusan mie membutuhkan ukuran kematangan yang tepat. Jika terlalu masak, maka penikmat mie ayam akan merasa tidak enak. Begitu pula jika bumbunya terlalu kurang atau terlalu berlebih rasanya menjadi tidak sedap lagi. Tabel 6.2. Hubungan Umur Pekerja Migran Sirkuler dan Kepemilikan Modal Usaha No
Pemilik Modal Usaha
(1)
(2)
<25 (%)
26-29 (%)
(3)
(4)
Umur (tahun) 30-34 (%) (5)
35-39 (%)
40-44 (%)
(6)
(7)
1
Tidak menjawab
10,00
14,29
6,25
0,00
10,00
2
Milik majikan bukan keluarga
50,00
14,29
18,75
5,88
0,00
3
Milik majikan keluarga
40,00
14,29
6,25
0,00
0,00
4
Milik sendiri
0,00
57,14
68,75
94,12
90,00
100,00 (N=10)
100,00 (N=7)
100,00 (N=16)
100,00 (N=17)
100,00 (N=10)
Total (N=60) Sumber : Data Primer, 2012.
67
Beberapa responden yang telah dipercaya oleh majikannya untuk menjalankan pekerjaan penjualan makanan, mengeluh dengan upah yang terlalu rendah. Mereka merasa tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang telah dicurahkan untuk membantu bekerja. Meskipun demikian mereka tetap menjalaninya karena mencari pekerjaan menurutnya tidak mudah. Mereka masih dapat mengambil hikmahnya dengan memperoleh pengalaman berdagang/berusaha. Pada umumnya mereka bercitacita dapat mengumpulkan modal untuk menjalankan usahanya secara mandiri di masa depan. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian yang dilakukan oleh migran sirkuler ketika masih menjalani kehidupan di desa asalnya, sebagian besar berbeda dengan ketika sudah di kota. Ketika masih di desa asalnya, sebagian besar mereka bekerja mengikuti jejak orang tuanya. Orang tua migran yang bekerja sebagai petani di desa asalnya, pada umumnya migran tersebut juga sebagai petani ketika di desa asalnya. Gambar 6.1. nampak bahwa dari seluruh responden yang diwawancarai, terdapat 68 persen dari orang tua mereka bekerja di sektor pertanian sebagai petani. Sisanya sebagai wira usaha mandiri (buka warung), pedagang keliling/kecil, tukang bangunan dan lain-lain.
45 40
68%
Keterangan:
35 30
Petani
25
Tukang/bangunan
20
Pedagang keliling/kecil Wirausaha mandiri (warung)
15 10 5
9%
Lainnya
13% 8%
2%
0
Gambar 6.1. Jenis Pekerjaan Orang Tua Migran Sirkuler (di daerah asal) Meskipun sebagian besar migran sirkuler merupakan keturunan masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, namun ketika di kota tujuan, mau tidak mau mereka harus belajar dan menyukai dengan pekerjaan di sektor informal pedagang kaki lima. Perubahan cara dalam strategi nafkah pada rumah tangga migran sirkuler
68
ini membutuhkan suatu proses adaptasi. Namun demikian migran sirkuler ketika baru terlibat dalam usaha dagang kaki lima, pada umumnya tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan pekerjaan. Kesulitan, dirasakan hanya pada tahap-tahap awal melakukan pekerjaannya. Paling-paling butuh waktu beberapa hari sampai mingguan saja untuk dapat menyesuaikan dengan pekerjaannya. Beberapa alasan kemudahan yang mereka kemukakan ketika memulai kegiatan usaha dagang kaki lima antara lain karena ada pihak teman, atau saudara atau suami yang sudah lebih dulu bekerja sebagai pedagang kaki lima di kota tujuan. Adanya rasa kedekatan terhadap teman, saudara atau suami bagi migran yang baru belajar mandiri, menyebabkan mereka tidak merasa sungkan dan malu untuk bertanya dan belajar bekerja sebagai pedagang kaki lima. Dalam lingkungan pekerjaan sebagai pedagang kaki lima, selain penguasaan terhadap pekerjaan seperti penyajian masakan yang enak, juga dibutuhkan keterampilan-ketrampilan yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Bagi pekerja yang ikut majikan dalam usaha pedagang kaki lima, harus memelihara hubungan yang baik dengan majikannya, dengan pembeli atau pelanggan, dengan supplier dan sebagainya. Bagi migran sirkuler yang sudah berhasil menjadi pengusaha dagang kaki lima (majikan), harus memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan anak buah, dengan lembaga supply dana misalnya bank harian dan sebagainya. Dalam upaya mewujudkan eksistensinya, para migran sektor informal pedagang kaki lima, pada umumnya berupaya dengan caranya sendiri. Pihak pemerintah daerah (Pemda) seringkali kurang peduli terhadap nasib, kenyamanan dan keamanan mereka. Oknum petugas Pemda selalu melakukan kutipan secara rutin, tetapi tidak melakukan penataan dan memberi perlindungan yang baik terhadap mereka. Pada akhirnya dengan cara mereka sendiri, mereka berupaya agar usahanya tetap eksis dan berkembang. Dari hasil wawancara dengan beberapa responden, terungkap bahwa dalam usaha dagang kaki lima ada beberapa hal yang terpenting agar usahanya dapat tetap eksis dan berkembang, antara lain adalah: (1). Menjaga agar usahanya bebas dari gangguan keamanan seperti preman. Dalam kondisi seperti ini, migran sektor usaha kaki lima perlu membangun komunikasi yang baik dengan preman, keamanan dan masyarakat di sekitarnya. Untuk menciptakan suasana yang kondusif terpaksa ada biaya-biaya tertentu berupa iuran keamanan. (2). Menyajikan cita rasa makanan yang dijual terasa enak. Cita rasa makanan yang dijual merupakan bagian yang paling penting, agar pelanggan menjadi ketagihan untuk membeli di tempat itu.
69
Mengembangkan jaringan pelanggan setia merupakan usaha untuk meningkatkan pendapatan. (3). Menjaga kebersihan, kerapihan dan keindahan lingkungan sehingga tempat usaha dagang kaki lima menjadi menarik perhatian pelanggan. Ini juga merupakan upaya memelihara kenyamanan pelanggan. Dari sisi yang berbeda, usaha sektor informal pedagang kaki lima seperti halnya usaha yang lain, seringkali menghadapi guncangan/kendala dalam usahanya. Hasil wawancara dengan beberapa responden, terungkap bahwa ada beberapa bentuk strategi dalam upaya mempertahankan eksistensi usaha dalam menghadapi berbagai bentuk kendala usaha. (1) Strategi menurunkan skala usaha. Ini merupakan strategi adaptasi terhadap keadaan apabila terjadi krisis ekonomi seperti pada tahun 1997, agar usahanya tetap dapat eksis dengan mengurangi volumenya. (2) Strategi adaptasi terhadap tindak kekerasan oleh pihak lain. Ini merupakan strategi adaptasi dimana pelaku usaha melakukan adaptasi saat berhadapan dengan orang-orang yang mengancam usahanya. Ancaman dapat berupa kekerasan fisik (misalnya: ancaman preman) maupun non fisik, misalnya pengucilan, gosip dan sebagainya. (3) Strategi adaptasi terhadap kemungkinan terjadinya peristiwa bencana/musibah. Strategi ini dengan
cara
melakukan
tindakan
penyimpanan/penyelamatan
sebagian
dari
keuntungan usaha di lembaga keuangan atau dalam bentuk asuransi jika sudah memungkinkan, sehingga pada waktu-waktu tertentu misalnya terjadi kebakaran atau bencana yang lain, pelaku usaha masih mempunyai modal usaha. Selain beberapa strategi yang telah disebutkan, untuk mencapai keberhasilan bagi seorang migran pada umumnya menempuh suatu proses perjalanan yang panjang. Perjalanan hidup seorang penjual bubur (AS, 37 tahun), dapat dikatakan sukses. Citacita sejak sekolah di SD ingin menjadi seorang guru. Cita-cita yang dibayangkan itu muncul karena ada guru dikampung tempat ia belajar yang dapat dianggap sebagai panutan. Namun cita-cita itu pupus ketika ia tidak dapat menyelesaikan studi sesuai harapannya. Faktor ekonomi membuatnya harus bekerja di toko kelontong milik orang Cina. Merasakan pahit getirnya bekerja ikut orang lain, maka dibenaknya muncul keinginan melakukan usaha sendiri. Pada akhirnya ia memutuskan untuk berdagang jualan bubur. Ia memilih untuk berjualan bubur karena kultur masyarakat di kampungnya (Bekasi) banyak yang berjualan bubur. Awalnya ia berjualan bubur secara keliling di komplek-komplek perumahan di Bekasi, tetapi hasilnya kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga berkeinginan untuk jualan di daerah lain menjadi seorang migran. Berkat keuletannya, setelah menjalani proses migrasi yang panjang sampai ke wilayah Pamulang, yang bersangkutan kini berhasil mencapai
70
pendapatan bersih rata-rata per bulan sekitar Rp 6.000.000 sampai dengan Rp 8.000.000. Dengan penghasilan tersebut, ia merasa berhasil karena pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Migran yang berhasil pada umumnya melakukan beberapa kali periode pergantian yang dapat berupa pergantian jenis pekerjaan atau pergantian lokasi tempat usahanya. Dari hasil analisis data primer, terungkap bahwa sebesar 45 persen dari responden menyatakan bahwa selama menjadi migran sirkuler di wilayah Pamulang, pernah menjalani ganti jenis pekerjaan antara 2-4 kali, sedangkan pedagang bubur AS, 37 tahun, untuk mencapai keberhasilan setelah melakukan pindah lokasi usaha sampai 3 kali. Ini membuktikan bahwa pada akhirnya, keuletan, kerajinan, kegigihan dengkan semangat bekerja pantang menyerah merupakan kunci utama untuk mempertahankan eksistensi dan meraih keberhasilan sebagai migran. Sebagai contoh, seorang penjual bubur yang telah disebutkan sebelumnya (AS, 37 tahun) mengungkapkan bahwa untuk mencapai keberhasilannya membutuhkan tiga kali ganti lokasi tempat dagang bubur. Tahun 1984, ia jualan bubur di Slipi Jakarta. Tahun 1986 ia pindah lokasi ke Kedoya. Tahun 1987, ia meninggalkan Jakarta dan berhasil mengembangkan jualan buburnya di wilayah Pamulang. Ada dua lokasi jualan buburnya di wilayah Pamulang yaitu di Pamulang Gang Rais dan di sekitar pertokoan Pamulang Permai. Pendapatan bersih dari dua cabang jualan bubur tersebut mencapai sekitar Rp 6.000.000,00 sampai dengan Rp 8.000.000,00 per bulan. Dari pendapatannya, ia mampu mengirimkan dana remiten sekitar Rp 1.200.000,00 sd. Rp 2.000.000,00 per bulan untuk memenuhi kebutuhan sebagian anggota rumah tangganya yang berada di kampung halaman. Secara garis besar, dapat dijelaskan bahwa ada dua strategi adaptasi yang dapat dilakukan oleh migran sirkuler pedagang kaki lima untuk mempertahankan usahanya agar terjadi keberlangsungan hidup mereka. (1). Adaptasi teknologi, yaitu merupakan penyesuaian terhadap teknologi untuk menunjang kegiatan usaha migran sirkuler sektor informal pedagang kaki lima. Untuk menyesuaikan dengan situasi perkotaan, maka migran sirkuler pedagang kaki lima dalam mendukung usahanya dituntut untuk melakukan mobilitas yang tinggi. Oleh karenanya untuk menunjang kegiatan mobilitas tersebut misalnya belanja barangbarang, antar jemput dan sebagainya mereka berusaha mempunyai kendaraan sepeda motor. Fakta membuktikan bahwa ada kecenderungan peningkatan kepemilikan barang-barang berharga terutama kendaraan sepeda motor. Migran sirkuler, dalam melakukan usahanya, terdapat tiga karakter migran sirkuler pedagang kaki lima, yaitu
71
(a) pedagang kaki lima yang sudah menetap, (b) mobile kemudian menetap dan (c) yang tidak menetap. Pedagang menetap, pada umumnya memperdagangkan berbagai jenis dagangan, sedangkan yang mobile dan tidak menetap pada umumnya memperdagangkan satu jenis dagangan saja. Bagi yang menetap biasanya sudah menggunakan tenda-tenda semi permanen, sedangkan yang tidak menetap menggunakan gerobag dorong yang dapat di jalankan sebelum kemudian menetap di suatu tempat tertentu. (2). Munculnya organisasi sosial, sebagai bentuk strategi adaptasi yang dibangun untuk mengamankan strategi nafkahnya dari situasi buruk/krisis. Yang menonjol adalah terbentuknya jaringan sosial migran. Diawali dengan kegiatan perkumpulan arisan sesama migran dari satu daerah asal, yang kemudian dapat berkembang menjadi jaringan sosial paguyuban migran. Fungsi dan peran jaringan sosial migran sangat besar terutama untuk memberikan perlindungan dan keamanan terhadap migran yang menghadapi suatu masalah, misalnya masalah ekonomi, sosial dan sebagainya. Kekuatan jaringan migran sebagai kekuatan modal yang berpangkal pada rasa kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan yang berada di perantauan merupakan modal yang amat besar untuk menentukan masa depan para migran. Selain kekuatan modal sosial tersebut, modal ekonomi yang dibangun melalui arisan dan tabungan bersama merupakan penggerak utama kegiatan organisasi ini. 6.6. Proses Adaptasi Migran Dalam Kehidupan Rumah Tangga Meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama tentu bukan suatu yang mudah untuk dilakukan. Bahkan tidak semua orang mau dan mampu melakukannya. Akan tetapi jika sudah berbenturan dengan masalah kebutuhan pokok terutama kebutuhan ekonomi, seringkali menjadi tega dan dapat melakukannya. Ini dilakukan ketika manusia menghadapi tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Terdorong dengan semakin membaiknya tingkat ekonomi masyarakat pada umumnya, maka manusia menjadi sensitif. Sebagian masyarakat merasa malu kalau tidak dapat seperti kehidupan para tetangganya. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat semula masih bertahan dengan keadaan subsisten, tetapi kemudian tidak mau lagi. Pada kelompok rumah tangga tertentu, migrasi sirkuler semata-mata untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Pada akhirnya, migrasi sirkuler sebagai alternatif pilihan yang ditempuh untuk memperoleh kegiatan sebagai mata pencaharian pokok yang lebih layak daripada ketika di daerah asalnya.
72
Mereka memilih sebagai migran yang bersifat sirkuler, karena dengan seperti itu para migran tetap dapat memelihara hubungan yang baik dengan daerah asalnya, baik melalui kunjungan, surat atau remiten yang dikirimkan ke daerah asalnya (Mantra, 1988:59). Apalagi jika anggota rumah tangga lebih banyak yang ditinggalkan di daerah asalnya. Pada akhirnya remiten menjadi salah satu yang amat penting, selain frekuensi pulang kampung migran untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga bersama keluarga yang ditinggalkannya.
Besarnya uang remiten per rumah tangga per bulan 60%
55%
Keterangan:
50% 40%
≤ Rp 100.000
30%
Rp 100.000 - Rp 200.000
20%
Rp 200.000 - Rp 300.000
20% 12%
10%
Rp 300.000 - Rp 400.000
10% 3%
> Rp 400.000
0%
Gambar 6.2. Besarnya Jumlah Uang per Rumah Tangga Migran Sirkuler per Bulan Yang Dapat Dikirimkan Untuk Keluarga di Kampung, 2012 Gambar 6.2. menunjukkan bahwa mayoritas migran sirkuler (55%) mampu mengirimkan remiten berupa uang rata-rata per bulan sebesar lebih dari Rp 400.000,00 kepada rumah tangga di daerah asalnya. Uang yang dikirim untuk keluarga rumah tangga di kampung tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga yang ada di daerah asalnya. Sebagian migran sirkuler (20%) mengirimkan remiten masih di bawah angka Rp 100.000,00 per bulan. Beberapa migran sirkuler yang berusia muda dan belum berumah tangga ada kecenderungan mengirimkan remiten yang lebih kecil daripada mereka yang sudah berumah tangga. Biasanya kelompok migran sirkuler muda sekedar mengirimkan remiten untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Sebanyak 73,3 persen dari seluruh responden menyatakan bahwa sebagian pendapatan dari hasil pekerjaan sebagai migran sirkuler digunakan untuk membiayai pendidikan anggota rumah tangganya. Di antara yang dibiayai tersebut antara lain: anak, keponakan dan anggota keluarga yang lain.
73
Dalam proses adaptasi migran sirkuler terhadap kehidupan rumah tangganya dimulai dengan adanya rasa yakin dan saling percaya diantara anggota keluarga dalam suatu rumah tangga tersebut. Setelah adanya rasa saling percaya, kemudian mereka juga membagi tanggungjawab dalam memelihara keberlangsungan rumah tangganya. Hal-hal yang berkaitan dengan urusan pekerjaan, pendidikan, keamanan, kesehatan keluarga dan lain-lain di daerah asal ditangani langsung oleh anggota keluarga yang dianggap mampu mengurusinya. Dalam setiap rumah tangga migran, pada umumnya untuk menjaga keutuhan rumah tangga mereka, seorang migran terutama selaku kepala keluarga dalam rumah tangga tidak hanya semata mengirim remiten untuk keperluan rumah tangganya. Untuk memelihara rasa kasih sayang terhadap anggota rumah tangga di daerah asal, pada umumnya seorang migran secara reguler malakukan kunjungan ke kampung halaman atau pulang kampung. Tabel 6.3. Periode dan Frekuensi Kunjungan Migran Sirkuler ke Rumah di Daerah Asal, Tahun 2012. No (1)
1 2 3 4 5 6
Periode Pulang Kampung (2)
1 bulan 1x 2 bulan 1x 3 bulan 1x 4 bulan 1x 6 bulan 1x 12 bulan 1x Jumlah
Sumber : Data Primer, 2012
N (3)
10 8 9 8 16 9 60
% (4)
16,7 13,3 15,0 13,3 26,7 15,0 100,00
Kunjungan ke kampung halaman mereka pada umumnya dilakukan pada saatsaat tertentu, misalnya jatuh pada hari-libur, hari besar atau pada saat tabungan sudah cukup untuk dibawa pulang. Pada Tabel 6.3. dapat diketahui bahwa setiap migran pasti melakukan kegiatan pulang ke kampung halaman di daerah asalnya. Paling banyak migran sirkuler pulang ke rumah di daerah asalnya setiap 6 bulan sekali. Meskipun demikian, tidak sedikit dari mereka yang pulang kampung setiap bulan sekali atau bahkan setahun sekali. Menurut responden (Hr, 31 tahun), adanya hand phone (HP), dapat mengurangi frekuensi arus mudik para migran, karena dengan HP sudah dapat dengan mudah berkomunikasi dengan keluarga yang ditinggal di kampung. Secara umum, setiap migran sirkuler akan pulang kampung pada Hari Raya Idul Fitri. Ketika Idul Fitri, selain bertemu dengan keluarga inti, mereka juga dapat bersilaturahmi dengan keluarga besar mereka. Saat itulah, keluarga migran dapat
74
memperlihatkan kebahagiaan mereka. Tabungan yang mereka kumpulkan dari waktu ke
waktu
selama
berbulan-bulan
biasanya
dipergunakan
untuk
memenuhi
kebutuhannya di acara memperingati dan merayakan Idul Fitri. 6.7. Jaringan Sosial Dalam Komunitas Migran Terdapat banyak strategi yang dikembangkan para migran dalam usahanya untuk mempertahankan kehidupannya di kota dan meraih kesuksesan dalam bidang sosial dan ekonomi. Salah satu strategi yang dilakukan migran adalah dengan cara mengembangkan dan memelihara jaringan sosial di antara sesama migran se daerah asal. Jaringan sosial migran dapat untuk menyebarluaskan informasi tentang keadaan sesama migran kepada anggota kelompoknya. Informasi tentang hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan yang melanda rumah tangga migran dapat segera diketahui oleh anggota kelompoknya. Dalam keadaan seperti itu, sesama migran akan saling memberi perhatian. Bagi yang kesusahan, pada umumnya akan mendapatkan bantuan dari anggota kelompok migran yang lain. Kajian terhadap jaringan sosial ini, ditemukan adanya tiga bentuk jaringan sosial sebagai strategi yang dikembangkan dan dipelihara para migran sirkuler dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya ketika sedang berada di kota. Menurut Haryono (2007), ketiga bentuk tersebut, yaitu: (1) jaringan sosial yang didasarkan pada sistem kekerabatan dan kekeluargaan. Jaringan sosial model ini, umumnya terdiri dari kelompok migran yang berasal dari satu daerah. Jaringan sosial ini dibentuk dan dikembangkan oleh para migran sebagai salah satu strategi mengatasi persoalan yang dihadapi dan mempertahankan kehidupannya di kota; (2) Jaringan sosial yang dibentuk dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok migran dalam pola hubungan sosial vertikal. Bentuk hubungan sosial semacam ini merupakan hubungan patron klien. Misalnya antara kelompok pekerja dengan majikannya. (3) Jaringan sosial yang dibentuk oleh kelompok-kelompok sosial baru guna saling memenuhi kebutuhan di antara migran. Bentuknya bisa bermacam-macam. Misalnya: kelompok ketetanggaan, kelompok orang yang tinggal bersama, kelompok orang dengan nilai-nilai baru yang muncul di kota, kelompok-kelompok yang terjadi karena kesamaan agama, profesi, dan sebagainya. Beberapa hasil penelitian, seperti yang dilakukan oleh Antono (1997), Haryono (2007), memberikan gambaran bahwa pada umumnya ketika pertama kali seorang migran baru bermigrasi ke kota, ia tidak berangkat seorang diri, melainkan selalu ada migran yang telah lebih dulu bermigrasi yang mengajak atau membawanya. Migran
75
baru akan merasa lebih aman, karena memiliki kepastian mengenai tempat tinggal sementara yang akan dituju, dan gambaran pekerjaan pada saat-saat awal di kota tujuan. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan Mabogunje (1970), bahwa kontribusi migran terdahulu di kota sangatlah besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah yang sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan. Dalam hal ini para migran baru tidak sekedar ditampung di rumah migran yang mengajaknya, tetapi juga dicukupi kebutuhan makan, dan dibantu untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang dimilikinya. Oleh karena itu salah satu kekuatan sosial migran sirkuler adalah kepemilikan jaringan sosial. Jaringan sosial yang dikembangkan oleh para migran sirkuler merupakan bentuk dari kelembagaan sosial yang mempunyai peranan dan fungsi yang cukup besar terhadap kemampuan survival dan eksistensi migran sirkuler itu sendiri. Sifat masyarakat migran yang dilandasi oleh kekuatan rasa gotong royong, tolong menolong/toleransi dan kebersamaan yang sudah terbangun dan mengakar sejak masih tinggal di kampung halamannya, rupanya menjadi kekuatan yang paling dahsyat untuk membentuk komunitas migran di perkotaan. Perpindahan mereka dari desa ke kota tujuan migran, sudah dapat dipastikan dihadapkan pada tantangan yang semakin besar. Perbedaan karakter perdesaan dan perkotaan yang kemudian memunculkan tantangan inilah, maka migran merasa perlu untuk membentuk suatu wadah yang dapat menampung mereka untuk saling menguatkan keberadaan mereka di perkotaan. Muncullah komunitas paguyuban migran perkotaan. Komunitas migran ini sangat kuat, karena sebagai masyarakat di perantauan, migran merasa mempunyai ikatan emosional yang lebih tinggi. Munculnya komunitas migran diawali dengan adanya kebutuhan dan kepentingan menyangkut eksistensi masyarakat migran kota. Eksistensi yang dimaksud tidak semata-mata sekedar bagaimana bisa hidup, akan tetapi bagaimana rumah tangga masyarakat migran meraih kehidupan masa depan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka punya impian agar kebutuhan mereka baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya dapat terpenuhi. Mereka tidak ingin masa depan kehidupan rumah tangganya hanya seperti ketika masih mencari nafkah di kampung halamannya. Dalam rangka itulah, umumnya para migran yang berasal dari satu daerah dipelopori oleh migran yang dianggap senior membentuk ajang untuk dapat
76
bersilaturahmi secara rutin yang dilakukan setiap periode waktu tertentu. Pada mulanya kegiatan mereka hanya sekedar arisan, tetapi kemudian semakin berkembang hingga membuat paguyuban seni daerah asal. Hasil wawancara dengan seorang informan (Ksm, 45 tahun), terungkap bahwa tujuan membentuk paguyuban seni tradisional daerah asal seperti “campursari”, adalah selain untuk mengakrabkan keluarga migran yang berasal dari satu daerah, juga untuk mengekspresikan rasa kerinduan dengan suasana di daerah asalnya. Pagelaran campursari pada umumnya dilakukan pada kegiatan upacara-upacara hajatan keluarga migran, misalnya pada penyelenggaraan resepsi pernikahan dan sunatan. Komunitas migran yang membentuk campur sari, pada umumnya disponsori migran permanen yang sudah berhasil secara ekonomi. Untuk menyediakan peralatan campursari membutuhkan biaya yang relatif besar. Pada umumnya, migran sirkuler hanya berperan sebagai anggota paguyuban saja karena merasa dari satu daerah asal. Ajang silaturahmi dilakukan warga migran, selain pada upacara-upacara hajatan, yang dilakukan secara rutin adalah arisan keluarga migran. Pada kesempatan silaturahmi seperti itulah, mereka dapat saling melampiaskan kerinduan. Selebihnya mereka saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman tentang apapun yang dapat mereka ceritakan. Pada umumnya, pokok bahasan mereka adalah hal-hal yang menyangkut pendidikan keluarga, kesehatan, informasi pekerjaan, keadaan anggota keluarga di kampung, kegiatan sehari-hari dalam lingkungan rumah, pekerjaan, masyarakat dan kegiatan rekreasi ke luar kota. Kekuatan yang dimiliki oleh komunitas migran kota ini adalah rasa keterikatan kekeluargaan yang tinggi dengan saling membantu baik dalam situasi senang maupun susah. Dalam situasi senang, mereka saling membantu dalam kegiatan upacaraupacara pernikahan dan sunatan. Dalam situasi repot atau susah, mereka saling membantu dalam pinjam meminjam uang, tolong menolong dalam musibah sakit, kecelakaan, meninggal dunia. Dalam saling membantu pada situasi sedih ataupun senang, dapat berupa uang, tenaga, pikiran bahkan bantuan berupa hiburan misalnya sumbangan campur sari, organ tunggal. Pada saat tertentu, terutama menjelang Idul Fitri, manfaat adanya paguyuban migran ini semakin terasa. Dengan paguyubannya masing-masing migran pada umumnya menyelenggarakan koordinasi pulang kampung bersama dengan menyewa kendaraan bus atau minibus. Pada saat-saat seperti inilah migran sirkuler membawa uang dan barang-barang bawaannya untuk dibawa pulang kampung. Sebagai wujud
77
dari keberhasilan mereka merantau, maka remiten yang paling besar dibawa pada saat Idul Fitri. 6.8. Adaptasi Migran Pada Kebijakan Pemerintah Salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi migran sirkuler pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan adalah kebijakan pemerintah kota setempat pada nasib migran. Tidak banyak pemerintah kota setempat yang berpihak pada nasib kaum migran sirkuler PKL. Sebaliknya, tidak sedikit pemerintah kota yang justru tidak mempedulikan nasib kaum migran sirkuler PKL. Oleh karena itu seiring dengan penguatan otonomi daerah, sudah selayaknya pemerintah kota memberikan perlindungan kepada seluruh warganya termasuk membuat kebijakan yang memihak pada masyarakat migran sirkuler perkotaan yang saat ini oleh banyak kalangan dianggap termarjinalkan. Kebijakan pemerintah daerah terhadap sektor informal pedagang kaki lima, umumnya mengarah pada penertiban atau pemberantasan atau penggusuran, yang berujung pada bentuk tindakan yang bersifat represif. Seringkali pemerintah daerah justru meremehkan keberadaan sektor informal. Sektor informal PKL sering dipersepsikan sebagai sektor usaha masyarakat miskin yang seringkali menimbulkan berbagai implikasi sosial yang bersifat negatif. Beberapa hal yang dianggap sebagai implikasi yang bersifat negatif antara lain menyebabkan
kesemrawutan
dan
kekumuhan
kota,
kemacetan
lalu
lintas,
memproduksi volume sampah yang besar sehingga terkesan kotor. Padahal sesungguhnya, sektor informal pedagang kaki lima amat membantu pemerintah dalam mengatasi pengangguran terutama pada kelompok angkatan kerja usia muda. Terbatasnya kemampuan sektor formal menampung angkatan kerja, mengakibatkan tingkat pengangguran angkatan kerja muda menjadi tinggi. Oleh karena itu, sektor informal merupakan juru selamat bagi angkatan kerja yang tidak dapat tertampung di sektor formal. Bagi masyarakat migran kota, sektor informal PKL merupakan sektor usaha yang menjadi andalan dari banyak keluarga miskin. Berbagai kebijakan pemerintah kota tentang PKL, sudah semestinya dikemas dengan melibatkan stake holder yang melibatkan perwakilan dari kelompok migran kota sektor informal PKL. Penetapan kebijakan pemerintah kota dengan melibatkan perwakilan kelompok sektor informal PKL, dimaksudkan agar dua kelompok yang berbeda kepentingan ini dapat mengambil jalan tengah yang sama-sama saling menguntungkan. Misalnya dalam hal
78
Gambar 6.3. Penertiban PKL wilayah Kota Tangerang Selatan oleh aparat Pemda Kota Tangerang Selatan, 2011 (Sumber : Global Tangsel, 25 September 2011)
ketertiban sektor informal PKL, migran sektor PKL diwajibkan menjaga keamanan, kebersihan, kerapihan, kelancaran lalu lintas. Di sisi yang lain, pemerintah memberikan dukungan yang berupa kemudahan perizinan, kemudahan memperoleh dana pinjaman modal usaha, penyediaan lokasi sentra usaha sektor informal PKL, dukungan keamanan dan pembinaan dalam melakukan usaha. Sayangnya, pada umumnya sulit untuk mendapatkan orang yang dapat mewakili kaum migran dan mempunyai kemampuan berfikir dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Dukungan dan pembinaan terhadap migran sektor informal PKL, seperti yang dilakukan oleh Walikota Solo Joko Wiyono nampaknya dapat digunakan sebagai salah satu cara atau model yang tepat untuk menghidupkan iklim usaha sektor informal PKL. Kegigihan walikota dalam menanamkan kesadaran dan cara untuk melakukan usaha kaki lima, mendapat sambutan yang positif dari pedagang dan berbagai kalangan. Pedagang kaki lima bukannya di gusur begitu saja, melainkan dicarikan lokasi usaha yang tidak mengganggu ketertiban kota. Dengan demikian yang diharapkan kualitas kehidupan warga kota mengalami perubahan yang semakin membaik. Di wilayah kecamatan Pamulang, dalam realita nampak bahwa pembinaan pemerintah kota terhadap migran sirkuler sektor informal PKL masih sangat jarang dilakukan. Meskipun demikian, hampir tidak ditemukan responden yang merasa kecewa dengan kebijakan pemerintah kota Tangerang Selatan. Pada umumnya migran
79
sektor informal PKL merasa aman dan tidak terusik oleh pemerintah kota. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6.4., nampak bahwa sebagian besar dari responden (88,3 persen) menyatakan tidak pernah digusur oleh pemerintah kota. Ada yang digusurpun, pindah lokasinya tidak jauh dari tempat semula. Tabel 6.4. Persentase Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Pernah Tidaknya Digusur oleh Pemda Setempat, 2012. No
Uraian
N
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Cumulative Percent (5)
1
Pernah
7
11,7
11,7
2
Tidak Pernah
53
88,3
100,00
Total
60
100,0
Sumber : Data Primer, 2012.
Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota Tangsel termasuk di wilayah Pamulang, sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk melakukan penggusuran yang kemudian pedagang tidak memperoleh lokasi untuk berdagang kembali, melainkan semata-mata untuk menertibkan agar lokasi tidak terkesan semrawut, kumuh dan kotor. Penertiban bertujuan untuk mengembalikan fungsi lahan sesuai dengan peruntukannya. Misalnya PKL yang melakukan usahanya di trotoar, maka akan dikenai sanksi harus pindah dari lokasi tersebut, karena fungsi trotoar untuk pejalan kaki. Demikian juga untuk PKL yang menempati lokasi bahu jalan, harus dikembalikan fungsinya untuk pengguna kendaraan bermotor atau sejenisnya. Sikap migran pada umumnya tidak keberatan jika lokasi usaha pedagang kaki lima ditertibkan, bahkan sangat mendukung. Migran sirkuler pedagang kaki lima umumnya mentaati apa yang diinginkan oleh Pemda, termasuk bagaimana harus menjaga kebersihan, menjaga saluran air supaya tidak mampet, membayar iuran untuk keamanan. Yang mereka tolak adalah apabila mereka tidak diperbolehkan untuk berdagang lagi. Menurut peneliti, untuk menjaga lingkungan pedagang kaki lima tetap bersih dan indah adalah (1) Perlu adanya pengawasan dan pemantauan secara terus menerus di lapangan yang dilakukan oleh Pemda (Satpol PP) terhadap kebersihan di sekitar lapak yang dimanfaatkan oleh PKL. Sebagai contoh di kota Palembang, Satpol PP tidak segan-segan menegur setiap pedagang yang disekitarnya banyak sampah. Setiap pedagang diwajibkan menyiapkan tempat sampah masing-masing. (2) Dibentuk
80
kelompok-kelompok PKL beserta ketua/pengurusnya, agar ada rasa tanggungjawab untuk memelihara ketertiban, keamanan dan kebersihan. (3) Pembinaan secara berkelompok dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. 6.9. Prospek Migran Membahas tentang prospek migran artinya ingin memahami bagimana kemungkinan masa depan migran, apakah secara sosial ekonomi akan semakin baik ataukah justru sebaliknya. Berhasil tidaknya seorang migran sangat tergantung bagaimana usaha migran itu sendiri. Namun sebagian besar migran merasakan ada perubahan kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ketika sebelum menjadi migran. Pada Tabel 6.5. memperlihatkan bahwa sebagian besar migran sirkuler di Pamulang, yakni sebesar 66,7 persen menyatakan sangat setuju dan 31,7 persen menyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa menjadi migran sirkuler PKL meningkatkan kesejahteraan. Tabel 6.5. Sikap Migran Terhadap Pernyataan Bahwa Menjadi Migran Sirkuler Pedagang Kaki Lima Meningkatkan Kesejahteraan, 2012 Cumulative Percent
No
Sikap Migran
F
%
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Sangat setuju
40
66,7
66,7
2
Setuju
19
31,7
98,3
3
Kurang setuju
1
1,7
100,0
Total
60
100,0
(5)
Sumber : Data Primer, 2012
Migrasi sirkuler PKL memberikan jaminan masa depan yang lebih baik, ditunjukkan pula oleh migran sirkuler di Pamulang dari pemanfaatan pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selain kebutuhan primer. Pemanfaatan pendapatan sebagian besar migran lebih terarah selain untuk kebutuhan primer, mereka memanfaatkan untuk kebutuhan sekunder yang bersifat sebagai investasi mereka. Tabel 6.6. memperlihatkan bahwa migran sirkuler memanfaatkan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan-kebutuhan sekunder, yang bersifat investasi bagi rumah tangga migran.
81
Tabel 6.6. Pemanfaatan Sebagian Pendapatan Migran Sirkuler Untuk Kebutuhan Sekunder, 2012 No (1)
Pemanfaatan Pendapatan (2)
F
%
(3)
(4)
Cumulative Percent (5)
1
Renovasi Rumah
16
26,7
26,7
2
Ditabung
16
26,7
53,4
3
Membeli perabotan RT
8
13,3
66,7
4
Beli tanah
5
8,3
75,0
5
Lainnya (beli motor dll)
15
25,0
100,0
Total
60
100,0
Sumber : Data Primer, 2012
Beban biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga yang ditanggung oleh seorang migran sirkuler, sesungguhnya amat berat. Migran sirkuler sudah dapat dipastikan membiayai dua dapur, yaitu dapur rumah tangga keluarga di daerah asal dan dapur migran itu sendiri di kota. Oleh karena itu, keberhasilan seorang migran tentu membutuhkan suatu kerja keras agar memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dua dapur tersebut. Namun demikian, jika dilihat dari kemampuan dan pemanfaatan sebagian dari pendapatan migran sirkuler, ada kecenderungan bahwa migran dapat menyisihkan sebagian pendapatan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sekunder. Keadaan ini membuktikan bahwa bekerja sebagai migran sirkuler PKL mempunyai prospek yang baik jika hanya dilihat dari aspek ekonomi. Justru yang seringkali menjadi hambatan untuk bertahannya migran sirkuler, terletak pada beban psikologis, terutama antara suami dan isteri berada dalam posisi tinggal yang berbeda. Kegagalan migran pada umumnya karena kegagalan mereka menjaga hubungan rumah tangga yang dipisahkan oleh lokasi tempat tinggal yaitu di desa dan di kota. Kesimpulannya bahwa masa depan migran sirkuler pada umumnya mengalami perbaikan secara ekonomi. Secara individu, keberhasilan ekonomi seorang migran sirkuler sangat tergantung pada kemampuan individu tersebut dalam berjuang untuk memperoleh pendapatan. 6.10. Strategi Bertahan Hidup Migran Sirkuler Merujuk pada teori Struktural-fungsionalisme Durkhemian-Parsonian, bahwa aspek fungsional sulit dipisahkan dengan struktural karena keduanya saling berkaitan.
82
Dalam sebuah sistem, seseorang dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari perannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Struktural fungsional sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Oleh karena itu dengan mengacu pada teori tersebut, maka agar pekerja sektor informal pedagang kaki lima di kota dapat mempertahankan eksistensinya, mereka membangun kelembagaan-kelembagaan untuk mengamankannya. Dalam aplikasinya, kehidupan migran sirkuler PKL di kecamatan Pamulang, kelembagaan yang dikembangkan untuk mengamankan adalah (1) Lembaga Bisnis, dengan memperkuat jaringan usahanya melalui jumlah lapak. Usaha bisnis menjadi semakin kuat ketika jumlah lapak semakin banyak dan dikelola dengan pola manajemen yang baik. Usaha pada lapak yang lebih berhasil dapat menutupi kekurangan pada lapak yang lain yang disebut subsidi silang. Disamping pengembangan pada kuantitas lapak, beberapa pengusaha dagang kaki lima seringkali mengembangkan dengan variasi jenis usahanya. Kondisi seperti ini baru akan terjadi ketika PKL sudah memasuki pada fase mandiri yaitu mampu mengelola usaha sendiri, (2) Remiten, dengan membentuk ketua kelompok atau perwakilan migran tertentu yang sudah ditetapkan menjadi “kurir” dalam mengirimkan uang dari migran kepada anggota rumah tangganya di desa asal. “Kurir” bertanggungjawab terhadap keamanan dana remiten untuk disampaikan kepada anggota rumah tangga migran di daerah asal. “Kurir” selaku orang yang dipercaya oleh anggota migran sirkuler yang lain mempunyai peran dan fungsi yang lebih dari sekedar mengirimkan dana remiten. “Kurir” pada umumnya membawa berita tentang keadaan migran yang ada di kota. Oleh karenanya “kurir” dapat berperan positif sebagai mediator untuk menyampaikan informasi penting tentang keadaan keluarganya baik informasi migran dikota kepada anggota rumah tangganya di desa maupun menyampaikan keadaan rumah tangga yang di desa kepada migran tersebut. (3) Kredit informal, awalnya dikembangkan melalui kegiatan berupa arisan keluarga migran dan kegiatan lanjutannya berupa simpan pinjam yang dilakukan di kelompok paguyuban migran. Terbentuknya lembaga paguyuban migran, dapat berfungsi memberikan bantuan sosial ekonomi kepada anggotanya yang dalam keadaan usaha sedang mengalami kesulitan. Bantuan dapat berupa pinjaman yang dananya diambil dari tabungan bersama migran. Oleh karena itu, sistem yang
83
dikembangkan oleh paguyuban migran yang berupa simpan-pinjam merupakan kelembagaan yang berperan memberikan perlindungan dan penyelamatan terhadap migran sirkuler yang sedang mengalami kesulitan. (4) Sistem pengamanan sosial (Social Security System). Pada tahap migran sirkuler berstatus sebagai pekerja pada majikan, untuk memperoleh perlindungan dan keamanan agar dapat bertahan hidup dan bekerja, maka pada umumnya mereka mendapatkan fasilitas dari majikannya. Fasilitas tersebut dapat berupa tempat tinggal misalnya dikontrakkan pada rumah sewa oleh majikan. Bagi yang majikannya masih ada hubungan saudara dengan migran, mereka bisa bertempat tinggal di rumah saudara tersebut. Bahkan majikan-majikan yang peduli, meskipun upah pekerja rendah, tidak sedikit memberikan fasilitas berupa penyediaan jatah makan dan kebutuhan lainnya seperti uang rokok, transpor. Untuk menjaga keamanan dalam melakukan usahanya, pada umumnya migran sirkuler PKL melakukan kemitraan dengan preman yang biasa menguasai wilayah di lingkungan usahanya.
85
BAB VII PERUBAHAN STATUS SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA MIGRAN SIRKULER Dalam pandangan masyarakat perdesaan pada umumnya ada kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan mempunyai kualitas kehidupan dan status sosial yang lebih baik dan terhormat jika dibandingkan dengan masyarakat perdesaan. Pandangan masyarakat perdesaan ini dikuatkan oleh sikap masyarakat desa ketika menghadapi kedatangan masyarakat kota pulang ke desanya, misalnya pada saat Hari Raya Idul Fitri. Pemudik dari kota berpenampilan sebagai orang yang nampak lebih mampu secara sosial ekonomi daripada masyarakat yang tetap tinggal di desanya. Menurut Tarigan (2004), kehadiran migran di desanya secara periodik membawa cerita, gaya dan penampilan yang disimbolkan sebagai identitas warga yang maju dan modern sebagai indikator kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat. Keberhasilan migran yang sudah lebih dulu mencari nafkah di kota inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi masyarakat atau pemuda desa terutama yang merasa tidak sukses dalam bidang ekonomi rumah tangganya. Pada dasarnya setiap individu dalam suatu rumah tangga selalu berkeinginan terjadi peningkatan sosial ekonomi rumah tangganya. Oleh karenanya keputusan menjadi migran sirkuler merupakan salah satu alternatif pilihan yang utama dalam strategi nafkah agar terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi yang meningkat pada rumah tangganya. Tidak seharusnya kita menyalahkan masyarakat desa yang cenderung berkeinginan memilih pergi mencari pekerjaan atau mata pencaharian di kota. Berpindahnya penduduk perdesaan ke perkotaan bukan tanpa alasan. Mereka meyakini bahwa pergi ke kota memberikan suatu impian atau harapan kehidupan dalam suatu rumah tangga yang lebih baik. Sementara di perdesaan kondisinya statis, sulit mencari pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik dari perkotaan. Sebaliknya, masyarakat migran sirkuler mempertunjukkan kehidupan ekonomi rumah tangganya yang rata-rata lebih baik dari mereka yang bekerja di kampungnya terutama yang bekerja di sektor pertanian atau buruh tani. Murdiyanto (2001), mengungkapkan bahwa rumah tangga yang melakukan migrasi sirkuler dapat meningkatkan kualitas kehidupannya yang dicirikan dengan meningkatnya perekonomian rumah tangga mereka. Indikasi tersebut antara lain ditunjukkan dengan peningkatan volume dan kualitas kepemilikan barang-barang sebagai simbol status sosial dalam rumah tangga mereka. Sebagai contoh sebanyak 70
86
persen rumah tangga migran sirkuler memiliki kendaraan bermotor (motor atau mobil), sementara hanya 43,3 persen rumah tangga non migran yang memiliki kendaraan bermotor. Indikasi ini menunjukkan bahwa tingkat ekonomi rumah tangga migran sirkuler lebih baik daripada rumah tangga non migran sirkuler. 7.1. Perubahan Status Sosial Ekonomi Rumah Tangga Migran Setiap rumah tangga dalam kehidupannya pasti mengalami perubahanperubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi tidak selalu menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial ekonomi yang terjadi memang telah ada sejak zaman dahulu kala. Ada kalanya perubahanperubahan yang terjadi berlangsung demikian cepatnya, sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya. Suatu yang menarik untuk diketahui adalah seperti apa sesungguhnya keadaan sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat migran pada saat mereka mengambil keputusan untuk menjadi migran sirkuler. Hal ini menjadi penting karena dengan mengetahui karakteristik sosial ekonomi mereka pada saat mengambil keputusan migrasi, maka peneliti dapat mengkaji lebih jauh apakah kemudian terjadi pergeseran atau perubahan sosial ekonomi seiring berjalannya proses waktu pada masyarakat migran sirkuler sektor informal yang melakukan usahanya sebagai pedagang kaki lima di wilayah kecamatan Pamulang. Beberapa penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Hidayat (1991), Antono (1997), Murdiyanto (2001) pada penduduk migran sirkuler di Bogor, Jakarta, mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan sosial ekonomi yang lebih baik pada rumah tangga masyarakat migran sirkuler. Perubahan sosial ekonomi ditunjukkan ketika masyarakat migran sirkuler berhasil membangun rumah-rumah mereka menjadi lebih baik. Selain itu, keberhasilan juga ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat pendidikan keluarga migran itu sendiri. Indikasi perubahan sosial ekonomi terjadi pula pada rumah tangga migran sirkuler di wilayah Pamulang. Perubahan beberapa indikator sosial ekonomi rumah tangga migran membuktikan bahwa telah terjadi perubahan sosial ekonomi rumah tangga migran. Beberapa indikator yang digunakan untuk melihat perubahan ekonomi rumah tangga migran sirkuler antara lain meliputi (1) Perubahan kualitas bangunan rumah. Perubahan tersebut dapat berupa kualitas lantai rumah, atap rumah, dinding rumah, dan bentuk rumah migran di daerah asal pada saat sebelum migrasi dibandingkan dengan kondisi setelah migrasi, (2) Trend pergeseran kepemilikan
87
modal usaha pedagang kaki lima (PKL) (3) Trend perubahan tingkat pendapatan pada migran berdasarkan lamanya menjadi migran (4) Trend peningkatan rata-rata dana remiten yang dikirim oleh migran berdasarkan lamanya menjadi migran. Beberapa indikator yang dipergunakan untuk melihat perubahan sosial rumah tangga migran sirkuler dalam penelitian ini adalah variabel tingkat pendidikan dan status responden dalam perkawinan. 7.1.1. Indikator Bangunan Rumah Indikator perbaikan tingkat ekonomi rumah tangga migran sirkuler dapat dilihat dari terjadinya perubahan pada kualitas kepemilikan bangunan rumah mereka. Kemampuan migran membangun atau merenovasi bangunan rumah berkaitan erat dengan kemampuan ekonominya. Perubahan pada komponen kualitas lantai rumah migran di daerah asal dari sebelum ke sesudah migrasi diperlihatkan pada Tabel 7.1. Tabel 7.1. Perbandingan Lantai Rumah Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, tahun 2012 Lantai rumah setelah migrasi
(1)
Lantai Rumah Sebelum Migrasi
Non Keramik N %
Keramik N %
Total N
%
Non Keramik
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
25
48,07
27
51,93
52
100,00
Keramik
0
0,00
4
100
4
100,00
Total
25
31
56
Sumber : Data Primer, 2012
Untuk menyederhanakan dalam analisis, perubahan kualitas lantai rumah migran sebelum dan sesudah migrasi di daerah asal dikelompokkan menjadi dua yaitu lantai non keramik dan keramik. Sesungguhnya lantai non keramik pada penelitian ini terdiri dari lantai tanah, plester dan ubin. Lantai non keramik secara kualitas lebih rendah daripada lantai keramik. Indikasi ini ditunjukkan dengan adanya keinginan migran untuk mengganti lantai non keramik menjadi lantai keramik. Dari jumlah seluruh responden yang sebelum migrasi lantai rumahnya terbuat dari non keramik dan kemudian setelah migrasi lantai rumahnya masih tetap non keramik sebesar 48,07 persen, sedangkan lantai yang kemudian direnovasi menjadi keramik sebesar 51,93 persen. Data pada Tabel 7.1. memberikan gambaran adanya kecenderungan yang kuat pada migran yang memiliki kualitas lantai rumah di daerah
88
asal masih terbuat dari non keramik untuk merenovasi lantai rumahnya menjadi keramik. Indikator perubahan tingkat ekonomi rumah tangga migran sirkuler dilihat dari perubahan pada keadaan atap rumah migran di daerah asal dari sebelum dan sesudah migrasi ditunjukkan pada Tabel 7.2. Tabel 7.2. Perbandingan Atap Rumah Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Atap rumah setelah migrasi
(1)
Atap Rumah Sebelum Migrasi
Non Genting N % Non Genting Genting
Total
Genting N %
Total N
%
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
4
57,14
3
42,86
7
100,00
0
0,00
49
100,00
49
100,00
4
52
56
Sumber : Data Primer, 2012
Jika membandingkan kualitas atap rumah migran antara sebelum dan sesudah migrasi di daerah asal, mengindikasikan telah terjadi perubahan kearah perbaikan ekonomi rumah tangga. Seluruh rumah tangga migran pada saat sebelum migrasi yang memiliki rumah di daerah asal dengan atap dari non genting, kemudian setelah bermigrasi (saat ini) masih berupa non genting sebesar 57,14 persen. Selebihnya sebesar 42,86 persen telah direnovasi menjadi atap genting. Sesungguhnya dalam penelitian ini, kualitas atap rumah non genting terdiri dari atap daun kelapa, atap seng dan atap asbes. Ada kecenderungan yang kuat pada migran yang memiliki rumah di daerah asal dengan menggunakan atap dari non genting untuk dapat menggantinya dengan atap genting. Genting merupakan kualitas atap yang dianggap lebih baik daripada atap non genting. Oleh karena itu migran yang telah melakukan usahanya untuk menggati atap rumahnya menjadi genting merupakan indikator bahwa pada migran tersebut telah terjadi peningkatan kesejahteraan. Indikator perbaikan tingkat ekonomi dilihat dari perubahan pada kualitas dinding rumah migran dengan membandingkan keadaan dinding rumah sebelum dan sesudah migrasi ditunjukkan pada Tabel 7.3.
89
Tabel 7.3. Perbandingan Dinding Rumah Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Dinding Rumah Sesudah Migrasi
(1)
Dinding Rumah Sebelum Migrasi
Non Bata Merah N %
Total
Bata Merah N
%
N
%
Non Bata Merah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
10
40,00
15
60,00
25
100,00
Bata Merah
0
0,00
31
100
31
100,00
Total
10
46
56
Sumber : Data Primer, 2012.
Kualitas dinding rumah migran di daerah asal, jika dibandingkan antara sebelum dan sesudah migrasi nampaknya terjadi pergeseran kualitas dinding dari yang non bata merah menuju bata merah. Dari seluruh rumah migran yang semula berupa dinding non bata merah, dan saat ini masih tetap non bata merah sebesar 40,00 persen. Selebihnya sebesar 60,00 persen telah direnovasi menjadi dinding bata merah. Dinding non bata merah antara lain berupa dinding gedeg, kayu dan batako. Ada kecenderungan yang kuat pada migran yang memiliki rumah di daerah asal dengan menggunakan dinding dari non bata merah untuk mengganti dengan tembok bata merah. Masyarakat migran sangat mengakui bahwa dinding yang terbuat dari bata merah mempunyai kualitas lebih baik daripada kekuatan dinding yang terbuat dari gedeg, kayu maupun batako. Oleh karena itu, kecenderungan migran untuk mengganti dinding rumahnya dari non bata merah menjadi dinding bata merah, mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat migran. Salah satu indikator perbaikan tingkat ekonomi rumah tangga migran, juga ditunjukkan oleh kemampuan rumah tangga migran tersebut dalam melakukan renovasi bentuk rumah. Meskipun tidak terlalu signifikan, namun ada kecenderungan bahwa rumah tangga migran ingin melakukan renovasi bentuk rumah tradisional terutama bentuk limasan menjadi rumah yang berbentuk modifikasi. Bentuk modifikasi adalah bentuk rumah yang sudah tidak menganut pola bentuk rumah tradisional seperti bentuk limasan, kampung atau joglo. Rumah modifikasi cenderung bentuknya bervariasi dan tidak ada patokan bentuk rumah yang baku seperti bentuk tradisional. Kecenderungan migran untuk membangun rumah modifikasi, jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.4.
lebih
90
Tabel 7.4. Perubahan Bentuk Rumah Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Bentuk Rumah Sesudah Migrasi
Tradisional N %
(1)
Bentuk Rumah Sebelum Migrasi
Modifikasi N %
Total N
%
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Tradisional
38
84,44
7
15,56
45
100,00
Modifikasi
0
0,00
10
100,00
10
100,00
Total
38
17
55
Sumber : Data Primer, 2012.
Dari seluruh migran yang semula mempunyai bentuk rumah tradisional pada saat sebelum migrasi, pada saat ini sebesar 84,44 persen bentuk rumah mereka masih tradisional, sedangkan sebesar 15,56 persen telah melakukan renovasi bentuk rumah menjadi bentuk modifikasi. Rendahnya angka yang merubah bentuk rumahnya dari tradisional menjadi modifikasi, diduga untuk membangun atau merenovasi rumah modifikasi membutuhkan biaya yang besar, sehingga hal ini sangat berat dan menjadi hambatan bagi para migran. Ada kecenderungan bahwa migran yang memiliki bentuk rumah tradisional joglo tidak melakukan renovasi, karena pada umumnya rumah joglo merupakan warisan orang tua rumah tangga migran yang memang dipelihara keasliannya dan rumah tersebut dalam masyarakat Jawa disebut tabon. Tabon yaitu rumah peninggalan orang tua yang pada umumnya dilestarikan oleh keluarga keturunan orang tua tersebut, terutama dalam bentuk keasliannya. Jika anggota keluarga keturunannya ada yang ingin memelihara dan memperbaiki biasanya hanya sekedar renovasi tetapi tidak merubah bentuk aslinya. Rumah tangga yang berhasil melakukan perubahan dalam bentuk renovasi bangunan rumah, sesungguhnya tidak mutlak menggunakan dana-dana remiten yang oleh migran kirimkan secara rutin dalam waktu tertentu. Sebagian migran menyatakan bahwa untuk membangun atau merenovasi rumah, mereka menggunakan dana yang telah mereka tabung yang memang dirancang untuk memperbaiki atau membangun rumah. Tabel 7.5. memperlihatkan bahwa pemanfaatan sebagian pendapatan selain untuk biaya pendidikan, dimanfaatkan untuk ditabung yang selanjutnya dipergunakan untuk pembangunan atau renovasi rumah mereka di daerah asal, membeli perabotan rumah tangga, membeli tanah dan lain-lain.
91
Tabel 7.5. Pemanfaatan Sebagian Pendapatan Migran Selain Untuk Biaya Pendidikan Berdasarkan Lamanya Migrasi, 2012. Pemanfaatan Sebagian Pendapatan Selain Untuk Pendidikan Ditabung dan Perbaikan Rumah
No
Lama Migrasi (Tahun)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
1
1-20
21
53,8
6
15,4
2
5,1
10
25,6
39
100,0
2
>20
9
47,4
2
11,1
3
16,7
4
22,2
18
100,0
Total
30
N
%
Membali Perabotan
N
%
8
Membeli Tanah
N
%
5
Total
Lain-lain
N
%
14
N
%
57
Sumber : Data Primer, 2012
Pada Tabel 7.5., perbedaan lamanya responden menjadi migran (bermigrasi), tidak memberikan gambaran pola yang berbeda dalam pemanfaatan sebagian pendapatan mereka. Selain untuk biaya pendidikan, sebagian besar dana hasil pendapatan mereka digunakan untuk tabungan dan membangun/merenovasi rumah. Migran pada umumnya menyatakan bahwa untuk membangun atau merenovasi rumah membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga usaha yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan cara menabung. Kecenderungan migran untuk membangun atau merenovasi rumah cukup tinggi, yakni sebesar 53,8 persen untuk migran yang mempunyai lama migrasi 1-20 tahun dan 47,4 persen untuk migran yang mempunyai lama migrasi lebih dari 20 tahun. Pemanfaatan sebagian pendapatan untuk membeli tanah, ada kecenderungan bahwa semakin lama migran bermigrasi, maka semakin meningkat migran yang berminat melakukan investasi sebagian pendapatannya untuk membeli tanah. Meskipun demikian, sejauh mana rencana pemanfaatan tanah yang mereka beli tersebut belum dapat diketahui. 7.1.2. Indikator Kepemilikan Barang Perubahan jumlah kepemilikan barang berharga dalam rumah tangga migran pada waktu sebelum dan sesudah menjadi migran, merupakan simbol terjadinya perubahan pada tingkat ekonomi rumah tangga migran. Pada Tabel 7.6. menunjukkan bahwa terjadi perubahan tingkat ekonomi pada rumah tangga migran antara sebelum dan sesudah menjadi migran, yang ditandai dengan perubahan kepemilikan jumlah sepeda motor pada waktu sebelum dan sesudah migrasi.
92
Tabel 7.6. Perbandingan Jumlah Kepemilikan Sepeda Motor Rumah Tangga Migran Antara Sebelum dan Sesudah Migrasi, 2012. Jumlah Kepemilikan Sepeda Motor Sesudah Migrasi (Saat ini) 0 1-2 3-4 N
%
N
%
N
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0
25
45,5
24
43,6
6
10,9
55
100,0
1
0
0,0
5
100,0
0
0,0
5
100,0
(1)
Jumlah Kepemilikan Sepeda Motor Sebelum Migrasi
Total
Total
25
29
6
%
N
%
(7)
60
Sumber : Data Primer, 2012
Sepeda motor bagi migran sirkuler merupakan barang yang berharga. Selain berharga dari nilai jual, sepeda motor umumnya juga mempunyai fungsi operasional yang sangat tinggi bagi migran sirkuler untuk menunjang kegiatan transportasi dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk mencari nafkah. Dari seluruh jumlah migran yang tidak mempunyai kepemilikan sepeda motor pada waktu sebelum migrasi sebanyak 55 orang, sebesar 54,5 persen dari jumlah tersebut pada saat ini telah memiliki sepeda motor. Secara lebih rinci, sebesar 43,6 persen masing-masing memiliki antara 1-2 buah motor, sebesar 10,9 persen masing-masing memiliki 3-4 buah motor. Kecenderungan migran memiliki sepeda motor tersebut, sebagai simbol bahwa mereka mengalami perubahan tingkat ekonomi menuju yang lebih baik jika dibandingkan antara sebelum dengan sesudah migrasi. Meskipun demikian pembelian sepeda motor yang mereka lakukan umumnya adalah dengan cara mengkredit atau mencicil tiap bulan. Untuk kredit motor, migran tidak berarti mengurangi jatah dana remiten yang mereka kirim ke keluarga rumah tangga di desa asal. Mereka menyisihkan pendapatannya memang untuk kredit motor dengan mengelola penghasilan secara hati-hati dan hemat. Untuk dapat kredit motor memang tidak mudah, karena mereka umumnya tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) yang beralamatkan daerah tujuan. Untuk kredit motor, sebagian migran mengatakan bahwa sebagai jaminan menggunakan nama bosnya (bagi yang punya bos) atau pemilik rumah kontrakan atau orang lain yang berani bertanggungjawab. Beberapa responden menyatakan alasan yang berbeda-beda, jika ditanyakan mengapa beli sepeda motor. Sebagian ada yang beralasan untuk anaknya yang sudah bekerja atau sekolah di jenjang SLTA, tetapi pada umumnya alasan mereka, motor dimanfaatkan sebagai alat transportasi dalam rangka menunjang pekerjaan sebagai
93
PKL. Tidak semua dari mereka membeli sepeda motor untuk alasan sebagai simbol kekayaan, melainkan sepeda motor memang sangat membantu kelancaran transportasi bekerja dengan biaya dan waktu yang lebih hemat. Dengan kata lain, sepeda motor menjadi sarana yang bermanfaat untuk menunjang kegiatan kehidupan rumah tangga migran di daerah tujuan. 7.1.3. Kepemilikan Modal Usaha, Tingkat Pendapatan dan Dana Remiten Perubahan tingkat ekonomi rumah tangga migran sirkuler, dapat ditunjukkan pula dengan trend pergeseran kepemilikan modal usaha dalam menjalankan usaha dagang kaki lima. Trend pergeseran kepemilikan modal usaha pedagang kaki lima (PKL) pada migran antara pertama kali menjadi migran dengan kondisi saat ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7.7. Ada kecenderungan bahwa kepemilikan modal usaha mengalami pergeseran kepemilikan dari modal yang diinvestasikan oleh majikan ke kepemilikan modal usaha milik migran sendiri. Adanya trend pergeseran kepemilikan modal usaha tersebut memberikan indikasi bahwa telah terjadi pergeseran tingkat ekonomi migran kearah yang lebih baik. Responden yang pertama kali menjadi migran dan bekerja pada majikan sebanyak 43 orang, pada saat ini sebesar 58,1 persen telah bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL) dengan kepemilikan modal usaha sendiri. Selebihnya sebesar 41,9 persen masih tetap bekerja pada majikan. Migran yang bekerja pada majikan, sesunggguhnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bekerja pada majikan yang mempunyai hubungan keluarga atau saudara dan majikan yang tidak mempunyai hubungan saudara. Namun pada dasarnya sistem pemberian gajinya sama yaitu berdasarkan upah yang dapat berupa upah bulanan atau mingguan. Gajinya, ada yang berdasarkan persentase dari pendapatan harian, tetapi ada pula yang gajinya flat dengan waktu bekerja yang sudah teratur. Tabel 7.7. Trend Pergeseran Kepemilikan Modal Usaha Pedagang Kaki Lima Migran Sirkuler di Pamulang, Tahun 2012 Kepemilikan Modal Usaha Migran Saat Ini Majikan Sendiri N % N %
(1)
Kepemilikan Modal Usaha Pertama Kali Menjadi Migran Sirkuler Total Sumber : Data Primer, 2012
Total N
%
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Majikan
18
41,9
25
58,1
43
100,0
Sendiri
0
0,0
8
100,0
8
100,0
51
100,0
18
33
94
Migran yang bekerja pada majikan, sesunggguhnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bekerja pada majikan yang mempunyai hubungan keluarga atau saudara dan majikan yang tidak mempunyai hubungan saudara. Namun pada dasarnya sistem pemberian gajinya sama yaitu berdasarkan upah yang dapat berupa upah bulanan atau mingguan. Gajinya, ada yang berdasarkan persentase dari pendapatan harian, tetapi ada pula yang gajinya flat dengan waktu bekerja yang sudah teratur. Keinginan migran untuk memperbaiki tingkat ekonominya melalui usaha dagang kaki lima secara mandiri, ditunjukkan pula oleh hasil wawancara dengan responden AS, 46 tahun, yang menyatakan bahwa: “….Sehubungan saya tidak dapat memenuhi keinginan untuk menjadi seorang guru, karena faktor ekonomi/kemiskinan sehingga orang tua pada waktu itu tidak mampu membiayai sekolah, maka saya menetapkan untuk secepatnya dapat bekerja mendapatkan penghasilan. Pertama kali saya bekerja di Toko Kelontong membantu orang Cina. Penghasilan saya hanya cukup untuk kebutuhan makan saja. Saya merasa hidup saya tergantung pada orang lain. Ada pemikiran kenapa saya nggak usaha sendiri. Pada akhirnya saya putuskan untuk usaha sendiri dengan modal secukupnya menjadi pedagang bubur. Saya memilih usaha dagang bubur, karena kultur masyarakat di lingkungan daerah asal saya yang kebanyakan jualan bubur. Awal-awal usaha bubur di sekitar lingkungan daerah asal saya hasilnya kurang menggembirakan. Akhirnya pada tahun 1984 saya mencoba untuk merantau di daerah Slipi, Jakarta dengan bekerja sebagai penjual bubur ayam. Hasilnya cukup lumayan. Tahun 1986, saya pindah lokasi ke daerah Kedoya, Jakarta dengan masih tetap jualan bubur. Hasilnya lebih baik lagi. Tahun 1987, saya menemukan lokasi yang masih agak sepi di wilayah Pamulang. Berkat ketekunan saya, pada saat ini saya telah membuka dua cabang pangkalan bubur ayam di wilayah Pamulang yaitu di Gang Rais dan di wilayah sekitar pertokoan Pamulang Permai. Alhamdulillah hasilnya dapat saya nikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya”.
Trend perubahan tingkat ekonomi migran kearah yang semakin membaik ditentukan pula oleh semakin lamanya responden menjadi migran sirkuler. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.8. Tabel 7.8. Tingkat Pendapatan Migran Per Bulan Berdasarkan Kelompok Lamanya Menjadi Migran Sirkuler di Kecamatan Pamulang, 2012 Rata-rata Pendapatan (Rp)
No
Lama Migrasi (Tahun)
(1)
(2)
1
1 - 10
2.086.666,00
1.000.000,00
4.500.000,00
15
2
11 - 20
3.385.833,00
600.000,00
15.000.000,00
24
3
> 20
3.538.888,00
1.500.000,00
6.000.000,00
18
4
Total
3.092.280,00
600.000
15.000.000,00
57
Sumber : Data Primer, 2012.
(3)
Minimum (Rp)
Maximum (Rp)
Frekuensi (N)
(5)
(6)
(7)
95
Semakin lama menjadi migran, ada kecenderungan bahwa pendapatan rata-rata migran per bulan mengalami kenaikan. Migran yang menjalani migrasi selama 1-10 tahun pendapatan rata-ratanya sebesar Rp 2.086.666,-, kemudian untuk migran yang menjalani migrasi selama 11-20 tahun, pendapatan rata-ratanya lebih besar yaitu sebesar Rp 3.385.833,-. Migran yang telah menjalani migrasi di atas 20 tahun pendapatan rata-ratanya lebih besar lagi yaitu sebesar Rp 3.538.888,-. Lebih rendahnya rata-rata pendapatan migran pada lamanya migran antara 1-10 tahun karena pada kelompok tersebut masih banyak migran yang bertatus sebagai pekerja pada majikan. Migran yang bekerja pada majikan, pendapatan mereka umumnya rendah berupa upah yang sangat tergantung pada majikan itu sendiri. Beberapa majikan ada yang menetapkan upah berdasarkan besaran upah yang sudah tetap setiap bulan. Majikan yang lain ada juga yang menetapkan upah berupa komisi berdasarkan seberapa besar penerimaan uang hasil penjualan yang diperoleh oleh migran. Misalnya para penjual siomay yang dikelola oleh majikan Agus, yang terkenal dengan sebutan siomay Agus. Dia mempekerjakan sebanyak 20 orang. Pendapatan pekerja penjual siomay tersebut yang berupa uang diperoleh dari komisi hasil penjualan tiap-tiap hari. Mereka merasa senang bekerja sebagai penjual siomay Agus, karena bekerja dengan model komisi, beban perasan dan tanggungannya tidak terlalu berat. Sementara disisi lain, tetap mendapatkan fasilitas berupa sarana untuk jualan dan untuk tempat tinggal yang berupa rumah bedeng untuk beberapa penghuni yang disebut “boro” yang disewa oleh majikannya. Bagi responden yang sudah lama menjadi migran (10 th+), ada kecenderungan pendapatan rata-rata mereka lebih tinggi karena sebagian besar dari mereka sudah dapat mengelola secara mandiri dengan memperhitungkan antara untung ruginya. Dengan mengelola menggunakan modal sendiri, pada umumnya migran akan lebih berhati-hati dalam mengatur penggunaan uang penghasilannya, karena tanpa kehatihatian mereka akan gagal menjadi migran sirkuler. Meskipun demikian, migran yang sudah lebih lama, karena umumnya sudah berumah tangga, maka pendapatan yang lebih besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih besar pula. Besarnya dana remiten yang dikirim oleh migran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya di daerah asal, dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan ekonomi migran dalam mensejahterakan anggota rumah tangganya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.9. Untuk migran yang belum lama (1-10 tahun), kecenderungan hanya mampu mengirimkan dana remiten yang lebih kecil jika dibandingkan dengan migran yang
96
sudah lama. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa migran yang belum lama rata-rata sebagai pekerja pada majikan yang sebagian besar pendapatannya rendah tergantung dari upah yang diberikan oleh majikannya. Rendahnya pendapatan ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengirim uang kepada anggota rumah tangganya di daerah asal. Disamping itu, pekerja migran yang bekerja pada majikan (bos) umumnya masih belum berumah tangga, sehingga rasa tanggung jawab dan kepeduliannya kurang untuk mensejahterakan anggota rumah tangganya di daerah asal. Pendapatan mereka cenderung untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan yang bersifat pribadi mereka. Wawancara dengan responden Uj, 19 tahun berstatus bujangan, yang rata-rata hanya mengirim uangnya ke anggota rumah tangganya di kampung sebesar Rp 150.000,- per bulan menyatakan bahwa: “ …..Saya asal Majalengka, ikut paman bekerja sebagai pedagang siomay. Penghasilan per bulan saya sekitar satu jutaan. Saya setiap bulan rutin mengirim uang untuk keluarga (orang tua) berkisar Rp 100.000 – Rp 150.000 per bulan. Saya tidak bisa mengirim yang lebih besar karena saya sendiri juga punya kebutuhan disini. Disamping itu kan saya juga harus menabung untuk pulang lebaran nanti. Saya kirim ke orang tua melalui teman, atau kadang-kadang saya bawa pulang sendiri” Meskipun demikian saya bersyukur dapat mencari nafkah ikut paman, karena orang tua saya benar-benar tidak mampu”.
Tabel 7.9. Besarnya Dana Remiten Rumah Tangga Migran Berdasarkan Lamanya Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Rata-rata Besarnya Dana Remiten Rumah Tangga Migran per Bulan (Rp) < 500.000
N
(1)
Lamanya Menjadi Migran
%
500.000 <1.000.000
N
%
Total
>1.000.000
N
%
N
%
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1-10 tahun
10
66,7
5
33,3
0
0,0
15
100
11-20 tahun
10
43,47
8
34,78
5
21,73
23
100
> 20 tahun
6
37,5
8
50,00
4
25,0
16
100
26
46,42
21
37,5
9
16,07
56
100
Total Sumber : Data Primer, 2012.
Bagi migran yang sudah lama (20 tahun+), ada kecenderungan mengirimkan dana remiten yang lebih besar. Lama migran 20 tahun+, jumlah mengirimkan remiten rata-rata kurang dari Rp 500.000,- sebesar 37,5 persen, sedangkan yang mengirimkan dana remiten sebesar antara Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,- mengalami kenaikan menjadi 50,0 persen, meskipun migran yang mengirimkan remiten diatas satu juta rupiah besarnya menurun lagi. Sebaliknya migran yang usia migrannya 1-10 tahun tidak ada yang mengirimkan dana remiten diatas Rp 1.000.000,-, justru yang banyak
97
(67,7 persen) mengirimkan dana remiten sebesar kurang dari Rp 500.000,-. Migran yang lebih lama umumnya sudah berumah tangga cenderung mengirim dana remiten yang lebih besar ke anggota rumah tangganya, karena tuntuntan rasa tanggungjawab dan kebutuhan yang lebih besar terhadap rumah tangga. Migran yang sudah berumah tangga ada kecenderungan lebih bertanggungjawab memikirkan kebutuhan-kebutuhan primer seperti kebutuhan makan-minum, kebutuhan akan pendidikan terhadap keluarganya. Bagi migran yang sudah berumah tangga, pekerjaan sebagai pedagang kaki lima (PKL) merupakan sumber pendapatan utama yang sangat menentukan kehidupan rumah tangganya di daerah asal. Pekerjaan sebagai PKL merupakan pekerjaan pokok. Tabel 7.10 memperlihatkan bahwa pada kenyataannya, migran sirkuler PKL hampir sebagian besar (95 persen) tidak mempunyai pendapatan lain selain dari pekerjaan pokok tersebut. Tabel 7.10. Proporsi Responden Berdasarkan Ada Tidaknya Pekerjaan Sampingan Migran Sirkuler, 2012 No
Ya/Tidak
N
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Cumulative Percent (5)
1
Ada
3
5,0
5,0
2
Tidak ada
57
95,0
100,0
Total
60
100,0
Sumber : Data Primer, 2012
Tabel 7.10. dapat memberikan gambaran bahwa pendapatan dari pekerjaan sebagai PKL merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang sangat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya oleh keluarga rumah tangga yang tetap tinggal di daerah asal. Oleh karena itu dana remiten yang dikirim dari sebagian pendapatan sebagai PKL menjadi sangat menentukan perubahan status sosial ekonomi rumah tangganya di daerah asal. Remiten ibarat lampu yang dapat menerangi seisi rumah di daerah asal. Rumah tangga migran yang memperoleh kiriman dana dari kota secara tidak langsung akan menjadi kebanggaan mereka. 7.1.4. Indikator Pendidikan, Status Perkawinan dan Status Dalam Rumah Tangga Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan status sosial dalam rumah tangga migran antara lain adalah indikator pendidikan, status perkawinan dan status migran dalam rumah tangga.
98
Jika hanya dilihat dari tingkat pendidikan migran, maka hampir pasti disana tidak terjadi perubahan sosial yang bermakna. Pada umumnya migran hampir tidak pernah memikirkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan mereka sendiri. Oleh karena itu, yang kemudian dikhawatirkan adalah menurunnya tingkat kualitas sumber daya manusia di perkotaan. Jika demikian yang terjadi, maka harus ada upaya yang dilakukan pemerintah agar dapat membatasi pertumbuhan migran sirkuler di perkotaan. Setidaknya dikeluarkannya peraturan daerah yang mengatur tentang pengetatan terhadap migran sirkuler, agar secara alamiah migran sirkuler terseleksi dengan menghasilkan kualitas migran yang lebih baik. Kualitas migran kota menjadi amat penting ketika dikaitkan dengan regenerasi yang menyangkut kualitas masyarakat kota di masa depan. Pada Tabel 7.11., terbukti bahwa sejak sebelum migrasi sampai saat ini, tingkat pendidikan migran relatif tidak mengalami perubahan. Tabel 7.11. Perbandingan Tingkat Pendidikan Migran Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler di Pamulang, Tahun 2012 Tingkat Pendidikan Saat Ini Tamat Tamat Tamat SD Lulus S1 SMP SLTA
(1)
(2)
Tamat SD Tingkat Pendidikan Sebelum Migrasi
Tamat SMP Tamat SLTA Lulus S1
Total Sumber : Data Primer, 2012.
28 100,0% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 28 46,7%
(3)
0 0,0% 18 94,7% 0 0,0% 0 0,0% 18 30,0%
(4)
0 0,0% 1 5,3% 12 100,0% 0 0,0% 13 21,7%
(5)
0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 1 100,0% 1 1,7%
Total (6)
28 100,0% 19 100,0% 12 100,0% 1 100,0% 60 100,0%
Seluruh migran yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ketika sebelum migrasi, pada saat ini pendidikan mereka tetap SD. Demikian juga terjadi bentuk yang relatif sama untuk mereka yang semula berpendidikan SMP, SLTA, dan S1. Kecenderungan migran untuk tidak mau meningkatkan pendidikan mereka, karena (1) jika dikaitkan dengan manfaat terhadap pekerjaan mereka, bagi mereka pendidikan tidak menunjang pekerjaan sehingga dianggap tidak penting, (2) bagi mereka yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan derajat sosial mereka melalui pendidikan untuk anggota rumah tangga yang lain terutama yang masih muda yaitu anak-anak mereka. Tidak semua migran memberikan kontribusi pendapatannya untuk membiayai kebutuhan pendidikan bagi anggota rumah tangganya. Tabel 7.12. nampak
99
bahwa sebesar 76,3 persen dari seluruh migran memberikan kontribusi terhadap biaya pendidikan anggota rumah tangganya. Tabel 7.12. Besarnya Migran Yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Sebagian Pendapatannya Untuk Biaya Pendidikan Keluarga Migran Sirkuler, 2012 Sebagian Pendapatan Untuk Biaya Pendidikan Keluarga (1)
Tamat SD Tingkat Pendidikan Migran
Tamat SMP Tamat SLTA Lulus S1 Total
Sumber : Data Primer, 2012.
Ya
Tidak
(2)
(3)
24 88,9% 14 77,8% 7 53,8% 0 0,0% 45 76,3%
3 11,1% 4 22,2% 6 46,2% 1 100,0% 14 23,7%
Total (4)
27 100,0% 18 100,0% 13 100,0% 1 100,0% 59 100,0%
Perbedaan tingkat pendidikan migran tidak menunjukkan angka yang signifikan terhadap perbedaan kontribusi penggunaan sebagian pendapatannya untuk biaya pendidikan anggota rumah tangganya. Namun demikian baik mereka yang berpendidikan SD, SMP maupun SLTA masih cenderung lebih memberikan perhatian kepada pendidikan anggota rumah tangganya. Menurut migran pada umumnya, pendidikan bagi anak mereka merupakan segala-galanya. Anak merupakan pewaris yang melanjutkan masa depan mereka. Migran pada umumnya belajar dari pengalaman pada diri sendiri, dengan pendidikan mereka yang rendah pada akhirnya tidak dapat memperoleh peluang kerja yang lebih baik. Migran secara umum menginginkan kehidupan anak-anaknya lebih baik daripada orang tuanya. Mereka menyadari bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya akan memperoleh peluang pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik daripada hanya sebagai pedagang kaki lima. Pada umumnya mereka menginginkan anaknya dapat bekerja di kantor, dengan lingkungan yang bersih, pekerjaannya tidak kasar, penghasilannya lumayan. Tabel 7.13. memperlihatkan bahwa baik migran yang berpendidikan tamat SD, SMP maupun SLTA, ada kecenderungan ingin menyekolahkan anggota rumah tangganya hingga perguruan tinggi. Migran dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi cenderung menyekolahkan anggota rumah tangganya lebih tinggi daripada migran yang berpendidikan rendah.
100
Tabel 7.13. Proporsi Migran Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir Migran dan Tingkat Pendidikan Anggota Keluarga Yang Dibiayai oleh Migran Sirkuler, 2012 Tingkat Pendidikan Keluarga Yang Dibiayai Migran Sirkuler SD SMP SLTA PT
(1)
(2)
Tamat SD Tingkat Pendidikan Migran
Tamat SMP Tamat SLTA
Total Sumber : Data Primer, 2012
9 39,1% 8 57,1% 1 14,3% 18 40,9%
(3)
7 30,4% 2 14,3% 0 0,0% 9 20,5%
(4)
4 17,4% 1 7,1% 3 42,9% 8 18,2%
(5)
3 13,0% 3 21,4% 3 42,9% 9 20,5%
Total (6)
23 100,0% 13 100,0% 7 100,0% 44 100,0%
Dengan melihat pada Tabel 7.11. dan Tabel 7.13. memberikan gambaran bahwa migran menginginkan pendidikan anggota rumah tangganya meningkat tidak seperti pendidikan migran itu sendiri. Harapan migran ini cenderung akan menjadi kenyataan karena jika dibandingkan, migran yang berpendidikan S1 pada Tabel 7.11 sebesar 1,7 persen, sedangkan anggota rumah tangga migran yang sedang menempuh pendidikan S1 pada Tabel 7.13 sebesar 20,5 persen. Pada Tabel 7.13, besarnya angka yang berpendidikan SD dan SMP, karena memang mereka sedang dalam proses menempuh pendidikan tersebut, yang kemudian di saat yang akan datang besar kemungkinan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun tingkat pendidikan migran sirkuler pada umumnya masih rendah, akan tetapi mereka menginginkan pendidikan putera-puterinya jauh lebih tinggi dari mereka. Migran sirkuler pada umumnya sangat menyesali dirinya karena tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun demikian, mereka sangat menyadari keadaannya karena tingkat pendidikan orang tua (ayah) mereka juga rata-rata rendah dan umumnya sebagai petani yang hidup di kampung tidak mempunyai wawasan yang lebih jauh tentang manfaat pendidikan bagi masa depan putera-puterinya (yang sekarang ini menjadi migran). Indikator perubahan sosial rumah tangga migran sirkuler dapat ditunjukkan dari persepsi migran dan fakta yang menggambarkan terjadinya pola pergeseran tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada anggota rumah tangganya seperti yang telah diuraikan. Indikator yang lain, perubahan sosial rumah tangga migran dapat ditunjukkan pula dengan melihat perubahan status perkawinan dalam rumah tangga
101
migran. Pada Tabel 7.14. nampak bahwa terjadi trend perubahan status perkawinan responden setelah responden tersebut menjalani proses migrasi. Tabel 7.14. Perubahan Status Perkawinan Migran Saat Pertama Kali Menjadi Migran dan Sesudah Menjadi Migran di Pamulang, Tahun 2012 Status Perkawinan Migran Sesudah Migrasi di Pamulang Tidak Janda/ Kawin Kawin Duda
(1)
Status Perkawinan Pertama kali Menjadi Migran
Total
Tidak Kawin Kawin
(4)
Total
(2)
(3)
(5)
13 25,0%
38 73,1%
1 1,9%
52 100,0%
0 0,0%
8 100,0%
0 0,0%
8 100,0%
13 21,7%
46 76,7%
1 1,7%
60 100,0%
Sumber : Data Primer, 2012
Responden yang pada saat pertama kali menjadi migran berstatus tidak kawin (52 orang), yang kemudian pada saat ini berubah statusnya menjadi kawin sebesar 73,1 persen, sedangkan sisanya sebesar 25,0 persen tetap tidak kawin dan 1,9 persen berstatus menduda/menjanda. Perubahan status dari tidak kawin menjadi kawin, merupakan perubahan status sosial dalam suatu rumah tangga. Perubahan status sosial ini mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap berbagai kehidupan sosial rumah tangga, khususnya dalam hal ini rumah tangga migran. Ikatan perkawinan dalam rumah tangga tentu ada suatu kesepakatan dalam kehidupan mereka. Salah satunya adalah kesepakatan yang menyebutkan bahwa seorang suami bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tanda-tanda bahwa perkawinan dalam rumah tangga tersebut dikatakan eksis, paling tidak apabila rumah tangga tersebut mampu menjaga kerukunan, keutuhan dan keberlanjutan rumah tangga mereka. Oleh karena itu indikator keberhasilan migran sirkuler, paling tidak sampai saat ini masih mampu mempertahankan kehidupan rumah tangga mereka. Perubahan status perkawinan migran jika dilihat pada saat pertama kali menjadi migran dan keadaan saat ini, maka dapat terungkap bahwa dalam status rumah tanggapun mengalami perubahan. Pada Tabel 7.15. terungkap bahwa banyak diantara mereka yang belum kawin pada saat pertama kali menjadi migran berstatus sebagai
102
anak, saat ini sudah berubah status dalam rumah tangganya menjadi seorang bapak atau ibu. Tabel 7.15. Perubahan Status Migran Dalam Rumah Tangga Saat Pertama Kali Menjadi Migran dan Sesudah Menjadi Migran di Pamulang, 2012 Status Migran Dalam Rumah Tangga Pada Saat di Pamulang Bapak Ibu Anak Lainnya
(1)
(2)
Bapak Status Migran Dalam Rumah tangga Pada Saat Pertama kali Menjadi Migran
Ibu Anak Lainnya
Total
(3)
(4)
Total (5)
4 100,0%
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
4 100,0%
0 0,0%
3 100,0%
0 0,0%
0 0,0%
3 100,0%
38 73,1%
2 3,8%
12 23,1%
0 0,0%
52 100,0%
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
1 100,0%
1 100,0%
42 70,0%
5 8,3%
12 20,0%
1 1,7%
60 100,0%
Sumber : Data Primer, 2012.
Dari sebanyak 52 orang yang pada saat pertama kali menjadi migran yang bersangkutan berstatus anak dalam rumah tangga, sebesar 73,1 % sudah berubah status menjadi bapak, 3,8% berstatus menjadi ibu dan sisanya sebesar 23,1% masih berstatus sebagai anak. Sudah barang tentu dengan adanya perubahan status dalam rumah tangga, maka tanggung jawab seorang migran juga menjadi berubah. Jika semula ketika masih berstatus belum kawin tanggungjawab migran hanya pada diri sendiri, maka pada saat ini migran yang berstatus kawin harus bertanggungjawab kepada anggota rumah tangganya yang lebih besar. Dari uraian mengenai perubahan ekonomi rumah tangga migran dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan pada aspek ekonomi rumah tangga migran yang ditandai dengan adanya perubahan indikator variabel kualitas dan kuantitas bangunan rumah yang meliputi lantai, atap, dinding dan bentuk rumah kearah yang lebih baik serta pemilikan barang-barang berharga seperti sepeda motor. Disamping itu indikator perubahan ekonomi juga terjadi pada rumah tangga migran, dengan melihat tingkat perubahan pada aspek-aspek: (1) kepemilikan modal usaha yang cenderung semakin lama mampu menciptakan aktivitas usaha dengan modal usaha sendiri, (2) tingkat pendapatan migran yang semakin besar pada migran yang semakin lama menjadi migran, dan (3) rata-rata dana remiten yang semakin meningkat terjadi pada migran yang semakin lama menjadi migran sirkuler.
103
Perubahan pada aspek sosial rumah tangga migran secara garis besar dapat ditunjukkan dengan perubahan paradigma migran tentang manfaat pendidikan terhadap perubahan kehidupan sosial ekonomi. Migran yang dilahirkan dengan pendidikan rendahpun, mempunyai persepsi yang menyatakan bahwa pendidikan keluarga amatlah penting. Mereka beranggapan bahwa pendidikan menjadi kebutuhan primer untuk merubah masa depan keluarga mereka agar lebih baik dari keadaan saat ini. Faktanya sebagai contoh seperti pada Tabel 7.11., jumlah migran yang berpendidikan S1 hanya 1,7%, tetapi anggota keluarga migran yang sedang menempuh pendidikan S1 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.13 adalah sebesar 20,5%. Ini membuktikan bahwa ada kecenderungan migran untuk menyekolahkan anggota rumah tangganya (termasuk anak-anaknya) agar berhasil mencapai pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya. Perubahan sosial rumah tangga migran lainnya terjadi pada status perkawinan dan status migran dalam rumah tangga. 7.2. Perubahan Gaya Hidup dan Kebiasaan Dalam Rumah Tangga Migran Sirkuler Hasil penelitian terhadap migran sirkuler di wilayah Pamulang, menunjukkan bahwa komunikasi dalam bahasa yang dilakukan oleh anggota rumah tangga migran, seiring dengan proses waktu, terjadi perubahan gaya dan bahasa. Hal ini nampak ketika peneliti melakukan pengamatan dan wawancara dengan responden. Dalam berkomunikasi dengan siapapun, mereka cenderung terbiasa menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya. Sebesar 73,33 persen dari responden mengemukakan bahwa mereka pada umumnya mengalami perubahan dalam menggunakan bahasa pada saat sebelum mereka memutuskan untuk melakukan migrasi dengan bahasa yang mereka gunakan pada saat ini. Ketika sebelum bermigrasi mereka pada umumnya menggunakan bahasa dengan dialek dan jenis bahasa lokal daerah asalnya. Perubahan bahasa dengan bahasa Indonesia logat Betawi pada umumnya terjadi apabila sudah bertahun-tahun menjadi migran sirkuler. Lebih-lebih bagi mereka yang ketika di Pamulang bertempat tinggal di lingkungan masyarakat Betawi. Tidak saja bahasa, akan tetapi kebiasaan-kebiasaan mereka bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungan Betawi, mempengaruhi perilaku sosial mereka. Sebagai contoh, tradisi ikut pengajian dan ikut terlibat dalam kebiasaan kelompok kegiatan perkawinan pada rumah tangga keluarga Betawi. Proses peleburan migran ke budaya Betawi merupakan
104
proses yang bermakna positif, sebagai bentuk kemampuan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, mudahnya memperoleh informasi pengetahuan dan teknologi baru melalui pengalamannya selama menjadi migran sirkuler di wilayah perkotaan, telah mampu merubah kebiasaan-kebiasaan yang merupakan budaya lokal di daerah asal. Pengalaman dan kemampuan secara ekonomi telah menggerakkan tradisi lokal berubah menjadi tradisi kota. Perubahan kebiasaan tidur dengan menggunakan alas tidur dengan kualitas yang semakin membaik diperlihatkan pada Tabel 7.16. Kebiasaan migran yang sebelum migrasi menggunakan alas tikar untuk tidur, pada saat ini (sesudah migrasi) sebesar 13,8 persen telah berubah kebiasaan tidur menggunakan alas karpet, kemudian yang berubah kebiasaan tidur menggunakan kasur sebesar 75,9 persen. Tabel 7.16. Perbandingan Penggunaan Alas Tidur Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Alas Tidur Migran Sesudah Migrasi Tikar Karpet Kasur (1)
Alas Tidur Migran Sebelum Migrasi
Total
(4)
Total
(2)
(3)
Tikar
3 10,3%
4 13,8%
22 75,9%
(5)
29 100,0%
Karpet
0 0,0%
1 33,3%
2 66,7%
3 100,0%
Kasur
0 0,0%
0 0,0%
24 100,0%
24 100,0%
3 5,4%
58,9%
48 85,7%
56 100,0%
Sumber : Data Primer, 2012.
Sisanya sebesar 10,3 persen masih tetap menggunakan alas tidur dari tikar. Migran yang ketika sebelum migrasi terbiasa menggunakan alas tidur karpet, pada saat ini sebesar 66,7 persen telah merubah kebiasaan tidurnya dengan menggunakan alas tidur dari kasur. Perubahan cara hidup dalam hal kebiasaan menggunakan alas tidur dari tikar ke karpet, dari tikar ke kasur, dari karpet ke kasur ini termasuk perubahan gaya hidup dalam rumah tangga migran yang semakin berkualitas. Selain itu, perubahan kebiasaan hidup juga dapat diidentifikasi dari kebiasaan migran dalam menggunakan alat-alat dapur termasuk alat untuk menyediakan bahan bakar untuk memasak. Tradisi lokal masyarakat perdesaan pada umumnya penggunaan bahan bakar untuk memasak selalu menggunakan kayu bakar. Selain
105
lebih menghemat biaya, bahan baku kayu bakar banyak dan mudah ditemukan di daerah perdesaan. Pada Tabel 7.17. memperlihatkan bahwa sebelum migrasi, sebagian besar migran (51 rumah tangga migran), menggunakan bahan bakar memasak dengan kayu bakar. Sesudah migrasi (saat ini), mereka yang sudah beralih menggunakan bahan bakar gas sebesar 58,8 persen, dan yang masih tetap menggunakan bahan bakar kayu sebesar 37,3 persen. Selebihnya sebesar 3,9 persen telah beralih memanfaatkan listrik sebagai energi untuk memasak. Perubahan dalam kebiasaan penggunaan bahan bakar untuk memasak pada rumah tangga migran di daerah asal, dari bahan bakar kayu ke bahan bakar listrik atau gas, menunjukkan adanya proses perubahan kebiasaan dari tradisi lokal menuju tradisi modern. Tabel 7.17. Penggunaan Bahan Bakar Rumah Tangga Migran di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012 Bahan Bakar Memasak Sesudah Migrasi Kayu Listrik Gas (1)
(2)
Kayu Bahan Bakar Memasak Migran Sebelum Migrasi
Total
Kompor Minyak
(3)
(4)
Total (5)
19 37,3%
2 3,9%
30 58,8%
51 100,0%
0 0,0%
0 0,0%
5 100,0%
5 100,0%
19 33,9%
2 3,6%
35 62,5%
56 100,0%
Sumber : Data Primer, 2012.
Tradisi lokal yang dimaksud disini adalah tradisi yang masih diwarnai oleh pengaruh potensi lokal yang sumbernya diambil dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, tradisi modern merupakan tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang diwarnai oleh pengaruh potensi global yang sumbernya diambil dari lingkungan yang bersifat global. Ada kecenderungan bahwa terjadi perubahan perilaku kehidupan rumah tangga migran dari kebiasaan yang tradisional ke kebiasaan yang bersifat modern. Dilihat dari aspek Fasilitas Sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) pada rumah tangga migran sirkuler di daerah asal, menunjukkan telah terjadi perubahan budaya tradisonal rumah tangga migran ke budaya yang lebih modern. Perubahan perilaku hidup yang semakin modern ini sangat dipengaruhi oleh perubahan tingkat ekonomi rumah tangga migran yang lebih baik. Tabel 7.18. memperlihatkan adanya perubahan
106
perilaku kehidupan migran, jika membandingan kehidupan rumah tangga migran antara sebelum dan sesudah migrasi. Tabel 7.18. Perubahan Penggunaan Sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) Migran Di Daerah Asal Sebelum dan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler, Tahun 2012
Sungai (1)
(2)
(4)
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
1 25,0%
3 75,0%
0 0,0%
8 36,4%
1 4,5%
1 4,5%
10 45,5%
2 9,0%
0 0,0%
Sumur Tanpa WC
0 0,0%
1 100,0%
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
Sumur WC Jumbleng
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
4 100,0 %
0 0,0%
0 0,0%
Sumur WC Siram
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
14 70,0%
4 20,0%
2 10,0%
Sumur Pompa Listrik WC Siram
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
0 0,0%
8 88,9%
1 11,1%
8 13,3%
2 3,3%
1 1,7%
29 48,3%
17 28,3%
3 5,0%
Sungai
Total Sumber : Data Primer, 2012.
(5)
(6)
Sumur Pompa Listrik WC Duduk
(3)
Tidak punya MCK
Sarana MCK Migran Sebelum Migrasi
Sarana MCK Migran Sesudah Migrasi Sumur Sumur Sumur Sumur Pompa WC Tanpa WC Listrik Jumblen WC Siram WC g Siram
(7)
Total
(8)
4 100,0 % 22 100,0 % 1 100,0 % 4 100,0 % 20 100,0 % 9 100,0 % 60 100,0 %
Pada saat sebelum migrasi, masih terdapat rumah tangga migran yang tidak mempunyai fasilitas MCK. Pada saat ini, rumah tangga migran tersebut sebagian sudah mempunyai sumur dengan WC siram, selebihnya bahkan sudah menggunakan sumur pompa listrik dan WC siram. Sebelum migrasi, seluruh rumah tangga migran yang menggunakan fasilitas MCK dengan sungai, pada saat ini mereka yang telah berubah menggunakan sumur dan WC siram sebesar 45,5 persen, sebesar 36,4 persen masih tetap mengguanakan MCK dengan sungai. Selebihnya sebesar 9 persen telah berubah menggunakan pompa listrik dan WC siram. Perubahan tradisi dari MCK di sungai ke MCK menggunakan sumur dan pompa listrik, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tradisi pada rumah tangga migran sirkuler dari yang tradisional ke yang lebih modern.
107
Perubahan yang terjadi pada rumah tangga migran, baik perubahan gaya hidup dan kebiasaan dari yang tradisional menuju ke modern, berdasarkan kajian peneliti karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya: (1) Berubahnya tingkat ekonomi rumah tangga migran, (2) Tersedianya fasilitas untuk melakukan perubahan, (3) Didukung oleh mudahnya akses terhadap informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. 7.3. Indeks Peningkatan Ekonomi Rumah Tangga Migran Pada bagian terdahulu sesungguhnya telah dibahas tentang perubahan dari berbagai aspek, yang merupakan indikator perubahan sosial ekonomi rumah tangga migran. Berbagai aspek tersebut antara lain 1) kualitas bangunan, (2) kepemilikan barang, (3) kepemilikan modal usaha, tingkat pendapatan dan remiten, 4) tingkat pendidikan dan status perkawinan. Secara parsial, dengan membandingkan kondisi rumah tangga pada setiap aspek antara sebelum dan sesudah migrasi, terindikasi bahwa terjadi perubahan dan peningkatan sosial ekonomi rumah tangga migran. Untuk mengetahui seberapa jauh indikator-indikator dari aspek yang digunakan untuk menunjukkan perubahan ekonomi, maka pada bagian ini akan dihitung Indeks Peningkatan Ekonomi. Indikasi perubahan dan peningkatan ekonomi menjadi semakin kuat dan nyata, dengan memperlihatkan Indeks Peningkatan Ekonomi rumah tangga migran. Indeks Peningkatan Ekonomi paling banyak digunakan dalam penelitian sosial, untuk mengukur seberapa besar perubahan tingkat ekonomi rata-rata dalam suatu rumah tangga atau keluarga. Seperti disebutkan oleh Efendi dalam Metode Penelitian Survei (1987), untuk mengetahui indeks perubahan tingkat ekonomi rumah tangga, dilakukan dengan cara memberikan skor pada indikator kepemilikan kekayaan dan barang yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku sosial rumah tangga tersebut dalam periode waktu tertentu yang berbeda. Dalam penelitian ini, penetapan skor pada indikator kekayaan atau barang milik rumah tangga, berdasarkan asumsi tingkatan kualitas atau kuantitas pada kepemilikan kekayaan atau barang tersebut. Dalam penghitungan Indeks pada penelitian ini tidak mencakup semua aspek. Seperti aspek sosial dari gaya hidup tidak dimasukkan dalam penghitungan Indeks, karena data yang tersedia berupa data kualitatif. Penghitungan skor untuk setiap rumah tangga migran sirkuler menggunakan indikator seperti yang tercantum dalam Tabel 7.18, yaitu indikator: lantai rumah, atap rumah, dinding rumah, bentuk rumah, motor, TV, alas tidur, bahan bakar memasak, mandi cuci kakus dan tingkat pendidikan responden. Total skor yang ditampilkan dalam Tabel 7.19.
108
merupakan penjumlahan dari skor seluruh rumah tangga migran sirkuler, yang kemudian disebut Indeks Ekonomi (IE) Rumah Tangga Migran. Dengan mengurangkan antara Indeks Ekonomi (IE) sesudah dan sebelum migrasi, maka dapat diukur Indeks Peningkatan Ekonomi (IPE) Rumah Tangga Migran Sirkuler di wilayah Kecamatan Pamulang. Skor IE (Sesudah Migrasi) - Skor IE (Sebelum Migrasi) IPE = -------------------------------------------------------------------- x 100 Skor IE (Sebelum Migrasi) 2,027 – 980 IPE = -------------------- x 100 980 IPE = 106,83 Tabel 7.19. Skor Indeks Ekonomi Rumah Tangga Migran Sirkuler Sebelum dan Sesudah Migrasi, 2012. No (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indikator (2)
Lantai Rumah Atap Rumah Dinding Rumah Bentuk Rumah Motor TV Alas Tidur Bahan Bakar Memasak (BBM) Mandi Cuci Kakus (MCK)
Skor Total Sebelum Sesudah Migrasi Migrasi (Saat ini) (3)
(4)
% Peningkatan (5)
77 162 121 300 25 19 106 52 118
185 228 217 471 270 90 170 178 218
140.26 40.74 79.34 57.00 980.00 373.68 60.38 242.31 84.75
Skor Indeks Ekonomi
980
2,027
106.83
Rata-rata = Skor Total /60
16.33
33.78
Sumber : Data Primer (Lampiran 1 dan 2), 2012
IPE = 106,83 artinya bahwa secara komulatif, telah terjadi peningkatan ekonomi rumah tangga migran sirkuler sebesar 106,83 persen, jika dibandingkan antara keadaan tingkat ekonomi sebelum dan sesudah migrasi di wilayah Kecamatan Pamulang. Dalam penelitian ini, komponen yang digunakan dalam mengukur tingkat perubahan sosial ekonomi sesungguhnya masih kurang tepat, karena ada beberapa komponen penting yang tidak masuk dalam penghitungan yaitu komponen luas bangunan di daerah asal yang dipunyai oleh migran sirkuler. Komponen ini sesungguhnya amat penting, akan tetapi perolehan data yang kurang baik mengingat banyak responden yang kesulitan menjawabnya.
109
Indikator yang menunjukkan peningkatan ekonomi paling besar ditunjukkan oleh skor kepemilikan motor, yakni meningkat sebesar 980 persen. Tingginya angka kepemilikan motor pada saat ini, diduga karena mudahnya persyaratan bagi seseorang untuk dapat kredit motor. Rendahnya uang muka kredit motor diperkirakan sebagai faktor alasan yang paling kuat besarnya peningkatan kepemilikan motor pada rumah tangga migran sirkuler, disamping kebutuhan terhadap manfaat motor sebagai sarana transportasi untuk menujang aktivitas sehari-hari. Kepemilikan barang berharga lainnya berupa televisi (TV), nampaknya merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh para migran sirkuler. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya peningkatan jumlah kepemilikan TV (373,68 persen). Tayangan acara TV merupakan sarana yang dapat memberikan informasi penting disamping dapat memberikan hiburan untuk keluarga rumah tangga migran. Oleh karenanya ada kecenderungan bahwa setiap rumah tangga berkeinginan memiliki pesawat TV. Pada akhirnya TV bukan lagi barang berharga yang dianggap mewah, tetapi sudah merupakan bagian dari kebutuhan yang seharusnya dimiliki oleh setiap rumah tangga migran. Tingginya skor peningkatan pada indikator Bahan Bakar Memasak (BBM), disebabkan adanya perubahan yang sangat dramatis ketika pemerintah menetapkan kebijakan program pengalihan penggunaan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas untuk kebutuhan rumah tangga. Rakyat miskin memperoleh bantuan berupa satu paket alat memasak dari bahan bakar gas (BBG), yang berupa tabung, selang dan kompor gas. Dengan demikian sebagian besar dari rumah tangga migran ketika memasak yang semula terbiasa dengan kayu bakar atau kompor minyak, kemudian beralih menggunakan kompor gas.
111
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian tentang migrasi sirkuler di wilayah kecamatan Pamulang ini, tidak dimaksudkan membuat kajian yang ditujukan untuk mengeneralisasi migran secara umum. Kesimpulan yang akan disajikan bersifat kajian migran secara khusus untuk migran sirkuler di wilayah kecamatan Pamulang. Oleh karena itu, kajian dan analisis migran sirkuler ini belum tentu berlaku di daerah lain. Akan tetapi hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai pembanding atau setidaknya referensi, ketika pihak tertentu akan melakukan penelitian tentang hal yang serupa. 8.1. Kesimpulan Dari uraian yang telah disajikan dalam bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kajian pada proses pengambilan keputusan menjadi migran sirkuler: a. Proses pengambilan keputusan untuk memastikan seseorang menjadi migran sirkuler, secara umum dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Selain faktor-faktor seperti (a) faktor yang terdapat di daerah asal, (b) faktor yang terdapat di daerah tujuan, (c) faktor yang menjadi kendala/hambatan, terdapat pula faktor yang paling menentukan yaitu (d) faktor pribadi/individu. Meskipun demikian, seringkali keputusan seseorang untuk menjadi migran tidak ditentukan oleh individu saja, akan tetapi dipengaruhi oleh anggota keluarga yang lain atau keputusan bersama dalam suatu rumah tangga. b. Latar belakang migran yang paling kuat untuk mengambil keputusan menjadi migran sirkuler sektor informal adalah karena adanya motif ekonomi. Latar belakang ekonomi migran tersebut, diperlihatkan ketika mengkaji alasan mereka meninggalkan daerah asalnya, yaitu:
Migran merasa sulit mencari pekerjaan di daerah asal.
Andaikata ada pekerjaan di daerah asal, upahnya rendah.
Tidak punya warisan lahan garapan pertanian yang memadai.
Bekerja di pertanian tidak menarik.
c. Motif ekonomi juga dikuatkan, ketika peneliti mengkaji alasan migran memilih perkotaan sebagai daerah tujuan migran. Beberapa alasan migran memilih kota sebagai tujuan migran antara lain:
Kota dianggap banyak menyediakan kesempatan kerja.
112
Ikut teman atau saudara yang sudah berhasil migrasi di kota.
Informasi upah kerja yang lebih menarik daripada di perdesaan.
d. Beberapa hal sebagai alasan memilih dan memutuskan menjadi migran sirkuler yang bekerja sebagai pekerja sektor informal PKL perkotaan antara lain adalah: (1) Sektor informal PKL mudah dimasuki oleh angkatan kerja siapapun, tanpa harus seleksi terhadap pendidikan, usia, jenis kelamin, (2) Bekerja di sektor informal PKL tidak terlalu terikat oleh waktu dan jam kerja (waktunya fleksibel), sehingga dapat dimanfaatkan untuk sirkuler. 2. Kajian pada proses adaptasi migran sirkuler: a. Eksistensi dan keberhasilan migran sirkuler sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungannya, baik di lingkungan sosial rumah tinggal migran, lingkungan pekerjaan, adanya intervensi pemerintah, maupun di lingkungan kehidupan rumah tangganya. b. Ada dua faktor yang mempengaruhi proses adaptasi migran, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terkait dengan sifat-sifat dan kepribadian migran. Faktor eksternal adalah faktorfaktor yang berasal dari luar kepribadian migran. c. Faktor internal yang menunjang keberhasilan migran yaitu sifat dan karakteristik pribadi migran yang kuat, misalnya: sifat tekun dan ulet, mau bekerja keras, hemat, tahan uji, siap menghadapi tantangan hidup atau prihatin. Keberhasilan migran umumnya ditunjang pula oleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya dalam bekerja. Meskipun demikian keberhasilan migran umumnya membutuhkan proses waktu dan liku-liku yang panjang. Faktor eksternal yang menunjang keberhasilan dalam proses adaptasi migran antara lain: adanya migran yang lebih dulu telah sukses, di lingkungan tempat tinggal banyak migran dari satu daerah asal, dan adanya jaringan sosial komunitas migran. d. Sebagian besar migran beranggapan bahwa strategi nafkah sektor informal sebagai pedagang kaki lima mempunyai prospek yang baik, sehingga pekerjaan ini pada umumnya menjadi mata pencaharian utama/pokok. e. Penyebab kegagalan pada migran sirkuler umumnya faktor psikologis, yaitu tidak mampu beradaptasi ketika migran harus berdomisili yang berjauhan dengan anggota rumah tangganya dalam waktu yang relatif lama. 3. Kajian pada proses perubahan sosial ekonomi rumah tangga migran:
113
a. Kajian terhadap beberapa aspek sosial ekonomi rumah tangga migran, menunjukkan bahwa terdapat indikasi perubahan sosial ekonomi pada rumah tangga migran sirkuler kearah yang lebih baik. b. Perubahan sosial rumah tangga migran, ditunjukkan dengan trend perubahan status perkawinan migran pada saat pertama kali menjadi migran hingga saat ini. Pada aspek yang lain, perubahan sosial juga diperlihatkan oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga migran pada saat sebelum menjadi migran dan keadaan saat ini. Perubahan sosial migran juga terjadi ketika mengkaji cara pandang migran terhadap makna pendidikan. Perhatian terhadap pendidikan keluarga terutama anak-anak dalam rumah tangga semakin besar. Tingkat pendidikan selain sebagai aset investasi untuk menghadapi keberhasilan di masa depan, juga merupakan nilai sosial dalam rumah tangga migran. c. Indikasi peningkatan ekonomi pada rumah tangga migran, diperlihatkan secara nyata oleh Indeks Peningkatan Ekonomi (IPE) rumah tangga migran. IPE dihitung dari selisih antara jumlah skor indeks ekonomi pada waktu sebelum dan sesudah migrasi. Aspek-aspek yang digunakan untuk menghitung skor indek ekonomi adalah: kualitas bangunan rumah migran, yang terdiri dari dinding, lantai, atap, dan bentuk rumah; kepemilikan barang meliputi: motor dan TV; kemudian alas tidur; bahan bakar/alat memasak; MCK; dan tingkat pendidikan responden. Skor Indeks Peningkatan Ekonomi sebesar 75,73, yang artinya terjadi peningkatan ekonomi sebesar 75,73 persen jika membandingkan antara sebelum dan sesudah menjadi migran sirkuler. 8.2. Saran dan Kebijakan 1. Sektor informal pedagang kaki lima, merupakan salah satu strategi nafkah alternatif bagi masyarakat perdesaan, terutama angkatan kerja muda yang mempunyai tingkat pendidikan rendah. Namun demikian, agar tidak terjadi korban kemiskinan terstruktur, maka untuk menjadi migran sirkuler di perkotaan, harus dilakukan persiapan secara baik dan matang. 2. Kebijaksanaan pemerintah di bidang pembinaan sektor informal perlu dilandasi sikap dasar bahwa kehadiran sektor informal itu perlu dan tidak terelakkan. Yang diperlukan dari pemerintah adalah tindakan yang mengarah pada terciptanya iklim usaha, kelonggaran dalam melakukan kegiatan dan memperkecil tekanan-tekanan
114
agar mereka tumbuh secara wajar dan sehat. Akan lebih baik lagi apabila sektor informal diberi tempat sebagai komplemen dan bukan substitusi dari sektor formal. 3. Dengan demikian, sektor informal tentunya tidak dapat diabaikan, bahkan sebaliknya sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam masa sulit seperti sekarang ini, sektor informal telah banyak membantu pemerintah dalam hal menanggulangi besarnya tingkat pengangguran. Disisi lain, sektor informal dapat pula memperkecil atau mengurangi tingkat keresahan sosial. Oleh karena itu, sudah selayaknya bahwa mereka yang bekerja di sektor informal ini harus mendapatkan pembinaan pemerintah agar dapat memberikan manfaat yang wajar setidaknya bagi mereka sendiri dan tidak menimbulkan gangguan/kerugian sosial bagi masyarakat. Mengingat usaha-usaha di sektor informal sangat bervariasi, baik jenis maupun kemampuannya, maka diperlukan kebijaksanaan pembinaan pemerintah yang berbeda pula, agar pembinaan tersebut sesuai dan tepat sasaran.
115
DAFTAR PUSTAKA Abustam, Muhamad Idrus, 1987. Gerak Penduduk Pada Komunitas Padi Sawah (Studi Kasus di Tiga Daerah Pedesaan Sulawesi Selatan), Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. Antono, Achmad, 1997. Migrasi Perdesaan-Perkotaan dan Implikasinya Terhadap Perekonomian di Daerah Asal (Studi Kasus Migran Asal Desa Babakan Sadeng Leuwiliang- Kabupaten Bogor, Universitas Terbuka Jakarta. Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012, dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/ view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1 _____________________________, 2010 dalam http://www.bps.go.id/files/ebook/ 0000.pdf
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat Per Kecamatan Kota Tangerang Selatan Bakir, Zainab dan Chris Manning, 1984. Angkatan Kerja di Indonesia, Partisipasi, Kesempatan dan Pengangguran, CV. Rajawali, Jakarta. Connel, Jhon, Biplab Dasgupta, Roy Laishley, Marchael Lipton. 1976. Migration From Rural Areas, The Evidence from Village Studies. Delhi: Oxford University Press.
Dharmawan, Arya Hadi, 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia, Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Fajar, Undang, 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam), Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Ferry, Yohanes, 1997. Ekonomi Informal : Kekuatan Dibalik Keterbelakangan, Majalah Wacana No. 8, Mei-Juni 1997. Geertz, Clifford, 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Diterjemahkan oleh S. Supomo. Gerungan, WA, Dr. Dipl. Psych, 2004. Psikologi Sosial, PT Refika Aditama, Bandung. Hadisupadmo, Sunarto. 1991. Pengaruh Remiten Migran Sirkuler Terhadap Kesejahteraan Keluarga Migran dan Desa Asal: Suatu Kajian di Desa Mulusan dan Sodo. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
116
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi, 1987. Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. YOI, Jakarta. Haryono, Tri Joko S., 2007. Jaringan Sosial Migran Sirkuler: Analisis Tentang Bentuk dan Fungsi, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Tahun XX, No. 2, April 2007, 1-2 Hidayat, Zainal, 1991. Dampak Migrasi Sirkuler Terhadap Peningkatan Status Sosial Ekonomi Keluarga yang Ditinggalkan: Studi Kasus di Ketiga Desa Sampel Kabupaten Wonogiri, (http://www.digilib.ui.ac.id), diunduh 11 Juli 2010. Hugo, Graeme J, 1986. Migrasi Sirkuler dalam Dorodjatun Kuntjoro Jakti (ed), Kemiskinan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Jamasy,
Owin, 2004. Keadilan, Kemiskinan, Traju, Jakarta.
Pemberdayaan
dan
Penanggulangan
Jellinek, Lea, 1986. “Sistem Pondok dan Migrasi Sirkuler,” dalam Dorodjatun Kuntjoro Jakti (ed.) Kemiskinan di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). Johnson, Doyle Paul, 1988 di-Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT. Gramedia Jakarta. Koentjaraningrat, 1984. Masyarakat Desa Indonesia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Landis,
Paul H. dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/ 196303111 989011 -AYI_BUDI_SANTOSA/masyarkat_pedesaan/I.pdf
Lawang, Robert, MZ, 1986. Pengantar Sosiologi, Penerbit Karunika Jakarta. Lee, Everett S. 1980, Suatu Teori Migrasi, Yogyakarta, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Diterjemahkan oleh Hans Daeng dan ditinjau kembali oleh Ida Bagoes Mantra. Manning, Chris dan Tajuddin Noer Effendi, 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal Di Kota, PT. Gramedia Jakarta. Mantra, Ida Bagus, 1978. Population Movement In Wet Rice Communities : a case study of two Dukuh In Yogyakarta Special. _______________, 1981. Mobilitas Sirkuler di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. _______________, 1995. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia, Pusat Penelitian Kependudukan, UGM, Yogyakarta. _______________, 1988. Pupulation Mobility and The Link Between Migrans and The Family Back Home in Ngawis Village, Gunung Kidul Regency, Yogyakarta Special Region. The Indonesian Journal of Geography, Vol. 18. No. 55 June. ________________, 2000. Demografi Umum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
117
Mardiyaningsih, Dyah Ita, 2010. Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa : Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Mariang, Hanook Zeeth, 2003. Strategi Adaptasi Migran Sektor Informal Perkotaan (Studi Kasus 5 Keluarga Di Kelurahan Mandonga Kota Kendari), Universitas Indonesia Jakarta. Munir, Rozy. 1981. Migrasi. dalam Dasar-dasar Demografi, Lembaga Demografi FEUI, Jakarta. Murdiyanto, Eko, 2001. Remitan Migran Sirkuler dan Gejala Perubahan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (Kasus di Dusun Trukan, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta), tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pelly, U, 1998. Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3E Jakarta. Poplin, DE. 1972. Communities, New York, Macmillan Coy. Puspitasari, AW. 2010. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Minat Migrasi Sirkuler Ke Kabupaten Semarang, UNDIP, Semarang. Ram, Wariso, 1989. Migrasi Sirkuler dan Sektor Informal Di Kotamadya Bogor (Suatu Studi Kasus), Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Romdiati, Haning, dkk, 2004. Migrasi dan Permukiman Kumuh di Kota Surabaya, Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI), PT. Dikon Arto Sejahtera. Rusli, Said. 1989. Pengantar Ilmu Kependudukan, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Saifuddin, Achmad Fedyani, 2005. Refleksi Pemikiran Geertz: Involusi Pertanian, Involusi Kita, Departemen Antropologi, FISIP-UI. Soemardjan , Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Simanjuntak, Payaman J. (1985). Penganggur dan Setengah Penganggur dalam Prisma No. 3, 1985 Tahun XIV: Politik dan Ekonomi Massa Pinggiran, LP3ES Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survai, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Statistic Indonesia dalam http://www.datastatistik-indonesia.com, 2011.
118
Suparlan, P. (1981). Mayarakat: Struktur Sosial (dalam Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, Widjaja, AW, Ed) Akademika Presindo, Jakarta. Tarigan, Herlina, 2004. Proses Adaptasi Migran Sirkuler : Kasus Migran Asal Komunitas Perkebunan Teh Rakyat Cianjur, Jawa Barat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bogor. Tjitrajaya, I., 1981, Orang Citereup, Suatu Studi Strategi Adaptif, FISIP UI, Jakarta. Todaro, M.P, 1992. Kajian Ekonomi Migrasi Internal di Negara Berkembang (terjemahan) Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Weber, Max, 2006. Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Widiyanto, 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung), Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. Wirosardjono, Soetjipto, 1985. Pengertian, Batasan dan Masalah Sektor Informal, dalam Prisma : Politik dan Ekonomi Massa Pinggiran, LP3ES Jakarta. Wirosuhadjo, Kartomo. (1981). dalam http://robir08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/
pengaruh-televisi-terhadap-masyarakat-dan-sistem-komunikasi-diindonesia