PROSES DEMULSIFIKASI DENGAN GARAM, ASAM, SURFAKTAN DAN DEMULSIFIER KOMERSIAL UNTUK MEMPERCEPAT PENGOLAHAN AIR LIMBAH
SKRIPSI
ANZA JULIA WAHYU PUTRI F34070080
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Anza Julia Wahyu Putri. F34070080. Proses Demulsifikasi Dengan Garam, Asam, Surfaktan dan Demulsifier Komersial Untuk Mempercepat Pengolahan Air Limbah. Di bawah bimbingan Tatit K. Bunasor dan Dwi Setyaningsih. 2011.
RINGKASAN Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 menyebutkan bahwa bahan buangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan industri merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran air, contohnya limbah cair emulsi minyak yang dihasilkan dari berbagai industri manufaktur termasuk bengkel perawatan mesin dan otomotif. Minyak jelantah dari hasil industri penggorengan dan rumah tangga juga termasuk ke dalam jenis limbah cair emulsi minyak yang merusak lingkungan, karena sangat membahayakan kesehatan manusia, terutama bila dihasilkan dalam jumlah yang banyak. Umumnya, industri besar biasanya telah dilengkapi dengan sistem unit pengolahan air limbah, seperti OWS (Oil Water Separator), tapi sistem ini masih dirasa kurang efektif, karena belum dapat memisahkan fase minyak dari fase air dengan cepat. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan limbah cair emulsi minyak adalah dengan proses demulsifikasi. Prinsip dasar dari proses ini adalah pemisahan air dan minyak yang terkandung di dalam limbah cair emulsi minyak dengan bantuan demulsifier, bahan kimia yang berfungsi sebagai pemecah emulsi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan mengetahui proses demulsifikasi yang paling baik dan cepat menggunakan berbagai jenis demulsifier pada emulsi minyak dalam air (O/W). Secara garis besar, penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan berupa karakterisasi bahan baku (oli bekas dan minyak jelantah), sedangkan penelitian utamanya meliputi proses demulsifikasi dan pemilihan konsentrasi terbaik dari demulsifier terpilih. Metode penyajian data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan hasil pengamatan dalam bentuk tabel atau grafik, lalu dianalisis secara deskriptif. Parameter yang diamati, antara lain kekeruhan, pH, salinitas, lapisan busa, waktu pemisahan, serta rasio volume pemisahan antara minyak, air dan emulsi yang terbentuk selama proses demulsifikasi. Untuk mengkaji variabel proses yang berpengaruh dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali pengulangan. Selanjutnya, model tersebut dianalisis sidik ragamnya menggunakan perangkat lunak SAS 9.1 dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan. Dari hasil pengujian awal terhadap sampel emulsi minyak (oli bekas dan minyak jelantah) diketahui garam merupakan demulsifier terbaik dalam memisahkan minyak dan emulsi pada menit ke-5, karena menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 0,05). Selain itu, menghasilkan nilai pH yang hampir mendekati netral, nilai kekeruhan (turbiditas) terkecil, serta kualitas warna dan air dari sampel yang diujikan menjadi lebih jernih dengan busa yang sedikit. Jenis garam terbaik untuk emulsi oli bekas adalah NaCl, sedangkan untuk emulsi minyak jelantah adalah CaCl2. Pengujian dilanjutkan guna mendapatkan konsentrasi yang paling baik (0,02 M; 0,03 M; 0,05 M) dari kedua jenis garam tersebut terkait dengan kemampuannya dalam proses demulsifikasi. Hasil pengujian terhadap pemilihan konsentrasi terbaik dari demulsifier terpilih menunjukkan bahwa semua konsentrasi memberikan hasil yang sama terhadap rasio volume pemisahan pada menit ke-5. Akan tetapi, dari hasil pengujian lainnya (pH, turbiditas dan salinitas) diketahui bahwa garam NaCl dengan konsentrasi 0,02 M memberikan hasil terbaik pada emulsi oli bekas dengan nilai pH 6, nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yakni 81,5 FTU dan 1700 ppm. Begitu pun dengan emulsi minyak jelantah, garam CaCl2 dengan konsentrasi 0,02 M juga menunjukkan hasil yang terbaik, yakni nilai pH-nya 5 dengan nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yaitu 78 FTU dan 2800 ppm
DEMULSIFICATION PROCESS WITH SALT, ACID, SURFACTANT AND COMMERCIAL DEMULSIFIER TO ACCELERATE EMULSION WASTEWATER TREATMENT Anza Julia Wahyu Putri, Tatit K. Bunasor and Dwi Setyaningsih Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia Phone: 62 251 8621974, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT One solution to overcome the problems of wastewater emulsion is demulsification process. The basic principle of this process is the separation of water and oil contained in emulsion wastewater using demulsifier, a chemical that serves as an emulsion breaker. This study aims to compare and find the best demulsification process and quickly using various types of demulsifier in the emulsion Oil in Water (O/W). From the results of initial tests on samples of emulsion wastewater used oil and used cooking oil known salt as the best demulsifier in separating oil and emulsions in the 5th minute because it showed significantly different results (α = 0.05). Also, it has neutral pH, the smallest turbidity, as well as color and water quality of the samples tested to be more clear with a little foam. The best salt for emulsion wastewater used oil is NaCl, whereas for emulsion wastewater used cooking oil is CaCl2. Testing continued in order to obtain the best concentration (0,02 M; 0,03 M; 0,05 M) of both types of salt is related to its ability to demulsification process. The test results of the election of the best concentration of demulsifier selected shows that all concentrations gave similar results in separating oil and emulsions in the 5th minute of emulsion wastewater used oil and cooking oil. However, the results of other tests (pH, turbidity, and salinity) showed 0,02 M NaCl concentration gave the best results for used oil. Its pH values 6, the smallest turbidity and salinity 81,5 FTU and 1700 ppm. The emulsion wastewater used cooking oil also showed that the 0,02 M CaCl2 concentration gave the best result. Its pH value 5 with the smallest turbidity and salinity 78 FTU and 2800 ppm. Keywords: demulsification, wastewater emulsion, demulsifier
PROSES DEMULSIFIKASI DENGAN GARAM, ASAM, SURFAKTAN DAN DEMULSIFIER KOMERSIAL UNTUK MEMPERCEPAT PENGOLAHAN AIR LIMBAH
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ANZA JULIA WAHYU PUTRI F34070080
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi : Proses Demulsifikasi dengan Garam, Asam, Surfaktan dan Demulsifier Komersial untuk Mempercepat Pengolahan Air Limbah Nama
: Anza Julia Wahyu Putri
NIM
: F34070080
Menyetujui, Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Dr. Tatit K. Bunasor, M.Sc.
Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M. Si.
NIP. 19480107197301 2 001
NIP. 19700103 199412 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen,
Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001 Tanggal Lulus : 27 Juni 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Proses Demulsifikasi dengan Garam, Asam, Surfaktan dan Demulsifier Komersial untuk Mempercepat Pengolahan Air Limbah adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Juni 2011
Yang membuat pernyataan, Anza Julia Wahyu Putri F34070080
© Hak cipta milik Anza Julia Wahyu Putri, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 02 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama, putri dari pasangan Bapak H. Afianto Wahyu, SH. dan Hj. Masayu Zahara. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Bina Bangsa Palembang. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 11 Palembang pada tahun 2004. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Palembang dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengawasan Mutu pada tahun 2010 dan Peralatan Industri pada tahun 2011. Penulis juga aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, diantaranya anggota IKAMUSI IPB (Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya) (2007-sekarang), anggota divisi HRD HIMALOGIN IPB (2008-2009), Kepala Departemen KOMINFO BEM Fateta IPB (2009-2010), serta ikut berperan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kampus. Selain itu, selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis mendapatkan beasiswa pendidikan Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2010 dan 2011, serta bantuan dana dari Departemen Teknologi Industri Pertanian untuk penelitian dan skripsi penulis pada tahun 2011. Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2010 dengan judul “Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Shortening di PT. Sinar Meadow International Indonesia, Jakarta”. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Proses Demulsifikasi dengan Garam, Asam, Surfaktan dan Demulsifier Komersial untuk Mempercepat Pengolahan Air Limbah”.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas rahmat, karunia, dan berbagai kenikmatan yang tak terhitung banyaknya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul Proses Demulsifikasi Dengan Garam, Asam, Surfaktan dan Demulsifier Komersial Untuk Mempercepat Pengolahan Air Limbah. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
1.
2.
3. 4. 5.
6. 7.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: Dr. Tatit K. Bunasor, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak memberikan dorongan, arahan, dan bimbingan yang bermanfaat selama ini dari awal sampai dengan penyelesaian akhir skripsi. Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si. selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dari awal penelitian dan selama penyusunan skripsi ini. Dr. Ono Suparno, S.TP, MT. selaku dosen penguji atas saran dan arahannya dalam penyempurnaan skripsi ini. Keluarga tercinta Papa, Mama, dan Adikku atas segala dukungan, kasih sayang, dan keteladanan hidup bagi penulis. Laboran Departemen TIN (Pak Edi, Pak Sugiardi, Bu Rini, Bu Ega, Bu Sri, Pak Gunawan, dan Pak Dicky) atas kesediaannya membantu penulis selama melakukan penelitian. Teman-teman TIN angkatan 44, khususnya genggong atas seluruh kebersamaan, kerjasama, semangat, inspirasi, dan kenangan yang penulis lalui selama kuliah. Semua pihak yang telah membantu dan mendorong terselesaikannya penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, Juni 2011 Anza Julia Wahyu Putri
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................
1
1.2 TUJUAN ........................................................................................
2
1.3 RUANG LINGKUP ........................................................................ 2 II.
III.
IV.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
2.1 EMULSI MINYAK .......................................................................
3
2.2 DEMULSIFIKASI .........................................................................
5
2.3 GARAM ........................................................................................
6
2.4 ASAM ............................................................................................
6
2.5 SURFAKTAN................................................................................
7
2.6 DEMULSIFIER KOMERSIAL ....................................................
8
METODOLOGI .................................................................................
10
3.1 BAHAN DAN ALAT ....................................................................
10
3.2 METODE ......................................................................................
10
3.2.1. Karakterisasi Limbah Minyak ..............................................
10
3.2.2. Proses Demulsifikasi..............................................................
11
3.2.3. Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih ....
12
3.2.4. Rancangan Percobaan ...........................................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
14
4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK .....................................
14
4.2 PROSES DEMULSIFIKASI .........................................................
15
4.2.1.Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi.......................
15
4.2.2. Nilai pH (Derajat Keasaman) ................................................
17
4.2.3. Kekeruhan (Turbiditas) ..........................................................
18
4.3 PEMILIHAN KONSENTRASI TERBAIK DARI DEMULSIFIER TERPILIH ........................................................................................
20
4.3.1.Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi.......................
20
4.3.2. Nilai pH (Derajat Keasaman) ................................................
21
4.3.3. Kekeruhan (Turbiditas) ..........................................................
22
4.3.4. Salinitas (Kadar Garam) ........................................................
23
V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
25
5.1
SIMPULAN .....................................................................................
25
5.2
SARAN ............................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
26
LAMPIRAN....................................................................................................
28
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah dari Hasil Kegiatan Industri di Indonesia ...
3
Tabel 2. Sejarah Perkembangan Demulsifier ...................................................
8
Tabel 3. Spesifikasi Demulsifier TD-02. SB ...................................................
9
Tabel 4. Data Hasil Pengujian Karakterisasi Limbah Minyak dan Proses Demulsifikasi .........................................................................
14
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema Proses Pemisahan Limbah Emulsi Minyak dengan OWS. ..........................................................................................
4
Gambar 2. Struktur Kimia MES. ..................................................................
8
Gambar 3. Struktur Kimia Polimer Akrilamid..............................................
9
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian. .............................................................
11
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian ..............................................................
12
Gambar 6. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Oli Bekas ....................
15
Gambar 7. Volume Pemisahan minyak dan Emulsi Minyak Jelantah ..........
16
Gambar 8. pH Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah .................
17
Gambar 9. Nilai Kekeruhan (Turbiditas) Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah ..................................................................
18
Gambar 10. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Oli Bekas ....................
20
Gambar 11. Volume Pemisahan minyak dan Emulsi Minyak Jelantah ..........
21
Gambar 12. pH Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah ..................
21
Gambar 13. Nilai Kekeruhan (Turbiditas) Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah ....................................................................
22
Gambar 14. Nilai Salinitas Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah ...........................................................................
23
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Pengujian Proses Demulsifikasi .....................
29
Lampiran 2. Prosedur Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih .......................................................................................
30
Lampiran 3. Hasil Pengujian Proses Demulsifikasi (Konsentrasi 0,05 M). ....
31
Lampiran 4. Analisis Keragaman Hasil Proses Demulsifikasi ........................
39
Lampiran 5. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Kekeruhan (Turbiditas) ...
43
Lampiran 6. Hasil Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih (0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M) ......................................
47
Lampiran 7. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih (0,02; 0,03; dan 0,05 M) ....................
49
Lampiran 8. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Kekeruhan (Turbiditas) ...
51
Lampiran 9. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Salinitas (Kadar Garam) ..
53
I. 1.1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 menyebutkan bahwa bahan buangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan industri merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran air, contohnya limbah cair emulsi minyak yang dihasilkan dari berbagai industri manufaktur termasuk bengkel perawatan mesin dan otomotif. Minyak jelantah dari hasil industri penggorengan dan rumah tangga juga termasuk ke dalam jenis limbah cair emulsi minyak yang merusak lingkungan, karena sangat membahayakan kesehatan manusia, terutama bila dihasilkan dalam jumlah yang banyak. Pemahaman ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungan ini sangat penting guna mencari akar permasalahan dan memberikan beberapa alternatif solusi penyelesaian secara terpadu, menyeluruh dan tepat. Permasalahan tersebut seperti pencemaran pada air yang berarti dimasukkannya komponen lain ke dalam air, baik kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung, maupun akibat proses alam, sehingga kualitas air turun ke tingkat tertentu yang menyebabkan matinya hewan atau tumbuhan air dan berkurangnya kandungan oksigen dalam air. Pada tahun 1991, sekitar 1,35 milyar galon air limbah minyak yang berasal dari petroleum yang diproduksi di Amerika Serikat sekitar 790 juta galon dikaitkan dengan penggunaan otomotif dan 560 juta galon yang dihasilkan oleh industri. Sumber minyak otomotif adalah penggantian minyak sendiri, garasi mobil, stasiun pelayanan, armada truk, instalasi militer, dan fasilitas industri dan manufaktur, sedangkan limbah minyak industri, meliputi minyak pada pengerjaan logam, minyak hidrolik, minyak proses, minyak pelumas dan minyak mesin (Tchobanoglous et al., 1993). Di Indonesia, jumlah limbah oli bekas atau limbah minyak residu dari oli murni pada tahun 2003 sekitar 465 juta liter per tahun (Apri, 2008). Sumber dari limbah ini sendiri berasal dari aktivitas sarana mesin dan industri. Dwi (2007) mengatakan bahwa pada tahun 2010 dihasilkan sebanyak 3 juta ton limbah dari hasil industri penggorengan, seperti restoran, rumah makan, maupun kegiatan rumah tangga. Minyak jelantah juga termasuk ke dalam jenis limbah yang sangat berbahaya bila ditinjau dari komposisi kimianya, karena mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan. Umumnya, air limbah minyak tersebut mengandung logam, pelarut diklorinasi, dan senyawa organik lain yang termasuk dalam daftar sebagai polutan prioritas oleh Environmental Protection Agency (EPA). Kehadiran logam seperti arsen, barium, kadmium, kromium, dan seng biasanya merupakan hasil dari proses mesin atau pemakaian bantalan, atau masuknya logam ini pada penambahan minyak, sedangkan senyawa organik lain, seperti benzena dan naftalena, biasanya terkait dengan kandungan dasar dari minyak itu sendiri (Tchobanoglous et al., 1993). Industri besar di Indonesia telah dilengkapi dengan sistem unit pengolahan air limbah, seperti Oil Water Separator (OWS), tapi sistem ini masih dirasa kurang efektif karena belum dapat memisahkan emulsi antara fase minyak dari fase air secara sempurna dan optimal, serta memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses pemisahannya. Dalam mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu metode yang tepat dengan waktu relatif singkat agar emulsi tersebut dapat terpisah. Proses demulsifikasi merupakan salah satu teknologi pengolahan air limbah. Prinsip dasar dari teknologi ini adalah pemisahan air dan minyak yang terkandung di dalam emulsi minyak menggunakan asam, garam, surfaktan, ataupun demulsifier komersial, sehingga diharapkan dapat mempercepat terjadinya
proses pemisahan air dan minyak, serta meningkatkan kualitas dari air yang akan dibuang ke lingkungan guna memenuhi standar untuk air limbah industri, terutama pada parameter minyak dan lemak.
1.2
TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengetahui proses demulsifikasi yang paling baik dan cepat menggunakan garam, asam, surfaktan dan demulsifier komersial dalam memisahkan emulsi Oil In Water (O/W) oli bekas dan minyak jelantah.
1.3
RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini adalah:
Pembuatan sampel emulsi minyak dalam air dengan emulsifier Span 20: Tween 80
Penggunaan garam, asam, surfaktan dan demulsifier komersial
Pengaruh jenis dan konsentrasi bahan kimia terhadap kekeruhan, pH, salinitas, busa yang terbentuk, waktu pemisahan, serta rasio volume pemisahan antara minyak, air dan emulsi yang terbentuk pada emulsi oli bekas dan minyak jelantah dalam air.
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Emulsi Minyak
Dewasa ini, industri pengolahan berbasis minyak dan lemak di Indonesia semakin berkembang pesat, akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan adanya pengolahan limbah terpadu yang dihasilkan setiap harinya selama proses produksi berlangsung. Limbah yang dihasilkan ini dapat berupa campuran antara minyak, air, maupun lumpur. Minyak tidak dapat larut di dalam air, melainkan akan mengapung di atas permukaan air. Bahan buangan cairan berminyak yang dibuang ke lingkungan akan mengapung menutupi permukaan air. Apabila bahan buangan cairan berminyak mengandung senyawa yang volatil, maka akan terjadi penguapan dan bagian luar permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan luas permukaan ini tergantung pada jenis minyaknya dan waktu lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat juga terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama (Juni, 2010). Adanya lapisan minyak pada permukaan air di lingkungan dapat mengganggu kehidupan organisme dalam air. Hal ini disebabkan karena lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam air, sehingga jumlah oksigen yang terlarut di dalam air menjadi berkurang. Kandungan oksigen yang menurun akan mengganggu kehidupan hewan air. Adanya lapisan minyak pada permukaan air juga akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat berlangsung. Akibatnya, oksigen yang seharusnya dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut tidak terjadi. Kandungan oksigen dalam air akan semakin menurun. Tidak hanya itu, air yang telah tercemar oleh minyak juga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia karena seringkali dalam cairan yang berminyak terdapat pula zat-zat beracun, seperti senyawa benzene, senyawa toluene, dan sebagainya (Juni, 2010). Untuk mengatasi berbagai persoalan pencemaran air oleh kegiatan industri, pemerintah telah mengatur dan menetapkan baku mutu air limbah yang dapat dilihat pada lampiran Kepmen LH Nomor KEP-51/MENLH/10/1995. Baku mutu air limbah adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang dapat ditolerir keberadaannya dalam air limbah untuk dibuang ke perairan dari suatu kegiatan tertentu. Baku mutu air limbah berfungsi sebagai suatu arahan atau pedoman pembuangan air limbah dan pengendalian pencemaran perairan. Baku mutu air limbah untuk industri di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah dari Hasil Kegiatan Industri di Indonesia Parameter COD BOD Minyak Nabati Minyak Mineral Zat Padat Tersuspensi (TSS) pH Suhu Amonia Bebas (NH3) Nitrat (NO3-N) Sulfida (H2S) Fenol
Konsentrasi 100-300 mg/L 50-150 mg/L 5-10 mg/ L 10-50 mg/L 200-400 mg/L 6,0-9,0 38-40 oC 1,0-5,0 mg/L 20-30 mg/L 0,05-0,1 mg/L 0,5-1,0
Damar (2011) Umumnya, industri pengolahan berbasis minyak dan lemak telah dilengkapi dengan teknologi pengolahan air limbah menggunakan flokulasi dan elektrolisis atau lebih dikenal dengan istilah Oil Water Separator (OWS). Pada dasarnya proses pemisahan alat ini dilakukan sesuai dengan perbedaan berat jenis. Saat proses pemisahan terjadi, fase air akan berada di bagian bawah dan fase minyak akan berada di bagian atas karena berat jenis air lebih besar daripada berat jenis minyak (Yudhistira, 2007). Sisa minyak yang terkumpul akan di salurkan atau dibuang menuju sludge tank, sedangkan sisa air dengan kadar kontaminasi minyak maksimal ppm akan di buang keluar melaui pipa outlet. Dow (2010) menerangkan bahwa teknologi OWS ini belum terlalu membantu dalam menyelesaikan masalah, bila ditinjau dari konsistensi proses dan jasa ekonomi. Oleh karena itu, pemilihan elektrolit yang tepat dan teknik pemisahan yang cepat dengan bantuan demulsifier merupakan faktor yang penting yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan sistem pengolahan yang lebih efisien agar air limbah dapat dilepaskan ke dalam sistem saluran kota dan akhirnya kembali ke sumbernya dengan aman tanpa merusak lingkungan. Lebih jelas mengenai cara kerja dari Oil Water Separator (OWS) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Proses Pemisahan Limbah Emulsi Minyak dengan OWS (Yudishtira, 2007) Syauqi (2009) mengutarakan terdapat tiga metode yang bisa dilakukan dalam memisahkan campuran emulsi, yaitu thermal, electrical, dan chemical method, ataupun kombinasi dari ketiga metode tersebut. Metode termal (perlakuan panas) dalam merusak sistem emulsi biasanya menghabiskan dana yang banyak tergantung dari kecanggihan peralatan yang digunakan dan kelarutan air dalam minyak karena suhu yang diperlukan harus sangat tinggi dan panas agar tercipta kondisi pemisahan yang optimal, sedangkan metode electrical (muatan elektrolit) dapat mengakibatkan terganggunya tegangan permukaan pada tiap droplet emulsi, sehingga menyebabkan molekul polar reorientasi diri yang membuat film disekitar droplet emulsi melemah karena molekul polar tidak lagi intens pada permukaan droplet. Umumnya, metode ini tidak menyelesaikan pemisahan emulsi sepenuhnya dengan sendirinya, meskipun terkadang sering ditambahkan pula bahan kimia dan pemanasan, tapi tetap saja metode ini dianggap kurang efisien. Metode chemical merupakan metode yang paling umum digunakan untuk memisahkan campuran emulsi air dalam minyak di lapangan dikarenakan adanya kombinasi dari panas dan bahan kimia (demulsifier) yang
dirancang untuk menetralisir efek dari agen pengemulsi, sehingga efektif mampu memecahkan film antarmuka tanpa penambahan peralatan baru atau modifikasi dari peralatan yang ada.
2.2
Demulsifikasi
Demulsifikasi adalah pemecahan emulsi menjadi minyak dan air dengan menurunkan stabilitas emulsi, seperti menghancurkan film interface dengan cara menaikkan suhu, menurunkan pengadukan, menaikkan waktu tinggal, dan mengusir padatan. Beberapa metode demulsifikasi yang sering digunakan, yaitu metode termal, metode listrik, metode mekanik, dan metode kimia (Wasirnuri, 2008). Pemecahan emulsi identik dengan proses demulsifikasi atau memisahkan minyak dari air. Bahan kimia yang biasa dipakai berupa demulsifier atau emulsion breaker. Demulsifier atau pemutus emulsi termasuk kelas bahan kimia khusus yang digunakan untuk memisahkan emulsi, misalnya air dalam minyak. Ansyori (2003) menjelaskan fungsi demulsifier adalah memisahkan partikel-partikel air dari minyak pada sistem emulsi yang stabil. Demulsifier termasuk solvent base (pelarut dominan) dengan prinsip kerjanya menurunkan tegangan permukaan atau interface sistem minyak-air atau air-minyak, sehingga partikel-partikel kecil minyak atau air akan menyatu menjadi ukuran yang lebih besar atau lebih berat. Pengguna utama dari demulsifier biasanya adalah industri baja, alumunium, pengolahan kimia, penyulingan minyak, serta industri yang bergerak dalam pengolahan minyak mentah di ladang minyak Elaine (2006) menambahkan bahwa kestabilan emulsi cair dapat rusak apabila terjadi pemanasan, proses sentrifugasi, pendinginan, penambahan elektrolit, dan perusakan zat pengemulsi. Krim (creaming) atau sedimentasi dapat terbentuk pada proses ini. Pembentukan krim dapat dijumpai pada emulsi minyak dalam air. Apabila kestabilan emulsi ini rusak, maka partikel-partikel minyak akan naik ke atas membentuk krim dan partikel-partikel air akan turun ke bawah. Contoh penggunaan proses ini adalah penggunaan proses demulsifikasi dengan penambahan elektrolit untuk memisahkan karet dalam lateks yang dilakukan dengan penambahan asam format (CH2O2) atau asam asetat (CH3COOH). Gaya gravitasi membuat kedua campuran antara minyak dan air menjadi terpisah. Partikel-partikel air yang telah menyatu akan turun, sedangkan partikel-partikel minyak yang telah menyatu akan naik, maka terjadilah dua fase yang terpisah, yaitu minyak dan air tanpa terjadinya reaksi kimia, tetapi hanya reaksi fisika saja. Reaksi ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Umumnya, semakin tinggi suhu semakin efektif reaksinya, misalnya untuk emulsi yang terjadi pada heavy crude oil, suhu mulai efektif pada 150 ˚F (Ansyori, 2003). Pemilihan jenis demulsifier yang tepat sangat penting untuk diperhatikan. Biasanya jenis demulsifier yang dipilih tergantung pada jenis emulsi, baik Oil in Water (O/W) ataupun Water in Oil (W/O), serta jenis kotoran yang terkandung dalam emulsi itu. Setelah diketahui ada atau tidaknya kotoran yang terkandung dalam emulsi dan jenis emulsi apa yang dominan pada air limbah emulsi tersebut, selanjutnya dilakukan pemilihan demulsifier yang cocok agar proses demulsifikasi dapat berlangsung cepat dan sempurna (Ansyori, 2003). Lebih lanjut, Dow (2010) juga menjelaskan bahwa terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan untuk memecahkan sistem emulsi, diantaranya meningkatkan suhu agar emulsi tersebut menjadi tidak stabil, menambahkan asam untuk menurunkan pH dan menghilangkan stabilitas pada emulsi, menambahkan garam (elektrolit) agar sistem emulsi menjadi tidak stabil, maupun dengan menambahkan surfaktan yang memiliki nilai Hidrofil Lipofil Balance (HLB) tinggi ke dalam sistem emulsi yang memiliki nilai HLB lebih rendah, maupun sebaliknya yang bertujuan untuk mengacaukan sistem emulsi tersebut.
2.3
GARAM
Dalam industri eksplorasi minyak dan gas, garam merupakan komponen penting yang harus dimasukkan ke dalam sumur selama proses pengeboran agar terjadi flokulasi dan meningkatkan densitas fluida pengeboran untuk mengatasi tekanan downwell gas yang tinggi. Proses demulsifikasi dengan cara melalui penambahan garam sebenarnya telah sering dilakukan. Xia et al. (2010) menjelaskan bahwa secara khusus, emulsi bisa dipisah menjadi minyak dan air dalam waktu yang sangat singkat dengan cara menambahkan garam anorganik, seperti NaCl, CaCl2, KCl, dan sebagainya. Sodium klorida atau natrium klorida (NaCl) yang dikenal sebagai garam adalah suatu senyawa kristal tidak berwarna (putih) yang memiliki tingkat osmotik tinggi, sehingga mudah terlarut di dalam air dan termasuk jenis garam yang paling mempengaruhi salinitas laut. NaCl juga merupakan jenis garam yang terbaik dalam proses demulsifikasi karena garam anorganik ini mampu mempercepat proses terjadinya pemisahan antara minyak dan air, ataupun sebaliknya pada suhu tinggi selama 120-150 detik dengan tingkat efisiensi terbesar, yaitu 100% dibandingkan garam jenis lainnya. Kalium klorida (KCl) merupakan garam logam halida yang terbuat dari kalium dan klor. Dalam keadaan murni, tidak berbau dan memiliki kristal berwarna (putih) dengan struktur kristal kubik berpusat di muka, tidak larut dalam air, tetapi hanya larut dalam pelarut non polar, seperti alkohol. Garam jenis ini biasa digunakan dalam industri pangan, maupun untuk dunia kedokteran. Kalsium klorida (CaCl2) terbuat dari garam kalsium dan klorin dan dapat larut dengan baik di dalam air, maupun pelarut non polar. Banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, serta dalam pengolahan air limbah. Ketiga jenis garam ini bersifat higroskopis, terutama Ca karena kemampuan menyerap air dan udara yang tinggi, sehingga tidak jarang dapat menyebabkan terjadinya korosif pada media yang digunakan dan harus disimpan dalam keadaan tetutup rapat agar tidak terkontaminasi dengan udara (Anonim, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan Saiwan (2010) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses demulsifikasi, seperti suhu, kecepatan pengadukan, serta jumlah NaCl yang ditambahkan ke dalam air limbah emulsi. Kondisi optimal yang memungkinkan dalam proses demulsifikasi dengan fraksi volume tinggi untuk setiap emulsi dengan kadar padatan yang berbeda-beda. Umumnya, kondisi untuk emulsi dengan kadar kepadatan 3% yang biasa diterapkan dalam pengolahan air limbah emulsi, dimana air hasil demulsifikasi ini telah memenuhi kualitas air berdasarkan hasil tesifikasi yang menunjukkan bahwa antara minyak dan lemak, suspended solid, dan pH masih dalam batas standar effluen.
2.4
ASAM
Demulsifikasi juga dapat dilakukan dengan cara menambahkan asam, misalnya asam format ataupun asam asetat yang biasa digunakan untuk memisahkan karet dalam lateks (Elaine, 2006). Asam asetat atau asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni disebut asam asetat glasial adalah cairan higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16, 7 °C. Asam asetat (CH3COOH) merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5
juta ton per tahun. Sebanyak 1,5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati (Anonim, 2011). Sebagai pelarut asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang, yaitu 6,2. Oleh karena itu, dapat melarutkan senyawa polar seperi garam anorganik dan gula, maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform, dan heksana. Sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri minyak dan kimia, akan tetapi harus lebih berhati-hati ketika menggunakan semua bahan kimia yang berjenis asam, karena memiliki sifat yang korosif dan berbahaya bagi kesehatan (Anonim, 2011). Syauqi (2009) menjelaskan bahwa jenis demulsifier yang cocok untuk campuran bahan emulsi Water in Oil adalah asam butanoat (C3H7COOH) dan asam format (CH2O2), dimana kedua jenis asam ini biasa dipakai dalam pemisahan emulsi air dalam minyak pada kilang minyak di Dubai dengan tetap memperhatikan beberapa faktor pendukung lainnya, seperti kondisi suhu dan pengoptimasian pengadukan selama proses demulsifikasi agar pemisahan dapat berlangsung cepat.
2.5
SURFAKTAN
Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan yang memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian, yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble, sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Georgeiou et al., 1992). Berdasarkan gugus hidrofilnya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan. Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, muatannya bergantung pada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif. Sifat-sifat surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol sistem emulsi (misalnya, oil in water atau water in oil). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan menghambat coalescence dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar), sehingga
dapat berikatan dengan molekul, seperti air dan senyawa ion, sedangkan gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya Van der walls. Jenis surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MES (Metil Ester Sulfonat). MES termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Struktur kimia dari MES dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia MES (Watkins, 2001) Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Lebih lanjut Matheson (1996) menjelaskan bahwa MES telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk dikarenakan metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Namun, surfaktan MES juga memiliki kelemahan, diantaranya produksi warna yang terlalu tinggi (Rosen, 2004) dan gugus metil ester pada struktur MES akan mengalami degradasi termal pada suhu tinggi dan cenderung mudah mengalami hidrolisis, baik pada larutan asam maupun basa (Sheats et al., 2002).
2.6
DEMULSIFIER KOMERSIAL
Sejak awal abad pertengahan pemakaian demulsifier telah lazim digunakan dengan komponen bahan kimia penyusunnya yang selalu mengalami perrkembangan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sejarah Perkembangan Demulsifier
1920
Dosis Penggunaan (ppm) 100
1930
1000
1935
100-500
Periode
Bahan Kimia Penyusun Soap, Naphtenic acid salts and alkylaryl sulphonate, Sulfated caster oil Petroleum sulphonates, Derivatives of sulpho-acid oxidized caster oil and sulphosucinic acid ester Fatty acids, Fatty alcohols, Alkylphenols
1950
100
Ethylene oxyde/Propylene oxide copolymer, Alkoxylated cyclic palkylphenol formaldehyde resins Amine alkoxylate Alkoxylated cylic p-alkylphenol formaldehyde resins Polyester amine and blends
1965 30-50 1976 10-30 1980 5-20 Hamadi dan Mahmood (2010)
Proses demulsifikasi juga biasa dilakukan dengan menggunakan demulsifier yang banyak dijual di pasaran, seperti polimer akrilamid. Struktur kimia dari polimer akrilamid dapat dilihat pada Gambar 3. CH2 CH)n C═O NH2 Gambar 3. Struktur Kimia Polimer Akrilamid (Hamadi dan Mahmood, 2010) Putranto (2002) menjelaskan bahwa demulsifier yang biasa digunakan oleh industri minyak dalam mengolah air limbah emulsinya, yaitu TONSCO TD-02.SB yang merupakan suatu formula yang diproyeksikan untuk mencegah terjadinya emulsi antara lumpur minyak dengan air yang terdiri dari alkylaryl sulfonate 10%, alcohol compound 10%, phenolic material 2%, dan heavy aromatic distilate 78%. Fungsi dari TD-02.SB adalah sebagai pengadisi ion polyvalen untuk menetralisir asam kuat atau beban elektrik, sebagai petroleum demulsifier untuk memisahkan lumpur minyak dengan air dan mencegah emulsi antara minyak dengan air, sebagai non ionik surfaktan yang tidak menimbulkan pengaruh pada perubahan dalam air sadah, dan sebagai aditif minyak pelumas. Keuntungan dari penggunaan demulsifier jenis ini, antara lain mempunyai kestabilan yang baik dalam suasana larutan pH rendah maupun tinggi pada wilayah, suhu, dan konsentrasi yang beragam dan sesuai apabila dipadukan dengan anionik dan kationik surfaktan. Untuk cara pemakaiannya pun cukup sederhana, yaitu cukup disemprotkan pada emulsi lumpur minyak dengan dibantu pengadukan, tanpa dilakukan pengenceran. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi Demulsifier TD‐02. SB Bentuk
Cairan Kekuning-kuningan
Kekentalan
563 cp
Titik Didih
293 ˚C
Berat Jenis
0,95
pH (5% larutan)
5,5 – 7,5
Putranto (2002)
III. 3.1
METODE PENELITIAN
BAHAN DAN ALAT
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah oli bekas dari bengkel Yamaha Motor dan minyak jelantah yang berasal dari para pedagang pecel lele di daerah Perumahan Yasmin, Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah air destilata, span 20 (sorbitan monolaurat), tween 80 (sorbitan monooleat), n-heksana, etanol, garam natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), kalsium klorida (CaCl2), asam asetat (CH3COOH), asam format (CH2O2), asam butanoat (C3H7COOH), surfaktan MES (8011,8012 dan 8013) dari laboratorium SBRC-Bogor, serta demulsifier komersial (5011, 5012 dan 5013) yang berasal dari PT. Indospec, Jakarta. Peralatan utama yang digunakan adalah timbangan analitik, peralatan gelas, micro pipet, dan vortex. Untuk analisis, peralatan yang digunakan adalah spektrofotometer DR/2000, kertas lakmus, stopwatch, desikator, oven dan conductivitymeter.
3.2
METODE
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sesuai dengan ruang lingkup dari penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi metode penelitian yang digunakan oleh Wen et al., 2010.
3.2.1. Karakterisasi Limbah Minyak Bahan limbah berupa oli bekas dan minyak jelantah dikarakterisasi, meliputi uji turbiditas (kekeruhan) dan uji fraksi polar. Untuk prosedur uji turbiditas, sampel oli bekas dan minyak jelantah terlebih dulu diencerkan dengan pelarut heksan sampai nilai turbiditasnya bisa terbaca pada alat spektrofotometer DR/2000 dan dicatat hasil dari pembacaan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengujian fraksi polar, yaitu sebanyak 10 mL sampel (oli bekas ataupun minyak jelantah) diambil dan dicampurkan dengan 40 mL etanol dalam labu pemisah sambil dikocok sampai tercampur rata dan diamkan selama beberapa menit agar campuran antara sampel (oli bekas ataupun minyak jelantah) dengan etanol menjadi terpisah. Fraksi minyak berada di atas, sedangkan fraksi etanol akan turun ke bawah dan dikeluarkan sampai fraksi minyaknya saja yang tertinggal. Selanjutnya, dikering-anginkan selama beberapa hari dalam cawan alumunium sampai benar-benar kering dan tidak tercium lagi aroma dari etanolnya. Berat cawan alumunium ditimbang, setelah dipanaskan terlebih dulu dalam oven dan didinginkan dalam desikator untuk kemudian ditimbang. Persentase fraksi polar didapat dengan rumus: X (gram) Fraksi Polar (%) ═
x 100% 10 mL
Keterangan: X: Selisih berat dari cawan alumunium yang digunakan
3.2.2. Proses Demulsifikasi Demulsifikasi dilakukan dengan menambahkan demulsifier (garam, asam, surfaktan dan demulsifier komersial). Terlebih dulu, 20 mL sampel bahan baku (oli bekas ataupun minyak jelantah) dicampurkan dengan 2 mL emulsifier span 20 (sorbirtan monolaurat) dan tween 80 (sorbitan monooleat) dengan perbandingan 19:1 mL dengan cara dipipet. Lalu, ditambahkan aquades 68 mL sambil dikocok, baik dengan bantuan vortex, maupun secara manual selama 1 menit dan didiamkan sampai tercampur rata. Sebanyak 0,05 M demulsifier (garam, asam, surfaktan, ataupun demulsifier komersial) dilarutkan dalam 10 mL aquades. Lalu, larutan demulsifier ini dituangkan ke dalam sampel bahan baku yang telah dibuat sebelumnya sampai total volume keseluruhan sampel mencapai 100 mL sesuai dengan volume akhir yang ingin diamati. Selanjutnya, dikocok secara manual selama 1 menit agar larutan emulsi minyak ini tercampur rata dengan larutan demulsifier, didiamkan dan diamati perubahan yang terjadi, meliputi waktu pemisahan, warna, busa, pH, rasio volume pemisahan minyak dan emulsi, serta kekeruhan dengan bantuan spektrofotometer DR/2000. Penjelasan mengenai prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan prosedur penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4. Oli bekas atau minyak jelantah (20 mL)
Pencampuran dengan 2 mL Span 20 (sorbitan monolaurat) dan Tween 80 (sorbitan monooleat) (perbandingan 19:1 mL)
Aquades 68 mL Larutan emulsi oli bekas atau minyak jelantah
Demulsifier 0,05 M dilarutkan dalam 10 mL aquades
Pengocokan (1 Menit)
Volume total larutan emulsi minyak dengan demulsifier (100 mL)
Pengocokan (1 Menit)
Analisis meliputi waktu pemisahan, warna, busa, pH, rasio volume pemisahan minyak dan emulsi, serta kekeruhannya
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian (modifikasi dari Wen et al., 2010)
3.2.3. Pemilihan Konsentrasi Terbaik dari Demulsifier Terpilih Prinsip pengujian ini hampir sama dengan proses demulsifikasi, perbedaannya terletak pada konsentrasi demulsifier terpilih (NaCl dan CaCl2) yang digunakan, yaitu 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M agar didapatkan konsentrasi yang paling baik dan cepat untuk proses demulsifikasi. Analisis yang diujikan meliputi waktu pemisahan, warna, busa, pH, kekeruhan, salinitas (kadar garam), serta rasio volume pemisahan minyak dan emulsi. Penjelasan mengenai prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan prosedur penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5. Oli bekas atau minyak jelantah (20 mL)
Pencampuran dengan 2 mL Span 20 (sorbitan monolaurat) dan Tween 80 (sorbitan monooleat) (Perbandingan 19:1 mL) NaCl atau CaCl2 (0,02; 0,03; 0,05 M) dilarutkan dalam 10 mL aquades
Aquades 68 mL Larutan emulsi oli bekas atau minyak jelantah
Pengocokan (1 Menit)
Volume total larutan emulsi minyak dengan demulsifier (100 mL)
Pengocokan (1 Menit)
Analisis meliputi waktu pemisahan, warna, busa, pH, rasio volume pemisahan minyak dan emulsi, salinitas, serta kekeruhannya
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian (modifikasi dari Wen et al., 2010)
3.2.4. Rancangan Percobaan Untuk mengkaji variabel proses yang berpengaruh dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali pengulangan.
Rancangan Acak Lengkap
Bentuk umum dari model linier aditif dapat dituliskan sebagai berikut:
Yij = µ + τi + εij atau Yij = µi + εij Keterangan: i = 1,2,…,t dan j = 1,2,…,r
Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum τi : Pengaruh perlakuan ke-i εij : Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Pengujian Hipotesis H0: µ1= µ2= ...= µt (semua perlakuan memberi respon yang sama) H1: paling sedikit ada sepasang perlakuan (i,i*), µi ≠ µi* Selanjutnya, model tersebut dianalisis sidik ragamnya menggunakan perangkat lunak SAS 9.1 dan dilanjutkan dengan uji duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan. Perbandingan Duncan pada dasarnya hampir sama dengan perbandingan nilai tengah yang lain, tetapi prosedur Duncan mempersiapkan segugus nilai pembanding yang meningkat tergantung dari jarak peringkat dua buah perlakuan yang dibandingkan. Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut: Rp = rα;p;dbgS S = √ KTG/ r rh = 1/ ∑it=1 1/ri Nilai rα;p;dbg merupakan nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dgb. Dari rumusan diatas terlihat bahwa ulangan setiap perlakuan harus sama, tetapi jika tidak sama maka nilai r bisa didekati dengan rataan harmonik dari semua ulangan perlakuan (rh) (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
IV. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK
Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak jelantah) tanpa penambahan demulsifier guna menjadi patokan dalam melakukan pengamatan terhadap sampel pengujian selanjutnya. Pengujian terhadap blanko yang telah dibuat, meliputi waktu pemisahan, warna, busa, rasio volume pemisahan minyak, air, emulsi, kekeruhan, nilai pH, dan fraksi polar minyak. Data hasil pengujian dari blanko tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Hasil Pengujian Karakterisasi Limbah Minyak dan Proses Demulsifikasi Parameter Oli Bekas Minyak Jelantah Waktu Pemisahan 40 menit 55 menit Warna (Fase Air) Keruh Sangat Keruh Busa +++ ++++ Minyak:Air 23:75 (mL) 21:76 (mL) Lapisan Emulsi yang Terbentuk 2 mL 2 mL Turbiditas (Fase Air) 720 FTU 960 FTU Nilai pH (Fase Air) 8 4 Turbiditas (Fase Minyak) 13.480 1.770 Fraksi Polar Minyak 2,45% 5,85% Keterangan: ++++: Sangat Banyak
+++ : Banyak
++
: Cukup
+
: Sedikit
Dari Tabel 4 di atas terlihat bahwa sampel oli bekas yang diujikan berwarna keruh, memiliki busa yang banyak, antara lapisan minyak, air, dan emulsi dapat terpisah pada menit ke-40 dengan perbandingannya berturut-turut 23:75:2 (mL), nilai turbiditasnya sebesar 720 FTU dan nilai pH adalah 8. Untuk sampel minyak jelantah sendiri menunjukkan warna sampel sangat keruh dengan busa yang sangat banyak, antara lapisan minyak, air, dan emulsi baru dapat terpisah pada menit ke-55 dengan perbandingannya berturut-turut 21:76:3 (mL), nilai turbiditasnya adalah 960 FTU dengan nilai pH yang didapat sebesar 4. Dari hasil pengujian kedua sampel tersebut dapat disimpulkan bahwa pemisahan emulsi antara minyak dan air dapat saja terjadi dengan sendirinya, tetapi diperlukan waktu yang cukup lama antara 40-55 menit dengan hasil pemisahan yang kurang sempurna. Oleh karena itu, perlu ditambahkan demulsifier yang bekerja memecah emulsi menjadi minyak dan air dengan cara menurunkan stabilitas emulsi (Wasirnuri, 2008). Dari data hasil pengamatan pada Tabel 4 diketahui nilai kekeruhan (turbiditas) pada oli bekas adalah 13.480 FTU, sedangkan pada minyak jelantah sebesar 1.770 FTU. Apri (2008), menerangkan bahwa selain berfungsi sebagai pelumasan, oli mesin juga berfungsi membersihkan sisa pembakaran yang bertumpuk pada dinding blok silinder. Pada dinding itu menempel unsur kimia, seperti asam belerang dan hidrokarbon, serta sisa bahan bakar yang tidak terbakar sempurna. Oleh karena itu, oli mesin setelah melewati masa pakai tertentu akan mengalami perubahan warna menjadi hitam kelam. Hal inilah yang membuat nilai kekeruhan dari oli bekas lebih besar daripada nilai turbiditas minyak jelantah yang diujikan. Minyak goreng yang telah dipakai berulang-ulang tak peduli apakah warnanya sudah berubah menjadi coklat tua sampai hitam atau belum biasa disebut sebagai minyak jelantah, terutama yang
digunakan oleh para pedagang untuk menggoreng. Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak. Komponen utama dari minyak goreng adalah berupa trigliserida dan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh. Selama proses penggorengan, terjadi kontak antara minyak dengan udara dan pengaruh suhu yang relatif tinggi yang mengakibatkan minyak tersebut mudah mengalami oksidasi termal, apalagi bila proses penggorengan dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berulangulang dapat menyebabkan ikatan rangkap dalam minyak menjadi jenuh, teroksidasi, membentuk gugus peroksida, dan monomer siklik yang dapat mengakibatkan penyakit kanker (Boediharnowo, 1997). Dari data hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 4 terlihat bahwa tingginya nilai fraksi polar yang dimiliki oleh minyak jelantah sebesar 5,85% yang berarti sebagian besar partikel-partikel yang terkandung dalam minyak jelantah tersebut ikut menguap bersama dengan pelarut non polar (etanol) yang digunakan, sehingga menyebabkan nilai kekeruhan (turbiditas) minyak jelantah menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan oli bekas. Persentase nilai fraksi polar pada minyak jelantah yang tinggi ini juga menunjukkan tingkat oksidasi yang dimiliki juga sangat tinggi (Boediharnowo, 1997). Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak, sehingga menyebabkan terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid, keton, dan asamasam lemak bebas. Ini menandakan bahwa minyak yang digunakan telah rusak dan seharusnya tidak digunakan kembali untuk proses penggorengan. Berbagai jenis demulsifier diujikan pada penelitian ini, baik itu yang termasuk golongan garam (NaCl, KCl, dan CaCl2), asam (CH3COOH, CH2O2, dan C3H7COOH), surfaktan jenis MES (8011, 8012, dan 8013), serta demulsifier komersial (5011, 5012, dan 5013) dengan konsentrasi yang sama, yaitu 0,05 M guna didapatkan jenis demulsifier yang cocok untuk memisahkan emulsi antara minyak dan air yang diukur pada menit ke-5 meliputi warna, busa, pH, rasio volume pemisahan minyak dan emulsi, serta kekeruhannya.
4.2
PROSES DEMULSIFIKASI 4.2.1. Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi
Gambar 6. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Oli Bekas Demulsifikasi adalah proses pemecahan emulsi dengan merusak kestabilannya dengan tujuan untuk memisahkan antara fase minyak dari fase airnya. Semakin sedikit lapisan emulsi yang terbentuk, makin baik kinerja dari demulsifier yang digunakan untuk memecahkan emulsi minyak. Emulsi minyak yang telah
terpecah ini, selanjutnya akan berikatan. Emulsi yang bersifat hidrofilik akan berikatan dengan air, sedangkan emulsi hidrofobik akan berikatan dengan minyak dan terangkat ke atas permukaan yang menyebabkan volume fase minyak menjadi bertambah. Dilihat dari Gambar 6 dan Lampiran 3 pada menit ke-5 masing-masing demulsifier menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Untuk jenis garam (NaCl, KCl, dan CaCl2) memberikan hasil volume pemisahan minyak dan emulsi yang sama, yaitu antara 25 mL dengan emulsi 1 mL. Begitupun dengan jenis surfaktan dan demulsifier komersial yang diujikan, hasil volume pemisahan minyak dan emulsinya hampir sama untuk masing-masing jenis yang diujikan, berkisar 21,5-22 (mL) dan emulsi 1 mL (8011, 8012, dan 8013), serta 23-24 (mL) dan emulsi 1 mL (5011, 5012, dan 5013). Untuk jenis asam (asetat, format, dan butanoat) menunjukkan hasil pemisahan yang berbeda-beda, berkisar 22-24,5 mL dan emulsi 1 mL pada menit ke-5 dalam pemisahan sampel oli bekas yang diujikan. Pada hasil analisis keragaman yang dapat dilihat pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa konsentrasi demulsifier dan waktu pemisahan berpengaruh nyata terhadap volume pemisahan minyak dan emulsi. Hasil ini diperkuat juga dari hasil pengujian Duncan guna melihat perbandingan nilai tengah perlakuan. Hasilnya menunjukkan penambahan KCl ke dalam sampel larutan oli bekas memberikan hasil berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada menit ke-5 terhadap volume pemisahan fase minyak tertinggi pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
Gambar 7. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Minyak Jelantah Hal berbeda ditunjukkan pada Gambar 7 dan Lampiran 3 pada menit ke-5 masing-masing demulsifier menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada jenis garam (NaCl, KCl, dan CaCl2, hasil volume pemisahan minyak dan emulsi pada menit ke-5 berkisar 19,5-22 (mL) dan emulsi 1 mL. Untuk jenis asam asetat (CH3COOH), asam format (CH2O2), dan asam butanoat (C3H7COOH), serta surfaktan (8011, 8012, dan 8013) hasil volume pemisahan minyak dan emulsinya tidak terlalu berbeda, yaitu antara 25-29,5 (mL) dan emulsi 1 mL. Untuk jenis demulsifier komersial (5011, 5012, dan 5013) menunjukkan hasil volume pemisahan minyak dan emulsi, berkisar 21,5-24,5 (mL) dan emulsi 1 mL. Pada hasil analisis keragaman untuk sampel minyak jelantah yang dapat dilihat pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa konsentrasi demulsifier dan waktu pemisahan berpengaruh nyata terhadap volume pemisahan minyak dan emulsi. Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan, hasilnya menunjukkan penambahan surfaktan dengan kode 8012 ke dalam sampel larutan
minyak jelantah memberikan hasil berbeda nyata dengan perlakuan lainnya terhadap volume pemisahan fase minyak yang paling tinggi pada selang kepercayaan 95%. Volume pemisahan minyak yang tinggi menunjukkan bahwa proses pemecahan emulsi berlangsung dengan baik. Emulsi minyak yang telah terpecah ini, selanjutnya akan berikatan. Emulsi yang bersifat hidrofilik akan berikatan dengan air, sedangkan emulsi hidrofobik akan berikatan dengan minyak dan terangkat ke atas permukaan yang menyebabkan volume pada fase minyak menjadi bertambah. Penambahan demulsifier terbukti berhasil untuk memecahkan ikatan emulsi antara minyak dan air, sehingga fase minyak dan fase air menjadi terpisah. Untuk memecahkan emulsi minyak atau air secara kimia, maka faktor penstabil harus terlebih dahulu dinetralisasi untuk membuka jalan bagi droplet teremulsi untuk bergabung (Notodarmojo et al., 2004). Muatan elektrik dari droplet teremulsi dapat dinetralisasi dengan memberikan muatan berlawanan melalui penambahan bahan kimia pemecah emulsi atau biasa disebut demulsifier. Karakteristik dielektrik dari air akan mengakibatkan droplet emulsi minyak memiliki muatan negatif, sehingga pemecah emulsi kationik atau bermuatan positif diperlukan untuk proses pemecahannya. Setelah emulsi minyak atau air terpecahkan, secara ideal akan terbentuk dua lapisan yang sangat berbeda, sebuah lapisan air dan sebuah lapisan minyak.
4.2.2. Nilai pH (Derajat Keasaman) Nilai pH (derajat keasaman) merupakan parameter dari kualitas air limbah yang penting dan praktis. Nilai pH yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari jenis emulsi minyak yang dihasilkan. Nilai pH yang dihasilkan dari emulsi oli bekas dan minyak jelantah disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. pH Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Sebagai pembanding, nilai pH emulsi oli bekas dan minyak jelantah sebelum ditambahkan demulsifier berturut-turut adalah 8 dan 4. Dari hasil pengujian nilai pH terhadap emulsi oli bekas setelah ditambahkan asam adalah 4, sedangkan untuk jenis garam, surfaktan, dan demulsifier komersial nilai pHnya mendekati netral, yaitu 6. Notodarmojo et al. (2004), menyebutkan bahwa nilai pH pada limbah industri automotif adalah 8,84 (bersifat basa) disebabkan adanya kandungan surfaktan dengan konsentrasi tinggi di dalam limbah tersebut.
Zuhra (2008) menjelaskan bahwa air limbah pabrik minyak kelapa sawit memiliki nilai pH berkisar 3,5-5 (bersifat asam) karena mengandung ion hidrogen yang tinggi. Bila dilihat dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap limbah emulsi minyak jelantah pada gambar 8 terlihat bahwa emulsi minyak jelantah setelah ditambahkan jenis asam dan surfaktan menunjukkan nilai pH 3, sedangkan jenis demulsifier komersial menunjukkan nilai 3,5. Hanya jenis garam (NaCl, KCl, CaCl2) yang menunjukkan nilai pH yang mendekati netral, yaitu 5. Penambahan demulsifier ke dalam emulsi minyak jelantah ini tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai pH.
4.2.3. Kekeruhan (Turbiditas) Turbidity atau kekeruhan adalah adanya partikel koloid dan supensi dari suatu bahan pencemar, seperti beberapa bahan organik dan bahan anorganik dari buangan industri, maupun rumah tangga yang terkandung dalam air. Ada berbagai macam cara mengukur kekeruhan dengan menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air baku, yaitu dengan skala NTU (Nephelo Metrix Turbidity Unit), JTU (Jackson Turbidity Unit), ataupun FTU (Formazin Turbidity Unit). Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah adalah spektrofotometer DR/2000 menggunakan satuan FTU untuk menggambarkan tingkat kekeruhan. Alat ini mengukur seberapa banyak cahaya yang dipancarkan oleh partikel tersuspensi yang terdapat di dalam fase air. Semakin banyak cahaya yang terpancarkan, maka semakin tinggi nilai kekeruhannya. Dengan kata lain, nilai FTU yang rendah mengindikasikan tingginya tingkat kejernihan air, sebaliknya nilai FTU yang tinggi mengindikasikan bahwa nilai kejernihannya rendah (Julisti, 2010). Grafik tingkat kekeruhan dari sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah pada menit ke-5 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Kekeruhan (Turbiditas) Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Pada Gambar 9 dan Lampiran 3 diketahui bahwa masing-masing jenis demulsifier yang diujikan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nilai turbiditas yang paling tinggi ada pada sampel emulsi oli bekas yang ditambahkan demulsifier komersial kode 5012, diikuti oleh demulsifier jenis surfaktan dengan kode 8013. Nilai turbiditas yang tinggi mengindikasikan bahwa fase air yang dihasilkan sangatlah keruh
karena banyaknya partikel-partikel koloid yang masih terkandung dan tidak larut di dalam air tersebut yang menyebabkan sampel air yang diujikan berwarna keruh disertai dengan busa yang banyak. Berbeda halnya dengan nilai turbiditas pada emulsi oli bekas yang ditambahkan asam dan garam yang memberikan hasil nilai turbiditas terendah, terutama NaCl. Hal ini terlihat dari air emulsi minyak yang diujikan menjadi lebih jernih dibandingkan jenis demulsifier lainnya. Hasil analisis ragam pada Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa penambahan demulsifier mempengaruhi nilai turbiditas secara nyata. Pada uji lanjut Duncan, diketahui untuk sampel emulsi oli bekas yang ditambahkan NaCl menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan yang lainnya dengan nilai turbiditas terkecil adalah 125,5 FTU. Untuk hasil pengujian turbiditas emulsi minyak jelantah yang disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 3 terllihat bahwa masing-masing jenis demulsifier yang diujikan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai turbiditas tertinggi dihasilkan kode 8013 (surfaktan) dan 5013 (demulsifier komersial). Nilai yang tinggi ini mengindikasikan bahwa air emulsi minyak jelantah yang diujikan sangatlah keruh. Ini terlihat dari warna sampel dan busa yang diamati secara kualitatif juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu keruh dan banyak menghasilkan busa karena banyaknya partikel-partikel koloid yang terkandung dan tidak larut di dalamnya. Dilihat dari hasil analisis ragam pada Lampiran 5, adanya penambahan demulsifier berpengaruh terhadap nilai turbiditas secara nyata. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa untuk sampel emulsi minyak jelantah yang ditambahkan CaCl2 menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan jenis demulsifier lainnya dengan nilai turbiditas terkecil adalah 87 FTU. Bila dibandingkan antara hasil pengujian awal tanpa penambahan demulsifier dengan hasil pengujian yang ditambahkan demulsifier didapatkan hasil yang signifikan. Blanko awal hasil pengujian emulsi minyak tanpa penambahan demulsifier mengalami pemisahan pada menit ke-40 untuk oli bekas dan menit ke-55 untuk minyak jelantah, sedangkan setelah ditambahkan demulsifier pada menit ke-5 telah menunjukkan terjadinya pemisahan antara fase minyak dengan fase air. Dari semua hasil pengujian yang telah dilakukan, meliputi warna, busa, rasio volume pemisahan minyak dan emulsi, pH, dan turbiditas terhadap sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah dapat disimpulkan bahwa jenis demulsifier yang cocok untuk proses demulsifikasi sampel oli bekas adalah garam NaCl, sedangkan untuk sampel emulsi minyak jelantah adalah garam CaCl2. Ini sesuai dengan pernyataan Blair (2007) bahwa garam merupakan demulsifier terbaik untuk memecahkan lapisan emulsi antara minyak dan air. NaCl selain harganya yang relatif murah juga memiliki sifat afinitas, yakni kecenderungan suatu unsur atau senyawa untuk membentuk ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain, dalam hal ini lebih larut dalam air dibandingkan dalam minyak. Setyopratiwi et al (2005), menjelaskan bahwa garam kalsium juga bisa digunakan untuk memecahkan kestabilan emulsi, seperti CaSO4, CaCO3, dan CaCl2 dengan kadar 1000 ppm. Penambahan garam tersebut membuat protein kelapa mengendap, sehingga mudah dipisahkan dari minyak dan air. Faktor pendukung lainnya dalam mempercepat proses pemecahan emulsi dengan suhu 90 oC karena pada suhu tersebut garam akan bekerja secara optimal dalam mempercepat proses pemecahan emulsi. Perlu diingat bahwa tiap batch dalam sebuah industri pengolahan tidaklah sama ukuran dan jumlah garam yang diperlukan. Oleh karena itu, terlebih dulu harus dilakukan pengujian skala kecil (trial and error) guna mencari konsentrasi yang terbaik dari garam untuk proses demulsifikasi dengan membandingkan antara konsentrasi yang satu dan lainnya.
4.3
PEMILIHAN KONSENTRASI TERBAIK DARI DEMULSIFIER TERPILIH
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan di awal, pada sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah ditambahkan jenis demulsifier terpilih, yaitu NaCl untuk oli bekas dan CaCl2 untuk minyak jelantah. Untuk prosedur pengujian yang dilakukan sama dengan pengujian terdahulu dengan konsentrasi garam yang digunakan berbeda-beda, yaitu 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M guna memperoleh konsentrasi terbaik. Analisis terhadap pengujian ini, antara lain waktu pemisahan, warna, busa, pH, kekeruhan, salinitas (kadar garam), serta rasio volume pemisahan minyak dan emulsi.
4.3.1. Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi
Gambar 10. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Oli Bekas Pada Gambar 10 dan Lampiran 6 terlihat penambahan NaCl dengan konsentrasi, antara 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M. Pada menit ke-5 terhadap emulsi oli bekas yang diujkan menunjukkan hasil pengujian yang tidak terlalu jauh berbeda antara ketiga konsentrasi, yaitu 23-23,5 (mL) dan emulsi 1 mL. Dari hasil analisis keragaman yang dapat dilihat pada Lampiran 7 memperlihatkan bahwa konsentrasi demulsifier dan waktu pemisahan tidak berpengaruh nyata terhadap volume pemisahan minyak dan emulsi. Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan, hasilnya menunjukkan bahwa penambahan NaCl dengan berbagai konsentrasi berbeda (0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M) ke dalam emulsi oli bekas belum memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya terhadap waktu pemisahan pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
Gambar 11. Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Minyak Jelantah Hasil pengujian proses demulsifikasi terhadap sampel emulsi minyak jelantah dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 6. Hasil pemisahan tidak berbeda jauh antara konsentrasi yang satu dan lainnya. Rata-rata menunjukkan rasio volume pemisahan minyak dan emulsi berkisar 23,5 mL pada menit ke-5 dengan lapisan emulsi yang terbentuk sebesar 1,5 mL untuk semua konsentrasi yang diujikan. Pada hasil analisis keragaman untuk sampel minyak jelantah yang dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa konsentrasi demulsifier dan waktu pemisahan berpengaruh nyata terhadap volume pemisahan minyak dan emulsi. Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan, hasilnya menunjukkan penambahan CaCl2 dengan berbagai konsentrasi berbeda (0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M) ke dalam emulsi minyak jelantah belum memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya terhadap waktu pemisahan pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
4.3.2. Nilai pH (Derajat Keasaman)
Gambar 12. pH Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Dari hasil pengujian terhadap nilai pH air emulsi oli bekas pada konsentrasi NaCl 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M menghasilkan nilai pH 6 dapat dilihat pada
Gambar 12 dan Lampiran 6, sedangkan pada air emulsi minyak jelantah menunjukkan nilai pH 5. Kedua nilai pH yang dihasilkan, baik untuk garam NaCl dan CaCl2 bersifat mendekati netral. Pengujian terhadap nilai pH air buangan industri sangatlah penting dilakukan karena apabila nilai pH yang dihasilkan terlalu asam (pH < 7) berarti mengandung ion hidrogen yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya korosi pada pipa saluran pembuangan, maupun pada badan air, sedangkan dekomposisi zat organik oleh jasad aerob akan terganggu bila nilai pH mendekati atau lebih dari 10 (Haryoto dan Ahmad, 2007).
4.3.3. Kekeruhan (Turbiditas)
Gambar 13. Nilai Kekeruhan (Turbiditas) Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Dari hasil pengujian kekeruhan pada Gambar 13 dan Lampiran 6 didapatkan hasil bahwa untuk sampel emulsi oli bekas setelah ditambahkan NaCl dengan konsentrasi 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M berturut-turut didapatkan nilai kekeruhannya dari yang terkecil sampai dengan terbesar adalah 81,5; 107,5; dan 126,5 FTU. Begitu pun dengan sampel emulsi minyak jelantah yang ditambahkan CaCl2 dengan konsentrasi 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M berturut-turut didapatkan nilai kekeruhannya dari yang terkecil sampai terbesar, yaitu 78; 82; dan 89 FTU. Ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan, maka nilai kekeruhannya juga akan semakin tinggi, disertai pula adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri (Julisti, 2010) terlihat dari warna larutan sampel yang keruh dengan busa yang banyak ditambah adanya partikel-partikel koloid yang tidak ikut terlarut dalam air yang dapat mempengaruhi nilai kekeruhannya menjadi lebih besar. Hasil analisis keragaman dari kedua sampel yang diujikan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa konsentrasi NaCl dan CaCl2 yang ditambahkan ke dalam sampel berpengaruh terhadap nilai turbiditas secara nyata. Uji lanjut Ducan memperlihatkan bahwa untuk sampel emulsi oli bekas yang ditambahkan NaCl 0,02 M menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan jenis konsentrasi lainnya dengan nilai turbiditas terkecil, yaitu 81,5 FTU. Begitu pula untuk uji lanjut Duncan pada sampel emulsi minyak jelantah yang ditambahkan CaCl2 0,02 M juga menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan jenis konsentrasi lainnya dengan nilai turbiditas terkecil, yaitu 78 FTU pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
4.3.4. Salinitas (Kadar Garam) Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Ada berbagai cara untuk menentukan salinitas, baik secara kimia, maupun fisika. Cara kimia untuk menentukan salinitas dilakukan dengan menghitung jumlah kadar klorida dalam air. Hal ini dilakukan karena sangat sulit untuk menentukan salinitas senyawa terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu, hanya dilakukan peninjauan pada komponen terbesar, yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida. Kadar klorida yang melebihi batas dengan nilai >500 mg/l dapat mengganggu karena ambang rasa asin yang umumnya dapat diterima oleh manusia adalah 600 mg/l. Namun, bagi tanaman, salinitas yang tinggi (hypersaline), memiliki efek yang berbeda terhadap jenis tanaman. Bagi tanaman yang tumbuh di tanah dengan kandungan garam rendah dapat menyebabkan penurunan jumlah air yang diantarkan ke daun dan perubahan metabolisme akar (Notodarmojo et al., 2004). Tidak ada baku mutu khusus terhadap salinitas (kadar garam) yang dibolehkan berada di perairan. Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama, yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat (HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promil (‰) atau ppm. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai salinitas, antara lain suhu, tekanan osmosis, kadar koloid, dan nilai pH pada limbah. Selain itu, makin besar nilai salinitas suatu sampel, makin besar pula daya hantar listrik yang dimilikinya (Exito, 2010). Berikut disajikan hasil pengujian salinitas pada sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah pada Gambar 14.
Gambar 14. Nilai Salinitas Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Nilai salinitas yang didapat dari hasil pengujian emulsi oli bekas yang ditambahkan NaCl dengan konsentrasi 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M berturut-turut menghasilkan nilai dari yang terkecil sampai terbesar, yaitu 1700, 3100, dan 4650 ppm sesuai dengan yang disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 6. Hasil analisis keragaman yang dapat dilihat pada Lampiran 9 memperlihatkan bahwa konsentrasi NaCl yang ditambahkan ke dalam emulsi oli bekas berpengaruh nyata terhadap nilai salinitasnya. Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan, hasilnya menunjukkan
penambahan NaCl konsentrasi 0,02 M ke dalam sampel larutan oli bekas memberikan hasil yang berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Untuk emulsi minyak jelantah yang telah ditambahkan CaCl2 dengan konsentrasi 0,02; 0,03; dan 0,05 M berturut-turut nilai yang didapat dari yang terkecil hingga terbesar, yaitu 2800; 3850; dan 6050 ppm dapat dilihat pada Gambar 14 dan Lampiran 6. Semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan ke dalam emulsi oli bekas dan minyak jelantah, maka semakin tinggi pula nilai salinitas yang terkandung di dalam emulsi minyak tersebut. Hasil analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 9 yang memperlihatkan bahwa konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan ke dalam sampel emulsi minyak jelantah berpengaruh nyata terhadap nilai salinitasnya. Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbandingan nilai tengah perlakuan, hasilnya menunjukkan penambahan CaCl2 konsentrasi 0,02 M ke dalam sampel larutan oli bekas memberikan hasil yang berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Teran dan Zellman (2005) diketahui bahwa jenis garam yang memiliki nilai konduktivitas dan salinitas dari yang terendah sampai yang tertinggi berturut-turut adalah NaHCO3, NaCl, Na2SO4, dan CaCl2. Ini sesuai dengan hasil pengujian dari kedua jenis konsentrasi garam yang diujikan pada penelitian ini, dimana nilai salinitas yang dihasilkan oleh garam CaCl2 memang lebih tinggi nilainya bila dibandingkan dengan NaCl karena bila dilihat dari muatan klorida, muatan klorida CaCl2 lebih besar dibandingkan dengan NaCl yang hanya memiliki 1 muatan. Hasil pengujian terhadap pemilihan konsentrasi terbaik dari demulsifier terpilih menunjukkan bahwa semua jenis konsentrasi memberikan hasil yang sama terhadap rasio volume pemisahan pada menit ke-5. Akan tetapi, dari hasil pengujian lainnya (pH, turbiditas, dan salinitas) diketahui bahwa garam dengan konsentrasi 0,02 M memberikan hasil terbaik dengan nilai pH 6, nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yakni 81,5 FTU dan 1700 ppm. Begitu pun dengan sampel minyak jelantah 0,02 M juga menunjukkan hasil yang terbaik, yakni nilai pH-nya 5 dengan nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yaitu 78 FTU dan 2800 ppm.
V.
SIMPULAN DAN SARAN
V.1 SIMPULAN Hasil pengujian awal terhadap emulsi minyak (oli bekas dan minyak jelantah) diketahui garam merupakan demulsifier terbaik dalam memisahkan minyak dan emulsi pada menit ke-5 karena menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 0,05). Selain itu, menghasilkan nilai pH yang hampir mendekati netral, nilai kekeruhan (turbiditas) terkecil, serta mutu warna dan air dari sampel yang diujikan menjadi lebih jernih dengan busa yang sedikit. Jenis garam terbaik untuk sampel emulsi oli bekas adalah NaCl, sedangkan untuk emulsi minyak jelantah adalah CaCl2. Hasil pengujian terhadap pemilihan konsentrasi terbaik dari demulsifier terpilih menunjukkan bahwa semua konsentrasi memberikan hasil yang sama terhadap rasio volume pemisahan pada menit ke-5. Akan tetapi, dari hasil pengujian lainnya (pH, turbiditas, dan salinitas) diketahui bahwa garam NaCl dengan konsentrasi 0,02 M memberikan hasil terbaik pada emulsi oli bekas dengan nilai pH 6, nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yakni 81,5 FTU dan 1700 ppm. Begitu pun dengan emulsi minyak jelantah, garam CaCl2 dengan konsentrasi 0,02 M juga menunjukkan hasil yang terbaik, yakni nilai pH-nya 5 dengan nilai turbiditas dan salinitas terkecil, yaitu 78 FTU dan 2800 ppm.
V.2 SARAN Metode penambahan garam dalam proses demulsifikasi dapat diterapkan di industri, khususnya dalam pengolahan air limbah emulsi minyak dalam rangka mempercepat proses pemecahan emulsi minyak menjadi fase minyak dan fase air.
DAFTAR PUSTAKA Ansyori, S. 2003. Demulsifiers. File:///D:/Demulsifiers/Teknik-Kimia.com. [Diakses pada 31 Januari 2011]. Apri. 2008. Pemanfaatan Oli Bekas Sebagai Bahan Bakar Mesin Diesel. http://apriphysics.blogspot.com. [Diakses pada 14 Mei 2011]. Blair, G. 2007. Breaking Emulsion With Salt Water. http://utahbio.com. [Diakses pada 17 Mei 2011]. Boediharnowo, Y. H. 1997. Pengaruh Oksidasi Termal Terhadap Perubahan Sifat Fisiko-Kimia Lima Jenis Minyak Goreng Yang Dipanaskan Berulang Kali, Serta Uji Mutagenisitas Dengan Salmonella Typhimurium TA 100. Tesis. Universitas Indonesia, Depok. Damar. 2011. Baku Mutu Air Limbah. http://damzone89.wordpress.com. [Diakses pada 1 Juli
2011]. Dow. 2010. Demulsification. http://dow-answer.custhelp.com. [Diakses pada 11 Mei 2011]. Dwi. 2007. Potensi Minyak Jelantah Sebagai Bahan Baku Biodiesel. http://dwienergi.blogspot.com. [Diakses pada 14 Mei 2011]. Elaine. 2006. Koloid Emulsi. http://sistemkoloid11.blogspot.com. [Diakses pada 31 Januari 2011]. Exito, M. 2010. Analisis Pengukuran Daya Hantar Listrik, TDS, dan Salinitas Dengan Conductivitymeter. http:// mochiexito.blogspot.com. [Diakses pada 17 Mei 2011]. Georgeiou, G, S.C. Lin and M. Sharma. 1992. Surface Active Compounds from Microorganism. Bio/tech 10 : 60-65. Hamadi, A. S. and Mahmood, L. H. 2010. Demulsifiers For Simulated Basrah Crude Oil. Eng and Tech Journal, Vol. 28 (1) : 54-64. Baghdad. Haryoto dan Ahmad, S. W. 2007. Tingkat Toksisitas Pulp Dan Kertas PT. Blabak Magelang Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Dan Kadar Protein Biji Tanaman Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.). MIPA, Vol. 17, No. 1, Januari 2007: 10 – 16. Surakarta. Julisti, B. 2010. Pengenalan Alat Dan Analisis Tingkat Kekeruhan Air Dengan Turbidimeter. http:// http://btagallery.blogspot.com. [Diakes pada 16 Mei 2011]. Juni, A. 2010. Pencemaran Air Oleh Industri (Minyak dan Suhu). http://anugrahjuni.wordpress.com. [Diakses pada 31 Januari 2011]. Matheson, K. L. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Mattjik, A. A. dan Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. IPB Press, Bogor. Notodarmojo, S., Dini, dan Zulkarnain. 2004. Pengolahan Emulsi Minyak Dengan Proses Membran Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow. PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No. 1, 2004, 4562. Bandung. Piispanen, P. 2002. Synthesis and Characterization of Surfactant Based on Natural Products. Kungl Tekniska Hogskolan, Stockholm.
Putranto, T. 2002. Demulsifier (Solvent Based). http://www.tonscochemicals.com. [Diakses pada 31 Januari 2011]. Rieger, M. M. 1985. Surfactant In Cosmetics. Surfactant Science Series, Marcel Draker, Inc., New York. 488 p. Rosen, J. M. 2004. Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Saiwan, C. 2010. Demulsification Of Emulsified Wastewater Using Sodium Chloride Salt. 27th Congress On Science And Technology Of Thailand. Setyopratiwi, A., Tahir, dan Winda. 2005. Pengaruh Jenis Air Pada Pembuatan Minyak Kelapa Dengan Metode Penggaraman. Prosiding Seminar Nasional DIES ke-50 FMIPA UGM, Yogyakarta. Sheats, W. B. dan B. W. MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. Chemiton, USA. Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Syauqi, A. 2009. Study On Emulsion Stability And Chemical Demulsification Characteristics. Universiti Malaysia Pahang. Pahang, Malaysia. Tchobanoglous, Hillary Theisen, Samuel Vigil. 1993. Integrated Solid waste Management, Engineering Principles and Management Issues. Mc Graw-Hill, Inc. Teran, N. A. and Zellman. 2005. An Ionic Inquiry Yields Saline Solutions: How Four Salts Affect Electrical Conductivity. California State Science Fair Project Summary, California. Wasirnuri. 2008. Demulsifikasi. http://wasirnuri.wordpress.com. [Diakses pada 31 Januari 2011]. Watkins, C. 2001. Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : 12 – 19. Wen, Xin Xia, and Ying Cao. 2010. Analysis Of Biological Demulsification Process Of Water-In-Oil Emulsion By Alcaligenes sp. S-XJ-1. Tongji University. Shanghai, China. Anonim. 2011. Asam Asetat. http://id.anonim.org. [Diakses pada 31 Januari 2011]. ________. 2011. NaCl, KCl, dan CaCl2, . http://id.anonim.org. [Diakses pada 18 Mei 2011]. Xia L. X, Guo ying, and Shi Wei. 2010. Salt-Assisted Microwave Demulsification. Lianing University. Taylor and Francis Inc, China. Yudishtira, A. 2007. Oil Water Separator. http:// akbar-yudishtira.blogspot.com. [Diakses pada 1 Juli 2011]. Zuhra. 2008. Pengolahan Pabrik Minyak Kelapa Sawit Dengan Metode Pengapungan (Flotasi). Jurnal Reintek. Vol. 3 (2): 342-347. Banda Aceh.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis Pengujian Proses Demulsifikasi 1. Pengamatan (Waktu, Warna, Busa, Rasio Volume Pemisahan Air, Minyak dan Emulsi) Sebanyak 100 mL total campuran larutan sampel dan demulsifier dikocok selama 1 menit sampai tercampur rata dan didiamkan beberapa menit sambil diamati perubahan yang terjadi pada menit ke-5 secara kualitatif, meliputi warna, busa yang terbentuk, serta rasio volume pemisahan air, minyak dan emulsi. Dari data hasil pengamatan dapat diketahui demulsifier yang paling baik dan efektif dalam proses demulsifikasi, diantaranya garam (NaCl, KCl, dan CaCl2), asam (CH3COOH, CH2O2, dan C3H7COOH), surfaktan MES (8011,8012, dan 8013), dan demulsifier komersial (5011, 5012, dan 5013).
2. Pengukuran pH Air Setelah Proses Demulsifikasi (pH-Indicator Strips, Universal Indicator, MERCK) Air dari sampel yang diujikan yang berada pada lapisan bawah larutan minyak dipipet sebanyak 5 mL untuk diukur pH-nya dengan kertas lakmus, didiamkan beberapa saat. Lalu, dicocokkan hasil perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus dengan indikator warna pH yang tertera pada kotak kemasan dan dicatat.
3. Pengukuran Kekeruhan (Turbidity: DR/2000, Spektrofotometri, 2005) Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan bantuan alat spektrofotometer DR/2000 dengan cara kerja, yaitu ditekan tombol power dan tombol method pada alat. Pilih turbidity dengan ditekan angka 750 sambil diputar sampai didapat panjang gelombang 450 nm, lalu ditekan tombol enter. Masukkan blanko (aquades) ke dalam kuvet dan dibaca, dilanjutkan dengan sampel air yang telah disiapkan sebelumnya sebanyak 10 mL, lalu ditekan tombol enter, begitu pun seterusnya. Apabila sampel yang dimasukkan ternyata tidak terbaca oleh alat, maka harus diencerkan sampai sampel yang diujikan dapat terbaca (pengenceran 10x, 20x, dan seterusnya). Misalnya, sampel air oli yang dimasukkan perlu dilakukan pengenceran 10x. Caranya pipet sampel air yang ingin dibaca 1 mL dan tambahkan aquades sebanyak 9 mL ke dalam kuvet, lalu ditekan tombol enter dan dilayar akan muncul angka pembacaan 64. Angka 64 ini harus dikalikan 10 (sebanyak pengenceran yang dilakukan) menjadi 640 yang merupakan nilai sebenarnya dari sampel yang diujikan dengan satuannya adalah FTU.
Lampiran 2. Prosedur Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik dari Demulsifier Terpilih 1. Pengamatan (Waktu, Warna, Busa, Rasio Volume Pemisahan Air, Minyak, dan Emulsi) Prosedur pengujian yang dilakukan sama dengan pengujian awal proses demulsifikasi yang berbeda hanyalah jenis dan konsentrasi demulsifier yang digunakan, yaitu NaCl (Oli Bekas) dan CaCl2 (Minyak Jelantah) dengan konsentrasi berturut-turut yang 0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M agar didapatkan konsentrasi yang terbaik dalam proses demulsifikasi dilihat dari perubahan yang terjadi pada menit ke-5 secara kualitatif meliputi warna, busa yang terbentuk, serta rasio volume pemisahan air, minyak dan emulsi.
2. Pengukuran pH Air Setelah Proses Demulsifikasi (pH-Indicator Strips, Universal Indicator, MERCK) Air dari sampel yang diujikan yang berada pada lapisan bawah larutan minyak dipipet sebanyak 5 mL untuk diukur pH-nya dengan kertas lakmus, didiamkan beberapa saat. Lalu, dicocokkan hasil perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus dengan indikator warna pH yang tertera pada kotak kemasan dan dicatat.
3. Pengukuran Kekeruhan (Turbidity: DR/2000, Spektrofotometri, 2005) Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan bantuan alat spektrofotometer DR/2000 dengan cara kerja, yaitu tombol power dan tombol method pada alat dinyalakan dengan cara ditekan. Pilih turbidity dengan ditekan angka 750 sambil diputar sampai didapat panjang gelombang 450 nm, lalu ditekan tombol enter. Selanjutnya, blanko (aquades) dimasukkan ke dalam kuvet dan dibaca, dilanjutkan dengan sampel air yang telah disiapkan sebelumnya sebanyak 10 mL, lalu ditekan tombol enter dan begitu pun seterusnya dengan satuannya adalah FTU.
4. Pengukuran Salinitas: (Electrical Conductivity Method) APHA ed. 21, 2520 B, 2005) Salinitas (kadar garam) yang terkandung dalam sampel diujikan dengan alat conductivitymeter dengan cara kerja, yaitu terlebih dulu sel pengukuran dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan tisu. Tombol power dan tombol On pada alat dinyalakan dengan cara ditekan, lalu ditekan tombol mode dan dipilih salt. Selanjutnya, sel pengukuran dicelupkan ke dalam air sampel larutan yang ingin diujikan. Tekan tombol meas dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat dan nilainya stabil. Catat nilai salinitas yang diperoleh dalam satuan ppm.
Lampiran 3. Hasil Pengujian Proses Demulsifikasi (Konsentrasi 0,05 M) Tabel 1. Data Hasil Pengujian Oli Bekas Yamaha Motor Pengamatan Jenis Garam
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
NaCl (0.3 gram) pH 6 (ulangan)
KCl (0.4 gram) pH 6
CaCl2 (0.55 gram) pH 6
(ulangan)
(ulangan)
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU )
5
Keruh
+++
25:74
1
125
5
Keruh
+++
25:74
1
5
Keruh
+++
25:74
1
160
5
Keruh
+++
25:74
1
163
5
Keruh
+++
25:74
1
224
5
Keruh
+++
25:74
1
225
126
Jenis Asam
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
Waktu Pemisahan (menit)
5 CH3COOH (0.3 mL) pH 4 (ulangan)
CH2O2 (0.4 mL) pH 4 (ulangan)
Busa
Keruh (terdpt bintik htm)**
+++
5
Keruh (terdpt bintik htm)**
Pengamatan Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
24:75
1
Turbiditas (FTU )
264
++++
25:74
1
5
Keruh (terdpt bintik htm)***
+++
22:77
1
376
5
Keruh (terdpt bintik htm)***
+++
22:77
1
378
+++
24:75
1
158
+++
24:75
1
159
5 C3H7COOH (0.5 mL) pH 4 (ulangan)
Warna
5
Keruh (tdk terdpt bintik htm) Keruh (tdk terdpt bintik htm)
270
Keterangan: ++++: +++ : ++ : + :
Sangat Banyak Banyak Cukup Sedikit
*** :Bintik hitam sangat banyak ** :Banyak bintik hitam * :Sedikit Bintik-bintik hitam ini hanya terdapat pada oli saja, ketika ditambahkan asam asetat, maupun asam format. Bintik-bintik hitam muncul di area antara lap. emulsi minyak dengan air.
Pengamatan Jenis Surfaktan
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
Waktu Pemisahan (menit) 5
8011 (0.3 gram) pH 6 (ulangan)
8012 (0.4 gram) pH 6
(ulangan)
Warna
Keruh (terdpt bintik coklat kemerahan)**
Busa
Minyak:Air ( 20:68)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU )
++++
21:78
1
640
5
Keruh (terdpt bintik coklat kemerahan)**
+++
23:76
1
641
5
Keruh (terdpt bintik coklat kemerahan)*
++++
22:77
1
1180
5
Keruh (terdpt bintik coklat kemerahan)*
+++
22:77
1
1182
1
8013 (0.5 gram) pH 6
(ulangan)
5
Keruh (tdk terdpt bintik htm)
++++
22:77
5
Keruh (tdk terdpt bintik htm)
++++
22:77
2230
1
▲NB: Bintik-bintik coklat kemerah-merahan ini hanya terdapat pada oli saja, ketika ditambahkan Surfaktan sebanyak 0.3 gram dan 0.4 gram. Bintik-bintik ini muncul di area antara lap.emulsi minyak dengan air ** : Bintik hitam banyak
* : Sedikit
2232
Pengamatan Kode Demulsifier
5011 (0.4 mL) pH 6
5012 (0.4 mL) pH 6
5013 (0.4 mL) pH 6
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
(ulangan)
(ulangan)
(ulangan)
Keterangan: ++++: +++ : ++ : + :
Sangat Banyak Banyak Cukup Sedikit
Turbiditas Fase Air (FTU )
24:75
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL) 1
+++
23:76
1
2040
Keruh
+++
24:75
1
4190
5
Keruh
+++
23:76
1
4190
5
Keruh
++++
23:76
1
1210
5
Keruh
++++
23:76
1
1210
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
5
Keruh
+++
5
Keruh
5
2040
Tabel 2. Data Hasil Pengujian Minyak Jelantah (Pecel Lele) Pengamatan Jenis Garam
NaCl (0.3 gram) pH 5
KCl (0.4 gram) pH 5
CaCl2 (0.55 gram) pH 5
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
(ulangan)
(ulangan)
(ulangan)
Waktu Pemisah an (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU)
5
Keruh
+++
22:77
1
90
5
Keruh
++
22:77
1
102
5
Keruh
+++
22:77
1
126
5
Keruh
+++
22:77
1
126
5
Keruh
+++
20:79
1
84
5
Keruh
+++
21:78
1
90
Pengamatan Jenis Asam
CH3COOH (0.3 mL) pH 3
CH2O2 (0.4 mL) pH 3
C3H7COOH (0.5 mL) pH 3
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
(ulangan)
(ulangan)
(ulangan)
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU )
5
Keruh
++
27:72
1
830
5
Keruh
++
28:70
1
830
5
Keruh
++
27:72
1
1280
5
Keruh
++
27:72
1
1280
5
Keruh
++
27:72
1
820
5
Keruh
++
27:72
1
820
Pengamatan Jenis Surfaktan
8011 (0.3 gram) pH 5
8012 (0.4 gram) pH 5
8013 (0.5 gram) pH 5
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
(ulangan)
(ulangan)
(ulangan)
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU )
5
Keruh
++
29:70
1
1200
5
Keruh
++
29:70
1
1200
5
Keruh
++
29:70
1
1400
5
Keruh
++
30:68
1
1410
5
Keruh
++
29:70
1
2050
5
Keruh
++
30:68
1
2055
Pengamatan Kode Demulsifier
5011 (0.4 mL) pH 3.5
5012 (0.4 mL) pH 3.5
5013 (0.4 mL) pH 3.5
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
(ulangan)
(ulangan)
(ulangan)
Keterangan: ++++: +++ : ++ : + :
Sangat Banyak Banyak Cukup Sedikit
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
Busa
Minyak:Air (mL)
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU )
5
Keruh
+
26:73
1
700
5
Keruh
+
25:74
1
710
5
Keruh
++
23:76
1
1370
5
Keruh
++
23:76
1
1370
5
Keruh
+++
23:76
1
1920
5
Keruh
+++
23:76
1
1920
Lampiran 4. Analisis Keragaman Hasil Proses Demulsifikasi 1. Analisis Keragaman Terhadap Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi (Oli Bekas) Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
11
34.45833333
3.13257576
10.74
0.0001
Error
12
3.50000000
0.29166667
Corrected Total
23
37.95833333
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5%, maka tolak H0 artinya perlakuan demulsifier memberikan hasil yang berbeda. R‐Square
Coeff Var
Root MSE
salinitas Mean
0.907794
2.302217
0.540062
23.45833
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
A
A
A
A
A
A
B
A
Mean
N
demulsifier
25.0000
2
KCL
25.0000
2
CaCl2
25.0000
2
NaCL
24.5000
2
CH3COOH
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping B
A
B
A
C
B
C
B
C
B
C
B
C
C
D
C
D
D
D
D
D
D
D
D
Mean
N
demulsifier
24.0000
2
C3H7CO
23.5000
2
5012
23.5000
2
5011
23.0000
2
5013
22.0000
2
CH2O2
22.0000
2
8013
22.0000
2
8012
22.0000
2
8011
2.
Analisis Keragaman Terhadap Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi (Minyak Jelantah) Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
11
229.4583333
20.8598485
100.13
<.0001
Error
12
2.5000000
0.2083333
Corrected Total
23
231.9583333
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5%, maka tolak H0 artinya perlakuan demulsifier memberikan hasil yang berbeda. R‐Square
Coeff Var
Root MSE
salinitas Mean
0.989222
1.792873
0.456435
25.45833
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
demulsifier
29.5000
2
8012
29.5000
2
8013
29.0000
2
8011
27.5000
2
CH3COOH
A A A A B B
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping B
Mean
N
demulsifier
27.0000
2
C3H7CO
27.0000
2
CH2O2
25.5000
2
5011
23.0000
2
5012
23.0000
2
5013
22.0000
2
NaCL
22.0000
2
KCL
20.5000
2
CaCl2
B B C D D D D D D D E
Lampiran 5. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Kekeruhan (Turbiditas) 1. Analisis Keragaman Terhadap Kekeruhan Fase Air Limbah Cair Emulsi Oli Bekas Setelah Ditambahkan Demulsifier Dependent Variable: Tb Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
11
33255463.46
3023223.95
1189465
<.0001
Error
12
30.50
2.54
Corrected Total
23
33255493.96
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan demulsifier memberikan hasil yang berbeda. R‐Square
Coeff Var
Root MSE
turbiditas Mean
0.999999
0.149386
1.594261
1067.208
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
demulsifier
4190.000
2
5012
2231.000
2
8013
B
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping C
Mean
N
demulsifier
2040.000
2
5011
1210.000
2
5013
1181.000
2
8012
640.500
2
8011
377.000
2
CH2O2
267.000
2
CH3COOH
224.500
2
CaCl2
161.500
2
KCL
158.500
2
C3H7CO
125.500
2
NaCL
D E F G H I J J J K
2. Analisis Keragaman Terhadap Kekeruhan Fase Air Limbah Cair Emulsi Minyak Jelantah Setelah Ditambahkan Demulsifier Dependent Variable: Tb Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
11
9870972.458
897361.133
53177.0
<.0001
Error
12
202.500
16.875
Corrected Total
23
9871174.958
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan demulsifier memberikan hasil yang berbeda. R‐Square
Coeff Var
Root MSE
turbiditas Mean
0.999979
0.414540
4.107919
990.9583
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
demulsifier
2052.500
2
8013
1920.000
2
5013
1405.000
2
8012
B C
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
demulsifier
1370.000
2
5012
1280.000
2
CH2O2
1200.000
2
8011
830.000
2
CH3COOH
820.000
2
C3H7CO
705.000
2
5011
126.000
2
KCL
96.000
2
NaCL
87.000
2
CaCl2
D E F G H I J K L
Lampiran 6. Hasil Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih (0,02 M; 0,03 M; dan 0,05 M) Tabel 1. Data Hasil Pengujian Oli Bekas Yamaha Motor Pengamatan Jenis Garam
NaCl (0.02 M) NaCl (0.03 M)
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
5
Keruh
Busa
+++
Minyak:Air (mL)
24:75
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU)
1
80
1
83
(ulangan)
(ulangan)
NaCl (0.05 M)
5
5 5
Keruh
Keruh Keruh
+++
+++ +++
23:76
25:74 22:77
1 1
pH air setelah ditambahkan NaCl
Salinitas Fase Air
1600
6
1800
106 109
3100 6
3100
5
Keruh
+++
24:75
1
126
(ulangan)
(ppm)
5
Keruh
+++
23:76
1
127
4600
6 4700
Tabel 2. Data Hasil Pengujian Minyak Jelantah (Pecel Lele) Pengamatan Jenis Garam
CaCl2 (0.02 M) CaCl2 (0.03 M)
Konsentrasi Emulsifier (2 ml)
Waktu Pemisahan (menit)
Warna
5
Keruh
Busa
+
Minyak:Air (mL)
23:75
Lap.Emulsi Yang Terbentuk (mL)
Turbiditas Fase Air (FTU)
2
77
(ulangan)
5
Keruh
+
24:74
2
5
Keruh
+
20:78
2
pH air setelah ditambahkan CaCl2
(ppm)
79
Salinitas Fase Air
2700
5
2900
81
(ulangan)
CaCl2 (0.05 M)
5
5
(ulangan)
5
Keruh
Keruh
Keruh
+
++
++
27:71
22:76
23:75
Keterangan: ++++: Sangat Banyak
+++ : Banyak
++ : Cukup
+
: Sedikit
2
2
2
83 88
90
3800 5
3900
5900
5
6200
Lampiran 7. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Pemilihan Konsentrasi Terbaik Dari Demulsifier Terpilih (0,02; 0,03; dan 0,05 M) 1. Analisis Keragaman Terhadap Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Oli Bekas (demulsifier NaCl) Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
0.00000000
0.00000000
0.00
1.0000
Error
3
5.50000000
1.83333333
Corrected Total
5
5.50000000
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value lebih dari 5%, maka terima H0, artinya perlakuan jenis konsentrasi NaCl tidak memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
minyak Mean
0.000000
5.761729
1.354006
23.50000
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
23.500
2
0.02
23.500
2
0.03
23.500
2
0.05
A A A A
2. Analisis Keragaman Terhadap Rasio Volume Pemisahan Minyak dan Emulsi Minyak Jelantah (demulsifier CaCl2) Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
1.33333333
0.66666667
0.08
0.9264
Error
3
25.50000000
8.50000000
Corrected Total
5
26.83333333
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value lebih dari 5% maka terima H0 artinya perlakuan jenis konsentrasi CaCl2 tidak memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
minyak Mean
0.049689
12.58479
2.915476
23.16667
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
23.500
2
0.02
23.500
2
0.03
22.500
2
0.05
A A A A
Lampiran 8. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Kekeruhan (Turbiditas) 1. Analisis Keragaman Terhadap Kekeruhan Fase Air Limbah Cair Emulsi Oli Bekas Setelah Ditambahkan NaCl Dependent Variable: salinitas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
2041.333333
1020.666667
322.32
0.0003
Error
3
9.500000
3.166667
Corrected Total
5
2050.833333
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan jenis konsentrasi NaCl memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
turbiditas Mean
0.995368
1.692088
1.779513
105.1667
Maka, konsentrasi pada NaCl yang diujikan menghasilkan respon yang berbeda untuk turbiditas
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
126.500
2
0.05
107.500
2
0.03
81.500
2
0.02
B C
2. Analisis Keragaman Terhadap Kekeruhan Fase Air Limbah Cair Emulsi Minyak Jelantah Setelah Ditambahkan CaCl2 Dependent Variable: salinitas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
124.0000000
62.0000000
31.00
0.0099
Error
3
6.0000000
2.0000000
Corrected Total
5
130.0000000
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan jenis konsentrasi CaCl2 memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
turbiditas Mean
0.953846
1.703872
1.414214
83.00000
Maka, konsentrasi memiliki pengaruh yang berbeda untuk turbiditi pada CaCl2
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
89.000
2
0.05
82.000
2
0.03
78.000
2
0.02
B B B
Lampiran 9. Analisis Keragaman Hasil Pengujian Salinitas (Kadar Garam) 1. Analisis Keragaman Terhadap Salinitas Fase Air Limbah Cair Emulsi Oli Bekas Setelah Ditambahkan NaCl Dependent Variable: salinitas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
8710000.000
4355000.000
522.60
0.0002
Error
3
25000.000
8333.333
Corrected Total
5
8735000.000
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan jenis konsentrasi NaCl memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
salinitas Mean
0.997138
2.898003
91.28709
3150.000
Maka, konsentrsai memberikan hasil yang berbeda untuk salinitas pada NaCl
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
4650.00
2
0.05
3100.00
2
0.03
1700.00
2
0.02
B C
2. Analisis Keragaman Terhadap Salinitas Limbah Cair Emulsi Minyak Jelantah Setelah Ditambahkan CaCl2 Dependent Variable: salinitas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
11003333.33
5501666.67
235.79
0.0005
Error
3
70000.00
23333.33
Corrected Total
5
11073333.33
H0 : perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda H1 : perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Jika p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 Karena p value kurang dari 5% maka tolak H0 artinya perlakuan jenis konsentrasi CaCl2 memberikan hasil yang berbeda.
R‐Square
Coeff Var
Root MSE
salinitas Mean
0.993679
3.608327
152.7525
4233.333
Maka, konsentrsai memberikan hasil yang berbeda untuk salinitas pada CaCl2
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
konsentrasi
6050.0
2
0.05
3850.0
2
0.03
2800.0
2
0.02
B C