PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENGGENERALISASI POLA BERDASARKAN TEORI APOS 1
Sutarto1; Subanji2; Intan Dwi Hastuti2 IKIP) Mataram; 2 Universitas Negeri Malang 1
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS. Subjek penelitian ini adalah 5 siswa kelas VIII SMPN 5 Malang. Pengumpulan data menggunakan instrumen tugas pemecahan masalah generalisasi pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil think alouds dan wawancara. Pada tahap pertama, siswa menyelesaikan TPMGP dan pada tahap ke dua peneliti melakukan wawancara berbasis tugas untuk memahami proses berpikir yang dilakukan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS pada tahap enkapsulasi terdiri dari dua, yaitu enkapsulasi sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek menghasilkan generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang benar. Kata Kunci: Proses berpikir, generalisasi pola, APOS.
PENDAHULUAN Pola merupakan ide yang mendasari pemikiran matematis. Zazkis dan Liljedahl (2002) menyatakan bahwa pola adalah jantung dan jiwa dari matematika. Vogel (2005) menyatakan bahwa menganalisis pola, mendeskripsikan pola, dan sifat-sifatnya merupakan salah satu tujuan dari matematika. Mulligan, dkk., (2011:796) menyatakan hampir semua matematika didasarkan pada pola dan struktur. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (2000) dalam memahami pola siswa dituntut untuk merepresentasikan, menganaliasis dan menggeneralisasi variasi pola dengan tabel, grafik, kata-kata, dan simbol. Demikian pula di Indonesia, analisis dan generalisasi pola juga merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang termuat dalam kompetensi dasar matematika SMP/MTs adalah memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi/kesimpulan (Permendikbud, 2013).
Mulligan dan Mitchelmore (2009) menyebutkan bahwa pola matematika dapat digambarkan sebagai keteraturan yang dapat diprediksi, biasanya melibatkan numerik, spasial, atau hubungan logis. Sedangkan Janvier (1987) menyatakan bahwa pola dapat berbentuk graphic, numeric, verbal dan algebraic. Dalam penelitian ini menggunakan pola berbentuk graphic/bergambar, karena pola bergambar memungkinkan seseorang mengamati dengan cara yang berbeda (Sutarto, dkk., 2016). Dalam hal pengamatan Wertheimer (1923) menjelaskan tentang hukum Gestlat yaiut hukum kesamaan (law of similarity), hukum kedekatan (law of proximity), dan hukum ketertutupan (law of closure). Generalisasi pola merupakan aspek penting dalam aktivitas matematika sekolah (Dindyal, 2007; Hargreaves, dkk., 1999; Mulligan, Mitcelmore; Zazkis dan Liljedahl, 2002). Sejalan dengan ide ini Küchemann (2010) menyatakan bahwa generalisasi harus menjadi inti dari kegiatan matematika sekolah. Generalisasi pola merupakan aktivitas membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh khusus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa generalisasi merupakan jenis tertentu dari conjecture, yang
1
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
diperoleh dari penalaran khusus ke umum (Yerushalmy, 1993). Ramussen dan Miceli (2008) menyatakan bahwa generalisasi yang berdasarkan pada penalaran induktif disebut conjecture. Jadi generalisasi pola dalam penelitian adalah membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh khusus. Penelitian tentang generalisasi pola telah dikaji oleh peneliti (Radford, 2006; Blanton dan Kaput, 2011). Radford (2003) menjelaskan tiga tipe generalisasi pola yaitu (1) factual, (2) contextual, dan (3) simbolic. Tipe generalisasi factual adalah tipe generalisasi berdasarkan pada fakta yang diketahui. Sifat faktual menekankan pemikiran bahwa generalisasi ini terjadi dalam tingkatan dasar dari generalisasi di mana semesta pembicaraan tidak melampaui gambar tertentu, misalnya gambar ke 1000, gambar ke 1000000, dan sebagainya. Tingkatan generalisasi faktual pada tingkatan tindakan (action) secara numerik dan memungkinkan siswa untuk mengatasi kasus-kasus tertentu. Contextual adalah tipe generalisasi berdasarkan konteks masalah dan terbatas pada objek tertentu. Symbolic adalah tipe generalisasi yang berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek tertentu. Blanton dan Kaput (2011: 8) menggunakan tiga model analisis pola dan hubungannya yang didasarkan kerangka Smith sebagai kerangka kerja dalam membahas berpikir fungsional, yaitu (1) recursive patterning meliputi penemuan variasi dalam suatu barisan nilai, (2) covariational thinking yang didasarkan pada analisis bagaimana dua variasi kuantitas secara simultan dan memahami bahwa perubahan sebagai suatu yang eksplisit dan bagian dinamis serta deskripsi fungsi, dan (3) hubungan korespondensi didasarkan pada korelasi antara variabel. Diantara penelitian tersebut, belum mengungkap tentang proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS. Proses berpikir dalam menggeneralisasi pola akan diuraikan berdasarkan tahapan conjecturing tipe induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit karena conjecturing tipe ini sering ditemukan dalam masalah yang melibatkan bilangan, dimana pola yang diamati konsisten dan masalah yang diberikan dalam penelitian ini adalah masalah pola yang konsisten. Berikut tahapannya yaitu (1) mengamati kasus, (2) mengorganisir kasus, (3) mencari dan memprediksi pola, (4) merumuskan conjecture, (5) memvalidasi conjecture, (6) menggeneralisasi conjecture, (7) membenarkan generalization. Penjelasan tahapan tersebut telah diuraikan dalam (Sutarto, dkk., 2016). Setelah diuraikan berdasarkan 7 tahapan tersebut, maka akan dianalisis berdasarkan teori APOS, karena teori APOS merupakan teori yang dapat digunakan sebagai suatu alat analisis
untuk mendeskripsikan perkembangan skema seseorang pada suatu topik matematika yang merupakan totalitas dari pengetahuan yang terkait (secara sadar atau tak sadar) terhadap topik tersebut (Dubinsky, 2001). Teori ini didasari oleh hipotesis bahwa pengetahuan matematika seseorang akan kecenderungan untuk mengatasi situasi yang merupakan masalah matematis dengan membangun aksi, proses, dan objek serta mengaturnya dalam skema untuk memahami situasi dan memecahkan masalah (Dubinsky dan McDonald, 2001). Teori APOS yang mendeskripsikan sebuah action di interiorisasi sebagai Process. Process diencapsulasi kedalam sebuah object. Selanjutnya dikaitkan dengan pengetahuan yang lain dalam sebuah schema. Sebuah schema juga bisa diencapsulasi sebagai sebuah object. Penjelasan yang lebih rinci tentang teori APOS dalam (Asiala, dkk., 1996). Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS. METODE PENELITIAN Subjects Subjek dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang yang menghasilkan rumus atau aturan umum secara simbolik.
2
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Instrument Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri yang bertindak sebagai perencana, pengumpul data, penganalisis data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Instrumen bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa Tugas Pemecahan Masalah Generalisasi Pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil think alouds dan wawancara. TPMGP yang diberikan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola, sedangkan wawancara yang digunakan adalah wawancara yang tidak terstruktur. TPMGP disajikan pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Tugas pemecahan masalah generalisasi pola
Data Analysis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Pada tahap analisis data, kegiatan dilakukan setelah memperoleh data meliputi: (1) mentranskrip data yang diperoleh dari wawancara, (2) mereduksi data, (3) mengodekan data, (4) mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS, dan (5) penarikan kesimpulan. Analisis lembar jawaban TPMGP, dan hasil wawancara berdasarkan indikator proses conjecturing dalam (Sutarto, dkk., 2015). HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini akan menganalisis proses berpikir subjek S1 dan S2 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS (action, process, object dan schema). Pada tahap aksi, subjek S1 mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Pada gambar ke-1 ada 7 persegi, gambar ke-2 ada 11 persegi dan gambar ke-3 ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek S1 mengorganisir kasus dengan cara mengurutkan pola barisan bilangan. Mengurutkan pola barisan bilangan dengan menuliskan gambar ke-1, gambar ke-2, gambar ke-3, secara berturut-turut 7, 11, 15. Pada tahap proses, subjek S1 menginternalisasi aksi untuk mencari dan memprediksi pola dengan cara menghitung selisih antara gambar ke-2 dan gambar ke-1, gambar ke-3 dan gambar ke-2 dan berpikir tentang gambar selanjutnya. Selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah , gambar ke-3 dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S1 memprediksi gambar ke-4 juga ditambah 4. Pada tahap objek, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulasi proses yaitu melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari gambar ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3 ke gambar ke-4 juga 4. Dengan melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke . Selanjutnya subjek S1 memvalidasi conjecture dengan
3
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
mencoba rumus pada gambar ke-1, . Setelah menghitung jumlah persegi gambar ke-1 dengan rumus dan melihat kesesuaian dengan jumlah persegi pada gambar ke-1 yang telah diketahui, subjek S1 mengatakan bahwa rumus nya salah. Setelah menyadari bahwa conjecture yang dirumuskan salah, subjek S1 pada tahap process melakukan de-encapsulasi dengan cara mencari angka awal sebelum di tambahkan empat dengan memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2 dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4. Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11. Pada tahap process ini, subjek S1 melakukan coordination antara rumus , mencari angka awal, dan jumlah persegi masing-masing gambar dikurangi beda. Selanjutnya subjek S1 menyadari bahwa angka awal yang dicari belum tepat karena angka awalnya masih beda. Subjek S1 selanjutnya menggunakan cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan ( ), kali dengan cara memisalkan sebagai angka awal. Gambar ke-1 ( ), ( ), ( ), maka . Gambar ke-2 maka . Dari dua angka awal tersebut subjek S1 menyimpulkan bahwa angka awal sebelum ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination antara angka awal yang berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar ke-2. Pada tahap objek, subjek S1 melakukan encapsulation process dalam merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke-n adalah ( ). Selanjutnya subjek S1melakukan validasi conjecture berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-4 ( ), ( ), sama dengan , , karena jumlah persegi gambar ke-4 yang diperoleh dengan rumus ( ) sama dengan jumlah persegi yang diketahui maka rumus tersebut benar. Pada tahapan skema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek S1 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum tersebut, maka subjek S1 telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan. Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S1 menunjukkan contoh tertentu seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud yaitu mencari jumlah persegi gambar ke-4 menggunakan rumus umum ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Berikut hasil pekerjaan subjek S1 pada Gambar 1, dan Proses berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada Diagram 1.
4
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 1. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola
Pada tahap action, subjek S2 mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Beberapa action yang dilakukan adalah mengamati dan menghitung jumlah gambar ke-1 ada 7 persegi, gambar ke-2 ada 11 persegi, dan gambar ke-3 ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek S2 mengorganisir kasus dengan cara membuat daftar untuk mengaitkan gambar ke-1 dengan 7 (jumlah persegi gambar ke-1), gambar ke-2 dengan 11 (jumlah persegi gambar ke-2), dan gambar ke-3 dengan 15 (jumlah persegi gambar ke-3). Pada tahap proses, subjek S2 melakukan interiorization action untuk mencari dan memprediksi pola dengan cara menghitung penambahan dari gambar ke-1 ke gambar ke-2, gambar ke-2 ke gambar ke-3, dan berpikir tentang gambar selanjutnya. Penambahan dari masing-masing gambar diperoleh dengan cara menghitung selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah , gambar ke-3 dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S2 memprediksi gambar ke-4 juga bertambah 4. Pada tahap objek, subjek S2 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation process yaitu memperhatikan jumlah persegi gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, dan gambar ke-3 ada 15. Dengan memperhatikan jumlah persegi tersebut dan persegi selanjutnya selalu bertambah 4, maka subjek S2 merumuskan conjecture rumus untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar . Selanjutnya subjek S2 memvalidasi conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara manual dan rumus . Dengan cara manual subjek S2 menuliskan jumlah persegi gambar , dengan menggunakan rumus
5
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
. Setelah mengetahui jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara manual dan rumus berbeda. Subjek S2 menyadari adanya kesalahan dari rumus yang dihasilkan, selanjutnya subjek S2 mencoba rumus untuk mencari jumlah persegi gambar ( ) dan mencocokkan dengan jumlah persegi gambar ke-1 yang sudah diketahui ada 7. Dari hasil mencocokkan, S2 menyadari bahwa conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan. Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan, subjek S2 kembali ke tahap process dengan melakukan de-encapsulation. De-encapsulation yang dilakukan yaitu dengan cara mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa jumlah persegi gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar pertama tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat nya ada 1, untuk gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2 melakukan coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan banyaknya 4 pada masing-masing gambar. Pada tahap objek subjek S2 melakukan encapsulation process setelah menyadari gambar ke-1 tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, gambar ke-2 empat nya ada 1, gambar ke-3 empat nya ada 2. Selanjutnya subjek S2 merumuskan conjecture untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ( ) atau dapat disederhanakan menjadi ( ) . Setelah itu, subjek S2 memvalidasi conjecture yang dihasilkan dengan menggunakan contoh tertentu yaitu melihat kembali kecocokan jumlah persegi gambar ke-5 secara manual dan menggunakan rumus ( ). Dengan cara manual S2 menuliskan jumlah persegi gambar ( ) ( ) , dengan rumus . Setelah mengetahui ada perbedaan antara perhitungan manual dengan perhitungan menggunakan rumus. S2 mengecek lagi perhitungan manualnya dan menyadari bahwa jumlah persegi gambar bukan 35 melainkan dan mengatakan hasilnya sama 23. Pada tahapan schema, subjek S2 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek S2 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum tersebut, maka subjek S2 telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan. Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S2 menunjukkan contoh tertentu seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud yaitu mencari jumlah persegi gambar ke-6 dan ke-7 dengan cara manual dan menggunakan rumus ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian antara jumlah persegi yang dihasilkan secara manual dan menggunakan rumus dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Dengan cara manual subjek S2 menuliskan gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, gambar ke-3 ada 15, gambar ke-4 ada 19, gambar ke-5 ada 23, gambar ke-6 ada 27, gambar ke-7 ada 31 dan seterusnya. Dengan menggunakan rumus ( ) = ( ) , gambar gambar ( )= . Selanjutnya S2 mengatakan sama antara jumlah persegi yang diperoleh secara manual dan menggunakan rumus, begitu juga untuk gambar-gambar yang
6
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
lainnya. Menggeneralisasi dan membenarkan conjecture merupakan schema yang diperoleh dari tahap action, process dan object. Berikut hasil pekerjaan subjek S2 pada Gambar 2 dan proses berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada Diagram 2.
Gambar 2. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola
Dalam menggeneralisasi pola untuk menentukan rumus umum banyaknya persegi pada gambar subjek S1 dan S2 pada tahap “action” telah menyadari bahwa gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3 membentuk sebuah pola. Untuk menggeneralisasi pola, subjek kategori ini mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Mengamati kasus secara utuh tampa membedakan persegi hitam dan putih ini sesuai dengan salah satu hukum Gestlat dalam pengamatan yaitu hukum kesamaan (law of equivalence) yaitu hukum dimana seseorang cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai suatu kesatuan (Wertheimer, 1923). Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, ke-2, dan ke-3, subjek tersebut mengorganisir kasus dengan cara menuliskan jumlah persegi dalam bentuk barisan atau membuat daftar untuk mengaitkan gambar dan jumlah persegi, sehingga memudahkan subjek bekerja pada kasus tersebut. Menurut Allen (2001) cara yang paling umum digunakan dalam mengorganisir-kasus tertentu adalah dengan mendaftar data atau tabel.
7
Diagram 1. Prose berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS
Kode
Penjelasan Mengamati kasus Mengorganisir kasus Mencari dan memprediksi pola Merumuskan conjecture Memvalidasi conjecture
Kode
InterAct Encapro De-Encap
Diagram 2. Prose berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS
Penjelasan Kode Menggeneralisasi conjecture Coord Membenarkan conjecture Interriorization Action Encapsulation Process De-Encapsulation
Penjelasan Coordination Action Process Object Schema
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Pada tahap action, subjek mengamati dan menghitung persegi secara utuh, maupun mengorganisir kasus untuk mempermudah subjek bekerja pada kasus tersebut merupakan reaksi dari subjek berdasarkan adanya pengaruh dari masalah yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa action merupakan transformasi terhadap suatu hal atau objek yang dilakukan individu sebagai kebutuhan eksternal baik secara eksplisit maupun dari memori, langkah demi langkah sebagai petunjuk melakukan operasi. Pada tahap proses, subjek kategori ini melakukan interiorization action untuk mencari dan memprediksi pola dengan cara menghitung beda dari masing-masing pola dan berpikir tentang gambar selanjutnya. Subjek S1 dan S2 menemukan pola dari masing-masing gambar ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4 dan gambar ke-2 ke gambar ke-3 juga 4 dan berpikir bahwa gambar selanjutnya juga bertambah 4. Subjek tersebut dapat menemukan pola dari masing-masing gambar setelah melakukan interiorization beberapa action, setelah itu dikoordinasikan untuk dapat memprediksi gambar selanjutnya, sehingga dapat digunakan sebagai dasar melakukan encapsulation. Perubahan transformasi dari masalah yang diberikan (eksternal) ke dalam internal (pikiran) siswa disebut interiorization. Hal ini sesuai dengan pendapat Dubinsky (2001) bahwa interiorisasi merupakan perubahan dari suatu kegiatan prosedural untuk mampu melakukan kembali kegiatan itu dalam imajinasi beberapa pengertian yang berpengaruh terhadap kondisi yang dihasilkan. Dalam melakukan interiorization action, tidak hanya melakukan koordinasi beberapa action yang telah dilakukan, melainkan dikoordinasikan juga dengan pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa seperti mencari beda dari masing-masing gambar. Pada tahap object, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation process yaitu melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari gambar ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3 ke gambar ke-4 juga 4. Dengan melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke . Sedangkan subjek S2 melakukan encapsulation process dengan memperhatikan jumlah persegi gambar ke-1 ada 7 dan gambar selanjutnya selalu bertambah 4, maka subjek S 2 merumuskan conjecture rumus untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar . Pada tahap memvalidasi conjecture rumus subjek S1 menggunakan contoh tertentu yang telah diketahui dalam masalah yaitu gambar ke-1, , sedangkan subjek S2 memvalidasi conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5 secara cara manual dan rumus . Dasar memvalidasi berdasarkan contoh tertentu yang telah diketahui (misalnya validasi berdasarkan gambar ke-1, ke-2, dan ke-3) dalam masalah dinamakan validasi internal, sedangkan validasi berdasarkan contoh tertentu selain yang diketahui dalam masalah (misalnya validasi dengan gambar ke-4, ke-5, …, ke-n) dinamakan validasi eksternal. Subjek kategori ini melakukan encapsulation proses yang tidak sempurna dalam merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke-n, karena setelah divalidasi dengan contoh tertentu, subjek mengatakan bahwa rumus atau conjecture yang dihasilkan salah. Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan salah, subjek kembali ke tahap process untuk melakukan de-encapsilation dengan cara mencari angka awal sebelum di
9
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
tambahkan empat dengan memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2 dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4. Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11. Dari pengurangan tersebut, angka awalnya belum sama. Subjek S1 selanjutnya menggunakan cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan kali dengan cara memisalkan ( ), ( ), sebagai angka awal. Gambar ke-1 maka . ( ), ( ), Gambar ke-2 maka . Dari dua angka awal tersebut, diperoleh angka awal sebelum ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination antara angka awal yang berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar ke-2. Sedangkan subjek S2 melakukan de-encapsulation setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan. Subjek S2 kembali ke tahap process dengan cara mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa jumlah persegi gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar pertama tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat nya ada 1, untuk gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2 melakukan coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan banyaknya 4 pada masing-masing gambar. Cara yang dilakukan oleh subjek S1 dan S2 dalam tahap prosess berbeda. Subjek S1 mencari angka awal, sedangkan subjek S2 melihat penambahan 4 (beda) untuk masing-masing persegi. Cara yang berbeda, menandakan bahwa simbol yang dibentuk oleh subjek sangat bermakna bagi dirinya dan menggambarkan pengetahuannya, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Steinbring (Botzer & Yerushalmy, 2008) bahwa tanda atau simbol matematika merupakan alat untuk coding dan menggambarkan pengetahuan serta mengomunikasikan pengetahuan matematika mereka. Setelah subjek melakukan proses baru dan selanjutnya proses tersebut di encapsulation sehingga menghasilkan generalisasi pola yaitu rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke-n adalah . Proses menghasilkan merupakan proses encapsulation, hal ini sesuai dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa proses-proses baru dapat juga dikonstruksi (dibentuk) dengan cara mengoordinasikan proses-proses yang sudah ada, Bila hal tersebut menjadi suatu proses sendiri untuk ditransformasikan oleh suatu action, maka dikatakan proses itu telah di encapsulation menjadi suatu object. Proses encapsulation yang dilakukan oleh subjek sampai menghasilkan conjecture yang benar berdasarkan contoh tertentu merupakan hasil dari encapsulation yang sempurna. Selanjut subjek tersebut melakukan validasi dengan contoh tertentu dan mengatakan benar. Validasi di sini bertujuan untuk mengetahui kebenaran dari conjecture yang dihasilkan berdasarkan contoh tertentu, hal ini sejalan dengan pendapat Canadas dkk (2007) bahwa memvalidasi conjecture adalah penetapan kebenaran dari untuk kasus tertentu tetapi tidak pada umumnya. Proses merumuskan dan memvalidasi conjecture terjadi secara berulang sampai menghasilkan conjecture yang benar.
10
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Pada tahapan schema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ) sedangkan subjek S2 adalah ( ). Subjek tersebut meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum tersebut, maka subjek telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan. Generalisasi yang dilakukan oleh subjek S1 dan subjek S2 merupakan generalisasi secara simbolik, hal ini sesuai dengan pendapat Radford (2003) bahwa tipe generalisasi simbolik adalah tipe generalisasi yang berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek tertentu. Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek kategori ini menunjukkan contoh tertentu seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture dan selanjutnya melihat kesesuaian antara jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan yang telah diketahui dalam masalah atau cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. PENUTUP
Proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS terdiri dari dua, yaitu proses enkapsulasi sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek menghasilkan generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang benar.
DAFTAR RUJUKAN Asiala M, Brown A, DeVries DJ, Dubinsky E, Mathews D, Thomas K (1996). Framework for research and curriculum development in undergraduate mathematics education. Res. Coll. Math. Educ. 6:1-32.
Blanton, Maria, L., & Kaput, James J. 2011. Functional Thinking as a Route Algebra in The Elementary Grade. Dalam Cai, Jinva & Knuth, Eric (Eds.), Early Algebraization: A Global Dialogue from Multiple Perspectives (hlm.5-23). New York: Springer Heidelberg Dordrecht. Dindyal, J. (2007). High school students’ use of patterns and generalisations. In J. Watson & K. Beswick (Eds), Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia (pp. 236-245). Hobart, Tasmania, Australia: MERGA Inc. Retrieved from http://www.merga.net.au/documents/RP182007.pdf Dubinsky, E. & McDonald, M. (2011). APOS: A constructivist theory of learning in undergraduate mathematics education research. In D. Holton et al. (Eds), The teaching and learning of mathematics at university level: An ICMI Study (pp. 273-280). Kluwer Academic Publisher. Retrieved from http://www.math.wisc.edu/~wilson/Courses/ Math903/ICMIPAPE.PDF Hargreaves, M., Threlfall, J., Frobisher, L., & Shorrocks-Taylor, D. (1999). Children’s strategies with linear and quadratic sequences. In A. Orton (Ed.), Pattern in the Teaching and Learning of Mathematics. London: Cassell Janvier, C. (1987). Translation processes in mathematics education. In C. Janvier (Ed.), Problems of representation in the teaching and learning of mathematics (pp. 27-32). Hillsdale, New Jersey: LEA. Küchemann, D. (2010). Using patterns generically to see structure. Pedagogies: An International Journal, 5(3), 233–250. doi: 10.1080/1554480X.2010.486147
11
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Mulligan, J., & Mitchelmore, M. 2009. Awareness of Pattern and Structure in Early Mathematical Development. Mathematics Education Research Journal, 21(2): 33-49 Mullingan, J.T., Mitchelmore, M.C., English, L.D., & Robertson, G. (2011). Implementing a Pattern and Structure Mathematics Awareness Program (PASMAP) In Kindegarden. In L. Sparrow, B. Kissane, & C. Hurst (Eds.) Shaping the Future of Mathematics Education. Proceedings of the 33rd Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia (pp 797–804). Retrieved from http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED521029.pdf Nasional Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. Radford, L. 2003. Gestures, Speech, and the Sprouting of Signs: A Semiotic-Cultural Approach to Students’ Types of Generalization. Mathematical Thinking And Learning, 5(1), 37–70. Ramussen, D., & Miceli, S. 2008. Discovering Geometry Condensed Lessons. United States of America. Kendall Hunt Publishing. Sutarto, Nusantara, T., Subanji, & Sisworo. (2015). Indicator of conjecturing process in a problem solving of the pattern generalization. Proceding ICERD, UNESA Surabaya, pp. 32-45. Sutarto, Nusantara, T, Subanji, & Sisworo (2015). Local conjecturing process in the solving of pattern generalization problem. Educational Research and Reviews. Vol. 11(8), pp. 732-742, DOI: 10.5897/ERR2016.2719 Vogel, R. (2005). Patterns: A fundamental idea of mathematical thinking and learning. ZDM, 37(5), 445-449. doi 10.1007/s11858-005-0035-z Wertheimer, M. (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in Gestalt Theory: II). Psychologische Forschung, 4, 301–350. Yerushalmy, M. (1993). Generalization, induction, and conjecturing: a theoretical perspective. In Schwartz, J.L., Yerushalmy, M., & Wilson, B. The geometric supposer: what is it a case of?. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates. Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2002). Generalization of patterns: the tension between algebraic thinking and algebraic notation. Educational Studies in Mathematics, 49: 379–402. Wertheimer M (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in Gestalt Theory: II). Psychol. Forschung 4:301-350.
12
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
DESKRIPSI KESALAHAN KONSTRUKSI PENYELESAIAN MASALAH GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Taufiq Hidayanto; Subanji; Erry Hidayanto Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penyelesaian masalah merupakan salah satu standar yang harus dukuasai oleh siswa menurut NCTM maupun kurikulum yang berlaku saat ini. Begitupun juga dengan geometri, salah satu bagian kajian matematika yang perlu dikuasai siswa di sekolah. Namun, tidak sedikit siswa yang mengalami kesalahan-kesalahan dalam memecahkan suatu masalah geometri yang berdampak pada kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Untuk itu, perlunya seorang guru untuk mengetahui letak kesalahan siswa dalam memecahkan masalah geometri agar dapat melakukan perbaikan terhadap kesalahan yang dialami oleh siswa tersebut. Kajian dalam makalah ini menyajikan deskripsi kesalahan konstruksi pemecahan masalah geometri dari 6 siswa subjek yang terdiri atas 2 siswa dari kelompok atas, 2 kelompok sedang, dan 2 kelompok bawah. Subjek yang merupakan siswa SMP diberikan masalah geometri untuk diselesaikan, kemudian diwawancarai berbasis tugas untuk menggali letak kesalahan struktur berpikirnya. Selanjutnya, struktur berpikir siswa dianalisis letak kesalahan siswa berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah matematika menurut Subanji (2015). Hasil Analisis menunjukkan bahwa semua subjek mengalamai mislogical construction dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi karena siswa mengalami kesalahan logika berpikir dalam melakukan prosedur pemecahan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena skema-skema yang digunakan untuk mengonstruksi pemecahan masalah belum lengkap. Kata Kunci: Analisis Kesalahan, Skema, Konstruksi Penyelesaian Masalah, Geometri
Problem Solving merupakan bagian yang terpadu dalam pembelajaran matematika dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari program dan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP maupun kurikulum 2013. NCTM (2000: 52-55) memberikan rekomendasi bahwa program pembelajaran sebaiknya penyelesaian masalah digunakan untuk membangun pengetahuan baru, mendukung siswa mampu menyelesaikan masalah dalam matematika maupun konsteks lain, mendukung siswa mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai macam strategi, dan mendukung siswa mampu mencermati dan merefleksikan ide penyelesaian masalah yang dikemukakan. Selain problem solving, materi geometri merupakan salah satu standar yang direkomendasikan NCTM juga kompetensi yang perlu dicapai siswa menurut kurikulum yang berlaku saat ini. Geometri diaplikasikan dalam menyelesaikan masalah dalam konteks matematika yang lain, permasalahan kehidupan nyata, maupun ilmu diluar konteks matematika (Yilmaz dalam Biber, Tuna, & Korkmaz, 2013: 50). NCTM (2000:41) menekankan bahwa geometri sangat erat dengan konteks di dalam maupun di luar matematika. Di dalam matematika, geometri dapat digunakan sebagai alat untuk membantu pemahaman konsep aljabar, penggunaan geometri misalnya yaitu dengan konsep luasan persegi panjang (aljabar tile) untuk menentukan faktor bentuk kuadrat. Di luar matematika, misalnya penetuan volume dalam perhitungan debit air, penggunaan konsep luas untuk menentukan area lahan maupun pendirian bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa geometri berkaitan erat dengan antarkonsep dalam matematika maupun di luar matematika. Akhir-akhir ini, beberapa penelitian tentang geometri telah dikaji. Biber, et al mengemukakan temuan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri yaitu (1) siswa hanya memperhatikan tampilan geometris saja tanpa melihat sisi karakteristik geometri yang menyertainya, (2) siswa gagal menghubungan sifat-sifat geometris yang telah diketahuinya dengan
13
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
konssep lain yang digunakan untuk menyelesaikan maslalah, dan (3) mereka menggeneralisasi sifat yang hanya sesuai dengan kondisi tertentu tanpa memperhatikan kondisi lain. Menurut Ozerem (2012), permasalahan siswa pada geometri yaitu masalah miskonsepsi, kurangnya skema yang dimiliki dan kemampuan penalaran, serta kesalahan dalam melakukan operasi dasar. Namun, penelitian-penelitian tersebut sebatas mengungkap permasalahan siswa yang mengalami kesalahankesalahan penyelesaian masalah yang dilakukannya, belum sampai mengungkap struktur berpikir siswa yang mengalami kesalahan. Struktur berpikir tidak lepas dengan skema yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah. Nunokawa (2005) memberikan pernyataan terkait pembelajaran berdasar teori skema. Pengetahuan dasar siswa tidak hanya memuat pengetahuan prosedural maupun konseptual namun juga pengetahuan mengenai situasi yang sesuai dengan pengetahuan matematis lain yang terkait. Siswa yang kaya dengan skemata dapat menyelesaikan berbagai masalah menggunakan pengetahuan tersebut dengan mudah. Siswa menggunakan skema-skema tersebut dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Chinnappan (2003) juga menyatakan, skema dapat berupa konsep-konsep lain yang terkait dengan suatu konsep tertentu termasuk informasi mengenai prosedur yang sesuai ketika siswa hendak menggunakan konsep-konsep yang saling terkait tersebut. Dengan kata lain, Skema sendiri dapat dikonstruksi dari skema-skema lain yang saling terkait. Selanjutnya, skema tersebut menjadi struktur pengetahuan yang mengindikasikan kumpulan informasi yang membentuk suatu makna tertentu. Sebagai contoh, siswa dapat membangun skema seputar teorema pythagoras. Skema-skema lain yang termasuk dalam konsep tersebut adalah bilangan (termasuk operasinya), bentuk aljabar, dan segitiga. Misalnya, ketika siswa harus menyelesaikan masalah yang melibatkan teorema pythagoras, mereka akan perlu menggunakan prosedur untuk menyelesaikan persamaan, manipulasi aljabar, atau membuat ilustrasi gambar untuk memviasualisasi masalah. Derry (1996: 165) menyatakan bahwa konstruktivis radikal percaya semua pemahaman logis-matematis dan konseptual yang baru dikonstruksi berdasarkan skema yang terkonstruksi sebelumnya. Selanjutnya, siswa menggunakan struktur pengetahuannya sebagai upaya untuk mengonstruksi pemahamannya terhadap situasi yang mereka observasi dan kaji. Proses ini melibatkan asimilasi pola aktivitas skema mental yang terkonstruksi sebelumnya, selanjutnya menggunakan skema tersebut dalam menyelesaikan masalah dan berfikir lain secara langsung. Selanjutnya, Chinnappan dan Thomas (2003) berpendapat bahwa skema yang terstruktur dengan baik dapat memberi manfaat bagi siswa dalam mengasimilasi ide matematis baru karena skema dapat mengaitkan banyak pengetahuan. Dengan kata lain, skema memberikan banyak manfaat untuk menginterpretasikan perkembangan pengetahuan dan makna matematis. Subanji (2015:10) menguraikan kajian mengenai struktur berpikir dalam proses konstruksi pemecahan masalah matematika. Ketika struktur masalah yang dihadapi oleh siswa jauh lebih kompleks dibanding struktur berpikirnya, siswa akan mengalami kesulitan dalam proses konstruksi karena siswa akan mengalami kesulitan dalam proses asimilasi atau akomodasi. Untuk melakukan asimilasi, siswa belum memiliki skema yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan untuk melakukan akomodasi, yaitu mengubah skema lama atau membentuk skema baru, masih mengalami kesulitan karena belum cukup memiliki skema yang dapat digunakan untuk membentuk skema baru. Dalam hal ini perlu proses lagi agar dapat terjadi proses konstruksi, yakni menguraikan (atau memotong) masalah ke bagian-bagiannya. Masalah yang sudah terurai menjadi informasi-informasi yang lebih sederhana akan mudah untuk diasimilasi atau diakomodasi. Berikutnya dapat berlangsung restrukturisasi, pengaitan antar komponen berpikir dan membentuk skema baru yang lebih kompleks yang dapat mengasimilasi atau mengakomodasi masalah yang kompleks (keseluruhan). Proses pemecahan struktur masalah yang kompleks ke bagian-bagiannya ini oleh Subanji disebut proses analitik.
14
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Berdasarkan kajian di atas, peneliti menguraikan deskripsi kesalahan konstruksi penyelesian masalah yang ditinjau dari struktur berpikir yang melibatkan skema siswa. Kesalahan tersebut dikaji berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah yang dikemukana oleh Subanji (2015). Kesalahan yang terjadi pada siswa meliputi: 1. Pseudo Construction, yaitu konstruksi yang “seakan-akan benar” tetapi siswa tidak dapat memberikan justifikasi atau konstruksi “seakan-akan salah” tetapi siswa bisa memperbaiki kesalahannya setelah refleksi 2. Lubang Konstruksi, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana skema yang terbentuk dalam proses konstruksi ada yang belum lengkap 3. Mis-analogical Construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir analogi 4. Mis-logical construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir logis METODOLOGI Penelitian ini merupakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Subjek dalam penelitian ini yaitu enam siswa SMP kelas VIII terdiri atas 2 kelompok atas, 2 siswa kelompok sedang, dan 2 siswa kelompok bawah berdasarkan prestasi hasil belajar siswa. Siswa diberikan masalah geometri dan diwawancarai berbasis tugas terhadap penyelesaian masalah yang diajukan oleh siswa. Kemudian, struktur berpikir siswa dideskripsikan berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah matematika menurut Subanji (2015). Berikut instrumen penelitian beserta struktur masalah yang diberikan.
C
A
B
Gambar di samping adalah setengah lingkaran dengan diameter 10 cm dan BD = 2 cm. Luas daerah yang diarsir adalah ................ D
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan didapatkan dari hasil wawancara dengan siswa subjek setelah mengerjakan masalah yang diberikan. Selanjutnya, proses berpikir siswa dipetakan dan dideskripsikan. Deskripsi Kesalahan Konstruksi Siswa S1 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa berhasil mengasimilasi informasi dari masalah yang diberikan. Siswa mampu menyebutkan bahwa masalah yang diberikan melibatkan bentuk setengah lingkaran dan memiliki diameter 10 cm, akibatnya jari-jarinya adalah 5 cm. Selain itu, siswa mampu menyebutkan bahwa masalah yang dicari adalah luas daerah yang diarsir, yaitu berbentuk segitiga siku-siku. Namun, siswa gagal mengakomodasi salah satu bagian segitiga. Proses pengerjaan S1 tersaji pada Gambar 1.
15
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 1. Penyelesaian Masalah oleh S1
Berikut kutipan wawancara peneliti menggali informasi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah. P : Kemarin gimana ini kamu ngerjakannya? S1 : saya mencari panjangnya ini [AB], karena ini [AD] panjangnya 10, berarti ini [AB] panjangnya 8. Trus saya cari tingginya tu [BC], 10 ini diameter trus saya bagi 2, kayak jari-jarinya gitu, P : berarti luas daerah yang diarsir gimana? S1 : ya pakai luas itu, setengah alas kali tinggi. Yaitu setengah kali 8 kali tingginya 5, jadinya 20 Berdasarkan wawancara dengan S1, siswa telah mengetahui alas segitiga dan tinggi segitiga, namun penentuan ukuran tinggi segitiga masih salah. S1 menganggap tinggi segitiga adalah 5 cm, yaitu sama dengan jari-jari setengah lingkaran. Akibatnya, S1 menghasilkan jawaban salah. Berdasarkan teori kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), S1 mengalami mislogical construction, yaitu terletak pada kesalahan logika siswa dalam menentukan ukuran tinggi segitiga (BC) yang dianggap sama panjang dengan jari-jari. Lubang Konstruksi juga terjadi karena terdapat skema-skema yang belum terkontruksi dalam struktur berpikir siswa. Kesalahan struktur berpikir siswa tersaji pada Gambar 2. MG
Keterangan: SL
Kode ABC D BD LK
SAB AD
AB BC LS
MC
Selesai
Gambar 2. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S1
16
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC LS LK MC
Penjelasan Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa S2 merupakan kelompok atas. Ketika menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa S2 telah memiliki skema diameter lingkaran, luas setengah lingkaran, dan luas segitiga. Namun, S2 tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. Siswa S2 mampu mengasimilasi informasi yang terdapat pada masalah. Siswa S2 memahami yang telah diketahui dari masalah yaitu terdapat bentuk setengah lingkaran, terdapat diameter lingkaran,dan segitiga siku-siku. Siswa S2 juga telah mampu mengakomodasi dari informasi tersebut untuk menentukan panjang alas segitiga siku-siku, yaitu 10 cm dikurangi dengan 2 cm, yaitu 8 cm. Meskipun demikian, siswa S2 gagal dalam mengakomodasi untuk menentukan tinggi segitiga dan gagal mengakomodasi strategi penyelesaian masalah. Siswa S2 menyebut bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas setengah lingkaran dengan luas segitiga. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa S2. P : bagaimana tadi mengerjakannya? S2: jadi, lingkarannya setengah, trus dikali 3,14. Ini karena diameternya 5 kan berarti kan luas lingkarannya pi r kuadrat, ini jadinya 5 kali 5. trus setengah kali 68,5. 68,5 dibagi 2 itu 34,25. Trus alasnya segitiga...........trus tadi diameternya kan 10 ya, berarti ini 10, trus ini 2, berarti A ke B kan 8. P : maksudnya apa yang kamu cari ini? S2: luas lingkaran, trus dikurangi luas segitiga. Gambar 3 menunjukkan pengerjaan S2 namun belum selesai pada jawaban akhir.
Gambar 3. Penyelesaian Masalah oleh S2 Berdasarkan kutipan wawancara dengan S2 dan Gambar 3, siswa S2 tidak berhasil pada jawaban yang diinginkan. Kesalahan konstruksi yang dialami S2 yaitu ide penyelesaian masalah. Siswa S2 menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas lingkaran dengan luas segitiga. Menurut teori kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), masalah tersebut mengindikasikan bahwa siswa mengalami mislogical construction. Hal tersebut terjadi karena kesalahan berpikir logis siswa, yaitu untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengurnagkan luas segitiga dari luas setengah lingkaran meskipun sebenarnya subjek belum menemukan luas segitiga. S2 juga mengalami lubang konstruksi karena terdapat skema-skema pengonstruksi struktur masalah. Ringkasnya, struktur berpikir siswa S1 disajikan dalam Gambar 4 berikut:
17
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
MG
Keterangan: SL
ABC D
BD
SAB AD LSL AB
LSL - LS
LS
Kode
Penjelasan
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC LSL LSL-LS
Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Luas Setengah Lingkaran Luas Setengah Lingkaran Dikurangi Luas Segitiga Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
LS MC
Selesai
LK MC
LK
Gambar 4. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa S3 merupakan siswa dalam kelompok sedang. Siswa S3 telah mempunyai skema skema yang cukup dalam menyelesaiakn masalah yang diberikan, meskipun berlebihan. Skema yang telah dimiliki yaitu keliling lingkaran termasuk diameter lingkaran, segitiga, dan luas segitiga. Namun siswa S3 tidak dapat menyelesaikan masalah yang diberikan dengan tepat. Siswa S3 berhasil mengasimilasi informasi diameter dan mendapatkan jari-jari setengah lingakaran. S3 juga dapat mnegasimilasi informasi bahwa luas yang dicari adalah segitiga siku-siku. Namun, S3 gagal mengakomodasi strategi pemecahan masalah. Awalnya, S3 mencari keliling setengah lingkaran. Menurutnya, keliling lingkaran tersebut dapat digunakan untuk mencari jari-jari setengah lingkaran tetapi S3 gagal melogikakan idenya tersebut. Dan menyimpulkan bahwa alas segitiga panjnagnya 5 cm dan tingginya 8 cm. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa S3: P : coba, kamu ceritakan kembali, kemarin gimana ngerjakannya? S3 : ini mencarinya yaitu setengah keliling, yaitu pi kali d. ini diameternya 10, sehingga 3,14 dikali 10 dibagi 2. Ini tak jadiin pecahan campuran hasilnya dikali dibalik, jadinya 15,7 trus saya bikin 16.
18
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
P : kemarin kenapa kok ambil pakai keliling itu? S3 : ini kalo nggak salah untuk nyari jari-jari dulu
P : trus akhirnya luas segitiganya berapa? S3 : setengah kali alas kali tinggi P : ini alasnya mana? S3 : ini, 5 P : trus tingginya? S3 : 8 P : delapan dapat dari mana? S3 : 10 dikurangi 2 Siswa S3 merajut skema diameter dengan setengah lingkaran mendapatkan luas setengah lingkaran dan diharapkan untuk mendapatkan jari-jari lingkaran menunjukkan siswa mengalami mislogical construction. Siswa mengalami kesalahan konstruksi logika karena mengaharapakan dapat menemukan panjang jari-jari lingkaran dan digunakan untuk mencari luas segitiga, yaitu dianggap sebagai alasnya. Selanjutnya, siswa S3 mendapatkan BC dari setengah diameter dan dirajut dengan skema AB menghasilkan luas segitiga menunjukkan siswa S3 mengalamai mislogical construction. Hal ini karena siswa menganggap bahwa BC sama dengan panjang jari-jari setengah lingkaran. Siswa S3 juga mengalami lubang konstruksi, yaitu untuk mencari BC, siswa harus mengonstruksi panjang OC dan dirajut dengan OB menghasilkan BC menggunakan teorema pythagoras. Apabila dipetakan, struktur berpikir siswa S3 disajikan pada Gambar 5.
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa S4 termasuk dalam kategori siswa sedang. Siswa S4 telah melakukan adaptasi terhadap masalah yang diberikan namun masih gagal dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Skema yang telah dimilikinya yaitu diameter lingkaran, segitiga siku-siku, dan luas segitiga. Siswa S4 telah berhasil mengasimilasi informasi yaitu menyadari bahwa untuk menyelesaiakan masalah, ia menggunakan informasi diameter lingkaran untuk mencari panjang alas segitiga. Namun, siswa S4 gagal dalam melakukan akomodasi untuk mencari ukuran tinggi segitiga. Siswa S4 menggunakan asumsi bahwa tinggi segitiga adalah tiga kali lipat dari panjang BD yaitu menghasikan 6 cm. Akibatnya, jawaban yang dikemukakan siswa S4 menjadi salah.
19
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Keterangan:
MG
Kode SL ABC
LK
D BD SAB
KSL
AB
BC
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC KSL R LS LK MC
R
Penjelasan Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Keliling Setengah Lingkaran Jari-jari Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
LS
MC Selesai
Gambar 5. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3
Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S4: P : coba kamu jelaskan lagi ini, kamu kemarin ngerjakannya gimana? S4: ini kan diameternya dari A ke D adalah 10, Pak. Trus dikurangi sama ini [BD], yaitu 2, jadinya 8. Trus nyari BC itu, saya tambahkan-tambahkan gitu. Jadi, BC nya 6.
P : 6 itu dari mana? S4: dari 3 kali lipatnya P : jadi luasnya segitiga berapa? S4: jadi setengah kali alas kali tinggi. Alasnya itu 8 kali tingginya 6, trus dibagi 2. 8 kali 6 itu 48 trus dibagi 2, hasilnya 24............
20
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Apabila diakitkan dengan teori kesalahan konstruksi (Subanji, 2015), siswa S4 mengalami mislogical construction. Kesalahan utamanya yaitu ketika Ia menganggap bahwa ukuran tinggi segitiga adalah tiga kali ukuran panjang BD, yaitu 6 cm. Hal ini mengakibatkan juga terjadinya lubang konstruksi, yaitu seharusnya siswa mengonstruksi panjang OC untuk mencari ukuran tinggi segitiga menggunakan teorema pythagoras. Karena terdapat skema yang belum terkonstruksi, struktur berpikir S4 juga mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir siswa S4 dalam menyelesaikan masalah tersaji dalam Gambar 6. Keterangan:
MG
Kode SL
D
BD
ABC
SAB
AD
AB
BC
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC LS LK MC
Penjelasan Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
LS
Selesai
MC
LK
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa S5 tergolong dalam kelompok siswa berkemampuan rendah. Dalam menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa S5 telah mampu ngasimilasi informasi yang diketahi, yaitu mengetahui bahwa yang diketahui adalah setengah lingkaran dengan diameter 10 cm dan luas yang dicari adalah luas segitiga siku-siku. Namun, siswa S5 gagal mengakomodasi strategi untuk menemukan panjang BC. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S5: P : coba, kamu jelaskan lagi, kamu kemarin gimana ngerjakannya? S5: pertama saya mencari luas lingkaran, yaitu pi kali r kali r dikali setengah P : sehingga ketemunya..... S5 : 39, 25
21
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
P : trus selanjutnya mau cari apa ini? S5 : trus waktu tu saya pengen cari yang ini [menunjuk daerah setengah lingkaran] P : nah itu carinya gimana? S5 : pi kali r kali r kali setengah, lalu ketemunya 6,28
P : trus kemudian, ini mencari apa ini? Itu gimana? S5 : mencari nilai ini [Luas Setengah Lingkaran] dikurangi ini [Luas daerah BCD] hasilnya 32, 87, trus kayak pindah ruas gitu. Sehingga ketemu 4, 10 875
P : jadi luasnya adalah..... S5 : 8 kali 4 sama dengan 32
Berdasarkan wawancara di atas, siswa S5 mengalami mislogical construction dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi ketika S5 menentukan BC dengan mencari luas-luas setengah lingkaran. Mislogical pertama, S5 menganggap daerah yang dibatasi titik BCD merupakan setengah lingkaran, selanjutnya luas setengah lingkatan dikurangi dengan luas daerah BCD untuk mencari BC. Hal ini mengahsilkan BC adalah 4, namun logika untuk menemukannya tidak tepat. Dengan
22
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
ditemukannya BC, terdapat skema yang belum terkonstruksi dalam struktur berpikir S5 sehingga mengakibatkan lubang konstruksi. Berikut struktur berpikir siswa dalam menonstruksi penyelesaian masaalah tersaji dalam Gambar 6.
Keterangan
MG
SL SS D
R
BD
SAB LBCD
Kode
Penjelasan
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC LSL R LBCD
Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Luas Setengah Lingkaran Jari-jari Luas daerah yang dibatasi BCD Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
AB
LSL
LS
BC
LK MC
LS
MC
LK
Selesai
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Siswa S6 tergolong siswa kelompok rendah. Siswa S6 memiliki skema yang cukup namun prosedur pengerjaannya masih salah. S6 mampu mencoba menyelesaikan masalah, namun tidak mampu menjelaskan langkah maupun menjastifikasi langkah penyelesaian masalah yang dibuat. Berikut wawancara peneliti dengan Siswa S6: P : cara menemukan jawaban ini gimana? S6 : ngawur, Pak P : Coba kamu jelaskan gimana coba? S6 : awalnya nyari luas lingkarannya ini dulu [Luas Setengah Lingkaran],
23
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
P : terus kemudian cari apa lagi? S6 : trus cari panjang AC, yaitu pakai pythagoras P : caranya gimana ini.......? ketemunya berapa? S6 : 9
P : kalo udah ketemu AC 9, luasnya berarti? S6 : alas kali tinggi, yaitu ............
P : 4 ini dapat dari mana? S6 : gak tau, ngawur aja ..... Apabila dikaitkan dengan teori kesalahan konstruksi, Siswa S6 mengalamai mislogical construction dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi ketika Ia hendak menentukan BC. S6 menjawab “ngawur” untuk menentukan BC adalah 4, namun meuliskan BC adalah dua kali BD ketika hendak menentukan AC. Setelah BC ditemukan, S6 langsung menentukan luas segitiga, padahal terdapat skema pengonstruksi penyelesaian masalah belum ada. Hal ini menyebabkan struktur berpikir S6 mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir S6 disajikan dalam Gambar 7. MG
Keterangan SL ABC D
BD SAB
AD
LSL
AB BC MC
AC
Kode
Penjelasan
MG SL D BD ABC SAB AB AD BC AC LSL
Masalah Geometri Setengah Lingkaran Diameter Panjang ̅̅̅̅ Segitiga Siku-siku ABC Sisi ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Panjang ̅̅̅̅ Luas Setengah Lingkaran Luas Segitiga yang Diarsir Lubang Konstruksi Mislogical Construction
LS
LS LK Selesai
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6
24
LK MC
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Pembahasan Stacey (2015) menyatakan “Students will always tend to work with what they are given rather than introduce new things into the problem”, yaitu siswa akan selalu bekerja dengan apa yang telah diketahui daripada mengenali hal baru dalam masalah. Hal tersebut terjadi pada subjek S1 hingga S6. Mereka sebatas melihat dan mengadaptasi penyelesaian masalah berdasarkan keterangan yang telah diketahui dalam masalah. Dalam hal ini, mereka berhasil mengasimilasi namun gagal dalam mengakomodasi hal-hal yang telah mereka ketahui dalam masalah. Akhirnya, mereka tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. Semua subjek tidak dapat menyelesaikan masalah karena struktur berpikir mereka mengalami kesalahan. Pertama, mereka tidak menggunakan logika yang tepat ketika hendak menentukan salah satu skema penyusun konstruksi masalah. Dengan demikian, mereka mengalami misogical construction (Subanji, 2015). S1 menentukan BC dari AD (diameter setengah lingkaran) yaitu berasumsi bahwa BC adalah setengah dari AD, sehingga mendapatkan BC bernilai 5 cm. S2 berpendapat bahwa luas setengah lingkaran dikuragi dengan segitiga yang diarsir merupakan prosedur untuk menyelesaikan masalah, meskipun gagal dalam menemukan luas segitiga yang dimaksud. S3 beranggapan bahwa BC sama dengan panjang jari-jari lingkaran. S4 berasumsi bahwa BC adalah tiga kali panjang BD yaitu tiga kali 2 menghasilkan 6. S5 berargumentasi bahwa untuk mencari BC, ia perlu menemukan luas setengah lingkaran dan luas bagian BCD, selanjutnya dikurangkan. Hasil pengurangan tersebut sama dengan luas segitiga yang dimaksud. S 6 beranggapan bahwa BC adalah dua kali BD sehingga didapatkan BC sama dengan 4 cm. Kesalahan logika yang dialami semua subjek tersebut mengakibatkan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. Berikutnya, terdapat skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah yang belum ada. Subanji (2015) menyebut adanya lubang konstruksi dalam struktur berpikir subjek. Mereka perlu adanya skema pusat lingkaran (misalkan O), OC, segitiga siku-siku OBC, dan teorema phytagras, untuk dapat menentukan BC. Setelah ditemukannya BC, mereka dapat merajutnya dengan AB yang berhasil ditemukannya sehingga mendapatkan luas daerah yang diinginkan. Skemp (1976) mengungkapkan gagasan pemahaman instrumental dan relasional. Permasalahan pada subjek tersebut negindikasikan bahwa mereka hanya mengandalkan pemahaman instrumentalnya dan kurang dalam menggunakan pemahaman relasional. Hal ini tampak bahwa mereka mampu dalam melakukan perhitungan namun tidak dapat berlogika dengan tepat dalam menentukan skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah. Sehingga, mereka mengalami mislogical construction dan lubang konstruksi yang berdampak pula pada kesalahan dalam konstruksi penyelesaian masalah yang diberikan. PENUTUP Berdasarkan hasil deskripsi didapatkan bahwa semua subjek mengalami mislogical construction dan lubang konstruksi. Lubang konstruksi terjadi ketika siswa mengalami kesalahan logikanya dalam menyelesaikan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena terdapat skema tertentu yang belum ada dalam struktur berpikir siswa. Mislogical construction dan lubang konstruksi menyebabkan siswa mengalami kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Berdasarkan kajian tersebut, siswa perlu adanya restrukturusisasi berpikir terhadap struktur-struktur berpikir yang mengalami kesalahan. Restrukturisasi berpikir tersebut dikenal dengan defragmenting (Nusantara & Subanji, 2015). Defragmenting adalah proses penataan ulang struktur berpikir siswa sehingga menjadi struktur berpikir yang lebih lengkap dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
25
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
DAFTAR RUJUKAN Biber, Cagri, Tuna, Abdulkadir, & Korkmaz, Samet. 2013. The mistakes and the misconceptions of the eighth grade students on the subject of angles. European Journal of Science and Mathematics Education, 1(2): 50 – 59. Chinnappan, Mohan. 2003. Schema Construction among Pre-service Teachers and the Use of IT in Mathematics Teaching: A Case Study. Mathematics Teacher Education and Development, 5 (2003): 32-44. Chinnappan, Mohan dan Thomas, Mike. 2003. Teachers‟ Function Schemas and their Role in Modelling. Mathematics Education Research Journal, 15 (2): 151-170. Derry, Sharon J. 1996. Cognitive Schema Theory in the Constructivist Debate. Educational Psychologist, 31(3/4): 163 – 174 . NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. US: National Council of Teachers of Mathematics. Nunokawa, Kazuhiko. 2005. Mathematical problem solving and learning mathematics: What we expect students to obtain. Journal of Mathematical Behavior, 24 (2005):325–340. Nusantara, Toto & Subanji. 2015. Defragmenting Proses Berpikir Matematik melalui Pemetaan Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan Matematika Siswa. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana (Hibah Pasca) UM. Malang: Lemlit UM Ozerem, Aysen. 2012. Misconceptions In Geometry And Suggested Solutions For Seventh Grade Students. Procedia Social and Behavioral Sciences 55 (2012): 720-729. Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika. Malang: UM Press
26
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
KOMUNIKASI MATEMATIS LISAN SISWA HOMESCHOOLING BERKEPRIBADIAN INTROVERT PADA MATERI OPERASI IRISAN DAN GABUNGAN DUA HIMPUNAN Fitri Umardiyah; Subanji; Dwiyana Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan yang muncul di homeschooling dimana terdapat siswa yang dapat menjawab soal secara tertulis namun kurang dapat menjawab soal secara lisan. Komunikasi secara lisan erat kaitannya dengan kepribadian karena kepribadian mempengaruhi cara orang berkomunikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan komunikasi matematis lisan siswa Homeschooling berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Indikator untuk melihat komunikasi matematis lisan terdiri atas tiga hal yaitu 1) menyampaikan ide matematis kepada orang lain, 2) menggunakan bahasa / lambang matematika untuk menyampaikan ide matematis, 3) memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat, yang semuanya mencakup materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pemberian tes kepribadian JEPQRS, observasi, dan wawancara. Berdasarkan hasil pemilihan subjek menggunakan tes JEPQRS, terpilih lima siswa introvert. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa komunikasi matematis lisan sangat jarang dilakukan. Siswa lebih sering mengungkapkan ide melalui tulisan, kurang inisiatif dalam hal berkomunikasi secara lisan, menjelaskan diagram venn melalui tulisan, tidak bisa membaca notasi pembentuk himpunan dengan benar, dan memberikan alasan dari jawaban yang ia buat melalui tulisan. cenderung pasif, baru mengemukakan pendapat ketika ditanya, jawaban yang diberikan pun singkat dan lebih banyak menuliskan jawaban. Kata Kunci: komunikasi matematis lisan, homeschooling, introvert, materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan
Proses belajar mengajar merupakan penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Siswa yang belajar diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri setiap siswa memiliki karakter dan gaya belajar yang berbeda sehingga hasil belajarnya pun berbeda. Oleh sebab itu, sering muncul pembelajaran-pembelajaran yang menfasilitasi siswa sesuai dengan kadar kemampuan pemahaman dan hasil belajarnya. Selain itu, muncul pula alternatif lain berupa sekolah yang mengutamakan karakter, bakat dan minat siswa. Hal ini dikarenakan setiap siswa memiliki kemampuan berbeda. Salah satu pendidikan alternatif yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah homeschooling. Homeschooling semakin diakui keberadaannya ketika pemerintah memberikan kebijakan bahwa pendidikan yang dilakukan keluarga dan lingkungan termasuk dalam pendidikan jalur informal. Beberapa anak mampu berkembang optimal di sekolah, namun sebagian mengalami kegagalan. Menurut Korkmaz (2013), faktor yang mempengaruhi seseorang beralih ke homeschooling adalah faktor perbedaan gender , faktor sosial, dan faktor ekonomi. Seiring digalakkannya pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keaktivan siswa, pembelajaran didesain dalam diskusi kelompok. Dengan pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya mengomunikasikan ide-idenya sendiri melainkan juga mengomunikasikan ide dengan teman yang lain. Akan sangat berbeda jauh dengan sistem pembelaran di homeschooling yang lebih mengutamakan belajar individu “satu guru-satu siswa”. Proses interaksi berpikir siswa homeschooling hanya dengan guru. Siswa mendapat perhatian khusus dalam pembelajaran. Adakalanya dengan
27
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
perhatian khusus yang diberikan dapat meningkatkan kemampuan siswa, namun disisi lain muncul suatu problematika tentang proses komunikasi dalam pembelajaran.
Seringkali guru merasa kesal terhadap siswa yang susah diatur, siswa yang banyak bertanya, siswa yang bersikap dingin, siswa yang tidak pernah bertanya, ataupun siswa yang bersikap keras hati, dan sebagainya. Kekesalan guru tersebut pada dasarnya disebabkan oleh ketidaktahuan guru terhadap tipe kepribadian para siswa, sehingga guru merasa kesal dengan sikap siswa yang tidak sesuai dengan keinginan guru, kemudian memarahi, tanpa memahami, dan tanpa memberikan solusi yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan siswa (Suhadianto: 2009). Siswa introvert mengacu pada siswa yang yang memiliki kecenderungan tingkah laku serta sifat-sifat yang tertutup, dan kurang suka bersosialisasi. Eysenck (dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:413) mengemukakan individu yang termasuk dalam tipe introvert adalah individu yang selalu mengarahkan pandangannya pada dirinya sendiri. Seluruh perhatian diarahkan kedalam hidup jiwanya sendiri. Tingkah lakunya terutama ditentukan oleh apa yang terjadi dalam pribadinya sendiri. Sedangkan dunia luar baginya tidak banyak berarti dalam penentuan tingkah lakunya, sebab itu individu dengan tipe ini kerapkali jarang mengadakan kontak dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam pembelajaran, guru harus sering mendekati siswa yang pemalu dari waktu ke waktu dengan cara yang lembut, dan berpengaruh agar mereka memperoleh rasa percaya diri (Hanley , 2005). Siswa harus mendapat perhatian dari guru sesuai dengan porsi kebutuhannya. Dengan begitu siswa yang berkepribadian introvert akan merasa terpenuhi rasa kenyamanan dalam belajar dan tidak minder terhadap teman yang lain. Homeschooling dapat enjadi alternatif bagi siswa introvert karena pembelajaran berlangsung dengan sestem satu guruuntuk satu siswa sehingga siswa introvert mendapatkan perhatian yang penuh.
Komunikasi matematis merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mempelajari bahasa dan simbol-simbol matematika. Selain dari itu, komunikasi matematika juga dapat melatih siswa untuk mengemukakan pendapat secara jujur, fakta dan rasional. Berbagi ide dan wawasan dilakukan dengan maksud memperdalam pemahaman matematika siswa (Brendefur dan Frykholim, 2004). Dalam pembelajaran, siswa sering kali menuliskan pemikirannya dengan bahasa mereka. Materi himpunan dipilih karena merupakan materi mendasar yang menjadi dasar dasar dari materi lainnya. Himpunan disajikan dalam beberapa cara, seperti menyatakan dengan kalimat, notasi pembentuk himpunan dan mendaftar anggota-anggotanya. Dengan menyajikan himpunan dalam bentuk notasi matematika maka akan tampak komunikasi matematis siswa dalam menuliskan simbol-simbol matematika. Pada materi himpunan terdapat suatu hubungan antara menyatakan bahasa sehari ke dalam simbol matematika. Materi yang akan dijadikan bahan penelitian difokuskan pada operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan terdapat konsep yang menggunakan simbol matematika yaitu berupa notasi himpunan, diagram venn sebagai salah satu representasi himpunan, dan penerapan operasi irisan dan gabungan dalam kehidupan nyata. Dengan materi tersebut dapat dilihat komunikasi matematis yang meliputi penggunaan simbol matematis dan penerapan dalam kehidupan nyata. Komunikasi matematis dapat dilihat melalui indikator yang dibuat. Komunikasi matematis lisan siswa homeschooling terjadi antara siswa dengan guru. Indikator komunikasi matematis yang digunakan adalah sebagai berikut.
28
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Indikator komunikasi matematis lisan a. Menyampaikan ide matematis kepada orang lain b. Menggunakan bahasa / lambang matematika untuk menyampaikan ide matematis c. Memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif . Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini bermula dari penggalian data berupa informasi dalam bentuk cerita rinci atau asli yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan pandangan subjek penelitian. Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah komunikasi matematis siswa homeschooling berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan melalui subjek penelitian. Pendeskripsian ini ditelusuri melalui observasi terhadap subjek penelitian dalam pembelajaran matematika. Pendeskripsian ini juga dilakukan dengan memberikan tes tulis dan melakukan wawancara terstruktur kepada subjek penelitian. Peneliti berperan sebagai perencana, pengumpul data (observasi, proses pembelajaran, pemberian tes, dan pelaksanaan wawancara), penganalisis data, dan pelapor hasil penelitian. Pada penelitian ini, peran peneliti bersifat observasi partisipatif karena peneliti sebagai observer sekaligus sebagai guru. Dengan kata lain, peneliti menjadi insrumen utama dalam penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Homeschooling Primagama Malang, Jl.Candi Mendut Barat C17 Kota Malang. Instrumen pendukung dalam penelitian ini meliputi tes kepribadian, lembar observasi, tes, dan pedoman wawancara. 1. Tes kepribadian 2. Lembar observasi 3. Tes 4. Pedoman wawancara Pada proses pengumpulan data,peneliti melakukan tahap 1) pemilihan subjek penelitian, 2) observasi pembelajaran, 3) pemberian tes tulis, 4) pelaksanaan wawancara. Subjek yang dipilih adalah siswa Homeschooling Primagama Malang kelas VII yang berkepribadian introvert. Siswa kelas VII di Homeschooling Primagama Malang belum mendapatkan materi himpunan pada semester ganjil karena kurikulum di Homeschooling Primagama Malang masih menggunakan Kurikulum 2006. Subjek memperoleh materi himpunan pertama kali pada saat penelitian dilakukan. Peneliti melakukan observasi di Homeschooling Primagama Malang untuk mencari informasi adanya siswa introvert. Peneliti mengadakan tes kepribadian kepada siswa kelas VII untuk mengetahui kepribadian ekstrovert-introvert. Tes kepribadian yang digunakan diadaptasi dari angket JEPQR-S (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short form). Berdasarkan hasil tes kepribadian, dipilih siswa yang berkepribadian introvert. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah Homeschooling Primagama Malang, seluruh siswa kelas VII tidak ada yang tuna wicara. Informasi tersebut sebagai dasar bahwa siswa yang menjadi subjek penelitian dapat diteliti komunikasi matematis lisannya. Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data valid dari lapangan adalah melakukan proses analisis data. Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data.
29
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Pengembangan Instrumen Peneliti mengembangkan instrumen sebelum melakukan pengambilan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes kepribadian, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Peneliti mengembangkan instrumen pada bulan Januari-Februari 2016. Instrumen yang dibuat peneliti terlebih dahulu divalidasi ke para ahli sebelum digunakan untuk penelitian di lapangan. Subjek dalam penelitian dipilih berdasarkan hasil tes kepribadian. Tes kepribadian yang digunakan diadaptasi dari angket JEPQRS (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short form). Tes terdiri atas 24 soal dimana 12 item untuk menguji kebohongan siswa dan 12 item untuk mengetahui tingkat ekstroversi. Proses adaptasi angket JPEQRS mempertimbangkan tiga faktor yaitu kebahasaan, usia siswa, kondisi lingkungan di Indonesia. Item kebohongan terdapat pada nomor 2,4,6,8,10,12,14,16,18, dan 20. Item ekstraversi terdapat pada nomor 1,3,5,7,9,11,13,15,17,19,21, dan 23. Setiap jawaban “iya” diberi skor 1 dan jawaban “tidak” diberi skor 0, kecuali pada item bertanda * diberi skor yang berkebalikan. Apabila skor kebohongan maka subjek tersebut terindikasi bohong dan harus mengulang tes. Jika skor pada item ekstraversi maka siswa tersebut termasuk siswa cenderung introvert. Peneliti melakukan observasi terhadap performa subjek pada pelaksanaan pembelajaran. Peneliti menggunakan lembar observasi sebagai pedoman hal apa saja yang harus diobservasi. Untuk keperluan tersebut, peneliti mengembangkan instrumen lembar observasi. Sesuai dengan indikator komunikasi matematis tulis dan lisan, peneliti mengembangkan lima aspek untuk mendukung kegiatan observasi pembelajaran yaitu sebagai berikut. Cara siswa menyatakan himpunan dalam diagram Venn Cara siswa menyatakan himpunan dalam notasi pembentuk himpunan Tindakan siswa ketika ia butuh bantuan Cara siswa menyampaikan respon terhadap pertanyaan guru Cara siswa memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat Masing-masing aspek dilengkapi dengan rumusan performa siswa. Observer dapat memberi tanda pada performa yang muncul. Apabila ada kejadian di lapangan yang diluar dugaan, observer dapat menambahkan keterangan pada kolom catatan. Wawancara dilakukan dengan tujuan mengetahui komunikasi matematis lisan siswa. Pertanyaan wawancara harus sesuai dengan fokus penelitian. Oleh karena hal tersebut, peneliti membuat pedoman wawancara sebagai acuan dalam memberikan pertanyaan kepada subjek penelitian. Pedoman wawancara memuat item pertanyaan yang dapat mengungkap indikator komunikasi matematis lisan dan sesuai dengan materi. Pengembangan pedoman wawancara memperhatikan lima hal sebagai berikut.siswa. Pengembangan pedoman wawancara memperhatikan empat hal sebagai berikut. Kepribadian introvert Kemungkinan jawaban muncul Pertanyaan pelacak apabila siswa tidak bisa menjawab Pertanyaan lanjutan Bisa mengungkap komunikasi lisan (sesuai indikator) Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada lampiran. b. Hasil Pengambilan Data Subjek penelitian merupakan elemen penting dalam sebuah penelitian. Peneliti melakukan pemilihan subjek dengan memberikan tes kepribadian kepada siswa Homeschooling kelas VII pada 18 Februari 2016 pada saat mereka berkumpul di kantor untuk mengikuti kelas psikologi. Siswa yang mengerjakan tes sebanyak 11siswa.
30
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Sistem penskoran terbagi menjadi dua, yaitu untuk menilai kebohongan dan tingkat ekstroversi. Skor kebohongan yang ≥ 6 mengindikasikan bahwa siswa bohong dan tes harus diulang. Skor ekstroversi yang < 6 menunjukkan bahwa siswa mempunyai kepribadian introvert. Hasil tes kepribadian di sajikan dalam tabel 1. Siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang tidak bohong dan memiliki kepribadian introvert dengan skor relatif rendah sebanyak lima siswa. Tabel 1. Hasil Tes Kepribadian Skor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Siswa Siswa 1 (YW) Siswa 2 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 5 Siswa 6 (JS) Siswa 7 Siswa 8 (RC) Siswa 9 (VA) Siswa 10 (EA) Siswa 11
Skor Kebohongan 5 4 4 7 5 5 4 4 4 4 4
Skor Ekstroversi 3 5 5 3 9 2 8 2 3 2 4
Kesimpulan Bohong/ Ekstrovert/ Tidak Introvert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Introvert Bohong Tidak Bohong Ekstrovert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Ekstrovert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Introvert Tidak Bohong Introvert
Keterangan : Siswa yang terpilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang bertanda merah. Subjek akan disebut sesuai dengan inisial Setelah subjek terpilih, peneliti mengobservasi siswa selama pembelajaran, kemudian peneliti melakukan wawancara untuk mengungkap lebih mendetail tentang komunikasi lisan. 1. YW YW belum bisa menggambarkan diagram Venn dengan sempurna. YW tidak membuat kotak dan tidak menuliskan semesta himpunannya. Penamaan diagram Venn masih belum konsisten karena terkadang menggunakan huruf kapital, huruf kecil, bahkan digunakan bersamaan. YW menyertakan tanda titik didekat bilangan untuk menunjukkan anggota himpunan. Membuat notasi pembentuk himpunan merupakan hal yang sulit bagi YW. Dia masih perlu diingatkan untuk membuat kurung kurawal sebelum menuliskan himpunan. YW jarang menggunakan simbol-simbol matematis seperti lebih sering menggunakan kata “elemen” daripada simbol . YW sering terbalik dalam menuliskan simbol irisan dan gabungan dan terbalik dalam menggunakan kurang dari dan lebih dari. YW masih kurang peka dalam menyadari apa yang ia bingungkan terhadap materi irisan dan gabungan dua himpunan. Dia mengetahui kalau dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam skemanya, namun kurang cepat dalam menyadari. YW memberitahu guru bahwa dia kebingungan dan meminta diulang dari awal. Cara YW memberikan respon terhadap pertanyaan guru adalah dengan cara bertanya balik kepada guru karena belum mengerti secara jelas tentang maksud pertanyaan sekaligus untuk meyakinkan bahwa persepsi yang dia tangkap adalah benar. Setelah merasa pertanyaan jelas, YW meminta waktu untuk berpikir dulu kemudian menjawab. Apabila guru menanyakan alasan dari jawaban yang YW buat, YW belum bisa memberikan alasan lengkap karena YW selalu merasa jawabannya salah. YW merasa kurang percaya diri dalam menjawab pertanyaan dari guru. Hal lain yang muncul dalam observasi adalah YW mendadak seperti orang gagap ketika berbicara. Hal tersebut terjadi apabila YW merasa kurang nyaman dan pikiran sedang “ngeblank”.
31
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
YW sebenarnya memilik semangat tinggi untuk belajar namun karena memiliki kekurangan menjadikan dia kurang percaya diri. Berdasarkan hasil wawancara, peneliti mendapatkan informasi lebih mendalam tentang YW. YW masih kurang peka dalam menyadari apa yang ia bingungkan terhadap materi irisan dan gabungan dua himpunan. Dia mengetahui kalau dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam skemanya, namun kurang cepat dalam menyadari. YW memberitahu guru bahwa dia kebingungan dan meminta diulang dari awal. Cara YW memberikan respon terhadap pertanyaan adalah dengan cara bertanya balik kepada guru karena belum mengerti secara jelas tentang maksud pertanyaan sekaligus untuk meyakinkan bahwa persepsi yang dia tangkap adalah benar. Setelah merasa pertanyaan jelas, YW meminta waktu untuk berpikir dulu kemudian menjawab. Apabila guru menanyakan alasan dari jawaban yang YW buat, YW belum bisa memberikan alasan lengkap karena YW selalu merasa jawabannya salah. YW merasa kurang percaya diri dalam menjawab pertanyaan dari guru. YW lebih nyaman apabila menjawab pertanyaan dengan menulis. YW lebih sering menggunakan kalimat verbal daripada simbol matematika. Pada saat wawancara, YW lebih sering memangdang pada kertas jawabannya daripada memandang wajah peneliti. Ketika YW menjawab pertanyaan juga sambil melihat ke arah kertasnya. Peneliti sudah memancing YW untuk mengutarakan pendapat secara lisan, namun YW mengatakan bahwa yang ia tulis sudah cukup jelas. 2. RC RC merupakan siswa introvert yang rajin. Dia fokus mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh guru. Kekurangannya ialah RC cenderung diam ketika guru mengajak berinteraksi. RC lebih sering menjawab pertanyaan guru dengan cara menulis lalu menunjukkan kepada guru. Cara RC menyatakan himpunan dalam diagram Venn cukup benar. RC membuat diagram Venn dengan terlebih dahulu membuat kotak, lingkaran, kemudian menamai lingkaran sesuai dengan nama himpunan. Pengisian anggota himpunan dengan bilangan yang disertai tanda titik. Pada saat menyatakan himpunan dalam notasi pembentuk himpunan, RC menyatakannya dengan cukup benar juga. RC menggunakan simbol matematika seperti dengan benar. Penggunaan operator “<, >, ≤, ≥” sudah benar. Kekurangannya adlh RC terkadang menuliskan “bilangan asli” daripada atau . RC merupakan siswa yang cukup paham dengan kemampuannya. Ketika ia menemui kesulitan maka akan langsung bertanya pada guru. Ia bertanya dengan menunjukkan tulisannya dan berkata “bu yang ini saya bingung”. Pada saat yang sebaliknya yaitu ketika guru memberikan pertanyaan kepada RC, ia langsung merespon. Apabila RC merasa pertanyaan dari guru sulit, ia akan meminta berpikir dulu krn tidak mau dibantu secara langsung. RC cukup tanggap dalam menerima respon namun respon yang disampaikan jarang melalui ucapan. RC lebih suka untuk menulis jawaban dari pertanyaan guru daripada menjawab secara lisan. Hal lain yang terlihat pada saat pembelajaran adalah RC selalu meletakkan tas dipangkuan dan mendekapnya. RC merasa tidak percaya diri sehingga berusaha menutup diri. Ketika guru mencoba menatap wajah RC maka RC akan refleks untuk menunduk. RC percaya bahwa yang ia tulis sudah lengkap dan mewakili yang ia maksud. RC berusaha menulis selengkap mungkin karena RC kurang berkenan jika banyak ditanyai dan menjawab secara lisan. RC sangat serius dalam mengerjakan soal yang diberikan tapi kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya secara lisan. Peneliti menggali kemampuan RC dalam memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat. Lagi lagi, RC memberikan penjelasan lengkap dalam tulisannya. Apabila diminta untuk mengungkapkan secara lisan, RC hanya menjawab sepotong-sepotong. RC kurang tanggap apabila diajak berinteraksi melalui lisan. RC menyampaikan ide-idenya melalui tulisan. Hingga wawancara usai, RC tidak melepaskan tas yang ia peluk. Jika dianalisis sekilas, RC terlihat kurang percaya diri
32
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
sehingga menggunakan media tas untuk membuat ia percaya diri. Sikap RC ketika wawancara sama ketika pembelajaran berlangsung yaitu merangkul tas. 3. JS Pada materi himpunan, JS lebih suka menjawab soal dengan menggunakan diagram Venn daripada dengan notasi pembentuk himpunan. Diagram Venn yang dibuat oleh JS tidak sempurna karena tidak ada nama himpunannya, tidak ada kotaknya, tidak ada titik sebagai penanda anggota himpunan. Ketika JS disuruh menuliskan himpunan dalam bentuk notasi, dia hanya membuat inti dari himpunan itu. Misal ada , JS hanya menuliskan karena JS tidak mau terikat aturan seperti tanda kurang karawal dan sebagainya. JS menganggap yang penting sudah ada . Tindakan yang dilakukan oleh JS ketika butuh bantuan adalah bertanya pada guru secara lisan dan tertulis tentang apa yang tidak ia mengerti. Intensitas pertanyaaan yang disampaikan secara lisan sangat jarang. JS lebih sering mengungkapkan ketidakmengertiannya dengan cara menunjuk sesuatu yang telah ia tulis dan memberitahukan bahwa yang ditunjuk merupakan hal yang tidak ia mengerti. Pada saat guru memberikan pertanyaan, JS lebih suka memberikan respon dengan cara menulis. JS hiperaktif dalam perilaku tetapi sangat minim percakapan. Kelebihan JS adalah ia sangat percaya diri sehingga ketika ditanya alasan menjawab pertanyaan maka ia akan merasa yakin bahwa jawabannya benar namun kurang suka jika ditanya mengapa. Peneliti melakukan wawancara dengan JS dalam keadaaan yang kurang kondusif. JS bersembuyi dibawah kolong meja sambil tiduran dan main HP. JS memang siswa yang kurang peduli dengan dunia sekitar. Ia asyik dengan dunianya sendiri. JS masih bisa kooperatif dengan menjawab pertanyaan, namun butuh waktu untuk menunggu JS bersedia menjawab. JS merupakan siswa yang kurang suka apabila diatur termasuk dalam menjawab soal. JS lebih suka apabila menyatakan himpunan dalam diagram Venn. JS kurang berkenan apabila disuruh menjawab dengan notasi pembentuk himpunan yang lengkap. Kalimat andalan yang dilontarkan JS ketika malas menjawab adalah “yang penting intinya sama”. JS membatasi interaksi dengan peneliti sehingga JS lebih banyak menyampaikan ide dengan menulis. 4. EA Cara belajar EA sungguh unik. EA seperti berbicara sendiri ketika dia berpikir. Dia tidak mau diganggu dengan pertanyaan ketika ia berpikir sambil berbicara. Ia merasa bisa fokus ketika berpikir dengan cara seperti itu. EA memiliki emosi yang labil. Ketika ia tidak mau belajar, maka dia akan mengamuk hingga memukul. Akan tetapi jika EA dalam kondisi nyaman maka dapat diajak berkomunikasi dengan enak. EA merupakan siswa yang tidak mau terikat aturan yang baginya ribet. Pada materi irisan dan gabungan dua himpunan, EA terlihat paham ketika dijelaskan. EA bisa menjawab pertanyaan pertanyaan yang diberikan oleh guru, namun EA hanya mengambil intinya saja. Seperti pada materi menyatakan himpunan dalam diagram Venn. EA hanya membuat lingkaran, nama himpunan, dan anggotanya. EA tidak memperhatikan contoh diagram Venn seperti yang dibuatkan oleh guru. EA mengatakan bahwa yang penting adalah isinya (anggota himpunannya). Cara EA menyatakan himpunan dalam bentuk notasi juga berbeda dengan yang diajarkan oleh guru. EA belum konsisten dalam membuat kurung kurawal, dan simbol semesta himpunan misal himpunan bilangan asli dinyatakan dengan kalimat verbal “bilangan asli” EA akan bertanya pada guru ketika merasa kesulitan. Cara EA bertanya adalah dengan menunjuk satu bagian dan berkata “ini bagaimana?”. EA akan menunjukkan respon jika diberi pertanyaan pancingan terlebih dahulu. EA merespon melalui lisan atau tertulis sesuai kondisi “mood”nya. EA selalu meminta waktu berpikir sambil berbicara sendiri ketika berpikir.
33
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
EA merupakan tipe anak yang cukup “ngeyel” sehingga kurang berkenan menerima saran dari orang lain. Hal ini terlihat ketika guru meminta EA memberikan alasan terhadap jawaban yang dia buat. EA yakin bahwa jawabannya benar dan “ngeyel” pokoknya begini. Ketika guru memberikan saran perbaikan terhadap jawaban tersebut, EA memperbaiki jawaban namun dengan wajah yang kurang berkenan. EA aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti namun melalui tulisan. Ketika peneliti diam tidak memberikan pertanyaan pancingan, EA tidak berinisiatif bertanya maupun menyampaikan idenya. EA bermain dengan duanianya sendiri seperti coret-coret kertas, melipatlipat, dan lain-lain. Ketika peneliti memberi pertanyaan berupa soal, maka EA hanya akan menunjukkan jawaban tertulis tanpa menjelaskan. Peneliti memberi pertanyaan pancingan agar EA bersedia sedikit demi sedikit untuk menyampaikan pendapatnya secara lisan. Berikut cuplikan percakapan peneliti dengan EA ketika meminta EA memberikan alasan dari jawaban yang ia buat. EA memberikan alasan dengan sangat yakin meskipun ia tidak menggunakan diagram Venn untuk mengecek kebenaran pernyataan. Ketika memberikan alasan, EA sambil berbicara sendiri dan menuliskannya. EA jarang melakukan kontak mata dengan peneliti ketika menjawab. Jawaban secara lisan yang disampaikan oleh EA terkesan bukan menjawab pertanyaan namun terlihat seperti menggerutu. 5. VA Suasana sangat hening ketika terjadi kegiatan pembelajaran antara VA dengan guru. VA lebih banyak menulis dan melihat buku dihadapannya. VA juga jarang memulai untuk bertanya kepada guru. VA sangat pendiam ketika pembelajaran berlangsung. Ketika ditanya oleh guru, VA baru terpancing untuk bicara. Pandangan VA terlihat kaku seperti tidak berani untuk menatap, takut berbicara, dan ragu untuk menjawab. VA cukup memahami materi irisan dan gabungan dua himpunan. Diagram Venn yang dibuat oleh VA masih kurang tepat karena dia belum memberikan nama pada himpunannya. Untuk menentukan irisan dua himpunan, VA mendaftar anggota terlebih dahulu kemudian melingkari anggota yang sama. VA tidak mengalami kesulitas ketika harus mengubah himpunan dalm bentuk notasi. VA mengetahui bahwa untuk membuat notasi pembentuk himpunan harus diawali dengan kurung kurawal. Simbol dan operator yang digunakan juga sudah benar. VA tidak mengalami kesulitan ketika berinteraksi melalui tulisan yang dia buat, namun ketika guru menanyakan suatu hal secara lisan terlihat bahwa VA kurang nyaman. Tindakan yang dilakukan VA ketika ia butuh bantuan adalah dengan memberitahu guru bahwa dia belum paham dan meminta dijelaskan dari awal karena ia tidak tau manakah yang ia bingungkan. Ketika guru memberikan pertanyaan pada VA, ia sering menanyakan ulang redaksi pertanyaan. Hal ini terjadi karena ia kurang fokus apabila diajak berinteraksi secara lisan. Setelah VA paham dengan maksud pertanyaan dari guru, VA meminta waktu berpikir dan menjawab pertanyaan tersebut secara tertulis. Guru memulai interaksi dengan VA melalui pertanyaan-pertanyaan pancingan karena jika tidak ditanya maka VA akan diam saja. Ketika VA menjawab soal dan guru menanyakan alasan terhadap jawaban yang dibuat, VA menjelaskannya lewat tulisan yang ditunjukkan kepada gurunya. Alasan yang diberikan VA terkadang logis terkadang kurang, tetapi VA percaya bahwa jawaban itu benar. VA yakin dengan kemampuan sendiri meskipun terkadang keyakinannya itu salah. VA cukup cuek dengan apa yang terjadi disekitarnya. VA sering bertanya kembali kepada peneliti tentang pertanyaan bahkan jawaban. VA mempunyai keraguan tinggi terhadap jawabannya sendiri sehingga setiap dia ragu maka dia kan langsung bertanya dengan bilag “begini ya?” sambil menunjuk jawabannya.
34
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
VA cukup kooperatif untuk diajak berinteraksi dan berdiskusi ketika dia sangat nyaman. Ketika wawancara memasuki pertanyaan mengenai cara VA memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat, VA mulai tidak nyaman karena sangat mengantuk. VA sudah mulai malas untuk berinteraksi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Berikut cuplikan wawancara peneliti dengan VA pada sesi VA mengantuk. VA memberikan alasan dengan menggunakan logika. VA tidak membuat diagram Venn untuk menunjukkan bahwa pernyataan peneliti salah. Va menjawab dengan pernyataan yang cukup singkat namun terlihat yakin dengan jawabannya. Di sisi lain, VA menjawab singkat karena kurang nyaman dengan keadaan dan sedang mengantuk sehingga terlihat seperti malas untuk menjawab panjang lebar. c. Pembahasan Data Penelitian Komunikasi matematis lisan pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan mencakup tiga indikator yaitu, 1) menyampaikan ide matematis kepada orang lain, 2) menggunakan bahasa / lambang matematika untuk menyampaikan ide matematis, 3) memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat, yang semuanya mencakup materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Komunikasi matematis lisan merupakan suatu proses siswa mengemukakan apa yang ada di pikirannya melalui ucapan / lisan. Komunikasi matematis lisan dalam penelitian inin dikaitkan dengan kepribadian introvert. Siswa introvert yang cenderung kurang suka bersosialisasi akan jarang pula berkomunikasi secara lisan dengan orang lain. Siswa memberikan respon ketika ditanya saja. Mereka kurang memiliki insiatif untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu karena mereka merasa perlu bicara ketika hal penting saja. Pada saat pembelajaran, siswa introvert lebih suka diam dan fokus memperhatikan, tapi mereka bukan tipe yang bisa mengutarakan pendapatnya atau bertanya secara lisan. Pada penelitian ini, peneliti melihat komunikasi matematis lisan melalui kegiatan observasi dan wawancara. Hasil dari kegiatan tersebut menunjukkan kelima subjek mempunyai tipe komunikasi matematis lisan yang sama. Mereka cenderung pasif, baru mengemukakan pendapat ketika ditanya, jawaban yang diberikan pun singkat dan lebih banyak menuliskan jawaban. Penelitian terdahulu telah banyak yang mengungkapkan antara tipe kepribadian dengan gaya bersosialisasi dan bertingkah laku terhadap suatu stimulus. Sosialisasi erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari cenderung pada komunikasi secara lisan, tulisan, gerakan, dan bahasa isyarat. Pada bidang matematika terdapat pula komunikasi yang sering disebut dengan komunikasi matematis. Komunikasi matematis terbagi menjadi dua yaitu komunikasi matematis tulis dan lisan. Burtavede dan Mihaila (2011) mengungkapkan bahwa secara signifikan waktu reaksi introvert lebih tinggi daripada waktu reaksi ekstrovert. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Ketika subjek penelitian mengerjakan soal, ia butuh waktu lama untuk memahami soal. Pada saat wawancara, peneliti tidak jarang mengulang pertanyaan dan terus memberikan pertanyaan pancingan agar subjek bersedia menjawab secara lisan. Pernyataan lain yang diungkap oleh Burtavede dan Mihaila (2011) adalah ketika siswa introvert mengalami kesulitan belajar, mereka cenderung diam. Peneliti menemukan fenomena bahwa subjek sering diam ketika tidak bisa. Mereka cenderung hanya memberi isyarat bingung ketika mereka butuh bantuan. Hal lain yang ditemukan adalah mereka menanyakan secara lisan. Dalam hal ini, siswa introvert sulit untuk mengungkapkan ide berupa pertanyaan atau tanggapan secara lisan. Siswa itrovert merasa nyaman ketika mereka belajar mandiri tanpa ada gangguan dari dunia luar. Di homeschooling, mereka terpenuhi kebutuhannya untuk mendapat perhatian yang khusus dari
35
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
guru. Di sisi lain, pembelajaran alternatif ini kurang melatih siswa untuk bersosialisi dan berkomunikasi. Zafar dan Meenakshi (2012) mengungkapkan bahwa kebanyakan siswa yang berkepribadian introvert akan lebih baik jika diberikan pembelajaran di kelas, khususnya pada keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca dan menulis merupakan komponen penting dalam komunikasi matematis. Karena dengan keterampilan tersebut, siswa akan terlatih untuk berkomunikasi baik dalam kehidupan sehari-hari maupun komunikasi dalam matematika. Pada hasil penelitian ini, kepribadian introvert memainkan peranan penting dalam komunikasi matematis lisan. Siswa butuh pancingan terus menerus agar mengungkapkan idenya secara lisan. Tidak jarang pula, mereka bisa menuliskan idenya namun tidak bisa dan/atau tidak bersedia mengungkapkan secara lisan. Pada komunikasi matematis tulis, kepribadian memiliki peran namun tidak terlalu terlihat. Kepribdian akan sangat terlihat ketika ia proses menulis seperti tidak mau dilihat ketika sedang menulis jawaban, apa yang ditulis tidak mau terikat aturan matematika karena pada dasarnya siswa dengan kepribadian introvert kurang suka dengan aturan dan lebih mengedepankan kenyamanan diri sendiri. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa homeschooling berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan, diperoleh kesimpulan bahwa siswa kurang dapat menyatakan ide secara lisan. Mereka lebih banyak menuliskan idenya melalui tulisan. Butuh pancingan terus menerus agar mereka bersedia mengungkapkan ide secara lisan. Siswa dapat menggmabr diagram Venn dan membuat notasi pembentuk himpunan, namun kurang bisa menjelaskan maksud diagram Venn secara lisan dan kurang fasih dalam mebaca simbol pada notasi pembentuk himpunan. Siswa dapat memberikan jawaban namun kurang bisa memberikan alasan secara lisan terhadap apa yang ia jawab. Siswa lebih sering memberikan alasan terhadap jawaban dengan cara menulis meskipun diminta untuk secara lisan. Siswa homeschooling yang berkepribadian introvert memerlukan perhatian khusus agar ia bersedia mengungkapkan pemikirannya. Untuk itu, guru harus memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Metode yang tepat dapat memancing siswa untuk mengemukakan pemikirannya melalui lisan. Cara guru mengajar harus bisa sesuai dengan kepribadian siswa sehingga siswa dapat terbuka untuk menerima pengetahuan baru. DAFTAR RUJUKAN Brendefur, J. & Frykholim, J. 2004. Promoting Mathematical Communication in The Classroom: Two Preservice Teacher‟s Conceptions and Practices. Journal of Mathematics Education, Volume 3, Hal 125-153. Creswell, J.W. 2009. Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. Sage Publications. Creswell, J.W. 2012. Educational Research : Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research 4th Ed. Boston: Pearson. Feist, J. & Feist, G. 2008. Theories of Personality 7th Edition. New York: McGraw-Hill Companies. Hanley, T. 2005. Shyness and The College Admission Process: Who is Being Left Out?. Nacac Journal, Vol 15. Johnson, B. & Christensen, L. 2004. Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches 2nd Ed. USA : Pearson Education Inc. Korkmaz, H. & Duman G. 2013. Public Understanding about Homeschooling: A Preliminary Study. 5th World Conference on Educational Sciences, Russian Journal Vol 37 Hal 154-181. Milles, M.B. dan Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication Moleong, L.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
36
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Morash, R.P. Bridge to Abstract Mathematics : Mathematical Proof and Structure, 2nd Ed. New York : Mc Graw Hill. Suhadianto. 2009. Pentingnya Mengenal Kepribadian Siswa untuk Meningkatkan Prestasi. (http://suhadianto.blogspot.com/2009/020pentingnya-mengenal - kepribadian -siswa.html). Diakses tanggal 9 Desember 2014.
37
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA PISA
Muhammad Ikmal1, Gatot Muhsetyo2, Abadyo3 UNIVERSITAS NEGERI MALANG
[email protected] Abstrak: Penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal matematika PISA. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX semester II. Subjek penelitian terdiri dari 2 siswa yang ditetapkan berdasarkan hasil pengerjaan soal konteks literasi matematika. Soal matematika PISA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan soal level 4 dengan topik aljabar. Hasil penelitian berupa deskripsi kesulitankesulitan siswa saat mengerjakan soal matematika PISA yang dianalisis berdasarkan tiga proses utama dalam literasi matematika yakni formulate, employ dan interpret . Kesulitan yang dialami siswa saat mengerjakan soal matematika PISA terjadi pada proses . Kesulitan yang terjadi pada proses formulate disebabkan siswa tidak mampu mengubah masalah dunia nyata ke dalam bentuk matematika formal. Kesulitan juga terjadi pada proses employ yang disebabkan siswa tidak dapat menerapkan prosedur matematis dengan benar dalam menentukan solusi permasalahan. Kata Kunci: Analisis Kesulitan,, Literasi Matematika, Soal Matematika PISA
Programme for International Student (PISA) merupakan survei tiga tahunan yang menilai pengetahuan dan keterampilan anak usia 15 tahun yang mendekati akhir wajib belajar dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). PISA berfokus pada penilaian literasi sains, membaca dan matematika. PISA menilai sejauh mana siswa berusia 15 tahun telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat modern. Penilaian dalam PISA tidak hanya memastikan apa dapat dihasilkan siswa dari apa yang telah mereka pelajari tetapi juga meneliti seberapa baik siswa dapat menerapkan pengetahuannya baik di dalam maupun di luar sekolah (OECD, 2010). PISA mengumpulkan data tentang siswa, keluarga serta faktor kelembagaan yang dapat membantu untuk menjelaskan perbedaan kinerja di negara-negara di seluruh dunia (OECD, 2007). Hasil PISA mengungkapkan apa yang mungkin dalam suatu sistem pendidikan dengan menunjukkan apa yang dapat dilakukan siswa dengan performa terbaiknya. Temuan dalam PISA memungkinkan para pembuat kebijakan di seluruh negara yang berpartisipasi untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa di negara mereka sendiri, menetapkan target kebijakan terhadap tujuan yang terukur yang dicapai oleh sistem pendidikan lainnya, dan belajar dari kebijakan dan praktek pendidikan yang diterapkan di negara lain (OECD, 2014: 3). PISA didasarkan pada model dinamis dari “belajar sepanjang hayat” dimana pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh sepanjang hidup digunakan untuk dapat beradaptasi dalam dunia baru yang terus berubah. PISA berfokus pada hal-hal yang dibutuhkan oleh siswa yang berusia 15 tahun di masa depan dan berusaha untuk menilai apa yang bisa mereka lakukan dengan apa yang telah mereka pelajari. PISA memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan keterampilan dan sikap siswa baik di rumah maupun di sekolah dan juga menilai bagaimana faktorfaktor ini berintegrasi sehingga mempengaruhi perkembangan kebijakan suatu negara (OECD, 2010).
38
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Indonesia berpartisipasi dalam studi PISA sejak tahun 2000. Selama keikutsertaan Indonesia dalam PISA peringkat Indonesia tergolong rendah dibanding negara-negara peserta lain. Pada tahun 2009 Indonesia berada di peringkat 59 dari 65 negara peserta. Hasil terbaru PISA 2012 yang dirilis OECD menempatkan Indonesia pada peringkat 64 dari 65 negara peserta. Rendahnya peringkat Indonesia dalam PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan pada berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari masih sangat rendah. Stacey (2011) mengemukakan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan untuk menelaah, memberi alasan dan mengomunikasikannya secara efektif, serta memecahkan dan menginterpretasikan permasalahan dalam berbagai situasi masih sangat kurang. Terkait bidang literasi matematika, skor rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia selama berpartisipasi dalam PISA belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Berdasarkan survey Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, skor rata-rata yang diperoleh Indonesia pada tahun 2009 sebesar 371 dan pada tahun 2012 skor rata-rata yang diperoleh Indonesia sebesar 375. Skor yang diperoleh Indonesia terbilang rendah dari standar skor internasioanl yang ditetapkan PISA yakni sebesar 500. Rendahnya skor rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia mencerminkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam berliterasi matematika masih sangat kurang. Literasi matematika merupakan kapasitas individu untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian (OECD, 2010). Menurut Wong (2005:94) literasi matematika merupakan kemampuan seseorang dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan matematika di situasi dan konteks yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Stacey (2012) mengartikan literasi matematika sebagai pemahaman individu akan matematika sebagai persiapan untuk hidup dalam masyarakat modern dan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam berbagai situasi yang membutuhkan beberapa tingkat pemahaman matematika, penalaran matematika dan penggunaan alat-alat matematika. Dari definisi literasi matematika dapat dikatakan bahwa literasi matematika merupakan kapasitas masing-masing individu untuk memformulasikan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika pada berbagai situasi. Kepahaman individu meliputi membuat penalaran matematika dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk mendeskrepsikan, menjelaskan dan memprediksi sebuah kejadian. Menurut (OECD, 2010) literasi matematika dapat membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan matematika di dalam kehidupan sehari-hari dan dapat digunakan untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat sebagai warga negara yang membangun, peduli dan berpikir. Ojose (2011:90) mengemukakan bahwa literasi matematika melibatkan pengetahuan dasar, kompetensi serta kepercayaan diri untuk menggunakan kemampuan matematika dalam dunia nyata. Seseorang dengan kemampuan literasi matematika dapat memperkirakan, menginterpretasikan, memecahkan masalah sehari-hari, dan berkomunikasi menggunakan matematika. Literasi matematika berangkat dari suatu masalah yang berasal dari dunia nyata. Masalah kemudian dikategorikan ke dalam dua cara, yaitu (1) kategori konteks, dan (2) kategori matematis. Untuk memecahkan masalah kontekstual, seseorang harus menerapkan tindakan dan gagasan matematis. Tindakan ini melibatkan kemampuan menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang bergantung pada kemampuan dasar matematika (Fundamental Mathematical Capabilities). Adapun tahapan-tahapan yang diuraikan PISA dalam model literasi matematika disajikan pada Gambar 1.
39
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 1. Model Literasi Matematis (OECD, 2013; Stacey, 2012)
Proses literasi matematis dilakukan dari mengidentifikasi masalah kontektual, lalu merumuskan masalah secara matematis berdasarkan konsep dan hubungan yang melekat pada masalah dan kemudian menerapkan prosedur matematika untuk memperoleh „hasil matematika‟. Tahapan melibatkan aktivitas seperti memanipulasi, bernalar, dan menghitung. Dalam proses merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan, kemampuan dasar matematis akan diaktifkan secara berturut-turut dan bersamaan bergantung pada konten matematika dari topik-topik yang sesuai untuk memperoleh solusi. Menurut Stacey (2010) tingkat pencapaian kemampuan literasi matematika siswa Indonesia hanya bisa mencapai skor di bawah 400 dengan kemampuan kognitif tertinggi rata-rata hanya bisa mencapai level 3 dan 4. Hasil tes literasi matematika siswa Indonesia yang dirilis oleh OECD (2010) menunjukkan bahwa tidak ada (0%) siswa Indonesia yang mencapai level 6, hanya 0,1% yang mencapai level 5, untuk level 4 hanya 0,9%, level 3 hanya 5,4%, level 2 16,9% dan untuk level 1 cukup besar yaitu 33,1%. Hasil PISA 2012 mengungkapkan bahwa siswa Indonesia hanya terbiasa dengan soal-soal rutin pada level 1 dan level 2 dari 6 level soal yang diujikan dalam PISA. Dalam PISA soal yang diujikan merupakan soal kontekstual dan permasalahannya diambil dari dunia nyata. Soal yang diujikan dalam PISA terdiri atas 6 level (level 1 terendah dan level 6 tertinggi). Level soal dalam PISA menggambarkan kecakapan siswa dalam memecahkan masalah matematika sehari-hari. Soal level 1 dan 2 merupakan kelompok soal dengan skala bawah yang mengukur kompetensi reproduksi dan disusun berdasarkan konteks yang cukup dikenal oleh siswa dengan operasi matematika yang sederhana. Untuk soal level 3 dan 4 termasuk kelompok soal dengan skala menengah yang mengukur kompetensi koneksi dan memerlukan interpretasi siswa dari situasi yang tidak dikenal atau belum pernah dialami oleh siswa. Sedangkan untuk soal level 5 dan 6 termasuk kelompok soal level tinggi yang mengukur kompetensi refleksi. Soal-soal pada level 5 dan 6 melibatkan konseptualisasi, generalisasi dan penggunaan informasi berdasarkan pada investegasi dan modeling dari situasi permasalahan yang kompleks. Soal matematika PISA disusun berdasarkan konten dan konteks yang berkaitan dengan proses literasi. Konten dalam PISA terdiri dari empat bagian, yaitu: (1) Ruang dan bentuk (space and shape) berkaitan dengan pokok pelajaran geometri. (2) Perubahan dan hubungan (change and relationship) berkaitan dengan pokok pelajaran aljabar. (3) Bilangan (quantity) berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan. (4) Probabilitas dan ketidakpastian (uncertainty) berhubungan dengan statistik dan probabilitas. Sedangkan untuk konteks dibagi ke dalam empat situasi yang meliputi: (1) konteks pribadi, (2) konteks pendidikan, (3) konteks umum dan (4) konteks keilmuan.
40
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Rendahnya tingkat pencapaian siswa Indonesia untuk bidang literasi matematika dalam PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan matematika di situasi dan konteks yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari masih sangat rendah. Menurut Wardani (2005) penyebab dari lemahnya kemampuan siswa Indonesia dalam berliterasi matematika disebabkan siswa Indonesia kurang terbiasa melakukan proses pemecahan masalah dengan benar, melalui tahapan memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan mengecek hasil pemecahan masalah. Al Jupri (2014: 317) mengemukakan bahwa kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual disebabkan kurangnya buku teks matematika di Indonesia yang menekankan pada pemecahan masalah sehari-hari seperti yang diujikan dalam PISA. Hasil penelitian Wijaya, ddk (2015:577) mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam mengerjakan soal matematika PISA banyak terjadi pada proses memahami masalah dunia nyata dan mengubahnya menjadi masalah matematika. Wijaya (2015) menambahkan bahwa kesulitan siswa juga banyak terjadi pada proses penafsiran solusi matematika dari situasi dunia nyata seperti yang diujikan dalam PISA. Menurut Bernardo (1999) kesulitan yang dialami siswa dapat terjadi ketika siswa mencoba untuk memahami kata-kata tertentu yang menggambarkan bahasa matematis. Kesulitan yang dialami siswa dapat berdampak pada kesalahan dalam proses penyelesaian masalah. Newmen (1977) mengemukakan bahwa jenis kesalahan mungkin memiliki struktur hirarkis: kegagalan pada langkah tertentu dalam proses penyelesaian masalah mencegah siswa maju ke langkah berikutnya. Veloo, dkk (2015:330) mengartikan kesulitan sebagai kesalahan yang disebabkan kecerobohan, prosedur yang dilupakan, kelalaian menyalin informasi dari pertanyaan dan salah dalam membuat dugaan. (Ketterlin-Geller & Yovanoff 2009) mengemukakan bahwa kesalahan dapat terjadi disebabkan kurangnya pemahaman konseptual atau prosedural dari siswa. Menurut Allsopp, Kuger & Lovitt (2007) kesalahan matematis terjadi ketika seseorang yang membuat jenis kesalahan percaya bahwa apa yang telah dilakukan benar sehingga menunjukkan penalaran yang salah. Kesalahan sistematis dapat terjadi dari hasil penggunaan algoritma yang mengarah ke jawaban yang salah atau penggunaan prosedur yang belum sepenuhnya dipahami (Yang, dkk. 2011). Menurut Wu (2006) dengan mempelajari kesalahan umum yang dilakukan oleh siswa, mengidentifikasi proses kognitif yang penting dalam menyelesaikan masalah matematika dengan kayakinan bahwa jika siswa diajari bagaimana menghindari kesalahan umum yang mereka lakukan maka mereka akan menjadi pemecah masalah yang baik. Untuk menganalisis kesulitan siswa saat memecahkan masalah matematika Newman mengusulkan lima kategori kesalahan berdasarkan proses pemecahan masalah matematika, yaitu kesalahan membaca, pemahaman, transformasi, keterampilan proses, dan encoding (Newman, 1977). McGuire (2013) menambahkan bahwa analisis kesalahan tidak hanya melibatkan analisis pada langkah-langkah yang benar, sebagian benar dan tidak benar dari jawaban peserta didik dalam mencari solusi, tetapi juga menyiratkan studi praktik remediasi. Dengan mengacu pada tiga proses dalam literasi matematika PISA maka terdapat tiga tipe kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika PISA yaitu: (1) kesulitan dalam merumuskan atau memformulasikan situasi secara matematika (formulate), (2) kesulitan dalam menggunakan (employ) konsep matematika, fakta-fakta, prosedur dan penalaran, serta (3) kesulitan dalam menafsirkan (interpret) hasil matematika seperti yang digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 1. Kesulitan Siswa dalam Proses Penyelesaian Masalah PISA No Proses Literasi Indikator Penyebab 1 Merumuskan - Tidak menuliskan - Tidak dapat mengidentifikasi aspek-aspek situasi/konteks informasi yang relevan matematika dari maslaah yang terdapat secara matematika baik yang diketahui dalam konteks. (formulate) maupun yang ditanyakan.
41
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
2
Menggunakan konsep matematika, fakta dan penalaran (employ)
3
Menafsirkan hasil matematika sesuai konteks (Interpret)
- Situasi/konteks masalah - kesulitan dalam menyederhanakan situasi tidak dirumuskan secara atau masalah untuk dianalisis secara matematika. matematika. - Kesalahan dalam proses - Tidak memahami masalah sehingga menemukan solusi kesulitan merancang dan menerapkan solusi matematika. - Tidak dapat menerapkan fakta-fakta matematika, aturan, algoritma dan struktur ketika mencari solusi. - Jawaban akhir siswa tidak - Kesulitan menafsirkan hasil matematis relevan dengan konteks kembali kedalam kontkes dunia nyata. masalah - Tidak mengevaluasi ketepatan solusi matematika yang diperoleh dengan masalah yang diminta.
Proses pemecahan masalah pada soal matematika PISA membutuhkan interaksi antara dunia nyata dan matematika. Proses ini sering digambarkan sebagai proses pemodelan atau mathematization. Menurut (OECD, 2003) proses mathematization melibatkan: memahami masalah pada konteks dunia nyata, mengorganisir masalah dunia nyata sesuai dengan konsep-konsep matematika dan mengidentifikasi konsep matematika yang relevan, mengubah masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika, memecahkan masalah matematika dan menafsirkan solusi matematika. Blum dan Leiss (2007) mengemukakan bahwa proses pemodelan dapat dilakukan dalam tujuh langkah. (1) membangun model situasi untuk memahami masalah dunia nyata. (2) mengembangkan model situasi menjadi model nyata melalui proses penyederhanaan dan penataan. (3) membangun 'model matematika' melalui proses mathematizing. (4) melaksanakan prosedur matematis untuk mendapatkan solusi matematika. Dalam langkah-langkah ke (5) dan ke (6), solusi matematika ditafsirkan dan, kemudian, divalidasi kesesuaian pada masalah dunia nyata. (7) langkah terakhir adalah mengkomunikasikan solusi dunia nyata. Dalam pembelajaran matematika, masalah kontekstual dianggap sangat penting sebab menawarkan berbagai kesempatan bagi siswa untuk belajar matematika. De Lange (1987) mengemuakan bahwa penggunaan masalah berbasis konteks dapat mengembangkan wawasan siswa tentang kegunaan matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Graumann, (2011) menambahkan bahwa tujuan inti dari pendidikan matematika adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas peneliti melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Analisis kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal matematika PISA”. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti sebagai instrumen utama yang berperan sebagai perancang, pengumpul, penganalisis data dan terlibat langsung dalam proses penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa lembar aktivitas dan kata-kata atau kalimat siswa yang nantinya akan dipaparkan sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX semester II tahun akademik 2016. Subjek penelitian terdiri dari 3-4 siswa yang tidak dipilih secara acak melainkan ditetapkan berdasarkan hasil pengerjaan soal konteks literasi matematika yang diberikan pada saat prapenelitian. Dalam menetapkan subjek, peneliti memberikan masalah berupa soal konteks literasi matematika. Siswa diminta untuk menyelesaikan masalah secara individu dengan menuliskan langkah-langkah kerja secara jelas. Peneliti memeriksa pekerjaan siswa dan mendiskusikan hasilnya dengan guru matematika. Siswa yang dapat menjawab dengan benar untuk semua masalah yang diberikan dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai subjek penelitian, sebaliknya siswa yang belum dapat menjawab dengan benar untuk semua masalah yang diberikan tidak dijadikan subjek penelitian.
42
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Selanjutnya peneliti menetapkan subjek penelitian berdasarkan hasil pengerjaan soal konteks literasi matematika dan masukan guru terkait kemampuan kognitif siswa dikelas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa alat rekam, lembar wawancara dan lembar tugas yang berisi soal matematika PISA. Alat rekam yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah: (a) alat rekam gambar (kamera digital yang mempunyai kemampuan merekam gambar), (b) alat rekam suara (handphone). Alat rekam gambar digunakan untuk merekam semua ekspresi siswa ketika menyelesaikan lembar tugas, sedangkan alat rekam suara digunakan untuk merekam ungkapan verbal siswa yang diungkapkan dengan suara. Lembar tugas berisi tentang soal Tower yang merupakan soal matematika PISA yang dipilih berdasarkan konten, konteks dan kompetensi pada PISA. Adapun konten masalah yang dipilih adalah change and relationship dengan konteks occupational dan kompetensi connection cluster. Instrument berupa lembar wawancara dan lembar tugas yang berisi soal matematika PISA terlebih dahulu divalidasi sebelum digunakan dilapangan. Validasi instrument dilakukan untuk memastian bahwa instrumen sudah layak diujicobakan di lapangan. Data penelitian dikumpulkan dan dianalisis secara rinci sesuai dengan tujuan penelitian. Data kualitatif yang diperoleh dalam penelitian berupa hasil wawancara dan lembar hasil pengerjaan tugas yang berisi soal tower yang merupakan soal matematika PISA. Data hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan model air (flow model) yang mengacu pada pendapat Miles dan Humberman (Wiyono, 2007) sebagai berikut: (1) mereduksi data: kegiatan mereduksi data diantaranya meliputi pemilihan, penyederhanaan, pemfokusan dan mentranspormasi data yang diperoleh. (2) penyajian data: penyajian data dimaksudkan sebagai susunan informasi-informasi secara runtut dan jelas yang memungkinkan untuk dapat digunakan peneliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan. Dari hasil reduksi data yang terkumpul dapat disajikan suatu data dalam bentuk teks naratif. Data dalam penelitian ini berupa hasil wawancara dan hasil pengerjaan siswa pada soal tower yang disajikan berdasarkan proses literasi PISA. (3) Penarikan kesimpulan: penarikan kesimpulan dilakukan dari hasil tes dan wawancara siswa. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan makna data yang telah disajikan. Kesimpulan yang diperoleh terkait dengan kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah PISA. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, kesulitan yang dialami subjek dalam menyelesaikan soal matematika PISA (Tower) berbeda-beda. Dalam menganalisis kesulitan siswa saat menyelesaikan soal matematika PISA terlebih dahulu digambarkan struktur penyelesaian masalah pada soal yang diujikan. Adapun struktur penyelesaian masalah pada soal matematika PISA (Tower) disajikan pada gambar 2. Analisis Kesulitan Subjek 1 Hasil penyelesaian yang diperoleh S1 belum mengarah pada jawaban yang benar. Adapun hasil pekerjaan S1 pada soal PISA (Tower) disajikan pada gambar 3. Berdasarkan hasil pekerjaan S1, tampak bahwa S1 dalam memahami masalah menuliskan apa yang diketahui dan yang ditanyakan dalam soal. S1 kemudian menyederhanakan permasalahan dengan membuat model matematika untuk masing-masing tower dalam bentuk persamaan. Untuk tower 1 diubah dalam bentuk persamaan dan untuk tower 2 diubah dalam bentuk persamaan . Selanjutnya S1 menerapkan prosedur matematika pada model matematika yang telah dibuat. S1 menyederhanakan persamaan pertama dengan membagi 3 masingmasing koefisien dalam persamaan untuk tower 1 dan memperoleh bentuk persamaan . S1 kemudian menerapkan prosedur matematis pada persamaan tower 2 dan memperoleh bentuk persamaan . Selanjutnya S1 menyederhanakan persamaan dan memperoleh nilai . Bentuk persamaan diperoleh S1 dari hasil substitusi persa -
43
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 2. Struktur Penyelesaian Masalah Soal PISA (Tower)
Gambar 3. Penyelesaian Masalah S1 Pada Soal Matematika PISA (Tower)
44
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
ke persamaan . Persamaan diperoleh dari mengubah bentuk persamaan . Adapun bukti wawancara yang dilakukan pada S1 P : Kok bisa seperti ini ( )..? kamu dapatnya dari mana ? S1: Ini.. ( ) saya ubah menjadi .. lalu saya masukkan ke persamaan
S1 selanjutnya mensubstitusikan nilai yang diperoleh kedalam persamaan dan memperoleh nilai . S1 kemudian menggunakan nilai dan untuk menentukan tinggi tower 3. S1 mensubstitusikan dan ke persamaan 3 dan memperoleh nilai 9 yang merupakan jawaban akhir dari S1. Nilai 9 yang diperoh S1 kemudian digunakan untuk menginterpretasikan jawaban dari permasalahan yang ada dalam soal. Berikut struktur penyelesaian masalah S1 pada soal matematika PISA 1.
Gambar 4. Struktur Penyelesaian Masalah S1 Pada Soal Matematika PISA (Tower) Tabel 2. Keterangan Struktur Penyelesaian Masalah S1 Pada Soal Matematika PISA (Tower) Tipe Kesulitan Kode Arti SP1 Soal PISA 1 (Tower) Formulate AP Menuliskan yang diketahui AT Menuliskan yang ditanyakan P1 Tinggi Tower P2 Tinggi Tower T1 Tower 3 PM1 Model Persamaan 1: PM2 Model Persamaan 2: PM3 Model Persamaan 3: Employ K1 Menerapkan prosedur matematis pada persamaan 2 dan memperoleh nilai K2 Menyedehanakan persamaan 1 dengan membagi masing-masing koefisien dengan 3 dan memperoleh persamaan K3 Mensubstitusi nilai dalam persamaan dan memperoleh nilai K4 Mensubstitusikan nilai dan ke persamaan 3 dan memperoleh nilai 9 Interpret HS Menafsirkan hasil matematis
Dari struktur penyelesaian masalah yang dilakukan S1, tampak bahwa terjadi kesalahan dalam proses employ. Kesalahan yang terjadi pada proses employ menunjukkan bahwa S1 mengalami kesulitan dalam menerapkan prosedur matematis dengan benar. S1 mensubstitusikan persamaan ke persamaan dan memperoleh persamaan . Persamaan kemudian disederhanakan sehingga menghasilkan nilai . Pada proses ini,
45
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
tampak bahwa kesulitan S1 terjadi saat menggunakan operasi dasar matematika ketika mengganti variabel dalam persamaan . S1 salah dalam menghasilkan nilai dari hasil kali dengan 2. Hasil kali yang diperoleh S1 adalah 16 yang seharusnya 14. Akibatnya nilai yang diperoleh S1 merupakan nilai yang salah. Kesalahan ini kemudian berdampak pada proses selanjutnya yakni penentuan nilai . Nilai digunakan S1 untuk menentukan nilai melalui proses substitusi yang dilakukan pada persamaan sehingga menghasilkan nilai yang salah. Kesalahan yang terjadi pada proses employ merupakan kesalahan sistematis. (Yang, dkk. 2011) mengemukakan bahwa kesalahan sistematis dapat terjadi dari hasil penggunaan algoritma yang mengarah ke jawaban yang salah atau penggunaan prosedur yang belum sepenuhnya dipahami. Kesalahan yang dilakukan S1 dalam memperoleh nilai menunjukkan bahwa S1 mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep dasar matematika. Kesulitan yang dialami S1 terjadi disebabkan S1 tidak mengamati dengan baik setiap langkah dalam proses penyelesaian masalah yang dilakukan. Kesalahan yang dilakukan S1 pada proses employ mempengaruhi hasil pada proses interpret. Nilai yang diperoleh pada proses employ yang kemudian digunakan untuk menentukan tinggi tower 3 mengarahkan S1 pada jawaban yang salah. Ini menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh S1 sama sekali berbeda dengan hasil yang sebenarnya. Analisis Kesulitan Subjek 2 Hasil penyelesaian masalah yang dilakukan S2 pada soal matematika PISA (Tower) tidak mengarah pada jawaban yang benar. Adapun hasil pekerjaan S2 pada soal matematika PISA (Tower) disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 5. Penyelesaian Masalah S2 Pada Soal Matematika PISA (Tower)
Proses penyelesaian masalah yang dilakukan S2 diawali dengan menuliskan yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Proses ini merupakan bagian dari mamahami masalah. Proses memahami masalah oleh S2 dilakukan dengan mengamati gambar yang ada pada soal. S2 menyimpulkan bahwa dari gambar yang diketahui adalah tinggi tower 1 yaitu dan tersusun dari 3 bangun persegi panjang dan 3 bangun segienam. Sedangkan tinggi tower 2 yaitu dan tersusun dari 3 bangun segienam dan 2 bangun persegi panjang. Kemudian yang ditanyakan adalah tinggi tower 3 yang tersusun dari 2 bangun persegi panjang dan 1 bangun segienam. Adapun bukti wawancaranya sebagai berikut : P : Apa yang pertama kali kamu lakukan ketika menyelesaikan soal ? S1 : Awalnya saya agak bingung cara mengerjakannya, tapi saya baca dulu soalnya.. yang diketahuinya.. ohh kalau bentuknya seperti ini.. segienamnya ada 3 dan
46
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
persegipanjangnya ada 3 (tower 1) tinggi nya 21 meter, kalau yang persegi panjangnya ada 2 dan segienamnya ada 3 (tower 2) tingginya 19 m.. lalu yang ditanya tower yang persegipanjangnya 2 dan segienamnya 1 (tower 3).. S2 kemudian menghitung tinggi bangun persegi panjang pada tower 3 dengan mencari selisih antara tower 1 yang tingginya dan tower 2 yang tingginya . Hasil yang diperoleh dari selisih tinggi tower 1 dan tower 2 adalah . Cara ini dilakukan S2 didasarkan pada asumsi bahwa masingmasing tower tersusun dari bangun yang sama, yang membedakan hanya jumlah bangun yang menyusun ketiga tower tersebut. Adapun bukti wawancarana sebagai berikut: P : Setelah memahami masalah.. apa yang selanjutnya kamu lakukan ? S2 : Saya nyari persegipanjangnya dulu.. karena persegipanjang yang tower 1 ada 3 lalu yang tower 2 itu ada dua saya kurangi tower 1 dengan tower 2.. P : Kenapa bisa seperti itu ?? S2 : Karena masing-masing tower ini.. tersusun dari bangun yang sama.. jadi kalau menurut saya persegi panjang ini tingginya cuma . Proses selanjutnya yang dilakukan S2 adalah mengurangi tinggi tower 1 dengan 9 lalu membaginya dengan 3. Proses ini dilakukan oleh S2 untuk mencari tinggi bangun segienam. S2 memperoleh tinggi bangun segienam . S2 kemudian menghitung tinggi tower 3 dengan menjumlahkan tinggi bangun persegipanjang dengan tinggi bangun segienam. Hasil yang diperoleh adalah . Adapun struktur penyelesaian masalah yang dilakukan S2 pada soal matematika PISA (Tower) sebagai berikut.
Gambar 6. Struktur Penyelesaian Masalah S2 Pada Soal Matematika PISA (Tower) Tabel 3. Keterangan Struktur Penyelesaian Masalah S2 Pada Soal Matematika PISA (Tower) Tipe Kesulitan Kode Arti SP1 Soal matematika PISA (Tower) Formulate AP Menuliskan yang diketahui AT Menuliskan yang ditanyakan P1 Tinggi Tower P2 Tinggi Tower T1 Tower Employ D1 Menghitung tinggi bangun segienam dengan cara mencari selisih dari tinggi tower 1 dan tinggi tower 2 D2 Menghitung tinggi bangun segienam dengan cara mengurangi tinggi tower 1 dengan 9 lalu membaginya dengan 3. D3 Menghitung tinggi tower 3 dengan cara menjumlahkan tinggi bangun segienam dengan tinggi bangun persegipanjang Interpret HS Menafsirkan hasil matematis
Berdasarkan sruktur penyelesaian masalah S2 pada soal matematika PISA (Tower), tampak bahwa dalam proses formulate S2 tidak membangun model matematika untuk menyederhanakan permasalahan yang ada pada soal. Hal ini menunjukkan bahwa S2 mengalami kesulitan dalam mengubah masalah dari situasi dunia nyata dalam bentuk matematika formal. Kesulitan S2 pada
47
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
proses formulate terjadi disebabkan S2 tidak dapat menentukan konsep matematika yang tepat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan. S2 tidak menyadari bahwa permasalahan pada soal berhubungan dengan materi sistem persamaan linear dua variabel. Kesulitan yang dialami S2 dalam proses formulate berdampak pada proses employ. Dalam proses employ, S2 mengalami kesulitan merancang dan menerapkan prosedur matematis untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada pada soal. Langkah S2 menentukan tinggi bangun persegi panjang dengan cara menghitung selisih tinggi tower 1 dan tower 2 menunjukkan bahwa S2 tidak memahami masalah dengan baik. Hasil yang diperoleh S2 untuk tinggi tower 3 tidak relevan dengan konteks masalah. Hasil yang diperoleh S2 menunjukkan bahwa dalam proses interpret S2 mengalami kesulitan menafsirkan hasil matematis kembali ke dalam konteks dunia nyata.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sebelumnya telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa letak atau tipe kesulitan masing-masing siswa dalam menyelesaikan soal matematika PISA berbeda-beda. Kesulitan yang dialami subjek 1 (S1) terjadi pada proses employ. Dalam proses employ, S1 tidak dapat menerapkan prosedur matematis dengan benar ketika menentukan solusi dari permasalahan. Tampak bahwa dari hasil pekerjaan S1 dalam proses employ, S1 melakukan kesalahan dalam menentukan hasil kali dari proses substitusi salah satu variabel yang dilakukan ke persamaan tower 2. Kesalahan S1 dalam menentukan hasil kali menunjukkan bahwa S1 ceroboh dalam menggunakan operasi dasar matematika. Akibatnya kesalahan yang dilakukan S1 dalam proses employ berdampak sistematis yang berarti kesalahan tersebut mangakibatkan hasil yang diperoleh pada proses berikutnya juga salah. Veloo, dkk (2015:330) mengemukakan bahwa kesulitan dapat berarti kesalahan yang disebabkan kecerobohan. Merujuk pada pendapat Veloo dkk, kesalahan yang dilakukan S1 dalam proses employ dapat diartikan sebagai kesulitan yang dialami S1 ketika menerapkan prosesur matematis dalam menentukan solusi dari permasalahan. Kesulitan yang dialami subjek 2 terjadi pada proses formulate dan proses employ. Berdasarkan struktur penyelesaian S2 yang disajikan dalam gambar 2, tampak bahwa dalam proses formulate S2 tidak mengkonstruk model matematika untuk menyederhanakan permasalahan yang ada dalam soal. Hal ini menunjukkan bahwa S2 mengalami kesulitan dalam mengubah masalah dunia nyata dalam bentuk matematika formal. Kesulitan yang dialami S2 dalam proses formulate terjadi disebabkan S2 tidak dapat mengidentifikasi dengan benar setiap aspek-aspek matematika yang terdapat dalam soal. S2 tidak menyadari bahwa konteks masalah berhubungan dengan pelajaran sistem persamaan linear dua variabel. Kesulitan yang dialami S2 dalam proses formulate berdampak pada proses employ. Dalam proses employ, S2 mengalami kesulitan merancang dan menerapkan prosedur matematis untuk menemukan solusi permasalahan. Langkah penyelesaian yang dilakukan S2 pada proses employ, menunjukkan bahwa S2 tidak memahami permasalahan dengan baik. Hasil yang diperoleh S2 untuk tinggi tower 3 tidak relevan dengan konteks masalah. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menaympaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Rancangan pembelajaran matematika yang diterapkan disekolah lebih menekankan siswa pada penyelesaian masalah sehari-hari. Siswa perlu dibiasakan mengerjakan soal-soal kontekstual. Hal ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan siswa terkait peran matematika yang tidak hanya digunakan ketika mengikuti pelajaran disekolah tetapi juga digunakan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 2. Dalam proses pembelajaran matematika, siswa dilatih melakukan proses pemecahan masalah dengan benar, melalui tahapan memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan mengecek hasil pemecahan masalah.
48
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
DAFTAR RUJUKAN Allsopp, D.H., Kuger, M.H. & Lovitt, L.H. 2007. Teaching mathematics meaningfully: Solutions for reaching struggling learners. Baltimore: Paul H. Brooks. Bernardo, A. B. I. 1999. Overcoming obstacles to understanding and solving word problems in mathematics. Educational Psychology, 19(2), 149-163. Blum, W., & Leiss, D. 2007. How do students and teachers deal with mathematical modelling problems? The example “Sugarloaf”. In Haines, C., Galbraith, P., Blum, W., & Khan, S., Mathematical modelling (ICTMA 12): Education, engineering and economics (pp. 222– 231). Chichester: Horwood Publishing. De Lange, J. 1987. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC, Rijksuniversiteit Utrecht. Graumann, G. 2011. Mathematics for problem in the everyday world. In J. Maasz & J. O'Donoghue (Eds.). Real-world problems for secondary school mathematics students: case studies (pp. 113-122). Rotterdam: Sense Publishers. Jupri, A. 2014. Difficulties in Initial Algebra Learning in Indonesia. Mathematics Educational Research Journal. Vol. 12(3): 317-326. Kemdikbud. 2011. PISA (Programme for International Student). Tersedia: http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa diakses 3 Oktober 2015 Ketterlin-Geller, L.R. & Yovanoff, P. 2009. Diagnostic assessments in mathematics to support instructional decision making. McGuire, P. 2013. Using online error analysis items to support pre-service teachers‟ pedagogical content knowledge in mathematics. Newman, M. A. 1977. An analysis of sixth-grade pupils‟ errors on written mathematical tasks. Victorian Institute for Educational Research Bulletin.. 31-43. OECD, 2003. The PISA 2003: Assessment framework – Mathematics, reading, science, and problem solving knowledge and skills. Paris: OECD. OECD, 2007. PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World. Paris: OECD Publishing. OECD, 2010. PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do – Student Performance in Reading, Mathematics and Science. Volume I. OECD Publishing. OECD, 2014. PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know. Paris: OECD Publishing. Ojose, B. 2011. Mathematics Literacy: Are We Able to Put the Mathematisc We Learn Into Everyday Use ?. Journal of Mathematics Education. Vol. 4(1): 89-100. Stacey, K. 2010. Mathematical and Scientific Literacy Around The World. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia. Vol. 33(1): 1-16. Stacey, K. 2011. The PISA View of Mathematical Literacy in Indonesia. Journal on Mathematics Education. Vol. 2(2): 95-126. Stacey, K. 2012. The International Assessment Of Mathematical Literacy: Pisa 2012 Framework And Items. 12th International Congress on Mathematical Education. Veloo, A. dkk. 2015. Types of Student Error in Mathematical, Symbols, Graph and Problem-Solving. Asian Social Science. Vol. 11(15): 324-334. Wardhani, S. 2005. Pembelajaran dan Penilaian Aspek Pemahaman Konsep Penalaran dan Komunikasi, Pemecahan Masalah. Yogyakarta: Materi Pembinaan matematika SMP di Daerah Tahun 2005. PPPG Matematika. Wijaya, A. dkk. 2014. Difficulties in Solving Context-Based PISA Mathematics Tasks: An Analysis of Students‟ Errors. The Mathematics Enthusiast. Vol. 11(3). 555-584. Wiyono, B. Budi. 2007. Metodologi Penelitian. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.
49
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Wong, K.M. 2005. Mathematical Literacy of Hong Kong‟s 15-Year-Old Students in PISA. Educational Journal. Vol. 31(2): 92-120 Wu, M. and Adam, R. 2006. Modelling Mathematics Problem Solving Item Responses Using a Multidimensional IRT Model. Mathematics Education Research Journal. Vol.18(2): 93-113 Yang, C.W., Sherman, H. & Murdick, N. 2011. Error pattern analysis of elementary schoolaged students with limited English proficiency. Investigations in Mathematics Learning. Vol: 4(1): 50-67.
50
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA MATERI BARISAN ARITMETIKA BERDASARKAN TEORI PEMEROSESAN INFORMASI Indah Syafitri. T.1; Subanji2; Dwiyana3 Universitas Negeri Malang 1
[email protected] Abstrak: Untuk dapat memahami pemikiran matematika siswa, guru harusnya mengetahui proses berpikir siswa, namun kenyataannya masih banyak guru yang mengabaikan proses berpikir siswa dan hanya terfokus pada hasil belajar siswa yaitu bagaimana siswa menyelesaikan masalah di lembar jawabannya. Padahal penting bagi guru untuk fokus pada pemikiran matematis dan pemahaman konsep siswa daripada prosedur matematis yang dilakukannya. Ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai proses berpikir. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskeripsikan proses berpikir siswa dalam menyelesaiakan permasalahan pada materi barisan aritmetika berdasarkan teori pemerosesan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berpikir siswa dimulai dari masuknya stimulus ke dalam sensory register siswa melalui indra pengelihatan kemudian melewati tahap selective attention dan perception, setelah itu barulah informasi memasuki short-term memory, dalam short-term memory, konsep-konsep yang dibutuhkan dipanggil kembali dari long-term memory menuju short-term memory sampai diperoleh kesimpulan/penyelesaian masalah. Kata Kunci: Proses Berikir, Penyelesaian Masalah, Barisan Aritmetika, Teori Pemerosesan Informasi.
Menurut Anthony dan Walshaw (2009), matematika memiliki peranan penting dalam membentuk bagaimana setiap individu menghadapi berbagai bidang terkait dengan kehidupan pribadi, sosial, dan sipil/pemerintah. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa matematika memiliki kontribusi penting dalam pembentukan watak setiap indivdu, seperti bagaimana sikap dan cara individu dalam menyelesaikan masalah yang di hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak semua masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan masalah matematis, namun tidak jarang setiap individu dituntut untuk berpikir matematis. Hal ini menyebabkan perlu adanya kegiatan pembelajaran yang dapat melatih siswa agar mampu menyelesaiakan masalah secara matematis dengan baik dan benar agar mampu menyelesaikan masalah dengan tepat berupa pembelajaran matematika di sekolah. Pembelajaran matematika di sekolah diharapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dan menjadi problem solver yang baik. Di sekolah, pembelajaran matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematikanya sehingga terjadi perubahan dalam ranah kognitifnya termasuk pada pemahamannya. Pemahaman adalah hal utama dalam pembelajaran matematika. Dalam Woo, dkk. (2007) berdasarkan penjelasan dari para ahli, Ia menyatakan bahwa pemahaman didefinisikan sebagai jaringan hasil representasi yang dihubungkan dengan konsep matematis, kemudian pemahaman matematika adalah membuat hubungan antara representasi pikiran mengenai suatu konsep matematis. Kedua pengertian ini menggambarkan ide dari pemahaman menjadi suatu jaringan konsep yang ada di dalam kognitif siswa yang kemudian diperjelas sebagai suatu tindakan dan hasil dari suatu tindakan. Pemahaman merupakan salah satu tingkatan dalam kompleksitas kognitif manusia menurut Taksonomi Bloom dengan urutan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Berdasarkan urutan tersebut, pemahaman merupakan aspek mendasar dan diperlukan untuk dapat melangkah ke tingkat selanjutnya. Siswa tidak akan mampu menyelesaikan soal aplikasi, analisis, sintesis, maupun evaluasi jika tidak memiliki pemahaman yang baik. Pemahaman matematika sangat
51
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
berpengaruh terhadap kemampuan matematika yang lain, misalnya kemampuan komunikasi, penalaran maupun penyelesaian/pemecahan masalah. Pemahaman, kemampuan penalaran maupun penyelesaian masalah sangatlah terkait antara satu dan lainnya. Untuk meningkatkan pemahaman matematika siswa, guru seringkali melatih siswa dengan memberikan masalah berupa soal matematika. Soal yang guru berikan akan memotivasi siswa untuk melakukan aktivitas berpikir/bernalar sehingga mampu meningkatkan kemampuan penalaran siswa, pemahaman serta keterampilan penyelesaian masalah siswa. Menurut Jones, dkk. (2015), keterampilan menyelesaikan masalah matematika semakin dianggap penting dan menjadi perhatian pengusaha dan lembaga pendidikan tinggi. Ini menyebabkan banyak negara yang memprioritaskan pengembangan penyelesaian masalah dalam kurikulum matematika dan pedagoginya. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat masalah tidak terlepas dari kehidupan setiap individu setiap harinya. Menurut Lester dan Kehle (dalam Yeo, 2009), penyelesaian masalah merupakan kegiatan yang melibatkan siswa dalam berbagai tindakan kognitif yaitu menghubungkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya untuk menghasilkan pengetahuan baru dalam menyelesaikan masalah. Siswa di sekolah seringkali kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika yang diberikan oleh gurunya, seperti yang terjadi di kelas IX SMP Islam Tsamrotul Afkar Pasuruan pada saat observasi awal, banyak yang menganggap bahwa matematika itu sulit. Diketahui bahwa matematika merupakan ilmu eksak yang bersifat abstrak. Tak jarang masalah dalam matematika juga berbentuk abstrak sehingga sulit bagi siswa untuk memahami masalah tersebut. Sifat matematika yang abstrak inilah yang tak jarang membuat siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Pada akhirnya, anggapan bahwa matematika itu sulit seringkali menjadi penyebab menurunnya minat siswa dalam belajar matematika. Menurut penelitian Murray (2011), di Australia terjadi penurunan minat siswa terhadap matematika, hasil penelitian menunjukkan jika 60 % siswa yang dijadikan sampel beralasan mengenai penyebab penurunan minat siswa tersebut adalah karena mereka menganggap bahwa matematika itu sulit. Hal ini mengisyaratkan bahwa penting bagi guru untuk mengaitkan materi dan soal matematika dalam pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru dapat mengajukan masalah berkaitan dengan lingkungan siswa dan menyajikannya dalam bentuk soal cerita. Salah satu contoh materi dan masalah yang biasanya dapat dikaitkan dengan masalah yang ada di lingkungan siswa adalah mengenai barisan aritmetika. Diharapkan dengan dikaitkannya masalah matematika dengan masalah yang ada di lingkungan siswa akan mampu meningkatkan minat dan perhatian siswa dalam belajar dan dalam aktivitas penyelesaian masalah matematika. Selama siswa menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika, siswa melakukan aktivitas berpikir guna menyelesaikan masalah. Menurut Saragih (2008), aktivitas berpikir terjadi secara otomatis serta menjadi bagian dalam setiap pembelajaran di kelas. Berpikir menurut Lasantha (2013) adalah merupakan sebuah representasi proses-proses kognisi yang terbentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang kompleks seperti logika, imaginasi, dan penyelesaian masalah. Widodo (2012) menyebutkan kemampuan berpikir dapat dilihat melalui proses berpikir yang dikonstruksi dari pengamatan tingkah laku seseorang. Proses berpikir menurut Bakry (2015) adalah suatu proses pengumpulan informasi, penyimpanan, penciptaan opini, melakukan operasi dan membuat dugaan atau kesimpulan. Berdasarkan pengertian mengenai berpikir dan proses berpikir, dapat disimpulkan bahwa proses berpikir dimulai dengan adanya informasi yang akan diolah di dalam kognitif individu, informasi yang ada diterima oleh reseptor kemudian ditransformasi dan diproses dalam otak individu sampai pada tahap penarikan kesimpulan. Informasi yang diproses dan kesimpulan yang diperoleh tidak begitu saja hilang namun juga disimpan di otak. Informasi yang disimpan dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalah baru yang berkaitan dengan masalah yang diselesaikan sebelumnya. Dalam belajar, semakin sering siswa diberikan latihan
52
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
mengenai suatu masalah maka akan semakin kuat ingatan siswa mengenai masalah tersebut dan keterampilan berpikir siswa akan meningkat pula. Menurut Bakry (2015), keterampilan berpikir merupakan aspek penting bagi siswa yang dapat membantu aktivitas otak siswa dalam memahami dan mengingat pelajaran. Jadi pemahaman dan ingatan siswa berkaitan dengan keterampilan berpikirnya. Bakry (2015) melanjutkan bahwa dengan keterampilan berpikir, siswa mampu menggunakan pengetahuannya dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Berdasarkan KBSM (2004) (dalam Yeo Kee Jiar dan Chong Yi Long), saat ini kurikulum matematika bertujuan untuk mengembangkan individu yang mampu berpikir secara matematis, menerapkan pengetahuan matematis secara efektif dan bertanggung jawab selama periode penyelesaian masalah ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Hwa Tee Yong, dkk., negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura saat ini sangat memperhatikan kurikulum matematika mereka yang sama-sama berfokus untuk mendorong peningkatan kemampuan siswa untuk berpikir. Kemudian di indonesia sendri menurut Departemen Pendidikan Nasional Indonesia (dalam Bakry, 2015), tujuan pembelajaran matematika yang pertama adalah untuk berpikir dan bernalar untuk mengambil keputusan. Jadi, kegiatan belajar dan mengajar matematika diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Fokus pada kemampuan berpikir sangatlah penting untuk mendukung proses kognitif aktif yang membuat siswa belajar lebih baik karena siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan proses berpikirnya, membuat proses berpikir siswa lebih eksplisit, dan merefleksikan strategi yang dilakukan oleh siswa (McGuinness, 1999). Menurut Bakry (2015), kemampuan berpikir siswa SMP dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar dan mengajar matematika. Untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa, guru diharapkan mampu memahami pemikiran siswanya. Upaya reformasi pendidikan matematika di Amerika Serikat misalnya menekankan pentingnya perhatian guru dan memahami pemikiran matematika siswanya (Chamberlin, 2005). Untuk dapat memahami pemikiran matematika siswanya, guru harusnya mengetahui proses berpikir siswanya, namun kenyataannya dalam pembelajaran matematika misalnya masih banyak guru yang mengabaikan proses berpikir siswa dan hanya terfokus pada hasil belajar siswa yaitu bagaimana siswa menyelesaikan masalah di lembar jawabannya. Apabila jawaban dan prosedurnya sesuai dengan yang diajarkan oleh guru maka guru akan menganggap siswa tersebut sudah memahami apa yang diajarkan, begitupun sebaliknya. Ini menyebabkan siswa biasanya hanya belajar untuk mengingat dan menghafal cara yang diajarkan oleh gurunya bukan memahami caranya. Padahal menurut Karadag (2009) siswa lebih baik fokus pada berpikir matematis dan pemahaman konsep daripada prosedur matematis. Pendapat Karadag ini dapat dipahami karena dengan memahami konsep dan kemampuan berpikir yang baik siswa akan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang diajukan, berbeda dengan pembelajaran yang menanamkan prosedur penyelesaian masalah, saat soal dimodivikasi sedikit saja, kebanyakan siswa tidak mampu menyelesaikan soal dengan benar. Berdasrakan berbagai informasi, masalah serta pengertian proses berpikir di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul “Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaiakan Permasalahan pada Materi Barisan Aritmetika Berdasarkan Teori Pemerosesan Informasi”. Peneliti menggunakan Teori Pemerosesan Informasi karena peneliti menganggap teori ini sesuai dengan pengertian dari proses berpikir sendiri yaitu merupakan proses pengolahan informasi. Teori pemerosesan informasi yang biasa digunakan dalam penelitian dan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
53
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 1. Teori Pemerosesan Informasi (Gagne, 1983: 53) Berikut penjelasan mengenai gambar 1, informasi/stimulus dari lingkungan masuk kedalam sensory register setelah diterima oleh receptor, kemudian informasi diteruskan menuju short-term memory. Sebelum informasi diteruskan ke short-term memory dari sensory regsiter, informasi terlebih dahulu diseleksi (melewati tahap selective attention) serta melewati tahap persepsi. Selective attention merupakan tahap penyeleksian informasi, di mana tidak semua informasi yang ada di lingkungan diteruskan untuk diproses menuju short-term memory. Sedangkan persepsi menentukan bagaimana informasi penting akan diproses slanjutnya (persepsi sangat bergantung pada pengetahuan siswa sebelumnya/konsep dalam long-term memory). Selanjutnya adalah short-term memory, short-term memory juga disebut dengan working memory karena di sinilah kegiatan mental secara aktif dilakukan. Informasi berupa konsep-konsep yang ada pada long-term memory dipanggil menuju short-term memory (retrieval). Short-term memory siswa akan terus bekerja sampai ditemukan penyelesaian berupa respon mengenai informasi baru yang masuk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskeripsikan proses berpikir siswa dalam menyelesaiakan permasalahan pada materi barisan aritmetika berdasarkan teori pemerosesan informasi yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu guru untuk mengetahui cara memahami pemikiran siswanya serta mengetahui pentingnya memahami proses berpikir siswa, diharapkan guru mempu memperbaiki dan menata pemikiran siswa, membantu guru dalam memilih metode pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir dan pemahaman siswa, serta membimbing siswa agar mampu menyelsesaikan masalah/menjadi problem solver yang lebih baik. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian adalah deskriptif. Menurut Creswell (2012:16) penelitian kualitatif ditunjukan untuk mengungkap suatu masalah dan mengembangkannya secara detail untuk memahami pusat fenomena dari suatu masalah. Masalah yang ingin peneliti ungkap dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana proses berpikir siswa dalam menyelesaikan permasalahan mengenai materi barisan aritmetika sehingga penelitian ini menekankan pada kegiatan pengumpulan data berupa informasi-informasi terkait proses berpikir siswa selama menyelesaikan masalah mengenai barisan aritmetika. Setelah informasi terkumpul, peneliti menganalisis dan mendeskripsikan proses berpikir siswa berdasarkan teori pemerosesan informasi. Jadi, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Pemerosesan Informasi sebagai alat untuk menganalisis proses berpikir siswa. Penelitian ini bertempat di SMP Islam Tsamrotul Afkar Pasuruan. Subjek penelitian merupakan siswa kelas IX semester genap tahun ajaran 2015/2016 di SMP Islam Tsamrotul Afkar Pasuruan yang
54
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
sudah menempuh materi mengenai barisan aritmetika serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Subjek penelitian dipilih berdasarkan nilai rapor/hasil belajar matematika siswa pada semester ganjil, hasil observasi peneliti serta rekomendasi dari guru bidang stidi matematika. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang siswa kelas IX A. Ketiga subjek penelitian masing-masing merupakan siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah. Tabel 1. Ciri-Ciri Subjek Penelitian yang Dipilih No Inisial Siswa Kemampuan Matematika 1 RA Tinggi 2 IN Sedang 3 LK Rendah
Kemampuan Komunikasi Baik Baik Baik
Kode Siswa S1 S2 S3
Sumber data dalam penelitian in terdiri dari subjek penelitian dan instrumen penelitian. Beberapa instrumen yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu 1) peneliti sendiri yang bertindak sebagai instrumen utama (key instrument) yang bertugas merencanakan, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data, dan melaporkan hasil temuan dalam penelitian, 2) lembar tes yang merupakan tes subjektif terkait materi barisan aritmetika dan terdiri dari satu soal cerita yang memuat tiga pertanyaan, 3) pedoman wawancara yang peneliti gunakan untuk memperoleh penjelasan secara mendalam mengenai uraian jawaban siswa sebelumnya (dalam penelitian mengenai proses berpikir metode wawancara berperan penting mengungkap proses berpikir siswa secara lebih jelas), serta 3) alat rekam yang berfungsi untuk merekam aktivitas verbal dan ekspresi siswa selama menyelesaikan masalah yang diajukan dalam penelitian. Prosedur pengumpulan data penelitian adalah melalui metode tes, wawancara, dokumentasi serta think alound (siswa mengerjakan soal sambil mengkomunikasikan secara lantang pemikirannya selama proses menyelesaikan masalah). Kemudian, analisis data yang peneliti gunakan merupakan proses analisis dan interpretasi data kualitatif meneurut Creswell (2012: 261) yang terdiri dari empat tahap yaitu: 1) Menyiapkan dan mengumpulkan data untuk dianalisis, 2) Mengeksplor dan mengkode data, 3) Pengkodean untuk membangun deskripsi, dan 4) Penyajian dan pelaporan temuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses berpikir yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk pemerosesan informasi berupa soal matematika mengenai barisan aritmetika yang dimulai dari masuknya informasi/stimulus ke dalam otak siswa kemudian ditransformasi dan diproses oleh komponen pemerosesan informasi sampai pada tahap kesimpulan/diperolehnya respon oleh siswa atau seperti pada gambar 1. Telah dijelsakan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini terdapat tiga orang siswa yang menjadi sampel. Ketiga siswa yang dipilih menjadi sampel masing-masing mewakili siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang dikodekan sebagai berikut: siswa dengan kemampuan tinggi (S1), siswa dengan kemampuan sedang (S2), dan siswa dengan kemampuan rendah (S3). Berikut peneliti deskripsikan mengenai hasil dan pembahasan yang peneliti peroleh berdasarkan analisis mengenai jawaban dan hasil think aloud masing-masing subjek serta hasil wawancara peneliti dengan subjek penelitian yang didasarkan pada jawaban subjek mengenai soal penelitian yang dikerjakan sebelumnya.
55
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
1. Proses Berpikir S1 a. Proses Berpikir S1 dalam Mengerjakan Masalah a Proses berpikir S1 dimulai dengan masuknya informasi/stimulus berupa soal secara utuh ke dalam sensory register S1 melalui indra pengelihatannya. Tidak semua informasi yang masuk diolah dan diteruskan menuju short-term memory S1, terjadi selective attention sebelum informasi memasuki short-term memory untuk diolah lebih lanjut. Berikut hasil selective attention yang dilakukan oleh S1 pada lembar jawabannya:
Gambar 2. Hasil Selective attention S1 pada Masalah a Dari hasil wawancara dengan S1 diketahui secara lebih jelas bahwa U1 merupakan suku pertama,U2 merupakan suku ke-dua, begitu pula dengan U3, U4, dan U5. Kemudian, menurut persepsi S1, soal berkaitan dengan materi barisan aritmetika sehingga untuk memperoleh penyelesaian masalah, S1 menggunakan rumus umum untuk mencari suku ke-n yaitu Un a n 1b (pada masalah a ini S1mencari nilai suku ke-5 atau U5 yaitu jumlah pohon pada hari ke-lima). S1 mengetahui rumus yang ia gunakan dari guru, buku, dan temannya. Untuk memperoleh nilai U 5 , S1 terlebih dahulu menentukan nilai a dan b. Sesuai konsep yang dipahami S1 pada long-term memorynya, a merupakan suku pertama dan b merupakan beda/selisih yang rumusnya
b U n U ( n 1) namun S1 memahami bahwa b U 2 U 1 , b U 3 U 2 dan seterusnya yaitu b = suku sesudah - suku sebelum. Konsep-konsep tersebut dipanggil ke short-term memory S1 (retrieval). Karena yang dicari U5 maka S1 secara langsung mengetahui nilai n 5 . Setelah mengetahui nilai a, b, dan n, siswa mensubstitusikan nilai a, b, dan n ke dalam persamaan atau rumus Un. Dari hasil pekerjaan dalam menyelesaikan masalah a, S1 Mmemperoleh nilai U5 = 15 atau jumlah pohon pada hari ke-lima adalah 15 pohon. Berikut jawaban S1:
Gambar 3. Hasil Pekerjaan S1 dalam Menjawab Masalah a Dari hasil pekerjaan dan wawancara S1 dengan peneliti, dapat dikatakan bahwa S1 sudah memahami bahwa soal yang peneliti ajukan berkaitan dengan materi barisan aritmetika, S1 memahami konsep/rumus dalam mencari suku ke-n yang berarti bahwa konsep sudah tertanam kuat dalam long-term memory S1. Hasil retrieval berupa Un a n 1b ia terapkan pada working memory (short-term memory), begitu seterusnya S1 meretrival konsep/pengetahuan yang dibutuhkan di dalam long-term memorynya dan menerapkan hasil retrieval pada working memory sampai diperoleh satu kesimpulan/jawaban masalah a. Tidak ada masalah saat S1 menyelesaikan masalah a.
56
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Hanya saja, langkah/prosedur S1 dalam menjawab soal masih belum teratur/sistematis sehingga terkesan kurang rapi dalam menjawab seperti yang terlihat pada gambar 3. Hasil akhir yang S1 peroleh sudah benar dan S1 benar-benar yakin dengan jawabannya. Ketika ditanya seberapa besar keyakinan S1 bahwa ia menjawab dengan benar, S1 menjawab bahwa ia yakin 100 % bahwa jawabannya benar. b. Proses Berpikir S1 dalam Mengerjakan Masalah b Dalam menyelesaikan masalah b, S1 juga tidak mengalami masalah karena masalah b mirip dengan masalah a yaitu mencari suku ke-n. Yang ditanyakan pada masalah b adalah menentukan suku ke-delapan atau jumlah pohon pada hari ke-delapan. Informasi pada masalah a sama dengan masalah b, yang berbeda hanyalah apa yang ditanyakan sehingga stimulus yang masuk ke sensory register S1 hampir sama dengan masalah a, yang berbeda hanyalah apa yang ditanyakan. Berikut hasil dari selective attention S1pada masalah b:
Gambar 4. Hasil Selective attention S1 pada Masalah b Bersadarkan persepsi S1, ia kembali menggunakan rumus Un a n 1b
untuk
menentukan suku ke-delapan = U8. S1 memanggil kembali konsep mengenai a, b, dan n pada longterm memory kemudian berdasarkan hasil retrieval pada short-term memory diperoleh nilai a, b, dan n yang selanjutnya disubstitusi ke dalam rumus Un a n 1b sesuai konsep dalam long-term memory S1. Begitulah seterusnya konsep yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah diretrieval dari long-term memory S1 dan hasilnya dikirim ke short-trm memory S1 sampai ditemukan kesimpulan mengenai masalah b. Berikut jawaban S1:
Gambar 5. Hasil Pekerjaan S1 dalam Menjawab Masalah b Dari gambar 5 dan hasil wawancara peneliti dengan S1 pada masalah b diketahui bahwa S1 benar-benar memahai mengenai cara menentukuan suku ke-n, konsep sudah tertanam kuat dalam long-term memory S1 dan dapat dengan mudah dipanggil (diretrieval) sehingga hasil retrieval sangat cepat memasuki working memory S1 dan diperoleh penyelesaian masalah yang benar. S1 juga sangat yakin bahwa jawabannya pada masalah b ini benar 100 % meskipun prosedur pengerjaan S1 masih belum terstruktur dengan baik.
57
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
c. Proses Berpikir S1 dalam Mengerjakan Masalah c Masalah c sedikit berbeda dengan masalah a dan b. Jika pada masalah a dan b yang menjadi masalah adalah menentukan suku ke-n atau menentukan jumlah pohon pada hari ke-n maka pada masalah c yang diketahui dan dicari adalah sebaliknya sehingga informasi/stimulus pada masalah c juga sedikit berbeda. Namun S1 tetap mampu menjawab dengan benar. Berdasarkan proses berpikir S1, informasi masuk secara utuh ke dalam sensory register S1 melalui indra pengelihatan, kemudian terjadi selective attention yang hasilnya sebagai berikut:
Gambar 6. Hasil Selective attention S1 pada Masalah c Dari hasil wawancara S1 menyatakan bahwa yang diketahui dalam masalah c sama dengan masalah a dan b ditambah dengan jumlah suku ke-n sudah diketahui dan yang ditanya adalah n atau hari keberapa jumlah pohon ada 30 pohon. Jadi pada selective attention S1 juga terdapat Un = 30. S1 menyatakan bahwa cara menyelesaikan masalah c masih sama dengan masalah sebelumnya yaitu menggunakan rumus Un a n 1b . S1 mengetahui cara ini dari guru dan temannya. Berdsarkan informasi dan persepsi S1, ia meretrieval rumus suku ke-n dari long-term memorynya untuk menyelesaikan masalah pada working memorynya. Begitu seterusnya konsep yang ada pada long-term memory S1 dan dibutuhkan pada working memory akan dipanggil sampai ditemukan kesimpulan mengenai masalah c. Berikut peneliti sajikan jawaban S1 mengenai masalah c:
Gambar 7. Hasil Pekerjaan S1 dalam Menjawab Masalah c Terlihat bahwa S1 dengan lancar menjawab soal dengan benar sehingga dapat disimpulkan bahwa S1 sudah memahami bagaimana cara mencari nilai n. Konsep mengenai cara mencari nilai n sudah tertanam dalam long-term memory S1 sehingga mudah bagi S1 untuk meretrieval konsep yang digunakan pada working-memory/short-term memorynya. S1 100 % yakin bahwa jawabannya pada masalah c ini juga benar. 2. Proses Berpikir S2 a. Proses Berpikir S2 dalam Mengerjakan Masalah a Proses berpikir S2 pada masalah a dimulai dengan masuknya stimulus berupa soal pada masalah a secara utuh ke dalam sensory register S2 melalui indra pengelihatan. Informasi yang masuk
58
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
kemudian diteruskan ke dalam short-term memory S2, akan tetapi sebelumnya informasi diseleksi (terjadi selective attention), hanya informasi penting yang diteruskan. Berikut hasil dari selective attention yang dilakukan oleh S2 pada masalah a:
Gambar 8. Hasil Selective attention S2 pada Masalah a Dari hasil wawancara dengan S2, diketahui bahwa U1 merupakan suku pertama,U2 merupakan suku ke-dua, begitu pula dengan U3, U4, dan U5. Kemudian, menurut persepsi S2 soal berkaitan dengan materi barisan aritmetika sehingga untuk memperoleh penyelesaian masalah, S2 menggunakan rumus umum untuk mencari suku ke-n yaitu Un a n 1b (pada masalah a ini S2 mencari nilai suku ke-5 atau U5 yaitu jumlah pohon pada hari ke-lima). S2 mengatakan bahwa ia mengetahui rumus yang ia gunakan dari guru dan buku. Untuk memperoleh nilai U5 , S2 terlebih dahulu menentukan nilai a dan b berdasarkan konsep yang dipahami S2 dalam long-term memorynya, a merupakan suku pertama, kemudian b merupakan beda/selisih antara suku sebelum dan suku sesudah. Selain itu karena yang dicari adalah U5, S2 menentukan n pada masalah a adalah 5. S2 meretrival rumus suku ke-n dari long-term memorynya, kemudian hasil retrieval pada working memory adalah Un a n 1b . Begitu seterusnya, konsep-konsep yang ada dalam long-term memory S2 dipanggil menuju working memory (short-term memory) yang selanjutnya terjadi proses perhitungan/penyelesaian masalah di dalam working memory S2 sampai diperoleh kesimpulan berupa jawaban dari masalah a. berikut peneliti sajikan jawaban S2 mengenai masalah a:
Gambar 9. Hasil Pekerjaan S2 dalam Menjawab Masalah a Dari gambar terlihat bahwa hasil jawaban/kesimpulan yang diperoleh oleh S2 adalah 15. Jumlah pohon pada hari ke-lima adalah 15 pohon. Jawaban S2 sudah benar, namun ia melakukan kekeliruan saat menyelesaikan soal yaitu ketika S2 mensubstitusi nilai n = 5 seharusnya ia juga mengganti Un menjadi U5. Kemudian ketika ditanya apakah ia yakin mengenai jawabannya, S2 menjawab bahwa ia tidak terlalu yakin (hanya 50 %). S2 mengatakan bahwa ia ragu karena ia ia agak lupa dengan konsep mengenai b/selisih. Terlalu banyak rumus matematika yang harus ia ingat sehingga kadang ia tidak mengetahui apakah rumus yang digunakannya sudah benar atau tidak. Hal ini mengisyaratkan bahwa terdapat konsep yang belum tertanam kuat dalam long-term memory S2 terkait masalah penyelesaian barisan aritmetika, ia masih ragu dalam menyelesaikan masalah karena takut jika rumus yang digunakannya salah. b. Proses Berpikir S2 dalam Mengerjakan Masalah b
59
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Proses berpikir S2 dalam menyelesaikan masalah b tidak jauh berbeda dengan saat ia menyelesaikan masalah a. Stimulus berupa masalah b secara utuh masuk ke sensory register S2 melalui indra pengelihatan kemudian dari sensory register, informasi diteruskan untuk selanjutnya diolah pada short-term memory S2. Sebelum informasi masuk ke dalam short-term memory S2, informasi diseleksi (terjadi selective attention). Hanya informasi penting yang diteruskan menuju short-term memory S2. Berikut hasil dari selective attention S2 pada masalah b:
Gambar 10. Hasil Selective attention S2 pada Masalah b
Seterlah melewati tahap selective attention, S2 melakukan persepsi yang membantu S2 dalam menentukan cara menyelesaikan masalah b. masalah b sama dengan masalah a yaitu menentukan suku ke-n. Jadi berdasarkan persepsi S2, materi berkaitan dengan barisan aritmetika sehingga ia harus menggunakan rumus Un a n 1b untuk menyelesaikan masalah b seperti pada masalah a. Berikut jawaban S2 mengenai maslah b:
Gambar 11. Hasil Pekerjaan S2 dalam Menjawab Masalah b
Berdasarkan persepsi S2, konsep berupa rumus untuk menentukan suku ke-n dalam long-term memory S2 dipanggil ke short-term memory (terjadi retrieval), hasil retrieval berupa Un a n 1b . Konsep-konsep yang ada di long-term memory seperti konsep mengenai a, b, n dan lainnya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah dipanggil menuju working memory S2 sampai diperoleh kesimpulan/penyelesaian masalah b. dari jawaban S2 terlihat bahwa U8 = 24 atau jumlah pohon pada hari ke-delapan adalah 24 pohon. Jawaban S2 sudah benar, akan tetapi ia masih melakukan kekeliruan yang sama seperti saat menyelesaikan masalah a. S2 serta masih ragu dengan jawbannya (keyakinan benar hanya 50 %). Sehingga dapat dikatakan terdapat konsep mengenai barisan aritmetika belum tertanam kuat dalam long-term memory S2 terutama konsep mengenai selisih. c. Proses Berpikir S2 dalam Mengerjakan Masalah c Proses berpikir S2 dalam menyelesaikan masalah c dimulai dengan masuknya stimulus berupa masalah c secara utuh melalui indra pengelihatan S2 ke dalam sensory registernya. Kemudian terjadi peyeleksian informasi dan persepsi sebelum informasi diteruskan ke dalam short-term memory S2. Hasil selective attention S2 hampir sama dengan masalah a dan b, namun yang ditanyakan berbeda. Jika sebelumnya yang ditanyakan adalah nilai suku ke-n maka pada masalah c yang diketahui adalah jumlah/nilai suku ke-n dan yang dicari adalah nilai n atau hari keperapa jumlah pohon adalah 30 pohon. Berikut hasil dari selective attention S2 pada masalah c:
60
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 12. Hasil Selective attention S2 pada Masalah c
Dari informasi yang diperoleh selama tahap selective attention, persepsi S2 menyatakan bahwa ia akan menggunakan rumus suku ke-n untuk menentukan nilai n sehingga konsep berupa rumus suku ke-n pada long-term memory S2 dipanggil (diretrieval) menuju short-term memory S2, hasil retrieval adalah Un a n 1b . Selain konsep mencari suku ke-n, konsep-konsep lain berupa nilai a, b, Un dan lainnya yang dibutuhkan selama proses penyelesaian masalah dipanggil menuju short-term memory S2 sampai diperoleh kesimpulan yaitu nilai n adalah 10 atau jumlah pohon adalah 30 pohon pada hari ke-sepuluh. Jawaban S2 sudah benar, akan tetapi ia melakukan kesalahan pada saat mengalikan (n 1)3 . Hasil dari perhitungan pada lembar jawaban yang seharusnya 3n 3 adalah 3n 1 . Namun saat wawancara S2mngkonfirmasi bahwa ia ingin menulis 3 tapi lupa karena pada langkah selanjutnya ia sudah benar menulis 3 sehingga jawaban akhir yang diperoleh benar. Ketika ditanya keyakinan jawbannya, S2 masih menjawab ia ragu dengan jawabannya dan alasannya masih sama dengan alasan pada masalah a dan b. Ini mengindikasikan bahwa terdapat konsep yang belum tertanam kuat dalam long-term memory S2. Berikut jawaban S2 mengenai masalah c:
Gambar 13. Hasil Pekerjaan S2 dalam Menjawab Masalah c
3. Proses Berpikir S3 a. Proses Berpikir S3 dalam Mengerjakan Masalah a Proses berpikir S3 dalam menyelesiakan masalah a dimulai dengan masuknya stimulus berupa masalah a secara utuh ke dalam sensory register S3 melalui indra pengelihatan. Informasi yang masuk kemudian diseleksi sebelum dikiri ke short-term memory S3 (selective attention). Berikut hasil dari selective attention yang dilaukan oleh S3 pada masalah a:
61
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 14. Hasil Selective attention S3 pada Masalah a
Hasil selective attention menunjukkan bahwa S3 tidak melakukan penyimbolan matematika selama proses selective attention yang dilakukan, informasi yang ada masih berupa kalimat. Namun persepsi S3 menyatakan bahwa masalah a berkaitan dengan materi barisan aritmetika. Saat menjawab, S3 terlihat bingung untuk menyelesaikan masalah a dengan cara apa, S3 sempat diam beberapa menit. Kemudian menjawab dengan memperhatikan pola barisan yang ada, menurutnya untuk memperoleh suku ke-dua ia harus menjumlahkan suku pertama dengan 3, untuk memperoleh suku ke-tiga ia menambahkan suku ke-dua dengan 3, begitupun untuk suku ke-emapat, S3 menghitung dengan cara manual/satu per satu untuk setiap suku. S3 memanggil konsep yang ada di long-term memorynya menuju short-term memory (terjadi retrieval berupa suatu pola dengan konsep penjumlahan). Hasil retrieval S3 pada short-term memory adalah untuk menghitung suku selanjutnya S3 menjumlahkan suku sebelumnya dengan 3 atau U n U ( n 1) 3 . Berikut jawaban S3 mengenai masalah a:
Gambar 15. Hasil Pekerjaan S3 dalam Menjawab Masalah a
Dari pekerjaan S3 terlihat bahwa untuk memperoleh U5, ia menjumlahkan U4 dengan 3. Jawaban S3 sudah benar. Namun bagaimana jika dalam soal nanti yang ditanyakan adalah U100? Apakah ia akan melakukan penjumlahan sampai 99 kali? Dari hasil wawancara diketahui bahwa S3 bingung jika harus menyelesaikan soal dengan menggunakan cara lain yaitu dengan rumus Un a n 1b . S3 bukannya tidak mengetahui rumus untuk mancari suku ke-n, ia menyatakan bahwa ia mengetahuinya. Namun S3 mengatakan bahwa ia takut salah jika menghitung menggunakan rumus Un untuk mencari suku ke-n. S3 menambahkan jika ia memperoleh cara menghitung yang digunakannya dalam menyelesaikan masalah a adalah dari gurunya. Ketika ditanya apakah S3 yakin dengan jawabannya, ia dengan lantang menjawab yakin 100 %. Berdasarkan jawaban S3, dapat dikatakan bahwa S3 belum memahami konsep-konsep terkait cara mencari nilai Un dengan rumus suku ke-n atau konsep belum tertanam kuat dalam long-term memory S3. Meskipun cara mencari nilai n dengan menghitung manual sudah tertanam kuat dalam long-term memory S3, menurut peneliti untuk mengefektifkan waktu pengerjaan ketika yang ditanyakan adalah suku yang besar sebaiknya S3 membiasakan diri menggunakan rumus untuk mencari nilai suku ke-n yang ada yaitu Un a n 1b .
62
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
b. Proses Berpikir S3 dalam Mengerjakan Masalah b Proses berpikir S3 dalam menyelesaikan masalah b dimulai dengan masuknya stimulus berupa masalah b ke dalam sensory register S3 melalui indra pengelihatan. Selanjutnya terjadi selective attention dan persepsi. Pada masalah b yang ditanyakan adalah jumlah pohon pada hari ke-delapan, karena masalah b mirip dengan masalah a maka S3 tidak menuliskan hasil dari selective attentionnya, namun dapat diketahui jika S3 memang melakukan selective attention berdasarkan hasil wawancaranya. Hasil dari selective attention S3 untuk yang diketahui sama dengan masalah a, namum untuk yang ditanyakan jelas berbeda karena yng ditanyakan pada masalah a adalah U5 sedangkan pada masalah b yang ditanyakan U8. Selain itu, hasil selective attention S3 juga memuat hasil dari masalah a yaitu U5. Dari wawancara diketahui bahwa persepsi yang digunakan S3 sama dengan persepsi pada masalah a, S3 menggunakan perhitungan secara manual. Konsep dalam longterm memory S3 berupa konsep penjumlahan yaitu untuk menghitung suku selanjutnya S3 menjumlahkan suku sebelumnya dengan 3 atau U n U ( n 1) 3 . S3 melakukan perhitungan pada working memorynya dengan mencari nilai U6, U7 dan U8. Berikut jawaban S3 mengenai masalah b:
Gambar 16. Hasil Pekerjaan S3 dalam Menjawab Masalah b
Kesimpulan jawaban S3 berdasarkan perhitungan pada working memory S3 adalah U8 = 24. Jawaban S3 sudah benar dan S3 yakin 100 % bahwa jawabannya benar meskipun tidak menggunakan rumus suku ke-n. Ini mengindikasikan bahwa konsep mengenai cara mencari nilai n dengan rumus suku ke-n belum tertanam kuat dalam long-term memory S3. Sebaliknya, cara mencari nilai n dengan menghitung manual sudah tertanam kuat dalam long-term memory S3. c. Proses Berpikir S3 dalam Mengerjakan Masalah c Proses berpikir S3 dalam menyelesaikan masalah c dimulai dari masuknya stimulus berupa masalah c ke dalam sensory register S3 melalui indra pengelihatan. Sebelum diteruskan menuju short-term memory S3 untuk diolah, informasi terlebih dahulu diseleksi (selective attention), hanya informasi penting yang diteruskan. Dari hasil selective attention, S3 melakukan persepsi guna menentukan cara menyelesaikan masalah c. S3 tidak menulis hasil selective attentionnya pada lembar jawaban namun dari hasi wawancara diketahui hasil selective attention S3 berupa nilai U1 sampai U8 serta jumlah pohon adalah 30, kemudian yang ditanyakan adalah hari keberapa jumlah pohon ada 30 pohon?. Berikut jawaban S3 mengenai masalah c:
Gambar 17. Hasil Pekerjaan S3 dalam Menjawab Masalah c
63
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
S3 langsung menulis hari ke 10 = 30 pohon. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa S3 menghitung dari U9 sampai ditemukan suku keberapa yang hasilnya 30. S3 memanggil konsep yang ada dalam longterm memorynya berupa konsep penjumlahan yang hasilnya pada short-term memory adalah U n U ( n 1) 3 . Dari U8 S3 mengetahui jumlah pohon ada 24 kemudian S3 menjumlahkan U8 dengan 3 menghasilkan U9 = 27, kemudian menjumlahkan U9 dengan 3 lagi sehingga diperoleh U10 = 30. Dari hasil inilah S3 memperoleh jawaban seperti pada gambar 17. Jawaban S3 sudah benar dan S3 yakin 100 % bahwa jawabannya benar. Ini menambah keyakinan peneliti bahwa konsep mengenai cara mencari suku ke-n maupun nilai n dengan rumus suku ke-n memang belum tertanam kuat dalam long-term memory S3. Sebaliknya, cara mencari nilai n dengan menghitung manual sudah tertanam kuat dalam long-term memory S3 sehingga S3 terbiasa dan lebih suka menyelesaikan masalah barisan aritmetika dengan cara manual. 4. Hasil Analisis Persamaan dan Perbedaan Proses Berpikir Subyek Penelitian Berdasarkan Deskripsi di Atas adalah Sebagai Berikut: a. Selective Attention Selective attention S1 dan S2 sama, baik pada masalah a, b, maupun c, namun agak berbeda dengan S3. Perbedaan terletak pada cara penulisan informasi. Berbeda dengan S1 dan S2 yang melakukan penyimbolan untuk menuliskan U1, U2, dan lainnya, S3 terlihat menulis informasi secara utuh menggunakan kalimat seperti pada soal. b. Perception Persepsi S1, S2, dan S3 mengenai materi apa yang berkaitan dengan masalah a, b, dan c adalah sama. Namun terjadi perbedaan antara S1 dan S2 dengan S3 mengenai strategi/cara menyelesaikan masalah serta rumus yang digunakan pada masalah a, b, dan c. S1 dan S2 menggunakan rumus Un a n 1b sedangkan S3 melakukan perhitungan secara manual yaitu untuk memperoleh nilai suku selanjutnya, S3 menambah nilai suku sebelumnya dengan 3. c. Retrieval Terdapat perbedaan dari ketiga subjek penelitian pada tahap retrieval ini. Retrieval berhubungan dengan pemanggilan kembali konsep yang ada di long-term memory siswa menuju short-term memory. Ingatan S1 dapat dikatakan baik terlihat dari waktu S1 menjawab yaitu cepat, benar, dan S1 yakin 100 % dengan setiap jawabannya meskipun prosedur penyelesaian masalahnya belum sempurna, namun sudah menandakan bahwa konsep S1 mengenai Un a n 1b sudah tertanam kuat dalam long-term memory S1. Berbeda dengan S1, ingatan S2 dapat dikatakan kurang baik. S2 memiliki masalah pada long-term memorynya mengenai konsep dalam menentukan b, ia mengatakan bahwa memorinya agak bermasalah dan kadang lupa bagaimana cara menyelesaikan masalah yang diajukan karena terlalu banyak rumus matematika yang harus ia ingat. S2 mengatakan bahwa ia ragu dengan jawabannya, ia hanya yakin terhadap setiap jawabannya sebesar 50 %, padahal jawabanya sudah benar semua. Kemudian untuk S3, karena persepsi mengenai strategi penyelesaian masalahnya benar-benar berbeda dengan S1 dan S3 maka tentu saja retrievalnya berbeda. Retrieval S3 berupa pola yang terbentuk dari suatu barisan, dari pola yang ditemukan itu S3 memberikan hasil retrieval berupa rumus U n U ( n1) 3 (tentu rumus ini hanya berlaku untuk masalah dalam penelitian ini). d. Encoding Setiap subjek melakukan encoding karena setiap subjek mampu menjelaskan alasan mereka dalam menyelesaikan masalah yang dikerjakan dengan cara mereka. Walaupun S2 terlihat agak sulit dalam menjelaskan. Peneliti hanya mengasumsikan siubjek melakukan encoding jika dapat mejelaskan jawabannya. Kemudian, setelah informasi diproses di memori kerja baik itu informasi lama maupun
64
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
informasib baru, pastinya informasi akan disimpan (encoded)/disimpan ulang di memori jangka panjang (long-term memory). PENUTUP Simpulan 1. Proses berpikir subjek dalam menyelesaikan masalah pada materi barisan aritmetika: stimulus berupa soal masuk ke dalam sensory register subjek melalui indra pengelihatan. Selanjutnya sebelum diteruskan menuju short-term memory (working memory), terjadi selective attention yaitu penyeleskian informasi (hanya informasi penting yang diteruskan menuju short-term memory) selain itu terjadi pula persepsi yang berpengaruh kepada bagaimana strategi subjek dalam memproses informasi selanjutnya pada short-term memory. Selama tahap penyelesaian masalah dalam short-term memory, konsep-konsep yang dibutuhkan dipanggil kembali dari long-term memory subjek (retrieval) menuju short-term memory sampai diperoleh kesimpulan/penyelesaian masalah sesuai informasi yang masuk. Setelah informasi diproses di short-term memory (baik itu informasi lama maupun informasi baru), informasi akan disimpan (encoded)/disimpan ulang di memori jangka panjang (long-term memory). 2. Proses berpikir masing-masing subjek penelitian berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun tahap-tahap yang dilalui sama. 3. Konsep mengenai cara mencari suku ke-n serta nilai n masih belum tertanam kuat pada long-term memory siswa dengan kemampuan sedang dan rendah. Saran Sebaiknya guru mulai memberikan perhatian lebih terhadap proses berpikir siswa dan tidak hanya terfokus pada hasil/jawaban siswa. Selain itu, dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang mempu memperkuat konsep-konsep/pemahaman yang ada dalam long-term memory siswa, terutama siswa dengan kemampuan matematika sedang dan rendah. DAFTAR RUJUKAN Anthony, G. dan Margaret W. 2009. Characteristics of Effective Teaching of Mathematics: A View from the West. Journal of Mathematics Education, 2 (2) , 147-164. Bakry, Md Nor Bin Bakar. 2015. The Process of Thinking among Junior High School Students in Solving HOTS Question. International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE), 4 (3), 138-145. Chamberlin, Michelle T. 2005. Teachers‟ Discussions of Students‟ Thinking: Meeting The Challenge of Attending to Students‟ Thinking. Journal Of Mathematics Teacher Education, 8, 141–170. Creswell, John W. 2012. Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. United States of America: Pearson. Gagne, R. M. 1983. The Conditions of Learning. Japan: Holt-Saunders International Edition. Jiar, Yeo Kee dan Chong Yi Long. Mathematical Thinking and Physics Achievement of Secondary School Students. Faculty of Education: Universiti Teknologi Malaysia. (Online) Jones, Ian, dkk. 2015. Assessing Mathematical Problem Solving Using Comparative Judgement. International Journal of Science and Mathematics Education, 13, 151-177. Karadag, Z. 2009. Analyzing Student’s Mathematical Thinking In Technology-supported Environments. (Online) https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/19128/1/ Karadag_Zekeriya_ 200911 _PhD_ thesis.pdf Lashanta. 2013. Psychological Rivew: Berpikir dalam Psikologi. (Online) http://psiko- info.blogspot. com/2011/06/berpikir-dalam-psikologi.html McGuinness, C. 1999. From Thinking Skills To Thinking Classrooms. Research Brief Department for Education and Employment. No. 115
65
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Murray, S. 2011. Declining Partisipation in Post-Compulsory Secondary School Mathematics: Student‟s Views of and Solutions to The Problem. Research in Mathematics Education, 13 (3), 269-285. Saragih, S. 2008. Mengembangkan Keterampilan Berfikir Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Jogyakarta, 28 Desember 2008. Yeo, K. K. J. 2009. Secondary 2 Student‟s Difficulties in Solving Non-Routine Problems. International Journal for Mathematics Teaching and Learning, Vol. 10, 1-30 Widodo, S. A. 2012. Proses Berpikir Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Dimensi Healer. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Jogyakarta,10 November 2012 Woo, In, dkk. 2007. How Can We Assess Mathematical Understanding? Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 2, 4148.
66
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
BERFIKIR REFLEKTIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Anies Fuady Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Islam Malang
[email protected] Abstrak. Berfikir reflektif dapat terjadi ketika siswa mengalami kebingungan, hambatan atau keraguan dalam menyelesaikan masalah matematika yang dihadapinya. Pada dasarnya berpikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa dalam menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan dalam memorinya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah dalam matematika siswa memerlukan kemampuan berfikir reflektif. Siswa yang berfikir reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan Kata Kunci : Berfikir Reflektif, Pembelajaran, Masalah, Matematika
Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu memahami konsepkonsep matematika yang dipelajari serta mampu menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari jawaban bagi berbagai soal matematika. Berfikir berasal dari kata „pikir‟ yang berarti akal budi, ingatan, angan- angan. ( Sunaryo, 2011) berpendapat berfikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Menurut Dewey (1933) berpikir merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan informasi yang kompleks antara berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Krulik (2003) “Higher order thinking skills include critical, logical, reflective thinking, metacognitive, and creative thinking“ bahwa berfikir tingkat tinggi meliputi kritis, logis, berfikir reflektif, matakognisi dan berfikir kreatif. . Rodgers (2002) mendefinisikan karakteristik berfikir tingkat tinggi sebagai berikut: a. Berfikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, urutan tindakan itu tidak dapat sepenuhnya ditetapkan terlebih dahulu. b. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Urutan atau langkah-langkah keseluruhan itu tidak dapat “dilihat” hanya dari satu sisi pandangan tertentu. c. Berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multisolusi, setiap solusi memiliki kekurangan dan kelebihan. d. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan yang seksama dan interpretasi e. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penerapan multikriteria, sehingga kadang-kadang terjadi konflik kriteria yang satu dengan yang lain. f. Berpikir tingkat tinggi sering melibatkan ketidakpastian. Tidak semua hal yang berhubungan dengan tugas yang sedang ditangani dapat dipahami sepenuhnya. g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses berpikir. h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan pola dalam ketidakberaturan. i. Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja keras.
67
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Berfikir tingkat tinggi salah satunya adalah berfikir reflektif. Berpikir reflektif adalah serangkaian langkah-langkah rasional logis berdasarkan metode ilmiah mendefinisikan, menganalisis, dan memecahkan masalah.(Wikiversity). John Dewey (1933) mendefinisikan berfikir reflektif yaitu “active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds that support it and the conclusion to which it tends” . Bahwa berfikir reflektif adalah sesuatu yang dilakukan dengan aktif, gigih, dan penuh pertimbangan keyakinan didukung oleh alasan yang jelas dan dapat membuat kesimpulan/memutuskan sebuah solusi untuk masalah yang diberikan. Taggart (2005) mendefinisikan berfikir reflektif adalah proses membuat informasi dan membuat keputusan yang logis tentang pendidikan, kemudian menilai keputusan itu. Menurut Lipman (2003), kemampuan berfikir reflektif adalah kemampuan untuk berpikir dengan perhatian pada asumsi (hipotesis unsur-unsur yang dikenal) dan implikasinya didasarkan pada alasan atau bukti untuk mendukung kesimpulan. Sezer (2008) dalam Chee (2012:168) menyatakan bahwa berpikir reflektif didefinisikan sebagai kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang dibutuhkan, hal ini sangat penting untuk menjembatani kesenjangan situasi belajar. Gurol (2011) mendefinisikan berpikir reflektif sebagai proses kegiatan terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Dengan demikian berfikir reflektif itu untuk mendapatkan jawaban dengan cara yang tepat. Gurol (2011) juga berpendapat bahwa berfikir reflektif itu penting bagi guru dan siswa. Tetapi pada kenyataannya berfikir reflektif kurang mendapat perhatian yang serius dari guru, guru hanya mementingkan jawaban akhir yang diperoleh oleh siswa tanpa memperhatikan bagaimana jawaban siswa itu diperoleh. Berfikir reflektif menurut penulis adalah proses dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki dan yang sedang dipelajari dalam menganalisa masalah , mengevaluasi , menyimpulkan dan memutuskan penyelesaian terbaik terhadap masalah yang diberikan. Karakteristik Berfikir Reflektif Boody (2008), Hamilton (2005), Schon (1987) dalam Schon (2012) menjelaskan tentang karakteristik dari dari berpikir reflektif sebagai berikut : a. Refleksi sebagai analisis retrospektif atau mengingat kembali (kemampuan untuk menilai diri sendiri). Guru dalam pendekatan retrospektif ini dapat merefleksikan pemikirannya untuk menggabungkan pengalaman sebelumnya dan bagaimana dari pengalaman tersebut berpengaruh dalam praktek mengajar dikelas b. Refleksi sebagai proses pemecahan masalah (kesadaran tentang bagaimana seseorang belajar). Diperlukannya mengambil langkah-langkah untuk menganalisis dan menjelaskan masalah sebelum mengambil tindakan. c. Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus). Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali dan mempertanyakan pengalaman dalam konteks yang luas dari suatu permasalahan. d. Refleksi pada keyakinan dan keberhasilan diri. Keyakinan lebih efektif dibandingkan dengan pengetahuan dalam mempengaruhi seseorang pada saat menyelesaikan tugas maupun masalah. Selain itu, keberhasilan merupakan peran yang sangat penting dalam menentukan praktik dari kemampuan berpikir reflektif Menurut Santrock (2010) dalam Suharna (2013:147), siswa yang memiliki gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif sangat lamban dan berhati-hati dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara benar. Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan teks,
68
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi Proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan siswa semata, tapi proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Jika siswa dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuannya maka siswa tersebut telah melakukan proses berpikir reflektif. Pada dasarnya berpikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa dalam menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan dalam memorinya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Menurut John Dewey (1933) proses berpikir reflektif yang dilakukan oleh individu akan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a) Individu merasakan problem. b) Individu melokalisasi dan membatasi pemahaman terhadap masalahnya. c) Individu menemukan hubungan-hubungan masalahnya dan merumuskan hipotesis pemecahan atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya d) Individu mengevaluasi hipotesis yang ditentukan, apakah akan menerima atau menolaknya. e) Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah ditentukan dan dipilih, kemudian hasilnya apakah ia menerima atau menolak hasil kesimpulannya Mezirow (2011) dalam Suharna (2013 : 281) mengemukakan empat tahap berpikir reflektif prespektif teoritis yaitu tindakan kebiasaan, pemahaman, refleksi dan kritis. Tindakan kebiasaan adalah kegiatan otomatis yang dilakukan dengan pikiran. Pemahaman adalah belajar dan membaca tanpa terkait dengan situasi lain. Refleksi menyangkut pertimbangan aktif, gigih dan hati-hati dari setiap asumsi atau keyakinan didasarkan pada keadaan seseorang. Refleksi kritis dianggap sebagai tingkat yang lebih tinggi dari pemikiran reflektif yang menyebabkan seseorang menjadi lebih sadar bagaimana melihat suatu masalah, cara merasakan suatu masalah, bertindak dan penyelesaian suatu masalah. Dewey (1933) membagi pemikiran reflektif menjadi tiga situasi berikut : “…. Dewey divides reflective thinking into three situations as follows: The pre-reflective situation, a situation experiencing perplexity, confusion, or doubts; the post-reflective situation, a situation in which such perplexity, confusion, or doubts are dispelled; and the reflective situation, a transitive situation from the pre-reflective situation to the post-reflective situ- ation…”. Situasi pre-reflektif yaitu situasi yang menunjukkan kebingungan atau keraguan, pasca-reflektif yaitu situasi yang menunjukkan bahwa kebingungan atau keraguan itu mendapatkan jawaban, reflektif yaitu situasi peralihan dari situasi pre-reflektif ke situasi pasca-reflektif. Dewey (1933) mengemukakan bahwa komponen berpikir reflektif (reflective thinking) adalah kebingungan (perplexity) dan penyelidikan (inquiry). Kebingungan adalah situasi dimana ketidakpastian tentang sesuatu yang sulit untuk
dipahami dan dimengerti yang kemudian menantang pikiran untuk melakukan perubahan dalam pikiran dan keyakinan seseorang. Penyelidikan adalah bagaimana mengarahkan kepada pikiran untuk berfikir secara terarah. Dengan membiarkan kebingungan dan penyelidikan terjadi pada saat yang sama, perubahan perilaku seseorang dapat terlihat, demikian juga sebaliknya jika pemikiran reflektif adalah kebiasaan yaitu kebingungan (perplexity) dan penyelidikan (inquiry), maka seseorang akan ada perubahan perilaku yang mungkin (Dewey,1933). Dewey (1933) mengemukakan tentang peran berpikir reflektif bagi guru bahwa : “… reflective thought brings two challenges. First, teachers must be observers of all that concerns the students in their classrooms. They must know all of the conditions that could make things better or worse for the students as well as the consequences of those conditions. Second, teachers
69
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
must also know about the school organization and about the atmosphere surrounding a child's learning…”. Berfikir reflektif memberikan dua tantangan bagi guru. Pertama, bahwa guru harus menjadi pengamat bagi semua siswa di dalam kelas. Guru harus mengetahui semua kondisi yang membuat siswa menjadi lebih baik atau lebih buruk dan mengetahui akibat dari dua kondisi tersebut. Kedua, para guru harus tahu tentang organisasi sekolah dan kondisi lingkungan sekitar tempat siswasiswi belajar. Kemampuan berfikir reflektif pada anak dimulai ketika mereka berumur 7 tahun, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Inhaler dan Piaget dalam Skemp (1982). Menurut hasil penelitian mereka bahwa anak dapat mengembangkan proses berfikir reflektif ketika anak itu berusia 7 tahun, dimana anak sudah bisa menceritakan kembali apa yang pernah dilakukan atau yang dialaminya. Terjadinya proses berfikir reflektif menurut Skemp (1982) dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Bagan Berfikir Reflektif Gambar 1. menunjukkan berfikir reflektif pada seseorang terjadi ketika merespon atau menanggapi informasi atau rangsangan dari luar, informasi tersebut kemudian diteruskan kepada aktivitas mental. Pada proses tersebut terjadi suatu permasalahan dan membutuhkan informasi yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Informasi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah berasal dari dalam diri (internal), bisa menjelaskan apa yang dilakukan, menyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika terdapat kesalahan), dan mengkomunikasikan dengan ide atau gambar, selanjutnya merespon suatu persoalan atau masalah yang bersifat eksternal sebagai efek dari berpikir reflektif, dan hal tersebut terus berulang sampai permsalahan atau persoalan dapat terselesaikan. Sementara itu Len dan Kember (2008: 578) mengungkapkan berdasarkan Mezirow’s theorical framework bahwa berpikir reflektif dapat digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu: 1. Habitual Action (Tindakan Biasa). Habitual Action didefinisikan „… a mechanical and automatic activity that is performed with little conscious thought’, yaitu kegiatan yang mekanis dan otomatis dapat ditunjukkan dengan sekit pemikiran yag disengaja 2. Understanding (Pemahaman). Pemahaman yang dimaksud yaitu siswa belajar memahami situasi yang terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi yang lain. 3. Reflection (Refleksi). Refleksi yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada kesadaran siswa
70
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
4. Critical Thinking (Berpikir Kritis). Berpikir kritis merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif yang melibatkan siswa, dengan mengetahui secara mendalam alasan seseorang untuk merasakan berbagai hal. Pada tahap ini siswa mampu memutuskan dan memecahkan penyelesaian. Menurut King dan Kitchener dalam (Wowo:2011) ada tujuh tahap dalam berpikir reflektif, berikut penjelasannya disajikan dalam bentuk tabel 1 : Tabel 1 Model Tujuh Tahap Berpikir Reflektif menurut King dan Kitchener
Berpikir pra-reflektif Tahap 1
Mengetahui keterbatasan dalam pengamatan konstruksi tunggal; apa yang diamati orang adalah benar. Perbedaan yang tidak disadari.
Tahap 2
Untuk mengetahui dua kategori jawaban benar dan salah. Jawaban benar dikatakan memiliki pengetahuan baik; dan jawaban salah dikatakan memiliki pengetahuan kurang. Perbedaan bisa diselesaikan melalui penambahan informasi yang lebih lengkap.
Tahap 3
Pada beberapa wilayah, pengetahuan tertentu telah dicapai,di wilayah lain untuk sementara telah pasti, keyakinan pribadi dapat diketahui.
Berpikir refleksi kuasi Tahap 4
Pengetahuan tidak dikenal dalam beberapa konsep kasus spesifik, dapat menyebabkan generalisasi abstrak tidak pasti. Pembenaran pengetahuan memiliki diferensiasi buruk.
Tahap 5
Pengetahuan tidak pasti harus dipahami dalam konteks tertentu, dengan demikian pembenaran spesifik konteks. Pengetahuan dibatasi oleh sudut pandang orang yang tahu.
Tahap 6
Pengetahuan tidak pasti, tapi dibangun dengan membandingkan bukti dan pendapat dari sisi yang berbeda serta konteksnya
Tahap 7
Pengetahuan adalah hasil dari suatu proses penyelidikan yang sistematis. Prinsip ini setara dengan prinsip umum di seluruh ranah. Pengetahuan bersifat sementara
71
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Sabandar (2012) mengungkapkan bahwa untuk memberdayakan kemampuan berpikir reflektif adalah dengan memberikan tanggapan terhadap hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan soal, karena pada saat menyelesaikan soal itu mereka sedang termotivasi dan senang dengan hasil yang dicapai, maka rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan dengan memberikan tugas baru kepada siswa, yaitu sebagai berikut: a. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan betapa kayanya matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman atau apresiasi (disposisi siswa) terhadap matematika.Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya agar melatih siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta pengalaman mereka. b. Mengajukan pertanyaan “bagaimana jika ...?” sesungguhnya memberi peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan strategi dan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi. Soal ini juga dapat merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka harus menganalisisnya. Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin. c. Mengajukan pertanyaan “apa yang salah”. “Apa yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah , mengapa salah. d. Mengajukan pertanyaan “apa yang kamu lakukan”. “Apa yang akan kamu lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya. Roger (2002) mengungkapkan kembali pendapat Dewey tentang kriteria berpikir reflektif sebagai berikut: a) Refleksi adalah proses bermakna yang memindahkan pembelajar dari suatu pengalaman ke pengalaman selanjutnya dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungannya dengan pengalaman dan ide yang lain. b) Refleksi adalah cara berpikir yang sistematik, tepat disiplin dengan akar- akarnya dalam penyelidikan ilmiah. c) Refleksi pasti terjadi dalam masyarakat, dalam interaksi dengan yang lain. d) Refleksi memerlukan sikap yang menilai pribadi dan pertumbuhan intelektual dari seseorang dan orang lain. Dewey dalam Choy (2012) juga mengungkapkan tiga sumber asli yang wajib untuk berpikir reflektif, yaitu: 1. Curiosity (Keingintahuan) Hal ini lebih kepada cara-cara siswa merespon masalah. Curiosity merupakan keingintahuan seseorang akan penjelasan fenomena-fenomena yang memerlukan jawaban fakta secara jelas serta keinginan untuk mencari jawaban sendiri terhadap soal yang diangkat.
72
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
2. Suggestion (Saran) Suggestion merupakan ide-ide yang dirancang oleh siswa akibat pengalamannya. Saran haruslah beraneka ragam (agar siswa mempunyai pilihan yang banyak dan luas) serta mendalam (agar siswa dapat memahami inti masalahnya). 3. Orderlinnes (Keteraturan) Dalam hal ini siswa harus mampu merangkum ide-idenya untuk membentuk satu kesatuan. Terdapat lima komponen yang berkenaan dengan kemampuan berpikir reflektif, menurut (Kusumaningrum: 2010) diantaranya adalah: a. Recognize or felt difficulty problem, mengenali atau merasakan kesulitan suatu masalah. Masalah mungkin dirasakan siswa setelah siswa membaca data pada soal. Kemudian siswa mencari cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pada langkah ini, siswa mengenali adanya permasalahan dan mengidentifikasinya. b. Location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah. Langkah ini menuntun siswa untuk berpikir kritis. Berdasarkan pengalaman pada langkah pertama tersebut, siswa mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini siswa mencermati permasalahan tersebut dan timbul upaya mempertajam masalah. c. Suggestion of possible solution, mengajukan beberapa kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan. Pada langkah ini, siswa mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi untuk memecahkan masalah yang telah dibatasi dan dirumuskan tersebut, siswa berusaha untuk menyelesaiakn masalah itu. d. Rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan. Siswa mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam langkah ini siswa memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan mengumpulkan data-data pendukung. e. Test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan. Siswa menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga siswa menemukan sendiri keabsahan temuannya. Contoh Berpikir Reflektif Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Aljabar Menurut Suharna, dkk (2013), hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar dengan kode R1 sampai R10 dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam menyelesaikan masalah aljabar, pada saat memahami masalah terlihat bahwa siswa menggambarkan masalah agar mudah dimengerti atau mudah dipahami. Hal ini terlihat dari kerja siswa pada R1 dengan menggambarkan/ mengilustrasikan masalah aljabar lebih dahulu agar mudah difahami dan R2 berusaha menjelaskan apa yang sudah digambarkan. Data tersebut diperkuat dengan petikan wawancara, ketika peneliti bertanya “apa sih maunya soal ini?”, subjek menjawab “iya kan gini, pak Hery punya kebun berbentuk persegi panjang, terus kebunya itu di bagi menjadi dua bagian yang sama selanjutnya pak Hery ingin memagari kebun yang sudah dibagi itu dengan kawat berduri”. Selanjutnya peneliti menanyakan perkerjaan selanjut- nya, subjek menjawab “terus pak Hery memiliki kawat berduri sepanjang 1.500 meter”.
73
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 2. Hasil Pengerjaan Siswa Pada tahap memikirkan rencana terlihat bawa dengan menggambar pada dan R2 dan R1 siswa menghitung dengan cara memisalkan x ada 3 dan y ada 2, dengan demikian untuk mengetahui kelilingnya subjek menjumlahkan panjang x dan y . Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, ketika peneliti bertanya “apa yang akan kamu lakukan?” Subjek menjawab “saya misalkan lebar : x dan panjangnya saya misalkan panjangnya: y ”, peneliti bertanya lebih lanjut “kenapa kok dimisalkan seperti itu?” subjek menjawab “supaya, gampang menjawab soalnya”. Berdasarkan data tersebut, subjek berusaha meyakinkan deangan apa yang akan dilakukan pada masalah aljabar. Cara yang digunakan adalah menggambar dan memisalkan sisi-sisinya dengan x dan y. Selanjutnya pada tahap melaksanakan penyelesaian terlihat pada R3 subjek meyakinkan dengan melakukan perhitungan, demikian juga dengan R4 subjek melakukan perhitungan untuk meyakinkan dengan apa yang dikerjakan. Demikian juga dengan R4 mengklarifikasi apakah jawaban sudah benar, R5 melakukan klarifikasi dengan cara menghitung, R6 mengganti jawaban dengan yang sudah ditulis dengan jawaban yang dianggapnya benar, R7 subjek tidak yakin dengan jawabannya, dan R8 subjek berusaha menjeleaskan walaupun jawabannya sudah diklarifikasi. Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, “selanjutnya gimana” subjek menjawab “dari gambar kan kelihatan kelilingnya 3x + 2y = 1.500, peneliti menanyakan lebih lanjut “kenapa kok dicoret-coret?”, subjek menjawab “tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”, peneliti juga bertanya “kenapa kok dicoret-coret?” dan subjek menjawab “tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”. Pada tahap memeriksa kembali terlihat pada R8 subjek berusaha menjelaskan apa yang telah dilakukan untuk mengecek jawaban, kode R9 setelah memeriksa kembali
74
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
pekerjaan meyakinkan “hasil akhir ternya yang
di R6 ternyata subjek memperbaikinya yang terlihat pada R9 , dan R10 apa yang akan dilakukan. Data tersebut diperkuat ketika peneliti bertanya untuk soal a) kenapa di coret?” subjek menjawab “iya saya lupa tadi saya liat lagi di tanya kelilingnya. Kelilingnya kan bisa diperoleh dari 3x + 2y = 1.500
diperoleh y = PENUTUP Berfikir reflektif penting bagi anak untuk memecahkan masalh matematika. Proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan siswa semata, tapi proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Jika siswa dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuannya maka siswa tersebut telah melakukan proses berpikir reflektif. Untuk itu anak perlu di latih untuk bisa berfikir reflektif dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN Chee & Pou. 2012. Reflective Thinking And Teaching Practices : A Percusor For Incorporating Critical Thinking Into The Classroom ?. International Journal Of Interaction. Vol. 5. No.1 (e-ISSN: 1308-1470) Choy & Cheah. 2012. Teacher Perceptions Of Critical Thinking Among Students And Its Influence On Higher Education. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education. 20(12), 196-204 Dewey, J. 1933. How We Think : A Restatement of The Relation of Reflective Thinking to The Educative Process. Boston, MA: D.C. Heath and Company Guroll, A. 2011. Determining The Reflective Thinking Skills of Pre- Service Teacher in Learning and Teaching Process. Energy Education Science and Technology Part B : Social and Educational Studies. Volume (issue) 3(3) : 387-402 Kember, D.Y.P & Kember, D. 2013. The Relationship Between Approaches to Learning and Reflection Upon Practice. Educational Psychology, 23(1), 61-67 Krulik, S & Milou, E. 2014. Teaching Mathematics in Middle School A Practical Guide. Boston. MA: D.C. Keath and Company Kusumaningrum, Maya, &Abdul Aziz. 2012. Mengoptimalkan Kemampuan Berfikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika. Makalah Ini Disampaikan Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika . Yogyakarta : FMIPA UNY Lipman. 2013. Thinking in Education. Cambridge University Press Rodgers, C. 2010. Defining Reflection: Another Look at Jhon Dewey and Reflective Thinking.Teachers College Record Volume 104 Number 4, pp. 842-866 Schon, D. 2012. Educating The Reflective Practitioner. Paper Presented at the Meeting of the American Educational Research Association, Washington DC Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. USA : Peguin Books Suharna, Hery. 2013. Berfikir Reflective (Reflektive Thinking) Mahasiswa Calon Guru Dalam Pembelajaran. KNM XVI Unpad. Bandung Sunaryo. 2011. Taksonomi Berfikir. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
75
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV.B SDN GIRIPURNO 02 KOTA BATU MATERI PECAHAN MELALUI PEMBELAJARAN PENEMUAN BERBANTUAN BAHAN MANIPULATIF STRIP Irma Anggraini Yuniar SDN Giripurno 02 Kecamatan Bumiaji Kota Batu
[email protected] Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa materi pecahan khususnya materi penjumlahan dan pengurangan pecahan melalui pembelajaran penemuan berbantuan bahan manipulatif strip. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian tindakan kelas dan dilakukan 2 siklus. Penelitian ini di laksanakan di SDN Giripurno 02 Kecamatan Bumiaji Kota Batu pada kelas IV.B dengan jumlah siswa sebanyak 22 anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dilakukan dengan langkah (1) guru menjelaskan materi pecahan berbantuan media, (2) memberikan lembar aktifitas siswa untuk didiskusikan dalam kelompok, (3) guru memberikan penguatan, (4) guru memberikan tes evaluasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Siklus 1 dengan rata-rata nilai 73 meningkat pada siklus 2 menjadi 89 Ketuntasan hasil belajar dari siklus 1 sebesar 59,09% meningkat pada siklus 2 menjadi 95,45%. Kata kunci: hasil belajar, pecahan, penemuan, bahan manipulatif
Pendidikan merupakan faktor penting dalam menjawab tantangan kehidupan pada era globalisasi yang menuju ke Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Untuk menjawab tantangan pendidikan di era MEA ini maka sumber daya manusia harus di tingkatkan. Dengan sumber daya manusia tinggi terutama dalam bidang pendidikan akan mampu menghadapi persaingan di era global. Untuk itu kualitas guru atau pendidik sebagai ujung tombak dari proses pendidikan perlu ditingkatkan. Dengan kualitas pendidik yang tinggi akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul pula. Sehingga dengan SDM yang unggul akan dapat menjadikan negara lebih maju dan mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam segala bidang terutama antar negara Asean. Seperti yang dikatakan oleh Subanji & Isnandar (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study” bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu Negara menjadi Negara maju dan mampu mengatasi permasalahan yang timbul adalah kualitas berfikir masyarakat. Kualitas berfikir hanya dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Karena itu peningkatan kualitas pendidikan sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Idealnya untuk menghadapi MEA guru perlu kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran. Guru harus bisa berperan sebagai inspirator, motivator, dan fasilitator bagi muridnya (Subanji & Isnandar, 2010). Sebagai inspirator guru perlu melakukan pembelajaran yang mampu membangkitkan siswa untuk kreatif dan mandiri. Sebagai motivator guru perlu untuk selalu memberi motivasi kepada siswa dalam proses pembelajaran. Sebagai fasilitator guru perlu menyiapkan perangkat ajar dan melaksanakan pembelajaran dengan memfasilitasi siswa untuk belajar secara maksimal. Sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 14/2015 tentang Guru dan Dosen. “guru adalah pendidik professional yang bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
76
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Berdasarkan pengamatan peneliti di SDN Giripurno 02 kota Batu pembelajaran yang dilakukan oleh guru mengikuti langkah-langkah: (1) guru menjelaskan materi, (2) guru memberikan contoh soal dan penyeleseiannya, (3) guru memberikan soal latihan yang mirip-mirip, (4) guru meminta siswa mengerjakan soal di buku, (5) guru memberikan tes kepada siswa. Strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru tersebut masih terlalu monoton sehingga siswa yang tidak termotivasi dalam belajar, di dalam kelas bermalas-malasan dan mengantuk. Banyak siswa tidak memperhatikan penjelasan guru mereka bermain sendiri bahkan bertengkar dengan temannya yang lain. Kebanyakan siswa tidak suka membaca sehingga kurang bisa memahami soal dan ketika menjawab soal asal menjawab. Terutama dalam pembelajaran matematika siswa selalu mengeluh sulit dan tidak bisa. Siswa selalu merasa takut dan tidak senang pada pembelajaran matematika, sehingga siswa tidak berminat mengikuti dan kurang dapat memahami pembelajaran matematikan dengan baik. Hal ini berdampak pada hasil prestasi belajar siswa yang tidak memenuhi KKM. Selain itu siswa juga kesulitan dalam belajar matematika khususnya materi pecahan. Ketika guru memberikan soal penjumlahan pecahan
siswa menjawab soal tersebut
menjadi . Dalam hal ini siswa mengalami kesalahan menjumlahkan pecahan dengan menjumlahkan pembilang dan penyebut dengan penyebut. Siswa mengalami kesalahan konsep penjumlahan pecahan. Kesalahan tersebut akan berdampak pada kesalahan dalam mengerjakan soal-soal berikutnya. Karena itu perlu ada upaya untuk mengatasinya agar tidak terjadi kesalahan berikutnya. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah mengarjakan pecahan dengan bantuan media. Penelitian yang terkait dengan materi pecahan sudah banyak dilakukan (Denny. 2015, Nenoliu. 2015, Jauhari. 2015). Menurut Denny (2015) Dengan pembelajaran bermakana akan membuat siswa: berani menyampaikan ide atau gagasan dalam menyeleseikan masalah matematika, konsep perkalian dua pecahan biasa dapat ditanamkan dengan baik pada peserta didik, dapat mengkonstruksi pengetahuan siswa dengan baik. Nenoliu (2015) dalam pnelitiannya menyimpulkan bahwa penerapan metode STAD pada materi penjumlahan pecahan dapat membuat siswa dapat melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan baik, ketrampilan kooperatif siswa berkembang dengan baik. Siswa merasa senang dan lebih berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat lebih baik. Selain itu pengelolaan pembelajaran oleh guru dapat berjalan dengan baik. Jauhari (2015) pendekatan saintifik berbasis metode Problem Base Learning yang menyuguhkan permasalahan nyata dapat membantu siswa dalam memahami materi pecahan senilai dan kemampuan siswa dalam menyeleseikan masalah meningkat Penelitian yang tekait dengan pembelajaran materi pecahan berbantuan media sudah di lakukan Muhsetyo 2014 dan Lizawati 2015. Muhsetyo (2014) menyatakan bahwa pecahan bisa direpresentasikan dengan menyatakan bilangan mana yang lebih kecil dan mana yang lebih besar tanpa harus belajar KPK terlebih dahulu dengan menggunakan teknik benchmark yang di bantu dengan bahan manipulatif strip. Sedangkan menurut Lizawati (2015) pembelajaran seru dengan menggunakan media kongrit yaitu roti tawar dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika materi pecahan. Siswa juga semakin bersemangat, aktif, berani dan dapat bekerja sama dalam belajar dan membuat pembelajaran lebih bermakana dan menyenangkan. Dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran materi pecahan maka peneliti mengikuti pelatihan guru berbasis karya ilmiah yang di selenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Batu kerja sama dengan Asosiasi pendidik dan Penggembang Pendidikan Indonesia (APPPI). Dengan adanya pelatihan tersebut menjadikan guru lebih kreatif, aktif dan professional dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Jika guru yang kreatif, aktif, dan professional maka dapat membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar. Siswa akan selalu menanti-nanti untuk bersekolah sehingga mereka tidak lagi suka membolos. Siswa bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik tanpa terkecuali, juga selalu mengerjakan PR yang diberikan. Dengan demikian semua siswa dapat belajar dengan senang,
77
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
aktif, kreatif dan berminat dalam mengikuti semua pembelajaran yang dapat berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengupayakan peningkatan hasil belajar siswa kelas IV.B SDN Giripurno 02 Kota Batu materi pecahan melalui pembelajaran penemuan berbantuan bahan manipulatif strip. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendiskripsikan upaya meningkatkan hasil belajar siswa materi pecahaan melalui pembelajaran penemuan berbantuan bahan manipulatif strip. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilakukan secara bertahap, tahap penelitian ini antara lain perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tahap perencanaan dilakukan dengan rencana pembelajaran yang mengacu pada sintak pembelajaran penemuan berbantuan bahan manipulatif strip dengan mengembangkan bahan manipulatif strip untuk membatu siswa mengkonstruksi materi pecahan. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas IV.B SDN Giripurno 02 Kecamatan Bumiaji Kota Batu dengan jumlah siswa 22 anak, yang terdiri 9 laki-laki dan 13 perempuan mulai bulan Februari sampai Maret 2016. Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang di bantu oleh teman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 3 pertemuan (@ 3 jam pelajaran). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 9-19 Februari 2016 dan siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 22 Februari – 7 Maret 2016. Setiap akhir pembelajaran pada tiap siklus dilakukan refleksi untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan memperbaiki untuk siklus berikutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus pertama terdiri dari 3 kali pembelajaran dan satu kali tes. Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut: Siklus 1 pertemuan 1 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G: ”dulu waktu kelas tiga kita sudah belajar tentang pecahan, waktu itu sudah diajari tentang penjumlahan pecahan dengan penyebut yang sama, masih ingat kalian bagaimana untuk mengerjakan pecahan dengan penjumlahan dengan penyebut yang sama.” S: ”ingat.” G: ”bagaimana caranya?” Siswa tidak ada yang menjawab pertanyaan guru, siswa masih terlihat kebingungan mereka takut jika salah dalam menjawab. Selanjutnya guru menuliskan contoh pecahan, dari contoh pecahan tersebut dapat diketahui jika siswa telah mengetahui mana yang disebut pembilang dan mana yang penyebut. Namun pada saat guru menanyakan kembali tentang cara pengerjaan penjumlahan pecahan semua siswa masih belum berani menjawab. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti. Salah satu siswa di minta guru untuk membaca materi yang telah di tulis di papan tulis.
78
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 1. Materi pecahan G: ”jadi menjumlahkan pecahan dengan penyebut sama dilakukan dengan menjumlahkan pembilang-pembilangnya penyebutnya tidak perlu dijumlahkan, kalau begitu jawaban kalian tadi benar apa salah?” S: ”salah bu” G: ”kenapa kok salah” S: ”karena dijumlahkan pembilang dan penyebutnya.” G: ”yang benar bagaimana?” S: ”dijumlahkan pembilangnya saja.” Dari percakapan di atas dapat diketahui jika siswa belum memahami konsep operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama. Selanjutnya guru menjelaskan bagaimana cara mengerjakan operasi penjumlahan pecahan berbantuan bahan manipulatif strip.
Gambar 2. Bahan manipulatif strip Selanjutnya guru menawarkan kepada siswa siapa yang ingin mengerjakan ke depan. Namun tidak ada siswa yang bersedia untuk mengerjakan ke depan demikian pula ketika guru menunjuk salah satu siswa, siswa tersebut juga tidak bersedia. Mereka merasa tidak bisa mengerjakan soal dan takut juga malu ditertawakan teman-temannya jika salah mengerjakan. Namun akhirnya siswa tersebut mau maju mengerjakan soal ke depan meskipun dengan terpaksa. Dengan bimbingan guru siswa tersebut mengerjakan soal penjumlahan pecahan dengan menggunakan bahan manipulatif strip. Kegiatan dilanjutkan dengan guru membagi siswa dalam lima kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 anak. Guru memberikan lembar kerja kelompok pada masing-masing kelompok untuk dikerjakan secara berkelompok dengan berbantuan bahan manipulatif strip. Pada awal mengerjakan masih banyak siswa yang bingung menggunakan bahan manipulatif strip, bahkan salah satu kelompok salah mengartikan pembilang sebagai penyebut sehingga dalam mengerjakan juga memakai strip yang salah. Siswa masih banyak yang keluyuran, bersenda gurau dengan yang lain, mengganggu temannya yang lain. Masih banyak siswa yang tidak ikut mengerjakan tugas kelompok, mereka hanya diam saja memperhatikan temannya sedang mengerjakan. Bahkan tak sedikit pula yang keluyuran mengganggu temannya yang lain. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas kelompok menjadi sangat lama. Setelah selesei mengerjakan tugas kelompok siswa bersama guru membahas hasil kerja kelompok. Hasil dari kerja kelompok di peroleh data bahwa 2 kelompok memperoleh hasil yang
79
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
sempurna sedangkan 3 kelompok masih belum sempurna masih ada yang salah dalam mengerjakan. Langkah pembelajaran berikutnya guru bersama siswa tanya jawab tentang cara mengerjakan operasi penjumlahan berpenyebut sama. G: ”dari hasil kerja kelompok kalian tadi bagaimana cara langkah-langnkah mengerjakan penjumlahan pecahan dengan berpenyebut sama?” S: ”dengan menjumlahkan pembilangnya bu”. G: ”penyebutnya bagaimana apakah juga di jumlahkan” S: ”tidak.” Dari tanya jawab di atas dapat di lihat bahwa siswa mulai memahami cara mengerjakan penjumlahan pecahan berpenyebut sama meskipun masih perlu bimbingan guru. Kemudian guru memberikan penguatan kepada siswa dengan menjelaskan bahwa:
Setelah guru memberikan penguatan guru membagikan lembar kerja siswa sebanyak 5 soal untuk dikerjakan siswa secara individu. Hasilnya diperoleh bahwa 21 anak memperoleh nilai diatas KKM, ini menunjukkan bahwa siswa sudah memahami konsep operasi hitung pecahan khususnya penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Setelah selesei pembelajaran dilakukan refleksi, hasil refleksi yang dilakukan ada langkah langkah pembelajaran yang perlu di perbaiki.
Gambar 3. Contoh pengerjaan penjumlahan pecahan menggunakan bahan manipulatif strip Pada gambar di atas terlihat guru masih salah dalam memberikan penjelasan langkah-langkah penggunaan bahan manipulatif strip sehingga perlu memperjelas langkah-langkah cara penggunaan bahan manipulatif strip pada pertemuan berikutnya. Perlu memberikan batas waktu pada siswa saat mengerjakan tugas kelompok, bahan manipulatif strip kurang dan membingungkan siswa karena strip polos sehingga bahan manipulatif strip perlu ditambah dan diperbaiki, perlu bimbingan khusus pada siswa yang kurang mampu, memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Siklus 1 pertemuan 2 Pada pertemuan kedua ini pembelajaran dia awal dengan tanya tentang materi pecahan yang sudah di pelajari pada pertemuan sebelumnya. G: ”untuk mengerjakan penjumlahan berpenyebut sama bagaimana caranya?” S: ”menambahkan pembilangnya.” G: ”penyebutnya bagaimana?” S: ”tetap.” Dari percakapan diatas menunjukkan bahwa siswa telah siap untuk mempelajari materi berikutnya yaitu tentang pecahan berpenyebut tidak sama. Guru meminta salah satu siswa membaca materi operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan berpenyebut tidak sama yang telah
80
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
dicatat pada pertemuan sebelumnya. Selanjutnya guru dan siswa tanya jawab tentang materi yang akan dipelajari. G: ”dari materi yang dibaca temanmu tadi bagaimana cara mengerjakan penjumlahan pecahan dengan berpenyebut berbeda?” S: ”menyamakan penyebutnya.” G: ”setelah penyebutnya sama pembilangnya diapakan?” S: ”ditambahkan.” G: ”bagaimana cara menyamakan penyebut?” Siswa kebingungan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selanjutnya guru menjelaskan bagaimana cara mengerjakan penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda dengan menggunakan bahan manipulatif strip.
Gambar 4. Contoh soal penjumlahan pecahan peyebut beda Guru menjelaskan kembali langkah-langkah pemakaian bahan manipulatif strip untuk mengerjakan penjumlahan pecahan dengan penyebut berbeda. Kemudian beberapa siswa di minta untuk maju ke depan mengerjakan contoh soal. Siswa masih belum antusias ketika guru meminta salah satu anak mengerjakan soal di depan. Mereka menunjukkan sikap ragu-ragu dan tidak berani untuk maju ke depan meskipun ada keinginan untuk mencoba. Kegiatan dilanjutkan dengan kegiatan kelompok dan anggota kelompok masih seperti pertemuan sebelumnya. Dalam pertemuan kali ini guru memberikan batas waktu pengerjaan sebanyak 40 menit. Pada waktu kerja kelompok berlangsung salah satu siswa merespon strip perdua belasan dengan pernyataan S: ”bu ini perdua belasan kok hanya 12 kotak.” G: ”seharusnya berapa?” S: ”per duabelas bu.” G: ”trus bagaimana.” S: ”oh iya bu ini strip perdua belasan ya 12 kotak.” Dari percakapan di atas menunjukkan bahwa siswa kurang konsentrasi dalam mengerjakan tugas kelompok. Selain percakapan diatas banyak juga siswa yang kurang konsentrasi hal ini dapat di lihat dari perilaku siswa yang hanya melamun saja tidak mengerjakan bersama-sama kelompoknya, kebingungan menentukan bahan manipulatif strip yang benar sesuai dengan soal. Namun karena waktu terbatas maka masing-masing kelompok berusaha cepat menyeleseikan tugas kelompok masing-masing. Dari hasil tugas kelompok diperoleh hasil satu kelompok dapat mengerjakan tugas kelompoknya dengan sempurna dan kelompok yang lain masih ada kesalahan. Guru menanyakan kemabali kepada siswa, dan dari percakapan dibawah diketahui siswa mulai memahami konsep operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. G: ”dari hasil kerja kelompok kalian tadi bagaimana cara menyamakan penyebut.” S: ”dengan dikalikan bu penyebutnya.” Kemudian guru memperkuat pemahaman siswa dengan menjelaskan:
81
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Pada akhir pembelajaran guru membagikan lembar kerja siswa untuk di kerjakan siswa secara individu sebanyak 5 soal. Hasilnya yaitu sebanyak 10 anak mendapat nilai di atas 70, sebanyak 12 anak mendapatkan nilai 60 kebawah bahkan ada yang memperoleh nilai 0. Kebanyakan siswa yang memperoleh nilai di bawah tujuh masih menjumlahkan pecahan tersebut tanpa menyamakan penyebut terlebuh dahulu. Kegiatan dilanjutkan dengan refleksi proses pembelajaran, dari hasil releksi yang telah dilakukan diperoleh beberapa hal yang harus diperbaiki yaitu: langkah-langkah pembelajaran perlu diperbaiki lagi, bahan manipulatif strip kurang sehingga menghambat siswa dalam mengerjakan tugas kelompoknya, kurang teliti dalam membuat bahan manipulatif strip. Siklus 1 pertemuan 3 Kegitan awal dilakukan tanya jawab tentang pembelajaran sebelumnya. G: ”kemarin kita sudah belajar apa?” S: ”pecahan yang berbeda.” G: ”apanya yang berbeda?” S: ”penyebutnya.” G: ”bagaimana cara mengerjakan pecahan berpenyebut sama?” S: ”pembilangnya ditambah.” G: ”kemudian untuk penyebutnya?” S: ”tetap.” G: ”kenapa kok tetap.” S: ”karena penyebutnya sudah sama.” G: ”sedangkan untuk penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda bagaiamana cara mengerjakannya?” S: ”disamakan penyebut dahulu kemudian di jumlahkan.” G: ”caranya bagaimana menyamakannya?” S: ”dikalikan.” Dengan tanya jawab di atas terlihat siswa sudah memahami konsep operasi penjumlahan pecahan berpenyebut sama maupun berpenyebut berbeda. Pada pembelajaran berikutnya di lanjutkan dengan pengulangan penjelasan guru tentang cara penggunaan bahan manipulatif strip untuk mengerjakan operasi hitung penjumlahan pecahan. Setelah siswa memahami penjelasan guru kegiatan dilanjutkan dengan kerja kelompok selama 40 menit. Pada pertemuan tiga ini masih banyak siswa yang kurang aktif dan tidak mengerti proses pengerjaan soal penjumlahan dengan penyebut tidak sama. Siswa masih belum mempunyai rasa tanggung jawab untuk bekerja sama menyeleseikan tugas kelompoknya. Banyaknya siswa yang belum mengerti ini di karenakan jumlah siswa dalam satu kelompok terlalu banyak sehingga yang mengerjakan tugas kelompok hanya beberapa anak saja. Siswa yang tidak ikut mengerjakan tugas kelompok tersebut menjadi tidak mengerti langkah-langkah mengerjakan soal tersebut. Pada hasil evaluasi siswa 13 anak memperoleh nilai di atas KKM atau sebesar 59,09% anak sudah memenuhi KKM, sedangkan 9 anak belum memenuhi KKM atau sebesar 40,90%. Mereka masih menjumlahkan secara langsung tanpa menyamakan penyebutnya terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena siswa terburuburu dan merasa grogi melihat teman-temanya sudah selesei mengerjakan. Selain itu mereka kurang memahami konsep pengerjaan operasi hitung pecahan. Siswa tidak telibat penuh dalam kerja kelompok. Sehingga pada waktu guru menerangkan konsep penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda mereka kurang bisa memahami Perkalian juga menjadi kendala bagi siswa karena masih banyak siswa yang salah dalam mengalikan. Dari hasil pembelajaran pada siklus satu ini dapat di lihat bahwa semua siswa belum bisa memenuhi KKM yang di harapkan. Untuk itu maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan proses pembelajaran pada siklus dua.
82
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Siklus 2 Pada siklus 2 ini dilakukan perbaikan-perbaikan pada proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang mengacu pada proses pembelajaran pada siklus 1. Sehingga pada siklus 2 ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang masih kurang memenuhi KKM pada proses pembelajaran siklus 1. Siklus 2 Pertemuan 1 Kegiatan diawali dengan tanya jawab tentang materi pecahan yang telah dipelajari sebelumnya. Dari tanya jawab pada awal kegiatan proses belajar mengajar diketahui siswa sudah siap untuk melanjutkan kegiatan pembelajaran. Pertemuan kali ini membahas materi tentang pengurangan pecahan berpenyebut sama. Setelah guru memberikan contoh cara pengerjaan pengurangan pecahan dengan menggunakan bahan manipulatif strip. Dalam pembelajaran kali ini keberanian siswa sudah mulai terlihat, hal ini dapat dilihat dari sikap siswa yang mempunyai keinginan untuk mengerjakan contoh soal di depan tanpa harus di tunjuk dan dipaksa.
Gambar 5. Aktifitas siswa di depan kelas Pada kegiatan kelompok guru membagi siawa menjadi 11 kelompok satu kelompok menjadi 2 orang dan batas waktu pengerjaan selama 30 menit. Dalam kerja kelompok ini siswa sudah terlihat lebih aktif dibandingkan pada siklus 1. Dengan jumlah kelompok menjadi 2 anak membuat siswa mau tidak mau harus bersama-sama menyeleseikan tugas kelompoknya.
Gambar 6. Aktifitas siswa kerja kelompok Hasil dari kerja kelompok di bahas secara bersama-sama. Sikap berani siswa sudah mulai muncul ketika guru meminta siswa untuk mengerjakan soal kerja kelompok ke depan tanpa bantuan bahan manipulatif strip, respon siswa sangat positif. Hampir semua siswa ingin maju ke depan.
83
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 7. Sikap siswa yang aktif Secara keseluruhan hasil kerja kelompok yang telah diseleseikan semua kelompok, menunjukkan bahwa semua kelompok memperoleh hasil yang sempurna.
Gambar 8. Hasil kerja kelompok Sedangkan untuk hasil kerja siswa secara individu diperoleh hasil bahwa 1 anak belum memenuhi KKM sedangkan yang lain sudah memenuhi KKM. Siklus 2 Pertemuan 2 Pertemuan 2 pada siklus 2 ini siswa sudah tidak asing lagi dengan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Siswa sangat antusias ketika pembelajaran akan dimulai ini ditunjukkan dengan sikap siswa yang bersemangat untuk mengikuti proses pembelajaran. Dalam pertemuan 2 ini masingmasing siswa sudah merasa siap untuk melaksanakan proses pembelajaran hal ini ditunjukkan dengan sigapnya para siswa menjawab pertanyaan mengenai penjumlahan dan pengurangan pecahan yang di lontarkan oleh guru. Masing-masing siswa sudah mempunyai keberanian dan rasa percaya diri yang baik, mereka menawarkan diri untuk mengerjakan contoh soal dengan berbantuan bahan manipulatif strip ke depan kelas tanpa merasa canggung dan malu.
Gambar 9. Aktifitas siswa mengerjakan contoh soal Dari gambar di atas dapat di ketahui bahwa siswa sudah memahami konsep operasi hitung pengurangan pecahan. Siswa tidak lagi tergantung pada bahan manipulatif strip untuk mengetahui
84
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
jawaban dari soal yang dikerjakan namun mereka menghitungnya terlebih dahulu menggunakan konsep operasi penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda. Siswa antusias dalam bekerja kelompok, kerja sama antar kelompok menuju kearah yang lebih baik dari pertemuan sebelumnya. Siswa perempuan sudah tidak lagi merasa canggung dengan teman sekelompoknya yang berjenis kelamin laki-laki. Ini membuat tugas kelompok menjadi menjadi tertangani dengan baik, antar sesama anggota kelompok saling mengingatkan jika terjadi kesalahan dalam mengerjakan tugas kelompoknya. Mereka saling berbagi tugas dan bertanggung jawab pada tugas masing-masing. Sehingga tugas kelompok menjadi cepat selesei sebelum batas waktu yang diberikan habis. Untuk hasil tugas siswa secara individu dari 22 siswa 2 anak memperoleh nilai di bawah KKM yaitu sebesar 9% hasil belajar siswa belum memenuhi KKM, sedangkan 20 anak atau 91% hasil belajar siswa sudah memenuhi KKM. Siklus 2 Pertemuan 3 Pada pertemuan terakhir di siklus 3 ini siswa sudah sangat antusias dan aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Mereka menanti-nanti untuk mengikuti proses pembelajaran. Semua siswa berani untuk unjuk kerja di depan kelas untuk mengerjakan contoh soal yang diberikan oleh guru. Pada saat guru memberikan contoh soal semua siswa yang tidak maju ke depan menjawab soal tersebut meskipun tanpa berbantuan bahan manipulatif strip.
Gambar 10. Sikap siswa sudah aktif dan berani tampil di depan Saat beberapa siswa mengerjakan ke depan kelas siswa yang lain juga ikut mengerjakan contoh soal yang diberikan. Pada kegiatan kerja kelompok siswa sudah tidak tergantung lagi pada bahan manipulatif strip mereka langsung mengalikan penyebutnya jika penyebutnya tidak sama tanpa mencoba strip mana yang cocok. Semua siswa aktif dalam bekerja kelompok, mereka bertanggung jawab pada tugas masing-masing dan berlomba-lomba cepat menyeleseikan tugas kelompoknya dengan benar. Hasil dari kerja kelompok menunjukkan bahwa semua kelompok mendapatkan nilai yang sempurna. Pada waktu pembahasan dari tugas kelompok semua siswa sangat antusias dan tidak malu lagi untuk mengerjakan soal-soal tersebut di depan tanpa berbantuan bahan manipulatif strip. Hasil evaluasi akhir siklus 2 menunjukkan bahwa sebanyak 21 anak mendapatkan nilai di atas KKM yaitu sebesar 95,45% hasil belajar siswa sudah memenuhi KKM, sedangkan untuk 4,54% atau 1 anak tidak memenuhi KKM dikarenakan sakit tidak masuk sekolah. Pada akhir pembelajaran siswa mengungkapkan bahwa siswa merasa senang belajar matematika materi pecahan menggunakan bahan manipulatif strip. Mereka merasa mudah memahami konsep operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan berbantuan bahan manipulatif strip. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhsetyo (2014) yang meneliti kegunaan bahan manipulatif strip untuk membandingkan pecahan. SIMPULAN Pembelajaran penemuan berbantuan bahan manipulatif strip pada siswa kelas IV.B materi pecahan dengan jumlah siswa 22 anak dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang dilakukan dengan
85
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
langkah-langkah (1) guru menjelaskan materi operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan berbantuan bahan manipualatif strip dilanjutkan dengan perwakilan siswa mengerjakan contoh soal operasi penjumlahan dan pengurangan di depan menggunakan bahan manipulatif strip, (2) Siswa dibagi dalam 11 kelompok yang masing-masing kelompok beranggotakan 2 anak, (3) Siswa bekerja kelompok menyeleseikan tugas kelompok dengan berbantuan bahan manipulatif strip untuk mengerjakan operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan, (4) guru memberikan penguatan tentang konsep operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan, (5) guru memberikan tes evaluasi pada siswa. Pembelajaran berbantuan bahan manipulatif strip dapat meningkatkan hasil belajar siswa untuk operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Meningkatnya hasil belajar ini dapat dilihat dari hasil evaluasi siswa di siklus 1 s59,09% meningkat di siklus 2 95,45%. Pada evaluasi siklus 1 hasil belajar siswa antara 70-100 memenuhi KKM , hasil belajar siswa antara 30-60 tidak memenuhi KKM. Pada evaluasi siklus 2 hasil belajar siswa naik antara 80-100, hal ini menunjukkan ada peningkatan hasil belajar siswa untuk materi pecahan khususnya operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan dari pembelajaran siklus 1 meningkat pada pembelajaran siklus 2. Penggunaan media bahan manipulatif strip dapat membuat siswa lebih bersemangat dan aktif untuk mengikuti pembelajaran dari awal hingga akhir. Siswa lebih bertanggung jawab dan dapat bekerja sama dengan baik tidak hanya dengan teman sesama jenis. Selain itu dengan penggunaan media manipulatif strip siswa menjadi lebih berani untuk tampil di hadapan teman sekelasnya. DAFTAR RUJUKAN Denny, Welhelmus. 2015.Pembelajaran Bermakna pada Perkalian Pecahan Kelas V SD Loce Tahun Pelajaran 2014/2015. J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 1, Mei 2015 :81 – 86. Jauhari, Mohamad, 2015. Menemukan Pecahan Senilai dengan Pendekatan Saintifik melalui Metode Problem Based Learning. Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu:327-334. Lizawati. 2015. Penerapam Pembelajaran Seru Dengan Media Roti Tawar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Tentang Pecahan Pada Siswa Kelas VI SD Negeri 3 Singkawang Timur. JTEQIP, Tahun VI, Nomor 1, Mei 2015:48-59. Muhsetyo, Gatot. 2014. Membandingkan Pecahan Dengan Menggunakan Bahan Manipulatif Strip Dan Menggunakan BENCHMARK. J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014:1-8. Nenoliu, Ema Thabita. 2015. Penerapan Metode STAD (Student Teams Achievemen Division) pada Materi Penjumlahan Pecahan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDK LEOB. Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu:271-278. Subanji, Isnandar. 2010. Meningkatkan Profesinalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP, Tahun 1, Nomor 1, November 2010:1-11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
86
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
PROSES BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
Sri Rahayuningsih Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: berpikir kreatif didefinisikan sebagai aktivitas mental yang terjadi dalam pikiran seseorang dan menggunakannya dalam pemecahan masalah matematika yang memenuhi aspek lancar(fluent),fasih(flexible)dan baru (original). Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik proses berpikir kreatif siswa. Wawancara berbasis tugas digunakan untuk mengumpulkan data. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI SD negeri 149 Tokinjong Kab. Sinjai Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika yang mengikuti tahapan berpikir yang terdiri atas tahap mensintesis ide-ide, membangun suatu ide, kemudian merencanakan penerapan ide dan menerapkan ide tersebut menunjukkan ciri-ciri yang berbeda untuk tiap tingkat kemampuan dan menunjukkan perkembangan pola sesuai tingkatnya. Kata Kunci: berpikir kreatif, pemecahan masalah matematika
Kemampuan kreatif telah diakui sebagai sesuatu hal yang penting dalam pemecahan masalah sosial dan masalah global (Shen & Laib ,2014;Amber,2011). Dengan pengakuan tersebut, mengembangkan dan meningkatkan kreativitas telah muncul sebagai isu pendidikan utama di beberapa negara, termasuk Taiwan (Amber, 2011;Hwang dkk,2007), Afrika Selatan (Nakin, 2003), dan Cina (Qi Dan & Jinxing Xie, 2011). Dalam rangka mengembangkan kreativitas, peneliti telah berusaha untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kreatif, seperti jenis kelamin, status sosial ekonomi, etnis, dan prestasi akademik (Chamorro&Premuzic, 2006; Chamorro-Premuzic, T. 2006; Runco, 2004, Amber,2011). Dalam kurikulum di Australia, kreativitas memerankan peran penting dalam pendidikan (Burnard & White,2008). Sejak tahun 1990-an, Negara-negara termasuk Australia, singapura, Thailand, Amerika Srikat, dan Taiwan telah aktif mempromosikan ide kreativitas dan mengambil langkah-langkah untuk memulai program, dan meningkatkan kekuatan Nasional dan daya saing global (Shen, 2010). Runco (2004), Oldham & Cummings (1996), Goldenberg, Mazursky& Salomo (1999) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, memecahkan masalah secara efektif, mengatasi perubahan apapun yang terjadi, merebut peluang yang tersedia, unggul dalam teknologi, beradaptasi dengan perubahan, sukses dalam kehidupannya, unggul dalam bekerja, atau dapat merubah wajah dunia. Beberapa ahli mendefinisikan berpikir kreatif sama dengan kreativitas, namun tidak sedikit yang berpandangan bahwa berpikir kreatif berbeda dengan kreativitas. Perbedaan ini dapat dimengerti, karena berpikir kreatif memiliki bidang kajian yang luas dan kompleks. Keluasan pengertian kreativitas ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1999) yang menyatakan bahwa kreativitas yang dimiliki manusia, lahir bersamaan dengan lahirnya manusia itu. Sejak lahir manusia memperlihatkan kecenderungan mengaktualisasikan dirinya sehingga kreativitas adalah suatu kondisi, sikap, atau keadaan yang sangat khusus sifatnya dan hampir tidak mungkin dirumuskan secara tuntas.
87
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Siswono (2007) menjelaskan bahwa kreativitas merupakan suatu produk kemampuan berpikir (dalam hal ini berpikir kreatif) untuk menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru (original) dalam memandang suatu masalah atau situasi. Definisi ini memandang bahwa kreativitas adalah produk dari berpikir kreatif. Munandar (1999) menyatakan bahwa persamaan antara berpikir kreatif dan kreativitas adalah keduanya didefinisikan sebagai kemampuan mengolah data atau informasi yang tersedia untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa dalam ranah kognitif berpikir kreatif dan kreativitas mempunyai pengertian yang sama. Untuk memfokuskan kajian, maka dalam uraian selanjutnaya pengertian berpikir kreatif dipandang sama dengan kreativitas. Berpikir kreatif didefinisikan sebagai aktivitas mental yang terjadi dalam pikiran seseorang dan yang memenuhi aspek lancar(fluent),fasih(flexible)dan baru (original). Aktivitas mental yang dimaksud meliputi: memahami/menemukan masalah, kemudian merumuskannya, mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki dari pengalaman belajarnya, membangun gagasan yang mencakup: mensintesis pengetahuan yang telah dimiliki tentang masalah, memandang informasi dari sudut pandang yang berbeda, memprediksi dari informasi yang terbatas, merumuskan hipotesis berdasarkan fenomena yang diamati, serta menguji hipotesis. Dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mengetahui keberhasilan siswa maupun proses pembelajaran, guru perlu mengadakan penilaian (asessment), termasuk penilaian terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Penilaian tersebut berguna untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa, memonitor kemajuan siswa, memberikan nilai/peringkat (grade) siswa dan menentukan keefektifan pembelajaran (Popham, 1995). Untuk itu diperlukan suatu patokan atau kriteria tingkat berpikir kreatif yang valid. Siswono (2007) telah mengembangkan penjenjangan berpikir kreatif untuk penilaian dalam pembelajaran matematika yang terdiri atas 5 tingkat, yaitu tingkat 4 (sangat kreatif), tingkat 3 (kreatif), tingkat 2 (cukup kreatif), tingkat 1 (kurang kreatif), dan tingkat 0 (tidak kreatif). Tingkat tersebut didasarkan pada kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Ciri utama pada tingkat 4 adalah siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan orisionalitas (kebaruan) dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Pada tingkat 3 siswa mampu menunjukkan kebaruan dan kefasihan, atau fleksibilitas dan kefasihan, sedang pada tingkat 2 siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas, dan pada tingkat 1 siswa hanya mampu menunjukkan kefasihan saja. Pada tingkat terendah (tingkat 0) siswa tidak mampu menunjukkan ketiga indikator berpikir kreatif itu. Krulik & Rudnick (1999) menjelaskan indikator dalam tingkat berpikir kreatif yakni mensintesis ide-ide, membangun (generating) ide-ide, dan menerapkan ide-ide tersebut. Isaksen (2003) menguraikan proses kreatif yang dikenal dengan “Creative Problem Solving (CPS)” dalam tiga langkah utama yaitu memahami masalah, membangun ide dan merencanakan tindakan. Memahami masalah meliputi tahapan menemukan tujuan, menemukan data atau fakta-fakta dan menemukan masalah sebagai target pertanyaan. Membangkitkan ide mencakup penurunan pilihan-pilihan untuk menjawab masalah terbuka (open-ended)dalam tiga langkah utama yaitu memahami masalah, membangun ide dan merencanakan tindakan. Memahami masalah meliputi tahapan menemukan tujuan, menemukan data atau fakta-fakta dan menemukan masalah sebagai target pertanyaan. Membangkitkan ide mencakup penurunan pilihanpilihan untuk menjawab masalah terbuka (openended). Dalam tahap ini, individu memproduksi banyak pilihan berupa ide-ide (berpikir dengan lancar/fasih), memberi bermacam-macam pilihan yang mungkin (berpikir fleksibel), menghasilkan sesuatu yang baru atau tidak biasa (berpikir orisinal) dan memperhalus atau memeriksa secara detail pilihan itu (berpikir elaboratif/ terperinci). Langkah merencanakan tindakan meliputi tahap menemukan solusi dan menemukan dukungan (acceptance-finding). Dalam tahap ini, individu
88
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
menganalisis, memperhalus atau mengembangkan pilihan ide yang sesuai. Selanjutnya, menyiapkan suatu pilihan atau alternatif untuk meningkatkan dukungan dan nilainya. Berdasarkan observasi di SD Negeri 149 Tokinjong Kab. Sinjai Sulawesi selatan, peneliti menemukan hal yang menarik pada diri siswa, salah satunya adalah kemampuan berpikir kreatif yang beragam dalam memecahkan masalah matematika. Namun secara terperinci belum menelusuri proses berpikir siswa secara mendalam, sehingga tingkatan dari proses berpikir belum begitu terlihat. Dari permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Proses Berpikir Kreatif siswa dalam memecahkan Masalah matematika”. Masalah yang dijawab dalam penelitian ini adalah ”bagaimanakah karakteristik proses berpikir kreatif siswa untuk tiap tingkat kemampuan berpikir kreatif?”. Dalam penelitian ini, berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun suatu ide atau gagasan yang “baru” secara fasih dan fleksibel. Ide dalam pengertian di sini adalah ide dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat atau sesuai permintaannya. Proses berpikir kreatif adalah langkah-langkah berpikir kreatif yang meliputi mensintesis ide-ide, membangun suatu ide, kemudian merencanakan penerapan ide dan menerapkan ide tersebut untuk menghasilkan sesuatu (produk) yang “baru”. Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Masalah matematika adalah soal matematika tidak rutin yakni masalah open ended (masalah tidak lengkap). METODE PENELITIAN Penelitian ini berusaha menggali proses berpikir kreatif siswa SD dalam pemecahan masalah matematika . Proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah matematika dapat dilihat dari perilaku siswa dalam menyelesaikan tugas pemecahan masalah matematika yang mencerminkan aktivitas mentalnya. Perilaku siswa akan ditelusuri dari hasil pekerjaan tertulis, dan wawancara mendalam. Menurut Freankel (2011), penelitian semacam ini tergolong penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Analisis tugas tertulis untuk butir pemecahan masalah berdasarkan kebenaran penyelesaian yang dilakukan siswa dengan dipandu petunjuk penyelesaian dan kuncinya. Hasil tugas tersebut dianalisis dengan memperhatikan kebaruan, fleksibilitas dan kefasihanya. Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah (1) reduksi data, (2) pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, (3) menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan tersebut. Untuk menjaga kredibilitas data dilakukan observasi lebih tekun (persistent observation) dan peneliti berada pada sekolah dan mengamati kegiatan subjek dalam waktu yang “cukup” di sekolah. Selain itu dengan melakukan diskusi dengan sesama peneliti yang sejenis dan melakukan triangulasi untuk menvalidasi data, yaitu dengan triangulasi sumber dan metode. HASIL PENELITIAN Proses Berpikir Kreatif untuk Tiap Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif (TKBK) Proses berpikir kreatif dalam penelitian ini mengikuti tahapan berpikir yang terdiri atas tahap mensintesis ide-ide, membangun suatu ide, kemudian merencanakan dan menerapkan ide tersebut. Dalam proses ini subjek berusaha untuk menghasilkan sesuatu (produk) yang “baru” secara fasih dan fleksibel.
89
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Tabel 1 menunjukkan hasil identifikasi proses berpikir kreatif siswa untuk tiap tingkat kemampuan berpikir kreatif (TKBK).
Tabel 1: Rangkuman tahap berpikir kreatif siswa tiap tingkat.
TBK
tahap
4
3
2
Mensintesis ide Ide berdasar pemahaman konsep luas bangun datar dan macam-macam bangun datar yang diketahui. Pernah melakukan kesalahan, karena kekurang hatihatian dan ketelitiannya. Sumber ide berdasar pengalaman belajar di kelas (termasuk pelajaran lain) dan pengalaman di lingkungannya sehari-hari.
Ide berdasar pemahaman konsep sebagai ukuran, gambar, dan macammacam bangun datar yang diketahui. Pernah melakukan kesalahan, karena kekurang hatihatian dan ketelitiannya. Sumber ide berdasar pengalaman belajar di kelas (termasuk pelajaran lain) dan pengalaman di lingkungannya sehari-hari. Ide berdasar definisi dan konsep luas bangun datar , bilangan-bilangan sebagai ukuran-ukurannya
Membangun Ide Memahami konsep luas dan pencerminan
Merencanakan Penerapan Produktif dan lancar memunculkan idenya. Mengalami kesulitan tetapi dapat mengatasinya.
Memahami konsep luas dan pencerminan Pertimbangan bersifat konseptual dan intuitif (perasaan)..
Kurang produktif dalam memunculkan idenya. Karena merasa belum pernah diajarkan a kesulitan memahami konsep luas dan pencerminan
Memahami konsep luas dan pencerminan Pertimbangan bersifat
Kurang produktif dalam memunculkan idenya. Karena
90
Menerapkan ide Pernah melakukan kesalahan, tetapi dapat menjawab soal yang bebeda (”baru“), dengan fasih dan fleksibel. Siswa cenderung yakin dan tertantang mengerjakan tugas yang diberikan, serta cepat dan segera memperbaiki jawabnnya dengan tepat. Tidak banyak melakukan kesalahan. Terdapat kesalahan pada mencari cara yang berbeda dari sebelumnya. Siswa cenderung kurang yakin tetapi dapat memperbaiki jawaban dengan cukup cepat dan tepat. Melakukan kesalahan dalam menjawab soal
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
1
0
dan gambarnya Menghasilkan jawaban yang kadang salah. Sudah ada siswa yang memperhatikan konteks soal yang dibuat. Sumber ide dari pengalaman belajar di kelas. Ide berdasar konsep bangun datar, bilangan-bilangan sebagai ukuran-ukuran, dan gambarnya yang diketahui. Menghasilkan jawaban kadang salah. Sumber ide dari pengalaman belajar di kelas.
konseptual dan intuitif (perasaan)..
kesulitan mencari cara lain dalam memecahkan soal.
yang divergen. Siswa cenderung kurang yakin dan tidak dengan cepat dan tepat memperbaiki jawaban
Mencari Cara yang mudah. Pertimbangan nya bersifat konseptual dan intuitif (perasaan).
Tidak produktif dalam memunculkan idenya. Karena kesulitan mencari cara lain dalam memecahkan soal.
Ide berdasar konsep bangun datar datar dan konsep pencerminan. Menghasilkan jawaban benar yang mudah atau melakukan kesalahan karena kemampuan kurang. Sumber ide dari pengalaman belajar di kelas, tetapi terbatas yang mudah diingat.
Mencari rumus dan bilangan yang mudah. Cenderung mudah secara praktis dan kurang secara konseptual.
Tidak lancar dan tidak produktif dalam memunculkan idenya. Karena kesulitan memahami konsep luas pada bangun datar.
Melakukan kesalahan dalam menjawab soal yang divergen. Siswa cenderung kurang yakin dan tidak dengan cepat dan tepat memperbaiki jawaban. Hasil jawaban atau soal yang dibuat sering salah atau benar tetapi terlalu sedeerhana.. Siswa cenderung kurang yakin terhadap hasil yang dibuat dan tidak cepat dan tepat memperbaiki jawaban.
Hasil penelitian awal menunjukkan ciri-ciri yang berbeda untuk setiap tingkatan berpikir kreatif. Untuk level 4 berbeda dengan tingkatan yang berada di bawahnya. Berikut contoh kutipan wawancara untuk tiap tingakatan. Petikan wawancara untuk TBK 4 Guru : bangun apa saja yang kamu buat? Siswa 1: persegi, trapezium, persegi panjang Guru : apa alasan kamu mengatakan bangun tersebut luasnya sama? Siswa 1: karena jumlah titik-titiknya sama Guru : coba perhatikan bangun ke tiga yang kamu buat,ada berapa titik yang terlibat? Siswa 1: hmmmm ada 8 Guru : berarti bangun ke tiga salah yah?
91
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Siswa 1: bukan titik,…tetapi banyaknya persegi kecil jumlahnya sama Guru : coba tunjukkan persegi yang kamu maksud Siswa 1 : (menggambarkan persegi dengan menghubungkan titik-titik yang ada)
Kesimpulan hasil analisis wawancara untuk siswa pertama yakni tahap mensintesis ide Ide berdasar pemahaman konsep luas bangun datar dan macam-macam bangun datar yang diketahui. Pernah melakukan kesalahan, karena kekurang hati-hatian dan ketelitiannya. Sumber ide berdasar pengalaman belajar di kelas (termasuk pelajaran lain) dan pengalaman di lingkungannya sehari-hari. Tahap membangun ide, Memahami konsep luas dan pencerminan ini terlihat siswa mampu menentukan luas dari bangun yang diketahui melalui konsep luas bangun datar dan siswa mampu membuat lebih dari satu segi empat yang berbeda ( bukan hasil pencerminan atau perputaran segi empat). Tahap merencanakan penerapan, produktif dan lancar memunculkan idenya, mengalami kesulitan tetapi dapat mengatasinya. Tahap menerapkan ide, pernah melakukan kesalahan, tetapi dapat menjawab soal yang bebeda (”baru“), dengan fasih dan fleksibel. Siswa cenderung yakin dan tertantang mengerjakan tugas yang diberikan, serta cepat dan segera memperbaiki jawabnnya dengan tepat. Subjek ke lima adalah tingkatan yang terakhir (0), deskripsi untuk setiap tahapan berpikir kreatif dapat terlihat dari hasil kutipan wawancara di bawah ini:
92
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Guru : apa yang kamu ketahui dalam soal? Siswa : mencari bangun segi empat yang luasnya sama Guru : apa yang pertama akan kamu lakukan? Siswa : mencari rumus luas setiap bangun yang saya buat Guru : bangun apa saja yang kamu buat Siswa 2: persegi dan jajar genjang Guru ; coba perhatikan ketiga bangun yang sudah kamu buat,apakah semuanya sudah termasuk bangun datar bersisi empat? Siswa : iyah bu Guru : apakah ketiga bangun yang kamu gambarkan luasnya sama? Siswa 2: iyah Siswa 2: (sedikit tersipu) saya lupa rumusnya bu Guru : (menunjuk) apa makna dari gambar yang kamu buat ini? Siswa : itu pencerminan segitiga bu Guru : nah kalau gambar jajar genjang yang kamu gambar di cerminkan seperti ini ( menggambar) maka hasil gambara pencerminannya seperti apa? Siswa : ( menggambar dengan benar) Kesimpulan dari hasil analisis wawancara untuk subjek ke lima setiap tahap kemampuan berpikir kreatif yakni : Tahap mensintetis ide, ide berdasar konsep bangun datar datar dan konsep pencerminan. Menghasilkan jawaban benar yang mudah atau melakukan kesalahan karena kemampuan kurang. Sumber ide dari pengalaman belajar di kelas, tetapi terbatas yang mudah diingat. Tahap membangun ide, Mencari rumus dan bilangan yang mudah. Cenderung mudah secara praktis dan kurang secara konseptual. Tahap merencanakan penerapan tidak lancar dan tidak produktif dalam memunculkan idenya. Karena kesulitan memahami konsep luas pada bangun datar. Tahap menerapkan ide, Hasil jawaban atau soal yang dibuat sering salah atau benar tetapi terlalu sederhana. Siswa cenderung kurang yakin terhadap hasil yang dibuat dan tidak cepat dan tepat memperbaiki jawaban. PEMBAHASAN siswa pada TKBK 0 sampai TKBK 4 memiliki kekomplekskan yang semakin tinggi dalam menyatukan idenya. Ide-ide tersebut bersumber dari pengalaman belajar di kelas yang sekedar diingatnya, dipikirkan secara mendalam, atau berdasar pengalaman sehari-harinya. Siswa 1 dan siswa 2, dua siswa pada TKBK 0 menjelaskan bahwa idenya membuat bangun datar hanya dari yang
93
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
diketahui yang sering diajarkan di kelas. Mereka tidak memikrkan lagi yang lain, bahkan siswa 1 hanya melihat gambar pada soal (masalah) kemudian hanya memindahkan saja menjadi jawaban. Sebaliknya, siswa-siswa pada TKBK yang makin tinggi mulai berpikir yang lebih mendalam, meskipun berdasar pengalaman di kelas seperti jajargenjang, trapesium, layang-layang, belah ketupat,dan siswa sudah mampu memahami dengan baik konsep luas dan pencerminan pada bangun datar itu sendiri. Siswa pada TKBK 4 menggunakan imajinasinya dalam memunculkan idenya. Ketika di Tanya mengapa menjawab jawaban seperti itu, siswa menjawab bahwa bangun yang di buatnya adalah bangun datar persegi empat yang memiliki luas sama dan bukan merupakan hasil pencerminan dari bangun yang lain, untuk memastikan apakah siswa memahami konsep luas, ini bisa dilihat dari hasil wawancara bahwa luas yang siswa maksud adalah banyaknya jumlah persegi kecil yang sama besar menutupi permukaan bangun tersebut. Siswa juga mengaku menemukan pemahaman konsep luas dari kebiasaan sehari-hari mereka yakni siswa membandingakn luas kamar nya dengan luas kamar kakaknya yang di asumsikan oleh orang tua mereka yang memiliki luas yang sama, siswa kemudian yakin karna jumlah ubin yang terdapat di kamar mereka berdua sama. Ruggiero (1998) menjelaskan bahwa berpikir efektif sebagian yang terbesar adalah suatu kebiasaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa penelitian-penelitian membuktikan bahwa kualitas pikiran membawa kemampuan berpikir yang baik dan kualitas tersebut dapat dicapai setiap orang. Pada kenyataan di penelitian ini belum terlihat siswa pada semua TKBK yang berpikir sebagai suatu kebiasaan. Hal ini juga didukung kenyataan bahwa semua siswa memang belum pernah secara sengaja diajarkan menyelesaikan tugas yang menuntut jawaban atau cara penyelesaian yang divergen. Kebiasaan siswa hanya diberikan soal yang konvergen. Pada tahap membangun ide, semua hanya mencari yang mudah, meskipun ”mudah” bagi siswa TKBK 4 bisa berarti yang sulit bagi siswa pada TKBK 0. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika yang mengikuti tahapan berpikir yang terdiri atas tahap mensintesis ide-ide, membangun suatu ide, kemudian merencanakan penerapan ide dan menerapkan ide tersebut menunjukkan ciri-ciri yang berbeda untuk tiap tingkat kemampuan dan menunjukkan perkembangan pola sesuai tingkatnya. Pada tahap mensintesis ide untuk siswa pada tingkat 4 sampai 0 menunjukkan bahwa idenya makin kompleks, konteks luas, mengaitkan dengan benda-benda sekitar, dan sumber ide makin melibatkan pengalaman belajar matematika dan pengalaman sehari-hari. Pada tahap membangun ide semua siswa mencari yang mudah. Tingkat rendah mudah secara praktis, sedang tingkat yang lebih tinggi mudah secara konseptual. Pada tahap merencanakan penerapan siswa pada tingkat 0 tidak lancar dan tidak produktif. Tingkat 1 cukup lancar, tingkat 2 dan 3 kurang produktif, sedang tingkat 4 sudah produktif. Pada tahap penerapan ternyata semua siswa pernah melakukan kesalahan. Tingkat, 1, 2 kurang yakin dan tidak cepat dan tepat memperbaiki. Tingkat 3 kurang yakin tetapi cukup cepat dan tepat, sedang tingkat 4 yakin, cepat dan tepat. SARAN Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut disarankan bahwa dalam penerapan pembelajaran matematika yang melibatkan pemecahan masalah untuk mendorong berpikir kreatif perlu diperhatikan ciri-ciri proses berpikir kreatif tersebut terutama siswa pada tingkat berpikir kreatif yang sedang atau rendah.
94
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
DAFTAR PUSTAKA Amber.2011. Contexts of Creative Thinking: A Comparison on Creative Performance of Student Teachers in Taiwan and the United States.Journal of Internasional and cross-cultural studies (ISSN 1948-5786) Burnard, P. & White, J. (2008). Creativity and performativity: counterpoints in British and Australian Education. British Educational Research Journal, 34(5), 667–682. Chamorro-Premuzic, T. (2006). Creativity versus conscientiousness: Which is a better predictor of student performance? Applied Cognitive Psychology, 20, 521-531. Davies, M. 2011. Introduction to the special issues on critical thinking in higher education. Higher Education Research & Development , 255-260. Fraenkel, Jack R. (2011) ,How to Design and Evaluate Research in Education, San Francisco State University Goldenberg, J., Mazursky, D., & Solomon, S. 1999. Creative Sparks. Science, 285(5433): 1495-1496. http://www.sciencemag.org/content/285/5433 /1495.full. diaksespada April 2016. Hwang dkk.2007. Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, 10 (2), 191-212. Isaksen, Scott G. 2003. CPS: Linking Creativity and Problem Solving, (online) (http://www.cpsb.com, diakses April 2016) Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Califorenia: Corwin Press, Inc. Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. 1999. Innovative Tasks To Improve Critical and Creative Thinking Skills. Dalam Stiff, Lee V. Curcio, Frances R. (eds). Developing Mathematical reasoning in Grades K-12. 1999 Year book. (hlm..138-145). Reston: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. Ku, K. Y. 2009. Assessing students' critical thinking performance: Urging for measurements using multi-response format. ELSEVIER , 70-76. Larson, Gary. 1991. Leraning and Instruction in Pre-College Physical Science. Physics Today. Special Issue. Pre-College Education Launch Pad.2001. Launch Pad. 2001 Thinking Skill Westminster Institute of Education. Oxford:Brookes University Moleong, L. A. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nakin. 2003. Creativity and divergent thinking in Geometry education. University Of South Africa Novak, J. D. 1979. Meaningful Reception Learning as a Basis for Rational Thinking. (Dalam Lawson, A. E. (Ed.).The Psychology of Teaching for Thinking and Creativity (pp. 192-225). Columbus: Ohio State University, ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education. Oldham, G. R. & Cummings, A. 1996. Employee Creativity: Personal and Contextual Factorsat Work. The Academy of ManagementJournal, 39(3): 607-634. Tersedia dalam: http://www.d.umn.edu/~rdtaylor/p5.pdf Popham.1995. Popham, W. James. 1995. Classroom Assesment. What Teachers Need to Know. Needham Heights: Allyn & Bacon Qi Dan & Jinxing Xie. 2011. Mathematical Modelling Skills and Creative Thinking Levels: An Experimental Study. Runco, M.A. (2004). Creativity. Annual Review of Psychology, 55, 657-687. Shen & Laib . 2014. Formation of Creative Thinking by Analogical Performance in Creative Works. The European Journal of Social & Behavioural Sciences (eISSN: 2301-2218). Shen, T. L. (2010).Creative Principle and Design. Taipei: Wu-Nan Publisher.
95
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Simonton, D. K. 2003. Scientific Creativity as Constrained Stochastic Behavior: The Integration of Product, Person, and Process Perspectives. Psychological Bulletin, 129: 475–494. Siswono, Tatag Y. E. 2007. Level of Student’s Creative Thinking in Mathematics Classroom. Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ”Inovasi Penelitian Matematika dan Pembelajarannya di Era Persaingan Global”, Universitas Negeri Surabaya, 8-9 Juni. TIMSS, T. 2011. Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan. Retrieved Oktober 18, 2011, from Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Web site: http://litbang.kemdiknas.go.id
96
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
PENGGUNAAN GESTURE REPRESENTASIONAL UNTUK MENGIDENTIFIKASI KESALAHAN DALAM PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN Surya Sari Faradiba1; Subanji2 1 Universitas Islam Malang; 2Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh siswa prasekolah dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan sederhana melalui pengamatan dan kajian mendalam dari gesture representasional. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan usia prasekolah (5 tahun). Pemilihan subjek ini dilakukan dengan mempertimbangkan kedekatan peneliti dengan subjek, sehingga memungkinkan untuk melakukan pengamatan dan eksplorasi lebih lanjut terhadap gesture representasional yang dihasilkan oleh subjek. Penelitian dilakukan dengan mengamati gesture representasional yang dihasilkan oleh subjek selama mengerjakan 8 lembar kerja tentang operasi penjumlahan dan pengurangan yang telah disediakan. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Proses berhitung dengan jari adalah keterampilan pengantar yang bertujuan agar anak memiliki pemahaman visual mengenai fakta penjumlahan dan pengurangan. Dalam hal ini, berhitung dengan jari bukan metode akhir yang akan digunakan dalam setiap proses perhitungan, dan (2) Proses berhitung dengan jari menyebabkan anak enggan memahami fakta matematika dan lebih lanjut proses berhitung dengan jari memperlambat proses perkembangan kemampuan berhitung secara keseluruhan. Kata Kunci: Gesture Representasional, Penjumlahan, Peengurangan, Matematika Prasekolah
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa melakukan aktivitas di dunia nyata dapat mempengaruhi representasi internal seseorang (James, 2010; Kontra, Goldin-Meadow, & Beilock, 2012; Sommerville & Woodward, 2010). Salah satu hal penting dari pembelajaran berbasis aktivitas adalah adanya interaksi antara siswa dengan benda secara fisik, sehingga memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi secara maksimal untuk mendukung pengembangan konsep-konsep. Misalnya untuk menjumlahkan suatu bilangan siswa hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan operasi penjumlahan dengan menggunakan benda-benda nyata di sekelilingnya yang memiliki karakteristik yang sama dengan bilangan yang sesungguhnya. Menurut Bruner (1966) dan Piaget (1953), anak-anak seringkali mampu memecahkan masalah dengan benda-benda fisik sebelum mereka berhasil melakukannya dengan representasi simbolik. Namun, perlu diingat juga bahwa ada kemungkinan anak mengalami kegagalan fokus, dimana benda-benda fisik tersebut menjadi pusat perhatian (Mix 2010). Anak bisa menjadi sibuk dengan hal-hal yang tidak relevan dengan simbol-simbol perseptual. Bahkan, anak menganggap tindakan mereka hanya relevan untuk objek yang mereka amati, dan tidak berlaku untuk benda lain, Jika benda-benda fisik ini lebih menarik perhatian anak, maka anak akan mengingat prosedur tanpa dilandasi konsep, akibatnya anak tidak dapat menggeneralisasi apa yang telah ia pelajari untuk konteks baru. Menurut Butterworth, Varma, dan Laurillard (2011), pada tahap awal perkembangan, anak belajar prinsip-prinsip dasar angka dan aritmatika dengan bantuan representasi berbasis jari sebagai representasi kuantitas numerik. Memang, pada awalnya representasi berbasis jari tersebut memiliki
97
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
pengaruh yang positif terhadap manipulasi bilangan. Namun, apakah ketergantungan pada representasi berbasis jari tetap menguntungkan atau malah merugikan untuk proses perkembangan anak berikutnya perlu diteliti lebih lanjut. Sementara itu, Badets dan Pesenti (2011) menunjukkan bahwa gerakan jari tidak otomatis dapat diasosiakan dengan banyaknya sesuatu . Meskipun dari perspektif neurokognitif , berhitung dengan jari memberikan masukan yang melibatkan banyak indra yang menyampaikan informasi berupa aspek kardinal dan ordinal. Dalam hal ini, jumlah jari dan pengaturannya pada kedua tangan memainkan peranan penting dalam representasi proses penjumlahan dan pengurangan . Menurut Lindemann et al (2011), representasi berbasis jari berpengaruh pada representasi spasial. Dalam penelitian ini, anak cenderung menggunakan tangan kiri untuk memulai berhitung. Angka 1 diasosiasikan dengan kelingking, angka 2 diasosiasikan dengan jari manis, dan seterusnya sampai angka 10 yang diasosiasikan dengan kelingking tangan kanan. Sementara itu, Domahs et al (2010) menemukan bahwa sistem perhitungan dengan jari merupakan sistem berbasis 5. Sehingga untuk merepresentasikan 7, anak cenderung menggunakan kode 5 + 2. Dalam hal ini, tangan kiri menunjukkan angka 5 dan tangan kanan menunjukkan angka 2, begitu pula sebaliknya. Jarang sekali ditemukan anak yang merepresentasikan 7 sebagai 3 + 4. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa ada hubungan fungsional antara tata ruang serta sistem berhitung dengan jari dengan kompetensi numerik/aritmatika. Berhitung adalah kompetensi dasar. Namun, penggunaan jari terus-menerus dalam berhitung dapat menyebabkan masalah dengan tugas-tugas komputasi selanjutnya. Akibatnya, anak mengalami kesulitan menghasilkan strategi komputasi dari penghitungan jari. Dalam jangka panjang, anak yang hanya menggunakan jari untuk menghitung cenderung mendapatkan jawaban benar yang lebih sedikit daripada mereka yang juga menggunakan strategi komputasi lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian dalam pendidikan matematika yang mengasumsikan bahwa anak-anak mulai melakukan perhitungan dengan menggunakan jari-jari mereka (Schipper, 2005) . Dalam hal ini, masalah timbul ketika elemen pertama dalam berhitung adalah penghitungan jari. Hal ini dapat menghalangi siswa untuk memahami elemen-elemen yang lain, seperti operasi dan strategi komputasi. Penelitian pendidikan matematika merekomendasikan untuk menumbuhkan representasi numerik pada anak sehingga mendorong anak-anak untuk meninggalkan berhitung jari pada awal masuk sekolah dasar. Pada fase ini, bilangan seharusnya tidak lagi direpresentasikan sebagai urutan unit tunggal (misalnya, jari ) tetapi sebagai didekomposisi menjadi entitas yang lebih besar. Bahkan, kegagalan untuk meninggalkan representasi berbasis jari dipandang sebagai salah satu alasan yang mungkin untuk kesalahan komputasi anak-anak di kelas dua. Kegagalan transisi untuk meninggalkan berhitung dengan jari menjadi salah satu faktor penyebab diskalkulia (Krauthausen dan Scherer, 2001; Padberg dan Benz, 2011). Penggunaan jari untuk berhitung merupakan salah satu bentuk gesture representasi. Gesture adalah bentuk perilaku non verbal pada gerakan tangan, bahu, dan jari-jari. Gesture juga merupakan kombinasi dari bentuk tangan, orientasi dan gerakan tangan, lengan atau tubuh dan ekspresi wajah untuk menyampaikan pesan dari seseorang. Menurut Novack dan Meadow (2015), gesture adalah suatu bentuk komunikasi non verbal dengan aksi tubuh yang terlihat dalam mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai pengganti kata atau bersamaan dengan kata. Ada dua elemen dalam berkomunikasi yang sangat penting yaitu lisan (komunikasi verbal) dan gesture (komunikasi non verbal). Gesture tidak akan ada artinya tanpa bahasa lisan, dan sebaliknya lisan tidak berarti tanpa gesture yang menyertainya, sehingga keduanya sebagai sistem gabungan, bukan sebagai dua hal yang terpisah. Menurut Alibali & Nathan (2011), ada tiga jenis gesture, yakni: pointing gesture (menunjuk), representasional gesture (representasi), dan writing gesture (menulis). Pointing gesture ditandai dengan menggunakan jari-jari tangan dan kadang-kadang alat tulis untuk menunjukkan sebuah benda
98
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
secara fisik, tempat atau ruang. Secara khusus melihat gerakan menunjuk dibuat mengacu pada artefak dan representasi visual yang berkaitan dengan tugas-tugas (misal, lembar kerja, papan tulis, bahan manipulatif). Sedangkan representasional gesture (representasi) adalah tindakan atau gerakan yang menggambarkan ide-ide konkret dan abstrak, entitas, atau peristiwa yang disampaikan dalam kata-kata. Dengan kata lain, gerakan representasi adalah gerakan yang mewakili isi pembicaraan, baik dengan menunjuk ke sebuah rujukan dalam lingkungan fisik (deintic), dengan meniru rujukan dengan gerakan atau bentuk tangan (iconic), atau dengan membuat rujukan ide nyata menuju abstrak (metafora). Menurut Robt dalam Shein (2012), beberapa gerakan representasional mungkin tampak seperti menunjuk, dan mereka melakukannya untuk memberi makna obyek yang ditunjuk. Sementara itu, Writing gesture (menulis) terjadi ketika tindakan isyarat meninggalkan bekas permanen pada media baru (misalnya, lembar kerja, papan tulis, atau represensi visual). Menurut Shein (2012), writing gesture berfokus pada setiap tulisan atau gambar yang terjadi bersama dengan percakapan. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Strategi kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Creswell (2012) mengatakan bahwa studi kasus merupakan suatu strategi penelitian. Dalam hal ini, peneliti menyelidiki secara cermat aktivitas penyelesaian soal-soal penjumlahan dan pengurangan yang dilakukan oleh subjek. Peneliti pada awalnya memberikan lembar tugas kepada subjek penlitian untuk mengetahui posisi siswa apakah sudah berada pada tahap berpikir aljabaris apa belum. Dalam mengerjakan lembar tugas ini siswa juga diminta untuk mengungkapkan secara lisan (metode think alouds) sebisa mungkin apa yang dipikirkannya ketika mengerjakan masalah itu. Data yang diperoleh dideskripsikan/dipaparkan berdasarkan keadaan yang sebenarnya untuk memperoleh gambaran secara alami mengenai transisi berpikir yang terjadi pada subjek penelitian. Subjek penelitian adalah seorang anak perempuan usia 5 tahun. Subjek dipilih berdasarkan kedekatan subjek dengan peneliti, sehingga memudahkan peneliti dalam mengamati gesture dan data-data lain yang mendukung. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan instrumen lembar tugas dan pedoman wawancara. Penelitian ini tidak melakukan uji pendahuluan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa dalam belajar matematika dan kemampuan guru dalam mengajarkan matematika, melainkan hanya melakukan observasi untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika. Hasil observasi digunakan sebagai pertimbangan peneliti untuk menetapkan subjek penelitian dan merancang desain penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar 1 menunjukkan gesture subjek yang merepresentasikan 10 pita – 1 pita. Pada awalnya kedua telapak tangan terbuka secara spontan (tanpa dihitung) sebagai representasi bilangan 10. Berikutnya jari kelingking tangan kanan ditekuk, sebagai representasi “dikurangi 1”, Pada akhirnya subjek mencacah untuk mengetahui jumlah jari yang tidak ditekuk, dimulai dari jari manis tangan kanan berurutan sampai jari kelingking tangan kiri. Pada soal ini subjek mampu menuliskan jawaban dengan benar. Dalam hal ini subjek termasuk dominan tangan kanan. Dalam proses berhitung, subjek selalu memulai dengan tangan kanan. Pada soal ini, Nampak bahwa subjek sebenarnya telah memiliki kemampuan subitizing, ia merepresentasikan bilangan 10 secara spontan membuka kedua tangannya. Kemampuan subitizing ini, tidak dipupuk dengan baik, bahkan cenderung tidak nampak, ketika subjek melanjutkan ke prosdur berhitung dengan jari berikutnya yaitu mecacah 1 sampai 9.
99
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 1. Gesture 10-1
Soal berikutnya adalah penjumlahan dengan kombinasi soal berupa bilangan dan gambar. Pada soal ini, subjek memberikan gesture dengan dua jari yang lurus sebagai representasi dari bilangan 2 dan meletakkannya berdekatan dengan bilangan 2 yang terletak pada lembar kerja. Secara bersamaan, subjek juga menggunakan tangan kanannya untuk merepresentasikan bilangan 3.
Gambar 2. Gesture 2+ 3
Hal unik yang peneliti temui pada gesture ini adalah representasi bilangan 3 menggunakan jari tangan pada subjek menggunakan jari tengah, jari manis, dan jari kelingking, padahal pada umumnya menggunakan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Sama dengan kasus pada soal sebelumnya, pada soal ini nampak bahwa subjek dominan tangan kanan. Selain itu, subjek mendekatkan tangan kirinya pada simbol 2 dan tangan kanannya pada simbol 3 menunjukkan bahwa subjek masih terfokus pada prosedur. Setelah dua tangan merepresentasikan bilangan 2 dan bilangan 3 maka subjek mulai mencacah dimulai dari jari kelingking tangan kanan berurutan hingga jari tengah tangan kiri. Pada soal ini subjek menjawab dengan benar. Selanjutnya, pada soal pengurangan dengan menggunakan media gambar telur, subjek tidak mampu menjawab dengsan benar.
100
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 3. Pengurangan menggunakan gambar
Berikut adalah percakapan antara guru dan subjek saat mengerjakan soal pada gambar 3. G: Coba kamu perhatikan ada berapa banyak telurnya (sambil menunjukkan gambar telur yang dimaksud) S: ada 3 semuanya G: coba kamu perhatikan lagi telur yang disini (sambil menunjukkan telur di sebelum tanda “kurang/minus” ), ada berapa banyak? S: Dua, tapi telurnya ga sama. G1: Kenapa tidak sama? S: Gambarnya berbeda, yang satu gambar matahari dan satu lagi gambar bintang di langit, kenapa bintang bisa di telur? G: Itu telurnya dihiasi dengan gambar bintang, jadi bukan bintang yang sesungguhnya di langit itu. Coba kamu perhatikan telur bergambar matahari, ada berapa banyak? S: Satu G: Jadi, yang sebelum tanda kurang ada 2 telur, dan sesudahnya tanda kurang ada 1 telur. S: tapi gambarnya ga sama G: memangnya kenapa kalau tidak sama? S: Ga tau G: Jadi ini jawabannya berapa? S: 2 dibuang 1 (sambil tangan kiri menunjuukkan bilangan 2 dan tangan kanan menujukkan bilangan 1) jadi 2 bu guru (sambil menekuk jari telunjukkan pada tangan kanan) G: coba lihat telurnya lagi (sambil menutup tanda kurang dan gambar telur matahari) Perhatikan ya,bu guru punya 2 telur saja gambar bintang dan gambar bola, kamu suka yang mana? S: gambar bintang G: oke, jadi telur yang bintang buat kamu ya… S: Asyiiikk G: Jadi telur bu guru tinggal berapa sekarang S: (terdiam)
101
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
G: bu guru punya telur gambar apa? S: bola G: ada berapa? S: satu
Dari percakapan antara guru dan subjek dapat dilihat bahwa proses berhitung dengan jari menyebabkan anak enggan memahami fakta matematika. Soal bergambar, nampaknya jauh lebih baik untuk mengeksplorasi kemampuan berhitung anak pada usia prasekolah. Namun perlu diperhatikan juga jangan sampai perhatian siswa lebih fokus pada gambar yang ada pada soal. Selanjutnya, S diberi soal penjumlahan yang hasilnya lebih dari 10, yaitu 6 + 5 = … Peneliti menemukan hal yang unik, yaitu S menggunakan jari kaki juga selain jari pada tangannya untuk mencacah. Dalam hal ini, S merepresntasikan bilangan 6 dengan kedua tangannya, sedangkan bilangan 5 direpresentasikan melalui kelima jari kakinya. Berikutnya, S mulai mencacah dimulai dari jari-jari tangannya secara berurutan dan dilanjutkan dengan jari kaki. Pada kasus ini jawaban S bernilai benar.
Gambar 4. Gesture 6 + 5
Penggunaan jari kaki secara spontan yang dilakukan oleh subjek mengindikasikan bahwa subjek mengikuti prosedur perhitungan dengan jari, dimana 1 jari hanya mewakili 1 obyek. Sementara itu, subjek nampak mengalami kesulitan juga untuk pengurangan yang melibatkan bilangan kurang dari 5. Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan subjek dalam operasi pengurangan bukan disebabkan oleh besarnya bilangan, melainkan karena subjek terpaku pada prosedur perhitungan menggunakan jari. Pada Gambar 5, nampak subjek merepresentasikan 3 – 1 = … Gesture yang dihasilkan oleh subjek dalam menjawab soal ini menyerupai gesture pada operasi penjumlahan yang memang lebih dulu diajarkan. Padahal secara konsep penjumalahan dan pengurangan jelas berbeda.
102
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 5. Gesture 3-1
Untuk merepresentasikan bilangan 3, subjek menggunakan tangan kirinya dengan meluruskan 3 jari yaitu kelingking, jari manis, dan jari tengah. Sedangkan bilangan satu direpresentasikan dengan jari telunjuk tangan kanan. S memaknai operasi pengurangan dengan “menekuk jari”. Banyaknya jari yang ditekuk sama dengan bilangan bilangan setelah tanda “ kurang (-) “. Sehingga untuk 3 – 1 = 3. Peneliti menemukan bahwa apa yang dilakukan subjek benar secara prosedural, karena sesuai dengan instruksi langkah-langkah operasi pengurangan yang diajarkan oleh guru sebelumnya. Pengetahuan ini menjadi rancu dengan prosedur penjumlahan, semakin memperburuk konsep penjumlahan dan pengurangan pada S. Pada usia pra sekolah hendaknya proses mencacah menggunakan benda-benda nyata, yang lebih fleksibel. Sehingga siswa tidak kesulitan untuk menggembangkan pengetahuannya dikemudian hari. Karena jari manusia yang terbatas 10, sedangkan bilangan itu tidak terbatas.
Gambar 6. Gesture 7 - 1
103
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Berikutnya, untuk soal tentang banyaknya balon, dalam hal ini 7 – 1 = … subjek merepresentasikan bilangan 7 dengan kedua tanggannya. Selanjutnya ia merepresentasikan bilangan 1, dengan menekuk 1 jarinya, yaitu jari kelingking tangan kanan. Terkahir, subjek melakukan proses mencacah dimulai dari jari manis tangan kanan secara berurutan sampai jari telunjuk tangan kiri. Dalam hal ini, sudah tidak mengalami kesulitan, karena untuk merepresentasikan bilangan 7 memerlukan kedua tangan. Jika kita perhatikan, ada suatu fenomena yang bisa kita jumpai pada subjek penelitian, yaitu subjek menjawab salah pada soal 3-1 (Perhatikan Gambar 5), namun subjek mampu menjawab dengan benar pada soal 7 – 1 (Perhatikan Gambar 6). Hal ini berarti subjek sebenarnya tidak memahami konsep pengurangan, karena kedua soal tersebut memiliki tingkat kesulitan yang sama (karena sama-sama dikurangi 1). Yang dilakukan subjek dalam menjawab soal 7-1 = 6 sebatas mematuhi prosedur perhitungan dengan jari. Dalam hal ini, subjek juga nampak terpaku dengan penggunaan jari dalam menyelesaikan setiap soal. Hal ini dapat dilihat pada saat subjek mengerjakan soal bergambar (perhatikan gambar 3), subjek cenderung mengasosiasikan setiap gambar dengan jari untuk selanjutnya melakukan operasi hitung. Subjek enggan untuk melakukan operasi hitung secara langsung dengan memahami faktafakta penjumlahan dan pengurangan yang bisa dieksplorasi dari soal bergambar. Selain itu, subjek penelitian juga mengalami kebingungan dengan mencampuradukkan prosedur penjumlahan dan pengurangan dengan jari. Karena yang diajarkan terlebih dahulu adalah penjumlahan dengan jari, sehingga subjek terpaku pada prosedur untuk penjumlahan. Semnentara itu, hal yang paling diingat oleh subjek penelitian dalam prosedur penguranan adalah “menekuk jari” untuk merepresentasikan “pengurangan.”. Hal ini nampak saat subjek mengerjakan soal bergambar telur 2 - 1 = 2. Sekali lagi, prosedur penggunaan jari nampaknya menghalangi siswa untuk memahami fakta pengurangan. Dalam soal ini tangan kanan merepresentasikan 2 dan tangan kiri merepresentasikan 1. Selanjutnya “dikurangi 1”, ditunjukkan dengan gesture menekuk jari pada tangan kiri yang merepresentasikan 1. Sehingga diperoleh jawabannya adalah 2. PENUTUP Proses berhitung dengan jari adalah keterampilan pengantar yang bertujuan agar anak memiliki pemahaman visual mengenai fakta penjumlahan dan pengurangan. Dalam hal ini, berhitung dengan jari bukan metode akhir yang akan digunakan dalam setiap proses perhitungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Geary, Hoard, Nugent, Byrd-Craven (2007), anak-anak umumnya mulai berhitung menggunakan strategi yang kurang efisien yaitu dengan jari-jari mereka, selanjutnya mereka beralih menggunakan strategi yang lebih efisien tanpa menggunakan jari. Sehingga fokus pembelajaran penjumlahan dan pengurangan pada tingkat prasekolah hendaknya bukan pada penggunaan jari. Dalm hal ini, guru maupun orang tua bisa merepresentasikan dalam benda nyata lainnya dan memberikan kebebasan pada anak untuk mengerjakan penjumlahan dan pengurangan menurut cara yang paling mereka sukai. Hal yang patut diwaspadai adalah proses berhitung dengan jari menyebabkan anak enggan memahami fakta matematika. Akibatnya penjumlahan dan pengurangan dilakukan secara prosedural saja. Pada awalnya, cara ini memang nampaknya sangat bagus untuk mengembangkan pemahaman anak, karena anak mampu menjawab den soal penjumlahan dan pengurangan dengan cepat. Namun, pada tingkat yang lebih tinggi, anak akan kesulitan untuk melakukan proses penjumlahan dan pengurangan dengan bilangan yang lebih besar. Lebih lanjut proses berhitung dengan jari memperlambat proses perkembangan kemampuan berhitung secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi beberapa hal di atas, agar anak mampu memahami pola dalam operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan, hendaknya operasi penjumlahan dan pengurangan dilakukan
104
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
mulai dari dasar, yaitu suatu bilangan dijumlahkan dengan 0, dijumlahkan dengan 1, dijumlahkan dengan 2, dijumlahkan dengan 3 dan seterusnya. Begitu juga untuk pengurangan, anak bisa diajarkan suatu bilangan yang dikurangi 0, dikurangi 1, dikurangi 2, dan seterusnya. Bilangan yang digunakan dalam operasi penjumlahan dan pengurangan tersebut adalah bilangan yang sama dan dimulai dari bilangan yang terkecil, dengan begitu diharapkan anak mampu memahami pola dalam penjumlahan dan pengurangan bilangan. Dalam hal ini jari tetap digunakan sebagai alat bantu hitung, bukan sebagai fokus pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Alibali, Martha W. & Nathan, Mitchell J. (2011). Embodiment in Mathematics Teaching and Learning: Evidence From Learners' and Teachers' Gestures. Journal of the Learning Sciences, DOI:10.1080/10508406.2011.611446 Badets A., Pesenti M. (2011). Finger–number interaction. Exp. Psychol. 58, 287– 29210.1027/ 16183169/a000095 Bruner, J. S. (1966). Toward a theory of instruction. Cambridge, MA: Harvard University Press. Butterworth B., Varma S., Laurillard D. (2011). Dyscalculia: from brain to education. Science 332, 1049–105310.1126/science.1201536 Creswell, J.C. (2012). Education Research, Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. 4th edition. Boston: Pearson Domahs F., Krinzinger H., Willmes K. (2008). Mind the gap between both hands: evidence for internal finger-based number representations in children’s mental calculation. Cortex 44, 359–36710.1016/j.cortex.2007.08.001 Geary, D. C., Hoard, M. K., Byrd-Craven, J., Nugent, L., & Numtee, C. (2007). Cognitive mechanisms underlying achievement deficits in children with mathematical learning disability. Child Development, 78,1343–1359. doi:10.1111/j.1467-8624.2007.01069.x James, K. H. (2010). Sensori-motor experience leads to changes in visual processing in the developing brain. Developmental Science, 13,279–288. doi:10.1111/j.14677687.2009.00883.x Kontra, C. E., Goldin-Meadow, S., & Beilock, S. L. (2012). Embodied learning across the life span. Topics in Cognitive Science, 4, 731–739. oi:10.1111/j.1756-8765. 2012.01221.x Krauthausen G., Scherer P. (2001). Einführung in die Mathematikdidaktik [Introduction to Didactics of Mathematics]. Heidelberg: Spektrum Lindemann O., Alipour A., Fischer M. H. (2011). Finger counting habits in Middle Eastern and Western individuals: an online survey. J. Cross Cult. Psychol. 42, 566–57810.1177/ 0022022111406254 Mix, K. S. (2010). Spatial tools for mathematical thought. dalam K. S. Mix, L. B. Smith, & M. Gasser (Eds.), Space and language (pp. 41–66). New York, NY: Oxford University Press. Moeller, Korbinian., Martignon, Laura., Wessolowski, Silvia., Engel,Joachim., Nuerk,Hans-Christoph. (2011). Effects of Finger Counting on Numerical Development – The Opposing Views of Neurocognition and Mathematics Education., Frontiers in Psychology. doi: 10. 3389/fpsyg.2011.00328 Novack, Miriam. Meadow, Susan Goldin. (2015). Learning from Gesture: How Our Hands Change Our Minds. Springer Science+Business Media New York 2015. Educ Psychol Rev (2015) 27:405–412 DOI 10.1007/S0648-015-9325-3 Padberg F., Benz C. (2011). Didaktik der Arithmetik [Didactics of Arithmetic]. Heidelberg: Spektrum Piaget, J. (1953). How children form mathematical concepts. Scientific American, 189, 74–79.
105
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Schipper W. (2005). Modul G 4: Lernschwierigkeiten erkennen – verständnisvolles Lernen fördern [Recognizing Learning Difficulties – Promoting Comprehensive Learning]. Kiel: SINUSTransfer Grundschule Shein, Paichi Pat. (2012). Seeing With Two Eyes: A Teacher’s Use of Gestures in Questioning and Revoicing to Engage English Language Learners in the Repair of Mathematical Errors. International Journal of Research in Mathematics Educations, March 2012, Vol. 43, Issue 2 Sommerville, J. A., & Woodward, A. L. (2010). The link between action production and action processing in infancy. In F. Grammont, D. Legrand, & P. Livet (Eds.), Naturalizing intention in action (pp. 67–90). Cambridge, MA: MIT Press Moeller, Korbinian; Martignon, Laura; Wessolowski,silvia; Engel,Joachim; Nuerk, Hans-Christoph. (2011). Effects of Finger Counting on Numerical Development – The Opposing Views of Neurocognition and Mathematics Education.
106
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK PADA MATERI JARING-JARING KUBUS
Tri Siwi Nasrulyati Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika UM Malang
[email protected]
Abstrak: Tujuan dari artikel ini adalah untuk melihat penerapan PMR pada materi Jaring-jaring Kubus. Pada masa sekarang ini di era yang sudah sangat maju dan berkembang, pembelajaran di sekolah juga mengalami banyak kemajuan, sehingga bisa meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan sangat berpengaruh adalah cara guru mengajar dan bersikap di dalam pembelajaran. Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa penggunaan teknologi dalam pembelajaran sangat membantu guru dalam proses belajar mengajar. Suasana kelas dan keterlibatan murid dalam belajar juga sangat dipengaruhi oleh bagaimana guru bersikap dalam proses belajar mengajar. Ada dua sikap/karakter guru mengajar yang diamati penulis dalam observasi lapangan, yang akan diuraikan di sini beserta keadaan kelas dan pengaruhnya pada proses belajar siswa. Secara umum sikap/karakter guru ternyata kurang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, jika peneraan Pembelajaran menggunakan PMR.
Kata Kunci: sikap/karakter guru, suasana kelas, belajar, PMR
Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi sekarang ini kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat juga sangat berpengaruh pada bidang pendidikan, dan pembaharuan juga sudah banyak dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan yang didinginkan, yaitu pendidikan yang terarah, bermutu dan berkualitas. Salah satu hal diperlukan adalah manajemen yang baik dan terarah yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Sejak Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disahkan terjadi perubahan besar dalam konteks pengelolaan proses pendidikan di Indonesia. Istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut bukan lagi pengajaran, yang sebagai gantinya adalah pembelajaran. Pada konsep pengajaran kondisi yang dimunculkan adalah teacher center. Sedangkan pada konsep pembelajaran guru lebih bersifat sebagai fasilitator yang membuat siswa aktif belajar sendiri. Pada konsep ini sangat memungkin dan relevan terwujudnya student center dalam proses belajar di kelas. Salah satu komponen yang penting agar kualitas dan mutu pendidikan di era globalisasi bisa ditingkatkan adalah dengan melaksanakan manajemen pembelajaran atau pengelolaan proses pembelajaran dengan menggunakan fasilitas di setiap sekolah masing-masing yang sudah dilengkapi dengan dukungan multimedia pembelajaran seperti LCD yang bisa membantu sehingga pembelajaran menjadi lebih praktis, efektif,
107
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
terbuka dan berkembang yang pada akhirnya bisa meningkatkan mutu pendidikan dan menyejajarkan pendidikan secara nasional maupun internasional pada masa sekarang dan yang akan datang. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penerapan teknologi dalam pembelajaran sangat berpengaruh bila didukung oleh ketrampilan dan kemampuan seorang guru dalam memanfaatkannya, dan bagaimana mengelola kelas sesuai dengan karakter masing-masing guru, yang harus juga memperhatikan kondisi kelas yang meliputi fasilitas yang tersedia di dalam kelas, alat atau peraga yang tersedia dan juga kesiapan siswa dalam belajar. Untuk mendukung keberhasilan pendidikan yang diinginkan maka Sumber Daya Manusia (SDM) juga sangat berpengaruh dan menjadi suatu hal yang mengharuskan guru untuk merencanakan dan mengatur penggunaan fasilitas yang tersedia dengan seefektif mungkin. Menurut Freudenthal dalam Zulkardi, (2002) matematika haruslah dihubungkan dengan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia. Sementara itu Maulana, (2006) menyatakan bahwa matematika merupakan kegiatan manusia dan oleh karenanya matematika merupakan kegiatan manusia yang dapat dipelajari dengan baik bila disertai dengan mengerjakannya. Menurut Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standard Proses mengamanatkan bahwa proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Jika ditinjau dari sudut pandang pendidikan Matematika Realistik, ketiga macam proses tersebut merupakan karakteristik dari PMR. Sehingga penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk pembelajaran matematika sejalan dengan kurikulum. Secara nasional hasil belajar matematika pada jenjang persekolahan adalah rendah. Laporan Depdikbud (1995) menyebutkan bahwa prestasi siswa dalam matematika secara rata-rata dalam ebtanas sejak dilakukan pembaharuan kurikulum pada 1975 pada umumnya selalu berada di bawah skor 5. Rendahnya hasil belajar siswa dalam matematika disebabkan antara lain oleh pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru tidak mampu mengoptimalkan kemampuan siswa secara baik. Menurut Sunoto, (2002) faktor yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika antara lain disebabkan oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan guru, kurangnya minat siswa dalam belajar matematika dan proses belaar mengajar yang kuramg kondusif. Setelah mengamati dan mengevaluasi dan memperhatikan serta mewawancara beberapa guru dan siswa di sekolah, peneliti berpendapat bahwa pembelajaran di SD Islam Bilingual Surya Buana Malang, sudah menerapkan pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) yang merupakan pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran tradisional atau disebut pembelajaran matematika modern. Di Indonesia disebut dengan PMRI yang diperkenalkan pertama kali di Jogjakarta tanggal 15 November 2001 pada seminar nasional pertama PMRI.
108
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Berdasarkan uraian sebelumnya maka yang menjadi fokus penulisan ini adalah “manajemen guru di dalam proses pembelajaran dengan pendekatan PMR terhadap suasana dan motivasi siswa dalam belajar.dan hasil belajar siswa” Pada SD Islam Bilingual Surya Buana Malang Jawa Timur. Kelas yang diteliti ini terdiri dari dua kelas berbeda yang dikelola juga oleh dua orang guru yang berbeda pada saat pembelajaran.
Landasan Teori Menurut Zulkardi, (2002:651) RME yang mulai diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Jan de Lange melalui acara seminar dan lokakarya di Jurusan Matematika ITB pada bulan April 1998, adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak pada hal-hal yang nyata atau mudah PMRI adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang diadopsi dari negeri Belanda, yang mempunyai lima karakteristik menurut Treffers, (1987) yaitu: 1) penggunaan konteks atau permasalahan realistik yang tidak harus berupa masalah dunia nyata, namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa; 2) penggunaan model untuk matematisasi progressif; 3) pemanfaatan hasil konstruksi siswa; 4) interaktifitas, dengan pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika yang bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan; 5) keterkaitan, karena konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial melainkan banyak konsep yang memiliki keterkaitan. Sehingga pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan. Siswanto, 2006 dalam Zulkhairi, dkk, (2012) mengatakan bahwa “ Manajemen adalah seni dan ilmu dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemberian motivasi dan pengendalian terhadap orang dan mekanisme kerja untuk mencapai tujuan”. Manajemen berasal dari Bahasa Prancis “ménagement” yang diadopsi juga dari bahasa Inggris “management” yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Menurut Robert, H. Essenhigh, (2000) dalam Ariyadi Wijaya, (2012) kata “dilatih” menekankan pada “know how” yang artinya adalah belajar untuk mengetahui bagaimana melakukan suatu hal, sedang di sisi lain kata “dididik” menekankan pada “know why” yang berkaitan dengan usaha untuk mengetahui kenapa suatu hal ada dan bisa terjadi. Pada beberapa konteks kata “dididik” dan “dilatih” tidak harus selalu berkaitan satu sama lain, tetapi bisa saja berdiri sendiri. Dididik artinya diberi pemahaman atau pengetahuan tentang suatu hal secara proporsional, sebagai contoh seorang pilot dilatih untuk menerbangkan pesawat (know how to fly a plane) sedangkan seorang teknisi dididik untuk mengetahui kenapa pesawat bisa terbang (know why a plane can fly). Tidak ada tuntutan seorang pilot untuk jadi mekanik dulu atau seorang mekanik untuk jadi pilot dahulu.
109
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Pembelajaran dapat didefinisikan juga sebagai suatu proses kegiatan atau perubahan lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi. Sebagaimana ungkapan Hilgard dan Bower dalam Bonomo (1987:6) dalam Zulkhairi, dkk, (2012) yaitu :“Learning is the process by wich an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation” Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa/manusia berubah karena suatu kejadian dan perubahan yang terjadi bukan secara alami seperti menjadi dewasa dengan sendirinya, akan tetapi lebih karena reaksi dari situasi yang dihadapi. Salah satu upaya menjadikan proses pembelajaran matematika dapat dirasakan bermakna oleh siswa adalah dengan menerapkan pendekatan matematika realistik (PMR). Pendekatan matematika realistik adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan pada keterampilan proses (process of doing mathematics) seperti berdiskusi, berkolaborasi, dan berargumentasi dengan guru dan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (student inventing) dan siswa mampu menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok Zulkardi, (2001) dalam Nurhayati AN dan Maulana (2012). Pendekatan matematika realistik yang diterapkan dalam proses pembelajaran matematika membuat siswa tidak secara langsung menerima konsep dan rumus matematika yang diberikan oleh guru melalui penjelasan, tetapi mereka berusaha mengolahnya dengan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Dengan kata lain siswa membangun sendiri pemahaman konsep matematika melalui hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya.
Metode Penelitian Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pendekatan bersifat analisis deskriptif dalam bentuk pengumpulan data secara bervariasi dari suatu fenomena yang ada. Data yang diperoleh kemudian dianalisis, sehingga diperoleh suatu gambaran terhadap apa yang sudah diteliti. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dokumen dan tingkah laku. Alasan menggunakan metode kualitatif adalah agar lebih mudah ketika berhadapan dengan kenyataan yang bervariasi dan pengambilan dan penyajian data secara langsung oleh peneliti dari responden serta metode ini lebih peka dalam memaknai data yang diperoleh dari responden. Responden pada penelitian ini adalah para siswa kelas V A dan V B di SD Islam Bilingual Surya Buana Malang, dengan jumlah empat puluh enam orang siswa, sedangkan untuk wawancara dilakukan pada masing-masing dua orang siswa dari tiap kelas. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode observasi yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap proses pembelajaran, dan dilakukan dengan memusatkan perhatian
110
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
dengan pengamatan dan pendengaran serta dengan merekam dan mengambil gambar pelaksanaan proses pembelajaran yang berlangsung dalam dua kelas yang diamati. Metode Wawancara, yang dilakukan oleh peneliti di sini adalah dengan mengadakan percakapan untuk menggali informasi tertentu dengan siswa dari masing-masing kelas dan juga ke dua orang guru. Metode Dokumentasi adalah teknik untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan dan gambar-gambar dokumentasi selama penelitian. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara induktif dan deskriptif untuk kemudian diambil kesimpulan.
Hasil Penelitian 1. Pengamatan Langsung dan dokumentasi a. Proses pembelajaran matematika menggunakan pendekatan matematika realistik dirasakan sangat menarik, seru, menyenangkan dan tidak membosankan oleh semua siswa b. umumnya siswa merasa senang dan termotivasi untuk lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. c. siswa merasa senang saat tampil di depan kelas untuk mempresentasikan jawabannya kepada temanteman sekelasnya ( hanya sempat dilakukan pada kelas VB ) d. permasalahan dan soal-soal yang disajikan dalam LKS dirasakan cukup unik dan memberikan kemudahan kepada siswa untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan. e. proses pembelajaran dengan materi Jaring-jaring makanan yang kemudian dilanjutkan dengan materi jaring-jaring kubus secara umum sangat mendapat apresiasi siswa. 2. Observasi Pembelajaran a) Proses pembelajaran Jaring-jaring Kubus diawali dengan permasalahan kontekstual mengenai jaringjaring makanan atau siklus kehidupan makhluk hidup di alam sebagai titik tolak pembelajaran, sehingga konteks tersebut mampu membuat siswa merasa mudah untuk memahami materi. b) Proses pembelajaran yang dilaksanakan senantiasa mengutamakan keterlibatan, inter-aktivitas, dan peran serta siswa dalam setiap langkah pembelajaran sehingga membuat siswa menjadi lebih aktif untuk berpartisipasi; c) Proses pembelajaran yang dilakukan membuat suasana kelas menjadi lebih hidup; d) proses pembelajaran ini dapat membuat siswa mengonstruksi pengetahuan barunya dengan baik, hal ini dapat terlihat dari adanya siswa yang mampu mengutarakan kesimpulan dari materi yang dipelajarinya. Dan mengerjakan soal-soal yang diberikan guru dengan hasil yang benar; e) Dari dua kelas terdapat kelas di mana guru sangat dominan memberikan arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran sehingga banyak menghabiskan waktu yang menyebabkan tidak ada
111
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
kesempatan bagi siswa untuk memresentasikan hasil kerjanya di depan kelas, tetapi guru sudah melakukan evaluasi selama pembelajaran. 3. Observasi Aktivitas Siswa a. Penerapan pendekatan matematika realistik dalam proses pembelajaran dapat membuat siswa mau menerima dan bekerja sama dengan orang lain sebagai rekan kelompoknya, sehingga dapat menanamkan dan memupuk sikap kooperatif; b. dalam diskusi kelompok, pada umumnya siswa menunjukkan sikap mau menghargai pendapat orang lain; c. penerapan pendekatan matematika realistik ini membuat suasana belajar menjadi lebih hidup karena hampir seluruh siswa berperan aktif untuk bertanya atau mengeluarkan pendapat baik dalam diskusi kelompok maupun dalam presentasi siswa atau diskusi kelas; (hanya sempat dilakukan pada kelas V B) d. penerapan pendekatan matematika realistik dalam proses pembelajaran mampu membuat siswa mampu menunjukkan kemampuannya dan termotivasi untuk aktif bertanya, berargumentasi, dan bahkan mampu mengoreksi kesalahan temannya, sehingga selama proses pembelajaran siswa tersebut benar-benar aktif dan keterlibatannya sangat dominan dalam proses pembelajaran; e. pendekatan matematika realistik berhasil membuat siswa tanggap terhadap permasalahan dan kesalahan yang terjadi. 4. Catatan dan temuan di Lapangan a. Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru dengan menggunakan berbagai permasalahan yang kontekstual sudah dapat dikategorikan baik; b. Penggunaan media pembelajaran yang disiapkan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung cukup optimal dan sangat menunjang proses pembelajaran; c. pada pelaksanaan diskusi kelompok kecil dan diskusi kelas dinilai baik dan sangat menunjang proses pembelajaran, serta guru mampu berperan sebagai motivator dan fasilitator siswa untuk menciptakan suasana pembelajaran yang interaktif; d. evaluasi pembelajaran dilaksanakan di saat pembelajaran dan setiap akhir proses pembelajaran, dengan cukup baik. Pembahasan dan analisis data, menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik pada pokok bahasan Jaring-jaring kubus yang terjadi menampilkan suasana belajar yang demikian unik, seru, menarik, dan menyenangkan sehingga membuat siswa senantiasa bersemangat untuk belajar matematika.. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik dalam implementasinya perlu dilakukan pembuatan perencanaan pembelajaran yang baik. Sehingga dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk memahami materi pelajaran. Konteks
112
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
tersebut disajikan dalam bentuk permasalahan atau soal yang dituangkan dalam LKS yang dapat menantang siswa untuk berpikir, serta dapat diikuti oleh semua siswa. Dengan kata lain, pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan matematika realistik di kelas VA dan VB dirasakan sangat menarik dan sangat disukai oleh siswa, sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan baik. Proses pembelajaran seperti ini dapat membuat interaksi dan peran serta siswa menjadi dominan dalam proses pembelajaran, sehingga siswa menjadi lebih aktif pada saat mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik, mampu bertanya dan memberikan argumennya dalam diskusi kelas yang dilaksanakan. Selain itu penarikan kesimpulan proses pembelajaran tidak diberikan oleh guru secara langsung namun kesimpulan tersebut diutarakan oleh siswa dengan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan matematika realistik tidak hanya dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa, namun juga materi atau konsep pelajaran yang disampaikan benarbenar dapat dipahami dengan baik oleh siswa, sehingga siswa merasakan bahwa proses pembelajaran matematika benar-benar bermakna Zulkardi, (2001) dalam Nurhayati AN dan Maulana (2012). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terlihat bahwa pendekatan pembelajaran sudah banyak dikenal dan diterapkan oleh guru-guru di SD Islam Bilingual Surya Buana Malang. Berdasarkan temuan di lapangan dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan empat orang siswa dan dua orang guru, dipaparkan secara lengkap sebagai berikut: 1) Dalam pembelajaran di kelas V A dengan materi rantai makanan dan jaring-jaring kubus, siswa diarahkan dengan dua suasana kelas belajar yang berbeda, meskipun pada dasarnya sama yaitu kelas pertama guru mengajar dengan bantuan LKS dan dengan karakter yang terlalu dominan dengan instruksi atau arahan-arahan yang diberikan selama proses pembelajaran berlangsung, suasana kelas terlihat bersemangat, siswa juga dengan baik mengikuti arahan-arahan guru dengan motivasi dan kreativitas, tetapi banyak menghabiskan waktu yang mengakibatkan waktu untuk presentasi hasil kerja kelompok tidak tersisa sampai akhir pembelajaran.
Gambar 1. Suasana Belajar dan hasil Belajar Siswa Kelas VA
113
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
2). Sedangkan di kelas V B : materi yang sama cara guru menyampaikan pembelajaran lebih santai karena menggunakan fasilitas LCD, dengan karakter guru yang memang lebih tenang sehingga siswa banyak mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dan kreativitasnya dalam melakukan kegiatan belajar tentang materi tersebut secara mandiri dan banyak waktu tersisa untuk presentasi hasil kerja kelompok. 3)
Hasil wawancara dengan empat orang siswa menyatakan bahwa mereka merasa nyaman dan menikmati selama pembelajaran yang terjadi. Hal ini peneliti simpulkan karena memang kedua siswa di kedua kelas tersebut sudah terbiasa dengan karakter a gaya guru yang mengajar di masingmasing kelas
4)
Dari hasil wawancara dengan ke dua guru kelas didapatkan bahwa hasil kerja ke dua kelas tersebut atau prestasi siswa di ke dua kelas tersebut secara umum seimbang atau sebanding atau dikatakan hampir sama.
Gambar 2. Suasana Belajar dan Hasil Belajar Siswa Kelas VB Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian maka dapat diambil hasil pengamatan sebagai berikut ini. 1. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik mampu meningkatkan motivasi dan minat belajar sehingga membuat siswa menyukai, merasa senang, dan
senantiasa
bersemangat untuk belajar matematika. 2. Penerapan pendekatan matematika realistik mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa di kelas dan pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. 3. Penerapan pendekatan matematika realistik di kelas dapat membuat interaksi dan peran serta siswa menjadi dominan dalam proses pembelajaran, sehingga siswa menjadi lebih aktif daripada biasanya.
114
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
4. Penarikan kesimpulan akhir proses pembelajaran tidak diberikan oleh guru secara langsung, namun kesimpulan tersebut diutarakan oleh siswa dengan sangat baik, kemudian guru mengulas dan menegaskan kembali sebelum menutup pembelajaran 5. Dari dua manajemen guru di kelas ternyata kurang berpengaruh pada kondisi dan tingkat motivasi siswa, dan hasil akhir belajar siswa, tetapi menurut peneliti alangkah lebih baik jika setiap akhir diskusi kelompok diberikan kesempatan untuk memresentasikan hasil diskusinya sebagai apresiasi dari hasil kerja pada saat itu, juga untuk melatih siswa menyampaikan pendapat tentang hasil kerjanya.
Saran Karena Fasilitas yang tersedia di SD Islam Surya Buana sudah lumayan memadai, maka diharapkan guru-guru bisa memanfaatkan fasilitas yang tersedia dengan baik dan dapat mengelola waktu pembelajaran sehingga setiap pembelajaran bisa terlaksana seperti perencanaan pembelajaran yang telah disiapkan dan bisa melaksanakan dan meraih target dan hasil yang didinginkan pada akhir pembelajaran.
Daftar Rujukan Anonim, (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, Jakarta, Sinar Grafika , PT. Ariyadi
Wijaya, 2012. Pendidikan Matematika Realistik suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika, Yogyakarta, Graha Ilmu. Nurhayati, AN dan Maulana, 2002. Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Dalam Penanaman Konsep Perkalian Dan Pembagian Bilangan Bulat1 (Studi Deskriptif Di Kelas IV SD Negeri Cipanas Kec. Tanjungkerta Kab. Sumedang), Makalah disajikan pada Konferensi Pendidikan Dasar I Tingkat Internasional pada tanggal 10-11 Oktober 2009 di UPI Kampus Sumedang Treffers, A, 1987. Three Dimensions. A Model of Goal and Theory Description in Mathematics Instruction - The Wiskobas Project. Dordrecht; Reidel Publishing Company. Zulkardi, 2002, Developing A Learning Environment On Realistic Mathematics Education For Indonesian Student Teachers Thesis University of Twente, Enschede. - With refs. - With summary in Ducth ISBN 90 365 18 45 8. Zulkhairi, Djailani AR, Nasir Usman, 2012. Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis TI pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah Ar-Raniry Banda Aceh, Jurnal Pendidikan Serambi Mekah, Volume 13 Nom
115
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
GAGAL FOKUS TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA Ukhti Raudhatul Jannah1; Subanji2 1 Universitas Madura; 2Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak :Pembelajaran di dalam kelas harus berorientasi pada siswa (student oriented) yaitu active learning.Active learning merupakan pembelajaran yang melibatkan siswa dalam mengembangkan pemahaman dari fakta-fakta, ide-ide, dan keterampilan melalui penyelesaian tugas dan menggunakan media pembelajaran serta aktivitas yang diarahkan oleh guru.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gagal fokus terhadap pembelajaran ketika menerapkan active learning di kelas 4 dan kelas 5 SD Islam Surya Buana. Metode penelitian melalui studi kasus pada subjek penelitian yang terdiri dari 1 orang siswa dan 1 orang guru di kelas 4 dan 1 orang siswa dan 1 orang guru di kelas 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagal fokus siswa dan guru terhadap pembelajaran dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa yaitu mengakibatkan prestasi belajar siswa rendah sehingga siswa kurang memahami konsep matematika dengan baik. Kata Kunci : Gagal Fokus Pada Pembelajaran, Active Learning, Media Pembelajaran
Matematika merupakan subjek atau pelajaran yang memuat berbagai mata pelajaran yang komplek yaitu aritmatika, pengukuran, geometri, aljabar dan statistik. Hal ini sesuai dengan NCTM (2000), standar pada matematika sekolah adalah bilangan dan operasinya, aljabar, geometri, pengukuran, dan statistika. Untuk itu, dalam membelajarkan matematika di sekolah terutama di sekolah dasar, harus didasarkan pada pengetahuan siswa sebelumnya dan pengalaman siswa agar pemahaman siswa tentang konsep matematika dapat terarah dengan baik. Membelajarkan matematika di sekolah dasar lebih menekankan pada pemahaman konsep secara riil daripada secara abstrak. Pembelajaran matematika merupakan suatu proses interaksi guru dengan siswa di dalam kelas dalam belajar konsep matematika. Guru dan siswa pada pembelajaran matematika di sekolah dasar perlu adanya interaksi yang baik yang tidak hanya memfokuskan pada satu arah. Di dalam pembelajaran, guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan kepada siswa. Akan tetapi, pembelajaran harus memfokuskan pada siswa dalam mengeksplor pengetahuannya. Penggunaan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student oriented) yang memacu siswa dan guru aktif di dalam pembelajaran. Siswa fokus dan aktif pada proses pembelajaran, sedangkan guru juga aktif sebagai mediator, fasilitator dan mediator bagi siswa di dalam kelas. Salah satu pendekatan pembelajaran yang memfokuskan pada siswa adalah active learning. Jadi, pembelajaran matematika harus mengacu pada pendekatan active learning. Active Learning mendukung siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang bermakna dan berpikir tentang apa yang mereka kerjakan. Active learning adalah suatu metode pembelajaran yang memfokuskan pada siswa di dalam proses pembelajaran (Prince, 2004). Terdapat empat komponen pada pendekatan active learning di dalam kelas (Lindberg, 2001), yaitu(1)siswa, (2) guru, (3) tugas di dalam pembelajaran, dan (4) interaksi di dalam kelas matematika. Beberapa komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) Siswa merupakan kunci dalam proses pembelajaran yaitu pengajaran matematika harus berorientasi pada siswa. (2) Guru merupakan otoritas di dalam pembelajaran karena pengetahuan yang dimiliki tentang matematika dan pembelajarannya serta perhatiannya terhadap proses berpikir siswa dan interaksi sosialnya. (3) Tugas yag diberikan berupa open-ended untuk mengonstruk struktur kognitif dan pemahaman relational dari konsep matematika siswa. (4) Interaksi yang terajdi di dalam kelas tidak hanya pada satu arah antara guru dengan siswa, tetapi siswa dengan
116
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
guru dan siswa dengan siswa. Untuk itu, siswa dan guru harus selalu aktif pada proses pembelajaran agar pencapaian prestasi belajar siswa tinggi. Active learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bermakna dengan berbicara dan mendengarkan, menulis, membaca, dan merenungkan isi, ide-ide, masalah, dan fokus terhadap pelajaran (Meyers & Jones, 1993). Siswa sebagai partisipan diharapkan aktif di dalam pembelajaran matematika untuk mendukung belajar siswa di dalam kelas. Sebagai partisipan aktif, pencapaian prestasi siswa sangat diperlukan di dalam pembelajaran matematika sebagai alat ukur susksesnya pembelajaran. Partisispasi aktif siswa dan guru di kelas berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan berhasil jika prestasi belajar semua siswa meningkat di atas rata-rata. Hal ini sesuai dengan pendapat Ing, et.al(2015) bahwa prestasi siswa dipengaruhi oleh tindakan guru dan partisipasi siswa pada proses pembelajaran. Akan tetapi, Tennant & Tennant (2010) menyatakan bahwa rendahnya prestasi belajar matematika siswa diakibatkan oleh gagal fokus (konsentrasi) pada pembelajaran. Gagal fokus terhadap pembelajaran matematika terjadi pada siswa dan guru yang dapat mempengaruhi hasil prestasi belajar matematika siswa. Guru gagal fokus terhadap pembelajaran matematika pada saat tidak memberikan perhatian kepada siswa yang passif di dalam pembelajaran active learning, perhatian dan motivasinya hanya ditujukan kepada siswa yang aktif. Guru seharusnya memperhatikan proses pembelajaran secara keseluruhan, tidak hanya memfokuskan pembelajaran pada salah satu siswa yang aktif di dalam kelas akan tetapi harus selalu memotivasi dan memberikan penguatan pada siswa yang passif di dalam kelas. Pemberian motivasi oleh guru sangatlah penting bagi siswa yang gagal fokus terhadap pembelajaran di kelas, karena dengan motivasi guru dapat menumbuhkan semangat dan percaya diri siswa dalam belajar. Ada 2 motivasi terhadapsiswa pada saat pembelajaran yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi dari diri siswa sendiri sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang diberikan guru pada siswa agar aktif di dalam pembelajaran. Motivasi yang diberikan guru terhadap siswa yang pasif dapat berupa memberikan pertanyaan – pertanyaan yang terkait dengan materi agar tidak terjadi perbedaan yag signifikan dengan siswa yang aktif (Center for faculty excellence presents, 2009). Siswa gagal fokus terhadap pembelajaran ketika tidak memperhatikan dan tidak peduli terhadap proses pembelajaran, serta menggunakan media pembelajaran bukan untuk memahami konsep akan tetapi digunakan untuk hal-hal diluar pemahaman konsep. Pada penelitian ini siswa tidak memperhatikan penjelasan guru dan tidak peduli pada proses pembelajaran diakibatkan oleh bosan terhadap pembelajaran yang berulang-ulang, kurang pahamnya siswa terhadap maeri, dan kurangnya perhatian guru terhadap siswa sehingga merasa kurang diperhatikan oleh guru dibandingkan dengan siswa lainnya yang aktif di kelas. Untuk itu, pada saat belajar matematika membutuhkan konstruksi, penerimaan yang tidak pasif, dan untuk mengetahui matematika membutuhkan kerja yang konstruktif dari penggunaan media (objek) matematika. Fokus siswa terhadap pembelajaran akan membantu meningkatkan pemahamannya terhadap konsep matematika. Selain itu, pada pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, pembelajarannya lebih menekankan pada penggunaan pendekatan active learning dan penggunaan media pembelajaran. Karena tahap perkembangan anak sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, dimana siswa aktif menggunakan media pembelajaran sesuai dengan tujuannya dalam membantu memahamo konsep matematika dengan baik. Berdasarkan permasalaha di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikangagal fokus terhadap pembelajaran matematika ketika menerapkanactive learning di kelas 4 dan kelas 5 SD Islam Surya Buana.
117
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Islam Surya Buana Malang. Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap, yaitu tahap pertama di kelas 5 dan tahap kedua di kelas 4. Pada tahap pertama (8 April 2016), tujuan pembelajarannya adalah menentukan jaring-jaring kubus dengan setting pembelajaran active learning tipe Contextual Teaching and Learning. Subjek penelitian ini terdiri dari 1 orang siswa (Rk) yang berprestasi rendah dan 1 orang guru kelas 5 (Ni). Pada tahap kedua (12 April 2016), tujuan pembelajarannya adalah memahami konsep pencerminan (refleksi) dengan setting pembelajaran active learning tipe tanya jawab. Subjek penelitian ini terdiri dari 1 orang siswa (Hm) yang berprestasi rendah dan 1 orang guru kelas 4 (Ri). Penelitian untuk mendeskripsikan ketika gagalnya fokus guru dan siswa pada pembelajaranactive learningdi kelas 4 dan kelas 5 SD Islam Surya Buana.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap pertama, guru melakukan pembelajaran dengan Contextual Teaching and Learning dengan setting kerja kelompok. Tujuannya adalah menentukan jaring-jaring kubus. Pada tahap kedua, guru melaksanakan proses pembelajaran tematik di kelas 4. Tujuan pembelajaran adalah siswa memahami konsep percerminan sehingga mampu memecahkan masalah kehidupan seharihari.Pembelajaran di kelas ini dilakukan dengan setting tanya jawab. Kedua tahap pembelajaran dilakukan dengan active learning. Di dalam pembelajaran, guru dan siswa menerapkan active learning dengan menyesuaikan pembelajaran dengan konteks, mengadakan tanya jawab serta menjelaskan dan menceritakan tentang kehidupan yang sesuai dengn konsep pembelajaran.
Gambar 1. Pembelajaran active learning di kelas 5
Gambar 2. Pembelajaran active learning di kelas 4
Active learning adalah suatu metode pembelajaran yang memfokuskan pada siswa di dalam proses pembelajaran (Prince, 2004). Eison (2010) menyatakan bahwa active learning memuat berbagai kegiatan pada siswa dalam melakukan sesuatu dan berpikir tentang hal-hal yang mereka lakukan. Sedangkan Bell & Kahrhoff (2006), mendefinisikan active learning adalah proses yang mengikutsertakan siswa secara aktif dalam mengembangkan pemahaman dari fakta-fakta, ide-ide, dan keterampilan melalui penyelesaian tugas dan aktivitas yang diarahkan oleh guru. Terdapat empat komponen pada pendekatan active learning di dalam kelas (Lindberg, 2001), yaitu (1). Siswa merupakan kunci dalam proses pembelajaran karena pengajaran matematika harus berorientasi pada siswa. (2). Guru merupakan otoritas di dalam pembelajaran karena pengetahuan yang dimiliki tentang matematika dan pembelajarannya serta perhatiannya terhadap proses berpikir siswa dan interaksi sosialnya. (3). Tugas yang diberikan berupa open-ended untuk mengonstruk struktur kognitif dan pemahaman relational dari konsep matematika siswa. (4). Interaksi yang terjadi di dalam kelas tidak hanya pada satu arah antara guru dengan siswa, tetapi siswa dengan guru dan siswa dengan siswa.
118
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Konsep belajar matematika dimulai dari pengalaman sehari-hari siswa agar pembelajaran bermakna. Pada tahap pertama, media yang digunakan guru pada pembelajaran berupa kotak makanan yang berbentuk kubus. Media ini sudah biasa di jumpai siswa di kehidupannya. Selain itu, belajar geometri idealnya didukung oleh model atau media pembelajaran dari objek geometrisnya, sehingga konsep tersebut dapat dikembangkan dengan baik oleh siswa. Isac, et.al (2015), menyatakan bahwa pembelajaran melalui lingkungan atau dikaitkan dengan kehidupan siswa merupakan tujuan utama di dalam pembelajaran dalam meningkatkan prestasi siswa. Tujuan penggunaan media ini agar siswa dapat mengkonstruksi bentuk bangun ruang dan menentukan jaring-jaringnya. Selain itu, media yang digunakan juga berupa bahan manipulatif dari kertas karton berbentuk kubus. Dari media tersebut, siswa bersama kelompoknya menentukan berbagai macam bentuk jaring-jaring kubus. Pada tahap kedua, guru meminta siswa membawa media pembelajaran berupa cermin. Akan tetapi, sebagian besar siswa membawa cermin yang ada di tempat bedak (kosmetik). Hal ini menyebabkan siswa gagal fokus terhadap pembelajaran. Karena siswa menggunakan media cermin itu tidak pada waktunya, dimana ketika guru melakukan tanya jawab, siswa bermain-main dengan media yang telah dibawanya. Akan tetapi, guru Ri tidak memberikan perhatian kepada siswa yang gagal fokus dalam pembelajaran. Ri tidak memotivasi siswa aktif di dalam pembelajaran dan berkonsentrasi terhadap pembelajaran di kelas. Setelah guru Ri masuk dalam penggunaan media untuk pencerminan, sebagian siswa menggunakan media tersebut sesuai dengan tujuannya untuk memahami konsep pencerminan.
Gambar 3. Hm gagal fokus terhadap pembelajaran ketika menggunakan media
Pada saat siswa belajar dengan menggunakan media terjadi learning by doing yang mengakibatkan belajar bermakna bagi siswa sehingga konsep matematika dapat dipahami dengan baik. Hasil penelitian dari Kablan (2016) menunjukkan bahwa penggunaan alat peraga manipulatif konkret pada siswa dapat menunjukkan kinerja tertinggi pada matematika ketika memanipulasi alat peraga daripada belajar secara abstrak yang berakibat prestasi siswa meningkat.Media juga memiliki tingkat kepraktisan yang baik. Hal ini dibuktikan dengan fungsinya yang setara dengan bahan ajar yang digunakan secara umum, mudah digunakan, dan dapat menggantikan peran guru sebagai sumber utama informasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Badri (2014), belajar melalui media juga memiliki tingkat yang baik dan dan efektif, ini dibuktikan dengan kegiatan belajar dan prestasi belajar siswa yang telah mencapai 85% di atas kriteria umum. Jadi, pembelajaran dengan media pembelajaran interaktif adalah valid, praktis dan efektif. Ing, et.al (2015) menyatakan bahwa siswa yang terlibat sebagai peserta aktif dalam pembelajaran matematika memiliki potensi besar untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Hal ini sesuai dengan gambar berikut.
119
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Gambar 4. Belajar bermakna dengan active learning (Wikipedia: Learning Retention Pyramid)
Berdasarkan gambar di atas, siswa akan memahami konsep matematika dengan baik jika siswa belajar dengan learning by doing dan berpartisipasi aktitif di dalam proses pembelajaran yaitu siswa belajar dengan memanipulasi alat peraga. Siswa bukan sebagai passive learner, tetapi pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Partisipasi aktif siswa merupakan aspek penting pada pembelajaran active learning dalam peningkatan prestasi belajarnya. Rk dan Hm merupakan salah satu siswa yang memiliki prestasi matematika rendah. Pada saat proses pembelajaran, Rk dan Hm tidak fokus pada pembelajaran. Rk tidak memperhatikan petunjuk dan penjelasan guru ketika harus menggunakan media pembelajaran dan petunjuk lembar kerja siswa dalam kegiatan diskusi kelompok. Sehingga ketika kerja kelompok, Rk cepat menyerah karena tidak bisa membuat jaring-jaring kubus dengan menyusun bangun persegi dari kertas karton. Ketika diberikan tugas individu, Rk tidak membaca terlebih dahulu petunjuk kerjanya sehingga tidak tahu apa yang harus dikerjakan dari tugas individu tersebut. Pada akhirnya, Rk mencontoh pekerjaan teman kelompoknya (Dm) dan kemudian mencocokkan hasil kerjanya yang telah dibantu oleh Dm dengan kelompok lainnya. Sedangkan Hm pada saat pembelajaran tentang pencerminan, menggunakan media pembelajaran yang telah dibawanya berupa cermin hanya untuk dibuat main-main di kelas, tidak memperhatikan pertanyaan guru dan ketika menjawab soal di lembar kerja siswa jawabannya ngawur tetapi setelah salah satu temannya mempresentasikan jawaban dari soal, Hm langsung menuliskan jawaban dari temannya dan penjelasan guru. Terdapat pula salah satu siswa Iq yang salah menginterpretasikan pada saat guru meminta siswa membawa media pembelajaran berupa cermin. Iq membawa kaca Spion sepeda motor, sehingga jika ditanya guru Ri, bagaimana hasil pencerminan suatu benda jika dicerminkan terhadap cermin yang dibawa oleh masing-masing siswa. Iq menjawab bahwa bayangannya lebih besar, akan tetapi guru Ri langsung menyalahkan Iq karena telah membawa kaca spion bukan cermin sehingga hasilnya berbeda dengan teman-temannya. Guru Ri menyatakan bahwa bayangan dari benda yang dicerminkan bentuk dan ukurannya sama. Setelah disalahkan oleh guru, Iq langsung tidak fokus pada pembelajaran, Iq hanya lebih fokus pada keadaan di sekitar kelas dan sibuk memperhatikan pekerjaan temannya yang ditempel di dinding kelas. Pada proses pembelajaran di kelas 4 dan kelas 5, guru Ri dan Ni hanya fokus pada siswa yang aktif di dalam kelas. Pandangan tidak meyeluruh dan siswa yang pasif diabaikan. Guru Ni dan Ri hanya memfokuskan pembelajaran pada siswa yang aktif, misalkan Ni hanya memberikan reinforcement dan motivasi pada siswa dan kelompok yang aktif, sedangkan Ri hanya memfokuskan pada siswa yang bisa menjawab pertanyaannya dan siswa yangmaju mempresentasikan hasil kerjanya
120
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
sehingga siswa yang pasif hanya mendengarkan dan mentransfer pengetahuannya dari siswa yang aktif di dalam kelas. Selain itu, guru Ri jangan langsung menghukum siswa yang jawabannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan guru akan tetapi guru memberikan umpan balik kepada siswa (Iq) kenapa jawabannya berbeda dan kenapa bisa terjadi bayangan benda yang dicerminkan menjadi lebih besar daripada bendanya. Hal tersebut untuk melatih penalaran (reasoning) siswa agar dapat berpikir kritis dan keratif. Komunikasi atau dialog aktif siswa dan guru atau siswa dengan siswa secara otomatis menyebabkan penalaran secara matematis dan lebih mendalam di dalam belajar (Sidenval; Jader; Lithner, 2015). Akibatnya, Iq yang awalnya fokus pada pembelajaran, berakibat akan mengabaikan pembelajaran. Selain itu, seharusnya guru Ni dan Ri memotivasi siswa secara ekstrinsik dengan memberikan beberapa pertanyaan pancingan agar siswa yang pasif dapat ikut fokus dan berperan aktif di dalam pembelajaran. Siswa yang fokus terhadap pembelajaran akan berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar matematikanya.
Gambar 5. Rk gagal fokus pada pembelajaran dan dibantu Dm saat kerja tugas individu
Gambar 6. Hm gagal fokus pada pembelajaran dan berusaha menyontek pekerjaan temannya
Berdasarkan permasalahan di atas, Eison (2010) menyatakan bahwaketika guru melakukan active learning seharusnya dibuat dan digunakan untuk melibatkan siswa dalam: (a) berpikir kritis atau kreatif, (b) berdiskusi dengan teman, baik dalam kelompok kecil, atau diskusiklasikal, (c) mengekspresikan ide-ide melalui tulisan, (d) menjelajahi sikap dan nilai-nilai pribadi siswa, (e) memberi dan menerimaumpan balik, dan (f) merefleksikan proses pembelajaran. Hal ini juga harus dicatat bahwa active learning dapat (a) dapat dilakukan oleh siswabaik di dalam kelas ataupundi luar kelas, (b) dilakukan oleh siswa baik sebagai secara individu maupun kelompok, dan (c) dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat-alat peraga. Ketika seorang guru menerapkan active learning, biasanya akan (a) menghabiskan lebih besarproporsi waktu membantu siswa mengembangkan pemahaman dan keterampilan mereka (memfokuskan pembelajaran secara mendalam)dan proporsi yang lebih rendah pada informasi waktu transmisi (yaitu, mendukung pembelajaran yang hanya di permukaan). Sebagai tambahan, guru akan
121
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
memberikan kesempatan bagi siswa untuk (a) mengaplikasikan dan menunjukkan apa yang merekapelajari dan (b) menerima umpan balik langsung dari rekan-rekan dan / atau guru. Untuk itu, peran dan support guru pada pastisipasi siswa di dalam pembelajaran sangat penting dalam mendukung prestasi belajar siswa dalam memahami konsep matematika. Seperti dijelaskan pada gambar berikut tentang hubungan support guru dan partisipasi siswa terhadap prestasi siswa.
Gambar 7. Keterkaitan tindakan guru terhadap partisipasi siswa dan partisipasi siswapada prestasi siswa ( Diadaptasi dari Ing, et.al (2015))
Berdasarkan gambar di atas, jelas terlihat bahwa support (dukungan) guru terhadap partisipasi siswa secara tidak langsung berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Begitu pula support guru terhadap partisipasi siswa akan berpengaruh terhadap partisipasi siswa ketika guru dan siswa fokus pada pembelajaran yang berdampak pada prestasi belajar siswa akan lebih baik. PENUTUP Pada saat pembelajaran menggunakan strategi active learning memerlukan fokus dari guru dan siswa dalam proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai dengan baik. Guru dan siswa harus sama-sama aktif di dalam pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student oriented). Guru dituntut untuk tidak hanya memfokuskan pada materi pelajaran dan pada siswa yang aktif, akan tetapi guru juga harus memfokuskan perhatiannya pada siswa yang pasif (passive learner) dengan memberikan support dan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang diberikan guru terhadap siswa yang pasif agar juga aktif di dalam pembelajaran sehingga mereka mampu memahami konsep matematika dengan baik. Pada akhirnya prestasi belajar matematika siswa tercapai dengan baik karena sangat erat keterkaitan support guru terhadap partisipasi siswa, dan partisispasi siswa yang berakibat terhadap prestasi belajar siswa. Perhatian guru kepada siswa menambah semangat mereka untuk terus belajar. Selain itu, perhatian tersebut juga dapat meningkatkan rasa memliki siswa terhadap kelas sehingga akan terjalin kondisi kelas yang kondusif dan memberikan kesempatan siswa untuk untuk memaparkan kemampuan mereka. Guru seharusnya mempertimbangkan hal-hal positif dan negatif terhadap media pembelajaran yang akan digunakan. Sekiranya media pembelajaran dapat menyebabkan gagal fokus siswa terhadap media pembelajaran yang digunakan, maka media tersebut tidak dapat digunakan karena akan memberikan dampak negatif terhadap pembelajaran. Untuk itu, pemilihan media pembelajaran yang tepat akan membantu siswa memahami konsep matematika dan memfokuskan siswa pada pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan guru harus dapat menstimulasi terhadap
fokus siswa yang membantu siswa memahami konsep matematika. Pemahaman konsep
122
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
matematika yang baik membantu siswa untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang nantinya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Dengan demikian, media pembelajaran yang digunakan guru merupakan media yang memberikan kesempatan siswa untuk berinteraksi dengan guru, antar siswa dan terhadap media itu sendiri. DAFTAR RUJUKAN Badri, Sepannur. 2014. The Development Of Contextual-Based Interactive Multimedia Learning Materials In Geometry For Elementary School ClassesV. Proceeding The 2nd SEA-DR Conference. Palembang, 26-27 April 2014 Bell, Daniel & Kahrhoff, Jahna. 2006. Active Learning Handbook. Institute for Excellence in Teaching and Learning. Faculty Development Center, Webster University. Center For Faculty Excellence Presents. 2009. Classroom Activities for Active Learning. for your consideration... suggestions and reflections on teaching and learning Eison, Jim. 2010. Using Active Learning Instructional Strategies to Create Excitement and Enhance Learning. Department of Adult, Career & Higher Education University of South Florida. https://www.cte.cornell.edu/documents/presentations/Eisen-Handout.pdf Ing, Marsha. Et.al. 2015. Student participation in elementary mathematics classrooms: the missing link between teacher practices and student achievement?. Published online: 5 August 2015. Springer Science+Business Media Dordrecht (outside the USA) 2015. DOI 10.1007/s10649015-9625-z Isac, Maria Magdalena. Et.al. 2015. Teaching Practices in Primary and Secondary Schools in Europe: Insights from Large-Scale Assessments in Education. Joint Research Center (JRC) Science and Policy Report. ISBN 978-92-79-48421-6 (PDF). ISSN 1831-9424 (online). DOI: 10.2788/383588 Kablan, Zeynel. 2016. The Effect of Manipulatives on Mathematics Achievement Across Different Learning Styles. Routledge Educational Psychology An International Journal of Experimental Educational Psychology. Vol. 36, No. 2, 277–296, http://dx.doi.org/10.1080/ 01443410.2014.946889. ISSN: 0144-3410 (Print) 1469-5820 (Online) Journal homepage: http://www.tandfonline.com/loi/cedp20 Lindberg, Ann-Sofi Roj. 2001. Active Learning of Mathematics. Published in: Benton, N & R. (eds.). 2001. Te Rito o Teh Matauranga : Experiential Learning for the Third Millenium. Vol 2, 159-168, Auckland : James Henare Maori Research Centre for the International Consortium for Experiential Learning. ISBN 0-9582366-1-5. Meyer, C., & Jones, T. B. (1993). Promoting active learning:Strategies for the college classroom. San Francisco: Jossey-Bass. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 2000. Principles and Standards for School Mathematics. The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. www.nctm.org Prince, Michael. 2004. Does Active Learning Work? A Review of The Research. Journal of Engineering Education. Sidenval, Johan; Jader, Jonas; Lithner, Johan. 2015.Students‟ reasoning in mathematics textbook task-solving.International Journal of Mathematical Education 46(4) · May 2015. DOI: 10.1080/0020739X.2014.992986 Tennant, Lilly J. & Tennant, Raymond F. 2010. Dyscalculia : More Than Mathematics Phobia. MEE Dec – Jan 2010. Diakses di www.middleeasteducator.com hal 47 . Wikipedia. Learning Retention Pyramid. Diakses di https://en.wikipedia.org/wiki/File: Learning Retention_Pyramid.JPG
123
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERTIDAKSAMAAN KUADRAT Sari, Febri Mustika1; Subanji2; Mulyati, Sri3 Universitas Negeri Malang 1
[email protected]
Abstrak: Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kesulitan apa yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI KA 2 SMK Negeri 7 Malang tahun pelajaran 2014/2015, yang mana jumlahnya 28 siswa dan setelah mengerjakan soal tes diagnostik dan dilakukan pengoreksian dipilih 6 subjek yaitu dua orang yang kemampuan matematika baik, dua orang yang kemampuan matematika sedang dan dua orang yang kemampuan matematika rendah. Metode yang digunakan adalah tes dan wawancara. Pengklasifikasian kesulitan siswa menggunakan empat langkah pemecahan masalah yang dikemukakan Polya yaitu: (1) pemahaman masalah; (2) menyatakan fakta dalam kalimat-kalimat matematika yang sesuai; (3) menggunakan konsep-konsep metematika yang telah dipelajari sebelumnya; dan (4) memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh dan mengkomunikasikan jawaban. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa siswa mengalami kesulitan pada keempat tahap tersebut. Kata Kunci: diagnosis kesulitan, pertidaksamaan kuadrat.
Upaya peningkatan penalaran matematika perlu dilakukan dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertujuan agar siswa mampu menggunakan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Peran guru diperlukan dalam membentuk penalaran siswa. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri. Guru diharapkan memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya dan membantunya bila siswa mengalami kesulitan. Pemecahan masalah pertidaksamaan mempengaruhi keberhasilan dalam kalkulus (Tsamir, dkk.,2001; Tsamir, dkk.,2004; Ureyen, dkk., 2006). Konsep pertidaksaman dan penyelesaiannya digunakan untuk menganalisis sifat dari fungsi, misalnya menentukan domain dan monoton dari fungsi (Ureyen, dkk., 2006). Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, kemampuan siswa dalam penyelesaian pertidaksamaan kuadrat adalah merupakan hal yang sangat penting karena merupakan materi prasyarat untuk materi selanjutnya. Kesulitan dalam penyelesaian pertidaksamaan dikarenakan kesulitan memahami masalah berupa soal cerita (Acosta, E., 2010; Loc, N.P., 2015). Kesulitan menyatakan masalah dalam model matematika yang sesuai (Gerofsky, S. Gail, 1999; Hart, J. M., 1999; Gooding, S., 2009; Çiltas, A & Tatar, E. 2011). Kesulitan dalam penyelesaian pertidaksamaan dikarenakan kesalahan prosedur dan tidak adanya makna dalam pemahaman konsep (Lorenzo dkk.,2007). Dan tidak adanya kontinuitas konsep (Prediger, 2011) dalam hal ini tidak adanya kontinuitas konsep penyelesaian pertidaksamaan linear dan pertidaksamaan kuadrat. Kesulitan siswa juga dikarenakan siswa belum dapat memahami keterkaitan atau hubungan antar konsep misalnya proses awal penyelesaian pertidaksamaan menggunakan konsep yang sama dengan persamaan (Tsamir, dkk., 2004). Dalam menyelesaikan pertidaksamaan linear dan kuadrat dengan representasi grafik biasanya menghasilkan jawaban yang benar (Tsamir, dkk. ,2001).
124
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Dalam memahami konsep baru, siswa harus membuat transisi dari persamaan ke pertidaksamaan menggunakan fungsi. Hal ini membantu ketika fungsi yang dihadapi yaitu fungsi linear dan kuadrat tetapi pendekatan berbasis fungsi dalam menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan yang rumit biasanya bermasalah bagi siswa (Verikios, dkk.,2010). Dan siswa mampu membuat hubungan konsep fungsi dan persamaan, misalkan y x 4 dan x 4 0 mempunyai arti bahwa penyelesaian x 4 0 adalah merupakan titik potong fungsi y x 4 dengan sumbu-x (Yuksel, dkk. , 2011). Kesulitan siswa dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat didukung penelitian sebelumnya, Sujiati (2011), mengemukakan bahwa hampir seluruh siswa mengalami kesulitan pada langkah menggunakan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya. Isma‟il (2011), mengemukakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menggambar grafik fungsi kuadrat hampir pada semua langkah. Yakin (2011), mengemukakan bahwa kesulitan siswa dalam menyederhanakan pecahan aljabar, meliputi memfaktorkan dan memahami konsep dalam membagi bentuk aljabar. (Ureyen, dkk., 2006), dari hasil penelitian, didapatkan bahwa mahasiswa lebih banyak melakukan kesalahan prosedural dalam menyelesaikan pertidaksamaan. Mahasiswa mengetahui bagaimana cara menyelesaikan soal tersebut, tapi langkah-langkahnya salah. Dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat ada dua cara yaitu menggunakan grafik fungsi kuadrat dan cara aljabar. Pada umumnya guru pada waktu mengajar hanya mengenalkan cara aljabar, sehingga tidak terhubung konsep fungsi kuadrat dan pertidaksamaan kuadrat. Ketika siswa menyelesaikan pertidaksamaan dengan cara aljabar, kesulitan yang dialami siswa yaitu menentukan pembuat nol dan menentukan daerah penyelesaian. Hal ini dikarenakan siswa kurang memahami operasi aljabar. Legutko (2008) menyatakan bahwa guru tidak perlu takut ketika siswanya membuat kesalahan. Kesalahan siswa tersebut dapat dianalisis dengan komunikasi yang intensif dengan siswa sehingga pemahaman siswa tentang konsep akan benar. Dengan komunikasi tersebut guru dapat mengetahui jenis-jenis kesulitan belajar siswa dan penyebab siswa mengalami kesulitan. Sehingga guru diharapkan dapat mencari alternatif penyelesaiannya sehingga kesulitan siswa dapat diselesaikan. Untuk memastikan adanya kesulitan siswa, peneliti melakukan uji pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 September 2014 di kelas XI Kimia Analisis 2. Penetapan siswa kelas XI Kimia Analisis 2 sebagai subjek uji pendahuluan ini terkait dengan permasalahan yang peneliti rancang, yaitu permasalahan yang menghendaki siswa dapat menghubungkan atau menggabungkan setidaknya konsep pertidaksamaan linear, fungsi dan persamaan kuadrat dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Uji pendahuluan dilakukan dengan memberikan 5 soal tentang pertidaksamaan kuadrat. Dengan mengkaji hasil pekerjaan siswa tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan tentang pertidaksamaan kuadrat. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang dialami siswa, peneliti mendiagnosis kesulitan siswa selanjutnya mencermati bagaimana kesulitan siswa dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat dari hasil kerja tes diagnostik. Selanjutnya peneliti melakukan penelitian kualitatif deskriptif yang berjudul Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Pertidaksamaan Kuadrat. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah kesulitan apa yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat? METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI KA 2 SMK Negeri 7 Malang tahun pelajaran 2014/2015, yang mana jumlahnya 28
125
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
siswa dan setelah mengerjakan soal tes diagnostik dan dilakukan pemeriksaan dipilih 6 subjek yaitu dua orang yang kemampuan matematika baik (Subjek 1 dan Subjek 2), dua orang yang kemampuan matematika sedang (Subjek 3 dan Subjek 4) dan dua orang yang kemampuan matematika rendah (Subjek 5 dan Subjek 6). Peneliti menggunakan tes diagnostik dan wawancara dalam pengumpulan data. Tes ini digunakan untuk mengetahui kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksamaan kuadrat. Soal tes terdiri dari 2 soal dalam bentuk soal uraian dan telah divalidasi oleh seorang dosen Universitas Negeri Malang, seorang Guru SMK Negeri 4 Malang dan seorang guru SMK Negeri 5 Malang. Setelah diberikan tes diagnostik dan dilakukan pengoreksian dipilih 6 subjek untuk kemudian diwawancara. Wawancara yang digunakan peneliti pun tidak terstruktur. Teknik analisis data yang digunakan peneliti, dilakukan dalam beberapa langkah yaitu: (1) membuat catatan jawaban masingmasing subjek pada langkah-langkah yang benar; (2) membuat catatan jawaban masing-masing subjek pada langkah-langkah yang salah; (3) mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pemikiran dibalik jawaban siswa (penyebab kesulitan); (4) mengelompokkan kesulitan siswa berdasarkan empat langkah pemecahan masalah yang dikemukakan Polya yaitu: (a) pemahaman masalah; (b) menyatakan fakta dalam kalimat-kalimat matematika yang sesuai; (c) menggunakan konsep-konsep metematika yang telah dipelajari sebelumnya; dan (d) memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh dan mengkomunikasikan jawaban; (5) Melakukan penarikan kesimpulan. Berikut soal tes diagnostik: Tabel 1. Soal Tes Diagnostik No 1.
Soal No 1 Aji meloncat dari suatu bukit yang tingginya 480 ft ke laut dengan kecepatan awal 16 ft/s. Kemudian posisi ketinggian Aji pada suatu waktu dapat dimodelkan dengan fungsi
h f (t ) 16t 2 v0t ho dimana
v 0 adalah kecepatan awal dan ho adalah ketinggian
awal. a)
2.
Tentukan persamaan yang benar untuk situasi tersebut berdasarkan informasi yang diberikan. b) Gambarkan fungsi tersebut? Langkah-langkahnya: (1) menentukan titik potong dengan sumbu X, (2) menentukan titik potong dengan sumbu Y, (3) menentukan sumbu simetri, (4) menentukan titik balik, (5) titik lain dan (6) menghubungkan semua titik hingga menjadi grafik fungsi kuadrat c) Pada detik keberapa Aji mencapai ketinggihan maksimum? d) Berapa tinggi maksimum yang dapat dicapai Aji? e) Aji membutuhkan berapa detik untuk mencapai permukaan air? f) Pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft? Suatu perusahaan mobil akan memperoleh keuntungan bulanan P (dalam puluhan juta rupiah), jika perusahaan tersebut dapat menjual sebanyak x mobil maka keuntungannya dapat dirumuskan P f ( x) x 2 5x 50 .
a. Tentukan nilai P jika yang terjual pada bulan tertentu sebanyak 3 mobil? Bagaimana nilai P, apakah bernilai negatif, nol atau positif? Jelaskan!
b. Tentukan nilai P jika yang terjual pada bulan tertentu sebanyak 5 mobil? Bagaimana nilai P, apakah bernilai negatif, nol atau positif? Jelaskan!
c. Tentukan nilai P jika yang terjual pada bulan tertentu sebanyak 7 mobil? Bagaimana
126
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
nilai P, apakah bernilai negatif, nol atau positif? Jelaskan!
d. Tentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan?
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Peneliti mengidentifikasi kesulitan masing-masing subjek pada langkah-langkah yang salah terlebih dahulu dengan memperhatikan hasil kerja tes diagnostik. Selanjutnya melakukan wawancara untuk mengetahui pemikiran dibalik jawaban siswa yang merupakan penyebab siswa mengalami kesulitan. Identifikasi Kesulitan Soal Nomor 1 S1 tidak mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 1. S1 dapat menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu dan menuliskan pertidaksamaan yang sesuai dengan permasalahan yaitu pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft. Sehingga dapat dikatakan S1 tidak mengalami kesulitan dalam menyatakan fakta dalam kalimat matematika. S1 mengalami kesalahan konsep yang telah dipelajari sebelumnya dalam menyederhanakan fungsi, t 2 berarti t dikuadratkan, kesalahan dalam prosedur menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat, kesalahan konsep jika ab c maka a c atau b c . S1 kesulitam memfaktorkan bentuk persamaan kuadrat ketika a 1 atau a 1 . S2 hanya menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu. Saat diwawancara, S2 lupa rumus dalam setiap tahap menggambar grafik fungsi kuadrat, dan setelah itu ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. S3 mengalami kesalahan dalam pemfaktoran yaitu menyelesaikan persamaan kuadrat. Saat wawancara peneliti meminta mengecek hasil pemfaktoran pada jawaban sebelumnya. S 3 melakukan kesalahan dikarenakan tidak melakukan langkah ke-empat dalam pemecahan masalah yaitu memeriksa kembali hasil perhitungan. S3 salah menuliskan titik puncak dari grafik fungsi kuadrat padahal hasil perhitungannya benar. S3 kurang teliti dalam mengerjakan soal. S3 tidak dapat memahami masalah sehingga tidak dapat menentukan pertidaksamaan yang sesuai dengan permasalahan yaitu pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft. S4 tidak mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 1. S4 dapat menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu. S4 mengalami kesalahan konsep yang telah dipelajari sebelumnya dalam menyederhanakan fungsi, t 2 berarti t dikuadratkan dan kurang teliti dalam perhitungan menentukan titik lain dari grafik fungsi kuadrat. Saat wawancara, S4 tidak memahami masalah pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. S5 dapat menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu. S5 tidak dapat menentukan titik potong grafik fungsi kuadrat dengan sumbu X karena kesulitan dalam pemfaktoran. S5 mengalami kesulitan dalam pemfaktoran dengan a 1 . S5 lupa rumus dalam dalam menentukan sumbu simetri dan titik puncak dari grafik fungsi
127
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
kuadrat. Saat wawancara, S5 tidak memahami masalah pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. S6 tidak mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 1. S6 dapat menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu. S6 dapat menyelesaikan tahapan dalam menggambar grafik fungsi kuadrat, tetapi salah dalam meggambar titik puncak karena kurang teliti. Saat wawancara, S6 tidak memahami masalah pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. S6 langsung menuliskan hasil akhir yaitu pada detik ke-5 dengan menggunakan perkiraan dari gambar grafik fungsi kuadrat. S6 sudah dapat mengaitkan masalah pertidaksamaan kuadrat dengan menggunakan grafik fungsi kuadrat. Identifikasi Kesulitan Soal Nomor 2 S1 tidak mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 1. S1 melakukan kesalahan dalam menuliskan pertidaksamaan yang sesuai dikarenakan tidak dapat membedakan makna variabel P dan x. S1 mengalami kesalahan konsep seperti pada soal nomor 1 dalam prosedur menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat yaitu tidak terlebih dahulu mengubah ke bentuk umum pertidaksamaan kuadrat dan kesalahan konsep jika ab c maka a c atau b c . S1 melakukan kesalahan menggunakan nilai uji dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat. S2 tidak dapat memahami masalah menentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan. Sehingga tidak dapat menentukan model matematika yang sesuai dengan permasalahan tersebut. S2 langsung menuliskan jawaban permasalahan tersebut yaitu jika x 5 rugi dan jika x 5 untung yaitu perusahaan mengalami rugi jika mobil yang terjual kurang dari 5 mobil dan perusahaan mengalami untung jika mobil yang terjual lebih dari 5 mobil. Dari wawancara, S2 melihat dari jawaban 2a, 2b dan 2c jadi menyimpulkan yaitu jika x 5 rugi dan jika x 5 untung. S3 tidak dapat memahami masalah menentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan. Sehingga tidak dapat menentukan model matematika yang sesuai dengan permasalahan tersebut. S3 langsung menuliskan jawaban permasalahan tersebut yaitu perusahaan untung dengan menjual sebanyak 7 mobil. Dari wawancara, S3 melihat dari jawaban 2c jadi menyimpulkan yaitu perusahaan untung dengan menjual sebanyak 7 mobil. S4 tidak mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 2. S4 dapat menentukan model matematika yang sesuai dengan permasalahan dengan menuliskan pertidaksamaan yang sesuai dengan permasalahan yaitu menentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan. Sehingga dapat dikatakan S4 tidak mengalami kesulitan dalam menyatakan fakta dalam kalimat matematika. Dari hasil wawancara S4 mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. S4 hanya dapat menentukan pembual nol dari pertidaksamaan, membuat garis bilangan dan memberikan tanda positif, tetapi S4 tidak paham alasan memberi tanda positif. S4 tidak dapat melanjutkan ke langkah selanjutnya. S5 sama dengan S4 dapat menyelesaikan sampai menentukan pembuat nol dari pertidaksamaan kuadrat, membuat garis bilangan dengan pembatas pembuat nol tersebut. S5 juga dapat menghitung nilai uji pada tiga daerah dan menerapkan hasilnya dengan memberikan tanda
128
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
positif dan negatif pada ketiga daerah dalam garis bilangan. Tetapi S5 tidak dapat menghubungkan pemahaman tersebut dengan soal pertidaksamaan kuadrat dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat. S6 sama dengan S4 dan S5 dapat menyelesaikan sampai menentukan pembuat nol dari pertidaksamaan kuadrat, membuat garis bilangan dengan pembatas pembuat nol tersebut. S6 juga dapat menghitung nilai uji pada satu daerah dan menerapkan hasilnya dengan memberikan tanda positif dan negatif pada ketiga daerah dalam garis bilangan. Tetapi S6 tidak dapat menghubungkan pemahaman tersebut dengan soal pertidaksamaan kuadrat dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat.
Berikut beberapa kesulitan siswa dalam mengerjakan tes diagnostik. Soal nomor 1, S4 melakukan kesalahan yaitu mengubah fungsi f (t ) 16t 2 16t 480 . menjadi
f (t ) t 2 t 30 .
Dari wawancara, S4 beralasan karena persamaannya
disederhanakan dibagi 16. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Kesalahan S4 pada soal nomor 1
Soal nomor 1, S3 telah memahami titik potong grafik dengan sumbu X. Terlihat S3 mengerjakan titik potong grafik dengan sumbu X dengan pemahaman y 0 . Hanya saja S3 melakukan kesalahan dalam memfaktorkan, sehingga diperoleh titik potong grafik dengan sumbu X yang salah. Dari wawancara, ternyata S3 tidak memeriksa hasil pemfaktoran untuk mengecek kebenarannya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Kesalahan S3 pada soal nomor 1
Soal nomor 1, S1 mengalami kesalahan dalam menentukan titik lain dalam menggambar grafik fungsi kuadrat dikarenakan kesalahan yang sama dalam menyederhanakan fungsi. S1 juga melakukan kesalahan dalam menentukan perhitungan 12 1 . Dari wawancara, S1 beralasan karena 12 berarti negatif 1 dikuadratkan sehingga 12 1 . Hal ini dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
Menggunakan Kesalahan dalam perhitungan
Gambar 3. Kesalahan S1 pada soal nomor 1
129
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Soal nomor 1, S1 sudah dapat menentukan pertidaksamaan kuadrat dari permasalahan tetapi dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat tidak mengubah ke bentuk umum dari pertidaksamaan kuadrat. Sehingga dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat hanya memfaktorkan ruas kiri, tidak memperhatikan ruas kanan harus nol dan S1 kesulitan dalam memfaktorkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4 sebagai berikut:
Kesalahan tidak mengubah ke bentuk umum sebelum difaktorkan
Gambar 4. Kesalahan S1 pada soal nomor 1
Soal nomor 2, dari wawancara S1 tidak memahami perbedaan variabel x dan fungsi P f (x) sehingga salah dalam menentukan pertidaksamaan kuadrat yang memenuhi permasalahan tersebut dengan menuliskan P 5 . S1 dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat tidak mengubah ke bentuk umum dari pertidaksamaan kuadrat. Sehingga dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat hanya pemfaktoran ruas kiri dan tidak memperhatikan ruas kanan harus nol. Sehingga salah dalam menentukan pembuat nol pertidaksamaan kuadrat dikarenakan kesalahan konsep yaitu jika ab c maka a c atau b c . S1 juga belum paham menggunakan titik uji dalam menentukan himpunan selesaian pertidaksamaan kuadrat. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5 sebagai berikut:
Gambar 5. Kesalahan S1 pada soal nomor 2
Soal nomor 2, S6 hampir selesai dalam menyelesaikan soal nomor 2. S6 sudah menyelesaikan nilai uji dan menggambar hasilnya dalam garis bilangan, tetapi S 6 tidak dapat menuliskan himpunan selesaian yang memenuhi pertidaksamaan. Dari wawancara, S6 dapat menjelaskan sebelah kanan 5 pada garis bilangan bertanda positif menggunakan nilai uji x 7 , tetapi S6 tidak dapat menjelaskan alasan dengan benar kenapa sebelah kirinya -10 bertanda positif dan diantara -10 dan 5 bertanda negatif. Hal ini mengakibatkan S6 tidak dapat mengaitkan nilai uji dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat. Hal ini dapat dilihat pada gambar 6 sebagai berikut:
130
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
Gambar 6. Kesulitan S6 pada soal nomor 2
Soal nomor 2, S2 langsung menuliskan jawaban permasalahan tersebut yaitu jika x 5 rugi dan jika x 5 . Dari wawancara, S2 melihat dari jawaban 2a, 2b dan 2c jadi menyimpulkan yaitu jika x 5 rugi dan jika x 5 untung. Dan S2 menjelaskan bahwa dia sudah mencoba untuk x 6 selain 7 dan benar sehingga menulis jawaban. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 sebagai berikut:
Gambar 7. Kesulitan S2 pada soal nomor 2
Pembahasan Semua subjek dapat memahami masalah soal nomor 1 dan dapat menuliskan fungsi h yang menyatakan posisi ketinggian Aji pada suatu waktu. Tetapi hanya S 1 yang dapat memahami masalah pada detik keberapa Aji mencapai ketinggian kurang dari 420 ft, sehingga S1 dapat menyatakan fakta dalam kalimat matematika yang sesuai dengan permasalahan. Hal ini dapat dilihat S1 dapat menentukan model matematika yang sesuai berupa pertidaksamaan kuadrat. Kesulitan memahami masalah soal cerita dialami oleh lima subjek, berarti soal cerita merupakan masalah bagi siswa (Acosta, E., 2010; Loc, N.P., 2015). Kesulitan memahami soal cerita dikarenakan siswa tidak merumuskan kembali apa yang diketahui atau informasi dari soal dan apa yang ditanyakan. Dan S2, S3, S4, S5, S6 mengalami kesulitan dalam menyatakan fakta dalam kalimat matematika. Kesulitan menyatakan masalah dalam model matematika yang sesuai (Gerofsky, S. Gail, 1999; Hart, J. M., 1999; Gooding, S., 2009; Çiltas, A & Tatar, E. 2011). S1 dan S4 melakukan kesalahan dalam menyederhanakan fungsi dan perhitungan seperti 12 1 dan 2 2 4 dikarenakan kesalahan konsep (Lorenzo dkk.,2007). S2 dan S5 kesulitan hampir dalam semua tahapan dalam menggambar grafik fungsi kuadrat karena lupa rumus. Pada pembelajaran sebelumya tahapan dalam menggambar grafik fungsi kuadrat tidak menghubungkan konsep titik potong grafik fungsi kuadrat dengan sumbu X dan Y, sumbu simetri dan titik puncak grafik fungsi kuadrat. Hal ini dikarenakan tidak adanya makna dalam pemahaman konsep (Lorenzo dkk.,2007) dan kontinuitas konsep (Prediger, 2011). S1 kesulitan dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat karena tidak dapat memfaktorkan dan juga melakukan kesalahan dalam prosedur menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat yaitu terlebih dahulu mengubah ke bentuk umum pertidaksamaan kuadrat. Hal ini dikarenakan tidak dapat menggunakan konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya dalam memfaktorkan (Sujiati, 2011) dan tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep yaitu proses awal penyelesaian persamaan dan pertidaksamaan kuadrat menggunakan konsep yang sama yaitu diubah terlebih dahulu ke bentuk umum sebelum difaktorkan (Tsamir, dkk., 2004). S3 melakukan kesalahan dalam menentukan titik potong dengan sumbu X dikarenakan hasil pemfaktoran yang salah. Hal ini
131
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
dikarenakan S3 tidak melakukan langkah ke-empat dalam pemecahan masalah yaitu memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh. Siswa tidak mengecek kebenaran nilai x yang diperoleh dengan mensubtitusikan ke persamaan kuadrat. Jika siswa melakukan prosedur pengecekan jawaban, maka hasil cek ulang akan memberikan petunjuk benar atau salah jawaban yang telah diperoleh (Ureyen, dkk., 2006). Semua subjek dapat memahami masalah soal nomor 2 dengan menyelesaikan soal 2a, 2a dan 2c. S1, S2 dan S3 mengalami kesulitan dalam memahami masalah menentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan. S1 kesulitan menyatakan fakta dalam kalimat matematika yang sesuai dengan permasalahan yaitu menentukan model matematika yang sesuai dikarenakan tidak dapat membedakan makna variabel P dan x. Kesulitan memahami soal cerita dikarenakan S1 tidak merumuskan kembali apa yang diketahui atau informasi dari soal dan apa yang ditanyakan. S2 tidak dapat menentukan model matematika yang sesuai dengan permasalahan tersebut. S2 langsung menuliskan jawaban permasalahan tersebut yaitu jika x 5 rugi dan jika x 5 dikarenakan langsung menyimpulkan dari jawaban 2a, 2b dan 2c. Begitu juga dengan S3 langsung menuliskan jawaban permasalahan tersebut yaitu perusahaan untung dengan menjual sebanyak 7 mobil dikarenakan langsung menyimpulkan jadi jawaban 2c. yaitu perusahaan untung dengan menjual sebanyak 7 mobil dan tidak mencoba dengan nilai x yang lain. Kesulitan memahami masalah soal cerita dialami oleh beberapa subjek tersebut, berarti soal cerita merupakan masalah bagi siswa (Acosta, E., 2010; Loc, N.P., 2015). Dan S1, S2, S3 mengalami kesulitan dalam menyatakan fakta dalam kalimat matematika. Kesulitan menyatakan masalah dalam model matematika yang sesuai (Gerofsky, S. Gail, 1999; Hart, J. M., 1999; Gooding, S., 2009; Çiltas, A & Tatar, E. 2011). S4, S5 dan S6 dapat memahami masalah menentukan nilai x (banyaknya mobil yang harus terjual) agar perusahaan tersebut mengalami keuntungan, sehingga mereka dapat menyatakan fakta dalam kalimat matematika yang sesuai dengan permasalahan. Ketiga subjek tersebut dapat menentukan model matematika yang sesuai yaitu berupa pertidaksamaan kuadrat dan dapat menentukan pembuat nol dari pertidaksamaan kuadrat. S4 membuat garis bilangan dan memberikan tanda positif, tetapi S4 tidak paham alasan memberi tanda positif. S4 tidak dapat melanjutkan ke langkah selanjutnya. S5 juga dapat menghitung nilai uji pada tiga daerah dan menerapkan hasilnya dengan memberikan tanda positif dan negatif pada ketiga daerah dalam garis bilangan. Tetapi S5 tidak dapat menghubungkan pemahaman tersebut dengan soal pertidaksamaan kuadrat dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat. S6 sama seperti S5, tetapi S6 menggunakan satu nilai uji. Ketiga subjek ini tidak memahami makna nilai uji dalam menentukan selesaian pertidaksamaan kuadrat karena lupa caranya. Hal ini dikarenakan tidak adanya makna dalam pemahaman konsep (Lorenzo dkk.,2007). S1 melakukan kesalahan dalam prosedur menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat seperti yang terjadi pada soal nomor 1 yaitu tidak terlebih dahulu mengubah ke bentuk umum pertidaksamaan kuadrat. Hal ini dikarenakan tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep yaitu proses awal penyelesaian persamaan dan pertidaksamaan kuadrat menggunakan konsep yang sama yaitu diubah terlebih dahulu ke bentuk umum sebelum difaktorkan (Tsamir, dkk., 2004). S1 tidak mengubah terlebih dahulu pertidaksamaaan kuadrat ke bentuk umum sebelum difaktorkan, sehingga diperoleh nilai x yang salah. Hal ini dikarenakan S1 tidak melakukan langkah ke-empat dalam pemecahan masalah yaitu memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh. Siswa tidak mengecek kebenaran nilai x yang diperoleh dengan mensubtitusikan ke pertidaksamaan kuadrat. Jika siswa melakukan prosedur pengecekan jawaban, maka hasil cek ulang akan memberikan petunjuk benar atau salah jawaban yang telah diperoleh (Ureyen, dkk., 2006). Penjelasan di atas adalah kesulitan siswa dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Dari sebuah penelitian menunjukkan tidak hanya mahasiswa keguruan tingkat pertama tetapi juga kedua, ketiga, dan tahun keempat mengalami kesulitan dan kesalahan konsep dalam pertidaksamaan linear
132
ISBN: 978 – 602 – 1150 – 17 – 7
dan kuadrat. Jadi ada kemungkinan setelah lulus masih mengalami kesulitan aljabar dan kesalahan konsep dalam pertidaksamaan. Alasan mengapa siswa mungkin memiliki kesalahan konsep mungkin diperoleh dari guru-guru mereka (Biser, dkk., 2014). PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah berkaitan dengan pertidaksamaan kuadrat ditinjau dari empat langkah yang dikemukakan polya adalah: 1. Memahami masalah yaitu siswa tidak terbiasa menuliskan apa yang diketahui atau informasi disoal, apa yang ditanyakan dalam soal cerita. 2. Membuat rencana yaitu menyatakan fakta dalam kalimat-kalimat matematika yang sesuai dengan masalah berupa model matematika. Pada soal nomor 1, hanya S1 yang dapat menentukan model matematika. Pada soal nomor 2, S4, S5 dan S6 dapat menentukan model matematika. 3. Melakukan rencana yaitu menggunakan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya dalam menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. 4. Memeriksa kembali yaitu memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh dan mengkomunikasikan jawaban. Siswa tidak terbiasa melakukan pengecekan terhadap hasil pekerjaannya dan tidak menyesuaikan jawabannya dengan pertanyaan. Saran Dari hasil penelitian maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Guru hendaknya dalam menjelaskan langkah-langkah pengerjaan soal terutama pemecahan masalah, sebaiknya dilakukan secara rinci. Sehingga diharapkan siswa mengetahui manfaat tiap langkah pengerjaan soal. 2. Membiasakan siswa dengan soal pemecahan masalah bukan soal prosedural. DAFTAR RUJUKAN Acosta, E. 2010. Making Mathematics Word Problems Reliable Measures of Student Mathematics Abilities. Journal of Mathematics Education, 3(1): 15-26. (Online), ( http://educationforatoz.com/images/_2_Enid_Acosta__Article_on_Math_Word_problems_4.18.10_New.pdf), diakses 30 Maret 2016. Biser, dkk. 2014. Pre-service Teachers‟ Linear and Quadratic Inequalities Understandings. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. (online), ( http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/bicer.pdf.) diakses 7 Mei 2016. Çiltas, A & Tatar, E. 2011. Diagnosing Learning Difficulties Related to the Equation and Inequality that Contain Terms with Absolute Value. International Online Journal of Educational Sciences, 3(2): 461-473. (online), (http://journaldatabase.info/download/ pdf/diagnosing learning difficulties.), diakses 3 Maret 2016. Gerofsky, S.Gail. 1999. The word Problem as Genre in Mathematics Education. Thesis. Canada:Simon Fraser University. Gooding, S. 2009. Chindren’s Difficulties with Mathematical Word Problem. Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics 29(3):31-36. UK: University of Cambridge. Hart, J. M. 1999. The Effect of Personalized Word Problems. Teaching Children Mathematics, 2(8): 504-505. (online), (https://pdfs.semanticscholar.org/2649/2654dda7ae002f83b947e9be5662d 01cc147.pdf. ), diakses 3 Maret 2016.
133
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
Isma‟il. 2011. Diagnosis dan Scaffolding Kesulitan Siswa dalam Menggambar Grafik Fungsi Kuadrat. Tesis tidak dipublikasikan, Malang: Program Pascasarjana UM. Legutko, M. 2008. An Analysis of Students‟ Mathematical Error in The Teaching-Research Process. Mathematics Teaching-Research Journal On-Line. (online), (http://dandcmathematicskit.wiki.westga.edu/file/view/resource+3.pdf), diakses 31 Mei 2013. Loc, N. P.2015 . Opinions on Mathematics Word Problems in Primary Schools: A Survey of Teachers and Students in the City “Bac Lieu” – Vietnam. European Academic Research, 2(11): 1456114564. (Online), (http://euacademic.org/UploadArticle.1378.pdf), diakses 30 Maret 2016. Lorenzo J.,dkk. 2007. Difficulties in Learning in Students of The First Year of Pre-University Education in Spain. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 3(3): 221-229. (online), (http://ejmste.com/v3n3/EJMSTE_v3n3_Blanco_Garrote.pdf), diakses 3 Mei 2013. Polya, G. 1973. HOW TO SOLVE IT. Princeton University Press. Prediger,S. 2011. Why Johnny Can‟t Apply Multiplication Revisiting The Choise of Operations With Fractions. International Journal of Mathematics Education, 6(2): 65-88. (online), (http://www.iejme.com/022011/main/htm), diakses 8 Mei 2013. Sujiati, Anik. 2011. Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah dengan Pemberian Scaffolding. Tesis tidak dipublikasikan, Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Tsamir, P., dkk. 2001. Student‟ Strategies and Difficulties : The Case of Algebraic Inequalities. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 32(4): 513-524. Tsamir,P., dkk. 2004. Consistencies and inconsistencies in students' solutions to algebraic „singlevalue‟ inequalities. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 35(6): 793-812,), (online), ( http://eclass.gunet.gr/modules/document/…/tirosh%20Bazzini% 202004.pdf), diakses 17 Mei 2013. Ureyen, M., Cetin, N., & Mahir, N. 2006. The Mistakes Made by the Students Taking a Calculus Course in Solving Inequalities. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. (online), (http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/ureyen.pdf), diakses 16 April 2013. Verikios,P., dkk. 2010. From Equation to Inequality Using a Function-Based Approach. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 41(4): 515-530. Yakin, Muhammad Hasan Ainul. 2011. Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyederhanakan Pecahan Aljabar dan Upaya Mengatasinya dengan Menggunakan scaffolding. Tesis tidak dipublikasikan, Malang: Program Pascasarjana UM. Yuksel D.,dkk.,2011. Preservice Mathematics Teachers Experiences about Function and Equation Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education,7(2):89-102. (online), ( http://www.ejmste.com/Makale.aspx?kimlik=2133) diakses 22 Mei 2013.
134