PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA Rekayasa Genetik Artemisia annua L. sebagai Terobosan Obat Antimalaria serta Potensi Budidayanya di Indonesia
PKM – GT Diusulkan oleh : Aila Mustofa
G0008047 (2008)
Umam Fazlurrahman
G0007168 (2007)
Ariana Setiani
G0005063 (2005)
David Noor Umam
G0005074 (2005)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
HALAMAN PENGESAHAN 1 Judul Kegiatan
: Rekayasa Genetik Artemisia annua L. sebagai Terobosan Obat Antimalaria serta Potensi Budidayanya di Indonesia
2 Bidang Kegiatan (Pilih salah satu)
: (X) PKM-GT
( ) PKM-AI
3 Bidang Ilmu (Pilih salah satu)
: (X) Kesehatan ( ) Pertanian ( ) MIPA ( ) Teknologi dan Rekayasa ( ) Sosial Ekonomi ( ) Humaniora ( ) Pendidikan 4. Ketua Pelaksana Kegiatan a. Nama Lengkap : Aila Mustofa b. NIM : G0008047 c. Jurusan : Pendidikan Dokter d. Universitas/Institut/Politeknik : Universitas Sebelas Maret Surakarta e. Alamat Rumah dan No Tel./HP : Jl. Bromo No.70 Blitar 085746000747 f. Alamat email :
[email protected] 5. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 2 orang 6. Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar : dr. Istar Yuliadi b. NIP : 196007101986011001 c. Alamat Rumah : Jl. dr. Wahidin No.1, Solo d. No. Telp : 081904575222 Surakarta, 8 Maret 2010 Menyetujui Pembantu Dekan III
Ketua Pelaksana Kegiatan
(dr. Hari Purnomo Sidik,MMR) NIP 19490101 197603 1 001
(Aila Mustofa) NIM G0008047
Pembantu Rektor III UNS
Dosen Pendamping
(Drs. H. Dwi Tiyanto, SU) NIP 19540414 198003 1007
(dr. Istar Yuliadi) NIP 196007101986011001
Kata Pengantar
Malaria telah lama kita ketahui sebagai penyakit yang memiliki epidemiologi yang tersebar di seluruh dunia, terutama wilayah asia dan afrika, bahkan sering terjadi kejadian luar biasa akibat serangan penyakit malaria ini, termasuk di Indonesia. Salah satu obat yang telah dipakai sejak lama untuk mengobati malaria adalah kina dengan berbagai obat turunannya seperti kloroquine, primaquine, dan quinine. Tetapi sekarang dilaporkan banyak terjadi resisten terhadap pengobatan dengan kina. Artemisia annua L, dengan bahan aktif artemisin, terbukti secara ampuh mengobati malaria, terutama yang mengalami resisten oleh kina. Ditambah lagi efek samping dari kina dan klorokuin yang terbilang berat, sehingga artemisia kini adalah obat yang direkomendasikan oleh WHO untuk mengatasi malaria. Dahulu kala Indonesia adalah penghasil 95% kebutuhan kina dunia, obat malaria yang kita kenal, walaupun sekarang turun drastis menjadi hanya 5%. Dan sekarang ketika era artemisia akan berjalan, adalah peluang yang potensial bagi kita, mengingat tanaman ini cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Terlebih setelah ditemukan metode baru untuk meningkatkan kadar artemisin pada Artemisia annua L., alasan untuk tidak dilakukan produksi massal terhadap obat ini sudah terkikis. Berdasarkan latat belakang diatas, penulis mencoba menyampaikan sebuah gagasan tentang “Rekayasa Genetik Artemisia annua L. sebagai Terobosan Obat Antimalaria serta Potensi Budidayanya di Indonesia”. Diharapkan tulisan ini mampu menyadarkan kita akan sebuah peluang yang saat ini menanti untuk disikapi secara lebih serius. Dan semoga peluang ini dapat dimaksimalkan, sehingga memberikan efek yang positif bagi bangsa Indonesia.
Hormat Kami,
Penulis
Ringkasan
Malaria adalah salah satu penyakit yang secara epidemiologi tersebar meluas di seluruh dunia dan terus berulang setiap tahunnya. Diperkirakan setiap tahun lebih dari 600 juta kasus di dunia terinfeksi penyakit ini, dan menyebabkan 1,7-2,5 juta orang/tahun mengalami kematian. Menurut WHO (2004); pil kina yang selama ini menjadi obat yang diandalkan untuk mengatasi penyakit malaria, ternyata telah resisten terhadap Plasmodium falciparum (penyebab malaria), sehingga diupayakan untuk mencari alternatif tanaman lain yang mampu mengatasi penyebab penyakit tersebut. Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan di seluruh dunia, dan direkomendasikan bahwa salah satu tanaman obat yang mampu mengatasi secara efektif Plasmodium falciparum tersebut yaitu tanaman artemisia. Tantangan dari artemisia adalah bagaimana meningkatkan kadar senyawa aktif artemisin yang ada pada artemisia. Kadar artemisia di alam bervariasi antara 0,1 – 1,8% atau rata-rata 0,8% artemisin. Tetapi hasil penelitian NIAB (National Institute of Agricultural Botany) di Inggris, yang diketuai Ian Graham dari Centre for Novel Agricultural Products, Department of Biology, University of York, mengatakan akhir tahun 2009 mereka berhasil meningkatkan kadar artemisin tanaman itu hingga tiga kali lipat dan menarik minat perusahaan obat. Rahasianya adalah menerapkan pemetaan genetik terhadap tanaman artemisia dengan SNP (single-nucleotide polymorphism) marker, hasilnya didapatkan quantitative trait loci (QTL) dari berbagai fenotip artemisia hasil persilangan dan diambil yang paling baik, setelah itu dilakukan persilangan lagi, sehingga akhirnya di dapatkan pemurnian galur artemisia dengan kadar artemisin tinggi. Dengan permintaan obat malaria yang tinggi, mereka merencanakan sekitar 6.500 hektare lahan di China, Vietnam, Afrika dan India untuk budidaya artemisia, itu pun baru mencakup 60 juta pengobatan dari keperluan 200 juta pengobatan pada dua tahun mendatang. Melihat peluang diatas, dan fakta bahwa Indonesia juga sangat potensial untuk tempat pengembangan artemisia, penulis mencoba memberikan sebuah gagasan agar pengembangan artemisia di Indonesia mengikuti temuan terbaru rekayasa genetik, yaitu dengan pemetaan genetik. Dengan penanganan yang baik serta sistematis, diharapkan kedepannya Indonesia dapat menjadi salah satu produsen Artemisia annua L. yang berkualitas baik, membuka lahan baru untuk petani dan menjadikannya komoditas ekonomi yang menjanjikan.
A. Pendahuluan Malaria adalah salah satu penyakit yang secara epidemiologi tersebar meluas di seluruh dunia dan terus berulang setiap tahunnya. Diperkirakan setiap tahun lebih dari 600 juta kasus di dunia terinfeksi penyakit ini, dan menyebabkan 1,7-2,5 juta orang/tahun mengalami kematian. Empat puluh persen dari jumlah tersebut terdapat di negara-negara antara lain India, Indonesia, Amerika Latin dan Afrika (WHO, 2004). Pada 2006 di Indonesia terdapat 2 juta pasien malaria; pada 2007 menurun menjadi 1,75 juta pasien, tetapi jumlah ini masih terbilang besar (Trubusid, 2008). Menurut WHO (2004); pil kina yang selama ini menjadi obat yang diandalkan untuk mengatasi penyakit malaria, ternyata telah resisten terhadap Plasmodium falciparum (penyebab malaria), sehingga diupayakan untuk mencari alternatif tanaman lain yang mampu mengatasi penyebab penyakit tersebut. Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan di seluruh dunia, dan direkomendasikan bahwa salah satu tanaman obat yang mampu mengatasi secara efektif Plasmodium falciparum tersebut yaitu tanaman artemisia. Tanaman artemisia merupakan tanaman yang berasal dari daerah sub tropis mempunyai banyak spesies berkisar 200-400 spesies. Hasil penelitian tahun 1972 di Cina menunjukkan bahwa Artemisia Annua L. mengandung bahan aktif artemisinin yang sangat efektif mengatasi penyebab penyakit malaria tersebut, yang telah resisten terhadap kina (quinine) (Ebadi, 2002). Artemisia Annua L. merupakan satu-satunya jenis yang mengadung artemisinin dengan, kadar di alam bervariasi antara 0,1 – 1,8%. Meskipun artemisia berasal dari daerah sub tropis, tetapi dapat dikembangkan di daerah tropis, melalui seleksi adaptasi dan hibridisasi dan beberapa negara telah membudidayakan artemisia (Gusmaini, 2007). Sebagaimana kita ketahui kasus malaria di Indonesia hingga saat ini masih tinggi dan juga kebutuhan bahan baku artemisinin yang besar diseluruh dunia, bahkan di Indonesia kebutuhan artemisin masih di impor, maka upaya pengembangan budidaya artemisia penulis pandang sebagai suatu langkah strategis yang perlu dilakukan. B. Gagasan 1. Karakteristik Tanaman Artemisia Gusmaini (2007) menyampaikan bahwa tanaman artemisia (Artemisia Annua L.) adalah tanaman yang berasal dari Asia, kemungkinan utama berasal dari China yang disebut quinghao. Tanaman ini selanjutnya menjadi tanaman yang tumbuh di banyak negara termasuk Argentina, Bulgaria, Prancis, Hungaria, Rumania, Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Artemisia (Artemisia annua L.) digunakan selama berabad-abad dalam pengobatan tradisional China untuk menyembuhkan malaria. Tanaman ini adalah tanaman antimalaria yang pertama kali dimuat dalam Chinese Handbook of Prescription for Emergency Treatment yang dibuat sekitar tahun 340 M. Klasifikasi dari tanaman Artemisia adalah sebagai berikut:
Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae. : Magnoliophyta. : Magnoliopsida. : Asterales. : Asteraceae. : Artemisia : Artemisia annua L.
Gambar.1 Tanaman Artemisia annua L. Tanaman artemisia dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1500 1000 1500 m dpl, tanah berpasir atau berlempung yang berdrainase baik dengan pH 5,5 5,5-8,5 (pH optimum 6-8), 8), curah hujan 700 700-1000 mm/tahun. Ketersediaan air merupakan faktor faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada umur 1-2 1 2 bulan. Tanaman artemisia berasal dari daerah subtropis. Untuk dikembangkan di daerah tropis, perlu diperhatikan beberapa hal antara lain adaptasi lingkungan dan adaptasi (Gusmaini, ni, 2007). Merupakan tumbuhan liar di pinggir-pinggir pinggir pinggir jalan, kebun atau di hutan-hutan. hutan. Berbunga pada bulan Juni Juni-September. September. Waktu panen yang tepat pada bulan April-Mei April (Kardinan, 2008). 2. Gambaran Umum Metabolit Sekunder Pada Tanaman Artemisia Metabolit aktif if yang diguanakan sebagai obat antimalaria adalah artemisisn. Daun artemisia mengandung sekitar 89% dari total artemisinin yang terkandung pada tanaman yang tersebar di 1/3 daun bagian atas (41,7%), 1/3 bagian tengah (25%), dan 1/3 bagian bawah (22,2%) (Kardinan, (Kardinan, 2008). Pendapat lainnya mengatakan bahwa pada bunganya kandungan artemisinin cukup tinggi, bahkan dapat disetarakan dengan daun. Sebagian besar senyawa kimia dalam artemisia (Artemisia (Artemisia annua L. L.) adalah seskuiterpen, yang didalamnya adalah artemisinin, artemisinin, artemisinin I, artemisinin II, artemisinin III, artemisinin IV, artemisinin V, asam artemisik, artemisilactone, artmisinol, dan asam epoksiartennuinik (Gusmaini, 2007). Gambar 2. Rumus struktur dari senyawa artemisinin sebagai berikut.
Rumus molekul : C15H22O5 Berat molekul : 282,3 Titik lebur : 151-154 0C 3. Keefektifan Artemisinin Sebagai Obat Antimalaria Penelitian dilakukan oleh Aryanti,dkk (2006) dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Sebelum melakukan uji daya hambat pertumbuhan P.falciparum, parasit dipersiapkan dengan cara menyediakan pada serum darah, disediakan pula eritrosit tanpa parasit dan eritrosit terinfeksi P. falciparum serta dilakukan proses sinkronisasi. Selanjutnya fraksi 5 dengan konsentrasi 100, 10, 1 dan 0,1 μg/mL dimasukkan ke dalam lempeng sumur uji dengan 50 μL suspensi sel parasit hasil proses sinkronisasi, yakni dengan parasetamia awal 0,2 – 0,8 % dan hematokrit 2 %. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 30 jam dan diberi pewarnaan giemsa selama 25-30 menit lalu dihitung jumlah skizon yang hidup di bawah mikroskop. Persentase kematian dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah skizon pada zat uji dengan control terhadap 200 aseksual plasmodium. Hasil uji daya anti malaria fraksi 5 dari tanaman Artemisia annua L. konsentrasi 100, 10, 1 dan 0,1 μg/mL terhadap P. falciparum (Tabel I ). Nilai IC50 atau kematian 50% plasmodium oleh zat uji yaitu pada konsentrasi 0,38 μg/mL ini menandakan bahwa fraksi 5 pada Artemisia annua L. sangat efektif membunuh plasmodium, dan bila dibandingkan dengan kontrol positif sulfadoksin-pirimetamin konsentrasi 300 μg/mL sebanding dengan Artemisia annua konsentrasi 100 μg/mL (Tabel 1). Hal ini dapat diasumsikan bahwa senyawa artemisinin yang berfungsi sebagai anti malaria pada Artemisia annua L. lebih efektif dibanding sulfadoksin-pirimetamin.
Tabel 1. Persentase kematian Plasmodium falciparum oleh fraksi 5 A.annua pada beberapa konsentrasi Konsentrasi (μg/mL ) Persen kematian (%) 100 85,77 10 70,24
1 0,1 Sulfadoksin-pirimetamin
51,69 49,25 88,09
Mekanisme penghambatan pertumbuhan plasmodium oleh sulfadoksinpirimetamin yaitu dengan cara menghambat pembentukan asam folat, obat ini akan mengikat enzim dihidropotreroat sintase dan dihidrofolat reduktase. Asam folat diperlukan plasmodium untuk pembentukan asam nukleat pada inti. Sedangkan mekanisme penghambatan plasmodium oleh artemisinin yaitu melalui penghambatan enzim PfATP6 yaitu enzim yang mirip dengan enzim ATPase yang tersebar di dalam sitoplasma. Artemisinin yang terbungkus dalam gelembung membran akan masuk ke dalam sel parasit kemudian diaktifkan oleh ion besi dekat enzim PfATP6 dalam reticulum endoplasma dan terlibat dalam reaksi reduksi hemikatalisis yang menghasilkan senyawa sitotoksik. Senyawa ini mengikat dan menghambat PfATP6 secara irreversible dan spesifik. Menurut Klayman (1993), setelah artemisinin diuji coba terhadap hewan percobaan yang diinfeksi dengan malaria diperoleh bahwa senyawa ini sangat efektif membunuh plasmodium yang terdapat pada darah hewan dan tidak menimbulkan racun dan tidak berbahaya terhadap hewan percobaan. Artemisinin, yang diturunkan dari tanaman Artemisia, menurut organisasi internasional seperti Medicines Sains Frontiers (MSF) sekarang adalah obat terbaik bagi malaria, terutama saat digunakan dalam bentuk artemisinin combination therapy (ACT). 4. Gagasan Rekayasa Genetik Artemisia annua L. sebagai Terobosan Obat Antimalaria serta Potensi Budidayanya di Indonesia. a. Kondisi terkini Menurut Agus Kardinan, peneliti utama dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Departemen Pertanian, di Indonesia, pemuliaan Artemesia telah dilakukan di dataran tinggi, seperti di Bogor dan Bandung, Jawa Barat. Namun, pemuliaan tanaman Artemisia masih dalam skala uji coba di luasan yang terbatas.Hal itu tentu menjadi ironi ketika dikaitkan dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang penduduknya rentan terserang malaria. Sementara itu, bahan baku anemisinin yang bisa menjadi penyembuh penyakit malaria masih diimpor sampai saat ini (Bataviase.co.id). Tanaman artemisia umumnya dipanen setelah umur 5 bulan setelah tanam. Masa panen terbaik dilakukan antara pembentukan kuncup bunga dan pembungaan awal. Produksi terna berkisar antara 1,5 – 4 ton/ha bahan terna kering dengan kadar artemisinin 0,3 - 0,6% (Kardinan, 2008). Tantangan dari artemisia adalah bagaimana meningkatkan kadar artemisin yang ada pada artemisia, kadar yang rendah inilah yang menyebabkan artemisia belum bisa diproduksi secara massal. Tetapi paradigma ini sepertinya akan segera berubah, hasil penelitian NIAB (National Institute of Agricultural Botany) di Inggris, yang diketuai Ian Graham dari Centre for Novel Agricultural Products, Department of
Biology, University of York, Yor , mengatakan akhir tahun 2009 mereka berhasil meningkatkan kadar artemisin tanaman itu hingga tiga kali lipat (2,2 %) dan menarik minat perusahaan obat (kompas.com). Rahasianya adalah menerapkan pemetaan genetik terhadap tanaman artemisia dengan SNP (single-nucleotide nucleotide polymorphism polymorphism) marker, hasilnya didapatkan quantitative trait loci (QTL) dari berbagai fenotip artemisia hasil persilangan dan diambil yang paling baik, setelah itu dilakukan persilangan lagi, sehingga akhirnya di dapatkan pemurnian galur artemisia artemisia dengan kadar artemisin tinggi (Graham, 2010).
Gambar 3. Mekanisme kerja SNP
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dengan SNP (single single nucleotide polymorphism)) marker, susunan genetik Artemisia annua L. dapat diketahui sehingga memungkinkan untuk re rekayasa genetik yang disesuaikan dengan peta genetik artemisia hasil persilangan terbaik. Persilangan ini dilanjutkan lagi, sehingga akhirnya di dapatkan pemurnian galur artemisia dengan kadar artemisin tinggi. Dengan adanya peta genetik ini, duplikasi dapatt dilakukan pada artemisia hasil persilangan terbaik (Graham, 2010).
Dikatakan juga tidak ada rahasia besar atas kesuksesan NIAB selain metodologi ilmiah yang ketat dan memastikan terjadinya setiap persilangan tanaman dengan induk yang memiliki potensi ggenetika terbaik. Langkah selanjutnya NIAB adalah mereka merencanakan sekitar 6.500 hektare lahan di China, Vietnam, Afrika dan India untuk budidaya artemisia hasil rekayasa genetik ini, itu pun baru mencakup 60 juta pengobatan dari keperluan 200 juta pengobatan pengobatan pada dua tahun mendatang. Tetapi dikatakan juga diperlukan uji coba terlebih dahulu, karena perbedaan cuaca yang ada di Inggris dan tempat-tempat tempat tersebut (bataviase.co.id) (bataviase.co.id). Budidaya artemisia dipandang sebagai hal yang sangat potensial mengingat prevalensi evalensi malaria yang masih tinggi, terutama di afrika dan asia. Juga karena telah banyak kejadian resisten terhadap kina dan klorokuin, serta efek samping kedua obat tersebut. Lebih jauh lagi akan menjadi kontradiktif jika di ingat bahwa di Indonesia prevalensi prevalensi malaria masih tinggi dan bahan baku artemisin masih di impor, padahal sesungguhnya Indonesia termasuk tempat yang potensial untuk budidaya Artemisia annua L. b. Solusi yang pernah ditawarkan Beberapa pengembangan dan penelitian tentang artemisia di Indonesia juga telah dilakukan antara lain: 1) Pengembangan metoda isolasi untuk mendapatkan kadar artemisinin yang optimal guna menuju kemandirian bahan baku obat malaria oleh Ani Isnawati (2006), Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.
Penelitian ini mengekstrak herbal kering Artemisinin annua L. dengan menggunakan metode ekstraksi panas bertingkat. Hasilnya Penetapan kadar dengan cara densitometri menunjukkan kadar 0,3%, sedangkan dengan menggunakan HPLC diperoleh kadar 0,37 %. 2) Produksi artemisinin dari artemisia annua l melalui kultur in vitro oleh Nita Supriyati,dkk (2008) dari Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Badan Litbang Kesehatan. Penelitian ini berpandangan metabolit sekunder tanaman seperti artemisinin ini dipengaruhi nutrisi yang tersedia bagi tanaman. GA3 (asam gliberelat) memiliki golongan kimia yang sama dengan aretmisinin yaitu golongan terpenoid dan pemberian GA3 pada tanaman diketahui dapat mempengaruhi produksi kelompok senyawa ini. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, telah dilakukan penelitian untuk menghasilkan artemisinin melalui kultur pucuk Artemisia Annua L. Penelitian menggunakan dua faktor perlakuan yaitu jenis media dasar (media MS, Media Setengah MS, Media Nitsch, Media White dan Media Gamborg/B5) sebagai faktor pertama dan konsentrasi GA3 sebagai faktor kedua (0; 0,01; 0,1; dan 1 g/l). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemakaian media MS memberikan hasil berat basah (3,075 g) berat kering (0,238 g) dan kandungan artemisinin (0,108%) yang paling tinggi dibanding komposisi media dasar lainnya. Berat kering yang dihasilkan pada media MS berbeda nyata dengan media dasar lainnya sedangkan artemisinin pada media MS (0,1083%) tidak berbeda nyata (p=0,05) dengan media gamborg (0,1026%) dan media White (0,1025%). 3) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Tanaman Bogor (Anonim, 2007) juga melakukan penelitian rekayasa genetik artemisia, tetapi fokusnya pada peningkatan kecepatan tumbuh tanaman artemisia, bukan pada peningkatan kadar artemisin. Hasilnya didapatkan Induksi akar rambut dilakukan dengan menggunakan 3 strain vektor Agrobacterium rhizogenes. Induksi akar rambut transgenik dihasilkan oleh adanya transfer T-DNA dari A. rhizogenes ke dalam sel tanaman. Fragmen T-DNA yang ditransfer tersebut membawa gen rol untuk mensintesis auksin dan sitokinin, sehingga ekspresi gen tersebut menyebabkan terjadinya over produksi fitohormon dalam sel tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi A. rhizogenes pada daun Artemisia yang elah dilukai ternyata menginduksi pembentukan akar rambut. Bakteri A. rhizogenes strain ATCC 15834 lebih cepat menginduksi akar rambut dibanding dua strain lainnya. Pembentukan akar rambut oleh strain ini mencapai 50,77% (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena tanggapan jaringan berbeda terhadap strain bakteri yang digunakan. Kemampuan inokulasi Agrobacterium terhadap tanaman juga berbeda. Hasil penelitian awal ini tampaknya merupakan terobosan dalam memproduksi senyawa artemisinin secara massal dalam waktu yang relatif cepat. Tabel 2. Induksi akar rambut pada eksplan daun Artemisia dengan menggunakan 3 strain A. rhizogenes.
Strain bakteri ATCC 15834 LBA 9457 A4J
Pembentukan akar rambut (%) 50,77 31,08 6,67
Inisiasi akar (hari setelah Inokulasi) 11 26 27
4) Pertumbuhan dan hasil Artemisia annua L. pada pemberian dosis pupuk N dan waktu aplikasi sitokinin oleh Ruri Kustia (2008) di Kebun Percobaan Milik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) di Desa Tlogodlingo Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah, dari bulan Februari sampai Juni 2008 pada ketinggian 1700 m dpl dengan tanah berjenis andosol. Hasilnya Pemberian dosis pupuk N berpengaruh nyata terhadap berat basah bagian atas tanaman dan berat kering bagian atas tanaman. Waktu aplikasi sitokinin tidak memberikan pengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan. Kombinasi dosis pupuk N 56,13 kg ha-1 dan 54,30 kg ha-1 dengan waktu aplikasi sitokinin 2 mst menghasilkan tanaman tertinggi dan diameter batang terbesar masingmasing yaitu 123,47 cm dan 23,05 mm. Perlakuan dosis pupuk nitrogen secara mandiri menunjuukkan dengan dosis N 100 kg ha-1 menghasilkan bobot terberat terhadap berat basah bagian atas tanaman dan berat kering bagian atas tanaman, dengan berat masing-masing 454,469 g dan 43,67 g. c. Solusi yang ditawarkan Melakukan rekayasa genetik dengan pemetaan genetik seperti yang dilakukan tim peneliti NIAB (National Institute of Agricultural Botany) di Inggris. Seperti diungkapkan diatas bahwa tidak ada rahasia besar atas kesuksesan NIAB dalam meningkatan kadar artemisin dalam Artemisia annua L. hingga 3 kali lipat dari normal, selain metodologi ilmiah yang ketat dan memastikan terjadinya setiap persilangan tanaman dengan induk yang memiliki potensi genetika terbaik (bataviase.co.id). Langkah awalnya menurut Graham (2010) adalah melakukan pemetaan awal terhadap tanaman induk dengan SNP (single-nucleotide polymorphism) marker, usahakan tanaman induk berasal dari bibit unggul. Setelah 7 bulan tanam biasanya artemisia siap di cek kadar artemisinnya. Setelah itu dibuat statistik kadar artemisin dan berat basah dari tiap hasil persilangan. Setelah itu hasil terbaiknya dipetakan dengan quantitative trait loci (QTL). QTL dapat memperlihatkan dengan tepat jarak antara tiap sambungan dalam centimorgans pada kromosom. Bagian inilah yang paling penting, karena jika kita sudah mendapatkan peta genetik dari artemisia penghasil artemisin tertinggi, replikasi terhadap peta genetik tersebut dapat dilakukan. Langkah selanjutnya melakukan persilangan lagi, sehingga akhirnya di dapatkan pemurnian galur artemisia dengan kadar artemisin maksimal. Langkah akhir adalah menyilangkan genetik terbaik tersebut dan membuat analisa genetik dari hasil persilangannya (Graham, 2010).
Ketika hasil rekayasa genetik ini telah stabil, maka siap dilakukan penanaman secara massal dan seperti telah dibahas diatas bahwa ketersediaan artemisia masih sangat kurang saat ini. Berbeda dengan peneliti dari NIAB Inggris yang masih harus menyesuaikan iklim karena rencana lahan budidayanya di China, Vietnam, Afrika dan India. Kelebihan kita adalah, jika rekayasa genetik ini dilakukan di Indonesia dan di dapatkan peta genetik terbaik, maka produksi massal bisa langsung dilakukan mengingat iklim indonesia cocok untuk budidaya artemisia. d. Hasil yang diharapkan Diharapkan jika program ini dijalankan dengan cepat, ketat pengawasan dan sistematis, Indonesia dapat menjadi salah satu produsen artemisia berkualitas tinggi terbesar di dunia. Mengingat juga tenaga tani dan lahan tani di negara kita terbilang cukup besar dan potensial untuk diberdayakan. Untuk bidang penelitian rekayasa genetik artemisia, diharapkan dukungan pemerintah dan pusat-pusat penelitian yang relevan untuk melakukan penelitian secara sinergis, sehingga progres dapat lebih cepat. Langkah strategis yang diperlukan antara lain, koordinasi antar pusatpusat penelitian yang relevan, pemusatan di beberapa sentra lahan penelitian untuk pembiakan artemisia hasil rekayasa genetik dan dipersiapkan rencana lahan serta sumber daya manusia jika Artemisia annua L. siap untuk diproduksi secara massal. C. Kesimpulan 1. Artemisia annua L. sekarang lebih direkomendasikan untuk pengobatan malaria, mengingat banyaknya kasus resisten P. Falcifarum terhadap kina. 2. Kendala Artemisia annua L. diproduksi secara massal sudah terpecahkan, kandungan artemisin dalam artemisia dapat ditingkatkan dengan rekayasa genetik. 3. Indonesia memiliki potensi alam yang besar untuk pemberdayaan Artemisia annua L. dan dapat menjadi salah satu komoditas ekspor potensial jika disikapi dengan serius. D. Daftar Pustaka Anonim. 2007. Rekayasa Genetik Tanaman untuk Produksi Artemisia, Senyawa Antimalaria. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian: Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No.6, 2007. Aryanti, Ermayanti, Tri Muji; Ika Prinadi, Kartika, dan Dewi, Rita Martaleta. 2006. Uji daya antimalaria Artemisia spp. terhadap Plasmodium falciparum. Majalah Farmasi Indonesia, p:81-84. Ebadi, N. 2002 . Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine. LondonNewYork- Washington D.C: CRC Press. Graham, Ian, et al. 2010. The Genetic Map of Artemisia annua L. Identifies Loci Affecting Yield of the Antimalarial Drug Artemisia. Centre for Novel
Agricultural Products, Department of Biology, University of York, York YO10 5YW, UK. DOI: 10.1126/science.2282612. 15 Januari 2010. Vol. 327. No. 5963, pp: 328-331. Gusmaini dan Nurhayati, Hera. 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Isnawati, Ani. 2006. Pengembangan Metoda Isolasi untuk Mendapatkan Kadar Artemisinin yang Optimal Guna Menuju Kemandirian Bahan Baku Obat Malaria. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Kardinan, Agus. 2008. Artemisia (Artemisia annua) tanaman antimalaria. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 14 Nomor 2, Agustus 2008. Klayman, D.L., Artemisia annua, From weed to respectable antimalarial plant. Dalam : Kinghorn, A.D., and Blaudrin M.F., (Eds.), 1993, Human Medicinal Agents from Plants, American Chemical Society, Washington DC, 243 – 245. Kustia, Rurui. 2008. Pertumbuhan dan Hasil Artemisia Annua L. pada Pemberian Dosis Pupuk N dan Waktu Aplikasi Sitokinin. Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Badan Litbang Kesehatan. Supriyati, Nita, Harto Widodo, Heru Sudrajad dan Suparno. 2008. Produksi Artemisinin dari Artemisia annua L Melalui Kultur In Vitro. Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Badan Litbang Kesehatan. Trubusid. 2008. Gantikan Kina Atasi Malaria. Majalah Pertanian Trubus, Edisi Nopember 2008. World Health Organization (WHO). 2004. More than 600 million people need effective malaria treatment to prevent unacceptably high death rates. Press release WHO/29, 22 April. (Diakses tanggal 18 Maret 2010). www. kompas.com (Ada Harapan Baru Perangi Malaria, Selasa, 19 Januari 2010). Diakses tanggal 18 Maret 2010 www. bataviase.co.id (Artemisia, Obat Malaria Pengganti Kina, 26 Desember 2009). Diakses tanggal 18 Maret 2010 www. wikipedia.co.id E. DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Ketua Pelaksana a. Nama Lengkap : Aila Mustofa b. Tempat dan Tanggal Lahir : Blitar, 7 April 1990 c. Telepon Seluler : 085 746 000 747 d. E-mail :
[email protected] e. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat: No. Judul Tahun 1. Potensi Teh Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai 2009 Antikalkuli terhadap Pembentukan Batu Ginjal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Induksi Hidroksiprolin 2. Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia 2009
swingle) sebagai Antikalkuli terhadap Pembentukan Batu Ginjal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Induksi Hidroksiprolin 3. Efek Pemberian Air Rebusan Rimpang Alang-Alang (Imperata cylindrica) sebagai Antikalkuli terhadap Pembentukan Batu Ginjal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Diinduksi Hidroksiprolin. 4. Efek Pemberian Air Perasan Kulit Batang Pohon Randu (Ceiba pentandra) sebagai Antikalkuli terhadap Pembentukkan Batu Ginjal yang Diujikan pada Tikus dengan Induksi Hidroksiproline 5. Uji Daya Antikalkuli VCO (Virgin Coconut Oil) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Induksi Hidroksiprolin. 6. Pelatihan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Sebagai Upaya Deteksi Dini Carcinoma Mammae di Puskesmas Sibela, Mojosongo, Kota Surakarta 7. Teknologi Anion Sebagai Terapi Preventif Kanker Serviks 8. Penyuluhan Deteksi Dini Kanker Serviks dan Penyelenggaraan Screening Gratis Kanker Serviks dengan Metode IVA Test (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. 9. Pengaruh Curcumin dan Omega-3 Terhadap Derajat Inflamasi Intestinal, Hitung Limfosit, dan Hitung Neutrofil pada Mencit Balb/C Model Sepsis Induksi Cecal Inoculum 10. Potensi Kortikosteroid Dosis Rendah Dalam Penatalaksanaan Sepsis Tahap Awal f. Penghargaan Ilmiah yang Pernah Diraih: No.
Jenis Kompetisi
1. PKM DIPA UNS 2. PKM DIPA UNS
Lembaga yang Mengadakan LPPM UNS LPPM UNS
2009
2009
2009 2009 2009 2009
2009 2010
Prestasi yang Tahun Diraih Universitas Karya Terpilih 2009 Universitas Karya Terpilih 2009 Ketua Pelaksana Tingkat
Aila Mustofa NIM. G0005063 2. Anggota Pelaksana 1 a. Nama Lengkap : Umam Fazlurrahman b. Tempat dan Tanggal Lahir : Demak, 28 Juni 1989 c. Telepon Seluler : 085729272403 d. Email :
[email protected] e. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat: No. Judul 1. Pengaruh Medan Elektromagnet Frekuensi Ekstrim Rendah terhadap Profil Lipid pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Tahun 2010
f. Penghargaan Ilmiah yang Pernah Diraih: Aggota Pelaksana 1 Umam Fazlurrahman NIM. G0007168 3. Anggota 2 a. Nama Lengkap : Ariana Setiani b. Tempat dan Tanggal Lahir : Kulon Progo, 30 Mei 1987 c. Telepon Seluler : 085725012374 d. E-mail :
[email protected] e. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat: No. Judul Tahun 1. Relationship between Human Activities and Climate Change 2004 2. Perbedaan Mortality Rate pada Mencit balb/c Model Sepsis 2009 Paparan Lipopolisakarida dengan Cecal Inoculum 3. Potensi Probiotik sebagai Terapi Ajuvan pada Autistic Spectrum 2009 Disorders (ASD) 4. Potensi Antiinflamasi Daun Binahong (Anredera cordifolia) 2009 pada Mencit (Mus muculus) 5. Potensi Sinbiotik dalam Mengatasi Osteoporosis pada Wanita 2009 Postmenopause f. Penghargaan Ilmiah yang Pernah Diraih: Lembaga yang Prestasi yang No. Jenis Kompetisi Tingkat Tahun Mengadakan Diraih 1. Lomba KTI Bapin-ISMKI Nasional Juara I 2009 2. Lomba poster ilmiah Bapin-ISMKI Nasional Juara II 2009 Aggota Pelaksana 2 Ariana Setiani NIM. G0005063 4. Anggota 3 a. Nama Lengkap : David Noor Umam b. Tempat dan Tanggal Lahir : Semarang, 31 Oktober 1986 c. Jenis Kelamin : Laki-laki d. Alamat Rumah : Perum Dolog Blok G116 Pedurungan, Semarang e. Telepon Seluler : 085640384261 f. Email :
[email protected] g. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat: No. Judul Tahun 1. Studi Gambaran Histologis Mukosa Lambung Mencit yang 2006 Diinduksi Aspirin dan Diberi Pisang Kluthuk (Musa Balbisiana Cola)
2.
3. 4.
Penyuluhan Deteksi Dini Kanker Serviks dan Penyelenggaraan Screening Gratis Kanker Serviks dengan Metode IVA Test (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah Kafe Sehat Sebagai Terobosan dalam Penyediaan Menu Makanan Sehat untuk Penderita Diabetes Mellitus di Kota Surakarta. Teknologi Anion Sebagai Terapi Preventif Kanker Serviks
g. Penghargaan Ilmiah yang Pernah Diraih: Lembaga yang No. Jenis Kompetisi Mengadakan 1. PKM DIPA UNS LPPM UNS 2. PKM DIKTI Dirjen DIKTI
2009
2009 2009
Prestasi yang Tahun Diraih Universitas Karya Terpilih 2006 Nasional Karya Terpilih 2009 Aggota Pelaksana 3 Tingkat
David Noor Umam NIM. G0005074 5. Biodata Pembimbing a. Nama Lengkap b. Tempat dan Tanggal Lahir c. Jenis Kelamin d. NIP e. Fakultas/Prodi f. Pekerjaan Obgyn g. Alamat Rumah h. Riwayat Pendidikan No.
: dr. Istar Yuliadi : Boyolali, 30 Juli 1960 : Laki-laki : 196007101986011001 : Kedokteran/ Kedokteran Umum : Staff Pengajar FK UNS, RSUD Dr. Moewardi Bag. : Jl. Dr. Wahidin no. 1 Solo : Tahun Kelulusan 1985
Tingkat Pendidikan
1.
Fakultas Kedokteran UNS
2.
Pendidikan Seksologi Tingkat UDAYANA
FK
2006
3.
Pendidikan Seksologi Tingkat Lanjut (Advance Level) Angkatan II FK UDAYANA
2008
Dasar
Angkatan VII