Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M. Sc. Dr. Sudirman Saad, S.H, M.Hum
Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc. Dr. Sudirman Saad, S.H, M.Hum
2012
iii
PENYUSUN: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc.
Dr. Sudirman Saad, S.H, M.Hum
Cetakan I : 2006 Cetakan II : 2010 Cetakan III : 2012 Diterbitkan oleh :
Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L)
Kredit : Style Editor Desain Grafis Foto-foto Ilustrasi
: Dietriech G. Bengen : Pasus Legowo : Dietriech G. Bengen, Dok. P4L : Don Bason
ISBN : 979-98867-2-4
iv
SEPERCIK AIR SAMUDERA
M
erupakan kenyataan yang tidak terbantahkan, bahwa Negara Kepulauan Indonesia dengan lebih dari sepuluh ribu pulau-pulau kecil yang tersebar pada sekitar 5,8 juta km2 luasan samudera (sekitar 75% luas wilayah Indonesia) dari Sabang di ujung Barat sampai Merauke di ujung Timur, dikenal sebagai Negara “megabiodiversity” laut terbesar di dunia. Kenyataan ini mudah dipahami karena dengan ribuan pulau-pulau kecil yang membentuk kepulauan Nusantara, Indonesia memiliki semua ekosistem laut tropis produktif mulai dari ekosistem mangrove, lamun, rumput laut sampai dengan ekosistem terumbu karang. Dengan semua ekosistem laut tropis produktif yang teruntai di sekeliling pulau-pulau kecil ini, maka selain sebagai Negara “megabiodiversity” terbesar, Indonesia juga memiliki kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar sebagai asset Nasional. Namun tidak dapat pula dipungkiri bahwa kekayaan laut yang sedemikian besar terkandung dalam luasnya laut kepulauan Nusantara, ternyata di satu sisi belum sepenuhnya dioptimalkan dan di sisi lain sedang mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Karena itu bagaimana kekayaan yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, dan kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki dan dipulihkan, maka suatu pendekatan keterpaduan yang berbasis eko-sosio sistem dalam perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi sangat urgen untuk diterapkan bagi keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia. Untuk itulah hadirnya buku “ Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulaupulau Kecil” ini diharapkan memberikan informasi dan inspirasi bagi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) tentang kenyataan dan apa yang perlu dilakukan dengan pulaupulau kecil kita. Hadirnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan dan kontribusi berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yang telah bersedia menyimak buku ini dan memberikan Kata Pengantar. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Tim Penyusun Naskah Akademik Pengelolaan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Ditjen KP3K DKP, khususnya kepada Dr. Ir. John I. Pariwono dan Drs. Sudaryono atas sumbang pikir dan kerjasamanya selama
v
ini. Kepada rekan-rekan di Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L), khususnya Dr. Ir. Amiruddin Tahir, M.Si, Ir. Achmad Rizal, MSi, Ir. Agung Rahardjo, MSi, dan Pasus Legowo, S.Sos, penulis ingin menyampaikan terima kasih atas bantuannya mengumpulkan bahan-bahan penulisan dan juga menata letak penampilan buku ini. Sesungguhnya masih banyak lagi kolega, rekan, sahabat dan keluarga yang telah memberikan dorongan dan dukungan bagi penerbitan buku ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Untuk itu penulis memohon maaf dan menyampaikan terima kasih yang tak terhingga. Akhirnya dengan senantiasa menyadari akan kekurangan dari cetakan ketiga buku ini, penulis sangat mengharapkan masukan yang konstruktif bagi penerbitan berikutnya di waktu yang akan datang. Semoga buku sederhana ini dapat berkontribusi dalam memberikan informasi tentang salah satu asset terpenting bangsa ini.
Bogor, Januari 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................vi DAFTAR ISI ...........................................................................................vii 1.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
2.
REALITAS EKOSISTEM, SUMBERDAYA ALAM DAN JASA-JASA LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL ..................... 5 2.1 Definisi Pulau dan Batasan Pulau Kecil ..................................... 5 2.2 Tipe dan Asal Pembentukan Pulau ............................................. 9 2.3 Klasifikasi Pulau Kecil ................................................................ 13 2.4 Karakteristik Lingkungan Pulau Kecil ...................................... 20 2.4.1 Karakteristik Hidro-Oseanografi ................................ 20 2.4.2 Karakteristik Klimatik .................................................. 23 2.5 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Jasa-jasa Lingkungan Pulau Kecil .............................................. 28 2.5.1 Sumberdaya Alam Hayati ............................................. 30 2.5.1.1 Hutan Mangrove .............................................. 31 2.5.1.2 Lamun ................................................................ 32 2.5.1.3 Rumput Laut .................................................... 35 2.5.1.4 Terumbu Karang ............................................. 36 2.5.2 Sumberdaya Alam Nir-Hayati ..................................... 42 2.5.2.1 Sumberdaya Mineral ........................................ 42 2.5.2.2 Energi Kelautan ............................................... 45 2.5.3 Sumberdaya Air Tawar .................................................. 50 2.5.4 Jasa-jasa Lingkungan ..................................................... 51
3.
REALITAS SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT PULAU-PULAU KECIL ........................................ 55 3.1 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau Kecil..... 55 3.2 Dimensi Sosial-Ekonomi Pulau Kecil....................................... 60
vii vii
4. PERMASALAHAN LINGKUNGAN DAN KENDALA PEMBANGUNAN PULAU-PULAU KECIL ............................................. 65 4.1 Permasalahan Lingkungan Pulau Kecil ................................................ 65 4.2 Kendala Pembangunan Pulau Kecil ...................................................... 69 5. PENTINGNYA KETERPADUAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS EKO-SOSIO SISTEM ................. 76 5.1 Kebutuhan Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Berbasis Ekosistem .................................................................................. 76 5.2 Kebutuhan Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Berbasis Masyarakat ................................................................................. 91 5.3 Pembelajaran Implementasi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekosistem dan Masyarakat..............................................100 5.4 Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Sebagai Pilar Pembangunan Kelautan Berkelanjutan ............................................. 106 6. RINGKASAN UMUM .........................................................................109 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................111 BIODATA PENULIS .................................................................................117
viii
PENDAHULUAN
D
alam sejarah pembangunan sebuah negara, baik dalam skala nasional maupun global, dampak pembangunan merupakan salah satu tolok ukur kinerja yang senantiasa muncul tanpa bermaksud untuk memunculkannya. Dampak pembangunan tersebut, secara garis besar terdiri dari dampak positif (positive multiplier effect) dan dampak negatif (negative multiplier effect). Setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brasil pada tahun 1982 hingga Johannesburg (Afrika Selatan) tahun 2002 lalu, paradigma pembangunan telah beralih dari paradigma konvensional yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata, yang pada akhirnya membuat eksploitasi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan semakin tidak terkendali, menjadi paradigma baru pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Paradigma ini pada intinya mengajak seluruh pengelola negara untuk membangun negaranya tanpa melupakan kepentingan yang sama, yaitu pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan bagi generasi selanjutnya.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dirajut oleh untaian ribuan pulau-pulau yang berjumlah sekitar 13.466 pulau yang menyebar dari Aceh di ujung Barat hingga Papua di ujung Timur, dengan wilayah laut (termasuk ZEEI) seluas 5,8 juta km2 (75% dari total wilayah Indonesia). Dari sekian ribu konfigurasi pulaupulau tersebut, sebagian besar merupakan pulaupulau kecil yang
1
jumlahnya diperkirakan lebih dari 10.000 pulau. Walaupun hanya sebagian kecil saja dari pulau-pulau kecil tersebut yang berpenduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa pulau-pulau kecil yang tidak berpenduduk dan terpencil itu bebas dari pengeksploitasian atau bebas dari dampak kegiatan manusia (Dutton et al, 2001). Pulau-pulau ini memiliki nilai penting dan tergolong unik bila ditinjau dari sisi sumberdaya alam, geografi, sosial, ekonomi, budaya, politik dan pertahanan keamanan Indonesia.
Pantai Ngurbloat, Maluku
Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus, pembangunan pulau-pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lain, khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland). Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep ecologist), menganggap pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis yang penting. Pihak ini melihat bahwa, hal paling utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya.
2
Sementara pandangan kedua yang mewakili pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan dan pariwisata. Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni: pertama, tidak berkembangnya kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif; kedua, rusaknya kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti industri dan pemukiman. Menilik pembangunan pulaupulau kecil Indonesia, penentuan kebijakan pemanfaatan pulaupulau kecil merupakan hal yang paling penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah
Ilustrasi: DON
3
maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia yang direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya, pengembangan berbagai aktivitas pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai suatu wujud pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan. Hal penting lain yang perlu digarisbawahi adalah semangat dari pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia yang didasarkan pada semangat otonomi yang meletakkan daerah (pemerintah daerah) sebagai subyek utama dari upaya pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia. Dalam konteks ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola pulau-pulau kecil-nya dengan tujuan utamanya berujung pada kesejahteraan daerah dan masyarakat yang ada di dalamnya. Terlepas dari potensi, permasalahan dan kelemahan yang ada pada konsepsi ini, secara teoritis dan empiris keberhasilan konsep ini pun bukan suatu impian.
Pantai Daftel, Maluku
44
REALITAS EKOSISTEM, SUMBERDAYA ALAM DAN JASA-JASA LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL 2.1 Definisi Pulau dan Batasan Pulau Kecil Sejauh mata memandang di tengah laut bila terlihat segundukan massa daratan muncul ke permukaan, maka serta merta orang mengatakannya sebagai pulau; namun beberapa saat kemudian yang terlihat sebagai pulau tadi bisa saja tidak terlihat nyata lagi di permukaan, sehingga timbul pertanyaan apakah benar massa daratan yang terlihat tadi dapat dikatakan sebagai pulau? Jawabannya tentu saja terpulang pada pemahaman kita tentang definisi pulau. Terdapat berbagai pendapat mengemuka tentang definisi pulau, namun saat ini telah disepakati bahwa definisi pulau yang digunakan adalah sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1): “Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/ muncul di atas permukaan air pasang tinggi”(IHO, 1993) (Gambar 1 dan 2). Setelah memahami definisi pulau sebagaimana yang dikemukakan di atas, selanjutnya muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan pulau kecil. Berbicara tentang batasan pulau kecil terdapat beragam batasan yang digunakan. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 (DKP, 2001), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC, 1984 yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas
55
Gambar 2. Pulau Laelae, Kota Makassar-Sulawesi Selatan
area maksimum 5.000 km2. Setelah itu batasan pulau kecil mengalami diskusi yang hangat, terutama sejak International Hydrological Programme IHP-III UNESCO menetapkan salah satu program tema di pulau kecil. Dengan berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Diaz dan Huertas, 1986). Namun demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1000 – 2000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km2; sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2000 km2. Batasan inilah yang selanjutnya digunakan dalam bahasan pulau-pulau kecil yang digunakan dalam buku ini. Bila batasan pulau kecil didasarkan pula pada pemanfaatan sosial-ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2000 km2 hendaknya berbasis konservasi. Dengan berpijak pada basis konservasi, maka seyogyanya hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil dimaksud yang dapat dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial ekonomi dan demografi. Apabila mengacu
Gambar 1. Pulau Weh, Kota Sabang-Nanggroe Aceh Darussalam
6
pada batasan pulau kecil yang ditetapkan oleh DKP (2001) dan pemanfaatan yang berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2000 km2 hendaknya berjumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 orang. Pembedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat kecil, dimana pembedaan ini didasarkan pada keterbatasan sumberdaya air tawar baik air tanah maupun air permukaan; sehingga ditetapkan bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km dikategorikan sebagai pulau sangat kecil (UNESCO, 1991).
7 7
Pulau dapat dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yaitu: pulau oseanik dan pulau kontinental (sering disebut juga sebagai pulau besar). Selanjutnya pulau oseanik dapat dibagi atas 2 (dua) kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koral/karang (Dahl, 1998; Salm et al, 2000). Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki ciriciri yang berbeda dengan pulau kontinental, terlebih dengan benua, baik dilihat dari ukurannya maupun stabilitas dan penggunaannya (Tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan Umum Ciri-ciri Pulau Oseanik (Pulau Kecil), Pulau Kontinental dan Benua (Salm et al, 2000) PULAU OSEANIK
PULAU KONTINENTAL
BENUA
Karakteristik Geografis • Jauh dari benua • Dikelilingi oleh laut luas • Area daratan kecil • Suhu udara stabil • Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat
• Dekat dari benua • Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit • Area daratan besar • Suhu agak bervariasi • Iklim mirip benua terdekat
• Area daratan sangat besar • Suhu udara bervariasi • Iklim musiman
Karakteristik Geologi • Umumnya karang atau vulkanik • Sedikit mineral penting • Tanahnya porous/ permeabel
• Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanahnya
• Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi • Keanekaragaman hayati rendah • Pergantian spesies cukup tinggi • Tingginya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
• Keanekaragaman hayati sedang • Pergantian spesies agak rendah • Seringnya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
• Keanekaragaman hayati tinggi • Pergantian spesies biasanya rendah • Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi • Sedikit sumberdaya daratan • Sumberdaya laut lebih penting • Jauh dari pasar
• Sumberdaya daratan • Sumberdaya daratan agak luas luas • Sumberdaya laut lebih • Sumberdaya laut sering penting tidak penting • Lebih dekat pasar • Pasar relatif mudah
88
Secara umum pulau kecil memiliki ciriciri biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Dahl, 1998; Bengen, 2002) : •
•
•
•
•
• •
•
Berukuran kecil dan terpisah dari pulau induk/pulau besar (mainland island), sehingga bersifat insular. Memiliki sumberdaya alam, terutama sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan masuk ke laut. Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran. Memiliki keanekaragaman hayati terestrial rendah, namun memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan. Variasi iklim kecil, tapi potensial terjadi perubahan cepat. Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
2.2 Tipe dan Asal Pembentukan Pulau Pulau atau kepulauan yang terdapat di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, dengan asal pembentukannya berdasarkan proses geologi. Berikut ini disajikan tipe-tipe utama dan asal pembentukan dari pulau: Pulau Kontinental (Continental Island) Pulau kontinental terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Karena batuan di pulau kontinental berasal dari benua, maka tipe batuannya beragam dari umur yang berbeda dengan struktur yang kompleks. Karena itu pulau kontinental memiliki beragam jenis tanah dan kaya akan mineral (Dahl, 1998). Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Madagaskar, Kaledonia Baru, Selandia Baru, dan Seychelles.
99
Pantai Auki, Biak Numfor-Papua
Ada pula pulau kontinental yang bersatu dengan benua pada zaman Pleistocene, kemudian terpisah pada zaman Holocene ketika muka laut meninggi. Contoh dari pulau jenis ini adalah kepulauan Inggris, Srilanka, Faukland, Jepang, Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, dan Tasmania. Di Indonesia pulau tipe ini adalah kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan) dan Pulau Papua. Pulau Vulkanik (Vulcanic Island) Pulau vulkanik sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian
10
dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling manjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik yang terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar dan Timor). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulaupulau dan titik gunung api (hot spots) dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contoh dari pulau tipe ini adalah Kep. Austral-Cook, Galapagos, Hawaii, Marquesas, Antiles Kecil, Solomon, dan Tonga. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakan terumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang
11
timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda (Molengraaff, 1929). Akan tetapi pulau karang timbul ini juga dapat ditemui di daerah-daerah lain, seperti di barat laut Papua, Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil, dan kepulauan sebelah barat Sumatera (Katili, 1985). Contoh pulau karang timbul ini adalah kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara (Tomascik et al, 1997). Pulau Daratan Rendah (Low Island) Pulau daratan rendah adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pada umumnya pulau-pulau daratan rendah tergolong ke dalam pulau-pulau kecil, dimana pulau ini bisa berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah kepulauan Seribu di Teluk Jakarta (Gambar 3). Pulau Atol (Atolls) Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin, dan umumnya tergolong ke dalam pulau-pulau kecil. Pada dasarnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang pada awalnya membentuk karang tepi (fringing reef), kemudian berkembang menjadi karang penghalang (barrier reef) dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik semula, dan oleh pertumbuhan
Gambar 3. Salah satu pulau daratan rendah di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
12
vertikal dari terumbu karang (Stoddart, 1975). Contoh pulau atol di Indonesia adalah Kepulauan Tukang Besi dan Kepulauan Takabone Rate.
2.3 Klasifikasi Pulau Kecil Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau-pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) kelompok, yaitu: kelompok pulau dataran dan kelompok pulau berbukit (Hehanussa, 1988; Hehanussa dan Haryani, 1998; Hehanussa dan Bakti, 2005): PULAU DATARAN Secara topografi pulau dataran yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok: pulau aluvium, pulau karang/koral dan
Ilustrasi: DON
13
pulau atol, tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Jenis batuan geologis pulau dataran umumnya berumur muda berupa endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar yang terdiri dari lapisan endapan masif atau pecahan karang/koral (Gambar 4).
• Pulau aluvium Umumnya terbentuk di dataran pantai landai sebuah pulau atau di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan laju erosi oleh arus dan gelombang laut. Potensi dan penyebaran air tanah ditemukan pada akuifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan pantai, dan dipengaruhi oleh perubahan musim.Sedimen pulau aluvium sebagian terbentuk oleh endapan sedimen klastik kasar, dan sebagian berpasir dan lempungan, serta ada juga yang bergambut dan biasa terdapat alur sungai kecil, dengan tumbuhan nipah dan mangrove
14
Gambar 4. Pulau Mansinam di Manokwari, Irian Jaya Barat sebagai contoh pulau daratan.
terlihat mendominasi. Contoh pulau aluvium dapat dijumpai di lepas pantai timur Sumatera, di pantai selatan Papua, dan juga di pantai timur Kalimantan, seperti di delta Mahakam dan di Barito (Gambar 5)
Gambar 5. Contoh Pulau aluvium yang didominasi oleh mangrove di Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat
• Pulau karang/koral Terbentuk dari endapan klastik berumur kuarter, dan pulau-pulau koral umumnya dikelilingi oleh terumbu karang. Sama halnya dengan di pulau atol, sumberdaya air di pulau koral hanya tersedia sebagai air tanah di lensa-lensa yang terbatas ukurannya dan rawan penyusupan air laut. Contoh pulau koral dapat dijumpai di selatan Selat Makassar, di Teluk Tomini, di Maluku, pulau-pulau di Raja Ampat dan Teluk Cenderawasih di Papua, dan pulau-pulau di kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Gambar 6).
15
Gambar 6. Contoh pulau karang di Pulau Auki, Kepulauan Padaido, BiakNumfor Papua
• Pulau atol Pembentukan pulau atol mirip dengan pulau koral, namun perbedaannya bahwa pada pembentukan pulau atol, dasar laut lebih dinamis karena adanya proses penenggelaman (subsidence) dan pengangkatan (uplift). Pulau atol umumnya termasuk pulau sangat kecil yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2, dengan lebar kurang dari 150 m dan panjangnya berkisar antara 1000 – 2000 m. Sumberdaya air di pulau atol sama dengan di pulau koral, dan air tanahnya berada pada 1/3 jarak ke ujung pulau baik pada salah satu
Pantai Ngurbloat, Maluku
16 16
ujung maupun pada kedua ujung pulau. Pulau atol yang cukup dikenal di Indonesia adalah pulau-pulau Takabone Rate. PULAU BERBUKIT Kelompok pulau berbukit yang terdiri dari 5 (lima) kelompok: pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran, umumnya memperlihatkan morfologi dengan lereng yang lebih besar dari 10o dan elevasi lebih besar dari 100 m di atas permukaan laut (Gambar 7).
Gambar 7. Pulau Maitara di Maluku Utara sebagai contoh pulau berbukit.
17 17
Gambar 8. Contoh pulau teras terangkat di Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak NumforPapua
• Pulau vulkanik Terbentuk dari endapan piroklasik, lava atau ignimbrit sebagai hasil kegiatan gunung berapi. Potensi air di pulau vulkanik bervariasi dari miskin sampai kaya, dan ditemukan pada lapisan breksi dengan matriks kasar di sekitar aliran lava atau di daerah rekahan. Contoh pulau vulkanik adalah Pulau Krakatau, Pulau Banda, Pulau Tidore, dan Pulau Gunung Api.
• Pulau tektonik Terbentuk akibat proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng. Air di pulau tektonik lebih banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah. Contoh pulau tektonik adalah Pulau Nias, Pulau Siberut dan Pulau Enggano.
Pulau....Tongke-tongke, Sulawesi ........
18 18
• Pulau teras terangkat Pembentukan pulau teras terangkat sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai pembentukan teras yang sebagian besar terdiri dari koral. Pulau teras terangkat banyak dijumpai di Indonesia bagian timur, misalnya Pulau Ambon dan Pulau Biak (Gambar 8). Potensi air permukaan di pulau ini sedikit tapi air tanahnya cukup banyak, terutama apabila batuan alas pulau ini terdiri dari endapan yang kedap air, sehingga memungkinkan air tersimpan didalam akuifer batu gamping.
• Pulau petabah (monadnock) Terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, dengan litologi pembentukan terdiri atas batuan ubahan (metamorf), intrusi dan sedimen yang terlipat dan berumur tua. Air tanah di pulau ini terbatas jumlahnya, dan terdapat pada batuan sedimen muda, lapisan lapuk atau rekahan. Contoh pulau petabah adalah Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung.
• Pulau genesis campuran Pulau ini terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa sumber mata air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Contoh pulau genesis campuran adalah Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote.
19
Pantai Ohoiwait, Maluku
2.4 Karakteristik Lingkungan Pulau Kecil Pulau kecil memiliki karakteristik lingkungan yang berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda, dan
Pulau Mansinam
dalam proses selanjutnya pulaupulau tersebut juga akan memiliki kondisi spesifik.
2.4.1 Karakteristik HidroOseanografi Salah satu karakteristik hidrooseanografi yang berperan penting di kawasan pulau-pulau kecil adalah arus. Terdapat 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya arus di sekitar pulaupulau kecil, yaitu: angin musim
20
dan pasang surut. Arus musim disebabkan oleh angin muson yang bertiup bolakbalik di atas perairan Indonesia, sehingga pada musim barat (Desember hingga Februari) perairan Indonesia didominasi oleh arus yang mengalir dari utara ke selatan di belahan bumi utara dan berbelok melewati katulistiwa menuju ke arah timur di belahan bumi selatan. Pada musim timur (Juni hingga Agustus) keadaan sebaliknya terjadi, yaitu arus mengalir dari timur ke barat di belahan bumi selatan, berbelok melewati katulistiwa dan menuju ke arah utara di belahan bumi utara. Pengecualian dari pola umum tersebut dapat terjadi, sebagai contoh, arus musim di Selat Makassar mengalir ke arah selatan sepanjang tahun. Kecepatan arus musim ini beragam tergantung lokasinya, tetapi secara rerata adalah sekitar 0,25 m/det. Di Selat Lombok (antara Pulau Bali dan Pulau Lombok), arus musim pada musim timur dapat mencapai 3,0 m/det (Arief, 1992). Arus pasang surut adalah arus yang disebabkan oleh aktivitas pasang surut. Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya muka laut secara hampir periodik yang dibangkitkan oleh gaya-gaya tarik benda-benda angkasa (bulan dan surya). Oleh karena perputaran bumi pada sumbunya, dan edaran bulan mengelilingi bumi, serta bumi dan bulan bersama-sama mengelilingi surya, maka dikenal tiga tipe pasut, yaitu pasut tunggal (diurnal tide), pasut ganda (semidiurnal tide), dan pasut campuran (mixed tide). Suatu lokasi dikatakan mempunyai pasut tunggal jika dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Tipe pasut disebut ganda, jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua
21
kali surut. Tipe pasut campuran, adalah jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, tetapi pasang/surut berikutnya lebih lemah/kuat dari pasang/ surut sebelumnya. Dengan demikian periode arus yang ditimbulkan oleh pasut akan sesuai dengan tipe pasut di lokasi tersebut. Jika tipe pasut di lokasi tersebut adalah pasut ganda (semidiurnal tide) maka arus pasutnya akan mengalir ke Batu kerikil di Pantai Ohoiwait suatu arah selama sekitar 6 jam, kemudian 6 jam berikutnya arus akan mengalir ke arah yang berlawanan. Jika tipe pasut di lokasi tersebut adalah pasut tunggal (diurnal tide), maka lama arus pasutnya mengalir ke suatu arah adalah sekitar 12 jam, dan 12 jam berikutnya akan mengalir ke arah yang berlawanan. Tipe pasut yang lain adalah tipe campuran, yaitu kombinasi antara tipe tunggal dengan tipe jamak. Kecepatan arus pasut sangat bervariasi antara suatu tempat dengan tempat lainnya, tergantung antara lain pada kondisi geografis dari perairan tersebut. Secara umum, kecepatan arus pasut berkisar antara 0,0 – 0,5 m/det. Tetapi pada lokasilokasi tertentu, seperti perairan selat, arus pasut dapat mencapai 1,0 m/det atau lebih. Contoh lokasi dengan arus pasut yang kuat ditemui di Selat Rupat (antara Pulau Sumatera dan Pulau Rupat) dengan kecepatan hingga 1,2 m/det. Contoh perairan lainnya yang mempunyai arus kuat adalah Selat Lombok (antara Pulau Bali dan Pulau Lombok), dimana kecepatan arus pasutnya berkisar antara 0,05 – 1,10 m/det (Nurhayati, 1999).
22 Pantai Auki, Biak Numfor-Papua
Dengan demikian, kondisi arus di perairan sekitar pulaupulau kecil akan sangat ditentukan oleh dimana lokasi pulau-pulau kecil itu berada. Jika pulau kecil itu berada pada perairan yang semi tertutup, maka arusnya akan cenderung kuat, sedangkan jika pulau tersebut berada pada perairan yang terbuka (di laut lepas), arusnya cenderung lemah. Selain arus, suhu dan salinitas laut juga berperan penting di perairan sekitar pulau-pulau kecil. Suhu di perairan Indonesia relatif tetap sepanjang tahun dan berkisar antara 26,0oC hingga 29,0oC. Keadaan ini disebabkan karena perairan Indonesia terletak di daerah tropis yang menerima sinar surya sepanjang tahun. Perubahan suhu perairan dapat terjadi jika terjadi perubahan cuaca atau iklim. Sebagai contoh, pada saat fenomena ElNino terjadi, suhu rerata perairan Indonesia relatif lebih rendah dari normal, dan ketika fenomena La-Nina (kebalikan dari El-Nino) terjadi, suhu perairan Indonesia relatif lebih tinggi dari normal. Keadaan ini akan ditemui di semua perairan di sekitar pulau-pulau kecil. Salinitas perairan Indonesia berkisar antara 32,00 o/oo hingga 34,50 o/oo (Wyrtki, 1961). Salinitas yang rendah ditemui pada saat musim hujan ketika angin muson barat bertiup (Desember hingga Februari), sedangkan salinitas tinggi ditemui ketika musim kering berlangsung (Juni hingga Agustus) ketika muson timur berhembus. Di muara-muara sungai besar seperti yang terdapat di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, salinitas perairan di sekitar muara sungai besar tersebut akan lebih rendah dari 32,00 o/oo.
2.4.2 Karakteristik Klimatik Pada umumnya pulau-pulau kecil tidak mempunyai kondisi iklim sendiri, dikarenakan luasannya yang terbatas. Akibatnya, karakteristik iklim dari pulau-pulau kecil yang terdapat di perairan Indonesia akan sama dengan karakteristik iklim dari perairan laut yang mengelilinginya. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa karakteristik iklim dari pulau-pulau
23
kecil di Indonesia adalah beriklim laut tropis. Selanjutnya, karena Indonesia terletak di antara dua benua, Australia dan Asia, maka iklim laut tropis di Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim muson. Pada bulan Desember hingga Februari, ketika matahari berada di belahan bumi selatan, tekanan udara rendah berada di atas benua Australia, dan tekanan udara tinggi berada di atas benua Asia. Akibatnya angin bertiup dari belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Karena bumi berbentuk bulat dan berputar pada sumbunya, maka angin yang berhembus dari Asia ke Australia tersebut tidak menempuh suatu garis lurus. Di kawasan Indonesia, terutama di perairannya, yang berada di Belahan Bumi Utara (BBU), akan berhembus angin timur laut. Akan tetapi di kawasan Indonesia yang terletak di Belahan Bumi Selatan (BBS) angin timur laut tersebut akan berubah arah menjadi angin barat laut. Oleh karena itu musim pada bulan Desember hingga Februari, dikenal sebagai musim barat (muson barat), walaupun istilah ini tidak sepenuhnya tepat. Untuk kawasan Indonesia di BBS istilah tersebut sesuai, tetapi untuk di BBU sebutan itu tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Pada periode ini, angin yang bertiup dari benua Asia membawa uap air dan berubah menjadi hujan di kawasan Indonesia. Pada bulan Juni hingga Agustus, keadaan sebaliknya terjadi. Pada saat ini matahari terletak di atas benua Asia dan menyebabkan tekanan udara yang rendah, sedangkan di benua Australia menjadi tekanan tinggi. Dengan demikian, angin bertiup dari Australia ke Asia. Proses yang serupa terjadi dimana di kawasan Indonesia di BBS, angin bertiup dari tenggara. Angin tersebut akan berbelok arah ketika melewati garis
Pantai Auki, Biak Numfor-Papua
24 24
katulistiwa dan bertiup ke arah timur laut di BBU. Musim pada periode Juni – Agustus ini dikenal sebagai musim timur (muson timur). Pada muson ini, kandungan uap air yang dibawa oleh angin adalah rendah, sehingga kawasan Indonesia mengalami musim kemarau dengan curah hujan yang rendah. Pada bulan Maret hingga Mei, dan dari September hingga November, angin yang berhembus mempunyai kecepatan rendah dan arah angin tidak menentu. Karena itu, kedua periode ini dikenal sebagai musim pancaroba. Dari kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, perairan Indonesia dengan ribuan pulaupulau kecilnya mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut dibatasi oleh musim pancaroba. Musim hujan dan musim kemarau untuk tiap-tiap kawasan akan berbeda. Sebagai contoh, pulau-pulau kecil Indonesia yang terletak di BBS, musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Februari, dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Akan tetapi untuk pulau-pulau kecil yang terdapat di Indonesia timur bagian BBU, hal sebaliknya yang terjadi. Musim hujan terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Desember hingga Februari. Suhu udara dan kelembaban udara di perairan Indonesia (termasuk pulau-pulau kecil) mempunyai kisaran yang kecil sepanjang tahun. Suhu udara rerata di atas pulau-pulau kecil akan berkisar sekitar 28 o C, sedangkan kelembaban udaranya akan berkisar antara 70 – 90%
25 25
(Winarso, 1997). Kelembaban yang rendah akan ditemui pada musim kering, sedangkan kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Tekanan udara di daerah ekuator dan tropis pada umumnya rendah. Keadaan ini disebabkan karena matahari sepanjang tahun bergerak (akibat perputaran bumi dan sumbu bumi yang tidak tegak lurus bidang lintasan bumi mengelilingi matahari) antara 23,5 oLU (lintang utara) dan 23,5 oLS (lintang selatan), sehingga daerah tropis ini yang paling banyak menerima energi surya. Sebagian dari energi surya ini dipantulkan kembali ke atmosfir dan memanaskan udara di atasnya, sehingga tekanan udaranya akan relatif lebih rendah daripada di kawasan subtropis misalnya. Pantai Auki, Biak Numfor-Papua Tekanan udara di atas laut Indonesia berkisar pada 1010 mb dengan kisaran sebesar + 3 mb. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tekanan udara rerata di atas pulaupulau kecil di Indonesia berada pada nilai tersebut. Pada umumnya, hujan di Indonesia dicurahkan dengan volume yang besar dan frekuensi yang tinggi, tetapi dalam waktu yang relatif singkat. Besarnya curah hujan sangat beragam dari lokasi ke lokasi. Kawasan barat Indonesia pada umumnya mempunyai curah hujan yang lebih tinggi daripada di kawasan timur.
26
Di Indonesia, data curah hujan sebagian besar berasal dari daerah-daerah yang kegiatan pertaniannya tinggi, yang terletak lebih dalam ke arah daratan di pulau-pulau yang sedang dan besar. Akibatnya, data tentang curah hujan di pulau-pulau kecil di Indonesia belum banyak direkam. Akan tetapi, dapat disebutkan, bahwa jika pulaupulau kecil tersebut berada pada jarak yang relatif dekat dengan daratan (pulau) induk, maka curah hujan di pulau kecil tersebut mirip dengan pulau induknya. Sebaliknya, jika pulau kecil tersebut terletak terpencil, jauh dari daratan (pulau) induk, dan termasuk tipe pulau daratan rendah, maka dapat dikatakan bahwa curah hujan di pulau tersebut akan cenderung kecil.
Ilustrasi: DON
27
Pantai Ngurbloat, Maluku
2.5 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Jasajasa Lingkungan Pulau Kecil Secara umum, sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah daratan (teresterial), pesisir dan laut pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources) atau sering juga disebut sumberdaya alam hayati, sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources) atau disebut sumberdaya alam nir-hayati, dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut (environmental services). Sumberdaya dapat pulih/hayati terdiri dari berbagai jenis flora dan fauna daratan, ikan, mamalia laut, krustasea (udang, kepiting,…), moluska (kerang…), terumbu karang (coral reef), rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), dan mangrove. Sumberdaya tidak dapat pulih/nir-hayati meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/ galian seperti bijih besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang lainnya; sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pulau kecil adalah pariwisata bahari dan perhubungan laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Selain segenap potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan
28
bukan saja bagi kelangsungan hidup manusia, tetapi juga bagi kesinambungan ekonomi. Hal paling utama adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan laut di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan tersebut harus diiringi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung optimal dan berkelanjutan.
Selat Maluku Batu Merah
Pulau-pulau kecil secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan (teresterial) yang sangat terbatas dan habitatnya seringkali terisolasi dari habitat lain, juga memiliki area tangkapan air yang terbatas dan mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi jenis biota endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinental, serta secara ekologi memiliki kondisi yang cukup rentan, sehingga interaksi antara lahan dan perairan laut melalui proses hidrologis dan arus laut sebagaimana pergerakan biotanya, mempunyai karakteristik yang spesifik. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengembangan/pembangunan pada kawasan tersebut apabila tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup nyata (signifikan) terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pulau-pulau kecil.
29
2.5.1 Sumberdaya Alam Hayati Sumberdaya alam hayati yang dikemukakan di sini, lebih dititik beratkan pada sumberdaya alam hayati pesisir dan laut. Selama ini potensi sumberdaya alam hayati pesisir dan laut yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil belum banyak digarap secara optimal. Hal ini dikarenakan hingga kini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya alam yang ada di daratannya yang mempunyai luas tidak lebih dari sepertiga luas lautnya secara fungsional. Pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir dan laut dengan beragam sumberdaya alam hayati yang terkandung didalamnya. Ekosistem alami yang banyak ditemukan di kawasan pulau-pulau kecil, antara lain: pantai (berpasir, berbatu dan atau berlumpur), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), terumbu Gambar 9. Ilustrasi peran fisik ekosistem mangrove dan terumbu karang karang (coral reefs), dan sebagai peredam gelombang dan pelindung pantai laguna (lagoons). Ekosistemekosistem ini selain merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna, baik sebagai tempat bereproduksi atau memijah (spawning ground), tempat tumbuh besar (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) maupun hanya sebagai tempat persinggahan atau transit sementara, misalnya bagi burung-burung yang bermigrasi; tetapi juga sebagai tempat untuk menikmati kenyamanan lingkungan, keindahan alam dan berbagai aktivitas kehidupan manusia. Kelima ekosistem utama, khususnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang, saling berinteraksi dalam berbagai bentuk, yakni secara fisik (pelindung pantai, pencegah erosi, dan perangkap sedimen), kimiawi (transfer dan aliran bahan organik terlarut, dan bahan organik partikel), dan biologi (tempat memijah dan tumbuh besar, serta migrasi fauna) (Gambar 9 dan 10).
30 30
Gambar 10. Salah satu bentuk interaksi antara ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di pesisir Nusa Lembongan, Bali
2.5.1.1 Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan bagi ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan pesisir dan laut sekitarnya. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota (Gambar 11),
Gambar 11. Ilustrasi peran ekologis ekosistem mangrove (Bengen dan Dutton, 2004)
penahan abrasi, amukan angin dan taufan serta tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya; hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Gambar 12). Bahkan Saenger et al (1983) telah mengidentifikasi lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik dalam bentuk produk langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, dan alat tangkap ikan, maupun produk tidak langsung diantaranya bermacam-macam biota laut seperti udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan, serta hewan melata lainnya.
31
Di kawasan pulau-pulau kecil, terlebih pulau-pulau yang tergolong sangat kecil, jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah dari genus Avicennia (apiapi) dan juga Sonneratia, karena wilayah pulaupulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan organiknya) relatif rendah dan seringkali didominasi oleh substrat pasir. Apabila ketersediaan air permukaan (sungai) cukup memadai di pulau-pulau kecil, dan pasokan sedimen dari daratan (mengandung bahan organik) relatif banyak, maka genus Rhizophora (bakau) dapat tumbuh berkembang dengan baik.
2.5.1.2 Lamun Ekosistem lamun di pesisir pulau-pulau kecil memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting (Gambar 13). Ekosistem lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun yang bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung (Gambar 14). Oleh karena itu, keberadaan lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Gambar 13. Contoh ekosistem lamun di pesisir Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Biak Numfor-Papua
32
Gambar 12. Ilustrasi beragam manfaat ekonomi ekosistem mangrove (Dixon, 1989)
Gambar 14. Ilustrasi peran ekologis ekosistem lamun (Fortes, 1990)
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari, sehingga memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Mann, 2000). Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, namun substrat lumpurberpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun, dan berada di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis dominan yang termasuk ke dalam Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae.
33
Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir pulau-pulau kecil yaitu: • Produsen detritus dan zat hara. • Mengikat sedimen dan menstabilkan subsrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. • Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. • Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kekerangan dan tiram, tempat rekreasi, dan sumber pupuk hijau. Kawasan pesisir pulaupulau kecil umumnya didominasi oleh genus lamun Enhalus dan Thalassia (Gambar 15).
Gambar 15. Contoh lamun dari genus Enhalus di pesisir pulau kecil
Hal tersebut dapat dijelaskan karena di wilayah pulau-pulau kecil kandungan sedimen organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat pasir.
34
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Jenis-jenis rumput laut yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil Indonesia antara lain: Euchema, Hypnea, Gracilaria, Gelidium, Sargassum, dan Turbinaria. Jenis Euchema dan Gracilaria telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia,
○
○
○
Sumberdaya rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, khususnya pulau-pulau kecil yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang (Gambar 16). Rumput laut merupakan sumberdaya alam hayati laut yang mempunyai nilai komersial yang tinggi.
○
○
○
2.5.1.3 Rumput Laut
○
Gambar 16. Contoh rumput laut yang dijumpai di pesisir pulau kecil
35
terutama masyarakat di Kepulauan Riau, Lampung, Kepulauan Seribu, Bali dan Lombok, Flores, Sumba, dan Sulawesi. Selama ini rumput laut hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat pesisir terutama sebagai bahan pangan, seperti untuk lalapan sayur, acar, manisan dan kue, selain juga sebagai obat. Pemanfaatan untuk industri dan sebagai komoditas ekspor baru berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, meskipun ada catatan yang menunjukkan bahwa perdagangan rumput laut dengan Cina sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
2.5.1.4 Terumbu Karang Sama halnya dengan hutan mangrove dan lamun, terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas dan sangat produktif yang terdapat di perairan pesisir daerah tropis, dengan beragam tumbuhan dan hewan laut berasosiasi di dalamnya. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapanendapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat.
Terumbu Karang di Kep.Padaido, Biak Numfor-Papua
Berdasarkan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi (fringing reef), (2) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan (3) terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa
36
Gambar 17. Ilustrasi proses pembentukan terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang dan atol (Sumich, 1999)
37 37
terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan (Gambar 17). Secara tipologi pulau-pulau kecil, terlebih lagi pulaupulau sangat kecil bertipe dataran di daerah tropis, berasosiasi erat dengan terumbu karang (Gambar 18). Hal ini berkaitan
Gambar 18. Pulau Sekepal, Lampung Selatan yang berasosiasi erat dengan terumbu karang
dengan pasokan air tawar dan sedimen dari daratan, dimana pulau-pulau kecil tersebut memiliki hinterland yang dekat dengan pantai, dan tidak terdapat atau kurang memadainya aliran air permukaan (sungai) yang memasok air tawar dan sedimen ke perairan pesisirnya yang dangkal. Kondisi demikian sangat menopang pertumbuhan karang dengan baik, sehingga terumbu karang yang berkembang di sekeliling pulau-pulau kecil tersebut sebagian besar didominasi oleh terumbu karang tepi (fringing
Gambar 19. Ilustrasi terumbu karang tepi di sekitar pulau Sekepal, Lampung Selatan
38
○ ○ ○
dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya (Cesar et al, 1997).
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 85.000 km2 yang tersebar dari kawasan barat sampai ke kawasan timur Indonesia (Walters, 1994; Suharsono, 1998; Dutton et al, 2001). Wilayah Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota laut
○
○
○
reef) yang berada dekat dengan daratan pulau-pulau kecil (Gambar 19 dan 20), dan hanya sebagian kecil terutama di kawasan timur Indonesia yang bertipe terumbu karang penghalang dan atol.
○
Terumbu Karang di Kep.Padaido, Biak Numfor-Papua
39
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar et al (1997), berbagai macam manfaat terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung diantaranya sebagai bahan baku bangunan dan industri, sebagai penghasil beragam sumberdaya ikan, dan pariwisata; sedangkan manfaat tidak langsungnya antara lain fungsi terumbu
Gambar 20. Contoh bentuk pertumbuhan (lifeform) karang di sekitar pulau-pulau kecil (Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Kepulauan Padaido, Biak Numfor-Papua)
karang sebagai penahan abrasi pantai, peredam gelombang, dan sumber keanekaragaman hayati. Ekosistem terumbu karang menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan, karang, moluska, ekinodermata, dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pesisir pulau-pulau kecil lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang
40
bernilai ekonomi tinggi. Menurut Munro dan Williams (1985), dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karangnya pada kedalaman kurang dari 30 meter, setiap 1 km2 ikan sebanyak 15 ton. Karena itu, terumbu karang menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya masyarakat pulau-pulau kecil, tidak hanya dari beragam sumberdaya ikan yang terkandung di dalamnya, tapi juga dari kegiatan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan terutama kegiatan wisata bahari. Bahkan dewasa ini
berbagai jenis biota yang hidup di ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika yang menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), yang pemanfaatannya diharapkan dapat pula berkontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat.
41 41
2.5.2 Sumberdaya Alam Nir-Hayati Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) atau sumberdaya alam nirhayati di kawasan pulau-pulau kecil terutama terdiri dari sumberdaya mineral dan energi kelautan. Sumberdaya alam nir-hayati di kawasan pulau-pulau kecil masih belum optimal dimanfaatkan dan masih terbatas pada sumberdaya timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain, termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya belum optimal tersentuh. Demikian juga dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
2.5.2.1 Sumberdaya Mineral Aktivitas pertambangan mineral telah banyak dilakukan oleh negara-negara pulau kecil di dunia maupun di Indonesia pada provinsi-provinsi tertentu. Negara-negara pulau kecil yang aktivitas pertambangannya tinggi, diantaranya Nauru (fosfat), Kiribati (fosfat), New Caledonia (nikel), dan Fiji (emas). Bahkan New Caledonia di tahun 1980-an merupakan negara produser nikel terbesar nomor 2 di dunia sesudah Kanada. Sumberdaya mineral penting yang potensial terdapat di kawasan pulau-pulau kecil Indonesia dapat digolongkan ke dalam mineral vital, diantaranya emas, timah, nikel, bauksit, dan bijih besi. Selain sumberdaya mineral vital yang
Pulau....Tongke-tonke, Sulawesi ....
42
Tabel 2. Potensi sumberdaya mineral di beberapa pulau kecil Indonesia Luas Pulau (Ha)
Potensi Mineral
Riau
13.488,1
Granit dan Timah
Riau
40.410
Timah
P. Bintan
Riau
116.300
Bauksit
4.
P. Singkep
Riau
76.760
Timah
5.
P. Bahulu
Sultra
3.659
Nikel
6.
P. Wowoni
Sultra
69.050
Nikel
7.
P. Maniang
Sultra
531
Nikel
8.
P. Kabaina
Sultra
88.240
Nikel
9.
P. Bacan
Maluku Utara
184.600
Emas danTembaga
10.
P. Doi
Maluku Utara
3.584
Mangan
Nama Pulau
Propinsi
1.
P. Karimun
2.
P. Kundur
3.
No.
11.
P. Natuna
Riau
10.530
Emas dan Timah
12.
P. Haruku
Maluku
17.550
Emas
13.
P. Gag
Irian Jaya Barat
6.342
Nikel
14.
P. Waigeo
Irian Jaya Barat
6.000
Nikel, Besi, dan Tembaga
15.
P. Tarakan
Kaltim
25.000
Batubara
16.
P. Sebuku
Kalsel
21.900
Batubara, Nikel, dan Besi
17.
P. Damar
Maluku
2.000
Belerang
18.
P. Bunyu
Kaltim
11.300
Batubara
19.
P. Moreres
Kalsel
< 3 ha
Bijih besi
20.
P. Sangihe
Sulut
54.580
Emas dan Tembaga
21.
P. Talaud
Sulut
79.570
Emas dan Tembaga
22.
P. Gebe
Maluku Utara
14.360
Nikel
23.
P. Lembeh
Sulut
6.017
Emas
24.
P. Bangka
Sulut
3.691
Emas
25.
P. Amambas
Riau
15.125
Timah
Sumber: Data UPIPWP dan Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral
hingga saat ini telah dieksploitasi (Robertson Group plc. dan PT Agriconsult International, 1992), sumberdaya mineral lainnya yang juga telah dimanfaatkan adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, seperti kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, dan kerikil. Secara umum sumberdaya mineral potensial di kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
43
Pulau kecil-pantai Barat Aceh
Tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi sumberdaya mineral di banyak kawasan pulau-pulau kecil selain telah memberikan benefit ekonomi di satu sisi, tapi di sisi lain telah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan. Misalnya, erosi tanah dan pencemaran pesisir karena pertambangan nikel di New Caledonia; dan hilangnya permukaan tanah akibat pertambangan fosfat di Nauru dan Ocean Island; disamping juga terjadi pembabatan hutan akibat aktivitas pertambangan tersebut di atas. Dampak yang sama juga terjadi di kawasan pulau-pulau kecil Indonesia namun belum menjadi perhatian publik secara signifikan, karena mungkin tingkat keterisolasian dan problem aksesibilitas ke pulau-pulau kecil. Walaupun demikian ada beberapa contoh yang dapat dijadikan pelajaran. Aktivitas pertambangan timah di Bangka telah meninggalkan tanah tandus bahkan fasilitas yang ditinggalkan menjadi mubasir. Penambangan pasir telah menyebabkan beberapa pulau di kepulauan Seribu menjadi tenggelam. Dikuatirkan hal yang sama juga dapat terjadi di Kepulauan Riau jika tidak dikelola dengan hati-hati berbasis eko-sosiosistem yang menyusun kawasan tersebut.
44
2.5.2.2 Energi Kelautan Lautan merupakan sumber energi yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Sebelum tahun 1973 eksploitasi sumber energi dari lautan masih dalam skala yang terbatas. Tetapi sejak tahun 1973, upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang terbaharui (renewable) meningkat dengan pesat karena dipicu oleh beberapa kondisi. Pertama, sebagai reaksi terhadap kondisi ekonomi dimana harga minyak bumi membumbung tinggi sejak tahun 1973. Kedua, mendapatkan energi alternatif (bukan minyak bumi) yang dapat diandalkan. Kecenderungan tentang kondisi yang kedua tersebut terlihat di hampir semua negara (yang maju maupun yang berkembang) yang mulai menyadari akan pentingnya upayaupaya swadaya dalam pemenuhan kebutuhan energi. Sekarang, banyak negara berkembang memberikan perhatian besar terhadap pengkajian dan pengembangan teknologi tepat guna untuk menyadap energi terbaharui ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Dengan lebih luasnya laut dibandingkan daratan, maka potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif jika kehabisan minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan
45 Pulau Lunik, Lampung
yang potensial digunakan untuk pengembangan pulau-pulau kecil adalah Konversi Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), gelombang dan Pasang Surut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk memperoleh energi alternatif dari lautan. Untuk mengetahui potensi tersebut perlu diketahui metode-metode yang digunakan untuk menyadap energi dari lautan. Secara garis besar, ada tiga cara untuk mendapatkan energi dari lautan, yaitu OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); penyadapan energi kinetik dari gelombang, pasang surut, dan arus lautan. Dalam perkembangannya dewasa ini, teknologi OTEC yang paling maju dari ketiganya dan yang dapat menghasilkan energi yang paling besar.
Pesisir Simeulue-NAD
Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) bekerja berdasarkan perbedaan suhu air laut di permukaan terhadap suhu dingin air laut di bawah permukaan atau dasar laut sebagai sumber energi panas untuk menghasilkan pembangkit listrik. Keuntungan penggunaan pembangkit tenaga listrik OTEC antara lain mempunyai sifat yang dapat diperbaharui, berwawasan lingkungan, biaya operasi relatif kecil, disamping itu air minum dapat diproduksi secara tidak langsung. Sumber air dingin dari perairan dalam dapat digunakan untuk kebutuhan akuakultur karena kaya nutrien dan bebas penyakit. Di perairan Indonesia telah diprediksi beberapa lokasi yang potensial untuk pemanfaatan OTEC antara lain Pelabuhan Ratu, Ujung Kulon, Pantai selatan Bali, Pantai barat dan selatan Sumatera (Chayes, et al, 1986; Situmorang, et al, 2000).
46
Kawasan Timur Indonesia mempunyai panjang pantai yang potensial di Indonesia, dimana gelombang merambat ke pantai dan menghempaskan energinya sepanjang waktu, namun tidak semua energi gelombang tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dari manusia. Hal ini disebabkan masih banyak kendala teknis yang dihadapi dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sehingga energi yang disadap dari gelombang ini secara ekonomi masih jauh dari menguntungkan. Ada beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi suatu wilayah pesisir atau lautan agar gelombang yang datang dapat disadap energinya. Persyaratan itu antara lain adalah gelombang yang datang harus mempunyai tinggi rerata > 2,5 m, dan memecah sedekat mungkin ke pantai. Untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, hanya pantai yang curam yang berhadapan dengan lautan terbuka/samudera yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Dari segi geografi, pantai timur Halmahera dan Morotai, pantai utara Pulau Biak (Papua), mempunyai potensi untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan oleh para pakar memperkirakan bahwa energi yang dibangkitkan oleh pasang-surut di seluruh dunia paling sedikit mencapai 65 x 103 MW. Ada 100 lokasi di dunia yang dipandang sangat potensial untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga pasang-surut (PLTP) (Constans, 1979). Sebagian besar dari lokasi ini berada di daerah lintang tinggi. Perancis, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, dan RRC telah lama memanfaatkan energi kinetik yang berasal dari pasang surut. Di Rance, Bretagne, Perancis telah membangun (PLTP) sebesar 240 MW. Pada tahun 1968, Rusia
47 47
Pesisir Simeulue-NAD
○
○
○
○
○
○
○
berkekuatan 14 m/detik. Bagi Kawasan Timur Indonesia dengan ribuan pulaupulau kecil, arus laut yang melalui selatselat yang ada dapat mencapai kecepatan yang cukup tinggi. Sebagai contoh, kecepatan arus di Selat Lombok dapat mencapai 3 m/detik. Ada banyak selat berarus deras yang mempunyai potensi yang cukup baik sebagai sumber energi alternatif. Pada suatu saat, jika teknologi memungkinkan, penyadapan energi kinetik dari arus akan layak dikembangkan untuk kepentingan bangsa terutama di pulau-pulau kecil terpencil.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Arus di lautan merupakan salah satu energi kinetik yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dari hasil penelitian diketahui bahwa luaran yang dihasilkan oleh turbin yang digerakkan oleh arus lautan berkekuatan 1,5 m/detik sama dengan turbin angin yang berukuran sama dan digerakkan oleh angin
○
○
○
membangun PLTP dengan kapasitas 0,4 MW di Kislaya Guba, dan di RRC (PLTP) yang dibangun berkapasitas 8 MW. Indonesia tidak termasuk dalam daftar tersebut. Hal ini dapat dimaklumi jika salah satu kriteria utama yang diperlukan adalah kisaran pasang-surut lebih dari 7 meter. Kisaran pasang surut tertinggi yang ditemui di kawasan Timur Indonesia adalah sekitar 6 meter, yaitu di Merauke. Di tempattempat lain kisaran pasang-surut hannya mencapai sekitar 3-4 meter. Dengan kemajuan teknologi yang ada sekarang ini, tempat di Merauke tersebut hanya dapat dikategorikan berpotensi sedang. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi di masa datang daerah yang berpotensi sedang tadi dapat menjadi daerah yang berpotensi besar untuk pembangunan PLTP.
48
Pesisir Lamting-Pulau Nasi
49 49 Pesisir Lamting-Pulau Nasi
EVAPOTRANSPIRASI
CURAH HUJAN
LAGUNA
LAUT
2 -3 M
ZONA AIR TAWAR 10-20 M
AIR LAUT
ZONA TRANSISI
300-1000 M Gambar 21. Profil zona sumberdaya air di pulau kecil (Falkland, 1991)
2.5.3 Sumberdaya Air Tawar Sumberdaya air tawar di pulau kecil sebagian besar berasal dari air hujan, dan hanya sebagian kecil dari air permukaan dan air tanah. Karena itu, secara umum ciri pulau kecil adalah keterbatasan air tawar. Keterbatasan ini antara lain dikarenakan oleh tipe dan ukuran pulau yang kecil, sehingga daerah tangkapan air dan akuifernya terbatas (Gambar 21). Selain itu keberadaan dan potensi sumberdaya air di pulau kecil sangat ditentukan oleh tipologi, morfologi, iklim, tutupan lahan, dan posisi geografinya dalam tatanan iklim regional (Hehanussa dan Hartanto, 2005). Dengan demikian keberadaan sumberdaya air tidaklah sama
5050 Pantai Auki, Biak Numfor-Papua
antar satu pulau dengan pulau lainnya, sekalipun pulau-pulau tersebut berada dalam satu gugusan pulau kecil. Namun demikian pengecualian dapat dijumpai, misalnya di Pulau Untung Jawa, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau Untung Jawa memiliki akuifer yang memadai, dan airnya dimanfaatkan oleh penduduk setempat dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena dulunya Pulau Jawa dan Pulau Untung Jawa adalah daratan sebelum zaman es mencair, sehingga diperkirakan bahwa akuifer yang terdapat di Pulau Untung Jawa adalah akuifer purba yang berhubungan dengan akuifer dari Pulau Jawa. Pengecualian lain juga terdapat di Pulau Gili Air yang terletak di Selat Lombok bagian utara. Pulau kecil ini memiliki danau air tawar di tengah pulau. Belum diketahui dengan pasti apakah air dari danau tersebut berasal dari tadahan air hujan, atau berasal dari akuifer yang berhubungan dengan Pulau Lombok.
2.5.4 Jasa-jasa Lingkungan Beragam potensi jasa-jasa lingkungan terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, namun dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang didominasi oleh ribuan pulau-pulau kecil, merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa pariwisata berbasis pulau-pulau kecil menjadi potensi yang sangat prospektif untuk dikembangkan. Dengan kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, serta keindahan alam pulau-pulau kecil tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata, khususnya pariwisata bahari. Konsepsi pengembangan wisata bahari pulau-pulau kecil nusantara secara nyata mempunyai prospek menjanjikan sebagai daerah tujuan wisata bahari terbesar di dunia. Besarnya jumlah pulau-pulau kecil Indonesia (lebih dari 10.000 pulau)
51
berdampak pada tersedianya berjuta hektar taman laut yang memiliki flora dan fauna yang sangat khas dan tak dimiliki oleh negara lain. Dengan kata lain keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan pendukung utama bagi berkembangnya pariwisata bahari. Besarnya potensi dan keindahan taman laut di pulaupulau kecil ini didokumentasikan oleh sebuah ekspedisi laut yang bernama The Marine Parks of Indonesia yang dipimpin oleh President of Raffles Marine Ltd, Singapura, Francis Lee bersama TNI AL pada tahun 2000. Produk dari ekspedisi ini adalah rekaman video yang mengabadikan keindahan bawah laut dari kawasan pulau-pulau kecil di Bunaken, Takabonerate, Wakatobi, Komodo, Bali Bagian Barat, Karimun Jawa, Kepulauan Seribu, Ujung Kulon, Krakatau dan Batam (Gambar 22). Berpijak pada potensi wisata bahari pulau-pulau kecil Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, ekowisata pulau-pulau kecil sebagai pariwisata yang
52
Gambar 22. Visualisasi sebagian dari keanekaragaman terumbu karang di pulau-pulau kecil Indonesia
Ekowisata pulau-pulau kecil sebagai wisata berbasis konservasi sumberdaya dan lingkungan alam serta masyarakat pulau-pulau kecil, berpijak pada: · Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan · Pengelolaan berkelanjutan dengan prioritas perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan · Kolaborasi antar pemangku kepentingan (stakeholders)
memanfaatkan jasa-jasa kelautan yang berbasis konservasi dan masyarakat, memiliki prospek yang sangat menjanjikan terutama bila ditilik dari konteks pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Karena itu, strategi pengembangan wisata bahari pulaupulau kecil selayaknya menempatkan ekowisata bahari sebagai salah satu misi strategis pembangunan pulaupulau kecil. Laut Indonesia dengan mozaik ribuan pulau kecil yang tersebar di dalamnya, merupakan bagian terbesar dari ASEANAREAN yang memiliki potensi laut lebih kaya dibandingkan dengan kawasan laut lainnya, seperti MEDITERANEAN, CARRIBEAN, dan PACIFIC, sehingga kekayaan sumberdaya alam laut yang dimilliki Indonesia sering disebut dengan “Mega Bio-Diversity” (Tabel 3). Oleh sebab itu tidaklah berlebihan bila Indonesia sesungguhnya berpotensi untuk menjadi tujuan wisata bahari terbesar di dunia, seperti cruising, yachting, diving, surfing, dan fishing serta marine eco-tourism. Tabel 3. Statistik kekayaan jenis biota laut di beberapa kawasan laut dunia No.
Kawasan
Ikan laut
Karang keras
1
ASEAN AREAS
2500
400 – 500
2
CARRIBEAN
500 – 600
100 – 200
3
GREAT BARRIER REEF
1500
395
4
MEDITERANEAN
(much less)
(much less)
Sumber: Chou, 1997; Veron, 2001; dan Williams, 2001
Sebagian besar potensi laut tersebut pada Tabel 3 terdapat di kawasan pulau-pulau kecil. Hal ini sangat beralasan bila ditinjau dari sisi geologis, dimana sebagian besar pulau-pulau kecil terlebih pulau-pulau sangat kecil Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan terumbu karang, diikuti oleh asosiasinya dengan ikan karang sebagai bagian terbesar dari kekayaan ikan laut di kawasan pulau-pulau kecil.
53
54 54 Laguna Pantai Auki, Biak Numfor-Papua
REALITAS SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT PULAU-PULAU KECIL 3.1 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau Kecil Berbeda dengan pulau-pulau besar, masyarakat di pulau-pulau kecil memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri, sebagai konsekuensi dari proses evolusi budaya yang terjadi dalam suatu rangkaian proses interaksi manusia dan lingkungannya. Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan, kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas, yakni budaya. Selanjutnya budaya yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek budaya yang berupa sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut juga sebagai cultural core. Oleh karenanya karakteristik inipun menjadi spesifik pada tempat atau lokasi yang berbeda; sehingga penanganan sistem sosial bagi pengembangan pulau-pulau kecil pun akan memiliki strategi yang berbeda pada setiap tempat. Keberadaan pulau-pulau kecil sebagai suatu ruang wilayah, bagi masyarakat mempunyai fungsi sosial tertentu, terutama berkaitan dengan penguasaan sumberdaya alam yang bersifat terbuka (open acces) untuk pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok masyarakat atau suatu sistem sosial. Fungsi-fungsi tersebut dapat berupa fungsi ekonomi secara langsung maupun tidak langsung, yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan bagi masyarakat. Fungsi-fungsi langsung dapat berupa pemanfaatan berbagai sumberdaya alam pada ekosistem pulau, sedangkan fungsi tidak langsung dapat berupa pemanfaatan pulau-pulau
55 55
Perahu nelayan di Pulau Bintan-Riau
sebagai tempat perlindungan atau persinggahan sementara bagi para nelayan penangkap ikan tradisional sewaktu cuaca buruk maupun bagi kelompok etnis atau suku-suku tertentu yang memiliki kehidupan di laut, seperti suku laut di perairan Kepulauan Riau.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Rendahnya mobilitas ini disebabkan oleh rendahnya ketersediaan sarana dan prasarana transportasi laut, dan rendahnya frekuensi jasa transportasi yang menghubungkan antar kawasan kepulauan, sehingga biaya transportasi menjadi sangat mahal. Keterbatasan ini diperkirakan mendorong proses kulturisasi/asimilasi masyarakat pulaupulau kecil yang terdiri dari berbagai etnis berjalan lebih baik, tidak seperti masyarakat wilayah pesisir lain yang lebih berkelompok menurut etnis masing-masing. Proses kulturisasi biasanya membentuk masyarakat yang mereka sebut sebagai “Orang Pulau”.
○
Mobilitas penduduk pulau-pulau kecil biasanya relatif rendah. Mobilitas utama dilakukan ke pulau-pulau besar (mainland island) di sekitar untuk menjual produk hasil perikanan dan pertanian. Mobilitas lain dilakukan ke wilayah pulau-pulau kecil tetangga terutama untuk menangkap ikan. Kedua mobilitas ini dapat dikategorikan sebagai mobilitas komuter.
56
Kulturisasi ini terjadi karena potensi sumberdaya ekonomi kawasan pulaupulau kecil memberi prospek ekonomi yang memadai untuk menjaga kehidupan mereka, sehingga semua etnis yang ada di pulau-pulau kecil mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan daerah tersebut. Disamping itu, mobilitas penduduk yang berkaitan dengan usaha perdagangan dengan wilayah lain dilakukan seefisien mungkin, dikarenakan mahalnya biaya transportasi. Ini berarti juga pembelian dan penjualan barang dari dan ke pulaupulau kecil harus dilakukan dalam
jumlah yang relatif banyak agar dapat menghemat biaya transportasi. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat pulaupulau kecil pada dasarnya mengikuti hukum adat dan hak ulayat yang diakui masyarakat. Dalam hal masyarakat suatu pulau terbentuk dari sekelompok pendatang dari daratan utama (pulau besar), maka hak-hak adat dan ulayat atas sumberdaya alam dan lingkungan pada pulau tersebut akan mengikuti hak-hak adat dan ulayat yang berlaku pada daratan utama. Kecenderungan kuat bahwa hakhak adat dan ulayat tersebut mengikuti sistem adat dan ulayat pada suku bangsa yang dominan. Pada pulau-pulau kecil yang penduduknya jarang, seringkali masyarakatnya terdiri dari keturunan dari tokoh yang melakukan perintisan dan pertama kali menetap di pulau tersebut. Dalam hal ini terjadilah masyarakat genealogis, yaitu masyarakat yang berasal dari keturunan seorang cikalbakal tertentu. Seorang perintis biasanya mempunyai beberapa pengikut, yang kemudian membentuk keluarga pula sehingga terbentuklah beberapa kelompok kerabat yang merupakan generasi perintis yang pertama. Kelompok kerabat inilah yang kemudian menentukan nilai-nilai dan norma-norma yang di kemudian hari dikenal sebagai
57 Pasar Bosnik, Biak Numfor-Papua
hukum adat yang berlaku di pulau tersebut. Sehubungan dengan asal kedatangan generasi perintis ini, dibawa pula adat dari daerah asal masing-masing, sehingga terjadilah asimilasi nilai budaya, yang kemudian melahirkan tatanan hukum adat baru yang merupakan variasi dari hukum adat dari daerah asal yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Perbedaan-perbedaan yang seringkali dapat terlihat jelas antara lain dalam hal dialek, cara berpakaian, etika pergaulan, dan upacaraupacara ritual dalam keagamaan dan perkawinan. Sehubungan dengan tujuan kedatangan kelompok Lokasi Wisata-P.Auki, Biak Numfor-Papua. masyarakat tertentu di suatu pulau, dikenali adanya hubungan sosial atas dasar maksud dan upaya untuk memanfaatkan suatu sumberdaya alam tertentu. Masyarakat dari berbagai daerah asal yang kemudian secara bersama-sama menetap untuk mengelola sumberdaya tertentu di pulau tersebut, disebut sebagai
Peserta Kunjungan ke Pondok Wisata-Pulau Auki, Biak Numfor-Papua.
58
masyarakat yang terbentuk atas dasar teritorial atau “hubungan tinggal dekat”. Bila hubungan antar kelompok masyarakat yang berbeda suku bangsa dan daerah asal tersebut kemudian meningkat melalui suatu perkawinan (amalgamasi), maka ikatan hubungan teritorial kemudian berbaur dengan hubungan genealogis. Masyarakat yang telah mengalami proses asimilasi tersebut, mempunyai sistem kekerabatan yang sangat erat, dengan semangat kegotongroyongan dan solidaritas yang tinggi. Karakter yang demikian terbentuk karena kehidupan sosial budaya mereka menghadapi suatu kendala sosial dan ekonomi yang relatif seragam. Kendala-kendala tersebut adalah seperti sarana dan prasarana kehidupan, lapangan kerja, termasuk distribusi kebutuhan pokok harian. Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang demikian peranan tokoh informal sangat menonjol dibandingkan dengan tokoh formal di dalam berbagai segi kehidupan. Tokoh-tokoh informal tersebut umumnya dijadikan ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) oleh penduduk setempat dalam rangka menjalankan pemerintahan.
Pulau kecil, Biak Numfor-Papua
59 59
3.2 Dimensi Sosial-Ekonomi Pulau Kecil Dimensi sosial-ekonomi kelautan dari pulau-pulau kecil akan lebih mudah dipahami melalui fungsi-fungsinya secara sosial dan ekonomi. Terdapat sekitar 931 buah pulau yang berpenghuni dan sekitar 16.577 buah pulau yang tidak berpenghuni di seluruh Nusantara (Edyanto, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pulaupulau kecil di Nusantara merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Namun demikian tidak berarti bahwa pulau-pulau tersebut tidak memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat pesisir dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Teluk Manado, Sulawesi Utara
Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang atau berada pada posisi tertentu, walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki nilai strategis baik secara sosial maupun ekonomi; misalnya pulau-pulau yang berada di jalur pelayaran ataupun pulau-pulau yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga, terlebih pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam skala lokal, regional, nasional, maupun internasional. Beragam ekosistem dan sumberdaya alam kelautan produktif di kawasan pulau-pulau kecil, menjadikan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang sangat potensial bagi pengembangan sosial-ekonomi
60
Pasar ikan di Kota Tual, P. Kei Kecil, Maluku Tenggara
kelautan. Salah satunya adalah sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil yang bernilai sangat tinggi, baik dari sisi ekologis (jumlah dan keanekaragaman jenis, serta jenis-jenis endemik) maupun ekonomis (harganya yang tinggi). Hal ini didukung oleh ekosistem pesisir dan laut pulaupulau kecil yang kompleks dan sangat beragam, terutama yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Perairan karang merupakan ekosistem pulau-pulau kecil yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya ikan. Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang unik dan produktif di kawasan pulau-pulau kecil berperan penting, diantaranya sebagai habitat bagi beragam jenis ikan, sehingga memberikan dampak pada tingginya produktivitas perikanan (ikan-ikan karang) yang bernilai ekonomis tinggi; dan sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari karena memiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah. Berdasarkan data Dahuri (2003), produksi ikan karang konsumsi Indonesia per tahun sebesar 106,89 ribu ton. Bengen (2004) mengungkapkan 80-85 % produksi ikan karang Indonesia berasal dari kawasan pulau-pulau kecil. Hal ini beralasan mengingat di kawasan pulau-pulau kecil, terlebih pulau-pulau sangat kecil, umumnya terdapat hamparan terumbu karang yang luas, sehingga tidaklah berlebihan bila kontribusi pulau-pulau kecil pada produksi ikan karang cukup besar, yakni berkisar antara 85,512 ribu ton s/d 90,86 ribu ton per tahunnya. Berdasarkan data Tim WWF (2004) dan McGilvay dan Chan (2003), harga ikan karang, misalnya ikan
61
kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di tingkat nelayan dapat mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) per kilogram, dan di pasar Hongkong dan China dijual dengan harga US$ 60- 112 per kilogram. Pada tahun 2000, Hongkong mengimpor hampir 10 ribu ton ikan kerapu hidup, dimana pasokan dari Indonesia sekitar 10 % nya. Secara moneter kontribusi kawasan pulau-pulau kecil per tahun, khusus ikan karang konsumsi Indonesia, jika menggunakan asumsi setengah dari harga ikan kerapu tikus di tingkat nelayan (US$ 10/Rp. 100.000 per kg), adalah sebesar US$ 684.096.000 atau sebesar 684 juta dollar AS (0,8 x 85.512.000 kg x US$ 10/kg) per tahun. Sementara jika hanya menggunakan setengah dari harga terendah di pasar Hongkong dan China (US$ 30/kg), maka sumbangan ekonomi kawasan pulau-pulau kecil melalui ikan karang sebesar US$ 2.052.288.000 atau 2 milyar dollar AS (0,8 x 85.512.000 kg x US$ 30/kg). Kontribusi ini belum menghitung produksi ikan lain seperti ikan hias dan potensi pariwisata pulau-pulau kecil.
Ilustrasi: DON
Kawasan pulau-pulau kecil yang didominasi oleh terumbu karang yang subur di perairan dangkal, merupakan habitat yang produktif bagi sumberdaya rumput laut. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial tinggi. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka. Selain itu ekosistem mangrove juga banyak terlihat dominan di sebagian pesisir pulau-pulau kecil. Ekosistem ini sangat berperan bagi ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan tersebut.
62 62 Tangkapan nelayan di P. Kei Kecil, Maluku Tenggara
Selain terumbu karang dan mangrove yang memberikan dukungan bagi produktivitas perikanan di pulau-pulau kecil, ekosistem padang lamun juga memiliki fungsi ekonomi yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun yang bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dukungan pulau-pulau kecil pada ketersediaan sumberdaya ikan, cukup besar pada sumberdaya ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan kata lain, secara agregat nilai output perikanan nasional sebagian besar (70-80 %) dihasilkan oleh kawasan pulau-pulau kecil yang ada di nusantara ini. Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga belum optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain, termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non exhaustive (tak pernah habis), seperti energi matahari, energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Rumput Laut di Kota Tual, P. Kei Kecil, Maluku Tenggara
63
Jetty perahu nelayan di P. Harapan, Kep. Seribu DKI Jakarta
64
PERMASALAHAN LINGKUNGAN DAN KENDALA PEMBANGUNAN PULAU-PULAU KECIL 4.1 Permasalahan Lingkungan Pulau Kecil Sebagaimana telah diuraikan di bab-bab sebelumnya, pulau-pulau kecil mempunyai keunikan, baik fisik, geografis, sumberdaya alam maupun masyarakatnya. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat rentan terhadap berbagai pengaruh eksternal dan aktivitas pembangunan, serta mempunyai keterbatasan baik sumberdaya alamnya maupun sumberdaya manusianya. Sebagai kawasan yang bagian terbesarnya adalah laut, maka pulaupulau kecil dengan beragam ekosistemnya merupakan kawasan yang selalu berada dalam keadaan yang dinamis, dan penuh perubahan dengan siklus waktu yang pendek. Dalam kondisi normal, dinamika tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium). Namun bila terjadi kerusakan, dampak negatifnya akan segera memberikan pengaruh sangat besar dan kompleks. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya aktivitas pemanfaatan pulau-pulau kecil, maka sebagian kawasan ini tengah mengalami situasi yang tidak menguntungkan dan memprihatinkan. Kawasan tersebut berada dalam tekanan besar, dimana ekosistemnya menghadapi ancaman kerusakan dan penurunan kualitas yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan fungsional ekosistem di pulau-pulau kecil. Ancaman-ancaman ini dapat berdiri sendiri atau saling berkaitan dalam setiap pemanfaatan ekosistem atau kegiatan pembangunan yang memberikan dampak terhadap ekosistem pesisir. Beberapa ancaman potensial terdadap ekosistem pesisir adalah:
65 65
PENCEMARAN Kegiatan pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, industri dan pemukiman merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir pulau-pulau kecil. Adanya kegiatan pertanian, penambangan dan industri, telah meningkatkan limbah baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir melalui limpasan air permukaan. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi menimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang merugikan ekosistem pesisir, terutama ekosistem terumbu karang. Selain itu, limbah domestik yang berasal dari pemukiman merupakan sumber pencemar perairan pesisir pulau-pulau kecil yang sulit dikontrol. Sumber pencemaran lain di pesisir pulaupulau kecil dapat berasal dari kegiatan pembangunan lainnya, seperti kegiatan reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dapat mempengaruhi ekosistem pesisir, antara lain sebagai akibat peningkatan kekeruhan air dan pengendapan sedimen.
Talus terumbu karang di P. Bonetambung
Pantai hasil reklamasi di P. Serangan Bali
Konversi hutan mangrove untuk tambak di Pulau Weh, Aceh
66
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain yang cukup menonjol terhadap degradasi habitat di pulaupulau kecil adalah degradasi ekosistem terumbu karang. Degradasi terumbu karang di kawasan pulau-pulau kecil lebih disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati). Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Selain itu degradasi terumbu karang terjadi sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan konstruksi jalan atau bangunan.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
pulau-pulau kecil. Selain proses-proses alami, seperti angin, arus, dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai. Kebanyakan erosi pantai akibat aktivitas manusia terjadi karena adanya pembukaan hutan pesisir, penambangan terumbu karang dan reklamasi pantai untuk kepentingan pemukiman, industri dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi
○
○
Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai di
○
○
○
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil, maka terlihat jelas adanya degradasi habitat dan sumberdaya alam di sebagian pulau-pulau kecil Indonesia.
○
○
○
DEGRADASI HABITAT DAN SUMBERDAYA ALAM
67
Konversi mangrove untuk tambak di Delta Mahakam, Kaltim
Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya sebagai obyek wisata terlihat dari kerusakan-kerusakan fisik karang yang disebabkan oleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawa wisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan juga dapat diakibatkan oleh perilaku wisatawan, misalnya penginjakan terumbu karang oleh penyelam yang kurang berpengalaman maupun oleh penyelam yang memburu ikan. Selain itu limbah yang dibuang turis atau limbah yang berasal dari aktivitas di daratan ikut menimbulkan kerusakan karang.
Dataran pesisir Alue Reuyeung, Pulau Nasi-Aceh
Selain itu, kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di beberapa kawasan pulau-pulau kecil, diperkirakan dapat merubah struktur ekologi komunitas biota laut bahkan dapat menurunkan keanekaragaman hayati laut. Dalam skala yang lebih kecil, pembangunan pemondokan wisata atau infrastruktur lainnya di pinggir pantai dapat memberikan dampak yang sama bila beragam limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik, terlebih bila berada di sekitar kawasan konservasi.
68
4.2 Kendala Pembangunan Pulau Kecil Berpijak pada berbagai karakteristik pulau-pulau kecil (sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya yang khas) sebagaimana yang telah dikemukakan, maka pengembangan pulau-pulau kecil tentunya memiliki karakter khusus. Beberapa karakteristik yang dapat menjadi kendala bagi pembangunan pulau-pulau kecil adalah: • Ukurannya yang kecil dan terisolasi (keterasingan), sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk hanya terdapat di dalam pulau tersebut. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang berbeda jauh dari pulau tersebut. • Kesukaran atau ketidak mampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi yang turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield, 1990; Hein, 1990) • Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar yang terbatas, yang pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil untuk menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan.
69 69 Konversi lahan mangrove pulau kecil
Segenap kendala tersebut bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung (carrying capacity) suatu pulau, dampak negatif pembangunan (cross-sectoral impacts) hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pulau menenggangnya. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan (usaha produksi) yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal.
○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat (Francillon, 1990).
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat (McElroy et al, 1990). Misalnya di Pulau Palawan, Philipina dan beberapa pulau di Karibia Timur, penebangan hutan dan lahan darat secara tidak terkendali telah meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian merusak/mematikan ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari (Hodgson dan Dixon, 1988; Lugo, 1990). Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut. • Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya, pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulaupulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh
○
• Produktivitas sumberdaya alam dan
70
Selain beberapa karakteristik pulau-pulau kecil tersebut di atas yang dapat menjadi kendala pembangunan, pada sisi kelembagaan juga masih menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil, diantaranya konflik penggunaan ruang di kawasan ini yang nampak belum teratasi. Di sini terlihat masih “kental”nya pola pendekatan pembangunan sektoral, yang hanya memperhatikan keuntungan masing-masing sektor dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain. Konflik penggunaan ruang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di kawasan pulau-pulau kecil muncul karena belum tersedianya tata ruang yang mengatur kepentingan di era otonomi daerah lewat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang akhirnya membawa implikasi besar ke arah yang kurang menguntungkan bagi kawasan pulau-pulau kecil. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah cenderung merupakan replikasi dari pendekatan sektoral. Kebijakan yang ada saat ini berorientasi pada eksploitasi sumberdaya alam, sementara hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alamnya masih kurang dihargai.
Pandangan jangka pendek mempengaruhi sikap pemanfaatan terhadap kawasan pulau-pulau kecil kita. Pengaruh krisis yang dihadapi Indonesia seakan-akan memberikan legitimasi terhadap perusakan kawasan ini di berbagai tempat di tanah air. Tidak ada kekhawatiran layaknya ungkapan Alfred North Whitehead “Any physical object which by its influence deteriorates its environment, commits suicide’’ (Science and The Modern World: 1925, 114). Padahal banyak pembuktian kerusakan pada kawasan pulau-pulau kecil akan mengancam kehidupan kita sendiri.
71 71 Pantai Bosnik Biak Numfor-Papua
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
sedangkan mengenai sumber-sumber kekayaan alam, baik hayati maupun nirhayati, tunduk pada berbagai peraturan perundangan sektoral yang dalam pelaksanaannya menjadi wewenang departemen yang berbeda-beda.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pada sisi formal, tidak dipungkiri pengelolaan pulau-pulau kecil sampai saat ini belum diatur secara spesifik, artinya pulau-pulau kecil sebagai bagian dari wilayah nasional tunduk pada pengaturan yang berlaku umum. Sepanjang mengenai unsur lautnya tunduk pada pengaturan hukum laut, dan mengenai unsur daratnya tunduk pada pengaturan yang berlaku umum (pengaturan mengenai tanah dan air);
○
○
○
Di sisi lain, kecenderungan upaya pelestarian lingkungan pulau-pulau kecil oleh warga masyarakat masih dilakukan dengan kaidah ketaatan afektif yaitu ketaatan yang diterima secara dogmatis, berbaur dengan cinta dan emosi, yang sangat berbeda dengan ketaatan formal yang rasional (Talcott Parsons, 1951). Penegakan hukum lingkungan di pulaupulau kecil dilaksanakan melalui kearifan tradisional, antara lain di bawah norma tabu. Hukum tidak-tertulis itu ternyata sangat efektif bahkan masih tersisa efektivitasnya di abad moderen ini.
72 72
Kewenangan-kewenangan tersebut sebagian daripadanya ada yang telah diserahkan dan/atau dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem pengaturan demikian seringkali menimbulkan benturan kepentingan antara sektorsektor yang terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil. Selain dari itu tidak jarang pula timbul tumpang tindih wewenang manakala di dalam suatu kesatuan ruang yang sama terdapat lebih dari satu jenis sumberdaya alam dan/ atau jasa lingkungan yang potensial untuk dikembangkan pada saat yang sama, baik dalam skala ekonomi regional maupun nasional.
PENTINGNYA KETERPADUAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS EKOSOSIO SISTEM Dalam perspektif pembangunan pulau-pulau kecil, opsi pembangunan umumnya hanya terdiri atas 3 (tiga) yakni: 1) aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif sama sekali pada lingkungan, misalnya dengan menentukan suatu pulau dengan perairannya sebagai kawasan marine sanctuary; 2) aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya, misalnya kegiatan perikanan tangkap subsisten yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga melalui penggunaan alat tangkap ikan tradisional (pancing, jala...); dan 3) aktivitas yang menimbulkan perubahan besar terhadap lingkungan, seperti pertambangan mineral skala besar, dan pengembangan pariwisata masal yang intensif. Masing-masing opsi tersebut di atas memiliki kekuatan dan kelemahan dari sisi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sumberdaya alam maupun lingkungannya. Pada pilihan pertama, kelestarian sumberdaya dan lingkungan termasuk tinggi tetapi dari sisi pertumbuhan ekonomi secara langsung tergolong rendah. Sebaliknya untuk pilihan ketiga, kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya rendah tetapi dari sisi pertumbuhan ekonominya tinggi. Oleh sebab itu, pilihan kedua diyakini menjadi pilihan yang tepat, karena keberlanjutan baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan maupun dalam
73 73
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Perspektif sebagaimana yang dikemukakan di atas menunjukkan
○
○
○
pertumbuhan ekonomi dapat optimal. Pembangunan pulau-pulau kecil merupakan pengelolaan serta pengembangan dengan karakteristik keruangan lahan, keberadaan dan penyelenggaraan kegiatan komersial, pelayanan, dan berbagai kegiatan ekonomi di dalamnya; dengan tidak melupakan keberadaan potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada di dalamnya.
○
Pulau karang sangat kecil-Simeulue, Aceh
74 Konversi mangrove untuk tambak di Delta Mahakam, Kaltim Mahakam
bahwa, skenario pembangunan kawasan pulau-pulau kecil yang ideal bukanlah pembangunan serta pengembangan yang secara sengaja (spontan) tumbuh, tanpa proses perencanaan yang jelas, tetapi merupakan skenario pembangunan dan pengembangan dengan model yang memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lingkungannya. Dengan demikian pengelolaan kawasan pulaupulau kecil tidak dapat lepas dari keberadaan pulau-pulau kecil sebagai ekosistem yang spesifik dalam perspektif ruang, dan menjadi variabel
dependen (tidak bebas) dari perencanaan pengelolaan. Selain itu, karakteristik sosial-budaya masyarakat pulau-pulau kecil dengan ritme kehidupan yang khas, serta problema hidup yang masih berkutat pada urusan ekonomi, harus menjadi pertimbangan penting dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil. Keunikan dan kompleksitas sistem pada kawasan pulau-pulau kecil, baik itu sumberdaya alamnya maupun masyarakatnya, mutlak membutuhkan pendekatan pengelolaan yang tepat bagi keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil. Pencapaiannya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan pulau-pulau kecil terpadu berbasis eko-sosio sistem.
Pulau Lai-Lai Makasar
75 75 Pesisir mangrove Teluk Sinabang-Simeulue, Aceh
Dasar terangkat, Pesisir Simeulue-Aceh
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pulau-pulau kecil dengan wilayah laut yang luas, merupakan himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati yang mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem
○
5.1 Kebutuhan Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Berbasis Ekosistem
76
yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi kawasan pulau-pulau kecil sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam ekosistem pulau-pulau kecil (Bengen, 2002). Karena itu pengelolaan pulaupulau kecil baik langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di pulau-pulau kecil.
Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut di pulau-pulau kecil dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara di perairan pesisir pulau-pulau kecil. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Gambar 23).
Gambar 23. Ilustrasi keterkaitan ekosistem daratan dan laut pulau kecil
77
Keterkaitan berbagai ekosistem di wilayah pesisir, seperti antara ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang, menyebabkan wilayah pesisir memiliki produktivitas hayati yang tinggi, dan berperan penting sebagai penunjang sumberdaya ikan. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa kehidupan dari sekitar 85% biota laut tropis, termasuk Indonesia, bergantung pada ekosistem pesisir (Berwick, 1993). Demikian pula sekitar 90% dari total hasil tangkapan ikan dunia berasal dari perairan pesisir (coastal waters) (FAO, 2000).
Setiap aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam tentu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dalam prakteknya upaya untuk memakmurkan diri dan lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya dan kemampuan terbatas sumberdaya alam untuk memenuhi segenap maksud manusia tersebut. Dengan demikian perlu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya alam agar tetap lestari/
78
Kep. Seribu-Teluk Jakarta
berkelanjutan. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya alam dan kebutuhan manusia adalah menetapkan jenis dan besaran aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Dengan perkataan lain setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di kawasan pulaupulau kecil harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan. Kesesuaian unit ruang bagi pemanfaatan ekosistem pulaupulau kecil pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan ditempatkan pada zona yang secara ekologis (biogeofisik-kimiawi) sesuai dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk ekosistem pesisir pulau-pulau kecil yang menerima dampak negatif (negative externalities) berupa bahan pencemar, sedimen, atau perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai, limpasan air permukaan (run off), atau aliran air tanah (ground water), hendaknya dampak yang diterima ditekan seminimal mungkin, sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil masih dapat menenggang segenap dampak
79 79 Pantai Batu Kuda Tulehu-Maluku Tengah
negatif tersebut. Contohnya, jika suatu ekosistem pesisir sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, marikultur, atau kawasan konservasi, maka dampak negatif (pencemaran, sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi) yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan di daratan hendaknya diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (ikan, udang, kayu mangrove, rumput laut, dll) hendaknya dilakukan tidak boleh melebihi potensi lestarinya. Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat pulih perlu dilakukan secara efisien, hemat hingga dapat Pantai di Maluku Tengah ditemukan sumberdaya substitusinya, dan dampaknya diminimalkan. Jika melakukan kegiatan rekayasa di pulaupulau kecil (coastal engineering, construction, and development), maka perubahan proses-proses ekologis atau oseanografis serta bentang alam (landscape) yang ditimbulkan hendaknya masih dapat ditenggang oleh ekosistem di pulau-pulau kecil tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan pembangunan (seperti reklamasi, pembuatan jetty, pemecah gelombang, dll) hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah (design with nature principles). Secara teoritis analisis kesesuaian lingkungan mencakup aspek ekologis, yang didekati dengan menganalisis: 1. Potensi Maksimum Sumberdaya Berkelanjutan
Pantai Batu Kuda Tulehu-Maluku Tengah
80 80
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis dihitung potensi atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu tertentu. 2. Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity) Daya dukung didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. 3. Kapasitas Penyerapan Limbah (Assimila-
○
tive Capacity) Kapasitas penyerapan limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktivitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperatur dan intervensi manusia.
81 81
Pada tataran praktis, proses penyusunan kesesuaian lingkungan dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktorfaktor penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (-overlay-) dan analisis tabular dengan menggunakan alat (tools) berupa Sistem Informasi Geografis (SIG). Kriteria awal yang disusun umumnya dari prasyarat ekologis, selanjutnya secara terpisah hasil analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan, menjadi bahan bagi analisis daya dukung dan analisis kapasitas asimilasi. Hasil analisis kesesuaian lingkungan secara menyeluruh dapat menghasilkan: (1) Kawasan yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan
(Sangat Sesuai), (2) Kawasan dengan pemenuhan sebagian persyaratan kesesuaian (Sesuai), (3) Kawasan dengan sedikit pemenuhan persyaratan kesesuaian, tetapi dengan bantuan teknologi dapat diatasi (Sesuai Bersyarat), dan (4) Kawasan yang sama sekali tidak sesuai dengan persyaratan kesesuaian (Tidak Sesuai). Hasil akhir dari analisis kesesuaian, dapat terjadi suatu kawasan sangat sesuai untuk beberapa alternatif aktivitas pembangunan. Pada kondisi seperti ini, maka harus ditetapkan skala prioritas terhadap aktivitas pembangunan yang akan dilaksanakan pada kawasan tersebut, misalnya prioritas utama untuk kawasan konservasi, mengingat sudah banyak terjadi degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia. Penetapan skala prioritas ini sudah menyangkut aspek kebijakan yang merupakan kewenangan para pengambil keputusan (decision maker). Meskipun demikian tersedia juga perangkat yang dapat membantu decision maker menetapkan kebijakan, diantaranya Analytical Hierarchy Process (AHP) melalui public hearing, Linier Programming, Decision Support System, Analisis Multikriteria, dan sebagainya. Perangkat tersebut fungsinya adalah membantu proses pengambilan keputusan, dimana keputusan akhir tetap berada pada para pengambil keputusan itu sendiri. Anak nelayan di Maluku Tengah
82 82 Pesisir pantai di Maluku Tengah
Daya dukung lingkungan pulau kecil berbasis ekosistem didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan biota. Misalnya saja ikan di laguna tumbuh secara positif jika daya dukung lingkungannya masih lebih besar. Namun, pertumbuhan yang terus menerus akan mengakibatkan timbulnya kompetisi terhadap ruang dan lahan hingga daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan. Mengacu pada konsep ini, maka pengertian mengenai daya dukung lingkungan pulau kecil adalah tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya alam atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan pulau kecil atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. Pada sisi lain, Scones (1993) mendefinisikan daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) adalah jumlah maksimum individu pada suatu lahan yang dapat Anak-anak di Pulsu Sowek, Supiori Selatan-Papua didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Berdasarkan konsep daya dukung di atas, pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil yang hanya ditujukan untuk mengejar keuntungan maksimum namun tidak disertai dengan perhitungan cermat akan batasan-batasan ekologisnya justru akan berdampak negatif baik pada sisi ekologis maupun sisi sosial-ekonominya. Inilah kecenderungan selama ini yang sedang terjadi di dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil. Keinginan untuk meningkatkan keuntungan hanya difokuskan pada kebutuhan jangka pendek, dengan jalan intensifikasi pemanfaatannya secara luas. Sementara pengetahuan mengenai kesesuaian dan daya dukung kawasan pulau-pulau kecil bagi suatu pemanfaatan di Indonesia masih sangat rendah.
83
Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, peruntukan dan pemanfaatan pulaupulau kecil hendaknya diarahkan untuk kegiatan tertentu saja, misalnya kegiatan konservasi, perikanan (budidaya dan tangkap), pariwisata bahari, dan pertanian. Artinya, peruntukan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploitatif destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau kecil. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan sejumlah kendala yang sangat berbeda dengan pulau-pulau besar (mainland island). Atas dasar ini, maka arahan pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu dengan berbasis pada ekosistem, serta mengacu pada kesesuaian dan daya dukung lingkungannya. Salah satu wujud implementasi pengelolaan terpadu pulau-pulau kecil berbasis ekosistem adalah dengan menetapkan dan mengembangkan kawasan konservasi pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi yang dimaksudkan disini adalah suatu kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya serta memiliki nilai ekologis, disamping memiliki nilai sosial-budaya dan ekonomi. Kawasan konservasi pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy, 1997; Barr et al, 1997) : a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat Bagan sekitar pulau kecil-Teluk Jakarta melindungi daerah pemijahan,
84
Dasar terangkat, Pesisir Simeulue-Aceh
pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir pulau-pulau kecil. d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil; menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak
85
aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam perspektif kesesuaian dan daya dukung lingkungan pulau-pulau kecil, pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis konservasi tentu saja dapat menjadi Areal Pondok Wisata-Pulau Auki-Papua pilar pembangunan pulaupulau kecil secara berkelanjutan. Karena itu sasaran utama kawasan konservasi pulau-pulau kecil adalah untuk mengonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan dapat dipertahankannya pemanfaatan jasa-jasa lingkungan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Untuk mencapai sasaran utama tersebut di atas, pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil yang akan dijadikan kawasan konservasi, menuntut adanya proses perencanaan khusus yang terkait dengan tahapan pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Perencanaan khusus ini dapat saja tertuang dalam suatu perencanaan strategis pengelolaan pulau-pulau kecil. Perencanaan strategis mengharuskan adanya penelitian pendahuluan, pengumpulan data, analisis isu, dialog
86
dan negosiasi yang diperlukan untuk menetapkan masalah, memahami pilihan, dan meletakkan dasar untuk rencana pengelolaan kawasan konservasi pulaupulau kecil. Proses perencanaan kawasan konservasi harus didasarkan pada sasaran kawasan konservasi secara jelas, sebagaimana diuraikan di atas. Dalam perencanaan kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan proses (Agardy, 1997) : 1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis; distribusi sumberdaya ikan bernilai ekologis dan ekonomis penting, dan bila memungkinkan kawasan ekologis kritis, dan dilanjutkan dengan memetakan informasi-informasi tersebut dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. 2. Teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan; petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (misalnya over-eksploitasi) dan tidak langsung (misalnya pencemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya alam. 3. Tentukan kawasan dimana perlu dilakukan konservasi (misalnya kawasan yang diidentifikasi oleh pengambil kebijakan menjadi prioritas untuk dilindungi). 4. Kaji kelayakan suatu kawasan prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi. Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk merancang suatu kawasan konservasi.
87
Selama ini, batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan (batas daratan dan laut), batas administratif (nasional, provinsi atau kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil memerlukan biaya yang lebih kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya).
Tujuan kawasan konservasi pulau-pulau kecil (Kelleher dan Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al, 1997; Salm et al, 2000): • Melindungi habitat-habitat kritis • Mempertahankan keanekaragaman hayati • Mengonservasi sumberdaya ikan • Melindungi garis pantai • Melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya • Menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata • Merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi • Mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan
Secara umum kriteria ekologis haruslah digunakan untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi. Hingga saat ini tidak ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi. Namun demikian secara umum terdapat 2 (dua) kategori ukuran kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran besar).
88 Pantai pulau kecil di Kepulauan Padaido, Biak Numfor
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Setiap kategori ukuran kawasan memiliki keunggulan sendiri. Dalam konteks kawasan konservasi pulau-pulau kecil, kawasan konservasi yang berbasis zonasi gugus pulau dan juga masyarakat lebih tepat untuk dikembangkan. Kawasan konservasi kategori ini dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbedabeda, dan menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan, khususnya pemanfaatan jasa-jasa lingkungan, misalnya untuk ekowisata secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi, maka pemanfaatan
○
Pesisir Teupah Barat-Simeulue-Aceh
89
Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi hendaknya didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Zona-zona tertentu menuntut pengelolaan yang intensif, sementara zona lainnya tidak perlu.
Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi pulau-pulau kecil dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona, yaitu (Gambar 24):
Gambar 24. Skema zonasi kawasan konservasi pulau kecil (Adopsi dari Tulungen et al, 2002)
• Zona Inti atau Perlindungan. Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat menolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. • Zona Penyangga. Zona ini bersifat lebih terbuka tapi tetap dikontrol, dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari
90
Penzonasian tersebut di atas ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi bagi pembangunan pulau-pulau kecil.
○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.
○
berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal. • Zona Pemanfaatan Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat menolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang
5.2 Kebutuhan Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Berbasis Masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut pulau-pulau kecil saat ini menunjukkan tren yang semakin meningkat, dan mendekati kondisi yang dapat membahayakan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Berbagai resiko dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut apabila dibiarkan akan menjadi ancaman bagi kelestarian sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya.
91 91 Pulau Laelae, Kota Makassar
Kondisi tersebut dapat terjadi antara lain dikarenakan oleh anggapan masyarakat bahwa sumberdaya pesisir dan laut pulaupulau kecil merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sehingga setiap orang atau pemanfaat berlombalomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa adanya satu pun aturan yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pemanfaat mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Untuk mengantisipasi fenomena di atas, salah satu upaya yang banyak dilakukan adalah menggiatkan upaya-upaya konservasi terhadap sumberdaya alam pesisir dan laut agar dapat dipertahankan suatu pemanfaatan yang berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang diyakini dapat melindungi kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut adalah pengelolaan yang berbasis pada masyarakat (CBM). Di Indonesia, pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut berbasis masyarakat telah berlangsung lama, khususnya pada masyarakat pulau-pulau kecil yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut. Contoh-contoh pengelolaan berbasis masyarakat yang bersumber dari kearifan lokal seperti model sasi di Maluku, pengelolaan berbasis masyarakat di Nusa Tenggara Barat dan sebagainya. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat semakin banyak dikembangkan dan difasilitasi terutama oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan pengembangan mata pencahariannya. Anthony Charles (2001) dalam bukunya yang komprehensif bertajuk Sustainable Fishery System, mengkritisi secara sistematik konsep keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam konvensional yang selama ini hanya bergantung pada konsep keberlanjutan secara biologi-ekologi lewat ikon MSY (Maximum Sustainable Yield) dan keberlanjutan ekonomi lewat ikon MEY
92 92 Pantai Auki-Papua
(Maximum Economic Yield). Kedua ikon ini pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma konservasi dan paradigma rasionalitas. Dimulai dari idenya yang ditulis dalam makalahnya yang lain (Charles, 1994: Ecological Economics 11 : 201-211), Charles menambahkan wacana baru tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas (community paradigm). Dalam paradigma komunitas ini, bisa dikatakan bahwa keberlanjutan pemanfaatan SDA pulau-pulau kecil dapat dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan” (community-based management). Artinya, keberlanjutan pemanfaatan SDA pulau-pulau kecil diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat yang ada di dan sekitar pulau-pulau kecil tersebut sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional fisheries yang terbukti mampu melakukan self-control terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas kawasan pulau-pulau kecil, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan sumberdaya alam dalam jangka panjang, menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini. Dengan demikian, pemanfaatan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian SDA yang ada itu sendiri (as resources) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas (SDM) kawasan pulau-pulau kecil yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability). Dengan memperhatikan aspek “kemasyarakatan” maka secara simultan keberlanjutan pemanfaatan SDA pulau-pulau kecil secara biologi maupun ekonomi akan dapat dicapai karena ketiganya merupakan bagian dari sebuah sistem ekologis. Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, misalnya perikanan, yang
93 93
meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw, 1994). Selain itu, masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem
Pulau Kecil di Spermonde
Pantai Elomel, Maluku
tradisional, di mana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Sementara itu, Carter (1996) memberikan definisi Community-Based Resource Management sebagai : “A strategy for achieving a people-centered development where the focus of decision making with regard to the sustainable use of natural resources in an area lies with the people in the communities of that area” (Suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan kebijakan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan masyarakat di daerah tersebut). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
94
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
kepunahan. Seiring dengan meningkatnya pembangunan pulaupulau kecil, maka sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentukbentuk pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan hasilhasilnya. Namun dalam prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan seperti ini yang mengalami
○
○
○
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di mana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
○
Pantai Difur, Maluku
95
Sebagai suatu model, pengelolaan pulaupulau kecil berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan, yang tentunya harus diperhatikan manakala kita mengembangkan sebuah model CBM di kawasan pulau-pulau kecil. Beberapa kelebihan dari model CBM ini adalah:
· Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. · Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik. · Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. · Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi. · Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. · Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.
baraknew marine
Sementara itu, kelemahan dari pengelolaan berbasis masyarakat antara lain adalah: · Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. · Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, dan kesadaran akan pentingnya lingkungan. · Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah. · Hanya efektif untuk kawasan pulau-pulau kecil dengan batas geografis yang jelas atau terbatas. · Rentan terhadap ‘intervensi luar’ atau peledakan permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan.
96
Adanya kelemahan dan kelebihan dalam pengelolaan berbasis masyarakat sebagaimana diuaraikan di atas, maka dalam pengembangannya beberapa prasyarat harus diperhatikan antara lain adalah: · Masyarakat harus diberi hak dan kewajiban secara resmi (biasanya diartikan dalam batas-batas menurut tipe sumberdaya, ruang, dan waktu). Hak-hak diberikan kepada suatu kelompok masyarakat spesifik, serta kewajiban untuk mengelola sumberdaya juga diperjelas. · Pengakuan atas hukum adat dan hak ulayat akan memperlancar pengelolaan sumberdaya. · Diperlukan pengertian-pengertian yang mendalam terhadap kecenderungan-kecenderungan masa lalu dan yang sedang berlaku dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat. · Batas-batas alamiah yang jelas (misalnya ekosistem terumbu karang, mangrove) bagi peruntukan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. · Penyatuan ide dan persepsi masyarakat yang akan mengelola suatu sumberdaya pesisir dan laut, atau juga pendefinisian masyarakat, misalnya atas dasar geografis, budaya atau sifat pemanfaatan. · Strategi pengelolaan harus mencerminkan kebutuhan-kebutuhan aktual serta sesuai dengan kemampuan masyarakat. Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat dengan CoManagement (ko-manajemen). Ko-manajemen didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal
97 97 Pantai Elomel, Maluku
(masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove dan lain sebagainya. Dalam ko-manajemen ini, pihak masyarakat dan pemerintah harus saling berinteraksi baik berupa konsultasi maupun penjajakan awal, misalnya bilamana pemerintah akan menetapkan aturan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di pulau-pulau kecil. Dalam konteks ini masyarakat (community) didefinisikan sebagai kelompok orang-orang yang memiliki fungsi moral tertentu seperti kebaikan, pekerjaan, tempat tinggal, agama dan nilai-nilai (Renard, 1991 dalam White et al, 1994). Dalam konsep ko-manajemen, masyarakat lokal merupakan mitra (partner) penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan pulau-pulau kecil. Jadi dalam ko-manajemen, bentuk pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil adalah hubungan kerjasama dari 2 (dua) pendekatan, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (government centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Kedua pendekatan pengelolaan tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan yang apabila tidak disiasati dengan baik akan menimbulkan kesalahan pengelolaan yang pada akhirnya akan bermuara pada kerusakan lingkungan.
Pantai Elomel, Maluku
Pantai Elomel, Maluku
Posisi konsep ko-manajemen dalam hal ini adalah jembatan antara kegiatan-kegiatan yang government centralized management dengan kegiatan-kegiatan dari pendekatan community based management. Dengan demikian, pendekatan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut pulau-pulau kecil dengan menggunakan konsep ko-manajemen ini diharapkan akan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama (cooperation), komunikasi (communication) sampai pada hubungan kemitraan (partnership).
98 Pantai Elomel, Maluku
Perlu ditegaskan bahwa dalam konsep ko-manajemen, masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih murni oleh masyarakat (Community-Based Management; CBM) menjadi embrio dari penerapan konsep ko-manajemen tersebut. Bahkan secara lebih tegas Gawell (1984) dalam White et al (1994) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil (dalam studi Gawell adalah ekosistem terumbu karang) tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (the users) dari sumberdaya alam tersebut. Selanjutnya Pomeroy dan Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, sehingga komanajemen hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil; tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Menurut Sen dan Nielsen (1997) ko-manajemen berbeda dari pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-based resources management/CBRM), karena unsur pemerintah juga terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sistem kedudukan kelautan tradisional, sistem pengelolaan perikanan tradisional, dan CBRM bukan merupakan ko-manajemen, karena pemerintah tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Batasan yang sangat jelas tentang perbedaan antara ko-manajemen dan CBRM, dalam pelaksanaan bisa terasa janggal. Rejim CBRM merupakan ko-manajemen jika rejim ini diakui dalam perundangan nasional atau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pengembangan sektoral.
99
5.3. Pembelajaran Implementasi Pengelolaan PulauPulau Kecil Berbasis Ekosistem dan Masyarakat Dua teladan pembelajaran implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat yang diringkaskan di sini, yakni: (A) pengembangan ekowisata bahari pulau-pulau kecil di Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, dan (B) pengembangan minawisata bahari Pulau Dullah, Kota Tual, Provinsi Maluku.
A. Pembelajaran Dari Pulau Auki Pilihan untuk mengembangkan ekowisata bahari di Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, yang difasilitasi Mitra Pesisir (Coastal Resources Management Project II), merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil dalam pengembangan mata pencaharian. Kabupaten Biak Numfor merupakan kabupaten kepulauan yang memiliki puluhan pulau yang tergolong sangat kecil. Sebagai kawasan pulau-pulau Gambar 25. Pantai pasir putih berterumbu karang di Pulau kecil, potensi ekosistem Auki, Kepulauan Padaido, Biak Numfor pesisir khususnya ekosistem terumbu karang dengan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang prospektif untuk dikembangkan adalah sumberdaya perikanan dan pariwisata. Jika dilihat dari pulau-pulau yang ada di Kabupaten Biak Numfor, hampir setiap pulau memiliki ekosistem pesisir yang dapat menjadi obyek wisata alam laut yang sangat menarik, seperti pantai pasir putih dan
100
terumbu karang (Gambar 25). Inisiasi pengembangan ekowisata di beberapa pulaupulau kecil Kabupaten Biak Numfor telah dilakukan oleh Yayasan Rumsram. Inisiasi dilakukan dengan membentuk lembaga pengelola ekowisata. Pada tahun 2004, Mitra Pesisir memfasilitasi pendirian Pondok Wisata di Pulau Auki.
Gambar 26. Proses pembelajaran pengembangan ekowisata bahari pulau-pulau kecil berbasis masyarakat di Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Biak Numfor
101
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
(rapid assessment) terhadap pulau-pulau kecil di kawasan ini, maka pulau yang terpilih untuk dijadikan lokasi percontohan pengembangan ekowisata adalah Pulau Auki.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
• Penyusunan Profil Pulau Auki Setelah Pulau Auki ditentukan sebagai pulau terpilih untuk lokasi percontohan pengembangan ekowisata, dilanjutkan dengan penyusunan profil sumberdaya pesisir Pulau Auki. Penyusunan profil ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi potensi ekosistem dan sumberdaya pesisir Pulau Auki, baik dari segi biofisik, sosial ekonomi dan budaya maupun kelembagaan (Bengen et al, 2005). Informasi ini selanjutnya akan dijadikan landasan bagi pengembangan atau penyusunan program pembangunan Pulau Auki.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Untuk memilih salah satu pulau yang akan dijadikan lokasi percontohan pengembangan ekowiata yang difasilitasi oleh Mitra Pesisir, digunakan beberapa kriteria, karena setiap pulau pada dasarnya memiliki potensi dan daya tarik yang unik. Pada gugus Kepulauan Padaido terdapat sekitar 30 buah pulau sangat kecil. Untuk memilih salah satu dari ketiga puluh pulau kecil tersebut sangat sulit, karena hampir setiap pulau memiliki daya tarik tersendiri. Oleh karena itu, digunakanlah beberapa kriteria dalam pemilihan pulau. Kriteria penilaian pulau tersebut adalah (1) pulau tersebut merupakan pulau kecil yang berpenghuni atau berpenduduk, (2) kondisi terumbu karangnya relatif masih baik, (3) tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya cukup tinggi, (4) keinginan masyarakat terhadap pengelolaan pesisir cukup tinggi; dan (5) aksesibilitas yang mudah untuk menjangkau pulau tersebut. Setelah melakukan penilaian secara cepat
○
• Penentuan Pulau Auki
○
○
○
Sebagai suatu upaya pemberdayaan masyarakat, maka pendirian pondok wisata di Pulau Auki sebagai salah satu perwujudan pengembangan ekowisata bahari pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat di Kabupaten Biak Numfor, mengikuti beberapa tahapan proses sebagai pembelajaran dalam pengembangannya (Gambar 26).
102
• Inisiasi oleh Masyarakat Untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat, Mitra Pesisir Biak memfasilitasi inisiasi program ini oleh seluruh komponen masyarakat, karena pada awalnya program ini masih terbatas diinformasikan kepada tokohtokoh masyakarat saja. Setelah Pulau Auki dipastikan sebagai lokasi implementasi pengembangan ekowisata, maka dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Dari kegiatan ini diketahui antusiasme masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ini. Mereka
menyadari bahwa potensi dan daya tarik Pulau Auki dapat dijadikan modal pengembangan ekowisata. Hal ini mereka pahami karena selama ini kawasan di sekitar Pulau Auki dijadikan sebagai lokasi penyelaman oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.
• Pembentukan dan Penguatan Badan Pengelola Ekowisata Di Pulau Auki sebenarnya telah terbentuk Badan Pengelola Ekowisata (BPE) yang pembentukannya difasilitasi oleh yayasan Rumsram. Namun dalam perkembangannya, lembaga ini tidak berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, pada saat Mitra Pesisir menginisiasi pengembangan ekowisata di pulau ini, salah satu hal yang juga dilakukan adalah membenahi lembaga ini dengan melakukan penyesuaian struktur organisasi dan pemilihan pengurusnya. Badan Pengelola Ekowisata ini terdiri dari Ketua yang membawahi empat bidang, yaitu bidang Konservasi, Pemberdayaan Perempuan, Keamanan dan Kesehatan, serta Kebersihan. Untuk mempersiapkan Badan Pengelola Ekowisata, dilakukan upaya-upaya penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia dari anggota BPE dan masyarakat Pulau Auki. Penguatan yang dilakukan selama ini dimulai dengan intensitas keterlibatan mereka dalam pembangunan pondok wisata dan pelatihan-pelatihan yang terkait dengan pengelolaan ekowisata.
• Pemilihan Lokasi Pesisir dan perairan Pulau Auki memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap sisinya. Pada sisi utara dan barat kondisi pantainya sangat terjal dan tidak memiliki pantai pasir. Pada bagian ini, perairan pantainya sangat dalam. Pada bagian timur dan selatan, kondisi pantainya sangat landai. Pada bagian ini terdapat pantai pasir yang cukup luas. Sisi selatan dari Pulau Auki dijadikan Gambar 27. Lokasi pondok wisata pada sisi timur Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Biak Numfor
103
sebagai kawasan pemukiman, berbeda dengan sisi timur yang merupakan lahan kosong. Dari kedua sisi ini, sisi timur dipilih oleh masyarakat sebagai lokasi pembangunan pondok wisata (Gambar 27). Pemadangan di sisi timur ini sangat menarik, terutama pada saat air surut, karena terlihat pantainya berupa hamparan pasir putih yang cukup luas hingga ke Pulau Yumni di depan Pulau Auki.
Gambar 28. Pondok wisata berbasis masyarakat di Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Biak Numfor
• Pembangunan Pondok Wisata Setelah Pulau Auki pada sisi timur ditetapkan sebagai kawasan terpilih, maka dibangunlah dua unit bangunan pondok di tempat ini. Pembangunan pondok wisata dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan beberapa tukang kayu dari Pulau Biak. Segala bahan baku untuk keperluan pembangunan pondok wisata didatangkan dari Kota Biak. Pondok wisata yang dibangun terdiri atas satu bagian untuk penginapan dan satu bangunan untuk ruang pertemuan (Gambar 28).
B. Pembelajaran Dari Pulau Dullah Kawasan pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai suatu kawasan yang dikembangkan untuk menampung, memberdayakan serta meningkatkan kemampuan wilayah dalam mengelola potensi kelautan dan perikanan secara terpadu dan menyeluruh, melalui kemampuan daerah, partisipasi publik, dunia usaha serta dukungan pemerintah. Berdasarkan hal ini, upaya pengembangan model pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis minawisata bahari diharapkan dapat memberikan 3 dampak, yakni: (1) pengelolaan yang lebih tepat dan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah, karena merekalah yang lebih tahu isu dan permasalahan pembangunan yang
104
○
Perencanaan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil berbasis minawisata bahari sebagai model pembelajaran yang dikemukakan disini, difokuskan di kawasan pulau Dullah, Kota Tual, Provinsi Maluku.. Perencanaan pengembangan kawasan ini pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk mewujudkan kawasan yang terencana, baik kawasan darat maupun perairan laut berupa arahan kebijakan dan rencana kegiatan pemanfaatan ruang secara terpadu untuk kegiatan perikanan dan pariwisata (minawisata) dan diakui oleh sebagian besar pemangku kepentingan
(stakeholder). Upaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan potensi sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pemerataan serta aspek geopolitis kawasan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kawasan pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki 3 (tiga) fungsi bagi proses pembangunan, yaitu fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga fungsi ini akan diperoleh apabila keberadaan sumberdaya kelautan tetap terjaga, meskipun dari waktu ke waktu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Untuk menjaga agar fungsi-fungsi tersebut di atas tetap terjamin, maka pilihan pemanfaatan terhadap kawasan pulau-pulau kecil harus didasarkan pada konsep pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
dihadapi, (2) peningkatan kemampuan kelembagaan dalam memfasilitasi munculnya tanggung jawab dari pengguna sumberdaya, dan (3) pengurangan konflik pemanfaatan sumberdaya antar pengguna.
105
Kawasan Pulau Dullah memiliki kesesuaian yang tinggi bagi pengembangan perikanan dan pariwisata (minawisata) bahari secara terpadu. Kesesuaian ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu: keragaman dan kelayakan ekosistem pesisir yang ada di pulau tersebut, memiliki keutuhan dan tingkat degradasi ekosistem yang rendah, memiliki tipologi ekosistem dan integritas proses-proses ekologi yang utuh. Selain itu, keberadaan Pulau Dullah dengan keindahan alam yang dimiliki, adanya dukungan dari masyarakat lokal untuk mengembangkan minawisata, serta kemudahan aksesibilitas untuk mencapai pulau ini. Pulau Dullah adalah satu pulau dari gugus pulau yang terdapat di Kota Tual. Pada sisi Utara pulau ini terdapat sebuah teluk yang memiliki keindahan pantai dan ekosistem terumbu karang yang masih bagus kualitasnya. Kawasan ini sangat sesuai sebagai lokasi pengembangan ekowisata bahari. Bagian Barat dari Pulau Dullah, merupakan pantai yang terlindung oleh beberapa pulau-pulau kecil di depannya.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
5.4. Pengelolaan Terpadu Pulau Kecil Sebagai Pilar Pembangunan Kelautan Berkelanjutan Untuk dapat memahami makna dari pembangunan berkelanjutan, perlu mengenali lebih dahulu konsep (paradigma) pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sejak awal 1980-an bertepatan dengan dikeluarkannya dokumen Strategi Konservasi Bumi (World Conservation Strategy) oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature), telah banyak dimunculkan berbagai definisi tentang pembangunan berkelanjutan oleh para pakar maupun organisasi keilmuan. Namun, definisi yang secara
○
○
○
○
Sepanjang pantai pada sisi barat ini sangat sesuai bagi pengembangan pelabuhan dan industri perikanan, karena selain terlindung dari ombak dan gelombang besar, juga karena lokasi ini memiliki kedalaman perairan yang sesuai bagi pengembangan pelabuhan. Bagian Selatan Pulau Dullah, merupakan selat dengan beberapa bagian memiliki teluk dengan kondisi perairan yang tenang dan kualitas perairan yang masih sangat baik. Pemilihan lokasi untuk kegiatan budidaya laut di kawasan ini sangat sesuai, karena faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha budidaya sangat mendukung di lokasi ini. Secara illustratif konsep pengembangan perikanan dan pariwisata (minawisata) bahari secara terpadu di Pulau Dullah dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Skema ilustratif Minawisata Bahari di Pulau Dullah, Kota Tual, Provinsi Maluku.
106 106
umum diterima oleh masyarakat internasional adalah definisi yang disusun oleh Brundtland Commission, yakni: “Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya” (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang telah menjadi visi dunia internasional sudah saatnya juga merupakan visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sama, atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup sekarang. Dalam banyak hal, persoalan pembangunan berkelanjutan bukan hanya urusan teknis semata, yang seringkali hanya menempatkan masyarakat sebagai instrumen, padahal masyarakat adalah pelaku. Sungguh tepat apa yang ditulis oleh Nigel Cross (2001): ‘’If sustainable development is to be realised it has to be built on the consent and support of those whose lives are affected’’. Masyarakat yang saling bersinggungan atau terkait dengan persoalan pembangunan, tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam pengambilan keputusan. Acapkali solusi persoalan pembangunan jauh lebih mudah diidentifikasi daripada menguak akar masalahnya. Dalam konteks yang lebih kurang sama, dua puluh tahun lalu, aktivis lingkungan Barbara Ward (1982), telah menegaskan ‘’For an increasing number of environmental issues the difficulty is not to identify the remedy, because the remedy is now well understood. The problems are rooted in the society and the economy - and in the end in the political structure ‘’. Kegagalan penanganan hambatan pembangunan berkelanjutan selama ini, telah membuka ruang untuk koreksi, dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan ke arah pendekatan yang lebih mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau lembaga. Sudah saatnya, penanganan pembangunan didekati dengan paradigma good-governance sebagai sebuah paradigma sosial baru. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam merealisasikan peradigma ini, khususnya dalam pembangunan pulau-pulau kecil saat ini adalah unsur demokratisasi. Pergeseran paradigma di atas menjawab tuntutan perubahan sasaran dari sekedar pemerintahan yang efisien dan kompeten ke pemerintahan demokratis. Kata pemerintahan yang “demokratis” tidak hanya mencakup lembaga politik dan adminis-
107
tratif dalam pemerintahan, tetapi juga mencakup hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk bekerja sama dengan semua stakeholders (pemangku kepentingan) yang merasakan manfaat dan menanggung dampak kerusakan pembangunan - yaitu masyarakat. Dengan proses identifikasi yang hatihati, kepentingan stakeholders dapat diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan bisnis dan industri, perguruan tinggi, media serta instansi pemerintah. Berdasarkan hal itu, kegiatan pembangunan pulau-pulau kecil dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yakni berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya alam dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Sementara itu, berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil terpadu yang berkelanjutan, ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diuraikan di atas merupakan pilar yang integral dan saling terkait secara fungsional, dalam upaya mempertahankan keseimbangan antara sistem alam dan sistem sosial (eko-sosio sistem) bagi pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat (khususnya masyarakat pulau-pulau kecil) dan bangsa secara berkelanjutan. Adanya momentum otonomi daerah dalam konteks pembangunan kelautan, terlepas dari besarnya sisi positif yang dapat diambil bagi kepentingan daerah, tetapi juga menimbulkan problematika baru, yaitu bagaimana mengembangkan sistem pengelolaan terpadu berbasis eko-sosio sistem yang dapat mendongkrak dan memberi stimulan pada pembangunan kelautan di tingkat provinsi/kota/kabupaten secara berkelanjutan. Prinsip dan mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan didasarkan kepada prinsip dan mekanisme yang berhubungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Hal ini menggabungkan antara kepentingan kualitas lingkungan alam yang baik dengan kualitas pembangunan sosial-budaya dan ekonomi, yang mengutamakan peningkatan keterpaduan berbasis eko-sosio sistem ke dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil itu sendiri.
108 108
RINGKASAN UMUM
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak awal membangun, pertumbuhan ekonomi Nasional sebagian besar digerakkan oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya alam, dan industri manufaktur, serta jasa yang berbasis pada sumberdaya alam, seperti bahan tambang, hutan, perikanan, lahan pertanian, peternakan dan keindahan alam. Di samping kemajuan yang terjadi pada sektor sekunder (industri manufaktur dan rekayasa) dan sektor tersier (perbankan, properti dan perdagangan), ketergantungan pembangunan ekonomi Indonesia pada sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, nampaknya masih akan berlanjut dalam kurun waktu mendatang. Sementara itu, ketersediaan sumberdaya alam di daratan juga sudah semakin menipis atau sukar untuk dikembangkan lebih jauh. Dengan demikian, sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan akan menjadi harapan dan sekaligus fokus pembangunan dalam beberapa dekade ke depan. Realitas Indonesia sebagai Negara kepulauan yang ditaburi oleh ribuan pulau-pulau kecil mencerminkan sangat besarnya potensi
109 109
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
kaya akan sumberdaya ikan dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi; kedua, secara sosial-budaya dan ekonomi; sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil bermatapencaharian dan memiliki aktivitas yang terkait erat dengan laut (sebagai nelayan, pembudidaya, petani, pedagang dll).
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Dalam perspektif strategi dan skala ekonomi pembangunan berkelanjutan, seyogyanya pendayagunaan dan pemberdayaan potensi sumberdaya dan jasa-jasa kelautan pulau-pulau kecil diarahkan pada pembangunan pariwisata dan perikanan. Hal ini didasarkan pada 2 (dua) alasan utama: pertama, secara biogeofisik; sebagai Negara kepulauan dengan lebih dari 10 ribu pulau-pulau kecil, Indonesia memiliki wilayah yang sekitar 70% adalah laut, yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove, sehingga sangat
○
○
sumberdaya alam dan jasa-jasa kelautan sebagaimana diuraikan pada Bab 2. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana potensi kelautan pulau-pulau kecil yang besar ini dapat menjadi lokomotif pembangunan kelautan Indonesia secara berkelanjutan? Jawabannya tentu saja terpulang kepada komitmen segenap komponen bangsa dan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mendayagunakan dan memberdayakan potensi ini secara terpadu dan berkesinambungan.
110
Bila ditilik dari konteks pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan, pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian SDA yang ada itu sendiri (as resources) atau keuntungan ekonomi semata (as rents), tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas (SDM) kawasan pulau-pulau kecil yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability). Karena itu, strategi pembangunan pulau-pulau kecil selayaknya menempatkan keterpaduan pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa kelautan berbasis eko-sosio sistem sebagai misi strategis pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press. Inc., San Diego, California. Arief, D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in the Lombok Strait and Adjacent Region. Dissertation, Lousiana State University. Barr, J. B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy for the Pacific Coast of Canada. In : Munro, N.W.P. & J.H.M. Willison (Eds.). Linking Protected Areas With Working Landscapes Conserving Biodiversity.Proceeding of the Third International Conference on Science and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997. Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). 1990. Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 57. Beller, W. 1990. How to Sustain A Small Island. In Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 15-22. Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor. Bengen, D.G. and I.M. Dutton. 2004. Interactions: mangroves, fisheries and forestry management in Indonesia. In: Northcote, T.G. and G.F. Hartman (Eds). Fishes an Forestry: Worldwide Watershed Interactions and Management. Blackwell Science Ltd, Oxford UK. Bengen, D.G. 2004. Ragam Pemikiran: Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. P4L, Bogor. Bengen, D G. 2004. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Pilar Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Makalah pada Konferensi Nasional Pesisir dan Laut IV. Balikpapan 13-17 September. Bengen, D.G. 2009. Perspektif Minawisata Bahari dalam Pengelolaan Terpadu Pulaupullau Kecil Berbasis Ekosistem dan Masyarakat. Pemikiran Guru Besar IPB (Buku II). Peranan IPTEKS dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM, dan Lingkungan yang Berkelanjutan. IPB Press. Bengen, D.G., M. Knight, C. Karubaba, A. Tahir dan T.O. Dangeubun. 2005. Profil Singkat: Sumberdaya Pesisir Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor. CRMP II/Mitra Pesisir, Jakarta. Berwick, N.K. 1993. Guideline for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal and Marine Resources. The Bombay Natural History Society. Centenary Seminar on Conservation in Developing Countries. Bombay, India.
111 111
Brookfield, H. C. 1990. An Approach to Islands. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 23-33. Carter, J.A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Dalhousie University, Environmental Studies Centers Development in Indonesia Project. Dalhousie, Canada. Carter, R.W.G. 1988. Coastal Environment: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastlines. Academic Press Inc., San Diego, USA. Cesar, H. C.G. Lundin, S. Bettencourt and J. Dixon. 1997. Indonesian Coral Reefs: An Economic Analysis of a Precious but Threatened Resource. Ambio 26: 345350. Chapin, Jr. F.S., and E. J. Kaiser. 1985. The Theoretical Underpinnings of Land Use. in Urban Land Use Planning. Third Edition. University of Illinois Press, Urbana, Chicago, Il. Pp. 26-67. Charles, A. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 0EL, UK. Cicin-Sain, B. and R.W. Kneccht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, California. Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Lewis Publisher, Boca Raton, New York, London, Tokyo. Commonwealth Science Council (CSC). 1984. Proc. Regional Workshop on Water Resources of Small Islands. Suva, Fiji. Tech. Publ. Series No. 154. Cross, N. 2001. The Future is Now. Blackwell-Science, London. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Tepadu. Edisi Kedua. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan SD Pesisir dan Lautan-FPIKIPB, Bogor. Dahl, A.L. 1998. Small Island Environmental Management. UNEP Earthwatch, Geneva, Switzerland. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulaupulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Ditjen Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Jakarta. 21 hal.
112
Diaz, A. and J. F. Huertas. 1986. Hydrology and Water Balance of Small Islands: A Review of Existing Knowledge. Technical Documents in Hydrology. UNESCO, Paris. 25pp. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 2007. Model Pengelolaan PulauPulau Kecil Berbasis Minawisata di Kabupaten Maluku Tenggara. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Ambon. Dixon, J.A. 1989. Valuation of Mangroves. Trop. Coast. Area Mgt., 4(3): 1 Dutton, I.M., D.G. Bengen and J.J. Tulungen. 2001. The Challenges of Coral Reef Management in Indonesia. In: Wolanski, E. (Ed). Oceanographic Processes of Coral Reefs: Physical and Biological Links in the Great Barrier Reef. CRC Press LLC, Boca Raton, Floroda. Edyanto, CBH. 1998. Dasar-Dasar Pertimbangan Di dalam Pengelolaan Lahan Pulau Kecil: Studi kasus Pulau Weh. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, BPPT, 7 Desember 1998. Falkland, A. (Ed). 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. UNESCO, Paris. FAO. 2000. The Status of World Fisheries and Aquaculture. FAO Fisheries Department, Rome, Italy. Fortes, M.D. 1990. Seagrass: a Resource Unknown in ASEAN Region. ICLARM Education Series 6. Manila, Philippines. Francillon, G. 1990. The Dilema of Tourism in Bali. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 267-272. Gray, W. 1993. Coral Reefs and Islands: The Natural History of a Threatened Paradise. David and Charles, Singapore. Handoko, A. , B. Wiryawan, Hermawati, A. Tahir, N. P., Zamani, A. K. Mahi, M. Ahmad, dan T. Dailami, 2001. Proses Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir Lampung . Prosiding Lokakarya Hasil Pendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir. Bogor. Hehanussa, P.E. 1988. Geohydrology of Uplifted Island Arc with Special Reference to Ambon, Nusa Laut and Kei Islands, Indonesia. Proc. Southeast Asia and the Pacific Regional Workshop on Hydrology and Water Balance of Small Island. Chinese Nat. Comm. For the IHP and UNESCO/ROSTSEA. P. 204-212.
113 113
Hehanussa, P.E. dan G.S. Haryani. 1998. Ketersediaan Air Sebagai Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di Pulau Biak, Irian Jaya. Pros. Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia.Hal. B-7 – B-9. Hehanussa, P.E. dan H. Bakti (Eds). 2005. Sumberdaya Air di Pulau Kecil. LIPI Press, Jakarta. Hehanussa, P.E. dan P. Hartanto. 2005. Sumberdaya Air di Pulau Nusa Laut, Maluku Tengah. In: Hehanussa, P.E dan H. Bakti (Eds). Sumberdaya Air di Pulau Kecil. LIPI Press, Jakarta. Hein, P. L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 35-42. Hess, A.L. 1990. Overview: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. In Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 3-14. Hodgson, G. and J. A. Dixon. 1988. Logging Versus Fisheries and Tourism in Palawan : An Environmental and Economic Analysis. Occasional Paper No. 7, EastWest Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawaii. International Hydrographic Organization (IHO). 1993. A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982. International Hydrographic Bureau, Monaco. Special Publication No. 51. Jones, P.J. 1994. A Review and Analysis of the Objectives of Marine Nature Reserves. Ocean and Coastal Management, 24:149-178. Kelleher, G. and R. Kenchington. 1992. Guidelines for Establishing Marine Protected Areas. IUCN Marine Conservation and Development Report, Gland, Switzerland. Katili, J.A. 1985. Advancement of Geoscience in the Indonesian Region. The Indonesian Association of Geologists, Bandung, Indonesia. P. 1-248. Lugo, A.E. 1990. Development, Forestry and Environmental Quality in the Eastern Caribbean. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 317342. Mann, K.H. 2000. Ecology of Coastal Waters with Implication for Management. Blackwell Science, Inc., Massachusetts.
114 114
McElroy, J.L, B. Potter, and E. Towle. 1990. Challenges for Sustainable Development in Small Caribbean. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 299-316. in the Live Reef Food Fish Trade. SPC Live Reef Fish Infor. Bull. 11: 36-39. McGilvray, F. and T. Chan. 2003. Market and Industry Demand Issue Molengraaff, G.A.F. 1929. The Coral Reefs in The East Indian Archipelago: Their Distribution and Mode of Development. Proc. 4th Pan Pac. Sci.Congr., Java1929. Vol. 2: 55-89. Munro, J.L. and D. Williams. 1985. Assessment and Management of Coral Reef Fisheries: Biological, Environmental and Socio-Economic Aspects. Proc. 5th Int. Coral Reef Congr., Tahiti, 4: 545-578. Nikijuluw, V.P.H. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 93: 79-92. Nurhayati. 1999. Karakteristik Arus Frekuensi Rendah di Selat Lombok. Tesis Magister. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Pariwono, J.I. 1985. Tides and Tidal Phenomena in the ASEAN Region. Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences. Prelim. Rep. FIAMS, South Australia. Pomeroy, R.S. and M.J. Williams. 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries: A Policy Brief. ICLARM, Manila. Robertson Group Plc and PT. Agro Consult International. 1992. Marine Resources Evaluation and Planning Study. ADB and Government of Indonesia, Jakarta. Saenger, P., E.J. Hegerl and J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN Gland, Switzerland. Salm, R.V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. Third Edition. IUCN, Gland, Switzerland. 370pp. Scones, J.B. 1993. Global Equity and Environmental Crisis: An Argument for Reducing Working Hours in the North. World Development 19, 1: 73-84. Sen, S. and J.R. Nielsen. 1997. Fisheries Co-management: A Comparative Analysis. In D.A. Hancock, et al. (eds). Developing and Sustaining World Fisheries Resources. The State of Science and Management. Second World Fisheries Congress, CSIRO Collingwood, Australia.
115 115
Stoddart, D.R. 1975. Almost-atoll of Aitutaki: Geomorphology of Reefs and Islands. Atoll Res. Bull. 190: 31-57. Sumich, J.L. 1999. An Introduction to the Biology of Marine Life. WCB/McGrawHill, New York. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part One. Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore. 641pp. Tulungen, J.J., T.G. Bayer, B.R.Crawford, M. Dimpudus, M. Kasmidi, C. Rotinsulu,A. Sukmara dan N. Tangkilisan. 2002. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Rhode Island, USA dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta. UNESCO. 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. Studies and Report on Hydrology No. 49. Prepared by A. Falkland (ed.) and E. Custodio with contribution from A. Diaz Arenas and L. Simler. Paris, France. 435pp. Walters, J. S. 1994. Property Right and Participatory Coastal Management in the Philippines and Indonesia. Coastal Management in Tropical Asia. Ward, B. 1982. Only One Earth. Oxford University Press, New York. WCED. 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York. White, A.T., L.Z. Hale, Y. Renard and L. Cortesi. 1994. Collaborative and Community Based Management of Coral Reefs: Lessons from Experience. Kumarian Press, Inc., USA. Winarso, P.A. 1997. Meteorology: Influences of Geography and Geology. In: Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M.K. Moosa (Eds): The Ecology of the Indonesian Seas. Vol. VIII, Part 2. Periplus Editions, Singapore. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Vol 2, NAGA Report, University of California, San Diego. WWF. 2004. Press Release. Lokakarya Nasional Sistem Sertifikasi Perikanan Konsumsi Indonesia. Kuta, Bali, 9-10 Februari 2004.
116
BIODATA PENULIS Prof. Dr. Ir. Dietriech Geoffrey Bengen, DEA dilahirkan di Sorong, Papua pada tanggal 5 Januari 1959. Penulis memperoleh gelar sarjana (Ir) dalam bidang Manajemen Sumberdaya Perairan dari Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1982, gelar DAA (S2) dalam bidang Ekologi Pesisir dan Laut dari Ecole National Superieure Agronomique de Rennes, Prancis pada tahun 1987, dan gelar DEA (S2) dalam bidang Ekologi Terestrial dan Perairan dari Universitas Paul-Sabatier, Toulouse-Prancis pada tahun 1988. Pendidikan doktor (S3) diselesaikan di Institut National Politechnique de Toulouse, Prancis pada tahun 1992 dalam bidang Hidrobiologi Kuantitatif. Penulis memperoleh jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Ekologi Pesisir dan Laut pada tahun 2003. Pada saat akhir menjalani tugas belajar di Prancis, penulis memperoleh penghargaan ‘Prix MAHAR SCHUTZENBERGER d’Encouragement Aux Jeunes Chercheurs Indonesiens Travaillant En France. Franco-Indonesian Association for Development of Sciences’, juga setelah kembali bertugas di IPB pernah mendapat penghargaan sebagai Dosen Teladan I Fakultas Perikanan IPB dan Dosen Teladan II Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994. Dalam perjalanan karir akademik, penulis pernah diberi amanah sebagai Sekretaris Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1984-1985, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun 1996-2000, Pembantu Dekan III urusan Kemahasiswaan pada tahun 1993-1997, Pembantu Dekan II urusan Administrasi dan Keuangan pada tahun 2000-2001, Kepala Divisi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB pada tahun 1996-2003, dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Pascasarjana IPB pada tahun 1998-2003. Dari tahun 1998 – 2003 Penulis dipercaya sebagai Koordinator Program Coastal Resource Management Project (CRMP) USAID-URIBAPPENAS-PKSPL IPB, dan dari tahun 2003 -2005 sebagai Deputy Chief of Party CRMP II. Sejak tahun 2006 hingga kini penulis dipercaya sebagai Kepala Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB. Dalam organisasi profesi, hingga saat ini penulis dipercaya sebagai Chairman of Indonesian Chapter of the Pacific Congress on Marine Science and Technology sejak tahun 2002, anggota Dewan Penasehat Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI), dan Sekretaris Jenderal Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI).
117
Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc yang dilahirkan di Elat, Maluku pada taggal 31 Mei 1960 adalah alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon. Penulis menamatkan pendidikan S1 di bidang Manajemen Sumberdaya Perikanan pada tahun 1985 dan langsung diangkat menjadi Dosen pada fakultas yang sama. Empat tahun kemudian Penulis mendapat tugas belajar ke University of Newcastle, Inggris pada tahun 1990 untuk program Master di Tropical Coastal Management Program. Setelah selesai dalam setahun, kemudian disetujui oleh pemerintah Indonesia untuk melanjutkan ke jenjang S3 di Universitas yang sama dan selesai pada tahun 2005 dengan menekuni bidang ekologi laut. Setelah kembali mengajar di Unpatti, lima tahun kemudian terbentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan dan ditawari bekerja di kementrian tersebut pada tahun 2000 sebagai Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jabatan ini dipegang selama kurang lebih delapan tahun, sebelum diangkat menjadi Direktur Jenderal pada Direktorat Jenderal yang sama pada bulan Juni 2009. Enam bulan kemudian Penulis dipercaya sebagai Wakil Menteri Perindustrian, Kementrian Perindustrian sampai sekarang. Selama menjabat di Kementrian Kelautan dan Perikanan, Penulis secara konsisten mengangkat sejumlah isu-isu besar tentang pengelolaan pulau-pulau kecil secara umum seperti penyewaan pulau maupun spesifik yang berhubungan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta yang berhubungan dengan ekonomi dan lingkungan. Awal mulanya ide-idenya ditentang oleh publik tetapi atas kerja keras dan keyakinan akan kebenaran urgensinya untuk pembangunan bangsa dan negara, maka resistensiresistensi yang ada hilang menurut waktu. Sebaliknya, isu-isu yang diangkat akhirnya menjadi bagian dari kebijakan negara baik sebagai bagian dari perencanaan nasional maupun substansi hukum dan peraturan perundang-undangan.
118
Dr. Sudirman Saad, S.H, M.Hum dilahirkan di Sidrap, Sulawesi Selatan, 22 Oktober 1964. Meraih gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1986), gelar Magister (1994) dan Doktor (2000) pada Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jurusan Ilmu Sosial. Memulai karier sejak 1986 sebagai dosen pada Fakultas Hukum serta Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan di Universitas Hasanuddin Makassar. Sejak tahun 2001 berkarya pada Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai Direktur Kelembagaan Pemerintah, Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Pada tahun 2002 beralih tugas sebagai Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan dilanjutkan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulaupulau Kecil mulai tahun 2008. Tahun 2010 mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLV LEMHANNAS RI dan selanjutnya dipromosikan sebagai Direktur Jenderal Kelautan,Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sampai dengan sekarang. Aktif pula di berbagai organisasi, seperti Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dan Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI).
119