PRODUKSI, PURIFIKASI, DAN KARAKTERISASI LAKASE DARI Pleurotus ostreatus (Ho) DAN Schizophyllum commune (Sc) PADA FERMENTASI PADAT LIMBAH LIGNOSELULOSA
SRI ASIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi, Purifikasi, dan Karakterisasi Lakase dari Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) pada Fermentasi Padat Limbah Lignoselulosa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Sri Asih G851130051
RINGKASAN SRI ASIH. Produksi, Purifikasi, dan Karakterisasi Lakase dari Pleurotus ostratus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) pada Fermentasi Padat Limbah Lignoselulosa. Dibimbing oleh SYAMSUL FALAH dan LAKSMI AMBARSARI. Lakase merupakan enzim oksidoreduktase yang mampu mengoksidasi berbagai gugus fenolik dengan menggunakan oksigen sebagai akseptor elektronnya. Spesifisitas substrat lakase sangat luas menjadikan lakase dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti biopulping, biosensor, pembuatan bioetanol, dekolorisasi, bioremediasi, detoksifikasi, dan degradasi senyawa hidrokarbon polisiklik. Potensi lakase yang begitu besar menjadikan lakase bernilai ekonomi tinggi. Potensi jamur isolat lokal sebagai penghasil lakase belum diketahui. Oleh karena itu, diperlukan optimasi produksi lakase yang murah dan mudah untuk pemanfaatan yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah memproduksi, memurnikan, dan mengkarakterisasi lakase dari P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) menggunakan media sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu. Produksi lakase menggunakan teknik fermentasi padat. Limbah lignoselulosa dan media Kirk termodifikasi digunakan sebagai media produksi lakase. Optimasi produksi dilakukan dengan kombinasi jenis jamur, media limbah lignoselulosa, dan waktu inkubasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas spesifik lakase tertinggi dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho) pada media onggok sagu pada hari kesepuluh yaitu sebesar 275.99 U/mg. Lakase dengan aktivitas tertinggi selanjutnya dimurnikan menggunakan ammonium sulfat jenuh dengan kejenuhan 0-20%, 20-40%, 40-60%, 60-80%. Fraksi keempat (60-80%) memiliki aktivitas spesifik tertinggi. Fraksi ini selanjutnya dilakuka dialisis menggunakan bufer asetat 0.5 M. Hasil dialisis dimurnikan menggunakan kolom kromatografi filtrasi gel dengan matriks Sephadex G100. Eluat Sephadex fraksi ke-24 merupakan puncak protein dengan aktivitas lakase tertinggi. Kemurnian lakase setelah pemurnian mencapai 9.65 kali, yield 22.11%, dan aktivitas spesifik 1492.47 U/mg. Karakterisasi dilakukan pada fraksi ammonium sulfat dengan kejenuhan 60-80%. Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) optimum pada pH 4, suhu 35°C, dan ion logam Cu2+ berperan sebagai aktivator. Hasil penentuan pengaruh ion logam diperoleh bahwa ion Ca2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, EDTA, Fe(OH)3, alkohol, dan TEMED berperan sebagai inhibitor lakase. Nilai Km dan Vmaks lakase P. ostratus (Ho) menggunakan substrat ABTS, berturut-turut adalah 0.11 mM dan 9.14 U/mL. Hasil penentuan bobot molekul lakase P. ostreatus (Ho) menggunakan metode SDS-PAGE 12% dengan pewarnaan perak (silver staining) diperoleh bobot molekul sebesar 22.17 dan 18.72 kDa.
Kata kunci: karakterisasi, lakase, produksi, purifikasi, P. ostreatus, S. commune
SUMMARY SRI ASIH. Production, Purification, dan Characterization of Laccase from Pleurotus ostratus (Ho) and Schizophyllum commune (Sc) using Solid State Fermentation on Lignocellulose Waste. Supervised by SYAMSUL FALAH and LAKSMI AMBARSARI. Laccase is oxydoreductase enzyme which is able to catalyze oxidation various of phenolic groups using oxygen as electron acceptor. Laccase has broad range of substrate spespecificity, it is widely used in biopulping, biosensor, bioethanol, decolorization, bioremediation, detoxification, and degradation of polycyclic hydrocarbon compounds. Since laccase has a wide range of application, it has high economic value. Potency of local isolate fungi as laccase producer is yet to be studied. Therefore, an easy and inexpensive production of laccase for many applications need to be optimised. The purpose of this study was to produce, purify, and characterize laccase from P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) using rice husk, corncobs, and sago dregs as media. Laccase was produced using solid state fermentation method. Lignocellulose waste and modified Kirk media was used as laccase production media. The optimization of production was based on combination of fungi species, lignocellulose waste media, and incubation time. The results of this study showed that the higest specific activity of laccase was yielded by P. ostreatus (Ho) on sago dregs media at 10th day, that is 275.99 U/mg. Laccase with higest specific activity was then purified using saturated ammonium sulphate with saturation of 0-20%, 20-40%, 40-60%, and 60-80%. The fourth fraction (60-80%) showed highest specific activity. This fraction was then subjected to dialysis using acetate buffer 0.5 M. The result of dialysis was purified using gel filtration chromatography column with Sephadex G100 as matrix. The 24th fraction of Sephadex eluat was peak protein with highest of laccase activity. The final purified laccase had 9.65 fold purity and 22.11% yield with specific activity of 1492.47 U/mg. Ammonium sulphate fraction with saturation of 60-80% was characterized. Laccase activity of P. ostreatus (Ho) was optimum at pH 4, temperature 35°C, and Cu2+ metal ion acts as laccase activator. The results of metal ion effect determination was Ca2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, EDTA, Fe(OH)3, alcohol, and TEMED act as laccase inhibitor. Km and Vmax value of laccase from P. ostratus (Ho) using ABTS substrate were, respectively, 0.11 mM and 9.14 U/mL. The result of SDS-PAGE 12% with silver staining was laccase of P. ostreatus (Ho) had two molecular weigth of 22.17 and 18.72 kDa.
Keywords: characterization, laccase, production, purification, P.ostreatus, S.commune
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKSI, PURIFIKASI, DAN KARAKTERISASI LAKASE DARI Pleurotus ostreatus (Ho) DAN Schizophyllum commune (Sc) PADA FERMENTASI PADAT LIMBAH LIGNOSELULOSA
SRI ASIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biokimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi: Dr I Made Artika, M. App. Sc.
Judul Tesis : Produksi, Purifikasi, dan Karakterisasi Lakase dari Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) pada Fermentasi Padat Limbah Lignoselulosa Nama : Sri Asih NIM : G851130051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Syamsul Falah, MSi Ketua
Dr Laksmi Ambarsari, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biokimia
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Maria Bintang, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah enzim lakase, dengan judul Produksi, Purifikasi, dan Karakterisasi Lakase dari Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) pada Fermentasi Padat Limbah Lignoselulosa. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Syamsul Falah, S.Hut, M.Si dan Ibu Dr Laksmi Ambarsari, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada kedua orang tua, suami tercinta Ahmad Sobari, dan dua buah hati Kayla dan Kayyisa, atas cinta, perhatian, dukungan, dan do‟anya. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu serta rekan-rekan Pascasarjana Biokimia 2013 atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016 Sri Asih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
vi vi vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 3 3
2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Alat Prosedur
3 3 3 4 4
3 HASIL Pertumbuhan Miselia Jamur Aktivitas Lakase pada Media Lignoselulosa Hasil optimasi Produksi Lakase Pemurnian Parsial Enzim pH dan Suhu Optimum Hasil Pengujian Aktivator/Inhibitor terhadap Aktivitas Lakase Nilai Km dan Vmaks Lakase Fraksi Ammonoium Sulfat Elektroforegram Lakase
8 8 9 10 11 12 13 14 15
4 PEMBAHASAN Pertumbuhan Miselia Jamur Aktivitas Lakase pada Media Lignoselulosa Optimasi Produksi Lakase Pemurnian Parsial Enzim pH dan Suhu Optimum Hasil Pengujian Aktivator/Inhibitor terhadap Aktivitas Lakase Nilai Km dan Vmaks Lakase Fraksi Ammonium Sulfat Elektroforegram Lakase
16 16 17 20 22 23 25 26 28
5 SIMPULAN DAN SARAN
29
Simpulan Saran
29 29
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
30 35 44
DAFTAR TABEL 1 Rataan aktivitas spesifik lakase P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) 10 pada media limbah lignoselulosa 11 2 Hasil pemurnian lakase menggunakan ammonium sulfat jenuh 3 Hasil pemurnian lakase P. ostreatus (Ho) pada tiap fraksi
12
4 Perbandingan kinetika reaksi lakase dengan substrat ABTS
27
DAFTAR GAMBAR 1 Miselia jamur P.ostreatus (Ho) dan S.commune (Sc) pada media PDA 2 Miselia S. commune (Sc) dan P. ostreatus (Ho) pada media sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu. 3 Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) pada media sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu. 4 Kromatogram protein dan aktivitas lakase hasil pemurnian dengan kromatografi kolom filtrasi gel Sephadex G100, dielusi dengan bufer asetat -5
0.5 M dengan laju alir 1.66 x 10 L.s
8 8 9 11
-1
5 Aktivitas lakase pada berbagai pH 6 Aktivitas lakase pada berbagai suhu 7 Pengaruh aktivator/inhibitor (Ca2+, Cu2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, Fe(OH)3, EDTA, alkohol, TEMED) terhadap aktivitas lakase 8 Pengaruh konsentrasi Cu2+ terhadap aktivitas lakase 9 Pengaruh konsentrasi substrat ABTS terhadap aktivitas lakase (kurva Michelis Menten) 10 Korelasi antara 1/S dan 1/V dalam plot Lineweaver Burk 11 Hasil elektroforesis SDS PAGE lakase 12 Reaksi penguraian lignin yang dikatalisis oleh lakase 13 Perubahan ABTS menjadi radikal ABTS+ yang dikatalisis oleh lakase 14 Struktur monolignol penyusun lignin 15 Struktur lakase nLcc4 dengan tiga tipe pengikatan Cu (T1, T2, T3a, dan T3b)
12 13 13 14 14 15 15 18 19 21 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Diagram alur penelitian Analisis keragaman pada optimasi produksi lakase Uji beda nyata Duncan Penentuan waktu inkubasi pengukuran aktivitas lakase Kurva standar protein Contoh perhitungan aktivitas lakase Perhitungan Km dan Vmaks Kurva standar penentuan bobot molekul lakase
36 37 38 39 40 41 42 43
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis dengan sumber biodiversitas yang beragam, termasuk diantaranya adalah mikroba. Mikroba memiliki banyak peranan dalam berbagai proses di alam, salah satunya yaitu dengan menghasilkan enzim. Namun, belum banyak eksplorasi terhadap mikroba penghasil enzim untuk kebermanfaatan yang lebih lanjut. Salah satu mikroba yang potensial adalah jamur pelapuk putih (JPP) yang mampu menghasilkan enzim ligninolitik, termasuk lakase. Lakase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh serangga, bakteri (Majeau et al. 2010), tumbuhan, dan jamur (Hattaka 1994). Jamur Pleurotus ostrestus dan Schizophyllum commune merupakan jamur edible yang diketahui mampu menghasilkan lakase (Widiastuti et al. 2007; Patel et al. 2009; Irshad et al. 2009, Adejoye & Fasidi 2009). Potensi lakase dari JPP isolat lokal belum banyak dipelajari, termasuk isolat jamur Pleurotus ostrestus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) yang digunakan dalam penelitian ini. Lakase (EC. 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) menurut nomenklatur International Union of Biochemistry and Molecular Biology (IUBMB), diklasifikasikan sebagai enzim oksidoreduktase yang mengoksidasi difenol dengan menggunakan molekul oksigen sebagai akseptor elektron (Hammel & Srebotnik 2000). Lakase mampu mengkatalisis oksidasi berbagai gugus fenolik, amin aromatik (Kunamneni et al. 2007), dan komponen anorganik (Majeau et al. 2010). Hal ini menjadikan lakase berpotensi untuk dimafaatkan dalam berbagai bidang, seperti biopulping (Fillat et al. 2010), biosensor (Bulter et al. 2003), pembuatan bioetanol (Nurjannah 2014), dekolorisasi (Kargi & Marchant 2000), bioremediasi (Gomes et al. 2009), detoksifikasi (Kunamneni et al. 2007), dan degradasi hidrokarbon aromatik polisiklik (Baldrian et al. 2000). Potensi lakase yang begitu besar mengakibatkan lakase memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, diperlukan optimasi produksi lakase yang murah dan mudah untuk pemanfaatan yang lebih luas. Lakase dapat diproduksi oleh jamur pelapuk putih menggunakan submerged fermentation (SmF) dan solid state fermentation (SSF) (Osma et al. 2007). Menurut Gonzalez et al. (2003), produksi enzim menggunakan SFF atau fermentasi padat lebih tinggi dibandingkan SmF. Selain itu, penggunaan SSF cocok untuk produksi enzim menggunakan jamur berfilamen karena sesuai dengan kondisinya di alam (Couto & Sanroman 2005). SSF umumnya menggunakan limbah organik sebagai bahan baku. Limbah yang mengandung lignin menjadi penginduksi aktivitas ligninolitik, sehingga sesuai untuk memproduksi lakase secara ekonomis (Risdianto 2010). Terlebih lagi, Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan limbah tanaman pangan yang berlimpah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), Indonesia memproduksi padi sekitar 70.61 juta ton gabah kering giling (GKG), jagung sekitar 19.13 juta ton pipilan kering dan 200 ribu ton sagu pada tahun 2014. Produksi komoditas pertanian yang cenderung meningkat setiap tahunnya menyebabkan peningkatan limbah pertanian yang dihasilkan selama proses
2 pemanenan dan pengolahannya (Ilmi & Kuswytasari 2013). Limbah yang dihasilkan dari tanaman pangan tersebut antara lain sekam padi sekitar 20-30% dari bobot GKG (Nurjannah 2013), bonggol jagung sekitar 30% dari jagung kering (Ilmi & Kuswytasari 2013) dan onggok sagu sekitar 56 % dari batang sagu aren (Purnawan & Parwati 2013). Limbah pertanian tersusun atas lignoselulosa (Ilmi & Kuswytasari 2013), pemanfaatan lignoselulosa dari limbah tanaman pangan dapat menjadi alternatif penanganan limbah yang berlimpah untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, hasil pemanfaatan berupa enzim lakase dapat dimanfaatkan kembali pada berbagai industri sehingga memunculkan konsep pengelolaan terintegrasi (Nurjannah 2014). Penelitian ini dimaksudkan untuk memproduksi lakase dari isolat lokal Pleurotus ostreatus (Ho) yang berasal dari Cibodas dan Schizophyllum commune (Sc) yang berasal dari Darmaga, Bogor yang merupakan koleksi dari dari Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Kedua isolat jamur ini telah digunakan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian tersebut antara lain uji fisiologis P. sotreatus secara genetik (Herliyana 2003), pengujian perkembangan hifa P. sotreatus pada kayu Acacia mangium dan Pinus merkushii (Herliyana & Ahmad 2004), dan digunakannya kedua JPP ini sebagai jamur uji ketahanan kayu (Maryam 2011; Hanifa 2011; Estuputri 2012; Purba 2013). Produksi lakase dari isolat lokal P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) menggunakan limbah tanaman pangan berlignoselulosa dengan metode fermentasi padat. Selain itu, pemurnian dan karakterisasi lakase diperlukan untuk memudahkan pemanfaatan lakase ini selanjutnya.
Perumusan Masalah Produksi lakase menggunakan kombinasi perlakuan jenis jamur pelapuk putih isolat lokal, jenis limbah lignoselulosa dan waktu fermentasi terbaik belum banyak diketahui. Produksi pada kombinasi variabel yang tepat diharapkan mampu meningkatkan efektivitas produksi lakase. Karakteristik lakase yang dihasilkan juga perlu untuk diketahui. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memproduksi lakase dari isolat lokal Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) menggunakan limbah lignoselulosa dengan metode fermentasi padat. Penelitian ini juga bertujuan memurnikan dan menentukan karakteristik lakase yang dihasilkan. Karakterisasi lakase meliputi pH dan suhu optimum, pengaruh aktivator/inhibitor, kinetika reaksi, serta penentuan bobot molekul lakase. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah metode produksi lakase dari JPP isolat lokal dan media limbah lignoselulosa sebagai rekomendasi dalam usaha memperoleh lakase yang ekonomis. Selain itu, penelitian ini juga
3
diharapkan mampu memberikan informasi karakteristik lakase yang dihasilkan sehingga memudahkan dalam aplikasi lakase pada berbagai bidang. Hipotesis Kombinasi perlakuan jenis jamur pelapuk putih, jenis limbah lignoselulosa dan waktu fermentasi mempengaruhi aktivitas lakase. Kemurnian lakase meningkat pada setiap tahap pemurnian. Selain itu, aktivitas lakase juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti pH, suhu, dan aktivator/inhibitor.
Ruang Lingkup Penelitian Lingkup kegiatan penelitian ini meliputi produksi lakase dari isolat lokal Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) menggunakan limbah lignoselulosa berupa sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu dengan sistem fermentasi padat. Selanjutnya, dilakukan ekstraksi dan pemurnian parsial lakase menggunakan garam ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom filtrasi gel. Fraksi enzim selanjutnya dikarakterisasi pH, suhu, aktivator/inhibitor, kinetika reaksinya, dan penentuan bobot molekulnya. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran1.
2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian, Departemen Biokimia FMIPA IPB dan Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai Desember 2015.
Bahan Penelitian ini menggunakan isolat lokal jamur pelapuk putih Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) koleksi laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Limbah pertanian berupa sekam padi dan bonggol jagung diperoleh dari petani di Dramaga, Bogor, serta onggok sagu yang diperoleh dari sentra pembuatan tepung sagu di Malang. Bahan lain yang digunakan yaitu media potato dextrose agar (PDA), potato dextrose broth (PDB), media Kirk termodifikasi (glukosa, KH2PO4, MgSO4.7H2O, CaCl2, natrium asetat, MnCl2, ekstrak ragi, H2MoO4, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O, Fe2(SO4)3, dan CuSO4.7H2O), alkohol 70%, bufer (asetat, fosfat, dan tris HCl), 2.2'-azino-bis (3-etilbenzthiazolin-6-asam sulfonat) (ABTS), ammonium sulfat, membran dialisis dengan nilai cut off 10 kDa, Sephadex G100, bovine serum
4 albumine (BSA), natrium karbonat, larutan Bradford, ammonium persulfat, TEMED, akrilamid, agarose, akuades, N-butanol, larutan fiksasi (etanol, asam asetat, dan H2O), larutan sensitize (Na2S2O3, larutan perak (AgNO3, H2O, formaldehid), larutan pengembang (Na2CO3), asam asetat 7%, ddH2O, dan marker protein standar Thermo Scientific Spectra Multicolor Broad Range Protein Ladder dengan bobot molekul 10-260 kDa.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca OHAUS GA200, mesin penggiling, ayakan 80 mesh, oven EYELA NDO-700, laminar air flow, autoklaf TOMY High pressure steam sterilizer ES-315, shaker EYELA multi shaker MMS, sentrifus BECKMAN J2-21, microplate reader Spectrostar Nano BMG Labtech, mikroplate Falcon 96 sumuran, inkubator Memmert, vorteks, pipet mikro labopette, kolom kromatografi, perangkat SDS-page, cawan petri, stirer, ose, mortar, dan alat gelas laboratorium.
Prosedur Penyiapan Mikrob (Siswanto et al. 2007) Isolat Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) diremajakan pada media PDA (potato dextrose agar) dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 120 jam. Biakan kapang yang telah tumbuh merata pada medium PDA diambil sebanyak tiga keping media bermisel (dengan tabung reaksi diameter 1.5 cm), lalu diinokulasikan secara aseptis pada medium PDB 50 mL. Kultur diinkubasikan pada suhu ruang sambil digoyang di atas shaker pada kecepatan 150 rpm selama 96 jam. Kultur miselium dihomogenkan dengan vortex, selanjutnya digunakan sebagai sumber inokulum. Penyiapan Media (Ilmi & Kuswytasari 2013) Limbah lignoselulosa yang digunakan sebagai media fermentasi padat adalah sekam padi, bonggol jagung dan onggok sagu. Sebanyak 1 kg limbah lignoselulosa dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian untuk bonggol jagung di potong-potong kecil dengan ukuran sekitar 3 cm. Selanjutnya limbah lignoselulosa dioven pada suhu 75°C selama 2 hari. Limbah lignoselulosa digiling dan disaring sehingga diperoleh ukuran 80 mesh. Limbah lignoselulosa disimpan dalam kondisi kering dan siap digunakan sebagai substrat padat pada produksi enzim. Produksi Enzim (modifikasi Risdianto et al. 2012) Media produksi enzim dibuat dengan ditambahkannya media Kirk termodifikasi pada substrat padat dengan perbandingan 5:1. Setiap liter media Kirk termodifikasi mengandung 10 g glukosa, 1.7 g KH2PO4, 0.4 g MgSO4.7H2O, 0.09 g CaCl2 , 2.3 g natrium asetat, 0.02 g MnCl2, 0.3 g ekstrak khamir, 0.01 g CuSO4.7H2O, 0.007 g H2MoO4, 0.01 g MnSO4.4H2O, 0.006 g ZnSO4.7H2O, dan 0.007 g Fe2(SO4)3.
Media produksi disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C tekanan 1 atm
5 selama 20 menit. Sebanyak 10% (v/v) sumber inokulum diinokulasikan pada media produksi yang telah didinginkan. Kultur diinkubasi pada suhu ruang (±28°C) selama 288 jam. Pengujian aktivitas lakase dan kadar protein dilakukan setiap hari untuk penentuan waktu terbaik produksi lakase. Ekstraksi Lakase (Hanung et al. 2013) Ekstraksi enzim dari kultur jamur dilakukan menggunakan bufer asetat 0.2 M pH 4.6 sebanyak 50 mL. Campuran diletakkan di atas shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 1 jam. Larutan dan substrat didekantasi. Larutan dipindahkan ke dalam tabung sentrifus dan didinginkan dalam lemari pendingin untuk mencegah kerusakan enzim. Larutan selanjutnya disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2290 g pada suhu 4°C. Supernatan dipisahkan dari endapannya dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Jika supernatan yang diperoleh masih keruh, maka dilakukan sentrifugasi ulang dengan kecepatan, waktu, dan kondisi yang sama hingga diperoleh supernatan yang jernih tanpa pengotor. Supernatan merupakan ekstrak kasar lakase yang digunakan untuk pengujian aktivitas lakase atau digunakan pada tahap pemurnian. Aktivitas Lakase (Niku-Paavola et al. 1988) Sebanyak 100 µL bufer asetat 0.5 M pH 5 dan 20 µL 2.2'-azino-bis (3etilbenzethiazolin-6-sulfonat) (ABTS) 1 mM dimasukkan dalam kuvet, kemudian ditambahkan 40 µL filtrat enzim uji. Campuran dengan volume total sebanyak 160 µL dikocok lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm pada interval waktu 0-15 menit. Satu unit aktivitas lakase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk mengoksidasi 1 nmol ABTS per menit pada suhu 28°C (Siswanto et al. 2007). Aktivitas Enzim (U/mL) = Keterangan: At A0 εmaks d Vtot Venzim t
= absorbansi pada menit ke-15 = absorbansi ada menit ke-0 = absorptivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1) = tebal kuvet (cm) = volume uji total = volume enzim yang ditambahkan = waktu inkubasi
Kadar Protein (Bradford 1976) Larutan uji (fraksi enzim) sebanyak 5 µL dicampurkan dengan 100 µL larutan Bradford dalam kuvet. Campuran kemudian dihomogenisasi selama 10 detik. Campuran didiamkan selama 10 menit lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Standar yang digunakan adalah bovine serum albumin (BSA) dengan konsentrasi 0-100 ppm. Pemurnian Parsial Enzim Pengendapan ammonium sulfat (Patel et al. 2014). Ekstrak kasar enzim lakase diendapkan dengan menggunakan garam ammonium sulfat dengan
6 memanfaatkan prinsip salting out. Garam ditambahkan pada ekstrak kasar lakase untuk mendapatkan kejenuhan 0-20%, 20-40%, 40-60%, dan 60-80%. Penambahan garam dilakukan perlahan pada kondisi dingin dengan terus diaduk. Campuran kemudian disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 3580 g. Pellet yang merupakan endapan protein dilarutkan dengan bufer asetat 0.5 M pH 5. Setiap fraksi pengendapan ammonium sulfat dilakukan pengujian aktivitas lakase dan kadar protein untuk menentukan fraksi ammonium sulfat terbaik. Dialisis (Patel et al. 2014). Membran dialisis dengan cut off 10 kD dipotong dan dicuci pada air mengalir. Membran dialisis dididihkan dalam campuran 2% (b/v) Na-Karbonat dan 0.05% (b/v) EDTA selama 10 menit. Membran dialisis dididihkan lagi dalam akuades sebanyak dua kali selama masing-masing 10 menit. Membran dialisis didinginkan dan diikat pada salah satu ujung membran. Ekstrak enzim hasil fraksinasi ammonium sulfat dengan aktivitas spesifik tertinggi dipipet ke dalam membran. Membran yang sudah diikat, direndam dalam bufer asetat 0.5 M pH 5 dengan perbandingan 100 kali volume sampel. Proses dialisis dilakukan dalam suhu 4°C dengan pengadukan selama 9 jam dengan tiga kali penggantian bufer perendam. Enzim hasil dialisis diuji aktivitas lakase dan kadar proteinnya. Kromatografi kolom filtrasi gel (Irshad et al. 2011). Serbuk Sephadex G100 dalam akuades dengan perbandingan 1:100 (b/v) dan diaduk perlahan. Sephadex lalu didiamkan pada suhu 4°C selama 3 hari. Matriks lalu dicuci dengan buffer asetat 0.5 M pH 5 dan di vakum untuk menghilangkan gelembung udara. Matriks gel Sephadex G100 dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan dan dibiarkan mengendap. Kolom yang terbentuk dialiri bufer untuk pembilasan. Ekstrak enzim hasil dialisis dilewatkan ke dalam kolom berisi Sephadex G100 dan dielusi dengan bufer asetat 0.5 M pH 5 dengan laju alir 1.66 x 10-5 L.s-1 . Setiap mL fraksi yang terbentuk dianalisis aktivitas enzim dan kadar proteinnya. Karakterisasi Lakase Karakterisasi lakase dilakukan pada ekstrak ammonium sulfat dengan aktivitas tertinggi. Optimasi pH dan suhu (Irshad et al. 2011). Penentuan pH optimum dilakukan dengan melakukan pengujian aktivitas lakase pada suhu 28°C dengan variasi pH bufer, yaitu bufer asetat (pH 3, 3.5, 4, 4.5, 5), fosfat (pH 5.5, 6, 6.5) dan tris-HCl (pH 7, 7.5, 8, 8.5) dengan konsentrasi buffer 0.5M. Penentuan suhu optimum dilakukan dengan melakukan pengukuran aktivitas lakase pada pH optimum dengan variasi suhu, yaitu 25 sampai 80°C dengan interval 5°C. Pengaruh aktivator/inhibitor (Aslam dan Asgher 2011). Ion logam yang digunakan pada pengujian pengaruh aktivator/inhibitor adalah Ca2+, Cu2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, Fe(OH)3 alkohol dan EDTA. Enzim diinkubasi pada pH dan suhu optimum dalam larutan logam dengan konsentrasi 1mM. Pengujian aktivitas lakase dengan pengaruh aktivator/inhibitor dilakukan dengan metode uji aktivitas standar. Ion logam dengan pengaruh tertinggi, diujikan dengan variasi konsentrasi 0, 1, 5, 10, 15, dan 20 ppm. Kinetika Reaksi Lakase (Siswanto et al. 2007). Penentuan kinetika reaksi dilakukan dengan mengukur aktivitas lakase dengan berbagai konsentrasi ABTS sebagai substrat. Parameter kinetika reaksi ditentukan dengan menginkubasikan enzim dengan variasi substrat tersebut dalam bufer asetat pH, suhu dan waktu inkubasi optimum. Variasi kosentrasi substrat yakni 0,1-1 mM untuk pembuatan kurva Micheles Menten (Gomes et al. 2009). Nilai konstanta Michaelis Menten
7 (Km) dan kecepatan maksimum (Vmaks) ditetapkan dari persamaan LineweaverBurk (1934).
Keterangan: v = kecepatan; Km = konstanta Michaelis-Menten; Vmaks = kecepatan maksimum; S = konsentrasi substrat Penentuan Bobot Molekul Lakase (Saito et al. 2007). Penentuan bobot molekul lakase dilakukan menggunakan elektroforesis SDS-PAGE. Sampel protein dipekatkan menggunakan aseton dengan perbandingan 2:8 (v/v). Campuran disimpan pada suhu 4°C selama semalam lalu disentrifugasi 25 menit pada 9000 rpm. Endapan yang merupakan sampel protein (fraksi enzim lakase) ditambah bufer sampel yang berisi mercaptoetanol dan dididihkan selama 90 detik, kemudian disimpan pada 0°C hingga siap digunakan. Sebanyak 25 µL sampel protein dan marker protein standar dimasukkan dalam sumur gel SDS-PAGE 12%. Selanjutnya sistem elektroforesis dirakit dan dihubungkan dengan arus listrik (50 volt) selama 5 jam. Gel lalu diwarnai dengan pewarnaan perak (silver staining).
Analisis Statistika Analisis statistika untuk produksi lakase menggunakan rancangan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 kali ulangan. Model linier yang digunakan adalah: Yijkl = µ + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + ɛ ijkl Keterangan: Yijkl = Aktivitas lakase pada faktor JPP ke-i, jenis media limbah lignoselulosa ke-j dan waktu fermentasi ke-k, dengan ulangan l µ = Rataan umum Ai = Pengaruh faktor jenis JPP ke-i, i=1,2 Bj = Pengaruh jenis media limbah lignoselulosa ke-j, j=1,2,3 Ck = Pengaruh waktu fermentasi ke-k, k= 1 sampai 12 ABij = Pengaruh interaksi faktor jenis JPP ke-i dan jenis media limbah lignoselulosa ke-j ACik = Pengaruh interaksi faktor jenis JPP ke-i dan waktu fermentasi ke-k BCjk = Pengaruh interaksi faktor jenis media limbah lignoselulosa ke-j dan waktu fermentasi ke-k ABCijk = Pengaruh interaksi faktor jenis JPP ke-i, jenis media limbah lignoselulosa ke-j dan waktu fermentasi ke-k ɛ ijkl = Galat percobaan pada ulangan ke-l karena pengaruh jenis kapang (i), jenis media limbah lignoselulosa (j) dan waktu fermentasi (k)
8 Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dan taraf 0.05. Analisis data menggunakan SPSS 16.0. Uji hasil beda nyata dilakukan dengan uji Duncan.
3 HASIL Pertumbuhan Miselia Jamur Sebelum digunakan sebagai sumber biakan untuk produksi enzim, jamur diremajakan terlebih dahulu. Peremajaan dilakukan pada media PDA. Pertumbuhan miselia jamur pada media PDA terlihat pada Gambar 1. Miselia jamur tumbuh baik tanpa kontaminasi. Miselia jamur tumbuh memenuhi cawan petri pada hari kelima. Pertumbuhan jamur P.ostreatus lebih cepat dibandingkan S. commune. Namun pada hari kelima, misel S.commune lebih tebal dibandingkan P. ostreatus. Kedua jenis misel jamur ini berwarna putih bersih dengan helaian benang misel yang halus.
(a) (b) Gambar 1 Miselia jamur P.ostreatus (Ho) (a) dan S.commune (Sc) (b) pada media PDA Miselia jamur pada media produksi mulai terlihat pada hari kedua setelah inokulasi. Media produksi mengandung limbah lignoselulosa, yaitu sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu. S. commune (Sc) terlihat lebih cepat tumbuh dibandingkan P. ostreatus (Ho) (Gambar 2).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Miselia S. commune (Sc) (kiri) dan P. ostreatus (Ho) (kanan) pada media (a) sekam padi, (b) bonggol jagung, dan (c) onggok sagu.
9 Miselia S. commune (Sc) tumbuh memenuhi permukaan media dan mencapai 6 cm pada hari keempat. Miselia P. ostreatus (Ho) tumbuh pada bagian dalam media dan mulai terlihat miselia dipermukaan media pada hari kesembilan. Sampai akhir engujian pada hari ke-12, miselia P. ostreatus (Ho) belum memenuhi permukaan media produksi
Aktivitas Lakase pada Media Lignoselulosa Aktivitas lakase ditentukan berdasarkan laju perubahan substrat ABTS menjadi produk berupa radikal ABTS. Produk yang dihasilkan diukur menggunakan metode spektrofotometri. Hasil pengujian menunjukkan bahwa lakase dapat dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) pada media sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu (Gambar 3). 2
7
1.6
Aktivitas lakase (U/mL)
Aktivitas lakase (U/mL)
1.8 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
6 5 4 3 2 1 0
0
2 4 6 8 10 Waktu inkubasi (hari)
12
0
2
8
10
(a)
4 6 8 10 Waktu inkubasi (hari) (b)
12
35 Aktivitas lakase (U/mL)
30 25 20 15 10 5 0 -5 0
2
4
6
12
Waktu inkubasi (hari) P. ostreatus (c)
S. commune
Gambar 3 Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) pada media (a) sekam padi, (b) bonggol jagung, dan (c) onggok sagu.
10
Kedua jenis jamur telah menghasilkan lakase dari hari pertama. Pola aktivitas lakase yang dihasilkan jamur berbeda pada tiap media produksi. Produksi lakase pada media sekam padi menunjukkan bahwa aktivitas lakase tertinggi P. ostreatus (Ho) adalah 0.98 U/mL pada hari ketiga dan S. commune (Sc) mencapai 1.85 U/mL pada hari kedelapan. Media bonggol jagung yang digunakan sebagai media produksi mampu menginduksi aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) sebesar 6.29 U/mL pada hari kedelapan dan S. commune (Sc) 1.76 U/mL pada hari kesebelas. Onggok sagu dapat menginduksi lakase P. ostreatus (Ho) hingga mencapai aktivitas 28.70 U/mL pada hari kesepuluh dan lakase S. commune (Sc) mencapai 6.99 U/mL pada hari ketiga.
Hasil Optimasi Produksi Lakase Optimasi produksi lakase dilakukan dengan membandingkan aktivitas spesifik enzim yang dihasilkan oleh kombinasi perlakuan. Aktivitas spesisfik enzim merupakan aktivitas enzim per mg protein. Kombinasi perlakuan tersebut adalah jenis JPP, media lignoselulosa, dan waktu inkubasi. Nilai rataan aktivitas spesifik lakase yang dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) pada media sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu terdapat pada Tabel 1. Setiap jenis perlakuan dan interaksinya memberikan pengaruh terhadap besarnya aktivitas spesifik lakase. Aktivitas spesifik lakase P. ostreatus (Ho) pada media onggok sagu merupakan aktivitas lakase yang tertinggi, yaitu sebesar 275.99 U/mg. Tabel 1 Rataan aktivitas spesifik lakase (U/mg) P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) pada media limbah lignoselulosa Waktu (hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sekam Padi Pl Sc 5.99a 8.47ab 8.78ab 4.24a 7.04a 5.87a 3.91a 2.12a 2.70a 1.65a 1.54a 0.75a
2.08a 5.57a 8.78ab 8.58ab 10.89ab 10.75ab 15.44ab 13.51ab 14.45ab 4.96a 8.81ab 6.20a
Bonggol Jagung Pl Sc (U/mg) 12.47ab 3.04a 13.79ab 7.43a 11.28ab 6.14a ab 12.87 2.57a 13.39ab 4.77a 13.66ab 3.68a 25.26bc 5.00a ef 57.45 5.88a 11.27ab 4.59a 8.24ab 3.51a 8.32ab 12.92ab a 7.44 4.64a
Onggok Sagu Pl Sc 50.04cd 14.60ab 12.97ab 52.25d 81.59g 71.17fg 77.57fg 62.62ef 87.00g 275.99i 189.30h 14.46ab
36.94bc 49.37bc 72.12fg 24.83b 26.81bc 30.43bc 7.52a 1.41a 4.96a 1.48a -5.09a 2.31a
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); Pl: P.ostreatus; Sc: S.commune.
11 Pemurnian Parsial Enzim Pemurnian dilakukan terhadap ekstrak kasar dengan aktivitas tertinggi, yaitu lakase P. ostreatus (Ho) pada media onggok sagu. Hasil pemurnian lakase menggunakan garam ammonium sulfat tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pemurnian lakase menggunakan ammonium sulfat jenuh No 1 2 3 4 5
Tahap pemurnian Ekstrak kasar 0-20% 20-40% 40-60% 60-80%
Aktivitas (U/mL) 21.54 1.93 2.83 2.71 46.96
Kadar protein (mg/mL) 0.14 0.01 0.20 0.03 0.16
Aktivitas spesifik (U/mg) 154.75 167.00 167.68 115.41 301.03
Kemurnian (kali) 1.00 1.08 1.08 0.75 1.95
Fraksinasi lakase menggunakan garam ammonium sulfat mengendapkan protein dalam jumlah yang tidak berbeda signifikan pada tiap fraksinya. Fraksi ammonium sulfat dengan aktivitas spesifik tertinggi adalah fraksi 4 dengan tingkat kejenuhan 60-80%. Aktivitas spesifik lakase fraksi 4 sebesar 301.03 U/mg dengan tingkat kemurnian 1.95. Pemurnian dilanjutkan dengan menggunakan membran dialisis. Aktivitas spesifik lakase hasil dialisis memiliki nilai sebesar 298.57 U/mg dengan yield 2.67 % dan tingkat kemurnian 1.93 kali (Tabel 3). Hasil dialisis kemudian dimurnikan dengan kromatografi kolom filtrasi gel menggunakan fase diam Sephadex G100 dan fase gerak bufer asetat 0.5 M pH 5. Kromatografi filtrasi gel dengan laju alir 1.66 x 10-5 L.s-1 menghasilkan 35 fraksi (Gambar 4). 1.2
3 2.5 2
0.8
1.5
0.6
1 0.5
0.4
A 280 nm
Aktivitas lakase (U/mL)
1
0 0.2
-0.5
0
-1 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Fraksi eluat sephadex G100 Aktivitas lakase Kadar protein (A280)
Gambar 4 Kromatogram protein dan aktivitas lakase hasil pemurnian dengan kromatografi kolom filtrasi gel Sephadex G100, dielusi dengan bufer asetat 0.5 M dengan laju alir 1.66 x 10-5 L.s-1.
12
Hasil kromatografi menunjukkan adanya dua puncak protein yang dibaca pada A280 nm, yaitu fraksi 13 dan fraksi 24. Fraksi kromatografi dengan aktivitas tertinggi adalah fraksi 24. Hal ini menunjukkan bahwa protein pada fraksi 24 merupakan enzim lakase. Fraksi 24 memiliki aktivitas spesifik sebesar 1492.474 U/mg dan yield sebesar 22.108 dengan kemurnian 9.645 kali (Tabel 3). Tabel 3 Hasil pemurnian lakase P. ostreatus (Ho) pada tiap fraksi No
1 2 3 4
Fraksi Ekstrak kasar Amonium Sulfat (60-80%) Dialisis Kolom kromatografi
Volume (mL)
Aktivitas total (U)
Protein total (mg)
Aktivitas spesifik (U/mg)
Yield (%)
Kemurnian (kali)
54
1158.87
7.49
154.75
100.00
1.00
7
319.85
1.06
301.13
27.60
1.95
1
309.32
0.10
298.57
2.67
1.93
2
256.20
0.17
1492.47
22.11
9.65
pH dan Suhu Optimum Lakase Karakterisasi lakase dilakukan terhadap fraksi ammonium sulfat dengan kejenuhan 60-80%. Pengujian pH optimum dilakukan pada rentang pH asam sampai basa, yaitu pH 3-8 dengan rentang pH 0.5. Hasil optimasi pH terdapat pada Gambar 5.
Aktivitas lakase (U/mL)
4.5 4 3.5 3 2.5 2 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
pH
Gambar 5 Aktivitas lakase pada berbagai pH Hasil penelitian menunjukkan aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) meningkat dari pH 3 hingga mencapai optimum pada pH 4. Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) pada pH 4 adalah 4.425 U/mL. Aktivitas lakase terus menurun seiring peningkatan nilai pH buffer.
13 Penentuan suhu optimum dilakukan pada suhu 25-80°C dengan rentang suhu 5°C. Aktivitas lakase pada berbagai suhu tersaji pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu optimum untuk pengujian lakase P. ostreatus (Ho) adalah 35°C. Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) pada suhu 35°C adalah 3.099 U/mL. Aktivitas lakase stabil pada suhu 55-65°C, yaitu dengan aktivitas relatif 17% dari aktivitas optimum. Aktivitas relatif lakase tersisa 1,7% pada suhu 80°C. Aktivitas lakase (U/mL)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
suhu
Gambar 6 Aktivitas lakase pada berbagai suhu
Hasil Pengujian Aktivator/Inhibitor terhadap Aktivitas Lakase Pengujian aktivator/inhibitor dilakukan dengan menambahkan ion-ion logam (Ca2+, Cu2+, Mg2+, Zn2+, dan Mn2+), Fe(OH)3, EDTA, alkohol, dan TEMED dalam reaksi pengujian aktivitas lakase. Pengaruh aktivator/inhibitor ditentukan dengan membandingkan aktivitas lakase uji dengan aktivitas lakase kontrol, sehingga diperoleh aktivitas relatif lakase. Hasil pengujian aktivator/inhibitor terhadap aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) terdapat pada Gambar 7.
Aktivitas relatif (%)
120 100 80 60 40 20 0
Gambar 7 Pengaruh aktivator/inhibitor (Ca2+, Cu2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, Fe(OH)3, EDTA, alkohol, dan TEMED terhadap aktivitas lakase
14 Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) dihambat oleh penambahan 1 mM Fe(OH)3, EDTA, alkohol, dan TEMED. Ion Ca2+, Mg2+, Zn2+, dan Mn2+ menurunkan sedikit aktivitas lakase P. ostreatus (Ho). Ion Cu2+ yang ditambahkan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas lakase P. ostreatus (Ho). Oleh karena itu, dilakukan pengujian lanjutan menggunakan logam Cu dengan berbagai konsentrasi (Gambar 8). Logam Cu 15 mM mampu meningkatkan aktivitas relatif lakase mencapai 105%.
Aktivitas relatif (%)
108 106 104 102 100 98 96 94 kontrol
1mM
5mM
10mM
15mM
20mM
Konsentrasi Cu2+
Gambar 8 Pengaruh konsentrasi Cu2+ terhadap aktivitas lakase
Nilai Km dan Vmaks Lakase Fraksi Ammonium Sulfat Kinetika reaksi lakase dapat dipelajari dengan nilai Km dan Vmaks. Kedua nilai tersebut ditentukan menggunakan variasi konsentrasi substrat. Peningkatan konsentrasi substrat dapat meningkatkan aktivitas lakase hingga mencapai kecepatan maksimum saat enzim jenuh oleh substrat. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas reaksi terdapat pada plot Michaelis-Menten (Gambar 9).
Aktivitas lakase (U/mL)
14 12 10 8 6 4 2 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 konsentrasi ABTS (mM)
0.9
1
1.1
Gambar 9 Pengaruh konsentrasi substrat ABTS terhadap aktivitas lakase (kurva Michelis Menten)
15 Nampak terjadi peningkatan aktivitas lakase secara tajam dri konsentrasi substrat 0.04 mM sampai 0.36 mM. Pada konsentasi subtrat 0.40 ke atas, terjadi perlambatan peningkatan aktivitas lakase. Selanjutnya, dibuat plot kurva Lineweaver-Burk dari konsentasi 0.04-0.24, sehingga diperoleh persamaan garis y = 0.75x + 6.56 (Gambar 10). Berdasarkan persamaan garis tersebut, didapatkan nilai tetapan Michaelis-Menten (Km) sebesar 0.11 mM dan Vmaks sebesar 9.14 U/mL. Diperoleh pula nilai kinetika katalitik (Kkat) atau bilangan putaran enzim sebesar 0.02 s-1 dan Kkat/Km sebesar 0.19 s-1.mM-1. 30 y = 0,75x + 6,56 R² = 0,998
25 1/V (U-1.s)
20 15 10 5 0
-15
-10
-5
-5
0
5 1/S
10
15
20
25
30
(mM-1)
Gambar 10 Korelasi antara 1/S dan 1/V dalam plot Lineweaver Burk
Elektroforegram Lakase Elektroforesis digunakan sebagai visualisasi tahapan pemurnian enzim dan penentuan bobot molekul lakase. Bobot molekul lakase ditentukan dengan membandingkan pita protein sampel dengan pita protein marker standar. Bobot molekul marker protein standar yang digunakan 10-260 kDa. Elektroforegram lakase dari P. ostreatus (Ho) ditampilkan pada Gambar 11.
149.08 129.20 0 63.17
28.08 22.17 18.72
Gambar 11 Hasil elektroforesis SDS-PAGE lakase (M: marker, EK: ekstrak kasar, D: dialisis, A: fraksi ammonium sulfat 60-80%;dan K: kromatografi kolom) dengan perkiraan bobot molekul protein (kDa)
16 Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap tahap pemurnian menunjukkan beberapa pita protein. Ekstrak kasar lakase P.ostreatus Ho memiliki enam pita protein, yaitu dengan BM 149.08, 129.20, 63.17, 28.08, 22.17, dan 18.72 kDa. Protein fraksi dialisis dan ammonium sulfat menunjukkan pita protein yang sama, namun lebih jernih. Protein hasil kromatografi kolom menunjukkan dua pita protein. Hal ini menunjukkan bahwa lakase P.ostreatus Ho memiliki dua isozim dengan bobot molekul adalah sekitar 22.17 dan 18.72 kDa (Gambar 11).
4 PEMBAHASAN Pertumbuhan Miselia Jamur Pertumbuhan miselia S. commune (Sc) dan P. ostreatus (Ho) pada proses peremajaan menggunakan media PDA menghasilkan miselia yang tumbuh baik (Gambar 1). Miselia merupakan bagian jamur multiseluler yang dibentuk oleh kumpulan hifa. Pertumbuhan miselia pada media PDA dikatakan baik jika menghasilkan miselia yang tebal, merata dan tanpa kontaminasi. Peremajaan penting dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan jamur setelah masa dorman saat penyimpanan. Pertumbuhan miselia yang memenuhi cawan petri pada masa inkubasi lima hari menunjukkan bahwa isolat jamur yang digunakan masih dalam kondisi baik. Miselia dengan pertumbuhan yang baik digunakan sebagai sumber inokulum pada proses produksi. Pertumbuhan miselia pada media produksi diamati untuk mengetahui jamur dapat beradaptasi dan tumbuh pada media produksi. Selain itu, pertumbuhan miselia sebagai acuan dihasilkannya enzim lakase (Widyastuti et al. 2007). Menurut Bonnen et al. (1994), enzim lakase dihasilkan saat awal perkembangan miselia, mencapai maksimum saat perkembangan primordia jamur, dan aktivitasnya menurun saat pembentukan tubuh buah. Miselia S. commune (Sc) dan P. ostreatus (Ho) dapat tumbuh pada media produksi yang mengandung limbah lignoselulosa berupa sekam padi, bonggol jagung, dan onggok sagu. Hal ini menunjukkan pada kedua jamur dapat beradaptasi dan menggunakan media sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan miselia jamur. Menurut Aini dan Kuswytasari (2013), pertumbuhan miselia pada jamur dipengaruhi oleh suhu, pH, kelembaban, intensitas cahaya, dan aerasi udara. Pertumbuhan miselia jamur optimum pada suhu 22-28°C, pH 4-7, kelembaban 6070%, intensitas cahaya 10%, dan kadar CO2 sebesar 15-20%. Penelitian ini dilakukan pada suhu ruang, sekitar 28°C, sehingga sesuai untuk pertumbuhan miselia jamur. Namun, tidak dilakukan kontrol terhadap faktor lingkungan lainnya. Sebagai jamur pendegradasi lignin, pertumbuhan miselia kedua jamur ini juga dipengaruhi kandungan lignin yang terdapat pada media lignoselulosa. Sekam padi mengandung lignin 23.61%, selulosa 33.07%, dan hemiselulosa 34.01% (Nurjannah et al. 2014). Bonggol jagung mengandung lignin 15.48%, selulosa 45%, dan hemiselulosa 35% (Risdianto et al. 2012). Onggok sagu mengandung lignin 25%, selulosa 45%, dan hemiselulosa 25% (Sun & Cheng
17 2002). Penggunaan lignoselulosa sebagai substrat mengalami beberapa tahapan degradasi, yaitu delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan lignin dan depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas (Nurjannah 2014). Hasil degradasi lignoselulosa menjadi nutrisi untuk pertumbuhan miselia. Oleh karena itu, kadar lignin yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan miselia (Aini & Kuswytasari 2013). Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pertumbuhan miselia jamur pada onggok sagu lebih sedikit dibandingkan pada media sekam padi dan bonggol jagung. Pertumbuhan miselia S. commune (Sc) pada media produksi lebih cepat dibandingkan P. ostreatus (Ho). Perbedaan kecepatan tumbuh miselia menunjukkan adanya kespesifikan jamur terhadap substrat media (Widyastuti et al. 2007). S. commune (Sc) mampu menggunakan sumber nutrisi yang terkandung dalam limbah lignoselulosa untuk mendukung pertumbuhan miselia. Miselia S. commune (Sc) tumbuh pada permukaan media. Hal ini terjadi pula pada Trametes versicolor pada media sekam padi (Nurjannah 2014). Hal ini karena dipermukaan terdapat cukup oksigen untuk proses respirasi jamur. Miselia P. ostreatus (Ho) cenderung tumbuh dibagian dalam media. Hal ini diduga karena P. ostreatus (Ho) lebih mudah tumbuh pada kondisi oksigen yang lebih sedikit. Pertumbuhan miselia kedua jenis jamur pada media limbah lignoselulosa ini cukup cepat. Berbeda dengan hasil penelitian Widiastuti (2007), P. ostreatus dan Omphalina sp. yang ditumbuhkan pada media tandan kosong kelapa sawit (TKKS) memiliki miselia dengan panjang sekitar 4 cm dalam waktu satu bulan. Pertumbuhan miselia yang lebih cepat dikarenakan penambahan media Kirk termodifikasi yang mengandung nutrisi dan mineral. Glukosa dan ekstrak ragi berperan sebagai sumber karbon dan nitrogen yang digunakan dalam pertumbuhan miselia jamur.
Aktivitas Lakase pada Media Lignoselulosa Hasil pengujian aktivitas lakase menunjukkan bahwa aktivitas lakase telah dihasilkan pada hari pertama, saat miselia jamur mulai tumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bonnen et al. (1994) bahwa enzim lakase dihasilkan saat awal perkembangan miselia, mencapai maksimum saat perkembangan primordia jamur, dan aktivitasnya menurun saat pembentukan tubuh buah. Produksi enzim pada awal waktu inkubasi karena digunakannya media Kirk. Media Kirk mengandung berbagai nutrisi dan mineral seperti glukosa, KH2PO4, MgSO4.7H2O, CaCl2, Na2(SO4), diammonium tartrat, MnCl2, ekstrak ragi, H2MoO4, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O dan Fe2(SO4)3, CuSO4.7H2O (Risdianto et al. 2012; Hanung et al. 2013). Glukosa dan ekstrak ragi berperan dalam menunjang pertumbuhan jamur pada awal proses produksi lakase. Garam mineral selain berperan dalam pertumbuhan miselia, juga berperan sebagai penginduksi enzim lakase. Georgieva et al. (2009) melaporkan bahwa Phanerochaete crysosporium mampu meningkatkan produksi lakase dengan signifikan dengan penambahan Mn2+ pada media produksinya. Mineral Cu2+ juga berperan dalam menginduksi produksi lakase pada Omphalina sp. (Widiastuti et al. 2007). Lakase yang dihasilkan oleh JPP berada dalam media padat lignoselulosa. Diperlukan proses ektraksi untuk memperoleh lakase secara optimal (Hanung et al.
18 2013). Proses ekstraksi melalui tahap penambahan bufer, pengguncangan di atas shaker, penggerusan miselia, dan sentrifugasi. Lakase diekstraksi menggunakan bufer asetat 0.2M pH 4.6. Vikineswary et al. (2006) menyatakan bahwa enzim lakase dapat terekstraksi secara optimal dengan menggunakan bufer asetat pH 4.6 pada temperatur 25°C. Volume larutan bufer yang digunakan dengan perbandingan 1:2. Hanung et al. (2013) melaporkan bahwa penggunaan volume bufer tidak memberikan efek yang signifikan terhadap aktivitas lakase. Namun, penggunaan perbandingan volume bufer yang terlalu besar mengakibatkan pengenceran enzim yang terlalu besar. Lakase merupakan enzim ekstraseluler (Kunamneni et al. 2007). Ekstraksi lakase dimaksudkan untuk memperoleh enzim lakase yang terdapat pada media dan dinding sel jamur. Penggoyangan pada shaker bertujuan mengoptimalkan pelarutan enzim pada buffer pengekstrak. Penggerusan miselia jamur berfungsi memecah dinding sel jamur. Hal ini bertujuan memperoleh enzim lakase yang terdapat dalam dinding sel miselia jamur. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan ekstrak kasar lakase dengan media padat. Ekstrak kasar lakase yang berbobot molekul lebih ringan akan berada pada supernatan. Lakase mampu mengkatalisis oksidasi satu elektron dari senyawa fenolik dengan memanfaatkan oksigen sebagai penerima elektron sehingga menghasilkan produk berupa senyawa radikal fenoksi bebas (Kunamneni et al. 2007). Proses reaksi ini terjadi pada reaksi penguraian lignin (Gambar 12). Radikal fenolik pada struktur lignin bersifat tidak stabil dan dapat mengalami reaksi oksidasi enzimatik kedua atau reaksi nonenzimatik seperti hidrasi, disproporsionasi, atau polimerisasi. Lignin sebagai substrat alami, dipotong oleh lakase dengan oksidasi Cα, pemutusan ikatan Cα -Cβ, dan pemotongan aril-alkil (Bar 2001).
Gambar 12 Reaksi penguraian lignin yang dikatalisis oleh lakase (Bar 2001) Prinsip oksidasi fenolik digunakan sebagai acuan pengukuran aktivitas lakase menggunakan ABTS. ABTS merupakan substrat tiruan untuk lakase. Lakase mengoksidasi ABTS, non-fenolik dye, membentuk radikal kation ABTS+ berwarna hijau kebiruan (Gambar 13). Konsentrasi kation ABTS+ dikorelasikan sebagai aktivitas enzim lakase (ε420 = 36000 M-1cm-1) (Bar 2001). Substrat lain yang dapat digunakan sebagai substrat pengujian aktivitas lakase adalah
19 Syringaldazine dan DMP (dimetoksi fenol) (Kunamneni et al. 2007). Pengukuran aktivitas lakase dilakukan pada interval waktu untuk melihat perubahan warna yang dihasilkan pada sebelum dan saat reaksi oksidasi berjalan. Interval waktu pengukuran ditentukan berdasarkan perubahan kecepatan oksidasi tertinggi. Penelitian ini menggunakan waktu inkubasi 15 menit. Inkubasi lakase melebihi waktu tersebut, menurunkan percepatan reaksi lakase.
Gambar 13 Perubahan ABTS menjadi radikal kation ABTS+ yang dikatalisis oleh lakase (Bar 2001) Pola produksi lakase P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) umumnya mencapai optimum pada hari kedelapan sampai sebelas. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Vikineswary et al. (2005) dan Risdianto et al. (2011). Vikineswary et al. (2005) melaporkan bahwa lakase dari Pycnoporus sanguineus pada media serbuk gergaji dan „hampas‟ sagu optimal pada hari kesebelas. Aktivitas lakase dari Omphalina sp., Phanerochaete crysosporium, Trametes versicolor, Trametes hirsuta pada media TKKS, sekam padi, bonggol jagung, dan jerami padi optimal pada hari kesembilan sampai sebelas (Risdianto et al. 2011). Aktivitas enzim tertinggi terjadi setelah terjadi defisiensi nutrisi (Nurjannah 2014). Enzim dihasilkan sebagai upaya jamur untuk memperoleh nutrisi dari substrat padat yang mengandung lignoselulosa. Lakase yang merupakan enzim ligninolitik disekresikan untuk mendegradasi lignin, sehingga jamur dapat menggunakan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber nutrisi (Hammel & Srebotnik 2000). Pola produksi lakase yang berbeda ditunjukkan oleh P. ostreatus (Ho) pada media sekam padi dan S. commune (Sc) pada media onggok sagu. Kedua kombinasi perlakuan tersebut mencapai aktivitas tertinggi pada hari ketiga. Lakase yang dihasilkan merupakan pengaruh media Kirk. Diduga, kedua kombinasi perlakuan tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mampu menghasilkan lakase secara optimal. Aktivitas lakase tertinggi pada penelitian ini adalah 28.70 U/mL. Lakase tersebut merupakan hasil fermentasi padat P.ostreatus (Ho) pada onggok sagu di hari kesepuluh. Lakase P. ostreatus (Ho) diinduksi oleh lignin yang terdapat pada onggok sagu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gochev dan Kastranov (2007) bahwa lignin mampu menginduksi dan meningkatkan aktivitas lakase. Induksi aktivitas lakase juga dapat menggunakan penambahan
20 bahan xenobiotik berupa xilidin dan veratril alkohol pada media produksi. Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) pada media onggok sagu ini sedikit lebih kecil dibandingkan aktivitas lakase P.ostreatus yang dilaporkan oleh Palmieri et al. (2000), yaitu sebesar 30 U/mL. Perbedaan strain jamur yang digunakan sangat mempengaruhi aktivitas lakase yang dihasilkan. Pengujian dengan aktivitas yang paling rendah adalah P. ostreatus (Ho) pada media sekam padi, yaitu sebesar 0.98 U/mL. Hasil ini ternyata masih lebih tinggi dibandingkan dengan lakase dari Omphalina sp. dan P. ostreatus pada media bagase tebu (Widiastuti et al. 2007). Widiastuti et al. (2007) melaporkan bahwa pada media bagase tebu, aktivitas lakase Omphalina sp. adalah 0.75 U/mL sedangkan P. ostreatus adalah 0.90 U/mL setelah tiga bulan inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan media produksi sangat berpengaruh terhadap aktivitas lakase yang dihasilkan. Sedikitnya kandungan lignin sebagai penginduksi lakase dan terdapatnya kandungan silika pada sekam padi diduga mempengaruhi rendahnya aktivitas lakase yang dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho). Optimasi Produksi Lakase Aktivitas spesifik dari tiap variabel uji menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa jenis jamur penghasil enzim lakase, jenis media lignoselulosa yang digunakan, dan waktu inkubasi masing-masing memberikan pengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim lakase yang dihasilkan. Hasil optimasi produksi pada fermentasi padat menunjukkan bahwa P. ostreatus (Ho) menghasilkan lakase dengan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan S. commune (Sc). Risdianto et al. (2012) menyatakan bahwa produksi lakase bergantung pada spesies JPP yang digunakan. Setiap galur isolat menentukan aktivitas enzim yang dihasilkan (Widiastuti et al. 2007). Hal ini menjadikan skrining jamur untuk proses produksi enzim sangat penting dilakukan. Media produksi sangat berpengaruh terhadap aktivitas lakase yang dihasilkan. Limbah lignoselulosa yang digunakan sebagai media produksi berukuran 80 mesh. Ukuran substrat padat berpengaruh terhadap proses produksi enzim. Partikel yang lebih kecil menyediakan luas permukaan kontak antara partikel dan miselia jamur yang lebih luas. Hal ini mendukung proses fermentasi berjalan dengan efisien (Hanung et al. 2013). Kandungan lignoselulosa media pada proses fermentasi padat juga berpengaruh terhadap aktivitas lakase yang dihasilkan. Lignoselulosa berperan sebagai penyuplai nutrisi untuk pertumbuhan jamur dan sebagai penginduksi produksi lakase (Risdianto et al, 2012). Hasil pengujian menunjukkan bahwa lakase yang diproduksi menggunakan onggok sagu memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan media sekam padi dan bonggol jagung. Kadar lignin onggok yang paling tinggi menjadi penginduksi dihasilkannya lakase dengan aktivitas yang tinggi pada kedua jenis JPP. Struktur lignin yang terdapat pada media lignoselulosa diduga juga mempengaruhi kemampuan jamur untuk melakukan proses delignifikasi dengan menghasilkan lakase. Struktur lignin sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman (Kuroda et al. 2001). Lignin tersusun atas tiga monomer monolignol, yaitu pkumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol (Gambar 14). Monomer monolignol bergabung menjadi struktur lignin dalam bentuk p-hidroksifenil (H), guaiasil (G), dan siringil (S) (Moinuddin et al. 2010). Monokotil memiliki lignin
21 dengan campuran ketiga komponen tersebut (Boerjan et al 2003). Umumnya rumput-rumputan didominasi oleh G, sedangkan jenis palm didominasi oleh S (Kuroda et al. 2001). Jagung dengan kandungan ketiga monolignol mampu menginduksi jamur untuk menghasilkan lakase dengan cukup baik. Kandungan guaiasil turunan dari koniferil alkohol pada sekam padi kurang mampu menginduksi produksi lakase. Siringil turunan sinapil alkohol pada onggok sagu diduga berperan sangat pernting dalam induksi lakase pada jamur P. ostreatus (Ho) dan S. commune (Sc) yang diujikan pada penelitian ini.
p-Kumaril alkohol
Koniferil alkohol
Sinapil alkohol
Gambar 14 Struktur monolignol penyusun lignin (Moinuddin et al. 2010) Hasil optimasi produksi lakase menunjukkan bahwa aktivitas spesifik lakase tertinggi dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho) pada media onggok sagu dihari kesepuluh, yaitu 275.99 U/mg. Aktivitas spesifik lakase P. ostreatus (Ho) pada onggok sagu lebih tinggi dibandingkan aktivitas spesifik P. sapidus P969 yang diproduksi dengan SSF pada bagase tebu, yaitu sebesar 40.56 U/mg (Patrick 2014). Sahay et al. (2008) melaporkan bahwa aktivitas spesifik P.sajor-caju pada media serbuk gergaji sedikit lebih tinggi dibanding penelitian ini, yaitu sebesar 325 U/mg. Kesesuaian penggunaan jamur dan media menjadi faktor utama keragaman aktivitas spesifik lakase, sehingga optimasi produksi menjadi sangat diperlukan. Aktivitas spesifik lakase P. ostreatus (Ho) pada onggok sagu juga lebih tinggi dibandingkan Omphalina sp. pada media cair, yaitu sebesar 2.89 U/mg (Siswanto et al. 2007). Optimasi produksi pada penelitian ini menggunakan teknik fermentasi padat (SSF). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gonzalez et al. (2003), bahwa produksi enzim menggunakan SFF atau fermentasi padat lebih tinggi dibandingkan dengan SmF. Fermentasi padat didefinisikan sebagai pertumbuhan mikroorganisme pada material padat dengan tidak mengandung atau hampir tidak mengandung air bebas (Risdianto et al. 2010). Fermentasi padat cocok digunakan untuk teknik fermentasi yang menggunakan fungi dan mikroorganisme yang
22 membutuhkan sedikit kelembapan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk proses fermentasi yang melibatkan organisme yang membutuhkan aw (activity water) tinggi, seperti bakteri (Subramaniyam & Vimala 2012). Fermentasi padat digunakan untuk produksi enzim menggunakan jamur berfilamen untuk menyesuaikan dengan kondisi jamur di alam (Couto & Sanroman 2005). Rolle (1998) menyatakan bahwa fermentasi substrat padat untuk produksi enzim memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan fermentasi terbenam (submerged fermentation). Keuntungan tersebut antara lain tidak memerlukan energi untuk aerasi, penyiapan medium dan pengendalian proses lebih sederhana, peralatan produksi lebih sederhana sehingga sesuai untuk industri skala kecilmenengah dan pemisahan enzim dari subtrat relatif lebih mudah. Proses produksi dilakukan pada suhu ruang (28-30°C). Hal ini berdasarkan hasil penelitian Risdianto et al. (2012) yang menyatakan bahwa produksi lakase sesuai dengan suhu pertumbuhan jamur, yaitu pada suhu ruang (± 28°C). Hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa suhu optimum untuk produksi lakase adalah 30-31°C. Proses produksi juga dilakukan dengan adanya cahaya. Kunamneni et al. (2007) memaparkan bahwa produksi lakase optimal pada suhu 25°C dengan keberadaan cahaya.
Pemurnian Parsial Enzim Pemurnian menjadi tahapan yang penting sebelum proses karakterisasi. Pemurnian enzim bertujuan memisahkan enzim dari komponen lain. Penelitian ini melakukan proses pemurnian enzim berupa pengendapan protein menggunakan garam ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom filtrasi gel. Pengendapan protein menggunakan garam ammonium sulfat telah banyak digunakan. Selain karena kelarutan ammonium sulfat yang tinggi, garam ini tidak toksik, dan ekonomis. Prinsip presipitasi ammonium sulfat berdasarkan kompetisi pengikatan air antara garam dan protein. Amonium sulfat terlarut akan terionisasi menjadi ion NH4+ dan SO42. Ion garam menarik air yang berikatan dengan protein, sehingga kelarutan protein menurun. Protein selanjutnya membentuk agregat dan mengendap (Sinatari et al. 2013). Lakase P. ostreatus (Ho) mengendap pada kejenuhan 60-80%. Diduga, lakase P. ostreatus (Ho) memiliki lebih banyak asam amino hidrofilik. Protein dengan asam amino hidrofilik membutuhkan garam ammonium sulfat yang lebih banyak untuk mengganggu interaksi yang kuat antara air dengan asam amino hidrofilik. Enzim lakase P. ostreatus (Ho) ini memiliki tingkat kemurnian yang meningkat 1.946 kali dengan yield 27.6 kali. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aslam dan Asgher (2011) yang menggunakan kejenuhan 65% untuk mengendapkan lakase P. ostreatus menghasilkan tingkat kemurnian 1.81 kali. Berbeda dengan lakase P. sajor-caju, diperlukan hanya 30% kejenuhan untuk menghasilkan kemurnian 1.76 kali dan yield 10.73% (Sahay et al. 2008). Lakase S. commune IBL-06 mengendap pada kejenuhan 50% ammonium sulfat, dengan kemurnian 2.6 kali dan yield 48% (Irshad et al. 2011). Pemurnian dilanjutkan dengan menggunakan membran dialisis. Proses dialisis bertujuan menghilangkan garam ammonium sulfat yang terdapat dalam ekstrak enzim. Membran dialisis dapat melewatkan molekul yang berukuran di
23 bawah nilai cut off. Protein dalam membran akan dipertahankan karena memiliki bobot molekul yang besar. Oleh sebab itu, kemurnian enzim relatif tidak berubah dibandingkan dengan tahap pemurnian sebelumnya. Hal ini terjadi pada lakase P.ostreatus dan S. commune yang tingkat kemurniannya naik 0.21 dan 0.15 (Aslam dan Asgher 2011; Irshad et al. 2011). Pemurnian selanjutnya menggunakan kromatografi filtrasi gel. Kromatogram menunjukkan adanya dua puncak protein, yaitu pada fraksi 13 dan 24. Pengujian aktivitas lakase pada fraksi-fraksi kromatografi menunjukkan bahwa fraksi 24 memiliki aktivitas lakase tertinggi. Fraksi 24 dari hasil kromatografi kolom memiliki kemurnian 9.65 kali dengan yield sebesar 22.11. Hasil ini menggambarkan kemurnian lakase telah mengalami peningkatan signifikan. Prinsip pemisahan protein menggunakan kromatografi kolom filtrasi gel adalah perbedaan bobot molekul protein. Kromatografi kolom filtrasi gel menggunakan gel Sephadex G100 sebagai fasa diam. Sephadex adalah butiran gel makroskopis yang terbuat dari turunan polisakarida, yaitu dekstran. Sephadex G100 mampu memisahkan molekul protein dengan BM 4-150 kDa. Oleh karena itu, Sephadex G100 sesuai untuk digunakan dalam pemisahan enzim lakase yang memiliki bobot molekul kurang dari 140 kDa (Yarpolov 1994). Sampel protein yang dielusi dalam kolom terpisah berdasarkan bobot molekul protein. Protein dengan bobot molekul besar akan terelusi pada fraksi awal. Protein dengan bobot molekul kecil akan tertahan dalam gel dan terelusi pada fraksi akhir. Eluen kromatografi yang terfraksinasi berdasarkan bobot molekul selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 280 nm untuk melihat kadar protein dan uji aktivitas lakase. Kromatogram menunjukkan bahwa lakase P. ostreatus (Ho) terdapat pada fraksi akhir (fraksi 24) diduga karena kecilnya bobot molekul lakase P. ostreatus (Ho) yang selanjutnya dibuktikan menggunakan elektroforesis SDS-PAGE. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Siswanto et al. (2007). Siswanto et al. (2007) melaporkan bahwa lakase Omphalina sp. berada pada fraksi 19-23. Berbeda dengan lakase P. ostreatus lain yang terdapat pada fraksi 8 dengan aktivitas spesifik 327.30 U/mg dan kemurnian 3.37 kali (Aslam dan Asgher 2011). Perbedaan fraksi hasil kromatografi yang mengandung lakase berkaitan pula dengan laju alir saat proses kromatografi kolom filtrasi gel. Lebarnya puncak kurva protein maupun aktivitas lakase pada penelitian ini memerlukan laju alir yang lebih lambat sehingga protein dapat terpisah sempurna. Penggunaan metode pemisahan protein yang lain, seperti FPLC (fast protein liquid chromatography), juga dapat dilakukan untuk mendapatkan protein yang lebih murni.
pH dan Suhu Optimum Lakase Karakterisasi lakase dilakukan terhadap fraksi ammonium sulfat. Selain berkaitan dengan volume dari tiap tahap pemurnian lanjut yang semakin sedikit, penggunaan fraksi ammonium sulfat juga karena aplikasi enzim seringkali tidak menggunakan fraksi yang murni. Karakterisasi penting dilakukan untuk mendapatkan kondisi optimum aktivitas enzim sehingga memudahkan aplikasi
24 enzim. Karakteristik enzim yang penting untuk diketahui adalah pH dan suhu optimum, aktivator/inhibitor, kinetika reaksi, dan bobot molekul enzim. Kondisi keasaman (pH) berpengaruh terhadap asam amino penyusun protein enzim. Gugus karboksil pada asam amino cenderung mengikat ion H+ pada suasana asam. Hal ini mengakibatkan gugus karboksil bersifat netral, sedangkan gugus amino bermuatan positif. Enzim pada suasana basa membuat gugus amino melepaskan H+ sehingga menjadi bermuatan netral, sedangkan gugus karboksil bermuatan negatif. Perubahan ionisasi asam amino penyusun protein enzim mempengaruhi bentuk molekul enzim. Perubahan bentuk molekul dapat mempengaruhi aktivitas katalitik enzim (Nelson dan Cox 2008). Penentuan pH optimum lakase dipengaruhi oleh struktur lakase yang Cu pada posisi T1, T2, dan T3. Perbedaan potensial redoks antara substrat dan Cu T1 dapat meningkatkan oksidasi substrat pada pH tinggi, namun anion hidroksida (OH-) berikatan dengan Cu T2/T3 berakibat paa penghambatan aktivitas lakase karena terganggunya transfer elektron internal antara T1 dan T2/T3. Dua keadaan ini berperan penting dalam penentuan pH optimum lakase (Kunamneni et al. 2007). Nilai pH optimum lakase P. ostreatus (Ho) adalah 4. Rendahnya pH optimum lakase fungi dikarenakan beradaptasi dengan kondisi pertumbuhan yang cenderung asam. Menurut Madhavi dan Lele (2009), pH optimum juga bergantung pada substrat pengujian. Nilai pH optimum lakase fungi dengan substrat fenol adalah 3-7, sedangkan untuk substrat ABTS berkisar 3-5. Irshad et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan pH dapat mendeaktivasi lakase. Besaran nilai pH optimum lakase berkaitan pula dengan fungsional enzim itu sendiri. Lakase fungi berperan dalam delignifikasi, sedangkan lakase tumbuhan berperan dalam biosintesis lignin (Benfield et al.1964). pH optimum P. ostreatus, P. sajor-caju, S. commune IBL-06, Trametes multicolor, dan Ganoderma lucidum berturut-turut adalah 4 (Aslam dan Asgher 2011), 4.5 (Sahay et al. 2008), 6 (Irshad et al. 2011), 3.5, dan 3.5 (Madhavi dan Lele 2009). Variasi pH optimum ditentukan oleh jenis spesies penghasil lakase, sehingga menentukan urutan asam amino penyusun lakase. Suhu optimum untuk pengujian lakase P. ostreatus (Ho) adalah 35°C (Gambar 4). Aktivitas lakase P. ostreatus (Ho) adalah 3.099 U/mL. Peningkatan suhu sampai suhu optimum dapat meningkatkan aktivitas enzim menyebabkan peningkatan energi kinetik molekul dan meningkatkan interaksi antara situs aktif enzim dengan substrat (Irshad et al. 2011). Peningkatan suhu melebihi suhu optimum mengakibatkan denaturasi protein yang mengakibatkan penurunan aktivitas enzim. Suhu optimum enzim ditentukan oleh habitat spesies penghasil enzim. Suhu optimum lakase P. ostreatus IBL-04 adalah 50°C (Aslam dan Asgher 2011), P. sajor-caju adalah 37°C (Sahay et al. 2008), dan S. commune IBL-06 adalah 40°C (Irshad et al. 2011). Aktivitas lakase tetap stabil pada suhu 55-65°C dengan aktivitas relatif 17% dan menyisakan aktivitas relatif 1,7% pada suhu 80°C. Mekanisme stabilitas berhubungan dengan kekuatan ionik, suhu, dan status glikosilasi lakase (MaestreReyna et al. 2015). Kunamneni et al. (2008) menyatakan bahwa stabilitas suhu pada enzim disebabkan oleh tingginya glikosilasi lakase. Lakase mengandung karbohidrat sekitar 10-50% dari bobot total bergantung pada spesies atau heterologus inang melalui ikatan kovalen.
25 Hasil Pengujian Aktivator/Inhibitor terhadap Aktivitas Lakase Aktivator enzim merupakan zat atau senyawa yang mampu menaikkan aktivitas enzim. Inhibitor enzim didefinisikan sebagai zat yang mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan aktivitas enzim. Aktivator dan inhibitor setiap enzim berbeda-beda, sehingga diperlukan pengujian untuk penentuan aktivator dan inhibitor suatu enzim. Penelitian ini menggunakan garam logam yang sebelumnya digunakan dalam proses produksi, seperti MgSO4.7H2O, CaCl2 , MnCl2, CuSO4.7H2O, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O, dan Fe2(SO4)3. Garam tersebut dilarutkan dalam air membentuk ion logam, kecuali Fe2(SO4)3 yang membentuk oksida Fe(OH)3. Digunakan pula berberapa senyawa yang umumnya bersifat menghambat enzim lain, seperti EDTA, alkohol, dan TEMED. Penelitian ini menunjukkan bahwa ion Cu2+ bertindak sebagai aktivator lakase P.ostreatus (Ho). Telah diketahui bahwa lakase merupakan metaloenzim, dengan empat atom Cu pada sisi aktifnya, sehingga dikenal dengan blue multi copper oxidases (Kunamneni et at. 2007). Atom tembaga tersebut terbagi dalam tiga tipe, yaitu tipe satu (T1), dua (T2), dan tiga (T3a dan T3b). Gambar 15 menunjukkan posisi atom tembaga dalam struktur lakase dan asam amino pengikatnya pada nLcc4 (native lakase yang diisolasi dari Lentinus sp.). Tembaga T1 mononuklear terikat secara kovalen terhadap residu asam amino Histidin417, Histidin480, dan Sistein475. T2 dan T3 disebut sebagai trinuklear klaster. Tembaga T2 terhubung dengan dua histidin (His85 dan His420) dan molekul air (Wat2). Tembaga T3 terhubung dengan tiga atom tembaga, yaitu T3a terhubung dengan tiga histidin (His132, His422, dan His474), begitu pula dengan tembaga T3b yang juga terhubung dengan tiga atom histidin (His87, His130, dan His476). Kedua atom tembaga T3 terikat pada molekul oksigen yang sama (Wat1) (Maestre-Reyna et al. 2015).
Gambar 15 Struktur lakase nLcc4 dengan tiga tipe pengikatan Cu (T1, T2, T3a, dan T3b) (Maestre-Reyna et al. 2015). Tembaga tipe satu berperan dalam mengkatalisis transfer elektron ke air. Tembaga tipe dua berperan dalam menggiatkan kerja oksigen molekular,
26 sedangkan tipe tiga sebagai tembaga dimer yang bertanggung jawab pada pengambilan oksigen (Hublik & Schinner 2000). Aktivasi lakase oleh Cu2+ dengan mengisi situs pengikatan Cu tipe 2 (Sadhasivam et al. 2008), sehingga kerja oksigen molekular meningkat dan mempercepat transfer elektron ke oksigen pada proses oksidasi substrat. Irshad dan Asgher (2011) juga melaporkan bahwa lakase S. commune diaktivasi hanya oleh Cu2+. Ion logam ion Cu2+, Ca2+, Mg2+, Mn2+, dan Zn2+ yang berasal dari ionisasi garam sedikit menurunkan aktivitas lakase P.ostreatus (Ho). Madhavi dan Lele (2009) menyebutkan bahwa ion logam, asam lemak, dan halida berperan sebagai inhibitor lakase. Penghambatan diduga terjadi karena logam berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga substrat tidak dapat melekat, atau berikatan pada sisi non aktif yang menyebabkan kompleks enzim-substrat tidak dapat diuraikan. Garam Fe2(SO4)3 yang dilarutkan dalam air menurunkan aktivitas lakase secara tajam. Dalam air, garam Fe2(SO4)3 menjadi Fe(OH)3 yang sulit larut dalam air karena konstanta kelarutannya sangat kecil, yaitu sebesar 3.8 x 10-38. Hal ini menjadikan hidroksida besi tidak terionisasi menjadi ion Fe3+. Fe(OH)3 menjadi inhibitor bagi lakase. Kunamneni et al. (2008) menjabarkan bahwa anion seperti halida, azida, sianida, dan hidroksida mengikat atom Cu tipe 2 dan 3. Pengikatan ini dapat mengganggu sistem transfer elektron sehingga terjadi inhibisi enzim. Inhibisi oleh hidroksida umumnya menghalangi katalisis substrat pada kondisi pH alkalin. Inhibitor lain dari lakase P.ostreatus (Ho) adalah alkohol, TEMED, dan EDTA. Madhavi dan Lele (2009) memaparkan bahwa alkohol dapat berikatan dengan Cu tipe 2 dan 3, sehingga mengganggu transfer elektron internal dan menghambat aktivitas lakase. TEMED dapat berinteraksi dengan protein enzim, sehingga mengurangi aktivitas katalitik enzim. EDTA merupakan inhibitor dari metaloenzim, termasuk lakase (Irshad dan Asgher 2011). EDTA membentuk kompleks inaktif dengan gugus prostetik anorganik atau kofaktor enzim (Sadhasivam et al. 2008).
Nilai Km dan Vmaks Lakase Fraksi Ammonium Sulfat Kinetika reaksi ditentukan menggunakan variasi konsentrasi substrat. Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan aktivitas enzim hingga mencapai kecepatan maksimum. Peningkatan konsentrasi substrat selanjutnya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas enzim. Hubungan antara konsentrasi substrat dan kecepatan reaksi (aktivitas enzim) digambarkan pada plot Micheilis-Menten (Gambar 10). Kurva ini digunakan sebagai acuan pembuatan plot Lineweaver-Burk (Gambar 11). Kurva Micheilis-Menten selanjutnya dijabarkan dalam plot Lineweaver-Burk untuk mendapat persamaan linear. Persamaan linear digunakan penentuan nilai Km dan Vmaks. Km merupakan konsentrasi substrat saat kecepatan reaksi mencapai setengah dari kecepatan maksimal. Nilai Km dipengaruhi oleh jenis substrat pengujian. Nilai Km dengan substrat uji ABTS akan berbeda dengan nilai Km dengan substrat uji DMP, untuk enzim yang sama. Vmaks merupakan kecepatan maksimal yang dapat ditempuh oleh enzim dan tidak meningkat seiring penambahan konsentrasi substrat. Hal ini dikarenakan enzim telah jenuh oleh substrat, yaitu saat jumlah
27 enzim yang terbatas sedangkan konsentrasi substrat sangat tinggi (Nelson dan Cox 2008). Berdasarkan plot kurva Lineweaver-Burk, diperoleh nilai tetapan MichaelisMenten (Km) untuk substrat ABTS sebesar 0.1138 mM dan Vmaks sebesar 9.141 U/mL. Konsentrasi ABTS sebesar 0.1138 mM merupakan konsentrasi yang dibutuhkan lakase untuk mencapai setengah dari kecepatan maksimum. Nilai Km lakase ini sejalan dengan penelitian Prasad et al. (2005) yang menyatakan bahwa lakase P.ostreatus aktif pada substrat ABTS konsentrasi rendah. Nilai Km menggambarkan afinitas enzim terhadap substrat. Semakin tinggi nilai Km, semakin rendah afinitas enzim terhadap substrat. Lakase S. commune IBL-06 memiliki nilai Km sebesar 0.025 mM (Irshad et al. 2011). Lakase Omphalina sp. memiliki nilai Km sebesar 0.15 mM (Siswanto et al. 2007). Hal ini menunjukkan bahwa afinitas lakase P.ostreatus (Ho) cukup besar dibandingkan lakase lakase Omphalina sp. namun sedikit lebih kecil dibandingkan lakase S. commune IBL-06. Nilai Vmaks yang diperoleh relatif sangat rendah dibandingkan Vmaks S. commune IBL-06 yang mencapai 80 mM/menit (Irshad et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan yang mampu dicapai dalam mengoksidasi substrat masih sangat rendah. Kinetika reksi enzim dapat dipelajari juga menggunakan Kkat atau bilangan putaran. Bilangan putaran enzim merupakan jumlah molekul substrat yang diubah menjadi produk per satuan waktu pada satu molekul enzim saat enzim tersebut jenuh oleh substrat (Nelson & Cox 2008). Nilai Kkat menunjukkan kecepatan proses katalisis (Patel et al. 2014). Semakin besar nilai Kkat maka semakin cepat reaksi katalisis berjalan. Nilai Kkat mendeskripsikan kecepatan reaksi transfer elektron yang terjadi dalam enzim setelah substrat terikat (Kunamneni et al. 2008). Enzim lakase P. ostreatus (Ho) dengan bobot molekul 22.17 kDa memiliki nilai Kkat sebesar 0.02165 s-1. Artinya, lakase P. ostreatus (Ho) hanya mampu mengoksidasi 0.02165 molekul ABTS setiap detiknya. Nilai ini sangat kecil dibandingkan kecepatan enzim lain dalam mengoksidasi substrat ABTS (Tabel 4). Pengujian dengan substrat lain, seperti dimetoksi fenol dan syringaldazine dapat memberikan rasio Tabel 4 Perbandingan kinetika reaksi lakase dengan substrat ABTS Sumber Lakase
Km (mM)
Kkat (s-1)
P. ostreatus (Ho) P. ostreatus HP1 P. ostreatus POXA1 P. ostreatus POXA2 P. ostreatus POXC Trametes trogii POXL3 Trichophyton rubrum
0.1138 46.51 0.09 0.12 0.28 0.03 0.045
0.02165 244.32 5833.33 266.6 3.3 10.3
Kkat/Km (mM-1s-1) 0.1908 5.25 64814.44 952.38 110 229.6
Referensi Penelitian ini Patel et al. (2014) Palmieri et al. (1997) Palmieri et al. (1997) Palmieri et al. (1997) Garzillo et al. (1998) Jung et al. (2000)
Rasio Kkat/Km menunjukkan efisiensi reaksi katalisis. Nilai Kkat/Km digunakan dalam membandingkan efisiensi enzim yang berbeda atau penggunaan substrat yang berbeda pada enzim yang sama (Patel et al. 2014). Enzim lakase P.ostreatus (Ho) memiliki nilai Kkat/Km sebesar 0.1908 s-1mM-1. Tabel 4 menunjukkan perbandingan efisiensi katalitik beberapa enzim lakase. Terlihat bahwa dengan substrat ABTS, enzim lakase P. ostreatus (Ho) memiliki efisiensi
28 katalitik yang jauh lebih kecil dibandingkan enzim lakase lain. Pengujian dengan substrat lain, seperti dimetoksi fenol dan syringaldazine dapat memberikan rasio Kkat/Km yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa enzim ini belum cukup efisien dalam mengkatalisis reaksi. Kunamneni et al. (2008) menyatakan bahwa efisiensi katalitik lakase tergantung pada linieritas potensial redoks dari tembaga tipe 1. Artinya, semakin tinggi potensial redoks tembaga tipe 1 maka efisiensi katalitik juga meningkat. Lakase dengan potensial redoks situs T1 yang tinggi diminati dalam bioteknologi, yaitu untuk proses biobleaching dan bioremediasi yang efisien.
Elektroforegram Lakase Penentuan bobot molekul lakase menggunakan metode elektroforesis SDSPAGE. Metode ini memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya. Gel penahan yang digunakan untuk analisis SDS-PAGE sebesar 5 % dengan gel pemisah 12 %. Gel pemisah digunakan konsentrasi tinggi agar protein lakase yang berbobot molekul rendah dapat terpisahkan. Gel SDS-PAGE mengandung akrilamida, TEMED, APS dan SDS. Gel akrilamid terbentuk akibat terjadinya proses polimerisasi akrilamida dan metilenbisakrilamida. Proses polimerisasi dikatalisis oleh amonium persulfat sebagai katalisator (Janson dan Ryden 1998). SDS berperan mengikat bagian hidrofobik pada protein, sehingga molekul terurai dari lipatannya dan muatan protein tersebut sama. Hal ini bertujuan agar protein terpisah berdasarkan perbedaan bobot molekul. Selama elektroforesis digunakan voltase sebesar 50 volt selama 5 jam. Penggunaan arus yang rendah bertujuan untuk menghindari protein bermigrasi terlalu cepat. Kecepatan migrasi yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan protein tidak terpisah dengan baik atau bahkan hilangnya protein berbobot molekul kecil. Protein yang memiliki bobot molekul lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat daripada protein yang berbobot molekul lebih besar. Proses pewarnaan gel menggunakan silver staining untuk meningkatkan deteksi protein enzim dengan konsentrasi rendah. Silver staining lebih sensitif 2-5 kali dibandingkan Commasie brilliant blue R-250, dengan limit deteksi 5-10 ng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam pita protein pada ekstrak kasar, meski terlihat hanya dua pita yang tebal. Begitu pula dengan hasil fraksinasi ammonium sulfat dan dialisis. Hal ini menunjukkan banyaknya protein lain dari hasil isolasi protein. Perbedaannya, ekstrak kasar memiliki pita yang smear. Banyaknya pengotor berupa mineral, karbohidrat, dan komponen lain menjadi salah satu penyebab. Protein hasil fraksinasi ammonium sulfat dan dialisis memiliki tipe pita yang hampir sama. Protein yang telah didialisis lebih jernih karena telah dipisahkan dari garam yang dapat mengganggu migrasi protein. Hasil kromatografi memiliki dua pita yang jernih. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kromatografi kolom filtrasi gel telah berhasil memisahkan protein lakase dari protein lain. Fraksi hasil kromatografi dengan aktivitas lakase tertinggi (fraksi 24) tervisualisasikan menjadi dua pita protein menggunakan elektroforesis SDSPAGE. Hal ini dapat berkaitan dengan lebarnya puncak kurva protein pada hasil kromatografi, sehingga diperkirakan masih terdapat lebih dari satu protein. Namun, keberadaan pita rotein yang telah muncul mulai ekstrak kasar enzim dan
29 bobot molekul yang berdekatan, menguatkan dugaan bahwa kedua pita tersebut merupakan isozim lakase. Uji zimogram dapat memkonfirmasi hal tersebut. Pita protein fraksi kromatografi menunjukkan bahwa lakase P.ostreatus Ho memiliki dua pita protein dengan bobot molekul adalah sekitar 22.17 dan 18.72 kDa (Gambar 8). Kunamneni et al. (2008) menyatakan bahwa kebanyakan fungi menghasilkan lebih dari satu isoenzim lakase. Disebutkan pula bahwa lakase aktif dalam bentuk holoenzim dengan dimer atau tetramer glikoprotein. Kandungan karbohidrat dalam struktur lakase berkisar 10-50% dari bobot total bergantung pada spesies penghasilnya atau inang heterologusnya. Kandungan karbohidrat ini berperan dalam tingginya stabilitas enzim. Bobot molekul lakase P. ostreatus (Ho) ini termasuk sangat kecil jika dibandingkan lakase lain. Lakase P. ostreatus HP-1 memiliki bobot molekul 68 kDa (Patel et al. 2014). Saito et al. (2012) melaporkan bahwa lakase Flammulina velutipes memiliki tiga isozim dengan bobot molekul 28 kDa, 35 kDa, dan 45 kDa. Lakase dengan bobot molekul yang rendah juga dihasilkan oleh Thermobifida fusca, yaitu 73.3 kDa dan 24.7 kDa (Chen et al. 2013). Bobot molekul lakase ditentukan oleh spesies penghasil lakase tersebut. Setiap spesies penghasil lakase memiliki gen penyandi lakase, Lcc, dengan panjang pasang basa dan urutan basa yang berbeda. Madhavi dan Lele (2009) melaporkan banyaknya variasi sekuen gen penyandi lakase pada fungi ligninolitik. Sekuen tersebut mengkode sekitar 515 sampai 619 residu asam amino. Hal ini yang selanjutnya menentukan keragaman bobot molekul dan jumlah isozim lakase.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Produksi lakase dengan aktivitas spesifik tertinggi dihasilkan oleh P. ostreatus (Ho) dengan media onggok sagu pada hari kesepuluh (275.988 U/mg). Lakase setelah dimurnikan dengan presisipitasi ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi filtrasi gel pada Sephadex G100 mencapai kemurnian 9.654 kali, Yield 22.108%, dan aktivitas spesifik 1492.474 U/mg. Aktivitas optimum lakase P. ostreatus (Ho) pada pH 4 dan suhu 35°C. Ion logam Cu2+ berperan sebagai aktivator lakase P. ostreatus (Ho). Lakase P. ostreatus (Ho) memiliki Km untuk substrat ABTS sebesar 0.1138 mM, Vmaks sebesar 9.141 U/mL, Kkat atau bilangan putaran enzim sebesar 0.02165 s-1, dan Kkat/Km sebesar 0.1908 s-1.mM-1. Bobot molekul lakase P. ostreatus (Ho) yang ditentukan menggunakan SDSPAGE adalah sebesar 22.17 dan 18.72 kDa.
Saran Diperlukan pengujian aktivitas lakase dengan menggunakan substrat lain untuk mengetahui aktivitas dan kinetika reaksi enzim ini pada substrat yang berbeda. Pemurnian lebih lanjut menggunakan kromatografi kolom penukar ion
30 diharapkan mampu meningkatkan kemurnian lakase. Metode Native-PAGE dan zimogram dapat digunakan untuk mengkonfirmasi enzim yang diperoleh merupakan lakase.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai. Berita Resmi Statistik 80/11/Th.XVII. Adejoye OD, Fasidi IO. 2009. Effect of cultural on biomass and laccase production in submerged medium by Schizophyllum commune (Fr), a Nigerian edible mushroom. Elect J Env, Agricult and Food Chem 8(11): 1186-1193. Aini FN, Kuswytasari ND. 2013. Pengaruh penambahan eceng gondok (Eichornia crassipes) terhadap pertumbuhan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). J Sains dan Seni Pomits 2(1):116-120. Akhtar M, Blanchette RA, Kirk TK. 1997. Fungal delignification and biomechanical pulping of wood. Adv in Biochem Eng/Biotech 57: 159-195. Anindyawati T. 2010. Potensi selulase dalam mendegradasi lignoselulosa limbah pertanian untuk pupuk organik. Berita Selulosa 45(2):70-77. Aslam A, Asgher M. 2011. Partial purification and characterization of ligninolytic enzymes produced by Pleurotus ostreatus during solid state fermentation. Afr J Biotech 10(77):17865-17883. Baldrian P, Wiesche C, Gabriel J, Nerud F, Zadrazil F. 2000. Influence of cadmium and mercury on activities of ligninolytic enzymes and degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by Pleurotus ostreatus in soil. Appl Environ Microbiol 66: 2471-2478. Bar M. 2001. Kinetics and physico-chemical properties of white-rot fungal laccases. [tesis]. Bloemfontein (ZA): University of The Free State. Benfield G, Brocks SM, Bromley K, Brown BR. 1964. Studies in fungal and plant laccases. Phytochem 3:79-88. Boerjan W, Ralph J, Baucher M. 2003. Lignin biosynthesis. Ann Rev Plant Biol 54 (1): 519–549. Bonnen AM, Anton LH, Orth AB. 1994. Lignin-degrading enzymes of the commercial button mushroom, Agaricus bisporus. Appl Environ Microbiol 60: 960-965. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Analyt Biochem 72:248-254. Bulter T, Alcalde M, Sieber V, Meinhold P. 2003. Functional expression of a fungal laccase in Saccharomyces cerevisiae by directed evolution. Appl Environ Microbiol 69: 987-995. Chen CY, Huang YC, Wei CM, Meng M, Liu WH, Yang CH. 2013. Properties of newly isolated extracellular thermo-alkali-stable laccase from thermophilic actinomycetes, Thermobifida fusca and its application in dye intermediates oxidation. AMB Express 3(49): 1-9.
31 Couto SR, Sanroman MA. 2005. Review application of solid-state fermentation to ligninolytic enzyme production. Biochem Eng J 22:211-219. Estuputri EA. 2012. Pengujian ketahanan alami kayu sengon terhadap jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune, Pleurotus djamor dan Pleurotus ostreatus dengan metode JIS K 1571-2004. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fillat A, Colom JF, Vidal T. 2010. A new approach to the biobleaching of flax pulp with laccase using natural mediators. Bioresource Tech 101:41044110. Garzillo AMV, Colao MC, Caruso C, Caporale C, Celletti D, Buonocore V. 1998. Laccase from the white-rot fungus Trametes trogii. Appl Microbiol Biotechnol 49: 545-551. Georgieva NV, Yotova LK, Kolusheva TG, Rangelova NG. 2009. Characterization and lignin degradation properties of the ligninolytic enzymes in the extracellular fluids of Phanerochaete crysosporium 1038. Scientific Study & Reasearch 10 (3)243-250. Gomes E, Aguiar AP, Carvalho CC, Bonfa MRB, Silva RD, Boscolo M. 2009. Ligninases production by Basidiomycetes strains on lignocellulosic agricultural residues and their application in the decolorization of synthetic dyes. Brazil J Microbiol 40:31-39. Gonzalez GV, Torres EF, Aguilar CN, Gomez SJR, Godinez GD, Augur C. 2003. Advantages of fungal enzyme production in solid state over liquid fermentation systems. Biochem Eng J 13:157-167. Hammel KE, Srebotnik E. 2000. Degradation of nonphenolic lignin by the laccase:1-hydroxybenzotriazole system. J Biotech 81:179-188. Hanifa N. 2011. Lima jenis jamur pelapuk kayu asal bogor untuk uji keawetan kayu dengan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hanung CD, Osmond R, Risdianto H, Suhardi SH, Setiadi T. 2013. Optimasi produksi enzim lakase pada fermentasi kultur padat menggunakan jamur pelapuk putih Marasmius sp. : pengaruh ukuran partikel, kelembapan dan konsentrasi Cu. J Selulosa 3(2): 67-74. Hattaka A. 1994. Lignin modifying enzymes from selected white rot fungus: production and role in lignin degradation. FEMS Microbiol Rev 13:125-135. Herliyana EN, Achmad. 2004. Perkembangan hifa monokariotik dan tipe mating fungi pelapuk putih Pleurotus ostreatus spp. Pada kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii. Ringkasan Hasil Penelitian Dasar tahun 2004. Herliyana EN. 2003. Studi fisiologis jamur tiram pleurotus spp yang berbeda secara genetik. Ringkasan Hasil Penelitian Dasar tahun 2003. Hublik G, Schinner F. 2000. Characterization and immobilization of the laccase from Pleurotus ostreatus and its use for continous elimination of phenolic pollutans. Enzyme and Microb Tech 27:330-336. Ilmi IM, Kuswytasari ND. 2013. Aktifitas enzim lignin peroksidase oleh Gliomastix sp. T3.7 pada limbah bonggol jagung dengan berbagai pH dan suhu. J Sains dan Seni Pomits 2(1): 38-42. Irshad M, Asgher M, Sheikh MA, Nawaz H. 2011. Purification and characterization of laccase produced by Schyzophylum commune IBL-06 in solid state culture of banana stalks. BioResources 6(3): 2861-2873.
32 Janson J C, L.Ryden.1998. Protein Purification: Principles, High Resolution Methods, and Applications. 2nd edn. New York: Wiley-VCH. pp. 145-205 Jung H, Xu F, Li K. 2002. Purification and characterization of laccase from wooddegrading fungus Trichophyton rubrum LKY-7. Enz Microb Technol 30:161-168. Kargi F, Marchant R. 2000. Comparison of white rot fungi cultures for decolorization of textile dyestuff. Bioprocess Eng 22:347-351. Kunamneni A, Ballesteros A, Plou FJ, Alcalde M. 2007. Fungal laccase–a versatile enzyme for biotechnological. Appl Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiol. Kunamneni A, Pluo FJ, Ballesteros A, Alcade M. 2008. Laccases and their applications: a patent review. Recent Patens on Biotechnol 2:10-24. Kuroda K, Ozawa T, Ueno T. 2001. Characterization of sago palm (Metroxylon sagu) lignin by analytical pyrolysis. J Agric Food Chem. 49 (4): 1840–1847. Lineweaver H, Burk D. 1934. The determination of enzyme dissociation constants. J Am Chem Soc 56:658-666. Madhavi V, Lele SS. 2009. Laccase: properties and applications. BioResources 4(4): 1694-1717. Maestre-Reyna M, Liu WC, Jeng WY, Lee CC, Hsu CA, Wen TN. 2015. Structural and fungtional roles of glycosylation in fungal laccase fron Lentinus sp.. PloS ONE 10(4): e0120601. Majeau JA, Brar SK, Tyagi RD. 2010. Laaccase for removal of recalcitrant and emerging pollutans. Biosensor Technol 101: 2331-230. Maryam LF. 2011. Schizophyllum commune fr. sebagai jamur uji ketahanan kayu Standar Nasional Indonesia pada empat jenis kayu rakyat: sengon, karet, tusam, dan mangium. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Moinuddin SGA, Jourdes M, Laskar DD, Chanyoung K, Claudia LC. 2010. Insights into lignin primary structure and deconstruction from Arabidopsis thaliana COMT (caffeic acid O-methyl transferase) mutant Atomt1. Org Biomol Chem 8: 3928–3946. Nallapeta S, Nigam VK, Survajahala P, Mohan K. 2012. Screening and selection of white rot fungi for biological delignification of agricultural residues. Int J Advanced Biotech and Research 3(4): 790 -796. Nelson DL, Cox MM. 2008. Principles of Biochemistry 5th Ed. New York (US): WH Freeman and Company. Niku-Paavola ML, Karhunen E, Salola P, Raunio V. 1988. Ligninolytic enzymes of the white-rot fungus Phlebia radiata. Biochem J 254:877-884. Nurjannah L. 2014. Delignifikasi sekam padi oleh jamur pelapuk putih untuk produksi bioetanol dengan teknik amobilisasi sel Zymomonas mobilis. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Osma JF, Herrera JLT, Couto SR. 2007. Banana skin: a novel waste for laccase production by Trametes pubescens under solid state conditions application to synthetic dye decolouration. Dye and Pigments 75:32-37. Palmieri, Giardina GP, Bianco C, Fontanella, Sannia G. 2000. Copper induction of laccase isoenzymes in the ligninolytic fungus Pleurotus ostreatus. Appl Environ Microbiol 66:920-924.
33 Palmierri G, Giardina P, Bianco C, Scaloni A, Capasso A, Sannia G. 1997. A novel white laccase from Pleurotus ostratus. The J Biological Chem. 272(50): 31301-31307. Patel H, Gupte S, Gahlout M, Gupte A. 2014. Purification and characterization of an extracellular laccase from solid-state culture of Pleurotus ostreatus HP-1. 3 Biotech 4:77-84. Patrick F, Mtui GYS, Mshandete AM, Kivaisi AK. 2014. Ligninolytic enzymes activities of Pleurotus sapidus P969 during vegetative growth and fruit developmnent on sugarcane residues-based substrat. Int J Biotech 3(4): 5871. Purba F. 2013. Pengaruh metode pengawetan berbahan aktif boron pada kayu jabon (Anthocephalus cadamba miq.) terhadap serangan rayap kayu kering dan jamur pelapuk kayu. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purnawan, Parwati CI. 2013. Delignifikasi nitrat-soda limbah serat industri tepung aren sebagai bahan kertas (pulp). Penelitian Dosen Pemula. Yogyakarta (ID): Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta. Risdianto H, Sofianti E, Suhardi SH, Setiadi T. 2012. Optimization of laccase production using white rot fungi and agricultural waste in solid state fermentation. ITB J Eng Sci 4(2):93-105. Risdianto H, Suhardi SH, Setiadi T, Kokugan T. 2010. The influence of temperature on laccase production in solid state fermentation by using white rot fungus Marasmius sp. The 1stInternational Seminar on Fundamental and Application of Chemical Engineering. Bali. Rolle RS. 1998. Enzyme application for agro-processing in developing countries: An inventory of current and potential applications. World J Microbiol Biotechnol 14: 614-619. Rolle RS. 1998. Enzyme application for agro-processing in developing countries: An inventory of current and potential applications. World J Microbiol Biotechnol 14: 614-619. Sadhasivam S, Savitha S, Swaminathan K, Lin FH. 2008. Production, purification and characterizatin of mid-redox potential laccase from a newly isolated tricoderma harzianum WL1. Proc. Biochem 43:736-742. Sahay R, Yadav RSS, Yadav KDS. 2008. Purification and characterization of extracellular laccase secreted by Pleurotus sajor-caju MTCC 141. Chin J Biotech 24(12): 2068-2073. Saito KO, Ikeda R, Endo K, Tsujino Y, Takagi M, Tamiya E. 2012. Isolation of a novel alkaline-induced laccase from Flammulina velutipes and its application for hair coloring. J Bioscience and Bioenginering 113(5): 575579. Sinatari HM, Aminin ALN, Sarjono PR. 2013. Pemurnian selulase dari isolat kb kompos termofilik Desa Bayat Klaten menggunakan fraksinasi amonium sulfat. Chem Info J 1(1): 130-140. Siswanto, Suharyanto, Fitria R. 2007. Produksi dan karakterisasi lakase Omphalina sp. Menara Perkebunan 75(2): 106-115. Subramaniyam R, Vimala R. 2012. Review article solid state and submerged fermentation for the production of bioactive substances: a comparative study. Intern J Sci and Natural 3(3): 480-486.
34 Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis Of Lignocellulosic Material From Ethanol Production: A review. Bioresor Technol 83: 1-11. Vikineswary S, Abdullah N, Renhuvathani M, Sekaran M, Pandey A, Jones EB. 2006. Productivity of laccase in solid substrate fermentation of selected agro-residues by Pycnoporus sanguineus. Bioresour Technol 97(1): 171-177. Widiastuti H, Siswanto, Suharyanto. 2007. Optimasi pertumbuhan dan aktivitas ligninolitik Omphalina sp. dan Pleurotus ostreatus pada fermentasi padat. Menara Perkebunan 75(2): 93-105. Yarpolov A et al. 1994. Laccase: properties, catalytic mechanism and applicability. Applied Biochemistry and Biotechnology 49:257-280.
35
LAMPIRAN
36 Lampiran 1 Bagan alir penelitian Isolat Pleurotus ostreatus dan Schizophyllum commune
Peremajaan JPP dan pembuatan starter Perlakuan awal limbah lignoselulosa Produksi enzim dengan kombinasi jenis JPP, jenis media limbah lignoselulosa dan waktu fermentasi
Ekstraksi lakase Aktivitas Lakase
Ekstrak Kasar Lakase
Presipitasi ammonium sulfat Kurva produksi lakase
Fraksi Ammonium sulfat optimum
Dialisis
Karakterisasi lakase Kromatografi kolom filtrasi gel
Penentuan bobot molekul dengan SDS PAGE
pH optimum
suhu optimum
Aktivator/Inhibitor
Km dan Vmaks
37 Lampiran 2 Analisis keragaman pada optimasi produksi ANALISIS KERAGAMAN Dependent Variable: Aktivitas_Lakase Type III Sum Source df Mean Square F Sig. of Squares Corrected Model 254240.826a 71 3580.857 11.617* .000 Rataan 77030.117 1 77030.117 249.906* .000 FaktorA (jenis media) 59476.150 2 29738.075 96.478* .000 FaktorB (jenis JPP) 18258.991 1 18258.991 59.237* .000 FaktorC (waktu inkubasi) 15099.559 11 1372.687 4.453* .000 FaktorA * FaktorB 28644.222 2 14322.111 46.465* .000 FaktorA * FaktorC 36520.279 22 1660.013 5.386* .000 FaktorB * FaktorC 29400.893 11 2672.808 8.671* .000 FaktorA * FaktorB * 66840.733 22 3038.215 9.857* .000 FaktorC galat 22193.040 72 308.237 Total 353463.983 144 Corrected Total 276433.866 143 a. R Squared = .920 (Adjusted R Squared = .841)
38 Lampiran 3 Uji beda nyata Duncan Aktivitas_Lakase a,b
Duncan Jenis_limbah
N
Subset
1 2 1.00 48 6.7936 2.00 48 10.8163 3.00 48 51.7758 Sig. .265 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 308.237. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.000. b. Alpha = .05. Aktivitas_Lakase a,b
Duncan Waktu_inkubase
N
Subset 1 5.9659 16.5369 17.5538 18.4258 20.0129 20.8266
2
3
12.00 12 2.00 12 16.5369 4.00 12 17.5538 1.00 12 18.4258 3.00 12 20.0129 20.0129 9.00 12 20.8266 20.8266 7.00 12 22.4481 22.4481 6.00 12 22.5913 22.5913 8.00 12 23.8309 23.8309 5.00 12 24.0804 24.0804 11.00 12 35.9672 10.00 12 Sig. .072 .383 .057 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 308.237. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = .05.
4
35.9672 49.3032 .067
39 Lampiran 4 Penentuan waktu inkubasi pengukuran aktivitas lakase Tabel pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai absorbansi kation ABTS pada pengukuran aktivitas lakase Waktu inkubasi (menit) 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36
Absorbansi 420 nm 0,1533 0,1724 0,2232 0,2762 0,2964 0,3884 0,3742 0,4002 0,3939 0,4356 0,4541 0,4095 0,4132
0.5 0.45 0.4
A420
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
waktu (menit)
Grafik hubungan waktu inkubasi dan absorbansi kation ABTS
39
40 Lampiran 5 Kurva standar protein Tabel pengukuran kurva standar Konsentrasi protein (µg/mL) 0 10 20 30 50 60 70 100
Absorbansi 0,328 0,3414 0,3620 0,4027 0,4289 0,4568 0,4778 0,5355
Absorbansi terkoreksi 0,0000 0,0155 0,0361 0,0768 0,1029 0,1309 0,1519 0,2095
0.2500 y = 0.002x + 0.002 R² = 0.990
absorbansi
0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0
20
40
60
80
kadar protein (µg/L)
100
120
41 Lampiran 6 Contoh perhitungan aktivitas lakase Aktivitas Enzim (U/mL) = At A0 εmaks d
= Absorbansi pada menit ke-15 = Absorbansi ada menit ke-0 = absorptivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1) = tebal kuvet (cm)
EK = ekstrak kasar
Aktivitas enzim EK
= =
-
-
= 0.00002154 mol/L x 106 = 21.540 nmol/mL = 21.540 U/mL Aktivitas total EK
= Aktivitas unit x Volume enzim = 21.5404 U/mL x 54 mL = 1158.873 U
Aktivitas spesfik EK
= = = 154.747 U/mg
Fraksi ammonium sulfat (60-80%): Kemurnian = = = 1.946 kali Yield
= = = 27.6 %
x 100 % x 100 %
42 Lampiran 7 Perhitungan nilai Km dan Vmaks
y =7.473 x + 65.64
Vmaks = 0.0152 nmol/mL detik = 0.9141 nmol/mL menit = 0.9141 U/mL
Km = 0.11356 mM
Asumsi bobot molekul = 22.17 kDa = 22.17 x 103 g/mol
= 0.007036 μmol/mL = 7.0365 nmol/mL Kkat = Kkat =
= 1.299 menit-1 = 0.02165 s-1 Kkat/Km = 0.02165 s-1/0.1135 mM = 0.1908 s-1mM-1
43 Lampiran 8 Kurva standar penentuan bobot molekul lakase Pita marker
Jarak Marker
rf Marker
BM Marker
log BM
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,1 0,5 1,1 1,6 2,4 3,2 3,8 4,3 4,7
0,02 0,08 0,18 0,27 0,40 0,53 0,63 0,72 0,85
260 140,0 95 72 52 42 34 26 17
2,41 2,15 1,98 1,86 1,72 1,62 1,53 1,41 1,23
3.00 2.50
log BM
2.00 1.50
y = -1.243x + 2.277 R² = 0.958
1.00 0.50 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
waktu retensi (Rf)
0.80
1.00
44
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tangggal 25 Desember 1989 dari pasangan Bapak Tukiran dan Ibu Lisiati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Ahmad Sobari, SP dan dikaruniai dua orang putri, Kayla Zahia Assa Rabbani dan Kayyisa Assa Qonita. Penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB dan lulus tahun 2011. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di SMP IT Ummul Quro Bogor tahun 2011-2012. Tahun 2013, penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Biokimia. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Artikel bagian dari karya ilmiah ini dengan judul “Optimasi produksi lakase Pleurotus ostreatus (Ho) dan Schizophyllum commune (Sc) pada fermentasi padat limbah lignoselulosa” dalam proses publikasi dalam Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi saat karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.