PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis FORST.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN (SSF) TEREKAYASA MENGGUNAKAN RAGI TAPE
IFTACHUL FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) secara Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa menggunakan Ragi Tape adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Iftachul Farida, SPd NIM P051120041
RINGKASAN IFTACHUL FARIDA. Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) secara Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa menggunakan Ragi Tape. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH. Sukun (Artocarpus communis Forst.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu sebesar 89%. Produksi buah sukun per hektar rata-rata mencapai 4–20 ton dalam satu kali musim berbuah. Pemanfaatan sukun di Indonesia belum maksimal. Bagi masyarakat Indonesia, selama ini sukun hanya dimanfaatkan sebagai tanaman sampingan saja yang penggunaannya hanya sebatas sebagai makanan ringan atau dijadikan tepung untuk campuran makanan. Pemanfaatan sukun mengalami keterbatasan yang disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi dan potensi tanaman ini. Hal tersebut terbukti semakin menurunnya produksi sukun di Indonesia. Pada tahun 2008 produksi sukun sebesar 113,778 ton/tahun menjadi 111,768 ton/ha pada tahun 2012. Komoditi ini sebenarnya berpotensi untuk dijadikan bahan baku produksi bahan bakar alternatif. Namun permasalahan produksi bioetanol adalah biaya produksi relatif lebih mahal daripada bahan baku fosil. Oleh sebab itu, terdapat tiga strategi yang digunakan dalam penelitian ini untuk menekan biaya produksi, yaitu: pemilihan substrat yang murah dan jumlahnya melimpah, menggunakan teknologi yang lebih produktif, serta menggunakan mikroba yang murah tetapi produktif. Melalui penelitian ini dilakukan pembuatan media produksi bioetanol yang didapatkan dari pati sukun dengan mengkaji potensi dari buah sukun itu sendiri, serta menerapkan prinsip rekayasa bioproses ke dalam teknologi yang lebih produktif yaitu secara sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) atau disebut juga SSF terekayasa. Untuk memaksimalkan penggunaan teknik SSF dalam memproduksi bioetanol, maka digunakan ragi tape sebagai starter. Ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik kapang dan khamir (konsorsium) sehingga proses hidrolisis dan fermentasi dapat berlangsung secara simultan. Diharapkan melalui penelitian ini, dalam jangka waktu panjang kebutuhan energi untuk bahan bakar di Indonesia dapat teratasi. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi pati sukun sebagai media produksi bioetanol. Sedangkan, tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi bioetanol yang memiliki rendemen dan efisiensi yang lebih tinggi dengan metode sakarifikasi dan fermentasi (SSF) terekayasa menggunakan ragi tape. Penelitian diawali dengan karakterisasi pati sukun, dan dilanjutkan dengan proses produksi bioetanol secara SSF menggunakan ragi tape. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa kandungan utama sukun adalah karbohidrat, yaitu sebesar 91.93 ± 0.09%, dengan kandungan pati sebesar 89%. Kandungan amilosa pati sukun sebesar 27.47 ± 0.08%, sedangkan amilopektinnya sebesar 72.53 ± 0.08%. Pada tahap penelitian pertama, produksi bioetanol dari pati sukun secara SSF dilakukan dalam kondisi aerobik. Hasil penelitian tahap pertama (aerasi penuh), menunjukkan bahwa pati sukun sebanyak 30 g/L mampu menghasilkan bioetanol sebesar 11.15 g/L, dengan nilai rendemen produk per substrat (Yp/s) sebesar 0.34
g bioetanol/g substrat, rendemen biomassa per substrat (Yx/s) sebesar 0.29 g biomassa/g substrat. Berdasarkan hasil penelitian pertama (aerasi penuh), didapatkan kurva pertumbuhan dari konsorsium mikroba ragi tape, selanjutnya kurva tersebut dijadikan acuan untuk melaksanakan tahap penelitian yang kedua yaitu SSF terekayasa. SSF terekayasa dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara prinsip rekayasa bioproses dengan teknik SSF. Rekayasa bioproses dilakukan dengan cara menghentikan pemberian aerasi ketika kurva biomassa konsorsium mikroba berada pada akhir fase eksponensial, yaitu pada jam ke 36. Pada penelitian kedua, SSF terekayasa terbukti mampu meningkatkan produksi bioetanol dibandingkan dengan penelitian pertama, yaitu sebesar 12.75 g/L, dengan nilai efisiensi konversi sebesar 75% menjadi produk. Rendemen pemakaian substrat untuk produk (Yp/s) dan biomassa (Yx/s) berturut-turut sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat dan 0.09 g biomassa/g substrat. Berdasarkan segi waktu dan proses produksi, teknik SSF dinilai lebih efisien daripada teknik terdahulu (hidrolisis dan fermentasi terpisah). Kata kunci: bioetanol, pati, sukun, ragi tape, sakarifikasi dan fermentasi simultan, rekayasa bioproses
SUMMARY IFTACHUL FARIDA. Bioethanol Production from Breadfruit Starch (Artocarpus communis Forst.) by Engineered Simultaneous Saccharification and Fermentation (ESSF) using Ragi Tape. Supervised by KHASWAR SYAMSU and MULYORINI RAHAYUNINGSIH. Breadfruit (Artocarpus communis Forst.) is one of sources for bioethanol production, which has high starch content (89%). The breadfruit production in Indonesia per hectare on average 4–20 tons on a single fruiting season after 4 years planted. However, the limitation of the use of breadfruit in Indonesia is due to the lack of information about the potential of this plant. Breadfruit production in 2008 was about 113,778 tons/year and then decreased to 111,768 tons/year in 2012. This commodity is actually potential to be used as a material for producing alternative fuels. The use of bio-ethanol as an alternative fuel is still not economically competitive to the petroleum based fuel. At least, there are three strategies to increase the competitiveness of bio-ethanol as an alternative fuel, namely: (a) to find a substrate which is cheap and abundantly available; (b) and to find a method or technology which is more efficient and productive to produce bio-ethanol; and (c) to use cheap and productive microbes. The aim of the research was to examine a method to produce bioethanol by engineered SSF technology using Ragi Tape at high yield and efficiency. Breadfruit contained 89% of starch, which consisted of 27.47 ± 0.08% of amylose and 72.53 ± 0.08% of amylopectine. Bioethanol production from breadfruit starch was conducted by Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) technology using microbes consortium from Ragi Tape. The main research consisted of two treatments, namely conventional SSF (fully aerobic) and enginereed SSF. The results showed that for conventional SSF, wich is under aerobic conditions produced bioethanol at 11.15 ± 0.18 g/L, with the yield of product (Yp/s) 0.34 g bioethanol/g substrate; and yield of biomass (Yx/s) 0.29 g cell/g substrate, respectively. A better result was obtained using engineered SSF in which aeration was stopped after biomass condition has reached the end of the exponential phase. The bioethanol produced was 12.75 ± 0.04 g/L, with a conversion efficiency of 75% to products, the yield of product and cell (Yp/s; Yx/s) were 0.41 g bioethanol/g substrate and 0.09 g cell/g substrate respectively. The processes of bio-ethanol production from starch was previously carried out in three steps: hydrolysis, saccharification, and fermentation. But in SSF technique, the steps were only one, so the time required for cultivation is shorter, hence increase productivity. The breadfruit starch has the potential as substrate for bioethanol production, which in turn can improve the economy in rural areas in Indonesia. Keywords: bioethanol, starch, breadfruit, Ragi Tape, engineered Simultaneous Saccharification and Fermentation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus Communis FORST.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN (SSF) TEREKAYASA MENGGUNAKAN RAGI TAPE
IFTACHUL FARIDA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Liesbetini Hartoto, MS
Judul Tesis : Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) secara Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa menggunakan Ragi Tape Nama : Iftachul Farida NIM : P051120041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MSc ST Ketua
Dr Mulyorini Rahayuningsih, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biotekknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa Menggunakan Ragi Tape. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesarbesarnya kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc, ST selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Bioteknologi (BTK) Sekolah pascasarjana IPB yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi S2 di IPB. Ungkapan yang sama penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan Beasiswa Unggulan Dikti (BU DIKTI) sehingga penulis mampu menempuh jenjang S2 di Sekolah Pascasarjana IPB, kepada Kepala Laboratorium Bioproses dan Mutu Pengendalian Pangan IPB, serta para teknisi yang telah membantu dan memberikan kemudahan untuk melakukan penelitian. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS dan Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA yang bersedia menjadi penguji luar komisi, dan kepada Kepala Editor dari International Journal Of Renewable Energy Development (IJRED) dengan ISSN: 2252-4940 yang bersedia menerima jurnal penulis. Untuk temanteman mahasiswa S2 BTK angkatan 2012, teman-teman kos, serta untuk Ruqayah Jamaludin, Sunarti, dan Saudi Fitri, penulis ucapakan terimakasih atas dorongan, motivasi, dan semangat yang diberikan. Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga, khususnya orang tua yaitu Moch. Dahlan (Ayah) dan Ismiyati (Ibu), kakak dan adik, atas doa, pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Februari 2015
Iftachul Farida, SPd
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Penelitian
1 3 4 4 5
2 PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis Forst.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN (SSF) MENGGUNAKAN RAGI TAPE Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
6 6 7 11 22
3 REKAYASA BIOPROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis Forst.) SECARA SSF MENGGUNAKAN RAGI TAPE Abstrak 23 Pendahuluan 23 Bahan dan Metode 24 Hasil dan Pembahasan 26 Simpulan 32 4 PEMBAHASAN UMUM
34
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
36 36
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 3.1 3.2 3.3 3.4
Kerangka pemikiran penelitian Hasil ekstraksi pati sukun Media propagasi konsorsium mikroba ragi tape setelah inkubasi 24 jam Alur peneltian Pertumbuhan konsorsium mikroba ragi tape selama kultivasi Hasil kultivasi secara SSF dari pati sukun menggunakan konsorsium mikroba ragi tape selama 72 jam Hasil total plate count mikroba konsorsium ragi tape selama SSF pada jam ke 48 Perubahan pH selama proses kultivasi pada SSF konvensional Hasil kultivasi secara SSF terekayasa oleh konsorsium mikroba ragi tape selama 72 jam Pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba pada SSF terekayasa Hasil total plate count mikroba konsorsium selama sakarifikasi dan fermentasi simultan pada jam ke 60 Perubahan nilai pH selama SSF terekayasa
5 8 9 10 15 16 18 20 27 28 29 30
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 3.1 3.2
Analisis proksimat pati sukun Kandungan mineral pada buah sukun Variasi pengkondisian penelitian kedua dibandingkan penelitian pertama Hasil perhitungan kinetika fermentasi pada SSF terekayasa dibandingkan penelitian sebelumnya (aerasi penuh)
11 13 26 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Prosedur karakterisasi pati sukun Parameter kinerja selama kultivasi Data penelitian pada aerasi penuh Data penelitian pada SSF terekayasa
44 48 50 52
1 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Kebutuhan energi fosil dunia seperti bensin dan solar terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, namun sumber daya alam semakin menipis. Sun dan Cheng (2002) menyatakan bahwa, konsumsi energi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, karena lebih banyak negara telah berkembang menjadi negara industri. Campbell dan Laherrere (1998) menyimpulkan bahwa, minyak mentah dunia akan menurun dari 25 miliyar barel menjadi 5 miliyar barel pada tahun 2050. Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi energi yang cukup tinggi di dunia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM (2013), dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan laju konsumsi energi Indonesia mencapai 7%/tahun. Jumlah tersebut berada di atas pertumbuhan konsumsi energi dunia yaitu 2.6%/tahun. Tingginya laju konsumsi energi tersebut dan timpangnya bauran energi mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya terjadi pengurasan sumberdaya minyak bumi yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan untuk menemukan cadangan minyak yang baru. Diperkirakan dalam waktu yang tidak lama lagi cadangan minyak bumi akan habis, sehingga Indonesia akan sangat bergantung pada energi impor sebagai akibat jangka panjang. Peningkatan kebutuhan energi terutama bahan bakar fosil mengakibatkan cadangan minyak dunia semakin menurun dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk, karena berasal dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Di sisi lain, penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi yang dapat berakibat pemanasan global, sehingga ekosistem di alam dapat terganggu. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu energi terbarukan yang menggunakan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan yang didapat dari sumberdaya alam yang dapat diperbarui, misalnya bahan bakar nabati (BBN). Bahan bakar nabati merupakan sumber energi yang lebih menjanjikan karena emisi yang dihasilkan sangat rendah, sehingga lebih ramah lingkungan. Produksi bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia telah diatur sejak tahun 2006, yaitu dengan Perpu No. 5/2006 tentang kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar diantaranya bioetanol. Melalui pengembangan BBN, pemerintah mentargetkan pada tahun 2025 terjadi pengurangan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional minimal 10% dan biofuel memberi kontribusi sedikitnya 5% pada bauran energi. Diharapkan pada tahun 2025 pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak baik untuk transportasi, industri, maupun komersial meningkat sebanyak 20% (Kementerian ESDM RI 2014). Bioetanol merupakan sumber energi untuk mensubtitusi premium, yang dapat diperbarui dan diproduksi melalui fermentasi gula. Bioetanol banyak digunakan sebagai pengganti bensin parsial di Amerika (Sun and Cheng 2002). Penggunaan bioetanol selain untuk mengurangi polusi udara dan emisi gas, juga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat khususnya dibidang
2 pertanian (Szymanowska dan Grajek 2011; Azmi et al. 2009). Bioetanol merupakan energi alternatif yang lebih aman dibandingkan dengan methyl tertiary butyl ether (MTBE). MTBE merupakan zat yang tidak mengalami perombakan (non degradable) dan bersifat hidrofilik yang ditambahkan pada bensin. Penggunaan MTBE telah dilarang di Amerika Serikat karena dapat mencemari air tanah, danau, dan badan air lainnya. Selain itu, MTBE termasuk zat karsinogenik (McCarthy and Tiemann 1998). Penambahan bioetanol dalam jumlah kecil sebesar 10% ke dalam bensin dapat mengurangi emisi gas seperti CO dan NO yang menyebabkan efek rumah kaca (Imam dan Capareda 2011). Permasalahan pengembangan bioetanol adalah biaya produksi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar minyak bumi, sehingga menyebabkan harga jualnya lebih mahal. Beberapa usaha dilakukan untuk mengurangi biaya produksi, diantaranya dengan cara pemilihan media produksi yang lebih murah, penggunaan teknologi yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan penggunaan mikroorganisme yang lebih murah namun produktif. Penggunaan bahan baku dari pati secara langsung dapat mengurangi biaya produksi, seperti dari singkong, ubi jalar, sagu, dan shorgum (Azmi at al. 2009; Syamsu 2008; Saifuddin dan Hussain 2011; Imam dan Capareda 2011). Penggunaan bahan tersebut juga memiliki beberapa keuntungan, yakni: 1) tidak memerlukan perawatan yang sulit dan biaya mahal untuk ditumbuhkan, 2) memerlukan sedikit pemupukan dan pengairan, 3) periode pertumbuhan pendek, serta 4) adaptasi tanaman terhadap lingkungan dan iklim yang tinggi (Azmi et al. 2009; Imam dan Caperada 2011). Pemilihan sukun sebagai bahan baku pembuatan bioetanol disebabkan beberapa pertimbangan, salah satunya karena sukun memiliki kandungan karbohidrat cukup tinggi. Karbohidrat merupakan komponen penting untuk dijadikan sebagai bahan baku produksi bioetanol. Menurut Adepeju et al. (2011), kandungan karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun sebesar 79.465% (bb), lebih tinggi dibandingkan talas, ubi jalar, dan kentang. Sukun termasuk tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan masa panen dua kali pertahun, yaitu di bulan Januari – Februari dan panen susulan di bulan Juli – Agustus. Menurut Adinugraha dan Kartikawati (2004), produksi buah sukun per hektar rata-rata mencapai 4–20 ton dalam satu kali musim berbuah. Sampai saat ini, pengembangan dan pemanfaatan tanaman sukun masih terbatas. Tanaman sukun belum dibudidayakan secara intensif, buahnya masih diolah dalam skala industri rumah tangga, dipasarkan untuk memenuhi permintaan lokal, dan masih sebagai tanaman pekarangan (Departemen Kehutanan 2005). Menurut data dari BPS (2013), pada tahun 2008–2011 produksi sukun menurun berturut-turut sebesar 113,778; 110,923; 89,231; 102,089 ton/tahun, tetapi pada tahun 2012 produksi sukun meningkat menjadi 111,768 ton/ tahun. Komoditi ini sebenarnya sangat potensial dijadikan sebagai salah satu bahan dalam memproduksi bahan bakar alternatif, karena sampai saat ini pemanfaatan buah sukun untuk dijadikan bioetanol merupakan penelitian yang tergolong baru. Apabila potensi buah sukun sebagai bahan baku pembuatan bioetanol sudah dapat dibuktikan melalui penelitian, diharapkan produktivitasnya akan meningkat. Produksi bioetanol salah satunya menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan atau Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). Teknik SSF pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al. (1977) yang
3 melakukan kombinasi antara proses hidrolisis menggunakan enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi bioetanol secara simultan (Samsuri et al. 2007). Menurut Nadir et al. (2009), teknik SSF dari pati menggunakan campuran bakteri, kapang, dan khamir secara bersamaan (konsorsium) lebih efektif untuk memproduksi bioetanol tanpa harus mengganti mikroba atau penambahan enzim di tiap prosesnya. Produksi bioetanol dari bahan baku yang murah dan melimpah dengan proses yang lebih singkat lebih dibutuhkan agar produktivitasnya dapat meningkat. Ragi tape merupakan starter yang berperan dalam proses fermentasi untuk memproduksi bioetanol dari gula sebagai bahan dasarnya. Ragi sebenarnya mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik khamir/yeast, kapang, dan bakteri atau disebut juga dengan konsorsium mikroba. Merican dan Quee-Lan (2004) menemukan bahwa pada ragi tape terdapat beberapa organisme dari jenis yang berbeda yang terdiri dari keluarga fungi dan bakteri. Menurut penelitian yang dilakukan Azmi et al. (2009), mikroba konsorsium dari ragi tape terbukti dapat membantu proses coculture dari 10% tepung singkong menjadi bioetanol sebesar 24 g/L. Untuk mendapatkan produksi bioetanol yang tinggi, maka dilakukan rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi, sehingga terjadi pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerobik. Hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan kerja dari konsorsium mikroba ragi tape.
Perumusan Masalah Permasalahan dalam produksi bahan bakar alternatif seperti bioetanol memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah biaya produksi yang relatif lebih tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka terdapat tiga strategi yang digunakan untuk menekan biaya produksi, diantaranya adalah pemilihan substrat yang murah dan jumlahnya melimpah, menggunakan teknologi atau metode yang memiliki produktivitas tinggi untuk produksi bioetanol, serta menggunakan mikroba yang lebih murah tetapi produktif. Sebagian penelitian lebih banyak menggunakan bahan berpati seperti dari singkong, sagu, atau ubi jalar. Namun tanaman tersebut di beberapa wilayah Indonesia dijadikan sebagai makanan pokok. Informasi mengenai penggunaan pati sukun sebagai media produksi bioetanol masih sangat terbatas, apalagi daya simpan buah ini relatif singkat sementara hasilnya melimpah. Sehingga, pemanfaatan sukun kurang maksimal. Teknik SSF untuk produksi bioetanol sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti, karena memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik terpisah. Namun, untuk memaksimalkan teknik simultan maka digunakan mikroba selama proses sakarifikasi dan fermentasi secara bersamaan yaitu menggunakan konsorsium mikroba. Konsorsium mikroba akan lebih efektif digunakan dalam teknik produksi bioetanol secara simultan, karena tidak perlu mengganti atau menambah enzim dan mikroba ditiap prosesnya (hidrolisis dan fermentasi). Namun, perlu dilakukan pembaharuan agar produksi bioetanol yang dihasilkan dapat meningkat, yaitu dengan cara mengkombinasikannya dengan prinsip rekayasa bioproses. Konsorsium mikroba yang terdapat dalam ragi tape terdiri dari kelompok kapang dan khamir. Kedua jenis mikroba tersebut memiliki sifat yang berbeda. Kapang memiliki sifat aerobik mutlak yang akan mengkatalis proses sakarifikasi membentuk gula dari pati sukun, sedangkan khamir merupakan
4 jenis mikroba yang bersifat anaerobik fakultatif. Mikroorganisme ini dapat menghasilkan bioetanol pada kondisi anaerobik, sedangkan pada kondisi aerobik khamir menggunakan substrat yang tersedia untuk pembentukan dan peningkatan jumlah sel. Melalui penelitian ini diharapkan produksi bioetanol, rendemen, dan efisiensi konversi yang dihasilkan dapat meningkat.
Tujuan Tujuan umum yang mendasari diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi pati sukun sebagai media produksi bioetanol. Sedangkan, tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi bioetanol yang memiliki rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi melalui metode sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) terekayasa menggunakan konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape.
Ruang Lingkup Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah: 1. Melakukan karakterisasi ekstrak pati sukun yang akan digunakan; 2. Pembuatan media untuk propagasi dan kultivasi; 3. Penggunaan kultur konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape sebagai mikroorganisme yang mengkatalis selama proses kultivasi; 4. Pengaturan kondisi selama kultivasi pada SSF konvensional (aerasi penuh), berupa pemberian aerasi dan agitasi; 5. Pengaturan kondisi selama kultivasi pada SSF terekayasa, dengan cara menerapkan prinsip rekayasa bioproses di dalamnya agar dihasilkan bioetanol dengan rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi.
5 Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran penelitian produksi bioetanol dari pati sukun menggunakan ragi tape secara SSF terekayasa disajikan pada Gambar 1.1. BAHAN
LATAR BELAKANG
MASALAH
PEMENCAHAN MASALAH
TUJUAN & HASIL YANG DIHARAPKAN
Pati sukun: - Kandungan karbohidrat tinggi - Jumlahnya melimpah - Harganya murah
- Pemanfaatan kurang maksimal - Daya simpan tidak terlalu lama
Pemanfaatan pati sukun untuk produksi bioetanol
Sukun dapat dimanfaatkan untuk produksi bioetanol
SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN Metode umum SSF: - Tahap sakarifikasi dan fermentasi menjadi satu tahap - Waktu lebih singkat - Peluang kontaminasi lebih kecil - Lebih produktif dan efisien
- Konsorsium mikroba dari ragi tape kurang maksimal untuk membentuk produk pada kondisi aerob - Kondisi aerob menyebabkan kapang dan khamir sama-sama mengkonsumsi gula sederhana yang tersedia di media - Kondisi aerob menyebabkan khamir lebih banyak melakukan respirasi daripada fermentasi
Kombinasi prinsip rekayasa bioproses dengan teknik SSF: - Mengubah kondisi dari arobik menjadi anaerobik dengan cara menghentikan aerasi setelah kondisi biomassa mencapai akhir fase eksponensial - Switching kondisi menyebabkan khamir akan maksimal membentuk produk
Produksi bioetanol yang memiliki rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi melalui ESSF (SSF terekayasa)
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian
6
2 Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF) Menggunakan Ragi Tape Abstrak Sukun (Artocarpus communis Forst.) merupakan salah satu produk pertanian yang memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu sebesar 89% dan tidak termasuk sebagai sumber makanan pokok di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi pati sukun sebagai media produksi bioetanol dengan teknik SSF menggunakan ragi tape. Penggunaan teknik SSF untuk produksi bioetanol langsung dari pati sukun memiliki keuntungan dibandingkan dengan teknik hidrolisis dan fermentasi terpisah (SHF), yaitu proses produksi memerlukan waktu yang lebih pendek dan peluang kontaminasi lebih kecil. Selama kultivasi, konsorsium mikrob dalam kondisi aerobik. Bioetanol maksimal yang dapat diproduksi dari 30 g/L pati sukun adalah sebesar 11.15 g/L. Berdasarkan hasil perhitungan kinetika kultivasi, pati sukun mampu menghasilkan rendemen pembentukan produk dan biomassa (Yp/s dan Yx/s) berturut-turut sebesar 0.34 g bioetanol/g substrat dan 0.29 g biomassa/g substrat, dengan efisiensi penggunaan substrat sebesar 96%. Kata kunci: pati sukun, ragi tape, sakarifikasi dan fermentasi simultan, bioetanol.
Abstract Breadfruit (Artocarpus communis Forst.) is an agricultural product that contains 89% of starch and it is not used as the major foods in Indonesia. The aim of this study was to analyze potency of breadfruit starch as an media for bioethanol production by simultaneous saccharification and fermentation (SSF) technique using Ragi Tape. SSF technique was more advantageous compared to Separated Hydrolisis and Fermentation or SHF. It causes the production process is shorter and becomes smaller change of contamination. During cultivation, microbes consortium were under aerobic conditions. The result showed that ethanol produced from 30 g/L of breadfruit starch was 11.15 g/L, with the yields (Yp/s and Yx/s) were 0.34; 0.29 respectively. While the efficiency of substrate used was 96%. Keywords: breadfruit starch, Ragi Tape, Simultaneous Saccharification and Fermentation, bio-ethanol
2.1 Pendahuluan Bioetanol dapat diproduksi dari beberapa bahan seperti bahan berlignoselulosa, berpati (sagu, ubi, jagung, dan singkong), dan bahan bersukrosa
7 (tebu dan nira aren). Namun masing-masing bahan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Menurut Khairani (2007), bahan berlignoselulosa jumlahnya sangat melimpah di alam, namun dari segi proses, bahan ini lebih sukar dalam penguraiannya. Hal ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol sehingga lebih sukar diuraikan. Selain itu, penggunaan asam dalam proses hidrolisis akan menghasilkan produk yang kurang ramah lingkungan. Berdasarkan segi pengolahan, bahan bersukrosa lebih menguntungkan dibandingan dengan kedua jenis bahan yang lain, namun dalam segi harga bahan ini relatif lebih mahal. Oleh sebab itu bahan berpati lebih banyak digunakan sebagai media produksi bioetanol. Pemilihan sukun sebagai bahan baku pembuatan bioetanol disebabkan beberapa pertimbangan antara lain: 1) sukun memiliki kandungan pati relatif tinggi, yaitu sebesar 69% (Graham & de Bravo 1981); 2) sukun bukan merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia; 3) sukun dapat tumbuh subur pada daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi; 4) tanaman ini memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi, serta tahan terhadap penyakit; 5) penanaman pohon sukun dilakukan hanya satu kali tanam dan dapat dipanen pada usia 4 tahun. Lain halnya dengan umbi-umbian yang penanamannya harus dilakukan tiap kali setelah masa panen; 6) Produktivitas sukun tinggi. Pemanfaatan hasil pertanian dengan waktu fermentasi yang lebih singkat dan dapat menekan biaya produksi dapat diperoleh melalui teknik sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (SSF). Beberapa keuntungan dari metode SSF dibandingkan dengan teknik hidrolisis dan fermentasi terpisah (SHF) adalah: 1) mampu meningkatkan kecepatan hidrolisis; 2) mengurangi kebutuhan enzim; 3) meningkatkan rendemen produk; 4) mengurangi kebutuhan kondisi steril karena pati langsung dikonversi menjadi etanol; 5) waktu proses lebih pendek; dan 6) volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor, penggunaan reaktor tunggal dapat menghindari terjadinya kontaminasi (Sun dan Cheng 2002; Daud 2010). Ragi tape merupakan inokulum yang digunakan pada makanan fermentasi yang cukup terkenal di Indonesia. Ragi merupakan starter yang murah, dapat diperoleh di pasar lokal, dan berperan dalam proses fermentasi untuk memproduksi bioethanol dari gula dan pati sebagai bahan dasarnya. Ragi sebenarnya mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik khamir/yeast, kapang, maupun bakteri atau disebut juga dengan konsorsium mikroba. Kapang merupakan penghasil amilolitik yang sangat kuat, sehingga diharapkan pada proses hidrolisis pati sukun dapat menghasilkan gula yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi dari pati sukun sebagai media produksi bioetanol dengan teknik SSF menggunakan ragi tape.
2.2 Bahan dan Metode Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah buah sukun Lumut berumur 2–3 bulan setelah muncul bunga. Sukun didapatkan dari daerah Mojokerto, Jawa Timur. Ragi tape yang digunakan merk NKL dalam bentuk tablet
8 putih besar. Bahan untuk analisis adalah: aquades, Pereaksi Anthrone 0.05%, H2SO4 pekat, media Potato Dextrosa Agar (PDA), HCl, NaOH, Na-Oksalat, PbAsetat, alkohol 80%, Etanol 95%, I2 0.2 gram, KI 2 g, dan 0.2 mg glukosa. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pati Sukun Untuk Media Sebanyak 1 kg sukun dikupas kulitnya, kemudian dicuci sampai bersih. Sukun yang telah dicuci, dipotong-potong terlebih dahulu sebelum digiling menggunakan mesin penggiling. Sukun yang telah halus, selanjutnya ditambahkan air bersih sebanyak 2 liter untuk diekstrak patinya. Hasil ekstraksi berupa kadar air, protein, abu, dan lemak dianalisis menggunakan metode menurut AOAC 1995. Karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference, kandungan pati diukur berdasarkan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948), sedangkan kandungan amilosa diukur dengan mengikuti Apriyantono et al. (1989). Selanjutnya, campuran pati sukun dan air hasil ekstraksi digunakan sebagai media propagasi dan kultivasi pada produksi bioetanol.
Gambar 2.1 Hasil ekstraksi pati sukun Kultur Konsorsium Mikroba Dari Ragi Tape Kultur dari konsorsium mikroba didapatkan dari ragi tape yang diperoleh dari pasar lokal. Media cair pati sukun 6% sebanyak 120 ml tanpa penambahan nutrisi media lainnya, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Media selanjutnya disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Pembuatan kultur dilakukan dengan cara menambahkan ragi tape sebanyak 0.5% (b/v) (Hidayat 2006) ke dalam media yang telah dingin. Inokulasi dilakukan dalam laminar airflow. Media propagasi kemudian diinkubasi dalam shaker dengan kecepatan 200 rpm, pada suhu ruang (± 290C), selama 24 jam (Azmi et al. 2009; Supatmawati 2010). Inokulum/kultur yang diperoleh siap digunakan untuk proses kultivasi.
9
Gambar 2.2 Media propagasi konsorsium mikroba ragi tape setelah inkubasi 24 jam Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (Aerasi Penuh) Media pati sukun sebanyak 1.2 liter disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Media yang telah disterilisasi, didinginkan terlebih dahulu dalam shaker agar tidak menggumpal sebelum dimasukkan dalam tangki/bejana reaktor. Media pati sukun selanjutnya dimasukkan dalam tangki/bejana bioreaktor yang sebelumnya telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 45 menit. Proses memasukkan media kultivasi ke dalam tangki/bejana bioreaktor dilakukan di dalam laminar airflow dan menggunakan api bunsen agar tetap aseptis. Inokulasi dilakukan sebanyak 10% (v/v) dari volume substrat yang akan digunakan. Sebelum dimasukkan ke dalam media kultivasi, media cair propagasi dikocok perlahan agar kapang yang tumbuh dapat terikut masuk kedalam bioreaktor. Variasi pengkondisian yang dilakukan pada SSF meliputi: 1. Bioreaktor dari awal kultivasi dalam keadaan aerobik, dengan pemberian aerasi dan agitasi. Aerasi diatur sebesar 1 vvm, sedangkan agitasi pada kecepatan 150 rpm. 2. Suhu kultivasi diatur pada suhu ruang. 3. Bioreaktor dari awal sampai kultivasi berakhir tetap dalam kondisi aerobik, dalam hal ini diberi aerasi dan agitasi. Metode Analisis Perhitungan kadar bioetanol (P), sisa pati (S), gula total, bobot biomassa kering (X), dan jumlah sel kapang dan khamir menggunakan metode total plate count, dilakukan setiap 12 jam selama 72 jam. Konsentrasi gula total dan sisa pati diukur menggunakan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948). Kurva standar digunakan untuk menentukan konsentrasi gula total dan kadar pati pada absorbansi 630 nm menggunakan spektrofotometer UV/VIS. Kadar bioetanol diukur menggunakan analisis gas chromatography GC-17A Shimadzu LT-04-044 dengan helium sebagai fase geraknya. Parameter Pengukuran Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indicator kinerja proses kultivasi adalah: 1. Bobot biomassa kering (X) yang dihasilkan tiap 12 jam
10 2. 3. 4. 5.
Kadar bioetanol yang dihasilkan (P) tiap 12 jam Sisa substrat pati yang masih terdapat dalam media (S) tiap 12 jam Laju pertumbuhan maksimum (µmaks) Rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s) (X – X0) Yx/s =
(P – P0) dan Yp/s = (S0 – S)
(S0 - S)
6. Rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) (P – P0) Yp/x = (X – X0) 7. Efisiensi penggunaan substrat =
(S0 – S) S0
x 100% S
Alur Penelitian
0 )
Sukun segar
Ekstraksi
Pati sukun
Sterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit
Media produksi steril
Ragi tape 0.5% b/v
Kultivasi
Inkubasi pada suhu ruang (± 290C), 200 rpm, 24 jam
SSF aerobik penuh (aerasi: 1 vvm; agitasi 150 rpm) selama 72 jam
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Parameter pengukuran: Bobot biomassa kering (X) setiap 12 jam Gula total setiap 12 jam Produksi bioetanol (P) setiap 12 jam Sisa substrat pati sukun (S) setiap 12 jam Rendemen Yp/s, Yx/s, Yp/x Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µmaks) Efisiensi penggunaan substrat ((S0-S)/S0) x 100%)
Gambar 2.3 Alur penelitian
11 2.3 Hasil dan Pembahasan Karaterisasi Pati Sukun Sukun yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah Mojokerto, Jawa Timur dengan varietas Lumut. Ciri-ciri buah sukun varietas Lumut yang digunakan adalah buahnya besar, belum terlalu matang atau buahnya masih keras (tidak lembek), warna kulit buahnya hijau kekuning-kuningan, daging buah berwarna putih, dan beraroma segar jika buahnya dibelah. Karakterisasi pati sukun meliputi analisis proksimat, kandungan pati, amilosa, dan amilopektin. Analisis proksimat pati sukun terdapat pada Tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Analisis proksimat pati sukun Komposisi (%) a Komponen Literatur Hasil penelitianb Air (bb) 5.45 75.96 ± 0.1 Abu (bk) 1.35 1.83 ± 0.02 Lemak (bk) 0.37 2.16 ± 0.03 Protein (bk) 0.69 3.83 ± 0.00 Serat kasar (bk) 1.25 Karbohidrat (bk) 96.34 91.93 ± 0.09 Data telah diolah. Rerata ± standar deviasi (n=2); bb: basis basah; bk: basis kering. a Akanbi et al. (2011), bHasil analisis (2014)
Hasil analisis proksimat pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan kimia pada literatur dengan hasil penelitian. Perbedaan jumlah kandungan kimia tersebut dapat disebabkan karena iklim, kondisi lingkungan yang berbeda, varietas/jenis sukun dan metode analisis yang digunakan (Akanbi et al. 2009; Rahman et al. 1999). Menurut Kay (1973), komposisi kimia suatu bahan dapat berbeda-beda tergantung kultivar, keadaan iklim, derajat kematangan, dan lama penyimpanan setelah dipanen. Analisis proksimat pati sukun pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kandungan utama sukun dalam basis kering adalah karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada penelitian ini lebih rendah daripada literatur yaitu sebesar 91.93 ± 0.09% (bk). Karbohidrat terdiri atas dua fraksi yaitu fraksi pati dan serat kasar. Kedua fraksi ini merupakan bagian penting yang akan dipergunakan sebagai substrat kultivasi. Fraksi serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pati dan selulosa merupakan homopolimer glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, arabinosa, dan manosa (Demirbas 2005). Media pati sukun yang digunakan dalam bentuk cair. Dari segi proses dan waktu, pati cair lebih mudah diolah dan tidak memerlukan waktu yang lama karena tidak memerlukan proses pengeringan menjadi pati kering. Kadar air yang terkandung dalam pati sukun digunakan sebagai penentu jumlah air yang akan ditambahkan pada saat pembuatan media. Meskipun kandungan karbohidrat hasil penelitian lebih rendah, namun untuk kandungan protein, lemak dan abu hasil penelitian lebih tinggi daripada
12 literatur. Perbedaan jumlah karbohidrat pada sukun ini kemungkinan disebabkan terjadinya loss (kehilangan) komponen kimia pada saat ekstraksi dilakukan. Loss tersebut dapat terjadi kemungkinan pada saat proses pemarutan (penggilingan dengan mesin penggiling) dan pencucian. Pada saat ekstraksi kemungkinan masih terdapat sisa karbohidrat yang tertinggal pada ampas (Wahyuni 2008). Protein yang terkandung pada sukun jenis African lebih tinggi yaitu mencapai 17.1% (Akubor et al. 2000). Kandungan abu dan lemak pada sukun hasil penelitian lebih tinggi daripada kandungan abu dan lemak dalam sagu dan ubi jalar (Pangloli 1992; Syamsu 2008), namun dalam berat kering kandungan karbohidratnya lebih rendah daripada karbohidrat yang terdapat pada sagu (Supatmawati 2010). Kandungan pati sukun dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948). Hasil analisis dari 1 kg sukun segar yang diekstraksi dengan 2 liter air menghasilkan pati sebesar 88.55 ± 0.13% (basis kering). Hasil ini lebih tinggi dibandingan dengan penelitian sebelumnya, yakni sekitar 58% - 69% (Graham dan de Bravo 1981; Loos et al. 1981; Steve dan Osuntogun 1995). Berdasarkan kandungan pati tersebut, maka sukun sangat berpotensi dijadikan sebagai bahan baku produksi bioetanol. Menurut Winarno (1997), pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan satu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalam pati sukun yang digunakan, berturut-turut sebesar 27.47 ± 0.08% dan 72.53 ± 0.08%. Penelitian yang dilakukan oleh Akanbi et al. (2009), menyatakan bahwa proporsi amilosa pada pati sukun sebesar 22.52% sedangkan proporsi amilopektinnya sebesar 77.48%. Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbedabeda tergantung varietas dan tempat tumbuh. Namun umumnya proporsi amilopektin lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa. Kedua molekul ini memiliki sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih larut dalam air dan kurang kental dibandingkan dengan amilopektin. Apabila pati sukun dipanaskan dalam air, maka pati akan mengalami peningkatan kelarutan dan akhirnya membentuk pasta dan gel dalam konsentrasi tinggi (gelatinasi). Oleh sebab itu, pati sukun yang dipergunakan sebagai media produksi bioetanol pada penelitian ini sebelumnya telah dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Protein dan lemak masih terdeteksi dalam hasil ekstraksi pati sukun untuk media. Kandungan tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan konsorsium mikroba. Nutrisi utama bagi organisme selain karbon dan oksigen adalah nitrogen. Nitrogen merupakan makronutrien yang penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kemampuan sel membentuk enzim (Reed dan Rehm 1981). Mikroorganisme dapat tumbuh pada laju maksimumnya walaupun konsentrasi nitrogen relatif rendah (Graffin 1981). Adanya protein yang terdapat pada media kultivasi dimanfaatkan kapang sebagai sumber nutrisi (Hidayat et al. 2006). Menurut penelitian yan dilakukan oleh Limbong (1981), terjadi perubahan kimia pada media karena adanya bantuan dari mikroba yang menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan degradasi protein menjadi asam amino. Adanya lemak menyebabkan kapang akan menguraikan sebagian besar lemak, sehingga terjadi pembebasan asam lemak selama kultivasi. Kandungan karbohidrat dimanfaatkan oleh kapang untuk didegradasi menjadi gula-gula sederhana dengan menggunakan enzim amilase, selulase, atau xilanase (Naruki dan Sarjono 1984). Kelompok khamir dapat tumbuh baik pada kondisi
13 aerobik maupun anaerobik, apabila terdapat sumber karbohidrat, nitrogen (organik atau anorganik), mineral dan vitamin. Pada penelitian yang dilakukan Azmi et al.(2009), produksi bioetanol dari pati singkong sebagai substrat hanya ditambahkan 0.1% (w/v) pepton dan air destilasi saja tanpa penambahan nutrisi yang lain. Selain senyawa organik, senyawa anorganik seperti mineral juga dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba walaupun jumlahnya sedikit. Kandungan abu yang terdeteksi dalam ekstrak pati sukun mengiindikasikan adanya berbagai jenis mineral (Andarwulan et al. 2011). Tabel 2.2 merupakan jumlah kandungan mineral dalam buah sukun. Tabel 2.2 Kandungan mineral pada buah sukun Komponen Kalsium Fosfor Besi
Jumlah (mg) 21 59 0.4
Sumber: USDA 2004
Kinerja Proses Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF) Pembuatan bioetanol dari pati sukun dilakukan dengan metode SSF menggunakan konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape. Ragi tape yang sebelumnya telah ditumbuhkan dan dipropagasi pada media cair yang berisi pati sukun mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme baik kapang maupun khamir, sehingga proses sakarifikasi dan fermentasi dapat dilakukan secara bersamaan (simultan). Kinerja SSF ini dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu melalui pertumbuhan biomassa, penggunaan substrat pati, jumlah gula yang tersedia, dan banyaknya bioetanol yang diproduksi. Proses kultivasi secara keseluruhan berlangsung selama 72 jam, sehingga teknik SSF ini lebih singkat dalam memproduksi bioetanol. Apabila dilakukan teknik produksi secara terpisah, maka akan memerlukan waktu yang lebih lama. Menurut penelitian Azmi et al. (2009), produksi bioetanol menggunakan teknik SSF menggunakan ragi tape dari 10% pati singkong selama 72 jam mampu menghasilkan produk sebesar 23.79 g/L. Penelitian lain yang dilakukan oleh Loebis (2008), yang menggunakan teknik SSF selama 5 hari menggunakan Trichoderma sp dan Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan bioetanol lebih tinggi sebesar 0.33%, dibandingkan dengan metode terpisah yang menghasilkan bioetanol sebesar 0.27%. Bahan baku pati sukun yang terdiri dari campuran air dan pati digunakan sebagai media untuk produksi bioetanol. Konsentrasi larutan pati yang digunakan adalah sebesar 6%. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses gelatinasi akibat pemanasan autoklaf pada suhu 1210C, karena kandungan amilopektin yang terdapat dalam pati sukun cukup tinggi. Setelah proses sterilisasi, terjadi penurunan kadar pati yang signifikan akibat perlakuan pemanasan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Kadar awal pati yang digunakan adalah 6% dan menurun menjadi 3%, sehingga pati awal yang digunakan untuk kultivasi
14 memiliki konsentrasi sebesar 3%. Menurut Jenie et al. (2012), hal tersebut dapat terjadi karena pemanasan autoklaf telah mereduksi kandungan pati akibat gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati menyebabkan kerusakan substansi pati menjadi meningkat. Selain itu, pemanasan autoklaf mengakibatkan peningkatan degradasi pati. Degradasi tersebut menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen fraksi pati (amilosa dan amilopektin). Menurut penelitian yang dilakukan Jenie et al. (2012), kadar awal pati sebesar 65.98% - 70.29%, menurun signifikan akibat pemanasan autoklaf menjadi 62.12% - 66.81%. Proses kultivasi dilakukan menggunakan bioreaktor 2 liter dengan volume media 1.2 liter dengan sistem batch secara SSF. Penggunaan bioreaktor pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan lingkungan yang sesuai (aerasi dan agitasi dapat dikontrol). Namun, dalam penelitian ini pH dan suhu tidak dikontrol, karena ingin dilakukan prinsip kerja yang sederhana. Dalam aplikasi di lapangan, masyarakat yang menggunakan ragi tape sebagai starter, juga tidak menggunakan pengontrol suhu dan pH dalam memproduksi tape maupun bioetanol. Untuk mengetahui kinerja SSF dilakukan dalam kondisi aerobik. Kondisi aerobik penuh dibuat dengan pemberian aerasi dan agitasi dari awal sampai akhir kultivasi. Aerasi dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan oksigen dalam jumlah yang cukup pada mikroba agar kebutuhan metaboliknya terpenuhi (Sa’id 1985). Kondisi kultivasi dibuat dengan adanya aerasi penuh sebesar 1 vvm. Adanya aerasi pada awal sampai akhir selama kultivasi dimanfaatkan oleh kelompok khamir untuk memproduksi sel sehingga pada kondisi ini ketersediaan oksigen sangat berpengaruh. Oksigen sangat berpengaruh besar dalam fermentasi aerob untuk mensuplai kebutuhan oksigen bagi aktivitas metabolik mikroorganisme. Agitasi dilakukan dengan tujuan agar suspensi sel mikroba tetap seragam dan berada pada media pertumbuhan yang homogen dari awal sampai akhir kultivasi (Hollaender 1981). Sedangkan menurut Stanbury dan Whitaker (1984), adanya agitasi dapat meningkatkan luasan yang memungkinkan untuk transfer oksigen dengan cara menguraikan udara dalam cairan media ke dalam bentuk gelembung-gelembung kecil, memperlambat hilangnya gelembung-gelembung udara dalam cairan, melindungi penggabungan gelembung udara, dan menurunkan ketebalan lapisan cairan pada permukaan gas atau cairan dengan cara melakukan gerakan putaran di dalam cairan media. Dalam kinerja SSF menggunakan pati, adanya agitasi ini diperlukan untuk membantu menguraikan media dari proses gelatinisasi. Kultivasi dilakukan selama 72 jam dengan pengambilan sampel setiap 12 jam sekali. Kurva pertumbuhan dari konsorsium mikroba selama SSF dapat dilihat pada Gambar 2.4. Total biomassa kering (X) dari konsorsium mikroba ragi tape diukur berdasarkan bobot kering selama kultivasi.
15
Gambar 2.4 Pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba ragi tape selama kultivasi
Dalam sistem batch, kurva pertumbuhan biomassa meningkat seiring penambahan waktu dan akan menurun ketika biomassa telah mencapai maksimum (Retledge dan Kristiansen 2001). Pertumbuhan mikroba ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah biomassa dari waktu ke waktu. Menurut Wang (2002), mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai bentuk respon terhadap lingkungannya. Fase awal dari konsorsium mikroba terjadi pada jam ke 0 atau ketika kultur baru dimasukkan ke dalam media kultivasi. Setelah fase awal, konsorsium mikroba memasuki fase adaptasi yaitu pada jam ke 12, khususnya khamir. Fase adaptasi terjadi ketika kultur yang dimasukkan ke dalam media mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru (Fardiaz 1988; Hidayat et al. 2006). Fase eksponensial konsorsium mikroba dimulai dari jam ke 24 – 36. Terbukti bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks) konsorsium mikroba pada waktu tersebut relatif lebih tinggi diantara waktu yang lain, yaitu sebesar 0.01/jam. Selanjutnya, pertumbuhan mikroba melambat sampai stasioner dari jam ke 36 – 60, dan memasuki fase kematian dimulai pada jam ke 60. Pada saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk metabolit maka terjadi penurunan laju pertumbuhan (Supatmawati 2010). Biomassa tertinggi terjadi saat jam ke 60 yaitu sebesar 52.73 g/L. Walaupun jumlah sel hidup konsorsium mikroba mengalami penurunan setelah mencapai biomassa maksimum, namun penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, karena dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap bertahan hidup dalam media tersebut.
16
Gambar 2.5 Hasil kultivasi secara SSF dari pati sukun menggunakan konsorsium mikroba ragi tape selama 72 jam Dari Gambar 2.5 dapat disimpulkan, bahwa beberapa faktor berpengaruh terhadap produksi bioetanol diantaranya substrat pati, gula yang dihasilkan, dan keberadaan mikroba yang mengkatalis reaksi selama proses produksi bioetanol. Gambar 2.4 memperlihatkan bahwa konsentrasi bioetanol mengalami peningkatan selama proses kultivasi berlangsung. Konsentrasi bioetanol maksimum diperoleh pada jam ke 72 yaitu sebesar 11.15 g/L. Pati sukun terbukti dapat dijadikan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan konsorsium mikroba ragi tape, dalam hal ini pertumbuhan kapang dan khamir. Pada proses sakarifikasi terjadi pemutusan rantai polimer dari pati menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Kapang menghasilkan enzim amilase, selulase, atau xilanase yang dapat merubah komponen pati dari polisakarida menjadi glukosa serta gula-gula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida. Terbukti dari Gambar 2.5, substrat pati menurun konsentrasinya seiring dengan pertumbuhan kapang dan peningkatan produksi gula. Substrat pati yang telah mengalami proses sakarifikasi oleh kapang menjadi glukosa dan gulagula lainnya yang lebih sederhana dimanfaatkan oleh kelompok khamir untuk memproduksi bioetanol melalui proses fermentasi. Selain itu, adanya kandungan serat kasar yang masih terikut selama proses ekstraksi dapat dimanfaatkan kapang untuk membentuk gula. Proses hidrolisis pati merupakan proses yang sangat penting, karena akan menentukan berapa gula yang dihasilkan sehingga bioetanol dapat diproduksi. Menurut Samsuri et al. (2007), hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida sehingga secara langsung dapat difermentasi oleh khamir untuk memproduksi bioetanol. Pada penelitian ini proses hidrolisis pati berlangsung secara biologis, yaitu menggunakan konsorsium mikroba. Saifuddin dan Hussain (2011) menyatakan bahwa, waktu optimum yang diperlukan untuk hidrolisis pati oleh ragi adalah 2 jam, sedangkan untuk fermentasi adalah 30 jam. Terjadi perbandingan terbalik antara konsentrasi substrat pati sukun, sisa total gula dengan kadar bioetanol, dan pertumbuhan sel konsorsium mikroba selama kultivasi. Penurunan konsentrasi substrat pati sukun disebabkan oleh hidrolisis kapang menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Glukosa dan gula
17 sederhana lain yang terbentuk melalui teknik SSF langsung dimanfaatkan oleh sel khamir untuk produksi bioetanol, sedangkan pertumbuhan sel konsorsium mikroba cenderung meningkat seiringnya waktu sampai mencapai kondisi maksimum. Pada jam ke 0–12 terjadi peningkatan konsentrasi sisa total gula dari 3 g/L menjadi 6.5 g/L. Hal ini disebabkan karena pada jam tersebut pertumbuhan khamir masih cenderung konstan yaitu sebesar 5.8 CFU/ml. Namun setelah jam ke 12 konsentrasi gula mulai menurun, sedangkan pertumbuhan khamir mengalami kenaikan. Hal ini memperlihatkan bahwa substrat gula telah dikonsumsi oleh khamir untuk pembentukan sel maupun produk. Terlihat bahwa terjadi peningkatan konsentrasi bioetanol dari 1.7 g/L menjadi 9.5 g/L. Gula yang dibentuk oleh kapang dan juga dikonsumsi oleh khamir menyebabkan Gambar 2.5 cenderung fluktuatif, karena terdapat lebih dari satu jenis gula sederhana yang dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis pati. Dalam proses hidrolisis pati terjadi pemecahan molekul yang lebih sederhana, seperti dektrin, isomaltosa, maltose, dan glukosa (Purba 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Azmi et al. (2009), beberapa jenis gula terdeteksi dapat dihasilkan dari ragi tape dengan substrat pati singkong. Selain glukosa, terdapat enam gula lainnya seperti maltoheptosa, maltoheksosa, maltopentosa, maltotreosa, stakiosa, dan isomaltotriosa. Dari beberapa jenis gula tersebut, stakiosa secara konsisten diproduksi selama proses kultivasi. Konsentrasi glukosa cenderung rendah, namun gula stakiosa lebih tinggi. Kandungan oligosakarida dalam pati relatif tinggi seperti rafinosa, stakiosa, dan verbakiosa. Menurut Kearsley (1988), khamir jenis Saccharomyces cerevisiae mampu menghidrolisis rafinosa menjadi melibiosa dan fruktosa dengan bantuan invertase yang dihasilkannya. Kemampuan khamir pada ragi tape untuk menghidrolisis masing-masing jenis gula berbeda-beda. Oleh sebab itu, hasil analisis total gula pada teknik SSF cenderung fluktuatif. Penyebab lain dari grafik total gula yang fluktuatif adalah karena kelompok kapang juga mengkonsumsi gula untuk aktivitas hidupnya. Kapang mengadakan kontak langsung dengan lingkungan yang mengandung nutrisi. Kapang hidup dengan mengkonsumsi senyawa seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa. Menurut Moore (1982), hifa kapang dapat menyerap langsung molekul sederhana seperti gula sederhana dan asam amino, sedangkan polimer yang lebih kompleks seperti selulosa, pati, dan protein akan diproses terlebih dahulu oleh enzim ekstraseluler. Pada kondisi aerobik, keberadaan oksigen akan menghambat jalur fermentasi di dalam sel khamir, sehingga sumber karbon yang ada akan digunakan melalui jalur respiratif. Namun hasil penelitian menunjukkan selama proses kultivasi yang berlangsung secara aerobik, bioetanol dapat dihasilkan oleh sel khamir. Fenomena tersebut dapat terjadi pada sel khamir khususnya S. cerevisiae yang sedang tumbuh dan menghasilkan bioetanol sebagai produk fermentasi selama terdapat glukosa dalam jumlah tertentu di dalam media pertumbuhan. Kondisi aerobik atau konsentrasi glukosa yang tinggi menyebabkan khamir tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat konsentrasi sel rendah, maka jalur metabolisme yang digunakan adalah respirasi, sedangkan ketika konsentrasi sel telah mencapai maksimum, maka fermentasi bioetanol terjadi (Alexander dan Jeffries 1990; Hartoto dan Sailah 1989; Walker 1998).
18 Dalam uji kinerja SSF ini, digunakan konsorsium mikroba yang terdiri atas kelompok kapang dan khamir. Kedua mikroba ini memiliki sifat yang berbeda yaitu kelompok kapang bersifat aerobik mutlak, sedangkan kelompok khamir bersifat fakultatif anaerobik.
Khamir
Kapang
Gambar 2.6 Hasil total plate count mikroba konsorsium ragi tape selama SSF pada jam ke 48 Hasil TPC pada Gambar 2.6 memperlihatkan tumbuhnya kapang dan khamir (konsorsium mikroba), sehingga membuktikan bahwa dalam ragi tape terdapat lebih dari satu jenis mikroba yang bersimbiosis. Dari uraian diatas, kelompok kapang dapat memecah komponen polimer menjadi glukosa dan gulagula sederhana lainnya yang digunakan khamir untuk membentuk sel dan produk, namun kelompok kapang juga mengkonsumsi gula yang dihasilkannya untuk aktivitas hidupnya. Khamir lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibandingkan dengan kapang karena mempunyai perbandingan luas permukaan dan volume yang lebih besar. Inokulum atau ragi yang ditambahkan dalam fermentasi biasanya kurang dari 1% (b/v). Umumnya jumlah ragi yang dipakai adalah 0.2 – 0.5% (b/v) (Hidayat 2006). Waktu penggandaan sel khamir tiap 20 – 120 menit, sedangkan kapang tiap 2 – 6 jam (Laskin 1977). Hasil penghitungan konsorsium mikroba yang tumbuh selama proses kultivasi berlangsung selama 72 jam, pertumbuhan kapang maksimal pada jam ke 48 yaitu sebesar 2 x 105 CFU/ml, sedangkan pertumbuhan khamir maksimal pada jam ke 60 yaitu sebesar 1.1 x 107 CFU/ml. Pada jam ke 12, jumlah khamir mengalami penurunan menjadi 6.5 x 105 CFU/ml. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi, ketika terjadi perpindahan dari media propagasi 120 ml ke media kultivasi sebanyak 1.2 liter. Menurut Fardiaz (1988), apabila nutrient yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru berbeda dengan media sebelumnya maka akan memerlukan waktu penyesuaian untuk mensistesis enzim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Azmi et al. (2009), walaupun ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, namun ketika akhir fermentasi hanya kapang dan khamir saja yang masih terdeteksi dalam media. Kapang merupakan mikroorganisme multiseluler yang memiliki ciri khas yaitu filamen (miselium) membentuk hifa, sehingga secara morfologi jenis fungi multiseluler ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas. Pertumbuhan mula-mula berwarna putih, tetapi spora akan tumbuh membentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang. Khamir merupakan organisme
19 eukariota, uniseluler, heterotrof, dan keberadaannya tersebar di berbagai habitat (Nagahama 2006). Sel khamir mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 1 – 5 µm sampai 20 – 50 µm. Bentuk sel khamir antara lain bulat, oval, silinder, ogival, triangular, berbentuk botol, spikulat, dan membentuk pseucomiselium (Barnet et al. 2000). Secara umum pada produksi bioetanol baik dari bahan baku selulosa atau pati terdapat dua tahap penting, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada mulanya kedua proses ini dilakukan secara terpisah atau Separated Hydrolisys and Fermentation (SHF). Namun teknik tersebut kurang efisien digunakan karena memerlukan waktu lebih lama, rawan kontaminan, dan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, untuk menekan biaya dan mempersingkat waktu produksi digunakan teknik simultan (SSF). Teknik SSF tersebut merupakan kombinasi antara hidrolisis dan fermentasi yang dilakukan dalam satu reaktor (Cheng 2002; Samsuri et al. 2007). Ragi tape dipilih sebagai starter untuk produksi bioetanol. Ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroba atau disebut juga konsorsium mikroba, sehingga lebih efisien apabila digunakan pada teknik SSF. Pada Gambar 2.6 terlihat bahwa khamir jenis S. cerevisiae dan Candida, serta kapang jenis Rizhopus sp yang terdeteksi selama proses kultivasi. Selain itu, kapang jenis Mucor juga tumbuh selama kultivasi. Hasil peneltian tersebut didukung oleh beberapa peneliti yang telah berhasil mengidentifikasi beberapa jenis mikroba tersebut, diantaranya yaitu Kutzman dan Hasseltine (1990) yang menemukan bahwa dalam ragi terkandung campuran kultur dari beberapa jenis spesies khamir, bakteri, dan kapang. Djien (1972) adalah peneliti yang berhasil mengidentifikasi kapang Chlamydomucor oryzae, lima spesies dari genus Mucor dan satu spesies Rhizopus dalam ragi tape. Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengidentifikasi bahwa mikroorganisme dari ragi tape di Indonesia mengandung dua spesies khamir yaitu Candida lactose dan Pichia malanga. Saono dan Basuki (1979), melaporkan terdapat 13 spesies Candida yang terdapat pada ragi di Indonesia. Saccharomycopsis fibuligera dan Saccharomycopsis malanga juga berhasil diindentifikasi dari ragi tape (Barnett et al. 2000). Penelitian terbaru menemukan terdapat spesies lain dalam ragi tape, yaitu Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae (Gandjar 2003). Alasan lain pemilihan ragi tape digunakan untuk produksi bioetanol pada penelitian ini dikarenakan kemampuan ragi tape dalam memproduksi gula dan bioetanol cukup tinggi secara langsung dari substrat pati (Azmi et al. 2009). Selain faktor diatas, produksi bioetanol juga dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH). Nilai pH dalam suatu media dapat menentukan tumbuh tidaknya mikroba didalamnya. Nilai pH berpengaruh positif terhadap pembentukan asam piruvat, sehingga bioetanol yang dihasilkan akan meningkat. Derajat keasaman optimum pada proses fermentasi berkisar antara 4 – 5. Nilai pH dibawah 3 akan mengurangi kecepatan proses fermentasi. Pada proses fermentasi simultan menggunakan konsorsium mikroba untuk produksi bioetanol diperlukan pH yang berbeda. Kapang mempunyai pH optimum rentang 5 – 7, tetapi kapang masih dapat hidup pada rentang pH 3 – 8.5. Menurut Casida (1968), khamir dapat tumbuh secara optimum pada rentang pH 3 – 6, namun seperti halnya kapang, khamir juga masih dapat hidup pada pH 2,5 – 8.5. Hasil penelitian pada Gambar 2.7 memperlihatkan bahwa, nilai pH cenderung konstan yaitu antara 4 – 4.5,
20 karena perubahan pH juga dapat dipengaruhi oleh pembentukan hasil samping selama proses fermentasi berlangsung (Wang et al. 1979).
Gambar 2.7 Perubahan pH selama proses kultivasi pada SSF konvensional Kinetika Kultivasi Menurut Judoamidjojo et al. (1990), studi kinetika kultivasi dan pertumbuhan diperlukan sebagai dasar untuk memahami setiap proses kultivasi. Kinetika kultivasi dapat menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikrobial ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk menggandakan sel. Waktu yang diperlukan untuk menggandakan massa dan jumlah sel berbeda-beda, karena massa sel dapat meningkat tanpa penambahan jumlah sel. Namun apabila dalam suatu lingkungan tertentu interval antara penggandaan massa sel dan jumlah sel dengan waktu berlangsung konstan, maka mikroba tumbuh pada laju eksponensial. Kinetika pertumbuhan juga dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan. Parameter kinetika kultivasi pada keadaan lingkungan tertutup (batch) meliputi: laju pertumbuhan spesifik (µ), growth yield (Yx/s) yang merupakan hasil bagi antara perubahan jumlah biomassa terhadap substrat, rendemen produk terhadap substrat (Yp/s), rendemen produk terhadap jumlah biomassa (Yp/x), dan efisiensi penggunaan substrat untuk membentuk produk atau biomassa. Produksi bioetanol pada penelitian ini mengikuti pola pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan mikrobial, sehingga kinetika kultivasi diatas dapat digunakan sebagai parameter pengukuran. Menurut Hartoto dan Sailah (1989), pola pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan dapat digunakan untuk memproduksi biomassa, metabolit primer dan metabolit sekunder. Laju spesifik pembentukan produk berbanding lurus dengan laju pertumbuhan spesifik. Laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) digunakan untuk menggambarkan kecepatan reproduksi sel. Semakin tinggi nilainya, maka semakin cepat sel tersebut tumbuh, namun pada saat sel tidak tumbuh maka laju pertumbuhan spesifiknya= 0 (Laskin 1977). Nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum pada penelitian ini adalah sebesar 0.01/jam. Nilai produk yield (Yp/s) adalah sebesar 0.34 g bioetanol/g substrat. Nilai tersebut menunjukkan banyaknya nutrisi dalam substrat yang digunakan oleh
21 mikroorganisme untuk membentuk produk. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Surya (2010) dengan teknik yang sama menggunakan limbah jagung yang menghasilkan 0.192 g bioetanol/g substrat. Growth yield (Yx/s) hasil penelitian sebesar 0.29 g biomassa/g substrat. Besarnya nilai Yx/s pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Surya (2010) yaitu sebesar 0.012 g biomassa/g substrat. Rendemen pembentukan biomassa terhadap substrat (Yx/s) merupakan suatu cara yang penting untuk menyatakan kebutuhan nutrisi oleh suatu mikroorganisme secara kuantitatif. Nilai Yx/s pada penelitian ini lebih tinggi karena pada kondisi aerobik, konsorsium mikroba baik kapang maupun khamir memanfaatkan substrat untuk kebutuhan respirasi sel. Nilai rendemen produk terhadap biomassa (Yp/x) pada penelitian ini sebesar 1.16 g bioetanol/g biomassa. Hasil ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Surya (2010), yang menggunakan campuran biakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis memberikan nilai Yp/x sebesar 15.565. Efisiensi penggunaan substrat (ΔS/S0) pada penelitian ini adalah sebesar 96%. Pada penelitian yang dilakukan Surya (2010) efisiensi penggunaan substratnya sebesar 92.78%. Hasil diatas menunjukkan bahwa pemanfaatan pati sukun melalui teknik SSF oleh ragi tape dalam membentuk sel/biomassa atau produk relatif lebih tinggi. Parameter diatas penting digunakan untuk menggambarkan efisiensi pembentukan produk selama proses fermentasi berkaitan dengan optimalisasi seberapa besar substrat yang dikonversi menjadi produk. Pada kebanyakan proses fermentasi, efisiensi pembentukan produk diharapkan dapat mencapai hasil maksimal dengan substrat yang ada. Secara umum, proses SSF dapat menghasilkan rendemen dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses SHF. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subekti (2006) dengan teknik SHF yang menggunakan substrat limbah tongkol jagung dengan biakan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan rendemen produk per substrat (Yp/s) sebesar 0.154, Yx/s sebesar 0.15, dan efisiensi penggunaan substratnya sebesar 92%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Supatmawati (2010), bahwa bioetanol yang dihasilkan dari sirup glukosa sagu adalah sebesar 10.12 g/L, dengan nilai Yp/s sebesar 0.448, Yx/s sebesar 0.15, dan efisiensi penggunaan substratnya sebesar 94%. Selain itu juga, berdasarkan segi waktu dan produktivitas, teknik SSF lebih unggul dibandingkan dengan teknik produksi secara terpisah. Namun perlu adanya teknik pembaharuan lebih lanjut agar produk yang dihasilkan dapat meningkat, yaitu mengkombinasikan dengan rekayasa bioproses. Potensi pati sukun sebagai media juga dapat ditingkatkan lagi, agar komoditas dan produktivitas khususnya di Indonesia tidak semakin menurun. Selain itu juga, penggunaan ragi tape sebagai inokulum untuk produksi bioetanol perlu dikembangkan agar lebih produktif lagi. Untuk meningkatkan nilai efisiensi dan rendemen produk dapat dilakukan beberapa pembaharuan, salah satunya adalah mengkombinasikan teknik SSF dengan rekayasa bioproses. Rekayasa bioproses tersebut dapat berupa pembentukan produk yang diinginkan atau menghilangkan tahap/bahan yang tidak diinginkan dari skala laboratorium sampai skala industri/komersial. Konsorsium mikroba yang digunakan memiliki sifat yang berbeda, sehingga untuk
22 memaksimal peran dari masing-masing mikroba maka dilakukan rekayasa berupa penghentian aerasi agar pembentukan produk yang dihasilkan dapat meningkat.
2.4 Simpulan 1
Sukun merupakan tanaman berpati yang potensial dijadikan bahan baku produksi bioetanol. Sukun memiliki kandungan karbohidrat relatif tinggi yaitu sebesar 91.93 ± 0.09% (bk), dengan 88.55 ± 0.13% (bk) berupa pati.
2
Produksi bioetanol langsung dari pati sukun secara SSF menggunakan ragi tape terbukti mampu menghasilkan produk sebesar 11.15 g/L, Yp/s sebesar 0.34 g bioetanol/g substrat, Yx/s sebesar 0.29 g biomassa/g substrat, dan Yp/x sebesar 1.16 g bioetanol/g biomassa. Efisiensi penggunaan substratnya sebesar 96%.
23
3 Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) Secara SSF Menggunakan Ragi Tape Abstrak Pati sukun terbukti dapat dijadikan sebagai media produksi bioetanol. Prinsip rekayasa bioproses dikombinasikan dengan teknik SSF agar produksi bioetanol dapat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi produksi bioetanol dari pati sukun yang memiliki rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi melalui teknik SSF terekayasa menggunakan ragi tape. Rekayasa dilakukan untuk memaksimalkan kerja dari konsorsium mikroba yang terdapat pada ragi tape. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, produksi bioetanol terbukti dapat meningkat yaitu sebesar 12.75 ± 0.04 g/L dengan nilai efisiensi konversi sebesar 75% menjadi produk, ketika aerasi dihentikan setelah kondisi biomassa mencapai akhir fase eksponensial, yaitu pada jam ke 36. Rendemen pembentukan produk yang dihasilkan sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat. Kata kunci: pati sukun, rekayasa bioproses, ragi tape, bioetanol
Abstract Breadfruit starch has been able to be used as media for bio-ethanol production. Bio-ethanol production from breadfruit starch was conducted by Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) technology combined with bioprocess engineering. The aim of this study was to obtain technology that produces a higher yield and coversion efficiency of bio-ethanol as an alternative energy from breadfruit starch using Enginereed SSF technology by Ragi Tape. This engineered process was to maximize the work of microbes consortium in Ragi Tape to producing bio-ethanol. The results showed that bio-ethanol production was increased using engineered SSF (12.75 ± 0.04 g/L) with a conversion efficiency of 75% to products, when aeration was stopped after biomass condition reached the end of the exponential phase at 36 h. Based on the calculation of cultivation kinetic parameters, it showed that the combination between bioprocess engineering and SSF could produce product yield for (Yp/s) of 0.41 g bio-ethanol/g substrate. Keywords: breadfruit starch, bioprocess engineered, Ragi Tape, bioethanol
3.1 Pendahuluan Sukun merupakan tanaman yang mengandung sekitar 58 – 74% pati (Graham dan de Bravo 1981; Loos et al. 1981; Steve 1995) dan 1.25% (bk) berupa serat (Akanbi et al. 2011). Pati merupakan komponen utama yang digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol melalui proses hidrolisis yang
24 akan menghasilkan gula, dan selanjutnya dapat dikonversi menjadi berbagai bahan kimia yang bermanfaat, termasuk bioetanol. Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah berhasil dibuktikan bahwa pati sukun dapat digunakan sebagai media produksi bioetanol. Untuk peningkatan produksi bioetanol, maka pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan pembaharuan agar rendemen dan efisiensi yang dihasilkan lebih tinggi. Proses hidrolisis dan sakarifikasi langsung dari pati tidak dapat dilakukan oleh khamir, sehingga memerlukan enzim penghidrolisis yang dihasilkan oleh kapang. Ragi tape berisi lebih dari satu jenis mikroorganisme yang terdiri dari kelompok kapang dan khamir (konsorsium). Kapang merupakan penghasil enzim amilolitik yang cukup kuat (Gandjar 2003). Berdasarkan keadaan pada awal proses kultivasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan sehingga kultivasi berlangsung secara aerobik. Namun setelah biomassa mencapai maksimal, maka substrat tidak lagi dipergunakan untuk membentuk biomassa melainkan produk yaitu bioetanol. Pada penelitian ini dipelajari penggunaan prinsip rekayasa bioproses dengan teknik SSF berupa pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerobik untuk mendapatkan produksi bioetanol dengan rendemen dan efisiensi yang lebih tinggi. Rekayasa bioproses dapat berupa optimasi atau manipulasi media dan lingkungan pertumbuhan dari konsorsium mikroba agar memberikan hasil yang maksimal. Penghentian aerasi dilakukan pada akhir masa eksponensial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi bioetanol dari pati sukun yang memiliki rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi melalui teknik SSF terekayasa menggunakan ragi tape.
3.2 Metode Bahan dan persiapan kerja pada penelitian rekayasa bioproses yang dikombinasikan dengan SSF mengacu pada penelitian sebelumnya (Bab 2).
Kultur Konsorsium Mikroba Ragi Tape Media cair pati sukun 6% sebanyak 120 ml tanpa penambahan nutrisi media lainnya, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml. Media selanjutnya disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Pembuatan kultur dilakukan dengan cara menambahkan ragi tape sebanyak 0.5% (b/v) (Hidayat 2006) ke dalam media yang telah dingin. Inokulasi dilakukan dalam laminar airflow. Media propagasi kemudian diinkubasi dalam shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu ruang (±290C) selama 24 jam. Inokulum/kultur yang diperoleh siap digunakan untuk proses kultivasi.
Proses Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan Terekayasa Setelah didapatkan hasil analisis dari beberapa parameter pengukuran pada penelitian sebelumnya (aerasi penuh) maka didapatkan kurva pertumbuhan
25 konsorsium mikroba. Kurva pertumbuhan tersebut digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan tahap produksi bioetanol yang selanjutnya yaitu SSF terekayasa. Media pati sukun 6% sebanyak 1.2 liter disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Media yang telah disterilisasi, didinginkan terlebih dahulu diatas shaker agar tidak menggumpal sebelum dimasukkan ke dalam reaktor. Media dimasukkan dalam bioreaktor yang sebelumnya telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 45 menit. Proses memasukkan media kultivasi ke dalam bioreaktor dilakukan di dalam laminar airflow dan menggunakan api bunsen agar tetap aseptis. Inokulasi dilakukan sebanyak 10% (v/v) dari volume substrat yang digunakan dan dalam keadaan aseptis. Sebelum dimasukkan ke dalam media kultivasi, media cair propagasi dikocok perlahan agar kapang yang tumbuh dapat terikut masuk kedalam bioreaktor. Variasi pengkondisian yang dilakukan pada sistem batch secara SSF terekayasa meliputi: 1. Bioreaktor dari awal kultivasi dalam kondisi aerobik, yaitu diberi aerasi sebesar 1 vvm dan agitasi sebesar 150 rpm. 2. Bioreaktor dari awal dibuat dalam kondisi aerobik, setelah mencapai keadaan eksponensial dari konsorsium mikroba pada jam ke 36 diubah menjadi kondisi anaerobik, yaitu dengan cara menghentikan aerasi namun agitasi tetap dijalankan.
Metode Analisis Perhitungan kadar bioetanol (P), sisa pati (S), gula total, bobot biomassa kering (X), dan jumlah sel kapang dan khamir (TPC) dilakukan setiap 12 jam selama 72 jam. Konsentrasi gula total dan sisa pati diukur menggunakan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948). Kurva standar yang digunakan untuk menentukan konsentrasi gula total dan kadar pati pada absorbansi 630 nm menggunakan spektrofotometer UV/VIS. Kadar bioetanol diukur menggunakan analisis gas chromatography GC-17A Shimadzu LT-04-044 dengan helium sebagai fase geraknya.
Parameter Pengukuran Sampling dilakukan setiap 12 jam selama 72 jam. Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses kultivasi adalah: 1. Bobot biomassa kering yang dihasilkan tiap 12 jam (X) 2. Kadar bioetanol yang dihasilkan (P) tiap 12 jam 3. Sisa substrat pati yang masih terdapat dalam media (S) tiap 12 jam 4. Laju pertumbuhan maksimum (µmaks) 5. Rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s) (X – X0) Yx/s =
(P – P0) dan Yp/s =
(S0 - S)
(S0 – S)
26 6. Rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) (P – P0) Yp/x = (X – X0) 7. Efisiensi penggunaan substrat =
(S0 – S)
x 100%
S0 S Secara umum perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama dapat dilihat 0 pada Tabel 3.1. ) Tabel 3.1
Variasi pengkondisian penelitian kedua dibandingkan dengan penelitian pertama
Sistem batch
Kondisi awal
Kondisi setelah fase eksponensial
Penelitian sebelumnya (aerasi penuh)
Aerobik: Aerasi Agitasi
Aerobik: Aerasi Agitasi
SSF terekayasa
Aerobik: Aerasi Agitasi
Anaerobik: Penghentian aerasi Agitasi
3.3 Hasil Dan Pembahasan Hasil pada penelitian pertama yaitu SSF aerasi penuh sebagai dasar untuk penelitian berikutnya, yaitu SSF terekayasa. Pada penelitian ini, dilakukan kombinasi antara teknik SSF dengan rekayasa bioproses. Rekayasa bioproses tersebut dapat berupa pembentukan produk yang diinginkan atau menghilangkan tahap/bahan yang tidak diinginkan pada skala laboratorium sampai skala industri/komersial. Konsorsium mikroba yang digunakan memiliki sifat yang berbeda, sehingga untuk memaksimal peran dari masing-masing mikroba tersebut maka dilakukan rekayasa berupa penghentian aerasi agar pembentukan produknya lebih maksimal. Pada saat biomassa mencapai akhir fase eksponensial yaitu pada jam ke 36 dilakukan penghentian aerasi akan tetapi agitasi tetap dilakukan sampai akhir kultivasi. Penghentian aerasi dilakukan pada akhir fase eksponensial karena pada saat biomassa mencapai kondisi maksimal, maka substrat yang tersedia tidak lagi digunakan untuk pembentukan sel melainkan pembentukan produk yaitu bioetanol. Kelompok kapang yang bersifat aerobik mutlak akan berhenti melakukan aktivitas sel ketika aerasi dihentikan. Kondisi selanjutnya yaitu anaerobik dimanfaatkan oleh kelompok khamir yang bersifat fakultatif anaerobik untuk
27 memproduksi bioetanol. Apabila lingkungan dalam kondisi aerobik, maka khamir melakukan respirasi sel dan mengubah gula yang tersedia menjadi CO2 dan H2O dengan membentuk sel. Namun apabila pada kondisi tidak tersedia oksigen (anaerobik), maka khamir melakukan proses fermentasi dimana gula yang tersedia selanjutnya dikonversi menjadi bioetanol dan CO2. Selain itu apabila di dalam media masih pada kondisi aerobik atau tersedia oksigen, kapang bersama dengan khamir akan mengkonsumsi gula yang tersedia di lingkungan, sehingga bioetanol yang terbentuk kurang maksimal. Menurut Prescot dan Dunn (1981), pada permulaan proses fermentasi khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi berlangsung secara aerob, namun setelah terbentuk CO2 reaksi akan berubah menjadi anaerob sehingga menghasilkan bioetanol. Pemilihan prinsip rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi namun agitasi tetap dilakukan karena mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyuni (2008). Bioetanol yang dihasilkan ketika aerasi dan agitasi sama-sama dihentikan lebih rendah dibandingkan dengan penghentian aerasi saja. Hasil dari kinerja SSF terekayasa dari awal sampai akhir selama 72 jam dapat dilihat pada Gambar 3.1.
stop aerasi Gambar 3.1 Hasil kultivasi secara SSF terekayasa oleh konsorsium mikroba ragi tape selama 72 jam Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa pada SSF terekayasa produksi bioetanol dapat meningkat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (aerasi penuh). Ketika aerasi dihentikan pada jam ke 36 sampai 72, produksi bioetanol meningkat sekitar 6 – 13 g/L. Setelah dilakukan penghentian aerasi pada jam ke 36 terlihat pertumbuhan kapang memasuki fase stasioner, sampai akhirnya setelah jam ke 48 pertumbuhan kapang mengalami fase kematian. Dimulai pada jam ke 48 pertumbuhan kapang menurun dari 1.0 x 105 CFU/ml menjadi kurang dari 1.0 x 103 CFU/ml. Hal tersebut disebabkan karena kapang yang bersifat aerobik sejati/mutlak memerlukan oksigen untuk aktivitas selnya. Namun walaupun kapang dalam fase stasioner sampai kematian, kapang masih dapat menghidrolisis pati sukun, sehingga ketika jam ke 36 sampai 72 terjadi penurunan konsentrasi substrat pati walaupun jumlahnya tidak terlalu signifikan. Hal ini dimungkinan
28 pada jam tersebut masih terdapat sisa oksigen dalam media kultivasi yang mampu dimanfaatkan oleh kapang untuk metabolik sel. Sedangkan, pertumbuhan khamir cenderung konstan walaupun terjadi pengalihan dari kondisi aerobik menjadi anaerobik, karena sesuai dengan kondisi daur hidup khamir yang bersifat fakultatif anaerobik. Khamir tumbuh baik membentuk sel pada kondisi aerobik melalui proses respirasi, sedangkan pada saat terjadi pengalihan kondisi menjadi anaerobik, khamir akan membentuk bioetanol. Selain disebabkan oleh pengalihan kondisi, jumlah substrat yang tersedia juga berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa. Sel memanfaatkan substrat untuk membentuk sel yang baru dan pembentuk produk yaitu bioetanol, namun pertumbuhan sel tidak diimbangi dengan nutrisi yang cukup. Pemanfaatan substrat pati pada proses SSF terekayasa oleh kapang di awal inokulasi menurun relatif signifikan dari 30 g/L menjadi 5.18 g/L pada jam ke 36. Penurunan jumlah substrat pati tersebut diikuti dengan pertumbuhan kapang di awal inokulasi yaitu dari 1.5 x 104 CFU/ml menjadi 1.5 x 105 CFU/ml. Pada penelitian kedua, gula yang dimanfaatkan oleh khamir untuk membentuk produk cenderung lebih tinggi daripada penelitian pertama (aerasi penuh), terbukti dengan sisa gula pada akhir kultivasi sebesar 1.33 g/L, sedangkan pada penelitian sebelumnya sebesar 2.4 g/L. Disimpulkan bahwa fermentasi lebih efektif terjadi pada kondisi anaerobik dibandingkan aerobik. Pada awal kultivasi juga terjadi penurunan konsentrasi gula dari 6.37 g/L menjadi 4.77 g/L pada jam ke 24. Penyebab penurunan konsentrasi total gula ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah khamir yang mengalami fase eksponensial pada jam ke 0 – 24. Pada fase tersebut, semua sel mikroba memiliki kemampuan untuk berkembangbiak, sehingga nutrient yang tersedia banyak dimanfaatkan untuk pertumbuhan serta pembelahan sel (Supatmawati 2010). Selain untuk pembentukan sel, khamir juga memanfaatkan substrat gula untuk membentuk produk terbukti dari awal inokulasi bioetanol sudah terbentuk walaupun jumlahnya relatif rendah. Selain itu, pada jam yang sama kapang mengalami peningkatan pertumbuhan dari 1.5 x 104 CFU/ml menjadi 2.2 x 104 CFU/ml, dimana kapang juga memanfaatkan gula untuk aktivitas hidupnya. Pada teknik SSF, gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis oleh enzim amilase kapang akan langsung dimanfaatkan khamir untuk membentuk produk dan sel.
Gambar 3.2 Pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba ragi tape pada SSF terekayasa
29 Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa di awal kultivasi sampai jam ke 24 konsorsium mikroba memasuki fase adaptasi, selanjutnya memasuki fase eksponensial pada jam ke 24 – 36. Fase eksponensial dari konsorsium mikroba pada penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya (aerasi penuh). Namun, setelah jam ke 36 sampai jam ke 72 konsorsium mikroba mengalami fase stasioner sampai memasuki fase kematian. Biomassa tertinggi terjadi pada jam 36 yaitu sebesar 54.3 g/L. Hasil tersebut diperkuat dengan perhitungan pertumbuhan konsorsium mikroba menggunakan metode total plate count seperti tersaji pada Gambar 3.3.
Khamir
Gambar 3.3 Hasil total plate count konsorsium mikroba ragi tape pada jam ke 60
Hasil TPC SSF pada jam ke 60 memperlihatkan bahwa, kelompok khamir masih dapat tumbuh. Adanya kapang masih terdeteksi setelah aerasi dihentikan pada jam ke 36 walaupun jumlahnya kurang dari 1 x 103 CFU/ml, dikarenakan kapang masih dapat memanfaatkan sisa oksigen yang terdapat dalam media. Menurut Khanal (2008), bahwa pada fermentasi anaerobik zat-zat organik mengalami katabolisme tanpa adanya oksigen yang artinya tidak ada akseptor elektron eksternal melainkan melalui keseimbangan reaksi oksidasi-reduksi internal. Produk dihasilkan selama proses penerimaan elektron yang dilepaskan saat pemecahan zat-zat organik. Oleh sebab itu, zat-zat organik inilah yang berperan sebagai aseptor dan donor elektron. Pada kondisi anaerobik saat fermentasi terjadi, substrat hanya dioksidasi sebagian dan hanya sedikit energi yang dihasilkan. Glukosa dan gula sederhana lainnya berperan sebagai substrat yang akan melepaskan elektron saat dirubah menjadi piruvat, namun elektron tersebut kemudian diambil oleh piruvat untuk diubah menjadi bioetanol. Menurut Kunkee dan Mardon (1970), secara teoritis pada fermentasi anaerobik 1 mol glukosa akan membentuk 2 mol bioetanol dan karbondioksida. Berdasarkan bobot secara teoritis, 1 gram glukosa akan menghasilkan 0,51 gram bioetanol. Namun angka tersebut tidak dapat dicapai secara maksimun, karena terdapat hasil samping yang dihasilkan selama proses kultivasi (Underkofler dan Hickey 1954). Apabila konsentrasi awal substrat pati sebesar 30 g/L, secara teoritis akan menghasilkan glukosa sebesar 33.3 g/L. Dari 33.3 g/L secara perhitungan stokiometri akan menghasilkan bioetanol sebesar 16.893 g/L. Namun hasil penelitian sakarifikasi dan fermentasi simultan terekayasa, kadar bioetanol tertinggi yang dapat dihasilkan adalah sebesar 12.75 g/L atau hanya 75% dari
30 angka teoritis. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya, yield produk tidak dapat tercapai dari nilai maksimum secara teoritis dikarenakan sebagian glukosa akan dikonversi menjadi biomassa dan produk samping metabolisme seperti gliserol atau asetat. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Azmi et al. (2009), dengan menggunakan ragi tape, 10% substrat pati singkong maksimum dikonversi menjadi 23.79 g/L bioetanol atau sekitar 42% menjadi produk. Penelitian lain yang dilakukan oleh Koesnandar (2001), yang menggunakan sistem imobilisasi sel ganda L. starkeyi dan S. cerevisiae pada batch bertahap yang dilakukan secara simultan, 150 g/L selobiosa secara langsung mampu menghasilkan bioetanol sebesar 60 – 70 g/L selama 450 jam atau sekitar 82%, sedangkan Wood dan Ingram (1992) yang berhasil menyisipkan gen produsen etanol dari Zymomonas mobilis ke dalam Klebsiella oxyteca untuk mengkonversi 10% selobiosa secara simultan maksimum dikonversi menjadi 45 g/L bioetanol atau sekitar 79% menjadi produk. Penggunaan teknik hidrolisis dan fermentasi secara terpisah (SHF), seperti yang dilaporkan oleh Supatmawati (2010), dengan sistem batch terekayasa, 24% sirup glukosa sagu mampu menghasilkan 10.69% bioetanol atau 87% menjadi produk. Penelitian lain dilakukan oleh Wahyuni (2008), dengan mengunakan khamir S. cerevisiae, 24% sirup glukosa ubi jalar mampu menghasilkan 10.27% bioetanol atau sekitar 84% menjadi produk. Menurut Prasad (2006), pada fermentasi yang berlangsung dalam kondisi anaerobik melalui jalur EMP (Embden Meyerhoff-Parnas), glukosa dikonversi menjadi asam piruvat. Asam piruvat yang terbentuk selanjutnya diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dehidrogenase yang kemudian diubah menjadi alkohol oleh dehidrogenase. Selama proses berlangsung, 2 molekul ADP diubah menjadi ATP. Selanjutnya ATP yang terbentuk akan diregenerasi kembali menjadi ADP, sehingga pada akhir proses fermentasi menghasilkan 2 molekul ATP. Perubahan pH juga terjadi selama kultivasi walaupun tidak terlalu signifikan. Hal ini berkaitan dengan adanya proses glikolisis dan akumulasi senyawa asam organik yang terbentuk selama proses SSF berlangsung. Senyawa organik yang terbentuk dapat berupa asam piruvat, asam asetat, dan asam laktat. Gambar 3.4 memperlihatkan terjadinya penurunan pH selama kultivasi dari 3.9 – 4.5.
Gambar 3.4 Perubahan nilai pH selama SSF terekayasa
31 Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap 1 mol glukosa akan dipecah menjadi 2 mol asam piruvat dan melepaskan 2 mol ion H+. Adanya ion H+ ini berpengaruh terhadap penurunan pH dalam media. Tingkat medium pH juga dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Koesnandar (2001), konversi optimum untuk khamir S. cerevisiae terjadi pada pH 4.4, sedangkan untuk enzim yang berasal dari kapang Aspergillus niger bekerja optimum pada pH 4.0 dan 4.9 (Hartmeir 1981; Hahn-Hagerdal 1984).
Kinetika Kultivasi SSF Terekayasa Data pada Tabel 3.2 merupakan hasil perhitungan kinetika kultivasi SSF terekayasa yang dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (aerasi penuh). Nilai laju pertumbuhan spesifik maksimal pada SSF terekayasa relatif sama dengan penelitian pertama, yaitu sebesar 0.00/jam. Laju pertumbuhan spesifik pada kedua penelitian relatif rendah, hal tersebut dimungkinkan karena pembiakan mikroba berada dalam media dengan konsentrasi rendah (Mangunwidjaja dan Suryani 1994). Rendemen penggunaan substrat menjadi biomassa (Yx/s) pada aerasi penuh lebih rendah yaitu sebesar 0.09 g biomassa/g substrat dibandingkan dengan penelitian pertama. Nilai Yx/s pada terekayasa lebih rendah menunjukkan bahwa mikroba lebih memanfaatkan substrat yang tersedia untuk membentuk produk daripada sel terutama pada saat terjadi pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerobik. Nilai efisiensi penggunaan substrat pati sukun selama kultivasi pada terekayasa juga lebih rendah yaitu sebesar 90%. Kondisi anaerobik menyebabkan kapang kehilangan kemampuan untuk menghidrolisis substrat pati sukun, karena tidak ada ketersediaan oksigen yang cukup di dalam media.
Tabel 3.2 Hasil perhitungan kinetika kultivasi pada SSF terekayasa dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (aerasi penuh) Teknik SSF
µmaks (/jam)
Yx/s
Yp/s
Yp/x
Efisiensi penggunaan substrat
Aerasi penuh
0.01
0.29
0.34
1.16
96%
Terekayasa
0.00
0.09
0.41
4.4
90%
Nilai rendemen substrat per produk (Yp/s) dan produk terhadap biomassa (Yp/x) pada SSF terekayasa lebih tinggi daripada penelitian pertama (aerasi penuh) yaitu berturut-turut sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat; 4.4 g bioetanol/g biomassa. Kedua nilai parameter ini lebih tinggi disebabkan karena ketika terjadi pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerobik maka substrat dapat digunakan secara maksimal oleh mikroba untuk membentuk produk, khamir mampu mengubah asam piruvat untuk membentuk bioetanol melalui proses fermentasi.
32 Penelitian lain yang menggunakan teknik simultan dari selobiosa mampu menghasilkan konversi antara 0.40 – 0.49 g bioetanol/g selobiosa (Kilian et al. 1983; Wood dan Ingram 1992; Koesnandar 2001). Secara umum, hasil produksi bioetanol dan kinetika fermentasi diatas lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya yang menggunakan kombinasi antara teknik hidrolisis dan fermentasi secara terpisah dengan rekayasa bioproses. Supatmawati (2010) melaporkan bahwa bioetanol yang dapat dihasilkan dari sirup glukosa sagu adalah sebesar 10.69 g/L, dengan nilai Yp/s lebih tinggi yaitu 0.46 g etanol/g substrat. Penggunakan teknik SSF untuk produksi bioetanol langsung dari pati sukun memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan teknik terpisah, salah satunya adalah proses produksinya lebih singkat. Hasil penelitian diatas menjelaskan bahwa pati sukun sangat potensial dijadikan media untuk produksi bioetanol. Selain itu, adanya kombinasi antara teknik SSF dengan rekayasa bioproses (SSF terekayasa) dengan cara pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerob terbukti mampu meningkatkan produksi bioetanol. Namun masih perlu dilakukan penelitian lanjutan agar dapat diperoleh produk yang lebih tinggi, karena menggunakan sistem batch dengan teknik SSF dalam memproduksi bioetanol memiliki kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah konsentrasi substrat pati sukun yang digunakan tidak dapat terlalu tinggi akibat proses gelatinisasi, sehingga untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan teknik kultivasi yang lain, seperti secara batch berulang atau fed batch. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2009), yang melaporkan bahwa konsentrasi bioetanol tertinggi untuk produksi bioetanol dari limbah tongkol jagung kering dengan sistem fed batch SSF selama 96 jam mampu menghasilkan bioetanol sampai 84.7 g/L, sedangkan apabila menggunakan sistem batch, dengan waktu fermentasi yang sama diperoleh konsentrasi bioetanol sebesar 69.2 g/L. Penelitian lain yang dilakukan oleh Supatmawati (2010), mengungkapkan bahwa dengan menggunakan teknik fed batch dari sirup glukosa sagu dengan aerasi penuh mampu menghasilkan bioetanol sebesar 10.49% dengan nilai Yp/s sebesar 0.451. Sedangkan fed batch terekayasa dengan pengumpanan sirup glukosa konsentrasi 16% mampu menghasilkan bioetanol dengan konsentrasi sebesar 12.05% dengan nilai Yp/s sebesar 0.51. Menurut Wahyuni (2008), bahwa rekayasa bioproses mampu meningkatkan konsentrasi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar menggunakan biakan Saccharomyces cerevisiae. Pada sistem fed batch dengan perlakuan penghentian aerasi, namun agitasi tetap dilakukan konsentrasi bioetanol yang diperoleh sebesar 10.27 ± 0.424% (v/v) menjadi 21.385% (v/v).
3.4 Simpulan 1. Kombinasi antara teknik SSF dengan rekayasa bioproses (SSF terekayasa) terbukti mampu meningkatkan produksi bioetanol langsung dari pati sukun, yaitu sebesar 12.75 g/L dengan nilai efisiensi konversi sebesar 75% dari angka teoritis.
33 2. Berdasarkan segi waktu dan proses produksi, SSF dinilai lebih efisien daripada dengan teknik terdahulu (hidrolisis dan fermentasi terpisah), selain itu juga SSF terekayasa terbukti mampu meningkatkan rendemen pemakaian substrat untuk produk (Yp/s) sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (aerasi penuh).
34
4 PEMBAHASAN UMUM 4.1 Potensi Pati Sukun Sebagai Media Produksi Bioetanol Pati sukun merupakan bahan baku yang potensial untuk dikonversi menjadi glukosa dan gula sederhana melalui proses hidrolisis, kemudian difermentasi menjadi bioetanol. Hasil analisis proksimat terhadap pati sukun (Tabel 2.1), membuktikan bahwa komponen utama sukun adalah karbohidrat sebesar 91.93 ± 0.09% (bk), dengan 88.55 ± 0.13% berupa pati. Kadar pati dianalisis secara kuantitatif menggunakan analisis Antrone (Sattler dan Zerban 1948). Kadar pati yang terkandung di dalam sukun bervariasi, bergantung pada tingkat efisiensi proses ekstraksi (rasping effect) (Hermiati 2012). Kandungan pati sukun yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa bahan ini berpotensi dikonversi menjadi bioetanol. Protein (Tabel 2.1) masih terdeteksi pada hasil ekstraksi pati sukun. Komponen kimia tersebut dipergunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan konsorsium mikroba. Selain itu, terdapat senyawa anorganik seperti kasium, forfor, dan besi yang terkandung di dalam buah sukun, sehingga untuk pembuatan media propagasi dan kultivasi tanpa ditambahkan nutrisi yang lain. Kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalam pati sukun yang digunakan, berturut-turut sebesar 27.47 ± 0.08% dan 72.53 ± 0.08%. Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda tergantung varietas dan tempat tumbuh. Namun umumnya proporsi amilopektin lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilosa. Kedua molekul ini memiliki sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih larut dalam air dan kurang kental dibandingkan dengan amilopektin. Apabila pati sukun dipanaskan dalam air, maka pati akan mengalami peningkatan kelarutan dan akhirnya membentuk pasta dan gel dalam konsentrasi tinggi (gelatinasi). Oleh sebab itu, pati sukun yang dipergunakan sebagai media produksi bioetanol pada penelitian ini sebelumnya telah dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Kandungan air ekstrak sukun sebesar 75.96 ± 0.1% bb, karena media produksi bioetanol yang digunakan adalah dalam bentuk cair. Kadar air yang terkandung pada pati sukun digunakan sebagai penentu jumlah air yang ditambahkan pada saat pembuatan media. Berdasarkan segi proses dan waktu, penggunaan media pati cair lebih menguntungkan karena mudah diolah. Selain itu, proses ekstraksi lebih singkat karena tanpa tahap pengendapan dan pengeringan. Namun, adanya kandungan air yang terdapat pada suatu bahan berpengaruh terhadap daya simpan bahan tersebut. Kadar air yang tinggi menyebabkan mikroorganisme lebih mudah berkembangbiak, sehingga bahan akan cepat rusak. Untuk menghindari hal tersebut, maka sukun hasil parutan sebelum diekstraksi langsung disimpan di dalam lemari es untuk dijadikan stok. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pati sukun dapat dijadikan sumber karbon bagi konsorsium mikroba. Efisiensi pemakaian substrat pati sukun selama kultivasi cukup tinggi, yaitu berkisar antara 90%–96%. Selain itu juga, pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba meningkat seiring bertambahnya waktu sampai mencapai kondisi maksimum. Produksi bioetanol dari pati sukun secara SSF lebih menguntungkan daripada teknik terdahulu yaitu SHF. Pada teknik SHF, sebelum fermentasi pati
35 akan melalui proses hidrolisis secara terpisah menggunakan reaktor tersendiri, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Selain itu juga, peluang adanya kontaminasi jauh lebih besar. Bioetanol yang dapat diproduksi dari 30 g/L pati sukun secara SSF menggunakan ragi tapai dengan total waktu selama 72 jam kultivasi adalah 11.15 ± 0.177 g/L, dengan sisa substrat sebesar 1.296 ± 0.068 g/L. Namun, produksi bioetanol dari pati langsung masih mengalami kendala yaitu konsentrasi substrat yang digunakan tidak dapat terlalu tinggi, karena adanya proses gelatinisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, yaitu dengan cara memecah komponen polisakarida pati menjadi oligosakarida terlebih dahulu, sehingga proses sakarifikasi dan fermentasi dapat dilakukan secara simultan. Selain itu, dapat menggunakan sistem batch berulang dan fed-batch agar produksi bioetanol dapat lebih maksimal.
4.3 Pengaruh Rekayasa Bioproses Terhadap Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun Penerapan prinsip rekayasa bioproses dengan teknik SSF terbukti berpengaruh nyata terhadap hasil produksi bioetanol dengan pati sukun sebagai substratnya. Rekayasa bioproses dapat dilakukan dengan cara optimasi atau manipulasi media dan lingkungan pertumbuhan untuk memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, bentuk manipulasi lingkungan pada penelitian ini adalah dengan cara mengubah kondisi lingkungan pertumbuhan konsorsium mikroba ragi tapai dari aerobik menjadi anaerobik. Pengalihan kondisi tersebut berupa dihentikannya pemberian aerasi pada saat kurva biomassa mencapai akhir fase eksponensial. Ragi tapai berisi beberapa jenis mikroorganisme seperti kapang, khamir, dan bakteri. Namun hanya kapang dan khamir yang terdeteksi berada di dalam media ketika akhir fermentasi (Gambar 2.5). Kedua kelompok mikroba ini memiliki sifat yang berbeda, dimana yang membedakan daur hidupnya adalah ketersedian oksigen. Apabila di dalam media terdapat oksigen, maka kedua kelompok mikroba ini memanfaatkannya untuk pembentukan biomassa. Namun, apabila media berada dalam kondisi anaerobik maka hanya kelompok khamir yang bertahan hidup melalui fermentasi untuk membentuk produk. Hal ini merupakan sesuatu yang logis dilakukan karena hasil akhir yang diinginkan adalah produksi bioetanol dengan rendemen dan efisiensi yang tinggi. Proses hidrolisis pati merupakan proses yang sangat penting, karena menentukan berapa banyak gula yang dihasilkan sehingga bioetanol dapat diproduksi. Khamir tidak dapat menghidrolisis pati sukun secara langsung, sehingga diperlukan kapang yang merupakan penghasil amilolitik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, awal kultivasi dilakukan dalam kondisi aerobik terlebih dahulu. Hal tersebut memberi kesempatan untuk konsorsium mikroba melakukan respirasi sel. Aerasi dihentikan ketika mencapai akhir fase eksponensial karena pada saat biomassa mencapai maksimum maka substrat tidak lagi digunakan untuk pertumbuhan sel melainkan pembentukan produk. Pemilihan prinsip rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi, namun agitasi tetap dilakukan karena mengacu pada penelitian sebelumnya. Menurut Wahyuni (2008), ketika aerasi dan agitasi dihentikan secara bersamaan, produksi bioetanol lebih rendah dibandingkan jika menghentikan aerasi saja.
36 Hasil penelitian (Gambar 2.4, 3.1; Tabel 3.2) memperlihatkan bahwa, penghentian aerasi ternyata menyebabkan kapang mengalami penurunan pertumbuhan. Penurunan jumlah kapang ini memberikan hasil yang positif karena kapang juga memanfaatkan gula untuk aktivitas hidupnya, sehingga apabila aerasi tidak dihentikan maka produksi bioetanol kurang maksimal. Produksi bioetanol meningkat pada SSF terekayasa yaitu sebesar 12.75 g/L dibandingkan dengan tanpa rekayasa (aerasi penuh). Berdasarkan perhitungan secara stokiometri, efisiensi konversi produksi bioetanol yang mampu dihasilkan menggunakan SSF terekayasa yaitu sebesar 75%. Adanya rekayasa bioproses ini juga mampu meningkatkan nilai rendemen pembentukan produk terhadap substrat (Yp/s) sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat.
37
5 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Hasil penelitian membuktikan bahwa sukun berpotensi dijadikan sebagai sumber media untuk dikonversi menjadi bioetanol karena kandungan karbohidratnya sebesar 91.93 ± 0.09% (bk), dengan kandungan pati sebesar 88.55 0.13% (bk). Pada proses produksi bioetanol dari pati terdapat tiga tahapan, yakni hidrolisis, sakarifikasi, dan fermentasi. Namun melalui teknik simultan maka ketiga tahap tersebut dapat direduksi menjadi satu tahap, sehingga waktu dan biaya yang diperlukan lebih singkat dan murah. Konsentrasi bioetanol tertinggi yang dihasilkan dari 30 g/L dengan teknik SSF dengan aerasi penuh dari awal sampai akhir kultivasi adalah sebesar 11.15 g/L. Produksi bioetanol meningkat ketika dilakukan kombinasi antara rekayasa bioproses dengan teknik sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF terekayasa), yaitu sebesar 12.75 ± 0.035 g/L, dengan efisiensi konversi sebesar 75% menjadi produk. Hasil perhitungan kinetika kultivasi pada SSF dengan aerasi penuh mampu menghasilkan Yp/s sebesar 0.34 g bioetanol/g substrat. Sedangkan, SSF terekayasa mampu menghasilkan nilai Yp/s lebih tinggi yaitu sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat dengan nilai Yp/x sebesar 4.4 g bioetanol/g biomassa.
SARAN Penggunaan media pati sukun secara SSF memiliki kekurangan yaitu konsentrasi substrat pati yang digunakan tidak dapat terlalu tinggi. Kandungan pati sukun yang tinggi akan menggumpal ketika dilakukan pemanasan. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan tahap likuifikasi terlebih dahulu. Apabila bentuk pati sukun yang digunakan untuk media berupa oligosakarida, maka tahap sakarifikasi dan fermentasi dapat dilakukan secara simultan. Selain cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan teknik batch berulang dan fed-batch atau sistem umpan substrat agar rendemen dan efisiensinya yang dihasilkan akan lebih maksimal. Media segar yang mengandung pati sukun ditambahkan kembali untuk kultivasi selanjutnya. Setelah batch kedua berakhir, media yang mengandung pati sukun ditambahkan kembali dan seterusnya. Pemilihan media dan metode pengolahan untuk menciptakan energi alternatif merupakan hal yang penting, sehingga perlu dikaji mengenai analisis biaya. Apabila dilakukan penggandaan pada skala besar akan dapat menghasilkan bahan bakar alternatif yang memiliki produktivitas dan efisiensi lebih tinggi.
38
DAFTAR PUSTAKA Adepeju AB, Gbadamosi SO, Adeniran AH, Omobuwajo TO. 2011. Functional and pasting characteristics of breadfruit (Artocarpus artilis) flours. African Journal of Food Science, Vol. 5(9), pp. 529-535, 15 September 2011. Adinugraha HA, NK Kartikawati. 2004. Pertumbuhan Bibit Tanaman Sukun (Arthocarpus altilis) Hasil Perbanyakan secara Klonal di Persemaian. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogjakarta [ID]. Akanbi TO, Nazamid S, Adebowale AA. 2009. Functional and Pasting Properties of a Tropical Breadfruit (Artocarpus ltilis) Starch from Ile-Ife, Osun State, Nigeria. Int Food Research J 16:151-157. Akanbi TO, Nazamid S, Adebowale AA, Farooq A, Olaoye AO. 2011. Breadfruit starch-wheat flour noodles: preparation, proximate compositions, and culinary properties. International Food Research Journal 18: 1283-12897. Akubor PI, Isolokwu PC, Ugbane O, Onimawo IA. 2000. Proximate composition and functional properties of African breadfruit kernel and flour blends. Food Res. Int., 33: 707-712. Alexander MA, TW Jeffries. 1990. Respiratory efficiency and metabolize partitoning as regulatory phenomena in yeasts. Enzyme Microbe Technol. 12: 2-29. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta [ID]: PT Dian Rakyat. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official methods of analysis of the association of official of analytical chemist. Washington. Apriyantono A. 1989. Analisa Pangan. Bogor [ID]: IPB Press Azmi AS, Hasan M, Mei M. 2008. Screening of microbes for producing ethanol from cassava starch. 15th Regional Symposium of Malaysian Chemical Engineers (SOMChE), Vol I, pp. 177-181. Azmi A, Hasan M, Mel M, Ngoh Cheng. 2009. Single-step bioconversion of starch to bioethanol by the coculture of ragi tapai and Saccharomyces cerevisiae. Chemical Engineering Transactions Vol 18. pp 557-562. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Buah-buahan dan Sayuran di Indonesia, 1995 – 2013. Diunduh pada tanggal 02 Februari 2015. Barnett JA, RW Payne, D Yarrow. 2000. Yeasts: Characteristics and identification. Cambridge University Press, Cambridge: ix + 1139 hlm. Campbell CJ, Laherrere JH. 1998. The end of cheap oil. Sci. Am. 3, 78–83. Casida JR. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. Cheng Jiayang, Sun Ye. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: a review. Bioresource Technol., 83,1-11. Daud. 2010. Produksi Bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. [Tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Demirbas A. 2005. Bioethanol from cellulosic materials: A Renewable motor fuel from biomass. J Energy Sources 21: 327-337. Departemen Kehutanan. 2005. Pengembangan Sukun Masyarakat di Kabupaten Cilacap. http://www.dephut.go.id.
39 Djien KS. 1972. Tape fermentation. Applied Microbiology, 23(5): 976 – 978. Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. 2013. Standard dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Bioetanol sebagai Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di dalam Negeri. Nomor 722 k/ 10/DJE/2013. Tersedia dalam http://www.ebtke.esdm.go.id/id/download/ docdownload/538-kepdirjen-standar-dan-mutu-bbn-jenis-bioetanol.html. Dwidjoseputro D, FT Wolf. 1970. Microbiological studies of Indonesian fermented foodstruffs. Mycopathol. mycol. Appl. 41:211-222. Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Lembaga Sumber Daya Informasi, IPB [ID]: Bogor. Gandjar I. 2003. Tapai from cassava and cereals. The first international symposium and workshop on insight into the world of indigeneous fermented foods for technology development and food safety, Kasetsart University. Graham HD, de Bravo EN. 1981. Composition of the Breadfruit. J Food Sci 46: 535-539. Griffin HD. 1981. Fungal physiology. New York: John Wiley and Sons, Inc. Hahn-Hagerdal B. 1984. An enzyme coimmobilized with a microorganism: the conversion of cellobiose to ethanol using β-glucosidase and Saccharomyces cerevisiae in calcium alginate gels. Biotech Bioeng 26: 771-774. Hartmeier W. 1981. Basic trials on the conversion of cellulosic material to ethanol using yeast coimmobilized with cellulolytic enzymes. Di dalam: Moo-Young M (ed). Advances in Biotechnology. Vol II. Pergamon Pr. Hlm. 377-382. Hartoto L, Sailah I. 1989. Sistem bioreaktor. Bogor [ID]: Depdikbud Pusat Antar Universitas: IPB. Hermiati E. 2012. Rekayasa proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro untuk produksi etanol. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor [ID]: Bogor. Hidayat. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta (ID): Andi Yogyakarta. Hollaender M. 1984. Sequential induction nutrient study. J Bacterial. 49, 524, 1945. Imam Tahmina, Capareda Sergio. 2011. Fermentation kinetics and ethanol production from different sweet sorgum varieties. Int J Agric & Biol Eng Vol. 4 No 3. Jenie BS, Putra R, Kusnandar F. 2012. Fermentasi kultur campuran bakteri asam laktat dan pemanasan autoklaf dalam meningkatkan kadar pati resisten dan sifat fungsional tepung pisang tanduk (Musa paradisiacal formatypica). Jurnal pascapanen 9 (1) 2012: 18-26. Institut Pertanian Bogor. Judoamidjojo M. 1990. Teknologi Fermentasi. Bogor [ID]: IPB Press. Kay. 1983. TPI Crop and Product Digest No. 2 Roots Crops. The Tropical Products Institute. Kearsley MW. 1988. Physical, Chemical and Biochemical Methods of Analysis of Carbohydrates. Analysis of Food Carbohydrates. Elsevier Applied Science Publisher Ltd. England. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Tersedia dalam: http://www.esdm.go.id/batubara/doc_download/1498peraturan-menteriesdm-no20-tahun-2014.html. Diunduh pada 15 Januari 2015.
40 Kementerian Pertanian. 2013. Data Produktivitas Buah. Official Website Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB www.pkht.or.id. Khairani R. 2007. Tanaman jagung sebagai bahan bio-fuel. http://www.macklintmip-unpad.net/Bio-fuel/Jagung/Pati.pdf. Killian SG, Prior BA, Potgieter HJ, du Preez JC. 1983. Utilization of glucose and cellobiose by Candida wickerhamii. Eur J Appl Microbiol Biotechnol 17: 281286. Koenandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan ko-imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae secara fed-batch. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Februari 2001, vol. 6, No. 1, hlm. 15-18. Kurtzman C, Hesseltine Clifford. 1990. Yeast in amylolytic food starters. Anales inst. Biol. Univ. Nac. Auton. Mexico, Ser. 60(1): 1-7, 30-XI-1990. Laskin AI. 1977. Biosystem poised for growth. Paper presented at a meeting of the Commercial Development Association, held at the Homestead, Hot Springs, Virginia, USA, October 1977. Limbong LN. 1981. Pengaruh Jenis Kedelai, Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi dalam Larutan Garam Terhadap Mutu Tauco. Departemen Teknologi Hasil dan Mekanisasi Pertanian Fakultas Pertanian USU Medan [ID]: Medan. Loebis EH. 2008. Optimasi proses hidrolisis kimiawi dan enzimatis tandan kosong kelapa sawit menjadi glukosa untuk produksi etanol. [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Loos PJ, Hood LF, Graham HD. 1981. Isolation and Characterization of Starch from Breadfruit. Cereal Chem. 58(4): 282 – 286. Department and Institute of Science, Cornell University, Ithaca, NY 14853. Mangunwidjaja D, Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta [ID]: Penebar Swadaya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Naga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. McCarthy JE, Tiemann M. 1998. CRS report for congress. MTBE in gasoline: clean air and drinking water issues. Available from http://www.epa.gov/otaq/consumer/fuels/mtbe/crs-mtbe.pdf. Merican Z, Quee–Lan Y. 2004. Tapi processing in Malaysia: A techonology in transition. Industrialization of Indigeneous fermented foods, pp. 247-270, Marcel Dekker Inc., New York. Moore, Landecker. 1982. Fundamental of The fungi. Prentice Hall, Inc. Englewoo Cliff, new Jersey. p 275, 337. Nadir N, M Mel, MIA. Karim, RM Yunus. 2009. Comparison of sweet sorghum and cassava for ethanol production by using Saccharomyces cerevisiae. J. Applied Sci., 9: 3068-3073. DOI: 10.3923/jas.2009.3068.3073. Nagahama T. 2006. Yeast biodiversity in freshwater, marine, and deep-sea environment. In: G, Peter and C.A Rosa (Eds), Biodiversity and Ecophysiology of yeasts. Springer, Berlin, pp. 241-262.
41 Naruki S, Sarjono. 1984. Pembuatan Tauco. Jurusan PHP Fakultas Teknologi Pertanian UGM [ID]: Yogyakarta. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta [ID]: Kanisius Press. Purba E. 2009. Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase. Universitas Lampung [ID]: Lampung. Prasad S, Sighn A, Jochi HC. 2006. Ethanol as an alternative fuel from agriculture, industrial, urban residues. J Chemical 47 (7): 27-280. Prescott SC, Dunn. 1981. Industrial Micrology. Mc Graw Hill Book Co. Ltd, NewYork. Rahman MA, Nahar N, Jabbar MA, Mosihuzzaman M. 1999. Variation of carbohydrate composition of two forms of fruit from jack tree (Artocarpus heterophyllus) with different maturity and climatic conditions. Food Chemistry 65:91-97. Ratledge Colin, Kristansen, Bjorn. 2001. Basic Biotechnology. Second Edition. Published by the press syndicate of the University of Cambridge. United Kingdom (US). Reed G, HJ Rehm.1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Sai’id EG. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta (ID): Mediyatama Sarana Perkasa. Saifuddin N, Hussain Refal. 2011. Microwave Assisted Bioethanol Production from Sago Starch by Co-Culturing of Ragi Tapai and Saccharomyces cerevisiae. Journal of Mathematics and Statistics 7 (3): 198-206. Samsuri MM Gozan, R Mardias, M Baiquni, H Hermansyah, A Wijanarko, B Prasetya, M Nasikin. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xilanase. Makara Teknologi. 11:17-24. Saono S, T Basuki. 1978. The amylolytic, lipolytic, and proteolytic activities of yeast and mycelia molds from ragi and some Indonesia traditional fermented foods. Ann. Bogor. 6:207-219. Sattler L dan FW. Zerban. 1948. The Dreywood anthrone reaction as affected by carbohydrate structure, Science, 108:207. Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of fermentation technology. Pergamon Press, New York. Steve, Udio J, Osuntogun BA. 1995. Starch. Volume 47, Issue 8, pages 289-294. Wiley-VCH Verlag GmbH& Co. KGaA, Weinheim. Subekti H. 2006. Produksi Etanol Dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung Oleh Saccharomyces cereviseae. [Skripsi]. Bogor: Bogor Agricultural University. Sun Ye, Cheng Jiayang. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: a review. Bioresource Technol., 83,1-11 Supatmawati. 2010. Rekayasa bioproses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoids pada kultivasi nir-sinambung dan semi sinambung. [tesis] Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Surya L. 2010. Produksi Bioetanol dari Limbah Tanaman Jagung melalui Sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan biakan Zymomonas
42 mobilis dan Pichia stipitis. [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Syamsu K. 2008. Rekayasa bioproses produksi bioetanol dari hidrolisat pati ubi jalar (Ipomea batatas L.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Penelitian. Institut Pertanian Bogor [ID]. 78 hal. Szymanowska D, Grajek Wlodzimierz. 2011. Energy-saving and by-products-free production of ethanol from granular corn starch. BioTechnologia vol. 92(1).pp 85-91.2011. Underkofler LA, RJ Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co, New York. USDA. 2004. National Nutrient Database for Standard Reference, Release 16-1. Takagi M, Abe S, Suzuki S, Emert GH, Yata N. 1977. A method for production of alcohol directly from cellulose using cellulase and yeast. In: Ghose, T.K. ed. Proceedings of Bioconversion of Cellulosic Substances into Energy, Chemicals and Microbial Protein. New Delhi, India. p. 551-571. Wahyuni A. 2008. Rekayasa bioproses pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar (Ipomea batatas L.) dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae. [Tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Walker GM. 1990. Yeast: Physiology and biotechnology. John Wiley&Sons, Chichester: xi + 350 hlm. Wang HL, Swain EW, Hesseltine CW. 1979 Mass production of Rhizopus oligosporus. Spore and Their Application in Tempeh Fermentation. Journal Food Science. 40: 168. Wang NS. 2002. Starch hydrolysis by amylase. [terhubung berkala]. www.glue.umd.edu. Widowati S, Richana N, Suarni, Raharto P, Sarasutha IGP. 2001. Studi Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Puslitbangtan. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta [ID]: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wood BE, Ingram LO. 1992. Ethanol production from cellobiose, amorphous cellulose, and crystalline cellulose by recombinant Klebsiella oxytoca containing chromosomally integrated Zymomonas mobilis genes for ethanol production and plasmids expressing thermostable cellulase genes from Clostridium thermocellum. Appl Environ Microbiol 58: 2103-2110. Zhang M, Wang F, Su R, Qi W, He Z. 2009. Ethanol production from high dry matter corncob using fed-batch simultaneous saccharification and fermentation after combined pretreatment. J Bioresources Technology 22: 1873-1880.
43
LAMPIRAN
44 Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Pati Sukun a.
Analisa kadar air (AOAC 1995)
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator (± 20 menit). Cawan kering selanjutnya ditimbang. Sebanyak 5 ml sampel dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, kemudian cawan sampel beserta tutupnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 1050C sampai bobot konstan (± 6 jam). Cawan yang berisi sampel kemudian dipindahkan ke dalam desikator, selanjutnya ditutup kembali dengan penutup cawan. Sampel didinginkan dan ditimbang kembali agar diperoleh bobot akhirnya. Cawan dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat konstannya. Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar Air (%) =
Bobot Sampel – (bobot akhir – bobot cawan) x 100% Bobot sampel
b. Kadar abu (AOAC 1995) Cawan pengabuan disiapkan dengan cara dibakar di dalam tanur pada suhu 1000 – 1050C, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang di dalam cawan. Cawan yang berisi sampel dibakar diatas pembakar burner dengan api sedang untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada (sampai sampel tidak berasap lagi dan berwarna hitam). Cawan kemudian dipindahkan ke dalam tanur dan dipanaskan pada suhu 3000C. Suhu dinaikkan secara bertahap sampai 4500 – 5500C, dengan waktu 5 – 7 jam. Tanur dimatikan dan dapat dibuka dengan hatihati setelah suhunya mencapai 2500C, kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang sampai bobotnya konstan. Rumus untuk kadar abu sebagai berikut: (berat cawan + abu) – berat cawan kosong Kadar Abu (%) =
x 100%
Berat sampel Selama proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan beberapa pengukuran
c.
Kadar protein metode Kjeldahl (AOAC 1995)
Sebanyak 1000 µl sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml. Berturut-turut dimasukkan juga sekitar 2 g K2SO4, 50 mg HgO, 3 – 5 ml H2SO4 dan beberapa butir batu didih untuk mencegah terbentuknya gelembung. Labu Kjeldahl tersebut kemudian dididihkan dia atas pemanas listrik selama 1 jam atau sampai larutan menjadi jernih. Setelah didinginkan, larutan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan. Pada saat penambahan air harus dilakukan secara hati-hati, karena larutan menjadi panas.
45 Larutan yang telah dingin, kemudian dituangkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dibilas dengan air 5 – 6 kali dengan menambahkan air untuk memastikan bahwa tidak ada larutan yang tertinggal. Pada alat destilasi di bawah kondensor kemudian dipasangkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator. Air ditambahkan agar ujung destilator terendam (di bawah permukaan). Larutan NaOH ditambahkan sekitar 8 – 10 ml, lalu dilakukan proses destilasi sehingga tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam labu Erlenmeyer. Destilat yang tertampung di dalam labu Erlenmeyer kemudian dititrasi di atas magnetic stirrer dengan menggunakan larutan HCL 0.1306 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada blanko yang digunakan sebagai faktor koreksi dalam perhitungan. Kadar protein dihitung menggunakan rumus: Kadar protein (%) = %N x F (ml HCl sampel - blanko) x Normalitas x 14.007 x 100 %N= x 6.25 x 100 mg sampel F = faktor konversi
d.
Kadar Lemak (AOAC 1995)
Labu lemak yang digunakan untuk menampung sampel, dikeringkan dalam oven, dan didinginkan dalam desikator selanjutnya ditimbang. Sebanyak 20 gram sampel bahan diletakkan di atas kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas. Kertas saring yang berisi sampel dimasukkan ke dalam alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan dituang ke dalam labu lemak secukupnya, selanjutnya direfluks selama minimal 5 jam atau sampai pelarut berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu selanjutnya didestilasi, sehingga tertinggal sampel saja. Sampel hasil ekstraksi, kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 1050C untuk menguapkan sisa pelarut yang mungkin masih tertinggal. Setelah dikeringkan sampai berat konstan, dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang berat akhirnya. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
Kadar lemak (%) =
e.
(berat akhir – berat labu) x 100% Berat sampel
Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut: Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air (%) + kadar abu (%) + kadar protein (%) + kadar lemak (%))
46 f.
Kadar Pati Metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948)
Tahap preparasi sampel Sampel cair pati sukun sebanyak 10 ml hasil kultivasi disentrifugasi selama 15 menit. Sentrifugasi dilakukan sebanyak dua kali. Hasil sentrifugasi berupa padatan dan supenatan masing-masing dipisahkan. Supernatan digunakan untuk analisis gula total, sedangkan padatan digunakan untuk analisis pati. Padatan ditimbang dan dicuci menggunakan alkohol 80% dengan perbandingan 1 : 3 sampai seluruh gula terlarut dalam filtrat. Alkohol pencucian tersebut dapat digunakan kembali untuk analisis total gula. Larutan HCl 25% ditambahkan ke dalam ke dalam padatan dengan perbandingan 1 : 4 volume, kemudian divortex sampai padatan homogen dengan HCl. Sampel kemudian dipindahkan kedalam tabung reaksi 50 ml dan dipanaskan dalam waterbath selama 2.5 jam, kemudian didinginkan. Setelah dingin, nilai pH pada sampel diukur menggunakan pH meter. Apabila larutan sampel tersebut asam, maka ditambahkan NaOH 40% sampai pH kembali netral. Larutan sampel yang telah dinetralkan, selanjutnya ditambahkan larutan Pb-asetat jenuh sebanyak 1 – 2 ml (sampai larutan jernih), dan disaring menggunakan kertas saring. Larutan yang telah disaring, kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml, dan tera sampai volume 100 ml. Sebelum larutan siap dianalisis, Na-Oksalat ditambahkan sebanyak 1 sudip. Pengukuran kadar pati sukun menggunakan Metode Anthrone Pereaksi Anthrone 0.05% dibuat dengan mencampur asam sulfat pekat. Pembuatan dilakukan ketika waktu hari digunakan karena bersifat tidak stabil dan hanya bertahan selama satu hari. Pereaksi glukosa standar dengan konsentrasi 0,2 mg/ml dibuat dengan cara 200 mg glukosa dalam 100 ml akuades. Selanjutnya diencerkan dengan cara mengambil 10 ml larutan glukosa menjadi 100 ml (1 ml = 0,2 mg glukosa). Pembuatan kurva standar glukosa dengan cara memasukkan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; dan 1 ml. Selanjutnya menambahkan air sampai volume total masing-masing tabung reaksi 1 ml. Larutan Anthrone ditambahkan dengan cepat dan hati-hati sebanyak 5 ml ke dalam masing-masing tabung reaksi, selanjutnya menutup tabung reaksi menggunakan kelereng dan campur merata. Kemudian menempatkan tabung reaksi ke dalam waterbath 1000C selama 12 menit, setelah selesai pindahkan ke dalam kuvet dan dilakukan pembacaan pada absorbansi 630 nm. Untuk penetapan sampel dengan mengambil sebanyak 1 ml larutan sampel ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya prosedur analisis mengikutin tahapan sebagaimana pembuatan kurva standar. Kadar pati diukur menggunakan rumus: Kadar pati (%) = hasil absorbansi x 0.9
47
Gambar 1 Kurva standar gula
g.
Kadar Amilosa (Apriyantono et al. 1989)
Kurva standar amilosa dibuat dengan cara memasukkan sebanyak 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar yang dipanaskan dalam penangas air pada suhu 950C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilat sampai tanda tera sebagai larutan stok standar. Larutan stok dipipet sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml (10 – 50 ppm), kemudian masing-masing dipindahkan ke labu takar 100 ml, selanjutnya masing-masing labu takar tersebut ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asetat 1 N. Sebanyak 2 ml larutan Iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml aquades) ditambahkan ke dalam setiap labu, lalu ditera dengan aquades. Larutkan didiamkan selama 20 menit, intensitas warna biru yang terbentuk kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Sampel diukur dengan cara memasukkan 1 ml sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N dimasukkan ke dalam labu takar. Labu takar kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 950C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditera menggunakan aquades dan divortex agar larutan menjadi homogen. Sebanyak 5 ml larutan gel pati dipipet ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan Iod, dan ditera dengan aquades. Larutan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur pada panjang gelombang 625 nm.
48
Gambar 2 Kurva standar amilosa
Lampiran 2. Parameter Kinerja Selama Kultivasi a. Perhitungan Jumlah Mikroba (total plate count) (ISO 4833) Jumlah kapang dan khamir dihitung menggunakan metode cawan sebar pada media PDA. Sampel hasil kultivasi diambil sebanyak 1 ml, kemudian disuspensi menggunakan larutan NaCl steril 10 ml, dan ambil sebanyak 1 ml larutan dari suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi untuk dilakukan pengenceran bertingkat dan divortex agar larutan menjadi homogen. Tingkat pengenceran 10-3 sampai dengan 10-7. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 ulangan. Larutan yang telah diencerkan, kemudian disebar diatas cawan petri yang berisi media PDA, selanjutnya cawan petri ditutup plastik dan diikubasi dalam inkubator dengan suhu 300C selama 3 – 7 hari. Koloni yang tumbuh selanjutnya dihitung menggunakan rumus: 1 Jumlah koloni (CFU/ml) = koloni yang tumbuh x Faktor pengenceran b.
Total Biomassa
Pengukuran biomassa dilakukan dengan menentukan bobot berdasarkan bobot kering yang terdapat pada cairan selama kultivasi. Sebanyak 1.5 ml sampel hasil kultivasi, dimasukkan kedalam tabung Eppendorf yang sebelumnya telah diketahui bobot awalnya. Sampel selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Pemisahan dilakukan antara padatan (biomassa) dan supernatannya. Tabung Eppendorf yang berisi padatan dicuci menggunakan aquades steril sebanyak 5 ml, kemudian disentrifugasi kembali. Pemisahan dilakukan kembali antara padatan dengan aquades tersebut. Padatan dikeringkan dalam oven dengan suhu 500C selama 24 jam atau bobot biomassa menjadi konstan. Bobot biomassa kering adalah bobot tabung yang berisi biomassa yang telah dikeringkan dikurangi dengan bobot tabung awal. Perhitungan biomassa sel sebagai berikut:
49 Bobot biomassa kering (g) Bobot sel kering (g/l) =
x 1000 ml sampel
c.
Perubahan pH
Pengukuran pH dapat dilakukan dengan mengamati perubahan pH setiap 12 jam selama kultivasi menggunakan alat pH-meter.
d.
Total gula metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948)
Sebanyak 10 ml sampel hasil kultivasi, disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan antara bagian supernatan dan endapan. Untuk menghitung total gula, maka supernatan yang digunakan untuk dianalisis. Supernatan selanjutnya dicuci dengan alkohol 80% sebanyak 1 : 3 volume, lalu CaCO3 ditambahkan ke dalam larutan sebanyak 10 sudip. Kedua campuran ini dipindahkan ke dalam gelas beaker dan dipanaskan dalam water bath bersuhu 800C untuk membunuh enzim yang masih aktif di dalam larutan. Proses pemanasan berlangsung sekitar 1 jam atau sampai aroma alkohol tersebut menghilang (selama proses pendidihan, larutan sampel ditambahkan aquades secukupnya agar volumenya tetap). Setelah aroma alkohol menghilang, larutan dibiarkan sampai dingin. Hasil saringan tersebut dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml, dan ditera. Pb-asetat jenuh sebanyak 1 – 2 ml ditambahkan secara perlahan. Larutan kemudian disaring menggunakan kertas saring, lalu tambahkan Na-oksalat untuk mengendapkan sisa Pb-asetat. Filtrat yang diperoleh siap untuk diukur kadar gula totalnya menggunakan kurva standar gula pada Lampiran I.
50 Lampiran 3. Data Penelitian Pada Aerasi Penuh 1.
Data Bobot Biomassa Kering (X)
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72
2.
Bobot biomassa kering (g/L) U1 43.97 43.83 46.49 50.95 51.95 52.69 51.51
U2 43.93 43.83 46.05 50.92 51.95 52.77 51.53
St dev 0.03 0.00 0.31 0.02 0.00 0.06 0.01
U1 3.78 3.78 3.84 3.93 3.95 3.96 3.94
U2 3.783 3.78 3.83 3.93 3.95 3.966 3.942
Rata-rata 3.76 3.78 3.83 3.91 3.95 3.97 3.94
Total Plate Count Kapang Dan Khamir
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72
3.
Rata-rata 43 43.83 46.27 50.05 51.97 52.73 51.52
Ln Bobot biomassa kering
Jumlah sel (CFU/ml) Kapang Khamir 2 1 x 10 7.7 x 105 5 x 102 6.5 x 105 2 7 x 10 4.7 x 106 1 x 104 5.7 x 106 5 2 x 10 8.8 x 106 1.2 x 105 1.1 x 107 4 1 x 10 8.8 x 106
Data Sisa Pati (S)
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
Konsentrasi (g/L) U1 U2 30.27 30.15 24.75 25.32 14.76 14.55 5.325 5.04 3.435 3.15 1.488 1.488 1.248 1.344
Rata-rata 30.21 25.05 13.95 5.18 3.29 1.49 1.30
St deviasi 0.09 0.40 0.15 0.20 0.20 0.00 0.07
51 4.
Data Sisa Total Gula
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
5.
Konsentrasi (g/L) U1 U2 3.31 2.69 6.65 6.45 3.44 3.33 3.01 3.55 1.44 1.64 4.32 4.41 2.42 2.52
Rata-rata 3.00 6.55 3.39 3.28 1.54 4.36 2.47
St deviasi 0.44 0.14 0.08 0.38 0.14 0.07 0.07
Kadar Etanol Dan Nilai pH Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
Kadar etanol (g/L) Rata-rata U1 0 1.4 8.6 9.3 9.7 9.7 9.9
U2 2.5 2 10.3 11.1 11.4 11.4 12.4
1.25 1.7 9.45 10.2 10.55 10.55 11.15
St deviasi 0.18 0.04 0.12 0.13 0.12 0.12 0.18
Nilai pH 4.5 4.5 4.5 4.4 4.2 4.1 4.1
52 Lampiran 4. Data Penelitian Pada SSF Terekayasa 1.
Data Bobot Biomassa Kering (X)
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72
2.
Bobot biomassa kering (g/L) U1 51.5 52.62 52.96 54.28 54.07 51.55 49.05
U2 51.55 52.69 52.97 54.29 54.13 51.57 49.01
St dev 0.04 0.05 0.01 0.01 0.04 0.01 0.03
U1 3.942 3.963 3.970 3.994 3.990 3.943 3.893
U2 3.943 3.964 3.970 3.994 3.991 3.943 3.892
Rata-rata 3.942 3.964 3.970 3.994 3.99 3.943 3.892
Total Plate Count Kapang Dan Khamir
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72
3.
Rata-rata 51.53 52.66 52.97 54.29 54.10 51.56 49.03
Ln Bobot biomassa kering
Jumlah sel (CFU/ml) Kapang Khamir 4 1.5 x 10 1.6 x 107 2.2 x 104 2.1 x 107 4 1.5 x 10 3.2 x 107 1.5 x 105 3.2 x 107 5 1.5 x 10 2.4 x 107 1.0 x 104 1.0 x 107 3 1.0 x 10 1.7 x 107
Data Sisa Pati (S)
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
Konsentrasi (g/L) U1 U2 30.3 30.15 15.36 16.26 8.58 8.82 6.34 6.72 5.56 6.18 6.26 4.16 3.98 2.92
Rata-rata 30.225 13.95 7.7 5.77 5.18 4.6 3.04
St deviasi 0.11 0.67 0.17 0.27 0.44 1.48 0.75
53 4.
Data Sisa Total Gula
Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
5.
Konsentrasi (g/L) U1 U2 6.373 6.373 4.853 4.693 5.067 5.073 4.613 4.493 0.807 0.993 2.76 2.76 1.34 1.313
Rata-rata 6.373 4.77 5.07 4.553 0.90 2.76 1.327
St deviasi 0.00 0.11 0.01 0.09 0.13 0.00 0.02
Kadar Etanol Dan Nilai pH Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 46 60 72
Kadar etanol (g/L) U1 U2 1.0 2.5 6.4 6.4 9.9 10.4 12.5
2.50 3.00 5.00 6.3 8.5 10.00 13.00
Rata-rata 1.75 2.75 5.7 6.35 9.2 10.2 12.75
St deviasi
Nilai pH
0.11 0.04 0.1 0.01 0.1 0.03 0.04
4.5 4.4 4.1 4.2 4.0 4.1 3.9
55 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 22 Februari 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Moch. Dahlan dan Ismiyati. Riwayat pendidikan penulis, pendidikan Sarjana pada Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan MIPA, Universitas Jember pada tahun 2007 – 2011. Kemudian, pada tahun 2012 penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan dari DIKTI untuk melanjutkan ke jenjang S2 program studi Bioteknologi di Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Tesis yang disusun oleh penulis berjudul ‘Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa Menggunakan Ragi Tape’, sehingga diperoleh gelar Magister Sains pada program studi Bioteknologi. Penulis juga memasukkan jurnal dengan judul yang sama ke jurnal: International Journal Of Renewable Energy Development (IJRED) dengan ISSN: 2252-4940 terindeks Scopus.