Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
PRODUK PERBANKAN SYARIAH (Antara al-Minhâj alRaddi dan al-Minhâj al-Maqshadî) [caption id="attachment_336" align="alignleft" width="150"]
Perbankan Syari'ah[/caption] Oleh: Drs. H. Asmuni Mth, M.A. Muqaddimah Ada dua kaidah yang melekat pada Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dalam hal ini perbankan syariah. Pertama, berlakunya kaidah kehati-hatian seperti halnya yang berlaku di perbankan konvensional. Kedua, berlakunya kaidah kesesuaian dengan prinsip syariah. Prinsip ini tidak berlaku pada bank konvensional. Justru prinsip inilah yang membedakan kedua sistem perbankan tersebut. Dualisme sistem perbankan ini sama-sama berlaku di tanah air. Meskipun sampai saat ini terkadang masyarakat “belum merasakan perbedaan antara keduanya”. Mengapa? Salah satu jawabannya adalah karena praktik perbankan syariah “belum” memposisikan dirinya sebagai alternatif pilihan di tengah persaingan dengan perbankan konvensional. Tipisnya perbedaan ini diakui atau tidak membuat perkembangan perbankan syariah sangat lamban. Bahkan kegagalan sebagian kecil LKS (non perbankan) turut menghalangi upaya pencitraan LKS secara keseluruhan. Sebetulnya keberadaan bank syariah cukup strategis. Karena pilihan produknya sangat beragam, mulai dari yang bersifat konsumtif sampai yang bersifat produktif. Dan yang paling penting bahwa operasionalnya sejalan dengan keyakinan teologis dan nilai-nilai etis religius lainnya. Dan lebih penting lagi ia tidak hanya mengemban misi bisnis, melainkan juga misi sosial. Meskipun prosentase misi sosial bila dibandingkan dengan misi bisnis sangat ramping. Sejurus dengan pengendalian prinsip-prinsip syariah, seluruh produk perbankan syariah mengacu kepada fatwa DSN yang selanjutnya diatur dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Tidak sampai disitu setiap perbankan syariah diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). Tugas pokoknya antara lain untuk melakukan kontrol terhadap seluruh produk yang digulirkan. DPS juga dibebani untuk melakukan koreksi dan evalusi sisi-sisi syariah yang lain, termasuk melakukan upaya strategis untuk menanamkan nilai-nilai syariah dalam perilaku insan perbankan syariah secara menyeluruh.
1 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Jika dilihat dari sisi ini, maka sulit akan terjadi praktik eksploitasi (istiglal) apalagi transaksi yang akan menghadirkan bunga yang “terlanjur” diidentikkan dengan ribâ baik bentuk maupun hukumnya berdasarkan kaidah tafsir al-Qur’ân: al-‘ibratu bi ‘umûm al-Lafzi lâ bi khusûsi alsabâb (kehujjahan teks al-Qur’ân tunduk pada keumuman kata, bukan karena semata-mata kekhususan latar belakang turunnya suatu ayat). Kaidah ini sepertinya tidak mau berdamai dengan bunga. Apalagi dampak ekologis dan ekonomis dari ribâ (bunga) sangat membahayakaan seperti dijelaskan oleh pakar tafsir yang beraliran revivalis al-Maududi dan Sayyid Quthub di dalam karya mereka masing-masing.[1] Memang sikap kritis kedua pakar Muslim tersebut terhadap sistem ekonomi kapitalis yang berbasis bunga cukup beralasan, karena tidak hanya al-Qur’ân yang mengharamkan ribâ, Kitab Injil dan Taurat pun sangat tegas untuk mengharamkannya, termasuk para filsuf Yunani. Misalnya Plato pernah mengatakan bahwa “uang tidak boleh melahirkan uang”. Artinya bunga adalah kelebihan dari pokok pinjaman. Sangat berbeda dengan margin (keuntungan) yang merupakan konsekuensi dari pembiayaan. Jadi pinjaman dan pembiayaan adalah dua hal yang berbeda. Karena yang pertama melahirkan bunga, sedangkan yang kedua mendatangkan margin. Ayat-ayat yang secara eksplisit mengharamkan ribâ ini disebut al-nushûsh al-muassisah (teks pembentuk). Sedangkan teks-tek fiqh yang mengharamkan bunga disebut al-nushûsh almuassasah (teks bentukan atau teks turunan). Seberapa jauh kemampuan seorang faqih (ahli fiqh) mengidentifikasi dan mengeliminasi bunga dalam fatwa-fatwa yang berkaitan dengan produk perbankan. Hal ini sangat tergantung pada metode dan dukungan perangkat keilmuan lain dalam melahirkan fatwa tersebut. Artinya fatwa adalah merupakan rumusan fiqh tanzîlî (fiqh yang diberlakukan)[2] yang harus memiliki karakter ganda yaitu pada satu sisi dia harus mengakomadasi kebutuhan masyarakat, dan pada saat yang sama harus melindungi kepentingan masyarakat secara berimbang. Artinya baik kepentingan bank syariah maupun kepentingan nasabahnya harus terlindungi oleh fatwa-fatwa tersebut. Jika secara ideal bahwa fatwa fiqh harus mampu mengakomodasi sekaligus melindungi masing-masing orang maka sudah sejatinya fatwa tersebut berorientasi pada mâlat al-af’âl (dampak dari perbuatan mukallaf) sebagai obyek penilaian dari fatwa tersebut. Dan hal ini membutuhkan keilmuan yang komprehensif dan integral yang mau-tidak mau mengharuskan ijtihad jamâ’î sebagai solusi pada saat kekosongan mujtahid Rabbani di era sekarang. Selanjutnya fiqh tanzîlî membutuhkan metode yang relevan. Selama ini fatwa-fatwa fiqh merupakan hasil “daur ulang” dari konsep-konsep fiqh klasik. Keberadaan fatwa sebagai hasil daur ulang tersebut sebetulnya secara tidak langsung memperlihatkan adanya krisis dalam lembaga fatwa, yaitu krisis metodologis. Tulisan ini akan memaparkan metode fatwa yang lazim digunakan di dunia Islam termasuk oleh DSN-MUI.
Al-Minhâj al-Raddi dan al-Minhâj al-Maqshadî Krisis metodologis yang menimpa lembaga fatwa tidak saja melahirkan fiqh normatif, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan fiqh (fasâd al-fiqh).[3] Inilah salah satu kritik yang pernah dilontarkan oleh Abu Ishaq al-Syatîbî di Granada pada abad 8 H. Para ulama, imam al- Syatîbî di antaranya tergabung dalam komunitas “al-ghurbah”.[4] Mereka tidak lagi percaya pada fiqh
2 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
karya fuqahâ’ mutaakhkhirîn. Bahkan seorang dari gurunya merekomendasikan agar beliau tidak menjadikan fiqh karya ulama mutaakhkhirîn sebagai referensi, karena karya-karya tersebut tidak lagi mencerminkan fiqh yang ideal, tetapi sebaliknya mempertontonkan fiqh yang krusial. Keterjebakan fatwa kontemporer pada al-namûzaj al-raddi yaitu model analisis retrogresif ke situasi-situasi terdahulu dapat melahirkan konflik-konflik dalam fatwa itu sendiri. Mengapa? Karena perangkat-perangkat operasional dari al-minhâj al-raddi berkelindan antara: 1). Analisis kode (al-tahlîl al-rumzî). Seorang faqih dalam konteks ini berusaha menjelaskan makna-makna terminologis, lalu kemudian melakukan identifikasi terhadap unsur-unsur yang ada. Misalnya untuk memahami al-ijârah (sewa) dijelaskan dengan pendekatan bahasa, kemudian dengan pendekatan istilah, baru kemudian ditentukan unsur-unsur yang ada dalam Ijârah tersebut. Unsur-unsur ini kemudian akan dicarikan titik persamaannya dengan model Ijârah modern seperti Ijârah multi jasa dan al-ijârah Muntahiya Bi al-Tamlîk (IMBT). 2). Analisis terhadap ‘illah (al-tahlîl al-‘illî). Ini dapat disebut analisis terhadap sebabsebab hukum. Sebetulnya analisis terhadap al-‘illah dapat melahirkan fiqh yang progresif (akomodatif dan kontekstual) jika proses analisis ini diarahkan untuk menemukan jins al-‘illah (‘illah yang sejenis). Kekakuan analisis terhadap ‘illah jika hanya fokus untuk mencari ‘ainu al-‘illah (seperti ‘illah antara khamar dan minuman keras) hanya akan melahirkan fiqh yang rigid atau kaku. 3). Analisis opini (al-tahlîl al-tanâzuri). Substansi dari al-minhâj al-raddi terletak pada analisis opini fuqahâ’ pada masalah-masalah yang terkait. Lazimnya analisis terhadap opini bersifat fragmentatif, tidak melihat suatu persoalan secara komprehensif. Lagi pula para mufti melokalisasi wacana fuqahâ’ (yang akan dianalisis) dalam koridor mazhab-mazhab tertentu. Padahal masih terdapat minimal delapan mazhab yang masih hidup dan memiliki dokumentasi karya-karya fiqh yang cukup berlian. Apalagi kalau para mufti berkehendak untuk merujuk kembali pendapat-pendapt kalangan tâbi’în bahkan sahabat yang tempo dulu dianggap unik dan tidak populer, tetapi untuk era sekarang dimungkinkan sangat relevan. Antara lain misalnya jumlah kambing untuk acara aqiqah tidak ditentukan oleh jenis kelamin bayi.[5] Tidak validnya hadits tentang haul zakat menurut Ibn Hazm[6] dan diperkuat oleh Ibn Hajar al-Asqalânî dalam karyanya Talkhîs al-Habir dapat melempangkan proyek fatwa zakat profesi. Seperti juga ucapan-ucapan yang tidak terpuji (kata-kata kotor) dapat membatalkan wudhu’ menurut mazhab Ibadhiyah,[7] sudah barang tentu sangat efektif untuk menjaga dan mengendalikan emosional terutama pada saat sedang dalam keadan wudhû’. Berdasarkan analisis terhadap beberapa instrumen tersebut, kemudiaan dalam kontek al-minhâj al-raddi para fuqahâ’ kontemporer menempuh cara al-qiyâs al-fiqhi untuk menjustifikasi persolan-persoalan kekinian dengan cara mengembalikannya kepada persoalanpersoalan klasik. Dan jika bentuk transaksi modern tidak terakomodasi oleh satu model akad klasik, maka para mufti menempuh multi akad (al-‘uqûd al-murakkabah) tanpa mencermati dampak negatif dari multi akad tersebut. Fatwa-fatwa seperti ini dapat kita lihat pada kartu kredit syariah, rahn (gadai syariah), bahkan talangan haji pun tidak luput dari multi akad. Semua fatwa ini meski patut diapresiasi, tapi kemampuannya untuk mewujudkan cita-cita saddu al-zarî’ah (prinsip antisipatif terhadap kemungkinan menyalahgunakan peluang yang diberikan oleh fatwa)
3 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
menjadi lemah. Karena dalam melakukan al-istighlâl (eksploitasi).
fatwa-fatwa
tersebut
“ada”
peluang
Al-Minhâj al-Kulli Al-Minhâj al-Kulli atau metode komprehensif sesungguhnya bentuk antitesa dari al-minhâj alraddi yang dinilai kaku dan sangat normatif. Mereka menekankan pada nilai-nilai universal yang terakumulasi dalam maqâshid syarî’ah (tujuan syariah). Mereka tidak menggunakan al-qiyâs alfiqhî yang tampak mekanistik dan sembrono, melainkan dengan al-qiyâs al-ijmalî (qiyâs yang sederhana) atau al-qiyâs al-mashâlih (qiyas yang mengacu pada hirarki kemaslahatan). Wilayah ibadah tidak sama dengan wilayah mu’âmalah yang berstatus al-mubâh. Status almubâh sebetulnya kawasan strategis untuk melakukaan studi secara mendalam dan rasional terhadap aspek-aspek kemaslahatan dan kemafsadatan dari suatu fatwa yang akan diterapkan. Unsur-unsur analisis al-maqshadî fokus pada: 1). Sumber hukum yang tidak ditetapkan berdasarkan nash secara eksplisit. Maka sumber hukum dalam konteks ini adalah al-maqâshid yang dihadapkan dengan berbagai peristiwa baru yang akan ditetapkan hukumnya; 2). Argumen-argumen yang digunakan oleh mujtahid sebelumnya dalam menetapkan hukum yang sama. Tolok ukur dari kebenaran hukum yang sudah ditetapkan terletak pada korelasi logis yang tercermin pada korelasi antara kesimpulan dan premispremisnya; 3). Mencari relevansi tujuan syariah dengan kejadian tersebut melalui identifikasi terhadap kemaslahatan dan kemafsadatan. Maslahat ini kemudian ditarik, sedangkan mafsadat dieliminasi. Melihat tahapan yang dilakukan, maka dalam konteks ini al-maqâshid tidak saja dijadikan pendekatan dan metode, tetapi juga sasaran dari tujuan. Dari tiga unsur yang menjadi fokus analisis al-minhâj al-maqshadi dapat ditetapkan tahapantahapan yang harus dilakukan oleh seorang faqih atau mufti yaitu: 1). Mengalihkan studi terhadap berbagai kejadian atau kasus dari fase analogi tradisional (al-qiyâs al-taqlîdî) yang disebut dengan al-qiyâs al-syâbah (analogi yang berbasis pada kemiripan semata) ke fase alqiyâs al-mashlahî (analogi yang berbasis pada kemaslahatan) yaitu dengan cara menundukkan semua kejadian kepada tujuan syari’ah (al-maqâshid). Inilah yang disebut dengan memahami nilai-nilai universal yang terkandung di dalam al-Qur’ân secara utuh dan integral. Artinya pemahaman parsial diarahkan ke pemahaman universal, dari nalar yang berbasis pada kemiripan yang bersifat normatif ke nalar yang berbasis pada kepastian yang factual (rad almutasyâbihât ila al-muhkamât). Nilai-nilai universal syariah merupakan kaidah-kaidah yang pasti dan mapan, sehingga sudah semestinya menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum. 2). Mengalihkan perhatian dari studi susunan kata dan signifikansi makna yang bersifat tekstualis ke studi terhadap tujuan syariah yang terkadang tidak segera dapat dipahami dan diketahui oleh seorang faqih. Untuk melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap al-maqâshid tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan logika induktif yang ketat. Logika induktif ini sudah menjadi bagian dari cara nalar fuqahâ’ untuk menetapkan konsep al-gharâr, al-jahâlah dan al-maisîr dan konsep-konsep lain yang dapat mencederai keabsahan akad.
4 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
3). Menggunakan argument logis agar kesimpulan hukum yang didapatkan mengandung nilai “obyektif” dan “pasti” yang berangkat dari premis-premis (syariah yang rasional). Mengalihkan studi yang bersifat parsial ke studi yang bersifat komprehensif dan menyeluruh. Fatwa fiqh yang menggunakan al-minhâj al-kulli antara lain memberlakukan sistem penetapan harga bagi semua komoditas. Hal ini dilakukan sebagai upaya menegakkan keadilan dan kemaslahatan umum. Membolehkan asuransi perdagangan dalam kerangka al-taisîr wa raf’u al-masyaqqah (meringankan dan menghilangkan kerugian berat jika terjadi peristiwa kecelakaan). Jika tidak demikian maka suatu fatwa hukum pada galibnya meski dapat menjawab permasalahan namun tanpa disadari, akan mengundang banyak permasalahan.
Penggunaan al-Minhâj al-Raddi yang Mekanistis Karu karedit syariah meski berbeda dengan kartu kredit konvensional, namun secara fungsional perbedaan-perbedaan tersebut sangat tipis. Terlepas dari persamaan dan perbedaan tersebut, suatu hal yang pasti bahwa kartu kredit syariah menggunakan multi akad, setidaknya terdapat tiga akad yang dilakukan oleh para pihak yang masing-masing terpisah antara yang satu dengan yang lain baik sebagai pihak maupun tanggungjawabnya. Hubungan antara issuer cards dengan pemegang kartu/ card holder dapat disebut dengan akad penerbitan kartu.[8] Akad yang mengatur hubungan mereka adalah akad kafâlah. Bank sebagai penerbit kartu sesuai dengan akad yang dilakukan dengan pengguna (pemegang kartu) akan melakukan pembayaran langsung setiap hutang yang muncul sebagai akibat dari penggunaan kartu tersebut. Posisi bank menurut fiqh adalah sebagai kâfil bi al-mâl terhadap pemegang kartu atas semua beban pembayaran hutang pada pedagang sebagai akibat dari penggunaan kartu tersebut. Sedangkan hubungan antara bank sebagai penerbit kartu dengan pengusaha dapat disebut sebagai hubungan penjaminan (’alâqatu dhomân). Hal ini oleh para fuqahâ’ disebut menjamin sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya (???? ???? ???). Hal ini sangat populer di kalangan jumhur fuqahâ’ dari berbagai aliran. Memang di sini terdapat unsur al-jahâlah (ketidaktahuan barang yang dijamin), namun jahâlah terhadap barang yang dijamin tidak meniscayakan terjadinya pembatalan akad jual beli, karena akad menjadi batal jika jahâlah itu berakibat pada persengketaan. Sedangkan jahâlah di sini tidak akan menyebabkan persengketaan, karena tuntutan pembayaran kepada al-kâfil (bank penjamin) setelah terjadi akad jual beli oleh pemegang kartu. Dengan demikian barang yang dibelinya berstatus ma’lûm (diketahui), bukan majhûl (tidak diketahui) pada saat pembayaran dilakukan. Al-Kafâlah (perjanjian penanggungan) merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (pengalihan tanggung jawab). Dasar hukumnya adalah Q.S Yusuf [12]: 12. Bentuk jaminan yang diberikan dalam mekanisme kartu kredit adalah kafâlah al-mu’allaqah yang merupakan bentuk jaminan yang biasanya digunakan dalam industri perbankan maupun asuransi.[9] Hubungan antara card issuer dengan merchant (pengusaha) dapat berupa akad jual beli, atau akad sewa. Sehingga merchant berhak menarik pembayaran atau menarik uang sewa setelah terjadi kesepakatan dengan pemegang kartu.
5 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Penerbit kartu atas dasar kesepakatan bersama dengan pemegang kartu wajib membayar secara langsung semua hutang sebagai akibat dari penggunaan kartu. Inilah yang disebut dengan al-kafalâh bi al-mâl (jaminan dengan uang) yang sesungguhnya. Ketika pemegang kartu memperlihatkan kartunya kepada pedagang maka pedagang tersebut percaya bahwa pihak penerbit kartu menjadi penjamin atas pemegang kartu dan berkewajiban membayar hutang pemegang kartu yang telah menjadi tanggungannya. Hal ini juga tidak akan merubah hakikat hubungan penjaminan (’alâqatu dhomân) dimana pemegang kartu berposisi sebagai almakfûl, sedangkan pedagang sebagai al-makfûl lahu dan penerbit kartu sebagai al-kâfil. Bentuk hubungan ini sejalan dengan pendapat fiqh yang menyatakan bahwa hutang dapat berpindah kepada al- kâfil dengan cara akad kafalâh. Para fuqahâ’ menegaskan ?? ??? ?? ??? ????? ???? ???? ???????? ?????? ??? ?????? (siapapun yang menjamin seseorang atas harta (uang) maka orang yang dijamin itu menjadi bebas, dan uang (pembayaran) menjadi tanggungan penjamin.[10] Dalam kartu kredit sebagaimana disebutkan di muka mengandung sejumlah kesepakatan meliputi hubungan antara pihak-pihak yang memberikan pelayanan finansial yang manfaatnya dirasakan oleh pemegang kartu kredit, penerbit kartu kredit dan pengusaha yang menerimanya. Konsekuensi dari akad ini terdapat kewajiban berupa uang fee, iuran anggota dan biaya perpanjangan, bunga pinjaman dan juga denda keterlambatan pembayaran. Secara umum bentuk transaksi ini belum ada dalam fiqh klasik dan tidak ada legitimasi tersurat dari nash al-Qur’ân maupun sunnah, dan tidak pula masuk dalam kategori akad bernama, meskipun secara parsial akad-akad dalam kartu kredit dapat dilakukan formulasi fiqh terhadapnya. Kaidah umum menyatakan bahwa semua bentuk transaksi (mu’amalat al-mâliyah) yang baru adalah halal, sah dan sesuai syariah selama tidak menghalalkan sesuatu yang sudah jelas haramnya atau sebaliknya. Ibn Taimiyah bahkan menyatakan bahwa semua akad dan syaratsyarat yang ditetapkan untuk mendukung suatu akad merupakan bentuk aktifitas mu’âmalah dimana hukum dasarnya adalah tidak haram, maka segala bentuk hukum dasar transaksi yang baru dengan menggunakan pola nalar istishâb juga tidak haram. Al-Syathîbî juga menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara ibâdah dengan mu’âmalah, karena hukum dasar dalam ibadah adalah al-ta’abbudi tidak mempertimbangkan alma’âni (kepentingan dan kebutuhan masyarakat), berbeda dengan mu’amalat yang selalu mempertimbangkan al-ma’âni atau pertimbangan-pertimbangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi sehingga ia tidak bersifat ta’abbudi, melainkan ma’qûl al-ma’na (mempertimbangkan realitas kebutuhan masyarakat) sehingga hukum dasarnya adalah boleh sejauh tidak ada dalil yang menentangnya. Beberapa catatan dalam akad kartu kredit antara lain adalah iuran keanggotaan (membership fee). Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusûm al-’udhwiyyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu. Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan
6 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
sebagai upah/ imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswîq) dan penagihan (tahsîl al-dayn). Penerbit kartu juga boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusûm sahb alnuqûd) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. Selain itu penerbit kartu juga boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian kafalâh. Adapun denda keterlambatan untuk melunasi secara total dalam tempo yang ditoleransi termasuk dalam hukum ribâ nasî’ah (ribâ al-duyûn) yang diharamkan oleh syariah. Sebaiknya jika terjadi keterlambatan seperti ini kartu segera dicabut dan diberhentikan dari keanggotaan. Sehingga tidak akan terjadi eksploitasi dari penerbit kartu terhadap nasabah sehingga hubungan antara keduanya tetap dalam koridor hubungan kafalâh. Sedangkan hubungan penerbit kartu dengan pedagang berupa ’alaqatu dhomân (hubungan penjaminan). Memang sebagian fuqahâ’ kontemporer setelah melihat berbagai pertimbangan memperbolehkan penarikan denda atau ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo. Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Hal lain yang juga penting adalah kesepakatan dalam penerbitan credit card yang memberikan pilihan kepada nasabah untuk membayar sesuai dengan batas waktu yang sudah ditetapkan atau memperpanjang dengan kompensasi bunga. Syarat ini termasuk ribâwi yang batal dan terlarang, karena termasuk syarat yang menghalalkan yang haram. Tentu saja credit card seperti ini tidak boleh terbit di lembaga perbankan syariah. Walaupun secara individu umat Islam boleh melakukan transaksi seperti ini jika sudah dalam keadaan terpaksa (al-darûrah wa al-hâjah al-massah), sejalan dengan maxim: al-Darûratu tubîhu al-mahdhûrat (keadaan darurat dapat membenarkan yang terlarang), dan al-hâjah tanzilu manzilata al-darûrah ’âmmah kânat am khâsshah (status hukum kebutuhan mendesak sama dengan status hukum darurat baik secara umum maupun khusus). Masalah lain adalah asuransi oleh sebagian kartu kredit ketika digunakan untuk membeli tiket perjalanan baik itu asuransi bisnis ataukah asuransi kecelakaan. Asuransi ini meskipun mengandung gharâr fakhisy yang tidak diperbolehkan, namun dalam konteks ini sifatnya hanya mengikuti akad pada penerbitan kartu, jadi sifatnya al-tawâbi’ (pengikut) bukan asli yang oleh syariah dapat dimaafkan sejalan dengan kaidah: Yahgtafir fî al-tawâbi’ ma lî yaghtafir fî gairihâ. Meskipun keberadan kartu kredit syariah dapat dilegitimasi dengan cara al-minhâj al-raddi, namun keberadaan kartu kredit tersebut bisa menjadi ancaman bagi lembaga keuangan syariah. Artinya kartu kredit sebagaimana yang dipraktekkan saat ini jika diterbitkan atas nama bank syariah dapat mengancam keberadaan atau eksistensi syariah itu sendiri. Masyarakat akan semakin kesulitan mencari perbedaannya dengan kartu kredit yang diterbitkan oleh perbankan konvensional. Memang terdapat peluang bagi perbankan syariah untuk meraih keuntungan yang cukup banyak, akan tetapi bisnis kartu kredit pada hakikatnya merupakan kegiatan perbankan syariah yang bermuara pada tindakan ”bunuh diri” secara pelan dan teratur. Oleh karena itu perbankan syariah harus tetap mengisi peluang ini dengan mengeluarkan kartu kredit dengan inovasi-inovasi baru yang tidak mengorbankan nilai-nilai syariahnya. Kata kuncinya adalah bank syariah harus berupaya secara maksimal menjauhi ribâ
7 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
yang melekat pada bunga dan menghindari sikap eksploitatif terhadap pemegang kartu kredit. Oleh karena itu penetapan hukum atas kartu kredit harus dengan menggunakan konvergensi (al-jam’u) antara al-minhâj al-raddi dan al-minhâj al-maqshadi. Agar pada satu sisi tidak ada peluang untuk menarik keuntungan secara eksploitatif, dan pada sisi lain jangan sampai membangun masyarakat yang konsumeris.
Penyimpangan dalam Murâbahah Ada kemungkinan lemahnya implementasi syariah adalah buntut dari beberapa kelemahan antara lain: pertama lemahnya sosialisasi tentang produk-produk syariah, kedua, lemahnya pemahaman pengelola LKS tentang prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dasar syariah maupun aplikasinya. Dari sini kemudian muncul beberapa penyimpangan dalam praktek Murâbahah yaitu: 1. Dalam produk Murâbahah dan Ijârah, perbankan syariah tidak mengedepankan kesepakatan tetapi langsung kepada sistem pembayaran kembali dan perhitungan margin atau jasanya sama dengan berhitung bunga dan ada kesepakatan yang dipaksakan, dengan kata lain harga ditetapkan secara sepihak oleh bank. 2. Bank Syariah dalam kerjasama dengan nasabah terkadang tidak menjelaskan obyek dari transaksinya. Hal yang diperhatikan hanya sisi nominal pembiayaan dan pengembalian seolah-olah penggunaan diserahkan sepenuhnya kepada nasabah. 3. Dalam praktek jarang sekali bank syariah membelikan barangnya dari suplier untuk kepentingan nasabah, biasanya bank memberikan dalam bentuk uang dan nasabah diberikan wakâlah untuk membelinya sendiri sehingga bank tinggal menaikkan harga belinya dari nasabah. Bank menjual barang yang belum dimilikinya. Hal ini bertentangan dengan prinsip jual beli yang mengharuskan seseorang atau lembaga memiliki barang secara faktual terlebih dahulu, baru kemudian menjualnya kepada pihak lain (nasabah). Sehingga praktek ini bertentangan dengak kaidah fiqh (maxim): ?? ???? ???? ?? ????? ?? ??? ????? ??? ??? ?? ????? ?? ????? ?? ?????? 1. Sehubungan dengan poin nomor 3 di atas, Bank mempercayakan sepenuhnya kepada nasabah, untuk membeli barang, setelah memberikan akad wakâlah kepada nasabah, bank tidak tahu tentang spesifikasi barang yang dibeli, harga aslinya, dsb. Di sini sangat memungkinkan terjadinya penyalahgunaan amanah oleh nasabah. Sulit untuk menyediakan barang (objek) jual beli secara riil saat transaksi, sehingga umumnya menggunakan wakâlah pembelian. Namun hal ini bisa menimbulkan potensi barang tidak dibelikan sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad, atau dana digunakan untuk keperluan lain. Dan efek negatif dari penggunaan wakâlah bil Murâbahah memungkinkan terjadinya praktik pembiayaan fiktif. Karena bank tidak membelikan nasabah akan barang tersebut, maka bank pun tidak memberikan jaminan atas barang tersebut, semua keadaan barang menjadi tanggung jawab nasabah, bukan menjadi tanggungjawab bank. Hal ini bertentangan dengan kaidah[11]:
8 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
"?????? ??????? " "?????? ??????" 1. Dalam akad murâbahah disyaratkan adanya uang muka. Namun dalam prakteknya, banyak bank yang tidak menerapkan aturan tersebut. Bank bisa saja tidak mensyaratkan adanya uang muka. Terlepas dari fatwa yang mengatur uang muka, sebenarnya keberadaan uang muka pada dasarnya tidak harus ada dalam praktek murâbahah, apalagi bank mengambil keuntungan berdasarkan nominal yang tersisa setelah pembayaran uang muka, karena keuntungan dalam sistem murâbahah berdasarkan total harga jual terhadap barang. 2. Penentuan margin didasarkan pada kebutuhan biaya operasional, harga barang dan jangka waktu pembiayaan. Dengan pola seperti ini bank cenderung membuat besaran margin yang sama terhadap semua jenis barang, padahal dalam akad murâbahah, besarnya margin ditentukan juga oleh kualitas dan jenis barang yang diperjualbelikan. Atau margin murâbahah masih mem-benchmark dengan bunga, sehingga masyarakat masih menganggap hal ini sama dengan bunga. Perhitungan menggunakan cost recovery juga masih menemui kendala karena kerumitannya, dan harus menyusun RAB satu tahun, padahal pembiayaan murâbahah ada yang lebih dari satu tahun. 3. Dalam hal pembiayaan murâbahah terhadap barang multi-guna, maka akan membuka potensi untuk pembelian barang-barang yang difatwakan haram, sehingga hal ini perlu pengawasan juga. Akan tetapi, bank tidak melakukan pengawasan hingga sedetail itu karena berkaitan dengan SDM dan efisiensi. Alasan-alasan teknis ini dapat mengancam keberadaan nilai-nilai syariah dalam produk LKS. 4. Di dalam jangka waktu perhitungan margin atau keuntungan tidak ada bedanya dengan bank konvensional sebagai contoh, bank syariah memberikan tabel angsuran 1 tahun, 2 tahun, atau 3 tahun yang menyebutkan pokok dan marginnya yang perhitungannya sama dengan bunga.[12] 5. Perhitungan biaya administrasi pembiayaan masih menggunakan prosentase. Misalnya 1 %, jadi tidak mempertimbangkan kebutuhan riil biaya yang dikeluarkan dalam proses suatu pembiayaan. Di sini terdapat unsur “kezaliman”. Apalagi biaya administrasi hanya dibebankan kepada nasabah. Jika biaya administrasi ditanggung bersama (bank dan nasabah) meskipun dengan distribusi 30% 70% tentu LKS secara otomatis menegakkan sebagian nilai-nilai yang diembannya yaitu nilai ta’âwun (tolong-menolong), walapun harus disadari bahwa LKS bukanlah lembaga social. 6. Terdapat LKS yang menetapkan ta’wîdh mengacu pada nominal angsuran setelah melakukan perkalian sesuai dengan rumus yang mereka anut. Meskipun ta’wîdh “tidak diberlakukan” pada beberapa bank selama penunggakan angsuran dianggap masih dalam kewajaran. Perlu diketahui bahwa ta’wîdh bukanlah solusi yang disepakati oleh ahli hukum Islam, karena ada potensi akan melahirkan ribâ nasî’ah ketimbang menutupi kerugian yang dialami pihak LKS selama penundaan angsuran dilakukan pihak nasabah. Itulah sebabnya posisi ta’wîdh boleh diberlakukan asal diperuntukkan sebagai dana sosial, bukan menjadi pendapatan bank. Langkah ini sebagai upaya antisipatif untuk menghindari ribâ nasî’ah pada satu sisi, dan untuk melakukan edukasi terhadap nasabah pada sisi lain. Penggunaan al-Minhâj al-Maqshadi yang Kurang Cermat
9 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 77 Tahun 2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai secara eksplisit membolehkan transaksi jual-beli emas secara angsuran atau cicilan. Meskipun harus diakui, sesungguhnya ulama’ tidak satu suara mengenai bolehnya transaksi ini; ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan. Ulama’ yang mengharamkan, melandaskan argumentasi pada keumuman hadits-hadits tentang ribâ, yang antara lain menegaskan: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, dan perak dengan perak, kecuali secara tunai.” Dengan demikian, mereka menyatakan, emas dan perak adalah tsaman (harga, alat pembayaran, uang), yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tangguh, karena hal itu menyebabkan ribâ. Sementara itu, ulama yang mengatakan boleh mengemukakan dalil sebagai berikut, a) Bahwa emas dan perak adalah barang (sil'ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran, uang); b) Manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli emas secara anggsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka akan mengalami kesulitan; c) Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi ribâ (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi ribâ (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama; d) Sekiranya pintu (jual beli emas secara angsuran) ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang-piutang, masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak terkira, sebagaimana jual-beli emas.[13] Jual-beli emas secara tidak tunai dalam konteks Indonesia diperbolehkan, tentunya dengan pertimbangan hukum dan kemaslahatan sosial lainnya. Kebolehan ini kemudian direspon dengan cepat oleh lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah yang memfasilitasi skema pembiayaan kepemilikan emas. Selain pembiayaan kepemilikan emas, bank syariah juga membuka layanan gadai syariah berdasarkan fatwa No. 25 dan 26 tahun 2002 tentang gadai secara umum, dan gadai emas secara khusus. Dalam catatan Bank Indonesia, bisnis gadai emas di perbankan syariah sejatinya telah berkembang beberapa tahun yang lalu, namun gaungnya tampak jelas pada tahun 2011 seiring dengan krisis dahsyat yang melanda wilayah Eropa. Pada saat yang bersamaan awareness masyarakat akan komoditi emas sebagai alat lindung nilai semakin terbangun kuat. Akibatnya, bisnis gadai di perbankan syariah menemukan momentumnya, hal ini bisa dilihat dengan naiknya pembiayaan, termasuk untuk rahn emas mengalami kenaikan yang sangat tajam. Sesungguhnya produk gadai emas syariah tidak ada masalah ketika merujuk pada ketentuan fatwa No. 25 dan No. 26 DSN-MUI, namun bermasalah ketika kemudian dilakukan modifikasi top up atau gadai ulang. Bedanya top up dengan metode gadai biasa adalah pada gadai emas syariah yang reguler, pada saat transaksinya sudah jatuh tempo, yaitu sekitar 4 bulan, nasabah gadainya langsung mengembalikan uang pinjamannya, serta membayar ujrahnya. Kemudian dia bisa mengambil emas, namun diinovasi top up ini tidaklah demikian, setelah jatuh tempo, nasabah tidaklah benar-benar membayar uangnya, namun ia melakukan top up atau gadai ulang. Jadi emasnya tidak jadi ditebus, namun digadai ulang. Setelah empat bulan kemudian, dia juga tidak menebus lagi, begitu seterusnya. Sehingga dia menjadi pinjamannya terus menerus. Singkatnya, tebus-gadai ulang, tebus-gadai ulang, jadi muter-muter di sana.
10 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Masalahnya, mereka yang melakukan modifikasi top up secara tidak langsung mendapatkan legitimasi dengan dikeluarkanya fatwa No. 77 tentang jual-beli emas secara tidak langsung atau dengan cara cicil. Jika tadinya orang harus punya emas dulu, kemudian datang ke bank untuk menggadaikan emasnya, maka sekarang orang bisa datang ke bank untuk menggadai, hanya dengan emasnya yang dibelinya secara cicilan dengan skema murâbahah. Dengan adanya fasilitas pembelian emas secara cicilan ini, dalam pandangan Adiwarman A. Karim, membuat pelaksanaan gadai emas syariah di lapangan menjadi lebih kacau lagi, bahkan potensi untuk spekulasi menjadi sangat terbuka lebar, di mana pada saat yang bersamaan mencederai prinsip dasar dari gadai itu sendiri. Problem gadai emas yang berpotensi spekulasi ini tidak bisa dilepaskan dengan konsepsi teoritik hukum yang dibangun oleh para ulama’ yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan rahn (gadai), rahn emas (gadai emas), serta jual-beli emas secara tidak langsung. Dalam konteks ini, sebetulnya tidak ada persoalan krusial yang berkaitan dengan fatwa 25 tahun 2002 tentang rahn (gadai), begitu pula dengan fatwa 26 tahun 2002 tentang gadai emas. Sebab rahn (gadai) memang dimaksudkan sebagai jaminan atas utang atau pinjaman yang ada. Persoalannya baru muncul ketika emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn), artinya disini terdapat dua akad (murâbahah dan rahn) dalam satu transaksi produk. Padahal dengan jelas ulama’ melarang adanya dua akad dalam transaksi yang berbeda, bahkan dalam satu transaksi sekalipun. Anehnya, pilihan model seperti ini dijustifikasi oleh fatwa DSN-MUI terutama pada poin batasan dan ketentuan jual-beli emas secara tidak tunai pada angka 2 yang berbunyi “emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan”. Dengan demikian, definisi gadai seperti ini lebih bersifat qard (pembiayaan), bukan lagi sebagai collatera (jaminan). Akibatnya, pintu masuk ke arah spekulasi terbuka lebar dengan sendirinya. Mengkritisi fatwa tersebut menyusul fenomena yang menyusulinya, ada baiknya dilakukan koreksi ulang terhadap konsep rahn dalam fatwa No. 77 ini. Koreksi yang paling memungkinkan adalah tidak bolehnya seseorang melakukan gadai emas syariah, dimana posisi pemilikan terhadap emas itu masih terikat dengan akad murâbahah, hal ini dilakukan dalam kerangka menghindari meluasnya unsur spekulasi terhadap investasi emas ini oleh karena setiap orang bisa menggadaikan emas tanpa harus memiliki emas itu sendiri, padahal gadai dalam Islam itu dengan tegas dikatakan bahwa marhun (objek gadai) itu harus ada, jelas dan dimiliki. Selain itu, pilihan ini juga dimaksudkan untuk menyelamatkan konsep dasar gadai (rahn) itu sendiri, yang tidak lain dan tidak bukan sebagai jaminan atas utang atau pinjaman, serta untuk pengembangan sektor produktif, bukan untuk kepentingan spekulasi.
Konvergensi antara al-Minhâj al-Raddi dan al-Minhâj al-Kulli Memang harus diakui bahwa masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Persoalannya adalah bagaimana cara mensenergikan kedua metode ini terutama pada
11 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
rumusan fiqh tanzîli (fatwa) yang lebih aplikatif dan fungsionil dalam melindungi para pihak dan sedapat mungkin mengeliminir spekulasi yang berkembang. Kelemahan al-minhâj al-raddi dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: 1) Penerapan metode ini memiliki kecenderungan untuk mengabaikan dimensi historis dan ekonomi yang yang membentuk fatwa tersebut pada masa yang lalu. Sehingga kalau diterapkan di era sekarang tanpa melakukan revitaalisasi metodologis akan menjadi tidak relevan; 2) Konsentrasi metode ini pada pengkajian terhadap al-tasyâbuh atau al-tanâzur (unsur-unsur yang memiliki kemiripan dan kesepadanan antara kasus baru dengan kasus lama) akan menggiring fatwa pada koridor normatif untuk mejustifikasi (tahlîl atau tahrîm) terhadap berbagai kejadian; 3) Karakteristik metode ini terkadang mencampur aduk model transaksi klasik dengan model transaksi modern kemudian memaksakan hukum klasik untuk diterapkan pada kasus-kasus kekinian sehingga memunculkan berbagai kekacauan teoritis dan praksis; 3) Studi-studi yang dilakukan oleh para pendukung metode ini sarat dengan berbagai konflik epistemologis. Hal ini terjadi karena tidak ada kriterium metodologi ilmiah yang pasti terutama untuk menghadapi seluk beluk sistem transaksi modern. Yang terjadi kemudian adalah adanya tumpang tindih fatwa dalam berbagai kasus yang sama karena konsekuensi dari daya tangkap akan adanya al-tasyâbuh (kemiripan antara kasus lama dengan kasus baru) sangat subyektif sebagaimana terlihat pada fatwa yang mengatur kartu kredit syariah dan sejumlah potensi penyimpangan dalam aplikasi murâbahah; 4) Penetapan hukum terhadap suatu kasus dengan menggunakan metode ini lazimnya bersifat langsung, tidak didahului oleh riset ilmiah. Sebagaimana al-minhâj al-raddi memiliki kelebihan dan kekurangan, maka demikian pula alminhâj al-kulli mengandung beberapa kelemahan antara lain adalah: 1). Karakteristik metode ini yang bertumpu pada nilai-nilai etis relegius yang universal kecenderungannya akan meremehkan aspek-aspek teoretis; 2) Studi-studi yang dilakukan oleh pendukung metode ini terlalu mengabaikan wilayah kajian al-juz’iyât dan memprioritaskan al-kulliyât justru juga melahirkan konflik epistemologis seperti yang dapat dilihat dalam fatwa al-ta’wîdh dalam kasus terjadinya perubahan nilai mata uang, dan fatwa DSN No. 77 di atas. Demikianlah krisis nalar fiqh sebagai konsekuensi dari krisis nalar al-maqâshid dan nalar al-rad. Kecenderungan studi al-maqâshid terbatas pada wilayah terapan yang ada di permukaan. Dengan kata lain al-maqâshid sering dimaksudkan sebagai tujuan, padahal ia tidak sekedar tujuan, melainkan metode sekaligus pendekatan. Krisis metodologis kerap dilatarbelakangi berbagai faktor yang secara fundamental kembali pada dua permasalahan. Pertama permasalahan ekologis. Komunitas Muslim terdahulu terdapat para fuqahâ’ yang sampai pada level ijtihâd dan ibtikâr. Adapun di era sekarang meski terdapat sejumlah fuqahâ’ yang sampai pada peringkat tersebut, tetapi secara sekologis merasa berada di tingkatan yang lebih rendah dari fuqha’ terdahulu. Sikap imperioritas ini kemudian melahirkan sikap kepengikutan (itba’) yang tidak kritis. Kedua, permasalahan obyektif. Hal ini berkenaan dengan pembentukan budaya ilmiah bagi para pengajar fiqh dalam wilayah-wilayah kajian ekonomi. Fiqh terkadang dianggap hanya bersentuhan dengan maslahmasalah ibadah dalam pengertian yang sempit. Faktor lain juga adalah bahwa fiqh tidak lagi mendampingi seluruh aktifitas Muslim sebagai
12 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
“prestasi” kaum penjajah untuk “menyingkirkan fiqh Islami” dan menggantinya dengan fiqh Barat. Tentu saja ada faktor lain yaitu metode pembelajaran fiqh yang hanya menyentuh ragam pendapat para fuqahâ’ tanpa mendalami metode yang digunakan. Jadi fiqh yang dipelajari adalah fiqh yang sudah final pada zamannya, dan kurang fungsional di zaman sekarang. Untuk mengatasi permasalahan krisis fatwa dalam masalah transaksi di perbankan syariah setidaknya ada dua fase yang harus dilalui. Pertama, melakukan identifikasi secara ketat antra ‘uqûd al-mu’âwadhât dengan ‘uqûd al-Tabarru’ât dan mengeliminasi unsur-unsur yang tidak relevan dengan era sekarang. Unsur-unsur yang menjadi pertimbangan adalah unsur-unsur yang fungsional terhadap pembentukan hukum yang seirama dengan unsur-unsur transaksi modern. Kedua, fase unsur-unsur tersebut kemudia dikaji secara mendalam dan komprehensif dengan menggunakan pola tanqîh al-manâth dan tahqîq al-manâth. Tanqîh yang dimaksudkan disini adalah poroses eliminasi dan identifikasi unsur-unsur yang tidak relevan. Sedangkan tahqîq adalah proses penetapan unsur-unsur yang relevan. Dari dua fase ini kemudian hukum dapat dirumuskan dengan melakukan konvergensi dan sinergi antara al-minhâj al-raddi dan alminhâj al-kulli (al-jam’u baina al-minhâjain). Jika kedua metode ini ternyata melahirkan pertentangan-pertentangan, maka seorang faqih harus memberlakukan tarjih yang berbasis pada al-maqâshid seperti yang diteoritisasikan oleh al-Amidi dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Proses tarjih ini dapat kelompokkan sebagai bentuk aplikasi prinsip pengecualian (mabda’ alistisnâ’) dalam konteks salah satu pilihan yaitu pilihan semata-mata melakukan istishlâhî dan atau istihsânî. Marâji’ Al-Raisuni, Ahmad. 1992. Nazâriyat al-Maqâshid ‘inda Al-Imâm Syâthibî. Riyadh: al-Dâr al-‘Ilmiah li al-Kitâb al-Islamî. _______________. 2000. al-Ijtihâd, an-Nash, al-Wâqi’ al-Mashlahah. Beirut: Dâr al-Fikr alMu’âshir. Athiyah, Jamal al-Din. 2001 M (1422 H). Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syarî’ah. Amman: alMa’had al-‘âlamî li al-Fikr al-Islâmî. Auda, Jasser. 2008. Maqâshid al-Sharî’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. Herndon: The International Institute of Islamic Thought. Al-Duraini, Fathi. Manâhij al-Ijtihâd wa al-tajdîd fi al-fikr al-islâmî. Majallah al-Ijtihad, No.2, Tahun 1990, Lebanon. Al-Syâthibî, Abu Ishaq Ibn Ibrahim. 2002. al-Muwâfaqâtu fî Ushûl al-Syarî’ah. Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyah. ____________, t.t. al-I’tishâm. Beirut: Dâr al-Ma’rifah. Ibn Ibn ‘Asyur, Muhammad Thohir. 1988. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islamiah. Tunis: al-Syarîkah al-Tunisiah li al-tauzî’.
13 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Al-Thufi, Najm al-Dîn Sulaiman Ibn Sa’id. 1390 H/1970M. al-Ta’yîn fî Syarh al-Arba’în alNawawiyah. Kuwait: Dâr al-Qalam. Al-Khodimi, Nuruddin Ibn Mukhtar. Kitab al-Ummah: al-Ijtihâd al-Maqâshidi, Hujjiyatuhu, Dhawâbithuhu, Majallatuhu. Tahun 10, Jumadi al-Ûla, 1419 H, No. 65, Beirut: Dar al-Fikr. Al-Qardhawi, Yusuf. 2006. Baina al-Maqâshid al-Kulliyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyah. Markaz Dirâsat Maqâshid al-Syarî’ah al-Islamiyah. Al-Shugayyar, Abd al-Majid. 1415 H/1994M. Al-Fikr al-Ushûli wa Isykaliyât al-Sulthah al-‘Ilmiyah fi al-Islâm. Beirut: Dâr al-Muntakhab. Ibn Abd al-Bar, Yusuf. 1993. Al-Istizkâr al-Jâmi’ li Mazâhib Fuqahâ’ al-Amshâr wa ‘Ulamâ’ alAqthâr. Beirut: Dâr al-Wa’yi. Ibn Hazam. Tt. al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. Athfaesy, Muhammad (Quthub al-Aimmah). Syifâ’ al-‘Alîl. Jeddah: Maktabah al-Irsyâd.
1985.
Syarah
Kitab
al-Nail
wa
[1] Lihat Tafsir ayat-ayat ribâ oleh al-Maudûdi dan Sayyid Quthub. Sikap tegas mereka terhadap ribâ dan atau bunga tidak dapat dipisahkan dari doktrin teologis yang dibangun oleh al-Maududi yang menyatakan bahwa dalam syariah Islam berlaku doktrin Hakimiyah Ilahiyah. Sehingga tidak ada ketentuan hukum produk insani yang dapat diterima. Semua ketentuan hukum di luar bingkai syariah adalah kezaliman. Sebaliknya hukum apa pun yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah adalah keadilan. Jadi pemerataan kesejahteraan hanya dapat tercapai dengan sarana atau sistem ekonomi syariah. Di luar dari itu adalah kesejahteraan semu dan kebatilan.
[2] Dalam kontek teoretisasi dan fungsionalisasi fiqh secara efektif, maka fiqh harus dilihat dari tiga level: pada level pertama kita sebut dengan fiqh al-fahmî (ketentuan hukum
14 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
yang kita fahami dati teks pembentuk). Pada level kedua adalah fiqh al-siyâghah (fiqh yang kita rumuskan berdasarkan pemahaman tersebut dan ditambah dengan faktor-faktor lain yang membuat rumusan tersebut menjadi ketat dan deterministik). Sedangkan pada level tiga adalah fiqh al-tanzîlî (fiqh yang akan diberlakukan di tengah masyarakat). Fiqh pada level tiga ini tidak selalu bersifat “obyektif”, tetapi “subyektif” karena sudah menyentuh perbuatan mukallaf (af’âl al-mukallafîn) yang dipengaruhi oleh situasi, kondisi (zamkani: al-zaman wa al-makan). Fiqh pada level tiga ini sering tampil berdamai dengan realitas lokal sebagaimana yang terlihat pada wilayah-wilayah al-futûhât al-islâmiyah (daerah yang baru dibuka dimana tingkat peradaban mereka lebih tinggi ketimbang peradaban masyarakat Arab yang tinggal di kawasan Sahara).
[3] Lihat Abd al-Majid al-Shugayyar, al-Fikr al-Ushûli wa Isykâliyât al-Sulthah al-‘Ilmiyah fî al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Muntakhab, 1415 H/1994M) hlm. 139.
[4] Al-Ghurbah bukan asosiasi tertentu, tetapi lebih bersifat spirit dan kesadaran yang terbarukan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa kehancuran negara Islam pada saat itu tidak dapat dihindari, tetapi mereka coba menundanya. Mereka ini menyadari betul perlunya membangun metodologi dalam pengertian konseptual untuk menjadi rujukan generasi mendatang. Ulama lain yang disebut al-gurbah adalah Ibn Khaldun. Disebut al-gurbah karena mereka termarjinalkan dari mayoritas ulama yang pada umumnya “membebek” pada kekuasaan. Mereka membaca hadis: “al-islam garibun wa saya’ti garibân fathuba li al-guraba’” dalam perespektif pembacaan politik. Beratnya usaha mereka dalam menghadapi tantangan pada saat itu dilukiskan oleh al-Syatibi dalam ucapannya: Mukhalafatu ma i’tadahu al-nasu ‘ibun saqilun wa ahlu al-haq fi janbi al-bathil qalilun” (tampil berbeda dengan apa yang sudah mentradisi secara mapan sangatlah berat, pendukung kebenaran di tengah kebatilan jumlahnya sedikit). Lihat al-I’tisham karya al-Syatibi, (tt: Dâr al-Ma’rifah) hlm. 45.
[5] Lihat Yusuf Ibn Abd al-Bar, al-Istizkar al-Jami’ li Mazahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama’ al-Aqthor, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Wa’yi, 1414 H/1993 M), bagian aqiqah.
[6] Lihat Ibn Hazam, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), bagian
15 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
pembahasan Zakat.
[7] Lhat fiqh-fiqh aliran Ibadhiyah yang masih dianut di Oman antara lain karya Muhammad Athfaesy (Quthub al-Aimmah), Syarah Kitab al-Nail wa Syifa’ al-‘Alil, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, I, 1405 H/1985 M)
[8] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards., hlm 19-20
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank syari’ah dari teori ke praktik, Cet.1, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm. 125
[10] Sejumlah karya klasik yang menyatakan hal tersebut antara lain: Hasyiyah alSyalabi ‘ala Tabyin al-Haqo’iq, Majma’ al-Anhar wa Durru al-Muntaqo, Syarah Muntaha alIrodat, al-Mubdi’, al-Mabsuth, al-Taj wa al-Iklil, Kasy-syaf al-Qina’ dan al-Muhalla oleh Ibn Hazm.
[11] Kaidah tersebut menekankan tanggung jawab kepada pihak bank sebelum barang sebagai obyek akad diserahterimakan kepada nasabah. Di sini sebetulnya berlaku khiyar ‘aib, tapi tidak pernah ada karena barang-barang yang dibeli sesungguhnya bukan tanggung jawab bank, melainkan menjadi tanggung jawab nasabah.
16 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[12] Hal tersebut ada hubungannya dengan Sistem Bunga Flat, Efektif, Fixed & Floating Bunga. Flat adalah sistem perhitungan suku bunga yang besarannya mengacu pada pokok hutang awal. Biasanya diterapkan untuk kredit barang konsumsi seperti handphone, home appliances, mobil atau kredit tanpa agunan (KTA). Dengan menggunakan sistem bunga flat ini maka porsi bunga dan pokok dalam angsuran bulanan akan tetap sama. Misalnya besarnya angsuran adalah satu juta rupiah dengan komposisi porsi pokok 750 ribu dan bunga 250 ribu. Maka, sejak angsuran pertama hingga terakhir porsinya akan tetap sama. Adapun Sistem bunga efektif adalah kebalikan dari sistem bunga flat, yaitu porsi bunga dihitung berdasarkan pokok hutang tersisa. Sehingga porsi bunga dan pokok dalam angsuran setiap bulan akan berbeda, meski besaran angsuran per bulannya tetap sama. Sistem bunga efektif ini biasanya diterapkan untuk pinjaman jangka panjang semisal KPR atau kredit investasi. Dalam sistem bunga efektif ini, porsi bunga di masa-masa awal kredit akan sangat besar di dalam angsuran perbulannya, sehingga pokok hutang akan sangat sedikit berkurang. Jika kita hendak melakukan pelunasan awal maka jumlah pokok hutang akan masih sangat besar meski kita merasa telah membayar angsuran yang jika ditotal jumlahnya cukup besar. Jika dibandingkan kedua sistem bunga itu, maka masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan sistem bunga flat adalah jika kita hendak melakukan pelunasan awal, maka porsi pokok hutang yang berkurang cukup sebanding dengan jumlah uang yang telah kita angsur. Namun kelemahannya, bunga itu cukup besar karena dihitung dari pokok hutang awal. Sistem bunga efektif akan lebih berguna untuk pinjaman jangka panjang yang tidak buru-buru dilunasi di tengah jalan, karena jika kita membandingkan nominal bunga yang kita bayarkan, jauh lebih kecil dari sistem bunga flat. Fixed VS Floating. Sesuai dengan namanya, suku bunga fixed artinya suku bunga itu bersifat tetap selama periode tertentu atau bahkan selama masa kredit, sedangankan suku bunga floating, artinya bunga dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi pasar. Jadi jika membandingkan maka flat >
[13] Argumentasi hukum mengenahi jual-beli emas secara tidak tunai selengkapnya
17 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
bisa dibaca pada fatwa no. 77 tahun 2010.
18 / 18 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)