PROBLEMA HAK CIPTA SENI MUSIK Budi Hermono
Abstrak
Industri musik Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami suatu kemajuan yang pesat. Perkembangan industri tersebut tidak disertai dengan kesadaran sebagian besar musisinya dalam menciptakan karyanya. Mereka masih menganggap adanya persamaan delapan bar dengan karya musik musisi lain adalah wajar dan tidak dianggap suatu pelangaran hak cipta. Undang-undang No, 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur mengenai pelanggaran hak cipta secara substansial.
Kata kunci : Hak cipta, delapan bar, pelanggaran substansial
1. Pendahuluan Musik memang tidak bisa terlepas dari kehidupan yang mewarnai hidup seorang manusia dalam kesehariannya, bahkan seseorang yang dianggap tuli nada, juga tidak dapat terlepas dari musik dalam kesehariannya. Musik memang tidak bisa kita lepaskan dalam kehidupan kita. Saat ini musik dapat kita dengarkan diberbagai kesempatan dan tempat, hanya mungkin kita bisa terlepas dari musik apabila kita dalam keadaan tertidur saja. Apabila kita amati lebih jauh dalam siaran di dunia pertelevisian kita saat ini, stasiun – stasiun televisi nasional saat
ini menyuguhkan acara
atau
tayangan
yang
menawarkan hiburan yang menampilkan musik. Acara tersbut menampilkan berbagai video clip yang berasal dari putra bangsa, Indonesia. Lima tahun terakhir, perkembangan musik Indonesia mungkin sedang mengalami titik puncak dari masa kejayaan perkembangannya. Banyak musik atau lagu yang kita dengar berasal dari berbagai macam musisi nasional kita. Lagu yang dapat kita dengarkan berasal dari berbagai macam musisi baik itu yang sudah lama berkecimpung di dunia musik seperti Godbless, Dewa 19, Slank dan masih banyak lagi. Sekali lagi, apabila diperhatikan dan diamati, saat ini banyak lagu yang berasal dari para musisi baru, seperti ST12, Ungu, d'Massive, The Changcuters dan lainnya. Musisi – musisi baru tersebut lahir pada saat dunia musik kita dalam keadaan lesu karena adanya pembajakan-pembajakan. Hasil pembajakan tersebut dapat dengan mudah kita dapati di mall dan pedagang-pedagang kaki lima. Selain itu, kita dapat dengan mudah mendapatkan lagu-lagu yang kita inginkan tersebut dengan cara mengunduh
(mendownload) di situs-situs yang memang secara khusus menyediakannya secara gratis. Walaupun banyak pembajakan, tetapi dunia musik di Indonesia seperti magnet bagi masyarakatnya dan minat para musisi muda tidak pernah surut. Kreativitas dan ide merupakan faktor yang utama dalam menciptakan sebuah karya seni. Ide adalah faktor untuk dapat menciptakan sesuatu, sedangkan kreativitas adalah cara kita mengolah ide yang kita dapat untuk dijadikan sesuatu. Apabila kita bicara lagu atau musik, kreativitas adalah unsur untuk mengolah ide menjadi sebuah karya. Dalam dunia bisnis musik, seorang musisi dituntut tidak boleh kehabisan ide dan kreativitas, dengan harapan menghasilkan karya-karya setiap tahun sesuai dengan perjanjian dengan pihak label tempat mereka bernaung. Tuntutan untuk menghasilkan sebuah album setiap tahunnya membuat musisi tertekan. Mereka seolah-olah menjadi seekor sapiperahan oleh perusahan rekaman untuk selalu menghasilkan karya yang terbaik. Ide dan Kreativitas adalah sesuatu yang abstrak, kedua komponen tersebut dapat muncul apabila pikiran seseorang dalam keadaan tenang. Kalau musisi selalu ditekan, tidak menutup kemungkinan musisi tersebut akan kehabisan ide dan kreativitas. Hal inilah yang terkadang membuat sebagian musisi mengalami depresi. Musisi yang tertekan secara psikologis umumnya akan mempengaruhi ide dan Kreativitasnya. Apabila itu terjadi, mereka akan mengalami kebuntuan dan tidak dapat berkarya. Hal tersebut sangat ditakuti oleh musisi di Indonesia dan dunia pada umumnya, karena akan mempengaruhi kualitas dari karya yang dihasilkannya. Kita ingat sekitar lima – tujuh tahun lalu. Grup asal Jogjakarta, Sheila on Seven di salah satu albumnya menciptakan sebuah lagu ”Anugerah Terindah yang Pernah Aku Miliki”. Lagu ini ciptaan Eross salah satu personel di band tersebut. Lagu tersebut menjadi lagu andalan band asal Jogja tersebut. Namun apabila kita dengarkan seksama dan lebih rinci, lagu tersebut mempunyai kesamaan nada dengan lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh Boyzone yang berjudul "Like Father, Like Son ". Lagu ini mempunyai kesamaan nada lebih dari delapan bar. Eross sang pencipta ”Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki ” pada saat itu dikonfirmasi oleh beberapa media baik elektronik mauapun cetak mengenai kesamaan yang terjadi. Sekali lagi, Eross mengatakan pada saat itu dia tidak pernah tabu menahu mengenai lagu. Like Father, Like Son yang dinyanyikan oleh Boyzone, dan apabila ada kesamaan dalam nada, mungkin bisa saja terjadi, karena jumlah nada dalam musik hanya tujuh nada. Kasus lain berita tentang dugaan penjiplakan oleh Maia Estianty, anggota grup ”Dou Maia”. Dalam album terbaru Duo Maia, terdapat judul lagu ”Pengkhianat Cinta” yang
disebut-sebut mirip dengan sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh Dina Mariana hasil ciptaan almarhum Ririn S. Pada artikel di sites kapanlagi.com, Maia menyebutkan Lagu tersebut hanya mirip awalnya saja. Lagi pula, menurut ibu tiga anak ini, yang namanya menjiplak jika terjadi kemiripan sebanyak delapan bar. Persamaan terhadap suatu karya cipta lagu tidak hanya itu saja. Apabila kita dengarkan bersama antara lagu Dewa 19 dengan ”Wanita Paling Cantik di Bumi Indonesia” dengan lagu yang dibawakan oleh grup vokal Steps yang berjudul ”Tragedy”, ditemukan persamaan yang apabila kita hitung per-bar-nya, persamaan tersebut lebih dari delapan bar dan itu merupakan persamaan yang substansial dari lagu tersebut. Hal ini tidak mendapatkan reaksi apa-apa dari Dewan Hak Cipta, buktinya tidak ada reaksi apa-apa. Indonesia, dalam hal ini sebenarnya sudah memiliki produk hukum tentang perlindungan hak cipta. Produk hukum tersebut adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Produk hukum ini adalah hasil ratifikasi dari perjanjian dalam World Trade Organzatition (WTO) yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Namun, penafsiran yang salah terhadap kesamaan penggunaan delapan bar belum dianggap melanggar. 2. Hak Cipta a. Sejarah Hak Cipta di Indonesia Menurut www-w.wikipedia.com, konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin bukan pengarang. Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris. Hak tersebut diberikan kepada pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu 28 tahun, setelah itu karya tersebut menjadi milik umum (ibid). Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah
yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam sate media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai (ibid). Konvensi inilah yang mendasari WTO untuk mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan membuat produk hukum yang berlaku secara internasional yang mengikat anggotanya yaitu Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Selain Konvensi Berne, TRIPs juga banyak terpengaruh oleh aturan yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (WIPO). WIPO adalah sebuah organisasi internasional yang pada saat itu mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seseorang. Seiring perjalanan waktu dan semakin pentingnya HKI di dunia perdagangan, WTO mebuat aturan tentang pengaturan yang ada hubungannya dengan HKI. Pada tahun 1958, melalui Perdana Menteri Indonesia pada waktu itu yaitu Juanda, Indonesia menyatakan keluar dari konvensi Bern. Keluarnya Indonesia dari Konvensi Bern ini dengan maksud untuk memberikan
kesempatan
kepada
para
Intelektual
untuk
memanfaatkan hasil karya cipta bangsa asing tanpa harus membayar royalti (ibid) Tahun 1982, Indonesia pertama kali memnetapkan Undang-Undang Hak Cipta yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta yang juga mencabut aturan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 buatan Belanda. Dirasa belum cukup sempurna, Undang-Undang No.6 tahun 1982 tersebut selanjutnya disempurnakan dengan mengelurkan peraturan perundangan baru yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang hak cipta. Kedua peraturan perundangan ini masih terpengaruh oleh peraturan buatan Belanda, yaitu apabila ada kesamaan pada sebuah lagu sebanyak delapan bar masih belum dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Kedua undang-undang hak cipta ini hanya menggambarkan
hak
cipta
sebagai
sebuah
hak
untuk
menggandakan
atau
memperbanyak suatu karya cipta. Tahun 1994, sebagai anggota dari WTO, Indonesia meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No.7 tahun 1994. Ratifikasi TRIPs inilah awal dari sebuah era baru dari sistem peraturan mengenai HKI. Tahun 1997, Indonesia kembali meratifikasi Konvensi Bern dan mengundangkan undang-undang baru mengenai hak cipta yaitu undang-undang No. 12 Tahun 1997. Umur dari peraturan ini tidak begitu lama, karena pada tahun 2002, Indonesia kembali mengeluarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang hak cipta sebagai
penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya yang didasari oleh Konvensi Bern dan TRIPs. b. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ciptaan yang dilindungi hak cipta adalah ciptaan yang terkait dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, hal ini diatur dalam UUHC Pasal 12 ayat (1). Apabila kita lihat objek yang diatur pengaturannya dalam UUHC, musik merupakan salah satu bentuk seni yang mendapatkan perlindungan hak cipta pada Pasal 12 ayat (1) huruf d. Hak cipta diberikan pada sebuah ciptaan. Ciptaan adalah hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Lalu, siapakah pencipta itu? Pencipta dalam UUHC adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. c. Hak-Hak dalam Hak Cipta Sebagaimana telah dijelaskan, hak cipta melindungi hak yang dimiliki oleh pencipta atas suatu ciptaan yang telah dibuatnya. Perlindungan tersebut diberikan untuk meindungi hak-hak yang dimiliki oleh pencipta yang terdapat dalam ciptaan yang dibuatnya. Hak-hak yang diatur dalam UUHC antara lain hak eksklusif, hak ekonomi, hak moral, dan hak terkait. 1. Hak Eksklusif Hak Eksklusif pencipta diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHC yang menyebutkan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dijabarkan lebih lanjut, hak ekskusif seorang pencipta adalah : (a) membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik); (b) mengimpor dan mengekspor ciptaan; (c) menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan); (d) menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum; (e) menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Dr. Rahmi Jened, ahli HKI Universitas Airlangga pada kesempatan disebuah perkuliahan umum menyebutkan bahwa hak eksklusif ini adalah sebuah hak khusus yang diberikan kepada pencipta. Hak khusus tersebut adalah : (a) hak untuk mengumumkan suatu ciptaan (performance rights); (b) hak untuk memperbanyak suatu ciptaan (mechanical rights); (c) hak untuk memberi izin (licencing rights) untuk mengumurnkan dan atau memperbanyak sebuah ciptaan. Hak eksklusif ini dapat dinikmati orang lain selain pencipta apabila pencipta mengalihkan
sebagian
atau
seluruhnya
dengan
cara
pewarisan,
hibah,
wasiat,perjanjian tertulis (lisensi), dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. 2. Hak Ekonomi Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh pencipta atas ciptaann ya yang terkait dengan manfaat ekonomi yang didapat dari ciptaan yang dihasilkan. Manfaat yang didapat adalah berupa materi atau uang yang didapat dari hasil perluasan dan penjualan ciptaan si pencipta. 3. Hak Moral Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, dan siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Pengaturan hak moral ini diatur pada Pasal 24-26 UUHC. 4. Hak Terkait Hak terkait adalah hak yang secara prinsip sama dengan hak eksklusif. Pasal 1 angka (9) menyebutkan bahwa hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan karyanya. Bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekamannya. Bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya. Pelaku yang dimaksud disini adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka menampilkan,
memperagakan,
mempertunjukkan,
yang
men yan yikan,
mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya (Pasal 1 angka 10 UUHC). d. Perlindungan Hak Cipta Ciptaan dalam hak cipta dapat dilindungi apabila ciptaan tersebut sudah memenuhi standar (standart of copyright ability). Standar tersebut terdiri atas tiga kriteria. Ketiga
kriteria tersebut bersifat kumulatif, yang artinya harus ada dalam ciptaan. Apabila salah satu kriteria saja tidak dipenuhi, ciptaan tersebut tidak dapat diberikan perlindungan. Ketiga
kategori
tersebut
adalah
fixation,
originality,
dan
creativity
(perwujudan, keaslian, dan Kreativitas). Perwujudan dalam ciptaan adalah ide yang diwujudkan dalam suatu media yang dapat dinikmati oleh orang lain. Apabila sebuah lagu, perwujudannya ke dalam sebuah kaset, Compact Disk (cakram optik atau CD) atau ke dalam media penyimpan digital lain seperti MP3 Player dan sejenisnya, sehingga karya tersebut dapat diperdengarkan kepada orang lain. Apabila ciptaan berbentuk lirik atau syair dalam lagu, syair atau lirik lagu tersebut sudah ditulis dalam suatu media semisal kertas. Keaslian dalam hak cipta bukanlah suatu hal yang harus mempunyai sifat kebaharuan sebagimana yang dimaksud dalam hak paten (salah sate cabang dari HKI). Kebaharuan (novelty) dalam hak paten adalah sesuatu hal yang benar-benar baru dalam bidang teknologi. Untuk mendapatkan perlindungan atas hak cipta, unsur keaslian memang harus ada, tapi dalam hal ini keaslian yang dimaksud dalam hak cipta adalah ciptaan yang dihasilkan adalah benar-benar hasil pemikiran dari penciptanya bukan hasil dari mengambil karya orang lain yang kemudian diakui sebagai karyanya. Kategori yang terakhir untuk mendapatkan perlindungan hak cipta adalah kreativitas dari pencipta. Kreativitas yang dimaksud adalah kemampuan seorang pencipta untuk dapat mengolah idenya untuk menjadikan suatu karya yang mempunyai ciri sendiri yang berbeda dengan orang lain. Kreativitas di sini adalah tidak juga harus mengolah ide dari pencipta sendiri, namun dapat mengolah karya orang lain sehingga nantinya akan menjadikan suatu karya baru yang berbeda dari karya ash atau sebelumnya, namun dengan catatan atas seijin dari pencipta lagu sebelumnya. Misalnya grup Peterpan menyanyikan kembali lagu dari Chrisye yaitu Kisah Cintaku dengan tatanan musik yang berbeda dari lagu dengan judul yang sama yang pernah dinyanyikan oleh Chrisye. Apabila ketiga kategori tersebut, perwujudan, keaslian, dan kreativitas sudah terpenuhi semua, maka ciptaan tersebut secara otomatis mendapatkan perlindungan hak cipta. Perlindungan hak cipta yang diberikan kepada pencipta untuk ciptaannya memang berbeda dengan bidang HKI yang lain seperti hak merek atau hak paten. Perlindungan hak cipta diberikan secara otomotis bukan melalui pendaftaran. Pendaftaran dalam hak cipta hanya sebagi dasar dari pembuktian saja untuk mengantisipasi apabila terjadi sengketa mengenai hak cipta dikemudian hari. e. Pelanggaran Hak Cipta Menurut James F Sundah, salah satu anggota dewan hak cipta yang juga seorang pencipta lagu yang terkenal di era tahun 1980-an pada Kedaulatan Rakyat online (2008), menjelaskan bahwa selama ini ada anggapan keliru tentang penjiplakan dengan ketentuan
delapan bar no asi menggunakan karya orang lain. "Ketentuan itu tercantum dalam UU Hak Cipta Tahun 1982 yang diambil dari UU buatan Belanda tahun 1923. Berdasarkan UU Hak Cipta Tahun 2002, yang berlaku adalah Substansial Part," tandasnya seraya menjelaskan ketentuan substansial part, sebuah lagu yang hanya menggunakan satu atau dua bar notasi karya orang lain, sudah dapat dikatakan karya jiplakan. Seperti yang telah disebutkan oleh James F Sundah, sebenarnya banyak pencipta dan musisi Indonesia saat ini masih berpegang pada aturan hak cipta yang lama yang masih diperbolehkan kesamaan sebesar 10% atas suatu ciptaan (Marpaung;h.13). Apabila kita mengikuti aturan tersebut, sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, 10% dari sebuah ciptaan , bila yang dibicarakan adalah sebuah lagu, maka 10% tersebut setara dengan 8 (delapan) bar pada notasi atau partitur sebuah lagu. Pengaturan ini diatur dalam UndangUndang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta pasal 14 huruf a. UUHC (Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta) mengatur masalah pelanggaran yang dimaksudkan dalam hak cipta. Pada pasal 15 huruf a yang dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta adalah berdasarkan ukuran kualitatif dan bukan ukuran kuantitatif. Ukuran kualitatif yang dimaksudkan adalah penggunaan hak cipta milik orang lain yang bersifat substantif. Jika kita kaitkan dengan sebuah lagu, lagu yang dianggap melanggar hak cipta adalah lagu yang mempunyai persamaan substantif denga lagu lain yang sudah ada sebelumnya. Jadi, apabila kita mendengarkan lagu barn, kemudian kita menemukan persamaan dengan lagu yang sudah ada, itulah yang dimaksud dengan pelanggaran yang terjadi pada hak cipta. UUHC tidak menyebutkan mengenai apa yang merupakan pelanggaran dalam hak cipta, tapi menyebutkan hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pengaturan ini disebutkan pada pasal 14 sebagai berikut. (1) Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; (2) Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau (3) Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya hares disebutkan secara lengkap. UUHC sebenarnya fleksibel dalam mengatur perlindungan hak cipta sesorang, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 14 UUHC di atas sebenarnya suatu pelanggaran hak
cipta yang terjadi disebabkan adanya persamaan substasial bisa dikatakan atau lepas dari tuduhan melakukan pelanggaran hak cipta apabila pencipta menyebutkan sumbernya. Pelanggaran mengenai hak cipta yang terjadi dewasa ini, berkaitan dengan tidak dicantumkannya pencipta atau musisi yang membuat pada suatu ciptaan tentang sumber dalam membuat ciptaannya. Maksudnya, musisi tersebut mengaku menciptakan sebuah lagu, namun tidak menyebutkan pencipta dari bagian lagu yang mereka gunakan dan dalam hal ini lazim dilakukan oleh musisi Indonesia.
3. Simpulan Berdasarkan pembahasan mengenai penggunaan delapan bar pada sebuah lagu yang masih dianggap oleh insan musik Indonesia bukan merupakan sebuah pelanggaran hak cipta yang dimiliki oleh pencipta lainnya, merupakan anggapan yang keliru ini memang pernah ada dalam sistem hukum kita, yaitu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta Pasal 14 huruf a. Perubahan atas pengaturan mengenai hak cipta sampai dengan yang terakhir adalah pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang pada penjelasan Pasal 14 disebutkan mengenai kriteria tidak dianggap melanggar hak cipta. Pada UUHC tidak lagi diatur mengenai penggunaan 10% dari ciptaan yang sudah ada tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak cipta. UUHC mengatur hal bare mengenai karya yang diciptakan oleh pencipta dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran apabila karya yang diciptakan mempunyai kesamaan secara substansial dengan karya sebelumnya dari pencipta yang berbeda. Jadi apabila dalam musik atau lagu, ada persamaan dan persamaan tersebut merupakan khas dari karya sebelumnya, maka pencipta yang menciptakan karya yang terakhir dapat dikatakan melakukan pelanggaran hak cipta. Pencipta dapat juga dikatakan melanggar hak cipta mengambil ciptaan milik pencipta lain untuk tujuan komersiil dan mengganggu kepentingan ekonomi pencipta yang seharusnya didapatkan. Jadi seorang pencipta dalam dunia musik tidak dianggap melanggar hak cipta pencipta lain apabila dalam ciptaannya tidak ada unsur substansi yang sama dengan ciptaan pencipta lain dan apabila ada, persamaan substansi yang ada tersebut harus mendapat ijin dari pencipta aslinya tanpa melupakan hak ekonomi yang harusnya didapat. Ketidaktahuan beberapa musisi atau pencipta Indonesia mengenai hak cipta terutama dalam aturan persamaan substantif seharusnya tidak boleh ter adi. Seharusnya para pencipta mencari informasi mengenai aturan tersebut dan pemerintah melakukan sosialisasi secara berkala, sehingga perkembangan musik Indoensia yang saat ini sedang terjadi tidak hanya didalam negeri atau negara tetangga di sekitar Indonesia saja seperti Malaysia atau
Singapura, tetapi bisa bersaing di dunia internasional. Adanya kesamaan substansi pada sebuah lagu dengan lagu lain yang sudah ada itulah yang menyebabkan lagu karya anak bangsa Indonesia tidak dapat bersaing dikancah musik internasional.
Daftar Rujukan
Hartini, Rahayu. 2005. Hukum Komersial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Jened, Rahmi, SH., MR, 2001, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPS, Jened, Rahmi, SH., MH., 2001, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs, Surabaya, Yuridika Press Fakultas Hukum Universitas Airlangga ,2005, Kuliah Umum HKI ,Universitas Airlangga Surabaya Muhammad, Abdulkadir.2003.Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual.Bandung:Citra Aditya Bakti. Purba, Achmad Zen Umar.2005.Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs.Bandung:Alumni. Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin, M.2004.Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum.Jakarta:Raja Grafindo Persada Sembiring, Sentosa..2004. Hukum Dagang.Bandung: Citra Aditya Bakti Suherman, Ade, Maman.2002.Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Jakarta:Ghalia Indonesia Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.6 tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 1987 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta Usman, Rachmadi.2003.Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual:Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya di Indonesia.Bandung:Alumni. www. Radarkotabumi.com www.fajar.co.id www.musikji.net www.kapanlagi.com www.kedaulatanrakyat.com www.wikipedia.com www.surya.co.id