PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS DASAR WANPRESTASI TERHADAP AKAD MURABAHAH Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram Pendahuluan Murabahah sebagai salah satu bentuk akad jual-beli amanah. karena dalam proses transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (ats-tsaman alawwal) dan keuntungan yang ingin/hendak diambil ketika akad.1 Murabahah juga marupakan jual-beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang („aiyn) dan uang (daiyn).2 Dalam praktek perbankan syariah, murabahah merupakan skema yang paling dominan digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya,3 sehingga ada stigma bahwa Bank Syariah di Indonesia adalah Bank Murabahah. Ini dipilih oleh bank karena sebagai lembaga intermediary prinsip kehati-hatian (prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efesien sehingga resiko kerugian bank bisa diminimalisir. Murabahah sebagai bentuk jual-beli, harga bisa dibayar secara tunai (naqdan), angsur (taqhsith) atau dalam bentuk sekaligus (mu‟ajjal), akan tetapi berdasarkan kebutuhan pasar, kebanyakan nasabah menghendaki pembayaran harga murabahah secara angsur. Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet. bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta jaminan dari nasabah yang diikat dengan pembebanan Hak Tanggungan maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami macet, dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau mengajukan permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun Pengadilan Agama. Bentuk-bentuk dari wanprestasi menurut hukum perdata antara lain: 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian; 2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan kewajibannya; 1
Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut, Daar al-Fikr, 2002, Juz V, hal. 3600, Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayin), jual-beli dibagi menjadi empat macam; 1. Barter (almuqayyadah) obyek tukarnya sama-sama barang („aiyn). 2. Jual-beli mutlak, obyek tukarnya barang („ayn) dengan uang/harga (dayn). 3. Jual-beli sharf, obyek tukarnya sama-sama uang (dayn). 4. Jual-beli al-salam, yaitu obyek tukarnya piutang barang yang masih menjadi piutang dengan uang yang telah ada ketika akad. 3 Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123; 2
1
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan
kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjiakan. 4. Debitur melaksanakan/melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berdasarkan cakupan bentuk-bentuk wanprestasi sebagai tersebut diatas, maka permohonan eksekusi lelang bagi bank terbuka meskipun belum jatuh tempo. Akan tetapi eksekusi lelang pada akad murabahah yang belum jatuh tempo sering memunculkan perlawanan dari nasabah karena dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Kasus telah banyak bermunculan, sebagai ilustrasi kasus adalah sebagai berikut: -
Bank BRI Syariah sepakat mengadakan akad murabahah atas property obat-obatan (apotek) pada bulan Maret 2015, diikiat dengan Pembebanan Hak Tanggungan atas 4 obyek tanah dan bangunan toko milik nasabah;
-
Harga perolehan bank (al-tsaman al-awwal) seharga Rp.400.000.000,- ditambah keuntungan bank/margin (al-ribh) sebesar Rp.374.304.000,- sehingga harga jual bank kepada nasabah disepakati sebesar Rp.774.304.000,- ; Harga awal (perolehan bank) dan harga akhir (harga jual bank) terpaut sangat tinggi karena karena ada pricing yaitu bank senantiasa memperhitungkan keuntungan yang diperoleh atas berbagai faktor yang dipertimbangkan, yaitu waktu pelunasan, indek bunga pada bank konvensional dll.4
-
Diperjanjikan, harga obyek murabahah dapat diangsur oleh nasabah selama 10 tahun atau 120 kali sebesar angsuran Rp.6.453.000,- perbulan, angsuran akan berakhir/jatuh tempo bulan Nopember 2025;
-
Akad murabahah baru berjalan 8 bulan, usaha nasabah ludes karena perampokan, sehingga nasabah macet mulai bulan Nopember 2015;
-
Bulan Desember 2016
atau 20 bulan setelah akad Murabahah, atau 13 bulan setelah
angsuran macet, Bank mengajukan eksekusi lelang obyek jaminan bank kepada KPKNL Mataram untuk memenuhi pembayaran sebesar Rp. 722.680.000,- (dari Rp. 774.304.000,dikurangi angsuran masuk Rp. 51.624.000,-)
4
Pricing adalah memperhitungkan harga jual dengan mempertimbangkan waktu dengan acuan bunga dalam kredit konpensional. Ini adalah delema system syariah sehingga aplikasi harga murabahah harus mempertimbangkan berbagai aspek; waktu pelunasan, resiko, bunga dalam konpensional, sehingga harga murabahah terpaut sangat tingga dengan harga perolehan bank.
2
-
Nasabah keberatan dan mengajukan perlawanan atas eksekusi lelang oleh KPKNL kepada Pengadilan Agama Mataram ;
-
Alasan perlawanan, tuntutan pelunasan hutang tidak proposrional ; harga pinjaman Rp. 400.000.000,- baru berjalan 20 bulan dan baru macet 13 bulan, bank minta pelunasan atas pembayaran seluruh angsuran sebesar Rp. 774.304.000,- yang mestinya akan jatuh tempo pada Nopember 2025 ;
-
Proses perlawanan terhadap penetapan lelang oleh KPKNL Mataram masih sedang berjalan di Pengadilan Agama Mataram. Rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4
Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016, halaman 9 pada angka 3, membenarkan eksekusi lelang Hak Tanggungan yang belum jatuh tempo. Sebagai berikut: “Hak Tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Eksekusi Hak Tanggungan mempunyai sifat-sifat istimewa mudah, sederhana dan pasti seperti sifat putusan serta-merta. Akan tetapi untuk akad murabahah sifat istemewa Hak Tanggungan pada saat angsuran belum jatuh tempo perlu dikaji secara yuridis, karena faktanya melahirkan ketidak adilan pada nasabah; Contoh kasus diatas,
cukup menggambarkan hal tersebut. Jika eksekusi juga harus
menunggu jatuh tempo, maka bank sebagai lembaga intermediary akan dirugikan, disinlah delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah atas dasar gugatan wanprestasi. Hal lain yang perlu diingat adalah, bahwa karakteristik akad murabahah sangat berbeda dengan akad mudharabah maupun musyarakah dan akad-akad syariah lainnya, apalagi dengan kredit konvensional. Tulisan ini mencoba menganalisa problem hukum dan mengungkap ketidak adilan permohonan eksekusi lelang atas akad murabahah yang belum jatuh tempo. Prinsip –Prinsip Hak Tanggungan Peraturan hukum mengenai Hak Tanggungan adalah suatu perangkat hukum yang digunakan ketika terjadinya perikatan (kesepakatan) pinjam-meminjam uang/pembiayaan antara Peminjam (Debitur) dengan Pemberi Pinjaman (Bank).
3
Didalam prakteknya calon debitur mengajukan permohonan pinjaman/pembiayaan kepada bank dengan menyertakan segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan pinjaman berupa Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha jika Debiturnya adalah badan hukum. Jika menurut Bank permohonan yang diajukan oleh Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank Konvensional) atau Pembiayaan (Bank Syariah) kepada Debitur. Tindak lanjut dari kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah dana (uang) sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan pinjaman. Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari kesepakatan Fasilitas Kredit atau pembiayaan tersebut, Bank memberikan syarat kewajiban agar Debitur membayar pinjaman/kredit/pembiayaan dengan sistem angsuran/cicilan setiap bulan dengan tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun. Apabila Debitur melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan adanya pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut adalah debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih percaya untuk kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik tersebut. Dari semua transaksi pinjam meminjam/kredit/pembiayaan tersebut, tentunya ada juga Debitur yang tidak melakukan pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut Kredit Macet. Oleh karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur dengan alasan menghindari resiko kredit macet. Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain). Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta
4
peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi (tidak membayar) apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Karakteristik Hak Tanggungan Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang ada sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin, termasuk akad pembiayaan syariah. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminology hukum disebut perjanjian accessoir. Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa: Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Karena itu sudah sangat tepat dan logis jika eksekusi Hak Tanggungan atas akad-akad syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur pula dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Selain itu Hak Tanggungan menurut undang-undangnya mempunyai kedudukan diutamakan. Penjelasan umum Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa: Bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Walaupun demikian dalam menjalankan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan perlu diingat bahwa kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara. Karena menurut ketentuan hukum yang berlaku. piutang negara yang harus didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara 5
Perpajakan dijumpai ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului lainnya. Hal ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa: Hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap: (a) biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang; (b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; (c) biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa: Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya. Berdasarkan ketentuan di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap harus mengalah kepada piutang-piutang negara. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti Selain berkedudukan utama, Hak Tanggungan berasas eksekusi mudah karena dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa melaui persetujuan lagi kepada Pemberi Hak Tanggungan, ketentuan ini bermaksud mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa: “Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri 6
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan”. Mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya. Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah." Akibat Hukum Wanprestasi Dalam transaksi perbankan, tidak bisa terlepas dari perjanjian. Dalam suatu perjanjian umumnya dicantumkan klausul tentang wanprestasi yang menerangkan suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi, bisa dalam bentuk: 1.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan Kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;
2.
Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan kewajibannya; 7
3.
Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjiakan.
4.
Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berdasarkan cakupan wanprestasi sebagai tersebut dias, maka nasabah yang mecet tidak
melakukan angsuran untuk beberapa bulan, dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Disinlah rawannya akad murabahah yang pembayaran secara angsuran berkala (installment) yang membutuhkan waktu lama, maka LKS sebagai lembaga intermediary keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat umum dalam bentuk pembiayaan, sering harus berhadapan dengan resiko angsuran macet. Maka untuk mengantisipasi resiko tersebut dalam akad murabahah bank diperbolehkan meminta jaminan yang lazimnya diikat dengan Pembebanan Hak Tanggungan, sehingga ketika nasabah benar-benar mengalami macet, bank punya dasar pijak menilai nasabah sebagai wanprestasi dan terbukalah hak bagi bank untuk memohon eksekusi meskipun belum jatuh tempo. Dalam praktek, tergantung pada perjanjian/kesepakatan, terkadang ditemukan adanyanya batasan waktu seorang debitur dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Batasan waktu ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang pada pokoknya menegaskan bahwasanya debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batasan waktu, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dalam hukum, ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur yang telah dianggap wanprestasi, yaitu : 1) Membayar kerugian yang diderita kreditur; 2) Pembatalan perjanjian; 3) Peralihan resiko; 4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim. 8
Atas sanksi-sanksi tersebut, terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, ada 2 cara yang dapat ditempuh Bank sebagai pemegang barang jaminan yakni : 1) Proses litigasi : Apabila seorang debitur sudah diperingatkan dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka Bank sebagai kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi disertai permohonan penetapan sita jaminan harta milik Anda sebagai debitur (conservatoir beslag) kepada Pengadilan. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196-197 HIR, Ketua Pengadilan dapat melaksanakan putusan dengan upaya paksa terhadap harta benda yang telah disita jaminankan untuk dijual melalui Kantor Lelang Negara. 2) Eksekusi Hak Tanggungan : Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan, apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Bank sebagai pemegang hak tanggungan, secara hukum, berhak atas kekuasaan sendiri menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya, jika terdapat sisa hasil penjualan, maka sisa tersebut menjadi hak pemberi Hak Tanggungan (debitur). Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur. Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan Debitur. Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan tersebut kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI. 9
Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Tetapi perlu penulis sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak Tanggungan terdapat perlawanan hukum dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang Swasta ataupun KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang. Kewenangan pelaksanaan Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan badan peradilan. Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung melaksanakan Eksekusi Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh Balai Lelang Swasta tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi pengosongan (Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg). Perlu disampaikan bahwa Badan Peradilan adalah lembaga yang dapat melakukan proses Lelang pada Jaminan Hak Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan Peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan hukum. Prosedur Dan Tatacara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan Prosedurnya, Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui Kepaniteraan Pengadilan, kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman kepada bank. Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati (anmaning) maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan. Selanjutnya apabila terhadap objek lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi 10
pengosongan terhadap objek lelang tersebut. Oleh karena itu Pelaksanaan Lelang melalui Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak tanggungan antara Bank dan Nasabah. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2012, Badan Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang melakukan proses lelang pada jaminan Hak Tanggungan atas akad-akad syariah. Maka atas dasar pemikiran demikian Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016 Rumusan Hukum Kamar Agama pada halaman 9 angka 3 menentukan bahwa “Hak Tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Konsep Dasar Murabahah Murabahah dari segi bahasa berarti saling menguntungkan. Dalam perbankan disebut Deferred Payment Sale. Secara terminologis, murabahah dalam fikih klasik merupakan salah satu bentuk jual-beli tertentu, dimana penjual harus menyatakan dengan jujur biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diinginkan.5 Karena menuntut adanya transparansi harga perolehan (al-tsaman al-awal), maka dalam suatu terminologinya murabahah disebut pula dengan jual-beli amanah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-maal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau labah bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.6 Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan jual-beli murabahah walapun baik AlQur-an maupun Hadis secara spesifik tidak membicarakannya. Dasar pijak ulamak dalam menentukan kebolehan jual-beli murabahah adalah al-maslahah, karena model jual-beli murabahah tersebut sangat dibutuhkan masyarakat karena sebagian dari mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia sangat membutuhkan pertolongan pihak lain yang lebih tahu untuk membelikan barang yang dikehendakinya dan menjual kepadanya 5
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Indonesia, Al-Ma‟arif t.th, I, hal 178); Juga Dr. Mardani dalam Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123; 6 Pasal 20 ayat (6) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
11
dengan keharusan menyebutkan harga perolehannya (al-tsaman al-awwal) dengan ditambah keuntungan (ribh).7 Oleh karena itu murabahah semula dihajatkan untuk membantu seseorang agar tidak terjadi jual-beli ghassy maupun juhalah yang berakibat merugikan pembeli. Selain alasan al-maslahah, Al-Kasani berpendapat bahwa kebolehan murabahah adalah berdasarkan prinsip kaidah “al-„Uruf” yaitu “Atsaabit bil „urfi katsaabit bisy syar‟i”; Artinya apa yang lazim menurut kebiasaan seolah-olah berlaku lazim menurut syara‟ selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan kaidah umum syari‟a, karena jual-beli murabahah telah berjalan lama dari
generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Hal penting lain yang menjadi prinsip pada murabahah dalam pembahasan fikih muamalah klasik adalah komoditas atau barang yang menjadi obyek murabahah telah tersedia dan menjadi milik penjual (bank) pada waktu akad berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu dapat dikatakan bahwa praktek tersebut adalah jual-beli biasa. Kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya. Ketentuan murabahah secara lengkap baik definisi, karakteristik, syarat dan rukun dan lain sebagainya telah diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dari pasal 116 s/d pasal 133. Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk perbankan syariah, karakteristik murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami modifikasi yang sebagian dapat dinilai menyimpang dari konsep dasar murabahah dalam fikih muamalah klasik. Murabahah yang dipraktekkan pada LKS dikenal dengan murabaha li al-amr bi al-syira‟,8yaitu transaksi jual-beli dimana seorang nasabah datang kepada bank untuk membelikan komoditas dengan criteria tertentu dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara murabahah, yakni sesuai dengan harga pokok pembelian ditambah dengan keuntungan bank yang disepakati kedua belah pihak dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemapuan financial yang dimiliki.
7
Hisam Ad-Diin Hafanah, Bai‟ al-Murabbaha lil Amr bi Asy-Syira‟, Dar al-ma‟arif wal Kutub, 1992, h.4; Mengenai hokum murabaha li al-amr bi al-syira‟ para ulama kontemporer (lakhaf) berbeda pendapat; Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan; Yusuf Qardhawi menghalalkan sedangkan Muhammad Sulayman Al-Asyqar mengharamkannya. 8
12
Setidak-tidaknya ada tiga model atau tipe penerapan jual-beli murabahah dalam perbankan syariah; Pertama; Tipe yang konsisten dengan fikih muamalah, yaitu bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atasnama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai dengan kesepakatan bank dengan nasabah. Kedua; mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Ketiga bank melakukan akad murabahah dengan nasabah dan pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dari tiga tipe tersebut, tipe ke dua dan ke tiga yang paling sering digunakan perbankan syariah dengan alasan efektif dan efesien terutama berkaitan dengan ketentuan pajak pertambahan nilai. Padahal tipe pertama adalah yang paling ideal dan sesuai dengan konsep fikih muamalah. Oleh karena itu telah menjadi pengetahuan umum bahwa akad dalam produk perbankan syariah senantiasa bukan akad tunggal tetapi multi akad. Harga Jual Dalam Akad Murabahah di Perbankan Syariah Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga produk jasa perbankan syariah, baik penentuan harga (pricing) produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Penentuan harga pada produk pembiayaan syariah hingga saat ini pada umumnya masih menggunakan metode atau teknis pricing yang dilakukan oleh bank konvensional, dalam arti menggunakan dan memperhitungkan suku bunga (bank konvensional) sebagai rujukan dalam penentuan harga produk-produknya. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar dijalankan dan infrastruktur pasar yang tersedia lengkap, maka para bankir tidak akan menghadapi kesulitan dalam melakukan pricing yang murni syar‟i. Pada pembiayaan berbasis jual-beli dan bagi hasil (investasi), tidak membuat metode pricingnya berbeda. Yang berbeda hanya representasi harga hasil pricing. Untuk produk berbasis jual-beli seperti murabahah representasi harganya berupa tingkat margin, sementara untuk produk berbasis bagi hasil representasi harganya adalah nisbah bagi hasil. Oleh karenanya dalam akad murabahah dengan jangka waktu angsuran 10 tahun, harganya 13
jauh lebih mahal dari pada murabahah yang berjangka waktu ansurannya hanya 5 tahun. Dengan kata lain, untuk harga property perolehan bank (tsaman al-awwal) sebesar Rp. 400.000.000,yang diangsur jangka waktu 10 tahun (120 angsuran) bisa berharga sebesar Rp.775.000.000,sedangkan untuk jangka waktu 5 tahun harganya bisa jadi hanya Rp.587.500.000,-. Nah ketika jangka waktu angsuran murabahah disepakati 10 tahun, kemudian berjalan 3 tahun angsuran macet dan bank secara hukum dibolehkan mengajukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan untuk memenuhi seluruh harga yang harus dibayar lunas dalam tempo 10 tahun akan terdapat ketidakadilan kepada nasabah. Disinlah delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah atas dasar gugatan wanprestasi. Jika eksekusi Hak Tanggungan harus menunggu jatuh tempo, maka bank akan dirugikan. Problema Hukum Eksekusi Murabahah yang belum jatuh tempo Murabahah sebagai transaksi jual-beli karakteristiknya berbeda dengan transaksi bagi hasil atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi jual-beli hubungan yang ada bukan antara pemodal dan yang memproduktifkan tetapi antara penjual dan pembeli. Sesuai prinsip pada jual-beli murabahah, pembeli akan membayar harga yang telah dipatok (ditetapkan) dengan cara angsur dalam rentang waktu yang disepakati, 2 tahun, 5 tahun 10 tahun dst. Prinsip penyelesaian hutang murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali property tersebut dengan keuntungan atau kerugian. Ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya kepada bank, Jikapun nasabah menjual property tersebut sebelum masa angsuran berakhir, Ia tidak wajib melunasi angsurannya. Jikapun penjualan property tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Kesepakatan harga dan margin dalam murabahah ditentukan hanya sekali pada awal transaksi dan tidak dibenarkan adanya perubahan selama priode pembiayaan. Oleh karena itu eksekusi lelang Hak Tanggungan dalam akad murabahah sebelum jatuh tempo dirasa tidak tepat dengan alasan: Pertama, hutang dalam murabahah tidak sama dengan modal milik shahib al-mal dalam mudharabah maupun musyarakah. Maka mengkonstruksi tuntutan dalam gugatan mudharabah, musyarakah dan kredit konvensional saat kredit belum jatuh tempo akan lebih mudah dan rasional dari pada menutut pemenuhan pembayaran dalam akad murabahah; Sebagaimana diketahui bahwa menurut hukum, ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur yang telah dianggap wanprestasi, yaitu : 14
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur; 2. Pembatalan perjanjian; 3. Peralihan resiko; 4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim. Maka tuntutan wanprestasi pada akad mudharabah, musyarakah dan kredit konvensional dapat dikonstruksi sebagai berikut: 1. Tuntutan wanprestasi atas akad mudharabah dan musyarakah adalah pengembalian modal dan nisbah bagi hasil; 2. Tuntutan wanprestasi atas kredit konvensional adalah sisa angsuran pokok/kredit plus bunga; Tuntutan sanksi atas transaksi diatas, bisa dikonstruksi secara rasional jika dimohonkan eksekusi lelang ketika kredit belum jatuh tempo. Sedangkan untuk akad murabahah unsurnya tidak ada modal/kredit dan tidak ada bunga. Memang dalam murabahah ada al-tsaman al-awwal (harga perolehan bank) tetapi bank tidak mungkin mau hanya menuntut al-tsaman al-awwal, karena bank akan merasa rugi. Jika bank menuntut pelunasan atas sisa kewajiban yang mestinya akan berakhir 8 tahun kemudian, maka akan sangat memberatkan/merugikan nasabah. Disinilah delematisnya penerapan akad murabahah pada perbankan syariah jika terjadi macet. Kedua, pada dasarnya semua akad syari‟ah tidak berbasis bunga, sehingga semestinya tidak ada pengaruh waktu. Maka dalam Ekonomi Syariah, terdapat prinsip tidak boleh ada “time velue of money” yaitu prinsip yang menyebutkan bahwa uang sebesar satu rupiah yang diterima saat ini, lebih bernilai dibanding satu rupiah yang akan diterima pada waktu yang akan datang, karena prinsip ini merupakan ciri dari transaksi konvensional yang menjalankan prinsip bunga yang ribawi; Dengan kata lain bahwa dalam Akad Murabahah secara hukum tidak dapat dibenarkan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan atas dasar Wanprestasi di tengah-tengah masa angsuran masih berjalan atau masa angsuran belum berakhir. Jika demikian sama halnya menjalankan “time-velue of money” yang merupakan ciri menjalankan riba al-nasi‟ah yaitu riba karena penagguhan; Tepatnya dalam Akad Murabahah eksekusi lelang atas Hak Tanggungan untuk pembayaran seluruh harga yang disepakati harus menunggu sampai berakhirnya masa angsuran; Maka disinilah kreditur yang niat dan tujuan semula ingin membantu nasabah agar perekonomiannya dapat berkembang dengan membuka usaha, mengetrapkan firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 280 mengajarkan bahwa bilamana si berhutang mendapatkan kesulitan, hendaklah ia diberikan tangguh : 15
Artinya: Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia kelapangan” Moral etis yang terkandung dalam ayat tersebut mengajarkan kepada Bank selaku kreditur, untuk memberikan tangguh kepada debitur yang tengah mendapatkan kesulitan, bukankah Bank telah mendapatkan jaminan pelunasan dari nasabah berupa yang telah diikat dengan Pembebanan Hak Tanggungan; Ketiga; Angsuran dalam akad murabahah substansinya hanya satu, yaitu bayar harga tidak ada unsur bunga. Sedangkan angsuran dalam kredit konvensional komponennya berupa angsuran pokok dan bunga, mungkin ditambah denda dan lain-lain. Dari angsuran ke angsuran atau dari bulan ke bulan, angsuran pokok terus berkurang dan mengecil. Tuntutan gugatan wanprestasi atas kredit konvensional adalah pengembalian sisa pokok (pinjaman) plus bunga, kerugian, biaya dan lain sebagainya .
Pada akad mudharabah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal shahibul maal plus nisbah keuntungan yang diperjanjikan;
Pada akad musyarakah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal musyarik plus nisbah yang diperjajikan; Karenanya jika Bank menuntut pemenuhan pembayaran seluruh harga yang
komposisinya adalah harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) plus keuntungan bank (al-ribh) atau margin, padahal pengangsuran masih belum jatuh tempo, sama halnya Bank menutut pemenuhan seluruh harga, walaupun sisa waktu angsuran belum berakhir. Jika demikian dalam gugatan wanprestasi Bank Syariah akan melanggar prinsip Time value of momey. Keempat: Sifat serta merta eksekusi lelang atas Hak Tanggungan tidak dapat begitu saja dilaksanakan dalam akad murabahah yang belum jatuh tempo, dengan alasan rasa keadilan. Karena itu proses mediasi maupun litigasi perlu ada terlebih dahulu untuk mencari titik temu antara Bank dengan nasabah terhadap pembayaran harga yang proporsional. Kelima: Nampaknya alasan wanprestasi sebagai lembaga yang semual untuk menyelesaikan sengketa-sengketa utang-piutang konvensional yang diatur dalam hukum perdata yang diatur dalam BW, tidak tepat untuk dasar tuntutan dalam akad syariah; 16
Contoh Kasus: Untuk lebih memperjelas paparan diatas, penulis paparkan sebuah kasus yang telah diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama Mataram yang kasus posinya pada pokoknya sebagai berikut: -
Nasabah “S” pada bulan Maret 2015, mengadakan 2 transaksi akad murabahah masing-masin sebesar Rp. 400.000.000,- dengan Bank BRI Syariah Mataram untuk barang obatobatan/modal dagangan untuk mengisi Apoteknya;
-
Disetujui harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) sebesar Rp. 800.000.000,- dijual oleh Bank dengan keuntungan Bank (al-ribh) sebesar Rp. 748.608.000,- sehingga harga yang harus dibayar oleh nasabah “S” sebesar Rp. 1.548.608.000,- (satu milyat lima ratus juta enam ratus delapan ribu rupiah) yang dapat diangsur selama 10 tahun = 120 bulan sebesar Rp. 12.906.000,-. Setiap bulan, angsuran akan berakhir Maret 2026.
-
Akad murabahah diikuti dengan pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan No 51/2015, tanggal 4 April 2015 dan nomor 54/2015 tanggal 19 April 2015 dengan 4 (empat) bidang tanah hak milik nasabah “S” sebagai jaminan;
-
Nasib sial menimpa nasabah “S”, karena akad pembiayaan Murabahah baru berjalan 8 bulan tepatnya pada bulan Nopember 2015, Apotek milik nasabaha “S” dibobol maling dan barang dagangan dikuras habis oleh pencuri, Akibatnya nasabah “S” tidak dapat berdagang obat apotek tutup, sehingga sejak Nopember 2015 nasabah “S” tidak dapat mengangsur bank (pembayaran macet).
-
Setelah berkali-kali negoisasi antara Bank dan Nasabah, bahkan pernah dilakukan restrukturisasi dengan perjanjian addendum dengan konversi murabahah dengan akad musyarakah, tetapi tetap saja nasabah tidak berkemampuan membayar angsuran;
-
Pada bulan Januari 2017 Bank BRI Syari‟ah mengajukan eksekusi lelang kepada KPKNL Mataram, setelah Bank melakukan somasi 3 kali kepada nasabah “S”.
-
Dalam surat permohonan lelangnya kepada KPKNL, Bank BRI Syariah memohon pada KPKNL melelang 4 obyek jaminan untuk pemenuhan sisa pembayaran utang nasabah “S” sebesar Rp. 1.496.974.000,- yang telah diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan; (dari total pembayaran sebesar Rp. 1.548.608.000,- dikurangi angsuran yang telah masuk selama 4 bulan sebesar Rp. 12.906.000,- x 4 = Rp. 51.624.000,-
17
-
Atas pemberitahuan lelang dari KPKNL nasabah “S” berkeberatan dan karenanya kemudian nasabah “S” mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Mataram;
-
Alasan keberatan Nasabah “S” adalah karena menurut nasabah “S” permohonan lelang oleh Bank BRI Syariah kepada KPKNL dirasa tidak adil dan dhalim, karena harga awal yang hanya
sebesar
Rp.
800.000.000,-
dalam
tempo
20
bulan
nasabah
“S”
harus
memenuhi/membayar sisa pembayaran murabahah sebesar Rp.1.496.974.000,- yang semestinya harus diangsur oleh nasabah “S” dalam tempo selama 120 bulan yang jatuh temponya masih nanti pada Oktober 2026; -
Menurut nasabah pelelangan hanya bisa dilakukan nanti setelah jatuh tempo, angsuran murabahah berakhir tahun 2026. Dilain pihak, Bank BRI Syariah, memang merasa kesulitan mengkonstruksi tuntutan
kerugian yang diderita bank dalam akad murabahah selain menuntut pemenuhan seluruh harga (al-tsaman al-akhir) yang komposisinya terdiri al-tsaman al-awwal dan al-ribh. Sedangkan menurut KUHPerdata tuntutan akibat perbuatan wanprestasi meliputi hukuman atau sanksi berupa: 1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi); 2. Pembatalan perjanjian; 3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur; 4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata): 1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian; 2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi; 3. Membayar ganti rugi; 4. Membatalkan perjanjian; dan 5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Sementara ganti rugi yang dapat dituntut dalam hukum perdata menurut Pasal 1243 KUHPerdata. terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata);
18
-
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.
-
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
-
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur. Biaya, ganti rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam hukum perdata diatas, tidak ada
dalam nomenklatur akad murabahah. Satu-satunya tuntutan wanprestasi dalam akad murabahah yang logis adalah pemenuhan harga perolehan bank plus margin yang telah diperjanjikan, walaupun dapat saja Bank memberikan potongan dalam besaran yang wajar tanpa diperjanjikan dimuka sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 16/DSN-MUI/IX/2000. Namun secara legal formal tuntutan wanprestasi atas akad murabahah adalah pemenuhan seluruh harga yang telah diperjanjikan antara Bank dan Nasabah. Disinilah problem hukum eksekusi lelang akad murabahah saat jatuh tempo belum terlampaui. Kesimpulan 1. Permohonan eksekusi lelang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang dalam akad murabahah dengan mendasarkan wanprestasi saat belum jatuh tempo tidak serta merta sebagaimana sifat istimewa Hak Tanggungan, karena melahirkan ketidakadilan pada nasabah dan mengesankan bank syariah menjalankan prinsip “time velue of money”, yang menyerupai (tasabuh) dengan riba al-nasi‟ah karena waktu diberikan nilai harga secara tersendiri; 2. Jika ada pengajuan Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah yang belum jatuh tempo kepada Pengadilan Agama dalam waktu bersamaan ada perlawanan, Maka pengadilan harus menangguhkan eksekusi sampai adanya putusan perlawanan berkekuatan hukum tetap. 3. Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah, harus menunggu pelunasan jatuh tempo ; 4. Alasan wanprestasi dalam KHUPerdata tidak tepat sebagai alas gugat dalam akad murabahah yang belum jatuh tempo, Wanprestasi dalam akad murabahah jika nasabah telah tidak memenuhi pembayaran angsuran dan telah jatuh tempo. 5. Solusi yang tepat permohonan eksekusi lelang atas dasar Hak Tanggungan untuk akad murabahah yang belum jatuh tempo adalah mediasi untuk mencari/menyepakati pembayaran
19
harga secara proposional dengan mempertimbangkan margin yang adil bagi kedua belah pihak (bank dan nasabah). Mataram, 20 April 2017
20