PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang
Mengingat :
:
a. bahwa dalam rangka memberikan dasar bagi usaha-usaha penggalian kekayaan bahan galian dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia, diangap perlu untuk mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-udang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau yang disebut pula Undang-undang Pokok Pertambangan. b. bahwa dianggap perlu untuk menyelesaikan peraturan perundangan tentang usha-usaha pertambangan yang masih berlaku antara lain Mijnordonantie, Staatsblad 1930 No. 38 dengan jiwa dan maksud Undang-undang Dasar Republik Indonesia dan Undang-undang Pokok Pertambangan; c. bahwa berhubung dengan itu dianggap perlu untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Pokok Pertambangan, yang sesuai dengan kebijaksanaan landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Negara serta disesuaikan pula dengan kemajuan tehnis dewasa ini. 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966. 3. Undang-undang No.5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 No. 104, Tambahan Lembaran Negara No. 2043); 4. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1967 No. 22 Tambahan Lembaran Negara no. 2831). MEMUTUSKAN
Dengan mencabut : 1. Ordonantie tanggal 6 Juli 1922, Staatsblad 1922 No. 480; 2. Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923, Staatsblad 1923 No. 565; 3. Ordonantie tanggal 4 Juni 1926. Staatsblad 1926 No. 219; 4. Mijnordonantie Staatblad 1930 No. 38, sepanjang tidak berkenan dengan pertambangan minyak dan gas bumi; 5. Ordonantie tanggal 12 April 1948, Staatsblad 1948 No. 87 jo; 6. Besluit Gouverneur Generaal No. 2X tanggal 6 April 1926, Staatsblad 1926 No. 137; 7. Besluit Gouverneur Generaal No. 17 tanggal 16 September 1930 Staatsblad 1930 No. 348; 8. Besluit Gouverneur Generaal No. 21 tanggal 26 Januari 1935, staatsblad 1935 No. 42. Menetapkan
:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
1
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831). BAB I PELAKSAAN USAHA PERTAMBANGAN DAN BENTUK SURAT KEPUTUSAN KUASA PERTAMBANGAN Pasal 1 Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan, selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Menteri. Pasal 2 (1).
Kuasa Pertambangan termaksud dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah ini diberikan dalam bentuk-bentuk: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan.
(2)
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang berikan oleh Menteri kepada Instansi Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecilkecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan Negara. Perusahaan Daerah, badan lain atau perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.
(3)
(4)
BAB II PENUGASAN PERTAMBANGAN Pasal 3 (1).
(2).
(3).
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan yang merupakan penugasan kepada sesuatu Instansi Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan memuat ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari penugasan tersebut. Apabila dianggap perlu dalam penugasan termaksud pada ayat (1 pasal ini dapat diberikan keringanan-keringanan terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam Undang-undang pokok Pertambangan dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya. Apabila dalam penugasan termaksud pada ayat (2) pasal ini tidak dicantumkan ketentuanketentuan mengenai keringanan tersebut maka ketentuan-ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku sepenuhnya. Pasal 4
Penugasan termaksud pada ayat (1) huruf a pasal 2 Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan apabila : a. usaha tersebut dinyatakan oleh Menteri berubah menjadi suatu Perusahaan Pertambangan dan untuk perlu dimintakan Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. b. usaha tersebut tidak diteruskan.
2
BAB III PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 5 (1). Permintaan Izin Pertambangan Rakyat untuk melaksanakan usaha pertambangan termaksud dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini, diajukan kepada Menteri dengan menyampaikan keterangan mengenai: a. wilayah yang akan diusahakan b. jenis bahan galian yang akan diusahakan. (2). Menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan Izin Pertambangan Rakyat kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dengan menyatakan syarat-syarat dan petunjuk-petunjuk yang perlu diindahkan dalam pelaksanaannya. (3) Dalam hal termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka permintaan Izin Pertambangan Rakyat diajukan kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. (4). Izin Pertambangan Rakyat diberikan untuk jangka waktu selama-lamanya 5 (lima) tahun dan bilamana diperlukan dapat diperpanjangn untuk jangka waktu yang sama. Pasal 6 (1). (2).
Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Izin Pertambangan Rakyat tidak boleh melebihi 5 (lima) hektar. Jumlah luas wilayah Izin Pertambangan Rakyat yang diberikan kepada seseorang atau badan bukan koperasi tidak boleh melebihi 25 (duapuluh lima) hektare. BAB IV KUASA PERTAMBANGAN BAGIAN KESATU ISI DAN SIFAT KUASA PERTAMBANGAN Pasal 7
(1).
(2).
Pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau beberapa usaha pertambangan yang ditentukan dalam Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Kuasa Pertambangan dapat berupa: a. Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum; b. Kuasa Pertambangan Ekplorasi; c. Kuasa Pertambangan Ekplorasi; d. Kuasa Pertambangan Pengolaan dan Pemurnian; e. Kuasa Pertambangan Pengangkutan; f. Kuasa Pertambangan penjualan. Pasal 8
(1). (2). (3).
Kuasa Pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan eksplorasi disebut Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan oleh Menteri untuk jangka waktu selama-lamanya 3 (tiga) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. Menteri dapat memperpanjang jangka waktu termaksud pada ayat (2) pasal ini sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan.
3
(4).
Dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi, telah menyatakan bahwa usahanya akan dilanjutkan dengan usaha pertambangan eksplorasi, maka Menteri dapat memberikan perpanjangan jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasi selama-lamanya 3 (tiga) tahun lagi untuk pembangunan fasilitas-fasilitas eksplorasi pertambangan, atas permintaan yang bersangkutan. Pasal 10
(1). (2). (3).
Kuasa Pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan eksplorasi disebut Kuasa Pertambangan eksplorasi. Kuasa Pertambangan eksplorasi diberikan oleh Menteri untuk jangka waktu selama-lamanya 30 (tiga puluh) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. Menteri dapat memperpanjang jangka waktu termaksud pada ayat (2) pasal ini sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang bersangkutan yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Pasal 11
(1). (2). (3).
Kuasa Pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian disebut Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian. Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian diberikan oleh Menteri untuk jangka waktu selamalamanya 30 (tiga puluh) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. Menteri dapat memperpanjang jangka waktu termaksud pada ayat (2) pasal ini setiap kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Pasal 12
(1). (2). (3).
(4).
Kuasa Pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan Pengakuan disebut Kuasa Pertambangan Pengangkutan. Kuasa Pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan Penjualan disebut Kuasa Pertambangan Penjualan. Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan diberikan oleh Menteri untuk jangka waktu selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. Menteri dapat memperpanjang jangka waktu termaksud pada ayat (3) pasal ini setiap kalinya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. BAGIAN KEDUA TATA CARA MEMPEROLEH KUASA PERTAMBANGAN Pasal 13
(1).
(2).
Permintaan Kuasa Pertambangan diajukan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan harus diajukan satu permintaan tersendiri. b. Lapangan-lapangan yang terpisah tidak dapat diminta sebagai satu wilayah Kuasa Pertambangan. Dalam permintaan Kuasa-kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, eksplorasi atau Eksploitasi harus dilampirkan peta wilayah Kuasa Pertambangan yang diminta dengan penunjukan batas-batasnya yang jelas dengan ketentuan bahwa khusus mengenai permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi atau Eksploitasi peminta harus pula menyebutkan jenis bahan galian yang akan diusahakan.
4
(3).
(4).
(5).
Peta termaksud pada ayat (2) pasal ini, untuk: a. Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum adalah peta bagan dengan skala sekecilkecilnya 1.200.000 (satu berbanding dua ratus ribu); b. Kuasa Pertambangan Eksplorasi adalah peta bagan dengan skala sekecil-kecilnya 1: 50.000 (satu berbanding lima puluh ribu); c. Kuasa Pertambangan Eksplorasi adalah peta denah dengan skala sekecil-kecilnya 1 : 10.000 (satu berbanding sepuluh ribu). Peta Kuasa Pertambangan Eksplorasi termaksud pada ayat (3) huruf c pasal ini harus menjelaskan dan menunjukkan: a. Ukuran arah astronomi dan jarak dari titik ke titik batas wilayah Kuasa Pertambangan yang tidak boleh melebihi 500 (lima ratus) meter; b. bahwa salah satu titik batas harus dihubungkan dengan salah satu titik triangulasi atau titik induk tetap lainnya yang tergambar dalam peta dasar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang topografi; c. tempat terdapatnya bahan galian diukur dari salah satu titik batas wilayah Kuasa Pertambangan. d. gambar letak wilayah Pertambangan Rakyat jika ada. Apabila peta termaksud pada ayat (4) pasal ini belum dapat dilampirkan pada saat mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi maka wajib disusulkan selamat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. Pasal 14
Dalam permintaan Kuasa Pertambangan, peminta dengan sendirinya menyatakan telah memilih domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam Daerah Tingkat I dari wilayah Kuasa Pertambangan yang diminta. Pasal 15 (1). Untuk menjamin terlaksananya usaha pertambangan tersebut, Menteri berwenang untuk meminta dan menilai pembuktian kesanggupan dan kemampuan dari peminta Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. (2). Kuasa Pertambangan tidak dapat dipergunakan semata-mata sebagai unsur permodalan dalam menarik kerjasama dengan pihak ketiga. Pasal 16 Apabila Kuasa Pertambangan eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi diajukan atas wilayah yang sama oleh beberapa perusahaan swasta, maka yang pertama-tama akan mendapat penyelesaian ialah yang terlebih dahulu mengajukan permintaannya, dengan ketentuan pengutamaan diberikan kepada Badan Koperasi. Pasal 17 (1).
(2).
Sebelum Menteri menyetujui sesuatu permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eskplorasi, maka terlebih dahulu Menteri akan meminta pendapat dari Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Mereka yang mempunyai hak atas tanah dan atau mereka yang berkepentingan yang akan mendapat kerugian karena adanya pemberian Kuasa Pertambangan dapat mengajukan keberatan kepada Guberbur/Kepala Daerah Tingkat I selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya surat permintaan pendapat mengenai Kuasa Pertambangan termaksud pada ayat (1) pasal ini.
5
(3).
(4). (5).
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan menyampaikan keberatan termaksud ada ayat (2) pasal ini kepada Menteri dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan disertai berita acara yang memuat alasan-alasan dari pada keberatan tersebut. Keberatan termaksud pada ayat (3) pasal ini dapat diterima oleh Menteri hanya apabila usaha pertambangan tersebut nyata-nyata akan merugikan rakyat/penduduk setempat. Jika dalam jangka waktu 4 (empat) bulan setelah tanggal dikirimkannya permintaan pendapat termaksud pada ayat (1) pasal ini kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Menteri tidak menerima pernyataan keberatan termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dianggap telah menyatakan tidak keberatan atas permintaan Kuasa Pertambangan tersebut. BAGIAN KETIGA LUAS WILAYAH KUASA PERTAMBANGAN Pasal 18
Suatu wilayah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Kuasa Pertambangan eksplorasi diberikan dalam proyeksi tegak lurus dari sebidang tanah yang luasnya ditentukan pada pemberian Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Pasal 19 (1). (2). (3).
Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum tidak boleh melebihi 5.000 (lima ribu) hektare. Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Eksplorasi tidak boleh melebihi 2.000 (dua ribu) hektare. Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Eksploitasii tidak boleh melebihi 1.000 (seribu) hektare. Pasal 20
Untuk mendapat satu Kuasa Pertambangan yang luas wilayahnya melebihi ketentuan-ketentuan termaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, peminta Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin khsusus dari Menteri. Pasal 21 (1).
(2).
Jumlah luas wilayah beberpa Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum. Kuasa Pertambangan Eskplorasi dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi yang dapat diberikan kepada satu badan atau seorang pemegang Kuasa Pertambangan tidak boleh melebihi berturut-turut 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare, 10.000 (sepuluh ribu) hektare dan 5.000 (lima ribu) hektare dari wilayah hukum pertambangan Indonesia. Untuk mendapat jumlah luas wilayah beberapa Kuasa Pertambangan yang melebihi luas termaksud pada ayat (1) pasal ini, peminta Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin dari Menteri. Pasal 22
(1).
(2).
Pekerjaan usaha pertambangan suatu Kuasa Pertambangan tidak boleh dilakukan di tempat yang dinyatakan sebagai wilayah tertutup untuk kepentingan umum dan ditempat-tempat secara khusus ditentukan oleh Menteri. Untuk tempat-tempat yang sebelum ada penetapan Menteri termaksud pada ayat (1) pasal ini telah dinyatakan sebagai wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum oleh instiansi lain, maka penambangan bahan galian hanya dapat dilakukan atas izin Menteri dengan mengingat pendapat dan pertimbangan dari instansi bersangkutan.
6
BAGIAN KEEMPAT PEMINDAHAN KUASA PERTAMBANGAN Pasal 23 (1). Kuasa Pertambangan dapat dipindahkan kepada badan/orang lain dengan izin Menteri. (2). Izin Menteri hanya dapat diberikan jika pihak yang akan menerima Kuasa Pertambangan tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang Pokok Pertambangan dan Peraturan-peraturan pelaksanannya. (3). Apabila perorangan yang memegang Kuasa Pertambangan meninggal dan para ahli warisnya tidak memenuhi syarat-syarat termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka dengan izin Menteri, Kuasa Pertambangan tersebut dapat dipindahkan kepada Badan atau orang lain yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasal 24 Dalam pemindahan Kuasa Pertambangan dapat diperhitungkan harga dan nilai dari modal, alat perusahaan, jasa usaha yang telah ditanamkan atau yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan Kuasa Pertambangan tersebut. BAGIAN KELIMA HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG KUASA PERTAMBANGAN Pasal 25 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum yang menemukan suatu bahan galian dalam wilayah Kuasa Pertambangannya, mendapat prioritas pertama untuk memperoleh Kuasa Pertambangan Eksplorasi atas bahan galian tersebut. (2). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang telah membuktikan hasil baik Eksplorasinya atas bahan galian yang disebutkan dalam Kuasa Pertambangannya, mendapat hak tunggal untuk memperoleh Kuasa Pertambangan Eksplorasi atas bahan galian tersebut. (3). Apabila pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi menemukan bahan galian lain yang tidak disebutkan dalam Kuasa Pertambangan, maka kepadanya diberikan prioritas pertama untuk memperoleh Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi atas bahan galian lain tersebut. (4). Untuk memperoleh Kuasa Pertambangan dengan prioritas pertama atau hak tunggal termaksud pada ayatayat (1), (2), dan (3), pasal ini maka: a. pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum harus sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umumnya; b. pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi harus sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasinya; c. pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi harus sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Eksplorasi atas bahan galian lain tersebut, sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Pasal 26 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak melakukan segala usaha untuk mendapatkan kepastian tentang adanya jumlah kadar, sifat dan nilai bahan galian dengan mempergunakan peralatan dan teknik pertambangan sebaik-baiknya.
7
(2). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak memiliki bahan galian yang telah tergali sesuai dengan Kuasa Pertambangan Eksplorasinya, apabila telah memenuhi ketentuan pembayaran Iuran Tetap dan Iuran Eksplorasi termaksud dalam pasal 54 dan 56 Peraturan Pemerintah ini. (3). Pengangkutan dan penjualan hasil-hasil eksplorasi baru dapat dilakukan apabila telah diperoleh Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan atau izin khusus dari Menteri. Pasal 27 (1). (2). (3). (4).
Sebelum memenuhi usahanya, pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi terlebih dahulu harus melaporkan rencana usaha penggalian serta target produksinya kepada Menteri. Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak dalam batas-batas ketentuan usaha pertambangan yang dapat dipertanggung jawabkan melakukan segala usaha untuk menghasilkan bahan galian yang disebutkan dalam Kuasa Pertambangannya. Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak memiliki galian yang telah ditambangkannya sesuai dengan Kuasa Pertambangan Eksplorasinya bila telah memenuhi ketentuan-ketentuan pembayaran Iuran Tetap dan Iuran Eksplorasi termaksud dalam pasal-pasal 55 dan 58 Peraturan Pemerintah ini. Apabila Kuasa Pertambangan Eksplorasi termaksud pada ayat (2) pasal ini tidak sekaligus meliputi KuasaKuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan maka untuk usaha-usaha Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan masing-masing harus dimintakan suatu Kuasa Pertambangan. Pasal 28
Kepada Pemegang Kuasa Pertambangan yang dalam melakukan usaha pertambangannya mendapat bahan galian lain yang terdapat bersamaan dalam endapan yang bersangkutan, diberikan prioritas pertama untuk memperoleh Kuasa Pertambangan atas bahan galian lain tersebut, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Pertambangan dan Peraturanperaturan Pelaksanaannya. Pasal 29 (1). Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memperoleh izin menurut peraturan-peraturan lain yang berlaku, maka kepada Pemegang Kuasa Pertambangan yang telah memiliki bahan galian termaksud dalam pasal 26 ayat (2) dan 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini oleh Menteri dapat diberikan prioritas untuk memeperoleh Kuasa Pertambangan yang meliputi usaha-usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan dari bahan galian tersebut beserta hasilnya. (2). Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memperoleh izin menurut peraturan-peraturan lain yang berlaku, maka kepada badan/orang lain yang memperoleh bahan galian dari Pemegang Kuasa Pertambangan termaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Menteri dapat diberikan Kuasa Pertambangan yang meliputi usahausaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan dari bahan galian tersebut beserta hasilnya. Pasal 30 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah pengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan Penyelidikan umum dalam wilayah seluas wilayah Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang dimintanya untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tersebut.
8
(2). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut, diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan eksplorasi dalam wilayah Kuasa Pertambangannya untuk waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Mentari harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. (3). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi, tetapi belum mendapat kuputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan Eksplorasi dalam wilayah Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang diminta untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahu lagi, dalam jangka waktu mana Menteri harus sudah mengeluarkan keputusan diterimanya atau ditolaknya permintaan Kuasa Pertambangan. (4). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut, diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan eksplorasi dalam wilayah Kuasa Pertambangannya untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. (5). Pemegang Kuasa Pertambangan Penglolahan dan Pemurnian yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian tetapi belum mendapat keputusan maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut, diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian yang telah diperolehnya untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. (6). Para pemegang Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan, tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut, diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan pengangkutan dan usaha pertambangan penjualan yang telah diperolehnya untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. Pasal 31 (1). Apabila terdapat suatu keadaan memaksa yang tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu, sehingga pekerjaan dalam suatu wilayah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi terpaksa dihentikan seluruhnya atau sebagian, maka Menteri dapat menentukan tenggang waktu/moratorium yang diperhitungkan dalam jangka waktu Kuasa Petambangan, atas permintaan Pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. (2). Dalam tenggang waktu/moratorium termasuk pada ayat (1) pasal ini, hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan tidak berlaku. (3). Menteri mengeluarkan keputusan mengenai tenggang waktu/moratorium tersebut, dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan mengenai keadaan memaksa di daerah dimana wilayah Kuasa Pertambangan tersebut terletak, untuk dapat atau tidaknya melakukan usaha pertambangan. (4). Menteri harus mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan tenggang waktu/moratorium termaksud pada ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah diajukannya permintaan tersebut.
9
Pasal 32. (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diwajibkan menyampaikan laporan mengenai hasil penyelidikan kepada Menteri secara berkala setiap setiap 3 (tiga) bulan sekali. (2). Disamping kewajiban termaksud pada ayat (1) pasal ini, pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diwajibkan pula menyampaikan laporan mengenai hasil seluruh penyelidikannya kepada Menteri selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesuadah berakhirnya jangka waktu Kuasa Pertambangan Penyelidikannya Umumnya. Pasal 33 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan menyampaikan laporan mengenai hasil penyelidikan kepada Menteri secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. (2). Disamping kewajiban termaksud pada ayat (1) pasal ini, pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan pula menyampaikan laporan mengenai hasil seluruh Eksplorasinya kepada Menteri selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah berakhirnya jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasinya. Pasal 34 (1). Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah diperolehnya Kuasa Pertambangan Eksplorasi, pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan diwajibkan memberikan batas pada wilayah termaksud dalam Kuasa Pertambangannya dengan membuat tanda-tanda batas yang jelas. (2). Pembuatan tanda batas termaksud pada ayat (1) pasal ini, harus sudah selesai sebelum dimulai usaha pertambangan eksplorasi tersebut. Pasal 35 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan menyampaikan laporan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Menteri secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. (2). Disamping kewajiban termaksud pada ayat (1) pasal ini pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi setiap tahun sekali diwajibkan pula menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri mengenai perkembangan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pasal 36 (1). Para pemegang Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan, diwajibkan menyampaikan laporan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Menteri secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. (2). Disamping kewajiban termaksud ayat (1) pasal ini para pemegang Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan, diwajibkan pula menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri mengenai perkembangan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pasal 37 (1). Kepada Pemegang Kuasa Pertambangan diberikan prioritas untuk melakukan pembangunan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan usaha pertambangannya. (2). Pembangunan prasarana termaksud pada ayat (1) pasal ini harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
10
(3).
a. Dalam hal berbagai macam pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai kepentingan yang bersamaan atas pembangunan prasarana termaksud pada ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, maka pelaksanaannya dilakukan atas dasar musyawarah. c. Bilamana tidak dicapai kata sepakat mengenai hal termaksud pada huruf a diatas, maka keputusan terakhir ditetapkan oleh Menteri. (4). Setiap pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang Kuasa Pertambangan lain di dalam wilayah Kuasa Pertambangannya guna mendirikan/membangun saluran-saluran air dan penjernihan udara dan hal-hal lain yang bersangkutan, yang diperlukan dalam pelasanaan usaha pertambangannya, tanpa merugikan satu sama lain. BAGIAN KEENAM BERAKHIRNYA KUASA PERTAMBANGAN Pasal 38 Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian Kuasa Pertambangan yang bersangkutan tidak diajukan permintaan Kuasa Pertambangan lain atau permintaan perpanjangan termaksud dalam pasal 30 Peraturan Pemerintah ini, maka berakhirlah Kuasa Pertambangan tersebut dan segala usaha pertambangan harus dihentikan. Pasal 39 (1). Dalam 3 (tiga) tahun terakhir dari jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasi, Menteri mengadakan pengawasan khusus. (2). Selama jangka waktu termaksud pada ayat (1) pasal ini pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan mengikuti prtunjuk-petunjuk khusus yang diberikan oleh Menteri. Pasal 40 Kuasa Pertambangan Eksplorasi dapat dibatalkan oleh Menteri : a. Jika ternyata bahwa pekerjaan-pekerjaan belum dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pemberian Kuasa Pertambangan tersebut; b. Atas permintaan pemilik tanah atau pihak ketiga, jika pekerjaan dimulai sebelum dibayar sejumlah ganti rugi atau sebelum diberikan jaminan termaksud dalam pasal-pasal 25, 26, dan 27 Undang-undang Pokok Pertambangan. Pasal 41 (1). Dengan pemberitahuan 6 (enam) bulan sebelumnya, Menteri dapat membatalkan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dalam hal-hal tersebut dibawah ini : a. jika ternyata pekerjaan persiapan eksploitasi belum dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pemberian Kuasa Pertambangan tersebut; b. jika ternyata pekerjaan eksploitasi belum dimulai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah pemberian Kuasa Pertambangan tersebut; c. atas permintaan pemilik tanah atau pihak ketiga, jika pekerjaan-pekerjaan dimulai sebelum dibayar sejumlah ganti-rugi atau sebelum diberikan jaminan termaksud dalam pasal-pasal 25, 26, dan 27 Undang-Undang Pokok Pertambangan. d. Jika ternyata pemegang Kuasa Pertambangan tanpa pemberitahuan kepada Menteri telah meninggalkan usaha pertambangannya lebih dari 6 (enam) bulan. (2). Pembatalan Kuasa Pertambangan Eksploitasi dilakukan setelah diberikan kesempatan kepada pemegang Kuasa Pertambangan untuk membela kepentingannya.
11
(3). Pembelaan kepentingan termaksud pada ayat (2) pasal ini harus dikemukakan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pemberitahuan Menteri tentang maksud akan dibatalkannya Kuasa Pertambangan Eksploitasi tersebut. Pasal 42 Kuasa-kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan, dibatalkan oleh Menteri dalam hal-hal tersebut di bawah ini: a. b.
jika ternyata Pemegang Kuasa Pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. jika pemegang Kuasa Pertambangan tidak memenuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Menteri kepadanya atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap negara. Pasal 43
Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan mengembalikan bagian-bagian dari wilayah Kuasa Pertambangannya apabila tidak diperlukan lagi dan cara pengembalian tersebut ditentukan dalam masing-masing Kuasa Pertambangannya. Pasal 44 (1).
(2).
Pemegang Kuasa Pertambangan dapat menyerahkan kembali Kuasa Pertambangannya kepada Menteri dengan mengajukan pernyataan tertulis yang disertai alasan-alasan mengenai pengembalian tersebut. Pengembalian Kuasa Pertambangan baru sah setelah disetujui oleh Menteri. Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pernyataan termaksud pada ayat (1) pasal ini disampaikan Menteri belum mengeluarkan keputusannya, maka pengembalian tersebut dianggap sah. Pasal 45
(1). (2). (3).
Pengembalian Kuasa Pertambangan Eksplorasi harus disertai paloran untuk melengkapi laporan termaksud dalam pasal 33 Peraturan Pemerintah ini. Pengembalian Kuasa Pertambangan Eksploitasi harus disertai laporan untuk melengkapkan laporan termaksud dalam pasal 35 Peraturan Pemerintah ini. Pengembalian Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan harus disertai laporan untuk melengkapkan laporan termaksud dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah ini. BAGIAN KETUJUH HAK MILIK PADA BEKAS WILAYAH KUASA PERTAMBANGAN Pasal 46
(1). Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum berakhir, atau 6 (enam) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Eksplorasi berakhir, atau 1 (satu) tahun sesudah Kuasa Pertambangan Eksploitasi berakhir, menteri menetapkan jangka waktu dimana kepada Pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan diberikan kesempatan terakhir untuk mengangkat keluar segala sesuatu yang menjadi miliknya yang masih terdapat dalam bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, kecuali benda-benda dan bangunan-bangunan yang telah dipergunakan untuk kepentingan Umum sewaktu Kuasa Pertambangan yang bersangkutan masih berlaku.
12
Segala sesuatu yang belum diangkat keluar setelah lampaunya jangka waktu tersebut, menjadi milik Negara. (2). Dalam hal Menteri tidak menentukan jangka waktu termaksud pada ayat (1) pasal ini, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum berakhir, atau 1 (satu) tahun sesudah Kuasa Eksplorasi berakhir, atau 2 (dua) tahun sesudah Kuasa Pertambangan Eksploitasi berakhir, segala sesuatu yang belum diangkat keluar dari bekas wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan menjadi milik Negara karena hukum, dan berada dibawah pengawasan Menteri. (3). Dalam hak hak milik termaksud pada ayat (1) pasal ini tidak dipergunakan untuk kepentingan umum dan tidak dapat diangkat keluar dari bekas wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan, maka oleh Menteri dapat diberikan izin khusus untuk memindahkan hal milik tersebut kepada pihak lain. (4). Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah disekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. (5). Menteri dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang Kuasa Pertambangan sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya. BAB V IZIN PERTAMBANGAN DAERAH Pasal 47 (1). Pelaksanaan pengaturan usaha pertambangan bahan galian yang tidak termaksud dalam golongan bahan galian Vital dan golongan bahan galian Strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian tersebut sebagaimana termaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pokok Pertambangan harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian Kuasa Pertambangan oleh Menteri. (2). Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I untuk melaksanakan usaha pertambangan termaksud pada ayat (1) pasal ini, disebut Surat Izin Pertambangan Daerah. (3). Dalam hal suatu wilayah yang akan diberikan Izin Pertambangan Daerah sebagian atau seluruhnya terletak dalam wilayah Kuasa Peertambangan yang telah diberikan oleh Menteri, maka sebelum mengeluarkan Surat Izin Pertambangan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I, yang bersangkutan terlebih dahulu harus mendengar pertimbangan dari pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan, pertimbangan mana akan merupakan ketentuan khusus dalam Surat Izin Pertambangan Daerah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah yang bersangkutan. (4). Setelah memberikan Surat Izin Pertambangan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I, yang bersangkutan, diwajibkan memberikan laporan secara tertulis kepada menteri. (5). Disamping kewajiban termaksud pada ayat (3). Pasal ini, setiap 6 (enam) bulan sekali Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan diwajibkan pula memberikan laporan secara tertulis kepada Menteri mengenai kemajuan usaha termasuk hasil produksi dari semua izin Pertambangan Daerah dalam daerahnya. BAB VI JASA PENEMUAN BAHAN GALIAN. Pasal 48 (1). Kepada Warga negara Indonesia yang menemukan suatu endapan bahan galian diberikan prioritas pertama untuk memperoleh Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi.
13
(2).Apabila kepadanya tidak diberikan Kuasa Pertambangan penyelidikan Umum dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi termaksud pada ayat (1) pasal ini, maka kepadanya dapat diberikan jasa penemuan endapan bahan galian tersebut, oleh Pemerintah atau pihak yang kemudian memperoleh Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum dan atau Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Pasal 49 Penemu endapan bahan galian yang berhak mendapat prioritas pertama atau jasa penemuan termaksud dalam pasal 48 Peraturan Pemerintah ini hanyalah apabila penemu yang bersangkutan terlebih dahulu melaporkan mengenai penemuannya kepada Menteri secara tertulis dan terperinci, dan oleh Menteri telah diakui kebenaran penemuannya tersebut dengan pernyataan tertulis. Pasal 50 Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai jasa penemuan endapan bahan galian akan diatur oleh Menteri. BAB VII HUBUNGAN KUASA PERTAMBANGAN DENGAN HAK-HAK TANAH Pasal 51 (1). Apabila telah diberikan Kuasa Pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, dan pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan telah membayar Iuran Tetap termaksud dalam pasal-pasal 53, 54 atau 55 Peraturan Pemerintah ini, maka kepadanya diberikan keringanan pembayaran beban-beban dan biaya-biaya untuk pemakaian bumi permukaan tanah. (2). Keringanan pembayaran termaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan bersama oleh Menteri dengan Menteri yang tugasnya meliputi bidang Agraria atau dengan Menteri lain yang bersangkutan. BAB VIII IURAN TETAP, IURAN EKSPLORASI DAN IURAN EKSPLOITASI Pasal 52 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan: a. Iuran Tetap ialah iuran yang dibayarkan kepada Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah Kuasa Pertambangan; b. Iuran Eksplorasi ialah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara dalam hal pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya. c. Iuran Eksploitasi ialah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Pasal 53 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diwajibkan membayar Iuran Tetap tiap tahun untuk tiap hektare wilayah Kuasa Pertambangannya.
14
(2). Pembayaran Iuran Tetap termaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan pada awal tiap tahun bersangkutan atau pada awal masa wajib bayar iuran. Pasal 54 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan membayar Iuran Tetap tiap tahun hektare wilayah Kuasa Pertambangannya. (2). Pembayaran Iuran Tetap termaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan pada awal tiap tahun bersangkutan atau pada awal masa wajib bayar iuran. Pasal 55 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar Iuran Tetap tiap tahun untuk tiap hektare wilayah Kuasa Pertambangannya. (2). Pembayaran Iuran Tetap termaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan pada awal tiap tahun bersangkutan atau pada awal masa wajib bayar iuran. Pasal 56 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar Iuran Eksplorasi dari penjualan hasil produksi yang tergali sewaktu mengadakan eksplorasi. (2). Iuran Eksplorasi termaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan atas dasar tarip tertentu menurut hasil produksi usaha pertambangan yang bersangkutan. Pasal 57 Selama masa penilaian dan pembangunan proyek yang berlangsung antara masa eksplorasi dan masa eksploitasi, kepada pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan dikenakan wajib Iuran-iuran yang berlaku untuk masa eksplorasinya. Pasal 58 (1). Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar Iuran Eksploitasi atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah Kuasa Pertambangannya. (2). Iuran Eksploitasi termaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan atas dasar tarip tertentu menurut hasil produksi usaha pertambangan yang bersangkutan. Pasal 59 Dalam hal pelaksanaan usaha pertambangan dari suatu Kuasa Pertambangan dilakukan dalam bentuk perjanjian karya, maka yang wajib melaksanakan pembayaran iuran-iuran termaksud dalam pasal 52 Peraturan Pemerintah ini adalah kontraktor yang bersangkutan. Pasal 60 Semua iuran termaksud dalam pasal-pasal 53, 54, 55, 56 atau 58 Peraturan Pemerintah ini menjadi unsur biaya. Pasal 61 (1). Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan menetapkan ketentuan mengenai besarnya pungutan dan tata cara pelaksanaan pemungutan Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi termaksud dalam pasal-pasal 53, 54, 55, 56 dan 58 Peraturan Pemerintah ini. (2). Menteri diwajibkan melaporkan kepada Pemerintah mengenai pelaksanaan ketentuan termaksud pada ayat (1) pasal ini.
15
Pasal 62 (1). Sesuai dengan pasal 28 ayat (3) Undang-undang Pokok Pertambangan maka kepada Daerah diberikan bagian dari hasil pemungutan Iuran Tetap. Iuran Eksplorasi dan Iuran Eskploitasi dari usaha pertambangan yang terdapat dalam wilayah Daerah yang bersangkutan. (2). Perimbangan pembagian hasil pemungutan iuran-iuran termaksud dalam ayat (1) pasal ini antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 30 % (tiga puluh perseratus) dan 70 % (tujuh puluh perseratus). (3). Perimbangan pembagian antara Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dari hasil pemungutan iuran-iuran tersebut yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah sebagaimana termaksud dalam ayat (2) pasal ini ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 63 Perincian penggunaan dari hasil pemungutan iuran-iuran termaksud dalam pasal 62 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, termasuk prosedur penyimpanan, pengambilan dan pengamannya, diatur lebih lanjut oleh Menteri bersama-sama dengan Menteri Keuangan dan menteri Dalam Negeri. BAB IX PENGAWASAN PERTAMBANGAN Pasal 64 Tata usaha pengawasan, pengaturan keselamatan kerja pertambangan dan pengaturan pelaksanaan usaha pertambangan dipusatkan kepada Departemen yang lapangan tugasnya meliputi pertambangan. Pasal 65 Cara pengawasan, pengaturan keselamatan kerja pertambangan dan pengaturan pelaksanaan usaha pertambangan termaksud dalam pasal 64 Peraturan Pemerintah ini, yang ditujukan untuk keamanan, keselamatan kerja dan effisiensi pekrjaan dari pada pelaksanaan usaha pertambangan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB X PENGAWASAN PENGGUNAAN BAHAN GALIAN Pasal 66 (1) Untuk kepentingan Nasional Menteri dapat menetapkan pencadangan suatu bagian dari wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk bahan galian tertentu yang semata-mata hanya boleh diusahakan oleh Negara. (2) Untuk kepentingan Nasional dan dengan tidak mengurangi wewenang Menteri lain yang bersangkutan, Menteri dapat menetapkan pelarangan ekspor atas hasil bahan galian tertentu. (3) Untuk kepentingan Nasional Menteri dapat menetapkan pencadangan hasil bahan galian tertentu sebagai bagian dari pungutan yang wajib diserahkan kepada Pemerintah oleh pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan atau dalam hal diadakan perjanjian Karya oleh Kontraktor yang bersangkutan. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 67
16
(1)
(2)
Ancaman hukuman yang terdapat dalam pasal 33 Undang-undang Pokok Pertambangan diperlakukan terhadap ketentuan-ketentuan termaksud dalam pasal-pasal 39, 43 dan 46 ayatayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah ini. Tindak Pidana termaksud dalam pasal-pasal 39, 43 dan 46 ayat-ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah ini adalah pelanggaran. BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 69 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya dan dapat disebut �Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang Pokok Pertambangan.� Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1969
ttd
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO Jenderal TNI
ttd
ALAMSYAH Mayor Jenderal TNI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1969 NOMOR 60
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969
17
Tentang PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN A. PEJELASAN UMUM Walaupun Indonesische Mijnwet tahun 1899 telah dicabut diganti dengan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 No. 1930 (Stbl. 1930 : 38). Pada waktu ini Undang-undang No. 37 Prp. Tahun 1960 telah pula dicabut dan diganti dengan Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru yakni Undang-undang No. 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1967 No. 22), sehingga dengan demikian pengudangan suatu Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Pertambangan tersebut di atas tidak dapat ditunda lagi. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, yang pada dasarnya merupakan pedoman pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Pertambangan yang berlaku, maka Mijnordonantie tahun 1930 sebagaimana yang dimaksudkan di atas sepanjang tidak berkenan dengan pertambangan minyak dan gas bumi, dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan dicabut. Dalam hubungannya dengan pertambangan minyak dan gas bumi kiranya perlu dikemukakan disini bahwa pengaturannya dilakukan dengan peraturan perundangan tersendiri, yakni Undangundang No. 44 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 No. 133), yang disebut sebagai Peraturan Pertambangan Minyak dan Gas bumi, sehingga dengan demikian peraturan pelaksanaannya tertentu akan didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang yang bersangkutan. Pengaturan Pertambangan Minyak dan Gas bumi dengan Undang-undang tersendiri tidaklah bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pertambangan 1967, sebab hal tersebut adalah sesuai dengan pasal 13. Undang-udang Pokok Pertambangan 1967 Bersama dengan pencabutan Mijnordonatie tahun 1930 sebagaimana dimaksud di atas, dengan Peraturan Pemeritah ini dicabut pula beberapa peraturan perundangan lama dibidang pertambangan yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Indonesische Mijnwet tahun 1899, yakni masing-masing sebagaimana termaktub dalam: -
-
Staatsblad 1922 No. 480, mengenai penggalian batu bara di Kalimantasn sebagian Selatan dan Timur. Staatsblad 1923 No, 565, mengenai penggalian intan di daerah Martapura dan Pelaihari; Staatsblad 1926 No. 219, mengenai syarat-syarat umum yang berlaku bagi pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebutkan dalam pasal 1 Indonesiche Mijnwet. Staatsblad 1948 No. 87, mengenai ketentuan-ketentuan tentang perpanjangan masa berlakunya konsesi pertambangan; Staatsblad 1926 No 137, mengenai pernyerahan wewenang kepada para gubernur dari daerahdaerah yang dibentuk berdasarkan pasal 119 Indonesische Staatsregeling, untuk melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan pemberian izin pertambangan dari bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam pasal 1 Indonesische Mijnwet. Staatsblad 1935 No. 42 mengenai ketentuan-ketentuan tentang pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam pasal 1 Indonesische Mijnwet khusus untuk daerah-daerah di luar Pula Jawa dan Madura.
18
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, maka Pemerintah telah maju selangkah lagi dalam memberikan garis-garis yang lebih jelas dan terperinci dalam bidang pengembangan usaha pertambangan. Pokok-pokok soal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi hal-hal tersebut di bahwah ini: 1. Pertambangan Rakyat. Prinsip perlindungan dan bimbingan terhadap pertambangan rakyat diperkembangkan pula dalam Peraturan Pemerintah ini. Berdasarkan kenyataan bahwa daerah kepulaun Indoensia letaknya terpencar - pencar serta adat kebiasaan setempat yang berbeda- beda dan wilayah kerjanya (wilayah Kuasa Pertambangannya) pun sangat kecil, maka sudahlah selayaknya bahwa dalam pelaksanaannya Menteri Pertambangan dapat menyerahkan pelaksanaan pemberian Kuasa Pertambangan Rakyat kepada Gubernur kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Izin termaksud dikeluarkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Pertambangan dengan mengikuti petunjuk - petunjuk dari menteri. Dalam hubungan ini kiranya perlu dijaga jangan sampai timbul salah pengertian antara rakyat yang melakukan usaha pertambangan rakyat dengan pengusaha yang memegang Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh menteri Pertambangan. 2. Kuasa pertambangan Dan pelaksanaan Usaha Pertambangan. a. Dengan peraturan Pemerintah ini, diperjelas bentuk dari Surat keputusan atau Surat Izin mengenai Kuasa Pertambangan ini yang dirumuskan sebagai berikut : 1.
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan, sebagai bentuk dari Kuasa Pertambangan untuk Instansi Pemerintah.
2.
Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat bagi Kuasa Pertambangan untuk Kuasa Pertambangan Rakyat.
3.
Surat Keputusan Kuasa Pertambangan untuk Kuasa Pertambangan yang diberikan kepada : -
4.
Perusahaan Negara. Perusahaan Daerah Badan Koperasi Perusahaan Swasta. Peorangan.
Izin Pertambangan Daerah, bagi Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan atas bahan galian golongan c, yang dikeluarkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
b. Kuasa Pertambangan Pengolahan/Pemurnian, Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan tidak dikenakan iuran yang khusus dari bidang pertambangan, tetapi kewajiban-kewajiban lainnya terhadap Negara diperlakukan penuh kepada pemegang pemegang kuasa pertambangan itu dalam hal mereka melaksanakan usaha pertambangannya. c.
Mengenai kontrak karya tidak disinggung lagi secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini, karena mengenai hal tersebut telah ditentukan secara tersendiri dengan kontrak yang dikemudian dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum kontrak karya tersebut disyahkan oleh Pemerintah.
19
3. Pemilikan bahan galian. Hal ini adalah hal yang prinsipil. Dalam bab mengenai Kuasa Pertambangan yaitu pasal 26 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini dinyatakan secara tegas bahwa Pemegang Kuasa Pertambangan yang telah memenuhi kewajiban - kewajiban iurannya yang berhubungan dengan diperolehnya bahan galian itu, menjadi pemilik dari bahan galian yang diperolehnya itu. Hal ini tidaklah bertentangan dengan Undang - undang Dasar dan Undang - undang Pokok Pertambangan pasal 1, karena penguasaan oleh Negara selanjutnya dapat dilaksanakan dalam bentuk pengawasan atas pemakaian dan penggunaan bahan galian tersebut untuk kemakmuran rakyat. 4. Jasa penemuan bahan galian. Dalam sejarah pertambangan Indonesia belum pernah diperhitungkan pemberian dorongan kepada rakyat untuk melaporkan secara terperinci dan sungguh - sungguh kepada Pemerintah cq. Menteri Pertambangan mengenai terdapatnya bahan galian disesuatu Daerah. Hal inilah yang menyebabkan selama ini kurang bahan yang diberikan oleh rakyat mengenai hal tersebut. Dengan Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru dan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah mengajak setiap warga Indonesia untuk melaporkan secara terperinci dan tertulis mengenai adanya bahan galian dipelosok tanah air. 5. Hubungan Kuasa Pertambangan dengan hak - hak tanah. Mengenai hal ini telah diatur dengan teliti dalam Undang - undang Pokok Pertambangan itu sendiri, sehingga dengan itu demikian hal tersebut tidak perlu diulang - ulang lagi dalam Peraturan Pemerintah ini. Begitupun ketentuan tentang pemakaian dan penggunaan atas tanah permukaan bumi telah diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria. Sebagai pendekatan untuk kesatuan tindakan Pemerintah terhadap usaha yang menggunakan kesempatan melakukan usaha pertambangan yang dalam pelaksanaannya berhubungan pula dengan tanah permukaan bumi maka diadakan keringanan-keringanan. Sungguhpun pemegang Kuasa Pertmbangan telah memberikan iurannya kepada Negara atas kesempatan menambang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan yang berlaku, pembayaran semacam iuran lain kepada Negara karena pemakaian tanah permukaan bumi tetap diadakan karena sifatnya berlainan dari iuran dalam bidang pertambangan. Tetapi kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan - keringanan. Karena meliputi bidang lebih dari satu Departemen, maka sejauh mana keringan - keringan yang bersangkutan dapat diberikan, akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri yang bersangkutan. 6. Iuran tetap, iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi. a. Semula ketentuan - ketentuan mengenai pungutan di bidang pertambangan diatur dalam Mijnordonantie, Staatsblad 1930 No. 38. Setelah dikeluarkannya Undang - undang No. 37 Prp, tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran negara tahun 1960 No. 119) ternyata bahwa peraturan - peraturan mengenai pungutan Negara di bidang pertambangan yang terdapat dalam Mijnordonantie, Staatsdblad 1930 No. 38, tidak sesuai lagi dengan alam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan dari Undang - undang tersebut di atas perlu dikeluarkan Surat keputusan menteri Perdataan tanggal 13 Januari 1964 No. 43/M Perdataan/64, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Menteri Pertambangan tanggal 21 September 1965 No. 187/M/Prtamb/65 tentang Pungutan negara di bidang pertambangan.
20
Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan dan ikut sertanya modal asing dalam perkembangan ekonomi di Indonesia, maka surat Keputusan menteri tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. b. Oleh karena itu sesuai dengan Undang-undang Pokok Pertambangan dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula tentang Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi dan iuran Eksploitasi. Disamping Iuran Tetap, Iuran Eksplorai dan Iuran Eksploitasi tersebut yang menjadi kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan terdapat pula pembayaran - pembayaran lainnya yang akan diatur lebih lanjut. 7. Pengawasan Pertambangan Pada saat ini berlaku Mijn Politie Reglement Staatsblad 1930 No. 341. Berhubung halnya sangat khusus/tehnis dan juga meliputi hal yang luas, maka harus dirumuskan lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemerintah yang tersendiri. Kehendak Undang-undang Pokok Pertambangan tersebut telah dituangkan dasar - dasarnya dalam Peraturan Pemerintah ini. Tetapi mengenai penguraian secara terperinci lebih lanjut seyogyanyalah disusun dalam Peraturan Perundangan yang lebih rendah seperti surat keputusan Menteri Pertambangan, karena sifatnya adalah sangat tehnis. Mengenai kekuatan hukumnya karena telah dijamin oleh pasal 33 Undang - undang Pokok Pertambangan maka surat keputusan Menteri yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dan dengan sanksi pidana yang kuat.
B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Dalam pasal ini hanya disebutkan bahan galian stratetgis dan vital saja karena untuk bahan galian diluar kedua golongan tersebut pengaturan usaha pertambangannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi dimana bahan galian itu terdapat, seperti termaktub dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pokok Pertambangan. Pasal 2 Lihat penjelasan umum. Pasal 3. Ayat (1). Yang dimaksud dengan Instansi Pemerintah dalam ayat ini adalah Badan - badan Pemerintah yang bukan berbentuk Perusahaan maupun Yayasan. Ayat (2). Khusus untuk usaha-usaha yang bersifat penelitian ilmiah tidak dipungut iuran dalam bentuk apapun. Sedangkan terhadap usaha - usaha yang bersifat penelitian ilmiah tidak dipungut iuran dalam bentuk apapun.
21
Sedangkan terhadap usaha - usaha yang berstatus proyek dapat diberikan keringanan-keringan dalam kewajiban - kewajiban yang harus dipenuhinya seperti Pemegang Kuasa Pertambangan keringanan-keringanan mana ditetapkan oleh Menteri Pertambangan. Ayat (3). Cukup jelas. Pasal 4 sampai dengan pasal 6
Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1). Cukup jelas. Ayat (2). Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam ayat (1) pasal ini, maka kuasa - kuasa pertambangan yang dimaksud dalam ayat ini dapat dipegang oleh suatu perusahaan dan dapat pula diberikan kepada beberapa perusahaan untuk masing - masing bentuk kuasa pertambangan. Pasal 8 sampai dengan pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan domisili dalam pasal ini adalah tempat kedudukan pemegang Kuasa Pertambangan untuk persoalan - persoalan hukum yang mungkin terjadi berhubung dengan kuasa pertambangan yang dipegangnya. Pasal 15. Ayat (1). Yang dimaksud dengan kesanggupan dan kemampuan dalam ayat ini adalah kesanggupan dan kemampuan finansial baik yang berupa tunai maupun asset yang dimiliki oleh pemegang kuasa pertambangan itu sendiri disamping kemampuan tehnis untuk mencegah risiko dari pada pegnusahapengusaha itu sendiri. Ayat (2). Cukup jelas. Pasal 16.
22
Kepada mereka yang telah mengajukan permohonan terhadap Daerah yang sama dan apabila persyaratan yang dipenuhi juga sama, maka yang pertama mendapat penyelesaian ialah yang terdahulu mengajukan permohonan. Pasal 17 Seluruh ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat setempat dimana usaha pertambangan itu akan dilakukan sehinggan persetujuan Gubernur tersebut khusus untuk masalah - masalah tehnis/sosial dan bukan untuk menetukan calon - calon pemegang kuasa pertambangan. Pasal 18. Cukup jelas. Pasal 19 sampai dengan pasal 21. Kepada perusahaan yang cukup mampu melaksanakan usaha-usaha pertambangan seperti yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini khususnya sebagaimana yang termaksud dalam pasal 5, dapat diberikan luas wilayah kuasa pertambangan seperti yang tercantum dalam pasal pasal ini. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23 dan 24. Ketentuan - ketentuan dalam pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup suatu usaha pertambangan dengan tetap berpegang kepada persyaratan sesuai dengan Undang-undang dan mencegah timbulnya jual/beli suatu izin kuasa pertambangan. Pasal 25 sampai dengan pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa dalam pasal ini ialah antara lain pertikaian senjata, pemberontakan-pemberontakan, kerusuhan sipil, blokade, pemogokan-pemogokan, perselisihan, perburuan, epidemi, gempa bumi, angin ribut, banjir, kebakaran, dan lain-lain bencana diluar kemampuan manusia. Pasal 32. Cukup jelas. Pasal 33. Ayat (1). Cukup jelas. Ayat (2). Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan melaporkan hal - hal sebagai berikut : peta-peta topography, geofisik, geologi dan peta - peta mineral, macam mineral yang diketemukan beserta analisa - analisanya, evaluasi dari endapan - endapan yang diketemukan. d. dan lain-lain yang dianggap perlu dilaporkan oleh pemegang kuasa pertambangan eksplorasi tersebut. e. pembiayaan yang telah dikeluarkan.
23
Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35. Dalam laporan yang dimaksudkan dalam pasal ini harus dimuat hal - hal yang berhubungan dengan produksi/analisa dan sebagainya untuk mengadakan perhitungan iuran eksploitasi dan lain - lain kewajiban dari pemegang Kuasa pertambangan. Untuk menjaga kepentingan umum pemegang kuasa pertambangan tersebut diwajibkan mengajukan rencana pembangunan - pembangunan yang akan dilaksanakannya, pembangunan - pembangunan mana harus sesuai dengan peraturan peraturan yang berlaku. Pasal 36 dan 37. Cukup jelas. Pasal 38. Permintaan untuk perpanjangan ini harus sudah diajukan dan diterima oleh menteri sebelum berakhir masa berlakunya kuasa pertambangan tersebut. Pasal 39 sampai dengan pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 sampai dengan pasal 50. Apabila penemuan tersebut mempunyai arti penting bagi negara baik dilihat dari segi ekonomi maupun ilmiah dan oleh Instansi yang berwenang dibidang mineral telah dinyatakan bahwa hal tersebut dapat diberikan jasa penemuan yang bentuknya akan ditentukan oleh Menteri Pertambangan. Pasal 51. Ketentuan dalam pasal ini dapat pula diartikan suatu prioritas bagi pemegang Kuasa Pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak teradpat hak tanah untuk mendapatkan hak pakai atas tanah tersebut. Pasal 52 sampai dengan pasal 63. Cukup jelas. Pasal 64 dan pasal 65 Peraturan pelaksanaan dari pada ketentuan - ketentuan dalam pasal - pasal ini diatur tersendiri. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67
24
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memperingatkan para pemegang kuasa pertambangan atau pelaksanaan usaha pertambangan agar menanti segala kewajiban yang harus dipenuhi. Pasal 68 dan pasal 69. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2916.
25
PP RI No. 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1967 Tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan Selasa, 13 April 2004 | 11:41 WIB PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 133 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perlu meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
26
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2916) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3510); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4021); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Otonomi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2916) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3510), diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah menjadi 2 (dua) ayat, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 1 (1) Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian
27
strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan. (2) Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh : a. Bupati/Walikota apabila wilayah Kuasa Pertambangan-nya terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 (empat) mil laut; b. Gubernur apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Kabupaten/Kota dan tidak dilakukan kerja sama antar Kabupaten/Kota maupun antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; c. Menteri apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Propinsi dan tidak dilakukan kerja sama antar Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 (dua belas) mil laut."
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut : "Pasal 2 (1) Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan dalam bentuk : a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (2) Surat Keputusan Penugasan Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya kepada Instansi Pemerintah yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi. (3) Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan. (4) Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Badan Usaha Swasta atau Perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan."
3. Ketentuan Pasal 4 diubah menjadi 2 (dua) ayat, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : "Pasal 4 (1) Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dapat dibatalkan apabila : a. usaha tersebut berubah menjadi suatu perusahaan pertambangan dan untuk ini perlu dimintakan Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan; b. usaha tersebut tidak diteruskan.
28
(2) Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya." 4. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) diubah, ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 5 berbunyi sebagai berikut : "Pasal 5 (1) Permohonan Izin Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), diajukan kepada Bupati/Walikota dengan menyampaikan keterangan mengenai : a. wilayah yang akan diusahakan; b. jenis bahan galian yang akan diusahakan. (2) Menteri menetapkan pedoman pengelolaan pertambangan rakyat. (3) Dihapus. (4) Izin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dalam hal diperlukan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut : "Pasal 7 (1) Pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau beberapa usaha pertambangan yang ditentukan dalam Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. (2)
Kuasa
a.
Kuasa
Pertambangan
dapat
Pertambangan
berupa
Penyelidikan
: Umum;
b.
Kuasa
Pertambangan
Eksplorasi;
c.
Kuasa
Pertambangan
Eksploitasi;
d.
Kuasa
e.
Kuasa
Pertambangan Pertambangan
Pengolahan
dan
Pemurnian;
Pengangkutan
dan
Penjualan."
6. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
8
(1) Kuasa Pertambangan untuk melakukan usaha pertam-bangan penyelidikan umum disebut Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum. (2) Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun atas 29
permintaan
yang
bersangkutan.
(3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun lagi atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan." 7. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
9
(1) Kuasa Pertambangan untuk melakukan usaha pertam-bangan eksplorasi disebut Kuasa Pertambangan Eksplorasi. (2) Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. (4) Dalam hal pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi telah menyatakan bahwa usahanya akan dilanjutkan dengan usaha pertambangan eksploitasi, maka Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat memberikan perpanjangan jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasi paling lama 3 (tiga) tahun lagi untuk pembangunan fasilitas eksploitasi pertambangan, atas permintaan yang bersangkutan." 8. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
10
(1) Kuasa Pertambangan untuk melakukan usaha pertam-bangan eksploitasi disebut Kuasa Pertambangan Eksploitasi. (2) Kuasa Pertambangan Eksploitasi diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. (3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan." 9. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :
30
"Pasal
11
(1) Kuasa Pertambangan untuk melakukan usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian disebut Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian. (2) Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. (3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setiap kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan." 10. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
12
(1) Kuasa Pertambangan untuk melakukan usaha pertambangan pengangkutan dan penjualan disebut Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan. (2) Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setiap kalinya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan." 11. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
13
(1) Permintaan Kuasa Pertambangan diajukan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota dengan ketentuan sebagai berikut : a. untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan harus diajukan satu permintaan tersendiri; b. lapangan-lapangan yang terpisah tidak dapat diminta sebagai satu wilayah Kuasa Pertambangan. (2) Dalam permintaan Kuasa-kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Eskplorasi atau Eksploitasi harus dilampirkan peta wilayah Kuasa Pertambangan yang diminta dengan penunjukan batas-batasnya yang jelas dengan ketentuan bahwa khusus mengenai permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi atau Eksploitasi peminta harus pula menyebutkan jenis
31
bahan (3)
galian Peta
sebagaimana
yang dimaksud
akan dalam
ayat
diusahakan. (2),
untuk
:
a. Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum adalah peta bagan dengan skala sekecilkecilnya 1 : 200.000 (satu berbanding dua ratus ribu); b. Kuasa Pertambangan Eksplorasi adalah peta bagan dengan skala sekecil-kecilnya 1 : 50.000 (satu ber-banding lima puluh ribu); dan c. Kuasa Pertambangan Eksploitasi adalah peta bagan dengan skala sekecil-kecilnya 1 : 10.000 (satu berbanding sepuluh ribu). (4) Peta Kuasa Pertambangan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c harus menjelaskan dan menunjukan : a. ukuran arah astronomis dan jarak dari titik batas wilayah Kuasa Pertambangan yang tidak boleh melebihi 500 (lima ratus) meter; b. bahwa salah satu titik batas harus dihubungkan dengan salah satu titik triangulasi atau titik induk tetap lainnya yang tergambar dalam peta dasar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang topografi; c. tempat terdapatnya bahan galian diukur dari salah satu titik batas wilayah Kuasa Pertambangan; dan d.
gambar
letak
wilayah
Pertambangan
Rakyat
jika
ada.
(5) Apabila peta sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) belum dapat dilampirkan pada saat mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksploitasi maka wajib disusulkan kemudian selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan." 12. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
15
(1) Untuk menjamin terlaksananya usaha pertambangan ter-sebut, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya berwenang untuk meminta dan menilai pembuktian kesanggupan dan kemampuan dari pemohon Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. (2) Kuasa Pertambangan tidak dapat dipergunakan semata-mata sebagai unsur permodalan dalam menarik kerja sama dengan pihak ketiga." 15. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut :
32
"Pasal
17
(1) Sebelum Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya menyetujui permohonan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksploitasi, terlebih dahulu : a. Menteri sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Gubernur dan Bupati/Walikota dimana usaha pertambangan itu berada; b. Gubernur sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Bupati/Walikota dimana usaha pertambangan itu berada. (2) Mereka yang mempunyai hak atas tanah dan atau mereka yang berkepentingan yang akan mendapat kerugian karena adanya pemberian Kuasa Pertambangan dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota dimana usaha per-tambangan itu berada paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya surat permintaan pendapat mengenai Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Bupati/Walikota dimana usaha pertambangan itu berada menyampaikan keberatan kepada Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan disertai berita acara yang memuat alasan-alasan dari keberatan tersebut. (4) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diterima oleh Menteri atau Gubernur sesuai kewenangan-nya, apabila usaha pertambangan tersebut nyata-nyata akan merugikan rakyat/penduduk setempat. (5) Jika dalam jangka waktu paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal dikirimnya permintaan pendapat sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), Menteri atau Gubernur tidak menerima pernyataan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Bupati/Walikota yang bersangkutan dianggap telah menyatakan tidak adanya keberatan atas permintaan Kuasa Pertambangan." 14. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
20
Untuk mendapat satu Kuasa Pertambangan yang luas wilayahnya melebihi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, pemohon Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin khusus dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya." 15. Ketentuan Pasal 21 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
21
(1) Jumlah luas wilayah beberapa Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Kuasa Pertambangan Eksplorasi, dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi yang dapat diberikan kepada
33
satu badan atau seorang Pemegang Kuasa Pertambangan tidak boleh melebihi berturut-turut 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare, 10.000 (sepuluh ribu) hektare, dan 5.000 (lima ribu) hektare dari wilayah hukum pertambangan Indonesia. (2) Untuk mendapat jumlah luas wilayah beberapa Kuasa Pertambangan yang melebihi luas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya." 16. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
22
(1) Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu Kuasa Pertambangan tidak boleh dilakukan di tempat yang dinyatakan sebagai wilayah tertutup untuk kepentingan umum dan di tempat-tempat yang secara khusus ditentukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenang-annya. (2) Untuk tempat-tempat yang sebelum ada penetapan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya telah dinyatakan sebagai wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum oleh instansi lain, maka penambangan bahan galian hanya dapat dilakukan atas izin Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dengan mengingat pendapat dan pertimbangan dari instansi/pihak yang bersangkutan." 17. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
23
(1) Kuasa Pertambangan dapat dipindahkan kepada badan/ orang lain dengan izin Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (2) Izin Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenang-annya hanya dapat diberikan jika pihak yang akan menerima Kuasa Pertambangan tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang Pokok Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya. (3) Apabila perorangan yang memegang Kuasa Pertambangan meninggal dan para ahli warisnya tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka dengan izin Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenang-annya masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), Kuasa Pertambangan tersebut dapat dipindahkan kepada badan atau orang lain yang telah memenuhi syarat-syarat." 18. Ketentuan Pasal 26 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
26
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak melakukan segala usaha untuk
34
mendapatkan kepastian tentang adanya jumlah kadar, sifat dan nilai bahan galian, dengan mempergunakan peralatan teknik pertambangan sebaik-baiknya. (2) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak memiliki bahan galian yang telah tergali sesuai dengan Kuasa Pertambangan Eksplorasinya, apabila telah memenuhi ketentuan pembayaran Iuran Tetap dan Iuran Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 56. (3) Pengangkutan dan penjualan hasil-hasil eksplorasi baru dapat dilakukan apabila telah diperoleh Kuasa Per-tambangan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan atau izin khusus dari Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya." 19. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
27
(1) Sebelum memulai usahanya, pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi terlebih dahulu harus melaporkan rencana usaha penggalian serta target produksinya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (2) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi berhak dalam batas-batas ketentuan usaha pertambangan yang dapat dipertanggungjawabkan melakukan segala usaha untuk menghasilkan bahan galian yang disebutkan dalam Kuasa Pertambangannya. (3) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi berhak memiliki bahan galian yang telah ditambangnya sesuai dengan Kuasa Pertambangan Eksploitasinya bila telah memenuhi ketentuan-ketentuan pembayaran Iuran Tetap dan Iuran Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 58. (4) Apabila Kuasa Pertambangan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak sekaligus meliputi Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan dan Penjualan, maka untuk usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, dan usaha pengangkutan dan penjualan masing-masing harus dimintakan suatu Kuasa Pertambangan." 20. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
29
(1) Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memperoleh izin menurut peraturanperaturan lain yang berlaku, maka kepada pemegang Kuasa Pertambangan yang telah memiliki bahan galian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya dapat diberikan prioritas untuk memperoleh Kuasa Pertambangan yang meliputi usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, serta usaha pertambangan pengangkutan dan penjualan dari bahan galian tersebut beserta hasilnya.
35
(2) Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memperoleh izin menurut peraturanperaturan lain yang berlaku, maka kepada badan/orang lain yang memperoleh bahan galian dari pemegang Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat diberikan Kuasa Pertambangan yang meliputi usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, serta usaha pertambangan pengangkutan dan penjualan dari bahan galian tersebut beserta hasilnya." 21. Ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
30
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenan-kan melanjutkan usaha pertambangan penyelidikan umum dalam wilayah seluas wilayah Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang dimintanya untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi tersebut. (2) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertam-bangan Eksplorasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan eksplorasi dalam wilayah Kuasa Pertambangannya untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. (3) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan Kuasa Pertambangan Eksploitasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan kegiatan eksplorasi untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan Kuasa Pertambangan Eksploitasi tersebut. (4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan eksploitasi dalam wilayah Kuasa Pertambangannya untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut.
36
(5) Pemegang Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian yang telah diperolehnya untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan perpanjangan tersebut. (6) Para pemegang Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan yang sebelum berakhir jangka waktu Kuasa Pertambangannya sudah mengajukan permintaan perpanjangan Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan tetapi belum mendapat keputusan, maka sambil menunggu dikeluarkannya keputusan tersebut diperkenankan melanjutkan usaha pertambangan pengangkutan dan usaha pertambangan penjualan yang telah diperolehnya untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun lagi, dalam jangka waktu mana Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya harus sudah mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan per-panjangan tersebut." 22. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
31
(1) Apabila terdapat suatu keadaan memaksa yang tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu, sehingga pekerjaan dalam suatu wilayah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksploitasi terpaksa dihentikan seluruhnya atau sebagian, maka Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menentukan tenggang waktu/moratorium yang diperhitungkan dalam jangka waktu Kuasa Pertambangan atas permintaan pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. (2) Dalam tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak dan kewajiban pemegang Kuasa Pertambangan tidak berlaku. (3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya mengeluarkan keputusan mengenai tenggang waktu/ moratorium tersebut dengan memperhatikan pertimbangan: a. Menteri sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Gubernur dan Bupati/Walikota di mana usaha pertambangan itu berada; b. Gubernur sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Bupati/Walikota di mana usaha pertambangan itu berada. (4) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya harus mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sesudah diajukannya permintaan tersebut."
37
23. Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
32
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diwajibkan menyampaikan laporan mengenai hasil penyelidikannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. (2) Disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diwajibkan pula menyampaikan laporan mengenai hasil seluruh penyelidikannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya jangka waktu Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umumnya." 24. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
33
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai hasil penyelidikannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya. (2) Disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan pula menyampaikan laporan seluruh hasil eksplorasinya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya paling lambat 6 (enam) bulan sesudah berakhirnya jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasinya." 25. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
35
Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya." 26. Ketentuan Pasal 36 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 36 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
36
Para pemegang Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, Kuasa Pertambangan Pengangkutan, dan Penjualan, diwajibkan menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenang-annya." 27. Ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) huruf b diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37
38
berbunyi "Pasal
sebagai
berikut
: 37
(1) Kepada pemegang Kuasa Pertambangan diberikan prioritas untuk melakukan pembangunan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan usaha pertambangannya. (2) Pembangunan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh Instansi Pemerintah yang bersangkutan. (3) a. Dalam hal berbagai macam pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai kepentingan yang bersamaan atas pembangunan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka pelaksanaannya dilakukan atas dasar musyawarah. b. Bilamana tidak dicapai kata sepakat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka keputusan terakhir ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya." (4) Setiap pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang Kuasa Per-tambangan lain di dalam wilayah Kuasa Pertambangannya guna mendirikan/membangun saluran-saluran air dan penjernihan udara dan hal-hal lain yang bersangkutan, yang diperlukan dalam pelaksanaan usaha pertam-bangannya, tanpa merugikan satu sama lain." 28. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
39
(1) Dalam 3 (tiga) tahun terakhir dari jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksploitasi, Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya mengadakan pengawasan khusus. (2) Selama jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan mengikuti petunjuk-petunjuk khusus yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya." 29. Ketentuan Pasal 40 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 40 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
40
Kuasa Pertambangan Eksplorasi dapat dibatalkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya : a. jika ternyata pekerjaannya belum dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pemberian Kuasa Per-tambangan tersebut;
39
b. atas permintaan pemilik tanah atau pihak ketiga, jika pekerjaan dimulai sebelum dibayar sejumlah ganti rugi atau sebelum diberikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-undang Pokok Pertambangan." 30. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
41
(1) Dengan pemberitahuan 6 (enam) bulan sebelumnya, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat membatalkan Kuasa Pertambangan Eksploitasi dalam hal-hal tersebut di bawah ini : a. jika ternyata pekerjaan persiapan eksploitasi belum dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pemberian Kuasa Pertambangan tersebut; b. jika ternyata pekerjaan eksploitasi belum dimulai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah pemberian Kuasa Pertambangan tersebut; c. atas permintaan pemilik tanah atau pihak ketiga, jika pekerjaannya dimulai sebelum dibayar sejumlah ganti rugi atau sebelum diberikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-undang Pokok Pertambangan; d. jika ternyata pemegang Kuasa Pertambangan tanpa pemberitahuan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya telah meninggalkan usaha pertambangannya lebih dari 6 (enam) bulan; e. jika pemegang Kuasa Pertambangan tidak menyetorkan jaminan reklamasi dan tidak melakukan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. (2) Pembatalan Kuasa Pertambangan Eksploitasi dilakukan setelah diberikan kesempatan kepada pemegang Kuasa Pertambangan untuk membela kepentingannya. (3) Pembelaan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dikemukakan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pemberitahuan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya mengenai maksud akan dibatalkan-nya Kuasa Pertambangan Eksploitasi tersebut." 31. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 42 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
42
Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, serta Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan, dibatalkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam hal-hal tersebut di bawah ini :
40
a. jika ternyata pemegang Kuasa Pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan yang bersangkutan; b. jika Pemegang Kuasa Pertambangan tidak memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya kepadanya atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap Negara." 32. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
44
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan dapat menyerahkan kembali Kuasa Pertambangannya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, dengan mengajukan pernyataan tertulis yang disertai alasan mengenai pengembalian tersebut. (2) Pengembalian Kuasa Pertambangan baru sah setelah disetujui oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dan apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya belum mengeluarkan keputusannya, maka pengembalian tersebut dianggap sah." 33. Ketentuan Pasal 46 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 46 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
46
(1) Paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum berakhir, atau 6 (enam) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Eksplorasi berakhir atau 1 (satu) tahun sesudah Kuasa Pertambangan Eksploitasi berakhir, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya menetapkan jangka waktu dimana kepada Pemegang Kuasa Pertambangan yang bersangkutan diberikan kesempatan terakhir untuk mengangkat keluar segala sesuatu yang menjadi miliknya yang masih terdapat dalam bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, kecuali benda-benda dan bangunan-bangunan yang telah dipergunakan untuk kepentingan umum sewaktu Kuasa Pertambangan yang bersangkutan masih berlaku. Segala sesuatu yang belum diangkat keluar setelah lampaunya jangka waktu tersebut, menjadi milik Negara. (2) Dalam hal Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya tidak menentukan jangka waktu sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), maka paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum berakhir, atau 1 (satu) tahun sesudah Kuasa Pertambangan Eksplorasi berakhir, atau 2 (dua) tahun sesudah Kuasa Pertambangan Eksploitasi berakhir, segala sesuatu yang belum diangkat keluar dari bekas wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan menjadi milik Negara karena hukum, dan berada di bawah pengawasan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
41
(3) Dalam hal hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipergunakan untuk kepentingan umum dan tidak dapat diangkat keluar dari bekas wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan, maka oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat diberikan izin khusus untuk memindahkan hak milik tersebut kepada pihak lain. (4) Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambang-annya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. (5) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan-nya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang Kuasa Pertambangan sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya." 34. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
59
Dalam hal pelaksanaan usaha pertambangan dari suatu Kuasa Pertambangan dilakukan dalam bentuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, maka yang wajib melaksanakan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 adalah kontraktor yang ber-sangkutan." 35. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) dihapus sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
61
(1) Tarif dan tata cara pemungutan Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi, dan Iuran Eksploitasi/Royalti ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)
dihapus."
36. Ketentuan Pasal 62 ayat (1) diubah, ayat (2) dan ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 62 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
62
(1) Perimbangan penerimaan hasil pungutan Negara dari sub sektor pertambangan umum berupa Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)
dihapus.
42
(3)
dihapus."
37. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
63
Perincian penggunaan penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, termasuk tata cara penyimpanan, pengambilan dan pengamanannya, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." 38. Ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
64
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan umum yang dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (20 Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. (3)
Pengawasan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
meliputi
:
a. tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan; b.
keselamatan
pertambangan;
c. perlindungan lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang; d.
konservasi
dan
peningkatan
nilai
tambah.
(4) Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan umum yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota." 39. Diantara Bab XI dengan bab XII disisipkan 1 (satu) bab yaitu Bab XI A yang berbunyi sebagai berikut : "BAB KETENTUAN
XI
A PERALIHAN"
40. Diantara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu Pasal 67 a dan Pasal 67 b, yang berbunyi sebagai berikut : "Pasal
67
a
43
(1) Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelum tanggal 1 Januari 2001 tetap berlaku sampai berakhirnya KP, KK, dan PKP2B dimaksud. (2) Penyelenggaraan kewenangan pengelolaan KP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (3) Penyelenggaraan kewenangan pengelolaan KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya." Pasal
67
b
Semua peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini." 41. Ketentuan Pasal 68 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 68 berbunyi sebagai berikut : "Pasal
68
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden." Pasal Peraturan
II Pemerintah
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan pada PRESIDEN
di
Jakarta 30-11-2001 INDONESIA,
tanggal REPUBLIK
ttd. MEGAWATI Diundangkan pada SEKRETARIS ttd BAMBANG
SOEKARNOPUTRI di tanggal NEGARA
REPUBLIK
Jakarta 30-11-2001 INDONESIA
KESOWO
44
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 141
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN UMUM Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) ditetapkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air wilayah Indonesia adalah hak bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Bangsa Indonesia sesuai Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 memberi kekuasaan pada Negara untuk mengatur, memelihara, dan menggunakan kekayaan nasional tersebut sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kebijakan pemanfaatan sumber daya mineral selama ini lebih berorientasi pada kekuasaan Negara sehingga menciptakan kebijakan yang sentralistis dan monopolistis. Namun dalam era reformasi saat ini dan perkembangan sosial ekonomi serta politik yang sangat cepat menuntut agar kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan. Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka sesuai ketentuan Pasal 133 Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 kebijakan pengelolaan usaha pertambangan umum perlu disesuaikan dengan, antara lain, menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-
45
ketentuan Pokok Pertambangan. Berlandaskan pada hal-hal tersebut di atas, maka sasaran yang ingin diwujudkan dalam pelaksanaan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 adalah adanya kebijakan pengelolaan usaha pertambangan umum yang berimbang antara kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah, memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha di sub sektor pertambangan umum, serta mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara. Adapun pokok-pokok perubahan yang dilakukan antara lain : Kebijakan pengelolaan usaha pertambangan umum yang selama ini bersifat sentralistis maka sesuai kebijakan Otonomi Daerah akan diberikan kepada daerah secara luas, nyata, bertanggung jawab dan secara proporsional. Secara proporsional dalam hal ini bukan berarti semua kewenangan pengelolaan usaha pertambangan umum akan diserahkan kepada Daerah. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku baik Menteri, Gubernur maupun Bupati/Walikota secara proporsional mempunyai kewenangan di dalam pengelolaan usaha pertambangan umum. Kewenangan pengelolaan usaha pertambangan umum sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, yang meliputi : a. pencadangan dan penetapan wilayah usaha pertambangan; b. pemberian Kuasa Pertambangan; c. pemberian perizinan pertambangan rakyat; d. pelaksanaan perjanjian kerja sama usaha pertambangan dalam bentuk KK dan PKP2B; e. pengevaluasian dan pelaporan kegiatan; f. pembinaan dan pengawasan. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas Angka 2
46
Pasal 2 Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Cukup jelas Angka 4 Pasal 5 Cukup jelas Angka 5 Pasal 7 Cukup jelas Angka 6 Pasal 8 Cukup jelas Angka 7 Pasal 9 Cukup jelas Angka 8 Pasal 10 Cukup jelas Angka 9 Pasal 11 Cukup jelas
47
Angka 10 Pasal 12 Cukup jelas Angka 11 Pasal 13 Cukup jelas Angka 12 Pasal 15 Yang dimaksud dengan kesanggupan dan kemampuan dalam ayat ini adalah kesanggupan dan kemampuan finansial baik yang berupa tunai maupun aset yang dimiliki oleh calon pemegang kuasa pertambangan itu sendiri di samping kemampuan teknis untuk mencegah risiko dari pengusaha-pengusaha itu sendiri. Angka 13 Pasal 17 Seluruh ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat setempat dimana usaha pertambangan akan dilakukan, sehingga persetujuan Gubernur, Bupati/Walikota tersebut khusus untuk masalah-masalah teknis sosial dan bukan untuk menentukan calon pemegang Kuasa Pertambangan. Angka 14 dan Angka 15 Pasal 20 dan Pasal 21 Kepada perusahaan yang cukup mampu melaksanakan usaha-usaha pertambangan seperti yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini khususnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, dapat diberikan luas wilayah kuasa pertambangan seperti yang dicantumkan dalam pasal-pasal ini. Angka 16 Pasal 22 Cukup jelas
48
Angka 17 Pasal 23 Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup suatu usaha pertambangan dengan tetap berpegang kepada persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mencegah timbulnya jual beli suatu Izin Kuasa Pertambangan. Angka 18 Pasal 26 Cukup jelas Angka 19 Pasal 27 Cukup jelas Angka 20 Pasal 29 Cukup jelas Angka 21 Pasal 30 Cukup jelas Angka 22 Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud keadaan memaksa dalam pasal ini adalah antara lain pertikaian senjata, pemberontakan-pemberontakan, kerusuhan sipil, blokade, pemogokan-pemogokan, perselisihan perburuhan, epidemi, gempa bumi, angin ribut, banjir, kebakaran dan lain-lain bencana di luar kemampuan manusia. Ayat (2)
49
Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Angka 23 Pasal 32 Cukup jelas Angka 24 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan melaporkan hal-hal sebagai berikut : a. peta-peta topografi, geofisik, geologi dan peta-peta mineral; b. macam mineral yang ditemukan beserta analisanya; c. evaluasi dari endapan-endapan yang ditemukan; d. dan lain-lain yang dianggap perlu dilaporkan oleh pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi tersebut; e. pembiayaan yang telah dikeluarkan. Angka 25 Pasal 35 Dalam laporan yang dimaksudkan dalam pasal ini harus dimuat hal-hal yang berhubungan dengan produksi/analisa dan sebagainya untuk mengadakan Iuran Eksploitasi dan kewajiban lain dari pemegang Kuasa Pertambangan. Untuk menjaga kepentingan umum pemegang
50
Kuasa Pertambangan tersebut diwajibkan mengajukan rencana pembangunan-pembangunan yang akan dilaksanakannya, dimana pembangunan-pembangunan tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Angka 26 Pasal 36 Cukup jelas Angka 27 Pasal 37 Cukup jelas Angka 28 Pasal 39 Cukup jelas Angka 29 Pasal 40 Cukup jelas Angka 30 Pasal 41 Cukup jelas Angka 31 Pasal 42 Cukup jelas Angka 32 Pasal 44 Cukup jelas
51
Angka 33 Pasal 46 Cukup jelas Angka 34 Pasal 59 Cukup jelas Angka 35 Pasal 61 Cukup jelas Angka 36 Pasal 62 Cukup jelas Angka 37 Pasal 63 Cukup jelas Angka 38 Pasal 64 Cukup jelas Angka 39 Cukup jelas Angka 40 Pasal 67 a Ayat (1)
52
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka perizinan dan perjanjian kerja sama antara Pemerintah dan pihak ketiga yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2001 tetap berlaku sampai berakhirnya izin/perjanjian kerja sama tersebut. Yang dimaksud dengan tetap berlaku sampai berakhirnya KK dan PKP2B dimaksud adalah termasuk segala ketentuan mengenai perpajakan dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat KK dan PKP2B yang bersangkutan ditandatangani. Ayat (2) Yang dimaksud penyelenggaraan pengelolaan KP adalah KP yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelum tanggal 1 Januari 2001 dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, dengan ketentuan KP tersebut tidak boleh diubah sampai berakhirnya jangka waktu KP dimaksud. Ayat (3) Koordinasi dengan Pemerintah Daerah meliputi : 1. pengembangan masyarakat setempat (community development); 2. perubahan luas wilayah termasuk penciutan wilayah; 3. pengawasan lingkungan; dan 4. pelaksanaan reklamasi. Pasal 67 b Cukup jelas Angka 41 Pasal 68 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4154
Peraturan 53
UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin Kepres RI No. 59 Thn.2003 Tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Di Lingkungan Lembaga Tertinggi / tinggi Negara
54