Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
Agustia Pratiwi Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Sindrom Koroner Akut (SKA) mencakup Unstable Angina (UA), Non- ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dan ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Diperkirakan bahwa setiap tahunnya di Amerika Serikat lebih dari 780.000 jiwa akan mengalami SKA. Sekitar 70% dari jumlah tersebut akan mengalami NSTEMI. Keluhan utama SKA adalah nyeri dada dan digolongkan berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran elektrokardiografi (EKG). Penatalaksanaan segera diperlukan untuk mencegah infark lebih luas. Seorang laki-laki berusia 66 tahun datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 1 tahun yang lalu dan memberat sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dada menjalar ke arah punggung dan rahang kiri. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus tidak terkontrol. Dari pemeriksaan fisik, Pada status generalis didapatkan konjungtiva anemis +/+ dan palpasi abdomen ditemukan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan EKG didapatkan depresi segmen ST pada lead I, II, aVL, aVF, V3-V6. Hasil pemeriksaan laboratorium: hemoglobin 9 g/dl. Pasien dalam kasus ini didiagnosis sindrom koroner akut NSTEMI dan anemia ec. gastritis erosif dan diberikan tatalaksana sesuai dengan pedoman NSTEMI menurut AHA. Kata kunci: anemia, gastritis erosif, NSTEMI, nyeri dada, sindrom koroner akut
Acute Coronary Syndrome NSTEMI with Anemia ec Erosive Gastritis Abstract Acute coronary syndrome (ACS) includes unstable angina (UA), non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) and ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI). It is estimated that each year in the United States more than 780,000 population will experience ACS. Approximately 70% of this amount will have NSTEMI. The chief complaint is chest pain and ACS is classified based on the presence or absence of ST segment elevation on electrocardiography (ECG). Management is urgently needed to prevent more extensive infarction. A man aged 66 years came with chief complaints of chest pain left since one year ago and was advancing from one week ago. Chest pain was radiating toward to the left jaw and the back. History of hypertension and diabetes mellitus was not controlled. From physical examination, in generalist status obtained conjunctival pallor +/+ and abdominal palpation found epigastric tenderness. ECG showed ST segment depression in leads I, II, aVL, aVF, V3-V6. Laboratory results: hemoglobin 9 g / dl. Patient in this case was diagnosed NSTEMI acute coronary syndrome and anemia ec. erosive gastritis and was given treatment of NSTEMI according to AHA guidelines. Keywords: acute coronary syndromes, anemia, chest pain, erosive gastritis, NSTEMI. Korespondensi: Agustia Pratiwi, S.Ked, alamat Jln. Bumi Manti No. 49, HP 082299894112 , e-mail
[email protected]
Pendahuluan Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan manifestasi akibat penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD) yang ditandai dengan erosi, fisura atau pecahnya plak yang memang sudah ada, dan selanjutnya mengarah pada terjadinya trombosis dalam arteri koroner.1 Sindrom koroner akut mencakup Unstable Angina (UA), Non- ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dan STSegment Elevation Myocardial Infarction (STEMI).2 Ketiga gangguan ini disebut sindrom koroner akut karena gejala awal serta manajemen awal sering serupa.3 Di Amerika Serikat, rerata usia penderita SKA adalah 68 tahun (rentang usia 56-79 tahun) dengan rasio pria : wanita adalah 3 : 2. Beberapa pasien memiliki riwayat angina
stabil, sedangkan pada yang lainnya, SKA merupakan gejala awal dari CAD. Diperkirakan bahwa setiap tahunnya di Amerika Serikat lebih dari 780.000 jiwa akan mengalami SKA. Sekitar 70% dari jumlah tersebut akan mengalami NSTEMI. Pasien dengan NSTEMI umumnya memiliki penyakit komorbid (kardiak dan non-kardiak) lebih banyak dibandingkan dengan pasien dengan STEMI.4 Menurut riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia paling banyak terjadi pada usia 6574 tahun dan jenis kelamin wanita.5 Keluhan utama SKA adalah nyeri dada dan digolongkan berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran elektrokardiografi (EKG). Berdasarkan hasil pemeriksaan enzim jantung troponin, SKA tanpa elevasi segmen ST disertai troponin
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 8
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
positif didiagnosis sebagai NSTEMI, sedangkan jika troponin negatif, diagnosisnya adalah unstable angina.4,6-9 Dalam laporan kasus ini kami membahas seorang pasien laki-laki usia 66 tahun dengan diagnosis SKA NSTEMI. Kasus Laki-laki, 66 tahun, pensiunan PNS, datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 1 tahun yang lalu dan semakin memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri menjalar ke punggung dan rahang kiri, selama lebih dari 1 jam setiap serangan. Nyeri dada seperti ini sering hilang timbul baik saat aktivitas maupun istirahat. Pasien semakin membatasi aktivitas fisik karena bila banyak bergerak pasien merasa sesak dan sakit dada. Nyeri dada juga muncul jika banyak pikiran. Pasien juga merasa keluhan muncul bila berjalan jauh. Pasien juga mengeluh saat terjadi nyeri, maka pasien akan merasakan sesak dan keluar keringat dingin. Saat serangan pasien biasanya menggunakan obat di bawah lidah dan kemudian membaik. Pasien tidak sesak bila berbaring, dapat tidur dengan 1 bantal. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien belum pernah operasi jantung sebelumnya. Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan penyakit kencing manis sejak lama namun tidak rutin ke puskesmas untuk kontrol dan lebih menyukai minum obat-obatan herbal. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus per hari selama 30 tahun. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada ulu hati, terasa seperti ditusuk-tusuk dan perih. Pasien memiliki riwayat minum obat pereda nyeri yang dibeli di warung untuk mengobati sakit kepala dan sakit pinggang yang kerap dideritanya ± 10 tahun. Riwayat muntah coklat kehitaman (-), BAB hitam (-). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 76 x/menit, frekuensi napas 24x/menit dan suhu 37,4oC. Kesan gizi ideal dengan IMT 24,7 kg/m2. Pada status generalis didapatkan konjungtiva anemis +/+, leher dan toraks dalam batas normal, palpasi abdomen ditemukan nyeri tekan epigastrium dan ekstremitas tidak ada kelainan. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin 9 g/dL, Hematoktrit 21,3 %, leukosit 5.500/uL, trombosit 273.000/uL,
eritrosit 2,54 juta/ul, MCV 35,4 fl, MCHC 41,5 pg, GDS 135 mg/ dL, kolesterol total 163 mg/dl, trigliserida 203 mg/dl, kolesterol HDL 33 mg/dl dan LDL 89,4 mg/dl. Hasil gambaran apusan darah tepi: sebagian anemia normositik normokrom, sebagian anemia mikrositik hipokrom. Pemeriksaan penunjang elektrokardiogram (EKG) menunjukkan adanya depresi segmen ST pada lead I, II, aVL, aVF, V3-V6. Interpretasi dari pemeriksaan tersebut adalah Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) regio anterior, lateral dan inferior. Pasien dalam kasus ini didiagnosis sindrom koroner akut NSTEMI dan anemia ec. gastritis erosif. Terapi yang diberikan bersifat non farmakologi dan farmakologis. Terapi non farmakologis yang diberikan meliputi tirah baring, diet rendah garam dan diet rendah lemak. Terapi farmakologis meliputi infus RL 20 tetes/menit, aspilet tablet 1 x 80 mg, clopidogrel tablet 1 x 75 mg, isosorbid dinitrat (ISDN) tablet 3 x 5 mg, Arixtra® hingga hari ke 5, furosemid tablet 40 mg 1-0-0, amlodipin tablet 1 x 10 mg dan ranitidin 2 x 150 mg. Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam. Pembahasan Sindrom koroner akut merupakan spektrum dari kondisi terkait iskemia dan/atau infark miokard akut akibat penurunan aliran darah koroner. Sindrom koroner akut meliputi UA, NSTEMI dan STEMI.4 Unstable angina dan NSTEMI memiliki patofisiologi dan gejala klinis yang mirip, tapi berbeda pada tingkat keparahan. Diagnosis NSTEMI dapat dibuat ketika iskemik cukup berat sehingga terjadi kerusakan miokard yang mengakibatkan keluarnya biomarker atau penanda kerusakan jantung ke sirkulasi (kardiak spesifik troponin T atau I, atau muscle and brain fraction of creatine kinase [CK-MB]) dan tidak ditemukannya elevasi pada segmen ST.2 Pasien dikatakan mengalami UA apabila tidak ada biomarker setelah beberapa jam dari serangan. CKMB meningkat pada 3-4 jam setelah serangan dengan kadar puncak 12-14 jam dan menghilang 48-72 jam setelah serangan. Kadar Troponin meningkat 3-12 jam setelah serangan dan mencapai puncak 12-24 jam dan akan tetap tinggal sampai hari ke 8-21 untuk Troponin T dan 7-14 hari untuk Troponin I.2 J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 9
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan berupa nyeri dada khas angina yaitu nyeri dada seperti ditekan benda berat yang menjalar sampai ke punggung dann rahang kiri. Nyeri berlangsung lebih dari 1 jam. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Nyeri dada disertai keringat dingin dan lemas. Pasien juga memiliki 3 faktor resiko SKA yaitu hipertensi, DM, dan kebiasaan merokok. Pemeriksaan fisik jantung dalam batas normal dan hasil EKG menunjukkan adanya depresi segmen ST pada lead I-II, aVL, aVF, V3V5 yang menandakan adanya iskemik pada dinding jantung lateral, inferior, dan anterior. Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan biomarker penanda kerusakan jantung. Namun, mengingat onset yang sudah lama pada pasien ini maka dicurigai telah terjadi infark pada jantung sehingga diagnosis pasien ini adalah SKA NSTEMI dinding interior, lateral, dan anterior. Nyeri dada merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: lokasi substernal, retrosternal, prekordial; sifat nyeri seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dipelintir; penjalaran biasanya ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah, punggung; nyeri membaik atau hilang dengan istirahat; faktor pencetus seperti latihan fisik, stress, udara dingin, setelah makan; gejala yang menyertai ialah mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, dan lemas. Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin.9,10 Berdasarkan guideline ACC/AHA 2013, tujuan terapi UA/NSTEMI adalah untuk memperbaiki aliran darah dan mencegah rekurensi iskemik. Pengobatan pasien ini berdasarkan rekomendasi AHA class I adalah seperti tercantum pada tabel 1.11
Tabel 1. Rekomendasi Terapi Anti-iskemik
11
Strategi invasif dini melibatkan kateterisasi jantung rutin, umumnya dalam 4 sampai 24 jam setelah serangan, diikuti dengan revaskularisasi dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery baypass grafting (CABG), tergantung pada anatomi koroner. Sedangkan, strategi konservatif, sebaliknya, terdiri dari manajemen medis awal, diikuti dengan kateterisasi dan revaskularisasi hanya jika iskemia berulang meskipun dengan terapi medis yang adekuat, baik ketika pasien sedang beristirahat atau selama stress test noninvasif. Berdasarkan guidelines ACC/AHA 2014, pasien ini telah diberikan strategi invasif awal kelas I (level evidence A) untuk rekomendasi pasien dengan UA / NSTEMI yang berisiko tinggi (Tabel 2). Guidelines tersebut juga merekomendasikan baik konservatif atau strategi invasif untuk rendah pasien berisiko karena hasil yang dicapai oleh pendekatan ini adalah sama untuk pasien ini.4,11,12 Skor Risiko Thrombolytic in Myocardial Infarction (TIMI) memprediksi semua faktor risiko penyebab mortalitas, MI dan iskemia berulang berat yang membutuhkan revaskularisasi segera dalam waktu 14 hari setelah masuk rumah sakit. Angka kejadian meningkat secara signifikan dengan meningkatnya skor. Menurut skor TIMI, pasien dibagi menjadi kategori risiko rendah (skor 02), menengah (skor 3-4) dan tinggi (skor 5-7).13
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 10
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
Tabel 2. Strategi pemilihan terapi awal.
11
tahun, memiliki 3 faktor risiko (hipertensi, DM, merokok), depresi segmen ST hampir pada semua lead dalam gambaran EKG, mengalami > 2 serangan dalam 24 jam dan tidak menggunakan asam asetilsalisilat dalam 7 hari terakhir.
Skor risiko TIMI pada pasien ini adalah 4 di luar derajat penyempitan arteri koronaria dan kadar biomarker jantung. Usia pasien > 65
Gambar 1. Penilaian Skor Risiko TIMI untuk UA/NSTEMI.
13
Oleh karena dua kategori (prior stenosis dan cardiac marker) untuk menentukan skor TIMI tidak dapat ditentukan, maka kami berasumsi pasien ini termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pasien sebaiknya diberikan terapi invasif (angiografi diagnostik). Namun, akibat keterbatasan sarana dengan tidak adanya alat terapi invasif
yang diperlukan pasien serta keluarga pasien yang menolak pasien untuk dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki alat yang memadai, maka pasien ini diberikan terapi koservatif dengan strategi yang tercantum di Gambar 2.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 11
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Pasien UA/NSTEMI dengan Terapi Konservatif.
Pada pasien ini juga terjadi anemia yang didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik berupa konjungtiva anemis dan pemerikaan laboratorium, yaitu kadar hemoglobin sebesar 9 g/dl. Menurut kriteria WHO, anemia merupakan kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki dan kurang dari 12 g/dl pada wanita, sehingga dapat dikatakan bahwa pasien mengalami anemia.14 Anemia pada pasien ini dicurigai akibat perdarahan saluran cerna bagian atas sebagai efek samping dari penggunaan aspirin jangka panjang sehingga pada sediaan apus darah tepi terlihat anemia dengan gambaran sel normositik normokrom namun sebagian lagi didapatkan anemia dengan gambaran sel mikrositik hipokrom yang biasanya khas pada anemia defisiensi besi dan talasemia. Efek samping dari aspirin salah satunya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas. Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin secara tidak selektif sehingga pembentukkan
11
prostaglandin di lambung juga ikut terhambat. Prostaglandin di lambung merupakan salah satu agen defensif yang melindungi mukosa lambung dari kerusakan akibat asam lambung. Sehingga anemia pada pasien ini dicurigai akibat gastritis erosif yang diinduksi aspirin. Pasien tidak memiliki riwayat transfusi darah sebelumnya, sehingga anemia dengan gambaran mikrositik hipokrom pada pasien kemungkinan merupakan anemia defisiensi besi.15 Berdasarkan algoritma terapi ACS NSTEMI di atas, pasien mendapatkan terapi asam asetilsalisilat (aspirin) dan clopidogrel. Efikasi klinis dari terapi dual antiplatelet tersebut untuk mencegah iskemik kardiovaskular berulang telah dibuktikan secara luas. Penggunaan terapi aspirin dalam jangka waktu panjang dihubungkan dengan komplikasi pada saluran cerna meliputi ulserasi dan perdarahan, yang merupakan luka pada mukosa lambung akibat penghambatan sintesis prostaglandin. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan aliran darah mukosa, proliferasi sel epitel lambung, dan stimulasi
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 12
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
sekresi mukus dan bikarbonat. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh aspirin dapat mengurangi proteksi mukosa lambung dan mempermudah terbentuknya ulkus pada lambung karena asam endogen, pepsin dan garam empedu. Tidak seperti aspirin, clopidogrel tidak langsung menyebabkan luka pada lambung, tapi efek antiplateletnya dapat mengganggu penyembuhan erosi lambung yang telah ada dan dapat menginduksi komplikasi gastrointestinal yang berhubungan dengan aspirin atau infeksi Helicobacter pylori. 15-18 Pemberian terapi antiplatelet pada kasus NSTEMI sebaiknya aspirin kunyah, salut non-enterik 162-325 mg untuk pasien tanpa kontraindikasi dan dilanjutkan dosis 81162mg/hari. Namun, pada pasien ini, karena adanya kecurigaan perdarahan saluran cerna, maka sesuai dengan pedoman NSTE-ACS 2014, sebaiknya diberikan clopidogrel loading dose (300-600mg) yang diikuti maintenance dose (75 mg/hari) selama 12 bulan.4,19,20 Obat-obatan golongan proton pump inhibitor (PPI) sering diresepkan sebagai profilaksis untuk mencegah perdarahan saluran cerna. Namun, pemberian obat golongan PPI dapat mengganggu metabolisme clopidogrel karena PPI seperti omeprazole, lansoprazole atau rabeprazole dapat menghambat enzim CYP450 2C19. PPI omeprazole dilaporkan memiliki efek yang signifikan dalam menghambat efek anti agregasi trombosit clopidogrel. Beberapa penelitian menunjukkan adanya efek samping pada kardiovaskular seperti kejadian ACS berulang ketika pemberian regimen antiplatelet clopidogrel dan aspirin yang diberikan bersamaan dengan PPI dibandingkan dengan penggunaan kedua regimen obat tersebut tanpa PPI.20-23 U.S. Food and Drug Administration (FDA) menyatakan bahwa perlu adanya suatu evaluasi mengenai apakah pasien yang mendapatkan clopidogrel juga memerlukan tambahan PPI atau tidak. FDA tidak memiliki bukti bahwa obat-obatan lain yang mengurangi kadar asam lambung, seperti H2 blocker atau antasida, dapat mengganggu aktivitas antiplatelet dari clopidogrel. Petugas kesehatan sebaiknya meneruskan pemberian clopidogrel karena kelebihannya dalam mencegah pembekuan darah yang dapat memicu serangan jantung atau stroke.
Konsensus para ahli tidak menyarankan pemberian PPI bersamaan dengan clopidogrel mengingat risiko potensial dan keuntungan yang didapatkan pasien dari penggunaan kombinasi kedua jenis obat tersebut.24,25,26 Prognosis pada pasien ini ditentukan dengan menggunakan skor risiko TIMI. Pada pasien ini diperkirakan skornya adalah 5-6 sehingga pasien ini memiliki risiko mengalami kematian atau infark miokard ataupun serangan berulang yang membutuhkan revaskularisasi segera dalam 14 hari sejak masuk rumah sakit sebesar 26,2 – 40,9 %. Simpulan Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis. Tatalaksana dilakukan sesuai pedoman yang dikeluarkan American Heart Association yaitu trombolitik dan antiplatelet. Selain itu, diberikan pula obat golongan H2 blocker untuk mengurangi produksi asam lambung. Prognosis dapat diperkirakan dengan skor TIMI. Daftar Pustaka 1. Shiel WC, Stoppler C. Dalam: Webster’s new worldTM medical dictionary. Edisi ke3. New Jersey: Wiley Publishing; 2008. 2. Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S, Kosasih A. Buku panduan kursus bantuan hidup jantung lanjut edisi 2011. Jakarta: PERKI; 2011. 3. Achar S, Kundu S, Norcross W. Diagnosis of acute coronary syndrome. J Am Acad Fam Physician. 2005; 72(1): 119-26. 4. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE Jr, Ganiats TG, Holmes DR Jr, et al. 2014 ACC/AHA guideline for the management of patients with non–STelevation acute coronary syndromes: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2014; 130(25): 344–426. 5. Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI; 2013. 6. Reichlin T, Hochholzer W, Bassetti S. Early diagnosis of myocardial infarction with
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 13
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
7.
8.
9. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
sensitive cardiac troponin assays. N Engl J Med. 2009; 361(9): 858-67. Keller T, Zeller T, Ojeda F. Serial changes in highly sensitive troponin I assay and early diagnosis of myocardial infarction. J Am Med Assoc. 2011; 306(24): 2684-93. Than M, Cullen L, Aldous S. 2-Hour accelerated diagnostic protocol to assess patients with chest pain symptoms using contemporary troponins as the only biomarker: the ADAPT trial. J Am Coll Cardiol. 2012; 59(23): 2091-8. Myrtha R. Perubahan gambaran EKG pada sindrom koroner akut (SKA). CDK. 2011; 38(7): 541-2. Torry SRV, Panda AL, Ongkowijaya J. Gambaran faktor risiko penderita sindrom koroner akut. E-Clinic. 2014; 2(1): 1-8. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndrome: diagnosis and management part I. Mayo Clin Proc. 2009; 84(10): 91738. Anderson JL, Adams CD, Antman EM. 2012 ACCF/AHA focused update incorporated into the ACCF/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction. Circulation. 2011; 123: 426579. Antman EM, Cohen MK, Bernink PJLM. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST elevation MI. J Am Med Assoc. 2000; 284(7): 835–42. WHO. Vitamin and mineral nutrition information system [internet]. Geneva: World Health Organization; 2011 [diakses tanggal 9 April 2015]. Tersedia pada http://www.who.int/vmnis/indicators/hae moglobin.pdf. Fork FT, Lafolie P, Tóth E, Lindgärde F. Gastroduodenal tolerance of 75 mg clopidogrel versus 325 mg aspirin in healthy volunteers. A gastroscopy study. Scand J Gastroenterol. 2000; 35(5): 464-9. Patrono C, Baigent C, Hirsh J, Roth G. Antiplatelet drugs: American college of chest physicians evidence-based clinical practice guidelines (8th edition). Chest. 2008; 133(6): 199S-233S.
17. Bonello L, Tantry US, Marcucci R. Working group on high on-treatment platelet reactivity consensus and future directions on the definition of high ontreatment platelet reactivity to adenosine diphosphate. J Am Coll Cardiol. 2010; 56(12): 919-33. 18. Bhatt DL, Scheiman J, Abraham NS. ACCF/ACG/AHA 2008 expert consensus document on reducing the gastrointestinal risks of antiplatelet therapy and NSAID use: a report of the American College of Cardiology Foundation Task Force on Clinical Expert Consensus Documents. Circulation. 2008; 118(18): 1894-909. 19. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med. 2001; 345: 494-502. 20. Wiviott SD, Trenk D, Frelinger AL. Prasugrel compared with high loading- and maintenance-dose clopidogrel in patients with planned percutaneous coronary intervention: the prasugrel in comparison to clopidogrel for inhibition of platelet activation and aggregationthrombolysis in myocardial infarction 44 trial. Circulation. 2007; 116: 2923-32. 21. Juurlink DN, Gomes T, Ko DT. A population-based study of the drug interaction between proton pump inhibitors and clopidogrel. Can Med Assoc J. 2009; 180(7): 713-8. 22. O’Donoghue ML, Braunwald E, Antman EM. Pharmacodynamic effect and clinical efficacy of clopidogrel and prasugrel with or without a proton-pump inhibitor: an analysis of two randomised trials. Lancet. 2009; 374(9694): 989-97. 23. Gilard M, Arnaud B, Cornily JC. Influence of omeprazole on the antiplatelet action of clopidogrel associated with aspirin: the randomized, double-blind OCLA (Omeprazole Clopidogrel Aspirin) study. J Am Coll Cardiol. 2008; 51(3): 256–60. 24. Sibbing D, Morath T, Stegherr J. Impact of proton pump inhibitors on the antiplatelet effects of clopidogrel. Thromb Haemost. 2009; 101(4): 714–9. 25. Ho PM, Maddox TM, Wang L. Risk of adverse outcomes associated with concomitant use of clopidogrel and proton J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 14
Pratiwi | Sindrom Koroner Akut NSTEMI Dengan Anemia ec Gastritis Erosif
pump inhibitors following acute coronary syndrome. J Am Med Assoc. 2009; 301(9): 937–44. 26. Abraham NS, Hlatky MA, Antman EM. ACCF/ACG/AHA 2010 expert consensus document on the concomitant use of proton pump inhibitors and
thienopyridines: a focused update of the ACCF/ACG/AHA 2008 expert consensus document on reducing the gastrointestinal risks of antiplatelet therapy and NSAID use. Circulation. 2010; 122: 2619–33.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 15