PRAKTIK PERKAWINAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI DESA KUNCEN, KECAMATAN KRANGGAN, KABUPATEN TEMANGGUNG (TINJAUAN HUKUM ISLAM) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh : MUHAMMAD SHOHIB NIM: 21105015
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
i
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax (0298) 323433 Kode Pos 50721 Wesite: www.stainsalatiga.ac.id Email:
[email protected]
NOTA PEMBIMBING
Lampiran : 3 eksemplar Hal : Naskah Skripsi Saudara Muhammad Shohib Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara: Nama : NIM : Jurusan : Program Studi : Judul :
Muhammad Shohib 21105015 Syari’ah Ahwal Al-Syakhsiyah PRAKTIK PERKAWINAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI DESA KUNCEN, KECAMATAN KRANGGAN, KABUPATEN TEMANGGUNG (TINJAUAN HUKUM ISLAM)
Dengan ini mohon agar skripsi saudara tersebut di atas segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alikum Wr. Wb.
ii
SKRIPSI PRAKTIK PERKAWINAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI DESA KUNCEN, KECAMATAN KRANGGAN, KABUPATEN TEMANGGUNG (TINJAUAN HUKUM ISLAM)
DISUSUN OLEH MUHAMMAD SHOHIB NIM: 21105015 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal September 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana SI Hukum Islam.
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Moh. Khusen, M.Ag., M.A.
Sekretaris Penguji : Illya Muhsin, S.H.I., M.Si.
__________________ __________________
Penguji I
: Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si. __________________
Penguji II
: Beni Ridwan, M. Hum.
__________________
Penguji III
: Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.
__________________
Salatiga, 31 Oktober 2011
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: MUHAMMAD SHOHIB
NIM
: 211 05 015
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul skripsi
: PRAKTIK PERKAWINAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI DESA KUNCEN, KECAMATAN KRANGGAN,
KABUPATEN
TEMANGGUNG
(TINJAUAN
HUKUM
ISLAM)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 10 Oktober 2011
iv
MOTTO
“Menjaga Nilai-Nilai Lama yang Baik, Mengambil Nilai-Nilai Baru yang Baik Pula” (Imam Syafi’i)
“Jika Kita Merasa bahwa Pengetahuan Masih Kurang, Tanda Harapan akan Bertambah. tetapi Jikalau Kita telah Merasa Segala Pandai, Itulah Satu Tanda Pengetahuan Telah Mundur”. (Imam Ghazali)
Ada dua di kepada, ada dua di kaki.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Untuk Bapak dan Ibuku Muchlasin dan Faridatul Qudsiyah, yang senantiasa merawat dan
membimbing dalam menjalani kemajemukan
proses dan cara menikmati kehidupan. Seluruh Keluarga Besar Bani Idris, tanpa lelah untuk selalu menyuport dan menuntun. Seluruh Dosen STAIN Salatiga, serta staf-stafnya. Dosen pembimbingku Haryo Aji Nugroho, S.Sos. M.A. Yang kusebut namamu dengan “Alim”,
yang tersenyum
mengajakku dengan solih, agar bayang-bayang sakinah esok terwujud.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Melihat ciptaan Allah SWT. di jagad raya, tidak bertumpu pada wujud an sich ciptaan itu sendiri, tetapi harus diarahkan kepada sejumlah tanda tanya: apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana yang telah membuka tabir keluasan ilmu dan menyalakan api intelektualitas sehingga manusia dapat terlepas dari belenggu kebodohan. Shalawat, serta salam selalu tercurahkan kepada sang revolusioner Nabi Muhammad SAW. dan keturunan serta para sahabatnya yang telah menuntun umat manusia menemukan jalan menuju kebenaran. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan sukses tanpa kontribusi, motivasi, uluran bantuan, dorongan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, peneliti ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Imam Sutomo, M. Ag. selaku Ketua STAIN Salatiga, Drs. Mubasirun, M. Ag. selaku Ketua Jurusan Syari’ah, Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. selaku sekretaris jurusan Syari’ah dan Pembimbing Akademik yang senantiasa memberi dorongan kepada peneliti, Ilyya Muhsin, S. H. I., M. Si. selaku Kaprogdi AS atas saran-saran dan bantuan, khususnya dalam proses penyususnan skripsi, Haryo Aji Nugroho, S. Sos., M. A. selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu dan kesabarannya dalam vii
diskusi-diskusi yang membuka wawasan berpikir peneliti, Bapak Sudijono selaku ketua penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi yang telah menerima peneliti dengan ramah dan terbuka serta kesediaannya dalam berbagi ilmu secara mendalam, teman-teman Teater Getar dan para Sahabat/Rekan/Kawan yang memotivasi dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini. Penelitian yang penulis lakukan ini tentu sangatlah belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Sehingga, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi para pembaca secara umum.
Salatiga, 10 Oktober 2011 Penulis,
Muhammad Shohib NIM. 21105015
viii
ABSTRAK
Shohib, Muhammad. 2011. Praktik Perkawinan Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Desa Kuncen, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung (Tinjauan Hukum Islam). Skripsi Jurusan Syariah. Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembinbing: Haryo Aji Nugroho, S. Sos. M. A. Kata Kunci: Akad Nikah, Penghayat Kepercayaan, Hukum Islam Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. ada banyak cara untuk melakukan perkawinan, salah satunya yang terjadi di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis ini mengkaji perkawinan tersebut meliputi landasan ideologis ajaran, pandangan organisasi tersebut tentang perkawinan, tata cara perkawian, dan kajian hukum islam terhadap hal tersebut. Sumber data utama berasal dari seseorang yang terlibat dalam perkumpulan Mardi Santosaning Budhi. Mardi Santosaning Budhi merupakan perkumpulan yang melatih kepekaan spiritual dalam menghayati adanya Tuhan YME. Ajaran ini berasal dari ajaran kejawen yang dengan kitab primbon batal jemur adam makna sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan, dan meraih sisi spiritual untuk manunggal terhadap Gusti. Sehingga ajaran yang diterapkan bukanlah semata terpaku pada konsep ajaran yang sudah ada, akan tetapi ajaran ini bergerak pada sisi substansial hidup yang mengesampingkan syarat rukun dalam kehidupan beragama pada umumnya. sebagaimana ritual perkawinan yang dilaksanakan pada penghayat kepercayaan ini merupakan gambaran dari ajaran yang mengedepankan sisi substansial manusia terhadap Tuhannya. Mardi Santosaning Budhi, mengartikan perkawinan sebagai proses hubungan vertikal dengan Tuhan yang Maha Suci (ibadah) dan merupakan hak pribadi tiap manusia. Syarat perkawinan menurut Mardi Santosaning Budhi bukanlah maskawin (mahar), wali, dan saksi. Syarat pernikahan hanyalah adanya “cinta” serta tekad kuat, tulus dan suci kedua mempelai. Akad perkawinan dilakukan dengan cara mempelai berjabat tanggan tanpa lafal ijab qobul dari kedua mempelai, tanpa wali, sighat akad berbisik hanya diucapkan sepihak oleh ketua penghayat (sebagai penghulu). Perkawinan ini secara hukum positif dapat dikategorikan sah karena tercatat oleh negara. Namun, secara hukum syar’i. akad nikah mereka masih belum sah bila dilakukan oleh muslim.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................
i
NOTA PEMBIMBING ...................................................................
ii
PENGESAHAN..............................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................
iv
MOTTO .........................................................................................
v
PERSEMBAHAN...........................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................... vii ABSTRAK ..................................................................................... viii DFTAR ISI .................................................................................... BAB I
ix
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ...................................................................
1
B. Penjelasan Istilah .............................................................................
4
C. Rumusan Masalah ...........................................................................
5
D. Tujuan Penelitian.............................................................................
6
E. Fokus Penelitian ..............................................................................
6
F. Manfaat Penelitian ...........................................................................
6
G. Kerangka Pemikiran ........................................................................
7
H. Metode Penelitian ............................................................................
10
x
I.
1. Jenis Penelitian............................................................................
10
2. Pendekatan Penelitian..................................................................
10
3. Lokasi Penelitian .........................................................................
11
4. Sumber Data ...............................................................................
11
5. Metode Analisis Data ..................................................................
13
Sistematika Pembahasan ....................................................................
13
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Penghayat Kepercayaan .............................
15
1. Landasan Konseptual Penghayat Kepercayaan.............................
17
2. Ritual Aliran Kepercayaan ..........................................................
20
B. Peran Pemerintah terhadap Penghayat Kepercayaan ...........................
24
1. Sejarah Tumbuhnya Penghayat Kepercayaan ...............................
24
2. Perlindungan Pemerintah terhadap Penghayat Kepercayaan .........
26
C. Perkawinan dan Syarat Sah Menurut Hukum Positif ..........................
28
1. Pengertian Perkawinan ................................................................
28
2. Asas Perkawinan .........................................................................
29
3. Syarat-Syarat Perkawinan............................................................
30
4. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif ................................
32
D. Perkawinan dan Syarat Sahnya Menurut Hukum Islam ......................
33
1. Pengertian Perkawinan ................................................................
33
2. Hukum Perkawinan .....................................................................
37
xi
3. Rukun dan Syarat Perkawinan .....................................................
38
BAB III PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI A. Kabupaten Temanggung dan Potensi Berkembangnya Penghayat Kepercayaan ......................................................................................
45
B. Sejarah Berdirinya Mardi Santosaning Budhi .....................................
48
C. Kepengurusan Mardi Santosaning Budhi ...........................................
50
D. Penganut Ajaran Mardi Santosaning Budhi ........................................
52
E. Landasan Ideologis Ajaran Mardi Santosaning Budhi ........................
54
F. Pandangan Mardi Santosaning Budhi terhadap Perkawinan ................
61
G. Tata Cara Akad Perkawinan di Mardi Santosaning Budhi ..................
62
BAB IV AKAD NIKAH MARDI SANTOSANING BUDHI DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Legalitas Perkawinan Penghayat Kepercayaan menurut Hukum Positif................................................................................................
66
B. Legalitas Akad Perkawinan Penghayat Kepercayaan menurut Hukum Islam .....................................................................................
71
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................
79
B. Saran .................................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan fitrah, kebutuhan dasar (basic need), dan insting inhern dalam diri manusia. Perkawinan merupakan anugerah agung yang diberikan Tuhan kepada manusia, salah satunya agar dapat berkembang dan melanjutkan proses regenerasi hidup di dunia. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menjadi cara terbaik mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia. Perkawinan diharapkan dapat melestarikan proses regenerasi keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia. Masyarakat Islam meyakini bahwa proses perkawinan merupakan ritual keagamaan yang sangat sakral. Para ulama Islam mendefinisikan perkawinan sebagai “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI, 1998/1999:14). Ungkapan ini memiliki makna sebagai “ikatan lahir batin” yang mengandung arti bukan semata perjanjian keperdataan saja. Akan tetapi juga bisa berarti peristiwa agama, sehingga orang yang melaksanakannya dinilai melakukan perbuatan ibadah (Rofiq, 1998:69). Abu Yahya Al-Anshary mendefinisikan nikah menurut syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual
1
2
dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya (Ghazaly, 2006:8). Pengertian di atas bukan berarti tujuan perkawinan hanya sebatas menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan saja. Perkawinan
memiliki
konsekuensi-konsekuensi
yang
harus
dipertanggungjawabkan, mengandung aspek akibat hukum untuk saling mendapatkan hak dan kewajiban, serta bertujuan menjalin hubungan dengan asas tolong-menolong dan juga untuk menjaga dan memelihara keturunan. Kesakralan perkawinan diakui oleh negara melalui berbagai prosedur yang mengikat. Undang-Undang Perkawinan pasal 1 dan 2, menyebutkan bahwa: 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1). 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 Ayat 2) Kompilasi Hukum Islam menambahkan prosedur perkawinan sesuai hukum Islam. Bagi penganut agama Islam, perkawinan dapat dikatakan sah bila memenuhi prosedur, diantaranya: 1. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qobul yang dilakukan oleh suami. 2. Adanya wali nikah. 3. Adanya dua orang saksi. Prinsip-prinsip dasar dari kesemuanya itu berasaskan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadian untuk
3
mencapai kesejahteraan sprituil maupun materiil dan asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus di catat oleh petugas yang berwenang (Zainudin Ali, 2007:7). Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 pasal 1 dan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 menyingung tentang pembatasan agama yang ada di Indonesia. Ada enam agama yang diakui secara resmi, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara, aliran kebatinan yang berkembang dimasyarakat digolongkan sebagai Penghayat Kepercayaan. UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama, beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dipeluknya, termasuk menyelenggarakan perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menguatkan hal ini melalui pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaan itu” dan ayat 2 yang berbunyi “tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (UU Perkawinan, pasal 1-2). Undang-undang ini menjadi landasan hukum lembaga keagamaan dan penghayat kepercayaan untuk menyelenggarakan perkawinan. Mardi Santosaning Budhi (MSB) adalah penghayat kepercayaan yang menyelenggarakan perkawinan. yang tidak memihak kepada agama apapun, melainkan berpegang teguh pada ajaran leluhur dan menempatkan diri pada kebijakan manusia secara substansial.
4
Umumnya lembaga keagamaan menyelenggarakan perkawinan bagi umat pemeluknya. Namun ternyata, Mardi Santosaning Budhi juga bersedia mengawinkan pasangan dari latar belakang agama dan kepercayaan apa saja. Hal ini membuat penulis tertarik melakukan penelitian lebih mendalam di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi dengan judul Praktik Perkawinan Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Desa Kuncen, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung (Tinjauan Hukum Islam). B. Penjelasan Istilah 1. Hukum Islam: Seperangkat peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan penjelasannya dalam sunah Nabi tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifudin, 2009:4). 2. Akad nikah: adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali perempuan atau yang mewakilinya dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau yang mewakili, dan disaksikan oleh dua orang saksi (Kompilasi Hukum Islam, 1998/1999:13). Juga diutarakan dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, bahwa kata akad nikah itu sendiri bisa berarti “nikah” (Syarifudin, 2009:36). Sesuai asal bahasanya, “nikah” berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (Ghazaly, 2006:7). Beberapa orang menyamakan pernikahan dengan perkawinan yang berasal dari kata kawin. Kawin berarti
5
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin, atau bersetubuh (KBBI, 1994:453). 3. Penghayat Kepercayaan: Penghayat berasal dari kata hayat yang artinya pengalaman batin (KBBI, 1976:351), arti awalan peng- dalam kata hayat menunjuk pada orang yang memiliki pengalaman batin. Sedangkan kepercayaan berarti anggapan (keyakinan) terhadap kebenaran sesuatu (KBBI, 1976:737). Jadi, penghayat kepercayaan adalah orang yang mempercayai pengalaman-pengalaman batin atau bisa disebut juga sebagai orang yang mengikuti aliran kebatinan.
C. Rumusan Masalah Problem besar dalam kasus ini adalah bagaimana prosedur perkawinan dan akad nikah di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. Serta bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap prosedur perkawinan dan akad nikah mereka bila diberlakukan bagi muslim. Problem besar ini akan penulis operasionalkan dalam rincian permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana landasan ideologis Mardi Santosaning Budhi? 2. Bagaimana pandangan Mardi Santosaning Budhi tentang perkawinan? 3. Bagaimana tata cara Mardi Santosaning Budhi menyelenggarakan perkawinan? 4. Bagaimanakah tinjauan Hukum Islam tentang akad nikah orang muslim di Mardi Santosaning Budhi?
6
D. Tujuan Penelitian Secara umum peneliti ingin mengetahui lebih jauh mengenai ritual perkawinan pada aliran penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, untuk itu hal yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui Landasan Ideologis Mardi Santosaning Budhi? 2. Mengetahui pandangan Mardi Santosaning Budhi tentang perkawinan? 3. Mengetahui tata cara Mardi Santosaning Budhi menyelenggarakan perkawinan? 4. Mengetahui tinjauan Hukum Islam tentang akad nikah orang muslim di Mardi Santosaning Budhi?
E. Fokus Penelitian Untuk membatasi penelitian ini agar tidak terlalu melebar, maka peneliti menfokuskan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Proses pelaksanaan ritual perkawinan pada penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. 2. Tinjauan Hukum Islam tentang ritual perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi.
F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat manfaat pemikiran sebagai berikut:
7
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi keilmuan Al-Ahwal Al-Syahsiyah untuk menambah wawasan berfikir peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan kasus-kasus akad nikah dan tata cara perkawinan. 2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk lebih menelaah kembali dasar hukum suatu perkawinan. Manfaat praktik bagi KEMENAG adalah sebagai pertimbangan memberikan solusi kebijakan yang lebih tegas.
G. Kerangka Pemikiran Prinsip-prinsip Hukum Islam terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991. Yang pada intinya tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dengan berasaskan tolong-menolong agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spirituil maupun materiil dan mengenai keabsahan didasarkan pada hukum agama dan kepercaayaan masing-masing (Rofiq, 1998:56). Lembaga Penghayat Kepercayaan adalah salah satu lembaga yang mengakomodir dari aliran-aliran kebatinan yang percaya dan meyakini terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di luar dari enam agama yang tercatat legalitasnya di pemerintahan Indonesia. Kamil Kartapraja yang dikutip oleh Husni Tamrin dalam tesisnya menyebutkan bahwa: maksud dan tujuan Aliran Kebatinan dan Kepercayaan ialah Manunggaling Kawulo Gusti artinya
8
bersatunya manusia dengan Tuhan yang disebut juga panteistis. Menurut ajaran Neo Platonisme, sama dengan Akidatul Wujud menurut ajaran sufi (Tamrin, 2006:10-11). Pengertian kebatinan atau penghayat kepercayaan secara umum adalah mistik Jawa (Mulder, 1983:21). Sistem mistik Jawa sebenarnya dipengaruhi dari Islam. Meskipun demikian, mistik Jawa tidak murni berasal dari ajaran Muhammad SAW, tetapi tetap Islam (Woodward, 1999:vi). Batin berasal dari bahasa Arab yang berarti sebelah dalam, inti, di dalam hati, tersembunyi, dan misterius. Menurut Geertz (1983:319-321), kata tersebut juga berarti dunia dalam pengalaman manusia. Geertz menganalisis mistik Jawa sebagai ungkapan gaya hidup orang Jawa yang halus dan mengandung sifat empiris. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik murni yang membuka pengetahuan langsung dan pengalaman setiap individu dengan
Tuhan.
Sementara
itu
metode
yang
dipergunakan
adalah
menyerahkan diri sambil bersujud atau berdiri dengan tenang. Untuk penganut latihan kejiwaan harus menyempurnakan serah dirinya serta pasrah dan melatih rasa dan jiwanya agar dapat mencapai jalan menuju ketentraman jiwa kepada ke-Esaan Tuhan (Geertz, 1983:25-26). Praktik kebatinan merupakan usaha pribadi seseorang yang ingin manunggal kembali dengan asal-usulnya, berniat untuk menyingkapkan rahasia atau terbebas sama sekali dari ikatan-ikatan duniawi. Usaha untuk mencapai panunggalan hanya dapat dicapai dengan sumber pengalaman kebatinan. Aji (2008:17) dalam tesisnya menambahkan bahwa praktik aliran kebatinan bukanlah sebuah aktifitas gaib dan paranormal, pengalaman seperti
9
itu bukanlah unsur pokok praktik kebatinan. Pada hakekatnya, mereka adalah sekelompok orang yang secara ekslusif berlatih berpaling kepada Tuhannya dengan mengesampingkan segala materi ciptaan-Nya. Mereka menghayati keberadaan Tuhan hingga pada tataran menikmati dan merasakan proses komunikasi langsung dengan Tuhan. Bagi umat beragama, praktik aliran kebatinan berkembang sebagai cara keagamaan baru yang lebih mengedepankan aspek pengalaman batin. Bagi mereka mendalami dunia mistik, praktik berkeimanan secara rasional saja belum cukup operasional untuk bekal hidup. Untuk menguatkan keimanan diperlukannya latihan batin yang berkesinambungan dan konsisten. Latihan kebatinan ini dapat menumbuhkan kepekaan rasa kehadiran Tuhan secara terus menerus pada diri seseorang. Aspek mistik ini bagi penganutnya dirasa lebih dekat dan cenderung lebih membantu pada waktu dibutuhkannya, dari pada keimanan buta yang didominasi oleh rasionalistik. Misalnya dalam suatu perkawinan, aliran kebatinan murni tidak mempermasalahkan adanya syarat rukun yang lengkap, karena berlandaskan pada substansi awal sebuah hukum itu adalah boleh. Sedangkan mereka berkeyakinan bahwa batin adalah jembatan antara manusia dengan Tuhannya. Pada dasarnya, aliran kebatinan menafsirkan perkawin merupakan hak pribadi manusia untuk membentuk sebuah keluarga. pada prosesnya adalah hubungan vertikal dengan Tuhan yang Maha Suci. Sedangkan aplikasinya merupakan hubungan horisontal antara hak warga negara dengan pemerintah. Pada proses pelaksanaannya, pemuka penghayat kepercayaan
10
bertugas mencatat, mengesahkan perkawinan dan melaksanakan perkawinan dengan tata cara penghayat kepercayaan. Ritual perkawinan pada aliran kebatinan dilindungi oleh undangundang, khususnya dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaan itu” dan ayat 2 yang berbunyi “tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan Undang-undang ini, perkawinan yang dilakukan di Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi adalah sah secara hukum Negara.
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif ini bertujuan mengambarkan secara tepat sifat–sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan dengan gejala lain dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1994:29).
Metode penelitian ini dipandang cocok
untuk menggambarkan pelaksanaan akad nikah pada penghayat kepercayaan serta membongkar landasan ideologis pelaksanaannya yang berakar dari gagasan ajaran organisasi. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan ini didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena
11
atau kejadian yang terjadi di lapangan (Soekanto, 2001:26). Dalam penelitian ini yang akan dicari masalah pelaksanaan akad nikah di penghayat kepercayaan pada penganut ajaran Mardi Santosaning Budhi Temanggung. Dengan berpedoman pada aturan yang berlaku, serta yang terkait pada pelaku sosial. 3. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan penulis di Himpunan Penghayat Kepercayaan yang merupakan wadah dari penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi dengan beralamatkan di Dusun Kuncen RT. 01/RW. 03, Desa Badran, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Penulis memilih lokasi tersebut karena lokasi ini merupakan kantor kesekretariatan sekaligus sebagai tempat ritual perkawinan biasa dilaksanakan. Selain itu juga didasarkan pada pertimbangan individu, karena lokasi penelitian dekat dengan tempat tinggal peneliti. 4. Sumber Data Sebagai upaya untuk memperoleh data yang valid tentang fenomena perkawinan pada penganut penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Temanggung, penulis akan menggunakan beberapa sumber data, yaitu: a. Data primer, data ini meliputi data wawancara dengan informan dan data observasi. 1) Informan
12
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan berfungsi sebagai orang dalam
yang memberi
pandangan tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses, dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian (Moleong, 2002:90). Informan dalam penelitian ini adalah Ketua Umum penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, yang sekaligus sebagai penghulu aliran tersebut. Informan ini dinilai mampu memberikan data mengenai dasar ideologis ajaran proses ritual perkawinan (akad nikah). Beberapa pasang pelaku nikah juga menjadi informan untuk mendapatkan alasan-alasan mereka menikah di penghayat kepercayaan tersebut. 2) Observasi Observasi pada aktivitas manusia memberi data bagi peneliti mengenai perilaku konsumen dan proses sosial, ketika orang-orang sedang menjalankan peran dalam realitas sosial. Selain itu observasi memungkinkan peneliti untuk menemukan tindakan-tindakan sadar atau yang dianggap terjadi secara otomatis (Daymon-Holloway, 2008:321). Observasi dilakukan guna memperoleh data diskriptif tentang prosesi perkawinan, dan akad nikah secara lengkap dan detail di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Temanggung. b. Data Sekunder.
13
Data sekunder adalah data yang mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku, media masa, sumber arsip, dokumen pribadi, hasil penelitian orang lain dan lain sebagainya (Soekanto, 1986:12). Data-data sekunder akan digali melalui dokumen-dokumen penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. 5. Metode Analisa Data Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis data dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis, lisan dan perilaku yang nyata di teliti sebagai suatu yang utuh (Soekanto, 1984:13). Proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara, dokumen resmi dan tulisan dalam media massa. Langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian dikategorisasikan. Tahap akhir dari analisis adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, cek dan recek untuk menghasilkan kerangka analisis yang memiliki bingkai makna sambil menafsirkan data untuk memperoleh kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan Sebagai gambaran tentang skripsi ini, maka penulis sajikan sistematikanya sebagai berikut:
14
Bab I
: Bab ini memuat beberapa sub bab, antara lain: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, fokus penelitian, manfaat penelitian, penjelasan istilah, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II
: Bab ini terdiri dari beberapa pembahasan, yaitu: Tinjauan umum tentang aliran kebatinan termasuk studi-studi serupa tentang aliran kebatinan, ketentuan tentang perlindungan pemerintah terhadap aktifitas penghayat kepercayaan, dan bagaimana prosedur akad nikah ditinjau dari Hukum Islam.
Bab III
: Bab ketiga ini akan dibahas mengenai pemaparan penelitian terhadap landasan konseptual ajaran Mardi Santosaning Budhi Kabupaten Temanggung secara umum dan landasan ideologis akad nikah yang dilaksanakan. Bab ini memuat: deskripsi organisasi, landasan ideologis, ajaran, dan kegiatan umum, serta proses pelaksanaan ritual perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. Selain itu penulis akan memaparkan peranan pemerintah terhadap perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Temanggung.
Bab IV
: Bab empat ini berisi tentang analisis menurut hukum positif dan syariat Islam terhadap akad nikah yang dilaksanakan di Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Temanggung.
Bab V
: Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran.
15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum tentang Penghayat Kepercayaan Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah-masalah kebatinan atau yang disebut juga dengan praktik mistisisme. Pada masyarakat ini, penganutnya memiliki karakteristik yang bervariasi sesuai dengan “ideologi Islam” (Aji, 2008:1), Varian agama Islam Jawa yaitu Agami Jawi. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1994:312) membagi muslim Jawa berdasarkan ketaatannya yaitu Agami Jawi atau yang lebih dikenal dengan golongan abangan (kurang taat beribadah) dan Agama Islam Santri (taat beribadah). Bentuk agama orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau kejawen itu adalah pencampuran ajaran antara konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik, dan diakui sebagai agama Islam. Sedangkan pada Agama Islam Santri merupakan golongan yang lebih dekat dengan ajaranajaran Islam yang sebenarnya, meskipun masih memasukan unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, yang kemudian pada prosesnya, ajaran kedua varian ini mengedepankan praktik olah roso atau dengan sebutan lain sebagai prakik laku batin (Koentjaraningrat, 1994:312). Praktik mistisisme Jawa yang disebut sebagai laku batin adalah praktik yang mengarah pada kebutuhan spiritual manusia. Pada dasarnya tujuan praktik laku batin lebih mengarah kepada penyatuan terhadap Tuhan, atau yang lebih dikenal dengan istilah manunggaling kawulo Gusti. dilihat
15
16
dari perkembangan Sejarahnya, mistisisme berkembang di Indonesia melalui berbagai perkumpulan kebatinan sejak awal abad ke-20 (Woodward, 1999:347). Aliran kepercayaan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1975 (Mulder, 2001:5). Hal ini disebabkan oleh adanya indikasi ketidak percayaan terhadap agama-agama besar (misalnya: Islam dan Kristen) yang dianggap gagal menjadi benteng moral yang kuat bagi masyarakat pada saat itu. Dalam pandangan orang abangan (beragama Islam, akan tetapi tidak melaksanankan ritual peribadatan secara Islam pada umumnya) yang memandang Islam sebagai agama Arab (Mulder, 2001:10). Sebagaimana menurut Hamka yang dikutip oleh Soehadha, meskipun memeluk agama Islam, namun mereka tidak puas dengan Islam yang semata-mata diberatkan kepada masalah halal dan haram saja. Islam pada saat itu begitu kaku dalam menerapkan hukum-hukum fikih (2003:7-8), hal ini menyebabkan mereka lari kepada aliran kepercayaan. Sebagaimana menurut Geertz dan Berger yang dikutip oleh Soehadha (2003:1), Aliran kepercayaan merupakan suatu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukan oleh adanya kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu yang melibatkan jenis kesadaran tertentu, dimana simbol-simbol inderawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak seolah-olah terhapuskan. Jiwa merasa disatukan dalam suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainnya. Dalam prosesnya, mistisisme menyatukan antara jiwa terhadap ruh keilahian yang maha luas.
17
1. Landasan Konseptual Penghayat Kepercayaan Sistem religi masyarakat Jawa sangat erat hubungannya dengan proses ritual pendalaman batin manusia, mereka menekuni dan mempelajari sesuatu yang tersembunyi dalam diri batin manusia secara rohani. untuk memahami tentang aliran kepercayaan, secara praktiknya banyak sekali penafsiran dan berbagai macam perbedaan untuk menafsirkannya. Tidak beda jauh dengan Mulder dalam bukunya Mistisisme Jawa, memahami mistik Jawa atau yang dipahami dengan aliran kepercayaan tidak banyak kaitannya dengan perpolitikan Nasional, akan tetapi lebih terkait dengan kelompok mistik yang menekuni masalah kebatinan manusia, yaitu bisa diartikan menjadi “ilmu tentang batin manusia” (Mulder, 2001:2). Dalam hal ini kata aliran diartikan dengan arus pemikiran dan juga kelompok orang yang menganut aliran pemikiran tertentu. maka dari itu, aliran kepercayaan diartikan sebagai sekte-sekte yang memegang teguh gagasan-gagasan tertentu mengenai apa yang sering disebut dengan mistik Jawa. Sebagaimana yang dilakukan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, melatih spiritual Jawa melalui kepekaan batin seseorang. Praktik
spiritualitas
Jawa
menandakan
adanya
praktik
keagamaan yang berhubungan dengan ngelmu tentang kehidupan. Aliran kepercayaan Jawa menggabungkan berbagai elemen yang diperoleh agama asli Jawa dengan elemen lain, sebagai sistem pandangan hidup
18
diri seseorang berkaitan dengan Tuhan yang diakui sebagai hasil penggabungan antara dua pemahaman kehidupan. Mengenai akar sejarahnya, terdapat dua pendapat yang berbeda. Yang pertama mengatakan bahwa aliran kepercayaan merupakan agama asli Jawa, ajaran ini merupakan sistem kepercayaan yang berakar dari kebudayaan Kraton Jawa sejak jaman dahulu. Menurut Warsito, yang dikutip oleh Su’ud, kebatinan berasal dari ajaran Islam. Jika dalam kebatinan Jawa terdapat fenomena kebatinan, hal itu merupakan peranan wali yang telah mentransformasikan kepercayaan masyarakat Jawa asli terhadap ajaran Islam. Kebatinan bukan berakar langsung dengan ajaran Islam, akan tetapi ditinjau dari sejarahnya, Islamlah yang telah dipengaruhi ajaran kebatinan (Soehadha, 2003:10). Pendapat yang kedua, aliran kepercayaan atau lebih tepatnya pada ajaran kebatinan berakar dari agama Islam. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa menerapkan bentuk ajaran kebatinan (sufisme) dalam mengembangkan perkembangan
budaya
mereka.
kesusastraan
Jawa,
Sufisme
telah
mempengaruhi
yang
kemudian
menemukan
bentuknya yang paling khas mengarah kepada mistisisme dalam Islam (Simuh, 1999). Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Woodward (1999:4). Menurutnya, ritual-ritual kraton dan berbagai sistem mistik kejawen berasal dari sistem kepercayaan dalam Islam. Terlepas dari akar sejarahnya ajaran kebatinan, dalam hal ini Islam yang mempengaruhi Jawa atau Jawa yang mempengaruhi Islam.
19
Pada umumnya orang setuju bahwa ajaran kebatinan di Jawa bersifat sinkretis, yaitu memadukan antara ajaran kepercayaan asli Jawa dengan berbagai ajaran agama didalamnya (Mulder, 2001:10, Koentjaraningrat, 1994:310). Pada intinya, telah diungkapkan pada bab I, bahwa ajaran kebatinan lebih menekankan pada tercapainnya insan kamil, yakni manusia sempurna yang dapat menyatu dengan Tuhannya, atau manunggaling kawulo Gusti. Pengaruh Islam dalam aliran kepercayaan tercermin dalam bentuk dan cara ritual-ritual para penganut kebatinan, misalnya sujud dan dzikir kepada Allah, dan juga tercermin pada beberapa karya sastra yang mengembangkan ajaran-ajaran keIslaman, seperti serat wulangreh, serat centini dan lain sebagainnya (Purwadi, 2007:82). Pada hakikatnya, aliran kepercayaan tidak lepas dari agama, sebab disetiap agama terkandung unsur kebatinan. Pada kepercayaan Cina dan Jepang disebut dengan Zen, agama Hindu yang disebut dengan Yoga, pada agama Islam disebut dengan Sufi atau Tasawuf, dan dalam agama
Kristen
ditunjukan
dengan
perilaku
para
Rahib
yang
mengasingkan diri dalam biara-biara (Soehadha, 2003:2). Menurut Geertz, dari segi filosofisnya, dipandang dari luar nampak mengajarkan doktrin-doktrin yang berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi pada dasarnya adalah sama saja (Geertz, 1983:415), yaitu menanggalkan duniawi untuk mempertemukan diri seseorang kepada Tuhan.
20
2. Ritual Aliran Kepercayaan Manusia dipandang sebagai bagian dari kosmos yang mengenai prosesnya tidak dengan cara sembarangan, kesemuannya adalah berkesinambungan dan sebagai kesatuan teratur yang tunduk pada takdir dan bukan pada kemauan sendiri, mereka bisa memilih kehendak bebas (Mulder, 2001:123). Dalam hal ini, kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar untuk minum. Pada masyarakat Jawa, keterikatan kosmos ini di gambarkan dalam mitologi (ilmu tentang mitos) pewayangan. Hal lain manusia di anggap memiliki dua bagian, bagian rasional dan bagian batin tersembunyi
(Mulder,
2001:124).
Rasional,
manusia
memiliki
kemampuan berfikir secara rasional, dan batin tersembunyi merupakan jembatan bagi manusia menuju Sang Kholik, yang lebih mengutamakan rasa. Untuk mewujudkannya, diperlukan latihan yang konsisten dan berkesinambungan. Banyak aktivitas sebagai latihan batin yang harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut penghayat kepercayaan dibawah pimpinan guru dan pangampu kepercayaan. pada dasarnya sama dengan berbagai penghayat kepercayaan Jawa yang lainnya. Hal yang harus diperlukan adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat ikhlas untuk melepaskan segala
21
hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Melalui sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia kebendaan di sekitarnya. Sikap pasrah ini bukan sebagai tanda sifat lemahnya seseorang, sebaliknya menandakan bahwa seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima (menerima) yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan ikhlas. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup dengan hati bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai ritual-ritual dan latihan-latihan yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan semedi. Melalui latihan-latihan di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka selanjutnya akan melalui beberapa tahap berikutnya, yang diyakini pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan atau “manunggaling kawula Gusti”.
22
Namun dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam realitas kehidupan yang konkret. Bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib “amemayu ayuning bawana” atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, berlaku dan bertutur jujur, serta hidup dengan penuh tanggung jawab. Lain dari pada itu, pada masyarakat Islam abangan, perjalanan praktik
kebatinan
menuju
manunggalin
kawulo
Gusti
sering
digambarkan melalui empat tahap yang sistematis, mulai dari luar terus ke dalam. Tahap yang pertama adalah sarengat. yang mengandung pengertian menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Bagi kelompok abangan, tahapan ini dijalankan dengan cara menghormati, menghargai dan menaati orang tua, guru atau pemimpin laku ini dilakukan dengan kesadaran bahwa menghormati mereka berarti merupakan penghormatan terhadap Tuhan, sebab menurut konsepsi abangan, mereka adalah wakil-wakil Tuhan di dunia. Selain itu kaum abangan juga menekankan untuk menghormati aturan-aturan sosial, dan kesadaran hormat kepada tatanan kosmos. Tahap mistik kedua adalah tarekat. Tarekat merupakan kesadaran tentang hakikat tingkah laku pada sarengat harus diisyafi
23
lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa ritual disertai dengan usaha-usaha yang luhur dan suci dari dalam lubuk batin manusia. Tahap ketiga adalah hakikat yaitu tahap menuju kebenaran. Tahap ini merupakan pengembangan mengenai kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada Tuhan, sehingga akan muncul pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi siapa saja yang ada, untuk mencapai manunggal adalah menjadi abdi Tuhan dan menjadi bagian yang tergantung dari tatanan kosmos. Tahap keempat adalah ma’rifat yaitu terciptanya kondisi manunggaling kawula Gusti. Setelah mencapai tahap ini, jiwa seseorang akan terpadu dengan jiwa semesta dan tindakan seseorang semata-mata telah menjadi laku, kehidupan seseorang menjadi doa terus-menerus kepada Tuhan. Paguyuban Mardi Santosaning Budhi pada umumnya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan sesama ciptaan-Nya, baik itu alam, flora maupun fauna. pada prosesnya, pengolahan batin akan menghasilkan kesucian sejati pada manusia. kesucian sejati adalah persoalan kehidupan pribadi, yaitu masalah batin. Maka dari itu, mereka berpendapat bahwa beribadah tidaklah harus di masjid atau gereja, namun terletak di dalam hati dan aplikasinya terhadap tingkah laku yang lebih mengarah pada perbuatan baik dan berlaku jujur (Mulder, 2001:10).
24
B. Peran Pemerintah terhadap Penghayat Kepercayaan 1. Sejarah Tumbuhnya Penghayat Keprcayaan Sejarah awal berdirinya Penghayat Kepercayaan dipelopori oleh Mr. Wongsonegoro. Pada tahun 1950 ia mempopulerkan kepercayaan dengan istilah kebatinan. Konggres pertama dilaksanakan pada tanggal 19-21 Agustus 1950, pada konggres ini dihadiri 70 aliran yang tersebar diseluruh
Indonesia.
Dengan
menghasilkan
kesepakatan
untuk
mendirikan sebuah organisasi yang bisa menampung kepentingan mereka dengan di beri nama Badan Konggres Kebatinan Indonesia (BKKI). dengan ketua pertamanya adalah Mr. Wongsonegoro. Konggres pertama itu menjadi titik awal perkembangan mengenai organisasi kepercayaan. Dari pandangan soal kebatinan, yang bukan klenik, yang tidak bertentangan dengan agama dan bukan agama baru, dengan mendukung asas Pancasila, hingga sampai masuknya organisasi
ke
struktur
pemerintahan
Negara.
Untuk
mencapai
kesempurnaannya, organisasi kepercayaannya ini mengalami banyak perubahan
bentuk
dan
namanya,
dengan
bernamakan
Munas
(Musyawarah Nasional). Setelah 20 tahun berjalan, tepatnya tahun 1970 digelar Musyawarah Nasional, dengan menghasilkan suatu wadah baru bagi penghayat kepercayaan, yaitu Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK). Selain itu dalam Munas ini juga menghasilkan terbentuknya delegasi Munas Kepercayaan yang dipimpin Mr. Wongsonegoro,
25
delegasi ini berfungsi memperjuangkan legalitas Kepercayaan. Pada saat itu, delegasi mengawali langkahnya dengan menemui Presiden Soeharto, dan menghasilkan kepercayaan yang diakui di Indonesia. Jauh dari pada itu, setelah mengalami perjalanan yang panjang, perjuangan team delegasi mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Pada tahun 1973, MPR menetapkan kepercayaan (Terhadap Tuhan Yang Maha Esa) diakui oleh negara diposisikan di samping Agama. Turunnya penetapan tersebut dimusyawarahkan melalui Munas ketiga yang digelar di Tawangmangu, Solo. Hasilnya, organisasi kepercayaan SKK diganti menjadi HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa). sampai sekarang organisasi HPK mengakomodir, menaungi dan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok penghayat kepercayaan di seluruh Nusantara. Salah satu bukti hasil perjuangan yang mencolok adalah, sulitnya menentukan jumlah aliran kepercayaan. Biro Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) pada tahun 1964 mencatat bahwa terdapat 360 aliran kepercayaan (Koentjaraningrat, 1994:399), namun pada tahun 1971 tinggal 217 saja, kemerosotan ini dipengaruhi oleh adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965, banyak anggota gerakan yang bersimpati dengan PKI hilang. Sementara Beker menambahkan bahwa hingga tahun 1972, tercatat 644 aliran kepercayaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi, data pada kementrian kebudayaan dan pariwisata tahun menyebutkan bahwa aliran kepercayaan yang terdaftar
26
hanya 245 aliran kepercayaan dengan total penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih (Aji, 2008:3). Dari data ini bisa kita lihat, sulitnya melacak perkembangan aliran kepercayaan. Kebanyakan dari aliran kepercayaan diatas merupakan aliran kepercayaan yang sifatnya lokal, dengan setiap kelompok memiliki anggota tidak lebih dari 200 orang. Selain itu juga ada aliran kepercayaan yang beranggotakan lebih dari 1000 orang, tersebar di berbagai kota di Jawa dan terorganisir dalam cabang-cabang (Koentjaraningrat, 1994:400).
2. Perlindungan Pemerintah Terhadap Penghayat Kepercayaan Tugas negara melalui pemerintahnya adalah menyediakan pelayanan publik yang baik. Pemenuhan kebutuhan publik diartikan sebagai pemenuhan hak-hak sipil warga negara. Tugas dan kewajiban ini dilakukan melalui aparat pemerintah dari tingkat paling atas sampai paling bawah seperti RW dan RT. Sudah semestinya setiap aparat pemerintah memberikan pelayanan publik yang terbaik, termasuk kepada seseorang atau kelompok Penghayat Kepercayaan. Aliran kepercayaan (selanjutnya disebut dengan penghayat kepercayaan), pada tahun 1970-an mengalami diskriminasi baik dari negara maupun dari agama-agama besar. Praktik diskriminasi tersebut diteguhkan oleh Undang-Undang dan Tap MPR maupun Intruksi Menteri yang menyatakan bahwa Penghayat Kepercayaan bukanlah
27
merupakan suatu agama. Tindakan diskriminasi ini mengakibatkan para penganut penghayat kepercayaan tidak mendapatkan hak-hak sipilnya dari pemerintah. Seperti dalam pembuatan KTP yang dipersulit bahkan ada yang tidak dilayani. Perkawinan di kalangan mereka tidak mendapatkan akte nikah dari catatan sipil karena dianggap perkawinan mereka adalah perkawinan di luar agama, dan masih banyak lagi (Interfidei, 2010). Akan tetapi praktik diskriminasi tersebut dipatahkan melalui kebijakan pemerintah tahun 2006, dengan menerbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan di dukung oleh Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2007 sebagai petunjuk pelaksanaannya. UU No. 23 Tahun 2007 Pasal 64 ayat 2 menyatakan bahwa: “keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi atau dikosongkan, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”. Dan masalah perkawinan, mengenai tata cara pencatatan dan persyaratan diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 Pasal 81 Bab X, dengan rinciannya sebagai berikut: 1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan 2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan
28
3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa C. Perkawinan dan Syarat Sah Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan ialah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.” Dari sini menjelaskan bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan suatu ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi ikatan keduanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini terjadi dengan perkawinan, yakni berupa pengucapan akad perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu yaitu pengucapannya sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas diantara kedua belah pihak yakni antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagi suami isteri.
29
Dalam inti undang-undang tersebut di atas adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal. Hal ini juga terkandung dalam prinsip perkawinan dalam Islam yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah.
2. Asas Perkawinan Asas-asas atau prinsip yang terkandung dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 terdapat dalam penjelasan atas UU No. 1 tahun 1974 yang isinya adalah sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan megizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suamiisteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
30
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undangundang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dituangkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri. 3. Syarat-Syarat Perkawinan Agar mencantumkan
tidak
terlalu
syarat-syarat
melebar, perkawinan
penulis yang
berusaha sekirannya
untuk bisa
mendukung fokus masalah skripsi ini. Jadi dalam UU Perkawinan, penulis tidak mengkutip secara keseluruhan, hanya mengambil beberapa pasal yang sekirannya bisa dijadikan dasar untuk menjawab rumusan masalah. Syarat-syarat yang seseorang untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 yang isinya adalah:
31
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa: “Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun”. Jadi, ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk membentuk pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan teman hidupnya dalam berumah tangga. b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun. Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang bunyinya sebagai berikut: (2). “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. (3) “Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya”. (4) “Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya”.
32
(5) “Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan kehendaknya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) Pasal ini”. (6) “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”. 4. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan penjelasan pasal tersebut di atas berarti tidak ada praktik perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, sekiranya sudah sesuai dengan UndangUndang Dasar tahun 1945. Penegasan pemerintah mengenai peraturan diatas, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain, undangundang tersebut masih tetap berlaku.
33
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan masing-masing Sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan undang-undang lain.
D. Perkawinan dan Syarat Sahnya Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Suatu perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari perkawinan tersebut. Nikah menurut arti etimologi ialah hubungan seksual, sedangkan
menurut arti majas adalah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok dalam Al-Qur’an untuk menunjuk perkawinan. Istilah zawaja berarti “berpasangan”, dan istilah nakaha berarti “berhimpun” (Syarifuddin, 2006:35). Dengan demikian, dari segi bahasa perkawinan adalah berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Kedua kata ini merupakan kata yang biasa terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab. Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an Nisa’ ayat 3:
34
Artinya: Dan jika kamu takut akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinlah perempuanperempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang....(QS. An Nisa’:3) Demikian pula kata zawaja, terkandung dalam surat al Ahzab ayat 37:
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri terhadap istrinya (menceraikan), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka. (QS. Al Ahzab:37) Sedangkan menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi di antaranya: 1. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Maksudnya seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badanya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan .
35
2. Ulama Syafi’iyah menyatakan perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah menyimpan
arti
memiliki
wati.
atau
zawaj
Maksudnya
yang dengan
perkawinan seorang dapat memiliki atau dapat mendapatkan kesenangan dari pasangannya. 3. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. 4. Ulama Hanabila menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan lafal nikah ( )ﻧﻜﺢatau tazwij ()ﺗﺰوﯾﺞ
untuk
mendapatkan
kepuasan
dari
seorang
perempuan dan sebaliknya (Syarifudin, 2006:37). 5. Abu Yahya Zakariyah al Anshary mengatakan nikah menurut istilah syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafal nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya . 6. Zakiah Darajat dalam kutipannya mengatakan akad yang mengandung
ketentuan
hukum
kebolehan
melakukan
hubungan seksual dengan lafal nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya. 7. Muhammad Abu Israh menyatakan akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita serta mengadakan tolong
36
menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan bagi masing-masing. (Ghazaly, 2006:9) Sehubungan dengan pengertian nikah dalam Hukum Islam, tampaknya tidak berbeda dengan pengertian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Bab 1, Pasal 1, berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari semua pengertian di atas kecuali pendapatnya Muhammad Abu Israh. Ada satu titik temu adanya kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dengan wanita yang semula dilarang menjadi boleh dan sama sekali tidak terkandung tujuan serta akibat hukumnya, padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan serta akibat. Sehingga ketika kita memaknai perkawinan hanya sebagai upaya kebolehan melakukan hubungan seksual semata maka tidak menutup kemungkinan di kemudian hari kita akan menemui perceraian, percekcokan karena adanya sebuah ketidaksamaan antara suami-istri, sehingga memerlukan adanya penegasan arti pengertian, tujuan, dan akibat hukumnya, sehingga peneliti sendiri lebih setuju memakai pendapatnya Muhammad Abu Israh.
37
2. Hukum Perkawinan Pada dasarnya Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa hukum perkawinan adalah sunah tetapi ada juga yang berpendapat perkawinan hukumnya adalah wajib, diantaranya adalah Mahzab Zahiriyyah. Sementara ulama Malikiyah berpendapat bahwa perkawinan itu bisa wajib, sunnah bahkan mubah. Hal ini didasarkan pada ke khawatirkan (kesusahan) dirinya (Ghazaly, 2003:16). Sayyid Sabiq dalam fikih Sunnah-nya mengatakan, sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan bahkan bisa berlaku lima hukum yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram. Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta mampu dalam hal materi. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada perzinaan. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah. Dan haram bagi orang yang berniat akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya (Sabiq, 1987:22). Hal ini diringkas oleh Sulaiman Rasjid dalam bukunnya Fiqih Islam mengatakan bahwa hukum perkawinan yang asal adalah Ja’iz (diperbolehkan), di samping ada yang wajib, sunnah, makruh, dan juga haram (Rasjid, 1994:381-382). Perbedaan serta banyak hukum perkawinan ini tidak terlepas dari adanya banyak penafsiran pada ayat 3 surat An Nisa’:
38
Artinya: Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat (QS. An Nisa’:3) Dan juga terdapat dalam hadis Nabi dari Anas Bin Malik, yang berbunyi:
ُﺗَﺰَوﱠﺟُﻮْا اﻟﻮَدُوْدَ اﻟْﻮَﻟُﻮْدَ ﻓﺈَِﻧِّﻰ ﻣُﻜَﺎﺛِﺮٌ ﺑِﻜُﻢ (اْﻷُﻣَﻢَ )رواه داود Artinya: kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum dihari kiamat. Bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan di khawatirkan akan tergelincirnya pada lubang perzinaan, maka hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada perbuatan menjauhkan diri dari yang haram hukumnya adalah wajib.
3. Rukun Dan Syarat Perkawinan 1. Rukun Abdul Hamid Hakim mendefinisikan Rukun sebagai sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya sesuatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat, atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam perkawinan (Ghazaly, 2006:46).
39
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas: a. Sighat Akad Perkawinan Yaitu perjanjian antara dua belah pihak (pihak laki-laki dengan pihak perempuan) yang melangsungkan perkawinan dengan bentuk ijab dan qobul. Ijab penyerahan dari pihak wali perempuan,
dan
qobul penerimaan
dari pihak
laki-laki
(Syarifudin, 2006:61). Kompilasi Hukum Islam secara jelas mengatur masalah akad perkawinan, yang mengikuti sebagaimana yang terdapat dalam fiqih. Pasal 27
Pasal 28 Pasal 29
Jumhur
: “ijab qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu” : “akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan” : “(1) yang berhak mengucapkan qobul adalah calon mempelai pria secara pribadi, (2) dalam hal tertentu ucapan qobul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan tersendiri......, (3) dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan....”. ulama
sepakat
dalam
lafal
ijab
boleh
menggunakan kata-kata nikah dan tazwij atau pecahan dari dua kata
tersebut,
misalnya
menggunakan
kata
zawwajtuka,
ankahtuka, yang keduanya sama-sama menunjukan makna kawin. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad perkawinan yang tidak menggunakan redaksi yang berbeda
40
dengan yang diatas. Misalnya; saya serahkan, saya jual, saya milikkan atau saya shodakohkan. Berbeda dengan Madzab Hanafi yang berpendapat bahwa akad perkawinan dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan arti menikahkan, bahkan sekalipun dengan lafal al tamlik (pemilikan), al hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-atha’ (pemberian), al-ibaha (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang disertai dengan qarinah yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafal al-ijarah (upah) al-ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kontinuitas atau kesinambungan. Yang terpenting maknanya secara hukum dapat dimengerti (Sabiq, 1987:51-52). b. Adanya calon istri dan suami yang akan melangsungkan perkawinan Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh selain itu, seperti sesama laki-laki dan sesama perempuan. Selain itu Islam juga mengatur masalah batasan usia dalam perkawinan. Sebagaimana dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 yang berbunyi: Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun.
41
2. Syarat Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada, untuk menentukan keabsahan suatu pekerjaan (ibadah), akan tetapi hal ini tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan. seperti menutup aurat dalam shalat. Atau, dalam suatu perkawinan, calon pengantin laki-laki dan perempuan itu harus beragama Islam (Ghazaly, 2006:46). Sehingga dalam perkawinan ditentukan syarat bagi calon mempelai laki-laki, adalah sebagai berikut: a. Islam b. Terang (jelas) bahwa calon suami betul laki-laki c. Orangnya diketahui dan tertentu d. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal bagi calon istri e. Calon mempelai laki-laki tahu / kenal pada calon mempelai wanita serta tahu betul calon istrinya itu halal baginya f. Calon mempelai laki-laki rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu g. Tidak sedang melakukan ihram h. Tidak mempunyai istri yang halal dimadu dengan calon istri i. Tidak mempunyai istri empat Sementara bagi calon mempelai perempuan ditentukan syarat-syarat sebagai berikut: a. Beragama Islam atau ahli kitab
42
b. Terang bahwa ia wanita c. Wanita itu tentu orangnya d. Halal bagi calon suami e. Tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah f. Tidak dipaksa / ikhtiyar g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah (Daradjat, 1995. 3941). Dari keterangan diatas, yang menentukan keabsahan suatu perkawinan. 1. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita Yang dimaksud dengan wali adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad perkawinan. Keberadaan seorang wali dalam akad perkawinan merupakan suatu keharusan karena tanpanya suatu akad tidak sah, hal ini berlaku untuk semua wanita, baik yang perawan atau janda, dewasa maupun masih kecil. Pada seorang wali harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (dalam hal ini tidak fasik) (Ghazaly, 2006:59). Jadi seorang wanita tidak bisa menjadi wali, baik untuk dirinya sendirian maupun untuk orang lain. Jumhur ulama membagi wali menjadi dua bagian, yaitu:
43
a. Wali dekat atau wali qarib yaitu bapak dan kakek. Keduanya mempunyai
kekuasaan
yang
mutlak
terhadap
anak
perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidak harusan meminta persetujuan anaknya masih usia muda dikarenakan orang yang masih muda belum mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan. b. Wali jauh atau wali ab’ad. Yang menjadi wali jauh ini secara berurutan adalah selain ayah dan kakek, juga termasuk selain dari anak dan cucu Yang perinciannya sebagai berikut: 1) Saudara laki-laki kandung 2) Saudara laki-laki sebapak 3) Anak saudara laki-laki kandung 4) Anak saudara laki-laki sebapak 5) Paman kandung 6) Paman seayah 7) Anak paman kandung 8) Anak paman sebapak 9) Ahli waris atau kerabat lainnya kalau memang masih ada 10) Wali hakim (Syarifudin, 2006:76).. 2. Adanya dua orang saksi
44
Pelaksanaan akad perkawinan akan sah apabila dua orang saksi menyaksikan akad perkawinan. hal ini supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 25 yakni; Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad perkawinan adalah seorang laki-laki muslim, adil, sudah akil balig, tidak terganggu ingatannya (sehat psikologi) dan tidak tuli. Sementara golongan Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa saksi boleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dan menuruti Hanafi, dua orang buta atau orang fasik boleh menjadi saksi. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa saksi haruslah berakal (bukan orang gila), balig (bukan anak-anak), merdeka (bukan budak), Islam, harus mendengar (Ghozaly, 2006:64)
45
BAB III PENGHAYAT KEPERCAYAAN MARDI SANTOSANING BUDHI
A. Kabupaten Temanggung, Potensi Berkembangnya Penghayat Kepercayaan, dan Pencatatan Pernikahan Kabupaten Temanggung merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di jalur tengah propinsi Jawa, pada posisi antara 110 23’ – 110 456’30’’ bujur timur: 7 14’ – 7 32’35’’ – 7 32’35’’ lintang selatan, luas wilayah 82.616 ha, terbagi dalam 20 wilayah kecamatan, 289 desa/ kelurahan. Wilayah kabupaten Temanggung memiliki batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Semarang b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Magelang c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Magelang Dilihat dari jumlah penduduk dan jumlah tempat ibadah di kabupaten Temanggung pada tahun 2008 yang tersebar di 20 kecamatan, masing-masing
kecamatan
memiliki
komposisi
jumlah
penduduk,
berdasarkan jenis kelamin perempuan sebesar 353.291 jiwa, laki-laki sebesar 350.055 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan pemeluk agama Islam (655.426), Kristen Protestan (19.271), Katholik (14.575), Hindu (225), Budha (11.600).
45
46
Keberagamaan agama di Temanggung didukung oleh sarana keagamaan bagi pemeluknya. Sarana ibadah tersedia meliputi sebanyak 2.824 buah masjid, 81 buah gereja, 15 buah kapel, 71 buah vihara, dan 15 buah cetia. Organisasi-organisasi keagamaan tumbuh dan berkembang di Kabupaten Temanggunng cukup banyak dan bervariasi. Setiap organisasi keagamaan memiliki pengurus yang mana masing-masing bisa saling hidup berdampingan dilingkungan masyarakat. Keanekaragaman suku bangsa dan agama berkembang sangat pesat. Salah satunya adalah lembaga penghayat kepercayaan yang terhimpun dalam satu wadah Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).
Berdasarkan Buku Panduan bagi
Penghayat Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat beberapa penghayat kepercayaan diantaranya adalah: Organisai Hidup Betul, Sumarah, Cahya Buana, Sabdo Dharmo, Mardi Santosaning Budhi, dan lain-lain. Semua terdata dan dilindungi Negara (Kesbangpol, 2010:2). Sedangkan
mengenai
pelaksanaan
perkawinan
penghayat
kepercayaan, berasal dari berbagai penghayat kepercayaan. kesemuannya didata melalui Himpunan Penghayat Kepercayaan. Berikut adalah adalah data perkawinan penghayat kepercayaan:
47
Daftar Perkawinan Penghayat Kepercayaan Di Kabupaten Temanggung 2008-2011
NO
NAMA NAMA ORGANISASI PENGHAYAT
ALAMAT
TINGGAL AKTA PEMUKA NIKAH NIKAH
1.
Sapta Darma
- Zoni Prasetiyo - Sri Rahayu
- Getas, Banyurip Rt. 2/5 Kaloran, Temanggung
28/04/2008 047/2008
Parimin
2.
Sapta Darma
- Waltimin - Rubiyati
- Kalisat, Rt.2 Kalimanggis Kaloran
25/04/2009 056/2009
Ruwanto
3.
Mardhi Santosaning Budhi
- Parwanto - Sholekha
- Kauman Rt. 01/02 Gondang Wayang, Kedu - Krajan, Rt.03/03 Jambon Gemawang
10/10/2009 163/2009
Ki Dadi
4.
Sapta Darma
- Sugiran - Partinah
- Kalisat, Kalimanggis Kaloran
05/08/2010 149/2010
Ruwanto
5.
Sapta Darma
- Nur Widodo - Anik Ambarwati - Yusuf Waluyo Jati - Lusia Lilik Hastutiani
15/03/2011
33/2011
Parimin
10/10/2011
-
Sudijana
6
Mardhi Santosaning Budhi
- Soborojo, Pringsurat - Sribit Rt. 05/07 No.160 Mulyodadi, Bambang Lipuro, Bantul, Yogyakarta Tabel 1
Berdasarkan hasil penelitian yang lakukan di beberapa pelaku, Sebagian dari pelaku perkawinan secara penghayat kepercayaan memiliki motif yang berbeda-beda. Pada umumnya, motif perkawinan ini dapat dipetakan sesuai dengan tingkat ketaatan: Pertama pada pelaku penghayat kepercayaan murni. Bagi penghayat kepercayaan murni, hal ini dilakukan karena ketaatan mereka untuk melaksanakan ajaran Mardi Santosaning
48
Budhi. Selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa dengan proses perkawinan yang dilakukan dengan cara penghayat ini adalah benar, sebab pendapat mereka segala sesuatu yang diterima batin itu adalah kebenaran mutlak. Kebenaran batin bukan lagi berupa keterangan atau petunjuk menurut kata-kata orang lain, akan tetapi benar-benar telah diketahui dan disaksikan adanya. karena batin merupakan syarat mutlak terhadap persaksian adanya Tuhan yang Maha Esa, yang ber-Kuasa atas manusia Kedua, sebagian besar motif menempuh jalur perkawinan secara penghayat kepercayaan karena jalur tersebut dianggap tidak telalu merepotkan dan tidak membutuhkan biaya yang besar. untuk mendapatkan keabsahan perkawinan secara Negara, tanpa menilik dari agama seseorang. (Wawancara Lusia Lilik Hastutiani, pelaku pengantin penghayat kepercayaan. 21 Agustus 2011). Menurut pendapat mereka, hal ini dilandasi adanya hak yang paling asasi yaitu hak beragama pada setiap manusia.
B. Sejarah Berdirinya Mardi Santosaning Budhi Temanggung Perkumpulan Mardi Santosaning Budhi terletak di Desa Kuncen, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung. Tepatnya pada kilometer 7 dari arah kota Temanggung. Batas wilayahnya adalah: sebelah barat berbatasan dengan Sungai Progo dan Desa Bumiayu, Kecamatan Selopampang, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bengkal, Kecamatan
49
Kranggan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Nguet, Kecamatan Kranggan, dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Kranggan Kecamatan Kranggan. Berdasar dari wawancara 11 Juli 2011 dengan Sudijana, Mardhi Santosaning Budhi merupakan warisan Raja Mataram Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia mempelajari ajaran ini sejak tahun 1930 yang kemudian disebarkan melalui latihan dan diskusi-diskusi kecil mengenai arti dan fungsi hidup. Seiring berjalannya waktu, generasi pertama muncul dengan Kolonel Laut Hardjotopo/Kyai Iman Kesdik dari Surabaya. Pada proses selama Kyai Iman Kesdik menekuni ajaran (narasumber tidak menceritakan lebih dalam, akan tetepi dipercayai salah satu hasil mempraktekkan ajaran dengan tekun). sore hari sebelum paginya Iman Kesdik meninggal, ia berpesan “aku ojo mbok nggoni mori, teko opo onone ngango klambi iki” (saya jangan dikasi kain kafan, biar apa adanya pake baju ini), paginya ditemukan iman kesdik terbaring bersedekap menghadap ke utara di kamarnya. Selanjutnya sesepuh ke dua diberikan kepada Abdul Masjid dari Surakarta, sesepuh ke tiga adalah Raden Prapto Mulyono dari Yogjakarta, yang merupakan bapak dari Sudijana, kemudian sesepuh ke empat pada Ki Ponco Giarjo dari Mejing Kidul / Mulyodadi, Bambang Lipuro, Bantul. Setelah itu sesepuh yang kelima terdapat pada Sudijana, yang merupakan ketua DPD HPK Kabupaten Temanggung saat ini.
50
Proses berdirinya aliran Mardhi Santosaning Budhi dimulai pertama di daerah Yogjakarta oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokro Kusumo, yang kemudian proses mencari pasangan hidup Sudijana membawa ke daerah Temanggung pada 28 Februari 1964. Proses perjalanan dari Yogyakarta ke Temanggung sangatlah sederhana, karena Sudijana melangsungkan perkawinan dengan orang Temanggung maka secara otomatis sedikit banyak menyebarkan ajaran yang dianggap benar olehnya.
C. Kepengurusan Mardi Santosaning Budhi Sebagaimana organisasi-organisasi yang lain, Mardi Sntosaning Budhi juga memiliki garis struktural. yang mana pengurus-pengurus itu merupakan anggota aktif organisasi tersebut. Dengan rincian struktur kepengurusannya sebagai berikut:
51
Struktur Pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD) II Kab. Temanggung Jawa Tengah Masa Bakti 2008-2013 Ketua Sudijana
Penasehat Sarono Pairhadi
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris Rudin Priyanto Nur Arifin
Wakil Ketua III
Pembantu Umum Bambang S Joko Cahyono Suyanto
Wakil Ketua IV
Bendahara Parmudi Ramelan
Bagan 3.1
Setiap organisasi memiliki konsep akan keberlangsungan kedepannya, dan juga memiliki agenda rutin untuk mengatur perputaran roda keseimbangan. Sehingga memerlukan pertemuan anggota secara keseluruhan, misalnya rapat koordinasi, arisan, latihanlatihan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sama seperti pada umumnya sebuah organisasi, Mardi Santosaning Budhi memiliki beberapa agenda rutin, antara lain: 1. Penghayatan (Pengamalan Ajaran) satu bulan satu kali.
: Pertemuan dilaksanakan
52
2. Sarasehan (Temu Warga)
: dilaksanakan satu kali
dalam satu bulan 3. Pemaparan Budaya Spiritual
: dilaksanakan pada saat
pelantikan (dalam istilah kristen pembaptisan) penghayat baru 4. Upacara Tanggap Warsa
: dilakukan setiap tanggal
satu bulan suro (bulan mukharah) Selain kegiatan yang sifatnya rutin, organisasi tersebut juga memiliki kegiatan yang sifatnya khusus, yaitu berkonsentrasi pada bidang pengobatan. Kegiatan ini bukanlah seperti yang ditekuni pengobatan ala dukun-dukun Jawa pada umumnya, akan tetapi sistem pengobatan dengan metode do’a dan pasrah pada Yang Maha Kuasa.
D. Panganut Ajaraan Mardi Santosaning Budhi Anggota paguyuban Mardi Santosaning Budhi terhitung tahun 2003-2006 berjumlah 321 orang, sedangkan daftar anggota yang akan di paparkan di lampiran berjumlah 320 orang (murni kesalahan pengetikan). Penganut laki-laki berjumlah 206 orang dan perempuan berjumlah 115 orang, dengan umur antara 20 sampai 80 tahun. Penganut kepercayaan ini terdiri dari berbagai latar belakang karakter dan pendidikan. Dari segi ekonomi kebanyakan mereka bersumber dari pertanian, sedangkan pada posisi pendidikan terakhirnya banyak juga mengenyam bangku kulih sampai S1 maupun S2 dan ada beberapa yang S3. Dan di temanggung ada beberapa yang memiliki posisi yang cukup penting, seperti Sudijana selaku ketua
53
Mardi Santosaning Budhi, yang sebeumnya memiliki posisi penting pada dinas P&K. dan Sri Widada yang mempunyai posisi pada dinas Kesbangpol dan Linmas. Lain dari pada itu, Berdasarkan keterangan dari bapak Rahman, selaku tokoh masyarakat Desa Kuncen, yang merupakan wilayah tempat tinggal ketua penghayat yang sekaligus menjadi kantor Himpunan Penghayat Kepercayaan DPD II Kabupaten Temanggung. Rahman menerangkan tidak ada satupun warga Desa Kuncen yang masuk dan tergabung menjadi bagian dari anggota penghayat kepercaayaan Mardi Santosaning Budhi, Keseluruhan anggota tersebar di sebagian wilayah Temanggung dan Magelang. Pada dasarnya, aliran ini merupakan sekumpulan penghayat kepercayaan yang meyakini adanya Tuhan YME. Aliran kepercayaan ini bukanlah sebuah agama ataupun sekte-sekte dalam agama. Mardi Santosaning Budhi adalah organisasi yang mengedepankan kepekaan spiritual. Dengan berkeyakinan bahwa segala sesuatu adalah murni dari petunjuk Tuhan. Dari segi keagamaan, penganut penghayat kepercayaan ini tidak hanya memeluk kepercayaan murni saja, akan tetapi penganut penghayat kepercayaan terdiri dari berbagai macam agama. Hal ini berlandaskan pada Pancasila sila pertama, ajaran Mardi Santosaning Budhi tidak mempermasalahkan perbedaan agama dan kepercayaan. yang terpenting berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana terlihat pada anggota keluarga Sudijana, tidak ada satupun yang menganut
54
(memeluk) ajaran penghayat kepercayaan, mulai dari istri dan anak-anaknya beragama Islam.
E. Landasan Ideologis Ajaran Mardi Santosaning Budhi Salah satu pokok pengakuan adanya Tuhan dalam setiap agama adalah ritual penyembahan dan pengamalan terhadap ajaran yang mencakup kepentingan duniawi, jalan ini menentukan hubungan antara menusia dengan sesamanya, alam semesta, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Terkait pada hal ini, biasanya dalam suatu agama terdapat dua pokok ajaran. Pertama,
fungsi
agama
yang
terkait
dengan
hubungan
sosial
kemasyarakatan, dan kedua, pengakuan atas adanya kekuatan supranatural yang mendasari diterapkanya nilai-nilai itu dalam masyarakat (Soehadha, 2003:69). Dari seluruh aliran kebatinan atau penghayat kepercayaan yang berkembang di Jawa, Mardi Santosaing Budhi adalah salah satu aliran penghayat kepercayaan yang cukup lengkap, mencakup berbagai acuan sebagai penuntun para pengikutnya dalam menentukan sikap hubungan antar sesama manusia, manusia dengan alam semesta, manusia dengan Tuhannya. Sebagaimana agama lainnya, Mardi Santosaning Budhi juga memiliki pedoman ajaran yang termuat dalam “kitab primbon batal jemur adam makna”. Kitab ini dibawa pertama kali oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokro Kusumo, yang diyakini bisa menjadi perantara pada kedamaian yang hakiki.
55
Sebagaimana kitab suci pada umumnya yang bisa dibaca dan diamalkan secara tertulis, “kitab primbon betal jemur adam makna” (oleh karena sesuatu hal, kitab primbon ini peneliti tidak dapat mendapatkannya) tidak berupa kitab yang tertulis yang mudah dibaca dan dipelajari pengikutnya, akan tetapi yang dimaksud kitab ini adalah mencari tuntunan melalui membaca keadaan pada diri pribadinya sendiri. Proses pembacaan keadaan yang dimaksud tidak hanya kekuatan kepekaan indrawi saja, melainkan melibatkan anggota badan keseluruhan mulai yang kasat mata maupun yang tidak bisa ditangkap indra penglihatan manusia pada umumnya. Berfikir dan merasakan hakekat menusia hidup di dunia, apa tujuannya, dan kemana nanti pada akhirnya. Proses pencarian melalui merasakan diri, mereka sebut dengan moco papan tanpo tulis (mambaca keadaan tanpa media tertulis). Proses pengamalan ajaran Mardhi Santosaning Budhi memiliki ritual-ritual tersendiri, pokok-pokok ajarannya bersumber dari “ilmu kejawen” yang lazim dilakukan aliran mistisisme Jawa pada umumnya. sebagaimanan akan dipaparkan di bawah ini: a. Malaikatan; meyakini dengan ritual tertentu pada awal kelahiran manusia di sertai dengan 18 malaikat yang menemaninya. Namun pada ritual ini lebih diutamakan pada hasil yang di dapat bisa melindungi diri dari makhluk-makhluk jahat.
56
Sebagaimana ritual-ritual Jawa pada umunya, ritual malaikatan harus disertai dengan sesaji yang berbentuk rasulan (nasi gurih/nasi udug), pisang raja satu sisir, dan bunga kantil, benga kenanga, dan bunga mawar. Bentuk sesaji ini merupakan syarat ritual yang berfungsi sebagai pelengkap untuk tujuan tercapainya hajad. b. Ajaran ke I alat untuk sesuci. Berbeda dengan umat muslim yang memiliki wudhu sebagai cara untuk mensucikan dari najis kecil. Pada ajaran I merupakan alat atau cara manusia agar selalu terjaga kesucian jiwa dan raganya. Sarana ritual ini sama dengan malaikatan. c. Ajaran ke II alat untuk tidur. Kepercayaan mitologi masyarakat Jawa mistik, dipercayai adanya ruh-ruh halus yang bisa menganggu manusia. Selain itu juga kepercayaan masyarakat terhadap ilmu-ilmu santet yang berkeliaran pada malam hari. Pada ajaran II memiliki khasiat agar pada saat tidur (manusia lemah), tetap terjaga dari godaan-godaan ghoib. Mengenai sarana ubo rampe masih sama dengan ajaran ke I dan II. d. Ajaran III alat untuk menghimpun kekuatan. Ajaran ini lebih mengedepankan masalah ilmu-ilmu kanuragan (beladiri), Kekuatan supranatural yang bersumber dalam diri seseorang digali melalui ajaran ini. Akan tetapi hasilnya dapat digunakan jika sudah menghadapi lawan lebih dari 1000 orang. Pada ritual ajaran ini
57
dilakukan pada malam hari antara jam 23.00 sampai dengan jam 01.00 dini hari, dengan dilakukan secara konsisten dan terus menerus setiap malam kamis dan malam senin, pada tanggal yang sudah ditentukan, yaitu tangagl 16 sampai 22 bulan Jawa, dengan disertai ubo rampe (sesaji) golong mas (nasi tungkep, dibungkus telur dadar). e. Ajaran ke IV alat untuk sembahyang. Ritual yang disebut dengan sembahyang atau dzikiran ini merupakan salah satu cara mereka menghadap pada Tuhannya. Sehingga memerlukan ubo rampe yang cukup banyak. Pada ritual ini sangat perlu dipersiapkan kain putih satu meter, tikar daun (harus yang baru), nasi tumpeng lauk telur bebek, diatur sedemikian rupa dan ditempatkan didepan para penghayat yang melaksanakan ritual sembahayang ini, yang dilaksanakan pada jam 12 siang. Selain syarat tersebut juga terdapat syarat bagi anggota yang mengamalkan ritual ini, yaitu setelah menjalani ritual sembahyang, para peritual diharuskan untuk langsung meninggalkan tepat ritual dilaksanakan. f. Ajaran ke V alat untuk penutup. Manusia terjadi dari 4 unsur yakni tanah, api, air, angin. Pada masa manusia hidup di dunia, menurut mereka sebenarnya manusia tidak memiliki apapun di dunia. Dan pada masa kematian menjemputnya, ajaran V ini berfungsi supaya bisa sempurna mengembalikan anasir 4 unsur tersebut. Proses ritual ajaran V berfungsi untuk mengembalikan
58
empat unsur diatas, ajaran ini diyakini apabila empat unsur tersebut bisa dikembalikan seperti semula, sehingga jasad selama 3 hari itu hilang tanpa membekas. Selain ajaran-ajaran tersebut, penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi juga melakukan ritual disebut dengan dzikir. Ritual ini bermaksud memanggil arwah leluhur, yang berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah pribadi seseorang. Ritual dzikir ini terdiri beberapa macam, setiap masing-masing memiliki manfaat yang berbeda. diantaranya adalah sebagai berikut : Mukjizat Sunan Kudus “Bis”, Mukjizat Sunan Gunung Jati, Mukjizat Ki Ageng Mangir Wonoboyo, Sawutan (alat mendadak) untuk hal-hal yang jika tiba-tiba datang bahaya kepada kita. Alpapat, Jumenengan (ngadek/ berdiri), Ningkah batin, dan Sikep. Sikep ini hanya bisa di gunakan untuk mengambil sikep-sikep yang lain yakni rajaraja atau siapapun namun tidak bisa untuk mengambil sikep Nabi dan wali. Lain dari pada itu, ajaran Mardhi Santosaning Budhi lebih mengedepankan akhlak, dengan melalui proses menuju manunggaling kawulo gusti. Menurut ajaran tersebut, manusia bisa mencapai manunggal apabila manusia mempunyai dua puluh macam sifat sebagaimana yang tertulis pada huruf jawa. Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga
= = = =
Ana Cilaka Ra Bisa Dha Suwala Kabeh Nampa Akibatnya Ayo Bareng-Bareng Da Dedonga Marang Kang Kuwasa
59
Tiap-tiap huruf jawa tersebut mempunyai arti tersendiri, pada tiap hurufnya merupakan kependekaan dari kata dan kandungannya, dan jika pada huruf caraka jawa ini di baca dengan cara dibalik, maka dipercayai akan memperoleh keberhasilan. Tentunya setiap ritual pasti ada tata cara tersendiri, disini cara pembacaannya tersebut dengan 27 kali pembacaan di mulai jam 01.30-04.00 dini hari (Wawancara dengan Sudijana, ketua umum dan ketua aliran MSB, tanggal 11 Juli 2011). Sehingga apabila dibalik, cara bacanya sebagai berikut: Ngo Tho Bo Go Mo Nyo = Yen Ngono Kahananira Yo Jo Dho Po Lo Wo So = Ora Ana Kang Kuwasa To Do Ko Ro Co No Ho = Mula Kowe Mbok Sujuda “Marang Kang Kuwasa” Aduh ndara aduh gusti kita kudu tansah nyawiji rasa dhiri trusing ati laku sambah ojo keri marang arsaning gusti Pada proses ajaran ini mengajarkan lebih mengutamakan rasa dari pada rasio. Tergambarkan pada himbauan sesepuh untuk melakukan poso mutih setiap satu bulan tiga kali bertepatan dengan hari kelahiran seseorang, dzikir wengi pada malam hari keluar dan bertafakur langsung dengan Tuhan. Bentuk-bentuk proses seperti ini, menurut mereka untuk membantu mewujudkan kepekaan spiritual yang seyogyanya dimiliki setiap manusia. Selain semua yang telah dipaparkan di atas, organisasi Mardi Santosaning Budhi memiliki kegiatan yang paling pokok yaitu pengobatan melalui transfer tenaga dalam kepada pasien. Sudijana mengatakan bahwa praktik pengobatan di sini bukanlah praktik dukun
60
yang lebih mengedepankan ilmu hitam, akan tetapi organisasi ini murni pertolongan dari Tuhan YME, dan berkeyakinan penuh terhadap Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini. Dengan ini ajaran Mardhi Santosaning Budhi yang diajarkan pada anggota-anggotanya sebagai pitutur luhur yang dapat dipakai sebagai pedoman pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman penghayat ini yang termaktub dalam Paugeran Moral (dasar-dasar moral) Panca Budi Barata yang harus ditaati oleh seluruh Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, yang terdiri dari lima pasal. Mengenai isinya sebagai berikut: 1. Penghayat Kepercayaan adalah Manusia berke-Tuhan-an Yang Mahaesa serta menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 2. Penghayat Kepercayaan adalah Manusia Susila Berbudi Luhur penuh Cinta Kasih terhadap sesama titah serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. 3. Penghayat Kepercayaan adalah Manusia Teladan, baik ucapan, tindak maupun dalam kehidupan sehari-hari. 4. Penghayat Kepercayaan adalah Manusia Karya-wan yang didalam pengabdian berdasakan tekad suci “Sepineng Pamrih Rame Ing Gawe” demi mamayu hayuning Bawana. 5. Penghayat Kepercayaan adalah Manusia Kerta, membina terwujudnya ketentraman, kerukunan dan kebahagiaan / karahayon lahir dan batin. Dari lima pasal di atas, anggota penghayat kepercayaan meyakini bahwa siapa yang melanggar akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Yang Maha Kuasa. Bahkan menurut Sudijana, balasan itu bisa berupa pati ing jiwo (terbunuh).
61
F. Pandangan Mardi Santosaning Budhi terhadap Perkawinan Menurut Sudijana, Perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi adalah suatu hak pribadi manusia untuk membentuk sebuah keluarga, yang merupakan proses hubungan vertikal dengan Tuhan yang Maha Suci. Dan pada aplikasinya hal ini merupakan hubungan horisontal antara hak warga negara dengan pemerintah. Pada proses pelaksanaannya, pemuka penghayat kepercayaan bertugas mencatat, mengesahkan perkawinan dan atau melaksanakan perkawinan dengan tata cara penghayat kepercayaan (Wawancara dengan Sudijana, 23 September 2011). Dalam prosesnya perkawinan, memiliki ketentuan sendiri. Salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, mempelai pengantin harus mengikuti atau meyakini salah satu aliran kepercayaan. Dengan kata lain, bahwa syarat utama perkawinan di penghayat kepercayaan adalah memiliki Kartu Tanda Anggota sebagai bukti orang tersebut merupakan penganut kepercayaan. Hal ini juga sebagai dasar penghulu untuk mengkawinkan pasangan sesama atau beda aliran. Sebagaimana tutur Sudijana memakai bahasa Jawa, dalam wawancara dengan peneliti 10 Juli 2011, yang isinya kurang lebih sebagai berikut; “aku ora wani nikahke pasangan sek dudu anggota penghayat, sebab kwi nyalahi aturan HPK pusat, Jakarta”
(saya tidak berani
62
menikahkan diluar anggota penghayat, sebab itu akan menyalahi aturan HPK pusat di Jakarta). Kasus ini terlihat dari pada perkawinan antara Yusuf dan Lilik yang dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2010. Yang sebenarnya kedua mempelai berbeda dalam status keagamaannya, Yusuf merupakan mempelai beragama Islam sedangkan Lilik mempelai beragama Kristen (Jawa Pos, 14 Oktober
2010).
Untuk
melangsungkan
perkawinan
di
penghayat
kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, syarat pertama yang harus ditempuh adalah harus menganut salah satu aliran kepercayaan. Namun, mereka masih memeluk agama awal mereka, karena penghayat kepercayaan bukan merupakan suatu agama, melainkan hanya ajaran mendekatkan diri pada Tuhan YME.
G. Tata Cara Akad Perkawinan di Mardi Santosaning Budhi Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ketua Umum sekaligus ketua pengurus aliran Mardi Santosaning Budhi tanggal 10 Juli 2011, mengenai syarat-syarat perkawinan di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi adalah sebagai berikut. a. Salah satu calon pengantin harus penganut aliran penghayat kepercayaan b. Kedua pihak harus mempunyai tekad dan niat suci dalam melaksanakan perkawinan
63
c. Calon
mempelai
bersedia
dan
sepakat
akan
melangsungkan
perkawinan d. Mendapatkan restu dari keluarga masing-masing. Sebelum melakukan prosesi perkawinan di aliran penghayat kerpercayaan, pelaku sudah masuk terlebih dahulu sebagai anggota aliran penghayat.
Sebagaimana
pelaku
penghayat
kepercayaan
lainnya,
mengikuti ajaran-ajaran yang ada pada aliran itu merupakan suatu yang wajib dilakukan. Seperti halnya dalam latihan pemantapan hati untuk lebih mengenal diri sendiri dan kehidupan yang ada disekitar, dengan tujuan untuk kearah kerukunan hidup dalam lingkungan bersama yang bersatu (manunggal) dalam wujud Tuhan Yang Maha Esa (tunggal saling selamat menyelamatkan). (Wawancara dengan Widodo, Anggota aliran penghayat. Tanggal 16 Juli 2011) Prosesi perkawinan di penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi sama halnya dengan perkawinan pada umumnya, bedanya dalam perkawinan ini, meskipun tidak adanya wali mereka tetap bisa melaksanakan perkawinan. Yang penting adalah restu dari keluarga. Perkawinan dengan cara penghayat ini tidak mempermasalahkan sebuah maskawin, wali, atau saksi yang mana persyaratan pada Kompilasi Hukum Islam yakni rukun dan syarat-syarat perkawinannya. Yang lebih penting menurut penghayat kepercayaan ini adalah saling mencintai, niat tulus dan suci. (Wawancara dengan Sarono, Pengurus HPK. Tanggal 16 Juli 2011)
64
Tidak seperti proses perkawinan Jawa pada umumnya, yang harus berkesan mewah dalam prosesinya. Pada Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi, prosesi perkawinan dilangsungkan secara sederhana. Karena pada dasarnya, “di hadapan Tuhan, manusia tidak dinilai dari segi materi” tutur Sudijana. Pada pelaksanaannya, Akad nikah ini kebanyakan dilangsungkan di rumah Sudijana yang sekaligus merupakan kantor Himpunan Penghayat Kepercayaan. Selain dirumah, juga bersedia di undang
untuk
menikahkan
sebagaimana
penghulu-penghulu
pada
umumnya. akan tetapi penghulu penghayat kepercayaan ini hanya bersedia mengawinkan sesama penghayat kepercayaan saja. Prosesi perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi dilakukan sangat sederhana. Tidak dibutuhkan ubo rampe (perlengkapan
sesaji,
pelengkap
perkawinan
adat),
sebagaimana
perkawinan adat pada umumnya. Pada intinya, yang dibutuhkan hanyalah keyakinan seseorang terhadap Tuhan YME. Sebelum prosesi perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu penghulu menanyakan syarat-syaratnya supaya di penuhi. Setelah syarat terpenuhi penghulu membukakan buku pedomannya yakni kitab primbon betal jemur adam makna yang didalamnya ada keterangan bahwa proses perkawinan yang bagus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, yang mempunyai makna yang baik. Setelah itu penghulu masuk dalam kamar untuk mengadakan ritual sendiri, untuk mendapatkan wangsit (petunjuk) dari leluhur, setelah ritual itu selesai dilakukan, penghulu penghayat keluar
65
dan siap untuk melakukan upacara perkawinan. Kedua mempelai kemudian berjabat tangan sambari (dengan santun dan penuh percaya diri ala Jawa) pengulu mengucapkan akad dengan suara berbisik lirih dengan berbahasa Jawa kromo inggil. Lafal akad nikah bersifat rahasia dan tertutup bagi orang di luar anggota penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi. Lafal tersebut hanya boleh deketahui dan dipelajari serta dibicarakan oleh sesama anggota saja.
66
BAB IV AKAD NIKAH MARDI SANTOSANING BUDHI DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Legalitas Perkawinan Penghayat Kepercayaan menurut Hukum Positif Menurut pelaku perkawinan penghayat kepercayaan, perkawinan di Penghayat Kepercayaan berlandaskan adanya hak beragama sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling asasi. Dalam bidang agama di Indonesia telah jelas dan tegas, UUD 1945 pasal 29 mengenai agama dinyatakan: (ayat 1) “ Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa “. Ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan yang Maha Esa. Ayat 2 menyatakan: “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Akad nikah di penghayat kepercayaan dilakukan dengan akad berbisik dan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil yang dilaksanakan oleh penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi ini dilakukan oleh beberapa orang diantaranya dari berbagai macam agama, salah satu contoh yang dilakukan oleh Purwanto dan Solekha, yang melakukan dua macam akad nikah. Pertama melalui penghayat kepercayaan, dan yang kedua dilakukan melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Selain itu juga dilakukan oleh Yusuf Waluyo Jati dan Lusia Lilik Hastutian, Yusuf merupakan mempelai laki-laki yang beragama
66
67
Islam sedangkan Lilik yang merupakan mempelai perempuan beragama Kristen. Dilihat dari perkawinan pada umumnya perkawinan ini memang sangat berbeda. Akad dengan cara ini merupakan cara penghayat kepercayaan mengawinkan anggotannya. Tentunya hal ini merujuk pada tujuan perkawinan secara umum, sebagamana tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan ialah : “........ membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”. Mengenai penjelasannya dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur masalah akad nikah (Syarifudin, 2006: 63), Undang-undang ini hanya mengatur mengenai masalah dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencatatan perkawinan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 menjelaskan “ perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”. Kemudian, dalam penjelasannya dinyatakan
“tidak
ada
perkawinan
diluar
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945”. Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan, mengacu pada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 1 menjelaskan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”, dan ketentuannya
68
dijelaskan pada pasal 6 ayat 6 yang isinya “ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan menyatakan lain”. Sehubungan dengan itu, mengenai penjelasan pasal 6 ayat 1 oleh karena perkawinan memiliki maksud agar bisa membentuk keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan hak asasi manusia, dari sini maka perkawinan diharuskan disetujui kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Perkawinan penghayat kepercayaan ini juga dapat dilihat pada asasasas perkawinan menurut Hukum Adat. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. Sedangkan mengenai persetujuannya, asas perkawinan adat menjelaskan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat (Hadikusumo, 1983: 71). Sehubungan dari itu, kelengkapan administrasi kependudukan, perkawinan penghayat kepercayaan mengenai akta nikah diterbitkan dan dicatat oleh Cataatan Sipil. Hal ini sesuai dengan PP. No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat 2 tentang Pencatatan Perkawinan, yang isinya adalah; “pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil......” . Selain itu, perkawinan penghayat kepercayaan dapat terlihat dari Buku Panduan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan judul Peraturan Tentang Penghayat Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan
69
Yang Maha Esa Kunci Kerukunan Umat Beragama Syarat-Syarat Pendirian Ormas / LSM, yang di terbitkan dari Kesbangpol dan Linmas menjelaskan dan menegaskan tentang perkawinan di penghayat kepercayaan. Mengenai hak penghayat kepercayaan untuk menikahkan dan bagaimana tata caranya, PP 37 tahun 2007 dalam Bab X pasal 81-83, menerangkan dengan jelas bahwa penghayat kepercayaan berhak menikahkan seseorang. Yang isinya sebagai berikut: Pasal 81 : Menjelaskan tentang kewenangan penghayat kepercayaan dalam mengawinkan seseorang, yang menyatakan bahwa: 1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan. 2) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan. 3) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
70
Pasal 82 : Menjelaskan mangenai sistem pelaporan perkawinan pada penghayat kepercayaan, yang isinya sebagai berikut: Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan: a. Surat perkawianan penghayat kepercayaan b. Foto kopi KTP c. Pas foto suami dan istri d. Akta kelahiran dan e. Paspor suami / istri bagi orang asing. Pasal 83 : Menjelaskan mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan, yang isinya sebagai berikut: (1) Pejabat instansi pelaksana atau UPTD Instansi pelaksanaan mencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 dengan tata cara: a. Menyerahkan formulir pencatat perkawinan kepada pasangan suami-istri b. Melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan dan
71
c. Mencatat
pada
menerbitkan
register
kutipan
akta
akta
perkawinan
perkawinan
dan
penghayat
kepercayaan. (2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf C diberikan kepada masing-masing suami dan istri. (Peraturan Tentang Penghayat Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kunci Kerukunan Umat Beragama Syarat-Syarat Pendirian Ormas / LSM) Berdasarkan dari penjelasan di atas, perkawinan yang dilaksanakan di Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budi Kabupaten Temanggung sudah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan tahun 1974. Maka dari itu perkawinan tersebut sah secara hukum negara, dan proses pencatatannya melalui Catatan Sipil.
B. Legalitas Akad Perkawinan Penghayat Kepercayaan menurut Hukum Islam Dalam
Hukum
Islam,
khususnya
hukum
perkawinan (fikih
munakahat) telah diatur secara rinci dan komperehensif tentang ketentuanketentuan yang mencakup seluruh aspek perkawinan, mulai dari syarat, rukun, lamaran (khitbah), akad maupun larangan-larangan perkawinan. Tujuan dari ketentuan-ketentuan itu adalah terwujdnya tujuan perkawinan dan terhindar dari perpecahan dalam keluarga.
72
Pada dasarnya, praktik perkawinan maupun ketentuan-ketentuan proses perkawinan yang berlaku pada penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi sangatlah fenomenal. Perkawinan yang dilakukan oleh golongan yang menyatakan dirinya adalah Islam akan tetapi tidak menjalankan syarat dan rukun yang sudah ditetapkan Hukum Islam, golongan ini yang dikenal dengan Islam abangan. Hal ini berdasar kepada penafsiran mereka bahwa agama Islam adalah agama asing yang berasal dari Arab. Maka dari itu, untuk mengkaji masalah ini, diperlukan untuk menilik kembali bagaimana syarat rukun akad perkawinan dalam tinjauan Hukum Islamnya. Dari situ, dapat terlihat mengenai sah dan tidaknya suatu perkawinan. Dalam KHI pasal 14 bahwa akad perkawinan itu akan dianggap sah secara Islam apabila memenuhi rukunnya, sedangkan rukun nikah itu adalah sebagai berikut: 1. Adanya dua calon mempelai yang tidak ada halangan syar'i untuk dinikahkan dan saling meridhoi (tidak adanya paksaan). 2. Adanya wali yang sah dari calon mempelai perempuan atau adanya wali hakim apabila calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali. 3. Adanya saksi. 4. Adanya ijab dan qobul (antara wali atau yang mewakilinya dengan calon mempelai putra) Berkaitan dengan itu, perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi adalah akad perkawinan tanpa adanya ijab qobul yang sesuai dengan Hukum Islam. Munurut Habsyi,
73
terdapat enam syarat ijab qobul (Habsyi, 2003: 71). Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis perkawinan tersebut adalah batal. Yang mengenai syarat-syaratnya sebagai berikut:
74
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, atau yang disebut dengan ijab. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan, Seperti ucapan wali pengantin perempuan, “saya nikahkan anak saya yang bernama si A dengan mahar sebuah cincin” (Syarifudin, 2006: 62). b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, dengan kata lain disebut qobul. Qobul adalah penerimaan dari pihak lakik-laki, misalnya; “saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah cincin”. c. Di dalam pelafalan ijab dan qobul harus ada kata-kata Nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut. Menurut imam Syafi’i dan Hanbali, syarat ijab dan qobul harus denga kata-kata yang tersebut dalam Al-Quran, yaitu lafal nikah dan tazwij atau terjemahannya seperti kawin, nikah. Adapun di luar dua kata tersebut, terdapat perbedaan pendapat. Imam hanafi menambahkan denga kata ibadah (halal), hibah (beri), tamlik (milik). Karena ketiga kata tersebut mengandung arti penyerahan, sebagaimana ucapan Nabi untuk maksud perkawinan (Syarifudin, 2006: 63). Sayang, peneliti dilarang mengetahui isi lafal yang diucapkan penghulu ketika menikahkan mempelai.
75
d. Antara ijab dan qobul bersambungan. Dalam pengucapan lafal ijab dan dilanjutkan dengan qobul yang tidak boleh ada jarak yang lama yang merusak kesatuan dari akad. akan tetapi berbeda dengan Imam Hanafi membolehkan adanya jeda antar keduanya, asalkan masih dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukan salah satu pihak melenceng dari maksud tersebut (Ghazaly, 2006: 57). e. Antara ijab dan qobul jelas maksudnya. Maksud dari ini adalah ijab dan qobul tidak boleh menggunakan kata kiasan atau suara pelan. Hal ini dimaksudkan agar saksi mengetahuinya apa yang diniati seseorang. jadi apabila perkawinan dilaksanakan denga suara pelan dan tidak terdengar dengan jelas oleh saksi, maka perkawinan tersebut batal (Syarifudin, 2006: 63). f. Majelis ijab dan qobul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dan mempelai wanita dan dua orang saksi. Sebagian besar ulama menyepakati, bahwa saksi termasuk dalam salah satu rukun dalam perkawinan. Akad nikah yang tidak dihadiri dua orang saksi, tidak sah (Yunus, 1996: 18). Imam Hanafi berpendapat bahwa perempuan boleh mengijabkan akad nikah atau mengqobulkan, hal ini berdasarkan pada pendapat Hanafi sendiri. Bahwa perempuan baliq dan berakal diperbolehkan mengkawinkan dirinya sendiri dengan tidak memakai wali (Yunus, 1996: 17).
76
Selain hal tersebut di atas, sebatas penelusuran literatur, peneliti mencoba melihat pada salah satu metode ijtihad yang paling mendekati terhadap perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan ini. Disini peneliti mengambil metode ‘urf (adat), yang mana perkawinan tersebut merupakan salah satu bentuk perkawinan adat yang dilakukan oleh sebagian orang Jawa. ‘‘urf adalah segala sesuatu yang di kenal manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa perbuatan ataupun pantangan-pantangannya. menurut istilah ahli syara’, ‘‘urf tidak ada bedanya dengan adat (Khallaf, 2003:117). Selain itu menurut ahli fikih, mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan atau
sikap
meninggalkan sesuatu. Disebut juga dengan adat kebiasaan (Salam, Faturrahman, 1994:119). Tentang kehujjahan ‘urf, sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang menyebutkan; setiap sesuatu yang baik menurut perspektif manusia, maka hal itu akan baik pula dalam pandangan Allah. Akan tetapi, ditinjau dari segi nilainya, tidak selamanya ‘‘urf dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Adakalanya adat itu benar, adat yang tidak bertentangan pada dalil syara’, tidak membenarkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Dan ada juga adat ini rusak, adat yang tidak dapat diterima. Adat ini merupakan adat kebiasaan yang dilakukan manusia tetapi
77
bertentangan dengan hukum syar’i, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban. ‘‘urf dapat dijadikan sebagai sumber hukum jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. ‘‘Urf tidak berlawanan dengan nash yang tegas. 2. ‘‘Urf sudah menjadi kebiasaan/adat yang terus menerus berlaku dan berkembang dalam masyarakat’. 3. ‘‘Urf itu merupakan ‘‘urf yang umum, karena hukumnya umum maka tidak dapat ditetapkan dengan ‘‘urf yang kusus. 4. ‘‘Urf telah ada dan berlaku ketika dijadikan sumber hukum. 5. Tidak ada keterangan syara’ yang berlawanan dengan ‘‘urf. Bertolak dari definisi dan batasan ‘‘urf, kemudian peneliti mengkaji perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi ini dengan tinjauan ‘‘urf, apakah perkawinan ini termasuk dalam adat yang benar, ataukah termasuk sebagai adat yang rusak. Sehingga proses penelusuran literatur ini menemukan titik ujung yang ditarik pada kesimpulan. Bahwa perkawinan penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi bukanlah tergolong pada adat yang rusak. Akan tetapi dalam perkawinan tersebut berlawanan dengan nash. terlihat dalam praktik sighat akad perkawinan yang dilakukan oleh penghulunya saja, dan mempelai hanya menerima dan pasrah pada penghulu. Hal ini jelas tidak sesuai dengan ungkapan dalam Al-Quran, yang disebut dengan ”mitsaqon gholidzan” perjanjian yang sangat kuat.
78
Para ulama sepakat, perkawinan merupakan perjanjian yang sangat kuat, dengan disimbolkan dengan ijab qobul dan ditempatkan sebagai salah satu rukun perkawinan. Selain
itu,
dalam
perkawinan
tersebut
tidak
mempermasalahkan ada atau tidaknya saksi. dari sini terlihat juga bahwa perkawinan tersebut bertentangan dengan nash Al-Quran surat At-Talaq ayat 2, yang artinya: “apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka rujukilah ,meraka dengan baik atau lepsakan mereka dengan baik dan persaksikanlah mereka dengan dua orang saksi diantaramu dan hendaklah kamu tegakkan persaksian itu karena Allah”. Berkaitan dari itu, ritual perkawinan yang terjadi pada penghayat kepercayaan Mardi Santosaning Budhi adalah menggunakan sighat akad secara berbisik yang diucapkan secara sepihak oleh ketua penghayat atau yang bisa disebut dengan penghulu, dengan tidak mempermasalahkan adanya wali atau saksi. Seperti halnya sudah disampaikan pada bab III, akad perkawinan ini dilakukan dengan cara mempelai berjabat tanggan dan tidak ada lafadz ijab qobul dari kedua mempelai, dengan tanpa mempermasalahkan adanya wali dan saksi. Sedangkan penghulu mengucapkan lafadz menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. Maka dari itu perkawinan tersebut tidak sesuai dengan prinsip dasar dari nilai-nilai ‘urf. Seperti diungkapkan di atas, ‘urf tidak
79
berlawanan dengan nash yang tegas dan juga tidak bertentangan dengan tidak ada keterangan syara’ yang berlawanan dengan ‘urf. Dari sini sudah jelas bahwa perkawinan tersebut tidaklah boleh dilakukan oleh orang muslim.
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
perkawinan
penghayat
kepercayaan Mardi Santosaning Budhi yang sejalan dengan rumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aliran kepercayaan Mardi Santosaning Budhi bukanlah sebuah agama ataupun sekte-sekte dalam agama. Perkumpulan ini secara intensif melatih kepekaan spiritual dalam menghayati kehadiran Tuhan YME dalam dirinya. Ajaran Penghayat Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi berasal dari khazanah literatur kejawen diantaranya terkait kitab primbon betal jemur adam makna. Seperti halnya agama-agama yang menyelenggarakan praktik perkawinan
terhadap
pemeluknya,
Mardi
Santosaning
Budhi
menempatkan perkawinan pada ritual yang sakral. Akan tetapi, Pandangan Mardi Santosaning Budhi tentang perkawinan lebih sederhana. Perkawinan merupakan proses hubungan vertikal dengan Tuhan yang Maha Suci (ibadah) dan merupakan hak pribadi tiap manusia. Syarat perkawinan menurut Mardi Santosaning Budhi bukanlah maskawin (mahar), wali, dan saksi. Syarat pernikahan hanyalah adanya “cinta” serta tekad kuat, tulus dan suci kedua
79
81
mempelai. Pada praktik perkawiannya, akad dilakukan dengan cara mempelai berjabat tanggan tanpa lafal ijab qobul dari kedua mempelai, tanpa wali, sighat akad berbisik hanya diucapkan sepihak oleh ketua penghayat (sebagai penghulu). Kesimpulan ini lebih di dasarkan kepada pandangan ketua penghayat kepercayaan, bukan kepada pelaku perkawinan. Menurut hukum syar’i. akad nikah mereka masih belum sah bila dilakukan oleh muslim. Akad nikah mereka belum memenuhi beberapa prosedur syariat. Pertama, akad nikah mereka tidak diucapkan oleh kedua belah pihak atau yang mewakilinya; kedua, mempelai tidak didampingi wali; ketiga, pelafalan akad perkawinan juga belum sesuai syarat rukun akad perkawinan.
B. Saran 1. Diperlukannya peraturan baru mengenai syarat-syarat perkawinan bagi anggota penghayat kepercayaan 2. Pihak penghayat kepercayaan diharapkan lebih berhati-hati dan selektif dalam mengawinkan pasangan di luar anggota penghayat kepercayaan, meskipun salah satunya merupakan anggota penghayat kepercayaan.
82
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Haryo Nugroho. 2008. Dunia Mistik Orang SUBUD. Tesis Program Studi Antropologi Pasca Sarjana UGM Jogjakarta. Ali, Zainudin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Daymon, Christine dan Immy Holloway. 2008. Metode-metode riset kualitatif dalam public relations & marketing communications. Yogyakarta: PT. Bentang Buana. Departemen Agama R.I. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. 1998/1999. Geertz, Cliford. 1983. Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Geertz, Hildred. 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni. Habsyi, ILRC.
al Baqir Muhammad. 2003. fiqh Praktis, Seputar Perkawinan dan Warisan. Bandung: Mizan. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama Administrasi kependudukan. 2009.
Koentjoroningrat. 1994. Metode-Metode Gramedia Pustaka Utama.
Memahami Kebijakan
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Moleong, Lexy. 1999. Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mulder, Niels. 1983. Kebudayaan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia, Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 6. Bandung: Al Ma’arif. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta. UI Pers.
83
________________, 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo. Jakarta: Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rahman, Abd Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa Kesalehan Normative Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKIS. Yunus, Mahmud. 1996. Hukum Perkawinan Mazhab, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali. Jakarta: Hadikarya Agung
Undang-Undang: Undang-Undang Perkawinan, Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota Abri, Anggota Polri, Pegawai Kejaksaan, Pegawai Negeri Sipil. 2000. Jakarta: Sinar Grafika.
Koran: Jawa Pos edisi 15 Oktober 2010. Pasangan Beda Agama Yang Menikah Di Lembaga Penghayat Kepercayaan Dengan Akad Berbisik, Tanpa Wali Dan Saksi.
xii
PEDOMAN WAWANCARA
A. Sejarah dan perkembangan Mardi Santosaning Budhi 1. Bagaimana terbentuknya Mardi Santosaning Budhi dan siapa toko-tokohnya 2. Bagaimana berdirinya Mardi Santosaning Budhi di Temanggung 3. Mardi Santosaning Budhi memiliki berapa anggota B. Ajaran keyakinan Mardi Santosaning Budhi 1. Ajaran Mardi Santosaning Budhi 2. Bagaimana aplikasinya dalam masyarakat 3. Mardi Santosaning Budhi berpedoman pada kitab apa 4. Bagaimana ritual-ritual Mardi Santosaning Budhi C. Kegiatan-kegiatan Mardi Santosaning Budhi 1. Apa kegiatan utama dari Mardi Santosaning Budhi 2. Kapan pertemuan rutin dalam Mardi Santosaning Budhi di adakan 3. Apa kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan D. Perkawinan di Mardi Santosaning Budhi 1. Bagaimana Mardi Santosaning Budhi memaknai sebuah perkawinan 2. Bagaimana tata cara perkawinan pada Mardi Santosaning Budhi 3. Siapa saja yang melaksanakan perkawinan di Mardi Santosaning Budhi
xiii
HIMPUNAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DPD II KABUPATEN TEMANGGUNG Jl. Magelang – Temanggung Km. 07 Ds. Kuncen Kec. Kranggan Kab. Temanggung
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Jabatan
: Sudijana : Ketua Himpunan Penghayat Temanggung.
Kepercayaan DPD II
Kabupaten
menerangkan dengan sesungguhnya bahwa: Nama : Muhammad Shohib NIM : 21105015 Jurusan/Progdi. : Syari’ah/Ahwal Al-Syakhsiyah yang bersangkutan benar-benar melaksanakan penelitian di MI Ma’arif Blotongan Salatiga pada: Waktu pelaksanaan : 16 Juli 2011 s.d. selesai Kegiatan : Observasi, Penelitian Perkawinan Untuk keperluan : Penelitian Skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Nikah Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Mardi Santosaning Budhi Desa Kuncen Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung) Demikian surat ini kami buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Salatiga, 29 September 2011 Ketua HPK,
Sudijana
xiv
15
Struktur Pengurus Himpunan Penghayat Kepercayaan Dewan Pengurus Daerah (DPD) II Kab. Temanggung Jawa Tengah Masa Bakti 2008-2013 Ketua Sudijana
Penasehat Sarono Pairhadi Pramono
Wakil Ketua I Kurdiyono
Sekretaris Rudin Priyanto Nur Arifin
Wakil Ketua II Imbuh T. D
Wakil Ketua III Darsono
Pembantu Umum Bambang S Joko Cahyono Suyanto
Wakil Ketua IV Sudiharjo
Bendahara Parmudi Ramelan
16
Daftar Perkawinan Penghayat Kepercayaan Di Kabupaten Temanggung 2008-2011 NO
NAMA ORGANISASI
NAMA PENGHAYAT
1.
Sapta Darma
- Zoni Prasetiyo - Sri Rahayu
2.
Sapta Darma
- Waltimin - Rubiyati
3.
Mardhi Santosaning Budhi
- Parwanto - Sholekha
4.
Sapta Darma
5.
Sapta Darma
-
6
Mardhi Santosaning Budhi
Sugiran Partinah Nur Widodo Anik Ambarwati
- Yusuf Waluyo Jati - Lusia Lilik Hastutiani
ALAMAT - Getas, Banyurip Rt. 2/5 Kaloran, Temanggung - Kalisat, Rt.2 Kalimanggis Kaloran - Kauman Rt. 01/02 Gondang Wayang, Kedu - Krajan, Rt.03/03 Jambon Gemawang - Kalisat, Kalimanggis Kaloran - Soborojo, Pringsurat - Sribit Rt. 05/07 No.160 Mulyodadi, Bambang Lipuro, Bantul, Yogyakarta
TINGGAL NIKAH
AKTA NIKAH
PEMUKA
28/04/2008
047/2008
Parimin
25/04/2009
056/2009
Ruwanto
10/10/2009
163/2009
Ki Dadi
05/08/2010
149/2010
Ruwanto
15/03/2011
33/2011
Parimin
10/10/2011
-
Sudijana
17
Daftar anggota Mardi Santosaning Budhi
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
NAMA Sudijana B. Suparjono Nur Harifin Suwarti, BSc. Artati, Asd. Kundori, SE. Wahyu Sugiarti, SSN Endri A, S Sn Dini Rahma Ningsih Jatmiko WW, S Hut. Satrio Aribowo, SE. Ambyah Rukanah Tasman Ngabdi Amanh, BA. L. Amin, BA. Budi Susilo, SE. Slamet Talkah Sri Sari Yamani Widhikarto Kadar Sudir Nur Khamid Sutinah Hartono Ramdan Murtiningsih Muslih Tatik Totok Jaban Madun Gampang Sariman Sakiswa Marliyah Sri Lestari Hemi Rahmadi Atik Rivawati Unariyah
JENIS KELAMIN L P L L L P P L P L P L L L P L P L L L P L L L L L L P L L P L P L L L L L L P P P L P P
UMUR 66 58 50 59 33 39 31 33 30 26 23 52 43 53 47 49 37 52 53 30 38 40 46 47 45 59 38 34 58 47 40 42 58 50 43 52 51 60 52 40 55 32 32
ALAMAT Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan
KETERANGAN Ketua Sekretaris Bendahara
Pembantu Umum
18
44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92.
Sriyati Ngadiman Asriyah Walgiman Suratinah Harjoutomo Jubaidah Urip Sunardi Asrapi Hariyati Sahuri Juwariyah Maryati Sudarman Kumariyah Wakiyah Suroso Sumarsih Trimah Budi Slamet Sadiyah Sadiman Utari Saptopamejo Giyati Sri Rahayu Agus Saroni Siyamah Suganti Sundari Suparno Sariyah Bothok Kadri Aminah Mujiyana Mujiman Mujiyati Mujirah Samat Rami Prapti S. Mujiyana Kahono Jawarno Walyanto Limah Tasiyah Asmanah
P L P L P L P L L P L P P L P P L P P L P L P L P P L P P P L P P L P L L P P L P P L L L L P P P
58 59 40 37 41 62 33 50 35 34 68 65 42 48 43 50 51 49 50 42 35 36 35 58 57 34 30 34 49 42 45 60 66 68 69 45 42 40 36 46 62 52 36 35 34 37 60 70 57
Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan
19
93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141.
Trubus Susilo Anwari Suratmi Sudiyanto Hayatmi Yulianto Ahmad Sadali Pariyah Asnawi Mashudi T. Supriyanti Ahadi Hadiyanto Sulis Partosudarmo Sidik Suyanto Suyati Siti Chasanah Ruminah Miyati Tri Lestari Prihatiningsih Tagi Suraso Suroto Ciptotaryono Budiyono Sukiman Nur Apip Sukari Sumardi, SH Sutarti Tanoyo Woto Ahmad Susilo Daryono Rujito Samaryati Adi Pratikno Wiworo Dini Wiyanti Lamin Haryono Sri Kayah Dina Setyani Sri Endah Lukman Adi Dewi Wahyu
L L L P L P L L P L L P L L L L L L P P P P P P P L L L L L L L L P L L L L L P L P P L P P P L P
59 38 36 32 34 37 33 81 70 60 59 58 44 61 40 67 64 50 44 49 59 56 31 33 66 50 47 61 52 55 35 57 53 56 70 57 60 60 58 56 30 32 32 56 51 42 37 35 31
Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat
20
142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190.
Agung Supardi Pariyah Joko Susanto Joko Triyono Ramelan Sriyati Sukarti Aripin Prapti Aribowo Ariwidarmo Endah B. Anggano Mudriyatun Suryatun Suryaningsih Suryati Ali ahmad Panijah Enik aliyah Widodo Samo Miharjo Ahmadi Saidah Lestari Wahyu widati Sumanto Sukiswo Sunardi Slamet Muntamah Budiyanto Kuntiyanto Atik sumarni P. Haryono Sri Choiriyah Iswanto A.Sumiyarto W. Widaningsih Sri Sumarsono Salkiyah Sri Suyatini Udin Suyanto Murni Nanik Nunik Haryati Budi Susilo
L L P L L L P P L P L L P L P P P P L P P L L L P P P L L L L P L L P L P L L P L P P L L P P P L
34 57 51 51 30 52 50 45 32 31 29 27 80 46 44 41 49 37 86 79 39 34 79 64 36 34 32 44 43 46 52 49 36 32 32 61 59 47 35 29 32 56 46 40 38 35 33 40 61
Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat
21
191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231. 232. 233. 234. 235. 236. 237. 238. 239.
O. Suprapto Noksiman Noto Diharjo Dayono Suyudi Santoso Sutomo Artati Pranggono Sapar Murtini Wahyuningsih Utari Pujo Taryono Siswoyo Wahyu Haryati Muhasan Isrodi Aryadi Akhrowi Tugiyo Slamet Riyadi Jaenal Supriyanto Jadi Tamzis Sigid, SE. Wadah Sukarto Suwarti Suparyanto Untung Budiyanto Badri Sri Mulyani Dwi Lestari Djito Tulen Suparlan Timbul Hartono Asih Harsih Sudarmo Kandi Sukardi Sulasmi Eko Budiyanto Yatono
L L L L L L L P L L P P P L P L P L L L L L L L L L L L L L P L L L P P L L L L L P P L L L P L L
58 69 64 53 52 51 52 32 33 60 57 49 35 34 35 38 57 60 36 35 42 45 46 41 40 46 56 42 49 34 33 29 33 49 29 29 49 38 62 58 47 45 31 44 45 80 77 30 39
Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Pringsurat Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan
22
240. 241. 242. 243. 244. 245. 246. 247. 248. 249. 250. 251. 252. 253. 254. 255. 256. 257. 258. 259. 260. 261. 262. 263. 264. 265. 266. 267. 268. 269. 270. 271. 272. 273. 274. 275. 276. 277. 278. 279. 280. 281. 282. 283. 284. 285. 286. 287. 288.
Sumardi Ngatini Tri Lerstari Wahyu Iswanto Widodo, SH. Bambang Sukarto Sartono, SE. Erdani Siti Rofiqoh Slamet Zakaria Bambang Wiyadi Warsono Sri Wahyuni Sri Widowati Jaswadi Daroji Marpuah Rewoyo Kandar Sutrisno Supayo Warsono Ruwiyah Sudarmo Jariyah Sadali Sukarjo Sutopo Suparyadi Agus Sumaryo Akhmad Kurodin Tani Rahayu, SH. Rudin Priyanto, SE. Joko Cahyo Taat Tri Lasmono, SE. Sarono, AHT. Ismak Iyah Prabowo, SH. Budisawasa Dedik Wahana Muslih Supardi Suroto Legi Abdullah H. Sri Eko Riwoyo
L P P L L L L L P L L L P P L L P L L L L L P L P L L L L L L P L L L L L P L L L L L L L L L P L
50 47 35 34 37 50 40 31 32 31 42 13 38 34 40 58 35 50 35 48 79 42 40 45 40 42 56 39 28 29 32 40 39 39 43 48 56 51 28 40 30 35 39 49 40 38 49 57 55
Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Tembarak Kranggan Kranggan Magelang Kranggan Tembarak Kranggan Kranggan Magelang Magelang Magelang Magelang Temanggung Temanggung Temanggung Pringsurat Pringsurat Temanggung Temanggung Temanggung Temanggung Temanggung Temanggung Parakan Ngadirejo Kebumen Temanggung Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Kranggan Magelang Magelang Magelang
23
289. 290. 291. 292. 293. 294. 295. 296. 297. 298. 299. 300. 301. 302. 303. 304. 305. 306. 307. 308. 309. 310. 311. 312. 313. 314. 315. 316. 317. 318. 319. 320. 321.
Kuwat Rustamaji Yandi, SE. Edi Sutopo Mahendra Sukartono Ponirah Bandiyah Sri Mulyati Kasto Sucipto Rahardo, SH. Likun Sulastri Yulianto Isni, SH. Subarjo Budiarto, ST. Hakso Sri Widodo, S Sos H. A. Arsanto Ruri Yulianti Soni Robi Sayanto Sugeng Barkah Henri Assanto Nurwati Samsudin Kukuh Didik Suhari Rohmadi
L L L L L L P P P L L L L P L L L L L L L P L L L L L P L L L L L
60 58 28 54 26 30 49 51 46 52 60 60 43 48 31 41 60 54 51 34 40 35 36 52 27 40 30 53 24 40 29 47 29
Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Magelang Semarang Kranggan Kranggan Kranggan Temanggung Temanggung Temanggung Temanggung Magelang Tangerang Tangerang Banyumas Magelang Magelang Magelang Magelang Temanggung Temanggung Ngadirejo Temanggung Magelang Magelang
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Muhammad Shohib
NIM
: 21105015
Tempat/Tanggal Lahir : Temanggung, 20 Agustus 1985 Jurusan/Progdi.
Alamat
:
: Syariah/Ahwal Al-Syakhsiyah
Ngaglik RT. 03 RW. 02 Desa Mandisari, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung .
Nama Ayah
:
Muchlasin
Nama Ibu
:
Faridatul Qudsiyyah
Agama
:
Islam
Pendidikan
:
- Madrasah Ibtidaiyah Mandisari lulus tahun 1998 - MTsN 1 parakan lulus tahun 2001 - SMU Muhammadiyah 1 Temanggung lulus tahun 2005 - S1 STAIN Salatiga lulus tahun 2011
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.