PRAKTEK RITUAL BAKAR DUPA DALAM PANDANGAN ISLAM DESA LAWONUA KEC.BESULUTU KABUPATEN KONAWE YUYUN 12030102002
ABSTRAK Nama: Yuyun, NIM : 12 03 01 02 002, Judul Skripsi : “Praktek Ritual Bakar Dupa Dalam Pandangan Islam Di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe”, Pembimbing I: Dr. H. Muh. Ikhsan, M. Ag. Pembimbing II: Dr. Asliah Zainal, M.A. Skripsi ini mengkaji Bagaimana pelaksanaan ritual bakar dupa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa masyarakat Desa Lawonua masih mempraktekkan ritual bakar dupa, bagaimana pandangan Islam terhadap praktek ritual bakar dupa. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif yakni dengan cara observasi dan interview. Teknik analisis data yang digunakan ditempuh dengan reduksi, display dan verifikasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi sumber, trianggulasi tehnik/metode dan trianggulasi waktu. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bawa A)Pelaksanaan Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara turun temurun. Dalam masyarakat Lawonua terkait dengan pelaksanaan ritual bakar dupa terdapat berbagai macam pelaksanaan diantaranya sebagai berikut: 1)Ritual Daur Kehidupan. a.Pelaksanaan Ritual Kelahiran b.Pelaksanaan Ritual Pernikahan c.Pelaksanaan Ritual Selamatan Kematian. 2) Ritual Insidentil a.Pelaksanaan Ritual setelah Menyelesaikan pendidikan.b.Pelaksanaan Ritual Menyambut Bulan Ramadhan /Lebaran.c.Pelaksanaan Ritual Penyucian Diri/Tolak Bala Mosehe Wonua. 3) Ritual Pengolahan Tanah; pelaksanaan Ritual Panen Padi. B)Faktor Masyarakat Lawonua masih Mempraktekkan Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Keacamatan Besulutu Kabupaten Konawe karena disebabkan oleh beberapa faktor yakni sebagai berikut: 1)Melestarikan budaya nenek moyang karena budaya nenek moyang sudah ada sejak nenek moyang masih hidup maka secara turun temurun dilestarikan oleh generasi ke generasi berikutnya yang kemudian sebagai anak atau masyarakat hanya sekedar melanjutkan budaya yang pernah diwariskan oleh leluhur terdahulu. 2) Kebiasaan Masyarakat yang sulit dirubah yakni keterkaitan antara keadaan masyarakat kini dan kepercayaan masyarakat sebelumnya (animisme-dinamisme, Hindu-Budha), masih melekat pada pemahaman masyarakat atau kepercayaan lama yang sangat kuat dan sudah mendarah daging pada benak masyarakat, sehingga sulit untuk dihilangkan atau ditinggalkan.
C)Pandangan Islam terhadap Praktek Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe. Dalam pelaksanaan ritual bakar dupa terdapat dua masalah yakni dalam hal menyediakan makanan pada penyelenggaraan ritual dupa tersebut yakni di dalamnya ada sedekah dan mempererat tali silahturrahmi antara tetangga, keluarga, sanak saudara maupun kerabat lainnya maka Islam memandang ini adalah termasuk ibadah yang di dalamnya terdapat amalan sedekah. Tetapi dalam hal memperantarai do’a dengan asap dupa agar do’a dapat sampai ke langit maka hal tersebut termasuk bid’ah bahkan syirik besar karena mempersekutukan Allah SWT. PENDAHULUAN Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,. supaya beliau dapat menyerukan kepada seluruh manusia agar mempercayai wahyu tersebut dan mengamalkan segala ajaran-Nya. Inti dari Islam itu sendiri adalah keyakinan terhadap yang maha kuasa yaitu Allah SWT. Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan kuat jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “science without religion is blind, and religion without science is lame”; Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sebagian masyarakat menganggap bahwa praktek ritual bakar dupa merupakan salah satu ajaran Islam karena di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa orang yang masih hidup dapat mencari pahala dan meminta kepada Allah untuk dikirimkan kepada orang yang sudah wafat. Kebiasaan ini terus berkembang di Desa Lawonua yang misalnya dalam ritual-ritual tertentu seperti ketika berdo’a, ziarah kubur, perkawinan, acara tahlilan, setelah panen pertanian dan peringatan hari kematian yang dilengkapi dengan bakar dupa. Tradisi ritual bakar dupa setelah kematian maupun lainnya terus menerus dilestarikan karena didorong oleh suatu keyakinan dan kepercayaan yang kuat terhadap sistem nilai dan adat kebiasaan yang sudah berjalan turun temurun sehingga mereka tidak berani melanggarnya, walaupun ada sebagian masyarakat Tolaki yang sudah tidak berpegang pada tradisi tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang ”Praktek Ritual Bakar Dupa Dalam Pandangan Islam Di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten
Konawe”. Penulis ingin menganalisis pelaksanaan ritual bakar dupa, Faktor masyarakat Desa Lawonua masih mempraktekkan ritual bakar dupa dan, pandangan Islam terhadap praktek ritual bakar dupa di Desa Lawonua Kec. Besulutu Kab. Konawe.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, dokumentasi dan wawancara dengan masyarakat yang mempraktekkan ritual bakar dupa, tokoh masyarakat dan tokoh agama. PEMBAHASAN A. Penelitian Relevan Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian sebelumnya yaitu: a. Penelitian oleh Ahmad Fauzi yang berjudul “Pemahaman Masyarakat Tentang Tradisi Fida’an Desa Majegan Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar”. Adapun penelitiannya, yakni masyarakat memahami ritual Fida’an merupakan suatu hadiah dan shadaqoh untuk si mayit agar dosa-dosanya di ampuni Allah SWT. Fida’an menjadi tradisi yang perlu dikembangkan dan dilestarikan karena mereka beranggapan bahwa kepercayaan akan berdampak diterimanya pahala mereka. Masyarakat memahami Fida’an sebagai tebusan yang ditujukan untuk menebus segala dosa saudara semuslim yang telah meninggal dunia. b. Penelitian lain yang diteliti oleh Nurul Fitroh yang berjudul ”Ritual Tingkeban Dalam perspektif Aqidah Islam Di Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang”. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pandangan Islam terhadap pelaksanaan tradisi ritual tingkeban di Kelurahan Srondol Kulon dapat saja dilakukan yang penting masyarakat tidak mengimani simbol-simbol yang terkait di dalam tingkeban tersebut. B. Pengertian Praktek Ritual Bakar Dupa 1. Praktek Ritual Bakar Dupa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia praktek berasal dari kata praktek yang berarti pelaksanaan secara nyata. Sedangkan, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarmita, Mengemukakan batasan mengenai pelaksanaan tersebut dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian pelaksanaan. Pelaksana adalah orang yang mengerjakan atau melakukan rencana yang disusun. Sedangkan pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna
mencapai tujuan yang diharapkan atau perihal (perbuatan, usaha) dalam melaksanakan suatu rancangan. Sedangkan ritual secara leksikal, adalah “bentuk atau metode tertentu dalam melakukan upacara keagamaan atau upacara penting dalam bentuk upacara. Makna dasar ini menyiratkan bahwa, di satu sisi aktivitas ritual berbeda dari aktivitas biasa, terlepas dari ada tidaknya nuansa keagamaan atau kekhidmatan. Menurut Gluckman ritual adalah kategori upacara yang lebih terbatas, tetapi secara simbolis lebih kompleks, karena ritual menyangkal urusan sosial dan psikologis yang lebih dalam. Lebih jauh ritual dicirikan mengacu pada sifat dan tujuan yang mistis atau religious. Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara. Setiap ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan misalnya dalam masyarakat Lawonua pelaksanaan ritual kematian atau ritual untuk mendo’akan para leluhur, ritual kelahiran, ritual pernikahan dan lain-lain akan dibarengkan dengan membakar dupa. Dupa dalam masyarakat Arab terbuat dari damar dan getah pohon wangi yang apabila dibakar akan menghasilkan wangi yang sangat harum. Sedangkan dalam masyarakat lokal dupa terbuat dari pepohonan seperti kulit langsat kering dan gula pasir yang apabila dibakar di atas bara api akan menghasilkan aroma harum. Dalam masyarakat lokal dupa pada umumnya digunakan untuk mengawali sebuah do’a atau ritual, seperti syukuran kelahiran, pernikahan atau do’a-do’a pada moment bahagia, do’a-do’a pada moment memperingati hari kematian ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan malam ke-1000 yang dilakukan dengan menggunakan do’a-do’a yang berbahasa Arab yang diiringi kepulan asap dupa. Dengan demikian dupa merupakan suatu nilai yang sangat sakral dan sangat penting dalam ritual keagamaan masyarakat pada umumnya. 2. Pelaksanaan Ritual Bakar Dupa dalam Masyarakat Tolaki a. Ritual Daur Kehidupan 1. Pelaksanaan Ritual Kelahiran
Kebiasaan masyarakat lokal ketika salah satu anggota keluarga melahirkan maka ritual bakar dupa segera mereka selenggarakan. Dalam pelaksanaan ritual ini maka keluarga yang bersangkutan akan mengundang sanak saudara, tetangga maupun keluarga dekat untuk secara bersama-sama melaksanakan upacara atas kelahiran seorang bayi. 2. Pelaksanaan Ritual Perkawinan Kebiasaan masyarakat pribumi sebelum penyelenggaraan upacara pernikahan terlebih dahulu mereka menyelenggarakan ritual bakar dupa yang disertai dengan beberapa sesajian sebagai tanda penghormatan kepada roh leluhur agar dalam proses upacara perkawinan bisa berjalan lancar tanpa ada hambatan selama berlangsungnya upacara perkawinan. 3. Pelaksanaan Ritual Kematian Tradisi selamatan kematian dalam masyarakat telah lama membudaya ditengah-tengah masyarakat lokal pada umumnya misalnya di Desa Lawonua salah satu wujud untuk mengenang kepergian anggota keluarga adalah memberi penghormatan dengan upaya untuk memberikan tindakan penyempurnaan yang berupa pengiriman do’a yang disertai dengan penyelenggaraan ritual bakar dupa. b. Ritual Insidentil 1. Pelaksanaan Ritual Menyambut Bulan Ramadhan/Lebaran Dalam masyarakat lokal misalnya masyarakat Lawonua pada saat menjelang bulan ramadhan kebiasaan masyarakat menyelenggarakan ritual bakar dupa dengan tujuan mengirimkan do’a pada arwah. 2. Pelaksanaan Ritual Setelah Menyelesaikan Pendidikan Dalam tradisi masyarakat lokal ketika seorang anak keluar rumah dalam rangkah menuntut ilmu misalnya ke perguruan tinggi baik di dalam negeri atau ke luar kota maka kebiasaan orang tua akan menyelenggarakan ritual bakar dupa. 3. Pelaksanaan Ritual Penyucian Diri /Tolak Bala Setelah selesai penyelenggaraan ritual Mosehe Wonua maka pihak yang bersangkutan dalam ritual tersebut segera mereka selenggarakan ritual bakar dupa. Dengan maksud mengundang sanak saudara, keluarga ataupun tetangga untuk bersama-sama mendo’akan orang yang telah melanggar dosa agar di ampuni serta bermaksud untuk mengirimkan do’a
pada arwah yang telah mendahului keluarga. Kebiasaan ini terus menerus mereka selenggarakan misalnya di Desa Lawonua. c. Ritual Pengolahan Tanah; Pelaksanaan Ritual Panen Padi Kebiasaan masyarakat Desa Lawonua ketika selesai panen padi Maka shahibul bait akan menyelenggarakan ritual bakar dupa dengan mengundang sanak saudara, keluarga, tetangga dengan tujuan sebagai tanda syukur serta sedekah kepada orang-orang yang berhak untuk menerimanya. Dan tujuan dari penyelenggaraan ritual dupa tersebut yakni untuk mengirimkan do’a kepada para arwah maupun nenek moyang. C. Praktek Ritual Bakar Dupa dalam Pandangan Islam Dilihat dari sejarah, kebiasaan orang Indonesia adalah kebiasaan turun temurun dari nenek moyang. Yang jika dihubungkan dengan Islam akan terasa dengan pertentangan, sebab ritual dupa merupakan ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang, walaupun ritual itu secara perlahan bercampur dengan nilai Islam dan menghasilkan sesuatu yang baru sebagai hasil akultrasi dari kedua hal tersebut.
D. Sejarah Desa Lawonua Desa Lawonua adalah merupakan Desa dari hasil pemekaran Desa Amosilu dengan status Desa Persiapan pada tahun 1980 dan menjadi Desa definitif pada tanggal 1 april 1981 sesuai peraturan daerah Kabupaten Kendari No. 49 tahun 1981 dengan luas wilayah ± 87,5 Km (8,750 Ha). E. Letak Geografis dan Demografis Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe secara Geografis terletak di 121° 598’ 13” BT dan terletak di 03° 608’ 06” LS. Secara topografi Desa Lawonua termasuk dalam kategori daerah dataran tinggi dengan ketinggian ±593 meter dari permukaan laut. Dan Desa Lawonua merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe, terbagi atas 3 dusun. Jarak Desa Lawonua dari Ibu Kota Kecamatan ± 7 Km dan jarak dari Ibu Kota Kabupaten ± 35 Km.
F. Pelaksanaan Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Pelaksanaan ritual bakar dupa adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk rangkaian upacara keagamaan. Ritual bakar dupa oleh masyarakat lokal secara turun temurun dilaksanakan sehingga pelaksanaan ritual ini terus berlangsung hingga saat sekarang ini karena pelaksanaan ritual ini menurut masyarakat telah lama dilaksanakan semenjak nenek moyang leluhur berada ditanah Sulawesi Tenggara. Setiap manusia yang diciptakan tentunya akan diberi cobaan dalam kehidupannya dan cobaan yang di berikan pada setiap manusia tentunya akan di dapatkan secara berbeda-beda baik cobaan yang berat maupun sebaliknya. Begitupun dalam masyarakat lokal ketika salah satu anggota keluarga mendapatkan cobaan misalnya kelahiran, sakit parah yang kemudian akan berujung pada kematian dan ketika masyarakat mendapatkan cobaan seperti ini maka kebiasaan mereka akan menyelenggarakan ritual bakar dupa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh informan: “Kami sekeluarga dalam melaksanakan ritual ini bila ada hajatan misalnya ada keluarga yang barusan sembuh dari penyakit atau barusan melahirkan tentunya kami akan melaksanakan karena sebagai rasa syukur kami kepada Allah karena selamat dari melahirkan ataupun sembuh dari penyakit, anak-anak yang barusan lulus dari pendidikan, kemudian mengirimkan do’a pada arwah leluhur.” Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa sebagai anggota keluarga atau masyarakat ketika mendapatkan musibah atau ada hajatan lainnya maka kebiasaan mereka akan menyelenggarakan ritual bakar dupa dengan maksud untuk berterimakasih serta bersyukur kepada Allah SWT., karena telah diberikan kesembuhan ataupun keselamatan sehingga terbebas dari cobaan yang menimpah mereka. Dalam penyelenggaraan ritual ini merekapun akan mengirimkan
do’a pada arwah agar dosa-dosa yang diperbuat dapat
diampuni. Dalam masyarakat Lawonua terkait dengan pelaksanaan ritual bakar dupa terdapat berbagai macam pelaksanaan diantaranya sebagai berikut: a. Ritual Daur Kehidupan
1. Pelaksanaan Ritual Kelahiran Pelaksanaan ritual ini sering diselenggarakan oleh masyarakat setempat misalnya Desa Lawonua ketika salah satu anggota keluarga melahirkan maka kebiasaan shohibul bait akan melaksanakan ritual kelahiran tersebut. Lebih lanjut dijelaskan informan berikut: Kalau semacam bilang ada hari-hari/tanggal-tanggal tertentunya tidak ada hanya kami sering melaksanakan itu ketika ada semacam syukuran, misalnya karena telah selesai melahirkan kemudian anak akan potong rambut kemudian khitan dan lainnya. Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan ritual bakar dupa tidak menentu waktu pelaksanaannya. Tetapi akan dilaksanakan ketika shohibul bait tersebut syukuran karena selesai melahirkan dan akan diselenggarakan secara meriah ataupun secara sederhana dalam prosesinya. Setiap pelaksanaan ritual bakar dupa atau upacara kelahiran dalam masyarakat Tolaki begitu terasa persatuan dan persaudaraan mereka dalam membantu, baik yang bersifat fisik maupun materi. 2. Pelaksanaan Ritual Pernikahan Kebiasaan masyarakat Lawonua secara turun temurun setelah pelaksanaan pesta perkawinan berakhir maka shohibul hajat akan menyelenggarakan ritual bakar dupa. Lebih lanjut dijelaskan informan: Menurut saya, pelaksanaan ritual dupa ini misalnya mendo’akan yang wafat maupun yang masih hidup dan biasa kami lakukakn di hari pernikahan sekaligus mendo’akan kedua mempelai agar pernikahan mereka mendapat berkah, dan di dalamnya kan ada sedekah dan juga mendapat pahala dan sebagai tanda kesyukuran kepada Allah. Tapi dalam pelaksanaannya kurang bagus juga kalau tidak pakai dupa dan sebenarnya tergantung niat seseorang yang akan melaksanakan. Dari penuturan informan di atas dapat diuraikan bahwa kebiasaan masyarakat dalam menyelenggarakan ritual dupa ini yakni ketika salah satu anggota keluarga yang akan melangsungkan pernikahan maka kesempatan mereka untuk mengirimkan do’a kepada para arwah yang telah mendahului keluarga yang masih hidup. Dengan demikian shohibul
bait/shohibul hajat bermaksud menghidangkan santapan makanan kepada keluarga yang telah membantu terlaksananya acara dan juga sebagai rasa bahagia serta rasa syukur kepada Allah karena dalam pelaksanaan pesta ini dapat terlaksana dengan baik.
3. Pelaksanaan Ritual Kematian Dalam pelaksanaan ritual kematian oleh masyarakat lokal misalnya di Desa Lawonua dalam hal merayakan pewingi-wingia atau malam-malam orang yang wafat maka akan segera diselenggarakan seperti hari pertama, kedua, ketujuh, empat puluh sampai keseribu malam. masyarakat akan menyediakan berupa sesajian yang disebut toriou dan biasanya akan dipimpin oleh seorang Imam atau tokoh agama. Lebih lanjut akan dijelaskan oleh informan Sesajian yang disebut dengan toriou yakni nasi ketan empat piring yang di atasnya ada telur satu, tiga atau empat, teh, satu gelas air putih, kue, nasi putih biasa, rebusan ayam lauk pauk seadanya dan dupa yang terbuat dari pepohonan kayu seperti kulit langsat kering dan gula pasir sebagai pelengkap. Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa menyediakan toriou ini dengan maksud memberi makan orang meninggal karena menurut mereka bahwa roh orang yang meninggal itu selalu kembali ke rumah untuk mengunjungi keluarganya. b. Ritual Insidentil 1.
Pelaksanaan Ritual Setelah Menyelesaikan Pendidikan Setiap orang tua tentunya akan sangat bangga dan gembira ketika melihat anak-anaknya
telah sukses dan setiap orang tua seperti di Desa Lawonua ketika anaknya telah tiba di rumah dari perantauan dengan tujuan menuntut ilmu maka biasanya mereka akan menyelenggarakan ritual bakar dupa. Lebih lanjut akan dijelaskan oleh informan berikut ini: Untuk saya pribadi, tidak ada syarat untuk melaksanakan ritual ini hanya saja kalau ada keluarga yang dari merantau apakah pergi menuntut ilmu dan sebagainya maka kami sebagai keluarga akan sangat bersyukur karena anak kami telah tiba dengan selamat.
Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa dalam pelaksanaan ritual bakar dupa tidak ada syarat tertentu untuk melaksanakannya hanya saja ktika seorang anak telah tiba di rumah dari perantauannya karena telah selesai pendidikan maka orang tua berniat untuk menyelenggarakan ritual dupa ini dengan maksud untuk mendo’akan anaknya sebagai rasa syukur dan setiap pelaksanaan ritual ini biasanya masyarakat akan mengundang keluarga, tetangga, sanak saudara termasuk tokoh agama untuk memimpin ritual ini. 2. Pelaksanaan Ritual Menyambut Bulan Ramadhan/Lebaran Berdasarkan observasi peneliti, mendapati bahwa kebiasaan masyarakat Lawonua dalam menyambut awal ramadhan ataupun menyambut lebaran yakni berbagai makanan akan disiapkan dengan tersusun rapi di atas lantai, mulai dari ayam, ketupat, burasa’, sup ayam, ikan, kue lebaran, sirup, teh, kopi, susu, air putih, nasi putih, sayur-sayuran, dan dupa sebagai kelengkapan yang wajib dan masih banyak jenis makanan lainnya yang menjadi ritual tahunan menyambut idhul fitri atau idhul adha. Berikut ini akan dijelaskan oleh informan: Dalam pelaksanaan ritual bakar dupa ini, biasa kami selenggarakan nanti dibulan puasa atau menyambut bulan puasa yang penuh berkah di dalamnya. Biasa juga nanti qunut, hari raya idhul fitri atau idhul kurban. Dengan tujuan untuk mengirimkan do’a kepada arwah atau orang tua tentunya di dalamnya ada pahala yang kita dapatkan. Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa kebiasaan masyarakat dalam menyelenggarakan ritual dupa ini, biasa menunggu tamu yang sangat spesial dan dirindukan kedatangannya yakni menyambut bulan yang penuh berkah. Dengan maksud mengirimkan do’a pada arwah karena mereka ketahui bahwa bulan puasa adalah bulan dimana semua do’a akan diijabah oleh Allah. Sehingga inilah alasan masyarakat selalu menyelenggarakan ritual dupa diawal, pertengahan puasa atau qunut, atau bahkan nanti diakhir puasa karena do’a pasti dikabulkan. 3.
Pelaksanaan Ritual Penyucian Diri /Tolak Bala Berdasarkan observasi penulis, mendapati bahwa dalam pelaksanaan ritual mosehe
wonua tersebut ketika proses pelaksanaannya masyarakat tidak mengikut sertakan pembakaran dupa selama proses ritual tersebut berlangsung.
Sebagaimana penjelasan informan berikut: Kalau saya pribadi, tidak ada dampaknya, ada dengan tidaknya bakar dupa tetap dilaksanakan juga tidak berarti nanti ada dupa baru dilaksanakan tidak juga, makanya perlu pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat. Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa dalam pelaksanaan ritual tersebut ketika salah satu anggota keluarga tidak membakar dupa maka tidak ada dampak karena ada tidaknya dupa pelaksanaan ritual ini tetap berjalan, dengan harapan bahwa ketika seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang baik bukan berarti karena ada sesuatu yang menghalanginya untuk melaksankan akan tetapi karena pemahaman yang perlu diluruskan sehingga akan terbentuk niat yang ikhlas. c. Ritual Pengolahan Tanah; Pelaksanaan Ritual Panen Padi Dalam pelaksanaan upacara setelah panen padi bagi masyarakat suku Tolaki ritual ini diwujudkan dalam bentuk pengucapan syukur tahunan. Bagi masyarakat Tolaki di Desa Lawonua ketika selesai panen pertanian seperti panen padi, jagung, kacang tanah, kedelai, coklat, lada dan lain-lain, masyarakat biasanya menyelenggarakan ritual bakar dupa secara turun temurun sebagai rasa syukur mereka kepada Allah karena hasil penen mereka sangat memuaskan hasilnya. Dari penuturan informan di atas dapat diuraikan bahwa dalam masyarakat Tolaki di Lawonua ketika hasil panen mereka berhasil sebagai tanda syukur mereka biasa menyelenggarakan ritual dupa. Mereka mengundang sanak-saudara dan tetangga untuk dinikmati bersama-sama agar silahturrahmi tetap terjaga, sekaligus mengrimkan do’a pada arwah agar diberi keringanan siksaan di akhirat. G. Faktor Masyarakat Lawonua masih Mempraktekkan Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe 1. Melestarikan budaya nenek moyang
Masyarakat pribumi di Sulawesi Tenggara (suku Tolaki) masih mempraktekkan ritual bakar dupa misalnya di Desa Lawonua. Sebelum Islam datang masyarakat masih menganut agama Hindu Budha serta kepercayaan asli masyarakat seperti animisme dan dinamisme. Karena itu kepercayaan lama dari nenek moyang masih dipraktekkan misalnya kepercayaan terhadap jimat, batu, kayu, penyediaan jenis sesajian ditempat keramat atau mengirimkan do’a dengan perantara asap dupa pada yang wafat dan berbagai macam sesajian disediakan. Dengan demikian, Islam datang dengan menyebarkan ajaran yang benar dan sempurna agar masyarakat meninggalkan kpercayaan lama yakni dari penyembahan kepada selain Allah seperti patung dan api menuju pada penyembahan yang benar yakni Allah SWT. Tetapi fenomena dewasa ini banyak orang Islam yang masih melaksanakan ritual-ritual peninggalan nenek moyang yang dilatarbelakangi oleh ajaran-ajaran non Islam. Kendatipun demikian masyarakat tetap menganggap bahwa ritual ini merupakan salah satu warisan dari nenek moyang leluhur atau ritual ini telah ada sejak nenek moyang masih hidup dan juga salah satu warisan. Sebagaimana penjelasan informan: Asal usul munculnya warisan ritual bakar dupa itu yakni sudah ada semenjak nenek moyang masih hidup dan dilaksanakan secara turun-temurun, sehingga sampai saat ini dalam pelaksanaannya hanya bersifat melanjutkan saja baik yang berhubungan dengan tatacara pelaksanaan upacaranya maupun niat tujuannya. Hal ini menggambarkan bahwa asal muasal kepercayaan masyarakat Lawonua berawal dari para leluhur yang memegang budaya asli dengan beberapa kepercayaan seperti animisme dan dinamisme yang akhirnya berpindah pada kepercayaan agama Hindu Budha sehingga tidak dipungkiri bila tradisi ini masih dilestarikan dan dibudidayakan oleh masyarakat Lawonua. 2. Kebiasaan Masyarakat yang Sulit dirubah Dalam realitas kehidupan masyarakat banyak sekali ragam tradisi adat istiadat dan budaya yang diwarisi dari leluhur oleh berbagai suku yang ada di negeri ini. Berdasarkan catatan sejarah dimasa berjayanya kerajaan Majapahit, agama Hindu tersebar ke seluruh pelosok daerah diantaranya Jawa kemudian menyebar sampai ke Sulawesi Tenggara. Dalam masyarakat lokal terdapat banyak tradisi kepercayaan yang terus menerus dilaksanakan
misalnya ritual tolak bala, mempercayai akan datangnya kesialan dari tanda-tanda seperti suara burung, ritual kelahiran, perkawinan, selamatan kematian serta percaya pada dukun, para normal, orang-orang pintar serta tukang sihir, mempercayai jimat, sebagai pelindung dan jimat yang memiliki kemapuan yang bertuah, percaya pada jin dan lain-lain. Dengan demikian tidak dapat dinafikan bila ritual bakar dupa ini masih terlihat eksis ditengah-tengah lingkungan masyarakat atau pedesaan pada umumnya. Dari beberapa penjelasan informan dapat diuraikan bahwa pelaksanaan ritual ini hanya sekedar mengikuti apa yang pernah dipraktekkan orang tua terdahulu dengan kata lain karena kebanyakan orang melaksanakan sehingga hanya melanjutkan agar budaya ini tidak punah dan generasi nantinya tetap mereka laksanakan. H. Pandangan Islam terhadap Praktek Ritual Bakar Dupa di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Secara umum, ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW., dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaran-ajaran tentang keyakinan atau keimanan, syariah menyangkut ajaran-ajaran hukum-hukum yang terkait perbuatan orang mukallaf atau orang Islam yang sudah dewasa, akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang luhur atau akhlak mulia. Maka dapat dijelaskan disini bahwa masalah tradisi sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang aqidah. Lebih lanjut dijelaskan oleh informan berikut: Dalam ritual bakar dupa ini dapat saja dilakukan selama bakar dupa tidak diyakini bahwa engkaulah dupa yang mensyahkan do’a atau mengantarkan do’a saya “tetapi tidak”. Dengan itu tetap dilaksanakan, yang penting masyarakat tidak mengimani simbol-simbol yang ada dalam ritual tersebut. Ritual dupa juga merupakan perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT., karena dengan adanya ritual ini masyarakat melakukan salah satu sedekah kepada sanak-saudara, tetangga atau orang-orang.
Dari penjelasan informan di atas dapat diuraikan bahwa dalam pelaksanaan ritual ini dapat saja dilaksanakan selama bakar dupanya tidak diyakni sebagai pengantar do’a yang kemudian akan mengantarkan manusia pada hal-hal yang menyimpang. Dikatakan bahwa niat shahibul bait dalam melaksanakan ritual ini tujuannya adalah semata-mata untuk bersedekah tetapi karena caranya yang salah yang kemudian akan merusak nilai-nilai pahala yang ingin diraih dihadapan Allah SWT. Pada dasarnya budaya dan ritual ini tidak lepas dari nuansa dan muatan kesyirikan. Kesyirikan ini sangat terkait dengan tujuan, maksud atau motivasi dilakukannya ritual tersebut. Dalam hal ini, lurus berakidah dan bertauhid, serta agama yang toleran pada sisi amal perbuatan dan pembuatan syariat. Lawan dari dua hal ini (agama yang bertauhid dan toleransi) adalah syirik dan mengharamkan yang halal. Sebagaimana hadits berikut ini: اِﻧِّﻰ َﺧﻠَﻔْﺖُ ِﻋﺒَﺎدِى ُﺣﻨَﻔَﺎ َء وَ اَﻧﱠ ُﮭ ْﻢ اَﺗَﺘْ ُﮭ ُﻢ اﻟ ﱠﺸﯿَﺎطِ ﯿْﻦُ ﻓَﺎﺟْ ﺘَﺎﻟَﺘْ ُﮭ ْﻢ ﻋَﻦْ ِد ْﯾﻨَ ُﮭ ْﻢ وَ ﺣَﺮﱠ ﻣَﺖْ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ ﻣَﺎاَﺣْ ﻠَﻠْﺖُ ﻟَ ُﮭ ْﻢ وَ اَﻣَﺮَ ﺗْ ُﮭ ْﻢ اَنْ ﯾُﺸْﺮِ ﻛُﻮْ اﺑِﻰ (ﺳ ْﻠﻄَﺎ ﻧًﺎ )رواه طﺒﺮاﻧﻰ ُ ﻣَﺎﻟُ ْﻢ اَﻧْﺰِ لْ ﺑِ ِﮫ Artinya: “Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dengan agama yang lurus. Namun, kemudian datanglah syaithon dan membelokkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan, dan menyuruh mereka untuk tidak mempersekutukan Aku dengan apa yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”. (HR. Ahmad). Tradisi yang bermuatan syirik, rinciannya adalah sebagai berikut: 1.
Membakar dupa sebagai penyempurna do’a, karena diyakini do’a tidak sempurna atau tidak terkabul bila tanpa membakar dupa hukumnya bid’ah atau sesat karena bertentangan syariat Islam tentang cara berdo’a. Cara berdo’a yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya tidak mensyaratkan adanya wewangian atau dupa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-A’raaf: 55 yang berbunyi: َع وﱠ ُﺧ ْﻔﯿَﺔً اِﻧﱠﮫُ ﻻَﯾُﺤِ ﺐﱡ اْﻟ ُﻤ ْﻌﺘَ ِﺪﯾْﻦ ً اُدْﻋُﻮْ ا رَ ﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَﻀَﺮﱠ
Terjemahannya:
“katakanlah” berdo’alah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. 2.
Membakar dupa dengan tujuan untuk memanggil arwah nenek moyang maka hukumnya bid’ah atau sesat karena arwah nenek moyang yang jazadnya telah terkubur mustahil akan kembali ke dunia. Mereka tidak akan bisa meninggalkan tempatnya (alam kubur) sampai datangnya hari kebangkitan (kiamat). Jadi kalau ada orang yang mengaku dapat mendatangkan roh dengan membakar dupa atau dengan cara yang lain, maka yang datang itu adalah setan dari bangsa jin yang mengaku sebagai roh orang yang telah mati.
3.
Membakar dupa dengan maksud mengikuti tradisi semata karena dilakukan oleh orang banyak tanpa ada pengetahuan atasnya maka itu dilarang oleh Allah. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al- Isra’: 36 yang berbunyi: ًوَ ﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﯿْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِ ِﮫ ِﻋ ْﻠ ٌﻢ اِنﱠ اﻟ ﱠﺴ ْﻤ َﻊ وَ ا ْﻟﺒَﺼَﺮَ وَ اْﻟﻔُﺆَ ادَ ُﻛ ﱡﻞ ا ُﻟﺌِﻚَ ﻛَﻦَ َﻋ ْﻨﮫُ َﻣﺴْﺌﻮْ ﻻ
Terjemahannya: “janganlah kamu mengikuti apa-apa yang tidak ada pengetahuanmu atasnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggung jawaban”. 4.
Jika melakukan ritual dengan menyajikan dan mempersembahkan sesajian apapun bentuk bendanya kepada selain Allah SWT., baik benda mati ataupun makhluk hidup dengan tujuan untuk penghormatan dan pegagungan, maka persembahan ini termasuk bentuk taqarrub (ibadah) dan ibadah ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Seperti, untuk roh-roh orang sholeh yang telah wafat, makhluk penguasa dan penunggu ditempat-tempat tertentu yang dianggap keramat atau angker, maka perbuatan ini merupakan kesyirikan dengan derajat syirik akbar yang pelakunya wajib bertaubat dan meninggalkannya karena ia terancam kafir atau murtad.
5.
Apabila menyakini bahwa yang datang dan menyantap sajian tersebut adalah roh dari kalangan makhlus halus (jin/syaithan), maka perbuatan tersebut merupakan hal yang siasia dan mubazir, karena Allah SWT., dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan
demikian dan juga karena perbedaan jenis makanan manusia dan jin. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Isra: 26-27 yang berbunyi:
Terjemahannya: “Dan janganlah engkau berbuat mubazir.” “Sesungguhnya orang yang berbuat mubazir adalah saudara-saudara syaithon.” Jika ada diantara kita mengatakan bahwa sajian dan santapan yang dihidangkan untuk para roh orang yang telah meninggal benar-benar berkurang atau bahkan habis, maka ini tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi diambil atau dimakan makhluk yang kasat mata dari kalangan manusia atau hewan. Dan kedua, bisa jadi pula diambil dan dicuri oleh makhluk yang tidak kasat mata dari kalangan jin. Lebih lanjut dijelaskan informan berikut: Kalau menurut saya bakar dupanya itu bisa dilaksanakan bisa tidak karena bakar dupanya kan hanya sebagai pengharum ruangan saja karena malaikat senang yang harum-harum kalau saya lihat mereka baca do’a tujuannya untuk mengirimkan do’a kepada arwah leluhur dulu kan tujuannya orang-orang disitu itu. Tapi maksud saya asap dupanya itu tidak akan sampai kesana tapi yang sampai hanya do’a misalnya anak sholeh/sholehah yang mendo’akan kedua orang tuanya, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariahnya selama di dunia. PENUTUP Dari penjelasan di atas dapat diuraikan bahwa dalam penyelenggaraan ritual ini ada tidaknya dupa pelaksanaannya tetap terlaksana karena dupa tidak diyakini sebagai pengantar do’a akan tetapi hanya sekedar pengaharum ruangan karena tujuan dalam do’a ini semata-
mata untuk mengirimkan do’a pada arwah yang telah mendahului keluarga. Dan do’a yang dipanjatkan oleh imam yang kemudian diaminkan oleh para tamu undangan karena do’a yang dipanjatkan oleh seseorang tidak diketahui lewat lisan siapa do’a tersebut akan dikabulkan apatah lagi ketika malaikat mengaminkan do’a yang dipanjatkan oleh manusia dan ditambah dengan anak sholeh/sholehah yang kemudian mendo’akan orang tuanya serta ilmu yang bermanfaat yang diamalkannya maupun perbuatan dan amalan-amalan baik yang kemudian akan meringankan siksaannya dihadapan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Husain, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011. At-Thabrani, Al-Hafidz Abi Al-Qosim, Mu’jam Al-KabirLithabrani, Jakarta: Maktabah Al-Ulum wa Hukum, 1983.
An-Nawawi, Imam Riyadhus Shalihin , Cetakan ke-1 Jakarta: Darul Hadits Qahirah, 2011 Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. An-Nabahani, Taqiyuddin, nizamul Islam (Diterjemahkan Oleh Abu Amin, Peraturan Hidup Dalam Islam, Cet III, Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 2010. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta Timur: CV Darus Sunnah, 2002. Fauzi, Ahmad, Pemahaman Masyarakat Tentang Tradisi Fida’an Desa Majegan Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar, Malang: UIN, 2003. Fitroh, Nurul, Ritual Tingkeban Dalam perspektif Aqidah Islam Di Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, Semarang: UIN, 2014. Institut Agama Islam Negeri, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah, Kendari: IAIN, 2014. Koentjaraningrat, Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1983. Muhaimi, Yahya A. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Mas’ud, Abdul Djamil Abdurrahman, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media. 2000. Muhdar, Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan, Bandung: Al-Bayan, 1994.
Puspito, Hendro, Sosiologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1983. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2013. Qardlawi , Yusuf, Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan, terj. Abdurrahim Haris, Jakarta: Pustaka Progesif, 1992. Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Yogyakarta: CV Sinar Baru, 2013. Supriyanto, Sejarah Kebudayaan Tolaki Sulawesi Tenggara, (Kendari: Universitas Muhammadiyah, 2009 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Soekanto, Sugiono, Metodologi Penelitian kualitatif, kuantitaf, dan R&D Bandung: CV Alfabeta, 2006.
Sularto, Bambang Upacara Tradisional Daerah Istimewa, Yogyakarta: Depdikbud, 1982. Sugiono, Metodologi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, Bandung: CV Alfabeta, 2006. Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005. Suprayogo, Imam, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001. Shiddiqi, Nouruzzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987.
Taufk, Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 Tsuwaibah, Kearifan Lokal Dalam Penanggulan Bencana, Semarang: IAIN Walisongo, 2011. Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Online
Ekhardhi, Definisi Pelaksanaan, (http://wordpress.com: 2010) di akses 1 agustus 2016. Wordpress, Ritual-Ritual dalam Islam, (http://wordpress.com : 2001) di akses 08 Maret 2016. Harits, Ritual Dupa, (http://wiki.com:2012) di akses 5 agustus 2016. Shardi, Fungsi Dupa, (http://wiki.com: 2012) di akses 5 Agustus 2016. http://sejarahawal sukutolaki.com. Di akses 11 Februari 2016. http://sejarah-kebudayaan-tolaki.com. Di akses 16 April 2016. Wordpress,Pandangan Tentang Kehidupan , (http://wordpresst.com : 2010) di akses 06 Maret 2015. Arifuddin, Nilai Budaya dalam Upacara Perkawinan, (http://.zonasultra.com:2010), di akses 23 April 2016.
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com. di akses 21 April 2016. Noeruddin Zalim, Memahami Metode Dakwah Walisongo, (http:// wordpress.com:2003), di akses 21 April 2016.