POTRET WANITA SIMPANAN DALAM NOVEL GADIS PANTAI, BELENGGU, BEKISAR MERAH DAN PENGAKUAN PARIYEM: SEBUAH STUDI KOMPARATIF DENGAN PENDEKATAN FEMINISME Ekarini Saraswati Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini adalah wanita-wanita simpanan apa saja yang terdapat di dalam keempat novel tersebut dan bagaimanakah wanita-wanita simpanan itu dtampilkan pengarang dalam novelnya. Pada dasarnya keempat wanita simpanan dalam empat novel yang dianalisis menggambarkan sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Keempat wanita simpanan bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikan mereka tidak sampai perguruan tinggi sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih banyak diimingimingi harta yang melimpah. Gadis Pantai tergoda lagi dengan priyayi yang lain, Rokayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya. Lasi mencintai laki-laki lain karena suaminya tidak dapat melayaninya dengan baik demikian juga dengan Pariyem yang mencintainya secara ragawi.Dari keempat wanita simpanan ketika dijadikan wanita simpanan tiga di antaranya sudah menjanda atau tidak perawan lagi yaitu, Rokayah, Lasi dan Pariyem sedangkan Gadis Pantai masih perawan.Mereka menjadi wanita simpanan karena mereka tak berdaya dan juga silau dengan harta. Gadis Pantaimenerima menjadi selir karena perintah dari yang memerintah, Rokayah menjadi wanita simpanan karena silau dengan harta, Lasi menjadi wanita simpanan karena tidak berdaya menghadapi bujuk rayu orang yang berjasa menghibur dirinya dari perlakuan suaminya. Pariyem menjadi wanita simpanan karena merasa tersanjung dapat bercinta dengan bangsawan.Mereka tidak menyadari sama sekali betapa negatifnya pandangan masyarakat terhadap perilaku mereka, karena mereka terlena dengan kemakmuran yang dimilikinya sekalipun mereka tidak bahagia. Kata kunci: wanita simpanan, novel, feminisme,
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita simpanan merupakan sebuah fenomena yang telah berjalan lama dalam sejarah hidup manusia. Di Indonesia wanita simpanan yang notabenenya sebagai pelacuran secara halus dilakukan kaum bangsawan. Ini dapat ditelusuri kembali ke
masa kerajaan-kerajaan Jawa di mana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Jawa yang terletak di Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|664
sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara) (Moedjanto, 1990). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka sering dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga nyawa hamba sahaya mereka. Raja mempunyai kekuasaan penuh. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja Makin banyaknya jumlah selir yang dipelihara, makin bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat lainnya merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja.Oleh sebab itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang hantaran) dan sebagai selir
Pada zaman kolonial dikenal adanya wanita simpanan dengan sebutan Nyai yang diperlakukan tidak seperti layaknya seorang isteri, tapi sebagai budak seks yang sewaktuwaktu dapat diusir. Ini terjadi karena pada zaman itu ada larangan pernikahan antar ras sehingga terjadi hubungan gelap antara pria Belanda dengan wanita Indonesia. Perilaku kehidupan seperti itu tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. Namun, bagi para wanita Indonesia situasi tersebut membuat sakit hati mereka, karena menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Setelah kemerdekaan fenomena wanita simpanan tidak sirna, namun dengan semakin pesatnya ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada umumnya, fenomena ini semakin menjamur. Berbeda dengan pelacur, wanita simpanan biasanya berasal dari kalangan kelas menengah dan atas. Kelas menengah biasanya berasal dari kalangan wanita karier atau mahasiswa, sedangkan wanita simpanan dari kelas atas sering berasal dari kalangan artis atau fotomodel. Mereka biasanya mendapatkan materi yang melebihi kebutuhan. Di samping diberikan rumah mewah, mobil juga uang yang melebihi penghasilan seorang pelacur tingkat tertinggi. Misalnya kasus Dice yang pada tahun 70-an mendapat sepuluh juta per hari (Kompas, 1998). Dari fenomena di atas terlihat bahwa kebanyakan wanita merasa terhina dijadikan sebagai wanita simpanan, sekalipun sebagian ada yang merasa terhormat dan kecukupan dari segi ekonomi. Namun, dari segi perlakuan yang diterima sebenarnya mereka mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena mereka hanya dipandang dari segi keindahan fisik saja. Begitu keindahan fisik itu memudar semuanya Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|665
berakhir. Mereka tak lebih seperti layaknya pakaian, ketika sudah lapuk akan dibuang begitu saja . Kekuasaan materi telah menghinakan mereka dari kedudukan perempuan yang terhormat menjadi pelayan seks yang hina di mata masyarakat. Fenomena wanita simpanan dalam dunia nyata tentu berbeda dengan dunia fiksi sekalipun sebuah cerita tidak terlepas dari dunia kenyataan. Dalam penelitian ini penulis mencoba menampilkan empat novel yang menggambarkan kehidupan wanita simpanan. Pertama, Novel Gadis Pantai, karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kehidupan selir di daerah Rembang pada zaman R.A. Kartini. Kedua, Novel Belenggu karya Armijn Pane yang mendapat sorotan pada zamannya karena mengungkapkan perselingkuhan yang pada zaman itu yang tidak lazim dilakukan oleh orang Indonesia. Ketiga,. Bekisar Merah karya Ahmad Tohari yang menggambarkan kehidupan wanita simpanan pada zaman modern. Dan yang terakhir Novel Novel Pengakuan Pariyem merupakan karya Linus A.G. yang menggambarkan kesewenangan seorang bangsawan dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya 1.2 Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah wanita-wanita simpanan apa saja yang terdapat di dalam keempat novel tersebut dan bagaimanakah wanita-wanita simpanan itu dtampilkan pengarang dalam novelnya.
STRUKTUR CERITA DAN FEMINISME Untuk menjawab permasalahan di atas perlu suatu pijakan teori yang sesuai sehingga dapat menganalisis dengan tepat. Dalam penelitian ini digunakan pisau analisis yang sesuai yaitu dari segi struktur meliputi penokohan dan latar ditambah
pendekatan feminisme. Adapun sebelum dilakukan analisis struktur perlu dilakukan sinopsis terlebih dulu. 2.1 Tokoh dan Penokohan Peristiwa-peristiwa yang membentuk cerita dalam karya narasi berlangsung dengan tokoh-tokoh tertentu yang memainkan peran tertentu di dalamnya. Walaupun peristiwa tersebut fiktif belaka, namun pada umumnya diusahakan untuk menggambarkan tokoh dengan ciri-ciri yang berkenaan dengan kepribadian mereka (keterangan psikologis dan sosial) dan sikap mereka (tingkah laku).Untuk memberi petunjuk tentang diri tokoh, pengarang mengemukakan ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas yang ditampilkan dalam ciri-ciri fisik, moral, dan sosial (Zaimar, 1991:48). Terlepas dari banyak sedikitnya petunjuk-petunjuk yang menggambarkan tokoh, yang penting adalah bahwa pengarang meyakinkan adanya keutuhan tokoh dan memberikan alasan atas tindakantindakan para tokohnya. Dengan demikian, penggambaran tokoh benar-benar merupakan salah satu komponen yang membentuk struktur karya sastra. Karena tokoh memiliki relevansi langsung, maka perlu dikenali bagaimana tokoh ditampilkan dalam karya sastra. Menurut Rene Wellek (1985:219), bentuk penokohan yang sering digunakan pengarang dan paling sederhana adalah pemberian nama (naming) . Nama-nama itu dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang ekonomis untuk mencirikan watak tokoh. Namun, dalam hal penokohan, selain pemberian nama pengarang dapat pula mengemukakan ciri-ciri fisik tokoh, tingkah laku, tindakan, jalan pikiran, dan ucapan tokoh. Selanjutnya, kalau dilihat dari fungsi tokoh dalam rangkaian cerita, dikenal adanya tokoh utama, tokoh bawahan atau tokoh pembantu. Untuk menentukan tokoh Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|666
utama dalam suatu cerita sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa tokoh utama dalam cerita itu. Hal ini bergantung pada cara dan dari mana melihatnya. Penentuan tokoh utama dalam analisis ini didasarkan pada analisis struktur. Barthes (Culler, 1975:324) mengemukakan bahwa ciri tokoh utama dapat dihimpun sepanjang teks itu sendiri. Terdapat kaitan yan great antara satu bagian teks dengan yang lainnya sehingga membentuk satu kebulatan yang lebih besar daripada bagiannya sendiri. Hal ini menyebabkan bahwa tokoh utama dapat berada di luar ciri-ciri semantik; keberadaannya ini memungkinkan kita mendapatkan konotasi-konotasi yang cocok melalui teks. Dengan demikian, yang membentuk relasi dengan semua tokoh dari awal hingga akhir cerita adalah tokoh utama yan g menjadi penggerak seluruh cerita. Dalam menampilkan watak tokohtokoh cerita pengarang mungkin menggunakan beberapa cara. Pada pokoknya dapat digunakan (1) pendefinisian langsung (direct definition); dapat pula berupa (2) penyajian tidak langsung (indirect representation) melalui tindakan dan percakapan antar tokoh; atau mungkin juga bersandar pada (3) relasi spasial, baik yan berkenaan dengan ruang tertutup maupun yang merupakan penampilan eksternal dan lingkungan sosial. Gambaran fisik memberikan suatu kehidupan pada tokoh, seakan-akan mereka benar-benar terdiri dari darah dan daging. Memang, di dalam karya sastra modern hal itu makin lama makin kurang dianggap penting, karena para penulis Nouveau Roman, misalnya, beranggapan bahwa tokoh dalam roman mempunyai perbedaan pokok dengan manusia yang ada di dalam dunia nyata.
2.3 Sekilas tentang Feminisme
Beberapa pemikir feminis sama sekali enggan menerima “teori”. Ada banyak alasan untuk hal ini. Dalam lembagalembaga akademik “teori” sering bersifat laki-laki, bahkan bersifat macho; teori adalah studi sastra yang sukar, intelektual dan avant garde. Watak laki-laki yang keras bertujuan mendorong dan berambisi besar mendapatkan tempatnya dalam “teori” ketimbang dalam seni penafsiran kritik yang lembut. Kaum feminis seringkali menunjukkan objektivitas ilmu pengetahuan laki-laki yang curang. Teori-teori Freud dikecam karena seksismenya yang mencolok mata, misalnya asumsi mereka bahwa seksualitas wanita dibentuk oleh “kecemburuan zakar”. Banyak kritik feminis ingin melarikan diri dari “ketepatan dan ketentuan” teori dan mengembangkan wacana perempuan yang tidak dapat diikat secara konseptual sebagai milik suatu tradisi teoritis yang diakui ( dan oleh karena itu, barangkali dihasilkan laki-laki). Bagaimanapun juga, kaum feminis telah tertarik kepada tipe teori pasca-strukturalis Lacan dan Derida, barangkali karena mereka secara nyata menolak untuk menegaskan otoritas atau kebenaran “maskulin”. Teoriteori psikoanalisis tentang dorongan naluriah terutama telah menolong para kritikus feminis yang mencoba mengucapkan perlawanan tanpa bentuk dan bersifat subversif dari beberapa penulis dan kritikus wanita terhadap nilai-nilai sastra yang dikuasai oleh laki-laki, meskipun sejumlah feminis telah menjajaki kemungkinan strategi perlawanan wanita tanpa mengambangkan teori rumit. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex , menetapkan dengan sangat jelas masalah dasar feminis modern. Bila seorang wanita mencoba membatasi dirinya sendiri, ia mulai dengan berkata “saya seorang perempuan”. Tidak ada laki-laki yang berbuat begitu. Kenyataan ini mengungkapkan ketaksimetrisan dasar Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|667
antara istilah “maskulin” dan “feminin”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan. Keseimbangan ini muncul ke belakang sampai perjanjian lama. Karena tersebar di antara orang laki-laki, para perempuan tidak mempunyai sejarah terpisah, tidak ada solidaritas; mereka telah tidak berkombinasi sebagai kelompokkelompok tertindas yang lain. Wanita teriakt dalam suatu hubungan berat sebelah dengan laki-laki; laki-laki adalah yang Satu, perempuan adalah yang Lain. Kekuasaan laki-laki telah menyelamatkan suatu iklim pemenuhan ideologis:”Para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis, ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukkan bahwa kedudukan wanita rendah diinginkan di surga dan bermanfaat di bumi”. De Beauvoir mendokumentasikan tuntutannya dengan penuh ketelitian. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini berlipat ganda oleh keyakinan para laki-laki bahwa wanita lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan abstrak tentang “persamaan” hanya permainan bibir, tetapi desakan untuk persamaan yang nyata biasanya akan ditentang. Para wanita sendiri, bukan para laki-laki yang simpatik, adalah dalam posisi terbaik untuk menilai kemungkinankemungkinan eksistensial kewanitaan. Ada lima fokus pokok terlibat dalam kebanyakan diskusi tentang perbedaan seksual: biologi, pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi sosial dan ekonomi Alasan yang memperlakukan biologi sebagai dasar dan yang mengecilkan sosialisasi telah dipergunakan terutama oleh laki-laki untuk meletakkan para perempuan dalam “tempat” mereka. Ungkapan “ota mulier in utero” (perempuan tidak lain adalah sebuah kandungan) meringkaskan sikap ini. Jika tubuh wanita adalah nasibnya, maka semua usaha untuk menanyakan peranan seks yang dicirikan akan menentang order alami. Sebaliknya, beberapa feminis yang radikal memuja atribut biologis wanita
lebih merupakansumber keunggulan daripada kerendahan (inferioritas).Setiap alasan ekstrem bagi kodrat khusus wanita menimbulkan resiko sampai, dengan jalan yang berbeda, dalam kedudukan yang sama yang dikuasai oleh chauvinis laki-laki. Resiko ini juga dijalani oleh mereka yang menarik pengalaman wanita yang khusus sebagai sumber nilai-nilai perempuan yang positif dalam kehidupan dan dalam seni. Hanya karena wanita, menurut alasan itu, telah mengalami pengalaman hidup yang khusus bagi wanita (ovulasi, menstruasi,dan melahirkan), hanya mereka yang dapat berbicara tentang kehidupan perempuan. Lebih lanjut, pengalaman seorang perempuan meliputi perbedaan persepsi dan kehidupan emosi; para wanita tidak melihat sesuatu hal dengan cara yang sama dengan lelaki, dan mempunyai ide dan perasaan yang berbeda tentang apa yang penting atau tidak penting. Studi tentang gambaran sastra mengenai perbedaan dalam tulisan para wanita ini disebut sebagai “gynokritika”. Fokus yang ketiga yaitu wacana,mendapat perhatian sangat besardari para feminis. Man-made Language buku Dale Spender, sebagaimana disarankan oleh judulnya, menganggap bahwa wanita secara mendasar ditindas oleh bahasa yang dikuasai laki-laki. Jika kita menerima alasan Foucault bahwa apa yang “benar” tergantung pada siapa yang menguasai wacana, maka wajrlah mempercayai bahwa dominasi wacana oleh laki-laki telah memerangkap wanita di dalam “kebenaran” laki-laki. Dari sudut pandang ini, maka ada alasan bagi para penulis wanita untuk menentang penguasaan bahasa oleh para laki-laki daripada hanya mundur ke ghetto wacana feminin. Pandangan yang sebaliknya dianut oleh Robin Lakoff seorang sosiolinguis, yang percaya bahwa bahasa wanita secaranyata memenag rendah, karena memuat pola “kelemahan” dan “ketidakpastian”, berfokus pada yang dangkal, sembrono, tidak serius Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|668
dan menekankan pada tanggapan pribadi yang penuh perasaan. Ucapan laki-laki, tuntutnya adalah “lebih kuat” dan hendaknya daimbil oleh wanita jika mereka ingin mendapatkan persamaan sosial dengan para laki-laki. Kebanyakan feminis radikal menganut pandangan bahwa para wanita telah dicuci otaknya oleh tipe ideologi patriarkal ini menghasilkan gambaran stereotipe laki-laki yang kuat dan perempuan yang lemah. Teori psikoanalistik Lacan dan Kristeva menyediakan fokus keempat-proses ketidaksadaran. Beberapa penulis feminis telah mendobrak sama sekali biologisme dengan mengasosiasikan “perempuan” dengan proses yang cenderung meruntuhkan otoritas wacana “laki-laki”. Seksualitas wanita bersifat revolusioner, subversif, beragam, dan “terbuka”. Pendekatan ini kurang tampak membawa resiko pengghettoan dan penstereotipan, karena pendekatan ini menolak untuk mendefinisikan seksualitas perempuan; jika ada prinsip wanita, secara sederhana berada di luar definisi laki-laki tentang perempuan. Virginia Woolf adalah kritikus wanita pertama yang memasukkan dimensi sosiologi (fokus kelima) dalam analisisnya mengenai tulisan wanita. Sejak itu dan selanjutnya, kaum femins Marxis, terutama, telah mencoba menghubungkan eprubahan kondisi sosial dan ekonomi dan perubahan imbangan kekuatan di antara kedua jenis kelamin. Mereka setuju dengan kaum feminis yang lain dalam menolak hakikat keperempuanan yang universal. Suatu tingkatan penting dalam feminisme modern dicapai oleh Kate Millet dalam bukunya Sexual Politics (1970). Ia mempergunakan istilah “patriarkhi” (pemerintahan ayah) untuk menguraikan sebab penindasan wanita. Patriarkhi meletakkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam
kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Meskipun ada kemajuan demokrasi, menurut Millet; wanita masih terus dikuasai. b. Penerapan Kritik feminis Penerapan teori feminis dalam karya sastra ditekankan pada tokoh cerita yang berjenis kelamin perempuan. Pertama-tama kita menentukan tokoh cerita perempuan kemudian.Kemudian mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya kita mencari: 1) Kedudukan tokohtokoh itu di dalam masyarakat, 2) Tujuan hidupnya, 3) Perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan penulis, 4) Pendirian serta ucapan tokoh yang bersangkutan. B. Tokoh lain, dalam tokoh lain ini dianalisis mengenai hubungan tokoh perempuan itu dengan tokoh-tokoh lainnnya. Apakah itu dengan suaminya atau pasangan hidupnya, dengan orang tua, dengan saudara atau dengan masyarakat sekitar dia berada C Mengamati sikap penulis karya yang sedang kita amati Di sini penting karena bagaimanapun suatu karya sastra itu merupakan suatu totalitas antara karya dengan penulis dan lingkungan sosialnya.
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Untuk menjawab permasalahan yang diajukan juga tujuan penelitian yang diinginkan, maka selain teori yang dipergunakan juga cara menganalisis yang dipergunakan untuk meneliti karya sastra. Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode dan teknik penelitian juga langkahlangkah penelitian. 3.1 Metode Penelitian Berdasarkan pendekatannya penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini mengungkapkan secara mendalam isi suatu karya sastra dengan cara Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|669
menafsirkan data. Data itu sendiri diperoleh berupa kalimat-kalimat. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-analitis. Metode deskriptif analitis dipilih karena penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang dianalisis (Webest, 1982:119). Dalam penelitian semacam ini, peneliti menjadi partisipan, penelti memasuki dunia data yang ditelitinya, mencoba menganalisis konsepkonsep yang ada di dalamnya, dan terus menerus membuat sistematisasi objek yang ditelitinya, apa makna yang terkandung di dalam novel dalam Novel Gadis Pantai, , Belenggu, Bekisar Merah dan Pengakuan Pariyem. Penelitian ini dikongkretkan lewat dua tahap pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978-5-6). Pada pembacaan heuristik, yakni tahap pembacaan tingkat pertama, yang memiliki peran penting adalah kompetensi linguistik pembaca. Artinya pada tahap ini, pembaca diharapkan dapat mengartikan setiap satuan linguistik yang digunakan yang semuanya itu sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku. Selanjutnya pada pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan tahap kedua, pembacanya diharapkan dapat mencari makna yang terkandung dalam teks yang dibacanya. Kemampuan itu sangat ditentukan oleh kompetensi linguistiknya. Apabila kompetensi linguistiknya kurang, sulit baginya untuk dapat mencari makna teks tersebut. Pada tahap pembacaan hermeneutik ini, pembaca diharapkan mempu menafsirkan makna teks sesuai dengan konvensi sastra dan budaya yang melatarbelakanginya.
WANITA SIMPANAN DALAM NOVEL INDONESIA
Setelah mengetahui metode penelitian yang digunakan maka pada bab ini akan diuraikan hasil penganalisisan terhadap novel Gadis Pantai, Belenggu, Bekisar Merah dan Pengakuan Pariyem. Keempat novel ini akan dibahas dari segi struktur novel dan gambaran feminisme yang mencakup: pandangan hidup tokoh utama, hubungan tokoh utama dengan lawan jenis dan pandangan masyarakat terhadap tokoh utama 3.1 GADIS PANTAI 3.1.1 Sekilas tentang Peristiwa, dan Latar Diceritakan pada suatu hari Bendoro yang memerintah di Keresidenan Jepara ingin mempersunting gadis pantai yang menjadi bunga di kampungnya sebagai selir. Keinginan Bendoro ini tak ada yang bisa mencegah atau melawan. Gadis Pantai hanya bisa berharap dan kedua orang tuanya mendoakan agar Gadis Pantai mengalami kehdupan yang lebih baik daripada kehidupannya sekarang. Kehidupan di Gedung Bendoro pada mulanya berjalan dengan penuh keindahan, kasih sayang suami juga pelayanan dari bujang-bujang yang siap diperintah dan berbagai perhiasan juga pakaian-pakaian bagus. Namun, begitu dia melahirkan anak, keindahan itu musnah. Dia harus rela kehilangan segalanya dan kembali menjadi sahaya bagi suami dan anaknya. Peristiwa dalam cerita ini terjadi di sebuah gedung bangsawan dan di kampung nelayan yang keduanya merupakan kehidupan yang kontras antara orang kebanyakan dan kaum bangsawan. Kehidupan yang akrab dan kekeluargaan di kampung nelayan dikontraskan dengan kekakuan dan feodalisme di lingkungan gedung Bendoro. Yang keduanya digambarkan secara hitam putih.Kaum bangsawan adalah kaum penindas yang tidak berkemanusiaan, sedangkan kaum kebanyakan merupakan kaum yang Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|670
tertindas, karena kebodohannya mereka tidak dapat beranjak dari keadaannya yang miskin dan tertindas. Bendoro merupakan sosok priyayi yang sewenang-wenang dalam memerintah dan berkuasa atas segala sesuatu dalam menentukan istri juga menceraikannya. Tak ada yang dapat melawan karena nyawa taruhannya. Gadis Pantai merupakan segelintir wanita yang merasakan perlakuan tidak adil dari Bendoro yang begitu mudahnya dinikahi dan dicampakkannya setelah ia melahirkan seperti benda mati lainnya. 3.1.2 Gambaran Sosok Gadis Pantai sebagai Selir Bendoro di Rembang Jepara 3.1.2.1 Gambaran Fisik Gadis Pantai merupakan gadis yang mulai beranjak akil balig, berusia empat belas tahun dengan keindahan fisik yang dimilikinya sehingga menimbulkan hasrat Bendoro untuk menikahinya. Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang. (1) Juga sebagaimana dikatakan orang lain padanya “Bagi wanita yang masih muda, Mas Nganten, sebenarnya tak ada kesulitan hidup di dunia, apalagi kalau ia cantik, dan rodi sudah tidak ada lagi.” (88) 3.1.2.2 Pandangan Hidup Pandangan hidup bagi Gadis Pantai adalah mengabdi. Tanpa mengetahui siapa suaminya, apa kedudukannya juga keluarganya dan kehidupan sehari-harinya, dia harus rela meninggalkan kampung halaman dan kehidupan yang selama ini akrab dengan dirinya untuk mengabdi
kepada Bendoro yang memerintah di kampungnya sebagai istri yang dinikahkan tanpa kehadiran Bendoro itu sendiri yang diwakilkan dengan sebilah keris. Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orang tua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pekan diperbaikinya dan layar tua yang tergantung di dapur – juga bau laut tanah-airnya. (1) Kepolosan pikirannya membuat dia menerima apa yang ditugaskannya baik oleh orang tua maupun Bendoro yang telah menyuntingnya dengan cara yang tidak menghargai kedudukan wanita sebagai mempelai yang akan hidup bersama. Kehadiran Bendoro hanya diwakilakan dengan sebilah keris yang menunjukkan suatu kekuasaan Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya ;lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (2) Pernikahannya tanpa ia kehendaki, yang ia ketahui itu merupakan perintah yang harus ia jalani sekalipun dengan meredam perasaannya yang dalam. “Sst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya.” Ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empatbelas tahun ini. (2) Ia hanya percaya kepada orang tuanya yang menghiburnya karena dia dinikahkan dengan orang kaya yang alim. Yang harus dia pelihara sehingga tetap alim. Karena
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|671
perilaku suami bergantung pada perilaku istri. “Mulai hari ini, nak,’ emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya:” Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” 3.1.2.3 Hubungannya dengan Lawan Jenis Karena dia menikah dengan diperintah dan keharusan, maka ketika menjalani hubungan suami-istri dia tidak mengetahui secara pasti.Hubungan mereka terjadi tanpa kesepakatan satu sama lain Pada saat pertama kali berhubungan sebagai suami istri, dia tidak mengetahui terjadinya. Dia hanya merasakan sakit ketika bangun tidur. Malam itu ia kembali ke ranjang dengan banyak pikiran.Perkawinanya tak dirayakan seperti itu. Bupati yang kawin jauh lebih tua dari Bendoro. Dan putri kraton itu lebih tua dari dirinya.Tapi ia tidak disambut dengan perayaan. Dan jam tiga ia terbangun. Bujang tak ada di bawah ranjangnya lagi. Tapi Bendoro telah tergolek di sampingnya. Pada jam 5 subuh, waktu bujang masuk ke dalam kamar, dilihatnya Mas Nganten-nya masih tergolek. Ia sedang mendekat dan didengarnya suara memanggilnya: “Mbok, tolonglah aku.” Bujang membuka kelambu dan menyangkutkan pada jangkarnya. “Sakit, Mas Nganten?” “mBok, mBok.” Bujang meraba kaki Gadis Pantai. “Tidak apa-apa, Mas Nganten, tidak panas.”
“Aku sakit, mBok. Bawa aku ke kamar mandi,” diulurkannya kedua tangannya minta dibangunkan. Wanita itu meraihkan lengannya, di bawah tengkuk Gdis Pantai, mendudukannya, merapikan rambutnya yangkacau balau, membenahi baju dan kainnya yang lepas porak poranda, menarik-narik seprai yang berkerut di sana-sini. “Ooh! Mas Nganten tidak sakit,” karanya bujang sekali lagi, dan menurunkannya dari ranjang. “mBok,” sepantun panggilan dengan suara lembut. “Tidak apa-apa Mas Nganten. Yang sudah terjadi ini takkan terulang lagi.” “Apa yang sudah terjadi, mBok?” Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjuk pada sprai yang dihiasi beberapa titik merah kecoklatan, bertkata, “Sedikit kesakitan Mas Nganten dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklah apaapa.” Sejak terjadinya hubungan suami istri perasaannya mulai terikat pada suaminya yang merasakan perasaan cemburu yang mendalam apabila suaminya tidak berada di dekatnya. Perasaan cinta timbul setelah terjadinya hubungan suami istri dan ini terlihat dari rasa cemburunya … Betapa ia rindukan suaminya yang baru pergi, baru saja, belum lagi sepuluh menit. Betapa ia sesali nasibnya takpernah lama tinggal bersama Bendoro, suaminya, terkecuali beberapa malam dalam seminggu. Apapun yang terjadi Bendoro berpesan padanya: jangan kenangkan yang buruk-buruk; itu perbuatan bodoh. Kenang yang indah-indah, yang baikbaik, biar hati yang bersih, dan pikiran Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|672
tinggal segar. Cuma keledai yang selalu renungkan nasibnya yang buruk, karena itu sampai mati ia Cuma jadi pengangkut beban orang… (59) “Wanita siapakan yang tak pernah cemburu, Mas Nganten. Tapi jangan ajak orang lain merasa tak senang.” “Terima kasih, mBok. Terima kasih.. Ke manakah biasanya Bendoro pergi – sampai berhari-hari begini?” “Ah, Mas Nganten, itu urusan pria dengan pekerjaannya, jangan ikut campur, karena wanita tak tahu apaapa tentang itu. Kita hanya tahu daerah kita sendiri: rumah tangga yang harus kita urus.” (60) Perasaan cinta yang tidak terbalas karena kekecewaan menjadikan dia jatuh cinta lagi pada priyayi lain yang membuatnya bergairah: Suara itu menarik hati Gadis Pantai. Suara tegas, perkaas, berkuasa, dan selalu bernada memerintah.Ah, rasa-rasanya ia rela diperintah olehnya, apa saja. Dengan hati-hati ia kiraikan sedikit kamarnya dan mengintip ke laua. Melalui punggung Bendoro ia lihat seorang priyayi muda, berperawakan kecil. Ikat kepalanya tinggi, tidak lazim terdapat pada priyayi pantai, sedang ujung-ujungnya tertarik pongah agak sedikit ke atas, kepalanya selalu terangkat lurus, jarang menunduk. Matanya berkilau gemerlapan, lebih indah dan menarik daripada berlian-berlian danintan-intan dan jamrut yang pernah menghias tubuhnya. Kulitnya agak kehitaman, sedang gerak-geriknya begitu lincah menangani senndok-garpu-pisau. Jantungnya kini berdenyut lain, manis dan mengusap-usap. (73)
Sikap Bendoro yang sebenarnya mulai kelihatan ketika tidak berkenannya Bendoro melihat anak perempuan hasil pernikahannya. Sore itu Bendoro datang membuka pintu kamar belakang Gadis Pantai, berhenti di samping daun pintu. “Bendoro, ampunilah sahaya, inilah anak Bendoro…,” tapi suara itu tak ke luar dari mulutnya. Ia terlalu takut. “Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.” “Jadi Cuma perempuan?” “Seribu ampun, Bendoro.” Bendoro membalikkan badan, keluar dari kamar sambil menutup pintu kembali. (215) Keadaan yang paling buruk akhirnya terjadi. Dia diceraikan setelah mempersembahkan anak bagi Bendoronya. “Mengapa bapak, mengapa diam?” “Maafkan aku. Kumpulkan semua pakaianmu.” “Ada apa, bapak?” “Jangan bertanya, nak, jangan bertanya. Kita akan pergi sekarang.” “Ke mana, bapak? ” “Pulang.” “Pulang?” “Ya, pulang. Kau tak suka lagi pada kampungmu sendiri sekarang?” “Mengapa tidak?” “Mari pulang, nak. Ini bukan tempatmu lagi.” “Mengapa, bapak?” “Mengapa? Kau telah dicerai.” Gadis Pantai menggigil di samping bapak. Bapak pun segera berdiri memapahnya. “Tawakal, nak, Tawakal.” (218) Yang menyakitkan dia tidak memiliki anak itu dan harus menjauh dari padanya Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|673
karena dia telah menjadi sahaya suami dan anaknya. “Apakah yang takkan diperbuat seorang ibu buat anaknya?” “Kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakain. Semua yang telah kuberikan padamu… Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” “Sahaya, Bendoro.” “Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan … tak boleh sekalikali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya. Kau dengar?” “Seribu ampun, sahaya satang buat serahkan anak sahaya ini, anak sahaya sendiri, bukan anak orang lain, Bendoro. Terimalah dia Bendoro.” “Letakkan di ranjang!” “Tidak mungkin, tuan.” “Kau tak denganr perintahku?” “Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak mau, apa pula merawatnya. Bendoro.Sebaiknya sahaya bawa pulang kampung.” Bendoro meronta bangun.Dan kursi goyang itu pun terayun-ayun tanpa penghuni. Ia berdiri menghadapi Gadis Pantai yang menunduk menekuri lantai. Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhiasan, bukan cincin, bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap orang.” “Mulai kapan kau punya ingatan mau larikan bayi ini?” (224) 3.1.2.4 Pandangan Masyarakat Terhadap Dirinya Perasaan cemburu dia telan dengan menghibur diri dengan berbagai hal yang indah-indah dan berharap dapat digantikan dengan hari lain yang mendudukan dia sebagai istri untuk selamanya. Dugaannya
ternyata salah. Dia tidak mengetahui bahwa hidupnya di gedung itu hanya sementara sebagaimana gadis-gadis lain yang pernah hidup di sana. Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di daerah Pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya; dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan – itu penghinaan bila menerimanya. (63) Dunianya hanya milik Bendoro yang begitu kuasa mengusai dirinya sehingga yang dia ketahui adalah pengabdian. “Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota – dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten.” “Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?” “Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali…” “Ya?’ “ Kewajiban menjaga setiap milik lelaki.” “Lantas milik perempuan itu sendiri apa?” “Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik lelaki. ” Gadis Pantai tahu benar: Bendoro telah tiga hari pergi. Dan ia tahu tepat Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|674
pula: ia hanyalah hak milik Bendoro. Yang ia tak habis mengerti mengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama nilainya dengan meja, dengan kursi dan lemari, dengan kasur tempat ia dan Bendoro pada malammalam tertentu bercengkrama. (68) Kehidupan di gedung sudah begitu menyatu dalam dirinya sehingga dia tidak menyadari bahwa itu akan berlangsung sementara. Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak berani. Ia takut. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa sedikit pun mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah setelah Gadis Pantai melahirkan anaknya yang pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya.Dan ibu muda ini lebih menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak boleh bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi Bendoronya, orang yang harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya sendiri, dan dengan lemah-lembut dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang. Semua kesenangan yang dia raih karena kecantikannya dan ini diungkapkan bujangnya yang semakin merasa berat mengikutinya. Akhirnya dia harus diyakinkan dengan kedudukannya oleh bujang yang lain yang masih saudara Bendoronya “Persaudaraan sekandung dan sepupu di Demak sangat malu, Mas
Nganten, karena sapai sekarang Bendoro masih perjaka.” “Perjaka?” “Jadi aku ini apanya?” “Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” Kembali Gadis Pantai bertanya,”Jadi aku bukan istri Bendoro?’ “Istri, ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.” (128) Sedikit-sedikit dia berusaha menyadari bahwa dirinya suatu waktu akan tersisih karena akan ada wanita utama yang menggantikannya. Dan seperti terjadi tiap hari, tangannya pun mulai bergerak melepas debu pada perabot, mengeluarkan permadani dan menjemurnya utuk kemudian memukulinya dengan pemukul kasur. Sekarang suasana dirasainya lain. Seorang musus akan datang dengan kebesarannya, memasuki perbentengan yang selama ini dianggapnya masih bisa lindungi hatinya. Tapi dengan keresahan tak menentu ia teruskan kerjanya menyeka seluruh perabot terkecuali senjata-senjata pusaka… 3.2 BELENGGU 3.2.1 Sekilas tentang Peristiwa dan Latar Menceritakan kehidupan wanita penghibur yang jatuh cinta pada laki-laki yang sudah beristri yang merupakan teman sewaktu dia kecil. Dia menjadi wanita kedua dalam kehidupan laki-laki itu yang tidak merasa bahagia karena istrinya sibuk dengan karir yang digelutinya. Peristiwa terjadi di sebuah kota besar yang sudah mengalami perubahan zaman di mana wanita sudah memiliki kebebasan mengambil keputusan sendiri, mempunyai karir sendiri tanpa adanya turut campur dari laki-laki. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|675
Dokter Sukartono merupakan seorang dokter terkenal yang memiliki karir yang cemerlang, namun kecemerlangan karirnya ini tidak ditunjang kebahagiaan di rumah tangga. Dia memiliki istri yang cantik dan pintar, namun sibuk dengan dirinya sehingga tidak ada waktu untuk saling berbagi perhatian dengannya. Perasaan kehilangan istrinya dia dapatkan dariRokayah salah seorang pasiennya yang berprofesi sebagai penghibur. Lewat Rokayahlah dia merasakan sebagai laki-laki yang dimanja dan senantiasa diperhatikan ketika dia merasa sendirian, Rokayahlah yang pertama-tama ia temui bukan istrinya. Namun, percintaan antara Tono dan Yah akhirnya berakhir karena mereka tidak menemukan cinta yang sebenarnya. Dalam lubuk hati Tono yang terdalam masih tumbuh cinta pada istrinya yang lebih terhormat. Perasaan Tono yang sebenarnya itu telah menyadarkan Yah sebagai wanita selingan di antara Tono dan istrinya. 3.2.2 Gambaran Sosok Rokayah sebagai Wanita Simpanan Dokter Sukartono 3.2.2.1 Gambaran Fisik …:” Ya…., “ sebentar lagi kedengaran orang turun dari tempat tidur. Lalu suara sandal terseret menghampiri pintu, maka Sukartono berhadapan dengan perempuan montok berpakaian kimono, yang ditutupkannya dengan tangan kirinya. (20) 3.2.2.2 Latar sosial Yah merupakan wanita penghibur yang hidup dari pelukan laki-laki yang satu ke pelukan laki-laki yang lain Jangan kautinggalkan, sudah lama aku mimpikan….., Kita akan bersua kembali,” suaranya terhenti, “Kita akan bersua kembali? Di manakah kita bersua dahulu?” Yah tersenyum: Dalam mimpiku, dalam angan-anganku, sudah
kugambatkan pertemuan yang begini. Percayalah, Tono, aku cinta.” Dipeluk oleh Sukartono tubuh Yah, katanya:”Tetapi sejak ini, jangan ada orang lain lagi.” “Memang sejak engkau kukenal tidak ada tamuku lagi. Karena itulah aku pindah ke sini, biar kita jangan diganggu. Tiadalah engkau kesal, aku Cuma perempuan…” (38) 3.2.2.3 Pandangan Hidup Karena sebagai wanita penghibur pandangan hidupnya hana untuk mencari kesenangan semata. Ini terlihat ketika dia merasa dicampakkan Tono karena Tono lebih memilih istrinya daripada dirinya. Malamnya Tono bertemu lagi dengan Yah, lalu dikabarkannya tentang maksud Tini itu, tentang dia menahannya, jangan dulu terus memutuskan perhubungan. Mulamulanya Yah merasa tidak senang. Tono cinta juga rupanya akan istrinya, dia sama sekali tidak ingat nasib Yah. Perasaan dia yang mesti tinggal, tapi istri Tono. Kalau dia sudah pergi, Tono akan melupakan dia, suami istri akan berbaik lagi. Ah, dia Cuma perempuan sambilan saja, perintang-rintang waktu. Dari cerita Tono dia tahu, rupanya istrinya tiada bercerita tentang pertemuan mereka tadi pagi. (140) Karena merasa dikhianati dia akhirnya meninggalkan cintanya pada Tono dan kembali pada dunianya sebagai wanita penghibur. Di dalam kamar mulai gelap. Tono melihat ke atas,tidak ada bola lampu lagi. Tentu listrik juga sudah dimatikan. Akan demikian jugakah dalam hatinya dalampikirannya? Ah, ya, kalau ada bolanya lagi, kalau ada stroomnya… tentu… pikirannya itu
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|676
tiada terus… diputarnyalagi slinger gramofoon, dibaliknya plaatnya. Selamat tingga, selamat tinggal, ….Suara Yah riang gembira,… Jauh di mata di hati bukan, Kasih hati tidak tinggal Selalu saja menggetarkan badan (146) 3.2.2.4 Hubungan dengan Lawan Jenis Sebagimana halnya wanita penghibur, maka Yah lebih agresif dan berinisiatif lebih dulu dalam menjalin hubungan dengan lakilaki. Yah sendiri yang mulai menggoda Tono Kemudian disuruhnya baring hendak memeriksa perut. “Buang air bagaimana?” “Baik saja, tuan dokter.” Ketika tangannya hendak ditaruhnya ke atas perut si sakit itu, tangan kiri si sakit yan gselama ini menutupkan kimononya, menyingkapkan kimono itu. Tangan Sukartono terhenti di awang-awang, tersirap dadanya sebentar, semata-mata karena terkejut, bukan karena hawa nafsu. (21) Dengan terus terang dia minta Tono untuk menemuinya di rumahnya “Nanti sukakah tuan dokter datang lagi ke rumah saya?” Dia harus diberi kadarnya. “Ya, tentu.” “Oh, dokter,” nyonya Eni berdiri,”maaf saya terlalu lama menahan tuan. Ada lagi orang sakit lain.” “Tidak mengapa, tiada lagi…”(28) “Perempuan aneh, tapi sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni perempuan sejati. (31)
Tanpa segan-segan dia memberikan alamat. Tuan dokter. Saya sudah pindah ke Gang Baru No. 24. Kalau tuan dokter kebetula lintas di sana, sukalah mampir di rumah saya, bekas pasien tuan dokter Nyonya Eni (32) Dengan penuh pengalaman melayani laki-laki yang biasanya tidak mungkin dilakukan wanita terhormat. Seperti membukakan baju juga sepatu. “Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?” Dia tiada menunggu jawab Sukartono dengan segera ditanggalkannya.Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut di hadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kursi Sukartono. (33) Dengan kelihaiannya berpura-pura menderita Yah mampu menggiring Tono dalam pelukannya “Alangkah bodohnya engkau. Sangkamu aku baru bercerai sangkamu aku sakit karena terlalu banyak pikiran memikirkan suamiku…” Yah tertawa, tertawa tapi mengandung sedih. “Mulamulanya aku tiada mengerti maksud katamu tentang, ‘banyak pikiran’, kemudian aku mengerti, sangkamu aku baru bercerai. Aku pura-purakan aku benar demikian, lalu….. ” “Aku masuk jaringmu,” senyum Kartono. (37) Pernah Tono bertanya:”Yah, aku heran, dari mana engkau mendapat pikiran yang dalam-dalam.” Yah tersenyum mencemoohkan:”Tono, Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|677
engkau heran? Mengapa perempuan seperti aku mempunyai pikiran yang sedalam-dalam itu?…. Dari orang lakilaki yang sebanyak itu pernah di sampingku.” Ucapan yang demikian acapkali terbit dari bibir Yah, dengan sindir yang tajam, menandakan pengalaman yang sedih-sedih yang sudah dideritanya. (39) Yah mengetahui betul untuk menghibur laki-laki yang sedang bersedih Tono,engkau bimbang. Zaman dahulu kau ketahui juga. Tono, tidak semua zaman dahulu merusuhkan hati, tidak semua tiada baik diingat, tapi ada jua yang seolah-olah bintang pagi bersinar-sinar dalam hati.” (39) Yah hening, memandang dengan sedih. Dia merasa sedih, melihat Tono demikian, terasa-rasa padanya. Tono serusuh itu bukan semata-mata karena anak itu mati; satu patah kata yang diucapkan oleh Tono tingga tergantung dalam perhatinannya: kehilangan. Yah tersenyum, kata itu menerbitkan gambar di dalma jiwanya. Kata itu berulang dalam pikirannya, seolah-olah kunci berputar hendak membuka pintu masuk ke dalam kamar tempat menyimpan pengalamannya. Kehilangan? Dia merasa apa artinya kata itu. Kehilangan pengharapan, kehilangan cita-cita, kehilangan kepercayaan pada kebenarannya manusia. …Tono barang apa saja tiada lama, tiada untuk selama-selamanya, apakah perlunya kita bersedih hati akan apa yang sudah hilang?” Kata Yah sejuk lembut, masuk dalam hati Kartono, sebagai air seteguk menghilangkan haus, tetapi hausnya belum juga hilang sama sekali. Kerongkongan jiwanya sudah tiada
serasa terkunci lagi. Dukanya matanya, jangan surut lagi ke hal yang tadi. Katanya dengan riang gembira” (75) Dengan lihai Yah dapat menyatakan cintanya dengan perasaan cemburu Suara Yah lain daripada biasa, seolah-olah menerangkan:”sudahlah apa boleh buat,” katanya:”Aku cemburu Tono, aku cemburu. Kalau kau lihat dia nanti,… kau sudah lama sukaakan suaranya nanti suka juga akan orangnya. Kaubandingkan akudengan dia nanti, … ah, apakah si Yah.” Yang tiada memberi kesempatan kepada Tono memotong bicaranya, katanya dengan lancar:”Apakah si Yah, Siti Hayati kata orang cantik molek, tiada salahnya dengan suaranya.” “Apa perlunya cemburu… jadi aku tolak saja permintaan…” “Entahlah Tono.” “Sekali ini engkau bimbang, Yah belum pernah.” “Tono,” kata Yah pelahanlahan,”mengapakah engkau suka dengan suara Siti Hayati? Mengapa engkau selalu terharu? Bukan, itu lagi saja, apalah yang mesti diharukan.” (96) 3.2.2.5 Pandangan Masayarakat Terhadapnya Dimulai dengan pandangan Tono tentang dirinya yang menganggapnya sebagai perempuan sejati “Perempuan aneh, tapi sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni perempuan sejati. (31) Lagu dimulai. Sebentar kemudian Siti Hayati menyanyi.Tono mengejapkan matanya. Suaranya agak lain dari radio, di plaat gramofoon, Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|678
persis suara Yah, suara Yah pada malam itu, dia menyanyi. Dibukanya matanya, Yah menyanyi dengan sepenuh hatinya. (117) Pendapat Tono itu didasarkan pada pendapat seorang laki-laki tua yang menganggap perempuan sejati adalah perempuan yang menyatakan kasihnya dengan mau menanggalkan sepatu suaminya. Tenang dan damai rasa hati dokter Sukartono disambut oleh orang tua itu.Sehabis memeriksa orang sakit, dokter Sukartono biasa duduk sebentar bercakap-cakap. Tetapi di rumah orang tua itu duduk sebentar, bukan saja karena hendak menyenangkan hati keluarga serumah, melainkan karena senang duduk berdekatan dengan orang tua itu, mendengar cakapnya. Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang kalau dia bersimpuh di hadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apalagi hak perempuan , lain dari memberi hati pada laki-laki? (17) Namun, setelah sadar Yah sama saja dengan wanita penghibur lainnya yang tidak memiliki kehormatan sebagaimana dinyatakan Tono
“… Yah engkau bukan, nyonya Eni engkau bukan, siapakah engkau? Engkau permain-mainkan aku, memang aku bodoh.Engkau pura-pura cinta padaku, tapi di belakangku, engkau menertawai aku,sedang engkau dipeluk orang lain.” (121) …Tono menghampirinya.Jarinya menunjuk muka Yah. Katanya dengan keras:”sifatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau ke sana.” (121) Pandangan istri Tono, Yah bukan sembarang wanita penghibur yang tidak berpendidikan, tetapi juga memiliki pendirian yang tidak mau dihinakan begitu saja. Tadinya dalam angan-angan Tini dia akan berjumpa dengan perempuan biasa, perempuan yang dapat dikalahkannya dengan semangat saja, semangatnya sebagai perempuan yang perempuan yang berpelajaran, perempuan datingkatan baik-baik. Tidak disangka-sangka dia berhadapan dengan perempuan… yang di luar angan-angannya. Nafsunya hendak tahu terbit. (131) Baru-baru ini kami bertemu lagi, kebetulan saja. Jangan amrah nyonya, dia tiada akan terpikat (Yah tersenyum, senyum manis yang berarti) ke dalam jaringku, kalau jaring nyonya baik.” (132) 3.3 BEKISAR MERAH 3.3.1 Sekilas tentang Peristiwa, dan latar Novel ini menceritakan seoran wanita desa yang cantik yang mengabdi pada suami yang kemudian dikhianati suaminya atas rekayasa orang lain. Penghianatan suaminya ini menjadikan dia lari ke Jakarta. Di Jakarta Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|679
dia jatuh ke tangan wanita yang berprofesi sebagai penjual wanita pada pejabat dan pengusaha besar. Dengan halus dia digiring menjadi wanita simpanan seorang pengusaha kaya yang telah beristri dua. Lasi adalah seorang gadis desa yang cantik yang berbeda dengan gadis-gadis desa lainnnya. Dia memiliki tinggi di atas rata-rata, berkulit putih dan bermata sipit. Dikabarkan Bapaknya orang Jepang yang menikahi emaknya zaman revolusi dulu. Dengan kesederhanaannya dia menikah dengan laki-laki penyadap yang baik bukan dengan laki-laki berpangkat. Namun, ketulusan cintanya dikhianati suaminya dengan selingkuh dengan wanita lain anak dari seorang wanita tua yang menyembuhkan penyakit suaminya. Sekalipun suaminya tidak berniat mengkhianatinya, namun karena kebodohannya suaminya terjebak oleh permainan kasar wanita tua yang mengobatinya. Kekecewaan Lasi membawa dia untuk kabur ke tempat yang jauh dari rumahnya. Karena kecantikannyalah dia tidak terluntalunta. Sekalipun nasibnya tidak terlalu baik dia akhirnya jatuh pada seorang wanita penjual wanita yang menghantarkannya menjadi wanita simpanan seorang pengusaha. 3.3.2 Gambaran Sosok Lasi sebagai wanita Simpanan Handarbeni 3.3.2.1 Gambaran Fisik Gambaran fisik sebagaimana dikatakanorang terhadapnya, misalnya suaminya Darsa yang merasa beruntung memiliki wanita secantik Lasi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukan kerena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pula karena banyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan
mata dan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengar selentingan yan gmengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantik Lasi. Lalu, Darsa sendiri seringmelihat bagaimana mata para lelaki tiba-tiba menyala bila mereka memandang Lasi.tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri. 3.3.2.2 Pandangan Hidup Sebagaimana halnya dengan perempuan desa pada umumnya pandangan hidup Lasi adalah mengabdi pada Suami. Dia berusaha menjadiistri yang baik yang hidupnya di dapur dan melayani suaminya supaya tidak marah. Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangat tanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku. Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli. Dlam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tidur adalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipun begitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung untuk kesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralah mandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih, Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengan senyum. Nasihat itu memang manjur.Darsa sama sekali tidak marah ketik adiberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|680
berpelupuh. Daripada melihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepada istrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus tidue dengan menggelar tikar di atas lantai tanah. Tiap hari dengan rela dia menghabiskan masa mudanya di dapur yang penuh dengan debu dan asap Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mas. Maghrib.Pada saat seperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi suara “hung”, yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pihon kelapa. Untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkan mulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarak pongkor di sepan mulutnya, “hung” yang didengungkannya akan menciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas dari rumah. Setiap penyadap mepunyai gaya sendiri dalam meniup “hung” sehingga aba-aba itu gampang dikenali oleh istri masingmasing. Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karena panas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan lasi menegakkan kepala ketika terdengar suatu “hung”. Wajahnya yang semula tegang, mencair. Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan “hung” suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolah nira. Ketika suaminya mengalami kecelakaan dia harus menerimanya dengan tawakal.
“Ya! Bukan apa-apa, sekedar kodok lompat,” jawab Mukri dengan pembawaan tenang.tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuh badannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsa kembali mengerang panjang. Kesetiaan tidak selamanya menjadikan kebahagiaan apabila ada orang-orang yang iri padanya. Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih Lasi melihat Sipah, perawan lewat umur anak bungsu Bunek. Gadis berkaki pincang dan amat pemalu itu sedang menuntut Darsa mengawininya? Pada detik pertama Lasi mempercayai kenyataan itu, bakul yang sedang dipegangnya jatuh ke tanah. Juga uang yang digenggamnya. Kelenting receh logam jatuh ke tanah berbatu. Kedua tangan Lasi mengepal. Lasi terlempar kembali ke dalam dunia khayal, menajdi kepiting batu raksasa dengan capit dari gunting baja. Lasi siap memangkas putus pertama-tama leher Bunek, kemudian leher Darsa, kemudian leher semua orang. Tapi tak pernah ada kepiting raksasa atau jari dari gunting baja. Yang tergelar di depan Lasi adalah kenyataan dirinya terlempar dari pentas selam ini dia hadir. Lasi kini merasa di alam awang-awang, antah berantah. Takaada layar atau cermin tempat ia melihat pantulan dirinya ada.Lasi merasakan dirinya tak mewujud. Hilang atau ketiadaan yang menghujamkan rasa amat sakit ke dalam dadanya. (hal. 75) Sakit hati membuat wanita menjadi nekat untuk mengarungi hidup yang berat. Lasi kadang merasa ragu dan takut. Namun rasa sakit karena perbuatan Darsa dan lebih-lebih sakit karena merasa dirinya tidaklagi berharga Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|681
untuk seorang suami, membuat tekadnya lebih pekat. Lari dan mbalelo adalah satu-satunya cara untuk melampiaskan perlawanan sekaligus membela keberadaannya. Lari dan lari meski Lasi sadar tak punya tempat untuk dituju. (83) Bagaimana, ya? Aku tak bisa menjelaskannya. Aku hanya merasa lebih baik berada di sini daripada tinggal di rumah karena bagiku amatlah sulit dimaru bareng sabumi, dimadu dalamsatu kampung (175) Akhirnya dia harus jatuh kepada orang yang memanfaatkannya untuk bisnis. …Terakhir Bu Lanting giat menjalankan niaga istimewa untuk melayani pasar istimewa yang sangat terbatas di kalangan tinggi.Oran bilang pasar itu diilhami oleh masuknya seorang gadis geisha ke istana negara pada awal dasawarsa 60-an dan kemudian bahkan menjadi ibu negara beberapa tahun kemudian. Kecantikan gadis Jepang itu , yang serin gmuncul mendampingi Pemimpin Besar dengan kain kebaya gaya Jawa, konon mampu membikin oleng hati banyak orang. Dankarena Pemimpin besar adalah patron, dari kalangan yang sangat terbatas pula muncul beberapa pemimpin kecil mengikuti langkahnya,mencari istri baru dari Jepang atau yang mirip dengan itu, Cina. Apabila mereka tidak berhasil menjadikan gadis-gadis Jepang itu istri sah, apa salahnya sekadar gundik. Yan gpenting meniru langkah Pemimpin Besar dijamin tidak mungkin keluar dari rel revolusi, suatu ungkapan dan slogan politis yang sangat dipopulerkan oleh Pemimpin Besar sendiri.
Bu lanting melancarkan berbagai rayuan, “Dengan modal kecantikan, perempuan muda seperti kamu bisa memperoleh apa saja” (153) Akhirnya dia harus menjalani hidupnya sesuai dengan keadaan bukan keadaan yang dia ubah. Dia harus menerima tawaran Bu Lanting yang telah memberinya segala keperluan wanita untuk dijadikan istri simpanan seorang pengusaha Sekali lagi Lasi tercenung.Ia ingin menggelengkan kepala tetapi tiba-tiba Lasi sadar dirinya sudah mengenakan baju bagus pemberian Bu Lanting. Karena alam pikirannya yang sahaja,Lasi merasa wajib memberi sesuatu karena dia telah menerima sesuatu.Dan sesuatu itu setidaknya berupa kesediaan menerima tawaran Bu Lanting. (150) Sekalipun dengan hati berat dia harus menerima tamu yang ditawarkan Bu Lanting Duduk di kamar seorang diri, Lasi merasa ada kerusuhan besar dalam hatinya.Takut tak mampu mewakili Bu Lanting menerima tamunya. Takut berhadapan dengan lelaki yang belum dikenal dan siapa dia sebenarnya? Lasi gelisah. Lasi bangkit dan duduk lagi di depan cermin besar, dan tiba-tiba rasa takutnya malah menyesakkan dada. “Jangan-jangan Bu Lanting benar, sekarang aku cantik. Dan sebentar lagi ada laki-laki datang untuk melihat aku memakai kimono?” Lasi makin gelisah. Dia harus menjalani hidup yang dihadapinya tanpa suatu kecurigaan “Memang begitu. Aku ikut Ibu pemilik rumah ini dan dia menganggapku sebagai anaknya. Di Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|682
sini aku tidak bekerja apa pun kecuali menemani Ibu jalan-jalan dan memelihara bunga. ” (175) Akhirnya dia menikmati kehidupannya tanpa merasa berdosa atau tanpa beban yang penting dia memiliki kemakmuran yang belum pernah dia rasakan selama ini Ya. Maka Lasi mulai belajar menikmati dunianya yang baru, berusaha yakin bahwa dirinya memang cantik dan pantas menajdi bagian dari kehidupan orang-orang kaya dan semua itu adalah bisa merasa benarbenar senang ketika misalnya, suatu kali diajak Handarbeni terbang ke Bali.Atas desakan Handarbeni Lasi pun akhirnya bersedia terjun ke kolam dalam sebuah hotel di sana dengan pakaian renang yang tipis dan sangat ketat. Handarbeni tertawa-tawa di pinggir kolam. Banyak mata lelaki menatap Lasi. Dan lama kelamaan Lasi merasa nikmat jadi pusat perhatian banyak lelaki. (265) 3.3.2.3 Hubungan Lawan Jenis Ketika bersuamikan Darsa dia merasakan kebahagiaan dalam menjalin hubungan suami-istri yang didasarkan saling memberi. Mungkin Darsa ingin berkata sesuatu. tetapi Lasi yang merasa dingin masukke bilik tidur hendak mengambil kebaya. DanDarsa mengikutinya, lalu mengunci pintu dari dalam. Keduanya tak keluar lagi Namun, tidak demikian dengan Handarbeni, penyerahan dirinya karena dia diberi kemakmuran yang melimpah yang pada mulanya dia begitu canggung menghadapi Handarbeni “Oh? Kalau begitu ayolah duduk bersamaku. Aku sudahbiasa datang kemari seperti saudara kandung ibu
angkatmu. Jadi, kamu jangan rikuh.Kamusudahjadi anak Jakarta. Siapa yang pemalu tidak bisa jadi anak kota ini. Kamu senang tinggal di Jakarta, Bukan? ”(183) Setelah waktu berjalan dia mau menerima Handarbeni karena jasanya. Tetapi dalam satu tahun itu pula Lasi tahu secara lebih mendalam apa dan Handarbeni. Benar pula kata Bu Lanting. Handarbeni sudah mempunyai dua istri sebelum mengawini Lasi. Maka dalam satu minggu Hansarbeni hanya tigakali pulang ke Slipi.yang ini tidak mengapa karena Lasi mendapat kompensasi beruap kemakmuran yang sungguh banyak. Lasi juga akhirnya tahu bahwa sesungguhnya Handarbeni adalah laki-laki yang hampir impoten. Kelelakiannya hanya muncul bila ada bantuan obat-obatan.yang ini terasa menekan hati Lasi, namum tak mengapa karena pada diri Lasi masih terisa keyakinan hiduporang Karangsoga; seorang istri harus narima, menerima suami apa adanya. Tetapi Lasi menjadi sangat kecewa ketika menyadari bahwa perkawinannya dengan Handarbeni memang benar main-main. Lasi merasa dirinya hanya dijadikan pelengkap untuk sekadar kesenangan dan gengsi (266) Dia mencintai Darsa karena pendiam dan memiliki otot yang kuat. Lasi yang hampir tak pernah bicara kecuali dengan emaknya akan mendapat teman bila Wiryaji yang sudah tua kebetulan sakit. Bila Wiryaji tak bisa bekerja, Darsa akan menggantikan pamannya itu menyadap nira kelapa. Darsa pendiam dan Lasi menyukainya. Bukan apa-apa, seorang pendiam bagi Lasi punya arti khusus.Siapa yang pendiam tentu tidak Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|683
banyak omong dan tidak suka berceloteh seperti kebanyakan orang Karangsoga. Atau karena Darsa setidaknya tidak buruk.Mamang tidak bagus tetapi sosok kelelakiannya jelas. Badannya seimbang dan ototnya liat, khas otot para penyadap. Apalagi Darsa masih sangat muda, usianya hanya beberapa tahun di atas Lasi. Perasaan cintanya yang tulus hanya kepada Darsa. Kemudian datang Kanjat Pada layar malam yang sangat pekat Lasi melihat dengan jelas sosok Kanjat yang datang seminggu lalu. Anak Pak Tir itu! Di asudah besar dan gagah. Dia datang dengan senyum dan sinar mata seorang lelaki dewasa; senyum dan sinar mata yang mendebarkan. (195) Adapun kepada Kanjat itu terjadi karena dia tidak mencintai sepenuh hati pada Handarbeni. Sebelum pertemuan dengan Kanjat benar-benar terlaksana, Lasi sudah membayangkannya dalam angan-angan yang manis. Kanjat menyusul ke Jakarta dan menemuinya disebuah tempat yang sangat pribadi. Lasi berterus terang bahwa semual dirinya terbawa arus yang tak bisa dimengerti dan perkawinannya dengan Handarbeni pun seperti terjadi di luar dirinya. (285) Tanpa disadarinya sering dia memikirkan kehadiran Kanjat, laki-laki yang datang mengisi hidupnya ketika sudah menjadi istri Handarbeni Lasi tersenyum pahit karena tak seorang pun berada di dekatnya, tidak pula Kanjat.Lalu,pada pertemuan sebenanrnya keesokan harinya, Lasi mula-mula tak mudah omong. Mulamula Lasi lebih sering menatap Kanjat dengan perasaan tak menentu. Ada
harap, ada segan dan malu. Ketenangan yang diperlihatkan Kanjat malah membuat Lasi merasa kecil. Anehnya, dada Lasi selalu berdebar bila mata Kanjat menyambarnya. Telapak tangannya berkeringat (286) Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaan berat bagiDarsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakan Darsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil. Gurauan ini saja sudah sangatmenyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru lebih mendasar;anak adalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadi buhul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak? Bila Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudah kedaulatannya atas Lasi. Oran gtak usah lagi berkata bahwa sesungguhnya Lasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa. Pembagian kerja dalam rumah tangga di desa jelas bahwa suami mencari nafkah dan istri tinggal di rumah menyelenggarakan rumah tangga dari masak dan berdandan membahagiakan suami 3.3.2.3 Pandangan Masyarakat terhadap Dirinya Lasi merupakan sosok wanita cantik yang senantiasa diperbincangkan dalam masyarakat dan menganggap dia layak menjadi istri seorang pejabat. Namun tidak demikian halnya ketika mereka mendengar malapetaka semacam menimpa Darsa. OrangJurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|684
orang Karangsoga membicarakannya di mana-mana dengan penuh minat, penuh rasa ingin tahu. Dan hal ini terjadi pasti bukan karena Darda terlalu penting bagi mereka melainkan karena istrinya. Lasi! Lasi akan menjadi janda apabila Darsa meninggal. Orang banyak mengatakan, Karangsoga akanhangat kembali oleh bisik-bisik, celoteh, dan gunjingan tentang Lasi seperti ketika dia masih gadis. Lasi akan kembali menjadi bahan perbincangan, baik oleh lelaki maupun perempuan. Bahkan orang juga menduga cerita tentang asal-usul Lasi dan perkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebaklagi. Atau tentang ayah Lasi yang menyebabkan istri Darsa itu memiliki penampilan yang spsifik, tak ada duanya di Karangsoga . Lasi sebagai wanita cantik merupakan sumber gunjingan di masyarakat sehingga orang senang menghubungkannya dengan hal-hal yang jelek. “Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa!” Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ketiaknya, lari menyeberang titian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawah kesadarannya Lasi merasa jadikepiting batu jantan dengan tangan penjepit kukuh perkasa. Ia takkan segan menggunting hingga putus leher ketiga anak lelaki itu. Tetapi yang ada bukan tangan penjepit melainkan kayu penggaris.Dua penggoda lari dan seorang lagi tetap tinggal, bahkan membiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanya meringis sambil tertawa. Malah Lasi menangis.
Darsa sebenarnya tidak ingin menyakiti Lasi, tapi keadaan yang menyebabkan dia tidak dapat menolak nasib Ya, Darsa masih ingat. Ketika itu pikirannya terbelah-belah. Ada kesadaran tidak ingin menyakiti Lasi. Pada kesadaran ini Lasi terlalu baik untuk dikhianati. Atau Lasi adalah cermin tempat Darsamemperoleh pantulan gambar tentang dirinya sendiri. Adalah bodoh bila Darsa ingin memecah cermin berharga itu. Tetapiada juga keinginan untuk tidak mengecewakan Bunek yang sudah sekian lama dengan sabar merawatnya sampai terasa berhasil. Dan ada berahi. Tetapi bahkan untuk soal berahi inipun Darsa sudah dapat mengira-ngira beban akibat yang mungkin harus dipikulnya kelak. (107) Sejak kecil Lasi sudah memilik paras yang cantik sebagaimana diungkapkan Kanjat salah seorang temannya Setelah masuk SMP Kanjat tidak lagi bermain bersama Lasi. Bahkan jarang bertemu karena Kanjat indeks di kota. Namun pada tiap kesempatan berada di rumah, Kanjat senang menunggu Lasi datang menjual gula emaknya. Kanjat puas bila sudah mengajak Lasi sekadar bercakap-cakap atau malu-malu bertukar senyum. Dan lekuk di pipi kiri itu! Mengapa urusan kulit pipi yang sedikit terlipat itu punya daya tarik kuat dan Kanjat amat menyukainya? Apakah karena lesung di pipi Lasi selalu muncul bersama mata yang amat spesifik dan alis yang kuat? Atau karena rambutnya yang lurus dan legam? Kanjat tak pernah tahu jawabnya, Kanjat hanya mengerti sejak bocah bahwa Lasi lain. Lasi putih, amtanya spesifik dan lekuk pipinya sangat bagus.
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|685
Banyak orang mengatakan bahwa Lasi pantas menjadiistri orang kaya “Las kamu sendiri sudah berpengalaman menjadi istri yang bekerja sangat keras sambil mengabdi sepenuhnya kepada suami. Tetapi apa hasilnya? Selama itu, menurut cerita kamu sendiri, terbukti kalung sebesar rambut pun tak mampu kamu beli, malah kamu dikhianati suami. Pakaianmu lusuh dan badanmu rusak. Kini ada peluang bagimu untuk mengubah nasib. Dan karena kamu memang sudah pantas menjadi istri orang kaya, jangan sia-siakan kesempatan ini. ” (199) Lasi dipandang perempuan dusun yang tidak menyadari kecantikannya “Oalah, Las, dasar kamu perempuan dusun. Kamu tidak tahu bahwa kamu punya sesuatu yang disukai setiap lelaki: wajah cantik dan tubuh yang bagus. Kamu mungkin juga tidak tahu bahwa sesungguhnya lelaki kurang tertarik atau malah segan terhadap perempuan yang terlalu cerdas apalagi berpendidikan terlalu tinggi. Bagi lelaki, perempuan yang kurang pendidikan danmiskin tidak jadi sol asal dia cantik.Apalagi bila si cantik itu penurut.Jadi lelaki memang bangsat. Nah, kamu dengar? Kini kamu tahu kenapa Pak Han suka sama kamu? Sebabnya, kamu cantik dan diharapkan bisa menjadi boneka penghias rumah dan kamar tidur. Maka percayalah, kamu akan selalu dimanjakan, ditimang-timang selama kamu tetap menjadi sebuah boneka: cantik tetapi penurut. ” (200)
3.4 PENGAKUAN PARIYEM 3.4.1 Sekilas tentang Peristiwa dan Latar
Novel ini menceritakan kehidupan seorang babu yang bernama Pariyem yang bercinta dengan anak majikannya. Peristiwa terjadi di sebuah desa di Wonosari Gunung Kidul dan Yogyakarta. Pariyem merupakan gadis desa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga penghibur. Agama yang dianutnya tidak jelas sehingga hidupnya banyak diwarnai dengan hubungan cinta lawan jenis. Dengan kemontokan tubuhnya banyak laki-laki jatuh ke pelukannya di antaranya kekasihnya Kliwon dan anak majikannya Den Bagus 3.4.1.1 Gambaran Fisik Dalam novel ini digambarakan bagaimana fisik tokoh utama yang memiliki daya tarik seksual bagi laki-laki. ‘Iyem’ panggilansehari-harinya Saya pun tumbuh subur Badan saya berkembang sesuai keinginan Bapak Badansaya berkembang sesuai naluri alam Saya pun tambah besar Sampai anak-anakmuda Yogya menggoda Dansering rerasan: Saya bertubuh sintal Saya bertubuh tebal Tapi biarlah sajalah Saya tak apa-apa kok, Saya lega-lila” (22) Pariyem berasal dari desa di gunung yang tidak memiliki agama yang jelas “Ya, ya. Pariyem saya Adapun kepercayaan saya Mistik Jawa Tapi dalam kartu penduduk Oleh pak Lurah dituliskan Saya beragama Katolik Memang saya pernah sinau di Sekolah Dasar Kanisius di Wonosari Gunung Kidul Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|686
Tapi sebagaimana sinau saya tak tamat Saya pun tak punya akar kokoh beragama 23) Berasal dari keluarga penghibur … Bapak saya biasa berperan bambangan banyak benar wanita kepencut sama bapak saya Apalagi bila dia sudah gandrung – ura-ura Para penonton terharu hilang kata Di luar, angin berhenti bertiup Serangga-serangga istirahat Dan pohon-pohon mendengarkan “Sedang simbok saya jadi ledhek Parjinah nama kecilnya Jinah nama panggilannya Tapi di jagad pesindhenan Niken Madu Kenter julukannya Betapa sering banget mengembara Ke kota-kota Kecamatan dan Kabupaten : Klaten,Purworwjo, Boyolali, Salatiga, Muntil, danbiasa menginap di rumah pak Lurah Simbok pun laris ditanggap Tayuban Bersama sejumlah kawan seangkatannya komplot Ledhek yang berusia sebaya Simbok adalah bintang primadonanya Bil asudah ngibing, mas – wuah – Pak Lurah, pak Mantri, pak Camat Bahkan pak Wedana dan pak Bupati Naik turun kala menjingnya ” (32) 3.4.2.2 Pandangan Hidup Tujuan hidup yang dianut mencari kesenangan tanpa memikirkan dosa.
Bagaimana ia menyerahkan begitu saja tubuhnya kepada kekasihnya “Dusun Karang kami lewati Dusun Wonosari ada di depan Kami menempuh bulak, gliyakgliyak Danselendang saya singsatkan leher Dan tangan saya kuat dia pegang Dantangan dia kuat saya pegang Dan oh, saya diseret ke gubug reyot Tempat menunggu padi di hari siang O, saya belum tahu mau diajak apa Namun naluri sudah mengatakan Rasa gagu menjebak saya – ingkarTapi gejolak darah membujuk gencar Hatikemrungsung meraung-raung (79) dan anak majikannya. Dan itulah kebanggaannya Ah, ya. Raden Bagus Ario Atmojo namanya O, betapa saya bingun! Betul-betul bingung! Tapi terselip rasa bangga Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya “Iyem” panggilan sehari-harinya dari Wonosari Gunung Kidul Sebagia babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono Di nDalem Suryaentaraman Ngayogyakarta Kini memerawani putra sulungnya Raden Bagus Ario Atmojo namanya Saya ajar bermain asmara (44) Dia tidak begitu risau ketika pernikahannya tidak dirayakan Hari-hari sepi pasti saya lalui Tapi kegembiraan batinmenyertai
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|687
Tak ada nikah, tak ada upacara resmi Tak ada gendhing “Kebo Giro” resepsi Antara Ngayogyakarta dan Wonosari Dalam bayang bersatu sunyi. (167) Begitu juga ketika anaknya lahir tanpa ditunggui suaminya Waktu Endang Sri Setianingsih lahir Den Bagus terlambat datang Sehari kemudian baru nongol Sayang dia sedang menempuh ujian Demikian pun nDoro Kanjeng Cokro Sentono Datangnya sepekan kemudian
Dia juga bangga menjadi babu Ya, ya Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya Iyem” panggilan sehari-harinya Antara Wonosari Gunung Kidul Dan Ngayogyakarta Hadiningrat Dua tempat satu jagad Dua tempat satu nyawa O, di sini saya hidup Di sini saya bercinta Mas Paiman. O, Mas Paiman Saya tetap tinggal sebagai sediakala Saya tetaplah sebagai babu yang setia Sebagai babu nDoro Kangjeng Cokro Sentono Di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta Tak kurang suatu apa Saya sudah bahagia. (192) 3.4.2.3 Hubungan dengan Lawan Jenis Berpengalaman menggoda laki-laki. Dan laki-laki itu anak majikannya.
Tapi Den Bagus Ario tidak ikut Lagi tak enak alasannya Tinggal saya dan dia di rumah berdua lha, tidak salah lagi betul, iya dia masih malu-malu Memang dia clingus banget, kok Tapi sorot matanya tak bisa menipu Saya kenal betul sama hasrat lelaki Yang timbul di balik gerak geriknya Pendeknya dia kasmaran sama saya Perasaan cinta diungkapkan dengan hubungan badan sebagaimana dia lakukan dengan kekasihnya Kliwon “Dusun Karang kami lewati Dusun Wonosari ada di depan Kami menempuh bulak, gliyakgliyak Danselendang saya singsatkan leher Dan tangan saya kuat dia pegang Dantangan dia kuat saya pegang Dan oh, saya diseret ke gubug reyot Tempat menunggu padi di hari siang O, saya belum tahu mau diajak apa Namun naluri sudah mengatakan Rasa gagu menjebak saya – ingkarTapi gejolak darah membujuk gencar Hatikemrungsung meraung-raung.. (79) 3.4.2.4 Masyarakat Memandangnya Masyarakat yang memandang perilaku dia tidak mencampakkannya, malah dibantu. Ini tergambar dari keputusan keluarga majikannya yang mau mengangkat anaknya sebagai anak mereka Dan nDoro Kanjeng melanjutkan bicara: “Kowe ya, Pariyem, pegang katakataku
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|688
Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu Itu bakal cucuku, bukan tanpa eyang Dia cucu nDoro Ayu, punya eyang putri Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik Dia anak Ario, bukan tanpa ayah Dia anak Ario, bukan bocah jadah Kowe satu bagian dari keluarga di sini Bila kowe sakit keluarga pun menanggung Kita memelihara dan melestarikan hidup Dengan saling kasih dengan saling sayang Dan kita menyingkirkan prasangka buruk Jauh-jauh kita kubur dalam pemaafan Hendaknya menyuburkan taman keluarga Harapkan, semua berjalan apa adanya Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa Hanya selama setahun tinggal di dusun Di Wonosari Gunung Kidul Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul Sedang semua kebutuhan nanti tersedia ” (164)
3.5 Gambaran Sosok Wanita Simpanan dalam Keempat Novel Pada dasarnya keempat wanita simpanan dalam empat novel yang dianalisis menggambarkan sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Keempat wanita simpanan bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikan mereka
tidak sampai perguruan tinggi sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih banyak diiming-imingi harta yang melimpah. Gadis Pantai tergoda lagi dengan priyayi yang lain, Rokayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya. Lasi mencintai laki-laki lain karena suaminya tidak dapat melayaninya dengan baik demikian juga dengan Pariyem yang mencintainya secara ragawi. Dari keempat wanita simpanan ketika dijadikan wanita simpanan tiga di antaranya sudah menjanda atau tidak perawan lagi yaitu, Rokayah, Lasi dan Pariyem sedangkan Gadis Pantai masih perawan. Mereka menjadi wanita simpanan karena mereka tak berdaya dan juga silau dengan harta. Gadis Pantai menerima menjadi selir karena perintah dari yang memerintah, Rokayah menjadi wanita simpanan karena silau dengan harta, Lasi menjadi wanita simpanan karena tidak berdaya menghadapi bujuk rayu orang yang berjasa menghibur dirinya dari perlakuan suaminya. Pariyem menjadi wanita simpanan karena merasa tersanjung dapat bercinta dengan bangsawan. Mereka tidak menyadari sama sekali betapa negatifnya pandangan masyarakat terhadap perilaku mereka, karena mereka terlena dengan kemakmuran yang dimilikinya sekalipun mereka tidak bahagia. Kesimpulan Sebelum menginjak pada bagian kesimpulan perlu diketahui dulu secara garis besar hasil analisis yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisis tergambar pada novel Gadis Pantai bahwa tokoh utama yaitu Gadis Pantai merupakan wanita lugu dari kampung nelayan yang terpaksa Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|689
menyerahkan diri untuk dijadikan selir Bendoro Keresidenan Jepara atas persetujuan orang tuanya. Dengan berbekal kecantikan dia mengabdi pada Bendoro sebagai seorang istri yang patuh. Hubungan pertama sebagai suami istri tidak dinikmatinya secara sempurna karena terjadi ketika dia dalam keadaan terlelap. Dia tidak begitu mengerti tentang perilaku Bendoro yang datang dan pergi tanpa sepengetahuannya. Ketika melahirkan anak dia tidak merasakan kehadiran suami dan kebahagiaan seorang ayah, juga tidak sempat dia merasakan sebagai seorang ibu karena setelah melahirkan dia harus meninggalkan anaknya dan kembali menjadi sahaya. Pada novel yang kedua Belenggu menampilkan sosok wanita yang berpengalaman dalam bercinta sehingga dengan mudah dia dapat menjaring Dokter Sukartono ke dalam pelukannya. Yah dibesarkan dalam dunia hiburan sehingga kesenangan adalah tujuan hidupnya. Dengan lihai dia dapat menjaring laki-laki pilihannya dengan menjadi perempuan yang melayani laki-laki yang biasanya jarang dilakukan oleh wanita lainnya, sehingga laki-laki merasa dikagumi dan lupa akan dirinya. Novel ketiga Bekisar Merah menampilkan tokoh utama Lasi seorang gadis desa yang lugu yang mengabdi pada suaminya seorang penyadap dengan tulus padahal menurut masyarakat dia layak menjadi istri pejabat. Ketulusan cintanya kandas karena perlakuan wanita tua yang mengobati suaminya memanfaatkan Darsa menjadi istri anaknya yang cacat. Pengkhianatan ini menjadikan Lasi nekat pergi ke Jakarta dan terdampar di rumah wanita penjaja wanita. Dengan ketidakberdayaannya akhirnya Lasi terpaksa menerima menjadi istri simpanan Handarbeni seorang pengusaha kaya.
Novel keempat menampilkan seorang babu Pariyem yang dengan memanfaatkan kemontokan tubuhnya menggoda anak majikannya sehingga hamil. Perilakunya ini di asadari dan dia bahagia karenamasyarakat sekelilingnya tidak begitu memperdulikan perilakunya dia tidak merasa berdosa. Pada dasarnya keempat wanita simpanan dalam empat novel yang dianalisis menggambarkan sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Keempat wanita simpanan bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikan mereka tidak sampai perguruan tinggi sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih banyak diiming-imingi harta yang melimpah. Gadis Pantai tergoda lagi dengan priyayi yang lain, Rokayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya. Lasi mencintai laki-laki lain karena suaminya tidak dapat melayaninya dengan baik demikian juga dengan Pariyem yang mencintainya secara ragawi. Dari keempat wanita simpanan ketika dijadikan wanita simpanan tiga di antaranya sudah menjanda atau tidak perawan lagi yaitu, Rokayah, Lasi dan Pariyem sedangkan Gadis Pantai masih perawan. Mereka menjadi wanita simpanan karena mereka tak berdaya dan juga silau dengan harta. Gadis Pantaimenerima menjadi selir karena perintah dari yang memerintah, Rokayah menjadi wanita simpanan karena silau dengan harta, Lasi menjadi wanita simpanan karena tidak berdaya menghadapi bujuk rayu orang yang berjasa menghibur dirinya dari perlakuan suaminya. Pariyem menjadi wanita simpanan karena merasa tersanjung dapat bercinta dengan bangsawan. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|690
Mereka tidak menyadari sama sekali betapa negatifnya pandangan masyarakat terhadap perilaku mereka, karena mereka terlena dengan kemakmuran
yang dimilikinya sekalipun mereka tidak bahagia.
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|691
DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia. Djajanegara, Soenajati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengatar . Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Eagleton, Terry. 1986. Literary Theory. London: Oxford University. Fromm, Erich. 1987. Seni Mencinta. Diindonesiakan oleh Ali Sugiharjanto dan Apul D. Maharadja. Cetakan kedua. Jakarta: PT Bunda Karya. Isaac, Stephen dan William B. Michael. 1982. Handbook in Research and Evaluation. San Diego, California: Edits. Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Cetakan Keempat. Jakarta: Gramedia. Martin, Wallace. 1986. Recent Theories of Narative. London: Cornell University Pane, Armijn, 1995. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat Selden. Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradopo. Yogyakarta; Gadjahmada University Press. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Sudjiman, Panuti. 1985. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Puataka Jaya. Suryadi, Linus A.G. 1998. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Cetakan Kedua. Jakarta:Gramedia. Toer, Pramudya Ananta. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra Tohari, Ahmad. 1993. Bekisar Merah. Jakarta:Gramedia
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|692