POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU
KIKI KARTIKASARI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ii
RINGKASAN
KIKI KARTIKASARI. Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim untuk Mendukung Sistem Usaha Tambak Udang dan Garam di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh RIZALDI BOER. Keragaman produksi tambak udang dan garam sangat dipengaruhi oleh kualitas air terutama salinitas. Salinitas banyak dipengaruhi kontinuitas, pola dan durasi hujan serta evaporasi. Oleh karena itu, apabila kondisi iklim yang mempengaruhi salinitas dapat diprediksi, maka prakiraan produksi udang dan garam juga akan dapat diprakirakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai ekonomi pemanfaatan informasi prakiraan iklim dalam usaha tambak udang dan garam. Penelitian dilaksanakan melalui dua tahap. Tahap pertama ialah observasi lapangan (survey) untuk mendapatkan data sosial ekonomi serta aktifitas petani petani tambak udang dan garam, data salinitas di kawasan tambak juga respon petani terhadap informasi prakiraan iklim. Pada bagian ini dilakukan juga pengumpulan data sekunder lain yang mendukung seperti data seri produksi udang dan garam, data iklim dan data seri SOI (Southern Oscillation Index)/SOI Phase. Tahap kedua ialah analisis data hasil survey untuk menghasilkan kalender aktivitas petani tambak udang dan garam serta nilai kelayakan ekonomi usaha. Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha tambak udang dan garam selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya nilai ekonomi informasi prakiraan iklim. Dalam kajian ini prakiraan iklim yang dimaksud ialah prakiraan iklim tiga bulanan yang diduga dari informasi SOI tiga bulan sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa anomali produksi udang periode tiga bulan tertentu berhubungan secara linier dengan selisih curah hujan dan evaporasi (CH-E) pada periode tiga bulan sebelumnya. Nilai CH-E untuk periode tiga bulanan dapat diprakirakan dengan menggunakan informasi fase SOI. Nilai fase SOI triwulan berjalan ditentukan dari nilai SOI pada triwulan sebelumnya. Apabila nilai SOI triwulan berjalan menurun tajam atau bernilai konstan negatif dibanding triwulan sebelumnya maka dikatakan pada triwulan tersebut berlangsung ElNino. Sebaliknya apabila nilai SOI triwulan berjalan meningkat tajam atau bernilai konstan positif dibanding triwulan sebelumnya maka dikatakan pada triwulan tersebut berlangsung La-Nina. Dengan menggunakan persamaan-persamaan hubungan di atas dan informasi fase SOI, nilai ekonomi informasi iklim dapat ditentukan. Sebagai contoh, apabila usaha tambak tetap dilakukan setelah mengetahui bahwa informasi fase SOI triwulan pertama (Januari-Februari-Maret) menunjukkan kondisi El-Nino, maka kemungkinan pendapatan dari usaha tambak udang pada triwulan kedua dapat mencapai Rp.10 milliar dengan tingkat peluang 80%. Akan tetapi apabila fase SOI menunjukkan kondisi normal atau La -Nina, maka peluang untuk memperoleh keuntungan senilai tersebut lebih rendah yaitu 40%. Berikutnya apabila mengetahui informasi fase SOI April-Mei-juni menunjukkan kondisi El Nino, kemungkinan penurunan pendapatan dari usaha tambak udang pada triwulan ketiga dapat mencapai Rp. 4 miliar dengan tingkat peluang 90%, apabila fase SOI menunjukkan kondisi normal peluang mengalami kerugian sejumlah itu hanya 83% dan apabila fase SOI menunjukkan kondisi La Nina maka peluang mengalami kerugian sejumlah itu sekitar 80%. Pada triwulan keempat, usaha tambak udang diperkirakan akan selalu mengalami kerugian. Kerugian yang mungkin dialami hingga lebih dari Rp. 13 miliar dengan peluang terjadi pada kondisi El Nino 70%, pada kondisi normal dan La Nina 80%.
iii
POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU
KIKI KARTIKASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
iv
Judul Skripsi : Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim untuk Mendukung Sistem Usaha Tambak Udang dan Garam di Kabupaten Indramayu Nama : KIKI KARTIKASARI NRP : G 24102004
Menyetujui
Pembimbing
Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. NIP. 131842416
Mengetahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesma ryono, M.S. NIP. 131473999
Tanggal disetujui:
v
RIWAYAT HIDUP 30 November 1984
lahir di Majalengka, Jawa Barat
1990 – 1996 – 1999 – 2002 –
SDN 1 Sukaraja, Majalengka SMP Negeri 1 Majalengka SMU Negeri 1 Majalengka Institut Pertanian Bogor Sarjana Sains di Departemen Geofisika dan Meteorologi
1996 1999 2002 2007
vi
PRAKATA Alhamdulillah, akhirnya saya dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim untuk Mendukung Sistem Usaha Tambak Udang dan Garam di Kabupaten Indramayu. Laporan ini menyajikan hasil dari aktivitas tugas akhir saya selama periode Mei 2006 hingga Januari 2007. Terima kasih kepada INSTITUT PERTANIAN BOGOR yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk menjadi yang terbaik di balik nama besarnya. Terima kasih juga kepada pihak Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor, Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu yang telah memfasilitasi pelaksanaan tugas akhir ini. Tugas akhir ini terselesaikan atas bantuan banyak pihak, oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada Bapak Rizaldi Boer terima kasih atas bantuan, bimbingan dan dukungannya dalam setiap diskusi. Terima kasih juga atas waktu yang telah diberikan untuk membimbing saya sejak melaksanakan praktik lapang hingga tugas akhir. Kepada Ibu Rini Hidayati dan Ibu Ana Turyanti yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tugas akhir saya serta atas beberapa diskusi yang memberikan banyak masukan bermanfaat bagi saya. Selain itu, kepada Bapak Ahmad Bey selaku pembimbing akademik, saya sampaikan penghargaan yang sama. Berikutnya kepada seluruh staf, mahasiswa, alumni serta keluarga besar Departemen Geofisika dan Meteorologi, Malabar 8, Meranti W13 yang secara langsung maupun tidak langsung turut memberikan kontribusi dalam penyelesaian tugas akhir ini. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Mba Yessie Widya Sari, your pragmatic attitude in every discussion has always encouraged me. Kepada Bapak M. Abdurahman, Ibu Sulsilah, de’ Aci, serta keluarga di Majalengka terima kasih atas dukungan yang sangat besar dan tidak pernah putus sehingga saya mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbaik. Kepada Ibu Mamlu’ah dan keluarga di Tuban saya sampaikan penghargaan yang sama. Terakhir, untuk Benny Istanto terima kasih atas SEMUA-nya.
Bogor, Februari 2007
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
II.
III.
IV.
viii ix x
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan
1 1
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kabupaten Indramayu 2.2. Usaha Tambak Udang 2.3. Aspek Ekologis Tambak 2.4. Usaha Tani Garam 2.5. Faktor Cuaca yang Mempengaruhi Produksi Garam 2.6. Fenomena ENSO (El Niño and Southern Oscillation) 2.7. SOI (Southern Oscillation Index) phase
1 2 2 3 3 3 4
METODOLOGI 3.1. Ruang Lingkup Studi 3.2. Waktu dan Tempat Studi 3.3. Data 3.4. Metode 3.4.1. Survey 3.4.2. Analisis Kalender Aktifitas 3.4.3. Analisis Ekonomi Kegiatan Usaha Tambak Udang dan Garam 3.4.4. Analisis Hubungan Anomali Produksi Udang dan Keragaman Iklim 3.4.5. Analisis Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim
5 5 5 5 6 6 6 6 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kegiatan Usaha Tambak Udang 4.2. Kalender Aktifitas Petani Udang 4.3. Kegiatan Usaha Tani Garam 4.4. Kalender Aktifitas Petani Garam 4.5. Keragaman Iklim dan Produksi Tambak Udang serta Tani Garam 4.6. Potensi Pemanfaatan Informasi Iklim
7 7 8 9 10 13
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
17
V.
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Parameter kualitas air tambak 2 Kalender aktifitas petani udang di kabupaten Indramayu 3 Kalender aktifitas petani garam di kabupaten Indramayu
3 8 9
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pola sirkulasi Walker pada kondisi normal (a) dan menjelang El Nino (b) Analisis cluster terhadap data seri SOI 1882-1991 Kurva pembatas masing-masing cluster Produksi udang kabupaten Indramayu tahun 1997-2006 Hubungan anomali produksi udang dengan CH-evaporasi tiga bulan sebelumnya Korelasi nilai rata-rata indeks osilasi selatan dengan selisih curah hujan dan evaporasi Sebaran peluang memperoleh selisih CH dan Evaporasi triwulan pertama (Januari-Februari-Maret) pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Sebaran peluang memperoleh selisih CH dan Evaporasi triwulan kedua (April-Mei-Juni) pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Sebaran peluang memperoleh selisih CH dan Evaporasi triwulan ketiga (Juli-Agustus -September) pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Sebaran peluang memperoleh selisih CH dan Evaporasi triwulan keempat (Oktober-November-Desember) pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Pengaruh ENSO terhadap awal musim kemarau Pengaruh ENSO terhadap panjang musim kemarau Peluang masuk musim kemarau pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Peluang memperoleh panjang musim kemarau pada tiga kondisi (El Nino, La Nina dan Normal) Total produksi garam berkorelasi dengan panjang musim kemarau secara eksponensial Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama (Januari – Februari – Maret) Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan kedua (April – Mei – Juni) Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ketiga (Juli – Agustus – September) Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan keempat (Oktober – November – Desember)
4 5 5 10 10 11 11 11 11 12 12 12 13 13 13 13 14 14 14
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6
Lokasi survey Diagram alir penelitian Format kuisioner Rekapitulasi hasil survey Analisis kelayakan usaha tambak udang Analisis kelayakan usaha tani garam
18 20 21 24 25 26
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya laut dan pesisir yang melimpah. Sumber daya laut dan pesisir tersebut merupakan aset bangsa yang sangat strategis dikembangkan dalam berbagai kegiatan ekonomi. Diantaranya kegiatan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir adalah usaha tambak udang dan bertani garam. Usaha tambak udang adalah bisnis perikanan yang dirancang untuk meningkatkan dan memproduksi udang laut untuk konsumsi manusia. Pertambakan udang komersial dimulai sekitar tahun 1970-an, dan produksinya tumbuh dengan cepat, terutama untuk memenuhi peningkatan permintaan Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat. Pada tahun 2003, produksi udang dunia dari tambak mencapai 1,6 juta ton. Sekitar 75% udang tambak diproduksi di Asia. Negara pengekspor terbesar adalah Thailand (Wikipedia, 2005). Kebanyakan usaha tambak udang di Indonesia masih dikelola secara tradisional. Sejak dasawarsa terakhir, teknik budidaya tambak intensif telah dikenal luas. Namun demikian karena kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan petani tambak yang tidak sama, teknik tersebut kemudian ditinggalkan (Suyatno dan Mujiman, 2004). Usaha tani garam di Indonesia belum terlalu banyak mendapat perhatian, walaupun kebutuhan akan garam dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut Indonesia terus melakukan impor. Rata-rata volume impor untuk memenuhi kebutuhan garam nasional adalah 900.000 ton (Deperindag dalam Purbani, 2001). Tambak udang dan usaha tani garam merupakan jenis usaha yang sangat terkait dengan kualitas air, terutama salinitas. Perubahan salinitas tambak udang sangat dipengaruhi oleh kontinuitas, pola dan durasi curah hujan di kawasan tambak (Lubis, 2002). Oleh karena itu informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim terutama sifat-sifat hujan di lokasi tambak sangat dibutuhkan. Sifat hujan seperti panjang musim kemarau, tinggi hujan dan frekuensi hujan sangat berkaitan dengan persediaan sumber air tawar, penurunan atau peningkatan salinitas, penentuan musim tebar dan lain-lain.
Indramayu dipilih sebagai lokasi studi karena merupakan salah satu produsen perikanan laut dan garam yang besar di Jawa Barat. Wilayah Indramayu juga dikenal sering mengalami bencana kekeringan dan banjir akibat kejadian iklim ekstrim terutama yang berasosiasi dengan fenomena ENSO (El Niño and Southern Oscillation). 1.2. Tujuan § Menyusun kalender aktifitas petani tambak dan garam di kabupaten Indramayu § Menghitung kelayakan usaha tambak udang dan garam di kabupaten Indramayu § Menghitung dampak kejadian iklim ekstrim untuk petani tambak dan garam di kabupaten Indramayu § Mengkaji potensi pemanfaatan informasi prakiraan iklim bagi petani tambak udang dan garam di kabupaten Indramayu
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kabupaten Indramayu Indramayu terletak di ujung Timur Laut Jawa Barat, tepatnya pada 107o 52 - 108o 36 BT dan 6o 14 - 6o 40 LS. Luas wilayah yang dimiliki sekitar 204.011 Ha yang terbagi menjadi 118.513 Ha sawah, 32.299 Ha hutan, 3.505 Ha lahan industri, 19.472 Ha pemukiman, 6.058 Ha perkebunan, 16.231 Ha tambak/rawa/kolam dan 5.916 Ha lain -lain. Menurut klasifikasi iklim SchmidtFerguson iklim wilayah Indramayu termasuk ke dalam tipe D (iklim sedang) dengan karakteristik sebagai berikut: § Suhu udara harian berkisar 26-27o C dengan suhu udara tertinggi 30o C dan terendah 18o C § Kelembaban udara berkisar antara 70-80% § Curah hujan tahunan rata-rata adalah 1500 mm, curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September. § Angin Barat dan Timur bertiup bergantian setiap 5-6 bulan Kabupaten Indramayu memiliki 310 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di 28 kecamatan. Akan tetapi pada tahun 2004 telah terjadi pemekaran wilayah yang menghasilkan 4 kecamatan baru yaitu Kedokanbunder, Sukagumiwang, Terisi dan Gantar sehingga jumlahnya menjadi 31 kecamatan. Kabupaten
2
ini berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, kabupaten Cirebon di Tenggara, kabupaten Majalengka, kabupaten Sumedang dan kabupaten Subang di Barat Indramayu dikenal sebagai produsen hasil perikanan laut yang besar di Jawa Barat karena dari seluruh produksi perikanan laut di Jawa Barat, sepertiganya berasal dari Indramayu. Penduduk Indramayu mencapai 1.653.451 jiwa dengan komposisi laki-laki 836.528 jiwa dan perempuan 816.923 jiwa, laju pertumbuhan penduduk 0.65% (BAPEDA, 2004). 2.2. Usaha Tambak Udang Budidaya udang laut di tambak sudah sejak lama dilakukan di wilayah Asia. Meski awalnya hanya merupakan hasil sampingan dari tambak bandeng, akan tetapi kemudian usaha tambak udang justru lebih populer daripada bandeng (Suyatno dan Mujiman, 2004). Budidaya udang di tambak merupakan kegiatan usaha pemeliharaan udang mulai dari ukuran benih (benur) hingga mencapai ukuran yang layak dikonsumsi. Usaha tambak udang telah berubah dari bisnis tradisional skala kecil di Asia Tenggara menjadi sebuah bisnis skala global. Kemajuan teknologi telah mendorong pertumbuhan udang dengan kepadatan yang lebih tinggi dan udang semakin ramai dikapalkan ke seluruh dunia. Hampir 80% udang yang dikembangkan adalah penaeid (udang dari famili Penaeidae) dan hanya dua spesies udang yaitu Pacific White Shrimp dan Giant Tiger Prawn (FAO, 1997). Industri monokultur ini sangat mudah terserang penyakit, yang menyebabkan pemusnahan dari beberapa pertambakan udang. Pada akhir 1990-an industri ini mendapatkan pengaturan yang lebih ketat dari pemerintah karena peningkatan masalah ekologi, terjadinya penyebaran penyakit berkali-kali, juga tekanan serta kritikan dari Non-Governmental Organization (NGO) dan negara konsumen. Mulai tahun 1999, program yang ditujukan pada pengembangan dan promosi praktek pertambakan yang lebih terjamin dilaksanakan. Ini melibatkan badan pemerintah, wakil industri, dan organisasi lingkungan. Kebanyakan usaha tambak udang di Indonesia hingga kini masih menggunakan teknik budidaya tradisional. Teknik budidaya udang dengan kepadatan tanam dan teknologi tinggi yaitu intensifikasi pernah ramai-ramai diterapkan awal tahun 1990-an. Akan tetapi karena kurangnya dukungan permodalan dan
tingkat penguasaan petani terhadap teknologi dalam teknik ini, akhirnya teknik intensifikasi ditinggalkan kembali. Sistem budidaya udang yang dikenal selain teknik budidaya tradisional (ekstensif) adalah teknik budidaya intensif dan semi intensif. Teknik budidaya tradisional ditandai dengan ukuran dan bentuk petakan yang tidak teratur, padat penebaran benih rendah sekitar 2-3 ekor/m2 , pakan yang digunakan biasanya pakan alami seperti ikan-ikan kecil maupun dedak, dan produtifitas rendah hanya berkisar antara 300-500 kg/Ha/tahun (Suyatno dan Mujiman, 2004). Teknik budidaya semi intensif merupakan perbaikan dari sistem tradisional yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan dan pengelolaan air yang teratur, padat penebaran benih lebih tinggi sekitar 5 ekor/m2 , pakan masih alami tapi didorong pertumbuhannya dengan pemupukan, serta produtifitas yang sudah lebih tinggi yaitu sekitar 600-800 kg/Ha/musim. Terakhir adalah teknik budidaya intensif yang umumnya memiliki ukuran petakan kecil 0.2-0.5 Ha per petak dan petak dibeton baik seluruhnya maupun hanya dindingnya saja dari beton sementara dasarnya tetap tanah, ciri khas lain teknik ini adalah padat penebaran benih yang sangat tinggi sekitar 10-60 ekor/m2 dan penggunaan pakan pabrikan yang memperhitungkan nutrisi syang baik bagi pertumbuhan udang. 2.3. As pek Ekologis Tambak Tambak udang termasuk usaha yang produktifitasnya rentan dipengaruhi oleh perubahan kualitas air, terutama perubahan salinitas atau kadar garam. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan, menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Boyd, 1988). Biasanya salinitas dinyatakan dalam g/kg atau promil 0/00. Salinitas dianggap sebagai salah satu aspek penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Terutama terkait dengan kondisi udang setelah moulting (berganti kulit). Udang muda (1-2 bulan) membutuhkan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhannya optimal. Setelah usia lebih dari 2 bulan, pertumbuhan udang relatif baik pada kadar garam 25-34 ppt (Suyatno dan Mujiman, 2004). Pada kondisi tertentu sumber air tambak menjadi hipersalin (> 40 ppt). Kondisi tersebut biasanya terjadi pada saat musim kemarau.
3
Selain salinitas, ada beberapa parameter lain yang menentukan kualitas air tambak (Tabel 1). Tabel 1 Parameter kualitas air tambak Parameter
Angka Referensi
Fisik Suhu
26-30°C
pH
7.5-8.5
Salinitas
15-30 ppt
Oksigen Terlarut
= 3 ppm
Kecerahan
= 30 cm
Kimia Nitrit
= 0.1 ppm
Fosfat
1-3 ppm
Alkalinitas
= 150 ppm
Besi (Fe)
= 1 ppm
H2S
= 7 ppb
Biologi Jumlah Vibrio patogen = 1000 cfu/ml Sumber : Haliman, RW dan Adijaya, D, 2005. Ket : ppt (part per trilion) ppm (part per million) ppb (part per billion) cfu (colony forming unit)
2.4. Usaha Tani Garam Garam (NaCl) terjadi dari air laut yang memiliki salin yang cukup tinggi yang kemudian terevaporasi membentuk endapan garam. Di Indonesia garam diproduksi dengan cara mengalirkan air laut ke petakan-petakan dan ditampung. Akibat terik matahari air tersebut menguap dan akhirnya menyisakan garam walaupun masih berkualitas rendah karena masih banyak mengandung mineral pengotor. Komposisi mineral garam adalah NaCl (Na = 39,34 %, 2CI 60,66 %). Ciri fisik NaCl diantaranya adalah warna putih, bentuk kristal isometrik, hexagonal, kekerasan sekitar 2, Berat Jenis (BJ) 2,168 (Departemen ESDM, 2006). Penggunaan garam memenuhi berbagai keperluan. Selain untuk dikonsumsi secara langsung oleh manusia, juga dimanfaatkan oleh industri diantaranya ada1ah oleh industri kimia mencapai sekitar 22,70 %, industri pulp dan kertas 8 %, industri makanan ternak 7 %, industri plastik /fiber dan industri sabun 5-6%, serta untuk keperluan industri lainnya (Departemen ESDM, 2006). Usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas garam di Indonesia belum banyak diminati. Sementara dari tahun ke tahun
kebutuhan garam terutama dengan kualitas baik terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut Indonesia terus melakukan impor. Sebagai contoh, pada tahun 2000 total produksi garam Indonesia hanya sekitar 900.000 ton sementara kebutuhan konsumsi 950.000 ton dan kebutuhan industri 1.435.000 ton. Pemerintah melakukan impor garam hingga lebih dari 1.200.000 ton (Deperindag dalam Purbani, 2001). Pusat pembuatan garam di Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan Madura, sedangkan untuk wilayah Jawa Barat salah satu yang terbesar adalah Indramayu. Sebagian besar usaha tani garam masih merupakan usaha rakyat dengan sistem penggaraman kristalisasi total yaitu seluruh zat yang terkandung diendapkan tidak hanya natrium klorida tetapi juga beberapa mineral pengotor sehingga produktifitas dan kualitasnya masih rendah. 2.5. Faktor Cuaca yang Mempengaruhi Produksi Garam Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi garam diantaranya mutu air laut, porositas dan jenis tanah pada ladang garam serta faktor cuaca. Kondisi cuaca ideal yang diharapkan di wilayah ladang garam adalah (Purbani, 2001): § Evaporasi tinggi § Kecepatan angin lebih dari 5 m/detik dan arah angin tidak berubah-ubah § Suhu udara lebih dari 32°C § Penyinaran matahari 100% § Kelembaban udara kurang dari 50%. § Curah hujan rendah dan hari hujan sedikit Panjang musim kemarau juga berpengaruh langsung kepada “kesempatan” yang diberikan untuk membuat garam dengan bantuan sinar matahari. Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara mempengaruhi kecepatan penguapan air, dimana makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap. Sedangkan untuk curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun ratarata merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut. 2.6. Fenomena ENSO (El Niño and Southern Oscillation) Iklim secara umum seringkali disebut sebagai kondisi cuaca rata-rata. Lebih khusus lagi, iklim adalah sintesis atau kesimpulan
4
dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca waktu demi waktu dalam jangka panjang di suatu tempat tertentu (Nasir, 1993) Iklim di Indonesia sangat ditentukan oleh sirkulasi atmosfer baik di wilayah daratan maupun lautan sebagai bagian dari sirkulasi umum di bumi. Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator dan dipengaruhi oleh Samudera Pasifik dan Hindia, salah satu unsur iklim yang paling tampak variasinya adalah curah hujan. Sedikitnya ada lima faktor yang turut mempengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia antara lain sirkulasi meridional (Hadley), sirkulasi zonal (Walker), aktifitas monsoon, siklon tropis dan pengaruh lokal (topografi). Kelima faktor ini bekerja bersamaan secara simultan sepanjang tahun di Indonesia. Pada kondisi tertentu salah satu faktor dapat saja menjadi lebih dominan dibanding yang lain. Variasi curah hujan yang ekstrim dapat menyebabkan bencana kebanjiran maupun kekeringan. Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali sejak tahun 1844., dan hanya 6 kali diantaranya yang tidak bersamaan dengan fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003). Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Namun demikian, pengaruh kejadian El-Niño terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono dalam Boer (2003) pengaruh El Niño kuat pada daerah dengan tipe hujan moonsonal, lemah pada daerah equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan tipe hujan lokal. Pada kondisi normal (Gambar 1a), angin bertiup dari Timur ke Barat akibat adanya perbedaan tekanan atmosfer. Sistem tekanan tinggi berada di sekitar wilayah Timur Pasifik dan sistem tekanan rendah di sekitar wilayah Barat Pasifik. Akibat adanya sistem tekanan rendah di wilayah Barat Pasifik maka banyak terjadi konveksi yang membawa uap air ke atmosfer di wilayah tersebut. Sehingga biasanya hujan lebih banyak di wilayah Barat Pasifik termasuk Indonesia dibandingkan wilayah Timur Pasifik.
(a)
(b)
Gambar 1 Pola sirkulasi Walker pada kondisi normal (a) dan menjelang El Niño (b) (BOM Australia).
Pada saat bersamaan, arus permukaan sepanjang wilayah equator bergerak dari Timur ke Barat pula. Arus ini membawa massa air hangat ke wilayah Barat Pasifik. Hal ini menurunkan termoklin, atau wilayah dengan temperatur lebih tinggi meluas. Di Timur, massa air dingin mengalami upwelling untuk menggantikan massa air hangat yang mengalir ke Barat sehingga termoklin disini lebih dangkal atau naik. Beberapa minggu atau bulan sebelum terjadi El Niño biasanya diiringi terjadinya perubahan di atmosfer wilayah Pasifik (Gambar 1b). Sistem tekanan rendah bergeser ke wilayah Timur Pasifik. Hal ini menyebabkan perubahan pola angin dan kejadian konveksi. Perubahan atmosfer tersebut biasa disebut fenomena ENSO (El Niño and Southern Oscillation). Di Barat, termoklin naik dan massa air hangat mengalir ke Timur. Sedangkan di Timur, termoklin semakin dalam. Kolom air yang lebih tinggi menghangat dan permukaan laut naik. Sebaliknya, beberapa minggu atau bulan sebelum terjadi La Nina biasanya sistem tekanan rendah di wilayah Barat Pasifik terus menurun dan di Timur meningkat semakin tinggi. Akibatnya proses konveksi menguat dan membawa semakin banyak uap air ke atmosfer di wilayah Barat Pasifik. Sehingga semakin banyak pula hujan yang terjadi di wilayah Barat Pasifik tersebut. 2.7. SOI (Southern Oscillation Index) Phase Fase SOI disusun oleh Roger Stone, Queensland Department of Primary Industries dengan melakukan analisis cluster terhadap pasangan data seri (periode tahun 1882-1991) SOI (Southern Oscillation Index) bulanan
5
dengan SOI bulan sebelumnya. Hasil analisis tersebut menghasilkan lima cluster yaitu (Gambar 2): a. Phase 1, consistently negative b. Phase 2, consistently positive c. Phase 3, rapidly falling d. Phase 4, rapidly rising e. Phase 5, consistently near zero
Gambar 2 Analisis cluster terhadap data seri SOI 1882-1991 (Stone R et al, 1996).
Gambar 3 Kurva pembatas masing-masing cluster (Stone R et al, 1996).
Fase SOI kemudian digunakan dalam berbagai analisis sebagai indikator fenomena ENSO selain rataan SOI. Secara umum, penggunaan Fase SOI untuk menduga peluang hujan musiman memberikan hasil yang lebih akurat dibanding analisis menggunakan nilai rataan SOI (Paull, 1995).
III. METODOLOGI 3.1. Ruang Lingkup Studi Ruang lingkup studi ini meliputi kajian ekonomi usaha tambak udang dan garam di kabupaten Indramayu, dampak kejadian iklim ekstrim untuk petani tambak udang dan garam di Indramayu serta potensi pemanfaatan informasi prakiraan iklim bagi petani tambak udang dan garam di Indramayu. Survey dilakukan di dua kecamatan yaitu kecamatan Cantigi sebagai salah satu sentra produksi
udang dan kecamatan Losarang sebagai salah satu sentra produksi garam (Lampiran 1). 3.2. Waktu dan Tempat Studi Secara teknis studi ini berlangsung mulai bulan Mei 2006 hingga Januari 2007, meliputi kegiatan perumusan masalah yang akan dijadikan objek studi, survey literatur, observasi lapangan, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan laporan dan diskusi dengan pembimbing. Sebagian besar kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor dan sebagian lainnya dilakukan langsung di Indramayu. 3.3. Data Data yang digunakan untuk studi ini antara lain: § Kalender aktifitas petani tambak udang dan garam Sumber: Hasil survey § Data produksi udang tiga bulanan tahun 1997-2006 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Indramayu § Data produksi tahunan garam tahun 1999, 2003 dan 2004 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Indramayu § Data iklim dasarian wilayah kabupaten Indramayu tahun 19882006 Sumber: Dinas Pertanian kabupaten Indramayu § Data seri SOI dan Fase SOI tahun 1988-2006 Sumber: Bureau of Meteorology, Australia National Climate Center http://www.bom.gov.au/climate 3.4. Metode Studi ini secara umum terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama adalah observasi lapangan (survey) dan pengumpulan data sekunder lain yang mendukung seperti data seri produksi udang dan garam, data iklim dan data seri SOI/Fase SOI. Tahap kedua adalah analisis data. Analisis data hasil survey menghasilkan kalender aktivitas petani tambak udang dan petani garam serta nilai kelayakan usaha tambak udang dan garam. Kemudian hasil analisis kelayakan usaha tambak udang dan garam tersebut digunakan bersama dengan hasil analisis hubungan anomali produksi dengan keragaman iklim untuk melakukan analisis potensi pemanfaatan
6
informasi prakiraan iklim yang lebih spesifiknya menduga sebaran peluang perolehan keuntungan/kerugian (gross margin) pada tiga kondisi El Niño, La Nina dan Normal. Lebih jelasnya, alur kerja studi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.4.1. Survey Survey dilakukan untuk mengetahui dan mempelajari kalender aktifitas petani tambak udang dan garam. Hal ini dimaksudkan untuk memahami pola produksi bulanan petani tambak udang dan garam serta nilai ekonomi usaha tambak udang dan garam. Kalender aktifitas tersebut dipelajari untuk dapat melihat bentuk dampak positif dan negatif kejadian iklim ekstrim bagi petani tambak udang dan garam dan besar penurunan atau peningkatan produksi tambak dan garam akibat kejadian iklim ekstrim. Berdasarkan hal tersebut diatas ditentukan bentuk informasi prakiraan iklim yang diperlukan bagi petani tambak dan gara m berikut respon dari petani terhadap informasi prakiraan iklim. Jumlah responden dalam survey ini adalah 69 orang dan survey dilakukan dalam dua minggu terakhir bulan Agustus 2006. Selain tanya jawab kuisioner, dalam survey dilakukan juga pengukuran salinitas di beberapa lokasi tambak dengan menggunakan Hidrometer (Salinometer). Rekapitulasi hasil survey dan format kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. 3.4.2. Analisis Kalender Aktifitas Berdasarkan hasil survey, dilakukan penyusunan kegiatan harian petani tambak udang dan garam yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel atau matriks kegiatan. Kegiatan tersebut meliputi persiapan hingga pemanenan hasil serta kegiatan sampingan yang dilakukan oleh petani tambak udang dan garam. 3.4.3. Analisis ekonomi kegiatan usaha Tambak Udang dan Garam Analisis ekonomi sistem usaha tani tambak dan garam dilakukan dengan melihat Benefit Cost Ratio (B/C), kegiatan sistem usaha tani yang menguntungkan akan memiliki B/C > 1.0, serta Break Event Point (BEP). B/ C=
Volume Pr oduksi × H arg aJual BiayaTetap + BiayaOperasional
BEPh arg a =
BiayaTetap+ BiayaOperasional Jumlah Pr oduksi
BEPproduksi =
BiayaTetap+ BiayaOperasional H argaTerendah
3.4.4. Analisis Hubungan Anomali Produksi Udang dan Keragaman Iklim Hubungan antara anomali produksi udang ˆ dan keragaman iklim disusun tiga bulanan A i
dengan menggunakan regresi linier sederhana: Aˆ = a + bx i
X adalah selisih antara curah hujan dan evaporasi tiga bulanan (CH-E). Pemilihan peubah X didasarkan pada pertimbangan bahwa produksi udang sangat dipengaruhi oleh perubahan salinitas air selama perkembangannya (Lubis, 2002). Diperkirakan dengan semakin negatif nilai X, salinitas air semakin tinggi yang biasanya akan diikuti dengan menurunnya produksi udang. Dengan pertimbangan ini nilai X yang digunakan ialah nilai X tiga bulan sebelumnya (Xlag1 ), sehingga persamaan menjadi: Aˆ = a + bx i
lag1
Untuk menguji konsistensi model di atas, dilakukan analisis cross validation dengan metode jack-knife yaitu mengkalkulasi ˆ pada setiap kemungkinan variabel dugaan A i
subset data dengan menghilangkan satu per satu data observasi. Ini dilakukan untuk mengindikasikan distribusi error dari variabel ˆ . dugaan A i
Anomali produksi udang dan garam dibuat berdasarkan data seri. Persamaan yang digunakan:
Ai = ∑ ( yi − yˆ i ) n
i =1
Ai = Anomali produksi udang/garam pada triwulan ke-i y i = Data produksi udang/garam pada triwulan ke-i yang sudah dihilangkan trennya. yˆ i = Nilai y dugaan yang diperoleh dengan membuat persamaan fitting (Jones dan Boer, 2004) antara y i dengan waktu (T dalam Triwulan): yˆ i = a + bT 3.4.5. Analisis Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim Analisis ini dilakukan berdasarkan hasil analisis produksi dan korelasinya dengan sifat iklim (hujan) yaitu selisih curah hujan dan evaporasi pada kondisi tahun El Niño, Normal dan La Nina serta evaporasi. Hasil analisis ini
7
kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, Normal dan La Nina). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian kotor tiga bulanan yang dihitung dari anomali produksi dikorelasikan dengan fase SOI pada periode yang sama. Kemudian disusun sebaran peluang untuk masing-masing kondisi (El Niño, La Nina dan Normal). Fase SOI tiga bulanan ditentukan dari nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode tertentu dengan nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode sebelumnya. Dengan menggunakan Gambar 3, fase SOI pada periode tiga bulanan dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan nilai fase SOI tiga bulan sebelumnya. Sebagai contoh apabila SOI tiga bulan tertentu bernilai -10, dan pada tiga bulan sebelumnya bernilai 10, maka titik pertemuan berada pada fase SOI “rapidly falling” atau menurun cepat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kegiatan Usaha Tambak Udang Kecamatan Cantigi yang merupakan salah satu sentra produksi udang terletak di pesisir Laut Jawa, dengan luas wilayah 5.096 Ha dan 2.192 Ha diantaranya adalah tambak dan jumlah penduduk 23.453 jiwa. Mayoritas penduduk di kecamatan tersebut bermatapencaharian sebagai petani tambak dan nelayan. Benih yang digunakan petani di wilayah tersebut adalah benur yang telah diadaptasi atau biasa disebut oslah. Beberapa pengusaha benih mengambil benur dari berbagai daerah seperti Tasikmalaya, Pati, dan beberapa daerah lain untuk kemudian diadaptasi selama beberapa hari untuk menyesuaikan dengan kondisi di wilayah Indramayu baru kemudian dijual sebagai benih oslah. Sebagian besar petani memilih teknik tradisional untuk budidaya tambaknya karena modal yang diperlukan untuk teknik lain seperti intensif dan semi intensif sangatlah tinggi. Kepadatan rata-rata penanaman pada teknik budidaya tradisional adalah 2 – 3 ekor/m². Udang biasanya dipanen dalam usia 3 – 4 bulan, ukuran rata-rata 30 ekor/kg (33 gram per ekor) dengan harga jual per kilogramnya mencapai RP. 55.000,-. Variasi harga jual udang sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika karena
udang merupakan salah satu komoditas ekspor. Variasi harga udang dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 10%, kecuali pada tahun 1998 saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terpuruk. Harga jual udang melonjak hingga Rp. 125.000,-/kg pada tahun tersebut. Hasil analisis menunjukkan usaha tambak udang memiliki Benefit Cost ratio (B/C) 1,02, Perhitungan tersebut menggunakan harga jual Rp. 55.000,- per kilogram. Biaya tetap meliputi sewa tanah, pembuatan kolam dan instalasi saluran air, sebesar Rp.7.400.000,-, penyusutan biaya tetap diasumsikan sebesar Rp.740.000,-, serta biaya operasional yang meliputi pemakaian benur, pakan, tenaga kerja, obat-obatan dan pupuk sebesar Rp.1.255.000,- produksi udang sebanyak 175 kg. Nilai B/C tersebut menunjukkan bahwa usaha tambak udang masih menguntungkan, tetapi resiko mengalami kerugiannya cukup tinggi jika dilihat dari kemungkinan perolehan keuntungan yang hanya 2,45% dari biaya produksi. Resiko kerugian bisa lebih tinggi lagi mengingat usaha udang sangat rentan terhadap penyakit dan perubahan kualitas air. Apabila harga jual udang hanya Rp.49.500,per kilogram maka titik impas (Break Event Point) usaha budidaya tambak udang akan tercapai bila produksi per hektar paling tidak mencapai 189,8 Kg (rasio hidup 35% apabila penebaran benih 2 ekor/m²). Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5 4.2. Kalender Aktifitas Petani Udang Berdasarkan hasil survey, dalam setahun petani biasanya melakukan hingga tiga kali penanaman benih udang yaitu pada bulan Maret, Juli dan November (Tabel 2). Produksi cenderung tinggi pada musim pertama yaitu tebar bulan Februari dan panen bulan Juni serta musim ketiga yaitu tebar bulan Oktober dan panen bulan Februari, sedangkan pada musim kedua yaitu tebar bulan Juni produksi cenderung menurun karena pada bulan-bulan tersebut bertepatan dengan musim kemarau. Curah hujan yang sedikit dan evaporasi yang tinggi di musim kemarau menyebabkan tingginya salinitas tambak. Di samping itu tidak ada cadangan air tawar yang dapat digunakan untuk mengurangi tingginya salinitas.
8
Tabel 2 Kalender aktifitas petani udang di kabupaten Indramayu
Sumber: Hasil Survey
Kesibukan petani udang tinggi di bulan Februari, Juni dan Oktober. Pada bulan tersebut pemanenan berlangsung dan sekaligus mulai melakukan persiapan untuk musim tanam berikutnya. Hingga tiga bulan selanjutnya kegiatan petani hanya mengelola pakan, pemantauan terhadap hama penyakit serta pemantauan kualitas udang. Pada bulan lain petani melakukan usaha sampingan. Diantaranya banyak yang melaut, berdagang dan lain-lain. Hasil survey menunjukkan sebagian besar petani mengeluhkan kesulitan membudidayakan udang di musim kemarau. Akan tetapi setiap tahunnya petani selalu memaksakan diri untuk tanam udang sebanyak tiga kali karena merasa tidak punya pilihan lain. Selain itu respon terhadap informasi iklim cukup baik. Selama ini iklim dirasakan besar pengaruhnya, akan tetapi mereka tidak mengetahui akses untuk memperoleh informasi tersebut dan bagaimana mengaplikasikan informasi iklim pada usaha mereka. Ini menunjukkan masih rendahnya tingkat adopsi petani terhadap informasi iklim. 4.3. Kegiatan Usaha Tani Garam Daerah yang dikenal sebagai sentra produksi garam di wilayah Indramayu adalah kecamatan Kandanghaur, Losarang dan Krangkeng. Luas penggaraman di tiga kecamatan tersebut menurut data Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 2004 berturut-turut adalah 488 Ha, 923 Ha dan 165 Ha. Dipilih kecamatan Losarang sebagai lokasi survey karena memiliki wilayah
penggaraman paling luas dari ketiga sentra produksi garam di Indramayu tersebut. Luas wilayah Losarang adalah 1230.9 Ha dengan penduduk sebanyak 55.915 jiwa (BAPEDA, 2004). Usaha tani garam di Losarang cenderung hanya merupakan usaha sampingan selama musim kemarau, sementara usaha utamanya adalah pertanian tanaman pangan (padi). Karena lokasinya yang sering tidak terjangkau air irigasi, maka di musim kemarau mereka menyewa lahan untuk digarap menjadi ladang garam. Sehingga usaha tani garam ini hanya berlangsung sekitar 4 – 5 bulan dalam setahun. Garam yang dihasilkan setiap hari disetorkan kepada tengkulak untuk kemudian tengkulak tersebut yang akan menjualnya ke pabrik-pabrik atau menimbun di gudang untuk persediaan musim hujan. Tidak seperti garam Madura yang banyak digunakan untuk konsumsi, garam yang dihasilkan dari Indramayu sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri seperti tekstil, baja, sepatu, termasuk industri strategis seperti kilang minyak. Usaha garam merupakan usaha yang memiliki resiko kerugian relatif kecil karena tidak banyak faktor yang mengganggu produksi garam. Selain itu variasi harga jual setiap tahunnya juga kecil. Biaya operasional yang dikeluarkan juga hanya ongkos angkut saja. Hasil analisis menunjukkan B/C ratio untuk bertani garam mencapai 1.65. Perhitungan tersebut menggunakan harga jual garam sesuai bulan berjalan yang kisarannya antara Rp. 90,- dan Rp. 300,- per kg. Biaya
9
tetap yang meliputi sewa lahan dan pembelian alat-alat menggaram ialah sebesar Rp.7.452.000,-, dengan penyusutan modal investasi Rp. 745.200,-, sedangkan biaya tidak tetap atau operasional sekitar Rp.3.000.000,-. Ini menunjukkan bahwa usaha tani garam menguntungkan, dengan kemungkinan perolehan keuntungan adalah 65% dari biaya total yang dikeluarkan untuk produksi. Angka tersebut cukup tinggi dan mengindikasikan bahwa resiko kerugian usaha tani garam kecil. Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6. Harga garam biasanya terus menurun sepanjang musim menggaram. Penurunan harga jual petani ke tengkulak setiap harinya sekitar Rp. 2.1,-/Kg dalam satu musim menggaram (kurang lebih 4 bulan). Berdasarkan hasil survey, untuk tahun 2006, harga di awal musim adalah Rp. 300,-/kg dan berangsur turun seiring dengan bertambah banyaknya produksi hingga mencapai Rp. 90,/kg di akhir musim). Apabila harga jual rata-rata selama penambangan garam hanya Rp.90,- per kg maka titik impas (Break Event Point) usaha tani garam akan tercapai apabila produksi per hektar minimal 124 ton/ha per musim. 4.4. Kalender Aktifitas Petani Garam Aktifitas menggaram hanya dilakukan selama 4 - 5 bulan saja dalam setahun (Tabel 3). Sejak masuk musim kemarau hingga masuk musim hujan. Kegiatannya meliputi penandatanganan kontrak dengan pemilik modal atau pemilik lahan, persiapan ladang Tabel 3 Kalender aktifitas petani garam di Indramayu
Sumber: Hasil survey
garam dan drainase air asin untuk pendulangan garam. Karena hampir seluruh petani menjadikan aktifitas menggaram hanya sebagai usaha sampingan, maka biasanya lahan penggaraman yang mereka garap adalah lahan sewaan. Besarnya biaya sewa bervariasi sesuai kesepakatan. Pada lahan milik pemerintah biasanya lahan sewa sudah memiliki harga sewa tertentu, sedangkan lahan milik pemodal biasanya disewakan dengan sistem bagi hasil. Besarnya nilai sewa untuk sistem bagi hasil adalah 1/3 dari produksi garam yang dihasilkan. Pada musim hujan petani biasanya kembali ke aktifitas utamanya. Sebagian besar mereka adalah petani tanaman pangan (padi) sehingga ketika musim hujan tiba mereka mulai mempersiapkan sawahnya dan meninggalkan garam. Sementara itu ladang garam yang mereka tinggalkan umumnya pada musim hujan dijadikan tambak baik untuk bandeng maupun udang oleh pemilik lahan. Terkecuali untuk lahan milik pemerintah yang tetap dibiarkan kosong selama musim hujan. Sebagian petani lain yang bukan petani tanaman pangan seperti pedagang, kuli angkut, dan lain-lain juga kembali pada aktifitas utamanya. Beberapa petani yang mempunyai modal untuk membangun gudang akan menyimpan sebagian produksi garamnya untuk dijual di musim hujan supaya bisa mendapat harga tinggi.
10
4.5. Keragaman Iklim dan Produksi Tambak Udang serta Tani Garam Produksi udang kabupaten Indramayu mengikuti pola peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 5). Ini bisa disebabkan oleh perluasan areal tambak, perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam budidaya udang atau bertambahnya tingkat pengetahuan petani. 4000
y = 46.147x + 699.72
Produksi Udang (ton)
3500
R 2 = 0.4307
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Triwulan ke-i
Gambar 5 Produksi udang kabupaten Indramayu tahun 1997 – 2006
Awal tahun 1990-an teknik budidaya intensif yang bermodal besar dan berteknologi tinggi sempat diterapkan. Pada awalnya produksi memang sangat tinggi tapi 1-2 tahun berikutnya malah merosot tajam karena tingkat pengetahuan petani yang tidak sama serta masalah permodalan. Selain itu muncul permasalahan endapan pakan dan obat-obatan kimia yang banyak digunakan pada teknik budidaya intensif di lahan tambak mereka. Hal ini juga banyak memicu kecaman dari pihak pemerhati lingkungan, usaha tambak udang dianggap membawa resiko ekologis, merusak keanekaragaman hayati dan sebagainya. Hingga kemudian teknik tersebut ditinggalkan dan petani kembali ke teknik tradisional. Selain teknologi, iklim merupakan faktor lain yang cukup mempengaruhi produksi udang. Tambak udang merupakan jenis usaha perikanan yang sangat peka terhadap
perubahan kualitas air, terutama perubahan salinitas. Perubahan salinitas tambak udang sangat dipengaruhi oleh kontinuitas, pola dan durasi curah hujan serta evaporasi di kawasan tambak. Pada saat survey (Agustus 2006) usia udang masih muda sekitar 1-2 bulan dan dari pengukuran di enam lokasi berbeda diketahui salinitasnya rata-rata sudah mencapai 40-50 ppt, sangat jauh dari kondisi ideal yang dibutuhkan udang muda yaitu pada kisaran 15-25 ppt (Suyanto dan Mujiman, 2004). Diakui petani, kondisi ini sering terjadi hampir disetiap musim kemarau. Air tambak menjadi hipersalin karena sedikit atau bahkan tidak adanya curah hujan serta tingginya evaporasi, sementara itu lokasi tambak di Indramayu kesulitan memperoleh pasokan air tawar. Setelah dilakukan analisis, data anomali produksi tiga bulanan diketahui menunjukkan trend hubungan dengan curah hujan-evaporasi tiga bulan sebelumnya. Gambar 6 menunjukkan apabila evaporasi lebih tinggi dari curah hujan (CH-E negatif) maka anomali produksi semakin negatif atau produksi udang cenderung lebih rendah dari rata-rata. Demikian pula sebaliknya, jika selisih curah hujan dan evaporasi positif maka anomali produksi udang positif atau produksi udang lebih tinggi dari rata-rata. Persamaan regresi yang mewakili hubungan anomali produksi dengan CH dan evaporasi adalah: y = 0.5759x + 19.1955 dimana y : Anomali produksi pada triwulan ke-i (ton) x : Nilai CH dikurangi evaporasi pada triwulan ke i-1 (mm) 2000
Anomali Produksi Udang (ton)
Hasil survey menunjukkan sebagian petani berpendapat aktifitas bertani garam sesungguhnya menjanjikan hasil yang lebih pasti daripada bertani tanaman pangan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi produksi pertanian tanaman pangan. Respon petani terhadap informasi iklim cukup baik. Petani mengakui usaha tani garam hampir sepenuhnya tergantung pada kondisi iklim. Bila musim kemarau cukup panjang dalam satu tahun produksi garam bisa sangat tinggi terlebih lagi bila curah hujan di musim kemarau tidak banyak dan evaporasi tinggi.
1500 1000 500 0 -800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
-500 -1000 -1500
Lag-1 CH-Evaporasi (mm)
Gambar 6 Hubungan anomali produksi udang dengan CH-Evaporasi tiga bulan sebelumnya
11
CH-Evap OND (mm)
400
200
0
-200
-400 -20
-10
0
10
20
SOI JAS
Gambar 7 Korelasi nilai rata-rata indeks osilasi Selatan dengan selisih curah hujan dan evaporasi
Peluang Terlampaui(%)
100 80
El Nino La Nina
60
Normal
40
100 Peluang Terlampaui (%)
Selisih curah hujan dan evaporasi wilayah Indramayu pada bulan Oktober-NovemberDesember berkorelasi positif dengan nilai rata-rata SOI Juli-Agustus -September atau rata-rata SOI tiga bulan sebelumnya (Gambar 7). Dari analisis tersebut dapat dis usun peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal). Sebaran peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama atau periode Januari-Februari-Maret dalam tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal) dapat dilihat pada gambar 8. Peluang selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama dalam kondisi El Niño selalu lebih rendah dari peluang dalam kondisi La Nina dan Normal, selain itu nilainya juga selalu positif atau dengan kata lain curah hujan selalu lebih tinggi dari evaporasi.
El Nino
80
La Nina Normal
60 40 20 0 -300
-200
-100
0
100
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 9 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan kedua (April-Mei-Juni) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang memperoleh selisih curah hujan dengan evaporasi lebih dari 200 mm pada triwulan pertama atau periode JanuariFebruari-Maret dalam kondisi El Niño hanya 40%, sedangkan dalam kondisi La Nina peluangnya hingga 80% (Gambar 8). Berbeda dengan triwulan pertama, peluang (CH-E) triwulan kedua atau periode April-Mei-Juni dalam kondisi El Niño justru lebih tinggi dari pada kondisi La Nina. Seperti pada gambar 9, peluang mendapatkan (CH-E) kurang dari -200 mm dalam kondisi El Niño 90% sedangkan pada kondisi La Nina hanya 80%. Sementara itu selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan ketiga atau periode Juli-Agustus-September selalu bernilai negatif atau dengan kata lain evaporasi cenderung lebih tinggi dari curah hujan pada bulan-bulan tersebut. Sebaran peluang pada tiga kondisi terlihat paling rendah pada kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina, seperti ditunjukkan pada gambar 10.
20
0
200
400
600
800
1000
1200
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 8 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan pertama (Januari-FebruariMaret) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang Terlampaui(%)
100
0
80
El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -600
-500
-400
-300
-200
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 10 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan ketiga (Juli-AgustusSeptember) pada tiga kondisi E ( l Niño, La Nina dan Normal)
12
El Nino 60
La Nina Normal
40 20 0 -400
-200 0 200 CH - Evaporasi (mm)
400
Gambar 11 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan keempat (OktoberNovember-Desember) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang memperoleh selisih curah hujan pada triwulan keempat atau periode OktoberNovember-Desember paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina bila curah hujan lebih kecil dari evaporasi, sedangkan jika curah hujan lebih besar dari evaporasi peluang paling rendah adalah pada kondisi normal. Sebarannya dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Biro Meteorologi Australia, kemampuan prediksi dengan menggunakan indikator ENSO untuk periode Februari hingga April kurang akurat. Hal ini disebabkan karena adanya “predictability barrier” seperti yang dijelaskan oleh Battisti (1995). Hal ini sejalan dengan Gambar 8-11 dimana pengaruh ENSO dominan hanya pada periode musim kemarau (bulan JuliSeptember). Menurut Boer (2003), fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga me mpengaruhi masuknya awal musim kemarau atau akhir musim hujan dan panjang musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Niño, awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsoon mengalami keterlamb atan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur sekitar satu bulan (Gambar 12 dan 13). Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-10 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 40%, pada kondisi normal sekitar 50% dan peluang paling besar adalah pada kondisi La Nina yaitu 60%. Untuk panjang musim kemarau,
20 Awal MK (dasarian ke)
80
peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 20 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 80% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 70% dan peluang terkecil adalah saat terjadi La Nina yaitu hanya 40%. Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-12 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 20%, pada kondisi normal sekitar 25% dan peluang paling besar adalah pada kondisi La Nina yaitu 50%. Untuk panjang musim kemarau, peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 20 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 80% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 70% dan peluang terkecil adalah saat terjadi La Nina yaitu hanya 40%.
y = -0.0271x + 10.063 2 R = 0.0178
16
12
8
4 -30
-20
-10
0
10
20
30
SOI April
Gambar 12
Pengaruh ENSO terhadap awal masuk musim kemarau
30 Panjang MK (dasarian)
Peluang Terlampaui(%)
100
25
20
y = 0.0193x + 22.391
15
2
R = 0.006 10 -30
-20
-10
0
10
20
30
SOI April
Gambar 13 Pengaruh ENSO terhadap panjang musim kemarau
13
Peluang Terlampaui (%)
100 El Nino
80
La Nina Normal
60 40 20
0 4
6
8
10
12
14
16
18
Awal MK (dasarian ke)
Gambar 14 Peluang masuk musim kemarau pada tiga kondisi (El-Niño, La Nina dan Normal)
Gambar 15 menunjukkan bahwa pada kondisi El Niño peluang untuk mendapatkan panjang musim kemarau lebih dari normal meningkat. Berdasarkan data seri produksi, total produksi garam di Indramayu cenderung meningkat dengan semakin panjang musim kemarau. Total produksi garam dipengaruhi oleh panjang musim kemarau secara eksponensial (Gambar 16). Peluang Terlampaui (%)
100
EL Nino La Nina Normal
80
60
40
20 0 10
15
20
25
besar dialami sektor kehutanan berikutnya sektor pertanian dan sisanya dari sektor lainnya seperti perikanan, perhubungan dan lain-lain (Boer, 2003). Apabila kejadian iklim ekstrim ini dapat diprediksi lebih awal, maka kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian ini akan dapat ditekan. Budidaya tambak dan usaha tani garam telah diketahui berkorelasi dengan keragaman iklim seperti dalam penjelasan pada bagian sebelumnya, apabila kejadian iklim ekstrim sudah dapat diprediksi dengan baik maka petani dapat melakukan antisipasi dengan untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan. Lebih spesifik lagi, dari hasil analisis sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang untuk tiap triwulan menunjukkan hasil berbeda. Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi dalam kondisi La Nina. Peluang usaha tambak udang mengalami impas pada kondisi El Niño adalah 30%, kondisi normal 50% dan kondisi La Nina 60% (Gambar 17). Hasil analisa data seri menunjukkan kerugian yang mungkin diderita usaha tambak udang pada triwulan pertama sejumlah Rp. 5 miliar (peluang terjadi kerugian sejumlah tersebut dalam kondisi El Niño 50%, La Nina dan normal diatas 80%).
30
100
Gambar 15 Peluang memperoleh panjang musim kemarau pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Total Produksi Garam (ton)
120000 100000 y = 1.6835e
80000
Peluang Terlampaui (%)
Panjang Musim Kemarau (dasarian)
La Nina
R = 0.7639
Normal
60 40 20 0 -10000
0.5433x
2
El Nino
80
-5000
0
5000
10000
15000
Keuntungan/Kerugian (juta)
60000
Gambar 17 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama (Januari-Februari-Maret)
40000 20000 0 18
19
20
Panjang Musim Kemarau (dasarian)
Gambar 16 Total Produksi garam berkorelasi dengan panjang musim kemarau secara eksponensial
4.6. Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim Kejadian kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO telah menimbulkan kerugian yang sangat besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global. Kerugian paling
Pada triwulan kedua dan ketiga, karena pengaruh ENSO tidak jelas pada bulan Januari hingga April maka sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang justru menjadi paling tinggi pada kondisi El Niño (Gambar 18 dan 19). Menurut hasil analisis data seri, kemungkinan usaha tambak udang mengalami kerugian pada triwulan kedua adalah nol persen dan keuntungan maksimum yang dapat diperoleh bisa lebih dari Rp. 30 miliar. Sedangkan untuk triwulan ketiga,
14
kerugian maksimum yang mungkin dialami mencapai lebih dari Rp. 40 miliar, keuntungan maksimum yang mungkin dicapai juga Rp. 40 miliar. Peluang Terlampaui (%)
100
El Nino La Nina
80
Normal
60 40 20 0 0
10000
20000
30000
40000
Keuntungan/Kerugian (juta)
Gambar 18 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-2 (April-Mei-Juni)
Peluang Terlampaui (%)
100 80 El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -6000
-4000
-2000
0
2000
4000
6000
Keuntungan/Kerugian(juta)
Gambar 19 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-3 (Juli-Agustus-Septemberr) Peluang Terlampaui(%)
100 80 El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -15000 -13000 -11000
-9000
-7000
-5000
Keuntungan/Kerugian (juta)
Gambar 20 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Oktober-November-Desember)
Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Gambar 20) menunjukkan paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina. Nilai gross margin pada triwulan ke 4 selalu negatif sehingga usaha tambak udang selalu merugi pada periode ini. Hal ini karena evaporasi periode tiga bulanan sebelumnya (Juli-Agustus -September) selalu lebih tinggi dari curah hujan (Gambar 10), sehingga mempengaruhi kualitas air tambak dan
mengakibatkan produksi di bawah rata-rata. Sebagai contoh, peluang kerugian bisa kurang dari Rp. 13 miliar dalam kondisi El Niño hanya 40%, dalam kondisi normal 60% dan kondisi La Nina hingga 80%. Hasil analisis data seri menunjukkan usaha tambak udang pada triwulan keempat selalu merugi (gross margin negatif). Kerugian maksimum yang mungkin dialami usaha tambak udang pada triwulan keempat mencapai Rp. 15 miliar (peluang terjadinya pada kondisi El Niño hingga 90%). Bagi petani tambak udang, prediksi awal masuk musim kemarau dan panjang musim kemarau menentukan pengambilan keputusan untuk waktu tebar benih. Jika diketahui musim kemarau akan panjang maka petani dapat mengganti komoditas yang ditanam dengan jenis lain yang lebih tahan terhadap kondisi salinitas tinggi, atau petani dapat tetap menanam udang tetapi dikombinasikan dengan komoditas lain yang lebih tahan dengan kondisi salinitas tinggi sehingga kerugian dapat diminimalisir tetapi juga mempunyai kemungkinan mendapat keuntungan jika ternyata harga udang melonjak naik, atau bahkan membatalkan rencana tanam, jadi dalam setahun hanya melakukan dua kali tanam saja. Petani garam yang umumnya usaha utamanya adalah petani tanaman pangan (padi), jika dapat diprediksi musim kemarau akan panjang maka mereka akan segera memutuskan untuk tidak tanam gadu (tanam musim kedua) tapi langsung mempersiapkan lahan untuk menggaram pada awal masuk musim kemarau. Dengan demikian kerugian akibat tanam gadu yang gagal dapat dihindari sekaligus keuntungan bertambah dengan memulai penggaraman pada waktu yang tepat serta mendapatkan produksi dan harga (pendapatan) optimum sepanjang musim kemarau.
V. KESIMPULAN Hasil survey menunjukkan kegiatan tambak udang di Indramayu berlangsung sepanjang tahun hingga tiga kali tebar benih. Sebagian besar petani mengaku kesulitan membudidayakan tambaknya di musim kemarau. Sementara itu kegiatan usaha tani garam hanya berlangsung selama musim kemarau sebagai usaha sampingan. Respon petani tambak udang dan garam di Indramayu cukup baik akan tetapi tingkat adopsi terhadap informasi iklim masih rendah.
15
Informasi prakiraan iklim sangat diperlukan dalam mendukung sistem usaha tambak udang dan tani garam. Oleh karena itu apabila kejadian iklim ekstrim (dalam hal ini khususnya yang berasosiasi dengan ENSO) dapat diprediksi lebih awal maka kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan, pendapatan daerah dari sektor ini juga dapat terselamatkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa anomali produksi udang periode tiga bulan tertentu berhubungan secara linier dengan selisih curah hujan dan evaporasi (CH-E) pada periode tiga bulan sebelumnya. Nilai CH-E untuk periode tiga bulanan dapat diprakirakan dengan menggunakan informasi fase SOI. Nilai fase SOI triwulan berjalan ditentukan dari nilai SOI pada triwulan sebelumnya. Apabila nilai SOI triwulan berjalan menurun tajam atau bernilai konstan negatif dibanding triwulan sebelumnya maka dikatakan pada triwulan tersebut berlangsung El-Niño. Sebaliknya apabila nilai SOI triwulan berjalan meningkat tajam atau bernilai konstan positif dibanding triwulan sebelumnya maka dikatakan pada triwulan tersebut berlangsung La-Nina. Dengan menggunakan persamaanpersamaan hubungan di atas dan informasi fase SOI, nilai ekonomi informasi iklim dapat ditentukan. Sebagai contoh, apabila usaha tambak tetap dilakukan setelah mengetahui bahwa informasi fase SOI triwulan pertama (Januari-Februari-Maret) menunjukkan kondisi El-Niño, maka kemungkinan pendapatan dari usaha tambak udang pada triwulan kedua dapat mencapai Rp.10 milliar dengan tingkat peluang 80%. Akan tetapi apabila fase SOI menunjukkan kondisi normal atau La-Nina, maka peluang untuk memperoleh keuntungan senilai tersebut lebih rendah yaitu 40%. Berikutnya apabila mengetahui informasi fase SOI April-Mei-juni menunjukkan kondisi El Niño, kemungkinan penurunan pendapatan dari usaha tambak udang pada triwulan ketiga dapat mencapai Rp. 4 miliar dengan tingkat peluang 90%, apabila fase SOI menunjukkan kondisi normal peluang mengalami kerugian sejumlah itu hanya 83% dan apabila fase SOI menunjukkan kondisi La Nina maka peluang mengalami kerugian sejumlah itu sekitar 80%. Pada triwulan keempat, usaha tambak udang diperkirakan akan selalu mengalami kerugian. Kerugian yang mungkin dialami hingga lebih dari Rp. 13 miliar dengan peluang terjadi pada kondisi El Niño 70%, pada kondisi normal dan La Nina 80%.
Bagi pengusaha tambak udang, dengan mengetahui fase SOI sebagai indikator ENSO dapat diketahui peluang gross margin usahanya, sehingga ini dapat membantu petani membuat keputusan. Keputusan tersebut terkait penentuan waktu tebar benih, pemilihan komoditas yang ditanam, dan sebagainya. Petani garam yang umumnya usaha utamanya adalah petani tanaman pangan (padi), jika dapat diprediksi musim kemarau akan panjang maka mereka akan segera memutuskan untuk tidak tanam gadu (tanam musim kedua) tapi langsung mempersiapkan lahan untuk menggaram pada awal masuk musim kemarau. Dengan demikian kerugian akibat tanam gadu yang gagal dapat dihindari sekaligus keuntungan bertambah dengan memulai penggaraman pada waktu yang tepat serta mendapatkan produksi dan harga (pendapatan) optimum sepanjang musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, dan Liviawaty E. 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 132p. BAPEDA. 2004. Selayang Pandang Indramayu. Badan Perencanaan Daerah kabupaten Indramayu. Indramayu. Boer, R. 2003. Fenomena ENSO dan Hubungannya dengan Keragaman Hujan di Indonesia. Dalam: Climate Full. Tidak dipublikasikan. Boer R, dan Subbiah AR. 2003. Agricultural Drought in Indonesia. in : Agriculture and Drought. Oxford University Press. UK. Boer R, Subbiah AR, Tamkani K, Hardjanto H, Alimoeso S. 2004. Institutionalizing Climate Information Application: Indonesian Case. Paper presented in Inter-regional Workshop on Strengthening Operational Agrometeorological Services at the National Level, Manila Philippines 22-26 March 2004. Bureau of Meteorology. Australia. 2007. http://www.bom.gov.au/ Boyd, CE. 1988. Water Quality of Warmwater Fish Ponds. Auburn University, Agricultural Research Center. Alabama, USA. 534p. Battisti, D. 1995. Predictions of ENSO. Rev. Geophys. Vol. 33 Suppl. American Geophysical Union. Washington, US.
16
http://www.agu.org/revgeophys/battis01/ node13.html. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. www.tekmira.esdm.go.id Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258p. FAO. 1997. Review of the State of World Aquaculture. FAO Fisheries Circular 886, Vol 1. FAO Fisheries Department. Gu D, and Philander SGH. 1999. A Theory for Interdecadal Climate Fluctuations. in: Navarra, A (Ed). Beyond El Niño: Decadal and Interdecadal Climate Variability. Heidelberg: Springer. Halaman: 301-305. Haliman RW, dan Adijaya D. 2005. Udang Vannamei: Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75p. Jones R, and Boer R. 2004. Assessing Current Climate Risks. in: Bo Lim and Erika Spanger-Siegfried (Eds). Adaptation Policy Frameworks for Climate Change: developing strategies, policies and measures. Cambridge University Press. Cambridge. United Kingdom. pp: 91117. Kirono DGC, and Partridge IJ. 2002. The Climate and the SOI. in : Partridge, IJ and Ma’shum, M (Eds). Will it Rain?: The Effect of the Southern Oscillation and El Niño in Indonesia. Brisbane: Publishing Services, Department of Primary Industries. Halaman: 17-24. Livezey, RE. 1995. The Development of Climate Research. in : von Storch, H and Navarra, A (Eds). Analysis of Climate Variability: Apllication of Statistical Techniques. Proceeding of an Autumn School Organized by the Commision of the European Community on Elba from October 30th to November 6th 1993. Heidelberg: Springer. Halaman: 179-198. Lubis, A. 2002. Aplikasi Metode Spektral Analisis Arma pada Estimasi Awal Limpasan Maksimum untuk Kawasan Tambak Udang. Laporan penelitian dari JBPTITBPP. Lembaga Penelitian ITB. Bandung.
Mason, SJ. 2004. Cross-Validation and Other “Out-of-Sample” Testing Strategies. Paper presented in AMS Short Course on Significance Testing, Model Evaluation and Alternatives. Seattle, January 11st 2004. http://iri.columbia.edu/ Nasir, AA. 1993. Ruang Lingkup Klimatologi. Dalam: Handoko (editor). Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Navarra, A. 1995. The Development of Climate Research. in : von Storch, H and Navarra, A (Eds). Analysis of Climate Variability: Apllication of Statistical Techniques. Proceeding of an Autumn School Organized by the Commision of the European Community on Elba from October 30th to November 6th 1993. Heidelberg: Springer. Halaman: 3-9. Paull, C. 1995. Use of Trends in the SOI. Risk Management and Drought, Queensland Department of Primary Industries. www.longpaddock.qld.gov.au Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. 2006. www.indramayu.go.id Purbani, D. 2001. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Laporan Penelitian. http://www.geocities.com/trisaktigeology 84/garam.pdf Siregar PR, dan Hasanah I. 2006. Wajah Tambak Udang Indonesia: Keberlanjutan, Keadilan dan Ketergantungan. WALHI. Jakarta. 132p. Stone R Hammer GL and Marcussen, T. 1996. Prediction of Global Rainfall Probabilities using Phases of the Southern Oscillation Index. Nature, 384. 252-255. Suyatno SR, dan Mujiman A. 2004. Budidaya Udang Windu. Edisi ke-XVII. Penebar Swadaya. Jakarta. 213p. Wikipedia. 2005. http://id.wikipedia.org/wiki/Tambak_uda ng
17
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Lokasi survey
19
20
Lampiran 2 Diagram alir penelitian
21
Lampiran 3 Format kuisioner DATA PRIBADI 1.
Nama.....
2.
Umur.....
3.
Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan.......
4.
Jenis usaha yang dilakukan a.
Tambak udang
b.
Tani garam
c.
Usaha sampingan..................
Alamat:
5.
Apakah pendapatan dari usaha mencukupi kebutuhan sehari-hari....
6.
Jika tidak, apa yang dilakukan.....
Tidak ditanyakan, hanya pengamatan: 1.
Dinding rumah (tembok, keramik, bilik, lain-lain)
2.
Lantai rumah (Keramik, tegel, tanah, lain-lain)
3.
Jumlah kamar .......
KEGIATAN USAHA Usaha Tani Garam (Utama/Sampingan)
Usaha Tani Tambak Udang (Utama/Sampingan)
22
Usaha Lain
BIAYA DAN PENDAPATAN Informasi umum Luas lahan..........................m2 Padat penebaran benih udang............ekor/m2 Pembagian ladang garam...............petak Hasil panen.......................kg Ukuran rata-rata udang................gram Harga jual................/kg Modal investasi 1.
Sewa tanah..............
2.
Pembuatan sarana dan prasarana tambak/ladang garam
3.
§
Kolam/petak.........
§
Rumah jaga.............
§
Instalasi dan saluran air..................
§
Pompa...................
§
Kincir ..................
§
Prasarana lain..........
Penyusutan modal investasi..........
Biaya Operasional per siklus 1.
2.
Benih udang §
Jumlah...................
§
Harga satuan............
Pakan udang §
Jumlah.............kg
§
Harga per kg.........
3.
Tenaga kerja
4.
Listrik dan telepon
5.
Obat-obatan, pupuk, dll
23
PENGARUH IKLIM TERHADAP USAHA TANI UTAMA 1.
Bagaimana iklim mempengaruhi usaha tani utama anda?
2.
Kondisi iklim paling ideal untuk usaha tani utama anda seperti apa?
3.
Pengaruh iklim seberapa besar terhadap perubahan jumlah produksi?
4.
Akibatnya terhadap harga di pasaran dan pendapatan?
5.
Apakah menyimpan/mencatat data produksi sedikitnya 10 tahun?
RESPON PETANI TERHADAP INFORMASI IKLIM 1.
Apakah pernah memperoleh informasi iklim?
2.
Jika diberikan informasi iklim akan sesuai/ideal untuk usaha tani utama anda, apa yang akan dilakukan?
3.
Jika diberikan informasi iklim akan kurang baik pengaruhnya terhadap usaha tani utama anda, apa yang akan dilakukan?
4.
Apakah pernah mencari informasi iklim? Jika ya, kemana anda mencari informasi iklim dan jika tidak, kenapa?
5.
Sampai dengan saat ini, informasi iklim dirasakan penting atau tidak terhadap usaha tani utama anda?
24
Lampiran 4 Rekapitulasi hasil survey
25
Lampiran 5 Analisis kelayakan usaha tambak udang
26
Lampiran 6 Analisis kelayakan usaha tani garam