Makalah
ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007
POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL OLEH: DR.IR.ADHI SANTIKA, MS, SH BALITBANG HAM DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL
OLEH: DR.IR.ADHI SANTIKA, MS, SH BALITBANG HAM DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
1. Pada tanggal 29 Juni 2006, sidang perdana Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM) di Jenewa telah menerima United
Nations Declaration on the Right of Indigenous Peoples, melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote), dengan hasil 30 negara mendukung (termasuk Indonesia, India, China, Cuba) 2 menentang (Canada dan Federasi Rusia), 12 abstain (termasuk Filipina, Algeria) dan 3 absen (Djibouti, Gabon, Mali). Adapun Dewan HAM merupakan badan baru yang dibentuk pada tanggal 15 Maret 2006 oleh Majelis Umum PBB untuk menggantikan Komisi HAM PBB yang dibentuk sejak 1946, sebagai bagian upaya reformasi PBB. 2. Penerima Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Asli (Indigenous
Peoples), didasari oleh pertimbangan bahwa Kelompok Kerja Komisi Hak Asasi Manusia untuk mengkaji rancangan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Asli telah dibentuk oleh Majelis Umum sejak tanggal 23 Desember 1994 melalui resolusi 49/214, dan telah bekerja selama 11 tahun untuk menyusun rancangan Deklarasi dimaksud. Dalam kaitan ini, hingga diajukan rancangan Deklarasi tersebut tidak mengatur definisi mengenai ”Indigenous”, disamping itu hingga sidang terakhir Kelompok Kerja tidak dicapai konsensus kuat atas rancangan Deklarasi. 3. Mengingat sangat kuatnya desakan masyarakat internasional (khususnya NGOs dan komunitas indigenous dari berbagai belahan dunia yang hadir pada sidang perdana Dewan HAM) agar Dewan KHAM menerima rancangan Deklarasi, maka pada saat proses pengambilan keputusan atas rancangan Deklarasi pada Dewan HAM Delegasi Indonesia (juga India dan China) telah menyampaikan pernyataan untuk mendukung diadopsinya rancangan Deklarasi ini oleh Dewan HAM namun
1
dengan
menyampaikan
penerapan
Deklarasi
pula ini
penjelasan-penjelasan pada
tingkat
berkenaan
domestik.
dengan
Pokok-pokok
penjelasan/explanation of vote before the vote yang telah disampaikan oleh Delegasi Indonesia, adalah sebagai berikut: a. Bahwa Indonesia merupakan bangsa multi budaya dengan 1072 kelompok etnik dan sub etnik yang tersebar di seluruh wilayah RI, yang semuanya memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan Pemerintah Indonesia tidak mendiskriminasikan rakyatnya atas dasar apapun. b. Bahwa prinsip “the right to self-determination” yang diatur dalam Pasal 3 rancangan Deklarasi, tidak di tafsirkan sebagai pemberian kewenangan atau mendorong langkah apapun yang akan memecah belah atau merusak secara total maupun parsial integritas wilayah atau kesatuan politik dari negaranegara yang berdaulat dan independent. 4. Di Indonesia, secara de jure, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (adat) harus dilindungi (Pasal 28I UUD 1945). Selain itu, Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 (UU 39/1999) secara khusus mengatur ketentuan tentang perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat (hukum) adat. Namun pada kenyataannya, persoalan perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia masih merupakan persoalan yang dilematis. Kemudian, dalam Prolegnas 2005-2009 juga telah diatur mengenai upaya untuk melindungi hak masyarakat adat dengan direncanakannya pembuatan Rancangan Undangundang pada 2006 mengenai hak-hak masyarakat adat, tentang komunitas adat terpencil, serta pengakuan dan penghormatan masyarakat adat dan tradisinya. Lebih
jauh
lagi,
Mahkamah
Konstitusi
juga
memberikan
perlindungan
berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU 24/2003) tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 (1) ”Permohonan (dalam hal ini masyarakat adat) adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang itu”.
2
5. Namun secara de facto, hak masyarakat adat di Indonesia masih belum mendapat perlindungan dan pemenuhan secara maksimal. Keadaan ini disebabkan oleh perkembangan pembagian wilayah Indonesia sebelum, selama, dan sesudah penjajahan sampai kemerdekaan selama lebih dari 60 tahun ini. Dalam pembagian wilayah tersebut, masyarakat adat, adat istiadat, lingkungan hidup adat (tanah; air; udara; manusia; hewan; tumbuh-tumbuhan; serta sumber daya alam diatas, di permukaan, dan di dalam bumi) sebaiknya dijadikan salah
satu
faktor
pertimbangan
yang
menentukan.
Pembagian
wilayah
masyarakat adat ke dalam wilayah nasional dilakukan dengan membuat garis di atas peta, yang selanjutnya dibagi-bagi ke dalam provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, yang menyebabkan orang-orang yang berasal dari satu masyarakat adat terbagi ke dalam beberapa wilayah. Pembagian ini, ditambah dengan adanya beberapa masyarakat adat di dalam suatu wilayah hasil pembagian tersebut, memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Terbagi-baginya masyarakat adat tersebut, dan juga letak geografi dan sumber daya alam yang berbeda-beda, dapat mempengaruhi upaya mengangkat harkat martabat dan kemuliaan diri serta keharmonisan lingkungan masyarakat adat. Sumber daya alam yang melimpah di bumi, udara, dan air di wilayah adat berpotensi besar pada sirnanya adat karena hal tersebut menjadi daya tarik ekploitasi untuk pembangunan yang tidak ramah pada kebutuhan masyarakat adat. 6. Tahun 2000 merupakan waktu bersejarah bagi keberadaan masyarakat hukum adat yang dalam sistem hukum nasional juga dikenal sebagai ”masyarakat adat” atau ”masyarakat tradisional”. Pada tahun tersebut, eksistensi, identitas budaya, dan haknya diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Namun perlakuan ini masih dikaitkan dengan
empat
syarat,
yaitu:
sepanjang
masih
hidup,
sesuai
dengan
perkembangan masyarakat, zaman, dan peradaban, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang. Sebelum tahun tersebut, eksistensi masyarakat hukum adat hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
3
7. Di satu pihak, pengakuan konstitusional kepada masyarakat hukum adat ini merupakan bagian dari pengakuan masyarakat dunia terhadap hak asasi manusia, yang secara formal di Indonesia berawal pada tahun 1993. Melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sementara di pihak lain, pengakuan ini merupakan hasil perjuangan yang terus menerus dari para pegiat hak asasi manusia pada umumnya, dan pegiat hak masyarakat hukum adat pada khususnya. 8. Hal yang menjadi Masalah adalah bagaimana caranya untuk mewujudkan pengakuan konstitusional tersebut ke dalam kenyataan. Merupakan suatu kemustahilan untuk mempraanggapkan bahwa masyarakat hukum adat mampu melakukan sendiri, oleh karena bagaimana pun juga masyarakat hukum adat secara menyeluruh termasuk dalam kategori vulnerable groups, kelompok rentan, yang berhak memperoleh perlindungan khusus. Pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa berhadapan dengan kekuatan negara dan kekuatan pengusaha besar, masyarakat hukum adat berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomi, secara sosial, maupun - atau apalagi - secara politik. 9. Pemerintah Orde Baru mulai mewujudkan proses marjinalisasi masyarakat adat melalui berbagai peraturan dan kebijakan yang bersifat sentralistis. Kebijakankebijakan itu mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa, seperti terlihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Aturan tersebut menjadi awal disfungsi pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan ”split personality” di kalangan masyarakat, khususnya di luar Pulau Jawa. Di satu sisi, Kepala Desa menjadi penguasa tunggal yang lebih memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Kepala Desa bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Di sisi lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat. Berbeda dari kepala desa, kepala
adat
memerintah
berdasarkan
otoritas
informal
yang
diberikan
masyarakat. Dualisme kepemimpinan seperti ini telah melemahkan potensi dan dinamika masyarakat desa untuk ikut serta secara aktif dalam pembangunan.
4
10. Di dalam UUPA (Penjelasan Umum II angka 3) digunakan istilah recognitie. Istilah ini sepadan dengan istilah dalam bahasa Inggris yakni recognition yang berarti pengakuan. Dalam UUPA, recognite digunakan untuk menjelaskan hak yang akan diperoleh atau diberikan kepada masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya akan digunakan untuk keperluan pembangunan. Istilah recognite yang dipakai oleh UUPA sebenarnya mengadopsi konsep hukum adat. Dalam hukum adat, istilah ini dipakai apabila ada orang yang bukan anggota persekutuan adat tertentu hendak menggunakan tanah ulayatnya. Orang tersebut diperbolehkan untuk menggunakan tanah tersebut, sampai penggunaannya tercapai, hanya apabila ia memberikan sesuatu. 11. Istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari rechtsgemeenschap atau oleh beberapa referensi menyebutnya adatrechtsgemeenschap. Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Menurut pengikut van Vollenhoven,Ter Haar, persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenscap) adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan sendiri yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus kekayaan sendiri, baik materiil maupun immatriil. Sedangkan menurut pendapat lain, masyarakat hukum
adat
adalah
kesatuan-kesatuan
masyarakat
yang
mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan
hukum,
kesatuan
penguasa
dan
kesatuan
lingkungan
hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Istilah masyarakat hukum adat dan persekutuan hukum adat memiliki maksud yang sama. 12. Istilah masyarakat adat cukup sukar melacak asal-usul kemunculannya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa istilah itu adalah terjemahan langsung dari istilah
indigenous people. Namun, sebagian juga menganggapnya bukan merupakan terjemahan dari istilah tersebut. Definisi mengenai istilah masyarakat adat pernah dirumuskan oleh Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (Japhama), pada tahun 1993. Menurut Japhama, masyarakat adat adalah kelompok
5
masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideoleogi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri. Definisi ini secara resmi diadopsi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada konggres I, di tahun 1999. Sedangkan, pengertian indigenous people dalam Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bahasa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka adalah suku-suku bangsa yang berdiam di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain.
Hal ini dapat
diartikan pula sebagai suku-suku bangsa yang telah mendiami sebuah negara sejak kolonisasi yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri. Sementara Jose Martinez Cobo, pelapor khusus PBB untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, pada tahun 1981, dalam laporannya
yang
berjudul
Diskriminasi
Terhadap
Masyarakat
Adat,
mendefinisikan indigenous people sebagai kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas. 13. Masyarakat hukum adat tidak berwenang membentuk undang-undang, dan karena posisinya yang sangat rentan dalam berbagai segi juga tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pembentukan undang-undang. Dengan demikian, maka masyarakat hukum adat tidak dapat memanfaatkan peluang yang terbuka dalam Pasal 53 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tentang hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau secara tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. 14. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa kepemimpinan birokratis formal yang dilahirkan undang-undang ini tidak sepenuhnya dapat menggantikan kepemimpinan kultural yang bersifat informal sebelumnya. Berbagai wujud
6
konflik sosial yang sebelumnya bisa diselesaikan dengan pendekatan kultural menjadi terbengkalai tidak tertangani, untuk kemudian berakumulasi dan meledak dalam bentuk kekerasan antar kelompok yang memakan korban. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak masyarakat hukum adat jenis pertama ini, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, perlu disusun sebuah Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 15. Dalam hubungan tersebut di atas, kita perlu berterima kasih bahwa Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI sudah mengambil langkahlangkah persiapan untuk memenuhi tanggung jawab luhur ini. Dari sisi Pemerintah secara berturut-turut untuk tahun 1998-2003 dan 2004-2009 telah ditetapkan Rencana Aksi Nasional Manusia Indonesia (RAN HAM) yang cakupan substansinya semakin lama semakin komprehensif dan dalam pelaksanaannya semakin menjangkau sampai ke daerah tingkat dua. Seperti kita ketahui bersama, melalui peraturan daerah, pemerintah daerah tingkat dua mempunyai peranan penting dalam melindungi eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini. Dari sisi Dewan Perwakilan Rakyat RI kami berterima kasih bahwa dalam agenda Rencana Legislatif Nasional 2005-2009 telah tercantum rencana penyusunan
beberapa
rancangan
undang-undang
yang
relevan
dengan
perlindungan eksistensi dan hak masyarakat hukum adat. Mengingat banyak hal yang masih harus dilakukan untuk mengatasi masalah pelik yang berasal dari kepentingan masyarakat adat dengan pembangunan nasional dan sektor swasta, antara kehidupan dan gaya hidup masyarakat yang bersangkutan dan kebijakan dan proyek publik, maka perlu bagi Indonesia untuk bercermin dan belajar dari pengalaman berbagai negara yang memiliki persoalan yang sama dengan Indonesia.
Jakarta, 23 Agustus 2007
7
POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL Oleh: DR. Ir. Adhi Santika, MS., SH Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Hukum dan HAM YOGYAKARTA, 23 AGUSTUS 2007
1
SUBYEK HUKUM • Individu • Kelompok • Pemerintah • Lembaga Legislatif HAK SIPOL
HAK MASYARAKAT ADAT
HAM
• Perlindungan • Penghormatan • Pemenuhan
?
HAK EKOSOB LANDASAN HUKUM • UUD 1945 • UU No. 39/1999 • UU No. 10/2004 • UU No. 32/2004
2
UUD 1945
ICCPR UU No. 12/2005
DUHAM
MASYARAKAT ADAT
UU
ICESCR UU No. 11/2005
Kebijakan
Strategy
Rencana Aksi
Pelaksanaan
3
4 SYARAT PENGAKUAN 1. Sepanjang masih hidup 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman, dan peradaban 3. Sesuai dengan prinsip NKRI 4. Diatur dalam Undang-undang
4
MASALAH UTAMA 1.
2.
3.
4.
Awal disfungsi pemerintahan adat Cukup sukar melacak asal-usul kemunculannya. Tidak dapat memanfaatkan peluang yang terbuka Perlu disusun RUU 5
PROGRAM UTAMA RAN – HAM 2004 – 2009 (Keppres 40 Tahun 2004) 1.
Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM;
2.
Persiapan ratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia internasional;
3.
Persiapan harmonisasi peraturan perundangundangan;
4.
Diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia;
5.
Penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia; dan
6.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
6
DISEMINASI DAN PENDIDIKAN 1.
2.
3.
Peningkatan pemahaman dan kesadaran aparat penegak hukum dan aparat pemerintah akan pentingnya HAM dalam pelaksanaan tugasnya. Penguatan pendidikan HAM di Perguruan Tinggi dan institusi HAM. Peningkatan layanan informasi tentang HAM. 7
4 HAL YANG HARUS SEGERA DISELESAIKAN 1.
Reaktualisasi sistem hukum
2.
Penataan kelembagaan
3.
Pemberdayaan masyarakat
4.
Pemberdayaan birokrasi 8
9