POTENSI KACANG GUDE SEBAGAI KOMPONEN DIVERSIFIKASI PANGAN Maintang1)*, Arini Putri Hanifa1)* dan Rivana Agustin2)* 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2) Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan Jl.Perintis Kemerdekaan Km.17,5 Makassar E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Salah satu kebijakan penting untuk mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, dengan mempromosikan bahan pangan alternatif guna mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu. Aneka kacang lokal merupakan salah satu sumber protein nabati yang murah dengan ketersediaan melimpah dibanding kedelai. Salah satu jenis kacang lokal yang berpotensi dikembangkan adalah kacang gude (Cajanus cajan L). Kacang gude memiliki nutrisi yang baik, toleran cekaman lingkungan, produksi biomassa tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki ketersediaan unsur hara dan kelembaban tanah. Kacang gude dapat diolah menjadi kecap, tempe, kopi, tepung gude, dan lain-lain. Ragam produk olahan tersebut dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing kacang gude sehingga memotivasi masyarakat untuk mengembangkannya sebagai sumber gizi dan penghasilan keluarga. Kata kunci: kacang gude, nutrisi, ketahanan pangan, diversifikasi pangan
ABSTRACT Potential use of pigeon pea for food diversification support. One of food policy in achieving food security is through diversification, by promoting alternative foodstuffs, thereby reducing dependence on particular commodities. Local beans are sources of protein which were cheaper and more abundant compared to soybeans. One type of local nuts that potentially could be developed is pigeon pea. Pigeon pea combines nutritional profiles, tolerant to environmental stress, high biomass production and has contributions to the nutrient and moisture of soil. Pigeon pea can be processed into soy sauce, coffee, flour and others. Various of processed product from pigeon pea will increase its added value and competitiveness so that people will be motivated to develop these plants as a source of nutrition and additional income. Keywords: pigeon pea, nutrition, food security, food diversification
PENDAHULUAN Salah satu kebijakan pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan. Pangan alternatif diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu. Tujuan dari diversifikasi pangan antara lain: (1) mewujudkan penganekaragaman pangan yang memperhatikan gizi dan daya beli masyarakat, (2) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan keamanan pangan lewat ketersediaan pangan dari segi jumlah dan kualitas gizi, (3) mengurangi ketergantungan pada beras, (4) menambah devisa negara dengan mengembangkan produk pertanian nonberas, (5) menjaga
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
917
kelangsungan dan kelestarian alam/lingkungan dengan mengembalikan pada ekosistemnya (Hidayat et al. 2013). Gizi adalah kebutuhan dasar yang krusial bagi manusia karena menjadi penentu utama kesehatan, produktivitas kerja, dan perkembangan mental. Sebagian negara berkembang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi karena ledakan penduduk, kekurangan lahan produktif, dan harga pangan yang tinggi. Dengan kandungan protein serta nilai energi, vitamin dan mineral yang tinggi, aneka kacang memiliki keunggulan nutrisi. Namun dalam program pemuliaan kacang-kacangan, kacang gude tertinggal jauh dibandingkan dengan kacang hijau dan kedelai. Kacang gude adalah salah satu legum yang paling toleran kekeringan (Valenzuela dan Smith 2002 dalam Sharma et al. 2011) dan menghasilkan polong pada musim kering (Sharma et al. 2011). Kacang gude memiliki kombinasi keunggulan seperti profil gizi yang optimal, toleransi yang tinggi terhadap stres lingkungan, produktivitas biomassa yang tinggi, dan berkontribusi besar bagi nutrisi dan kelembaban tanah. Kacang gude kaya akan pati, protein, kalsium, mangan, serat kasar, lemak, dan mineral. Selain itu, kacang gude juga digunakan sebagai obat tradisional di berbagai negara. Secara global, kacang gude dibudidayakan pada 4,79 M ha di 22 negara, namun produsen utamanya hanya sedikit di dunia. Di Benua Afrika kacang gude dibudidayakan di Kenya (196,261 ha), Malawi (123,000 ha), Uganda (86,000 ha), Mozambique (85,000 ha), Tanzania (68,000). Di Asia, produsen terbesar kacang gude adalah India (3,58 M ha), diikuti Myanmar (560,000 ha), dan Nepal (20,703 ha) (FAO 2008 dalam Sharma et al. 2011). Di Indonesia, kacang ini mulai dibudidayakan sejak abad keenam sebagai tanaman sayuran. Berbeda dengan kedelai, kacang gude belum mampu berperan sebagai tanaman cash crop. Pengembangannya sebagian besar hanya merupakan tanaman sampingan yang ditanam di pekarangan, pematang sawah maupun ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lain. Sampai saat ini, perluasan areal pertanaman kacang gude belum serius dilakukan sehingga produksi dan pemanfaatannya relatif terbatas. Suwasik dan Sumarno (1989) melaporkan bahwa pusat pertanaman kacang gude pada umumnya adalah di lahan kering dengan curah hujan 600–1000 mm/tahun, antara lain di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Makalah ini membahas peluang pemanfaatan kacang gude sebagai salah satu sumber bahan pangan lokal guna mendukung diversifikasi pangan nasional. Pembahasan dimulai dengan mengemukakan karakteristik tanaman kacang gude, kandungan gizi, pemanfaatan dan kendala serta prospek pengembangan kacang gude.
Karakteristik Tanaman Menurut Sigh dan Oswald (1984), klasifikasi kacang gude adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom: Tracheobiota Division : Spermatophyta Class : Dicotyledoneae Ordo : Leguminoceae Family : Papilionaceae Genus : Cajanus Spesies : Cajanus cajan (L.) 918
Maintang, Hanifa, dan Agustin: Potensi Kacang Gude Sebagai Komponen Diversifikasi Pangan
Tanaman ini tergolong perdu tegak dengan batang berkayu, tinggi tanaman berkisar 0,5–5 m, merupakan tanaman tahunan dengan daur hidup 0,5–5 tahun. Diameter batang bisa mencapai 15 cm, sistem percabangan tegak, dan menyebar dengan sudut cabang 30– 45°, perakaran cukup dalam (±2m). Daunnya berselang seling beranak 3; ukuran daun berkisar antara 3–13,7 cm x 1,3–5,7 cm; berbentuk oval, elips dan delta. Bunganya tersusun dalam tandan semu, daun mahkota berwarna kuning atau cokelat muda dengan bendera berwarna merah jingga di bagian punggungnya. Polongnya berbentuk sabit atau lurus, biji bundar atau oval berwarna putih, cokelat muda, sampai hitam, polos atau kadang berbintik (Purwanto 2007). Kacang gude termasuk tanaman semusim dan mempunyai keunggulan dibanding tanaman kacang-kacangan lokal lainnya, antara lain toleran kekeringan, tahan rebah dan polong tidak mudah pecah, tetapi peka terhadap hama perusak polong. Mas’ud et al. (1993) melaporkan bahwa salah satu kendala utama dalam budidaya kacang gude di Sulawesi Selatan adalah hama, khususnya perusak polong, antara lain Helicoverpa sp. dan Maruca testulalis. Keduanya merupakan hama penting yang dapat menurunkan hasil kacang gude. Pertumbuhan kacang gude memerlukan banyak cahaya matahari dan tidak tahan kondisi lembab. Selain itu tanaman ini cukup toleran kekeringan atau temperatur tinggi dan dapat tumbuh baik pada daerah yang kurang subur (Kazuma 2009). Jose (2009) menambahkan bahwa tanaman kacang gude membutuhkan sedikit air karena akarnya yang masuk ke tanah sangat dalam. Tanaman ini juga mudah tumbuh dan sangat produktif, mempunyai toleransi terhadap lingkungan ekstrim, biomassa tinggi, dan memiliki kontribusi terhadap kelembaban dan nutrisi tanah. Karakteristik demikian memungkinkan tanaman ini berpeluang untuk dikembangkan pada lahan kritis atau lahan kering sehingga potensial untuk menanggulangi kekurangan gizi masyarakat pada daerah yang rawan pangan. Dilihat dari aspek pola budidayanya, kacang gude tidak pernah ditanam secara monokultur, pertanaman tidak intensif, dan hanya sebagai tanaman campuran di lahan tegal, pematang sawah atau pekarangan. Kacang gude juga dapat dimanfaatkan dalam pola usahatani terpadu karena dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain seperti sorgum, jagung, kacang tanah dan kapas. Oleh karena itu, penanaman kacang gude dalam pola tanam bukan saingan yang dapat menurunkan hasil tanaman utama, tetapi memberikan nilai tambah bagi petani. Kacang gude telah berhasil dibudidayakan di bawah perkebunan kopi sebagai tanaman penutup tanah untuk memperbaiki sifat-sifat tanah, mengurangi kompetisi gulma, dan sebagai sumber makanan bagi predator (Venzon et al. 2006). Selain mentransfer N, gude memiliki kemampuan membawa mineral dari tanah yang lebih dalam ke permukaan guna meningkatkan sirkulasi udara tanah (Kumar et al. 1983). Hal ini sangat bermanfaat bagi tanaman pokok pada tumpangsari. Pertumbuhan awal kacang gude yang lambat mengurangi kompetisi cahaya, air dan unsur hara pada pola tumpangsari (Dalal 1974) sehingga meminimalkan dampak negatif pada tanaman utama. Pola tanam tumpangsari juga telah dilaksanakan di sentra pengembangan tanaman kacang gude di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (Mas’ud 2010). Masyarakat di daerah ini mengembangkan komoditas jagung sebagai salah satu komoditas utama dan ditumpangsarikan dengan kacang gude sebagai sumber bahan pangan tetapi masih terba-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
919
tas untuk sayuran dan sebagian dijual, sehingga menjadi sumber tambahan pendapatan keluarga. Ditinjau dari aspek produksi, kacang gude memiliki potensi besar untuk dikembangkan, bahkan di daerah tandus dengan lapisan tanah yang tipis seperti di Gunung Kidul dan Jeneponto. Potensi hasil kacang gude di Indonesia cukup tinggi, yaitu 2,5–3,3 t/ha, sedangkan kedelai hanya 1,2–3 t /ha (Kuswardhana 1993 dalam Anonim 2014). Data ini menunjukkan bahwa produktivitas kacang gude lebih tinggi daripada kedelai, sehingga ketersediaannya sebagai bahan pangan sangat memungkinkan jika budidaya dilakukan dengan baik. Kacang gude mempunyai harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah.
Kandungan Gizi Kacang Gude Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan merupakan sumber protein, lemak, dan karbohidrat. Kacang-kacangan lokal tidak kalah dalam kandungan protein, begitu pula kualitas protein yang ditentukan oleh susunan asam amino. Secara umum, kacang-kacangan lokal memiliki kelebihan asam amino esensial lisin, tetapi kekurangan asam amino sulfur seperti metionin dan sistin. Namun, kekurangan ini dapat dikompensasi dengan cara mengombinasikannya dengan protein serealia yang mengandung metionin dan sistin. Berdasarkan data FAO (1982) kacang gude mengandung 20–22% protein, 65% karbohidrat, 1.2% lemak. Kacang gude merupakan sumber serat kasar yang baik, juga mineral penting seperti besi, sulfur, kalsium, potasium, mangan, dan vitamin larut air terutama thiamin, riboflavin, niasin (Saxena et al. 2010). Kandungan mineral kacang gude beserta profil proteinnya mirip dengan kedelai, kecuali methionin yang kadarnya rendah (Apata and Ologhobo 1994 dalam Sharma et al. 2011). Meski demikian kacang gude mengandung lebih banyak mineral, lemak 10 kali lebih tinggi, vitamin A 5 kali lebih banyak dan vitamin C tiga kali lebih banyak dibandingkan kacang-kacangan lain (Foodnet 2002 dalam Sharma, et al. 2011). Polong muda kacang gude lebih kaya Fe, Cu, dan Zn daripada polong tua (Singh and Oswald 1984). Polong muda kacang gude dapat langsung dimakan, sedangkan polong tua diolah menjadi berbagai jenis makanan olahan pengganti kedelai beberapa kecap dan tempe. Pemanfaatan polong muda sebagai bahan pangan dalam bentuk sayur banyak ditemukan di Kabupaten Jeneponto. Hasil observasi dan inventarisasi plasma nutfah tanaman pangan di Jeneponto tahun 2013 ditemukan kacang gude hampir di setiap kebun responden (Djufry 2013). Menurut responden pemilik lahan, tanaman ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga, terutama pada musim kemarau, dimana sebagian besar tanaman sayuran lain tidak mampu tumbuh, sementara tanaman kacang gude tetap dapat berproduksi dengan baik. Namun pemanfaatannya masih sebatas dikonsumsi sebagai sayuran. Selain zat gizi, hampir semua kacang-kacangan, termasuk kedelai, mengandung senyawa antigizi seperti trypsin inhibitor, asam fitat, dan tanin. Kacang gude mengandung senyawa antigizi, yaitu tannin yang menghambat enzim tripsin, kimotripsin, dan amilase (inhibitor tripsin, inhibitor, kimotripsin dan inhibitor amilase). Tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein dan karbohidrat yang dapat mengurangi atau menghambat aktivitas amilase dan lipase pada pankreas dan menghambat penyerapan Fe. Senyawasenyawa ini menyebabkan masalah apabila kacang gude dikonsumsi dalam jumlah besar. Namun, senyawa antigizi yang dikandung kacang gude sedikit lebih kecil dibandingkan 920
Maintang, Hanifa, dan Agustin: Potensi Kacang Gude Sebagai Komponen Diversifikasi Pangan
kedelai, kacang polong, dan kacang pada umumnya. Senyawa antigizi tersebut dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses pengolahan, antara lain fermentasi, pengecambahan, perendaman maupun pemasakan. Tanin umumnya terkonsentrasi pada kulit biji sehingga dapat dihilangkan dengan cara mengupas kulit biji.
Pemanfaatan Kacang Gude Berbagai penelitian menunjukkan kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan sebagai bahan substitusi dalam pembuatan tempe, seperti tempe dari kacang gude (Indrasari et al. 1992). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% masih dapat menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992). Rensisca (2008) dalam Anonim (2012) melaporkan bahwa kacang gude dengan penganekaragaman pengolahan tempe gude seperti tempe kedelai, dapat dikonsumsi sebagai pangan fungsional (makanan pendamping kesehatan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa produk olahan tempe gude dapat digunakan sebagai salah satu alternatif makanan pendamping ASI bagi bayi berumur 6–12 bulan dan ibu hamil. Produk olahan lain dari kacang gude adalah kecap manis dan asin. Perbedaanya terletak pada penambahan gula pada kecap manis (Singh dan Diwakar 1993). Di Filipina, melalui program Pengembangan, pemanfaatan dan komersialisasi kacang gude dan gandum manis sebagai produk pangan berbasis nutrisi telah dihasilkan kopi kacang gude. Kopi kacang gude memiliki aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan kopi tradisional yang dijual di pasar (Agron 2009). Lebih lanjut Torres ( 2007) melaporkan bahwa kecambah kacang gude dapat dijadikan tepung yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan kue, roti, mie dan pasta. Di Nigeria, biji kering kacang gude dimasak utuh sampai lunak kemudian dicampur dengan ubi dimasak, jagung, bubur jagung kering cocoyam atau bahan lainnya (Damaris 2007). Kacang gude juga banyak digunakan sebagai pakan ternak. Daunnya merupakan pakan yang sangat baik dengan nilai gizi yang tinggi (Onim et al. 1985 dalam Damaris, 2007). Biji gude telah direkomendasikan sebagai alternatif jagung, bungkil kedelai atau bungkil kacang tanah dalam pakan broiler di Nigeria (Amaefule dan Obioha 2001). Jenis gude tertentu juga digunakan sebagai kayu bakar, keranjang tenun, dan atap di desa-desa Afrika (Damaris 2007). Pemanfaatan kacang gude sebagai pakan ternak akan membantu mengurangi biaya pemenuhan kebutuhan pakan namun gizi ternak tetap terpenuhi, sehingga penanaman kacang gude di setiap rumah tangga memberi banyak manfaat. Di beberapa negara, kacang gude dijadikan sebagai obat herbal tradisional. Di Peru dan Brasil, kacang gude diramu dalam teh untuk mengobati radang (Taylor 2005). Di China, kacang gude dibakar hangus dicampur dengan air kopi, dimanfaatkan untuk mengobati sakit kepala, sedangkan biji muda dikonsumsi karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit ginjal dan liver ringan. Daun gude telah digunakan untuk mengobati malaria (Aiyeloja dan Bello 2006) di Nigeria, sementara di Afrika Selatan dipromosikan sebagai obat herbal (Mander et al. 1996 dalam Damaris 2007). Kacang gude memiliki peran penting dalam konservasi pertanian. Perakarannya yang dalam berkembang dengan baik dan sistem akar lateral yang menyebar bertindak sebagai biological plough, ditambah dengan kanopi rapat yang efektif mengurangi erosi (Subudhi dan Senapati 1995). Di Cina, gude tumbuh pada 60.000 ha lahan terlantar untuk konservasi tanah, yang membantu menangkap deforestasi (Saxena 2000). Alley cropping dengan gude juga berguna untuk mengurangi erosi tanah. Daun kacang gude yang gugur Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
921
tidak hanya menambah bahan organik ke dalam tanah, tetapi juga menyediakan tambahan nitrogen. Gude memiliki mekanisme khusus untuk mengekstrak besi, aluminium dan fosfor terikat kalsium. Bahkan, alelopati dari gude dilaporkan efektif mengendalikan Cyperus rotundus di Guatemala (Heperly et al. 1992). Dengan segala kelebihan dan manfaat yang dapat diperoleh dari kacang gude, baik sebagai pangan, pakan, obat herbal ataupun peranannya dalam konservasi tanah, maka pengembangan kacang gude patut menjadi perhatian.
Kendala dan Prospek Pengembangan Pemanfaatan kacang gude sebagai bahan pangan olahan memiliki peluang besar. Substitusi kedelai dengan kacang gude dapat dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tersedianya teknologi pengolahan hasil. Kedua, ketersediaan sarana dan prasana. Kendala yang sering ditemui pada pengolahan kacang kacangan lokal adalah kulit biji yang sulit dikupas. Biji gude perlu dimasak (3 jam) dan direndam (18 jam) lebih lama dibandingkan dengan kedelai untuk membuang kulit ari sebelum diolah menjadi tempe (Sambudi dan Buckle 1992). Oleh karena kulit biji yang keras maka proses pengolahan tempe dari kacang gude membutuhkan alat mesin pengupasan. Kondisi ini menjadi alasan bagi petani untuk memanen kacang gude pada saat masih muda untuk dikonsumsi sebagai sayur. Ketiga, Sosialisasi dan promosi produk kacang-kacangan nonkedelai berserta olahannya. Keempat, dukungan penelitian terkait sifat dan karakteristik kacang gude untuk menghasilkan produk fermentasi spesifik (tempe) diperlukan sebagai pendukung diversifikasi pangan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kacang gude memiliki daya adaptasi yang luas, mampu tumbuh pada lahan kering dan kritis. Potensi hasil kacang gude di Indonesia cukup tinggi, yaitu 2,5 –3,3 t/ha. Kacang gude dapat dijadikan sebagai salah satu sumber bahan pangan alternatif melalui program diversifikasi pangan, karena gizi yang dimiliki tidak kalah tinggi dibanding kedelai. Sampai saat ini pemanfaatan kacang gude umumnya terbatas sebagai sayuran. Diversifikasi menjadi produk olahan lain seperti kecap, tempe, kopi, dan tepung gude dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan nilai jual kacang gude bagi produsen. Kacang gude berpeluang menjadi salah satu bahan baku subtitusi kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2012. Tugas Leguminosae (Kacang Inferior yang potensial di kembangkan di Indonesia sebagai bahan pangan). http://blog.ub.ac.id/warmingup/2012/10/29/tugas-leguminose/comment-page-1/. Diakses tgl 25 Maret 2014. Anonim, 2014. Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Dan Diversifikasi Produk Kacang Gude (Cajanus cajan Linn). http://historyblogger12.blogspot.com/ 2013/01/peningkatan-ketahanan-pangan melalui.html. diakses pada 24 Maret 2014 Agron, Edmon. 2009. Promoting Pigeon Pea Coffee as A Nutritious Alternative Beverage Explored. Bureau Agricultural research Chronicle A Monthly Publication 10(7). www.bar. gov.ph/barchronicle/l test_issue/juli2009_news4.asp. diakses 14 maret 2014. Aiyeloja, AA dan Bello OA. 2006. Ethnobotanical potentials of common herbs in Nigeria : A case study of Enugu state, Educational Research and Review 1:16–22. Dalal R.C. 1974. Effect of intercropping maize with pigeon pea on the grain yield and nutrient
922
Maintang, Hanifa, dan Agustin: Potensi Kacang Gude Sebagai Komponen Diversifikasi Pangan
uptake. Experimental Agriculture 10:219–224. Damaris, AO. 2007. The potential of pigeonpea in Africa. Natural Resource Forum 31 (2007): 297–305. Djufry, F. 2013. Kajian Pengelolaan Sumber Daya Genetik / Plasma Nutfah Spesifik Lokasi di Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Kegiatan. BPTP Sulawesi Selatan Tahun 2013. Heperly P, Aguilar EH, Perez R, Diaz M, Reyes C, Rizvi SJH. 1992. Allelopathy: basic and applied aspects, In Heperly P, Aguilar EH, Perez R, Diaz M, Reyes C, Rizvi SJH. (Eds.) Phosphorus-nutrition-of-grain-legumes-in-the-semi-arid-tropics 91–98. ICRISAT, Patencheru, Andhra Pradesh, India. pp. 357–370. Hidayat Nur, Susanti DH, dan Heri Basuki, 2013. Analisis Pola Pangan Harapan Di Kawasan Rumah Pangan Lestari Kabupaten Sleman. Dalam Agus Hermawan,Karno,Bambang Sudaryanto, Budi Hartoyo, Forita Dyah A dan Vitus Dwi Yunianto (eds). Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Indrasari, S.D., D.K. Sadra, and D.S. Damardjati. 1992. Evaluation of producer acceptance on soy-pigeon pea tempe production in Puwakarta District, Indonesia. p. 604–615. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992. IPB Press, Bogor. Jose, P. 2009. Gandules/PigeonPeas.www.caribbeanseeds.com/gandules.htm. Diakses 20 Maret 2014. Kazuma. 2009. [List]TanamanObat. http://forum.alulama.net/viewtopic.php?f=20&t=47&start = 80&sid=9e52b32156d5e046a15b5d88d3fcce18. Diakses 17 Maret 2014. Kumar Rao, J.V.D.K., Dart, P.J., Sastry, P.V.S.S., 1983. Residual effect of pigeonpea (Cajanus cajan) on yield and nitrogen response of maize. Exp. Agric. 19: 131–134. Mas’ud Syahrir, 2010. Kajian Perusak Polong Sebagai Hama Utama pada Kacang Gude di Sulawesi Selatan. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Hal 373–379. Mas’ud, S., J. Tandiabang, dan D. Baco. 1993. Pengaruh varietas dan tingkat pemeberian insektisida terhadap perusak polong kacang gude (Cajanus cajan L.). Agrikam. Buletin Penelitian Pertanian Maros. 8(1): 15–19. Purwanto, I. 2007.Mengenal Lebih Dekat Leguminoseae. Kanisius. Yogyakarta Sambudi, S.H.E and K.A. Buckle. 1992. Soaking and boiling on microstructure of winged bean seeds. p. 503–517. In O.B. Liang, A. Buchanan, and D. Fardiaz (Eds.). Development of Food Science and Technology in South East Asia. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992. IPB Press, Bogor. Saxena KB. 2000. Pigeonpea in China. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru 502 324, A.P. India. (limited distribution). p. 29 Saxena KB., Kumar RV., Gowda C.L .2010. Vegetable pigeon pea- a review, Journal of Food Legumes 23(2):91–98. Sharma, S, N.Agarwal, P. Verma. 2011. J. of Functional and Environ. Bot. 1(2):91–101. Singh, F dan Oswald, D.L. 1984. Pigeon pea botany and production practices. India: ICRISAT Patancheru. Andhra Pradesh. Singh, Faujdar dan B. Diwakar. 1993. Nutritive Value and Uses of Pigeonpea and Groundnut. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics. India. http://www.icrisat.org/Training/sds.14.pdf. Diakses 20 Maret 2014. Subudhi C.R. Senapati P.C. 1995. Effect of cropping systems on run-off, soil loss and crop productivity. Indian J of Soil Conserv 23(1):82–83 Suwasik, K dan Sumarno. 1989. Kacang gude. Monograf Balittan Malang. No. 4. 43 p.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
923
Taylor, Leslie. 2005. Tropical Plant Database: GUANDU (Cajanus cajan). www.raintree.com/guandu.htm. Diakses 19 Maret 2014. Torres, Alexia, 2007. Germinated Cajanus cajan Seeds As Ingredients in Pasta Products: Chemical, Biological and Sensory Evaluation. Journal of FoodChemistry. Vol/No:101/1. Pg: 202–211. http://www.sciencedirect.com/science. Diakses 28 Maret 2014 Venzon, M., Rosado M.C., Euzebio, D.E., Souza, B., Schoereder, J.H., 2006. Suitability of leguminous cover crop pollens as food source for the green lancewing chrysoperla externa (Hagen) (Neuroptera: chrysopidae). Neotropical Entomology, 35: 371–376.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Helen (Ambon): Pemanfaatan dalam pangan, hasil-hasil penelitian untuk apa? 2. Ridwan (Bangka Belitung): Nutrisi pada kacang gude? Bagaimana mengatasi racun-racun? Jawaban: 1. Makalah akan dilanjutkan tentang kacang gude, penelitian berkelanjutan tentang tempe, tahu, kopi kacang gude. 2. Kacang-kacang punya arti gizi, tapi kedelai lebih besar dibanding kacang gude, cara mengatasinya direbus, difermentasi, perkecambahan.
924
Maintang, Hanifa, dan Agustin: Potensi Kacang Gude Sebagai Komponen Diversifikasi Pangan