Potensi dan Kendala Pengembangan Bioenergi (Bioetanol) Berbahan Baku Ubi Kayu di Provinsi Lampung Adang Agustian dan Supena Friyatno
297
POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN BIOENERGI (BIOETANOL) BERBAHAN BAKU UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG Potential and Constraints in Cassava-based Bioenergy (Bioethanol) Development in Lampung Province Adang Agustian dan Supena Friyatno Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.70, Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Along with increasingly limited availability of fossil energy, seeking alternative energy sources is a must. Cassava is one of the crops that can be processed into a source of energy (bioethanol). This study aimed to analyze Potential for development, issues, and factors influencing the development of cassava-based bioethanol in Lampung Province within the framework of sustainable agriculture-bioindustry system. Data collected were primary and secondary data. Results of the study indicated that Lampung is the largest cassava producing center nationwide, covering about 29.64% of total harvested area of cassava in Indonesia. Cassava production in Lampung in 2013 reached 8.24 million tons, or equivalent to bioethanol potential as much as 1,267.33 kL/year. In Lampung, there are four industries processing cassava into bioethanol, with a total capacity amounted to 212,500 MT in 2009. Some obstacles encountered in the development of cassava as raw material for ethanol included cost of farming which tend to be expensive, fluctuating cassava prices, competition with other crop plants that have a high price, and low cassava productivity. To produce bioethanol 99.5%, production cost (excluding cassava as raw material) reached Rp3,295/liter, while total production cost of 1 liter of ethanol reached Rp6,655/liter. The selling price of ethanol at the industry reached Rp7,000/liter, so that income level achieved at Rp345/liter with R/C ratio at 1.05. Factors affecting the successful development of cassava as raw material for bioethanol are: increasing the role of counseling, coordination among related intitutions, conducive policies, continuous coaching, and human resource development through farmer empowerment. Keywords: cassava, bioethanol, Lampung Province ABSTRAK Seiring dengan makin terbatasnya ketersediaan energi dari fosil, maka harus dicarikan sumber energi alternatif lain. Ubi kayu merupakan salah satu tanaman yang dapat diolah menjadi sumber energi (bioetanol). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi pengembangan, permasalahan, dan faktor yang memengaruhi pengembangan bioetanol dari ubi kayu di Provinsi Lampung dalam kerangka sistem pertanianbioindustri berkelanjutan. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Hasil penelitian mendapatkan bahwa Provinsi Lampung merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar nasional, dengan pangsa luas sekitar 29,64% terhadap luas areal ubi kayu nasional. Produksi ubi kayu di Lampung tahun 2013 mencapai 8,24 juta ton, atau potensi untuk dapat diolah menjadi bioetanol sebesar 1.267,33 kL/tahun. Di Lampung terdapat empat industri yang melakukan pengolahan ubi kayu menjadi bioetanol, dengan total kapasitasnya tahun 2009 mencapai 212.500 MT/tahun. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol antara lain biaya usaha tani yang cenderung mahal, harga ubi kayu cenderung berfluktuasi, persaingan tanaman dengan tanaman yang memiliki harga yang tinggi, dan produktivitas ubi kayu yang masih rendah. Untuk menghasilkan bioetanol 99,5% total biaya produksi di luar bahan baku ubi kayu mencapai Rp3.295/liter, dan total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter etanol mencapai Rp6.655/liter. Harga jual etanol di tingkat industri mencapai Rp7.000/liter sehingga tingkat pendapatan yang diraih mencapai Rp345/liter dengan R/C sebesar 1,05. Faktor yang memengaruhi keberhasilan pengembangan ubi kayu untuk bahan baku bioetanol adalah peningkatan peran penyuluhan, koordinasi instansi terkait, kebijakan yang kondusif, pembinaan yang berkesinambungan, dan peningkatan SDM petani. Kata kunci: ubi kayu, bioetanol, Provinsi Lampung
298
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
PENDAHULUAN
Seiring dengan makin terbatasnya ketersediaan energi dari fosil, maka harus dicarikan sumber energi alternatif lain. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa tanaman seperti kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Apabila energi sumber nabati ini dapat dikembangkan masyarakat terutama di perdesaan maka akan diciptakan masyarakat yang mandiri energi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga sehari-hari. Harus diakui bahwa sampai saat ini ongkos produksi energi terbarukan masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil (Kementan, 2010). Namun demikian, menurut Mentan (Kompas, Januari 2013) pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan dan pengembangan bioenergi jangan mengganggu pasokan pangan. Menurut Simatupang (2014), konsep pembaruan dalam sistem pertanian bioindustri dalam perspektif sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan akan mencakup: (1) usaha pertanian berbasis ekosistem intensif: memaksimumkan pendapatan dan nilai tambah melalui rekayasa ekologis (sinergi dan keseimbangan biosistem dan siklus bio-geo-kimiawi, (2) pengolahan seluruh hasil pertanian dengan konsep whole biomas biorefinery: I-O Multipliers, melipatgandakan ragam produk dan nilai tambah hasil pertanian, dan mengurangi limbah; dan (3) integrasi usaha pertanian-biodigesterbiorefinery: mengurangi ketergantungan energi, mengurangi penggunaan input eksternal, economies of scope, mengurangi limbah: ramah lingkungan dan mengurangi kebocoran hara dari agroekosistem. Berpijak dari hal tersebut, dalam rangka mengurangi ketergantungan akan energi fosil, maka penggunaan energi dari BBN sudah saatnya semakin dioptimalkan. Sesuai Inpres No. 1 tahun 2006, Kementerian Pertanian memiliki tugas, yaitu: (1) penyediaan tanaman bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN), (2) penyuluhan pengembangan tanaman untuk BBN, (3) penyediaan benih dan bibit tanaman BBN, dan (4) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pascapanen tanaman BBN. Terkait dengan kebijakan penyediaan bahan baku bioenergi, Kementerian Pertanian telah melakukan pengembangan/intensifikasi komoditas bahan baku bionenergi yang sudah ditanam secara luas, yaitu: kelapa sawit, kelapa, tebu, ubi kayu, dan sagu; melakukan pengkajian dan pengembangan komoditas potensial penghasil bioenergi: jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung, dan aren; pemanfaatan biomassa limbah pertanian; dan pengembangan biogas dari kotoran ternak. Menurut Ditjen P2HP (2013), berbagai teknologi biofuel berbasis kelapa sawit telah siap untuk dikembangkan pada skala industri, sedangkan untuk bioetanol masih memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikembangkan pada skala industri. Selanjutnya, menurut Ditjen P2HP (2009) pengembangan bioenergi perdesaan biogas telah dilaksanakan dengan pemanfaatan biomassa limbah ternak dan pengolahan hasil pertanian lainnya sebagai bahan baku memproduksi energi yang terbarukan. Pengembangan sumber energi alternatif telah berkembang di negara-negara Eropa yang bersumber dari tanaman jagung dan ubi kayu, biogas, dan sebagainya. Di Indonesia, pengembangan bionergi masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai kebijakan pengembangan yang ada saat ini, memetakan potensi dan permasalahan pengembangan bioenergi, khususnya dari bahan baku ubi kayu. Permasalahan dalam pengembangan bioindustri saat ini antara lain adalah masih tergantungnya input eksternal usaha tani dan belum memanfaatkan limbah pertanian secara optimal. Secara khusus dalam hal ini untuk pengembangan dan pemanfaatan bahan baku pertanian untuk penggunaan energi alternatif. Oleh karena itu, tujuan pengembangan bioindustri adalah untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya pertanian serta dapat memanfaatkan bahan baku pertanian yang melimpah di samping untuk pangan juga untuk bahan baku bioenergi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi pengembangan bioetanol dari ubi kayu, menganalisis permasalahan pengembangan bioetanol dari ubi kayu, dan menganalisis prospek pengembangan bioetanol dari ubi kayu di Provinsi Lampung dalam kerangka sistem pertanian bioindustri berkelanjutan.
Potensi dan Kendala Pengembangan Bioenergi (Bioetanol) Berbahan Baku Ubi Kayu di Provinsi Lampung
299
Adang Agustian dan Supena Friyatno
METODE PENELITIAN
Tinjauan Teoritis Beberapa tanaman yang potensial sebagai penghasil bioenergi adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kemiri sunan, kapas, kanola, dan rapeseed untuk biodiesel, serta ubi kayu, ubi jalar, tebu, sorgum, sagu, aren, nipah, dan lontar untuk bioetanol (Sumaryono, 2006). Selain potensial sebagai penghasil bioenergi, beberapa komoditas tersebut, seperti kelapa sawit, kelapa, kapas, ubi kayu, tebu, dan sagu, juga merupakan komoditas sumber bahan pangan dan pakan. Oleh karena itu, pengembangan komoditas penghasil bioenergi tersebut sebagian besar bahan bakunya akan bersaing dengan kebutuhan untuk pangan maupun pakan. Menurut Simatupang (2014), dalam pengembangan bioenergi di sektor pertanian harus mempertimbangkan pendekatan: (1) eksploratif prospektif: melihat kondisi eksisting, upaya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dari hasil penelitian, (2) analisis multifungsi, yaitu melakukan analisis seberapa jauh pengembangan bioenergi meningkatkan kesejahteraan petani, dilakukan dalam tatanan bisnis-ekonomi dengan mempertimbangkan aspek ekologi, dan (3) analisis komparatif, yaitu melihat antarpola pengembangan dan mencakup berbagai fungsi yang ada dalam pengembangan bioenergi. Target pemanfaatan bioenergi pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2025 sudah disusun oleh Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Kementerian ESDM. Pada tahun 2005 target pemanfaatan bioenergi secara total sebesar 2,86 juta kL. Target untuk biodiesel sebesar 1,31 juta kL, bioetanol sebesar 0,81 juta kL, pengganti minyak tanah sebesar 0,52 juta kL, dan pengganti fuel oil sebesar 0,22 juta kL. Pada tahun 2025 target pemanfaatan bioenergi meningkat secara total hampir sepuluh kali lipat menjadi 22,26 juta kL. Adanya target pemanfaatan bioenergi merupakan peluang pasar bagi industri bioenergi di Indonesia. Peluang pasar yang sangat besar yaitu 22,26 juta kL seharusnya dapat ditangkap oleh investor untuk membuat pabrik bioenergi baik biodiesel, bioetanol, pengganti minyak tanah maupun pengganti fuel oil di Indonesia (Tabel 1) (Kementerian ESDM, 2009). Tabel 1. Target pemanfaatan bioenergi (dalam jutaan kL), 2005-2025 Jenis bioenergi Biodiesel Bioetanol Pengganti minyak tanah Pengganti fuel oil Total (bioenergi)
2005 1,31 0,81 0,52 0,22 2,86
2010 2,41 1,48 0,96 0,40 5,25
2015 3,8 1,95 1,27 0,53 6,92
2020 4,60 2,83 1,83 0,76 10,02
2025 10,22 6,28 4,07 1,63 22,26
Sumber: Kementerian ESDM (2009)
Menurut Susmiati et al. (2011), ubi kayu merupakan salah satu jenis bahan yang cukup potensial dan prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol karena kandungan patinya cukup tinggi dan adaptif untuk ditanam di lahan-lahan marginal. Produksi etanol dari ubi kayu biasanya menggunakan enzim untuk menghidrolisis pati. Hidrolisis secara enzimatis menggunakan enzim α-amilase dan amiloglukosidase tidak mampu mengonversi serat menjadi gula. Hidrolisis asam berkonsentrasi rendah dilakukan untuk mengonversi pati dan serat, sehingga gula-gula sederhana yang dapat difermentasi meningkat dan menghasilkan produksi etanol tinggi. Selanjutnya Mailool et al. (2011) mengemukakan bahwa dengan kandungan pati yang tinggi dalam singkong, maka untuk menjadikan singkong sebagai bahan utama pembuatan bioetanol akan lebih baik. Penggunaan bioetanol menjadi bahan bakar kendaraan dapat menjadi sebuah alternatif yang aman karena sumbernya berasal dari tumbuhan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Menurut Smith et al. (2006), produksi etanol yang dihasilkan oleh suatu proses ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) bahan baku yang tersedia, (2) banyaknya gula hasil konversi
300
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
bahan baku yang siap difermentasi, dan (3) efisiensi dari proses fermentasi gula untuk menghasilkan alkohol. Lokasi dan Sampel Penelitian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur, Provinsi Lampung. Kedua kabupaten tersebut di Lampung merupakan wilayah yang dominan terdapatnya tanaman ubi kayu dan terdapatnya industri bioetanol berbahan baku ubi kayu. Sampel kajian dari penelitian ini adalah petani ubi kayu berjumlah 30 petani dan industri pengolah ubi kayu menjadi bioetanol.
Metode Analisis Data yang diperoleh mencakup data-data kuantitatif dan kualitatif. Data-data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel-tabel analisis dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Datadata kualitatif dari hasil penelitian disajikan sebagai bahan pembahasan dan mendukung data kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Pengembangan Bioetanol Ubi kayu dapat diolah menjadi pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfa amilase dan glukoamilase yang berperan mengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula, baru difermentasi menjadi etanol. Bioetanol merupakan hasil rekayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi). Ubi kayu merupakan bahan baku yang memiliki efisiensi tertinggi setelah jagung dan tetes. Berdasarkan rataan hasil panen ubi kayu berkisar 10-50 ton/ha/tahun, dan dapat menghasilkan etanol antara 2.000-7.000 liter/ha/tahun (Tabel 2). Untuk mendukung industri bioetanol, maka penyediaan bahan baku yang antara lain adalah ubi kayu memegang peranan yang sangat penting. Pengembangan ubi kayu dapat diarahkan pada daerah-daerah sentra produksi yang lahannya masih tersedia, terutama lahan kering, dan produktivitasnya dapat ditingkatkan. Pengembangan areal budi daya ubi kayu diharapkan tidak mengganggu areal lahan pengembangan tanaman pangan lain seperti padi dan jagung. Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku bioetanol
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis tanaman Jagung Ubi kayu Tebu Ubi jalar Sorgum Sorgum manis Kentang Bit
Hasil panen (ton/ha/tahun) 1-6 10-50 40-120 10-40 3-12 20-60 10-35 20-100
Etanol (L/ha/tahun) 400-2.500 2.000-7.000 3.000-8.500 1.200-5.000 1.500-5.000 2.000-6.000 1.000-4.500 3.000-8.000
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan (2010)
Bila dilihat pangsa luas panen ubi kayu di setiap provinsi, maka seperti disajikan pada Tabel 3 terdapat tiga provinsi yang memiliki pangsa (proporsi) luas panen di atas 15% dari total luas panen nasional yaitu: (1) Provinsi Lampung (29,64%), (2) Provinsi Jawa Timur (15,85%) dan (3) Provinsi
Potensi dan Kendala Pengembangan Bioenergi (Bioetanol) Berbahan Baku Ubi Kayu di Provinsi Lampung Adang Agustian dan Supena Friyatno
301
Jawa Tengah (15,24%). Provinsi lainnya sebagai sentra ubi kayu dengan pangsa berkisar 5-9% adalah Provinsi Jawa Barat, NTT, dan DI Yogyakarta. Tabel 3. Proporsi luas panen pada sentra produksi ubi kayu nasional, 2013 Provinsi 1. Lampung 2. Jawa Timur 3. Jawa Tengah 4. Jawa Barat 5. NTT 6. DIY 7. Sumut 8. Sumsel 9. Kalbar 10. Provinsi Lainnya Nasional Sumber: BPS (2014)
Luas panen 314.607 168.194 161.783 95.505 79.164 58.777 47.141 24.720 10.821 100.542 1.061.254
Persen 29,64 15,85 15,24 9,00 7,46 5,54 4,44 2,33 1,02 9,47 100,00
Secara nasional varietas ubi kayu untuk bahan baku industri yaitu Adira 4, UJ-3, UJ-5, Malang 4, Malang 6, dan Darul Hidayah. Umur panen ubi kayu bervariasi menurut varietasnya. Varietas unggul umumnya dapat dipanen pada umur 8-11 bulan. Pemilihan varietas disesuaikan dengan keperluan. Saat ini banyak tersedia pilihan varietas unggul ubi kayu. Untuk keperluan konsumsi langsung, varietas yang dapat dipilih dengan kualitas rebusnya baik dan rasanya enak (tidak pahit) misalnya Malang 1 dan Adira-1. Sementara untuk kebutuhan industri tepung tapioka, dapat dipilih varietas unggul yang kadar patinya tinggi, walaupun rasanya biasanya pahit. Di sentra ubi kayu Provinsi Lampung, selama kurun waktu 2000-2013 produksi ubi kayu meningkat pesat sebesar 8,00%/tahun, yaitu dari 2,92 juta ton (tahun 2000) menjadi 8,24 juta ton (tahun 2013). Peningkatan produksi ubi kayu pada kurun waktu tersebut disebabkan oleh peningkatan produktivitas sebesar 6,50%/tahun, sementara luas panennya menunjukkan peningkatan sebesar 1,50%/tahun. Pada tahun 2000, luas panen ubi kayu di Provinsi Lampung mencapai 0,26 juta ha dengan tingkat produktivitas sebesar 11,3 ton/ha dan pada tahun 2013 luas panennya meningkat menjadi 0,31 juta ha dengan tingkat produktivitasnya sebesar 26,18 ton/ha (Tabel 4). Tabel 4. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas ubi kayu kayu di Provinsi Lampung, 2000-2013 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 r (%/thn) Sumber: BPS (2014)
Luas panen (ha) 258.029 316.979 295.156 298.989 266.586 252.984 283.430 316.806 318.969 309.047 346.217 368.096 324.749 314.607 1,50
Produktivitas (ku/ha) 113,00 113,00 118,00 167,00 115,00 190,00 194,00 201,86 242,09 244,92 249,48 249,76 258,27 261,84 6,50
Produksi (ton) 2.924.418 3.584.225 3.471.136 4.984.616 4.673.091 4.806.254 5.499.403 6.394.906 7.721.882 7.569.178 8.637.594 9.193.676 8.387.351 8.237.627 8,00
302
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Permasalahan Pengembangan Bioetanol Hambatan pengembangan ubi kayu secara nasional bisa bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Hambatan dapat mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Hambatan pengembangan dari aspek biofisik dapat mencakup: (1) usaha tani subsisten dan pemilikan lahan yang terbatas, (2) lahan dominan merupakan lahan marjinal dan peka erosi, (3) degradasi lahan, (4) terdapatnya kompetisi dengan tanaman lainnya seperti jagung, dan (5) dampak perubahan iklim global yang berpengaruh terhadap usaha tani. Adapun kendala dari aspek sosial ekonomi dapat mencakup: (1) permodalan petani yang terbatas, (2) ketersediaan tenaga kerja pada beberapa sentra produksi yang semakin terbatas, (3) jumlah petani komersial dan memadai dari aspek permodalan yang semakin terbatas, (4) harga ubi kayu yang sering berfluktuasi, (5) penyebaran bibit unggul yang seringkali belum merata, dan (6) biaya usaha tani dan transportasi yang tinggi. Selanjutnya, kendala dari aspek kelembagaan dapat mencakup: (1) kelembagaan sumber permodalan yang seringkali sulit terakses oleh petani kecil, (2) kelembagaan penyedia dan distributor saprodi secara lengkap di perdesaan sering terbatas, dan cenderung berada di perkotaan, sehingga diperlukan biaya mahal untuk mengaksesnya, dan (3) implementasi peraturan terkait pengembangan usaha tani tanaman pangan termasuk ubi kayu seringkali belum optimal terealisasikan. Di Provinsi Lampung, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan ubi kayu antara lain: (1) biaya usaha tani yang cenderung mahal, mengingat untuk memperoleh input produksi seperti pupuk harus ke kios di kota kecamatan atau bahkan kabupaten, sehingga biaya transportasi untuk angkut input dari kota ke desa cukup mahal; (2) harga ubi kayu cenderung berfluktuasi, pada dua tahun terakhir harga ubi kayu cukup tinggi, dan harga ubi kayu lebih ditentukan oleh pihak pembeli yaitu industri pengolah ubi kayu menjadi tapioka; (3) tingkat kesuburan lahan akan menurun ketika lahan terus menerus ditanami ubi kayu (ubi kayu cukup kuat menghisap hara dari tanah), sehingga diperlukan pencampuran tanah dengan pupuk kandang minimal 2-3 tahun sekali; (4) jika tanaman kompetitor tanaman ubi kayu seperti jagung harganya lebih tinggi, maka tidak menutup kemungkinan peralihan tanaman dapat terjadi dan sebaliknya, (5) pemanfaatan lahan usaha tani di Lampung juga masih belum optimal, hal ini terbukti karena masih terdapatnya lahan-lahan marjinal belum termanfaatkan, dan (6) sistem usaha tani ubi kayu yang dilakukan petani juga belum optimal dan intensif, yang tercermin dari tingkat produktivitas ubi kayu yang dihasilkan di lokasi kajian yang hanya berkisar 20-22 ton/ha. Permasalahan lain yang dihadapi petani ubi kayu adalah rendahnya harga ubi kayu terutama pada saat panen raya. Panen raya umumnya terjadi pada bulan Juli-Oktober dan di luar bulan-bulan tersebut terjadi kelangkaan produksi sehingga aktivitas industri pengolahan ubi kayu menurun, namun petani umumnya tidak menikmati harga yang layak karena belum panen.
Faktor yang Memengaruhi Pengembangan Bioetanol Berdasarkan hasil wawancara dengan petani ubi kayu di Provinsi Lampung diperoleh hasil bahwa usaha tani ubi kayu tahun 2013 memperoleh hasil rata-rata ubi kayu sebesar 25 ton/ha, dan dengan harga Rp860/kg maka penerimaan yang diraih sebesar Rp21,50 juta/ha/musim. Adapun biaya usaha tani yang dialokasikan mencapai Rp9,11/ha/musim. Karena itu, tingkat pendapatan bersih yang dihasilkan mencapai Rp12,39 juta/ha/musim selama 8-9 bulan, dengan R/C rasio sebesar 2,36 dan dengan memperhitungkan sewa lahan. Jika tanpa memperhitungkan sewa lahan, pendapatan yang diraih mencapai Rp14,89 juta/ha/musim, dengan R/C rasio sebesar 3,26 (Tabel 5). Usaha tani ubi kayu di Lampung dilakukan secara umum pada lahan kering dan ditanam secara monokultur. Populasi tanaman dalam satu hektar dapat berkisar antara 14 ribu–18 ribu batang. Penanaman ubi kayu bisa dilakukan tidak secara serentak, namun awal tanam biasanya petani akan menanam saat awal musim hujan. Adapun biaya-biaya terkait panen ubi kayu yang harus ditanggung petani adalah: (1) ongkos panen/cabut ubi kayu sekitar Rp60/kg, (2) ongkos angkutan sebesar Rp50/kg, dan (3) potongan/rafaksi atas kotoran, kadar air dsb. sebesar 8-10%. Adapun harga yang terjadi saat penelitian sebelum dipotong rafaksi, biaya angkut, dan panen berkisar antara Rp900-Rp1.000/kg.
Potensi dan Kendala Pengembangan Bioenergi (Bioetanol) Berbahan Baku Ubi Kayu di Provinsi Lampung Adang Agustian dan Supena Friyatno
303
Pemanenan ubi kayu dapat dilakukan secara serentak atau secara sekaligus. Di Kabupaten Lampung Tengah yang merupakan sentra terbesar ubi kayu di Provinsi Lampung, pola pemasaran hasil ubi kayu relatif sederhana. Ubi kayu yang dipanen petani langsung dijual ke industri tapioka. Agen-agen (kepanjangan tangan pihak industri tapioka) telah membuka lapak-lapak di setiap kecamatan atau desa tergantung kebutuhan penyerapan ubi kayu. Lapak merupakan suatu tempat yang ditentukan industri sebagai basis pengumpulan ubi kayu yang siap diangkut oleh armada angkutan ke industri tapioka. Pihak usaha angkutan yang telah terlebih dahulu menjalin kerja sama dengan industri akan mengangkut ubi kayu dari lapak yang telah ditentukan. Tabel 5. Analisis usaha tani ubi kayu di Provinsi Lampung (per hektar), 2013 No. A. 1. 2.
3.
B.
C.
D.
Input Biaya usaha tani Tenaga kerja (170 HK) Sarana produksi a. Bibit (stek) 14.000 btg b. Urea (400 kg) c. Ponska (100 kg) d. KCl (50 kg) e. Pupuk kandang (1.500 kg) Biaya lainnya a. Sewa lahan b. Pajak Total biaya usaha tani a. Dengan sewa lahan b. Tanpa sewa lahan Penerimaan a. Produksi (kg) b. Harga (Rp/kg) c. Nilai (Rp) Pendapatan (Rp) a. Dengan sewa lahan b. Tanpa sewa lahan R/C a. Dengan sewa lahan b. Tanpa sewa lahan
Nilai (Rp) 4.260.000 560.000 840.000 360.000 150.000 420.000 2.500.000 20.000 9.110.000 6.610.000 25.000 860 21.500.000 12.390.000 14.890.000 2,36 3,26
Menurut hasil kajian Balai Besar Teknologi Pati (BBTP) Lampung (2013), untuk menghasilkan 1 liter etanol 95% diperlukan 6,5 kg ubi kayu segar dengan kadar pati 20-25%, sementara untuk pembangunan pabrik skala ekonomis yang mempunyai kapasitas 60 ribu liter etanol/hari (19,8 ribu kL/tahun) diperlukan bahan baku ubi kayu segar sebanyak 390 ton/hari (128,7 ribu ton/tahun). Untuk memenuhi bahan baku tersebut diperlukan lahan pertanaman ubi kayu seluas 5.500 ha/tahun atau setara dengan luas panen ubi kayu 16 ha/hari dengan tingkat produktivitas rata-rata 25 ton/ha. Dengan demikian, untuk memenuhi kapasitas 60 ribu liter etanol/hari diharapkan pihak industri dapat menyediakan areal tanam minimal 40-50% sebagai luasan inti/pokok dan selebihnya dari areal petani sekitarnya. Lebih lanjut, hasil kajian BBTP Lampung (2013) mengemukakan bahwa pada tahun 2012 untuk menghasilkan bioetanol 99,5% diperlukan ubi kayu sekitar 7 kg dan dengan harga Rp480/kg, yaitu senilai Rp3.360/liter. Total biaya produksi di luar bahan baku ubi kayu mencapai Rp3.295/liter sehingga total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter etanol mencapai Rp6.655/liter (Tabel 6). Berdasarkan informasi diketahui bahwa harga jual etanol di tingkat industri mencapai Rp7.000/liter, sehingga tingkat pendapatan yang diraih mencapai Rp345/liter dengan R/C sebesar 1,05. Adapun kapasitas pengolahan BBTP sekitar 50 ton/hari bahan baku ubi kayu atau produksinya sekitar 7.142 liter/hari atau sekitar 2,14 juta liter/tahun.
304
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Tabel 6. Biaya proses produksi etanol 99,5% (bahan baku ubi kayu), 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Uraian Ubi kayu Solar (genset) Batu bara Enzim alfa amilase Enzim gluko amilase Urea NPK Bahan kimia analisis Biaya overhead Jasa teknologi Biaya proses dehidrasi
Pemakaian/L etanol 7,0 0,15 1,25 0,001873 0,00375 0,0093 0,002 0,000125
Harga/kg *) 480 5.500 800 86.500 101.000 1.400 3.000 400.000
Total biaya
Nilai (Rp) 3.360 825 1.000 162 379 13 6 50 185 475 200 6.655
Keterangan: *) Harga sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan harga yang berlaku
Apabila dicermati lebih jauh seperti disajikan pada Tabel 7, berdasarkan hasil analisis kelayakan produksi diperoleh informasi bahwa harga BEP bahan baku (ubi kayu) untuk produksi bioetanol mencapai Rp529,29/kg atau R/C sebesar 1,00. Pada saat ini, harga ubi kayu di tingkat petani berkisar antara Rp800-Rp1.000/kg. Dengan kondisi harga ubi kayu demikian tinggi, maka produksi bioetanol sudah tidak efisien. Harga etanol sangat ditentukan oleh harga internasional, dan orientasi penjualannya pun juga ekspor. Dengan kondisi harga jual etanol di tingkat industri sebesar Rp7.000/liter, maka akan sangat sulit bagi industri untuk melakukan pengolahan boetanol tersebut. Industri akan lebih memilih mengolah ubi kayu menjadi tapioka. Sebagai catatan, harga tapioka kelas 1 dapat mencapai Rp5.000/kg. Untuk setiap 4 kilogram ubi kayu diperoleh 1 kg tapioka dengan biaya produksi sebesar Rp640/kg. Hasil limbah dari pembuatan tapioka pun berupa onggok masih bisa dijual dengan harga Rp150/kg. Untuk setiap ton pengolahan ubi kayu didapat onggok sebanyak 10 kuintal. Tabel 7. Perubahan harga dan kondisi kelayakan produksi bioetanol pada tingkat industri, 2013 Kondisi harga ubi kayu 1. Rp480/kg 2. Rp529/kg 3. Rp600/kg 4. Rp800/kg 5. Rp1.000/kg
Biaya produksi (Rp/L etanol) 6.655 7.000 7.495 8.895 10.295
Penerimaan (Rp/L etanol) 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000
Pendapatan (Rp/L) 345 0 -495 -1.895 -3.295
R/C 1,05 1,00 0,93 0,79 0,68
Dalam rangka mendukung pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol dibutuhkan dukungan industri (pabrik) sebagai industri pengolah. Di Provinsi Lampung secara total terdapat empat industri yang melakukan pengolahan ubi kayu menjadi bioetanol dengan total kapasitas pengolahan mencapai 212.500 MT/tahun pada tahun 2009, dan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (2008) yang mencapai 182.500 MT/tahun. Strategi pengembangan ubi kayu dalam mendukung penyediaan bioetanol dapat ditempuh melalui: (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal tanam, (3) pengamanan produksi, dan (4) pengembangan kelembagaan dan pembiayaan. Peningkatan produktivitas ubi kayu dapat diupayakan karena masih terdapatnya senjang produktivitas antara potensi genetis dan produktivitas di tingkat petani. Tanpa peningkatan produktivitas penyediaan ubi kayu segar sebagai bahan baku bioetanol akan berkompetisi dengan tanaman lain. Ubi kayu akan kalah bersaing dalam perebutan media tumbuh, apalagi beberapa komoditas kompetitor seperti jagung dan kedelai sudah terdapat target swasembada dalam pemenuhannya. Upaya peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan cara; penggunaan bibit unggul bermutu, penggunaan pupuk sesuai anjuran, penggunaan alsintan sesuai kebutuhan, dan dukungan infrastruktur penunjang budi daya dan pemasaran.
Potensi dan Kendala Pengembangan Bioenergi (Bioetanol) Berbahan Baku Ubi Kayu di Provinsi Lampung Adang Agustian dan Supena Friyatno
305
Upaya penyediaan ubi kayu segar sebagai bahan baku bioetanol juga membutuhkan lahan yang cukup besar. Mengingat potensi lahan kering masih cukup luas untuk diusahakan ubi kayu, maka perluasan areal pertanaman dapat diarahkan bagi areal baru (perluasan). Pengembangan lahan juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan areal PT Perhutani/Inhutani, lahan tidur/terlantar, serta kemitraan dengan swasta dan pihak lainnya. Terkait dengan pengamanan produk, salah satu upaya agar tanaman ubi kayu tidak terhindar dari serangan OPT dan bencana alam antara lain dilakukan dengan langkah: (1) pengendalian dan pengamanan OPT dan dampak perubahan Iklim, (2) penyebarluasan informasi akan peningkatan luas panen, sekolah lapang Iklim, dan bantuan alsintan panen dan pascapanen. Dalam rangka memantapkan kelembagaan di tingkat petani perlu didorong dan ditumbuhkembangkan kelompok-kelompok tani, Gapoktan, dan koperasi tani serta asosiasi petani/produsen ubi kayu dalam upaya meningkatkan posisi tawar dan sebagai jembatan komunikasi dengan lembaga lainnya atau mitra usaha. Selain itu, diperlukan adanya kemudahan petani di dalam mengakses permodalan dengan persyaratan yang mudah misalnya KKP, kredit agribisnis dsb. Sumber pembiayaan dapat berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya agar pihak industri olahan dapat bertindak sebagai avalis. Adapun faktor yang memengaruhi keberhasilan pengembangan ubi kayu untuk bahan baku bioetanol adalah: (1) peningkatan peran penyuluhan, yaitu untuk mendukung tercapainya program pengembangan ubi kayu. Peran pemerintah pusat dapat mengkoordinasikan seluruh Pemda provinsi dan kabupaten dalam meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian; (2) koordinasi instansi terkait, yaitu antara Kementan, Bappenas, Kemen. ESDM, Kemen. Perindustrian, Kemen. Perdagangan, BPN, BPPT dsb. agar lebih mempercepat pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku energi alternatif; (3) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis ubi kayu dan harga bioetanol. Kebijakan yang diperlukan mencakup kebijakan terkait makro ekonomi bagi sistem usaha, kebijakan investasi, dan permodalan, kebijakan teknologi, yaitu terkait kebijakan meningkatkan produksi dan produktivitas ubi kayu dan memberikan nilai tambah optimal secara berkelanjutan dalam pengembangannya, dan kebijakan kemitraan yang dapat mencakup kemitraan antara petani/kelompok tani dengan pabrik/industri pengolahan hasil dalam suatu kerangka kerja sama yang saling menguntungkan; (4) pembinaan yang berkesinambungan, yaitu upaya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten terhadap subsistem hulu, onfarm, hilir maupun jasa penunjang untuk mendapatkan produk yang berdaya saing dan berkelanjutan serta ramah lingkungan; dan (5) peningkatan SDM petani, melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya khususnya dalam kegiatan usaha tani ubi kayu melalui berbagai media pemberdayaan seperti temu lapang, penyuluhan, dan pelatihan (produksi, manajemen usaha, kewirausahaan, dan lainnya). KESIMPULAN DAN SARAN Ubi kayu merupakan bahan baku yang memiliki efisiensi tertinggi setelah jagung dan tetes untuk diproses menjadi bioetanol. Provinsi Lampung merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar nasional, dengan pangsa luas sekitar 29,64% terhadap luas areal ubi kayu nasional. Produksi ubi kayu di Lampung tahun 2013 mencapai 8,24 juta ton, atau potensi untuk dapat diolah menjadi bioetanol sebesar 1.267,33 kL/tahun. Apabila diasumsikan dari produksi yang ada hanya sekitar 25% yang dapat diolah menjadi bioetanol, maka potensi produksinya mencapai 316,85 juta kL. Dalam rangka mendukung pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol dibutuhkan dukungan industri (pabrik) sebagai industri pengolah. Di Provinsi Lampung secara total terdapat empat industri yang melakukan pengolahan ubi kayu menjadi bioetanol, di mana total kapasitas pengolahannya tahun 2009 mencapai 212.500 MT/tahun. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan ubi kayu antara lain: (1) biaya usaha tani yang cenderung mahal, (2) harga ubi kayu cenderung berfluktuasi, pada dua tahun terakhir harga ubi kayu cukup tinggi, (3) tingkat kesuburan lahan akan menurun ketika lahan terus menerus ditanami ubi kayu (ubi kayu cukup kuat menghisap hara dari tanah), (4) jika tanaman kompetitor tanaman ubi kayu seperti jagung harganya lebih tinggi, maka tidak menutup kemungkinan peralihan tanaman dapat terjadi dan sebaliknya, (5) pemanfaatan lahan usaha tani di Lampung juga masih belum optimal, hal ini terbukti, karena masih terdapatnya lahan-lahan marjinal belum
306
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
termanfaatkan, dan (6) sistem usaha tani ubi kayu yang dilakukan petani juga belum optimal dan intensif, di mana produktivitas ubi kayu masih rendah. Pada tahun 2012, di Lampung untuk menghasilkan bioetanol 99,5% diperlukan ubi kayu sekitar 7 kg dan dengan harga Rp480/kg yaitu senilai Rp3.360/liter. Total biaya produksi di luar bahan baku ubi kayu mencapai Rp3.295/liter sehingga total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter etanol mencapai Rp6.655/liter. Berdasarkan informasi diketahui bahwa harga jual etanol di tingkat industri mencapai Rp7.000 /liter sehingga tingkat pendapatan yang diraih mencapai Rp345/liter dengan R/C sebesar 1,05. Hasil analisis (tahun 2013) menunjukan bahwa harga BEP bahan baku (ubi kayu) untuk produksi bioetanol mencapai Rp529,29/kg atau R/C sebesar 1,00. Pada saat ini, harga ubi kayu di tingkat petani berkisar antara Rp800-Rp1.000/kg. Dengan kondisi harga ubi kayu demikian tinggi, maka produksi bioetanol sudah tidak efisien. Harga etanol sangat ditentukan oleh harga internasional, dan orientasi penjualannya pun juga ekspor. Pengembangan bioetanol di Provinsi Lampung memerlukan dukungan bahan baku ubi kayu yang memadai dan bersaing dengan kebutuhan pangan. Dalam konteks ini, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan pengembangan ubi kayu untuk bahan baku bioetanol, yaitu: peningkatan peran penyuluhan, koordinasi instansi terkait, kebijakan yang kondusif yaitu terciptanya iklim usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis ubi kayu, dan harga bioetanol, pembinaan yang berkesinambungan, dan peningkatan SDM petani melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya, khususnya dalam kegiatan usaha tani ubi kayu. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Teknologi Pati. 2013. Analisis Pengolahan Pati di Lampung. BBTP.Lampung. BPS Lampung. 2013. Lampung Dalam Angka. Lampung. BPS 2011. Statisik Indonesia. Jakarta. BPS 2014. Data Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Ubi kayu Nasional dan Provinsi, 20002013. Jakarta. www. bps. go.id. (1 Mei 2014). Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2013. Makalah Paparan Program Penyediaan Alat Pengolahan dan Strategi Pemasaran Bioenergi. Jakarta. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2009. Profil Pengembangan Bioenergi Perdesaan. Jakarta. Ditjen Tanaman Pangan 2010. Pengembangan Ubi kayu untuk Biethanol. Direktorat Jenderal Tanaman pangan. Jakarta. Ditjen Tanaman Pangan. 2013. Leaflet Pengembangan Budi Daya Ubi Kayu Bioetanol. Jakarta. Kementerian ESDM. 2009. Indonesia Energy Outlook. Kementerian ESDM, Jakarta. Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementan 2010-2014. Jakarta. Kompas. 2013. Mentan: Bioenergi Jangan sampai Ganggu Produksi Pangan.Sabtu, 26 Januari 2013. Gramedia. Jakarta. Mailool, J.C., R. Molenaar, D. Tooy, I.A. Longdong. 2013. Produksi bioetanol dari singkong (Manihot Utilissima) dengan skala laboratorium. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/article/viewFile/729/586. (21 Oktober 2014). Simatupang. 2014. Sekilas tentang konsep sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan. Bahan Diskusi pada Kunjungan Kerja Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Staf Ahli Menteri Pertanian ke KP Pakuwon-Sukabumi dan KP Manoko-Lembang, Bandung, 23-24 Januari 2014. Smith, T.C., D.R. Kindred, J.M. Brosnan, R.M. Weightman, M. Shepherd, dan R. Sylvester-Bradley. 2006. Wheat as a feedstock for alcohol production. HGCA Research Review No. 61. Sumaryono, W. 2006. Kajian komprehensif dan teknologi pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Makalah disampaikan pada Seminar Bioenergi: Prospek Bisnis dan Peluang Investasi. Jakarta, 6 Desember 2006. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Susmiati, Y., D. Setyaningsih, T.C. Sunarti. 2011. Rekayasa proses hidrolisis pati dan serat ubi kayu (Manihot utilissima) untuk produksi bioetanol. Agritech 31(4): 384-390.