Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
POTENSI CO-COMPOSTING UNTUK BIOREMEDIASI TANAH TERKONTAMINASI POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBON (PAH) Gina Lova Sari1), Andy Mizwar2), Yulinah Trihadiningrum3) Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 *email:
[email protected] 2,3) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS 1)Jurusan
Abstrak Tanah yang terkontaminasi oleh polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dari pertambangan batubara belum diperhatikan secara serius. Kontaminasi tersebut dapat ditangani menggunakan salah satu teknologi bioremediasi yaitu co-composting. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi co-composting dalam bioremediasi tanah terkontaminasi PAH dengan penambahan sampah organik pada area pelabuhan khusus batubara. Pada penelitian ini, co-composting dilakukan secara aerobik selama 98 hari dalam skala laboratorium. Variasi penelitian meliputi rasio tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik (100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100) dan pH tanah (asam dan netral). Analisis kadar 16 EPA-PAH dilakukan menggunakan metode Gas Chromatographic Mass Spectrometric (GC-MS) dan total populasi bakteri dianalisis menggunakan Total Plate Counter (TPC). Proses co-composting berlangsung dalam kondisi lingkungan yang optimal yaitu suhu mesofilik (30-31°C), pH netral (6,5-7), dan kadar air optimum (50-60%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses co-composting berjalan dengan baik, hal ini ditandai dengan populasi bakteri yang terus mengalami peningkatan hingga 1,67x1020CFU/g di rasio T/S 50/50 pada H-60. Hal ini membuktikan bahwa co-composting berpotensi diaplikasikan sebagai teknologi bioremediasi untuk tanah terkontaminasi PAH. Kata Kunci: Batubara, bioremediasi, co-composting, PAH.
PENDAHULUAN Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki dua atau lebih struktur cincin aromatik, terdiri dari atom karbon dan hidrogen (Bamforth dan Singleton, 2005; Antizar-Ladislao dkk., 2004a, 2004b). US EPA telah mengklasifikasikan 16 jenis PAH (EPA-PAH) yang berbahaya dari 500 jenis PAH yang diketahui (Tabel 1). PAH bersifat hidrofobik yaitu memiliki tingkat kelarutan yang sangat rendah terhadap air (Bamforth dan Singleton, 2005). Sifat hidrofobik tersebut mengakibatkan PAH yang berkontak dengan tanah mampu mengikat bahan-bahan organik dan membentuk mikropolutan sehingga sulit untuk didegradasi secara alami. Terbentuknya ikatan tersebut menyebabkan PAH terakumulasi di dalam tanah dan menjadi persisten sehingga berefek toksik, mutagenik, dan karsinogenik bagi lingkungan dan makhluk hidup. Sifat hidrofobik PAH akan semakin tinggi seiring dengan semakin kompleksnya struktur cincin aromatik PAH yang mengakibatkan keberadaannya di alam semakin rekalsitran dan semakin sulit didegradasi (Bamforth dan Singleton, 2005). PAH dapat terbentuk secara alami dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan dan pirolisis yaitu pembakaran bahan-bahan organik seperti kayu dan batubara. AntizarLadislao dkk. (2004b) melaporkan bahwa kadar PAH dari lokasi produksi creosote sebesar ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
5,86 mg/kg, lokasi produksi kayu 23.600 mg/kg, lokasi petrokimia 821 mg/kg, dan 451 mg/kg pada lokasi pabrik gas. Selain itu, PAH juga bersumber dari pembentukan bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak bumi. Khususnya batubara, secara alami mengandung 50% lebih bahan organik yang terdiri dari asam humat dan PAH (Ribeiro dkk., 2012). Laumann dkk. (2011); Achten dan Hofmaan (2009); dan Richter dan Howard (2000) juga menegaskan bahwa batubara mengandung 16 jenis PAH dari US-EPA bahkan dengan kadar yang tinggi hingga 100 kali lebih besar daripada minyak bumi. Jika dibandingkan dengan hasil olahannya seperti tar dan kokas, batubara memiliki kadar PAH yang lebih tinggi dengan pola penyebaran yang lebih cepat (Ribeiro dkk., 2012). Tabel 1. 16 Jenis EPA-PAH Berat Kelarutan Dalam Molekul Air (mg/L) 1 Naphtalene 128 31,0000 2 Acenaphthylene 152 16,1000 3 Acenaphthene 154 3,8000 4 Fluorene 166 1,9000 5 Antracene 178 0,0450 6 Phenanthrene 178 1,1000 7 Fluoranthene 202 0,2600 8 Pyrene 202 0,1320 9 Benzo(a)antracene 228 0,0110 10 Chrysene 228 0,0015 11 Benzo(b)fluoranthene 252 0,0015 12 Benzo(k)fluoranthene 252 0,0008 13 Benzo(a)pyrene 252 0,0038 14 Indeno[1,2,3-cd]pyrene 276 0,0620 15 Benzo[g,h,i]perylene 276 0,0003 16 Dibenzo[a,h]Anthracene 278 0,0005 (Sumber: Bojes dan Pope 2007; Antizar-Ladislao dkk., 2004b) No.
Jenis PAH
Struktur Kimia C 10 H 8 C 12 H 8 C 12 H 10 C 13 H 10 C 16 H 10 C 14 H 10 C 16 H 10 C 16 H 10 C 18 H 20 C 18 H 20 C 20 H 12 C 20 H 12 C 20 H 12 C 22 H 12 C 22 H 12 C 22 H 14
Karakteristik PAH yang terkandung dalam batubara menyebabkan lokasi-lokasi pertambangan batubara di Indonesia berpotensi mengalami kontaminasi khususnya di Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2013) merupakan penghasil batubara terbesar di Indonesia pada tahun 2012 yang produksinya mencapai 149 juta ton. Penelitian terdahulu yang dilakukan Mizwar dan Trihadiningrum (2014), menyebutkan bahwa pada lokasi stockpile, hauling road, dan pelabuhan khusus batubara pada salah satu fasilitas pengangkutan batubara di Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan kadar PAH yang terkandung berturut-turut adalah sebesar 11,79 mg/kg; 32,33 mg/kg; dan 55,30 mg/kg. Jika dibandingkan dengan peraturan yang berlaku di Belanda dan Amerika Serikat yang menetapkan 1 mg/kg sebagai kadar maksimal PAH dalam tanah (Antizar-Ladislao dkk., 2004a), maka perlu dilakukan upaya remediasi pada lokasi-lokasi yang telah disebutkan. Salah satu teknik bioremediasi yang dianggap efektif, efisien, dan juga ekonomis adalah co-composting (Zhang dkk., 2011; Antizar-Ladislao dkk., 2004a, 2004b). Antizar Ladislao dkk. (2004a) melaporkan bahwa co-composting dengan mencampurkan sampah organik dan tanah terkontaminasi PAH sebagai starter dengan rasio 0,8/1, suhu 38°C, kadar air 60% dalam waktu 98 hari dapat menurunkan kadar PAH-tar batubara dari industri gas sebesar 75,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk. (2011) yang menggunakan tanah terkontaminasi PAH dari lokasi industri batubara dengan perlakuan sama selama 60 hari dapat mereduksi kadar PAH rata-rata sebesar 50,5%. Namun, upaya remediasi tanah terkontaminasi PAH dari batubara secara alami hingga saat ini belum mendapat perhatian ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
yang serius. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi teknologi cocomposting sebagai teknik bioremediasi tanah terkontaminasi PAH-batubara. METODE Tanah Terkontaminasi PAH-Batubara Tanah terkontaminasi PAH diambil dari area pelabuhan khusus batubara pada salah satu fasilitas transportasi batubara di Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Tanah diambil dari 6 titik lokasi sampling yang kemudian dicampur dengan metode komposit dan dianalisis. Hasil analisis menyatakan bahwa tanah tersebut termasuk dalam kelas tekstur tanah lempung berpasir (sandy loam) dengan kandungan pasir 62%, debu 19%, dan liat 19%. Rasio C/N tanah adalah 12,59 dengan kadar air 59% dan derajat keasaman (pH) yang netral yaitu 7. Analisis kadar total 16 EPA-PAH dilakukan pada tanah yang telah diayak menggunakan saringan 10 mesh (2 mm) dengan hasil sebesar 59,15 mg/kg yang terdiri dari 9,00% LMWPAH, 2,82% MMW-PAH, dan 88,18% HMW-PAH. Sampah Organik Sampah organik yang digunakan berasal dari Rumah Kompos Kebun Bibit dan Pasar Keputran, Surabaya. Sampah organik terdiri dari daun, ranting, dan kol yang dicampur dengan perbandingan 5:3:2 dalam berat basah. Sebelum dianalisis, ketiga jenis sampah campur dan diayak menggunakan saringan 10 mesh (2 mm). Hasil analisis menunjukkan rasio C/N dari sampah organik adalah 23,92 dengan kadar air 58% dan pH 6,5. Kadar total 16 EPA-PAH sebesar 3,43 mg/kg, yang terdiri dari 14,00% LMW-PAH, 7,85% MMW-PAH, dan 78,15% HMW-PAH. Campuran Tanah Terkontaminasi PAH-Batubara dengan Sampah Organik Rasio campuran tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik (rasio T/S) terdiri dari 5 komposisi yaitu 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100. Rasio C/N dari kelima rasio T/S ini secara berurutan adalah 12,59; 13,32; 16,31; 18,64; dan 23,92. Sedangkan kadar total 16 EPA-PAH masing-masing secara berurutan adalah 59,15 mg/kg, 59,65 mg/kg, 60,50 mg/kg, 60,73 mg/kg, dan 3,43 mg/kg berat basah. Kadar total PAH lebih tinggi pada campuran tanah terkontaminasi dengan sampah organik karena PAH juga terdeteksi pada sampah organik. Desain Penelitian Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan 20 reaktor dengan kapasitas 3500 ml selama 98 hari. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik sebanyak 1 kg berat basah dengan 2 variasi yang meliputi rasio T/S dan pH tanah. Rasio T/S divariasikan menjadi 5 yaitu 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100 sedangkan pH tanah dikondisikan asam (5-5,3) dengan penambahan H2 SO 4 dan netral (6-7) yang merupakan pH alami dari sampel tanah. Proses co-composting dalam penelitian ini dilakukan secara aerobik dengan kapasitas moisture aeration yang diberikan 0,5 L/menit. Moisture aeration dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen mikroorganisme dan menjaga kadar air berada dalam rentang optimum yaitu 50-60%. Analisis Sampel Penelitian Analisis Kadar PAH Ekstraksi sampel penelitian dilakukan dengan metode ultrasonic dengan beberapa modifikasi (Schwarzbauer dkk., 2000). Ekstraksi dilakukan dengan 2 kali pengulangan menggunakan pelarut (solvent) yang berbeda. 5 g sampel penelitian ditambahkan 30 ml ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
dichloromethane (DCM) kemudian diekstraksi menggunakan ultrasonic cleaner SIBATA SU-3THE selama 10 menit. Sampel dipisahkan dengan hasil ekstraksi menggunakan saringan yang telah ditambahkan Na 2 SO 4 kemudian dipekatkan hingga 1 ml menggunakan rotary evaporator. Langkah ekstraksi dilakukan kembali pada sampel yang telah dipisahkan menggunakan n-pentane sebanyak 30 ml. Kedua hasil ekstraksi di campur dan ditambahkan sedikit cooper sulfat untuk menghilangkan sulfur. Kolom kromatografi disiapkan untuk proses fraksinasi dengan memasukkan glass wool dan bubuk silika MERCK 7754 sebanyak 2 g. Sebelum itu, kolom kromatografi dibersihkan menggunakan DCM. Pada kolom kromatografi silika yang telah siap dialirkan 10 ml DCM sehingga membentuk matriks silika yang kompak. Sebanyak 1 ml hasil ekstraksi diambil dan dialirkan ke dalam kolom silika. Ditambahkan DCM/n-pentane (60/40) hingga didapatkan 7 ml fraksi 2 (F2). Senyawa PAH diukur dengan menganalisis F2 menggunakan GC-MS Thermo Scientific Trace 1310 ISQ single quadrupole dengan metode MacLeod dkk. (1993) dan Grasshoff dkk. (1983). Analisis Total Populasi Mikroorganisme Total populasi mikroorganisme dianalisis menggunakan metode TPC. 1 g sampel diencerkan dengan 50 ml larutan NaCl 0,8%. Kemudian diambil 1 ml untuk diencerkan lagi secara seri dengan kelipatan 1:10 menggunakan akuades. Hasil pengenceran kemudian ditanam dengan metode tuang pada cawan petri yang berisi media agar dan biarkan selama 18-24 jam dalam inkubator. Selanjutnya hitung koloni yang tumbuh menggunakan colony counter. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses co-composting tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik ini bertujuan untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri indigenous sehingga dapat beradaptasi dan diharapkan mampu mendegradasi PAH. Proses stimulasi pertumbuhan bakteri tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, kadar air, pH, dan ketersediaan oksigen serta nutrien. Suhu pada awal proses co-composting di rasio T/S 0/100 mengalami sedikit peningkatan dari 32°C menjadi 32,2-33°C di H-15 dan kemudian turun dan stabil pada kisaran suhu 3031°C hingga akhir proses co-composting. Sedangkan pada rasio T/S yang lain suhu turun dari yang awalnya 31,5-32°C menjadi 30-31°C dan juga stabil pada kisaran tersebut hingga akhir proses co-composting (Gambar 1). Suhu yang cukup tinggi tersebut merupakan pengaruh aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik yang menghasilkan CO 2 , air, biomassa, dan energi berupa panas. Suhu kemudian turun karena penambahan tanah yang memiliki struktur berpori sehingga panas dapat lebih mudah terlepas karena terdorong oleh udara dari aerasi yang dilakukan. Kisaran suhu yang dicapai tersebut menandakan bahwa proses co-composting berlangsung pada fase mesofilik yaitu 20-40°C (Trihadiningrum, 2012). Gambar 1 menunjukkan pola perubahan suhu yang hampir sama dengan suhu ruang. Hal ini menandakan bahwa suhu lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan suhu yang terjadi dalam reaktor. Namun, tidak terlihat perbedaan suhu yang besar pada variasi pH yang dilakukan sehingga pH tanah tidak mempengaruhi perubahan suhu yang terjadi. Salah satu faktor yang juga memiliki pengaruh penting dalam proses co-composting adalah pH. Variasi dan perubahan pH tanah yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa variasi pH asam yang awalnya (H-0) berkisar antara 5-5,3 meningkat hingga H-30 menjadi netral yaitu 6,5-7 dan terus berada pada kisaran tersebut sampai dengan H-98. Pada variasi pH netral (6-7) juga mengalami sedikit peningkatan yang berkisar antara 6,5-7,4 hingga H-98.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
(a)
Variasi pH Tanah Asam
(b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 1. Perubahan Suhu Selama Proses Co-Composting
(a) Variasi pH Tanah Asam
(b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 2. Perubahan pH Selama Proses Co-Composting Peningkatan pH yang terjadi disebabkan oleh terbentuknya H2 CO 3 sebagai buffer pH dari reaksi H2 O dan CO 2 yang merupakan hasil dari metabolisme bahan organik oleh bakteri. Selain itu, peningkatan pH juga disebabkan oleh proses nitrifikasi yang melepaskan H+ sehingga tergantikan oleh kation-kation basa yang terdapat pada sampah organik (Hassibuan dkk., 2012). Peningkatan pH tersebut menyebabkan proses co-composting lebih lama berlangsung pada kondisi pH netral yang merupakan pH optimum untuk pertumbuhan bakteri. Sehingga proses co-composting ini lebih optimal berlangsung pada pH tanah yang netral. Kadar air merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri karena bakteri hanya dapat menggunakan nutrien yang terlarut dalam air sebagai sumber energinya. Kadar air optimum yang diperlukan oleh bakteri adalah 50-60%. Kadar air pada proses cocomposting ini terjaga pada kisaran optimum tersebut (Gambar 3) dengan adanya moisture aeration yang dilakukan. Moisture aeration menyebabkan uap air yang terlepas dapat digantikan oleh uap air yang masuk bersamaan dengan udara yang alirkan. Seperti AntizarLadislao dan Russel (2007) yang melakukan moisture aeration dalam penelitiannya untuk menjaga kadar air dalam proses co-composting. Selama proses co-composting berlangsung, jumlah populasi bakteri pada 5 rasio T/S terus mengalami peningkatan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, jumlah populasi bakteri tertinggi dalam kurun waktu singkat (H-60) ditemukan pada rasio T/S 50/50 yang mencapai 1,69x1020 CFU/g. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik dalam bahan baku. Hal ini ditunjukkan oleh rasio C/N yang diketahui berkisar antara 12,59; 13,32; 16,31; 18,64; dan 23,93 secara berturut-turut untuk rasio T/S 100/0; 75/25; 50:50; 25:75: dan 0/100 meskipun tidak semua rasio T/S memenuhi kriteria rasio C/N yang disarankan oleh Antizar-Ladislao dan Russel (2007) yaitu 15-30. ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Berdasarkan hasil analisis tersebut, rasio C/N semakin meningkat seiring dengan semakin banyak sampah organik yang ditambahkan yang bertujuan sebagai starter aktivitas bakteri.
(a) Variasi pH Tanah Asam
(b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 3. Perubahan Kadar Air Selama Proses Co-Composting
(a) Variasi pH Tanah Asam
(b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 4. Perubahan Kadar Air Selama Proses Co-Composting Peningkatan jumlah populasi bakteri selama proses co-composting berlangsung menandakan bahwa ketersediaan bahan organik sebagai nutrien untuk pertumbuhannya selalu terpenuhi pada semua rasio T/S. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan karbon organik (Corganik) untuk terikat pada matriks tanah. Menurut Zhang dkk. (2011), penambahan sampah organik mampu menurunkan koefisien sorpsi C-organik dari 4,1 menjadi 3,5-3,7. Ketersediaan bahan organik juga dipengaruhi oleh desorpsi yang terjadi selama proses cocomposting. Desorpsi bahan organik dari matriks tanah terjadi karena perubahan struktur bahan baku yang menyediakan ruang (pori) lebih banyak sehingga proses difusi dapat berlangsung lebih baik (Wick, 2011). Proses difusi menyebabkan ikatan antara PAH dengan bahan organik maupun PAH dengan rantai panjang terputus sehingga bioavailabilitasnya meningkat. Perubahan struktur bahan baku dipengaruhi oleh proses co-composting yang berlangsung dengan baik. Proses co-composting yang baik tersebut dipengaruhi oleh suhu, pH, kadar air, dan ketersediaan oksigen yang optimum sehingga dapat menunjang pertumbuhan bakteri. Moisture aeration yang mendukung ketersediaan oksigen dan menjaga kadar air pada kisaran optimum terbukti mampu berperan sebagai stimulan untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat dilihat pada rasio T/S 100/0 yang jumlah populasi bakterinya terus mengalami peningkatan walaupun tidak dilakukan penambahan sampah organik. ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Gambar 4 menunjukkan pada variasi pH tanah asam pertumbuhan bakteri lebih tajam dibandingkan dengan variasi pH tanah netral selama 30 hari pertama proses co-composting. Hal ini disebabkan oleh pH asam merupakan salah satu stimulan bagi pertumbuhan bakteri karena unsur hara dan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh bakteri tersedia. Nilai pH asam selama periode waktu tersebut meningkat menjadi netral sehingga pada H-30 sampai dengan H-98 proses co-composting berlangsung dalam kondisi pH netral. Pertumbuhan bakteri terus meningkat mengingat pH netral merupakan kondisi optimal untuk pertumbuhan. Peningkatan jumlah populasi berlangsung dengan selisih yang tidak berbeda jauh antara kedua variasi pH. Peningkatan jumlah populasi bakteri yang terjadi selama proses co-composting menunjukkan bahwa bakteri mampu beradaptasi terhadap keberadaan PAH. Semakin banyak jumlah populasi bakteri maka semakin tinggi pula aktivitas bakteri di dalamnya sehingga potensi degradasi 16 EPA-PAH juga akan semakin besar. Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu dimana dalam penelitian ini suhu berada pada fase mesofilik. Menurut Antizar-Ladislao dan Russel (2007) aktivitas bakteri pada suhu mesofilik lebih tinggi dibandingkan suhu termofilik. Suhu mesofilik tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh dan berkembang biak adalah bakteri mesofilik. KESIMPULAN Pertumbuhan bakteri yang terus mengalami peningkatan hingga H-98 menunjukkan bahwa penambahan sampah organik dengan kondisi co-composting yang baik (suhu, pH, dan kadar air) mampu berperan sebagai stimulan pertumbuhan.. Jumlah populasi bakteri yang terus bertambah menunjukkan bahwa ketersediaan nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri terpenuhi meskipun di dalamnya terkandung PAH yang merupakan senyawa hidrofobik. Pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa bakteri mampu beradaptasi terhadap PAH sehingga berpotensi dapat mendegradasi PAH yang terkandung dalam bahan baku co-composting. Oleh karena itu, proses co-composting terbukti dapat diaplikasikan sebagai teknik bioremediasi tanah terkontaminasi PAH-batubara. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dede Falahuddin, S.Si dan Bapak Deny Yogaswara selaku peneliti di Laboratorium Kimia Organik Puslit Oseanografi LIPI yang telah membantu dan mengarahkan dalam proses analisis sampel penelitian. DAFTAR PUSTAKA Achten, C., dan Hofmann, T. (2009). Native Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Coals – A Hardly Recognized Source of Environmental Contamination. Science of The Total Environment, Vol. 407 (8): 2461-2473. Antizar-Ladislao, B., Lopez-Real, J., Beck, A. J. (2004a). In-Vessel Composting– Bioremediation of Aged Coal Tar Soil: Effect of Temperature and Soil/Green Waste Amendment Ratio. Environment International, 31: 173– 178. Antizar-Ladislao, B., Lopez-Real, J., Beck, A. J. (2004b). Bioremediation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) Contaminated Waste Using Composting Approaches. Environmental Science and Technology, 34: 249–289. Antizar-Ladislao, B., dan Russell, N. J. (2007). In-Vessel Composting as a Sustainable Bioremediation Technology of Contaminated Soils and Waste. Nova Science Publishers, Inc.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Badan Pusat Statistik (2013). Kalimantan Selatan Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan. Bamforth, S. M., dan Singleton, I. (2005). Bioremediation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons: Current Knowledge and Future Directions. Journal of Chemical Technology and Biotechnology, 80: 723–736. Bojes, H. K., dan Pope, P. G. (2007). Characterization of EPA’s 16 Priority Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Tank Bottom Solids and Associated Contaminated Soils at Oil Exploration and Production Sites in Texas. Reg. Toxicology and Pharmacology. 47: 288-295. Grasshoff, K., Enrhardt, M., Kremling, K. (1983). Method of Seawater Analysis. Second, Revised and Extended Edition. Verlag Chemie. Germany. Hassibuan, Z. H., Sabrina, T., Sembiring, Br. M. (2012). Potensi Bakteri Azotobacter dan Hijauan Mucuna Bracteata dalam Meningkatkan Hara Nitrogen Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Agroekoteknologi, Vol. 1, No. 1. Laumann, S., Micic, V., Kruge, M. A., Achten, C., Sachsenhofer, R. F., Schwarzbauer, J., Hofmann, T. (2011).Variations in Concentrations and Compositions of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Coals Related to the Coal Rank and Origin.Environmental pollution, 159(10): 2690-2697. MacLeod, W. D. Jr., Brown, D. W., Friedman, A. J., Burrows, D. G., Maynes, O., Pearch, R. W., Wigren, C. A., Bogar, R. G. (1993). Standard Analytical Procedures of the NOAA National Analytical Facility. 1985-1986. Mizwar, A., dan Trihadiningrum, Y. (2014). Potensi Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Polycyclic Aromatic Hydrocarbons dari Batubara dengan Composting. Seminar Nasional Waste Management II. ISBN: 976-002-95595-7-6. Ribeiro, J., Silva, T., Mendonca-Filho, J. G., Flores, D. (2012). Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Burning and Non-Burning Coal Waste Piles. Journal of Hazardous Material, Vol. 199-200; 105-110. Richter, H., dan Howard, J. B. (2000). Formation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons and Their Growth to Soot—A Review of Chemical Reaction Pathways. Progress in Energy and Combustion Science, Vol. 26 (4–6); 565-608. Schwarzbauer, J., Littke, R., Weigelt, V. (2000). Identification of Specific Organic Contaminants for Estimating the Contribution of the Elbe River to the Pollution of the German Bight. Organic Geochemistry, 31: 1713-1731. Wick, A. F., Haus, N. W., Sukkariyah, B. F., Haering, K. C., Daniels, W. L. (2011). Remediation of PAH-Contaminated Soils and Sediments: A Literature Review. Environmental Soil Science, Wetland Restoration and Mined Land Reclamation. Zhang, Y., Zhu, Y., Houot, S., Qiao, M., Nunan, N., Garnier, P. (2011). Remediation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) Contaminated Soil Through Composting with Fresh Organik Wastes. Environmental Science Pollutan Research, 18: 1574–1584.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-48-8