PERBAIKAN PROSES BIOREMEDIASI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK BUMI PADA TEKNIK BIOPILE DENGAN PENAMBAHAN PASIR
ARIFUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbaikan Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi pada Teknik Biopile dengan Penambahan Pasir adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Arifudin NIM P052130741
RINGKASAN ARIFUDIN. Perbaikan Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi pada Teknik Biopile dengan Penambahan Pasir. Dibimbing oleh MOHAMAD YANI dan KUKUH MURTILAKSONO. Biopile merupakan sebuah teknik bioremediasi yang efisien dan ramah lingkungan karena biopile dalam pengolahannya tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak memerlukan lahan yang luas, serta tidak menggunakan bahan kimia dalam menetralisir limbah minyak bumi. Akan tetapi, permasalahan yang sering dihadapi dalam mengoperasikan biopile adalah bila tanah yang akan diolah berbentuk klei. Tanah klei akan mudah mengembang dan lengket ketika diberi kelembaban dan kering atau mengeras pada kelembaban yang rendah. Hal ini dapat menghambat terjadinya difusi udara dari atmosfir ke dalam tanah sehingga ketersediaan oksigen di dalam tanah berkurang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perbaikan tekstur tanah sebelum dilakukan proses bioremediasi. Perbaikan tanah dapat dilakukan dengan penambahan pasir dan kompos. Penambahan pasir dimaksudkan untuk meningkatkan porositas tanah, sedangkan penambahan kompos untuk meningkatkan kegemburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi campuran matrik tanah yang terbaik dan sesuai untuk proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi. Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap pertama untuk mendapatkan komposisi campuran terbaik untuk proses bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan ulangan tiga kali. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan 10% kompos dan pasir dengan konsentrasi 0%, 15%, 30% dan 45%. Respon utama yang diamati adalah TPH (total petroleum hydrocarbon) dan laju penghilangan minyak. Pada tahap kedua dilakukan uji coba pada skala pilot dengan kapasitas 2 ton dari komposisi campuran tanah terbaik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan pasir 45% tidak berbeda nyata dengan penambahan pasir 30%. Laju penghilangan minyak pada kedua perlakuan tersebut tidak berbeda sekitar 0,022 %TPH.hari-1. Begitu juga perlakuan tanpa penambahan pasir tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan pasir 15%. Perlakuan penambahan pasir 30% lebih baik dari penambahan 15% pasir. Perlakuan terbaik pada perbaikan bioremediasi tanah bertekstur klei yang terkontaminasi minyak bumi adalah penambahan pasir 30%. Hasil uji coba komposisi campuran tanah terbaik dengan teknik biopile kapasitas 2 ton menunjukkan bahwa laju degradasi senyawa hidrokarbon pada biopile skala pilot tidak berbeda dengan skala laboratorium dengan nilai laju degradasi berturut-turut sebesar 0,023 %TPH.hari-1 dan 0,022 %TPH.hari-1. Hasil analisis komposisi hidrokarbon dengan GCMS pada biopile skala pilot setelah 63 hari operasi teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C16, C18, C20 sampai C24, C26 dan C27 yang awalnya terdiri atas senyawa hidrokarbon dari C12 sampai C16 dan C18 sampai C27. Dengan demikian peningkatan volume dari biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg menjadi biopile skala pilot kapasitas 2 ton tidak mengurangi kinerja proses biodegradasi minyak bumi. Kata kunci: bioremediasi, biopile, minyak mentah, klei, pasir
SUMMARY ARIFUDIN. Bioremediation Process Improvement of Soil Contaminated by Crude Oil on Biopile Technique with Added-Sand. Supervised by MOHAMAD YANI and KUKUH MURTILAKSONO. Biopile is an efficient and environmentally technique of bioremediation because its low operational cost and needs small area for processing, and no addition of chemicals as waste-oil neutralizer. However, the problems often encountered in operating biopile when the processed soil was in the form of clay. The clay will easily expand and sticky at high humidity or becoming hard at lower humidity. This condition will inhibit the diffusion of air from the atmosphere into the clay soil so that the availability of oxygen in the processed soil is reduced. To solve that problems, it is necessary to repair the texture of the soil prior to the bioremediation process. The soil can be improved by addition of sand and compost. The addition of sand intended to increase the porosity of the soil, while compost to improve the soil friability. The purpose of this study was to obtain the best composition of soil matrix that suitable for bioremediation process to soil contaminated by crude oil. The study was conducted in two phases, namely the first phase was obtaining the best composition of soil, sand and compost for the bioremediation of soil contaminated with crude oil. The experimental design used in this study was completely randomized design within three replications. The treatment used was addition of 10% compost and sand at 0%, 15%, 30% and 45%, respectively. The main response observed was TPH (total petroleum hydrocarbons) and petroleum biodegration rate. The second phase was to conduct a pilot scale at capacity of 2 tones of the best composition of the soil, sand and compost mixture. The result show that the treatment of addition with 45% sand was not significantly differrence with 30% sand addition. The petroleum biodegradation rate was almost same at 0.022 %TPH.d-1. Furthermore treatment without addition of sand was also not significantly differrence to 15% of sand addition. The best treatment of bioremediation improvement to clay soil contaminated with crude oil was at 30% of sand addition. The trial results of the best composition of the soil mixture at capacity of 2 tones by biopile technique showed that the biodegradation rate of petroleum at pilot scale was the same as laboratory scale with the value of the biodegradation rate were 0.023 %TPH.d-1 and 0.022 %TPH.d-1, respectively. From the hydrocarbon analysis by GCMS of pilot scale biopile at 63 days operation were identified from C16, C18, C20 to C24, C26 and C27 which was originally from C12 to C16 and C18 to C27. Thus the improvement bioremediation from laboratory scale to scale pilot did not reduce the performance of petroleum biodegradation process. Keywords:bioremediation, biopile, crude oil, clay, sand
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBAIKAN PROSES BIOREMEDIASI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK BUMI PADA TEKNIK BIOPILE DENGAN PENAMBAHAN PASIR
ARIFUDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr-Ing. Ir Suprihatin
PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberi petunjuk, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis mendapat kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam tesis ini ialah bioremediasi tanah tercemar minyak, dengan judul Perbaikan Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi pada Teknik Biopile dengan Penambahan Pasir . Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng. dan Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. selaku dosen pembimbing atas seluruh sumbangan pikiran, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah sejak awal rencana penelitian disusun hingga selesainya penulisan tesis ini, yang telah banyak memberi pengetahuan dan saran dalam penulisan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arie Herlambang beserta staft Balai Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang telah membantu baik selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Senadji dan Taryani), istri (Merry Juniartini, S.Si), anakanakku (Muhammad Farand Aydin Senadji dan Audhy Latisha Azzahra Senadji), dan pihak terkait lainnya yang telah memberikan bantuan, semangat, dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Semoga tesis ini mampu memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, Januari 2016 Arifudin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 4
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan Alat Rancangan Penelitian Parameter Pengamatan Desain Reaktor Biopile Kapasitas 30 kg Desain Biopile Skala Pilot Kapasitas 2 ton Start up Biopile Skala Laboratorium Kapasitas 30 kg Start up Biopile Skala Pilot Kapasitas 2 ton
4 4 4 4 5 5 5 6 8 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Bioremediasi Skala Laboratorium Kapasitas 30 Kg Bioremediasi Skala Pilot Kapasitas 2 ton
9 9 20
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
33 33 33
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Perbandingan berat komposisi campuran matrik tanah Sifat fisik dan kimia tanah Latosol asal Puspiptek Serpong Tangerang Selatan tahun 2015 Susunan partikel dan tekstur matrik tanah tercemar minyak pada berbagai perlakuan Kandungan C, N, P tanah pada awal (H0) dan akhir bioremediasi (H60) Laju degradasi senyawa hidrokarbon pada masing-masing perlakuan Pengaruh penambahan pasir pada bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi Lama waktu biopile untuk mencapai baku mutu lingkungan dan perkiraan biaya pengolahan pada masing-masing perlakuan Senyawa hidrokarbon yang hilang pada pengukuran akhir bioremediasi Perubahan area senyawa hidrokarbon yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan akhir pengukuran pada sampel tanah dengan berbagai perlakuan Sifat fisik matrik tanah tercemar minyak Persen degradasi dan laju degradasi senyawa hidrokarbon pada biopile skala laboratorium dan skala pilot Perubahan luas area pada biopile skala laboratorium dan skala pilot yang diukur pada awal dan akhir bioremediasi
8 9 10 10 16 16 17 19
19 21 29 31
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Diagram alir kerangka pikir penelitian Desain reaktor biopile Reaktor biopile skala laboratorium dalam rak besi Desain kontruksi biopile kapasitas 2 ton Desain pipa perforated pada biopile kapasitas 2 ton Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Perubahan kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Perubahan gas CO2 selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Perubahan nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile Data kromatogram pada awal bioremediasi Kromatogram dari perlakuan penambahan pasir 45% pada akhir bioremediasi Ilustrasi rongga berpori tanah Pengamatan pH tanah selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton
3 6 6 7 7 11 12 12 13 14 15 17 18 21 22
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Perubahan pH tanah pada biopile skala laboratorium dan skala pilot selama proses bioremediasi berlangsung Pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton Profil suhu dalam biopile skala pilot kapasitas 2 ton Profil suhu dalam biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg Perubahan suhu tanah selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton Perbandingan suhu tanah pada biopile skala laboratorium dan pilot selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton Produksi gas NH3 selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton Produksi gas CO2 selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton Perbedaan produksi gas CO2 pada biopile skala laboratorium dan pilot selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton Perubahan nilai TPH selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile skala laboratorium dan skala pilot Kromatogram GC-MS dari matrik tanah tercemar minyak pada awal bioremediasi Kromatogram GC-MS dari matrik tanah tercemar minyak pada akhir bioremediasi Lintasan oksidasi subtermal senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana
22 23 24 24 25 25 26 27 28 28 30 30 32
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Nilai suhu (oC) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg Nilai kadar air (% w/w) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg Konsentrasi gas CO2 (mg/m3) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg Nilai TPH (%) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir bioremediasi dengan teknik biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg Prosedur kerja beberapa parameter
38 39 39 39 39
40 42
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak bumi merupakan sumber energi utama yang banyak digunakan untuk menggerakan industri, transportasi dan pertanian selain batu bara dan energi baru terbarukan. Konsumsi minyak bumi di Indonesia dari tahun-ketahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 konsumsi minyak bumi di Indonesia mencapai 1.567.000 barrel per day (bpd) atau naik 6,9% dari tahun 2010. Pada tahun 2014 konsumsi minyak di Indonesia mencapai 1.641.000 bpd atau naik 1,6% dari tahun 2013 (BP Statistical 2015). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perusahaan minyak akan meningkatkan kegiatan pengeboran, produksi, eksplorasi, pengangkutan dan penyimpanan minyak. Pesatnya perkembangan industri perminyakan ini memberikan dampak positif yaitu meningkatnya perekonomian dan bertambahnya devisa negara. Namun di sisi lain, berkembangnya industri perminyakan ini berpotensi mencemari lingkungan bila minyak bumi tumpah ke lingkungan. Minyak yang tumpah atau tercecer ke permukaan tanah, sebagian akan menempel di permukaan tanah dan sebagian lagi akan merembes ke dalam tanah. Keberadaan minyak di dalam tanah tersebut berdampak pada rusaknya jaringan sel akar tumbuhan dan matinya hewan kecil yang hidup di dalam tanah seperti cacing, moluska dan sebaginya. Selain itu tumpahan minyak bumi juga dapat menutupi permukaan tanah sehingga menghalangi proses difusi udara dari atsmosfir ke dalam tanah. Senyawa benzena, toluena, etilbenzena, dan xylena atau biasa dikenal dengan BTEX merupakan komponen utama dalam minyak bumi. Senyawa ini bersifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini juga sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat. Pemaparan BTEX pada manusia terjadi dapat melalui saluran pencernaan, pernapasan maupun penyerapan pada kulit (MDE 2007) dan benzena adalah yang paling beracun (Leusch dan Bartkow 2010). Benzena, toluena, etilbenzena dan xylena dengan cepat dan efisien diserap dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Keracunan akut melalui makanan atau minuman menyebabkan muntah, iritasi lambung, pusing, koma dan kematian, sedangkan kontak jangka panjang dengan benzena dapat menyebabkan leukemia (ATSDR 2007). Dengan sifat beracun dan mudah terbakar tersebut maka limbah minyak bumi di golongkan kedalam limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 (PP Nomor 101 2014). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa limbah minyak bumi baik yang dihasilkan dari proses pengeboran, eksplorasi maupun pada proses pengangkutan harus diolah menjadi bahan yang tidak berbahaya. Adapun industri yang menghasilkan limbah minyak bumi dapat menyimpan paling lama 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Upaya-upaya penanggulangan pencemaran minyak bumi telah banyak dilakukan seperti dengan cara fisika dan kimia namun hasilnya masih kurang memuaskan (Nugroho 2006; Ni'matuzahroh et al. 2006). Penanggulangan secara fisika biasanya dilakukan pada awal penanganan, sebagai gambaran pada tumpahan minyak yang terjadi dilepas pantai, tumpahan minyak diisolasi dengan menggunakan oil boom sebelum menyebar kemana-mana. Minyak bumi yang
2 terkumpul kemudian diambil dengan menggunakan oil skimmer dan diangkut dengan kapal menuju tempat penampungan minyak, sedangkan tumpahan minyak yang terjadi ditanah tidak bisa dilakukan dengan cara fisika bila minyak tersebut telah merembes ke dalam tanah. Penanggulangan minyak bumi secara kimia dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak (Charlena 2010). Penggunaan bahan kimia sebagai penetralisir dapat menimbulkan pencemaran baru dan bersifat lebih beracun dibandingkan bahan pencemarnya, sehingga diperlukan teknologi tambahan dan peralatan canggih untuk menarik kembali bahan kimiawi dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lainnya (Nugroho 2006). Selain itu Penanganan limbah minyak bumi secara kimia dan fisika membutuhkan biaya yang besar dan menimbulkan polutan sekunder dibandingkan pengolahan secara biologi (Crawford dan Crawford 1996). Bioremediasi dengan teknik biopile dipandang sebagai salah satu alternatif yang memilki biaya pengolahan relatif rendah dan ramah lingkungan. Selain itu biopile memiliki kelebihan diantaranya adalah lahan yang digunakan untuk proses bioremediasi tidak memerlukan lahan yang luas, kondisi kelembaban dan ketersedian udara dapat dikendalikan sehingga pertumbuhan bakteri dapat terjaga (Battele dan NFESC 1996). Perumusan Masalah Tumpahan minyak merupakan suatu hal yang seringkali terjadi pada aktivitas industri minyak. Kegiatan pengeboran, eksploitasi, pengangkutan dan penyimpanan pada industri perminyakan seringkali berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Upaya penanggulangan pencemaran minyak telah banyak dilakukan diantaranya adalah teknik biopile. Menurut Battele dan NFESC (1996); US EPA (2004) keberhasilan proses biodegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah: kerapatan populasi bakteri, pH, kelembaban, suhu tanah, nutrisi dan kondisi tekstur tanah. Biopile merupakan teknik bioremediasi yang melibatkan penumpukan tanah tercemar minyak di atas permukaan tanah yang memiliki permeabilitas rendah atau dapat diletakan di atas permukaan beton. Untuk meningkatkan proses biodegradasi minyak, ke dalam tumpukan tanah tercemar minyak diberikan aerasi dan nutrisi. Pemberian aerasi ke dalam biopile berperan penting dalam pertumbuhan bakteri. Oksigen digunakan bakteri dalam proses metabolisme untuk menghasilkan energi yang digunakan dalam pertumbuhannya. Kekurangan oksigen akan menghambat pertumbuhan bakteri dan pada akhirnya akan menghambat proses biodegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi. BTL (2010) juga mengungkapkan demikian dan menerangkan bahwa kandungan klei yang tinggi pada tanah terkontaminasi menyebabkan tanah menjadi lebih mudah mengembang dan lengket ketika diberi kelembaban dan menghasilkan persen degradasi yang rendah yaitu sebesar 12,56%. Kondisi ini dicapai dalam waktu sekitar 16 minggu. Rendahnya laju degradasi senyawa hidrokarbon ini disebabkan oleh berkurangnya kandungan oksigen di dalam tanah dimana pada kondisi jenuh air, seluruh ruang berpori pada tanah klei baik pori makro maupun pori mikro terisi oleh air, sedangkan pada kondisi lembab pori-pori tanah akan tersisi oleh air dan udara yang besarannya tergantung pada tekstur tanah (Sudirman et al. 2006).
3 Menurut Suhardi (1985); Rachman et al. (2013) tanah klei dalam keadaan kering akan menciut, mengkerut dan merekah sedangkan pada kondisi basah, tanah akan memiliki karakter lengket, sangat plastis, mengembang. Hal ini menyebabkan pergerakan dan pertukaran udara dari atmosfir ke dalam tanah tidak optimal sehingga ketersedian oksigen di dalam tanah menjadi menurun. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perbaikan tekstur tanah sebelum dilakukan proses bioremediasi. Perbaikan tanah dilakukan dengan menambahkan pasir dengan berbagai konsentrasi. Menurut Hardjowigeno (2010) tanah-tanah pasir memiliki pori makro lebih banyak daripada tanah liat. Penambahan pasir ini dimaksudkan untuk meningkatkan aerasi tanah. Sedangkan untuk memberikan kegemburan pada campuran matrik tanah ditambahkan kompos. Menurut Indrayatie (2009) tanah yang diberi bahan organik seperti kompos kandungan pori aerasi dan kemampuan dalam menahan air tinggi dibandingkan tanah yang tidak diberi bahan organik Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan inti permasalahan sebagai berikut: 1. Tanah tercemar minyak yang diolah bertekstur klei memiliki sifat mengembang dan lengket pada kondisi basah sehingga ketersedian oksigen di dalam tanah menurun. Untuk meningkatkan aerasi tanah (porositas) maka perlu diberi pasir dan kompos. 2. Penerapan biopile skala pilot pada tanah bertekstur klei menghasilkan persen degradasi TPH yang rendah.
Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir penelitian Tujuan Penelitian 1.
Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut: Mendapatkan komposisi campuran matrik tanah yang terbaik untuk proses bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi.
4 2.
Scale up dari hasil proses bioremediasi tanah tercemar minyak dengan teknik biopile skala pilot kapasitas 2 ton. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan nyata berupa teknologi bioremediasi untuk memperbaiki kualitas lingkungan lahan yang tercemar minyak. 2. Dapat memberikan alternatif pemecahan pengolahan limbah minyak bumi khususnya bagi dunia industri perminyakan. 3. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang bioremediasi minyak bumi.
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses dan Laboratorium Analitik Balai Teknologi Lingkungan Kawasan Puspiptek Tangerang Selatan Banten. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Agustus 2015. Bahan Bahan campuran pembuatan matrik tanah tercemar minyak terdiri atas tanah, pasir komersil, kompos komersil dan minyak mentah yang diambil dari penambangan minyak rakyat di Desa Wonocolo Bojonegoro. Pada penelitian ini tanah yang digunakan diambil dari lahan kosong di sekitar Gedung 412 Balai Teknologi Lingkungan Kawasan Puspiptek Tangerang Selatan pada kedalaman 15–80 cm. Tanah dikeringudarakan selama tiga minggu di dalam rumah kaca. Tanah kering kemudian diayak dengan ukuran lubang ayakan 2 mm. Tanah yang lolos ayakan digunakan dalam penelitian ini. Bahan pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk urea komersil dan NPK komersil dengan rasio CNP sebesar 100:5:1 (Zam 2010). Konsorsium bakteri yang digunakan berasal dari koleksi Balai Teknologi Lingkungan yang diperoleh melalui isolasi dari tanah tercemar minyak di daerah Cepu Jawa Tengah yaitu bakteri KBTL1, KBTL2 dan KBTL3. Alat Alat yang digunakan meliputi blower kapasitas 60 L/menit, flowmeter, soil tester, moisture meter, reaktor biopile, GC seri 5977A Agilent dengan Detektor MS dan suhu 325oC. Kolom GC yang digunakan adalah Phenyl Methyl Silox (30
5 m x 250 μm x 0,25 μm) dengan tekanan 7,0699 psi dan aliran kolom sebesar 1 L/menit. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan rancangan acak lengkap satu faktor dengan 4 perlakuan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah penambahan pasir 0%, 15%, 30% dan 45% (w/w). Untuk menambah kegemburan tanah setiap perlakuan ditambahkan 10% (w/w) kompos komersil. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Respon utama yang diamati adalah parameter TPH (total petroleum hydrocarbon). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan analisis ragam dengan uji lanjut DMRT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez 2010). Komposisi yang terbaik dari hasil penelitian tersebut selanjutnya digunakan dalam bioremediasi dengan teknik biopile skala pilot kapasitas 2 ton dengan ulangan 2 kali. Respon utama yang diamati adalah parameter TPH. Data dianalisis secara deskriptif yaitu dengan membandingkan hasil percobaan biopile skala laboratorium dan skala pilot. Parameter Pengamatan Parameter fisika yang diamati adalah suhu yang diukur dengan menggunakan termometer, kadar air diukur menurut metode gravimetri (ASTM. D2216), bobot jenis partikel dan bobot isi tanah dilakukan menurut metode perendaman dalam piknometer dan gravimetri yang diterangkan dalam Black dan Hartge (1986), distribusi ukuran pori ditetapkan dengan metode Pressure Plate Apparatus yang mengacu pada Danielson dan Sutherland (1986). Parameter kimia yang diamati adalah pH tanah yang diukur menurut metode elektrometri (ASTM D 4972 – 01), tekstur tanah ditetapkan menurut metode pipet yang diterangkan dalam Gee dan Bauder (1986), C-organik (ASTM D 2974-87), N total ditetapkan dengan metode Kjedahl yang mengacu pada US EPA Method 351.3, P tersedia ditetapkan dengan metode Olsen (Olsen et al. 1954), produksi gas CO2 ditetapkan dengan metode titrimetri (Eaton et al. 2005), gas NH3 diukur dengan metode indofenol (SNI 19-7119.1-2005), TPH diukur dengan menggunakan metode gravimetri yang mengacu pada US EPA Method 1664. Sedangkan TPC yang merupakan parameter biologi diukur dengan menggunakan metode tuang yang diterangkan dalam Cappucino dan Sherman (1987). Desain Reaktor Biopile Kapasitas 30 kg Reaktor biopile yang digunakan berbentuk balok dan terbuat dari kaca bening dengan ketebalan 0,5 cm. Reaktor biopile memiliki volume 100 L dengan dimensi adalah P x L x T = 100 cm x 50 cm x 20 cm. Untuk memudahkan proses pemberian aerasi pada tanah terkontaminasi minyak reaktor biopile dibuat dalam dua bilik masing-masing bilik memiliki volume 48L dengan dimensi bilik adalah P x L x T = 49 cm x 49 cm x 20 cm. Pemberian aerasi dilakukan secara manual yaitu dengan mengaduk-aduk tanah tercemar minyak dan memindahkannya ke bilik sebelahnya. Desain reaktor biopile disajikan pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Desain reaktor biopile Untuk memudahkan pengoperasian bioremediasi, reaktor biopile diletakan ke dalam rak yang terbuat dari besi siku dengan ketebalan besi 0,5 cm dan lebar salah satu sisi besi adalah 4 cm. Rak besi dibuat dalam dua tingkat dan masingmasing tingkat mempunyai ketinggian 58 cm dengan panjang rak 224 cm, sedangkan lebar rak harus lebih panjang dibandingkan dengan lebar reaktor biopile yaitu 56 cm dan setiap tingkat akan ditempati oleh 4 reaktor biopile, sehingga jumlah keseluruhan reaktor biopile yang dapat diletakan di dalam rak besi berjumlah 12 buah.
Gambar 3 Reaktor biopile skala laboratorium dalam rak besi Desain Biopile Skala Pilot Kapasitas 2 ton Biopile skala pilot kapasitas 2 ton yang dioperasikam dibuat dalam bentuk trapesium dengan dimensi P x L x T = 2,65 m x 2 m x 0,8 m dengan sudut kemiringan biopile sebesar 50 derajat. Biopile diletakan di lahan terbuka dengan bagian atas diberi atap. Pemberian atap dimaksudkan untuk melindungi biopile dari angin dan hujan (Kratzke et al. 1998). Bagian bawah biopile diberi lapisan beton yang berfungsi untuk mencegah kejadian penyebaran lindih (leach water) ke dalam tanah. Pada bagian sisi kanan dan kiri biopile diberi saluran drainase. Saluran drainase ini dibuat kedap air atau beton dan digunakan untuk mengalirkan lindih yang terbentuk ke dalam bak penampungan lindih. Biopile ini juga diintregasikan dengan sistem aerasi dengan sumber udara utama berasal dari blower. Desain kontruksi biopile disajikan pada Gambar 4.
7
Gambar 4 Desain kontruksi biopile kapasitas 2 ton Sistem aerasi biopile terdiri atas pipa perforated, pipa manifold, flowmeter dan blower. Pipa perforated yang digunakan memiliki panjang 1,05 m dan berdiameter 1,27 cm. Untuk mengalirkan udara, pada bagian sisi pipa diberi lubang dengan diameter 0,30 cm. Jarak antar lubang aerasi pada pipa perforated berjarak 7,62 cm dengan lubang aerasi atau hole dibuat mengarah ke bawah atau pada posisi angka jam 4 dan 8. Hal ini dilakukan untuk menghindari masuknya partikel tanah maupun material lainnya masuk ke dalam pipa perforated, lalu pipa perforated dibalut dengan ijuk atau sabut kelapa (Gambar 5).
Gambar 5 Desain pipa perforated pada biopile kapasitas 2 ton Setiap biopile memiliki sembilan pipa perforated yang di letakkan pada bagian bawah dan tengah. Pada bagian bawah terdapat 5 buah pipa perforated sedangkan pada bagian tengah atau pada ketinggian 40 cm terdapat 4 pipa perforated. Pipa perforated ini terhubung dengan pipa manifold. Pada masingmasing pipa perforated diberi keran untuk mengatur aliran udara. Pipa manifold dihubungkan dengan blower kapasitas 60 L/menit. Blower digunakan sebagai sumber utama udara di dalam biopile.
8 Start up Biopile Skala Laboratorium Kapasitas 30 kg Pada penelitian ini tanah tercemar minyak yang digunakan dibuat dengan pencampuran tanah Latosol, pasir komersil, dan kompos komersil dengan perbandingan berat yang telah ditentukan (Tabel 1) serta ditambahkan minyak bumi sebanyak 5% dari berat campuran. Campuran matrik tanah tercemar minyak yang telah selesai dibuat, kemudian ditambahkan nutrisi dan bakteri. Adapun nutrisi yang digunakan adalah pupuk urea komersil dan NPK komersil dengan masing-masing berat pupuk sebesar 134 g dan 34 g, sedangkan konsentrasi inokulan konsorsium bakteri yang ditambahkan ke dalam campuran matrik tanah sebanyak 10% (v/v) (Zam 2010). Campuran matrik tanah tercemar minyak selanjutnya dimasukan ke dalam reaktor dan dilakukan pengamatan beberapa parameter secara berkala seperti suhu, TPH, TPC, pH dan gas CO2. Tabel 1 Perbandingan berat komposisi campuran matrik tanah Perlakuan TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Tanah Latosol (%) 90 75 60 45
Pasir (%) 0 15 30 45
Kompos (%) 10 10 10 10
Minyak (%) 5 5 5 5
Start up Biopile Skala Pilot Kapasitas 2 ton Proses penempatan tanah tercemar ke dalam emplasemen bioremediasi dilakukan dengan cara manual yaitu dengan menggunakan cangkul. Pasir dengan diameter 1 – 2 mm digunakan sebagai lapisan pertama dengan ketebalan 10 cm. pemberian pasir pada lapisan paling bawah dimaksudkan untuk memudahkan air lindih yang terbentuk mengalir ke drainase yang selanjutnya air lindih akan mengalir ke tempat penampungan lindih. Di atas lapisan pasir ditambahkan tanah bersih yaitu tanah yang tidak terkontaminasi kontaminan terutama limbah minyak bumi dan logam berat. Pemberian tanah bersih dilakukan hingga lapisan tanah memiliki ketebalan 15 cm. Kemudian di atas lapisan tanah dipasang sistem aerasi tahap pertama. Sistem aerasi tahap pertama dibuat dengan meletakkan sebanyak lima pipa perforated di atas lapisan tanah dengan jarak antar pipa perforated adalah 40 cm. Pada bagian salah satu ujung pipa perforated dipasang knop berdiameter 2,5 cm dan pada ujung lainnya dipasang kran berdiameter 2,5 cm. Pemberian kran dimaksudkan untuk mengatur aliran udara yang masuk kedalam pipa perforated. Selanjutnya pipa perforated dibalut dengan sabut kelapa dan diberi batu kerikil di atasnya. Pemberian sabut kelapa dan batu kerikil dimaksudkan untuk menghindari masuknya partikel tanah ke dalam hole atau lubang pipa perforated. Tanah tercemar minyak yang telah dicampur dengan pupuk urea, pupuk NPK dan konsorsium bakteri di tempatkan di atas emplasmen yang telah dipasang sistem aerasi tahap pertama hingga ketebalan 40 cm. Tanah disusun dan dirapihkan hingga tanah tidak longsor. Selanjutnya dengan cara yang sama di atas permukaan tanah tersebut dipasang sistem aerasi tahap kedua yang terdiri atas empat pipa perforated. Tahap berikutnya tanah tercemar minyak di tempatkan
9 kembali di atas sistem aerasi tahap kedua hingga ketebalan tanah mencapai 40 cm. Dengan demikian tinggi keseluruhan pile tanah tercemar minyak adalah 80 cm dengan kemiringan pile sebesar 50 derajat. Tahap terakhir pipa perforated dihubungkan dengan pipa manifold yang telah terhubung dengan blower.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Bioremediasi Skala Laboratorium Kapasitas 30 Kg Karakteristik Tanah Sebelum dilakukan pembuatan matrik tanah tercemar minyak, tanah dianalisa karakteristiknya. Hasil analisis fisika tanah (Tabel 2) memperlihatkan tanah didominasi oleh fraksi klei (85%) diikuti fraksi debu (12%) dan sisanya fraksi pasir (3%) sehingga masuk dalam kelas tekstur klei. Adanya kandungan klei yang tinggi menyebabkan tanah menjadi mudah mengembang dan lengket ketika diberi kelembaban. Menurut Vidali (2001) tanah bertekstur klei pada kelembaban tinggi sulit untuk mengalirkan udara dan distribusi nutrisi di dalam tanah tidak merata sehingga berdampak pada pertumbuhan bakteri (Charlena et al. 2010). Tabel 2 Sifat fisik dan kimia tanah Latosol asal Puspiptek Serpong Tangerang Selatan tahun 2015 Sifat Fisika Tanah Porisitas (%) Bobot isi (g/cc) Bobot jenis partikel (g/cc) Pori drainase cepat (%) Pori drainase lambat (%) Air tersedia (%) Kadar air (% w/w)
Kandungan 58,7 1,01 2,44 14 6,4 26,6 54,8
Sifat Kimia Tanah C (%) N (%) C/N P2O5 (ppm) Tekstur - Klei (%) - Debu (%) - Pasir (%)
Kandungan 0,54 0,06 9 7 85 12 3
Berdasarkan hasil analisis kimia tanah (Tabel 2) tanah Latosol memiliki kandungan unsur C, N, P berturut-turut sebesar 0,54%, 0,06% dan 7 ppm atau masuk dalam kategori sangat rendah (Hardjowigeno 2010). Kandungan bahan organik di dalam tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri dan kemampuan tanah dalam menahan air. Tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi dapat menahan air lebih lama. Karakteristik Matrik Tanah Tercemar Minyak Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah (Tabel 3) memperlihatkan bahwa pemberian pasir menghasilkan kelas tekstur tanah yang berbeda-beda pada masing-masing perlakuan. Pada perlakuan pemberian pasir 45%, tanah didominasi oleh fraksi pasir (53%) diikuti fraksi debu (30%) dan sisanya fraksi klei (17%) sehingga masuk dalam kelas tekstur lom berpasir.
10 Pemberian pupuk anorganik seperti pupuk urea dan NPK dapat meningkatkan kadar N dan P tanah. Peningkatan N dan P tertinggi terjadi pada perlakuan tanpa penambahan pasir yaitu berturut-turut sebesar 0,307% dan 0,03% yang termasuk dalam kriteria sedang (Hardjowigeno 2010), sedangkan kadar N dan P terendah terjadi pada perlakuan dengan penambahan pasir 45% yaitu berturut-turut sebesar 0,256% dan 0,028% atau masuk dalam kategori sedang. Tabel 3 Susunan partikel dan tekstur matrik tanah tercemar minyak pada berbagai perlakuan Perlakuan TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Pasir (%) 3 17 31 53
Tekstur Debu (%) 13 18 30 30
Klei (%) 84 65 39 17
Kelas Tanah Klei Klei Lom berklei Lom berpasir
TPK454510: perlakuan dengan penambahan pasir 45%, TPK603010: perlakuan dengan penambahan pasir 30%, TPK751510: perlakuan dengan penambahan pasir 15%, TPK900010: perlakuan tanpa penambahan pasir
Perubahan C, N dan P Tanah Unsur-unsur karbon, nitrogen dan fosfor merupakan unsur penting dalam pertumbuhan bakteri. Unsur karbon digunakan oleh bakteri sebagai sumber energi untuk aktivitasnya. Unsur nitrogen berperan penting dalam perbanyakan sel, pembentukan dinding sel, pembentukan asam amino dan enzim-enzim. Sedangkan unsur fosfor berperan dalam pembentukan asam nukleat dan fosfolipid. Pada dasarnya unsur-unsur tersebut telah tersedia di alam namun jumlahnya sedikit sehingga untuk meningkatkan aktivitas bakteri pendegradasi minyak perlu ditambahkan nutrisi. menurut Gao et al. (2014) pemberian nutrisi pada proses bioremediasi mampu meningkatkan degradasi senyawa hidrokarbon secara signifikan. Hasil analisis C-organik (Tabel 4) memperlihatkan bahwa pada awal bioremediasi nilai C-organik tercatat berkisar antara 6,24 sampai 6,66% dan pada akhir bioremediasi terjadi penurunan menjadi berkisar antara 1,78 sampai 4,44%. Penurunan unsur karbon tersebut disebabkan oleh proses biodegradasi, dimana unsur karbon yang ada dimanfaatkan bakteri untuk pembentukan sel dan pertumbuhan bakteri. Menurut Arifiantari et al. (2009) pada umumnya sebanyak 2/3 karbon yang ada akan direspirasi menjadi gas CO2 sedangkan sisanya dikombinasikan dengan nitrogen untuk pertumbuhan bakteri. Tabel 4 Kandungan C, N, P tanah pada awal (H0) dan akhir bioremediasi (H60) Perlakuan TPKP90001010 TPKP75151010 TPKP60301010 TPKP45451010
C-organik (%) H0 H60 6,66 4,44 6,44 3,44 6,27 2,69 6,24 1,78
N total (%) H0 H60 0,31 0,21 0,29 0,17 0,27 0,14 0,26 0,11
P (%) H0 0,030 0,029 0,029 0,028
H60 0,015 0,014 0,012 0,012
11 N total tanah mengalami perubahan, pada awal bioremediasi N total tercatat berkisar antara 0,26 sampai 0,31% dan pada akhir bioremediasi mengalami penurunan menjadi sebesar 0,11 sampai 0,21%. Penurunan unsur nitrogen tersebut menunjukan bahwa di dalam tanah terjadi aktivitas bakteri. Penurunan kandungan unsur N lebih besar dibanding dengan penurunan kandungan P. Hal ini disebabkan unsur N merupakan salah satu unsur utama pembentuk sel selain unsur karbon dan oksigen. Adapun unsur P merupakan bukan unsur utama dalam pembentukan sel, namun keberadaanya sangat diperlukan dalam pertumbuhan bakteri (Ali 2012). Perubahan pH Tanah Nilai pH mempengaruhi kemampuan bakteri pendegradasi minyak dalam pertumbuhan selnya. Nilai pH terlalu rendah atau terlalu besar menyebabkan pertumbuhan bakteri menjadi terhambat. Menurut Dhote et al. (2009) nilai pH dapat mempengaruhi aktivitas bakteri dan dapat mengendalikan aktivitas enzim, proses transportasi serta kelarutan hara. Hasil pengukuran pH tanah selama proses bioremediasi berlangsung (Gambar 6) tercatat sebesar 6,9 sampai 7,5. Nilai pH tersebut masuk dalam pH netral dan baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya bakteri pendegradasi minyak. Menurut Sharma (2012) pH optimal untuk pertumbuhan bakteri ada pada kisaran pH 6,5 sampai 8 dengan rentang pertumbuhan pada pH 5,5 sampai 8,5. Menurut Zam (2010) pH yang terbaik untuk pertumbuhan adalah 7,5.
Gambar 6 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■) Perubahan Suhu Tanah Proses degradasi senyawa hidrokarbon oleh bakteri disamping menghasilkan gas CO2 dan air juga meningkatkan suhu tanah. Berdasarkan pengamatan suhu selama proses bioremediasi, nilai suhu tanah berkisar antara 27,83 – 42,3oC (Gambar 7). Pada awal bioremediasi suhu tanah berkisar antara 29,67 sampai 30,33oC. Pada hari berikutnya suhu tanah mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada hari ke-7 yaitu sebesar 42,33oC. Peningkatan suhu yang terjadi disebabkan adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Menurut Das dan Chandran (2011) suhu yang optimal untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah 30-40°C. Juhasz et al. (2005) melaporkan suhu optimal untuk
12 mendegradasi senyawa hidrokarbon pada bioremediasi minyak bumi dengan teknik biopile (skala pilot) terjadi pada suhu 39,1 sampai 50oC. Sedangkan Sopiah dan Arifudin (2012) melaporkan bahwa suhu optimal untuk degradasi senyawa hidrokarbon pada bioremediasi tanah tercemar minyak dengan teknik landfarming adalah 45oC. Pada akhir bioremediasi suhu tanah mengalami penurunan hingga mencapai suhu ruang. Pada kondisi tersebut proses biodegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi melambat atau telah selesai.
Gambar 7
Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■)
Pengamatan Kadar Air Kelembaban sangat penting bagi pertumbuhan bakteri dan transportasi nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri. Berdasarkan pengukuran kadar air yang dilakukan setiap minggu, terukur nilai kadar air tanah yaitu berkisar antara 17,25 sampai 24,14% (Gambar 8).
Gambar 8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■) Nilai kadar air selama proses bioremediasi berubah-ubah dengan bertambahnya waktu. Untuk menjaga pertumbuhan bakteri, setiap minggu ditambahkan sejumlah air ke dalam tanah hingga kadar air mencapai kisaran 22 23%. Menurut Chokshi dan Nelson (2003) melaporkan bahwa kadar air yang optimal untuk bioremediasi berkisar antara 15 sampai 20%. Kadar air di atas 25%
13 pada tanah klei mengakibatkan aktivitas bakteri menurun hal ini ditunjukan dengan menurunnya produksi gas CO2. Hasil pengamatan nilai kadar air pada awal bioremediasi tercatat berkisar antara 22,27 sampai 24,12%. Pada hari-hari berikutnya nilai kadar air mengalami perubahan pada masing-masing perlakuan. Sebagai gambaran, pada hari ke-42, perlakuan tanpa penambahan pasir mengalami penurunan kadar air sebesar 16,99%, sedangkan pada perlakuan penambahan pasir 45% penurunan kadar air mencapai 25,75%. Tingginya tingkat penurunan kadar air ini dimungkinkan karena perlakuan dengan penambahan pasir 45% didominasi oleh fraksi pasir (53%). Hal ini memungkinkan sebagian air mudah terlindih setelah penambahan air terhenti atau air tidak tertahan di dalam tanah sehingga air mudah menguap ke udara (Putinella 2011). Pengamatan Gas CO2 Gas CO2 yang terbentuk dari proses bioremediasi merupakan penunjuk adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerob. Berdasarkan penelitian Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa terbentuknya gas CO2 sebagai akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon dan untuk meningkatkan produksi gas CO2 pada proses bioremediasi perlu penambahan nutrisi. Hasil analisis gas CO2 (Gambar 9) memperlihatkan bahwa pada awal bioremediasi tiap perlakuan menghasilkan gas CO2 yang rendah yaitu berkisar antara 6,03 – 7,77 mg/m3. Pada minggu berikutnya produksi gas CO2 mengalami peningkatan dengan puncak tertinggi terjadi pada perlakuan penambahan pasir 45% yaitu sebesar 136,5 mg/m3. Titik terendah terjadi pada perlakuan tanpa penambahan pasir. Peningkatan produksi gas CO2 pada perlakuan penambahan pasir 45% menunjukkan adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon.
Gambar 9 Perubahan gas CO2 selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■) Bakteri pendegradasi dalam melakukan aktivitasnya memerlukan oksigen untuk memproduksi enzim oksigenase yang akhirnya menghasilkan gas CO2 (Abid et al. 2014). Menurut BTL (2010) menerangkan bahwa peningkatan produksi gas CO2 di dalam proses bioremediasi diikuti dengan peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini ditandai dengan menurunnya kandungan oksigen di
14 dalam tanah. Pada tanah dengan kandungan pasir yang tinggi pertukaran udara dari atmosfir ke dalam tanah begitu lancar sehingga pertumbuhan bakteri tetap terjaga namun pada tanah dengan kandungan klei yang tinggi proses difusi udara dari atmosfir ke dalam tanah menjadi terhambat. Menurut Hwang et al. (2006) menerangkan bahwa untuk menjaga biodegradasi tetap berlangsung setidaknya terdapat 2 sampai 5% kadar oksigen di dalam tanah. Pertumbuhan Bakteri Bakteri merupakan parameter penting dalam proses bioremediasi. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan peningkatan jumlah dan masa sel. Pengukuran TPC bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi. Hasil pengamatan pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa pada awal bioremediasi jumlah bakteri masih rendah yaitu berkisar antara 2,5 x 107 sampai 4,8 x 107 cfu/g (Gambar 10).
Gambar 10 Pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■) Pada hari ke-7 populasi bakteri mengalami peningkatan dengan puncak tertinggi terjadi pada perlakuan penambahan pasir 45% yaitu sebesar 97,28% dari populasi bakteri 3,4 x 107 cfu/g menjadi 1,25 x 109 cfu/g. Sedangkan titik terendah terjadi pada perlakuan tanpa penambahan pasir yaitu sebesar 65% dari populasi bakteri 3,5 x 107 cfu/g menjadi 1 x 108 cfu/g. Rendahnya populasi bakteri tersebut disebabkan oleh ketersedian oksigen di dalam tanah yang rendah. Kandungan klei yang tinggi hingga mencapai 84% menyebabkan pori tanah mudah menangkap air dan tanah menjadi mengembang dan lengket sehingga proses difusi udara dari atmosfir ke dalam tanah terhambat. Pada hari ke-14 populasi bakteri pada perlakuan penambahan pasir 45% mengalami perlambatan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya nilai kadar air tanah hingga mencapai 17,75%. Kelembaban sangat diperlukan dalam pertumbuhan bakteri. Kandungan pasir yang tinggi hingga mencapai 53% menyebabkan air tanah mudah menguap ke atmosfir sehingga tanah menjadi mudah kering. Untuk menjaga pertumbuhan bakteri maka dilakukan penambahan air secara berkala hingga kadar air mencapai 22%. Pada minggu berikutnya pertumbuhan bakteri mengalami peningkatan kembali dan di akhir bioremediasi ketika senyawa hidrokarbon yang ada mulai berkurang, pertumbuhan bakteri mulai melambat dan selanjutnya menurun.
15 Perubahan TPH TPH merupakan salah satu parameter indikator penting dalam pengolahan lahan dan/atau tanah tercemar minyak. TPH menunjukkan keberhasilan dari proses biodegradasi yang dilakukan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi. Hasil pengamatan TPH yang dilakukan setiap dua minggu sekali disajikan pada Gambar 11. Y1 = 5,3435e-0,017x R2 = 0,9817 Y2 = 5,4211e-0,019x R2 = 0,9914 Y3 = 4,8875e-0,022x R2 = 0,9932 Y4 = 4,9854e-0,023x R2 = 0,9983
Gambar 11 Perubahan nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile pada perlakuan TPK900010 (■), TPK751510 (■),TPK603010 (■) dan TPK454510 (■) Pada awal bioremediasi nilai TPH berkisar antara 4,86 sampai 4,66% dan setelah 74 hari proses bioremediasi berlangsung terjadi penurunan nilai TPH dengan penurunan TPH terendah terjadi pada perlakuan tanpa penambahan pasir yaitu sebesar 69,85% dari TPH 4,66% menjadi 1,4% dan laju degradasi sebesar 0,017 %TPH.hari-1. Rendahnya laju degradasi dan penurunan TPH ini disebabkan oleh tanah didominasi fraksi klei (84%), diikuti fraksi debu (13%) dan sisanya fraksi pasir yaitu sebesar 3%. Kandungan klei yang tinggi menyebabkan tanah mudah mengembang dan lengket ketika diberi kelembaban sehingga pergerakan dan pertukaran udara dari atmosfir kedalam tanah tidak optimal. Hal ini mengakibatkan ketersedian oksigen yang sangat dibutuhkan untuk metabolisme bakteri berkurang. Setelah proses bioremediasi berlangsung selama 112 hari, nilai TPH pada perlakuan tanpa penambahan pasir mengalami penurunan TPH hingga 0,79% atau telah memenuhi baku mutu lingkungan yang yang telah ditetapkan dalam Kep Men LH Nomor 128 Tahun 2003. Penurunan TPH tertinggi terjadi pada perlakuan dengan penambahan pasir 45% yaitu sebesar 81,37% dari TPH 4,68% menjadi 0,87%, kemudian diikuti oleh perlakuan dengan penambahan pasir 30% yaitu 80,06% dari TPH 4,86% menjadi 0,97% dengan nilai laju degradasi TPH berturut-turut sebesar 0,023 %TPH.hari-1 dan 0,022 %TPH.hari-1. Kondisi tersebut ditempuh dalam waktu sekitar 74 hari. Nilai laju degradasi pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 5.
16
Tabel 5 Laju degradasi senyawa hidrokarbon pada masing-masing perlakuan ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Tanah (%) 90 75 60 45
Pasir (%) 0 15 30 45
Hari keKompos (%) 10 10 10 10
Minyak (%) 5 5 5 5
Laju degradasi (%TPH.hari-1) 0,017 0,019 0,022 0,023
Hasil analisis sidik ragam menyebutkan bahwa penambahan pasir berpengaruh sangat nyata terhadap degradasi senyawa hidrokarbon. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT) dengan taraf 5%. Hasil analisis DMRT (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan pasir 15% dan perlakuan tanpa penambahan pasir tidak berbeda nyata begitu juga perlakuan penambahan pasir 30% dan perlakuan penambahan pasir 45% tidak berbeda nyata, namun demikian perlakuan tanpa penambahan pasir berbeda nyata dengan perlakuan penambahan pasir 30% dan perlakuan penambahan pasir 45%. Tabel 6 Pengaruh penambahan pasir pada bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi Peralakuan TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Biodegradasi (%) 56,54a 61,93ab 68,88bc 71,06c
Perlakuan terbaik dipilih berdasarkan nilai persen degradasi yang paling tinggi (71,06c) lalu diikuti perlakuan yang memiliki huruf yang sama (68,88bc). Selanjutnya dipilih perlakuan yang memiliki kandungan pasir yang paling rendah diantara keduanya. Dalam penelitian ini sampel yang dimaksud adalah perlakuan dengan penambahan pasir sebesar 30%. Meskipun perlakuan dengan penambahan pasir 45% memiliki persen degradasi lebih besar, namun perlakuan dengan penambahan pasir 45% bukan yang terbaik karena pasir yang ditambahkan lebih tinggi dibandingkan perlakuan penambahan pasir 30%. Adapun perlakuan dengan penambahan pasir 15% dan perlakuan tanpa penambahan pasir memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai TPH di bawah baku mutu lingkungan (≤ 1%) yaitu berturut-turut 98 hari dan 112 hari. Lama waktu proses pengolahan tanah tercemar minyak dapat meningkatkan biaya pengolahan bioremediasi. Menurut US EPA (2004) biaya pengolahan tanah tercemar minyak dengan teknik biopile berkisar antara 30 - 90 $/m3. Jika diasumsikan biaya pengolahan tanah tercemar minyak sebesar 50 $/m3 atau 0,42 $/m3.hari dan lama waktu pengolahannya memakan waktu 89 hari, maka biaya yang akan dikeluarkan sebesar 37,08 $/m3 atau lebih mahal 7,5 $ dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan pasir 30%. Perkiraan biaya pengolahan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 7.
17 Tabel 7 Lama waktu biopile untuk mencapai baku mutu lingkungan dan perkiraan biaya pengolahan pada masing-masing perlakuan TPH awal (%) 4,66 4,78 4,86 4,68
ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
TPH akhir (%) 1,0 1,0 1,0 1,0
Waktu Biopile (hari) 98 89 71 68
Perkiraan biaya ($/m3) 40,83 37,08 29,58 28,33
Perubahan Senyawa Hidrokarbon Kromatografi gas dilakukan untuk mengetahui komposisi dan jenis senyawa yang terkandung di dalam sampel sebelum dan sesudah bioremediasi. Penentuan senyawa hidrokarbon dilakukan berdasarkan data yang terdapat di library. Senyawa hidrokarbon dari library yang memiliki kemiripan lebih dari 90% digunakan dalam mengidentifikasi senyawa hidrokarbon (Charlena 2010). Hasil analisis dengan alat GCMS pada awal bioremediasi (Gambar 12) memperlihatkan bahwa kromatogram GCMS memiliki banyak senyawa hidrokarbon yang terkandung pada tanah tercemar minyak baik senyawa alkana rantai lurus maupun rantai bercabang. Minyak bumi mengandung berbagai macam komponen. Menurut Fessenden dan Fessenden (1995) lebih dari 500 senyawa telah terdeteksi dalam minyak bumi. Komponen senyawa hidrokarbon minyak bumi secara garis besar terbagi menjadi parafin, olefin, naftena, aromatik dan senyawa non-hidrokarbon. Pada pengukuran awal bioremediasi telah teridentifikasi senyawa hidrokarbon mulai dari C6 sampai C27. Pristana C16
C21 C18 C20
Kelimpahan
C15 C14
C22
C17
C13
C23 C24 C25 C26
C12
C27 C11 C10 C8 C9 C6
Menit
Gambar 12 Data kromatogram pada awal bioremediasi Hasil pengukuran pada akhir proses bioremediasi terjadi perubahan kromatogram GCMS pada masing-masing perlakuan. Pada perlakuan dengan penambahan pasir 45%, kromatogram GCMS menunjukkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang. Berdasarkan analisis data terdapat sebelas senyawa
18 hidrokarbon yang hilang diantaranya adalah senyawa alkana rantai lurus dari mulai C6 sampai C15 dan C25 serta C26. Hilangnya senyawa hidrokarbon ini menunjukan adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon dari senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti gas CO2. Hilangnya senyawa hidrokarbon ini ditandai dengan berkurangnya peak yang dihasilkan dan menurunnya kelimpahan senyawa di dalam kromatogram GCMS. Hasil pengukuran GCMS pada perlakuan penambahan pasir 45% setelah 60 hari proses bioremediasi disajikan pada Gambar 13.
Kelimpahan
Pristana
C18 C17
C22 C23
C21 C20 C19
C24
C27
C16
Menit
Gambar 13 Kromatogram dari perlakuan penambahan pasir 45% pada akhir bioremediasi Penambahan pasir dan kompos menyebabkan tanah menjadi lebih remah dan memiliki rongga berpori lebih banyak dibandingkan tanah klei yang sebagian besar rongga halusnya diisi air ketika diberi kelembaban dan pada saat kering tanah menjadi keras. Keberadaan pori aerasi menyebabkan tanah lebih mudah dialiri udara dan distribusi nutrisi menjadi merata. Ketersedian oksigen dan nutrisi yang cukup di dalam tanah mampu meningkatkan aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Hal ini dikuatkan dengan produksi gas CO2 pada perlakuan penambahan pasir 45% lebih tinggi di bandingkan pada perlakuan lainnya (Gambar 9). Pada perlakuan tanpa penambahan pasir, kromatogram yang dihasilkan masih memiliki banyak senyawa hidrokarbon. Berdasarkan analisi data, teridentifikasi sebanyak enam belas senyawa hidrokarbon rantai lurus yang masih terdapat di dalam tanah tercemar minyak atau sebanyak enam senyawa hidrokarbon rantai lurus (C6 sampai C12) yang berhasil dihilangkan. Pada perlakuan dengan penambahan pasir 15% tercatat sebanyak tujuh senyawa hidrokarbon rantai lurus (C6 sampai C13) yang berhasil dihilangkan oleh bakteri pendegradasi minyak bumi. Hilangnya senyawa hidrokarbon pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 8.
19
Tabel 8 Senyawa hidrokarbon yang hilang pada pengukuran akhir bioremediasi TPK900010 Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana
TPK751510 Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana Tridekana
TPK603010 Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana Tridekana Tetradekana Pentadekana
TPK454510 Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana Tridekana Tetradekana Pentadekana Pentakosana Heksakosana
Perubahan senyawa hidrokarbon pada perlakuan penambahan pasir 45% hampir sama dengan perlakuan penambahan pasir 30%, sedangkan perlakuan dengan penambahan pasir 15% mirip dengan perlakuan tanpa pemberian pasir. Perlakuan tanpa penambahan pasir merupakan perlakuan yang paling rendah mengalami perubahan, sedangkan perlakuan yang banyak mengalami perubahan terjadi pada perlakuan penambahan pasir 45% (Tabel 9). Tabel 9 Perubahan area senyawa hidrokarbon yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan akhir pengukuran pada sampel tanah dengan berbagai perlakuan Senyawa hidrokarbon Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana Tridekana Tetradekana Pentadekana Heksadekana Heptadekana Pristana Oktadekana Nonadekana Eikosana Heneikosana Dokosana Trikosana Tetrakosana Pentakosana Heksakosana Heptakosana
C ke n C6 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C19 C18 C19 C20 C21 C22 C23 C24 C25 C26 C27
Waktu retensi (menit) 3,39 4,57 5,77 7,39 8,99 10,51 11,95 13,31 14,58 15,78 16,94 17,04 18,01 19,03 20,01 20,95 21,84 22,41 23,53 24,32 25,09 25,91
Area awal (%) 0,02 0,03 0,06 0,20 0,27 0,55 1,04 1,34 2,09 2,62 2,39 2,24 1,90 1,66 1,88 1,42 1,28 0,85 1,18 1,10 0,81 0,63
Area (%) setelah bioremediasi TPK TPK TPK TPK 900010 751510 603010 454510 td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td 0,24 td td td 0,52 0,44 td td 1,21 1,16 td td 1,72 1,57 1,14 1,67 2,77 3,92 2,22 2,99 5,47 6,06 6,30 10,4 3,00 2,54 2,88 3,68 2,58 2,64 2,88 3,42 3,05 2,60 3,68 4,26 2,61 2,11 3,28 3,10 2,23 2,09 2,85 2,82 1,86 0,99 1,02 2,65 2,12 1,59 2,93 3,27 2,26 2,07 1,34 td 1,92 1,69 2,56 td 1,60 1,00 3,18 2,07
20 Senyawa-senyawa yang masih terdapat pada akhir pengukuran merupakan senyawa hidrokarbon yang sulit didegradasi oleh bakteri, misalnya senyawa nonadekana. Senyawa ini relatif sulit untuk didegradasi oleh bakteri (Kuhlmeier 1994). Pada awal bioremediasi senyawa nonadekana memiliki luas peak sebesar 1,66% dan pada akhir bioremediasi luas peak pada masing-masing perlakuan mengalami peningkatan yang berbeda-beda. Peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan penambahan pasir 45% dengan luas puncak sebesar 3,42%, sedangkan peningkatan terendah terjadi pada perlakuan tanpa penambahan pasir dengan luas puncak sebesar 2,58%. Bertambahnya luas puncak nonadekana disebabkan oleh akumulasi senyawa antara yang dihasilkan dari proses biodegradasi senyawa hidrokarbon bermolekul besar. Selanjutnya senyawa antara tersebut dibiodegradasi oleh bakteri menjadi gas CO2 (Nugroho 2009). Bioremediasi Skala Pilot Kapasitas 2 ton Karakteristik Tanah Biopile Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses bioremediasi. Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (diameter 2 – 0,05 mm), debu (0,05 – 0,002 mm) dan klei < (0,002 mm). Tanah dengan tekstur klei akan sulit mengalirkan udara dan distribusi nutrisi menjadi tidak merata. Berdasar atas diagram segitiga tekstur tanah (Tabel 10), matrik tanah tercemar minyak termasuk ke dalam kelas tanah lom berklei. Tanah didominasi oleh fraksi klei (39%), diikuti pasir (31%) dan sisanya fraksi debu (30%). Adanya fraksi pasir yang berimbang dengan fraksi klei menyebabkan tanah lebih porous dan lebih remah. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai bobot isi dari matrik tanah yaitu sebesar 0,84 g/cc. Bobot isi merupakan perbandingan berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori. Rendahnya bobot isi mengindikasikan bahwa tanah tidak padat sehingga mudah mengalirkan udara dan meneruskan air. Menurut Nugroho (2009) tanah dengan bobot isi yang rendah akan lebih mudah ditembus oleh akar tanaman dan memiliki ketersedian oksigen lebih banyak dibandingkan dengan tanah dengan bobot isi yang tinggi. Pada umumnya tanah klei, lom berklei, dan lom berdebu memiliki bobot isi berkisar antara 1 sampai 1,6 g/cc tergantung pada kondosi tanah. Pada tanah berpasir nilai bobot isi berkisar antara 1,2 sampai 1,8 g/cc (Brady 1984). Keberadaan bahan organik di dalam tanah mampu menahan air lebih lama dibandingkan tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah seperti tanah berpasir. Tanah yang baik untuk bioremediasi adalah tanah yang mampu menahan air lebih lama namun tidak menghambat pergerakan pertukaran gas antara tanah dan atmosfir, sehingga pertumbuhan bakteri pendegradasi minyak tetap terjaga (Rachman et al. 2013). Hasil analisis data (Tabel 10) memperlihatkan bahwa matrik tanah memiliki kemampuan menahan air sebesar 34,2% dan air tersedia sebesar 12,5% atau masuk dalam kategori sedang (LPT 1980). Air tersedia merupakan selisih kandungan air antara pF 2,54 (kapasitas lapang) dan pF 4,2 atau dalam pengertian lain air kapiler yang dapat dimanfaatkan baik oleh akar tumbuhan maupun mikroorganisme seperti bakteri pendegradasi minyak yang hidup di dalam tanah.
21
Tabel 10 Sifat fisik matrik tanah tercemar minyak Sifat Fisika Tanah Porositas (%) Bobot isi (g/cc) Bobot jenis partikel (g/cc) Pori drainase cepat (%) Pori drainase lambat (%) Kapasitas lapang (%) Air tersedia (%) Kadar air (% w/w) Tekstur - Klei (%) - Debu (%) - Pasir (%)
Kandungan 54,5 0,84 1,84 15,9 4,4 34,2 12,5 36,2 39 30 31
Pada tanah jenuh air seluruh pori tanah baik pori makro maupun pori mikro terisi air. Sedangkan pada tanah lembab pori tanah akan terisi oleh udara dan air dimana perbandingan air dan udara tergantung pada tekstur tanah. Pada tanah berpasir, jumlah pori aerasi lebih banyak dibandingkan dengan tanah klei. Berdasarkan analisis data memperlihatkan bahwa matrik tanah memiliki nilai porositas 54,5% dan nilai pori drainase cepat (15,9%) atau termasuk dalam kategori sedang (LPT 19890). Nilai pori drainase cepat ini mengindikasikan bahwa air gravitasi di dalam tanah dengan cepat terlindihkan setelah pemberian air terhenti. Dengan demikian rongga udara yang tidak terisi oleh air akan diisi oleh udara. Ketika oksigen di dalam tanah dikonsumsi oleh bakteri secara terus menerus maka jumlah oksigen di dalam tanah berkurang sehingga perlu diisi ulang. Dengan sifat tanah yang remah, tanah menjadi mudah dialiri udara baik yang berasal dari blower maupun dari atmosfir. Udara akan menempati ruang kosong yang terbentuk oleh penggabungan agregat-agregat tanah yang berbeda bentuk dan ukuran. Gas CO2 yang dihasilkan dari proses dekomposisi senyawa hidrokarbon maupun senyawa organik lainnya akan dilepaskan menuju atmosfir (Gambar 14).
Gambar 14 Ilustrasi rongga berpori tanah, a: air yang tertahan di agregat tanah, b: aliran udara di antara agregat tanah
22 Perubahan pH Tanah Biodegradasi senyawa hidrokarbon dipengaruhi oleh pH tanah. Tanah dengan pH asam akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri begitu pula bila pH tanah terlalu basa. Menurut Dhote et al. (2009) nilai pH dapat mempengaruhi aktivitas bakteri dan dapat mengendalikan aktivitas enzim, proses transportasi serta kelarutan hara. Hasil pengamatan pH tanah selama proses bioremediasi disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Pengamatan pH tanah selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton Hasil pengamatan pH tanah pada biopile skala laboratorium dan skala pilot menunjukkan bahwa pH tanah masuk dalam kategori pH netral dan baik untuk pertumbuhan bakteri yaitu berturut-turut berkisar antara pH 7,0 sampai 7,5 dan pH 7,25 sampai 7,37. Menurut Sharma (2012) mengatakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan bakteri ada pada pH 6,5 sampai 8 dengan rentang pertumbuhan pada pH 5,5 hingga 8,5. Menurut US EPA (2004) pH yang optimal untuk pertumbuhan bakteri ada pada kisaran pH 6 hingga 8. Di luar kisaran pH tersebut perlu dilakukan penyesuaian yaitu dengan penambahan dolomit atau kapur bila pH tanah masam, namun bila tanah memiliki pH tinggi maka perlu ditambahkan asam seperti amonium sulfat.
Gambar 16 Perubahan pH tanah pada biopile skala laboratorium dan skala pilot selama proses bioremediasi berlangsung
23 Pertumbuhan Bakteri Pengukuran pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi disajikan pada Gambar 17. Pada hari pertama populasi bakteri mengalami peningkatan sebesar 92,42% dari populasi bakteri 1 x 106 cfu/g menjadi 2,8 x 107 cfu/g. Pada awal bioremediasi bakteri beradaptasi dengan lingkungan dan mulai tumbuh dengan memanfaatkan senyawa hidrokarbon yang ada di dalam tanah sebagai sumber energinya. Pada hari ke-7 populasi bakteri meningkat dengan cepat yaitu sebesar 99,95% dari 2,8 x 107 cfu/g menjadi 6,65 x 1010 cfu/g. Peningkatan ini sejalan dengan meningkatnya produksi gas CO2 dimana pada hari ke-7 produksi gas CO2 meningkat hingga mencapai 91,25 mg/m3.
Gambar 17 Pertumbuhan bakteri selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton Pada hari ke-14 pertumbuhan bakteri mengalami penurunan sebesar 43,23% dari populasi bakteri 6,65 x 1010 cfu/g menjadi 3,77 x 1010 cfu/g. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya nilai kadar air hingga mencapai 18,58%. Untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri, ke dalam tanah ditambahkan sejumlah air hingga kadar air mencapai 27%. Setelah penambahan kelembaban, populasi bakteri mengalami peningkatan menjadi 1,36 x 1011 cfus/g. Namun pada mingguminggu berikutnya, ketika senyawa hidrokarbon yang ada mulai berkurang, pertumbuhan bakteri mulai melambat dan selanjutnya menurun. Perubahan Suhu Tanah Pengukuran suhu dilakukan pada enam titik, empat diantaranya diukur pada masing-masing sisi biopile, satu titik diukur di bagian atas biopile sedangkan sisanya diukur di bagian pusat biopile pada kedalaman 40 cm. Hasil pengukuran suhu (Gambar 18) menunjukkan adanya perbedaan suhu pada beberapa titik sampling, suhu di bagian pusat biopile memiliki suhu paling tinggi dibandingkan dengan suhu di titik lainnya. Li et al. (2004) juga mengungkapkan demikian dan menerangkan bahwa pada pusat biopile memiliki suhu lebih tinggi dibanding dengan bagian lain. Pada percobaan biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg dengan tinggi biopile sebesar 20 cm, tidak terdapat perbedaan suhu di beberapa titik pengukuran (Gambar 19). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pemberian aerasi yang dilakukan setiap hari. Pemberian aerasi dilakukan dengan cara mengaduk-aduk tanah dan memindahkan ke bilik sebelahnya. Pengadukan ini menyebabkan tanah
24 menjadi lebih gembur dan tidak padat sehingga memudahkan pergerakan dan pertukaran udara dari tanah ke atmosfir.
Gambar 18 Profil suhu dalam biopile skala pilot kapasitas 2 ton
Gambar 19 Profil suhu dalam biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg pada kedalaman bervariasi, a: permukaan, b: tengah, dan c: bawah Pada percobaan biopile skala pilot kapasitas 2 ton, pengamatan suhu dilakukan setiap hari kerja. Pada pengukuran hari ke-1, suhu rata-rata tanah masih rendah, yaitu sebesar 27,21oC. Pada hari berikutnya suhu tanah mengalami peningkatan dengan peningkatan suhu tertinggi terjadi pada hari ke-12 sebesar 39,42oC. Meningkatnya suhu ini menunjukkan bahwa proses degradasi minyak bumi sedang berjalan dimana bakteri pendegradasi memanfaatkan senyawa hidrokarbon yang ada untuk digunakan dalam proses metabolisme dalam pertumbuhannya. Hasil pengamatan suhu tanah selama proses bioremediasi disajikan pada Gambar 20. Pada hari ke-14 suhu tanah mengalami penurunan sebesar 15% dari suhu 39,42oC menjadi suhu 33,38oC. Penurunan suhu ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kadar air tanah biopile hingga mencapai 17,07% dari kadar air sebesar 22,40% menjadi kadar air 18,58%. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bakteri pendegradasi minyak menurun hingga mencapai 3,7 x 1010 cfus/g dari sebelumnya sebesar 6,6 x 1010 cfus/g. Kondisi cuaca yang panas pada siang hari hingga mencapai kisaran suhu 35 sampai 36oC dan biopile yang terbuka menyebabkan air tanah mudah menguap dan tanah menjadi kering terutama di lapisan permukaan biopile. Menurut Kamnikar (1992) pada proses bioremediasi kelembaban tanah
25 akan berkurang selama proses bioremediasi berlangsung, sebagai gambaran pada bioremediasi dalam keadaan tertutup, kelembaban tanah berkurang sebesar 1 sampai 2% selama 3 bulan proses bioremediasi. Dengan demikian untuk mengurangi proses penguapan yang terjadi, di atas permukaan tanah setiap hari kerja dilakukan penyemprotan air pada permukaan biopile. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi proses penguapan air di dalam biopile dan menjaga kelembaban tanah.
Gambar 20 Perubahan suhu tanah selama proses bioremediasi pada biopile 2 ton Pengamatan suhu pada minggu ketiga mengalami peningkatan hingga mencapai 37,17oC, namun peningkatan ini tidak lebih besar dibandingkan pada minggu kedua. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa hidrokarbon yang dapat didegradasi bakteri jumlahnya mulai berkurang karena telah dikonsumsi bakteri untuk pertumbuhannya. Pada pengamatan suhu minggu-minggu berikutnya, suhu tanah mengalami penurunan hingga mencapai suhu ruang. Secara umum suhu tanah pada percobaan biopile skala pilot kapasitas 2 ton tidak jauh berbeda dengan biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg. keduanya memiliki puncak suhu berturut-turut sebesar 39,7oC dan 39,4oC. Puncak suhu tersebut terjadi pada minggu kesatu dan kedua. Perbandingan suhu tanah pada biopile skala laboratorium dan pilot selama proses bioremediasi berlangsung disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Perbandingan suhu tanah pada biopile skala laboratorium dan pilot selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton
26
Pada minggu berikutnya baik skala laboratorium maupun pilot suhu tanah mengalami penurunan akibat menurunnya nilai kadar air tanah dan meningkat kembali setelah diberi kelembaban. Pada skala pilot peningkatan suhu yang terjadi lebih tinggi dan lebih lama durasinya dibandingkan dengan skala laboratorium. Hal ini mungkin disebabkan karena pada biopile skala pilot terjadi sinergi antara bakteri aerobik dan anaerobik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon menjadi senyawa hidrokarbon yang lebih sederhana. Kerjasama antara bakteri aerobik dan aerobik tersebut juga menyebabkan suhu tanah masih tinggi hingga minggu kelima dan mengalami penurunan pada minggu berikutnya. Hal ini mungkin disebabkan senyawa hidrokarbon yang ada mulai berkurang dan menyisahkan senyawa hidrokarbon yang sulit didegradasi oleh bakteri seperti senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana. Perubahan Gas NH3 Gas NH3 yang terbentuk pada proses bioremediasi menunjukkan bahwa terjadi proses anaerobik pada proses biodegradasi tersebut. Walaupun sebenarnya penelitian ini dirancang untuk berjalan secara aerobik yaitu dengan diberi udara yang berasal dari blower, akan tetapi gas NH3 ikut terdeksi. Menurut Charlena (2010) gas NH3 terbentuk sebagai akibat adanya biodegradasi senyawa hidrokarbon yang mengandung unsur N yang berlangsung secara anaerobik. Hasil analisis gas NH3 (Gambar 22) memperlihatkan bahwa Pada hari ke-1 dan ke-14 produksi gas NH3 belum dihasilkan. Namun setelah hari ke-28 gas NH3 mulai dihasilkan. Adapun gas NH3 yang dihasilkan sebesar 21,75 µg/m3. Terbentuknya gas NH3 ini mengindikasikan bahwa di dalam biopile terjadi proses anaerobik yang mana senyawa hidrokarbon yang ada dirombak oleh bakteri anaerobik menjadi gas NH3. Terjadinya kondisi anerobik ini dapat disebabkan ada beberapa bagian tanah di dalam biopile yang tidak dilewati udara sebagai akibat terjadinya pemadatan tanah. Menurut Jorgensen et al. (2000); Kuo (2014) menyebutkan bahwa kondisi anaerobik akan terjadi bila konsentrasi oksigen sangat rendah atau kurang dari 1%, kondisi anaerobik tersebut akan berpengaruh terhadap aktivitas bakteri aerob dan akan terbentuk gas NH3 sebagai akibat dari meningkatnya bakteri anaerob.
Gambar 22 Produksi gas NH3 selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton
27 Pemadatan tanah mungkin terjadi pada bagian dasar biopile, sedangkan pada bagian tengah dan permukaan tidak terjadi pemadatan. Hasil pengukuran fisika tanah pada contoh tanah yang diambil pada kedalaman 30 cm diperoleh bobot isi tanah sebesar 0,84 g/cc dan nilai porositas 54,5%. Rendahnya nilai bobot isi dan tingginya porositas tanah mengindikasikan bahwa tanah di dalam biopile tidak padat melainkan longgar dan memiliki banyak pori sehingga mudah dialiri udara. Dengan demikian walaupun di dalam biopile terjadi proses anaerobik akan tetapi secara umum proses bioremediasi masih berlangsung secara aerobik. Hal ini dibuktikan dengan produksi keseluruhan gas NH3 selama proses bioremediasi yang hanya mencapai 58,45 µg/m3. Perubahan Gas CO2 Aktivitas bakteri pada proses bioremediasi akan menghasilkan gas CO2. Proses ini melibatkan bakteri aerob dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu gas CO2. Hasil pengukuran gas CO2 selama proses bioremediasi berlangsung disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Produksi gas CO2 selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton Pada hari pertama produksi gas CO2 masih rendah yaitu sebesar 6,88%. Pada hari ke-7 produksi gas CO2 mengalami peningkatan sebesar 92,5% dari hari pertama. Puncak tertinggi produksi gas CO2 terjadi pada hari ke-28 dengan produksi gas CO2 mencapai 267,13 mg/m3. Peningkatan produksi gas CO2 ini sejalan dengan menurunnya nilai TPH di dalam tanah. Senyawa hidrokarbon minyak bumi yang ada dimanfaatakan bakteri untuk proses metabolisme dalam pertumbuhannya. Ketika senyawa hidrokarbon yang ada dikonsumsi secara terus menerus oleh bakteri maka jumlah senyawa hidrokarbon yang ada akan berkurang terutama fraksi minyak yang mudah didegradasi. Pada saat itu produksi gas CO2 yang dihasilkan oleh bakteri mulai berkurang dan terhenti bila senyawa hidrokarbon telah habis. Secara umum produksi gas CO2 pada biopile skala laboratorium lebih rendah dibandingkan dengan biopile skala pilot. Rendahnya produksi gas ini diduga karena pengaruh pemberian aerasi secara manual yang dilakukan setiap hari pada biopile skala laboratorium. Pemberian aerasi dilakukan dengan cara mengaduk-aduk tanah dan memindahkannya ke bilik sebelahnya. Hal ini menyebabkan tanah menjadi gembur dan lebih porous sehingga tanah menjadi
28 lebih mudah dilewati oleh udara atau gas baik dari atmosfir ke tanah maupun dari tanah ke atmosfir. Selain itu dengan ketebalan lapisan biopile sebesar 20 cm menyebabkan gas CO2 yang dihasilkan dari proses degradasi senyawa hidrokarbon oleh bakteri akan mudah lepas ke udara (atmosfir). Sedangkan pada biopile skala pilot, tanah tidak mengalami gangguan seperti yang terjadi pada biopile skala laboratorium. Pemberian aerasi dilakukan secara mekanik yaitu dengan cara menyemburkan udara dari blower melalui pipa aerasi yang ditanam pada bagian bawah dan tengah biopile. Selain itu dengan tinggi biopile yang mencapai 80 cm menyebabkan gas CO2 yang dihasilkan tidak mudah lepas ke atmosfir.
Gambar 24 Perbedaan produksi gas CO2 pada biopile skala laboratorium dan pilot selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile 2 ton
Perubahan TPH Pada penelitian ini pengukuran TPH dilakukan setiap dua minggu sekali dengan lama percobaan selama 63 hari. Hasil pengukuran TPH (Gambar 25) pada awal bioremediasi tercatat adalah sebesar 4,22%. Kemudian setelah dua minggu proses bioremediasi berlangsung terjadi penurunan TPH sebesar 17,28% dari TPH sebesar 42.227,2 ppm atau 4,22% menjadi 35.435,9 ppm atau 3,54%. Penurunan TPH tertinggi terjadi pada minggu ke-4 yaitu sebesar sebesar 28,24% dari TPH 35.435,9 ppm atau 3,5% menjadi 25.065,2 ppm atau 2,5%. Y3 = 4,8875e-0,022x R2 = 0,9814 Y4 = 4,5716e-0,023x R2 = 0,9911
Gambar 25 Perubahan nilai TPH selama proses bioremediasi berlangsung pada biopile skala laboratorium (■) dan skala pilot (■)
29 Pada minggu berikutnya tingkat degradasi mengalami pelambatan. Hal ini dimungkinkan karena senyawa hidrokarbon yang tersisa sulit di degradasi oleh bakteri yang ada. Pada pengukuran TPH minggu ke-9 nilai TPH telah mencapai 1%. Hal ini menunjukkan bahwa proses bioremediasi dengan teknik biopile skala pilot telah memenuhi baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan dalam Kep Men LH Nomor 128 Tahun 2003 tentang “Tata cara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak secara biologis”. Hasil analisis laju degradasi (Tabel 11) menyebutkan bahwa nilai konstanta degradasi senyawa hidrokarbon pada biopile skala laboratorium lebih rendah dibandingkan dengan skala pilot yaitu sebesar 0,022 %TPH.hari-1, sedangkan pada skala pilot sebesar 0,023 %TPH.hari-1. Tingginya nilai konstanta degradasi senyawa hidrokarbon pada skala pilot disebabkan oleh adanya sinergi antara bakteri aerobik dan anaerobik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon komplek menjadi senyawa hidrokarbon yang lebih sederhana seperti gas CO2. Tabel 11 Persen degradasi dan laju degradasi senyawa hidrokarbon pada biopile skala laboratorium dan skala pilot Skala Percobaan Skala Laboratorium Skala pilot
Persen degradasi (%) 80 76
Laju degradasi (%TPH.hari-1) 0,022 0,023
Sinergi antara bakteri aerobik dan bakteri anaerobik pada biopile skala pilot mampu menurunkan konsentrasi TPH sebesar 76% dari TPH awal 4,22% menjadi 1%. Kondisi tersebut ditempuh selama 63 hari. Pada biopile skala laboratorium, selama 63 hari proses bioremediasi berlangsung diperoleh penuruan konsentrasi TPH sebesar 75,12% dari TPH awal 4,86% menjadi 1,21% dan pada hari ke-74 konsentrasi TPH mengalami penurunan hingga mencapai 0,97% atau telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan oleh Kep Men LH No 128 Tahun 2003. Dengan demikian peningkatan volume dari skala laboratorium kapasitas 30 kg ke skala pilot kapasitas 2 ton tidak mengurangi proses degradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi. Perubahan Senyawa Hidrokarbon Analisis kandungan senyawa hidrokarbon dilakukan untuk mengetahui komposisi dan jenis senyawa yang terkandung di dalam tanah tercemar minyak sebelum dan sesudah proses bioremediasi. Berdasarkan data kromatogram hasil analisis dengan GCMS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon dari luas area yang terukur. Kromatogram GCMS pada awal bioremediasi (Gambar 26) terdapat banyak peak yang dihasilkan dengan luas puncak peak berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal bioremediasi, tanah tercemar minyak mengandung berbagai jenis senyawa hidrokarbon. Berdasarkan hasil analisis data, teridentifikasi senyawa hidrokarbon yang ada di dalam tanah tercemar minyak adalah senyawa alkana rantai lurus mulai dari C12 sampai C27 dan senyawa alkana rantai bercabang seperti 2,6-dimetil undekana, 2,6,10-trimetil dodekana, 2,6,10-trimetil pentadekana dan 2,6,10,14tetrametil pentadekana. Menurut Kuhlmeier (1994) senyawa alkana dengan rantai
30 karbon bercabang lebih sulit untuk didegradasi oleh bakteri pendegradasi dibandingkan senyawa hidrokarbon dengan rantai karbon lurus.
Kelimpahan
Pristana C19 C21 C16 C18 C20 C18 C15 C22 C14 C15
C24 C23 C25 C26 C27
C13 C13 C12
Menit
Gambar 26 Kromatogram GC-MS dari matrik tanah tercemar minyak pada awal bioremediasi Kromatogram pada akhir bioremediasi (Gambar 27) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah peak yang dihasilkan. Disamping itu terlihat juga adanya penurunan kelimpahan atau abudance. Perubahan senyawa hidrokarbon terjadi sebagai akibat adanya proses degradasi senyawa hidrokarbon oleh bakteri menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti gas CO2. Berdasarkan analisis data, teridentifikasi senyawa hidrokarbon pada akhir bioremediasi adalah senyawa alkana berantai lurus seperti C16, C18, C20-C24 dan C26-C27, dan alkana rantai bercabang seperti 2,6,10-trimetil pentadekana dan 2,6,10,14-tetrametil pentadekana. Dengan demikian terdapat delapan senyawa hidrokarbon yang berhasil dihilangkan termasuk di dalamnya rantai karbon bercabang.
Kelimpahan
Pristana
C18 C18 C22 C21 C20 C16
C26 C23 C24 C27
Menit
Gambar 27 Kromatogram GC-MS dari matrik tanah tercemar minyak pada akhir bioremediasi
31 Secara umum perubahan senyawa hidrokarbon yang terjadi pada biopile skala laboratorium tidak jauh berbeda dengan biopile skala pilot. Pada biopile skala laboratorium berhasil menghilangkan sembilan senyawa hidrokarbon dengan rantai karbon mulai dari C6 sampai C16. Menurut Cookson (1995) senyawa hidrokarbon dengan rantai karbon lurus dari C10 sampai C20 merupakan senyawa alkana yang kurang beracun dan sebagian besar mudah didegradasi, sedangkan pada biopile skala pilot terdapat delapan senyawa hidrokarbon yang berhasil dihilangkan yaitu senyawa alkana rantai lurus dari C12 sampai C15, C19, C27 dan senyawa alkana rantai bercabang seperti senyawa 2,6-dimetil undekana dan 2,6,10-trimetil dodekana. Senyawa alkana rantai bercabang memiliki sifat beracun dan sulit didegradasi oleh bakteri. Hilangnya senyawa hidrokarbon dan perubahan luas area pada biopile skala laborotorium dan skala pilot yang diukur pada awal dan akhir bioremediasi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Perubahan luas area pada biopile skala laboratorium dan skala pilot yang diukur pada awal dan akhir bioremediasi Senyawa hidrokarbon
C ke n
Waktu retensi (menit)
Heksana Oktana Nonana Dekana Undekana Dodekana 2,6-dimetil undekana Tridekana 2,6,10-trimetil dodekana Tetradekana Pentadekana Heksadekana 2,6,10-trimetil pentadekana Heptadekana Pristana Oktadekana Nonadekana Eikosana Heneikosana Dokosana Trikosana Tetrakosana Pentakosana Heksakosana Heptakosana
C6 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C13 C15 C14 C15 C16 C18 C17 C19 C18 C19 C20 C21 C22 C23 C24 C25 C26 C27
3,39 4,58 5,77 7,39 8,99 10,51 10,62 11,95 12,93 13,31 14,58 15,78 16,32 16,94 17,04 18,01 19,03 20,01 20,95 21,84 22,41 23,53 24,32 25,09 25,91
Area awal bioremediasi (%)
Skala lab
Skala pilot
0,02 0,03 0,06 0,20 0,27 0,55 td 1,04 td 1,34 2,09 2,62 td 2,39 2,24 1,90 1,66 1,88 1,42 1,28 0,85 1,18 1,10 0,81 0,63
td td td td td 0,05 0,07 0,45 0,71 0,93 1,94 2,14 2,21 td 7,52 2,62 2,21 2,42 1,96 1,66 1,23 1,13 1,21 0,97 1,19
Area setelah bioremediasi (%) Skala Skala lab pilot td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td td 1,14 0,90 td 3,19 2,22 td 6,30 10,9 2,88 1,27 2,88 td 3,68 2,55 3,28 3,68 2,85 1,73 1,02 1,33 2,93 2,04 1,34 td 2,56 1,90 3,18 1,62
Proses bioremediasi pada biopile skala pilot kapasitas 2 ton berlangsung secara aerobik dan anaerobik. Hal ini menyebabkan terjadi sinergi antara bakteri aerob dan anaerob dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik senyawa alkana rantai lurus, alkana rantai bercabang maupun senyawa aromatik. Menurut
32 Cookson (1995) bakteri anaerob mampu mendegradasi senyawa aromatik seperti senyawa benzoat, fenilasetat, fenilpropanoat, dan sinamat. Senyawa tersebut selanjutnya didegradasi menjadi karbon dioksida dan metana. Terbentuknya kondisi anaerobik pada biopile skala pilot kapasits 2 ton disebabkan oleh terjadinya pemadatan pada bagian tertentu pada bagian biopile terutama di bagian dasar biopile. Pemadatan tanah terjadi sebagai akibat dilakukan penyiraman tanah dengan air secara berkala yang bertujuan untuk menjaga kelembaban tanah sehingga pertumbuhan bakteri tetap terjaga. Sedangkan pada biopile skala laboratorium, pemberian aerasi dilakukan dengan cara manual yaitu dengan mengaduk-aduk tanah dan memindahkan ke bilik sebelahnya. Dengan pengadukan ini proses difusi udara dari atmosfir ke dalam tanah berjalan baik sehingga proses bioremediasi pada biopile skala laboratorium berjalan secara aerobik Pada akhir bioremediasi terdapat senyawa hidrokarbon yang sulit didegradasi seperti senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana atau biasa dikenal dengan senyawa pristana. Menurut Cong et al. (2009) senyawa pristana dapat didegradasi melalui oksidasi subtermal. Proses tersebut terjadi secara aerobik dengan melibatkan oksigen sebagai akseptor elektron eksternal (Komarawidjaja dan Lysiastuti 2000). Enzim monooksigenase yang dihasilkan bakteri M. neoaurum dan R. ruber mengoksidasi senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana menjadi senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana-3-ol. Dalam hal ini enzim menyerang rantai karbon ketiga menghasilkan alkohol sekunder. Selanjutnya senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana-3-ol dioksidasi menghasilkan senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana-3-on. Pada akhir lintasan di dapat senyawa 2metil butanadioat. Ilustrasi tentang lintasan (pathway) degradasi terhadap senyawa pristana disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28 Lintasan oksidasi subtermal senyawa 2,6,10,14-tetrametil pentadekana (Cong et al. 2009)
33
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah : Komposisi campuran matrik tanah yang terbaik untuk proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi bertekstur klei adalah perlakuan dengan penambahan pasir 30% (TPK603010). Peningkatan volume dari skala laboratorium kapasitas 30 kg ke skala pilot kapasitas 2 ton tidak menghambat proses degradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi. Saran
1. 2.
3. 4.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan kapasitas pengolahan lebih besar (skala lapangan). Pemberian aerasi secara manual dan mekanik (blower) tidak mengurangi proses degradasi senyawa hidrokarbon sehingga untuk penerapan ke skala lebih besar dapat menggunakan blower sebagai sumber oksigen. TPH awal untuk bioremediasi diatur pada TPH 5%. Nilai TPH di atas 5% perlu ditambahkan bahan pencampur seperti tanah fresh dan/atau pasir. Tanah hasil olahan dapat ditanami tumbuhan yang non-konsumsi (fitoremediasi) atau digunakan sebagai bahan pencampur lapisan jalan dan material bangunan.
DAFTAR PUSTAKA Abid A, Zaafouri K, Aydi A, Manai I, Aida, Messaoud C, Hamdi M. 2014. Feasibility of a Bioremediation Process Using Biostimulation with Inorganic Nutrient NPK for Hydrocarbon Contaminated Soil in Tunisia. J Bioremed Biodeg 5(4):1-6. Ali M. 2012. Monograf: Tinjauan Proses Bioremediasi Melalui Pengujian Tanah Tercemar Minyak. Mukhtasor dan Maulidya, editor. Surabaya (ID): UPN Pr. Ali M. 2009. Monograf: Pembersihan Lahan Tercemar Tumpahan Hidrokarbon dengan Teknik Biopile. Mirwan M, editor. Surabaya (ID): UPN Pr. Arifiantari PN, Handajani M, Sembiring T. 2009. Pengaruh Rasio C/N Terhadap Degradasi Material Organik dalam Sampah Pasar Secara Anaerob [Internet]. Seminar Teknik Lingkungan ITB. Bandung (ID): TL ITB. [diunduh 2015 Agustus 12]. Tersedia pada: https://jujubandung.wordpress.com. [ASTM] American Sociaty for Testing and Materials. 1993. D 2974-87. Standard Test Methods for Moisture, Ash, and Organic Matter of Peat and Other Organic Soils. Washington D.C (US): American Sociaty for Testing and Materials. [ASTM] American Sociaty for Testing and Materials. 2006. D 2216-98. Standard Test Method for Laboratory Determination of Water (Moisture) Content of
34 Soil and Rock by Mass. Washington D.C (US): American Sociaty for Testing and Materials [ASTM] American Sociaty for Testing and Materials. 2007. D 4972-01. Standard Test Method for pH of Soils. Washington D.C (US): American Sociaty for Testing and Materials. [ATSDR] Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 2007.Toxicological profile for benzene. US Department of Health and Human Services. Atlanta (US): Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Baptista SJ, Cammarota MC, Dias. 2005 Production of CO2 in Crude Oil Bioremediation in Clay Soil. Braz Arch Biol Technol. 48:249-255. Battele, [NFESC] Naval Facilities Engineering Service Cente. 1996. Technical Memorandum TM-2189-ENV: Biopile Design And Construction Manual. Port Hueneme (US): Battele Environmental Restoration Department. Black GR, Hartge KH. 1986. Bulk Density and Particle Density. Methods of Soil Analysis. Part 1. Physical and Mineralogical Methods. 2nd Edition. American Society of Agronomy. Madison (US): WI. BP Statistical. 2015. BP Sasistical Review of World Energy June 2015.[diunduh 5 Oktober 2015]. Tersedia pada bp.com/statisticalreview. Brady NC. 1984. The Nature and Properties of Soils. 9nd. Ed. New York (US): Macmillan. [BSN] Badan Standar Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 1: Cara Uji kadar Amoniak (NH3) dengan Metode Indofenol menggunakan Spektrofotometer. SNI 19-7119.1-2005. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. [BTL] Balai Teknologi Lingkungan. 2010. Laporan Akhir (Program Dokumen): Teknologi Pengendalian Pencemaran Lingkungan (Remediasi). Serpong (ID): Cappucino JG, Sherman N. 1987. Microbiology: A Laboratory Manual. California (US): Benjamin Cummings. Charlena. 2010. Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat menggunakan Konsorsium Bakteri [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Charlena, Alim ZM, Anas I, Setiadi Y, Yani M. 2010. Produksi Gas Karbon Dioksida Selama Proses Bioremediasi Limbah Heavy Oil dengan Teknik Landfarming. Chem. Prog. 3(1):1-5. Chokshi BG, Nelson YM. 2003. Optimization of High-Strength Hydrocarbon Biodegradation using Respirometry. Di dalam: Magar VS, Kelley ME, editor. In Situ and On-Site Bioremediation. Proceedings of the Seventh International In Situ and On-Site Bioremediation Symposium; 2003 June; Orlando (US): Battle Pr. hlm 0-10. Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering: Design and Aplication. New York (US): McGraw – Hill. Cong LTN, Mikolasch A, Klenk HP, Schauer F. 2009. Degradation of the Multiple Branched Alkane 2,6,10,14-Tetramethyl-Pentadecane (Pristane) in Rhodococcus Ruber and Mycobacterium Neoaurum. International Biodeterioration & Biodegradation. 63:201–207 Crawford LD, Crawford LR. 1996. Bioremediation: Principles and Application. New York (US): Cambridge Univ Pr.
35 Danielson RE, Sutherland PL. 1986. Pore Size Distribution. Methods of Soil Analysis. Part 1. Physical and Mineralogical Methods. 2nd Edition. American Society of Agronomy . Madison (US): WI. Das N, Chandran P. 2011. Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon Contaminants: An Overview. Biotechnology Research International. 2(1): 1-13. doi:10.4061/2011/941810. Dhote M, Juwarkar A, Kumar A, Kanade GS, Chakrabarti T. 2009. Biodegradation of Chrysene by the Bacterial Strains Isolated from Oily Sludge. World J Microbiol Biotechnol. 26(2):329-335. Eaton AD, Aesceri LS, Rice EW, Greenberg AE. 2005. Standar Methods for the Examination of Water and Wastewater. Washington DC (US): American Public Health Association. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1995. Kimia Organik. Pudjaatmaka AH, Penerjemah; Lutan RY, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Edisi ke 3 Gao YC, Guo SH, Wang JN, Li D, Wang H, Zeng DH. 2014. Effects of Different Remediation Treatments on Crude Oil Contaminated saline Soil. Chemosphere. 117 (2014): 486-497. Gee GW, Bauder JW. 1986. Particle Size Analysis. Methods of Soil Analysis. Part 1. Physical and Mineralogical Methods. 2nd Edition. American Society of Agronomy. Madison (US): WI. Gomez KA, Gomez AA. 2010. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, Penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hwang EY, Park JS, Kim JD, Namkoong W. 2006. Effects of Aeration Mode on the Composting of Diesel Contaminated Soil. J Ind Eng Chem. 12(5): 694701. Indrayatie ER. 2009. Distribusi Pori Tanah Podsolik Merah Kuning pada Berbagai Kepadatan Tanah dan Pemberian Bahan Organik. Jurnal Hutan Tropis Borneo. 10(27): 230-236. Jorgensen KS, Puustinen J, Sourtti AM. 2000. Bioremediation of Petroleum Hydrocarbon-Contaminated Soil by Composting in Biopiles. Env Poll. 107: 245-254 Juhasz AL, Waller N, Lease C, Bentham R, Stewart R. 2005. Pilot Scale Bioremediation of Creosote-Contaminated Soil-Efficacy of Enhanced Natural Attenuation and Bioaugmentation Strategies. Bioremediation Journal. 9(3-4): 141-157. doi: 10.1080/10889860600572772. Kamnikar B. 1992. Bioremediation of Contaminated Soil. Poll. Eng. 24(21): 50-52. [Kemen LH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup . 2003. Keputuhan Menteri Lingkungan Hidup No 128 tahun 2003 Tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi Secara Biologis. Jakarta(ID):. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Komarawidjaja W, Lysiastuti E. 2009. Status Konsorsium Mikroba Lokal Pendegradasi Minyak. J Teknol Lingk. 10(3):347-354
36 Kratzke R, Major W, Fahnestock FV, Wickramanayake G. 1998. Biopile Design, Operation and Maintenance Handbook for Treating Hydrocarbon Contaminated Soils. Ohio (US): Battelle Pr. Kuhlmeier PD. 1994. Biodegradation of organic pollutants in Soil. In: Wise DL, Trantolo DJ, editor. Process Engineering for Pollution Control and Waste Minimization. New York (US): Marcel Dekker. hlm 405-424. Kuo J. 2014. Practical Design Calculations for Groundwater and Soil Remediation. Second Edition. New York (US): CRC Pr. Leusch F, Bartkow M. 2010. A short Primer on Benzene, Toluene, Ethylbenzene and Xylenes (BTEX) in The Environment and in Hydraulic Fracturing Fluids. Brisbane (AU): Griffith Univ. Li L, Cunningham CJ, Pas V, Philp JC, Barry DA, Anderson P. 2004. Field Trial of a New Aeration System for Enhancing Biodegradation in a Biopile. Waste Management. 24:17-137. [LPT] Lembaga Penelitian Tanah. 1980. Term of Reference (TOR) Tipe A Pemetaan Tanah, Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [MDE] Meryland Department of the Environment. 2007. BTEX. Maryland (US): Meryland Department of the Environment. Ni'matuzahroh, Yachya A, Tanjung M. 2006. Studi Perbandingan Biosurfaktan Pseudomonas aeruginosa IA7d dan Surfaktan Sisntetik Tween-80 dalam Biodegradasi Solat oleh Mikroba Perairan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Berkala Penelian Hayati. 12:13-18. Nugroho A. 2006. Biodegradasi Sludge Minyak Bumi dalam Skala Mikrokosmos: Simulasi Sederhana Sebagai Kajian Awal Bioremediasi Land Treatment. Makara Tek. 10(2): 82-89. Nugroho A. 2006. Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Jakarta(ID): Graha Ilmu Nugroho A. 2009. Produksi Gas Hasil Biodegradasi Minyak Bumi: Kajian Awal Aplikasinya dalam Microbial Enhanced Oil Recovery (Meor). Makara Sains. 13(2): 111-116. Nugroho Y. 2009. Analisis Sifat Fisik-Kimia dan Kesuburan Tanah pada Lokasi Rencana Hutan Tanaman Industri PT Prima Multibuana. Hutan Tropis Borneo. 10(27): 222 -229. Olsen SR, Cole CV, Watanabe FS, Dean LA. 1954. Estimation of Available P in Soils by Extraction with Sodium Bicarbonate. USDA cir.No 939. [PP] Peraturan Pemerintah. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta (ID): Kementerian Negara Sekretaris Negara Republik Indonesia. Putinella JA. 2011. Perbaikan Sifat Fisik Tanah Regosol dan Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica juncea L) Akibat Pemberian Kashiela Sagu dan Pupuk Urea. Jurnal Budidaya Pertanian. 7(1): 35-40 Rachman LM, Wahjunie ED, Brata KR, Purwakusuma W, Murtilaksono K. 2013. Fisika Tanah Dasar. Bogor (ID): DITSL-IPB. Sharma S. 2012. Bioremediation: Features, Strategies and Applications. Asian Journal of Pharmacy and Life Science. 2(2): 202-210.
37 Sopiah N, Arifudin. 2012. Uji Coba Kinerja Bakteri Karbonoklastik pada Tanah Tercemar Minyak Bumi dengan Teknik Landfarming. J Teknol Lingk. 13(2):131-140. Sudirman S, Sutono I, Juarsah, 2006. Penetapan Retensi Tanah di Laboratorium. Dalam: U Kurnia, F Agus, A adimihardja, A Dariah, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Suganda H, Rachman A, Sutono, 2006. Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah. Dalam: U Kurnia, F Agus, A adimihardja, A Dariah, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Suhardi. 1985. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta (ID): Kanisius [US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1978. Total Kjeldahl Nitrogen. Washington DC (US): US.EPA. [US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1998. Method 1664, Revision A: n-Hexane Extractable Material (HEM; Oil and Grease) and Silica Gel Treated n-Hexane Extractable Material (SGTHEM; Non-polar Material) by Extraction and Gravimetry. Washington DC (US): US.EPA [US EPA] United States Environmental Protection Agency. 2004 Chapter IV (Biopile) of OUST's publication: How to Evaluate Alternative Cleanup Technologies for Underground Storage Tank Sites: A Guide for Corrective Action Plan Reviewers. (EPA 510-R-04-002). Washington DC (US): US EPA. Vidali M. 2001. Bioremediation. An Overview. Pure Applied Chem. 73(7):163172. Zam SI. 2010. Optimasi Konsentrasi Inokulum, Rasio C:N:P dan pH pada Proses Bioremediasi Limbah Pengilangan Minyak Bumi Menggunakan Kultur Campuran. El-Hayah. 1(2):23-34. Zam SI. 2010. Optimasi Konsentrasi Inokulum Bakteri Hidrokarbonoklastik pada Bioremediasi Limbah Pengilangan Minyak Bumi di Sungai Pakning. Journal of Environmental Science. 2(4): 117-127
38
LAMPIRAN Lampiran 1 Nilai suhu (oC) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510 S. ambien ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510 S. ambien ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510 S. ambien ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510 S. ambien ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510 S. ambien
1 30,00 30,33 29,67 30,33 30,00
2 31,33 31,00 31,00 31,00 28,00
3 31,67 32,00 31,67 33,00 28,00
4 32,33 32,50 33,67 34,60 28,00
Hari ke7 8 38,33 35,00 39,67 39,00 39,67 39,33 42,33 40,33 28,00 27,00
9 34,67 34,67 35,33 36,00 28,00
10 31,67 31,57 31,33 31,50 28,00
11 28,33 28,67 28,17 29,00 28,00
14 29,00 27,83 29,00 29,83 28,00
15 30,00 28,00 31,00 30,33 28,00
16 30,33 29,67 30,33 31,00 28,00
17 29,83 29,67 30,67 29,83 28,00
Hari ke18 31,00 31,33 32,33 31,00 28,00
21 29,33 30,00 30,00 30,33 28,00
22 30,00 30,00 29,33 30,33 27,00
23 29,33 29,33 29,67 30,00 27,00
24 29,33 28,67 28,33 28,67 27,00
35 28,17 28,50 28,83 28,83 28,00
36 28,83 29,17 28,67 29,33 28,00
37 28,83 28,67 29,83 29,67 28,00
45 28,17 28,17 28,17 28,33 27,00
46 28,17 28,00 28,00 28,17 28,00
49 28,33 27,83 28,17 28,17 27,00
50 28,33 28,17 28,33 28,00 28,00
58 28,17 28,33 28,33 28,67 28,00
59 28,17 28,67 28,00 28,67 28,00
60 28,33 28,33 28,17 28,33 28,00
25 28,50 28,83 28,67 29,00 28,00
28 28,50 28,67 28,83 29,00 28,00
29 28,67 28,67 28,50 28,67 28,00
30 28,50 28,50 28,67 28,50 28,00
Hari ke31 32 28,50 28,67 28,33 28,33 28,50 28,83 28,67 28,67 28,00 28,00
38 29,00 29,67 29,33 29,83 29,00
39 29,17 28,50 28,83 29,50 28,00
42 28,67 28,00 28,50 28,50 28,00
43 28,17 28,00 28,33 28,17 28,00
Hari ke44 28,33 28,00 28,00 28,17 28,00
51 29,00 28,33 28,33 28,17 28,00
52 28,83 28,67 28,50 28,83 28,00
53 28,50 28,50 28,17 28,67 28,00
Hari ke56 57 28,50 28,33 28,67 28,17 28,67 28,00 29,00 28,50 28,00 28,00
39 Lampiran 2 Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Hari ke-
1 7,13 7,13 7,20 7,17
7 7,10 7,03 7,13 7,07
14 6,93 7,00 7,10 7,03
21 7,10 7,03 7,03 7,10
28 7,10 7,10 7,03 7,10
35 7,17 7,07 7,13 7,17
42 7,10 7,13 7,23 7,20
49 7,33 7,27 7,50 7,27
56 7,23 7,30 7,20 7,30
60 7,10 7,13 7,23 7,20
Lampiran 3 Nilai kadar air (% w/w) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Hari ke-
1 23,3 24,1 22,3 22,3
7 20,0 20,2 19,3 19,7
14 18,4 18,6 18,8 17,8
21 19,0 19,2 19,6 18,9
28 19,4 19,9 19,5 18,9
35 19,1 19,4 18,1 19,1
42 18,8 19,1 18,9 17,3
49 19,9 19,9 19,7 19,8
56 18,9 18,6 18,2 17,8
60 19,4 19,6 19,5 18,9
Lampiran 4 Konsentrasi gas CO2 (mg/m3) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Hari ke-
1 7,8 7,2 6,0 6,4
7 92,0 64,7 38,2 60,3
14 21 28 35 109,0 89,0 89,7 36,7 103,7 94,3 90,0 39,0 135,3 98,0 101,0 45,3 133,0 111,0 108,5 47,5
42 21,0 21,3 28,0 28,5
49 29,0 36,0 34,7 38,0
56 26,7 36,7 35,3 43,0
60 23,3 29,7 34,0 36,5
Lampiran 5 Nilai TPH (%) selama proses bioremediasi dengan teknik biopile kapasitas 30 kg ID Sampel TPK900010 TPK751510 TPK603010 TPK454510
Hari ke-
1 4,66 4,78 4,86 4,68
14 4,16 4,33 3,89 3,79
28 3,78 3,51 2,24 2,57
42 3,03 2,65 2,04 1,99
56 2,02 1,80 1,50 1,35
74 1,40 1,27 0,97 0,87
40
Kelimpahan
Lampiran 6 Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir bioremediasi dengan teknik biopile skala laboratorium kapasitas 30 kg
Menit
Kelimpahan
Data kromatogram pada awal bioremediasi (hari ke-0)
Menit
Data kromatogram perlakuan penambahan pasir 45% pada hari ke-60
41
Kelimpahan
Lampiran 6 Lanjutan
Menit
Kelimpahan
Data kromatogram perlakuan penambahan pasir 30% pada hari ke-60
Menit
Data kromatogram perlakuan penambahan pasir 15% pada hari ke-60
42
Kelimpahan
Lampiran 6. Lanjutan
Menit
Data kromatogram perlakuan tanpa penambahan pasir pada hari ke-60 Lampiran 7 Prosedur kerja beberapa parameter Kadar Air (ASTM. D2216) Cawan di oven selama 1 jam, lalu dikeringkan dalam desikator selama 30 menit. Sebanyak 10 g sampel dimasukan ke dalam cawan lalu ditimbang sebagai (w basah + cawan), kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu hingga 105oC selama 24 jam, setelah sampel kering dengan berat yang tetap, kemudian ditimbang. Kadar air di hitung berdasarkan persamaan berikut: % kadar Air =
(W basah + cawan) − (W kering + cawan) W kering − cawan
Penetapan pH (ASTM D 4972 – 01)
x 100
Ditimbang 10 g contoh tanah sebanyak dua kali, masing-masing dimasukkan ke dalam botol kocok, ditambah 50 mL air bebas ion ke botol yang satu (pH H2O) dan 50 mL KCl 1 M ke dalam botol lainnya (pH KCl). Dikocok dengan menggunakan mesin kocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0. Nilai pH dilaporkan dalam 1 desimal.
43 Penetapan C-Organik (ASTM D 2974-87 ). Metode A (Pengukuran kadar air) Kadar air ditentukan dengan mengeringkan sampel tanah di oven pada suhu o 105 C selama 24 jam, setelah sampel kering dengan berat yang tetap, kemudian di timbang. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut : % kadar Air =
�W basah + cawan) – (W kering + cawan� W kering – cawan
x 100
Metode B (Pengukuran kadar abu) Kadar abu ditentukan dengan memasukan sampel kering suhu 105oC (W.oven) ke dalam muffle furnace atau tanur pada suhu 440oC selama beberapa lama hingga sampel berubah bentuk menjadi abu, selanjutnya sampel diletakan ke dalam desikator selama 30 menit atau hingga dingin. Sampel ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dan dicatat beratnya sebagai (W. tanur) �W oven – W tanur�
% Kadar abu = W oven – W cawan 𝑥 100 % C-organik =
100−C−organik f.koreksi
faktor koreksi = 1,724
Teknik Pengambilan Contoh Tanah Tidak Terganggu (Suganda et al. 2006) Lahan yang akan diambil contoh tanah dilakukan land clearing dan permukaan tanahnya diratakan dengan menggunakan cangkul. Dengan menggunakan sekop, tanah disekitar calon tabung (ring sampler) diletakkan dengan kedalaman 5-10 cm, selanjutnya letakan ring sampler di atas permukaan tanah yang telah digali secara tegak lurus dengan permukaan tanah, kemudian dengan menggunakan balok kecil yang diletakkan di atas permukaan tabung, tabung ditekan sampai tiga per empat bagian masuk ke dalam tanah, selanjutnya letakkan tabung lain di atas tabung pertama, dan tekan sampai 1 cm masuk ke dalam tanah. lalu pisahkan tabung bagian atas dari tabung bagian bawah. Dengan menggunakan sekop, tabung digali. Dalam menggali, ujung sekop harus lebih dalam dari ujung tabung agar tanah di bawah tabung ikut terangkat. Kelebihan tanah pada bagian atas terlebih dahulu diiris dengan hati-hati agar permukaan tanah sama dengan permukaan tabung, kemudian tutuplah tabung menggunakan tutup plastik yang telah tersedia. Setelah itu, iris dan potong kelebihan tanah bagian bawah dengan cara yang sama dan tutuplah tabung. Cantumkan label di atas tutup tabung bagian atas contoh tanah yang berisi informasi kedalaman, tanggal, dan lokasi pengambilan contoh tanah Penetapan Bobot Jenis Partikel (Black dan Hartge 1986) Tanah kering udara yang akan diukur BJP (berat jenis partikel) terlebih dahulu dilakukan pengukuran kadar air untuk mengetahui kandungan air dalam tanah, selanjutnya dilakukan pengukuran BJP sebagai berikut: a. Labu ukur 50 mL kosong ditimbang dengan menggunakan neraca analitik sebagai X g.
44 b.
c.
d.
e.
Labu ukur yang telah ditimbang selanjutnya di isi dengan air suling sampai tanda batas dan bagian luar labu dibersihkan dengan kain lalu ditimbang sebagai A g. Air suling di dalam labu ukur dikeluarkan sebanyak 35 mL lalu tambahkan 10 g tanah kering udara kedalamnya dengan menggunakan corong. Selanjutnya tambahkan air suling sebanyak 10 mL sambil membilas tanah yang masih menempel sileher labu. Bila terbentuk gelembung udara di dalam tanah, maka untuk mengusir udara yang terjerat dalam tanah, labu didihkan perlahan-lahan beberapa menit, sesekali labu digoyang hati-hati untuk mencegah hilangnya tanah oleh buih. Selanjutnya labu didinginkan beserta isinya sampai mencapai suhu ruangan. Kemudian tambahkan air suling hingga tanda batas. Bersihkan bagian luar labu ukur dengan menggunakan kain atau tissue lalu ditimbang sebagai Z g. BJP
Y−X
= (Y−X)−(Z−A)
Penetapan Bobot Isi (Black dan Hartge 1986) Menimbang ring sampler kosong dengan menggunakan neraca analitik sebagai (Y g). Selanjutnya ring sampler tersebut digunakan untuk mengambil contoh tanah. untuk mengetahui kandungan air dalam contoh tanah, dicuplik sebanyak 10 gram untuk analisis kadar air (oven 105oC), kadar air tanah tersebut dinyatakan sebagai (Z%). Selanjutnya ring sampler beserta contoh tanah selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik dan dinyatakan sebagai (X g). Bobot Isi =
100 (X – Y)/(100 + Z) Volume tanah
Penetapan Distribusi Ukuran Pori (Danielson dan Sutherland 1986) Dengan menggunakan data dari pengukuran bobot isi dan bobot jenis partikel, nilai porositas total dan persen pori drainase sangat cepat dapat ditentukan. Adapun untuk menentukan persen pori drainase cepat dan persen pori drainase lambat harus dilakukan pengukuran kadar air pada pF1, pF2 dan pF2,54. Porositas total = 1 – bobot isi/BJP % Pori drainase sangat cepat = Porositas total – kadar air pada pF1 % Pori drainase cepat = kadar air pada pF1 – kadar air pada pF2 % Pori drainase lambat = kadar air pada pF2 – kadar air pada pF2,54 Tekstur Tanah (Gee dan Bauder 1986) 1. Timbang 20 g tanah (butiran < 2 mm) dengan timbangan analitik kemudian masukkan ke dalam gelas piala bervolume 2 L. 2. Berikan 100 mL H2O2 10% (untuk menghacurkan bahan organik). Simpan di atas bak berisi air untuk mencegah terjadinya reaksi yang hebat. Kocok dengan hati-hati, biarkan selama satu malam.
45 3. Panaskan di atas pemanas sambil ditambahkan 30% H2O2 ± 15 mL sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk sampai semua bahan organik habis (tandanya: apabila tidak ada buih lagi). Berikan 0,5 mL HCl 6 N untuk tiap 1% CaCO3 dan 100 mL HCl 0,2 N (untuk melarutkan CaCO3. Tambahkan air sampai kira-kira separuh gelas piala, kemudian didihkan selama kurang lebih 20 menit. 4. Tambahkan lagi air sampai tiga per empat dari gelas piala, lalu aduk.Biarkan selama satu malam. 5. Setelah semua butiran tanah mengendap, keluarkan air dari gelas piala dengan hati-hati sampai air tersisa sekitar 3 cm di atas permukaan endapan tanah. 6. Ulangi prosedur No.4 dan 5 - 4 kali. 7. Pisahkan fraksi pasir dari debu dan klei dengan menggunakan ayakan 50 µ. Fraksi debu dan klei ditampung dalam gelas ukur bervolume 1 L. 8. Pindahkan fraksi pasir dari ayakan tersebut ke dalam cawan porselin, kemudian keringkan di atas pemanas. Setelah kering lalu ditimbang. Apabila fraksi pasir hendak dipisah-pisahkan lagi menurut ukuran ukuran diameter fraksi 2 mm - 500 µm, 500-200 µm, 200-100 µm dan 100-50 µm maka harus dilakukan pengayakan lagi dengan ayakan 500 µm, 200 µm dan 100 µm. Pengayakan dilakukan dengan alat listrik. 9. Ke dalam gelas ukuran 1000 mL yang berisi fraksi debu dan klei (lihat pekerjan No.7) masukkan 50 mL Na-hexametafosfat sebagai peptisator. Tambahkan air sampai tanda tera. Tutup gelas ini dengan sumbat karet, lalu kocok dengan jalan menjungkir balikkan gelas tersebut. 10. Dirikan segera gelas tersebut dalam bak air (suhu 25oC), kemudian buka sumbatnya. 11. Lakukan pemipetan dari gelas ukur tersebut menurut waktu dan kedalaman seperti tercantum dalam Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10 Volume pipet, waktu dan dalamnya pemipetan Ukuran Volume Kedalaman fraksi (µm) pipet (mL) pemipetan (cm) Jam 0 - 50 50 0 0 0 – 20 10 10 0 1 – 10 10 10 0 0-2 10 10 6
waktu Menit 0 4 16 47
Detik 0 6 18 0
12. Setiap hasil pemipetan dituangkan ke dalam cawan porselin untuk dikeringkan pada suhu 105oC sampai beratnya tetap, lalu ditimbang. Pengukuran N-Total (US EPA Method 351.3) Ditimbang 0,5 g contoh tanah, dimasukan ke dalam tabung digest. Ditambahkan 1 g campuran selen dan 3 mL asam sulfat pekat, didestruksi hingga suhu 350oC (3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 mL. Dikocok sampai homogen, dibiarkan semalam agar partikel mengendap. Seluruh ekstrak kemudian dipindahkan ke dalam labu didih
46 (dengan menggunakan air bebas ion dan labu semprot). Ditambahkan sedikit serbuk batu didih dan aquades hingga setengah volume labu. Disiapkan penampung untuk NH3 yang dibebaskan yaitu Erlenmeyer yang berisi 10 mL asam borat 1% ditambah 3 tetes indikator Conway (berwarna merah) dan dihubungkan dengan alat destilasi. Dengan gelas ukur, ditambahkan NaOH 40% sebanyak 10 mL ke dalam labu didih yang berisi contoh dan secepatnya ditutup. Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50–75 mL (berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan H2SO4 0,05 N hingga warna merah muda. Dicatat volume titar contoh (Vc) dan blanko (Vb). Perhitungan : Kadar nitrogen (%)
= (Vc - Vb) x N x bst N x 100 mg contoh-1 x fk = (Vc - Vb) x N x 14 x 100 500-1 x fk = (Vc - Vb) x N x 2,8 x fk
Keterangan : Vc, b = mL titar contoh dan blanko N = normalitas larutan baku H2SO4 14 = bobot setara nitrogen 100 = konversi ke % fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air) Penetapan P-tersedia (Olsen et al. 1954) Timbang 1 g contoh tanah <2 mm, dimasukkan ke dalam botol kocok, ditambah 20 mL pengekstrak Olsen, kemudian dikocok selama 30 menit. Saring dan bila larutan keruh dikembalikan lagi ke atas saringan semula. Ekstrak dipipet 2 mL ke dalam tabung reaksi dan selanjutnya bersama deret standar ditambahkan 10 mL pereaksi pewarna fosfat, kocok hingga homogen dan biarkan 30 menit. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Pengambilan Sampel Gas CO2 Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung diisi dengan larutan penjerapnya masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya ditentukan dengan alat flowmeter sebesar 1 L/menit dan 1 atm. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam, dan setelah itu larutan penjerap yang telah berisi gas dimasukkan ke dalam botol film, lalu tabung dibilas dengan akuades. Analisis gas CO2 (Eaton et al. 2005) Membuat larutan penjerap CO2 dengan melarutkan 6 g Na2CO3 ke dalam 5 L aquades selanjutnya 100 mL larutan penjerap tersebut di masukan ke dalam botol penjerap lalu di beri 1-2 tetes larutan phenolftalein (PP). Botol tersebut lalu dihubungkan dengan reaktor biopile. Gas CO2 yang terbentuk dari proses biodegradasi minyak oleh bakteri akan ditangkap oleh larutan penjerap tersebut sehingga warna larutan penjerap akan berubah menjadi agak bening. Sebanyak 25 mL larutan penjerap tersebut dititrasi dengan larutan HCl 0,05 N hingga larutan
47 menjadi bening. Titrasi dilakukan hingga larutan berubah warna menjadi bening. Lalu catat volume larutan HCl yang terpakai untuk titrasi. Sebanyak 25 mL larutan Na2CO3 di titrasi dengan larutan HCl 0,05 N sebagai larutan blanko. WCO2 (mg)
= (A − B)x N HCl x 44
CO2 (mg/m3) =
Keterangan:
A B V WCO2
W CO2 V
x
(t−273) 298
x 1000
= mL HCl yang terpakai (blanko) = mL HCl yang terpakai (sampel) = Volume dalam L (Laju alir x t (menit)) = mg sampel yang didapat
Analisis Gas NH3 (BSN 2005 - SNI 19-7119.1-2005) Gas NH3 ditentukan dengan metode indofenol, prinsipnya ialah mereaksikan gas NH3 dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat yang akan memproduksi senyawa kompleks biru indofenol yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada λ 635,5 nm. Deret standar dibuat dengan memasukkan 0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.8, dan 1,2 mL larutan induk standar dengan konsentrasi 2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan penjerap NH3 (H2SO4 0,1N) ditambahkan sebanyak 5 mL, natrium fenolat sebanyak 1 mL, larutan nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan pengoksidasi sebanyak 2,5 mL kemudian ditera dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada λ 635,5 nm dengan peralatan spektrofotometer UV. Nilai NH3 dihitung dengan rumus: NH3 (µg/m3) Keterangan:
=
W NH3 V
x
(t−273) 298
x 1000
V = Volume dalam liter (laju alir x t (menit)) W NH3 = μg sampel yang didapat dari kurva kalibrasi.
Total Plate Count (Cappucino dan Sherman 1987) Populasi bakteri dapat diamati dengan cara memipet 0,1 mL sampel yang sudah diencerkan (10-1-10-6) ke dalam larutan fisiologis (NaCl 0,85%) yang akan dimasukkan ke dalam media NA (Nutrient agar) dilakukan secara aseptik (menggunakan clean bench). Untuk mensterilkan clean bench disemprot dengan alkohol lalu disinari dengan lampu UV selama 15-20 menit. Kemudian ke dalam cawan petri dimasukkan agar cair (yeast extract, tripton, glukosa dan agar) sebanyak 15 mL, Steril yang telah didinginkan 47-50°C. Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 30°C dan diamati pada waktu 24 jam, 48 jam dan 96 jam. Data dapat digunakan jika jumlah koloni antara 30-300. Bila jumlah koloni lebih dari 300, maka perlu dilakukan pengenceran dan dilakukan teknik seperti di atas kembali.
48 Total petroleum hydrocarbon (US EPA Method 1664 1998 ) Ditimbang sebanyak 10 g sampel tanah sebagai (BT) lalu ditambahkan 5 g Na2SO4 (diaduk) hingga sampel membentuk granular. Timbel soxlet yang berisi sampel tanah dimasukan ke dalam labu dan ditambahkan heksana sebanyak 125 mL kemudian labu di hubungkan dengan seperangkat alat soxlet. Proses ektraksi berlangsung selama 4 jam, selanjutnya hasil ekstraksi di tuangkan ke dalam labu 100 mL yang telah diketahui bobot kosongnya (BL1) dan diuapkan dengan menggunakan evaporator. Selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven selama 30 menit. Sampel selanjunya dimasukan ke dalam desikator lalu ditimbang beratnya sebagai BK1 (diukur sebagai total oil and grease). Hasil ekstrak yang telah diuapkan dan ditimbang ditambahkan 100 mL heksan kemudian diaduk. Lalu ditambahkan silika gel sebanyak 10 g dan didiamkan selama 30 menit, selanjutnya disaring dengan kertas saring whatman 42 ke dalam labu yang telah diketahui berat kosongnya (BL2). Selanjutnya sampel diuapkan dengan evaporator lalu dikeringkan dengan oven selama 30 menit. Sampel kering selanjutnya dimasukan ke dalam desikator hingga dinggin. Selanjutnya sampel ditimbang dengan timbanagan neraca analitik sebagai BK2 (diukur sebagai TPH). % TOG = % TPH =
(BK1−BL1)x fk x 100 BT
(BK2−BL2)x fk x 100
Keterangan: BK : Berat kering BL : Berat labu BT : Berat sampel tanah Fk : Faktor koreksi
BT
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 18 Juli 1978, sebagai anak ke tiga belas dari empat belas bersaudara pasangan Bapak Senadji (alm) dan Ibu Hj. Taryani (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis bekerja di PT Soka Permai Sentosa di bagian Quality Control dari tahun 2004 – 2006 dan di bagian Planning Product Control (PPC) dari tahun 2006-2007. Pada tahun 2007 penulis bekerja di PT. Caraka Tirta Perkasa line di bagian Dokumen Ekspor dari tahun 2007-2008. Pada tahun 2008 penulis bekerja di Laboratorium Analitik Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan tahun 2009 menikah dengan Merry Juniartini dan dianugrahi sepasang anak, Muhammad Farand Aydin Senadji (2010) dan Audhy Latisha Azzahra Senadji (2012). Pada tahun 2010 penulis bekerja di Laboratorium Proses dan pada tahun 2012 penulis diangkat menjadi Kepala Laboratorium Proses di Balai Teknologi Lingkungan-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sampai tahun 2013. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Instintut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Selama mengikuti program S2, penulis telah menghasilkan karya ilmiah yang berjudul Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi dengan Teknik Biopile Kapasitas 2 ton dengan Penambahan Pasir yang diterbitkan pada Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Volume 6 Nomor 1, tahun 2016. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis.