POTENSI AMPAS SAGU DAN LIMBAH UDANG SEBAGAI SUMBER SERAT DALAM RANSUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KADAR KOLESTEROL SERTA KUALITAS KARKAS BABI
TABITA NAOMI RALAHALU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas Karkas babi” adalah karya saya sendiri dibawah arahan dan bimbingan komisi pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
Tabita Naomi Ralahalu NIM D061060021
ABSTRACT TABITA NAOMI RALAHALU. Potential of Sago Waste and Shrimp Waste as a Source of Fiber in the Ration and their Effect on Swine Cholesterol Level and Carcass Quality. SUPERVISED by KARTIARSO, AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G. WIRYAWAN, and RUDY PRIYANTO Cholesterol is required for the proper function of the body. However, if it is excessive in the body, it will cause artherosclerosis. This experiment was conducted in three stages : (1). fermentation of sago waste consisting of six treatments namely 0, 3, 4, 5, 6 and 7 weeks. (2). giving of sago waste, shrimp waste and their combination at different levels in ration of white rat, namely : R0, 10% of sago waste, 20% of sago waste, 10% of shrimp waste, 20% of shrimp waste, 10% of fermented sago waste and 20% of fermented sago waste (experiment IIa). Experiment IIb: R0, 2.5% of sago waste + 17.5% of shrimp waste, 5% of sago waste + 15% of shrimp waste, 7.5 of sago waste + 12.5 % of shrimp waste, 10% of sago waste +10% of shrimp waste, 12.5% of sago waste + 7.5% of shrimp waste, 15% of sago waste + 5% of shrimp waste, 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste, 20% of sago waste + 0% of shrimp waste and 0% of sago waste + 10% of shrimp waste; (3). giving of sago waste, and shrimp waste at different levels in swine ration consisting of six treatments namely R0, 0% of sago waste + 10% of shrimp waste, 10% of sago waste + 10% of shrimp waste, 12.5% of sago waste + 7.5% of shrimp waste, 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste, 20% of sago waste + 0% of shrimp waste. The results showed that fermentation time has a significant effect (P<0.05) on all parameters measured. In conclusion, the content of crude protein, true protein and cellulose of sago waste increased for 5 weeks of fermentation. The results of experiment IIa showed that the treatments had significant effects on live weight gain, feed efficiency and blood cholesterol (P<0.05). It can be concluded that the use of sago waste up to 20% in the ration results in high live weight gain and feed efficiency, and low blood cholesterol. The results of experiment IIb indicated that the treatments affected blood cholesterol and triglyceride significantly (P<0.05). It can be concluded that ration supply of 15% of sago waste + 5% of shrimp waste affects blood cholesterol and triglyceride. The results from experiment III showed that the treatments had effect on the rate of passage, carcass weight and carcass percentage of swine. It can be concluded that ration 0% of sago waste + 10% of shrimp waste results in faster rate of passage, rations R0 and 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste result in greater carcass weight. The higher carcass percentage result from ration of 10% of sago waste + 10% of shrimp waste. The use of sago waste as much as 20% results in the highest level of unsaturated fatty acid. Key words: sago waste, fermentation, Pleurotus ostreatus, shrimp waste, rat, swine.
RINGKASAN TABITA NAOMI RALAHALU. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi. Dibimbing oleh KARTIARSO, AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G. WIRYAWAN dan RUDY PRIYANTO. Penggunaan serat dalam ransum sebagai salah satu upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak terus dilakukan melalui pemberian serat diantaranya selulosa, kitin, kitosan dan pektin. Beberapa hasil penelitian pemberian selulosa dan kitin dapat menurunkan kadar kolesterol, seperti yang disimpulkan oleh Horigome et al. (1992) bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Selain itu, laporan hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit juga menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan khitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Dilanjutkan Zacour et al. (1992) yang menyatakan bahwa pemberian 5% kitin dalam ransum tikus yang mengandung 7% lemak sapi dan 1% kolesterol menurunkan taraf trigliserida dan kolesterol hati. Terkait dengan manfaat serat yang dapat menurunkan kolesterol, maka penggunaan ampas sagu dan limbah udang dalam ransum untuk tujuan menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas pun dapat dilakukan. Hal ini disebabkan kedua bahan tersebut masing-masing memiliki selulosa dan kitin serta terdapat dalam jumlah yang banyak. Penggunaan ampas sagu dan kombinasinya dengan limbah udang untuk menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak babi sampai saat ini belum dilakukan. Untuk memperoleh informasi mengenai hal tersebut dilakukan suatu penelitian dengan judul: potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan penelitian. Menyadari kualitas ampas sagu yang rendah, maka pada penelitian tahap pertama dilakukan fermentasi ampas sagu dengan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus untuk meningkatkan kualitas nutrisi ampas sagu. Untuk mempelajari penggunaan serat ampas sagu dan limbah udang terhadap kolesterol dan kualitas karkas babi dilakukan penelitian pendahuluan pada tikus yang terdiri atas dua bagian. Penelitian tahap akhir dilakukan pada ternak babi. Penelitian tahap I: “pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar nutrien ampas sagu” dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2008 Penelitian tahap II: “performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi ransum dengan level ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda” dilaksanakan pada bulan Pebruari–Agustus 2009. Penelitian tahap III: “performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi yang diberi ransum mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya”dilaksanakan pada bulan Pebruari-Sepetember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I (fermentasi ampas sagu) adalah ampas sagu (Metroxylon spp) kering, urea, FeSO 4, ZnSO 4 dan jamur Pleurotus ostreatus. Peralatan yang digunakan dalam tahap fermentasi ampas
sagu adalah autoclave, laminar air flow, plastik PP. Penelitian pada tahap II menggunakan hewan tikus putih (Rattus norvegicus) strain Spraque dowley dewasa berumur satu bulan, sebanyak 28 ekor dengan rataan berat badan awal 56 ± 4,99 g (tahap II a) dan berumur dua bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan berat badan awal 195,62 ± 6,93 g pada tahap IIb. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa garam dan premix (vitamin dan mineral). Ransum disusun iso protein dan iso energi metabolisme dimana proporsi tiap bahan makanan dalam tiap perlakuan ditentukan setelah diketahui hasil analisis tiap bahan makanan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian tahap II adalah 68 unit kandang metabolis, tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang tikus dan ransum serta separangkat peralatan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien bahan makanan, dan seperangkat peralatan untuk analisis profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging. Penelitian tahap III menggunakan ternak babi jantan kastrasi lokal keturunan VDL berumur lima bulan sebanyak 18 ekor dengan kisaran bobot badan awal 16-21 kg dengan rataan bobot badan 18 ± 1,57 kg. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa, garam dan premix. Peralatan yang digunakan dalam penelitian III adalah 18 unit kandang yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang ternak dan ransum serta seperangkat peralatan analisis profil lipida darah, penggaris, plastik transparan dan planimeter. Rancangan yang digunakan dalam penelitian tahap I, II dan III adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan pada tahap I sebanyak enam perlakuan waktu fermentasi, yakni 0, 3, 4, 5, 6, dan 7 minggu masing-masing tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa dan lignin. Uji lanjut yang digunakan pada tahap I dan II adalah uji Duncan. Perlakuan yang diuji pada penelitian tahap IIa, sebanyak tujuh perlakuan masing-masing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA), ampas sagu fermentasi (ASAF), dan limbah udang (LU) masing-masing 0, 10 dan 20%. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging. Penelitian pada tahap IIb menggunakan 10 perlakuan masingmasing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA) dan limbah udang (LU) yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (2,5% ASA + 17,5% LU); R2 (5% ASA + 15% LU); R3 (7,5% ASA+ 12,5% LU); R4 (10% ASA+ 10% LU); R5 (12,5% ASA + 7,5% LU); R6 (15% ASA + 5% LU); R7 (17,5% ASA + 2,5% LU); R8 (20% ASA + 0% LU) dan R9 (0% ASA + LU 10%). Perlakuan yang diuji pada tahap III sebanyak enam perlakuan masing-masing tiga ulangan, yakni R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (0% ASA + 10% LU); R2 (10% ASA + 10% LU); R3 (12,5% ASA + 7,5% LU); R4 (17,5% ASA + 2,5% LU) dan R5 (20% ASA + 0% LU). Data dianalisis menggunakan analisis kovariat dan uji lanjut yang digunakan adalah uji T. Hasil yang diperoleh pada penelitian berturut-turut, tahap I: waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar nutrien ampas sagu;
penelitian tahap IIa: pemberian ampas sagu dan limbah udang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, kolesterol darah tikus dan efisiensi penggunaan ransum; penelitian tahap IIb: pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya tidak mempengaruhi performa tikus akan tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kolesterol dan trigliserida darah. Penelitian tahap III: taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, bobot karkas, persentase karkas dan laju digesta sedangkan peubah yang lain tidak berpengaruh nyata. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian tahap I: fermentasi ampas sagu yang diperkaya dengan mineral urea, FeSO 4 , ZnSO 4 dan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus berpengaruh sangat nyata pada semua peubah yang diamati. Persentase kadar protein kasar, protein murni dan selulosa ampas sagu pada waktu fermentasi lima minggu, berturut-turut meningkat 7,23; 4,37 dan 40,61% sebaliknya persentase kadar lignin menurun secara drastis, yakni 33,17%. Penelitian tahap IIa: pemberian ampas sagu dan limbah udang tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, akan tetapi pemberian ransum R2 (20% ampas sagu) menghasilkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum yang tertinggi, masing-masing 3,55 g dan 0,31. Kadar kolesterol darah terendah terdapat pada 20% pemberian ampas sagu, yakni 59,75 mg/dl, sedangkan profil lipida darah lainnya dan kolesterol daging tidak dipengaruhi oleh pemberian ampas sagu dan limbah udang. Penelitian tahap IIb: perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum; kadar kolesterol darah tikus yang terendah masing-masing pada perlakuan R6 = 45,95 mg/dl, R3 = 46,26 mg/dl dan R4 = 48,74 mg/dl; pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan dan menurunkan kadar HDL dan LDL darah tikus; kadar trigliserida darah tikus menurun pada ransum R6 dan R5 masing-masing 43,81 mg/dl dan 54,57 mg/dl dan pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan kadar kolesterol daging. Penelitian tahap III: konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging babi tidak dipengaruhi oleh perlakuan; ransum R9 menghasilkan laju digesta yang lebih cepat, yakni 17,04 jam; bobot karkas yang tertinggi diperoleh pada ransum R0 dan R7, masing-masing 31,80 dan 30,19 kg; persentase karkas tertinggi pada ransum R4, yakni 76,52%; Ransum R1 lebih ekonomis dengan harga Rp. 2776,3 dan harga ransum untuk menaikkan tiap kilogram bobot badan Rp. 12656,60. Kesimpulan umum yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: waktu optimum fermentasi ampas sagu adalah 5 minggu dengan kadar protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin berturut-turut 7,23%, 4,37%, 40,61% dan 2,71%; ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat berpotensi menurunkan kolesterol darah dan memperbaiki kualitas karkas babi serta persentase pemberian ampas sagu dan limbah udang yang baik dalam ransum sebesar 17,5 dan 2,5%.
Kata kunci: ampas sagu, fermentasi, Pleurotus ostreatus, tikus, limbah udang, babi
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI AMPAS SAGU DAN LIMBAH UDANG SEBAGAI SUMBER SERAT DALAM RANSUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KADAR KOLESTEROL SERTA KUALITAS KARKAS BABI
TABITA NAOMI RALAHALU
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Pollung H Siagian, MS 2. Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS 2. Dr. Ir. Pius P Ketaren, MS
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
: Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas Karkas Babi
Nama
: Tabita Naomi Ralahalu
NIM
: D061060021
Program Studi
: Ilmu Ternak
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc Ketua
Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan Anggota
Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc,Agr
Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc,Agr
Tanggal Ujian: 15 Desember 2011
Tanggal Lulus: 24 Januari 2012
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala bimbingan dan karuniaNYA sehingga penelitian dan karya ilmiah dengan judul “Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi” berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai September 2010 mempunyai arti penting mengingat: (1) ampas sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagai komponen dalam ransum, (2) ampas sagu dan limbah udang berpotensi sebagai sumber serat dan (3) kadar kolesterol daging babi yang masih tinggi sehingga diperlukan upaya melalui formulasi ransum untuk menurunkan kolesterol dan sekaligus memperbaiki kualitas karkas babi. Bagian dari disertasi ini telah ditelaah dan disetujui masing-masing tanggal 27 Juni dan 13 Juli 2011 untuk diterbitkan pada jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan (JITP) Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dengan judul Pengaruh Ampas Sagu, Limbah Udang dan Kombinasinya terhadap Kadar Kolesterol dan Pertumbuhan Tikus Putih. Artikel lain yang berjudul Kolesterol Plasma dan Pertumbuhan Tikus Putih yang Diberi Ampas Sagu dan Limbah Udang dengan Level yang Berbeda pada jurnal Forum Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing masing-masing Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M,Sc, Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan dan Dr. Ir. Rudy Priyanto yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam membimbing penulis sejak munculnya ide penelitian, penulisan proposal, kegiatan penelitian, penulisan artikel sampai selesainya penulisan disertasi. Kiranya para pembimbing diberikan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk terus berkarya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Pimpinan Jurusan, Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Rektor Institut Pertanian Bogor, Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan dan wakil Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi, Ketua Program Studi Ilmu Ternak IPB beserta staf dan pegawainya dan Program Hibah Doktor Dikti, Program Hibah Bersaing Dikti, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, Yayasan Dana Beasiswa Maluku yang telah memberikan kepercayaan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Program S3 di sekolah Pascasarjana, Institut pertanian Bogor dan telah
memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya serta memberikan bantuan biaya pendidikan, penelitian dan penyusunan disertasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada penguji luar komisi pada ujian kualifikasi doktor dan ujian tertutup serta ujian terbuka. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc, Ir. S.E. Ajawaila, Ir. M. Taihutu, Ir. A. Kastanya, , Ir. C.Ch.E. Latupeirissa, M.App, Sc, Dr. Ir. I. Sangaji, M.Si, Dr. Ir. J. Salamena, M,Si, Dr. Ir. D. Selanno, M.Sc, dan Ir. E. Jambormias, M.Si, Dr.Ir. S. Syahrir, M.Si, Zubir, SPt, MS, Sayuti, SPt, M.Si, Dr. Ir. F. Agustin, Ir. P.R. Matitaputty, M.Si, teman-teman Persekutuan Mahasiswa Maluku yang memberikan dukungan, semangat, doa dan berbagi wawasan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ir. F. Hangewa, M.Si dan keluarga, Ir. I. Dilago, Ir. Marce Nurwan, Ir. Jefry Bobaya, Mourits Papoto, Fendy, Rius, Martonis, Felmi Gaza, pak Tony, pak Sutiwa, Endang, Rahmat, pak Sofyan, pak Taufik, ibu Willy dan ibu Neh yang telah membantu penulis pada pelaksanaan kegiatan penelitian. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar atas dukungan doa dan kasih sayang yang selalu diberikan. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Elisa Joseph Gaspersz, SU dan ananda Yogi Victor Gaspersz, ST atas segala doa, pengorbanan dan semangat yang selalu diberikan selama penulis dalam melaksanakan studi. Semoga disertasi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan bahan acuan khususnya di dalam bidang peternakan.
Bogor,
Januari 2012
Tabita Naomi Ralahalu
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kotamadya Ambon, Provinsi Maluku pada tanggal 16 Mei 1960. Penulis adalah anak ke enam dari enam bersaudara dari pasangan ayah Kho Keng Leng (almarhum) dan ibu Maria Ralahalu (almarhumah). Pada tahun 1979 penulis melanjutkan studi pada Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan Universitas Pattimura. Penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor tahun 1995 dan menyelesaikannya pada tahun 1998 dan pada tahun 2006 melanjutkan studi ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon sejak bulan Maret 1988 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Ir. Elisa Joseph Gaspersz, SU pada tahun 1983 dan dikaruniai seorang putra yang bernama Yogi Victor Gaspersz, lahir tahun 1985.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................... ...................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. Hipotesis ................................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
1 4 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Ternak Babi ............................................................................................ Pertumbuhan Ternak Babi ..................................................................... Pencernaan dan Metabolisme Lemak .................................................... Kolesterol ................................................................................................ Serat dan Pencernaannya ...................................................................... Serat pangan ............................................................................................ Ampas Sagu ............................................................................................ Kandungan Nutrien Ampas Sagu ....................................................... Usaha Meningkatkan Nilai Nutrien Ampas Sagu ............................. Limbah Udang ...................................................................................... Potensi Produksi Limbah Udang ..................................................... Kandungan Nutrien Limbah Udang ................................................. Sifat Fisiko Kimiawi Kitin .................................................................... Kitin .................................................................................................. Pemanfaatan Limbah Udang sebagai Pakan Ternak ............................. Karakteristik Karkas Babi ...................................................................... Bobot Potong dan Bobot Karkas ........................................................... Persentase karkas ................................................................................... Tebal Lemak Punggung ........................................................................ Luas Urat Daging Mata Rusuk ............................................................. Karakteristik Daging Babi .................................................................... Indikator Kualitas Daging .....................................................................
9 10 12 13 14 16 19 20 23 26 26 27 27 27 29 31 33 34 34 36 37 38
PENGARUH WAKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR NUTRIEN AMPAS SAGU Abstract ............................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan ........................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
41 41 42 45 55 56
PERFORMA, PROFIL DARAH DAN KOLESTEROL DAGING TIKUS PUTIH YANG DIBERI RANSUM DENGAN LEVEL AMPAS SAGU, AMPAS SAGU FERMENTASI DAN LIMBAH UDANG YANG BERBEDA Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Simpulan ........................................................................................... Daftar Pustaka ...................................................................................
59 60 61 67 86 86
PERFORMA, PROFIL DARAH DAN KUALITAS KARKAS BABI YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG AMPAS SAGU, LIMBAH UDANG DAN KOMBINASI NYA Abstract .............................................................................................. Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan ............................................................................................ Daftar Pustaka ....................................................................................
89 89 91 97 120 120
PEMBAHASAN UMUM ...........................................................................
129
SIMPULAN UMUM DAN SARAN ...........................................................
128
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
131
LAMPIRAN .. ...............................................................................................
141
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi kimia ampas sagu ...................................................................
22
2
Komposisi nutrien tepung limbah udang dan tepung ikan ......................
27
3
Kadar serat kasar pada berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dengan pressure cooker .......................................................
29
Standar ternak babi siap potong untuk ekspor hubungan tebal lemak punggung, presentase daging dan penggolongan kelas .......................
35
5
Tingkat marbling, skor dan status penerimaan .....................................
38
6
Warna daging, skor dan status penerimaan ...........................................
40
7
Kepadatan daging, skor dan status penerimaan ....................................
40
8
Kandungan nutrien ampas sagu pada waktu fermentsi yang berbeda .....
45
9
Kadar pati ampas sagu hasil dari waktu fermentasi yang berbeda ....................................................................................................
52
4
10 Ransum tikus penelitian tahap IIa .........................................................
63
11 Ransum tikus penelitian tahap IIb .........................................................
65
12 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang ..........................................................................................
67
13 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, ampa sagu fermentasi dan limbah udang ...............................................................
69
14 Kadar kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL darah serta kolesterol daging tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang ...........................................................................................
70
15 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .........................................................................................
77
16 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ..................................................................................... ....
79
17 Profil darah, kolesterol daging dan jaringan lemak tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ........................................
80
18 Susunan ransum babi penelitian .............................................................
93
19 Konsumsi ransum babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .................................................................................
97
20 Pertambahan bobot badan babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .......................................................................
99
21 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ........................................................................................
101
22 Efisiensi penggunaan ransum babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ..........................................................
101
23 Profil lipida darah, kolesterol daging, kolesterol jaringan lemak, laju digesta, bilangan iodium lemak punggung,dan bilangan iodium daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ............
103
24 Karakteristik karkas babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ................................................................................. 25 Berat komponen empedu babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .................................................................................
112 116
26 Komposisi asam lemak daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .......................................................................
118
27 Harga tiap kilogram ransum, jumlah dan biaya ransum untuk kenaikan per kilogram bobot badan ....................................................................
119
DAFTAR GAMBAR Halaman 1a Diagram alir penelitian tahap I ...............................................................
5
1b Diagram alir penelitian tahap IIa
..........................................................
6
1c Diagram alir penelitian tahap IIb ............................................................
7
1d Diagram alir penelitian tahap III ............................................................
8
2
Kurva pertumbuhan ................................................................................
11
3
Struktur trigliserida ................................................................................
12
4
Struktur kolesterol ................................................................................
14
5
Sintesa kolesterol ................................................................................. .
15
6
Mekanisme selulosa menghambat sintesa kolesterol ............................
18
7
Skema pembuatan tepung sagu ..............................................................
21
8
Struktur kitin .........................................................................................
28
9
Mekanisme kitin terhadap kolesterol dan tebal lemak punggung babi ...
32
10 Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur tiram serta produk ampas sagu fermentasi ...........................................................................
44
11 Bobot badan babi mingguan (kg/e/2mgg) .............................................
100
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis ragam kadar protein kasar ampas sagu fermentasi .................
143
2
Analisis ragam kadar protein murni ampas sagu fermentasi ................
143
3
Analisis ragam kadar serat kasar ampas sagu fermentasi .....................
143
4
Analisis ragam kadar NDF ampas sagu fermentasi ..............................
143
5
Analisis ragam kadar ADF ampas sagu fermentasi .. ...........................
144
6
Analisis ragam kadar selulosa ampas sagu fermentasi ..........................
144
7
Analisis ragam kadar lignin ampas sagu fermentasi . ...........................
144
8
Analisis ragam kadar silika ampas sagu fermentasi .. ...........................
144
9
Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih ........... ...........................
145
10 Analisis ragam pertambahan bobot badan tikus putih ...........................
145
11 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih ......................
145
12 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih ...... ....................................
145
13 Analisis ragam HDL darah tikus putih ............ ....................................
146
14 Analisis ragam LDL darah tikus putih ............. ....................................
146
15 Analisis ragam trigliserida darah tikus putih .. ....................................
146
16 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih . ....................................
146
17 Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih .......................................
147
18 Analisis ragam pertambahan bobot badan ...... ....................................
147
19 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih .....................
147
20 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih ..... ....................................
147
21 Analisis ragam HDL darah tikus putih ............ ....................................
148
22 Analisis ragam LDL darah tikus putih ............. ....................................
148
23 Analisis ragam trigliserida darah tikus putih ... ....................................
148
24 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih ... ....................................
148
25 Analisis ragam kolesterol jaringan lemak tikus putih ..........................
149
26 Analisis peragam (Ancova) rataan konsumsi ransum babi ...................
149
27 Analisis peragam (Ancova) pertambahan bobot badan babi .................
149
28 Analisis peragam (Ancova) rataan efisiensi penggunaan ransum babi ...................................................... ....................................
149
29 Analisis peragam (Ancova) kolesterol darah babi ................................
150
30 Analisis peragam (Ancova) HDL darah babi ... ....................................
150
31 Analisis peragam (Ancova) LDL darah babi ... ....................................
150
32 Analisis peragam (Ancova) trigliserida darah babi ...............................
150
33 Analisis peragam (Ancova) kolesterol daging babi ...............................
151
34 Analisis peragam (Ancova) kolesterol jaringan lemak babi .................
151
35 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium daging babi ....................
151
36 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium lemak punggung babi .....
151
37 Analisis peragam (Ancova) laju digesta .......... ....................................
152
38 Analisis peragam (Ancova) bobot karkas babi . ....................................
152
39 Analisis peragam (Ancova) persentase karkas babi .............................
152
40 Analisis peragam (Ancova) tebal lemak punggung babi ......................
152
41 Analisis peragam (Ancova) luas udamaru babi ....................................
153
42 Analisis peragam (Ancova) berat empedu babi .....................................
153
43 Analisis peragam (Ancova) berat isi empedu babi ................................
153
44 Analisis peragam (Ancova) berat kantung empedu ..............................
153
45 Bobot badan babi (kg/ekor/2 mgg) yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya .................................. ....................................
154
PENDAHULUAN Latar Belakang Ampas sagu adalah limbah yang diperoleh dari proses pengolahan batang sagu menjadi tepung sagu, banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon spp). Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, campuran briket arang, campuran papan partikel, media jamur, dan media pembuatan kompos. Kebiasaan masyarakat peternak dalam memanfaatkan ampas sagu sebagai pakan ternak telah dilakukan sejak dahulu. Hal ini dikarenakan sebagai limbah, ampas sagu masih mengandung zat makanan. Namun, pemanfaatannya banyak dijumpai hanya pada peternakan yang berdekatan dengan tempat pengolahan sagu atau dengan membiarkan ternak memperolehnya secara langsung di tempat penumpukan ampas sagu. Kondisi ini menggambarkan pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan alternatif sumber energi oleh peternak sampai saat ini belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan jarak lokasi pengolahan tepung sagu dan peternakan babi umumnya berjauhan. Selain itu ketersediaan bahan pakan sumber energi konvensional seperti jagung, dedak padi dan bahan pakan lainnya sampai saat ini belum menjadi kendala. Keadaan ini menyebabkan peternak hanya bergantung pada bahan-bahan tersebut, meskipun cenderung mempunyai harga yang fluktuatif dan ketersediaannya yang terkadang tidak menentu di pasaran . Perbandingan ampas sagu yang dihasilkan dalam proses pengolahan tepung sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu 1981), artinya jika produksi tepung sagu dari satu pohon sagu masak tebang seberat 220 kg dapat diperoleh 1320 kg ampas sagu (berat basah) atau 396 kg ampas sagu kering. Menurut Louhenapessy (1988) dalam satu hektar lahan tumbuhan sagu diperoleh 20 pohon sagu masak tebang. Jika masing-masing pohon mempunyai berat rata-rata 220 kg, maka akan menghasilkan 26400 kg ampas sagu basah atau 7920 kg ampas sagu kering atau 6843 kg (bahan kering). Jumlah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Untuk satu ton ampas sagu, dengan taraf pemberian ampas sagu dalam ransum 20%, dapat memenuhi kebutuhan 10 ekor babi sedang tumbuh (2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan). Pemanfataan tersebut dapat mengurangi penggunaan bahan pakan lain seperti jagung dan dedak padi. Akibat
2 lain dari pemanfaatan ampas sagu adalah mengurangi pencermaran lingkungan di sekitar daerah pemrosesan tepung sagu terutama di daerah aliran sungai (DAS). Ditinjau dari kandungan nutrisi, ampas sagu mempunyai kualitas yang sangat rendah karena rendahnya protein kasar, sebaliknya kadar serat kasarnya tinggi. Kandungan serat kasar ampas sagu bervariasi dari 11,02 sampai dengan 27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62 sampai dengan 23,92%. Selain itu ampas sagu mempunyai kandungan karbohidrat struktural terutama lignin yang tinggi yang merupakan faktor pembatas bagi ternak babi. Kondisi seperti ini menyebabkan pengggunaan
ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik
menjadi terbatas. Meskipun demikian penggunaan ampas sagu dalam ransum mempunyai kelebihan dan kekurangan. Energi yang terdapat dalam ampas sagu cukup tinggi sehingga penggunaannya dalam ransum dapat mengurangi penggunaan bahan makanan sumber energi antara lain jagung yang sampai saat ini masih kompetitif dengan kebutuhan manusia dan proporsi penggunaannya dalam ransum lebih tinggi daripada bahan pakan lain. Selain itu selulosa yang terdapat dalam ampas sagu merupakan komponen penting yang berpotensi menurunkan kadar kolesterol. Sebaliknya kekurangan dari penggunaan ampas sagu adalah menyebabkan meningkatnya penggunaan bahan makanan sumber protein antara lain tepung ikan karena rendahnya kandungan
zat makanan
tersebut. Oleh karena itu perlu diberikan sentuhan teknologi sebagai upaya pengolahan untuk meningkatkan kualitas nutrisi dari ampas sagu. Beberapa cara yang sering digunakan dalam pengolahan limbah adalah perlakuan secara fisik, kimia dan biologis yang mana masing-masing cara memiliki kekurangan dan kelebihan. Pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlakuan biologis (fermentasi) dimana perlakuan ini memberikan keuntungan, yakni mendegradasi lignoselulosa yang merupakan komponen serat utama yang dapat menurunkan nilai cerna (Sundstol dan Owen 1984) dan meningkatkan kadar protein pakan dengan protein mikroorganisme, asam amino dan beberapa vitamin, misalnya riboflavin, vitamin B 12 , dan provitamin A (Santoso, 1987). Beberapa penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan sumber energi dalam ransum ternak ayam, babi dan ruminansia telah dilakukan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, ampas sagu dapat digunakan dalam ransum
3 ayam pedaging sampai 12,5%; ayam kampung 25% (Kompiang et al. 1995) dan ternak babi 22,5% (Ralahalu 1998). Kenyataannya sampai saat ini orientasi hasilhasil penelitian pemanfaatan ampas sagu baik yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi hanya terbatas untuk pertumbuhan dan mengetahui kondisi saluran pencernaan ternak, sedangkan penggunaan ampas sagu sebagai sumber serat yang bertujuan menurunkan kolesterol belum diteliti dengan demikian dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih bermanfaat. Meninjau kembali fakta bahwa penggunaan ampas sagu sebagai pakan ternak masih memerlukan bahan pakan ternak lain sebagai sumber protein, maka limbah udang diharapkan dapat menjadi bahan alternatif penunjang sumber protein yang tepat. Hal ini didukung dengan potensi produksi udang di Indonesia yang cukup tinggi. Produksi udang pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing 338.060 ton menjadi 352.600 ton (Anonim 2011). Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60 – 70% dari berat udang menjadi limbah, yaitu bagian kepala dan kulit, sehingga diperkirakan dari data diatas akan dihasilkan limbah udang sebesar 229.190 ton/tahun. Kandungan kitin pada limbah udang dapat dimanfaatkan pada berbagai jenis industri maupun pada bidang kesehatan (Setyahadi 2006). Ditinjau dari pemanfaatannya sebagai pakan ternak, jika satu ton limbah udang diperuntukkan sebagai pakan ternak babi dengan taraf pemberiannya dalam ransum 10%, maka jumlah limbah udang tersebut dapat memenuhi kebutuhan 20 ekor ternak babi pada periode pertumbuhan ( 2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan). Dibandingkan dengan ampas sagu, limbah udang mempunyai kandungan nutrisi yang jauh lebih baik walaupun kadar serat kasar limbah udang termasuk tinggi, yakni 17,57% (Poultry Indonesia 2001) dan kadar kitin sekitar 15 – 20% (Setyahadi 2006). Penggunaan limbah udang dalam ransum mempunyai nilai tambah dalam arti sebagai kontributor nutrien sehingga penggunaan bahan makanan sumber protein yang umumnya mempunyai harga yang mahal, dapat dikurangi. Beberapa hasil penelitian menyatakan penggunaan limbah udang dalam ransum adalah sangat terbatas, hal ini disebabkan tidak adanya enzim kitinase dalam saluran pencernaan (Hawab 2006). Walaupun demikian didalam lambung,
4 dapat terjadi hidrolisis khitin bukan disebabkan oleh kerja enzim tetapi akibat kondisi cairan lambung yang sangat asam (pH=1). Kandungan kitin dalam limbah udang merupakan komponen penting dalam penurunan kolesterol. Taraf Pemberian limbah udang dalam penelitian pada hewan percobaan tikus, ayam dan babi, bervariasi, yakni untuk limbah udang yang diproses dengan HCL pemberiannya berkisar antara 5-30% pada unggas (Sudibya 1998; Septinova et al. 2009) dan limbah udang yang tidak terolah pemberiannya sampai 20% pada tikus (Widyaningrum 2004). Berdasarkan hasil penelitian dan komponen yang terdapat dalam ampas sagu dan limbah udang, maka akan dilakukan suatu kajian pemanfaatan kedua bahan tersebut baik yang diberikan secara tunggal maupun yang dikombinasikan dalam ransum terhadap kemampuan hipokolesterolemik dan kualitas karkas babi. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Meningkatkan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi.
2.
Menentukan taraf penggunaan ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang terbaik dalam ransum.
3.
Menentukan kombinasi terbaik yang mampu menghasilkan pertambahan bobot badan dan karkas babi yang baik serta menurunkan kadar kolesterol daging.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan ransum yang berkualitas terhadap pertumbuhan dan
memperbaiki kualitas karkas babi,
mengurangi kadar kolesterol daging babi dengan menggunakan sumber daya alam berupa ampas sagu hasil pengolahan tepung sagu dan limbah udang sebagai pakan sumber serat. Hipotesis Kombinasi penggunaan ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat pada tingkat pemberian tertentu dalam ransum dapat memperbaiki kualitas karkas dan mengurangi kadar kolesterol daging babi.
5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi peningkatan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreatus dan mengkaji pengaruh pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat terhadap kadar kualitas karkas dan kolesterol daging babi. Kajian ini dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 1a-1d.
Penelitian Tahap I
Judul: Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar nutrien ampas sagu
Tujuan: mengetahui waktu fermentasi yang tepat terhadap kualitas nutrien ampas sagu
Metode: RAL enam perlakuan (waktu fermentasi: 0, 3, 4, 5, 6 dan 7 minggu) dengan tiga ulangan.
Peubah yang diamati: protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika
Output: menghasilkan produk ampas sagu fermentasi yang akan diuji pada penelitian tahap IIa
Gambar 1a Diagram alir penelitiaan tahap I
6
Penelitian Tahap IIa (tikus)
Judul: Performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang
Tujuan: mengetahui taraf penggunaan ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang terhadap pertumbuhan, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus
Metode: RAL tujuh perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan: R0, R1(10% ampas sagu), R2 (20% ampas sagu), R3 (10% limbah udang), R4 (20% limbah udang), R5 (10% ampas sagu fermentasi), R6 (20% ampas sagu fermentasi)
Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging
Output: menghasilkan beberapa perlakuan yang akan diuji pada penelitian tahap IIb
Gambar 1b Diagram alir penelitian tahap IIa
7 Penelitian Tahap IIb (tikus)
Judul: performa, profil darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya yang berbeda
Tujuan: mengetahui taraf penggunaan ampas sagu dan limbah udang terhadap pertumbuhan, profil darah, kolesterol daging dan jaringan lemak tikus
Metode: RAL 10 perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan: R0, R1 (2,5 % ampas sagu + 17,5% limbah udang), R2 (5% ampas sagu + 15% limban udang), R3 (7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang), R4 (10% ampas sagu + 10% limbah udang), R5 (12,5 % + 7,5% limbah udang), R6 (15% ampas sagu + 5% limbah udang), R7 (17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang), R8 (20% ampas sagu + 0% limbah udang), R9 (0% ampas sagu + 10% limbah udang)
Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah, kolesterol daging dan kolesterol jaringan lemak
Output: menghasilkan beberapa perlakuan yang akan diuji pada penelitian tahap III.
Gambar 1c Diagram alir penelitian tahap IIb
8 Penelitian Tahap III (babi)
Judul : performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda
Tujuan: mengetahui taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya terhadap performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi
Metode: RAL enam perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan: R0, R1 (0 % ampas sagu + 10% limbah udang), R2 (10% ampas sagu + 10% limbah udang), R3 (12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang), R4 (17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang), R5 (20 % ampas sagu + 0% limbah udang).
Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum, profil lipida darah, kolesterol daging dan kolesterol jaringan lemak
Output: menghasilkan ransum yang dapat menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas babi
Gambar 1d Diagram alir penelitian tahap III
TINJAUAN PUSTAKA Ternak Babi Ternak babi merupakan ternak dengan perkembangbiakan relatif lebih cepat daripada ternak lain sehingga babi termasuk ternak penghasil daging yang berpotensi untuk dikembangkan dalam usaha pemenuhan daging. Hal ini didukung oleh sifatnya yang mempunyai pertumbuhan cepat, prolifik dan efisien dalam mengkonversi pakan menjadi daging dengan persentase karkas yang tinggi. Dengan demikian kapasitas ternak babi untuk mengubah sejumlah bahan-bahan makanan penguat menjadi daging sangat penting artinya, terutama di daerah yang mempunyai produksi bahan makanan penguat yang cukup atau berlebihan. Pada konversi ransum yang sama ternak babi lebih banyak menghasilkan pertambahan bobot badan dibanding ternak lainnya, kecuali broiler. Selain itu ternak babi dapat menggunakan bahan-bahan makanan yang relatif rusak bukan oleh penyakit atau racun dengan hasil yang sama atau hampir sama seperti pemberian dengan bijibijian yang masih utuh (Parakkasi 1990). Umumnya dikenal tiga tipe babi yaitu tipe lemak (lard type), tipe sedang (bacon type) dan tipe daging (meat type). Namun penggolongan ini sudah hampir lenyap di negara-negara yang peternakan babinya telah maju, karena bertujuan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik tanpa melihat apapun tipe babi yang dipelihara. Adapun babi yang digunakan dalam penelitian adalah babi lokal keturunan VDL (Veredeld Duits Landvarken) dan merupakan tipe daging yang tidak dapat dikelompokkan dalam satu tipe yang umumnya dikenal, sehingga dapat dikatakan tipe babi yang digunakan adalah tipe campuran. Pemberian ransum yang baik pada babi dara, maka babi tersebut dapat dikawinkan pada umur delapan bulan, beranak pada umur satu tahun dan anakanaknya dapat mencapai berat badan 100 kg pada umur enam bulan bila dipelihara dalam keadaan sehat. Parakkasi (1990) menyatakan bahwa berat karkas babi kurang lebih 73% dari berat hidup. Karkas tersebut masih berisi tulang, kepala, kulit dan kaki.
10 Pertumbuhan Ternak Babi Pertumbuhan ternak merupakan fenomena universal yang bermula dari suatu telur yang telah dibuahi dan berlanjut sampai ternak menjadi dewasa. Dalam pertumbuhan tersebut terjadi dua hal yang mendasar, yaitu peningkatan bobot badan sampai mencapai bobot badan dewasa, yang disebut pertumbuhan dan terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan kesanggupan, yang disebut perkembangan (Lawrie 2003). Pertumbuhan postnatal
dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode
pertumbuhan sebelum penyapihan dan sesudah penyapihan. Pada saat lahir hingga pubertas terjadi tahapan pertumbuhan yang cepat dan tahapan pertumbuhan yang lambat yang terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai (Soeparno 2005). Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya perubahan organ-organ dan jaringan yang berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut. Perubahan ini terjadi mengikuti tiga proses utama didalam pertumbuhan, yakni (1) proses dasar pertumbuhan seluler yang meliputi perbanyakan sel atau produksi sel-sel baru (hyperplasia) dan pembesaran sel dan akresi atau pertambahan material struktural nonseluler (nonprotoplasmik), misalnya deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm. Diferensiasi selanjutnya menghasilkan sel-sel khusus antara lain sel-sel syaraf dan epidermal berasal dari ektoderm, sel-sel penyususn saluran pencernaan atau gastrointestinal beserta kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya berasal dari endoderm, dan (3) kontrol pertumbuhan dan deferensiasi yang melibatkan banyak proses. Pada kondisi lingkungan yang ideal pola pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa, yakni mengikuti kurva pertumbuhan sigmoidal (Gambar 2, Soeparno 2005). Bentuk kurva ini mencerminkan dua fenomena yang berarti yakni pertumbuhan yang dipercepat dan diperlambat. Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti, sedangkan perletakan lemak mulai dipercepat. Kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda sejak lahir sampai dewasa berpengaruh pada komponen penting yang terdapat dalam jaringan tubuh ternak, yakni tulang, urat daging dan lemak.
11 Diantara ketiga komponen tersebut tulanglah yang pertama tumbuh dan berkembang terlebih dahulu dari otot dan yang terakhir adalah lemak (Williams
Berat badan
1982).
konsepsi
dewasa Waktu
Gambar 2 Kurva pertumbuhan (Soeparno 2005) Selama pertumbuhan, lemak menumpuk diberbagai depot yang berbeda dan pada ternak muda deposisi lemak terjadi disekitar jeroan dan ginjal kemudian dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi diantara otot (lemak intermuskular), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan terakhir diantara ikatan serabut otot (lemak intramuskular atau marbling). Setelah otot mencapai pertumbuhan yang maksimal, pertambahan berat otot terjadi karena deposisi lemak (intramuskular). Dengan demikian selama pertumbuhan dan perkembangan lemak akan ditimbun dan karkas ternak dewasa dapat mengandung 30 - 40% lemak. Keadaan ini dibuktikan pada persentase lemak karkas babi, sapi dan domba yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Diantara ketiga ternak tersebut peningkatan persentase lemak karkas babi yang paling tinggi (Soeparno 2005).
12 Pencernaan dan Metabolisme Lemak Lemak merupakan substansi yang dapat ditemukan pada jaringan tanaman dan hewan, dan terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen . Lemak didalam makanan yang memegang peranan penting adalah lemak netral atau trigliserida yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak yang terikat pada gliserol tersebut dengan ikatan ester (Gambar 3). H2C – O - COR H2C – O - COR H2C – O - COR Gambar 3 Struktur trigliserida (Tillman et al. 1998) Lemak yang dikonsumsi mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan rasa kenyang lebih lama daripada makanan dengan kandungan lemak yang kurang. Hal ini disebabkan absorpsi lemak dalam saluran pencernaan lebih lambat daripada karbohidrat dan protein. Selain itu fungsi utama lemak adalah untuk mensuplai sejumlah enersi dengan volume yang relatif tinggi. Lemak juga berfungsi untuk meningkatkan absorpsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan sebagai sumber asam-asam lemak esensial yang tidak dapat disintesa oleh tubuh melainkan harus disuplai dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Pencernaan lemak mulai terjadi didalam duodenum setelah lemak makanan terlebih dahulu diubah menjadi emulsi yang partikelnya masih besar dalam lambung. Terbentuknya emulsi ini oleh adanya pergerakan-pergerakan lambung yang mencampurnya dengan fospolipid, dan komponen chyme. Dua komponen utama yang merupakan zat pengemulsi (emulsifier) adalah asam empedu dan lesitin. Segera setelah lemak sampai di duodenum terjadi pencernaan oleh adanya empedu dan cairan lipase. Garam empedu berfungsi sebagai deterjent anion yang bersama-sama fospolipid dan kolesterol membentuk misel. Kemudian oleh gerakan-gerakan khusus yang sifatnya mengaduk empedu dan lipida yang bersifat polar (sebagai detergent) terbentuklah mikro emulsi yang terutama berisi trigliserida dengan sedikit lemak lainnya. Setelah itu oleh lipase dari pankreas
13 terjadi hidrolisa trigliserida menjadi beta-monogliserida dan asam-asam lemak bebas (Parakkasi 1990). Gliserol kemudian diserap secara pasif masuk melalui vena mesentrikum; sebagian kecil mengalami proses phosporilase oleh enzim dari sitoplasma usus kecil. Asam-asam lemak berantai pendek sampai C10 yang lebih larut dalam air cenderung
juga
diserap
kedalam
pembuluh
darah
balik
mesentrikum.
Monogliserida dan asam lemak berantai panjang dari micelle campuran masuk ke mikrovilli dan daerah apex dari sel mukosa secara difusi. Dalam sel epitel, asamasam lemak berantai panjang diubah menjadi asetil-KoA.
Penyerapan lemak
tergantung oleh beberapa faktor, yakni panjang rantai asam lemak, berat molekul dari lemak, asam lemak jenuh/tidak jenuh, monogliserida lebih mudah diserap dibanding asam lemak bebas dan faktor umur (Parakkasi 1990). Ransum yang mengandung lemak terutama asam lemak jenuh dalam proses metabolisme akan menghasilkan kolesterol. Oleh karena itu perlu diberikan pakan berserat untuk menurunkan kolesterol. Mekanisme serat menurunkan kolesterol serum
adalah menunda pengosongan lambung yang berpengaruh
terhadap masuknya chyme kedalam usus kecil, hal ini berefek terhadap penyerapan karbohidrat, dan lipid. Selain itu serat juga berfungsi mengganggu enzym-enzym pencernaan, mengganggu pembentukan misel, mengganggu kandungan isi usus dan menghambat biosintesis kolesterol. Dengan demikian pemberian serat berpengaruh bukan saja terhadap kolesterol tetapi juga terhadap penimbunan lemak tubuh (Stipanuk 2000). Kolesterol Kolesterol merupakan komponen terbesar dari senyawa yang banyak ditemukan pada turunan steroid yaitu pada
struktur organ tubuh hewan dan
manusia dengan berbagai fungsi biologis yang terkait. Komponen ini disintesis di banyak jaringan dari asetil-KoA dan secara khas adalah produk metabolisme hewan oleh karenanya terdapat didalam makanan yang berasal dari hewan seperti otak, hati, daging dan kuning telur (Murray et al. 2003). Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006) kolesterol tubuh berasal dari dua sumber yaitu kolesterol yang berasal dari sintesa tubuh yang disebut kolesterol endogenous dan yang berasal dari makanan yang disebut
14
HO Gambar 4 Struktur kolesterol (Murray et al. 2003) kolesterol eksogenous. Kolesterol yang disintesa dalam tubuh terutama oleh selsel hati, usus halus dan kelenjar adrenal. Kolesterol dalam tubuh digunakan oleh kelenjar adrenal untuk sintesis hormon adrenokortikal, ovarium untuk sintesis progesteron dan estrogen serta oleh testis untuk sintesis testosterone, garam-garam empedu, dan vitamin D (Guyton dan Hall 1997). Zat-zat tersebut ditranspor diantara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama chylomicron dan lipoprotein dengan densitas rendah (low density lipoprotein). Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi lima tahap yakni; 1). Mevalonat yang merupakan senyawa enam-karbon disintesis dari asetil-KoA, 2). Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat dengan menghilangkan CO2, 3). Enam isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk intermediat skualin, 4). Skualin mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk, yaitu lanosterol, dan 5). Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap lebih lanjut, termasuk menghilangnya tiga gugus metal (Murray et al. 2003). Secara umum sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 5. Serat dan Pencernaannya Pencernaan babi mengikuti pola pencernaan ternak nonruminansia, yakni tidak mempunyai tempat khusus untuk berlangsungnya proses mikroorganisme/fermentasi yang intensif seperti pada ternak ruminansia karena memiliki lambung sederhana. Kalaupun ada hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit dalam sekum dimana proses pencernaan telah berlangsung. Kondisi seperti ini menyebabkan babi mempunyai toleransi terhadap serat kasar yang rendah dibandingkan dengan ternak ruminansia, sehingga jika kadar serat kasar dalam ransum meningkat maka
15
Acetyl-CoA
3-hydroxy-3methylglutaryl-CoA (HMG-CoA) HMG-CoA reductase
Thiolase HMG-CoA synthase
Mevalonic acid
Acetoacetyl-CoA
ATP Mevalonate kinase Mevalonate-5-phospate Phospomevalonate kinase Mevalonate-5-pyrophospate
Isopentenyl-PP isomerase Dymethylallyl(PP)
Mevalonate-5phyphosphate decarboxylase
CO2 Isopentenyl-5-pyrophospate (PP) Farnesyl-PP synthase Geranyl PP Farnesyl-PP synthase
Geranylgeranyl-PP
Farnesyl-PP
GeranylgeranylPP synthase
Squalene Squalene monooxygenase 2.3 oxidosqualene NADP
Prenylated proteins
Heme A Dolichol Ubiquinon
Squalene epooxydase
Lanosterol
Cholesterol
Gambar 5 Sintesa Kolesterol (http://ourbiochemestry.blogspot.com/2008/08/29-cholesterol-synthesis.html)
16 kecernaan nutrien akan menurun (Parakkasi 1990). Ternak babi dapat mentolerir kadar serat kasar sampai dengan 6% dan daya cerna serat kasar tersebut oleh ternak babi berkisar antara 10 – 90%. Variasi tersebut antara lain disebabkan oleh komposisi serat kasar (Parakkasi 1990). Beberapa hasil penelitian dengan taraf kadar serat kasar yang berbeda memperlihatkan bahwa komposisi serat kasar merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap koefisien cerna dan pertambahan berat badan. Penelitian dengan kadar serat kasar yang bervariasi yaitu 8,40; 9,48; 10,7 dan 11,6% berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan babi per hari masing-masing 446, 433, 350, dan 341g/e/h. Demikian pula terhadap koefisien cerna bahan kering dimana kadar serat kasar yang tinggi, yaitu 10,7 dan 11,6% mempunyai koefisien cerna bahan kering yang lebih rendah masing-masing 13,2 dan 13,5% dibandingkan dengan serat kasar 8,40 dan 9,48% dimana penurunan koefisien cerna masing-masing sebesar 14,43 dan 14,73% (Sikka 2007). Sebelumnya Kass et al. (1980)
melaporkan bahwa pemberian serat kasar 7
sampai 10% dalam ransum menghambat pertumbuhan, walau Cunha (1970) menyatakan bahwa 3,5% sampai 13,5% kadar serat kasar dalam ransum babi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbedaan kecernaan serat kasar pada babi kemungkinan disebabkan komposisi komponen serat kasar yang terkandung dalam ransum berbeda-beda. Keys et al. (1970) dan Farrell (1973) menyatakan bahwa penggunaan serat kasar pada ransum babi yang sedang bertumbuh tergantung pada taraf dan sumber serat kasar ransum serta kematangan tanamannya. Serat Pangan Secara umum serat bahan makanan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem enzim dalam saluran gastrointestinal bagian atas pada manusia (Mc Allan 1985) sehingga oleh Linder (1985) tidak digolongkan sebagai zat makanan. Termasuk dalam kategori serat adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Lignin termasuk serat tetapi bukan karbohidrat. Dalam ilmu pangan serat dibedakan atas kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut
17 dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen nonstruktural. Serat pangan yang tidak larut (Insoluble Dietary Fiber atau IDF) diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun air dingin. Serat ini (IDF) merupakan komponen terbesar dari serat pangan total atau Total Dietary Fiber (TDF) dalam diet, sedangkan serat yang larut dalam air atau Soluble Dietary Fiber (SDF) hanya merupakan sepertiga bagian (Prosky et al. 1984; Prosky dan De Vries 1992). Serat pangan total (TDF) mengandung gulagula dan asam-asam gula sebagai bahan pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau bereaksi satu sama lain dengan komponen lain. Semua komponen TDF memberikan karakteristik fungsional meliputi kemampuan daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dengan viskositas berbeda-beda, mengabsorsi minyak, pertukaran kation, warna dan flavor. Peran utama serat dalam makanan ialah pada kemampuannya mengikat air. Dengan adanya serat akan membantu mempercepat sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan untuk diekskresi keluar. Tanpa bantuan serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus dan mengalami kesukaran untuk dapat diekskresi keluar dari usus karena gerakan-gerakan peristaltik usus besar menjadi lamban (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Menurut Supadmo (1997) serat yang larut dapat menurunkan kadar kolesterol sedangkan serat tidak larut mempunyai efek melancarkan pembuangan sisa makanan secara alami. Serat-serat yang bersifat larut dalam air seperti pektin dan gum menurut sejumlah peneliti secara nyata menurunkan kadar kolesterol plasma (Yamada et al. 1999). Demikian halnya dengan serat yang tidak larut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nishina dan Freedland (1990), menemukan bahwa selulosa yang merupakan serat tidak larut ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap metabolisme lipid, tetapi juga dapat menurunkan kadar gliserida gliserol dan kadar kolesterol plasma. Horigome et al. (1992) menyimpulkan bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan kitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap
18 akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Demikian halnya dengan kolesterol hati total masing-masing 41 dan 30 mg lebih rendah daripada kontrol (72 mg). Dari hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa selulose dan kitosan cukup menstabilkan serum kolesterol. Hal ini terlihat, konsumsi selulosa dan kitosan memberikan kontribusi nyata terhadap SELULOSA
Selulosa
Kolon
Lobus kanan hati
Hati
Usus halus
Asam asetat, propionat, butirat
Selulosa difermentasi oleh mikroorganisme
Lobus kiri hati
Kolon
Vena porta Asam propionat diangkut ke hati
Kerja enzim HMG-CoA reduktase biosintesa kolesterol dihambat
Kolesterol, LDL darah rendah, HDL darah meningkat
Gambar 6 Mekanisme selulosa menghambat sintesa kolesterol
19 efek kekenyangan (Burton-Freeman 2000). Peran serat dalam menurunkan kolesterol dilaporkan juga oleh William (1985) bahwa serat pangan memiliki sifat mengikat bahan organik lain, misalnya asam empedu kemudian terbuang bersama feses. Dengan adanya serat pangan yang mengikat asam empedu maka jumlah asam empedu bebas akan berkurang sehingga perlu dibentuk asam empedu baru. Asam empedu baru ini dibentuk dari kolesterol yang terdapat dalam darah. Dengan demikian konsentrasi kolesterol dalam darah akan menurun. Selain itu mekanisme lain dalam menurunkan kolesterol darah oleh perlakuan serat pangan dilaporkan oleh Nishimura et al. (1993) yaitu melalui penghambatan sintesis kolesterol hepatik oleh metabolit fermentasi mikroflora usus. Mekanisme selulosa menghambat sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 6. Ampas Sagu Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembang- biak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010). Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni: sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006). Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005). Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan
20 satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin). Tahapan proses tersebut dapat dilihat pada skema pembuatan tepung sagu dalam Gambar 7. Kandungan Nutrien Ampas Sagu Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah dan tidak banyak dipengaruhi oleh spesies, habitat atau pengolahan agronomi. Variasi nutrien ampas sagu dapat disebabkan oleh sistem pengolahannya. Kandungan nutrisi ampas sagu dari dua cara pengolahan ini belum diketahui secara jelas, namun berdasarkan cara pengolahan yang berbeda dapat dikatakan bahwa ampas sagu yang diperoleh melalui pengolahan tradisional kemungkinan mempunyai pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara mekanik. Kandungan nutrien terutama protein kasar (Tabel 1) yang rendah dari ampas sagu ini merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam ransum karena umumnya selain rendah protein, lemak, vitamin dan mineral juga mengandung serat kasar dan komponen dinding sel yang tinggi. Kadar selulosa ampas sagu Metroxylon silvester adalah 21,62% (Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB 2008). Berdasarkan berbagai penelitian pada ternak monogastrik penggunaan ampas sagu hanya terbatas dalam jumlah kecil. Penggunaan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik seperti unggas dan babi sangat bervariasi tergantung fase hidup dari ternak tersebut. Taraf pemberian ampas sagu yang tinggi dalam ransum secara langsung menurunkan penggunaan bahan makanan sumber energi, yakni jagung dan dedak padi dalam ransum disebabkan tingginya energi yang dimiliki ampas
21 sagu. Disisi lain penggunaan ampas sagu dalam proporsi yang tinggi dalam ransum berdampak menaikkan penggunaan bahan sumber protein. Penggunaan
Penebangan
Persiapan bahan mentah
Pengupasan kulit
Pemotongan batang sagu
Penghancuran empulur menggunakan nani
Penghancuran empulur menggunakan mesin
Ekstraksi (peremasan)
Pengendapan pati ampas sagu
Pengemasan tepung basah
Gambar 7 Skema pembuatan tepung sagu
22 ampas sagu tanpa difermentasi masing-masing 7,5; 15 dan 22,5% dalam ransum babi lepas sapih mengakibatkan penggunaan jagung menurun dari 53% menjadi 40% dan dedak padi dari 7% menjadi 0,50%, sedangkan penggunaan tepung ikan Tabel 1 Komposisi kimia ampas sagu Metroxylon1) Metroxylon2) Komposisi kimia -------------------------------%-----------------------------Bahan kering
73,66
86,65
Protein kasar
2,30
3,36
Lemak
0,41
-
Serat kasar
18,86
25,41
Abu
18,19
7,99
Pati
-
-
NDF
49,96
87,40
ADF
36,26
42,11
Selulosa
-
29,52
Lignin
-
-
NDF = Neutral Detergent Fiber; ADF = Acid Detergent Fiber; (-) = tidak diteliti, (1989), 2) Tisnowati (1991).
1)
Nurkurnia
sebagai sumber protein hewani sebesar 10% untuk semua persentase pemberian ampas sagu (Ralahalu 1998). Hal inipun tergantung pada banyaknya keragaman jenis bahan ransum yang digunakan. Pertambahan berat badan yang diperoleh pada 7,5; 15 dan 22,5% pemberian ampas sagu berturut- turut adalah 746, 705 dan 694 g/e/h. Terlihat bahwa pertambahan berat badan babi menurun seiring dengan meningkatnya persentase pemberian ampas sagu. Penggunaan ampas sagu juga telah diteliti pada ayam dan itik dimana pertambahan berat badan yang baik pada itik alabio jantan diperoleh pada penggunaan ampas sagu fermentasi maksimum 7,5% (Biyatmoko 2002). Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa ampas sagu bukan saja dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan sumber energi tetapi juga sebagai bahan makanan yang dapat membantu menurunkan kolesterol. Kontribusi ampas sagu dalam ransum sebagai
23 sumber serat (selulosa) efeknya terhadap kolesterol hasilnya berbeda dibandingkan sumber serat lainnya terutama serat yang larut dalam air. Hasil penelitian Burton-Freeman (2000) menyatakan bahwa konsumsi selulosa memberikan kontribusi nyata terhadap efek kekenyangan, bukan disebabkan pada asam empedu karena selulosa bersifat bulky atau voluminous.
Pernyatan ini
diperkuat dengan hasil penelitian Nishina dan Freeland (1990) bahwa ransum yang mengandung pektin mempunyai aktivitas enzim 7-α- Hydroxylase yaitu suatu enzim yang berperan dalam sintesis asam empedu lebih tinggi daripada ransum yang mengandung selulosa, yakni masing-masing 72,2 dan 48,2. Hal ini berarti fungsi selulosa menurunkan
kolesterol melalui sintesis asam empedu
sangat rendah. Selain itu kontribusi selulosa juga telah diteliti dalam pangan manusia sebagai makanan tambahan terhadap kolesterol. Walaupun tidak dijelaskan persentase selulosa yang diberikan sebagai makanan tambahan. Shurpalekar et al. (1971) melaporkan bahwa selulosa yang diberikan menurunkan kolesterol serum sekitar 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dikatakan mekanisme selulosa menurunkan kolesterol adalah memberikan efek kekenyangan, nutrien yang dicerna dan diabsorpsi lebih sedikit karena pendeknya waktu transit makanan dalam saluran pencernaan dan biosintesis kolesterol dihambat. Usaha Meningkatkan Nilai Nutrien Ampas Sagu Ampas sagu merupakan salah satu diantara limbah-limbah pertanian yang rendah nilai gizinya (Tabel 1), cara pemanfaatan ampas sagu untuk ternak babi sampai saat ini berdasarkan pengamatan dilapang (di Ambon), yakni dengan cara peternak membiarkan ternaknya mengkonsumsi ampas sagu langsung ditempat penumpuk-an dilokasi pengolahan. Menyadari kandungan nutrisi ampas sagu yang rendah, maka perlu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan nutrien dari ampas sagu tersebut. Usaha untuk menaikkan nilai gizi pada umumnya dapat dilakukan melalui perlakuan fisik, kimia dan biologis atau kombinasi diantaranya. Perlakuan fisik mencakup pemotongan, penggilingan, perendaman, pengeringan atau pembuatan pelet dan perlakuan dengan penambahan larutan basa atau asam, penambahan kapur dan amonia merupakan usaha kimia, sedangkan secara
24 biologis seperti fermentasi dan perlakuan enzim. Usaha meningkatkan nilai gizi ampas sagu telah banyak dilakukan terutama melalui perlakuan fermentasi. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa ampas sagu yang difermentasi dengan Aspergillus niger meningkatkan kadar protein kasar. Ralahalu (1998) dan Biyatmoko (2002) mendapatkan kadar protein kasar ampas sagu fermentasi masing-masing 12,31 dan 13,95%. Manfaat perlakuan fermentasi ampas sagu terlihat dengan semakin rendahnya penggunaan bahan makanan sebagai sumber protein seperti tepung ikan dalam ransum. Penggunaan 7,5; 15 dan 22,5% ampas sagu fermentasi sebesar berpengaruh terhadap jumlah penggunaan tepung ikan dalam ransum, yakni dari 9,50% menjadi 8,30%. Selain itu penggunaan jagung pun menurun dari 59% menjadi 50% dan dedak padi dari 8% menjadi 0,025% (Ralahalu 1998). Pada ternak itik alabio jantan penggunaan ampas sagu fermentasi maksimum 7,5% (Biyatmoko 2002). Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka dikatakan bahwa peningkatan nutrien ampas sagu dapat dilakukan secara biologis melalui perlakuan fermentasi. Sampai sekarang pengolahan ampas sagu secara biologis masih terbatas dengan kapang Aspergillus niger, berbeda dengan limbahlimbah pertanian lain yang telah menggunakan berbagai jenis mikroorganisme untuk peningkatan nutriennya. Beberapa jenis White Rot Fungi diketahui dapat merombak lignin, selulosa dan komponen dinding sel lainnya dari spesies sel berkayu (Kirk dan Moore 1972). Proses fermentasi adalah suatu aktivitas mikroorganisme terhadap senyawa molekul organik kompleks seperti protein, karbohidrat dan lemak yang mengubah senyawa-senyawa tersebut menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, mudah larut dan kecernaannya tinggi (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Pederson (1971) selama fermentasi terjadi perubahan kandungan asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Keadaan ini membuktikan bahwa proses fermentasi dapat mengubah nutrien bahan asalnya karena selain terjadi perombakan bahan kompleks menjadi lebih sederhana, didalam proses fermentasi juga terjadi sintesis beberapa vitamin, misalnya riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A. Selain itu proses fermentasi menimbulkan aroma dan flavor yang khas juga menimbulkan perubahan penampakan, tekstur dan pH (Rachman 1989).
25 Prinsip yang digunakan dalam melakukan fermentasi adalah pengaturan kondisi pertumbuhan mikroorganisme sehingga dicapai suatu keadaan yang menghasilkan laju pertumbuhan spesifik yang optimum. Sehubungan dengan hal itu perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain substrat (media fermentasi), mikroorganisme yang digunakan dan kondisi fisik pertumbuhan. Ketiga faktor tersebut akan berpengaruh pada massa sel dan komposisi sel (Tannenbaum et al. 1978). Pleurotus ostreatus dikenal sebagai jamur tiram atau oyster mushroom dan merupakan jamur pelapuk putih (white rot fungi) genus Pleurotus, famili Tricholomataceae, ordo Agaricales, subdivisi Basidiomycota, divisi Amastigomycota. Jamur Pleurotus ostreatus dikenal sebagai jamur tiram karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Jamur ini merupakan salah satu jenis jamur yang enak dimakan dan diterima masyarakat umum (Lukitasari 2003). Sel jamur tidak mengandung khlorofil sehingga tidak dapat berfotosintesis seperti tumbuhan. Jamur memperoleh makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan dari bahan organik. Pleurotus ostreatus termasuk jenis jamur dengan pertumbuhan miselium yang cepat dan kemampuan berkoloninya tinggi. Sifat ini memudahkan miselium jamur dapat dengan cepat merambat pada permukaan dan masuk kedalam substrat (Cooke 1979). Pertumbuhan Pleurotus ostreatus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar air substrat, suhu lingkungan, kelembaban udara, pH substrat, proses pasteurisasi substrat dan kandungan nutrisi substrat. Untuk pertumbuhan miselium dan pembentukan tubuh buah jamur yang baik diperlukan kadar air lebih kurang 70%, suhu antara 25 sampai 30 oC, kelembaban udara diatas 80%, pH substrat antara 5,1 sampai 7,0. Jamur Pleurotus ostreatus menghasilkan enzim endo-1,4-βglucanase, ekso-1,4-β glucanase, 1,4-β-glucosidase, endo-1,4-β-xylanase, 1,4-βxylosidase, endo-1,4-β-mannanase dan 1,4-β-mannosidase dan enzim ligninolitik. Selain itu juga menghasikan enzim peroksidase dan laccase (Baldrian et al. (2005). Jamur pelapuk putih menghasilkan enzim oksidatif, yakni enzim selobiosa quinon oksidorektudase yang penting dalam degradasi selulosa (Erikson 1981). Kemudian oleh Komarayanti dan Nurhayati (1992) dilaporkan bahwa ada
26 penurunan kadar komponen serat kasar pada substrat serbuk gergaji kayu sengon yang diinokulasi dengan jamur Schizophylllum commune selama empat minggu, (selulosa 10,27%, lignin 12,64% dan hemiselulosa 13,25%). Selain itu penggunaan Pleurotus sp. 112 dapat meningkatkan kecernaan bahan kering tongkol jagung 7,6% yang dinkubasi setelah dua minggu (Soilman et al. 2007). Tahapan pembuatan fermentasi pakan ternak menggunakan beberapa jamur lebih sederhana dalam arti tidak dilakukan pasteurisasi selama 6 sampai 8 jam. Indrayani (1991) dan Sutrisna (1993) masing-masing dalam mengerjakan fermentasi jerami padi dan serat kelapa sawit hanya melakukan sterilisasi substrat selama 30 menit. Saano (1976) menyatakan bahwa sebelum dilakukan inokulasi mikroorganisme perlu dilakukan sterilisasi yang bertujuan untuk mematikan mikroorganisme pencemar atau yang tidak dikehendaki. Nutrien yang dibutuhkan adalah karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Mineral yang diperlukan adalah sulfur, phosphor, magnesium, besi, zink, mangan, tembaga dan molibdenum. Media atau substrat sangat berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme. Kandungan nutrisi dalam substrat tersebut diusahakan sesuai dengan kebutuhan dari jamur tersebut. Sampai sejauh ini belum ada kebutuhan nutrien yang tepat untuk pertumbuhan jamur yang baik. Komposisi substrat yang berbeda-beda sebagai penyokong nutrisi yang terdapat dalam literatur adalah berdasarkan pengalaman petani atau peneliti. Beberapa hasil penelitian dilaporkan, jamur Pleurotus ostreatus termasuk jenis jamur yang berkemampuan untuk mendegradasi komponen serat. Kemudian memperhatikan kandungan nutrisi ampas sagu, maka penggunaan ampas sagu sebagai bahan utama media fermentasi perlu ditambahkan mineral yang berperan sebagai sumber nutrisi bagi jamur Pleurotus ostreatus. Limbah Udang Potensi Produksi Limbah Udang Potensi produksi udang Indonesia cukup besar, walaupun laju peningkatannya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Produksi udang Tahun 2009 dan 2010 masing-masing 338.060 ton menjadi 352.600 ton (Anonim 2011). Dari proses pembekuan udang untuk ekspor diperoleh limbah udang berupa kepala dan bagian kulit yang persentasenya bervariasi tergantung besarnya atau ukuran
27 udang. Dari proses pembekuan udang tersebut diperoleh 60-70% dari berat udang menjadi limbah, yaitu kepala dan bagian kulit (Setyahadi 2006), sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 229.190 ton/tahun. Kandungan Nutrien Limbah Udang Limbah udang mempunyai kandungan zat makanan secara keseluruhan yang cukup baik dan dapat digunakan sebagai pakan alternatif dalam ransum. Jika dibandingkan dengan tepung ikan ada beberapa zat gizi yang dimiliki limbah udang lebih tinggi, misalnya serat kasar dan kalsium. Komposisi nutrisi tepung limbah udang dan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi nutrien tepung limbah udang dan tepung ikan Nutrien
Limbah udang
Tepung ikan %
Air
10,32
10,32
Abu
18,65
14,34
Protein
45,29
54,63
Methionin
1,26
1,30
Lisin
3,11
3,97
Sistin
0,51
0,53
Triptophan
0,39
0,43
Lemak
6,62
9,85
Serat kasar
17,59
1,99
Kitin
15-20
-
Kalsium
7,76
3,34
Posphor
1,31
Energi bruto (kkal/kg)
3577
2,18 4679
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB (2002)
Sifat Fisiko Kimiawi Kitin Kitin Kitin berasal dari bahasa Yunani, khiton yang berarti baju rantai dari besi, sehingga berfungsi sebagai jaket pelindung untuk hewan-hewan golongan invertebrata. Kitin tersebar luas dialam dan merupakan senyawa organik kedua
28 yang sangat penting dan ditemukan sebagai komponen kerang, kepiting, udang, eksoskeleton serangga, dinding sel jamur, mikrofauna dan plankton. Keberadaan kitin dialam pada umumnya tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Menurut Carroad dan Tom (1978) persentase kandungan kitin dipengaruhi oleh jenis udang. Sumber utama kitin yang dapat digunakan untuk pengembangan selanjutnya adalah kitin yang berasal dari jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara komersial seperti kepiting, udang dan lobster. Bagian dari serat limbah udang adalah 15 - 20% kitin. Kitin termasuk golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (Nasetil-2amino-2dioksi-D-glukosa). Struktur kitin (Gambar 8) serupa dengan selulosa, dimana ikatan yang terjadi antar monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah pada gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon nomor 2, pada kitin digantikan oleh gugus asetamida (NHCOCH 3 ) sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetil glukosamin (Carroad dan Tom 1978). Kitin mempunyai rumus molekul umum (C 8 H13 NO 5 )n. H
CH3 C=O CH2OH H
HO
H O
H
HO O
HN C=O
H
H
HN H
H
CH2OH
O
CH3 Gambar 8 Struktur kitin (Dutta et al. 2004) Menurut Austin et al. (1981) kitin tidak larut dalam air, larutan basa yang encer dan pekat, larutan asam yang encer dan pelarut-pelarut organik, tetapi kitin larut dalam asam-asam mineral yang pekat seperti HCL, H2 SO 4 , HNO 3 , H3 PO 4 dan HCOOH anhidrat.
29 Pemanfaatan Limbah Udang Sebagai Pakan Ternak Pemanfaatan limbah udang dalam ransum sering menjadi pertimbangan, hal ini disebabkan kadar serat kasarnya yang tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya untuk meminimalkan kadar serat kasar tersebut. Suatu pengkajian yang bertujuan untuk meminimalkan kadar serat kasar telah dilakukan pada limbah kepala udang dengan berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dalam pressure cooker. Menurut Sudibya (1998) konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dengan penekanan berdampak menurunkan kadar serat kasar tepung kepala udang sampai 9,72% pada konsentrasi HCl 6% dengan lama waktu pemasakan 45 menit. Kadar serat kasar pada berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dengan penekanan disajikan pada Tabel 3. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemberian 30% tepung kepala udang terhidrolisis dengan HCl 6% selama 45 menit dalam ransum tidak
mengganggu kinerja
produksi telur bahkan mampu memperbaiki konversi pakan dari 2,92 menjadi 2,75 dan meningkatkan ekskresi lemak ekskreta dari 3,10 menjadi 5,10%. Tabel 3 Kadar serat kasar pada berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dengan pressure cooker Konsentrasi HCl (%)
Lama waktu pemasakan dengan pressure cooker (menit) 0 15 --------------------------------------- %
30 45 -----------------------------------
0
15,91
15,19
13,19
10,95
3
14,62
12,71
12,15
10,28
6
12,82
12,06
10,89
9,72
Sumber: Sudibya (1998)
Mengacu pada hasil penelitian, dan kemudahan dalam aplikasi dilapang oleh peternak maka pemberian tepung limbah udang dalam ransum dapat dilakukan secara alamiah. Hal ini disebabkan didalam saluran gastrointestinal, yakni pada lambung terdapat asam lambung (HCl) yang disekresi oleh sel parietal yang berfungsi untuk denaturasi protein dan pengaktifan enzim pepsinogen. Sekresi HCl ini terjadi saat ada rangsangan, sel parietal bila dirangsang akan mensekresi larutan asam chlorid dengan pH yang sangat rendah. Saat HCl bercampur dengan isi lambung dan bersama dengan sekresi dari kelenjar
30 nonparietal lambung, pH berkisar antara 2,0 sampai 3,0. Sekresi lambung terjadi dalam tiga fase, yakni fase sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Fase sefalik dari sekresi lambung berlangsung sebelum makanan masuk kedalam lambung atau sewaktu makanan masih sedang dimakan. Fase ini timbul dari melihat, mencium atau mengecap makanan. Saat makanan masuk lambung masih terjadi kelanjutan pencernaan karbohidrat oleh enzim amilase saliva yang kemudian aktivasinya dihambat oleh adanya asam lambung (Guyton dan Hall 1997). Keberadaan dan fungsi HCl dalam lambung diasumsi memberi peluang untuk terjadinya hidrolisa serat kasar makanan dalam lambung sehingga menurunkan kadar serat kasar. Keberadaan HCl dalam lambung ternak nonruminansia dapat menghidrolisa hemiselulosa menjadi komponen-komponen utamanya seperti xylosa, arabinosa, glukosa dan galaktosa (Parakkasi 1990). Kandungan kitin dalam limbah udang merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya bagi ternak. Hal ini disebabkan kitin yang terdapat dalam limbah udang tidak dapat dicerna oleh ternak sehingga berdampak mengurangi pertambahan berat badan ternak. Namun beberapa penelitian menggunakan bahan sumber khitin antara lain tepung cangkang rajungan dan kepala udang pada taraf tertentu memberikan hasil yang lebih baik dari ransum kontrol (tanpa menggunakan limbah udang). Widyaningrum (2004), Mas’ud dan Parakkasi (2009) telah meneliti pemberian tepung cangkang rajungan dan limbah udang sebagai sumber kitin dalam ransum terhadap pertambahan berat badan tikus putih. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan hingga 20% tepung cangkang rajungan dan tepung kepala udang sebagai sumber kitin dalam ransum tikus memberikan pertambahan berat badan yang lebih tinggi daripada ransum kontrol, sedangkan penggunaan kedua limbah tersebut pada taraf 20% memberikan pertambahan berat badan yang lebih rendah daripada taraf 15%. Hal ini diduga ransum kontrol mempunyai kandungan nutrien yang rendah untuk peningkatan pertambahan berat badan. Sebaliknya pada ransum yang mengandung 20% tepung cangkang rajungan dan limbah udang diduga mempunyai serat kasar lebih tinggi yang berpengaruh terhadap kecernaan nutrien. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa limbah udang dapat digunakan sebagai pakan ternak dimana pada persentase tertentu memberikan pertambahan
31 berat badan yang lebih baik daripada ransum kontrol. Selain itu pemanfaatan limbah udang dalam ransum adalah dapat menurunkan kadar kolesterol darah pada ternak. Zacour et al. (1992) melaporkan bahwa pemberian 5% kitin dalam ransum tikus yang mengandung 7% lemak sapi dan 1% kolesterol menurunkan taraf trigliserida dan kolesterol hati, kolesterol serum dan feses yang hampir sama dan ekskresi trigliserida yang tinggi dalam feses. Dibandingkan kitin, pemberian kitosan dalam ransum ayam broiler lebih berdampak terhadap absorpsi lemak makanan (Razdan dan Petterson 1994). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada penurunan 26% penyerapan lemak dengan pemberian kitosan. Hal ini berarti bahwa kitin juga mempunyai kemampuan menghalangi absorpsi lemak walaupun lebih rendah daripada kitosan. Penurunan absorpsi lemak tersebut karena dalam lambung kitosan diubah menjadi semacam gel oleh asam lambung yang dapat membungkus bukan saja molekul kolesterol dalam getah lambung tetapi juga molekul lemak makanan (Poultry Indonesia 2001). Pernyataan ini sesuai dengan salah satu mekanisme serat menurunkan kolesterol serum, yakni mengganggu enzim-enzim pencernaan. Kekentalan serat yang terbentuk membuat adanya barier yang mempengaruhi proses hidrolisis enzimatik dari lipid, protein dan karbohidrat sehingga mengurangi penyerapan dari nutrien tersebut (Stipanuk 2000). Mekanisme kitin terhadap kolesterol dan tebal lemak punggung babi dapat dilihat pada Gambar 9. Karakteristik Karkas Babi Karkas babi adalah bagian dari ternak babi setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, isi rongga perut dan rongga dada, sehingga berat karkas kurang
lebih 73% dari bobot tubuh (Parakkasi 1990). Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 20/ PERMENTAN/OT.140/4/2009 mendefinisikan karkas babi sebagai bagian dari ternak babi yang diperoleh dengan cara disembelih setelah dipisahkan bulunya dan dikeluarkan jeroannya. Dengan demikian yang termasuk komposisi karkas adalah tulang, otot, lemak, dan kulit. Komponen-komponen ini dipengaruhi oleh faktor genetik, jenis kelamin, hormon, kastrasi, fisiologi, umur, berat badan dan nutrisi.
32
Lemak, kolesterol, kitin
Lambung
Lemak, kolesterol, kitin
Lobus kanan hati
Hati
Membentuk ikatan yang tidak bisa dicerna oleh enzim
Lambung
Lobus kiri hati
Kolesterol, lemak rendah Penyerapan lemak, kolesterol terhambat
Usus halus
Kolesterol, LDL, TG darah rendah, HDL darah i k t
Gambar 9 Mekanisme kitin terhadap kolesterol dan tebal lemak punggung babi Nutrisi merupakan faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama terhadap proporsi kadar lemak (Soeparno 2005). Pengaruh tersebut terlihat melalui suatu penelitian pada anak babi lepas sapih sampai mencapai berat 90 kg. Ransum yang diberikan dikelompokkan dalam empat kelompok berdasarkan kualitas nutrisi, yakni tinggi-tinggi (T-T), tinggi-rendah (T-R), rendah-tinggi (R-T), dan rendah-rendah (R-R). Hasil penelitian melaporkan
33 persentase komposisi karkas berturut-turut sesuai dengan kualitas ransum yang diberikan adalah sebagai berikut: tulang: 11,0; 11,2; 9,7; dan 12,4%; otot: 40,3; 44,9; 36,3; dan 49,1; lemak: 38,3; 33,4; 44,1; dan 27,5%; kulit, kartilago: 10,5; 10,6; 9,9; dan 11,0%. Dari semua komponen karkas, yang paling jelas penurunan persentasenya adalah komponen lemak pada kualitas ransum rendah-rendah (R-R), yakni 28,20%. Umumnya yang termasuk dalam indikator produktivitas karkas adalah bobot potong, berat karkas, persentase karkas, persentase tulang, daging dan lemak, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk. Bobot Potong dan Bobot Karkas Bobot potong babi optimum biasanya sekitar 90 kg, hal ini terutama disebabkan bobot potong yang melebihi 90 kg mempunyai penampilan lemak karkas yang berlebihan (Martin et al. 1980). Bobot potong babi bervarisi, untuk bobot potong babi hibrid adalah 90-100 kg, babi murni lokal bobot potong sekitar 85 kg dan bobot potong babi lokal tidak murni adalah sekitar 75 kg. Cineros et al. (1996) menyatakan bahwa yang menjadi faktor pembatas utama menaikkan berat potong adalah taraf lemak karkas yang tinggi dan rendahnya efisiensi penggunaan ransum. Kedua hal ini dapat ditemukan pada babi yang secara genetik lebih cepat menjadi dewasa, cenderung mempunyai lin lebih rendah dan lebih banyak lemak sehingga menghasilkan efisiensi penggunaan ransum dan lemak karkas yang rendah. Meningkatnya lemak karkas diikuti dengan meningkatnya bobot potong juga dilaporkan oleh Carr et al. (1978) pada dua bangsa babi, yaitu Yorkshires dan Hampshires. Hasil tersebut memperlihatkan bobot potong 45,4-113,6 kg, meningkatkan lemak 73,13 dan 75,70% berturut-turut untuk babi Yorkshire dan Hampshires. Bobot potong adalah faktor utama yang mempengaruhi karkas babi (Sladek et al. 2004). Karkas yang berasal dari babi yang pertumbuhannya cepat lebih berlemak daripada babi yang pertumbuhannya lambat (Corea et al. 2006). Bobot karkas yang baik untuk dipasarkan pada setiap peternakan atau negara berbeda-beda. Di Irlandia, tahun 2009 rataan bobot karkas babi yang dipotong adalah 80 kg, berat ini meningkat dari 72 kg pada tahun 2000. Semakin meningkat bobot potong semakin meningkat berat karkas dan hal ini berhubungan dengan kualitas karkas, efisiensi penggunaan ransum dan margin over feed. Suatu
34 percobaan mengenai bobot potong yang dihubungkan dengan bobot karkas dan margin over feed, melaporkan bahwa bobot hidup babi yang baik saat dipotong adalah 110 kg. Hal ini disebabkan pada berat tersebut yang paling ekonomis, margin over feed per ekor adalah 44,21 dengan bobot karkas 84,2 kg. Jika bobot potong ditingkatkan menjadi 115 kg, margin over feed per ekor menurun menjadi 28,28, walaupun bobot karkas yang diperoleh lebih tinggi, yaitu 88,3 kg (Lawlor 2010). Persentase Karkas Persentase karkas ditentukan oleh berat karkas dibagi dengan berat hidup dan dikalikan 100. Menurut Parakkasi (1990) persentase karkas babi kurang lebih 73% dari bobot potong. Faktor–faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah pakan, umur, bobot hidup, jenis kelamin, hormon dan bangsa ternak (Forrest et al. 1975). Selanjutnya Soeparno (2005) menyatakan persentase karkas terhadap berat hidup biasanya meningkat sesuai dengan peningkatan bobot hidup. Dua faktor bebas yang mempengaruhi persentase karkas adalah isi usus dan konformasi karkas. Isi usus adalah berat usus dan organ lain yang dikeluarkan dari karkas babi. Bagian yang termasuk dalam nonkarkas ini dipengaruhi oleh nutrisi Konformasi karkas tergantung pada struktur dan ukuran babi. Babi yang bertubuh pendek dan pendek gemuk cenderung mempunyai persentase karkas yang tinggi. Babi yang sangat berotot cenderung mempunyai persentase karkas yang tinggi (Lammers et al. 2007). Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter paling utama untuk menggambarkan kualitas karkas ternak babi. Tebal lemak punggung dapat diukur melalui beberapa cara, yakni: 1). Pada tiga titik, yakni pada tulang rusuk pertama, terakhir dan last lumbar, 2). pada tulang rusuk ke 10 atau antara tulang rusuk ke 10 dan 11. Semakin tebal lemak punggung ternak babi siap potong maka kualitas karkas menjadi menurun dan hal ini berhubungan dengan presentase daging lin yang juga akan menurun dengan meningkatnya tebal lemak punggung (Krider dan Carrol 1971). Tebal lemak punggung dipengaruhi oleh jenis kelamin, nutrisi dan genetik. Babi jantan kastrasi secara alami bertumbuh lebih cepat
35 daripada babi yang tidak dikastrasi. Demikian juga genetik mempunyai pengaruh terhadap tebal lemak punggung, dimana beberapa bangsa diketahui menghasilkan lemak punggung yang tipis. Pengukuran tebal lemak punggung pada tulang rusuk ke 10, yakni pada ¾ panjang irisan melintang urat daging mata rusuk (Kempster et al. 1982). Standar ternak babi siap potong untuk ekspor, keterkaitan hubungan tebal lemak punggung, presentase daging dan penggolongan kelas dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Adam et al. (1972) deposit lemak bawah kulit cenderung akan semakin bertambah dengan semakin bertambahnya umur dan menurut Whittemore (1980) dua per tiga dari seluruh lemak karkas merupakan lemak bawah kulit (subkutan). Selanjutnya dinyatakan bahwa manajemen pemberian Tabel 4 Standar ternak babi siap potong untuk ekspor hubungan tebal lemak punggung, presentase daging dan penggolongan kelas Tebal lemak punggung (cm)
Presentase daging (%)
US No. 1
< 3,6
>53
US No. 2
3,56 – 4,32
50 – 52,9
US No. 3
4,32 – 5,05
47 – 49,9
US No. 4
<5,08
<47
Kelas
Sumber: USDA dalam Krider dan Carrol (1971)
makanan akan mempengaruhi penimbunaan lemak pada periode finisher. Dengan pemberian makanan ad libitum akan meningkatkan lemak pada ternak babi dan kecepatan perlemakan sangat dipengaruhi oleh suplai energi, sedangkan pertumbuhan jaringan daging lebih tergantung pada suplai serta keseimbangan protein dan energi dan kualitas protein sendiri (Devendra dan Fuller 1979). Komposisi karkas babi dipengaruhi oleh konsumsi energi (Eusebio 1980). Berkurangnya perolehan energi akan menghasilkan karkas dengan proporsi daging yang lebih banyak. Bahan-bahan pakan yang berserat kasar tinggi dapat mengurangi lemak punggung pada bobot akhir (Pond dan Maner 1984). Hal ini dikarenakan ternak babi mempunyai keterbatasan dalam mencerna serat kasar yang berakibat menurunkan kecernaan nutrien dan akhirnya memperlambat laju penimbunan lemak. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Merkel et al. (1958) yang melaporkan bahwa ransum yang mempunyai TDN 62% pada
36 pemberian tongkol jagung dan hay alfalfa dalam ransum babi menurunkan rataan tebal lemak punggung, yakni masing-masing 1,58 dan 1,17 cm. Sebaliknya pada ransum yang berprotein rendah dan tinggi dengan TDN 76% menghasilkan lemak punggung yang lebih tebal masing-masing 1,77 dan 1,72 cm. Hal ini didukung juga dengan beberapa hasil penelitian Nishina dan Freeland (1990) yang membandingkan pengaruh pemberian selulosa dan pektin masing-masing 8% dalam ransum basal terhadap konsumsi energi, kenyataannya bahwa selulosa berdampak menurunkan konsumsi energi dibandingkan pektin. Kemudian penelitian lain tentang substitusi jagung dengan padi giling masing-masing 40, 50 dan 60%, menghasilkan tebal lemak punggung berturut-turut 2,50, 2,25 dan 1,92 cm. Hasil ini memperlihatkan bahwa tebal lemak punggung menurun seiring dengan bertambahnya persentase pemberian padi giling sebagai substitusi jagung (Sikka 2007). Berdasar hasil-hasil penelitian tersebut maka mungkin dapat diperoleh bahwa pemberian ampas sagu dalam ransum dapat mengurangi penimbunan tebal lemak punggung sehingga diharapkkan konsumsi lemak ataupun kolesterol dari daging babi semakin menurun, hal ini dikarenakan lemak pada babi juga ikut dikonsumsi. Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk (loin eye area) adalah luasan potong melintang otot longisimus dorsii yang diukur pada penampang tulang rusuk 10. Luas urat daging mata rusuk (udamaru) merupakan indikator perdagingan yang umum digunakan. Selain itu luas urat daging mata rusuk merupakan bagian yang diamati konsumen dan dihubungkan dengan selera konsumen (Krider dan Carrol 1971). Savell dan Gary (2000) menyatakan bahwa karkas dengan kualitas lin pada potongan urat daging mata rusuk 10 minimum mempunyai karakteristik yang sedikit kuat, marbling yang sedikit, dan berwarna pink ke merah gelap. Sedangkan untuk karkas yang utuh, indikasi minimum kualitas lin adalah lemak dan lin sedikit rapat, dan berwarna pink ke merah gelap. Luas penampang otot longisimus dorsii yang mengandung lemak intramuscular atau marbling berpengaruh terhadap keempukan dan juicy daging. Urat daging mata rusuk ini berhubungan dengan pertumbuhan lin babi, dimana lin bertumbuh saat pertumbuhan utama otot tubuh. Jaringan otot terutama
37 terdiri dari protein dan karena itu protein harus disuplai dalam makanan untuk pertumbuhan urat daging mata rusuk babi.
Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan urat daging mata rusuk adalah kandungan protein (keseimbangan asam amino) ransum, genetik, kesehatan selama periode starter dan grower dan berat karkas babi. Pengaruh nutrisi terhadap luas urat daging mata rusuk diperlihatkan melalui suatu penelitian substitusi jagung dengan padi giling sampai 60%. Perlakuan tersebut mengandung protein kasar yang berbeda-beda, yakni 15,9% (50% padi giling), 16,4% (40% padi giling), 17% (60% padi giling) dan 17,4% (kontrol), menghasilkan luas urat daging mata rusuk berturut-turut 40,37, 35,27, 34,50 dan 40,62 cm2 (Sikka 2007). Terlihat bahwa perlakuan yang mengandung protein kasar lebih tinggi mempunyai urat daging mata rusuk yang lebih luas. Nilai luas urat daging mata rusuk yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai rataan luas urat daging mata rusuk pada pasar babi modern, yakni 32,5 cm2. Daging tanpa lemak (lin) merupakan komponen karkas terbesar dan bernilai tinggi baik ditinjau dari segi nutrisi maupun ekonomi. Luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh bobot hidup dan berkorelasi positif dengan bobot karkas. Karakteristik Daging Babi Daging secara umum didefinisikan sebagai jaringan hewan yang sesuai untuk digunakan sebagai makanan (Aberle 2001) sedangkan Cole dan Lawrie (1974) menggambarkan daging sebagai sesuatu yang berasal dari hewan yang dapat dimakan dan diterima untuk dikonsumsi oleh manusia. Istilah dapat dimakan dan dapat diterima, mempunyai interpretasi berbeda sesuai dengan praktek umum dan kepercayaan agama, negara atau kelompok. Secara umum daging yang dimakan memiliki sifat fisik dan kimia, yang termasuk dalam sifat fisik adalah meliputi bau, cita rasa dan jus daging, lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan dan pH daging. Sifat kimia daging meliputi kandungan nutrien, yakni air, protein, lemak, energi, vitamin, mineral, asam amino dan asam lemak. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi kimia daging diklasifikasikan dalam tiga faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan dan faktor penanganan ternak. Termasuk dalam faktor genetik adalah spesies, bangsa, jenis kelamin dan individu ternak; dan yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu nutrisi dan
38 pakan ternak termasuk bahan aditif, sedangkan yang termasuk faktor penanganan ternak adalah sebelum dan sesudah pemotongan ternak. Faktor penanganan sesudah pemotongan yang dapat mempengaruhi komposisi kimia daging, antara lain penyimpanan dan preservasi termasuk pelayuan, perlakuan prosesing dengan pendinginan, pembekuan, pengeringan, pemanasan atau pemasakan, dan aditif (Soeparno 2011). Indikator Kualitas Daging Faktor utama yang menentukan kualitas daging adalah tingkat marbling, warna dan kekompakan daging (Boggs dan Merkel 1984). Marbling adalah lemak yang terdapat dalam daging dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jus dan citarasa dari daging. Hal ini disebabkan pada saat pemasakan marbling meleleh dan pembebasannya selama pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas dari daging sehingga meningkatkan sensasi jus daging. Sebaliknya daging yang hampir tidak mengandung marbling tampak kering dan mempunyai citarasa yang kurang baik daripada daging yang marblingnya cukup. Disisi lain lemak marbling yang terlalu banyak akan membatasi palatabilitas, karena cita rasa yang tidak disukai akibat mempunyai rasa yang berminyak. Selain itu menurut De Vol et al. (1988) batas ambang lemak marbling untuk keempukan daging yang optimal adalah 2,5-3%. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat lima tingkat marbling dihubungkan dengan skor dan status penerimaan (Boggs and Merkel 1984), hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat marbling, skor dan status penerimaan Karakteristik
Deskripsi
Skor
Marbling
Traces, slight
1
Small, moderate
2
Abundant
3
Status penerimaan Diterima Diterima (lebih disukai) Tidak diterima (berlebihan)
Sumber: Boggs dan Merkel (1984)
Tingkat marbling dipengaruhi oleh genetik, umur, tingkat kedewasaan, nutrisi dan durasi pemberian makanan berenergi tinggi. Secara tradisional, marbling ditentukan oleh tingkat kegemukan, akan tetapi hasil penelitian yang
39 dilakukan pada sapi dan babi memperlihatkan hanya 1-3%, marbling ditentukan oleh lemak subkutan (Jones et al. 1992). Warna merupakan salah satu kriteria penting ketika daging akan dibeli, disimpan dan dimasak. Warna daging terkait dengan keberadaan mioglobin, yaitu suatu protein yang bertanggungjawab terhadap warna merah pada daging. Mioglobin tidak bersirkulasi dalam darah tetapi berada dalam sel jaringan dan memberi warna ungu. Jika mioglobin bergabung dengan oksigen menjadi oksimioglobin dan menghasilkan daging berwarna merah terang. Warna daging dipengaruhi oleh umur ternak, spesies, seks, ransum dan exercise. Daging yang berasal dari ternak tua akan berwarna gelap disebabkan taraf mioglobin meningkat dengan bertambahnya umur. Demikian halnya pada ternak yang melakukan exercise. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa warna daging yang ekstrim tidak disukai dan mengurangi kualitas daging, diantaranya daging PSE (pale, soft, exudative), yaitu daging babi yang pucat, lunak dan berair, terutama terjadi pada daging babi yang disebabkan oleh produksi asam laktat postmoterm dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali, sehingga mengakibatkan pH daging sangat rendah sesaat setelah pemotongan. Selain itu daging PSS (porcine, stress, syndrome) yang menghasilkan daging berwarna pucat, sangat basah, lunak dan fasikuli otot mudah terpisah. Demikian juga daging DFD (dark, firm, dry) yang menghasilkan daging berwarna gelap, keras dan kering. Daging DFD disebabkan oleh defisiensi glikogen sesaat setelah pemotongan, sehingga proses glikolisis berlangsung sangat lambat, produksi laktat dan penurunan pH otot menjadi sangat minimal (Soeparno 2005). Berkaitan dengan warna daging, Boggs dan Merkel (1984) mengemukakan warna daging babi dalam hubungannya dengan skor dan status penerimaan tertera pada Tabel 6. Firmness, istilah ini mengarah pada kepadatan daging. Karkas yang lembek dan berminyak akan mengurangi kepadatan daging, hal ini disebabkan kerapatan daging dipengaruhi oleh jumlah lemak. Pengaruh lemak terhadap kepadatan daging dapat terlihat pada karkas dingin dimana lemak lebih kompak daripada daging (Aberle et al. 2001). Kepadatan tidak memberikan kontribusi langsung terhadap palatabilitas, akan tetapi pada kualitas daging karena potongan daging yang padat dapat
40 mempertahankan bentuk dan penampilan daging lebih menarik daripada potongan daging yang kepadatannya rendah atau lembek. Tabel 6 Warna daging, skor dan status penerimaan Karakteristik
Deskripsi
Skor
Warna daging
Pucat
1
Merah muda ke merah gelap Merah gelap
2 3
Status penerimaan Tidak diterima Diterima (lebih disukai) Tidak diterima
Sumber: Boggs dan Merkel (1984)
Boggs and Merkel (1984) mendeskripsikan tiga macam kepadatan (firmness) daging dihubungkan dengan skor dan status penerimaan (Tabel 7). Terlihat daging yang lembek dan berair mempunyai skor yang rendah (1) dan tidak diterima oleh konsumen sedangkan untuk daging yang tingkat kepadatannya berada diantara daging lembek, berair dan kompak (firm) mempunyai skor 2 dan diterima oleh konsumen. Demikian pula untuk daging yang padat dan cukup padat mempunyai skor lebih tinggi, yakni 3 dan dapt diterima oleh konsumen. Tabel 7 Kepadatan daging, skor dan status penerimaan Karakteristik
Deskripsi
Skor
Firmness
Lembek dan berair
1
Tidak diterima
Intermediat
2
Diterima
Keras dan agak kering
3
Diterima
Sumber: Boggs dan Merkel (1984)
Status penerimaan
PENGARUH WAKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR NUTRIEN AMPAS SAGU
ABSTRACT Due to its low nutrient content (especially crude protein) and high fiber content, the use of sago waste in monogastric animal rations could hinder animal production, and therefore it needs to be treated through biological treatment using Pleurotus ostreatus enriched with minerals urea, FeSO 4 , and ZnSO 4 . The objective of this experiment was to improve the nutritive value of sago waste. The experiment was analyzed as a randomized complete design with 6 treatments, namely 0, 3, 4, 5, 6 and 7 weeks fermentation time with 3 replications. Parameters measured were crude protein, true protein, fiber, NDF, ADF, celullose, lignin and silica. The result showed that fermentation time had significant effects (P<0.05) on all parameters measured. In conclusion, the content of crude protein, true protein and cellulose of sago waste fermented for 5 weeks increased by 7.23, 4.37 and 40.61%; respectively. Percentage of lignin decreased dramatically by 33.17% within the same fermentation time. Key words: sago waste, fermentation, Pleurotus ostreatus.
PENDAHULUAN Pohon sagu menghasilkan pati sagu yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan pokok, penganan sagu (kue sagu), bahan baku industri dan bahan energi alternatif (Louhenapessy et al. 2010). Hasil ikutannya adalah limbah, berupa ampas sagu. Ampas sagu merupakan limbah yang tergolong multi fungsi, salah satu fungsi atau manfaat ampas sagu adalah sebagai pakan ternak. Namun belum banyak peternak memanfaatkannya dalam ransum. Ditinjau dari kandungan nutrien, ampas sagu termasuk dalam kelompok pakan sumber energi berkualitas rendah, karena kadar protein kasar yang rendah, dan serat kasar yang tinggi. Hal ini dapat dipahami karena serat kasar yang tinggi disebabkan didalam ampas sagu terdapat serat empulur. Kondisi ini merupakan faktor pembatas pemanfaatan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik. Ditinjau dari kandungan serat yang berfungsi dapat menurunkan kolesterol, penggunaan ampas sagu sebagai bahan ransum ternak merupakan hal yang positif, walaupun disadari bahwa penggunaannya
sebagai
bahan
ransum
mempunyai
kendala.
Umumnya
42
peningkatan manfaat limbah sebagai bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai nutriennya
melalui pengolahan.
Untuk meningkatkan
kualitas nutrien ampas sagu dapat dilakukan dengan memberi sentuhan teknologi; salah satunya, yaitu pengolahan secara biologis. Pengolahan biologis merupakan salah satu cara yang dapat menjawab permasalahan tersebut dan jamur yang dapat dipakai dalam pengolahan biologis antara lain adalah jamur Pleurotus ostreatus. Untuk mendapatkan kadar nutrien ampas sagu fermentasi yang baik yang akan digunakan dalam ransum, maka dilakukan pengamatan fermentasi ampas sagu dengan jamur Pleurotus ostreatus. Hasil penelitian dengan menggunakan mikroorganisme tersebut, menunjukkan lama inkubasi berpengaruh terhadap kadar nutrien substrat. Hal ini berhubungan dengan pertumbuhan jamur yang mengalami beberapa fase mulai dari fase log, eksponensial dan stasioner. Pada fase log mikroorganisme mengalami fase adaptasi
untuk menyesuaikan diri
dengan substrat dan kondisi lingkungan sehingga pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Setelah fase adaptasi dilalui, fase berikutnya adalah fase eksponensial yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan dari jamur yang cepat dan kemudian menurun pada fase stasioner. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu fermentasi yang tepat terhadap kualitas nutrien ampas sagu.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober–Desember 2008 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Konservasi Satwa Langka dan Harapan PAU-IPB dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan ampas sagu fermentasi adalah ampas sagu (Metroxylon spp) kering, urea, FeSO 4, ZnSO 4 dan jamur Pleurotus ostreatus.
43
Peralatan yang digunakan adalah autoclave, laminar air flow dan plastik polypropylene (PP). Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Pada tahap ini dicobakan enam perlakuan waktu fermentasi masingmasing dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati pada tahap I adalah protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika. Uji lanjut yang digunakan jika perlakuan menunjukkan perbedaan nyata adalah uji Duncan. Perlakuan yang dicobakan pada tahap I adalah sebagai berikut: W0
= tanpa fermentasi
W3
= waktu fermentasi 3 minggu
W4
= waktu fermentasi 4 minggu
W5
= waktu fermentasi 5 minggu
W6
= waktu fermentasi 6 minggu
W7
= waktu fermentasi 7 minggu Model matematik percobaan ini (Gaspersz, 1995) adalah:
Y ij = μ + τ i + ε ij Keterangan : Y ij
: Nilai pengamatan
satuan percobaan yang
memperoleh perlakuan
ke-i dan ulangan ke-j. μ
: Nilai tengah pengamatan
τi
: Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6.
ε ij
: Pengaruh galat percobaan dari pengamatan yang
memperoleh
perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j = 1, 2, 3. Pembuatan Ampas Sagu Fermentasi Bibit jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) yang digunakan dalam fermentasi ampas sagu diperoleh dari isolasi jaringan dalam dari batang jamur Tiram yang kemudian dimurnikan untuk dibuat stok bibit jamur. Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur Tiram sampai dengan menghasilkan ampas sagu fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10. Substrat ampas sagu yang diperkaya dengan urea, FeSO4, ZnSO 4 adalah modifikasi dari metode yang dilakukan
44
Sukria (1990) sedangkan tahapan pembuatan ampas sagu fermentasi menurut prosedur yang dilakukan Sutiwa, 2008 (pers.comm). Tahapan pembuatan ampas sagu fermentasi adalah sebagai berikut: 1. 100 g ampas sagu kering ( kadar air ± 12% ) dicampur dengan larutan mineral: 1,8 g urea, 0,0432 g FeSO 4 dan 1,1915 g ZnSO 4.
Substrat
tersebut dikondisikan mengandung 60-70% air. 2. Campuran itu dimasukkan ke dalam kantong plastik PP transparan berukuran 15 x 28 x 0,8 cm, dipadatkan dan dipasangkan cincin paralon kemudian ditutup dengan menggunakan kapas dan kertas. 3. Disterilisasi selama 25 menit, dibiarkan dingin dan diinokulasi dengan starter Pleurotus ostreatus sebanyak 5 g untuk setiap 100 g ampas sagu. 4. Ampas sagu yang telah dingin diberi starter Pleurotus ostreatus kemudian diinkubasi pada suhu kamar (26 oC) sesuai perlakuan. 5. Ampas sagu yang telah ditumbuhi miselium Pleurotus ostreatus kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC.
Isolasi jaringan dalam dari batang Jamur Tiram
Pertumbuhan miselium 12 hari Pemurnian jamur Tiram Pembuatan stok bibit Inokulasi substrat dengan bibit Jamur Tiram
Ampas sagu fermentasi (5 minggu)
Gambar 10 Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur Tiram serta produk ampas sagu fermentasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nutrien ampas sagu yang difermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus pada waktu yang berbeda, diperlihatkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Kandungan nutrien ampas sagu fermentasi pada waktu fermentasi yang berbeda Waktu fermentasi (minggu)
Kandungan nutrien (%)
0
3
4
5
6
7
Bahan kering
92,56
94,29
93,73
93,63
94,11
95,00
Bahan organik
85,27
87,09
86,42
85,32
84,90
85,56
7,98 b ±0,14 4,60 a ±0,39 17,27 b ±0,52 55,76 d ±4,52 49,40bc±5,17
8,23 a ±0,06 4,52a±0,12
f
e
d
6,16 ± 0,20
6,99 ± 0,11
Protein murni Serat kasar NDF ADF
5,61 ± 0,05 2,55 d ±0,04 12,55 d ±0,80 75,33 a ±1,47
3,63 c ±0,18 13,10 d ±1,23 68,30 b ±1,26
4,13 b ±0,14 14,80 c ±0,09 65,10bc ±1,50
30,88 d ± 1,61
34,78 d ±4,11
44,01 c ±3,11
7,23 e ±0,05 4,37 ab ±0,09 17,64ab±0,70 62,40 c ±2,60 54,65 ab±1,29
Selulosa
22,97 c ±2,76
24,67 c ±3,79
34,94 b ±4,12
40,61a ±2,71
38,44ab±2,32
41,22a±0,57
Lignin
4,38a ± 0,64
4,19ab ±1,46
4,04ab ±0,19
3,53d±0,73
5,92cd±3,70
5,03cd±0,99
2,80bc ± 0,76 8,16bc±2,48
2,05c ± 0,10
Silika
2,71bc ± 0,68 11,32ab±1,27
Protein kasar
18,74 a ±0,33 61,12c±1,96 57,29a±1,94
14,02a±1,71
NDF = Neutral Detergent Fiber; ADF = Acid Detergent Fiber Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Protein Kasar Kadar protein kasar ampas sagu fermentasi (ASF) pada berbagai waktu fermentasi meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil pengamatan selama penelitian memperlihatkan kisaran rataan kadar protein kasar antara 5,61-8,23 % (Tabel 8) dengan rataan umum 7,03 ± 0,08 %. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap protein kasar. Berdasarkan uji lanjut kadar protein kasar meningkat (P<0,05) dengan bertambahnya waktu fermentasi. Peningkatan protein kasar terjadi dengan semakin lamanya waktu fermentasi dan persentase protein kasar pada waktu fermentasi empat minggu meningkat sebanyak 13,47% dari waktu 3 minggu (tertinggi), kemudian peningkatan terendah adalah pada waktu fermentasi 5 dan 7 minggu, masing-masing 3,43 dan 3,13%. Hal ini menggambarkan peningkatan protein kasar ampas sagu pada setiap minggu waktu fermentasi lebih disebabkan oleh adanya sumbangan protein dari jamur Pleurotus ostreatus dengan adanya
46
pertumbuhan miselium dari jamur tersebut. Seperti dikemukakan Ragunathan et al. (1996) yang disitasi oleh Fazaeli et al. (2006), miselium jamur mengandung protein. Pertumbuhan jamur mengalami beberapa fase mulai dari fase log, eksponensial dan stasioner. Pada fase log mikroorganisme mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan sehingga pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Setelah fase adaptasi dilalui, fase berikutnya adalah fase eksponensial yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan dari jamur yang cepat dan kemudian menurun pada fase stasioner. Peningkatan protein kasar seperti dalam penelitian ini juga ditemukan pada beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Kutlu et al. (1999) tentang pengaruh inokulasi jerami gandum dengan Pleurotus florida menggunakan 2% urea terhadap nilai nutrisi dari jerami gandum. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kadar protein kasar jerami gandum yang diinokulasi dengan Plerotus florida selama 20 - 80 hari berturut-turut 6,10 dan 6,71%. Hal ini berarti kadar protein kasar jerami gandum meningkat 10%. Selain itu penelitian yang dilaporkan oleh Rouzbehan et al. (2001) bahwa kadar protein kasar jerami gandum yang diberi 3% urea
dan
diinokulasi jamur Pleurotus ostreatus x Pleurotus sajor caju dan Pleurotus jaringan Iranian selama empat minggu meningkat berturut-turut 0,9 dan 1,6%. Jika dibandingkan dengan kadar protein kasar ampas sagu yang difermentasi, peningkatan protein kasar jerami gandum pada dua penelitian ini lebih rendah daripada
peningkatan protein kasar ampas sagu yang difermentasi 3 dan 7
minggu dari kadar protein kasar awal 1,73%. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan, maka peningkatan kadar protein kasar dipengaruhi oleh kondisi substrat. Protein Murni Protein murni mencerminkan nitrogen yang hanya terkait dengan protein dan tidak termasuk nitrogen dari sumber nonprotein. Hasil pengamatan selama penelitian memperlihatkan kisaran rataan kadar protein murni antara 2,55-4,60% dengan rataan umum 5,47 ± 0,16%. Peningkatan kadar protein murni dari tiap waktu fermentasi bervariasi, pada waktu fermentasi 4 minggu dari 3 minggu
47
waktu fermentasi 3, kadar protein murni meningkat 13,77% lebih besar daripada waktu fermentasi yang lain. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan kadar protein murni ampas sagu fermentasi. Hasil tersebut menunjukkan waktu fermentasi 6 dan 7 minggu berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 0, 3 dan 4 minggu. Demikian halnya dengan waktu fermentasi 4 dan 5 minggu yang mempunyai kadar protein murni berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu. Kadar protein murni ampas sagu fermentasi hampir pada semua waktu fermentasi menunjukkan peningkatan, kecuali pada waktu fermentasi 7 minggu yang mengalami sedikit penurunan. Meningkatnya protein murni disebabkan oleh terakumulasinya biomassa sel dari jamur Pleurotus ostreatus seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Nitrogen yang diberikan dalam substrat yang mengandung karbon merupakan media yang baik digunakan oleh mikroba Pleurotus ostreatus untuk membentuk protein selnya. Nitrogen dalam media fermentasi berpengaruh pada laju pertumbuhan jamur karena mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme untuk sintesis protein, asam nukleat dan koenzim (Fardiaz 1988). Pernyataan ini dibuktikan dalam penelitian
pendahuluan, substrat ampas sagu tanpa diberi
nitrogen dan diinokulasi dengan jamur Pleurotus ostreatus sampai waktu fermentasi 6 minggu, hanya menghasilkan rataan protein kasar 1,37%. Berdasarkan pengamatan secara visual, miselium yang tumbuh pada substrat tersebut sangat cepat dan lebih tipis daripada substrat yang diberi nitrogen. Kondisi ini memperkuat pernyataan bahwa pertumbuhan mikroba memerlukan nitrogen dan karbon. Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh bahwa produk ampas sagu fermentasi yang diberi nitrogen (urea) dan difermentasi sampai 7 minggu memberi sumbangan protein murni. Produk ampas sagu fermentasi yang difermentasi sampai dengan 5 minggu mengandung beberapa asam amino, yakni asam amino non esensial: 0,29% asam aspartat, 0,60% asam glutamat, 0,11% prolin, 0,14% serin, 0,23% alanin, 0,25% glisin, 0,11% tirosin, 0,05% sistin dan asam amino esensial: 0,11% histidin,
48
0,04% arginin, 0,16% threonin, 0,19% valin, 0,09% methionin, 0,12% isoleusin, 0,18% leusin, 0,11% phenilalanin dan 0,13% lisin. Serat Kasar Ampas sagu yang difermentasi dengan waktu fermentasi yang berbeda mempunyai kadar serat kasar yang bervariasi, dan tertinggi pada waktu fermentasi 7 minggu. Tampak pada Tabel 8 rataan kadar serat kasar berkisar antara 12,5518,74% dengan rataan umum 15,68 ± 0,61%. Hasil ini memperlihatkan peningkatan yang tertinggi terjadi pada waktu fermentasi 5 minggu yakni 19,19%. Berdasarkan analisis ragam waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut
memperlihatkan
waktu
fermentasi
nyata
(P<0,05)
berpengaruh
meningkatkan kadar serat kasar. Hasil tersebut menunjukkan kadar serat kasar pada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu berbeda (lebih rendah) dengan waktu fermentasi 4, 5, 6 dan 7 minggu. Sedangkan waktu fermentasi 4 minggu berbeda dengan waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu. Demikian pula waktu fermentasi 6 minggu berbeda dengan 7 minggu. Peningkatan serat kasar ampas sagu fermentasi berhubungan erat dengan bertambahnya waktu fermentasi sehingga memberikan kesempatan kepada jamur untuk bertumbuh dan berkembangbiak. Selama tumbuh dan berkembang biak terjadi akumulasi dinding sel jamur Pleurotus ostreatus dalam substrat. Kitin adalah komponen dinding sel jamur Pleurotus ostreatus yang diklasifikasikan ke dalam serat kasar. Kemungkinan lain terjadinya peningkatan serat kasar disebabkan kondisi substrat yakni tersedianya pati dalam substrat ampas sagu, adalah yang memberikan peluang bagi jamur Pleurotus ostreatus lebih dahulu mendegradasi pati yang lebih mudah dicerna daripada serat kasar. Akibat dari pertumbuhan jamur Pleurotus ostreatus dalam hal ini pertumbuhan miselum mengakibatkan proporsi serat kasar meningkat dan menyebabkan persentase serat kasar substrat meningkat pula. Fenomena ini berhubungan dengan sifat ekstraseluler dari enzim pemecah makromolekul, yang berarti jika mikroba yang memproduksi enzim ekstraseluler ditumbuhkan pada media padat yang mengandung substrat yang dapat dihidrolisa akan mengeluarkan enzim tersebut disekeliling koloninya dan akan menghidrolisa substrat disekeliling koloni (Fardiaz 1987). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
49
menggunakan jamur Pleurotus florida pada bahan limbah jerami gandum dimana serat kasar mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan perbedaan substrat yang digunakan. Neutral Detergent Fiber (NDF) Hasil analisis NDF pada substrat ampas sagu yang diolah dengan teknik fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreaus secara umum memperlihatkan kadar NDF yang menurun. Hasil pengamatan menunjukkan rataan kadar NDF berkisar antara 55,76-75,33% dengan rataan umum 64,67 ± 2,22%. Tampaknya bahwa semakin lamanya waktu fermentasi, maka kadar NDF yang dihasilkan semakin menurun dan hal tersebut ditunjukkan pada lama waktu fermentasi 6 minggu dengan kadar NDF yang terendah (55,76%). Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berbeda sangat nyata. Selanjutnya berdasarkan uji lanjut kadar NDF menurun (P<0,05) dengan semakin bertambahnya waktu fermentasi (Tabel 8). Rendahnya NDF pada waktu fermentasi 6 minggu disebabkan semakin meningkatnya degradasi komponen dinding sel oleh enzim yang dihasilkan oleh jamur Pleurotus ostreatus. Jika diperhatikan persentase menurunnya NDF pada tiap waktu fermentasi terhadap waktu fermentasi 0 minggu adalah semakin meningkat berturut-turut 9,33; 13,58; 17,16; 25,98; 18,86%. Fenomena ini menggambarkan terjadinya degradasi dan penggunaan dinding sel sebagai sumber karbon untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan jamur yang secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Menurunnya kadar NDF substrat juga dilaporkan oleh Singh et al. (1990) dan Okano et al. (2005) pada jerami gandum dengan menggunakan jamur Coprinus fimetarius dan ampas tebu dengan menggunakan empat jenis jamur White-rot. Hal yang sama juga dilaporkan Fazaeli et al. (2006) pada jerami gandum yang diinokulasi dengan jamur Pleurotus jenis F-77 dan difermentasikan selama 17 hari, kadar NDF pada substrat tersebut menurun sebesar 9,8%. Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 3 minggu (21 hari). Dari Tabel 8 terlihat kadar NDF ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 21 hari (3 minggu) menurun sebesar 7,03%. Menurunnya kadar NDF juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rouzbehan et al. (2001) pada jerami gandum yang
50
diberi 3% urea dan diinokulasi dengan jamur Pleurotus ostreatus x Pleurotus sajor caju dan Pleurotus jaringan Iranian selama 4 minggu, sebagai akibat degradasi dinding sel untuk memperoleh karbon guna kebutuhan energi daripada mikroba jamur tersebut. Dilaporkan bahwa kadar NDF pada penelitian tersebut menurun berturut-turut sebesar 7,4 dan 8,6%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar NDF ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 4 minggu (10,23%). Acid Detergent Fiber (ADF) Pengolahan ampas sagu dengan teknik fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreatus menghasilkan kadar ADF yang berbeda pada setiap waktu fermentasi (Tabel 8) dengan kadar yang semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan kadar ADF berkisar antara 30,88-57,29% dengan rataan umum kadar ADF adalah 45,17 ± 2,87%. Berdasarkan analisis ragam waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan kadar ADF nyata (P<0,05) meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil tersebut memperlihatkan kadar ADF yang dihasilkan pada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu berbeda (lebih rendah) daripada waktu fermentasi 4, 5, 6 dan 7 minggu. Komponen penyusun ADF adalah selulosa dan lignin. Meningkatnya ADF dengan
semakin
lamanya
waktu
fermentasi
menggambarkan
terjadinya
penambahan komponen dinding sel pada substrat. Dinding sel jamur berbeda dengan dinding sel tumbuhan, dinding sel jamur tidak terdiri atas selulosa, melainkan dari kitin (Mario et al. 2008). Hal ini berarti dengan bertambahnya waktu fermentasi sumbangan kitin dari dinding sel jamur Pleurotus ostreatus semakin meningkat dan berpengaruh meningkatkan kandungan ADF substrat. Disisi lain degradasi selulosa substrat menjadi lambat karena substrat masih mempunyai pati untuk digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan jamur Pleurotus ostreatus. Meningkatnya ADF substrat karena kitin sebagai dinding sel jamur Pleurotus ostreatus mempunyai struktur kimia berkerabat dekat dengan selulosa.
51
Selulosa Secara umum hasil penelitian ini memperlihatkan kadar selulosa lebih tinggi pada tiap waktu fermentasi, dengan persentase kenaikan yang rendah pada awal waktu fermentasi kemudian meningkat dan akhirnya kembali menurun (Tabel 8). Kadar selulosa ampas sagu fermentasi berkisar antara 22,97-41,22% dengan rataan umum yang dimiliki 33,81 ± 2,71%. Berdasarkan Tabel 8 terlihat persentase kenaikan kadar selulosa pada setiap waktu fermentasi adalah 1,70; 10,27; 5,67; 2,17 dan 2,78%. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut kadar selulosa meningkat (P<0,05) dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Hasil analisis ini menunjukkan kadar selulosa pada waktu fermentasi 7 minggu berbeda dengan 0, 3, dan 4 minggu waktu fermentasi sedangkan terhadap 5 dan 6 minggu waktu fermentasi menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Secara
umum
dalam
beberapa
penelitian
biofermentasi
dengan
menggunakan jamur pendegradasi lignoselulosa menunjukkan kadar selulosa yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadi degradasi selulosa oleh enzim selulolitik untuk menyediakan energi dan karbon bagi mikroba dalam substrat. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang diperoleh, disebabkan kadar selulosa yang semakin meningkat pada waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu. Kemungkinan fenomena ini terjadi terkait dengan kondisi substrat yang digunakan. Ampas sagu yang digunakan mempunyai kadar pati 52,98% (Tabel 9) dan semakin menurun dengan
bertambahnya
waktu
fermentasi.
Kondisi
substrat
seperti
ini
memungkinkan lambatnya degradasi selulosa; disisi lain mengakibatkan bertambahnya populasi jamur Pleurotus ostreatus yang lebih cepat daripada degradasi selulosa substrat. Pengamatan visual pada substrat ampas sagu fermentasi
tanpa
pemberian
urea
bahwa
substrat
tersebut
mempunyai
pertumbuhan miselium yang lebih tipis daripada substrat ampas sagu fermentasi yang diberi urea. Hal ini menunjukkan bahwa substrat ampas sagu fermentasi yang diberi urea mempunyai populasi jamur Pleurotus ostreatus yang lebih banyak dan hal ini akan mengakibatkan sumbangan kitin yang lebih banyak pula dalam substrat tersebut. Pendapat ini didukung oleh Mario et al. (2008) bahwa
52
miselium Pleurotus ostreatus mengandung kitin, meskipun persentase kandungannya belum diketahui. Struktur kimiawi kitin berkerabat dekat dengan selulosa sehingga dalam analisis Van Soest terdeteksi sebagai selulosa dan mengakibatkan persentase selulosa substrat meningkat. Kemungkinan hal ini terjadi disebabkan perubahan komposisi yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi substrat termasuk selulosa. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa hasil penelitian lain yang menggunakan
limbah jerami padi dan jerami gandum yang kadar
selulosanya lebih rendah setelah difermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus (Jafari et al. 2007). Tabel 9 Kadar pati ampas sagu hasil dari waktu fermentasi yang berbeda Waktu fermentasi (minggu) 0
3
4
5
52,98% 45,45% 34,90% 26,11% Sumber: Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia-PAU, IPB, 2009
6
7
24,89%
27,42%
Lignin Kadar lignin ampas sagu pada berbagai waktu fermentasi menunjukkan hasil yang menurun, dan penurunan tersebut terjadi dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi (Tabel 8). Hasil penelitian menunjukkan kadar lignin berkisar antara 2,05-4,38% dengan rataan umum 3,36 ± 0,64 %. Berdasarkan pengamatan dengan waktu fermentasi yang berbeda, penurunan 1,33 % kadar lignin yang drastis terjadi pada 5 minggu waktu fermentasi yaitu dari 4,04 menjadi 2,71%. Tampak pada Tabel 8 persentase degradasi lignin rendah pada awal waktu fermentasi dan meningkat drastis pada waktu fermentasi 5 minggu. Analisis ragam memperlihatkan waktu fermentasi berpengaruh nyata. Selanjutnya uji lanjut menunjukkan kadar lignin ampas sagu fermentasi menurun (P<0,05) dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hasil analisis memperlihatkan waktu fermentasi 0 minggu berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 5,6 dan 7 minggu sedangkan waktu fermentasi 0 minggu tidak berbeda dengan waktu fermentasi 3 dan 4 minggu. Menurunnya kadar lignin dengan bertambahnya waktu fermentasi disebabkan terjadinya degradasi lignin oleh enzim yang dihasilkan oleh jamur Pleurotus ostreatus. Namun Martinez (2002) menyatakan bahwa jamur tidak
53
dapat menyediakan karbon atau energi untuk kebutuhan pertumbuhannya dari lignin dan oleh karena itu memerlukan substrat lain seperti selulosa atau sumber karbon lain untuk kebutuhan pertumbuhan tersebut. Crawford (1981) melaporkan bahwa jamur pelapuk putih mungkin tidak mendegradasi lignin secara signifikan tanpa adanya bahan tambahan terutama sumber karbon untuk metabolisme. Hal ini berarti bahwa jika substrat cukup mengandung karbohidrat sebagai sumber karbon atau energi, maka lignin akan didegradasi kemudian (Tabel 8). Pati merupakan
polisakharida yang mudah tercerna didalam substrat
untuk kebutuhan jamur Pleurotus ostreatus. Hasil analisis pati ampas sagu fermentasi menunjukkan dengan bertambahnya waktu fermentasi kadar pati ampas sagu fermentasi semakin menurun (Tabel 9) dan penurunan pati ini jika dibandingkan dengan penurunan kadar lignin pada waktu fermentasi yang sama penurunan pati lebih tinggi daripada lignin. Fenomena seperti ini menunjukkan jamur Pleurotus ostreatus lebih mudah memanfaatkan pati yang terdapat dalam substrat daripada lignin untuk menyediakan karbon atau energi untuk pertumbuhannya. Kondisi seperti ini terlihat pula pada hasil penelitian aktivitas ligninolitik jenis Ganoderma pada berbagai sumber karbon (Artiningsih 2006). Aktivitas ligninolitik yang terendah didapatkan apabila jamur tersebut ditumbuhkan pada media glukosa. Arora dan Sandhu (1985) menyatakan gula lebih diperlukan dalam pembentukan biomassa jamur daripada produksi enzim ligninolitik. Silika Ampas sagu yang difermentasi dengan waktu fermentasi yang berbeda mempunyai kadar silika yang berbeda pula. Terlihat pada Tabel 8 kadar silika mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu fermentasi. Tabel tersebut memperlihatkan kisaran rataan silika antara 3,53-14,02% dengan rataan umum 8,00 ± 1,81%. Analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut waktu fermentasi nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan kadar silika. Hasil uji tersebut menunjukkan kadar silika pada waktu fermentasi 0, 3, dan 4 minggu berbeda (lebih rendah) daripada kadar silika waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu.
54
Meningkatnya silika bukan merupakan hasil dari proses fermentasi ataupun sumbangan dinding sel dari jamur Pleurotus ostreatus. Silika merupakan unsur struktural untuk melengkapi lignin dalam memperkuat dan mengeraskan dinding sel tanaman. Ampas sagu yang digunakan terdiri dari serbuk ampas sagu dan serat empulur, sehingga meningkatnya kadar silika diduga disebabkan oleh kadar silika didalam serat empulur yang kemungkinan bervariasi. Peningkatan kadar silika juga didapati pada fermentasi jerami padi dengan jamur Pleurotus ostreatus sampai umur 60 hari (Jafari et al. 2007). Penetapan waktu fermentasi Dasar penetapan waktu fermentasi yang terbaik untuk pembuatan ampas sagu fermentasi dalam ransum tikus mengacu pada komposisi nutrien dan komponen serat ampas sagu hasil fermentasi, yaitu: a. Protein kasar: kadar protein kasar meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi dengan persentase kenaikan yang fluktuatif dan tertinggi pada waktu fermentasi 7 minggu, yakni 8,23% ±0,06. b. Protein murni: kadar protein murni mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu fermentasi, walaupun
persentase tersebut semakin
menurun, yaitu 1,09 menjadi 0,25%. Kadar protein murni yang tertinggi adalah pada waktu fermentasi 6 minggu, yakni 4,60% ± 0,39. c. Serat kasar: kadar serat kasar untuk semua perlakuan waktu fermentasi mengalami peningkatan, kadar serat kasar yang tertinggi adalah 18,74% ± 0,39 pada waktu fermentasi 7 minggu. Persentase kenaikan serat kasar ini berfluktuasi, persentase tertinggi adalah pada waktu fermentasi 5 minggu yakni 2,84% dan terendah pada waktu fermentasi 6 minggu yakni, 0,37 %. d. Selulosa: kadar selulosa juga meningkat dengan bertambahnya waktu fermentasi. Kadar selulosa yang tertinggi adalah 41,22% pada waktu fermentasi 7 minggu dengan persentase kenaikan yang lebih rendah daripada waktu fermentasi 4 dan 5 minggu masing-masing 10,30 dan 5,67%. e. Lignin: kadar lignin semakin menurun dengan bertambahnya waktu fermentasi dari yang tertinggi 4,38% pada waktu fermentasi 0 minggu dan terendah pada waktu 7 minggu yakni 2,05%.
55
Berdasarkan evaluasi terhadap kandungan nutrien, maka parameter yang dipakai sebagai indikator dalam penetapan waktu fermentasi yang terbaik, yakni serat kasar, selulosa dan lignin.
Untuk serat kasar dipilih kadar serat kasar
17,64% yang diperoleh pada waktu fermentasi 5 minggu. Hal ini berarti bahwa jika penggunaan ampas sagu fermentasi tertinggi 20% dapat menyumbangkan 3,53% dalam ransum. Jika serat kasar yang dipilih adalah 18,74%, maka sumbangan serat kasar dari 20% ampas sagu fermentasi adalah 3,75% dengan selisih hanya 0,22%. Selisih nilai ini sangat rendah walaupun demikian menjadi penting karena dalam penyusunan ransum diperlukan kombinasi beberapa bahan makanan untuk mendapatkan ransum yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan ternak. Dengan demikian terdapat sumbangan serat kasar dari bahan makanan lain yang digunakan dalam penyusunan ransum dan secara keseluruhan kadar serat kasar ransum tersebut diharapkan tidak jauh melebihi batas toleransi ternak babi sehingga waktu fermentasi 5 minggu yang dipilih. Waktu fermentasi 5 minggu menghasilkan kadar selulosa 40,61%, yang berarti penggunaan 20% ampas sagu memberikan sumbangan 8,12% dan diharapkan dapat berdampak terhadap tujuan penelitian. Kadar lignin pada waktu fermentasi 5 minggu adalah 2,71% dengan persentase penurunan yang drastis yakni 1,33% daripada waktu fermentasi yang lain. Ampas sagu fermentasi dengan waktu fermentasi 5 minggu juga mengha-silkan kadar protein murni sebesar 4,37%. Berdasarkan parameter yang dikemukakan, maka waktu fermentasi yang dipakai untuk pembuatan produk ampas sagu fermentasi pada penelitian tahap IIa
adalah waktu fermentasi 5
minggu.
SIMPULAN Waktu fermentasi ampas sagu yang diperkaya dengan mineral urea, FeSO 4 , ZnSO 4 dan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus berpengaruh nyata pada semua peubah yang diamati. Ampas sagu yang difermentasi pada waktu 5 minggu menghasilkan kadar protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin yang
56
lebih baik untuk digunakan dalam pencampuran ransum, berturut-turut 7,23%, 4,37%, 40,61% dan 2,71%. Fermentasi substrat berkadar pati tinggi dengan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus tidak memberikan hasil yang baik terhadap degradasi lignin.
DAFTAR PUSTAKA Arora DS, Sandhu DK. 1985. Laccase production and wood degradation by whiterot fungus Daedalea flavida. Enzyme Microb 7:405-408. Artiningsih T. 2006. Aktifitas ligninolitik jenis Ganoderma pada berbagai sumber karbon. Biodiversitas 4: 307-311. Crawford RL. 1981. Lignin degradation and transformation. John Wiley and Sons, New York. Fardiaz S. 1987. Fisiologi fermentasi. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Institut pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz S. 1988. Fisiologi fermentasi. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fazaeli H, Azizi A, Amile M. 2006. Nutritive value index of treated wheat straw with Pleurotus ostreatus fungi fed to sheep. Pak J Biol Sci 9 (13):24442449. Gaspersz V. 1995. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Bandung. Penerbit Tarsito. Jafari MA, Nikkhah A, Sadeghi AA and Chamani M. 2007. The effect of Pleurotus spp. Fungi on chemical composition and in vitro digestibility of rice straw. Pak J Biol Sci 10 (15):2460-2464. Kutlu HR, Gorgulu M, Buyukalaca S, Baykal L, Ozcan N. 1999. Effect of Pleurotus florida inoculation or urea treatment on feeding value of wheat straw. Turk J Vet Anim Sci 24 (2000):169-175. Louhenapessy JE, Luhukay M, Salampessy H, Riry J. 2010. Sagu harapan dan tantangan. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Mario FDI, Rapana P, Tomati U, Galli. 2008. Chitin and Chitosan from Basidiomycetes. Int J Biol Macromol 43(1):8-12. Martinez AT. 2002. Molecular biology and structure function of lignin degrading heme peroxidases. Rev Enzyme Microbiol Technol 30:425-444. Okano K, Samsuri IM, Prasetya B, Usagawa T, Watanabe T. 2005. Comparison of in vitro digestibility and chemical composition among sugarcane bagasses treated by four white-rot fungi. J Anim Sci 77:308-313. Rouzbehan Y, Fazaeli H, Kiani A. The chemical composition and digestibility of wheat straw with urea and white rot fungi. bsas.org.uk/downloads/annlproc/pdf2001/123.pdf [3 Januari 2009].
57
Singh K, Rai SN, Rakatan SN, Han YW. 1990. Biochemical profiles of solid state fermented wheat straw with corprinus fimetarius. Ind J Dairy Sci 60 : 984-990. Sukria HA. 1990. Uji fermentabilitas in vitro ampas sagu aren (Arenga pinnata) hasil fermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
PERFORMA, PROFIL DARAH dan KOLESTEROL DAGING TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) Yang DIBERI RANSUM DENGAN TARAF AMPAS SAGU, AMPAS SAGU FERMENTASI DAN LIMBAH UDANG YANG BERBEDA ABSTRACT Cholesterol is required for the proper function of the body. However, care is needed when its level increases in blood. Experiment II was designed to determine the level of sago waste, fermented sago waste and shrimp waste in the ration in the growth and cholesterol level of white rat. In experiment IIa, 28 males of Spraque dowley, aged one month with initial live weight of 56 ± 4.99 g were used. The experiment was analyzed as a randomized complete design with seven treatments and four replications. The treatments used sago waste, fermented sago waste and shrimp waste of 10 and 20 % in the ration, namely ration without sago and shrimp waste. Parameters measured were feed intake, live weight gain, feed efficiency, blood cholesterol, HDL, LDL, and triglyceride and meat cholesterol. The results showed that all treatments had no significant effects on feed intake, blood HDL, LDL, and triglyceride and meat cholesterol. However, they significantly (P<0.05) affected the live weight gain, feed efficiency and blood cholesterol. It can be concluded that the use of sago waste up to 20% in the ration results in high live weight gain and feed efficiency, and low blood cholesterol. The objectives of experiment IIb were to determine the effect of using an appropriate level of sago waste and shrimp waste and their combination on cholesterol level and the growth of white rat. In this experiment, 40 male of Spraque dowley aged two months with initial live weight of 195.62 ± 6.93 g were used. The experiment was analyzed as a randomized complete design with 10 treatments, which were R0, 2.5% of sago waste + 17.5% of shrimp waste, 5% of sago waste + 15% of shrimp waste, 7.5 of sago waste + 12.5% of shrimp waste, 10% of sago waste + 10% of shrimp waste, 12.5 of sago waste + 7.5% of shrimp waste, 15% of sago waste + 5% of shrimp waste, 17.5 of sago waste + 2.5% of shrimp waste, 20 % of sago waste + 0% of srimp waste, 0% of sago waste + 10% of shrimp waste and 4 replications. Parameters measured were feed intake, live weight gain, feed efficiency, blood cholesterol, HDL, LDL, and triglyceride, meat cholesterol and tissue fat cholesterol. The results indicated that the treatments affected blood cholesterol and triglyceride significantly (P<0.05). It can be concluded that ration supply of 15% of sago waste + 5% of shrimp waste affect blood cholesterol and triglyceride. Key words: sago waste, shrimp waste, rat performance
60
PENDAHULUAN
Kolesterol merupakan lipid amfipatik yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon steroid, membran sel, lipoprotein plasma, vitamin D dan garam empedu. Kolesterol dalam tubuh berasal dari makanan dan hasil sintesa dalam tubuh. Di dalam tubuh kolesterol disintesa terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal. Meskipun kolesterol sangat bermanfaat bagi tubuh namun disisi lain perlu mendapat perhatian terutama jika kadarnya meningkat dalam darah. Malole dan Pramono (1989) menyatakan kisaran kadar kolesterol darah tikus antara 40-130 mg/dl. Kolesterol darah yang tinggi dapat menyebabkan atherosklerosis yang merupakan suatu penyakit yang akhirnya mengarah pada terjadinya penyakit jantung koroner. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu cara untuk dapat menurunkan kadar kolesterol. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pemberian ransum berbahan serat tidak larut diantaranya selulosa dan kitin yang terdapat dalam bahan limbah pertanian dan perikanan. Limbah pertanian yang dimaksud adalah ampas sagu dari hasil pemrosesan tepung sagu dan limbah udang (kulit dan kepala udang) sebagai limbah perikanan. Pendekatan ini dilakukan karena bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol (Horigome et al. 1992). Pemberian 7,5% selulosa dan kitosan dalam ransum mencit berpengaruh nyata terhadap akumulasi kolesterol mencit (van Bennekum et al. 2005). Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Penelitian lain yang dilakukan oleh Zacour et al. (1992) melaporkan pemberian 5% kitin dalam ransum tikus yang mengandung 7% lemak sapi dan 1% kolesterol menurunkan level trigliserida dan kolesterol hati. Oleh sebab itu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ampas sagu dan limbah udang terhadap performa, profil darah dan kolesterol daging, maka dilakukan penelitian menggunakan hewan percobaan tikus putih (Rattus norvegicus) sebelum diuji pada ternak babi. Tikus putih digunakan dalam penelitian ini karena secara anatomis dan fisiologis tikus dan babi memiliki persamaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar kolesterol darah
61 dan pertumbuhan tikus putih pada taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian tahap II ini dilaksanakan pada bulan Pebruari – Agustus 2009 bertempat di unit perkandangan South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (Seafast) Centre IPB, Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan PAU-IPB, Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Bahan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) strain Spraque dowley jantan dewasa berumur satu bulan, sebanyak 28 ekor dengan rataan berat badan awal 56 ± 4,99 g (tahap II a) dan berumur dua bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan berat badan awal 195,62 ± 6,93 g pada tahap IIb. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa garam dan premix (vitamin dan mineral). Proporsi tiap bahan makanan dalam tiap ransum perlakuan ditentukan setelah diketahui hasil analisis proksimat tiap bahan makanan. Selanjutnya bahan-bahan tersebut ditimbang sesuai dengan perlakuan masing-masing, digiling halus dan dicampur sampai homogen mulai dari jumlah bahan yang sedikit sampai terbanyak, kemudian dianalisis kadar nutrien ransum. Susunan ransum yang digunakan pada penelitian tahap IIa dan IIb masing-masing disajikan pada Tabel 10 dan 11. Pembuatan ampas sagu fermentasi mengikuti tahapan proses fermentasi seperti pada penelitian tahap I. Ransum tikus yang digunakan dalam penelitian berbentuk pelet berukuran 5 mm dan pemberian ransum serta air minum secara adlibitum. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 68 unit kandang metabolis, tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang tikus dan ransum serta separangkat peralatan analisa proksimat untuk mengetahui
62 kandungan nutrien bahan makanan, dan seperangkat peralatan untuk analisis kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging.
Pengamatan dan pengukuran
peubah selama satu bulan dan untuk
analisis profil lipid darah, pengambilan darah dilakukan pada pagi hari, yaitu pada hari terakhir penelitian dan dianalisis dengan menggunakan metode CHOD-PAP kit, produksi Human. Untuk pemeriksaan peubah tersebut tikus dipuasakan selama 13 jam. Untuk pemeriksaan kolesterol daging, tikus dibedah dan diambil daging pada paha bagian kanan. Tahapan Pembuatan Ransum Pelet a. Bahan makanan ditimbang sesuai perlakuan. b. Setelah itu dihaluskan dan dicampur (mulai dari bahan makanan yang jumlahnya kecil hingga yang paling besar) sampai homogen. c. Ransum yang telah homogen kemudian dibuat pelet berukuran 5 mm. Rancangan Percobaan Rancangan yang dipakai dalam penelitian tahap IIa dan IIb adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang diuji pada penelitian tahap IIa, sebanyak tujuh perlakuan masing-masing dengan empat ulangan dengan taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi, dan limbah udang masing-masing 0, 10 dan 20%. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging serta kolesterol jaringan lemak (tahap IIb). Perlakuan yang digunakan pada tahap IIb, sebanyak 10 perlakuan, masing-masing dengan empat ulangan dengan taraf ampas sagu dan limbah udang yang berbeda. Uji lanjut yang digunakan jika perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata adalah uji Duncan. Perlakuan pada penelitian tahap IIa adalah sebagai berikut : R0
= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang
R1
= 10% ampas sagu
R4 = 20% limbah udang
R2
= 20% ampas sagu
R5 = 10% ampas sagu fermentasi
R3
= 10% limbah udang
R6 = 20% ampas sagu fermentasi
63 Tabel 10 Ransum Tikus Penelitian Tahap IIa Bahan makanan dan nutrien
Perlakuan R0 -
R1 10
R2 20
R3 -
R4 -
R5 -
R6 -
Limbah udang
-
-
-
10
20
-
-
Ampas sagu fermentasi
-
-
-
-
-
10
20
46
31
24,3
48
52
34,3
23
Dedak padi
13
15
10
11,4
7,5
15
19
Bungkil kelapa
22
25
25
15
8,3
22
17,6
Minyak kelapa
3
3
3,2
3,6
4,2
3
3,4
Tepung ikan
15
15
16,5
11
7
14,7
16
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
100
100
100
100
100
100
100
Protein kasar (%)1
15,44
15,34
15,21
14,98
15,39
14,86
15,63
Energi bruto (kkal/kg) 2 Lemak (%)(1)
3857
3912
3890
3971
3917
3960
3914
11,85
9,95
11,77
8,89
9,32
11,73
10,65
Serat kasar (%)1
7,16
8,72
8,71
8,59
9,63
8,94
7,08
Kalsium (%) 1
0,60
0,55
0,70
0,97
0,93
0,53
0,62
Phospor (%) 1
0,82
0,81
0,72
0,80
0,73
0,72
0,60
Ampas sagu
Jagung
Premix (vitamin.& mineral) Garam Total Nutrien
1
Hasil analisis laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, PAU-IPB; 2 Hasil analisis laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB; R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1 = ampas sagu 10%; R2 = ampas sagu 20%; R3 = limbah udang 10%; R4 = limbah udang 20%; R5 = ampas sagu fermentasi 10%; R6 = ampas sagu fermentasi 20%.
Perlakuan pada penelitian tahap IIa adalah sebagai berikut : R0
= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang
R1
= 2,5% ampas sagu + 17,5% limbah udang
R2
= 5% ampas sagu
R3
= 7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang
R4
= 10% ampas sagu
R5
= 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang
+ 15% limbah udang
+ 10% limbah udang
64 R6
= 15% ampas sagu + 5% limbah udang
R7
= 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang
R9
= 0% ampas sagu
+ 10% limbah udang
Model matematik yang digunakan dalam percobaan ini (Gaspersz, 1995): Y ij = μ + τ i + ε ij Keterangan : Y ij
: Nilai pengamatan
satuan percobaan yang
memperoleh perlakuan
ke-i dan ulangan ke-j. μ
: Nilai tengah pengamatan
τi
: Pengaruh perlakuan ke-i, i= 1, 2, 3,….7.
ε ij
: Pengaruh galat percobaan dari pengamatan yang perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j= 1, 2, 3, 4.
memperoleh
Tabel 11 Ransum Tikus penelitian Tahap IIb Bahan makanan dan nutrien Ampas sagu Limbah udang Jagung Dedak padi Bungkil kelapa Minyak kelapa Tepung ikan Premix Garam Total Protein kasar (%)1 Energi bruto (kkal/kg)2 Lemak (%)1 Serat kasar (%)1 Kalsium (%)2 Posphor (%)2 1
Perlak uan R0 0 0 45,95 19,85 22,0 3,0 8,6 0,5 0,1 100 14,69
R1 2,5 17,5 55,5 12,2 4,0 3,7 4,0 0,5 0,1 100 14,47
R2 5,0 15,0 48,6 17,0 5,0 3,6 5,2 0,5 0,1 100 14,84
R3 7,5 12,5 49,5 13,1 6,0 3,8 7,0 0,5 0,1 100 14,74
R4 10,0 10,0 43,4 15,5 9,5 3,5 7,5 0,5 0,1 100 14,92
R5 12,5 7,5 38,15 14,0 16,25 3,5 7,5 0,5 0,1 100 14,62
R6 15,0 5 34,9 12,0 21,0 3,5 8,0 0,5 0,1 100 14,57
R7 17,5 2,5 31,05 11,85 24,0 3,5 9,0 0,5 0,1 100 14,45
R8 20,0 0 20,0 19,80 26,0 3,6 10 0,5 0,1 100 14,56
R9 0 10 49,9 23,2 6,0 3,3 7,0 0,5 0,1 100 14,21
3923
3921
3906
3939
3930
3935
3916
3914
3910
3914
10,61 3,7 0,51 0,85
8,45 5,87 1,30 0,10
8,74 5,66 0,76 0,81
8,01 7,13 1,82 1,07
8,63 7,69 1,66 1,04
9,69 6,80 1,49 0,99
9,02 6,98 1,09 0,96
8,56 5,31 1,10 0,92
9,60 5,21 0,70 0,84
8,84 6,28 0,91 0,87
Hasil analisis laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, PAU-IPB; 2 Hasil analisis laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB; R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1 = 2,5% ampas sagu + 17,5% limbah udang; R2 = 5% ampas sagu + 15% limbah udang; R3 = 7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang; R4 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang; R5 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang; R6 = 15% ampas sagu + 5% limbah udang; R7 = 17,5 ampas sagu + 2,5 limbah udang; R8 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang; R9 = 0% ampas sagu + 10% limbah udang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap IIa Konsumsi Ransum Konsumsi ransum antar perlakuan selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang berarti (Tabel 12).
Rataan konsumsi ransum per ekor/hari
berkisar antara 9,92 – 11,61 g dengan rataan umum konsumsi ransum 10,86 ± 0,87 g. Hasil analisis ragam menunjukkan taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum.
Tidak signifikannya konsumsi ransum, menggambarkan bahwa
pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan hal ini erat kaitannya dengan komposisi nutrien ransum yang diberikan terutama kadar energi dan palatabilitas ransum. Ransum yang berkadar energi rendah akan dikonsumsi lebih banyak daripada ransum yang berkadar energi tinggi (Parakkasi 1990). Ransum yang diberikan mempunyai energi yang hampir sama sehingga jumlah konsumsi ransumpun tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Faktor lain yang berpengaruh terhadap konsumsi ransum adalah palatabilitas, indikator ransum yang mempunyai palatabilitas tinggi, akan dikonsumsi lebih banyak daripada ransum yang rendah. Tabel 12 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
Konsumsi ransum(g/e/h)
Pertambahan bobot badan(g/e/h)
Efisiensi penggunaan ransum
10,15 ± 1,05 9,92 ± 1,75 11,57 ± 0,18 11,61 ± 0,11 10,69 ± 0,94 11,37 ± 0,63 10,70 ± 1,45
3,05abc ± 0,25 2,72bc ± 0,57 3,55a ± 0,21 3,29ab ± 0,16 2,50c ± 0,36 2,97abc ± 0,38 2,90bc ± 0,39
0,30a ± 0,03 0,27b ± 0,01 0,31a ± 0,01 0,29ab ± 0,01 0,23c ± 0,02 0,26bc ± 0,02 0,27b ± 0,004
R0= ransum tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang; R1 = 10% ampas sagu; R2 = 20% ampas sagu; R3 = 10% limbah udang ; R4 = 20% limbah udang; R5 = 10% ampas sagu fermentasi; R6 = 20% ampas sagu fermentasi. Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Mengacu pada rataan konsumsi ransum, maka dapat dikatakan bahwa ransum yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang sampai pada
68
taraf 20% dalam ransum masih mempunyai palatabilitas yang sama walaupun proporsi jenis bahan pakan lain yang digunakan dalam ransum berbeda. Pertambahan Bobot badan Rataan pertambahan bobot badan harian tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang pada berbagai taraf selama penelitian adalah bervariasi (Tabel 12). Terlihat pada Tabel tersebut rataan pertambahan bobot badan per ekor/hari berkisar antara 2,50-3,55 g dengan rataan umum adalah 3,00 ± 0,33 g. Hasil penelitian memperlihatkan rataan pertambahan bobot badan harian yang tertinggi ditemukan pada tikus yang diberi ransum R2 diikuti berturut-turut R3, R0, R5, R6, R1 dan R4. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan yang diberikan berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan. Uji lanjut memperlihatkan taraf
pemberian perlakuan berpengaruh meningkatkan
(P<0,05) pertambahan bobot badan. Dari Tabel 12 terlihat ransum R2 berbeda dengan R6, R1dan R4, sedangkan dengan perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan merupakan ekspresi berbagai nutrien yang saling bersinergis sehingga faktor yang berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan lebih mengarah pada kecernaan nutrien dari ransum. Kecernaan protein nutrien tikus yang diberi ransum mengandung ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang dapat dilihat pada Tabel 13. Terlihat pada Tabel tersebut hasil kecernaan protein hampir sama, kecuali pada ransum R4. Kecernaan lemak pada tikus bervariasi walaupun tidak memperlihatkan perbedaan yang drastis, sedangkan kecernaan energi menurun seiring dengan peningkatan taraf pemberian ampas sagu fermentasi dan limbah udang. Pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada tikus yang menerima ransum R2 kemungkinan disebabkan perolehan nutrien yang cukup dan berimbang, termasuk ketersediaan asam amino esensial pada ransum tersebut yang diperoleh dari penggunaan tepung ikan yang cukup tinggi (16,5%) sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Hal ini dapat dipahami karena protein yang berasal dari tepung ikan lebih seimbang (Agbede 2003) sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Pertambahan bobot badan tikus yang lebih tinggi pada ransum R2 sebagai sumber serat (selulosa) dilaporkan juga berturut-turut oleh Urbano and Goni (2002) bahwa ransum yang disuplementasi dengan 5% selulosa secara nyata
69
meningkatkan bobot badan; Takamine et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian 10% selulosa dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi daripada ransum yang mengandung serat ubi jalar manis. Tabel 13 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang Perlakuan
Nutrien Protein (%) Lemak (%) Energi (%)
R0 65,92
R1 62,22
R2 63,00
R3 63,03
R4 59,94
R5 61,08
R6 61,18
78,75
78,21
82,37
80,67
71,89
80,98
82,43
74,34
66,74
69,28
71,62
69,01
71,74
68,92
R0= ransum tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang; R1 = 10% ampas sagu; R2 = 20% ampas sagu; R3 = 10% limbah uadang; R4 = 20% limbah udang; R5 = 10% ampas sagu fermentasi; R6 = 20% ampas sagu fermentasi.
Efisiensi Penggunaan Ransum Nilai efisiensi penggunaan ransum yang diperoleh berkisar antara 0,230,31 dengan rataan umum 0,28± 0,01 dimana nilai efisiensi penggunaan ransum yang terendah (0,23) pada ransum R4 dan tertinggi (0,31) pada R2 (Tabel 12) atau meningkat 34,78%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan ransum nyata dipengaruhi oleh perlakuan. Berdasarkan uji lanjut taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang meningkatkan (P<0,05) efisiensi penggunaan ransum. Tampak pada Tabel 12 efisiensi penggunaan ransum R0 dan R2 berbeda dengan R1, R5, R6 dan R4, sedangkan R1, R5, R6 dan R3 tidak berbeda nyata. Terlihat secara keseluruhan ransum R0, R2 dan R3 mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi, hal ini menggambarkan kelompok tikus yang menerima ransum tersebut lebih efisien menggunakan ransum. Nilai ini sangat terkait dengan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum harian pada setiap perlakuan. Nilai efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan pada penelitian ini menggambarkan bahwa meningkatkan taraf pemberian ampas sagu fermentasi dan limbah udang atau mengurangi ampas sagu, efisiensi penggunaan ransum menjadi menurun. Gambaran ini terlihat pada ransum R4 yang mempunyai efisiensi penggunaan ransum terendah, yaitu 0,23 (Tabel 12), keadaan ini menggambarkan kelompok tikus yang menerima ransum R4 mempunyai kemampuan yang rendah dalam hal
70
mengkonversi ransum menjadi satuan bobot badan. Hal ini terkait dengan kadar serat kasar ransum (Tabel 10) yang lebih tinggi, yakni 9,63% pada perlakuan R4. Dengan meningkatkan taraf pemberian limbah udang sampai 20%, menyebabkan kandungan kitin meningkat dalam ransum sehingga berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Kenyataan ini disebabkan tidak adanya enzim kitinase yang dapat menghidrolisis kitin (Hawab 2006). Kolesterol Darah Kadar kolesterol darah tikus selama penelitian yang diberi ampas sagu dan limbah udang terlihat menurun seiring dengan semakin bertambahnya taraf pemberian ampas sagu dan limbah udang dalam ransum. Hasil penelitian pada Tabel 14 memperlihatkan kadar kolesterol darah berkisar antara 59,75–71,09 mg/dl atau menurun maksimum 15,95%. Rataan umum kolesterol darah yang dihasilkan adalah 67,69 ± 5,81mg/dl. Tampak pada Tabel 14 kadar kolesterol darah pada kelompok tikus yang menerima ransum R0, R1, R5 dan R3 lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ransum R2, sedangkan kadar kolesterol pada kelompok tikus yang menerima ransum R0, R1, R5, R6, R3 dan R4 tidak berbeda nyata. Tabel 14 Kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL darah serta kolesterol daging tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang Peubah Perlakuan R0
Kolesterol darah (mg/dl) 70,97 a ±7,45
Trigliserida darah (mg/dl) 126,56±14,21
HDL darah (mg/dl) 34,95±13,50
LDL darah (mg/dl) 33,68±11,79
Kolesterol daging (mg/g) 0,047 ±0,02
R1
71,09a±3,28
69,71 ±53,63
44,27±10,10
61,73±19,75
0,130 ±0,12
R2
b
59,75 ±5,18
43,73 ±20,30
36,40 ±9,45
44,13±12,29
0,093 ±0,05
R3
a
70,70 ±2,77
38,39± 20,36
56,16±11,24
39,05±19,88
0,067±0,03
R4
ab
67,83 ±3,62
95,50 ±59,59
47,75±16,76
47,65±22,14
0,082 ±0,03
R5
70,70a ±6,15
91,89 ±66,02
45,06 ±7,38
41,98 ±3,85
0,063 ±0,07
R6
ab
62,45 ± 0,11
50,20±9,68
39,55±10,24
0,075±0,02
62,80 ±7,25
R0= tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang; R1= 10% ampas sagu; R2 = 20% ampas sagu; R3 = 10% limbah udang; R4 = 20% limbah udang; R5 = 10% ampas sagu fermentasi; R6 = 20% ampas sagu fermentasi. Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata.
Kolesterol darah pada kelompok tikus yang menerima ransum R2 lebih rendah daripada R0, R1, R5, dan R3 disebabkan meningkatnya taraf pemberian ampas sagu sampai 20% yang berarti meningkat pula kandungan selulosa.
71
Mekanisme selulosa sebagai sumber serat untuk menurunkan kolesterol bukan melalui mekanisme mengikat asam empedu disebabkan menurunnya kolesterol darah dengan pemberian selulosa lebih mengarah kepada kontribusinya untuk memberikan efek kekenyangan karena selulosa bersifat bulky atau voluminous. (Burton-Freeman (2000) yang disitasi oleh van Bennekum et al. (2005). Mengacu pada pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa ransum yang mengandung selulosa dikonsumsi lebih sedikit daripada ransum tanpa selulosa. Pernyataan ini berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh, terlihat pada Tabel 14 kelompok tikus yang menerima ransum R0, R1, R5, dan R3 mempunyai selisih jumlah konsumsi ransum yang sangat kecil dengan R2. Dengan demikian menurunnya kolesterol darah pada R2 bukan disebabkan oleh efek kekenyangan atau jumlah konsumsi ransum, akan tetapi diduga melalui penghambatan biosintesis kolesterol. Dugaan ini mengacu kepada kemampuan selulosa yang rendah dalam mengikat asam empedu.
Menurunnya kolesterol pada kelompok tikus yang
menerima ransum R2 adalah melalui penghambatan sintesis kolesterol hepatik oleh metabolit fermentasi mikroflora usus (Nishimura et al.1993). Pernyataan ini didukung juga oleh (Stipanuk 2000) bahwa didalam kolon selulosa mengalami fermentasi dan menghasilkan asam lemak terbang, salah satu diantaranya asam propionat yang segera diabsorpsi melalui vena porta hepatika dan diangkut ke hati sehingga menghambat aktifitas HMG-KoA-reduktase (hidroksi metilglutaril Ko-A reduktase) yang selanjutnya membatasi kecepatan enzim untuk biosintesa kolesterol sehingga laju sintesis kolesterol didalam tubuh dihambat. Nishina dan Freedland (1990), menyatakan bahwa propionat mengurangi sintesis kolesterol dengan menghambat pembentukan Asetil-KoA atau mengurangi ketersediaan karnitin untuk transportasi asam lemak ke mitokondria (Stephen 1994). Selanjutnya oleh Nishina dan Freedland (1990) dan Wright et al. (1990), menyatakan bahwa propionat mengurangi pemanfaatan asetat oleh hati untuk sintesis asam lemak dan kolesterol. Penghambatan biosintesis kolesterol terjadi pada konsentrasi asam propionat 1,0 mM (Wright et al. 1990). Asam propionat sebagai hasil fermentasi serat dalam sekum tikus juga dilaporkan Takamine et al. (2005) bahwa konsentrasi propionat nyata meningkat pada tikus yang diberi ransum serat ubi jalar daripada ransum yang diberi
72
selulosa. Hal ini berarti bahwa di dalam kolon, selulosa mengalami fermentasi dan menghasilkan asam propionat. Penemuan yang sama oleh Jurgonski et al. (2008) bahwa tikus jantan yang diberi 5 dan 10% selulosa dalam ransum menghasilkan 27,7 dan 30,3 µmol/g asam asetat dan 8,03 dan 8,45 µmol/g asam propionat. Dugaan terjadinya mekanisme ini ditandai oleh adanya aroma feses pada kelompok tikus yang menerima ransum R2 menyamai aroma fermentasi. Kemampuan selulosa menurunkan kolesterol dilaporkan juga oleh Menge et al. (1974) pada serum ayam betina, dan Malinow et al. (1979) yang disitasi Parveen et al. (2000) bahwa selulosa dapat menurunkan kolesterol plasma tikus. Trigliserida Darah Perlakuan ampas sagu dan limbah udang pada berbagai taraf pemberian dalam ransum tikus selama penelitian menghasilkan kadar trigliserida darah yang variatif (Tabel 14). Secara umum pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang semakin tinggi menurunkan kadar trigliserida darah, kecuali kadar trigliserida darah pada kelompok tikus yang menerima ransum R4. Hasil penelitian diperoleh rataan kadar trigliserida darah berkisar antara 38,39– 126,56 mg/dl dengan rataan umum 75,46 ± 36,27 mg/dl. Tabel 14 memperlihatkan kadar trigliserida darah yang terendah (38,39 mg/dl) pada tikus dengan ransum R3 dan tertinggi (126,56 mg/dl) pada ransum R0 atau menurun maksimum 69,67%. Namun berdasarkan analisis ragam tidak berpengaruh nyata. Hasil ini menunjukkan kadar trigliserida darah tikus belum dipengaruhi secara nyata oleh taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang, meskipun terlihat penurunan trigliserida mengikuti pola kolesterol, kecuali R4 (pemberian 20% limbah udang). Tidak signifikannya trigliserida darah tikus pada penelitian ini diduga kurang efektifnya fungsi selulosa dan kitin dalam saluran gastrointestinal untuk menghambat penyerapan lemak sehingga mengakibatkan penurunan trigliserida darah yang tidak nyata. Kondisi ini dibuktikan dengan persentase kecernaan lemak pada semua perlakuan yang mempunyai perbedaan sangat kecil. Kadar trigliserida yang dihasilkan pada penelitiaan ini masih berada pada kisaran kadar trigliserida yang dilaporkan Malole dan Pramono (1989), yaitu 26-145 mg/dl.
73
High Density Lipoprotein (HDL) Darah Kadar HDL darah pada semua perlakuan yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang dengan taraf yang berbeda selama penelitian adalah fluktuatif. Data pada Tabel 14 memperlihatkan kisaran rataan HDL darah berkisar antara antara 34,95–56,16 mg/dl dengan rataan umum yang dimiliki 44,97 ± 11,16 mg/dl. Hasil pengamatan memperlihatkan tikus yang diberi ransum R0 menghasilkan kadar HDL darah yang terendah (34,95 mg/dl) dan ransum R3 menghasilkan kadar HDL darah tertinggi (56,16 mg/dl) atau meningkat maksimum 60,69%. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa kadar HDL darah tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Hasil penelitian ini memperlihatkan taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang menghasilkan kadar HDL darah tikus meningkat pada ransum R1, R3, R4, R5 dan R6 sedangkan pada ransum R0 dan R2 terjadi penurunan kadar HDL. Walaupun demikian belum memberikan hasil yang signifikan. Kadar HDL dalam darah dibentuk terutama didalam hati dan sedikit didalam epitel usus saat absorpsi lemak dari usus. Tidak signifikannya HDL dapat diartikan bahwa pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang dalam ransum tikus memberikan pengaruh yang berarti terhadap kadar HDL darah. Kemungkinan hal ini terjadi, karena kadar kolesterol antar perlakuan tidak menunjukkan perubahan nilai yang drastis, sehingga signifikansi HDLpun
tidak terlihat. Walaupun
pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang tidak meningkatkan HDL darah tikus secara nyata, namun kadar HDL darah tikus pada penelitian ini lebih tinggi daripada yang dilaporkan Astawan et al. (2005). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan kadar HDL darah tikus yang diberi 5 dan 10% tepung rumput laut masing-masing sebesar 20 dan 25 mg/dl. Low Density Lipoprotein (LDL) Darah Pemberian taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda dalam ransum menghasilkan rataan kadar LDL darah yang bervariasi. Hasil penelitian memperlihatkan kadar LDL darah berkisar antara 33,68-61,73 mg/dl (Tabel 14) dengan rataan umum 43,97 ± 14,28 mg/dl. Terlihat pada Tabel tersebut kadar LDL darah tikus yang terendah (33,68 mg/dl) pada R0 dan tertinggi (61,73 mg/dl) pada R1. Walaupun demikian analisis ragam terhadap
74
kadar LDL darah menunjukkan bahwa kadar LDL darah tidak dipengaruhi oleh pemberian perlakuan. Sel-sel tubuh memerlukan kolesterol untuk digunakan dalam kepentingan struktur selular dari LDL, hal ini disebabkan LDL berfungsi sebagai pengirim kolesterol. Disisi lain keberadaan LDL dalam darah ditentukan oleh VLDL sebagai prekursor IDL dan IDL sebagai prekursor LDL. Didalam darah, LDL ditemukan sebagai lipoprotein yang telah mengalami proses yang pada hakekatnya merubah densitas lipoprotein dari sangat rendah menjadi rendah (Guyton dan Hall 1997). Keberadaan kolesterol sekitar 65% dalam bentuk LDL, oleh karena itu terdapat hubungan total kolesterol dengan LDL. Artinya jika total kolesterol darah menurun, maka LDL darah juga ikut turun. Tampak pada Tabel 14, kadar LDL darah menurun dengan menurunnya kolesterol darah, kecuali kelompok tikus yang diberi ransum R4 yang kadar LDL darahnya sedikit meningkat. Tidak signifikannya kadar LDL darah diduga karena selulosa dan kitin sebagai sumber serat yang berasal dari ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang kemampuannya masih terbatas untuk menurunkan kadar LDL secara nyata. Walaupun demikian kadar LDL pada
penelitian ini hampir
seluruhnya mendekati kadar LDL darah tikus yang diberi 5% tepung
rumput
laut seperti yang dilaporkan Astawan et al. (2005) sebesar 47 mg/dl, kecuali kelompok tikus yang menerima ransum R1. Kolesterol Daging Perbedaan taraf pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang
tidak
mempengaruhi
kadar
kolesterol
memperlihatkan kisaran rataan kolesterol daging
daging.
Hasil
penelitian
antara 0,047–0,130, mg/g
(Tabel 14) dengan rataan umum kolesterol daging 0,079 ± 0,14 mg/g. Tampak pada Tabel 14 kadar kolesterol daging tikus yang terendah (0,047 mg/g) diperoleh pada ransum R0 dan tertinggi (0,130 mg/g) pada ransum R1. Hasil analisis ragam terhadap kolesterol daging dari masing-masing ransum perlakuan menunjukkan bahwa pemberian perlakuan dalam ransum tidak berbeda nyata. Artinya pemberian berbagai taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang belum mampu menurunkan kadar kolesterol daging. Kolesterol yang terdapat dalam daging diperoleh dari LDL dengan cara pelekatan apoprotein B-100 yang
75
terdapat pada salah satu sisi LDL pada membran sel. Pelekatan protein ini ke reseptor menyebabkan seluruh lipoprotein ditranspor kedalam sel melalui proses pinositosis. Dengan cara seperti ini LDL mengantar kolesterol dan fospolipid ke hampir sel tubuh untuk digunakan dalam kepentingan struktur sel. Saat konsentrasi kolesterol didalam sel menjadi besar, terjadi penurunan produksi dari reseptor sel lipoprotein densitas rendah sehingga keadaan ini mengurangi absorpsi tambahan lipoprotein densitas rendah. Hal seperti ini merupakan cara setiap sel mengatur kolesterol internalnya (Guyton dan Hall 1997) dan hal ini pula diduga menyebabkan kadar kolesterol daging bervariasi. Pemilihan Taraf Penggunaan Ampas Sagu dan Limbah Udang Pengujian pemberian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang dalam ransum tikus hampir pada semua peubah yang diamati memperlihatkan hasil yang
tidak signifikan kecuali kadar kolesterol darah,
meski-pun menunjukkan nilai yang berbeda. Untuk pertambahan bobot badan, ransum R2 menghasilkan pertambahan bobot badan yang tertinggi diikuti R3, R0, R5, R6, R1, dan R4. Untuk peubah kolesterol darah perlakuan R6 dan R2 adalah yang terendah diikuti oleh R4, R3, R5, R0, dan R1. Untuk peubah trigliserida, perlakuan R3 dan R2 adalah yang terendah kemudian diiukuti oleh R6, R1, R5, R4, dan R0. Untuk peubah HDL, perlakuan R3 mempunyai nilai yang tertinggi dan diikuti berturut-turut
R6, R4, R5, R1, R2 dan R0. Peubah LDL darah
terendah berturut-turut pada R0, R3, R6, R5, R2, R4 dan R1. Untuk perlakuan total kolesterol daging, ransum R0 adalah yang paling rendah diikuti R5, R3, R6, R4 dan R2 dan R1. Berdasarkan uraian yang dikemukakan, maka kriteria untuk menentukan perlakuan yang digunakan pada penelitian tahap IIb adalah pertambahan bobot badan dan total kolesterol darah. Hal ini berarti dari semua perlakuan yang dicobakan, perlakuan R3 dan R2 dipilih untuk digunakan pada penelitian tahap IIb walaupun terlihat kadar kolesterol darah, kolesterol daging pada perlakuan R6 masing-masing lebih rendah 7,42 dan 8,54% dari R2. Namun untuk pertambahan bobot badan R2 lebih tinggi 18,31% daripada R6. Pemilihan perlakuan R2 untuk diaplikasikan pada penelitian tahap IIb juga mengacu pada hasil analisis ragam yang tidak berbeda nyata antara R2 dan R6, sehingga dari sisi
76
waktu dan biaya, R2 lebih ekonomis. Selain ampas sagu dan limbah udang, pada penelitian tahap IIb ini akan diuji kombinasi penggunaan ampas sagu dan limbah udang yang mengacu pada penggunaan 10 % limbah udang dan 20% ampas sagu ditambah beberapa perlakuan kombinasi yang tidak termasuk dalam acuan yang disebutkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari perlakuan tersebut terhadap peubah yang diamati. Dengan demikian perlakuan yang diuji untuk penelitian tahap IIb adalah sebanyak 10 perlakuan, sebagai berikut: R0 = tanpa ampas sagu dan limbah udang R1 = 2,5 % ampas sagu
+ 17,5% limbah udang
R2 = 5% ampas sagu
+ 15% limbah udang
R3 = 7,5% ampas sagu
+ 12,5% limbah udang
R4 = 10 ampas sagu
+ 10% limbah udang
R5 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang R6 = 15% ampas sagu
+ 5% limbah udang
R7 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang R8 = 20% ampas sagu
+ 0% limbah udang
R9 = 0% ampas sagu
+ 10% limbah udang
Penelitian Tahap IIb Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya selama penelitian secara keseluruhan hampir sama. Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh rataan konsumsi ransum berkisar antara 16,03-18,25 g/e/h (Tabel 15) dengan rataan umum 17,07 ± 1,53 g. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan yang diuji menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap jumlah konsumsi ransum. Hal ini dapat diartikan taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Tinggi rendahnya konsumsi ransum sangat terkait dengan kandungan nutrien dan palatabilitas ransum. Energi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan jumlah konsumsi ransum. Menurut Parakkasi (1990) jika ransum mempunyai kandungan energi yang tinggi, akan dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan ransum yang mempunyai kandungan energi yang rendah.
77
Hal ini dapat dipahami karena ternak mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi, ketika energinya terpenuhi ternak akan berhenti makan. Energi ransum untuk semua perlakuan hampir sama, sehingga perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum. Kemungkinan lain yang berpengaruh terhadap konsumsi ransum adalah palatabilitas. Palatabilitas berkaitan dengan sifat ransum dalam hal ini bau, rasa dan tekstur ransum, sehingga ransum yang mempunyai bau, rasa dan tekstur yang disukai ternak akan dikonsumsi lebih banyak. Hasil penelitian menunjukkan jumlah konsumsi ransum Tabel 15 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Pertambahan Efisiensi Konsumsi ransum bobot penggunaan Perlakuan (g/e/h) badan (g/e/h) ransum R0 16,05 ± 1,11 4,41 ± 0,55 0,27± 0,02 R1 17,46 ± 2,05 4,24 ± 1,00 0,24± 0,03 R2 18,14 ± 1,72 4,39 ± 0,69 0,24± 0,02 R3 17,61 ± 2,01 4,40 ± 0,72 0,25± 0,02 R4 16,82 ± 1,31 4,09 ± 0,57 0,24± 0,02 R5 18,25 ± 1,57 4,56 ± 0,47 0,25± 0,01 R6 16,03 ± 0,54 3,82 ± 0,24 0,24± 0,01 R7 15,55 ± 0,54 4,03 ± 0,47 0,26± 0,02 R8 17,24 ± 2,00 4,23 ± 0,60 0,24± 0,01 R9 17,51 ± 2,47 4,39 ± 1,04 0,25± 0,03 R0 = tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1= 2,5% ampas sagu + 17,5% limbah udang; R2 = 5% ampas sagu + 15% limbah udang; R3 = 7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang; R4 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang; R5 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang; R6 = 15% ampas sagu + 5% limbah udang; R7 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang; R8 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang; R9 = 0% ampas sagu + 10% limbah udang.
tidak berpengaruh nyata, sehingga dianggap ransum yang diberikan mempunyai sifat ransum yang sama dalam hal ini bau, rasa dan tekstur. Dengan demikian perlakuan yang diberikan dalam ransum dianggap mempunyai palatabilitas yang sama atau taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya belum mengganggu palatabilitas ransum, meskipun tiap ransum disusun dengan proporsi bahan yang berbeda. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan harian tikus pada semua perlakuan selama penelitian berlangsung hampir sama (Tabel 15). Dari Tabel tersebut terlihat kisaran rataan pertambahan bobot badan antara 3,82-4,56 g/e/h dengan rataan umum 4,26 ± 0,64 g/e/h. Hasil penelitian memperlihatkan pertambahan bobot
78
badan terendah (3,82 g/e/h) diperoleh pada ransum R6 dan tertinggi (4,56 g/e/h) pada ransum R5. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan yang diberikan tidak
mempengaruhi pertambahan
bobot
badan secara nyata. Hal ini
menggambarkan taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan berbagai kombinasinya tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan
merupakan respons tubuh terhadap ransum yang
dikonsumsi dan kecernaan dari ransum terutama protein. Rataan konsumsi ransum pada semua perlakuan selama penelitian memperlihatkan hasil yang hampir sama sehingga dapat dipahami rataan pertambahan bobot badan tikus pada semua perlakuanpun tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Demikian halnya kecernaan protein pada semua ransum tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Kecernaan protein ransum berkisar antara 66,73-75,98%. Efisiensi Penggunaan Ransum Rataan efisiensi penggunaan ransum secara keseluruhan memperlihatkan nilai yang relatif sama selama penelitian, yaitu berkisar antara 0,24-0,27 dengan rataan umum yang dimiliki 0,25 ± 0,02. Tampak pada Tabel 15 ransum R0 mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi diikuti berturut-turut ransum R7, R3, R5, R9, R1, R2, R4, R6 dan R8. Hasil analisis ragam memperlihatkan perlakuan yang diberikan tidak nyata pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan ransum. Hal ini dapat diartikan taraf pemberian ampas sagu dan limbah udang yang berbeda tidak memperlihatkan perubahan nilai efisiensi penggunaan ransum yang berarti. Efisiensi penggunaan ransum menggambarkan kemampuan ternak mengkonversi ransum dalam bentuk tambahan bobot badan. Oleh karena itu nilai ini sangat terkait dengan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum harian pada setiap perlakuan. Nilai efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatkan atau mengurangi taraf ampas sagu dan limbah udang tidak mengubah efisiensi penggunaan ransum.
79
Tabel 16 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9
Protein 75,98 66,73 69,62 71,48 70,89 68,44 71,80 72,36 71,48 70,39
Lemak % 85,27 65,31 78,48 78,98 76,22 78,45 83,02 82,53 82,22 79,92
Energi 81,18 71,72 68,33 70,78 69,10 70,37 76,15 77,35 76,13 74,09
R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1= 2,5% ampas sagu + 17,5% limbah udang; R2 = 5% ampas sagu + 15% limbah udang; R3 = 7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang; R4 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang; R5 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang; R6 = 15% ampas sagu + 5% limbah udang; R7 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang; R8 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang; R9 = 0% ampas sagu + 10% limbah udang.
Kolesterol Darah Pengujian pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya selama penelitian menunjukkan nilai yang berbeda. Hasil analisis laboratorium memperlihatkan kisaran rataan kolesterol darah antara 45,95-70,58 mg/dl (Tabel 17) dengan rataan umum 53,90 ± 6,39 mg/dl dengan. Pada data tampaknya kadar kolesterol darah yang terendah (45,95 mg/dl) pada ransum R6 dan tertinggi (70,58 mg/dl) pada ransum R0 atau mengalami penurunan maksimum 34,90%. Hasil analisis ragam memberi petunjuk bahwa taraf ampas sagu dan limbah udang berpengaruh sangat nyata terhadap kolesterol darah. Berdasarkan uji lanjut perlakuan yang diberikan menurunkan (P<0,05) kolesterol darah. Hasil analisis tersebut memperlihatkan perlakuan R1, R4, R7, R9 dan R8 tidak berbeda dengan R5, R3, R2 dan R6, akan tetapi ransum R3 dan
R6 berbeda dengan R2.
Meningkatnya kadar kolesterol pada kelompok tikus yang menerima ransum R0 dapat dipahami karena ransum tersebut tanpa pemberian ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat yang berfungsi untuk menghambat penyerapan lemak. Sebaliknya kelompok tikus yang menerima ransum R3, R6 dan R4 mempunyai kadar kolesterol yang lebih rendah daripada R2 dan R5 (Tabel 17). Hal ini disebabkan oleh kombinasi taraf ampas sagu dan limbah udang yang dianggap
80
Tabel 17
Profil lipida darah, kolesterol daging dan jaringan lemak tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Profil lipida darah, kolesterol daging dan jaringan lemak
Perlakuan
Kolesterol darah (mg/dl)
HDL darah (mg/dl)
LDL darah (mg/dl)
Trigliserida darah (mg/dl)
Kolesterol daging (mg/g)
Kolesterol jaringan lemak (mg/g)
R0
70,58 a ±14,29
44,95 ±7,20
46,18 ±6,32
69,46 bc ± 9,38
0,11 ±0,09
3,25 ± 0,27
R1
51,91 bcd ±6,39
39, 89 ±6,69
43,73 ±4,65
92,62a ±14,39
0,18 ±0,25
3,08 ± 0,69
R2
58,66 b ±6,29
49,09 ±5,08
39,15 ±8,51
62,94 bcd ±11,46
0,17 ±0,08
3,95 ±0,45
36,35 ± 9,44
36,58 ±6,66
68,21bc ±5,71
0,19 ±0,14
2,70 ±0,61
42,12 ±7,32
39,70 ±6,90
bcd
±3,11
0,05 ±0,04
3,17 ± 0,47
44,71 ± 8,88
44,10 ±10,00
54,57cd ±19,05
0,10 ±0,08
2,54 ±0,72
R3
cd
46,26
±5,34
bcd
R4
48,74
R5
57,88bc±2,56
±4,56
d
61,98
d
R6
45,95 ± 10,01
37,17 ±11,00
35,63 ±9,42
43,81 ±13,45
0,17± 0,24
3,58 ± 1,15
R7
54,06bcd±4,98
44,29 ± 3,98
36,33 ±12,63
62,81 bcd ±17,22
0,04± 0,02
3,40 ±0,55
R8
bcd
ab
54,40 ±5,11
44,71 ±6,25
42,68 ±7,22
77,66
±15,61
0,11± 0,04
3,47 ±0,10
R9
50,59bcd±4,34
44,73 ± 8,38
45,20 ±5,57
76,79 ab ± 5,57
0,07± 0,04
3,21 ±0,38
HDL= high density lipoprotein; LDL= low density lipoprotein; R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1= 2,5% ampas sagu + 17,5% limbah udang; R2 = 5% ampas sagu + 15% limbah udang; R3 = 7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang; R4 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang; R5 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang; R6 = 15% ampas sagu + 5% limbah udang; R7 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang; R8 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang; R9 = 0% ampas sagu + 10% limbah udang. Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
cukup baik menurunkan kolesterol darah. Kombinasi seperti ini kemungkinan memberikan suatu fungsi saling melengkapi dari selulosa dan kitin yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang. Terlihat pada Tabel 17, jika taraf pemberian ampas sagu dikurangi sampai 5% dan limbah udang ditingkatkan menjadi 15% mengakibatkan kolesterol darah meningkat. Hal ini dapat diartikan bahwa ampas sagu dan limbah udang pada taraf tertentu mempunyai kontribusi terhadap kadar kolesterol darah. Pengaruh ini dapat dilihat pada kelompok tikus yang menerima ransum R3 dan R6 yang mempunyai kadar kolesterol darah lebih rendah masingmasing 21,14 dan 21,67% daripada R2. Kontribusi selulosa menurunkan kadar kolesterol adalah secara tidak langsung melalui mekanisme penghambatan sintesis kolesterol hepatik oleh metabolit fermentasi mikroflora usus (Nishimura et al.1993). Sebaliknya kitin berfungsi mengikat asam empedu sehingga memacu sintesis asam empedu dari kolesterol yang mengakibatkan kolesterol dalam darah menjadi rendah. Kadar kolesterol yang dihasilkan pada penelitian ini masih dalam kisaran kadar kolesterol darah tikus yang dilaporkan Malole dan Pramono (1989), yakni 40-130 mg/dl.
81
High Density Lipoprotein (HDL) Darah Kadar HDL darah tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya selama penelitian menghasilkan nilai yang bervariasi dengan kisaran rataan antara 36,35 – 44,95mg/dl (Tabel 17) dan rataan umum 42,80 ± 7,95 mg/dl. Hasil penelitian yang dicantumkan pada Tabel 17 memperlihatkan pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya menghasilkan kadar HDL darah yang terendah (36,35 mg/dl) pada ransum R3 dan tertinggi (44,95 mg/dl) pada R0. Analisis ragam memberi petunjuk bahwa kadar HDL darah tidak dipengaruhi oleh pemberian perlakuan. Kadar HDL dalam darah dibentuk terutama didalam hati yang merupakan tempat sebagian besar komponen HDL disintesis dan sedikit didalam epitel usus selama absorpsi lemak dari usus. Terlihat pada Tabel 17 pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya belum secara nyata meningkatkan kadar HDL darah tikus. Hal ini dapat dipahami karena kadar kolesterol darah pada semua perlakuan tidak memperlihatkan perubahan yang drastis. Walaupun kadar HDL darah tidak nyata dipengaruhi oleh taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya, namun kadar HDL yang dihasilkan masih lebih tinggi daripada kadar HDL darah tikus yang diberi 10% tepung rumput laut, yakni 25 mg/dl (Astawan et al. 2005). Ditinjau dari fungsinya yang dapat mengapsorpsi kristal kolesterol yang mulai menumpuk pada dinding arteri, sehingga membantu melindungi terhadap perkembangan atherosklerosis, maka rasio HDL : LDL menjadi penting. Oleh karena itu ratio HDL terhadap LDL yang tinggi diharapkan untuk menghindari terjadinya atherosklerosis. Belum diketahui rasio HDL : LDL yang optimal untuk hewan percobaan tikus, namun jika dilakukan pendekatan menggunakan rasio HDL : LDL untuk manusia, maka rasio HDL : LDL yang ideal adalah > 0,4 (Schoenstadt 2008). Jika rasio ini dipakai untuk menilai rasio HDL : LDL tikus, maka semua perlakuan yang diberikan pada tikus mempunyai rasio HDL : LDL yang lebih tinggi daripada 0,4, yaitu berkisar antara 0,91-1,24. Nilai ini menggambarkan kadar HDL darah tikus yang diberi berbagai taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya telah memenuhi rasio ideal kadar HDL : LDL. Demikian halnya rasio untuk trigliserida : HDL juga belum diketahui, sehingga pendekatan yang dipakai adalah berdasarkan rasio untuk manusia. Secara umum rasio
82
trigliserida: HDL adalah 1= ideal dan 2 = baik (Minium 2008). Tampak pada Tabel 17, rasio trigliserida : HDL pada semua perlakuan berada diantara rasio ideal, yaitu berkisar antara 1,18–1,88, kecuali ransum R1 yang mempunyai rasio trigliserida : HDL sebesar 2,32. Low Density Lipoprotein (LDL) Darah Kadar HDL darah tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada taraf yang berbeda selama penelitian menghasilkan nilai yang bervariasi. Tabel 17 memperlihatkan pemberian perlakuan memiliki kadar LDL darah berkisar antara 35,63-46,18 mg/dl dengan rataan umum 40,93 ± 7,79 mg/dl. Pada Tabel tersebut terlihat tikus yang diberi ransum R6 mempunyai kadar LDL darah yang terendah (35,63 mg/dl) dan ransum R0 mempunyai kadar LDL darah yang tertinggi (46,18 mg/dl). Berdasarkan analisis ragam perlakuan yang diberikan tidak nyata menurunkan kadar LDL darah. Tampak pada Tabel 17 kadar LDL darah tidak banyak mengalami perubahan ketika diberikan ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada berbagai taraf. Low density lipoprotein (LDL) merupakan salah satu lipoprotein yang mempunyai komponen kolesterol yang besar. Pengaturan transpor kolesterol dalam sel jaringan melibatkan VLDL, IDL dan LDL. Sebelum kolesterol masuk kedalam sel dalam bentuk lipoprotein, kolesterol tersebut
bersirkulasi dalam darah. Didalam darah terjadi beberapa
proses yang pada intinya merubah densitas lipoprotein dari sangat rendah (VLDL) menjadi lipoprotein densitas rendah atau yang disebut LDL. Low density lipoprotein (LDL) sendiri adalah lipoprotein yang terbentuk setelah Intermediate density lipoprotein (IDL) ditarik kembali ke sel hati, dimana di hati sekitar setengah dari IDL dipindahkan. Intermediate density lipoprotein tersebut kemudian bersirkulasi kembali dalam darah dengan densitas lipoprotein yang semakin besar atau disebut LDL (Guyton dan Hall 1997). Terlihat pada Tabel 17, perubahan kadar LDL pada semua perlakuan sangat rendah sehingga tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Fenomena ini terjadi, kemungkinan ada hubungannya dengan mekanisme lipoprotein dalam darah, terutama saat IDL ditarik kembali ke hati dan terjadi pemindahan setengah dari IDL. Pemindahan setengah dari IDL ke sel hati memungkinkan kadar LDL darah tidak berpengaruh
83
nyata. Pemberian ampas sagu dan limbah udang pada berbagai taraf, baik secara tunggal maupun kombinasi lebih rendah daripada kadar LDL serum ayam broiler yang diberi minyak sawit dan minyak sapi (tallow) dengan kadar serat kasar 5, 7 dan 9%. Kadar LDL serum darah yang dihasilkan pada penelitian tersebut berkisar antara 48,205 – 61,145 mg/dl (Hartoyo et al. 2005). Trigliserida Darah Kadar trigliserida darah tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya pada taraf yang berbeda selama penelitian memperlihatkan hasil yang berbeda. Pemberian perlakuan menghasilkan kisaran rataan kadar trigliserida darah antara 43,18-92,62 mg/dl (Tabel 17) dengan rataan umum 67,09 ± 11,50 mg/dl. Dari data yang diperoleh terlihat rataan trigliserida darah terendah (43,81 mg/dl) ditemukan pada ransum R6 dan tertinggi (92,62 mg/dl) pada ransum R1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan sangat nyata berpengaruh terhadap kadar trigliserida darah. Hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum tikus menurunkan (P<0,05) trigliserida darah. Hasil analisis memperlihatkan ransum R0 berbeda dengan R6 dan R1. Begitu pula R1 berbeda dengan R2, R3, R4, R5, R6 dan R7, sebaliknya R3 berbeda dengan R6. Kelompok tikus yang menerima ransum R0 mempunyai kadar trigliserida darah yang lebih tinggi daripada ransum R6 disebabkan kecernaan lemak pada R0 lebih tinggi daripada ransum R6. Kecernaan lemak yang tinggi pada R0 menunjukkan ransum yang dikonsumsi tidak mengalami hambatan penyerapan dalam saluran gastrointestinal oleh karena tidak disertai ampas sagu ataupun limbah udang sebagai sumber serat. Sebaliknya kadar trigliserida yang rendah pada R6 dan R5 disebabkan pemberian serat yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang. Serat ini kemudian dalam saluran gastrointestinal yakni di duodenum, mengikat asam empedu sehingga agregat lemak tidak dapat diperbesar luas permukaannya yang pada akhirnya menyebabkan tidak terjadinya interaksi enzim pencernaan dengan partikel lemak. Kondisi ini menyebabkan menurunnya efektifitas pencernaan lemak.
Kadar
trigliserida yang dihasilkan pada penelitian ini masih berada pada kisaran kadar trigliserida yang dilaporkan Malole dan Pramono (1989), yaitu 26-145 mg/dl.
84
Selain itu tikus yang mendapat ransum R5 dan R6 mempunyai kadar trigliserida darah yang hampir menyamai kadar trigliserida darah tikus yang diberi 5% dan 10% tepung rumput laut, masing-masing 50,70 dan 47,3 mg/dl (Astawan et al. 2005). Kolesterol Daging Taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum tikus selama penelitian menghasilkan kadar kolesterol daging tikus yang fluktuatif. Hasil yang diperoleh memperlihatkan kisaran rataan kadar kolesterol daging antara 0,04–0,19 mg/g (Tabel 17) dengan rataan umum 0,12 ± 0,10 mg/g. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kolesterol daging. Kondisi ini menggambarkan taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar kolesterol daging. Artinya bahwa perlakuan yang diberikan mempunyai kemampuan yang sama terhadap keberadaan kolesterol dalam daging, meskipun terlihat indikasi kolesterol darah yang lebih rendah pada R6, R3 dan R4. Keberadaan kolesterol dalam daging mencerminkan sel mengatur kebutuhan kolesterolnya. Saat konsentrasi kolesterol didalam sel menjadi tinggi, terjadi penurunan produksi dari reseptor sel lipoprotein densitas rendah sehingga keadaan ini mengurangi absorpsi tambahan lipoprotein densitas rendah. Hal seperti ini merupakan cara setiap sel mengatur kolesterol internalnya (Guyton dan Hall 1997). Kolesterol Jaringan Lemak Kadar kolesterol jaringan lemak tikus yang diberi ampas sagu dan limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum menunjukkan hasil yang bervariasi dengan selisih antar tiap perlakuan yang relatif kecil. Tabel 17 memperlihatkan ratan kadar kolesterol jaringan lemak berkisar antara 2,70-3,95 mg/g dengan rataan umum 3,24 ± 0,54 mg/g. Analisis ragam memperlihatkan perlakuan yang diberikan dalam ransum tidak nyata berpengaruh terhadap kolesterol jaringan lemak. Kadar kolesterol jaringan lemak tikus yang dihasilkan selama penelitian menggambarkan pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya belum menimbulkan pengaruh nyata terhadap kolesterol jaringan lemak dan
85
dianggap mempunyai kemampuan yang sama terhadap kolesterol lemak, meskipun terlihat kadar kolesterol jaringan lemak terendah (2,70 mg/g) pada ransum tikus dengan ransum R3 dan R5 (2,54 mg/g). Hal ini berarti pemberian ampas sagu, limbah udang pada berbagai taraf secara fisiologis memberikan pengaruh terhadap kolesterol jaringan lemak. Akan tetapi penurunan nilai kolesterol ini tidak nyata sehingga perlakuan yang diberikan dianggap belum berpengaruh menurunkan kolesterol jaringan lemak, walaupun tampak ada perbedaan dalam kecernaan lemak. Pemilihan Perlakuan yang Terbaik Penelitian penggunaan ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum tikus berumur dua bulan untuk tiap peubah yang diamati memperlihatkan hasil yang berbeda (Tabel 17). Untuk kolesterol darah, ransum R6 dan R3 memperlihatkan kadar kolesterol darah yang lebih rendah dan secara statistik berbeda dengan R6 Untuk HDL dan LDL darah pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun HDL pada R0 dan LDL pada R7, R6 dan R3 masing-masing cenderung menunjukkan kadar yang lebih tinggi dan rendah. Untuk trigliserida darah, tikus yang diberi ransum R6 mempunyai kadar trigliserida darah yang terendah dan secara statistik berbeda dengan R8, R9, R3 dan R1. Untuk kolesterol daging, pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun kecenderungan kadar kolesterol daging yang lebih rendah didapatkan pada R7 dan R4. Hal yang berbeda dengan kolesterol lemak, ransum yang mendapat kombinasi R5 dan R3 memperlihatkan kadar lemak yang lebih rendah daripada R2. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka kriteria yang digunakan untuk memilih perlakuan yang terbaik untuk diaplikasikan pada penelitian tahap III adalah didasarkan pada kadar kolesterol darah, jaringan lemak dan daging yang rendah dan pertambahan bobot badan yang tinggi. Kriteria ini lebih diperuntukkan pada perlakuan yang mendapat kombinasi ampas sagu dan limbah udang sedangkan untuk kajian ampas sagu dan limbah udang tetap menggunakan 20% ampas sagu dan 10% limbah udang. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan, maka perlakuan kombinasi yang dipilih adalah R7, R5 dan R4. Dengan demikian untuk penelitian tahap III perlakuan yang diuji pada ternak babi adalah sebanyak enam perlakuan yaitu:
86
R0 = tanpa ampas sagu dan limbah udang R1 = 0% ampas sagu
+ 10% limbah udang
R2 = 10% ampas sagu
+ 10% limbah udang
R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang R5 = 20% ampas sagu
+ 0% limbah udang
SIMPULAN 1. Pemberian hingga 20% ampas sagu pada tahap penelitian IIa menghasilkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang tertinggi masing-masing 3,55 g/e/h dan 0,31. 2. Kadar kolesterol darah tikus terendah (59,75 mg/dl) diperoleh dengan 20% pemberian ampas sagu. 3. Performa tikus pada tahap penelitian IIb tidak dipengaruhi oleh taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya. Kadar kolesterol dan trigliserida darah tikus menurun pada ransum R6 masing-masing 45,95 dan 43,81%.
DAFTAR PUSTAKA Agbede JO. 2003. Equin-protein replacement of fishmeal with Leucaena leaf concentrate: an assesment of performance charactheristics and muscle development in the chicken. Int J Poult Sci 2(6):421-429. Astawan M, Wresdiyatif T, Hartana AB. 2005. Pemanfaatan rumput laut sebagai sumber serat pangan untuk menurunkan kolesterol darah tikus. Hayati. 12 (1): 23-27. Gaspersz V. 1995. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Bandung. Penerbit Tarsito. Guyton AC, John EH. 1997. Buku Ajar Fsiologi Kedokteran. Irawati S, Tengadi LMA KA, Alex S, penerjemah; Irawati S, editor. Jakarta, Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
87
Hartoyo B, Irawan I dan N. Iriyanti. 2005. Pengaruh asam lemak dan kadar serat yang berbeda dalam ransum broiler terhadap kandungan kolesterol, HDL, dan LDL serum darah. Anim Prod 7 (1):27–33. Hawab HM. 2006. Toksisitas dan kendala penggunaan kitin dan kitosan pada bahan makanan dan makanan. Prosiding Seminar Nasional Kitin kitosan; Bogor, 16 Maret 2006. Hlm 25-73. Horigome, Sakaguchi BTE, Kishimoto C, 1992. Hypocholesterolemic effect of banana (Musa sapientum L.var Cavendishii) pulp in the rat fed on a cholesterol containing diet. Br J Nutr 68:231-244. Jurkonski A, Juskiewicz J, Zdunczyk Z. 2008. Comparative effect of different dietary tarafs of cellulose and fructooligosacharides on fermentative processes in the caecum of rats. J Anim Feed Sci 17:88-99. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar universitas Bioteknologi. Institut pertanian Bogor. Menge H, Littlefield H, Frobish LT and Weinland BT. 1974. Effect of cellulose and cholesterol on blood and yolk lipids and reproductive eficiency of the hen. J Nutr 104:1554-1566. Minium M. 2008. TG/HDL Ratio. http//www.crossfitoakland.com/archieves/ 2008/08/tghdl ratio.html. [11 Januari 2011]. Nishimura, N, Nishikawa, H and Keriyama S, 1993. Ileorectostomy or cecectomy but not colectomy abolishes the plasma cholesterol lowering effect of dietary beet fiber in rats. J Nutr 123:1260-1263. Nishina PM, Freedland RA. 1990. Effect of propionate on lipid biosynthesis in isolated rat hepatocytes. J Nutr 120:668-673. Hawab HM. 2006. Toksisitas dan kendala penggunaan kitin dan kitosan pada bahan makanan dan makanan. Prosiding Seminar Nasional Kitin kitosan; Bogor, 16 Maret 2006. Hlm 25-73. Parakkasi A. 1990. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Bandung. Penerbit Angkasa. Parveen N, Akhbar MS, Abbas N, Abid AR. 2000. Effects of carrot residue fibre on body weight gain and serum lipid fractions. Int J Agri Biol 2(1-2):125128. Schoenstadt A. 2008. HDL/LDL ratio. MEDTV. Health information brought to life. http//www.cholesterol.emedtv.com/hdl/hdl-ldl-ratio.html[18Maret 2011]. Stephen A. 1994. Propionate-sources and effects on lipid metabolism. In: short chain fatty acids-falk symposium 73 (Binder HJ, Cummings JH, Soergel K,eds). 260-27. Kluwer Academic Publishers, Lancaster , UK. Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. United States of America. Saunders Company.
88
Takamine A, Hotta H, Degawa Y, Morimura S, Kida K. 2005. Effects of dietary fiber prepared from sweet potato pulp on cecal fermentation products and microflora in rats. J Appl Glycosci 52(1):1-5. Urbano MG, Goni I. 2002. Effect of short-chain fructooligosaccharides and cellulose on cecal enzyme activities in rats. J Nutr Metab 46 (6):254-258. van Bennekum AM, Nguyen DV, Schulthess G, Hauser H, Phillips MC. 2005. Mechanisms of cholesterol-lowering effect of dietary insoluble fibres: relationship with intestinal and hepatic cholesterol parameters. Br J Nutr 94: 331-337. Wright RS, Anderson JW, Bridges SR. 1990. Propionate inhibits hepatocyte lipid synthesis. Proc Soc Exp Biol Med 195 (1) : 26-29.
PERFORMA, PROFIL DARAH DAN KUALITAS KARKAS BABI YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG AMPAS SAGU, LIMBAH UDANG DAN KOMBINASINYA
ABSTRACT Excessive cholesterol in the body can cause atherosclerosis, a disease which leads to coronary heart problems. This experiment was aimed at investigating the effect of using an appropriate level of sago waste, shrimp waste and their combination on performance, carcass quality and blood profile of swine. Eighteen castrated male of local swine (VDL off-spring) aged five months with initial live weight 16-21 kg were used, with the application of randomized complete design, with six treatments and three replications. Data were analyzed using covariance analysis. The treatments were R0, R1(0% of sago waste + 10% of shrimp waste), R2 (10% of sago waste + 10% of shrimp waste), R3 (12.5 of sago waste + 7.5% shrimp waste), R4 (17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste), and R5 (20% of sago waste + 0% of shrimp waste). The results indicated that rate of passage, carcass weight and carcass percentage were influenced by the treatments. It can be concluded that ration R1 results in faster rate of passage, which is 17.04 hours; rations R0 and R4 result in greater carcass weight, which are 31.80 kg and 30.19 kg respectively. The higher carcass percentage is produced by ration R2, which is 76.52%. The use of 20% of sago waste gives the highest level of unsaturated fatty acid, i.e. 40.99%. The lowest price per kg ration and the price for increasing 1 kg of live weight are attributed to ration R1 namely Rp. 27766.3 and Rp. 12656.60, respectively. Key words: sago waste, shrimp waste, swine.
PENDAHULUAN Tujuan dari suatu usaha ternak babi pada umumnya adalah memperoleh pertumbuhan dan produksi daging yang memenuhi syarat guna kepentingan manusia dan untuk mendapatkan keuntungan bagi yang mengusahakannya. Pertumbuhan merupakan indikator apakah usaha tersebut akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pertumbuhan ternak yang baik, berarti ternak akan berproduksi sesuai pada waktunya. Namun dengan berkembangnya ilmu
90 pengetahuan, pertumbuhan ternak yang baik bukan merupakan satu-satunya faktor yang penting akan tetapi faktor lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia, diantaranya adalah kolesterol. Kolesterol merupakan substansi lemak hasil metabolisme yang banyak ditemukan dalam struktur tubuh manusia maupun hewan dan sangat esensial untuk kebutuhan sel. Kolesterol juga berfungsi sebagai bahan baku sintesis empedu dan merupakan komponen dalam membran sel. Meskipun
kolesterol
sangat
dibutuhkan
untuk
tubuh,
namun
apabila
keberadaannya berlebihan dalam tubuh maka dapat menyebabkan atherosklerosis, yaitu suatu penyakit yang mengarah pada terjadinya penyakit jantung koroner. Kolesterol umumnya dikaitkan dengan produk yang berasal dari hewan, sehingga sejak diketahui penyebab kolesterol dalam darah meningkat dengan mengkonsumsi produk hewani, maka berbagai usaha dilakukan untuk menghasilkan produk hewani yang dapat mengurangi resiko tersebut. Selain itu diupayakan agar kualitas karkas babi yang dihasilkan menjadi lebih baik. Tebal lemak punggung merupakan salah satu indikator kualitas karkas yang penting diperhatikan karena lemak punggung yang semakin tebal menurunkan kualitas karkas dan berdampak pada harga jual yang rendah. Salah satu cara yang dilakukan, yaitu dengan pemberian ransum berserat. Serat telah banyak digunakan dan direkomendasikan untuk mencegah peningkatan kolesterol dan atau mengembalikan kadar kolesterol darah yang tinggi pada keadaan normal. Serat juga dapat mencegah penyerapan lemak sehingga pembentukan lemak punggung menjadi berkurang. Bahan berserat yang belum dimanfaatkan untuk tujuan menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas babi adalah bahan limbah ampas sagu. Komponen serat dalam ampas sagu yang bermanfaat menurunkan kolesterol adalah selulosa, kadar selulosa ampas sagu berkisar antara 21,62-23,92%. Sumber serat lain yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang sama adalah limbah udang, karena diketahui mengandung kitin. Kadar kitin dalam limbah udang adalah berkisar 15-20%. Melihat pentingnya selulosa dan kitin, maka dilakukan penelitian pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang dalam ransum babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penggunaan ampas sagu, limbah
91 udang dan kombinasi keduanya terhadap performa, kualitas karkas dan profil darah babi.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian
dilaksanakan
bulan Juni – September 2010 bertempat di
Tobelo, kabupaten Halmahera Utara provinsi Maluku Utara. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, IPB, Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Fisiologi Kedokteran Hewan, IPB dan Laboratorium Kimia Terpadu, IPB. Bahan Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi jantan kastrasi lokal keturunan VDL berumur lima bulan sebanyak 18 ekor dengan kisaran bobot badan awal 16-21 kg dengan rataan 18 kg. Sebelum diberi perlakuan babi diberi obat cacing. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa, premix, garam dan CaCO 3 yang dapat dilihat pada susunan ransum babi penelitian (Tabel 18). Proporsi tiap bahan makanan dalam tiap ransum perlakuan ditentukan setelah diketahui hasil analisis proksimat tiap bahan makanan.
Selanjutnya
bahan-bahan tersebut ditimbang sesuai dengan perlakuan masing-masing, digiling halus dan dicampur sampai homogen mulai dari jumlah bahan yang sedikit sampai terbanyak, kemudian dianalisis kadar nutrien ransum. Pemberian ransum secara adlibitum dalam bentuk basah dengan perbandingan ransum : air (1:1,2-1,6). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 unit kandang yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang ternak dan ransum serta seperangkat peralatan analisis kolesterol, HDL dan LDL, trigliserida darah, penggaris, plastik transparan dan planimeter.
92 Metode Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan masing-masing tiga ulangan pada setiap perlakuan. Karena satuan percobaan cenderung tidak seragam dalam berat awal, maka data dianalisis menggunakan analisis kovariat. Uji lanjut yang digunakan jika perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata adalah uji T. Perlakuan yang diuji pada tahap ini sebagai berikut: R0
= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang
R1
= 0% ampas sagu 0
+ 10% limbah udang
R2
= 10% ampas sagu
+ 10% limbah udang
R3
= 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang
R4
= 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang
R5
= 20% ampas sagu
+ 0% limbah udang
Model matematik dalam percobaan ini (Gaspersz, 1995) adalah : Y ij = μ + τ i + β (Xij-X) + ε ij Keterangan : Y ij
: Nilai pengamatan satuan percobaan yang memperoleh perlakuan kei pada ulangan ke-j.
μ
: Nilai tengah populasi
τi
: Pengaruh faktor perlakuan ke-i.
β
: Koefisien regresi terkait kovariat
Xij
: Pengaruh kovariat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
X
: Rata-rata dari kovariat
ε ij
: Pengaruh galat percobaan dari pengamatan yang memperoleh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Peubah yang diamati pada penelitian tahap ketiga adalah konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan
ransum, gerak laju
digesta, berat karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung, luas urat daging mata rusuk, berat empedu, kantong empedu, isi empedu, asam lemak daging, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah, kolesterol jaringan lemak dan daging,
93 bilangan iodium dan perhitungan ekonomis ransum. untuk analisis profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging babi, pengambilan darah Tabel 18 Susunan ransum babi penelitian Bahan makanan dan nutrien
Perlakuan R0 0
R1 0
R2 10,0
R3 12,5
R4 17,5
R5 20,0
Limbah udang
0
10,0
10,0
7,5
2,5
0
Jagung kuning
43,3
44,5
38,0
35,0
29,0
28,0
Dedak padi
21,0
23,5
18,0
15,0
13,5
8,5
Bungkil kelapa
24,0
15,75
16,0
20,5
23,0
27,0
Minyak kelapa
0,5
0,25
1,0
1,5
3,0
3,5
Tepung ikan
9,0
5,0
6,0
7,0
10,5
11,5
Premix
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
CaCO 3
1,2
0
0
0
0
0,5
Garam
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Total
100
100
100
100
100
100
Protein kasar (%)1
16,30
15,42
15,44
15,82
16,81
17,24
Energi bruto (kkal/kg)2 Lemak (%)1
3449
3576
3513
3554
3601
3771
6,41
5,04
7,93
6,22
7,59
8,84
Serat kasar (%)1
4,25
7,30
6,43
7,26
5,06
6,60
NDF (%)2
67,54
41,64
72,44
50,62
61,68
46,57
Ampas sagu
Nutrien
ADF (%)2
18,06
37,98
18,05
57,71
57,71
37,98
2
0,91
1,71
1,07
0,94
0,83
0,42
Posphor (%)2
0,69
1,36
1,49
0,71
0,82
1,36
Lisin (%)3
1,16
1,33
1,78
1,07
1,25
1,58
Arginin (%)3
1,36
1,01
1,11
1,11
1,24
1,29
Histidin (%)3
0,45
0,28
0,34
0,33
0,44
0,42
Kalsium (%)
R0 = ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang, R1 = 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu dan 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang dan R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. 1Hasil analisis laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, IPB; 2Hasil analisis laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB; 3Hasil analisis laboratorium Kimia Terpadu, IPB.
94 dilakukan pada pagi hari, yaitu hari terakhir penelitian dengan menggunakan metode CHOD-PAP kit, produksi Human. Untuk pemeriksaan peubah tersebut babi dipuasakan selama 13 jam. Untuk pemeriksaan kolesterol daging, babi dipotong dan diambil daging pada paha bagian kanan. Prosedur Penelitian Peubah yang Diamati 1. Konsumsi ransum : ditimbang per hari berdasarkan jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum pada pagi hari berikutnya. 2. Pertambahan bobot badan : ditimbang setiap dua minggu pada pagi hari sebelum pemberian makan. 3. Efisiensi penggunaan ransum : diketahui berdasarkan pertambahan bobot badan dibagi konsumsi ransum (Pertambahan bobot badan/konsumsi ransum). 4. Gerak laju digesta diketahui dengan cara babi diberi ransum berindikator kromium oksida (Cr 2 O 3 ) sebanyak 5 g agar warna feses lebih jelas. Pengukuran dilakukan pada saat ransum berindikator dimakan sampai feses berwarna indikator keluar dan selang waktu tersebut adalah gerak laju digesta. 5.
Berat dan Persentase karkas: berat karkas diperoleh dengan menimbang karkas dan persentase karkas adalah hasil bagi berat karkas dan berat potong dikalikan 100%.
6.
Tebal Lemak Punggung (TLP): tebal lemak punggung diukur setelah ternak dipotong dan sudah menjadi karkas yang terdapat diantara tulang rusuk ke-10 dan ke-11 dengan menggunakan penggaris.
7. Urat Daging Mata Rusuk (Udamaru) : pengukuran luas udamaru dilakukan dengan membuat irisan melintang otot longisimus yang terdapat diantara tulang rusuk ke-10 dan ke-11, kemudian ditempelkan pada plastik transparan dan digambar dengan spidol. Selanjutnya luas urat daging mata rusuk dapat diukur dengan mengukur luas gambar dengan planimeter. 8. Kolesterol darah: pengambilan darah dilakukan pada pagi hari, pada tikus darah diambil pada bagian jantung, sedangkan pada babi pengambilan darah melalui vena jugularis. Penentuan kolesterol darah menggunakan metode CHOD-PAP, menggunakan kit yang dibuat oleh Human dengan prosedur sebagai berikut: sampel darah sebanyak 5 ml disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm setelah itu diambil masing-masing sebanyak 1 ml
95 plasma darah dan dimasukkan dalam tabung eppendorf untuk dianalisis menggunakan metode Cholesterol Oxidase Phenol Amino Phenazone (CHOD-PAP). Sampel (plasma darah) diambil sebanyak 10 μl kemudian ditambah 1000 µl reagent kolesterol (Human) dan divortex supaya homogen. Setelah itu diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit dan dibaca (konsentrasi absorbansnya) pada panjang gelombang 500 nm pada spektrofotometer. 9.
High density lipoprotein (HDL) darah: menggunakan metode CHOD-PAP, dengan kit yang dibuat oleh Human dengan prosedur sebagai berikut: sebanyak 1 ml plasma darah dalam tabung eppendorf untuk dianalisis menggunakan metode Cholesterol Oxidase Phenol Amino Phenazone (CHOD-PAP). Sampel (plasma darah) diambil sebanyak 200 μl kemudian ditambah 500 µl reagent larutan Precipitant for Semimicro Assays dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Setelah itu diambil 100 µl supernatan dan ditambah dengan 1 ml reagent kolesterol dan divortex sampai homogen. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit dan dibaca absorbans dan konsentrasinya pada panjang gelombang 500 nm pada spektofotometer.
10. Low density lipoprotein (LDL) darah: Sampel sebanyak 5µl ditambahkan 450 µl reagent 1 kemudian dihomogenkan dan diinkubasi selama 5 menit. Setelah itu ditambahkan reagent 2 sebanyak 150 µl, dihomogenkan dan diinkubasi selama 5 menit. Sesudah itu dibaca absorbannya dengan menggunakan alat spektrofotometer merek Cobas Mira pada panjang gelombang 550 nm, dan satuannya mg/dl. 11. Trigliserida darah : menggunakan metode CHOD-PAP, dengan kit yang dibuat oleh Human dengan prosedur sebagai berikut: sebanyak 1 ml plasma darah dalam tabung eppendorf untuk dianalisis menggunakan metode Cholesterol Oxidase Phenol Amino Phenazone (CHOD-PAP). Sampel plasma darah) diambil sebanyak 10 μl kemudian ditambah 1000 µl reagent trigiserida (Human) dan divortex supaya homogen. Setelah itu diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit dan dibaca absorbans dan konsentrasinya pada panjang gelombang 500 nm pada spektofotometer.
96 12. Kolesterol daging dan lemak: sebanyak ± 5 g daging/lemak yang sudah dicincang dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 10 ml diethyl ether diekstraksi selama 5 menit, sesudah itu diuapkan pada suhu kamar sampai kering. Daging yang sudah diekstrak dibuang dan kolesterol yang terlarut dalam ether tersebut ditambah 1 ml phosphat buffer saline pH 7,2, dikocok dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Setelah itu supernatan dituang ke dalam tabung evendorf
dan siap untuk dianalisis
kolesterolnya menggunakan metode CHOD-PAP yang dibuat oleh Human. 13. Mengetahui berat, kantong dan isi empedu dilakukan menggunakan timbangan digital.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum babi selama penelitian menghasilkan nilai konsumsi ransum yang sangat bervariasi. Dari Tabel 19 terlihat kisaran rataan konsumsi ransum antara 766,111125,65 g/e/h dengan
rataan umum
987 ± 131,64 g/e/h dimana konsumsi
terendah (766,11 g/e/h) pada ransum R1 dan tertinggi (1125,65 g/e/h) pada R0. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum. Berdasarkan uji lanjut pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya pada taraf yang berbeda menurunkan (P<0,05) konsumsi ransum. Tampak pada Tabel 19 ransum R0, R4, R3, R5 dan R2 tidak berbeda, begitu pula ransum R2 dan R1 tidak menunjukkan perbedaan sedangkan ransum R0, R4, R3, R5 berbeda dengan R1. Tabel 19 Konsumsi ransum babi yang diberi ampas sagu,limbah udang dan kombinasinya Perlakuan R0 R1
Konsumsi ransum (g/e/h)
R2
950,68ab±70,64
R3
1008,10a±139,44
R4
981,12a±168,88 1095,96a±264,02
R5
1125,65a±98,63 766,11b±48,25
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbahj udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Superskrip berbeda pada baris yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Terjadinya signifikansi konsumsi ransum ini terlihat pada minggu ke 2 dimana ransum R0, R5 dan R1 tidak berbeda, demikian halnya ransum R4, R3, R2 dan R1 tidak berbeda, sebaliknya ransum R0 berbeda dengan R4, R3 dan R2. Faktor yang sangat berkaitan dengan jumlah konsumsi ransum adalah kandungan energi dari ransum yang diberikan dan
palatabilitas ransum.
Ransum yang
diberikan mempunyai kandungan energi yang berbeda (Tabel 19), sehingga
98
berpengaruh terhadap jumlah konsumsi ransum. Hal ini terjadi karena ternak mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya, jika energi sudah terpenuhi maka ternak akan berhenti makan. Kondisi ini terlihat jika energi ransum tinggi, ternak akan mengkonsumsi ransum lebih sedikit, sebaliknya jika energi ransum rendah akan lebih banyak ransum dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Kemungkinan lain yang menyebabkan jumlah konsumsi ransum babi berbeda nyata adalah palatabilitas ransum. Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan tersebut yang dicerminkan oleh penampakan, bau, rasa dan tekstur. Pemberian ampas sagu dan limbah udang dengan taraf yang berbeda menyebabkan kuantitas bahan pakan yang lain dalam tiap ransum menjadi berubah. Perubahan ini berdampak pada performansi ransum yang pada akhirnya memberikan citarasa yang berbeda antar tiap perlakuan. Walaupun terlihat adanya pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, jumlah konsumsi ransum pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan babi yang diberikan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat (Budaarsa 1997). Hal ini dapat dipahami, disebabkan babi yang digunakan pada penelitian ini dengan yang digunakan pada penelitian Budaarsa (1997) berbeda dalam berat badan maupun bangsanya. Pertambahan Bobot Badan Selama penelitian berlangsung terjadi pertambahan bobot badan babi yang berbeda untuk setiap perlakuan (Tabel 20). Pemberian perlakuan menghasilkan rataan umum pertambahan bobot badan 233,66 ± 41,15 g/e/h dengan pertambahan bobot badan babi yang terendah (168,07g/e/h) diperoleh pada babi dengan ransum R1 dan tertinggi (295,41g/e/h) pada ransum R0. Analisis ragam menunjukkan pertambahan bobot badan babi tidak dipengaruhi oleh taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya. Perbedaan
bobot badan yang nyata
(P<0,05) terlihat pada minggu ke 4 (BBM4) dan minggu ke 5 (BBM5) seperti terlihat pada Gambar 11. Pada gambar tersebut tampak bobot badan tiap penimbangan relatif sama pada semua perlakuan, namun terdapat fluktuasi pada R1. Signifikansi bobot badan pada minggu ke 4 dan 5 ini tidak diikuti oleh signifikansi konsumsi ransum pada minggu yang sama demikian juga pada
99
minggu ke 2 dimana konsumsi ransum menunjukkan perbedaan yang nyata namun tidak diikuti oleh pertambahan bobot badan yang berbeda nyata. Kondisi ini menyebabkan rataan bobot badan babi selama penelitian tidak signifikan. Tampak pada Tabel 20 babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum mempunyai bobot badan tertinggi adalah berturutturut R4 (254,70 g), R5 (249,55 g), R3 (221,81 g), R2 (212,40) dan R1 (168,07 g). Tingginya pertambahan bobot badan babi pada ransum R4 didukung oleh waktu laju digesta yang lebih lama (20,43 jam) meskipun kecernaan nutrien tidak seluruhnya menunjukkan hasil yang baik. Berbeda dengan babi yang mendapat ransum R5 dimana mempunyai pertambahan bobot badan yang relatif sama (249,55 g) dengan babi R4, namun waktu laju digestanya lebih cepat (19,18 jam) dan mempunyai kecernaan protein dan energi yang lebih rendah daripada perlakuan yang lain. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan variasi genetik ternak babi yang beragam dan mempunyai kemampuan yang berbeda terhadap nutrien untuk menghasilkan pertambahan bobot badan. Tabel 20 Pertambahan bobot badan babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan
Pertambahan bobot badan (g/e/h)
R0 R1
295,41±27,67
R2 R3 R4 R5
168,07±30,55 212,40±23,15 221,81±43,37 254,70±43,83 249,55±78,33
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang.
Pertambahan bobot badan harian yang diperoleh pada semua perlakuan lebih rendah daripada pertambahan bobot badan harian babi impor atau yang dianjurkan oleh NRC (1998) yaitu sebesar 700 g. Hal ini disebabkan bangsa babi yang digunakan dalam penelitian ini tidak sama, dan berbeda cara pemeli haraannya. Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi lokal keturu-
Bobot badan (kg)
100 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
R0 ASA 17,5 LU 2,5% 12,5 LU 7,5% ASA 10 LU 10% ASA 20 LU 0% ASA 0 LU 10%
BAW BB M1 BB M2 BB M3 BB M4 BB M5 BB M6 Minggu ke
Gambar 11 Bobot badan babi mingguan(kg/e/2 mgg) nan VDL. Dari sisi pemeliharaan, babi
yang
digunakan
dalam penelitian
sebelumnya dipelihara secara tradisional sehingga pada periode pertumbuhan tidak diberikan ransum sesuai kebutuhan baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kondisi seperti ini mengakibatkan nutrien dari ransum yang diberikan dalam penelitian tidak dapat dilihat pengaruhnya secara nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005) bahwa nutrisi berpengaruh besar bila perlakuannya dimulai sejak awal periode pertumbuhan.
Rataan pertambahan bobot badan
harian pada penelitian ini secara keseluruhan lebih tinggi daripada pertambahan bobot badan babi lokal persilangan dengan babi impor Large White, yakni 145– 221 g/e (Ketaren 2008), akan tetapi lebih rendah daripada pertambahan bobot badan babi yang diberikan rumput laut, sekam padi dan kombinasinya yang berkisar antara 320-480g/e/h (Budaarsa 1997). Perbedaan bobot badan yang terjadi dapat dipahami karena bangsa babi yang digunakan dan ransum yang diberikan adalah berbeda. Bangsa ternak yang besar biasanya bertumbuh lebih cepat (Soeparno 2005). Selain itu kecernaan nutrien yang tinggi merupakan faktor penting untuk menunjang pertumbuhan. Mengacu pada kecernaan nutrien, ransum yang mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya mempunyai kecernaan nutrien yang secara keseluruhan lebih rendah (Tabel 21) daripada ransum yang diberi rumput laut, sekam padi dan kombinasinya. Hal ini disebabkan kualitas ransum pada kedua ransum tersebut berbeda.
101
Tabel 21 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5
Protein (%) 31,01 36,24 26,58 18,66 22,62 11,06
Lemak (%) 62,37 66,88 79,80 60,75 60,96 70,37
Energi (%) 32,83 48,46 48,12 31,52 40,91 26,54
R0= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang.
Efisiensi Penggunaan Ransum Ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam berbagai taraf pemberian menghasilkan nilai efisiensi penggunaan ransum yang secara keseluruhan hampir sama. Dari Tabel 21 terlihat rataan efisiensi penggunaan ransum berkisar antara 0,21-0,27 dengan rataan umum 0,23 ± 0,03 dimana nilai efisiensi penggunaan ransum terendah (0,21) pada ransum R3 dan tertinggi (0,27) pada R0. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian perlakuan tidak nyata mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi penggunaan Tabel 22 Efisiensi penggunaan ransum babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan
Efisiensi penggunaan ransum
R0 R1
0,27±0,02
R2 R3 R4 R5
0,22±0,02 0,22±0,01 0,21±0,05 0,26±0,03 0,22±0,02
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbahj udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang.
ransum
yang dihasilkan menggambarkan taraf pemberian ampas sagu, limbah
udang dan kombinasinya selama penelitian tidak mempengaruhi nilai tersebut.
102
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa babi mempunyai kemampuan yang sama dalam hal mengkonversi ransum menjadi satuan bobot dan hal ini terkait dengan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum. Nilai efisiensi penggunaan ransum pada hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan babi yang diberi rumput laut dan sekam padi masing-masing 5 dan 10% sebagai sumber serat, yakni berkisar antara 0,31-0,36 (Budaarsa 1997). Kolesterol Darah Pengujian perlakuan terhadap kolesterol darah babi selama penelitian menghasilkan kadar kolesterol darah yang fluktuatif. Pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada berbagai taraf menghasilkan kisaran rataan kolesterol darah antara 76,52-96,69 mg/dl dengan rataan umum 80,60 ± 17,87 mg/dl. Terlihat pada Tabel 23 kadar kolesterol darah yang terendah (76,52 mg/dl) pada ransum R2 dan tertinggi (96,69 mg/dl) pada ransum R3 atau menurun 20,86%. Walaupun terlihat kecenderungan kadar kolesterol menurun, hasil analisis ragam menunjukkan hasil yang tidak nyata. Kondisi ini menggambarkan taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum belum secara nyata menurunkan kolesterol darah. Tampak pada Tabel 23 kadar kolesterol yang terendah diperoleh pada kelompok babi yang menerima ransum R2 dengan persentase menurun 20,86%. Hal ini menandakan bahwa pemberian 10% ampas sagu dan 10% limbah udang secara fisiologis telah berhasil menurunkan 20,86% kolesterol dibandingkan ransum R3, namun secara statistik tidak signifikan. Kemungkinan tidak signifikannya kolesterol darah diduga disebabkan ransum yang diberikan berupa tepung. Ransum bentuk tepung memberikan peluang atau kesempatan kepada ternak untuk memilih (Roese 1990). Sifat selektif menyebabkan serat dalam ransum yang diharapkan dapat menurunkan kolesterol tidak dikonsumsi seluruhnya sehingga serat yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang tidak dapat berfungsi dengan baik. Dugaan ini didukung oleh rataan jumlah sisaan serat pada ransum secara kuantitatif berbeda, yakni berturut-turut R0 = 10,45 g; R1 = 31,02 g; R2 = 17,21 g; R3 = 20,34 g; R4 = 26,42 g dan R5 = 21,99 g. Selain itu juga disebabkan standar deviasi yang besar. Kadar kolesterol yang dihasilkan pada hasil penelitian ini lebih rendah
103
daripada kadar kolesterol darah babi yang diberi sekam padi dan rumput laut masing-masing 5 dan 10%, yakni berkisar antara 131,40-142,90 mg/dl (Budaarsa 1997). Tabel 23 Profil lipida darah, kolesterol daging dan jaringan lemak, laju digesta, bilangan iodium lemak punggung, dan bilangan iodium daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan Peubah Kolesterol darah (mg/dl) HDL (mg/dl) LDL (mg/dl TG (mg/dl) Kolesterol daging (mg/g) Kolesterol jaringan lemak (mg/g) Bil.Iodium lemak punggung Bil.Iodium daging Laju digesta (jam)
R0
R1
R2
R3
R4
R5
79,76±10,60
86,64±13,36
76,52±27,50
96,69±19,64
93,24±8,34
86,73±27,78
37,13±1,87
44,81±2,40
39,23±8,80
41,89±5,95
41,97±1,30
44,39±13,72
76,23±13,20
46,73±4,24
55,68±21,21
52,77±10,61
59,79±9,61
66,19±8,14
55,09±26,76
57,56±20,21
51,53±3,03
58,16±10,10
61,50±12,96
52,39±14,31
0,20±0,07
0,14±0,08
0,20±0,25
0,12±0,04
0,38±0,19
0,13±0,03
0,057±0,02
0,029±0,04
0,056±0,08
0,097±0,12
0,031±0,03
0,050±0,02
66,24±5,46
55,65±3,34
57,50±4,57
56,81±5,72
63,76±5,61
53,50±9,50
15,32±2,58
15,28±0,05
14,54±3,15
15,39±0,49
12,55±1,94
13,80±2,95
22,10a±0,63
17,04c±1,41
21,33a±1,17
21,1ab±0,92
20,43a±0,56
19,18b±1,06
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
High Density Lipoprotein (HDL) Darah Kadar HDL darah babi yang dihasilkan dari pemberian ransum yang mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada taraf yang berbeda memberikan hasil yang bervariasi. Kadar HDL darah yang dihasilkan berkisar antara 37,13-44,81 mg/dl
dengan rataan umum 41,57 ± 5,67 mg/dl
(Tabel 23). Terlihat kelompok babi yang menerima ransum R0 mempunyai kadar
104
HDL yang terendah, yaitu 37,13 mg/dl dan yang tertinggi pada ransum R1, yaitu 44,81 mg/dl atau meningkat 20,68%. Variasi nilai HDL darah yang dihasilkan selama penelitian berdasarkan analisis ragam tidak nyata dipengaruhi oleh jenis pemberian ransum. Nilai HDL darah babi yang dihasilkan memberikan arti pemberian ampas sagu dan limbah udang pada taraf yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar HDL darah babi, walaupun terlihat kecenderungan HDL meningkat 20,86%. High Density Lipoprotein (HDL) disintesis dalam hati dan usus, setelah disekskresikan dalam darah mengalami perubahan akibat berinteraksi dengan kilomikron dan VLDL. Dalam perjalanannya HDL juga menyerap kolesterol dari permukaan sel dan dari lipoportein lain (Murray 2003). Mengarah pada sintesis dan mekanisme dalam darah, maka tidak signifikannya kadar HDL darah kemungkinan disebabkan oleh mekanismenya dalam darah. Meskipun pemberian ampas sagu dan limbah udang tidak berpengaruh secara nyata meningkatkan kadar HDL, namun disisi lain perlakuan tersebut menghasilkan rasio HDL : LDL sesuai harapan, yakni >0,4. High
Density
Lipoprotein
(HDL)
bersifat
menurunkan
resiko
artherosklerosis, hal ini terkait dengan fungsinya mengambil timbunan kolesterol dalam jaringan dan mengirimnya
ke hati untuk selanjutnya dibawa kedalam
empedu. Oleh karena itu kadar HDL dan LDL dalam darah diharapkan menghasilkan ratio yang ideal, sehingga resiko artheroskelorosis dapat dihindari. Tidak diketahui rasio HDL dan LDL darah yang ideal pada babi, akan tetapi pada manusia rasio HDL dan LDL darah adalah >0,4. Jika nilai ini digunakan sebagai acuan untuk menilai rasio HDL dan LDL darah babi, maka terlihat rasio HDL : LDL pada semua perlakuan lebih besar daripada >0,4. Rasio HDL : LDL darah babi perlakuan berturut-turut R0: 0,49; R1: 0,96; R2: 0,70; R3: 0,79; R4 : 0,70 dan R5: 0,67. Fenomena ini menggambarkan taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya berpengaruh menghasilkan rasio HDL : LDL darah yang sesuai. Low Density Lipoprotein (LDL) Darah Pemberian ampas sagu dan limbah udang pada berbagai taraf dalam ransum babi selama penelitian menghasilkan nilai LDL darah yang bervariasi. Rataan kadar LDL darah yang dihasilkan berkisar antara 46,73–76,23 mg/dl
105
dengan rataan umum 59,57 ± 11,17 mg/dl. Tampak pada Tabel 23 kadar LDL darah yang terendah (46,73 mg/dl) terdapat pada babi dengan ransum R1 dan tertinggi (76,23 mg/dl) dengan ransum R0 atau menurun 38,70%. Kadar HDL darah yang dihasilkan berdasarkan analisis ragam menunjukkan hasil yang tidak nyata. Pemberian perlakuan yang tidak nyata berpengaruh terhadap kadar HDL darah dapat diartikan bahwa menambahkan ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dengan taraf yang berbeda tidak menurunkan kadar LDL. Low Density Lipoprotein (LDL) adalah salah satu lipoprotein yang berperan dalam transpor kolesterol di dalam sel jaringan, yang sebelumnya mengalami beberapa proses yang mengarah kepada perubahan densitas. Perubahan densitas ini diawali dengan lipoprotein densitas sangat rendah atau very low density lipoprotein (VLDL) menjadi intermediate density lipoprotein (IDL) yang mempunyai densitas sedikit lebih meningkat daripada VLDL oleh adanya lipoprotein lipase. Meningkatnya densitas disebabkan sejumlah trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak yang kemudian zat-zat tersebut dilepaskan untuk disimpan didalam jaringan untuk digunakan sebagai energi. Lipoprotein ini kemudian ditarik kembali ke sel hati dan sekitar setengah dari IDL dipindahkan ke hati, sehingga lipoprotein yang tersisa didalam darah terus kehilangan hampir semua sisa trigliserida sedangkan kadar kolesterol dan fosfolipidnya mencapai konsentrasi yang besar. Lipoprotein seperti ini mempunyai densitas yang semakin besar dan disebut lipoprotein densitas rendah (LDL) (Guyton dan Hall 1997). Selain itu kadar LDL ditentukan oleh dua proses fisiologis, yaitu kecepatan VLDL dipindahkan dari plasma oleh reseptor dependent dan reseptor independent Paik and Blair (1995). Kadar LDL yang tidak signifikan, seiring dengan kadar kolesterol yang tidak memperlihatkan perubahan yang drastis. Hal ini karena LDL berfungsi dalam transpor kolesterol di dalam sel jaringan. Meskipun demikian tampak pada Tabel 23 bahwa kadar LDL yang terendah diperoleh pada kelompok babi yang menerima perlakuan R1, hal ini menandakan dengan pemberian 10% limbah udang secara fisiologis telah berhasil menurunkan 38,70% kadar LDL, namun secara statistik tidak signifikan. Kondisi ini mengindikasikan taraf pemberian ampas sagu dan limbah udang belum memberikan pengaruh yang berarti
106
menurunkan kadar LDL darah. Kadar LDL darah pada penelitian ini mendekati kadar LDL hasil penelitian Budaarsa (1997) yang memperoleh hasil 47,75-80,74 mg/dl yang rumput laut 5 dan 10% serta kombinasinya. Trigliserida Darah Pemberian ransum yang mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya menghasilkan kadar trigliserida darah babi yang hampir sama yang dapat dilihat pada Tabel 23. Dari Tabel tersebut terlihat kisaran rataan kadar HDL darah antara 51,53-61,50 mg/dl dengan rataan umum
56,04 ± 14,56 mg/dl.
Terlihat pada Tabel 23 kadar trigliserida darah babi yang terendah pada ransum R1, yaitu 51,53 mg/dl dan tertinggi pada R4, yaitu 61,50 mg/dl atau menurun 19,35%. Hasil analisis ragam memperlihatkan kadar HDL darah tidak nyata dipengaruhi oleh pemberian perlakuan. Kadar trigliserida darah yang dihasilkan mencerminkan suatu keadaan bahwa menambahkan dan mengurangi ampas sagu dan limbah udang dalam suatu kombinasi tidak mempengaruhi kadar trigliserida darah. Tampaknya perlakuan yang diberikan menghasilkan kadar trigliserida yang secara keseluruhan mempunyai variasi yang tidak jauh berbeda. Ransum R4, R3 dan R1 memperlihatkan peningkatan kadar trigliserida darah berturut-turut adalah 11,63%; 5,57%; 4,48% sedangkan ransum R2 dan R5 memperlihatkan penurunan kadar trigliserida berturut-turut 6,46% dan 4,90%. Kadar trigliserida darah yang dihasilkan pada penelitian ini menggambarkan serat yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang baik yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi belum bekerja maksimal. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kecernaan lemak ransum yang secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang drastis. Walaupun pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya belum secara nyata berpengaruh terhadap kadar trigliserida darah, namun hasil penelitian ini lebih rendah daripada kadar trigliserida darah babi yang diberi curcumin 4, 8, dan 12 ppm/kg berat badan. Kadar trigliserida darah pada hasil penelitian tersebut berturut-turut 119,68, 119,67 dan 130,74 mg/dl (Berliana 2007). Kolesterol Daging Pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dengan taraf yang berbeda dalam ransum menghasilkan kadar kolesterol daging babi yang
107
bervariasi. Variasi tersebut berkisar antara 0,12-0,38 mg/g dengan rataan umum 0,20 ± 0,11 mg/g dimana kadar kolesterol daging terendah (0,12 mg/g) pada ransum R3 dan tertinggi (0,38 mg/g) pada ransum R4 (Tabel 23). Berdasarkan analisis ragam pengujian ransum perlakuan memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata terhadap kolesterol daging. Walaupun hasil yang diperoleh terlihat ada kecenderungan turun dan naik kadar kolesterol daging dibandingkan dengan ransum R0. Persentase kolesterol daging menurun dari R0 sebesar 30, 35 dan 40% berturut turut pada ransum R2, R5 dan R3. Persentase ini menunjukkan secara fisiologis telah terjadi penurunan kolesterol dalam daging dan hal ini memberikan gambaran adanya pengaruh pemberian serat pada kombinasi 12,5% ampas sagu dan 7,5% limbah udang, 20% ampas sagu dan 0% limbah udang dan 0% ampas sagu dan 10% limbah udang. Keberadaan kadar kolesterol daging seperti ini mencerminkan sel mengatur kebutuhan kolesterolnya. Reseptor yang ada di membran sel mengikat LDL dan membawanya kedalam sel. Penyerapan dan pencernaan LDL menyebabkan pembebasan kolesterol dalam sel. Saat konsentrasi kolesterol di dalam sel menjadi besar, terjadi penurunan produksi dari reseptor sel lipoprotein densitas rendah sehingga keadaan ini mengurangi absorpsi tambahan lipoprotein densitas rendah. Hal seperti ini merupakan cara setiap sel mengatur kolesterol internalnya (Guyton dan Hall 1997). Nilai kolesterol daging babi pada semua perlakuan jika dikonversikan ke nilai kolesterol daging yang dianjurkan USDA 1985, maka kadar kolesterol daging pada R0, R1, R2, R3, R4 dan R5 berturut-turut adalah 20, 14, 20, 12, 38 dan 13 mg/100 g. Persentase penurunan kolesterol daging babi juga ditemukan pada penelitian Budaarsa (1997) yang meneliti tentang pemberian rumput laut, sekam padi dan kombinasinya. Persentase penurunan kolesterol daging yang dihasilkan dari penelitian tersebut berturut-turut 5% rumput laut (14,78%), 10% rumput laut (32,44%), 5% sekam padi (12,11%) dan 10% sekam padi (21,87%), 10% rumput laut + 5% sekam padi (29,47%), 5% rumput laut + 10% sekam padi (29,47%) dan 10% rumput laut + 10% sekam padi (59,46%). Secara keseluruhan persentase penurunan kolesterol daging babi yang dihasilkan berkisar antara 12,11-59,46%, hal ini berarti sebagian besar persentase penurunan kolesterol daging babi dari pemberian rumput laut, sekam padi dan kombinasinya lebih rendah dan hanya
108
satu perlakuan, yaitu (10% rumput laut + 10% sekam padi) yang lebih tinggi daripada pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya.
Perbedaan
kadar kolesterol daging ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain makanan, grade karkas, umur dan bangsa ternak (Soeparno 2011). Bangsa babi yang digunakan dalam penelitian Budaarsa (1997) adalah Landrace sedangkan bangsa yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi lokal keturunan VDL. Kolesterol Jaringan Lemak Taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum sebagai sumber serat menghasilkan kadar kolesterol jaringan lemak babi yang bervariasi (Tabel 23). Tampak pada Tabel tersebut rataan kadar kolesterol jaringan lemak berkisar antara 0,029-0,097 mg/g dengan rataan umum 0,053 ± 0,05 mg/g. Pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dengan taraf yang berbeda selama penelitian menghasilkan kadar kolesterol jaringan lemak yang terendah diperoleh pada ransum R1, yakni 0,029 mg/g dan yang tertinggi (0,097 mg/g) pada ransum R3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian perlakuan tidak secara nyata mempengaruhi kadar kolesterol jaringan lemak babi. Walaupun hasil ini memperlihatkan ada kecenderungan kadar kolesterol jaringan lemak yang menurun dibandingkan dengan ransum R0. Persentase kolesterol jaringan lemak menurun dari R0 berturut-turut 45,61; 12,28 dan 49,12% pada ransum R4, R5 dan R1. Penurunan ini masih belum menggambarkan secara nyata pengaruh taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya terhadap kolesterol jaringan lemak sehingga dianggap mempunyai kemampuan yang sama terhadap pembentukan kolesterol jaringan lemak. Akan tetapi secara fisiologis telah terjadi penurunan kadar kolesterol jaringan lemak, artinya taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya telah berhasil menurunkan kolesterol jaringan lemak babi. Persentase penurunan kadar kolesterol jaringan lemak juga dilaporkan Budaarsa (1997), yakni pemberian 5% rumput laut (14,78%), 10% rumput laut (32,44%), 5% sekam padi (12,11%), 10% sekam padi (21,87%). Selain itu kombinasi rumput laut dan sekam padi masing-masing 10% rumput laut + 5% sekam padi (28,86%), 5% rumput laut + 10% sekam padi (39,67%) sedangkan untuk 10% rumput laut + 10% sekam padi adalah 46,30%. Persentase penurunan
109
kolesterol jaringan lemak babi yang dihasilkan dari pemberian rumput laut, sekam padi dan kombinasinya untuk beberapa perlakuan lebih rendah dan relatif sama dengan kolesterol jaringan lemak babi yang diberikan ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya. Bilangan Iodium Lemak Punggung Nilai bilangan iodium lemak yang dihasilkan pada semua perlakuan secara keseluruhan hampir sama.
Pemberian taraf
ampas sagu, limbah udang dan
kombinasinya menghasilkan kisaran rataan bilangan iodium lemak punggung antara 53,50- 66,24 (Tabel 23) dengan rataan umum 58,91 ± 5,7. Pada Tabel tersebut terlihat bilangan iodium terendah (53,50) adalah pada babi yang mendapat ransum R5 dan tertinggi (66,24) pada ransum R0 (Tabel 23) atau meningkat 23,81%. Berdasarkan analisis ragam perlakuan yang diberikan tidak nyata
pengaruhnya
terhadap
bilangan
iodium lemak
punggung.
Tidak
signifikannya bilangan iodium lemak diduga karena kinerja serat yang bersumber dari ampas sagu dan limbah udang belum berfungsi secara maksimal. Nilai bilangan iodium yang tidak signifikan diikuti dengan tidak signifikannya kadar kolesterol lemak. Berbeda dengan kolesterol darah yang diharapkan rendah, bilangan iodium suatu bahan justru diharapkan tinggi, disebabkan bilangan iodium berhubungan erat dengan tingkat kejenuhan suatu lemak, sehingga semakin tinggi bilangan iodium semakin tidak jenuh lemak tersebut. Belum diketahui batasan nilai bilangan iodium lemak babi yang baik untuk dikonsumsi manusia, namun dianjurkan bilangan iodium lemak yang digunakan pada perusahaan sebaiknya dibawah 70-74 (Beltranena et al. 2009). Selain itu dalam praktek pemberian pakan
biasanya ditambahkan lemak babi dengan
batasan bilangan iodium 52-67 (Insani 2008). Mengacu pada batasan nilai bilangan iodium tersebut, maka secara keseluruhan taraf pemberian ampas sagu dan limbah udang menghasilkan nilai bilangan iodium yang cukup baik. Bilangan iodium lemak yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati bilangan iodium lemak babi bagian subkutan yang diberi 40% pollard dalam ransumnya, yakni 68 (Melasari 1993).
110
Bilangan Iodium Daging Nilai bilangan iodium daging yang dihasilkan pada semua perlakuan secara keseluruhan hampir sama. Pemberian perlakuan selama penelitian menghasilkan rataan bilangan iodium daging yang berkisar antara 12,55-15,39 (Tabel 23) dengan rataan umum 14,48 ± 1,86. Dari Tabel tersebut terlihat babi yang mendapat ransum R4 mempunyai bilangan iodium daging yang terendah (12,55) dan tertinggi (15,39) pada ransum R3. Analisis ragam memperlihatkan pemberian perlakuan tidak nyata berpengaruh terhadap bilangan iodium daging. Terlihat pada Tabel 23 nilai bilangan iodium daging berfluktuasi, kondisi ini memberikan gambaran bahwa mengurangi taraf ampas sagu dan meningkatkan limbah udang dalam ransum tidak berpengaruh nyata meningkatkan bilangan iodium daging. Bilangan iodium yang rendah menggambarkan bahwa bahan tersebut mengandung lemak jenuh tinggi. Nilai bilangan iodium daging yang dihasilkan berbanding terbalik dengan bilangan iodium lemak dan hal tersebut menggambarkan daging babi dapat meningkatkan kolesterol darah disebabkan mempunyai asam lemak jenuh yang tinggi atau mempunyai bilangan iodium yang rendah. Variasi nilai bilangan iodium pada perlakuan yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata juga ditemukan pada persentase asam lemak jenuh pada semua perlakuan. Laju Digesta Rataan laju digesta dari ransum yang diberikan dengan sumber serat yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang berkisar antara 17,04-22,10 jam. Laju digesta ransum terendah diperoleh pada ransum R1, yakni 17,04 jam dan tertinggi pada ransum R0 yakni 22,10 jam (Tabel 23). Hasil analisis ragam terhadap laju digesta dari masing-masing ransum memperlihatkan pemberian ampas sagu, limbah
udang
dan
kombinasinya
menunjukkan
perbedaan
yang nyata
(P<0,05). Tampak pada Tabel 23 ransum R0, R2, R3, R4 tidak berbeda, sebaliknya R0 berbeda dengan R1 dan R5 begitu juga ransum R1 berbeda dengan R5. Hal ini menggambarkan pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya mempengaruhi laju digesta ransum atau waktu transit makanan melalui saluran pencernaan. Terlihat pada Tabel 23 kelompok babi yang hanya menerima ransum ampas sagu 20% dan limbah udang 10% mempunyai laju
111
digesta yang lebih cepat dan ketika ransum diberi kombinasi ampas sagu dan limbah udang dengan taraf yang berbeda, laju digesta menjadi meningkat. Selulosa dan kitin diklasifikasikan sebagai serat tidak larut. Kedua serat ini dalam tubuh berfungsi menyerap air didalam kolon, sehingga dapat meningkatkan volume kandungan feses dalam usus besar. Keadaan ini memungkinkan sisa makanan yang tidak tercerna untuk bergerak melewati usus lebih cepat dan akan merangsang syaraf pada rektum yang pada akhirnya menimbulkan keinginan untuk defikasi (Kusharto 2006). Pernyataan ini lebih nyata terlihat pada kelompok babi yang menerima ransum R5 dan R1. Babi yang menerima ransum tersebut mempunyai laju digesta yang lebih cepat. Hal ini disebabkan fungsi selulosa dan kitin dari ampas sagu dan limbah udang dapat menyerap air didalam kolon sehingga menyebabkan volume kandungan feses dalam usus besar menjadi meningkat dan menimbulkan keinginan untuk defikasi lebih cepat. Jika dikaitkan dengan jumlah konsumsi ransum yang turut berpengaruh terhadap laju digesta, kelompok babi yang menerima ransum R1 mempunyai jumlah konsumsi ransum yang lebih rendah daripada yang lainnya. Walaupun demikian kemungkinan dengan jumlah konsumsi ransum tersebut mampu menyebabkan sisa makanan bergerak melewati usus lebih cepat dan akan merangsang syaraf pada rektum yang pada akhirnya menimbulkan keinginan untuk defikasi. Laju digesta pada hasil penelitian ini hampir sama dengan laju digesta pada babi yang diberi rumput laut, sekam padi dan kombinasinya, yakni berkisar antara 18,25–22,00 jam (Budaarsa 1997). Bobot dan Persentase Karkas Pemberian ransum yang mengandung serat berasal dari ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya menghasilkan bobot karkas babi yang berbeda. Rataan bobot karkas selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 24 dimana rataan nilainya berkisar antara 22,47-31,80 kg dengan rataan umum 28,05 ± 3,17 kg dari kisaran bobot potong 32,59-43,40 kg. Hasil penelitian memperlihatkan babi yang mendapat ransum R1 memiliki bobot karkas terendah (22,47 kg) sebaliknya babi yang mendapat ransum R0 memiliki bobot karkas tertinggi (31,80). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot
112
karkas babi. Berdasarkan uji lanjut, taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya nyata (P<0,05) meningkatkan bobot karkas. Hasil ini memperlihatkan kelompok babi yang menerima ransum R0, R4, R2 dan R5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, begitu pula ransum R4, R2, R5 dan R3 sebaliknya R0 dan R4 berbeda nyata dengan ransum R1. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pemberian ampas sagu dan limbah udang pada taraf tertentu mempengaruhi bobot karkas. Pada Tabel 24 terlihat kelompok babi yang menerima ransum tanpa pemberian ampas sagu dan limbah udang mempunyai bobot karkas yang tertinggi, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan R4, R2 dan R5. Bobot karkas babi yang rendah dan memperlihatkan hasil yang nyata diperoleh pada ransum R1. Hal ini menggambarkan kombinasi taraf pemberian ampas sagu dan limbah udang dalam ransum berpengaruh terhadap bobot karkas babi. Pengaruh tersebut menurunkan bobot karkas babi 29,34%. Bobot karkas mempunyai hubungan yang erat dengan bobot potong dan berat jeroan. Bobot potong babi pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun bobot potong babi yang menerima ransum R1 secara kuantitatif menunjukkan perbedaan.
Bobot karkas yang dihasilkan pada
penelitian ini sangat rendah dan sangat berbeda dengan hasil-hasil penelitian Tabel 24 Karakteristik karkas babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Peubah Bobot potong (kg) Bobot karkas (kg) Persen karkas (%) Tbl lemak punggung (cm) Luas udamaru (cm2)
Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
43,40±2,47
32,59±1,04
36,21±2,83
37,16±3,91
31,80a±1,06
22,47c±0,38
27,74ab±2,93
27,28bc±3,13
30,19ab±4,67
28,79ab±7,25
73,17abc±2,21
69,54c±1,75
76,52a±2,07
73,17abc±2,13
75,04ab±2,60
73,11b±1,32
2,86±0,53
1,82±0,29
2,31±0,21
2,43±0,50
2,70±0,46
2,96±0,76
21,60±4,92
14,37±1,10
18,65±9,48
19,28±2,73
16,40±0,98
15,72±4,50
40,14±5,13
R5
39,32±9,17
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
113
pengujian ransum terhadap bobot karkas babi yang pernah dilaporkan. Perbedaan bobot karkas tersebut, mungkin disebabkan bobot potong yang rendah (32,5943,40 kg) dan juga oleh bangsa babi yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan bangsa babi yang digunakan. Babi impor mempunyai pertumbuhan yang cepat dan lebih berat saat mencapai kedewasaan daripada bangsa yang kecil (Soeparno 2005). Meskipun bobot karkas yang dihasilkan sangat rendah, bobot karkas tersebut secara keseluruhan hampir mendekati atau sesuai dengan pendapat Whittemore (1980) yang menyatakan bahwa kisaran berat karkas sekitar tiga perempat dari bobot potong. Rataan persentase karkas babi yang diperoleh setelah uji perlakuan yang mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya adalah hampir sama. Rataan persentase Karkas yang dihasilkan selama penelitian berkisar antara 69,54–76,52% (Tabel 24) dengan rataan umum 73,38 ± 2,01%. Terlihat pada Tabel tersebut pengujian ransum perlakuan menghasilkan persentase karkas yang terendah (69,54%) pada babi yang menerima ransum R1 dan persentase tertinggi (76,52%) pada ransum R2. Hasil analisis ragam memperlihatkan pemberian perlakuan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap persentase karkas dan berdasarkan uji lanjut taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum meningkatkan (P<0,05) persentase karkas babi. Signifikansi persentase karkas memperlihatkan ransum R0, R4, R3 dan R2 tidak berbeda nyata, sebaliknya ransum R2, R5 dan R1 memperlihatkan perbedaan yang nyata. Perbedaan persentase karkas dapat dipahami karena terdapat hubungan erat dengan bobot potong dan bobot karkas dimana bobot karkas yang dihasilkan memperlihatkan hasil yang bebeda nyata sehingga juga berpengaruh pada persentase karkas. Hubungan tersebut menghasilkan kelompok babi yang menerima ransum R2 mempunyai persentase karkas yang tertinggi dan berbeda dengan persentase karkas babi yang menerima ransum R5 dan R1. Hal ini berarti pemberian ampas sagu dan limbah udang 10% menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi atau komponen non karkas yang dihasilkan pada kelompok babi yang menerima ransum R2 lebih rendah daripada ransum R5 dan R1. Komponen non karkas ini mempunyai berat bervariasi sehingga akan mempengaruhi berat
114
karkas dan tentunya juga berpengaruh pada persentase karkas. Persentase karkas yang diharapkan kurang lebih 73% (Parakkasi 1990). Dari keseluruhan perlakuan yang diberikan hanya persentase karkas babi yang dihasilkan pada ransum R1(69,54%) tidak sesuai dengan nilai tersebut. Nilai persentase karkas yang diperoleh pada penelitian ini secara keseluruhan sama dengan persentase karkas babi bangsa Landrace yang diberi rumput laut dan sekam padi dengan kisaran 67,39–73,11% (Budaarsa 1997). Tebal Lemak Punggung Secara umum tebal lemak punggung pada berbagai taraf
pemberian
ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya memperlihatkan hasil yang hampir sama. Rataan tebal lemak punggung yang dihasilkan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 24 dimana nilainya berkisar antara 1,82-2,96 cm dengan rataan umum 2,51 ± 0,46 cm. Dari Tabel tersebut terlihat tebal lemak punggung lebih tipis pada perlakuan R1 dan lebih tebal pada perlakuan R0. Analisis ragam terhadap tebal lemak punggung memberi petunjuk pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dengan taraf yang berbeda berpengaruh tidak nyata. Hal ini berarti mengurangi taraf ampas sagu dan meningkatkan taraf limbah udang dalam ransum tidak mempengaruhi ketebalan lemak punggung secara nyata. Kenyataan ini mencerminkan tidak terjadi deposisi lemak yang berlebihan sebagai akibat dari pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya. Selain daripada itu tebal lemak punggung juga berkaitan dengan bobot potong dan berat karkas. Bobot potong dan bobot karkas pada babi yang mendapat perlakuan R1 lebih rendah daripada
yang mendapat perlakuan R0. Ternak
dengan bobot
potong yang minimum akan menghasilkan berat karkas dan tebal lemak punggung yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ternak yang memiliki bobot potong optimum (Mili et al.1999). Batasan tebal lemak punggung yang diharapkan menurut Boggs dan Merkel (1984) adalah ≤ 1,1 in. dan 1,2-1,6 in. atau ≤ 2,78 dan 3,04-4,05 cm. Mengacu pada batasan tersebut, maka kelompok babi yang menerima ransum R4, R3, R2 dan R1 mempunyai lemak punggung yang lebih tipis daripada 2,78 sedangkan kelompok babi yang menerima ransum R0 dan R5 menghasilkan tebal lemak punggung melebihi batasan ideal atau berada antara estimasi tebal lemak punggung yang diharapkan.
115
Luas Udamaru Taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya dalam ransum selama penelitian menghasilkan nilai luas urat daging mata rusuk (udamaru) yang bervariasi. Tabel 24 memperlihatkan rataan luas udamaru yang diperoleh dari pengujian perlakuan berkisar antara 14,37 cm2-21,60 cm2 dengan rataan umum luas udamaru 17,67 ± 3,95
cm2. Hasil luas udamaru yang
diperlihatkan pada Tabel tersebut menunjukkan kelompok babi yang menerima ransum R1 mempunyai luas udamaru yang terendah, yaitu 14,37 cm2 dan ransum R0 mempunyai luas udamaru tertinggi, yaitu 21,60 cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan luas udamaru tidak nyata dipengaruhi oleh pemberian perlakuan. Tidak signifikannya luas udamaru memberi arti bahwa pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya tidak meningkatkan luas udamaru secara nyata. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan udamaru yang lebih luas (Kuhlers et al. 1984). Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian, di mana kelompok babi yang menerima ransum R0 dengan bobot potong yang tertinggi (43,40 kg), memiliki penampang udamaru yang lebih luas, yaitu 21,60 cm2 dan kelompok babi yang menerima ransum R1 dengan bobot potong yang terendah mempunyai luas udamaru yang lebih kecil. Selain bobot potong, faktor lain yang turut berpengaruh terhadap luas udamaru adalah protein. Menurut Christian et al. (1980) tingkat protein ransum yang tinggi menghasilkan udamaru yang lebih luas. Kadar protein ransum R0 dan R1masing-masing adalah 16,30 dan 15,42%. Dari kadar protein ransum, R0 sedikit lebih rendah daripada ransum R5, yakni 17,24% sedangkan kadar protein ransum R1 adalah yang paling rendah (15,42%) sehingga dari tingkat protein kedua ransum tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Christian et al. (1980). Selain bobot potong dan tingkat protein ransum, faktor genetis sangat mempengaruhi luas udamaru. Hal ini diketahui dari nilai heritabilitas loin eye area (LEA) ternak babi yang tergolong cukup tinggi, yaitu 48% (Soeparno 2005). Kemungkinan lain tidak signifikannya luas udamaru juga dipengaruhi oleh keragaman data yang tinggi sebagai akibat sedikitnya satuan percobaan yang digunakan. Luas udamaru yang diperoleh pada penelitian ini sangat rendah jika dibandingkan dengan luas udamaru babi impor seperti Large White dan Yorkshire
116
yang diberi berbagai taraf padi, yakni 0, 40, 50 dan 60% dengan serat kasar berturut-turut 8,4; 9,48; 10,70 dan 11,9%. Namun lebih mirip dengan luas udamaru babi impor Landrace periode grower yang diberi 0, 10, 20 dan 30% tongkol jagung masing-masing dengan serat kasar 2,91; 6,28; 9,40 dan 13,19%. Pemberian berbagai taraf padi dan tongkol jagung inipun tidak berpengaruh nyata terhadap luas udamaru. Perbandingan luas udamaru dilakukan dengan pendekatan pengukuran pada tulang rusuk ke-10. Dari semua perlakuan, ternyata kelompok babi yang menerima ransum R3 mempunyai luas udamaru sesuai batasan normal luas udamaru, yakni 3,0-7,0 in.2 atau 19,35–45,15 cm2, sedangkan luas udamaru pada perlakuan yang lain digolongkan pada batasan ekstrim, yakni 2,0 - 9,0 in.2 atau 12,90 - 58,05 cm2 (Boggs dan Merkel 1984). Berat Isi Empedu Berat isi empedu babi yang diberi ampas sagu, limbah udang kombinasinya selama penelitian bervariasi.
dan
Pemberian perlakuan menghasilkan
kisaran rataan berat isi empedu antara 11,43–23,14 g (Tabel 25) dengan rataan umum 17,29 ± 7,31 g. Tabel 25 Berat komponen empedu babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Peubah Berat empedu (g) Berat isi empedu (g) Berat kantung empedu (g)
Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
R5
35,51±12,17
26,33±7,51
48,08 ±25,46
25,67± 6,35
28,39±1 2,17
38,71±21,00
17,47 ±6,03
15,57 ±6,81
23,14±1,41
11,43 ±3,46
15,76± 8,74
20,34±8,62
18,04±7,64
10,75±5,77
24,94±26,87
14,25±2,89
12,63±7,64
18,38±12,58
Dikoreksi pada bobot awal 18 kg. R0= tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang.
Hasil penelitian
memperlihatkan berat isi empedu yang terendah (11,43 g)
diperoleh pada kelompok babi yang menerima ransum R3, dan tertinggi (23,14 g) pada kelompok babi yang menerima ransum R2. Analisis ragam menunjukkan bahwa berat isi empedu tidak nyata dipengaruhi oleh pemberian perlakuan, meskipun terlihat ada kecenderungan turun berat isi empedu.
Hal ini
menunjukkan pemberian serat yang berasal dari ampas sagu dan limbah udang
117
tidak berpengaruh secara nyata terhadap berat isi empedu. Padahal serat mempunyai hubungan dengan empedu dalam proses pencernaan lemak untuk membentuk micelles dengan cara serat mengikat empedu yang dikeluarkan sehingga tidak terjadi reabsorpsi empedu dalam ileum yang membawanya kembali ke hati melalui sirkulasi dan selanjutnya diekskresikan kembali kedalam kantung empedu.
Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap isi empedu
dalam hal ini beratnya. Mengarah pada fungsi serat terhadap empedu, maka tidak signifikannya perlakuan terhadap berat isi empedu kemungkinan disebabkan tidak maksimalnya serat mengikat empedu sehingga terjadi rearbsorpsi empedu dalam ileum yang selanjutnya diekskresikan kedalam kantung empedu. Kemungkinan lain yang menyebabkan berat isi empedu tidak signifikan adalah keragaman data pada beberapa perlakuan yang dicerminkan oleh standar deviasi yang besar. Asam Lemak Daging Rataan kadar asam lemak daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada semua perlakuan memperlihatkan hasil yang tidak
jauh
berbeda. Dari Tabel 26 terlihat komposisi asam lemak tidak jenuh lebih tinggi daripada asam lemak jenuh, dimana persentase asam lemak tidak jenuh adalah 62,50% sedangkan asam lemak jenuh adalah 37,50%. Dari persentase asam lemak tidak jenuh yang diperoleh, 29,17% adalah mono unsaturated fatty acid (MUFA) dan 33,33% poly unsaturated fatty acid (PUFA). Secara keseluruhan kadar asam lemak jenuh tiap perlakuan berturut-turut 26,64%, 25,84%, 26,29%, 25,17%, 27,59% dan 28,21% sedangkan kadar asam lemak tidak jenuh untuk masing-masing perlakuan adalah 38,30%, 40,53%, 34,67%, 39,68%, 40,99% dan 39,98%. Selain itu kadar PUFA n-3 ransum berturut-turut 0,61%, 0,81%, 0,60%, 0,54%, 0,71% dan 0,44% sedangkan kadar PUFA n-6 masing-masing ransum adalah 10,24%, 11,62%, 6,86%, 8,17%, 9,08% dan 9,18%. Tampaknya taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya yang berbeda menghasilkan kadar asam lemak yang secara kuantitatif bervariasi, baik pada asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Kenyataannya perlakuan yang diberikan menghasilkan persentase asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi daripada asam lemak jenuh. Tabel 26 memperlihatkan kadar asam lemak oleat sebagai asam lemak esensial dari asam
118
lemak tidak jenuh pada semua perlakuan lebih tinggi daripada kadar asam lemak esensial dan asam lemak tidak jenuh lainnya, akan tetapi kadar asam oleat yang terendah (23,86%) diperoleh pada ransum R0 dan tertinggi pada ransum ASA 20 LU 0% (27,49%) atau meningkat 5,21%). Asam oleat yang tinggi sangat diharapkan karena mempunyai kemampuan menurunkan kolesterol LDL (Achadi 2010). Tabel 26 Komposisi asam lemak daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Asam lemak (%)
Capric acid, C10:0 Lauric acid, C12:0 Myristic acid, C14:0 Myristoleic acid, C14:1 Pentadecanoic acid, C15:0 Palmitic acid, C16:0 Palmitoleic acid, C16:1 Heptadecanoic acid, C17:0 Stearic acid, C18:0 Elaidic acid, C18:1n9t Oleic acid, C18:1n9c Linoleic acid, C18:2n6c Arachidic acid, C20:0 g-Linolenic acid, C18:3n6 Cis-11-Eicosenoic acid, C20:1 Linoleic acid, C18:3n3 Cis-11,14-Eicosedienoic acid, C20:2 Behenic acid, C22:0 Cis-8,11,14-Eicosetrienoic acid, C20:3n6 Erucic acid, C22:1n9 Arachidonic acid, C20:4n6 Cis-5,8,11,14,17Eicosapentaenoic acid, C20:3n6 Nervonic acid, C24:1 Cis-4,7,10,13,16,19Docosahexaenoic acid, C22:6n3
Perlakuan R0
R1
R2
0,045 0,32 1,595 0,03 0,06 17,15 2,655 0,185 7,1 0,185 23,86 8,035 0,135 0,03 0,42 0,105
0,205 1,2 1,34 0,025 0,06 17,27 2,215 0,19 7,74 0,225 26,85 7,265 0,135 0,03 0,685 nd
0,255 0,3 0,205 0,3 0,3 0,205 1,34 1,475 1,15 0,025 0,03 nd 0,055 0,07 0,06 16,215 15,915 16,575 2,545 1,755 2,16 0,195 0,175 0,18 6,67 7,825 7,25 0,225 0,295 0,195 27,095 24,255 24,925 6,66 5,455 8,925 0,1 0,145 0,125 0,05 0,035 0,04 0,485 0,63 0,505 0,09 0,165 0,06
R3
R4
0,245 1,345 1,345 0,025 0,06 17,22 2,515 0,175 7,04 0,22 27,49 7,19 0,115 0,03 0,63 0,14
R5
0,245 0,05
0,285 0,065
0,265 0,04
0,22 0,08
0,24 0,085
0,265 0,04
0,015
0,04
0,02
nd
0,04
0,03
0,015 1,77
0,04 1,575
0,02 1,42
nd 1,195
0,04 2,155
0,03 1,25
0,385 0,045
0,27 0,035
0,3 0,03
0,175 0,02
0,46 0,03
0,58 0,025
0,505
0,44
0,45
0,435
0,75
0,565
R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang; R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbah udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Nd = non detected.
119
Demikian halnya dengan asam Linoleat, kadarnya yang terendah (5,46%) pada ransum ASA 12,5 LU 7,5% dan tertinggi (8,93%) pada ransum ASA 17,5% atau meningkat 63,55%. Asam Linoleat diperlukan untuk memberikan barier pada permukaan kulit sehingga mencegah kehilangan air yang berlebihan melalui kulit (Stipanuk 2000). Perhitungan Ekonomis Ransum Perhitungan ekonomis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah besar biaya yang dibutuhkan untuk tiap kilogram pertambahan bobot badan. Perhitungan ekonomis yang diuraikan disini hanya merupakan pengamatan berdasarkan harga bahan-bahan makanan yang digunakan dalam penyusunan ransum penelitian. Berdasarkan harga bahan-bahan makanan yang berlaku saat penelitian dan pertambahan bobot badan, maka harga tiap kilogram ransum, jumlah ransum untuk satu kilogram bobot badan dan harga ransum untuk satu kilogram bobot badan dapat dihitung seperti yang tertera pada Tabel 27. Tabel 27 Harga tiap kilogram ransum, jumlah dan biaya ransum untuk kenaikan per kilogram bobot badan Perlakuan
Harga ransum (Rp/kg)
Jumlah ransum (g) 1 kg bobot badan
R0
3659,3
3810,47
Harga ransum/ 1 kg bobot badan (Rp) 13943,65
R1
2776,3
4558,8
12656,60
R2
2857,2
4475,89
12788,51
R3
3069,8
4544,88
13951,87
R4
3722,6
3852,06
14339,68
R5
3962,2
4391,75
17400,99
R0= tanpa ampas sagu dan limbah udang, R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbahj udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang.
Hasil perhitungan ekonomis memperlihatkan harga ransum R1 lebih ekonomis karena mempunyai harga per kilogram ransum hanya Rp. 2776,3 sehingga biaya yang dibutuhkan untuk menaikkan tiap kg bobot badan lebih rendah (Rp.12656,60) daripada perlakuan yang lain, meskipun jumlah ransum yang dibutuhkan untuk tiap kg bobot badan pada ransum R1 mendekati ransum R2, R3
120
dan R5 (Tabel 27). Sedangkan harga ransum yang tertinggi dalam penelitian ini adalah ransum R2 (Rp. 3962,2). Harga ransum yang tinggi akan berdampak pada biaya ransum untuk menaikkan tiap kg bobot badan menjadi lebih tinggi, yakni Rp. 17400,99, walaupun jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan tiap kg bobot badan pada ransum ini mendekati atau berada diantara ransum R2, R3 dan R1.
SIMPULAN 1. Pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya pada berbagai taraf sebagai sumber serat tidak berpengaruh terhadap peforma, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging babi. 2. Laju digesta, bobot karkas dan persentase karkas babi dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Ransum R1 mempunyai waktu laju digesta yang lebih cepat sebesar 17,04 jam. Bobot karkas yang tertinggi pada ransum R0 dan R4 berturut-turut 31,80 kg dan 30,19 kg. Perlakuan dengan kombinasi ampas sagu 10% dan limbah udang 10% menghasilkan persentase karkas yang tertinggi sebesar 76,52%. 3. Asam lemak tidak jenuh tertinggi diperoleh pada pemberian ampas sagu 20% dengan nilai 40,99%. 4.
Ransum R1 lebih ekonomis dengan harga Rp. 2776,3 dan harga ransum untuk menaikkan tiap kilogram bobot badan Rp. 12656,60.
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2010. Gizi dan kesehatan masyarakat. Departemen gizi dan kesehatan masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Beltranena E et al. 2009. Corn DDGS Withdrawal Rates for Hogs. Agriculture and Agri Food Canada, Alberta. London Swine Conference–Focus on the Future March 31- April 1 2010.
121
Berliana DC. 2007. Karakteristik karkas dan lemak babi dengan pemberian ransum mengandung curcumin [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boggs DL, Merkel RA. 1984. Live animal carcass evaluation and selection manual. Kendall/Hunt Publishing Company. Budaarsa K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Christian LL, Stock KL, Carlson JP. 1980. Effect of protein, breed cross, sex and slaughter weight on swine performance and traits. J Anim Sci 51(1):51-58. Gaspersz V. 1995. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Bandung. Penerbit Tarsito. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fsiologi Kedokteran. Irawati S, Tengadi LMA KA, Alex S, penerjemah; Irawati S, editor. Jakarta, Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Insani GA. 2008. Bilangan yodium pada lemak. Web. Lab. Unggas UGM. http://chickaholic.wordpress.com/2008/05/14/bilangan-yodium-pada lemak [15 Maret 2011]. Ketaren PP. 2008. Manusia-babi-ubi jalar. Warta Penelitian dan Pertanian. 30 (6). www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr30608j [28 Desember 2010]. Kuhlers DL, Jungst SB, Haffman DL, Cordray JC, Brown PN. 1984. Growth and carcass traits at 135 kg for progeny of swine selected for growth and backfat. J Anim Sci 58 (2):275-280. Kusharto CM. 2006. Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Jurnal Gizi dan Pangan 1(2):45-54. Melasari HR. 1993. Pengaruh sumber enrgi yang berbeda dalam ransum ternak babi periode pengakhiran terhadap daya cerna zat makanan dan angka yod lemak karkas [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Mili DC, Nath DR, Sarker AB. 1999. Effect of slaughter weight on certain carcass and meat quality traits of hampshire barrows. J Indian vet 76:313316. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Jakarta. Buku Kedokteran EGC. Paik Ik, Blair R. 1996. Atherosclerosis, cholesterol and egg. Rev AJAS 9 (1):125. Parakkasi A. 1990. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Bandung. Penerbit Angkasa. Roese GJ. 1990. Pig Production in Australia. Gardner JAA, Dunkin AC, Lloyd LC, editor. Canberra: Pig Research Council. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
122
Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. United States of America. Saunders Company. Whittemore CT. 1980. Pig Production. The Scientific and Practical Principles. New York. Longman Handbooks in Agriculture Ed.
PEMBAHASAN UMUM
Bahan lokal spesifik daerah, khususnya limbah hasil ikutan berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, meskipun disisi lain perlu diberi sentuhan teknologi, diantaranya melalui pengolahan biologis karena umumnya bahan limbah hasil ikutan mempunyai kualitas nutrisi yang rendah atau memiliki keterbatasan. Umumnya pemanfaatan bahan limbah mempunyai keuntungan, yakni mengurangi pencemaran lingkungan, menambah pendapatan bagi petani peternak dan mengatasi permasalahan ketersediaan pakan. Daerah-daerah yang merupakan kawasan sagu adalah Papua, Maluku dan Maluku Utara dan Sulawesi (lokasi tertentu), Kalimantan terutama Kalimantan Barat dan Sumatra terutama Riau, Kepulauan Nias dan Mentawai. Di Pulau Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Banten, Sukabumi, Bogor dan beberapa lokasi sepanjang pantai utara. Di daerah Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya, Bali, Nusa Tenggara dan Timor sagu ditemukan sangat sedikit atau tidak ada. Kondisi ini menggambarkan potensi produksi ampas sagu di daerah kawasan sagu dalam jumlah yang cukup banyak sehingga pemanfaatannya sebagai pakan ternak tidak menjadi kendala. Ampas sagu yang masih memiliki energi tersebut dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan monogastrik. Khususnya di Maluku, pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak hanya dilakukan pada peternakan babi yang berdekatan dengan lokasi pengolahan tepung sagu sehingga pemanfaatannya belum optimal. Dengan demikian masih terdapat ampas sagu yang tidak dimanfaatkan ditempat penumpukan pengolahan tepung sagu. Pemanfaatan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik hanya terbatas pada persentase tertentu, hal ini terkait dengan kadar serat kasar yang tinggi, yakni 11,02-27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62-23,92%. Namun disisi lain hasil penelitian membuktikan bahwa selulosa dapat menurunkan kadar kolesterol darah, dengan demikian keterbatasan ampas sagu merupakan hal positif yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan menurunkan kolesterol sekaligus memperbaiki kualitas karkas. Sumber serat lain yang juga dapat dimanfaatkan adalah kitin pada limbah udang, yang kadarnya berkisar
124
antara 15-20%. Pemanfaatan limbah udang, didukung oleh produksi udang yang cukup tinggi di Indonesia. Kajian potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi diteliti dalam tiga tahapan penelitian yang diawali dengan pengolahan biologis pada ampas sagu. Pengolahan biologis ini dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan nutrien ampas sagu karena kualitasnya yang rendah, disebabkan kadar protein kasar yang rendah akan tetapi kadar serat kasar yang tinggi. Oleh karena itu ampas sagu diperkaya dengan beberapa mineral dan diolah secara biologis menggunakan jamur Pleurotus ostreatus. Tujuan menambahkan beberapa mineral adalah untuk kecukupan nutrien bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme yang terjadi secara maksimal. Pengolahan biologis ini secara statistik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua peubah yang diamati. Berdasarkan hasil yang diperoleh tampaknya ampas sagu yang difermentasi hingga 5 minggu waktu fermentasi dianggap baik. Pemilihan 5 minggu waktu fermentasi, terkait dengan persentase dari protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin yang dihasilkan. Pada waktu fermentasi 7 minggu kadar protein kasar, protein murni lebih tinggi dan signifikan daripada 5 minggu waktu fermentasi, namun persentase peningkatan tersebut, yakni pada waktu fermentasi 4 minggu ke 7 minggu tidak sebanding dengan persentase peningkatan selulosa dan penurunan lignin pada waktu tersebut, artinya peningkatan selulosa dan penurunan lignin pada kedua waktu tersebut tidak signifikan (Tabel 8). Kandungan nutrien ampas sagu fermentrasi dipengaruhi oleh substrat yang digunakan, hal ini terkait dengan kadar pati pada ampas sagu yang masih cukup tinggi (52,98%). Pati merupakan polisakharida yang mudah tercerna sehingga kebutuhan karbon atau energi dapat diperoleh untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan jamur
Pleurotus ostreatus. Kadar pati yang cukup tinggi
menyebabkan degradasi lignin ampas sagu yang drastis terjadi pada 5 minggu waktu fermentasi. Kajian untuk mempelajari potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi diteliti pada tikus putih (Rattus novergicus) umur satu bulan (tahap IIa) dengan
125
menggunakan hasil fermentasi ampas sagu yang terbaik (5 minggu), limbah udang dan ampas sagu tanpa fermentasi pada taraf yang berbeda. Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh serat dari masing-masing bahan tersebut terhadap performa, profil lipida darah dan kadar kolesterol daging tikus. Hasil pengujian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang pada taraf pemberian yang berbeda dalam ransum tikus putih berumur satu bulan menunjukkan pemberian 20% ampas sagu (R2) menghasilkan pertambahan bobot badan yang tertinggi, yakni 3,55 g/e/h. Hal ini diduga karena kecukupan dan keseimbangan nutrien yang diterima sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Tikus yang menerima ransum R2 diduga mempunyai ketersediaan asam amino cukup dan lebih baik yang diperoleh dari penggunaan tepung ikan yang cukup tinggi dalam ransum. Seperti yang dilaporkan (Agbede 2003) bahwa protein yang berasal dari tepung ikan lebih seimbang. Selain menghasilkan pertambahan bobot badan yang tertinggi, ransum R2 mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi (0,31) dibandingkan dengan ransum yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang. Demikian halnya dengan R0 juga mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi (0,30). Hal ini berarti kelompok tikus yang menerima ransum R2 dan R0 lebih efisien menggunakan ransum untuk menghasilkan pertambahan bobot badan. Pemberian R2 (20% ampas sagu) sebagai sumber serat memberikan dampak positif terhadap kadar kolesterol darah, ditandai dengan menurunnya kadar kolesterol darah tikus mencapai 59,75 mg/dl dari nilai yang tertinggi 71,09 mg/dl atau menurun 15,95%. Hal ini terjadi disebabkan aktivitas enzim HMG-KoA reduktase yang berfungsi untuk sintesis kolesterol didalam hati dihambat. Penghambatan aktivitas enzim tersebut terjadi oleh adanya salah satu metabolit yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme dalam kolon terhadap selulosa, yakni asam propionat yang dibawa melalui vena porta ke hati (Nishimura et al. 1993 dan Stipanuk 2000 ). Thacker et al. (1981) melaporkan bahwa konsumsi propionat mengurangi kolesterol plasma babi. Hasil penelitian pada tahap ini memperlihatkan ampas sagu fermentasi dengan taraf pemberian yang tertinggi (20%) dalam ransum tikus tidak memberikan hasil yang baik terhadap performa tikus selain itu mempunyai
126
kemampuan yang sama dengan 20% ampas sagu tanpa fermentasi terhadap kadar kolesterol darah tikus. Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, maka dalam tahapan penelitian berikutnya ampas sagu fermentasi tidak diberikan karena dianggap tidak ekonomis dari sisi biaya dan tidak efisien dari sisi waktu. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari penelitian tahap IIa yang dianggap baik ditambah beberapa perlakuan kombinasi ampas sagu dan limbah udang diberikan dalam ransum tikus umur dua bulan dan diuji pada penelitian tahap IIb. Penelitian tahap IIb lebih difokuskan pada kombinasi ampas sagu dan limbah udang pada taraf pemberian yang berbeda. Kajian penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi taraf ampas sagu dan limbah udang terhadap performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus. Hasil dari tahapan penelitian ini memperlihatkan kadar kolesterol dan trigliserida darah menurun (P<0,05) pada ransum R6, masing-masing 45,95 dan 43,81%. Menurunnya kolesterol dan trigliserida darah tikus pada ransum R6, diduga disebabkan fungsi selulosa dari ampas sagu dan kitin dari limbah udang pada kombinasi perlakuan tersebut cukup baik berperan menurunkan kolesterol dan trigliserida darah melalui mekanisme yang berbeda, yakni selulosa dengan cara penghambatan sintesa kolesterol secara tidak langsung oleh metabolit fermentasi selulosa didalam kolon. Sebaliknya kitin dengan cara membentuk suatu ikatan yang tidak dapat dicerna oleh enzim, sehingga pencernaan dan penyerapan zat makanan menjadi terhambat. Hal ini terlihat dari taraf pemberian 20% ampas sagu pada tahap IIa dan IIb yang menghasilkan kadar kolesterol darah hampir sama (masing-masing 54,40 mg/dl dan 59,75 mg/dl). Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap IIb yang dianggap baik selanjutnya diuji pada ternak babi. Pada tahap ini ingin diketahui pengaruh serat yang berasal dari ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya terhadap performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi. Hasil penelitian memperlihatkan perlakuan yang diberikan meningkatkan (P<0,05) bobot dan persentase karkas babi serta mempercepat (P<0,05) laju digesta ransum. Perbedaan bobot dan persentase karkas berhubungan erat dengan bobot potong. Bobot potong yang berbeda menghasilkan bobot dan persentase karkas yang berbeda. Pemberian ransum R5 (20% ampas sagu + 0% limbah udang) dan R1
127
(0% ampas sagu + 10% limbah udang) mempunyai laju digesta ransum yang lebih cepat, hal ini disebabkan selulosa dan kitin dalam saluran pencernaan menyerap air yang menyebabkan volume kandungan feses dalam usus besar menjadi meningkat dan merangsang syaraf pada rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defikasi lebih cepat (Kusharto 2006). Pengujian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada taraf yang berbeda dalam ransum babi pada penelitian ini belum memberikan hasil yang signifikan terhadap kolesterol daging babi. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian pemberian R4 (17,5% ampas sagu dan 2,5% limbah udang) dalam ransum masih lebih baik karena menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi daripada babi yang mendapat ransum R1, R2 dan R3, selain itu kadar kolesterol daging babi yang mendapat ransum tersebut masih rendah (0,38 mg/g atau 38 mg/100g) jika dibandingkan dengan standart kolesterol daging babi (83,5 mg/100 g) yang disarankan oleh USDA (1985) serta menghasilkan daging yang berkadar asam lemak tidak jenuh, PUFAn-6 dan PUFAn-3 yang lebih tinggi berturut-turut 40,53, 081 dan 11,62% daripada perlakuan yang lain. Memperhatikan hasil penelitian pada tahap penelitian IIa, IIb dan III, untuk memperoleh pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang lebih efisien dalam ransum sebaiknya bahan tersebut diolah sebelumnya. Pengukusan atau pemeletan merupakan bentuk pengolahan ransum yang dapat menyebabkan terjadinya pengembangan serat sehingga memudahkan penetrasi enzim untuk terjadinya proses hidrolisis. Hal ini disebabkan uap panas merenggangkan ikatan selulosa, hemiselulosa, lignin dan protein-kitin sehingga mampu meningkatkan ketersediaan energi dan zat makanan yang lain. Proses yang terjadi dalam pemeletan ransum sekaligus menjawab perbedaan bentuk fisik ransum dengan kecernaan nutrien pada tikus dan babi. Selain membuat pelet, terjadinya hidrolisis juga dapat dilakukan dengan menggunakan HCl. Mengacu pada kemampuan HCl dapat menghidrolisis kitin, maka pada penelitian ini limbah udang diberikan tanpa diolah terlebih dahulu, disebabkan dalam lambung ternak terdapat HCL sehingga diduga dapat terjadi proses hidrolisis. Dugaan inipun kemungkinan tidak terjadi dengan sempurna sebagai akibat dari rasio HCl dalam lambung dan limbah udang tidak mendukung terjadinya hidrolisis. Kemungkinan lain, lamanya makanan
128
berada dalam lambung juga tidak mendukung
tercapainya proses hidrolisis
disebabkan didalam lambung protein hanya mendapat proses denaturasi sedangkan proses pencernaanya berlangsung didalam usus kecil. Hal ini tampak dari kecernaan nutrien pada tikus yang diberi limbah udang lebih tinggi daripada kecernaan nutrien pada babi. Faktor lain yang menyebabkan belum terlihat signifikansi pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum terhadap peubah yang diamati pada ternak babi adalah kemungkinan disebabkan nilai standar deviasi yang bervariasi cukup besar sebagai akibat dari bobot badan awal yang beragam. Dibandingkan dengan kitosan, pemberian limbah udang tanpa diolah mempunyai dampak yang lebih rendah untuk menurunkan kolesterol disebabkan kitosan mempunyai viskositas dan kemampuan untuk membentuk gel yang tinggi sehingga lemak dan kolesterol dapat terhindar dari proses enzimatis. Selain itu keberadaan HCl dalam lambung tidak menghasilkan suatu proses perubahan kitin menjadi kitosan. Hasil penelitian ini memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang sebagai pakan lokal dalam ransum yang dapat digunakan sebagai usaha diversifikasi pakan ternak, sehingga peternak tidak selalu bergantung pada bahan pakan konvensional yang ketersediaannya terkadang tidak menentu dipasaran. Selain itu kedua limbah tersebut dapat dijadikan bahan pakan sumber serat untuk menghasilkan daging babi yang berkualitas baik. Kontribusi dari penelitian ini bagi peternak adalah secara teknis peternak dapat mengaplikasikan pemberian ampas sagu dan limbah udang dalam ransum babi dengan mudah karena menggunakan teknologi yang sederhana. Pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang berdampak positif meningkatkan nilai ekonomis limbah serta menghindari pencemaran lingkungan. Selain itu pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang juga memberikan nilai tambah bagi industri pakan ternak untuk memproduksikan ransum yang lebih murah karena berdasarkan hasil penelitian penggunaan ampas sagu dalam ransum dapat mengurangi 12-33% penggunaan jagung dan 14-59% dedak padi. Sebaliknya penggunaan limbah udang dalam ransum dapat mengurangi 4-34% penggunaan bungkil kelapa dan 17-44% tepung ikan.
129
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan Umum Waktu optimum fermentasi ampas sagu adalah 5 minggu dengan kadar protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin berturut-turut 7,23%, 4,37%, 40,61% dan 2,71%. Ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat berpotensi menurunkan kolesterol darah dan memperbaiki kualitas karkas babi. Persentase pemberian ampas sagu dan limbah udang yang baik dalam ransum sebesar 17,5 dan 2,5%.
Saran Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan hewan percobaan yang sebelumnya dipelihara secara intensif untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai peranan ampas sagu dan limbah udang. Penelitian hendaknya diarahkan pada aspek yang berhubungan dengan biosintesis kolesterol terutama terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biosintesis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrard. DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Kendall/Hunt Publishing Company. Achadi EL. 2010. Gizi dan kesehatan masyarakat. Departemen gizi dan kesehatan masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Adams JP, Omvedt IT, Whiteman JV, Watters LE. 1972. Live and carcass measurement as indicator of lean cut yield in swine. J Anim Sci 35:25-30. Agbede JO. 2003. Equin-protein replacement of fishmeal with Leucaena leaf concentrate: an assesment of performance charactheristics and muscle development in the chicken. Int J Poult Sci 2(6):421-429. Alfons JB.2006. Diversifikasi sumber daya sagu di Maluku. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ambon. [Anonim]. 2008. Human biochemestry, Mcqs, Quizzes and posgraduation entrance preparation. http://ourbiochemestry.blogspot.com/2008/0/29cholesterol-synthesis.html [ 15 Maret 2008]. [Anonim]. 2011. Target produksi udang meleset. Trobos. Media Agribisnis Peternakan dan Perikanan. http://www.trobos.com/show_article.php?rid= 12&aid=2716 - Tembolok [15 Maret 2011]. Arora DS, Sandhu DK. 1985. Laccase production and wood degradation by whiterot fungus Daedalea flavida. Enzyme Microb 7:405-408. Artiningsih T. 2006. Aktifitas ligninolitik jenis Ganoderma pada berbagai sumber karbon. Biodiversitas 4: 307-311. Astawan M, Wresdiyatif T, Hartana AB. 2005. Pemanfaatan rumput laut sebagai sumber serat pangan untuk menurunkan kolesterol darah tikus. Hayati. 12 (1): 23-27. Austin PR, Brine CJ, Costle JE, Zikakis JP. 1981. Chitin New Facets of Research Science. 212:749. Baldrian P, Valaskova V, Merhantova V, Gabriel J. 2005. Degradation of lignocelluloses by Pleurotus ostreatus in the presence of copper, manganese, lead and zinc. Research in Microbiology. (156) 5/6: 670-676. BALITBANGHUT, 2005. Potensi Hutan Sagu, Kendala Pemanfaatan dan Prospek Pengembangannya. Balai Penelitian dan Pengembangan kehutanan, Bogor. Beltranena E et al. 2009. Corn DDGS Withdrawal Rates for Hogs. Agriculture and Agri Food Canada, Alberta. London Swine Conference – Focus on the Future March 31- April 1 2010. Berliana DC. 2007. Karakteristik karkas dan lemak babi dengan pemberian ransum mengandung curcumin [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
132
Biyatmoko D. 2002. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik Alabio jantan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boggs DL, Merkel RA. 1984. Live animal carcass evaluation and selection manual. Kendall/Hunt Publishing Company. Budaarsa K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Carr TR, Walters LE, Whiteman JV. 1978. Carcass composition changes in growing and finishing swine. J Anim Sci 47:615-621. Carroad PA, . Tom RA. 1978. Bioconvertion of shellfish chitin wastes : process and selection of microorganisms. J Food Sci 43:1158. Christian LL, Stock KL, Carlson JP. 1980. Effect of protein, breed cross, sex and slaughter weight on swine performance and traits. J Anim Sci 51(1):51-58. Cineros F, Ellis M, McKeith FK, McCaw J, Fernando RL. 1996. Influence of slaughter weight on growth and carcass characteristics commercial cutting and curing yields, and meat quality of barrows and gilts from two genotypes. J Anim Sci 74:925-933. Crawford RL. 1981. Lignin degradation and transformation. John Wiley and Sons, New York. Cole DJA, Lawrie RA. 1974. Meat. Butterworths, London. Cooke WB. 1979. The Ecology of Fungi. Florida. Cric Press. Corea JA et al. 2006. Effect of slaughter weight on carcass composition and meat quality in pigs of two different growth rates. Abstract. Meat Sci 72(1): 91-99. Cunha TJ. 1970. Swine Feeding and Nutrition. San Fancisco, Academic Press. De Vol DL et al. 1988. Variation in composition and palatability traits and relationships between muscle characteristics and palatability in a random sample of pork carcasses. J Anim Sci 66 (2):385-395. Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford University Press. Dutta PK, Dutta J, Tripathin VS. 2004. Chitin and chitosan: chemestry, properties and application. J Sci Ind Res 63:20-31. Eriksson KE. 1981. Celluloses of Fungi. In: Trend in The Biology of Fermentation for Fuels and Chemicals. Basic Life Science, 18:19. New York. Plenum Press. Eusebio JA. 1980. Pig Production in the Tropics. Hongkong. Wing Fai Cheung Printing. Fardiaz S. 1987. Fisiologi fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut pertanian Bogor, Bogor.
133
Fardiaz S. 1988. Fisiologi fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gzi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farrell DJ. 1973. Digestibility by pigs of the major chemical components of diets high in plant cellwall constituents. Anim Prod 16:43-47. Fazaeli H, Azizi A, Amile M. 2006. Nutritive value index of treated wheat straw with Pleurotus ostreatus fungi fed to sheep. Pak J Biol Sci 9 (13):24442449. Flach M. 1977. Yield Potensial of the Sago Palm its Relation. Papers of the first International Sago Symposium in Kuching Malasya. Forrest JC, Aberle DE, Hendrick HB, Judge MD, Markel RA. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freman and Company. San Fransisco. Gaspersz V. 1995. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Bandung. Penerbit Tarsito. Glone Mc, Pond. 2002. Growth development and survival and pork composition. http://www.depts.ttu.edu/porkindustryinstitue/Swine%20Production%20clas s/ Growth%20(ch%208%20%209).htm [2 Nopember 2007]. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fsiologi Kedokteran. Irawati S, Tengadi LMA KA, Alex S, penerjemah; Irawati S, editor. Jakarta, Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hartoyo B, Irawan I dan N. Iriyanti. 2005. Pengaruh asam lemak dan kadar serat yang berbeda dalam ransum broiler terhadap kandungan kolesterol, HDL, dan LDL serum darah. Anim Prod 7 (1):27–33. Hawab HM. 2006. Toksisitas dan kendala penggunaan kitin dan kitosan pada bahan makanan dan makanan. Prosiding Seminar Nasional Kitin kitosan; Bogor, 16 Maret 2006. Hlm 25-73. Horigome, Sakaguchi BTE, Kishimoto C, 1992. Hypocholesterolemic effect of banana (Musa sapientum L.var Cavendishii) pulp in the rat fed on a cholesterol containing diet. Br J Nutr 68:231-244. Indrayani I. 1991. Koefisien cerna in vitro, produksi VFA total dan N-NH 3 jerami padi yang difermentasikan dengan jamur Pleurotus ostreatus. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Insani GA. 2008. Bilangan yodium pada lemak. Web. Lab. Unggas UGM. http://chickaholic.wordpress.com/2008/05/14/bilangan-yodium-pada lemak [15 Maret 2011]. Jafari MA, Nikkhah A, Sadeghi AA and Chamani M. 2007. The effect of Pleurotus spp. Fungi on chemical composition and in vitro digestibility of rice straw. Pak J Biol Sci 10 (15):2460-2464. Jones SDM, Robertson WM, Talbot S. 1992. Marbling standards for beef and pork. Agriculture and Agri-food Canada Pub. No. 1879/E, Ottawa, ON. Jurkonski A, Juskiewicz J, Zdunczyk Z. 2008. Comparative effect of different dietary levels of cellulose and fructooligosacharides on fermentative processes in the caecum of rats. J Anim Feed Sci 17:88-99.
134
Kass ML, Van Soest PJ, Pond WG. 1980. Utilization of dietary fibre from alfalfa by growing Swine. Volatile fatty acid concentration in and disappearance from the gastrointestinal tract. J Anim Sci 50:192-197. Kempster T, Cuthbertson A, Harrington G. 1982. Carcase Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. New York. Granada Publishing. Ketaren PP. 2008. Manusia-babi-ubi jalar. Warta Penelitian dan Pertanian. 30 (6). www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr30608j [28 Desember 2010]. Keys JE, Van Soest, Young EP. 1970. Effect of increasing cellwall content on the digestibility of hemicellulose and cellulose in swine and rats. J Anim Sci 31: 1172-1177. Kirk TK, Moore WE. 1972. Removing lignin from wood with white rot fungi and digestibility of resulting wood. Wood and Fiber 4:72-79. Komarayanti S, Nurhayati T. 1992. Produktivitas jamur perusak kayu S. commune pada tiga jenis serbuk gergaji kayu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Kompiang ID, Zainuddin D, Supriyati. 1995. Pemanfaatan limbah sagu sebagai ransum ternak ayam. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc GrawHill Publishing Company. Kuhlers DL, Jungst SB, Haffman DL, Cordray JC, Brown PN. 1984. Growth and carcass traits at 135 kg for progeny of swine selected for growth and backfat. J Anim Sci 58 (2):275-280. Kusharto CM. 2006. Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Jurnal Gizi dan Pangan 1(2):45-54. Kutlu HR, Gorgulu M, Buyukalaca S, Baykal L, Ozcan N. 1999. Effect of Pleurotus florida inoculation or urea treatment on feeding value of wheat straw. Turk J Vet Anim Sci 24 (2000):169-175. Laboratorium Makanan Ternak. 2008. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lammers PJ, Stender DR, Honeyman MS. 2007. Matching Carcass Specifications of Yours Market. http://www.ipic.iastate.edu/publications/620.tchCarcass MatchSpecs.pdf-Mirip [28 April]. Lawlor P. 2010. What is the optimum slaughter weight for pigs?. Pig development unit, animal and grass land research centre,Teageas, Moorepark, Fermoy, Co. Cork. http://www.teagas.ie/pigs/.../optimum_ slaughter_weight_May2010.pdf-Mirip[18 Maret 2011]. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Meat Science. Linder MC. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi A, penerjemah; Linder MC, editor. Jakarta, Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Nutritional Biochemestry and Metabolism.
135
Louhenapessy JE. 1988. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam pembangunan) disampaikan dalam seminar berkala pada pusat studi Maluku, Unpatti, Ambon. Louhenapessy JE. 2006. Potensi dan Pengelolaan Sagu di Maluku. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Sagu Kerjasama Fakultas Pertanian, BAPPEDA Provinsi Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP Maluku. Ambon. Louhenapessy JE, Luhukay M, Salampessy H, Riry J. 2010. Sagu harapan dan tantangan. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Lukitasari D. 2003. Analisis manajemen risiko terhadap peningkatan laju produksi budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mc. Allan AB. 1985. Analysis of carbohydrate in the alimentary tract and its nutritional significance. In : Analysis of Food Carbohydrate. Birch GG (Ed.). London. Elsevier Applied Sci. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar universitas Bioteknologi. Institut pertanian Bogor. Mario FDI, Rapana P, Tomati U, Galli. 2008. Chitin and Chitosan from Basidiomycetes. Int J Biol Macromol 43(1):8-12. Martin AH, Sather AP, Fredeen HT, Jolly RW. 1980. Alternative market weight for swine. II. Carcass composition and meat quality. J Anim Sci 50 (4):699-705. Martinez AT. 2002. Molecular biology and structure function of lignin degrading heme peroxidases. Rev Enzyme Microbiol Technol 30:425-444. Mas’ud MS, Parakkasi A. 2009. Performa pertumbuhan tikus putih (Rattus novergicus) yang diberi ransum berbagai taraf limbah udang. Agripet (10) 2:21-27. Melasari HR. 1993. Pengaruh sumber enrgi yang berbeda dalam ransum ternak babi periode pengakhiran terhadap daya cerna zat makanan dan angka yod lemak karkas [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor. Menge H, Littlefield H, Frobish LT and Weinland BT. 1974. Effect of cellulose and cholesterol on blood and yolk lipids and reproductive eficiency of the hen. J Nutr 104:1554-1566. Merkel RA, Bray RW, Graummer RH, Phillips PH, Bohstedt G. 1958. The influence of limited feeding, using high fiber rations, upon growth and carcass characteristics of swine. II. Effects upon carcass characteristics. http://www.jas.fass.org/content/17/1/13.full.pdf [05 April 2007]. Mili DC, Nath DR, Sarker AB. 1999. Effect of slaughter weight on certain carcass and meat quality traits of hampshire barrows. J Indian vet 76:313-316. Minium M. 2008. TG/HDL Ratio. http//www.crossfitoakland.com/archieves/ 2008/08/tghdl ratio.html. [11 Januari 2011].
136
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Jakarta. Buku Kedokteran EGC. National Research Council. 1998. Nutrient requirements of swine: 10th revised edition. The National Academies. Nishimura, N, Nishikawa, H and Keriyama S, 1993. Ileorectostomy or cecectomy but not colectomy abolishes the plasma cholesterol lowering effect of dietary beet fiber in rats. J Nutr 123:1260-1263. Nishina PM, Freedland RA. 1990. The effect of dietary fiber feeding on cholesterol metabolism in rats. J Nutr 120:800-805. Nishina PM, Freedland RA. 1990. Effect of propionate on lipid biosynthesis in isolated rat hepatocytes. J Nutr 120:668-673. Nurkurnia E. 1989. Hasil fermentasi rumen kambing kacang betina dengan pemberian beberapa tingkat ampas sagu (Metroxylon sp) dalam ransum [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Okano K, Samsuri IM, Prasetya B, Usagawa T, Watanabe T. 2005. Comparison of in vitro digestibility and chemical composition among sugarcane bagasses treated by four white-rot fungi. J Anim Sci 77:308-313. Paik Ik, Blair R. 1996. Atherosclerosis, cholesterol and egg. Rev AJAS 9 (1):125. Parakkasi A. 1990. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Bandung. Penerbit Angkasa. Parveen N, Akhbar MS, Abbas N, Abid AR. 2000. Effects of carrot residue fibre on body weight gain and serum lipid fractions. Int J Agri Biol 2(1-2):125128. Pederson C. 1971. Microbiology of Food Fermentation. Connecticut. The Avi Publ. Peraturan Menteri Pertanian. 2009. Pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri. www.deptan.go.id/bdd/admin/file/ Permentan-20-09-%20karkas.pdf [ 08 Maret 2011]. Piliang WG, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Bogor. IPB Press. Pond WG, Maner JH. 1974. Swine Production in Temperate and Tropical Environment. San Fransisco. W.H Freeman Company. Poultry Indonesia. 2001. Limbah udang pengganti tepung ikan. http://www.poultryindonesia.com.2001. [10 Mei 2007]. Prosky L et al. 1984. Determination of total dietary fiber in foods, food products and total diets. Interlaboratory study. J AOAC 67:1044-1053. Prosky L, De Vries JW. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Product. Van Nostrand Reinhold. New York. Ralahalu TN. 1998. Pengaruh tingkat penggunaan ampas sagu yang difermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum pada pertumbuhan babi selama periode pertumbuhan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
137
Rachman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Razdan A, Pettersson D. 1994. Effect of chitin and chitosan on nutrient digestibility and plasma lipid concentrations in broiler chickens. Br J Nutr 72: 277–288. Rumalatu FJ. 1981. Distribusi dan potensi pati beberapa sagu (Metroxylon sp) di daerah seram barat. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Pertanian/Kehutanan yang berafiliasi dengan Fateta IPB, Bogor. Roese GJ. 1990. Pig Production in Australia. Gardner JAA, Dunkin AC, Lloyd LC, editor. Canberra: Pig Research Council. Rouzbehan Y, Fazaeli H, Kiani A. The chemical composition and digestibility of wheat straw with urea and white rot fungi. bsas.org.uk/downloads/annlproc/pdf2001/123.pdf [3 Januari 2009]. Saano S. 1976. Pemanfaatan jasad renik dalam pengolahan hasil sampingan/sisasisa produksi pertanian. Berita LIPI 18 (4):1-11. Santoso U. 1987. Limbah Bahan Unggas yang Rasional. Bhratara Karya Aksara.
Savell, JW, Gary CS. 2000. Laboratory manual for meat science. Amecican. Massachusetts. Schoenstadt A. 2008. HDL/LDL ratio. MEDTV. Health information brought to life. http//www.cholesterol.emedtv.com/hdl/hdl-ldl-ratio.html[18Maret 2011]. Septinova D, Kurtini T, Purwaningsih N, Riyanti. 2009. Pemanfaatan limbah udang terolah dalam ransum terhadap bobot hidup, karkas, giblet dan lemak abdominal broiler. J Indon Trop Anim Agric 34:122-126. Setyahadi S. 2006. Pengembangan produksi kitin secara mikrobiologi. Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan; Bogor, 16 Maret 2006. hlm 25-73. Shurpalekar KS, Doraiswamy TR, Sundaravalli OE, Narayana Rao M. 1971. Effect of inclusion of cellulose in an atherogenic diet on the blood lipids of children. Nature 232:554-555. Shurtleff W, Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh: a Super Soy Food from Indonesia. New York. Harper and Row. Sikka S S. 2007. Effect of replacement of maize and rice bran with paddy on the growth performance and carcass traits of growing finishing pigs. http://www.cipav.org.co/lrrd19/7/sikk19092.htm[30 Nopember 2007]. Singh K, Rai SN, Rakatan SN, Han YW. 1990. Biochemical profiles of solid state fermented wheat straw with corprinus fimetarius. Ind J Dairy Sci 60 : 984-990. Sladek L, Cechova M, Mikule V. 2004. The effect of weight at slaughter on meat content of carcass and meat quality in hybrid pigs. Anim Sci Papers and Reports 22 (3):279-285. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
138
Soeparno 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Soilman H, Hamza AS, Shinnawy MMEl. 2007. Effect of incubation periods with White Rot Fungi on the nutritive value of corn stalks. http://www.actahort.org/members/showpd?booknrarnr=608-22[05Des 2007]. Stephen A. 1994. Propionate-sources and effects on lipid metabolism. In: short chain fatty acids-falk symposium 73 (Binder HJ, Cummings JH, Soergel K,eds). 260-27. Kluwer Academic Publishers, Lancaster , UK. Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. United States of America. Saunders Company. Sudibya. 1998. Manipulasi kadar kolesterol dan asam lemak omega-3 telur ayam melalui pengunaan kepala udang dan minyak ikan lemuru [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukria HA. 1990. Uji fermentabilitas in vitro ampas sagu aren (Arenga pinnata) hasil fermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sundstol RF, Owen E. 1984. Straw and other fibrous by products as feed. Development in Animal an Veterinary Sciences. Elsivier, Amsterdam. Supadmo, 1977. Pengaruh sumber kitin dan prekursor karnitin serta minyak ikan lemuru terhadap kadar lemak dan kolesterol serta asam lemak omega 3ayam broiler. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutrisna RS. 1993. Peningkatan mutu nutrisi serat kelapa sawit melalui fermentasi oleh jamur Pleurotus ostreatus, Pleurotus flabellatus dan Schizophyllum commune. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Takamine A, Hotta H, Degawa Y, Morimura S, Kida K. 2005. Effects of dietary fiber prepared from sweet potato pulp on cecal fermentation products and microflora in rats. J Appl Glycosci 52(1):1-5. Tannenbaum SR, Coney CL, Demain, Haverberg L. 1978. Non Photosynthetic Singel Cell Protein. In: Khilberg M, Scrimshaw NS, Wang DIC, editors. Protein Resources and Technology. Status and Research Needs. Connecticut. The Avi Publ. Thacker PA, Salomons MO, Aherne FX, Milligan LP, Bowland JP. 1981. Can J Anim Sci 61 (4):969-975. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprojo S, Kusumo SP, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tisnowati. 1991. Kecernaan in vitro ampas sagu Metroxylon yang diperlakukan secara biologis [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Urbano MG, Goni I. 2002. Effect of short-chain fructooligosaccharides and cellulose on cecal enzyme activities in rats. J Nutr Metab 46 (6):254-258. van Bennekum AM, Nguyen DV, Schulthess G, Hauser H, Phillips MC. 2005. Mechanisms of cholesterol-lowering effect of dietary insoluble fibres:
139
relationship with intestinal and hepatic cholesterol parameters. Br J Nutr 94: 331-337. Whittemore CT. 1980. Pig Production. The Scientific and Practical Principles. New York. Longman Handbooks in Agriculture Ed. Widyaningrum M. 2004. Penampilan tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi tepung cangkang rajungan sebagai sumber kitin. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Williams IH. 1982. Growth and Energy. In: Davis H.L, editor. A Course Manual in Nutrition. Melborne. Australian Vice-Chamcellors committee. William SR, 1985. Nutrition and Diet Therapy. New York. Collage Publ. Wright RS, Anderson JW, Bridges SR. 1990. Propionate inhibits hepatocyte lipid synthesis. Proc Soc Exp Biol Med 195 (1) : 26-29. Yamada K et al. 1999. Dietary effect of guar gum and its partially hydrolyzed product on the lipid metabolism and Immune function on Sprague Dawley rats. Biosci Biotech Biochem 63:2163-2167. Zacour AC, Silva ME, Cecon PR, Bambirra EA, Vieira EC. 1992. Effect of Dietary Chitin on Cholesterol Absorption and Metabolism in Rats. J Nutr Sci Vitaminol 38 (6):609-613.
143
Lampiran 1 Analisis ragam kadar protein kasar ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
15,44
3,09
238,14**
0,0001
Galat
12
0,16
0,01
Total
17
15,60
Koefisien keragaman : 1,62%;
**)
Berbeda sangat nyata(P<0,01)
Lampiran 2 Analisis ragam kadar protein murni ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu ferrmentasi
5
9,02
1,80
46,52**
0,0001
Galat
12
0,47
0,04
Total
17
9,49
Koefisien keragaman : 4,97%;
**)
Berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 3 Analisis ragam kadar serat kasar ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
98,97
19,79
38,94**
0,0001
Galat
12
6,10
0,51
Total
17
105,07
Koefisien keragaman : 4,55%;
**)
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
Lampiran 4 Analisis ragam kadar NDF ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
672,14
134,43
21,76**
0,0001
Galat
12
74,12
6,18
Total
17
746,26
Koefisien keragaman : 3,84%;
**)
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
144
Lampiran 5 Analisis ragam kadar ADF ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
1703,72
340,74
33,33**
0,0001
Galat
12
122,69
10,22
Total
17
1826,41
Koefisien keragaman : 7,08%;
**)
Berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 6 Analisis ragam kadar selulosa ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
974,83
194,97
22,53**
0,0001
Galat
12
103,86
8,65
Total
17
1078,69
Koefisien keragaman : 8,70%;
**)
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
Lampiran 7 Analisis ragam kadar lignin ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
13,94
2,79
4,60*
0,0142
Galat
12
7,27
0,61
Total
17
21,21
Koefisien keragaman : 23,15% ;
*)
Berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 8 Analisis ragam kadar silika ampas sagu fermentasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Waktu fermentasi
5
241,08
48,22
11,17**
0,0004
Galat
12
51,79
4,32
Total
17
292,87
Koefisien keragaman : 25,97%;
**)
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
145
Lampiran 9 Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Perlakuan ransum
6
10,60
1,77
1,55tn
0,2129
Galat
20
22,77
1,14
Total
26
33,37
Koefisien keragaman: 9,85%; tn) tidak nyata
Lampiran 10 Analisis ragam pertambahan bobot badan tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 2,61
Kuadrat tengah 0,43
Galat
20
2,60
0,13
Total
26
5,21
Koefisien keragaman: 12,11%;
**)
F hitung
Peluang
3,35*
0,0189
Berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 11 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 0,01461
Kuadrat tengah 0,0024
Galat
20
0,00667
0,00033
Total
26
0,021
Koefisien keragaman: 6,64%;
**)
F hitung
Peluang
7,30**
0,0003
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
Lampiran 12 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 444,45
Kuadrat tengah 74,075
Galat
20
585,65
29,28
Total
26
1030,10
Koefisien keragaman : 7,96%; tn) tidak nyata
F hitung
Peluang
2,53tn
0,0549
146
Lampiran 13 Analisis ragam HDL darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 1261,82
Kuadrat tengah 210,30
Galat
20
2695,75
134,79
Total
26
3957,57
Koefisien keragaman : 25,63%;
tn)
F hitung
Peluang
1,56tn
0,2106
F hitung
Peluang
1,31tn
0,2972
F hitung
Peluang
1,88tn
0,1352
F hitung
Peluang
0,78tn
0,5985
tidak nyata
Lampiran 14 Analisis ragam LDL darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 1930,05
Kuadrat tengah 321,67
Galat
20
4903,94
245,20
Total
26
6833,99
Koefisen keragaman : 35,62%; tn) tidak nyata
Lampiran 15 Analisis ragam trigliserida darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 22421,02
Kuadrat tengah 3736,84 1992,83
Galat
20
39856,51
Total
26
62277,53
Koefisien keragaman : 58,25%; tn) tidak nyata
Lampiran 16 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 6
Jumlah kuadrat 0,016
Kuadrat tengah 0,003
Galat
20
0,072
0,004
Total
26
0,088
Koefisien keragaman : 75,63%; tn) tidak nyata
147
Lampiran 17 Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 30,78
Kuadrat tengah 3,42
Galat
30
83,45
2,78
Total
39
114,23
Koefisien keragaman : 9,77%;
tn)
F hitung
Peluang
1,23tn
0,3146
tidak nyata
Lampiran 18 Analisis ragam pertambahan bobot badan tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 1,75
Kuadrat tengah 0,19
Galat
30
13,71
0,46
Total
39
15,46
Koefisien keragaman : 15,87%;
tn)
F hitung
Peluang
0,43tn
0,9108
tidak nyata
Lampiran 19 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 0,00414
Kuadrat tengah 0,00046
Galat
30
0,01005
0,00033
Total
39
0,01419
F hitung
Peluang
1,37tn
0,2437
F hitung
Peluang
4,18**
0,0014
Koefisien keragaman : 7,34%; tn) tidak nyata
Lampiran 20 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 1920,40
Kuadrat tengah 213,38
Galat
30
1531,20
51,04
Total
39
3451,60
Koefisien keragaman : 13,25%;
**)
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
148 Lampiran 21 Analisis ragam HDL darah tikus putih
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Perlakuan ransum
9
558,51
62,057
1,05tn
0,4248
Galat
30
1770,62
59,02
Total
39
2329,13
Koefisien keragaman : 17,95%; tn) tidak nyata
Lampiran 22 Analisis ragam LDL darah tikus putih Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
Perlakuan ransum
9
773,38
85,93
1,31tn
0,2744
Galat
30
1972,28
65,74
Total
39
2745,66
Koefisien korelasi : 20,11%; tn) tidak nyata
Lampiran 23 Analisis ragam trigliserida darah tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 6498,36
Kuadrat tengah 722,04
Galat
30
5198,14
173,27
Total
39
11696,50
Koefisien keragaman : 19,62%;
**)
F hitung 4,17**
Peluang 0,0015
Berbeda sangat nyata (P< 0,01)
Lampiran 24 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 0,11
Kuadrat tengah 0,01
Galat
30
0,51
0,01
Total
39
0,62
Koefisien keragaman : 19,15%; tn) tidak nyata
F hitung
Peluang
0,71tn
0,6969
149
Lampiran 25 Analisis ragam kolesterol jaringan lemak tikus putih Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 9
Jumlah kuadrat 6,04
Kuadrat tengah 0,67
Galat
30
10,95
0,36
Total
39
16,99
F hitung
Peluang
1,84tn
0,1020
Koefisien keragaman : 18,68%; tn) tidak nyata
Lampiran 26 Analisis peragam (Ancova) rataan konsumsi ransum babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 174035,26
Kuadrat tengah 34807,05
F hitung
Peluang
5,38*
0,0184
Berat awal
1
191275,18
191275.18
29.55
0,0006
Galat
8
51779,22
6472,4025
Total
14
432897,60
Koefisien keragaman : 8,01%;
*)
Berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 27 Analisis peragam (Ancova) pertambahan bobot badan babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 19511,99
Kuadrat tengah 3902,40
F hitung
Peluang
3,36tn
0,0624
Berat awal
1
12535,80
12535,80
10,81
0,0111
Galat
8
9278,64
1159,83
Total
14
37425,97
Koefisien keragaman : 14,18%;
tn)
tidak nyata
Lampiran 28 Analisis peragam (Ancova) rataan efisiensi penggunaan ransum babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 0,00664
Kuadrat tengah 0,00132
F hitung
Peluang
2,86tn
0,0904
Berat awal
1
0,00008
0,00008
0,17
0,6907
Galat
8
0,00370
Total
14
0,01064
Koefisien keragaman : 9,04%;
tn)
tidak nyata
150
Lampiran 29 Analisis peragam (Ancova) kolesterol darah babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 676,83
Kuadrat tengah 135,37
F hitung
Peluang
0,35tn
0,8673
Berat awal
1
152,79
152,79
0,40
0,5460
Galat
8
3075,06
Total
14
4078,24
Koefisien keragaman : 22,64%; tn) tidak nyata Lampiran 30 Analisis peragam (Ancova) HDL darah babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 80,61
Kuadrat tengah 16,12
F hitung
Peluang
0,34tn
0,8744
Berat awal
1
127,17
127,17
2,69
0,1396
Galat
8
378,17
Total
14
896,87
Koefisien keragaman : 16,57%; tn) tidak nyata Lampiran 31 Analisis peragam (Ancova) LDL darah babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 1255,14
Kuadrat tengah 251,03
F hitung
Peluang
2,84tn
0,0914
Berat awal
1
539,94
539.94
6,11
0,0386
Galat
8
706,56
Total
14
2351,73
Koefisien keragaman : 15,37%; tn) tidak nyata Lampiran 32 Analisis peragam (Ancova) trigliserida darah babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 183,59
Kuadrat tengah 36,72
F hitung
Peluang
0,11tn
0,9858
Berat awal
1
115,93
115,93
0,36
0,5655
Galat
8
2582,08
Total
14
2928,70
Koefisien keragaman : 32,03%; tn) tidak nyata
151
Lampiran 33 Analisis peragam (Ancova) kolesterol daging babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 0,129
Kuadrat tengah 0,026
F hitung
Peluang
1,48tn
0,2958
Berat awal
1
0,012
0,012
0,71
0,4238
Galat
8
0,139
Total
14
0,285
Koefisien keragaman : 64,69%; tn) tidak nyata Lampiran 34 Analisis peragam (Ancova) kolesterol jaringan lemak babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 0,006
Kuadrat tengah 0,001
F hitung
Peluang
0,35tn
0,8662
Berat awal
1
0,001
0,001
0,27
0,6203
Galat
8
0,025
Total
14
0,031
Koefisien keragaman : 108,23%; tn) tidak nyata Lampiran 35 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium daging babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 15,88
Kuadrat tengah 3,18
F hitung
Peluang
0,55tn
0,7333
Berat awal
1
2,41
2,41
0,42
0,5352
Galat
8
45,92
Total
14
62,47
Koefisien keragaman : 16,68%; tn) tidak nyata Lampiran 36 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium lemak punggung babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 270,35
Kuadrat tengah 54,07
F hitung
Peluang
1,60tn
0,2630
Berat awal
1
98,12
98,12
2,91
0,1264
Galat
8
269,72
Total
14
558,14
Koefisien keragaman : 9,78%; tn) tidak nyata
152
Lampiran 37 Analisis peragam (Ancova) laju digesta Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 24,66
Kuadrat tengah 4,93
F hitung
Peluang
5,02*
0,0223
Berat awal
1
0,03
0,03
0,03
0,8641
Galat
8
7,85
Total
14
42,03
Koefisien keragaman : 4,92%;
*)
Berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 38 Analisis peragam (Ancova) bobot karkas babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 102,98
Kuadrat tengah 20,60
F hitung
Peluang
5,10*
0,0214
Berat awal
1
139,80
139,80
34,61
0,0004
Galat
8
32,31
Total
14
275,28
Koefisien keragaman : 7,05%;
*)
Berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 39 Analisis peragam (Ancova) persentase karkas babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 56,95
Kuadrat tengah 11,39
F hitung
Peluang
4,89*
0,0240
Berat awal
1
13,01
13,01
5,59
0,0457
Galat
8
18,63
Total
14
91,42
Koefisien keragaman : 2,08%;
*)
Berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 40 Analisis peragam (Ancova) tebal lemak punggung babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 2,02
Kuadrat tengah 0,40
F hitung
Peluang
1,88tn
0,2037
Berat awal
1
0,60
0,60
2,80
0,1326
Galat
8
1,72
Total
14
4,42
Koefisien keragaman : 17,97%; tn) tidak nyata
153
Lampiran 41 Analisis peragam (Ancova) luas udamaru babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 57,04
Kuadrat tengah 11,41
F hitung
Peluang
0,67tn
0,6549
Berat awal
1
61,70
61,70
3,65
0,0926
Galat
8
135,33
Total
14
213,42
Koefisien keragaman : 23,21%; tn) tidak nyata Lampiran 42 Analisis peragam (Ancova) berat empedu babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 814,00
Kuadrat tengah 162,80
F hitung
Peluang
0,70tn
0,6386
Berat awal
1
262,73
262,73
1,13
0,3187
Galat
8
1859,27
Total
14
3257,73
Koefisien keragaman : 45,01%; tn) tidak nyata Lampiran 43 Analisis peragam (Ancova) berat isi empedu babi Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 166,00
Kuadrat tengah 33,20
F hitung
Peluang
0,63tn
0,6812
Berat awal
1
6,41
6,41
0,12
0,7357
Galat
8
419,59
Total
14
585,60
Koefisien keragaman: 41,62%; tn) tidak nyata Lampiran 44 Analisis peragam (Ancova) berat kantung empedu Sumber keragaman Perlakuan ransum
Derajat bebas 5
Jumlah kuadrat 280,58
Kuadrat tengah 56,12
F hitung
Peluang
0,46tn
0,7944
Berat awal
1
351,20
351,20
2,89
0,1273
Galat
8
970,80
Total
14
1831,73
Koefisien keragaman : 66,90%;
tn)
tidak nyata
154
Lampiran 45 Bobot badan babi (kg/ekor/2mgg) yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya Perlakuan (%)
BB M1
BB M2
R0
22,92
27,90
R1
21,91
R2
BB M3
BB M4
BB M5
BB M6
32,77
36,60a
40,14a
42,81
26,01
25,47
27,72c
29,93c
32,12
21,67
25,63
29,02
31,90abc
34,42abc
35,84
R3
21,34
24,74
28,28
31,40bc
34,19bc
35,63
R4
22,28
26,42
30,22
33,88ab
36,86ab
39,39
R5
22,11
26,77
31,03
34,37ab
37,13ab
38,96
Dikoreksi pada rataan bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang; R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbahj udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).