POPULASI MIKROBA DAN FLUKS METANA (CH4) SERTA NITROUS OKSIDA (N2O) PADA TANAH SAWAH: PENGARUH PENGELOLAAN AIR, BAHAN ORGANIK DAN PUPUK NITROGEN
SUPRIHATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Populasi Mikroba dan Fluks Metana (CH4) serta Nitrous Oksida (N2O) pada Tanah Sawah: Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk Nitrogen adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Suprihati NRP. A. 261030051
RINGKASAN SUPRIHATI. Populasi Mikroba dan Fluks Metana (CH4) serta Nitrous Oksida (N2O) pada Tanah Sawah: Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk Nitrogen. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS (Ketua), DANIEL MURDIYARSO, SUPIANDI SABIHAM, dan GUNAWAN DJAJAKIRANA (masing-masing sebagai anggota). Ekosistem padi sawah (sifat tanaman padi, sifat tanah dan aktivitas mikroba selama penanaman) sangat menunjang pembentukan gas CH4 dan N2O, dua gas rumah kaca (GRK) yang berperan dalam pemanasan global. Penelitian lapang yang terdiri dari tiga tahap/bagian dilaksanakan pada bulan Juni 2004 hingga April 2005 bertujuan untuk mempelajari populasi mikroba dan fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah. Penelitian pertama dirancang secara acak kelompok dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, untuk mempelajari hubungan antara karakteristik tanah dengan fluks CH4 pada budidaya padi sawah, sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung. Penelitian kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan air terhadap fluks CH4. Pengelolaan air yang dicobakan adalah macak-macak, berselang, penggenangan 5cm dan 10cm, masing-masing diulang lima kali, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Percobaan ketiga terdiri dari tiga faktor: pengelolaan air (tergenang dan macak-macak), jerami (0 dan 6 ton ha-1) serta pupuk N (Urea, Control Release Fertilizer/CRF30 dan CRF50). Percobaan ketiga dirancang dengan rancangan petak-petak terbagi. Pengamatan meliputi Eh tanah, kandungan amonium dan nitrat tanah, respirasi tanah, Cmic; populasi mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter dan denitrifier; jumlah anakan dan bobot gabah. Penetapan fluks CH4 dan N2O dengan metode penyungkupan. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa padi sawah menghasilkan fluks CH4 paling tinggi yaitu sebesar 7.50 ± 0.53 mg CH4-C m-2 jam-1 sementara sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung lebih rendah yaitu sebesar -0.77 ± 0.64 hingga 0.46 ± 0.53 mg CH4-C m-2 jam-1. Populasi nitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.13x103 hingga 3.17x104 Most Probable Number (MPN) g-1 berat kering mutlak (BKM) tanah sedangkan populasi denitrifier berkisar antara 3.77x103 hingga 1.17x105 MPN g-1 BKM tanah. Antar pertanaman tidak dijumpai proporsi Nitrosomonas, Nitrobacter, Denitrifier maupun total propagul yang spesifik dominan. Fluks CH4 berkorelasi sangat nyata dengan kadar air tanah (r =- 0.951**) dan Eh (r = -0.982**). Korelasi erat antara kadar air tanah dan Eh terhadap fluks CH4 mengindikasikan pentingnya pengelolaan air dalam pengelolaan fluks CH4. Populasi denitrifier berkorelasi nyata dengan pH tanah (r = -0.635*) dan kandungan amonium tanah (r = -0.681*). Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa pengairan secara macakmacak menghasilkan fluks CH4 yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Rata-rata fluks CH4 berturut-turut 0.98, 4.34, 3.92 dan 4.91 mg CH4-C m-2 jam-1 pada perlakuan macak-macak, intermiten, tergenang 5 cm dan 10 cm. Perlakuan macak-macak mengurangi 94 kg CH4 ha-1 musim tanam-1 dibanding penggenangan 5cm . Hasil penelitian yang ketiga menunjukkan bahwa populasi mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter, nitrifier dan denitrifier, respirasi dan Cmic tidak berkorelasi secara nyata dengan fluks CH4. Sedangkan fluks N2O berkorelasi nyata terhadap mikroba total, populasi nitrifier dan denitrifier. Pengurangan fluks CH4 dengan perlakuan macak-macak bertendensi meningkatkan fluks N2O pada tanah sawah. Perlakuan macak-macak mampu meningkatkan gabah 87%, mengurangi total fluks CH4 sebesar 24.2%, meningkatkan total fluks N2O 98.7%
dan mengurangi 24% global warming potential (GWP) dibanding perlakuan penggenangan. Pembenaman jerami setara 6 ton ha-1 mampu meningkatkan gabah 7%, meningkatkan total fluks CH4 sebesar 11.3%, meningkatkan total fluks N2O 51.2% dan meningkatkan 11.3% GWP dibanding tanpa jerami. Penggunaan CRF menurunkan bobot gabah 5.3-6.5%, meningkatkan total fluks CH4 sebesar 10.7 – 21.6%, meningkatkan total fluks N2O 69.2% dan meningkatkan 10.8 – 21.6% GWP dibanding pupuk urea. Pengurangan air hingga kondisi macak-macak mampu mengatasi peningkatan fluks CH4 akibat penambahan jerami. Kombinasi perlakuan pengelolaan macak-macak, pembenaman jerami dan pupuk urea menghasilkan padi 5.44 ton ha-1, total fluks CH4 76.66 kg CH4C ha-1 12 minggu-1, N2O 22.78 g N ha-1 12 minggu-1 dengan GWP setara dengan 1770.02 kg CO2 ha-1 12 minggu-1. Terjadi peningkatan bobot gabah 114.75%, penurunan total fluks CH4, N2O dan GWP masing-masing sebesar 49.97%, 76.7% dan 49.7% terhadap kontrol yaitu perlakuan penggenangan, tanpa jerami dan diberi pupuk urea. Kata kunci: fluks CH4, fluks N2O, mikroba tanah, padi sawah
SUMMARY SUPRIHATI. Microbe Population, Methane (CH4) and Nitrous Oxide (N2O) Fluxes in Paddy Field: Effect of Water Management, Organic Matter and N Fertilizer. Under the supervision of ISWANDI ANAS (Chaiman), DANIEL MURDIYARSO, SUPIANDI SABIHAM, and GUNAWAN DJAJAKIRANA (members). Paddy fields provide an environment for production of two important greenhouse gasses, CH4 and N2O, because of variation in soil characteristic, moisture content, and microbe activities during the cultivation. Field experiments were conducted in Bogor from June 2004 through April 2005. There were three sets of experiments designed to study microbe population, CH4 and N2O fluxes in paddy field. The first experiment was designed to study the relationship of soil characteristics and CH4 flux from paddy field, in comparation with up-land crops such as vegetable, sweet potato, yam bean and corn. The second experiment was designed to study effect of water management on CH4 flux and rice yield. The water management treatments were saturated, intermitten, 5 cm flooded and 10 cm flooded. Based on the second experiment, the third experiment was aimed of three factors: Water management (flooded and saturated), rice straw (0 and 6 ton ha-1) and N fertilizer (Urea, Control Release Fertilizer/CRF30 and CRF50), in which split-split plot experimental design was used. Factors affecting gas flux, including soil Eh, soil ammonium and nitrate content, soil respiration, Cmic; population of total microbe, nitrosomonas, nitrobacter and denitrifier; number of tiller and weight of grains, were measured as well. Fluxes of CH4 and N2O from paddy rice fields were measured by closed chamber method. The results showed that rice cultivation produced the highest CH4 flux (7.5 ± 0.53 mg CH4-C m-2 h-1, n=3) , while up-land crops such as vegetable, sweet potato, yam bean and corn produced lower CH4 flux (–0.77 ± 0.64 to 0.46 ± 0.53 mg CH4-C m-2 h-1, n=3). Nitrifier population among the crop cultivations was 3.13x103 to 3.17x104 Most Probable Number (MPN) g-1 soil (dry weight), while denitrifier population was 3.77x103 to 1.17x105 MPN g-1 soil (dry weight). There were no specific dominance proportion of nitrosomonas, nitrobacter, denitrifier and total propagule among the crop cultivations. The CH4 flux had highly correlation to soil water content (r = 0.951 and soil Eh (r = -0.982). Water management is the important factor to decrease CH4 flux. Denitrifier had significant correlation with soil pH (r = -0.635) and soil ammonium content (r = 0.681). The second experiment results showed that saturated condition produced the least CH4 flux than the others. The average of seasonal CH4 flux were 0.98, 4.34, 3.92 dan 4.91 mg CH4-C m-2 h-1 at saturated, intermitten, 5 cm flooded and 10 cm flooded plots, respectively. Saturated irrigation decreaced CH4 flux up to 94 kg CH4 ha-1 cropping season-1 compared with 5 cm flooded. The third experiment results showed that total microbe, nitrosomonas, nitrobacter, nitrifier, denitrifier, respiration, Cmic had no significant correlation with CH4 flux. N2O flux was significantly related to total soil microbe, nitrifier and denitrifier population. A slight inverse relationship between CH4 flux and N2O flux was found. Saturated condition increased the grain weight (87%), decreased total CH4 flux (24.2%), increased total N2O flux (98.7%), and decreased GWP (24%) compared with flooding. Rice straw incorporation increased the the grain weight (7%), total CH4 flux (11.3%), total N2O flux (51.2%) and 11.3% GWP compared with no rice straw incorporation treatment. CRF decreased the grain weight (5.36.5%), increased total CH4 flux (10.7 – 21.6%), total N2O flux and GWP (10.8 – 21.6%) compared with urea.
Saturated, rice straw incorporation and urea combination was found to obtain 5.4 ton ha-1 grains, provided low CH4 (76.7 kg CH4-C ha-1) and N2O (22.8 g N ha-1) total fluxes, and GWP equal to 1770.02 kg CO2 ha-1. There was 114.75% increased of the grain weight, 49.97%, 76.7% dan 49.7% decreased of CH4 flux, N2O flux and GWP, respectively compared with flooded - no rice straw incorporation - urea combination as control treatment. Keywords: CH4 flux, N2O flux, paddy field, soil microbe
© Hak cipta milik INSTITUT PERTANIAN BOGOR, tahun 2007. Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
POPULASI MIKROBA DAN FLUKS METANA (CH4) SERTA NITROUS OKSIDA (N2O) PADA TANAH SAWAH: PENGARUH PENGELOLAAN AIR, BAHAN ORGANIK DAN PUPUK NITROGEN
SUPRIHATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Jum’at 8 Juni 2007 1.
Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jakenan, Pati, Jawa Tengah
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, Selasa 31 Juli 2007 1.
Prof. (Riset) Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, MSc. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan, Bogor
2.
Prof. Dr. Kris Herawan Timotius Guru Besar Mikrobiologi pada Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Judul Disertasi : Populasi Mikroba dan Fluks Metana (CH4) serta Nitrous Oksida (N2O) pada Tanah Sawah: Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk Nitrogen Nama
: Suprihati
NRP
: A. 261030051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr Anggota
Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, MSc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr. Ir. Komaruddin Idris, MSc
Tanggal ujian:
31 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 24 September 1960 dari keluarga ayah Soegiyoto Dwijosoemarto (almarhum) dan ibu Sri Soenarsih. Penulis adalah putri pertama dari tujuh bersaudara. Penulis menikah dengan Ir. Ruminto Adi, MS. (almarhum) dan dikaruniai 3 orang putra yaitu Oryza Adhisurya (20), Adinandra Dharmasurya (17) dan Eriandra Budhisurya (15). Saat ini penulis dan keluarga tinggal di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) diselesaikan di SDN I Koripan, Kabupaten Karanganyar, pada akhir tahun 1971. Pendidikan sekolah lanjutan pertama diselesaikan di SMPN II Karanganyar di Kota Karanganyar pada akhir tahun 1974. Sedangkan jenjang sekolah lanjutan atas diselesaikan di SMAN I Karanganyar di Kota Karanganyar pada akhir tahun 1977. Pada tahun ajaran 1978 penulis diterima melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, kemudian pada tahun 1979 diterima di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Penulis lulus dan meraih gelar sarjana dari IPB pada tahun 1982. Pada tahun ajaran 1988, penulis mendapatkan kesempatan studi lanjut pada jenjang Strata II (S2) dengan beasiswa dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan diterima pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana IPB dan lulus serta mendapatkan gelar Magister Sains (MS) tahun 1991. Sejak tahun ajaran 2003 penulis melanjutkan studi jenjang Strata III (S3) pada Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dengan beasiswa BPPS dari DIKTI. Sejak tahun 1983 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota The International Society for Southeast Asian Agriculture Sciences (ISSAAS). Karya ilmiah berjudul “Effect of water managements on methane flux, soil microbe and rice yield in Bogor, Indonesia” telah disajikan pada International workshop on “Ecological Analysis and Control of Greenhouse Gas Emissions from Agriculture in Asia” yang diselenggarakan di Universitas Ibaraki di Ibaraki Jepang pada tanggal 15-16 September 2005. Naskah berjudul “Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Beberapa Macam Budidaya”, telah diterbitkan di Buletin Agronomi IPB edisi Desember volume XXXIV No. 3 tahun 2006 (181-187). Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis. Pada bulan April 2007 penulis memperoleh penghargaan IPNI Scholar Awards dari International Plant Nutrient Institute (IPNI).
PRAKATA Permasalahan pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) oleh aktivitas manusia mendapat perhatian besar dari berbagai pihak. Lingkungan padi sawah secara ekologis menstimulir produksi GRK CH4 dan N2O. Emisi CH4 dan N2O dari lahan sawah berkaitan erat dengan perilaku mikroba tanah. Pengkajian CH4 dan N2O secara simultan bila dikaitkan sekaligus dengan dinamika mikroba menjadi semakin menarik dan sangat diperlukan dalam upaya mitigasi GRK. Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan yang sumber Kasih, Hikmat dan Pengetahuan. atas berkat dan pimpinan anugrahNYA, disertasi berjudul “Populasi Mikroba dan Fluks Metana (CH4) serta Nitrous Oksida (N2O) pada Tanah Sawah: Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk Nitrogen” telah dapat penyusun selesaikan. Penghargaan dan ungkapan terimakasih penyusun haturkan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, MSc., Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS., Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr., dan Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, MSc. Masingmasing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, serta dorongan beliau sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. 2. Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, MSc. yang telah memberikan kepercayaan dan fasilitas pendanaan dalam kerangka penelitian kerjasama IPB-Universitas Chiba-Universitas Ibaraki, Jepang juga dukungan penuh sehingga penyusun memperoleh penghargaan IPNI Scholar Award. Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS. yang telah memfasilitasi peningkatan wacana penyusun melalui kerjasama dengan SARCS. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. yang memberikan referensi kuat dalam pengurusan IPNI Scholar Award. 3. Pimpinan UKSW, pimpinan Fakultas Pertanian UKSW beserta staf yang telah mempercayakan kesempatan studi lanjut dan memberikan segenap dukungan selama penyelesaian studi. 4. Pimpinan IPB melalui Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan maupun Program Studi Ilmu Tanah beserta staf pengajar yang telah memberikan kesempatan belajar dan suasana akademik yang menunjang. 5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah menyediakan beasiswa BPPS. 6. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Tanah dan keluarga besar laboratorium Biologi Tanah atas segala bantuan, persahabatan, diskusi yang membangun serta semangat saling mendukung dalam belajar. 7. Keluarga terkasih: keluarga besar Soegiyoto Dwidjosoemarto dan keluarga besar Soemardjo Astrowidjojo atas topangan kasih dan doanya. 8. Putra-putra terkasih Oryza, Nandra dan Rian untuk kesabaran, pengertian dan dorongan semangat yang senantiasa diberikan. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan yang diberikan hingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini sangat bermanfaat bagi penyusun dalam proses memahami aspek mikrobial GRK dari tanah sawah. Harapan penyusun, disertasi ini juga bermanfaat bagi pengembangan ilmu tanah khususnya aspek mikrobial CH4 dan N2O pada tanah sawah. Bogor, Agustus 2007 Suprihati, Penyusun
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
I PENDAHULUAN
1
Latar Belakang ................................................................................
1
Kerangka Pemikiran ........................................................................
4
Tujuan Penelitian dan Hipotesis ......................................................
5
II TINJAUAN PUSTAKA
7
Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Pertanian ................
7
Aspek Mikrobiologis pada Tanah Sawah ........................................
9
Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah …………… Pengaruh Bahan Organik terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida ....................................................................................... Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida ........................................................................... Pengaruh Pupuk N Lepas Terkontrol terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida .................................................................... Global Warming Potential Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah ............................................................................................. III BAHAN DAN METODE
10 14 16
18 19
21
Percobaan I: Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman ………………………………………………….. Percobaan II: Pengaruh pengelolaan air terhadap fluks CH4 dan populasi mikroba tanah pada tanah sawah ..................................... Percobaan III: Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah dan fluks CH4 serta N2O pada tanah sawah ………………………………………………...
21
23
25
Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................
25
Bahan dan Alat ..........................................................................
25
Rancangan Percobaan ..............................................................
26
Penyiapan Petak Percobaan dan Budidaya ..............................
27
Pengukuran Parameter Pengamatan .......................................
28
Pengukuran parameter mikrobiologi dan kimia tanah ……..
28
Pengambilan Contoh Gas dan Pengukuran Konsentrasi CH4 serta N2O…………………………………………………..
28
xiii
Penghitungan Global Warming Potential (GWP) …………..
29
Analisis Data ..............................................................................
29
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
30
Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman ……………………………………………………… Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman Fluks CH4 pada Budidaya Lima Macam Tanaman ………… Mikroba Fungsional pada Budidaya Lima Macam Tanaman ……………………………………………………….. Korelasi CH4, Mikroba Tanah dan Sifat Tanah ................... Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks Metana dan Populasi Mikroba Tanah pada Tanah Sawah ………………………………… Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks CH4 .................. Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Populasi Mikroba Tanah .................................................................................. Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Komposisi N Tanah ... Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Hasil Padi .................. Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah, Fluks Metana serta Nitrous Oksida pada Tanah Sawah…………………………………………………………… Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Sifat Kimia Tanah ................................................. Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah ...................... Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Fluks CH4 dan N2O .............................................. Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Produksi Padi dan Nisbah Produksi-Emisi ........... Pengaruh Populasi Mikroba terhadap Fluks CH4 dan N2O.. Hubungan Sifat Tanah, Hasil Tanaman dengan Fluks CH4 serta N2O ............................................................................. Hubungan antara Fluks CH4 dan N2O ................................ Pembahasan Umum ……………………………………………………
30 30 31 32 33 35 35 37 40 40
42 42 50 63 73 76 80 83 88
V KESIMPULAN DAN SARAN
93
DAFTAR PUSTAKA
95
LAMPIRAN
104
xiv
DAFTAR TABEL
No.
Teks
3.1. 3.2. 3.3. 4.1. 4.2. 4.3.
Parameter pengamatan pada percobaan I ……………………. Parameter pengamatan pada percobaan II …………………… Parameter dan agihan waktu pengamatan pada percobaan III Karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman …… Mikroba fungsional pada budidaya lima macam tanaman …... Tabel korelasi antar parameter karakteristik tanah, mikroba dan fluks CH4 ……………………………………………………... Kadar N tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N pada 0, 4, 8 dan 12 MST ………. Populasi mikroba tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N …………………. C-organik, Cmic dan nisbah Cmic/C-organik pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N …….. Emisi CH4 antar perlakuan dan kombinasi pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N …………………………………….. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap jumlah anakan, bobot jerami dan bobot gabah ……………………………………………………………… Jumlah anakan, bobot gabah, emisi serta nisbah emisi CH4 dan N2O terhadap bobot gabah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N …….. Korelasi fluks CH4 dengan populasi mikroba tanah ………….. Korelasi fluks N2O dengan populasi mikroba tanah ………… Kontribusi CH4 dan N2O terhadap GWP dari kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ……..
4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
4.9.
4.10. 4.11. 4.12.
xv
Halaman 23 25 29 31 33 35 50 51 62 68
74
75 76 78 86
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
1.1.
Hubungan sebab akibat antara teknik budidaya padi sawah dengan fluks Metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) serta pemanasan global yang menjadi kerangka pemikiran penelitian ini ……………………………………………………….. Lingkungan makro ekosistem padi sawah (Roger et al., 1993) Skema dinamika produksi dan emisi metana pada tanah sawah (Wasmann dan Aulakh,2000) ………………………….. Transformasi nitrogen pada tanah sawah tergenang (De Data, 1981) ………………………………………………………………... Penetapan perubahan konsentrasi metana antar waktu (dc/dt) Tata letak petak percobaan di lapang ………... ………………... Fluks CH4 dan ruang pori tanah terisi air pada budidaya lima macam tanaman (error bar menunjukkan standar deviasi)…… Fluktuasi fluks CH4 dua mingguan: (a) antara perlakuan pengelolaan air, (b) rata-rata antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=20) …………… Fluks metana antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=30) ……………………………. Populasi total mikroba pada empat macam pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) …………………. Populasi nitrifier pada empat macam pengelolaan air ………… Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi nitrifier dan denitrifier pada 4 minggu setelah tanam ……………………….. Pengaruh pengelolaan air terhadap konsentrasi amonium dan nitrat tanah pada 4 dan 8 MST, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) ……………………………………………… Pengaruh pengelolaan air terhadap hasil tanaman: (a) jumlah anakan, (b) bobot jerami dan gabah, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) ……………………………………………… Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap Eh tanah …………………………………. Dinamika Eh tanah sawah antar perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ……………………………………… Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap pH tanah …………………………………. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap amonium tanah ………………………….. Kadar amonium dan nitrat tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST ………………………………………………………... Jumlah total mikroba tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST ……………………………………………………………... Jumlah nitrosomonas pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST ………………………………………………………………… Jumlah nitrobacter pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST ... Jumlah denitrifier pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan
2.1. 2.2. 2.3. 3.1. 3.2. 4.1. 4.2.
4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7.
4.8.
4.9. 4.10. 4.11. 4.12. 4.13.
4.14.
4.15.
4.16. 4.17.
xvi
Halaman
5 9 12 13 22 27 32
36 37 38 39 39
40
41 43 45 46 47
49
52
55 57
organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST … 4.18. Respirasi pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST ………….. 4.19. Cmic pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 6, 8 dan 12 MST ………………… 4.20. Fluks CH4 dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36 ………………………………………………………………… 4.21. Fluks CH4 pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MST, error bar menunjukkan standar deviasi, n=18 ………………… 4.22. Emisi CH4 (kg CH4-C/ha) pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=18 ……………………………………………... 4.23. Emisi CH4 pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=3) ……………………………... 4.24. Fluks N2O dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36 ……………………………………………............................. 4.25. Fluks N2O pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 2, 4, 8, 10 MST …………… 4.26. Emisi N2O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=18) ……………………………………………………… 4.27. Emisi N2O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=3) ……………………………... 4.28. Bobot gabah, emisi CH4 dan N2O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen 4.29. Hubungan antara populasi mikroba total, respirasi dan fluks CH4 ………………………………………………………………….. 4.30. Hubungan antara populasi mikroba denitrifier, nitrifier dan fluks N2O …………………………………………………………… 4.31. Hubungan antara konsentrasi Fe tanah tersedia dengan fluks CH4 pada 4 MST (n=24) ………………………………………….. 4.32. Konsentrasi besi dan fluks CH4 pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (4 MST) ……………….. 4.33. Suhu udara, curah hujan dan CH4 serta N2O hingga12 MST… 4.34. Keterkaitan fluks CH4 dan N2O selama pertumbuhan tanaman padi …………………………………………………………………. 4.35. Keterkaitan emisi CH4 dan N2O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ………………….. 4.36. Keterkaitan emisi CH4 dan N2O pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ………………….. 4.37. Hubungan antara emisi CH4 dan N2O (n=36) ……………... 4.38. Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap GWP pada tanah sawah (a) dan GWP pada berbagai kombinasi perlakuan (b) ……………………………… 4.39. Fluks CH4 antar musim tanam padi ……………………………...
xvii
59 60 62
63
65
67
69
70 71
72
73 75 77 79 80 81 82 84 84 84 85
87 89
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
1. Hasil analisis tanah Cihideung Udik ……………………………… 2. Data pH tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ……………………………………….. 3. Data Eh tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N dari 0 hingga 12 MST ……………... 4. Pengaruh interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap fluks CH4 ………………………………………. 5. Fluks CH4 pada kombinasi interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ……………………………………….. 6. Pengaruh interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap fluks N2O …………………………………. 7. Fluks N2O pada kombinasi interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ……………………………………….. 8. Tata letak petak percobaan ……………………………………….. 9. Plastik pembatas antar petak percobaan ………………………… 10. Aplikasi cacahan jerami padi ………………………………………. 11. Titian bambu untuk pengambilan gas contoh ……………………. 12. Pemasangan sungkup gas pada penyangga aluminium ……….. 13. Pengambilan gas contoh ……………………………………………
xviii
Halaman 105 106 106 106 107 107 107 108 108 109 109 110 110
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) di atmosfer. Konsentrasi masing-masing gas tersebut di atmosfer ditentukan oleh laju emisi dari berbagai aktivitas manusia. Secara umum permasalahan pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi dan menjadi isu lingkungan hidup global sejak tahun 1990-an (Soemarwoto, 1991; Duxbury dan Mosier, 1997; Murdiyarso, 2003a, 2003b, 2003c). Berdasarkan konsentrasinya, kontribusi masing-masing GRK CO2, CH4 dan N2O terhadap pemanasan global berturut-turut sebesar 55%, 15% dan 6%. Berbagai sektor yang ditengarai berkontribusi terhadap peningkatan GRK tersebut adalah
sektor
industri dan transportasi,
kehutanan, pertanian,
pengelolaan limbah (Greene dan Salt, 1997). Sektor pertanian mengemisikan GRK CH4, N2O dari kegiatan budidaya padi sawah, ternak ruminansia, pengelolaan pupuk, konversi lahan dan pengelolaan limbah pertanian. Proses produksi pertanian di lahan (on farm) memberikan kontribusi penting dalam meningkatan konsentrasi CH4 dan N2O di atmosfer baik dari kegiatan biogenik maupun antropogenik. Kegiatan biogenik meliputi aktivitas organisme (baik mikroba maupun tanaman) dan kegiatan antropogenik menyangkut aspek pengelolaan dalam kegiatan budidaya pertanian (Greene dan Salt, 1997). Kemampuan CH4 untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi, karena kapasitas absorpsi infra merah per molekulnya 25 kali lebih besar dibanding CO2. Konsentrasinya di atmosfer mencapai 1720 ppbv dengan laju peningkatan konsentrasi 10–20 ppbv per tahun (Duxbury dan Mosier, 1997). Emisi CH4 merupakan hasil resultante proses produksi dari sumber (source) dengan konsumsi dari rosot (sink). Konsentrasi CH4 di belahan utara khatulistiwa sekitar 100 ppbv lebih tinggi dibanding konsentrasi gas tersebut di belahan selatan khatulistiwa, hal tersebut mengindikasikan bahwa di belahan utara source CH4 lebih kuat dibandingkan dengan sinknya. Laju peningkatan konsentrasi CH4 di atmosfer mengalami penurunan dari 20 ppbv per tahun pada tahun 1970-an dan kini menjadi sekitar 10 ppbv per tahun. Alasan penurunan laju tersebut kurang
2
jelas apakah karena terjadi penurunan produksi atau peningkatan konsumsi melalui oksidasi CH4 (Duxbury dan Mosier, 1997). Estimasi emisi CH4 mencapai 205 – 245 Tg CH4 tahun-1 yang berasal dari sektor pertanian yang terdiri dari ternak ruminan (80 Tg), padi sawah (60 – 100 Tg) dan limbah ternak (25 Tg) (Duxbury dan Mosier, 1997). Hasil inventarisasi dari lima negara Asia (Bangladesh, China, Mongolia, Filipina dan Thailand) mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sumber utama emisi CH4. Dari sektor pertanian tersebut dua sumber utama penghasil CH4 adalah padi sawah dan peternakan (Murdiyarso, 1996). Emisi CH4 dari lahan padi sawah tersebut direvisi menjadi 20 Tg CH4 per tahun (Sass et al., 2002). Konsentrasi N2O pada dekade 1990-an sekitar 310 ppbv dengan laju peningkatan sebesar 0.6 – 0.9 ppbv tahun-1 atau 0.25% tahun-1 (Whalen, 2000). Konsentrasi N2O di belahan utara khatulistiwa sekitar 0.75 ppbv lebih tinggi dibanding konsentrasi N2O di belahan selatan khatulistiwa, yang menunjukkan dominasi kekuatan produksi dibanding sinknya. Gas ini ditengarai bersifat karsinogenik dan mengalami fotolysis berulang yang menyebabkan rusaknya lapisan ozon di stratosfer sehingga tidak mampu menyaring sinar ultra violet yang masuk ke permukaan bumi. Efektivitas N2O dalam meningkatkan suhu bumi 300 kali dibanding CO2 (IPCC, 2001), hal ini berkenaan dengan lamanya waktu tinggal gas tersebut di atmosfer, N2O mempunyai waktu tinggal terlama yaitu 120 tahun. Semakin panjang waktu tinggal makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Indonesia dengan aktivitas pertanian yang sangat tinggi, tidak terlepas dari permasalahan kontribusi terhadap emisi CH4 dan N2O global. Alih guna lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian yang lebih intensif serta perluasan lahan persawahan, meningkatkan produksi
berpotensi
CH4 dan N2O dan mengurangi kapasitas sink
(Soemarwoto, 1991). Pengubahan kapasitas produksi dan rosot CH4 dan N2O ini akan berpotensi meningkatkan emisi CH4 dan N2O. Pengelolaan lahan yang bertujuan menurunkan emisi CH4 dan N2O sangat diperlukan. Budidaya padi sawah merupakan sumber penting CH4 dan N2O. Pemenuhan kebutuhan pangan yang bersumber beras sejalan dengan peningkatan populasi penduduk dunia mendorong budidaya padi secara intensif maupun ekstensif dengan konsekuensi peningkatan produksi CH4 dan N2O. Sistem budidaya padi memegang peran penting dalam mekanisme regulasi emisi
3
dan serapan CH4 karena padi sawah bertindak selaku source dan sink CH4 (Rath et al., 1999, Wang dan Adachi, 1999; Wang et al., 1999; Kumaraswamy et al., 2000; Wassmann dan Aulakh , 2000; Inubushi et al., 2002). Besarnya fluks CH4 dan N2O dari tanah sawah dipengaruhi oleh bagaimana pengelolaan pada tanah tersebut. Setiap upaya peningkatan produktivitas padi sawah berpotensi meningkatkan pula fluks CH4 dan N2O dari lahan tersebut. Berdasarkan prediksi Husin (1994), pada tahun 2005 luas panen padi sawah di Indonesia diperkirakan 10.28 juta hektar dengan total emisi CH4 sebesar 4.6 Tg per tahun. Prediksi tersebut dilandaskan pada asumsi: faktor emisi CH4 sebesar 0.31 g m-2 hari-1, 80 % padi dibudidayakan pada musim penghujan selama 5 bulan dan sisanya ditanam pada musim kemarau selama 4 bulan. Namun realisasinya pada tahun 2005 luas panen padi mencapai 11.6 juta hektar (BPS, 2005) yang berarti meningkat 12.84 % dibanding prediksi, dengan asumsi yang sama diperkirakan emisi CH4 mencapai 5.2 Tg per tahun. Untuk itu sangatlah perlu untuk senantiasa dikaji upaya-upaya pengurangan emisi CH4 dari lahan sawah. Pada dasarnya CH4 diproduksi oleh mikroba metanogen pada suasana anaerob dan tersedia senyawa organik yang mudah terdekomposisi. Pada lahan sawah dengan suasana tanah anaerob dan eksudat akar yang mensuplai karbon mudah tersedia sebagai sumber energi mikroba, sangat menunjang aktivitas tersebut. Pada tanah sawah secara alami terbentuk lapisan oksidatif yang tipis diikuti dengan lapisan reduktif yang tebal di bawah lapisan oksidatif. Pada lapisan oksidatif, N2O dapat terbentuk sebagai hasil antara proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonium oleh mikroba menjadi nitrit yang dioksidasi lanjut menjadi nitrat. Nitrat pada lapisan oksidatif bersifat sangat mobil, dan bila mencapai lapisan reduktif akan mengalami denitrifikasi oleh mikroba menjadi N2O dan N2. Jadi secara alami produksi CH4 dan N2O pada tanah sawah merupakan proses yang tak terhindarkan. Kapasitas sink CH4 dan N2O pada tanah dipengaruhi oleh aktivitas mikroba. Oksidasi CH4 oleh metanotrof dan reduksi N2O oleh mikroba yang memiliki N2O reduktase berpengaruh terhadap pelepasan
dari tanah.
Sehingga dapat disarikan bahwa emisi CH4 dan N2O dari lahan pertanian berkaitan erat dengan perilaku mikroba tanah (Hou et al., 2000a; Hűtsch et al., 1996; Inubushi et al., 1996; Ohta, 2005; Webster dan Hopkins, 1996).
4
Kerangka Pemikiran Budidaya padi sawah di Indonesia melibatkan pengaturan pengelolaan air, penambahan bahan organik dan pemberian pupuk N. Pengelolaan air bertujuan untuk meningkatkan produksi, efisiensi pemakaian air (EPA) serta pengendalian
Eh
tanah.
Penambahan
bahan
organik
sebagai
upaya
mempertahankan produktivitas tanah akan meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba melalui penyediaan karbon mudah tersedia, peningkatan persaingan penggunaan oksigen (O2) dalam tanah dan berdampak terhadap penurunan Eh. Interaksi pengelolaan air dan penambahan bahan organik berpengaruh terhadap pembentukan CH4. Pemberian pupuk N bertujuan meningkatkan produksi dan sangat terkait erat dengan permasalahan efisiensi pemupukan dan potensi pencemaran terhadap lingkungan melalui pencucian nitrat dan denitrifikasi. Transformasi N pada tanah sawah melibatkan pembebasan N2O. Pengelolaan potensial redoks melalui pengelolaan air, ketersediaan senyawa organik melalui pengelolaan bahan organik, ketersediaan nitrat melalui pengelolaan pupuk N dipandang cukup komprehensif sebagai dasar pengelolaan emisi CH4 dan N2O. Kajian tentang CH4 dan N2O pada tanah sawah secara terpisah telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Husin, 1994; Nugroho et al., 1994a, 1994b, 1996; Subadiyasa et al., 1997; Suratno et al., 1998). Namun kajian tentang mikroba yang berperan penting dalam emisi kedua GRK tersebut masih sangat terbatas, di antaranya oleh Hou et al. (2000a). Pengkajian CH4 dan N2O secara simultan bila dikaitkan sekaligus dengan dinamika mikroba menjadi semakin menarik dan sangat diperlukan dalam upaya mitigasi GRK. Pemahaman inilah yang digunakan sebagai pijakan penyusunan penelitian ini dengan kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1. Kedua gas CH4 dan N2O berpengaruh terhadap pemanasan global, selain itu N2O juga menyebabkan kerusakan lapisan ozon pada stratosfer. Potensi pemanasan rumah kaca (global warming potential/GWP) dari kedua gas tersebut secara simultan digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk menyusun teknik budidaya yang diharapkan mampu meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Kerangka pemikiran tersebut disusun untuk menjawab pertanyaan penelitian: Mampukah kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N menurunkan fluks metana serta nitrous oksida tanpa menurunkan hasil padi?
5
PEMANASAN GLOBAL
FLUKS N2O
FLUKS CH4
SOURCE DAN SINK CH4 DAN N2O
Faktor Biotik: Populasi Mikroba
BAHAN ORGANIK
PENGELOLAAN AIR
Faktor Abiotik: - anaerob, aerob pada rizosfer - komposisi amonium nitrat - ketersediaan substrat organik
PUPUK N
TEKNIK BUDIDAYA PADI SAWAH
Gambar 1.1. Hubungan sebab akibat antara teknik budidaya padi sawah dengan fluks Metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) serta pemanasan global yang menjadi kerangka pemikiran penelitian ini.
Tujuan Penelitian dan Hipotesis Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh sifat tanah dan tanaman terhadap fluks CH4 pada tanah sawah dan bukan sawah (sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung)
6
2. Mempelajari pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N lepas terkontrol terhadap populasi mikroba, fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah 3. Mendapatkan kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N yang mampu menghasilkan fluks CH4 dan N2O yang rendah tanpa penurunan hasil padi 4. Mempelajari pengaruh populasi mikroba terhadap fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah 5. Mengkaji keterkaitan antara fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah. Hipotesis Penelitian: 1. Sifat tanah dan jenis tanaman berpengaruh terhadap fluks CH4 pada tanah sawah dan bukan sawah (sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung) 2. Populasi mikroba tanah dan fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah dipengaruhi oleh perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk nitrogen 3. Kombinasi perlakuan pengelolaan air macak-macak, pengembalian jerami padi dan pemakaian pupuk lepas terkontrol menghasilkan fluks CH4 dan N2O yang rendah tanpa penurunan bobot gabah 4. Peningkatan populasi mikroba tanah meningkatkan fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah 5. Penurunan fluks CH4 pada tanah sawah diikuti dengan peningkatan fluks N2O.
II.TINJAUAN PUSTAKA
Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Pertanian Metana (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah dari sumber biotik (Duxbury dan Mosier, 1997; Greene dan Salt, 1997). Gas tersebut diproduksi pada lingkungan anaerob oleh bakteri metanaogen (Alexander, 1977; Asakawa dan Hayano, 1995). Laju pembentukan CH4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikroba pembentuk CH4 (metanogen) dan lingkungannya. Metana mulai terbentuk pada potensial redoks -100 mV hingga 200 mV (Hou et al., 2000a). Intensitas dan kapasitas reduksi tanah dikendalikan oleh keberadaan substansi organik sebagai donor elektron, suhu, tingkat kelembaban, jumlah aseptor elektron. Metana terbentuk baik melalui jalur asam asetat maupun H2-CO2, sehingga metanogen juga dipilah sebagai pengguna asetat dan pengguna H2-CO2 (Le Mer dan Roger, 2001). Metana yang dihasilkan sebagian besar akan diemisikan ke atmosfer baik secara difusi melalui tanah maupun diemisikan oleh tanaman. Laju difusi CH4 melalui tanah mengikuti kaidah Ficks dan dipengaruhi oleh turtoisitas tanah yang dikendalikan oleh tekstur serta porositas tanah yang secara praktis dapat dikelola dengan pengelolaan air. Emisi melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas serta stadia pertumbuhan tanaman (Shalini-Singh et al., 1997). Sebagian dari CH4 yang dihasilkan dioksidasi oleh mikroba metanotrof yaitu mikroba pengoksidasi CH4 sehingga mengurangi pelepasannya ke atmosfer. Aktivitas mikroba metanotrof tersebut menjadi kekuatan sink CH4 oleh tanah (Hűtsch et al., 1996; Watanabe et al., 1997). Emisi gas CH4 terutama bersumber pada kegiatan antropogenik, hampir 70% CH4 berasal dari sumber-sumber antropogenik dan sekitar 30% berasal dari sumber-sumber alami. Aktivitas pertanian menyumbangkan dua per tiga dari CH4 asal sumber antropogenik. Produksi CH4 berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikroba yaitu aktivitas metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob. Variasi pelepasan CH4 dari suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh macam budidaya
tanaman,
komunitas
mikroba,
sifat
tanah
serta
interaksinya.
Mengetahui hubungan antara sifat tanah, sifat mikroba dan CH4 pada budidaya berbagai macam tanaman sangatlah penting sebagai dasar untuk memahami
8
mekanisme yang terlibat dalam produksi CH4. Sementara ini kajian CH4 dan mikroba pada berbagai macam pertanaman masih terbatas. Sawah mampu berperan sebagai source sekaligus rosot (sink) CH4 (Kumaraswamy et al., 2000; Wasmann and Aulakh, 2000; Inubushi et al., 2002). Emisi CH4 dari lahan sawah berkisar antara 4 hingga 20 mg m-2 jam-1 (Husin et al., 1995), dan berdasarkan data tersebut diperkirakan faktor emisi CH4 dari Indonesia adalah 13 mg m-2 jam-1. Pada budidaya lahan kering, produksi CH4 terbatas pada site-site anaerob dan
kondisinya
sangat
menunjang
pertumbuhan
metanotrof
sehingga
meningkatkan kapasitas serapan CH4. Serapan CH4 sebesar 0.051 – 0.055 mg m-2 jam-1 pada pertanaman padi gogo dilaporkan oleh Zaenal (1997). Serapan CH4 oleh hutan di Swedia mencapai 0.6 – 1.6 kg CH4 ha-1 tahun-1 yang setara dengan 0.007 – 0.019 mg m-2 jam-1 (Klemedtsson dan Klemedtsson, 1997). Ernawanto et al. (2003) melaporkan bahwa fluks CH4 sistem penanaman padi “walik” jerami adalah 7.18 mg m-2 jam-1 dan sistim penanaman padi gogo rancah adalah 1.73 mg m-2 jam-1. Sink CH4 sebesar 0.05 mg m-2 jam-1 pada sistem pertanaman kedelai. Kisaran emisi CH4 dari pertanaman tebu di Australia adalah 297 hingga 1005 g CH4-C ha-1, sementara kisaran konsumsinya 442 hingga 467 g CH4-C ha-1(Weier, 1999). Fluks CH4 dari empat macam tipe penggunaan tanah di Sumatra (hutan tua, hutan habis tebang, dibakar setelah tebang dan perkebunan karet) berkisar antara -21.2 hingga 4.2 µg C m-2 jam-1 yang setara dengan -0.028 hingga 0.006 mg CH4 m-2 jam-1 (Ishizuka et al., 2002). Nilai fluks negatif menunjukkan sink dan berkorelasi positif dengan kandungan liat pada 0-10 cm. Nilai tersebut mengalami peningkatan pada evaluasi berikutnya yaitu menjadi -1,27 hingga 1,18 mg C m-2 hari-1 yang setara dengan -0.071 hingga 0.066 mg CH4 m-2 jam-1 pada macam penggunaan lahan yang lebih bervariasi yaitu hutan, kayu manis, karet, kelapa sawit dan alang-alang (Ishizuka et al., 2005a). Fluks pada hutan hujan tropis di Indonesia mencapai 0.79 ± 0.60 mg C m-2 hari-1 setara dengan 0.044 ± 0.033 mg CH4 m-2 jam-1 (Ishizuka et al., 2005b). Inubushi et al. (2003) melaporkan bahwa konversi hutan gambut sekunder menjadi lahan sawah bertendensi meningkatkan emisi CH4 tahunan, sementara perubahan penggunaan lahan dari hutan sekunder menjadi lahan kering bertendensi menurunkan emisi CH4 tahunan. Pengalihan fungsi lahan dari hutan lahan basah menjadi pertanaman sagu tidak berpengaruh terhadap emisi CH4
9
( (Inubushi e al., 1998 et 8). Perbedaan tipe pe enggunaan lahan akan n merubah k karakteristik k mikroba tan nah dan flukks CH4. Aspe ek Mikrobio ologis pada Tanah Saw wah Peng ggenangan pada p tanah ssawah meng gubah sifat kkimia, mikrobiologi dan k kapasitas pe enyediaan hara h oleh ta anah. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan l lingkungan mikro mau upun makro o dalam ha al redoks p potensial, sifat s fisika, p penetrasi ca ahaya serta status hara a yang mem mungkinkan kisaran bervvariasi dari m mikroba tanah untuk akktif. Secara umum profiil tanah saw wah meliputi genangan a lapisan tanah air, t terokssidasi, lapisa an tanah tere eduksi, tanaman padi se erta lapisan b bajak dan lapisan subsoil. Masin ng-masing lapisan me empunyai karakteristik mikrobiologis. Secara sk m kematis proffil tersebut disajikan pad da gambar 2.1.
Lapisan Tanah L h O Oksidatif
Bagian tan naman padi yang teren ndam
Fotik Oksidatif Afotik Reduktif
Genangan air
Tanah Reduktif
Rizosferr
Lapisan ba ajak
Subsoil
G Gambar 2.1. Lingkunga an makro ekosistem pad di sawah (Ro oger et al., 1993) Pada a lapisan ge enangan airr, suasana lingkungan aerob serta a penetrasi c cahaya cukkup tinggi. Pada P daerah h tersebut aktivitas a mikkroba didom minasi oleh b bakteri fotos sintesis, sejjumlah mikrroba heterotrof serta m mikroba pem mfiksasi N2 s secara haya ati baik yang g bersifat hid dup bebas maupun m yang g bersimbiossis dengan g ganggang biru hijau. at di bawah h genangan air dijumpa ai lapisan ta anah yang teroksidasi Tepa y yang dicirik kan oleh po otensial red doks positif tinggi. Kettebalan lapisan tanah t tersebut berrvariasi anta ara 2 hingga a 20 mm terrgantung kelarutan oksigen dalam l lapisan gena angan air. Pada lapisan tersebut ak ktivitas mikro obiologis san ngat tinggi, a aktivitas uta ama melipu uti: dekompo osisi bahan n organik se ecara aerob bik, fiksasi
10
hayati N2 oleh ganggang, nitrifikasi oleh pengoksidasi amonium maupun nitrit, serta oksidasi metana. Di bawah lapisan oksidasi dijumpai lapisan tanah tereduksi yang dicirikan oleh potensial redoks yang rendah hingga negatif. Aktivitas mikroba terutama terkonsentrasi pada agregat yang mengandung debris organik. Aktivitas utama pada lapisan reduksi ini meliputi: dekomposisi bahan organik secara anaerob, fiksasi hayati N2 oleh mikroba heterotrof, denitrifikasi, reduksi mangan, reduksi besi, reduksi sulfat, pembentukan metana serta produksi H2. Dari sudut pandang mikrobiologis, tanaman padi menyediakan dua lingkungan untuk pertumbuhan mikroba yaitu pada bagian tanaman yang tergenang maupun rizosfernya dan membentuk satuan ekologi dengan aktivitas mikroba yang unik. Bagian pangkal tanaman yang tergenang dikoloni oleh bakteri efifit
dan
ganggang.
Tanaman
padi
mempunyai
kemampuan
untuk
mentransportasikan oksigen dari bagian atas tanaman ke daerah perakaran, sehingga beberapa site dari rizosfer bersifat oksidatif dengan Eh yang cukup tinggi. Rizosfer padi yang aktif memproduksi banyak eksudat sebagian di antaranya merupakan senyawa yang mudah terurai sehingga menjadi sumber energi bagi mikroba. Kombinasi ketersediaan oksigen dan melimpahnya makanan pada rizosfer padi merupakan daya tarik bagi mikroba untuk tumbuh aktif di rizosfer. Aktivitas utama pada rizosfer meliputi: asosiasi pemfiksasi hayati N2 oleh mikroba heterotrof, nitrifikasi – denitrifikasi, serta reduksi sulfat. Lapisan bajak mempunyai permeabilitas yang rendah, ketahanan mekanik yang tinggi serta kepadatan tanah yang tinggi. Lapisan ini menghambat perkolasi air maupun pencucian hara ke lapisan di bawahnya. Aktivitas mikrobiologis pada lapisan tersebut dan peranannya dalam penyediaan hara bagi tanaman padi jarang dikaji.
Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah Padi sawah merupakan ekosistem buatan manusia yang sangat penting pada neraca CH4 global, melalui perannya sebagai sumber sekaligus rosot CH4 (Inubushi et al., 2002, 2003; Kumaraswamy et al., 2000; Wang et al., 1999; Wasmann dan Aulakh, 2000). Pembentukan CH4 terjadi pada potensial redoks yang sangat rendah, dengan penggenangan yang terus menerus kondisi tersebut menstimulir pembentukan CH4. Aktivitas penggenangan pada lahan sawah menyebabkan kondisi anaerob dan menstimulir populasi dan aktivitas bakteri
11
metanogen penghasil CH4. Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob maupun hasil eksudasi akar mensuplai energi bagi mikroba tersebut untuk memproduksi CH4. Intensifikasi padi sawah untuk pemenuhan kebutuhan makanan seiring dengan peningkatan populasi penduduk Indonesia berpotensi meningkatkan kontribusinya dalam pelepasan CH4 ke atmosfer. Pada tahun 2004, luas panen padi di Indonesia dilaporkan mencapai sekitar 11.6 juta ha (BPS, 2005). Nilai tersebut masih berpotensi meningkat pada tahun berikutnya. Dinamika CH4 pada lahan sawah mencakup proses produksi, oksidasi, emisi dan konsumsi (Le Mer dan Roger, 2001). Emisi CH4 pada lahan sawah terjadi melalui tiga cara yaitu ebulisi, difusi dan difusi melalui aerenkim tanaman. Emisi CH4 pada tanah sawah tadah hujan bervariasi antara 19 hingga 123 mg CH4 m-2 hari-1, sedangkan pada tanah sawah beririgasi berkisar antara 71 hingga 217 mg CH4 m-2 hari-1 (Setyanto et al., 2000). Data tersebut diperoleh dari pengamatan dari tahun 1993 hingga 1998 di Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Proses produksi gas rumah kaca tersebut dapat dikelola melalui pengelolaan air. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Husin (1994) di kebun percobaan Sukamandi pada tanah Aeric Tropaqualf. Emisi CH4 tertinggi terdapat pada
perlakuan
penggenangan
kontinyu.
Emisi
CH4
pada
perlakuan
penggenangan terputus dan macak-macak nyata lebih rendah dibanding pada penggenangan kontinyu, sedangkan terhadap hasil saling tidak berbeda nyata. Implikasi praktisnya pengelolaan air dengan penggenangan terputus dan macakmacak mampu mempertahankan produksi, menghemat air dan sekaligus menurunkan emisi CH4. Pengelolaan air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam budidaya padi. Kegiatan ini berkaitan erat dengan permasalahan efisiensi penggunaan air, pengendalian gulma, karakteristik tanah serta aktivitas mikroba tanah. Pengaruh pengelolaan air terhadap emisi CH4 di daerah tropis ditelaah oleh sejumlah penulis seperti Nugroho et al., 1994a; Husin et al., 1995, Rath et al., 1999. Husin et al. (1995) melaporkan bahwa perlakuan pengelolaan air nyata berpengaruh terhadap variasi fluks CH4 harian maupun musiman. Perlakuan pengelolaan air dengan cara intermiten mampu menekan sekitar 50% fluks CH4 dan pengairan kondisi macak-macak mampu menurunkan fluks CH4 hingga 70% dibandingkan perlakuan penggenangan secara kontinyu. Minamikawa dan Sakai (2005) memaparkan bahwa emisi CH4 pada perlakuan drainase midseason,
12
intermitten dan Eh terkontrol menurunkan emisi berturut-turut sebesar 64, 26 dan 17 % terhadap emisi CH4 pada perlakuan penggenangan secara kontinyu. Dinamika emisi dilaporkan oleh
CH4 dengan pengelolaan air pada tanaman tebu
Weier (1999).
Peningkatan kadar air hingga jenuh
meningkatkan emisi gas rumah kaca tersebut. Namun pola ini tidak serta merta dapat diaplikasikan pada tanah sawah dengan karakter tanaman dan ekosistem yang berbeda. Pengelolaan air akan mempengaruhi karakteristik tanah, aktivitas mikroba dan akan berdampak terhadap fluks CH4. Namun informasi mendalam tentang mikroba tanah dan hubungannya dengan fluks CH4 oleh pengelolaan air belum terlalu banyak. Memahami keterkaitan antara perilaku mikroba dengan fluks CH4 sangatlah penting artinya untuk lebih memahami mekanisme yang terlibat dalam upaya mengurangi emisi CH4 pada lahan pertanian termasuk pada tanah sawah. Pada budidaya padi sawah emisi CH4 dan N2O tidak mungkin diabaikan, karena model pengelolaan air yang senantiasa melebihi kapasitas lapang akan menstimulir proses dekomposisi secara anaerob. Secara alami dinamika pembentukan CH4 dan N2O disajikan pada gambar 2.2. dan 2.3.
Emisi CH4 melalui tanaman
Difusi oksigen melalui tanaman
Air
Eksudat dan akar lapuk
Difusi CH4 ke dalam akar Produksi CH4
Difusi O2 melalui akar Oksidasi CH4 pada rizosfer
Tanah
Gambar 2.2. Skema dinamika produksi dan emisi metana pada tanah sawah (Wasmann dan Aulakh,2000)
13
Dengan adanya perlakuan penggenangan didapat gradasi lapisan pada profil tanahnya yaitu lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air lalu diikuti lapisan reduktif yang tebal di bawahnya. Apabila pupuk nitrogen diaplikasikan ke dalam lapisan reduktif, denitrifikasi bisa dihambat. Namun kebocoran sistem berupa sebagian pupuk nitrogen berada di lapisan oksidatif segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil mencapai lapisan reduktif dan mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada kondisi netral hasil akhir berupa N2 sedangkan pada kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier yang tidak mempunyai enzim N2O reduktase akan mengemisikan N2O. Besarnya fluks CH4 dan N2O dari tanah sawah dipengaruhi oleh teknik budidaya pada tanah tersebut. Perlakuan pembenaman bahan organik, pengelolaan
air
dan
pengelolaan
pupuk
nitrogen
akan
berinteraksi
mempengaruhi besarnya emisi GRK tersebut.
Mikroba
Gambar 2.3. Transformasi nitrogen pada tanah sawah tergenang (De Data, 1981)
14
Pengaruh Bahan Organik terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida Pemberian bahan organik merupakan salah satu langkah pemeliharaan produktivitas tanah sawah. Pada tanah sawah praktek pembenaman tunggul dan jerami segar yang diikuti dengan penggenangan merupakan fenomena yang umum
terjadi. Kondisi tersebut akan menstimulir suasana reduktif dan
meningkatkan aktivitas mikroba metanogen dan denitrifier sehingga memacu dekomposisi secara anaerobik dan denitrifikasi yang membebaskan CH4 dan N2O. Pembenaman bahan organik segar menyebabkan peningkatan fluks CH4 baik pada tanah sawah maupun lahan kering dan berkontribusi secara nyata terhadap neraca CH4 global (Yang dan Chang, 1997; Rath et al., 1999; Wihardjaka, 2001). Kondisi
anaerob
dan
ketersediaan
substansi
organik
mudah
terdekomposisi sangat penting untuk proses produksi metana dalam tanah (Wasmann dan Aulakh, 2000). Tanah yang kaya kandungan substansi organik mudah
terdekomposisi
(asetat,
formiat,
metanol,
amin
termetilasi)
dan
kandungan senyawa akseptor elektron (NO3-, Mn4+, Fe3+) rendah mempunyai potensi produksi CH4 yang tinggi. Praktek pembenaman jerami yang dilanjutkan dengan penggenangan pada
tanah
sawah
berpotensi
meningkatkan
emisi
CH4.
Kombinasi
penggenangan dan pembenaman jerami yang mempunyai C/N tinggi menstimulir penurunan potensial redoks secara tajam hingga kurang dari -200 mV yang mendukung pembentukan CH4. Kombinasi penggenangan dan pembenaman jerami 1% w/w meningkatkan populasi bakteri metanogen baik kelompok pengguna asetat maupun penggunan H2-CO2 (Rath et al., 1999).
Untuk
mengurangi emisi CH4 Wihardjaka (2001) menggunakan kompos sebagai pengganti bahan organik segar. Penambahan bahan organik ditengarai meningkatkan emisi N2O dari tanah (Arcara et al., 1999; Friedel et al., 1999; Mogge et al., 1999; Pidello et al., 1996; Whalen, 2000). Pemberian bahan organik yang mempunyai kandungan karbon tinggi serta mudah termineralisasi seperti pupuk kandang diduga mampu meningkatkan biomas mikroba sehingga meningkatkan emisi N2O dari tanah pertanian. Karbon yang mudah termineralisasi meliputi karbon larut dalam air maupun asam lemak mudah menguap (volatile fatty acid / VFA) serta karbon antron reaktif (anthrone-reactive carbon).
15
Arcara et al. (1999) menyatakan bahwa penggunaan slury dari limbah ternak meningkatkan kehilangan N sebagai N2O, melalui emisi langsung dan denitrifikasi. Emisi N2O dari tanah dibedakan menjadi emisi dari denitrifikasi dan emisi langsung yang merupakan hasil samping nitrifikasi yang berlangsung pada kondisi oksidasi kurang optimal. Kombinasi slury dengan pupuk urea pada takaran N yang sama yaitu sebesar 225 kg N ha-1 membebaskan gas N2O paling tinggi dari tanah dibanding dengan perlakuan tunggal pupuk urea maupun perlakuan slury. Intensitas dan besarnya emisi N2O dari tanah ditentukan oleh sejumlah faktor yaitu suhu, curah hujan yang berkenaan dengan kelembaban tanah, kandungan karbon mudah termineralisasi yang berjumlah atom karbon rendah sebagai donor elektron pada proses reduksi. Slury mengandung asam-asam organik, di antaranya termasuk asam lemak mudah menguap. Kombinasi asam lemak mudah menguap dan kandungan N mudah tersedia dari urea menciptakan kondisi yang memicu pembebasan N2O. Kehilangan N2O terbesar terjadi pada bulan pertama fase pertumbuhan penanaman jagung. Kehilangan N dalam bentuk N2O meningkat pada tanah yang dipupuk dengan pupuk organik. Dampak aplikasi slury sapi dalam jangka panjang mampu menurunkan pH tanah dibanding perlakuan pupuk kandang. Penurunan pH tanah tersebut akan mempengaruhi sejumlah reaksi biokimia yang berdampak pada biomas mikroba dan kandungan karbon organik tanah. Hal ini ditandai dengan lebih tingginya kandungan karbon organik tanah serta biomas mikroba pada tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang dibanding perlakuan slury. Tingginya biomas mikroba dan karbon organik tanah memicu emisi N2O, emisi pada perlakuan pupuk kandang meningkat 2 kali dibanding perlakuan yang lain yaitu sebesar 4.9 kg N2O-N ha-1 tahun-1 melalui denitrifikasi dan emisi langsung sebesar 5.3 kg N2O-N ha-1 tahun-1 (Mogge et al., 1999). Aplikasi slury dengan cara disemprotkan yang banyak dipraktekkan di Amerika Serikat bagian Timur memberikan dampak peningkatan kehilangan N melalui emisi N2O. Pemberian slury mampu meningkatkan ketersediaan N dan kelembaban tanah, kombinasi faktor tersebut memacu reaksi reduksi nitrat. Kehilangan N dalam bentuk N2O selama 8 hari sebesar 8.5 mg N2O-N m-2, nilai tersebut lebih rendah dibanding perlakuan Urea yang dikombinasikan dengan glukose sebagai sumber karbon cepat tersedia yang mencapai 20.8 mg N2O-N m-2, diduga pada slury tersebut mengandung senyawa yang mempengaruhi
16
komunitas mikroba yang bekerja pada siklus N. Emisi N2O berkaitan erat dengan dosis N yang diberikan, pada penelitian tersebut digunakan 150 kg N ha-1. Hal yang perlu diwaspadai adalah akan terjadinya fluks N2O yang hebat oleh residu nitrat yang terakumulasi pada tanah tersebut potensial terdenitrifikasi dengan meningkatnya kelembaban tanah (Whalen, 2000). Secara
umum
penambahan
bahan
organik
yang
bertujuan
mempertahankan produktivitas tanah berpotensi meningkatkan emisi CH4 dan N2O. Pengelolaan air dan pupuk nitrogen yang tepat diharapkan mampu meminimalkan pengaruh negatif tersebut sehingga didapatkan kemanfaatan yang optimal. Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida Emisi gas rumah kaca dari tanah ditentukan oleh laju produksi dan transportasi dalam hal ini difusi gas dari tanah ke atmosfer. Emisi CH4 dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerobik (Wang dan Adachi, 1999; Wang et al., 1999; Kumaraswamy et al., 2000).
Emisi N2O dari dari tanah
melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi (Ishizuka et al., 2002; Inubushi et al., 2003) dan emisi yang dimediasi oleh tanaman (Chen et al., 1999; Hou et al., 2000a). Emisi N2O pada tanah sawah bervariasi menurut kedalaman lapisan bajaknya (Müller et al., 1998; Röver et al., 1999) Wang dan Adachi (1999) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan emisi CH4 dari tanah tergenang yaitu suhu, tipe tanah, varietas padi dan praktek pertanian yang diterapkan. Sementara hasil studi Wang et al. (1999) di China mengelompokkan kemampuan tanah sawah memproduksi CH4 berdasarkan redoks potensial dan kandungan bahan organik. Peningkatan emisi CH4 oleh pembenaman jerami segar dibuktikan oleh Wihardjaka (2001) dan Rath et al. (1999). Terdapat hubungan yang erat antara kandungan CO2 atmosfer dengan aktivitas metanogen. Bakteri metanogen mampu mempergunakan CO2 atmosfer untuk memproduksi CH4. Hasil penelitian Wang dan Adachi (1999) menunjukkan peningkatan produksi CH4 oleh peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer (percobaan simulatif). Proses produksi dan oksidasi gas rumah kaca tersebut dapat dikelola melalui pengelolaan air. Pembentukan CH4 terjadi pada potensial redoks yang sangat rendah, dengan penggenangan yang terus menerus kondisi tersebut mendukung suasana pembentukan CH4. Oksidasi CH4 terjadi pada potensial
17
redoks yang lebih tinggi. Pengaturan potensial redoks melalui pengelolaan air yang meliputi tinggi genangan, lama penggenangan merupakan cara mengelola produksi dan oksidasi CH4. Pengurangan pengairan melalui penggenangan terputus dan macak-macak mengemisikan CH4 yang nyata lebih rendah dibanding penggenangan kontinyu (Nugroho et al., 1994a; Husin, 1994; Minamikawa dan Sakai, 2005). Tanah sawah yang senantiasa digenangi sedikit mengemisi N2O, peluang emisi terjadi melalui oksidasi amonium oleh rizosfer menjadi nitrat yang segera tereduksi pada lapisan reduktif. Oksidasi reduksi berselang-seling yang terjadi pada tanah sawah memacu pembentukan N2O, siklus tersebut biasanya terjadi pada penggenangan dan pengeringan bergantian. Pada saat pengeringan terjadi nitrifikasi, dan pada saat penggenangan kembali segera nitrat terdenitrifikasi. Periode tersebut senantiasa terjadi, misalnya selama pemupukan, menjelang panen. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Suratno (1997) di kebun percobaan Darmaga pada tanah bertekstur liat dengan permeabilitas 0.86 cm jam-1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks N2O rata-rata berkisar antara – 17.56 hingga 131.56 µg N2O-N m-2 jam-1. Nilai fluks negatif menunjukkan adanya rosot (sink) pada tanah sawah. Selama fase reproduktif, perlakuan penggenangan kontinyu menghasilkan fluks N2O rata-rata secara nyata lebih kecil dibanding teknik penggenangan terputus, yaitu masing-masing sebesar 16.58 dan 26.34 µg N2O-N m-2 jam-1. Implikasi praktis dari penelitian tersebut adalah bagaimana memperkecil peluang siklus oksidasi reduksi (Suratno et al., 1998). Dinamika emisi CH4 dan N2O secara simultan dengan pengelolaan air pada tanaman tebu dilaporkan oleh Weier (1999). Peningkatan kadar air hingga jenuh meningkatkan emisi kedua gas rumah kaca tersebut. Dinamika emisi CH4 dan N2O berkaitan erat dengan potensial redoks dan aktivitas mikroba. Terlihat hubungan terbalik antara kedua gas tersebut, upaya mitigasi emisi CH4 misalnya melalui drainase berindikasi meningkatkan emisi N2O. Pengelolaan air untuk pengelolaan potensial redoks -100 hingga +200 mV sangat diperlukan. Kisaran tersebut cukup tinggi untuk menghambat pembentukan CH4 dan cukup rendah untuk memacu produksi N2O (Hou et al., 2000a). Dari perilaku fluks gas rumah kaca tersebut didapat pola yang berbeda sebagai respon tindakan pengelolaan air pada padi sawah. Pada emisi CH4, penggenangan terus menerus meningkatkan emisinya, sedangkan pada N2O
18
penggenangan mampu menekan emisinya. Untuk itu perlu dicari kombinasi model, agar pengelolaan air mampu meningkatkan hasil padi, mengefisienkan penggunaan air sekaligus langkah mitigasi emisi gas rumah kaca. Pengaruh Pupuk N Lepas Terkontrol terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida Peningkatan penggunaan pupuk nitrogen menyebabkan peningkatan emisi N2O. Nitrous oksida dibebaskan dari tanah melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi (Arth dan Frenzel, 2000; Carnol dan Ineson, 1999; Chèneby et al., 1998; Mogge et al., 1999; Inubushi et al., 2003) dan emisi yang dimediasi oleh tanaman ( Yu et al., 1997; Chang et al., 1998; Hou et al., 2000a). Langkah awal mitigasi emisi CH4 dan N2O adalah dengan menghambat kinerja bakteri nitrifikasi. Penghambatan ini diharapkan mampu mengatur konversi amonium menjadi nitrat sehingga dari aspek praktis mampu meningkatkan efisiensi pemupukan, meningkatkan recovery pupuk dan menekan kehilangan N baik melalui leaching maupun emisi N2O. Mempertahankan bentuk amonium mampu menghambat laju denitrifikasi penyebab inefisiensi pemupukan N pada tanaman serta mampu meningkatkan recovery pemupukan N pada lahan budidaya (Kpomblekou dan Killorn, 1996; Rochester et al., 1996; Abbasi dan Adams, 2000; Mahmood et al., 2000). Penghambatan laju denitrifikasi mampu mereduksi emisi N2O dari tanah pertanian (Saad et al., 1996; Inubushi et al., 1996 ; McTaggart et al., 1997; Inubushi et al., 1999). Secara alami perilaku mikroba pengoksidasi amonium mirip dengan mikroba pengoksidasi CH4, pengelolaan pupuk N mampu menekan emisi N2O serta gas CH4 (McCarty, 1999). Beberapa bahan nabati juga mampu mengontrol pelepasan pupuk N misalnya tanaman Neem (Mimba) (Agbenin et al., 1999; McCarty, 1999). Emisi N2O dipengaruhi oleh jenis pupuk N yang diaplikasikan. Pupuk N yang cepat menyediakan nitrat berpeluang besar menyumbang kehilangan N melalui emisi N2O (Arcara et al., 1999; Whalen, 2000). Emisi terbesar terjadi pada pemupukan dengan slury dan diikuti oleh urea, emisi yang terendah pada perlakuan pupuk amonium sulfat, pada padang rumput (Clayton et al., 1997). Denitrifikasi dan emisi N2O dipengaruhi oleh sumber N, pupuk Urea menyebabkan denitrifikasi yang lebih tinggi dibanding amonium sulfat pada studi rumah kaca dengan tanah tergenang (Mulvaney et al, 1997). Keberadaan sulfat
19
diduga mampu menghambat laju nitrifikasi sehingga emisi N2O dapat ditekan. Suratno (1997) melaporkan bahwa emisi N2O dari lahan sawah yang dipupuk dengan urea tablet lebih rendah dibanding dengan urea prill. Sementara Weier (1999) melaporkan bahwa aplikasi amonium sulfat secara split mampu menurunkan emisi N2O pada lahan tebu. Aplikasi pupuk lepas lambat / slow release fertilizer ataupun pupuk lepas terkontrol (controlled release fertilizer/CRF) mampu mengontrol pelepasan pupuk amonium. Berbagai upaya untuk mengontol pelepasan hara N dari pupuk misalnya dengan modifikasi bentuk, pelapisan sehingga kelarutan pupuk berkurang. Pelapisan dengan bahan nabati misalnya neem juga mulai dikembangkan dalam rangka pengembangan produk ramah lingkungan. Di India neem diaplikasikan sebagai slow release fertilizer berupa Urea neem cake coated dengan nama dagang NIMIN. Pengaturan pelepasan amonium, diharapkan merupakan pengaturan laju nitrifikasi dan menghambat penyediaan nitrat bagi proses denitrifikasi. Secara teori aplikasi pupuk N berpelepas lambat selain meningkatkan efisiensi pemupukan juga berkontribusi terhadap penurunan emisi N2O. Perilaku fluks CH4 dan N2O berkaitan erat dengan potensial redoks dan aktivitas mikroba. Terlihat hubungan terbalik antar kedua gas tersebut, upaya mitigasi CH4 misalnya melalui drainase berindikasi meningkatkan fluks N2O. Pengelolaan potensial redoks pada kisaran -100 hingga +200 mV sangat diperlukan. Kisaran tersebut cukup untuk menghambat pembentukan CH4 dan N2O (Hou et al., 2000a). Interaksi antar ketersediaan substrat, lingkungan yang mendukung dan aktivitas mikroba menentukan tingkat fluks CH4 dan N2O. Pengelolaan air berpengaruh terhadap dinamika fluk CH4 (Husin et al., 1995) serta N2O (Suratno et al., 1998). Pengelolaan pupuk nitrogen yang tepat diharapkan mampu melengkapi pengaruh pengelolaan air untuk meminimalkan pengaruh negatif pembenaman bahan organik terhadap fluks CH4 dan N2O serta mengoptimalkan kemanfaatannya.
Global Warming Potential Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah Metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) termasuk gas rumah kaca yang disebut dalam Protokol Kyoto, di samping karbon dioksida (CO2), hidrofluo rokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs) dan sulfur heksafluorida (SF6)
20
(Murdiyarso, 2003b). Kondisi potensial redoks yang berbeda untuk pembentukan kedua gas tersebut mengisyaratkan sulitnya pengaturan lingkungan melalui perlakuan teknik budidaya untuk dapat menekan fluks keduanya secara bersamaan. Pengurangan kadar air pada tanah sawah dengan pengairan secara intermiten mampu mengurangi fluks CH4 (Husin et al., 1995, Minamikawa dan Sakai, 2005) namun meningkatkan fluks N2O (Suratno et al., 1998). Untuk itu diperlukan parameter penilaian dari kedua gas tersebut untuk mendapatkan suatu perlakuan budidaya yang mampu secara lebih efektif menekan fluks GRK. Metana dan N2O sebagai komponen GRK menyebabkan terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang secara makro berpotensi terhadap pemanasan global (global warming). Untuk memprediksi potensi CH4 dan N2O terhadap pemanasan global, IPCC (Intergovernmental Panel of Climate Change) menyusun indeks GWP (Global Warming Potential). Indeks GWP merupakan penilaian relatif di mana gas CO2 diberi nilai 1 (satu) sebagai standar. Indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan pemanasan global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar inframerah. Menurut IPCC (2001), indeks GWP untuk CH4 dan N2O masing-masing sebesar 23 dan 296. Nilai tersebut merupakan revisi terhadap nilai GWP sebelumnya oleh IPCC, 1996 yaitu masing-masing sebesar 21 dan 310 untuk
CH4 dan N2O (EIA, 2004).
Semakin tinggi nilai indeks GWP semakin besar potensinya untuk menyebabkan pemanasan global. Sebagai dasar penilaian fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali total fluks masingmasing gas terhadap indeks GWPnya. Suatu perlakuan yang mampu menurunkan fluks CH4 namun menghasilkan fluks N2O yang lebih tinggi dapat diperbandingkan dengan perlakuan lain yang mampu menurunkan fluks N2O namun menghasilkan fluks CH4 yang lebih tinggi.
III. BAHAN DAN METODE Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan seri penelitian kajian mikroba dan fluks CH4 dan N2O dari lahan sawah. Penelitian pertama fluks CH4 dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman di sekitar sawah percobaan. Percobaan kedua, pengaruh pengelolaan air terhadap populasi mikroba dan fluks CH4. Percobaan ketiga kajian mikroba dan fluks CH4 dan N2O dengan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N lepas terkontrol. Percobaan I: Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Nopember 2004 di kampung Pasar Rebo, Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dipilih satu hamparan dengan sifat ekologi yang seragam dengan variasi macam tanaman yang dibudidayakan. Hamparan macam
pertanaman yang
dipelajari meliputi: sayuran (umur tanaman 2 bulan), ubi Jalar (1.5 bulan), padi (3 minggu), bengkuang (2 bulan) dan jagung (2.5 bulan). Pengambilan contoh gas dilaksanakan dengan metode sungkup statik. Sungkup dipasang di tengah hamparan pertanaman. Pengambilan gas dilaksanakan pada 0, 10, 20 dan 30` setelah sungkup ditutup, data suhu dalam sungkup serta ketinggian efektif sungkup dicatat. Gas diambil dari sungkup melalui selang dengan alat suntik sebanyak 35 ml kemudian disimpan dalam vial vakum volume 30 ml dengan pemampatan, bekas jarum dioles cat kuku. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB dengan GC Shimadzu tipe 17A yang diperlengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) dengan gas pembawa adalah helium (He). Penetapan dilakukan pada suhu kolom 60oC, injektor 100oC, detektor 100oC, kecepatan aliran gas 47 ml menit-1. Waktu retensi CH4 1.92 ± 0.02 menit. Penghitungan konsentrasi CH4 dari gas contoh diperoleh dengan bantuan fungsi peak area gas CH4 standart sebagai deret standart. Dari data perubahan konsentrasi CH4 antar waktu pengambilan didapat data gradient perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt), dan dari kompilasi data suhu, ketinggian efektif sungkup diperoleh data fluks CH4. Perubahan konsentrasi metana antar waktu (dc/dt) ditetapkan dari kemiringan regresi linier seperti pada Gambar 3.1. Nilai dc/dt dapat bersifat positif yang berarti peningkatan konsentrasi menurut waktu maupun negatif yang berarti pengurangan konsentrasi menurut waktu.
22
7
Konsentrasi metana (ppm)
6 5
∂c/∂t +
4
∂c/∂t +
3 2 1 0 0
15
30
Waktu (menit)
Gambar 3.1. Penetapan perubahan konsentrasi metana antar waktu (dc/dt) Penetapan fluks CH4 ditetapkan menurut Hou et al.(2000a). Fluks (F)= ρ dc/dt H, yang secara sederhana diformulasikan menjadi: F = (12/16 x 16/22.4) x dc/dt x H x {273/(273+T)}, di mana: F
= Fluks metana (mg CH4-C m-2 jam-1)
ρ
= kerapatan CH4-C (g dm-3)
dc/dt
= perubahan konsentrasi metana antar waktu dari (ppm menit-1) dikonversi ke (ppm jam-1)
H
= tinggi efektif sungkup (m)
T
= rata-rata suhu dalam sungkup (oC)
Nilai F dapat bersifat positif yang berarti terjadi pelepasan metana ke atmosfer maupun bersifat negatif yang berarti terjadi serapan metana oleh tanah yang dilakukan oleh aktifitas metanotrof. Penetapan amonium dan nitrat dilakukan dengan ekstraksi tanah segar dari lapisan rizosfer dengan KCl 2M, dan hasil ekstraksi diukur dengan FIAStar 5000 dengan bantuan larutan standard. Kaset penetapan amonium dilengkapi dengan membran diffusi gas dan kaset penetapan nitrat dengan reduktor kadmium (Cd). Penetapan total propagul dengan metode cawan hitung menggunakan media agar nutrisi (NA). Penetapan Nitrosomonas (pengoksidasi amonium) berdasarkan metode MPN yang dikembangkan oleh Verstraete (1981 dalam Anas,
1989)
dengan
media
yang
mengandung
amonium.
Keberadaan
Nitrosomonas ditandai dengan penurunan pH substrat karena oksidasi amonium
23
menghasilkan ion H+ dan secara empiris ditandai dengan perubahan warna substrat dari merah menjadi kuning. Penetapan Nitrobacter (pengoksidasi nitrit) berdasarkan metode MPN yang dikembangkan oleh Verstraete (1981 dalam Anas, 1989) dengan media yang mengandung nitrit. Keberadaan Nitrobacter ditandai dengan pengurangan nitrit pada substrat yang ditetapkan dengan penambahan pereaksi Grees. Sedangkan penetapan denitrifier dilakukan dengan metode Tabung Durham (Trolldenier, 1996) dengan indikator empiris terbentuk gelembung gas pada ujung tabung durham. Secara ringkas parameter pengamatan penelitian disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Parameter pengamatan pada percobaan I. Parameter
Metode
Keterangan
Kadar air tanah CH4 pH Eh Amonium dan nitrat Total Mikroba
Gravimetri Gas Kromatografi Elektrode, lapang Elektrode, lapang Autoanalyzer Cawan Hitung
Nitrosomonas
MPN (Verstraete , 1981 dalam Anas, 1989) MPN (Verstraete, 1981 dalam Anas, 1989) Tabung Durham (Trolldenier, 1996)
Nitrobacter Denitrifier
Satuan pembentuk koloni Perubahan warna substrat Pereaksi Grees Terbentuk gas
Percobaan II: Pengaruh pengelolaan air terhadap fluks CH4 dan populasi mikroba tanah pada tanah sawah Penelitian ini dilaksanakan pada lahan petani berlokasi di kampung Pasar Rebo,
Desa
Cihideung
Udik,
Kecamatan
Ciampea,
Kabupaten
Bogor.
Elevasi/GPS pada posisi 248 m.d.p.l, 06o35.192 LS 106o43.131 BT dan terletak sekitar 15 km sebelah barat kota Bogor. Tanah pada lokasi tersebut adalah Latosol Coklat Tua Kemerahan atau Dystrudepts. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan luasan hamparan persawahan yang memadai sehingga diharapkan data yang dihasilkan mampu merepresentasikan kondisi persawahan yang sesungguhnya. Deskripsi lahan: sistem irigasi bagus, air tersedia sepanjang tahun, setahun ditanami tiga kali, dua kali padi dan sekali ubi jalar kadang-kadang
24
jagung atau sayuran kacang-kacangan. Padi yang biasa dibudidayakan adalah IR 64 dengan dosis pupuk 150 - 200 kg Urea, 150 kg SP 36 dan 100 - 150 kg KCl per hektar. Pengelolaan air yang umum digunakan petani setempat adalah penggenangan 5 – 10 cm dengan pengatusan hingga macak-macak selama 4-5 hari setelah pindah tanam hingga tanaman pulih, sehari sebelum dan sesudah pemupukan kedua yaitu tiga dan lima minggu setelah tanam. Kemudian dipatus total setelah fase pengisian biji sempurna. Tipe iklim dari area Bogor dan sekitarnya adalah Am menurut Kopen atau tipe B menurut Schmidt dan Ferguson. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember hingga Juni sementara musim kemarau antara bulan Juli hingga Oktober 2004. Perlakuan pengelolaan air yang dicobakan meliputi: Macak-macak (WS), intermiten (WI), 5 cm penggenangan (W5) dan 10 cm penggenangan (W10). Perlakuan intermiten yang dimaksud adalah petak sawah digenangi setinggi 5 cm, kemudian dibiarkan hingga kondisi macak-macak dan berulang kembali. Masing-masing perlakuan diulang lima kali sehingga total didapat 20 petak yang berukuran masing-masing 3m x 4m. Padi yang digunakan adalah varietas IR 64 dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pupuk dasar diberikan sesaat sebelum tanam dengan cara disebar dan diinjak-injak terdiri dari 50 kg Urea, 150 kg SP36 dan 150 kg KCl/ha. Pemupukan kedua diberikan pada 3 minggu setelah pindah tanam yaitu 100 kg Urea/ha dengan cara tebar. Penyulaman dilaksanakan 1 minggu setelah pindah tanam. Penyiangan dilaksanakan pada 3 minggu setelah tanam atau menjelang pemupukan kedua dan 6 minggu setelah pindah tanam sesaat setelah pengambilan contoh gas dengan cara mencabut gulma dan membenamkannya langsung ke lahan. Pengambilan keong yang mengganggu pertanaman dilaksanakan secara berkala, penyemprotan pestisida dilaksanakan sesuai dengan keadaan lapang. Pengambilan contoh gas setiap petak percobaan dilaksanakan setiap dua minggu pada siang hari antara pukul 10.00 - 13.00. Gas disungkup dengan menggunakan sungkup plastik polietilen dengan ukuran alas 50 cm x 50 cm dan tinggi 100 cm yang mampu menutupi empat rumpun padi yang dilengkapi dengan termometer dan kipas angin kecil untuk mengaduk udara dalam sungkup agar homogen. Sungkup dipasang pada petak pertanaman padi dan di antara 2 petak
padi
dipasang
jembatan
bambu
untuk
mengambil
contoh
gas.
Pengambilan gas dilaksanakan pada 0, 15 dan 30` setelah sungkup dipasang,
25
data suhu dalam sungkup serta ketinggian efektif sungkup dicatat. Pengambilan gas, penetapan konsentrasi serta penghitungan fluks metana mengikuti percobaan awal sebelumnya. Penetapan amonium dan nitrat, serta parameter biologis tanah seperti yang diuraikan pada subbab percobaan I.
Parameter tanaman yang diamati
meliputi, jumlah anakan, berat gabah per petak dan berat jerami per petak. Parameter pengamatan disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Parameter pengamatan pada percobaan II. Parameter
Metode
CH4 Amonium dan nitrat Total Mikroba
Gas Kromatografi FIAStar Cawan Hitung, media ekstrak tanah Nitrosomonas MPN (Verstraete, 1981 dalam Anas, 1989) Nitrobacter MPN (Verstraete, 1981 dalam Anas, 1989) Denitrifier Tabung Durham (Trolldenier, 1996) Jumlah anakan, Berat Manual, gravimetri gabah serta berat jerami per petak
Keterangan
Satuan pembentuk koloni Perubahan warna substrat Pereaksi Grees Terbentuk gas
Percobaan III: Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah dan fluks CH4 serta N2O pada tanah sawah Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapang populasi mikroba dalam fluks CH4 dan N2O pada lahan sawah ini dilaksanakan di sawah milik petani yang digunakan pada percobaan pertama. Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2004 hingga April 2005. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih padi IR 64, pupuk Urea, CRF30, CRF50, pupuk KCl, SP 36, jerami padi. Alat yang digunakan adalah titian bambu, syringe, vial, alas aluminium dan sungkup gas (untuk pengambilan contoh gas), Gas Chromatograph (GC) merk Shimadzu seri 17A yang dilengkapi dengan flame ionization detector (FID), Flow Injection Autoanalyzer Star (FIAS) 5000.
26
Rancangan Percobaan: Perlakuan yang dicobakan adalah tiga perlakuan (faktor), yaitu: macam pengelolaan air, pemberian bahan organik dan pupuk N lepas terkontrol. Faktor pertama yaitu macam pengelolaan air yang terdiri dari dua taraf terdiri dari: 1. Penggenangan kontinu (W1). Petak percobaan digenangi air secara kontinu setinggi ± 5 cm selama waktu pertumbuhannya sampai dengan 2 minggu menjelang panen, kecuali pada saat pindah tanam hingga 5 hari, sehari sebelum dan sesudah pemupukan dilakukan pengaturan air hingga macakmacak. 2.
Pemberian air hingga kondisi macak-macak (W2). Petak percobaan dipertahankan
pada
kondisi
macak-macak,
permukaan
air
setinggi
permukaan tanah selama masa pertumbuhannya, hingga 2 minggu menjelang panen. Faktor yang kedua yaitu pemberian bahan organik, terdiri dari dua taraf yaitu: 1. Tanpa penambahan bahan organik (B1). Petak percobaan tidak mendapatkan tambahan bahan organik dari luar dan hanya mengandalkan residu tunggul padi penanaman sebelumnya. 2. Penambahan bahan organik (B2). Petak percobaan mendapatkan tambahan bahan organik dari luar berupa pengembalian jerami yang besarnya dikonversi dari percobaan pendahuluan sebelumnya yaitu sebesar 6 ton berat kering mutlak per hektar. Faktor ketiga adalah pemberian pupuk N lepas terkontrol, terdiri dari tiga macam yaitu: 1. Pemberian pupuk N Urea (N1). Petak percobaan mendapatkan pupuk urea yang diberikan 2 kali yaitu sebagai pupuk dasar dan 4 minggu setelah tanam. 2. Pemberian pupuk N lepas terkontrol 30 (N2). Petak percobaan mendapatkan pupuk N lepas terkontol yaitu urea yang diselubungi oleh polyolefin resin, 80 % total N akan terlepas setelah 30 hari aplikasi, pada suhu konstant 25ºC. Pupuk diberikan 2 kali yaitu sebagai pupuk dasar dan 4 minggu setelah pindah tanam 3. Pemberian pupuk N lepas terkontrol 50 (N3). Petak percobaan mendapatkan pupuk N lepas terkontrol yaitu urea yang diselubungi oleh polyolefin resin, 80
27
% total N akan terlepas setelah 50 hari aplikasi, pada suhu konstant 25ºC. Pupuk diberikan 2 kali yaitu sebagai pupuk dasar dan 4 minggu setelah pindah tanam. Percobaan ini dirancang dengan dengan rancangan petak petak terbagi (split-split-plot design). Pengelolaan air dirancang sebagai petak utama, pemberian bahan organik sebagai anak petak dan pupuk N sebagai anak anak petak. Total kombinasi perlakuan yang diperoleh adalah 2 x 2 x 3 = 12 perlakuan yang masing-masing diulang tiga kali sebagai blok, sehingga didapat 36 satuan percobaan. Masing-masing petak satuan percobaan berukuran 3 x 4 m2. Tata letak petak percobaan dirancang sebagai berikut (Gambar 3.2). Blok I
II
O
W2
W2
O
W1
W1
O
U
B1,N1
B2,N2
U
B2,N3
B1N2
U
T
B1,N3
B2,N3
T
B2,N1
B1N3
T
L
B1,N2
B2,N1
L
B2,N2
B1N1
L
E
B2,N3
B1N1
E
B2,N2
B1N1
E
T
B2,N2
B1N2
T
B2,N3
B1N2
T
B2,N1 III
I N L E
I N L E
B1N3
B2,N1
B1N3
B1N3
B2,N1
B1N1
B1N1
B2,N3
B2,N3
B1N2
B1N2
B2,N1
B2,N2
T
T
B1N3 B2,N2
Gambar 3.2. Tata letak petak percobaan di lapang
Penyiapan Petak Percobaan dan Budidaya Penyiapan lahan sawah dilakukan dua kali. Pertama dilaksanakan 4 minggu sebelum tanam dengan membersihkan lahan dari bekas-bekas penanaman sebelumnya kemudian dilakukan penggenangan, pembajakan, penggaruan dan pembuatan petak sesuai dengan tata letak yang dirancang. Antar petak perlakuan disekat dengan plastik yang ditanam dalam pematang. Seminggu kemudian dilaksanakan inkubasi jerami yang telah dicacah ke dalam petak perlakuan. Seminggu menjelang penanaman, titian bambu yang telah dipersiapkan dipasang sambil dilakukan pemasangan pipa pralon untuk inlet dan outlet serta pembenahan petak percobaan.
28
Pemupukan I dilakukan bersamaan dengan waktu penanaman. Dosis pupuk yang digunakan Urea , KCl dan SP 36 masing-masing sebanyak 100, 150 dan 150 kg per hektar. Aplikasi pupuk secara sebar merata dan kemudian dibenamkan dengan cara disebar sambil berjalan maju dengan menginjaknya. Pemupukan Urea kedua dilaksanakan sesuai dengan perlakuan sebanyak total 100 kg Urea per hektar. Pemupukan KCl kedua bersamaan dengan pemupukan urea kedua yaitu sebanyak 50 kg per hektar. Penanaman dilakukan saat bibit padi varietas IR 64 berumur 21 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm sebanyak 3 bibit per rumpun. Jumlah rumpun per petak sebanyak 192 rumpun. Pengendalian gulma dilakukan sesaat sebelum pemupukan Urea sesuai dengan perlakuan yang dicobakan dengan cara mencabut dan membenamkan gulma. Pengendalian hama dan penyakit akan disesuaikan dengan keadaan di lapangan.
Pengukuran Parameter Pengamatan Pengukuran parameter mikrobiologi dan kimia tanah: Diambil
contoh
tanah
dari daerah
perakaran
untuk
dibawa
ke
laboratorium. Penetapan amonium dan nitrat seperti diuraikan pada percobaan sebelumnya. Penetapan mikroba total dengan metode cawan hitung dengan media ekstrak tanah. Penetapan denitrifier, Nitrosomonas dan Nitrobacter mengikuti prosedur yang dijelaskan pada percobaan sebelumnya. Penetapan Cmic dengan metode sonifikasi (Djajakirana, 2004). Penetapan respirasi dengan metode jar sederhana. Pengambilan Contoh Gas dan Pengukuran Konsentrasi CH4 serta N2O: Pengambilan contoh gas setiap petak percobaan dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Agar stabil, sungkup diletakkan di atas alas aluminium permanen. Setiap petak percobaan dilengkapi titian bambu setinggi 50 cm yang menghubungkan
pematang
dengan
tempat
sungkup
dipasang.
Teknik
pengambilan contoh gas serta penetapan konsentrasi CH4 dilaksanakan seperti pada percobaan sebelumnya. Total contoh gas sebanyak = 7 kali pengambilan x 36 (satuan percobaan) x 3 (waktu pengambilan) = 756 contoh.
Penetapan
konsentrasi N2O dilakukan dengan mengirim contoh gas ke Chiba University, Jepang. Matriks parameter dan waktu pengamatan disajikan pada Tabel 3.3.
29
Penghitungan Global Warming Potential (GWP): Potensi pemanasan global dihitung dari hasil kali total fluks masingmasing gas terhadap indeks GWPnya. Menurut IPCC (2001), indeks GWP untuk CH4 dan N2O masing-masing sebesar 23 dan 296. Satuan GWP yang digunakan adalah setara dengan kg CO2. Tabel 3.3. Parameter dan agihan waktu pengamatan pada percobaan III. Parameter
Waktu Pengamatan (minggu setelah pindah tanam) 0
2
4
6
8
10
12
1. CH4
x
x
x
x
x
x
x
2. N2O
x
x
x
x
x
x
x
3. pH
x
x
x
x
x
x
x
4. Eh
x
x
x
x
x
x
x
5. NH4+dan . NO3-
x
x
6. C organik
x
7. Fe tersedia
x
x
x
x
x
x
8. Mikroba Total
x
x
x
x
9. Denitrifier
x
x
x
x
10. Nitrifier
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
11. Cmic 12. Respirasi
x
Panen
11. Anakan
x
12. Berat gabah petak-1
x
Analisis Data Penelitian dirancang dalam percobaan tiga faktor dengan rancangan petak petak terbagi (split-split-plot design). Untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan dilakukan uji ANOVA, dan untuk menguji perbedaan antar perlakuan digunakan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1984; Gomez dan Gomez, 1995). Penilaian keeratan antar variabel menggunakan uji korelasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi mikroba tanah pada tanah sawah; dan Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah, fluks metana serta nitrous oksida pada tanah sawah serta Pembahasan umum.
Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman Dari kelima macam budidaya yang diamati, tanah pada tanaman padi mempunyai kadar air yang paling tinggi 112.97 ± 2.85%, pH tanah yang lebih tinggi 6.65 ± 0.02 serta potensial redoks yang paling rendah -158.5 ± 2.50 mV dibanding tanah pada macam budidaya yang lain (Tabel 4.1.). Hal ini berkaitan erat dengan penyiapan lahan pada padi sawah yaitu adanya perlakuan penggenangan dan pelumpuran. Dengan pelumpuran terjadi pemecahan agregat dan penggenangan menghambat suplai oksigen dari permukaan ke tubuh tanah. Penurunan ketersediaan oksigen dalam tanah memicu respirasi mikroba secara anaerobik yang diikuti dengan penurunan potensial redoks. Pada budidaya padi sawah tanah bersifat reduktif, sementara keempat macam budidaya yang lain tanah bersifat oksidatif. Terdapat keseimbangan antara potensial elektron dan potensial hidrogen dalam larutan tanah, penurunan potensial redoks pada tanah sawah diikuti dengan peningkatan pH tanah. Pada keempat budidaya lain yang bersifat oksidatif pH tanahnya terukur lebih rendah. Dari aspek komposisi bentuk nitrogen, tanah sawah didominasi oleh bentuk amonium 48.60 ± 3.95 ppm N dibanding bentuk nitrat sebesar 3.03 ± 0.33 ppm N. Hal ini mengindikasikan bahwa proses mineralisasi N pada tanah tersebut didominasi oleh tahap amonifikasi dan laju nitrifikasi yang terhambat. Pada keempat macam budidaya yang lain dominasi amonium terhadap nitrat tanah semakin berkurang dibanding pada tanah sawah, hal ini menunjukkan pada tanah tersebut proses nitrifikasi tidak terhambat. Peningkatan ketersediaan oksigen pada kadar air tanah yang lebih rendah memacu aktivitas nitrifier.
31
Tabel 4.1. Karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman Kadar Air Tanah (%)
pH Tanah
Eh (mV)
Nitrat (ppm N)
Amonium (ppm N)
Nisbah amonium /nitrat
Sayuran
36.91 ± 0.38
4.72 ± 0.05
293.0 ± 23.0
12.08 ± 0.14
8.87 ± 0.61
0.73
Ubi jalar
43.97 ± 0.09
5.39 ± 0.01
294.0 ± 6.0
31.78 ± 0.27
31.85 ± 1.82
1.00
Padi sawah
112.97 ± 2.85
6.65 ± 0.02
-158.5 ± 2.5
3.03 ± 0.33
48.60 ± 3.95
16.04
Bengkuang
45.61 ± 1.24
4.38 ± 0.06
312.5 ± 6.5
36.24 ± 2.16
32.39 ± 0.38
0.89
Jagung
36.53 ± 0.16
5.21 ± 0.15
278.0 ± 8.0
4.78± 0.69
26.55 ± 3.79
5.55
Budidaya
Fluks CH4 pada Budidaya Lima Macam Tanaman Tanaman padi sawah menghasilkan fluks metana paling tinggi (7.50 ± 0.53 mg CH4-C m-2 jam-1) dibanding tanaman lain yang berkisar antara -0.77 ± 0.64 hingga 0.46 ± 0.53 mg CH4-C m-2 jam-1 (Gambar 4.1). Tingginya fluks CH4 pada tanah sawah dipengaruhi oleh aktivitas mikroba penghasil dan pengoksidasi CH4 serta kondisi lingkungan yang menstimulasinya. Potensial redoks tanah yang rendah akibat penggenangan dan ketersediaan substrat organik merupakan prasyarat lingkungan pembentukan metana. Seluruh ruang pori tanah terisi air bahkan kadar air pada kondisi jenuh. Aktivitas metanotrof pengoksidasi CH4 pada pertanaman padi terbatas pada daerah rizosfer yang bersifat oksidatif. Dominasi bakteri metanogen terhadap bakteri metanotrof pada lahan sawah menyebabkan tingginya fluks metana (Watanabe et al.,1997). Pada keempat pertanaman yang lain produksi
CH4 selain rendah juga
diimbangi oleh aktivitas mikroba pengoksidasi CH4 yang lebih tinggi sehingga fluks CH4
lebih rendah dibanding pada padi sawah.
Budidaya sayuran dan
jagung menghasilkan fluks CH4 yang jauh lebih rendah dibanding padi sawah, masing-masing sebesar 0.46 ± 0.53 dan 0.16 ± 0.18 mg CH4-C m-2 jam-1. Sedangkan ubi jalar dan bengkuang menghasilkan fluks CH4 negatif, masingmasing sebesar
-0.77 ± 0.64 dan -0.39 ± 0.51 mg CH4-C m-2 jam-1, yang
berarti budidaya tersebut bersifat netto sink CH4. Pada keempat pertanaman ini ruang pori terisi air mencapai 61.9 hingga 77.3%. Masih tersedia ruang pori tanah yang terisi udara yang memungkinkan proses oksidasi CH4. Perbedaan teknik budidaya berupa penambahan pupuk kandang pada pertanaman sayuran dan jagung, menghasilkan fluks CH4 yang lebih tinggi dibanding pada ubi jalar dan bengkuang. Perlakuan pembumbunan dan pembalikan tanaman serta tanpa
32
penambahan pupuk kandang pada budidaya ubi jalar dan bengkuang diduga sebagai penyebab rendahnya fluks CH4 pada kedua budidaya tersebut. jam ) dan
12
Fluks metana mg CH4C/m2/jam
6
W FPS (% volum)
4 2
ng Ja
ku a Be
ng
gu
ng
di Pa
ja l bi U
-2
ra
n
ar
0
yu
WFPS (x20% volum)
8
Sa
Fluks metana (mg CH 4 -C m
-2
-1
10
Tanaman
Gambar 4.1. Fluks CH4 dan ruang pori tanah terisi air pada budidaya lima macam tanaman (error bar menunjukkan standar deviasi) Mikroba Fungsional pada Budidaya Lima Macam Tanaman Nitrosomonas dan nitrobacter selaku bakteri pengoksidasi amonium dan nitrat dijumpai pada semua jenis budidaya (Tabel 4.2.). Nitrosomonas dan nitrobacter termasuk nitrifier yang bertanggung jawab atas proses nitrifikasi dalam tanah. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh kadar amonium, nitrat dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya nitrifier banyak dijumpai pada kondisi tanah aerob, seperti pada budidaya sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung. Pada tanah sawah ternyata keberadaan bakteri tersebut cukup menonjol jumlahnya, hal ini disebabkan oleh kemampuan akar tanaman padi menyediakan oksigen pada rizosfernya. Populasi nitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.13x103 hingga 3.18x104 MPN g-1 tanah (BKM, berat kering mutlak/oven 105oC). Denitrifier selaku mikroba pereduksi nitrat dijumpai pada semua jenis pertanaman. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh jumlah nitrat dalam tanah dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya denitrifier banyak dijumpai pada kondisi tanah anaerob, seperti pada budidaya padi sawah. Pada tanaman non padi pada kondisi tidak tergenang, keberadaan denitrifier terdapat pada sitesite yang bersifat lokal anaerob. Beberapa jenis fungi pada tanah ternyata mampu menggunakan nitrat sebagai alternatif akseptor elektron pada proses
33
respirasinya (Laughlin dan Stevens, 2002), hal ini mampu menjelaskan mengapa pada tanaman non padi seperti pada ubi jalar, bengkuang dan jagung, keberadaan denitrifier juga cukup tinggi. Populasi denitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.77x103 hingga 1.17x105 MPN g-1 BKM tanah. Antar jenis pertanaman sayuran, ubi jalar, padi sawah, bengkuang dan jagung. tidak dijumpai proporsi total propagul, nitrosomonas, nitrobacter dan denitrifier yang spesifik. Perbedaan budidaya (jenis tanaman dan teknis budidaya) belum mampu menjawab variabilitas komposisi mikroba fungsional tanah yang diamati. Tabel 4.2. Mikroba fungsional pada budidaya lima macam tanaman Budidaya
Total propagul -1 (spk g BKM tanah) 6
Sayuran Ubi jalar Padi sawah Bengkuang Jagung
1.41 10 1.02 106 5 2.75 10 2.45 106 6 3.10 10
Nitrosomonas -1 (MPN g BKM tanah) 3
3.42 10 0.65 103 3 5.21 10 1.78 103 3 0.48 10
Nitrobacter -1 (MPN g BKM tanah) 4
1.51 10 2.48 103 4 2.66 10 2.04 104 4 1.71 10
Nitrifier (MPN -1 g BKM tanah) 4
1.85 10 3.13 103 4 3.18 10 4 2.2 10 4 1.76 10
Denitrifier -1 (MPN g BKM tanah) 3
3.77 10 1.22 104 4 1.00 10 1.17 105 5 1.01 10
Korelasi CH4, Mikroba Tanah dan Sifat Tanah Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap potensial redoks (r=-0.981), nyata berkorelasi positif terhadap pH (r=0.862), konsentrasi amonium (r=0.787) dan fluks CH4 (r=0.951). Reaksi tanah nyata berkorelasi positif dengan fluks CH4 (r=0.852) dan amonium (r=0.687) serta nyata berkorelasi negatif terhadap Eh (r=-0.901) dan denitrifier (r=-0.635). Potensial redoks nyata berkorelasi negatif terhadap fluks CH4 (r=-0.982)dan amonium (r=-0.710). Amonium nyata berkorelasi negatif terhadap denitrifier (r=-0.681) (Tabel 4.3). Peningkatan kadar air menyebabkan berkurangnya oksigen bebas dalam tanah. Penggunaan substrat yang mengandung oksigen oleh mikroba sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan potensial redoks. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air tanah dengan potensial redoks. Hubungan antara kadar air tanah dengan Eh dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -6.12 X + 541.53 (Y=Eh mV dan X=KA %, R2 = 0.962). Peningkatan kelembaban tanah hingga batas tertentu mampu menghambat laju nitrifikasi dan mempertahankan bentuk nitrogen sebagai amonium. Oksidasi amonium
menjadi
nitrat
berlangsung
dalam
suasana
aerob,
sehingga
34
kelembaban tanah nyata
berkorelasi positif terhadap kadar amonium dalam
tanah. Potensial redoks berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan potensial redoks akan menyebabkan peningkatan pH. Peningkatan kelembaban tanah yang diikuti oleh penurunan potensial redoks menstimulir peningkatan pH tanah, sehingga kelembaban tanah juga nyata berkorelasi positif dengan pH. Terhadap fluks CH4, kelembaban tanah nyata berkorelasi positif, yang berarti peningkatan kelembaban tanah memacu pembentukan CH4 dalam tanah. Hubungan antara kadar air tanah dengan fluks CH4 dapat dinyatakan dengan persamaan Y = 0.14 X - 5.64 (Y= fluks CH4 dalam mg CH4-C m-2 jam-1 dan X=KA %, R2 = 0.905, berlaku pada kisaran KA 36.4 – 115.8%). Hal ini berkaitan erat dengan perilaku potensial redoks, mengingat reaksi pembentukan CH4 sangat erat dikendalikan oleh potensial redoks (Minamikawa dan Sakai, 2005). Penurunan potensial redoks meningkatkan fluks CH4. Hubungan antara Eh tanah dengan fluks CH4 dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -0.02 X + 6.44 (Y=fluks CH4 dalam mg CH4-C m-2 jam-1 dan X=Eh mV, R2 = 0.9648). Keberadaan amonium dalam tanah erat berkaitan dengan laju nitrifikasi, bila amonium banyak dijumpai dalam tanah mengindikasilan oksidasi amonium menjadi nitrat berlangsung lebih lambat. Penghambatan pembentukan nitrat mempunyai aspek praktikal penting bagi bidang pertanian, karena jumlah nitrat yang melebihi kemampuan serap tanaman yang dibudidayakan akan tercuci ataupun menjadi substrat denitrifier pada kondisi anoksik. Pencucian nitrat menjadi penyebab utama kontaminasi air tanah oleh nitrat terlarut. Aktivitas denitrifier akan membebaskan N baik dalam bentuk N2 maupun N2O ke atmosfer. Selain meningkatkan efisiensi pemupukan N, penghambatan laju nitrifikasi hingga batas tertentu juga berpengaruh positif terhadap lingkungan, dengan pengurangan pencemaran nitrat terlarut serta emisi N2O sebagai salah satu komponen GRK. Dominasi amonium terhadap nitrat menyebabkan populasi denitrifier tertekan. Dinamika nitrogen terutama aspek nitrifikasi-denitrifikasi inilah yang mampu menjelaskan mengapa amonium nyata berkorelasi negatif dengan denitrifier. Berdasarkan keterkaitan antar parameter tersebut dapat dikatakan bahwa pengelolaan air merupakan salah satu kunci utama pengendalian potensial redoks yang berkenaan dengan reaksi tanah, konsentrasi amonium dan laju nitrifikasi, aktivitas denitrifikasi dan pembentukan serta emisi CH4.
35
Tabel 4.3. Tabel korelasi antar parameter karakteristik tanah, mikroba dan fluks CH4 Parameter pH CH4 Eh Propagul NO3 + NH4
KA
Eh
pH
CH4
0.862** 0.951** -0.981** -0.453 -0.414 0.787**
-0.982** 1.00 0.409 0.565 -0.710*
-0.901** -0.432 -0.572 0.687*
-0.364 -0.602 0.614
Propa gul
Nitroso monas
Nitrobac ter
Denitri fier
0.182 -0.172
-0.493 0.116
-0.128 -0.113
0.003 -0.681*
-
NO3
-0.049
Keterangan: *, ** = berkorelasi nyata pada taraf 95% dan 99%
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks Metana dan Populasi Mikroba Tanah pada Tanah Sawah Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks CH4 Variasi dua mingguan fluks CH4 dipengaruhi oleh perlakuan pengelolaan air (Gambar 4.2.). Fluktuasi fluks CH4 berkisar antara -4.63 hingga 12.37 mg CH4 m-2 jam-1. Fluks CH4 yang tinggi dijumpai pada stadia awal pertumbuhan
(2
minggu setelah pindah tanam/MST) dipengaruhi oleh rendahnya potensial redoks yang disebabkan oleh penggenangan kontinyu selama penyiapan lahan yang dilaksanakan 3 minggu sebelum pindah tanam. Pada bulan pertama setelah pindah tanam, dekomposisi bahan organik yang berupa residu dari penanaman sebelumnya berlangsung aktif dan menstimulir kondisi yang menunjang aktivitas metanogen. Fluks CH4 pada 2 – 8 MST dipengaruhi oleh fase pertumbuhan cepat, tanaman padi membebaskan banyak eksudat akar yang mengandung senyawa karbon mudah larut dalam air seperti gula, asam amino serta asam organik yang sangat cepat terdekomposisi oleh mikroba menjadi H2, CO2, metanol dan asetat. Bahan-bahan ini bertindak sebagai substrat bagi metanogen yang mengkonversinya menjadi CH4. Fluks CH4 yang rendah pada 6 MST disebabkan oleh drainase singkat selama 4 – 5 hari untuk pemupukan kedua dan penyiangan yang dilakukan beberapa hari menjelang pengambilan contoh gas. Drainase akan menekan aktivitas metanogen dan meningkatkan oksidasi CH4. Stadia pembungaan terjadi pada
8 MST sebagai puncak fase pertumbuhan
vegetatif. Penurunan fluks CH4 pada 12 MST disebabkan oleh drainase total selama fase pematangan. Drainase total diikuti dengan peningkatan Eh dan oksidasi CH4 menekan produksi CH4 (Hou et al., 2000a).
Macak-macak
Intermiten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
10
4 -C
8 6
Fluks metana (mg CH
m
-2
jam -1 )
36
4 2 0 -2
2
4
6
8
10
12
-4 -6 M inggu s e te lah tanam
Fluks metana (mg CH 4-C m -2 jam -1)
(a)
14 12 10 8 6 4 2 0 -2 -4
2
4
6
8
10
12
Minggu setelah tanam (b) Gambar 4.2. Variasi fluks CH4 dua mingguan: (a) antara perlakuan pengelolaan air, (b) rata-rata antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=20) Kondisi macak-macak menghasilkan fluks CH4 yang lebih rendah dibanding perlakuan lain (Gambar 4.3). Ekosistem sawah juga mampu berperan sebagai sink CH4 yang disebabkan oleh kehadiran dan aktivitas mikroba pengoksidasi CH4 (metanotrof) pada lapisan tanah oksidatif dan pada site rizosfer. Intermiten, drainase periodik menjelang pemupukan pada sistem penanaman padi sawah di Indonesia mampu menghambat emisi CH4 melalui mekanisme peningkatan oksidasi CH4 serta penurunan aktivitas metanogen
37
selama siklus penggenangan terputus. Perlakuan drainase dan pengairan intermiten secara nyata mampu menurunkan emisi CH4 pada tanah andisol dan gleysol di Jepang (Minamikawa dan Sakai, 2005). Namun dalam penelitian ini perlakuan intermiten tidak mampu menurunkan fluk CH4. Hal ini senada dengan hasil penelitian Nugroho et al. (1994a) yang mencatat bahwa fluks CH4 pada perlakuan intermiten tidak berbeda dengan perlakuan penggenangan. Dengan demikian pengaruh perlakuan irigasi terputus terhadap fluks CH4 tidak nyata pada lahan sawah yang dicobakan.
Fluks metana (mg CH 4-C m -2 jam -1)
15
10
5
0 Macak-macak
Intermiten
Penggenangan Penggenangan 5 cm 10 cm
-5 Pengelolaan air
Gambar 4.3. Fluks metana antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=30) Penggenangan menghasilkan fluks CH4 yang lebih tinggi dibanding dengan kondisi macak-macak. Penggenangan menghambat difusi oksigen dari atmosfer ke dalam lapisan tanah dan menurunkan potensial redoks tanah. Kondisi ini menstimulir aktivitas metanogen untuk memproduksi CH4. Hasil penelitian Husin et al. (1995) juga menunjukkan bahwa fluks CH4 pada kondisi penggenangan secara kontinyu lebih tinggi dibanding dengan pada keadaan macak-macak. Dinamika fluks CH4 pada tanah sawah berkaitan erat dengan potensial redoks tanah yang dipengaruhi oleh pengelolaan air (Hou et al., 2000a).
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Populasi Mikroba Tanah Dinamika fluks CH4 pada lahan sawah erat berkaitan dengan populasi mikroba. Pada penelitian ini, total propagul pada 4 dan 8 MST lebih rendah
38
dibanding pada 12 MST dan populasi terendah terjadi pada 8 MST (Gambar 4.4). Total mikroba tertekan pertumbuhannya selama penggenangan. Pada 12 MST, total
mikroba
meningkat
seiring
dengan
drainase
yang
menyebabkan
pengurangan kadar air dan peningkatan potensial redoks. Peningkatan kandungan oksigen tanah mendukung kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Macak-macak
Intermiten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Jum lah propagul (10
6
g -1 )
80 60 40 20 0 4
8
12
Minggu setelah tanam
Gambar 4.4. Populasi total mikroba pada empat macam pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) Produksi CH4 merupakan hasil dari aktivitas sejumlah kelompok mikroba meliputi bakteri zymogenik, pengguna H2 - asam asetat serta metanogen. Metabolisme dari kelompok mikroba yang berbeda akan mendekomposisi karbon organik dari senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul yang tinggi menjadi senyawa karbon yang paling sederhana misalnya CH4 (Hou et al., 2000a). Sebagian dari CH4 yang diproduksi pada tanah sawah akan dioksidasi oleh mikroba pengoksidasi CH4 menjadi CO2 sebelum dibebaskan ke atmosfer (Watanabe et al., 1997). Dengan demikian fluks CH4 merupakan hasil keseimbangan antara proses produksi dan oksidasinya, dan inilah yang menjadi alasan mengapa korelasi antara antara total mikroba dengan fluks CH4 sangat rendah (r = 0.31). fluks CH4 berkaitan erat dengan mikroba spesifik dari kelompok metanogen dan metanotrof. Perubahan musiman dari populasi nitrifier disajikan pada gambar 4.5. Rata-rata pupolasi nitrifier pada 4, 8 dan 12 MST secara berurutan adalah 9.75 x 103 g-1, 2.35 x 103 g-1, 2.46 x 103 g-1. Tingginya jumlah nitrifier pada 4 MST berkaitan dengan tingginya ketersediaan amonium yang disebabkan oleh
39
pemupukan nitrogen, sementara pada 8 dan 12 MST ketersediaan amonium dari tanah telah menurun oleh serapan tanaman padi. Irigasi intermiten menyebabkan jumlah nitrifier yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh drainase secara periodik pada saat pengeringan yang akan meningkatkan masukan oksigen yang mendukung keberadaan nitrifier.
Nitrifier (x 10
3
MPN g -1)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
4
8
12
Minggu setelah tanam
Gambar 4.5. Populasi nitrifier pada empat macam pengelolaan air Denitrifier merupakan mikroba yang dominan pada proses transformasi nitrogen pada tanah sawah (Gambar 4.6.). Penggenangan dan potensial redoks tanah yang rendah merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan denitrifier (Hou et al., 2000a dan b). Tidak dijumpai korelasi yang erat baik antara nitrifier maupun denitrifier terhadap fluks CH4, berturut-turut r = 0.56, 0.32, karena fluks CH4 lebih berhubungan dengan aktivitas metanogen serta pengoksidasi CH4. Macak-macak
Populasi (x10 g -1 )
3
MPN
30 25
Intermiten
20 15
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
10 5 0
Nitrifier
Denitrifier
Gambar 4.6. Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi nitrifier dan denitrifier pada 4 minggu setelah tanam
40
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Komposisi N Tanah Pengelolaan air pada tanah sawah berpengaruh terhadap transformasi nitrogen (Gambar 4.7.). Konsentrasi amonium tanah berkisar antara 23.5 – 47.4 mg N-NH4+ kg-1 berat kering mutlak tanah. Ammonium merupakan bentuk nitrogen tanah yang dominan (18.6 – 32 kali lebih tinggi dibanding N-NO3-) pada tanah sawah, kondisi anaerob menghambat laju nitrifikasi. Konsentrasi nitrat pada tanah sawah relatif sangat kecil, berkisar antara 1.22 – 1.48 mg N-NO3- kg-1 berat kering mutlak tanah, nitrat tersebut merupakan produk dari aktivitas bakteri nitrifikasi yang mengubah amonium menjadi nitrat pada kondisi oksidasi terutama pada
daerah
rizosfer.
Perakaran
padi
mempunyai
kemampuan
untuk
mengoksidasi tanah di sekitar akar rambutnya. Kondisi tergenang menghasilkan amonium yang lebih tinggi dibanding perlakuan pengelolaan air yang lain. Tidak dijumpai hubungan yang spesifik antara nitrifier dan denitrifier terhadap kandungan amonium dan nitrat tanah. NO3-N 4 MST
NO3-N 8 MS T
NH4-N 4 MST
NH4-N 8 MST
70
mg N kg -1 BKM tanah
60 50 40 30 20 10 0 Macak-macak
Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm Pengelolaan air
Gambar 4.7. Pengaruh pengelolaan air terhadap konsentrasi amonium dan nitrat tanah pada 4 dan 8 MST, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Hasil Padi Perlakuan penggenangan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding perlakuan yang lain. Jumlah anakan berkisar antara 23.8 hingga 25.3 (Gambar 4.8.).
Tidak
ada
perbedaan
yang
nyata
antara
perlakuan
intermiten,
penggenangan 5 cm dan penggenangan 10 cm terhadap jumlah anakan. Penggenangan 5 cm bertendensi menghasilkan jumlah anakan dan bobot jerami yang lebih banyak dibanding perlakuan macak-macak. Nampaknya perlakuan
41
tersebut mampu memberikan lingkungan yang seimbang yang mampu secara optimal mendukung pertumbuhan tanaman padi. Antar perlakuan pengelolaan air tidak terdapat perbedaan bobot gabah yang nyata. Hal ini berarti bahwa pengurangan pemberian air dengan perlakuan macak-macak maupun intermiten tidak diikuti oleh penurunan hasil padi. Perlakuan macak-macak dan intermiten mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air pada sistem penanaman padi sawah. Berdasarkan hasil penelitian ini perlakuan pengelolaan air dengan cara macak-macak dapat disarankan untuk mengurangi fluks CH4 tanpa menurunkan hasil padi. Perlakuan pengelolaan air macak-macak menurunkan fluks CH4 pada tanah sawah hingga sekitar 25% dibanding perlakuan penggenangan sebagai perlakuan kontrol tanpa mengurangi bobot gabah yang dihasilkan. 26
Jum lah anakan
25 24 23 22 21 20 Macak-macak
Intermiten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air
(a) Jerami
Berat jerami dan gabah (kg petak
-1
)
18
Gabah
16 14 12 10 8 6 4 2 0 Macak-m acak
Interm iten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air
(b) Gambar 4.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap hasil tanaman: (a) jumlah anakan, (b) bobot jerami dan gabah, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5)
42
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah, Fluks Metana serta Nitrous Oksida pada Tanah Sawah Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Sifat Kimia Tanah Selama pertumbuhan tanaman padi potensial redoks tanah berada pada nilai negatif, baru pada minggu ke 10 Eh tanah menjadi positif dan meningkat hingga minggu ke 12 (Gambar 4.9.). Fenomena umum pada tanah sawah, dengan kegiatan pelumpuran dan penggenangan menstimulir kondisi reduktif yang dicirikan oleh Eh negatif. Tindakan drainase yang menyebabkan masuknya oksigen akan meningkatkan Eh tanah. Antar perlakuan pengelolaan air tidak dijumpai perbedaan potensial redoks. Artinya perlakuan penggenangan terus menerus maupun macak-macak tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Pengurangan tinggi muka air dengan cara perlakuan macak-macak mampu meningkatkan difusi udara dari atmosfer ke lapisan tanah sawah, namun pada percobaan ini tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Hal ini dipengaruhi oleh musim, percobaan ini berlangsung pada musim penghujan. Penurunan nilai Eh mencapai nilai –150 mV. Kondisi tersebut berada pada selang pengontrolan Eh untuk menekan emisi CH4, menurut Minamikawa dan Sakai (2005) pengelolaan Eh diperlukan bila Eh tanah mencapai nilai di bawah –150 mV. Sedangkan Hou et al. (2000a) menyarankan pengelolaan Eh pada batas nilai -100 mV untuk menekan emisi CH4. Potensial redoks antar perlakuan bahan organik tidak berbeda nyata. Walaupun pada perlakuan pemberian bahan organik 6 ton ha-1 menunjukkan Eh yang lebih rendah dibanding tanpa pengembalian jerami. Nilai Eh terendah pada perlakuan pembenaman jerami mencapai -157 mV, sedangkan tanpa jerami mencapai -136 mV. Nisbah C/N jerami yang digunakan adalah 34.9. Hasil penelitian Wihardjaka (2001) dengan pengembalian jerami ber C/N 32.11 ratarata Eh tanah mencapai -152 mV dan aplikasi kompos jerami ber C/N 11.98 rata-rata Eh tanah mencapai -120mV. Respon perubahan Eh tanah terhadap tindakan penggenangan erat berkaitan dengan status kandungan bahan organik tanah (Gao et al., 2002). Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, Eh tanah akan turun secara tajam oleh perlakuan penggenangan. Pada tanah percobaan dengan kandungan C organik tanah 1.45 %, penambahan bahan organik segar berupa jerami tidak berdampak terhadap penurunan Eh secara drastis.
43
Pengaruh bahan(b) organik terhadap Eh
200
200
100
100
Eh (m V)
Eh (m V)
Pengaruh pengelolaan (a)air terhadap Eh
0 -100 -200
0
2
4
6
8
10
12
0 0
-100 -200
4
6
Minggu setelah tanam
Minggu setelah tanam Tergenang
2
Macak-macak
8
10
12
0 ton ha-1 6 ton ha-1
Pengaruh pupuk(c)nitrogen terhadap Eh 200
E h (m V )
100 0
-100
0
2
4
6
-200 Minggu setelah tanam
8
10
12 Urea CRF30 CRF50
Gambar 4.9. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap Eh tanah Pengembalian jerami ke tanah sawah relatif lebih kecil dibanding pengembalian secara alami dari akar dan tunggul tanaman. Dari pengamatan selintas diperkirakan 15 ton ha-1 berat kering mutlak bahan organik asal akar dan tunggul jerami dikembalikan ke tanah sawah setiap musim tanam. Hal tersebut senada dengan penelitian Sudarsono (2000) yang menyatakan bahwa pengembalian bahan organik secara alami melalui akar tanaman padi memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan bahan organik tanah. Dampak penurunan Eh secara drastis oleh pembenaman jerami segar terjadi pada penanaman padi sawah berikutnya (Wihardjaka, 2001). Peningkatan konsentrasi carbon mudah larut dalam air dari sisa jerami yang terdekomposisi lebih lanjut menopang penurunan Eh. Aspek praktikal dari informasi tersebut,
44
pembenaman jerami untuk pemeliharaan produktivitas tanah dilakukan pada penanaman padi dan pada rotasi berikutnya lahan tersebut digunakan untuk pertanaman tanpa penggenangan. Dekomposisi sisa jerami secara anaerob pada pertanaman berikutnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi tanah. Antar pemupukan nitrogen tidak menghasilkan Eh tanah yang berbeda nyata. Pemberian Urea cenderung menurunkan Eh tanah lebih besar dibanding pupuk CRF. Pelepasan amonium yang lebih cepat pada urea dibanding dengan CRF berpengaruh terhadap penurunan nilai Eh tanah. Ketersediaan amonium meningkatkan aktivitas mikroba nitrifier di daerah rizosfer dan meningkatkan persaingan penggunaan oksigen antar mikroba. Kondisi tersebut menstimulir kelangkaan oksigen yang memicu respirasi secara anaerob dan diikuti dengan penurunan Eh. Dinamika Eh tanah sawah percobaan antar perlakuan yang dicobakan pada 0 hingga 10 MST disajikan pada Gambar 4.10. Pada 0 hingga 8 MST nilai Eh tanah negatif, sedangkan pada 10 MST nilai Eh tanah positif karena adanya drainase. Selama periode penanaman padi pH tanah meningkat dibanding pH awal. Penggenangan menyebabkan pH tanah sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan macak-macak walau tidak berbeda nyata. Pemberian bahan organik tidak berpengaruh terhadap pH. Antar perlakuan jenis pupuk N tidak terdapat perbedaan pH tanah. Variasi pH tanah oleh lama penggenangan. Pada saat pindah tanam (0 MST) pH tanah sekitar 6 kemudian meningkat menjadi pH 7 pada 2 MST kemudian relatif konstan hingga 8 MST. Pada minggu ke 10 turun karena drainase dan minggu ke 12 kembali ke pH awal oleh drainase permanen (Gambar 4.11.). Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap kadar amonium tanah disajikan pada gambar 4.12. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap kadar amonium tanah pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan kadar amonium tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap
kadar
amonium
tanah
pada
berbagai
waktu
pengamatan.
45
Dinamika Eh Tanah pada 0 MST Tergenang
0
0 t on ha-1
-100
6 t on ha-1
-150 Urea
-200
0 t on ha-1 6 t on ha-1 Urea
-200
6 t on ha-1
-150
Urea CRF30
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Tergenang
100
M acak-macak
50
0 t on ha-1 6 t on ha-1
0
Urea
Urea
-150
CRF30
Pe nge lolaan air, bahan organik dan pupuk N
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 10 MST
M acak-macak
-100
0 t on ha-1
-100
Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Tergenang
-50
M acak-macak
-50
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 8 MST 0
CRF50
Tergenang
-200
CRF30
Penge lolaan air, bahan organik dan pupuk N
CRF30
0 E h (m V)
E h (m V )
-50
-150
Urea
Dinamika Eh Tanah pada 6 MST
M acak-macak
-100
6 t on ha-1
-150
Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Tergenang
0
0 t on ha-1
-100
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 4 MST
Macak-macak
-50
-200
CRF30
Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh (m V)
E h (m V )
-50
Tergenang
0
Macak-macak
E h (m V)
E h (m V )
Dinamika Eh Tanah pada 2 MST
CRF50
-50
CRF30
Pe ngelolaan air, bahan organik dan pupuk N
CRF50
Gambar 4.10. Dinamika Eh tanah sawah antar perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
5
.5 7
46
(a)
(b)
(c) 7,5 7
pH
7.
6,5 6 5,5 0
2
4
6
8
10
12
Minggu setelah tanam Urea
CRF-30
CRF-50
Gambar 4.11. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap pH tanah Pada perlakuan pengelolaan air, kadar amonium tanah pada 0 MST dengan perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding perlakuan penggenangan. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian amonium pada perlakuan tersebut mengalami nitrifikasi. Dengan suasana macak-macak, amonium dioksidasi oleh nitrifier menjadi nitrat, dugaan tersebut diperkuat data kadar nitrat pada waktu pengamatan tersebut sedikit lebih tinggi dibanding kadar nitrat tanah pada perlakuan penggenangan. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur pada perlakuan macak-macak sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan penggenangan. Kadar amonium yang sedikit lebih tinggi tersebut berasal dari mineralisasi N dari bahan organik. Pada suasana macak-macak aktivitas dekomposisi jerami sedikit lebih aktif dibanding suasana tergenang. Dengan kelembaban tanah yang tinggi tahap mineralisasi N dari bahan organik berada pada tahap aminisasi dan amonifikasi dengan produk terminal berupa amonium. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali kadar amonium pada perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding
47
perlakuan tergenang. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut menyebabkan oksidasi amonium menjadi nitrat pada tanah dengan perlakuan macak-macak.
(b)
(a) 150
NH4+-N (ppm)
150
NH4+-N (ppm)
100
100 50
50
0
0 0
4 8 Minggu setelah tanam
0
12
4 8 12 Minggu setelah tanam 0 ton ha-1 6 ton ha-1
Tergenang
(c)
NH4+-N (ppm)
150 100 50 0 0
4 8 Minggu setelah tanam Urea CRF50
12
CRF30
Gambar 4.12. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap amonium tanah
Pada perlakuan penambahan bahan organik, kadar amonium pada 0 MST pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi dibanding dibanding perlakuan tanpa penambahan jerami. Pembenaman jerami selama masa penyiapan lahan telah mampu membebaskan N dari senyawa yang mengandung N mudah larut dalam air. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur antar perlakuan bahan organik menunjukkan perbedaan hasil yang tidak
48
berarti. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali kadar amonium pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa jerami. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut memacu dekomposisi bahan organik yang membebaskan amonium ke dalam tanah. Takaran jerami padi yang dibenamkan setara dengan 6 ton BKM per hektar dengan kandungan N sebesar 0.98% yang berarti pengembalian sebesar 58.8 kg N per hektar. Berdasarkan penelitian Bird et al. (2001) pembenaman jerami mampu meningkatkan Cmic dan Nmic lebih tinggi dibanding dengan perlakuan pembenaman abu jerami setelah pembakaran di lapang. Dengan waktu paruh Nmic yang berkisar antara 0.55 hingga 0.87 tahun, dalam jangka panjang
pembenaman
jerami
akan
meningkatkan
recovery
pupuk
N.
Pembenaman jerami meningkatkan pool N baik yang aktif maupun yang labil, dan berindikasi menurunkan ketergantungan budidaya padi sawah terhadap penambahan input pupuk N. Pemahaman tersebut semakin memperkuat pentingnya pengelolaan jerami pada budidaya padi sawah. Pengelolaan jerami pada budidaya padi sawah di Indonesia cukup beragam, pada beberapa tempat dibenamkan secara langsung, di tempat lain jerami dibakar terlebih dahulu baru dibenamkan, sementara di lokasi lain jerami ditumpuk pada pematang sawah. Pembenaman jerami dengan cara dicacah kasar dan diaplikasikan bersamaan dengan penggaruan seperti yang dilaksanakan pada penelitian ini merupakan perpaduan memaksimalkan pemanfaatan jerami dengan teknik yang relatif sederhana. Pada perlakuan pupuk nitrogen, kadar amonium tanah pada 0 dan 4 MST pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan CRF. Hal tersebut dapat dimengerti karena urea didisain mempunyai kecepatan larut yang lebih tinggi, sedangkan CRF kelarutannya lebih lambat. Baru pada pengamatan 8 MST, kadar amonium antar perlakuan urea dan CRF tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Kadar amonium yang terukur adalah amonium tersedia dalam tanah setelah penyerapan oleh tanaman. Sedangkan pada pengamatan kadar amonium pada 12 MST, amonium pada perlakuan CRF menjadi sedikit lebih tinggi dibanding urea, residu N yang lebih lambat tersedia pada CRF menjadi tersedia. Dominasi amonium terhadap nitrat antar perlakuan disajikan pada gambar 4.13. Bird et al. (2001) menyatakan amonium merupakan bentuk N
49
anorganik terekstrak selama periode penggenangan. Keberadaan nitrat pada tanah sawah menunjukkan bahwa proses nitrifikasi pada tanah sawah dengan kelembaban
air
yang
tinggi
tetap
terjadi.
Kemampuan
tanaman
padi
mentranlokasikan oksigen ke daerah rizosfer, menopang aktivitas nitrifier untuk mengoksidasi amonium menjadi nitrat. Nitrat yang tersedia berpeluang diserap oleh tanaman, diimobilisasi oleh mikroba, tercuci ke lapisan tanah yang lebih rendah yang pada tanah sawah akan terhambat oleh keberadaan lapisan bajak serta mengalami denitrifikasi pada lapisan reduktif menjadi N2O dan N2. Dinam ika am m onium dan nitrat pada (b) organik pengelolaan bahan
120
120
80
80
ppm-N
ppm-N
Dinam ika am m onium dan nitrat pada (a) air pengelolaan
40 0 0 4 Minggu setelah tanam
8
40 0
12
0 4 Minggu setelah tanam
8
12
Ammo nium , Tergenang
A mmo nium , M acak-macak
A mmo nium , 0 to n ha-1
A mmo nium , 6 to n ha-1
Nitrat , Tergenang
Nitrat , M acak-macak
Nitrat , 0 to n ha-1
Nitrat , 6 to n ha-1
Dinam ika am m onium dan nitrat pada (c) pengelolaan pupuk nitrogen 160 ppm-N
120 80 40 0 0
4
8
12
Minggu setelah tanam Ammo nium , Urea
Ammo nium , CRF30
Ammo nium , CRF50
Nitrat , Urea
Nitrat , CRF30
Nitrat , CRF50
Gambar 4.13. Kadar amonium dan nitrat tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Tanaman
padi
menyerap
N
terutama
dalam
bentuk
amonium,
keberadaan nitrat pada tanah sawah tidak terlalu bermanfaat bagi tanaman justru menjadi peluang terjadinya denitrifikasi yang berdampak pada penurunan efisiensi pemupukan N maupun emisi N2O. Konsentrasi nitrat tanah tertinggi dijumpai pada pengamatan 0 MST, pada saat tanam difusi oksigen dari atmosfer
50
ke lapisan tanah cukup tinggi dan memacu oksidasi amonium menjadi nitrat. Keberadaan nitrat pada tanah sawah sangat dipengaruhi oleh panjang waktu, frekuensi dan tingkat drainase. Data komposisi N pada kombinasi perlakuan disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Kadar N tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N pada 0, 4, 8 dan 12 MST Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
0 MST NH4+ NO3104 3 30 2 69 11 106 3 117 16 55 6 49 8 31 4 39 3 78 11 47 12 99 8
Kadar N Tanah (ppm N) pada 4 MST 8MST NH4+ NO3NH4+ NO395 0.6 80 1.6 75 0.6 97 1.1 61 1.9 75 0.5 135 4.8 97 1.8 67 0.7 83 2.1 83 1.0 66 2.8 155 0.2 83 0.7 152 0.5 93 2.0 35 1.5 101 2.3 114 0.3 92 4.8 67 1.6 81 2.9 61 3.4 81 2.4
12MST NH4+ NO30.3 33 3.5 39 0.6 73 2.0 50 5.6 54 0.2 50 5.2 28 4.6 33 0.6 50 0.4 35 2.1 50 42 2.1
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah Pengaruh kombinasi perlakuan pengelolan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah yaitu mikroba total, nitrobacter, nitrosomonas dan denitrifier disajikan pada Tabel 4.5. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap jumlah total mikroba disajikan pada gambar 4.14. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah total mikroba tanah pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah total mikroba tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah total mikroba tanah pada berbagai waktu pengamatan. Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah total mikroba tanah pada saat 0 MST antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4, 8 dan 12 MST, jumlah total mikroba pada perlakuan penggenangan sedikit lebih
51
banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Nampaknya mikroba in situ / tempatan lebih adaptif terhadap perlakuan penggenangan seperti yang biasa diterapkan oleh petani setempat. Perlakuan macak-macak mengubah kondisi lingkungan bagi mikroba tempatan sehingga populasinya belum bisa menyamai pada kondisi yang sudah biasa terjadi. Tabel 4.5. Populasi mikroba tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Populasi Mikroba tanah pada Perlaku an
W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
MT 1.1 1.0 0.7 0.2 1.6 0.8 1.7 1.3 1.6 0.7 0.7 0.7
0 MST Nitrosomo Nitrobacter 3 nas 10 3 10 MPN MPN -1 g BKM tanah) 0.5 0.2 4.5 0.3 0.9 0.9 0.5 0.9 0.5 5.1 0.1 0.2 0.5 4.5 0.4 0.1 2.2 0.8 0.5 0.3 0.8 0.4 0.4 0.4
Denitrifier 4 10 MPN 2.1 5.4 2.8 2.8 5.1 6.9 36.1 6.3 56.1 48.3 6.1 3.6
4 MST Nitrosomo 3 nas 10 MPN -1 g BKM tanah) 20.9 24.6 12.0 27.4 17.4 23.2 18.1 17.7 1.1 2.4 15.0 3.7
MT
Nitrobacter 3 10 MPN
Denitrifier 4 10 MPN
22.3 17.2 5.0 20.6 23.4 26.6 22.7 14.1 11.9 23.5 16.8 15.5
0.8 0.5 1.3 0.2 0.8 1.1 1.4 5.2 0.8 0.1 0.3 0.3
108.7 4.7 19.2 157.3 5.2 5.5 37.1 165.9 132.0 141.9 142.8 194.4
Populasi Mikroba tanah pada Perlaku an
W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
MT 3.1 16.8 11.1 8.9 2.5 3.9 2.9 7.5 7.3 6.8 11.4 4.4
8 MST Nitrosomo Nitrobacter 3 nas 10 3 10 MPN MPN -1 g BKM tanah) 0.2 0.6 0.6 1.6 4.3 26.5 1.2 16.5 0.8 15.2 2.5 16.0 0.5 12.7 0.7 18.1 3.4 9.1 0.7 15.7 1.0 24.3 1.5 30.3
Denitrifier 4 10 MPN 25.5 311.2 157.4 115.5 8.8 255.1 115.3 164.5 154.8 41.8 139.9 126.0
12 MST Nitrosomo 3 nas 10 MPN -1 g BKM tanah) 16.8 23.7 24.1 14.5 23.9 6.7 10.5 21.3 14.1 16.0 5.8 13.8
MT
Nitrobacter 3 10 MPN
Denitrifier 4 10 MPN
39.0 25.2 22.4 6.2 17.5 32.7 33.0 7.0 17.1 26.7 7.6 3.8
1.8 3.9 13.9 0.6 6.7 0.6 0.3 4.9 0.5 1.1 1.6 3.1
152.0 272.1 135.7 4.3 268.2 266.1 127.0 135.2 236.0 115.5 124.7 2.3
Keterangan: MT: Mikroba total x 107 SPK Pada perlakuan bahan organik, jumlah total mikroba tanah pada saat 0 MST antara perlakuan pembenaman jerami dan tanpa jerami hampir sama. Pembenaman bahan organik jerami yang ber C/N 34.9 selama masa penyiapan lahan belum mampu menyediakan tambahan energi dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4 MST total mikroba pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada perlakuan tanpa jerami. Pada saat tersebut jerami yang dibenamkam telah mengalami dekomposisi yang
52
lebih lanjut dan mampu membebaskan senyawa-senyawa sederhana yang mudah larut dalam air dan mendukung pertumbuhan mikroba. Zaman et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan bahan organik meningkatkan aktivitas enzimatik dan biomasa mikroba tanah. Begitu pula pada pengamatan 12 MST, total mikroba pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada tanpa jerami.
Drainase
yang
dilaksanakan
sebelumnya
mampu
meningkatkan
dekomposisi bahan organik secara aerobik dan mendukung pertumbuhan mikroba heterotrof.
(b)
30 25 20 15 10 5 0 0 4 8 Minggu setelah tanam Tergenang
Populasi (x 107 spk g-1 BKM tanah)
Populasi (x 107 spk g-1 BKM tanah)
(a)
12
30 25 20 15 10 5 0 0 Minggu4setelah tanam 8
Macak-macak
0 ton/ha
12
6 ton/ha
Populasi (x 107 spk g-1 BKM tanah)
(c) 30 25 20 15 10 5 0 0
4 8 Minggu setelah tanam
12
Ure
CRF-50
CRF-30
Gambar 4.14. Jumlah total mikroba tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Populasi
total
mikroba
tanah
pada
perlakuan
pupuk
nitrogen
menunjukkan pola yang sejalan dengan perlakuan bahan organik. Pada pengamatan 0 MSPT, antar perlakuan pupuk N menghasilkan total mikroba yang hampir sama. Penyiapan lahan dengan pengelolaan air yang sama, serta belum mampunya jerami memberikan tambahan energi bagi mikroba, menyebabkan
53
total mikroba antar perlakuan pupuk N pada saat tanam tidak berbeda. Pada pengamatan 4 MST total mikroba pada perlakuan Urea sedikit lebih tinggi dibanding pada perlakuan CRF, dengan urutan urea, CRF30 dan CRF50. Hal ini berkenaan dengan perbedaan tingkat penyediaan hara dari pupuk yaitu berturutturut urea, CRF30 dan CRF50 membebaskan hara nitrogen dan menstimulir pertumbuhan mikroba. Begitu pula pada pengamatan 12 MST, total mikroba pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding CRF, dengan urutan urea, CRF50
dan
CRF30.
Drainase
yang
dilaksanakan
sebelumnya
mampu
meningkatkan pertumbuhan mikroba autotrof. Kesamaan pola dinamika total mikroba pada perlakuan bahan organik dan pupuk nitrogen, menunjukkan kemiripan respon mikroba baik autotrof maupun heterotrof pada tanah sawah terhadap masukan energi. Secara umum pola populasi mikroba pada seluruh perlakuan yang dicobakan terhadap umur tanaman adalah meningkat pada 4 MST seiring dengan kurva pertumbuhan cepat pada tanaman padi. Menurun pada 8 MST yang karena faktor eksternal, beberapa hari sebelum pengamatan dilaksanakan drainase pada seluruh perlakuan karena tanaman menunjukkan gejala keracunan besi. Dan kembali meningkat drastis pada 12 MST pada saat tanaman memasuki fase pengisian biji. Ada korelasi positif antara pertumbuhan tanaman di atas tanah dengan eksudat akar yang dibebaskan. Eksudat tersebut merupakan sumber energi bagi pertumbuhan mikroba tanah. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap nitrosomonas disajikan pada gambar 4.15. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrosomonas pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah nitrosomonas secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah nitrosomonas pada berbagai waktu pengamatan. Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah nitrosomonas pada saat 0 MST antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak mempengaruhi jumlah nitrosomonas pada saat tanam. Nitrosomonas merupakan mikroba pengoksidasi amonium menjadi nitrit yang juga disebut nitritasi, sebagai reaksi tahap pertama dari proses nitrifikasi. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan amonium dan aerasi tanah. Pada pengamatan 4
54
MST, jumlah nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Ketersediaan amonium pada 4 MST yang berasal dari hidrolisis pupuk pada perlakuan penggenangan lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Kondisi tergenang yang menghambat pertumbuhan nitrosomonas nampaknya dapat ditolerir oleh mikroba tersebut. Pengaliran air secara berkala untuk mempertahankan kondisi tergenang secara kontinyu, mampu juga meningkatkan oksigen terlarut dalam air sehingga mampu menopang pertumbuhan nitrosomonas. Pada pengamatan 8 MST jumlah nitrosomonas pada perlakuan tergenang sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada saat pengamatan tersebut kadar amonium antara perlakuan penggenangan dan macak-macak hampir sama dan penggenangan berdampak
sedikit
menekan
pertumbuhan
nitrosomonas.
Pada
akhir
pengamatan 12 MST kembali nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding macak-macak. Secara umum perlakuan penggenangan tidak berdampak terhadap penghambatan nitrosomonas. Respon nitrosomonas terhadap penambahan bahan organik, ternyata pada masa pengamatan 0 dan 4 MST, nitrosomonas pada perlakuan bahan organik hampir sama dengan tanpa bahan organik. Perlakuan jerami hingga 4 MST belum berpengaruh terhadap ketersediaan substrat maupun lingkungan pertumbuhan nitrosomonas. Baru pada 8 MST, nitrosomonas pada perlakuan jerami sedikit lebih banyak dibanding tanpa jerami, pada saat tersebut hasil dekomposisi bahan organik telah membebaskan sejumlah amonium sebagai sumber energi nitrosomonas. Namun pada akhir pengamatan 12 MST, nitrosomonas pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami. Pengembalian jerami berpengaruh terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan nitrosomonas. Populasi nitrosomonas terhadap perlakuan pupuk nitrogen baru nampak pada 4 MST. Pada saat tersebut jumlah nitrosomonas pada perlakuan urea dan CRF30 sedikit lebih tinggi dibanding pada CRF50. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pelepasan N dari urea yang relatif cepat dan cukup banyak N telah dibebaskan dari CRF30 karena pupuk tersebut mampu melepaskan 80% N pada 30 hari setelah aplikasi. Pada pengamatan nitrosomonas 8 MST, sebaliknya nitrosomonas pada perlakuan CRF50 sedikit lebih banyak dibanding pupuk N lain, karena pada saat tersebut telah lebih dari 80% N dibebaskan oleh pupuk tersebut.
55
(a)
(b)
Nitrosomonas (x 103 MPN g-1 BKM tanah)
(c) 25 20 15 10 5 0 0
4 8 Minggu setelah tanam Ure
12
CRF-30
Gambar 4.15. Jumlah nitrosomonas pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Terdapat korelasi yang erat antara nitrosomonas dengan total mikroba tanah (r=0.646) pada 0 MST, yang bermakna sekitar 41.7% variasi perubahan total mikroba dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Sedangkan korelasi antara nitrosomonas dengan nitrifier pada 0, 4, 8 dan 12 MST berturutturut mencapai sebesar r=0.7841, 0.9884, 0.9929, dan 0.9147, dengan korelasi secara keseluruhan 0-12
MST sebesar 0.9669, n=84. Berarti sekitar hampir
93.5% variasi perubahan nitrifier dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Hubungan antara nitrosomonas dengan nitrifier dapat dinyatakan dengan persamaan y = 1.093x + 0.5225, R = 0.9339, di mana y adalah populasi nitrifier
dan
x
adalah
populasi
nitrosomonas.
Informasi
tersebut
juga
mengindikasikan dominansi peran nitrosomonas dalam proses nitrifikasi, kondisi ini berbeda dengan lahan kering dimana populasi nitrobacter lebih dominan sebagai nitrifier seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2.
56
Korelasi antara nitrosomonas dengan nitrobacter pada 0, 4, 8 dan 12 MST berturut-turut mencapai sebesar r=-0.1743, 0.3319, 0.3526, dan 0.4025, dengan korelasi secara keseluruhan 0-12 MST sebesar 0.3047, n=84. Pada 0 MST antara populasi nitrosomonas dengan populasi nitrobacter tidak berkorelasi dan menunjukkan gejala saling berkompetisi, dengan meningkatnya waktu dari 4 ke 12 MST peningkatan populasi nitrosomonas diikuti dengan peningkatan populasi nitrobacter. Oksidasi amonium menjadi nitrit oleh nitrosomonas menyediakan sumber energi bagi nitrobacter untuk mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Sayangnya korelasi antara nitrosomonas dengan kadar amonium tanah (sebagai sumber energi) dan kadar nitrat (hasil akhir nitrifikasi) tidak menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini dapat dipahami bahwa amonium dan nitrat tanah yang diukur adalah pada kondisi amonium dan nitrat telah dimanfaatkan oleh tanaman maupun mikroba. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap nitrobacter disajikan pada Gambar 4.16. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrobacter pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah nitrobacter secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah nitrobacter pada berbagai waktu pengamatan. Nitrobacter merupakan mikroba pengoksidasi nitrit menjadi nitrat atau proses nitratasi, sebagai reaksi tahap kedua dalam nitrifikasi. Dari aspek mata rantai
makanan,
keberadaan
nitrobacter
merupakan
kelanjutan
dari
nitrosomonas. Kehadirannya sangat dibutuhkan karena peningkatan konsentrasi nitrit sebagai hasil antara proses nitrifikasi yang dilakukan oleh nitrosomonas, bersifat toksik bagi tanaman budidaya. Aktivitas mikroba ini dipengaruhi oleh konsentrasi nitrit dalam substrat dan aerasi. Respon Nitrobacter terhadap perlakuan pengelolaan air, hampir pada seluruh waktu pengamatan (0, 8 dan 12 MST), nitrobacter pada perlakuan penggenangan sedikit lebih tinggi dibanding dengan macak-macak. Hal ini berkaitan dengan hasil aktivitas oksidasi amonium pada kondisi tergenang, keberadaan nitrit yang lebih banyak pada suasana tergenang menjadi sumber energi bagi pertumbuhan nitrobacter.
5
57
(b)
(a)
(c) Populasi Nitrobacter (x 103 MPN g-1)
5
5 4 3 2 1 0 0
4 8 12 Minggu setelah tanam Urea
CRF-30
CRF-50
Gambar 4.16. Jumlah nitrobacter pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Pada seluruh waktu pengamatan, nitrobacter pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami. Dekomposisi jerami menghasilkan sejumlah substrat organik yang siap dioksidasikan. Terjadi peluang persaingan antara mikroba pengoksidasi nitrit (nitrobacter) yang bersifat autotrof dengan pengoksidasi senyawa organik yang bersifat heterotrof. Perlakuan pupuk CRF menyebabkan populasi nitrobacter yang sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan urea, pada seluruh waktu pengamatan (0, 4, 8 dan 12 MST). Pengaruh CRF terhadap populasi nitrobacter semakin menguat dengan umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan waktu tunda kelarutan hara pada pupuk CRF. Pada keseluruhan waktu pengamatan tidak didapat korelasi yang nyata antara nitrobacter dengan total mikroba. Nitrobacter berkorelasi sangat nyata terhadap total nitrifier dengan nilai korelasi r = 0.5393 (p ≤ 0.01) dengan n=84. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses nitrifikasi peran nitrobacter kurang menonjol dibanding nitrosomonas. Lebih kecilnya populasi nitrobacter dibanding
58
nitrosomonas terhadap keseluruhan nitrifier, perlu dikaji lebih cermat. Karena kelebihan nitrit hasil kerja nitrosomonas yang tidak mampu seluruhnya dimanfaatkan oleh nitrobacter, potensial di denitrifikasi menjadi N2O. Memang pendekatan populasi tidak sepenuhnya akurat untuk memprediksi aktivitas nitrosomonas
maupun
nitrobacter,
karena
seringkali
populasi
tidak
mencerminkan aktivitas mikroba. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap denitrifier disajikan pada Gambar 4.17. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah denitrifier pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah denitrifier secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah denitrifier pada berbagai waktu pengamatan. Denitrifier berperan dalam reaksi reduksi nitrat menjadi nitrit, kemudian menjadi N2O dan atau N2 yang dibebaskan ke atmosfer dalam bentuk gas. Berdasarkan kiprah kerja denitrifier, keberadaan mikroba tersebut erat berkaitan dengan ketersediaan nitrat serta suasana reduktif dalam tanah. Dalam siklus nitrogen secara utuh, keberadaan denitrifier merupakan bagian dari nitrifikasi, sebagian nitrat hasil nitrifikasi menjadi sumber energi bagi denitrifier. Reaksi denitrifikasi yang secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: NO3-
NO2-
NO
N2O
N2
Jumlah denitrifier pada 0 dan 4 MST pada perlakuan penggenangan sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada 8 dan 12 MST, denitrifier pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
bahwa
respon denitrifier terhadap pengelolaan air sangat fleksibel. Pada kondisi macakmacak dukungan lingkungan tumbuh denitrifier setara dengan pada kondisi tergenang. Respon denitrifier terhadap penambahan bahan organik baru nampak pada 8 dan 12 MST, dimana penambahan jerami justru sedikit menekan pertumbuhan denitrifier. Pendapat secara umum penambahan jerami menstimulir suasana reduktif yang mendukung pertumbuhan denitrifier. Keberadaan denitrifier merupakan resultante sejumlah faktor meliputi kandungan air tanah, kandungan bahan organik tanah, potensial redoks, respirasi tanah. Nampaknya
0 2
59
proporsi peran bahan organik terhadap denitrifier pada kondisi percobaan tesebut cukup kecil dibanding faktor-faktor yang lain. (b)
(a)
(c) Populasi (x 105 MPN g-1 BKM tanah)
0 2
25 20 15 10 5 0
0
4
8
12
Minggu setelah tanam Urea
CRF-30
CRF-50
Gambar 4.17. Jumlah denitrifier pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Pengaruh perlakuan pupuk nitrogen, denitrifier pada 0 dan 4 MST dengan perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding CRF, dan pada waktu pengamatan berikutnya yaitu 8 dan 12 MST, denitrifier dengan perlakuan CRF sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan urea. Hal ini berkaitan erat dengan kecepatan pembebasan hara nitrogen dari masing-masing pupuk. Urea yang lebih cepat membebaskan hara nitrogen meningkatkan jumlah denitrifier di awal percobaan, sedangkan CRF yang lebih lambat melepaskan hara nitrogen baru mampu mensuplai energi bagi pertumbuhan denitrifier pada waktu berikutnya. Korelasi antara denitrifier dengan parameter mikrobiologis lain yang diamati sangat rendah. Nampaknya saling keterkaitan antar mikroba dalam siklus
642
0
60
transformasi N khususnya dinamika nitrifikasi dan denitrifikasi sulit untuk dipahami secara separatis. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap respirasi disajikan pada Gambar 4.18. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap respirasi pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah respirasi secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap respirasi pada berbagai waktu pengamatan. (a)
(b)
(c) Respirasi (mg CO2-C kg-1 tanah hari-1)
6 0 4
60 40 20 0 4
6 8 Minggu setelah tanam
Urea
CRF30
12
CRF50
Gambar 4.18. Respirasi pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 4, 8 dan 12 MST Respirasi tanah merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah. Pendekatan respirasi lebih komprehensif karena di dalamnya tercakup informasi variasi populasi,
61
ukuran dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO2 dari tanah. Dari penelitian ini respirasi antar perlakuan yang dicobakan hampir seragam. Kesamaan pola respirasi antar perlakuan mengindikasikan bahwa dinamika respirasi tanah hanya berkaitan erat dengan stadia pertumbuhan tanaman. Hal tersebut senada dengan pernyataan Cheng et al. (1996) bahwa respirasi mikroba tanah tidak dipengaruhi oleh karbon tersedia di daerah rizosfer, penambahan jerami 6 ton ha-1 belum berpengaruh terhadap respirasi. Respirasi meningkat dari 0 hingga 8 MST kemudian turun pada 12 MST membentuk pola hiperbola. Pertumbuhan tanaman menyediakan substrat bagi mikroba untuk aktivitasnya, pada pertumbuhan cepat sejumlah eksudat akar dibebaskan dan menjadi sumber energi bagi mikroba. Namun sayangnya tidak dijumpai korelasi yang erat antara respirasi dengan total mikroba. Data populasi hanya merujuk pada jumlah individu/koloni persatuan bobot tanah, data tersebut tidak mencakup distribusi ukuran sehingga sering tidak klop pada saat diperhadapkan dengan data respirasi (Djajakirana, 2003). Salah satu parameter yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas mikroba tanah adalah Cmic, yaitu karbon yang digunakan untuk menyusun tubuh mikroba. Dari perlakuan yang dicobakan hanya penambahan jerami yang meningkatkan Cmic. Jerami padi lebih kaya selulose yang relatif mudah didegradasi dari pada lignin. Pada perlakuan tanpa pengembalian jerami, sumber bahan organik berasal dari pengembalian akar dan tunggul padi yang lebih kaya dengan kandungan lignin dan relatif sulit terdegradasi. Sebagai pembanding digunakan data sekunder dari Lou et al. (2006), pada jerami padi kadar lignin (107.0 ± 6.4) dan selulose (283.0 ± 6.9) g kg-1, sementara pada akar padi kadar lignin (174.0 ± 5.8) dan selulose (268.0 ± 4.3) g kg-1. Data C-organik, Cmic dan nisbah Cmic/C-organik disajikan pada Gambar 4.19 dan Tabel 4.6. Nisbah Cmic/C-organik menggambarkan proporsi C-organik yang terinkorporasi pada penyusunan tubuh mikroba, semakin tinggi nilai nisbah tersebut mengindikasikan proses penyimpanan karbon dalam tanah.
0 5 1
62
Tabel 4.6. C-organik, Cmic dan nisbah Cmic/C-organik pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
4 MST
6 MST
C-organik (%)
Cmic (μg/g tanah)
1.55 1.58 1.63 1.66 1.80 1.69 1.69 1.79 1.69 1.80 1.77 1.79
27.6 55.1 93.7 33.1 88.2 66.2 170.9 115.8 16.5 187.4 93.7 148.8
8 MST C-organik (%)
12 MST
Cmic (μg/g tanah)
Cmic /Corg (%)
Corganik (%)
151.6 110.3 91.0 140.6 129.5 137.8 82.7 179.2 82.7 102.0 135.1 118.5
1.03 0.70 0.59 0.87 0.77 0.85 0.54 1.18 0.52 0.61 0.81 0.67
1.21 1.29 1.12 1.64 1.41 1.58 1.36 1.37 1.49 1.58 1.57 1.64
1.46 1.59 1.56 1.63 1.71 1.61 1.53 1.50 1.58 1.67 1.67 1.81
(a)
Cmic (μg/g tanah)
Cmic/C org (%)
24.8 79.9 66.2 165.4 176.4 99.2 104.7 68.9 63.4 118.5 124.0 79.9
0.20 0.62 0.59 1.01 1.27 0.61 0.79 0.42 0.44 0.75 0.75 0.47
(b)
(c) Cmic (ug g-1 tanah)
0 5 1
150 120 90 60 30 0 6 8 Minggu setelah tanam
Urea
CRF30
12
CRF50
Gambar 4.19. Cmic pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 6, 8 dan 12 MST
63
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Fluks CH4 dan N2O Rata-rata fluks CH4 antar perlakuan selama masa pengamatan disajikan pada Gambar 4.20. Dinamika fluks CH4 pada tanaman padi nampak sejalan dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Pertumbuhan fase vegatatif padi ditandai dengan pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman dan jumlah daun. Sedangkan pertumbuhan generatif ditandai dengan pemanjangan ruas batang, pembentukan daun bendera serta pembungaan. Seiring dengan pertumbuhan, bertambah pula pori mikro pada daun, ruang udara antar sel serta kelebatan akar. Seperti diketahui bahwa emisi metana dari lahan sawah terdiri dari emisi langsung dari tanah maupun emisi yang dimediasi oleh tanaman. Emisi
CH4
melalui tanaman padi melibatkan sejumlah proses. Pelarutan CH4 dalam air di sekitar perakaran dan dengan kontak akar berdifusi ke dalam korteks akar. Difusi dalam tanaman berlangsung melalui korteks dan aerenkim dan kemudian dibebaskan ke atmosfer melalui pori-pori mikro pada daun (Wassmann dan Aulakh, 2000). Setyanto et al. (1997a) menyatakan bahwa emisi CH4 dari tanah sawah ke udara melalui aerenkim tanaman padi sebesar 69.2 hingga 82.6%. dari emisi total. Penjelasan tersebut yang mendasari fenomena fluktuasi fluks CH4 seiring dengan pola pertumbuhan tanaman.
Fluks metan (mg CH4-C m-2 jam1)
25 20 15 10 5 0 -5
0
2
4
6
8
10
12
Umur tanaman (MST)
Gambar 4.20. Fluks CH4 dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36. Fluks CH4 merupakan resultante aktivitas metanogen dan metanotrof, yang dipengaruhi oleh ketersediaan energi dan faktor lingkungan pendukungnya.
64
Pada saat tanaman muda, eksudat akar yang dibebaskan yang menjadi sumber energi bagi mikroba masih terbatas sehingga CH4 yang dibebaskanpun masih terbatas. Pada fase pertumbuhan cepat memasuki umur 6 MST, kondisi lingkungan sangat mendukung aktivitas metanogen sehingga fluks CH4 mencapai maksimalnya. Pada umur tanaman berikutnya terjadi trend penurunan fluks CH4. Drainase yang dilaksanakan pada 9 MST menyebabkan aktivitas metanogen berkurang dan sebaliknya metanotrof bertambah. Inubushi et al. (2002) menjelaskan bahwa fluks CH4 nyata berkurang setelah fase pembungaan ke fase pengisian bulir. Pada saat tersebut jumlah dan aktivitas metanogen berkurang seiring dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan jumlah dan aktivitas metanotrof menunjukkan trend meningkat. Populasi metanogen mencapai 105 g-1 bobot kering tanah, sementara populasi metanotrof berkisar antara 104 hingga mendekati 106 g-1 bobot kering tanah. Kisaran fluks selama pengamatan antara -4.6 hingga 60.4 mg CH4-C m-2 jam-1 sebagai perbandingan data kisaran fluks di Jepang sebagai representasi negara subtropis berkisar antara 0-60 mg CH4 m-2 jam-1. Data fluks CH4 dan N2O dianalisis dengan program IRRIStat, untuk mengetahui perlakuan tunggal pengelolaan air, bahan organik, pupuk N, interaksi pengelolaan air-bahan organik, pengelolaan air- pupuk N, bahan organik-pupuk N, maupun pengelolaan air- bahan organik- pupuk N. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian perbedaan antar rata-rata kombinasi perlakuan. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap fluks CH4 disajikan pada Gambar 4.21. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap CH4 pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan CH4 secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap CH4 pada berbagai waktu pengamatan. Perlakuan pengelolaan air baru berdampak pada fluks CH4 pada pengamatan 4 dan 6 MST, di mana penggenangan menghasilkan fluks CH4 lebih tinggi dibanding perlakuan macak-macak. Kondisi penggenangan kondusif bagi pertumbuhan dan aktivitas metanogen dalam memproduksi CH4. Pola tersebut sejalan dengan hasil penelitian Husin et al. (1995) serta Minamikawa dan Sakai (2005). Kisaran rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan penggenangan adalah
65
1.34 – 14.09 mg CH4-C m-2 jam-1, sedangkan rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan macak-macak adalah 1.25 – 9.8 mg CH4-C m-2 jam-1(dengan n=18). Pembenaman jerami secara umum menghasilkan fluks CH4 yang sedikit lebih
tinggi dibanding
tanpa penambahan jerami terutama pada awal
pertumbuhan tanaman 0 hingga 6 MST. Hal ini mengindikasikan dekomposisi bahan organik dari tambahan jerami mampu memacu aktifitas metanogen. Kisaran rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan jerami adalah 3.40 – 14.71 mg CH4-C m-2 jam-1, sedangkan rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan tanpa jerami adalah 0.66 – 14.7 mg CH4-C m-2 jam-1(dengan n=18). Sebagai pembanding hasil penelitian Wihardjaka (2001) rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan tanpa jerami, jerami segar dan kompos jerami berturut-turut sebesar 7.31, 14.36 dan 11.15 mg CH4 m-2 jam-1. (b)
30
Fluks Metana (mg CH4-C m-2 jam-1)
fluks metana (mg CH4-C m-2jam-1)
(a) 25 20 15 10 5 0 -5
-10
0
2
4
6
8
10
12
Minggu setelah tanam
Fluks Metana (mg CH4-C m-2 jam-1)
Tergenang Macak-macak
30 25 20 15 10 5 0 -5
0
2
-10
4
6
8
10
12
Minggu setelah tanam 0 ton ha-1
6 ton ha-1
(c)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 -5
0
2
4
6
8
10
12
Minggu setelah tanam Urea
CRF30
Gambar 4.21. Fluks CH4 pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MST, error bar menunjukkan standar deviasi, n=18
66
Penelitian Nugroho et al. (1996) menunjukkan peningkatan fluks metana oleh penambahan jerami sebesar 1.3 hingga 1.6 kali dibanding tanpa jerami, rata-rata fluks metana selama pertumbuhan padi pada plot tanpa jerami berkisar antara 16.0 – 26.1 mg CH4 m-2 jam-1 sedangkan pada plot dengan penambahan jerami berkisar antara 23.3 – 34.9 mg CH4 m-2 jam-1. Sedangkan Subadiyasa et al. (1997) menyatakan rata-rata fluks metana pada Alfisol sebesar 1.37-2.13 mg CH4 m-2 jam-1 pada plot tanpa jerami dan 2.14-3.62 mg CH4 m-2 jam-1 pada penambahan jerami. Pada Inseptisol nilainya sedikit lebih tinggi 2.32-3.32 mg CH4 m-2 jam-1 pada plot tanpa jerami dan 4.18-6.35 mg CH4 m-2 jam-1 pada penambahan jerami. Penelitian Nugroho et al. (1994b) menunjukkan bahwa fluks metana pada pembenaman jerami lebih tinggi dibanding pupuk hijau Sesbania serta pupuk kandang. Pupuk CRF menghasilkan fluks CH4 yang sedikit lebih tinggi dibanding pupuk urea. Kisaran rata-rata fluks CH4 harian pada perlakuan urea, CRF30 dan CRF50 berturut-turut sebesar 0.50 – 14.96, 0.57 – 17.71 dan 1.47-18.53 mg CH4C m-2 jam-1 (dengan n=18). Penundaan ketersediaan N pada pupuk CRF pada penelitian ini memberikan kesempatan kepada mikroba heterotrof termasuk metanogen untuk berkembang pesat sehingga menghasilkan CH4 yang lebih tinggi dibanding pupuk N cepat tersedia. Emisi CH4 disajikan pada Gambar 4.22. dan Tabel 4.7. Pengairan secara macak-macak mampu menekan emisi sebesar 24.17% dibanding
perlakuan -1
tergenang, yaitu penurunan dari 167.88 menjadi 127.30 kg CH4-C ha . Sebagai pembanding hasil penelitian Nugroho et al. (1994a) rata-rata emisi CH4 pada perlakuan penggenangan secara kontinyu dan intermiten masing-masing sebesar 36-45 dan 29-44 g CH4 m-2. Penerapan drainase mid-season di jepang mampu menurunkan emisi 49-63% dibanding kontrol (Yagi, 2005). Emisi CH4 pada perlakuan jerami dan tanpa jerami masing-masing sebesar 161.36 dan 145.03 kg CH4-C ha-1. Bahan organik meningkatkan emisi 11.267%. Pengaruh tersebut lebih kecil dibanding pengelolaan air.
Bahan
organik yang diberikan sudah mulai mengalami dekomposisi, bila terlalu segar peningkatan emisi tinggi sekali. Emisi CH4 pada perlakuan urea, CRF30 dan CRF50 berturut-turut sebesar 137.67, 152.49 dan 167.45 kg CH4-C ha-1. CRF meningkatkan emisi berturutturut 10.77% dan 21.64% dibanding urea. Sumber pupuk N berpengaruh terhadap besarnya emisi CH4. Sebagai pembanding hasil penelitian Nugroho et
67
al. (1994b) dan Minamikawa et al. (2005) menyimpulkan bahwa pemberian amonium sulfat pada takaran N yang sama menghasilkan emisi CH4 yang lebih rendah dibanding pemberian urea. Dalam hal tersebut sulfat sebagai senyawa ikutan mampu berperan sebagai aseptor elektron dan menyebabkan persaingan antara metanogen dan mikroba pereduksi sulfat. Suharsih et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan pupuk N dalam bentuk urea pril mampu menekan fluks CH4 sebesar 3.8%, sebaliknya pemberian urea tablet meningkatkan fluks CH4 sebesar 15.2% disbanding tanpa pupuk N.
Emisi ( kg CH4-C /ha) 300 250 200 150 100 50 0
Gambar 4.22. Emisi CH4 (kg CH4-C/ha) pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=18) Dari kajian ini dapat disintesis hasil bahwa penambahan bahan organik tidak menimbulkan masalah peningkatan emisi CH4 asal diikuti pengairan macakmacak dan pupuk N yang segera tersedia. Informasi ini sangat bermanfaat karena dari kajian pustaka disebutkan bahwa pemberian bahan organik ditengarai meningkatkan emisi CH4. Pada tanah-tanah di daerah tropika dengan tingkat dekomposisi bahan organik yang tinggi, masalah bahan organik menjadi sangat penting untuk pemeliharaan produktivitas tanah. Setelah panen padi, jerami dicacah kasar agar memudahkan pembenaman dan tidak mengganggu kegiatan penggaruan serta penanaman padi. Cacahan jerami ditumpuk di pematang untuk membantu proses dekomposisi dan baru dibenamkan ke dalam tanah pada saat pengolahan lahan kedua bersamaan dengan penggaruan dan pembuatan leleran setelah pembajakan.
68
Tabel 4.7. Emisi CH4 antar perlakuan dan kombinasi pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N -1
Perlakuan
Emisi CH4 (kg CH4-C ha ) pada umur tanaman (MST) 0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12
TOTAL
16.80
35.06 (a)
39.00
33.38
36.68
167.88
6.74
14.26 (a)
31.25
32.71
33.02
127.29
5.56 9.87
9.76 15.19
20.00 (a) 32.28 (a)
34.22 38.20
34.98 32.97
40.52 31.23
145.03 161.36
9.46 3.43 10.25
14.13 16.92 6.29
24.09 (ab) 43.88 (a) 9.76 (b)
34.17 40.90 33.55
20.90 24.43 56.57
33.66 22.92 51.04
137.67 152.49 167.45
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12
TOTAL
Pengelolaan air Tergenang 6.95 Macakmacak 8.10 Bahan organik
0 ton ha-1 6 ton ha-1 Pupuk N Urea CRF30 CRF50 Perlakuan
0-2
Emisi CH4 (kg CH4-C ha-1) pada umur tanaman (MST)
153.25 W1B1N1 -0.30 0.27 32.12 (ab) 49.54 35.59 36.03 122.78 W1B1N2 0.96 25.51 46.16 (ab) 26.29 12.93 10.94 130.45 W1B1N3 1.44 -0.37 9.50 (b) 34.43 30.28 55.16 171.38 W1B2N1 20.51 32.29 45.20 (ab) 39.09 9.52 24.77 233.37 W1B2N2 7.73 34.34 75.41 (a) 77.54 32.44 5.91 251.99 W1B2N3 13.65 14.39 13.69 (b) 20.10 90.65 99.51 129.05 W2B1N1 15.12 15.92 5.01 (b) 20.28 23.07 49.64 175.47 W2B1N2 7.38 8.22 20.89 (ab) 23.98 45.41 69.59 159.18 W2B1N3 8.78 8.99 6.31 (b) 50.78 62.57 21.75 76.66 W2B2N1 2.51 4.98 9.00 (b) 27.79 15.43 24.21 78.34 W2B2N2 -2.32 -0.39 33.08 (ab) 35.78 6.96 5.23 128.19 W2B2N3 17.14 2.13 9.53 (b) 28.87 42.79 27.72 Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji wilayah berganda Duncan dengan p 0.05
Dari aspek kombinasi perlakuan kisaran emisi CH4 mencapai 76.66 hingga 251.99 kg CH4-C ha-1 (Gambar 4.23.) dengan rata-rata sebesar 150.84 ± 53.17 CH4-C ha-1. Emisi terendah ditemui pada perlakuan W2B2N1 (Macakmacak, tambah jerami, Urea) dan emisi tertinggi pada perlakuan W1B2N3 (tergenang, jerami, CRF50). Perlakuan W2B2N1 (Macak-macak, tambah jerami, Urea) mampu menurunkan emisi sebasar 49.97% dibanding kontrol.
69
Emisi ( kg CH4-C /ha) 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 W1B1N1W1B1N2W1B1N3W1B2N1W1B2N2W1B2N3W2B1N1W2B1N2W2B1N3W2B2N1W2B2N2W2B2N3
Gambar 4.23. Emisi CH4 pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=3) Purata fluks N2O gabungan seluruh perlakuan selama masa pengamatan disajikan pada Gambar 4.24. Fluks N2O berkisar antara 0.04 hingga 3.76 μg N m-2 jam-1. Fluks N2O meningkat dari 0 hingga 4 MSPT, pada 6 MST turun menjadi sangat rendah dan hampir stabil hingga akhir pengamatan pada 12 MST. Fluks N2O tertinggi tercapai pada 4 MST, data tersebut senada dengan Xu et al. (2002) yang mendapatkan fluks N2O tertinggi pada padi pada 20 HST dan Kumar et al. (2000) pada 30 HST. Pada awal masa pertumbuhan ketersediaan N hasil hidrolisis pupuk melebihi kapasitas serapan tanaman yang masih terbatas. Amonium hasil hidrolisis pupuk yang tidak diserap oleh tanaman berpeluang mengalami nitrifikasi dan nitrat yang dihasilkan berpeluang mengalami proses denitrifikasi. Hasil samping nitrifikasi dan denitrifikasi berupa N2O. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan fluks N2O pada 0 hingga 4 MST. Pada minggu ke 6 dan selanjutnya, N dari pupuk mampu dimanfaatkan secara optimal sehingga fluks N2O dari 6 hingga 12 MST turun. Setyanto et al. (1997b) menyatakan puncak pelepasan N2O didapatkan pada 3-5 hari setelah pemupukan, fluks N2O tetap tinggi pada 1-2 minggu setelah pemupukan kemudian menurun dengan tajam.
70
Fluks N2O (ug N2O-N m-2 jam -1)
15 10 5 0 0 MST 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST -5
10 MST
12 MST
-10 -15 Um ur tanam an
Gambar 4.24. Fluks N2O dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36 Pengaruh pengelolaan air, bahan organik serta pupuk nitrogen terhadap fluks N2O disajikan pada Gambar 4.25. Pengaruh pengelolaan air terhadap fluks N2O secara umum nampak bahwa pada kondisi tergenang menghasilkan fluks yang sedikit lebih rendah dibanding kondisi macak-macak. Kisaran fluks N2O pada kondisi tergenang antara 0.01 – 4.82 sedangkan pada pada kondisi tergenang lebih lebar yaitu 0.00 – 5.20 μg N m-2 jam-1. Suratno et al. (1998) mendapatkan data bahwa penggenangan mampu menekan fluks N2O dibanding perlakuan intermitten. Pada seluruh waktu pengamatan, pemberian jerami meningkatkan fluks N2O. Kisaran fluks N2O pada kondisi tanpa penambahan jerami antara 0.00 – 3.45 sedangkan pada pada penambahan jerami lebih tinggi yaitu 0.04 – 4.08 μg N m-2 jam-1. Pemberian jerami akan menambah sejumlah karbon yang mudah teroksidasi. Menurut Azam et al. (2002) kombinasi ketersediaan N dan karbon mudah teroksidasi akan meningkatkan fluks N2O. Dari data amonium tanah, nampak bahwa penambahan jerami berkontribusi terhadap peningkatan amonium tanah. Clemens dan Huschka (2001) menggunakan indikator BOD untuk menggambarkan karbon tersedia dalam bahan organik, dan mendapatkan bahwa fluks N2O berkorelasi erat dengan BOD. Selain itu penambahan jerami meningkatkan imobilisasi N dalam tanah, N yang terimobilisasi akan dibebaskan dan meningkatkan peluang nitrifikasi dan denitrifikasi yang berkontribusi terhadap pelepasan N2O. Begitu juga Khalil et al. (2002) melaporkan bahwa penambahan
5 1
71
bahan organik yang mengandung senyawa karbon mudah terdekomposisi akan meningkatkan fluks N2O. (b)
(a)
(c) 15 Fluks N2O (ug m-2 jam-1)
5 1
10 5 Urea
0
-5
0
2
4
6
8
10
Minggu setelah pindah tanam
CRF30 CRF50
Gambar 4.25. Fluks N2O pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada 0, 2, 4, 8, 10 MST Penggunaan pupuk N, CRF meningkatkan fluks N2O. Pupuk CRF dengan laju pelepasan N yang lambat tidak mampu menekan fluks N2O dibanding pupuk urea. Fluks N2O pada perlakuan pupuk urea, CRF30 dan CRF50 berturut-turut sebesar 0.01 – 2.78, 0.04 – 6.40 dan 0.02 – 2.38 μg N m-2 jam-1. Kondisi ini bertentangan dengan teori bahwa penggunaan slow release fertilizer mampu mengurangi fluks N2O. Peningkatan ini disebabkan oleh penundaan pelepasan N menyebabkan semakin tingginya peluang nitrifikasi pada kondisi tersebut dengan hasil samping dibebaskannya N2O. Kelarutan urea yang lebih tinggi juga memungkinkan pencucian dan memperkecil peluang pembentukan N2O. Peningkatan fluks N2O oleh CRF juga dilaporkan oleh Li et al. (2002) pada Andisol Jepang yang ditanami wortel.
72
Emisi N2O disajikan pada Gambar 4.26. Perlakuan macak-macak meningkatkan fluks secara drastis dibanding perlakuan tergenang yaitu dari 16.01 menjadi 31.81 g N ha-1 atau sebesar 98.7%. Peningkatan diffusi oksigen oleh perlakuan pengairan macak-macak menunjang fluks
N2O baik melalui
proses nitrifikasi maupun denitrifikasi.
Emisi (g N2O-N/ha) 70 60 50 40 30 20 10 0 -10
Tergenang Macak-macak
0 ton ha-16 ton ha-1
Urea
CRF30
CRF50
Gambar 4.26. Emisi N2O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=18) Penambahan bahan organik meningkatkan emisi N2O sebesar 51.2% yaitu dari 19.76 menjadi 29.88 g N ha-1. Sementara pemberian CRF30 meningkatkan emisi sebesar 69.2% dibanding pupuk urea yaitu dari 19.85 menjadi 33.58 g N ha-1 12 minggu-1. Kombinasi ini perlu dicermati karena penambahan bahan organik yang bertujuan memelihara produktifitas tanah dan modifikasi pupuk urea yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pemupukan ternyata meningkatkan emisi N2O. Pengelolaan pupuk N melalui pengaturan takaran pemberian pupuk mampu mengurangi emisi N2O (Ruser et al., 2001). Penggunaan pupuk N dengan takaran CRF yang lebih rendah diharapkan mampu menurunkan emisi N2O. Dari aspek kombinasi perlakuan kisaran emisi N2O mencapai -2.5 hingga 67.9 g N ha-1 (Gambar 4.27). Emisi terendah ditemui pada perlakuan kontrol yaitu W1B1N1 (Tergenang, tanpa jerami, Urea) dan emisi tertinggi pada perlakuan W2B2N2 (Macak-macak, jerami, CRF30).
73
Emisi (g N2O-N/ha) 100 80 60 40 20 0 -20
W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
-40
Gambar 4.27. Emisi N2O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (error bar menunjukkan standar deviasi, n=3) Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Produksi Padi dan Nisbah Produksi-Emisi Jumlah anakan padi antar perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen saling tidak berbeda nyata (Tabel 4.8). Kisaran jumlah anakan sangat sempit antar perlakuan. Berat jerami serta berat gabah per petak juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Dari paparan data tersebut nampaknya masing-masing kombinasi perlakuan mempunyai kemampuan yang sama dalam menunjang pertumbuhan tanaman padi. Respon tanaman padi terhadap pengelolaan air secara macakmacak telah diteliti oleh peneliti Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1980 an (Abas, 1985; Abas dan Abduracman, 1986; Abas dan Sudradjat, 1987; Sudradjat dan Abas, 1988). Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa pengurangan air dengan cara pengairan macak-macak tidak berpengaruh terhadap penurunan hasil padi. Penelitian tersebut difokuskan kepada peningkatan efisiensi pemakaian air, mengingat semakin meningkatnya persaingan penggunaan sumber daya alam tersebut. Dengan mensintesis informasi yang didapat, penelitian ini mampu memperkaya upaya pengelolaan air. Dengan perlakuan macak-macak, hasil panen padi meningkat, efisiensi pemakaian air meningkat dan sekaligus emisi CH4 dapat dikurangi, namun perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap N2O. Perlakuan macak-macak mampu meningkatkan bobot gabah 87%, mengurangi emisi CH4 sebesar 24.17% serta meningkatkan emisi N2O 98.7% dibanding perlakuan penggenangan.
74
Tabel 4.8. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap jumlah anakan, bobot jerami dan bobot gabah. Perlakuan Pengelolaan air Tergenang Macak-macak Bahan organik 0 ton/ha 10 ton/ha Pupuk N Urea CRF30 CRF50
Jumlah anakan
Jerami (ton ha-1)
Gabah (ton ha-1)
24.0 24.6
11.027 11.199
2.549 4.775
23.9 24.7
11.190 11.929
3.432 3.675
24.2 24.4 24.3
12.342 12.748 12.053
3.813 3.564 3.609
Penambahan jerami sebanyak 6 ton berat kering mutlak per hektar tidak berpengaruh terhadap performansi tanaman. Upaya tersebut dilaksanakan dalam rangka mempertahankan status bahan organik tanah. Penambahan tersebut hanya setara dengan peningkatan kandungan bahan organik tanah sebesar 0.3%. Pada tingkat bahan organik tanah yang rendah seperti pada lokasi percobaan, penambahan tersebut belum terlalu signifikan pengaruhnya. Pengembalian jerami sebanyak 6 ton ha-1 mampu meningkatkan gabah 7%, meningkatkan emisi CH4 sebesar 11.3% serta meningkatkan emisi N2O 51.2% dibanding perlakuan tanpa pengembalian jerami. Antar pupuk N yang dicobakan juga tidak mempengaruhi performansi tanaman padi. Dengan lingkungan penelitian di daerah tropis CRF yang digunakan tidak mampu menunjukkan kiprahnya secara maksimal. Penggunaan urea dinilai telah memadai dengan cara diberikan secara bertahap, sebagai pupuk dasar yang diberikan bersamaan dengan waktu tanam sambil diinjak agar masuk ke lapisan reduksi dan diberikan sebagai top dressing pada umur 4 MST bersamaan dengan penyiangan. Penyebaran secara merata dan dilanjutkan dengan penginjakan sambil mencabut dan membenamkan gulma dirasa cukup untuk membenamkan pupuk tersebut pada lapisan reduksi. Penggunaan CRF30 menurunkan berat gabah 6.5%, meningkatkan emisi CH4 sebesar 10.8% serta meningkatkan emisi N2O 69.2% dibanding perlakuan pupuk urea. Kombinasi perlakuan serta gabah, emisi CH4 dan N2O disajikan pada Gambar 4.28 dan Tabel 4.9. Hasil panen berkisar antara 2.5 hingga 5.4 ton gabah per hektar. Hasil gabah tertinggi sebesar 5.4 ton per hektar didapat pada kombinasi perlakuan W2B2N1 (macak-macak, tambah bahan organik, urea). Perlakuan tersebut potensial diterapkan selain memberikan hasil gabah yang
75
tinggi juga menghasilkan emisi CH4 terendah serta N2O yang rendah pula. Penilaian efektifitas perlakuan dalam mempengaruhi fluks didekati dari nisbah emisi terhadap bobot gabah. Semakin rendah nilai nisbah tersebut menunjukkan perlakuan lebih efektif dibanding perlakuan yang lain. Kombinasi perlakuan W2B2N1 (macak-macak, tambah bahan organik, urea) meningkatkan bobot gabah sebesar 114.75%, menurunkan emisi CH4 dan nisbah emisi terhadap bobot
1N 3 W 1B 2N 1 W 1B 2N 2 W 1B 2N 3 W 2B 1N 1 W 2B 1N 2 W 2B 1N 3 W 2B 2N 1 W 2B 2N 2 W 2B 2N 3
1B W
1B W
W
1B
1N 1
1N 2
gabah masing-masing sebesar 49.97% dan 76.7%.
gabah (ton/ha) CH4 (kg C/ha) N2O (g N/ha)
Gambar 4.28. Bobot gabah, emisi CH4 dan N2O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen Tabel 4.9. Jumlah anakan, bobot gabah, emisi serta nisbah emisi CH4 dan N2O terhadap bobot gabah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
Jumlah anakan maksimum 23.3 24.0 23.5 24.3 24.7 24.1 24.0 23.8 24.9 25.1 24.9 24.7
Gabah (ton ha-1)
CH4 (kg C ha-1)
N2O (g N ha-1)
g CH4-C kg-1 gabah
mg N2O-N kg-1 gabah
2.531 2.364 2.451 2.918 2.487 2.544 4.367 4.189 4.691 5.436 5.218 4.749
153.25 122.78 130.45 171.38 233.37 251.99 129.05 175.47 159.18 76.66 78.34 128.19
-2.50 4.06 23.39 32.20 30.80 8.13 26.91 31.54 29.44 22.78 67.95 12.25
60.5 51.9 53.2 58.7 93.8 99.0 29.6 41.9 33.9 14.1 15.0 27.0
-1.0 1.7 9.5 11.0 12.4 3.2 6.2 7.5 6.3 4.2 13.0 2.6
76
Pengaruh Populasi Mikroba terhadap Fluks CH4 dan N2O Korelasi antara fluks CH4 dengan sifat biologi tanah yang diamati disajikan pada Tabel 4.10. Hampir tidak ada korelasi yang nyata antara populasi mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter, nitrifier, denitrifier, respirasi dan Cmic terhadap fluks CH4, kecuali korelasi antara nitrobacter dengan fluks CH4 pada minggu ke 8. Populasi mikroba total serta aktivitasnya yang didekati dengan parameter respirasi dan Cmic tidak mampu menunjukkan korelasi yang nyata terhadap fluks CH4. Diperlukan pemilihan parameter mikrobiologis yang lebih selektif untuk mempelajari kinerja mikroba yang berperan dalam fluks CH4, misalnya kelompok metanogenik dan metanotrof. Walaupun hasil penelitian Asakawa dan Hayano (1995) menunjukkan bahwa penggenangan pada padi sawah tidak berpengaruh terhadap populasi bakteri metanogenik Hou et al. (2000a, b) menjelaskan fluks CH4 berhubungan dengan aktivitas sejumlah mikroba tanah yaitu kelompok bakteri zimogenik, produser asam asetat-hidrogen, metanogen dan metanotrof. Namun dalam penelitiannya, fluks CH4 hanya berkorelasi nyata dengan logaritme jumlah bakteri zimogenik (r=0.76, n=12, p≤1%). Populasi bakteri zimogenik digunakan sebagai prediktor fluks CH4 dengan model: F(c) = 11.969 x LogN(zb) – 62.429 ; F(c) adalah fluks CH4 dan N(zb) adalah populasi bakteri zimogenik. Tidak ada korelasi yang nyata antara fluks CH4 dengan populasi mikroba produser asam asetat- hydrogen, metanogen dan metanotrof. Tabel 4.10. Korelasi fluks CH4 dengan populasi mikroba tanah Korelasi fluks CH4 dengan sifat biologi tanah pada minggu ke 0 4 8 12 gabungan Mikroba total -0.260 0.362 -0.260 0.031 0.014 Nitrosomonas -0.157 0.219 -0.205 0.094 0.074 Nitrobacter -0.174 -0.125 0.490* -0.124 0.007 Nitrifier -0.251 0.184 -0.132 0.015 0.067 Denitrifier -0.263 -0.114 0.099 -0.372 -0.044 Respirasi 0.001 0.194 -0.077 0.140 Cmic -0.368 0.048 -0.156 n 24 24 24 24 Hubungan antara populasi mikroba total, respirasi dan fluks CH4 secara simultan disajikan pada Gambar 4.29. Pada minggu ke 0 hingga 4 MST serta minggu ke 8 hingga ke 12 nampak hal yang menarik, peningkatan populasi mikroba total diikuti dengan kenaikan fluks CH4. Data yang tidak sinkron nampak
77
pada minggu ke 8 dimana respirasi meningkat namun populasi mikroba total justru turun. Pada minggu ke 8 dilakukan drainase untuk mengatasi gejala keracunan besi, dan tindakan drainase tersebut sangat mengganggu mikroba
60
12,0
50
10,0
40
8,0
30
6,0
20
4,0
10
2,0 0,0
0 0 Respirasi
4 8 Minggu setelah tanam Mikroba total
12
Populasi mikroba total (x107 SPK/g tanah) dan fluks CH4 (mg CH4C/m2/jam)
Respirasi (mg CO2-C/kg tanah/hari)
total.
Fluks CH4
Gambar 4.29. Hubungan antara populasi mikroba total, respirasi dan fluks CH4 Webster dan Hopkins (1996) menyatakan bahwa emisi bersih N2O dari tanah bergantung pada laju pembentukan N2O, laju difusi keluar dari tanah serta laju konsumsi N2O selama proses denitrifikasi. Pembentukan N2O berasal dari proses denitrifikasi, nitrifikasi, proses biologis yg lain serta denitrifikasi secara kimiawi. Mengetahui korelasi antara mikroba tanah yang berperan dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi terhadap fluks N2O sangat membantu memahami proses pembebasan N2O dari tanah sawah. Kajian korelasi antara fluks dan emisi N2O dengan sifat biologi tanah yaitu mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter maupun denitrifier disajikan pada Tabel 4.11. Pada 0 MST fluks N2O berkorelasi nyata dengan mikroba total, Nitrobacter dan nitrifier. Nitrobacter adalah bakteri pengoksidasi nitrit, korelasi yang nyata antara nitrobacter dengan fluks N2O menunjukkan kontribusi proses antara nitrifikasi terhadap pembentukan N2O. Hal tersebut didukung oleh korelasi nyata antara nitrifier dengan fluks N2O. Fakta korelasi nyata antara nitrobacter dan nitrifier dengan fluks N2O menegaskan pentingnya kontribusi proses nitrifikasi terhadap pembebasan N2O. Korelasi nyata antara denitrifier dengan fluks N2O
78
pada 0 MST menjelaskan peran denitrifikasi sebagai salah satu sumber N2O tanah. Hal yang menarik adalah korelasi nyata antara mikroba total terhadap fluks N2O. Mikroba total meliputi nitrifier, denitrifier serta mikroba yang lain termasuk fungi. Korelasi nyata mikroba total dengan fluks N2O, mengisyaratkan bahwa pada tanah sawah, selain nitrifikasi dan denitrifikasi juga terdapat proses biologis yg lain yang berkontribusi terhadap fluks N2O. Tabel 4.11. Korelasi fluks N2O dengan populasi mikroba tanah Korelasi fluks N2O dengan sifat biologi tanah pada minggu ke 0 4 8 12 gabungan Mikroba total 0.546* -0.234 -0.088 0.198 0.180 Nitrosomonas 0.207 0.124 0.251 0.283 0.077 Nitrobacter 0.520* 0.059 0.167 0.288 -0.061 Nitrifier 0.523* 0.126 0.260 0.336 0.051 Denitrifier 0.510* -0.484* 0.371 0.164 -0.280* n 24 24 24 24 96 Korelasi nyata antara denitrifier dengan fluks N2O pada 0, 4 MST serta pada seluruh gabungan menunjukkan pentingnya peranan denitrifier dalam fluks N2O. Korelasi negatif antara denitrifier dengan fluks N2O menunjukkan bahwa proses denitrifikasi mampu mengurangi fluks N2O melalui proses konsumsi N2O selama proses denitrifikasi. Hal ini senada dengan pendapat Webster dan Hopkins (1996) bahwa pada tanah sawah, dari total produksi N2O, 82% dikonsumsi oleh oleh denitrifier dan 18% diemisikan. Denitrifikasi mampu berperan baik sebagai penghasil N2O maupun penkonsumsi N2O. Dalam kenyataannya proses nitrifikasi dan denitrifikasi merupakan proses yang saling berkaitan, begitu pula antara populasi nitrifier dan denitrifier. Dominasi amonium terhadap nitrat, dominasi nitrosomonas pada nitrifier seperti yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
menguatkan
interaksi
nitrifikasi
dan
denitrifikasi pada pengelolaan fluks N2O pada tanah sawah. Wrage et al. (2001) menjelaskan bahwa produksi N2O pada tanah melibatkan proses nitrifikasi (baik oleh nitrifier ototrof maupun heterotrof), denitrifikasi, pasangan nitrifikasidenitrifikasi,
kemodenitrifikasi
maupun
denitrifikasi
oleh
nitrifier
(nitrifier
denitrification). Fenomena yang terakhir yaitu nitrifier denitrification merupakan perkembangan yang berdasar pada fakta bahwa nitrifier tidak hanya melakukan proses nitrifikasi namun juga sekaligus proses denitrifikasi. Konsep nitrifier denitrification ini dikembangkan sebagai teknologi baru pada pengelolaan limbah
79
cair
melalui
teknik
OLAND
(Oxygen-Limited
Autotrophic
Nitrification-
Denitrification) dan ANAMMOX (Anaerobic Ammonium Oxidation). Pada tanah sawah, kegiatan penggenangan mengubah sifat kimia, sifat mikrobiologis dan kapasitas penyediaan hara oleh tanah. Kondisi ini menciptakan perbedaan lingkungan makro dan mikro yang meliputi status redoks, sifat fisik, hara dan penetrasi cahaya yang memungkinkan skala luas mikroba untuk aktif (Roger et al., 1993). Nakajima et al. (2005) melaporkan tidak ada korelasi antara aktivitas denitrifikasi dengan fluks N2O. Pada tanah masam Pasirmayang Jambi, disimpulkan nitrifier heterotrof sebagai kontributor utama emisi N2O. Sedikit sekali pengoksidasi amonium autotrof dan pengoksidasi nitrit autotrof, yang dominan justru nitrifier heterotrof. Dari hasil penelitian ini dapat disintesis bahwa fluks N2O pada tanah sawah berasal baik dari proses nitrifikasi maupun denitrifikasi. Hubungan antara populasi mikroba denitrifier dan nitrifier dan fluks N2O secara simultan disajikan pada Gambar 4.30. Pada minggu ke 0 hingga 4 peningkatan populasi mikroba nitrifier dan denitrifier seiring dengan peningkatan fluks N2O, hal ini ditunjang dengan ketersediaan N dalam bentuk amonium dan nitrat. Interaksi konsentrasi N, populasi mikroba mempengaruhi fluks N2O. Dominasi amonium terhadap nitrat, dominasi nitrosomonas terhadap nitrifier
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Populasi mikroba
4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 0
4 8 Minggu setelah tanam Nitrifier
Denitrifier
Fluks N2O
memperkuat pendapat tentang kontribusi proses nitrifikasi terhadap fluks N2O.
12 N2O
Gambar 4.30. Hubungan antara populasi mikroba denitrifier, nitrifier dan fluks N2O
80
Hubungan Sifat Tanah, Hasil Tanaman dengan Fluks CH4 serta N2O Fluks CH4 sangat erat berkaitan dengan sifat tanah. Pembentukan CH4 berlangsung pada suasana Eh yang rendah. Pada banyak penelitian Eh tanah berkorelasi negatif dan sangat nyata dengan fluks CH4, namun pada penelitian ini korelasi antara Eh dengan fluks CH4 sangat rendah dengan pola yang tidak beraturan. Berturut-turut nilai korelasi pada 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST dan gabungan adalah 0.231 (n=12), -0.303 (n=24), 0.041 (n=24), -0.245 (n=36), -0.179 (n=36), 0.025 (n=36), 0.190 (n=24) dan 0.068 (n=192). Pada 2 MST, nilai korelasi
agak tinggi sebesar -0.303, n=24 namun selang kepercayaan lebih dari 5% sehingga belum bermakna dalam menjelaskan keeratan hubungan antar parameter. Kondisi ini sangat berbeda dengan hasil penelitian awal yang menunjukkan korelasi Eh tanah – fluks CH4 sebesar -0.982 (n=15) pada kondisi Eh dan CH4 yang sangat beragam pada macam budidaya tanaman yang berbeda. Begitu pula keeratan hubungan antara fluks CH4 dengan C-organik tanah sangat rendah. Kandungan C-organik tanah sebagai sumber karbon dalam pembentukan CH4 mestinya berkorelasi nyata positif terhadap fluks CH4. Pengembalian jerami sebesar 6 ton BKM ha-1 tidak menyebabkan variasi kandungan C-org yang besar dalam tanah. Sifat tanah yang berkorelasi positif secara sangat nyata terhadap fluks CH4 adalah Fe tanah tersedia pada 4 MST yaitu sebesar 0.606** (n=24, p≤0.01) yang disajikan pada Gambar 4.31. Peningkatan Fe tersedia ini berkorelasi dengan kandungan C-organik tanah dengan r = 0.342 (n=24). Fe tersedia yang terekstrak dengan pengekstrak Morgan kebanyakan adalah bentuk besiII.
-2
-1
Fluks CH 4 (mg CH 4 -C m jam )
50
40
y = 0.1374x - 12.411 2 R = 0.367
30
20
10
0 0
50
100
150
200
250
300
350
-10
Fe tanah tersedia (ppm)
Gambar 4.31. Hubungan antara konsentrasi Fe tanah tersedia dengan fluks CH4 pada 4 MST (n=24)
81
Furukawa dan Inubushi (2004) menjelaskan pada tanah sawah, besi oksida merupakan aseptor elekton yang terpenting.
Pada tanah yang kaya
dengan besi oksida dari FeIII, peningkatan emisi metana oleh penambahan bahan organik dapat ditekan. Pada lokasi penelitian kandungan besi pada sebelum penggenangan sebesar 20 ppm penambahan jerami 6 ton per hektar tidak berpengaruh drastis terhadap peningkatan fluks CH4. Pemberian jerami cenderung meningkatkan Fe terlarut (Gambar 4.32), reduksi besi mampu menekan pembentukan CH4 (Yao dan Conrad, 2000). Peningkatan Fe terlarut pada penambahan jerami segar lebih tinggi dibanding dengan kompos. Pengantian pembenaman jerami segar dengan kompos di Jepang mampu menurunkan emisi sebesar 22-89% (Yagi, 2005). Tidak terdapat korelasi yang kuat antara fluks dan emisi N2O dengan sifat tanah yang diamati baik dari pH, Eh maupun kandungan amonium dan nitrat tanah. Selain kombinasi pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N diperlukan alternatif lain untuk menekan emisi N2O. Van der Weerden et al. (1999) menyatakan korelasi negatif yang kuat (r=-0.82) antara pH tanah dengan ratio N2O:(N2O+N2) pada legum. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebagai cara mitigasi emisi N2O yang lebih murah dengan pengelolaan pH misalnya dengan pengapuran pada lahan kering (Klemedtsson et al., 1997). Xu et al. (2002), melaporkan penambahan penghambat nitrifikasi DCD yang dikombinasikan dengan HQ nyata mampu meningkatkan pertumbuhan padi dan menekan emisi N2O serta CH4 selama pertumbuhan tanaman padi. 200
20 150 Fe (ppm)
15 100
10 5
50 0
0 CR
F5
0
ea
F3 CR
n to 6
Ur
-1 ha
ha n to 0
ac M
Te
rg
en
an
-1
-5 g ak -m ac ak
0
Fluks CH 4 (mg CH 4 -C m -2 jam -1)
25
Perlakuan
Fe
CH4
Gambar 4.32. Konsentrasi besi dan fluks CH4 pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen (4 MST)
82
Korelasi antara pertumbuhan dan hasil padi yaitu jumlah anakan, bobot jerami serta bobot gabah terhadap emisi CH4 dan N2O juga sangat rendah. Korelasi fluks CH4 dengan jumlah anakan, bobot jerami serta bobot gabah masing-masing sebesar -0.044, -0.123 dan -0.029 sedangkan terhadap fluks N2O masing-masing sebesar -0.166, -0.072 dan -0.028 dengan n masing-masing sebesar 36. Shin dan Yun (2000) juga melaporkan tidak adanya korelasi yang nyata antara berat kering jerami dengan fluks CH4 pada beberapa kultivar padi di Korea. Hasil ini tidak selaras dengan hasil penelitian peneliti lain yang menghasilkan korelasi dengan komponen secara nyata positif. Antar kombinasi perlakuan yang dicobakan menghasilkan lingkungan pertumbuhan tanaman yang kurang bervariasi keragamannya sehingga daya dukung terhadap pertumbuhan
14
120
12
100
10
80
8
60
6
40
4
20
2
0
0
3.5 3 2.5
80
2
60
1.5
40
1
20
0.5
Hari ke
Suhu (oC)
-1
jam )
85
71
57
43
29
0 15
0
-1
120
jam )
4 -2
Fluks CH4
Fluks N2O (ug N2O-N m
CH (mm)
100
(mm)
Fluks CH4 (mg CH4-C m
85
71
57
Suhu (oC)
140
1
o
Suhu ( C) dan Curah hujan
Hari ke
43
1
29
-2
140
15
(mm)
o
Suhu ( C) dan Curah hujan
dan hasil tanaman padi serta fluks CH4 dan N2O yang kurang beragam pula.
CH (mm)
FluksN2O
Gambar 4.33. Suhu udara, curah hujan dan fluks CH4 serta N2O hingga12 MST
83
Parameter agronomi tanaman padi yang erat berhubungan dengan fluks CH4 dan N2O adalah eksudat akar dan daya oksidasi akar. Kultivar padi yang mempunyai sedikit anakan tidak produktif, sistem perakaran terbatas, aktivitas oksidasi perakaran tinggi serta indeks panen yang tinggi sangat ideal untuk mitigasi CH4 dan N2O pada tanah sawah (Wang dan Adachi, 2000). Data suhu udara harian, curah hujan harian dan fluks N2O serta CH4 selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 4.33. Pola hubungan antara curah hujan dan suhu udara harian dengan fluks kedua gas yang diamati tidak jelas. Fluks N2O serta CH4 lebih berkaitan dengan stadia pertumbuhan tanaman padi.
Hubungan antara Fluks CH4 dan N2O Pola keterkaitan antara fluks CH4 dan N2O selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 4.34. Pada periode 0 hingga 4 MST, nampak laju fluks CH4 dan N2O sejalan dengan pertumbuhan padi. Ketersediaan substrat berupa karbon tersedia dalam tanah dan N tanah mendukung peningkatan fluks CH4 dan N2O. Pada periode 4 hingga 6 MST laju fluks CH4 dan N2O saling berlawanan, pada fluks CH4 masih terjadi peningkatan yang berkaitan dengan periode
pertumbuhan
vegetatif
cepat
yaitu
fase
pembentukan
anakan
maksimum. Eksudat akar yang kaya dengan karbon mudah tersedia dikonversi menjadi CH4. Pada periode pertumbuhan vegetatif cepat diikuti dengan serapan N maksimum yang mengurangi ketersediaan N tanah bagi proses denitrifikasi yang ditandai dengan penurunan fluks N2O. Pada periode 6 hingga 12 MST fluks CH4 dan N2O sama-sama menuju konstan. Pola keterkaitan antara emisi CH4 dan N2O dengan perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N disajikan pada Gambar 4.35. Pengurangan air mengurangi emisi CH4 namun meningkatkan emisi N2O. Pengurangan air menyebabkan pengurangan suasana anaerobik, sehingga memberikan kesempatan proses oksidasi CH4 yang menyebabkan penurunan emisi CH4. Kondisi tersebut juga meningkatkan peluang oksidasi amonium menjadi nitrat yang mampu memicu proses pembentukan N2O, melalui hasil antara proses nitrifikasi maupun denitrifikasi dari nitrat. Pengembalian jerami meningkatkan emisi keduanya. Jerami dengan C/N ratio 34.9 mampu menambah ketersediaan substrat karbon dan N mudah tersedia yang memacu kerja mikroba yang berperan dalam pembentukan CH4 dan N2O sehingga meningkatkan emisi
84
keduanya. Semakin lambat pelepasan pupuk meningkatkan emisi CH4, dan
8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2
25 20 15 10 5 0 -5
0
2
4
6
8
Umur tanaman (MST)
10
12
Fluks CH4
Fluks N2O (ug N2O-N m-2 jam-1)
Fluks CH4 (mg CH4-C m-2 jam-1)
membentuk pola hiperbolik dengan emisi N2O.
Fluks N2O
Gambar 4.34. Keterkaitan fluks CH4 dan N2O selama pertumbuhan tanaman padi
Total fluks CH4 ( kg CH4-C /ha/12 minggu) Total fluks N2O ( g N2O-N /ha/12 minggu)
300 250
Fluks
200 150 100 50
F5 0 R C
F3 0 R C
re a U
ha -1 6
to n
ha -1 to n
-50
0
Te rg en an g M ac ak -m ac ak
0
Perlakuan
Gambar 4.35. Keterkaitan emisi CH4 dan N2O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Pola keterkaitan antara emisi CH4 dan N2O dengan kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N disajikan pada Gambar 4.36. Pola hubungan antara emisi CH4 dan N2O tidak terlalu jelas, peningkatan emisi CH4
85
tidak selalu diikuti dengan peningkatan atau penurunan emisi N2O secara konsisten. Tidak dijumpai kombinasi perlakuan yang mampu menurunkan emisi CH4 dan N2O secara bersamaan. Korelasi antara emisi CH4 dan N2O menunjukkan nilai yang rendah yaitu r=-0.126, n=36 (Gambar 4.37). Terjadi gejala ringan saling berlawanan antara emisi CH4 dan N2O.
Total fluks CH4 ( kg CH4-C /ha/12 minggu) Total fluks N2O ( g N2O-N /ha/12 minggu)
300 250 200 150 100 50
3
2
W 1B 2N
W 1B 2N
2
1
W 2B 1N
3
W 1B 2N
1
W 2B 1N
3
W 1B 1N
W 1B 1N
1
3
W 2B 1N
2
W 2B 2N
2
W 1B 1N
-50
W 2B 2N
W 2B 2N
1
0
Gambar 4.36. Keterkaitan emisi CH4 dan N2O pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Hubungan antara total fluks CH 4 dan N 2O 150 y = -0.0427x + 30.804 2 R = 0.0159
Total fluks N 2O
100 50 0 0
100
200
300
400
500
600
-50 -100 Total fluks CH 4
Gambar 4.37. Hubungan antara emisi CH4 dan N2O (n=36) Penilaian fluks CH4 dan N2O pada tanah sawah didasarkan pada potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali emisi masing-masing gas
86
terhadap indeks GWPnya.
Dari keseluruhan kombinasi perlakuan yang
dicobakan, kontribusi CH4 dan N2O terhadap GWP gabungannya masing-masing sebesar 99.57±0.93% dan 0.43±0.93% (n=36). Fakta ini menunjukkan dominansi peran CH4 terhadap GWP dari tanah sawah. Implikasi praktis dari hasil kajian ini adalah, mitigasi GRK pada tanah sawah bertumpu pada mitigasi CH4. Pengelolaan irigasi secara macak-macak dan penggunaan pupuk urea yang mampu menurunkan fluks CH4 dapat digunakan sebagai upaya mengurangi GWP dari tanah sawah. Data GWP dari perlakuan yang dicobakan disajikan pada Gambar 4. 38 dan Tabel 4.12. Tabel 4.12. Kontribusi CH4 dan N2O terhadap GWP dari kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Emisi Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
CH4 (kg CH4-C) 153.25 122.78 130.45 171.38 233.37 251.99 129.05 175.47 159.18 76.66 78.34 128.19
GWP (setara kg CO2/ha)
N2O (g N2O-N ) -2.50 4.06 23.39 32.20 30.80 8.13 26.91 31.54 29.44 22.78 67.95 12.25
Kontribusi terhadap GWP (%)
CH4
N2O
CH4 + N2O
CH4
N2O
CH4 + N2O
3524.70 2824.00 3000.30 3941.65 5367.40 5795.85 2968.06 4035.73 3661.23 1763.27 1801.89 2948.36
-0.74 1.20 6.92 9.53 9.12 2.41 7.97 9.33 8.71 6.74 20.11 3.63
3523.96 2825.20 3007.22 3951.18 5376.51 5798.26 2976.02 4045.06 3669.94 1770.02 1822.00 2951.99
100.02 99.96 99.77 99.76 99.83 99.96 99.73 99.77 99.76 99.62 98.90 99.88
-0.02 0.04 0.23 0.24 0.17 0.04 0.27 0.23 0.24 0.38 1.10 0.12
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Pengurangan air hingga macak-macak mampu mengurangi 24% GWP dibanding penggenangan. Penambahan bahan organik memberikan peningkatan GWP sebesar 11.34 % dibanding tanpa jerami. Pemberian slow release fertilizer meningkatkan 10.87 – 21.57 % GWP dibanding urea. Di antara perlakuan yang dicobakan
urutan
kemampuannya
dalam
mempengaruhi
GWP
adalah
pengelolaan air, pengelolaan pupuk N baru pengembalian jerami. Perlakuan W2B2N1 pengairan macak-macak, pengembalian jerami dan pupuk urea mampu mengurangi 49.77% GWP dibanding perlakuan kontrol W1B1N1 yaitu pengairan tergenang, tanpa pengembalian jerami dan pupuk urea.
87
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
0
F5 0 C R
6
to n
C R
U re a
ha -1
ha -1 to n
F3 0
0
Te rg en an g M ac ak -m ac ak
GWP (setara kg CO 2/ha/12 minggu)
GWP CH4 dan N2 O
Perlakuan
(a)
10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
3
2
W 2B 2N
W 2B 2N
1
W 2B 2N
3
2
W 2B 1N
1
W 2B 1N
W 2B 1N
3
W 1B 2N
2
1
W 1B 2N
3
W 1B 2N
W 1B 1N
W 1B 1N
W 1B 1N
2
0
1
GWP (setara kg CO 2/ha/12 minggu)
GWP pada berbagai kombinasi perlakuan
Perlakuan
(b) Gambar 4.38. Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap GWP pada tanah sawah (a) dan GWP pada berbagai kombinasi perlakuan (b)
88
Pembahasan Umum Dari kajian metana dan mikroba tanah pada beberapa pertanaman, nampak bahwa fluks CH4 pertanaman lahan kering yang sangat rendah dan padi sawah mempunyai fluks CH4 yang paling tinggi. Perunutan lebih lanjut menunjukkan bervariasinya mikroba tanah pada masing-masing pertanaman. Perbedaan sifat tanah yang mendasar antara lahan sawah dan non sawah pada hamparan yang sama adalah pada perilaku Eh dan pH tanah, di mana lahan sawah memiliki Eh yang rendah bahkan negatif dan pH yang lebih tinggi. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan perbedaan daya dukung terhadap pertumbuhan mikroba tanah. Terdapat hubungan yang spesifik antara karakteristik tanah dengan mikroba yang tumbuh di dalamnya, misalnya hubungan antara pH tanah dengan denitrifier. Tanah bukanlah suatu media yang statik dan homogen, bahkan tanah digambarkan sebagai laboratorium yang dinamis. Dugaan awal bahwa lahan non sawah didominasi oleh nitrifier dan lahan sawah lebih kaya dengan denitrifier tidak sepenuhnya benar. Adanya site-site yang khusus serta kemampuan adaptasi mikroba, nitrifier juga dijumpai pada rizosfer padi dan denitrifierpun dijumpai pada lahan non sawah. Pemahaman tentang perilaku mikroba fungsional dalam tanah sangat membantu dalam pemahaman dinamika hara dalam siklus hara misalnya dinamika amonium-nitrat dengan implikasi agronomis maupun dampaknya terhadap kualitas lingkungan. Penilaian keeratan hubungan antara karakteristik kimia tanah dan biologi tanah membantu membuat langkah perencanaan pengelolaan lahan. Kompleksitas perilaku hubungan pH, Eh, kadar air, denitrifier, fluks CH4, dapat disederhanakan. Hasil studi menunjukkan bahwa pengelolaan air menjadi salah satu kunci utama pengelolaan potensial redoks yang berkaitan erat dengan pH tanah, dinamika nitrifikasi - denitrifikasi serta pembentukan dan emisi CH4. Pentingnya peranan sawah untuk pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia dan potensi meningkatkan konsentrasi CH4 dunia, perlu diikuti dengan penyesuaian teknik budidaya. Dengan mengaplikasikan model pengelolaan air pada tanah sawah yang telah dikembangkan dikaji lebih lanjut pengaruhnya terhadap performansi produksi dan fluks CH4. Pengurangan air hingga kondisi macak-macak ternyata mampu menghasilkan berat gabah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan intermiten, penggenangan sekitar 5 cm bahkan
89
penggenangan sekitar 10 cm yang banyak diterapkan petani.
Telaah
pengelolaan air pada padi sawah banyak dikaitkan dengan masalah efisiensi pemakaian air. Kombinasi informasi ini semakin menguatkan perlunya upaya pengelolaan air pada lahan sawah dengan pendekatan yang lebih holistik yaitu efisiensi sumber daya alam sekaligus pengurangan emisi GRK. Pengurangan air mempengaruhi dinamika mikroba pada tanah sawah, mengurangi fluks CH4 serta tidak menurunkan hasil tanaman padi. Pada banyak kajian perlakuan air dengan cara intermiten maupun macak-macak mampu menurunkan fluks CH4 secara drastis, namun pada penelitian ini hanya perlakuan macak-macak yang mampu menunjukkan pengurangan fluks CH4. Dinamika mikroba yang diamati belum mampu menjawab permasalahan karakteristik tanah dan fluks CH4. Hubungan yang jelas hanya dijumpai pada dinamika mikroba transformasi N dengan dinamika amonium-nitrat. Hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas dinamika CH4 di lahan sawah. Integrasi pengelolaan
air,
ketersediaan
senyawa
organik
melalui
pengelolaan bahan organik, ketersediaan nitrat melalui pengelolaan pupuk N dipandang cukup komprehensif sebagai dasar pengelolaan emisi CH4 dan N2O pada
lahan
sawah.
Hasil
studi
menunjukkan
pada
penanaman
yang
dilaksanakan pada musim hujan ini perlakuan macak-macak menunjukkan keunggulannya. Perbedaan emisi CH4 antara perlakuan penggenangan dan macak-macak pada musim penghujan tidak sebesar pada musim kemarau, hal ini berkenaan dengan rutinnya penambahan air melalui curah hujan termasuk pada perlakuan macak-macak. Fluks CH4 pada musim penghujan lebih tinggi dibanding pada penanaman musim kemarau (Gambar 4.39).
-1
10
Fluks CH 4 (mg CH 4 -C m jam )
12
-2
14
MH (Des 04-Maret 05)
MK (Juni-Okt 04)
8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
Umur tanam (MST)
Gambar 4.39. Fluks CH4 antar musim tanam padi
90
Pengamatan lapang di lahan petani sekitar petak percobaan pada musim penghujan, cukup banyak tanaman padi pertumbuhannya terhambat pada perlakuan tanah tergenang. Beberapa lahan bahkan sangat parah sehingga digagalkan dengan cara dibiarkan tanpa pemeliharaan. Perunutan lanjut menunjukkan
bahwa
penggenangan
kontinyu
pada
musim
penghujan
menyebabkan penurunan potensial redoks yang drastis dan menyebabkan peningkatan kelarutan besi. Serapan besi yang berlebihan menyebabkan tanaman keracunan dan menunjukkan gejala bronzing disease. Pada kondisi tersebut konsentrasi Fe dalam tanah mencapai 180 ppm. Konsentrasi Fe dan Mn pada akar mencapai 1467 dan 249 ppm, sedangkan konsentrasi Fe dan Mn pada tanaman padi mencapai 985 dan 49
ppm. Gejala tersebut sangat sedikit
dijumpai pada perlakuan macak-macak. Penelitian lapang ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran secara langsung, karena petani juga dapat langsung menyimpulkan bahwa perlakuan macak-macak membuat tanaman lebih sehat dan kemudian diterapkan pada lahan mereka. Perlakuan macak-macak mampu meningkatkan hasil gabah, menurunkan emisi CH4 namun meningkatkan emisi N2O. Pembenaman jerami segar yang banyak disinyalir menurunkan Eh tanah secara drastis dan memicu peningkatan fluks CH4 pada perlakuan ini ternyata tidak terbukti. Penambahan jerami pada tanah dengan kandungan bahan organik yang sangat rendah seperti pada lahan percobaan ini sangatlah diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas tanah. Penambahan jerami juga merupakan kunci dari siklus karbon secara global. Karbon yang ditambahkan ke dalam tanah melalui penambahan bahan organik akan berkurang dari tanah dalam bentuk karbon larut dalam air melalui drainase dan perkolasi serta hilang dalam bentuk gas melalui kegiatan respirasi dan emisi CH4. Dari hasil percobaan ternyata pengembalian jerami mampu meningkatkan gabah namun sekaligus sedikit meningkatkan emisi CH4 dan N2O. Sehingga perlu dikombinasikan dengan metode lain untuk mendapatkan kemanfaatan maksimal. Pemilihan pupuk N pada tanaman sawah didasarkan pada beberapa aspek di antaranya harga persatuan bobot unsur, bentuk senyawa N, tingkat pelepasan serta reaksinya dalam tanah. Bentuk pupuk N yang paling banyak digunakan
petani
adalah
pupuk
urea.
Kajian
bentuk
pupuk
dengan
memperbandingkan urea dengan CRF ternyata tidaklah menunjukkan perbedaan
91
yang berarti. CRF dirancang sebagai pupuk N berpelepas lambat berupa polyolefin coated urea. Pupuk yang dirancang pada daerah subtropis dengan fluktuasi suhu dan curah hujan yang lebih sempit dengan di daerah tropik ini nampaknya tidak mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal. Bahkan ada kecenderungan peningkatan fluks CH4 dan N2O oleh pupuk tersebut. Penggunaan pupuk urea dengan cara di split dan diupayakan mencapai daerah reduksi sudah cukup memadai untuk menopang pertumbuhan tanaman padi dengan hasil yang cukup. Secara keseluruhan pertanaman padi yang kedua pada musim penghujan menunjukkan tingkat hasil yang lebih rendah dibanding penanaman pada musim kemarau (5-6 ton/ha). Peningkatan jarak tanam dari 20 cm x 20 cm menjadi 25 cm x 25 cm untuk mengantisipasi tingkat kelembaban yang tinggi di sela tanaman tidak menunjukkan hasil. Hasil gabah pada musim penghujan 3.662±1.766 ton/ha masih bisa lebih ditingkatkan lagi. Dari aspek dinamika mikroba, kembali yang nampak jelas adalah hubungan antara mikroba transformator N terutama dari kelompok nitrifier. Penilaian aktivitas mikroba dengan pendekatan parameter respirasi perlu diikuti dengan parameter lain misal Cmic ataupun diversitas mikroba. Dinamika mikroba untuk pendugaan fluks metana sangat sulit didekati dari analogi reduksi nitrat (denitrifier) maupun total mikroba. Diperlukan pengamatan metanogen dan metanotrof untuk lebih memahami dinamika CH4. Fluks N2O berkorelasi erat dengan populasi mikroba total, nitrifier dan denitrifier, menunjukkan peranan nitrifikasi, denitrifikasi terhadap fluks N2O. Dari aspek keterkaitan fluks CH4 dan N2O yang menunjukkan gejala ringan saling menekan antar keduanya, memungkinkan disimulasikannya suatu model yang mampu mengkombinasikan total
fluks kedua gas tersebut.
Perimbangan emisi CH4 dan N2O pada suatu nisbah tertentu perlu dicari untuk membangun model/teknik budidaya padi dengan emisi GRK yang rendah. Menarik untuk disimak adalah hasil kajian yang dilakukan Santoso (2005) dengan mempergunakan runtun data 1980, 1990 dan 2000. Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional melalui upaya swasembada beras berdampak pada peningkatan emisi GRK setara 212 642 ton karbon (tahun 2000) dengan biaya eksternalitas sebesar Rp. 274.123 milyar (asumsi harga karbon US$ 7.5 per ton) atau sebesar Rp. 101.8 per kg gabah kering giling. Apabila biaya eksternalitas tersebut sepenuhnya dibebankan kepada konsumen maka harga gabah kering
92
giling pada tahun tersebut seharusnya terkoreksi 8.23 persen lebih tinggi. Selanjutnya disarankan implikasi kebijakan yang bisa segera diambil adalah dihasilkannya paket rekomendasi budidaya padi yang rendah emisi GRK. Dari kajian hubungan antara CH4 dan N2O didapatkan informasi menarik, dominansi CH4 sebagai penyumbang GWP dan efek GRK yang didekati dengan GWP dapat dikurangi dengan pengurangan air irigasi hingga macak-macak dan pupuk urea. Pengembalian jerami untuk pemeliharaan produktivitas tanah dapat dilakukan dengan pencacahan kasar dan pendekomposisian awal dengan peningkatan GWP yang tidak terlalu drastis. Dari kombinasi perlakuan yang dicobakan, perlakuan W2B2N1 (macakmacak, jerami, urea) dapat diandalkan untuk mencapai produksi padi tinggi, emisi CH4 dan N2O yang relatif rendah dan GWP yang rendah. Efektivitas kombinasi perlakuan ini juga dapat dikaji melalui nisbah emisi terhadap bobot gabah yang relatif rendah. Pengelolaan air secara macak-macak dan penggunaan pupuk urea dapat mengimbangi pengaruh negatif pembenaman bahan organik jerami. Secara kuantitatif kombinasi perlakuan ini mampu meningkatkan bobot gabah sebesar 114.75% serta menurunkan GWP sebesar 49.77%. Kombinasi perlakuan ini diharapkan memperkaya pilihan dalam rangka menghasilkan paket rekomendasi budidaya padi yang rendah emisi GRK.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari serangkaian kajian yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan berikut: 1. Antar pertanaman padi sawah, sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung tidak dijumpai proporsi Nitrosomonas, Nitrobacter, denitrifier maupun total propagul yang spesifik. Padi sawah menghasilkan fluks CH4 paling tinggi, sementara sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung menghasilkan fluks CH4 yang lebih rendah. 2. Fluks CH4 pada perlakuan macak-macak paling rendah yaitu sebesar 1.30 mg CH4 m-2 jam-1 , sedangkan pada perlakuan intermiten/berselang, penggenangan 5
cm dan penggenangan 10 cm lebih tinggi, berturut-turut sebesar, 5.79, 5.22 and 6.55 mg CH4 m-2 jam-1.
3. Kombinasi perlakuan pengelolaan macak-macak, pengembalian jerami dan pupuk urea menghasilkan fluks CH4 dan N2O yang rendah dan hasil padi tinggi. Bobot gabah yang dihasilkan sebesar 5.44 ton ha-1, total fluks CH4 76.66 kg CH4-C ha-1, N2O 22.78 g N ha-1 dengan GWP setara dengan 1770 kg CO2 ha-1. Terjadi peningkatan bobot gabah 114.75%, penurunan total fluks CH4, N2O dan GWP masing-masing sebesar 49.97%, 76.7% dan 49.7% terhadap kontrol yaitu perlakuan penggenangan, tanpa pengembalian jerami dan pupuk urea. 4. Populasi mikroba tidak mempengaruhi fluks CH4, namun mempengaruhi fluks N2O. Fluks N2O berkorelasi nyata dengan populasi mikroba total, nitrifier dan denitrifier. 5. Penurunan fluks CH4 pada tanah sawah bertendensi diikuti peningkatan fluks N2O, kontribusi CH4 terhadap GWP sangat dominan dibanding dengan N2O. Saran 1. Diperlukan perlakuan yang mampu memberikan selang yang cukup luas terhadap faktor yang mempengaruhi fluks CH4 dan N2O seperti Eh, kandungan bahan organik tanah, Fe tanah sehingga variasi fluks CH4 dan N2O lebih luas dan studi tentang fluks ini dapat diperdalam. 2. Diperlukan pemilihan parameter mikroba selektif yang terlibat dalam fluks CH4 misalnya kelompok metanogen dan metanotrof. Sedangkan untuk mikroba yang terlibat dalam fluks N2O yang meliputi mikroba pengoksidasi amonium, pengoksidasi nitrit dan pereduksi nitrat, diperlukan kajian yang lebih detail tentang karakterisasinya.
94 3. Untuk
menerapkan
kombinasi
perlakuan
pengelolaan
macak-macak,
pengembalian jerami dan pupuk urea sebagai rekomendasi teknik budidaya padi rendah emisi GRK perlu diikuti dengan teknik aplikasi jerami yang praktis, terdekomposisi dan dicacah. 4. Berdasarkan kajian yang dilakukan, kontribusi CH4 terhadap GWP dari tanah sawah sangat dominan dibanding dengan N2O, sehingga mitigasi GRK dari tanah sawah hendaknya ditumpukan pada upaya mitigasi CH4.
94
DAFTAR PUSTAKA Abas, A. 1985. Pengaruh pengelolaan air, pengolahan tanah dan dosis pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah. Pros. No. 1/Pen. Tanah/1980 :189-200. Abas, A., A. Abdurachman. 1986. Pengaruh pengelolaan air, pengolahan tanah dan pemupukan terhadap padi sawah. Pros. No. 2/Pen. Tanah/1981:277295. Abas, A., Sudradjat. 1987. Pengaruh cara pengairan dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Pros. No. 4/Pen. Tanah/1984:487505. Abbasi, M.K., W.A. Adams. 2000. Estimation of simultaneous nitrification and denitrification in grassland soil assosiated with urea-N using 15N and nitrification inhibitor. Biol Fertil Soils 31:38-44. Agbenin, J. O., E. B. Agbaji, I. Suleiman, A. S. Agbaji. 1999. Assessment of nitogen mineralization potential and availability from neem seed residue in a savanna soil. Biol Fertil Soils 29: 408-412. Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Anas, I. 1989. Biologi Tanah Dalam Praktek. IPB, Bogor. Arcara, P. G., C. Gamba, D. Bidini, R. Marchett1. 1999. The effect of urea and pig slurry fertilization on denitrification, direct nitrous oxide emission, volatile fatty acids, water-soluble carbon and anthrone-reactive carbon in maize-cropped soil from the Po Plain (Modena Italy). Biol Fertil Soils 29: 270-276. Arth, I., P. Frenzel. 2000. Nitrification and denitrification in the rhizosphere of rice: the detection of processes by a new multi-channel electrode. Biol Fertil Soils 31:427-435. Asakawa, S., K. Hayano. 1995. Populations of methanogenic bacteria in paddy field soil under double cropping conditions (rice-wheat). Biol Fertil Soils 20:113-117. Azam, F., C. Müller, A. Wieske, G. Beneckiser, J.C.C. Ottow. 2002. Nitrification and denitrification as sources of atmospheric nitrous oxide-role of oxidizable carbon and applied nitrogen. Biol Fertil Soils 35:54-61. Bird, J. A., W. R. Horwath, A. J. Eagle, C. van Kessel. 2001. Immobilization of fertilizer nitrogen in rice: effects of straw management practices. Soil Sci. Soc Am J 65:1143-1142.
96
BPS (Biro Pusat Statistik / Indonesian Statistics Berau). 2005. Statistics. BPS Statistics of Indonesia.
Food Croop
Carnol, M., P. Ineson. 1999. Environtmental factors controlling NO3- leaching, N2O emissions and number of NH4+ oxidiers in a coniferous forest soil. Soil Biol Biochem 31:979-990. Chang, C., H. H. Janzen, C. M. Cho, E. M. Nakonechny. 1998. Nitrous oxide emission through plants. Soil Sci Soc Am J 62: 35-38. Chen, X., P. Boeckx, S. Shen, O. Van Cleemput. 1999. Emission of N2O from rye grass (Lolium perenne L.) Biol Fertil Soils 28:393-396. Cheng, W., Q. Zhang, D.C. Coleman, C.R. Carroll, C.A. Hoffman. 1996. Is available carbon limiting microbial respiration in the rhizosphere? Soil Biol Biochem 28:1283-1288. Chèneby, D., A. Hartman, C. Hènault, E. Topp, J. C. Germon. 1998. Diversity of denitrifying microflora and ability to reduce N2O in two soils. Biol Fertil Soils 28:19-26. Clayton., H., I. P. McTaggart, J. Parker, L. Swan, K. A. Smith. 1997. Nitrous oxide emissions from fertilised grassland: a 2-year study of the effects of N fertiliser form and environtmental condition. Biol Fertil Soils 25:252-260. Clemens, J., A. Huschka. 2001. the effect of biological oxygen demand of cattle slurry and soil moisture on nitrous oxide emissions. Nutr Cycl Agroecosyst 59:193-198. De Data, S. K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons. New York. Djajakirana, G. 2003. Metode-metode penetapan biomassa mikroorganisme tanah secara langsung dan tidak langsung: kelemahan dan keunggulannya. J Tanah dan Lingkungan 5(1):29-38. Djajakirana, G. 2004. Pengembangan Metoda Penetapan Cmic dengan Menggunakan Ultrasonic Processor. Laporan Akhir Project Grant, Quality for Undergraduate Education (QUE) Project. Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Duxbury, J. M., A. R. Mosier. 1997. Status and issues concerning agricultural emissions of greenhouse gases. In Kaiser, H. M., and T. E. Drennen (Eds). Agricultural Dimensions of Global Climate Change. CRC Press LLC. p229-258. EIA. Comparison of global warming potentials from the IPCC’s second and third assessment reports http://www.eia.doe.gov/olaf/1605/gg04rpt/global.html. last modified on Tue Dec 28, 2004. [02/11/2006].
97
Ernawanto, Q. D., M. Sri Saeni, A. Sastiono, S. Partohardjono. 2003. Dinamika metana pada lahan sawah tadah hujan dengan pengolahan tanah, varietas, dan bahan organik yang berbeda. Forum Pascasarjana IPB, Bogor. 26 (3): 241-255. Friedel, J. K., T. Langer, J. Rommel, C. Siebe, M. Kaupenjohann. 1999. Increase in denitrification capacity of soils due to addition of alkylbenzene sulfonates. Biol Fertil Soils 28:397-402. Furukawa, Y., K. Inubushi. 2004. Effect of application of iron materials on methane and nitrous oxide emissions from two types of paddy soils. Soil Sci. Plant Nutr. 50(8): Gao, S., K.K. Tanji, S. C. Scardaci, A. T. Chow. 2002. Comparison of redox indicators in a paddy soil during rice-growing season. Soil Sci Soc Am J 66:805-817. Gomez, K. I., A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan, UI Press, Jakarta. Greene, O., J. E. Salt. 1997. Agricultural emissions of greenhouse gases, monitoring and verifivation. In Kaiser, H. M., and T. E. Drennen (Eds). Agricultural Dimensions of Global Climate Change. CRC Press LLC. p 259-277. Hou, A. X., G. X. Chen, Z. P. Wang, O. Van Cleemput, W. H. Patrick, Jr. 2000a. Methane and nitrous oxide emissions from a rice field in relation to soil redox and microbiological processes. Soil Sci Soc Am J 64:2180-2186. Hou, A. X., Z. P. Wang, G. X. Chen, W. H. Patrick, Jr. 2000b. Effects of organic and N fertilizers on methane production potential in a Chinese rice soil and its microbial aspect. Nutr Cycl Agroecosyst 58:333-338. Husin, Y. A. 1994. Methane Flux from Indonesian Wetland Rice: The Effects of Water Management and Rice Variety. A Dissertation. Post Graduate Program, Bogor Agricultural University. pp 201 Husin, Y. A., D. Murdiyarso, M.A.K. Khalil, R.A. Rasmussen, M.J. Shearer, S. Sabiham, A. Sunar, H. Adijuwana. 1995. Methane flux from Indonesian wetland rice: The effects of water management and rice variety. Chemosphere 31(4):3153-3180. Hűtsch, B. W., P. Russell. K. Mengel. 1996. CH4 oxidation in two temperature arable soils as affected by nitrate and ammonium application. Biol Fertil Soils 23:86-92. Inubushi, K., H. Naganuma, S. Kitahara. 1996. Contribution of denitrification and autotrophic and heterotrophic nitrification to nitrous oxide production in andosols. Biol Fertil Soils 23:292-298.
98
Inubushi, K., A. Hadi, M. Okazaki, K. Yonebayashi. 1998. Effect of converting wetland forest to sago palm plantations on methane gas flux and organic carbon dynamics in tropical peat soil. Hydrol Process 12:2073-2080 Inubushi, K., M. A. Barahona, K. Yamakawa. 1999. Effects of salts and moisture content on N2O emission and nitrogen dynamics in yellow soil and andosol in model experimennts. Biol Fertil Soils 29:401-407. Inubushi, K., H. Sugii, I. Watanabe, R. Wassmann. 2002. Evaluation of methane oxidation in rice plant-soil system. Nutr Cycl Agroecosyst 64: 71-77. Inubushi, K., Y. Furukawa, A. Hadi, E. Purnomo, H. Tsuruta. 2003. Seasonal changes of CO2, CH4, and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands located in coastal area of South Kalimantan. Chemosphere 52:603-608. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. http://grida.no/climate/ipcc_tar/wg1/248.htm [02/11/2006]. Ishizuka, S., A. Iswandi, Y. Nakajima, S. Yonemura., S. Sudo., H. Tsuruta, D. Murdiyarso. 2005a. The variation of greenhouse gas emissions from soils at various land-use/cover types in Jambi province, Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 71:17-32. Ishizuka, S., A. Iswandi, Y. Nakajima, S. Yonemura., S. Sudo., H. Tsuruta, D. Murdiyarso. 2005b. Spatial patterns of greenhouse gas emissions in a tropical rainforest in Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 71:55-62. Ishizuka, S., H. Tsuruta, D. Murdiyarso. 2002. An intensive field study on CO2, CH4, and N2O Emissions from soils at four land-use types in Sumatra, Indonesia. Global Biogeochem Cycles 16 (3): 22-1 – 22-11. Khalil, M.I., A.B. rosenani, O. Van Cleemput, P. Boeckx, J. Shamshuddin, C.I. Fauziah. 2002. Nitrous oxide production from an ultisol of humid tropics treated with different nitrogen sources and moisture regimes. Biol Fertil Soils 36:59-65. Klemedtsson, A. K., L. Klemedtsson. 1997. Methane uptake in Swedish forest soil in relation to liming and extra N-deposition. Biol Fertil Soils 25:296301. Klemedtsson, A. K., L. Klemedtsson, F. Moldan, P. Weslien. 1997. Nitrous oxide emission from Swedish forest soils in relation to liming and simulated increase N-deposition. Biol Fertil Soils 25:290-295. Kpomblekou-A, K., and R. Killorn. 1996. Nitrification of amonium nitrogen in soils treated with XDE-474. Soil Sci Soc Am J 60:1482-1489.
99
Kumar, U., M.C. Jain, H. Pathak, S. Kumar, D. Majumdar. 2000. Nitrous oxide emission from different fertilizers and its mitigation by nitrification inhibitors in irrigated rice. Biol Fertil Soils 32:474-478. Kumaraswamy, S., A. K. Rath, B. Ramakrishnan, N. Sethunathan. 2000. Wetland rice soils as sources and sinks of methane: a review and prospects for research. Biol Fertil Soils 31:449-461. Laughlin, R. J., R. J. Stevens. 2002. Evidence for fungal dominance of denitrification and codenitrification in a grassland soil. Soil Sci Soc Am J 66:1540-1548. Le Mer, J., P. Roger. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: a review. Eur.J.Soil Biol.37:25-50 Li, X., K. Inubushi, K. Sakamoto. 2002. Nitrous oxide concentrations in an Andisol profile and emissions to the atmosphere as influenced by the application of nitrogen fertilizers and manure. Biol Fertil Soils 35:108-113. Lou, Y., L. Ren, Z. Li, T. Zhang, K. Inubushi. 2006. Effect of rice residues on Carbon Dioxide and Nitrous Oxide emissions from a paddy soil of subtropical China. Water Air Soil Pollut (in Press) Mahmood, T., R. Ali, M. I. Sajjad, M. B. Chaudhri, G. R. Tahir, F. Azam. 2000. Denitrification and total fertilizer-N losses from an irrigated cotton field. Biol Fertil Soils 31:270-278. McCarty, G. M. 1999. Modes of action of nitrification inhibitors. Biol Fertil Soils 29:1-9. McTaggart, I. P., H. Clayton, J. Parker, L. Swan, K. A. Smith. 1997. Nitrous oxide emissions from grassland and spring barley, following N fertilizer application with and without nitrification inhibitors. Biol Fertil Soils 25:261268. Minamikawa, K, N. Sakai, H. Hayashi. 2005. The effects of ammonium sulfate application on methane emission and soil carbon content of paddy field in Japan. Agric Ecos & Environ. 107: 371-379. Minamikawa, K, N. Sakai. 2005. The effect of water management based on soil redox potential on methane emission from two kind of paddy soils in Japan. Agric Ecos & Environ.107: 397-407. Mogge, B., E., Kaiser, J. Munch. 1999. Nitrous oxide emissions and denitrification N-losses from agricultural soils in the Bornhöved Lake region: influence of organic fertilizers and land-use. Soil Biol Biochem 31:1245-1252. Müller, C., R. R. Sherlock, P. H. Williams. 1998. Field method to determine N2O emission from nitrification and denitrification. Biol Fertil Soils 28:51-55.
100
Mulvaney, R. L., S. A. Khan, C. S. Mulvaney. 1997. Nitrogen fertilizers promote denitrification. Biol Fertil Soils 24:211-220. Murdiyarso, D. 1996. Inventory of asian greenhouse gas emissions and sinks in 1990. B. V. Braatz et al. (eds.) Greenhouse Gas Emission Inventories, Kluwer Acad Publ. Netherlands. p147-160. Murdiyarso, D. 2003a. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Kompas, Indonesia. 228 p. Murdiyarso, D. 2003b. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Kompas, Indonesia. 200 p. Murdiyarso, D. 2003c. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Kompas, Indonesia. 200 p. Nakajima, Y., S. Ishizuka, H. Tsuruta, A. Iswandi, D. Murdiyarso. 2005. Microbial processes responsible for nitrous oxide production from acid soils in different land-use patterns in Pasirmayang, central Sumatra, Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 71:33-42. Nugroho, S. G., J. Lumbanraja, H. Suprapto, Sunyoto, W. S. Ardjasa, H . Haraguchi, M. Kimura. 1994a. Effect of intermittent irrigation on methane emission from an Indonesian paddy field. Soil Sci Plant Nutr 40:609-615. Nugroho, S. G., J. Lumbanraja, H. Suprapto, Sunyoto, W. S. Ardjasa, H . Haraguchi, M. Kimura. 1994b. Methane emission from an Indonesian paddy field subjected to several fertilizer treatments. Soil Sci Plant Nutr 40 (2):275281. Nugroho, S. G., J. Lumbanraja, H. Suprapto, Sunyoto, W. S. Ardjasa, H . Haraguchi, M. Kimura. 1996. Three-year measurement of methane emission from an Indonesian paddy field. Plant Soil 181:287-293. Ohta, H. 2005. Overview of greenhouse effect gas emission from agricultural soils through microbial activities. Paper of the International Workshop on Ecological Analysis and Control of Greenhouse Gas Emissions from Agriculture in Asia. Ibaraki, 15-16 September 2005, Japan. Pidello, A., I. Menéndez, E. B. R. Perotti. 1996. Saccharidic compounds as soil redox effectors and their influence on potential N2O production. Biol Fertil Soils 23:173-176. Rath, A. K., S. R. Mohanty, S. Mishra, S. Kumaraswamy, B. Ramakrishnan, N. Sethunathan. 1999. Methane production in unamanded and rice-strawamanded soil at different moisture levels. Biol Fertil Soils 28:145-149. Rochester, I., G. Constable, P. Saffigna. 1996. Effective nitrification inhibittors may improve fertilizer recovery in irrigated cotton. Biol Fertil Soils 23:1-6.
101
Roger, P. A., W. J. Zimmerman, T. A. Lumpkin. 1993. Microbiological management of wetland rice fields. In Metting, Jr, F. B. (eds) 1993. Soil Microbial Ecology. Application in Agriculture and Environmental Management. Marcel, Inc. New York. Pp 417-456. Röver, M., O. Heinemeyer, J. C. Munch, E. Kaiser. 1999. Spatial heterogeneity within the plough-layer: high variability of N2O emission rates. Soil Biol Biochem 31:167-173. Ruser, R., H. Flessa, R. Schilling, F. Beese, J. C. Munch. 2001. Effect of cropspecific field management and N fertilization on N2O emissions from a fine-loamy soil. Nutr Cycl Agroecosyst 59:177-191. Saad, D.A.L.O., S. Lechman, R. Conrad. 1996. Influence of thiosulfate on nitrification, denitrification, and production of nitric oxide and nitrous oxide in soil. Biol Fertil Soils 21:152-159. Santoso, B. 2005. Keterkaitan antara pertumbuhan Ekonomi Nasional, Sektor Pertanian, dan Emisi Gas Rumah Kaca. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 220 p. Sass, R. L., A. Mosier, X. Zheng. 2002. Introduction and Summary: International Workshop on Greenhouse Gas Emissions from Rice Fields in Asia. Nutr Cycl Agroecosyst 639:ix-xv. Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi. 1997a. Methane emission from rainfed rice fields at Jakenan, Central Java as affected by organic matter and water condition. Pen Pertanian Tanaman Pangan 15 (1): 19-25. Setyanto, P., Mulyadi, Z. Zaini. 1997b. Emisi gas N2O dari beberapa sumber pupuk Nitrogen di lahan sawah tadah hujan. Pen Pertanian Tanaman Pangan 16(1): 14-18. Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop management affecting methane emissions from irrigated and rainfed rice in Central Java (Indonesia). Nutr Cycl Agroecosyst 58: 85-93. In Wassmann, R., R.S. Lantin, H. Neue (Eds): Methane Emissions from Major Rice Ecosystems in Asia. Kluwer Acad. Publ. Shalini-Singh, S. Kumar, M. C. Jain. 1997. Methane emission from two Indian soils planted with different rice cultivars. Biol Fertil Soils 25:285-289. Shin, Y. K., S. H. Yun. 2000. Varietal differences in methane emission from Korean rice cultivars. Nutr Cycl Agroecosyst 58:315-319. Soemarwoto, O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1984. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. International student edition. McGraw-Hill Int. Book Co. Singapore.
102
Subadiyasa, N., N. Arya, M. Kimura. 1997. Methane emissions from paddy fields in Bali island, Indonesia. Soil Sci Plant Nutr., 43 (2):387-394. Sudarsono. 2000. Bahan organik tanah sawah dengan tiga cara pengelolaan sisa tanaman. Agrista Vol 4(2):104-111. Sudradjat, A. Abas. 1988. Pengaruh cara pengairan dan pemupukan terhadap efisiensi penggunaan air dan hasil padi di Sukamandi. Pros. No. 6/Pen. Tanah/1986 :395-404. Suharsih, P. Setyanto, A. K. Makarim. 2002. Emisi gas metan pada lahan sawah irigasi Inceptisol akibat pemupukan nitrogen pada tanaman padi. Pen Pertanian Tanaman Pangan 21 (2):43-47. Suratno, W. 1997. Fluks Nitrous Oksida (N2O) dari Tanah Sawah: Pengaruh Teknik Irigasi, Pupuk Urea dan Varietas Padi. Disertasi. IPB, Bogor. 128 hal. Suratno, W., D. Murdiyarso, F. G. Suratmo, I. Anas, M. S. Saeni, A. Rambe. 1998. Nitrous oxide flux from irrigated rice fields in West Java. Environ Pollut 102 S1:159-166. Trolldenier, G. 1996. Denitrifiers by MPN Method. In, Schinner, F., R. Öhlinger, E. Kandeler, and R. Margesin. Methods in Soil Biology. Springer, Germany. Hal 28-31. van der Weerden, T.J. R.R. Sherlock, P.H. Williams, K.C. Cameron. 1999. Nitrous oxide emissions and methane oxidation by soil following cultivation of two different leguminous pastures. Biol Fertil Soils 30:52-60. Wang, B., K. Adachi. 1999. Methane production in a flooded soil in response to elevated atmospheric carbon dioxide concentrations. Biol Fertil Soils 29:218-220. Wang, B., K. Adachi. 2000. Differences among rice cultivars in root exudation, methane oxidation, and populations of methanogenic and metanitrophic bacteria in relation to methane emission. Nutr Cycl Agroecosyst 58:349356. Wang, B., Y. Xu, Z. Wang, Z. Li, Y. Ding, Y. Guo. 1999. Methane production potentials of twenty-eight rice soils in China. Biol Fertil Soils 29:74-80. Wassmann, R., M. S. Aulakh. 2000. The role of rice plants in regulating mechanisms of methane missions. Biol Fertil Soils 31:20-29. Watanabe,I., T. Hashimoto, A. Shimoyama. 1997. Methane-oxidizing activities and methanotrophic populations associated with wetland rice plants. Biol Fertil Soils 24:261-265.
103
Webster E. A., D. W. Hopkins. 1996. Contributions from different microbial processes to N2O emission from soil under different moisture regimes. Biol Fertil Soils 22:331-335. Weier, K. L. 1999. N2O and CH4 emission and CH4 consumption in a sugarcane soil after variation in Nitrogen and water aplication. Soil Biol Biochem 31:1931-1941. Whalen, S. C. 2000. Nitrous oxide emission from an agricultural soil fertilized with liquid swine waste or constituents. Soil Sci Soc Am J 64:781-789. Wihardjaka, A. 2001. Emisi gas metana di tanah sawah irigasi dengan pemberian beberapa bahan organik. Agrivita 23 (1):43-51. Wrage, N., G.L. Velthof, M.L. van Beusichem, O. Oenema. 2001. Role of nitrifier denitrification in the production of nitrous oxide. Soil Biol Biochem 33:1723-1732. Xu, X., P. Boeckx, Y. Wang, Y. Huang, X. Zheng, F. Hu, O. Van Cleemput. 2002. Nitrous oxide and methane emissions during rice growth and through rice plants: effect of dicyandiamide and hydroquinone. Biol Fertil Soils 36:5358. Yagi, K. 2005. Development and evaluation of mitigation technologies for CH4 and N2O Emissions from Agroecossystems in Monsoon Asia. Paper of the International Workshop on Ecological Analysis and Control of Greenhouse Gas Emissions from Agriculture in Asia. Ibaraki, 15-16 September 2005, Japan. Yang, S. S., E. H. Chang. 1997. Effect oh fertilizer application on methane emission/production in the paddy soils of Taiwan. Biol Fertil Soils 25:245251. Yao, H., R. Conrad. 2000. effect of temperature on reduction of iron and production of carbon dioxide and methane in anoxic wetland rice soils. Biol Fertil Soils 32:135-141. Yu, K. W., Z. P. Wang, G. X. Chen. 1997. Nitrous oxide and methane transport through rice plants. Biol Fertil Soils 24:341-343. Zaenal, Anwar Zen. 1997. Serapan Metana (CH4) pada Pertanaman Padi Gogo dengan Iklim Mikro dan Tingkat Pemupukan N yang Berbeda. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Zaman, M., K. C. Cameron, H. J. Di, K. Inubushi. 2002. Changes in mineral N, microbial biomass and enzyme activities in different soil depths after surface application of dairy shed effluent and chemical fertilizer. Nutr Cycl Agroecosyst 63:275-290.
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1. Hasil analisis tanah Cihideung Udik Sifat Tanah
Metode
Percobaan II (MK 2004) 5.54
Percobaan III (MH 2004) 5.02
pH
H2O (1:1)
pH
N KCl (1:1)
C organik
Walkley & Black
1.68 %
1.45 %
N Total
Kjeldahl
0.13 %
0.19 %
P
Bray I
9.7 ppm
2.5 ppm
Ca
NH4OAc
6.82 me/100 g
5.42 me/100 g
Mg
NH4OAc
4.03 me/100 g
4.0 me/100 g
K
NH4OAc
0.56 me/100 g
0.70 me/100 g
Na
NH4OAc
0.43 me/100 g
1.15 me/100 g
KTK
NH4OAc
18.17 me/100 g
17.95 me/100 g
KB
NH4OAc
65.16 %
62.79 %
H
N KCl
0.12 me/100 g
Al
N KCl
Tak terukur
Fe
0.05 N HCl
6.64 ppm
20.04 ppm
Cu
0.05 N HCl
0.76 ppm
1.16 ppm
Zn
0.05 N HCl
4.48 ppm
6.16 ppm
Mn
0.05 N HCl
62.76 ppm
44.68 ppm
Pasir
4.39 %
6.17 %
Debu
36.14 %
36.42 %
Liat
59.47 %
57.41 %
4.36
Kelas Tekstur
106
Lampiran 2. Data pH tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
pH tanah pada 0 MST
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
6.25 5.99 6.13 5.99 5.86 6.24 6.16 6.00 6.07 6.11 6.22 5.84
7.04 7.05 7.05 7.04 7.09 7.08 6.90 7.13 6.88 7.06 7.04 7.06
6.80 6.88 6.90 6.92 6.82 6.87 6.76 6.87 6.70 6.79 6.66 6.68
6.82 6.83 6.82 6.83 6.63 6.82 6.80 6.82 6.80 6.77 6.81 6.77
7.03 6.96 7.09 7.05 7.07 6.89 6.81 6.90 6.78 6.91 6.87 6.96
6.91 6.83 6.71 6.89 7.00 6.87 6.69 6.55 6.59 6.67 6.62 6.62
6.32 6.33 6.08 6.19 5.83 5.98 5.90 5.87 6.00 6.36 6.36 6.22
Lampiran 3. Data Eh tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N dari 0 hingga 12 MST Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
Eh tanah (mV) pada 0 MST
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
-142 -91 -96 -189 -137 -169 -143 -183 -163 -188 -130 -126
-97 -125 -136 -155 -183 -123 -92 -70 -129 -88 -141 -82
-123 -117 -102 -167 -128 -179 -167 -157 -139 -154 -134 -143
-144 -152 -136 -156 -134 -132 -123 -114 -98 -119 -164 -142
-135 -88 -101 -112 -86 -50 -79 -112 -117 -121 -91 -104
19 14 9 27 76 86 -1 79 81 30 18 71
107 151 123 100 104 126 170 142 186 72 69 100
Lampiran 4. Pengaruh interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap fluks CH4 Perlakuan
0 Pengelolaan air Tergenang 1.34 Macakmacak 2.61 Bahan organik 0 ton ha-1 0.66 6 ton ha-1 3.40 Pupuk N Urea 0.50 CRF30 0.57 CRF50 5.02
Fluks CH4 (mg CH4-C m-2 jam-1) pada minggu ke (MST) 2 4 6 8 10
12
3.22
9.91
14.09
9.12
10.75
11.09
3.08
1.25
8.80
9.80
9.67
9.98
2.87 3.61
4.40 8.16
8.97 14.71
11.40 8.03
9.42 11.60
14.70 6.99
5.29 1.66 2.76
4.27 12.62 1.47
12.98 17.71 4.83
7.37 6.63 15.14
5.08 7.91 18.53
14.96 5.73 11.85
107
Lampiran 5. Fluks CH4 pada kombinasi interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
Fluks CH4 (mg CH4-C m-2 jam-1) pada minggu ke (MST) 2 4 6 8 10
0 0.29 1.16 1.99 1.48 0.72 3.05 0.04 0.15 0.33 0.21 0.28 14.69
-0.37 -0.20 -0.47 11.22 4.12 6.09 8.98 4.29 5.01 1.36 -1.57 0.41
0.80 23.08 0.37 12.00 24.47 3.71 0.75 0.90 0.52 2.77 2.00 1.29
18.59 12.09 5.41 18.90 28.57 5.67 2.48 11.83 3.41 11.94 18.35 4.82
10.90 3.56 15.09 4.37 17.58 6.30 9.59 2.44 26.82 4.61 2.95 12.37
12
10.29 4.13 2.94 1.30 1.73 47.66 4.14 24.59 10.42 4.58 1.20 13.10
11.16 2.38 29.90 13.44 1.79 11.57 25.40 16.84 2.52 9.83 1.92 3.40
Lampiran 6. Pengaruh interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap fluks N2O Perlakuan
0
Pengelolaan air Tergenang Macakmacak Bahan organik 0 ton ha-1 6 ton ha-1 Pupuk N Urea CRF30 CRF50
fluks N2O (μg N2O m-2 jam-1) pada minggu ke 2 4 6 8 10
12
0.97
0.88
4.82
0.09
0.10
0.043
0.06
0.81
5.20
2.70
0.92
0.09
0.005
0.03
0.78 1.01
2.67 3.41
3.45 4.08
0.44 0.57
0.05 0.14
0.005 0.043
0.04 0.05
1.10 0.84 0.73
2.19 4.55 2.38
2.78 6.40 2.11
0.37 0.66 0.49
0.18 0.04 0.07
0.007 0.049 0.015
0.05 0.04 0.04 =
Lampiran 7. Fluks N2O pada kombinasi interaksi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Perlakuan W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
0 MST 1.08 1.19 0.90 0.82 1.31 0.51 1.39 0.11 -0.01 1.09 0.77 1.53
fluks N2O (μg N2O m-2 jam-1) pada minggu ke 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST -2.69 1.99 0.26 -0.08 0.03 -2.29 7.27 0.07 0.08 0.05 2.31 4.77 0.01 0.11 0.02 4.12 4.19 0.06 0.33 0.06 3.43 6.81 0.10 -0.03 0.05 0.40 3.91 0.04 0.17 0.04 4.29 2.50 0.73 0.22 -0.08 7.89 3.52 0.87 -0.03 0.08 6.53 0.62 0.71 0.02 -0.08 3.04 2.44 0.42 0.24 0.02 9.19 7.99 1.60 0.14 0.01 0.27 -0.87 1.20 -0.02 0.08
12 MST 0.09 0.10 0.03 0.06 0.02 0.03 -0.06 0.07 -0.01 0.10 -0.04 0.10
108
Lampiran 8. Tata letak petak percobaan
Lampiran 9. Plastik pembatas antar petak percobaan
109
Lampiran 10. Aplikasi cacahan jerami padi
Lampiran 11. Titian bambu untuk pengambilan gas contoh
110
Lampiran 12. Pemasangan sungkup gas pada penyangga aluminium
Lampiran 13. Pengambilan gas contoh