POPULASI DAN PEMANFAATAN KATAK Limnonectes grunniens DI PULAU BUTON, SULAWESI TENGGARA
DWI SUSANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Populasi dan Pemanfaatan Katak Limnonectes grunniens di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Dwi Susanto P052080081
ABSTRACT DWI SUSANTO. Population and Harvesting of Giant Frog Limnonectes grunniens in Buton, South East Sulawesi. Under direction of ANI MARDIATUTI and MIRZA D. KUSRINI. Limnonectes grunniens is one of the world’s largest frogs. Like most other large frog species in other place, it is hunted for human consumption. The impact of these is poorly understood. The objective of this study were to describe habitat characteristic, population biology, and harvesting pattern of giant frog Limnonectes grunniens in Lambusango Forest, Buton, Southeast Sulawesi. Data collection was carried out at 6 node camps in the Lambusango Forest Area (Lawele, Lasolo, Walahaka, Anoa, Wabalamba, and Lapago) in June – August 2009. Habitat characteristic of frog is shallow river with fast-moderate flow, rock and pebble substrate, and the banks are vegetated with plants. The estimated population result showed the highest number of frog was in Ladongkula with 3469,2 individual / km transect and the lowest in Lasolo with 224 individual / km transect. The study indicates harvesting pattern of frog by local people was for subsistence purpose. Key words: habitat, harvesting, Limnonectes grunniens, population.
RINGKASAN DWI SUSANTO. Populasi dan Pemanfaatan Katak Limnonectes grunniens di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan MIRZA D. KUSRINI. Katak mempunyai peranan yang penting secara ekologi maupun ekonomi. Secara ekologi katak merupakan komponen dalam rantai makanan. Katak memiliki nilai ekonomi sebagai komoditas perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor paha katak ke benua Eropa, Amerika, dan Asia. Salah satu jenis katak yang masuk dalam kuota ekspor adalah Limnonectes grunniens. Jenis tersebut dilaporkan mengalami penurunan populasi di alam, terutama karena degradasi habitat dan konsumsi yang dilakukan manusia. Hutan Lambusango yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara merupakan habitat bagi katak L. grunniens. Namun jumlah populasi, ekologi, biologi, dan pola pemanfaatan katak tersebut belum diketahui. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik dan kondisi habitat, menganalisa karakteristik morfologi dan mengestimasi populasi, menganalisa perilaku yang meliputi strategi aktivitas dan tingkat kewaspadaan terhadap predator, menganalisa pola pemanfaatan katak L. grunniens oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan di kawasan Hutan Lambusango Pulau Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan data populasi dilakukan di 6 lokasi di dalam kawasan Hutan Lambusango, yaitu: Anoa, Bala, Ladongkula, Lapago, Lasolo, dan Wahalaka. Pengambilan data persepsi masyarakat tentang pemanfaatan katak L. grunniens dilakukan di 4 desa, yaitu: Labundo-bundo, Wabau, Wakangka, dan Waondowolio. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2009. Estimasi populasi katak dilakukan dengan metode capture recapture di sepanjang 1 km transek. Pengambilan data dilakukan sebanyak 4 malam di setiap transek. Data abiotik meliputi: temperatur udara dan air, kelembaban relatif, dan kondisi cuaca. Data yang dicatat meliputi: Snout-Vent Length (SVL), Head Width (HW), berat tubuh, posisi, jarak katak terhadap pengamat,jarak katak ke air terdekat, dan tempat yang memungkinkan untuk bersembunyi. Penelitian persepsi masyarakat lokal terhadap pemanfaatan katak dilakukan secara purposive sampling dengan wawancara menggunakan kuisioner terbuka berdasarkan kemudahan akses desa responden terhadap hutan, dan aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam hutan. Kondisi temperatur udara dan air di semua transek tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 20 – 25 oC, dengan kelembaban relatif 91%. Karakteristik sungai di masing-masing transek memperlihatkan rata-rata sungai bertipe dangkal, bersubstrat batu dan memiliki aliran yang deras, kecuali sungai di Lasolo yang relatif lebar dan bersubtrat lumpur. Katak yang berukuran SVL 1 -100 mm masuk dalam kategori juvenile dan ukuran SVL > 100 mm masuk dalam kategori dewasa. Hasil analisis estimasi populasi memperlihatkan jumlah populasi terbesar berada di transek Ladongkula sebesar 3469,2 individu / km transek, sedangkan yang terkecil berada di transek Lasolo sebesar 224 individu / km transek. Kelimpahan relatif L. grunniens
terbesar berada di transek Anoa sebesar 71% dan terkecil berada di Ladongkula sebesar 51,8 %. Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa masyarakat memanfaatkan katak L. grunniens hanya sebatas untuk kebutuhan sendiri (subsistence). Masyarakat masuk ke hutan untuk mencari hasil hutan yang bernilai tinggi. Para pengumpul hasil hutan tersebut hanya memakan L. grunniens ketika bermalam di dalam hutan sebagai alternatif sumber protein. Berdasarkan jumlah populasi dan kemampuan menghasilkan telur yang cukup besar, dapat diperkirakan bahwa populasi katak L. grunniens di Hutan Lambusango masih cukup besar. Dampak pemanenan pada populasi katak dapat terlihat dari struktur populasi, pola sebaran, dan tingkat kewaspadaan katak di masing-masing transek. Populasi di transek Lapago mengalami tekanan predasi paling besar karena kedekatan dengan pemukiman penduduk dan kemudahan akses untuk masuk ke wilayah tersebut. Kata kunci: habitat, Limnonectes grunniens, pemanenan, populasi.
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POPULASI DAN PEMANFAATAN KATAK Limnonectes grunniens DI PULAU BUTON, SULAWESI TENGGARA
DWI SUSANTO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si
Judul Tesis
: Populasi dan Pemanfaatan Katak Limnonectes grunniens di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara
Nama
: Dwi Susanto
NIM
: P052080081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 4 Agustus 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc dan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam penyusunan karya ini. 2. Dr. Graeme R. Gillespie, selaku mentor di lapangan dalam pengambilan dan perancangan penelitian. 3. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si yang telah memberikan kritik dan masukan yang membangun dalam penyusunan akhir tesis. 4. Operation Wallacea Ltd. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian di Buton tahun 2009 dan George Saputra (IRATA) yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis. 5. Alimin, G. Woodcock, L. Mulvey, Samsudin, Inggar dan seluruh masyarakat Labundo-bundo yang telah membantu dalam proses pengambilan data. 6. M.I. Setiadi, A. Hamidy yang membantu penelusuran literatur, dan B. Raharjo yang membantu pembuatan peta. 7. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua Program Studi PSL. 8. Rekan-rekan PSL 2008 yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan berlangsung. 9. Kedua orang tua atas doa dan dukungannya yang tidak pernah berhenti kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2010 Dwi Susanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1983 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Wagiran dan Ibu Etty Sumiati. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Sains dari Departemen Biologi, Universitas Indonesia pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun 2008. Penulis pernah mengikuti summer school program, University of Harvard pada tahun 2008 dan Tropical Biodiversity Conservation course oleh Tropical Biology Association pada tahun 2009 di Danum Valley Conservation Area (DVCA) Sabah, Malaysia. Penulis aktif di kelompok studi hidupan liar, Departemen Biologi, Universitas Indonesia sejak tahun 2002, dan juga tercatat sebagai anggota Perhimpunan Herpetologi Indonesia sejak tahun 2008. Tahun 2010 penulis (co-author) telah menulis jurnal ilmiah, yaitu: Genetic structure of herpetofauna on Halmahera Island, Indonesia: Implication for Aketajawe-Lolobata National Park yang diterbitkan di Conservation Biology 24: 553-562 dan A positive relationship between ant biodiversity and predatory function across a disturbance gradient in a South East Asian rain forest diterbitkan di Myrmecological News 14: 5-12.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................
xvi
I. PENDAHULUAN..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang........................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran................................................................
2
1.3. Perumusan Masalah.................................................................
4
1.4. Tujuan Penelitian.....................................................................
5
1.5. Manfaat Penelitian...................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
6
2.1. Gambaran Wilayah Studi........................................................
6
2.2. Biologi Katak Limnonectes grunniens....................................
7
2.3. Dinamika Populasi..................................................................
9
2.4. Metode Estimasi Populasi.......................................................
11
2.5. Pemanenan Satwa Liar............................................................
12
III. METODE PENELITIAN..........................................................
16
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................
16
3.2. Alat dan Bahan........................................................................
18
3.3. Metode Pengumpulan Data.....................................................
19
3.3.1. Karakteristik dan Kondisi Habitat.....................................
19
3.3.2. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Populasi................
19
3.3.3. Strategi Aktivitas dan Kewaspadaan Terhadap Predator..
21
3.3.4. Pola Pemanfaatan Katak....................................................
22
3.4. Analisis Data...........................................................................
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................
25
4.1. Hasil........................................................................................
25
4.1.1. Karakteristik Habitat Limnonectes grunniens....................
25
4.1.2. Karakter Norfologi dan Populasi Katak.............................
28
4.1.2.1. Karakteristik Morfologi...............................................
28
4.1.2.2. Estimasi Populasi.........................................................
33
4.1.3. Perilaku Katak Limnonectes grunniens.............................
47
4.1.3.1. Strategi Aktivitas (foraging).......................................
37
4.1.3.2. Tingkat Kewaspadaan.................................................
41
4.1.4. Pemanfaatan Katak Limnonectes grunniens
44
4.2. Pembahasan...........................................................................
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................
59
5.1. Kesimpulan..............................................................................
59
5.2. Saran........................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
60
LAMPIRAN.......................................................................................
66
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Jumlah responden di masing-masing desa......................................
23
2.
Tabulasi data capture-recapture.....................................................
23
3.
Karakteristik sungai di masing-masing transek..............................
26
4.
Karakteristik temperatur udara, air, dan kelembaban relatif (kr) di masing-masing transek....................................................................
28
5.
Karakteristik ukuran (SVL & HW) dan berat tubuh katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek.........................
29
6.
Estimasi populasi dan kelimpahan relatif katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek..............................................
33
7.
Karakteristik jarak katak dari pengamat di masing-masing transek.............................................................................................
42
8.
Karakteristik responden di masing-masing desa.............................
44
9.
Pemanfaatan katak di masing-masing desa.....................................
45
10. Penggunaan alat dan frekuensi penangkapan di masing-masing desa.................................................................................................
46
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian................................................................
3
2.
Katak Limnonectes grunniens yang memiliki otot kepala besar dalam posisi mencari mangsa..............................................................................
8
3.
Gigi vomerine yang dimiliki oleh Limnonectes grunniens......................
9
4.
Distribusi Limnonectes grunniens di Sulawesi, Maluku, dan sebagian wilayah Papua...........................................................................................
9
5.
Pemanenan dan perdagangan paha katak di Indonesia............................
14
6.
Peta lokasi penelitian di dalam Hutan Lambusango................................
16
7.
Pengukuran SVL (Snout-Vent Lenght) dan HW (Head Width) yang dilakukan terhadap katak Limnonectes grunniens....................................
20
8.
Ilustrasi pengamatan katak dan pengambilan data yang dilakukan di sepanjang transek.....................................................................................
20
9.
Kode unik penandaan jari katak Limnonectes grunniens.........................
21
10. Kondisi habitat di masing-masing transek...............................................
25
11. Profil sungai di masing-masing transek...................................................
27
12. Hubungan antara panjang tubuh (SVL) dengan berat tubuh dan lebar kepala katak (HW) Limnonectes grunniens.............................................
30
13. Hubungan antara lebar kepala (HW) dengan berat tubuh katak Limnonectes grunniens.............................................................................
31
14. Ukuran tubuh (SVL) katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek......................................................................................................
31
15. Berat tubuh katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek......................................................................................................
32
16. Lebar kepala katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek......................................................................................................
32
17. Sebaran katak Limnonectes grunniens di dalam transek berdasarkan ukuran tubuh (SVL) di masing-masing transek.......................................
35
18. Stuktur populasi katak Limnonectes grunniens berdasarkan ukuran tubuh (SVL) di masing-masing transek....................................................
35
19. Struktur populasi Limnonectes grunniens berdasarkan berat tubuh di masing-masing transek.............................................................................
36
20. Struktur populasi katak Limnonectes grunniens berdasarkan lebar kepala (HW) di masing-masing transek...................................................
36
21. Katak Limnonectes grunniens dalam posisi amplexus dan meletakkan telur di transek Ladongkula......................................................................
37
22. Pemangsaan yang dilakukan oleh katak Limnonectes grunniens terhadap katak jenis Rana cf. mocquardii di transek Anoa......................
37
23. Pola sebaran katak Limnonectes grunniens di dalam transek berdasarkan jarak ke tempat perlindungan...............................................
38
24. Pola sebaran katak Limnonectes grunniens di dalam transek berdasarkan jarak ke air............................................................................
39
25. Pola pergerakan katak Limnonectes grunniens di dalam transek pengamatan berdasarkan ukuran tubuh (SVL).........................................
39
26. Jarak Limnonectes grunniens ke air di masing-masing transek...............
40
27. Jarak Limnonectes grunniens ke tempat perlindungan di masingmasing transek..........................................................................................
40
28. Proses menghindari predator yang dilakukan oleh katak Limnonectes grunniens..................................................................................................
42
29. Frekuensi individu katak Limnonectes grunniens berdasarkan jarak terhadap pengamat di masing-masing transek..........................................
43
30. Jarak Limnonectes grunniens terhadap pengamat di masing-masing transek......................................................................................................
43
31. Perbandingan pola pemanfaatan katak di desa Labundo-bundo yang dominan beragama Islam dan desa Wakangka yang dominan beragama Hindu........................................................................................................
47
32. Pola pemanfaatan katak Limnonectes grunniens di 4 desa responden.....
48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Lokasi transek penelitian katak Limnonectes grunniens di Hutan Lambusango......................................................................
66
2.
Profil sungai habitat katak Limnonectes grunniens di masingmasing transek..............................................................................
67
3.
Temperatur udara dan air harian di masing-masing transek........
69
4.
Data responden tentang pemanfaatan katak di Hutan Lambusango..................................................................................
71
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi satwa liar adalah vertebrata yang hidup bebas di lingkungan alamnya. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi dan tersebar di beberapa tipe habitat. Satwa liar mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra 1990). Salah satu kelompok hewan yang merupakan satwa liar adalah katak. Katak mempunyai peranan yang penting secara ekologi maupun ekonomi. Secara ekologi katak merupakan komponen dalam rantai makanan dan dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas perairan. Katak ideal sebagi bioindikator perairan, terutama karena jumlah di alam berlimpah, mudah diamati baik di alam maupun dalam laboratorium, perilakunya mudah dimonitor, dan mewakili lingkungan air tawar (Berger & Snodgrass 2000). Katak memiliki nilai ekonomi sebagai komoditas perdagangan. Katak diperdagangkan sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan (Iskandar 1998; Pujiningsih 2004). Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor paha katak ke benua Eropa, Amerika, dan Asia (Veith et al. 2000; Kusrini & Alford 2006; Warkentin et al. 2009). Penelitian mengenai populasi katak baru sedikit dilakukan, salah satunya oleh Kusrini (2005) yang melakukan studi pada jenis-jenis yang dikonsumsi di Pulau Jawa. Padahal amfibi sedang mengalami penurunan populasi secara global yang diakibatkan oleh degradasi lahan, kontaminasi zat pencemar lingkungan, perubahan kondisi iklim global, hujan asam, radiasi ultraviolet, penyakit, dan perburuan (Alford & Richard 1999; Collins & Storfer 2003). Status konservasi jenis-jenis katak di Indonesia tidak jelas sehingga sulit dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan (Iskandar & Erdelen 2006). Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea yang memiliki sejarah pembentukan pulau sangat komplek, sehingga mempengaruhi kekayaan dan
distribusi flora dan faunanya. Iskandar dan Tjan (1996) melaporkan lebih dari 115 jenis Reptil dan 49 jenis Amfibi berada di kawasan Sulawesi, dan sebagian besar merupakan jenis yang endemik. Gillespie et al. (2005) melakukan penelitian di daerah Sulawesi Tenggara mencatat 74 jenis amfibi dan reptil dan 38% dari jumlah tersebut merupakan jenis yang endemik di Sulawesi. Sulawesi merupakan habitat bagi salah satu katak ”raksasa” di dunia, yaitu Limnonectes grunniens. Ukuran dewasa katak akuatik tersebut dapat mencapai 146210 mm (van Kampen 1923). Habitat L. grunniens adalah perairan yang mengalir, berbatu, dan memiliki banyak tempat persembunyian. Hal tersebut dapat terlihat dengan morfologi katak tersebut, yaitu memiliki selaput kaki yang penuh (Gillespie et al. 2004). Kelompok katak Genus Limnonectes dilaporkan mengalami penurunan populasi di alam, terutama karena degradasi habitat dan konsumsi yang dilakukan manusia, termasuk jenis L. grunniens (Nasaruddin 2008; Rowley et al. 2009). Namun belum banyak data mengenai biologi dan ekologi, sehingga IUCN sebagai lembaga konservasi dunia mencantumkan jenis tersebut kedalam status Least Concern (LC) (Iskandar et al. 2004). Dampak pemanfaatan yang dilakukan manusia terhadap jenis ini juga belum diketahui sampai saat ini, sehingga sulit menduga status populasinya di alam. Oleh sebab itu dibutuhkan penelitian yang intensif terhadap populasi jenis tersebut sebagai dasar untuk melakukan tindakan pengelolaan dan pembuatan kebijakan agar pemanfaatannya jenis tersebut dapat berkelanjutan. 1.2. Kerangka Pemikiran Konsep berkelanjutan merupakan hal penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia adalah katak yang saat ini sedang mengalami penurunan populasi global. Hal tersebut mengakibatkan banyak jenis amfibi yang masuk ke dalam daftar merah IUCN karena terancam punah. Penyebab penurunan tersebut antara lain kerusakan habitat dan perburuan yang dilakukan dengan tidak menerapkan konsep keberlanjutan. Definisi sederhana keberlanjutan
tersebut
adalah
dengan
membuat
pola
pemanfaatan
yang
m memperhitun ngkan kemaampuan jenis tertentu unntuk berkem mbang biak, sehingga jennis t tersebut tidaak mengalam mi kepunahann (Caughley 1977). Salah h satu jenis katak yang masuk m dalam m kuota eksppor yang dikkeluarkan olleh D Departemen n Kehutanan adalah L. grrunniens (Kuusrini 2005; Mikrimah 2009). 2 Jenis ini i c cukup unik karena k sebarrannya terbaatas di kawassan Wallaceea dan tergollong salah saatu k katak beruku uran besar (S SVL ± 21 cm m) di Asia Tenggara. T M Menurut Shinne et al. (19998) l langkah awaal yang perrlu dilakukann dalam meengevaluasi pemanfaataan sumberdaaya a alam yang berkelanjuttan secara ekologi addalah dengaan memahaami sifat-sifat s sumberdaya tersebut. Oleh O karenaa itu diperluukan data populasi p di alam, biologi, e ekologi, kon ndisi habitat,, dan berapaa besar pemaanfaatan yangg dilakukan terhadap jennis t tersebut. Haal tersebut penting dikettahui sebagaai dasar mennentukan status konservaasi d pola pem dan manfaatan yang y berkelannjutan. Olehh karena itu perlu dilakuukan penelitiian u untuk mengeetahui hal tersebut.
Gaambar 1. Keerangka pemikiran penelitian
1.3. Perumusan Masalah Dinamika kehidupan dan peningkatan populasi manusia di bumi telah mengakibatkan perubahan ekosistem yang sangat cepat. Salah satu dampak pertumbuhan populasi manusia adalah perubahan lahan hutan menjadi hunian manusia dan lahan pertanian. Penggunaan sumberdaya alam juga meningkat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan berbagai alasan ekonomi lainnya. Cannon et al. (2007) mengungkapkan fakta bahwa 80% hutan di wilayah Sulawesi sudah rusak, dan hanya tersisa 30% yang kondisinya masih bagus. Keadaan tersebut merupakan ancaman terhadap keberadaan keanekaragaman hayati di daerah tersebut. Meskipun Sulawesi memiliki endemisitas flora dan fauna yang tinggi, namun belum banyak penelitian dilakukan secara menyeluruh dan terorganisir. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya melakukan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Komposisi jenis amfibi dapat berubah dengan cepat karena perubahan lingkungan yang terjadi. Penelitian yang dilakukan beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan populasi amfibi secara global di seluruh dunia. Penurunan populasi tersebut disebabkan oleh perusakan habitat, kegiatan pertanian, polusi, perburuan, masuknya jenis eksotik, dan penyakit (Duellman 1999). Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia, seperti perusakan habitat, penggunaan pestisida dalam pertanian yang mencemari perairan, masuknya jenis Rana catesbiana sebagai jenis eksotik yang menyebabkan terjadi persaingan dengan jenis-jenis lokal, dan perdagangan paha katak sebagai konsumsi masyarakat (Kusrini 2007).
Namun
sungguh disayangkan, keadaan tersebut belum disadari karena penelitian yang berkaitan dengan populasi Amfibi dan habitatnya masih jarang dilakukan di Indonesia (Iskandar & Erdelen 2006). Hutan Lambusango yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara merupakan habitat bagi katak L. grunniens. Namun bagaimana jumlah populasi, ekologi, dan biologi katak tersebut di sana belum diketahui. Selain itu tidak diketahui pemanfaatan masyarakat terhadap katak tersebut sebagai sumberdaya yang
dimilikinya juga belum diketahui. Hal tersebut menjadi pertanyaan hingga saat ini. Penelitian ini berusaha memberikan informasi mengenai hal tersebut, sehingga dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang berkelanjutan. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengeidentifikasi karakteristik dan kondisi habitat L. grunniens di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. 2. Menganalisa karakteristik morfologi dan mengestimasi populasi L. grunniens di dalam kawasan Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. 3. Menganalisa perilaku L. grunniens yang meliputi strategi aktifitas dan tingkat kewaspadaan terhadap predator. 4. Menganalisa pola pemanfaatan L. grunniens oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan bermanfaat untuk: 1. Langkah awal dalam upaya konservasi dengan mengetahui estimasi jumlah populasinya di alam, jenis dan tingkat gangguan, serta aspek ekologi jenis L. grunniens di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. 2. Bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Pulau Buton untuk melakukan pengelolaan kawasan sebagai upaya konservasi Hutan Lambusango yang merupakan habitat katak L. grunniens. 3. Pembaruan data tentang populasi dan habitat L. grunniens di Pulau Buton sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan status konservasinya dan kuota tangkap yang ditetapkan oleh LIPI sebagai scientific authority dan Departemen Kehutanan sebagai management authority.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Wilayah Studi Pulau Buton secara administratif terletak di Sulawesi Tenggara. Puncak tertinggi di pulau ini berada di Gunung Tobelo yang memiliki ketinggian 1.100 m dpl, dengan iklim tropis dan curah hujan tahunan antara 1500 – 2000 mm. Musim kering terjadi antara bulan Agustus – September, diikuti musim basah antara November – April (Singer & Purwanto 2006). Buton terletak di kawasan Wallacea, yang merupakan kawasan yang menarik dari sisi sejarah geologi. Kawasan Wallacea terdiri dari wilayah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Kawasan Wallacea merupakan daerah transisi antara benua Asia (Paparan Sunda) dan benua Australia (Paparan Sahul). Hal tersebut dapat tercermin dari keberadaan flora dan fauna di daerah tersebut yang merupakan percampuran antara wilayah Asia dan Australia (Hall 1998). Penduduk di Pulau Buton pada tahun 2005 berjumlah sekitar 500.000 jiwa dengan 95% beragama Islam, dan sisanya beragama Protestan, Katolik, dan Hindu. Masyarakat Buton merupakan bagian dari suku di Sulawesi Tenggara yang terdiri atas beberapa subetnis yang meliputi Wolio, Wanci, Tomia, Binongko, dan Kalisusu. Masyarakat Buton terkenal sebagai masyarakat maritim, sehingga sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Selain itu sebagian masyarakat bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Masyarakat Buton pada umumnya memiliki perkebunan yang cepat menghasilkan dan bernilai ekonomi tinggi, yaitu: kelapa, jambu mete, kopi, dan cengkeh (Riley & Priston 2010). Hingga saat ini kebutuhan lahan perkebunan dan pertanian semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan masuknya pendatang (Singer & Purwanto 2006). Menurut Wheeler et al. (2008) masyarakat melakukan ekstraksi hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengambil kayu dan berburu satwa liar. Salah satu jenis target adalah Anoa yang merupakan satwa endemik Sulawesi dan statusnya terancam punah.
Pulau Buton memiliki empat kawasan konservasi hutan, yaitu Suaka Margasatwa (SM.) Buton Utara (85.000 ha), SM. Lambusango (27.700 ha), Cagar Alam (C.A.) Kakenauwe (810 ha), dan Taman Wisata Alam (TWA) Tirta Rimba (488 ha). Hutan Lambusango merupakan hutan hujan dataran rendah yang kondisi geologinya didominasi oleh batuan ultra basa dan kapur (limestone). Tanah yang terbentuk mengandung magnesium dan mineral ferik sehingga memiliki kesuburan yang rendah. Hutan Lambusango berada pada ketinggian 50-780 m dpl. Wilayahnya cenderung datar, bergelombang, hingga berbukit-bukit yang memiliki kisaran ratarata kemiringan antara 10 – 60%. Hutan Lambusango dilalui beberapa sungai yang lebarnya rata-rata 5 m dan kedalamannya kurang dari 2 m (Singer & Purwanto 2006). Perpaduan antara tingginya radiasi matahari, suhu, dan kelembaban berpengaruh terhadap tingginya keanekaragaman hayati di Hutan Lambusango. 2.2. Biologi Katak Limnonectes grunniens Katak L. grunniens (Gambar 2) termasuk dalam keluarga (Famili) Ranidae dan marga (Genus) Limnonectes. Karakter marga tersebut adalah memiliki gigi vomerine (Gambar 3) yang menyerupai taring dibagian rahang bawah dan jantan tidak memiliki karakter seksual sekunder, seperti kantung suara, nuptial pad, dan besarnya otot flexor (Emerson 1996). Sugiri (1979) mengemukakan bahwa kelompok katak Limnonectes memiliki karakter sexual dimorphisme yang berbeda dari lainnya, yaitu ukuran jantan lebih besar dibandingkan ukuran betina. Perbedaan karakter seksual yang dapat terlihat adalah pada jantan memiliki gigi vomerine yang lebih besar dibandingkan pada betina (Emerson & Voris 1992). Sugiri (1979) melakukan studi biologi pada kelompok Limnonectes, yaitu L. macrodon menemukan bahwa jenis ini berkembang biak sepanjang tahun dan mencapai puncaknya pada musim penghujan yang menghasilkan telur berkisar antara 551-3.892 butir. L. grunniens merupakan jenis katak yang berukuran besar. Ukuran Snout-Vent Length (SVL) katak jantan mencapai 132-202 mm dengan berat tubuh antara 270-360 g. Ukuran SVL katak betina mencapai 95,5-148,0 mm dengan berat tubuh antara 100345 g. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ukuran katak jantan lebih besar dari betina
(Nasaruddin 2008). Pada umumnya katak betina berukuran lebih besar dari jantan. Hal tersebut karena betina memperbesar ukuran tubuh untuk meningkatkan fekunditasnya dengan memperbanyak jumlah telur. Penyebab kedua adalah karena resiko kematian jantan lebih besar dibandingkan dengan betina, sehingga jarang katak jantan yang mencapai ukuran maksimal (Shine 1979). Ukuran katak jantan yang lebih besar daripada betina menandakan adanya kompetisi dalam bentuk perkelahian antar jantan. Hal tersebut berkaitan dengan seleksi seksual. Pada Limnonectes blythi terdapat korelasi positif antara tekanan gigitan (perkelahian) dengan ukuran panjang tubuh (SVL) pada katak jantan, namun tidak terjadi pada katak betina (Shine 1979; Emerson & Voris 1992). L. grunniens di Pulau Buton bertelur pada bulan Juni dengan jumlah berkisar antara 100 sampai 1000 butir yang biasanya diletakkan dalam substrat kerikil di sungai (Gillespie et al. 2005). Distribusi L. grunniens hanya berada di Pulau Sulawesi, Muna, Buton, Maluku, sebagian kecil wilayah Papua (Gambar 4). Ancaman terbesar jenis tersebut adalah degradasi habitat dan eksploitasi yang dilakukan manusia untuk dimakan, terutama di wilayah Sulawesi (Nasaruddin 2008). Namun informasi ilmiah mengenai jenis tersebut masih kurang. Oleh sebab itu IUCN memberikan status Least Concern (LC) (Iskandar et al. 2004).
Gambar 2. Katak Limnonectes grunniens memiliki otot kepala yang besar dalam posisi mencari mangsa.
Gambar 3. Gigi vomerine yang dimiliki oleh Limnonectes grunniens
Gambar 4. Distribusi Limnonectes grunniens di Sulawesi, Maluku, dan sebagian wilayah Papua. Wilayah yang berwarna merah bata menandakan keberadaan katak tersebut. Sumber: Iskandar et al. (2004). 2.3. Dinamika Populasi Populasi adalah sekelompok individu dari suatu jenis pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu. Sifat-sifat khas yang dimiliki oleh populasi adalah kerapatan
(densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku, dan pemencaran (disperse). Dem (deme) adalah populasi setempat yang merupakan sekelompok individu dimana setiap pasangan dalam kelompok tersebut memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Studi populasi mempelajari interaksi antar tingkatan organisasi yang bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam mempelajari populasi, acapkali digunakan model untuk menjelaskan representasi abstrak dari suatu proses perkembangan yang dapat diilustrasikan dalam bentuk verbal, grafik, dan persamaan matematika sehingga hubungan antar elemen penyusun dapat diberikan secara kualitatif dan kuantitatif. Proses pertumbuhan populasi dapat digambarkan sebagai lintasan suatu objek yang berubah tempat atau status dari satu titik ke titik yang lain. Perubahan status tersebut merupakan proses dinamis dalam sistem hayati yang berlangsung menurut dimensi waktu (Alikodra 1990; Tarumingkeng 1994). Secara umum individu-individu dalam populasi menyebar dalam tiga pola spasial, yaitu: pola acak, pola mengelompok, dan merata. Pada sebaran acak pada individu-individu anggota populasi suatu jenis menunjukkan bahwa terdapat keseragaman (homogeneity) dalam lingkungan hidup
jenis tersebut atau adanya
perilaku non selektif jenis yang bersangkutan dalam lingkungan hidupnya. Pada pola sebaran tidak acak (non random) penyebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu sebagaimana yang dapat diamati pada hewan yang merumput (Begon et al. 2006). Tarumingkeng (1994) mengemukakan beberapa faktor penyebab adanya perbedaan pola spasial, yaitu: 1. Faktor vektorial yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah angin, arah aliran air, dan intensitas cahaya. Contohnya pada berbagai tanaman yang mampu berkecambah atau tumbuh mengikuti aliran air dan menyebar di tepi sungai. 2. Faktor reproduktif yaitu yang berkaitan dengan cara berkembang biak 3. Faktor sosial sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu misalnya perilaku teritorial.
4. Faktor-faktor koaktif yang timbul karena persaingan intra-spesies. 5. Faktor-faktor stokastik, karena adanya keragaman acak dalam salah satu faktor diatas. 2.4. Metode Estimasi Populasi Memperkirakan
jumlah
individu
dalam
suatu
populasi
harus
mempertimbangkan beberapa aspek. Salah satunya adalah sifat mobilitas atau pergerakan jenis yang akan dipelajari. Untuk jenis yang bergerak (fauna) cara yang umum digunakan adalah metode capture-recapture (Tangkap-Tanda-Tangkap), metode kuadrat, dan transek garis, sedangkan untuk jenis yang tidak bergerak (umumnya flora) dapat digunakan metode kuadrat. Salah satu cara pendekatan untuk mengetahui jumlah individu dalam suatu populasi adalah dengan metode penangkapan, pemberian tanda pengenal dan penangkapan kembali (capture, mark, recapture method). Metode tersebut memiliki 3 parameter pendekatan, yaitu kerapatan populasi (N), laju kelahiran dan laju kematian. Beberapa metode capture recapture yang digunakan adalah metode Petersen, Schnabel, dan Jolly-Seber. Schnabel (1938) menjelaskan beberapa asumsi yang digunakan dalam metode capture recapture adalah sebagai berikut: 1. Individu yang diberi tanda pengenal maupun tidak pada setiap periode penangkapan tertangkap secara acak. 2. Individu yang bertanda pengenal maupun yang tidak memiliki mortalitas yang sama. 3. Tanda yang diberikan pada individu–individu sampel tidak hilang sampai periode penangkapan berikutnya. 4. Pemberian tanda pengenal tidak mempengaruhi hidup individu dan tidak memudahkan atau mempersulit penangkapan berikutnya. Penelitian pergerakan hewan dan pendugaan parameter demografi, misalnya populasi dan ketahanan hidup memerlukan penandaan yang unik pada hewan yang diteliti. Penandaan dapat bersifat permanen atau tidak permanen, spesifik berdasarkan waktu atau spesifik per individu. Penandaan pada Amfibi, terutama katak umumnya
menggunakan pemotongan jari. Sebagian atau satu bagian utuh jari dipotong menggunakan gunting tajam dan penomeran diperoleh dari kombinasi unik jari-jari yang dipotong (Hero 1989). Pemotongan jari merupakan salah satu cara termurah dan cepat dalam memberikan penandaan pada katak (Donnely & Guyer 1994). Selain itu jari katak yang dipotong dapat digunakan sebagai bahan dalam analisis genetik dan tulang bagi pendugaan umur dan diagnosis infeksi jamur (Berger et al. 2000). Alternatif selain metode pemotongan jari antara lain adalah penggunaan flourescent elastomer yang disuntikan kedalam bagian kulit katak, penandaan pada kulit (tato), dan menggunakan gelang (banding). Metode Flourescent sulit dilakukan di Indonesia karena sulit mencari pigmen, sedangkan metode tato dan banding tidak mudah dilakukan pada katak karena anatomi dan sifat kulitnya (Halliday 1996). Metode lain yang dapat digunakan adalah tag Passive Integrated Ttransponder (PIT) untuk mengenali amfibi secara individu, namun harganya relatif mahal. 2.5. Pemanenan Satwa Liar Eksploitasi berlebihan oleh manusia saat ini diduga telah mengancam sepertiga Mamalia dan burung yang genting dan rentan kepunahan (Hilton & Taylor 2000). Untuk dapat bertahan hidup manusia selalu berburu atau memanen makanan serta sumber alam lainnya. Namun dengan semakin bertambahnya populasi manusia pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan meningkat pesat, sementara cara-cara pemanenan juga semakin efisien (Redfort 1992). Pada banyak daerah di dunia, daging hewan liar atau “bushmeat” adalah sumber protein yang penting. Menurunnya populasi hewan akibat perburuan hewan yang instensif disebut krisis “bushmeat” dan menjadi perhatian utama di bidang hidupan liar. Solusi untuk masalah ini adalah pembatasan penjualan dan pengangkutan
bushmeat,
perluasan
perlindungan
dengan
membuat
daerah
perlindungan dan yang paling penting adalah menyediakan alternatif sumber protein untuk mengurangi permintaan bushmeat (Robinson et al. 1999). Namun mengingat kultur kebudayaan yang ada mungkin telah lama memasukan bushmeat sebagai
makanan tradisional, maka dalam beberapa hal perlu dilakukan upaya rekonsiliasi antara konservasi dengan budaya dan kebiasaan setempat, agar perubahan perilaku maupun pola konsumsi dapat terjadi secara partisipatif dan tidak menimbulkan keresahan setempat (Indrawan et al. 2007) Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tropis Asia sudah mempunyai budaya berburu selama 40.000 tahun. Namun sejak 50 tahun terakhir, tujuan berburu sudah berubah dari hanya untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari menjadi tujuan komersial untuk memenuhi permintaan pasar. Target perburuan terhadap jenis tertentu mengakibatkan punahnya jenis tersebut (Corlett 2007). Kondisi tersebut diperparah dengan status jenis yang terancam punah atau langka, maka harga jual jenis tersebut semakin tinggi. Kondisi tersebut sama dengan hukum ekonomi, dimana jenis barang yang sifatnya langka akan mahal harganya. Hal tersebut disebut sebagai Anthropogenic Allee Effect (Courchamp et al. 2006). Hal tersebut menimbulkan banyak masalah lanjutan, karena hilangnya jasa lingkungan yang dimiliki jenis tersebut. Salah satu contoh pemanfaatan satwa liar di Indonesia adalah pemanenan paha katak untuk dikonsumsi dan hewan peliharaan. Jenis yang dipanen untuk konsumsi adalah Fejervarya limnocharis, Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon. Pemanenan paha katak untuk permintaan pasar domestik dan tujuan ekspor ke Eropa, Asia, dan Amerika sudah dilakukan sejak tahun 1969. Nilai ekspor tersebut berfluktuasi yaitu 28 ton pada tahun 1969, kemudian meningkat menjadi 5600 ton pada tahun 1992, dan menurun kembali menjadi 3800 ton pada 2002 (Gambar 5). Peningkatan yang drastis pada tahun 1992 karena eksportir utama dunia pada saat itu (India), dilarang melakukan pemanenan karena terjadi over-harvesting, sehingga jenis tersebut mengalami penurunan populasi yang drastis. (Oza 1990; Veith et al. 2000; Kusrini & Alford 2006). Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih melakukan ekspor terhadap 58 jenis dari 8 Famili amfibi, dan L. grunniens merupakan salah satu jenis yang termasuk dalam kuota perdagangan tersebut (Kusrini 2005; Mikrimah 2009).
G Gambar 5. Pemanenan P d perdaganngan paha katak dan k di Indoonesia. A. Poola pemanennan katak yangg dilakukan dari pengum mpul sampaii ke konsum men; B. Jumllah ekspor pahha katak darri 4 pulau besar b di Indonesia; C. Jumlah J eksppor paha katakk dari Indoneesia dari tahuun 1969-20003; D. Jumlaah ekspor paaha katak dari Indonesia I kee masing-maasing negaraa tujuan di Erropa dan Assia. Sumber: Kusrini K (20055). Pemeerintah dann industri sering s menyyatakan bahhwa dengann menerapkkan p prinsip-prins sip pengelolaan ilmiah modern, m pem manfaatan beerlebihan speesies liar dappat d dicegah. Dengan pola pikir serupa, berbagai puustaka pun teelah menggaambarkan tarraf m maksimal daalam pemannfaatan berkeelanjutan, diikenal dengaan istilah azaas panen letari ( (maximum sustainable s yield =MS SY). Panen lestari adaalah jumlah terbesar dari s sumberdaya yang dapat diambil setiiap tahunnyaa, yang denggan pertumbbuhan populaasi a alamiah dapat terbarukan tanpa mennggangu poppulasi terkait. Secara umuum azas pannen l lestari hany ya dapat terj rjadi pada situasi s lingkkungan yangg terkontrol dengan baik. K Kesulitan peenerapan azaas ini adalahh karena kebberadaan berrbagai faktorr tidak terduuga s seperti kond disi cuaca, merebaknya m p penyakit, pem manenan liarr, dan rusaknnya persediaaan s saat sumbeerdaya terseebut dipaneen. Lembagga komersiaal dan pem merintah juuga s seringkali tiidak memilikki informasii terkait menngenai bioloogi suatu sppesies, padahhal i informasi teersebut dipeerlukan dalaam membuaat perhitunggan yang akkurat. Hal ini
menyebabkan pengambilan sumberdaya dalam jumlah besar mengakibatkan penurunan spesies secara tiba-tiba (Essington 2001). Dampak pemanenan satwa liar di alam sudah terlihat dan tercatat berdasarkan hasil penelitian. Sasaki et al. (2009) mempelajari dampak perburuan terhadap Japanese mamushi (Gloydius blomhoffii) yang merupakan ular berbisa endemik di kepulauan Jepang. Hasil penelitian menemukan bahwa populasi yang mengalami tekanan perburuan tinggi berukuran lebih kecil, memiliki jumlah tulang vertebrae lebih sedikit, menghasilkan telur yang lebih sedikit, dan berperilaku lebih waspada terhadap ancaman predator dibandingkan populasi yang tidak mengalami perburuan. Dampak pemanenan katak di Indonesia juga terlihat pada populasi Limnonectes di Kalimantan. Hal tersebut dilaporkan Iskandar (2005) bahwa sebagian besar jenis Limnonectes yang ditemukan berada pada tahap juvenile dan dewasa muda, yaitu dari 57 spesimen yang ditemukan, hanya 5 individu yang mendekati ukuran maksimum dewasa. Hal tersebut disebabkan oleh pemanfaatan masyarakat lokal terhadap jenis tersebut. Salah satu penyebab tidak langsung adalah terbunuhnya katak tersebut karena penggunaan racun pada kegiatan pemancingan (Meijaard et al. 2005). Dampak lain dari tingginya gangguan manusia terhadap keberadaan satwa liar adalah perubahan perilaku dan ekologi, seperti: meninggalkan habitatnya, merubah pola aktivitas hidupnya, perubahan tingkat kewaspadaan, perubahan kelimpahan dan distribusi, atau malah dapat beradaptasi dengan tingkat gangguan yang tinggi (Griffiths & van Schaik 1993; Peres & Dolman 2000; Di Bitetti et al. 2008).
III. MET TODE PEN NELITIAN 3 Lokasi dan Waktu 3.1. u Penelitian L o yang terlettak pada possisi Peneelitian dilakuukan di kawaasan hutan Lambusango g geografis 5009’-5024’ LS L dan 1222043’-23007’B BT, Pulau Buton, B Proppinsi Sulaweesi T Tenggara (G Gambar 6). Hutan Lam mbusango terdiri t atas 2 wilayah,, yaitu Suaaka M Margasatwa a Lambusanggo dengan luuas 28.510 ha dan hutan produksi selluas 35.000 ha ( (Singer & Pu urwanto 20006).
G Gambar 6. Peta P lokasi penelitian di dalam d Hutann Lambusanggo, Pulau Buuton, Sulaweesi Tenggara. Peta merupaakan modifikkasi dari Carrlisle (2002). Peneelitian dilakuukan pada buulan Juni sam mpai Agustuus 2009. Penngambilan daata p populasi katak Limnonectes grunnniens dilakuukan di 6 trransek di daalam kawassan H Hutan Lamb busango, yaiitu: Anoa, Bala, B Ladonggkula, Lapaggo, Lasolo, dan d Wahalakka. T Transek Anoa terletak dalam wilayyah admistraasi Kecamattan Kapontoori, Kabupatten B Buton dengaan posisi geeografis padaa 51 M, 04886260, 94155307 (UTM)). Kawasan ini m merupakan bagian b dari Suaka Marggasatwa Lam mbusango dibawah penggelolaan Baalai K Konservasi Sumberdayaa Alam (BK KSDA) Sulaw wesi Tenggaara. Desa teerdekat denggan
transek Anoa adalah Wakangka yang berjarak ± 8,5 km. Anoa dapat ditempuh selama 5 - 6 jam dengan berjalan kaki. Akses yang dapat digunakan hanya berupa jalan setapak yang digunakan oleh masyarakat yang mencari rotan. Masyarakat yang tinggal di desa Wakangka rata-rata berprofesi sebagai petani dan masih sering mengumpulkan hasil hutan, seperti rotan dan madu. Transek Bala berada dalam kawasan administrasi Kecamatan Lasalimu, dengan posisi geografis berada pada 51 M, 0495524, 9416715 (UTM). Status kawasan ini merupakan hutan produksi yang berada dibawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. Desa terdekat dengan transek adalah Lawele adalah desa Wabau yang berjarak ± 5,14 km dan dapat ditempuh selama 3 - 4 jam dengan berjalan kaki. Masyarakat yang tinggal di kedua desa tersebut rata-rata berprofesi sebagai petani dan masih sering masuk hutan untuk mengumpulkan rotan dan madu. Pada waktu lampau, masyarakat masih sering melakukan penebangan kayu komersil untuk dijual. Namun saat ini sudah berkurang seiring dengan maraknya operasi yang dilakukan pihak BKSDA dan Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. Transek Ladongkula berada di wilayah administrasi Kecamatan Lasalimu dengan posisi geografis berada pada 51M 0490533, 9428626 (UTM). Status Ladongkula bukan sebagai kawasan perlindungan dan letaknya berada di daerah pantai Kakenawe. Akses ke tempat ini sangat mudah karena terletak di pinggir jalan utama menuju desa Kakenawe dan Labundo-bundo. Daerah ini juga sering dikunjungi sebagai objek wisata karena memiliki air terjun yang cukup besar. Desa terdekat yang berada dengan kawasan ini adalah Labundo-bundo dan Kakenawe. Masyarakat desa tersebut banyak yang mencari kayu bakar, belut, dan udang di dalam kawasan tersebut. Transek Lapago berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Lasalimu dengan posisi geografis terletak pada 51M 0485588, 9423783 (UTM). Status Lapago merupakan Suaka Margasatwa Lambusango yang berada dalam pengelolaan BKSDA Sulawesi Tenggara. Lapago terletak di pinggir jalan utama menuju ke Kecamatan Kapontori dan bersebelahan dengan perkebunan yang dimiliki masyarakat. Namun untuk mencapai lokasi transek diperlukan waktu sekitar 1 jam dengan berjalan kaki.
Desa terdekat dengan kawasan ini adalah Labundo-bundo dengan jarak 2 km. Masyarakat yang berada disekitar kawasan masih sering mengambil hasil hutan, seperti kayu dan rotan, walaupun status lahannya merupakan daerah perlindungan. Hal tersebut karena kemudahan akses untuk masuk dan membawa hasil hutan keluar dari kawasan. Kawasan ini juga merupakan tempat penelitian Operation Wallacea yang dilakukan setiap tahun dan sudah memiliki base camp permanen. Operation Wallacea sudah membangun grid-grid pengamatan untuk kegiatan penelitian dan monitoring tumbuhan dan satwa. Transek Lasolo berada di wilayah administrasi Kecamatan Siontapina dengan posisi geografis 51M 0504830, 9408355 (UTM). Status Lasolo merupakan hutan produksi yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. Desa terdekat dengan kawasan ini adalah Sumber Sari, yang didominasi oleh transmigran dari Pulau Jawa. Masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai petani sawah tadah hujan, perkebunan coklat dan kopi. Jarak antara desa terakhir dengan transek adalah 6,6 km yang dapat ditempuh selama 4-5 jam dengan berjalan kaki. Kontur wilayah Lasolo relatif datar dan vegetasi di sekitar kawasan banyak didominasi oleh semak belukar. Transek Wahalaka berada di wilayah administrasi Kecamatan Pasar Wajo dengan posisi geografis 51M 0480763, 940648. Status kawasan Wahalaka merupakan Suaka Margasatwa Lambusango yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Sulawesi Tenggara. Desa terdekat dengan kawasan Wahalaka adalah Wining yang berjarak 5,4 km. Profesi sebagian besar masyarakat di desa tersebut adalah petani, namun sebagian masyarakat bekerja di sektor pertambangan. Perusahan tambang beroperasi di Desa Wining untuk mengekstraksi aspal dari alam yang diolah menjadi aspal komersial untuk tujuan ekspor (Singer & Purwanto 2006). Pengambilan data persepsi masyarakat tentang pemanfaatan katak L. grunniens dilakukan di 4 desa, yaitu: Labundo-bundo, Wabau, Wakangka, dan Waondowolio.
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta wilayah untuk menentukan areal kerja, senter kepala, kamera (Canon 590 is), meteran gulung, termometer, Global Positioning System (Garmin 76 CSx), jam tangan (Casio), kaliper dengan ketelitian 0,1 mm, timbangan (Pesola) 10, 50, 100, 5000, dan 1000 gr, pita transek, alat tulis, kantung plastik, dan gunting. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70% yang berfungsi untuk mengawetkan potongan jari katak. 3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Karakteristik dan Kondisi Habitat Data karakteristik habitat katak yang dicatat meliputi: lebar sungai, tipe substrat, tipe aliran, dan kondisi vegetasi yang dominan di setiap lokasi transek. Pengambilan data dilakukan sebanyak 4 malam di setiap lokasi. Pengamatan dilakukan pada pukul 19.00 WITA sampai dengan selesai (bergantung pada jumlah katak yang terdeteksi). Data abiotik yang dicatat meliputi: temperatur udara, air, dan kelembaban relatif dicatat pada saat titik awal transek (0 m) dan di titik akhir transek (1000 m). 3.3.2. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Populasi Pengukuran morfologi dilakukan setelah katak tertangkap, yang meliputi ukuran SVL (Snout-Vent Lenght-Ukuran dari moncong sampai kloaka pada katak) dan HW (Head Width-Ukuran lebar kepala yang diukur pada bagian terluar rahang) (Gambar 7) menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,1 mm. Katak kemudian ditimbang menggunakan timbangan Pesola dengan ketelitian 0,1 gr Estimasi populasi katak dilakukan dengan metode capture recapture. Pengamatan dilakukan dengan membuat transek sepanjang 1000 m mengikuti aliran sungai yang merupakan habitat katak L. grunniens di 6 lokasi penelitian (Gambar 8). Penandaan dalam transek dilakukan setiap 10 m menggunakan pita, sehingga dapat memperkirakan distribusi katak yang terdapat di dalam transek. Pengambilan data
d dilakukan seebanyak 4 malam m di maasing-masinng transek, sehingga totaal pengamattan a adalah 24 malam. m Penggamatan dilaakukan padaa pukul 19.000 WITA sampai denggan s selesai (berg gantung padaa jumlah kattak yang terddeteksi).
G Gambar 7. Pengukurann SVL (Snoout-Vent Leenght) dan HW (Headd Width) yaang dilakukan d teerhadap katakk Limnonecttes grunniens.
G Gambar 8. Ilustrasi peengamatan katak k dan pengambilan p n data yang dilakukan di sepanjang s transek.
Pengamatan di sepanjang transek dilakukan dengan bantuan cahaya lampu kepala untuk mendeteksi keberadaan katak. Katak yang berada di dalam transek ditangkap menggunakan tangan kosong, kemudian dicatat karakteristik morfologi dan ditandai dengan cara memotong jari katak menggunakan gunting steril sesuai kode unik Hero (1989) (Gambar 9). Potongan jari disimpan dalam larutan alkohol 90% untuk penelitian lain di luar penelitian ini. Upaya meminimalkan dampak pemotongan jari terhadap katak dilakukan dengan cara menggunakan alat-alat yang steril dan membasuh dengan alkohol setiap selesai melakukan penandaan. Pemotongan jari ke-1 ekstrimitas depan (thumb) dihindari, karena bagian tersebut digunakan untuk amplexus pada saat proses reproduksi. Pengamat mencatat jarak katak terhadap peneliti, jarak katak terhadap keberadaan air yang terdekat, dan jarak katak ke tempat yang memungkinkan untuk bersembunyi, seperti: batu, kayu, dan batang yang tumbang. Katak yang terdeteksi dikategorikan menjadi 3, yaitu: pertama adalah tertangkap dan kemudian diberi tanda (new), kedua adalah pernah tertangkap dan sudah bertanda (recapture), dan yang ketiga adalah tidak berhasil ditangkap (escape). Setelah semua data dicatat, maka katak akan dilepas kembali ditempat ketika tertangkap. Semua data yang diperoleh ditabulasikan untuk dilakukan analisis selanjutnya.
G Gambar 9. Kode unik penandaan jari katak Limnonectees grunnienss yang sesuuai dengan d Heroo (1989). 3 3.3.3. Strateegi Aktivitaas dan Kewaaspadaan Teerhadap Predator Strattegi beraktivvitas (foragging) katak L. grunnieens diamati dengan caara m memplotkan n katak berddasarkan ukuuran tubuh (S SVL) di dalam transek terhadap jarrak k tempat perlindungan ke p n dan air. Pengamatann tingkat keewaspadaan L. grunnieens d dilakukan deengan mengukur jarak katak k terhadaap pengamatt sebelum kaatak melarikkan d ketika mendeteksi diri m keberadaan pengamat. Pengamat dianggap d sebbagai predattor d jarak peengamat terhhadap katak dianggap seebagai nilai Flight Initiaation Distannce dan ( (FID). 3 3.3.4. Pola Pemanfaata P an Katak Peneelitian perseepsi masyarakat terhadaap pemanfaaatan katak L. grunnieens d dilakukan untuk u mengeetahui sejauuh mana pemanfaatan dan d pola yaang dilakukkan m masyarakat lokal terhaadap populasi katak L. L grunnienns. Penentuuan respondden d dilakukan seecara purpossive samplinng berdasarkkan kemudahhan akses desa d respondden t terhadap huttan, dan aktiivitas masyaarakat yang dilakukan d di dalam hutann. Hal tersebbut d dilakukan
untuk meniingkatkan efektivitas daan menguraangi dampakk keterbatassan
waktu dan dana (Nyhus et al. 2003). Penelitian tersebut digolongkan pada penelitian deskriptif. Menurut Walpole (1992) penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai keadaan suatu individu, gejala atau kelompok tertentu, dalam hal ini lebih lanjut akan dianalisis berdasarkan gejalagejala yang ditimbulkan. Pada tahap ini, dilakukan evaluasi pada data dasar keberadaan masyarakat berupa data dari Kantor administratif setempat. Penelitian persepsi masyarakat dilakukan di 4 desa yang berada di sekitar Hutan Lambusango, yaitu: Labundo-bundo, Wabau, Wakangka, dan Waondowolio. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan didampingi oleh asisten lokal yang mengetahui bahasa setempat dengan jumlah responden sebanyak 80 orang (Tabel 1). Wawancara dilakukan secara informal dengan menggunakan kuisioner dan melampirkan foto katak L. grunniens. Peneliti menunjukkan foto katak kepada responden agar dapat dipastikan jenis katak yang diambil dari hutan. Peneliti juga mencatat nama lokal katak L. grunniens yang dikenal oleh responden. Wawancara tersebut dilakukan untuk mendapatkat informasi: 1.
Tingkat pendidikan, umur, dan agama yang dianut masyarakat di sekitar lokasi penelitian.
2.
Pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
3.
Pola pemanfaatan katak L. grunniens oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian.
Tabel 1. Jumlah responden di masing-masing desa ∑Kepala Keluarga
∑ Responden
Labundo-bundo
71
20
Rentang Umur Responden (Tahun) 25 – 65
Wabau
69
20
22 - 72
Wakangka
65
20
20 - 70
Waondowolio
82
20
20 - 65
Desa
3.4. Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalis menggunakan Microsoft Excel dan Sofware statistik (SPSS versi 13.0). Berat dan ukuran tubuh katak dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Frekuensi ukuran tubuh (SVL dan HW) dan berat tubuh di setiap lokasi dianalisis dengan statistik deskriptif untuk melihat pola dan perbandingan di setiap lokasi. Analisis Variansi (ANOVA) digunakan untuk menganalisis perbedaan antara ukuran tubuh, dan estimasi populasi di setiap lokasi sampling. Pengamatan yang tergolong singkat (4 malam) menganggap tidak terjadinya perubahan dalam populasi (populasi tertutup). Data yang diperoleh ditabulasi untuk melakukan analisis selanjutnya (Tabel 2). Tabel 2. Tabulasi data capture-recapture Hari i 1 2 3 4
ni
ri
Jumlah hewan yang ditandai pada hari ke1 2 3 4
Keterangan: i = hari ni = Total jumlah hewan yang tertangkap ri = Total jumlah hewan yang dilepas
Estimasi populasi katak dihitung berdasarkan rumus Schnabel (1938), yaitu: N =
∑
M ∑
dimana N adalah estimasi populasi katak, Ct adalah jumlah katak yang tertangkap pada hari ke-i, Mt adalah jumlah katak yang diberi tanda pada hari ke-i, dan Rt adalah jumlah katak yang tertangkap kembali setelah diberi tanda pada hari ke-i (Schnabel 1938; Krebs 1999). Kelimpahan Relatif (KR) katak di setiap transek dihitung
berdasarkan jumlah individu yang tertangkap berbanding dengan jumlah individu yang terdeteksi. Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan estimasi populasi katak L. grunniens di setiap lokasi penelitian dengan memperhitungkan faktor-faktor pendukung lainnya, seperti kondisi habitat, jarak dari desa terdekat, dan tingkat gangguan yang terjadi di setiap lokasi. Data korespondensi yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data tersebut akan memberikan gambaran pola pemanfaatan katak L. grunniens dan kemungkinan dampak yang timbul dari kegiatan tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik Habitat Katak Limnonectes grunniens Seluruh lokasi penelitian merupakan dataran rendah, yaitu mulai dari 1 m dari permukaan laut (dpl) pada transek Ladongkula sampai 473 m dpl pada transek Anoa. Kondisi sungai pada transek Lasolo merupakan satu-satunya yang paling lebar, memiliki substrat lumpur dan lebih dalam dibandingkan dengan transek lain yang didominasi oleh batu dan cenderung dangkal (Gambar 10; Tabel 3). Sementara pada transek Bala pada beberapa bagian sungai terdapat jeram-jeram dan air terjun kecil. Sungai-sungai ini umumnya memiliki vegetasi yang rapat dengan sistem perakaran banir. Pada daerah Ladongkula, banyak masyarakat yang mencari kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar di daerah tersebut. Khusus untuk daerah Lasolo kondisi vegetasi di sepanjang sungai cenderung terbuka dibandingkan daerah lainnya. Hal tersebut terjadi karena Dinas Kehutanan melakukan pemanenan kayu-kayu yang berada di kawasan tersebut.
Gambar 10. Kondisi habitat di masing-masing transek: A. Anoa, B. Bala, Ladongkula, D. Lapago, E. Lasolo, F. Wahalaka.
C.
Tabel 3. Karakteristik sungai di masing-masing transek. Transek Anoa
Lebar (m) Kisaran RataRata 2,3 – 3,8 3,2
Kedalaman (cm) Kisaran Ratarata 25,0 – 57,0 38,5
Aliran
Substrat
Deras
Batu
Bala
2,6 – 5,8
4,1
20,0 – 62,0
43,9
Deras
Batu
Ladongkula
2,7 – 3,9
3,3
25,0 – 70,0
39,9
Deras
Batu
Lapago
1,8 – 3,4
2,6
29,0 – 69,0
49,4
Sedang
Batu
Lasolo
6,3 – 7,5
6,7
45,0 – 120,0
85,7
Lambat
Lumpur
Wahalaka
2,6 – 3,9
3,2
47,0 – 61,0
52,5
Sedang
Batu
Kondisi Banyak terdapat vegetasi dan lokasi sulit diakses Banyak terdapat vegetasi dengan sistem perakaran banir. Banyak terdapat jeram dan air terjun. Dominasi perdu dan semak dengan beberapa pohon. Kerapatan vegetasi rendah. Banyak terdapat jeram dan air terjun. Dominasi tingkat pohon dan tiang. Pada ujung transek terdapat air terjun. Relatif terbuka, dominasi semak belukar, dan tanaman perdu Tutupan kanopi relatif rapat, didominasi tingkat tiang dan pohon
G Gambar 11. Profil sunggai di masinng-masing trransek. Sisi kiri menunjjukkan ukurran lebar dan sisi kanan menunjukkan m n ukuran keedalaman di setiap 100 m meter transsek (aksis x). Kond disi temperaatur dan kellembaban reelatif di sem mua transek secara umuum t tidak berbed da jauh, yaituu untuk suhhu udara berkkisar 20 oC sampai 25 oC, suhu air 21 o
C – 24,2 oC dan kelem mbaban 91% % (Tabel 4). Suhu di Annoa dan Balla relatif lebbih
r rendah diban ndingkan lokkasi yang laiin karena keetinggian keddua transek tersebut t paling b besar diban ndingkan lokasi yang lain. Sedanngkan transeek Ladongkkula memiliiki t temperatur yang lebih tinggi dibanndingkan lookasi yang lain. Hal teersebut kareena k ketinggian lo okasi tersebuut sangat renndah (± 1 mddpl).
Tabel 4. Karakteristik temperatur udara, air dan kelembaban relatif (KR) di masingmasing transek. Udara (oC)
Lokasi
Air (oC)
Min.
Maks.
Rata-rata Min.
Anoa Bala Ladongkula Lapago Lasolo
21,5 20,0 24,0 22,0 23,0
23,5 25,0 25,0 24,0 24,0
22,4 22,2 24,2 23,2 23,6
Wahalaka
21,5
24,5
23,6
KR (%)
Maks.
Rata-rata
22,0 21,0 23,5 23,0 23,0
23,5 24,0 25,0 25,0 24,0
22,4 22,8 24,2 23,9 23,7
91,0 91,0 91,0 91,0 91,0
23,0
24,0
23,7
91,0
4.1.2. Karakter Morfologi dan Populasi Katak Limnonectes grunniens 4.1.2.1. Karakteristik Morfologi Pengamatan katak L. grunniens yang dilakukan selama 24 malam di 6 transek mencatat 819 individu terdeteksi oleh pengamat, yang terdiri atas: 520 individu tertangkap, 43 individu bertanda tertangkap kembali (recapture), dan 254 individu lepas. Jumlah individu yang terdeteksi terbanyak terdapat di transek Bala sejumlah 218 individu dan yang paling sedikit di transek di transek Lasolo sejumlah 35 individu (Tabel 5). Hasil analisis regresi memperlihatkan hubungan positif antara panjang tubuh (SVL) dengan berat tubuh L. grunniens dengan persamaan: SVL = 38,2355 + 0,800204 berat tubuh – 0,0018407 berat tubuh**2 + 0.0000014 berat tubuh**3 (r = 0,93; n = 519; p < 0.05) dan lebar kepala (HW) dengan persamaan: SVL = 5,33705 + 2,64216 HW – 0,0050063 HW**2 (r = 0.88; n = 519; p < 0.05) (Gambar 12). Hal tersebut memperlihatkan bahwa semakin besar berat tubuh dan lebar kepala, maka semakin besar ukuran tubuh (SVL) katak tersebut. Hubungan positif juga diperlihatkan antara berat tubuh dengan lebar kepala dengan persamaan: HW = 14,3202 + 0,241520 berat tubuh – 0,0002605 berat tubuh**2 (r = 0.91; n = 519; p < 0.05) (Gambar 13).
Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada L. grunniens
pertambahan lebar kepala berbanding lurus dengan pertambahan ukuran tubuh. Pola yang dimiliki oleh L. grunniens memiliki kesamaan dengan jenis F. limnocharisiskandari yang memiliki hubungan positif antara ukuran tubuh (SVL) dengan berat tubuh (Kusrini 2005). Tabel 5. Karakteristik ukuran (SVL & HW) dan berat tubuh katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek. Lokasi
N
Ukuran
SVL (mm)
HW (mm)
Berat Tubuh (gr)
Anoa
71,0
Bala
148,0
Ladongkula
110,0
Lapago
73,0
Lasolo
20,0
Wahalaka
98,0
Min. Max. Mean ± SD Min. Max. Mean ± SD Min. Max. Mean ± SD Min. Maks. Mean ± SD Min. Max. Mean ± SD Min. Max. Mean ± SD
31,6 200,0 66,8± 39,6 16,2 164,0 74,8±31,9 29,5 212,0 55,5±27,1 21,0 198,0 65,5±35,5 10,1 122,0 64,6±27,6 12,1 190,0 56,7±68,3
11,6 85,7 24,4±16,4 5,0 67,5 29,0±14,0 10,0 80,2 19,6±10,8 9,0 168,8 27,8±27,1 8,0 48,0 24,0±11,2 7,8 83,3 19,2±16,4
3,0 637,0 60,1±110,3 2,4 317,0 60,2±70,5 3,0 725,0 31,9±94,3 3,0 660,0 63,0±113,9 2,0 190,0 47,1±60,5 2,0 570,0 43,6±107,0
Gambar 12. Hubungan antara ukuraan tubuh (SV VL) dengan berat tubuhh (A) dan lebbar kepala (Heead Width) (B B) katak Lim mnonectes grrunniens.
G Gambar 13. Hubungan antara lebaar kepala (H HeadWidth) dengan beraat tubuh kattak Limnonectees grunnienss.
G Gambar 14. Ukuran tuubuh (SVL--mm) katakk Limnonecttes grunnienns di masinngmasing traansek: Min. = nilai tereendah; Maxx. = nilai teertinggi; Q1 = kuartil perrtama; Q2 = median; Q3 = kuarrtil ketiga, dalam tingkkat kepercayaaan 95%.
G Gambar 15. Berat tubuhh (gr) katak Limnonectes L grunniens di d masing-masing transekk.
G Gambar 16.. Lebar keppala (mm) katak k Limnoonectes grunniens di masing-masi m ng transek.
4.1.2.2. Estimasi Populasi Hasil pengamatan yang dilakukan di 6 transek memperlihatkan jumlah L. grunniens yang tertandai terbanyak di Bala sejumlah 149 individu dan yang paling kecil di Lasolo sejumlah 19 individu. Namun jumlah individu tertandai yang tertangkap (recapture) di masing-masing transek sangat kecil dan jumlah individu yang lepas (escape) cukup banyak (Tabel 6). Hal tersebut membuat estimasi populasi di masing-masing transek menjadi bias. Hasil analisis estimasi populasi dengan menggunakan rumus Schnabel (1938) memperlihatkan jumlah populasi terbesar berada di Ladongkula sebesar 3469,2 individu / km transek, sedangkan yang terkecil berada di Lasolo sebesar 224 individu / km transek. Kelimpahan relatif L. grunniens terbesar berada di Anoa sebesar 71% dan terkecil berada di Ladongkula sebesar 51,8 %. Jumlah estimasi populasi tersebut memiliki bias yang besar karena jumlah individu recapture sangat sedikit di masingmasing transek. Tabel 6. Estimasi populasi dan kelimpahan relatif katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek. Transek Anoa Bala Ladongkula Lapago Lasolo Wahalaka
D 100,0 218,0 171,0 141,0 35,0 154,0
M 71,0 149,0 110,0 73,0 19,0 98,0
R 5,0 15,0 7,0 5,0 2,0 9,0
E 24,0 54,0 54,0 63,0 12,0 47,0
N 1112,3 2421,3 3469,2 863,8 224 1646,4
KR (%) 71,0 68,3 64,3 51,8 54,3 63,6
Keterangan: D: Jumlah individu yang terdeteksi M: jumlah individu yang tertandai R: Jumlah individu yang tertandai dan tertangkap kembali N: Estimasi jumlah populasi /1 km transek KR: Kelimpahan relatif individu / 1 km transek
Pola distribusi ukuran panjang tubuh (SVL), lebar kepala (HW) dan berat tubuh katak L. grunniens di masing-masing transek diperlihatkan dengan cara melihat frekuensi ukuran SVL, HW dan berat tubuh (Gambar 18 - 20). Distribusi SVL, HW dan berat tubuh di Bala terlihat normal jika dibandingkan dengan lokasi lain. Ukuran SVL berkisar dari 25,9 – 160 mm (juvenile – dewasa) dan berat tubuh antara 2,4 –
317 gr (Tabel 5). Hal tersebut memberi gambaran distribusi katak pada tahap juvenile sampai dewasa. Pola distribusi SVL, HW dan berat tubuh di Ladongkula dan Wahalaka menunjukkan pola yang sama. Ukuran SVL didominansi pada kisaran 50 – 60 mm (juvenile), yang mengindikasikan katak masih pada tahap muda. Sedangkan katak yang SVL berukuran lebih dari 70 mm sangat sedikit, walaupun di Ladongkula tercatat katak yang berukuran SVL sampai dengan 212 mm, namun hanya 1 individu. Pola yang sama juga terlihat pada distribusi ukuran SVL di lokasi Anoa dan Lapago, yaitu populasi didominasi olah katak dengan ukuran SVL berkisar 60 – 70 mm (juvenile). Walaupun tercatat katak yang memiliki ukuran SVL 100-140 mm (dewasa), namun frekuensinya sangat sedikit. Pola sebaran katak L. grunniens berdasarkan ukuran SVL di dalam transek di masing-masing lokasi penelitian dilakukan dengan memplotkan ukuran SVL pada sumbu-Y dan panjang transek pada aksis-X (Gambar 17). Pola distribusi katak berdasarkan ukuran SVL di dalam transek sepanjang 1000 m memperlihatkan pola yang sama seperti distribusi frekuensi ukuran SVL dan berat tubuh di masing-masing lokasi penelitian (Gambar 18 – 20). Distribusi katak berdasarkan ukuran SVL dalam transek di Bala memperlihatkan distribusi hampir merata antara juvenile sampai dewasa. Namun pola di 5 lokasi yang lain memperlihatkan distribusi katak di dalam transek hanya di dominansi ukuran tertentu. Pengamatan pada tanggal 8 Agustus 2009 di transek Ladongkula menemukan sepasang L. grunniens sedang amplexus di sungai yang dangkal (Gambar 21). Katak tersebut meletakkan telurnya di aliran sungai yang terlindung oleh batu-batu, sehingga aliran air tenang. Namun katak tersebut melarikan diri karena menyadari keberadaan pengamat, sehingga diperoleh ukuran jantan dan betina. Temperatur air pada saat pengamatan adalah 23 oC dan temperatur udara 22 oC pada fase bulan penuh. Hal tersebut menandakan bahwa pada bulan Agustus merupakan waktu kawin bagi L. grunniens. Pengamatan pada tanggal 3 Agustus 2009 menemukan L. grunniens sedang memangsa katak Rana cf. mocquardii di transek Anoa (Gambar 22). Ukuran SVL L. grunniens yang memangsa adalah 72,9 mm dengan berat tubuh 44 gr. Sedangkan ukuran SVL mangsa adalah 44,1 mm.
G Gambar 17. Sebaran Limnonectes grunniens di d dalam traansek berdasarkan ukurran tubuh (SVL L) di masingg-masing trannsek.
G Gambar 18. Struktur populasi p Lim mnonectes grunniens g b berdasarkan ukuran tubuh (SVL) di masing-masin m ng transek.
G Gambar 19. Struktur poopulasi Limnnonectes grunnniens berdaasarkan beraat tubuh di masing-maasing transekk.
G Gambar 20. Struktur poppulasi Limnoonectes grunnniens berdaasarkan lebarr kepala (HW W) di masing-m masing transsek.
G Gambar 21. Katak Lim mnonectes grrunniens dallam posisi amplexus a daan meletakkkan telur di trannsek Ladonggkula.
G Gambar 22. Pemangsaaan yang dillakukan olehh katak Lim mnonectes grrunniens (kiiri) terhadap kaatak jenis Raana cf. mocqquardii (kanaan) di Transek Anoa. 4 4.1.3. Perila aku Katak Limnonectes L s grunniens 4 4.1.3.1. Stra ategi aktivittas (foragingg) Hasil penelitian memperlihaatkan bahwaa L. grunnieens yang meemiliki ukurran S SVL ≥ 100 mm (dewasa) memiliki jarak ke airr yang lebih besar dibanndingkan kattak y yang beruku uran SVL kurang k dari 100 mm. Hasil H analisiis regresi yaang dilakukkan
m menunjukan n ada hubungan yang signifikan (F = 56,6209; p < 0.05) antara ukurran S SVL katak k dengan jarak ke air, a yaitu semakin s beesar ukurann SVL maaka m memungkink kan jarak ke k air semaakin jauh. Strategi S foraaging katakk Limnonecttes g grunniens ju uga dilihat dengan d caraa memplotkaan pergerakan katak yaang tertangkkap k kembali seteelah dilakukkan penandaaan (recapturre) berdasarkkan ukuran SVL (Gambbar 2 Hasil teersebut mem 25). mperlihatkann katak yangg memiliki ukuran u SVL besar (SVL L= 2 mm) mampu 212 m melaakukan perggerakan sejauuh ± 150 m dalam waaktu 4 malaam. B Berbeda den ngan katak yang y memilikki SVL kecill areal pergeerakannya rellatif sempit
G Gambar 23. Pola sebaraan katak Lim mnonectes grrunniens di dalam d transeek berdasarkkan jarak ke tempat t perlinndungan (sheelter).
G Gambar 24. Pola sebaraan katak Lim mnonectes grrunniens di dalam d transeek berdasarkkan jarak ke air. a
G Gambar 25 5. Pola perrgerakan kaatak Limnonnectes grunnniens di dalam d transsek berdasarkkan ukuran tubuh (SV VL). Lingkaaran dengann garis pennuh menandakkan individuu juvenile daan lingkarann dengan garris putus-puttus menandakkan individuu yang berukkuran dewasaa.
G Gambar 26..
Jarak kaatak Limnonnectes grunnniens ke airr (cm) di masing-masi m ng transek.
G Gambar 27. Jarak katakk Limnonectees grunnienss ke tempat perlindungan p n (cm) di masing-maasing transekk.
4.1.3.2. Tingkat Kewaspadaan Respon katak terhadap predator (dalam hal ini pengamat) berbeda-beda pada setiap individu dan di setiap lokasi. Respon pertama yang dilakukan L. grunniens adalah diam dan mengamati keadaan sekelilingnya, kemudian ketika pengamat terus mendekat maka katak akan membalikkan badan untuk mencari jalan melarikan diri, kemudian meloncat kedalam air dan berenang menjauhi pengamat. Katak biasanya akan berdiam diri (freezing) di antara bebatuan yang berada di dalam sungai. Warna tubuh katak yang mirip dengan warna lingkungan sekitar membuat katak tersamar (Gambar 28). Strategi yang dilakukan L. grunnien tersebut berbeda-beda, bergantung pada ukuran tubuh. Katak yang berukuran tubuh kecil (juvenile) biasanya akan melompat kedalam air dan berenang tidak jauh dari tempatnya semula. Namun katak yang berukuran tubuh besar biasanya akan melompat sejauh-jauhnya dari tempat semula dan baru berdiam diri diantara bebatuan (freezing). Hal tersebut karena katak berukuran besar memiliki energi yang besar untuk melompat jauh menghindari predator, sedangkan katak berukuran kecil tidak memiliki energi besar untuk melakukan hal tersebut. Jarak katak terhadap pengamat di masing-masing transek memperlihatkan jarak tertinggi pada individu-individu yang berada di transek Lapago dengan rata-rata 52,6±109,7 cm. Jarak terendah pada individu-individu yang berada di transek Bala sebesar 7,7±28,2 cm (Tabel 7). Individu-individu di transek Lapago dan Ladongkula juga memperlihatkan tingginya jumlah individu yang memiliki nilai FID antara antara 200 – 600 cm, sedangkan individu-individu di transek Bala dan Anoa nilai FID dominan adalah 0 – 100 cm (Gambar 29).
G Gambar 28. Proses menghindari m predator yanng dilakukann oleh katakk Limnonecttes grunniens. 1. Katakk dalam posisi p wasppada dengaan menyadari u mencari keberadaann predator; 2. Katak membalikkaan tubuh untuk tempat perrsembunyiann; 3. Katak akan melom mpat ketika jarak j predattor semakin mendekat; m 4. Katak akan massuk kedalam m air unttuk menghindaari predatorr dan menccari persem mbunyian; 5. Katak akkan bersembunnyi di bawaah batu dalam posisi freezing seebagai benttuk kamuflase agar terhinddar dari detekksi predator.. T Tabel 7. Karrakteristik jaarak katak daari pengamatt (cm) di maasing-masingg transek Loka asi Anoa A B Bala L Ladongkula L Lapago L Lasolo W Wahalaka
Individu 99 218 171 140 35 154
Mean n ± SD 19,3± ±57,7 7,7± ±28,2 25,2± ±74,3 52,6± ±109,7 19,2± ±50,4 19,2± ±63,6
G Gambar 29..
Frekuenssi individu katak k Limnoonectes gruunniens berddasarkan jarrak terhadap peengamat di masing-masi m ing transek.
G Gambar 30. Jarak Limnonectes grunnniens terhadap pengam mat (cm) di masing-masin m ng transek
4.1.4. Pemanfaatan Katak Limnonectes grunniens Hasil wawancara memperlihatkan bahwa tiga desa (Labundo-bundo, Wabau, Waondowolio) memiliki penduduk yang hampir semuanya beragama Islam sementara desa Wakangka yang dihuni oleh transmigran Bali didominasi oleh penduduk beragama Hindu dan hanya 10 % beragama Islam. Profesi responden umumnya petani, sering masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar dan kebutuhan yang lain. Responden umumnya memiliki pendidikan di bawah SMA (Tabel 8). Responden mengenal katak L. grunniens berdasarkan foto yang diberikan oleh pewawancara. Mereka mengenal dengan berbagai bahasa lokal di masing-masing desa, yaitu: “kabehehe”, “mbalioge”, “kaberere”, manu pandanu ooe”, “kapuka”, dan “gadangan”. Nama yang umumnya di gunakan adalah “kabehehe” dan “mbalioge” bagi masyarakat lokal buton, sedangkan masyarakat transmigran di desa wakangka sering menggunakan istilah “gadangan”. Tabel 8. Karakterisktik responden di masing-masing desa Desa
Agama
Pendidikan (%) Tidak Sekolah
SD
SLTP
SLTA
Labundo-bundo
Islam
15
30
40
15
Wabau
Islam
20
60
20
0
Wakangka
Hindu
20
45
30
5
Waondowolio
Islam
0
30
60
10
Hasil wawancara memperlihatkan masyarakat lokal memanfaatkan katak sebagian besar untuk dimakan (sumber protein), dan sisanya untuk umpan mencari belut. Masyarakat yang mengkonsumsi katak terbesar berada di desa Wakangka sebesar 90% sedangkan di 3 desa lainnya relatif kecil (dibawah 50%) (Tabel 9). Hal tersebut berkaitan dengan agama yang dianut oleh masyarakat masing-masing desa. Masyarakat yang beragama Islam percaya bahwa katak merupakan barang haram yang harus dihindari, walaupun ada masyarakat yang beragama Islam yang tetap mengkonsumsi katak tersebut. Sedangkan masyarakat di desa Wakangka yang dominan beragama Hindu tidak mengenal istilah haram.
Tabel 9. Pemanfaatan katak di masing-masing desa
Desa
Tangkap katak (%)
Tidak Tangkap Katak (%)
Tujuan menangkap (%)
Alasan tidak menangkap (%)
Labundo-bundo
45
44
22
33
55
73
Tidak tahu 27
Wabau
35
0
100
0
65
30
70
Wakangka
90
100
0
0
10
100
0
Waondowolio
30
100
0
0
70
86
14
Makan
Umpan
Lainnya
Haram
Pemanfaatan katak yang dilakukan masyarakat bervariasi di setiap desa. Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat dikategorikan menjadi 3, yaitu: sering (jika pengambilan katak dilakukan antara 1 – 5 bulan, minimal 1 kali), sedang (jika pengambilan katak dilakukan 9 – 11 bulan, minimal 1 kali), dan jarang (jika pengambilan katak hanya 1 tahun sekali). Desa Wakangka tergolong sering melakukan pengambilan katak dibandingkan 3 desa lainnya (Tabel 10). Masyarakat di desa tersebut menangkap katak untuk di konsumsi, sehingga katak yang ditangkap rata-rata berukuran besar sampai sedang. Hal tersebut karena dengan semakin besar ukuran katak yang ditangkap, maka daging yang bisa dimanfaatkan akan lebih banyak. Penangkapan katak yang dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu senter atau obor. Responden di desa Labundo-bundo dan Wabau pada umumnya menangkap katak hanya dengan tangan kosong, sedangkan masyarakat di desa Wakangka dan Waondowolio menggunakan alat berupa: parang, tombak, atau batu. Penggunaan alat dalam menangkap katak dapat berakibat luka (trauma) pada katak ketika katak tidak berhasil di tangkap. Hal tersebut dapat mempengaruhi ketahanan hdup katak di alam akibat trauma yang ditimbulkan.
Tabel 10. Penggunaan alat dan frekuensi penangkapan di masing-masing desa Penggunaan Desa
Alat (%)
Frekuensi Penangkapan (%)
Ukuran yang ditangkap (%)
Ya
Tidak
Sering
Sedang
Jarang
Besar
Sedang
Kecil
Labundo-bundo
44
56
0
56
44
44
11
22
Wabau
29
71
0
100
0
0
0
100
Wakangka
89
11
62
33
5
94
0
6
Waondowolio
85
17
50
33
17
67
33
0
Pola pemanfaatan katak di masing-masing desa berbeda-beda, namun faktor agama nampaknya berpengaruh besar terhadap pola pemanfaatan tersebut, walaupun tidak
dilakukan
analisis
secara
kuantitatif
dalam
penelitian
ini.
Namun
kecenderungan tersebut sangat besar. Masyarakat yang beragama Islam masih percaya bahwa katak haram dan berusaha menghindarinya, sedangkan masyarakat transmigran yang beragama Hindu tidak memiliki kepercayaan tersebut. Hal tersebut tingkat pemanfaatan katak oleh masyarakat yang beragama Hindu relatif tinggi dibandingkan masyarakat yang beragama Islam (Gambar 31). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 80 reponden di 4 desa memperlihatkan bahwa pemanfaatan katak yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Responden menjelaskan bahwa mereka menangkap katak ketika masuk ke hutan untuk mencari rotan, madu, atau belut. Mereka biasanya menginap di dalam hutan dengan membawa perbekalan seadanya. Mereka akan mencari makanan tambahan sebagai lauk di dalam hutan, seperti: udang dan katak. Namun mereka tidak menganggap katak mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga mereka tidak pernah menjual atau membelinya. Mereka biasanya mencari belut Sulawesi (Anguilla celebensis) yang panjangnya lebih dari 70 cm (Singer & Purwanto 2006), dengan harga perkilogram di penampung mencapai Rp. 30.000 dalam keadaan hidup. Penampung biasanya berasal dari Kota Bau-bau yang datang rutin ke desa-desa untuk membeli belut tersebut. Belut tersebut akan dijual ke rumah makan di kota. Beberapa responden juga mengatakan bahwa tokek (Famili
Geckonidae) mempunyai harga jual yang tinggi sebagai obat cina, yaitu sekitar Rp. 2.000.000/kg kering. Namun tokek sulit didapat sehingga jarang orang mampu mengumpulkan sampai sebanyak itu.
Gambar 31. Perbandingan pola pemanfataan katak di desa Labundo-bundo yang dominan beragama Islam (A) dan di desa Wakangka yang dominan beragama Hindu (B).
Pemaanfaatan kattak di 4 dessa tersebut memperlihaatkan masingg-masing deesa m mempunyai daerah tujuuan untuk melakukan ekstraksi hasil h hutan (Gambar 322). L Lokasi ekstrraksi tersebuut terkait dengan jarak antara a desa dengan hutaan yang massih m memiliki potensi p sum mberdaya. Desa D Labunndo-bundo jaraknya dekat d denggan L Ladongkula dan Lapagoo. Desa Waoondowolio dan d Wakanggka jaraknyaa dekat denggan L Lapago. Sed dangkan Desa Wabau jaraknya dekkat dengan Bala. B Kedekkatan jarak itu i m memudahka an akses massyarakat untuuk masuk ke lokasi terssebut untuk mengekstrakksi s sumberdayan nya. Berdasarkan hasil pengamatan p terlihat bahhwa Lapago paling banyyak d kunjungi oleh masyaarakat dari 3 desa karenna kemudahaan akses dann ketersediaaan di s sumberdaya yang memillki nilai ekonnomi tinggi..
Gambar 32. 3 Pola pem manfaatan kattak Limnoneectes grunnieens di 4 desaa responden. 4 Pembah 4.2. hasan Hasil pengamattan kondisi temperaturr udara dann air di semua s transsek m merperlihatk kan tidak jaauh berbedaa, yaitu berrkisar antaraa 20 – 25 oC. Katak L. g grunniens merupakan m s satwa ektoteerm yang membutuhny m ya kisaran dan d kestabillan
temperatur untuk mendukung kehidupannya. Menurut Goin et al. (1978) pada umumnya katak dapat hidup pada temperatur 3 – 41 oC. Kondisi temperatur di semua transek masih dalam kisaran tersebut, sehingga mampu mendukung kehidupan katak L. grunniens. Kestabilan temperatur tersebut juga terkait dengan keberadaan vegetasi yang ada disekitar transek. Vegetasi yang berada di sekitar kawasan mampu menjaga kestabilan temperatur mikro habitat katak L. grunniens. Karakteristik sungai di masing-masing transek memperlihatkan rata-rata sungai bertipe dangkal, bersubstrat batu dan memiliki aliran yang deras, kecuali sungai di Lasolo. Hal tersebut bisa menjadi alasan kelimpahan katak L. grunniens yang ditemukan paling sedikit dibandingkan di transek yang lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka dapat dikelompokkan tipe sungai di masingmasing transek menjadi 3, yaitu: 1.
Sungai kecil, berbatu, beraliran deras, dangkal, dan mempunyai banyak vegetasi di sepanjang aliran. Transek yang masuk kedalam tipe ini adalah Anoa, Bala, dan Ladongkula.
2.
Sungai kecil, berbatu, beraliran sedang, dangkal, dan mempunyai banyak vegetasi di sepanjang aliran. Transek yang masuk kedalam tipe ini adalah Lapago dan Wahalaka.
3.
Sungai lebar, bersubstrat lumpur, beraliran lambat, dan tidak mempunyai banyak vegetasi di sepanjang aliran. Transek yang masuk kedalam tipe ini adalah Lasolo. Bila dilihat dari karakteristik sungai pada semua transek, hampir semua sangat
sesuai dengan habitat katak L. grunniens (Gillespie et al. 2004). L. grunniens biasanya menggunakan batu dan perakaran vegetasi yang berada di sepanjang sungai untuk bersembunyi ketika menghindari predator dan beristirahat pada siang hari. Jika membandingkan jumlah populasi di semua transek berdasarkan kondisi habitat di masing-masing transek, terlihat bahwa Lasolo merupakan habitat yang paling berbeda dari kelima lokasi yang lain. Kondisi habitat di Lasolo tidak banyak memberi peluang bagi katak L. grunniens untuk bersembunyi, karena potensi tempat persembunyian sangat terbatas. Namun sulit untuk mendeskripsikan kondisi habitat di Lasolo sebelum terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang terjadi saat ini. Hal
tersebut penting untuk menjelaskan penyebab rendahnya jumlah individu katak yang terdeteksi, apakah karena tekanan predasi dan degradasi kualitas habitat atau karena preferensi habitat L. grunniens. Populasi merupakan kumpulan dari individu-individu yang berbeda jenis kelamin, ukuran, dan kelas umur. Setiap individu tersebut memiliki proses pertumbuhan yang bervariasi sampai mencapai kematangan seksual. Karakterkarakter seperti laju pertumbuhan, ukuran, dan waktu hidup merupakan aspek yang terintegrasi dalam mempelajari populasi. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh pergerakan, interaksi antar individu sejenis, dan kondisi lingkungan merupakan elemen utama dalam dinamika populasi (Duellman & Trueb 1986). Penelitian
dinamika
populasi
harus
dilakukan
secara
menyeluruh
(comprehensive) di semua golongan umur, yaitu: mulai dari telur, larva, pra-dewasa, sampai dewasa. Namun demikian, penelitian pada tahapan dewasa dan pra-dewasa pada katak sangat penting dilakukan untuk mengetahui aspek demografi, seperti: pemeliharaan anak oleh orang tua (parental care), siklus reproduksi, dan karakter sejarah kehidupan (life history) populasi tersebut. (Ramirez et al. 1998). Pengamatan terhadap karakter-karakter morfologi (SVL, HW, dan berat tubuh) individu L. grunniens merupakan proses dalam mempelajari dinamika populasi yang terjadi di dalam komunitas tersebut. Pengamatan katak yang dilakukan tidak dapat membedakan individu jantan dan betina karena karakter morfologi individu yang tertangkap hampir sama. Gillespie et al. (2004) mengemukakan bahwa sulit menentukan jenis kelamin L. grunniens karena tidak memiliki bantalan kawin (nuptial pad) yang merupakan karakter individu jantan dan kulit katak yang cukup tebal sehingga sulit untuk mendeteksi keberadaan telur. Namun Nasaruddin (2008) berhasil membedakan individu L. grunniens jantan dan betina dengan cara pembedahan untuk melihat alat reproduksi dan melakukan pengukuran karakter tubuhnya. Panjang tubuh katak jantan berkisar antara 132 – 202 mm dan berat tubuh berkisar antara 270 – 360 gr. Sedangkan ukuran tubuh katak betina berkisar antara 95,5 – 148 mm dengan berat tubuh 100 – 345 gr. Hasil pengukuran morfometri katak L. grunniens di 6 transek
memperlihatkan kisaran yang sama dengan hasil tersebut. Namun tidak dapat membedakan jenis kelamin individu yang tertangkap. Ukuran L. grunniens (SVL) terbesar yang tercatat adalah 212 mm dengan berat tubuh 725 gr yang tercatat di transek Ladongkula. Hal tersebut memperlihatkan ukuran katak L. grunniens yang ada di Hutan Lambusango lebih besar dari ukuran yang ada di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara (Nasaruddin 2008). Sedangkan ukuran katak terbesar di dunia adalah jenis Conrua goliath dengan panjang tubuh (SVL) 300 mm dan berat tubuh 3,3 kg (Duellman & Trueb 1986). Pertumbuhan dan perkembangan jenis-jenis Amfibi belum banyak diketahui. Faktor-faktor yang berperan dalam laju pertumbuhan adalah ketersedian pakan yang bernilai kalori tinggi dan kondisi faktor abiotik, seperti suhu. Pertumbuhan ukuran tubuh katak biasanya akan sangat cepat sampai pada tahap kematangan reproduksi (Duellman & Trueb 1986). Kematangan reproduksi tersebut tidak hanya ditentukan oleh umur, namun juga ditentukan oleh ukuran tubuh (Goin et al. 1978). Hal tersebut terlihat pada pola pertumbuhan L. grunniens yang ukuran tubuh (SVL) bertambah sangat cepat pada ukuran 0 – 100 mm, dan cenderung tetap pada ukuran lebih dari 100 mm (Gambar 17). Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada ukuran SVL 1 – 100 mm merupakan tahap juvenile dan pra-dewasa dalam proses pematangan reproduksi, sedangkan pada ukuran SVL lebih dari 100 mm sudah mencapai kematangan reproduksi (dewasa). Berdasarkan hal tersebut, maka pada katak L. grunniens yang berukuran SVL 0 – 100 mm masuk dalam kategori juvenile dan pradewasa, sedangkan pada ukuran SVL lebih dari 100 mm termasuk pada katak dewasa. Hasil estimasi populasi memperlihatkan bahwa jumlah katak L. grunniens terbesar berada di transek Ladongkula dengan jumlah 3,46 individu / m. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan jumlah populasi Limnonectes macrodon di Cilember, Jawa Barat. Populasi L. macrodon di lokasi tersebut sebesar 0,11 / m (Kusrini 2005). Jumlah telur yang dihasilkan katak L. grunniens berkisar antara 1.085,086 – 1.838,554 butir (Nasaruddin 2008). Berdasarkan jumlah populasi dan kemampuan menghasilkan telur yang cukup besar, dapat diperkirakan bahwa
populasi katak L. grunniens di Hutan Lambusango masih cukup besar. Katak L. grunniens masuk dalam kategori Least Consern (LC) IUCN. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah populasi di alam masih berlimpah, walaupun kecenderungan populasinya menurun, namun tidak masuk dalam kategori Endagered (EN) atau Vulnerable (VU) (IUCN 2001). Hasil analisis memperlihatkan pola distribusi ukuran SVL di Bala terlihat normal jika dibandingkan dengan lokasi lain, yaitu pada tahap juvenile sampai dewasa.
Sedangkan pola distribusi ukuran SVL di Ladongkula dan Wahalaka
menunjukkan pola ukuran didominansi pada kisaran 50 – 60 mm (juvenile), yang mengindikasikan katak masih pada tahap muda. Sedangkan katak dengan ukuran SVL lebih dari 70 mm sangat sedikit, walaupun di Ladongkula tercatat katak yang berukuran SVL sampai dengan 212 mm, namun hanya 1 individu. Pola yang sama juga terlihat pada distribusi ukuran SVL di lokasi Anoa dan Lapago, yaitu populasi didominasi olah katak dengan ukuran SVL berkisar 60 – 70 mm (juvenile). Walaupun tercatat katak yang memiliki ukuran SVL 100 – 140 mm (dewasa), namun frekuensinya sangat sedikit. Pola sebaran katak berdasarkan ukuran SVL di dalam transek sepanjang 1000 m memperlihatkan pola yang sama seperti distribusi frekuensi ukuran SVL di masing-masing lokasi penelitian. Distribusi katak berdasarkan ukuran SVL dalam transek di Bala memperlihatkan distribusi hampir merata dari tahap juvenile sampai dewasa. Namun pola di 5 lokasi yang lain memperlihatkan distribusi katak di dalam transek hanya di dominansi ukuran tertentu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa populasi L. grunniens di beberapa lokasi, yaitu: Anoa, Ladongkula, Lapago, Lasolo, dan Wahalaka mengalami tekanan. Dominansi populasi oleh katak yang berukuran SVL tertentu (kisaran 50 – 70 mm), dan sedikit bahkan hilangnya katak yang memiliki ukuran SVL diatas 100 mm di lokasi-lokasi tersebut menjadi indikasi adanya pemilihan mangsa oleh predator sehingga hanya yang berukuran tertentu saja yang dimangsa. Namun kemampuan pengamat dalam menangkap katak yang berukuran besar mempengaruhi hasil yang diperoleh. Katak-katak yang berukuran besar relatif lebih sulit ditangkap
dibandingkan katak yang berukuran kecil. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi bias. Namun pengamat berusaha untuk meminimalkan bias tersebut. Alikodra (1990) mengemukan bahwa jika terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu menandakan populasi mengalami gangguan atau tekanan. Percobaan laboratoriun memperlihatkan strategi larva katak dalam menghadapi tekanan predasi dan kompetesi di dalam suatu habitat. Strategi tersebut dapat berupa mempercepat masa metamorphosis di dalam air dengan resiko ukuran tubuh dewasanya lebih kecil dari normal dan memperbesar resiko predasi di darat. Strategi kedua adalah memperpanjang masa metamorphosis di dalam air sehingga ukuran tubuhnya menjadi lebih besar. Namun resiko predasi oleh predator di dalam air lebih besar dan usia matang reproduksi menjadi lebih lama (Barnett & Richardson 2002). Dampak lainnya dari tekanan predasi yang tinggi adalah dengan pematangan seksual lebih cepat, menghasilkan keturunan (anak) lebih banyak namun dengan ukuran yang lebih kecil dari normal, tingkat kewaspadaan lebih tinggi terhadap predator (Sasaki et al. 2009). Jumlah individu L .grunniens berdasarkan kelompok umur (SVL = 1- 100 mm: juvenile; SVL > 100 mm: dewasa) berbeda nyata di masing-masing transek pengamatan berdasarkan uji Pearson Chi-Square (19,582; p < 0.05) dengan jumlah terbanyak ada di Bala dengan jumlah juvenile sebesar 125 individu dan dewasa 32 individu. Jumlah terkecil berada di Lasolo dengan jumlah juvenile sebesar 21 individu dan dewasa 3 individu. Hal tersebut memperkuat bahwa ada indikasi tekanan predasi terhadap kelompok umur dewasa di transek Anoa, Ladongkula, Lapago, Lasolo, dan Wahalaka. Amfibi merupakan karnivora sejati dan pada umumnya merupakan pemangsa yang oportunis, yaitu memangsa mangsa berdasarkan ketersediaan makanan yang ada di sekelilingnya. Jenis katak yang berukuran besar, seperti: Ceratopophrys ornata dan Rana catesbiana mampu memangsa hewan yang berukuran besar, seperti Mamalia kecil, burung, kura-kura, dan jenis katak lain (Duellman & Trueb 1986). Sugiri (1979) mencatat bahwa L. kuhli dan L. macrodon memangsa serangga dan crustacea sebagai pakan utamanya. Besarnya jumlah mangsa yang dimakan bergantung pada
ukuran tubuh katak tersebut. Hasil pengamatan ini merupakan sebuah catatan baru bahwa L. grunniens memangsa katak jenis lain sebagai salah satu pakannya. Hal tersebut menandakan bahwa L. grunniens juga mampu mengontrol populasi katak jenis lain yang hidup berdampingan dengannnya. Pola pergerakan individu merupakan komponen dasar ekologi dan biologi populasi suatu jenis. Pola pergerakan individu bisa merefleksikan kelompok umur dalam sejarah kehidupan suatu jenis dan dipengaruhi oleh kebutuhan ekologi yang berbeda-beda. Pola pergerakan suatu jenis dipelajari dengan metode capturerecapture dengan melakukan penandaan unik pada individu-individu dalam suatu populasi (Duellman & Trueb 1986). Kedua hal tersebut berkaitan dengan strategi dalam mencari makan yang dilakukan oleh katak. Katak yang berukuran kecil harus mengeluarkan energi yang besar untuk melakukan foraging yang luas dan resiko predasi yang lebih besar dibandingkan katak yang berukuran besar. Katak berukuran SVL kecil lebih memilih dekat dengan air karena akan lebih mudah menghindar dari predator dengan masuk dan bersembunyi di dalam air dan menghemat energi. Hal tersebut sama dengan hasil penelitian pada Limnonectes kuhlii di Taiwan (Tsuji 2004). Penjelasan pertama berkaitan dengan energi yang dibutuhkan untuk foraging dan resiko predasi yang diterima. Alasan kedua adalah kompetisi antar jantan (intraspecies competition). Katak yang berukuran besar lebih unggul dalam perkelahian dengan yang berukuran kecil. Katak yang berukuran besar memiliki yang kesempatan yang lebih besar menempati tempat yang potensial untuk mencari makan dan bereproduksi dengan melakukan areal foraging yang luas. Interaksi antara predator dan mangsa di alam merupakan sebuah kompetisi untuk bertahan hidup. Pemangsaan merupakan tekanan seleksi yang penting dalam mempengaruhi morfologi, perilaku, dan strategi kehidupan individu dalam sebuah populasi (Schwarzkopf & Shine 1992). Kemampuan untuk mendeteksi dan menghidari predator merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh semua organisme untuk bertahan hidup. (Licht 1986; Martin & Lopez 1995; Bshary & Noe 1997). Oleh karena karena itu hewan mengembangkan berbagai macam taktik dan
strategi untuk menghidari pemangsaan. Menurut Licht (1986) strategi yang digunakan katak untuk menghindari predator ada beberapa macam, diantaranya: “freezing” atau diam seperti benda mati, melompat sejauh-jauhnya dengan cepat ke tempat persembunyian, masuk kedalam air yang terdekat dan berenang menghidari predator, dan menyelam kedalam air dan bersembunyi sampai keadaan aman. Diego-Rasilla (2003) melakukan penelitian untuk megetahui pengaruh tekanan pemangsaan terhadap perilaku melarikan diri yang dimiliki oleh kadal Podarcis muralis pada populasi yang mengalami tekananan pamangsaan tinggi dan rendah. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan populasi kadal yang mengalami tekanan predasi tinggi meemiliki frekuensi penggunaan tempat persembunyian dan Flight Initiation Distance (FID) lebih tinggi dibanding pada populasi yang tidak mengalami tekanan predasi. FID merupakan jarak individu untuk menghindar atau lari ketika mendeteksi keberadaan predator. Frekuensi penggunaan tempat bersembunyi dan FID yang tinggi pada populasi yang mengalami tekanan predasi tinggi disebabkan karena individu-individu dalam memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi karena proses belajar mengenali predator. Hal tersebut sebagai strategi agar dapat bertahan hidup (Marchisin & Anderson 1978; Martin & Lopez 1995; Diego-Rasilla 2003). Menurut Frid & Dill (2002) resiko pemangsaan merupakan hasil dari interaksi beberapa faktor, yaitu: struktur habitat, dimana kondisi vegetasi yang ada di habitat dapat digunakan pemangsa sebagai tempat persembunyian atau sebagai tempat melarikan diri bagi mangsa. Kedua adalah faktor sosial, yaitu ukuran kelompok mangsa dan posisi mangsa didalam kelompok tersebut. Ketiga adalah kelimpahan dan distribusi pemangsa. Keempat adalah perilaku pemangsa, yaitu apakah bersifat generalist atau spesifik pada jenis dan ukuran tertentu. Berdasarkan jumlah individu yang terdeteksi, tertandai, dan lepas terlihat bahwa di daerah Bala memiliki persentase individu yang terdeteksi cukup tinggi dan individu yang lepas rendah. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di Lapago dan Lasolo, yaitu persentase individu yang lepas sangat tinggi. Hal tersebut bisa terjadi sebagai proses adaptasi dari tekanan yang diterima oleh populasi di lokasi
tersebut. Adaptasi tersebut merupakan proses seleksi alam, yaitu mangsa harus dapat meloloskan diri secepat mungkin dari predator, sehingga mereka tidak mengalami kepunahan. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap predator (Bshary 2001). Populasi mangsa yang mengalami tekanan predasi sangat besar akan lebih cepat mendeteksi predator dan menghindar secepat mungkin dibandingkan populasi mangsa yang tidak mengalami tekanan terlalu besar (Griffith & van Schaik 1993; Sasaki et al. 2009). Hal tersebut dapat menjelaskan populasi katak L. grunniens di Lapago dan Lasolo memiliki tingkat kewaspaan lebih tinggi terhadap pengamat, sehingga tingkat melarikan diri (escape) tinggi dengan menghindar secepat mungkin ketika mendeteksi keberadaan pengamat. Hal tersebut apabila dibandingkan dengan tingkat melarikan diri (escape) yang rendah di Bala, mengindikasikan di lokasi tersebut tekanan predasi tidak terlalu besar (normal). Hal tersebut merupakan indikasi bahwa Lapago dan Ladongkula memiliki tekanan predasi tinggi dibandingkan dengan Bala, sehingga individu-individu yang berada di kedua transek tersebut memiliki tingkat kewaspadaan lebih tinggi dibandingkan transek yang lain. Hasil tersebut apabila dihubungkan dengan struktur populasi di masing-masing transek memperlihatkan struktur populasi di Lapago dan Ladongkula di dominasi oleh katak-katak yang berukuran SVL 0 – 100 mm, sedangkan katak berukuran SVL diatas 100 mm sangat jarang. Hal tersebut berbeda dengan struktur populasi di Bala yang memperlihatkan pola normal dimana jumlah katak juvenile dan dewasa seimbang. Kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa terjadi tekanan predasi yang besar terhadap populasi katak L. grunniens yang berukuran dewasa di Lapago dan Ladongkula, berdasarkan struktur populasi dan tingkat kewaspadaan katak yang tinggi di kedua tempat tersebut. Pemanfaatan katak di Indonesia merupakan isu yang kurang menarik, sehingga jarang orang menyadari bahwa Indonesia merupakan eksportir terbesar paha katak untuk pasar internasional. Hal tersebut terjadi karena di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Asia menganggap katak merupakan makanan yang mewah. Katak merupakan menu yang umum disajikan di restoran di Perancis dan beberapa
negara di Asia. Jenis-jenis yang umum dimakan adalah Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, Limnonectes macrodon, dan Rana catesbiana yang merupakan jenis introduksi. (Kusrini & Alford 2006; Warkentin et al. 2009). Indonesia tercatat mengekspor 5600 ton paha katak pada tahun 1992, dan kebutuhan pasar domestik mencapai 2 sampai 7 kali lebih besar dari jumlah tersebut. Jumlah katak yang dipanen untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dari tahun 1989 sampai 1998 setara dengan 31 – 160 juta individu katak yang diambil dari alam. Namun hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemanenan jenis-jenis katak tersebut masih dalam taraf aman karena tingkat fekunditas yang tinggi, sehingga dapat mempertahan jumlah populasi dalam kondisi stabil (Kusrini & Alford 2006). Hutan Lambusango merupakan habitat bagi L. grunniens di Pulau Buton. Ancaman keberadaan Hutan Lambusango adalah tekanan perubahan lahan yang dilakukan masyarakat untuk lahan pertanian dan perkebunan. Tekanan tersebut terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kurun waktu 9 tahun (1991 - 2002) luas hutan menurun sebanyak 12,2%, dan 2 tahun berikutnya (2002 2004) luas hutan turun 8,1%. Penurunan luas hutan tersebut terjadi karena pembalakan kayu, pemanenan rotan, dan penambangan aspal, dan perburuan satwa. Perburuan satwa liar umumnya pada jenis belut, burung, babi (khusus masyarakat Bali), dan anoa (Singer & Purwanto 2006). Menurut Malleson (2005) masyarakat bergantung di sekitar hutan Lambusango bergantung pada sektor perkebunan, yaitu: kelapa, coklat, jambu mete, dan kopi sebagai pendapatannya. Sebagian masyarakat mengekstraksi hasil hutan, seperti rotan dan madu sebagai pendapatannya. Perburuan katak di sekitar Hutan Lambusango tidak terlalu popular karena sebagian besar masyarakatnya muslim. Hal tersebut karena sebagian muslim percaya bahwa katak haram. Namun sebagian muslim tetap ada yang mengkonsumsi katak sebagai sumber protein. Pengamatan terhadap pola pemanfaatan katak L. grunniens dilakukan di 4 desa, yaitu: Labundo-bundo, Wabau, Wakangka, dan Waondowolio. Pemilihan desa tersebut berdasarkan kedekatan akses ke hutan dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Katak L. grunniens merupakan salah satu katak yang masuk dalam daftar kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Namun tidak ada realisasi ekspor yang tercatat sampai 2008 (Mikrimah 2009). Nasaruddin (2008) melaporkan bahwa L. grunniens diburu untuk dikonsumsi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa pemanfaatan L. grunniens masih dalam skala lokal. Pola pemanfaatan katak yang dilakukan masyarakat jika dihubungkan dengan struktur populasi dan tingkat kewaspadaan L. grunniens di masing-masing transek memperlihatkan bahwa Lapago merupakan daerah yang mengalami tekanan paling besar. Ketiga desa yang dijadikan sampel melakukan ekstraksi hasil hutan ke lokasi tersebut. Menurut Frid & Dill (2002) walaupun tidak semua orang memangsa jenis tertentu, namun karena tingkat lalu lintas orang dan gangguan tinggi di habitat jenis tersebut, maka hal tersebut akan menstimulisi jenis tersebut meningkatkan kewaspadaannya. Hal tersebut terjadi di Lapago dan Ladongkula dimana jarak ratarata L. grunniens terhadap pengamat paling tinggi diantara lokasi yang lain. Pola pemanfaatan katak yang dilakukan masyarakat juga memperlihatkan adanya pengaruh agama yang dianut. Masyarakat yang beragama Islam rata-rata menolak untuk mengkonsumsi katak karena percaya bahwa katak haram. Namun sebagian muslim tetap mengkonsumsi walapun jumlahnya terbatas. Masyarakat yang beragama Hindu rata-rata mengkonsumsi katak karena tidak mempunyai kepercayaan bahwa katak haram atau beracun. Walaupun hal tersebut tidak dapat diuji secara kuantitatif, namun kecenderungan faktor agama mempengaruhi pola konsumsi cukup besar. Menurut Lee et al. (2005) konsumsi satwa liar terjadi di seluruh Pulau Sulawesi, namun tidak seintensif di Sulawesi Utara. Hal tersebut karena masyarakat di Sulawesi Utara sebagian besar beragama Kristen dan tidak mengenal haram terhadap jenis-jenis hewan tertentu. Pola pemanfaatan katak di sekitar Hutan Lambusango berbeda dengan kondisi di Pulau Jawa. Katak di Pulau Jawa merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemanenan katak yang dapat dimakan (edible) telah mampu membuka peluang bisnis dan lapangan pekerjaan yang besar. Perdagangan katak sudah
terbangun dalam jaring-jaring yang kompleks, dimana ada kelompok pengumpul, penampung, sampai industri besar yang mengolah menjadi komoditas siap ekspor (Kusrini & Alford 2006). Hal yang sama juga terjadi di Madagaskar dimana pemanenan katak endemik (Mantydactylus guttulatus & M. grandidieri) yang berukuran besar dilakukan untuk dikonsumsi. Pengumpul menjual seharga US $ 0.29 / ekor dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarkat lokal (Jenkins et al. 2009).
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1.
Karakteristik habitat katak Limnonectes grunniens di Hutan Lambusango pda umumnya sungai dangkal, berbatu, beraliran deras, dan banyak terdapat vegetasi di sekitarnya. Namun hanya sungai Lasolo yang bersubtrat lumpur dan relatif lebar dibandingkan 5 lokasi yang lain.
2.
Katak berukuran SVL 1 – 100 mm termasuk kategori juvenile sedangkan ukuran SVL
>
100 mm termasuk kategori dewasa. Estimasi katak Limnonectes
grunniens terbesar berada di Bala dengan jumlah individu 3469,2 / km transek dan terkecil berada di Lasolo dengan jumlah 224 individu /
km transek.
Kelimpahan relatif katak terbesar berada di Anoa sebesar 71% dan terkecil berada di Lapago sebesar 51,8 %. 3.
Katak yang berukuran dewasa relatif memiliki wilayah foraging yang luas. Tingkat kewaspadaan katak tertinggi ada di Lapago dan terendah di Bala.
4.
Pemanfaatan katak Limnonectes grunniens oleh masyarakat di sekitar Hutan Lambusango hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) dan tidak ada pedagangan katak di Pulau Buton.
5.2. Saran 1.
Penelitian lanjutan untuk memantau populasi Limnonectes grunniens diperlukan untuk menentukan estimasi populasi katak yang lebih akurat. Pengamatan perlu dilakukan setiap bulannya untuk mendapatkan jumlah individu recapture yang cukup sehingga estimasi populasi lebih akurat dan tingkat ketahanan hidup (survivorship) katak dapat diketahui.
2.
Penelitian mengenai fekunditas, preferensi pakan, dan siklus kehidupan katak Limnonectes grunniens perlu dilakukan untuk menentukan jumlah katak yang bisa dipanen secara berkelanjutan.
3.
Perlindungan terhadap Hutan Lambusango diperlukan sebagai upaya konservasi habitat katak Limnonectes grunniens dan satwa liar lainnya dengan patroli rutin dan penegakan hukum terhadap perambah.
DAFTAR PUSTAKA Alford, R.A. & S.J. Richards. 1999. Global Amphibians decline: A problem in applied ecology. Annu. Rev. Ecol. Syst. 30: 133—165. Alikodra, HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Penelaah Ishemat Soerianegara. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Barnett, H.K. & J.S. Richardson. 2002. Predation risk and competition effects on the life history characteristic of larval oregon spotted frog and larval red-legged frog. Oecologica 132: 436-444. Begon, M., C.R. Townsend, J.L. Harper. 2006. Ecology: from individual to ecosystem. 4th Edition. Blackwell Publishing. Oxford. Berger, J. & J. Snodgrass. 2001. Metal level in southern leopard frogs from the savanah river site: location and body compartment effects. Enviroment Research Section A 86: 86—166. Berger, L., R. Spear, & A. Kent. 2000. Diagnosis of chytridimicosis in amphibians by histological examination. Zoo’s Print Journal 25(1): 184 -190. Bshary, R. & R. Noe. 1997. Anti-predation behavior of red colobus monkeys in the presence of chimpanzees. Behav. Ecol. Sociobiol. 41: 321-333. Bshary, R. 2001. Diana monkeys, Cercopithecus diana, adjust their anti-predator response behaviour to human hunting strategies. Behavioural Ecology & Sociobiology 50, 251-256 Cannon, C.H., M. Summer, J.R. Harting, P.J.A. Kessler. 2007. Developing conservation priorities based on forest type, condition, and threats in a poorly know ecoregion: Sulawesi, Indonesia. Biotropica 39: 447-759. Carlisle, B., 2002. ButonGIS: GIS data sets of Buton Island, Sulawesi, Indonesia. University of Northumbria. http://online.northumbria.ac.uk/geography_research/bc_research/butongis Caughley, G. 1977. Analysis of vertebrate populations. John Wiley and Sons. New York. Collins, J.P. & A. Storfer. 2003. Global amphibians decline: Sorting the hypotheses. Diversity and Distribution 9: 89-98. Corlett, R.T. 2007. The impact of hunting on the mammalian fauna of tropical Asian forest. Biotropica 39: 292-303.
Courchamp, F, E. Angulo, P. Rivalan, R.J. Hall, L.Signoret, L. Bull, & Y. Meinard. 2006. Rarity value and species extinction: the anthropogenic allee effect. Plos Biol 4: 2405-2410. Di Bitteti, M.S., A. Paviolo, C.A. Ferrari, C. De Angelo, & Y. Di Blanco. 2008. Differential responses to hunting in two sympatric species of brocket deer (Mazama americana and M. nana). Biotropica 40(5): 636-645. Diego-Rasilla, F.J. 2003. Influence of predation pressure on the escape behavior of Podarcis muralis lizards. Behavioural Processes 63: 1-7. Donnelly, M.A. & C. Guyer. 2003. Estimating population size. In: Heyer, W.R., M.A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek, & M.S. Foster (Eds.). 1994. Measuring and monitoring biological diversity: Standard methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington: 181-205. Duellman, W.E. & L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill, Inc. New York Duellman, W.E. 1999. Global distribution of Amphibians: Pattern, conservation, and future challenges. In: Duellman, W.E. (Ed.). 1999. Patterns of distribution of Amphibians. The Jhons Hopkins University Press, Baltimore: 1—30. Emerson, S.B. & H. Voris. 1992. Competing explanation for sexual dimorphism in a voiceless Bornean frog. Functional Ecology 6: 654 -660. Emerson, S.B. 1996. Phylogenies and physiological process-the evolution of sexual dimorphism in Southeast Asian frog. Syst. Biol. 45: 278 – 289. Essington, T.E. 2001. The precautionary approach in fisheries management: The devil is in detail.Ttrend in Ecology and Evolution 16: 121-122. Frid, A. & L. Dill. 2002. Human-caused disturbance stimuli as a form of predation risk. Conservation Ecology 6 (1): 11 [online] www. Consecol.org/vol6/iss1/art11. Gillespie, G.R., D. Lockie, M.P. Scroggie, & D.T. Iskandar. 2004. Habitat use by stream–breeding frog in south-east Sulawesi, with some preliminary observation on community organization. Journal of Tropical Ecology 20: 1-10. Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Scroggie, & Boeadi. 2005. Herpetofaunal richness and community structure of offshore island of Sulawesi, Indonesia. Biotropica 37: 279-290. Goin, C.J., O.B. Goin, & Z.R. Zug. 1978. Introduction to herpetology. W.H. Freeman and Compani. San Fransisco.
Griffith, M. & C.P. van Schaik. 1993. The impact of human traffic on the abundance and activity periods of Sumatran rain forest wildlife. Conservation Biology 7: 623-626. Hall. R. 1998. The plate tectonics of Cenozoic Southeast Asia and the distribution of land and sea. In: Hall, R. & J.D. Holloway (Eds.). 1998. Biogeography and Geological Evolution of SE Asia. Backhuys Publishers, Leiden. Halliday, T.R. 1996. Amphibians. In: W.J. Sutherland (Eds.). Ecological census techniques. A handbook. Cambridge University Press, Cambridge. Hero, J. 1989. A simple code for toe clipping anurans. Herp Review 20(3): 66-67. Hilton dan C. Taylor. 2000. 2000 IUCN Red list of Threatened Species. IUCN/SSC. Cambridge. Indrawan, M., R.B. Primack, & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Iskandar, D.T. dan Tjan, K.N. 1996. The amphibians and reptiles of Sulawesi, with notes on the distribution and chromosomal number of frogs. In: Kitchener, D.J. dan A. Suyanto (Eds.). 1996. Proceedings of the first international conference on eastern Indonesian-Australian vertebrate fauna. Manado, November 22--26, 1994. Manado: 39--46 Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Iskandar, D., Mumpuni, & S. Richards 2004. Limnonctes grunniens. In: IUCN 2008. 2008 IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/. [12 Maret 2009]. Iskandar, D.T. 2005. The Amphibians and Reptiles of malinau region, bulungan research forest, east Kalimantan: annotated checklist with notes on ecological preference of the species and local utilization. CIFOR. Bogor. Iskandar, D.T., & W.R. Erdelen. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia: issue, and problem. Amphib. Reptile Conserv. 4: 60-93. IUCN. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. IUCN Species Survival Commission. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge. Jenkins, R.K.B., A. Rabearivelo, C.T.C.W.M. Andre, R. Randianavelona, & J.C. Randrianantoandro. 2009. The harvest of endemic amphibians for food in eastern Madagascar. Tropical Conservation Science 21: 25-33. Krebs, C.J. 1999. Ecological methodology. 2nd edition. Adison Weley Longman , Inc. California.
Kusrini, M.D. 2005. Edible frog harvesting in Indonesia: Evaluating its impact and ecological context [Disertasi]. School of Tropical Biology, James Cook University. Townsville. Kusrini, M.D. & R.A. Alford. 2006. Indonesia’s exports on frog’s legs. Traffic Bulletin 21: 13-24. Kusrini, M.D. 2007. Konservasi amfibi di Indonesia: Masalah global dan tantangan. Media Konservasi 12(2): 89 -95. Lee, R.J., A.J. Gorog, A. Dwiyahreni, S. Siwu, J. Riley, H. Alexander, G.D. Paouli, W. Ramono. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biological Conservation 123: 477 – 488. Licht, L.E. 1986. Comparative escape behavior of sympatric Rana aurora and Rana pretiosa. American Midland Naturalist 115: 239-247. Malleson, R. 2006. Socio-economic baseline surveys of communities bordering the lambusango forest. Southeast Sulawesi, Indonesia [Report]. Operation Wallacea Trust Lambusango Conservation Project, Buton. Marchisin, A. & J.D. Anderson. 1978. Strategies employed by frog and toads (Amphibia, Anura) to avoid predation by snake (Reptilia, Serpentes). Journal of Herpetology 12: 151-155. Martin, J. & P. Lopez. 1995. Escape behaviour of juvenile Psammodromus algirus lizards: constrain of or compensation for limitation in body size?. Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. Lammertink, I. Rahmatika, A. Wong, T. Soehartono, S. Stanley, & T. O’Brien. 2005. Life after logging. Reconciling wildlife conservation and production forestry in Indonesia Borneo. CIFOR. Bogor. Mikrimah, R.M. 2009. Amfibi sebagai satwa peliharaan: Ekspor, impor, dan perdagangan domestik [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institu Pertanian Bogor. Bogor. Nasaruddin. 2008. Karakteristik habitat dan beberapa aspek biologi kodok raksasa (Limnonectes cf. grunniens). Jurnal Veteriner 9: 198-203. Nyhus, P.J., Sumianto, & R. Tilson. 2003. Wildlife knowledge among migrants in southern Sumatra, Indonesia. Environmental Conservation 30: 192-199. Oza, G.M. 1990. Ecological effects of the frog’s leg trade. The Environmentalist 10: 39-41.
Pujiningsih, R.I. 2004. Pengembangan peternakan kodok lembu di Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Peres, C.A. & P.M. Dolman. 2000. Density compensation in neotropical primate communities: evidence from 56 hunted and nonhunted Amzonian forest of varying productivity. Oecologica 122: 175-189. Ramirez, J., R.J. Vogt, & J. Villareal-Benitez. 1998. Population biology of a neotropical frog (Rana vaillanti). Journal of Herpetology 32: 338-344. Redford, K.H. 1992. The empty forest. BioScience 42: 412 – 422. Riley, E.P. & N.E.C. Priston. 2010. Macaques in farm and folklore: exploring the human-nonhuman primate interface in Sulawesi, Indonesia. Am. J. Primatol. 71: 1-7. Robinson, J.G. K.H. Redford, E.L. Bennet 1999. Wildlife harvest in logged tropical forest. Science 284: 595-596 Rowley, J., R. Brown, R. Bain, M. Kusrini, R. Inger, B. Stuart, G. Wogan, N. Thy, T. Chan-ard, C.T. Trung, A. Diesmos, D.T. Iskandar, M. Lau, L.T. Ming. 2009. Impending conservation crisis for Southeast Asian Amphibians. Biol Lett. doi:10.1098/rsbl.2009.0793: 1-3. Sasaki, K., S.F. Fox, & D. Duvali. 2009. Rapid evolution in the wild: changes in body size, live history traits, and behavior in hunted populations of the Japanese mamushi snake. Conservation Biology 23: 93-102. Schnabel, Z.E. 1938. The estimation of the total fish population of a lake. The American Mathemathical Monthly 45: 348-352. Schwarzkopf, L. & R. Shine. 1992. Cost of reproduction in lizards: escape tactics and susceptibility to predation. Behav. Ecol. Sociobiol. 31: 17-25. Shine, R. 1979. Sexual selection and sexual dimorphism in the amphibian. Copeia 2: 297-306. Shine, R., Ambarianto, P.S. Harlow, & Mumpuni. 1998. Ecological traits of commercially harvested water monitor, Varanus salvator, in northern Sumatra. Wildlife Research 25: 437-447. Singer, H.A. dan E, Purwanto. 2006. Misteri kekayaan hayati hutan lambusango. Program Konservasi Hutan Lambusango dan Operation Wallacea Trust. BauBau. Sugiri, N. 1989. Beberapa aspek biologi kodok batu (Rana blythi) Boulinger, Ranidae (Anura-Amphibia) di beberapa wilayah Indonesia dan kedudukan taksanya [Desertasi]. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika populasi: Kajian ekologi kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Bogor. Tsuji, H. 2004. Reproductive ecology and mating success of male Limnonectes kuhlii, a fanged frog from Taiwan. Herpetologica 60(2): 155-167. van Kampen, P.N. 1923. The Amphibia of the Indo-Australian archipelago. E.J. Brill Ltd., Leiden. Veith, M. J. Kosuch, R. Feldmann, H. Marten, dan A. Seitz. 2000. A test for correct species declaration of frog legs imports from Indonesia into europaean union. Biodiversity and Conservation 9: 333-341. Walpole, R.E. 1992. Pengantar statistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Warkentin, I.G., D. Bickford, N.S. Sodhi, & C.J.A. Bradshaw. 2009. Eating frog to extinction. Conservation Biology 23: 1056-1059. Wheeler, P., E. Purwanto, T.Coles, B. Carlisle, A. Widayati, M. Jones, N. Winarni, A. Dwiyahreni. 2008. State of lambusango forest 2008. A report on the result of the monitoring programe carried out to assess the effectiveness of the lambusango forest conservation project was implemented between 2005 and 2008. [Report]. Operation Wallacea. UK.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi transek penelitian katak Limnonectes grunniens di Hutan Lambusango. Transek Anoa
Bala
Ladongkula
Lokasi
Koordinat
Desa Wakangka,
51M
Kecamatan
0486260,
Kapontori.
9415307
Desa Lawele,
51M
Kecamatan
0495524,
Lasalimu.
9416715
Desa Labundo
51M
Bundo,
0490533,
Kakenawe,
9428626
Ketinggian (mdpl) 460-473
Status Lahan Hutan Lindung
335 - 343
Hutan Produksi
1 – 25
Tidak dilindungi
Kecamatan Lasalimu Lapago
Desa Labundo
51M
Bundo,
0485588,
Kakenawe,
9423783
195 - 204
Hutan Lindung
68
Hutan Produksi
203 - 221
Hutan Lindung
Kecamatan Lasalimu Lasolo
Wahalaka
Desa Sumber
51M
Sari, Kecamatan
0504830,
Siontapina.
9408355
Desa Wining,
51M
Kecamatan Pasar
0480763,
Wajo
9406483
Lampiran 2. Profil sungai habitat katak Limnonectes grunniens di masing-masing transek. Lokasi Anoa
Bala
Ladongkula
Lapago
Poin Ke0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300
Lebar (m) 3,8 3,5 2,3 3,1 3,4 3,5 3,2 2,9 2,7 3,5 3,4 5,8 5,5 4,9 4,8 4,3 4,3 3,8 3,4 2,9 2,9 2,6 3,4 3,5 3,9 3,7 3,4 3,5 3,2 3,3 3 2,9 2,7 2,2 2,3 2,6 1,9
Kedalaman (cm) 30 25 30 56 25 46 35 57 48 36 35 20 24 25 30 45 48 52 57 60 60 62 70 58 52 47 35 32 29 25 25 34 32 47 49 56 53
Substrat Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu
Lokasi
Lasolo
Wahalaka
400
1,8
48
Batu
Poin Ke500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Lebar (m) 2,4 2,6 2,9 3,1 3,3 3,4 7,1 6,8 6,5 6,8 6,4 6,5 6,3 6,8 7,2 7,5 7,5 2,8 3,4 3,7 3,9 3,3 3,2 2,8 2,6 2,9 3,1 3,2
Kedalaman (cm) 59 66 69 35 32 29 45 58 64 79 120 98 116 89 93 92 89 52 47 53 52 58 61 54 47 51 53 49
Substrat Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu Batu
Lampiran 3. Temperatur udara, air (oC) dan kelembaban relatif (%) harian di masingmasing transek Transek Anoa
Bala
Ladongkula
Lapago
Lasolo
Udara 22,5 23,5 23,5 22,5 21,5 22,5 22 21,5 24 22 21 21 23 21,5 20 25 24,5 24 24 25 24 24 23 24 24 24 23,5 23,5 23 22 22,5 23 23 23,5 24 24 23 23,5 23,5 24
Air 22,5 23,5 22,5 23 22 22 22 22 24 23 23 21,5 23,5 22 22 23,5 24,5 24,5 24,5 25 23,5 24 23,5 24 25 24 24 24 24 24 23 23,5 23,5 23,5 24 24 23,5 23 24 24,5
Kelembaban Relatif 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 92 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91
Lampiran 3. Temperatur udara, air (oC) dan kelembaban relatif (%) harian di masingmasing transek Transek Wahalaka
Udara 24,5 24 24 24 23,5 23,5 21,5 23,5
Air 24 24 24 24 23,5 24 23 23,5
Kelembaban Relatif 91 91 91 91 91 91 91 91
Lampiran 4. Data responden tentang pemanfaatan katak di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Nama Responden Risman Hamza La Maiki Mahmud Doni Arifudin Usman Diman Baharudin La Pao Imran Suhardin La Saidi La Mane Arif La Impa Laode Salim Udin Rufin Arif Ali La Jaamu Usman Rasiu Nasrun Asinu La Duni Samsu La Mili La Edi La Au La Baidi La Iposu Juliadin Muhuddin Arjun Tasman
Alamat Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Wabau Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo Labundo-bundo
Kelamin Pendidikan Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria
SD SD SD SMP SD SMP SD Buta huruf Buta huruf SD SMP SD Buta huruf SD SD SD Buta huruf SD SMP SD SD SLTA SMP SMP SMP SD SD Buta huruf SMP SD SD SMP SD SMP SMP SLTA
Umur
Pekerjaan
31 44 52 57 39 46 27 32 43 24 29 72 26 42 52 37 29 25 36 27 43 36 47 37 47 37 47 43 28 30 53 46 28 56 38 34
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
La Faisi La Sahimu Nama Responden Sunardin La Musalili Haerul Zulifa Arudi Yohanes Lanteda Musridin Iyadin Asmin Darwis Siardin Kadini Laode Suhuli Haris Afirudin Erwin Sumiran Gilber Amirudin Raru Dominikus Asradi Nengah Sumania Gede Sukenaya Made Nantra Ketut Sukayasa Wayang Sutama Komang Budiase Wayan Sedang Wayan Ardika Nyoman Arsana Kadek Sarika Wayang Sutama
Labundo-bundo Labundo-bundo Alamat
Pria Buta huruf Pria Buta huruf Kelamin Pendidikan
67 63 Umur
Petani Islam Petani Islam Pekerjaan Agama
Labundo-bundo Labundo-bundo Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio Waondowolio
Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria
SLTA SMP SLTA SMP SMP SMP SD SMP SMP SMP SMP SD SMP SD SD SMP SMP SD SLTA SD
26 45 21 27 44 43 49 27 38 32 61 37 45 47 47 34 35 65 21 38
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
Islam Islam Islam Islam Islam Katolik Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Katolik Islam
Pria
SMP
48
Petani
Katolik
Waondowolio Wakangka
Pria
SMP
42
Petani
Islam
Pria
Buta huruf
52
Petani
Hindu
Wakangka Wakangka Wakangka Wakangka
Pria Pria Pria
SD SD SMP
28 45 20
Petani Petani Petani
Hindu Hindu Hindu
Pria
Buta huruf
28
Petani
Hindu
Pria
SD
32
Petani
Hindu
Wakangka Wakangka Wakangka
Pria Pria
SD SMP
52 32
Petani Petani
Hindu Hindu
Pria
SMP
35
Petani
Hindu
Wakangka Wakangka
Pria
SMP
37
Petani
Hindu
Pria
SD
39
Petani
Hindu
Wakangka
Amani La Mili Ketut Murdika Ketut Arnada Komang Sukranata Nama Responden Nyoman Tutup Ketut Sembahyasa Made Suami I Nengah Budarsana
Wakangka Wakangka Wakangka Wakangka Wakangka Alamat
Pria Pria Pria Pria
SMP SMP SD SD
43 38 45 43
Petani Petani Petani Petani
Islam Islam Hindu Hindu
Pria
SD
31
Petani
Hindu
Umur
Pekerjaan
Kelamin Pendidikan
Agama
Wakangka Wakangka
Pria
Buta huruf
47
Petani
Hindu
Pria
SD
70
Petani
Hindu
Wakangka Wakangka
Pria
Buta huruf
67
Petani
Hindu
Pria
SLTA
35
Petani
Hindu