POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK (Studi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985)
OLEH: NITA SETIAWATI
PROGRAM STUDI SIYASAH SYARIYYAH JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H / 2006 M
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK (Studi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah dan Hukum Islam (SHI)
Oleh: NITA SETIAWATI NIM: 101045222276
Di Bawah Bimbingan
Drs. Abdul Halim. M.Ag. NIP: 150 268 187
PROGRAM STUDI SIYASAH SYARIYYAH JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H / 2006 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK (Studi terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985) telah diuji dan dipertahankan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04 Juli 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syariyyah. Jakarta, 4 Juli 2006 Disahkan oleh, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma. SH,MA,MM. NIP: 150 210 422 Panitia Ujian Munaqosah Ketua
:Drs. Afifi Fauzi Abbas. M.A.
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
NIP: 150 210 421 Sekretaris
:Drs. Abu Tamrin. M.Hum. NIP: 150 268 187
Pembimbing :Drs. Abdul Halim. M.Ag. NIP: 150 268 187 penguji I
:Drs. Mujar Ibnu Syarif. M.Ag. NIP: 150 275 509
Penguji II
:Fuad Tohari. M.Ag. NIP: 150 299 934
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
Tidak ada kata yang pantas, selain mengucap syukur “Al-Hamdulillah”, serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Berkat taufiq, hidayah, dan rahmat-Nya, penulisan skripsi ini dapat terlaksana. Shalawat serta salam tetap tercurah pada panutan pemimpin besar revolusi Islam, Nabi Muhammad saw. beserta keluarganya, para Sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dengan selesainya skripsi ini tidak terlepas atas bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak, yang telah membantu dan ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada: 1.
Bapak. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Drs. Abdul Halim, M.Ag. Selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi, serta memberi motivasi kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
3.
Bapak Drs. Afifi Fauzi Abbas, M.A. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, serta Sekjur Jinayah Siyasah Bapak Drs. Abu Tamrin, M.Hum.
4.
Segenap Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Syariah dan Hukum, yang dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik dan memperluas wawasan penulis hingga akhir masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Segenap staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Perpustakaan Utama.
6.
Adinda haturkan terima kasih untuk kedua orang tua tercinta Bapak Een Zaenal Arufin, dan Ibunda Enung Nuraisyah, yang selalu penulis sayangi sepanjang hidup, berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (material maupun spiritual) yang beliau berdua berikan dengan tulus, hingga bisa menyelesaikan studi ini dengan lancar, adikku yang manis Rahma dan Mia yang selalu memotivasi penulis serta keluarga besar di Tasikmalaya, terima kasih atas do’anya.
7.
Teman-teman seperjuangan Siyasah Syariyyah 2001, Agus Setiawan yang telah meluangkan waktunya untuk menemani serta membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, Iebe, Mpenk, Aiez, Syaiful Rijal,Syahrul, Ade, Jamal, Firdaus, terima kasih telah meminjamkan buku-bukunya dan menuangkan ide-idenya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8.
Teman-temanku Eer, Nova, Nani, anak-anak kosan semanggi, dan anakanak gang masjid yang selalu meramaikan suasana + teteh Ai yang baik, dan yang selalu berbagi keceriaan Ida Rosidah, Elyn, dan Iya.
9.
Semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan suka rela dalam penyelesaian skripsi ini.
Demikianlah untaian kata dari penulis. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita, dan penulis menyadari bahwa karya ini tidak terlepas dari kekurangan. Semua masukan, saran dan kritik konstruktif adalah sebuah penghargaan yang tak ternilai bagi penulis. Akhir kata, Wa Allah al- Muwafiq ilaa Aqwami at-Thariq.
Jakarta, 31 Mei 2006 07 Jumadil Awal 1427
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................. ……………………………………. i DAFTAR ISI.... …………………………………………………………………… iv
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................. 1 A. . Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .......................................... 9 C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya ......................................... 10 D. Penjelasan Istilah……………………………………………… 10 E. Metodologi Penelitian................................................................ 11 F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II
KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SOEHARTO.. 14 A. Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto ..................................... 14 B. Landasan Politik Pemerintahan Soeharto................................... 21 C. Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto…………………… 26
BAB III
PRODUK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985….............................................................................................. 33 A. Sekilas tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985....................... 33 B. Pancasila sebagai Asas Tunggal Organisasi Kemasyarakatan.... 36
C. Respon Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia terhadap UU No. 8 Tahun 1985……………………………………………... 45 1. Respon Nahdlatul Ulama………………………………...... 48 2. Respon Muhammadiyah…………………………………... 51 3. Respon Organisasi Kemasyarakatan………………………. 56 BAB IV
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK……………………………………….. 61 A. Arah dan Format Politik Hukum Pemerintahan Soeharto..….. 61 B. Langkah Strategis Demokrasi Politik di Indonesia…………… 65
BAB V
PENUTUP........................................................................................ 70 A. Kesimpulan ................................................................................ 70 B. Saran-Saran ................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan yang demokratis1 adalah pemerintahan yang memberikan peranan yang luas terhadap peran dan aspirasi rakyat dalam menentukan kepentingan masyarakat dan negara. Ini berarti rakyat dapat menentukan legalitas kekuasaan dalam suatu pemerintahan dan rakyat pula yang menentukan apakah suatu pemerintahan itu legitimate, sehingga eksistensi pemerintahan dapat dikatakan hasil dari kedaulatan rakyat. Demokrasi perwakilan yang dianut selama ini berdasarkan UUD 1945 (Undang-Undang Dasar yang selanjutnya di sebut UUD), yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat. Jika rakyat yang berdaulat maka secara konstitusional pemerintah berhak mengatasnamakan sebagai pemimpin rakyat. Pemerintahan yang didukung oleh rakyat tersebut harus menjamin hak-hak rakyat, kebebasan, demokrasi ekonomi, dan politik. Pengawasan dan pelaksanaan terhadap lembaga-lembaga yang berwenang didasarkan kepada hukum. Namun sering kali hukum melindungi sistem yang dominan hubungan sosial dan kekuasaan menghadapi tantangan fisik, politik dan 1
Suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama, Lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989.
ideologi. Kekuasaan yang dominan mestilah melindungi hak-hak asasi warga negara. Jika pemerintahan yang legitimasinya kuat dan tidak mengayomi hak-hak ekonomi dan politik rakyat, maka akan mengurangi kepercayaan rakyat bahkan dapat menjadi pemerintahan yang tidak demokratis. Pemerintahan yang tidak demokratis membatasi ruang gerak rakyat dalam menyalurkan aspirasi politik. Hal ini merupakan konsekuensi demokrasi perwakilan yang kekuatannya berbasis rakyat. Seseorang yang mewakili rakyat harus bertanggung jawab dan dapat memberi pertanggung jawaban kepada para pemilih. Apresiasi suatu pemerintahan terhadap hak-hak sipil dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis harus sesuai dengan ketaatan terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, secara normatif-filosofis demokrasi itu disatu pihak diatur dan dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Kemudian dilain pihak merupakan idealisasi dari supremasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh: a. Iklim yang ditentukan oleh suatu pemerintahan yang sedang berkuasa. Suatu pemerintahan akan memberi kesempatan pada tumbuhnya partai-partai politik. b. Kemauan politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan sangat tergantung pada selera atau kehendak siapa yang berkuasa. c. Perubahan arus bawah. Dorongan yang begitu kuat yang menuntut adanya perubahan dari otoritarianisme menjadi rezim yang demokratis dari aspirasi
rakyat menjadi sumber inspirasi bagi lembaga-lembaga negara untuk mereposisi diri menjadi lebih demokratis.2 Menjelang kemerdekaan, di Indonesia telah bermunculan partai-partai yang berasal dari kalangan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dalam periode kebangkitan nasional terdapat Kelompok Nasionalis, Islam, dan Komunis, friksifriksi ini kemudian dimanfaatkan oleh kolonial Belanda, untuk mengadu domba ketiga kelompok tersebut. Disamping itu Belanda menindas dengan kekerasan secara bersamaan dan atau secara satu persatu.3 Hal yang sama terjadi juga pada zaman pendudukan Jepang, dimana rakyat pribumi mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas politik. Ketika Jepang berhasil mengalahkan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, kolonial dari negara Matahari Terbit (Jepang) melarang semua kegiatan partai politik Indonesia. Pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas partai-partai politik domestik seperti ini adalah watak kolonialis. Kebijakan politik Jepang ini secara berangsur mengalami pergeseran dengan memberi kesempatan kepada Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) untuk melakukan aktifitas meskipun secara umum kegiatan partai
2
Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik, (Jakarta: Universitas Indonesia 2004), h. 1-3. 3
H. Roeslan Abdul Gani, “Islam datang ke Nusantara Membawa Tamaddun/ Kemajuan/ Kecerdasan “ Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: PT. Almaarif, 1989), h. 128.
politik dilarang. Akan tetapi, satu bulan sesudah proklamasi kemerdekaan, kesempatan kemudian dibuka lebar-lebar untuk mendirikan partai politik.4 Memasuki era kemerdekaan dibawah Presiden Soekarno, rakyat Indonesia mulai memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan keinginan politiknya. Kebebasan dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia. Setelah memasuki era kemerdekaan bangsa Indonesia mengkonsolidasikan dirinya dengan membangun format demokrasi. Dalam perjalanannya, Indonesia pernah memiliki Demokrasi Liberal5 dan Demokrasi Terpimpin.6 Dalam masa demokrasi liberal, partai-partai politik berkembang dengan bebas. Perkembangan partai-partai politik terus berkembang pada demokrasi terpimpin. Demokrasi politik pada setiap masa ditentukan oleh komposisi kekuatan politik. Begitu pula, komposisi kekuatan politik itu terpusat pada siapa yang paling berperan dalam pemerintahan. Dimasa Demokrasi Liberal atau Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, presiden Soekarno berperan dalam menentukan format Demokrasi politik. Seperti lazimnya, dipandang dari sudut demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu:
4
Miriam Budiarjo,“ Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1977), h.
171. 5
Pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan Pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syahid, 2003), h. 121. 6
Segala hal terpusat pada pemimpin yang dihasilkan dari Pemilihan Umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 133.
a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa Demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peran parlemen disertai partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.7 b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat. c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa Demokrasi Pancasila8 yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensial. Sistem demokrasi parlementer dalam praktek ketatanegaraan Indonesia ternyata menciptakan multi partai. Tetapi dilain pihak memperlemah persatuan memberi dominasi yang kuat terhadap partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Indikator lainnya, sistem ini tidak disukai karena pada masa Demokrasi Parlementer sering terjadi pertentangan antar partai politik yang menimbulkan instabilitas politik. Kuatnya dominasi partai-partai politik mengakibatkan persaingan antara partai menjadi tidak sehat. Ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berjaya telah mengambil suatu keputusan pada 7
Pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetap diantara badan-badan yang diserahi kekuasaannya itu, terutama antara badan Legislatif dengan badan Eksekutif, ada hubungan timbal balik dan dapat saling mempengaruhi, Lihat Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004), h. 37. 8
Demokrasi Pancasila seperti yang di maksud dalam UUD 1945, yang berarti menegakan kembali asas-asas negara hukum, di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, di mana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan di jamin, dan di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara konstitusionil, Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., h. 74
konferensi nasional PKI Januari 1952. Disini D.N Aidit telah menggariskan strategi kanan, dengan membentuk kaum Borjuis, dengan menghancurkan Darul Islam dan gerakan massa.9 Dalam konferensi ini PKI memandang Masyumi sebagai Komprador-Borjuis yang bekerja untuk kepentingan kapitalis besar. Musuh besar PKI adalah Masyumi sehingga mengidentikan Masyumi sebagai “anak imperialis” dan “ekstrimis (Darul Islam) yang teokratis” sekurangkurangnya begitulah pandangan PKI tentang partai Islam Masyumi. Masa demokrasi parlementer terjadi pada rentang waktu pada tahun 19451959. Pada masa ini politik hukum tentang demokrasi politik berkembang sesuai budaya politik di masa itu. Politik hukum tidak selalu di atur melalui perundangundangan, karena agaknya fokus perhatian lebih banyak tercurah pada pencarian bentuk pemantapan stabilitas politik tanpa produk hukum yang dibuat secara serius. Hal ini dapat dipahami karena situasi diawal kemerdekaan belum berhasil memformulasikan berbagai hukum tertulis. Lebih-lebih diawal kemerdekaan, keputusan-keputusan
kadang-kadang
hanya
dituangkan
kedalam
bentuk
maklumat-maklumat.10 Prinsip politik hukum mulai dituangkan di awal Orde Baru, yaitu: “melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen”. Konstitusi tidak sekedar produk nilai-nilai keadilan secara sempit, namun 9
Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai, (Jakarta: CV. Sri Murni, 1998), h. 58. 10
Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 127.
sebelumnya telah berproses secara politik. Dimasa awal Orde Baru ini ada upaya untuk menertibkan urutan-urutan perundang-undangan di Indonesia. Langkah kearah itu dilakukan melalui TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada tingkat yang lebih tinggi dalam jajaran hukum formal. Dengan urutan-urutan ini, satu sama lain tidak saling tumpang tindih. Peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan yang lebih tinggi. Komitmen orde baru melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen sesuai dengan penertiban hirarkhi perundang-undangan ini. Pemerintahan Orde Baru menjadikan perundang-undangan yang tertib sebagai landasan untuk membangun bangsa dan negara. Dalam perjalanan Pemerintahan Soeharto, demokrasi politik dan ekonomi yang dicanangkan itu tidak sesuai lagi dengan UUD 1945. Politik hukum berangsur-angsur menjadi bagian dari politik kekuasaan belaka. Kepentingan kekuasaan terutama dibidang politik dan ekonomi sangat mempengaruhi corak pembentukan hukum yang sering kali mengenyampingkan prinsip-prinsip dan sistem hukum yang semestinya harus dijunjung tinggi.11 Hal seperti ini sering terjadi dalam konfigurasi kekuasaan Orde Baru. Dalam konfigurasi politik, produk hukum dibuat sebagai justifikasi untuk bertindak diatas ketidakadilan politik dan ekonomi. Ketidakadilan politik mulai terlihat sejak Pemilihan Umum Tahun 1971. Tahun 1966 sampai dengan tahun 1970 pemerintahan Orde Baru
11
Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional” dalam 70 tahun Ismail Sunny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2000), h. 42.
relatif melaksanakan pemerintahan dengan baik, konstitusional yang sesuai dengan cita-cita Orde Baru awal. Sebenarnya pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1968 pemerintahan Soeharto masih dalam jalur konstitusional, karena pada tahun 1969 telah dimulai rekayasa politik ketika dalam UU Pemilu tahun 1969 jumlah pengangkatan anggota legislatif sangat signifikan bagi kekuasaan Soeharto. Oleh karena itu pemerintahan Orde Baru ini kemudian hari memicu antipati rakyat yang berakhir dengan kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya. Pada tahun 1971 diadakan Pemilu (Pemilihan Umum) pertama di masa Orde Baru, dimana Golongan Karya (Golkar) menjadi pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar lainnya yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai-partai lain harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision making process untuk sementara akan tetap terbatas.12 Terbatasnya peranan partai politik mengakibatkan mereka semakin terpuruk dalam setiap kali pemilu tidak terlepas dari politik hukum penguasa tentang fusi partai politik. Politik hukum tentang fusi partai politik tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 pada tanggal 27 Agustus 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya. Dengan tiga partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar), telah menutup kesempatan bagi pembentukan partai politik yang lain.
12
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 172
Berbagai hal mengenai produk hukum tentang demokrasi politik yang diciptakan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto memerlukan kajian yang cermat. Rakyat telah lama tidak puas dengan cara-cara Soeharto mengatur demokrasi politik dan ekonomi. Bukti ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru ditandai dengan aksi rakyat yang mendorong jatuhnya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Kajian politik hukum mengenai demokrasi politik dalam hal ini berkisar pada Pemerintahan Soeharto. Dalam konteks kajian ini ruang lingkup hanya dibatasi pada kekuasaan Soeharto. Signifikansi pembahasan ini perlu di utarakan melihat pentingnya Politik Hukum masa Pemerintahan Soeharto untuk di kaji lebih lanjut. Oleh sebab itu mengambil judul
skripsi
“POLITIK
HUKUM
PEMERINTAHAN
SOEHARTO
TENTANG DEMOKRASI POLITIK (STUDI TERHADAP UNDANGUNDANG NO. 8 TAHUN 1985)”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Fokus kajian ini adalah bagaimana format politik hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik di Indonesia. Dan untuk mempermudah pembahasan, research question (pertanyaan penelitian) ini, maka studi ini dibatasi pada hal-hal di bawah ini: 1.
Bagaimanakah bentuk konfigurasi politik pemerintahan Soeharto?
2.
Apa produk hukum pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik?
3.
Bagaimana arah dan respon masyarakat tentang UU No. 8 tentang Organisasi Kemasyarakatan?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya Adapun tujuan studi ini adalah: 1.
Mengetahui bentuk konfigurasi politik pemerintahan Soeharto.
2.
Mengetahui produk hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik.
3.
Mengetahui arah dan respon masyarakat tentang UU No. 8 tentang organisasi kemasyarakatan.
D. Penjelasan Istilah Untuk menghindari kesalahan penafsiran dari pemahaman terhadap istilah-istilah yang dipergunakan, maka berikut ini dikemukakan beberapa penjelasan istilah sebagai berikut; Politik Hukum adalah kebijaksanaan yang ditentukan oleh suatu pemerintahan baik mengenai bentuk maupun substansi dari suatu produk hukum yang mengatur hajat masyarakat (rakyat) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, politik hukum dapat pula diartikan sebagai kemauan pemerintah yang sedang berkuasa tentang produk hukum yang telah di proses melalui lembaga yang berwenang Konfigurasi Politik, istilah politik hukum adalah kebijakan pemerintahan yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi; Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksana hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan di bangun dan ditegakkan. Sedangkan Demokrasi Politik adalah hak-hak politik yang dimiliki oleh setiap individu dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak-hak politik itu terdiri dari hak untuk berpendapat, untuk aktif dalam partai politik, hak untuk mendirikan organisasi politik, hak untuk berbeda pandangan dengan orang lain termasuk berbeda pandangan dengan pemerintah, hak untuk ikut pemilihan umum, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan serta hak untuk berdemokrasi secara tertib dan teratur. Hak seperti itulah yang dimaksudkan dalam demokrasi politik. E. Metode Penelitian Adapun metote penelitan ini terdiri dari 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kualitatif, dengan mengkaji data-data dan literatur yang
berkaitan
dengan
judul
yang
diangkat.
Penelitian
ini
menitikberatkan pada kajian terhadap produk perundang-undangan yakni UU No. 8 Tahun 1985. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis, yaitu pendekatan yang melihat perkembangan politik hukum pemerintahan Orde Baru dalam berbagai peristiwa sehingga mencapai
hasil yang maksimal melalui dokumentasi berupa UU No. 8 Tahun 1985, dan penjelasan undang-undang. 2. Jenis Data. Jenis data yang digunakan oleh penulis adalah data kualitatif di mana data-data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber data tertulis. 3. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode
studi
kepustakaan
(Library
Research)
yaitu
dengan
mengumpulkan berbagai referensi, dapat berupa buku-buku literatur, majalah, artikel atau buku-buku ilmiah lainnya yang berkaitan. 4. Analisis Data Yang dimaksud dengan tehnik analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dan diinterpretasikan. Dari data-data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema dan hal-hal yang akan dibahas, kemudian mendeskripsikannya dengan memaparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. 5. Tehnik Penulisan Dalam teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari Lima bab yang setiap bab di rinci dalam bentuk sub-sub pembahasan dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab Pertama, pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Kegunaannya, Penjelasan Istilah, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua, mengenai konfigurasi politik Pemerintahan Soeharto, yang berisikan Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto, Landasan Politik Hukum Pemerintahan Soeharto, serta Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto. Bab ketiga, membahas Produk Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Bab ini memuat Sekitar tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985, Pancasila sebagai Asas Tunggal Organisasi Kemasyarakatan, dan Respon Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia terhadap UU No.8 Tahun 1985, yang terdiri dari Respon Nahdlatul Ulama, Respon Muhammadiyah, serta Respon Organisasi Kepemudaan. Bab keempat, mengenai Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik, yang berisi mengenai Arah dan Format Politik Hukum Pemerintahan Soeharto, serta Langkah Strategis Demokrasi Politik di Indonesia Bab kelima, penutup yaitu uraian tentang Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SOEHARTO
A. Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto Pada tahun 1966, perubahan besar-besaran terjadi dalam kekuasaan pemerintahan Indonesia. Bermula dari suatu pergolakan politik yang diwarnai berbagai tindakan kekerasan pada tahun 1965, kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno berakhir, dan muncullah pemerintahan baru yang menamakan dirinya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Orientasi perjuangan yang didukung oleh kekuatan-kekuatan politik pada saat itu menjadi berubah total. Tekanan untuk meyakinkan bahwa “Revolusi belum selesai” menjadi melemah untuk kemudian ditinggalkan. Kebijakan dasar yang diambil adalah kebijakan untuk melaksanakan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pancasila, dengan rumusan seperti dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dijadikan landasan Idiil segala kegiatan (ekonomi, politik, sosial, dan budaya), sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan landasan konstitusionalnya. Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme tidak lagi dikumandangkan secara khusus sebagai bagian dari strategi nasional, itu kemudian berubah menjadi soal kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi. Secara berangsur, namun dalam waktu yang singkat, perhatian seluruh bangsa diarahkan dan dipusatkan kearah upaya perlunya segera mengatasi masalah-masalah pendapatan rakyat
yang rendah, angka buta aksara yang masih tinggi, keadaan kesehatan yang memburuk, dan pertambahan penduduk yang belum terkendali. Nyata sekali bahwa pemerintahan Orde Baru ini lebih bertekad untuk lebih mementingkan usaha pembangunan ekonomi bangsa dari pada untuk lebih mementingkan usaha merebut peran politik yang progresif dan revolusioner dalam percaturan politik antar–bangsa. Bersikap untuk lebih low profile dalam politik Internasional, Indonesia kini–dibawah kontrol pemerintah Orde Baru– melihat apa yang dikerjakan pemerintah Orde Lama yang digantikannya itu hanya sebagai suatu politik mercusuar yang tidak menguntungkan kehidupan bangsa. Indikator keberhasilan perjuangan bangsa lalu dialihkan pada keberhasilan dalam pembangunan ekonomi.13 Sedangkan yang di maksud dengan Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang kita letakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Orde Baru di satu pihak telah melakukan koreksi total atas penyelewengan disegala bidang yang terjadi pada masa sebelumnya, di lain pihak berusaha menyusun kembali kekuatan bangsa dan menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas Nasional jangka panjang, dalam rangka mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
13
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada, 1994), h. 224-225.
Dilihat dari prosesnya, Orde Baru adalah suatu proses yang panjang, mengingat penyelewengan yang terjadi pada masa-masa lampau telah berjalan bertahuntahun, sehingga hampir menyentuh segala segi kehidupan bangsa. Maka diperlukan perombakan sikap mental yang mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi atau golongan.14 Tuntutan perjuangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen mengantar kepada Sidang Umum MPRS 1V yang diadakan pada tanggal 20 Juni sampai dengan 6 Juli 1966. Sidang Umum ini berhasil mengeluarkan lebih dari 20 ketetapan dan keputusan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang menerima baik dan memperkuat kebijaksanaan Soekarno yang dituangkan dalam Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 mengenai pembubaran PKI termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat Pusat sampai Daerah beserta semua Organisasi yang seazas/ berlindung/ bernaung dibawahnya dan menyatakannya sebagai Organisasi terlarang diseluruh Wilayah Republik Indonesia serta melarang setiap pengembangan faham dan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.15 Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan semangat baru dan tekad yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan dirinya sebagai 14
Pidato Kenegaraan Presiden Tahun 1970
15
Soebijono, A.S.S Tambunan, Hidayat Mukmin, Rukmini Koesoemoe Astoeti, DWIFUNGSI ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Gadjah Mada University Press, 1995), h. 33.
pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keruntuhan rezim Orde Lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Pancasila telah diselewengkan, dan kehilangan kemurniannya dengan dimunculkannya konsep Nasakom (Nasionalis dan Komunis) oleh Soekarno, yang mengikutsertakan dan memasukan Komunis kedalam pelaksanaan Pancasila. Hal yang sama juga terjadinya politisasi agama untuk kepentingan Politik. Jelas ini dalam konteks masyarakat Muslim saat itu sebagai penyelewengan agama. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan, hak asasi manusia hampir-hampir tidak ada. sila kebangsaan dan persatuan dalam praktiknya luntur. Asas dan sendi negara hukum lambat laun ditinggalkan, sehingga terbuka peluang menjadikan negara terlalu berkuasa dan mengabaikan kedaulatan hukum dan rakyat. Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat Presiden dihadapan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada awal lahirnya Orde Baru: Mempertahankan, Memurnikan Wujud dan Pelaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Setiap insan di Indonesia, dalam bentuk usaha apa pun, yang menamakan diri Orde Baru harus menerima dua landasan pokok, yakni Pancasila dan UUD 1945. Tidak saja menerima tetapi harus mengamalkan dan memberi isi pada Pancasila dan UUD 1945. karena itu tekad Orde Baru berada dalam tataran sebagai koreksi total.
Penguasa Orde Baru mempertegas, misi utama untuk meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa dan negara, berdasarkan pada falsafah dan moral Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditujukan oleh UUD 1945. Rezim Soeharto merasa terpanggil melakukan koreksi total segala macam penyimpangan sejarah dimasa lampau, sejak tahun 1945-1965. Rezim ini juga berupaya memelihara dan memperkuat hal-hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan rezim soekarno untuk kebaikan. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah laku menyangkut kemurnian cita-cita kemerdekaan, dan implementasi UndangUndang Dasar 1945 dan Pancasila. Sikap mental dan tekad pemerintahan Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12 maret 1967. Soeharto mengatakan apa yang telah dicapai melalui sidang MPRS adalah
kemampuan
mengembalikan
kedaulatan
ketangan
rakyat
yang
dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa secara murni dan konsekuen.16
16
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia; Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 80-81.
Munculnya pemerintahan Orde Baru pada mulanya menyimpan berbagai harapan umat Islam. Harapan itu sangat wajar didambakan umat Islam, sebab pada pengaruh terakhir kekuasaan Soekarno, keberadaan sosio-politik umat Islam termarjinalisasikan oleh kekuatan lainnya, khususnya Partai Komunis Indonesia. Harapan yang besar itu mendorong politikus Islam dan umat Islam umumnya untuk saling bahu-membahu dengan kekuatan Orde Baru dalam menumpas PKI. Di samping itu dimotifasi oleh dimensi teologis Islam yang bertolak belakang secara diametral dengan ideologi Komunis. Setelah komunis tumbang, maka wajar umat Islam mempunyai harapa agar rezim Soeharto memberi peran secara politis dalam pentas politik nasional. Yang terjadi kemudian, muncul kekecewaan umat Islam atas sepak terjang politik Soeharto, terutama mantan petinggi Masyumi yang berharap pemulihan partai tersebut setelah sebelumnya Soekarno membubarkannya. Ini terlihat dari kebijakan rezim Orde Baru Tahun 1967 yang tidak bersedia merehabilitasi Partai Masyumi.17 Pada masa awal Orde Baru masa-masa yang sulit bagi umat Islam, di mana Islam dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Meski pada paruh terakhir, mungkin saja karena Soeharto sudah kehilangan dukungan dari ABRI terjadi akomodasi antara Islam dan negara.
17
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 112.
Ciri pokok pemerintahan Orde Baru adalah pengembangan politik Pancasila dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap yang tertuang dalam Konsepsi Pembangunan Nasional. Orde baru diawali dengan terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai landasan Kepemimpinan Nasional yang dikembangkan waktu itu. Secara berangsur, Orde Baru di bawah Soeharto merencanakan perubahan kehidupan Sosial Politik dengan landasan idiil, konstitusional Pancasila dan UUD 1945.18 Selanjutnya Pemerintah menenpatkan faktor Stabilitas Nasional, stabilitas politik penyederhanaan partai, tanggung jawab dan disiplin nasional, serta keamanan nasional sebagai faktor terpenting dan esensial sebagai pembangunan nasional yang di susun, dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan ideologi Pancasila. Adapun tujuan dari kebijaksanaan tersebut adalah dicapainya suatu tata kehidupan politik, pengorganisasian kekuatan sosial politik dan struktur politik. Cara berpikir dan mental politik yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan dan partisipasi seluruh rakyat dalam program pembangunan nasional. Menurut ideologi pembangunan politik Orde Baru yaitu Ali Moertopo, usaha untuk melaksanakan konsep dasar pembangunan masyarakat pada umumnya dilakukan dengan: pertama Menghilangkan perbedaan ideologis dari berbagai kelompok masyarakat. Kedua Tindakan politik rakyat diarahkan pada 18
Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik Ummat Islam 1965-1987. dalam Persfektif Ideoloigis, (Jakarta : CV. Rajawali, 1989), h. 85.
prinsip loyalitas seluruh kekuatan politik kepada ideologis tunggal Pancasila inilah yang kemudian mendasari digulirkannya sebuah kebijakan kontroversial Orde Baru pada tahun 1980-an yaitu: Memaksakan Pancasila sebagai ideologis tunggal kehidupan sosial politik masyarakat melalui UU No. 3 dan 8 Tahun 1985.
B. Landasan Politik Hukum Pemerintahan Soeharto Sebagai landasan teori pada bab ini akan diuraikan pengertian politik hukum secara terpisah, dengan mengacu pada pandangan para pemikir dan ilmuan yang berkompeten di kedua bidang tersebut. Hanya saja tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang konsep yang terkandung pada istilah-istilah tersebut terutama pengertian politik. Hal itu disebabkan oleh perbedaan latar belakang dan sudut pandang mereka, maka untuk itu diperlukan acuan komprehensif. Kata politik berasal dari kata ‘Politic’ (Inggris) yang menunjukan sifat pribadi atau perbuatan. Kata ini terambil dari kata Latin Politicus dan bahasa Yunani (Greek) Politicos ‘relating to a citizen’, kedua kata tersebut juga berasal dari kata Polis yang bermakna city (kota).19 Politik kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti yaitu: “..Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau
19
F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), Cet ke-7, h. 20.
terhadap negara lain. Tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama suatu disiplin ilmu pengetahuan, yaitu Ilmu Politik”.20 Menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik. Kelompok-kelompok kepentingan (pressure groups). Hubungan–Hubungan Internasional dan tata pemerintahan yang semuanya merupakan kegiatan perorangan atau kelompok, dalam kaitan hubungan kemanusiaan secara mendasar.21 Politik (politics) dapat diartikan juga sebagai kegiatan manusia yang berkenaan dengan pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan. Politik juga mengandung makna kegiatan atau proses ‘sistem politik’ secara tidak langsung menunjukan eksistensi tatanan atau pola hubungan. Politik biasanya disamakan dengan penggunaan pengaruh, perjuangan kekuasaan, dan persaingan diantara individu dan kelompok sosial seperti pengambilan keputusan, pencarian kekuasaan, pengalokasian nilai, cakupan tujuan, pengendalian sosial, dan kegiatan yang menggunakan pengaruh. Tetapi dalam banyak percakapan, politik lebih mengacu dalam kebijakan-kebijakan umum dan alokasi.22
20
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h.45. 21
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nasional (LPKN), Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Golo Riwu, 1997), h. 868. 22
Jack. C. Plano, et al., Kamus Analisa Politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), h. 182-183.
Dari berbagai definisi yang ditemukan dua kecenderungan pendefinisian politik, pertama: pandangan yang mengaitkan Politik dengan Negara, kedua: pandangan yang mengaitkan dengan kekuasaan, otoritas, atau dengan konflik. Perbedaan kecenderungan ini erat kaitannya dengan pendekatan yang dipergunakan, yaitu pendekatan tradisional, pendekatan institusional, dan pendekatan perilaku. Pendekatan tradisional meliputi beberapa pendekatan misalnya menekankan pembahasannya pada perkembangan partai-partai politik. Perkembangan hubungan politik dengan luar negeri, dan pendekatan legalistik yang menekankan pembahasannya pada konstitusi dan perundang-undangan sebuah
negara,
dan
pada
pendekatan
institusional
yang
mendekatkan
pembahasannya pada masalah-masalah Institusi Politik seperti lembaga Yudikatif. Sedangkan pendekatan perilaku menekankan perhatiannya pada perilaku aktor Politik, kegiatan-kegiatan ini terdapat di sekitar institusi politik yang dimanifestasikan oleh aktor-aktor politik seperti tokoh-tokoh pemerintahan dan wakil-wakil rakyat.23 Meskipun para pemikir dan Ilmuan politik tidak memiliki kesepakatan mengenai definisi politik namun unsur-unsur seperti lembaga yang menjalankan aktifitas Pemerintahan. Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan. Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat.
23
F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Op.Cit., h. 25-26.
Dapat ditemukan secara parsial ataupun implisit dalam definisi yang mereka kemukakan.24 Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antar hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, Politik dari determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan pada posisi sederajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain. Karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.25 Dengan dasar asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka studi ini akan mengantarkan pada hipotesis, bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakteriastik hukum tertentu pula. Definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi, menurut Ensiklopedi Umum politik hukum adalah kebijaksanaan pemerintah atau negara
24
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Disertasi, Op.Cit., h. 45.
25
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 8.
terhadap corak, bentuk, kepastian dan ketertiban hukum.26 Politik hukum dapat diartikan pula sebagai salah satu jalan atau tindakan yang dilakukan dan ditunjukan kepada hukum. Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang ada atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan, kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian-pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakan.27 Dilihat dari dimensi strukturnya, hukum dapat meningkat secara terus menerus, tetapi jika dilihat dari dimensi fungsinya, ternyata hukum tidak berkembang sesuai strukturnya. Jika dikaitkan dengan perkembangan tingkah laku politik menjadi tampak jelas, bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala bentuk konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, sedangkan fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik pada saat ada peluang yang
26
Hasan Shadily, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), h. 1072.
27
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Op.Cit., h. 9.
leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik didominasi oleh elit kekuasaan, maka fungsi hukum akan berkembang secara lamban.28
C. Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto Konfigurasi (configuration) ialah suatu pola yang unsur-unsur atau bagian-bagiannya, semua saling berkaitan. dalam menelaah suatu konfigurasi, maka setiap unsur atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu dengan yang lain, dalam arti bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak berhubungan atau berdiri sendiri. Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan memperhatikan keseluruhan susunan konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat menyeluruh atau kesatuan bentuk (Geltat).29 Istilah Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara Nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi: pertama, Pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaruan terhadap materimateri hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua, Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik
28
Ibid., h. 13.
29
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.12.
hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan d ibangun dan ditegakan.30 Di tinjau dari sudut sejarah perkembangan sistem ketatanegaraan sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang, konfigurasi dapat dibagi dalam tiga masa perkembangan. Pertama, Konfigurasi pada masa berlakunya sistem Demokrasi Liberal-Parlementer yang dimulai beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1959 persisnya ketika Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Kedua, Konfigurasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin yang berlaku selama kurun waktu antara tahun 1959 hingga tahun 1966. Ketiga, Konfigurasi politik pada masa Demokrasi Pancasila yang berlaku sejak tahun 1966 hingga sekarang dan merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensiil.31 Menurut Mahfud MD, Konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual dan indikator-indikator variabel bebas ini adalah; a. Konfigurasi Politik Demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar jumlah mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta 30
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 9.
31
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 69.
diselenggarakan atas kebebasan politik. Di lihat dari hubungan pemerintah dengan wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan rakyat untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. b. Konfigurasi Politik Otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil inisiatif hampir semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentarsi kekuasaan.32 Untuk mengidentifikasikan apakah konfigurasi politik itu Demokratis atau Otoriter, indikator yang dipakai dalam studi ini adalah berperannya tiga pilar demokrasi, yaitu partai politik dari badan perwakilan, pelaksanaan hukum, dan peran eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dari lembaga perwakilan rakyat (legislative) aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Sedangkan pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama, dijunjung tinggi dan ditempatkan pada posisi yang semestinya. Sementara dominasi lembaga eksekutif (pemerintahan) tidak dominan dan tunduk pada kemauan rakyat dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konfigurasi politik otoriter memperkecil peranan wakil rakyat, tidak memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, di samping itu besarnya pemerintah.33 Konfigurasi kekuasaan Orde Baru yang di pimpin oleh Soeharto dalam demokrasi politik menunjukan kekuasaan yang otoriter dan sentralistrik. Militer, Golongan Karya dan Organisasi Masyarakat lainnya seperti Kosgoro, Soksi dan MKGR tidak ada yang terlepas dari pengaruh Soeharto. Organisasi kepemudaan seperti pemuda Pancasila dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) pun berada dibawah komando Soeharto. Semuanya menjadi ‘Golkaris’ dan ‘Soehartois’. Kekuatan politik dan ormas ini luar biasa hebatnya, sehingga Undang-Undang apapun yang akan dibuat jika dikehendaki oleh Soeharto akan berhasil menjadi Undang-Undang. Melalui anggota DPR yang mayoritas dikuasai oleh kekuatan pro Soeharto sejak terbentuknya DPR dimasa orde baru produk Pemilihan Umum tahun 1971 sampai dengan produk Pemilihan Umum pada tahun 1997, tidak begitu sulit meloloskan “apa maunya “ Soeharto tentang hukum yang berlaku yang mengatur masalah apapun yang dikehendaki untuk diatur. Format dan kultur kekuasaan Soeharto memberi pengaruh yang besar terhadap substansi dan materi perundang-undangan yang berlaku. Kultur demokrasi Soeharto sebagai seorang jawa pedalaman pada hakekatnya lembut dan halus, tetapi tidak menyukai kritik terutama kritik yang tajam. Sebagai contoh ketika kelompok petisi 50 menyampaikan kritiknya terhadap Soeharto berakibat pada kematian perdata dan hak-hak politik mereka diratakan sebagai kuburan kematian perdata itu. Politik hukum Soeharto melahirkan kebijaksanaan perundang-undangan yang sangat menentukan kehidupan demokrasi dalam masyarakat.
32
Mahfud MD, Politik Hukum, h. 25. 33 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,Op,Cit.,h. 17.
Di awal Orde Baru keinginan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen mulai diperlihatkan. Keinginan itu misalnya ditandai dengan TAP MPR No. XXXVIII/MPR/1968 tentang pencabutan ketetapan ketetapan MPRS yang terdiri dari: Nomor II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963, Nomor V/MPRS/ 1965, Nomor VI/MPRS/1965, Nomor VII/MPRS/1965. Ketetapan ketetapan MPRS ini dicabut dengan mempertimbangkan: 1.
Bahwa kekacauan disemua bidang kehidupan masyarakat dan negara yang memuncak pada terjadinya gerakan pengkhianatan G 30 S/PKI adalah antara lain disebabkan adanya penyelewengan UUD 1945.
2.
Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut diatas terbukti telah dipergunakan untuk persiapan dan pelaksanaan gerakan pengkhianatan G 30 S/PKI tersebut.
3.
Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut telah terbukti dapat dilakukan terutama disebabkan karena didalam GBHN dan haluan pembangunan serta pedoman-pedoman pelaksanaannya sebagaimana tersebut dalam ketetapan-ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960, Nomor II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963, Nomor V/MPRS/1965, Nomor VI/MPRS/1965, Nomor VII/MPRS/1965, terdapat hal-hal dan unsurunsur yang tidak sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
4.
Bahwa dalam rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat sebagaimana yang diamanatkan dan terkandung didalam pertimbangan-pertimbangan dan ketetapan-ketetapan MPRS hasil sidang Umum MPRS ke-IV tahun 1966 dan sidang istimewa tahun 1977, maka MPRS sebagai pemegang kedaulatan rakyat, yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, wajib menghentikan penyelewengan terhadap UUD 1945, sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.
5.
Bahwa untuk pemurnian dan pelaksanaan UUD 1945 dan menjamin tidak terjadinya lagi penyelewengan-penyelewengan, maka perlu segera pencabutan ketetapan-ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963, Nomor V/MPRS/1965, Nomor VI/MPRS/1965, dan Nomor VII/MPRS/1965. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, dicabutlah ketetapan-ketetapan
MPRS yang dipandang oleh kekuasaan orde baru sebagai tidak sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Hal ini merupakan kebijakan politik yang diharapkan dapat memformulasikan ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menggagas format baru pemerintahan Soeharto. Melalui ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang surat perintah/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pemimpin Besar revolusi/ Mandataris MPRS Republik Indonesia, telah ditetapkan mempercayakan kepada Letnan Jendral T.N.I Soeharto Menteri
Panglima Angkatan Darat, pemegang ketetapan tersebut, untuk memikul tanggungjawab
wewenang
yang
terkandung
didalamnya
dengan
penuh
kebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan UUD 194534.
34
Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik, Op.Cit., 32.
BAB III PRODUK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985
A. Sekilas tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985 Sebelum Pancasila berlaku sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, maka untuk mewujudkannya didahului dengan adanya suatu proses perumusan yang mengandung latar belakang tertentu. Pendudukan Indonesia oleh kolonial Belanda di awal abad XVII dengan pemerintahannya di Indonesia yang terkenal dengan sebutan Hindia Belanda, mulai ambruk dengan mendaratnya tentara Jepang di Indonesia yang dimulai pertama kali di Pulau Tarakan, Kalimantan pada tanggal 10-11 Januari 1942, yang kemudian ikut dengan adanya pendaratan di Pulau-Pulau lainnya seperti Maluku, Sulawesi, Bali dan akhirnya memasuki Pulau Jawa. Kemudian terjadilah pergerakan kekuasaan dan pergantian Pemerintahan dari Gubernur Jenderal Belanda kepada Gunsireikan (Panglima Besar) Jepang. Setelah itu diikuti penurunan bendera Triwarna (merah putih biru) dan menaikan Bendera Matahari Terbit, serta mengubah lagu Wihelmus menjadi Kimigayo.35 Masuknya Jepang di Indonesia berjalan dengan mulus dan mendapatkan sambutan gembira dari bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan perlakuan Jepang yang ramah, dan dikira akan membebaskan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan 35
Belanda.
Disamping
kepada
Rakyat
Indonesia
mula-mula
Darji Darmo Dihardjo, Santi Aji, Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), h. 138.
diperbolehkan untuk mengibarkan bendera sang Dwi Warna (merah putih) dan mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dirumuskannya pancasila sebagai dasar negara tidak terlepas dari adanya janji pemerintahan Jepang di Tokyo yang diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso dihadapan Parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Pemberian janji tersebut tidak terlepas dari penghitungan strategi Jepang yang melihat Indonesia hanya akan potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam, yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan pada Angkatan Perang tentara Jepang dalam memenangkan Perang Dunia II melawan sekutu. Akan tetapi janji itu akan baru dilakukan setelah bala tentara Jepang mengalami kekalahan-kekalahan di semua medan pertempuran dan dengan adanya desakan dari para pemimpin pergerakan bangsa Indonesia, yang kemudian memaksa Pemerintah Jepang untuk membentuk Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI.36 Realisasi pembentukan BPUPKI ini baru terwujud tanggal 24 April 1945, yang waktunya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kaisar Jepang, Tenno Haika. Pelantikan BPUPKI dilakukan oleh Gunseikan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1945 dengan dr. KRT Radjiman Wedodiningrat, Sekts, dan seorang bangsa Jepang bernama Yoshio ‘Chibangase, juga menjabat sebagai Wakil Ketua serta anggota sebanyak 64 orang. 36
Sri Sumantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), h. 77-78.
Sesuai dengan namanya, badan ini di bentuk dengan ruang lingkup yang terbatas. Yakni melakukan penyelidikan bagi Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Keterbatasan ruang lingkup tugas badan ini dapat dilihat dari pernyataan Yoshio ‘Chibangase yang mengemukakan bahwa setelah pekerjaan badan ini selesai, maka akan dibentuk suatu panitia lain yang bertugas mempersiapakan kemerdekaan Indonesia, akan tetapi panitia yang akan dibentuk kemudian itu tidak terikat dengan karya BPUPKI. Sehari setelah pengurusan BPUPKI dilantik, maka badan ini mulai mengadakan sidang-sidang dibawah pimpinan ketuanya, yaitu dr. Radjiman Wediodiningrat. Seluruh proses persidangan BPUPKI ini dapat dibagi dua masa persidangan yaitu: masa persidangan I berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 16 Juli 1945, yang diselenggarakan di gedung Tyuoo Sangi-in (Sekarang Gedung Pejambon) Jakarta. Substansi dan inti pembahasan dalam masa persidangan I menitikberatkan pada pembahasan tentang landasan filosofi, yakni dasar-dasar negara Indonesia masa persidangan I yang berlangsung selama 4 hari. Dalam sidangnya ketua BPUPKI meminta kepada para anggotanya untuk memberikan pandanganpandangannya tentang dasar Indonesia merdeka. Adapun pembicaraan dalam sidang ini di isi oleh M. Yamin, yang didalam pidatonya telah mengajukan usulan (lisan) mengenai dasar negara kebangsaan. Adapun substansi dan inti pembahasan dalam persidangan II menitikberatkan pada pembahasan undang-
undang dasar negara Indonesia. Masa persidangan II ini berlangsung selama 7 hari dari tanggal 10-16 Juli 1945. Presiden Soekarno, sebagai Panglima Angkatan Perang turun tangan menghadapi kenyataan ini dengan melahirkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. a. Menyatakan (dalam konsiderannya) “Berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. b. Mengatakan (dalam diktumnya) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUD 1950. Melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan kembali pada UUD 1945, yang berarti perumusan Pancasila dalam UUD 1945 itulah yang berlaku secara sah dan resmi hingga sekarang.
B. Pancasila sebagai Asas Tunggal Organisasi Kemasyarakatan Dalam menilai suatu partai ada beberapa segi yang perlu di ingat: asas, gerak (termasuk cara), dan cita-citanya. Partai dapat menghimpun orang-orang yang sefaham ataupun yang sama kepentingannya dengan apa yang hendak dicapai. Ketika Presiden Soekarno mengemukakan gagasannya tentang asas tunggal partai dan pidato kenegaraannya 16 Agustus 1982 dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Berbagai komentar dan
pendapat bermunculan, dari yang setuju, berdiam diri tanpa kata, menyambut secara terselubung, dan hati-hati. Salah satu ciri partai yang memungkinkan kita melihat identitasnya ialah dengan memperhatikan asas dari partai itu. Ini tidak berarti bahwa identitas partai hanya ditentukan oleh asasnya. Pada Tahun 1950an partai-partai di Indonesia Hadir dengan berbagai macam identitas umpamanya, partai Katolik yang “Berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa pada umumnya serta Pancasila pada Khususnya dan bertindak menurut asas-asas Katolik”. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang “Berazaskan faham kekeristenan”, NU yang “Berazaskan agama Islam, dan lain sebagainya. Dalam demokrasi terpimpin asas ini disertai dengan pengakuan bahwa masing-masing partai harus menerima dan mempertahankan Pancasila, Ini merupakan tuntutan dari rezim Soekarno saat itu. Gabungan antara asas yang khas dari partai masing-masing ini dengan penerimaan dasar negara rupanya dilanjutkan dalam masa Orde Baru.37 Pada asalnya dasar ganda seperti ini (mempunyai asas khas, disamping menerima Pancasila) tidak dipersoalkan oleh penggali dan pencetus Pancasila itu sendiri, yaitu almarhum Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang memperkenalkan Pancasila, ia mengharapkan agar:
37
Deliar Noer, Islam Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan Perkidmatan, 1983),
h. 52.
1. Pancasila dijadikan dasar Filosofis negara Indonesia yang hendak didirikan. 2. Tiap golongan menerima anjuran dasar Filosofis ini, dengan catatan bahwa tiap golongan masih berhak untuk memperjuangkan aspirasinya masingmasing dalam mengisi kemerdekaan. Mengenai perbedaan interpretasi, dapat di lihat pada pidato Soekarno yang tidak menempatkan dasar ke-Tuhanan Y.M.E. sebagai dasar pertama dan utama, sedangkan sebaliknya Hatta melihatnya sebagai sumber yang memberi isi bagi sila-sila yang lain. Umumnya bagi partai-partai yang berdasarkan agama (baik Islam maupun Kristen). Hatta dikenal sebagai pejuang gigih dalam menegakan Pancasila dan dedikasinya kepada Pancasila tidak diragukan lagi, ketika bermaksud mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1976, tetap memperjuangkan kedua asas yaitu Pancasila dan Islam. Baginya dan umat Islam lainnya mengakui bahwa dalam Islam politik tidak terpisah dari kehidupan dan ajaran agama. Oleh sebab itu, bila PPP yang memang berasal dari Partai Islam, agak berdiam diri tentang gagasan Soeharto, sikap ini dapat dimaklumi. Bila PPP menerima gagasan tersebut begitu saja, seakan-akan PPP mengakui bahwa dalam Islam ada pemisahan agama dan politik, Islam seakan-akan tidak sesuai dengan tuntutan zaman, sekurang-kurangnya dalam bidang politik, Islam seakan pernah menerbitkan kekacauan pada waktu masa lalu paling sedikit tidak bersesuaian dengan Pancasila dalam bidang politik, dalam rangka sinyalemen Presiden dalam
Pidato Kenegaraannya bahwa kekacauan pada masa kampanye memang disebabkan oleh asas PPP yang masih mempergunakan Islam, disamping Pancasila.38 Tidak hanya partai Islam saja yang bermasalah dengan Pidato Presiden Soeharto, Parkindo, Partai Katolik pun bermasalah. Peleburan mereka dalam PDI (Partai
Demokrasi
(Kekeristenan,
Indonesia)
Katolik)
yang
agaknya
lebih
mengesampingkan di
dorong
oleh
asas
mereka
pertimbangan-
pertimbangan praktis dan bukan asasi. Bagi Islam yang melihat tidak adanya pemisahan agama dan politik dalam ajaran agama, gagasan tersebut bila di terima akan menjadi beban bagi kesadaran hati nurani. Sedangkan bagi Parkindo dan Partai Katolik untuk menerima asas tunggal bagi partai tidak menyelesaikan masalah melainkan menggesernya kepada tiap hal yang hendak dikembangkan. Yang menjadi masalah pokok dalam gagasan Presiden itu ialah gagasan tersebutmengarah kepada pengakuan, perlunya suatu sistem partai tunggal, sungguhpun kemungkinan ini tidak disebutkan, tapi implikasinya biasa demikian. Asas tunggal membuka kemungkinan kepada semua orang untuk menjadi anggota Partai bersangkutan. Dalam rangka ini secara asasi tidak ada perbedaan lagi antara partai-partai tersebut. Oleh sebab itu dalam rangka ini tidak diperlukan lebih dari satu partai. Dengan adanya asas tunggal partai, adanya lebih dari satu partai akan lebih 38
Ibid, h. 55.
merupakan sekedar memenuhi kepuasan formil belaka. Dalam rangka ini demokrasi perlu dipertanyakan; artinya apakah kita memang berpijak atas asas demokrasi yang memberi kesempatan untuk berpikir lain dan mengembangkan pikiran lain ini dengan leluasa (tentu disertai dengan tanggung jawab), ataukah kita secara formil saja berasas demokrasi, karena disertai penyempitan paham dan pikiran yang tidak dibenarkan untuk dikembangkan. Gagasan asas tunggal, kata Deliar Noer, mengarah kepada pengakuan perlunya sistem partai tunggal. Sungguh pun kemungkinan ini tidak disebutkan, tetapi implikasinya bisa demikian.39 Lebih jauh, ia menyebutkan beberapa implikasi yang akan muncul bila asas tunggal diterapkan. Asas tunggal partai menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan masing-masing. Pemaksaan asas tunggal menghalangi orang-orang yang sama keyakinan untuk mengelompokkan sesamanya serta bertukar fikiran sesamanya berdasar keyakinan, termasuk agama, yang dianut masing-masing. Asas tunggal juga berarti dorongan untuk sekularisasi dalam politik dimana menafikan hubungan antara agama dan politik, yang bagi agama tertentu, apalagi Islam, berarti bertentangan dengan ajarannya. Asas tunggal partai mengandung kecenderungan kearah sistem partai tunggal. Setelah UU No: 8 Tahun 1985 disahkan berlakunya, maka semua Ormas Islam menerima Pancasila asas tunggal. Pertama, menerima asas tunggal Pancasila secara Filosofis, tidak mengubah “bangunan ideologi” Ormas-Ormas 39
Ibid, h. 60.
Islam. Pancasila yang diterima tersebut terlebih dahulu “di Islamkan” sehingga tidak terjadi pertentangan apa-apa. Kedua, menghilangkan kendala ideologis dalam dakwah Islam, baik mata birokrat, ABRI, maupun yang lain. PPP secara Formal tidak dapat lagi mengklaim diri sebagai Partai Politik Islam. Hal yang diperhatikan dalam pemikiran orang-orang Islam di Negeri adalah Pancasila. Muhammad Natsir, tokoh Islam dari Partai Masyumi, pernah mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila. Yang pertama, ketika ia di tahun 1952 pergi ke Karachi dimana ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan Al Quran. Dalam pidatonya tersebut ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam. Pidato Natsir lainnya ketika peringatan Nuzulul Quran di Jakarta tahun 1945 juga menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila, yang kedua, ketika sidang konstituante, Natsir seakan berbalik, ia melihat Pancasila bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam. Natsir seperti juga wakil-wakil Islam yang lain (termasuk NU, PSII, Perti), di situ menggunakan Islam, dan menolak Pancasila. Hal ini disebabkan; pertama, konstituante merupakan forum pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain mengemukakan pemikiran mereka tentang Dasar Negara secara terbuka dan tuntas, Natsir juga berpendapat demikian. Kedua, Natsir dan kawan-kawannya dan Organisasi Islam ingin mempertanggung jawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi ummat untuk diperjuangkan. Ketiga, seperti juga para anggota lain dari konstituante, ia
dan kawan-kawannya ingin memperkenalkan keagungan keyakinan masingmasing.40 Masalah pokok adalah bahwa Dasar Negara akan disepakati sebagai produk konstituante, dan Dasar Negara ini adalah Pancasila. Tetapi Pancasila yang dimaksud bukan dalam tafsiran yang ketat, melainkan akan wahana pedoman dan patokan untuk kemakmuran bangsa. Dengan pengetahuan seperti ini maka mudah difahami menggapai partai-partai Islam terdahulu (NU, Perti, PSII) menyebutkan dalam anggaran dasar mereka yang berkaitan dengan Islam atau ajaran Islam, tetapi mencantumkan juga Pancasila. Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi ini bergantung pada tafsiran yang diberikan. Pancasila memang di terima oleh Islam, karena mereka tidak ingin mengesampingkan Islam dalam hubungannya dengan Pancasila, maka sebenarnya permainan penerimaan sudah dipergunakan : disebut atau tidak, alat pengukur tetap berupa ajaran Islam. Menteri Agama Munawir Sadzali, dalam berbagai kesempatan berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, menurut menteri Agama, ada beberapa nilai dasar dalam ajaran Islam yang menjadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.41
40 41
Deliar Noer, Op.Cit., h. 112.
Munawir Sadzali, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: Departemen Agama, 1985), h. 62.
Sejak sosialisasi ide asas tunggal tahun 1982 sampai diundangkannya dalam bentuk Lima paket Undang Undang politik tahun 1985, reaksi kalangan Islam beraneka ragam. Bila di pilah-pilah, reaksi tersebut dapat dibedakan antara yang bersifat pasif - konstitusional dan reaksi yang ekstrim – inkonstitusional.42 Yang pertama diwakili oleh PPP sebagai “Partai Politik Islam” dan orang-orang yang dikenal dengan warna keislaman. Sedangkan yang kedua diwakili oleh kelompok-kelompok individual yang kritis terhadap kebijaksanaan asas tunggal tersebut, dengan klimaks meletusnya Peristiwa Tanjung Priok. Gagasan asas tunggal pertama kali disampaikan oleh presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di Depan Sidang Pleno DPR tanggal 16 Agustus 1982.
“…jumlah dan struktur partai politik seperti yang telah ditegaskan dalam Undang Undang tentang partai politik dan Golkar kiranya sudah memadai, terbukti dari hasil dua kali pemilu yang diikuti oleh ketiga kontestan. Yang perlu dibulatka n dan ditegaskan adalah asas yang dianut oleh setiap partai politik dan Golkar. Semua kekuatan sosial politik terutama partai politik yang menggunakan asas selain Pancasila seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya asas yang digunakan adalah Pancasila”.43 Dari Pidato Pak Harto di atas jelas bahwa asas tunggal pada mulanya hanya ditujukan pada partai politik dan Golkar. Imbauan Presiden secara implisit, ditujukan kepada PPP yang masih menggunakan asas cirinya. Sebelumnya dalam RUU tentang partai politik dan Golkar Tahun 1973, sudah diupayakan menyeragamkan asas partai politik, tetapi ketika itu PPP berhasil melakukan kompromi dengan tetap mencantumkan asas cirinya Islam. Masih menurut Presiden Soeharto, penetapan asas tunggal ditandai oleh trauma masa lalu, terutama jatuh bangunnya Kabinet atau sistem Demokrasi Parlementer akibat konflik Ideologis.
42
Panji Masyarakat, Tahun, XVI, No 163, 1 maret 1974, h. 4.
43
Pidato Kanegaraan Presiden Soeharto di Depan DPR Tanggal 19 Agustus 1982, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1982), h. 17-18.
Yang disebut Pancasila disini yang berlaku sejak 5 Juli 1959 adalah Pancasila yang ada dirumusan II yang dijiwai dari rumusan I (Piagam Jakarta). Rumusan inilah yang berlaku yang berlaku hingga sekarang. Mengenai sikap Umat Islam terhadap Pancasila ada 3 sikap yang dilihatnya; Pertama sikap formal. Wakil-wakil umat Islam yang ada di DPR seperti Masyumi, NU, PSII, Perti dan lain-lain., sudah menerima secara aklamasi pada tanggal 22 Juni 1959. Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Berlakunya Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, sebagai landasan hidup bernegara. Kedua sikap agamis. Pancasila adalah salah satu Filsafat bangsa Indonesia, bukan agama, baik dalam arti khusus maupun dalam arti luas. Pancasila, sila demi sila yang Lima, pada dasarnya tidak ada satu pun yang bertentangan dengan Islam, kecuali bila diisi dengan tafsiran-tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam bukanlah Filsafat, melainkan wahyu yang mengandung serba sila Ilahi yang abadi. Ketiga sikap ideologis politis. Pancasila adalah dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan konsensus nasional yang perlu dihormati sebagai landasan bersama untuk hidup bernegara yang mengikat segenap aliran dan golongan bangsa dan Warga
Republik Indonesia yang harus ditegakan bersama-sama dengan saling menghormati identitas masing-masing.44
C.
Respon Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia Terhadap UU No. 8 Tahun 1985 Setelah berhasil menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal semua partai politik, agenda politik Orde Baru selanjutnya adalah menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh ormas. Untuk tujuan ini, undang-undang tentang ormas dipersiapkan dan diajukan pada Tahun 1984 oleh pemerintah kepada DPR untuk disahkan. Pembahasan mengenai undangundang ini, di DPR menghabiskan waktu satu setengah bulan,45 menunjukan
bahwa
undang-undang
tersebut
mendapat
penilaian kritis dan komprehensif dari semua fraksi di DPR, termasuk PPP dan PDI. Untuk mengatasi isu ini, sebuah komisi khusus dan tim kerja di bentuk untuk menampung masukan dan pendapat dari para pemimpin ormas yang dapat digunakan demi kesempurnaan undang-undang. Berdasarkan “inventaris daftar masalah” yang dicatat oleh Komisi Khusus dan Tim 44
Endang Saefudin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dari Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 215. 45
UF Saimima, “RUUK, Setuju di Bulan Suci”, Panji Masyarakat, No. 470, (11 Juni 1985), h. 14-15.
Kerja, ada 86 poin yang berkaitan dengan hak-hak Ormas, delapan diantaranya dianggap kursial dan karenanya memicu debat yang berkepanjangan.46 Berbagai keberatan tidak hanya berasal dari fraksifraksi PPP dan PDI di DPR, tetapi juga dari berbagai organiasai sosial keagamaan yang khawtir jika dengan undangundang ini, pemerintah akan mencampuri urusan internal mereka. MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), dan DGI (Dewan Gereja Indsonesia), misalnya menolak undangundang tersebut. Pemimpin-pemimpin mereka menjelaskan, bahwa MAWI dan DGI bukanlah ormas, tetapi suatu lembaga yang menjadi suatu bagian dari lembaga internasional. Karena itu undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan kepada mereka. Disisi lain Tim Kerja menjelaskan bahwa MAWI dan DGI
adalah
ormas,
karenanaya
undang-undang
dapat
diterapkan pada mereka. Akhirnya berdasarkan pengumuman pemerintah tentang undang-undang keormasan, baik MAWI dan DGI menerima pancasila sebagai asas tunggal pada Tahun 1986. Setelah menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya, DGI
berubah
menjadi
PGI
(Persatuan
Gereja-Gereja
Indonesia) atau aliansi Gereja-Gereja (Protestan). 46
UF Saimima, “RUUK”, Op.Cit., h. 15.
Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak tidak sejak tahun 1982, mereka telah menunjukan reaksi terhadap usulan pemerintah mengenai Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua ormas. Sejumlah ormas Islam keberatan terhadap gagasan pemerintah, pertama-tama karena takut dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka akan berarti bahwa Pancasila akan menggantikan Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama. Menanggapi keberatan ini, pemerintah menetapkan bahwa Pancasila harus dipahami sebagai asas tunggal yang mengatur kehidupan masyarakat sipil Indonesia. Dalam hal ini, presiden Soeharto menjamin bahwa Pancasila tidak akan menggantikan agama, dan tidak akan mungkin Pancasila menggantikan agama. Pancasila tidak akan disamakan dengan agama, dan tidak akan mungkin Pancasila menyamai agama. Demikian juga, sebagai mana kelompok-kelompok sosial lainnya, keberatan umat Islam terhadap Pancasila sebagai asas tunggal disebabkan oleh ketakutan bahwa pemerintah akan mengikis keragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Menanggapi keberatan ini, Dr. Suhardiman (seorang kader Golkar ternama dan Ketua Komisi Khusus) mengatakan sebagai berikut:
“….Undang-Undang ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan pluralitas masyarakat Indonesia yang direfleksikan dalam kreatifitas dan kebebasan rakyat. Ia (undang-undang) tidak akan membatasi kebebasan berorganisasi, tetapi untuk menciptakan tatanan yang baik bagi semua rakyat yang menjalankan tanggung jawab organisasi mereka untuk membangun masyarakat Pancasila. Tidak juga membatasi kebebasan bergerak ormas manapun.”47 Senada dengan Suhardiman, Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam mengatakan bahwa “undang-undang tersebut harus dilihat sebagai masalah sederhana dan mudah. Tidak ada kesulitan yang akan dihadapi tiap ormas. Lebih dari itu dia juga menegaskan bahwa ormas harus mendefinisikan ulang diri mereka
sendiri
berdasarkan
undang-undang
ini
dan
menginfestasaikan peranan serta aktivitas sesuai dengan keunikannya dalam menerapkan program-program mereka. Jadi, posisi sosial ormas akan sejajar dengan posisi partaipartai politik, meskipun tidak terafiliasi dengan partai politik manapun.berdasarkan semangat undang-undang ini, Rustam melanjutkan, seluruh ormas bebas menentukan peran mereka sendiri. Meskipun demikian, tidak seperti PPP, yang secara bulat menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya, tanggapan umat Islam terhadap Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh ormas dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 47
Lihat Panji Masyarakat, No. 470, (11 Juni 1985), h. 20.
kelompok
mayoritas
dan
kelompok
minoritas
yang
menolaknya. 1. Respon Nahdlatul Ulama Didirikan oleh sekelompok Ulama di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 31 Januari 1926, NU di kenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar dikalangan tradisionalis Muslim. Nahdlatul Ulama mendapat dukungan terutama dari umat Islam pedesaan di Jawa dan membawahi ribuan pesantren yang tersebnar di seluruh wilayah negara. Ketika Masyumi didirikan pada bulan November 1945 di Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam, NU bergabung didalamnya. Namun karena konflik antara pemimpin NU dan Masyumi, NU mendeklarasikan sebagai partai politik tersendiri dalam Muktamarnya tahun 1952 di Palembang, Sumatera Selatan. Pada awal perkembangan Orde Baru, Nu menunjukan sikap “radikal” terhadap penguasa. Nakamura benar ketika menyatakan bahwa pada tahun 1970an, NU muncul sebagai organisasi yang paling gigih dan berani mengkritik pemerintahan orde baru. Meskipun demikian, NU memperlihatkan sikap kooperatif. Dalam menanggapi gagasan pemerintah agar Pancasila menjadi asas tunggal bagi seluruh ormas. Ini mungkin karena NU ingin mengubah sikap konfrontasinya terhadap pemerintah, dan berusaha membangun hubungan yang lebih baik dengan pemerintah. Meskipun undang-undang tentang ormas belum diumumkan pemerintah, NU telah menyatak persetujuannya untuk menerima
Pancasila sebagai asas tunggalnya. Kemudian persetujuan ini disahkan oleh keputusan Muktamar NU ke-27 pada tanggal 8-12 Desember 1984 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Keputusan penting lain yang dihasilkan adalah pernyataan kembali ke Khittah 26, kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan dengan semua partai politik. Sejalan dengan keputusan ini, NU memformulasikan kembali AD/ARTnya (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) menjadi (pasal 2) “NU berdasarkan Pancasila”. Sesuai dengan karakternya sebagai organisasi massa Islam, dalam pasal 3 AD/ART-nya disebutkan, bahwa NU “mengikuti doktrin Islam menurut Faham Sunni (Ahl Sunnah Wal jama’ah) dan mengikuti salah satu Mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali”. Dengan penegasan posisinya yang demikian ini, NU tidak meninggalkan keasliannya sebagai gerakan sosial Islam, sementara dengan jelas mengakui Pancasila sebagai asas tunggalnya. Cara dimana NU mendefinisikan dirinya dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi “model” yang ditiru oleh organisasiorganisasi massa Islam lainnya. Keputusan yang di ambil pada Muktamar 1984 ini lebih mudah ditetapkan, karena setahun sebelumnya telah dirumuskan dalam program kerja pertemuan Nasional di tempat yang sama. Dalam pertemuan ini, sejumlah NU terkemuka, termasuk K.H. Ahmad Siddiq, membahas pentingnya NU ke Khittah
26 dan juga mengeluarkan pernyataan mengenai hubungan antara Pancasila dan Islam. Isi pernyataan tersebut adalah: 1. Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia, menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhud menurut pengertian keimanan Islam. 3. Bagi NU, Islam yang mengajarkan akidah dan syariat, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. 5. Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.48 Deklarasi ini digunakan NU sebagai landasan keagamaan untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya pada Muktamar tahun 1984 sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Bahkan seorang ulama NU menyatakan, bahwa masalah Pancasila telah selesai sejak lama, ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 disetujui untuk digunakan sebagai asas dan ideologi nasional negara. 48
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama ; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 229-232.
2. Respon Muhammadiyah Muhammadiyah, didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, di kenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di kalangan kelompok modernis Muslim. Dalam mendirikan Muhammadiyah, Dahlan diilhami oleh ajaran Al-Qur’an, khususnya ayat 104 dan 105 Surat Ali Imran:
ﻦ ِﻋ َ ن َ ف َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ ِ ن ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو َ ﺨﻴْﺮ ِ َو َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ْو َ ن ِاﻟَﻰ اْﻟ َ ﻋ ْﻮ ُ ﻦ ِّﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ُا ﱠﻣ ٌﺔ َِﻳ ْﺪ ْ َو ْﻟ َﺘ ُﻜ ( 104 : ﻋﻤﺮان
) ال.ن َ ﺤ ْﻮ ُ ﻚ ُه ُﻢ اْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠ َ اْﻟ ُﻤ ْﻨﻜَﺮ ِ َوُاوْﻟ ِﺌ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyerukepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung". (Q.S. Ali Imran [3]: 10)
ﻚ َ ﺖ َوُاوْﻟ ِﺌ ِ ﻦ َﺑﻌْﺪ ِﻣَﺎ ﺟَﺎ َء ُه ُﻢ ْاﻟ َﺒ ﱢﻴ َﻨ ْ ﺧﺘَﻠَ ُﻔﻮْا ِﻣ ْ ﻦ َﺗ َﻔ ﱠﺮ ُﻗﻮْا وَا َ ﻻ ﺗَ ُﻜ ْﻮ ُﻧﻮْا آَﺎ ﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ َو ( 105 :
) ال ﻋﻤﺮان.ﻈﻴْﻢ ِﻋ َ ب ٌ ﻋﺬَا َ َﻟ ُﻬ ْﻢ
Artinya: "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itu lah orang-orang yang mendapat siksa yang berat". (Q.S. Ali Imran [3]: 105) Muhammadiyah pada umumnya didukung oleh kelas menengah Muslim perkotaan, yang bekerja sebagai pedagang, pelaku bisnis, guru, da'i, intelektual
dan pejabat pemerintah. Menekankan arti penting ijtihad, Muhammadiyah mengklaim tidak mengikuti madzhab tertentu, tetapi mengikuti satu madzhabatau madzhab lain tergantung penelitian pendapat madzhab mana yang sejalan atau mendekati semangat Al-Qur’an dan Al-Hadis. Gagasan pemerintah menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal ditanggapi Muhammadiyah pada sidang Majelis Tanwir (forum tertinggi kedua setelah Muktamar) pada bulan Mei 1983, yang menghasilkan tiga keputusan: Pertama, Muhammadiyah setuju memasukan Pancasila dalam AD/ARTnya, tanpa mengubah kehadiran keberadaan Islam. Kedua, Karena persoalan Pancasila sebagai asas tunggal merupakan permasalahan nasional bagi Muhammadiyah, maka harus dihadapi oleh pengurus pusatnya dalam skala nasional; karenanya, pengurus ditingkat regional dan dibawahnya tidak dibolehkan mengeluarkan berbagai pendapat atau menerima berbagai sikap yang terkait dengan masalah ini. Ketiga, Pembahasan mengenai masalah ini akan dilakukan dalam Muktamar ke-41 yang akan datang.49 Tidak semua tokoh Muhammadiyah menunjukan sikap yang sama dalam merespon isu Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh ormas, beberpa kelompok dari garis keras di Muhammadiyah menyebarkan pamflet keberatan terhadap asas tunggal dengan alasan bahwa Pancasila akan menjadi ancaman terhadap Islam. Diantara mereka adalah Malik Ahmad, wakil ketua organisasi dan
49
Lukman Harun, Muhammadiyah dan Azas Pancasila, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986),
h. 38.
sarjana ternama dari Sumatera, yang telah "siap bila suatu saat Muhammadiyah dibekukan". Bahkan seorang pemimpin Muhammadiyah dari Sumatera Barat bersikeras mengundurkan diri setelah mendapat tekanan dari pejabat lokal dan dipaksa menyetujui kebijakan asas tunggal. Setelah menekankan peran strategis Pancasila dalam hidup berbangsa dan posisinya berhadapan dengan agama, serta niatnya menetapkan Pncasila sebagai asas tunggal bagi seluruh ormas, presiden kemudian menunjukan isi sambutannya secara khusus kepada Muhammadiyah. Tentu saja, pesannya tersebut juga diterapkan pada semua ormas yang lain. Soeharto mengatakan: “Muhammadiyah bisa mengembangkan lebih banyak aktivitasaktivitasnya dalam kehidupan bangsa. Sejumlah besar anggota Muhammadiyah yang menyebar di Negara ini, telah lama melakukan sumbangan yang berharga bagi bangasa dalam berbagai bidan. Sejalan dengan itu, penetapan Pancasila sebagai asas tunggal tidak dimaksudkan untuk membatasi usaha-usaha keras Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu untuk mendorong lebih maju dalam menjalankan usaha-usahanya dalam skala yang lebih luas”.50 Pada Muktamar di Surakarta, Muhammadiyah secara resmi menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Harus di catat bahwa sebelum penerimaan tersebut disepakati, pamflet-pamflet Malik Ahmad yang berisi keberatan atas penerapan Pancasila sebagai asas tunggal karena merupakan ancaman terhadap Islam muncul lagi di penginapan delegasi Muktamar. Beberapa orang dengan sinis menggambarkan penerimaan Muhammadiyah atas Pancasila sebagai asas tunggal sebagai "bunuh diri politik". Meskipun demikian, atas usaha Lukman 50
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Op.Cit., h. 249.
Harun (lahir 1937) yang terkenal dengan "kekuatan persuasifnya", kelompok garis keras Muhammadiyah pada akhirnya dapat diyakinkan untuk menerima landasan Pancasila. Menurut pasal 2 AD/ART-nya yang telah di ubah, Muhammadiyah "berdasarkan Pancasila". Namun, agar sesuai dengan karakternya sebagai ormas Islam, pada pasal 1 AD/ART menetapkan, bahwa Muhammadiyah adalah gerakan sosial keagamaan yang bertujuan amar ma'ruf nahi munkar, melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan Qur’an dan Hadis Nabi. Penerimaan Muhammadiyah atas Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya, menurut K.H. A.R Fachruddin, seperti pengendara sepeda motor yang memakai helm demi keselamatan, Dr. Amien Rais juga menegaskan bahwa Muhammadiyah menerima prinsip Pancasila "dengan mudah" karena "Pancasila merupakan tiket yang sah agar kita bias naik 'bis' yang ternama di Indonesia". Tanpa tiket ini, "kita tidak bisa naik bis tersebut". Keseluruhan proses yang ditampilkan di atas, meskipun pada awalnya kelompok garis keras keberatan, menunjukan bahwa proses penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dihadapi Muhammadiyah dengan tenang dan hati-hati, mengusulkan gagasan dan saran serta melakukan negosiasi dan konsultasi dengan kalangan pemerintah dalam upaya untuk mempengaruhi UU keormasan. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan, Muhammadiyah sebagai suatu badan organisasi lebih memilih konsultasi dan menghindari konfrontasi dalam segala bentuknya dengan pemerintah.
Jaminan Presiden, bahwa Muhammadiyah dapat menjaga keasliannya sebagai gerakan sosial Islam, dan bahwa Pancsaila sebagai asas tunggal tidak dimaksudkan
untuk
mengurangi
dan
membatasi
aktivitas-aktivitasnya,
mempercepat Muhammadiyah menerimanya secara resmi pada Muktamar di Surakarta. Jadi, isu ideologis di sekitar Pancasila dan Islam diselesaikan oleh Muhammadiyah dengan cara tertentu, sehingga tidak mengubah keasliannya sebagai gerakan sosial keagamaan.
3. Respon Organisasi Kepemudaan MUI (Majelis Ulama Indonesia), didirikan pada tanggal 26 Juli 1975, memainkan peran penghubung antara umat Islam dengan Pemerinta. Seperti yang ditujukan oleh namanya, lembaga ini berfungsi melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa-fatwa kepada umat Islam atau pemerintah berkaitandengan masalah-masalah social yang status hukumnya tidak dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Pada mulanya, MUI menghadapi dilema dalam merespon Pancasila sebagai asas tunggal, karena memandang agama dan bangsa sama-sama penting. Pada Tahun 1982, bersama organisasi-organisasi lain MUI mengadakan pertemuan kerja sama antar umat beragama untuk membahas masalah ini. Pada
pertemuan tersebut, MUI,
MAWI, DGI, PHDP (Parisadha Hindu Dharma
Pusat) dan Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia) mengeluarkan pernyataan bahwa “lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi keagamaan, masing-masing mengikuti landasan yang sesuai dengan agamanya, menyerukan pada pengikut mereka untuk loyal pada agama mereka dan pada saat yang sama menjadi seorang Pancasilais yang baik. Pernyataan ini berupaya untuk menegaskan kembali agama sebagai asas masing-masing organisasi mereka, sementara pada saat yang sama menyatakan tanggung jawab mereka terhadap ideologi nasional Pancasila. Sebagaimana dikatakan Yunan Nasution, salah seorang ketua MUI, bahwa:
“....Mereka menyerukan pada pemerintah: marilah kita memanfaatkan masing-masing asas dalam konstitusi kita sebagaimana mestinya karena kita dilahirkan di bumi Indonesia, yakni masing-masing agama kita. Ini merupakan jalan hidup di sini dan petunjuk hidup setelahnya. Asas kita tidak semuanya mengancam Pancasila. Sebaliknya, sementara kita membangun komunitas Islam dengan basis agama kita, kita juga memajukan itu untuk meneguhkan Lima prinsip dari Pancasila, dalam tatanan yang Pancasilais. Jadi, dalam pembangunan bangsa Indonesia, sebagaimana kita lakukan sekarang, basis agama kita bias menjadi mitra Pancasila”.51 Setahun kemudian, pada pertemuan Badan Kerja Sama Agama bulan November 1983, MUI, Walubi, PHDP, MAWI, dan DGI masih mempertahankan posisi mereka berkaitan dengan Pancasila sebagai asas tunggal. Mereka menegaskan bahwa “asosiasi dan ormas keagamaan tetap menggunakan agama 51
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Op.Cit., h. 251
mereka masing-masing, sebagai asas organisasi. Kemudian mereka semua menerima Pancasila sebagai asas tunggal setelah UU secara resmi diumumkan pemerintah. Sejauh menyangkut Majeli Ulama Indonesia, Pancasila sebagai asas tunggal di terima MUI secara resmi pada kongres di Jakarta pada bulan Juli 1985. MUI secara jelas mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam pasal 2 rumusan AD/ART-nya, sedangkan karakteristiknya sebagai organisasi Islam dicantumkan pada pasal 1. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), juga merespon Pancasila sebagai asas tunggal. Didirikan oleh Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, HMI di kenal sebagai organisasi independent yang tidak berafiliasi dengan prganisasi politik atau kelompok sosial
mana pun. Namun, dari
perspektif keagamaannya yang mungkin digambarkan sebagai modernisme Islam, HMI mempunyai kedekatan dengan Muhammadiyah pada saat sekarang, dan dengan Masyumi pada masa lalu. Dalam merespon Pancasila sebagai asas tunggal seluruh ormas, HMI mengadakan satu seri pembahasan pada kongres ke-51 di Medan, Sumatera Utara, pada akhir Mei 1983. melalui Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Ghaffur (dia sendiri adalah mantan ketua HMI cabang Jakarta), pemerintah menekan HMI untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal, meskipun UU tentang ormas baru dipersiapkan dan dalam proses diajukan pemerintah kepada DPR. Menurut Ghaffur, penerimaan Pancasila menjadi asas tunggal oleh HMI
tidak akan menghilangkan identitas khas gerakan HMI, karena karakter ini dengan jelas dapat dimasukan dalam program-programnya. HMI melihat bahwa UU keormasan akan memberi kekuasaan penuh pada pemerintah, sehingga pemerintah dapat membatasi bahkan melakukan intervensi kedalam kehidupan dan aktivitas ormas. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat ormas menjadi apatis terhadap masalah-masalah nasional. Jika kondisi ini terus berlangsung, HMI menyatakan kehidupan politik Indonesia di masa yang akan dating akan menjadi tidak demokratis. Alasan HMI menerima Pancasila sebagai asas tunggal adalah, bahwa Islam dan dan Pancasila tidak bertentangan, selama Pancasila diletakan pada konteks historis yang benar. HMI juga percaya bahwa nilai-nilai Pancasila akan semakin kaya, kuat dan dinamis jika didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai Islam. Ini berarti bahwa Pancasila akan menjadi berarti dan terpelihara dalam bingkai Islam. Sedangkan PII (Partai Islam Indonesia), yang didirikan pada tanggal 4 Mei 1947 di Yogyakarta, menempuh jalan yang berbeda dalam merespon Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagaimana HMI, PII adalah organisasi independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik atau ormas apapun. Namun PII mempunyai hubungan yang dekat dengan HMI dan dengan organisasi Muslim modernis yang lain karena cara pandang keagamaannya, dan mengikuti Islam Modernis. sebagai organisasi bagi pelajar sekolah tingkat atas, PII tetap mempertahankan Islam sebagai asas tunggalnya dan dengan gigih menolak untuk
menggantikannya dengan Pancasila. Karena sikapnya ini, Menteri Dalam Negeri melalui keputusannya No. 120 dan 121 tanggal 10 Desember 1987 melarang PII dengan lasan PII tidak mengikuti prinsip-prinsip fundamental UU keormasan. Sejauh mengenai ormas Islam, larangan pemerintah ini hanya di kenakan kepada PII. Jadi yang menyusul NU untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal adalah Muhammadiyah, HMI, MUI, dan semua organisasi massa Islam lainnya (kecuali PII), seperti Persis dan Syarikat Islam, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan lain-lain. Sikap ini diambil oleh semua organisasi massa Islam karena pemerintah tetap memperbolehkan mereka untuk mempertahankan keaslian pergerakan dan aktivitas mereka dan tetap membolehkan untuk melaksanakan aktivitas sosio-keagamaan mereka menurut aspirasi dan cita-cita agama mereka, sebagaimana sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan mengurangi dan menghilangkan keragaman masyarakat Indonesia, tetapi justru akan memberi peluang bagi aspirasi-aspirasi sosial keagamaan untuk lebih berkembang; suatu keadaan yang diharapkan oleh ormasormas Islam dan ormas lain di seluruh Indonesia. 52
52
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Op.Cit., h. 258.
BAB IV POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK
A. Arah dan Format Politik Hukum Pemerintahan Soeharto Pemerintahan Soeharto disebut juga sebagai Pemerintahan Orde Baru. Era Orde Baru muncul dan dikenal luas sejak Soeharto menjadi penguasa baru setelah Pemerintahan Soekarno lengser dari kekuasaannya. Munculnya era Orde Baru setelah kekuasaan Soekarno (Bung Karno) tidak berkuasa lagi, telah melalui proses yang panjang. Puncak proses yang panjang itu terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S) PKI Tahun 1965. Peristiwa ini merupakan perbuatan inskonstitusional karena akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Kudeta yang didalangi oleh PKI ini gagal. Kegagalan ini berakibat kepada naiknya Soeharto menjadi penguasa baru menggantikan Bung Karno. Sejak munculnya Soeharto ini kepanggung kekuasaan mulailah dikenal istilah Orde Baru. Tekad yang pertama kali didengungkan Orde Baru adalah melaksanakan UUD1945 secra murni dan konsekwen. Penyegaran di era Orde Baru ini mengintrodusir demokrasi Pancasila. Demokrasi yang didasarkan pada kekuatan musyawarah. Perwujudan musyawarah itu di implementasikan melalui lembaga Legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga legislatif inilah yang dijadikan alat legitimasi kekuasaan Soeharto sepanjang masa Orde Baru dengan didukung
antara lain oleh kekuatan Militer dan Golongan Karya (GOLKAR) yang dalam hal ini merupakan kekuatan pendukung utama. Kekuatan-kekuatan politik lainnya seperti PPP dan PDI akses dan kontribusinya dalam elit penentu dan penyelenggara pemerintahan rendah sekali. Konstitusionalisme telah menjadi paham Orde Baru, terutama adanya keinginan melaksanakan undang-undang dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Langkah kearah konstitusionalisme ini, tampaknya secara relatif dapat diwujudkan pada Lima tahun Pemerintahan Soeharto. Namun sebenarnya rekayasa politik hukum Soeharto tentang demokrasi politik telah dimulai sekitar tahun 1968 sampai dengan 1969. Disini demokrasi dan penegakan hukum secara konstitusional relatif berjalan dengan baik sambil menggagas strategi demokrasi politik ke depan. Konsolidasi pemerintahan menata semua struktur dan sistem politik, disatu pihak memperkuat kekuasaan Soeharto dan dilain pihak mengimplementasikan tekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seluruh antek-antek dan komunis dibersihkan dari pemerintahan. Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang hidup sebagai kekuatan politik, karena telah mengemban “dosa” subversi merebut dan melawan pemerintahan yang sah. Walaupun gagal, tetapi telah ada perbuatan dan hal itu dipandang merupakan kegiatan subversi. Budaya politik pada awal Orde Baru sangat dipengaruhi oleh semangat konstitusionalisme dan semangat penegakan hukum. Budaya politik yang dianut Soeharto sesuai dengan dengan latar belakangnya sebagai orang Jawa. Kultur
Jawa sangat mempengaruhi budaya politik Soeharto. Walaupun budaya tradisional statis, namun dalam budaya politik pada umumnya bersifat dinamis. Dinamika budaya politik dalam negara mempengaruhi sistem politik. Sistem politik didasarkan pada konstitusi negara. Oleh karena itulah sistem politik diawal pemerintahan Soeharto berpegang teguh kepada konstitusi. Di awal kekuasaannya sejak tahun 1966 s/d 1971 paling tidak mulai tahun 1966 s/d 1968 relatif konstitusional dan demokratis, maka setelah itu mulailah terjadi pergeseran secara pelan-pelan menuju pemerintahan yang menyimpang dari demokrasi yang sebelumnya telah diwujudkan dengan baik. Oleh karenanya sejak tahun 1971 keatas, mulailah banyak ditemukan produk hukum yang mengatur demokrasi politik dan ekonomi yang kontra produktif terhadap demokrasi. Kajian mengenai hal ini akan mendeskripsikan beberapa fenomena politik hukum Soeharto yang antara lain terdiri dari berbagai persoalan yang muncul selama pemerintahan Soeharto yang mencakup beberapa permasalahan sebagai berikut ; Tentang Pemilihan Umum, Tentang Fusi Partai Politik, Tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR dan DPR dan DPRD, Tentang Hak-Hak Khusus, Tentang Penelitian khusus, Tentang Peranan Militer, Tentang Asas Tunggal Pancasila, Tentang Asas Tunggal, Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Tentang Kebebasan Pers. Beberapa hal tersebut diatas telah menjadi fenomena yang secara riil terjadi dalam pentas politik selama pemerintahan Orde Baru. Paling tidak sejak tahun 1971 s/d 1997. Pada tahun 1998, fenomena ini berlanjut, walaupun tahun
ini terjadi pergantian kepemimpinan negara dari Soeharto ke Habibie. Pemerintahan Habibie mencoba memperbaiki keadaan. Masa pemerintahan Habibie yang singkat tidak dapat merehabilitasi berbagai ketimpangan demokrasi politik di zaman Soeharto, akibat politik hukum yang diterapkannya. Hal ini mungkin karena kekuasaannya yang relatif pendek sehingga tidak banyak waktu untuk melakukan perbaikan mendasar. Perbaikan yang dilakukan bersifat partial dan sektoral, belum menyeluruh. Namun, dari pemerintahan Habibie, meskipun merupakan kelanjutan dari pemerintahan Soeharto, telah berupaya menciptakan pemerintahan yang demokratis. Habibie tentu tidak mau menerima resiko imbas dari kekuasaan Soeharto yang menjelang kejatuhannya banyak di hujat, diprotes dan direspons oleh massa dengan aksi demonstrasi. Bagaimanapun, Habibie harus mengatur posisi sekurang-kurangnya dapat menyerap aspirasi masyarakat. Salah satu yang mendesak untuk di respons adalah terciptanya demokratisasi dalam masyarakat, diantaranya kebebasan mendirikan partai politik baru. Habibie hanya setahun berkuasa. Jatuhnya Habibie berarti habislah orde baru Soeharto. Idealisme Habibie walaupun kelanjutan dari kekuasaan Soeharto, namun apresiasinya terhadap demokrasi politik agak berbeda. Habibie lebih memberi kebebasan baik terhadap pers maupun partai politik.53
53
Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), h. 39.
B. Langkah Strategis Demokrasi Politik di Indonesia Undang-undang politik yang di buat dalam pemerintahan Soeharto seperti halnya Lima paket undang-undang politik pada tahun 1985, menimbulkan implikasi terhadap hukum yang tidak demokratis. Hal ini berakibat pada PPP dan PDI menjadi tidak memiliki peran dalam pemerintahan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari undang-undang yang di buat
oleh
Produknya
kekuatan melahirkan
konfigurasi
politik
undang-undang
penguasa.
politik
yang
menempatkan kekuatan-kekuatan politik menjadi tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Salah satu elemen reformasi hukum yang menjadi perhatian publik adalah reformasi dalam demokrasi politik. Hal ini disebabkan selama 32 Tahun di dalam pemerintahan Soeharto telah terjadi penyempitan demokrasi politik. Oleh karena itu diperlukan politik hukum mengenai hal ini. Untuk merealisasikannya diperlukan langkah-langkah antisipatif ke depan. Beberapa langkah yang di maksudkan itu terdiri dari: Pertama, Mengamandemen undang-undang dasar 1945. Kedua, Memperbaharui undang-undang produk pemerintahan Soeharto yang tidak lagi sesuai dengan jiwa reformasi. Ketiga, Menciptakan pemerintahan yang bersih
dan
bertanggungjawab.
Keempat,
Melaksanakan
penegakan hukum secara konsisten.
Konsepsi tentang amandemen UUD 1945, pembaharuan perundangundangan lama, pemerintahan yang bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), penegakan hukum dan keadilan, merupakan unsur-unsur yang diperlukan menuju politik hukum berwawasan reformasi. Wawasan politik hukum merupakan bagian dari wawasan nasional. Wawasan nasional
lebih
bersifat
menyeluruh
mencakup
perkembangan kehidupan bangsa menuju cita-cita bangsa dan negara. Politik hukum wawasan nasional telah menjadi keharusan, setiap politik hukum tidak dapat dipisahkan dari kepentingan nasional. Untuk mencapai kepentingan nasional itu dilandasi oleh aneka ragam hukum positif sebagai produk politik hukum. Nuansa dan paradigma
politik
hokum
ditentukan
oleh
rezim
pemerintahan pada suatu era. Politik hokum Orde Lama, Orde Baru akan berbeda dengan era reformasi. Perbedaan itu ditentukan oleh dinamika aspirasi rakyat yang tumbuh
dan berkembang. Desakan terhadap pembaharuan sedikit banyaknya mempengaruhi corak politik hukum. Politik hukum pada pemerintahan yang demokratis biasanya melahirkan perundang-undangan yang demokratis. Jika pemerintahan suatu negara bersifat otoriter, maka biasanya produk hukumnya pun tidak demokratis. Moh. Mahfud MD, mengemukakan bahwa negara-negara yang demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang bersifat demokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter atau tidak demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang tidak demokratis.54 Produk hukum pemerintahan, oleh Mahfud MD dibaginya menjadi hukum otonom dan hukum menindas atau hukum responsif dan hukum ortodoks. Mahfud MD dalam mengemukakan pendapatnya dipengaruhi oleh Nonet, Selznick, dan Maryaman.55 Hukum otonom atau responsif merupakan hukum yang lebih demokratis dan lebih memperhatikan aspirasi rakyat. Hukum menindas atau hukum ortodoks diciptakan lebih didasarkan pada kekuasaan. Dalan hal ini, hukum menjadi alat kekuasaan untuk mencapai tujuan. Tujuan itu bisa berupa kemapanan baik dalam mempertahankan kekuasaan maupun untuk memperkaya diri penguasa. Jika tujuan seperti ini dipertahankan akan berakibat pada ketidak adilan baik hukum, politik maupun ekonomi.
54
Moh. Mahfud MD, Pergumulan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), h. 53. 55
Ibid., Lihat Pula: Maryaman, Henry John, the Civil Tradition, California: Stanford University Press dan Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, Law And Society in Transition: Toward Responsive Law, (New York: Harper and Raw, 1978)
Tujuan yang di kemas melalui politik hukum yang otoriter tentu menjadikan rakat dan negara menjadi korban yang dirugikan. Oleh karena itu politik hukum memerlukan reformasi meluruskan penyimpangan yang terjadi oleh pemerintah yang telah terlanjur mengembangkan paradigma pembangunan yang tidak adil. Wawasan nasional di bidang politik hukum ini memerlukan pembaharuan kembali. Khusus di bidang politik hukum, wawasan nasional adalah dasar pandang bangsa Indonesia mengenai kebijakan politik yang harus di tempuh dalam rangka pembangunan atau pembaharuan hukum di Indonesia.56 Wawasan yang di maksud harus sesuai dengan cita-cita nasional, watak dan kepribadian serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia, dengan memperhitungkan potensi penegakan hukum dan lingkungan kita sepanjang menyangkut nilai-nilai keadilan. Politik hukum yang berwawasan nasional ini didasarkan pada Pancasila, UUD 1945 dan GBHN. Kini mesti menyesuaikan diri pula dengan amandemen UUD 1945. Mesti menyesuaikan diri dengan amandemen UUD 1945 akan menjadikan politik hukum berwawasan reformasi. Paradigma dan konsepsi pembangunan Soeharto yang lebih pragmatis tanpa mengabaikan faktor ideologi sebagai pegangan dan legitimasi untuk menyelenggarakan
kekuasaan,
ternyata
lebih
banyak
memperlihatkan
kepentingan akan penguasa politik dan ekonomi yang sangat kuat. Ini ditunjukan 56
M. Solly Lubis, Wawasan Nasional Bidang Politik Hukum dalam Masalah Ketataneagaraan Dewasa ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 169.
dengan penciptaan sistem pengambilan keputusan yang mengikuti corak politik otoritarianisme-birokratis.57 Sistem politik yang otoriter-birokratis bisa juga didampingi dengan pengaturan politik yang birokratis. Teori koorporatisme ini terceremin dalam undang-undang No. 3 Tahun 1985 termasuk dalam hal ini empat undang-undang politik lainnya pada Tahun 1985. Unit-unit organisasi kemasyarakatan dan politik diatur keberadaannya melalui undang-undang partai politik, Golongan Karya dan undang-undang kemasyarakatan yang dinuat pada tahun 1985 ini sebagai produk hukum pemerintahan Soeharto. Organisasi politik didirikan secara terbatas berdasarkan fusi partai politik yang telah di gagas oleh Soeharto. Semua organisasi kemasyarakatan dan politik itu didasarkan pada asas tunggal
Pancasila
sebagai
satu-satunya
asas
bagi
seluruh
organisasi
kemasyarakatn dan politik. Dibawah pemerintahan Soeharto tidak pernah ada politik hukum yang memberi kewenangan terhadap lembaga negara menagjukan rancanagan undangundang selain Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Bahkan dalam prakteknya, pemerintahlah yang selau membuat Rancangan Undang-Undang (RUU). Pergeseran yang terjadi di era reformasi ini menunjukan langkah-langkah menuju perwujudan reformasi telah mulai dilakukan. Reformasi masih memerlukan proses untuk mencapai tujuan reformasi, dalam artian terjadinya perubahan dan perbaikan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara
57
Aidul Fitriciada Azhari, System Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut Konstitusi, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), h. 211.
memerlukan kesabaran, karena tidak mungkin reformasi itu dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Reformasi memerlukan kesabaran dan dukungan serta perjuangan yang sesuai dengan konstitusi negara.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN a.
Bentuk konfigurasi politik pada masa pemerintahan Soeharto menunjukan kekuasaan yang otoriter dan sentralistrik, dalam sejarah perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, konfigurasi politik dapat dibagi kedalam tiga masa perkembangan. Pertama, konfigurasi pada masa berlakunya sistem Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1965), Kedua, konfigurasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Ketiga, konfigurasi politik pada masa Demokrasi Pancasila (1965-1998) yang berlaku sejak tahun 1966 dan merupakan Demokrasi Konstitusional yang menunjukan sistem Presidensiil.
b.
Pemerintahan Soeharto telah melahirkan produk hukum yang mengatur Demokrasi politik secara tidak adil dan tidak demokratis. Seperti halnya Lima paket Undang-Undang tahun 1985 yang meliputi: tentang Pemilihan Umum, tentang Fusi Partai Politik, tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR dan DPR dan DPRD, tentang Hak-Hak Khusus, tentang Penelitian khusus, tentang Peranan Militer, tentang Asas Tunggal Pancasila, tentang Asas Tunggal, tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan tentang Kebebasan Pers.
c.
Arah dan Respon masyarakat mengenai UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengenai penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan semua organisasi kemasyarakatan sangat bervariasi. Umat Islam pada mulanya menampilkan keberatan baik terhadap usulan Pancasila sebagai dasar negara maupun P4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) sebagai elaborasi resmi atas Pancasila, namun kemudian menerimanya.
B. SARAN-SARAN Belajar dari pengalaman pemerintahan Soeharto yang memberikan respon terhadap demokrasi politik secara tidak demokratis, maka perlulah pemerintahan di era reformasi kini dan kedepan meninggalkan format kekuasaan otoriter. Langkah-langkah yang perlu di lakukan antara lain menciptakan iklim politik yang lebih demokratis, hukum harus berpihak terhadap semua orang dan tidak diskriminatif serta menciptakan iklim perlakuan dan penegakan hukum secara adil dan berkesamaan. Dalam era reformasi ini, peran organisasi kemasyarakatan sangat diperlukan untuk ikut mempercepat pemulihan menuju masyarakat Indonesia yang maju mandiri dan sejahtera. Diantara peran yang dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan diantaranya:
1.
Memberikan fasilitas kepada masyarakat dengan menyampaikan pendapat kepada pemerintah terutama yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sendiri.
2.
Mengkritisi kebijakan pemerintah agar tetap sejalan dengan tuntutan reformasi khususnya kebijakan yang menyangkut publik melalui dialog, seminar atau kegiatan-kegiatan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.
Menjadi mitra kerja pemerintah dalam pembangunan secara keseluruhan terutama dalam bidang sosial dan ekonomi terutama bagi masyarakat di wilayah-wilayah terbelakang.
4.
Memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat terutama untuk usaha ekonomi produktif agar dapat meningkatkan pendapatannya. Kajian terhadap politik hukum pemerintahan Soeharto perlu dilakukan
agar secara akademis bermanfaat bagi Perguruan Tinggi dan secara praktis bermanfaat bagi penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran, al-Karim, Jakarta, Departemen Agama RI, 1987 Abdul, Gani, Roeslan. Islam Datang ke Nusantara Membawa Tawaddun/ Kemajuan/ Kecerdasan, Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung, PT. Almaarif, 1989 A.S.S Tambunan, Soebijono, Hidayat Mukmin, Rukmini Koesoemoe Astoeti. DWIFUNGSI ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Gadjah Mada University press, 1995 Asshidiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Penerbit PT. Gramedia, 1977 Darmodihardjo, Darji. Santi Aji, Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional, 1991 Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 Effendy, Bakhtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998 Fitriciada, Azhari Aidul. Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut Konstitusi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000 Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia; Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000 Harun, Lukman. Muhammadiyah dan Azas Pancasila Jakarta, Pustaka Panjimas, 1986
Hutabarat, Ramly, Kumpulan Disertasi, Universitas Indonesia, 2004 Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999 Isjawara, F. Pengantar Ilmu Politik, Bandung, Bina Cipta, 1980, Cet ke-7 Jack. C. Plano, et al. Kamus Analisa Politik, Jakarta: CV. Rajawali, 1982 Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nasional (LPKN). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Golo Riwu, 1997 Majalah Panji Masyarakat, Tahun, XVI, No 163, 1 Maret 1974 Majalah Panji Masyarakat, No. 470 11 Juni 1985 Mahfud, MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1998 . Pergumulan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999 Manan, Bagir. Reorientasi Politik Hukum Nasional, dalam Ismail Sunny, Bergelut dalam Ilmu Berkiprah dalam Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000 Maryaman, Henry John. The Civil Tradition, California : Stanford University Press dan Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New York: Harper and Raw, 1978 Muin, Salim Abdul. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Disertasi, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2000 Munir, Mulkhan Abdul. Perubahan Perilaku Politik Ummat Islam 1965-1987 Dalam Persfektif Ideoloigis, Jakart, CV. Rajawali, 1989
Noer, Deliar. Islam Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta, Yayasan Perkidmatan, 1985 Sadzali, Munawir. Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, Jakarta, Departemen Agama, 1985 Saefudin, Anshari Endang.Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dari Sistem Islam, Jakarta, Gema Insani, 2004 Shadily, Hasan. Ensiklopedi Umum, Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1973 Solly, Lubis, M. Wawasan Nasional Bidang Politik Hukum, dalam Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984 Soerojo, Soegiarso. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Jakarta, CV. Sri Murni, 1998 Soehino. Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 2004 Sumantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1992 Tim ICCE, UIN Syahid Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syahid, 2003 Tim PUSLIT, IAIN Syahid Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press, 2000 Indonesia, Ensiklopedi Umum, Jakarta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 1994