Sergap Sergap
2
Rambu
Polisi & Rasa Aman Publik Sebuah pertemuan memang selalu memiliki motif, akan tetapi, adakah kegunaan pertemuan jika didasari kecurigaan. Tepatnya kesangsian yang membikin beberapa warga masyarakat mulai kurang yakin kalau Polisi itu bisa baik. Di sini kategori baik memang lumayan berat; polisi harus adil, jujur, transparan dan melindungi warga masyarakat. Kebaikan yang bisa jadi hanya dimiliki oleh orang suci dan segelintir orang, yang seolah-olah, tak membutuhkan keperluan apa-apa. Walau dengan kecurigaan tapi pertemuan ini berjalan dengan antusias meski sesekali ada cercaan disana-sini. Memang Polisi hanya manusia normal, karenanya, sosok petugas ini bukan makhluk yang sempurna. Pertemuan yang dilakukan di sebuah hotel ini mencoba mengungkit sesuatu yang mungkin tak terlalu memikat: Polisi dan masyarakat. Dua kelompok sosial yang sama-sama menyimpan kegelisahan yang serupa, yakni ketidak-amanan yang kian hari kian meningkat. Karena tak sempurna maka Polisi harus terbuka untuk ditegur, dikritik dan yang penting; dibantu. Soal dibantu, ini memang sempat jadi soal, siapa dan bagaimana impilikasinya? Bantuan memang sesuatu yang dirindukan apalagi di tengah segala keterbatasan yang serba 'minim'. Misal kantor Polisi, bukanlah markas James Bond yang dilengkapi dengan kecanggihan dan ketampanan para personelnya. Kantor ini memang beda dengan kantor Bank yang mewah dan eksotik. Sebuah kantor yang mesin ketik, mobil patroli dan muka para penjaga yang tidak selalu ceria. Tempat yang mungkin agak mengharukan ketimbang membanggakan. Lebih pas disebut sebagai kantor yang terlalu berat meyandang misi. Itu memang bukan hal baru, karenanya banyak kalangan Tempo
memendam persoalan menyangkut tentang minimnya sarana yang dipunyai oleh Polisi. Itu sebabnya mungkinkah sebuah institusi yang 'lemah' ini bisa diandalkan? Selama empat hari bertempat di hotel Jayakarta berkumpul sejumlah warga untuk mendiskusikan itu semua. Diputarkan film tentang Polisi Jepang yang ternyata sangat perkasa. Dekat dengan warga dan selalu simpati, sepertinya, tak ada kesedihan dan kegalauan di mukanya. Polisi di Jepang memang bukan main, seperti tampak dalam film, simpati, segar dan dekat dengan anak. Tapi film berbau propaganda ini seolah tidak menyimpan cela dan itu karenanya film ini kurang objektif. Beberapa pertanyaan kemudian muncul dan mencoba untuk mengungkit dukungan dana. Tak mungkin polisi bisa sesempurna tanpa melalui dukungan segala aspek. Itu karenanya kegiatan ini memberikan warna yang beragam. Di lain sisi memang gambaran tentang Polisi Jepang itu sangat ideal akan tetapi modal sosial apa yang menjadi syarat utamanya. Itu sebuah masalah yang diperbincangkan. Sampel yang dirujuk dalam kegiatan ini adalah Polsek Mergangsan, Polsek Umbulharjo dan Polsek Depok. Tiga-tiganya dipilih bukan karena berada dalam kondisi yang menyedihkan tapi lebih karena beberapa pertimbangan. Pertama dari sisi tingkat kerawanan dan luas wilayah tiga tempat tersebut merupakan lokasi yang menyimpan karakteristik istimewa. Dari sisi penduduk hetrogenitasnya sangat majemuk disusul dengan ancaman kamtibmas yang potensial pada tiga
Untuk lebih memperkenalkan program Community Policing (CoP), telah diadakan acara sosialisasi di beberapa tempat. Di Mergangsan acara diselenggarakan pada tanggal 30 Desember 2002 bertempat di Polsek Mergangsan di hadiri oleh aparat polsek, aparat pemerintahan kecamatan dan kelurahan serta warga masyarakat. Acara yang sama juga berlangsung di Umbulharjo pada tanggal 2 Januari 2003 bertempat di Polsek Umbulharjo. Depok Barat pada tanggal 4 Januari 2003 bertempat di Hotel Sriwedari yang juga dihadiri oleh aparat pemerintahan kecamatan dan kelurahan serta warga masyarakat. Bertindak selaku pembicara adalah Kombes Suharto dari pihak Polda Yogyakarta, Eko Prasetyo S.H. dari PUSHAM UII dan Kapolsek setempat. Acara tersebut selain bertujuan untuk memperkenalkan program tersebut ke seluruh personil Polsek, juga untuk lebih mengakrabkan polisi dengan masyarakat melalui perantara tokoh masyarakat setempat dan juga sebagai sarana pemberitahuan untuk para birokrat di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Pos Ronda Diterbitkan oleh : Pusham UII kerjasama dengan POLDA DIY didukung oleh The Asia Foundation. Penaggung jawab : Eko Prasetyo, SH Konsultan Team : Suparman Marzuki, SH. M.Si M. Busyro Muqoddas, SH, M.Hum Drs. Soeharto, SH Tim Redaksi :
Imran, SH. Kumala Sari, Nova Umiati, S.Ip. Sulistiyani, S.Pd. Agung Kurniawan,SE. Nurdayad, S. Ag. Zainal A.M. Husain, Sholeh Eskawanto. Ilustrasi : Dedi. Foto & Design Grafis : Roziqin. Alamat Redaksi : Jl. Suroto Kotabaru Yogyakarta 55223. Telp. 0274 561809. Fax. 0274 561809
15
memutuskan untuk memilih jalan ini ? Ternyata menjadi agen TOGEL pun bukan berarti masalah selesai. Razia dari aparat maupun non aparat. Pada keduanya pun, “pajak” menjadi hal tertentu yang harus disetor. Belum lagi keributan yang kerap terjadi, pada mulanya mendatangkan ketakutan padaku, tapi kemudian menjadi hal yang biasa bagiku. Meskipun tiap hari buka, keuntunganku kecil sekali. Bayangkan, siapa yang tidak ketakutan kalau hampir tiap malam kami harus ditarik “pajak” Rp 5.000 per anggota polisi yang berkunjung ke warungku dengan pakaian dan senjata lengkap, wajah sangar. “Pajak” untuk uang keamanan katanya. Padahal nggak mungkin mereka datang sendirian, minimal bertiga. Pernah malah sampai 10 orang. Belum lagi aparat dari Angkatan Udara yang juga ikut-ikutan. Bahkan kami harus nyetor ke orang yang mengaku anggota GPK, Rp 80.000 tiap bulan dengan imbalan bahwa kami akan selalu aman dari gerebekan mereka. Hitung saja berapa pengeluaranku untuk uang keamanan tiap bulannya tersebut. Itu juga masih diminta oleh aparat pemerintah yang ngerasa belum dapat jatah. Pernah ada satu aparat yang mulanya menolak keras dan sangat antipati Tapi lama kelamaan, dia justru sangat gigih mentarget setoran yang harus kami beri perbulan. Ini belum lagi pengeluaran yang lain, Listrik, air, dan pajak resmi dari Pemda untuk lokasi warungku ini. Hal ini yang membuat aku sama sekali tidak percaya lagi pada aparat. Kami yang kawulo alit makin ditindas oleh mereka yang seharusnya melindungi dan mengayomi kami. Aku mengerti banyak orang yang mencerca pekerjaan ini, banyak orang membenci dan menyalahkan pilihan ini, bahkan tak kurang orang yang ingin menghakimi jalan hidup seperti kami. Tapi apa mereka bisa paham kesulitan kami ? Keterjepitan kami? Aku juga paham bahwa hidup dijalan seperti ini penuh resiko. Apalagi TOGEL sangat dilarang oleh negara, dihina oleh masyarakat, dan diharamkan oleh agama. Jadi secara langsung atau tidak, kami berhadapan dengan semua itu untuk sekedar hidup dan mempertahankan kehidupan. Tapi pekerjaan apa di dunia ini yang lepas dari resiko? Hampir-hampir tidak ada! Boleh dibilang aku hidup dari kebodohan orang lain yang menggadaikan keberuntungannya di atas kertas. Orang-orang bodoh tapi punya uang. Ah, begitulah,tekanan terkadang tak bisa memberikan banyak pilihan….! (Berdasarkan penuturan seorang penjual togel pada tim Ronda)
14
kawasan ini. Di kalangan masyarakat, paling kurang ada keluhan yang bersangkut dengan soal perjudian, pencurian hingga narkoba. Kedua, yang tak kalah penting untuk digali adalah, potensi masyarakat yang dipunyai bisa dioptimalkan untuk sebuah kolaborasi yang panjang dengan fungsi serta peran yang relatif lebih hetrogen. Di Depok ada banyak kampus kemudian di Umbulharjo ada terminal bus dan di Mergangsan ada tempat hiburan. Lokasi-lokasi ini bukan tanpa maksud dan efek; kampus adalah tempat bermukimnya intelektual sehingga sejumlah gagasan bisa digali dari sana. Kemudian terminal bus pusat bertemunya orang dari berbagai kota sehingga rawan segala hal. Apalagi jika menilik keberadaan tempat hiburan yang juga mempunyai implikasi serupa. Kedua pertimbangan diatas bukan yang pokok melainkan bisa dijadikan alasan yang memadai untuk mengawali sebuah program. Tak benar memang kalau semua polisi berprilaku buruk dan sebaliknya juga demikian; tak benar Polisi adalah makhluk suci 100%. Karena Polisi adalah petugas yang tidak sempurna, makanya penting digagas, berbagai bentuk hubungan antara Polisi dengan masyarakat. Bagaimana membuat hubungan yang membaik? Sejumlah syarat muncul dan digali oleh beberapa peserta, diantaranya: saling percaya-mempercayai antara masyarakat dengan Polisi. Mempercayai memang bukan kalimat yang tanpa beban. Bagaimana jika masyarakat memiliki pengalaman buruk dalam berhubungan dengan Polisi? Dan biasanya sebuah pengalaman buruk selalu saja goresan dalam ingatanya berdurasi lama. Satu orang yang punya pengalaman buruk dapat mempercepat ambruknya citra sebuah korps. Apalagi Polisi, hamba hukum yang rentan untuk mengalami nasib buruk ini. Pusham UII kemudian jadi fasilitator itu semua, mengingat dibutuhkan sebuah institusi yang netral, tidak berpihak dan relatif mendapat kepercayaan kedua belah pihak. Pusham UII tentu mengawali kegiatan ini dengan harap-harap cemas; di satu sisi memiliki harapan akan tetapi di sisi lain juga kuatir. Harapan karena program ini sesungguhnya bermanfaat buat Polisi maupun masyarakat. Tapi juga kuatir jangan-jangan program ini, tidak mendapatkan dukungan dari dua-duannya. Hanya saja, selama workshop empat hari tampak para peserta memendam harapan sekaligus antusiasme yang menyala; karenanya Pusham UII kemudian agak sedikit yakin, kalau dukungan pasti mengalir. Rasa percaya ini karena dua faktor yang berkait erat, yakni kebutuhan dan tuntutan zaman. Edisi perdana Bulletin ini, berawal dari kepercayaan akan itu semua, bahwa sebagai sebuah program Community Policing memang perlu mendapat apresiasi positif masyarakat. Diharapkan program ini kelak akan menjadi embrio bagi tumbuhnya institusi Kepolisian yang bisa mengakomodasi tuntutan besar masyarakat dengan memegang teguh nilai-nilai HAM. Program ini dijabarkan dalam sekian bentuk kegiatan, dari riset, pembuatan film, workshop, training, pembentukan kelompok kerja hingga penyusunan program bersama. Mungkin benar jika dikatakan kegiatan ini sarat dengan bau 'lembaga donor' tapi apapun julukan yang diberikan, program ini sepenuhnya milik masyarakat dan kalangan Kepolisian. Masyarakat-lah yang menentukan program dan mereka-lah yang menjadi mediator dalam penyusunan pemantauan. Bahkan mereka-lah yang kelak akan menggali dana sendiri, mengingat itu merupakan tanggung jawab yang dituntut secara bersama-sama. Bagaimana-pun, kita mungkin ingat akan pepatah, bahwa perubahan adalah takdir kehidupan. Apapun yang dulu pernah dilakukan oleh Polisi, hanya satu hal yang kita yakini, kita perlu mendorong perubahan dalam skala yang jauh lebih besar. Kita mungkin perlu cadangan optimisme, doa, dukungan dan harapan. Begitulah mungkin sebuah awal perubahan itu berjalan.
3 3
Investigasi
Polisi Buruk di Tengah Masyarakat yang Sakit Mungkin ini bukan pengalaman yang istimewa. Beberapa orang pasti pernah mengalaminya. Awal mulanya begini: Saya tinggal di jalan yang kebetulan hanya satu arah. Kebetulan, hari itu saya ada keperluan yang sangat mendesak. Mengingat ada keperluan yang penting maka dengan nekat saya melawan arus. Ini memang pelanggaran tapi saya tetap nekad. Tepat beberapa meter dari ruas jalan terlihat ada Polisi berseragam yang sedang ber-patroli. Tentu segera saja saya disuruh berhenti dan diperiksa surat motornya. Beruntung surat motor saya lengkap. Tapi saya sadar dan tahu kalau tindakan saya tetap salah. Ujungnya memang saya harus memberi sejumlah uang pada Polisi. Tetapi ternyata tidak setiap kesalahan berujung pada hukuman yang sama. Lain waktu saya dimintai tolong seorang tetangga yang suaminya seorang pejabat parlemen. Mobilnya mogok dan harus diderek. Tetangga saya mau ambil jalan pintas dengan melawan arus jalan yang satu arah. Polisi yang berseragam sama langsung menghentikan kami dan yang mengherankan ia bersikap sangat sopan. Kami yang berada dalam mobil dinasehati lalu kemudian dibiarkan pergi. Polisi tidak memintai uang bahkan mempersilahkan kami untuk kembali jalan. Tetangga saya dengan bangga mengatakan pada saya, pokoknya berhubungan dengan Polisi semua bisa diatur!! Saya kemudian terpaku dan bertanya-tanya, di mana tempat tinggal Keadilan? Kalau anda sudah lama tinggal di Indonesia mungkin kisah ini tak terlalu unik. Polisi lalu lintas, ibarat paku, yang ditanam di jalan untuk mengawasi kendaraan. Dengan alasan pemeriksaan maka dengan mudah setiap kendaraan dihentikan untuk ditanya ini-itu; yang paling banyak tentu soal surat kendaraan. Dengan memoles alasan tingginya tingkat Curanmor maka razia kendaraan bagai sebuah ritual yang wajib dilakukan. Padahal tak ada yang bisa menjamin, adanya hubungan positif antara tingginya razia dengan rendahnya curanmor. Maka jika kemudian banyak gugatan, kejengkelan, kekesalan terhadap aktivitas Polisi Lalu Lintas mungkin ini bisa dipahami. Bayangkan, sedang enak-enaknya berkendaraan tiba-tiba harus dihentikan dan diminta antri satupersatu untuk ditanya tentang surat-surat kendaraan. Kalau surat lengkap memang tidak masalah tetapi yang jadi soal; surat kendaraan bukan seperti hidung yang menempel di wajah dan otomatis di bawa kemana-mana. Surat kendaraan kadang tertinggal, lupa, dibawa teman atau memang belum punya. Dan masyarakat tahu cara penyelesaianya, lekas bayar atau kalau perlu tawarmenawar. Dalam bahasa seorang yang berpengalaman ditangkap oleh Polisi, kita harus ngeyel dan ngotot. Bagaimana melakukan itu?
4 4
Kisah
Pilihan, Adakah itu . . ? Aku perempuan asli yogya, lahir dan dibesarkan di sini, di kota ini yang selalu dianggap sebagai kota pendidikan. Malangnya, aku hanya sempat sekolah hingga tamat SMP. SMA hanya sempat satu tahun, lalu aku menikah dengan seorang pria yang berbeda agama, hingga menimbulkan sedikit kericuhan di keluargaku. Bukan karena aku percaya kekuatan cinta, tetapi aku percaya bahwa jodoh itu ditangan Tuhan dan aku hanya menjalaninya. Hal itulah yang membuatku tidak perduli dengan segala perbedaan itu, dan tetap menikahinya. Belakangan baru kuketahui, bahwa suamiku adalah seorang preman yang sangat ditakuti di kampungnya. Sebuah profesi yang mungkin cenderung dijauhi banyak orang, tapi malah membuat aku bangga padanya. Setidaknya ia mampu memberikan perlindungan bagi aku dan anak-anak kami yang kebetulan tinggal di wilayah yang kata orang cukup rawan. Meski tak ada penghasilan yang pasti tiap harinya, setidaknya kami dapat hidup dari jerih payahnya, walau aku tak tahu apakah itu hasil dari berjudi, memalak, atau jualan burung seperti kegemarannya. Yang jelas hingga saat ini, kami bisa menyekolahkan dua putri kami. Yang sulung sudah duduk di kelas dua SD, sedang yang kecil baru TK Nol besar. Mengatur kehidupan keluarga dari penghasilan suami yang tidak tetap, tentu merupakan beban tersendiri, terutama saat anakanak mulai masuk sekolah. Sehingga pilihanku adalah mencoba mencari penghasilan alternatif. Berbekal pinjaman modal dari saudarasaudaraku, aku mencoba membuka sebuah warung kecil-kecilan. Pada mulanya, hasilnya cukup lumayan. Tapi ketika pertumbuhan kota semakin maju, banyak toko lain yang mulai
bermunculan di sekitarku dan otomatis meningkatkan persaingan memperebutkan pembeli. Warungku yang kecil ini semakin lama semakin terjepit. Sesungguhnya, aku tidak menyalahkan mereka. Tiap orang berhak hidup dengan jalannya masing-masing. Dan kemudian dengan modal yang kecil dan pas-pasan, pelanpelan warungku mulai ngos-ngos-an dan akhirnya pailit. Sedangkan pada saat yang bersamaan, suamiku mulai menggilai lagi kegemarannya yang dulu ia janjikan untuk ditinggalkan, yakni mabuk! Hampir-hampir aku berjuang sendiri untuk keluargaku. Hingga suatu hari ada orang yang menawarkanku untuk menjadi agen TOGEL di wilayah ini, alasannya karena warungku dianggapnya strategis, dan ia cukup akrab dengan suamiku. Waktu itu memang sedang ramairamainya TOGEL di kampungku. Semula aku menolak, aku takut polah suamiku makin menjadi, terlebih lagi mengingat pengaruhnya pada anak-anakku yang masih kecil. Meskipun aku bukan orang yang cukup dekat dengan agama, tapi aku mengerti bahwa ini tidak benar dan dosa. Tapi lama-kelamaan aku nggak tahan juga, hutang-hutangku makin menumpuk, suamiku yang sempat mbecak berhenti kerja. Setoranku tersendat, karena banyak tetanggaku yang mengambil barang, tapi sampai sekarang belum terbayar. Sementara saat itu anakku yang nomer dua mulai masuk TK. Aku bingung…. Saat itulah aku berpikir bahwa hidup itu tak banyak menawarkan pilihan bagi orang kecil seperti kami. Pasrah adalah hal yang paling baik. Esoknya, resmilah warungku menjadi agen TOGEL urutan kesekian di wilayah ini. Ya… ini pilihan sadar, pilihan sadar keluargaku, tapi bisakah kita menyalahkan keadaan, hingga kami
13
Waktu telah bergeser membawa pertanyaan yang yang besar tentang apakah polisi Indonesia telah mengalami perubahan. Pasca pemisahan dengan militer, berbagai pelatihan, penelitian dan polling telah dilakukan, tetapi masyarakat yang menjadi barometer pengamat perubahan tersebut belum melihat hasil signifikan.8 Polisi ternyata belum berubah. Bagai mengganti baju, tetapi tetap saja dengan badan yang lusuh dan penuh aroma lama. Penggantian tanda pangkat, belum diiringin debirokratisasi dan demiliterisasi. Panitia Kerja Reformasi Polri 1999 telah merumuskan paradigma baru tetapi masih belum mampu mengubah kultur militeristik tersebut. Hal inilah yang juga melahirkan pertanyaan baru yang tidak kalah besarnya. Mampukah polisi berubah? Pertanyaan agak skeptik yang lahir dari pengamatan riil di lapangan yang melihat adegan-adegan penuh kekerasan dan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh polisi. Tentunya pengamatan ini disertai rasa rindu pada terciptanya polisi yang dekat pada masyarakat, menjadi penolong dan pelayan masyarakat, serta peka dan penuh empati pada orang lemah, kebingungan frustrasi, kaum cacat, kaum perempuan, dan anak-anak. Mungkin rasa rindu inilah yang melatarbelakangi pernyataan sugestif bahwa, Polisi harus berubah! Sebagai sebuah langkah kecil, mendekatkan polisi dan masyarakat menjadi pilihan yang sangat menarik. Karena keduanya saling membutuhkan dan menjadi subyek maupun obyek yang sama sekali tidak dapat dipisahkan. Di satu pihak, masyarakat menghendaki perlindungan, keamanan dan ketertiban dari polisi, sedangkan di pihak lain, polisi lahir karena adanya masyarakat dan menghendaki partisipasi masyarakat untuk memudahkan tugasnya. Lebih dari itu, dinamika dunia kepolisian dapat dipakai untuk mengukur peradaban manusia, dan begitu juga sebaliknya, perkembangan peradaban manusia merupakan tolak ukur bagi perkembangan kepolisian. Dan memang, 'pernikahan' polisi dan masyarakat harus segera dilangsungkan. Toh, untuk menjadi polisi yang baik, polisi terlebih dahulu harus menjadi warga negara yang baik!
8Sebagai bagian langkah reformasi kepolsian, PUSHAM UII bekerjasama dengan The Asian Foundation mengadakan
12
diseminasi Hak Azasi Manusia diberikan pada anggota kepolisian yang di ujicobakan di jajaran Poltabes Yogyakarta. Kegiatan yang didahului dengan penelitian tentang kinerja kepolsian tersebut membrikan gambaran betapa buruk citra kepolsian dimata masyarakat pada saat itu. Pasca pelatihan tersebut, kembali penelitian diadakan untuk melihat kinerja kepolsian. Ternyata penelitian terabut menunjukkan kemajuan kecil yang sama sekali belum signifikan bagi kinerja kepolsian. Hal inilah yang menjadi pencetus untuk direkomendasikannya program Community Policing. Lihat: Laporan Akhir Program Polisi HAM dan Masyarakat Sipil, PUSHAM UII, Juli 2002. Lihat juga berbagai polling dan penelitian yang diadakan oleh Kompas, Jawa Pos dan PUSHAM UII.
Seorang teman dari Mergangsan membuka sebuah cerita: Beberapa bulan yang lalu anak saya punya keperluan di kantor Polisi. Motornya di parkir di depan kantor Polisi. Saat itu juga bersamaan dengan masuknya truk yang kayaknya punya masalah. Truk itu masuk kantor dan menabrak motor anak saya yang sedang diparkir. Tahu kesalahan supir truk itu Polisi bertanya pada saya, apakah motor ini diasuransikan. Saya jawab, ya. Tapi motor diasuransikan tentu tidak lalu membuat pelaku tabrakan itu bisa berkelit. Saya kemudian berdebat keras untuk memintai pertanggungjawaban supir truk lewat Polisi. Kasus ini untung selesai meski dengan menempuh segala kiat untuk menuntut Polisi agar bertindak. Persoalan saya selesai karena memang ada tuntutan keras dan saya fikir kalau dibiarkan berarti saya dibodohi. Kisah ngotot juga dilakukan oleh seorang teman yang tawar-menawar ketika lupa bawa surat kendaraan. Dari Rp 15.000 hingga Rp 10.000 ongkos yang kemudian akhirnya ia bayarkan pada Polisi. Seorang anak jalanan-pun mengisahkan bagaimana dengan membayar uang beberapa ribu rupiah, urusan akan gampang dan cepat selesai. Uang mungkin lebih perkasa dalam urusan dengan Polisi ketimbang bunyi pasalpasal hukum. Tapi apakah memang kualitas dan keadaan Polisi sudah seburuk itu? Kisah menggelikan sekaligus mengharukan muncul dari Polsek Umbulhardjo. Polsek yang kebetulan kantornya bertetangga dekat dengan terminal bus. Anggota Polsek ini suatu hari didatangi oleh salah seorang gelandangan yang kondisinya amat memprihatinkan. Tak punya alamat, rumah dan keluarga. Badanya tampak kepayahan dan sakit. Polisi itu menolong dan membawanya ke rumah sakit tapi sampai disana ditolak karena tak memiliki kartu identitas. Si Polisi bingung kemudian membawa kembali gelandangan dan menyerahkanya pada tukang becak untuk diantar ke salah satu yayasan sosial. Dipikir persoalan sudah selesai tapi tak lama kemudian tukang becak kembali dengan tetap membawa gelandangan itu ke kantor Polisi. Gelandangan itu akhirnya ditampung dan dicarikan surat untuk kemudian dirawat. Polsek Umbulhardjo bukan sekali ini mendapat 'tamu kehormatan' para gelandangan melainkan juga kadang harus
memberi uang saku pada penumpang yang kehabisan ongkos. Polsek yang berada di arus besar lalu-lintas ini ternyata berfungsi ganda, pelayanan bagi mereka yang kehabisan uang. Darimana uang itu diperoleh? Dalam bahasa seorang Kapolsek, uang itu dirogoh dari kantongnya sendiri. Begitulah Polisi bukan institusi yang sepenuhnya berbau persekongkolan dan kecurangan. Dengan mengandalkan mobil keluaran tahun 75 bagaimana dapat memburu cepat penjahat. Seorang anggota Polisi mengisahkan pengalamannya: Suatu hari ada kasus yang membuat Polisi harus segera datang ke tempat kejadian. Dengan sirene dan mobil patroli maka Polisi segera melaju ke lokasi. Tepatnya di Jembatan Lempuyangan tiba-tiba mobil patroli mogok dan sirene masih meraung-raung. Tak ada jalan lain kecuali dengan membawa sirene dan Polisi lari menuju ke tempat kejadian. Ini bukan kisah pengantar tidur tapi kejadian nyata yang menggelikan sekaligus sangat paradoks. Ingin kejadian lebih heboh? Ada kantor Polsekyang bertempat di Yogya-tak punya kamar mandi dan toilet sehingga terpaksa petugas yang ada di sana kalau mau ke 'belakang' nebeng pada toko sebelah. Ini kisah memilukan soal sarana, prasarana dan sumber daya. Ongkos tidak ada tapi tuntutan masyarakat kian hari kian meningkat. Kantor Polsek yang kawasanya sangat luas mobil patroli saja tidak punya satu biji-pun. Mungkin ini bukan soal baru tapi kisah lama yang patut untuk didengungkan kembali di tengah masyarakat, yang sebagian hidup dalam kemewahan. Polsek yang kawasannya memprihatinkan ini bukan berada di tengah perkampungan orang miskin. Polsek yang mobilnya keluaran tahun 75 ini bukan bertempat di daerah yang penduduknya mengalami wabah kelaparan. Polsek yang tidak punya toilet ini bukan berada di tengah kawasan gurun pasir!! Polsek-polsek ini tinggal bersama penduduk yang beberapa diantaranya memiliki jumlah mobil pribadi yang banyak. Polsek ini bertetangga dengan puluhan pengusaha yang tiap bulan mendirikan toko, berangkat pergi haji, wisata ke luar negeri bahkan punya tabungan pribadi ratusan juta. Kantor Polsek ini bertetangga dengan pemilik kost-kostsan yang
5 5
Investigasi
6 6
menyewakan kamar kecilnya 1 juta per tahun. Kantor Polsek ini bertetangga dekat dengan hotel, rumah pejabat, kantor lembaga donor dan bahkan mungkin bersebelahan dekat dengan rumah seorang jutawan. Meski memang tak bisa dipungkiri ada pula kalangan masyarakat miskin yang tinggal di kawasan itu. Tapi tidak susah untuk mencari sumbangan buat uang bensin mobil patroli, uang untuk layanan sosial kantor Polisi atau sumbangan sarana komputer yang harganya tidak terlampau mahal. Uang dan sarana akan sangat berarti bagi sebuah institusi yang 'miskin' segala-galanya. Tapi jalan pikiran ini ternyata tidak mudah untuk dikomunikasikan. Seorang pengusaha dengan enteng mengatakan pada tim, buat apa nyumbang Polisi tiap hari saja mereka memajak kita (pengusaha). Atau kalimat yang meragukan, masak Polisi ndak punya uang khan ada banyak kasus yang mereka dapat untung. Anggapan ini mungkin memang ada benarnya dan juga mungkin di balik itu ada yang hilang dari masyarakat, yakni 'kepercayaan'. Hilangnya kepercayaan yang membikin masyarakat tak pernah peduli dengan kantor Polsek yang serba minim. Mereka tak bisa kasihan, simpati apalagi merasa berhutang budi, pada sosok Polisi pengatur jalan lalu-lintas yang ada di bawah terik panas maupun hujan. Sulit untuk terketuk hatinya melihat Polisi yang naik mobil patroli kuno dengan bensin yang minim. Yang paling mengkuatirkan hilangnya kepercayaan membikin masyarakat malas untuk menjadi saksi atau informan ketika terjadi kasus kejahatan. Masyarakat yang tidak peduli pada Polisi akan menjadi masyarakat yang sakit. Dikatakan sakit karena mereka lama-kelamaan juga tak peduli pada korban kejahatan maupun pelaku kejahatan. Semua soal keamanan mereka serahkan pada Polisi dan tanggung jawab atas itu semua ditumpuk pada pundak Polisi. Masyarakat tahunya beres dan melalui uang dipikir semua akan bisa diselesaikan. Andaikata ada kehilangan motor, pencurian atau pembunuhan maka Polisi-lah yang akan jadi sasaran tanggung jawab pertama. Bahkan kalau perlu Polisi didorong untuk melakukan tindakan penganiayaan terhadap pelaku kejahatan agar jera. Seperti terlihat dalam tayangan Patroli, Polisi yang idiil, adalah yang tangkas, keras dan kejam pada pelaku kejahatan. Yang terburuk dari situasi ini adalah masyarakat serta Polisi sama-sama menanam benih kekerasan. Polisi dengan gampang memukul, menganiaya bahkan bisa saja melakukan tindakan di luar hukum. Polisi melakukan kekerasan 'psikis' dengan memberi perlindungan atas pelaku kejahatan, korupsi terhadap sebuah perkara atau bahkan menjadi cukong di balik semua kegiatan pelanggaran hukum. Seperti dalam film-film India, Polisi berlaku sebagai penjahat yang mengidap ketidak-jujuran dan suka sekali berbohong. Kemelut ini takkan berakhir karena Polisi akan makin dipojokkan, baik dengan cara memuat semua keburukan, melakukan tuntutan serta memintai pertanggung-jawaban dan yang terakhir minta untuk diadili secara hukum. Di Yogyakarta, Polisi pernah berlaku sewenangwenang dengan menganiaya saksi hingga mati. Jauh sebelum itu pembunuhan wartawan Udin juga berujung pangkal sama. Secara bergantian masyarakat juga makin acuh terhadap semua gejala sosial dan bahkan mulai membentuk satuan keamanan sipil sendiri. Pemukulan aktivis mahasiswa 'kiri' oleh kawanan sipil bersenjata, pemukulan terhadap aktivis PKBI Yogyakarta atau penganiayaan terhadap beberapa perempuan penjaja makanan adalah contoh dari 'sakitnya' masyarakat. Polisi absen dari urusan semua itu dan yang hampir terjadi adalah meningkatnya angka kekerasan dan mulai tingginya angka pelanggaran Kamtibmas. Rasa aman masyarakat yang terancam itulah yang mengantarkan program Community Policing ini terbentuk. Di kawasan Depok Barat hampir tiada hari tanpa pencurian kendaraan
Dari perincian tugas-tugas ini melahirkan begitu banyak fungsi ideal dalam melindungi (to protect) dan melayani (to serve) yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Inggris menjadi negara pertama yang merumuskan gaya polisi ideal tersebut.4 Potret yang ideal inilah yang disimbolisasi dalam slogan yang dipergunakan oleh korpskorps kepolisian diberbagai negara. Di Amerika misalnya, menggunakan slogan to serve and to protect (untuk melayani dan melindungi). Sedangkan polisi Belanda menggunakan slogan vigilat ut quiescent (kami berjaga agar setiap orang dapat beristirahat). Indonesia sendiri telah menangkap spirit polisi modern tersebut dengan membangun 'badan sipil'. Bahkan peringatan 1 Juli 1946 yang selanjutnya diperingati sebagai hari Bhayangkara, sesungguhnya bukan merupakan hari dibentuknya lembaga kepolisian, tetapi merupakan hari yang menjadi lambang dari dorongan ke arah otonomi, yaitu dengan dikeluarkan dari Departemen Dalam Negeri dan dimasukkan ke Kantor Perdana Menteri. 5 Hanya sayang, oleh kepentingan tertentu, kepolisian dimasukkan ke dalam 6 ABRI yang menjadi pemoles gaya militer, baik dari sisi mental maupun prinsip birokrasi yang dibangun. Dan dimulailah sejarah
panjang kekerasan yang dilakukan polisi atas nama keamanan dan ketertiban. Mental militerisme yang penuh intimidasi dan kekerasan mulai diderita bukan hanya oleh individu-individu polisi, tetapi 'virus' ini juga menyebar pada kelembagaan (korps) sehingga malahan tidak jarang, polisi menjadi pelaku dan pemicu gangguan keamanan. Sedangkan prinsip birokrasi yang tertutup dan tidak transparan menjadikan lembaga ini penuh dengan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme. Polisi makin menjauh dari peran protagonis bagi masyarakat. Polisi malah menjadi pemeran antagonis dalam masyarakat. Tepatnya tanggal 1 April 1999, merupakan tonggak utama dalam sejarah kepolisian terkini yang menyatakan kehendak kuat untuk melahirkan kembali watak sipil di tubuh Polri. Penyesuaian pun mulai banyak dilakukan sebagai bagian dari usaha reformasi di tubuh kepolisian. Mulai dari penggantian tanda kepangkatan, pembentukan Panitia Kerja Reformasi Polri 1999, hingga upaya pembentukan Kompolnas 7 sebagai bagian dari pelaksanaan amanat UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri.
4
Pada awal XIX, gaya militerisme yang penuh dengan kekerasan masih mewarnai sosok polisi. Setelah peristiwa “Pembantaian Paterloo” berupa penangkanapan seorang orator bernama Henry Hunt yang berujung pada bentrok antara pasukan berkuda dengan massa, menjadi titik balik sejarah kepolisian Inggris menjadi lebih berwatak sipil. Lihat: Satjipto Rahardjo, Polisi Indonesia Baru, Kompas, 1 Juli 1998. 5 Pada tahun 1945 di awal kemerdekaan, Kepolisian RI di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri dan pada tanggal 1 Juli 1946, melalui Penetapan Pemerintah No.11/SD/1946 menyatakan pembentukan Jawatan Kepolisian Negara, kedudukannya di bawah Perdana Menteri. 6 Melalui Pasal 54 Ayat C Ketetapan MPRS No. II Tahun 1960, Kepolisian dinyatakan sebagai angkatan perang. Hal ini dikuatkan oleh Undang-undang Pokok Kepolisian Negara No.13 Tahun 1961 dan Undang-undang No.20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan. 7 Melalui rancangan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Kompolnas ingin dibentuk sebagai upaya memenuhi cita-cita yang diamanatkan oleh pasal 38, 39 dan 40 UU No.2/2002 tentang Polri. Hanya saja beberapa hal dalam upaya pembentukan ini yang kembali banyak dicermati dan disoroti karena banyak mengandung 'kejanggalan', seperti misalnya pada masalah komposisi, hingga pertanggungjawaban struktural yang minim akuntabilitas publik. Lihat: Risalah “Jumpa Pakar” Pembahasan Rancangan Keppres Komisi Kepolisian Nasional, PUSHAM UII-Patnership For Governance Reform in Indonesia, Yogyakarta, September 2002.
11
anacaW Wacana Wacana
Polisi Harus Berubah ! “Untuk menjadi polisi yang baik, terlebih dahulu seseorang harus menjadi warga negara biasa!” (Pameo dalam Konferensi Polisi Internasional)
Sosok polisi memang selalu menjadi obyek yang 'menarik'. Ia sering diidentikkan dengan seragam, postur tubuh dan cara bercukur rambut pola tertentu yang dengan penampilan fisik tersebut, ia dijadikan lambang ancaman bagi anak-anak “yang tidak mau makan” atau “yang nakal”.1 Juga dengan penampilan itu, ia menjadi bahan olok-olokan mahasiswa ketika berdemonstrasi. Dan tidak hanya sampai di situ, bahkan dalam berbagai siaran televisi, kejar-kejaran polisi dan penjahat menjadi tontonan hiburan yang sangat diminati.2 Padahal secara fungsional, polisi mempunyai kegunaan yang jauh lebih berarti dari sekedar bahan bagi orang tua, mahasiswa dan tontonan bagi pemirsa tersebut. Secara terperinci polisi mempunyai tugas; Pertama, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; Kedua, memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk perlindungan dan pertolongan; Ketiga, memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam; Keempat, mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat; Kelima, mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-peraturan negara. 3
1
Tidak pernah ada kejelasan sejarah mengapa polisi bisa teridentifikasi oleh orang tua sehingga sering menggunakannya pada anak-anak sebagai ancaman. Tetapi sangat banyak yang menghubungkannya dengan asal kata “Bhayangkara” yang dipakai sebagai lambang kepolisian, merupakan bahasa sansakerta yang berarti “Menakutkan”.
bermotor. Di kawasan Umbulharjo pencurian berat angkanya terus melonjak. Kemudian di Mergangsan baik narkoba atau pencurian kendaraan bermotor menjadi gangguan masyarakat. Boleh dikata memang kita tidak tinggal di surga tapi juga kita tak mau berada di lingkungan yang sangat potensial akan tindak kejahatan. Sikap masyarakat kadang memang jadi keluhan: di Depok ada kawasan yang sesungguhnya dihuni kaum terpelajar tapi kurang peduli kalau diajak berkumpul dan mendiskusikan masalah kampung. Sedang Umbulharjo selalu kesulitan untuk meminta kesaksian masyarakat jika terjadi tindakan kejahatan. Lalu Mergangsan mengalami soal yang sama. Tiga kawasan itu juga mengidap penyakit institusi yang serupa; masyarakat di Umbulhardjo merasa Polisi tidak pro aktif, masyarakat Depok juga curiga Polisi terlibat banyak dalam tindak kejahatan dan di Mergangsan Polisi dikatakan kurang 'dekat' dengan masyarakat. Mereka memang sama-sama menyimpan persoalan yang sulit untuk dipecahkan jika tidak diawali dengan saling berkomunikasi. Begitulah program ini mengandalkan pada komunikasi yang akan mendekatkan, baik secara fisik dan psikis, Polisi dengan anggota masyarakat. Program ini hendak membangkitkan kepercayaan kedua-duanya. Pada Polisi bahwa masih ada harapan akan kebaikan masyarakat dan untuk masyarakat bahwa Polisi bukan institusi yang kebal akan perbaikan. Karena itu ada anggota masyarakat yang ditunjuk untuk tinggal di kantor Polisi guna melihat kesulitan dan sejumlah faktor penunjang yang bisa membantu tugas Kepolisian. Program ini digarap selama 10 bulan untuk kemudian didorong dengan sebuah program bersama antara Polisi dengan masyarakat. Biarkan Polisi dengan masyarakat saling berbagi masalah, berdiskusi, menetapkan sejumlah sasaran dan mengevaluasi hasilnya. Program ini diharapkan mampu menanam kepercayaan masyarakat pada Polisi dan menyelesaikan penyakit-penyakit yang ada di masyarakat. Lalu siapa yang beruntung dalam Program ini? Yang beruntung adalah Polisi dan masyarakat. Lewat program ini masyarakat jadi lebih tahu kesulitan Polisi dan dengan program ini Polisi makin mengerti tuntutan masyarakat. Bergantian Polisi dan masyarakat saling memberi masukan dan membantu turun tangan. Keberhasilan dari program ini sangat sederhana, bagaimana angka kejahatan dapat turun dan kebutuhan Polisi diketahui dan dibantu oleh masyarakat. Sebab sudah sepatutnya keamanan dijadikan indikator 'kesehatan' sebuah masyarakat. Masyarakat yang sakit adalah masyarakat yang tinggi angka kejahatanya dan masyarakat yang kepercayaanya sangat rendah pada institusi keamanan. Pemulihan atas demokrasi, HAM maupun ketertiban hukum bermula dari hal yang sederhana ini: yakni pulihnya rasa aman masyarakat atas tempat tinggal dan lingkungannya sendiri.
2
Dalam peringkat terbaru yang dikeluarkan oleh H.C Nielsen, menempatkan acara-acara seperti Buser (SCTV). Patroli (Indosiar) dan Sergap (RCTI) sebagai acara-acara cukup banyak diminati oleh pemirsa.
10
3
Lihat: Opini-Opini tentang Kepolisian (Kumpulan Artikel), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2001.
7 7
Sosok
POLISI HARUS DEKAT DENGAN ANAK KECIL
8 8
Ini mungkin kegiatan yang kurang disukainya. Bertemu dengan Polisi kemudian berbincang-bincang untuk merancang program buat institusi yang sudah puluhan tahun berdiri. Polisi mungkin petugas yang sudah dikenalinya sejak kecil. Rumah tempat tinggalnya di kampung menjadi tempat kost bagi sejumlah Polisi yang tidak bisa tinggal di asrama. Semasa menjadi mahasiswa Polisi dikenalnya sebagai petugas yang berpenampilan represif dan arogan. Ia memang tidak sampai membenci tapi juga tidak menyukai petugas ini sepenuhnya. Saat program pelatihan HAM untuk Polisi dimulai berbagai sindiran muncul dari beberapa kawan-kawannya. Dari mulai sekedar cari uang hingga tuduhan kalau akan dibina untuk jadi intel. Pada dasarnya ia tidak mencemaskan tapi ada kekuatiran, bukan pada tuduhan, tapi pada sosok Polisi itu sendiri. Benarkah memang aparat Kepolisian dapat dijadikan aparat yang bersih, jujur seperti yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Ini sebuah pertanyaan yang jawabannya memang bukan terletak padanya tapi juga pada masyarakat. Eko Prasetyo, kordinator program ini, merasa yakin kalau program ini tetap akan berbuah. Ia mungkin tidak terlalu percaya dengan radikalisasi di lingkungan Kepolisian tapi ia yakin bahwa Polisi, seperti sosok manusia lainnya, pasti punya harapan atas negeri ini. Dalam perencanaan yang panjang dan didukung oleh sejumlah temannya di Pusham UII program ini mengkombinasikan antara imajinasi dan realitas. Ia rencanakan program ini akan menghasilkan bukan saja program tapi juga karya seni. Sebuah film untuk program ini sengaja dirancang bukan untuk mendokumentasikan tapi memperlihatkan pada publik tentang kesadaran akan nilai budaya. Masyarakat yang sakit, baginya hanya bisa disembuhkan, kalau nilai-nilai kulturalnya ditumbuh-suburkan. Ia melihat persoalan terbesar antara Polisi dengan masyarakat memang ada di tingkat kepercayaan. Pekerjaannya saat ini adalah memulihkan kepercayaan itu. Melalui bulletin, pembentukan Pokja, riset, worskhop dan perumusan program; ia percaya Polisi akan dipaksa untuk bertemu dengan masyarakat. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dalam hidup orang butuh tantangan dan proyek ini baginya bukan sekedar tantangan tapi sebuah kesempatan. Sebagai pengaggum Usama bin Laden dan Nietszce, ia percaya kalau program ini akan melatih teman-temannya
Tempo
di Pusham UII untuk berlatih berinisiatif, mengorganisir masyarakat dan melakukan pendampingan. Ia merasa sebuah proyek kadang memandulkan imajinasi dan keberanian. Ia menginginkan proyek berhasil bukan karena laporan yang rutin pada lembaga donor akan tetapi juga bisa dipertanggung-jawabkan sekaligus dirasakan oleh masyarakat. Yang ingin ia tanamkan pada teman-teman adalah bagaimana mereka tahu dan bisa mendorong masyarakat untuk berinisiatif dan memiliki harapan. Mereka masih muda dan ia tak mau mereka jadi tua karena terlalu hati-hati dan arif. Karenanya dalam program ini beberapa kawannya diminta untuk tiap hari ke kantor Polisi dan ketemu dengan masyarakat. Ia akan langsung marah jika melihat teman-temanya malas atau banyak alasan untuk tidak turun. Begitulah program ini kemudian dikomandoinya. Ayah yang kini tinggal di sebuah kampung ini memiliki kesukaan menulis. Tiga buku sudah ditulisnya yakni HAM Kejahatan Negara & Imperialisme Modal (2001); Islam Kiri (2002) dan Membela Agama Tuhan (2003) telah mengantarkanya dekat dengan sejumlah aktivis. Menjadi manajer penerbitan Insist Press membuatnya percaya bahwa budaya membaca adalah modal bagi masa depan. Ia prihatin dengan tidak adanya perpustakaan di kantor Polisi padahal buku kadang lebih berguna ketimbang senapan. Ia sering mengutip Hannah Arendt bahwa institusi yang kehilangan imajinasi akan bisa bertindak buas, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hitler. Seorang Polisi masa depan menurutnya seperti sosok Eddie Murphy, yang konyol, lucu, riang dan imajinatif. Mungkin karena itu dalam
pelatihan HAM untuk Polisi sengaja diputarkan film Metro yang dibintangi oleh Eddie Murphy. Polisi itu kadang harus humoris karena berhadapan dengan masyarakat yang stress bukan senjata yang diajukan tapi mungkin banyolan akan lebih bermanfaat. Makanya ia paling heran kalau ada Polisi yang sampai mukuli mahasiswa; itu tanda Polisi mulai kehilangan imajinasi. Pernah menjadi guru taman kanakkanak dan dikaruniai satu putera membuatnya merasa bahwa Polisi harus lebih dekat dengan anak. Baginya kunjungan Polisi ke taman kanak-kanak penting bukan saja untuk mengobati kemelut kantor tapi juga untuk belajar. Dengan anak-anak kita kemudian belajar untuk bersabar, memaafkan dan toleran. Anak-anak itu ibarat mutiara dunia yang mengingatkan kita akan masa depan. Polisi dengan masyarakat mustinya begitu; mereka memang perlu ditegur tapi tak selalu harus dengan cara-cara kekerasan. Sapaan yang riang atau komentar yang lucu mungkin akan makin mendekatkan Polisi dengan masyarakat. Banyak-banyaklah bertemu dengan anak kecil, karena dari sana, Polisi akan belajar tentang kehidupan yang penuh makna. Mungkin ini terasa konyol, tapi menurutnya hidup di dunia ini, yang diperlukan kadang sekedar kekonyolan.
9