POLICY BRIEF ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA ANAK
A.
PENDAHULUAN Pembangunan hukum untuk periode 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam RPJMN, diarahkan pada menciptakan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan; meningkatkan kontribusi hukum untuk peningkatan daya saing ekonomi bangsa; dan meningkatkan kesadaran hukum di segala bidang. Dalam rangka menciptakan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan dengan mengupayakan peningkatan kualitas penegakan hukum dalam penanganan berbagai tindak pidana; meningkatkan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana; dan melaksanakan sistem peradilan pidana anak. Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak menunjukan bahwa Negara Indonesia menyadari posisi seorang anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh sebab itu untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Selama kurang lebih enam belas tahun Indonesia menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif), yang berparadigma penangkapan, penahanan, dan penghukuman penjara terhadap anak berdasarakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sistem pidana tersebut dianggap tidak perlindungan bagi anak sehingga memunculkan stigmatisasi, interaksi dengan para pelanggar hukum lainnya, permasalahan keberlanjutan pendidikan, kesejahteraan anak, dan permasalahan readaptasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Atas berbagai problematika tersebut maka lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berupaya menginkorporasikan prinsip dan nilai yang terdapat pada Konvensi Hak Anak dan instrumen lainnya ke dalam sistem peradilan pidana anak. Perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut antara lain: perubahan filosofi peradilan anak dari yang semula retributif justice menjadi restorative justice; perluasan cakupan “anak”; usia pertanggungjawaban pidana Anak; penghilangan Kategori Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil; perubahan nomenklatur; kewajiban proses Diversi pada setiap tingkat; penegasan Hak Anak dalam Proses Peradilan; serta adanya upaya pembatasan perampasan kemerdekaan sebagai measure of the last resort. Upaya melaksanakan Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai amanat pembangunan hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai bentuk jaminan dan perlindungan atas hak anak yang berhadapan dengan hukum yang menekankan pada prinsip keadilan restorasi (restorative justice). Permasalahan di lapangan menunjukan bahwa yang dihadapi anak yang berkonflik dengan hukum terjadi pada tiga tahap, yaitu tahap pra-adjudikasi, adjudikasi dan pasca-adjudikasi, oleh sebab itu diperlukan kesiapan seluruh komponen yang terlibat dalam sistem hukum pidana anak, sehingga diperlukan peningkatan koordinasi antar Kementerian/Lembaga; peningkatan kemampuan aparat penegak hukum dan stakeholders; penyusunan peraturan pelaksanaan; penyediaan sarana dan prasarana; serta pengawasan dan evaluasi. Salah satu langkah strategi optimalisasi pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yaitu dengan membentuk peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang ada yang berkaitan dengan sistem hukum pidana anak. Pada Tahun 2016, Badan Pembinaan Hukum Nasional melalui Pusat Analisis dan 1
Evaluasi Hukum Nasional melakukan analisis dan evaluasi hukum dalam rangka Membangun Sistem Hukum Pidana Anak dengan melakukan review atas perundang-undangan yang terkait dengan sistem pidana anak (executive review) yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum; 6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban; 8) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun; 10) Peraturan Presiden Nomor 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak; 11) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 17 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Penempatan Anak Sementara; 12) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pembinaan Khusus Anak. B.
HASIL ANALISIS DAN EVALUASI
1.
Penilaian Berdasarkan Kesesuaian Asas Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 1 ayat (6), Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 83 ayat (1), dan Pasal 104 ayat (1), dan mencabut Pasal 4; b. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang perlu dilakukan perubahan sebanyak 2 Pasal yaitu: Pasal 74 ayat (2), dan Pasal 76D, dan mencabut Pasal 91A; c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 14, Pasal 51, dan mencabut Pasal 4 danPasal 9 ayat (2); d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 60 ayat (2), Pasal 65 huruf d dan e, Pasal 80, dan Pasal 81; e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2); f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 43; g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 5 angka (1) huruf f, g dan h dan Pasal 10 ayat (2); 2
h. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 80, Pasal 81 ayat (1) dan (2); i. Peraturan Presiden Nomor 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 6 ayat (2); 2.
Hasil Penilaian Berdasarkan Potensi Disharmoni: a. Adanya disharmoni terhadap kelembagaan yang memiliki kewenangan di dalam melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan terkait dengan Hak Asasi Manusia. b. Adanya disharmoni terhadap pengaturan terhadap penyelenggaraan pendidikan, pembinaan dan pembimbingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. c. Perlunya mengatur mengenai hak-hak kependudukan bagi seorang anak semenjak kelahirannya. d. Perlu adanya perumusan ulang terhadap pengaturan tentang bantuan hukum yang merupakan bagian dari HAM e. Adanya disharmoni terhadap pengaturan mengenai Restitusi bagi korban anak f. Pelru ada pengaturan teknis lebih lanjut terhadap upaya mendapatkan informasi bagi saksi dan korban. g. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut terhadap hilangnya hak tagih atas utang atau perjanjian bagi Pelaku tindak pidana perdagangan orang h. Perlu adanya pengaturan terhadap mekanisme pemberian pembebasan bersyarat terhadap pidana pembinaan yang dilakukan di luar Kemenkumham i. Adanya disharmoni terhadap kewenangan melakukan penangkapan danpenahanan tanpa surat perintah j. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut terhadap ketentuan untuk wajib menunda proses sebuah kasus. k. Adanya disharmoni terhadap ketentuan terkait sanksi terhadap pelanggaran kerahasiaan indentitas anak baik di media cetak maupun elektronik l. Perlu menambahkan frasa “setiap anak yang berhadapan dengan hukum” ke dalam ketentuan terkait “penerima bantuan hukum”. m. Adanya disharmoni terhadap aturan waktu terkait penyerahan hasil peneltian kemasyarakatan n. Adanya disharmoni di dalam menindaklanjuti proses pelaksanaan pidana bagi anak yang telah divonis pengadilan o. Perlu adannya pengaturan lebih lanjut mengenai pemberian “Perlindungan Khusus bagi anak” p. Adanya disharmoni terhadap waktu terkait dengan pengaturan pemberian perlindungan korban KDRT q. Adanya disharmoni terhadap ketentuan yang mengatur penetapan anak terlantar melalui pengadilan. r. Adanya disharmoni terhadap Ketentuan Pasal 43 UU TPPO karena mengacu pada ketentuan yang sudah tidak berlaku.
3.
Penilaian Berdasarkan Efektivitas Implementasi Peraturan Perundang-Undangan a. Tidak adanya pengaturan yang menegaskan untuk melaksanakan rekomendasi Komnas HAM. b. Tidak Efektifnya Pengaturan Komisioner Komnas HAM. 3
c. d. e. f. j.
Tidak Efisiennya Kelembagaan yang Melaksanakan Pemantauan HAM. Tidak Terdapatnya Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM. Tidak Efektifnya Perlindungan Bagi Anak Terlantar. Minimnya Dukungan Sarana yang Mendukung Perlindungan dan Kesejahteraan Bagi Anak. Terjadinya Perbedaan Persepsi terhadap Pengaturan Jenis Delik Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Aparat Penegak Hukum. k. Tidak Terdapatnya Pemulihan Hak Ekonomi/Kesejahteraan bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. l. Belum lengkapnya pembentukan peraturan pelaksana UU SPPA. m. Belum tercukupinya pembangunan infrastruktur pendukung Pelaksanaan UU SPPA n. Belum tersosialisasikannya UU SPPA secara menyeluruh o. Keterbatasan anggaran dan jumlah trainer (pengajar/pelatih) dalam rangka penyiapan Sumber Daya Manusia Pelaksana UU SPPA p. Tidak optimalnya pola pembinaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum C.
REKOMENDASI 1. Perlu adanya simplifikasi kelembagaan yang memiliki kewenangan di dalam melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan terkait dengan Hak Asasi Manusia. 2. Perlu adanya harmonisasi pengaturan terhadap penyelenggaraan pendidikan, pembinaan dan pembimbingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Perlunya mempercepat pembangunan sarana ruang atau gedung yang mendukung perlindungan terhadap anak. Selain itu, terdapat juga rekomendasi yang bersifat normatif dalam perspektif materi, struktur, penegakan, dan budaya hukum sebagai berikut: 1. Materi Hukum
Rekomendasi Perlu perubahan Pasal 74 ayat (2) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 untuk memperjelas ketentuan terhadap pembentukan Komisi Perlindungan Anak di Daerah.
Perlu perubahan Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 untuk membuat rumusan baru terhadap larangan melakukan persetubuhan bagi seorang anak, tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman tetapi ditambahkan melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak.
Perlu perubahan Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 agar terdapat pengaturan secara operasional dan menyeluruh terhadap asas “Penghargaan terhadap pendapat anak” dan
Penjelasan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis. Hal ini berpotensi menimbulkan persoalan: - Frasa “lembaga lainnya membuka kemungkinan Pemda untuk membentuk lembaga-lembaga baru di luar “Komisi perlindungan Anak”, dan - Persoalan terhadap pola kerja antara lembaga bentukan Pemda dengan KPAI yang bersifat nasional. - Perlunya juga memperhatikan beban anggaran dari pembentukan lembaga tersebut. Oleh sebab itu perlu memperjelas ketentuan terhadap pembentukan Komisi Perlindungan Anak di Daerah. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Padahal banyak kasus-kasus yang terjadi seorang anak melakukan persetubuhan tetapi tidak dengan ancaman ataupun kekerasan, tetapi dengan melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak, sehingga seorang anak dengan segala posisi dan keterbatasnnya tidak dapat mengelak. Oleh sebab itu perlu adanya perumusan baru atau penjelasan lebih lanjut yang tertuang secara tegas terhadap ketentuan di atas. Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berisi pengaturan mengenai pendapat anak. Kedua pasal tersebut belum mengakomodir secara jelas bentuk saluran terhadap “pendapat anak” ketentuan tersebut juga masih terdapat pembatasan yakni “dalam hal tertentu” yang terdapat pada Pasal 60 ayat (2) tetapi tidak
4
Rekomendasi memasukan rumusan “anak yang berhadapan dengan hukum” sebagai pihak yang didengar pendapatnya.
Perlu mempercepat pembentukan Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan.
Perlu perubahan Pasal 1 ayat (6) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 untuk merumuskan ulang konsepsi mengenai pelanggaran HAM juga harmonisasinya dengan perumusan aturan berikutnya.
Perlu perubahan Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 untuk merumuskan ulang terhadap pengaturan tentang bantuan hukum yang merupakan bagian dari HAM.
Perlu perubahan Pasal 53 ayat (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 untuk mengatur hak-hak kependudukan bagi seorang anak semenjak kelahirannya. Perlu perubahan Pasal 14 ayat (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 dengan menambah frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” terhadap hak informasi seseorang. Perlu perubahan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan melakukan perumusan ulang terhadap ketentuan Pasal 4 UU HAM.
Perlu perubahan Pasal 1 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 untuk memberikan perumusan yang tegas terhadap anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Perlu perubahan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 untuk merubah rumusan terkait “tindak pidana kekerasan fisik” dalam KDRT ke dalam delik aduan, dan perlu adanya pengkategorian jenis tindak pidana yang dapat masuk ke dalam delik biasa.
Penjelasan ada pengaturan atau syarat yang menerangkan kondisi “dalam hal tertentu” yang dimaksud. Kemudian terhadap pendapat anak yang ada pada Pasal 60 ayat (2) hanya terbatas pada anak sebagai korban, sedangkan anak yang berhadapan dengan hukum juga seharusnya memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya. Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan Ketentuan mengenai mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat ini peraturan tersebut belum terbentuk. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM adalah HAM yang diatur dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999, sedangkan terdapat inkonsistensi pengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan tidak hanya UU HAM tetapi termasuk juga Hukum Internasional lainnya. Oleh sebab itu perlu harmonisasi pengaturan terhadap ketentuan/definisi pelanggaran HAM dimaksud. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan “Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak” Frase “bantuan” dalam ayat ini tidak jelas menunjukan jenis/bentuk bantuan seperti apa yang harus diberikan, di dalam pejelasan pasal tersebut juga tidak ditemukan pengaturan lebih lanjut mengenai bantuan dimaksud. Kemudian frase “pengadilan” menunjukan entitas kelembagaan, sedangkan berdasarkan fungsi kelembagaannya pengadilan bukanlah lembaga yang memberi bantuan dan perlindungan, melainkan lembaga yang memiliki fungsi kekuasaan kehakiman. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya berisi dua hal pokok yakni “penggunaan nama” dan “status kewarganegaraan” sedangkan hal penting dan sering menjadi permasalahan yakni mengenai “status dan hak-hak administasi di bidang kependudukan”. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sangat terikat dengan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU ITE, UU Pers, UU KIP oleh sebab itu pada ketentuan ini perlu ditambahkan “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan “....hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut”. Dalam kenyataanya pernah terdapat pengaturan hukum yang terbit setelah berlakunya undang-undang ini Agar tidak terjadi inkonsistensi pengaturan maka perlu dilakukan perumusan kembali ketentuan yang terdapat dalam UU HAM khususnya yang terdapat dalam Pasal 4. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 hanya menekankan kepada perempuan sebagai subjek/korban utama dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga padahal banyak sekali kasus KDRT yang di alami oleh seorang anak. Oleh sebab itu perlu adanya perumusan yang lebih jelas bagi seorang anak yang mengalami KDRT. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan dapat menimbulkan penafsiran terhadap keseluruhan kekerasan fisik akibat adanya KDRT hanya bersifat delik aduan, padahal banyak kasus kekerasan fisik yang mengakibatkan luka-luka dan kematian seharusnya bisa dikategorikan termasuk ke dalam “delik biasa” untuk itu perlu adanya perubahan rumusan terhadap ketentuan tersebut.
5
Rekomendasi Perlu perubahan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 dengan menambahkan frasa “setiap anak yang berhadapan dengan hukum” ke dalam ketentuan terkait “penerima bantuan hukum”.
Perlu Mencabut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 karena tidak sesuai dengan keberlakuan Pasal yang ada.
Perlu adanya aturan yang mengatur kewajiban menghitung dampak negative yang akan muncul dalam setiap perbuatan pemerintah di dalam PP Pelaksanaan Diversi.
Perlu perubahan Pasal 35 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 terkait dengan disharmoni prosedur penangkapan dan penahanan.
Perlu perubahan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terkait dengan penetapan anak terlantar melalui pengadilan.
Perlu adanya pengaturan yang memberikan hak ekonomi/ kesejahteraan bagi korban KDRT.
2.
Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menunjukan bahwa yang dapat secara langsung dikategorikan sebagai penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar. Padahal di beberapa undang-undang seperti UU SPPA, UU HAM, UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa seorang anak berhak untuk mendapatkan bantuan hukum oleh sebab itu perlu adanya perubahan terhadap ketentuan mengenai “penerima bantuan hukum”. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terdapat potensi permasalahan yang terkait dengan perumusan norma. Adanya norma yang menyebutkan secara tegas menyebutkan nomor dan tahun dari sebuah undang-undang menunjukan bahwa penormaan tersebut memang secara terbatas harus terkait dengan peraturan yang dimaksud dan tidak dapat ditafsirkan berbeda, hal ini tentu akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Perlu perubahan atas PP Diversi ini dengan menambahkan pengaturan khusus mengenai hal ini. Bahkan perlu juga perubahan atas UU SPPA dengan menambahkan pasal yang berisi “jika terdapat perlakuan yang salah atau bertentangan dengan UU SPPA ini (PP Diversi) yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, hakim, yang mengakibatkan dampak negatif kepada pelaku/korban anak maka perlu adanya kewajiban menghitung dampak negatif yang terjadi akibat perbuatan tersebut”. Pasal 35 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berpotensi bPada Tahun 2016, Badan Pembinaan Hukum Nasional melalui Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional melakukan analisis dan evaluasi hukum dalam rangka Membangun Sistem Hukum Pidana Anak dengan melakukan review atas perundang-undangan yang terkait dengan sistem pidana anak (executive review) yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan bertentangan dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP terkait dengan prosedur penangkapan dan penahanan. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 berpotensi bermasalah dalam upaya memberikan perlindungan bagi anak terlantar dan anak jalanan harus menunggu penetapan dari pengadilan. Oleh sebab itu perlu terdapat pengaturan lebih lanjut dan mengubah ketentuan yang ada terkait dengan perlunya “penetapan pengadilan” agar upaya perlindungan bagi anak terlantar dan anak jalanan dapat berjalan efektiv dan optimal. Dari hak yang ada tidak satupun terdapat pengaturan yang berkaitan dengan perlindungan atau jaminan pemenuhan hak ekonomi/kesejahteraan, padahal hubungan rumah tangga sangat terkait erat dengan ketergantungan ekonomi antar anggota keluarga, hal inilah yang menyebabkan keraguan di dalam melaporkan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga menyebabkan tidak optimalnya bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ini. Oleh sebab itu perlu terdapat perubahan pengaturan yang memberi jaminan perlindungan hak ekonomi/kesejahteraan.
Struktur Hukum
Rekomendasi Perlu perubahan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dengan menambah pengaturan pemberian bantuan pendidikan Cuma-Cuma bagi anak kurang mampu, anak
Penjelasan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak mengatur secara jelas mekanisme pemberian biaya pendidikan dan atau bantuan CumaCuma atau pelayanan khusus bagi anak kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
6
Rekomendasi terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. Perlunya percepatan pembangunan BAPAS pada tiap Kabupaten/Kota.
Perlu percepatan pembangunan LPKA dan LPAS pada tiap Provinsi.
Perlu percepatan penyediaan ruang pelayanan khusus Anak di kantor kepolisian yang menangani kasus anak.
Perlu percepatan penyediaan ruang tunggu bagi Anak yang akan mengikuti sidang di pengadilan.
Perlu perubahan Pasal 83 ayat (1) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 terkait dengan pengaturan jumlah anggota Komnas HAM.
Perlu perubahan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dengan menambahkan pengaturan terkait perlunya akreditasi terhadap lembaga sosial yang dapat memberikan pelayanan bagi korban KDRT dan pengaturan khusus terhadap lembaga sosial yang didirikan oleh orang/lembaga asing agar sejalan dengan prinsip kebangsaan dan keutuhan NKRI. Perlu adanya penambahan jumlah SDM pada BAPAS serta anggaran yang memadai dalam penyusunan litmas.
Perlu penambahan “tenaga pendidik” sebagai salah satu peserta diklat terpadu SPPA. Perlu perubahan Pasal 80 PP Nomor 65 Tahun 2015 terkait dengan kewenangan
Penjelasan
Pasal 105 huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa dalam waktu 5 tahun setelah berlakunya SPPA (tenggat waktu s.d. 2019) kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas di kabupaten/kota. Data menunjukan hingga tahun 2016 baru terdapat 71 BAPAS dari 536 yang seharusnya dibangun pada tiap Kabupaten/kota. Pasal 105 huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa dalam waktu 5 tahun setelah berlakunya SPPA (tenggat waktu s.d. 2019) kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi. Data menunjukan hingga tahun 2016 untuk LPKA baru terdapat 20 unit dan LPAS baru terdapat 4 dari yang seharusnya 34 unit untuk LPKA dan LPAS. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. Hingga saat ini penyediaan ruang pelayanan khusus Anak masih terkendala dalam hal penganggaran, sehingga penyediaan ruang hanya berdasarkan kemampuan anggaran yang dimiliki oleh sebuah kantor kepolisian dan tidak terdapat standar yang digunakan untuk membangun ruang tersebut. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. Pada kenyataannya tidak terdapat ruang tunggu khusus bagi anak yang akan melaksanakan sidang di pengadilan, hal ini karena tidak adanya alokasi atau dana khusus untuk menyiapkan ruang tunggu bagi terdakwa anak. Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan “Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima), pada kenyataannya sejak diangkatnya anggota Komnas HAM periode pertama hingga saat ini belum pernah terpenuhi jumlah 35 (tiga puluh lima) orang anggota, dan jika dibandingkan dengan jumlah anggota yang terdapat pada komisi-komisi yang lain tidak sebanyak seperti yang diatur dalam UU HAM. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan pengaturan terhadap pelayanan bagi korban. Berdasarkan analisa diperlukan adanya akreditasi terhadap semua lembaga sosial yang dapat melaksanakan fungsi untuk memberikan pelayanan bagi korban dan terhadap lembaga sosial yang dibentuk oleh pengaturan khusus terhadap lembaga sosial yang didirikan oleh asing.
Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 menyebutkan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 (tiga Pembimbing Kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional wajib menyampaikan hasil laporan sosial. Pengaturan tersebut sangat menyulitkan karena di beberapa wilayah BAPAS memiliki keterbatasan SDM serta jangkau wilayah yang luas dalam melakukan penyusunan litmas. Pasal 6 ayat 2 Perpres Nomor 175 Tahun 2014 tidak menyebutkan adanya “tenaga pendidik”, oleh sebab itu perlu adanya penambahan “tenaga pendidik” agar terlibat dalam rangkaian proses pelaksanaan SPPA dalam hal pembinaan pendidikan bagi anak. Pasal 80 PP Nomor 65 Tahun 2015 hanya berisi pengaturan pendidikan, pembinaan dan pembimbingan kepada LPKS semata. Oleh sebab itu
7
Rekomendasi pelaksanaan pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Perlu perubahan Pasal 81 ayat (1) dan (2) PP Nomor 65 Tahun 2015 terkait dengan ketentuan yang mengatur pola pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
3.
Penjelasan perlu mengubah aturan tersebut dengan menambahkan LPAS dan LPKA dalam proses mendidik anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 81 ayat (1) dan (2) PP Nomor 65 Tahun 2015 hanya berisi program pendidikan yang hanya dilakukan LPKS, padahal proses pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan amanat yang ada dalam Undang-Undang SPPA tidak hanya dilakukan oleh LPKS tetapi termasuk juga dilakukan oleh LPKA dan LPAS
Penegakan Hukum
Rekomendasi Perlu mencabut Pasal 91A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 guna memperjelas tugas dan wewenang KPAI Perlu perubahan Pasal 80 ayat (4) dan Pasal 81 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dengan menambahkan perumusan terhadap pembebasan bersyarat terhadap jenis pidana “pidana dengan syarat dan pidana pelatihan kerja” Perlu perubahan Pasal 80 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 trkait dengan mekanisme pemberian pembebasan bersyarat terhadap pidana pembinaan yang dilakukan di luar Kemenkumham. Perlunya pengaturan yang membangun keterpaduan dan koordinasi antara Bapas selaku instansi dari Pembimbing Kemasyarakatan dengan Pengadilan dan Kejaksaan dalam rangka sinergitas pelaksanaan SPPA. Perlu pengaturan mengenai penyelesaian pelanggaran HAM secara hukum.
Perlunya pengaturan bagi korban pelanggaran HAM baik berupa remedy, kompensasi, restitusi atau rehabilitasi.
Perlunya pengaturan terhadap “penerima rekomendasi” hasil pemeriksaan Komnas HAM untuk melaksanakan rekomendasi tersebut dan pengaturan konsekuensi tertentu bila tidak melaksanakannya. Perlu perubahan Pasal 5 angka (1) huruf f, g dan h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 untuk mengatur lebih lanjut terhadap upaya mendapatkan informasi bagi saksi dan korban.
Penjelasan Pasal 91A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menimbulkan permasalahan hukum dan menimbulkan ketidakpastian siapa yang akan melaksanakan tambahan tugas seperti yang diamanahkan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 80 ayat (4) dan Pasal 81 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terhadap pembebasan bersyarat seharusnya juga diberikan terhadap jenis pidana yang lain yaitu pidana dengan syarat dan pidana pelatihan kerja karena semua jenis pidana merupakan pembatasan bagi seorang anak dan demi kepentingan terbaik bagi anak maka seharusnya pembebasan bersyarat dapat juga diberikan kepada jenis pidana yang lainnya. Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai proses pemberian pembebasan bersyarat terhadap pidana pembinaan yang diselenggarakan oleh lembaga di luar Kemenkumham, mengingat proses pembebasan bersyarat merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Kemenkumham, dan terdapat persyaratan atau unsur yang harus dipenuhi dalam pemberian pembebasan bersyarat. Pasal 62 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur tindak lanjut setelah mendapat putusan pengadilan tetapi belum ada Penetapan PN yang secara terpadu ditembuskan kepada Bapas baik penetapan Diversi maupun penetapan untuk putusan. Serta sering terlambatnya penyampaian salinan putusan pengadilan dan surat eksekusi dari kejaksaan pada saat anak diputus sidang. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan definisi “pelanggaran HAM” dan Pasal 104 ayat (1) disebutkan “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum”. Namun sejak diundangkannya UU HAM tidak pernah ada kasus “pelanggaran HAM” yang pernah diperiksa dan diputus sebagai “pelanggaran HAM” oleh pengadilan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sudah menyebutkan secara lengkap pengaturan mengenai hak asasi manusia yang harus dipenuhi, tetapi tidak terdapat suatu pengaturan mengenai hak yang diperoleh dari orang sebagai korban dari pelanggaran HAM, untuk itu diperlukan adanya pengaturan terhadap hal tersebut. Pada Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan mengenai penyampaian rekomendasi untuk ditindaklanjuti, namun tidak terdapat pengaturan terhadap pihak-pihak yang memiliki kewajiban melaksanakan rekomendasi (penerima rekomendasi). Pasal 5 angka (1) huruf f, g dan h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perlu didukung dengan pengaturan lebih lanjut mengenai hak tersebut.
8
Rekomendasi Perlu perubahan Pasal 10 ayat (2) UndangUndang No 31 Tahun 2014 dengan mengatur lebih lanjut terhadap ketentuan untuk wajib menunda proses sebuah kasus. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut di dalam PP Diversi terhadap akses informasi public bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut di dalam PP Diversi yang menjamin peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian Diversi. Perlu perubahan Pasal 71D ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 dan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terkait disharmoni pengaturan mengenai Restitusi bagi korban anak.
Perlu perubahan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dengan merumuskan pengaturan lebih lanjut terhadap hilangnya hak tagih atas utang atau perjanjian bagi Pelaku tindak pidana perdagangan orang. Perlu perubahan Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 untuk mengharmoniskan ketentuan terkait sanksi terhadap pelanggaran kerahasiaan indentitas anak baik di media cetak maupun elektronik. Perlunya perubahan Pasal 28 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 untuk mengubah aturan waktu terkait penyerahan hasil peneltian kemasyarakatan. Perlu perubahan Pasal 59 ayat (2) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 untuk mengatur lebih lanjut mengenai pemberian “Perlindungan Khusus bagi anak”.
Perlu perubahan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 terkait dengan batas waktu pemberian perlindungan korban KDRT.
Perlunya pengaturan mengenai sosialisasi bantuan Hukum. Perlunya pengaturan sanksi terhadap penyalahgunaan dana bantuan hukum.
Penjelasan Kewajiban yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 2014 berpotensi bermasalah karena tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai “wajib ditunda”. Tidak ditemukan rumusan pasal dalam PP ini yang mengatur tentang akses informasi publik, sehingga kewajiban penyediaan informasi maupun akses pemenuhan hak informasi tidak secara tegas di jamin oleh PP ini. Tidak ditemukan rumusan pasal dalam PP ini mengenai aturan yang berisi “jaminan peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses penyelesaian secara diversi terhadap kasus anak yang sedang dan telah ditangani”. Pasal 71D ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007, keduanya mengatur mengenai hak restitusi, namun terdapat disharmoni pengaturan mengenai pemenuhan hak restitusi, apakah pemenuhan hak restitusi harus melalui mekanisme pengadilan atau tidak. Oleh sebab itu perlu konsistensi antar peraturan yang mengatur hak restitusi bagi korban anak. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyebutkan Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban. pasal ini memerlukan kesamaan persepsi antar aparat penegak hukum, sehingga bentuk keadilan yang diberikan kepada korban dapat terpenuhi. Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur mengenai sanksi yang perlu untuk diharmoniskan kembali, sehingga Pasal yang mengatur sanksi tersebut tidak hanya efektif menjerat pelanggar perseorangan, sedangkan seharusnya terdapat sanksi administrasi kepada lembaga penyiaran apabila terdapat pelanggaran hal tersebut. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah ditentukan batas waktu penyerahan laporan hasil dalam jangka waktu selama 3 x 24 jam perlu untuk memperhatikan kondisi sosiologis serta demografis yang ada, sehingga antara pengaturan dan realita dapat sinkron guna mencapai akuntabilitas yang diharapkan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perlu pengaturan lebih lanjut ataupun norma pendukung lainnya yang dapat secara tegas membebankan kewajiban pemberian perlindungan khusus oleh sebuah lembaga Pemerintah/Pemerintah daerah/Lembaga negara lainnya, sehingga upaya tersebut dapat dipastikan tidak berjalan optimal dan hanya menjadi slogan semata. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 terdapat dua jenis perlindungan, yang menjadi persoalan adalah jangka waktu yang sangat sempit bagi Kepolisian untuk memberikan perlindungan sementara yaitu 1 x 24 jam. Dan pada Pasal 28 disebutkan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban. Di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum tidak terdapat satu pasalpun yang menegaskan adanya sosialisasi atau kewajiban mensosialisasikan undang-undang ini. Di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum itu sendiri hanya berisi satu larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011. Oleh sebab itu perlu adanya perubahan dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan sanksi baik pidana maupun administrasi terhadap penyalahgunaan dana bantuan hukum.
9
4.
Budaya Hukum.
Rekomendasi Perlunya membangun budaya terhadap Pengadilan untuk mendahulukan jadwal persidangan terhadap kasus anak.
Perlunya membangun budaya bagi hakim dalam setiap putusannya untuk menetapkan peran pembimbing kemasyarakatan dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pidana anak. Perlu adanya sosialisasi khususnya mengenai kewajiban memberikan batuan hukum bagi anak dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Perlunya perubahan Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 untuk menghapus salah satu tujuan dari pembentukan UU PKDRT yaitu “memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera”. Perlunya mencabut Pasal 9 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 sehingga tidak menimbulkan kriminalisasi terhadap perbuatan yang melarang seseorang untuk bekerja. Perlu adanya konsistensi kepatuhan mengenai batas waktu penahanan terhadap anak.
Perlu adanya keterpaduan di dalam menindaklanjuti proses pelaksanaan pidana bagi anak yang telah divonis pengadilan.
Perlu adanya sosialisasi dan diklat bagi aparatur penegak hukum guna persamaan persepsi di dalam menegakan aturan tersebut.
Penjelasan Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Namun kenyataannya seringkali jadwal atau agenda sidang anak dilakukan pada akhir waktu sehingga anak mengalami kelelahan dalam mengikuti agenda persidangan. Pasal 65 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terdapat kendala yang saat ini seringkali tidak ada penetapan Hakim PN, sebagai dasar Bapas melaksanakan tugas mengawasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap seorang anak. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 secara tegas menyebutkan “wajib diberikan bantuan hukum” hal ini dipertegas pula dengan pasal-pasal selanjutnya yaitu Pasal 40, Pasal 55, Pasal 60 yang menunjukan bilamana tidak di dapatinya bantuan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum maka akan “batal demi hukum”. Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak konsisten dengan tujuan yang diatur dalam huruf-huruf sebelumnya, karena banyak kasus seringkali dengan alasan “memelihara keutuhan rumah tangga” menyebabkan tidak berjalannya penegakan hukum terhadan UU PKDRT, oleh sebab itu tujuan yang diatur dalam huruf d perlu dihapuskan. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Ketentuan Pasal ini akan berdampak dan berakibat terhadap budaya lokal yang memang secara adat istiadat yang memang tidak menghendaki seorang perempuan untuk bekerja. Pasal ini dianggap berlebihan dan tidak responsif terhadap kebhinekaan serta keragaman budaya yang ada di Indonesia. Di dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terdapat kewajiban untuk mengeluarkan anak yang ditahan bila telah melampaui waktu yang ditentukan, namun dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat perlakuan menyimpang terhadap pengaturan tersebut dengan menggunakan istilah “dititipkan” terhadap anak yang sedang diproses hukum. Setelah anak diputus di depan sidang pengadilan maka pihak pengadilan wajib memberikan petikan putusan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, namun dalam pelaksanaan masih perlu adanya penambahan aturan yang tidak cukup hanya petikan putusan dari pengadilan saja yang diwajibkan pada hari yang sama dengan waktu pengucapan putusan, melainkan harusnya termasuk ekstra vonis yang dikeluarkan oleh Jaksa. Tindak kekerasan yang dilakukan dalam hubungan suami istri Pasal Pasal 44 ayat (3). Pasal 45 ayat (1), Pasal 53) Undang-Undang PKDRT masuk dalam delik aduan, hal tersebut penyebab terjadinya perbedaan persepsi di dalam proses penegakan hukum, karena dalam posisi hubungan suami istri terdapat hubungan ketergantungan satu dengan yang lainnya, sehingga bilamana terjadi tindak kekerasan namun tidak berani untuk diadukan sedangkan aparat penegak hukum menganggap hal tersebut sebagai delik aduan. Oleh sebab itu penting untuk melakukan sosialisasi dan diklat bagi aparatur penegak hukum untuk memahami hal tersebut.
10