POLA SPATIAL KEMISKINAN DI INDRAMAYU
LINDA SAHFITRI HASIBUAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul : ”Pola Spatial Kemiskinan di Indramayu” adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2008
Linda Sahfitri Hasibuan NRP. G151040121
ABSTRACT LINDA SAHFITRI HASIBUAN. Poverty Spatial Pattern in Indramayu. Under the direction of ASEP SAEFUDDIN, HERMANTO SIREGAR, and BAGUS SARTONO. It is assumed that poverty in one area is related to poverty in adjacent area. Hence, poverty is distributed following a certain pattern creating a cluster. An area or cluster having high density of poverty significantly is called hotspot. In this research, Flexibly shaped spatial scan statistic Method was used for detecting cluster and hotspot. A correlogram is created to explain that distance no correlation among poverty areas. Information about hotspot and correlogram can be used to act a program of poverty alleviation. Based on the results, there are 7 clusters high significant different with other cluster. In the seven cluster, there are 70 hotspot areas. The average distance of no correlation among poverty is 5.714 Km. To create poverty alleviation program efficiently, it is recommanded to implement in the middle of cluster. Keywords : spatial, poverty, hotspot, cluster, correlogram
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan, pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
POLA SPATIAL KEMISKINAN DI INDRAMAYU
LINDA SAHFITRI HASIBUAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis Nama Mahasiswa NRP
: Pola Spatial Kemiskinan di Indramayu : Linda Sahfitri Hasibuan : G151040121 Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar M.Ec Anggota
Bagus Sartono, S.Si, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Statistika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 05 Oktober 2007
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur dihaturkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa Pengasih lagi Penyayang yang telah melimpahkan karunia dan inayahNya sehingga penulisan Tesis yang berjudul Pola Spatial Kemiskinan di Indramayu dapat diselesaikan. Tesis ini disusun guna melengkapi sebagian syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan pada Program studi Statistika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penulisan tesis ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, karenanya penulis menghaturkan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, MSc, Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc dan Bapak Bagus Sartono, SSi, MSi, selaku komisi pembimbing saya yang telah menyediakan waktu, tenaga serta ilmunya kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini 2. Seluruh Dosen dan staff karyawan Program Studi Statistika yang telah memberikan pengetahuan dan bantuan selama saya mengikuti pendidikan di program tersebut. 3. Bakti dan doa yang tiada habis-habisnya kepada orang tua tercinta Ayahanda Drs. Ahmad Sayuti Hasibuan, MA (Alm) dan Ibunda Nurlin Nasution yang dengan segala keikhlasannya senantiasa mencurahkan rasa kasih sayang dan dorongan moril dan materil yang tidak mungkin terbalaskan, semoga semua amal ibadah tersebut dibalas oleh Allah SWT. Buat adik-adikku tersayang, Lita, Lailan, Bairuni, Parabi, tetap semangat ya dan jangan terlalu larut dalam kesedihan meskipun tanpa ayah. 4. Suami, Hasan Basri Sagala yang menjadi semangat baru untuk secepat mungkin menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas pengertian, kesabaran, dan bantuan yang diberikan selama ini. 5. Teman-teman di STK, terutama STK 2004 atas tutorial mata kuliah, bantuan, dan semangat yang diberikan untuk bisa bertahan di STK hingga bisa lulus. Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, saya haturkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebajikan terserbut. Amin Bogor, Januari 2008
Linda Sahfitri Hasibuan
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan pada tanggal 18 September 1981 dari pasangan Bapak Drs. Ahmad Sayuti Hasibuan, MA (Alm) dan Ibu Nurlin Nasution. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negri 18 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis diterima pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Progress Insani yang menangani anak-anak jalanan dan mengajar MTK SMP dan SMA di salah satu bimbingan belajar di Kota Bogor. Tahun 2003, penulis bergabung di Lembaga Swadaya Masyarakat RMI - The Institute for Forest and Environment, bagian pendidikan lingkungan. Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana IPB dan diterima di Program Studi Statistika. Dalam penyelesaiaan tesis, penulis menikah dengan Hasan Basri Sagala, SAg, MSi pada Bulan Juli 2007.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 4 Kemiskinan ............................................................................................... 4 Peta Kemiskinan........................................................................................ 7 Metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic......................................... 8 Sebaran Poisson ........................................................................................11 Metode Maksimum Likelihood .................................................................11 Uji Rasio Log Likelihood ..........................................................................13 Correlogram..............................................................................................14 DATA DAN METODE ........................................................................................15 Data ...........................................................................................................15 Metode ......................................................................................................15 HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................17 Deskripsi Data...........................................................................................17 Kantong dan Hotspot Kemiskinan di Indramayu......................................19 Deskripsi Kantong.....................................................................................23 Correlogram Kemiskinan di Indramayu...................................................27 Pusat-Pusat Pengentasan Kemiskinan di Indramayu ................................28 Program Pengentasan ................................................................................30 SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................32 Simpulan ...................................................................................................32 Saran..........................................................................................................32 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33 LAMPIRAN..........................................................................................................35 Lampiran 1 Deskripsi kantong ..................................................................35
DAFTAR TABEL
1 Keterangan pada setiap kantong........................................................................20 2 Jarak maksimum pada tiap kantong ..................................................................29
DAFTAR GAMBAR
1 Peta Indramayu..................................................................................................17 2 Persentase kemiskinan ......................................................................................18 3 Peta persentase kemiskinan per kecamatan.......................................................19 4 Peta hotspot kemiskinan....................................................................................22 5 Correlogram kemiskinan ..................................................................................28 6 Peta pusat pengentasan kemiskinan ..................................................................29
PENDAHULUAN Latar belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Tahun 2006 tercatat jumlah keluarga miskin 26738245 keluarga dan jumlah kepala keluarga 55803271 keluarga dengan persentase kemiskinan 47.92% (BKKBN 2006). Pendudukpenduduk miskin terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali (BPS 2006). Salah satunya, Propinsi Jawa Barat dengan jumlah kepala keluarga 10392664 keluarga pada tahun 2006 dan jumlah keluarga miskin 4466248 keluarga dengan persentase 42.98% (BKKBN 2006). Pemerintah telah melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan dan program tersebut telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tetapi jumlah penduduk miskin masih tinggi dan kemiskinan (BPS 2005) menjadi salah satu permasalahan yang harus dicari pemecahannya. Beberapa penelitian tentang kemiskinan telah dilakukan untuk mencari penyelesaiannya, seperti penelitian tentang pengukuran tingkat kemiskinan, indikator kemiskinan dan pemetaannya. Hasil penelitian-penelitian tersebut, antara lain : pendekatan terbaik menurut Sumarto et al. (2006) untuk memprediksi kemiskinan antara model hubungan terhadap konsumsi, model peluang kemiskinan, dan Analisis Komponen Utama indeks kekayaan adalah model hubungan terhadap konsumsi (consumption correlated model). Mereka juga menemukan indikator kemiskinan yang terbaik adalah level pendidikan, kepemilikan aset dan pola konsumsi. Faktor lain yang mempengaruhi secara langsung kesejahteraan penduduk miskin menurut Balisacan et al. (2002) adalah infrastruktur, sumber daya manusia, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi. Sebagian besar penelitian kemiskinan sebelumnya menggunakan peubah demografi dan struktur ekonomi, sedikit sekali penelitian yang mencoba memodelkan norma sosial, institusi masyarakat (community institutions), dan spatial. Para ahli ekonomi sudah mulai meneliti faktor eksternal spatial dalam penelitian kemiskinan, seperti yang dilakukan Rupasingha dan Goetz (2003). Mereka mengembangkan model spatial ekonometrika perubahan tingkat
1
kemiskinan per propinsi selama tahun 1990 dan mereka menemukan bahwa perubahan kemiskinan secara nyata dipengaruhi oleh kemiskinan propinsi sekitarnya. Begitu juga menurut Hasibuan et al. (2006) model kemiskinan, terutama pada level desa di suatu propinsi tidak bisa mengabaikan adanya pengaruh dari propinsi lain. Faktor geografi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan. Pengurangan kemiskinan di suatu tempat akan mempengaruhi dan dipengaruhi tempat-tempat lain yang berada di sekitarnya, sehingga dapat dinyatakan peubah kemiskinan memiliki unsur spatial (Crandall dan Weber 2004). Kemudian sampai jarak berapa, kemiskinan di suatu tempat saling mempengaruhi, dapat diketahui dengan memodelkan hubungan korelasi kemiskinan antar tempat dengan jarak yang biasanya disebut correlogram. Salah satu bahan dalam tujuan analisis spatial adalah pendeteksian kantong kemiskinan dan hotspot kemiskinan. Kantong kemiskinan merupakan kumpulan daerah-daerah yang nyata memiliki tingkat kemiskinan yang lebih besar dari pada daerah-daerah di luar kantong tersebut (Tango dan Takahasi 2005). Hotspot kemiskinan merupakan bagian dari suatu wilayah yang kita amati yang memiliki persentase kemiskinan yang tinggi (Patil dan Taillie 2003). Ketika kantong kemiskinan dan hotspot di suatu wilayah sudah terdeteksi, maka informasi tersebut dapat dibuat dalam peta kemiskinan. Pembuat kebijakan dapat menggunakan peta tersebut untuk menyusun program yang sesuai untuk mengatasi kemiskinan. Peta tersebut akan lebih baik jika disajikan dengan daerah geografi yang lebih kecil, seperti kota, bagian administratif lainnya dalam sebuah propinsi (Betti et al. 2006). Beberapa metode yang digunakan untuk mendeteksi kantong kemis kinan, seperti : Circular spatial scan statistic yang diperkenalkan oleh Martin Kulldorff tahun 1997, Upper Level Set (ULS) scan statistic (noncircular spatial scan statistics) yang diperkenalkan oleh G.P. Patil dan C. Taillie tahun 2004, serta Flexibly shaped spatial scan statistic yang diperkenalkan oleh Toshiro Tango dan Kunihiko Takahashi tahun 2005. Metode Circular spatial scan statistic memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dalam mendeteksi kantong lingkaran secara tepat, tetapi sulit untuk mendeteksi kantong bukan lingkaran secara tepat seperti kantong
2
yang mengikuti aliran sungai. Namun demikian sebagian besar daerah geografi tidak berbentuk lingkaran. Metode ini juga memiliki kecenderungan untuk mendeteksi kantong lebih besar dari ukuran sebenarnya meskipun kantong tersebut berbentuk lingkaran (Tango dan Takahashi 2005). Metode ULS menetapkan nilai batasan yang dilambangkan dengan g sehingga jumlah daerah yang akan diperiksa berkurang (Patil dan Taillie 2004). Metode ini memeriksa peubah yang berhubungan secara spatial, sebagai sebuah threshold yang bergerak dari level yang paling tinggi ke level yang paling rendah dan mendefenisikan kesamaan merupakan nilai yang lebih besar atau sama dengan nilai dari tiap g. Tetapi metode ini tidak membahas bagaimana menentukan g yang didefenisikan sebagai nilai batasan dan program untuk metode ini belum tersedia secara bebas (Patil et al. 2006b). Sedangkan flexibly shaped spatial scan statistic memiliki kekuatan yang cukup baik dan mampu mendeteksi kantong bukan lingkaran lebih akurat. Metode ini baik digunakan untuk kantong yang berukuran kecil sampai sedang, sampai berukuran 30 daerah. Untuk ukuran kantong yang lebih besar, metode ini tidak praktis sehingga dibutuhkan algoritma yang lebih efisien (Tango dan Takahashi 2005).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. mendeteksi kantong kemiskinan dan hotspot kemiskinan pada tingkat desa di Indramayu, 2. menyusun correlogram kemiskinan, dan 3. menentukan pusat-pusat pengentasan kemiskinan di Indramayu secara spatial.
3
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Keluarga miskin menurut BKKBN adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan. Enam indikator penentu kemiskinan tersebut (BKKBN 2004) adalah : 1. Pada umunya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 2. Anggota
keluarga
memiliki
pakaian
berbeda
untuk
dirumah,
bekerja/sekolah dan bepergian. 3. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 4. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor. 5. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. 6. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni. Keluarga miskin biasanya juga dianggap sama dengan Keluarga Pra Sejahtera (KPS), tetapi kadang-kadang disamakan dengan KPS dan KS (Keluarga Sejahtera) I, klasifikasi dari BKKBN. Klasifikasi tersebut dibuat berdasarkan beberapa indikator, termasuk pola konsumsi makanan, jenis layanan kesehatan yang dapat diakses oleh anggota keluarga, kepemilikan dan penggunaan pakaian, bahan dan ukuran lantai rumah, dan kemudahan bagi anggota keluarga untuk melaksanakan ibadah menurut agamanya masing-masing. Penetapan indikator– indikator tersebut dilakukan oleh tim lintas sektoral dan para ahli (pakar) berbagai bidang, terutama dari Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Ciri-ciri keluarga yang berkaitan dengan aspek keluarga sejahtera dikelompokkan menjadi lima tahap dan diterjemahkan ke dalam 23 indikator (BKKBN 2004). Indikator-indikator tersebut adalah : 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut. 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
4
5. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan. Demikian halnya bila PUS ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan dan diberi obat/cara KB modern. 6. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing. 7. Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk. 8. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir. 9. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni rumah. 10. Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing. 11. Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap. 12. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. 13. Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah. 14. Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil). 15. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. 16. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga. 17. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga. 18. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. 19. Mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang sekali dalam enam bulan. 20. Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi. 21. Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi. 22. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
5
23. Kepala
keluarga
atau
anggota
keluarga
aktif
sebagai
pengurus
perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya. Indikator-indikator tersebut digunakan untuk mengelompokkan keluarga sejahtera dalam lima tahapan, yaitu : 1. Keluarga Pra Sejahtera (KPS) Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera I (KS I) Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang dipergunakan, indikator 1-5. 3. Keluarga Sejahtera II (KS II) Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang dipergunakan, indikator 1-14. 4. Keluarga Sejahtera III (KS III) Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator 1-21. 5. Keluarga Sejahtera III Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi semua indikator yang digunakan.
6
Peta Kemiskinan Peta kemiskinan menyediakan informasi distribusi spatial kemiskinan pada suatu propinsi dan dapat mengungkapkan variasi lokal yang nyata tentang kondisi kehidupan di suatu wilayah. Peta tersebut akan lebih baik jika disajikan untuk mewakili daerah geografi yang lebih kecil, seperti kota, kotamadya, bagian administratif lainnya dalam sebuah propinsi. Peta kemiskinan yang terinci untuk wilayah administrasi kecil berperan penting dalam mengatasi kekurangan analisis kemiskinan agregat melalui hal-hal berikut ini (Suryahadi dan Sumarto 2003) : 1. Peta kemiskinan menangkap heteroginitas kemiskinan dalam suatu negara tertentu. Semua negara di dunia memiliki wilayah-wilayah yang lebih makmur daripada wilayah lainnya. Perbedaan ini sering tersamarkan dalam statistik nasional. Hasil studi awal SMERU menunjukkan bahwa peta kemiskinan mampu mengungkapkan variasi tingkat kemiskinan di tingkat lokal. 2. Peta kemiskinan memperbaiki penentuan sasaran intervensi. Sumbersumber daya untuk program penanggulangan kemiskinan dapat digunakan secara lebih efektif jika kelompok-kelompok yang paling membutuhkan bantuan dapat ditentukan dengan lebih baik. Mencegah kebocoran dari manfaat program jatuh ke rumah tangga yang tidak miskin akan membantu mengurangi resiko rumah tangga miskin terluput dari program. 3. Peta kemiskinan dapat membantu pemerintah menjelaskan berbagai tujuan kebijakan. Keputusan yang diambil berdasarkan data sebaran geografis kemiskinan
akan
meningkatkan
transparansi
dalam
pengambilan
keputusan pemerintah dibandingkan dengan penilaian subjektif tentang perbandingan kemiskinan antar daerah. Karena itu, peta kemiskinan yang dibuat dengan baik dapat menambah kredibilitas pengambilan keputusan pemerintah. 4. Peta kemiskinan berperan penting dalam menyampaikan informasi mengenai distribusi kesejahteraan kepada masyarakat madani di suatu negara. Informasi mengenai tingkat kesejahteraan yang terdisagregasi memberikan informasi yang relevan. Informasi tersebut berisi fakta-fakta yang diperlukan pelaku lokal untuk pengambilan keputusan di tingkat
7
lokal. Karena itu, peta kemiskinan juga merupakan alat penting dalam melakukan pemberdayaan masyarakat lokal dan desentralisasi. 5. Peta kemiskinan bermanfaat untuk mengevaluasi dampak berbagai program. Hingga saat ini tidak adanya indikator kesejahteraan untuk wilayah kecil yang cukup memadai telah menghalangi para peneliti melakukan kajian mengenai hubungan antara berbagai program, kemiskinan, ketimpangan, dan berbagai dampaknya, misalnya terhadap kesehatan, pendidikan, kejahatan, dan lingkungan. Peta kemiskinan membuka kesempatan lebih luas bagi para peneliti untuk mempelajari hubungan-hubungan tersebut. 6. Estimasi indikator kemiskinan di wilayah kecil dapat digabungkan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal ini memungkinkan penggabungan informasi mengenai kemiskinan dengan indikator-indikator lain dari bidang yang relevan dengan kebijakan. Contohnya adalah pangkalan data geografis mengenai infrastruktur transportasi, pusat-pusat layanan publik, akses terhadap pasar input dan output, atau informasi mengenai kualitas sumber daya serta kerentanannya. Dengan menggunakan teknik tumpangtindih geografis dan metoda analisis spatial, pangkalan data yang baru mengenai kemiskinan tersebut akan dapat digunakan untuk menjawab serangkaian pertanyaan dari berbagai disiplin ilmu.
Metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic Metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic diperkenalkan oleh Toshiro Tango dan Kunihiko Takahashi pada tahun 2005. Metode tersebut fleksibel terhadap bentuk kantong yang dihasilkan jadi tidak terbatas pada bentuk lingkaran saja. Pada awalnya, suatu daerah dibagi menjadi m bagian yang lebih kecil seperti, propinsi dan desa berdasarkan pertambahan jarak (selanjutnya disebut terdiri dari m desa). Jumlah kasus yang ada di desa i merupakan peubah yang dilambangkan dengan Yi, diasumsikan saling bebas dan mengikuti sebaran Poisson. Flexibly dapat ditempatkan pada kantong yang tidak teratur pada setiap desa. Window ke-i dilambangkan dengan Wi yang merupakan kumpulan desa i dan desa-desa yang berbatasan dengan desa i. Kemudian disusun himpunan Z yang
8
bentuknya tidak teratur dengan panjang k pada tiap desa, yang terdiri atas k desa (termasuk desa i). Z merupakan himpunan bagian dari W dan panjangnya mulai dari 1 sampai panjang maksimum k. Desa yang berbatasan dibatasi sebagai himpunan bagian dari desa i dan (K - 1) desa sekitar yang terdekat dengan desa i untuk menghindari pendeteksian kantong yang bentuknya aneh (unlikely peculiar shape). Kemudian akan banyak terbentuk Z yang bentuknya berbeda-beda dan saling tumpang tindih. Z tersebut dilambangkan dengan Zik(j), j = 1,..., jik melambangkan Z ke-j yang merupakan himpunan k desa yang berhubungan dan dimulai dari desa i. Dimana jik adalah jumlah j yang memenuhi Zik(j)
Zik dengan
k = 1,..., K. Kemudian semua Z yang diperiksa dimasukkan dalam himpunan : Z = {Zik(j) | 1 ≤ i ≤ m, 1 ≤ k ≤ K, 1 ≤ j ≤ jik}
(1)
Algoritma yang digunakan untuk mendapatkan Z tersebut dengan panjang maksimum K yang telah ditentukan (Tango dan Takahasi 2005), sebagai berikut : 1. Membuat matriks A = (aij) berukuran m × m, dimana : ⎧1, jika desa i dan desa j berbatasan aij = ⎨ ⎩0, lainnya dan himpunan Z = himpunan kosong dan i0= 0 2. Biarkan i0 ← i0 + 1 dan i0(= 1, 2,..., m) menjadi desa awal. Kemudian dibentuk himpunan Wi0 yang terdiri dari (K - 1) tetangga terdekat ke desa awal i0 dan i0 sendiri, seperti : Wi0 = {i0, i1, i2,..., iK - 1}, dimana ik merupakan k- desa terdekat ke i0. 3. Bentuk semua himpunan Z ⊂ Wi0, termasuk desa awal i0. Untuk himpunan Z lainnya, ulangi kembali langkah 4–7. 4. Himpunan Z dibagi menjadi dua himpunan yang tidak berhubungan Z0 = {i0}dan Z1 terdiri dari desa lain yag terdapat dalam Z. 5. Membuat dua himpunan baru Z’0 dan Z’1. Z’0 terdiri dari desa Z1 yang berbatasan dengan beberapa desa Z0. Pada bagian lain, Z’1 terdiri dari desa Z1 yang tidak berbatasan dengan desa Z0. Kemudian Z0 diganti menjadi Z’0 dan Z1 diganti menjadi Z’1. 6. Ulangi langkah 5 secara rekursif sampai Z0 atau Z1 menjadi himpunan kosong. 7. Keputusannya sebagai berikut :
9
Z dikatakan berbatasan jika Z1 menjadi himpunan kosong dan tidak berbatasan jika Z0 menjadi himpunan kosong. Bila Z berbatasan, maka Z dimasukkan dalam himpunan Z. tetapi bila Z tidak berbatasan maka sebaliknya. 8. Ulangi langkah 2-7 sampai akhirnya kita memperoleh himpunan Z yang terdiri dari Z dengan bentuk tertentu dan panjang maksimum K. Hipotesis yang digunakan, paling tidak ada satu Z, dimana desa-desa di dalam Z memiliki peluang lebih besar dibandingkan di luar Z. Dengan kata lain, hipotesisnya sebagai berikut : H0 : λ(z) = λ(zc) , untuk semua Z
(2)
H1 : λ(z) > λ(zc), untuk beberapa Z
(4)
Bisa juga dituliskan H0 : RR = λ(z) / λ(zc) =1 , untuk semua Z
(5)
H1 : RR = λ(z) / λ(zc) >1, untuk beberapa Z
(6)
Dimana λ(z) melambangkan proporsi keluarga miskin di dalam Z, λ(z ) proporsi c
di luar Z, dan RR adalah resiko relatif desa-desa di dalam Z. Pada setiap Z, kita dapat menghitung likelihood untuk mengamati jumlah kemiskinan di dalam dan di luar Z. Dengan asumsi Poisson, uji statistik yang disusun dengan uji rasio likelihood :
sup ⎡ n( z ) ⎤ z ∈ Z ⎢⎣λ ( z )⎥⎦
n( z)
⎡ n( z c ) ⎤ ⎢ c ⎥ ⎣λ ( z ) ⎦
n( z c )
⎡ n( z ) n( z c ) ⎤ 〉 I⎢ c ⎥ ⎣λ ( z ) λ ( z ) ⎦
(7)
zc melambangkan semua desa di luar Z, dan n() melambangkan jumlah kemiskinan dalam Z yang ditentukan dan I() merupakan fungsi indikator. Ketika program diatur hanya untuk memeriksa kantong dengan high rates, maka :
⎧1, jika Z memiliki peluang lebih besar I() = ⎨ ⎩0, lainnya Begitu juga sebaliknya jika hanya untuk kantong dengan low rates. Tetapi jika diatur untuk high dan low rates, maka I() = 1 untuk semua Z. Uji statistik yang dilakukan menggunakan pengujian hipotesis Monte Carlo. P-value diperoleh dengan membandingkan rank dari likelihood yang
10
maksimal dari data yang sebenarnya dengan likelihood yang maksimal dari himpunan data acak. Jika rank dilambangkan R, maka p = R /(1+#simulasi). Agar p memiliki nilai yang bagus dilihat, maka nilainya dibatasi 999 atau nomor lain yang diakhiri 999 seperti 1999, 9999 or 99999. Itulah mengapa nilai cut-off seperti 0.05, 0.01 dan 0.001, ketika menolak atau menerima Ho. Kantong-kantong yang terbentuk akan diurutkan berdasarkan nilai likelihoodnya. Z* yang mencapai maksimum likelihood dinyatakan sebagai most likely cluster (MLC), yaitu kumpulan desa-desa yang disebut sebagai hotspot.
Sebaran Poisson
Jumlah keluarga miskin per desa dilambangkan dengan Yi, merupakan peubah yang diasumsikan saling bebas dan mengikuti sebaran Poisson. Jumlah keluarga miskin dapat dipandang sebagai ”insiden kemiskinan” sehingga untuk mengamati sebarannya dapat dilakukan dengan menggunakan sebaran Poisson sebagai berikut : Yi ~ Poisson (λiNi), f ( y i ) = e −λi N i
(λi N i ) y i yi !
(8)
i ∈ (1, 2, 3, ..., m), y = 0, 1, 2, 3, ... ~ Dimana :
λi
= Resiko di desa i
Yi
= Jumlah keluarga miskin per desa
Ni
= Jumlah keluarga per desa
ΣYi = Y
= Total jumlah keluarga miskin
ΣNi = N
= Total jumlah keluarga
1 N
∑λ N i
i
=λ
= Resiko rata-rata
Metode Maksimum Likelihood
Fungsi likelihood untuk λ adalah : m
m
i =1
i =1
L λΝ yi , y 2 ,..., ym = ∏ f yi λΝ = ∏ e − λN i
(λN i ) y i yi !
(9)
11
⎡ ∑ yi m ⎤ ⎢ i =1 ∏ N i yi ⎥ −λ ∑ Ni λ ⎥ i =1 e i =1 ⎢ ⎢ ⎥ m ⎢ ∏ yi ! ⎥ ⎢⎣ ⎥⎦ i =1 m
m
=
(10)
kemudian persamaan 10 diLn dan diturunkan sehingga diperoleh persamaan 11 dan 12 m
m
m
i =1
i =1
i =1
m
LnL(λΝ ) = −λ ∑ N i + ∑ y i Lnλ + Ln∏ N i i − Ln∏ yi ! y
(11)
i =1
m
m dLnL (λΝ ) yi = −∑ N i + ∑ i =1 dλ i =1
(12)
λ
Persamaan likelihood : m
m dLnL(λΝ ) yi = −∑ N i + ∑ =0 i =1 dλ i =1
(13)
λ
m
∑y = ∑N m
i =1
i
λ
i =1
i
(14)
kemudian diperoleh pesamaan-persamaan berikut : m
)
λ=
∑y i =1 m
i
∑N i =1
=
Y = Resiko total N
(15)
i
)
yi =Resiko di desa i Ni ) λi y i N i RRi,j = ri,j = ) = = Resiko relatif desa i terhadap desa j λj yj / N j
λi =
) ) RRz = rz =Resiko relatif Z = λ z / λ z c ,
(16)
(17) (18)
)
λ z = Resiko di Z )
λ z = Resiko di luar c
12
Uji Rasio Log Likelihood
Hipotesis yang digunakan : H0 : RR = λ(z) / λ(zc) =1 , untuk semua Z H1 : RR = λ(z) / λ(zc) >1, untuk beberapa Z Fungsi likelihood untuk λ pada sebuah Z
L λΝ yi , y 2 ,..., ym = likelihood untuk desa-desa di dalam kantong L λc Ν yi , y 2 ,..., ym = likelihood untuk desa-desa di luar kantong
Uji Rasio Log Likelihood = Log Likelihood (H1 benar)/ Log Likelihood (H0 benar) Log [Likelihood ( λ N) . Likelihood ( λc N)] = Log Likelihood ( λtot N) ⎡ Log ⎢ ⎣
(λN i ) y i . yi !
d
∏ e − λN i i =1
dc
∏ e − λc N i i =1
(λc N i ) yi ⎤ ⎥ yi ! ⎦
=
(19) ⎡ ⎢ ⎣
Log
d tot
∏e λ −
tot N i
i =1
(λtot N i ) yi ⎤ ⎥ yi ! ⎦
Uji Rasio Log Likelihood =
d
d
d
i =1
i =1
i =1
dc
dc
dc
i =1
i =1
i =1
d
− λ ∑ N i + ∑ y i Lnλ + Ln∏ N i i − Ln∏ yi ! y
+
i =1
dc
− λc ∑ N i + ∑ y i Lnλ c + Ln∏ N i i − Ln∏ yi ! y
i =1
=
(20) d tot
d tot
d tot
i =1
i =1
i =1
d tot
− λtot ∑ N i + ∑ y i Lnλtot + Ln∏ N i i − Ln∏ yi ! y
i =1
Dimana : d = Jumlah desa di dalam Z
λ = Proporsi keluarga miskin di dalam Z
d c = Jumlah desa di luar Z
λc = Proporsi keluarga miskin di dalam Z
d tot = Jumlah desa di dalam Z
λtot = Proporsi keluarga miskin di dalam Z
13
Correlogram
Correlogram adalah fungsi yang menunjukkan korelasi kemiskinan antar desa yang dipisahkan dengan jarak. Korelasi tersebut biasanya menurun terhadap jarak, nilainya sampai mendekati nol serta dapat diduga dengan persamaan (Sharov 1996) :
ρ ( h) = ⎢∑ ⎡ ⎣⎢
D1 D2 − N h M h2 ⎤ ⎥ N h S h2 ⎦⎥
(21)
Dimana :
D1,D2 = Jumlah keluarga miskin di desa 1 dan di desa 2. h
= Jarak antar desa
Nh
= Jumlah pasangan desa yang dipisahkan dengan jarak sejauh h
M h dan S h adalah mean dan standard deviasi dari jumlah keluarga miskin Correlogram dapat didekati dengan beberapa model matematika dan model yang biasa digunakan adalah : Model eksponensial ⎧c1 exp(−3h / a ), h〉 0 h=0 1, ⎩
ρ ′(h) = ⎨
(22)
Model spherical ⎧c1 [1 − 1.5(h / a ) + 0.5(h / a ) 3 ],
h〉 0
1,
h=0
ρ ′(h) = ⎨ ⎩
(23)
Dimana : c1 adalah sill (ambang) dan a adalah range Model tersebut dapat diduga dengan menggunakan regresi non-linear. Pengujian nilai korelasi untuk mengetahui nyata atau tidak, dengan menghitung nilai statistik uji z-nya (Walpole 1995) n − 3 ⎡ (1 + r ) Ln ⎢ 2 ⎣ (1 − r ) Dimana : Ζ=
(1 − ρ 0 )⎤ (1 + ρ 0 )⎥⎦
(24)
Z = Nilai statistik uji z
r = Nilai korelasi
n = Jumlah pasangan
ρ0 = Nilai korelasi populasi = 0
Hipotesis yang digunakan H0 : r = 0 dan H1 : r ≠ 0 pada taraf α = 0.05 Kriteria : Tolak H0 jika Z < -1.96 dan Z > 1.96
14
DATA DAN METODE Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kemiskinan dan populasi per desa di Kabupaten Indramayu yang bersumber dari data Potensi Desa (PODES) 2006. Data PODES antara lain mencakup kependudukan dan ketenagakerjaan, perumahan dan lingkungan hidup, serta pendidikan dan kesehatan. Data kemiskinan merupakan jumlah keluarga yang dikategorikan PKS dan KS I, sedangkan data populasi merupakan jumlah total keluarga per desa. Peta desa di Kabupaten Indramayu diperoleh dari Bakosurtanal, sehingga dapat diketahui batasan-batasan, luas desa, dan jarak antar desa.
Metode
Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini : A. Identifikasi kantong kemiskinan menggunakan metode Flexibly Shaped Spatial
Scan Statistic, berdasarkan uraian di latar belakang. Metode ini menggunakan program FleXScan. Data yang digunakan, disusun ke dalam empat tabel (Takahasi et al. 2005), yaitu :
1. File Coordinate Format
Berisi nama desa serta letak desa berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Garis lintang dan garis bujur dirubah menjadi bentuk desimal dalam derajat. Dengan cara sbb : xx(derajat) yy(menit) zz(detik) menjadi xx + yy/60 + zz/3600 (derajat)
2. File Matrix definition Format … Kolom pertama merupakan nama desa. Kolom selanjutnya, nama desadesa yang berbatasan dengan desa yang dijelaskan pada kolom pertama.
3. File Case Format: <Jumlah keluarga miskin>
15
Kolom pertama merupakan nama desa yang susunannya sesuai dengan susunan di File Coordinate. Kolom selanjutnya, jumlah keluarga miskin yang terdapat pada desa yang sesuai dengan kolom pertama.
4. File Population Format <Jumlah total keluarga> Kolom pertama merupakan nama desa yang susunannya sesuai dengan susunan di File Coordinate. Kolom selanjutnya, jumlah total keluarga yang terdapat di desa tersebut. Setelah semua data disusun, kemudian pilih metode flexible lalu run. Hasil yang diperoleh dengan metode ini, bila digabungkan dengan peta Indramayu maka diperoleh peta kemiskinan dengan program Arcview. B. Pendugaan correlogram kemiskinan dan jarak 1. Data kemiskinan per desa dan jarak antar desa diurutkan berdasarkan data jarak, mulai dari jarak terdekat sampai terjauh. 2. Data yang terurut dibagi menjadi beberapa kelompok per 2 km. 3. Menentukan korelasi antara kemiskinan dan jarak di tiap kelompok. 4. Plot data korelasi dan jarak sehingga diperoleh grafik yang dapat menjelaskan pada jarak berapa tidak terdapat korelasi. 5. Pengujian signifikansi nilai korelasi C. Penentuan pusat pengentasan kemiskinan di setiap kantong. 1. Menghitung panjang maksimum dan radius di setiap kantong. Radius merupakan setengah dari panjang maksimum. 2. Menentukan pusat pengentasan kemiskinan di setiap kantong dengan membandingkan radius terhadap jarak yang diperoleh pada tahap B. Ketentuannya : Jika radius < jarak B maka pusat pengentasan kemiskinan hanya pada pusat kantong. Tetapi kalau radius > jarak B maka pusat pengentasan tidak hanya satu desa pada setiap kantong.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data Potensi Desa (PODES) 2006, pengambilan datanya dilakukan tahun 2005. Data PODES berisi data tentang keterangan umum desa/kelurahan; kependudukan dan ketenagakerjaan; antisipasi dan kejadian bencana alam; pendidikan dan kesehatan; sosial budaya; rekreasi, hiburan, dan olah raga; angkutan, komunikasi, dan informasi, penggunaan lahan; ekonomi; politik dan keamanan; keterangan aparat desa/kelurahan. Sedangkan peta yang digunakan adalah peta digital Indramayu tahun 2003. Data PODES yang digunakan, disesuaikan dengan kecamatankecamatan yang ada pada peta. Berdasarkan defenisi kemiskinan dari BKKBN, Kabupaten Indramayu memiliki persentase kemiskinan tertinggi dibandingkan kabupaten lain yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Secara keseluruhan persentase kemiskinan di Jawa Barat sebesar 37.5% dan Kabupaten Indramayu sebesar 64%. Kabupaten Indramayu memiliki 24 kecamatan dan 310 desa. Peta Indramayu per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1.
PETA INDRAMAYU
LAUT JAWA
SUBANG
CIREBON
Peta indramayu.shp ANJATAN ARAHAN BALONGAN BANGODUA BONGAS CANTIGI CIKEDUNG GABUSWETAN HAURGEULIS INDRAMAYU JATIBARANG JUNTINYUAT KANDANGHAUR KARANGAMPEL KERTASEMAYA KRANGKENG KROYA LELEA LOHBENER LOSARANG SINDANG SLIYEG SUKRA WIDASARI
N
SUMEDANG
W 20
0
20
40 Miles
E S
Gambar 1 Peta Indramayu
17
Berdasarkan Gambar 1, Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Kabupaten Subang, Sumedang dan Cirebon. Bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kabupaten Indramayu memiliki jumlah total keluarga 467,479 keluarga dan jumlah keluarga miskin 299,185 keluarga. Persentase kemiskinan per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 2.
Persentase(%)
Persentase Kemiskinan 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 l i i t u r r s an ti g ng y a eg au k ra ay a ang dua ne ung mpe s ar el ea ang eul i tan ay y ua gan ang gas tan e d a u m d a L ar rg nj a am in on ar on we o ah an k e ro l iy h ib au A dr unt al os B us Ar C ang K S ang S s e Si n an g ohb ik e ng Wi d t C ra B L L In J B Ja H r ta Kr nd ab ta Ka G Ke Ka Ko
Kecamatan
Gambar 2 Persentase kemiskinan Berdasarkan Gambar 2, persentase kemiskinan antara 40%-90%. Tiga kecamatan yang memiliki persentase lebih dari 85%, yaitu Kecamatan Krangkeng, Cantigi, dan Arahan. Kecamatan Gabus Wetan merupakan kecamatan yang memiliki persentase relatif terendah. Peta sebaran kemiskinan per kecamatan, tampak pada Gambar 3. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kecamatan-kecamatan yang ada dikelompokkan ke dalam 5 kelompok berdasarkan persentase kemiskinannya. Kecamatan-kecamatan yang berada pada tingkatan terendah dan tertinggi sama dengan kesimpulan yang diperoleh dari Gambar 2. Kelompok I merupakan kumpulan desa-desa dengan persentase relatif terendah. Kelompok ini terdiri dari tiga kecamatan dengan persentase kemiskinan 39.39%-43.17%, yaitu : Kecamatan Bongas, Gabus Wetan, dan Losarang. Kelompok II terdiri dari enam kecamatan dengan persentase 43.17%-60.01%, yaitu : Kecamatan Balongan, Juntinyuat, Jatibarang, Haurgeulis, Anjatan dan Kota Indramayu. Kelompok III terdiri dari tujuh kecamatan dengan persentase 60.01%-68.81%, yaitu : Kecamatan Karangampel, Sindang, Cikedung, Lelea, Lohbener, Bangodua, dan Widasari. Kelompok IV terdiri dari lima Kecamatan dengan persentase 68.81%78.91%, yaitu Kecamatan Sliyeg, Sukra, Kertasemaya, Kandanghaur, Kroya.
18
PETA PERSENTASE KEMISKINAN PER KECAMATAN
LAUT JAWA KEC.SINDANG
KEC.SUKRA KEC.KANDANGHAUR KEC.CANTIGI
KEC.ARAHAN
KEC.ANJATAN
KOTA INDRAMAYU
KEC.LOHBENER
KEC.LOSARANG
KEC.BONGAS
Peta indramayu.shp 39.39 - 43.17 43.17 - 60.01 60.01 - 68.81 68.81 - 78.91 78.91 - 89.61
KEC.BALONGAN
KEC.JUNTINYUAT KEC.GABUSWETAN KEC.KARANGAMPEL KEC.KROYA
KEC.HAURGEULIS
KEC.CIKEDUNG KEC.KRANGKENG KEC.SLIYEG KEC.LELEA
KEC.JATIBARANG KEC.KERTASEMAYA
KEC.WIDASARI
N
KEC.BANGODUA
W 10
0
10
20 Miles
E S
Gambar 3 Peta persentase kemiskinan per kecamatan Kelompok V merupakan kumpulan desa yang memiliki persentase relatif tertinggi. Kelompok ini terdiri dari tiga kecamatan dengan persentase kemiskinan 78.91%-89.61%, yaitu Kecamatan Krangkeng, Cantigi, dan Arahan. Kecamatan yang paling banyak berada pada kelompok III dengan persentase 60.01%-68.81%, hasil ini sesuai dengan rata-rata persentase kemiskinan di Indramayu 64%.
Kantong dan Hotspot Kemiskinan di Indramayu
Metode flexibly memeriksa 310 desa yang terdapat di Kabupaten Indramayu. Panjang maksimum kantong (K) dibatasi sampai 15 desa yang berbatasan dan jarak terdekat, termasuk desa awal. Pengujian nyata atau tidak kantong kemiskinan dilakukan dengan teknik simulasi Monte Carlo. Simulasi dilakukan dengan pengulangan 999 kali. Berdasarkan proses tersebut, diperoleh 7 kantong yang nyata pada taraf 1%. Kantong-kantong yang terbentuk, adalah: 1. Kantong I terdiri dari 12 desa, yaitu desa Dukuh jati, Kali Anyar, Kaplongan, Kedung Wungu, Krangkeng, Luwung Gesik, Purwajaya, Singakerta, Srengseng, Sukamanah, Tanjakan, Tegal Mulya pada Kecamatan Krangkeng dan Karang Ampel. 2. Kantong II terdiri dari 13 desa, yaitu desa Arahan Lor, Cangkring, Cantigi Kulon, Cantigi Wetan, Cidempet, Linggajati, Panyingkiran Kidul,
19
Panyingkiran Lor, Pranggong, Sindangkerta, Sukadadi, Sukasari, Tawang Sari pada Kecamatan Arahan, Cantigi, Lohbener. 3. Kantong III terdiri dari 10 desa, yaitu desa Jati Mulya, Jati Munggul, Kroya, Mekar Jaya, Plosokerep, Suka Melang, Suka Slamet, Temiyang, Temiyang Sari, Tunjung Kerta pada Kecamatan Cikedung, Kroya, Haurgeulis. 4. Kantong IV terdiri dari 8 desa, yaitu desa Curug, Karang Mulya, Karanganyar, Parean Girang, Pranti, Soge, Wirakanan, Wirapanjunan pada Kecamatan Kandanghaur. 5. Kantong V terdiri dari 10 desa, yaitu desa Gadingan, Majasari, Mekar Gading, Pilang Sari, Sleman, Sliyeg Lor, Tambi, Tambi Lor, Tenajar, Tenajar Lor pada Kecamatan Sliyeg, Jati Barang, Kertasemaya. 6. Kantong VI terdiri dari 7 desa, yaitu desa Bojong Slawi, Jati Sawit Lor, Legok, Leuwigede, Lobener, Rambatan Kulon, Sindangkerta, Teluk Agung pada Kecamatan Lohbener, Jati Barang, Widasari, dan Kota Indramayu. 7. Kantong VII terdiri dari 10 desa, yaitu desa Bugel, Mekar Sari, Patrol Baru, Patrol Lor, Sukahaji, Sukra, Ujung Gebang, Tegal Taman, Sumuradem, Sumuradem Timur pada Kecamatan Sukra. Kantong-kantong tersebut disusun berdasarkan nilai Log Likelihood Ratio (LLR), semakin ke bawah maka LLRnya semakin kecil, seperti pada Tabel 1. K I II III IV V VI VII
JD 12 13 10 8 10 7 10
Tabel 1 Keterangan pada setiap kantong Pop Case % Harapan RR 17880 15868 88.75 11443.10 1.39 12715 11637 91.52 8137.56 1.43 20819 16627 79.87 13324.10 1.25 11239 9661 85.96 7192.92 1.34 12395 10131 81.74 7932.76 1.28 9598 7829 81.57 6142.69 1.28 16369 12596 76.95 10476.10 1.20
K : Kantong JD : Jumlah Desa
% : Persentase Miskin RR : Resiko Relatif
LLR P-value 796.81 0.001 684.23 0.001 398.36 0.001 392.37 0.001 288.11 0.001 217.65 0.001 209.13 0.001
LLR : Log Likelihood Ratio
Kantong I memiliki persentase kemiskinan sebesar 88.75% dan nilai harapan 1143.10. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong I sebanyak 1143 keluarga. Dilihat dari nilai Resiko Relatif (RR) maka proporsi keluarga miskin pada desa-
20
desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.39 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Kantong II memiliki persentase kemiskinan sebesar 91.52% dan nilai harapan 8137.56. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong II sebanyak 8138 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.43 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Kantong III memiliki persentase kemiskinan sebesar 79.87% dan nilai harapan 13324.10. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong III sebanyak 13324 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.25 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Kantong IV memiliki persentase kemiskinan sebesar 85.96% dan nilai harapan 7192.92. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong IV sebanyak 7193 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.34 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Kantong V memiliki persentase kemiskinan sebesar 81.74% dan nilai harapan 7932.76. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong V sebanyak 7933 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.28 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Kantong VI memiliki persentase kemiskinan sebesar 81.57% dan nilai harapan 6142.69. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong VI sebanyak 6143 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.28 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut.
21
Kantong VII memiliki persentase kemiskinan sebesar 76.95% dan nilai harapan 10476.10. Nilai harapan tersebut berarti harapan jumlah keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin pada kantong VII sebanyak 10476 keluarga. Dilihat dari nilai RR-nya maka proporsi keluarga miskin pada desa-desa yang berada di dalam kantong lebih besar 1.20 kali dari pada desa-desa di luar kantong tersebut. Penentuan kantong tidak hanya memperhatikan persentase, tetapi juga jumlah total keluarga. Meskipun kantong II memiliki persentase dan RR lebih tinggi dari kantong I, tetapi jumlah total keluarganya lebih kecil dari kantong I sehingga kantong II berada pada urutan kedua. Kantong I memiliki nilai LLR tertinggi, sehingga kantong ini disebut most likely cluster (MLC). Ketujuh kantong nyata pada taraf yang paling tinggi dibanding kantong-kantong lain, memiliki nilai RR lebih besar dari 1 maka kantong-kantong tersebut disebut
hotspot kemiskinan. Hotspot-hotspot tersebut dapat disajikan dalam peta hotspot kemiskinan, seperti pada Gambar 4.
PETA HOTSPOT KEMISKINAN
LAUT JAWA
KOTA INDRAMAYU
SUBANG
Peta indramayu.shp 1 2 3 4 5 6 7 8
CIREBON
N SUMEDANG
W 10
0
10
20 Miles
E S
Gambar 4 Peta hotspot kemiskinan Kantong I berwarna merah, memiliki tingkat kemiskinan tertinggi, hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dari Gambar 2 dan 3. Kantong ini berdekatan dengan Kabupaten Cirebon. Kantong II, V, dan VI berdekatan dengan
22
Kota Indramayu. Ketiga kantong tersebut berdekatan, tetapi hanya kantong II dan VI yang berbatasan langsung karena Kantong V masih dibatasi dengan desa yang tidak masuk ke Kantong V dan VI. Kantong III bewarna coklat, berdekatan dengan Kabupaten Sumedang. Kantong IV berwarna biru, berada diantara Kantong II dan VII. Kantong VII berwarna hijau, berdekatan dengan Kabupaten Subang. Pada Kantong I, II, III, V, VI, dan VII ada desa yang berbatasan dengan kantong tetapi tidak masuk ke dalam kantong tersebut, secara berurutan yaitu : Desa Kapringan, Arahan Kidul, Sumbon, Sliyeg, Lobenerlor, Sukrawetan. Desadesa tersebut berbatasan dengan kantong, tetapi persentase kemiskinannya lebih kecil dari kantong sehingga desa-desa tersebut tidak dimasukkan ke dalam kantong.
Deskripsi Kantong
Deskripsi kantong dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 1. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian, subsektor tanaman pangan dengan komoditi unggulan tertentu. Komoditi tersebut dipakai sebagian besar penduduk untuk dikonsumsi sendiri dan dijual. Sarana dan prasarana transportasi melalui darat. Jalanan tersebut dapat dilalui kenderaan bermotor roda 4 atau lebih dan sudah memiliki penerangan jalan. Pada semua kantong tidak terdapat telepon umum koin/ kartu, tetapi ada wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel. Fasilitas sekolah yang paling banyak sampai tingkat SD dengan rasio 1.62, yaitu terdapat dua sekolah per 1000 penduduk pada Kantong I, selainnya hanya satu sekolah. A. Kantong I Kantong I terdiri dari 12 desa dan berada di luar kawasan hutan. Sebagian besar letak geografisnya berada di dataran, kecuali Desa Luwung Gesik, Kalianyar, Krangkeng, Tanjakan berada di pesisir/ tepi laut. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan dan perikanan darat. Komoditi unggulan padi, padi sawah, dan tambak bandeng. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 63.59% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.32 ha.
23
Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 198. Pada klaster ini tidak terdapat kawasan dan sentra industri. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, kerajinan dari kayu dan makanan. Jenis permukaan jalan yang terluas dari aspal/beton dan diperkeras (kerikil/ batu). Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 4.15 km dengan waktu tempuh 8.42 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 28.85 km dengan waktu tempuh 35 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 29.58 km dengan waktu tempuh 35.42 menit. Fasilitas wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel sebanyak 17 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 22 keluarga yang berlangganan telepon kabel. B. Kantong II Kantong II terdiri dari 13 desa dan berada di luar kawasan hutan. Desa Tenajar dan Sliyeg Lor berada di pesisir/ tepi laut, selainnya berada di dataran. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan. Komoditi unggulan padi dan padi sawah. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 48.45% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.42 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 300. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, makanan. Jenis permukaan jalan yang terluas dari aspal/beton, diperkeras dengan kerikil/ batu, dan tanah. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 3.69 km dengan waktu tempuh 9.15 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 15.81 km dengan waktu tempuh 20.15 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 58.1 km dengan
waktu
tempuh
126.15
menit.
Fasilitas
wartel/
kiospon/
warpostel/warparpostel sebanyak 14 unit. Dari setiap 1000 keluarga hanya 4 keluarga yang berlangganan telepon kabel. C. Kantong III Kantong III terdiri dari 10 desa dan berada di tepi kawasan hutan. Semua desa berada di dataran. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk
24
dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan dan perikanan darat. Komoditi unggulan padi, padi sawah, dan tambak bandeng. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 41.17% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.39 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 243. Jenis permukaan jalan yang terluas diperkeras dengan kerikil/ batu dan dari aspal/beton. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 4.02 km dengan waktu tempuh 12.5 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 49.75 km dengan waktu tempuh 89.5 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 58.61 km dengan
waktu
tempuh
116
menit.
Fasilitas
wartel/
kiospon/
warpostel/warparpostel sebanyak 32 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 2 keluarga yang berlangganan telepon kabel. Fasilitas sekolah yang paling banyak sampai tingkat SD dengan rasio 1.08, yaitu hanya ada satu sekolah per 1000 penduduk. Pada kantong ini tidak terdapat sentra industri, tetapi ada kawasan industri di Desa Jatimunggul. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, kerajinan dari kayu dan makanan. D. Kantong IV Kantong IV terdiri dari 8 desa dengan letak geografisnya berada di dataran dan berada di luar kawasan hutan. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan. Komoditi unggulan padi, padi sawah, dan cabe. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 76.23% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.46 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 9. Desa Karanganyar, Wirapanjunan, Pareangirang, Soge merupakan desa-desa yang rawan banjir. Jenis permukaan jalan yang terluas diperkeras dengan kerikil/ batu. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 4.73 km dengan waktu tempuh 13 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 22.09 km dengan waktu tempuh 48 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota
25
kabupaten/ kota lain yang terdekat 43.41 km dengan waktu tempuh 97 menit. Fasilitas wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel sebanyak 20 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 20 keluarga yang berlangganan telepon kabel. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, makanan dan gerabah/ keramik. E. Kantong V Kantong V terdiri dari 10 desa dan berada di luar kawasan hutan. Letak geografisnya berada di dataran. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan dengan komoditi unggulan padi. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 76.26% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.34 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 290. Jenis permukaan jalan yang terluas diperkeras dengan kerikil/ batu. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 4.73 km dengan waktu tempuh 13 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 22.09 km dengan waktu tempuh 48 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 43.41 km dengan waktu tempuh 97 menit. Fasilitas wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel sebanyak 20 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 59 keluarga yang berlangganan telepon kabel. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, makanan, anyaman, kerajinan dari kayu dan kulit. F. Kantong VI Kantong VI terdiri dari 7 desa dan berada di luar kawasan hutan. Letak geografisnya berada di dataran. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan. Komoditi unggulan padi dan padi sawah. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 64.93% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.13 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 351. Jenis permukaan jalan yang terluas dari aspal/beton dan diperkeras dengan kerikil/ batu. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 5.8 km dengan
26
waktu tempuh 10.86 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 9.61 km dengan waktu tempuh 27 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 64.71 km dengan waktu tempuh 84 menit. Fasilitas wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel sebanyak 16 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 13 keluarga yang berlangganan telepon kabel. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, anyaman dan makanan. G. Kantong VII Kantong VII terdiri dari 10 desa dan berada di luar kawasan hutan. Desa Sukra, Sumuradem Timur, Patrol Baru, Bugel berada di daratan, selainnya berada di pesisir/ tepi laut. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dari sektor pertanian dengan subsektor tanaman pangan. Komoditi unggulan padi dan bawang merah. Persentase lahan sawah terhadap luas lahan desa keseluruhan 78.86% dengan kepemilikan lahan per keluarga petani 0.32 ha. Rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh tani per 1000 penduduk adalah 241. Jenis permukaan jalan yang terluas diperkeras dengan kerikil/ batu. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 4 km dengan waktu tempuh 19.6 menit. Jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota 50.54 km dengan waktu tempuh 94.5 menit. Sedangkan jarak rata-rata dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain yang terdekat 53.38 km dengan waktu tempuh 97.5 menit. Fasilitas wartel/ kiospon/ warpostel/warparpostel sebanyak 33 unit. Dari setiap 1000 keluarga ada 23 keluarga yang berlangganan telepon kabel. Jenis industri kecil/ kerajinan rumah tangga, makanan dan kerajinan dari kayu. Correlogram Kemiskinan di Indramayu
Setiap pasangan desa yang terbentuk disusun berdasarkan jarak, mulai dari 0 sampai 67.792 km dengan jarak terdekat 1.111 km. Jarak-jarak tersebut dibagi menjadi 34 kelompok dengan panjang kelompok 2 km. Grafik korelasi terhadap jarak dapat dilihat pada Gambar 5.
27
Correlogram kemiskinan 0.25 0.2 0.15
Korelasi
0.1 0.05 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
-0.05 -0.1 -0.15 -0.2 Jarak
Gambar 5 Correlogram kemiskinan Menurut gambar di atas, nilai korelasi cenderung menurun ketika jaraknya semakin jauh. Grafik tersebut memotong sumbu-x pada kelompok jarak 13, yaitu pada jarak 24-26 km dengan rata-rata 25.045 km. Nilai korelasi pada gambar tersebut mulai tidak stabil pada jarak 10-12 km karena pada beberapa kelompok nilainya naik turun. Pada jarak 8-28 km, nilai korelasinya hampir sama. Nilai korelasi yang tidak stabil dan hampir sama, akan sulit untuk mengetahui korelasi bernilai nol pada jarak berapa jika hanya melihat gambar, maka dilakukan pengujian nilai korelasi. Pengujian untuk melihat korelasi tersebut signifikan bernilai nol pada jarak berapa dengan menghitung nilai statistik uji z-nya. Hipotesis yang digunakan : H0 : r = 0 dan H1 : r ≠ 0 pada taraf α = 0.05 wilayah kritis : Z < -1.96 dan Z > 1.96 Pada jarak 5-6 km dengan jarak rata-rata 5.714 km, diperoleh Z = 1.77 E-06. Nilai Z tersebut < 1.96, maka terima H0. Berarti pada jarak 5-6 km, nilai korelasinya signifikan bernilai nol. Pada jarak tesebut, tidak terdapat korelasi antar kemiskinan secara spatial. Pusat-Pusat Pengentasan Kemiskinan di Indramayu
Tabel 2 menunjukkan kantong-kantong yang terbentuk memiliki jarak maksimum dan radius yang berbeda. Jika radius dibandingkan dengan jarak pada saat korelasi nol, maka radius pada kantong lebih kecil, kecuali Kantong III.
28
Kantong Kantong I Kantong II Kantong III Kantong IV Kantong V Kantong VI Kantong VII
Tabel 2 Jarak maksimum pada tiap kantong Desa Jarak maksimum Radius Purwajaya - Tanjakan 9.165 km 4.582 km Cangkring - Sindangkerta 7.449 km 3.724 km Plosokerep - Suka Slamet 14.429 km 7.215 km Karang Mulya - Soge 7.837 km 3.919 km Mekar Gading - Pilang Sari 7.091 km 3.546 km Rambatan Kulon 6.762 km 3.381 km Leuwigede Sukahaji - Sukra 9.945 km 4.973 km
Berdasarkan bentuk dan radius kantong maka pusat pengentasan kemiskinan pada Kantong I : Desa Srengseng, Kantong II : Desa Cidempet, desadesa tersebut berada di tengah kantong. Kantong III : Desa Tanjungkerta dan Jatimulya, karena radiusnya lebih besar dari jarak correlogram. Kantong IV : Desa Wirapanjunan, Kantong V : Desa Tambi, desa-desa tersebut berada di tengah kantong. Kantong VI : Desa Bojongslawi dan Teluk Agung, karena bentuk kantong terdiri dari dua kelompok yang dihubungkan oleh satu desa. Kantong VII : Mekarsari, berada di tengah kantong. Desa-desa tersebut ditampilkan pada Gambar 6.
PUSAT PENGENTASAN KEMISKINAN LAUT JAWA KLASTER II KLASTER VII KOTA INDRAMAYU SUBANG
KLASTER IV
KLASTER VI
KLASTER I
KLASTER V SUMEDANG
CIREBON
N
KLASTER III
W 10
0
10
20 Miles
E S
Gambar 6 Peta pusat pengentasan kemiskinan Gambar 6 menunjukkan bahwa ada sembilan desa yang dapat mewakili tujuh puluh desa yang terdapat dalam tujuh kantong tersebut secara spatial. Kantong III dan VI dilakukan pada dua desa, sedangkan kantong lain pada pusat kantong.
29
Program Pengentasan
Berdasarkan data-data dari setiap kantong, maka program yang diusulkan untuk setiap kantong adalah sebagai berikut: A. Kantong I Jika dibandingkan dengan Kantong III, maka kantong ini memiliki akses jalan dan telekomunikasi, fasilitas sekolah yang lebih baik. Kepemilikan lahannya juga tidak jauh berbeda dengan kantong lain, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komoditi unggulan di kantong ini. B. Kantong II Jika dibandingkan dengan Kantong VII, maka kantong ini memiliki akses jalan yang lebih baik dan status kepemilikan lahan yang lebih besar, tetapi perlu penambahan untuk akses telekomunikasi. C. Kantong III Jika dibandingkan dengan Kantong I, kantong ini memiliki persentase kemiskinan lebih kecil, tetapi akses jalan dan telekumunikasinya masih kurang. Sehingga perbaikan pada akses tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. D. Kantong IV Jika dibandingkan dengan Kantong V, kantong ini memiliki akses telekomunikasi yang lebih baik, tetapi akses jalannya perlu perbaikan. Kedua klaster memiliki kepemilikan lahan yang tinggi. E. Kantong V Kantong ini memiliki akses jalan yang lebih baik, tetapi kurang dalam akses telekomunikasi sehingga perbaikan akses tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. F. Kantong VI Kantong ini memiliki akses jalan yang baik, tetapi telekomuniksinya kurang, kepemilikan lahanya paling rendah dibanding kantong lain serta rasio penduduk yang bekerja sebagai buruh per 1000 penduduk, paling besar dibanding kantong lain. Maka perbaikan akses telekomunikasi diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan
30
G. Kantong VII Kantong ini memiliki persentase kemiskinan relatif terendah dibanding kantong lain, tetapi akses jalannya kurang. Perbaikan akses jalan diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
31
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut : Metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic menghasilkan beberapa kantong kemiskinan yang nyata pada beberapa taraf. Pada taraf nyata yang paling tinggi, 1%, terdapat tujuh kantong kemiskinan. Pada tujuh kantong tersebut, terdapat 70 desa yang disebut sebagai hotspot kemiskinan. Pengaruh spatial pada kemiskinan mengakibatkan kemiskinan antar desa berkorelasi. Korelasi tersebut sampai pada jarak rata-rata 5.714 Km. Pusat pengentasan kemiskinan dapat dilakukan pada satu atau dua desa yang dapat mewakili desa-desa yang berada di dalam kantong. Pada Kantong III, VI, program pengentasan dilakukan pada dua desa, sedangkan kantong-kantong yang lain dilakukan pada pusat kantong masing-masing. Perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan pada kantong-kantong tersebut berbeda-beda. Pada Kantong II, III, V, VI, sebaiknya dilakukan perbaikan akses telekomunikasi. Perbaikan akses jalan, sebaiknya dilakukan pada Kantong IV dan VII. Pada Kantong I, kantong ini memiliki akses yang lebih baik dari pada kantong-kantong yang lain. Tetapi tingkat kemiskinannya tinggi, sehingga sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang komoditi-komoditi lain yang dapat diunggulkan.
Saran
Saran yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai metode
Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic dengan menggunakan sebaran selain poisson. 2. Penggunaan data-data yang besar mengakibatkan error pada program FleXScan, sehingga untuk penelitian lanjutan perlu dilakukan transformasi yang sesuai dengan data tersebut.
32
DAFTAR PUSTAKA Balisacan, A.M., Pernia, E.M., dan Asra, A. 2002. Revisiting Growth And Poverty Reduction In Indonesia : What Do Subnational Data Show? ERD Working Paper No. 25. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2004. Rubrik BKKBNPendataan Keluarga ; Selayang Pandang. [terhubung berkala] http://www.bkkbn.go.id [20 Mei 2007] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2006. Data Hasil Pendataan Keluarga tahun 2006. [terhubung berkala] http://www.bkkbn.go.id/dtftor/data.php [20 Desember 2007] Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Jakarta : BPS. Betti, G., Ballini, F., dan Neri, L. 2006. Hotspot Detection and Mapping of Poverty. Technical Report Number 2006-0533. Presented at the 7th Annual International Conference on Digital Government Research. Center for Statistical Ecology and Environmental Statistics. University of Siena, Italy. Crandall, M.S. dan Weber, B.A. 2004. Local Social and Economic Conditions, Spatial Concentrations of Poverty, and Poverty Dynamics. Poverty, Policy and Place : Spatial Analysis of Poverty Dynamics (Bruce A. Weber, Oregon State University, presiding). American of Jurnal Agricultural Economics 86. 5:1276-1281. Hasibuan, L.S., Saefuddin, A., Siregar, H. 2006. Correlation among Poverty, GRDP, and Population. Presented at The 8th Indonesian Regional Science Association International Conference. Faculty of Economy - University of Brawijaya. Malang, August 18, 2006. Patil, G.P. dan Taillie, C. 2003. Geographic and network surveillance via scan statistics for critical area detection. Statistical Science 0:1-9. Patil, G.P. dan Taillie, C. 2004. Upper level set scan statistic for detecting arbitrarily shaped hotspots. Environmental and Ecological Statistics 11:183197. Patil, G.P, Duczmal, L., Haran, M., Patankar, P. 2006a. On PULSE: The Progressive Upper Level Set Scan Statistic System for Geospatial and Spatiotemporal Hotspot Detection. Technical Report Number 2006-0526. Presented at the 7th Annual International Conference on Digital Government Research. Department of Statistics, Pennsylvania State University. Patil, G.P., Modarres, R., Myers, W.L., dan Patankar, P. 2006b. Spatially Constrained Clustering and Upper Level Set Scan Hotspot Detection in Surveillance Geoinformatics. Technical Report Number 2006-0301. Rupasingha, A., dan S.J. Goetz. 2003. The Causes of Enduring Poverty : An Expanded Spatial Analysis of the Structural Determinants of Poverty in US. Rural Development Paper No.22, Northeast Regional Center for Rural Development, University Park, PA. Sharov, A. 1996. Elements of Geostatistics. [terhubung berkala] http://www.ento.vt.edu/~sharov/PopEcol/lec2/geostat.html [ 27 Mei 2007] Stillwell, J dan Clarke, G, editor. 2004. Applied GIS and spatial analysis. England:John Wiley & Sons.
33
Sumarto, S, Suryadarma, D., dan Suryahadi, A. 2006. Predicting Consumption Poverty Using Non-consumption Indicators : Experiments Using Indonesian Data. SMERU Working Paper. [terhubung berkala] http://www.smeru.or.id/report/workpaper/predictconsumpt/Poverty%20Pred ictor%20Eng.pdf [01 Agustus 2006] Suryahadi, A dan Sumarto, S. 2003. Memetakan Kemiskinan di Indonesia. SMERU newsletter. [terhubung berkala] http://www.smeru.or.id/newslet/2003/ed07/200307focus.html [20 Mei 2007] Takahashi, K., Yokoyama, T., dan Tango, T. 2005. FleXScan User Guide. Department of Technology Assessment and Biostatistics. National Institute of Public Health. [terhubung berkala] http://www.niph.go.jp/soshiki/gijutsu/index_e.html. Tango, T dan Takahashi, K. 2005. Methodology A flexibly shaped spatial scan statistic for detecting clusters. International Journal of Health Geographics 4:11. Japan. [terhubung berkala] http://www.ij-healthgeographics.com/content/4/1/11 [18 April 2007] Walpole, R.E., 1995. Pengantar Statistika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
34
Lampiran 1 Deskripsi Kantong K
B
A 1
C
D
2
1
I
T. Pangan
Padi, Padi Sawah
63.59 1.62 198
ada
II
T.Pangan
Padi, Padi Sawah
48.45 1.06 300
ada
III
T. Pangan
41.17 1.08 243
ada
IV
T. Pangan
76.23 1.32 9
ada
V
T. Pangan
Padi, Padi Sawah, Cabe Padi, Padi Sawah Padi
76.26 1.08 290
ada
VI
T. Pangan
Padi, Padi Sawah
64.93 1.18 351
ada
VII
T. Pangan
Padi, Bawang Merah
78.86 1.17 241
ada
Keterangan : K : Kantong A1 : Sumber penghasilan utama, subsektor A2 : komoditi unggulan B : Lahan sawah/luas desa (%) C : Jumlah sekolah/ jumlah penduduk (per 1000) D : Jumlah buruh tani/ jumlah penduduk (per 1000) E1 : Terdapat penerangan di jalan utama desa/ kelurahan E2 : Jenis permukaan jalan yang terluas E3 : Bisa dilalui kenderaan bermotor roda 4 atau lebih F11 : Jarak dari desa ke ibukota kecamatan F12 : Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan
E 2 Aspal/beton, diperkeras (kerikil/batu) Aspal/beton, diperkeras (kerikil/batu), tanah Diperkeras (kerikil/ batu), aspal/beton Diperkeras (kerikil/ batu) Diperkeras (kerikil/ batu) Aspal/beton, diperkeras (kerikil/batu) Diperkeras (kerikil/ batu)
F 2
1
3
3 2
1
G 2
3
bisa
1 4.15
2 8.42
1 28.85
35
1 29.58
2 35.42
tidak
17
21.6
bisa
3.69
9.15
15.81
20.15
58.1
126.15 tidak
14
4.1
bisa
4.02
12.5
49.75
89.5
58.61
116
tidak
32
1.8
bisa
7.48
20.5
36.43
73.75
75.34
130
tidak
15
20.3
bisa
4.73
13
22.09
48
43.41
97
tidak
20
59.1
bisa
5.8
10.86
9.61
27
64.71
84
tidak
16
13.4
bisa
4
19.6
50.54
94.5
53.38
97.5
tidak
33
22.9
F21 : Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/ kota F22 : Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/ kota F31 : Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain terdekat F32 : W waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/ kota lain terdekat H1 : Telepon umum koin/ kartu aktif H2 : Wartel/ kiospon/ warpostel/ warparpostel H3 : Jumlah keluarga yang berlangganan telepon kabel/ jumlah keluarga total ( per 1000)
35