POLA SIDIK JARI KROMATOGRAM KLT UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN KUALITAS JAHE MERAH
HAIRUL ANWAR
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITIT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
POLA SIDIK JARI KROMATOGRAM KLT UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN KUALITAS JAHE MERAH
HAIRUL ANWAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITIT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi : Pola Sidik Jari Kromatogram KLT untuk Identifikasi Keragaman Kualitas Jahe Merah Nama : Hairul Anwar NIM : G84050511
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh.Maria Bintang, MS. Ketua
Drs. Edy Djauhari Purwakusumah MS. Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelsaikan karya ilmiah ini dengan judul Pola Sidik Jari Kromatogram KLT untuk Identifikasi Keragaman Kualitas Jahe Merah. Penelitian berlangsung di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka (PSB), Taman Kencana, Bogor, pada bulan Desember 2009 sampai Juni 2010. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh Maria Bintang, MS sebagai pembimbing utama, Dr. Edy Djauhari Purwakusumah MS sebagai pembimbing kedua dan Mohamad Rafi S.Si.,M.Si sebagai Ketua proyek penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak dan ibuku tercinta, teman-teman Biokimia 42, Ayu, Mitha, Staf dan teman-teman di Laboratorium PSB yang telah memberi masukan dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun semua pihak yang membutuhkannya demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Bogor, Februari 2011
Hairul Anwar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 April 1987 sebagai anak keenam dari enam bersaudara pasangan Islami dan Rohani. Tahun 2005 penulis lulus SMA SULUH Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota divisi Kewirausahaan Himpunan profesi CREBs Biokimia IPB periode 2007/2008, kepala divisi PSDM CREBs Biokimia IPB periode 2008/2009, dan di beberapa kepanitiaan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biokimia Umum pada tahun 2009 dan 2010 dan asisten praktikum mata kuliah Struktur dan Fungsi Biomolekul pada tahun 2009. Selain itu penulis pernah melakukan praktik lapang di laboratorium Bioteknologi-BPPT Serpong.
ABSTRAK HAIRUL ANWAR. Pola Sidik Jari Kromatogram KLT untuk Identifikasi Keragaman Kualitas Jahe Merah. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan EDY DJAUHARI PK Jahe merah (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu sebagai bahan baku jamu. Jahe merah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sentra produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi produksi ini dapat menyebabkan kadar metabolit sekunder yang dihasilkan juga dapat berbeda. Perbedaan kadar metabolit sekunder ini berpengaruh terhadap kualitas dan khasiat jahe merah tersebut. Oleh karena itu untuk menjamin kualitas dan khasiat pada jahe merah tersebut perlu dilakukan identifikasi sidik jari kromatogram KLT. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pola kromatogram jahe merah dari metode ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan pemisahan terbaik kemudian diujikan pada jahe merah dari berbagai daerah untuk melihat perbedaan pola sidik jarinya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan pelarut yang terpilih sebagai penyusun fase gerak optimum adalah kloroform: etil asetat: n-heksana dengan perbandingan 1/6: 1/6: 2/3. Teknik ekstraksi terbaik untuk mengisolasi komponen kimia pada jahe merah yaitu ekstraksi sonikasi pada bobot 1.5 g, dengan volume pelarut 5 mL, dan waktu ekstraksi 15 menit. Hasil elusi pada jahe merah dari lokasi yang berbeda menunjukkan pola kromatogram yang mirip satu sama lain dan hampir semua sampel jahe merah memiliki senyawa 6-gingerol.
ABSTRACT HAIRUL ANWAR. Fingerprint Pattern of TLC Chromatogram for Identification of Red Ginger. Under the direction of MARIA BINTANG and EDY DJAUHARI PK Red ginger (Zingiber officinale Rosc) is one of herbal medicine. Red ginger used in this study were originated from various production centers within Central and East Java. The different production area may affect the chemical content (secondary metabolites) of the red ginger, and therefore it’s may affect quality and efficacy. Identification by TLC fingerprint chromatograms are required to ensure the quality and efficacy of the red ginger. The purpose of this study was to compare the chromatogram patterns of the red ginger from different extraction methods, that is maceration and sonication extraction. The extraction that produces the best separation and tested on the red ginger from various areas to see different patterns of fingerprint chromatogram. The result revealed that the solvent used optimum mobile phase constituent were chloroform: ethil acetate: nhexane with ration 1/6: 1/6: 2/3. The best extraction technique to isolate the chemical components of the red ginger is sonication extraction at 1.5 g weight, 5 mL solvent volume, and 15 minutes extraction time. Results of elution on red ginger from different locations showed a similar pattern of chromatograms from each other and almost all samples of red ginger has a compound 6-gingerol.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Jahe Merah(Zingiber officinale Rosc)..................................................... Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ........................................................... Rancangan Percobaan ............................................................................. Validasi Metode ......................................................................................
2 3 3 4
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan ........................................................................................ Metode ....................................................................................................
4 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Fase Gerak ............................................................................. 6 Penentuan Titik Optimum dari Tiga Pelarut Menggunakan simplex Centroid Design ...................................................................................... 7 Pemisahan Komponen dari Ekstraksi Sonikasi dengan Central Composite Design .................................................................................. 8 Validasi Metode ...................................................................................... 9 Pemisahan Komponen Jahe Merah dari Berbagai Daerah ...................... 11 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 12 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 13 LAMPIRAN ........................................................................................................ 16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman dan rimpang jahe merah ................................................................
3
2 Bejana berisi plat KLT dan larutan pengembang ..........................................
3
3 Titik selektivitas berdasarkan rancangan simplex centroid ...........................
5
4
Twin trough chamber dan flat bottom chamber ...........................................
6
5 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan dengan deteksi UV 254 nm, 366 nm, dan anisaldehida .........................................................
7
6 Hasil Pemisahan menggunakan pelarut kloroform:etil asetat:dietil eter (a), kloroform:etil asetat:n-heksana (b), kloroform:etil asetat: dietil eter (c) ..................................................................................................
7
7 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan menggunakan Deteksi UV 366 nm dan anisaldehida pada jenis komposisi fase gerak ....................
8
8 Daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi dengan anisaldehida (b) ............................................................................................
8
9 Hasil pemisahan dari ekstrak maserasi dengan fase gerak optimum (titik 9) rancangan simplex centroid deteksi dengan UV 366 nm .................
8
10 Hasil pemisahan 20 variasi ekstraksi sonikasi menggunakan central Composite, dielusi dengan fase gerak optimum dan deteksi dengan UV 366 nm ....................................................................................................
9
11 Stabilitas analat selama kromatografi dengan deteksi UV 366 nm............... 10 12 Stabilitas analat pada pelat dan dalam larutan .............................................. 10 13 Stabilitas visualisasi deteksi UV 366 nm ...................................................... 10 14 Keterulangan pada pelat ke-1(a), pelat ke-2(b), pelat ke-3(c) deteksi Dengan UV 366 nm ...................................................................................... 10 15 Presisi menengah pada hari ke-1(a), hari ke-2(b), dan hari ke-3(c) Deteksi dengan UV 366 nm .......................................................................... 11 16 Pola kromatogram jahe merah hasil pemisahan dengan Flat Bottom Chamber(a) dan Twin Trough Chamber (b) deteksi UV 366 nm ................. 11 17 Hasil pemisahan komponen jahe merah dari berbagai daerah dan standard 6-gingerol dengan deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi anisaldehida (b) ..... 11 18 Pola kromatogram standard (std), jahe merah (JM), jahe gajah (JG), jahe emprit (JE), dan lengkuas (LK) deteksi UV 366 nm (a) dan anisaldehida (b) ............................................................................................ 12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Bagan alir penelitian ..................................................................................... 17 2 Penggolongan pelarut oleh Snyder’s ............................................................. 18 3 Variasi ekstraksi sonikasi dengan rancangan central composite design ....... 19 4 Jumlah pita pada saat elusi dengan 12 pelarut tunggal ................................. 19 5 Hasil elusi dengan 12 pelarut tunggal dengan visualisasi UV 254 nm ......... 20 6 Hasil elusi dengan 12 pelarut tunggal dengan visualisasi UV 366 nm ......... 21 7 Hasil elusi komposisi rancangan simplex centroid design pelarut kloroform, etil asetat, dan n-heksana dengan visualisasi UV 366 nm ............................ 22 8 Hasil elusi komposisi rancangan simplex centroid design pelarut kloroform, etil asetat, dan n-heksana dengan deteksi anisaldehida ................................. 23 9 Jumlah pita saat elusi dengan 10 macam komposisi fase gerak dari rancangan simplex centroid ........................................................................... 24 10 Data hasil pengolahan statistik dengan minitab 14 untuk deteksi UV 366 nm rancangan simplex centroid design. ................................................. 24 11 Data hasil pengolahan statistik dengan minitab 14 untuk deteksi anisaldehida rancangan simplex centroid design .......................................... 25 12 Hasil 20 perlakuan ekstraksi sonikasi menggunakan rancangan central composite design untuk deteksi dengan anisaldehida ....................... 26 13 Jumlah pita hasil elusi dari ekstraksi sonikasi dengan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida ............................................................................................ 27 14 Data hasil pengolahan minitab 14 untuk ekstraksi sonikasi dengan deteksi UV 366 nm dengan rancangan central composite design ............................. 27 15 Data hasil pengolahan minitab 14 untuk ekstraksi sonikasi dengan deteksi anisaldehida nm dengan rancangan central composite design ...................... 29 16 Hasil elusi jahe merah dari berbagai daerah untuk deteksi UV 254 nm ....... 30 17 Nilai resolusi masing-masing pita dan rata-rata nilai Rf pada presisi Menegah dengan deteksi UV 366 nm ........................................................... 31 18 Nilai resolusi masing-masing pita dan rata-rata nilai Rf pada keterulangan dengan deteksi UV 366 nm ........................................................................... 31 19 Nilai Rf pada stabilitas analat dengan deteksi UV 366 nm ......................... 32 20 Nilai Rf masing-masing pita pada ketangguhan dengan Twin Trough Chamber dan Flat Bottom Chamber ............................................................ 33 21 Nilai Rf masing-masing pita pada jahe merah, jahe gajah, jahe emprit Dan lengkuas ................................................................................................ 33
1
PENDAHULUAN Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman obat tradisional. Lebih dari 30.000 spesies tanaman di Indonesia dan 940 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat atau digunakan sebagai bahan obat (Paimin & Murhananto 1999). Setiap tanaman obat memiliki khasiat yang berbeda-beda dan bergantung pada komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat tersebut. Kuantitas dan mutu komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu letak geografis (lokasi), waktu tanam, waktu panen, iklim, dan curah hujan (Liang et al. 2004). Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu tanaman obat yang sering digunakan dalam industri jamu. Terdapat tiga jenis jahe berdasarkan aroma, warna dan ukuran rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah. Jahe merah lebih sering digunakan sebagai bahan baku obat karena memiliki kandungan senyawa kimia seperti gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dengan jahe gajah dan jahe emprit (Tim Lentera 2004). Jahe merah yang digunakan dalam industri jamu umumnya berasal dari sentra produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi ini dapat menyebabkan kandungan komponen kimia (metabolit sekunder) yang terkandung dalam jahe merah juga dapat berbeda. Adanya perbedaan metabolit sekunder yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap kualitas dan khasiat jahe merah tersebut. Oleh karena itu untuk menjamin kualitas dan khasiat pada jahe merah tersebut perlu dilakukan identifikasi dan diferensiasi. Identifikasi dan diferensiasi juga dilakukan untuk menghindari adanya pemalsuan bahan baku mengingat jahe merah yang di jual di pasaran umumnya sudah dalam bentuk rajangan kering atau serbuk/simplisia, sehingga sulit dibedakan baik terhadap jenis jahe lainnya maupun dengan suku Zingiberaceae lainnya seperti bangle dan lengkuas. selain itu juga harga jual rimpang jahe merah 2 sampai 3 kali lebih mahal dibanding jahe gajah, jahe emprit, dan lengkuas. sehingga hal inilah yang memungkinkan dari semua jenis tanaman ini dapat menjadi bahan pemalsu satu sama lainnya. Terdapat dua pendekatan dalam mengevaluasi kualitas tanaman obat, yaitu
melalui penetapan kadar senyawa penciri dan memprofilkan senyawa secara keseluruhan (Zeng 2008). Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), gingerol ditetapkan sebagai senyawa penciri pada tanaman jahe untuk evaluasi kualitas bahan baku maupun ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat herbal komersial. Saat ini pendekatan memprofilkan senyawa secara keseluruhan (metabolic profiling) lebih sering digunakan karena dapat mempresentasikan kompleksitas senyawa yang ada dalam tanaman obat tersebut. Analisis yang sering digunakan untuk memprofilkan senyawa keseluruhan adalah analisis pola sidik jari kromatografi. Salah satu teknik kromatografi yang dapat digunakan yaitu dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Pemilihan teknik KLT pada penelitian ini didasarkan pada beberapa keunggulan dari KLT tersebut, diantaranya mudah dalam preparasi sampel, kesederhanaan dalam prosedur kerja, biaya relatif murah karena sampel dan standar dapat diujikan dalam waktu yang sama, volume pelarut yang digunakan sedikit, selektif, dan sensitif, serta kromatogramnya dapat diamati secara visual (Kimura et al. 2008). Keberhasilan proses pemisahan pada KLT sangat bergantung pada fase gerak yang digunakan. Oleh karena itu, perlu dicari fase gerak yang optimum sehingga didapatkan hasil pemisahan yang baik. Suatu metode percobaan yang tepat diperlukan untuk menggambarkan fase gerak yang optimum. Beberapa rancangan yang sering digunakan untuk menentukan kondisi optimum antara lain rancangan faktorial (factorial design), metode respon permukaan (respon surface methodology), dan mixture design (Nutan 2004). Pada penelitian ini digunakan metode central composite design untuk optimasi ekstraksi dengan sonikasi dan simplex centroid design untuk optimasi fase gerak. Kedua metode ini dipilih karena memiliki keunggulan, diantaranya biaya relatif murah, cepat, mudah, dan menitikberatkan pada nilai yang konstan dari penjumlahan tingkatan faktor untuk tiap-tiap kombinasi. Berdasarkan metode tersebut kondisi optimum dari fase gerak dapat dilihat secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif dengan melihat penampakan kurva tiga dimensi, sedangkan secara kuantitatif dilihat berdasarkan
2
persamaan regresi yang dihasilkan (Anderson & Mclean 1974). Penelitian ini bertujuan membandingkan pola kromatogram jahe merah dari metode ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan pemisahan terbaik kemudian diujikan pada jahe merah dari berbagai daerah untuk melihat perbedaan pola sidik jarinya. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi pola kromatogram sidik jari KLT jahe merah dari berbagai sentra produksi di Pulau Jawa.
TINJAUAN PUSTAKA Jahe Merah Jahe merah diklasifikasikan kedalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monokotyledonae, ordo Zingiberales, family Zingiberaceae, genus Zingiber, dan spesies Zingiber officinale Rosc (Muhlisah 1999). Setiap jenis jahe memiliki perbedaan fungsi yang disesuaikan dengan karakteristik masingmasing varietas. Jahe gajah lebih banyak digunakan untuk produk minuman, permen dan asinan. Jahe emprit banyak digunakan sebagai penyedap rasa makanan. Jahe merah mempunyai keunggulan dari jumlah kandungan senyawa kimianya sehingga lebih sering digunakan sebagai bahan baku obat (Herlina et al. 2002). Bagian jahe yang banyak digunakan adalah rimpangnya. Rimpang jahe yang biasa digunakan berumur antara 9 sampai 11 bulan. Rimpang jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging berwarna merah atau jingga muda, berukuran kecil dan memiliki serat yang kasar (Koswara 1995). Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi 30–60 cm. Daun tanaman jahe berupa daun tunggal, berbentuk lanset dan berujung runcing. Mahkota bunga berwarna ungu, berbentuk corong dengan panjang 2 – 2.5 cm. Sedangkan buah berbentuk bulat panjang berwarna cokelat dengan biji berwarna hitam (Matondang, 2005). Guzman dan Siemonsma (1999), menyatakan bahwa jahe merah sama seperti varietas jahe yang lain yaitu merupakan tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak tidak bercabang dengan tinggi tanaman dapat mencapai 1.25 meter. Tanaman ini tersusun atas pelepah daun berbentuk bulat berwarna hijau pucat dengan warna pangkal
batang kemerahan dan bentuk daun memanjang (Gambar 1). Berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpangnya, jahe dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu jahe besar atau jahe badak, jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah atau jahe sunti (Sastroamidjojo 1997). Herlina et al (2002) menambahkan bahwa jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk bulat, beraroma kurang tajam dan mempunyai rasa kurang pedas, jahe emprit memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih, berwarna putih beraroma agak tajam dan mempunyai rasa pedas. Sedangkan jahe merah berwarna kuning kemerahan, berserat kasar, mempunyai rasa sangat pedas dan beraroma tajam. Jahe merah mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan jenis jahe lainnya. Terutama ditinjau dari segi kandungan senyawa kimianya yang terdiri atas zat gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang tinggi sehingga lebih banyak digunakan sebagai obat (Tim Lentera 2004). Rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia lain seperti air, pati, serat kasar dan abu, komposisi setiap komponen berbeda-beda berdasarkan varietas, iklim, curah hujan, dan topografi atau kondisi lahan (Koswara 1995). Kandungan kimia jahe merah antara lain gingerol, sineol, geraniol, zingiberan, zingeron, zingiberol, shagol, farnesol, d-borneol, linalool, kavikol, metilzingediol, dan resin (Wijayakusuma 2006). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Suku Zingiberaceae umumnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang merugikan kehidupan manusia (Nursal 2006). Ekstrak air jahe yang berasal dari jahe segar maupun jahe bubuk dan ekstrak diklrometana jahe mempunyai aktivitas antioksidan terhadap asam linoleat (Septiana et al. 2002). Ekstrak air jahe dapat menurunkan kadar malonadehida dan meningkatkan vitamin E plasma pada manusia yang mengkonsumsi ekstrak air jahe (Zakaria et al. 2000). Berbagai komponen bioaktif dalam ekstrak jahe antara lain gingerol, shagol, diarilheptanoid dan kurkumin, mempunyai aktivitas antioksidan yang melebihi tokoferol (Kikuzaki & Nakatani 1993). Jahe merah juga mempunyai efek melancarkan sirkulasi darah, antirematik, antiradang, peluruh keringat, peluruh dahak, dan antibatuk (Wijayakusuma 2006).
3
Gambar1 Tanaman dan rimpang jahe merah Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi merupakan suatu metode yang digunakan untuk pemisahan campuran komponen berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak (Stoenoiu et al. 2006). Teknik ini ditemukan pertama kali pada tahun 1903 oleh Mikhail Tswett seorang berkebangsaan Rusia yang mencoba memisahkan pigmen-pigmen daun (klorofil) dengan menggunakan suatu kolom yang berisi kapur (CaSO4). Salah satu teknik kromatografi diantaranya kromaotgrafi lapis tipis (KLT) yang dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber. Prinsip KLT adalah sampel diteteskan pada lapisan tipis kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi fase gerak sehingga sampel tersebut terpisah menjadi komponen-komponennya (Gambar 2). Setiap komponen akan bergerak dengan laju tertentu yang dinyatakan dengan faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan antara jarak yang ditempuh komponen terhadap jarak yang ditempuh fase gerak. Komponen yang mempunyai afinitas lebih besar dari fase gerak atau afinitasnya lebih kecil dari fase diam akan bergerak lebih cepat dari pada komponen yang mempunyai sifat sebaliknya (Gritter et al. 1991). Sistem KLT meliputi fase gerak (eluen), fase diam (lapisan penjerap), dan deteksi kromatogram. Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel, alumunium dan selulosa (Stahl 1985). Dari ketiga fase diam diatas, Silika gel adalah penjerap yang sering digunakan karena silika gel mempunyai kekuatan pemisahan yang sangat baik (Nyiredy 2002). Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler (Stahl 1985). Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana
mungkin yang terdiri atas maksimum tiga pelarut. Fase gerak yang terdiri atas beberapa campuran pelarut mempunyai perbandingan volume total 100 (Stahl 1985). Pada KLT sistem pengembangan yang digunakan berdasarkan prinsip like dissolves like, yaitu memisahkan komponen bersifat polar menggunakan sistem pelarut yang bersifat polar juga ataupun sebaliknya. Deteksi hasil kromatogram dilakukan di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, serta dapat dilakukan juga dengan pereaksi semprot, yaitu dengan vanillin dan anisaldehida dalam asam sulfat untuk mendeteksi keberadaan senyawasenyawa terpenoid termasuk minyak atsiri (Santosa & Hertiani 2005).
Gambar 2 Bejana kromatografi berisi pelat KLT dan larutan pengembang
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan adalah aturan yang digunakan untuk mendapatkan data dalam suatu percobaan. Rancangan percobaan digunakan untuk membatasi atau mengontrol pengaruh parameter perlakuan dalam percobaan sehingga dapat mengurangi jumlah, bahan, waktu dan galat percobaan (Yitnosumaro 1993). Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah simplex centroid design dan central composite design yang merupakan bagian dari metode permukaan respon. Metode permukaan respon merupakan sekumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis permasalahan dimana beberapa variabel independen mempengaruhi variabel respon dan tujuan akhirnya adalah mengoptimalkan respon (Montgomery 2005). Simplex centroid design adalah metode yang menjelaskan bahwa dalam suatu percobaan terdapat campuran dari beberapa
4
komponen dan penjumlahan dari tingkatan faktor untuk tiap kombinasi perlakuan konstan dan tetap, serta penjumlahan semua faktor harus sama dengan satu (Montgomery 2005). Simplex centroid design digunakan untuk memberikan ulasan percobaan di bagian tengah bidang. Salah satu cara untuk menggambarkan model adalah mempertimbangkan struktur dari percobaan tiga faktor. Rancangan simplex centroid digambarkan dengan segitiga sama sisi dalam dua dimensi. Central composite design adalah metode yang menjelaskan hubungan antara faktor yang bebas dengan respon. Central composite design digunakan pada sistem dengan banyak faktor yang memerlukan minimal dua faktor yang divariasikan (Zhang et al. 2007). Titik faktorial merupakan kombinasi faktor-faktor yang divariasikan. Titik faktorial menunjukkan level-level eksperimen pada masing-masing faktor bebas yang dikodekan, dimana level rendah dinyatakan dengan kode -1 dan level tinggi dikodekan +1. Validasi Metode Validasi metode analisis merupakan suatu tindakan penilaian terhadap metode tertentu yang sesuai dan cepat untuk pengukuran sampel tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan penggunaannya pada analisis rutin kendali mutu. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis, yaitu ketelitian (presisi) yang terbagi menjadi keterulangan (repeatabilitas), presisi menengah dan keterulangan (reprodusibilitas), spesifitas, robustness (ketangguhan), dan kestabilan analat baik selama kromatografi, pada pelat, dalam larutan, maupun visualisasi (Reich & Schibli 2008).
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah neraca analitik XT 220A, peralatan gelas, vial, oven Memmert, Buchi rotary evaporator R-114, Camag bejana kromatografi, botol penyemprot, Camag Linomat 5, microsyringe 100 µL, Camag Reprostar 3 dibantu program winCAT 1.2.3, dan sonikator Branson 1510,
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc) dari berbagai daerah yaitu Bogor, Kulonprogo, Wonogiri, Ponorogo, Purwokerto, Pacitan dan Semarang, pelat KLT silika gel Merck 60 F254 (Darmstadt, Jerman), kertas saring Whatman , etanol 96%, pelarut untuk fase gerak dengan tingkat analitis dari PT.Merck seperti n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, anisaldehida. Metode Penelitian Ekstraksi dengan Maserasi Sebanyak 100 gram serbuk kering rimpang jahe merah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1000 mL, kemudian ditambahkan 500 mL etanol 96%. Pada sampel dilakukan perendaman selama 6 jam, selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Maserat dipisahkan dan dipindahkan ke Erlenmeyer lain, sedangkan ampas diperlakukan sama sebanyak 2 kali maserasi. Maserat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental (BPOM 2004). Ekstrak kental yang diperoleh dilarutkan dengan etanol 96% secukupnya sehingga didapatkan ekstrak dengan konsentrasi 10 g/L. Ekstraksi dengan Sonikasi Simplisia jahe merah dimasukan ke dalam vial dan diekstraksi dengan etanol 96% dalam ultrasonik cleaning bath pada frekuensi 42 kHz. Variasi perlakuan ekstraksi yaitu bobot, volume pelarut, dan waktu ekstraksi ditentukan dengan rancangan central composite design (Melecchi et al. 2006) (Lampiran 3). Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 4. Selanjutnya filtrat yang diperoleh diujikan pada pelat KLT. Penotolan Sampel Penotolan ekstrak dari maserasi, ekstrak dari sonikasi dan larutan standar. Larutan standar diperoleh dari senyawa 6-gingerol yang dilarutkan dalam etanol p.a sampai diperoleh konsentrasi 0.1 g/L. Penotolan sampel pada pelat silika gel 60 F254 menggunakan KLT aplikator yaitu Camag Linomat V dengan kecepatan penotolan sampel dari syringe sebesar 80 nL/s, volume sampel 15 µL, volume standar 50 µL, lebar pita 8 mm, sampel ditotolkan 1 cm dari
5
bagian kiri bawah pelat. Pelat terlebih dahulu dikondisikan sebelum penotolan dengan memasukkan ke dalam oven 105oC selama 20 menit. Pemilihan Fase Gerak (Almeida & Scarminio 2007) Pemilihan fase gerak diawali dengan menggunakan dua belas pelarut tunggal yaitu n-heksana, dietil eter, etanol, nbutanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat,etil asetat, diklorometana, aseton, asetonitril, dan kloroform. Sebanyak 5 mL dari dua belas pelarut tersebut dimasukkan kedalam bejana kromatografi kemudian dijenuhkan selama 20 menit. Pelat yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam bejana kromatografi dan dipisahkan hingga fase gerak mencapai jarak ± 0.5 cm dari tepi atas pelat. Pelat diangkat dan dikeringkan. Identifikasi dilakukan untuk melihat pita atau bercak yang muncul pada pelat. Dari dua belas pelarut tunggal yang diujikan, selanjutnya dipilih tiga pelarut yang memberikan penampakan pita terbanyak dan memiliki jarak pita yang jelas. Ketiga pelarut tunggal yang terpilih yaitu sebagai titik A, B, dan C. Titik A dimisalkan pelarut A, titik B pelarut B, dan titik C pelarut C. ketiga titik itu kemudian dikombinasikan berdasarkan simplex centroid seperti terlihat pada Gambar 3. Kesepuluh titik pelarut tersebut dinyatakan pada Tabel 1. Kesepuluh titik tersebut menyatakan perbandingan jumlah eluen yang digunakan. Misalkan pada titik 4, yaitu saat perbandingan A; B; C sebesar 1/2: 0: 1/2, jika jumlah eluen yang digunakan 5 mL, maka pelarut A yang digunakan 2.5 mL, pelarut B 0 mL, dan pelarut C 2.5 mL. Tabel 1 Rancangan komposisi fase gerak Fase Gerak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komposisi Fase Gerak A B C 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1/2 0 1/2 0 1/2 1/2 1/2 1/2 0 1/3 1/3 1/3 1/6 2/3 1/6 1/6 1/6 2/3 2/3 1/6 1/6
Gambar 3 Titik selektivitas simplex centroid (Almeida & Scarminio 2007). Selanjutnya dilakukan pemisahan komponen sampel dengan menggunakan sepuluh perbandingan komposisi pelarut tersebut. Setelah itu dilakukan pengeringan pelat, pendeteksian komponen, dan jumlah pita yang dihasilkan untuk menyusun komposisi fase gerak yang optimum. Data yang diperoleh diolah dengan peranti lunak Minitab 14. Deteksi komponen dilakukan dengan dua cara. Pertama, setelah pelat dikeringudarakan selama 5-10 menit, pelat disinari dengan UV 254 nm dan 366 nm menggunakan Camag Reprostar 3 (Fernand 2003). Kedua pada pelat yang telah dikeringudarakan disemprot dengan larutan anisaldehida. Larutan anisaldehida dibuat dengan memasukkan 0.100 mL anisaldehida ke dalam labu takar 20 mL dan ditambahkan dengan alkohol asam sampai tanda tera. Larutan disemprotkan pada pelat dan dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 105°C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006). Rf =
Jarak komponen dari garis start Jarak eluen dari garis start
Validasi Metode (Reich & Schibli 2008) Stabilitas Sampel selama Kromatografi. Pelat berukuran 10 x 10 cm ditotolkan ekstrak jahe merah pada sudut kiri bawah (1 cm dari tepi pelat). Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat kemudian diputar 90° dan dikembangkan untuk kedua kalinya dengan pelarut
6
pengembang yang masih segar. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan. Ekstrak ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm. Ekstrak dibuat sebanyak tiga buah. Ekstrak satu ditotolkan 1 cm dari bagian bawah kiri pelat selama 3 jam sebelum kromatografi. Setelah 3 jam kemudian ditotolkan ekstrak segar (ekstrak dua dan tiga), Sampel dari ekstrak satu ditotolkan kembali pada pelat, dan standar 6gingerol. Jarak penotolan antara sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan dan dikeringkan kemudian dideteksi dengan UV 366 nm. Stabilitas Visualisasi. Pelat berukuran 3 x 10 cm ditotolkan ekstrak jahe merah pada sudut kiri bawah (1 cm dari tepi pelat). Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat diamati selama 1 jam dibawah UV 366 nm. Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam. Keterulangan. Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat berbeda dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan chamber yang sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Penotolan dan pendeteksian sampel dilakukan pada hari yang sama. Presisi Menengah. Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan chamber yang sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Penotolan dan pendeteksian sampel dilakukan pada hari yang berbeda, yaitu hari ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3. Spesifisitas. Ekstrak dari jahe merah, jahe gajah, jahe emprit dan lengkuas ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm dan dibandingkan dengan larutan standar 6gingerol. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. kemudian Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Ketangguhan. Dua larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar ditotolkan pada pelat dengan ukuran 6 x 10
cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan twin trough chamber dan flat bottom chamber dan dideteksi dengan UV 366 nm. Hasil kromatogram dengan twin trough chamber dan flat bottom chamber kemudian dibandingkan.
(a)
(b) Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat bottom chamber (b)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Fase Gerak Pemilihan fase gerak diawali dengan pemisahan menggunakan 12 pelarut tunggal. Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak yang diperoleh dari maserasi. Jumlah pita yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Pelarut yang menghasilkan pita terbanyak dan pemisahan terbaik adalah kloroform, diklorometana, dan dietil eter. Kloroform dan diklorometana menghasilkan pemisahan jumlah pita yang sama. Oleh karena itu dipilih salah satu, pada penelitian ini yang dipilih adalah kloroform, karena kloroform lebih menunjukkan keterpisahan yang lebih baik dibanding diklorometana (Lampiran 5). Diklorometana digantikan etil asetat agar pita lebih tertarik ke atas sehingga didapatkan pemisahan yang baik. Sebelum pemilihan tiga pelarut, dilakukan pengujian awal dengan kloroform: etil asetat: dietil eter dengan perbandingan 50: 10: 40. Hasil pemisahan ketiga pelarut tersebut menghasilkan pita yang sedikit dan cenderung mendekati garis akhir (Gambar 6a). Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat kepolaran yang hampir sama antara etil asetat dan dietil eter, agar pita tidak
7
terpisah ke atas semua, maka digunakan pelarut yang dapat menahan laju pita yaitu n-heksana. Jadi dilakukan pengujian kembali dengan kloroform: etil asetat: n-heksan dan klorform: dietil eter: n-heksana dengan perbandingan yang sama 50: 10: 40. Pemisahan dengan pelarut kloroform: dietil eter: n-heksana menghasilkan pita yang banyak namun masih saling berdekatan (Gambar 6c), sedangkan pada pelarut kloroform: etil asetat: n-heksana menghasilkan jumlah pita yang banyak dan memiliki keterpisahan yang baik (Gambar 6b). Jadi tiga pelarut yang dipilih berdasarkan jumlah pita terbanyak dan keterpisahan yang baik adalah kloroform, etil asetat, dan n-heksana. Pendeteksian dengan UV 254, UV 366 nm dan anisaldehida menghasilkan jumlah pita yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena setiap deteksi memunculkan senyawa yang berbeda. Pendeteksian dengan sinar UV digunakan untuk memunculkan senyawa yang memiliki gugus kromofor (berkonjugasi). Pada UV 254 nm komponen atau pita yang muncul akan terlihat berwarna gelap, sedangkan pelat akan berpendar warna hijau. Pada UV 366 nm pelat akan terlihat gelap, sedangkan komponen akan berpendar sehingga pita akan terlihat lebih jelas. UV 254 nm digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid. Sedangkan UV 366 nm digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan lignan, alkaloid, flavonoid, triterpenoid (Fernand 2003). Anisaldehida untuk mendeteksi senyawa sterol, terpenoid dan minyak atsiri (Santosa & Hertiani 2005).
Gambar 5 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan dengan 12 eluen tunggal yang dideteksi oleh UV 254 nm, 366 nm, dan anisaldehida.
a
b
c
Gambar 6 Hasil pemisahan dengan pelarut kloroform: etil asetat: dietil eter (a), kloroform: etil asetat: nheksana (b), kloroform: dietil eter: n-heksana (c). Ketiga hasil pemisahan tersebut dideteksi dengan UV 366 nm. Penentuan Titik Optimum dari Tiga Pelarut Menggunakan Simplex Centroid Design Ketiga pelarut yang terpilih, yaitu kloroform, etil asetat, dan n-heksana masing-masing sebagai titik A, B, C dikombinasikan berdasarkan simplex centroid. Hubungan interaksi antara jumlah pita dengan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida pada 10 jenis komposisi fase gerak ditunjukkan pada Gambar 7. Komposisi pelarut yang menghasilkan pita terbanyak pada UV 366 nm yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana pada perbandingan komposisi pelarut 1/6: 1/6: 2/3, sedangkan pada deteksi dengan anisaldehida, komposisi pelarut yang menghasilkan jumlah terbanyak yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana pada saat perbandingan komposisi pelarut 1/3: 1/3: 1/3 (Gambar 7). Daerah optimum ditentukan dengan menggunakan peranti lunak Minitab 14 dengan jumlah pita sebagai responnya sehingga didapatkan daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm (Gambar 8a) dan daerah optimum untuk deteksi anisaldehida (Gambar 8b) daerah optimum dinyatakan dengan warna hijau tua. Pemisahan dengan deteksi UV 366 nm menghasilkan daerah optimum disekitar titik A dan di titik C dan cenderung lebih mendekati titik A. Hal ini berarti komposisi fase gerak optimumnya terdiri atas kloroform dan n-heksana dimana jumlah kloroform lebih banyak dibandingkan dengan n-heksana. Daerah optimumnya tercapai saat perbandingan kloroform : nheksana yaitu 0.74298 : 0.25702 (Lampiran
8
10). Sedangkan pemisahan dengan deteksi anisaldehida menunjukkan daerah optimum berada diantara titik A, B, dan titik C, sehingga komposisi fase gerak optimumnya terdiri atas kloroform, etil asetat, dan nheksana. Daerah optimumnya tercapai saat perbandingan komposisi kloroform : etil asetat : n-heksana yaitu 0.33333 : 0.37995 : 0.28671 (Lampiran 11). Hasil Minitab 14 terhadap hubungan komposisi fase gerak dan jumlah pita menghasilkan persamaan regresi untuk menduga model dari kedua deteksi tersebut, untuk deteksi UV 366 nm didapat persamaan y = 5.474A + 0.747B + 1.474C – 9.263AB + 8.192AC +14.737 BC sedangkan untuk deteksi anisaldehida dihasilkan persamaan y = 5.7492A + 0.9310B – 0.0690C + 13.4343AB + 7.4343AC + 29.7980BC dimana A = kloroform, B = etil asetat dan C = n-heksana. Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan pada deteksi UV 366 nm sebesar 48.50 % sedangkan pada deteksi anisladehida dihasilkan R2 sebesar 95.07%. koefisien korelasi yang dihasilkan pada deteksi UV 366 nm lebih kecil dibandingkan pada deteksi anisaldehida, hal ini disebabkan karena titik optimum yang diperoleh pada deteksi UV 366 nm tidak berada di pusat titik simplex centroid (segitiga) sedangkan pada deteksi anisaldehida titik optimum yang diperoleh berada di pusat titik simplex centroid. Dari hasil elusi sepuluh komposisi rancangan simplex centroid ini dipilih pelarut yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dan pemisahan terbaik yaitu pada titik 9 saat perbandingan klroroform: etil asetat: n-heksana; 1/6 : 1/6 : 2/3 yang menghasilkan 9 pita (Gambar 9).
Gambar 7 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan menggunakan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida pada jenis komposisi fase gerak.
a
b
Gambar 8 Daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi anisaldehida (b)
Gambar 9 Hasil pemisahan dari ekstrak maserasi dengan fase gerak optimum (titik 9) rancangan simplex centroid deteksi dengan UV 366 nm Pemisahan Komponen dari Ekstraksi Sonikasi dengan Central Composite Design Pemisahan komponen dari hasil ekstrasi sonikasi dilakukan setelah fase gerak dioptimumkan. Ekstraksi sonikasi menggunakan rancangan central composite design dengan 20 variasi perlakuan (Lampiran 3). Hasil ekstraksi kemudian dielusi menggunakan fase gerak optimum yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana dengan perbandingan 1/6 : 1/6 : 2/3. Hasil pemisahan 20 variasi ekstraksi sonikasi menggunakan fase gerak optimum ditunjukkan pada Gambar 10. Persamaan regresi yang diperoleh untuk deteksi UV 366 nm yaitu y = 8.35926 + 0.78548A 0.41604B + 0.00000C – 0.64086AA – 0.11053BB – 0.287730CC – 0.00000 AB – 0.00000AC – 0.00000BC dengan R2 sebesar 34.9%, sedangkan persamaan regresi untuk deteksi anisaldehida adalah y = 7.71616 + 0.93193A – 0.56249 + 0.00000C – 0.91271AA – 0.38238BB – 0.55916CC –
9
0.25000AB + 0.00000AC + 0.00000BC dengan R2 sebesar 55.1%, dimana A = bobot sampel, B = volume larutan, dan C = waktu ekstraksi. Persamaan regresi ini menunjukkan hubungan jumlah pita dengan variasi ekstraksi. Jika dillihat berdasarkan selang kepercayaan, jumlah pita yang dihasilkan baik deteksi dengan UV 366 nm maupun deteksi anisaldehida sangat dipengaruhi oleh bobot sampel dimana nilai p bobot sampel lebih kecil dar α = 0.05 (p < 0.05), sedangkan volume pelarut dan waktu ekstrasi tidak mempengaruhi secara signifikan dengan nilai p > 0.05 (Lampiran 13). Gambar 10 menunjukkan pemisahan komponen dengan ekstraksi sonikasi dapat terlihat secara visualisasi. Pemisahan yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dan keterpisahan yang baik terdapat pada variasi ekstraksi nomor 6 pada saat bobot sampel = 1.5 g, volume pelarut 5 mL, dan waktu ekstraksi 15 menit (Lampiran 13) pemisahan ini menghasilkan 9 pita. Proses pemisahan baik dari ekstraksi maserasi maupun sonikasi menggunakan fase gerak optimum menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 9 pita. Namun dari pendeteksian dengan UV 366 nm hasil keterpisahan dan kecerahan pita yang dihasilkan ekstraksi sonikasi lebih baik dibanding ekstrak maserasi (Gambar 9 & 10). Ekstrasi maserasi digunakan untuk mengekstraksi sampel yang relatif tidak tahan panas sehingga dapat menghindari kerusakan komponen, kelemahan dari ekstraksi maserasi ini adalah penggunaan pelarut yang relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lama sekitar 72 jam (Meloan 1999). Berbeda halnya dengan ekstraksi sonikasi yang lebih efisien dari segi penggunaan pelarut dan waktu ekstraksi yang tidak lebih dari 30 menit. Teknik ekstraksi sonikasi ini mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu suatu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik. Ketika mengenai suatu larutan, energi ultrasonik menyebabkan timbulnya rongga akustik, dengan struktur bergelembung yang kemudian pecah. Proses tersebut membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001). ekstraksi dengan sonikasi dipilih untuk proses selanjutnya yaitu pemisahan komponen jahe merah dari berbagai daerah, karena lebih efisien dari segi pelarut, waktu, dan juga menghasilkan
keterpisahan yang lebih baik dibanding dari ekstraksi maserasi.
Gambar 10 Hasil pemisahan 20 variasi ekstrasi sonikasi menggunakan rancangan central composite, dielusi menggunakan fase gerak optimum, dan dideteksi dengan UV 366 nm. Validasi Metode Stabilitas Analat Selama Krmatografi Analat stabil selama kromatografi jika semua komponen berada pada garis diagonal yang menghubungkan posisi aplikasi dengan pertemuan bidang kedua fase gerak. Dari hasil kromatografi dua dimensi dapat terlihat bahwa pita berada pada garis diagonal (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil selama kromatografi.
10
Gambar
11
Stabilitas analat selama kromatografi dengan deteksi UV 366 nm.
Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan Kestabilan analat pada pelat dan dalam larutan ini ditunjukkan pada Gambar 12. Metode untuk stabilitas analat pada pelat dan larutan dapat diterima karena tidak ada perbedaan jumlah pita pada analat 3 jam sebelum kromatografi dengan analat yang masih segar dan perbedaan Rf pada masingmasing larutan tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
Gambar 13 Stabilitas visualisasi deteksi UV 366 nm. Keterulangan Keterulangan ditunjukkan pada Gambar 14. Metode keterulangan dapat diterima karena tidak ada perbedaan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat berbeda, dan nilai Rf pada masing-masing pelat tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
a b c Gambar 14 Keterulangan pada pelat ke-1 (a), pelat ke-2 (b), pelat ke-3 (c) deteksi dengan UV 366 nm. a Gambar 12
b
c d
e
Stabilitas analat pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi (a), sampel segar diaplikasikan segera sebelum kromatografi (b dan c), sampel disiapkan selama 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan) (d), dan standar 6-gingerol (e) dengan visualisasi UV 366 nm.
Stabilitas Visualisasi Gambar 13 menunjukan bahwa Analat stabil karena tidak menunjukkan penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan selama selang waktu pengamatan yaitu salama menit ke-2, ke-5, ke-10, ke-20, ke-30, dan menit ke-60. Sehingga metode ini dapat diterima dan perbedaan Rf pada masing-masing larutan tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
Presisi Menengah Validasi metode KLT untuk presisi menengah dapat diterima jika semua pola sidik jari (pita) pada ketiga pelat menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing – masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.05 (Lampiran 17). Gambar 15 menunjukkan bahwa pada presisi menengah hari ke-1, hari ke-2, dan hari ke-3 menghasilkan jumlah pita yang sama, namun dari segi keterpisahan pita hari ke-1 berbeda dengan hari ke-2 dan ke-3. Sedangkan keterpisahan pita hari ke-2 dan hari ke-3 sama. Pada ketiga pelat tersebut masing-masing nilai Rf pada hari ke -1, ke2 dan ke-3 memiliki selisih Rf terbesar yaitu 0.15. perbedaan nilai Rf pada hari ke-1
11
diduga adanya perbedaan tingkat kejenuhan bejana kromatografi pada hari ke-1 dengan hari ke-2 dan ke-3, dan juga dipengaruhi faktor suhu dan kelembaban yang berbedabeda pada masing-masing hari.
ditunjukkan Gambar 17.
Standar
a
b
JM1
JM2
seperti
JM3
JM4
ditunjukkan
JM5
JM6
JM7
JM8
pada
JM9
c
Gambar 15 Presisi menengah pada hari ke-1 (a), hari ke-2 (b), dan hari ke-3 (c) deteksi dengan UV 366 nm. Ketangguhan Gambar 16 menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari (pita) pada jahe merah mengunakan Flat Bottom Chamber (a) maupun Twin Trough Chamber (b) menunjukkan pola kromatogram yang hampir sama dan perbedaan nilai Rf masing-masing pelat tidak lebih dari 0.05. metode untuk ketangguhan dapat diterima dan digunakan pada analisis rutin kendali mutu.
Standar JM10 JM11 JM12
JM13 JM14 JM15 JM16
JM17 JM18
(a)
6-gingerol
Standar JM1
a
JM2
JM3
JM4
JM5
JM6
JM7
JM8
JM9
b
Gambar 16 Pola Kromatogram jahe merah hasil pemisahan dengan Flat Bottom Chamber (a) dan Twin Trough Chamber (b) dengan deteksi UV 366 nm.
6-gingerol
Standar JM10 JM11 JM12
Pemisahan Komponen Jahe Merah dari Berbagai daerah Setelah pemilihan fase gerak optimum, dan teknik ekstraksi sudah ditentukan, serta validasi metode sudah dilakukan, selanjutnya dilakukan pemisahan komponen jahe merah dari lokasi yang berbeda. Hasil pemisahannya dari lokasi yang berbeda
JM13 JM14 JM15 JM16
JM17 JM18
(b) Gambar 17 Hasil pemisahan komponen jahe merah dari berbagai daerah dan standar 6-gingerol dengan deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi anisaldehida (b).
12
Sampel jahe merah yang digunakan berasal dari 7 daerah yang berbeda, yaitu JM1 berasal dari Bogor, JM2, dan JM3 berasal dari Purwokerto, JM4, JM5, JM6, dan JM15 berasal dari Pacitan, JM7 dan JM8 dari Kulonprogo, JM9, JM10, dan JM11 dari Ponorogo, JM12, JM13, JM14, dan JM16 dari Wonogiri, sedangkan JM17 dan JM18 dari Semarang. Hasil pemisahan KLT jahe merah dari lokasi yang berbeda ini menghasilkan pola sidik jari (kromatogram) yang hampir mirip satu sama lain (Gambar 17). Hasil pola sidik jari ini dibandingkan dengan senyawa penciri yaitu 6-gingerol. 6gingerol digunakan sebagai senyawa penciri karena senyawa ini merupakan komponen penyusun terbesar dari jahe. Hasil elusi menunjukkan hampir semua sampel jahe dari berbagai daerah ini memiliki senyawa 6-gingerol. Perbedaan hanya terdapat pada JM4, JM5 (pacitan) dan JM16 (Wonogiri) yang tidak memiliki senyawa 6-gingerol (Gambar 7). Perbedaan pola kromatogram ini diduga karena faktor perbedaan lokasi. Adanya perbedaan lokasi berkaitan dengan unsur hara yang dikandung dalam tanah. Setiap daerah memiliki kandungan unsur hara yang berbeda-beda, sehingga metabolit sekunder yang dihasilkan pun juga berbeda. Karena metabolit sekunder yang dihasilkan berbeda-beda maka pola kromatogram KLT yang dihasilkan juga dapat berbeda. Selain faktor perbedaan lokasi. Faktor iklim, curah hujan, dan intensitas cahaya matahari juga dapat mempengaruhi metabolit sekunder yang dihasilkan dari jahe merah tersebut (Okoh 2007). JM6 memliki pola sidik jari (kromatogram) yang berbeda dengan JM4 dan JM5 meskipun berasal dari daerah yang sama (Pacitan), hal ini mungkin disebabkan waktu tanam atau waktu panen yang berbeda. Waktu tanam dan waktu panen juga dapat menyebabkan perbedaan metabolit yang dihasilkan (Okoh 2007). Waktu panen yang terbaik pada jahe merah itu pada saat berumur 7 bulan, karena pada umur tersebut kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya optimum (Nurliana 2007). Spesifisitas Pengujian spesifitas dilakukan dengan melakukan pemisahan komponen dari suatu tanaman obat dengan cara membandingkannya dengan senyawa penciri. Pada peneltian ini komponen yang diuji yaitu dari jahe merah, jahe gajah, dan
jahe emprit, dan lengkuas. untuk mengetahui ada tidaknya senyawa yang terdapat pada jahe, maka digunakan senyawa penciri untuk pembanding, yaitu 6gingerol. Gambar 18 menunjukan bahwa senyawa 6-gingerol itu hanya terdapat pada sampel jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit dengan nilai Rf sebesar 0.24 (Lampiran 19). Sedangkan pada lengkuas tidak terdapat senyawa 6-gingerol. Lengkuas memiliki pola sidik jari kromatogram yang berbeda dari ketiga jenis jahe ini, sehingga ketika ada pemalsuan bahan baku jamu jahe langsung dapat terlihat perbedaannya dengan menggunakan KLT. Berbeda dengan Pola sidik jari kromatogram yang dihasilkan antara jahe merah, jahe gajah dan jahe emprit. Pola sidik jari yang dihasilkan belum bisa dibedakan karena pola kromatogram yang dihasilkan sama. kemungkinan ketiga jenis jahe ini mempunyai komponen kimia yang sama, dan yang membedakan hanya jumlah kandungannya saja. Perlu dilakukannya analisis lebih lanjut yaitu analisis kuantitatif dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau kromatografi gas sehingga dapat terlihat jumlah kandungan komponen kimia yang berbeda dari ketiga jenis jahe tersebut.
6-gingerol
Std JM JG JE LK (a)
std JM JG JE LK (b)
Gambar 18 Pola kromatogram standar (std), jahe merah (JM), jahe gajah (JG), jahe emprit (JE), dan lengkuas (LK) dengan deteksi UV 366 nm (a), dan deteksi anisaldehida (b).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pelarut yang terpilih sebagai penyusun fase gerak optimum adalah kloroform : etil asetat : n-heksana dengan perbandingan 1/6 : 1/6 : 2/3. Teknik ekstraksi terbaik untuk
13
mengisolasi komponen kimia pada jahe merah yaitu ekstraksi sonikasi pada saat bobot 1.5 g, volume pelarut 5 mL, dan waktu ekstraksi 15 menit. Hasil elusi pada jahe merah dari lokasi yang berbeda menunjukkan pola kromatogram yang mirip satu sama lain dan hampir semua sampel jahe merah memiliki senyawa 6-gingerol, dari 18 jahe merah (JM) yang diuji, hanya jahe JM4, JM5 (Pacitan), dan JM16 (Wonogiri) yang tidak memiliki senyawa 6gingerol. Saran Sebaiknya titik optimum dijadikan titik tengah pada segitiga simplex centroid sehingga diharapkan titik optimum berada di bagian tengah bidang. Selain itu, faktor yang harus diperhatikan saat proses elusi yaitu tingkat kejenuhan bejana, suhu dan kelembaban laboratorium yang diusahakan setiap hari sama tingkat kestabilannya. Perlu dilakukan penelusuran senyawa dengan pemisahan KLT yang dihubungkan dengan waktu tanam atau waktu panen jahe yang berbeda.
Delaroza F, Scarminio IS. 2008. Mixture design optimization of extraction and mobile phase media for fingerprint analysis of Bauhinia variegate L. J Sep Sci 31: 1034-1041. Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus amarus Schum. and Thonn. and Quassia amara L. using normal phase thin layer chromatography [tesis]. Lousiana: Program Pascasarjana, University of Suriname. Gritter RJ, JM Bobbitt, AE Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Ed ke2. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Guzman CC, JS Siemonsma. 1999. Plant resources of South-East Asia, No.13, Spices. Prosea. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Method.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1. Jakarta: BPOM RI.
Herlina R, Murhananto J, Endah, Listiyani & ST Pribadi. 2002. Khasiat Manfaat Jahe Merah Si Rimpang Ajaib. Agro Media Pustaka: Jakarta.
Almeide AA, Scarminio IS. 2007. Statistical mixture design of optimization of extraction media and mobile phase compositions for the characterization of green tea. J Sep Sci 30: 414-420.
Kikuzaki H, Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents. Journal of Food Sci 58: 1407-1410.
Anderson VL, McLean RA. 1974. Design of Experiments. New York: Marcel Dekker. Ashley K, Andrews RN, Cavazosa L, Demange M. 2001. Ultrasonic extraction as a sample preparation technique for elemental analysis by atomic spectrometry. J Anal At Spectrom 16:1147-1153. Borges et al. 2007. Mixture design for the fingerprint optimization of chromatographic mobile phases and extraction solutions for Camellia sinensis. Anal Chim Acta 595: 28-37.
Kimura M, Fujimura M, Yoshida M, Takeshi T, Naoko TA. 2008. An easy method to identify 8-keto-15hidroxytrichothecenes by thin layer chromatography. Mycotoxins 58:115117. Koswara S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Koll et al. 2003. Validation of standardized high-performance thin-layer chromatographic methods for quality control and stability testing of herbals. Journal of AOAC International 86: 909-915. Kuo et al. 2005. Isolation of natural antioxidant dehidrozingeron from
14
zingiber officinale and synthesis of its analogues for recognition of effective antioxidant and antithyrosinase agents. Arch Pharm Res 28:518-528. Liang et al. 2004. Quality control of herbal medicines. Journal of Chromatography B 812: 53–70. Melecchi et al. 2006. Optimization of the sonication extraction method of Hibiscus tiliaceus L. flowers. Ultrasonics Sonochemistry 13: 242250. Meloan CE. 1999. Chemical Separation. New York: J Willey. Montgomery DC. 2005. Design and Analysis of Experiments. Ed ke-5. New York: John Willey & sons. Muhlisah F. 1999. Temu-temuan dan Empon-Empon, Budi Daya dan Manfaatnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Nurliana D, Bambang C, Rini BH. 2007. Analisis kuantitatif dan kualitatif minyak atsiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) dengan variasi waktu panen. Procceding seminar nasional, Jurusan Kima, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam–UNDIP Semarang. Nursal, Wulandari S, Wilda SJ. 2006. Bioaktivitas ekstrak jahe (Zingiber officinale Roxb.) dalam menghambat pertumbuhan koloni bakteri Escherichia coli dan Bacillus subtilis. J Biogenesis 2: 64-66. Nutan. 2004. Starch acetate as a film forming excipient in controlled drug delivery [disertasi]. Texas: Program Pascasarjana, University Health Science Center. Nyiredy Sz. 2002. Planar chromatographic method development using the prisma optimization system and flow charts. J Chromatogr Sci 40: 1-10. Okoh O, AA Sadimenko, AJ Afolayan. 2007. The effects of age on the yield and composition of the essential oil
of Calendula officinalis. Journal of Applied Sciences 7: 3806-3810 Paimin FB, Murhananto. 1991. Budidaya, Pengolahan, Perdagangan Jahe. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Reich E, Schibli A. 2008. Validation of high-performance thin layer chromatographic methods for the identification of botanicals in a cGMP environment. Journal of AOAC International 91: 13-19. Santosa CM, Hertiani T. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak daun bangun-bangun (Coleus ambonicus, L.) pada aktivitas fagositosis netrofil tikus putih (Rattus nervogicus). Majalah Farmasi Indonesia 16: 141-148. Sastroamidjojo AS.1997. Obat Indonesia. Dian Rakyat: Jakarta.
Asli
Septiana AT, Deddy M, Fransiska RZ. 2002. Aktivitas antioksidan ekstrak diklorometana dan air jahe (Zingiber officinale Rosc.) pada asam linoleat. J Teknologi dan Industri Pangan 2: 105110. Sidik. 1997. Acuan Sedian Yogyakarta: Penerbit UGM.
Herbal.
Stahl E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Drug Analysis by Chromatography. Stoenoiu CE. Bolboaca AD, Jantschi L. 2006. Mobile phase optimization for steroid separation. Medical Informatics 18: 17-24. Suharyono, Rozak, A. 1997. Masalah dan Peluang Pengembangan Tanaman Jahe Spesifik Lokasi di Propinsi Bengkulu. IPPTP Bengkulu. Tim Lentera. 2004. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah si Rimpang Ajaib. Jakarta: Agromedia Pustaka. Tripathi AK, Vema RK, Gupta AK, Gupta MM, Khanuja S. 2006. Quantitative
15
determination of phyllanthin and hypophyllanthin in phyllantus species by high performance thin layer chromatography. Phytochem Anal 17: 394-397. Wijayakusuma H. 2006. Atasi Asam Urat dan Rematik Ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Yitnosumarto S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zakaria FR, Hari S, Arif H. 2000. Pengaruh konsumsi jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap kadar malonaldehida dan vitamin E plasma pada mahasiswa Pesantren Ulil Albab Kedung Badak Bogor. J Teknologi dan Industri Pangan 11:36-40. Zhang et al. 2007. Central composite experiment design applied to the catalytic aromatization of isophorone to 3,5-xylenol. Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems 89: 45– 50.
.
16
LAMPIRAN
17
Lampiran 1 Bagan alir penelitian Simplisia jahe merah
Penotolan ekstrak maserasi, pengujian dengan 12 pelarut tunggal, dan deteksi komponen (anisaldehida)
Ekstraksi Sonikasi dengan Variasi, bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi dengan rancangan central composite design
Tiga pelarut tunggal dengan pemisahan terbaik
Penotolan ekstrak menggunakan komposisi fase gerak optimum (titik optimum) (2), deteksi komponen
Penentuan 10 komposisi fase gerak dengan rancangan simplex centroid design Jumlah pita (3) dan keterpisahan terbaik Penotolan ekstrak, pengujian dengan 10 komposisi fase gerak, dan deteksi komponen (anisaldehida)
Analisis statistik Jumlah pita
(1)
dan keterpisahan terbaik
Komposisi fase gerak optimum (titik optimum)(2)
Jumlah pita (1) dan pita (3) dibandingkan
Pemilihan cara ekstraksi dengan jumlahpita dan keterpisahan terbaik
Validasi Metode
Uji ekstrak jahe merah dari 6 lokasi berbeda dengan standard/senyawa penciri (gingerol)
18
Lampiran 2 Penggolongan pelarut oleh Snyder’s Golongan
Pelarut
Kekuatan pelarut
I
n-heksana* n-butil eter Diisopropil eter Metil-t-butil eter Dietil eter* i-pentanol n-butanol* i-propanol n-propanol Etanol* Metanol* Tetrahidrofuran* Piridin Metoksietanol Metilformamida Dimetilformamida Dimetilsulfoksida Asam asetat* Formamida Diklorometana* 1,1-dikloroetana Benzilalkohol Etil asetat* Metil etil keton Dioksana Aseton* Asetonitril* Toluena Benzena Nitrobenzena Nikrometana Kloroform* Dodekafloroheptanol Air
0 2.1 2.4 2.7 2.8 3.7 3.9 3.9 4.0 4.3 5.1 4.0 5.3 5.5 6.0 6.4 7.2 6.0 9.6 3.1 3.5 5.7 4.4 4.7 4.8 5.1 5.8 2.4 2.7 4.4 6.0 4.1 8.8 10.2
II
III
IV V
VI
VII
VIII
Keterangan: * menunjukkan
pelarut tunggal yang dipilih.
19
Lampiran 3 Variasi ekstraksi sonikasi dengan rancangan central composite design Kode level
Nilai level
Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
x1
x2
x3
-1 -1 -1 -1 1 1 1 1 -1.682 1.682 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0 0 -1.682 1.682 0 0 0 0 0 0 0 0
-1 1 -1 1 -1 1 -1 1 0 0 0 0 -1.682 1.682 0 0 0 0 0 0
x1 (g)
x2 (mL)
x3 (menit)
0.5 0.5 0.5 0.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0.159 1.841 10 1 1.5 1 1 1 1 1 1 1
5 5 15 15 5 5 15 15 15 10 1.59 18.41 15 10 10 10 10 10 10 10
5 15 5 15 5 15 5 15 15 10 10 10 1.59 18.41 10 10 10 10 10 10
Keterangan: x1 = bobot sampel, x2 = volume pelarut, dan x3 = waktu ekstraksi
Lampiran 4 jumlah pita pada saat elusi dengan 12 pelarut tunggal Fase gerak Tetrahidrofuran Kloroform Etil asetat Diklorometana Dietil eter Asetonitril Methanol Aseton n-heksana Asam asetat Etanol n-butanol
UV 254 nm 1 6 1 6 3 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah pita dengan deteksi UV 366 nm Anisaldehida 1 1 6 4 1 1 6 4 3 2 1 1 2 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1
20
Lampiran 5 Hasil elusi dengan 12 pelarut tunggal dengan visualisasi UV 254 nm
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterangan 1. tetrahidrofuran, 2. kloroform, 3. etil asetat, 4. diklorometana, 5. dietil eter, 6. asetonitril, 7. methanol, 8. aseton, 9. n-heksana, 10. asam asetat, 11. etanol, 12. n-butanol.
21
Lampiran 6 Hasil elusi dengan 12 pelarut tunggal dengan visualisasi UV 366 nm
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterangan 1. tetrahidrofuran, 2. kloroform, 3. etil asetat, 4. diklorometana, 5. dietil eter, 6. asetonitril, 7. methanol, 8. aseton, 9. n-heksana, 10. asam asetat, 11. etanol, 12. n-butanol.
22
Lampiran 7 Hasil elusi komposisi rancangan simplex centroid design pelarut kloroform, etil asetat, dan n-heksana dengan visualisasi UV 366 nm.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Keterangan eluen yang digunakan : A = kloroform, B = etil asetat, C = n-heksana 1 (5mL A), 2 (5mL C), 3 (5mL B), 4 (2.5mL A:2.5mL C), 5 (2.5mL B:2.5mLC), 6(2.5mL A:2.5mL B), 7 (1.7mL A:1.7 mL B:1.7mL C), 8 (0.8mL A:3.3mL B: 0.8mL C), 9 (0.8mL A:0.8mL B:3.3mL C), dan 10 (3.3mL A:0.8mL B:0.8mL C).
23
Lampiran 8 Hasil elusi komposisi rancangan simplex centroid design pelarut kloroform, etil asetat, dan n-heksana dengan deteksi anisaldehida.
1
2
3
4
5
6 7 8 9 10 Keterangan eluen yang digunakan: A = kloroform, B = etil asetat, C = n-heksana
1(5mL A), 2 (5mL C), 3 (5mL B), 4 (2.5mL A:2.5mL C), 5 (2.5mL B:2.5mLC), 6(2.5mL A:2.5mL B), 7 (1.7mL A:1.7 mL B:1.7mL C), 8 (0.8mL A:3.3mL B: 0.8mL C), 9 (0.8mL A:0.8mL B:3.3mL C), dan 10 (3.3mL A:0.8mL B:0.8mL C).
24
Lampiran 9 Jumlah pita hasil elusi dengan 10 macam komposisi fase gerak dari rancangan simplex centroid Komposisi Fase gerak
Jumlah pita
Kloroform (A)
Etil asetat (B)
n-heksana (C)
UV 366 nm
Anisaldehida
1
1
0
0
6
6
2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 0 1/2 0 1/2 1/3 1/6 1/6 2/3
0 1 0 1/2 1/2 1/3 2/3 1/6 1/6
1 0 1/2 1/2 0 1/3 1/6 2/3 1/6
0 1 5 4 2 2 2 9 3
0 1 5 8 7 9 6 5 6
Lampiran 10 Data hasil pengolahan statistik dengan minitab 14 untuk deteksi UV 366 nm rancangan simplex centroid design. Simplex Centroid Design Components: 3 Process variables: 0
Design points: Design degree:
10 3
Mixture total: 1.00000 Number of Boundaries for Each Dimension Point Type Dimension Number
1 0 3
2 1 3
0 2 1
Number of Design Points for Each Type Point Type Distinct Replicates Total number
1 3 1 3
2 3 1 3
3 0 0 0
0 1 1 1
-1 3 1 3
Bounds of Mixture Components Amount Proportion Comp Lower Upper Lower Upper A 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 B 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 C 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000
Pseudocomponent Lower Upper 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000
Regression for Mixtures: jumlah pita 366 nm versus A, B, C Estimated Regression Coefficients for jumlah pita 366 nm (component proportions) Term A B C A*B A*C B*C
Coef 5.474 0.747 1.474 -9.263 8.192 14.737
S = 2.87949 R-Sq = 48.50%
SE Coef 2.777 2.777 2.777 12.799 12.799 12.799
T * * * -0.72 0.64 1.15
P * * * 0.509 0.557 0.314
PRESS = 599.046 R-Sq(pred) = 0.00%
VIF 1.964 1.964 1.964 1.982 1.982 1.982
R-Sq(adj) = 0.00%
25
Lanjutan Lampiran 10 Analysis of Variance for jumlah pita 366 nm (component proportions) Source Regression Linear Quadratic Residual Error Total
DF 5 2 3 4 9
Seq SS 31.2342 12.4444 18.7897 33.1658 64.4000
Adj SS 31.2342 14.2545 18.7897 33.1658
Adj MS 6.24684 7.12727 6.26324 8.29146
F 0.75 0.86 0.76
P 0.625 0.489 0.574
Response Optimization Parameters Goal Target
jumlah pita
Lower 0
Target 9
Upper 11
Weight 1
Import 1
Global Solution Components A B C
= = =
0.74298 0.00000 0.25702
Predicted Responses jumlah pita = 6.01016, desirability = Composite Desirability =
0.66780
0.66780
Lampiran 11 Data hasil pengolahan statistic dengan minitab 14 untuk deteksi anisaldehida rancangan simplex centroid design. Simplex Centroid Design Components: 3 Process variables: 0
Design points: Design degree:
10 3
Mixture total: 1.00000 Number of Boundaries for Each Dimension Point Type Dimension Number
1 0 3
2 1 3
0 2 1
Number of Design Points for Each Type Point Type Distinct Replicates Total number
1 3 1 3
2 3 1 3
3 0 0 0
0 1 1 1
-1 3 1 3
Bounds of Mixture Components
Comp A B C
Amount Lower Upper 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000
Proportion Lower Upper 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000
Pseudocomponent Lower Upper 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000 0.0000 1.0000
Regression for Mixtures: pita anisaldehida versus A, B, C Estimated Regression Coefficients for pita anisaldehida (component proportions) Term A B C A*B A*C B*C
Coef 5.7492 0.9310 -0.0690 13.4343 7.4343 29.7980
S = 0.943032 R-Sq = 95.07%
SE Coef 0.9095 0.9095 0.9095 4.1917 4.1917 4.1917
T * * * 3.20 1.77 7.11
P * * * 0.033 0.151 0.002
PRESS = 23.5017 R-Sq(pred) = 67.40%
VIF 1.964 1.964 1.964 1.982 1.982 1.982
R-Sq(adj) = 88.90%
26
Lanjutan Lampiran 11 Analysis of Variance for pita anisaldehida (component proportions) Source Regression Linear Quadratic Residual Error Total
DF 5 2 3 4 9
Seq SS 68.5428 12.1111 56.4316 3.5572 72.1000
Adj SS 68.5428 21.2909 56.4316 3.5572
Adj MS 13.7086 10.6455 18.8105 0.8893
F 15.41 11.97 21.15
P 0.010 0.020 0.006
Response Optimization Parameters Goal Target
pita anisald
Lower 0
Target 9
Upper 11
Weight 1
Import 1
Global Solution Components A = 0.33333 B = 0.37995 C = 0.28671 Predicted Responses pita anisald = 7.90843, desirability = Composite Desirability = 0.87871
0.87871
Lampiran 12 Hasil 20 perlakuan ekstraksi sonikasi menggunakan rancangan central composite design untuk deteksi dengan anisaldehida
1
2
3
11
12
13
4
14
5
15
6
16
7
17
8
18
9
19
10
20
Keterangan: nomor 1-20 adalah hasil elusi KLT dari 20 perlakuan variasi ekstraksi sonikasi dengan variasi bobot, volume dan waktu ekstraksi yang ditunjukkan pada lampiran 13.
27
Lampiran 13 Jumlah pita hasil elusi dari ekstraksi sonikasi dengan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Bobot (g)
Volume (mL)
Waktu (menit)
Jumlah pita 366 nm
Jumlah Pita anisladehida
0.5 0.5 0.5 0.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1 1 1 1 1 1 0.159 1.841 10 1 1.5 1
5 5 15 15 5 5 15 15 10 10 10 10 10 10 15 10 1.59 18.41 15 10
5 15 5 15 5 15 5 15 10 10 10 10 10 10 15 10 10 10 1.59 18.41
7 7 6 6 9 9 7 7 7 7 9 9 9 9 5 9 9 8 8 8
5 5 4 4 7 7 5 5 7 7 8 8 8 8 4 8 8 7 7 7
Lampiran 14 Data hasil pengolahan minitab 14 untuk ekstraksi sonikasi dengan deteksi UV 366 dengan rancangan central composite design. Central Composite Design Factors: 3 Replicates: Base runs: 20 Total runs: Base blocks: 1 Total blocks:
1 20 1
Two-level factorial: Full factorial Cube points: Center points in cube: Axial points: Center points in axial:
8 6 6 0
Alpha: 1.68179 Response Surface Regression: pita 366 nm versus A, B, C The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for pita 366 nm Term Constant A B C A*A B*B C*C A*B A*C B*C S = 0.9541
Coef 8.35926 0.78548 -0.41604 0.00000 -0.64086 -0.11053 -0.28730 -0.00000 -0.00000 0.00000
SE Coef 0.3891 0.2582 0.2582 0.2582 0.2513 0.2513 0.2513 0.3373 0.3373 0.3373
R-Sq = 65.7%
T 21.482 3.042 -1.611 0.000 -2.550 -0.440 -1.143 -0.000 -0.000 0.000
P 0.000 0.012 0.138 1.000 0.029 0.669 0.280 1.000 1.000 1.000
R-Sq(adj) = 34.9%
Analysis of Variance for pita 366 nm
28
Lanjutan Lampiran 14 Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total
DF 9 3 3 3 10 5 5 19
Seq SS 17.4471 10.7898 6.6573 0.0000 9.1029 3.7695 5.3333 26.5500
Adj SS 17.4471 10.7898 6.6573 0.0000 9.1029 3.7695 5.3333
Adj MS 1.93857 3.59661 2.21910 0.00000 0.91029 0.75391 1.06667
F 2.13 3.95 2.44 0.00
P 0.127 0.043 0.125 1.000
0.71
0.644
Estimated Regression Coefficients for pita 366 nm using data in uncoded units Term Constant A B C A*A B*B C*C A*B A*C B*C
Coef 8.35926 0.785479 -0.416040 7.41655E-17 -0.640858 -0.110527 -0.287304 -8.99006E-17 -1.16001E-17 3.48002E-17
Response Optimization Parameters Goal pita 366 nm Target Global Solution A = 0.61367 B = -1.68179 C = 0.00000
Lower 5
Target 9
Predicted Responses pita 366 nm = 8.98702, desirability = Composite Desirability = 0.99675
Upper 11
Weight 1
Import 1
0.99675
Response Surface Regression: pita 366 nm versus A The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for pita 366 nm Term Coef SE Coef T P Constant 8.0631 0.2477 32.553 0.000 A 0.7855 0.2344 3.351 0.004 A*A -0.6049 0.2261 -2.675 0.016 S = 0.8662
R-Sq = 52.0%
R-Sq(adj) = 46.3%
Analysis of Variance for pita 366 nm Source Regression Linear Square Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total
DF 2 1 1 17 2 15 19
Seq SS 13.7958 8.4260 5.3699 12.7542 4.6542 8.1000 26.5500
Adj SS 13.7958 8.4260 5.3699 12.7542 4.6542 8.1000
Adj MS 6.89792 8.42597 5.36988 0.75024 2.32708 0.54000
F 9.19 11.23 7.16
P 0.002 0.004 0.016
4.31
0.033
Unusual Observations for pita 366 nm
Obs 10 17
StdOrder 9 10
pita 366 nm 5.000 9.000
Fit 5.031 7.673
SE Fit 0.654 0.654
Residual -0.031 1.327
St Resid -0.05 X 2.34 RX
X denotes an observation whose X value gives it large influence. R denotes an observation with a large standardized residual. Estimated Regression Coefficients for pita 366 nm using data in uncoded units Term Coef Constant 8.06307 A 0.785479 A*A -0.604923 Response Optimization Parameters pita 366 nm
Goal Target
Lower 5
Target 9
Global Solution A = 0.64931 Predicted Responses pita 366 nm = 8.31805, desirability = Composite Desirability = 0.82951
0.82951
Upper 11
Weight 1
Import 1
29
Lampiran 15 Data hasil pengolahan minitab 14 untuk ekstraksi sonikasi dengan deteksi anisaldehida dengan rancangan central composite design. Central Composite Design Factors: Base runs: Base blocks:
3 20 1
Replicates: Total runs: Total blocks:
1 20 1
Two-level factorial: Full factorial Cube points: 8 Center points in cube: 6 Axial points: 6 Center points in axial: 0 Alpha: 1.68179 Response Surface Regression: pita white versus A, B, C The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for pita white Term Coef SE Coef T P Constant 7.71616 0.4110 18.774 0.000 A 0.93193 0.2727 3.418 0.007 B -0.56249 0.2727 -2.063 0.066 C 0.00000 0.2727 0.000 1.000 A*A -0.91271 0.2655 -3.438 0.006 B*B -0.38238 0.2655 -1.440 0.180 C*C -0.55916 0.2655 -2.106 0.061 A*B -0.25000 0.3563 -0.702 0.499 A*C 0.00000 0.3563 0.000 1.000 B*C 0.00000 0.3563 0.000 1.000 S = 1.008
R-Sq = 76.4%
R-Sq(adj) = 55.1%
Analysis of Variance for pita white Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total Estimated Term Constant A B C A*A B*B C*C A*B A*C B*C
DF 9 3 3 3 10 5 5 19
Seq SS 32.7949 16.1817 16.1132 0.5000 10.1551 8.8218 1.3333 42.9500
Adj SS 32.7949 16.1817 16.1132 0.5000 10.1551 8.8218 1.3333
Adj MS 3.6439 5.3939 5.3711 0.1667 1.0155 1.7644 0.2667
F 3.59 5.31 5.29 0.16
P 0.030 0.019 0.019 0.918
6.62
0.029
Regression Coefficients for pita white using data in uncoded units Coef 7.71616 0.931926 -0.562486 2.29832E-18 -0.912710 -0.382380 -0.559156 -0.250000 2.56873E-16 2.36722E-16
Response Optimization Parameters Goal pita white Target Global Solution A = 0.44191 B = -1.68179 C = 0.00000
Lower 4
Predicted Responses pita white = 8.00000, desirability = Composite Desirability = 1.00
Target 8
1.00000
Upper 10
Weight 1
Import 1
30
Lampiran 16 Hasil elusi jahe merah dari berbagai daerah untuk deteksi UV 254 nm.
Standar
JM1
JM2
Standar JM10 JM11
Keterangan: STD JM1 JM2, JM 3 JM4, JM5, JM6, JM15 JM7, JM8 JM9, JM10, JM11 JM12, JM13, JM14, JM16 JM17, JM18
JM3
JM4
JM5
JM6
JM7
JM12
JM13
JM14
JM15
JM16
JM8
JM9
JM17 JM18
: Senyawa standar 6-gingerol : Bogor : Purwekerto : Pacitan : Kulonprogo : Ponorogo : Wonogiri : Semarang
31
Lampiran 17 Nilai resolusi masing-masing pita dan rata-rata nilai Rf pada presisi menengah dengan deteksi UV 366 nm. Larutan 1
Nilai Rf Larutan 2
Larutan 3
Larutan 1
1
Standar (cm) 0.19
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.13
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.13
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
2
0.24
0.24 0.37 0.42 0.47 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.24 0.37 0.42 0.45 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.13 0.05 0.05 0.11 0.08 0.12 0.04 0.08
0.13 0.05 0.04 0.12 0.08 0.12 0.04 0.08
0.13 0.05 0.03 0.13 0.08 0.12 0.04 0.08
0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
3
0.24
0.24 0.37 0.42 0.47 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.24 0.37 0.42 0.47 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.23 0.37 0.42 0.47 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
0.13 0.05 0.05 0.11 0.08 0.12 0.04 0.08
0.13 0.05 0.05 0.11 0.08 0.12 0.04 0.08
0.14 0.05 0.05 0.11 0.08 0.12 0.04 0.08
0.24 0.37 0.42 0.47 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
Hari
Nilai resolusi (cm) Larutan 2 Larutan 3
Ratarata Rf
Lampiran 18 Nilai resolusi masing-masing pita dan rata-rata Rf pada keterulangan dengan deteksi UV 366 nm. Larutan 1
Nilai Rf (cm) Larutan 2
Larutan 3
Larutan 1
1
Standar (cm) 0.19
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.13
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.13
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.80
2
0.19
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
3
0.24
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.08 0.05 0.05 0.07 0.11 0.05 0.07 0.14
0.19 0.27 0.32 0.37 0.44 0.55 0.60. 0.67 0.81
Pelat
Nilai resolusi (cm) Larutan 2 Larutan 3
Ratarata Rf
32
Lampiran 19 Nilai Rf pada stabilitas analat dengan deteksi UV 366 nm Nilai Rf masing-masing pita pada stabilitas analat selama kromatografi Nilai Rf Pita ke1 2 3 4 5 6 7 8 9
Elusi 1 0.26 0.39 0.43 0.49 0.61 0.68 0.79 0.85 0.91
Elusi 2 0.26 0.39 0.43 0.49 0.61 0.68 0.81 0.87 0.91
Nilai Rf masing-masing pita pada stabilitas dalam larutan Nilai Rf Pita kea b c d e 1 0.24 0.24 0.24 0.24 0.23 2 0.37 0.38 0.38 0.39 3 0.42 0.42 0.42 0.42 4 0.49 0.49 0.49 0.49 5 0.61 0.61 0.61 0.61 6 0.68 0.68 0.68 0.68 7 0.79 0.79 0.79 0.79 8 0.85 0.85 0.85 0.85 9 0.91 0.92 0.92 0.92 Keterangan : (a) Stabilitas sampel pada pelat 3 jam sebelum kromatografi , (b & c) sampel segar diaplikasikan segera sebelum kromatografi , (d) sampel setelah 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan), dan (e) standar 6-gingerol. Nilai Rf masing-masing pita pada stabilitas analat selama visualisasi UV 366 nm
Pita ke1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 menit 0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
5 menit 0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
Nilai Rf 10 menit 20 menit 0.24 0.24 0.37 0.37 0.42 0.42 0.46 0.46 0.58 0.58 0.66 0.66 0.78 0.78 0.82 0.82 0.90 0.90
30 menit 0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
60 menit 0.24 0.37 0.42 0.46 0.58 0.66 0.78 0.82 0.90
33
Lampiran 20 Nilai Rf masing-masing pita pada ketangguhan dengan Twin Trough Chamber dan Flat Bottom Chamber. Nilai Rf Twin Trough Chamber Standar Larutan Larutan 6-gingerol 1 2 0.24 0.24 0.24 0.37 0.37 0.42 0.42 0.47 0.47 0.58 0.58 0.66 0.66 0.78 0.78 0.82 0.82 0.90 0.90
Nilai Rf Flat Bottom Chamber Standar Larutan Larutan 6-gingerol 1 2 0.26 0.26 0.26 0.40 0.40 0.46 0.46 0.51 0.51 0.62 0.62 0.74 0.74 0.83 0.83 0.88 0.88 0.94 0.94
Lampiran 21 Nilai Rf masing-masing pita pada jahe merah, jahe gajah, jaheemprit, dan lengkuas..
Standar 6gingerol 0.24
Jahe Merah 0.24 0.35 0.43 0.57 0.65 0.76 0.82 0.87 0.91
Nilai Rf Jahe Gajah Jahe Emprit 0.24 0.35 0.43 0.57 0.65 0.76 0.82 0.87 0.91
0.24 0.35 0.43 0.57 0.65 0.76 0.82 0.87 0.91
Lengkuas 0.02 0.10 0.12 0.27