Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013 : 69-‐77
POLA RUANG AREA PELAYANAN SEKOLAH DASAR DI KOTA CIMAHI Spatial Form of Primary School Services Area in Cimahi City 1Rian Wulan Desriani, 2Siska Purnianti
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung 40393 1Email :
[email protected] 2Email :
[email protected] Diterima : 21 Januari 2013; Disetujui : 30 Juli 2013
Abstrak Dunia pendidikan masih menghadapi tantangan-‐tantangan yang cukup mendasar, salah satunya adalah perluasan dan pemerataan akses lokasi sekolah yang tercantum dalam misi pendidikan nasional yaitu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelayanan pendidikan dasar, umumnya di Sekolah Dasar (SD), diberikan untuk anak berumur 7 hingga 12 tahun. Penyediaan SD diatur oleh Pemerintah Daerah. Pada tahun 2000 Ȃ 2009, Kota Cimahi mengalami penurunan jumlah SD. Penurunan jumlah ini tidak serta merta dapat dirujuk sebagai penurunan pemerataan akses ke lokasi SD. Pemerataan akses merupakan kemudahan penduduk menjangkau lokasi SD terdekat. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola ruang dari 71 area pelayanan Sekolah Dasar di Kota Cimahi. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui distribusi penduduk, serta jarak dan area pelayanan masing-‐masing lokasi SD. Radius pelayanan satu SD yang digunakan adalah 1.000 m dengan jumlah penduduk pendukung 2.500 jiwa. Hasil analisis menunjukkan bahwa ǡͿͼǡͿάκ 1.000 m menuju lokasi SD terdekat. Hasil simulasi jumlah penduduk pendukung eksisting dan jumlah SD eksisting per area pelayanan masing-‐masing lokasi SD, memperlihatkan lokasi SD yang mengalami kelebihan dan kekurangan jumlah. Terdapat 53 lokasi SD yang undersupply, artinya jumlah SD yang dibutuhkan lebih banyak dari pada jumlah SD eksisting. Terdapat 18 lokasi SD yang oversupply, artinya jumlah SD yang dibutuhkan lebih sedikit dari pada jumlah SD eksisting. SD yang oversupply cenderung berada dekat dengan SD lainnya. Jika Pemerintah Kota Cimahi ingin penyediaan SD yang lebih efisien secara lokasi dan jumlah, maka tulisan ini menyarankan untuk adanya penambahan dan penggabungan SD di beberapa lokasi. Kata Kunci : Sekolah Dasar, area pelayanan, penduduk pendukung, analisis spasial, Kota Cimahi
Abstract Education is still facing basic challenges, especially in equality of accesibility to school which is listed on the Mission of National Education which is making efforts to extend and equal opportunity to obtain a quality education for all Indonesian people. Generally, a service on Primary School is provided for children between 7 and 12 years old which have accessibility limitations. School provision is organized by Local Governement. From 2000 to 2009, in Cimahi City has decreased the number of schools. The decline amount is not necessarily being reffered as a reduction in equity of access to school. Equal access to school is the ease of reaching the nearest school. Therefore, this paper aims to identify the spatial pattern of 71 primary school service areas in Cimahi City. Spatial analysis was used for mapping population distribution as treshold population and range of service area for each location. The range of service area used 1.000 m radius with 2.500 treshold population. The output shows that all primary schools are accessible from the entire city, where 96.9% area is κ ͷǤͶͶͶ
Ǥ number of primary schools per service area resulted number of locations having oversupply and undersupply of primary school. There are 53 locations which undersupply of primary schools. There are 18 locations which oversupply of primary school. Those are mostly located close to other primary schools. If Cimahi Government wants to efficiently provide schools in term of location and number of school, these findings suggest the addition and the incorporation of primary school in several locations. Keywords : Primary school, service area, threshold population, spatial analysis, Cimahi City
PENDAHULUAN Pelayanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia selama ini belum sepenuhnya dapat
69
memenuhi harapan. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk kemajuan bangsa di masa depan dalam menghadapi era global. Namun, dunia pendidikan masih menghadapi tantangan-‐
Pola Ruang Area ͙ (Rian Wulan Desriani, Siska Purnianti)
tantangan yang cukup mendasar yaitu masalah perluasan dan pemerataan akses menuju lokasi sekolah, masalah mutu, relevansi dan daya saing pendidikan serta masalah penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Strategi baru dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang berkualitas perlu diupayakan sehingga menghasilkan manusia-‐ manusia yang unggul, cerdas, dan kompetitif. Strategi tersebut terkait dengan tiga pilar utama dalam pembangunan pendidikan nasional yaitu : peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta manajemen bersih dan transparan sehingga masyarakat memiliki citra yang baik (good governance). Di dalam rencana dan strategis Kemendiknas, pemerataan dan perluasan akses mendapatkan pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Salah satu upaya untuk mewujudkan akses untuk mendapatkan pendidikan tersebut ditentukan oleh faktor capaian menuju lokasi sekolah. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar berdasarkan standar Pelayanan Minimum (SPM) pendidikan (Permendiknas No. 15 tahun 2010 dan Kepmendiknas No. 129/a tahun 2014). Hal yang diatur adalah kualitas, fasilitas dan keterjangkauan lokasi. Contohnya lokasi SD harus dapat dijangkau dengan berjalan kaki dengan maksimal jarak 3 km untuk daerah terpencil. Namun tentunya daerah terpencil dan kawasan perkotaan mempunyai karakteristik dan tingkat kebutuhan yang berbeda. Kota Cimahi merupakan kawasan perkotaan yang telah lama menjadi bagian dari perkotaan Bandung Metropolitan Area. Sejak tahun 2003, Kota administratif Cimahi berubah menjadi Kota Cimahi. Pada penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2003-‐2013, pelayanan pendidikan dasar pun terakomodasi. Berdasarkan RTRW 2003-‐2013, kebutuhan SD tahun 2012 diperkirakan berjumlah 232 SD, dengan jumlah penduduk pendukung adalah 2.500 jiwa per SD. Namun pada tahun 2009 terdapat 117 SD (BPS Kota Cimahi, 2010) dimana jumlahnya lebih kecil dari tahun dasar proyeksi (tahun 2000) yaitu 185 SD. Dari sisi jumlah, maka telah terjadi penurunan pelayanan SD (undersupply). Berdasarkan jumlah penduduk pendukung maka dibutuhkan banyak SD. Namun hal ini perlu diidentifikasi lebih jauh terkait lokasi SD eksisting. Penambahan SD baru
bukan berarti penambahan lokasi SD baru. Pada umumnya yang bersifat oversupply terjadi di kota-‐ kota kecil yang lambat pertumbuhannya, sebaliknya yang undersupply terjadi pada kota-‐kota besar yang cepat pertumbuhannya. Pada kajian pola ruang area pelayanan Sekolah Dasar ini, penelitian difokuskan pada beberapa permasalahan berikut ini : 1. 2. 3.
Apakah semua area dapat dilayani dengan Sekolah Dasar? Berapakah jumlah penduduk yang dilayani dan tidak dilayani Sekolah Dasar? Apakah jumlah SD saat ini efisien secara lokasi dan jumlah?
METODE Data Data yang digunakan adalah jumlah penduduk per kecamatan (BPS Kota Cimahi, 2010), peta guna lahan (Bappeda Cimahi, 2011), peta lokasi Sekolah Dasar (SD) (Bappeda Cimahi, 2010). Total jumlah SD berdasarkan KDA 2010 adalah 117 SD. Namun beberapa SD berada pada lokasi atau gedung yang sama. Pada tulisan ini, jumlah lokasi SD digunakan untuk melihat area pelayanan. Berikut adalah profil Kota Cimahi hasil kompilasi. Tabel 1 Profil Kota Cimahi Penduduk Perumahan Lokasi SD (Jiwa) (km2) Cimahi Selatan 241.335 4, 4 19 Cimahi Tengah 176.225 3, 2 30 Cimahi Utara 148.660 3, 2 22 Total 566.220 10,8 71 Sumber : BPS Kota Cimahi, 2010; Bappeda Kota Cimahi, 2010; Bappeda Kota Cimahi, 2011 Kecamatan
Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan untuk memetakan distribusi penduduk, jarak pelayanan SD dan area pelayanan SD. Basis analisis adalah distribusi penduduk yang dipetakan dengan menggunakan peta heksagonal1 dengan radius 200 m. Setiap heksagon merepresentasikan satu blok peruma-‐ han. Penduduk didistribusikan hanya pada kawasan perumahan saja. Diagram memaparkan langkah-‐langkah pembuatan peta dengan menggunakan ArcGIS. Pada proses Field Calculator, digunakan data penduduk per kecamatan untuk mendistribusikan penduduk pada setiap heksagon. Rumus yang digunakan adalah (jumlah penduduk di Kecamatan A/luas perumahan di Kecamatan A) *luas perumahan di heksagon a). Pada proses di Kecamatan A/luas perumahan di Kecamatan A) *luas perumahan di hexagon a). Pada proses Near, 1 Heksagonal dinilai lebih mudah dan lebih tepat dalam pengukuran jarak. Untuk lebih rinci mengenai jenis representasi jarak baca Drezner and Lamarcher (2001)
70
Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013 : 69-‐77
perhitungan jarak dari setiap area heksagon dihitung dengan menggunakan garis lurus (euclidean distance) menuju SD terdekat. Proses ini tidak menggunakan rute jalan eksisting karena dengan berjalan kaki diasumsikan rute jalan eksisting mendekati rute garis lurus. Pada proses Union, heksagon digabung berdasarkan kesamaan SD terdekat. Asumsi yang digunakan pada proses ini adalah bahwa setiap orang akan mengakses SD terdekat, sehingga setiap heksagon mempunyai satu SD. Oleh karena itu, area pelayanan SD merupakan area yang mempunyai jarak terdekat ke SD tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
sumbu vertikal merupakan jumlah penduduk dan sumbu horizontal adalah kawasan terbangun. Gambar 1 tersebut menunjukkan struktur kota yang tersamar namun justru sangat penting. Misalnya Jakarta dan Paris, memiliki struktur kota yang sama walaupun sangat berbeda dalam hal topografi, cuaca, budaya dan pendapatan. Bertaud melanjutkan bahwa kepadatan penduduk dan pergerakan menuju lokasi tujuan dapat menjadi indikator yang baik untuk melihat struktur ruang kota. Jika hanya dilihat dari kepadatan penduduk, maka struktur ruang terbagi menjadi monosentris dan polisentris. Peta Perumahan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola ruang dari area pelayanan Sekolah Dasar di Kota Cimahi. Sekolah Dasar sebagai Sarana Perkotaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar disebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Salah satu bentuk tanggung jawabnya adalah menyediakan Sekolah Dasar. Penyediaan SD diatur sebagai bagian dari sarana perumahan dan permukiman. Undang-‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyatakan bahwa sarana merupakan fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. SNI 03-‐1733-‐2004 mengenai Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mengatur lebih rinci lagi mengenai penyediaan sarana perkotaan bidang pendidikan dimana salah satunya adalah Sekolah Dasar. Pengaruh Bentuk Kota terhadap Penyediaan Sarana Penyediaan sarana merupakan bagian dari perencanaan kota yang sangat terkait dengan struktur ruang tata kotanya. Penyediaan sarana tidak hanya dari sisi kapasitasnya (luas bangunan sekolah), namun dari penentuan lokasi sarana itu sendiri. Penentuan lokasi sarana ini tidak terlepas dari pendekatan ruang kota. Hal ini disebabkan ruang kota terbentuk dari distribusi penduduk kota dimana penduduk tersebut sebagai pengguna sarana. Bertaud (2011) mengungkapkan bahwa dengan distribusi penduduk, setiap kota sangat berbeda dengan kota lainnya namun dapat memiliki kesamaan dalam struktur ruangnya. Gambar 1 merupakan sudut pandang 3 dimensi terhadap distribusi spasial penduduk metropolitan dimana
71
Peta Heksagonal Identity
Peta Perumahan Heksagonal
Data Penduduk Per Kecamatan
Field Calculator
Peta Lokasi SD
Peta Distribusi Penduduk
Near
Peta Jarak Menuju SD Terdekat
Union
Peta Area Pelayanan SD
Diagram 1 Analisis Spasial Menggunakan ArcGIS
New York : 10,752,000 people 2,674 km2 Scale : 100,000 people
Gambar 1 Dimensi Distribusi Penduduk di Kota Metropolitan (Sumber : Bertaud, 2011)
Pola Ruang Area ͙ (Rian Wulan Desriani, Siska Purnianti)
Penyediaan Sarana Pendidikan Menurut Maryati (2011), yang mempengaruhi penyediaan sarana dapat dijelaskan melalui teori tempat pusat yang dikenalkan oleh Walter Christaller (dalam Maryati, 2011). Teori ini melihat pusat pelayanan sebagai suatu keseimbangan sosial dan ekonomi. Berdasarkan teori tempat pusat, ciri-‐ciri pusat pelayanan adalah adanya pelayanan untuk suatu wilayah permukiman itu sendiri dan daerah sekitarnya yang lebih besar. Berdasarkan teori ini terdapat hubungan yang erat antara jumlah penduduk di suatu wilayah dengan hirarki tempat pusat. Jumlah, luas, dan sebaran serta hirarki dari pusat-‐pusat pelayanan di wilayah permukiman, dipengaruhi oleh 2 hal sebagai berikut : Tiap pusat memiliki batas ambang penduduk yang dilayaninya, yaitu jumlah minimum penduduk yang dilayani suatu pusat pelayanan guna mendukung kelancaran sediaan atas barang dan jasa yang dibutuhkan. Tiap pusat pelayanan memiliki jangkauan pasar tertentu, yaitu suatu jarak pelayanan dimana seseorang dapat dan bersedia untuk mencapai fasilitas-‐fasilitas pelayanan yang ada di pusat pelayanan. Jarak yang dimaksudkan disini dapat berupa jarak fisik, waktu tempuh maupun ongkos. Berdasarkan teori tempat pusat, besarnya area pelayanan yang dapat dilayani oleh suatu pusat pelayanan adalah sebanding dengan hirarki skala pelayanan dan jangkauan pelayanannya. Pusat-‐ pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Gambar 2 merupakan model area pelayanan heksagonal berdasarkan Christaller. Pada mulanya terbentuk area pelayanan berupa lingkaran-‐lingkaran. Setiap lingkaran memilik pusat dan ambang batas pelayanan (threshold). Lingkaran-‐lingkaran tersebut tidak tumpang tindih seperti pada bagian A. Kemudian digambarkan lingkaran-‐lingkaran berupa jangkauan pelayanan (range) yang lingkarannya tumpang tindih seperti terlihat pada bagian B. Tumpang tindih diantara kedua pusat yang berdekatan membentuk area heksagonal seperti terlihat pada bagian C. Tiap pelayanan berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonalnya sendiri. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian D (Riyanto, 2009).
Gambar 2 Model Terjadinya Area Pelayanan Heksagonal Christaller
Teori ini beranggapan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari pusat pemenuhan kebutuhan yang paling dekat, mudah, dan murah dicapai. Namun demikian, beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata konsumen tidak hanya mempertimbangkan kemudahan dalam mencapai fasilitas sebagai pertimbangan dalam mengkonsumsi fasilitas, tetapi ada faktor-‐faktor lain berupa preferensi konsumen yang sangat bergantung pada faktor-‐ faktor internal. SD merupakan pelayanan yang diberikan kepada seluruh penduduk wilayah sebagai kewajiban pemerintah. Prinsip penyediaan dalam penyediaan SD adalah keterjangkauan lokasi dan kapasitas optimum pelayanan SD. Dengan kata lain, SD disediakan harus efisien dalam hal lokasi dan jumlah SD. Oleh karena itu, hal utama yang perlu dikaji adalah dari sisi penyediaannya (supply) selain dari preferensi pemilihan SD (demand). Kapasitas Pelayanan SD Kapasitas pelayanan SD dijabarkan dalam bentuk jumlah penduduk pendukung. Penduduk pendukung adalah jumlah penduduk yang harus dilayani oleh satuan sarana tertentu. SNI 03-‐1733-‐ 2004 telah mengatur jumlah penduduk pendukung untuk setiap jenis sarana pendidikan (lihat Tabel 2). Semakin tinggi jenjang pendidikannya maka semakin tinggi pula jumlah penduduk penduduk pendukungnya. Hal ini dikarenakan luas area pelayanan semakin besar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tabel 2 Jumlah Penduduk Pendukung dan Radius Pencapaian Sarana Pendidikan Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa) 1. TK 1.250 2. SD 1.600 3. SMP 4.800 4. SMU 4.800 Sumber : SNI 03-‐1733-‐2004 No.
Jenis Sarana
Radius Pencapaian 500 m 1.000 m 1.000 m 3.000 m
Namun karena SNI ini bukan standar wajib, maka beberapa pemerintah kota tidak mengacu pada SNI tersebut. Contohnya adalah Kota Cimahi yang
72
Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013 : 69-‐77
mencantumkan jumlah penduduk pendukungnya dalam RTRW 2003-‐2013 sebesar 2.500 jiwa per SD. Perbedaan jumlah penduduk pendukung ini dapat disebabkan bedanya daya tampung SD dalam bentuk luas bangunan, jumlah guru dsb.
harus mempertimbangkan pendekatan disain keruangan unit-‐unit atau kelompok lingkungan yang ada serta jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani area tertentu.
Aksesibilitas Menuju Lokasi Sekolah Dasar Menurut Andryana (2009), preferensi pemilihan SD dipengaruhi oleh 6 faktor. Faktor lokasi sekolah menjadi faktor ketiga setelah mutu dan fasilitas sekolah. Oleh karena itu, keadilan dan efisiensi mengakses sarana harus tetap menjadi sasaran yang harus dipenuhi. Distribusi kepadatan maupun distribusi penduduk, menjadi objek dalam penentuan lokasi PSU sehingga dalam penentuan lokasi sarana harus memiliki sasaran yang jelas. Dalam rangka mengoptimalkan akses maka Hogart (1978) mengklasifikasikan 5 model untuk penentuan lokasi sarana.
Hasil penelitian (Veby, 2008 dalam Dewi dan Pradono, 2009)2 menyatakan bahwa jumlah pelaku pergerakan pada jarak tempuh 0-‐30 km didominasi oleh pergerakan menuju fasilitas pendidikan SD. Pada jarak tempuh di atas 30 km, jumlah pergerakan menuju SD menurun drastis, yang kemudian di dominasi oleh pergerakan menuju SMP dan SMA. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa SD masih mau bersekolah dengan jarak tempuh hingga 30 km. Namun, untuk mendukung keselamatan, kenyamanan dan mendorong panjang perjalanan pendek (non-‐motorized travel) beberapa literatur menyatakan bahwa radius pencapaian SD sebaiknya di bawah 1.000 m3. Pada SNI 03-‐1733-‐ 2004, radius pencapaian SD adalah 1.000 m dengan berjalan kaki.
1.
2.
3.
4.
5.
DzAggregatedz : meminimalkan waktu dan biaya dari seluruh pergerakan yang dilakukan oleh penduduk untuk menuju sarana. Maximizing Demand : memaksimalkan jumlah penduduk yang terlayani oleh sarana walaupun ada sebagian penduduk yang terpaksa tidak terlayani, biasanya penduduk di lokasi yang terpencil. Model ini tidak cocok untuk sarana yang esensial bagi kehidupan misalnya sarana kesehatan. Maximizing Equity : memberi bobot yang lebih terhadap lokasi yang terpencil. Model ini mengurangi ketidakadilan terhadap penduduk yang lokasinya terpencil dan jumlahnya sedikit. Covering Objectives : menetapkan pelayanan maksimum dalam bentuk waktu atau jarak pelayanan. Beberapa sarana mempunyai karakteristik semakin rendah tingkat pelayanannya jika lokasinya semakin jauh, misalnya ambulance. A Spatial Interaction Model Based on Intervening Opportunities : model ini lebih diterapkan pada fasilitas non publik.
Untuk aksesibilitas ke Sekolah Dasar, standar yang telah ada mengacu pada prinsip Covering Objectives yaitu dengan batasan jarak maksimum. Hal ini sesuai dengan dasar penyediaan sarana pendidikan yang tertera dalam SNI 03-‐1733-‐2004 bahwa sarana tersebut bukan didasarkan semata-‐mata pada jumlah penduduk yang akan dilayani namun
Tingkat Kebutuhan SD di Kota Cimahi Berdasarkan penelitian Pusat Litbang Permukiman (2011) kebutuhan SD di Kota Cimahi masih tinggi, dimana 65,6 % sampel menyatakan kebutuhan yang tinggi terhadap SD. Salah satu variabel prediktor kebutuhan SD di Kota Cimahi adalah waktu tempuh. Semakin dekat dengan SD maka semakin tidak membutuhkan SD karena sudah tersedia. Distribusi Penduduk Distribusi penduduk Kota Cimahi tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3. Satu area heksagon dapat terdiri dari 1 hingga 1.904 jiwa. Penduduk tidak tersebar merata di Kota Cimahi. Penduduk lebih banyak terdapat di Kecamatan Cimahi Selatan terutama pada kawasan perbatasan dengan Kota Bandung. Karena penduduk terdistribusi hanya pada kawasan perumahan saja, maka terdapat kawasan-‐kawasan yang tidak terdapat penduduk, misalnya kawasan industri di selatan Kota Cimahi. Oleh karena itu, di kawasan tersebut tidak terdapat SD. Hasil overlay peta distribusi penduduk dan sebaran SD, terlihat bahwa lokasi SD tidak serta merta berada pada area berpenduduk padat. Berdasarkan distribusi penduduk ini, struktur ruang Kota Cimahi merupakan polisentris karena penduduk berkepadatan tinggi tersebar di beberapa kawasan Kota Cimahi.
2 Beberapa jarak layanan SD yang direkomendasikan dapat dilihat pada Dewi dan Pradono (2009) 73
Pola Ruang Area ͙ (Rian Wulan Desriani, Siska Purnianti)
berdasarkan teori tempat pusat dan dua area pelayanan SD di Kota Cimahi.
Gambar 3 Distribusi Penduduk di Kawasan Perumahan
Jarak Pelayanan SD Hasil analisis spasial dinyatakan bahwa 96,9 % area heksagon berada pada pada area pelayanan SD. Terdapat 37 area heksagon mempunyai jarak lebih dari 1.000 m ke SD terdekat (lihat Gambar 4). Area heksagon tersebut berlokasi di utara, selatan dan sebagian kecil di timur Kota Cimahi. Hal ini mengindikasikan bahwa pelayanan jarak SD sudah cukup memberikan aksesibilitas yang baik bagi penduduk Kota Cimahi.
Gambar 4 Jarak Menuju SD Terdekat
< -‐0,50 Std. Dev. -‐ 0,50 -‐ 0,50 Std. Dev. 0,50 -‐ 1,5 Std. Dev. > 1,5 Std. Dev.
Area Pelayanan SD Rata-‐rata luas area pelayanan SD adalah 0,58 km2 dengan standar deviasi (Std. Dev) 0,49 km2 dimana yang terkecil adalah 0,035 km2 dan terluas adalah 2,5 km2. Area pelayanan kecil (di bawah -‐0,50 Std. Dev.) umumnya berada pada lokasi saling berdekatan dengan beberapa SD lainnya. Area pelayanan luas (di atas 1,5 Std. Dev.) tersebar di utara dan selatan Kota Cimahi (lihat Gambar 5). Berdasarkan teori tempat pusat, area pelayanan yang efisien adalah area yang berbentuk heksagon pula. Namun di Kota Cimahi, bentuk dan luas area pelayanan sangat bervariasi. Walaupun jarak jangkauan masih di bawah 1.000 m tetapi variasi bentuk dan luas area pelayanan mengakibatkan kelebihan lokasi sekolah. Gambar 6 merupakan perbandingan area pelayanan yang efisien
Gambar 5 Area Pelayanan SD
74
Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013 : 69-‐77
SD di area tersebut. Maksimum jumlah penduduk pendukung adalah 31.343 jiwa untuk area pelayanan SDN Cibeureum Mandiri 2 yang terletak di Kecamatan Cimahi Selatan. Beberapa area pelayanan memiliki lebih dari 1 SD, misalnya SD Citeureup 1, 2, 3, 4 yang memiliki jumlah penduduk pendukungnya 7.025 jiwa. Namun karena sekolah tersebut terdiri dari 4 SD, maka jumlah penduduk pendukungnya telah cukup. Jika tidak ada perubahan pada lokasi SD dan tetap menggunakan jumlah penduduk pendukung 2.500 jiwa per lokasi SD, maka disimulasikan kebutuhan SD di Kota Cimahi. Tabel 3 menampilkan hanya 10 Gambar 6 Efisiensi Lokasi Berdasarkan Area Pelayanan SD dari 71 lokasi SD di Kota Cimahi, yang terdiri dari 5 Penduduk Pendukung SD SD dengan jumlah penduduk pendukung tertinggi Terdapat hubungan positif antara luas area dan 5 SD dengan jumlah penduduk pendukung pelayanan dan jumlah penduduk pendukungnya terendah. Tabel ini memperlihatkan bahwa pada (Pearson correlation 0,559 pada signifikansi level area pelayanan yang memiliki penduduk penduduk 0,01). Semakin luas area pelayanannya maka jiwa tinggi, justru hanya memiliki 1 SD. Hal ini semakin banyak penduduk pendukung jiwanya. menyebabkan jumlah SD yang dibutuhkan sangat Rata-‐rata jumlah penduduk pendukung per area banyak. Sebaliknya, beberapa area pelayanan pelayanan adalah 7.962 jiwa dengan standar dengan jumlah penduduk pendukung rendah deviasi 6.282 jiwa. Gambar 7 memperlihatkan memiliki lebih dari satu SD. Contohnya adalah SD perubahan jumlah penduduk pendukung untuk 71 Baros 1, 2, 3 yang memiliki jumlah penduduk area pelayanan SD. Jika asumsi jumlah penduduk pendukungnya 716 jiwa. Hal ini disebabkan area pendukung adalah 2.500 jiwa maka terdapat 59 pelayanan yang kecil dimana pada radius 400 area pelayanan SD yang membutuhkan lebih dari 1 meter terdapat 7 lokasi SD lainnya. 35000 30000 25000 20000 15000
Rata -‐rata = 7. 962 jiwa
10000 Penduduk Pendukung
5000
Threshold = 2. 500 jiwa
0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 69 71 Lokasi SD Gambar 7 Grafik Jumlah Penduduk Pendukung Per Area Pelayanan SD
75
Pola Ruang Area ͙ (Rian Wulan Desriani, Siska Purnianti)
pelayanan ini, maka lokasi sekolah telah mencakup hampir seluruh Kota Cimahi, dimana 96,9% area ζͳǤ000 m menuju SD terdekat.
Tabel 3 Simulasi Kebutuhan SD Jumlah SD Eksisting 5 Tertinggi 1 1 1 1 1 5 Terendah 1 1 1 3 2
Penduduk Pendukung (jiwa)
Jumlah SD Dibutuhkan
31. 343 27. 019 20. 048 19. 403 18. 552
13 11 8 8 7
292 411 433 716 1. 062
1 1 1 1 1
Namun jumlah SD tidak tersebar merata di seluruh Kota Cimahi. Banyak SD memiliki kelebihan penduduk pendukungnya yang berarti perlu adanya tambahan SD di area pelayanannya. Disisi lain, beberapa SD justru perlu digabung dengan SD lainnya karena memiliki inefisiensi lokasi. Luas area pelayanan sangat kecil akibat saling berdekatan dengan SD lainnya serta memiliki jumlah penduduk pendukung yang rendah.
Hasil simulasi di atas kemudian dilakukan untuk setiap lokasi SD dan terungkap bahwa banyak lokasi SD yang membutuhkan tambahan SD (lihat Gambar 8). Terdapat 53 lokasi SD yang undersupply, artinya jumlah SD yang dibutuhkan lebih banyak dari pada jumlah SD eksisting. Terdapat 18 lokasi SD yang oversupply, artinya jumlah SD yang dibutuhkan lebih sedikit dari pada jumlah SD eksisting. SD yang oversupply cenderung berada dekat dengan SD lainnya.
Analisis spasial untuk mengetahui pola ruang dari area pelayanan Sekolah Dasar ini bermanfaat untuk mengevaluasi lokasi dan jumlah SD agar terjadi pemerataan akses SD oleh seluruh penduduk kota.
SARAN Pada penelitian ini difokuskan pada jarak dan penduduk pendukung saja, namun tidak pada sebaran tingkat kualitas SD. Pada analisis lanjutan, dapat dilakukan pemilahan SD berdasarkan kualitas maupun popularitas. Hal ini disebabkan SD dengan kualitas atau popularitas tinggi cenderung memiliki batas area layanan yang lebih luas (> 1.000 m).
UCAPAN TERIMAKASIH Dalam penelitian ini diucapkan terimakasih kepada : 1. Kepala Pusat Litbang Permukiman; 2. Kepala Balai Permukiman dan Lingkungan; 3. Dr. Ir. Denny Zulkaidi, MUP sebagai Narasumber; 4. Dr. Sri Maryati, ST, MIP sebagai Narasumber; 5. Ir. Puthut Samyahardja, CES, MSc sebagai Pembimbing; 6. Ir. Siti Zubaidah Kurdi, MSc sebagai Pembimbing; dan 7. Bappeda Kota Cimahi, serta 8. Seluruh Anggota Tim Pelaksana.
DAFTAR PUSTAKA Gambar 8 Ketersediaan SD di Kota Cimahi
KESIMPULAN Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pola ruang area pelayanan Sekolah Dasar di Kota Cimahi terjangkau dari di seluruh kota dimana hanya beberapa blok perumahan di utara dan selatan Kota Cimahi yang berada lebih dari 1.000 m untuk mencapai SD terdekat. Berdasarkan area
Andryana, Septy. 2009. Analisa Faktor-‐faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sekolah Dasar di Kota Depok Menggunakan Metode Proses Analisa Bertingkat. Jurnal Basis Data. ICT Research Center UNAS. Bappeda Kota Cimahi. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi 2003-‐20013. Bertaud, A. The Spatial Structure of Cities : International Examples of the interaction of government, topography and markets. http :
76
Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013 : 69-‐77
//alain-‐bertaud. com. (Diakses 10 September, 2011) BPS Kota Cimahi. 2010. Kota Cimahi dalam Angka 2010. Cimahi : Badan Pusat Statistik Kota Cimahi Dewi M.E., Ketut dan Pradono. 2009. Wacana Sustainable Urban Form Di Indonesia : Aksesibilitas Lokal dan Perilaku Perjalanan Menuju Fasilitas Sekolah Dasar. Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya. Drezner, Zvi dan Lamarcher, Horst W. 2001. Facility Location : Application and Theory. Berlin : Springer. Hodgart, R. L. 1978. Optimizing Access to Public Services : A Review of Problems, Models and Methods of Locating Central facilities. Progress in Human Geography. Maryati, Sri. 2011. Faktor-‐Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Fasilitas Pendidikan, Kesehatan, dan Perdagangan. Makalah Diskusi Teknis. Bandung : Pusat Litbang Permukiman
77
Menteri Pendidikan Nasional, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional. 2010. Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Jakarta. Peraturan Pemerintah. 2008. Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Pusat Litbang Permukiman. 2011. Laporan Akhir Penyusunan Metode Perhitungan Kebutuhan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Berdasarkan Karakteristik Kota. Bandung. Riyanto, Sabar. 2009. Studi Kebutuhan Sekolah Menengah Di Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-‐1733-‐2004, Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Undang-‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman.