POLA PEMBUNUHAN DI WILAYAH JABODETABEK TAHUN 2007-2011: ANALISIS ISI BERITA PEMBUNUHAN HARIAN POS KOTA Esa Lanang Perkasa
[email protected] Abstract We can say that crime comes up as a result of someone’s significant definition which is processed within the actors’ interactions. During the process of interactions, there exist some factors that influence the decision making process to conduct crime, which are external factor, internal factor as well as other people surrounding the decision maker. In the context of crimes in Indonesia, especially those happening in Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi) and its surrounding with the heterogen characters of its society leads to the possibility of the appearance of negative tendency for criminal cases. Murder is considered as a crime with high level of seriousness in each of the case since it deals with human’s live. Therefore, researchers are in opinion that it is necessary to conduct research to see the data in general in order to obtain corelations overview between the actor and the victim in murder cases which are recorded in the articles of murder cases occured in Jabotabek, or commonly known as crime pattern. This research used crime pattern as the basic theory and a type of descriptive research with unobstructive content analysis. Keywords: Patterns, Homicide, Criminal Profiling, Perpetrator, Victim Abstrak Kejahatan dapat dikatakan sebagai hasil dari pemaknaan seseorang, yang kemudian diolah melalui proses interaksi antar aktor-aktornya. Selama interaksi tersebut, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk melakukan kejahatan, yaitu pengaruh dari dalam, luar, serta manusia lainnya yang berada di sekitar sang pengambil keputusan. Dalam konteks kriminalitas di Indonesia, terutama yang terjadi di wilayah Jabodetabek dengan karakter masyarakatnya yang beragam sangat memungkinkan terjadi sebuah tendensi negatif yang mengarah pada munculnya tindak kejahatan. Diantara berbagai jenis kejahatan, pembunuhan memiliki tingkat keseriusan yang tinggi pada setiap kasusnya karena menyangkut nyawa manusia. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu melakukan penelitian untuk melihat data yang ada secara umum untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara pelaku dan korban dalam kasus-kasus pembunuhan yang terekam dalam artikel berita kasus kejahatan pembunuhan di Jabodetabek, atau yang lebih sering disebut crime pattern. Penelitian ini menggunakan crime pattern sebagai basis teori dan merupakan satu tipe penelitian deskriptif dengan ragam analisis isi unobstrusive. Kata kunci: Pola, Pembunuhan, Criminal Profiling, Pelaku, Korban
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang secara naluriah akan membentuk kelompok dengan didasari atas ikatan, norma atau aturan tertentu. Gagasan ini berikutnya melahirkan konsep masyarakat, yaitu tempat sekumpulan manusia mengadakan interaksi sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunarto, 2000). Interaksi inilah yang mendasari perkembangan masyarakat, mulai dari masa tradisional hingga era modern dewasa ini. Herbert Blumer, seorang psikolog sosial Amerika mengemukakan bahwa orang-orang berinteraksi satu sama lain dengan menginterpretasikan atau mendefinisikan tindakan masing-masing bukan hanya bereaksi terhadap tindakan lawan bicaranya. Blumer (1998) menjelaskan tiga konsep ketika seseorang melakukan respon atas suatu tindakan. Konsep pertama adalah Meaning (makna) yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut. Sementara konsep kedua adalah Language (bahasa). Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi, sehingga dapat dikatakan makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada objek, tetapi dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, karena bahasa adalah salah satu bentuk dari simbol. Konsep terakhir adalah Thought (Pemikiran), yang menjelaskan hasil dari interpretasi simbol seseorang, seperti penggunaan bahasa, dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa respon seseorang ketika melakukan interaksi dengan orang lain tidak secara langsung muncul akibat tindakan satu sama lain. Tindakan-tindakan tersebut mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, ataupun berupa simbol-simbol yang memiliki makna. Respon muncul dari penginterpretasian diri terhadap makna yang ‘disematkan’ oleh lawan bicaranya dalam suatu tindakan. Bagi Blumer, manusia bertindak bukan hanya karena faktor eksternal dan internal, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan interaksi adalah sebuah proses terjadinya komunikasi antar manusia untuk saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Lawang, 1985). Terkait konteks kejahatan, Clarke (1997) dalam buku Situational Crime Prevention, 2nd Edition menuturkan bahwa kejahatan terjadi, karena bertemunya kebutuhan pelaku dengan kebutuhan yang melibatkan pembuatan keputusan dan pilihan yang dibatasi oleh keterbatasan kemampuan dan informasi-informasi yang dibutuhkan guna mencapai tujuan. Melalui bukunya yang bertajuk “Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perspektip Kriminologi”, Kusumah (1988) menjelaskan bahwa kejahatan merupakan respon-respon sosial terhadap bekerjanya sistem ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
berbagai bentuk ketidakmerataan kepemilikan sumberdaya-sumberdaya pokok. Sebagai hasil pemaknaan dari ketimpangan kepemilikan sumberdaya, orang dapat menyimpulkan bahwa jalan yang paling mungkin untuk mengatasi tekanan ketimpangan tersebut adalah melakukan kejahatan, seperti pencurian, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan. Berdasarkan konsep-konsep di atas tersebut, terkait dengan konteks kejahatan, maka kejahatan dapat dikatakan sebagai hasil dari pemaknaan seseorang yang kemudian diolah melalui proses interaksi antar aktor-aktornya. Selama interaksi tersebut, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk melakukan kejahatan, yaitu pengaruh dari dalam, luar, serta manusia lainnya yang berada di sekitar sang pengambil keputusan. Pada dasarnya, kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Durkheim, kejahatan adalah gejala normal dalam masyarakat. Kenormalan kejahatan semata-mata bahwa keberadaannya atau tingkat kemunculannya tidak melampaui tingkat yang memungkinkan masyarakat mampu untuk mengendalikannya (Durkheim dalam Mustofa, 2007). Dilandasi pemahaman tersebut, maka perlu disadari bahwa kejahatan bukanlah kelainan sosial yang harus dimusnahkan, tetapi di minimalisasi melalui pengendalian. Di antara berbagai jenis kejahatan, pembunuhan memiliki tingkat keseriusan yang tinggi pada setiap kasusnya karena menyangkut nyawa manusia. Wilbanks (1982) menekankan bahwa homicide (pembunuhan) adalah upaya menghilangkan nyawa satu manusia oleh manusia yang lain. Pembunuhan sendiri terbagi menjadi beberapa macam, suatu pembunuhan dapat merupakan pembunuhan kriminal (criminal homicide) dan pembunuhan non-kriminal (non-criminal homicide). Pembunuhan kriminal dibagi lagi menjadi tiga, yakni pembunuhan tingkat satu, pembunuhan tingkat dua, dan voluntary manslaughter (Dressler, 2002). Suatu pembunuhan kriminal akan dianggap sebagai pembunuhan tingkat satu jika dalam prakteknya ada perencanaan untuk menghilangkan nyawa seseorang, atau pembunuhan tingkat dua jika pembunuhan didasari oleh kebencian dan niat membunuh, tetapi tidak direncanakan terlebih dahulu. Sementara voluntary manslaughter didefinisikan sebagai pembunuhan yang tidak sengaja karena lalai tanpa niat melukai (Kadish, 1983). Dalam konteks Indonesia, pembunuhan terencana tertuang pada pasal 340 KUHP, pembunuhan tidak terencana tertuang pada pasal 338 KUHP, dan voluntary manslaughter dikategorikan sebagai penganiayaan berat yang berujung pada kematian korbannya seperti yang tertuang pada pasal 353, 354, dan 355 KUHP.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Dalam konteks kriminalitas di Indonesia, terutama yang terjadi di wilayah Jabodetabek dengan karakter masyarakatnya yang beragam dan diikuti oleh urbanisasi yang tinggi pada pusat-pusat kotanya, sangat memungkinkan terjadi sebuah tendensi negatif yang mengarah pada munculnya tindak kejahatan. Menurut data kasus kriminalitas yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya di bawah, sepanjang 2010 telah terjadi 26.529 kejahatan di Ibukota. Urutan pertama diduduki oleh kejahatan pencurian motor dengan 9.114 kasus, pencurian dengan pemberatan 6.048 kasus, narkotika 4.989 kasus, penganiayaan berat 1.937 kasus, pencurian mobil 1.598 kasus, perjudian 999 kasus, pencurian kekerasan 931 kasus, kebakaran 404 kasus, dan pemerasan 333 kasus. Berdasarkan data tersebut, ada penurunan jumlah kasus pembunuhan selama tahun 2010-2011 sebesar 25,58%, yakni dari jumlah 86 kasus pada 2010 menjadi 64 kasus pada 2011. Namun, sebagian kasus yang terjadi di tahun 2010 baru dapat diselesaikan pada tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan crime clearence-nya. Crime clearence (penyelesaian kasus) pembunuhan sebesar 75,58% pada 2010 dan 131,25% pada 2011 (Polda Metro Jaya, 2011). Dari data yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian Metro Jaya tersebut dapat ditarik kesimpulan, walaupun terjadi penurunan kasus pembunuhan selama kurun waktu 2010-2011, pembunuhan termasuk jenis kasus yang memerlukan jangka waktu yang cukup lama penyelesaiannya. Berkaitan dengan data di atas, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Baharudin Jafar menyatakan bahwa terjadi peningkatan seriusitas kasus pembunuhan selama kurun waktu 2008 hingga 2011 karena pelaku cenderung semakin nekat dan brutal untuk membunuh korban (Pembunuh Berkeliaran, Jakarta Makin Tak Aman, okezone.com). Misalnya saja, kasus pembunuhan Humala Pardede, seorang supir taksi yang ditemukan tewas di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur pada Minggu, 4 Desember 2011 lalu dengan 32 tusukan di sekujur wajahnya (Sopir Taksi Dihujani 32 Tusukan, poskota.co.id). Data summary yang dikeluarkan oleh pihak Humas Polda Metro Jaya yang telah dijelaskan pada awal pembahasan pun tidak secara detil memberikan informasi kepada khayalak umum mengenai gambaran hubungan antara pelaku dan korban khususnya dalam kasus pembunuhan. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu melakukan penelitian untuk melihat data yang ada untuk mendapatkan gambaran secara umum keterkaitan antara pelaku dan korban dalam kasus-kasus pembunuhan yang terekam dalam artikel berita kasus kejahatan pembunuhan pada Harian Pos Kota di wilayah Jabodetabek, atau yang lebih sering disebut crime pattern dan bentuk ekstensifnya, yakni criminal profiling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pola pembunuhan yang
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
terjadi di Jabodetabek dengan menggunakan beberapa poin seperti karakteristik pelaku, karakteristik korban, dan detail kejadian menurut Crime Pattern Theory dan Criminal Profiling sebagai bentuk ekstensif dari Crime Pattern Theory. Dalam bentuk yang paling mendasar, crime pattern menekankan pada kondisi spasial dari kejahatan, karateristik teknis dari kejahatan, dan karakteristik dari pelaku, korban, dan target yang dapat dikenali (Brantigham & Brantingham, 1984), sementara criminal profiling adalah salah satu alat untuk mengenali karakteristik-karakteristik para pelaku dilihat dari tempat kejahatan dan tindak-tanduk dari pelaku (Petherick, Turvey, & Ferguson, 2010). Proses penyimpulan yang melibatkan analisis perilaku pelaku, interaksi mereka dengan tempat kejahatan dan korban, dan pilihan-pilihan yang mereka buat selama kejahatan terjadi (Petherick, 2003). Dalam mengkaji kejahatan pembunuhan di Indonesia, peneliti berpikir perlu adanya sebuah penelitian tentang crime pattern untuk mengetahui pelaku pembunuhan, korban, dan hubungan interaksi antara keduanya dalam sebuah tindak kejahatan pembunuhan. Norbert Ebisike (2008) dalam bukunya “Offender Profiling in the Courtroom: the Use and Abuse of Expert Witness Testimony” menjelaskan bahwa ada kesepakatan umum tentang kejahatan yang paling sesuai untuk dilakukan profiling. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain: 1. Kejahatan dengan tanda-tanda psikopatologi 2. Kejahatan diyakini merupakan bagian dari seri/serial crimes 3. Kejahatan kekerasan 4. Serangan terhadap orang asing 5. Contact crimes - kejahatan ketika pelaku terlibat dalam percakapan dan komunikasi yang panjang dengan korban. Pernyataan Norbert Ebisike tersebut menempatkan pembunuhan sebagai salah satu tipe dari kejahatan kekerasan, sangat sesuai untuk dilakukan penelitian crime pattern dan profiling sebagai bentuk ekstensif dari crime pattern. Jika dikaitkan dengan konteks Jabodetabek, langkah ini dirasa perlu dikarenakan masih kurangnya elaborasi data kejahatan dari kepolisian yang disajikan untuk kepentingan penelitian, terutama kasus pembunuhan yang memiliki kompleksitas dan seriusitas yang tinggi karena menyangkut nyawa manusia. Dengan adanya sebuah penelitian tentang crime pattern, maka dapat memberikan gambaran tentang ciri-ciri orang yang kemungkinan besar melakukan kejahatan beserta tipologi para korbannya. Hadirnya penelitian yang memberikan gambaran tentang interaksi sosial di masyarakat, terutama antara pelaku pembunuhan dengan korbannya, peneliti mengharapkan
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
adanya perbaikan dalam pengambilan keputusan pada sistem peradilan pidana Indonesia, dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintah terutama mengenai kebijakan kriminal. Tinjauan Teoritik Penelitian ini menggunakan Crime Pattern Theory sebagai dasar penelitian dan Criminal Profiling sebagai bentuk ekstensif dari Crime Pattern Theory. Menurut buku Crime Pattern Definitions for Tactical Analysis yang dikeluarkan oleh International Association of Crime Analysts (2011), yang dimaksud dengan Crime Pattern adalah dua atau lebih kejahatan yang terlaporkan atau ditemukan oleh polisi, yang bersifat unik karena mereka memenuhi masing-masing kondisi berikut: 1. Mereka berbagi setidaknya satu kesamaan dalam jenis kejahatan, perilaku pelaku atau korban, karakteristik pelaku, korban atau target, harta yang diambil, atau lokasi kejadian; 2. Tidak diketahuinya hubungan yang dikenal antara korban dan pelaku; 3. Kesamaan-kesamaan yang ada membuat tipe kejahatan tersebut terkenal dan menjadi berbeda dari kegiatan kriminal lain yang terjadi dalam rentang tanggal yang sama; 4. Kegiatan kriminal biasanya durasi terbatas, mulai dari mingguan hingga bulanan, dan 5. Himpunan kejahatan terkait diperlakukan sebagai satu unit analisis dan diatasi melalui upaya polisi yang terfokus dan taktis. Buku Crime Pattern Definitions for Tactical Analysis juga menjelaskan ada tujuh tipe primer dari Crime Pattern, diantaranya adalah: 1. Series: Sekelompok kejahatan yang sama yang dianggap dilakukan oleh individu yang sama atau kelompok individu yang bertindak dalam kelompok yang lebih besar. 2. Spree: Sebuah jenis spesifik dari kejahatan series yang ditandai dengan kegiatan kriminal yang berfrekuensi tinggi dalam jangka waktu yang sangat singkat, dan terjadi hampir secara berkelanjutan. 3. Hot Prey: Sekelompok kejahatan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu, yang melibatkan korban yang berbagi karakteristik fisik yang sama dan/atau terlibat dalam perilaku yang sama. 4. Hot Product: Sekelompok kejahatan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu, yang menargetkan tipe properti yang unik untuk dicuri. 5. Hot Spot: Sekelompok kejahatan yang sama dilakukan oleh satu atau lebih individu di lokasi yang berdekatan antara satu kejahatan dengan kejahatan yang lain.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
6. Hot Place: Sekelompok kejahatan yang sama dilakukan oleh satu atau lebih individu di lokasi yang sama. 7. Hot Setting: Sekelompok kejahatan yang sama dilakukan oleh satu atau lebih individu yang terutama berkaitan dengan jenis tempat di mana kejahatan tersebut terjadi. Penelitian ini menggunakan Criminal Profiling sebagai poin-poin operasionalisasi untuk menjelaskan Crime Pattern Theory karena Criminal Profiling merupakan salah satu bentuk ekstensif dari Crime Pattern Theory jika dilihat dalam konteks penelitian demografis dan pencarian karakteristik-karakteristik dari sebuah kejahatan. Definisi Criminal Profiling pertama kali dipakai oleh para analis Federal Bureau Investigation (FBI), dengan nama offender profiling. Yang dimaksud dengan Offender profiling atau pemetaan pelaku adalah teknik untuk mengidentifikasi kepribadian dan karakteristik perilaku utama dari seorang individu berdasarkan analisis dari kejahatan dia telah ia lakukan (Douglas, Ressler, Burgess, & Hartman dalam Crabbẽ, Decoene, & Vertommen, 2008). Dalam bukunya yang berjudul ”Psychology and Law: Theory, Research, and Application”, Curt R. Bartol dan Anne R. Bartol mengemukakan beberapa prinsip mengenai criminal profiling sebagai berikut: “Criminal profiling is the process of identifying personality traits, behavioral tendencies, geographical location, and demographic or biographical descriptors of an offender (or offenders) based on characteristics of the crime.” (Bartol & Bartol, 2004).
(Criminal profiling adalah proses identifikasi kepribadian, kecenderungan perilaku, lokasi geografis, dan deskripsi-deskripsi demografis atau biografis dari pelaku (atau para pelaku) berdasarkan karakteristik dari sebuah kejahatan).
Lebih lanjut, Bartol & Bartol menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Forensic Psychology: Research and Application” bahwa tujuan utama dari criminal profiling, yaitu: “...to narrow the field of possible suspects to a more reasonable number from the hundreds or thousands of possible suspects within a specific population. Profiling is also a form of prediction. Based on crime scene information and the behavioral patterns or habits of the offender, the profiler tries to “predict” who the offender or offenders might be and where and how the next crime may occur.” (Bartol & Bartol, 2008).
(...untuk mempersempit kemungkinan tersangka ke jumlah yang lebih masuk akal dari ratusan atau ribuan kemungkinan tersangka yang ada dalam sebuah populasi tertentu. Profiling juga merupakan sebuah bentuk prediksi. Berdasarkan informasi TKP dan
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
pola perilaku atau kebiasaan pelaku, peneliti mencoba untuk "memprediksi" siapa kemungkinan pelaku atau pelanggar, dan dimana dan bagaimana kejahatan berikutnya mungkin akan terjadi).
Dalam menentukan profil seorang pelaku kejahatan, dalam bukunya yang berjudul “Practical Homicide Investigation: Tactics, Procedures, and Forensic Techniques” Vernon J. Geberth (1996) mengemukakan setidaknya ada 20 poin pelaku yang dapat diambil dari sebuah kejahatan, yakni: 1. Nama; 2. Umur; 3. Jenis Kelamin; 4. Ras; 5. Tinggi dan Berat Badan; 6. Status Perkawinan: (a) Anak: Umur dan kelaminnya, (b) Istri: Hamil atau tidak, dan kapan terakhir melahirkan; 7. Tingkat Pendidikan; 8. Status Sosial Ekonomi; 9. Sejarah dan tipe problem seksual; 10. Abnormalitas/cacat fisik, misalnya hambatan berbicara, berjalan pincang, obesitas, dan lainnya; 11. Rumah: Kondisinya, sejarah tunggakannya, dan lainnya; 12. Kendaraan: Kondisinya, cara membelinya, dan lainnya; 13. Kelakuan, termasuk perubahan perilaku yang terjadi belakangan; 14. Perangai dan kepribadian; 15. Pekerjaan dan keterampilan/skill apa yang berkaitan dengan pekerjaannya; 16. Tipe orang yang aktif pada malam atau siang hari; 17. Pelaku pengguna narkotika, alkohol, atau bukan keduanya; 18. Cara berpakaian; 19. Diketahui membawa, mengoleksi, dan memamerkan senjata atau tidak memakai senjata-senjata tertentu dalam kesehariannya, dan; 20. Tipe kepribadian: Kaku atau fleksibel. Sementara tujuan dilakukannya profiling dalam sebuah kejahatan dibahas oleh Geberth (2003) dalam bukunya yang berjudul “Sex-Related Homicide and Death Investigation: Practical and Clinical Perspectives”, yakni: “The objective of criminal profiling is to provide the investigator with a personality composite of the unknown suspects .... Certain clues at a crime scene, by their nature, do not lend themselves to ordinary collection techniques .... According to professional profilers, there is nothing mystical about their work; the procedures they use are well founded in sosiological and psychological roots.” (Geberth, 2003).
(Tujuan dari profil kriminal adalah untuk menyediakan penyidik dengan komposit kepribadian tersangka yang tidak diketahui .... Petunjuk tertentu di TKP, berdasarkan sifatnya, tidak dapat dipecahkan dengan hanya menggunakan teknik pengumpulan biasa .... Menurut para penyusun profil profesional, tidak ada yang mistis mengenai pekerjaan mereka, prosedur yang mereka gunakan dengan baik didasarkan pada akar sosiologis dan psikologis).
Pentingnya criminal profiling dalam suatu kejahatan pembunuhan didasari oleh lebih terpolanya ciri-ciri kepribadian seorang pelaku pembunuhan jika dibandingkan dengan orang yang tidak membunuh, seperti yang dituturkan oleh Ressler (1985):
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
“All people have personality traits that can be more or less identified. However, an abnormal persons becomes more ritualized, displaying a distinct pattern to his behavior. Many times, the behavior and personality are reflected in the crime scene in the same manner that furnishing in a home reflect the character of the owner.”(Ressler et al. dalam Geberth, 2003).
(Semua orang memiliki kepribadian yang lebih atau kurang dapat di identifikasi. Namun, orang yang abnormal kepribadian tersebut menjadi lebih bersifat ritual, menampilkan suatu pola yang berbeda pada perilakunya jika dibandingkan orang umum. Seringkali, perilaku dan kepribadian tersebut tercermin dalam TKP, yang tergambarkan dengan cara yang sama jika dianalogikan dengan perabotan di sebuah rumah yang mencerminkan karakter sang pemilik).
Penelitian yang dilakukan memakai populasi data artikel berita kasus kejahatan pembunuhan pada Harian Pos Kota di wilayah Jabodetabek selama kurun waktu 2007 hingga 2011, dengan total kasus sebanyak 858 kasus. Sementara sampel penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi (total sampling). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini juga merupakan populasi penelitian, yakni artikel berita kasus kejahatan pembunuhan pada Harian Pos Kota di wilayah Jabodetabek selama kurun waktu 2007 hingga 2011. Alasan sampel tersebut dipilih, karena menurut peneliti Harian Pos Kota hingga kini masih secara konsisten memberitakan kasus-kasus kejahatan terutama kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah Jabodetabek, dan merupakan salah satu harian dengan tipe jurnalisme kuning, sesuai dengan pernyataan Sumadiria (2005) yang menuturkan bahwa salah satu ciri dari koran kuning adalah menggunakan pendekatan jurnalistik yang menekankan pada unsur seks, konflik, dan kriminal. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis isi dengan ragam unobtrusif (unobstrusive methods). Menurut Arikunto dalam buku “Manajemen Penelitian” analisis isi atau analisis dokumen adalah metode penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara, tulisan, atau bentuk rekaman lainnya (Arikunto, 2003). Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Krippendorff yang mengemukakan bahwa analisis isi adalah metode yang tidak terkontaminasi oleh prosedur pengumpulan data/unobtrusif (Krippendorff, 2004). Sementara ragam unobtrusif merupakan ragam yang merujuk pada metode ilmu sosial yang tidak mengganggu lingkungan sosial itu sendiri. Metode ini adalah metode yang tidak melibatkan penggunaan instrumen wawancara dengan masyarakat yang diteliti.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Temuan Data Penelitian ini mendapatkan beberapa hasil, seperti tingginya tingkat pembunuhan di Jabodetabek pada bulan Maret dan Agustus, dan bulan dengan tingkat pembunuhan terendah pada bulan Februari. Diagram 1. Bulan Kejadian
Sumber: Data Primer
Dari total jumlah kasus sebanyak 858 kasus pembunuhan dalam kurun waktu 20072011 di wilayah Jabodetabek, data diatas menunjukkan bahwa kasus pembunuhan terbanyak tercatat pada bulan Maret, yakni sebanyak 99 kasus atau sebesar 11,5 %, diikuti oleh bulan Agustus sebanyak 92 kasus atau sebesar 10,7%, bulan April sebanyak 85 kasus atau sebesar 9,9%, Mei sebanyak 78 kasus atau sebesar 9,1%, Oktober sebanyak 77 kasus atau sebesar 9,0%, Juni sebanyak 67 kasus atau sebesar 7,8%, November sebanyak 65 kasus atau sebesar 7,6%, September sebanyak 62 kasus atau sebesar 7,2%, Desember sebanyak 61 kasus atau sebesar 7,1%, Januari dan Juli masing-masing sebanyak 60 kasus atau sebesar 7,0%, dan Februari sebanyak 52 kasus atau sebesar 6,1%. Dari tabel diatas, terlihat bahwa penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Lee, Broadhurst, dan Beh (2006) yang menyatakan adanya peningkatan kasus pembunuhan di Hongkong selama bulan Juli, dan bulan-bulan musim panas seperti Mei dan September. Dalam konteks Jabodetabek, ketiga bulan tersebut justru merupakan bulan-bulan yang memiliki tingkat pembunuhan yang cukup rendah. Tingkat pembunuhan tertinggi di
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Jabodetabek justru terjadi di Maret dan Agustus, yang mana di dalam penelitian mereka, bulan-bulan tersebut adalah bulan-bulan dengan tingkat pembunuhan yang cukup rendah. Tabel 1. Motif Pembunuhan Frekuensi
Persentase
Ekonomi
231
26,9
Balas Dendam
112
13,1
Cinta
57
6,6
Dorongan Seksual
24
2,8
190
22,1
38
4,4
Tidak Tercantum
206
24,0
Total
858
100,0
Emosi Lain-lain
Sumber: Data Primer
Sementara dari sisi motif pembunuhan, dari total 858 kasus pembunuhan yang diteliti, pembunuhan dengan motif ekonomi berada pada peringkat pertama dengan jumlah 231 kasus atau sebesar 26,9%, diikuti oleh pembunuhan yang tidak tercantum dalam pemberitaan sebanyak 206 kasus atau sebesar 24%, kemudian pembunuhan pembunuhan yang didasari oleh luapan emosi yang berlebih ketika kejadian sebanyak 190 kasus atau sebesar 22,1%, balas dendam sebanyak 112 kasus atau sebesar 13,1%, pembunuhan yang didasari oleh cinta sebanyak 57 kasus atau sebesar 6,6%, lain-lain sebanyak 38 kasus atau sebesar 4,4%, dan pembunuhan dengan motif dorongan seksual yang dipaksakan pada korbannya sebanyak 24 kasus atau sebesar 2,8%. Apabila pembunuhan akibat faktor ekonomi tersebut dikaitkan dengan jumlah dan kepadatan penduduk Jabodetabek yang tinggi menjadi sangat logis karena banyaknya jumlah kepala dalam satu keluarga akan menjadi beban ekonomi tersendiri bagi sang kepala keluarga, dengan begitu padatnya penduduk Jakarta sebagai Ibukota negara, baik kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai kota satelit bagi Jakarta juga akhirnya merasakan imbas dari begitu padatnya Ibukota negara. Sebagai kota satelit, keempat kota tersebut menjadi ‘gudang limpahan’ penduduk yang tidak mampu tertampung di Jakarta. Begitu pula kontrol pemakaian minuman beralkohol di masyarakat kita yang masih sangat rendah. Dalam keadaan mabuk, alkohol dapat mempengaruhi rasionalitas pelaku dalam mempertimbangkan untung dan rugi pada saat kejadian secara signifikan. Hal ini terbukti dari tabulasi silang yang memperlihatkan hampir 30% kasus pembunuhan yang valid terdapat keterlibatan alkohol pada pelakunya, dan seringkali alkohol juga kerap diminum oleh
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
pelaku setelah melakukan kejahatan demi mencoba ‘lari’ dari keadaan yang baru saja ia perbuat. Tabel 2. Tabulasi Silang Motif Pembunuhan dengan Pelaku Peminum Alkohol Pelaku Peminum Alkohol Ya Ekonomi Motif Pembunuhan Lainnya
Total
Jumlah Total % Jumlah Total % Jumlah Total %
Total
Tidak 15
29
44
6,3%
12,1%
18,4%
54
141
195
22,6%
59,0%
81,6%
69
170
239
28,9%
71,1%
100,0%
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 239 kasus, sebesar 71,1% atau sebanyak 170 kasus pembunuhan tidak melibatkan penggunaan minuman keras dalam kejadiannya, dan sebesar 28,9% atau 69 kasus pembunuhan yang melibatkan penggunaan minuman keras pada pelakunya. Sementara sebesar 81,6% atau sebesar 195 kasus motif pembunuhan tercatat merupakan pembunuhan dengan motif selain faktor ekonomi, dan sebesar 18,4% atau sebanyak 44 kasus adalah pembunuhan yang didasari oleh faktor ekonomi. Dari 239 kasus, sebanyak 141 kasus atau sebesar 59,0% merupakan pembunuhan tanpa keterlibatan minuman keras dan dengan motif selain faktor ekonomi, dan sebesar 12,1% atau sebanyak 29 kasus merupakan pembunuhan tanpa keterlibatan minuman keras dan dengan motif ekonomi. Sementara pembunuhan dengan keterlibatan minuman keras dan didasari oleh motif selain faktor ekonomi sebesar 22,6% atau sebanyak 54 kasus, dan pembunuhan dengan keterlibatan minuman keras dan dengan motif ekonomi 6,3% atau sebanyak 15 kasus. Perbandingan temuan penelitian ini dan temuan penelitian Saridakis (2004) menunjukkan betapa kurangnya kontrol pemerintah dalam menghadapi penjualan minuman keras baik secara legal maupun ilegal, karena pada temuan Saridakis, penggunaan minuman keras dalam kasus pembunuhan hanya sekitar 10% dari total kasus, sementara penelitian ini menemukan setidaknya 28,9% dari total kejahatan pembunuhan yang valid melibatkan penggunaan minuman keras pada pelakunya di kejadian pembunuhan. Pada kasus pembunuhan dengan keterlibatan narkotika di Jabodetabek, kasus-kasus yang ada masih tergolong sangat sedikit, karena pada kasus-kasus jenis ini, pelaku dan korban berasal dari
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
golongan menengah keatas, dan motif pembunuhan yang dimiliki oleh kasus jenis ini tidak dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Penelitian ini juga menemukan kurangnya kontrol masyarakat sebagai penghambat seseorang untuk melakukan pembunuhan. Hal tersebut dibuktikan oleh pengawasan fasilitas umum dan lingkungan perumahan yang masih rendah, sehingga menyebabkan tingginya kejahatan pembunuhan yang dilakukan di kawasan hunian dan fasilitas umum. Tabel 3. Jenis Tempat Kejadian Frekuensi
Persentase
Rumah/Hunian
378
44,1
Fasilitas Umum
328
38,2
Kebun/Taman Kota
48
5,6
Sungai
37
4,3
Lain-lain
42
4,9
Tidak Tercantum
25
2,9
858
100,0
Total
Sumber: Data Primer
Pada 858 kasus yang diteliti selama kurun waktu 2007-2011 ini, pembunuhan yang dilakukan di dalam rumah/hunian mendominasi jumlah kasus dengan total 378 kasus atau sebesar 44,1%, diikuti oleh pembunuhan yang terjadi di fasilitas umum sebanyak 328 kasus atau sebesar 38,2%, pembunuhan yang terjadi di kebun/taman kota sebanyak 48 kasus atau sebesar 5,6%, lain-lain sebanyak 42 kasus atau sebesar 4,9%, pembunuhan yang bertempat kejadian perkara di sungai sebanyak 37 kasus atau sebesar 4,3%, dan berita yang tidak mencantumkan tempat kejadian sebanyak 25 kasus atau sebesar 2,9%. Mayoritas penggunaan jenis senjata pada kasus pembunuhan yang diteliti pada penelitian berbeda dengan dengan apa yang ditemukan pada penelitian Kaplan dan Geling (1998) yang mendapatkan hasil bahwa senjata api adalah senjata mayoritas dalam pembunuhan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada kasus yang terjadi di wilayah Jabodetabek, mayoritas senjata yang digunakan adalah senjata tajam. Namun hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan senjata pembunuh benar-benar dilandasi oleh ketersediaan senjata tersebut pada saat kejadian.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Tabel 4. Jenis Senjata Pembunuh Frekuensi
Persentase
Senjata Tajam
450
52,4
Benda Tumpul
90
10,5
Senjata Api
31
3,6
113
13,2
Jerat/Bekap
53
6,2
Lain-lain
60
7,0
Tidak Tercantum
61
7,1
858
100,0
Tangan Kosong/Cekik
Total Sumber: Data Primer
Dari total 858 kasus yang diteliti, pembunuhan menggunakan senjata tajam menempati urutan pertama dengan total 450 kasus atau sebesar 52,4%, diikuti oleh pembunuhan menggunakan tangan kosong atau dicekik menggunakan tangan sebanyak 113 kasus atau sebesar 13,2%. Pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan benda tumpul menempati urutan ketiga dengan jumlah 90 kasus atau sebesar 10,5%, berita yang tidak mencantumkan senjata pembunuh sebanyak 61 kasus atau sebesar 7,1%, lain-lain sebanyak 60 kasus atau sebesar 7,0%, pembunuhan menggunakan jerat atau bekap menggunakan alat sebanyak 53 kasus atau sebesar 6,2%, dan pembunuhan yang menggunakan senjata api menempati posisi terakhir dengan jumlah kasus sebanyak 31 atau sebesar 3,6%. Penelitian Kaplan dan Geling di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa kepemilikan senjata api turut mendukung signifikansi pembunuhan menggunakan senjata api, sementara jika dilihat dalam konteks Indonesia, penggunaan senjata api oleh sipil yang dikategorikan sebagai tindakan ilegal turut menekan penggunaan senjata api pada kasus pembunuhan. Akan tetapi, ketersediaan senjata tajam yang sangat luas dan masif di masyarakat turut membuat pembunuhan yang dilakukan menggunakan senjata tajam sebagai senjata pembunuh mayoritas dalam penelitian ini. Sementara dari sisi kekurangan penelitian ini, hasil yang ada tidak didasarkan pada data primer yang dimiliki oleh kepolisian, tetapi menggunakan data pemberitaan media massa, sehingga data yang ada tidak merepresentasikan fenomena yang ada secara lebih detail. Ketidaktersediaan data Berita Acara Pembunuhan (BAP) dalam penelitian ini berkaitan dengan penyediaan data valid untuk kepentingan penelitian pada kasus-kasus kejahatan pembunuhan di wilayah Jabodetabek oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). POLRI sebagai salah satu institusi penegakan hukum belum mampu untuk
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
memberikan poin-poin dalam Criminal Profiling secara detail dan terbuka pada khayalak akademisi. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Finlandia, seperti apa yang dituturkan oleh Hakkanen (2005) dalam penelitiannya tentang pembunuhan menggunakan jerat, data-data seperti evaluasi psikiatri forensik yang dikumpulkan dari berbagai sumber (anggota keluarga, kerabat, catatan medis dan kriminal, sekolah dan catatan militer), evaluasi kejiwaan, tes psikologi standar, wawancara oleh seorang pekerja sosial atau psikolog, evaluasi kondisi fisik pelaku dan pengamatan pelaku oleh staf rumah sakit dapat didapatkan demi kepentingan penelitian. Dalam konteks Jabodetabek, penelitian ini mengalami beberapa hambatan diantaranya adalah masih minimnya detail-detail dalam data yang ada, seperti jumlah anak dan istri dari pelaku, abnormalitas fisik dan psikis, sejarah kriminalitas pelaku, kebiasaan pelaku, kepribadian pelaku, dan lainnya. Hal tersebut tidak ditemukan dalam data yang peneliti miliki, sebagai akibat dari minimnya manajemen pendataan dan pengarsipan yang dilakukan oleh pihak POLRI. Data seperti BAP, hasil psikotes, dan hasil tes psikiatri pelaku sebagai data yang saling terkait tidak dijadikan sebagai satu kesatuan arsip untuk kepentingan pendataan, dan tidak bisa dibuka untuk kepentingan di luar institusi. Padahal, jika data tersebut terangkum dalam satu kesatuan utuh dan dapat diakses oleh orang-orang yang berkepentingan diluar institusi, data yang ada bukan hanya dapat digunakan untuk kepentingan akademis, namun juga dapat memberikan persepektif baru dalam sebuah pemberitaan kejahatan di media massa, terutama pemberitaan kejahatan pembunuhan apabila data tersebut dapat digunakan oleh para jurnalis. Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada khayalak umum untuk lebih meningkatkan awareness akan kemungkinan menjadi korban kejahatan pembunuhan, seperti peningkatan awareness masyarakat pada bulan-bulan yang memiliki intensitas pembunuhan yang tinggi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena mereka dapat menjadi korban potensial dalam perampokan yang dapat berujung pada pembunuhan. Hal tersebut berlaku juga dalam kaitannya dengan jenis tempat pembunuhan, khayalak umum dapat menghindari tempat-tempat potensial yang telah disebutkan sebelumnya, dan apabila masyarakat tidak mampu untuk menghindari, mereka telah melakukan tindakan hardening pada diri dan propertinya untuk mengurangi kemungkinan menjadi korban kejahatan, terutama kejahatan pembunuhan atau kejahatan lain yang berpotensi menyebabkan korbannya terbunuh. Sementara bagi pihak pembuat kebijakan, peneliti berharap dengan adanya hasil
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
penelitian ini, criminal policing yang dibuat kedepannya menjadi lebih mutakhir, lebih ‘membumi’, lebih sensitif pada isu-isu kekinian yang ada dalam masyarakat kita. Crime Pattern sebagai awal landasan berpikir untuk masuk ke dalam Criminal Profiling merupakan satu bentuk usaha untuk menggambarkan secara umum suatu kejahatan, baik dari sisi karakteristik pelaku, karakteristik korban, kerugian-kerugian yang ditimbulkan, hingga lokasi kejadian, sementara Criminal Profiling sebagai pembuka jalan untuk masuk ke dalam ‘pola berpikir’ seorang pelaku kejahatan secara psikologis, peneliti yakini mampu membuat perbedaan yang signifikan dalam pembuatan criminal policy yang lebih baik, karena pelaku kejahatan sebagai aktor yang telah melakukan kejahatan, biasanya memiliki kepribadian yang lebih bersifat ritual, yang menampilkan suatu pola yang berbeda pada perilakunya jika dibandingkan orang umum (Ressler dalam Geberth, 2003), dan karena lebih terpolanya pola pikir dari sang pelaku, jika hal tersebut ke dalam satu bentuk pemetaan hal tersebut akan membuat criminal policy yang telah ada menjadi semakin dinamis karena ikut melibatkan bagaimana cara berpikir dari pelaku, yang kemudian cara berpikir tersebut dianalisis bersama dengan konsensus sosial yang ada, sehingga menyebabkan terjadi perpaduan antara konsep kriminologi yang bersifat sosiologis (bagaimana suatu kejahatan berefek pada masyarakat) dengan kriminologi yang bersifat psikologis (bagaimana pelaku kejahatan berpikir ketika melakukan kejahatannya), dan akhirnya juga akan mempermudah para penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk memproses kasus-kasus yang ada berdasarkan criminal policy yang telah termutakhirkan tersebut, karena criminal policy yang ada telah ikut mempertimbangkan pola pikir pelaku sebagai dasar dari penjatuhan hukuman. Namun, dalam upaya untuk memutakhirkan criminal policy tersebut diperlukan data-data pendukung seperti penelitian yang juga lebih maju, dan data penelitian yang mutakhir juga memerlukan sumber-sumber data yang lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Apabila, sumber-sumber data yang ada belum mampu untuk memberikan informasi yang lebih detail, proses pemutakhiran criminal policy pun berkemungkinan besar untuk terhambat. Kesimpulan Penelitian pola pembunuhan di Jabodetabek ini mendapatkan beberapa hasil, diantaranya adalah adanya hasil yang signifikan untuk pelaku dan korban yang berjenis kelamin laki-laki, tingkat pemakaian alkohol pada pelaku, pelaku dan korban yang saling mengenal, kurangnya pengawasan pada fasilitas umum, faktor ekonomi sebagai motif
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
pembunuhan, dan penggunaan senjata tajam. Sementara tidak ditemukan hasil yang signifikan untuk keterlibatan narkotika pada pelaku. Hasil penelitian ini juga menunjukkan dari kurun waktu tahun 2007 hingga 2011, tahun 2009 merupakan tahun dengan tingkat pembunuhan tertinggi, diikuti tahun 2011, 2010, 2008, dan tahun 2007. Pembunuhan tertinggi terjadi pada wilayah Jakarta, diikuti oleh Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Sedangkan dari sisi bulan, pembunuhan tertinggi dilakukan pada bulan-bulan dengan musim pancaroba seperti Maret dan Agustus. Jika dikaitkan pada teori yang sudah dijabarkan sebelumnya, peneliti menarik kesimpulan pada penelitian ini bahwa pada poin-poin dasar seperti pengelompokkan jenis kelamin pelaku dan korban, umur, status sosial ekonomi, bulan kejadian, tahun kejadian, dan lokasi dari tempat kejadian perkara pembunuhan dapat dilakukan sesuai dengan Crime Pattern Theory dan kejahatan pembunuhan dapat dikategorikan sebagai tipe kejahatan Hot Prey, yaitu sekelompok kejahatan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu, yang melibatkan korban yang berbagi karakteristik fisik yang sama dan/atau terlibat dalam perilaku yang sama. Criminal Profiling sebagai bentuk ekstensif dari Crime Pattern juga dapat diadaptasikan dalam konteks Jabodetabek, namun Criminal Profiling dengan metode unobstrusive masih belum dapat dilakukan secara maksimal karena beberapa hal, di antaranya adalah masih minimnya detail-detail dalam data yang ada, seperti jumlah anak dan istri dari pelaku, abnormalitas fisik dan psikis, sejarah kriminalitas pelaku, kebiasaan pelaku, kepribadian pelaku, dan lainnya dalam data penelitian yang peneliti ambil.
Daftar Pustaka Arikunto, S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Analysts, I. A. (2011). Crime Pattern Definitions for Tactical Analysis. Overland Park: KS Author. Bartol, C. R., & Bartol, A. M. (2004). Psychology and Law: Theory, Research, and Application. California: SAGE Publications, Inc. Blumer, H. (1998). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. London: University of California Press. Brantigham, P., & Brantingham, P. (1984). Patterns in Crime. New York: Macmillan Publishing Company. Clarke, R. V. (1997). Situational Crime Prevention, 2nd Edition. New York: Harrow and Heston Publishers. Crow, I., & Semmens, N. (2006). Researching Criminology. New York: Open University Press. Dressler, J. (2002). Encyclopedia of Crime and Justice Vol.4, 2nd Edition. New York: Macmillan Reference USA.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Ebisike, N. (2008). Offender Profiling in the Courtroom: the Use and Abuse of Expert Witness Testimony. Connecticut: Praeger Publishers. Geberth, V. J. (2003). Sex-Related Homicide and Death Investigation: Practical and Clinical Perspectives. Boca Raton: CRC Press LLC. Hakkanen, H. (2005). Homicide by ligature strangulation in Finland: Offence and offender characteristics. Forensic Science International , 152, 61–64. Kadish, S. H. (1983). Encyclopedia of Crime and Justice, Vol.2. New York: The Free Press. Kaplan, M. S., & Geling, O. (1998). Firearm Suicides and Homicides in The United States: Regional Variations and Patterns of Gun Ownership. Soc. Sci. Med. , 46, 1227-1233. Krippendorff, K. H. (2004). Content Analysis: An Introduction to its Methodology, 2nd Edition. California: Sage Publications Ltd. Kusumah, M. W. (1988). Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perspektip Kriminologi. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia. Lawang, R. M. Z. (1985). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika. Lee, K., Broadhurst, R., & Beh, P. S. (2006). Triad-related homicides in Hong Kong. Forensic Science International , 162, 183–190. Mustofa, M. (2007). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: FISIP UI Press. Petherick, W. A., Turvey, B. E., & Ferguson, C. E. (2010). Forensic Criminology. London: Elsevier Academic Press. Saridakis, G. (2004). Violent Crime in the United States of America: A Time-Series Analysis between 1960-2000. The American Journal of Economics and Sociology, 3-38. Sunarto, K. (2000). Pengantar Sosiologi, Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Sumadiria, A. S. (2005). Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wilbanks, W. (1982). Murdered women and women who murder: A critique of the literature. dalam N. H. Rafter, & E. Stanko, Judge, lawyer, victim, thief, gender roles, and criminal justice. Boston: Northeastern University Press.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Curriculum Vitae Personal Details Full Name Sex Place, Date of Birth Nationality Marital Status Height, Weight Health Religion Address Mobile Phone E-mail
: Esa Lanang Perkasa : Male : Jakarta, August 7, 1990 : Indonesian : Single : 173 cm, 56 kg : Perfect : Moslem : Jl. Mandor Hasan No. 22 RT. 007/06, Kel. Cipayung, Kec. Cipayung, Jakarta Timur 13840 : 08 56 93 11 30 44 : 021 84 30 80 35 :
[email protected] /
[email protected]
Educational Background 1996-1997 1997-2002 2002-2005 2005-2008 2008-now
: Lenteng Agung 01 State Elementary School, Jakarta : Bambu Apus 01 State Elementary School, Jakarta : PB Soedirman Junior High School, Jakarta : 99 State Senior High School, Jakarta : Department of Criminology, University of Indonesia, Jakarta
Course & Education 2002-2005 2005-now 2006-2009 2013-now
: Gojukai Indonesia Karate Martial Arts, Jakarta : Inkatsu Pordibya Karate Martial Arts, Jakarta : English Course at LIA Pengadegan, Jakarta : French Course at IFI Wijaya, Jakarta
Working Experiences May – July 2010 April 2010 June 2010 February 2011 July-August 2011 Organization Experiences 2006-2007 2006-2007 2007-2009 2009-2010 2011-2012
: Field Researcher of Street Children Research Joint Project of Department of Criminology UI and National Narcotics Board (BNN), Jakarta : Invigilator of University of Indonesia Entrance Selection (SIMAK-UI) 2010, Jakarta : Invigilator of National University Entrance Selection (SNMPTN) 2010, Jakarta : Chief of Security Division of Hypnosis for Examination (HypnoExaming) 2011, Jakarta : Internship at Directorate of Law and Cooperation, National Narcotics Board (BNN), Jakarta : Head of Karate Extra Extracurricular, 99 State Senior High School, Jakarta : Head of Sports and Arts Division, 99 State Senior High School, Jakarta : Vice Head of Karang Taruna RW. 06 Cipayung, Jakarta : Staff of Sports Division, BEM UI 2010, Depok : External Public Relations of Himpunan Mahasiswa Kriminologi (HIMAKRIM) UI 2011, Depok
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013
Committee Experiences April 2009 September 2009 November 2009 November 2009 April 2010 November 2010 November 2010 August 2011 September 2011 February 2013 April 2013
Seminar and Workshop August 19-20, 2006 June 3, 2009 December 21, 2009
April 7-9, 2009
May 29, 2010 February 14, 2013
: Liaison Officer of Open House Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI Event, Depok : Staff of Publication and Documentation of OLIMPIADE ILMIAH SISWA (OIS FISIP UI), BEM FISIP UI 2009 Event, Depok : Security Division of BEDAH KAMPUS UI 2009, BEM UI 2009 Event, Depok : Head of Film Competition, KRIMOGRAPHY 2009, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI Event, Depok : Head of Security Division of UI SPORTS REBORN 2010, BEM UI 2010 Event, Depok : Head of Security Division of UI FESTIVAL 2010, BEM UI 2010 Event, Depok : Security Division of BEDAH KAMPUS UI 2010, BEM UI 2010 Event, Depok : Mentor of PPA IKM FISIP UI 2011, BEM FISIP UI 2010 Event, Depok : Liaison Officer of INDONESIAN LEADERSHIP CAMP 2011, Student Directorate’s, University of Indonesia Event, Depok : Event Division of JAKARTA CRIME PATTERN IN 2012 SEMINAR by Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok : Event Division of ASSET RECOVERY OFFICE PROJECTS SEMINAR by Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok : Participant of “Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) 99 State Senior High School Jakarta”, Cisarua-Bogor. : Participant of National Seminar “Online Child Pornography”, Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok. : Participant of Workshop “Invisible Victims: Anak-anak dari Perempuan yang Berada dalam Penjara”, Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok. : Participant of National Symposium and Seminar “The Role of University in the Community Based and Sustainable Development of Papua”, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok. : Participant of Seminar “Tumpas Narkoba Tuntas: Remaja dengan Narkoba, Korban atau Kriminal?” Faculty of Public Health (FKM) UI, Depok. : Participant of Seminar “Tren Kejahatan 2012 dan Prediksi Kriminalitas 2013 di Jakarta (Hasil Riset Berita Harian Pos Kota)”, Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences (FISIP) UI, Depok.
Pola Pembunuhan..., Esa Lanang Perkasa, FH UI, 2013