PENOLAKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA PENAHANAN (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt)
SKRIPSI
LILIS FEBRIYANTI E1A008027
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
Lembar Pengesahan Skripsi PENOLAKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA PENAHANAN (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt).
Disusun Oleh : LILIS FEBRIYANTI E1A008027 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Agustus 2012 Pembimbing I
Pranoto, SH, MH NIP. 19540305 198601 1 001
Pembimbing II
Penguji
Handri Wirastuti S.,SH.,MH NIP. 19581019 198702 2 001
Sanyoto, S.H., M.Hum NIP. 19610123 198601 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,SH.,MS NIP.19520603 198003 2 001 SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: LILIS FEBRIYANTI
NIM
: E1A008027
Judul Skripsi
: PENOLAKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA PENAHANAN (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto,
Agustus 2012
Lilis Febriyanti E1A008027
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PENOLAKAN PERMOHONAN
PRAPERADILAN
TENTANG
TIDAK
SAHNYA
PENAHANAN (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Pranoto, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan, waktu dan masukan selama penulisan skripsi ini. 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing II Skripsi atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 4. Sanyoto, S.H., M.Hum. Selaku dosen Penguji Skripsi yang telah memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis. 5. Djumadi, S.H., S.U. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum.
6. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Kedua orang tua, kakak penulis Davied Eko Prasetyo dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan selalu memberi semangat kepada penulis. 8. Seluruh teman-teman penulis angkatan 2008, sahabat-sahabat tersayang Bocil, Dian, Cathy, Tatha, Sasa, Dita atas kebersamannya selama kita berproses dikampus tercinta ini. 9. Keluarga besar KKN POSDAYA “Makmur Sedoyo” Desa Gunung Mujil Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen, Nitta, Winnie, Ican, Mada, Riksa, Andes, Endro atas perjuangan bersama selama 35 hari. 10. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto,
Agustus 2012
Lilis Febriyanti E1A008027
ABSTRAK Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga praperadilan yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP yang salah satu wewenangnya untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Berdasarkan Putusan Nomor 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt Mustari sebagai pemohon terhadap penahanan tersangka (SK) sebagai orang tua tersangka melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan dengan alasan bahwa penahanan terhadap (SK) yang dinilai tidak sah dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pertimbangan hukum hakim menolak permohonan praperadilan adalah pendapat pribadi dan merupakan dalil yang sangat subyektif dari Pemohon serta tidak didukung oleh bukti-bukti sebagaimana ketentuan Perundang-undangan (Pasal 21 KUHAP). Sehingga dasar hukum dalam mengajukan permohonan praperadilan tidak relevan dengan ketentuan tentang praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Ditolaknya permohonan praperadilan pada Putusan No. 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt yang diajukan oleh pemohon SK mengenai penahanannya dalam tindak pidana pencabulan anak dibawah umur sudah sesuai dengan ketentuan penahanan dalam KUHAP. Karena terpenuhinya syarat subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, serta terpenuhinya syarat obyektif yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sehingga berdasarkan pertimbangan di atas maka hakim menyatakan bahwa permohonan praperadilan dari Pemohon (SK) dinyatakan ditolak dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah sah berdasarkan hukum dan penahanan tetap diteruskan. Kata Kunci : Penolakan, Praperadilan, Tidak Sahnya Penahanan
ABSTRACT
One to ensure the protection of the rights of a suspect or defendant in the criminal justice process is through institute of pretrial which arranged for in Article 1 point 10 KUHAP explain that pretrial is country competent of court to check and break about their legality of a detention at the request of the suspect or his family or others for the power of the suspects. In the District Court Purwokerto 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt Mustari as the applicant to the detention of suspects (SK) as a parent suspects through its legal counsel to apply for pretrial detention on the grounds that (SK) are considered invalid and are not based on legislation. Because of (SK) was not reported by victims. Legal considerations are pretrial judge rejected a request personal opinion and is a highly subjective argument of the applicant and not supported by evidence, as the provisions of Regulations (Article 21 of the KUHAP). So that the legal basis to apply for pretrial is not relevant to the provisions of the pretrial hearing as provided for in the KUHAP. Rejection of the Decision No. 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt decree filed by the applicant regarding his detention in criminal sexual abuse of minors is in conformity with the provisions of detention in the KUHAP. Because the fulfillment of the terms subjective as provided in Article 21 paragraph (1) KUHAP, as well as the fulfillment of the objective requirements set forth in Article 21 paragraph (4) KUHAP. So based on the considerations above, the pretrial judge stated that the petition of the Petitioner (SK) expressed rejection and detentions carried out by the Respondent is valid under the law and arrests continue. Key World : Rejection, Pretrial, No Legality Of Detention
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii SURAT PERNYATAAN ................................................................................. iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................ vi ABSTRACT ...................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................ 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ....................................... 6 B. Asas-asas Hukum Acara Pidana .......................................................... 12 C. Penyidikan ............................................................................................ 23 1. Pengertian Penyidikan ...................................................................... 23 2. Tahap-Tahap Penyidikan .................................................................. 25 3. Wewenang Penyidik ......................................................................... 33 D. Penahanan ............................................................................................ 37 1. Pengertian Penahanan ....................................................................... 37 2. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penahanan ............................... 38 3. Syarat-Syarat Penahanan ................................................................ 39 4. Jangka Waktu Penahanan ................................................................ 44 5. Jenis Penahanan ............................................................................... 46 D. Praperadilan …………………………………………………………..49 1. Pengertian Praperadilan ……………………………………………49
2. Wewenang Praperadilan …………………………………………...51 3. Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Praperadilan ............ 53 4. Pengajuan Dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan ..................... 56 5. Upaya Hukum Praperadilan ............................................................ 59 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ................................................................................ 61 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 61 C. Lokasi Penelitian .................................................................................. 61 D. Sumber Data ........................................................................................ 61 E. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 62 F. Metode Penyajian Data ......................................................................... 63 G. Metode Analisis Data .......................................................................... 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................... 64 B. Pembahasan .......................................................................................... 82 BAB V PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................. 100 B. Saran ................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu bentuk hukum publik adalah hukum pidana. Hukum pidana sendiri dapat dibagi pula menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, hukum pidana materiil merupakan hukum yang berisi tentang materi hukuman, pengaturannya terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan delik-delik diluar KUHP, sedangkan hukum pidana formil atau dapat disebut juga Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara dan proses beracara bagi setiap orang dan penegak hukum yang akan beracara di ranah pidana, diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya KUHAP (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : “Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. Bambang Poernomo1 berpendapat bahwa :
KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana dinyatakan berlaku harus ditaati, dalam pengertian bahwa bagi para teoritis banyak hal dapat diperbuat untuk disumbangkan kepada kebutuhan penerapan hukum agar dapat berlaku dan hidup sesuai dengan cita-cita hukum.
Salah satu tujuan adanya acara pidana adalah sebagai sarana penegakan ketertiban dan kepastian hukum atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh 1
Bambang Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, Hal. 163.
tersangka atau terdakwa yang telah melanggar norma-norma di masyarakat ataupun telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam KUHP ataupun aturan diluar KUHP. Menurut Moch Faisal Salam2 bahwa : Apa yang diatur didalam hukum acara pidana adalah cara- cara yang harus ditempuh dalam menegakan ketertiban umum dalam masyarakat, namun sekaligus juga bertujuan melindungi hak- hak asasi tiap- tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggaar hukum. Tahapan penegakkan hukum acara pidana dalam KUHAP meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan. Bagian paling penting dalam pengungkapan suatu perkara adalah diadakannya penyidikan dalam rangka suatu perkara menjadi terang atau jelas dan dalam usaha untuk menentukan si pelaku tindak pidana dalam penyidikan. Pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud penyidikan adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Kewenangan penyidik dalam penyidikan dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, melakukan penahanan terhadap orang tersebut hingga dapat melakukan penggeledahan, dan penyitaan terhadap barang-barang yang diduga berhubungan dengan suatu tindak pidana tersebut. Upaya untuk mempermudah proses penyidikan maka diperlukan penahanan kepada tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Penahanan didalam KUHAP diatur dalam Pasal 1 angka 21 yaitu : 2
Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, Hal. 1.
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.” Pelaksanaan penahanan jika menurut tersangka atau terdakwa penahanannya tidak memenuhi syarat hukum untuk dilakukannya penahanan dan tidak berdasarakan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya KUHAP maka tersangka atau terdakwa dapat melakukan upaya praperadilan. Seorang tersangka dapat mengajukan permohonan praperadilan berkenaan dengan penahanan diluar prosedur yang dilakukan terhadapnya sebagai salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka dalam proses peradilan pidana. Ini berarti sebagai upaya kontrol terhadap proses penyidikan agar dalam melakukan penahanan, wajib dipenuhi syarat hukum sebagaimana diatur KUHAP. Adanya lembaga praperadilan didalam KUHAP mencerminkan adanya asas equality before the law seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dengan diaturnya praperadilan dalam hukum acara pidana merupakan perwujudan terhadap harkat dan martabat manusia, dalam hal ini khususnya bagi tersangka atau terdakwa yang rentan terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa atau aparat penegak hukum dalam pemeriksaan pendahuluan. Dengan demikian lembaga praperadilan memberi suatu pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan tindakan hukum harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Agar para penegak hukum khususnya bagi pihak penyidik terhindar dari tuntutan maka penyidik harus cermat dan teliti dalam menganalisis hasil penyelidikan dari penyelidik
dan juga koordinasi dengan instansi-instansi penegak hukum yang lain agar proses penyidikan dapat sempurna. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt dapat diketahui bahwa Mustari sebagai pemohon terhadap penahanan tersangka (SK) selaku anaknya untuk bertindak demi kepentingannya sendiri, sebagai orang tua tersangka dihadapan hukum melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan dengan alasan, bahwa penahanan terhadap tersangka (SK) yang dinilai tidak sah dan tidak berdasarkan pada prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya KUHAP, sehingga penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang berjudul Penolakan Permohonan Praperadilan Tentang Tidak Sahnya Penahanan (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt).
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka Penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim yang menolak permohonan praperadilan pada Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt? 2. Apakah penolakan permohonan praperadilan pada Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt sudah sesuai dengan ketentuan penahanan di dalam KUHAP? C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim yang menolak permohonan praperadilan pada Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui penolakan permohonan praperadilan pada Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt dengan ketentuan penahanan di dalam KUHAP.
D. KEGUNAAN PENELITIAN a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang acara pidana terutama dalam proses praperadilan serta untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim menolak permohonan praperadilan tentang alasan tidak sahnya penahanan oleh pihak kepolisian. b. Kegunaan Praktis Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analistis penulis, dalam bidang Hukum Acara Pidana khususnya praperadilan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum pada hakekatnya merupakan sistem kaidah yang menata kehidupan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Untuk itu agar fungsi hukum dapat berdaya guna dan berhasil guna tentu saja diperlukan suatu pembinaan, pembangunan dan penegakan hukum. Oleh karena itu pemerintah sebagai pengatur kehidupan rakyatnya dan Indonesia sebagai negara rechtstaat perlu mengatur proses beracara antara dua pihak atau lebih agar setiap perselisihan tidak berkelanjutan dan bersifat obyektif, adil dan tidak memihak. Andi Hamzah3 menjelaskan bahwa : Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana biasa disebut juga sebagai hukum pidana formal yaitu : hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Bambang Poernomo4 memberikan penjelasan bahwa : Hukum acara pidana dalam pengertian yang spesifik dapat disempitkan menjadi peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan dan eksekusi putusan hakim. Peraturan hukum acara mengenai prosedur beracara perkara pidana ini menjadi bahan materi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, adapun hukum acara pidana dalam pengertian yang spesifik meliputi bidang yang luas diartikan bahwa penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan, penyidikan, putusan hakim, juga termasuk peraturan hukum tentang susunan peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada kaitannya dengan urusan perkara pidana. 3 4
Andi Hamzah, 2009, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 4 Bambang Poernomo, Op. Cit, Hal.14.
Pengaturan mengenai Hukum Acara Pidana terdapat dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan KUHAP, yang merupakan kodifikasi hukum acara pidana di Indonesia dan semua proses dalam beracara pidana diatur seluruhnya dalam KUHAP. KUHAP sendiri tidak menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian Hukum Acara Pidana, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang lainnya. Pengertian Hukum Acara Pidana lebih banyak didefinisikan oleh para ahli hukum, ada beberapa ahli hukum pidana mendefinisikan hukum acara pidana dilihat dari berbagai macam aspek seperti: 1. Definisi oleh J. De Kemper Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana Undang-Undang pidana dilanggar.5
2. Definisi oleh Simons Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapannya
mempergunakan
haknya
untuk
memidana
dan
menjatuhkan pidana.6 3. Definisi oleh Sudarto 5
Suryono Sutarto, 1987, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendikia Purna Dharma, Semarang, Hal.5. 6 Wirjono Prodjodikoro, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, Hal.15.
Hukum acara pidana ialah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang lain yang terlibat didalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.7 d. Definisi oleh C.S.T Kansil Hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi dapat juga disebut rangkaian kaedah-kaedah hukum tentang cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil.8 e. Van Bemmelen Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran 2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran duna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.9 Rumusan pengertian Hukum Acara Pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan
7
Ibid, Hal.15 C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 330. 9 Andi Hamzah, Op. Cit, Hal.6. 8
kebenaran dari suatu perkara pidana. Hakim tidak tergantung kepada apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh penasihat hukum terdakwa. Hakim bersifat aktif mencari kebenaran yang menurut "fakta" yang sebenarnya, bukan menurut apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa. Suatu peraturan yang dibentuk tentunya memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai karena peraturan yang apabila tidak memiliki tujuan maka tidak memiliki nilai kegunaan. Tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran, namun sebenarnya hukum acara pidana menentukan pula agar para hakim dapat menembus arah kebenaran atas perbuatan yang disangka telah dilakukan oleh orang. Dengan demikian hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah. Oleh karena itu para penegak hukum melalui polisi, jaksa, hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran yang benar-benar terjadi. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut : Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. Tujuan hukum acara pidana menurut R. Soesilo10 dalam bukunya Hukum Acara Pidana (prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum) berpendapat bahwa : Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasar hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan. Tujuan tersebut tekesan menitik beratkan bahwa tujuan hukum untuk mencari kebenaran dibutuhkan penegak hukum yang memiliki sumber daya manusia yang unggul, berakhlak baik, cerdas dan berani. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang baik dapat dilaksanakan jika penegaknya itu baik, karena berdasarkan filosofi dalam hukum jika untuk mewujudkan hukum yang baik maka penegaknya juga harus baik walaupun peraturan atau undang-undangnya itu kurang baik. Menurut Romli Artasasmita11 KUHAP memiliki 5 tujuan yaitu: a. b. c. d. e.
10
Perlindungan atas hak dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa) Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan Kualifikasi dan unifikasi hukum acara pidana Mencapai persatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum,Politeia, Bogor, Hal.19. 11 Romli Artasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Jakarta, Hal.27.
Pendapat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan hukum acara pidana selain untuk mencari kebenaran materiil juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia baik terhadap tersangka atau terdakwa dan korban kejahatan dihadapan persidangan. Bagaimanapun kedudukan manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia sesuai dengan Pancasila yang ada dalam sila ke dua yaitu kemanusian yang adil dan beradab dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang menegaskankan mengenai perlindungan atas Hak Asasi manusia di Indonesia. Untuk mewujudkan hukum acara pidana yang diinginkan diperlukan suatu fungsi agar tujuan itu dapat terealisasi, karena tujuan itu masih belum jelas dan abstrak maka dibutuhkan fungsi hukum acara pidana agar pelaksanaannya punya kegunaan yang mendukung untuk mendapatkan tujuan yang dinginkan. Menurut Mr.J.M. van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her Nederlandse Straf Frocesrecht, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah12, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara pidana adalah: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pengambilan putusan oleh hakim; c. Pelaksanaan dari putusan. Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acar pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai 12
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal 8-9.
suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Yang dimaksud asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orangorang yang berkepentingan dengan hukum acara pidana. KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. 13 Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana tersebut adalah : 1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit.
13
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan,Sinar Grafika, Jakarta, Hal 35.
Apalagi jika keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia. Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif, sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang berbunyi: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”. Menurut Bambang Poernomo14: Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja dalam waktu yang singkat. Proses yang sederhana diartikan penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran dalam bekerja yang berbelit-belit. Biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak: 1. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, 2. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, 3. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, 4. Berhak segera diadili oleh pengadilan. 2. Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence
14
Bambang, Poernomo, Op. Cit, Hal.66.
Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas ini juga dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap” Menurut M. Yahya Harahap15: Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalm setiap tingkat pemeriksaan: - Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, - Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Untuk menjamin agar asas praduga tak bersalah dapat ditegakan dalam setiap tingkat pemeriksaan, KUHAP telah memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa berupa hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh penegak hukum. 3. Asas Oportunitas Dalam hukum dikenal suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum, yang dikenal jaksa di Indonesia (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya dalam KUHAP).
15
M. Yahya, Harahap, Op. Cit, Hal. 40
Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Wewenang
penuntutan
dipegang
oleh
penuntut
umum.
Asas
Oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan kepada kejaksaan. Menurut A.Z Abidin Farid16 yang dikutip dalam buku Andi Hamzah memberikan rumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : Asas Oportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Andi Hamzah17 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi, demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. Mengenai kriteria kepentingan umum itu, di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
16 17
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 15. Ibid, Hal. 16.
Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan: “Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”. Saat membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang terdakwa, hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan tersebut atau tidak terpenuhinya ketentuan itu mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum”. Kecuali terhadap kasus kesusilaan dan anak-anak persidangan dilakukan dengan “pintu tertutup” alasannya karena kesusilaan dianggap masalah pribadi. Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan, ditakutkan jiwa batin si anak akan mengalami goresan atau luka. Menurut M. Yahya Harahap18 : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan pemeriksaan perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan pintu tertutup. Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan membawa akibat psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si anak.
18
M Yahya Harahap, Op. Cit, Hal 56.
Asas ini memberikan makna bahwa tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya penerapan sistem musyawarah dan mufakat. Landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka atau terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat penegak hukum terhadap tersangka atau terdakwa, tidak ada atau tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri tersangka atau terdakwa. Semua hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan yang disangkakan kepada tersangka sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepadanya. L. Sumantri19 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat dihadiri oleh umum, sehingga dapat lebih menjamin obyektifitas peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Di lain pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anak-anak. Menurut Andi Hamzah20: Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagian tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan 19
L. Sumartini, 1996, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Hal 18. 20 Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 19.
permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. 5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut sebagai asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir 3 huruf a berbunyi: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak mengadakan perbedaan perlakuan”. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” Menurut Andi Hamzah21: Dalam bahasa Sansekerta ”tan hana dharma manrua” yang dijadikan motto Persaja (Persatuan Jaksa). Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun kedudukan manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. 6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi 21
Ibid, Hal. 20
pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat penjelasan atau definisi mengenai pengertian bantuan hukum. M. Yahya Harahap22 menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur didalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau terdakwa. Kebebasan tersebut antara lain : a) Bantuan Hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau ditahan. b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d) Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara. e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum guna kepentingan pembelaan. f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa. Pasal 70 ayat (2) KUHAP menyatakan : “Jika terdapat bukti bahwa penasehat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaran dengan tersangka atau terdakwa maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidikan, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasehat hukum”. Sedangkan Pasal 70 ayat (3) KUHAP menyatakan : “Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).” Serta Pasal 70 ayat (4) KUHAP menyebutkan :
22
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 21.
“Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang”. 7. Asas Akusatoir dan Inkisitor (accusatoir dan inqisitoir) Asas akusator adalah asas atau prinsip akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: a. Adalah subjek, bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip inkisator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Asas akusator, tersangka maupun terdakwa dipandang sebagai subjek pemeriksaan. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan. Asas akusator ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 KUHAP, yang berisi ketentuan: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bentuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Asas inkisitor, Andi Hamzah23 berpendapat: Asas inkisitor sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti 23
Andi Hamzah,Op. Cit, Hal. 22.
dengan keterangan terdakwa, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli. Definisi asas inkisitor yaitu asas yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek dalam setiap pemeriksaan. Asas ini masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkisator saat ini sudah ditinggalkan oleh aparat penegak hukum karena tidak adanya perlindungan hak-hak bagi tersangka atau terdakwa. Karena dalam asas inkisitor pengakuan tersangka atau terdakwa merupakan alat bukti yang sangat penting sehingga seringkali tersangka atau terdakwa diperlakukan sewenang-wenang tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana Indonesia. 8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang pengadilan melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang terlibat, dengan mengadakan pembicaraan lisan, berupa tanya jawab dengan majelis hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan dengan berbicara satu sama lain secara lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. M. Yahya Harahap24 berpendapat : Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap 24
M. Yahya, Harahap, Op. Cit, hal.113
terdakwa maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadaphadapan dalam ruang sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154 KUHAP. Yang menyatakan sebagai berikut : (1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas; (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah; (3) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya; (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, pemeriksaan tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi; (5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan; (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya; (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang berbunyi:
“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili disidang”.
C. Penyidikan 1. Pengertian Penyidikan Istilah penyidikan menurut bahasa Indonesia memiliki kata dasar “sidik”. Pertama sidik berarti terang, jadi menyidik artinya membuat terang atau jelas. Kata sidik berarti juga bekas yang kita jumpai dalam sidik jari, bekas sidik jari atau telapak jari sehingga menyidik juga berarti mencari bekas dalam hal ini berarti bekas-bekas kejahatan. R. Soesilo25 berpendapat : Bertolak dari kedua arti tersebut “terang” dan “bekas”, maka menyidik berarti membuat terang kejahatan. Untuk itu kadangkala digunakan kata mengusut atau menyelidiki. Orang Belanda menyebut Opspore, dalam bahasa Inggris disebut dengan Investigation, arti lengkapnya adalah mengusut sehingga dapat diketahui peristiwa pidana apa yang telah terjadi dan siapakah orangnya yang telah berbuat. Andi Hamzah26 pun berpendapat : KUHAP membedakan istilah penyidikan dan penyelidikan. Walaupun kedua istilah “penyidikan” dan “penyelidikan” berasal dari kata yang sama yaitu “sidik”, dengan pengertian yang sama, hanya sisipan “el” pada penyelidikan berfungsi memperluas arti (banyak menyidik), namun KUHAP membedakan keduanya dalam fungsi yang berbeda. Pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud penyidikan adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Menurut M. Yahya Harahap27 bahwa : 25 26
R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 17. Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 86.
Istilah penyelidikan dan penyidikan dibedakan artinya oleh KUHAP, walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar yang sama yaitu sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Walaupun artinya dibedakan, tetapi penyidikan ini tidak dapat dipisahkan dari penyelidikan. Oleh karena penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri melainkan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari” dan menemukan “sesuatu peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Menurut R. Soesilo28 bidang reserse kriminal penyidikan itu biasa dibedakan antara lain sebagai berikut: a.
b.
Penyidikan dalam arti kata luas, yang meliputi penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindakan-tindakan terus menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya. Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk operasi represif dari reserse kriminal Polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.
Menurut De Pinto, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah29, mengemukakan bahwa menyidik (opsporing) berarti: Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa apa terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Proses
penyidikan
dilakukan
oleh pejabat
penyidik.
Hal
ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP telah dijelaskan pengertian dari penyidik yang berbunyi sebagai berikut: 27
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 109. R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 17 29 Andi hamzah, Op. Cit, Hal. 120. 28
“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penyidik mempunyai peranan yang penting dalam melakukan penyidikan, hal ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Seorang penyidik melakukan penyidikan adalh untuk menemukan alat bukti dan barang bukti guna kepentingan penyidikan dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan. 2. Tahap-Tahap Penyidikan Kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) tahap yaitu: penyelidikan, penindakan, pemeriksaan dan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Hal ini terdapat dalam Himpunan Juklak dan Juknis tentang proses pennyidikan tindak pidana. Sebelum dilakukan kegiatan dalam penyidikan tersebut, kepada penuntut umum harus diberitahukan tentang permulaan penyidikan dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang dilampiri dengan laporan polisi atau resume Berita Acara Pemeriksaan Tersangka atau Berita Acara Penangkapan atau Berita Acara Penahanan atau Berita Acara Penggeledahan atau Berita Acara Penyitaan. a. Penyelidikan Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan, penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan
usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukkan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5). Dari penjelasan di atas, menurut M. Yahya Harahap30: Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Fungsi dari adanya penyelidikan, yaitu: a. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa; b. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap hatihati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Jika diperhatikan tujuan dari penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.
30
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 180.
Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-hati. Kekuranghati-hatian dalam penyelidikan bisa terjadi akibat yang fatal pada tingkat penyidikan menyebabkan tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan dapat diajukan ke muka sidang Praperadilan. b. Penindakan Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap setiap orang maupun benda atau barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan-tindakan hukum tersebut adalah: 1) Pemanggilan tersangka atau saksi Yang berwenang mengeluarkan surat panggilan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik pembantu. Bila orang yang dipanggil tidak berada di tempat, surat dapat diberikan kepada keluarganya/Ketua RT/ Ketua Lingkungan/ Kepala Desa atau orang yang dapat dijamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan. Surat panggilan harus memperhatikan tenggang waktu, patut dan wajar sampai kepada yang dipanggil. Apabila yang dipanggil tidak menaati panggilan tersebut, orang yang bersangkutan telah melanggar kewajiban yang dibebankan hukum kepadanya berdasarkan Pasal 112 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya penyidik atau penyidik pembantu melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya. Jika panggilan kedua tidak juga
dipenuhi oleh orang yang bersangkutan, pejabat penyidik mengeluarkan perintah kepada petugas untuk membawanya ke hadapan si pejabat yang memanggilnya. 2) Penangkapan Penangkapan tiada lain daripada “pengekangan sementara waktu” kebebasan tersangka atau terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi, harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP bahwa : Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Andi Hamzah31 berpendapat bahwa: Kalau definisi itu dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 KUHAP yang mengatur tentang penangkapan. Maka nyata tidak cocok. Pasal 16 KUHAP mengatakan sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan penyelidikan,penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Tidak cocok karena ternyata bukan saja penyidik (menurut definisi) tetapi juga penyelidik dapat melakukan penangkapan. Bahkan setiap orang dalam hal tertangkap tangan dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidikan tetapi juga untuk kepentingan penyelidikan. Jadi, Definisi tersebut perlu diperbaiki. Penangkapan dilakukan oleh petugas polisi Republik Indonesia terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penangkapan ini harus 31
Andi, Hamzah, Op. Cit, Hal. 126-127.
disertai dengan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan yang sah dan segera dibuat berita acara penangkapan yang harus ditandatangani oleh petugas dan orang yang ditangkap. Setelah penangkapan dilakukan, segera dilakukan pemeriksaan untuk dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh KUHAP hanya 1 x 24 jam. 3) Penahanan Penahanan menurut penjelasan Pasal 1 butir 21 KUHAP: “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini”. Menurut Andi Hamzah32: Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati satu pihak dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang harus dipertahankan orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Surat perintah penahanan yang berwenang mengeluarkan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu atau pelimpahan wewenang dari penyidik. Penahanan hanya dapat dilakukan dalam hal tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau
lebih dan tindak pidana terhadap pasal-pasal
tertentu yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Di samping itu
32
Ibid, Hal.130
penahanan dilakukan apabila ada unsur keadaan yang mengkhawatirkan bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, akan merusak atau menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana. 4) Penggeledahan Pengertian penggeledahan diatur dalam Pasal 1 butir 17 KUHAP, berbunyi: Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Untuk kepentingan penyidikan, maka menurut Pasal 32 KUHAP penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang hukum acara pidana seperti
dalam Pasal 33
KUHAP, menentukan dapat melakukan penggeledahan rumah guna kepentingan penyidikan, misalnya harus ada surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat dan disertai dengan surat penggeledahan dan disaksikan oleh ketua lingkungan atau kepala desa bersama 2 orang saksi dari lingkungan yang bersangkutan apabila penghuninya tidak menyetujui. Menurut R. Soesilo33: Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti yang tersebut di atas, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan.
33
R. Soesilo, Op. Cit, hal. 41-43.
5) Penyitaan Penyidik dalam melakukan penyidikan untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan “penyitaan”. Pasal 1 butir 16 KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai berikut: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”. Menurut Andi Hamzah34: Definisi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut agak panjang, tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam Pasal 134 Ned. Sv. Juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya, terjemahannya sebagai berikut: “Dengan penyitaan suatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana”. Untuk kepentingan penyidikan, benda yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP untuk dijadikan barang bukti terdiri dari: a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan; f) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit sepanjang memenuhi sebagaimana dimaksud dalam a, b, c, d, dan e di atas. 34
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal.147.
c. Pemeriksaan Pemeriksaan merupakan wewenang dari penyidik atau penyidik pembantu. Penyidik atau penyidik pembantu segera memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal pemeriksaan tindak pidana yang terjadi telah dimulai. Dalam memenuhi pemeriksaan dilarang menggunakan kekerasan atau tekanan kepada tersangka/saksi/saksi ahli dalam bentuk apapun. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 117 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Keterangan tersangka dan atau saksi penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”. Menurut Andi Hamzah35: Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena pelaksanaan penyidikan bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari dilakukannya pemeriksaan antara lain: laporan polisi, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau pembantu. Berita Acara Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara, Berita Acara Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan, petunjuk dari penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Dalam hal saksi atau tersangka yang berada di luar wilayah penyidik atau penyidik pembantu yang
35
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 34
melakukan penyidikan dapat meminta bantuan penyidik atau penyidik pembantu dari kesatuan yang berada di wilayah saksi atau tersangka. 3. Wewenang Penyidik Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan 2 macam badan yang dibebani wewenang penyidikan sebagai berikut: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Menurut Suryono Sutarto36 bahwa : Hubungannya dengan tugas dan wewenang polisi, maka KUHAP telah menempatkan kedudukan polisi sebagai penyidik tunggal, dalam arti bahwa menurut KUHAP hanya polisi negaralah sebagai pejabat satu-satunya yang mempunyai hak monopoli penyidikan tindak pidana umum. Seorang
penyidik
mempunyai
wewenang
dalam
melakukan
penyidikan, hal ini sebagaimana telah diatur dalam KUHAP Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa: (1)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindak pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan;
36
Suryono Sutarto, Op. Cit, Hal. 26
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada penuntut umum apabila penyidik telah melakukan tindakan penyidikan. Menurut M. Yahya Harahap37, mengenai pemberitahuan tersebut: Sebagaimana ditegaskan, pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang harus dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan yang disusul kemudian dengan tulisan. Kewenangan Kepolisian dalam melaksanakan proses pidana, dijabarkan pula dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara yaitu: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 37
M. Yahya Harahap, Op.Cit, Hal. 54
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secaralangsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pmeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkap orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi bantuan dan petunjuk penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; l. Mengadakan tindakan hukum lain yang bertanggung jawab. Khusus mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil maupun penyidik pembantu di dalam hal kewenangan agak berbeda dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dalam hak Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik serta wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Penyidik Pegawai Negeri Sipil menjalankan tugas dan wewenang penyidikan dibawah koordinasi POLRI sebagaimana yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP yang berbunyi mempunyai wewenang lebih: 1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan; 2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b;
3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b. Dalam bukunya L. Sumantri38 Pelaksanaan tugas baik Penyidik Pegawai Negeri Sipil maupum Penyidik Pembantu dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI. Selain daripada hal-hal tersebut di atas maka penyidik juga berwenang: 1. Menghentikan penyidikan, hal ini didasarkan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). 2. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, misalnya: a. Pembuatan Berita Acara. b. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. c. Menyimpan dan mengamankan benda sitaan. d. Menyampaikan kepada tersangka bahwa tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. e. Dan lain-lain. Menurut M. Yahya Harahap39, adanya klasifikasi penyidik tersebut dalam Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP yaitu: Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara.
D. Penahanan 1. Pengertian Penahanan
38 39
L. Sumantri, Op. Cit, Hal 64-65 M. Yahya Harahap, Op. Cit Hal. 112
Penahanan merupakan salah satu hal yang sudah diatur dalam ketentuan umum acara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 20 sampai 31 Bab V KUHAP. Pasal 1 angka 21 KUHAP memberikan definisi tentang penahanan sebagai berikut: “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini” Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh Negara. Menurut Martiman Prodjohamidjojo40 bahwa : Penahanan adalah tindakan untuk menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan menempatkannya ditempat tertentu, biasanya dirumah tahanan negara yang dulu disebut Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pihak yang Berwenang Melakukan Penahanan KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan, yakni kepolisian (penyidik atau penyidik pembantu), kejaksaan (penuntut umum), pengadilan (hakim) mempunyai tujuan yang berbeda sesuai dengan kepentingan tingkat pemeriksaan. Pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP, antara lain: 1. 2.
40
Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik; Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;
Martiman Prodjohamidjojo, 1989, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 15.
3.
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah hakim.
Berkaitan dengan Pasal 20 KUHAP, menurut Soenarto Soerodibroto41 pihak yang berwenang melakukan penahanan adalah: Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 KUHAP berwenang melakukan penahanan, untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Berdasarkan tujuan tersebut penahanan dilakukan untuk mempermudah dan memperlancar tugas dari polisi, penuntut umum dan hakim yang hakekatnya penahanan tersebut merupakan perampasan terhadap hak-hak asasi manusia sehingga dalam pelaksanaan penahanan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. 3. Syarat-Syarat Penahanan Mengingat bahwa penahanan pada hakekatnya merupakan suatu perampasan terhadap hak-hak asasi manusia maka pelaksanaan penahanan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum yang berlaku dalam hal ini adalah KUHAP. KUHAP memberikan aturan untuk sahnya suatu penahanan harus dipenuhi syarat formil dan materiil suatu penahanan, dimana syarat materiil dibedakan dalam 2 bentuk yaitu: 1.
Syarat Subyektif Syarat ini diatur pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP, dalam hal ini,
dinyatakan sebagai syarat subyektif karena hanya tergantung kepada siapa 41
Soenarto Soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP (Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), PT Raja Grafindo Husada, Jakarta, Hal.362
orang memerintahkan penahanan tersebut, dan apakah syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut ada atau tidak. Menurut Nikolas Simanjuntak42 : Syarat subyektif berupa pertimbangan yang rasional, patut, dan layak atas keadaan, peristiwa, dan situasi subyektif dari pejabat yang menahan maupun dari pihak orang yang akan ditahan menurut hasil temuan pihak penyidik. Berikut penjelasan terhadap pengaturan Pasal 21 ayat (1) KUHAP : “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Menurut M. Yahya Harahap43, yang dimaksud dengan bukti yang cukup yaitu: Dalam penjelasan pasal demi pasal, tidak dijumpai penjelasan tentang itu. Dengan demikian, pembuat undang-undang menyerahkan penafsirannya dalam praktek penegakan hukum. Pada Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 75 HIR, di temukan bahwa untuk dapat melakukan penahanan harus didasarkan pada syarat: jika ada keteranganketerangan yang cukup menunjukkan bahwa tersangka “bersalah”. Namun demikian maksud yang terkandung adalah sama yakni harus didasarkan pada syarat “bukti yang cukup”. Sebab dengan bukti yang cukuplah tersangka atau terdakwa dapat dinyatakan “bersalah”, atau sebaliknya. Menurut M. Yahya Harahap44: Semua keadaan yang “mengkhawatirkan” di sini adalah keadaan yang meliputi subjektivitas tersangka atau terdakwa. Dan pejabat yang menilai keadaan kekhawatiran itu pun bertitik tolak dari penilaian subjektif.
42
Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal 11. 43 M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 167 44 Ibid, Hal. 167
Semua keadaan yang dikhawatirkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah keadaan yang meliputi tersangka atau terdakwa akan melarikan diri dari sergapan penegak hukum, karena dengan melarikan diri tersangka atau terdakwa akan terbebas dari tuduhan tindak pidana yang dituduhkan oleh penyidik. Demikian juga kemungkinan untuk merusak atau menghilangkan barang bukti terutama barang bukti yang merugikan tersangka atau terdakwa dengan tujuan untuk menyulitkan pemeriksaan sehingga ada kemungkinan tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri, maka tersangka atau terdakwa tersebut dibatasi kemerdekaan bergeraknya dengan mengenakan penahanan. 2.
Syarat Obyektif Syarat ini diatur pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sebagai dasar
penahanan yang ditinjau dari segi ancaman tindak pidana, berikut penjelasan terhadap pengaturan Pasal 21 ayat (4) KUHAP: a. Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. b. Diancam hukuman kurang dari 5 (lima) tahun, tetapi ditentukan dalam KUHAP terhadap pasal-pasal berikut : Pasal 282 ayat (3), 296, 335 ayat (1), 351 Ayat (1), 353 ayat (1), 372, 378, 379 ayat (a), 453, 454, 455, 459, 480, dan Pasal 506 KUHP. c. Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai. d. Pasal 1, 2 dan 4 Undang-undang Nomor 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi, antara lain terkait tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah. e. Tindak Pidana dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Syarat obyektif ini bersifat absolut karena jika tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa tidak termasuk Pasal 21 ayat (4) KUHAP, maka terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dilakukan
penahanan. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis. Menurut Loebby Loqman45 bahwa : Pengaturan didalam KUHAP suatu penahanan dianggap sah terutama adalah diharuskan memenuhi syarat- syarat formil yakni adanya surat perintah penahanan dan sebagainya; akan tetapi juga didalam KUHAP diatur kapankah seseorang dapat ditahan, yakni apabila ada dugaan yang keras dia melakukan tindak pidana, disamping adanya suatu keadaan yang dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan tersangka akan melakukan tindak pidana lagi. Penahanan yang tidak sah berarti, penahanan yang tidak memenuhi syarat Pasal 21 KUHAP juga penahanan yang lebih lama daripada yang dijatuhkan. Hal-hal yang penting dalam syarat sahnya penahanan antara lain: a. Adanya dugaan keras pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. b. Penahanan dilakukan dengan surat perintah atau penetapan. Penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP. Tindakan penahanan harus dilakukan dengan cara memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan 45
Loebby Loqman 1987, Pra- Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Malang, Hal. 63.
alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan, yang tembusannya harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. 46 Selain itu ada juga syarat administratif dalam melakukan penahanan, yaitu berupa kelengkapan surat menyurat yang wajib dipenuhi berdasarkan pedoman dan kewajiban hukum acara, antara lain sebagai berikut: a. Surat perintah penahanan, dari dan oleh penyidik atau JPU, atau surat Putusan oleh hakim pengadilan yang melakukan penahanan; b. Berita acara penahanan yang memuat juga identitas jelas dan lengkap dari tersangka atau terdakwa yang ditahan; c. Pasal pelanggaran hukum pidana materiil yang dipersangkakan, disertai uraian singkat perkara yang didakwakan kepadanya. d. Beberapa pasal tertentu hukum pidana materiil bisa mengakibatkan tersangka harus ditahan; e. Tempat penahanan dilakukan, supaya keluarga atau advokat bisa mengunjunginya; f. Tembusan surat penahanan wajib diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa atau advokatnya. M. Yahya Harahap47 berpendapat : Pemberian tembusan perintah penahanan atau penahanan lanjutan maupun penetapan penahanan yang dikeluarkan oleh hakim, “wajib” 46
Alfiah, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Presindo, Jakarta, Hal. 41-42. 47 M. Yahya harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan Sinar Grafika, Jakarta, Hal.169.
disampaikan kepada keluarga orang yang ditahan. Hal ini dimaksudkan, di samping memberian kepastian kepada keluarga, juga sebagai usaha kontrol dari pihak keluarga untuk menilai apakah tindakan penahanan sah atau tidak. Tanpa adanya surat perintah penahanan dari kekuasaan yang sah, maka tiap orang wajib dan diperbolehkan menolak perintah pejabat yang bersangkutan itu. Didalam mengemban tugas maka para penyidik, penuntut umum, hakim senantiasa harus mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan, dan kesusilaan serta jangan sampai upaya paksa penahanan menimbulkan penghinaan dan kegelisahan. Sehingga dalam hal penahanan harus dilakukan dengan hati-hati, serta adanya bukti-bukti yang cukup, bertindak atau memperlakukan secara manusiawi. Menurut Gerson. W. Bewenga48 :
4.
Apabila seseorang dikenakan penangkapan/ penahanan dan ia berpendapat bahwa penangkapan/ penahanannya dilakukan secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang maka tersangka/ terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya Penasehat Hukumnya, dapat minta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tentang sahnya penangkapan/ penahanan atas dirinya tersebut. Jangka Waktu Penahanan Perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 20 KUHAP, hanya berlaku paling lama dua puluh hari, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari (Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam Pasal 24 ayat (4) KUHAP menentukan setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 25 KUHAP itu ditentukan bahwa: 48
Gerson. W. Bewenga, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, 1989, Hal.75.
Penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari. Penahanan oleh penuntut umum dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga pulu hari, yang menurut ayat (2), dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan belum selesai”. Selanjutnya, hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara, berwenang mengeluarkan perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari, dengan alasan “guna kepentingan pemeriksaan”. Penahanan oleh hakim ini pun dapat diperpanjang, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) KUHAP : “Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari”. Berarti penahanan yang dilakukan oleh hakim pada pemeriksaan tingkat pertama lamanya 90 hari. Dalam Pasal 26 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa: “Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum”. Pemeriksaan tingkat banding pun hakim pengadilan tinggi dapat diperpanjang paling lama enam puluh hari, dengan alasan guna kepentingan pemeriksaan banding. Pasal 27 ayat (2) KUHAP menjelaskan : “Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari”. Terakhir Mahkamah Agung berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan paling lama lima puluh hari, guna kepentingan pemeriksaan kasasi. Jika pemeriksaan belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Mahkamah Agung paling lama enam puluh hari. Jadi seorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari. Terhadap perpanjangan penahanan sampai enam puluh hari R. Soesilo49 berpendapat bahwa: Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi dan pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua mahkamah agung. Dalam hal tersebut, walaupun berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, keberatan terhadap syah tidaknya penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang diperpanjang itu, diajukan kepada ketua pengadilan tinggi untuk diperiksa dan diputus. 5. Jenis Penahanan Mengenai jenis kualifikasi penahanan merupakan hal baru dalam penegakan hukum di Indonesia kerena HIR tidak mengenal berbagai jenis kualifikasi penahanan. Maka sejak berlakunya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia mengenal kualifikasi jenis penahanan. Mengenai bentuk atau jenis penahanan ada beberapa pengertian antara lain menurut M. Yahya harahap50: “Sejak diundangkan mulai berlaku KUHAP tanggal 31 Desember 1981, maka hukum acara pidana yang berlaku di Negara Republik Indonesia mengenal klasifikasi jenis penahanan dalam KUHAP merupakan hal baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia, HIR tidak mengenal berbagai jenis penahanan yang ada dalam HIR adalah tahanan berdasarkan instansi yang melakukan penahanan sehingga klarifikasi yang signifikan yaitu tahanan polisi, tahanan jaksa, atau
49 50
R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 40. M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 175
tahanan hakim, sedangkan KUHAP telah meperkenalkan dengan resmi macam jenis penahanan”. Jenis-jenis penahanan diatur dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Jenis penahanan dapat berupa: a. Penahanan Rumah Tahanan Negara; b. Penahanan Rumah Penahanan Rumah; c. Penahanan Kota.” Mengenal jenis-jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu: 1) Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Mengenai RUTAN apabila belum ada RUTAN maka penahanan tersangka atau terdakwa dapat dilakukan di: a. Kantor Kepolisian Negara b. Kantor Kejaksaan Negari c. Lembaga Permasyarakatan d. Rumah Sakit e. Tempat lain dalam keadaan memaksa. 2) Penahanan Rumah; Penahanan tersangka di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka, selama tersangka berada dalam tahanan rumah harus diawasi. Pengawasan tersebut dilakukan oleh pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah. Menurut Pasal 22 ayat (2) KUHAP, penahanan rumah yaitu: Penahanan tersangka atau terdakwa di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan disidang pengadilan. Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah dengan ijin penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah. M. Yahya Harahap51 berpendapat bahwa: Terhadap tersangka/terdakwa yang sedang menjalani penahanan rumah berada dalam pengawasan pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah. Mengenai cara pengawasan undang-undang sendiri tidak menentukan, sehingga pengaturan pengawasan penahanan rumah sepenuhnya tergantung pada kebijaksanaan pejabat yang bersangkutan. Tujuan utama pegawasan untuk menghindari terjadinya sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan. 3) Penahanan Kota. Mengenai penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan kewajiban melapor dari pada waktu yang ditentukan. Masa penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan (Pasal 22 ayat (5) KUHAP). Penahanan kota ini tidak dilakukan pengawasan langsung terhadap tersangka atau terdakwa, mereka hanya dikenai wajib lapor pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Pertimbangan terhadap penentuan jenis penahanan yang akan dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Andi Hamzah52 didasarkan atas: a. Berat ringan pidana yang dilakukan; b. Aspek kerugian baik materiil, maupun non materiil yang dilakukan akibat tindak pidana yang dilakukan; c. Pengamanan kepentingan penyidikan (antara lain adanya tersangka atau terdakwa lain atau saksi-saksi yang belum diperiksa, barang-barang bukti yang belum disita); d. Perilaku atau sikap selama pemeriksaan; 51 52
Ibid, Hal. 178 Andi Hamzah, Op. Cit, 109-110
e. Kondisi fisik tersangka (dikuatkan dengan surat keterangan dokter); f. Situasi atau pandangan masyarakat terhadap tersangka atau perkara yang bersangkutan.
E. Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan KUHAP yang sekarang berlaku di Indonesia merupakan karya besar bangsa, setelah sebelumnya menggunakan HIR, yang pada pelaksanaannya kurang mampu dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip negara hukum. KUHAP telah menempatkan tersangka dan terdakwa dalam suatu kedudukan yang berderajat sebagai manusia yang memiliki harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan yang utuh. Pembaharuan didalam KUHAP lebih memberikan jaminan hak asasi manusia adalah diaturnya mengenai lembaga praperadilan yang merupakan suatu lembaga baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana yang lama. Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya kadang tidak lepas dari tindakan yang menyimpang dari prosedur hukum yang dapat memberikan dampak kerugian bagi pihak yang diduga bersalah. Oleh karena hukum melindungi hak dari pihak yang diduga bersalah maka tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk mengajukan praperadilan. Menurut S. Tanusubroto53 bahwa :
53
S. Tanusubroto, 1982, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 73.
Diadakannya suatu lembaga Praperadilan adalah untuk pengawasan terhadap
perlindungan
hak-hak
tersangka
/
terdakwa
dalam
pemeriksaan pendahuluan. Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri. Pengertian praperadilan diatur dalam Pasal 1 angka10 KUHAP yaitu : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang berperkara tidak diajukan ke pengadilan. Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 10, dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP, yang menjelaskan : Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan 2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dalam bukunya Alfiah54 dijelaskan bahwa : Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum melaksanakan 54
Alfiah, Op. Cit, Hal.75.
wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan bagi tersangka atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan menyimpang yang dilakukan oleh aparat hukum dalam melaksanakan tugasnya berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi. 2. Wewanang Praperadilan a. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Penangkapan dan Penahanan Wewenang ini merupakan wewenang yang pertama kali diberikan oleh undang-undang kepada praperadilan yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”. Mengingat
ketentuan
KUHAP
untuk
melakukan
suatu
penangkapan dan penahanan diperlukan syarat formal dam material, Yang dimaksud bukti material diatur dalam Pasal 16, 18, 19 KUHAP, yakni ada surat perintah penangkapan dan penahanan. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat dimintakan praperadilan terhadap penangkapan dan penahanan tersebut. b. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan Atau Penghentian Penuntutan Menurut Pasal 80 KUHAP yang menyatakan : “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”
Biasanya alasan penghentian penyidikan dan penuntutan antara lain kemungkinan dengan alasan nebis in idem, karena yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atau kemungkinan dengan alasan perkara yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, bagaimanapun harus ada lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan
kepentingan
umum
apapun
untuk
mengawasi
tindakan
penyalahgunaan wewenang. Menurut M. Yahya Harahap55 bahwa : Hasil pemeriksaan atau penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau ada yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. c. Berwenang Memeriksa Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi Berdasarkan Pasal 81 KUHAP yang menyatakan : “Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka 55
M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 3.
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya” Ganti kerugian dan rehabilitasi pertama kali yang disebabkan penangkapan, penahanan dan atau penuntutan yang tidak sah sebagai akibat tekanan orang-orang yang tidak bersalah dalam proses pengadilan. Menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP bahwa : Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Guna untuk melengkapi perumusan Pasal tersebut maka Pasal 1 butir 22 perlu dihubungkan dengan Pasal 95 KUHAP yang menyatakan: i. Tersangka, terdakwa atau narapidana berhak menuntut ganti kerugian kerena ditangkap, ditahaan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan. ii. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP. iii. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahliwarisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. iv. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidan yang bersangkutan. v. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
3. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Praperadilan Pihak-pihak
yang berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan
praperadilan: a. Tersangka, Keluarganya atau Kuasanya Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya
berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan atau penggeledahan. Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasehat hukumnya; b.
Penuntut Umum atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Pasal 80 KUHAP memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Ini sesuai dengan prinsip saling mengawasi diantara instansi penegak hukum. Hukum memberi hak kepada penuntut umum untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan penyidik. Akan tetapi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang. Secara umum pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan.
c. Penyidik Atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan
Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan tampil mengajukan
permintaan
pemeriksaan
tentang
sah
atau
tidaknya
penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan yang diberi hak untuk mengajukannya. d. Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya Ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, tersangka, ahli warisnya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan : 1. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah 2. Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau 3. Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menurut Ganti Rugi Pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan. Dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, tuntutan ganti kerugian menurut M. Yahya Harahap56 dapat diajukan tersangka kepada praperadilan : i. Jika penghentian itu tidak diajukan ke Praperadilan. Misalnya penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan. Atas penghentian itu baik penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan tidak mengajukannya ke praperadilan, sehingga dengan demikian penghentian itu sah diluar putusan praperadilan,
56
Ibid, Hal 10-11
dalam peristiwa seperti ini memberi hak kepada tersangka menuntut ganti kerugian atas alasan penghentian penyidikan. ii. Jika penghentian itu diajukan ke praperadilan, dan menyatakan penghentiannya sah. Misalnya, penuntut umum menghentikan penuntutan. Atas tindakan itu penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian yang dimaksud, ternyata praperadilan memutus penghentian penuntutan sah. Dalam hal yang seperti ini, dapat memberi hak kepada tersangka mengajukan tuntutan ganti kerugian ke praperadilan atas alasan penghentian penuntutan yang sah. 4. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan Praperadilan adalah satu kesatuan dan merupakan bagian yang tidak terpisah dengan Pengadilan Negeri. Semua kegiatan dan tata laksana praperadilan tidak terlepas dari struktur dan administrasi yustisial pengadilan negeri. Pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan, dapat diuraikan seperti berikut: a.
Permohonan Ditujukan kepada Ketua pengadilan Negeri Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh
praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan. b.
Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan Setelah panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara
praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke praperadilan, dipisahkan
registrasinya dari perkara pidana biasa. Administrasi yustisial praperadilan dibuat prpaeradilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara biasa. c. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera Penunjukkan sesegera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan, merujuk kepada ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. d.
Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim
tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi: Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera. e.
Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan Mengenai tata cara pemeriksaan sidang praperadilan, diatur dalam Pasal
82 KUHAP serta pasal berikutnya. Pemeriksaan praperadilan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Penetapan hari sidang 3 hari setelah diregister dari tanggal penerimaan atau 3 hari dari tanggal registrasi di kepaniteraan. Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP menegaskan: Bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
2. Pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan pada pihak yang bersangkutan yakni pemohon dan pejabat yang bersangkutan yang menimbulkan terjadinya permintaan pemeriksaan praperadilan. 3. Selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan. Ada dua alternatif yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menentukan tenggang waktu dimaksud. Alternatif penafsiran dimaksud adalah: a. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal penerapan hari sidang. Hakim sudah mesti menjatuhkan putusan 7 hari dari tanggal penerapan hari sidang. Penetapan, pemanggilan, pemeriksaan sidang dan penjatuhan putusan, berada dalam jangka waktu 7 hari. Tidak diperhitungkan tanggal penerimaan. Jika diperhitungkan tenggang waktu 7 hari dimulai dari tanggal penetapan sidang, cara perhitungan yang demikian mengurangi arti kecepatan pemeriksaan dan penjatuhan putusan. b. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal pencatatan. Pendapat ini lebih dekat kepada ketentuan yang digariskan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, hakim mesti menjatuhkan putusan 7 hari dari tanggal permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan.57 Dalam bukunya Nico Ngani, I Nyoman Budi J, dan Hasan M menjelaskan mengenai :
57
M.Yahya Harahap, Op. Cit, Hal 14-15
58
Tentang tata cara pengajuan praperadilan ini, tidak ada keharusan dalam bentuk tertentu. Dalam hal ini pemohon bebas merumuskan surat permohonan asal surat permohonannya tersebut cukup memberi gambaran yang jelas tentang kejadian materiil yang menjadi dasar permohonannya. Penyusunan surat permohonan praperadilan harus diperhatikan tiga hal yang terdapat dalam permohonan menurut Nico Ngani, I Nyoman Budi J dan Hasan M 59, yaitu : 1. Keterangan lengkap dari pihak-pihak yang berperkara, yaitu tentang nama, alamat, pekerjaan; 2. Dasar permohonan (fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang kejadian dan uraian tentang hukum yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari permohonan itu; 3. Apa yang dimohon atau dituntut oleh pemohon supaya diputuskan oleh hakim. 5. Upaya Hukum Praperadilan Upaya hukum yang berlaku di Indonesia, dikenal adanya upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi, yang diatur dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi hukum dan peninjauan kembali, yang diatur dalam Bab XVIII KUHAP. Pasal 83 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa: “Terhadap putusan praperadilan dalam hal yang dimaksudkan dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding.” Meskipun demikian, Pasal 83 ayat (2) KUHAP menentukan:
58
Nico Ngani, I Nyoman Budi J dan Hasan M, 1984, Mengenal Hukum Acara Pidana Tentang Dan Di Sekitar Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Dan Mahkamah Agung RI, Yogyakarta, Liberty, Hal 6. 59 Ibid, Hal 7.
“Dalam putusan praperadilan yang menetapkan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi di daerah yang bersangkutan.” Menurut M. Yahya Harahap60 : Berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal ini sesuai dengan azas acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat. Upaya hukum yang sama tidak akan diberikan kepada pihak luar selain penyidik dan penuntut umum. Tetapi, terhadap putusan praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penyitaan, tuntutan ganti kerugian dan permintaan rehabilitasi tidak dapat dimintakan banding.61
60
Ibid, Hal. 22 Darwan Prints, 1993, Praperadilan dan Perkembangannya Di Dalam Praktik, Cet. 1, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, Hal. 2 61
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis . Konsep ini memandang hukum itu identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut melihat hukum dari suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terlepas dari kehidupan masyarakat 62.
2.
Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analis, yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
4.
Sumber Data 1. Data Sekunder Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi: 62
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.11.
a. Bahan Hukum Primer Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang bersumber dari keputusan-keputusan, literaturliteratur, artikel, makalah seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian. c. Bahan Hukum Tersier Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Ilmiah Populer. 2. Data Primer Data yang bersumber dari keterangan yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.
5.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa kepustakaan yang diperoleh dari peraturan perundangundangan, buku literatur, karya ilmiah, jurnal, dan doktrin yang berkaitan dengan materi penelitian ini.
2. Data Primer
Data Primer diperoleh dengan cara wawancara langsung hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.
6.
Metode Penyajian Data Deskriptif analis diuraikan atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang bersangkutan.
7.
Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Para Pihak Mustari, bertempat tinggal di Desa Sumampir RT. 07 RW. 01, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga dan Tuwanto, bertempat tinggal di Desa Sumampir RT. 07 RW. 01, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, dalam hal ini bertindak selaku keluarga (ayah dan kakak kandung) Tersangka yang bernama Sukandi al. Kandi Bin Mustari (SK) bertempat tinggal di Desa Sumampir RT. 07 RW. 01, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga dengan berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 11 Mei 2011 diwakili oleh kuasanya Djoko Susanto, SH Advokad berkedudukan Jl. Sidanegara II No.45 Purwokerto, selanjutnya sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Pemohon
telah
mengajukan
pemeriksaan
praperadilan
terhadap
Pemerintah Negara Republik Indonesia cq Kepala Kepolisian Republik Indonesia, cq Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, cq Kepala Kepolisian Resor Banyumas, beralamat di Jalan Pol. Soemarto Purwokerto, yang dalam hal ini diwakili kuasanya, Maskhud, S.H.,M.H, Sugiarto, S.H.,M.Kn, Wahyu Tri Budi, SIK, Sigit Martanto, S.H, Isfa Indarto, S.H.,M.H, Dwi Budiyanto, S.pd.,S.H.,M.H, Antin Setyaningsih, S.H, Agus Sasongko, S.H, AIPTU Edy Susianto, S.H, Mulyo Handoko, S.H, Beni Timor, S.H, kesemuanya anggota Kepolisian Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Termohon.
2. Duduk Perkara Para Pemohon praperadilan adalah keluarga dari seorang Tersangka yang bernama Sukandi al. Kandi Bin Mustari dimana Pemohon I sebagai ayah / orang tua kandung dari Tersangka, sedangkan Pemohon II adalah kakak kandung. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) para Pemohon mempunyai hak /atau mempunyai kapasitas menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan praperadilan atas diri Tersangka SK yang telah ditahan oleh Termohon dan dibenarkan menurut hukum yang berlaku. SK telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon dan telah dilakukan Penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan No.Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011, yang disangka melakukan tindak pidana Pencabulan anak dibawah umur dan melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) jo Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari telah ditahan sejak tanggal 3 Mei 2011 selama 20 (dua puluh) hari dan ditempatkan di rumah Tahanan Negara Polres Banyumas. Salah satu dasar hukum dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011 adalah adanya Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2010/Jateng/Res. Bms tanggal 20 April 2011. Pelapor adalah Sdr. Totong Riyadi, umur 46 tahun, agama islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Desa Makam, RT.04 RW.04, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, dan yang sebagai korban adalah
Sdr. Vera Dewi Anggisti, umur 18 tahun, agama islam, pekerjaan pelajar, bertempat tinggal di Desa Makam, RT.04 RW.04, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Berdasarkan Laporan Polisi tersebut, Pelapor Totong Riyadi dan Korban Vera Dewi Anggisti, tidak pernah melaporkan atau mengadukan SK sebagai pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur, namun Pelapor dan Korban melaporkan orang lain yang diduga melakukan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur. Untuk meneguhkan pernyataan Pelapor Totong Riyadi dan Korban Vera Dewi Anggisti tidak pernah melaporkan dan tidak pernah dirugikan akibat perbuatan cabul oleh SK, Pelapor dan Korban menuangkan dalam surat pernyataan tertanggal 7 Mei 2011. Pemohon berpendapat Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011 jika dikaitkan dengan surat pernyataan dari Pelapor dan Korban menunjukkan bahwa SK adalah bukan orang yang dilaporkan atau diadukan oleh Pelapor dan Korban, namun oleh Termohon SK telah ditahan sejak tanggal 3 Mei 2011 sampai dengan permohonan ini diajukan. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP yang mengatur mengenai penahanan hanya dapat dikenakan kepada mereka yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
sehingga timbul
pertanyaan apakah SK layak disebut sebagai Tersangka dalam perkara a quo, sedangkan pengertian Tersangka dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Sehingga apakah SK adalah orang yang layak dijadikan Tersangka, sementara Pelapor dan Korban tidak pernah melaporkan SK sebagai Pelaku tindak pidana yang merugikan Pelapor dan Korban. Menurut ketentuan Pasal 77 huruf (a) KUHAP menyatakan : “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, para Pemohon mengajukan permohonan praperadilan melalui Pengadilan Negeri Purwokerto karena berdasarkan undang-undang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penahanan yang dilakukan oleh Termohon terhadap SK. Dengan demikian Surat Perintah Penahanan
No. Pol : SP.
Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011 yang dikeluarkan oleh Termohon adalah tidak sah, oleh karenanya terhadap Sukandi al. Kandi Bin Mustari haruslah segera dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 3. Petitum Pemohon Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto cq Majelis Hakim memeriksa, mengadili dan memutus dengan amar putusan sebagai berikut : 1. Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan hukumnya bahwa Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011 adalah tidak sah menurut hukum.
3. Memerintahkan kepada Termohon untuk segera mengeluarkan SK dari Rumah Tahanan Negara Polres Banyumas. 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
4. Jawaban Termohon I. Eksepsi Permohonan
praperadilan
yang
diajukan
oleh
para
Pemohon
mengandung cacat formal karena Kuasa Hukum para Pemohon telah salah menentukan Laporan Polisi yang dijadikan alasan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya penahanan terhadap diri tersangka SK. Pada posita para Pemohon disebutkan salah satu dasar hukum dikeluarkannya
surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Han/154/V/2011/Reskrim tertanggal 3 Mei 2011 adalah adanya Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2010/Jateng/Res. Bms tanggal 20 April 2011. Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2010 sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon dan yang terdaftar dalam register termohon adalah perkara penyalahgunaan Psikotropika jenis sabu dengan Tersangka Harjono alias Jono bin Sumardi, bukan perkara tindak pidana pencabulan yang sedang ditangani oleh penyidik Polres Banyumas sebagaimana yang dipermasalahkan para Pemohon. Pada hari pertama persidangan dengan agenda pembacaan gugatan atau permohonan praperadilan, Yang Mulia Hakim yang memeriksa perkara ini telah menawarkan kepada Kuasa para Pemohon, namun Kuasa para Pemohon tidak menggunakan haknya untuk merevisi permohonannya yang telah salah
menyebutkan Laporan Polisi yang dijadikan dasar gugatan atau permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya penahanan, oleh karenanya menurut hukum setelah disampaikan jawaban oleh Termohon, maka Pemohon tidak diperkenankan merubah, menambah materi permohonan atau gugatan praperadilan. Kuasa Hukum para Pemohon telah salah menentukan alasan yang menjadi dasar hukum diajukannya permohonan praperadilan ini, maka permohonan praperadilan para Pemohon menjadi cacat formal sehingga permohonannya patut dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Permohonan praperadilan mengandung cacat formal karena bersifat kabur (ofscuur libel). Dalil-dalil dan posita (fundamentum petendi) para Pemohon merupakan dalil-dalil yang seharusnya dikemukakan atau dinyatakan dalam pembelaan perkara pokok atau perkara a quo dan bukan dijadikan dalildalil dalam pemeriksaan praperadilan, karena sudah menyangkut alasan atau fakta hukum materiil. Pemeriksaan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penahanan sangat jelas diatur dalam Pasal 21 KUHAP yaitu harus memenuhi syarat obyektif dan syarat subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP dan berlaku ketentuan hukum formil, belum kepada pembuktian materiil. Dengan demikian, dalil–dalil atau posita para Pemohon yang mendalilkan SK tidak layak dijadikan tersangka dengan alasan karena tidak dilaporkan atau diadukan adalah pendapat atau asumsi pribadi para Pemohon yang sangat subyektif dan
tidak didasarkan ketentuan KUHAP sehingga bersifat kabur, oleh karenanya permohonan praperadilan para Pemohon harus dinyatakan ditolak atau setidaktidaknya tidak diterima. II. Duduk Perkara Pada tanggal 19 April 2011, Termohon menerima laporan dari Sdr. Totong Riyadi, beralamat di Desa Makam RT. 04 RW. 04 Kec. Rembang Kab. Banyumas
yang
dituangkan
dalam
Laporan
Polisi
No.
Pol
:
LP/112/IV/2011/Jateng/Res.Bms/PPA, tanggal 20 April 2011 yang pada pokoknya Laporan Polisi tersebut menerangkan bahwa sekitar bulan September dan Oktober 2010, telah terjadi pencabulan terhadap anak dibawah umur dengan korban bernama Vera Dewi Anggisti dengan terlapor Jefri Iswanto,dkk. Dengan dugaan melakukan tindak pidana pelanggaran Pasal 81 ayat (2) jo Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Setelah menerima Laporan Polisi tersebut penyidik segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan antara lain membuat kelengkapan administrasi penyidikan yaitu Surat Perintah Tugas Nomor : SP.Gas/129/IV/2011/Reskrim tanggal 20 April 2011, Perintah Penyidikan Nomor :S.Sidik/129/IV/2011/Reskrim tanggal 20 April 2011, Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprin/153/V/2011/Reskrim tanggal 2 Mei 2011, Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim, tanggal 3 Mei 2011, Surat Perintah Penyitaan No. SP. Sita/140/V/2011/Reskrim tertanggal 1 Mei 2011, Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor : B/77/V/2011/Reskrim tanggal 10 Mei 2011, melaksanakan pemeriksaan saksi-
saksi yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan. Setelah memperoleh bukti permulaan yang cukup terhadap keterangan saksi dan barang bukti yang ada, maka termohon melakukan penangkapan terhadap Sukandi al. Kandi Bin Mustari
dengan
Surat
Perintah
Penangkapan
Nomor
:
Sprin/153/V/2011/Reskrim, tanggal 2 Mei 2011. Kemudian selanjutnya Termohon melakukan pemeriksaan tersangka yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka SK. Berdasarkan kronologis yang telah diuraikan termohon memperoleh bukti yang cukup terhadap perkara yang disangkakan kepada SK, maka selanjutnya Termohon melakukan penahanan dengan Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim, tanggal 3 Mei 2011. Berdasarkan kronologis peristiwa hukum
yang telah diuraikan,
Termohon menanggapi permohonan para Pemohon bahwa pada posita para Pemohon tidak perlu Termohon tanggapi dan patut dikesampingkan karena dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum tidak relevan dengan ketentuan tentang praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Termohon melakukan penahanan terhadap SK berdasarkan bukti yang cukup yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan tersangka dan barang bukti serta telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Adapun alasan Termohon melakukan penahanan, yaitu Termohon selaku penyidik telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP yaitu “Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup” dan Surat Perintah Penahanan diberikan kepada tersangka dan tembusannya diberikan kepada keluarganya. Kriteria bukti yang cukup sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah bukti permulaan yang cukup ditambah dengan keterangan dan data yang terkandung di dalam satu diantara : Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan di TKP, Laporan Hasil Penyelidikan, Keterangan saksi-saksi termasuk Saksi Ahli, Keterangan Tersangka dan Barang Bukti. Dimana setelah disimpulkan menunjukkan bahwa Tersangka adalah pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP. Faktanya sebelum Termohon melakukan penahanan terhadap tersangka SK, telah ada Laporan Polisi Nomor LP/112/IV/2011/Jateng/Res. Bms/PPA tanggal 20 April 2011 dengan Terlapor Jefri Iswanto, dkk. Selaku penyidik, Termohon juga telah melakukan tindakan hukum (penyidikan) berupa pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan tersangka dan penyitaan barang bukti dengan hasil bahwa saksi Vera Dewi Anggisti, saksi Indah Sari, saksi Nendianto alias Bendi dan pengakuan tersangka sendiri dalam BAP tersangka yang pada pokoknya menerangkan bahwa SK adalah salah satu pelakunya, sehingga dari hasil penyidikan tersebut telah diperoleh bukti yang cukup, bahwa ada keterkaitan dan kesesuaian keterangan para saksi dengan keterangan tersangka dan dengan barang bukti yang disita serta dengan tindak pidana itu sendiri dan menunjukan bahwa tindak pidana itu benar telah terjadi serta salah
satu tersangkanya adalah SK, adapun Surat Perintah Penahanan telah diserahkan dan ditanda tangani oleh Tersangka dan tembusan Surat Perintah Penahanan telah diserahkan dan diterima oleh keluarganya sebagaimana ketentuan Pasal 21 KUHAP.
5. Pembuktian 1. Alat Bukti dari Pemohon Selanjutnya untuk meneguhkan dalil permohonannya para Pemohon praperadilan telah mengajukan bukti tertulis berupa : 1. Foto copy sebagian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disusun oleh M. Karjadi dan R. Soesilo Politea Bogor, Tahun 1997, diberi tanda bukti P-1; 2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Mustari dan Kartu Tanda Penduduk atas nama Tuwanto, diberi tanda bukti P-2; 3. Foto
copy
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Han/154/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 atas nama Sukandi al. Kandi Bin Mustari, diberi tanda bukti P-3; 4. Foto copy Surat Pernyataan tertanggal 7 Mei 2011 yang dibuat oleh Vera Dewi Anggisti, diberi tanda bukti P-4; 5. Foto copy Surat Pernyataan tertanggal 7 Mei 2011 yang dibuat oleh Totong Riyadi, diberi tanda bukti P-5; 6. Foto
copy
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Han/153/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 atas nama Jefri Iswanto Bin Miswono, diberi tanda bukti P-6;
7. Foto copy Surat Pencabutan Pengaduan / Laporan Polisi tertanggal 19 Mei 2011 dibuat oleh Totong Riyadi, diberi tanda bukti P-7; 8. Foto copy Surat pernyataan tertanggal 19 Mei 2011 yang dibuat oleh Totong Riyadi, diberi tanda bukti P-8; Bukti-bukti surat tersebut telah dicocokan dengan aslinya dan bermaterai cukup maka dapat menjadi bukti perkara ini, kecuali bukti bertanda P-2 yang hanya berupa foto copy tanpa ditunjukan aslinya. 2. Alat Bukti dari Termohon Guna membuktikan bantahannya Termohon telah mengajukan bukti surat berupa :
1. Foto copy Surat Pengaduan tertanggal 19 April 2011 yang dibuat oleh Totong Riyadi, diberi tanda bukti T-1; 2. Foto copy Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2011/Jateng/Res. Bms/PPA tanggal 20 April 2011 yang melaporkan Totong Riyadi, diberi tanda bukti T-2; 3. Foto copy Surat Perintah Tugas No : SP.Gas/129/IV/2011/Reskrim tertanggal 20 April 2011 untuk menindak lanjuti dari Totong Riyadi, diberi tanda bukti T-3; 4. Foto copy Surat Perintah Penyidikan No. S. Sidik/129/IV2011/Reskrim tertanggal 20 April 2011, diberi tanda bukti T-4; 5. Foto copy Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor : B/77/V/2011/Reskrim tertanggal 10 Mei 2011, diberi tanda bukti T-5;
6. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Totong Riyadi tertanggal 20 April 2011, diberi tanda bukti T-6; 7. Foto copy
Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Totong Riyadi
(tambahan) tertanggal 19 Mei 2011, diberi tanda bukti T-7; 8. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Vera Dewi Anggisti tertanggal 20 April 2011, diberi tanda bukti T-8; 9. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Vera Dewi Anggisti (tambahan) tertanggal 19 Mei 2011, diberi tanda bukti T-9; 10. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Indah Sari tertanggal 28 April 2011, diberi tanda bukti T-10; 11. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Indah Sari (tambahan) tertanggal 29 April 2011, diberi tanda bukti T-11; 12. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim tertanggal 1 Mei 2011, diberi tanda bukti T-12; 13. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim (tambahan) tertanggal 2 Mei 2011, diberi tanda bukti T-13; 14. Foto copy
Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim
(tambahan) tertanggal 3 Mei 2011, diberi tanda bukti T-14; 15. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Nendianto alias Bendi tertanggal 3 Mei 2011, diberi tanda bukti T-15; 16. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Nendianto alias Bendi (tambahan) tertanggal 15 Mei 2011, diberi tanda bukti T-16;
17. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari tertanggal 2 Mei 2011, diberi tanda bukti T-17; 18. Foto copy Berita Acara Pemeriksaan tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari (tambahan) tertanggal 2 Mei 2011, diberi tanda bukti T-18; 19. Foto
copy
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Han/154/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 atas nama Sukandi al. Kandi Bin Mustari, diberi tanda bukti T-19; 20. Foto copy Berita Acara Penahanan Tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari tertanggal 3 Mei 2011, diberi tanda bukti T-20; 21. Foto copy Surat Perintah Penyitaan No. SP. Sita/140/V/2011/Reskrim tertanggal 1 Mei 2011, diberi tanda bukti T-21; 22. Foto copy Surat Pernyataan dari Totong Riyadi tertanggal 19 Mei 2011, diberi tanda bukti T-22; 23. Foto copy Surat Pernyataan dari Vera Dewi Anggisti tertanggal 19 Mei 2011, diberi tanda bukti T-23; Bukti-bukti surat tersebut telah dicocokan dengan aslinya dan bermaterai cukup maka dapat menjadi alat bukti perkara ini.
6. Putusan Pengadilan Negeri A. Dasar Pertimbangan Hakim I. Eksepsi Menimbang, bahwa pemeriksaan praperadilan didasarkan pada ketentuan Pasal 83 KUHAP yang didalamnya tidak diatur mengenai keberatan atau eksepsi, sedangkan menyangkut keberatan atau eksepsi yang dikenal dalam
hukum acara pidana hanya sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP. Akan tetapi oleh karena Termohon telah mengajukan eksepsi dan telah pula ditanggapi
oleh
para
Pemohon
maka
eksepsi
tersebut
tetap
akan
dipertimbangkan; Menimbang, bahwa
kesalahan pencantuman angka
tahun tidak
merupakan hal yang mendasar yang menghilangkan materi pokok pemeriksaan sehingga tidah menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi cacat formal ataupun menyebabkan permohonan kabur. Oleh karena itu maka eksepsi Termohon sepatutnya untuk dikesampingkan; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka eksepsi Termohon berdasar hukum untuk dinyatakan tidak dapat diterima. II. Dalam Pokok Perkara Menimbang, bahwa Pasal 21 ayat (1) KUHAP menentukan perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan apa yang dimaksud dengan bukti yang cukup tidak dijelaskan lagi demikian pula dalam penjelasan KUHAP. Dengan demikian pembuat undang-undang menyerahkan penafsiran kepada hakim melalui putusannya; Menimbang, bahwa suatu penyidikan tindak pidana bertujuan untuk dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan yang akan menentukan terbukti tidaknya tindak pidana tersebut dalam putusan pengadilan. Untuk itu Penyidik
mengumpulkan dan mengajukan semua alat bukti yang mendukung bahwa tersangka secara hukum adalah bersalah; Sebelum menentukan status tersangka terhadap seseorang dan melakukan penahanan, penyidik harus terlebih dahulu mengumpulkan semua bahan dan informasi serta pemeriksaan terhadap alat bukti yang mendukung kesalahan tersangka; Menimbang, bahwa dari alat bukti tertulis Termohon bertanda T-1 berupa Surat Pengaduan tertanggal 19 April 2011 yang dibuat oleh Totong Riyadi, bukti T-2 berupa Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2011/Jateng/Res. Bms/PPA tanggal 20 April 2011 yang melaporkan Totong Riyadi, bukti T-6 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Vera Dewi Anggisti tanggal 20 April 2011, bukti T-10 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Indah Sari tenggal 28 April 2011, bukti T-11 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Indah Sari (tambahan) tertanggal 29 April 2011, bukti T-12 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim tertanggal 1 Mei 2011, bukti T-13 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim (tambahan) tertanggal 2 Mei 2011, bukti T-14 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Khalim Wakim (tambahan) tertanggal 3 Mei 2011, bukti T-15 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas nama Nendianto alias Bendi tertanggal 3 Mei 2011, bukti T-17 berupa Berita Acara Pemeriksaan tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari tertanggal 2 Mei 2011, dan bukti T-18 Berita Acara Pemeriksaan tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari (tambahan) tertanggal 2 Mei 2011, maka telah diperoleh fakta bahwa
Termohon telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka sendiri sebelum tanggal 3 Mei 2011, sedangkan Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim, diterbitkan tanggal 3 Mei 2011; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut maka dapat disimpulkan Termohon telah mempunyai bukti awal yang cukup berupa keterangan para saksi dan Tersangka sebelum melakukan penahanan terhadap SK; Menimbang, bahwa dengan demikian telah terdapat cukup bukti, Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 didasarkan pada bukti awal yang cukup sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP; Menimbang, bahwa selain adanya bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penahanan, Pasal 21 ayat (1) KUHAP juga mensyaratkan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Syarat tersebut bersifat subyektif dengan pengertian sepenuhnya diserahkan kepada Penyidik; Permohonan praperadilan para Pemohon telah terbukti bahwa hanya merupakan pendapat atau asumsi pribadi para Pemohon yang bersifat sangat subyektif dari para Pemohon dan tidak didasarkan oleh bukti-bukti sebagaimana ketentuan perundang-undangan (Pasal 21 KUHAP) dan dalil-dalil tersebut sebenarnya sudah masuk dalam materi perkara a quo dan sepatutnya diuji dan dibuktikan dalam perkara pokok nantinya serta tidak dijadikan bukti dalam pemeriksaan praperadilan sebagaimana ketentuan KUHAP, sedangkan
penahanan yang dilakukan Termohon adalah telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku atau dengan kata lain penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah sah dan berdasar atas hukum; Menimbang,
bahwa
meskipun
bukan
merupakan
kewenangan
pemeriksaan praperadilan perlu dipertimbangkan pula dalam putusan ini menyangkut tindak pidana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang disangkakan kepada SK sebagaimana dalam posita permohonan Pemohon; Menimbang, bahwa dalam delik biasa perkara dapat diproses tanpa adanya pengaduan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut; Menimbang, bahwa dari rumusan Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, maka perkara pencabulan tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban; Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas telah terbukti penahanan Termohon atas nama Tersangka Sukandi al. Kandi Bin Mustari berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. Pol :
SP. Han/154/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 adalah sah dan berdasarkan hukum; Menimbang, bahwa oleh karena itu maka permohonan praperadilan para Pemohon sepatutnya untuk ditolak; Mengingat, Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang 49 Tahun 2009 jo. UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan peraturan lain yang bersangkutan.
B. Amar Putusan Pengadilan Negeri I. Eksepsi 1.
Menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima.
II. Pokok Perkara 1.
Menyatakan menolak permohonan praperadilan para Pemohon;
2.
Menyatakan bahwa penahanan oleh termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim, tertanggal 3 Mei 2011 atas nama Sukandi al. Kandi Bin Mustari, adalah sah dan berdasarkan hukum;
3.
Menetapkan biaya perkara nihil
B. Pembahasan 1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan yang Menolak Permohonan Praperadilan Nomor 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt. Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia, ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Pengertian praperadilan diatur dalam Pasal 1 angka10 KUHAP yaitu : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang berperkara tidak diajukan ke pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap63 : Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutuskan perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan. Praperadilan tidak diatur dalam HIR, lahir dari pemikiran untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam 63
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 1.
melaksanakan
kewenangannya
tidak
melakukan
penyelewengan
dan
penyalahgunaan wewenang, sehingga dibutuhkan suatu pengawasan silang antara sesama aparat penegak hukum. Tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan pengawasan horisontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Praperadilan merupakan sebuah lembaga
yang bertujuan untuk
mengawasi penggunaan upaya-upaya paksa yang dilakukan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan sebelum pemeriksaan pokok perkara. S. Tanusubroto64 berpendapat bahwa : Diadakannya suatu lembaga Praperadilan adalah untuk pengawasan terhadap perlindungan hak-hak tersangka / terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan. Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan undangundang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka. Oleh karena itu
64
S. Tanusubroto, Loc. Cit, Hal. 73.
perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Menguji dan menilai sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang dilimpahkan kewenangannya kepada praperadilan. Menurut Loebby Loqman65 bahwa : Didalam KUHAP tidak dijelaskan tentang pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan upaya paksa yang lain selain penangkapan dan penahanan. Sehingga hal ini menimbulkan suatu pertanyaan tentang seberapa jauhkan wewenang dari praperadilan terhadap terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan penggeledahan badan, penggeledahan tempat, penyitaan barang, serta tentang pembukuan surat-surat. Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga maka dimungkinkan adanya pengawasan antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penghentian penyidikan dan penuntutan. Praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya kadang tidak lepas dari tindakan yang menyimpang dari prosedur hukum yang dapat memberikan dampak kerugian bagi pihak yang diduga bersalah. Oleh karena hukum melindungi hak dari pihak yang diduga bersalah maka tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk mengajukan praperadilan terhadap tindakan aparat penegak hukum yang menyimpang. Dalam Putusan Praperadilan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt Pemohon mengajukan permohonan praperadilan 65
Loebby Loqman, Op. Cit, Hal. 41.
kepada Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto untuk memeriksa mengenai sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan oleh Termohon. Berdasarkan hasil penelitian pada Putusan Praperadilan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt Pemohon mengajukan permohonan praperadilan pada tahap penyidikan dengan pertimbangan bahwa para Pemohon adalah orang tua kandung dan kakak kandung dari tersangka SK, maka sesuai dengan Pasal 77 KUHAP, yang termasuk kewenangan praperadilan untuk memeriksa dan memutus pada tahap ini adalah: 3. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. 4. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Permohonan praperadilan mengenai tidak sahnya penahanan diajukan karena menurut Pemohon bahwa termohon dalam menjalankan tugasnya menyimpang dari prosedur hukum yaitu termohon telah melakukan penahanan terhadap Pemohon tidak berdasar hukum. Kewenangan praperadilan salah satunya adalah memutus mengenai sah atau tidaknya penahanan, praperadilan diberi kewenangan tersebut karena penahanan merupakan suatu perampasan hak kemerdekaan seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Penahanan merupakan salah satu hal yang sudah diatur dalam ketentuan umum acara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 20 sampai 31 Bab V KUHAP. Pasal 1 angka 21 KUHAP memberikan definisi tentang penahanan sebagai berikut :
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penempatannya, dalam serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. “ Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP. Guna melakukan penahanan masing-masing instansi yakni kepolisian (penyidik), kejaksaan (penuntut umum), pengadilan (hakim) mempunyai tujuan yang berbeda sesuai dengan kepentingan tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 20 KUHAP tujuan penahanan yaitu : 1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik dapat melakukan penahanan; 2) Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan; 3) Penahanan yang dilakukan oleh hakim bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan tujuan tersebut penahanan dilakukan untuk mempermudah dan memperlancar tugas dari polisi, penuntut umum dan hakim, maka dalam pelaksanaan penahanan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah KUHAP. Putusan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt, Pemohon menganggap bahwa tersangka SK adalah bukan orang yang dilaporkan atau diadukan oleh pelapor dan korban namun pelapor dan korban melaporkan orang lain yang diduga melakukan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur. Sehingga Pemohon
menilai bahwa penahanan yang dilakukan oleh Termohon tidak dilandasi oleh bukti yang cukup sebagaimana disyaratkan dalam KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP yang mengatur mengenai penahanan hanya dapat dikenakan kepada mereka yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, sehingga timbul pertanyaan apakah SK layak disebut sebagai Tersangka. Berdasarkan hasil penelitian pada Putusan Praperadilan Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt terdapat fakta-fakta dalam data sekunder bahwa dari alat bukti tertulis Termohon bertanda T-1 berupa Surat Pengaduan tertanggal 19 April 2011 yang dibuat oleh Pelapor TR, bukti T-2 berupa Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2011/Jateng/Res. Bms/PPA pada tanggal 20 April 2011 penyidik/termohon telah menerima laporan dari pelapor TR tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon SK yaitu tindak pidana pencabulan anak di bawah umur sebagaimana terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan bahan dan keterangan yang dilaporkan kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap saksi korban VD tanggal 20 April 2011 (bukti T-6), bukti T-10 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi atas IS tanggal 28 April 2011, bukti T-12 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi KW tertanggal 1 Mei 2011, bukti T-15 berupa Berita Acara Pemeriksaan saksi ND tertanggal 3 Mei 2011, bukti T-17 berupa Berita Acara Pemeriksaan tersangka SK tertanggal 2 Mei 2011, maka telah diperoleh fakta bahwa Termohon telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka sendiri sebelum tanggal 3 Mei
2011,
sedangkan
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Termohon
telah
Han/154/V/2011/Reskrim, diterbitkan tanggal 3 Mei 2011. Berdasarkan
fakta
tersebut
dapat
disimpulkan
mempunyai bukti awal yang cukup berupa keterangan para saksi dan Tersangka sebelum melakukan penahanan terhadap SK. Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK. KAPOLRI No. Pol. SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara : a. Laporan Polisi b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi c. Laporan Hasil Penyelidikan d. Keterangan Saksi termasuk Saksi Ahli e. Keterangan Tersangka f. Barang Bukti Dari fakta hukum tersebut terbukti jika penahanan yang dilakukan termohon setelah mendengar keterangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya serta Pemohon sendiri sebagai tersangka yang jika perkaranya dilimpahkan dan diperiksa ke Pengadilan menjadi keterangan terdakwa, sehingga 2 (dua) alat bukti sudah terpenuhi sebelum Pemohon ditahan, karenanya dengan demikian menurut Pengadilan hal tersebut masuk dalam lingkup pengertian “bukti yang cukup” dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP serta sependapat dengan pendapat M. Yahya Harahap, S.H yang menyebutkan mengenai apa yang
dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Mengenai dalil Posita permohonan Pemohon yang menyatakan bahwa SK adalah bukan orang yang dilaporkan atau diadukan oleh pelapor dan korban menurut Pertimbangan Hakim, dalil yang dipakai adalah pendapat pribadi dan merupakan dalil yang sangat subyektif dari Pemohon serta tidak didukung oleh bukti-bukti sebagaimana ketentuan Perundang-undangan (Pasal 21 KUHAP). Sehingga dasar hukum dalam mengajukan permohonan praperadilan tidak relevan dengan ketentuan tentang praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pertimbangan Hukum Hakim selain mengenai hal tersebut di atas juga menyangkut tindak pidana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disangkakan kepada SK, bahwa dari rumusan Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, maka perkara pencabulan tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban. Telah terbukti Termohon tidak salah dalam melakukan penahanan terhadap Pemohon. Sehingga berdasarkan pertimbangan di atas maka hakim menyatakan bahwa permohonan praperadilan dari Pemohon SK dinyatakan
ditolak karena dalil pokok permasalahan dari Pemohon tidak mendasar dan tidak beralasan. Dan menyatakan bahwa penahanan Termohon atas nama Sukandi al Kandi bin Mustari berdasarkan surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/154/V/2011/Reskrim tanggal 3 Mei 2011 adalah sah berdasarkan hukum dan penahanan tetap diteruskan.
2. Ditolaknya
permohonan
praperadilan
pada
Putusan
No.
01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt apakah sudah sesuai dengan ketentuan penahanan dalam KUHAP? Salah satu yang bisa dimintakan pada pemeriksaan praperadilan adalah permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya penahanan. Yang dimaksud dengan penahanan dapat dijelaskan pada Pasal 1 angka 21 KUHAP, yaitu : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan Putusannya, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pengaturan mengenai penahanan dinyatakan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh Negara. Menurut Martiman Prodjohamidjojo66 bahwa : Penahanan adalah tindakan untuk menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan menempatkannya ditempat tertentu, biasanya dirumah tahanan negara yang dulu disebut Lembaga Pemasyarakatan. 66
Martiman Prodjohamidjojo, Loc. Cit, Hal. 15.
Pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan disebutkan berdasarkan Pasal 20 KUHAP, antara lain sebagai berikut : 1) Untuk
kepentingan
penyidikan,
yang
berwenang
melakukan
penahanan yakni penyidik. 2) Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang yakni penuntut umum 3) Demikian juga penahanan yang dilakukan oleh peradilan, bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan penetapan yang didasarkan kepada
perlu
tidaknya
penahanan
dilakukan
sesuai
dengan
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada dasarnya penahanan sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban masyarakat, walaupun terkadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau kadang penahanan dilakukan melampaui batas wewenang yang telah diberikan oleh undang-undang. Menurut pendapat Andi Hamzah67 bahwa : Penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal 95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan.
67
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal 127.
Salah satu alasan permohonan praperadilan adalah apabila terjadi penahanan secara tidak sah. Oleh karena itu untuk sahnya penahanan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Syarat Subyektif Syarat ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dinyatakan sebagai
syarat subyektif karena hanya tergantung kepada siapa orang yang memerintahkan penahanan tersebut, dan apakah syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut ada atau tidak. Penahanan harus memenuhi syarat undang-undang seperti yang ditentukan Pasal 21 ayat (1) KUHAP : 1. Tersangka “diduga keras” sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan. 2. Dugaan yang keras itu didasarkan pada “bukti yang cukup”, berupa Laporan Polisi ditambah 2 (dua) alat bukti, seperti BAP tersangka ataupun saksi-saksi, Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, ataupun barang bukti yang sudah ada. 3. Dilakukan dalam hal adanya “keadaan menimbulkan kekhawatiran” yang meliputi tersangka atau terdakwa akan melarikan diri dari sergapan penegak hukum, karena dengan melarikan diri tersangka atau terdakwa akan terbebas dari tuduhan tindak pidana yang dituduhkan oleh penyidik. Demikian juga kemungkinan untuk merusak atau menghilangkan barang bukti terutama barang bukti yang merugikan tersangka
atau
terdakwa
dengan
tujuan
untuk
menyulitkan
pemeriksaan serta kekhawatiran tersangka akan mengulagi tindak pidana lagi. 2.
Syarat Obyektif Syarat ini diatur pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sebagai dasar penahanan
yang ditinjau dari segi ancaman tindak pidana, yakni: f. Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. g. Diancam hukuman kurang dari 5 (lima) tahun, tetapi ditentukan dalam KUHAP yang terdapat dalam pasal-pasal berikut : Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP. h. Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai. i. Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. j. Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Menurut Loebby Loqman68 bahwa : Pengaturan didalam KUHAP suatu penahanan dianggap sah terutama adalah diharuskan memenuhi syarat-syarat formil yakni adanya surat perintah penahanan dan sebagainya, akan tetapi juga didalam KUHAP diatur kapankah seseorang dapat ditahan, yakni apabila ada dugaan yang keras dia melakukan tindak pidana, disamping adanya suatu keadaan yang dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan tersangka akan melakukan tindak pidana lagi.
68
Loebby Loqman, Loc. Cit. Hal. 63.
Terhadap kedua syarat penahanan tersebut harus terpenuhi dalam melakukan penahanan, karena undang-undang sendiri telah menentukan tindak pidana mana yang dapat dikenakan penahanan sehingga tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan. Yang terpenting yaitu syarat obyektif, sebab penahanan hanya dapat dilakuan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP terpenuhi. Jika syarat obyektifnya (Pasal 21 ayat (4) tidak terpenuhi maka tidak dapat dikenakan penahanan terhadap tersangka. Sedangkan syarat subyektif biasanya hanya dipergunakan untuk memperkuat syarat obyektif dan dalam hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai dengan penahanan tersebut habis serta adanya suatu keadaan yang mengkhawatirkan yang mungkin dilakukan oleh tersangka. Kekhawatiran itu sendiri memang belum terjadi tetapi oleh pejabat yang melakukan penahanan dipertimbangkan akan terjadi. Pengujian keabsahan suatu penahanan oleh hakim praperadilan adalah sejauh dasar-dasar dari dilakukannya penahanan tersebut, karena suatu penahanan dianggap sah apabila telah memehuni seluruh syarat-syarat yang telah ditetapkan di dalam undang-undang, dan tentunya syarat-syarat itu meliputi baik syarat formil maupun materil. Syarat formil penahanan, yaitu penahanan memiliki dasar hukum yang jelas, terutama dasar hukum bagi pejabat yang melakukannya dan dilakukan berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu penahanan juga harus memenuhi syarat materil, yaitu penahanan dilakukan untuk mencapai tujuan yang
ditentukan dalam undang-undang dan mempunyai alasan yang sah, baik alasan secara obyektif maupun subyektif. Penahanan yang tidak sah berarti, penahanan yang tidak memenuhi syarat Pasal 21 KUHAP juga penahanan yang lebih lama daripada yang dijatuhkan. Hal-hal yang penting dalam syarat sahnya penahanan antara lain : c.
Adanya dugaan keras pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
d.
Penahanan dilakukan dengan surat perintah atau penetapan. Selain itu ada juga syarat administratif dalam melakukan penahanan,
yaitu berupa kelengkapan surat menyurat yang wajib dipenuhi berdasarkan pedoman dan kewajiban hukum acara, antara lain sebagai berikut: g.
Surat perintah penahanan, dari dan oleh penyidik atau penuntut umum, atau surat putusan oleh hakim pengadilan yang melakukan penahanan;
h.
Berita acara penahanan yang memuat juga identitas jelas dan lengkap dari tersangka atau terdakwa yang ditahan;
i.
Pasal pelanggaran hukum pidana materiil yang dipersangkakan, disertai uraian singkat perkara yang didakwakan kepadanya.
j.
Beberapa pasal tertentu hukum pidana materiil bisa mengakibatkan tersangka harus ditahan;
k.
Tempat penahanan dilakukan, supaya keluarga atau advokat bisa mengunjunginya;
l.
Tembusan surat penahanan wajib diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa atau advokatnya.
Tanpa adanya surat perintah penahanan dari kekuasaan yang sah, maka tiap orang wajib dan diperbolehkan menolak perintah pejabat yang bersangkutan itu. Didalam mengemban tugas maka para penyidik, penuntut umum, hakim senantiasa harus mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan, dan kesusilaan serta jangan sampai upaya paksa penahanan menimbulkan penghinaan dan kegelisahan. Sehingga dalam hal penahanan harus dilakukan dengan hati-hati, serta adanya bukti-bukti yang cukup, bertindak atau memperlakukan secara manusiawi. Hasil penelitian pada Putusan No. 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt berdasarkan bahan dan keterangan yang dilaporkan berupa Laporan Polisi No. Pol : LP/112/IV/2011/Jateng/Res. Bms/PPA pada tanggal 20 April 2011 oleh pelapor TR tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka SK yaitu tindak pidana pencabulan anak di bawah umur serta pemeriksaan terhadap saksi korban VD beserta saksi-saksi lainnya sehingga penyelidik berkesimpulan bahwa terdapat dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh
pemohon,
dengan
adanya
Surat
Perintah
Tugas
No.Pol
:
SP.Gas/129/IV/2011/Reskrim tertanggal 20 April 2011 untuk menindaklanjuti laporan dari pelapor TR kemudian dilanjutkan dengan tindakan penyidikan oleh penyidik dibuktikan dengan Surat Perintah Penyidikan No. S. Sidik/129/IV/2011/Reskrim tertanggal 20 April 2011 yang bertujuan untuk mencari alat bukti guna membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Suatu penyidikan tindak pidana bertujuan untuk dibuktikan dalam
pemeriksaan pengadilan yang akan menentukan terbukti tidaknya tindak pidana tersebut dalam putusan pengadilan. Untuk itu penyidik mengumpulkan dan mengajukan semua alat bukti yang mendukung bahwa tersangka secara hukum adalah bersalah. Oleh karena itu sebelum menentukan status tersangka terhadap seseorang dan melakukan penahanan, penyidik harus terlebih dahulu mengumpulkan semua bahan dan informasi serta pemeriksaan terhadap alat bukti yang mendukung kesalahan tersangka. Berdasarkan
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Pol
:
SP.
Han/154/V/2011/Reskrim pemohon ditahan dan dibuatkan Berita Acara Penahanan pada tanggal 3 Mei 2011, karena tersangka dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup, tersangka diduga keras melakukan tindak pidana pencabulan anak di bawah umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 83 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam hal ini dapat dikenakan penahanan. Berdasarkan fakta tersebut di atas maka dapat disimpulkan Termohon telah mempunyai bukti permulaan yang cukup. Yaitu penahanan yang dilakukan setelah mendengar keterangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya serta keterangan pemohon sendiri sebagai tersangka. Kriteria bukti yang cukup sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah bukti permulaan yang cukup ditambah dengan keterangan dan data, berupa Laporan Polisi ditambah 2 (dua) alat bukti, seperti BAP tersangka ataupun saksi-saksi,
Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, ataupun barang bukti yang sudah ada. Selain adanya bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penahanan, Pasal 21 ayat (1) KUHAP juga mensyaratkan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dalam hal ini, dinyatakan sebagai syarat subyektif karena hanya tergantung kepada siapa orang yang memerintahkan penahanan tersebut, dan apakah syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut ada atau tidak. Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disangkakan kepada SK sebagaimana dalam posita permohonan Pemohon adalah bukan merupakan Undang-Undang Pidana Khusus seperti yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP akan tetapi Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mempunyai ancaman pidana lebih dari 5 (lima) tahun yaitu ancaman pidana 15 (lima belas) tahun penjara, sehingga masuk pada kualifikasi Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP sebagai alasan penahanan yang bersifat obyektif. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat M. Yahya Harahap69 yang menyatakan sebagai berikut : Ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, maka penahanan hanya bisa dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana : 69
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 166.
1. Yang diancam dengan pidana penjara “lima tahun atau lebih”. Pidana yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas yang diperkenankan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Kalau ancaman hukuman yang tecantum dalam pasal tindak pidana yang dilanggar di bawah lima tahun, secara obyektif tersangka atau terdakwa tidak boleh dikenakan tahanan. 2. Disamping aturan umum tersebut, penahanan juga dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana yang disebut pada pasal KUHP dan Undang-Undang Pidana Khusus, sekalipun ancaman hukumannya kurang dari lima tahun. pasal-pasal tindak pidana itu dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. Termohon tidak salah dalam melakukan penahanan terhadap SK, karena Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disangkakan kepada SK termasuk pasal yang dapat dikenai penahanan terhadap pelakunya, sehingga berdasarkan pertimbangan di atas maka Hakim menyatakan bahwa permohonan praperadilan dinyatakan ditolak karena dalil pokok permasalahan dari pemohon tidak mendasar dan tidak beralasan. Dan menyatakan bahwa penahanan terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP.Han/154/V/2011/Reskrim, tanggal 3 Mei 2011 adalah sah dan tetap diteruskan, dengan demikian maka dasar Penetapan ditolaknya permohonan praperadilan pada Putusan No. 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt sudah sesuai dengan ketentuan penahanan di dalam KUHAP karena terpenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penetapan yang Menolak Permohonan Praperadilan Nomor 01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt. Dalil yang dipakai Pemohon sebagai alasan permintaan pemeriksaan praperadilan adalah pendapat pribadi dan merupakan dalil yang bersifat subyektif.
Sehingga
dasar
tidak
relevan
praperadilan
hukum dengan
dalam
mengajukan
ketentuan
tentang
permohonan praperadilan
sebagaimana diatur dalam KUHAP. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, perlu dipertimbangkan pula menyangkut tindak pidana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disangkakan kepada SK, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, maka perkara pencabulan tetap diproses. 2.
Ditolaknya
permohonan
praperadilan
pada
Putusan
No.
01/Pid.Pra/2011/PN.Pwt yang diajukan oleh pemohon SK mengenai penahanannya dalam tindak pidana pencabulan anak dibawah umur sudah
sesuai dengan ketentuan penahanan dalam KUHAP. Karena terpenuhinya syarat subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, serta terpenuhinya syarat obyektif yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
B. Saran Sebaiknya dalam mengajukan permohonan praperadilan memperhatikan ketentuan tentang praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga pemeriksaan pada tingkat pemeriksaan pendahuluan yaitu pada tingkat penyidikan dan penuntutan dapat berjalan dengan lancar karena terpenuhinnya syarat hukum dalam KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur : Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika Presindo, 1986. Artasasmita, Romli, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta: Bina Cipta, 1983 Bewenga, Gerson, W, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: Pradnya Paramita. 1989. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. , 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. , 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Loqman, Loebby, Praperadilan Di Indonesia, Malang: Ghalia Indonesia, 1987. Ngani, Nico, dkk, , Mengenal Hukum Acara Pidana Tentang Dan Di Sekitar Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Dan Mahkamah Agung RI, Yogyakarta: Liberty, 1984. Poernomo, Bambang, Orientasi Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Amarta Buku, 1988. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1977. Prodjohamidjojo, Martiman, Penangkapan dan Penahanan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989. Prints, Darwan, Praperadilan dan Perkembangannya Di Dalam Praktik, Cet. 1, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 1993.
Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001. Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Soerodibroto, Soenarto, KUHP dan KUHAP (Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: PT Raja Grafindo Husada, 1994. Soesilo, R, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Bogor: Politeia, 1982. Sumantri, L, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996. Sutarto, Suryono, Sari Hukum Acara Pidana I, Semarang: Yayasan Cendikia Purna Dharma, 1987. Tanusubroto, S, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1982.
B. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. ,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ,Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. C. Sumber Lain : Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 01/Pid.Pra/2011/PN.PWT.