PLURALISME DAN KEBERADAAN AHMADIYAH DI PEDESAAN JAWA
YOSFIALDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di Pedesaan Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Yosfialdi I353100101
ABSTRACT YOSFIALDI. Pluralism and the Existence of the Ahmadiyah in the Rural Area of Java. Under direction of LALA M. KOLOPAKING and NURAINI W. PRASODJO This study described and analyzed how the people in rural areas responded pluralism before and after the reform era. It also examined how conflicts occurred as a consequence of the waning tolerance and pluralism in rural area. The research was conducted in one village in West Java Province, where the Ahmadiyah have existed since 1933. This study used a qualitative approach to explore the responses of the religious leaders, village government and ordinary people toward Ahmadiyah. Tolerance and pluralism in the village were reflected in their social or religious lives, such as mutual assistance, education, health and religious events. However, since 2005, the attitude of tolerance and pluralism has been fading along with the Cikeukeuh people’s increasing resistance to Ahmadiyah. One of the reasons is that the attitude of the religious elite who are too reactive in response to the existence of the Ahmadiyah. The reactive attitude can not be separated from the rules and policies issued related to Ahmadiyah. Public responses to Ahmadiyah were not the same, depending on the people’s social/religious status and their domicile. The study indicated that the negative and reactive responses were shown by the religious elite and the people living close to Ahmadiyah. In the meantime, the positive response and tolerance were shown by religious leaders, village officials and ordinary people in villages far from Ahmadiyah. Various policies related to Ahmadiyah raise segregations in society that ultimately fade the tradition of pluralism itself. As a consequence, social interaction is not fully formed because the followers of Ahmadiyah worry violate existing regulations. On the contrary, non Ahmadiyah people are also not easily interact with the followers of Ahmadiyah intensively considered for fear of other people close to the Ahmadiyah.
Keywords: pluralism, tolerance, ahmadiyah, resistance, conflict
RINGKASAN YOSFIALDI. 2012. Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di Pedesaan Jawa. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan NURAINI W. PRASODJO. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat plural di dunia, baik suku, bahasa, budaya dan agama. Pluralisme ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Potensi pluralitas ini menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Akan tetapi pluralitas ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik, jika tidak dapat mengelolanya denga baik. Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan satu bentuk pluralitas keberagamaan di tengah berbagai keyakinan keagamaan di Indonesia, terutama di pedesaan. Kondisi pluralitas ini menuntut adanya suatu sikap toleransi yang tinggi dalam masyarakat untuk menghindari disintegrasi sosial, seperti yang ditunjukkan pada masa sebelum era reformasi. Namun, disebabkan oleh berbagai faktor, kondisi pluralisme di pedesaan belakangan ini menjadi pudar. Kajian ini menjelaskan dan menganalisa bagaimana kehidupan pluralisme di pedesaan terjadi sebelum masa reformasi sekaligus melihat proses pemudaran pluralisme pascareformasi. Kajian ini juga melihat bagaimana proses konflik terjadi sebagai konsekuensi dari memudarnya sikap toleransi dan pluralisme di pedesaan. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum tentang kehidupan toleransi dan pluralisme di pedesaan sebagai konsekuensi dari adanya pluralitas keberagamaan. Penelitian ini dilakukan di Desa Cikeukeuh, Propinsi Jawa Barat di mana JAI sudah ada sejak tahun 1933. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali bagaimana respon tiga lapisan masyarakat, yakni tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat biasa terhadap JAI. Masyarakat Cikeukeuh secara umum memiliki sikap toleransi yang tinggi kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal itu terlihat dalam interaksi mereka selama ini, khususnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sikap toleransi dan kehidupan pluralisme tersebut tercermin dalam kehidupan sosio-kemasyarakatan dan sosio-keagamaan, seperti gotong-royong, pendidikan, kesehatan dan pengajian-pengajian keagamaan. Namun, semenjak tahun 2005, sikap toleransi dan pluralisme tersebut menjadi pudar seiring dengan semakin meningkatnya resistensi sebagian masyarakat desa Cikeukeuh terhadap JAI. Salah satu penyebabnya adalah sikap elit agama yang terlalu reaktif merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sikap reaktif ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai aturan dan kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan JAI, seperti fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan SKB Kabupaten. Berbagai kebijakan yang terkait dengan JAI melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat yang pada akhirnya mematikan tradisi pluralisme itu sendiri. Dalam hal ini, negara melakukan hegemoni agama yang berujung pada pudarnya pluralisme di pedesaan. Berbagai kebijakan yang terkait dengan JAI melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat yang pada akhirnya memudarkan tradisi pluralisme itu sendiri. Akibatnya, interaksi sosial tidak seutuhnya terbentuk karena pengikut Ahmadiyah kuatir dianggap melanggar regulasi yang ada. sementara itu, warga non
Ahmadiyah juga tidak mudah berinteraksi dengan pengikut Ahmadiyah secara intensif karena kuatir dianggap warga lain dekat dengan Ahmadiyah. Respon masyarakat terhadap JAI tidaklah sama bergantung pada lapisan masyarakat dan domisilinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon negatif dan reaktif diperlihatkan oleh elit agama dan masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Sementara respon positif dan toleran diperlihatkan oleh tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa di kampung yang berjauhan dengan Kampung Ciladong. Sehingga, dengan demikian, konflik tidak terhindarkan akibat kuatnya resistensi masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong, kampung dimana JAI berdomisili. Kata kunci: pluralisme, toleransi, ahmadiyah, resistensi, konflik
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PLURALISME DAN KEBERADAAN AHMADIYAH DI PEDESAAN JAWA
YOSFIALDI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Zainun Kamal
PRAKATA Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya jualah sehingga tesis dengan judul “Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah Di Pedesaan Jawa” dapat penulis selesaikan dengan sebaik-baiknya. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun di bawah bimbingan Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi dan Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku Anggota Komisi. Penulis juga tak lupa menghaturkan ucapan terima kasih yang setinggitingginya kepada semua pihak yang turut membantu penulisan tesis ini, yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Ir. Nuraini W selaku Anggota Komisi yang telah mengarahkan dan membimbing penulis. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta) selaku penguji dan sekaligus memberikan arahan dan bimbingan untuk perbaikan tesis. 3. Kepala Desa Cikeukeuh beserta stafnya yang telah menerima dan membukakan akses kepada penulis dalam penelitian ini. 4. Masyarakat Cikeukeuh yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, khususnya di Kampung Ciladong, Sadang, Nanggreg, Sukasari, Mekarsari. 5. Bapak Wahid, Kepala Perpustakaan Kampus Mubarak Parung, yang dengan penuh perhatian membantu penulis menyediakan buku-buku yang terkait dengan Ahmadiyah. 6. Ibunda tercinta, Hj. Darisah, yang tidak pernah bosan-bosannya mendoakan untuk keberhasilan penulis. 7. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Sosiologi Pedesaan angkatan 2010, khususnya Mba Sri Agustina, Sukma Taroniarta, Ahmad Tarmiji dan Rinto Andi Suncoko yang banyak membantu penulis selama kuliah. 8. Istri (Irawati, S.P.d.I) dan anak (Najela Agatha) tercinta yang setiap saat memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis yang telah disusun ini masih belum sempurna untuk itu segala kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi terwujudnya kerukunan dan kedamaian antarumat beragama di negeri yang kaya akan perbedaan ini.
Bogor, September 2012
Yosfialdi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Panjang, tanggal 21 Juni 1980 dari ayah (alm.) Bakhtiar dan Ibu Darisah (73 tahun). Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari Madrasah Aliyah (MA) Bukittinggi dan pada tahun penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis memilih jurusan Tafsir-Hadits dan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam pada tahun 2004. Penulis masuk ke IPB program Pascasarjana Mayor Sosiologi Pedesaan pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan S1, penulis pernah bergabung dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi (SET), Etnomark Consulting dan Bina Swadaya. Pada Februari – Juni 2012 (semester genap) penulis dipercaya menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan (KOK) yang diampu oleh Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S dan Bapak Ir. Fredian Tony Nasdian, M.S.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
i iii iv v
I
PENDAHULUAN . .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah . ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
1 1 8 12 13 13
II
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu .. ..................................................... 2.2. Pluralisme Keberagamaan ............................................................. 2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan .............................. 2.4. Jemaat Ahmadiyah di Pedesaan Indonesia ....................................
15 15 17 19 24
III METODE PENELITIAN ..................................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 3.2 Paradigma Penelitian ..................................................................... 3.3. Pendekatan Penelitian .................................................................... 3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 3.5. Teknik Analisa Data ...................................................................... 3.6. Lokasi Penelitian ............................................................................
27 27 28 28 29 30 31
IV CIKEUKEUH DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN KEAGAMAAN .................................................................................... 4.1. Data Demografis Desa Cikeukeuh ................................................. 4.2. Kehidupan Sosial-Politik ............................................................... 4.3. Agama dan Praktek Keagamaan dalam Masyarakat ...................... 4.4. Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah ..................................
33 33 39 45 50
V
KEBERADAAN AHMADIYAH DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NASIONAL .............................................................................. 5.1 Latar Belakang Historis Munculnya Ahmadiyah ........................
67 67
VI
5.1.1 Konteks Sosial-Politik Masa Penjajahan Inggris ................ 5.1.2 Ahmadiyah di Tengah Kemunduran Umat Islam ............... 5.1.3 Ahmadiyah dan Perannya di Dunia Internasional .............. 5.2 Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia ............................................ 5.2.1 Kemunculan Ahmadiyah .................................................... 5.2.2 Doktrin Kenabian ............................................................... 5.2.3 Menanggapi Ahmadiyah melalui Fatwa MUI .................... 5.2.4 Menanggapi Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri ..............
67 72 78 83 83 88 94 100
MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA ............. 6.1 Elit Agama dan Paham Keagamaan .......................................... 6.1.1 Sekilas Gambaran Elit Agama ......................................... 6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup ..................................... 6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama ....................... 6.2 Pluralisme Keberagamaan: Dinamika Gagasan dan Praktek dalam Historis ........................................................................... 6.3 Konstruksi Masyarakat terhadap Ahmadiyah ........................... 6.3.1 Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri .............................. 6.3.2 Obyektivasi: Momen Interaksi Diri .................................. 6.3.3 Internalisasi: Momen Identifikasi Diri ............................. 6.3.4 Penilaian Masyarakat terhadap Ajaran Ahmadiyah .......... 6.3.5 Penilaian Masyarakat terhadap Pelarangan Ahmadiyah ... 6.3.6 Penilaian Masyarakat terhadap Fatwa MUI dan Peraturan-peraturan Lainnya ............................................. 6.4 Munculnya Konflik Komunal ................................................... 6.4.1 Sumber Munculnya Konflik ............................................. 6.4.2 Kekuasaan Agama dan Kekuasaan Negara ......................
105 105 105 109 111 114 118 118 119 121 123 126 129 133 133 139
VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 7.1 Simpulan ..................................................................................... 7.2 Saran ...........................................................................................
143 143 144
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
145
LAMPIRAN ......................................................................................
154
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
6
2
Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat Ahmadiyah
11
3
Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004
42
4
Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009
42
5
Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPR RI Tahun 2009
43
6
Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010
53
7
Sebaran Perkembangan Ahmadiyah di Dunia
80
8
Elite Agama dalam Pandangan Masyarakat
106
9
Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
116
10
Dialektika Ekternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi
123
11
Penilaian Masyarakat Terhadap Jemaat Ahmadiyah Berdasarkan Lapisan Masyarakat
128
12
Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan/Keputusan tentang Ahmadiyah
132
13
Pola Dasar Hubungan dalam Masyarakat Plural
138
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011
8
2
Kerangka Pemikiran Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di
27
Pedesaan Jawa 3
Struktur Penduduk Desa Cikeukeuh Berdasarkan Jenis Kelamin
33
4
Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin
34
5
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikeukeuh
35
6
Areal persawahan di Kamp. Cihedang
37
7
Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi empang
37
8
Kantor Desa Cikeukeuh
38
9
Salah satu sekolah agama yang ada di Desa Cikeukeuh
38
10 Kondisi jalan di Kampung Ciladong
52
11 Struktur organisasi Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode
61
2010-2013 12 Perkembangan Mesjid Ahmadiyah di seluruh Dunia
81
13 Penilaian terhadap Fatwa MUI mengenai Ajaran Ahmadiyah
96
14 Penilaian atas tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah
97
mengenai Ahmadiyah 15 Konstruksi Manusia terhadap Realitas Sosial
121
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Panduan Wawancara ……………………………………............... 155
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara empiris Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar
di dunia. Sebagai masyarakat yang religius, agama di kalangan masyarakat Indonesia sangat penting bahkan menjadi tuntunan dalam bertindak. Geertz, misalnya, menyebut agama sebagai pola untuk melakukan tindakan serta menjadi hal yang berarti dan mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari (Sutiyono 2010). Selain sebagai pola bagi tindakan (pattern for behaviour), yaitu agama sebagai pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam kehidupannya. Di sini, dalam pandangan Geertz, agama dianggap sebagai bagian sistem budaya. Ignas Kleden (dalam Syam 2005) menyebut bahwa pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai dan pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau pengetahuan manusia. Hubungan keduanya terletak pada sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan. Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Menurut Tischler (dalam Kahmad 2009) sistem kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk sistem ritual, emosi keagamaan, kepercayaan dan kelembagaan agama. Dengan demikian, setiap perilaku individu yang beragama akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Ibnu Khaldun (1986) juga menyatakan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat. Bagi Ibnu Khaldun, perilaku manusia sangat ditentukan oleh struktur sosial budayanya. Oleh karena itu, secara sosiologis, perilaku keislaman masyarakat Maroko dan keislaman masyarakat Jawa (Indonesia) sangatlah berbeda (Geertz 1968). Menurut Glock dan Stark, seperti yang dikutip Kahmad (2009), ada lima dimensi manusia beragama. Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini berisi pengharapan sambil berpegang teguh pada nilai-nilai teologis tertentu. Kedua,
2
dimensi praktis agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subyektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama dimana orang yang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan, ritual, kitab suci dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang akan agama. Jika dalam pandangan Geertz, agama dinilai sebagai bagian dari sistem kebudayaan, Peter L. Berger (1966) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan konstruksi manusia, dan agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan juga merupakan konstruksi manusia. Menurut Berger (1966), terdapat proses dialektik ketika melihat hubungan antara manusia, masyarakat dan agama dimana agama sebagai sesuatu yang obyektif karena agama berada di luar diri manusia atau agama mengalami proses obyektivasi. Proses obyektivasi ini terjadi ketika agama menjadi doktrin, tata nilai, hukum, aturan dan sebagainya. Doktrin ini kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam diri individu sebab agama telah diinterpretasikan oleh manusia untuk menjadi pedoman dalam kehidupannya. Di sini agama mengalami proses internalisasi. Akan tetapi agama juga mengalami proses eksternalisasi, yaitu ketika agama menjadi sesuatu yang termanifestasi dalam masyarakat dan menjadi norma yang berfungsi mengontrol tindakan masyarakat. Perjalanan sejarah keberagamaan di Indonesia pascareformasi salah satunya menunjukkan potret kekerasan atas nama agama. Padahal setiap agama dan keyakinan menolak segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun. Pendorong timbulnya perilaku kekerasan agama adalah pemahaman agama dari hasil pemikiran yang termanifestasi dalam bentuk tindakan nyata. Di sini, meminjam konsep Berger, proses dialektika obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi agama dan lingkungannya terjadi. Gambaran agama dan masyarakat yang menganut agama (Islam) seperti yang dijelaskan di atas juga ditemukan dalam masyarakat Jawa. Mengacu kepada kategorisasi yang ditulis Geertz, masyarakat Jawa terdiri dari tiga varian utama,
3
yaitu abangan, santri dan priyayi. Istilah abangan (Robertson 1988) merujuk pada penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme1 Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani. Istilah santri menekankan pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan pada umumnya dihubungkan dengan aspek dagang (dan juga kepada unsur tertentu di kalangn petani). Sementara itu, istilah priyayi menekankan pada aspek-aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik. Islam santri menggambarkan sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku takhayul, bid`ah dan khurafat. Sedangkan Islam abangan menggambarkan sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Kelompok pertama ini oleh Sutiyono (2010) disebut juga dengan muslim atau masyarakat puritan, sementara kelompok kedua disebut juga dengan muslim atau masyarakat sinkretis. Berdasarkan
partisipasi
ritualnya,
Islam
santri
lebih
berorientasi
menjalankan ritual yang diajarkan Islam seperti shalat, puasa dan ibadah haji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, nyadran, nyewu, uahan, brokohan, sesajen dan sebagainya. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual keagamaan. Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda. Koentjaraningrat (1984) menyebut religiusitas Islam abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti yang digambarkan oleh Geertz sebagai santri, priyayi dan abangan. Menurut Koentjaraningrat, Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep1
Sinkretisme adalah upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam nilai-nilai agama atau budaya yang berbeda tanpa memecahkan perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Misalnya, masyarakat Jawa mencampur praktek-praktek keagamaan asli mereka dengan Hinduisme, Budhisme dan Islam (lihat Syam 2005, bandingkan juga dengan Sutiyono 2010). Dengan adanya proses sinkretis tersebut, maka kebenaran tidak hanya diyakini berasal dari kepercayaan sebelumnya tetapi juga ada dari kepercayaan lain.
4
konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam. Dengan kata lain, Islam abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, HinduBudha dan Islam. Koentjaraningrat kemudian berpendapat, bahwa hal itu tidak berarti Islam abangan tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit kaitannya dengan doktrin-doktrin Islam. Sikap sinkretisme, dalam pandangan Simuh (1988), adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, atau suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama dan budaya lokal, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. Dengan demikian, Islam sinkretisme merupakan gambaran sikap keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Sebaliknya, sikap puritanisme sangat mengedepankan apa yang disebut sebagai autentifikasi ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam teks suci. Ajaran Islam harus bebas dari unsur-unsur takhayul, bid`ah dan khurafat seperti yang sering dilakukan oleh Islam sinkretisme. Kelompok ini tidak toleran dengan pemahaman kontekstual dan sinkretis. Islam puritan sangat tekstual-formalis dan tidak ramah dengan budaya lokal. Kelompok Islam puritan berusaha meningkatkan penggalian teks-teks suci (al-Quran dan Hadits) dalam rangka pemurnian syariat. Praktek syariat semacam ini oleh Woodword (1999) disebut sebagai kesalehan normatif, yaitu seperangkat praktek keagamaan yang telah dijelaskan Allah melalui utusan-Nya Muhammad SAW, yang diperuntukkan
5
untuk seluruh umat Islam. Islam puritan, mengacu pada hasil penelitian Sutiyono (2010) di Senjakarta, Klaten, dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Islam puritan moderat dan Islam puritan radikal2. Pluralisme keberagamaan ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini kerapkali menimbulkan sekat-sekat sosial yang berakhir dengan perbedaan-perbedaan bahkan menimbulkan konflik sosial. Akibatnya, pada tingkat ekstrim benturan budaya (sistem kepercayaan atau agama) menjadi konsekuensi negatif, dan aspek-aspek simbolik dari masing-masing individu yang berlainan sikap dan perilaku keberagamaannya dapat berfungsi menjadi faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial. Kekerasan keagamaan yang terjadi di pedesaan Jawa kerapkali dapat digolongkan kepada mereka yang santri (puritan radikal). Kelompok ini seringkali tidak toleran terhadap kelompok keagamaan yang lain. Kondisi ini sesungguhnya berbanding terbalik dengan kondisi Jawa yang secara umum dikenal sebagai masyarakat yang paling majemuk di Indonesia dan toleran serta, meminjam istilah Hefner (2005), kaya akan pluralist endowments. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak pedesaan di Jawa adalah daerah yang memiliki basis pesantren dan mayoritas beragama Islam, yang dikenal dengan sikap toleransi keberagamaannya. Kenyataan ini seharusnya menjadi fondasi dan kekuatan utama dalam rangka membangun kehidupan keberagamaan yang saling menghormati. Dalam kaitan ini, ada dua fenomena yang mengindikasikan tantangan pluralisme keberagamaan. Pertama, maraknya aksi kekerasan secara fisik maupun psikis, berupa penyesatan, pembubaran, dan pengusiran terhadap beberapa kelompok keyakinan, seperti kekerasan yang dialami oleh kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yaitu organisasi keagamaan yang mempercayai
2
Islam puritan radikal adalah sekelompok umat Islam yang menginginkan kembalinya sistem kehidupan beragama yang serba otentik dengan berpedoman pada sistem yang berasal dari teks suci yang bersifat skriptural, literal dan doktrinal serta disertai dengan tindakan keras dalam menyebarkan ajaran agama atau merespon praktek keagamaan yang berseberangan. Sementara bedanya dengan Islam puritan moderat terletak pada tindakan dalam menyebarkan ajaran agama atau merespon praktek keagamaan yang berseberangan yang tidak disertai dengan tindakan keras. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, Islam puritan radikal dapat dilihap pada sekelompok umat Islam yang melarang secara keras praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan takhayul, bid`ah dan khurafat, seperti slametan dan tahlilan.
6
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua, menguatnya sikap intoleransi dan memudarnya sikap pluralisme di kalangan masyarakat di pedesaan. Tabel 1 Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) No
Kasus
Tempat/Waktu
1 2
Pengusiran, penganiayaan, dan pembakaran mesjid Penyerangan dan pengrusakan dua mesjid
3
Penyerangan atas penganut JAI
4 5
Penyerangan dan pengrusakan kampus dan rumah JAI Pengrusakan mesjid
Desa Bayan, Lombak Barat (1999) Desa Manis lor, Kuningan (2002) Kota Selong, Lombok Timur (2002) Parung, Bogor (2005)
6
Pembakaran mesjid
7 8
Penyerangan dan perusakan mesjid, kantor, rumah Pembakaran masjid
9
Penyerangan atas penganut JAI
10
Pengrusakan dan pembakaran 22 rumah
11
Pemaksaan pembongkaran mesjid
12
Penyerangan dan pengrusakan mesjid
13 14
Pengrusakan paksa papan nama mesjid Pengrusakan dan pembakaran bangunan
15
Pembakaran madrasah dan mushalla
16
19
Pemaksaan meninggalkan kegiatan di mesjid Perusakan rumah tokoh JAI dan pusat kegiatan keagamaan Penyerangan dan pembunuhan pengikut JAI Pengrusakan mesjid
20
Pengrusakan mesjid
17 18
Desa Sadasari, Majalengka (2005) Parakansalak, Sukabumi (2005) Desa Badakpaeh, Tasikmalaya (2007) Kebayoran Lama, Jak-Sel (2009) Praya, Lombok Tengah (2010) Desa Gegerung, Lombok Barat (2010) Desa Warnasari, Kec. Sukabumi (2010) Ciputat, Tangerang Selatan (2010) Surabaya (2010) Desa Ciampea Udik, Bogor (2010) Desa Sukadana, Cianjur (2010) Makassar (2011) Desa Sukagalih, , Tasikmalaya (2011) Desa Umbulan, Cikeusik, (2011) Singaparna, Tasikmalaya (2012) Manislor, Kuningan 2012
Pelaku Massa Massa
Korban 1 meninggal, 1 luka parah -
Massa Gerakan Umat Islam (GUI), FPI Massa
-
Massa
-
Massa 200 orang
-
Dua orang Tak dikenal Massa
-
Massa
-
Santri
-
Sekelompok orang bersepeda motor FPI dan GUIB Ratusan warga
-
Massa
-
FPI
-
Massa 50 orang
-
Massa
-
-
-
3 orang meninggal, puluhan luka-luka
Massa Massa
Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa) Fenomena maraknya aksi kekerasan secara fisik maupun psikis serta menguatnya sikap intoleransi di pedesaan tidaklah berdiri sendiri. Fenomena ini merupakan cerminan apa yang terjadi secara nasional dan merambah ke pedesaan. Berbagai krisis seperti krisis kepercayaan terhadap pemerintah, krisis sosialekomomi, krisis hukum hingga krisis integritas dan krisis keteladanan yang tidak kunjung selesai memberikan tekanan psikologis terhadap masyarakat. Berbagai
7
kekerasan dan sikap-sikap intoleransi yang marak terjadi pasca jatuhnya rejim Orde Baru tentu sangat memprihatinkan di tengah berbagai persoalan bangsa, seperti penataan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi. Kondisi ini tentu saja sudah mengarah pada melemahnya ikatan kebangsaan masyarakat Indonesia (Muttaqin et. al 2006). Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, persoalan dan penanganan Ahmadiyah yang sudah berada pada tingkat nasional juga memberikan tekanan tersendiri pada gejala-gejala kekerasan dan intoleransi di tingkat pedesaan. Hal ini didukung oleh banyak faktor, di antaranya adalah keluarnya berbagai regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah, ekses reformasi yang tidak lagi mengandung restriksirestriksi seperti pada masa Orde Baru (Azra 2002), lemahnya penegakan hukum dan menguatnya sikap-sikap fundamentalisme keberagamaan. Maarif Institute (2010) mencatat bahwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah banyak terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat dianggap sebagai lumbung kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dengan 117 kasus hingga pertengahan September 2010. Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah meningkat dibandingkan pada tahun 2009 yang berjumlah 114 kasus. Melonjaknya angka kekerasan berbasis sentimen keagamaan pada 2010 ini menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa toleransi dan kerukunan dalam masyarakat mulai pudar. Senada dengan laporan Maarif Institute, The Wahid Institute (2009) melaporkan bahwa kasus intoleransi keagamaan dan keyakinan yang terjadi pada tahun 2009, Jawa Barat menempati posisi paling atas dengan 32 kasus. Setelah itu Jakarta 15 kasus, Jawa Timur 14 kasus, dan Jawa Tengah 13 kasus. Di Jawa Barat, isu yang paling menghantui kehidupan keberagamaan adalah isu yang masuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti Yahudi, Kristen, atau kelompok atau individu yang diduga sesat. Hasil penelitian Setara Institute (Kompas, 3 Agustus 2012) juga menunjukkan peningkatan peristiwa dan tindakan intoleransi dari tahun 2007 hingga 2011 seperti yang terlihat dalam Gambar 1.
8
400
367
350 291
300
265 244
250 200
185
200
150
299
286
216
Peristiwa Tindakan
135
100 50
0 Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Gambar 1 Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa sikap masyarakat cenderung intoleransi dan ada indikasi pluralisme keberagamaan memudar di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal dengan masyarakat yang santun, toleran dan menghargai perbedaan. Namun, nilai-nilai tersebut kini terlihat memudar bahkan cenderung tidak menghargai perbedaan. Mengutip pendapat Anderson (dalam Roibin 2008) mengatakan bahwa masyarakat Jawa dikenal dengan sikap relativisme, sinkritisisme dan toleransinya. Sikap-sikap ini menunjukkan keterbukaan dan lapang dada orang jawa terhadap perbedaan. 1.2. Perumusan Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Kemajemukan ini disadari oleh para pendiri bangsa (founding fathers) kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap pluralisme etnik, budaya, agama, ras, dan bahasa, namun menuntut adanya persatuan dan komitmen untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keragaman yang dimiliki Indonesia bisa menjadi kelebihan sekaligus sebagai kekurangan. Potensi keberagaman ini jika terjalin dengan baik akan menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai
9
harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik dan disintegrasi sosial. Meski dari sudut pandang agama Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di dunia, namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukanlah “negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi resmi yang disebut Pancasila. Nur Kholis Madjid (1998) menyebut bahwa Soekarno menawarkan Pancasila sebagai modus vivendi antara nasionalisme sekular yang disuarakan kelompok nasionalis dan gagasan negara Islam yang dituntut oleh para politisi berorientasi Islam. Meskipun merupakan salah satu bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim lainnya. Di samping itu, Indonesia merupakan satu di antara sedikit negara dimana Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya. Hal ini disebabkan karena proses islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang sering disebut Pénétration pacifique (penetrasi secara damai) terutama oleh para pedagang dan pendakwah (Madjid 1998). Dalam suatu negara yang majemuk seperti Indonesia sangat dibutuhkan suatu kondisi yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini menuntut adanya suatu sifat toleransi yang tinggi dalam masyarakat. Perbedaan etnik, budaya, ras, bahasa dan agama dan keyakinan yang kita peluk bukan untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai citacita bersama sebagai anak bangsa. Karena itu, jelas Madjid (1998) masalah Islam vis-à-vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum muslim mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu. Secara konstitusi peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara. Dalam konstitusi Indonesia, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat dalam beberapa pasal. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap
10
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sementara itu, Pasal 29 ayat 2 menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Indonesia juga memiliki UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya pada pasal 22. Hal ini selaras dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM terutama pasal 18. Dalam perjalanannya, Indonesia juga mengeluarkan kebijakan berupa TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tertera pada pasal 13. Indonesia juga memutuskan untuk meratifikasi Konvensi Internasional Hal Sipil dan Politik melalui UU No.12 Tahun 2005 yang diatur dalam Pasal 18. Pasal-pasal dalam konstitusi di atas secara tegas memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian hak dasar warga negara. Bahkan dalam pasal 28I (4) lebih ditegaskan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Kebijakan-kebijakan negara dan pemerintah secara faktual telah menjadikan Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas yang harus bubarkan dalam kehidupan kenegaraan dan keagamaan di Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang berkaitan dengan Ahmadiyah merupakan kebijakan utama yang dijadikan landasan pemerintah dan kelompok garis keras (muslim puritan radikal) untuk menegasikan hak-hak dan perlindungan terhadap Jemaat Ahmadiyah (The Wahid Institute 2011). Menurut Bagir (2011), SKB tiga menteri berpengaruh terhadap interaksi perkembangan hubungan masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Di antara pengaruh tersebut adalah adanya klaim beberapa pihak bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melanggar SKB. Klaim tersebut lebih pada klaim-klaim kasual, atau
11
merupakan masalah perbedaan penafsiran tentang apa makna 12 butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB yang dikeluarkan pada Juni 2008, dan apa yang dituntut dari keduanya. Tabel 2 Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat Ahmadiyah No 1
Surat
Wilayah Lombok Barat
2
Surat Keputusan Bersama No. Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 Surat Keputusan Bersama
3
Surat Keputusan Bersama
Bogor
4
Surat Keputusan Bersama No. 450/Kep. 225 – PEM/2005 Surat Keputusan Bersama No. 21 tahun 2005
Garut
Surat Keputusan Bersama No. 143 tahun 2006 Peraturan Gubernur No. 563/KPT/BAN.KESBANGPOL & LINMAS/2008 SK Walikota No. 450/BKBPPM/749 Surat Edaran Gubernur No. 223.2/803/kesbang Peraturan Bupati No. 5 tahun 2011
Sukabumi
Surat Keputusan Walikota No. 200/160/BKPPM.I/II/2011 Peraturan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 Surat Keputusan Walikota No. 300.45-122/2011 Peraturan Bupati No. 450/PUM/2011/68 Peraturan Gubernur No. 5 tahun 2011 Peraturan Gubernur No. 17 Tahun 2011 Peraturan Bupati
Samarinda
Peraturan Walikota No. 09 Tahun 2011
Depok
5
6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kuningan
Cianjur
Sumatera Selatan
Pekanbaru Sulawesi Selatan Kab.Pandeglang
Jawa Timur Jawa Barat Bogor Kampar Banten Sumatera Barat Kab. Bogor
Dikeluarkan Kepala Kejaksaan Negeri Selong (21-11 1983) MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan pimpinan pondok pesantren dan ormas Islam Kabupaten Kuningan (3-11-2002) Bupati, Ketua DPRD, Dandim 0621, Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong, Kapolres, Ketua PN, DANLANUD ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor (20-7-2005). Bupati Garut H. Agus Supriadi (9-82005) Bupati, Kepala Kejaksaaan Negeri dan Kepala Kantor Depag Kab.Cianjur (1710-2005) Bupati, Kajari Cibadak, Kapolres, Depag dan Ketua MUI Sukabumi (20-3-2006) Gubernur Sumatera Selatan Mahyudin N.S, (1-9-2008) Walikota Pekanbaru Herman Abdullah (16-10-2010) Gubernur Sul-Sel H. Syahrul Yasin Limpo (10-2-2011) Pj. Bupati Pandeglang Asmudji HW (212-2011) Walikota Samarinda H. Syahrie Ja'ang (25-2-2011) Gubernur Jawa Timur Soekarwo (28-22011) Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (3-3-2011) Walikota Bogor Diani Budiarto (3-32011) Bupati Kampar Buruanuddin Husin (162-2011) Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (1-3-2011) Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno (24-3-2011) Bupati Bogor Rachmat Yasin (21-32011) Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail
Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa) Fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juni 1980 dan Juli 2005 dinilai sebagian kalangan ikut memicu ketegangan antara umat Islam dan munculnnya sikap intoleransi. Bahkan bagi kelompok muslim puritan radikal seperti Front Pembela
12
Islam (FPI) menganggap fatwa MUI sebagai pernyataan hukum Islam (Assyaukanie 2009; Budiwanti 2009). Indikasi relasi antara kebijakan negara atau pemerintah dengan penyerangan dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah ini semakin kentara memasuki tahun 2011. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 dan dikeluarkannya berbagai Peraturan Gubernur dan Bupati (lihat Tabel 2) di beberapa wilayah Indonesia semakin menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa penyerangan dan kekerasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kebijakan negara atau pemerintah yang tidak adil terhadap warganya. Negara sesungguhnya memiliki otoritas dan kewenangan untuk menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lemahnya kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas dan menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali membuat negara berpihak pada kelompok tertentu dan bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu dengan melakukan pembatasan terhadap kebebasan tersebut melalui kebijakan yang dikeluarkan (Soegiharti 2009). Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia? 2. Bagaimana proses konflik dan proses akomodasi terjadi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia? 3. Mengapa nilai-nilai toleransi dan pluralisme memudar di kalangan masyarakat pedesaan? 1.3. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan menemukan gambaran umum tentang kehidupan toleransi dan pluralisme di pedesaan sebagai konsekuensi dari adanya pluralitas keberagamaan di Desa Cikeukeuh, Propinsi Jawa Barat. Secara lebih rinci tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:
13
1. Mengetahui dan menganalisa respon tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2. Mengetahui dan menganalisa proses munculnya konflik dan proses akomodasi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia 3. Menganalisa penyebab memudarnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme di kalangan masyarakat pedesaan
1.4. Manfaat Penelitian Kajian tentang pluralisme di pedesaan tidak saja ingin melihat adanya pluralitas yang terdapat di tengah masyarakat, melainkan juga melihat semakin menguatnya resistensi akan pluralitas tersebut di kalangan masyarakat yang mengarah pada tindakan kekerasan. Sikap seperti ini tentu saja bertentangan dengan konstitusi yang mendukung perbedaan apa pun. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi analisis terhadap bagaimana respon masyarakat terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah bagi terciptanya kehidupan keberagamaan yang pluralis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan baru tentang hubungan sosial Jemaat Ahmadiyah (minoritas) dengan non Jemaat Ahmadiyah (mayoritas) di tengah pluralisme keberagamaan. Sementara itu, secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi atau masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyusun kebijakan hubungan antarumat yang berbeda keyakinan dan pencegahan konflik dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini fokus pada kajian tentang bagaimana kehidupan pluralisme di pedesaan. Penelitian ini tidak hanya melihat bagaimana pluralisme itu ada, melainkan juga bagaimana proses pluralisme itu memudar seiring dengan perjalanan kehidupan keberagamaan di pedesaan. Pluralisme yang dimaksud di sini adalah pluralisme keberagamaan antara Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah. Sementara yang di maksud dengan Ahmadiyah dalam penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Ahmadiyah Qadian.
14
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Hasil penelitian M. Lutfi Mustofa (2010) tentang etika pluralisme di kalangan warga nahdliyin di Jawa Timur menyebutkan bahwa; (1) konsepsi NU mengenai pluralisme keagamaan terkonstruksi dan tumbuh berkembang dalam konteks sejarah dan sosialnya melalui proses dialektika teologis, ideologis, dan sosio-kultural; (2) keterlibatan NU dalam mempromosikan dan memelihara nilainilai pluralisme keagamaan di Jawa Timur menampakkan gambaran yang beraneka ragam, dari yang bersifat responsif, kontra produktif, dan pada elemen terbesarnya bersikap diam (silent majority); (3) dampak psiko-sosial etika pluralisme NU terhadap relasi-relasi internal maupun eksternal NU di Jawa Timur, paling tidak dapat dirasakan dan disaksikan dari semakin menguatnya kontestasi antara kelompok konservatif dan progresif. Pro-kontra pluralisme keagamaan di dalam NU Jawa Timur, sekalipun tidak sepanas di dunia politik, tetapi setidaknya hal ini telah menimbulkan keprihatinan pada kelompokkelompok minoritas dan marjinal akan ancaman melemahnya kekuatan civil society yang selama ini telah dicontohkan oleh Gus Dur dan NU. Ada tiga aspek yang menjadi fokus penelitian Mustofa, yaitu: (1) pertama, konsepsi pluralisme keagamaan NU yang terelaborasi dalam konstitusi organisasi maupun pemikiran komunitas nahdliyin; (2) bentuk-bentuk keterlibatan aktif NU dalam mempromosikan dan memelihara nilai-nilai pluralisme keagamaan; (3) dampak psiko-sosial etika pluralisme keagamaan NU dalam relasi-relasi internal maupun eksternal komunitas nahdliyin. Gagasan dan praktik pluralisme keagamaan di dalam NU memiliki akarakar ideologis dan teologis sangat jauh ke belakang, yang berakar pada perkembangan pemikiran dan praktik keagamaan dalam sejarah masyarakat muslim hingga pada masa-masa kenabian. Menurut Mustofa, dalam persoalan pluralisme keagamaan tersebut bukan hanya berkaitan dengan akar-akar ideologis dan teologis, tetapi telah berkembang menjadi salah satu elemen utama dari wacana civil society yang berkaitan dengan posisi dan agenda politik NU pada
16
paroh terakhir 1990-an. Sebagai organisasi sosial-keagamaan, kiprah NU tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang secara baku disusun
dalam
konstitusi
fiqh
maupun
teologinya,
termasuk
untuk
mempromosikan gagasan dan praktik pluralisme keagamaan. Meminjam istilah Berger (1966), nilai-nilai dan norma-norma keislaman inilah yang dalam waktu sangat lama merupakan faktor penting yang ikut membentuk realitas sosial komunitas NU di Indonesia. Hasil penelitian Umar dan Priyangga (2007) tentang pluralisme agama dan paham keagamaan di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa pluralisme agama dan paham keagamaan tidak menjadi kendala dalam menciptakan toleransi kehidupan beragama baik antar umat beragama maupun intern umat beragama. Menurut Umar dan Priyangga, hampir tidak pernah terjadi keributan dan konflik akibat perbedaan agama dan paham keagamaan. Dalam penelitiannya, Umar dan Priyangga menyimpulkan bahwa kerukunan yang terjadi di kota Bandar Lampung, baik antar umat beragama dan intern umat beragama (Islam) tidak terlepas dari peran Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, tokoh agama serta pemimpin Ormas Islam yang senantiasa membina umat dalam bentuk dialog antar umat beragama dan dialog antar pemerintah dengan umat beragama. Forum Aksi Sosial dan Kerjasama Antar Umat Beragama Lampung (FASKAUBAL) yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk menangani kerukunan antar umat beragama berperan besar dalam menciptakan pluralisme keberagamaan dan hidup toleransi di Kota Bandar Lampung. Kajian Syafru El Fauzi (2007) tentang Jemaat Ahmadiyah menunjukkan bahwa kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1925 hingga kini tidak pernah aman dari kritikan dan kecaman. Hal itu terlihat dari respon
beberapa
ormas
Islam
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah,
seperti
Muhammadiyah, NU dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Respon negatif dari ormas-ormas Islam ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis. Sementara itu, kajian Iskandar Zulkarnain (2006) lebih menitikberatkan pada gerakan organisasi Jemaat Ahmadiyah antara tahun 1920-1942. Dari sudut pandang yang lain, Zaenuri (2009) meneliti konflik Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat non Ahmadiyah. Dalam penelitiannya ditemukan
17
bahwa konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakt non Ahmadiyah di Lombok lebih disebabkan karena proses komunikasi yang tidak efektif (komunikator, pesan dan metode), baik dari kalangan Jemaat Ahmadiyah maupun dari masyarakat Lombok. Penelitian yang terkait dengan pluralisme dan Jemaat Ahmadiyah ditulis oleh Budiwanti (2009). Dalam tulisannya, Budiwanti mengatakan bahwa pluralisme di Indonesia sudah runtuh melihat perlakuan masyarakat, ormas Islam dan MUI kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut Budiwanti fatwa MUI tentang Jemaat Ahmadiyah yang sesat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam radikal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah. 2.2. Pluralisme Keberagamaan Pluralism adalah istilah kefilsafatan yang diadopsi dari Bahasa Inggris, plural yang berarti jamak atau banyak dengan implikasi perbedaan, dan ism yang berarti paham atau aliran. Dengan demikian, istilah pluralisme selengkapnya dapat diartikan sebagai paham atau aliran kefilsafatan yang mengakui secara sungguhsungguh terhadap kenyataan bahwa terdapat banyak kelompok manusia yang berbeda-beda dalam suatu negara, baik atas dasar etnis, ras, budaya, agama dan kepercayaan. Menurut The Oxford English Dictionary, seperti yang dikutip Abdillah (2001) disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: (1) suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis, dan mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersamasama di antara sejumlah partai politik. (2) keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial. Namun demikian, sebagaimana perhatian utama tesis ini adalah mengenai agama dan interaksi antarkelompok keagamaan, maka istilah pluralisme akan digunakan dalam konteks agama. Pluralisme keberagamaan di sini diartikan
18
sebagai gagasan atau paham yang mengandaikan: (1) kelompok keagamaan yang berbeda-beda dapat berkoeksistensi di dalam satu masyarakat di bawah sistem teologi dan hukum mereka sendiri, dan (2) tidak satu kelompok pun yang dapat memonopoli terhadap keselamatan. Pluralisme di sini juga dibedakan dari inklusivisme, karena keduanya memiliki kerangka paradigmatiknya sendiri dalam melihat agama. Apabila inklusivisme meniscayakan pemahaman terhadap agama lain dari segi adanya dimensi kesamaan substansi dan nilai, maka pluralisme justru mengakui dan menegaskan adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme tidak saja dibedakan dari inklusivisme, tetapi juga dibedakan dari subyektivisme, relativisme, multikulturalisme, dan globalisme (Boase 2005, Rahman 2001). Dengan kata lain, pluralisme hendak membangun pemahaman mengenai agama-agama itu sebagaimana realitas mereka sendiri yang memang berbedabeda. Hanya saja, dalam memberikan respons terhadap diversitas tersebut pluralisme menawarkan sesuatu yang baru. Pertama, ia menghendaki keterlibatan aktif setiap individu untuk menyulam perbedaan-perbedaan tersebut, guna mencapai tujuan kebersamaan. Kedua, ia tidak sekadar menganjurkan penghargaan terhadap yang lain (toleransi), tetapi lebih pada ikhtiar membangun pemahaman yang konstruktif (constructive understanding) mengenai orang lain (religious others). Ketiga, ia bermaksud menemukan komitmen bersama di antara keanekaragaman komitmen (encounter commitments). Jadi, sangat berbeda dengan relativisme, karena apabila pluralisme hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikannya, bahkan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri (Misrawi 2007). Shihab (1999) juga mengisyaratkan bahwa dalam pluralisme yang terpenting adalah bukan semata-mata berupa pengertian yang merujuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Partisipasi tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim dan monopoli atas suatu kebenaran, serta bersikap terbuka terhadap perbedaanperbedaan yang ada.
19
Diana L. Eck berpendapat, seperti yang ditulis Omid Safi (2003), Misrawi (2007) dan Ali (2003) bahwa terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pluralisme, yaitu: 1) pluralisme sama sekali tidak sama dengan perbedaan (diversity), seperti masyarakat yang berlatar belakang agama dan etnik yang berbeda. Perbedaan latar belakang ini membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lain; 2) tujuan pluralisme sama sekali bukan bersikap ”toleransi” terhadap orang lain tetapi lebih dari itu ada upaya aktif untuk mencapai pemahaman satu sama lain; 3) pluralisme berbeda dengan relativisme. Jika pluralisme hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikan dan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri. Pluralisme keberagamaan (Banchoff 2008) merupakan konsep yang melampui konteks nasional dan politik. Dalam teologi, terma pluralisme keberagamaan kerapkali menganjurkan sikap-sikap harmoni, tindakan terlibat di satu tempat, atau kesesuaian dengan orang lain yang melampaui tradisi-tradisi keberagamaan sebagai lawan dari sikap eksklusivisme keagamaan. Dalam sosiologi, pluralisme keberagamaan mengacu kepada tradisi-tradisi keberagamaan yang berbeda-beda di dalam ruang sosial atau kultural yang sama. Pluralisme keberagamaan juga mengacu pada pola-pola interaksi damai diantara aktor-aktor pemeluk agama yang berbeda-beda, yaitu individu dan kelompok yang bertindak menurut cara-cara keagamaan tertentu. Berdasarkan atas berbagai kajian terhadap gagasan dan praktek pluralisme keberagamaan di berbagai kawasan, para sarjana telah menyusun beragam pengertian pluralisme keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagian pengertian tersebut sekalipun pada intinya dimasudkan untuk memperjelas arti penting etika global ini dalam menciptakan harmoni antarumat beragama, namun tidak semuanya digunakan sebagai definisi operasional dalam kajian ini. Konsep pluralisme dalam penelitian ini mengacu pada konsep Diana L. Eck (2006). 2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan Ketika Islam datang, sebenarnya kepuluan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber dan pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Para sejarawan sepakat bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan melalui proses dan pola secara damai
20
(Azra 1999; Hidayat 2012; Madjid 1998). Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batasan tertentu disebarkan dengan pedang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da`i) dan pengembara sufi (Sunanto 2010). Islam masuk ke Indonesia (Nusantara) semula diperkenalkan oleh para pedagang Arab melalui jalur perdagangan di Samudera Hindia. Arus Islam ke Nusantara pada gilirannya juga melibatkan partisipasi pedagang-pedagang dari India (Gujarat), Persia dan China yang juga membawa pengaruh kebudayaan mereka masing-masing (Latif 2011). Para pedagang ini membawa Islam dengan cara damai sejalan dengan karakter pedagang itu sendiri yang bersahabat, terbuka dan menjalin relasi dengan orang lain. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah baru. Menarik untuk diperhatikan bahwa Islam yang dikembangkan pada masamasa awal lebih banyak bermuatan tasawuf (esoterisme) yang berasal dari Persia dan India, sehingga ekspresi dan artikulasi Islam pada saat lebih inklusif, esoterik dan ramah (Hidayat 2012). Genealogi historis ini mungkin dapat menjelaskan mengapa Islam yang berkembang di Nusantara yang tadinya menjadi pusat Hindu-Budha berubah menjadi pusat Islam terbesar di dunia. Warisan berbagai candi yang tersebar di Indonesia telah cukup menjadi bukti betapa Indonesia dulu menjadi pusat agama Hindu dan Budha, di samping agama dan kepercayaan lokal yang sebagiannya masih bertahan hingga sekarang. Genealogis historis-teologis masuknya Islam ke Indonesia ini telah memberi karakter ekspresi keislaman di Indonesia hingga saat ini. Corak keislaman yang berkembang di Indonesia lebih bersifat kultural yang sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi lokal tanpa kehilangan substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu (Madjid 1998), perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia sebagian besarnya merupakan hasil dialog antara nilai-nilai Islam yang universal dan nilai-nilai kultural kepulauan Nusantara. Kendati demikian, keberagamaan umat Islam di negara ini bukan berarti seutuhnya berwajah mulus. Dalam periode dan di daerah tertentu, sikap
21
fundamentalisme dari kelompok Islam tertentu ikut menghiasi wajah keislaman Indonesia. Menurut Abd A`la (2008), peristiwa awal yang melakukan fundamentalisme keberagamaan adalah ketika meletusnya gerakan Padri yang bukan saja kepada orang di luar Islam, tapi kekerasan juga dilakukan kepada sesama muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka. Kekerasan dan tindakan sejenis dapat dirujuk pandangan keagamaan tertentu yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan tindakan semacam itu. Menurut Azra (1996) dan A`la (2008), sikap fundamentalisme keagamaan tersebut dapat dilacak dan dipengaruhi oleh pandangan aliran keagamaan Wahabi di Arab Saudi. Menurut Benda (1958 dalam A`la, 2008), gerakan Wahabi yang lahir di Arab Saudi itu telah memberikan tarikan magnetik kepada muslim Indonesia melampaui perbedaan doktrinal yang ada. Kaum Wahabi adalah kelompok keagamaan yang sangat tidak toleran dengan praktek-praktek yang bersifat bid`ah, khurafat dan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Siapa saja yang menyimpang, kelompok Wahabi siap ”meluruskan,” atau jika perlu diperangai dengan jalan kekerasan. Mereka berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai dengan prinsip yang mereka anut dan akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai melalui cara mereka sendiri. Dalam hal ini, ajaran mereka yang rigid tersebut, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan mereka yang literalskriptualistik. Gerakan Islam fundamentalisme di Indonesia memiliki genealogi dengan gerakan Islam salafi yang berkembang di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Entah suatu kebetulan atau memang seperti itu, kebanyakan tokoh-tokoh gerakan Islam radikal di Indonesia adalah keturunan Arab, seperti Habieb Riziq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Ja’far Umar Thalib (Laskar Jihad), Abu Bakar Ba’asyir (Majelis Mujahidin Indonesia), Habieb Husein al-Habsyi (Ikhwanul Muslimin), Hafidz Abdurahman (Hizbut Tahrir Indonesia). Terma fundamentalisme, jelas Karen Armstrong (2000), awalnya merujuk kepada sebutan yang dilekatkan kepada kelompok tertentu dari kalangan Protestan Amerika awal abad kedua puluh. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok
22
fundamentalis untuk membedakan dari kaum Protestan liberal yang dalam anggapan mereka telah mengalami distorsi keimanan yang benar. Kaum fundamentalisme ini menekankan ajaran dan praktek pada tradisi dan prinsip Kristen melalui pemaknaan biblikal yang literalistik. Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka istilah ini tidak cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun gejala dan perilaku yang kurang lebih sama dapat kita temukan dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushuuliyyah al-Islaamiyyah (fundamentalisme Islam), al-Salaafiyah (warisan leluhur), al-Sahwah alislamiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihyaa` al-Islami (kebangkitan kembali Islam). Namun, di kalangan intelektual berbeda-beda dalam menggunakannya, seperti ”ekstremisme Islam” oleh Gilles Kepel, ”Islam Radikal” oleh Emmanual Sivan (1990), dan yang lain ada yang menggunakan istilah ”integrisme,” revivalisme,” atau ”Islamisme” (Euben 2002). Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu juga sering disebut sebagai fenomena ”kebangkitan Islam” atau ”intensifikasi Islam” dalam wajah yang baru. 3 Bagi Azra (1996), karakteristik fundamentalisme adalah paham perlawanan terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai barat, penolakan terhadap hermeneutika, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme keberagamaan dan penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang membuat mereka mudah terperangkap dalam tindakan kekerasan. Fundamentalisme Islam, lanjutnya, bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme. Habermas (dalam Borradori 2005) melihat bahwa salah satu karakteristik utama fundamentalisme terletak pada kekakuan sikap yang ditampakkan; mentalitas, sikap kepala batu yang menekankan pada pemaksaan secara politik keyakinan-keyakinan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan keagamaan, kendati hal tersebut tidak dapat diterima secara rasional. Sedikit berbeda dengan penjelasan di atas, Arkoun (1999), menjelaskan bahwa gerakan fundamentalisme Islam terbentuk secara menyeluruh dari oposisi, 3
Rumadi (2009) menjelaskan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Fundamentalisme lebih banyak berangkat dari literalisme dalam menafsirkan teks agama dan berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit yang terkadang menindas dan menyalahkan kelompok lain.
23
tuntutan, susunan ideologis dan halusinasi individual yang tidak membawa kita kepada Islam sebagai agama atau warisan pemikiran, tetapi semata-mata kepada kemampuan
setiap
ideologinya
dalam
menggerakkan
fantasi
kolektif.
Fundametalisme Islam yang berkembang di belahan dunia saat ini sama sekali bukanlah hal yang baru. Brown (2003) mencatat bahwa fundamentalisme merupakan fenomena global dan tidak saja terdapat di kalangan Islam saja melainkan juga di kalangan kaum Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Budha. Faktor-faktor, lanjutnya, yang melahirkan gerakan fundamentalisme bisa disebabkan oleh ekonomi, politik, militer dan sosial. Terlepas dari rumusan yang berbeda-beda, namun dapat ditarik benang merahnya bahwa fundamentalisme merupakan pola keberagamaan (bukan agama) untuk kembali kepada sumber ajaran secara rigid sebagai respon terhadap segala sesuatu yang dalam anggapan mereka merupakan krisis terhadap kepercayaan yang mereka yakini. Senada dengan ini, John O. Voll (dalam Euben, 2002) menjelaskan bahwa fundamentalisme dalam Islam, tepatnya dalam aliran Sunni, adalah sebagai penegasan kembali prinsip-prinsip mendasar dan usaha untuk membentuk ulang masyarakat berdasarkan dasar-dasar tadi ke dalam dunia politik dan sosial kontemporer. Munculnya gerakan-gerakan Islam fundamentalisme berkait erat dengan kegagalan negara menerapkan pola manajemen keragaman keagamaan (religious diversity) secara tepat. Dalam ruang sosial yang menghambat tumbuhnya kohesi sosial dan kesalingpercayaan antarkomponen masyarakat, fundamentalisme agama dapat tumbuh dengan mekar. Fundamentalisme agama itu sendiri merupakan cerminan dari lemahnya kohesi sosial. Dari sudut pandang sosiologis, gejala ini berhubungan dengan ekspansi modernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat paradoksal dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan individual yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu dan berfungsi sebagai matriks persepsi dan tindakan. Dalam kondisi-kondisi tertentu fundamentalisme agama tidak bisa dilepaskan dari sikap-sikap fanatisme dan eksklusifisme beragama yang pada
24
akhirnya melahirkan sikap intoleransi pada kelompok lain, bahkan menimbulkan konflik. Konflik muncul karena mereka yang memahami doktrin agama secara literal dan menolak kontekstual teks-teks agama tidak toleran dengan pemahaman dan penafsiran kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sikap eksklusifisme dalam penafsiran teks-teks agama serta menolak berbagai kemungkinan penafsiran lain berpengaruh pada terciptanya konflik dalam masyarakat. Hubungan antar umat beragama saat ini berada pada situasi yang cukup pelik. Gambaran ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi di mana hubungan antarumat beragama dianggap jauh lebih rukun dengan sedikit konflik. Berbagai peristiwa mutakhir terkait intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama dimungkinkan telah berkontribusi dalam membentuk persepsi publik dalam menilai situasi mutakhir kondisi hubungan antar umat beragama (Hasani et. al 2011).
2.4. Jemaat Ahmadiyah di Pedesaan Indonesia Ahmadiyah adalah suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) asal Qadian, Punjab, India. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keyakinan pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi karena mereka mempercayai kenabian itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang reformis agama (mujaddid) karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi. Ajaran dan gerakan keagamaan Ahmadiyah Lahore pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1924 di Yogyakarta dan kini menyebar ke berbagai daerah dan pedesaan di Indonesia. Ahmadiyah Lahore dibawa oleh dua orang muballigh Hindustan, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Sementara itu, Ahmadiyah Qadian masuk ke Indonesia pada tahun 1925 melalui Aceh, Padang dan Pulau Jawa. Masuknya ajaran dan gerakan Ahmadiyah Qadian ke Indonesia
25
tidak lepas dari peran dari pelajar-pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Qadian pada saat itu. Di antara kedua aliran tersebut, Ahmadiyah Qadian kerapkali ditentang oleh kebanyakan umat Islam dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore karena ajaranajarannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore relatif bisa diterima umat Islam karena tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi melainkan reformer agama (mujaddid). Kehadiran Ahmadiyah Qadian di Indonesia, dan di negara-negara yang mayoritas berpaham Sunni, seringkali menimbulkan penolakan yang berujung pada konflik sosial. Dalam hal ini, Ahmadiyah Qadian tidak jarang menjadi sasaran kekerasan dari sikap fundamentalisme keberagamaan masyarakat dalam melihat perbedaan penafsiran ajaran agama dengan Ahmadiyah Qadian. Keberadaan Ahmadiyah Qadian di pedesaan juga mengalami yang sama, mereka tidak lepas dari sasaran kekerasan sebagian masyarakat yang tidak bisa menerima ajaran mereka. Bila melihat ke belakang, kondisi ini tentu saja jauh dari kondisi yang ada sekarang di mana warga Ahmadiyah dan non Ahmadiyah hidup berdampingan dan saling menghargai. Rupanya berbagai faktor, seperti reformasi, intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi, media massa dan fatwa MUI ikut membentuk perubahan suasana yang tadinya saling toleran dan menghormati menjadi saling curiga dan membenci satu sama lain. Akibatnya, kedua kelompok keagamaan ini di banyak pedesaan di Indonesia mengalami segregasi-segregasi akibat dari regulasi atau fatwa yang dikeluarkan pihak-pihak terkait. Interaksi di tengah masyarakat menjadi berjarak karena takut melanggar regulasi tersebut sehingga yang muncul adalah interaksi kepurapuraan. Tidak ada kohesifitas masyarakat pascaterjadinya konflik kedua kelompok keagamaan ini. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sebuah organisasi keagamaan yang berafiliasi kepada Ahmadiyah Qadian. Organisasi keagamaan ini mendapat pengakuan dari negara berupa Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA.5/23/13. Pengakuan badan hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini dipertegas lagi
oleh
pernyataan
Surat
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
Nomor
26
0628/KET/1978 Tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan Statsblaad 1870 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan (Jemaat) Ahmadiyah adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang secara teologis berafiliasi kepada Ahmadiyah Qadian. Pusat kegiatan keagamaan organisasi di Indonesia bertempat di Parung, Jawa Barat.
27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Peter L.Berger (1966)
Agama sebagai Konstruksi Sosial
Eksternalisasi Obyektivasi Internalisasi Kelompok Non JAI
Kelompok JAI
Kehidupan Beragama di Pedesaan
Pluralisme Keberagamaan Diana L.Eck (2001)
Toleransi Keterlibatan dalam perbedaan Komitmen bersama hidup berdampingan
Sikap-Fundamentalisme Keberagamaan
Azyumardi Azra (1996)
Ralf Dahrendorf (1959)
Gambar 2
Intoleransi
Menolak modernitas & sekularisasi Menolak hermeneutik Menolak pluralisme keberagamaan Menolak perkembangan historis & sosiologis masyarakat Cenderung melakukan tindakan kekerasan
Konflik Sosial
Kerangka Pemikiran “Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di Pedesaan Jawa.
28
3.2. Paradigma Penelitian Guba dan Lincoln (dalam Salim 2006), mengemukakan empat paradigma utama
dalam
mendasarinya,
ilmu yaitu
pengetahuan positivisme,
dengan
berbagai
post-positivisme,
asumsi-asumsi teori
kritis,
yang dan
konstruktivisme. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini menyatakan bahwa realitas sosial itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta bergantung pada orang yang melakukannya. Respon masyarakat Desa Cikeukeuh terhadap Ahmadiyah akan berbeda dengan respon masyarakat di luar desa ini karena konteks lokal dan pengalaman masyarakat yang berbeda. 3.3. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Bryman (2001) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah strategi penelitian yang pada umumnya menekankan kata-kata daripada kuantifikasi dalam pengumpulan dan analisa data. Penelitian kualitatif memberikan deskripsi dan analisa yang mendalam tentang kualitas, atau substansi, pengalaman manusia (Marvasti 2004). Pendekatan kualitatif, tulis Syam (2005), didasari oleh beberapa alasan. Pertama, yang dikaji adalah makna dari suatu tindakan atau apa yang ada di balik tindakan seseorang. Kedua, pendekatan kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian mendalam terhadap suatu fenomena secara holistik. Ketiga, pendekatan kualitatif memberikan peluang untuk memahami fenomena menurut emic view atau dalam istilah Geertz disebut sebagai konsep from the native`s points of view. Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa: (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan “bagaimana” dan “mengapa”, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang nyata (Yin 1997).
29
3.4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif ini menggunakan strategi studi kasus (case study) dengan menerapkan multi metode (triangulasi) dalam proses pengumpulan data. Sebagai studi kasus, maka penelitian ini diharapkan mampu mempelajari, memahami, dan menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang natural. Studi kasus oleh Yin (1997) dikatakan sebagai strategi penelitian yang lebih cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkaitan dengan “bagaimana” atau “mengapa,” peneliti memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bila fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer. a.
Pemilihan Informan Pemilihan informan berdasarkan lapisan masyarakat, yaitu tokoh agama,
aparat desa dan masyarakat biasa. Ketiga lapisan masyarakat ini tersebar di empat kampung, yaitu dua kampung (Mekarsari dan Sukasari) yang berdekatan dengan Kampung Ciladong (tempat Jemaat Ahmadiyah berdomisili) dan dua kampung (Nanggrek dan Bumi Asri) yang berjauhan dengan Kampung Ciladong. b.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai dari beberapa tokoh kunci (key informan) yang
dianggap tahu dan mengusai permasalahan desa, terutama yang berkaitan dengan masalah Ahmadiyah. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga (3) cara, yaitu: 1.
Metode Observasi Metode
observasi
adalah
pengumpulan
data
dengan
mengadakan
pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti, mencatat dan mendokumentasikan data yang diperlukan. 2.
Metode Wawancara Metode ini merupakan pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab
langsung sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dengan cara semi terstruktur. Pertanyaan ini diajukan kepada kelompok Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah yang terdiri dari tiga lapisan masyarakat
30
(tokoh agama, aparat desa, dan masyarakat biasa) yang mengetahui kedalaman informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti. Triangulasi data yang diperoleh diperiksa dengan menggunakan sumber lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut agar ada jaminan tingkat kepercayaan data dan mencegah bahaya subyektifitas (Nasution 1988). 3.
Studi Kepustakaan Studi ini merupakan pengumpulan data dengan menelusuri dokumen dan
laporan-laporan terkait dengan hasil penelitian serta referensi yang berkaitan dengan penelitian. c.
Jenis Data Ada dua jenis data yang diperoleh dari lapangan, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti di lapangan. Sementara itu, data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber tertulis berupa dokumen, media cetak (koran), arsip. Data sekunder juga bisa berasal dari hasil-hasil penelitian, seperti hasil kajian berupa laporan, jurnal, tesis, disertasi dan sebagainya. Ada pun perolehan data primer didasarkan pada hasil wawancara dengan informan dari tiga lapisan masyarakat di atas. 3.5. Teknik Analisa Data Teknik analisa data menggunakan metode analisa data kualitatif. Menurut Marshall & Rossman (1989), analisa kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antarberbagai kategori data untuk membangun teori dasar. Beberapa tahap yang harus dilalui adalah sebagai berikut (Sitorus 1998). Pertama, reduksi data. Proses ini sudah berlangsung sejak peneliti berada di lokasi penelitian, walaupun dalam kondisi yang terbatas. Kedua, setelah data dianalisa, maka disusun suatu penyajian yang dapat memberikan kemungkinan untuk menarik kesimpulan. Ketiga, penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas semua kejadian sosial yang ditemukan di lapangan. Kesimpulan yang sementara ini didiskusikan kembali dengan kedua kelompok masyarakat di atas. Apabila kesimpulan peneliti sesuai dengan interpretasi pihakpihak terkait, maka temuan tersebut akan menjadi kesimpulan penelitian.
31
Sebaliknya, jika kesimpulan peneliti belum menunjukkan kesesuaian dengan interpretasi mereka, maka peneliti melakukan pencarian data, menganalisa dan merumuskan kesimpulan kembali.
3.6. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Desa Cikeukeuh, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dengan pertimbangan adanya pluralisme keberagamaan, yaitu antara Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah. Adanya pemudaran pluralisme dalam kehidupan keberagamaan pedesaan bahkan mengarah tindakan kekerasan satu kelompok kepada kelompok lain menjadi pertimbangan kenapa penelitian ini dianggap penting. Pertimbangan lain adalah Desa Cikeukeuh merupakan salah satu pusat dan kampung Jemaat Ahmadiyah di daerah Jawa Barat, sehingga munculnya konflik antara kedua kelompok keagamaan tersebut sangat rentan terjadi.
32
33
BAB IV CIKEUKEUH DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN KEAGAMAAN 4.1. Data Demografis Desa Cikeukeuh Desa Cikeukeuh merupakan salah satu dari sekian desa yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 243,150 ha. Desa ini terbagi dalam 4 Dusun, 9 Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tangga (RT). Desa Cikeukeuh dibelah oleh jalan kabupaten yang menjadi perlintasan menuju sebuah kawasan wisata gunung. Posisi Desa Cikeukeuh berada pada dataran tinggi dengan ketinggian tanah 900 sampai dengan 1500 m/dpl. Wilayah desa ini membentang dari arah utara ke selatan dimana lahannya masih didominasi oleh sawah dan ladang (182,357 ha). Posisi Desa Cikeukeuh berjarak 6 km dari pemerintahan kecamatan, 44 km dari ibukota kabupaten, 150 km dari ibukota propinsi. Akses ke desa ini tidak terlalu sulit karena didukung oleh angkutan pedesaan yang lumayan banyak dan prasarana jalan yang cukup bagus. Jumlah penduduk Desa Cikeukeuh pada tahun 2012 adalah 7.650 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3.955 jiwa (51,70 %) dan perempuan sebanyak 3.695 jiwa (48, 30 %), dengan jumlah 2353 kepala keluarga. Warga yang berusia 5-9 tahun mendominasi jumlah penduduk, yakni sebanyak 816 orang disusul usia 10-14 tahun (808 orang) dan usia 0-4 tahun (792 orang). Laki-laki 51,70 % Perempuan 48,30 %
Gambar 3 Struktur Penduduk Desa Cikeukeuh Berdasarkan Jenis Kelamin. Pada tahun 2011, jumlah angkatan kerja usia 15-56 tahun sebanyak 4.864 orang. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2011 ini menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2010), yakni sebanyak 5095 orang. Sementara itu, jumlah pengangguran untuk usia yang sama pada tahun 2011 sebanyak 1459 orang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1278 orang. Dari
34
2334 KK terdapat 453 KK (19,4%) yang tergolong miskin, 1488 KK yang bertempat tinggal permanen, 1425 KK yang sudah terpasang listrik dan 21 KK yang memasang telpon rumah.
3000 2500 2000 1500
Laki-laki
1000
Perempuan
500 0 Usia Produktif
Usia Non Produktif
Gambar 4 Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin.
Desa Cikeukeuh terdiri dari 9 kampung, yaitu Kampung Sukasari (RW 01), Mekarsari (RW 02), Cihedang (RW 03), Lampari (RW 04), Ciladong (RW 05), Bumi Asri (RW 06), Sadang (RW 07), Nanggreg (RW 08) dan Cibuluh (RW 09). Dari kesembilan kampung ini, Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu meski pada kenyataannya tidak semua keluarga masih mempertahankan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Banyak keluarga di desa ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Di antara penyebabnya adalah bahwa warga yang ada di desa ini tidak lagi homogen. Banyak pendatang yang menjadi warga desa ini lantaran hubungan pernikahan, seperti warga yang berasal dari etnis Batak, Minang dan Jawa. Alasan lainnya adalah karena pengaruh perubahan sosial dimana makin memudarnya peran orangtua dalam mewarisi bahasa Sunda sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sangat jarang orangtua mengajarkan bahasa Sunda halus kepada anak-anaknya, disamping orangtua sekarang banyak yang tidak menguasai bahasa Sunda halus, sehingga menggunakan bahasa Indonesia menjadi pilihan ketimbang berbahasa Sunda kasar dan kuatir dijawab dengan bahasa Sunda kasar oleh anak-anak mereka.
35
BPD
Kepala Desa
Sekretaris
Kaur Kesra
Bendahara
Kaur Keuangan
Kaur Umum
Kaur Pemerintahan Kaur Ekon dan Pemb
Kaur Keagamaan
Kadus I
Kadus II
Kaur Pertanian
Kadus III
Kadus IV
Kaur Pengairan Kaur Linmas
Gambar 5 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikeukeuh. Bagian timur dari desa ini hanya Kampung Sadang dan Cihedang yang menjadi sentra pertanian. Sisanya sudah menjadi lahan pemukiman warga, dan di belakangnya sudah dibatasi oleh kali Cicurug. Sementara itu, bagian barat daerah yang menjadi sentra pertanian adalah Kampung Ciladong, Lampari, Cibuluh dan Mekarsari. Usaha ekonomi desa yang terpenting adalah tanaman padi sawah dengan jumlah lahan persawahan seluas 182,357 ha (75%) dari total lahan yang ada di desa, yaitu 243.150 ha. Tanaman ladang berupa jagung, kacang, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, ubi jalar dan lain-lain menyediakan sumber pendapatan penting kedua yang meliputi 24,71 ha (10%) keseluruhan lahan yang ada di desa. Sementara itu, dari sisi mata pencaharian, mayoritas masyarakat Cikeukeuh berprofesi sebagai pedagang atau wiraswasta yang berjumlah sebanyak 918 orang atau 12% dari jumlah penduduk, sedangkan buruh pabrik menempati posisi kedua dengan jumlah 691 orang (9%), disusul petani (dan buruh tani) dengan jumlah 589 orang (7,7%). Sisanya ada yang PNS (58 orang), pegawai swasta (161 orang), TNI/POLRI (4 orang), sopir (146 orang), tukang ojek (64 orang), kuli bangunan (224 orang).
36
Banyaknya penduduk yang bekerja di bidang wiraswasta dan buruh pabrik ini disebabkan oleh ketiadaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat serta minat masyarakat yang tidak begitu tertarik lagi dengan dunia pertanian. Menurut salah seorang aparat desa IZ, masyarakat sudah menampakkan ketidaktertarikannya ke dunia pertanian. Di samping tidak punya modal, hasil pertanian sekarang sudah tidak dapat diandalkan bahkan seringkali petani pas-pasan jika tidak dikatakan merugi. Salah satu indikasi, lanjutnya, hampir tidak ada anak-anak muda yang bekerja di pertanian. Bagi mereka, lebih baik pergi ke kota menjadi buruh, pelayan toko atau berdagang. Bahkan tidak sedikit warga meninggalkan desa dan migran ke daerah Tangerang dan Jakarta untuk berdagang soto (Bogor), sementara lahan pertaniannya disewakan kepada orang lain atau saudaranya. Panguasaan lahan pertanian pada saat ini tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat melainkan oleh orang-orang di luar desa, seperti dari Jakarta yang umumnya beretnis China. Di Kampung Sadang dari 40 ha luas tanah 24 ha sudah menjadi milik orang luar (Jakarta dan Yogyakarta). Begitu juga dengan Kampung Cihedang dimana lahan seluas 7 ha sudah menjadi milik orang (4 ha milik mantan Kapolri BS dan 3 ha milik salah satu pengembang asal Jakarta). Di Kampung Nanggreg juga demikian, lahan seluas 2500 meter per segi sudah dimiliki oleh orang Jakarta. Sementara itu, lahan seluas 1,4 ha sudah berpindah tangan kepada pengusaha yang tinggal di Jakarta dan dijadikan empang. Sebagian lahan yang dimiliki orang luar desa itu dibiarkan saja dan belum beralih fungsi, sebagian lagi ada yang digarap dan beralih fungsi (empang) dimana warga setempat menjadi buruh atau penyewa, bahkan ada juga si pemilik lahan mendatangkan tenaga kerja dari Tangerang untuk menggarap lahannya. Kebutuhan akan biaya hidup, pengobatan dan membangun rumah serta murahnya harga tanah (rata-rata 50 ribu/m2) menjadi penyebab kenapa kepemilikan tanah gampang dikuasai oleh masyarakat luar.
37
Gambar 6. Areal persawahan di Kampung Cihedang.
Gambar 7. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi empang.
Alasan lain adalah banyak juga diantara lahan yang dijual itu harta warisan yang tidak begitu luas sehingga sulit dibagi rata kepada beberapa orang ahli waris. Untuk memecahkan masalah ini, ahli waris menjualnya untuk memudahkan pembagiannya disamping ada juga ahli waris yang tidak mau mengelola lahan tersebut. Ada juga warga yang menjual lahannya karena ingin memutarkan modal dengan cara membeli angkot. Warga tergiur dengan setoran harian yang tentu saja melebihi dari pendapatan harian mereka ketika menggarap sawah. Alih fungsi lahan pernah terjadi pada tahun 1980 hingga 1998 ketika desa ini menjadi sentra pembesaran ikan Mas se-Kecamatan. Banyak lahan persawahan beralih menjadi empang atau kolam ikan, sehingga ketika itu banyak warga yang menjadi petani tambak ketimbang petani sawah karena sangat menjanjikan. Pasar utamanya adalah Kota Jakarta, dan keuntungan yang didapat petani ketika itu masih di atas seratus persen. Puncak pembesaran ikan Mas terjadi pada tahun 1998, yaitu ketika bangsa Indonesia dilanda krisis moneter yang menyebabkan bibit, pakan ternak dan kebutuhan lainnya naik drastis, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara nilai jual ikan dengan harga pakan ternak. Krisis moneter bukanlah faktor tunggal, munculnya virus white spot pada ikan dan membanjirnya ikan laut - warga menyebutnya dengan ikan moneter karena bersamaan dengan krisis moneter - di pasar hingga ke Desa Cikeukeuh ikut menjadi faktor hancurnya usaha pembesaran ikan di desa ini. Meski peluang berbisnis ikan tidak sebagus tiga dekade yang lalu, namun pembesaran ikan hingga sekarang masih dilakukan oleh beberapa warga. Saat ini
38
tercatat 2,7 ha lahan yang digunakan warga lokal dan luar untuk pembesaran ikan. Jenis-jenis ikan pun sudah bervariasi, yaitu ikan Mas, Bawal, Mujahir dan Nila dengan hasil panen per tahun 235 ton (ikan Mas), 250 ton (Bawal) 1,5 ton (Mujahir) dan 1,2 ton (Nila). Bangunan sekolah cukup banyak di desa ini. Ada 3 buah SDN (2 di Kampung Sukasari dan 1 di Kampung Ciladong). Sementara itu, terdapat 3 buah MI (Madrasah Ibtidaiyah), yaitu di Kampung Sukasari, Cihedang, dan Cibuluh (RW 9) dan 3 Madrasah Diniyah yang berada di Kampung Lampari (RW 4), Sukasari dan Cihedang. Setingkat pendidikan SLTP dan SLTA, di Kampung Mekarsari terdapat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Keterampilan (MAK) yang dikelola oleh sebuah yayasan milik NS. Ada 2 buah TK Islam dan 4 buah pondok pesantren, dan untuk melengkapi pendidikan keagamaan yang informal, desa ini juga memiliki 9 majlis taklim yang tersebar di masing-masing kampung. Dari penduduk usia 7 – 15 tahun yang berjumlah 1185 pada tahun 2011, hanya dua orang yang tidak sekolah. Angka dari warga yang tidak sekolah ini menurun drastis bila dibandingkan pada tahun 2010 yang berjumlah 14 orang. Dari sekian jumlah penduduk, hanya 10 orang warga yang berpendidikan S1 disusul 6 orang pendidikan D3, 12 orang untuk D2 dan 15 orang D1. Sementara itu, hanya 10 orang warga yang buta aksara.
Gambar 8. Kantor Desa Cikeukeuh.
Gambar 9. Salah satu sekolah agama yang ada di Desa Cikeukeuh.
39
4.2. Kehidupan Sosial-Politik Secara historis, kehidupan sosial di Desa Cikeukeuh tidak mengalami pergolakan dan bersentuhan dengan pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962). Pemberontakan DI TII kebanyakan berada di desa-desa yang berada di Keresidenan Priangan (Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Ciamis). Darul Islam di Jawa Barat lebih berkembang karena di sanalah Kartosuwiryo membangun kekuatan bersenjatanya dan melatih para pemuda dalam lembaga Suffah di Malangboong, Garut. Tak heran jika karakteristik keislaman di Jawa Barat juga dipengaruhi oleh Gerakan DI (Hasani et.al 2011). Meski Jawa Barat menjadi kantong penting kekuatan DI TII, DI TII tidak sampai masuk desa melainkan di daerah pegunungan yang berjarak sekitar 15 km dari desa. Desa Cikeukeuh dulu termasuk dan dijadikan sebagai daerah pertahanan tentara Siliwangi. Untuk mengenang sejarah itu, dan sebagai bukti dari jejak sejarah, jalan masuk ke Kampung Mekarsari dinamakan Jalan Siliwangi. Begitu juga dengan pergolakan sosial yang terjadi pada tahun 1965 yang lebih dikenal dengan pemberontakan PKI. Desa ini tidak terpengaruh dengan gerakan komunis yang dilancarkan oleh PKI. Secara ideologis, hampir tidak ada anggota PKI di desa ini, kalaupun ada hanya bersifat ikut-ikutan atau pernah datang pada rapat PKI yang diadakan di Jakarta. Menurut beberapa orang tokoh masyarakat, jumlahnya juga sangat sedikit (2-3 orang), yaitu mereka yang berasal dari Kampung Mekarsari. Tidak adanya pergolakan sosial dan politik di desa ini menyebabkan muncul dan berkembangnya organisasi sosial keagamaan. Di antara organisasi sosial keagamaan yang pernah berkembang adalah Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Pemuda Umat Islam (PPUI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Organisasi yang terakhir (GPII) berafiliasi kepada Masyumi. PUI yang sangat peduli dan fokus pada dunia pendidikan mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang masih berdiri sampai sekarang, dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah PUI. Organisasi keagamaan ini juga seringkali menyelenggarakan pelatihanpelatihan bagi para pemuda untuk penggemblengan akhlak dan pemahaman
40
agama pada masa akhir tahun 1950-an yang berpusat di mesjid terbesar yang ada di desa yang masih ada sampai sekarang. Meskipun sifatnya tidak diwajibkan, tetapi banyak pemuda yang bergabung ke dalam pelatihan yang dilaksanakan selama seminggu tersebut. Beberapa tokoh agama yang ada sekarang merupakan mantan peserta pelatihan-pelatihan tersebut. Sementara itu, organisasi sosial keagamaan yang mapan dan besar seperti NU dan Muhammadiyah malah tidak berkembang di sini meski secara ritual keagamaan masyarakat lebih dekat kepada tradisi keagamaan NU. Dilihat dari sosio-politik, afiliasi partai politik masyarakat lebih cenderung memilih Partai Golkar. Kondisi ini berlangsung semenjak Orde Baru berkuasa. Kecuali pada masa awal kekuasaan Orde Baru dimana PPP dan Golar selalu bersaing dalam merebut simpati dan suara rakyat. Sementara PPP dan Golar selalu bersaing dalam pemilu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) malah tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Persaingan kedua partai tersebut, pada awal-awal kekuasaan Orde Baru, lebih sering dimenangkan oleh PPP karena menurut masyarakat PPP adalah pengganti Masyumi yang dibubarkan oleh Orde Lama. Namun, kondisi itu berubah seiring makin kuatnya kekuasaan pemerintah yang diwakili oleh Partai Golkar. Kemenangan Partai Golkar tidak lebih dari pemaksaan yang sistematis kepada masyarakat terutama kepada mereka yang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kepala Desa dan aparatnya kerap meminta dan memaksa warga untuk memilih Partai Golkar. Fenomena yang berlangsung selama beberapa dekade ini merupakan hal yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. PNS diwajibkan memilih Partai Golkar dan punya konsekuensi tersendiri jika tidak memilihnya seperti yang dialami dua orang warga, yaitu alm. Hj. MH dan H. AA yang keduanya dimutasi ke Cimanggis, Depok. Seperti yang ditulis Liddle (1997), Partai Golkar dianggap sebagai partai negara yang mewakili kepentingan penguasa belaka dan tidak mengindahkan kepentingan masyarakat dalam pemilihan umum. Meskipun, di satu sisi, pemerintahan Orde Baru stabil dan committed kepada pembangunan, namun, di sisi lain, jauh terasa nuansa demokratisasi sebagai bangsa karena yang lebih dipentingkan adalah stabilitas ekonomi dan politik.
41
Kondisi ini jauh berbeda ketika masa pemerintahan Orde Lama dimana masyarakat lebih dekat dengan Partai Masyumi. Di Desa Cikeukeuh, dan desadesa di sekitarnya, Partai Masyumi menjadi partai pilihan masyarakat. Masyarakat Cikeukeuh yang religius menggantungkan harapan dan aspirasinya kepada Masyumi dalam memperjuangkan kepentingan Islam. Secara historis, seperti yang ditulis Herbeth Feith (dalam Hasani 2011), Masyumi berkembang pesat di Jawa Barat. Hal itu bisa dilihat dari hasil Pemilu 1955 dimana Masyumi mengungguli PNI, yaitu Masyumi memperoleh suara 1.844.442 dan PNI 1.541.927. berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dimenangkan PNI. Keluarnya NU dari Masyumi tidak melemahkan posisi Masyumi di Jawa Barat. Warga NU di Jawa Barat tidak mau berpaling dari Masyumi sehingga suara NU di Jawa Barat hanya memperoleh 673.552 suara, jumlah yang kecil dibanding yang diperoleh di Jawa Timur sebanyak 3.370.554 dan di Jawa Tengah 1.772.306 suara. Kuatnya Masyumi di Jawa Barat menjadi karakter tersendiri dari keislaman politik yang dianut masyarakat muslim Jawa Barat. Afiliasi partai politik masyarakat kembali berubah pasca reformasi dimana banyak partai-partai baru yang bermunculan sebagai wujud dan indikasi perkembangan demokrasi di Indonesia. Aspirasi masyarakat yang dulu dipercayakan kepada partai Masyumi (ORLA), PPP (awal ORBA) dan Golkar (ORBA) kini pecah ke berbagai partai, seperti PKS, PBB, PAN, PPP, Demokrat, PDI-P dan Golkar, meski sekarang masyarakat lebih dekat dengan partai terakhir (Golkar). Pascareformasi memungkinkan masyarakat untuk lebih leluasa memilih partai politik ketimbang pada masa sebelumnya (Orde Baru) yang hanya menyediakan tiga pilihan partai politik, itu pun di bawah tekanan penguasa. Namun demikian, pilihan partai politik yang lebih variatif berakibat pada kebingungan masyarakat karena mereka terbiasa dengan jumlah partai politik yang gampang diingat.
42
Tabel 3 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004 No
Partai
Suara Partai
Jumlah
1933
Suara Calon Anggota DPRD 1648
1
Golkar
2
PPP
562
407
969
3
PKS
323
213
536
4
PDI-P
279
102
381
5
PNBK
104
79
183
6
Demokrat
75
41
116
7
PBB
67
42
109
8
PAN
36
28
64
3581
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004. Dari tabel di atas mencerminkan bahwa Golkar menjadi partai terbesar dalam pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten disusul PPP dan PKS. Menariknya, pemilihan kali ini PDI-P menempati urutan keempat mengalahkan PBB yang ideologinya sangat dekat dengan Masyumi yang menjadi pilihan masyarakat era 50-an. PBB tidak hanya dikalahkan oleh PDI-P melainkan juga Partai PNBK yang terbilang partai kecil. Tidak hanya pemilihan umum di tingkat kabupaten, perolehan suara Golkar juga mendominasi saat pemilihan umum anggota DPRD Propinsi Jawa Barat dan DPR RI tahun 2009 (lihat Tabel 4). Tabel 4 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009 No
Partai
Suara Partai
Suara Calon Anggota DPRD
Jumlah
1
Golkar
160
2202
2362
2
PDI-P
129
99
228
3
Demokrat
85
102
187
4
PPP
62
88
150
5
PKS
54
80
134
6
PAN
68
61
129
7
PKB
5
54
59
8
PKDB
36
20
56
9
PBB
15
35
50
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009.
43
Tabel di atas memperlihatkan bahwa Partai Golkar masih menjadi pilihan masyarakat desa seperti halnya dalam Pemilu untuk memilih anggota legislatif tingkat kabupaten. Jika dalam Pemilu legislatif tingkat kabupaten tahun 2004 posisi kedua ditempati oleh PPP, namun pada Pemilu legislatif tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2009 justru PDI-P menempati posisi kedua. Tabel 5 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPR RI Tahun 2009 Suara Calon Anggota DPR 70
Jumlah
Golkar
Suara Partai 10
2
PAN
10
17
27
3
PKS
4
16
20
4
Demokrat
5
13
18
5
PBB
3
10
13
6
Hanura
2
11
13
No
Partai
1
80
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2009. Ada yang menarik dari pilihan partai politik masyarakat, yaitu diterimanya PDI-P sebagai tempat penyaluran aspirasi setelah beberapa dekade partai ini tersingkir dan tidak menarik perhatian masyarakat. Dalam Pemilu anggota DPRD Kabupaten 2004 dan pemilu anggota DPRD Propinsi Jawa Barat tahun 2009 terlihat bahwa PDI-P masing-masing menempati urutan keempat dan kedua dalam perolehan suara. Perolehan ini mengalahkan partai berbasis Islam, seperti PBB dalam Pemilu anggota DPRD Kabupaten dan PPP, PKS, PKB dan PBB dalam Pemilu anggota DPRD Propinsi Jawa Barat. Kecenderungan pilihan partai politik masyarakat dari dulu hingga sekarang sangat ditentukan oleh bagaimana dan apa kencenderungan para elit desanya, terutama tokoh agama yang ada di desa. Pendidikan politik yang didapat masyarakat sangat rendah sehingga tidak tahu mana partai yang betul-betul jadi tempat aspirasi dan wadah memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kondisi ini sangat menguntungkan elit desa dalam memenuhi kepentingannya dan memobilisasi warga untuk mengkampanyekan partai yang menjadi pilihannya.
44
Demikianlah yang tergambar pada era Orde Lama, Orde Baru dan reformasi tentang kecenderungan pilihan partai masyarakat Cikeukeuh. Pada masa Orde Lama, seperti yang dijelaskan di atas, kecenderungan masyarakat lebih memilih Masyumi sebagai wadah aspirasinya. Menurut pandangan masyarakat, Partai Masyumi dipercaya mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat terutama dalam membela dan memperjuangkan kepentingan Islam. Kebanyakan pilihan masyarakat ini bukan semata-mata atas pilihan sendiri, melainkan dipengaruhi juga oleh pilihan tokoh agama. Dalam kehidupan masyarakat, tokoh agama menjadi panutan dan tempat masyarakat bertanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pilihan politik tokoh agama menjadi ikutan masyarakat. Di antara tokoh agama yang sangat disegani masyarakat dan simpatisan Masyumi pada masa itu adalah KH. MH, KH. FR, KH. HB, KH. MM dan KH. MB. Begitu juga dengan pilihan partai tokoh agama pada masa Orde Baru (kecuali awal kekuasaan Orde Baru) dan era reformasi yang cenderung memilih Golkar. Pilihan tokoh agama ini juga diikuti oleh masyarakat terutama sekali pada akhir masa kekuasaan Orde Baru hingga sekarang, karena pada masa awal kekuasaan Orde Baru agak sulit menilai pilihan warga apakah benar-benar pilihannya atau mengikuti pilihan tokoh agama (dan elit desa). Karena pada masa ini, seperti yang diketahui banyak orang, sistem pemilu sangat tidak demokratis dan penuh dengan intimidasi. Di antara tokoh agama yang disegani masyarakat dan simpatisan Golkar pada masa ini adalah NS dan HB . Tokoh agama yang pertama (NS) beberapa kali menduduki anggota dewan tingkat kabupaten hingga sekarang menjadi anggota DPRD propinsi. Sementara itu, tokoh kedua (HB), juga menduduki anggota dewan tingkat kabupaten. Politik bantuan, baik bantuan untuk mesjid maupun ke masyarakat, yang dilakukan kedua tokoh ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk memilih partai berlambang beringin tersebut. Yang menarik untuk dicermati dalam masa ini adalah ada beberapa tokoh agama (santri) yang dulunya pendukung Masyumi dan PPP kini berpaling mendukung Golkar. Gambaran di atas tentang hubungan dan kecenderungan politik masyarakat pedesaan dengan tokoh masyarakat dan elit desa sangat tepat dengan apa yang
45
dikatakan oleh Karl D. Jackson (1990). Dia mengatakan bahwa integrasi politik di kalangan orang Sunda bergantung pada sistem hubungan kewibawaan tradisional (tokoh agama) yang menjiwai kehidupan sosial desa. Sekalipun hubungan ini pada mulanya bersifat sosial dan ekonomi, namun dapat mempunyai siratan-siratan politik yang mendalam apabila seorang tokoh kewibawaan tradisional tertentu atau para tetua desa sebagai kelompok menjadi terlibat ke dalam politik luar desa.
4.3. Agama dan Praktek Keagamaan dalam Masyarakat Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia dalam kehidupan keagamaan baik secara individu dan kelompok tidak tercakup di dalamnya. Parsudi
Suparlan
(1988)
lebih
khusus
dan
lebih
komprehensif
mendefinisikan agama sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakantindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari isme-isme lainnya karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural) yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural). Warga Cikeukeuh seratus persen beragama Islam, jika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tetap dikategorikan ke dalam penganut agama Islam, dan memilih agama Islam sebagai suatu sistem kepercayaan yang kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk-bentuk ritual dan tindakan keagamaan. Bagi masyarakat Cikeukeuh, agama menjadi hal yang sentral dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan bersifat transenden. Keyakinan-keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan yang bersifat vertikal (hablun minallah), seperti shalat, puasa, membaca al-Quran dan ibadah
46
keagamaan yang bersifat horizontal (hablun minannas), seperti membantu orang lain, menjenguk orang sakit, dan lain-lain. Agama sebagai sebuah sistem, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya selamat (dari api neraka) dalam kehidupan setelah mati. Karena itu, keyakinan keagamaan dapat dilihat sebagai berorientasi pada masa yang akan datang. Dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Cikeukeuh sebenarnya meyakini bahwa kewajiban-kewajiban agama yang dilakukannya adalah upaya “menabung” pahala untuk masa yang akan datang (kehidupan setelah mati). Pak Suganda, seorang petani, juga meyakini bahwa segala bentuk ibadah, baik ibadah yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal, yang dilakukannya adalah persiapan untuk akhirat. Baginya, perintah agama merupakan bentuk kewajiban yang harus dikerjakan dan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Kesembilan kampung yang ada di desa ini memiliki tingkat kehidupan keagamaan yang cukup religius. Hal ini ditandai, diantaranya, dengan keberadaan tempat ibadah (mesjid dan mushalla). Setiap kampung memiliki satu mushalla atau satu mesjid, bahkan disamping punya satu mesjid juga memiliki lebih dari satu mushalla seperti yang terdapat di Kampung Cihedang, Kampung Ciladong. Desa ini memiliki delapan buah mesjiid dan Sembilan buah mushalla. Setiap kampung mempunyai jadual pengajian mingguan yang dihadiri hingga dua puluh jamaah. Setiap pengajian kampung terdapat dua hingga empat ustadz yang memberikan pengajian secara bergantian. Pengajian mingguan ini dibagi ke dalam pengajian khusus bapak-bapak dan pengajian khusus ibu-ibu. Selain pengajian mingguan, ada juga pengajian syahriah atau bulanan yang diadakan di tingkat desa dimana tempat pengajiannya diadakan di kampung atau RW secara bergantian. Pengajian yang paling bergengsi yang banyak dihadiri warga juga adalah pengajian Muallimin yang diadakan sekali dua minggu. Pengajian ini diadakan di Mesjid al-Barkah, mesjid terbesar dan pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Mesjid ini terbilang tertua di kecamatan, meski sudah mengalami renovasi total. Dulu Mesjid al-Barkah menjadi pusat pengajian untuk daerah kecamatan dan
47
sekitarnya. Tidak jarang jamaah yang menghadiri pengajian Muallimin menginap di Desa Cikeukeuh. Untuk pengajian Muallimin ini tidak jarang mengundang penceramah dari luar desa termasuk dari Banten. Tidak diketahui persis kapan sebenarnya ketiga pengajian ini mulai ada. Menurut tokoh agama dan masyarakat, semua pengajian ini sama tuanya dengan usia desa, menggambarkan betapa kedua pengajian tersebut sudah ada sejak dulu. Tujuan pengajian mingguan, syahriah dan Muallimin ini adalah untuk pencerahan agama kepada masyarakat serta untuk syiar agama Islam. Tidak seperti pengajian mingguan dan Muallimin, pengajian syahriah sempat berhenti beberapa lama. Namun, pengajian ini dihidupkan kembali di masa kepemimpinan kepala desa saat ini. Berbeda dengan pengajian mingguan di tingkat kampung, pengajian syahriah dan Muallimin lebih ramai dan dihadiri dari beberapa kampung di Desa Cikeukeuh, jumlahnya mencapai 150-200 jamaah. Biasanya setiap akan mengadakan pengajian syahriah, masing-masing mesjid yang ada di kampung mengumumkannya kepada jamaah untuk dapat menghadirinya. Kelompok-kelompok pengajian tersebut terwujud karena adanya kesamaan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggota jamaahnya, dan mereka merasa bahwa dalam kelompok pengajian itulah tujuan-tujuan yang ingin dicapai akan terlaksana dengan lebih baik. Dalam kelompok keagamaan, seperti dalam pengajian, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggota jamaahnya didasari oleh keyakinan keagamaan mereka, suatu keyakinan yang berisikan penjelasanpenjelasan doktrinal dari teks-teks keagamaan yang mapan. Kelestarian agama dalam struktur kehidupan masyarakat di Desa Cikeukeuh juga disebabkan, antara lain, oleh hakikat dan tujuan dari kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagamaan selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, anggota kelompok keagamaan dalam pengajian di masing-masing kampung mensosialisasikan ajaran-ajaran agama dan mengajak anak-anak sejak dini dan kaum muda.
48
Masyarakat juga menganggap bahwa pendidikan keagamaan untuk kalangan anak-anak (anggota baru) melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua dalam lingkungan keluarga menjadi penting. Adanya anggota-anggota muda menyebabkan kelompok-kelompok keagamaan tetap lestari, begitu juga keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianut, walaupun proses regenerasi berlangsung secara alamiah – generasi sebelumnya menjadi tua, lalu mati. Dalam konteks ini, banyak warga yang memilih dan menyekolahkan anakanak mereka ke sekolah agama atau pesantren, meskipun sekarang sudah mulai berkurang bila dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu. Sekolah agama atau pesantren yang menjadi pilihan masyarakat adalah pesantren di Kananga, Menes (Banten) dan Tipar (Sukabumi). Tokoh-tokoh agama yang menjadi penyiar Islam dulu dan sekarang tidak lepas dari ketiga pesantren tersebut. Kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi juga melaksanakan berbagai kegiatan sosial dan derma bagi anggota masyarakat yang tertimba musibah atau yang sedang membutuhkan. Melalui kegiatan-kegiatan kelompok tersebut, juga ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial yang terpusat pada doktrin-doktrin agama. Melaui kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan tersebut, dan tentu saja implementasi ritual keagamaan secara personal, maka agama dari waktu ke waktu tetap ada dalam struktur kehidupan masyarakat Cikeukeuh. Meski masyarakat percaya kepada makhluk-makhluk gaib, tetapi mereka tidak lazim pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti kuburan, untuk meminta sesuatu. Bagi masyarakat tindakan seperti itu dinamakan syirik (politeisme) dan sangat bertentang dengan ajaran agama. Sesungguhnya di desa ini terdapat sebuah tempat yang dianggap keramat dan banyak didatangi oleh masyarakat di luar desa, seperti dari Tangerang, Jakarta dan Cirebon. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kuburan yang dinamakan dengan kuburan Mbah Bayat. Para peziarah luar desa percaya bahwa dengan datang ke kuburan Mbah Bayat dapat menyembuhkan penyakit. Tidak ada yang mengetahui secara persis siapa Mbah Bayat tersebut. Namun, masyarakat hanya dapat cerita secara turun-
49
temurun bahwa kuburan itu adalah kuburan Mbah Bayat dan memiliki sifat kewalian. Bagi masyarakat setempat, mengacu kepada ajaran Islam, ziarah ke kuburan dibolehkan dengan tujuan mendoakan (kuburan keluarga) dan mencari berkah (kuburan wali dan orang-orang soleh). Selain itu, maka tindakannya dianggap syirik. Peran ajaran Islam dan tokoh agama melalui pengajian-pengajian sangat menentukan
kenapa
masyarakat
tidak
begitu
mengkeramatkan
atau
mengkultuskan kuburan tersebut. Beberapa praktek-praktek yang dipercaya dari ajaran Hindu sudah tidak ada lagi di desa ini. Dulu kalau orang mau melaksanakan hajatan biasanya ada sesajen berupa bubur nasi, ayam panggang dan ikan panggang. Sesajen ini dihidangkan saat hajatan dengan tujuan agar hajatan yang tengah dilaksanakan lancar, selamat dan tidak turun hujan. Begitu juga dengan orang hendak membangun rumah, mereka biasanya menyiapkan ayam, kelapa dan tiwuh yang kemudian ditempatkan di atas rumah. Ini dilakukan untuk keselamatan dan rumah yang akan ditempati nanti akan aman dari gangguan-gangguan gaib. Kebanyakan petani dulu juga melakukan hal yang sama, yaitu menyediakan lima kepal padi, ayam panggang, cabe, telor, nasi yang diletakkan di pinggir atau di tengah sawah sehari sebelum panen. Bagi petani, ini adalah bentuk hadiah yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dipercaya sebagai sumber atau asal padi. Pada malam hari menjelang panen, petani biasanya membaca kitab atau buku Sulan Janna yang berisi cerita-cerita padi dari Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci dalam bahasa Jawa. Masyarakat menyebut praktek-praktek dan kepercayaan terhadap Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dilakukan petani ini sebagai kepercayaan atau agama Buhun. Tidak sedikit juga masyarakat yang membuat anyaman dari bambu berukuran 30 cm x 30 cm yang di dalamnya berisi nasi, daging, ikan kemudian ditempatkan di kebun atau di sekitar rumah (ngancak) dengan tujuan menghindari bahaya. Masyarakat yang melakukan praktek-praktek demikian adalah mereka yang beragama Islam dan sering mengikuti pengajian dimana mereka tahu kalau itu tidak boleh dalam Islam. Mereka masih terpengaruh dan terbiasa dengan praktek-
50
praktek yang sebagian kelompok masyarakat bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada penolakan keras dari ulama terhadap budaya seperti itu, meski dalam pengajian-pengajian tokoh agama kerap mengingatkan masyarakat agar menghindari praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi hilangnya budaya dan praktek-praktek warisan Hindu itu dipercaya masyarakat sebagai pengaruh atas keberadaan Islam dan himbauan dari tokoh-tokoh agama. 4.4. Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah Menurut penuturan tokoh-tokoh masyarakat Ciladong, Kampung Ciladong di jaman penjajahan Belanda dan Jepang menjadi tempat persembunyian dan perkumpulan orang-orang jawara. Pada jaman itu namanya bukan Ciladong tetapi kampung Garuda Ngupuk, diartikan sebagai kampung tempat berkumpulnya para jawara. Warga Ciladong juga terkenal dengan jawaranya sehingga ditakuti warga desa-desa sekitarnya sehingga tidak banyak yang berani masuk kampung ini, disamping karena kampung ini berlokasi jauh dari jalan utama. Ilmu jawara semakin hilang sejalan dengan warganya yang memeluk ajaran Ahmadiyah. Kampung Cisalada terdiri dari dua Rukun Tetangga (RT), yaitu RT 01 dan RT 02. Jumlah penduduknya sebanyak 438 jiwa yang terdiri dari 242 jiwa lakilaki dan 196 jiwa perempuan, serta 118 KK. Kebanyakan warga Ciladong bekerja sebagai wiraswasta dan buruh konveksi tas dimana mereka bekerja di rumah masing-masing. Sisanya berprofesi sebagai tani (60 orang), guru PNS (5 orang), dan lain-lain. Petani di kampung ini, seperti di kampung-kampung lain, identik dengan mereka yang sudah tua. Para pemuda, sebagaimana di kampung-kampung lain di Desa Cikeukeuh, tidak menunjukkan daya tariknya untuk terjun di dunia pertanian. Mereka lebih memilih meninggalkan kampung dan mencoba mengadu nasib di daerah lain seperti Jakarta dan Bandung. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di Desa Cikeukeuh menjadi penyebab kenapa ini terjadi disamping dunia pertanian tidak lagi memberikan harapan dalam memenuhi kebutuhan warga. Kebanyakan petani di kampung yang dihuni oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini berstatus petani penyewa dibandingkan petani pemilik. Petani kampung ini biasanya lebih cenderung menanam padi dan kadang-kadang
51
menanam palawija sebagai pengganti tanaman padi. Lahan yang ada di kampung ini masih milik warga Ciladong dan belum ada yang dijual kepada orang luar kampung. Meski ada orang luar (Kota Bogor) yang punya seluas 4000 m², namun masih keturunan warga Ciladong. Bahkan yang terjadi sebaliknya, lahan yang dulu milik orang luar sekarang sudah menjadi milik warga Ciladong. Sistem pernikahan masyarakat Ciladong hampir dipastikan berasal dari mereka yang beraliran Ahmadiyah, baik dari Ciladong sendiri maupun dari luar Ciladong. Aliran Ahmadiyah adalah suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi (bayangan) setelah Nabi Muhammad. Bagi Jemaat Ahmadiyah Ciladong, pernikahan sesama Ahmadiyah untuk menghindari perpecahan karena ada perbedaan-perbedaan ajaran dan praktek keagamaan. Diantara perbedaan itu adalah masalah keyakinan (ada nabi setelah Nabi Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad) dan canda4. Jika pernikahan terjadi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah, dikuatirkan akan terjadi kesalahpahaman karena non Ahmadiyah tidak terbiasa dengan keyakinan dan praktek-praktek keagamaan Ahmadiyah, seperti halnya kepercayaan kepada Mirza Ghulam Ahmad dan masalah canda. Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong (MA), pernikahan dengan non Ahmadiyah (ghoir) tidak sampai diharamkan melainkan dianjurkan menikah dengan sesama Ahmadiyah. Ini dibuktikan beberapa kasus warga Ahmadiyah Ciladong menikah dengan warga kampung lain di Desa Cikeukeuh. Meski tidak diharamkan, namun ada sanksi sosial yang akan diterima oleh mereka yang tetap menikah dengan non Ahmadiyah, seperti pernikahannya tidak akan dihadiri. Kaitannya dengan ini MA berkata: “Saya sendiri sering mengingatkan anak-anak saya, saya tidak akan menjodohkan kalian karena kalian yang akan berumah tangga tetapi carilah pasangan hidup kalian yang sesama Ahmadiyah. Kalaupun kalian menikah dengan orang lain (ghoir jamaah), maka kita hidup masing-masing saja tanpa ada ikatan kekeluargaan. Kalian tidak dilarang kerumah saya, tetapi saya anggap kalian sebagai tamu (Wawancara, 16 Mei 2012).
4
Canda berasal dari Bahasa Urdu yang berarti infak atau kontribusi religius yang dikeluarkan oleh anggota Jamaah Ahmadiyah (Ahmadi) untuk kepentingan dakwah Islam sesuai kemampuan ekonomi mereka (baik berpenghasilan tetap maupun tidak tetap).
52
Infrastruktur, terutama jalan, termasuk yang paling jelek di kampung ini. Kondisi jalan yang berbatu-batu sangat kontras dengan kondisi jalan yang ada di kampung-kampung lain yang beraspal bahkan ada yang diaspal hotmik, seperti di Kampung Cibuluh. Kondisi jalan yang jelek ini terbentang sepanjang 700 m yang membelah kampung ini. Menurut MA, jalan yang rusak sekarang belum pernah diperbaiki semenjak terakhir kali diaspal pada 1992. Perbaikan jalan di Ciladong sebelumnya pernah dijanjikan oleh Kepala Desa dan Camat Kepada Ketua Rukun Warga (RW) EH. Kepala Desa pernah menjanjikan bahwa pada Desember 2010 jalan menuju Ciladong akan dibeton. Kemudian janji kedua terlontar dari Camat di sela-sela gotong-royong bersama pihak Polsek, Koramil dan lurah. Ketika itu Camat bilang kepada EH bahwa Desembar 2011 jalan di Kampung Ciladong akan diaspal dari dana Propinsi Jawa Barat dimana dia sendiri yang datang dan mengurus ke propinsi.
Gambar 10. Kondisi jalan di Kampung Ciladong.
Kedua janji tersebut belum pernah direalisasikan oleh pemerintahan desa dan kecamatan meski sudah direncanakan di dalam Musrenbangdes tahun 2010. Sebagian besar masyarakat Ciladong malah menilai kalau program pengaspalan jalan sudah dipindahkan ke kampung lain, seperti pengaspalan dan betonisasi jalan di Kampung Cibuluh dan Kampung Cihedang padahal jalan di kedua kampung ini sebelumnya masih bagus. Kesenjangan pembangunan memang terlihat di Kampung Ciladong. Berbagai program banyak terserap di kampung-kampung lain. Di antara programprogram desa yang masuk Ciladong adalah infrastruktur jalan desa (tahun 1984
53
dan 1992), program Raskin, WC umum dan betonisasi jalan-jalan kecil atau gang (2009). Meski kecewa dengan kesenjangan pembangunan ini masyarakat Ciladong lebih memilih sabar dan tidak mempermasalahkannya.
Tabel 6 Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010 Lokasi
Jenis Kegiatan
Biaya (Rupiah)
Volume
Sumber
Irigasi
Kp. Sadang
50 juta
300 M
APBD Kab
Jalan lingkungan
Mekarsari,
63,487 juta
4 unit
ADD
5 juta
1 unit
APBD Kab
17 unit
APBN
9 kelompok
APBD Kab
1 kelompok
APBD Kab
Cihedang, Lampari, Bumi Asri, Sadang Kp. Sadang
Mesjid Betonisasi desa
jalan 17 RT (tanpa Kp. 206,5 juta Ciladong)
Perekonomian
9 RT (tanpa Kp. 34 juta Ciladong)
Kegiatan Sosial
RT 01, Kp. Bumi 6 juta Asri
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tahun 2010.
Terkesan ada diskriminasi pembangunan yang berlangsung di Desa Cikeukeuh dan warga Ciladong merasa seolah dianaktirikan, terutama pasacakonflik yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan, menurut penuturan Ketua RW 5 (Kampung Ciladong) EH, pascakonflik beberapa tahun yang lalu program Raskin sempat terhenti untuk Ciladong selama tiga bulan. Tak hanya itu, demikian EH, bantuan insentif guru ngaji dari kabupaten untuk Desa Cikeukeuh tidak pernah diterima sepersen pun oleh guru ngaji Ciladong. Kekecewaan warga Ciladong juga pernah dialamai pada tahun 1974 ketika mereka
sedang
membangun
penampungan
air
dengan
dana
swadaya.
Penampungan air ini dibangun untuk mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Ketika itu Ketua RT 01 MA mengajukan proposal ke Pemerintahan Kabupaten berupa pipa anti karat berukuran 3 inc. Awalnya usulan itu dikabulkan, namun 30 batang pipa yang semula sudah dikirim dan ditempatkan di puskesmas kecamatan
54
oleh aparat kecamatan dialihkan ke desa tetangga dengan alasan desa tersebut lebih membutuhkan. Menurut Ketua RT 01 tersebut, pemindahan bantuan pipa dari Pemda ini tidak sesuai dengan hasil rapat sebelumnya yang berlangsung di tingkat kecamatan. Saat itu MA memberitahu kalau warga Ciladong sedang membutuhkan pipa karena sedang membangun penampungan air, di samping Kampung Ciladong belum pernah mengajukan bantuan ke pemerintah. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan pipa tersebut warga Ciladong melakukan swadaya masyarakat. MA mengaku kalau proposal bantuan ini merupakan yang pertama dan terakhir. Di luar program-program desa yang disebutkan di atas, pembangunan fisik seperti tempat ibadah, sekolah swasta, sarana umum nyaris menggunakan dana swadaya masyarakat. Pada tahun 1970-an warga Ciladong pernah mengaspal jalan sepanjang 700 m dengan dana swadaya masyarakat yang dibantu oleh sumbangan dari para perantau asal Ciladong. Begitu juga dengan pembangunan mesjid dan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) tidak pernah mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah, meski program pembangunan madrasah dan mesjid dimasukkan ke dalam Musrenbangdes. Untuk kebutuhan pembangunan sarana dan prasaran, warga Ciladong kerapkali menggunakan dana swadaya seperti yang dijelaskan di atas. Pola yang digunakan adalah pertama dengan cara mengambil bagian dari sebuah pembangunan
yang sesuai
dengan
kemampuan
ekonominya.
Misalnya,
membangun mesjid yang ditargetkan selama setahun. Seorang Ahmadi, sebutan untuk pengikut Ahmadiyah, menentukan bagian mana yang dia sanggupi. Ketika dia menentukan akan menjamin bagian tiangnya saja, maka selama setahun itu dia akan menjamin pembiayaan tiangnya. Pola kedua adalah berapa kesanggupan Ahmadi menyumbang dalam setahun target pembangunan mesjid itu tanpa harus menentukan bagian mana yang dia jamin. Dalam konteks kemandirian ini, Ketua RW Ciladong (EH) berkata: “Kami tidak begitu ambisi meminta bantuan kepada pemerintah (desa dan kabupaten) untuk keperluan pembangunan Kampung Ciladong karena kami dilatih untuk mandiri dan berkorban. Kami dilatih untuk berkorban bertujuan agar kami tidak berperilaku serakah. Kami juga tidak diajarkan meminta-minta karena Islam melarangnya”. (Wawancara, 16 Mei 2012).
55
MA memperkuat pernyataannya ini ketika beberapa program masuk Desa Cikeukeuh, baik dari pusat, propinsi dan kabupaten. Di saat kampung-kampung lain semangat mengajukan bantuan, Kampung Ciladong malah tidak mengajukan apa-apa. Bahkan pernah suatu kali ada tawaran dari Kepala Desa untuk mengajukan dana pembangunan Mesjid At-Tahrir ke Pemerintahan Desa, namun tokoh masyarakat Ciladong tidak tergiur mengajukannya. MA mengatakan bahwa warga Ciladong bukan anti bantuan pemerintah akan tetapi tidak mau kalau harus mengajukan proposal yang terkesan meminta-minta. “Kami merasa malu meminta-minta apalagi untuk pembangunan mesjid. Kita sering melihat penggalangan dana pembangunan mesjid yang dilakukan di jalan-jalan, mengajukan proposal, keliling ke sana kemari padahal banyak warga yang sanggup membantu menyumbangkan hartanya untuk kepentingan agama. Bagi kami itu adalah sikap lemah. Masa bikin rumah sendiri bisa sementara membantu membangun rumah Allah sekampung saja tidak bisa. Oleh karena itu, semboyan kami adalah lebih mendahulukan kepentingan agama daripada masalah dunia”. (Wawancara, 16 Mei 2012). Sebaliknya, warga Ciladong dari dulu sangat patuh dan mendukung program-program pemerintah dalam bidang apa pun. Kalau semasa pemerintahan Orde Baru Kampung Ciladong seratus persen memilih partai Golkar dengan alasan bahwa partai Golkar adalah partai pemerintah. Dengan memilih partai pemerintah berarti menunjukkan kepatuhan kepada pemerintah. Ketika program Keluarga Berencana (KB) pertama kali diperkenalkan di desa ini, pada saat yang sama kampung-kampung lain menolak dan mengharamkannya dengan alasan membatasi kelahiran, Kampung Ciladong adalah yang pertama menerimanya hingga Sembilan puluh persen peserta KB. Bagi warga Ciladong program KB bukan membatasi kelahiran melainkan mengatur kelahiran. Sikap patuh kepada pemerintahan yang sah berasal pendiri Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Menurutnya, Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada harus patuh kepada pemerintahan yang sah dan tidak boleh menentang pemerintah kecuali dengan demonstrasi damai. Itulah sebabnya kenapa dulu Jemaat Ahmadiyah memilih Golkar dan patuh pada program-program pemerintah. Dipilihnya Golkar sebagai tempat aspirasi warga Ciladong semasa Orde Baru juga merupakan instruksi langsung dari pusat (PB JAI) dan permintaan aparat desa ketika dalam rapat-rapat persiapan pemilu.
56
Namun demikian, situasi aspirasi politik Jemaat Ahmadiyah Kampung Ciladong beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah penyerangan Kampus Jemaat Ahmadiyah Parung pada 2005, mulai bergeser dari satu pilihan partai menjadi multi pilihan partai. Pada pemilu nasional tahun 2009, masyarakat Ciladong sudah terbuka dengan pilihan partai lain, seperti PKS, PDI-P, Demokrat dan lain-lain. Menurut MA, perubahan pilihan dari satu partai ke multi partai disebabkan oleh sistem pemerintahan yang sudah berubah dari pemerintahan yang sentralistik ke pemerintahan demokrasi yang menerapkan sistem otonomi daerah. Pada era otonomi daerah ini terdapat perbedaan partai yang berkuasa antara pusat dan daerah. Dalam konteks ini, sulit bagi warga Ciladong menentukan partai mana yang berkuasa. Oleh karena itu, sesuai dengan kebebasan yang diberikan oleh PB JAI, warga Ciladong bebas memilih partai dan sosok mana yang lebih disukai. Alasan ini kontradiksi dengan pernyataan tokoh Ahmadiyah lainnya (EH) yang mengatakan bahwa: “Untuk apa kita menyukai seseorang atau partai tertentu tetapi dia atau partai itu tidak menyukai kita. Kalau dulu Golkar dipilih seratus persen karena ada instruksi untuk memilih Golkar. Oleh karena Golkar tidak ada tanda-tanda melindungi kita (JAI), maka kita (PB JAI) tidak menginstruksikan warga untuk memilih Golkar sehingga diberi kebebasan memilih partai-partai lain. Pokok masalahnya adalah Jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat sering dikecewakan oleh banyak kalangan (termasuk Golkar). Ketika kami mengalami penganiayaan, Golkar tidak pernah membantu kami, malah partai yang bukan kami pilih (PDI-P) yang memperhatikan dan memanggil kami ke DPR”. (Wawancara, 16 Mei 2010). Warga Kampung Ciladong seluruhnya memeluk ajaran Ahmadiyah (Qadian), suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) asal Qadian, Punjab, India. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keyakinan pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi karena mereka mempercayai kenabian itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza
57
Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang reformis agama (mujaddid) karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi. Secara umum, praktek-praktek keagamaan yang dijalankan warga Ciladong tidak ada yang berbeda dengan warga lain. Mereka mengucapkan syahadat yang sama, melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, puasa, membayar zakat dan naik haji. Hanya saja ada beberapa keyakinan yang bersifat teologis dan praktek-praktek religius yang membedakan mereka dengan warga lain dan mayoritas umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah5 (Aswaja), seperti masalah al-Mahdi, al-Masih, kenabian dan kewajiban berjihad, canda, wirid setelah shalat fardu, dan lain-lain. Meski mengaku Islam, namun dalam praktek-praktek religius Jemaat Ahmadiyah terlihat dan terkesan eksklusif serta tidak berbaur dengan warga di luar Ciladong. Sikap eksklusif yang terlihat dari Jemaat Ahmadiyah didukung oleh keberadaan mereka yang semuanya mendiami Kampung Ciladong (enclave). Menurut pengakuan warga, dari dulu Jemaat Ahmadiyah tidak pernah bergabung dalam shalat dengan warga lain. Ketika ada kegiatan desa yang melibatkan warga dan Jemaat Ahmadiyah, mereka (Jemaat Ahmadiyah) memilih pulang ke Ciladong untuk melaksanakan shalat. Sebaliknya, dalam kegiatan dan interaksi sosial Jemaat Ahmadiyah sangat terbuka dan dikenal santun kepada warga lain. Sikap eksklusif beragama mereka dikuatkan lagi oleh MA: “Jemaat Ahmadiyah tidak mau shalat dengan imam yang bukan dari kalangan Ahmadiyah karena belum percaya dengan Imam Mahdi (Mirza Ghulam Ahmad). Sebaliknya, tidak jadi masalah kalau Jemaat Ahmadiyah yang jadi imam dan jamaahnya dari non Ahmadiyah karena tidak pantas berimam kepada orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi, dan kita tidak nyaman mengikuti orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi”. (Wawancara, 20 April 2010). Jemaat Ahmadiyah memiliki sebuah mesjid (At-Tahrir) berukuran 9 x 20 m untuk melaksanakan shalat dan kegiatan keagamaan lainnya. Setiap malam jumat dan malam sabtu mesjid ini digunakan sebagai tempat pengajian bapak-bapak dan pengajian ibu-ibu secara terpisah. Di samping mesjid, di Ciladong, sebagaimana
5
Kelompok yang berpegang pada Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah (kelompok rasionalis) yang bersifat minoritas dan tidak begitu berpegang pada Sunnah Nabi.
58
Cabang Ahmadiyah di tempat lain, terdapat rumah Misi yang hanya ditempati oleh mubalig atau ustadz. Di tempat ini juga anggota Jemaat Ahmadiyah dapat mendengarkan khutbah-khutbah jumat Khalifah melalui Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang disiarkan langsung dari London, Inggris. Khutbahkhutbah Khalifah sangat berarti bagi anggota Jemaat Ahmadiyah dalam rangka transformasi pengetahuan keahmadiyahan sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri dan kekuatan di tengah tantangan yang mereka hadapi dalam menyiarkan dakwah Islam. Sejarah mengapa warga kampung Ciladong menganut paham Ahmadiyah berawal dari seorang guru tarekat (Naqsabandiyah-Qodariyah) bernama KH. ABN. Tokoh agama ini berasal dari Labuan (Banten) yang menikah dengan warga Ciladong tetapi tidak memiliki keturunan. Suatu ketika, tepatnya pada tahun 1932, KH. ABN pernah bercerita kepada murid-muridnya bahwa suatu saat nanti kalian akan mengalami turunnya Imam Mahdi. Kalau ada orang yang membawa ajaran dan menerangkan bahwa Imam Mahdi sudah datang sambil menjelaskan berdasarkan al-Quran dan Hadis, maka kalian hendaknya menerima ajaran tersebut tanpa melihat warna kulit dan bangsanya, meskipun dia seorang pemain ular (orang India). Murid-murid KH. ABN bukan hanya dari kampung Ciladong saja, melainkan berasal dari beberapa desa di sekitar Desa Cikeukeuh. Salah satu muridnya yang berasal dari Kota Bogor adalah Jakaria, pegawai Kehutanan yang berkantor di Jakarta, yang nantinya menduduki posisi Sekretaris Ahmadiyah Cabang Bogor. Jakaria mempunyai teman bernama R. Hidayat, kelak menjadi Ketua Ahmadiyah Cabang Bogor, yang kebetulan sudah terlebih dahulu menerima ajaran Ahmadiyah. Suatu ketika kedua orang ini bertemu dan R. Hidayat bercerita banyak tentang ajaran Ahmadiyah kepada Jakaria. Sementara itu, Jakaria juga pernah mendengar langsung ajaran Ahmadiyah melalui Rahmat Ali HOT, tokoh pertama yang mengembangkan ajaran Ahmadiyah ke Indonesia, ketika Rahmat Ali HOT datang ke Kota Bogor. Sejak
saat itu, Jakaria datang dan bercerita kepada warga Ciladong,
terutama sesama murid KH. ABN, tentang kedatangan Imam Mahdi. Dia pun mengingatkan cerita dan pesan KH. ABN tentang kedatangan Imam Mahdi
59
dimana KH. ABN pada saat itu sudah meninggal dunia. Akhirnya, dengan penuh penasaran, warga Ciladong berangkat ke Jakarta, tepatnya Gang Kalekam, Pegangsaan Timur – sekarang di Jl. Balikpapan 1, Petojo Jakarta Pusat – kelak menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Di Jakarta warga Ciladong mendengarkan langsung ajaran-ajaran Ahmadiyah dari Rahmat Ali. Pada saat itu juga terjadi perdebatan antara Rahmat Ali dengan para ulama yang menentang ajaran Ahmadiyah. Pasca peristiwa inilah, secara bertahap, warga Ciladong mulai meyakini dan menyatakan diri masuk Ahmadiyah setelah MR menjadi orang Ciladong pertama yang masuk Ahmadiyah. Sukses mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Jakarta, dulu Batavia, pada tahun 1932 Rahmat Ali mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Kota Bogor (Zulkarnain, 2006). Di kota ini tinggal seseorang bernama Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, President Landraad Bogor dan ketua sebuah organisasi kaum intelektual muda bernama Jong Islamieten Bond Cabang Bogor. Dia mempunyai famili bernama H. Marah Wahab, seorang Ahmadi asal Padang, yang kemudian datang ke Bogor. Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung meminta Rahmat Ali datang ke Bogor, melalui H. Marah Wahab, untuk berbicara masalah agama Islam dalam organisasi yang dia pimpin. Rahmat Ali menanggapi positif permintaan Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung dan memanfaatkan momen tersebut untuk memperkenalkan Ahmadiyah di kalangan intelektual muda Bogor. Berkat kegigihan dan kesabaran Rahmat Ali (Zulkarnain, 2006), akhirnya beberapa orang diantara mereka masuk Ahmadiyah, diantaranya adalah Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, R. Hidayat, R. Sudita, Sulaeman, S.A.S. Pontih, Usman Natawijaya, Jakaria dan R. Guniwa Partakusumah. Tidak lama kemudian, pada November 1932 terbentuklah cabang Ahmadiyah kedua di Jawa, setelah cabang Ahmadiyah Betawi, yaitu cabang Ahmadiyah Bogor yang diketuai oleh R. Hidayat, Jakaria (Sekretaris), N. Nadjid (Bendahara) dan beranggotakan lebih kurang sepuluh orang. Sebagaimana di daerah-daerah lain, awal kemunculan Ahmadiyah di Ciladong mendapat tantangan dari para ulama dan ustadz. Penolakan di kalangan tokoh agama ini lebih disebabkan pada persoalan teologis. Mereka tidak bisa menerima aliran Ahmadiyah karena bertentangan dengan praktek keagamaan dan
60
teologi yang berkembang di Desa Cikeukeuh, yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah dan mazhab Syafi`iyah. Meski menentangnya, namun kehidupan keberagamaan saling toleransi dan menghormati. Hal ini dapat dibuktikan dengan hubungan dalam praktek-praktek keagamaan, seperti pengajian bersama, yang sudah berlangsung lama di antara kedua masyarakat tersebut. Para tokoh agama tidak sampai bereaksi berlebihan dalam menghadapi ajaran yang mereka anggap baru dan bertentangan dengan ajaran mayoritas umat Islam (mainstream). Bahkan toleransi yang berkembang pada saat itu tidak jarang tokoh agama dan tokoh Ahmadiyah Ciladong berdiskusi tentang konsep-konsep teologis yang selama ini menjadi permasalahan. Di samping sistem pemerintahan yang otoritarianisme, tidak munculnya konflik terbuka juga banyak dipengaruhi oleh isu masalah Ahmadiyah yang tidak dibesar-besarkan, baik oleh elit agama maupun media yang memberitakannya. Organisasi Ahmadiyah Cabang Ciladong dipimpin oleh Ketua Cabang, yaitu MA. Dia terpilih dan menjabat Ketua Cabang sejak dua tahun yang lalu, dengan masa jabatan selama tiga tahun. Masa kepemimpinan ketua hanya diperbolehkan selama dua kali masa jabatan, tetapi bisa dipilih kembali jika sudah melewati satu kali masa jabatan. Berbeda halnya dengan masa jabatan Ketua Cabang, ketua badan yang berada di bawah organisasi cabang, seperti Ketua Ansarullah, Lajna Maillah, dan Khudamu Ahmadiyah hanya menjabat selama dua tahun. Susunan pengurus, sebagaimana dalam AD/ART JAI, sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris Khusus, Sekretaris Mal, dan selanjutnya boleh menambah sekretaris-sekretaris lain sesuai kebutuhan. Dengan demikian, cabang Ahmadiyah antara yang satu dengan cabang yang lain bisa saja berbeda jumlah sekretaris-sekretarisnya karena perbedaan kebutuhan. Susunan kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013 dapat dilihat pada Gambar 11:
61
Ketua MA
Sekretaris RMA
Sekretaris Pendidikan MA Sekretaris Pengajaran Qur`an NA Sekretaris Mal AY Sekretaris Hub. Luar JH
Badan-badan
Bendahara AZ
Sekretaris Urusan Umum JMH Sekretaris Perlengkapan AS Sekretaris Pertanian HSD
Abna (0-6 tahun) Athfal/Banat (7-14 tahun) Khudam/Nashirat (15-40 tahun) Ansharullah/Lajnah (40+ tahun)
Sekretaris Industri & Perdagangan HSD
Gambar 11 Struktur organisasi Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013. Ketua JAI Cabang Ciladong (MA) menjelaskan bahwa pemilihan dirinya sebagai Ketua Cabang berawal dari masalah pemberian sanksi dari Amir6 kepada ketua sebelumnya karena ikut menandatangai penghentian pembangunan mesjid pada saat sebelum terjadinya konflik dua tahun yang lalu. Menurut Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, silahkan mesjidnya dibongkar asal Ketua Cabang Ahmadiyah Ciladong tidak ikut menandatangani penghentian pembangunan mesjid tersebut karena terkesan melegalkan penghentian pembangunan. Pemilihan ketua dilakukan secara aklamasi setelah menetapkan bakal calon ketua. Uniknya, tidak satu pun calon yang mengajukan dirinya sebagai calon ketua melainkan atas dasar pilihan atau usulan dari anggota yang berhak memilih. Anggota yang berhak memilih tidak akan memilih mereka yang mencalonkan diri sebagai ketua karena bagi mereka orang seperti itu jelas ambisius dan tidak baik menurut agama.
6
Amir (Nasional) adalah pimpinan tertinggi Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berkantor di Parung. Kedudukan Amir berada di sebuah negara dimana Jemaat Ahmadiyah berada sekaligus sebagai wakil dari pimpinan tertinggi (Khalifah) yang berkedudukan di London, Inggris. Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia sekarang dijabat oleh Abdul Basit.
62
Ketua yang terpilih harus menjadi contoh bagi anggota Jemaat Ahmadiyah terutama dalam masalah pengorbanannya pada agama. Prinsip yang diyakini oleh anggota Jemaat Ahmadiyah adalah anggota tidak boleh mencari-cari jabatan, akan tetapi kalau ditunjuk menduduki posisi tertentu jangan ditolak karena hal itu adalah amanah. Anggota yang berhak hadir untuk memilih dan dipilih adalah mereka yang membayar canda dawam, yaitu mereka yang membayar infak minimal enam bulan dalam setahun. Canda merupakan iuran yang bersifat “wajib” di kalangan Jemaat Ahmadiyah yang dikeluarkan sesuai dengan bentuk penghasilannya; harian, mingguan, bulanan bagi mereka yang sudah berpenghasilan. Bagi mereka yang belum berpenghasilan juga tidak dilarang membayar canda, bahkan anak-anak pun seringkali diperkenalkan dengan canda dan membayarnya melalui tabungan yang dikumpulkan dengan jumlah yang dikehendakinya. Canda dikumpulkan melalui Sekretaris Mal yang ada di Ciladong lalu pada akhir bulan disetorkan pada Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) yang berada di Parung bersamaan dengan laporan pertanggung jawaban cabang. Dari dana yang sudah dikumpulkan ke PB JAI, Jemaat Ahmadiyah Cabang Cisalada mendapatkan dan operasional sebesar Rp 1,5 juta per bulan, dimana sebelumnya dana operasional itu sebesar dua puluh lima persen dari dana canda yang terkumpul, sisanya disetor ke PB JAI. Semua dana canda terkumpul di PB JAI yang berfungsi untuk keperluan dakwah dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada. Jika Jemaat Ahmadiyah di belahan dunia membutuhkan dana atau terdapat bencana alam di negara-negara lain, kantor pusat London dapat menginstruksikan kepada PB JAI untuk mengirimkan dana canda tersebut ke London. Kemudian pihak Londonlah yang berhak langsung mendistribusikan keperluan dana tersebut. Dalam organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia ada istilah pembayar canda tingkat tinggi, yaitu mereka harus membayar secara terus menerus setiap bulan selama setahun. Kalau bulan sebelumnya belum dibayar, maka bulan berikutnya dibayar dua kali lipat menutupi bulan sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa canda dibayar sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi dalam Jemaat Ahmadiyah juga ditentukan besaran canda yang dibayar, seperti 1/16 dari setiap
63
penghasilan (canda `am atau pemula), sepersepuluh, seperlima dan paling besar sepertiga (tiga terakhir dinamakan canda wasiat). Di samping kegiatan dakwah, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga melakukan kegiatan sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kegiatan sosial yang hanya diperuntukkan bagi kalangan Ahmadiyah misalnya membantu anak-anak yatim, panti jompo, orang sakit, pengobatan, pendidikan. Kegiatan sosial yang diperuntukkan bagi orang non Ahmadiyah (ghoir) adalah membantu korban bencana alam (yang menginduk kepada lembaga Humanity First) seperti terlibat dalam bencana gempa dan tsunami di Aceh, Padang, Yogyakarta dan lain-lain. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga aktif dalam pengobatan gratis, khitanan massal, donor darah dan bahkan sampai pada donor mata. Pengobatan gratis yang ditawarkan kepada warga di Desa Cikeukeuh kerapkali ditanggapi masyarakat secara negatif, kuatir dibujuk untuk masuk ke Ahmadiyah. Bagi Ahmadiyah, yang terpenting adalah bagaimana bisa membantu sesama manusia seperti yang diajarkan dalam agama, apakah setelah kegiatan sosial itu orang lain masuk Ahmadiyah silahkan saja karena tidak ada paksaan untuk masuk ke Ahmadiyah. Kegiatan sosial yang diperuntukkan kepada non Ahmadiyah pasca konflik sudah tidak pernah lagi diselenggarakan karena kuatir akan memicu konflik lagi, kecuali ke desa-desa di luar Cikeukeuh. Respon masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah sangatlah beragam bergantung pada lapisan masyarakat, bidang kehidupan dan masa dimana kedua kelompok agama ini hidup. Secara teologis para tokoh agama di Desa Cikeukeuh menentang ajaran Ahmadiyah dan menganggap sesat serta keluar dari Islam. Sejak keberadaan Jemaat Ahmadiyah pada 1930-an respon tokoh agama dari dulu hingga sekarang tidak berubah bahkan cenderung semakin reaktif. Masa kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru perbedaan keyakinan cenderung diwadahi melalui diskusi atau debat antartokoh agama masing-masing kelompok atau paling tidak saling menahan diri dan bisa memperlihatkan sikap toleransi. Kondisi pemerintahan otoritarianisme Orde Baru dianggap masyarakat sebagai pereda kenapa tindakan kekerasan dan konflik antara warga Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tidak muncul.
64
Pascareformasi tradisi yang positif tersebut (diskusi keagamaan dan sikap toleransi) mulai memudar, jika tidak dikatakan hilang sama sekali. Era reformasi yang dianggap masyarakat era kebebasan memungkinkan orang untuk menyatakan pendapat, tidak peduli dengan cara melanggar aturan, dan mengakses informasi yang begitu derasnya sehingga masyarakat gampang tersulut ke dalam tindakan anarkis. Televisi dan komunikasi telepon genggam sangat berpengaruh membentuk masyarakat dalam bertindak anarkis. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, kalangan tokoh agama ini cukup toleran kepada Jemaat Ahmadiyah. Mereka tidak canggung berinteraksi dan menjalin hubungan sosial dengan pengikut Ahmadiyah. Bagi mereka, pengikut Ahmadiyah juga warga desa yang diperlakukan sama seperti warga lain. Dalam benak mereka tidak terlintas atribut-atribut Ahmadiyah ketika berbaur dan bersatu dalam melakukan kegiatan-kegiatan desa, sepanjang warga Ahmadiyah tidak menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah secara gamblang. Sementara itu, kebanyakan masyarakat menanggapinya biasa-biasa saja karena tidak tahu secara mendalam ajaran-ajaran Ahmadiyah. Kalaupun mereka tahu, itu pun hasil transformasi pengetahuan secara instan dan tidak mendalam melalui pengajian-pengajian di mesjid dan mushala. Sama seperti para tokoh agama, kehidupan dan interaksi sosial masyarakat biasa dengan Jamaah Ahmadiyah terjalin dengan baik. Meski dalam kehidupan sosial tokoh agama menjalin hubungan yang toleran dengan kalangan Ahmadiyah, akan tetapi kalangan tokoh agama dan sebagian masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong sangat sensitif jika sudah berbicara dan bersinggungan dengan masalah akidah (teologi). Tokoh agama sangat sensitif dan reaktif menanggapi Jemaat Ahmadiyah ketika mereka melakukan praktek-praktek keagamaan, menyebarkan dan secara gamblang menunjukkan identitas keahmadiyahannya kepada masyarakat. Karena keterbatasan pengetahuan agama, masyarakat biasa menanggapinya dengan tanpa reaksioner dan tidak berlebihan, bahkan sangat toleran. Sikap reaksioner yang berlebihan hanya ditunjukkan oleh sebagian kalangan tokoh agama yang secara geografis lebih dekat dengan Kampung Ciladong. Mereka ini
65
berada di Kampung Mekarsari, kampung yang berbatasan langsung dengan Ciladong, dan Kampung Sukasari. Respon reaktif atas ketidaksetujuan mereka atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah lebih ditentukan oleh empat faktor. Pertama peran tokoh agama dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Jemaat Ahmadiyah kepada masyarakat. Kedua, sebagai konsekuensi yang pertama, seberapa besar akses masyarakat biasa dalam berinteraksi dengan tokoh agama baik secara formal (pengajian-pengajian) maupun secara informal (di luar pengajian). Ketiga, Fatwa MUI dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Muspida Kabupaten. Keempat televisi yang menyiarkan dialog atau peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di beberapa daerah di tanah air. Aparat
pemerintahan
desa
lebih
cenderung
menanggapi
secara
kemasyarakatan, dan tidak terlibat dalam persoalan keagamaan. Alasan ini didasari oleh kedangkalan mereka dalam masalah agama dan lebih cenderung menyerahkannya kepada ahlinya, yaitu tokoh agama. Aparat desa lebih fokus pada bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan terciptanya keamanan desa. Bagi aparat desa, semua warga sama termasuk warga Ahmadiyah.
Sehingga,
dalam
konteks
keberadaan
Jemaat
Ahmadiyah,
pemerintahan desa lebih memilih pendekatan keamanan dan ketertiban sosial (social order). Dalam konteks kecamatan dan kabupaten pada umumnya, keberadaan Jemaat Ahmadiyah Ciladong sebetulnya kurang menjadi perhatian masyarakat, terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Perhatian masyarakat hanya terjadi pada lapisan tokoh agama atau mereka memiliki pengetahuan yang lumayan tentang Islam dengan intensitas yang tidak tinggi. Mereka menolak keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang dikuatirkan dapat mempengaruhi masyarakat atau dapat mengancam kepercayaan yang selama ini mereka pegang. Sebaliknya, bagi masyarakat umum, keberadaan Jemaat Ahmadiyah tidak mewujud dalam penolakan karena, disamping tidak mengerti apa itu Ahmadiyah, masyarakat sendiri banyak yang tidak tahu kalau Jemaat Ahmadiyah ada di Kampung Ciladong. Kurangnya resistensi masyarakat umum atas keberadaan Ahmadiyah juga sangat didukung oleh bagaimana elit agama bersikap karena
66
sangat berpengaruh kepada masyarakat ketika sikap itu disampaikan dalam pengajian-pengajian. Pengaruh yang tidak kalah pentingnya adalah peran media massa dalam memberitakan tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tidak banyak yang menyinggung masalah Ahmadiyah dalam pengajianpengajian meski kalangan agama menolak teologi yang diyakini Ahmadiyah. Pengajian-pengajian ketika menyinggung masalah akidah hanya dalam bentuk penyadaran akidah agar umat Islam tidak salah menerima aliran-aliran yang banyak menyimpang. Tidak ada upaya ketika itu untuk membentuk sikap berupa permusuhan kepada Jemaat Ahmadiyah. Membicarakan masalah Ahmadiyah bukanlah menjadi topik utama atau isu hangat di kalangan tokoh agama ketika itu. Sehingga dapat menjadi bukti kenapa masyarakat umum banyak yang tidak tahu apa itu Ahmadiyah sekaligus tidak sampai membentuk sikap-sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini dapat dijelaskan dari beberapa faktor. Pertama, tokoh agama ketika itu tidak agresif dalam membicarakan masalah Ahmadiyah dalam pengajianpengajian sehingga membentuk pemahaman dan sikap baru terhadap Ahmadiyah. Kedua, tidak ada isu yang menyulut kebencian terhadap Ahmadiyah seperti peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi di daerah lain. Ketiga, keberadaan media massa, terutama televisi, yang menyiarkan dan membahas masalah Ahmadiyah atau kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah. Keempat, Jemaat Ahmadiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat lain tidak memperlihatkan ajaran-ajaran dan kegiatan-kegiatan organisasi Ahmadiyah sehingga masyarakat ketika itu sulit mengetahui apakah dia Ahmadiyah atau tidak, bahkan masyarakat hanya tahu Ahmadiyah itu hanya organisasi keagamaan saja. Keempat faktor inilah yang membedakan respon masyarakat saat ini di Desa Cikeukeuh dibandingkan dengan respon masyarakat sebelum era reformasi.
67
BAB V KEBERADAAN AHMADIYAH DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NASIONAL 5.1
Latar Belakang Historis Munculnya Ahmadiyah
5.1.1 Konteks Sosial-Politik Masa Penjajahan Inggris Menurut Bosworth (1980), anak Benua Asia, India, yang dulu di dalamnya termasuk negara Bangladesh dan Pakistan, mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha pernah dikuasai oleh sebelas dinasti Islam selama lebih kurang delapan setengah abad, mulai dari Dinasti Ghaznawiyah (997-1186 M) sampai dengan Dinasti Mughal (1526-1858 M). Selama kekuasaan dinasti Islam, India mengalami persaingan dan peperangan untuk merebut kekuasaan sehingga terjadi pergantian kekuasaan secara silih berganti. Ada tiga kerajaan besar Islam yang sangat berpengaruh dan menguasai belahan dunia pada saat itu, yaitu Kerajaan Safawi (1501-1732 M) di Persia, Kerajaan Mughal (1526-1858 M) di India dan Kerajaan Turki Utsmani (13001922 M) di Istanbul. Kerajaan Mughal merupakan salah satu kerajaan besar Islam yang sempat menguasai anak benua India pada awal abad ketujuh belas. Kerajaan ini didirikan oleh salah seorang keturunan Timur Lenk, Zahiruddin Babur. Sebelum menguasai India (Nasution 1978), Babur lebih dahulu menundukkan Kabul. Pada tahun 1523 M Babur dengan segala kegigihan dan pasukannya dapat merebut Lahore, dan kemudian India Tengah pada 1527 M. Sejak kekalahan Dinasti Turki Utsmani dalam serangan ke benteng Wina pada tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan Turki Utsmani. Pada abad kedelapan belas, didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai
persenjataan modern, Barat
mulai
melakukan
kolonialisme di penjuru dunia termasuk ke dunia Islam. Secara agresif mereka dapat mengusai daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain umat Islam sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap apatis dan fatalistis. Akhirnya, Inggris dapat mengusai India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat mengusai daerah-daerah Islam lainnya, termasuk Indonesia (Fathoni 1994).
68
Setelah India menjadi negara jajahan Inggris, kondisi umat Islam masih tradisional, fatalistis, jauh dari pendidikan, serta diselimuti semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama setelah terjadinya pemberontakan Mutiny pada tahun 1857, sebuah pemberontakan besar yang banyak menelan korban akibat, salah satunya, diskriminasi yang berlebihan dari Inggris terhadap umat Islam dibandingkan dengan kaum Sikh (Alhadar 1977). Sebagai akibat pemberontakan tersebut (Ali 1980), pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap umat Islam. Inggris berkeyakinan bahwa umat Islamlah yang menjadi pemicu terjadinya pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab. Selain itu, Inggris menuduh umat Islam ingin mengembalikan hak-hak dan kejayaan kerajaan Mughal. Kolonialisme Inggris menganggap oposisi umat Islam disebabkan oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala, tidak seperti kaum Hindu yang dapat menyembunyikannya sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi umat Islam, misalnya dalam pendidikan. Dalam segala hal, jelas Sir Sayid Ahmad Khan (dalam Donohue & Esposito 1995), memang pendidikan yang diberikan pada saat itu hanya kepada suku Benggali yang beragama Hindu, orang-orang Parsi di Bombay dan orang-orang Brahmana dan Mahratta di Bombay dan Poona. Mukti Ali (1998) menulis bahwa sejarah pemikiran Islam India pada waktu penjajahan Inggris menggambarkan beberapa aspek, yang setiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan sosial India. Aspek pertama adalah reaksi, dalam beberapa hal sangat keras, terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan di India. Aspek kedua adalah adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial yang sedang terjadi. Gerakan pertama yang reaksioner yang menentang terhadap perubahan sosial yang ada dimulai pada permulaan abad kesembilan belas, berkembang terutama di antara kelas bawah dari umat Islam, dan protes yang keras terhadap pemerintahan Inggris, tetapi tanpa program yang konstruktif melawan kerendahan tingkat sosial masyarakat yang dihadapi. Gerakan reaksioner ini kerapkali
69
dinamakan Gerakan Wahabi, karena dianggap berhubungan dengan gerakan purifikasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di jazirah Arabia. Menurut Ali (1998) ada dua fase penting yang perlu menjadi perhatian di India modern, yaitu fase kapitalisme dagang dan kapitalisme industri Inggris. Fase pertama (kapitalisme dagang), yaitu sejak permulaan dari pemerintahan East-India Company hingga permulaan abad kesembilan belas, telah menimbulkan kekacauan politik dimana pedagang-pedagang Barat menguras kekayaan India dan berangsur-angsur menjadikan India negara yang sangat miskin. Dalam kondisi seperti ini, kebudayaan mulai hancur, agama menjadi rusak, dan kehidupan sosial-politik jadi kacau. Protes gerakan Wahabi pada saat itu sebagai bentuk serangan terhadap kerusakan agama, dan mengambil bentuk penolakan terhadap penyimpangan dari Islam yang murni serta menginginkan kembali kepada keserdahanaan seperti yang dicontohkan pada masa awal pembentukan Islam (zaman Nabi Muhammad). Namun, tidak lama kemudian, gerakan Wahabi ini berubah menjadi gerakan yang bersifat sosial dan politis yang melawan penguasa-penguasa yang dianggap kafir dan disertai dengan pemberontakan para petani melawan tuan tanah di seluruh India. Fase kedua imperialisme Inggris di India adalah periode abad kesembilan belas, yaitu abad kapitalisme Inggris, yang pada waktu itu Inggris menjual barangbarang dagangannya yang dibikin sendiri setelah Revolusi Industri. Fase ini menimbulkan suatu kelas menengah baru di India disertai dengan infiltrasi kebudayaan liberal Inggris. Ali (1998) menjelaskan bahwa perkembangan yang pokok dari modernisme Islam di India adalah perkembangan Islam liberal yang sejalan dengan kebudayaan Barat abad kesembilan belas, yaitu serasi dengan sains Barat, rasional dan humanitarianisme ala Barat. Tokoh yang paling menonjol dalam gerakan Islam liberal di India pada saat itu adalah Sir Sayid Ahmad Khan dengan Muhammadan Anglo-Oriental College, sebuah perguruan tinggi Islam yang mencontoh pendidikan barat dengan pengantar bahasa Inggris, di Aligarh yang bangkit pada bagian akhir abad kesembilan belas. Dia mulai menulis tafsir
70
Al-Quran dalam bahasa Urdu dengan interpretasi yang sama sekali baru tentang Islam dan Al-Quran dalam pandangan rasionalisme abad kesembilan belas. Aspek adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial yang sedang terjadi lahir di kalangan muslim liberal yang, secara langsung dan tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Barat umumnya dan kolonialisme Inggris khususnya. Seperti yang dijelaskan di atas, Sir Sayid Ahmad Khan adalah sosok muslim liberal yang tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan pemikiran modern Islam India dan sikap adaptasinya terhadap kebudayaan Barat yang sedang diperkenalkan di India. Selama beberapa dasawarsa dia menjadi anggota Pemerintah Sipil India dan tetap
setia kepada pemerintahan Inggris
selama pemberontakan Mutiny pada 1857 (Donohue & Esposito 1995). Di samping Sir Sayid Ahmad Khan, menyebut diantaranya, orang yang mengambil
jalan
adaptif
terhadap
perkembangan
kondisi
sosial
masa
pemerintahan dan penjajahan Inggris adalah seorang aristokrat bernama Nawab Abdul Latif. Pada tahun 1863 dia mendirikan Muhammadan Literary Society di Calcutta. Dalam organisasi itu kalangan menengah dan atas dari umat Islam berkumpul dan membahas pelbagai macam masalah politik, sosial, agama sambil mengaitkannya dengan ide dan ukuran Barat. Secara kultural (Ali, 1998), dengan perantaraan organisasi ini, bahasa dan literatur Inggris diajarkan di Husting Calcutta Madrasah, suatu perguruan tinggi tempat orang-orang kaya membantu memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswanya yang memerlukannya. Secara politis, gerakan ini adalah pro-Inggris dan sangat adaptif dengan kebudayaan Barat. Dalam kehidupan dan pemikiran keagamaan, pertentangan kedua kelompok ini (reaksioner dan adaptif) tidak dapat dihindari dimana kelompok yang satu menyalahkan kelompok yang lain. Bagi kelompok reaksioner, kelompok adaptif sangat tidak bisa dibenarkan dengan alasan mereka sudah pro-Inggris dan meliberalkan doktrin agama, jika tidak dikatakan sudah menggunakan motode pemikiran Barat dalam menafsirkan ajaran agama Islam. Sebaliknya, bagi kelompok adaptif, menghimbau dan sangat menyayangkan kelompok reaksioner yang selalu mempertahankan pemikiran dan cara-cara keberagamaan lama di tengah kemunduran Islam dalam berbagai aspek, jika berkaca pada kemajuan
71
Barat. Kelompok adaptif ini menginginkan dan berharap kepada umat Islam agar tidak membenci Barat (Inggris) karena kita bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan Barat demi kemajuan umat Islam itu sendiri. Di kalangan muslim tradisional juga terjadi pertentangan yang cukup kuat antara satu aliran atau mazhab yang mereka anut. Misalnya, antara kelompok Syi`ah dengan Sunni, antara Mu`tazilah dengan Asy`ariyah dan Maturidiyah, antara Sufi dengan Syari`ah dan antara mazhab hukum Islam (fiqh) yang satu dengan hukum Islam yang lain. Perbedaan-perbedaan itu semakin kentara ketika satu kelompok saling mengklaim (truth claims) bahwa aliran atau mazhabnyalah yang paling benar. Polemik aliran semakin tidak mengambil bentuknya yang konstruktif ketika India sudah dimasuki dan berkembangnya paham wahabiyah yang sangat puritan. Paham ini sangat tidak toleran dengan berbagai praktek dan pemikiran keagamaan yang bersifat modern apalagi liberal. Sikap kelompok muslim tradisional yang cenderung menerima begitu saja (taken for granted) ajaran Islam hasil penafsiran para ulama klasik tanpa mau melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan zamannya berpengaruh pada sikap keberagamaan mereka. Sebut misalnya, sikap statis membawa mereka taklid kepada pendapat dan penafsiran ulama-ulama sebelumnya, sikap konservatif membawa mereka menentang penerjemahan AlQuran ke dalam bahasa selain Arab, seperti bahasa Persia dan Urdu dan sikap eksklusif mereka yang tidak mau menerima hal-hal baru di luar Islam seperti peradaban Barat yang nyata mereka saksikan di tanah air mereka sendiri, sehingga berakibat pada sulitnya mereka berkembang dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Dalam keadaan demikian, jelas Maulana Muhammad Ali (1959), kehidupan intelektual di kalangan umat Islam saat itu telah tenggelam sampai pada tingkat yang paling bawah. Pertarungan antarkelompok Islam yang bersumber dari perbedaan paham dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan pada akhirnya menghukum muslim lainnya sebagi kafir. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangkan Islam di India ini sesungguhnya menyadarkan kaum intelektual sehingga pembaruan dalam pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan (sine qua non), baik melalui jalur
72
politik maupun jalur non politik. Mereka itu adalah, diantaranya, Syah Waliyullah, Muhammad Ali Jinnah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbal. Syah Waliyullah (Nasution 1975), misalnya, berupa mengusung ide-ide pembaharuan dalam bidang politik dan ajaran Islam. Menurutnya, diantara penyebab kemunduran Islam dalam bidang politik adalah perubahan sistem pemerintahan dari sistem kekhalifahan yang demokratis menjadi sistem kerajaan yang otokratis. Syah Waliyullah mencoba mendamaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam berbagai aliran dalam Islam, terutama antara Syiah dan Sunni. Di saat kebanyakan umat Islam mengklaim Syiah keluar dari Islam, Syah Waliyullah mengatakan bahwa Syiah sama halnya dengan kaum Sunni, yaitu masih tetap orang Islam dan ajaran-ajaran yang mereka anut tidak membuat mereka keluar dari Islam. Sadar akan kondisi yang dialami umat Islam di India, Syah Waliyullah juga berupaya menegakkan kembali ajaran Islam yang lebih murni, yaitu hanya bersumber pada al-Quran dan Hadis. Syah Waliyullah menilai bahwa banyak ajaran Islam yang berkembang di India tidak lagi mencerminkan Islam yang sebenarnya, yaitu sudah bercampur dengan adat istiadat dan ajaran non Islam (Hindu). Tak hanya itu, Syah Waliyullah juga memperkenalkan cara berpikir rasional dan tidak setuju dengan sikap mengikut dan patuh pada penafsiran ulamaulama masa lalu yang menyebabkan umat Islam menjadi statis di tengah kondisi sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, Syah Waliyullah menghimbau agar umat Islam harus dinamis menghadapi zaman dan para ulama jangan takut dalam berijtihad.
5.1.2 Ahmadiyah di Tengah Kemunduran Umat Islam Abad sembilan belas merupakan sebuah era yang sangat penting dalam sejarah modern, suatu era dimana kegelisahan intelektual dan berbagai macam konflik di Dunia Islam mulai memuncak, dan India adalah salah satu pusat dari konflik itu. Di belahan dunia ini, konflik antara peradaban Barat dan Timur, sistem pendidikan tradisional dan modern, bahkan antara Islam dan Kristen telah
73
mencapai puncaknya. Menurut Ali Nadwi (2005), di satu sisi, Inggris pada saat itu mulai gencar-gencarnya kampanye untuk menyebarkan peradaban dan kultur baru di India. Sementara di sisi lain, para misionaris Kristen telah bergerak ke seluruh pelosok India untuk menyebarkan kristenisasi. Peristiwa paling penting yang tidak bisa dianggap enteng oleh ahli sejarah adalah penjajahan bangsa Eropa terhadap Dunia Islam, terutama India. Ali Nadwi (2005) mencatat bahwa sistem pendidikan yang diusung dan diperkenalkan Eropa tidak memiliki jiwa kesadaran beragama, dan budaya yang muncul dari pandangan hidup baru ini membuat orang menjauhi Tuhan. Dunia Islam telah menjadi korban dari kekuatan asing yang unggul dalam bidang militer (serta ekonomi dan ilmu pengetahuan). Ini adalah masa meletusnya konflik antara Islam dan budaya materialistik Eropa yang menimbulkan masalah besar; sosial, politik, budaya dan intelektual yang bisa diselesaikan dengan keimanan yang kuat, ilmu pengetahuan dan percaya diri. Di samping itu, kondisi internal umat Islam India makin parah dalam hal polemik antarkelompok paham keagamaan. Setiap kelompok saling serang dan menghujat kelompok lain. Polemik antarkelompok ini umum terjadi pada saat itu sehingga memicu kerusuhan dan bahkan pertumpahan darah. Hal ini berdampak pada kegelisahan mental yang menyebabkan perpecahan dalam komunitas muslim serta menurunnya wibawa para ulama. Demikianlah situasi umat Islam India dan menjadi latar belakang munculnya gerakan Ahmadiyah, sebuah situasi dimana umat Islam terancam dari sisi eksternal dan internal. Ahmadiyah, meminjam istilah Spencer Lavan (1974), adalah sebuah gerakan reformasi keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 1889 dengan latar belakang kemunduran umat Islam India baik di bidang agama, politik, sosial, ekonomi maupun kehidupan lainnya. Wilfred Cantwell Smith (1979) menggambarkan bahwa Ahmadiyah muncul sebagai bentuk protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen yang memperoleh pengikutpengikut baru dan juga protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Universitas Aligarh-nya. Selain itu, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.
74
Di sini Mirza Ghulam Ahmad, yang mengaku telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan jalan menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan tuntutan zaman yang kian hari kian berubah. Dalam konteks ini, seperti tulis Fathoni (1994), kehadiran Ahmadiyah lebih bermotif pada pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam menghadapi bahaya kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. A.R. Dard (1948) menjelaskan bahwa misi-misi Kristen mulai bergerak dengan gencarnya di seluruh dunia semenjak tahun 1804, khususnya ketika British and Foreign Bible Society terbentuk. Bahkan kurun waktu antara tahun 1815 hingga 1914 telah ditetapkan oleh kelompok Kristen sebagai The Great Century of World Evangelization atau Abad Agung Penginjilan Dunia. Anak-benua India merupakan salah satu sasaran yang dijadikan sebagai proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi itu (Purwanto 2008). Mengutip pendapat C.A. Bayly (1990) dan Kenneth W. Jones (1976), Purwanto (2008) menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan di India pun bermunculan
kelompok-kelompok
Neo-Hindu
yang
gencar
menghadapi
perkembangan zaman. Di antara kelompok yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj yang didirikan pertama kali pada tahun 1875 di Bombay oleh Swami Dayananda Saraswati (1824-1883). Ini adalah gerakan yang ingin mengembalikan
kemurnian
Hindu
dan
menampilkannya
sebagai
suatu
kebanggaan nasional India. Di samping itu, aliran ini banyak menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma ortodoks serta melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kristen dan Islam. Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal Mirza Ghulam Ahmad. Ia banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agamaagama tersebut. Secara personal ia banyak terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan Kristen dan Hindu. Salah satu upaya pembelaannya dilakukan dengan cara menulis secara aktif di berbagai media massa, antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari Bangalore, Mysore, India Selatan, setiap 10 hari sekali. Menurut Muhammad Zafrullah Khan (1978) dan Dard (1948), ia juga aktif menulis di beberapa surat kabar yang terbit
75
dari Amritsar, antara lain, Wakil, Safir Hind, Widya Prakash dan Riaz Hind, surat kabar dari Lahore (Brother Hind dan Aftab Punjab), Sialkot (Wazir Hind), Ludhiana (Noor Afshan). Mirza Ghulam Ahmad pun mulai menulis buku Baraahin Ahmadiyyah (Bukti-bukti Nyata Kebenaran Nabi Muhammad) yang terdiri dari lima jilid. Di dalam karyanya itu, Mirza Ghulam Ahmad memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta kemuliaan al-Quran dan Nabi Muhammad SAW, sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya. Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad tidak begitu dikenal di kalangan masyarakat di India, khususnya dalam Islam. Dia tidak mengambil tempat dalam sebuah organisasi dan berjuang sendirian. Namun, keadaan menjadi berubah dan dirinya mulai dikenal serta kerapkali tampil di depan umum setelah ia menulis buku Baraahin Ahmadiyyah. Buku Baraahin Ahmadiyyah mendapat sambutan positif di kalangan umat Islam. Para pemuka Islam seolah menemukan seorang pembela Islam yang ulung, sehingga mereka bersama Mirza Ghulam Ahmad mendukung menghadapi serangan-serangan pihak non Islam. Purwanto (2008) menulis beberapa respon baik dari tokoh-tokoh Islam India pada masa itu. Pertama, respon dari Muhammad Hussein Batalvi, seorang tokoh terkemuka dan pakar Hadits di India, banyak memberikan sanjungan terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah maupun terhadap penulisnya. Batalvi, pada awalnya, adalah tokoh yang sangat mendukung perjuangan Mirza Ghulam Ahmad, meski kemudian menentang keras Mirza Ghulam Ahmad. Batalvi (dalam Purwanto, 2008) menulis kesaksian tentang buku Baraahin Ahmadiyyah: “Menurut pendapat saya pada zaman sekarang dan sesuai kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa, yang mana sampai saat ini di dalam Islam tidak ada bandingannya yang telah ditulis, dan tidak ada pula khabar di masa mendatang…. Penulisnya pun dalam hal memberikan bantuan kepada Islam dari segi harta, jiwa, tulisan, maupun lisan sangat teguh dan kukuh pada langkah-langkahnya sehingga sangat sedikit ditemukan contoh yang seperti beliau, walau dari kalangan umat Islam terdahulu sekali pun….” Di samping Batalvi, seorang sufi terkenal India yang berasal dari Ludhiana yang melahirkan tokoh-tokoh agama di tangannya, yaitu Sufi Ahmad Jaan, juga memberikan respon terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah. Jaan menulis ulasan
76
tentang Baraahin Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran beliau yang berjudul “Isytihar Wajibul Izhar”: “Di zaman abad keempat belas telah berkecamuk topan kebobrokan dalam setiap agama. Tidak diragukan lagi, diperlukan sebuah buku dan seorang mujaddid seperti Baraahin Ahmadiyyah serta penulisnya Maulana Mirza Ghulam Ahmad yang berbagai cara siap untuk membuktikan dakwah Islam atas para penentangnya….. sang penulis adalah mujaddid, mujtahid, muhaddats bagi abad keempat belas ini, dan merupakan seorang yang sepurna dari kalangan umat Islam”. Banyak dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk menjadi murid Mirza Ghulam Ahmad dan meminta agar dia mau menerima bai`at7 mereka. Di sisi lain, Baraahin Ahmadiyyah telah membangkitkan reaksi keras dari kalangan non islam, terutama Hindu Arya Samaj, yang kemudian diikuti oleh kelompok Kristen. Mirza Ghulam Ahmad mulai menghadapi mereka langsung dengan mengadakan perdebatan-perdebatan. Mirza Ghulam Ahmad mulai mendapat tantangan dari kalangan Islam setelah dia mendakwakan dirinya sebagai al-Masih yang dijanjikan (Masih Mau`ud) dan Imam Mahdi pada tahun 1891. Sejak itu gelombang penentangan marak terjadi di kalangan Islam dan Kristen, dan kerapkali terjadi perdebatanperdebatan seputar hidup matinya Nabi Isa. Di kalangan Islam yang menentang justru bekas sahabatnya yang memberikan dukungan sepenuhnya terhadap karya Baraahin Ahmadiyyah, yaitu Muhammad Hussein Batalvi. Penentang ini bermula dari keyakinan yang berbeda dimana Batalvi masih berkeyakinan bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dan akan turun ke bumi suatu saat nanti. Perdebatan juga terjadi, tulis Purwanto (2008), dengan Henry Martin Clark, seorang tokoh Kristen yang mendirikan missi kesehatan dari Church Missionary Society di Amritsar pada tahun 1892. Pada tahun 1891 Mirza menulis buku Izalah Auham, dimana beliau memaparkan sebanyak 30 dalil al-Quran berkenaan telah wafatnya Nabi Isa. Pada tahun 1898 diperoleh informasi bahwasanya kuburan Nabi Isa ada di Srinagar, Kashmir, India. Pada 1899 beliau menulis buku Masih Hindustan (al-Masih di India) dimana dia menjelaskan kesaksian-kesaksian Bibel bahwa Nabi Isa itu 7
Bai`at (Arab) yang dimaksud di sini adalah janji seseorang yang menyatakan kepatuhan dan kesetiaan kepada Islam, Imam dan sistem dalam organisasi Ahmadiyah ketika seseorang akan masuk Ahmadiyah
77
tidak mati di tiang salib, melainkan selamat dari kematian di tiang salib. Dari bukti-bukti sejarah Mirza memaparkan bahwa setelah peristiwa penyaliban itu Nabi Isa pergi mencari domba-domba Bani Israil yang hilang ke kawasan Asia Tengah; Syiria, Irak, Iran, Afganistan, sampai ke India. Akhirnya wafat dan dikebumikan di Srinagar, Kashmir, India. Selain terlibat dengan polemik-polemik dengan berbagai kalangan tokoh agama, Mirza Ghulam Ahmad sangat aktif menulis buku-buku. Tercatat sebanyak 88 judul buku yang dia tulis di dalam beberapa bahasa, antara lain bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Kumpulan karya tulis ini kini diterbitkan dalam satu set dengan nama Rohani Khazain yang terdiri dari 23 volume8. Pada tahun 1905, berdasarkan petunjuk Allah SWT, Mirza mencanangkan suatu gerakan yang dinamakan al-Wasiyyat9, yaitu suatu gerakan pengorbanan harta dalam bentuk wasiat untuk memajukan dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Mirza Ghulam Ahmad membentuk sebuah badan utama yang dinamakan Sadr Anjuman, yaitu yang akan mengelola segala permasalahan missi tersebut. Beliau mewasiatkan tentang akan adanya silsilah khilafah yang akan menggantikan beliau dan akan memimpin misi tersebut. Mirza Ghulam Ahmad wafat di Lahore pada tanggal 26 Mei 1908. Jenazahnya dibawa ke Qadian dan dikebumikan di sana. Setelah wafat ia digantikan oleh Khalifah Masih I yaitu Hafiz Hakim Nuruddin (1908-1914). Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah ke Eropa sudah dimulai pada khalifah ini. Nuruddin wafat pada 1914 dan digantikan oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965) sebagai khalifah kedua. Mirza Bashirud-Din Mahmud Ahmad merupakan anak Mirza Ghulam Ahmad. Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah lebih terorganisir di tangannya ketika dia membentuk suatu gerakan pada 1935 yang dikenal dengan Tahrik Jadid (Gerakan Baru). Dalam gerakan ini dia menghimpun dana dan tenaga-tenaga 8
Selain itu Mirza juga menerbitkan media-media massa untuk meyebarluaskan misi dakwah Islam, seperti Mingguan al-Hakam (Urdu) yang mulai diterbitkan sejak tahun 1897. Kemudian alBadr (Urdu) mulai terbit sejak tahun 1902 dan The Review of Religions (Inggris) yang mulai terbit pada tahun 1902 (Purwanto 2008). 9 Gerakan al-Wasiyyat pertama sekali sangat menekankan masalah ketakwaan dan pengorbanan harta yang harus melebihi dari orang lain, yaitu minimal 1/10 dari penghasilan. Dikatakan minimal 1/10 karena ada juga pengorbanan sebesar 1/16 yang diperuntukkan bagi pemula Ahmadi (hasil wawancara dengan Muballigh ZAP, 2 Juli 2012).
78
sukarela dari anggota Ahmadiyah yang mewakafkan diri mereka untuk pengembangan Islam ke seluruh dunia. Pada masa khalifah kedua ini Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Setelah memimpin selama lebih dari 50 tahun Khalifah Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad meninggal pada 1965 dan digantikan oleh khalifah Masih III, yaitu Mirza Nashir Ahmad (1965-1982). Wafat pada 1982, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad digantikan oleh Mirza Tahir Ahmad sebagai Khalifah Masih IV. Setelah wafat pada 2003 Mirza Tahir Ahmad digantikan oleh Mirza Masroor Ahmad sebagai khalifah V yang memimpin Jemaat Ahmadiyah seluruh di dunia menjabat dari tahun 2003 hingga sekarang.
5.1.3 Ahmadiyah dan Perannya di Dunia Internasional Jemaat Ahmadiyah sekarang sudah menyebar ke 198 negara dengan jumlah 20 juta orang. Populasi terbesar, tulis Purwanto (2011), berada di Pakistan dengan perkiraan jumlah Ahmadi sebanyak empat juta orang. Sedangkan di India mencapai satu juta orang. Sementara di negara-negara lain jumlahnya lebih kecil, misalnya di Indonesia 200 ribu orang, Bangladesh (100 ribu), Inggris (30 ribu), Jerman (30 ribu), Kanada (25 ribu), Amerika Serikat (15 ribu) dan di Israel mencapai 2000 orang. Perkembangan Ahmadiyah di seluruh dunia sangat bergantung pada paham keagamaan tradisional, situasi politik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara tertentu. Misalnya, jika di sebuah negara ada paham Wahabi, maka Jemaat Ahmadiyah seringkali mengalami tantangan. Sebaliknya, jika suatu negara menganut kebebasan beragama, menghormati HAM dan pluralisme, Jemaat Ahmadiyah hampir tidak ada menghadapi tantangan. Penentangan terhadap Jemaat Ahmadiyah bisa juga terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di Indonesia, misalnya, Jemaat Ahmadiyah tidak mengalami perkembangan yang signifikan jika dilihat lamanya gerakan keagamaan ini berada di Indonesia dan jika dibandingkan dengan organisasi keagamaan lain, seperti NU dan Muhammadiyah, yang sama-sama lahir di awal abad kedua puluh. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar ajaran yang mereka yakini berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam.
79
Sebaliknya, negara-negara yang minoritas Islam dan menjunjung tinggi kebebasan
beragama,
HAM,
pluralisme
relatif
gampang diterima
dan
berkembang. Hal ini dapat terlihat di Eropa dan Amerika yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, HAM, pluralisme. Kalau pun ada penentangan terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiah, kebanyakan dari kelompok Muslim Sunni. Penentangan masyarakat barat lebih kepada kebenciannya terhadap Islam karena mereka menganggap Jemaat Ahmadiyah adalah Islam. Respon masyarakat di barat biasa-biasa saja dan menganggap Ahmadiyah seperti Islam yang mereka pahami, yaitu agama ekstrim dan teroris. Namun, berkat dakwah yang disampaikan secara rasional, lambat laun mereka mulai memahami Islam dan pada akhirnya tidak sedikit yang masuk Islam. Metode dakwah yang selama ini dikembankan adalah melalui dialog, brosur, majalah, buku, dan TV. Dalam konteks ini, seorang mubaligh nasional (SA) berkata: “Kami (Jemaat Ahmadiyah) sangat gencar mendirikan mesjid di Eropa, Afrika dan Amerika sehingga para diplomat Indonesia tidak asing lagi dengan mesjid Ahmadiyah. Di luar negeri yang paling tertarik dengan Ahmadiyah adalah kaum intelektual. Di barat, Ahmadi banyak berkiprah di lembaga bergengsi seperti bank dunia, pengadilan internasional di Den Hag, kalangan teknokrat, anggota senat di Inggris, duta besar dan menteri di beberapa negara di Afrika” (Wawancara, 27 Juni 2012). Ketertarikan mereka masuk Ahmadiyah, lanjut SA, tidak lepas dari: 1) kebebasan berpikir yang diusung Ahmadiyah; 2) memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang ramah bukan teroris dan memperbolehkan tindakan ekstrimisme sebagaimana yang dipahami oleh barat selama ini; 3) al-Quran tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan. Poin ketiga ini sangat penting bagi Ahmadiyah karena, mengikuti pandangan barat, jika Ahmadiyah tidak memperlihatkan kepada barat bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan, maka bagi mereka (barat) Islam sama saja dengan agama lain dimana ajarannya banyak yang tidak masuk akal, dan tidak ada bedanya Islam dengan agama-agama lain. Program-program penyebaran Islam ke seluruh dunia dan pengkhidmatan kepada umat manusia dalam bentuk penghimbauan kepada Allah (da`wah ilallah), dijadikan sebagai prioritas utama. Program-program ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman mubaligh-mubaligh (ustadz) ke mancanegara, mendirikan rumah sakit
80
dan universitas, penerjemahan al-Quran dan tafsirnya yang sekarang sudah mencapai dalam 100 bahasa dunia, pembangunan mesjid, pembangunan sarana dakwah Islam melalui satelit dalam program Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang berdiri sejak tahun 1994. Tabel 7 Sebaran Perkembangan Ahmadiyah di Dunia Benua Amerika Eropa
Asia
Afrika Australia
Negara Kanada, USA, Guatemala, Trinidad & Tobago, Suriname, Brazil, dll Inggris, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Prancis, Switzerland, Portugal, Spanyol, Italia, Belgia, New Zealand, Rusia, dll Pakistan, India, Indonesia, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Fiji, Mesir, Iran, Yordania, Syiria, Palestina, Dll Zambia, Ghana, Uganda, Mauritius, Sierra Leone, Burkina Faso, Kenya, Tanzania, Nigeria, Liberia, dll Australia
Sumber: Diolah dari berbagai sumber sekunder Jemaat Ahmadiyah yang bermarkas di London Selatan dan dipimpin oleh Khalifah Mirza Masroor Ahmad ini sangat gencar membangun mesjid di belahan dunia seiring dengan makin bertambahnya anggota Jemaat Ahmadiyah. Setelah berhasil membangun Mesjid Nashr di Oslo, Norwegia, yang merupakan mesjid terbesar di kawasan Skandinavia pada September 2011 yang lalu, Februari yang lalu Jemaat Ahmadiyah berhasil membangun dua buah mesjid sekaligus dalam satu bulan di Catford dan Feltham, London, Inggris (Darsus, 2012). Dalam peresmian Mesjid Tahir yang terletak di kawasan Catford ini dihadiri oleh sejumlah pejabat dan tamu kehormatan, termasuk Heidi Alexander MP, anggota parlemen untuk Lewisham Timur dan Sir Steve Bullock, Walikota Lewisham. Mereka menyambut baik atas dibangunnya mesjid tersebut, bahkan Sir Steve Bullock mengungkapkan bahwa tempat ibadah merupakan hak bagi setiap komunitas mana pun. Maria Macleod, anggota parlemen untuk Brentford dan Isleworth, Inggris, memuji peran Ahmadiyah dalam memperjuangkan perdamaian saat peresmian Mesjid Baitul Wahid yang terletak di Feltham, London. Tak hanya Macleod,
81
anggota parlemen untuk Feltham dan Heston, Seema Malhotra, juga menilai bahwa Jemaat Ahmadiyah merupakan sebuah contoh komunitas (keagamaan) yang berjuang demi perdamaian dan sangat baik untuk dijadikan contoh.
Gambar 12 Perkembangan Mesjid Ahmadiyah di seluruh Dunia. Jemaat Ahmadiyah, melalui Khalifah V, aktif menyuarakan perdamaian dunia. Misalnya, baru-baru ini, Mirza Masroor Ahmad mengirim surat kepada Presiden Iran, Mahmood Ahmadinejad, dan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, terkait semakin memanasnya hubungan kedua negara. Melalui surat tersebut Mirza Masroor Ahmad mengingatkan konflik kedua negara akan memberikan konsekuensi mengerikan bagi seluruh dunia karena akan melibatkan banyak negara dan pemakaian senjata pemusnah massa (nuklir). Mirza Masroor Ahmad mengingatkan agar kedua negara menginvestasikan segala kemampuan untuk menghindari perang melaui jalur negosiasi. Mirza Masroor Ahmad sangat menyadari pentingnya peran AS sebagai negara adikuasa. Baginya, AS harus bisa menjaga perdamaian dunia melalui pengaruh besarnya di kancah internasional. Sadar akan peran AS Mirza Masroor Ahmad juga menyurati Presiden AS, Barack Obama, terkait dengan konflik antarnegara yang mengarah pada ancaman perang nuklir. Khalifah kelima ini mengingatkan Obama akan pecahnya perang dunia ketiga karena memiliki gejala yang sama dengan Perang Dunia II. Menurutnya, penyebab utama terjadinya
82
Perang Dunia II adalah kegagalan Liga Bangsa-bangsa (sekarang PBB) dan krisis ekonomi yang dimulai pada 1932. Dia berharap krisis ekonomi global dan tidak stabilnya politik dunia tidak menjadi penyebab munculnya perang skala besar (Darsus, 2012). Kegiatan-kegiatan sosial Jemaat Ahmadiyah juga mendapat respon yang baik di kalangan masyarakat di Inggris. Menteri Bidang Kemasyarakatan Inggris, Andrew Stunnell, memuji program Muslim for Life dengan salah satu agendanya donor darah. Stunnell berpendapat bahwa apa yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu komitmen dan bentuk pengabdian kepada negara. Bagi Jemaat Ahmadiyah, dengan slogan Love for All Hatred for None, menyumbangkan darah merupakan salah satu upaya dan komitmen menyelamatkan nyawa manusia, dan kegiatan ini merupakan bagian dari realisasi iman. Menyumbangkan darah adalah simbol dari memberikan sumber kehidupan bagi kemanusiaan. Sementara itu di Afrika, kegiatan Jemaat Ahmadiyah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, kepada Jemaat Ahmadiyah atas kontribusinya dalam membantu masyarakat setempat dalam mengembangkan dan membangun sektor pendidikan dan kesehatan. Kontribusi yang lain juga diperlihatkan Jemaat Ahmadiyah di Burkina Faso. Di negara yang terletak di Afrika ini para relawan Jemaat Ahmadiyah yang terdiri dari insinyur, dokter dan para pemuda membangun rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik dan pompa air minum yang tersebar di berbagai daerah. Para insinyur Jemaat Ahmadiyah juga membangun “model village” atau desa percontohan di Burkina Faso yang dilengkapi dengan sarana listrik, air pam, pusat kegiatan masyarakat (community center), green house yang ditanami berbagai tanaman sayuran, sistem irigasi dan pompa air tangan untuk pertanian. Mereka bekerja tanpa pamrih melainkan atas sikap ketakwaan dan keikhlasan sebagaimana yang diajarkan agama (Khutbah Jumat, Februari 2012). Peran yang tidak kalah penting yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah meluruskan stigma negatif masyarakat barat atas Islam. Sebagaimana diketahui, barat memandang Islam tidak lebih dari agama teroris dan membolehkan tindakan kekerasan. Bahkan di barat saat ini, terutama pasca penyerangan gedung WTC
83
pada 11 September 2001, agama yang paling banyak disalahpahami dan menjadi sorotan publik adalah agama Islam. Di Jerman hampir setiap hari media massa memberitakan seputar dunia Islam yang sebagian besar pemberitaannya adalah mengkritik ajaran Islam yang dianggap bar-bar dan primitif. Jemaat Ahmadiyah mencoba meluruskan pemahaman yang keliru tersebut dengan cara, diantaranya, menyebarkan spanduk yang berisi ajaran Islam yang sebenarnya di tempat-tempat strategis, seperti di halte bis, stasiun, telepon umum dan lain-lain. Aksi ini cukup menarik perhatian masyarakat dan media massa setempat dan mampu merubah opini Jerman terhadap Islam. Upaya memperkenalkan pemahaman Islam yang sebenarnya kepada masyarakat barat juga terlihat ketika Jemaat Ahmadiyah Kanada meluncurkan sebuah program Tour Dakwah berskala nasional yang berjudul “Qur`an Open House”. Hingga saat ini program ini telah menjangkau 254 kota di Kanada dan telah dikunjungi lebih dari 1,3 juta orang. Dalam acara tersebut masyarakat Kanada banyak tercerahkan dari penjelasan-penjelasan Jemaat Ahmadiyah tentang apa itu Islam, terutama masalah hukum Islam yang mereka anggap tidak manusiawi dan ketinggalan zaman, dan masalah jihad. Selama ini masyarakat barat memahami jihad adalah perang suci ala Islam untuk meraih surga yang dilakukan dengan segala macam cara, termasuk bom bunuh diri.
5.2
Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia
5.2.1 Kemunculan Ahmadiyah Secara geografis Indonesia terletak di daerah yang sangat strategis menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan toleran terhadap akulturasi budaya luar. Hal ini dibuktikan oleh sejarah perkembangan agamaagama di Indonesia seperti Hindu, Budha, Islam (dari India) dan Kristen (dari Eropa). Semua agama ini punya pengaruh besar di Indonesia. Kedatangan Islam dan penyebarannya di Indonesia dilakukan secara damai tanpa kekerasan apalagi lewat penaklukan atau peperangan. Di antara saluran islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah melalui perdagangan. Hal ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ketujuh sampai abad
84
keenam belas, perdagangan antara negeri-negeri di bagian Barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan karena menjalin hubungan antara masyarakat Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984). Islam yang masuk ke nusantara pada saat itu sangat mengakomodir nilainilai atau budaya bahkan agama lokal seperti Hindu. Tidak heran dalam menyiarkan agama Islam wali songo kerapkali menggunakan wayang atau tradisi lokal, yang notabene berasal dari Hindu, sebagai instrumen dakwahnya setelah dimodifikasi dengan ajaran-ajaran Islam. Sikap keterbukaan masyarakat Indonesia pada saat itu ditunjukkan dengan penerimaan Islam sebagai agama baru dengan tanpa resistensi yang berlebihan. Dalam perjalanannya juga Islam berkembang tanpa ada resistensi dari umat Islam Indonesia akan berbagai aliran dalam Islam seperti Syiah. Bahkan fase pertama kelahiran Islam di Indonesia tidak lepas dari kelompok sufistik yang notabene banyak berasal dari aliran Syiah (Persia). Begitu juga dengan masuknya Ahmadiyah di Indonesia, yang juga lahir dari India. Meski punya hubungan erat dengan India, namun cara masuk dan tersebarnya Ahmadiyah dengan agama-agama di atas tidaklah sama. Jika agamaagama tersebut tersebar berkat mereka yang datang melalui jalur perdagangan, Ahmadiyah datang justru diundang oleh putra-putra bangsa Indonesia yang ketika itu menuntut ilmu agama Islam di pusat Jemaat Ahmadiyah di Qadian, India. Kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia berawal dari tiga orang lulusan sekolah Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul) di Padang Panjang yang bermaksud melanjutkan studi ke luar negeri usai mereka lulus di sekolah tersebut. Dua orang diantaranya adalah Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin asal Parabek, Bukittinggi. Semula mereka memutuskan untuk melanjutkan studi ke Mesir yang dianggap sebagai pusat kajian Islam di dunia. Akan tetapi, sebelum berangkat, mereka dinasehati oleh Zainuddin El Yunusiah, bekas guru mereka di Diniyah School, dan juga atas nasehat Syekh Ibrahim Musa Parabek, seorang ulama terkenal di Bukittinggi, agar kedua pelajar itu sebaiknya menuntut ilmu ke
85
Hindustan (India) saja, dengan alasan orang sudah banyak belajar ke Mesir sehingga perlu mencari ilmu ke negara lain. Kedua ulama ini menganggap Hindustan punya tokoh-tokoh ulama dan perguruan tinggi yang berkualitas. Pada bulan Desember 1922, Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin berangkat dari Sumatera ke India melalui Medan dengan tujuan kota Lucknow. Di kota ini mereka menjadi tiga orang dengan kedatangan teman mereka Zaini Dahlan dari Padang Panjang. Di kota ini mereka mencari ulama, dan berkat bantuan tukang dilman, mereka dapat bertemu dengan seorang ulama besar bernama Abdul Bari al-Anshari. Mereka belajar di sekolah yang ia asuh, yaitu Madrasah Nizhamiyah, sebuah madrasah setingkat Aliyah (Zulkarnain 2006). Setelah dua bulan berada di kota Lucknow mereka berangkat ke kota Lahore, dan di kota inilah mereka pertama kali mengenal Jemaat Ahmadiyah. Kemudian mereka memutuskan meninggalkan Madrasah Nizhamiyah karena mengetahui guru mereka setiap pagi pergi menyembah kuburan seorang kyai. Di Lahore mereka didik oleh Maulana Abdus Satar, namun tidak puas dan meninggalkan kota tersebut pada tahun akhir 1923 menuju Qadian setelah tinggal selama enam bulan. Di Qadian mereka diterima oleh tokoh Jemaat ahmadiyah sekaligus adik ipar Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Maulana Mir Muhammad Ishak. Sehari setelah tiba di Qadian mereka mendapat kesempatan bertemu dengan Imam dan Khalifah II Jemaat Ahmadiyah, yaitu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dan dia mengizinkan ketiga pelajar itu melanjutkan studi di madrasah Ahmadiyah. Namun, mereka harus belajar bahasa Urdu lebih dahulu selama enam bulan. Setelah menamatkan madrasah Ahmadiyah mereka kemudian masuk Jamiah Ahmadiyah (setingkat perguruan tinggi), dan tidak lama setelah itu mereka dibai`at di tangan Khalifah II. Atas informasi ketiga pelajar itu, maka berdatanganlah para pemuda Indonesia lainnya asal sumatera ke Qadian untuk menuntut ilmu hingga jumlah mereka 19 orang, diantaranya adalah: Mahmud (Padang Panjang), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Moh. Jusyak (Sampur), Moh. Ilyas (Padang Panjang), Hajiuddin (Rengat), Abdul Aziz Shreef (Padang), Moh. Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang). Akhirnya, karena anggota sudah mulai banyak, merea mendirikan Perkumpulan Ahmadi Indonesia (Zulkarnain 2006).
86
Merasa perlu mengembangkan Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia, dalam sebuah acara jamuan teh yang juga dihadiri oleh Khalifah II sekembalinya dari London, pelajar Indonesia minta kepada Khalifah berkunjung ke Indonesia seperti kunjungan-kunjungannya ke Eropa. Atas permintaan tersebut beliau menunjuk Maulana Rahmat Ali sebagai muballigh untuk Sumatera dan Jawa, yang ketika itu dia sebagai guru di Ta`limul Islam High School, Qadian. Di sinilah titik awal masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia, yaitu atas permintaan para pelajar Indonesia. Sebelum berangkat Rahmat Ali belajar bahasa Indonesia dari para pelajar Indonesia dengan menggunakan buku Empat Serangkai yang dipesan dari Sumatera. Rahmat Ali berangkat dari Qadian akhir Juli 1925 dan tiba di Tapaktuan (Aceh) pada 2 Oktober 1925, melalui Penang, Medan dan Pulau Weh (Sabang). Sebagaimana di tempat-tempat lain yang mempercayai akan datangnya Imam Mahdi, maka ratusan penduduk menunggu Rahmat Ali sesuai dengan pesan pelajar Indonesia kepada mereka lewat surat yang dikirim dari Qadian. Pada tahun 1926 Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang, Sumatera Barat. Sesampainya di Padang, seperti ketika di Tapaktuan, dia melakukan tabligh (dakwah) dan menimulkan kehebohan kota Padang hingga ke daerah lain seperti Padangpanjang, Bukittinggi dan daerah lainnya. Dakwah Rahmat Ali mendapat tantangan dari para ulama Sumatera Barat termasuk ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amarullah yang menganggap Ahmadiyah berada di luar Islam, bahkan dikatakan kafir. Pada waktu itu juga berdiri Komite Mencari Hak dibawah pimpinan Tahar Sutan Marajo yang bertujuan mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama yang ada di Sumatera Barat. Reaksi dari para ulama bersumber dari doktrin-doktrin yang disampaikan Rahmat Ali yang berseberangan dengan keyakinan yang selama ini mereka yakini. Pada tahun 1931 Rahmat Ali meninggalkan kota Padang menuju Pulau Jawa untuk melanjutkan misinya, yang menurut Hamka (dalam Zulkarnain 2006) karena kuatnya tekanan dari ulama Sumatera Barat. Langkah awal yang dilakukan Rahmat Ali adalah mengadakan kursus bahasa Arab. Karena semakin bertambahnya jumlah pengikut Rahmat Ali, maka pada tahun 1932 mereka sepakat membentuk Ahmadiyah cabang Betawi dengan susunan kepengurusan
87
Abd. Razak (ketua), Simon Kahongia (sekretaris), kommissarissen (Th. Dengah, Ahmad Jupri, Murdan), dengan anggota 27 orang. Ahmadiyah cabang Betawi merupakan cabang pertama di pulau Jawa. Menurut Zulkarnain (2006), ada perbedaan tanggapan masyarakat Islam pada masa-masa awal gerakan Ahmadiyah Qadian (di Sumatera) dan Ahmadiyah Lahore (di Jawa) di Indonesia. Gerakan Ahmadiyah Lahore setahun lebih dahulu masuk Indonesia (tahun 1924) dan pertama kali berada di Yogyakarta. Aktivitas Ahmadiyah Qadian di Sumatera mendapat tantangan keras dari tokoh-tokoh Islam, sementara Ahmadiyah Lahore diterima dengan baik khususnya di Yogyakarta, bahkan direspon baik oleh Muhammadiyah (Deliar Noer 1996). Hal ini disebabkan oleh mubaligh Ahmadiyah Qadian sejak awal agak agresif menyampaikan secara terang-terangan ajaran Ahmadiyah dan siap melakukan perdebatan dengan tokoh agama. Sementara itu, mubaligh Ahmadiyah Lahore lebih menampakkan kerendahan hati dan sasaran awalnya adalah pemuda yang jumlahnya tidak banyak melalui pengajaran bahasa Inggris, sementara ajaran Ahmadiyah tidak ditampakkan dengan jelas. Dengan cara ini, tokoh-tokoh Islam merespon dengan baik tanpa menaruh kecurigaan, meski pada akhirnya mengambil jarak bahkan menentangnya. Di samping itu, ajaran Ahmadiyah Lahore tidak begitu kontroversial bila dibandingkan dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Peran Ahmadi dalam kemerdekaan juga tidak bisa dilupakan hingga Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Tidak sedikit kaum Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena menjadi salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Ada juga beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti Maulana Abdul Wahid dan Maulana Ahmad Nuruddin
yang berjuang sebagai
penyiar
radio;
menyampaikan
pesan
kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, mubaligh yang lain, Maulana Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga
88
Soekarno,
presiden
pertama
Republik
Indonesia,
di
kemudian
hari
menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasinya kepada negara. Tidak hanya itu pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Supratman, pernah bergabung dan menekuni ajaran Ahmadiyah selama beberapa bulan (Winarno tt) Pada tahun 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya badan hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik pada masa itu berakhir dengan jatuhnya presiden Soekarno yang memakan banyak korban. Satu simbol era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain adalah seorang Ahmadi. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru. Ia pun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera. Era 1990-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Muslim Television Ahmadiyyaa (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia (setelah jajak pendapat) dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. 5.2.2 Doktrin Kenabian Doktrin kenabian merupakan salah satu doktrin pokok dalam Islam sehingga sangat sensitif jika ada kelompok atau golongan dalam Islam yang memperdebatkannya atau berbeda satu sama lainnya. Dalam ajaran Islam yang mapan, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Namun demikian, di sini letak kenapa Ahmadiyah ditolak dan dihujat, Ahmadiyah (Qadian) berpendapat bahwa konsep kenabian itu terus menerus berlangsung hingga akhir zaman, dan tidak sependapat kalau setelah Nabi Muhammad itu tidak ada nabi lagi. Menurut Ahmadiyah (Hakim 2005), bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup yang membawa syari`at, namun bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari`at. Dengan demikian, tetap terbuka diutusnya nabi yang tidak
89
membawa syari`at setelah Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya menerima wahyu yang diturunkan di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Tazkirah. Ahmadiyah Qadian (Zulkarnain 2006) memberikan tiga klasifikasi mengenai konsep kenabian: Pertama, Nabi Shahib asy-Syari`ah dan Mustaqil. Shahib asy-Syari`ah adalah nabi pembawa syari`at (hukum-hukum) untuk manusia. Sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Nabi semacam ini lazim juga disebut sebagai Nabi Tasyri`i dan Mustaqil sekaligus. Kedua, Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri`i, yaitu hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, hanya saja dia tidak membawa syari`at baru, namun dia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari`at yang dibawa nabi sebelumnya. Para nabi yang masuk dalam golongan ini adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Nabi Isa a.s. Mereka secara langsung dianggkat menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari`at Nabi Musa yang ada dalam Kitab Taurat. Ketiga, Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i,yaitu hamba Tuhan yang mendapat anugerah dari Allah menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti syari`atnya. Dengan demikian, tingkatannya berada di bawah nabi sebelumnya dan dia tidak membawa syari`at baru. Hamba Tuhan yang masuk ke dalam golongan ini adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari`at Nabi Muhammad. Berangkat dari penjelasan di atas, menurut Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari`at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari`at akan terus berlangsung. Lebih jauh Ahmadiyah berpendapat bahwa Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i hanya muncul dari seorang ummati, yaitu seorang pengikut Nabi Muhammad, bukan dari umat lain. Bagi Ahmadi yang mengaku dirinya Islam (Ahmad 1996), mempercayai rukun iman dan rukun Islam, sangat tidak mungkin mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir (khaatama al-nabiyyiin) seperti yang tertera dalam al-Quran (al-Ahzab: 40).
90
Jemaat Ahmadiyah (Ahmad 1996) mengartikan khaatama al-nabiyyin merujuk pada penggunaan umum dalam bahasa Arab seperti yang diperkuat oleh ucapan-ucapan Siti Aisyah, Ali dan para sahabat lainnya. Makna khaatama alnabiyyiin yang populer di kalangan umat Islam dewasa ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut karena tidak menampakkan kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad. Bagi Ahmadiyah, makna khaatam dalam al-Quran dan Hadits adalah cincin, stempel dan yang paling mulia, sehingga khatama al-nabiyyin berarti cincin para nabi, stempel para nabi atau Nabi Muhammad adalah nabi yang paling mulia, bukan penutup para nabi (yang tidak membawa syariat). Pemahaman ini didasarkan pada ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami yang mengutus para Nabi” (QS Ad-dukhan: 5). Menurut Ahmadiyah, hanya Allah yang mengutus para nabi dan rasul, sehingga hanya Allah jugalah yang berhak menutupnya. Oleh karena itu, adanya nabi dan rasul yang tidak membawa syariat sangat terbuka dan akan terus berlanjut untuk memperbaiki akidah manusia yang terus mengalami degradasi. Bagi Ahmadiyah (Ahmad 1996; IIP 2002), keyakinan akan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup yang membawa syariat adalah harga mati. Mereka tidak menegasikan keimanan ini sebagaimana muslim lainnya. Ahmadiyah berbeda pendapat dengan kebanyakan muslim mengenai nabi yang tidak membawa syariat, dimana kebanyakan muslim berpendapat bahwa baik nabi yang membawa syariat maupun tidak sudah tidak ada lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan penamaan nabi ini, tokoh Ahmadiyah Qadian Syafi R. Batuan (dalam Zulkarnain 2006) mengatakan bahwa ahmadi lebih suka menggunakan istilah nabi zhilli atau buruzi yang berarti bayangan. Nabi ini menjadi nabi bayangan dari nabi sebelumnya karena dia tunduk, mengikuti, dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Selain menyebut dengan istilah nabi zhilli atau buruzi, mereka juga menyebutnya dengan nabi ummati, nabi majazi, dan nabi kiasan. Bagi Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad dipandang sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan
91
rasul yang lain. Menurut paham golongan ini, seorang ahmadi tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan nabi yang lain. Meski demikian, Ahmadiyah Qadian dan Lahore memiliki kesamaan, yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri`i atau nabi mustaqil sesudah Nabi Muhammad. Mereka juga sepakat dengan penggunaan terma wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Nabi Muhammad meninggal. Akan tetapi mereka tidak sepakat dengan penggunaan terma nabi bagi sesorang setelah Nabi Muhammad meskipun seseorang tersebut mendapat wahyu dari Tuhan (Zulkarnain 2006). Dengan pemahaman teologi semacam itu, kebanyakan umat Islam mainstream memposisikan pengikut Ahmadiyah Qadian itu sudah sesat dan menodai Islam. Dari persoalan teologi inilah muncul berbagai persoalan sosiologis di tengah masyarakat di tanah air dan beberapa negara lainnya di dunia. Kebanyakan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah sulit menemukan kata sepakat karena cara pandang dalam cara menginterpretasikan teks-teks keagamaan sudah berbeda sehingga perbedaan dalam memahami doktrin agama tidak terelakkan. Bagi sebagian kalangan, Ahmadiyah Qadian sudah tidak tergolong Islam lagi karena sudah menyalahi dan menyimpang dari sistem teologi yang dipercayai selama ini, yaitu bahwa nabi terakhir itu adalah Nabi Muhammad SAW dan tidak ada nabi setelah beliau. Bagi mereka yang mempercayai adanya nabi setelah Nabi Muhammad, berarti mereka sudah menyalahi teks-teks utama dalam Islam (AlQuran dan Hadits), dimana Nabi Muhammad adalah nabi penutup dari sekalian nabi (khatama al-nabiyyiin). Ketika sudah menyalahi teks-teks utama, maka pada saat itu, siapapun orangnya, sudah dianggap kafir. Bagi sebagian kalangan, persoalan Ahmadiyah ini masih bisa ditoleransi karena masalah ini berada pada tataran pemahaman dan penafsiran teks-teks agama. Filsuf asal Pakistan, Muhammad Iqbal, berpendapat (1991) bahwa paham Ahmadiyah Qadiani tidak lebih daripada sekedar penampilan ajaran agama menurut pandangan-pandangan (pemikiran) modern. Oleh sebab itu, lanjutnya, selama batasan-batasan teologi masih tetap terjaga, maka tidak ada salahnya memberikan ruang kebebasan dalam menginterpretasikan teks-teks agama.
92
Memang saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan (bid`ah) karena perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal-hal kecil (furu`) dalam bidang hukum (fikih) dan teologi (akidah) di kalangan beberapa mazhab dalam Islam agak umum terjadi. Menurut Iqbal, sejarah teologi Islam menunjukkan bahwa saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan mengenai perbedaan pendapat dalam hal-hal yang kecil, yang sama sekali tidak merupakan dorongan perpecahan, sebenarnya telah memberikan semangat untuk tampilnya pemikiran sintetik dalam teologi itu. Oleh sebab itu, perbedaan pendapat tentang penafsiran pemahaman agama yang dapat menimbulkan perpecahan dapat diminimalisir hanya dengan memberikan kepada para pengkaji teologi Islam (dan umat Islam) suatu pandangan mengenai adanya semangat sintetik dalam Islam. Iqbal menyebut semangat perbedaan dalam sejarah pemikiran Islam sebagai suatu prinsip gerak 10 dalam dialektika teologik. Problem utama dalam masalah Ahmadiyah terletak pada pemahaman (verstehen) dan bagaimana menginterpretasikan teks-teks agama. Pemahaman bahasa agama yang diyakini oleh umat Islam tidak lepas dari persoalan hermeneutik11 itu sendiri. Komaruddin Hidayat (1996) menulis bahwa tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Dalam tradisi hermeneutik, lanjutnya, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Sebuah teks, termasuk teks agama, akan dipahami oleh orang secara berbeda bergantung pada sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya tempat orang memahami teks itu sendiri. Dengan kata lain, makna teks atau bahasa agama yang dipahami orang merupakan konstruksi berdasarkan aspek sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, makna yang dikandung dari sebuah teks tidak tunggal melainkan plural. Di sini kita bisa paham kenapa pengikut Ahmadiyah dan non 10
Prinsip gerak (principle of movement) adalah istilah yang digunakan oleh Iqbal untuk istilah ijtihad. Uraian selengkapnya adapat dibaca dalam bukunya Reconstruction of Religious Thought in Islam. 11 Hermeneutik adalah sebuah teori yang berusaha mencapai pemahaman kaitannya dengan interpretasi teks (lihat Ricoeur 1995).
93
Ahmadiyah berbeda pendapat tentang beberapa masalah dalam doktrin Islam. Oleh sebab itu, hemat penulis, yang paling penting adalah biarkan saja pemaknaan-pemaknaan itu muncul berdasarkan, meminjam istilah Iqbal, sistem gerak dalam Islam (ijtihad) masing-masing orang yang memahaminya. Yang perlu kita hindari adalah memaksakan pemaknaan atau pemahaman kita kepada orang lain yang berbeda apalagi dengan jalan kekerasan dan sikap-sikap radikal. Persoalan apakah Ahmadiyah termasuk golongan Islam atau tidak kita serahkan saja kepada doktrin yang ada dalam Islam itu sendiri, dimana dalam sebuah hadis dikatakan, Diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, beliau berkata: di kala kami sedang duduk di samping Nabi saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki di tengahtengah manusia, keadaannya seperti seorang musafir dan dia bukan termasuk penduduk negeri ini, lalu dia duduk tawarruk di depan kedua tangan Rasulullah SAW, sebagaimana salah seorang dari kita duduk dalam shalat, kemudian meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah SAW, sambil berkata: Wahai Muhammad, apakah Islam itu? Beliau menjawab, Islam itu jika kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan umrah, mandi karena junub, menyempurnakan wudhu dan puasa ramadhan. Laki-laki tersebut berkata: jika aku telah melaksanakan ini apakah aku menjadi seorang muslim? Nabi menjawab, ya. Laki-laki itu berkata: Engkau benar……(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini dinyatakan bahwa selama orang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan lain-lainnya, maka selama itu pula orang dinyatakan Islam. Kalaupun ada perbedaan penafsiran keagamaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tidak menyebabkan kelompok tertentu keluar dari Islam selama kelompok tertentu itu menjalankan ajaran-ajaran yang disebutkan dalam hadis di atas. Jadi, hemat penulis, tidak proporsional dan tidak logis rasanya menyatakan kelompok tertentu sesat dan menodai agama tertentu jika hanya berawal dari masalah perbedaan penafsiran, sementara kelompok tertentu itu masih taat menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama. Menjadi lebih runyam lagi kalau sebuah penafsiran tertentu, padahal ada banyak kemungkinan penafsiran lain sesuai dengan semangat dari prinsip gerak (ijtihad) dalam Islam, dibakukan dan diinstitusionalisasikan sehingga akan menutup penafsiran lainnya. Bahayanya
94
lagi, jika penafsiran yang sudah terinstitusionalisakan menjadi rujukan satusatunya, dan di sinilah sering muncul konflik seperti dalam Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 Tentang Penodaan Agama dan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Sesungguhnya Ahmadiyah, dalam konteks yang lebih besar, adalah termasuk golongan Islam seperti golongan-golongan lainnya. Ahmadiyah adalah bagian kecil dari bangunan besar yang bernama Islam. Perbedaan penafsiran adalah hal yang wajar selama prinsip-prinsip ajaran masih terjaga, dan tidak menyebabkan harus sesat dan keluar dari Islam. Selama orang masih bersungguhsungguh mencari kebenaran selama itu pula orang akan mendapat reward dari Tuhan, bahkan Tuhan akan tetap memberikan reward meskipun pada akhirnya keliru dalam proses kesungguhan mencari kebenaran (ijtihad) tersebut, demikian Nabi Muhammad mengingatkan. 5.2.3 Menanggapi Ahmadiyah melalui Fatwa MUI Doktrin-doktrin agama yang diyakini Ahmadiyah, seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan sekaligus penjelmaan Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang, mendapat tantangan dan penolakan yang keras dari umat Islam mainstream (aliran utama) yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni yang menjadi penganut mayoritas masyarakat Islam Indonesia. Kondisi ini menyebabkan kegelisahan sebagian umat Islam sehingga Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya dituduh sebagai pembawa ajaran baru (bid`ah) bahkan menodai ajaran Islam. Menurut Hasani & Naipospos (2011), ternyata menurut MUI, LPPI dan ormas-ormas Islam lainnya, Ahmadiyah dianggap melanggar 12 butir kesepakatan bersama. Atas dasar itu, sejumlah organisasi Islam kembali menuntut jemaat Ahmadiyah dibubarkan. Pada bulan Februari tahun 2008, FPI, Hizb At-Tahrir, Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain secara terbuka menyerukan perang terhadap Ahmadiyah. Tim pemantauan Bakorpakem juga kemudian mengumumkan bahwa Ahmadiyah telah mempraktekkan ajaran yang menyimpang dari 12 butir yang pernah disepakati.
95
Namun demikian, dilihat secara historis keindonesiaan, meskipun ada penentangan ajaran Ahmadiyah antara sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, praktis tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhadap pengikut Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru. Ketika itu tradisi diskusi dan dialog masih menjadi wadah mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tahun 1980 terkait ajaran Ahmadiyah, juga tidak ada protes atau kekerasan terbuka yang diarahkan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah. Kondisi ini menjadi berubah setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 seiring mulai terbukanya ruang kebebasan politik. Sikap intoleransi juga muncul dan terus menguat bahkan berujung pada kekerasan terbuka. Pada bulan Januari 2005, Kejaksaan Agung dan instansi pemerintah lainnya, seperti Kementerian Agama, MUI, BIN, mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa organisasi Ahmadiyah, kegiatan, ajaran dan kitab-kitab rujukannya agar dilarang dengan Keputusan Presiden. Menurut Hasani & Naipospos (2011), Amin Djamaluddin, pimpinan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) dan salah satu pengurus MUI, adalah aktor dan kekuatan pendorong di belakang rekomendasi ini. Selain MUI dan institusi pemerintah yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pengawas Agama dan Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), organisasi besar Islam semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga menganggap ajaran Ahmadiyah sebagai sesat, namun dua organisasi ini selama ini memilih jalur dakwah dan dialog dalam menyikapi persoalan Ahmadiyah. Kedua Ormas Islam terbesar ini menghindari jalan kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Pada tahun 2005 adalah awal bagi persekusi-persekusi serius terhadap Ahmadiyah. Pada tahun ini, tepatnya pada tanggal 15 Juli, Kampus Mubarak Parung sekaligus pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia diserang oleh massa dari berbagai kelompok Islam. Persekusi yang awalnya dilakukan oleh kelompokkelompok tertentu seperti Front Pembela Islam (FPI) yang secara terbuka menentang Ahmadiyah, kemudian menyebar ke kelompok-kelompok lainnya dan bahkan menyebar ke sebagian masyarakat.
96
Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia melalui Musyawarah Nasional MUI VII mengeluarkan fatwa yang berisi tentang penilaian Ahmadiyah yang berada di luar Islam serta sesat dan menyesatkan. MUI minta kepada pemerintah Indonesia untuk melarang penyebaran doktrin Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985. Fatwa ini juga menegaskan bahwa penerapan ajaran-ajaran Ahmadiyah telah mengakibatkan perpecahan di antara masyarakat Islam dan membahayakan stabilitas sosial dan keamanan negara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2010 menyatakan bahwa mayoritas publik (66,9%) menyatakan persetujuan dengan fatwa MUI ini. Yang menarik, dibandingkan dengan survei tahun 2005, terjadi kenaikan sebesar 15%, yaitu mereka yang setuju terhadap fatwa MUI. Survei yang sama yang dilakukan oleh LSI pada Agustus 2005 memperlihatkan sebanyak 51,7% setuju dengan fatwa MUI. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 66,9%. Mereka yang tidak setuju dengan fatwa MUI itu juga mengalami penurunan dari 18,1% pada Agustus 2005 menjadi 5,4% pada Oktober 2010 (lihat Gambar 13). 80 70 60 50 40 Agustus 2005
30
Oktober 2010
20 10 0
Sangat Setuju/Setuju
Tidak Tidak Tahu/Tidak Setujua/Sangat Jawab Tidak Setuju
Gambar 13 Penilaian terhadap Fatwa MUI mengenai Ajaran Ahmadiyah.
97
Yang lebih penting adalah melihat bagaimana respon publik terhadap langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait fatwa MUI tersebut. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan ketegasan sikap terkait keberadaan Ahmadiyah ini. Mayoritas publik meminta agar pemerintah mengikuti fatwa MUI dan melarang keberadaan Ahmadiyah. Sebanyak 53,4% menyatakan pemerintah seharusnya ikut menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan 15,6% menyatakan pemerintah tidak perlu menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Hal yang menarik adalah terjadi kenaikan sikap dibandingkan dengan survei tahun 2005. Pada Oktober 2005, hanya 35,2% saja yang setuju kalau pemerintan melarang keberadaan Ahmadiyah. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 53,4%. Jumlah warga yang tidak setuju jika pemerintah tidak ikut menyatakan Ahmadiyah sesat juga mengalami penurunan dari 31,9% di tahun 2005 ke angka 15,6% di tahun 2010 (lihat Gambar 14).
60 50 40 30 20 10 0 Pemerintah ikut mengatakan Ahmadiyah sesat dan dilarang
Gambar 14
Pemerintah tdk perlu menyatakan Ahmadiyah sesat
Tidak tahu / tidak jawab Agustus 2005 Oktober 2005 Oktober 2010
Penilaian atas tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah mengenai Ahmadiyah.
Ada dua konteks yang harus dilihat untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, konteks meningkatnya suara penolakan terhadap Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara berpenduduk Muslim. Terhitung sejak awal 70-an, suara kritis terhadap Ahmadiyah semakin terdengar keras dari
98
sejumlah negara berpenduduk Muslim yang berujung pada keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah oleh Robithah Alam Islamiy dan pelarangan kelompok ini di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua, konteks nasional terkait dengan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalisme. Fatwa sesat Ahmadiyah 1980 bisa dijadikan sebagai cermin yang bisa memperlihatkan “retaknya” kerukunan antarumat beragama yang ditandai dengan munguatnya fundamentalisme di dalam kehidupan umat beragama. Itu sebabnya, tidak mengherankan bila keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah tahun 1980 hampir bersamaan dengan keluarnya fatwa haram selamat Natal yang sama-sama berasal dari MUI. Pada tahap tertentu, fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 terlahir dari konteks yang kurang lebih sama. Saat itu Ahmadiyah kerap
dijadikan
sebagai
musuh
bersama
oleh
kelompok-kelompok
fundamentalisme yang tersebar di dalam ormas-ormas keagamaan. Mulai dari ormas keagamaan yang hampir identik dengan aksi kekerasan, hingga ormas keagamaan yang selama ini dikenal moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok-kelompok ini kemudian bersatu dalam menghadapi musuh bersama dan berada di belakang fatwa MUI 2005. Inilah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 (untuk mengukuhkan fatwa MUI 1980) bersamaan dengan keluarnya fatwa haram terhadap pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Tak lain karena Ahmadiyah dan kelompok- kelompok pluralis dianggap sebagai musuh bersama. Di Indonesia, fatwa MUI tentang Ahmadiyah berdampak luas. Menurut Ahmad Subakir (2009) dan Platzdasch (2011) fatwa-fatwa MUI selama ini disinyalir telah menyulut aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah di tanah air, seperti pengusiran, penutupan tempat ibadah dan kekerasan fisik lainnya. Dampak yang demikian telah mengundang perdebatan dari berbagai kelompok masyarakat dan perorangan. Paling tidak ada tiga kelompok yang merespon fatwa MUI terkait dengan Ahmadiyah. Pertama, mereka yang mendukung keluarnya fatwa yang beralasan bahwa ajaran Ahmadiyah telah menodai Islam. Kelompok-kelompok yang
99
mendukung fatwa, selain MUI, ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), alIrsyad al-Islamiyah, Forum Umat Islam Indonesia (FUII) dan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI). Meski mereka sepakat dikeluarkannya fatwa bahwa Ahmadiyah sesat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal sikap kelompok-kelompok yang melakukan aksi anarkis terhadap Ahmadiyah. Sebagian mereka menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut terjadi karena massa sudah tidak sabar lagi dengan kegiatan-kegiatan Ahmadiyah yang dianggap membahayakan akidah umat Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan karena negara kita bukan negara agama (Islam), sehingga sekalipun sudah ada fatwa MUI, namun keputusan itu tidak mengikat. Kedua, mereka yang hanya menyetujui kesesatan Ahmadiyah Qadian saja. Mereka mempertanyakan label “sesat” yang ditetapkan oleh MUI. Menurut mereka tidak semua Ahmadiyah sesat, dan MUI belum melakukan kajian seksama dalam masalah ini. Menurut mereka harus dipisahkan antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. PP Muhammadiyah juga berpendapat bahwa Ahmadiyah Qadian adalah sesat. Meski demikian, Muhammadiyah secara tegas menolak aksi penyerangan terhadap Ahmadiyah. Ketiga, mereka yang menolak fatwa MUI tersebut. Selain JAI sendiri, kelompok yang menolak adalah Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial, sehingga tidak ada alasan untuk memutuskan kesesatan Ahmadiyah. Di samping itu, ditinjau dari segi hukum, fatwa tersebut batal demi hukum sebab dalam UUD 1945 pasal 29 secara tegas dinyatakan: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, penetapan Ahmadiyah sebagai organisasi sesat dan menyesatkan bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya unsur pemaksaan kepada pihak lain untuk mengingkari pengakuan dan keyakinan seseorang sebagai pengikut Ahmadiyah.
100
5.2.4 Menanggapi Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri Keberadaan Jemaat Ahmadiyah semenjak tahun 1925 di Indonesia relatif aman dan tidak menimbulkan persoalan nasional, meskipun fatwa MUI sudah dua kali dikeluarkan (tahun 1980 dan 2005). Selama itu juga tidak ada respon dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah hingga Juni 2008, dan kenapa respon pemerintah baru muncul belakangan? Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkannya (International Cricis Group 2008; bandingkan juga dengan Platzdasch 2011). Pertama, pengaruh sistematis (dari kelompok tertentu) yang berlangsung beberapa tahun belakangan terhadap pemerintah, terutama kepada Kementerian Agama untuk melakukan tindakan-tindakan melawan Ahmadiyah. Kedua, kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir, yang menggunakan isuisu Ahmadiyah untuk mendapatkan simpati dan keanggotaan yang lebih banyak. Ketiga, dukungan penuh dari Presiden Yudhoyono kepada lembaga-lembaga seperti MUI dan Bakorpakem untuk memantau (aliran) kepercayaan dan sektesekte. Keempat, manuver politik yang dikaitkan dengan pemilu tingkat nasional dan lokal. Faktor kunci (International Cricis Group 2008) memahami kenapa pemerintah mengalah hingga merespon persoalan Ahmadiyah adalah keinginan Presiden Yudhoyono untuk mempertahankan koalisi dengan partai-partai Islam yang mendukungnya pada pemilu 2004, terutama mempererat koalisi pada pemilu 2009 yang sudah dekat. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari gaya pemerintahan Yudhoyono yang dianggap oleh lawan-lawan politiknya sebagai pemimpin yang lemah dan peragu. Pada tanggal 9 Juni 2008, seminggu setelah tragedi Monas, pemerintah melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB), yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan ajaran Islam. SKB tiga menteri ini, oleh banyak kalangan, dianggap sebagai pemicu munculnya surat keputusan atau peraturan gubernur yang berisi pelarangan kegiatan keagamaan Ahmadiyah di daerahnya masing-masing. Bahkan Peraturan
101
Gubernur Sumatera Selatan sudah melampaui SKB tiga menteri yang melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia beraktifitas di daerahnya. SKB tersebut memuat tujuh poin, dua diantaranya adalah peringatan dan perintah kepada seluruh penganut/pengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya serta peringatan dan perintah agar semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa dua item tersebut cukup adil sehingga diharapkan dapat menghentikan kekerasan demi kekerasan terhadap JAI. Namun sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerhati hak-hak asasi manusia menganggap SKB itu tidak adil, disamping melanggar hak-hak asasi manusia kaum Ahmadiyah, bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan tidak realistis sehingga tidak akan mengakhiri masalah. Sementara itu, keputusan ini ditentang oleh kelompok-kelompok radikal karena tidak secara tegas membubarkan Ahmadiyah. Dari tujuh poin tersebut tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktifitasnya. Aktifitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktifitas komunal atau aktifitas individu. Shalat di mesjid bagi JAI, yang menjadi permasalahan di lapangan, juga tidak jelas, apakah dibolehkan atau tidak. Kalau kita pahami poin kedua, sesungguhya tidak semua kegiatan JAI diminta untuk dihentikan, tapi hanya yang terkait dengan penafsiran yang dianggap tidak sesuai dengan Islam pada umumnya. Karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah sebagaimana biasa. Secara substansial SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Terlepas dari itu ada hal penting yang bisa dicatat dari munculnya SKB ini. Menurut The Wahid Institute (2008), munculnya SKB ini merupakan desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. SKB ini secara eksplisit mengakui bahwa persoalan Ahmadiyah adalah soal penafsiran doktrin agama. Di dalamnya poin kedua dari SKB tersebut terdapat kata-kata, “…menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
102
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada pemihakan soal tafsir agama. Menurut Bagir (2011), SKB tiga menteri sangat berpengaruh pada interaksi masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah berawal dari adanya klaim beberapa pihak bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melanggar SKB (atau keputusan bersama di masing-masing daerah). Beberapa daerah pada tingkat provinsi atau kabupaten telah bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan SK atau peraturan gubernur yang memperkuat SKB yang terkadang lebih jauh dari SKB, atau usulan memperkuat SKB, baik dari segi status hukumnya maupun isinya, hingga ke tingkat melarang keberadaan Jemaat Ahmadiyah. SKB tiga menteri (dan keputusan bersama di masing-masing daerah) berakibat pada munculnya segregasi diantara kelompok keagamaan, yaitu antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Interaksi sosio-kemasyarakatan dan sosiokeagamaan yang terjalin selama berpuluh-puluh tahun berujung pada pembatasan interaksi masyarakat dengan Ahmadiyah. Akibatnya, secara sosial, sangat merugikan Jemaat Ahmadiyah itu sendiri karena terbatasnya akses yang diberikan. Sejak lahirnya SKB dan fatwa MUI, serangan terhadap masjid dan jemaat Ahmadiyah terus meningkat secara signifikan. Peningkatan ini sejalan juga dengan peningkatan kekerasan atas gereja-gereja yang dianggap tidak memiliki izin untuk berdiri. Serangan paling tidak manusiawi yang menimpa jemaat Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga orang anggota jemaat dianiaya secara kejam hingga meninggal dunia. Pasca serangan ini ketakutan luar biasa dialami oleh jemaat Ahmadiyah, apalagi sejumlah pemerintah daerah kemudian menerbitkan Peraturan Daerah berupa Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati, yang intinya adalah melarang aktivitas jemaat Ahmadiyah. Bahkan sebuah operasi khusus dilakukan oleh TNI di Jawa Barat dengan sandi Operasi Sajadah. Operasi ini menurut mereka bertujuan untuk mengajak Ahmadiyah mengikuti Islam mainstream dan memfungsikan
103
masjid-masjid milik Ahmadiyah menjadi fasilitas umum. Pemaksaan pindah keyakinan terhadap jemaat Ahmadiyah juga terjadi di banyak tempat (Hasani & Naipospos 2011). Dalam beberapa waktu terakhir, tuntutan pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah Indonesia semakin menguat dengan menggunakan strategi yang lebih canggih. Bila selama ini mereka kerap menempuh jalur pemerintah pusat untuk mewujudkan tuntutannya, dalam beberapa waktu terakhir mereka justru menempuh jalur daerah. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya Perda yang melarang aktivitas Ahmadiyah, seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan yang lainnya. Pelarangan Ahmadiyah melalui Pemerintah Daerah dianggap lebih realistis dibanding pelarangan
melalui
pemerintah
pusat.
Mengingat
pelarangan
Ahmadiyah melalui pemerintah pusat banyak mendapatkan tantangan dan rintangan. Sedangkan pelarangan Ahmadiyah melalui Pemda hampir tak mempunyai kendala yang berarti. Dalam menyikapi keberadaan Ahmadiyah, Indonesia tak seharusnya ikutikutan melakukan apa yang telah dilakukan oleh beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakitan, Malaysia, Brunai Darussalam dan yang lainnya. Mengingat ada perbedaan yang sangat mendasar anatara konteks keindonesiaan dengan konteks yang dihadapi oleh negara-negara berpenduduk Muslim tersebut. Setidaknya karena tiga alasan utama. Pertama, Indonesia adalah negara majemuk yang sarat dengan nilai-nilai toleransi. Kemajemukan yang ada telah hadir di Indonesia sebelum negara ini dilahirkan. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara-bangsa terlahir justru karena adanya komitmen kemajemukan untuk hidup bersama secara damai dan berdampingan. Dengan kata lain, kemajemukan adalah jati diri sejati bangsa Indonesia. Eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa sangat ditentukan oleh kesadaran dan semangat kemajemukan di kalangan segenap warganya. Indonesia tetap akan tegak selama semangat kemajemukan juga tegak. Pun demikian sebaliknya, Indonesia akan berakhir bersamaan dengan runtuhnya semangat kemajemukan.
104
Meminjam istilah yang digunakan oleh almarhum Nur Kholis Madjid (2004), kemajemukan Indonesia bisa menjadi keistimewaan, tapi juga bisa menjadi kerawanan. Menjadi keistimewaan tatkala semua kemajemukan yang ada bisa dipahami dan dikelola secara baik. Menjadi kerawanan tatkala kemajemukan yang ada tidak dipahami secara baik. Hingga kemajemukan menjadi bom waktu yang bisa menimbulkan konflik sosial di mana-mana. Inilah yang kerap terjadi belakangan dalam kehidupan berbangsa, terutama dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah. Kemajemukan tak lagi dipahami sebagai jati diri bangsa ini. Hingga terjadi pelbagai macam aksi kerusuhan dan konflik sosial yang justru berbasis pada kemajemukan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sejatinya kemajemukan adalah masa depan gemilang bagi bangsa ini. Karena bangsa ini mempunyai sejumlah undang-undang yang memberi jaminan bagi kebebasan beragama, seperti Amandemen UUD Negara RI 1945 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2); UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); dan masih banyak lagi lainnya. Dan tentu saja semua ini memuncak pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai filofosi berbangsa dan bernegara yang bahkan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Kedua, Ahmadiyah turut berperan dalam proses kemerdekaan dan kelahiran Indonesia. Tak sedikit dari pengikut Ahmadiyah yang turut berdarah-darah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian dari mereka telah mengorbankan jiwa-raganya demi kemerdekaan bangsa Indonesia dari kekuatan penjajah. Realitas historis di atas menunjukan bahwa Ahmadiyah telah menjadi bagian dari semangat kemajemukan di bawah naungan bangsa Indonesia yang merdeka. Ketiga, Ahmadiyah tidak menjadi ancaman bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana telah disampaikan di atas, Ahmadiyah selama ini tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang harus ditindak oleh negara, walaupun mereka kerap menjadi sasaran aksi kekerasan dan diskriminasi.
105
BAB VI MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA 6.1
Elit Agama dan Paham Keagamaan
6.1.1 Sekilas Gambaran Elit Agama Bagi masyarakat Cikeukeuh, agama menjadi hal yang sentral dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan bersifat transenden. Keyakinan-keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan yang jika dilaksanakan akan mendapat reward (pahala) dan jika ditinggalkan atau dilanggar akan mendapat punishment (dosa). Proses penyadaran religius ini sangat ditentukan oleh keberadaan elit agama sebagai pihak yang mensosialisasikan ajaran agama di tengah masyarakat. Kata elit, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin eligere yang berarti memilih. Istilah ini berkembang pada abad ke-14 menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke-15, dipakai untuk menyebutkan best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Istilah elit dipakai untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Ilmuan sosial yang pertama kali menggunakan kata ini adalah Vilfredo Pareto pada akhir abad ke-19 di Eropa, dan kemudian diikuti Gaetano Mosca pada 1930-an (Alfan Alfian 2009, bandingkan juga dengan T.B. Bottomore 1984). Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Ia menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas, yakni lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (nonelite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elit. Elit agama yang dimaksud di sini adalah kelompok kecil masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengaruh keagamaan di masyarakat sehingga menjadi
106
rujukan dan tempat masyarakat bertanya yang berkaitan dengan masalah agama, baik mereka itu memiliki pesantren maupun tidak. Dalam kehidupan sehari-hari elit agama biasanya disebut ulama, kyai, ustadz atau, dalam masyarakat Sunda, ajengan. Hampir dipastikan bahwa setiap kampung atau RW memiliki elit agama, dengan kapasitas yang berbeda-beda, yang secara religius bertanggung jawab mengayomi umat ke arah nilai-nilai agama. Pengayoman tersebut, salah satunya, terlembaga pada pengajian-pengajian yang dilakukan baik di tingkat kampung maupun desa. Masyarakat Cikeukeuh sangat menghormati elit agama lantaran mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam. Masyarakat menilai elit agama berdasarkan pada kriteria-kriteria seperti yang terlihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 8 Elit Agama dalam Pandangan Masyarakat 1. Menguasai ilmu agama 2. Tingkat kesalehan yang tinggi Unsur 3. Mempunyai pondok pesantren agama 4. Perilaku yang terpuji 5. Sudah naik haji Elit agama
Unsur akseptabilitas Unsur sosial
1. Sering diundang memberikan ceramah 2. Dikenal masyarakat luas 3. Panutan masyarakat 1. Aktif dalam kegiatan sosial 2. Pengambil keputusan dalam masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012 Elit agama ini memiliki karisma tersendiri dalam masyarakat karena mereka dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif dalam menginterpretasikan ajaranajaran agama yang bersumber dari teks-teks suci. Jika Geertz (1960) menjelaskan bahwa yang membuat seorang kyai menjadi karismatik adalah karena perannya sebagai “perantara budaya” (cultural broker), maka di Desa Cikeukeuh karismatik elit agama juga dilihat dari peran politik yang dimainkannya. Beberapa elit agama ada yang pernah menjadi pengurus sebuah partai besar dan ada juga yang menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten dan propinsi. Meski terlibat dalam dunia politik, elit agama tetap dipandang sebagai
107
elit agama karena dunia politik bersifat sementara dan muncul belakangan dibandingkan dengan keberadaan elit agama itu sendiri yang muncul jauh sebelum terlibat dalam politik. Di samping itu, peran elit agama terlihat suburnya pengajian di semua kampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di dalam kesatuan orang saleh. Hubungan elit agama dengan masyarakat ibarat hubungan atas dan bawah. Posisi masyarakat menerima apa yang menjadi pilihan dan keputusan elit agama. Hubungan elit agama dengan masyarakat persis apa yang digambarkan oleh Karl D. Jackson ketika menggambarkan hubungan kewibawaan tradisional (elit agama) dengan masyarakat di Jawa Barat. Menurut Jackson (1990), pada saat tertentu seorang pelaku (kewibawaan tradisional atau elit agama) mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat. Kewibawaan tradisional, dalam interaksinya dengan masyarakat, mengirimkan pesan (dari teks-teks keagamaan) kepada masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai dasar perilakunya. Elit agama adalah mereka yang menyediakan, melindungi, mendidik, sumber nilai-nilai (religius) dan memiliki status unggul dari masyarakat yang punya hubungan ketergantungan yang mapan. Perintah-perintahnya diterima masyarakat semata-mata atas dasar siapa dia dan hubungan tertentu yang tersebar dengan tokoh-tokoh lain termasuk Kepala Desa, sehingga ketika ada perintah dan permintaan dari elit agama satu-satunya reaksi adalah mengabulkannya (Jackson 1990). Begitulah yang terjadi ketika menanggapi Jemaat Ahmadiyah membangun mesjid yang dianggap masyarakat sebagai pelanggaran Surat Keputusan Bersama (SKB) Kabupaten. Reaksi berlebihan muncul dari elit agama dan mengumpulkan tokoh masyarakat dari masing-masing RT/RW. Elit agama berkumpul bersama tokoh masyarakat membicarakan tentang bagaimana menghadapi Jemaat Ahmadiyah pascapelanggaran yang dilakukannya. Pada saat itu kebencian terhadap Jemaat Ahmadiyah ditransformasikan oleh elit agama kepada tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat menerima bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang ditransformasikan elit agama kepada masyarakat. Berdasarkan ajaran agama, menurut elit agama, masyarakat boleh menyerang dan
108
melakukan tindakan kekerasan (sikap fundamentalisme) terhadap Jemaat Ahmadiyah sebagai bentuk jihad melawan orang kafir. Jackson (1990) mengatakan bahwa selain faktor internal doktrin syariah yang dipandang baku dan sakral, (sikap) fundamentalisme juga bersumber dari pola hubungan diadik elitumat yang membentuk klientalisme syariah. Hal ini terjadi sejak syariah diberlakukan sebagai hukum tunggal dan baku pada abad-abad pertama Islam (Rahman, 1984). Syariah kemudian berubah sebagai dasar ideologi perubahan semua aspek kehiduapn sosial (Garaudy 1993; Abdullah 1987). Pada tahap ini peran dominan elite agama akan berfungsi secara aktual (Mulkhan 2000). Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi ahli syariah yang memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi obyektif yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah (elit agama) merupakan pra syarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri sebagai “orang Islam”. Dari sini, kebutuhan saling tukar kepentingan elit dan pengikut (Jackson, 1990) memunculkan elite “orang saleh”. Elite ini tetap memegang peran penting dalam dinamika sosial pemeluk Islam. Dalam perspektif Weber (1972) dan Turner (1984) dominasi patrimonialisme elit agama ini menyebabkan subyektivisme elitis hubungan sosial Muslim. Masyarakat
tidak
punya
keberanian
untuk
menyanggah
atau
mempertanyakan ulang apa yang disampaikan oleh elit agama. Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang berani melawan “arus” elit agama, maka orang tersebut akan mendapat celaan dan akan dikucilkan. Momen itu pernah dialami oleh Sekretaris Desa (IZ) yang mencoba mengingatkan masyarakat untuk tidak sampai pada tindakan anarkis dalam menghadapi masalah Ahmadiyah ketika pertemuan elit agama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Usai mengingatkan masyarakat agar tidak bertindak anarkis, elit agama (tradisional) langsung berkomentar dengan katakata, “Sekdes naon eta (Sekdes apaan itu)?”. Himbauan Sekdes ini tentu saja berseberangan dengan suasana emosional masyarakat yang sedang geram dengan Ahmadiyah. Pada lain kesempatan elit agama juga memerintahkan kepada masyarakat untuk tidak lagi mengadakan pengajian bersama dengan Jemaat Ahmadiyah yang selama ini sudah terlembagakan dan menjadi salah satu bukti jalannya kehidupan
109
pluralisme keagamaan di desa. Masyarakat menerima keputusan itu termasuk kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan itu karena kepala desa menyerahkan masalah pengajian kepada tokoh agama. Sejak saat itu, hingga sekarang, tidak pernah ada lagi pengajian bersama antara Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah, bahkan juga berimbas pada kehidupan sosial lainnya. Elit agama di desa ini terbagi ke dalam dua tipologi, yaitu elit agama yang moderat (mereka yang cara pandang keagamaannya terbuka dan bisa menerima perbedaan) dan elit agama tradisional (mereka yang cara pandang keagamaannya tertutup dan tidak bisa menerima perbedaan). Dalam konteks keberadaan Ahmadiyah, elit agama moderat dapat hidup bersama dalam perbedaan, baik secara kegiatan keagamaan, seperti pengajian bersama, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, elit agama tradisional yang sangat kuat dengan paham Sunni sulit menerima perbedaan teologis dengan Ahmadiyah karena dianggap membahayakan keimanan masyarakat. Menurut mereka, Ahmadiyah sudah keluar dari Islam bahkan sudah mengacak-acak pemahaman al-Quran. Meski tidak bisa menerima perbedaan dengan Ahmdiyah, namun mereka secara kehidupan sosial tidak mempermasalahkannya. 6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup Masyarakat desa Cikeukeuh adalah masyarakat yang taat beragama, sekalipun sangat beragam dalam tingkat implementasi nilai-nilai religiusnya. Mesjid-mesjid dan mushala di desa menjadi ciri lestari keberagamaan masyarakat. Di tempat ini masyarakat menampakkan keberagamaannya dalam bentuk ibadah ritual maupun pengajian-pengajian yang sudah terjadual. Ritual-ritual keagamaan yang berkembang dan bertahan di masyarakat adalah ritual-ritual yang secara teologi berafiliasi kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan secara islamic yurisprudence (hukum Islam) berafiliasi kepada Syafi`iyyah. Semua doktrin ini dianggap sebagai acuan yang baku dan standar yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaan. Kedua praktek keyakinan (secara teologi) dan keagamaan (secara hukum Islam) tidak saja menjadi tuntunan masyarakat desa, melainkan juga menjadi
110
pegangan mayoritas umat Islam Indonesia. Bagi masyarakat, terutama elit agama, paham Aswaja adalah paham yang dianut banyak ulama di Indonesia dan menjadi paham yang kurang lebih paling bisa diterima dari paham-paham yang lain. Sikap-sikap intoleransi akan muncul ketika ada orang yang mempraktekkan atau memperlihatkan paham-paham keagamaan yang berada di luar yang diyakini masyarakat. Ini dibuktikan dengan dilarangnya orang yang mengikuti paham Jemaat Ahmadiyah Indonesia di desa ini karena tidak sejalan dengan paham Aswaja. Aswaja, secara historis, adalah golongan yang berpegang pada Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah (kelompok rasionalis) yang minoritas dan tidak begitu berpegang pada Sunnah Nabi. Paham Aswaja dianggap sebagai paham tradisional dalam pemikiran Islam dan tidak terbuka terhadap pemikiran rasional. Setiap yang tidak sejalan dengan paham ini maka akan dianggap keluar dari tradisi dan praktek-praktek orisinil para ulama terdahulu, bahkan dianggap keluar dari ajaran Islam. Dalam sejarah Islam, kelompok rasionalis minoritas seperti Mu`tazilah kerapkali dikucilkan oleh kelompok tradisional ini karena dianggap rasional dan liberal. Bahkan tidak sedikit dari mereka menganggap Mu`tazilah sebagai kelompok yang sesat, kafir dan bid`ah (praktek keagamaan yang tidak pernah ada dalam tradisi kenabian). Praktek-praktek keagamaan yang berkembang di masyarakat Cikeukeuh tidak berbeda dengan tradisi yang ada di masyarakat NU, meski secara organisatoris NU tidak ada di desa ini. Berkembangnya paham Aswaja dapat dilacak dari pendidikan para ulama yang mengembangkan Islam di daerah ini. Para ulama generasi pertama, seperti KH. MH, KH. MM, KH. MB, KH. FR, KH. AMM, H. AM, H. OG, HB, dan generasi kedua, seperti KH. CM, KH. NS, H. MQ adalah mereka yang pernah santri di beberapa pesantren yang tersebar di Jawa Barat dan Banten yang notabene pesantrennya berpaham Aswaja. Di antara pesantren tempat tokoh agama menimba ilmu agama adalah pesantren di Menes, Kananga (Banten), tipar (Sukabumi) dan Sadeng (Bogor). Bahkan hubungan pesantren Kananga dengan desa masih terjalin dengan baik hingga sekarang dibuktikan dengan pengajian bulanan yang disampaikan oleh
111
tokoh-tokoh agama pesantren Kananga, masyarakat menyebutnya pengajian abi turien. Jadi, paham Aswaja yang berkembang di masyarakat sangat ditentukan oleh apa dan bagaimana paham yang dimiliki oleh elit agama. ketika sudah ditransformasikan kepada masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai suatu keyakinan dan praktek keagamaan, pada saat itu juga terjadi pelembagaan paham Aswaja sehingga sangat tertutup kemungkinan bisa diterimanya paham dan corak pemikiran keagamaan lainnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Sekdes (IZ) sebagai berikut: “Paham keagamaan di desa ini bersifat tradisional dan semuanya terpusat pada tokoh agama. Orang tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh tokoh agama sehingga pemahaman keagamaan seperti apa yang disampaikan tokoh agama. Saya sering dicap Muhammadiyah (meski saya bukan Muhammadiyah) karena seringkali berseberangan dengan paham kebanyakan yang dianut masyarakat. Konsekuensinya, setiap saya berpendapat tentang masalah agama, tokoh agama kerapkali curiga kepada saya”. (Wawancara, 8 Juni 2012). Menurut Ahmad Ali Riyadi (2005), terma tradisional dalam pengertian bahwa masyarakat tetap bertahan pada khasanah intelektual dan tradisi peninggalan pendahulu. Para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang lebih dibandingkan masyarakat yang ada sekarang dalam hal pemikiran dan praktek keagamaan. Sehingga, dalam prakteknya, masyarakat sangat tidak toleran jika ada perbedaan praktek-praktek keagamaan yang masuk ke desa. Memaksakan praktek keagamaan yang berbeda dengan praktek keagamaan yang berlaku di tengah masyarakat sama saja menentang dan melawan masyarakat. Menurut kebanyakan masyarakat, agak sulit menerima praktek keagamaan yang berada di luar yang sudah menjadi praktek masyarakat selama ini. Bagi masyarakat, praktek keagamaan adalah seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh agama desa dan para ulama terdahulu.
6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama Northouse (2007) menulis bahwa kepemimpinan adalah proses dimana individu mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, elit agama adalah sosok yang mempengaruhi masyarakat kaitannya dengan
112
masalah-masalah keagamaan. Masyarakat dituntut menerima apa yang menjadi himbauan atau perintah elit agama karena elit agama merasa memiliki otoritas dalam masalah keagamaan. Di sini proses kepemimpinan berjalan tidak baik karena prosesnya satu arah bukan berjalan secara interaktif antara masyarakat dan elit agama. Keberadaan elit agama sangat berpengaruh terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah agama, bahkan juga dalam kehidupan sosial. Hampir semua persoalan-persoalan keagamaan dipegang oleh elit agama, misalnya menentukan boleh tidaknya mengadakan pengajian di Kampung Ciladong yang masyarakatnya menganut paham Ahmadiyah, menentukan jadual-jadual pengajian, menegur dan menasehati masyarakat yang menyimpang dari paham Aswaja, dan lain-lain. Peran elit lokal terlihat suburnya pengajian di tingkat desa dan di kampungkampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di dalam kesatuan “orang saleh” (Mulkhan 2000). Dalam pengajian-pengajian ini terjadi transformasi pengetahuan agama yang diterima oleh masyarakat secara mentah-mentah tanpa pernah mempertanyakan kenapa pemahaman keagamaan seperti itu. Meminjam istilah Weber (1964), tindakan sosial dan tipe otoritas yang dilakukan oleh elit agama adalah tipe otoritas tradisional yang berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi-tradisi masa dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi, alasan penting masyarakat Cikeukeuh taat pada otoritas tradisional ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi ini masih dapat dibedakan ke dalam jenis otoritas yang disebut dengan patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada senioritas. Mereka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritas yang mengharuskan seorang pemimpin bekerja sama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya (Pababbari 2010). Di dalam
113
jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan tradisional memegang peranan utama. Si pemegang otoritas adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Kepemimpinan elit agama di desa ini sangat ditentukan oleh pribadi dan kedudukan yang dipegangnya. Elit agama yang sangat dominan di tingkat desa ketika masalah Ahmadiyah menjadi sorotan adalah CM1 yang juga menjabat Ketua MUI tingkat desa. CM adalah keturunan seorang ulama besar (FR) di desa ini yang juga sangat dihormati oleh masyarakat. Dia memiliki pesantren dan merupakan elit agama yang paling senior di desa. Kepemimpinan CM sangat dominatif dan hampir tidak memberikan peluang dan kesempatan masyarakat berpendapat. Elit agama ini cenderung reaktif dan tidak toleran dengan perbedaan sehingga keberadaan Ahmadiyah di desa dianggap mengancam akidah masyarakat. Sikap ingin menjaga akidah masyarakat di jalan yang benar tentu saja sangat berkolerasi dengan posisinya sebagai Ketua MUI desa. Ketika ingin merespon dan menyelesaikan masalah Ahmadiyah, sikap reaktif - dominatif CM sangat terlihat. Ini dibuktikan ketika pemilihan anggota sebuah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RW/RT yang dipilih langsung oleh CM tanpa persetujuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Menurut AS dan IZ, pemilihan anggota kelompok ini lebih didasarkan kepada mereka yang dikenal dekat dengan CM dan dianggap berani kepada Ahmadiyah. CM adalah elit agama yang kerapkali memancing emosi masyarakat. Dalam pengajian dia sering mengutarakan masalah Ahmadiyah meski ketika itu hubungan masyarakat dengan Ahmadiyah baik-baik saja. Dalam kaitan dengan ini, AS mengungkapkan: “Tiga tahun sebelum kejadian penyerangan Kampung Ciladong, yaitu pada 2007, CM mencoba mengungkit-ungkit masa lalu dimana tokoh agama di desa seringkali kalah dalam diskusi dan perdebatan dengan Ahmadiyah. Ketika itu CM menyampaikan pada saat pengajian desa yang didengar banyak orang sehingga banyak jamaah yang terpancing termasuk saya”. (Wawancara, 4 Juni 2012). 1
CM adalah elit agama yang sangat disegani dan terbilang paling senior di desa. Pada saat penelitian dia sudah meninggal, yaitu sekitar tiga bulan pascakonflik pada Oktober 2010.
114
6.2
Pluralisme Keberagamaan: Dinamika Gagasan dan Praktek dalam Historis Dari sisi paham dan praktek keagamaan, Desa Cikeukeuh tidaklah
homogen, melainkan terdapat paham dan praktek keagamaan lain di luar aliran utama (mainstream), yaitu paham Ahmadiyah (Qadian). Secara umum, paham dan praktek keagamaan Ahmadiyah sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan paham dan praktek keagamaan yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Hanya saja ada beberapa prinsip yang oleh masyarakat sangat mengganggu dan bertentangan dengan teologi yang mereka percayai selama ini, seperti masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah. Keberadaan Ahmadiyah di desa ini sejak tahun 1930-an cukup diterima oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan terjalinnya hubungan sosial yang kohesif antara masyarakat non Ahmadiyah dengan Ahmadiyah. Meskipun ada resistensi dari sebagian kecil masyarakat, yaitu sebagian kalangan elit agama yang memiliki pengetahuan tentang apa itu Ahmadiyah, namun masih dalam skala yang sangat kecil. Masyarakat kebanyakan justru tidak menampakkan sifat resistensinya kepada Jemaat Ahmadiyah, meski mereka berbeda keyakinan tentang sebagian pemahaman agama. Masyarakat kebanyakan malah memperlihatkan sikap toleransi dan hidup dalam perbedaan. Resistensi yang dialami Jemaat Ahmadiyah sebelum masa reformasi hanya sebatas ucapan yang disampaikan oleh sebagian kecil kalangan elit agama lewat pengajian-pengajian atau pernyataan yang disampaikan di luar pengajian sebagai bentuk kewajiban moral yang diembannya untuk membimbing umat. Tokoh agama merasa bertanggung jawab menjaga keimanan umatnya dari gangguan keyakinan yang menyalahi ajaran Islam. Meski mendapat resistensi dari kalangan agama, namun tidak sampai pada konflik secara fisik karena bisa didialogkan melalui diskusi dan debat terbuka yang membahas inti kepercayaan Ahmadiyah antara kyai setempat dan tokoh Ahmadiyah. Tokoh agama menolak kepercayaan yang dianut Jemaat Ahmadiyah karena bertentangan dengan keyakinan kebanyakan warga yang menganut paham ahlu sunnah wal jamaah. Penolakan tersebut tidak dilakukan secara frontal seperti penolakan Ahmadiyah yang terjadi sekarang ini. Dalam kehidupan sosial
115
masyarakat Cikeukeuh berbaur dan hidup bersama dalam perbedaan dengan Ahmadiyah. Dalam pandangan kebanyakan masyarakat, penganut Ahmadiyah tidak ubahnya dengan masyarakat lain, yaitu sama-sama warga Desa Cikeukeuh. Tidak sedikit masyarakat yang menaruh rasa hormat dan kagum kepada warga Ahmadiyah lantaran sikap, akhlak, religiusitas mereka yang terpuji. Ciri khas Ahmadiyah, yang membedakan dengan warga lain, adalah kerap menyapa orang lain ketika bertemu di jalan sambil mengucapkan kalimat “assalamu`alaikum”. Tidak hanya itu, sikap Ahmadiyah yang patuh kepada pemerintahan desa dan sangat kompak dalam berorganisasi merupakan perhatian tersendiri dari masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat, tidak salahnya kita yang non Ahmadiyah bisa meniru cara berorganisasi model Ahmadiyah demi memajukan umat Islam. Meski ada sebagian prinsip teologi yang berbeda, namun warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah tetap dapat menjalin kehidupan sosial yang toleran. Dalam konteks sosio-kemasyarakatan hidup berdampingan tanpa harus melihat dan mempermasalahkan keyakinan masing-masing. Bagi masyarakat Cikeukeuh, termasuk warga Ahmadiyah, bagaimana hidup bersama dan bisa membangun desa secara bersama-sama adalah tujuan yang paling utama. Terpeliharanya kehidupan pluralisme di desa juga banyak dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu. Banyak contoh dimana tradisi pluralisme berkembang dan terpelihara dengan baik dalam kehidupan sosio-kemasyarakatan dan sosio-keagamaan (lihat tabel 1). Warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah berbaur dan bersatu dalam membangun desa. Mereka terlibat dalam kegiatan sosial seperti gotong-royong, membangun kantor desa, membangun jalan, acara memperingati kemerdekaan RI (17 Agustus) dan perlombaan-perlombaan setingkat desa. Begitu juga dengan acara-acara hajatan yang diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah dimana masing-masing mereka saling mengundang.
Masyarakat
tidak
mempermasalahkan
perbedaan-perbedaan
keyakinan, yang ada hanyalah hidup bersama sebagai sesama warga desa. Ketika itu, kata Sekdes IZ, tidak ada kebencian satu sama lain bahkan ketika memberikan
116
pengajian di Ciladong seorang ustad asal kampung lain, alm. ustadz HS, memuji ibadah warga Ahmadiyah dan kelebihan ajarannya. Dalam konteks sosio-keagamaan, pluralisme keberagamaan tercermin pada kegiatan pengajian setingkat desa (pengajian bulanan) dan pengajian dalam rangka memperingati hari besar Islam. Dalam pengajian ini warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah berkumpul dalam satu mesjid, baik pengajian itu diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah maupun Ahmadiyah sendiri. Mereka saling mengundang satu sama lain, dan mengenyampingkan perbedaan keyakinan. Bahkan dalam waktu yang cukup lama kehidupan toleransi terlembagakan dalam bentuk pengajian bersama antara warga non-Ahmadiyah dengan warga Ahmadiyah. Setiap hari besar Islam yang diadakan oleh warga non-Ahmadiyah warga Ahmadiyah selalu diundang untuk mendengarkan pengajian. Begitu juga sebaliknya, warga Ahmadiyah mengundang warga non-Ahmadiyah ketika mereka menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Tidak ada prasangka negatif yang berlebihan dari masyarakat ketika terjadi interaksi sosial keagamaan pada saat itu. Kuatnya tradisi saling menghargai dan toleransi kepercayaan juga terlihat dalam dunia pendidikan. Warga Ahmadiyah tidak mendapat resistensi dari warga non Ahmadiyah ketika mengajar dan sekolah di sekolah-sekolah (dasar) yang muridnya mayoritas berasal dari warga non Ahmadiyah. Begitu juga sebaliknya, warga non Ahmadiyah yang mengajar dan sekolah di kampung Ciladong yang murid-muridnya kebanyakan Ahmadiyah disambut baik oleh warga Ahmadiyah. Tabel 9 Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Era Orde Lama
Orde Baru
Sosio-kemasyarakatan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hajatan Gotong-royong Pembangunan jalan Perlombaan desa Pendidikan Kesehatan (Posyandu)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012
Sosio-keagamaan 1. Pengajian bulanan 2. Pengajian hari besar Islam 3. Pengajian setingkat RW 4. Buka bersama 5. Tarawih bersama
117
Dari fakta sosial di atas jelas sekali bahwa kehidupan pluralisme di Desa Cikeukeuh sebelum reformasi berjalan dengan baik, bahkan menjadi ciri khas dari kehidupan beragama di pedesaan. Kehidupan pluralisme di desa ini tidak hanya dilihat pada adanya perbedaan dua kepercayaan keagamaan antara non Ahmadiyah dan Ahmadiyah, melainkan terjadinya keterlibatan aktif di antara mereka dalam kehidupan pedesaan yang sama-sama memiliki komitmen bersama untuk kemasyarakatan dan saling memahami satu sama lain (Ali; 2003; Eck 2006; Misrawi 2007; Safi 2003). Sikap pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan kepercayaan tersebut tidak harus selalu diartikan sebagai bentuk pembenaran terhadap teologi mereka yang minoritas atau teologi yang dipeluk oleh mayoritas warga. Dalam sistem pengetahuan dan praktik keberagamaan masyarakat Desa Cikeukeuh yang pro pluralisme keberagamaan tersebut, bahwa pengakuan dan penghargaan terhadap variasi keyakinan dan kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat harus dipisahkan dari ranah teologis. Artinya, mereka tidak asal melakukan pluralisme keberagamaan, tetapi berangkat dari sistem pengetahuan mengenai tata kelola kehidupan beragama dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah digali dari tata aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mengutip pendapat Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen (1993), Lutfi Mustofa (2010) membedakan pluralisme ke dalam dua tipologi. Pertama, pluralisme deskriptif, yang sekadar mengakui dan menghargai keragaman. Dalam pengertian ini biasanya diistilahkan juga dengan toleransi. Kedua, pluralisme normatif-preskriptif,
yang
tidak
sekadar
mengakui
tetapi
juga
mau
memperjuangkan keragaman. Pada tipologi yang pertama, pluralisme adalah realitas sosial yang tidak terelakkan, karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Sedangkan pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga konteks pluralisme, yaitu konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).
118
Beradasarkan pembedaan pluralisme yang disajikan oleh Mouw dan Griffioen di atas, maka pluralisme keberagamaan dalam masyarakat Cikeukeuh dapat dijelaskan, bahwa secara umum masih berada pada tipologi pluralisme deskriptif, karena pada bagian besarnya masyarakat masih pada tahap mengakui dan menghargai keragaman. Sekalipun belum pada tahap memperjuangkan pluralisme, namun pluralisme keberagamaan yang terjadi di Desa Cikeukeuh sudah pada tahap keterlibatan aktif demi komitmen bersama. 6.3
Konstruksi Masyarakat terhadap Ahmadiyah Konstruksi masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak lepas dari,
meminjam konseptual Berger dan Luckmann (1966), tiga momen, yaitu momen adaptasi (eksternalisasi), momen interaksi (obyektivasi) dan momen identifikasi (internalisasi). Secara konseptual, momen adaptasi diri masyarakat Cikeukeuh dengan lingkungan sosio-kulturalnya dalam merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah dapat dijelaskan sebagai berikut.
6.3.1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terusmenerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mental (Berger & Luckmann 1966). Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis karena keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus-menerus mencurahkan kediriannya dalam aktifitas. Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosio-kultural. Dalam momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya (Syam 2005). Momen adaptasi (eksternalisai) masyarakat Cikeukeuh, oleh karena itu, dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat yang memiliki kedekatan hubungan dengan elit agama, maka momen adaptasi diri tersebut dilakukan terhadap sumber-sumber suci agama (al-Qur’an dan Hadis). Berbagai
119
ungkapan teks-teks suci tersebut dijadikan sebagai referensi untuk menilai dan melegitimasi keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong. Penafsiran dan pemahaman mengenai Jemaat Ahmadiyah kerapkali dilakukan oleh elit agama yang dipandang sebagai sosok yang paling otoritatif dalam mengiterpretasikan teks-teks keagamaan. Berbagai interpretasi terhadap teks-teks keagamaan mengenai Ahmadiyah yang disampaikan dalam setiap momentum, seperti pengajian bulanan, pengajian hari besar Islam, pengajian tingkat RW, musyawarah atau perkumpulan dan khutbah Jum’at menjelaskan bahwa teks-teks keagamaan tersebut menjadi rujukan bagi penilaian terhadap Ahmadiyah. Kedua, penyesuaian diri terhadap paham lama (Aswaja) dikaitkan dengan keberadaan Ahmadiyah. Ada dua respon yang diperlihatkan dalam proses penyesuaian tindakan individu dengan nilai-nilai yang ada dalam paham Aswaja, yaitu penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap paham
Aswaja
termanifestasi dalam tindakan berupa penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada di desa. Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan penolakan terhadap Ahmadiyah menandakan bahwa secara umum masyarakat menerima paham Aswaja sebagai tradisi keagamaan lama yang perlu dipertahankan. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang menolak paham lama tersebut. Penolakan tersebut juga merujuk kepada teks-teks keagamaan yang didasarkan pada cara pandang mereka masing-masing. Penolakan tersebut terwujud dalam bentuk bahasa dan tindakan. Misalnya, tidak mau menghadiri pertemuan atau rapat-rapat yang membahas persoalan Ahmadiyah, menghindari tindakan kekerasan, mengingatkan warga lain agar tidak melakukan tindakan anarkisme karena Islam tidak mengajarkan kekerasan kepada siapa pun.
6.3.2. Obyektivasi: Momen Interaksi Diri Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa realitas sosial itu seakan-akan berada di luar diri manusia. Dia menjadi realitas obyektif. Karena obyektif, maka di sini terdapat dua realitas, yaitu realitas diri yang subyektif dan realitas lainnya yang berada di luar diri yang obyektif. Dua realitas ini membentuk jaringan
120
interaksi intersubyektif melalui proses pelembagaan. Obyektivasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Adapun proses obyektivasi terhadap pemahaman Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh dapat dijelaskan sebagai berikut: Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa Tuhan (sakral) dan manusia (profan) adalah dua entitas yang berbeda. Oleh karena itu, manusia ketika memahami Realitas Sakral tersebut memerlukan medium gagasan dan pemikiran untuk memamahi pesan-pesan-Nya. Memandang Ahmadiyah sesat dan kafir adalah medium untuk mencapai pemahaman pesan-pesan-Nya yang terefleksi dari kehidupan sosial. Semua pandangan dan tindakan masyarakat terhadap Ahmadiyah dalam obyektivasi, menurut Berger dan Luckmann (1966), dapat mengalami proses pembiasaan (habitualization) yang kemudian mengalami pelembagaan (institutionalization). Gambaran ini sangat tepat ketika melihat respon masyarakat yang negatif terhadap Ahmadiyah, dimana kemudian pandangan itu tertanam dalam benak masyarakat bahkan berakhir dengan tindakan kekerasan yang terpolakan atau, menurut Syam (2005), akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kata kunci dari semua proses ini terletak pada adanya agen yang memainkan peran sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses penyadaran, pelembagaan dan pembiasaan. Hampir semua proses pelembagaan dan pembiasaan memerlukan peran agen. Oleh karena itu, dalam proses membangun pemahaman dan penilaian terhadap Ahmadiyah juga tidak lepas dari keterlibatan jaringan agen-agen, termasuk di dalamnya elit agama. Di dalam penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong, maka didapati agen-agen yang menyuarakan anti Ahmadiyah dan perlunya masyarakat membentengi keimanan agar tidak masuk ke dalam ajaran Ahmadiyah. Memerangi Ahmadiyah, menurut agen-agen tersebut, adalah jihad di jalan Allah dan bisa menghapuskan dosa. Bahkan dalam pengajian-pengajian kerapkali suara-suara agen yang berperan dalam pembentukan pemahaman masyarakat terhadap Ahmadiyah.
121
6.3.3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri Internalisasi adalah proses manusia atau individu melakukan identifikasi diri dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Masyarakat Cikeukeuh tidak bisa lepas dari organisasi sosial kulturalnya atau kelompok-kelompok pengajian karena, disamping menjadi bagian dari organisasi sosialnya, juga secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas keagamaan (sama-sama berpegang pada paham Aswaja). Sekat interaksi tidak akan ditemukan jika masyarakat berada dalam identitas yang sama. Jika sesama paham Aswaja atau non Ahmadiyah, maka secara leluasa masyarakat melakukan interaksi yang intensif. Di sini masyarakat menerima sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan pemaknaan Ahmadiyah yang sesat dan kafir dari elit-elit agama. Individu-individu dalam masyarakat tersebut sangatlah beragam karena kenyataan sosial sebagai produk plural sehingga menghasilkan respon masyarakat yang beragam juga; menerima dan menolak keberadaan Ahmadiyah. Inilah proses internalisasi sebagai peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia obyektif ke dunia subyektif (Berger dan Luckmann 1994).
Objectivation Society Objective Externalization Subjective Self Gambar 15 Konstruksi manusia terhadap realitas sosial.
Internalization
122
Berger dan Luckmann (1966) menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu pada saat kecil, saat dikenalkan pada dunia sosial objektif. Individu berhadapan dengan orang yang sangat berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua), dan bertangung jawab terhadap sosialisasi anak. Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang sangat berpengaruh itu dianggap oleh si anak sebagai realitas objektif. Realitas sebagai produk sosial sesungguhnya bersifat plural, karena bahasa dan pengetahuan individu yang ikut menentukan terhadap konstruksi realitas tersebut, secara sosial tidak dapat berdiri sendiri serta dibatasi oleh situasi dan kondisi. Atas dasar itu, maka kehidupan sosial sebenarnya secara kodrati meniscayakan terhadap adanya pluralitas dan diversitas. Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial dalam masyarakat, yaitu Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Penggolongan sosial ini tentunya memiliki basis nilai dan historis. Basis nilai masyarakat non Ahmadiyah berpijak pada nilai-nilai Aswaja yang diajarkan oleh elit-elit agama. Semua tindakan dan praktek keagamaan harus tunduk dan sesuai dengan praktek-praktek yang terdapat dalam tradisi Aswaja. Sementara itu, Jemaat Ahmadiyah tidak berpijak pada nilai-nilai Aswaja melainkan atas dasar pemikiran Islam modern dan rasional seperti yang diajarkan oleh pendiri Ahmadiyah dan khalifah-khalifahnya. Secara historis masyarakat non Ahmadiyah sangat menjaga tradisi Aswaja sebagai pandangan hidup keagamaan. Sebab dengan cara begitu tradisi Aswaja yang diyakini sebagai sebuah kebenaran akan tetap terjaga. Sementara itu, Ahmadiyah lebih kepada bagaimana merasionalkan pemahaman keagamaan. Sebab mereka yakin dengan jalan seperti ini (rasionalisasi pemahaman keagamaan) akan membantu umat Islam untuk maju setelah tertinggal di semua aspek kehidupan. Jadi, dalam perkembangannya, kedua masyarakat ini sejak awal memiliki perbedaan-perbedaan dan rentan dengan konflik.
123
Tabel 10 Dialektika Ekternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi Momen Eksternalisasi
Obyektivasi
Internalisasi
Proses
Fenomena
Adaptasi diri dengan dunia sosio- Menyesuaikan diri dengan teks kultural keagamaan sesuai interpretasi para ulama masal lalu, dimana semua tindakan kepada Ahmadiyah memiliki basis historis dan nilai. Interaksi diri dengan dunia sosio- Penyadaran bahwa Tuhan kultural adalah Realitas Sakral dan perlu medium untuk memahami pesan-pesan-Nya. Memandang Ahmadiyah sesat dan kafir adalah medium untuk mencapai pemahaman pesan-pesan-Nya yang terefleksi dari kehidupan sosial. Identifikasi diri dengan dunia Terdapat penggolongan sosial sosio-kultural berbasis nilai dan historis akibat realitas bersifat plural sehingga memunculkan kelompok Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
Sumber : Hasil Analisis Literatur
6.3.4. Penilaian Masyarakat terhadap Ajaran Ahmadiyah Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah selalu mendapat tantangan dan penolakan dari Muslim mainstream. Penolakan tidak saja terjadi di tempat kelahirannya di India, melainkan juga di berbagai negara yang notabene paham dan pemikiran keagamaannya masih didominasi oleh kelompok Sunni yang terlalu literal dalam menafsirkan teks agama. Sebaliknya, Ahmadiyah justru mendapat respon yang positif di negara-negara barat yang notabene paham keagamaannya bukan Sunni, disamping negara Barat sangat menjunjung perbedaan agama, keyakinan dan HAM. Di sini penulis mencoba melihat tiga masalah penting, yaitu bagaimana penilaian masyarakat (tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa) terhadap ajaran Jemaat Ahmadiyah, penilaian terhadap pelarangan atau pembubaran Ahmadiyah dan penilaian terhadap fatwa MUI dan peraturan lain (SKB Muspida) mengenai Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh, terutama di empat kampung, yaitu Kampung Sukasari, Mekarsari (dekat dengan kampung Jemaat Ahmadiyah),
124
Sadang dan Nanggrek (jauh dari Jemaat Ahmadiyah). Ketiga masalah ini sangat berkaitan dengan toleransi dan intoleransi masyarakat yang pada akhirnya juga memperlihatkan bagaimana memudarnya pluralisme di desa. Hampir semua masyarakat di Kampung Sukasari dan Mekarsari menolak ajaran Ahmadiyah yang dinilai sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka kenal selama ini. Penolakan ajaran Ahmadiyah terutama berkaitan dengan persoalan teologi, yaitu menganggap pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Kitab Tadzkirah sebagai kitab suci. Tidak hanya itu, masyarakat menilai negatif Ahmadiyah karena beberapa ajaran dan praktek keagamaannya dianggap berbeda dengan tradisi keagamaan yang berlaku di desa. Di antara ajarannya itu adalah menganggap kafir mereka yang belum mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi atau mereka yang belum masuk Ahmadiyah. Kemudian praktek-praktek keagamaan yang juga tidak ada dalam masyarakat desa adalah pembayaran canda yang dianggap “wajib” bagi anggota Ahmadiyah. Dalam praktek keagamaan seperti shalat, Ahmadiyah tidak mau menjadi ma`mum jika imamnya bukan dari kalangan Ahmadiyah. Intoleransi masyarakat, bahkan sudah sampai pada tahap tindakan kekerasan, akan meningkat jika Ahmadiyah memperlihatkan keahmadiyahannya atau melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Misalnya, Jemaat Ahmadiyah tidak boleh shalat di mesjid karena penamaan dan bangunan mesjid adalah milik umat Islam, sementara Jemaat Ahmadiyah bukanlah Islam. Jemaat Ahmadiyah juga tidak diperkenankan melakukakn kegiatan-kegiata lain seperti pertemuan yang dihadiri oleh Jemaat Ahmadiyah luar desa. Memperlihatkan sikap keahmadiyahannya bermakna dua, yaitu: pertama, bersikap agresif dan berani dalam menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah atau mencoba menyampaikannya kepada masyarakat umum, seperti dalam pertemuanpertemuan, pengajian, dan lain-lain. Kedua, menunjukkan segala aktifitas yang berkaitan dengan keagamaan dan sosial secara terang-terangan. Ini terbukti ketika Jemaat Ahmadiyah melakukan pertemuan nasional beberapa tahun yang lalu di Kampung Ciladong yang berujung pada penghentian paksa dari masyarakat sehingga pertemuan nasional itu gagal dilanjutkan. Semua umbul-umbul yang dipasang sepanjang jalan desa dicabut dan panitia acara juga
125
mendapat intimidasi dari masyarakat. Masyarakat marah karena menganggap Jemaat Ahmadiyah menampakkan keahmadiyahannya dan mengancam keyakinan masyarakat. Kedua kampung ini memiliki resistensi yang kuat terhadap Jemaat Ahmadiyah. Tidak hanya itu, menurut masyarakat dari kampung lain, masyarakat di dua kampung dinilai sangat sensitif, reaktif dan gampang curiga terhadap Jemaat Ahmadiyah dan orang luar desa yang masuk ke kampung ini. Penilaian masyarakat dari luar kampung ini terbukti ketika beberapa waktu yang lalu ada beberapa orang mencoba masuk ke Kampung Ciladong. Salah satu warga Mekarsari menanyakan maksud dan tujuan datang ke Kampung Ciladong serta surat ijinnya. Ketika pendatang itu tidak bisa menunjukkan surat ijinnya, masyarakat terpancing dan melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Dalam skala nasional intoleransi beragama di kalangan masyarakat Indonesia semakin meningkat, terutama yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan pembenaran terhadap kekerasan pada warga Ahmadiyah makin tinggi. Jika pada tahun 2005, jumlah warga yang setuju dengan tindakan kekerasan pada Ahmadiyah hanya 13,9%, pada tahun 2010 angkanya naik menjadi 30,2%. Kondisi sebaliknya diperlihatkan oleh masyarakat di Kampung Sadang dan Kampung Nanggrek yang memperlihatkan sikap toleransinya kepada Jemaat Ahmadiyah. Meski mereka tahu ajaran Ahmadiyah ada perbedaan dengan ajaran yang mereka anut, namun mereka tidak serta merta menunjukkan sikap intoleransinya karena bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah sama-sama warga desa yang perlu mendapat perlakuan yang sama. Di samping itu, sikap toleransi yang mereka perlihatkan merujuk pada ajaran Islam yang mengajarkan saling menghargai dan menghormati meski beda keyakinan. Warga Kampung Sadang (MSH) malah bersimpati kepada warga Ciladong yang menjadi korban pengrusakan ketika konflik terjadi. Dia dengan rasa kemanusiaan ikut memberi bantuan semampunya untuk membantu merenovasi rumah warga Ciladong yang terbakar. Banyak masyarakat yang tidak tahu apa sebenarnya Jemaat Ahmadiyah, khususnya masyarakat biasa. Bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi
126
keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, meski hanya pernah dengar ada ajarannya yang berlainan dengan ajaran yang mereka ketahui selama ini. Masyarakat pada umumnya tidak merasa terancam (keyakinannya) dengan adanya Jemaat Ahmadiyah di desa. Kondisi ini berlainan dengan masyarakat yang ada di dua kampung di atas dimana mereka kuatir dan merasa terancam dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Mereka kuatir pada suatu saat nanti nasib anakanak mereka yang bisa saja terpengaruh dengan Jemaat Ahmadiyah yang mereka nilai semakin hari semakin berkembang. Pengetahuan tentang Jemaat Ahmadiyah di Kampung Sadang dan Kampung Nanggrek hanya dimengerti oleh kalangan (elit) agama. Namun, pemahaman itu hampir tidak pernah disosialisasikan melaui pengajian-pengajian kepada masyarakat. Inilah yang menjadi alasan masyarakat kenapa warga di dua kampung ini tidak mengalami resistensi, reaktif dan sensitif kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut masyarakat, di samping letak kampung berjauhan dengan Jemaat Ahmadiyah, tokoh-tokoh agama hampir tidak pernah membahas tentang apa dan bagaimana ajaran-ajaran Ahmadiyah sehingga tidak memancing masyarakat untuk membencinya. Masyarakat juga menilai munculnya resistensi dan sikap reaktif bahkan tindakan kekerasan tidak bisa dilepaskan bagaimana respon dari tokoh agama. Kalau tokoh agama reaktif dan disosialisasikan melalui pengajianpengajian bisa saja masyarakat ikut terpancing.
6.3.5. Penilaian Masyarakat terhadap Pelarangan Ahmadiyah Pada
dasarnya,
keahmadiyahannya
sepanjang
(dalam
bentuk
Ahmadiyah ajaran,
tidak
simbol-simbol,
menampakkan aktifitas
dan
keorganisasian Ahmadiyah), masyarakat Kampung Sukasari dan Kampung Mekarsari tidak sampai melontarkan pernyataan pelarangan atau pembubaran Ahmadiyah. Namun, semenjak isu nasional, terutama semenjak penyerbuan Kampus Mubarak Parung pada 2005 dan penyerangan Kampung Ahmadiyah di Ciladong pada 2010, pernyataan pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah gencar disuarakan oleh masyarakat, terutama kalangan elit agama.
127
Menurut masyarakat, kecuali kepala desa yang berasal dari salah satu kampung ini yang bersifat netral, pelarangan ajaran dan pembubaran Ahmadiyah mutlak dilakukan mengingat selain mengancam kepercayaan masyarakat, juga sangat meresahkan dan mengganggu masyarakat. Upaya pelarangan dan pembubaran tidak sekeras tindakan penyerangan kepada Ahmadiyah karena masyarakat sadar Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong adalah warga asli Desa Cikeukeuh sehingga dengan jumlah mereka yang sekitar 438 jiwa sulit diusir dari desa. Sebagian masyarakat malah ada yang berkata bahwa sekiranya jumlah mereka puluhan orang pasti sudah mereka usir seperti yang terjadi di desa tetangga. Kebanyakan masyarakat menolak (penyebaran) ajaran Ahmadiyah karena bertentangan dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat. Lapisan masyarakat yang kuat menolak keberadaan (ajaran) Ahmadiyah adalah dari kalangan agama. kalangan aparat desa sebagian menolak dan sebagian lagi tidak, tetapi lebih banyak tidak menolaknya asal Jemaat Ahmadiyah tidak mengembangkan ajarannya kepada warga lain. Sementara itu, di kalangan masyarakat umum sama banyaknya antara setuju menolak dan tidak setuju menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah. Masyarakat yang setuju menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah berasal dari kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Sementara masyarakat yang berada jauh dari Kampung Ciladong malah memperlihatkan sikap toleransinya dan tidak menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah. Bagi kebanyakan tokoh agama, Ahmadiyah dipandang sesat atau kafir karena ajarannya sudah keluar dan tidak sejalan dengan Islam. Lain halnya dengan pandangan aparat desa yang memilih tidak tahu karena keterbatasan ilmu keagamaan. Bagi mereka masalah apakah Ahmadiyah sesat atau kafir diserahkan kepada tokoh agama karena mereka yang memiliki pengetahuan agama. Hal yang menarik adalah bagaimana penilaian masyarakat umum di mana kebanyakan mereka juga memandang Ahmadiyah kafir atau sesat. Mereka yang menilai Ahmadiyah sesat adalah mereka yang berasal dari kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Pemahaman tentang Ahmadiyah banyak didapat masyarakat dari ceramah-ceramah tokoh agama yang cukup intens di Kampung
128
Sukasari dan Mekarsari, dua kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Meski kebanyakan masyarakat menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah dan menganggap Ahmadiyah kafir, namun masyarakat baik tokoh agama, aparat desa dan masyarakat umum tidak setuju memusuhi dan mengusir Ahmadiyah. Faktor yang mendorong mereka tidak memusuhi dan mengusir Ahmadiyah adalah karena Ahmadiyah adalah warga asli Desa Cikeukeuh yang kebetulan memiliki keyakinan yang berbeda secara turun-temurun serta jumlah Ahmadiyah yang cukup banyak. Kebanyakan masyarakat, baik tokoh agama, aparat desa dan masyarakat umum menilai Ahmadiyah melanggar SKB Muspida. Menurut masyarakat, SKB Muspida sudah melarang Ahmadiyah melakukan aktifitas selain shalat, namun masih
melakukan
kegiatan-kegiatan
lain
seperti
pembangunan
mesjid.
Kebanyakan masyarakat juga minta ketegasan pemerintah atas pelanggaran SKB Muspida yang dilakukan Ahmadiyah. Semenjak pelanggaran SKB ini resistensi terhadap Ahmadiyah semakin meningkat di Desa Cikeukeuh hingga berujung pada konflik sosial Tabel 11 Penilaian Masyarakat Terhadap Jemaat Ahmadiyah Berdasarkan Lapisan Masyarakat Penilaian Berdasarkan Lapisan Masyarakat Aspek Penilaian
Tokoh Agama Setuju Tidak Tidak Setuju Tahu
Sesat/Kafir
5
1
Menolak JAI
5
1
Memusuhi
0
6
Mengusir
0 6
Melanggar SKB Muspida Jumlah Informan Total Informan
-
Aparat Desa Setuju Tidak Tidak Setuju Tahu
Masyarakat Umum Setuju Tidak Tidak Setuju Tahu
1
-
4
3
-
5
2
3
-
4
4
-
-
-
5
-
-
8
-
6
-
-
5
-
2
6
-
0
-
5
-
-
6
-
2
6
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2012
5 19
8
129
Gambaran
meningkatnya
resistensi
masyarakat
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah, secara nasional, juga diperlihatkan oleh hasil survei LSI dengan membandingkan hasil survei 2005 dan 2010. LSI mencatat bahwa jumlah warga yang setuju apabila pemerintah melarang ajaran Ahmadiyah di Indonesia juga makin tinggi. Pada tahun 2005, jumlah mereka yang setuju seandainya pemerintah melarang Ahmadiyah hanya 35,2%. Pada tahun 2010 jumlahnya naik menjadi 53,4%. Data ini memperlihatkan toleransi terhadap warga yang mempunyai keyakinan berbeda makin menurun.
6.3.6. Penilaian Masyarakat terhadap Fatwa MUI dan Peraturan-peraturan lainnya Paling tidak ada empat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan Ahmadiyah, yaitu SKB 3 Menteri (2008), Fatwa MUI (1980 dan 2005), Pergub Jawa Barat (No. 12 Tahun 2011) dan SKB Muspida. SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri) berisi tujuh poin yang isinya antara lain; Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilarang melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Di samping itu warga masyarakat juga diminta untuk menjaga kerukunan umat beragama serta menghindari perbuatan melawan hukum terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah. Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 29 Juli 2005 tersebut berbunyi bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Pergub Jawa Barat berisi tentang pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat. Anggota dan pengurus Ahmadiyah dilarang melakukan aktivitas dan atau kegiatan dalam bentuk apapun, sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktivitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran yang menyimpang di provinsi Jabar. Pergub ini mengacu kepada SKB 3 Menteri meski masih bisa diperdebatkan karena dalam SKB 3 Menteri memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini (poin keenam). Sementara itu, SKB Muspida Kabupaten juga berisi tentang pelarangan
130
melakukan aktifitas. SKB ini lahir tidak lama setelah penyerangan Kampus Mubarak Parung pada tahun 2005. Dari keempat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan Ahmadiyah ini pemahaman dan pengetahuan masyarakat tidaklah sama. Hampir semua lapisan masyarakat tidak memahami isi SKB 3 Menteri meski mereka, kecuali masyarakat biasa, tahu adanya keputusan tersebut. Ketiga lapisan masyarakat (tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa) mengetahui isi fatwa MUI yang mengatakan Jemaat Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Berkaitan dengan Pergub Jawa Barat, hanya aparat desa dan beberapa elit agama yang mengetahui dikeluarkannya peraturan tersebut dan memahami isinya. Sementara itu, hampir semua lapisan masyarakat tahu dikeluarkannya SKB Muspida dan mengetahui inti dari isi SKB tersebut. Pengetahuan tentang SKB ini bisa dimengerti karena penandatanganan oleh unsur Muspida dan pengurus Ahmadiyah dilakukan di Kampung Ciladong yang kopiannya banyak beredar di kalangan masyarakat. Tokoh agama dan aparat desa sangat mengetahui dikeluarkannya regulasi berupa SKB 3 Menteri, fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida terkait dengan Ahmadiyah. Di antara tiga regulasi dan fatwa MUI tersebut hanya SKB Muspida dan fatwa MUI yang diketahui oleh kebanyakan masyarakat umum. Masyarakat umum tidak begitu mengetahui SKB 3 Menteri dan Pergub Jawa Barat dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sebaliknya, kebanyakan masyarakat umum sangat mengetahui fatwa MUI dan SKB Muspida lantaran sosialisasi yang baik kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintahan desa (SKB Muspida) dan elit agama (fatwa MUI). Hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa dari ketiga regulasi dan fatwa MUI tentang Ahmadiyah tersebut kebanyakan dari ketiga lapisan masyarakat setuju dengan dikeluarkannya regulasi dan fatwa tersebut dengan alasan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing lapisan masyarakat tersebut. Bagi tokoh agama, keberadaan regulasi dan fatwa MUI sangat diperlukan untuk menekan keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran Islam. Dengan adanya fatwa MUI yang mengatakan Jemaat Ahmadiyah adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, maka masyarakat diminta hati-hati untuk tidak mengikuti ajarannya.
131
Berbeda dengan tokoh agama, aparat desa melihat keberadaan regulasi dan fatwa MUI dari sisi keamanan dan ketertiban masyarakat desa. Selama regulasi dan fatwa tersebut berisi dan bisa menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat desa, maka regulasi dan fatwa akan didukung penuh. Cara pandang yang cukup berbeda diperlihatkan oleh kalangan masyarakat umum yang kebanyakan mereka setuju dengan keberadaan regulasi dan fatwa MUI dan lebih banyak mengikut elit agama atau mereka yang ditokohkan. Masyarakat umum berpendapat bahwa pada dasarnya mereka tidak mengetahui ajaran Ahmadiyah secara mendalam. Pengetahuan yang sangat dangkal mengenai Ahmadiyah didapat dari elit agama melalui pengajian-pengajian atau informasi sekilas melaui orang lain yang dianggap tahu tentang Ahmadiyah. Tidak berbeda jauh dengan pengetahuan mengenai Ahmadiyah, sebenarnya sikap setuju kebanyakan masyarakat tentang regulasi dan fatwa MUI juga banyak dipengerahui oleh keberadaan elit agama atau mereka yang ditokohkan. Elit agama atau mereka yang ditokohkan di desa banyak berperan memberitahukan secara sekilas (kecuali fatwa MUI dan SKB Muspida) keberadaan regulasi dan fatwa MUI kepada masyarakat, namun masyarakat umum tidak memahami isi dari regulasi dan fatwa MUI. Khusus untuk fatwa MUI sebagian masyarakat berpendapat bahwa keberadaan fatwa dengan penanganan di masyarakat tidak sejalan. Bagi masyarakat, kalau Ahmadiyah dianggap sesat kenapa para ulama tidak melakukan upaya-upaya untuk menghimbau atau melakukan pembinaan terhadap mereka yang dianggap sesat (Ahmadiyah). Bahkan masyarakat juga menilai bahwa elit agama di desa terlalu keras kepada Ahmadiyah dan tidak menunjukkan pembinaan kepada Ahmadiyah. Lepas dari itu semua kebanyakan masyarakat umum bersikap setuju dengan dikeluarkannya fatwa MUI karena masyarakat menganggap (hasil transformasi pengetahuan yang dangkal dari elit agama) bahwa Ahmadiyah sesat. Harus diingat pendapat masyarakat umum ini kebanyakan terkonsentrasi di Kampung Sukasari dan Mekarsari, dua kampung yang berdekatan langsung dengan Kampung Ciladong. Ada dua peraturan atau keputusan yang paling akrab dan dikenal di masyarakat, yaitu fatwa MUI dan SKB Muspida. Dalam hal ini, sikap masyarakat
132
tidak sama dalam menilai keputusan tersebut. Bagi masyarakat Kampung Mekarsari dan Sukasari yang berbatasan dengan Kampung Ciladong menerima dan mendukung penuh kedua keputusan tersebut. Menurut masyarakat, kedua keputusan tersebut sudah benar dan seharusnya begitu bahkan meminta pemerintah mengawal terus implementasi kedua keputusan itu. Meski menerima fatwa MUI dan SKB Muspida, namun bagi masyarakat Kampung Nanggrek dan Sadang tidak mesti melakukan tindakan-tindakan kekerasan
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah
apalagi
sampai
melarang
dan
membubarkannya. Dalam hal ini MSH menuturkan: “Menurut saya, penyelesaian masalah Jemaat Ahmadiyah harus dengan jalan tanpa kekerasan. Kalau ada pengajian-pengajian setingkat desa sebaiknya Jemaat Ahmadiyah diundang dan dirangkul (lagi). Ulama dan tokoh agama harus melakukan itu, dan terkesan tokoh agama selama ini enggan mendekati Ahmadiyah. Meski fatwa MUI menyatakan mereka (Ahmadiyah) sesat, tetapi kenapa mereka dijauhi dan bukannya didekati dan diberi pembinaan”. (Wawancara, 10 Juni 2012).
Tabel 12 Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan/Keputusan tentang Ahmadiyah Peraturan/Keputusan yang Berkaitan dengan Ahmadiyah Aspek Penilaian
Tahu (ada aturan) Tidak Tahu Setuju Tidak Setuju Jumlah Informan Total Informan
SKB 3 Menteri
Fatwa MUI
Pergub Jabar
SKB Muspida
TA
AD
MU
TA
AD
MU
TA
AD
MU
TA
AD
MU
8
4
2
8
3
7
5
5
2
8
5
8
-
1
8
-
2
3
3
-
8
-
-
2
8
5
8
8
4
9
7
5
8
8
5
6
-
-
2
-
1
1
1
-
2
-
-
4
8
5
10
8
5
10
8
5
10
8
5
10
23
Sumber : Hasil Pengolahan dan Analisis Data Primer, 2012 Keterangan:
TA = Tokoh Agama AD = Aparat Desa MU = Masyarakat Umum Tahu/Tidak tahu = keberadaan aturan Setuju/Tidak setuju = keberadaan aturan
133
6.4
Munculnya Konflik Komunal
6.4.1 Sumber Munculnya Konflik Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu. Menurut Mawardi Rauf (2001) konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social relations). Pada umumnya konflik diakibatkan oleh perbedaan pendapat, pemikiran, ucapan dan perbuatan. William Chang (2003) mengatakan bahwa konflik menjadi saluran dari akumulasi perasaan yang tersembunyi secara terus menerus yang mendorong sesorang untuk berperilaku dan melakukan sesuatu berlawanan dengan orang lain. Konflik yang terjadi di Desa Cikeukeuh benihnya bermula dari perbedaan teologi yang dipahami oleh warga non Ahmadiyah dan warga Ahmadiyah. Teologi yang dimaksud, di antaranya, adalah bahwa Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi (bayangan), yang berfungsi untuk menghidupkan kembali risalah atau ajaran Nabi Muhammad. Bagi masyarakat, keyakinan ini sangat bertentangan dengan keyakinan yang mereka pegang selama ini. Sehingga para elit agama merasa perlu meluruskan ajaran yang dianggap bertentangan dan keluar dari ajaran Islam ini. Tidak hanya persoalan kenabian Mirza Ghulam Ahmad saja yang menjadi penolakan masyarakat. Masyarakat juga menolak beberapa hal prinsip, meski ditolak oleh Ahmadiyah sendiri, seperti menjadikan kitab Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah, naik haji ke Pakistan dan beda syahadat. Dalam hal ini, faktor agama, atau tepatnya penafsiran agama, lebih menonjol di bandingkan dengan faktor ekonomi dan politik. Akan tetapi ketika terjadi penyerangan masyarakat ke Kampung Ciladong faktor ekonomi dan politik ikut bermain di dalamnya. Penolakan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah puncaknya terjadi pada 2010 dimana terjadi penyerangan ke Kampung Ciladong oleh warga yang
berasal
dari
kampung-kampung
lain.
Konflik
ini
berawal
dari
ketidaksetujuan warga atas pembangunan mesjid yang menurut warga sampai tiga lantai. Pembangunan mesjid ini oleh elit agama dipandang sebagai pelanggaran atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Muspida yang melarang kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang ditanda tangani pada Juli 2005. Salah satu
134
poinnya adalah Jemaat Ahmadiyah tidak boleh melakukan kegiatan apa pun selain shalat, sehingga membangun mesjid, menurut warga, sebagai bentuk pelanggaran keputusan tersebut. Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong (MA), pembangunan mesjid dilakukan karena kapasitas mesjid sudah tidak memadai lagi dengan ukuran 10m x 20m, disamping mesjid tersebut belum pernah direnovasi sejak dibangun pada tahun 1953. MA juga membantah kalau pembangunan mesjid hingga tiga lantai, seperti isu yang berkembang di masyarakat, melainkan dua lantai yang dibangun secara bertahap. Sejak dimulainya pembangunan fondasi mesjid, banyak isu yang berkembang di antaranya, di samping pembangunan mesjid tiga lantai, Jemaat Ahmadiyah Ciladong akan menjadi pusat Ahmadiyah menggantikan kantor pusat yang berada di Parung dan akan membangun Ka`bah sehingga Jemaat Ahmadiyah tidak perlu lagi naik haji ke Mekah. Untuk merespon pembangunan mesjid ini, terbentuklah sebuah tim yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RW. Tim ini digagas oleh elit agama CM yang juga Ketua MUI Desa, dan dia juga yang menenetukan siapa-siapa yang masuk dalam anggota tim tersebut. Anggota tim meski mewakili masing-masing RW tetapi asal dimasukkan saja sesuai dengan orang yang dikehendaki (orang-orang dekat dengannya dan berani kepada Ahmadiyah). Tim ini berperan sebagai wadah membicarakan masalah Ahmadiyah, terutama merespon pembangunan mesjid. Tim ini, dalam prosesnya, tidak saja membahas masalah pembangunan mesjid, melainkan sudah melebar ke masalah bagaimana membubarkan Ahmadiyah. Bahasa-bahasa yang muncul dalam rapatrapat tim di atas sudah mengarah kepada rencana tindakan kekerasan, sebagaimana yang dijelaskan oleh AS berikut ini: “Bahasa yang menonjol dalam rapat-rapat adalah bahasa kekerasan, seperti bakar saja, pokoknya kita berantas, pokoknya kita hancurkan. Dalam kenyataannya terbukti ada mobil, motor, warung, rumah yang dibakar warga. Diantara anggota tim ini berpendapat, karena Ahmadiyah sudah tidak bisa diajak damai dan mau masuk ke kita (ahlu sunnah waljamaah), ya sudah kita bakar saja”. (Wawancara, 4 Juni 2012). Peran CM dalam menundukkan tokoh masyarakat sangat menentukan jalannya proses sosial yang berakhir dengan konflik. Inilah yang dimaksud Dahrendorf dengan peran otoritas dalam masyarakat ketika membicarakan
135
konflik. Menurut Dahrendorf (dalam Ritzer & Goodman 2004; lihat juga
Poloma 2003), otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis konflik serta mereka yang menduduki posisi otoritas akan mengendalikan bawahan. Otoritas CM sebagai elit agama yang berwenang menentukan mana aliran keagamaan yang benar dan sesat serta posisi dia sebagai Ketua MUI Desa menjadikannya sosok yang didengar masyarakat. Selanjutnya tim ini mencoba berkoordinasi dengan pihak pemerintahan desa dan kecamatan untuk membicarakan masalah Ahmadiyah. Untuk menunjukkan dukungan masyarakat yang sudah resah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah, tim ini menyediakan sebuah dokumen yang berisi lima ribu tanda tangan dimana di dalamnya tertera kalimat “kalau tidak mau mengikuti ajaran kami dan apa yang biasa kami lakukan, maka kami akan melakukan kekerasan”. Tidak hanya sebatas kecamatan, sehari sebelum puasa tim ini juga berupaya bertemu dengan bupati tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Ketika itu bupati menjawab dan berjanji akan menindaklanjuti masalah Ahmadiyah dua minggu setelah lebaran. Namun, janji itu tidak kunjung ditepati bupati sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan warga. Menurut EK, lambannya pemerintahan kabupaten dalam merespon masalah Ahmadiyah terutama setelah audiensi dengan bupati menjadi penyebab penyerangan warga ke Kampung Ciladong. Penyerangan tidak begitu saja terjadi melainkan setelah terjadi penusukan seorang remaja dari Kampung Sukasari yang bersama
teman-temannya
melihat
pembangunan
mesjid
yang
menjadi
permasalahan tersebut. Kondisi ini persis dengan apa yang dikatakan Dahrendorf (dalam Ritzer &
Goodman 2004) ketika mengatakan bahwa munculnya konflik akibat adanya konsensus sebelumnya. Jadi, konflik tidak akan muncul kecuali setelah ada konsesus sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsesus. Bertrand (2004) menulis bahwa konflik keagamaan sebagian besar merupakan ekspresi yang sangat mendalam dari rasa kurang puas yang menggunakan agama sebagai dasar identitas kelompok. Konflik di Indonesia, lanjutnya, merupakan akibat rendahnya legitimasi politik dan adanya ancaman
136
terhadap identitas kelompok. Dalam konteks Desa Cikeukeuh, pecahnya konflik justru berawal dari persoalan keagamaan (perbedaan teologi) dan diperkuat lagi dengan rasa kecewa masyarakat kepada pemerintah yang tidak tanggap dengan keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah Jemaat Ahmadiyah. Jadi, Bertrand benar di satu sisi (lemahnya legitimasi terhadap pemerintah dan ancaman terhadap identitas non Ahmadiyah), namun tidak tepat di sisi lain (seolah bukan persoalan keagamaan). Munculnya konflik komunal ini tidak bisa juga dilepaskan dari memudarnya pluralisme di desa yang pernah berjalan sebelum era reformasi akibat regulasi dan fatwa terkait Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan MUI. Fatwa MUI dan SKB Kabupaten melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat. Akibatnya hubungan dan interaksi sosial juga sangat terbatas diantara kedua masyarakat tersebut. Bagi Jemaat Ahmadiyah, meski secara sosial tidak begitu masalah, menjalin hubungan lebih erat seperti dahulu sangat beresiko bagi kehidupan bermasyarakat di desa karena dikuatirkan akan direspon negatif oleh masyarakat lain. Jemaat Ahmadiyah lebih baik menjaga dan berhati-hati daripada harus menerima resiko yang tidak diinginkan. Sementara itu, bagi masyarakat pada umumnya menimbulkan ketakutan-ketakutan jika berinteraksi lebih jauh dengan Jemaat Ahmadiyah karena kuatir akan diklaim sebagai orang yang dekat dan pro dengan mereka. Seorang Sekretaris Desa pun harus mengalami kekuatiran yang sama ketika akan masuk Kampung Ciladong hanya untuk mengantarkan surat undangan desa. Dia tidak berani masuk Kampung Ciladong ketika di pertigaan menuju Ciladong banyak warga Mekarsari yang lalu-lalang. Kekuatiran itu sangat beralasan karena sensitifitas warga Sukasari dan Mekarsari sangat tinggi. Warga kedua kampung ini akan bereaksi jika ada warga yang sering keluar-masuk Ciladong karena dianggap dekat dan pro terhadap Ahmadiyah. Kekuatiran-kekuatiran inilah yang dijaga oleh warga di Desa Cikeukeuh termasuk aparat desa sendiri. Buka tanpa dasar, reaksi warga kedua kampung itu pernah dibuktikan ketika seorang aparat desa (AS) yang dekat dan sering keluar-masuk Kampung Ciladong. Dalam pandangan warga, AS dianggap sebagai mata-mata Ahmadiyah bahkan
137
dituduh sebagai orang yang memberikan informasi saat penyerangan ke Ciladong karena sebelum penyerangan warga Ciladong sudah tahu terlebih dahulu dan siap melawan. Meski secara pribadi AS sudah buktikan kalau dia bukan mata-mata atau pembela Ahmadiyah, namun warga tidak peduli dengan alasan yang diberikan AS. Masyarakat minta kepada Kepala Desa agar AS diberhentikan dari aparat desa dengan dukungan sekitar 800 tanda tangan, kemudian diajukan ke KUA karena dia aparat desa yang menangani pernikahan yang ada di desa (amil). Akhirnya, AS secara sosial dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan statusnya pun tidak jelas, yaitu tidak diberhentikan dan tidak juga diaktifkan. Di sini elit agama (CM) sangat berperan karena dialah yang memprovokasi warga hingga bernasib demikian. CM kerapkali memberitahukan warga bahwa AS seringkali keluar-masuk Ciladong. Interaksi sosial yang terjadi saat ini, meski masih ada, adalah interaksi sosial kepura-puraan (pseudo social interaction) jika tidak dikatakan munafik. Interaksi sosial yang terbangun bagus dan menciptakan sikap toleransi bahkan terwujudnya kehidupan pluralisme di tengah masyarakat sebelum tahun 2005, kini mengalami pemudaran, jika tidak dikatakan hilang sama sekali terutama di kampungkampung yang berdekatan dengan Ciladong. Bagi kedua masyarakat, hingga saat ini masih ada perasaan “luka” dan trauma dengan kejadian tahun 2010 yang lalu sehingga sangat sulit membangun kembali sikap toleransi dan kehidupan pluralisme seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Segregasi interaksi sosial akibat regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan fatwa MUI tentu saja mematikan sikap toleransi dan pluralisme itu sendiri. Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan konflik. Dalam model nation-state (Rahman 2011) diperlukan suatu konsep baru dalam mengelola masyarakat yang heterogen, yakni pluralisme. Pluralisme ini sebenarnya identik dengan paham masyarakat terbuka (open society) Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme (keagamaan). Menurut Bhattarai (2004) ada empat pola dasar hubungan dalam masyarakat plural, yaitu penggabungan (amalgamation), yaitu munculnya
138
bentuk kebudayaan baru di tengah kebudayaan-kebudayaan lain, asimilasi (assimilation), yaitu kelompok minoritas mengadopsi nilai-nilai mayoritas, segregasi (segregation), yaitu pemisahan kelompok-kelompok budaya melalui alat pendiskriminasian (regulasi), dan pluralisme (pluralism), yaitu kelompok budaya masyarakat hidup bersama dalam hubungan dinamis dan punya komitmen untuk kepentingan bersama. Empat pola dasar hubungan ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 13 Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural Empat Pola Dasar Hubungan dalam Masyarakat Plural Pola
Rumusan
Penjelasan
Penggabungan (amalgamation) Asimilasi (assimilation) Segregasi (segregation)
A+B+C=D
Munculnya formasi kelompok budaya baru Kelompok minoritas mengadopsi nilai-nilai mayoritas (hegemoni) Pemisahan kelompok budaya melalui alat pendiskriminasian (regulasi) Kelompokbudaya hidup bersama dalam hubungan dinamis
A+B+C=A A≠B=A≠B
Pluralisme A+B+C=A+B+C (pluralism) Sumber: Bhattarai (2004)
Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural yang digambarkan Bhattarai di atas tercermin dari masyarakat di Desa Cikeukeuh. Masyarakat Cikeukeuh yang plural menjadi tersegregasi akibat dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah (dan juga MUI). Masyarakat yang awalnya hidup bersama dan berkomitmen dalam pembangunan desa berujung pada keterpisahan sosial akibat pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam regulasi pemerintah sehingga juga menurunkan makna hidup dan komitmen bersama dalam kerangka pembangunan desa. Bahkan tidak saja sebatas pada pemisahan sosial, yang muncul kemudian adalah konflik baru karena satu pihak mengklaim pihak lain melanggar regulasi tersebut. Tidak ada upaya atau akomodasi yang dilakukan pemerintah (dari pemerintahan desa hingga pusat). Konflik berhenti hanya karena upaya pengamanan dari kepolisian selama beberapa bulan. Menurut Kepala Desa,
139
pemerintahan desa tidak bisa menyelesaikan masalah Ahmadiyah karena bukan kewenangan desa, melainkan kewenangan pemerintah pusat. Senada dengan itu, Pemda Kabupaten juga merasa tidak bisa berbuat banyak dalam memecahkan persoalan ini karena kewenangan pemerintah pusat. Masyarakat meminta pemerintah lebih tegas dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah dengan keputusan yang tegas. Mereka menganggap SKB 3 Menteri tidak tegas apakah membiarkannya atau melarang kegiatan Ahmadiyah. Bagi masyarakat yang menentangnya, pemerintah dipersilahkan melegalkannya asal Ahmadiyah tidak membawa-bawa atribut Islam (jadi agama tersendiri), atau sekaligus melarang kegiatannya dengan keputusan yang tegas. Masyarakat tidak mau
Ahmadiyah
mengaku
Islam
karena
ajaran
dan
praktek-praktek
keagamaannya berbeda dengan masyarakat Islam kebanyakan.
6.4.2 Kekuasaan Agama dan Kekuasaan Negara Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada agama tertentu dan bukan pula negara sekuler. Namun, dalam prakteknya, kerancuan dan ambiguitas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana negara tidak jarang mencampuri masalah-masalah keagamaan atau mengesahkan peraturan-peraturan yang berbasis agama seperti yang nampak pada Perda Syariah di berbagai daerah di tanah air. Azra (2002) menyebut kondisi pascareformasi tidak lagi mengandung restriksi-restriksi seperti pada masa Orde Baru, bahkan sekarang mendorong kristalisasi kelompok atau komunitas-komunitas tertentu yang berusaha mendapatkan pengakuan dari negara terhadap paham yang mereka yakini. Kuatnya desakan dari kalangan tertentu untuk membubarkan Ahmadiyah dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang terkait dengan Ahmadiyah adalah bentuk dari bagaimana persoalan agama dan negara menjadi tidak jelas. Negara mengambil alih peran yang semestinya dilakukan oleh agama sebagai institusi yang mengurus masalah-masalah agama, termasuk masalah keyakinan. Salah satu persoalan yang berkaitan dengan Ahmadiyah adalah persoalan teologis. Karena persoalan teologis, maka masalah ini adalah persoalan internal umat Islam, dan umat Islam sendiri yang mesti menyelesaikannya. Menyerahkan
140
masalah ini kepada pemerintah, di samping mengaburkan penanganan masalah, juga merugikan umat Islam itu sendiri. Namun demikian, kalaupun negara diharapkan menangani dan terlibat dalam masalah ini, tugas negara tidak lebih sebagai fasilitator saja dalam mendialogkan kelompok-kelompok yang bertikai (CRCS 2008). Jelas sekali, dalam kasus Ahmadiyah, bahwa keluarnya SKB Muspida dan Peraturan Gubernur Jawa Barat mengacu kepada SKB 3 Menteri, dimana SKB 3 Menteri dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) juga didasarkan pada fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Di sini terjadi relasi institusi agama (MUI) dan institusi negara yang diwakili oleh lembaga negara yang terlibat dalam mengeluarkan SKB 3 Menteri tersebut. Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai wujud dari keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang diantaranya berisi bahwa agama yang diakui pemerintah ada 5 lima termasuk Islam, diberi wewenang mengontrol praktek-praktek dan penafsiran keagamaan di tengah masyarakat. Hasil penafsiran dan pengawasan MUI inilah yang menjadi referensi mana saja praktek-praktek keagamaan yang dianggap murni dan yang dianggap menyimpang atau sesat. Rahardjo (2011) menulis bahwa dalam sejarahnya memang selalu ada relasi kuat antara agama dan negara-negara Nusantara dalam hubungan saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama dalam mendapatkan legitimasi kekuasaan, dan agama membutuhkan negara untuk melindungi dan menegakkan ajaran-ajaran agama. dengan lahirnya ideologi sekuler sebagai doktrin kenegaraan modern, maka negara sudah mulai meninggalkan agama karena agama dianggap banyak menimbulkan masalah. Dalam reaksinya terhadap situasi ini, agama mengalami ideologisasi, terutama agama-agama monoteistik. Dalam ideologisasi itu doktrin komprehensif keagamaan disesuaikan dengan struktur ideologi yang mencakup visi kenegaraan. Dalam perkembangan pemikiran Islam, timbul wacana dari ulama al Azhar Sheikh Ali Abdul Raziq bahwa Islam itu hanya membawa visi dan misi agama, tidak visi dan misi negara. Oleh sebab itu, agama sesungguhnya membawa pesan dakwah bukan pesan politik.
141
Di Barat, khususnya Eropa, konsep kesatuan agama dan negara ini menimbulkan masalah karena melahirkan asolutisme dan diskrimiminasi. Guna menghapus absolutism itu lahirlah gagasan sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Konsep sekularisme menimbulkan proses sekularisasi yang menyingkirkan peranan agama di ruang publik, khususnya ruang publik politik. Kuatnya relasi agama dan negara dalam masalah Ahmadiyah di Indonesia menimbulkan hegemoni agama yang dilakukan oleh negara. Interpretasi MUI yang dijadikan sandaran dan rujukan negara kemudian diinstitusionalisasikan (institutionalized) melaui peraturan-peraturan negara (SKB, Pergub, SK Bupati/Walikota). Ketika ini dilakukan, maka yang terjadi adalah negara telah melakukan hegemoni agama yang kemudian melemahkan pluralisme di tingkat masyarakat (pedesaan). Dominannya peran negara dalam masalah-masalah keagamaan akan membawa dampak negatif bagi relasi agama-negara maupun relasi antarumat beragama. Kalau kita refleksikan konflik antarumat beragama, seperti konflik Ahmadiyah, yang belakangan ini marak di berbagai daerah adalah bom waktu atas kegagalan dan rapuhnya pengelolaan pluralitas agama oleh negara pascainstitusionalisasi agama-agama melalui regulasi-regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Oleh sebab itu (Hadi 2011), untuk menjaga pluralisme tetap terjaga di masyarakat reposisi peran atau hegemoni yang dijalankan negara harus segera dilakukan. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai yang mengatur melainkan berperan sebagai fasilitator.
142
143
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan Berdasarkan uraian di bab-bab sebelumnya ditemukan telah terjadi
pemudaran pluralisme di pedesaan. Pemudaran pluralisme ini terjadi terutama di kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung tempat Jemaat Ahmadiyah berdomisili. Hal tersebut terjadi dikarenakan sikap sebagian masyarakat (elit agama) yang reaktif terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang menggunakan dalil-dalil agama, fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan SKB Muspida untuk tidak bersikap toleran terhadap Ahmadiyah. Beberapa kesimpulan lainnya adalah: 1.
Respon masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah sangatlah beragam bergantung pada lapisan masyarakat dan domisilinya. Respon negatif dan reaktif diperlihatkan oleh elit agama dan masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong (Sukasari dan Mekarsari). Sementara respon positif dan toleran diperlihatkan oleh tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa di kampung yang berjauhan dengan Kampung Ciladong (Sadang dan Nanggreg).
2.
Munculnya konflik bersumber dari perbedaan keyakinan. Namun menjadi konflik terbuka ketika pelanggaran Jemaat Ahmadiyah atas SKB Kabupaten yang melarang melakukan kegiatan selain shalat. Pembangunan mesjid oleh masyarakat adalah bentuk kegiatan yang dilarang oleh SKB tersebut. Masalah ini tidak cepat direspon pemerintah kabupaten sehingga menyulut kemarahan warga. Pascakonflik tidak ada upaya-upaya akomodatif yang dilakukan pemerintah. Konflik reda karena pengamanan aparat kepolisian bukan dengan jalan akomodatif yang dilakukan oleh pihak pemerintah.
3.
Sebagian masyarakat terpengaruh dengan sikap sebagian elit agama yang mendorong masyarakat menolak segala aktifitas yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Hal ini termanifestasi dalam bentuk perubahan pandangan dan tindakan yang mereka tunjukkan kepada Ahmadiyah. Tidak saja sekarang memandang Ahmadiyah sebagai orang yang sesat, kafir, dan menghina Islam, melainkan juga ditunjukkan dengan tindakan-tindakan anarkis berupa
144
penyerangan ke kampung dimana Ahmadiyah tinggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2010 dimana rumah warga Ahmadiyah dilempar batu dan beberapa rumah dan mesjid juga dibakar massa. Konsekuensi yang ditanggung masyarakat secara keseluruhan adalah hilangnya rasa saling percaya diantara masyarakat non Ahmadiyah dan Ahmadiyah. Hal ini berakibat pada hubungan sosial yang makin renggang sehingga tidak terbentuk kohesifitas masyarakat yang akan membentuk rasa saling pecaya tersebut. 7.2
Saran
1.
Untuk menjaga tradisi pluralisme dan toleransi dalam kehidupan keagamaan di pedesaan, sebagaimana yang pernah terjadi, diperlukan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka dan tidak reaktif kepada golongan yang pemahamannya tidak sejalan. Pemahaman keagamaan yang terbuka perlu diajarkan di sekolah-sekolah dan pengajian-pengajian sebagai basis sosialisasi. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang pernah terlembaga selama ini antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah perlu dihidupkan kembali yang difasilitasi oleh aparat desa bersama tokoh agama.
2.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu membangun dialog guna membangun kepercayaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Dialog diperlukan untuk menciptakan ruang interaksi sesering mungkin antara dua warga yang berbeda secara teologis.
3.
Untuk kajian lebih lanjut, diperlukan kajian khusus tentang regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah, dan bagaimana dampak sosiologisnya dalam masyarakat.
145
DAFTAR PUSTAKA
A`la A. 2008. Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan (dalam Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel, Surabaya). Abdillah M. 2001. Pluralisme dan Toleransi. Di dalam: Achmad N (ed.) Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Abdullah T. 1987. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES. Ahmad BM. 1996. Apakah Ahmadiyah Itu? Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Alfian MA. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Alhadar AH. 1977. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah. Bandung: PT. al-Ma`arif. Ali K. 1980. History of India, Pakistan & Bangladesh. Dacca: Ali Publication. Ali M. 1998. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Penerbit Mizan. Ali M. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Kompas. Ali MM. 1959. Mirza Ghulam Ahmad of Qodian, His Life and Mission. Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha`at Islam. Assyaukanie L. 2009. Fatwa and Violence in Indonesia. Journal of Religion and Society. Vol. XI. Arkoun M. 1999. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Postmodernisme. Surabaya: Al Fikri. Armstrong K. 2000. The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. London: Harper Collins Publishers. Azra A. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. ----------. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana Dan Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
146
----------. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat. Jakarta: Buku Kompas Bagir ZA. 2011. Telaah Kasus Ahmadiyah Di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Banchoff T. 2008. Religious Pluralism in World Affairs. Dalam Religious Pluralism, Globalization, and World Politicts. (ed) Thomas Banchoff. New York: Oxford University Press. Bhattarai HP. 2004. Cultural Diversity And Pluralism In Nepal: Emerging Issues And The Search For A New Paradigm. CNAS Journal. Vol 31. No. 2. Berger PL & Luckmann T. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. England: Penguin Group. Bertrand J. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. New York: Cambridge University Press. Boase R. 2005. Islam and Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit Peace. England: Ashgate Publishing Limited. Bosworth CE 1980. The Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Handbook. Edinburg: Edinburg University Press. Bottomore TB. 1984. Kelompok Elite dan Masyarakat Dalam Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Penyunting Sartono Kartodirdjo. Jakarta: LP3ES. Brown LC. 2003. Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama & Negara Sepanjang Sejarah Umat. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Bryman A. 2001. Social Research Methods. New York: Oxford University Press. Budiwanti E. 2009. Pluralism Collapses: A Study of the Jama`ah Ahmadiyah Indonesia and Its Persecution. Jurnal Asia Research Institute: National University of Singapore. Vol. 3. Chang W. 2003. Berkaitan dengan Konflik Etnis-Agama. Dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS. Dahrendorf R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford University Press. Dard AR. 1948. Life of Ahmad. Vol. I. Lahore: Tabshir of Publication. Donohue J & Esposito L. 1995. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalahmasalah. Machnun Husein, penerjemah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Islam in Transition: Muslim Perspectives.
147
Eck DL. 2006. On Common Ground: World Religious in America. Columbia University Press. Euben RL. 2002. Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern. Satrio Wahono, penerjemah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Terjemahan dari: Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism, A Work of Comparative Political Theory. Fathoni M. 1994. Faham Mahdi Syi`ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Fauzi S. 2007. Respon Ormas Islam terhadap Aliran Ahmadiyah di Indonesia. Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Garaudy R. 1993. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya. Bandung: Pustaka. Geertz C. 1973. The Interpretation of Cultures: New York: Basic Books. -----------.1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago: The University of Chicago Press. -----------.1960. “The Javanese Kijaji: The Changing Roles of A Cultural Broker” dalam Jurnal Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2. 1960 Hadi S. 2011. Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagamaan Di Indonesia. Jurnal Millah. Vol. X. No. 2. Yogyakarta: Pascasarjana FIAI UII. Hakim M. 2005. Kenapa Ahmadiyah Dihujat. Jakarta: SDM Bina Utama. Hasani I, Naipospos BT, (ed.) 2011. Ahmadiyah Dan Keindonesiaan Kita. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hasani I. et. al. 2011. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute. Hefner R.W. 2005. Remarking Muslim Politics, Pluralism, Contestation, Democratization. Princeton: Princeton University Press. Hidayat K. 1996. Memahamai Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. ------------. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books.
148
Ibnu Khaldun. 1986. Muqaddimah. terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus. [ICG] International Cricis Group. 2008. Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, Asia Briefing No. 78. Dalam www.crisisgroup.org akses 22 Mei 2012. [IIP] Islam International Publications. 2002. Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah. Jakarta: Yayasan Wisma Damai. Iqbal SM. 1991. Islam dan Ahmadiyah. Machnun Husein, penerjemah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Terjemahan dari: Islam And Ahmadism: Replay to Questions Raised by Pandit Jawaharlal Nehru. ------------.1983. Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam. Osman Raliby, penerjemah. Jakarta: Bulan Bintang. Terjemahan dari: The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Jackson KD .1990. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafitika. Kahmad D. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ---------------------. 2002, Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi. Jilid II. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Khan. MZ. 1978. The Renaissance of Islam. London: Tabshir of Publication. Latif Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Lavan S. 1974. The Ahmadiyah Movement: A History and Perspective. Delhi: Manohar Book Service. Liddle R.W. 1997. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakaarta: Pustaka Sinar Harapan. [LSI] Lingkaran Survei Indonesia. 2010. Meningkatnya Intoleransi Beragama http://lsinetwork.co.id/wpMasyarakat Indonesia. Di dalam content/themes/kajian_bulanan/Kajian_Bulanan_Edisi No 23 Oktober 2010.pdf diakses 22 Mei 2012. Maarif Institute. 2010. Refleksi Akhir Tahun Maarif Institute. Jakarta: Maarif Institute. Madjid N. 2004. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
149
-------------. 1998. “Mencari Akar-akar Islam Bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”. Dalam Woodward MR (editor). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Ihsan Ali Fauzi, penerjemah. Bandung: Mizan. Terjemahan dari: Toward A New Paradigm: Recent Developments In Indonesian Islamic Thought. Marshall & Rossman. 1989. Designing Qualitative Research. London: Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications. Marvasti AB. 2004. Qualitative Research in Sociology. London: SAGE Publications Ltd. Miall et. al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Misrawi Z. 2007. Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Penerbit Fitrah. Muladi. 2009. Penanganan Konflik Sosial Guna Menciptakan Kehidupan Nasional Yang Kondusif Pasca Pemilu 2009 Dalam Rangka Mewujudkan Stabilitas Nasional. dalam http://www.dissos.jabarprov.go.id/SITUS PRBS/artikel/Penanganan Konflik Sosial.pdf diakses pada 12 Juni 2011. Mulkhan AM. 2000. Islam Murni Dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Mustofa ML. 2010. Etika Pluralisme dalam Nahdlatul Ulama’: Gagasan dan Praktek Pluralisme Keagamaan Warga Nahdliyin di Jawa Timur. Surabaya: Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Muttaqin et al. 2006. Membangun Nasionalisme Baru. Jakarta: Bappenas. Nadwi SA. 2005. Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam. Tubagus Mundzir, penerjemah. Jakarta: Fadlindo Media Utama. Terjemahan dari: Qadianism A Critical Study. Nasution H. 1978. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. --------------. 1975. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nasution S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Noer D. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Pababbari M. 2010. Patronase Agama Dalam Kehidupan Politik Lokal. Dalam http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/12.MusafirPababbari.p df. diakses pada 1 Agustus 2012.
150
Platzdasch B. 2011. Religious Freedom in Indonesia: The Case of the Ahmadiyah. Jurnal Institute of Southeast Asian Studies. No. 2. Poloma MM. 2003. Sosiologi Kontemporer. Tim penerjemah Yasogama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Contemporary Sociological Theory. Purwanto. WH. 2008. Menusuk Ahmadiyah. Jakarta: CMB Press. ------------. 2011. Tragedi Cikeusik: Pembelajaran dari Kasus Ahmadiyah. Jakarta: CMB Press. Rahardjo MD. 2011. Bagaimana Pancasila Menjadi Islam. Dalam Latif Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rahman BM. 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina. --------------, 2011. Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. Rahman F. 2000. Islam. Ahsin Mohammad, penerjemah. Bandung: Pustaka. Terjemahkan dari: Islam. Rauf M. 2001. Konsesus dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Ricoeur P. 1995. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation. Cambridge University Press. Ritzer G & Goodman DJ. 2010. Teori Sosiologi Modern. Alimandan, penerjemah. Jakarta: Prenada Media Group. Terjemahan dari: Modern Sociology Theory. Riyadi AA. 2005. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama. Jurnal Hermēneia. Vol. 4. No. 1. Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Roibin. 2008. Mitologi Religious dan Toleransi Orang Jawa: Telaah Pemikiran Benedict R. O`G. Anderson dalam Buku “Mitologi dan Toleransi Orang Jawa.” Dalam Jurnal el-Harakah. Vol.10 No. 1 Januari-April 2008. Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Rumadi. 2009. Pandemi Ideologi Puritanisme Agama dalam Abidin Wakano et.al. Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik Dan Rekonsiliasi di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
151
Safi O. 2003. Progressive Muslims: On Justice, Gender And Pluralism (ed). Omid Safi. England: Oneworld Publications. Salim A. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Shihab A. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press. Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif ; Suatu Pengenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Sivan. E. 1990. Radical Islam, Medieval Theology and Modern Politics. New Haven and London: Yale University. Smith WC. 1979. Modern Islam in India. New Delhi: Usha Publication. Soegiharti N. 2009. Kajian Hegemoni Gramsci Tentang Reaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (Studi Kasus SKB Tiga Menteri Tentang Pelarangan Ahmadiyah). Tesis. Jakarta: FISIPOL UI. Subakir A. 2009. Menyoal Fatwa MUI tentang Larangan Aliran (Aqidah) Ahmadiyah. Jurnal Kontemplasi Volume 6 No. 1. Semarang: IAIN Walisongo. Sunanto M. 2010. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Suparlan P. 1988. Kata Pengantar dalam buku, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Roland Robertson ed.) Achmad Fedyani Saefuddin, penerjemah. Jakarta: CV. Rajawali. Terjemahan dari: Sociology of Religion. Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Syam N. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. The Wahid Institute. 2009. Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. -----------------------. 2011. Monthly Report on Religious Issues. Edisi 32. Jakarta: The Wahid Institute.
152
Tjandrasasmita U. 1984. (Ed.) Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka. Turner BS. 1994. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber. G.A. Ticoalu, penerjemah. Jakarta: Rajawali. Terjemahan dari: Weber and Islam. Umar A dan Priyangga PS. 2007. Laporan Penelitian Pluralisme Agama dan Paham Keagamaan Umat Islam dalam Kerukunan Antar Umat Beragama dan Intern Umat Beragama (Islam) di Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Weber M. 1972. The Sociology of Religion. Boston: Beacon Press. Winarno B. tt. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: TSA Komunika. Woodward MR. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Terjemahan dari Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta. Yogyakarta: LKiS. Yin RK. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. terjemahan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Zaenuri LA. 2009. Konflik Jemaat Ahmadiyah Dengan Masyarakat Non Ahmadiyah: Studi Kasus di Lombok Nusa Tenggara Barat. Disertasi. Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Zulkarnain I. 2006. Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. Jurnal, Majalah, Surat Kabar dan Dokumen Profil Desa Cikeukeuh Tahun 2011. Dokumen: Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Diterbitkan oleh: Jemaat Ahmadiyah Indonesia. tt. Majalah Darsus, Vol. VII, No. 2-3, Edisi Pebruari – Maret 2012 Diterbitkan oleh Sekretariat Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Alih Bahasa: Hasan Bashri. -------------------, Vol. VI, No. 18, Edisi Maret 2012. Diterbitkan oleh Sekretariat Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Alih Bahasa: Hasan Bashri. Khotbah Jumat (Hadhrat Mirza Masroor Ahmad) disampaikan pada tanggal 3 Februari 2012. Souvenir of Mosques Around The World. 1994. Ahmadiyya Muslim Association USA.
153
Harian Kompas, Jumat, 3 Agustus 2012. Laporan Tahunan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada tentang Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2008. Laporan Tahunan The Wahid Institute Tahun 2008 tentang Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia.
154
155
LAMPIRAN
156
157
Lampiran :
PANDUAN WAWANCARA
Identifikasi Informan Nomor
:
Nama Informan
: _________________________
Umur
: _________________________
Jenis kelamin
: _________________________
Status
: _________________________
Pendidikan
: _________________________
Alamat Kampung
:
Desa
: Cikeukeuh
Kecamatan
:
Kabupaten
:
Provinsi
: Jawa Barat
Prosedur Wawancara Tanggal
: ___________________________2012
Pukul
: ___________________________WIB
158
PANDUAN WAWANCARA Konteks Sejarah, Sosial Dan Politik Desa Cikeukeuh 1. Bagaimana perkembangan Islam masa Orde Lama hingga sekarang ? 2. Siapa-siapa saja tokoh agama yang mengembangkan Islam di desa ini ? 3. Mazhab (fikih) apa yang berkembang dan dominan ? 4. Bagaimana praktek-praktek keagamaan yang umum dilakukan masyarakat ? 5. Apakah di desa ini terdapat tempat-tempat yang dikeramatkan warga ? 6. Apakah desa ini pernah mengalami konflik keagamaan sebelum masa reformasi ? 7. Apakah desa ini pernah mengalami pergolakan sosial dan politik ? 8. Bagaimana dengan gerakan keagamaan yang pernah ada di desa ini ? 9. Apa saja bentuk mata pencaharian masyarakat ? 10. Bagaimana perkembangan pendidikan di desa ini ? 11. Bagaimana kehidupan perpolitikan sejak Orde Lama hingga sekarang ? 12. Bagaimana afiliasi politik warga sejak Orde Lama hingga sekarang ? 13. Apakah kecenderungan warga lebih dekat dengan partai-partai Islam ? Konstruksi Sosial Masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah 1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang Ahmadiyah ? 2. Bagaimana respon Bpk/Ibu tentang keberadaan Ahmadiyah ? 3. Dari mana sumber pemahaman Bpk/Ibu atas Ahmadiyah ? 4. Bagaimana sikap Bpk/Ibu ketika bertemu dengan Ahmadiyah ? 5. Apakah
media
massa
(koran/TV/radio)
berpengaruh
terhadap
pembentukan pemahaman atas Ahmadiyah ? 6. Apakah ustad, Kyai (tokoh agama) berpengaruh terhadap pembentukan pemahaman atas Ahmadiyah ? 7. Apakah pemerintah desa berpengaruh terhadap pembentukan pemahaman atas Ahmadiyah ? 8. Apakah
tokoh
masyarakat
berpengaruh
terhadap
pembentukan
pemahaman atas Ahmadiyah ? 9. Kenapa hubungna masyarakat dengan Ahmadiyah akhir-akhir ini kurang baik ?
159
10. Kenapa hubungan masyarakat dengan Ahmadiyah sebelum reformasi terjalin dengan baik? Praktek-praktek Pluralisme Keberagamaan dan Sikap Toleransi 1. Bagaimana kehidupan masyarakat dan Ahmadiyah dulu dan sekarang ? 2. Apakah masyarakat dan Ahmadiyah pernah terlibat dalam sebuah kegiatan bersama ? 3. Bagaimana respon masyarakat ketika Ahmadiyah terlibat kegiatan bersama masyarakat ? 4. (Kalau ada), kenapa itu bisa terjadi ? 5. Bagaimana kebijakan desa tentang sikap toleransi antara masyarakat dan Ahmadiyah ? 6. Apakah (sebelum konflik) dalam praktek keagamaan antara masyarakat dan Ahmadiyah saling menghormati satu sama lain? 7. Bagaimana dengan keterlibatan bersama dan sikap toleransi antara masyarakat dan Ahmadiyah sekarang ? 8.
(Kalau dulu ada keterlibatan bersama dan saling toleran), kenapa sekarang tidak bisa berjalan lagi ?
9. Apakah Bapak/Ibu bisa menerima perbedaan teologis dengan Ahmadiyah ? 10. Perbedaan teologis ini apakah bisa menimbulkan kebencian umat Islam kepada Ahmadiyah ? Seputar Regulasi dan Penolakan terhadap Ahmadiyah 1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang SKB 3 Mentri, fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida ? 2. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang SKB 3 Menteri, Fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida ? 3. Apakah konflik kemaren ada pengaruh dari SKB 3 Menteri, Fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida ? 4. Apa pengaruh dari keberadaan SKB 3 Menteri, Fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida ?
160
5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang SKB 3 Menteri, Fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida, apakah sudah bisa menyelesaikan masalah terkait keberadaan Ahmadiyah ? 6. Lapisan masyarakat mana yang paling keras menentang Ahmadiyah ? 7. Bagaimana peran pemerintah kabupaten dan desa dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah ? Seputar Elit Agama 1. Bagaimana masyarakat memandang kyai, ustadz, atau tokoh agama ? 2. Apakah kyai, ustadz, atau tokoh agama berpengaruh di tengah masyarakat ? 3. Kenapa kyai, ustadz, atau tokoh agama dihormati dan menjadi panutan ? 4. Kenapa masyarakat menunjukkan kepatuhan kepada kyai, ustadz, atau tokoh agama ? 5. Bagaimana masyarakat merespon nasehat-nasehat keagamaan yang disampaikan kyai, ustadz, atau tokoh agama ? 6. Apakah dalam masalah-masalah sosial kyai, ustadz, atau tokoh agama juga menjadi panutan ?apa 7. Kenapa kyai, ustadz, atau tokoh agama lebih dominan di masyarakat ? 8. Bagaimana Bapak/Ibu memandang kyai, ustadz, atau tokoh agama bila dikaitkan dengan masalah Ahmadiyah ? 9. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terkait sikap reaktif dari kalangan agama terhadap Ahmadiyah ? 10. Bagaimana kepemimpinan kyai, ustadz, atau tokoh agama di desa ini ? Seputar Konflik dengan Ahmadiyah 1. Kenapa konflik dengan Ahmadiyah bisa muncul hingga pembakaran Kampung Ciladong? 2. Kenapa konflik baru muncul sekarang setelah bertahun-tahun hidup rukun ? 3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang konflik lalu ? 4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu penyerbuan dan pembakaran Kampung Ciladong ?
161
5. Kenapa masyarakat sekarang terkesan gampang melakukan tindakan kekerasan ? 6. Apa faktor utama hingga terjadi konflik ? 7. Bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik ? 8. Kenapa nilai-nilai toleransi yang terbangun selama ini menjadi pudar ?
--------------------- Terima Kasih ------------------------