PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKTIKUM TEKNIK KIMIA II
Editor: Kepala Laboratorium Teknik Kimia II
Laboratorium Teknik Kimia II Jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Agustus 2012
Praktikum Teknik Kimia II
TATA TERTIB PELAKSANAAN PRAKTIKUM TEKNIK KIMIA II
Sebelum Praktikum 1. Peralatan yang perlu disiapkan sendiri untuk setiap kelompok adalah: pipet tetes, kain lap/serbet, korek api, sabun cair, sikat tabung reaksi, kapas, gunting, botol hasil jika diperlukan, dan lem. 2. Minimal satu hari sebelum praktikum dilaksanakan, praktikan yang akan melaksanakan percobaan Isotherm adsorpsi, kinetika adsorpsi, dan destilasi uap harus menghadap kepala laboratorium untuk penentuan zat warna atau adsorbent yang akan digukan praktikum. Selama Praktikum 1. Praktikan yang terlambat lebih dari 15 menit dari jadwal praktikum yang ditentukan tidak diperkenankan mengikuti praktikum. 2. Tiap praktikan wajib mengisi daftar hadir pada saat praktikum. 3. Tiap praktikan wajib mengenakan jas praktikum dengan benar selama praktikum berlangsung. Praktikan yang tidak membawa jas praktikum tidak diperkenankan mengikuti praktikum. 4. Sebelum mulai bekerja, setiap praktikan harus mencocokkan alat-alat gelas yang telah disediakan dalam lemari masing-masing dengan daftar alat yang ada. Jika ada ketidakcocokan atau kerusakan, praktikan wajib melaporkannya pada laboran. 5. Jika pada saat praktikum terdapat bahan yang perlu dianalisa minggu berikutnya maka bahan tersebut, harap diletakkan pada Kaca arloji/Beker Glass pada tempat yang disediakan dan diberi keterangan: tanggal, nama sample, no Kelompok dan group, dan setelah selesai, Minggu berikutnya harus langsung dibersihkan. Praktikan yang lalai dalam menjaga kebersihan dan kerapian laboratorium, akan dikenakan sanksi. 6. Kebersihan laboratorium adalah tanggung jawab bersama, maka setiap selesai percobaan atau analisa, alat-alat gelas harus dikembalikan dalam keadaan bersih. Demikian juga lemari asam harus juga dalam keadaan bersih. 7. Praktikan tidak diperkenankan meninggalkan laboratorium tanpa seijin asisten. Praktikan yang melanggar ketentuan tersebut tidak diperkenankan melanjutkan praktikum dan nilai praktikumnya nol. 8. Praktikan tidak dibenarkan untuk makan, minum dan merokok selama praktikum berlangsung. Praktikan yang melanggar ketentuan tersebut tidak diperkenankan melanjutkan praktikum dan nilai praktikumnya nol. 9. Tiap praktikan harus menyerahkan laporan sementara untuk disetujui asisten. Tanpa laporan sementara yang disetujui asisten, maka nilai laporan praktikan adalah nol.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
2
Praktikum Teknik Kimia II
Sesudah Praktikum 1. Tiap praktikan wajib memeriksa kembali semua peralatan yang telah digunakan, mengembalikannya dalam keadaan bersih dan utuh serta menjaga kebersihan laboratorium. Apabila ternyata ada alat yang rusak/pecah, praktikan wajib melaporkannya pada laboran. Penggantian alat dilakukan paling lambat 1 (satu) minggu sesudahnya atau sesuai persetujuan kepala laboratorium. 2. Praktikan harus menyerahkan laporan praktikum seminggu setelah praktikum dan diserahkan sebelum praktikum berikutnya dimulai. Jika tidak menyerahkan laporan, maka praktikan tidak diperkenankan untuk mengikuti praktikum pada hari tersebut. Laporan praktikum pada minggu pertama dibuat lengkap dan diketik di kertas A4 dengan format laporan sebagai berikut: Lembar Judul Lembar Pengesahan Isi Laporan I. Pendahuluan Teori singkat yang berkaitan dengan percobaan yang dilakukan dan tujuan percobaan. II. Prosedur Percobaan Skema kerja percobaan yang dilakukan. III. Hasil Percobaan (termasuk perhitungan apabila ada) Hasil percobaan yang ditampilkan juga harus diuraikan dengan kata-kata. IV. Pembahasan Hasil percobaan yang didapatkan harus dibahas sesuai dengan teori yang berkaitan. Setiap penyimpangan harus dijelaskan secara ilmiah. V. Kesimpulan VI. Daftar Pustaka VII. Laporan Sementara (setiap awal Bab ditulis pada halaman baru, demikian juga untuk daftar pustaka) Lembar judul dan lembar pengesahan dibuat sesuai dengan format yang telah ditentukan. Sedangkan laporan pada minggu kedua dan seterusnya, laporan praktikum hanya berisi skema kerja percobaan yang dilakukan, hasil dan pembahasan, kesimpulan, dan daftar pustaka yang menungjang hasil dan pembahasan. Apabila laporan tidak lengkap, maka kelompok tersebut tidak diperkenankan untuk mengikuti praktikum sebelum bagian yang kurang dilengkapi.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
3
Praktikum Teknik Kimia II
Sistem Penilaian Praktikum Teknik Kimia II Test Awal
: 25% (penguasaan persiapan praktikum: 15%; penguasaan teori:
10%) Praktikum
: 30% (ketelitian dan ketepatan: 10%; kemandirian: 10%;
Kebersihan: 10%) Laporan
:
20%
(kelengkapan
laporan:
5%;
hasil
percobaan
dan
pembahasan: 15%) UAS/komprehensive
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
: 25%
4
Praktikum Teknik Kimia II
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KIMIA II
JUDUL PERCOBAAN
Diajukan oleh: Kelompok: A-1 Nama / Nrp : Nama Mahasiswa 1 / 52030040?? Nama / Nrp : Nama Mahasiswa 2 / 52030040??
Asisten: Nama Asisten
Laboratorium Kimia Fisika Dan Kimia Organik Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya 2012 (Times New Roman, 14 pt)
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
5
Praktikum Teknik Kimia II
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KIMIA II JUDUL PERCOBAAN
Diajukan oleh: Kelompok: A-1 Nama / Nrp : Nama Mahasiswa 1 / 52030040?? Nama / Nrp : Nama Mahasiswa 2 / 52030040??
Asisten: Nama Asisten
HASIL PEMERIKSAAN LAPORAN Tanggal pemeriksaan
Hal-hal yang perlu diperbaiki
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Tanggal pengembalian
Tanda Tangan Asisten
6
Praktikum Teknik Kimia II
1. ISOTHERM ADSORPSI A. Tujuan
Mempelajari isotherm adsorpsi zat warna pada beberapa jenis adsorbent Menentukan persamaan isotherm adsorpsi yang dapat mewakili data percobaan adsorpsi zat warna pada beberapa jenis adsorbent
B. Bahan
Zat warna (methylene biru, rhodamine B, Evans Blue, atau malachite green) Adsorbent (karbon aktif, bentonite, kaolin, organo-bentonite, organokaolin) Aquadest
C. Alat
Spektrofotometer Shaking water bath Centrifuge Erlenmeyer 250 mL (8 buah) Beaker glass 250 mL, 500 mL, dan 1 liter Labu ukur 100 mL (5 buah) Gelas ukur 100 mL Batang pengaduk
D. Cara Kerja
Buat kurva standard yang mengambarkan hubungan antara konsentrasi zat warna dan adsorbansi (adsorbansi 0,2 – 0,8). Buat larutan zat warna dengan konsentrasi tertentu sebanyak 1 liter. Tentukan konsentrasi awal zat warna dengan menggunakan spektrofotometer. Ambil 8 buah Erlenmeyer dan ke dalam Erlenmeyer tersebut masukkan masing-masing 100 ml zat warna. Tambahkan adsorbent dengan massa yang berbeda-beda (0.05 – 1 gram) ke dalam Erlenmeyer yang berisi larutan zat warna. Atur suhu pada water bath sesuai dengan petunjuk asisten praktikum. Masukkan Erlenmeyer yang telah berisi campuran adsorbent dan larutan zat warna ke dalam shaking water bath dan aduk pada kecepatan tertentu. Setelah 2 jam, keluarkan Erlenmeyer dari water bath, dan pisahkan filtrate dari padatan dengan menggunakan centrifuge separator.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
7
Praktikum Teknik Kimia II
Analisa konsentrasi zat warna dalam filtrate dengan menggunakan spektrofotometer. Hitung jumlah zat warna yang terserap per gram adsorbent dengan menggunakan rumus berikut ini qe = (Co – Ce).V/m
Gambarkan hubungan antara konsentrasi kesetimbangan (Ce) dan jumlah zat warna yang terserap per gram adsorbent pada saat kesetimbangan (qe). Tentukan persamaan isotherm adsorpsi (Langmuir, Freundlich, Sips, dan Toth) yang dapat mewakili data-data percobaan tersebut.
Basic Theories of Adsorption (Adapted from Do, D.D. 1998, “Adsorption Analysis: Equilibria and Kinetics”, Imperial College Press, London) Adsorption phenomena have been known to mankind for a very long time, and they are increasingly utilized to perform the desired bulk separation or purification purposes. The heart of an adsorption process is usually a porous solid medium. The use of porous solid is simply that it provides a very high surface area or high micropore volume and it is this high surface area or micropore volume that high adsorptive capacity can be achieved. But the porous medium is usually associated with very small pores and adsorbate molecules have to find their way to the interior surface area or micropore volume. This "finding the way" does give rise to the so called diffusional resistance towards molecular flow. Understanding of the adsorptive capacity is within the domain of equilibria, and understanding of the diffusional resistance is within the domain of kinetics. The adsorption separation is based on three distinct mechanisms: steric, equilibrium, and kinetic mechanisms. In the steric separation mechanism, the porous solid has pores having dimension such that it allows small molecules to enter while excluding large molecules from entry. The equilibrium mechanism is based on the solid having different abilities to accommodate different species, that is the stronger adsorbing species is preferentially removed by the solid. The kinetic mechanism is based on the different rates of diffusion of different species into the pore; thus by controlling the time of exposure the faster diffusing species is preferentially removed by the solid. The porous solid of a given adsorption process is a critical variable. The success or failure of the process depends on how the solid performs in both equilibria and kinetics. A solid with good capacity but slow kinetics is not a good choice as it takes adsorbate molecules too long a time to reach the particle interior. This means long gas residence time in a column, hence a low throughput. On the other hand, a solid with fast kinetics but low capacity is not good either as a large amount of solid is required for a given throughput. Thus, a
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
8
Praktikum Teknik Kimia II
good solid is the one that provides good adsorptive capacity as well as good kinetics. To satisfy these two requirements, the following aspects must be satisfied: (a) The solid must have a reasonably high surface area or micropore volume (b) The solid must have relatively large pore network for the transport of molecules to the interior To satisfy the first requirement, the porous solid must have small pore size with a reasonable porosity. This suggests that a good solid must have a combination of two pore ranges: the micropore range and the macropore range. The classification of pore size as recommended by IUPAC is often used to delineate the range of pore size Micropores d<2 nm Mesopores 2 < d < 50 nm Macropores d > 50 nm This classification is arbitrary and was developed based on the adsorption of nitrogen at its normal boiling point on a wide range of porous solids. Most practical solids commonly used in industries do satisfy these two criteria, with solids such as activated carbon, zeolite, alumina and silica gel. Adsorption equilibria information is the most important piece of information in understanding an adsorption process. No matter how many components are present in the system, the adsorption equilibria of pure components are the essential ingredient for the understanding of how much those components can be accommodated by a solid adsorbent. With this information, it can be used in the study of adsorption kinetics of a single component, adsorption equilibria of multicomponent systems, and then adsorption kinetics of multicomponent systems. Langmuir (1918) was the first to propose a coherent theory of adsorption onto a flat surface based on a kinetic viewpoint, that is there is a continual process of bombardment of molecules onto the surface and a corresponding evaporation (desorption) of molecules from the surface to maintain zero rate of accumulation at the surface at equilibrium. The assumptions of the Langmuir model are: 1. The surface is homogeneous, that is adsorption energy is constant over all sites 2. Adsorption on the surface is localized, that is adsorbed atoms or molecules are adsorbed at definite, localized sites 3. Each site can accommodate only one molecule or atom The Langmuir theory is based on a kinetic principle, which is the rate of adsorption (which is the striking rate at the surface multiplied by a sticking coefficient, sometimes called the accommodation coefficient) is equal to the rate of desorption from the surface, then the Langmuir equation written in terms of the amount adsorbed useful for data correlation is:
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
9
Praktikum Teknik Kimia II
K L Ce qe qm 1 K L Ce (1) Where qe (mmol/g) is the amount of adsorbate adsorbed onto the adsorbent at equilibrium condition. The equilibrium concentration is given by symbol Ce (mmol/L), while qm (mmol/g) indicates the adsorption capacity of the adsorbent and KL (L/mmol) is called as the affinity constant of Langmuir equation. The Freundlich equation is one of the earliest empirical equations used to describe equilibria data. The name of this isotherm is due to the fact that it was used extensively by Freundlich (1932) although it was used by many other researchers. This equation takes the following form: qm K F Ce (2)
1/ n f
Here KF (mmol/g)(L/mmol)-n and n are the Freundlich constants. KF indicates the Freundlich adsorption capacity, while n indicates the adsorption intensity and it also can characterize the heterogeneity of the system. The parameter n is usually greater than unity. The larger is this value, the adsorption isotherm becomes more nonlinear as its behavior deviates further away from the linear isotherm. The Freundlich equation is very popularly used in the description of adsorption of organics from aqueous streams onto activated carbon. It is also applicable in gas phase systems having heterogeneous surfaces, provided the range of pressure is not too wide as this isotherm equation does not have a proper Henry law behavior at low pressure, and it does not have a finite limit when pressure is sufficiently high. Therefore, it is generally valid in the narrow range of the adsorption data. Recognizing the problem of the continuing increase in the adsorbed amount with an increase in pressure (concentration) in the Freundlich equation, Sips (1948) proposed an equation similar in form to the Freundlich equation, but it has a finite limit when the pressure is sufficiently high.
qe q m
( K S Ce )1/ ns 1 ( K S Ce )1/ ns
(3) In form this equation resembles that of Langmuir equation. The difference between this equation and the Langmuir equation is the additional parameter ‘ns’ in the Sips equation. If this parameter ns is unity, we recover the Langmuir equation applicable for ideal surfaces. Hence the parameter ns could be regarded as the parameter characterizing the system heterogeneity. The system heterogeneity could stem from the solid or the adsorbate or a combination of
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
10
Praktikum Teknik Kimia II
both. The parameter n is usually greater than unity, and therefore the larger is this parameter the more heterogeneous is the system. Its behavior is the same as that of the Freundlich equation except that the Sips equation possesses a finite saturation limit when the pressure is sufficiently high. However, it still shares the same disadvantage with the Freundlich isotherm in that neither of them have the right behavior at low pressure, that is they don't give the correct Henry law limit. The isotherm equation (3) is sometimes called the Langmuir-Freundlich equation in the literature because it has the combined form of Langmuir and Freundlich equations. The previous two equations (equations 2 and 3) have their limitations. The Freundlich equation is not valid at low and high end of the pressure range, and the Sips equation is not valid at the low end as they both do not possess the correct Henry law type behavior. One of the empirical equations that is popularly used and satisfies the two end limits is the Toth equation. This equation describes well many systems with sub-monolayer coverage, and it has the following form:
qe q m
Ce K T (1 ( K T Ce ) nT )1/ nT
(4) Here KT and nT are isotherm parameters, and these parameters are specific for adsorbate-adsorbent pairs. The heterogeneity of the system given by parameter nT and if the value of this parameter is unity, the above equation reduces to The Langmuir equation. KT is the adsorption affinity parameter. At very low concentrations, this equation also reduces to Henry’s law.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
11
Praktikum Teknik Kimia II
2. KINETIKA ADSORPSI A. Tujuan
Mempelajari kinetika adsorpsi zat warna pada beberapa jenis adsorbent Menentukan persamaan kinetika adsorpsi yang dapat mewakili data kinetika percobaan adsorpsi zat warna pada beberapa jenis adsorbent
B. Bahan
Zat warna (methylene biru, rhodamine B, Evans Blue, atau malachite green) Adsorbent (karbon aktif, bentonite, kaolin, organo-bentonite, organokaolin) Aquadest
C. Alat
Spektrofotometer Shaking water bath Centrifuge Erlenmeyer 250 mL (8 buah) Beaker glass 250 mL, 500 mL, dan 1 liter Labu ukur 100 mL (5 buah) Gelas ukur 100 mL Batang pengaduk
D. Cara Kerja
Buat kurva standard yang mengambarkan hubungan antara konsentrasi zat warna dan adsorbansi (adsorbansi 0,2 – 0,8). Buat larutan zat warna dengan konsentrasi tertentu sebanyak 1 liter. Tentukan konsentrasi awal zat warna dengan menggunakan spektrofotometer. Ambil 8 buah Erlenmeyer dan ke dalam Erlenmeyer tersebut masukkan masing-masing 100 ml zat warna. Tambahkan adsorbent dengan massa yang sama ke dalam masingmasing Erlenmeyer yang berisi larutan zat warna. Atur suhu pada water bath sesuai dengan petunjuk asisten praktikum. Masukkan Erlenmeyer yang telah berisi campuran adsorbent dan larutan zat warna ke dalam shaking water bath dan aduk pada kecepatan tertentu. Setiap selang waktu tertentu, keluarkan Erlenmeyer dari water bath, dan pisahkan filtrate dari padatan dengan menggunakan centrifuge separator.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
12
Praktikum Teknik Kimia II
Analisa konsentrasi zat warna dalam filtrate dengan menggunakan spektrofotometer. Hitung jumlah zat warna yang terserap per gram adsorbent dengan menggunakan rumus berikut ini qt = (Co – Ct).V/m
Gambarkan hubungan antara konsentrasi pada setiap saat (Ct) dan jumlah zat warna yang terserap per gram adsorbent pada setiap saat (qt). Tentukan persamaan kinetika adsorpsi (Pseudo-first atau Pesudo-second order) yang dapat mewakili data-data percobaan tersebut.
Theoretical Models of Sorption Kinetics (Adapted from Plazinski, W., Rudzinski, W., Plazinska, A., Advances in Colloid and Interface Science 152 (2009) 2-13) Predicting the rate at which the pollutant removal takes place in a given solid/solution system is one of the most crucial factors for the effective sorption system design. Many attempts have been made to formulate general mathematical expressions, which would be able to adequately describe the kinetics of sorption in such systems. The progress in this field appears to be limited by the fact that the description of sorption kinetics is a much more complicated problem than the theoretical description of sorption equilibria. This is because the expressions describing the thermodynamic quantities at equilibrium are only limiting forms of those describing the time evolution of these quantities under non-equilibrium conditions. According to the present state of knowledge, the sorption process can be described by the following consecutive steps (i) transport of solute in the bulk of the solution; (ii) diffusion of solute across the so-called liquid film surrounding sorbent particles; (iii) diffusion of solute in the liquid contained in the pores of sorbate particle and along the pore walls (intraparticle diffusion); (iv) adsorption and desorption of solute molecules on/from the sorbent surface. The overall sorption rate may mainly be controlled by any of these steps; a combined effect of a few steps is also possible. The development of an appropriate model can be based on accepting a certain fundamental approach to interfacial kinetics, such as the Langmuir model, for instance, and its further modification in order to adopt it for a given sorption system. This method has led to propose many expressions related to the concept of a chemical reaction occurring on the surface and its order. These include Langmuir kinetics, first order and second-order reversible, and first-order and second-order irreversible reactions based on the solute concentrations. Simultaneously, many simple, compact formulas, such as the pseudo-first (Lagergren), pseudo-second or Elovich equations have been applied for correlating kinetic data measured in many different systems. These formulae
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
13
Prakktikum Teknikk Kimia II
havve usually been asso ociated witth the surfa ace-reactio on kinetic step s as con ntrolling the e sorption rate. r Theirr main adva antage is simplicity s and a easine ess when applying a to correlate the data without th he necessiity of usin ng advanced compu utational ocedures. Most often n many diffferent rate e equations are teste ed in para allel and pro the e appropria ate best-fitt procedure es are use ed to verifyy whether one o is bettter than ano other. The linear leasst-squaress method, applied a to the t transfo ormed kine etic data is u usually ado opted for th his purpose. At th he end of 19th cen ntury, Lage ergren pre esented th he empiriccal rate equation for the adso orption of ocalic and d malonic acids ontto charcoa al. This ation, is equation, called the psseudo-firstt order equation or the Lagerrgren equa obably the e earliest known k one e describin ng the ratte of sorpttion in the e liquidpro pha ase systems. Moreo over, it ha as been o one of the e most wid dely used kinetic equations un ntil now. Itss differentia al form hass the follow wing formullation:
hen solving g the above equation n with the b boundary condition c q(t=0)=0, on ne Wh obttains:
meter is the time-sca aling factorr the value e of which decides how h fast The k1 param e equilibriu um in the system s can n be reach hed (the te endency off the increa asing k1 the vallue which results r in shorter s times required for a sys stem to rea ach an equ uilibrium is maintained d). The de ependence e of the k1 constant value on the applie ed initial aries from one o system m to another. It usually decreasses with sollute concentration va the e increasing initial solute conce entration in the bulk phase p The pseudo-se p cond orde er kineticss are usually asso ociated with w the situ uation whe en the rate of direct adsorption/ a /desorption n process (seen ( as a kind of che emical rea action) conttrols the ov verall sorption kineticcs. In fact, the mathe ematical exp pression correspond c ding to thiss model was w proposed by Blanchard et e al. to desscribe the e kinetics of o heavy metal rem moval by natural n zeo olites. The ere was acccepted the e assumption that the e rate of th he ion exch hange reac ction occurring on the e surface is responsible for the e removal kinetics and a that th he kinetic order o of thiss reaction is two witth respect to the num mber of ad dsorption sites s availa able for the e exchange e. m commonly-applie ed form of the pseudo-second order equa ation is The most tha at presente ed by Ho. It can be written w in itss differentia al form as:
or, after integ grating the above exp pression with w the bou undary con ndition q(t= =0)=0 d then rearrangemen nt: and
Uniiversitas Katolikk Widya Manda dala Surabaya
14
Prakktikum Teknikk Kimia II
wh here k2 is a constantt. The k2 constant c va alue is usu ually strongly depend dent on the e applied in nitial solute e concentra ation.
Uniiversitas Katolikk Widya Manda dala Surabaya
15
Praktikum Teknik Kimia II
3. PEMBUATAN BAKELITE: KONDENSASI POLIMERISASI FENOL DAN FORMALDEHIDE
A. Tujuan
Mempelajari reaksi polimerisasi kondensasi pada pebuatan bakelite
B. Bahan
Fenol Formaldehid/formalin Larutan ammonia pekat Acetone Asam asetat
C. Alat
Labu alas bundar 250 mL Reflux condenser Jaket pemanas Tabung reaksi Heating water bath
D. Cara Kerja
Masukkan 9 mL fenol dan 30 mL larutan formaldehid 37% ke dalam labu alas bundar 250 mL. Lalu tambahkan 4,5 mL larutan ammonia pekat ke dalam campuran, kemudian labu dikocok perlahan lahan hingga campuran betul-betul bercampur. Kemudian pada labu pasang reflux condenser dan panaskan campuran hingga mencapai titik didih. Pada saat pemanasan, lihat dengan baik perubahan larutan yang terjadi, dan catat saat larutan menjadi berkabut. Setelah larutan menjadi berkabut, pemanasan tetap dilanjutkan selama 5 menit. Kemudian tuangkan larutan hangat ke dalam beaker glass Bilas labu alas bundar dengan aseton dengan segera. Larutan di dalam beaker glass terdiri dari 2 lapisan, lapisan bagian merupakan lapisan berkabut, dan lapisan bagian bawah merupakan lapisan berwarna agak gelap. Pisahkan lapisan bagian atas dengan menggunakan pipet. Kemudian hangatkan lapisan bagian bawah pada water bath pada suhu 60-65oC, dan tambahkan asam asetat tetes demi tetes sambil dilakukan pengadukan pada larutan. Untuk pengadukan gunakan pengaduk yang terbuat dari kayu.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
16
Praktikum Teknik Kimia II
Penambahan asam asetat dilakukan hingga larutan menjadi jernih, dan panaskan larutan selama 30 menit pada suhu 60-65oC. Letakkan pengaduk kayu ditengah-tengah beaker glass dan letakkan di oven pada suhu 80-85oC selama semalam. Kemudian test kelarutan polimer tersebut pada toluene, aceton, dan methanol.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
17
Praktikum Teknik Kimia II
4. PENENTUAN PARTIAL MOLAR VOLUME SUATU LARUTAN A.
Tujuan
B.
Menentukan molar volume suatu larutan Bahan
C.
Aquadest MgSO4 Alat
D.
Gelas ukur 100 mL Pengaduk Cara Kerja
Masukkan 50 mL aquadest ke dalam gelas ukur 100 mL Tambahkan 1 gram MgSO4, dan aduk hingga larut, amati dan catat perubahan volume yang terjadi. Kemudian tambahkan 1 gram MgSO4 lagi dan amati perubahan volume yang terjadi. Percobaan di atas diulangi sampai massa MgSO4 yang ditambahkan mencapai 10 gram. Buat kurva hubungan antara volume dengan mol MgSO4 yang ditambahkan.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
18
Praktikum Teknik Kimia II
5. DESTILASI UAP A.
Tujuan
B.
Memisahkan eugenol dari bunga cengkeh Bahan
C.
Bunga cengkeh kering Aquadest Alat
D.
Seperangkat alat destilasi uap Mortar dan pestle Cara Kerja
Timbang 20 gram cengkeh, hancurkan dengan menggunakan mortar dan pestle. Kemudian masukkan serbuk cengkeh tersebut dalam 250 mL labu alas bundar dan tambahkan 30-40 mL air sampai semua serbuk cengkeh tersebut benar-benar terendam. Kemudian rangkai peralatan destilasi uap. Setelah alat destilasi uap terangkai, cek kembali apakah sambungansambungan sudah tertutup dengan baik untuk mencegah terjadinya kebocoran. Kemudian alirkan air pendingin ke dalam kondensor dan nyalahkan pemanas untuk membuat steam. Setelah steam mengalir ke dalam system, tamping destilat yang keluar system dengan menggunakan Erlenmeyer 250 mL. Ambil ± 100 mL destilat dan masukkan ke dalam corong pemisah, tambahkan 25 mL diethyl ether untuk mengekstrak eugenol. Kocok selama beberapa saat. Pisahkan bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas masukkan dalam Erlenmeyer sedangkan bagian bawah masukkan kembali ke dalam corong pisah dan tambahkan 25 mL diethyl ether. Kemudian kocok selama beberapa saat dan pisahkan bagian bawah dan atas. Masukkan bagian atas ke dalam Erlenmeyer. Tambahkan natrium sulfat anhidrat ke dalam Erlenmeyer yang berisi campuran eugenol dan diethyl ether untuk menghilangkan air. Kemudian saring padatan dan tambahkan lagi natrium sulfat anhidrat ke dalam larutan sampai padatan tidak menggumpal, kemudian pisahkan.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
19
Praktikum Teknik Kimia II
Pisahkan diethyl ether dan eugenol dengan menggunakan destilasi, ingat diethyl ether adalah senyawa organic yag sangat mudah terbakar, destilasi lakukan dengan menggunakan jaket pemanas atau steam bath. Timbang berapa gram eugenol yang diperoleh.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
20
Praktikum Teknik Kimia II
6. REAKSI ESTERIFIKASI A.
Tujuan
B.
Mempelajari reaksi esterifikasi Bahan
C.
Alkohol Asam asetat glacial Asam sulfat pekat Natrium carbonat (30%) Alat
D.
Labu leher tiga alas bundar Thermometer Jaket pemanas Reflux kondensor Liebig kondensor Beaker glass Cara Kerja
Masukkan 50 mL alcohol dan 50 mL asam asetat ke dalam labu leher tiga alas bundar. Tambahkan 15 mL asam sulfat pekat dengan hati-hati ke dalam campuran Kemudian pasang reflux kondensor dan thermometer pada labu leher tiga dan didihkan campuran selama lebih kurang 30 menit. Kemudian ganti reflux kondensor dengan liebig kondensor dan lakukan destilasi sampai diperoleh kira-2 60-65 mL destilat. Tampung destilat dalam Erlenmeyer. Tambahkan 12,5 mL larutan 30% natrium karbonat untuk menetralkan sisa asam asetat dan asam sulfat. Pisahkan lapisan air dari lapisan organic dengan menggunakan corong pisah. Timbang hasil yang diperoleh.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
21