PESAN HUMANISME DALAM FOTO JURNALISTIK “VIVERE-DARE TO LIVE” KARYA MAMUK ISMUNTORO Mochamad Subecky Nurcahyo1 dan Wahyu Triatmojo
Abstrack As media messenger, photo journalism have the power to present a visual that can attract an audience. He was also able to bridge the language barrier. Mud disaster has happened since May 29, 2206 at Porong Sidoarjo is the longest-ever disaster in Indonesia. This disaster drew the attention of various media. Hundreds of domestic and foreign photographers have immortalize through various themes and points of view. One such photographer is Mamuk Ismuntoro. Mamuk, capturing different angles Porong mud disaster by holding a photo exhibition entitled "Dare to Vivere-Line" which was held at the gallery MAMIPO in Malang, East Java. Of the many photographs held, the researchers chose two images to be analyzed. This option is based on the consideration of two images is considered to represent the themes raised. The study was conducted by using a version of Roland Barthes' semiotic approach. Key Words: Journalistim Photography, Mud Disaster, Semiotic Abstrak Sebagai media penyampai pesan, foto jurnalistik memiliki kekuatan menghadirkan visual yang mampu menarik audiens. Ia, juga mampu menjembatani keterbatasan bahasa. Bencana lumpur yang terjadi sejak 29 Mei 2206 di Porong Sidoarjo merupakan bencana terlama yang pernah terjadi di Indonesia. Bencana ini menarik perhatian dari berbagai media massa. Ratusan fotografer dalam dan luar negeri telah mengabadikannya lewat berbagai tema dan sudut pandang. Salah satu fotografer tersebut adalah Mamuk Ismuntoro. Mamuk, mengabadikan berbagai sudut pandang bencana lumpur Porong dengan menggelar pameran foto berjudul “Vivere-Dare to Line” yang digelar di galeri MAMIPO di Malang, Jawa Timur. Dari sekian banyak karya foto yang digelar, peneliti memilih 2 foto untuk dianalisis. Pilihan ini didasari pertimbangan dua foto dimaksud dianggap mampu mewakili tema yang diangkat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Semiotik versi Roland Barthes. Kata Kunci: Foto Jurnalistik, Bencana Lumpur, Semiotik
Pendahuluan Foto, pada dasarnya merupakan sarana berkomunikasi bagi seorang fotografer kepada orang lain tentang suatu hal. Foto dapat diartikan sebagai ungkapan melalui bahasa gambar atau visual. Lewat selembar foto, seseorang dapat bercerita mengenai suatu peristiwa, kegiatan, ekspresi, kenangan atau bahkan berbagi ide/gagasan kepada orang lain. Fotografi 1
Mochamad Subecky Nurcahyo adalah Fotografer di harian Jawa Pos. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
merupakan bentuk komunikasi visual yang menitikberatkan pada citra yang tidak bergerak dan tanpa suara dalam menyampaikan ide atau pesan. Untuk dapat mengungkapkan sebuah ide melalui foto, maka elemen yang membentuk foto tersebut harus tepat sesuai konteks yang dimaksudkan. Elemen tersebut meliputi pencahayaan, sudut pemotretan, komposisi, dan momen. Pada perkembangannya, foto juga berperan sebagai penyampai berita. Foto menjadi fakta atas sebuah peristiwa. Seperti diungkapkan Davidson (1976, 22): Melalui evolusi yang bertahap, media cetak yang awalnya memakai foto sebagai pelengkap berita, menjadikan foto sebagai hal terpenting dalam pemberitaan dengan teks yang minimalis sebagai pendukung foto. Karena pada kenyataannya foto dapat menjembatani hambatan bahasa.
Peran foto sebagai medium penyampai berita mulai diperhitungkan tahun 1930. Yaitu sejak Wilson Hick, redaktur foto Majalah Life di Amerika menjadikan kumpulan foto sebagai mediun penyampai pesan dalam majalahnya dengan satu tema teks yang minimalis. Inilah yang menjadi awal berkembangnya foto jurnalistik. Sejak saat itulah foto-foto dokumentasi tentang kemiskinan, peperangan, dan sebagainya berkembang pesat. Menurut pengertian Hick, foto jurnalistik adalah suatu berita yang disajikan dalam bentuk foto. Atau bisa diistilahkan sebagai suatu kejadian yang ditampilkan dalam bahasa gambar. Henry Cartier Benson, salah satu pendiri agen foto Magnum menyatakan foto jurnalistik berkisah dengan gambar, melaporkannya melalui kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra mengungkap sebuah cerita. Selain gambar, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkai dalam kalimat yang disebut dengan teks foto atau caption. Caption dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke publik. Tanpa teks, foto hanyalah gambar tanpa bisa diketahui informasi yang ada di baliknya. Di Indonesia, foto jurnalistik dikenal melalui Alex Mendur (1907-1984), Kepala Kantor Berita Jepang, Domei, yang mengabadikan peristiwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Perkembangan industri media cetak di Indonesia pada awal tahun 1970-an menjadi momentum penting bagi kelahiran fotografer-fotografer baru. Namun, pertambahan kuantitas ini tidak berbanding lurus dengan perkembangan fotografi itu sendiri. industri media cetak tidak menaruh perhatian lebih jauh pada peran fotografi, selain keperluan informasi visual yang mendukung berita. Perkembangan teknologi dewasa ini turut berperan dalam perkembangan fotografi. Para fotografer semakin dimudahkan dalam membuat karya-karya foto yang lebih berkualitas. Kebebasan informasi turut membantu penyebarluasan karya foto di media massa yang di masa orde baru banyak dibatasi oleh hal-hal yang dianggap merusak citra pemerintah. Di Indonesia, tema yang banyak diminati oleh fotografer adalah “human interest”. Boleh jadi ini disebabkan karena tema human interest mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang selalu bersifat unik. Menurut Deniek G. Sukarya, manusia dan seluruh kehidupannya selalu menarik untuk dijadikan objek fotografi, terlebih dalam momen-momen yang menyentuh (Sukarya, 2008). November 2008, fotografer Mamuk Ismuntoro menggelar pameran foto mengenai bencana lumpur Sidoarjo. Pameran ini diselenggarakan di galeri Malang Meeting Point (MAMIPO). 26 karya foto sang fotografer dipamerkan dalam ajang tersebut. Selain dipublikasikan dalam pameran, kompilasi karya foto ini telah dimuat di sejumlah media massa seperti Koran jurnal Nasional Jakarta, 16 November 2008, Majalah Exposure edisi Januari 2009, dan harian The Jakarta Post, 11 November 2008. Pameran foto bertajuk “Vivere-Dare to Live” ini menyuguhkan berbagai sisi kehidupan manusia dari bencana lumpur yang terjadi pertengahan tahun 2006 di Porong, Sidoarjo. Mamuk, mencoba memotret sisi lain dari dampak lumpur yang sudah banyak diekspos oleh media massa. Sudut pandang yang dipilih sebagian besar mengenai sisi
kemanusiaan para korban dan bagaimana upaya mereka untuk bertahan hidup di lingkungan yang telah rusak. Potret seorang petani yang kehilangan lahan sawahnya dan harus bekerja sebagai pengumpul batu, kehidupan anak-anak di pengungsian, dan berbagai kisah tentang korban lumpur. Dua foto yang dipilih sebagai objek penelitian ini adalah (1) “Pernikahan Diana”: foto seorang perempuan yang mengenakan baju pengantin dengan latar belakang sebuah kamar kumuh dan barang-barang yang rusak; dan (2) “Coretan Dinding”: foto lukisan dinding yang menggambarkan dua orang yang menjerit karena diinjak. Bencana lumpur yang terjadi di Porong, Sidoarjo sudah berlangsung selama 4 tahun lebih. Namun hingga kini belum dapat diatasi. Dampaknya bukan saja menghancurkan infrastruktur seperti jalan raya, perumahan, pabrik dan sawah. Dampak ekonomi, psikologis juga dirasakan masyarakat korban lumpur yang hingga kini belum mendapatkan ganti rugi. Catatan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, terdapat empat perempuan korban lumpur yang bekerja sebagai pekerja seks di lokalisasi Dolly Surabaya, Tretes, dan Pasuruan dengan kisaran usia 16-35 tahun. LSM Solidaritas Perempuan mengungkapkan bahwa semburan lumpur Porong juga menjadikan perempuan sebagai pencari modal utama karena suami tak dapat lagi bekerja. Lumpur Porong juga memicu beban psikologis bagi perempuan termasuk perempuan yang masih harus tinggal di pengungsian. Pengungsi juga harus mengeluarkan tambahan biaya untuk mendapatkan air bersih. Terbatasnya fasilitas air bersih di pengungsian juga berdampak terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Dampak buruk semburan lumpur juga dirasakan oleh anak-anak. Banyak anak yang akhirnya tidak dapat melanjutkan sekolah karena berbagai faktor: biaya, jarak sekolah yang jauh, dan beban psikologis yang dialami. Begitu banyak tulisan telah dilaporkan melalui media massa. Begitu juga dengan foto jurnalistik mengenainya. Mamuk Ismuntoro menjadi satu dari sekian banyak fotografer yang memotret peristiwa lumpur Porong dalam sudut pandang kemanusiaan. Dua dari sekian banyak foto yang dihasilkannya berusaha menyampaikan gagasan dan pesannya mengenai korban lumpur. Upaya mendayagunakan simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual memiliki karakteristik khas yang bersifat menimbulkan efek tertentu. Elemenelemen visual ini dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan Semiotik yang memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki tanda (Sobur, 2006). Dengan memakai model Semiotik Rolland Barthes, foto dianalisis melalui signifikasi dua tahap: mencari makna denotatif dan konomotatif (Sumardi, 2002). Makna konotasi inilah yang kemudian dikaitkan dengan mitos sehingga dapat diketahui pesan humanisme dalam foto jurnalistik Vivere-Dare to Life. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pesan humanisme dalam foto jurnalistik Vivere-Dare to Life dilihat dari perspektif Semiotik?”. Kajian Pustaka Foto Jurnalistik Sebagai Medium Penyampai Pesan Penggunaan foto sebagai media merupakan bukti tentang pandangan sosial atau ideologi komunikatornya. Isi dalam foto jurnalistik berusaha menjelaskan berbagai aspek tertentu dari arti atau bentuknya. Foto jurnalistik dimuati struktur yang mendasari hubungan internal dari berbagai unsur di dalamnya (McQuail, 1987). Menurut Theissen (1966), seorang fotografer harus dapat merasakan lingkungan objek foto, agar persepsinya dapat tersalurkan lewat sebuah foto yang mengandung unsur informatif, faktual, penting, serta dapat membuat masyarakat berpikir lebih kritis dan lebih cerdas.
Ada delapan karakter foto jurnalistik menurut Frank P. Hoy: Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan foto terhadap suatu objek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi; Medium foto jurnalistik adalah media cetak: koran dan majalah, dan media kabel atau satelit, juga internet seperti kantor berita (wire service); Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita; Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto; Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto; Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak. Ini berarti pesan yang disampaikan mesti singkat dan dapat diterima berbagai kalangan; Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto; Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada masyarakat sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (Alwi, 2004:4).
Semiotika Semiotik adalah ilmu tentang tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial dan masyarakat merupakan tanda-tanda. Semiotik memelajari sistem, aturan, konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Sobur, 2001:96). Bagi semiotik, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan maksna. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiasi terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan tanda yang menyusun teks (Fiske, 2007). Tiga bidang studi utama semiotik adalah (1) tanda itu sendiri; (2) sistem yang mengorganisasikan tanda; (3) kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ada dua pendekatan terhadap tanda-tanda yang sering menjadi rujukan. Pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan Charles Sander Pierce. Pierce menandaskan bahwa tanda berkaitan dengan objek yang menyerupainya. Keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda. Pierce melihat tanda, acuannya, dan penggunaannya sebagai titik dalam segitiga (makna). Yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun dari dua elemen yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep di mana bunyi disandarkan. Menurut Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Semiotika Rolland Barthes Rolland Barthes, pengikut Saussure mengembangkan teori makna milik Saussure lewat gagasan tentang dua tatanan petanda (order of signification). Semiotika menurut Barthes, pada dasarnya hendak memelajari bagaimana kemanusiaan memaknai banyak hal. Memaknai (to signify) dalam hal ini berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, di mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengartikan sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006). Model sistematis Rolland Barthes menganalisis makna dari tanda-tanda melalui signifikasi dua tahap: (1) Denotasi: merupakan tatanan hubungan antara signifier dan signified dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk, bersifat langsung dan umum; (2) Konotasi: merupakan signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan bentuk. Dipakai untuk menjelaskan salah satu cara kerja tanda dalam tatanan penandaan kedua.
Menurut Fiske, dalam konteks fotografi denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Sedangkan konotasi merupakan bagian manusiawi dari proses ini, mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, sudut pandang kamera, dan seterusnya (Fiske, 2007). Dengan memakai model Rolland Barthes, foto dapat dianalisis melalui: (1) pesan ikonik yang tak terkodekan; dan (2) pesan ikonik yang terkodekan. Pesan ikonik yang tak terkodekan merupakan tatanan denotasi yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik, sementara pesan ikonik yang terkodekan itu sendiri merupakan tatanan konotasi yang keberadaannya didasarkan atas budaya tertentu. Dari tatanan kedua, kita menemukan makna di mana petanda mengacu pada budaya tertentu. Prosedur Konotasi Barthes menyebut enam prosedur yang memengaruhi gambar (Sumardi, 2002: 173). Enam langkah tersebut meliputi: (1) Trick Effect: memadukan dua gambar sekaligus; (2) Pose; (3) Pemilihan Objek; (4) Estetisme; (5) Fotogenia: berkaitan dengan pengaturan pencahayaan dan eksposure; (6) Sintaksis. Dari keenam prosedur konotasi di atas, peneliti hanya akan menggunakan langkah pose, objek, fotogenia, dan sintaksis. Trick Effect dan estetisme tidak digunakan karena merupakan prosedur mengedit gambar sehingga foto tersebut tidak lagi faktual. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memilih objek penelitian berupa dua karya foto yang dipilih sebagai unit analisis dari 26 karya foto yang dihasilkan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi sementara sumber data yang digunakan berasal dari katalog pameran foto “Vivere-Dare to Live”. Pembahasan Makna denotasi dan konotasi dalam foto “Coretan Dinding” Denotasi: foto berjudul “Coretan Dinding” menampilkan gambar sebuah lukisan di dinding (mural) sebagai objek utama. Foto diambil dengan format vertikal dengan ukuran medium long shot sehingga tampak keseluruhan objek dan dindingnya. Foto ini merupakan foto dengan ruang tajam yang luas sehingga keseluruhan objek tampak fokus dengan sudut pemotretan sejajar dengan pandangan mata. Pencahayaan yang natural berasal dari cahaya matahari. Konotasi: (1) Objek: sebagai media yang berfungsi sebagai salah satu instrumen komunikasi publik, mural sering digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Tampilan mural di dinding ini berisi gambar sepatu bot yang menginjak dua orang. Pada gambar sepatu bot terdapat tulisan “penguasa dan pengusaha”. Selain itu di bawah lukisan terdapat rak sepatu berisi sandal jepit berserakan. Sepatu bot ini mengonotasikan makna dari penguasa yang diposisikan berada di atas dan sandal jepit yang mewakili rakyat jelata berada di bawah. Dinding yang rusak menjadi media mural mengkonotasikan sesuatu yang tak terawat. Hal ini menggambarkan bagaimana kondisi para pengungi. Gambar dua orang yang terinjak sepatu mengkononotasikan kondisi masyarakat yang terjepit dan menderita karena bencana (2) Pose: menurut Kris Budiman dalam buku Semiotika Visual (2003:71), pose berhubungan dengan subjek yang ada dalam sebuah foto. Dalam foto “Coretan Dinding” ini tidak ada subjek manusia yang ditampilkan.
(3) Fotogenia: warna hitam merupakan lambang perasaan tertekan (Gonzo, 2008:30). Gradasi warna putih/cerah dari atas menuju hitam/gelap semakin ke bawah menggambarkan penanganan bencana yang makin berbelit-belit. Juga penanganan ganti rugi kepada korban lumpur yang sebagian belum tertangani. Selama empat tahun berlangsungnya bencana, dari 13.585 berkas ganti rugi yang diajukan warga, baru 50% yang sudah terealisasi pembayarannya (29 Cerita Menentang Bungkam). Makna denotasi dan konotasi dalam foto “Pernikahan Diana” Denotasi: tampilan foto “Pernikahan Diana” menggambarkan seorang wanita yang sedang duduk di kursi plastik berwarna biru di dalam sebuah kamar. Wanita tersebut merupakan seorang mempelai. Hal ini diperlihatkan melalui kostum yang digunakan, rangkaian bunga yang dipegangnya dan pose duduk yang mengarah kepada fotografer. Foto diambil dalam format horizontal dengan sumber cahaya dari depan menyinari sebagian isi kamar. Foto ini memiliki ruang tajam yang luas karena keseluruhan objek dalam foto tampak jelas dari subjek. Konotasi: (1) Objek: fokus dalam foto adalah seorang wanita berbaju pengantin. Dari sini diperoleh gambaran bahwa perempuan itu akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan itu mengkonotasikan kehidupan baru. Ini adalah potret gambaran keinginan warga korban lumpur untuk meninggalkan kenangan dan kehidupan mereka yang lama dan menggantinya dengan kehidupan dan harapan di tempat yang baru. Latar belakang tembok yang lusuh mengkononotasikan sesuatu yang rapuh. Hal ini mengkonotasikan bagaimana para pengungsi harus rela menempati tempat-tempat pengungsian yang sebetulnya tak layak tinggal. Sekitar 3.633 kepala keluarga menempati 272 kios di Pasar Baru Porong (
[email protected]). Mainan yang tergantung dan boneka dalam foto menggambarkan bahwa wanita dalam foto ini sesungguhnya masih kanak-kanak. Dia belum siap menjalani hidupberkeluarga. Ini seakan juga mengkonotasikan gambaran kehidupan perempuan korban lumpur yang di’paksa’ menjadi dewasa sebelum waktunya. (2) Pose: dari pose model yang melihat ke arah fotografer, secara tidak langsung wanita dalam foto ini memandang ke arah audien foto. Seakan-akan ia ingin membagi kebahagiaannya di hari pernikahan meski hal ini kontras dengan kondisi kehidupannya. (3) Fotogenia: warna putih melambangkan kemurnian, memberikan perlindungan, ketenteraman, dan kenyamanan (Gonzo, 2008: 29). Hal ini mengkonotasikan gambaran dari niat untuk mewujudkan kehidupan yang baru. Cahaya yang berasal dari kamera membuat gaun putih yang dipakai tampak bersinar dan membuat subjek lebih “menyala” daripada objek di sekitarnya. Hal ini menggambarkan bahwa di tengah carut marut masalah lumpur, wanita ini seumpama cahaya di tengah kegelapan, mewakili semangat dari ribuan korban lumpur. Sintaksis: Menurut Barthes (Noth, 1990:453-454), teks yang menjelaskan gambar berfungsi: (1) Menambat. Mengarahkan pembaca kepada makna tertentu dalam memaknai petanda gambar; (2) Memancarkan. Di mana teks dan foto sebagai dua unsur yang saling melengkapi, keduanya merupakan bagian dari sebuah rangkaian sintagma yang lebih besar. Pada foto”Coretan Dinding” terdapat caption foto yang berbunyi “Warga korban lumpur mengekspresikan perasaan mereka pada sekat kain di bedak-bedak pengungsian Pasar Baru, Porong”. Sedangkan pada foto “Pernikahan Diana”, captionnya berbunyi “Diana (19)
berada di kamarnya, di pengungsian Pasar Baru Porong. Dia melangsungkan pernikahannya usai lulus SMU dan berencana tinggal sementara di pengungsian bersama sang suami". Foto jurnalistik mesti memenuhi unsur 5W + H. Caption hadir untuk melengkapi unsur yang tidak ada dalam foto sehingga pesan pada foto dapat tersampaikan kepada audiens. Pada kedua foto ini dapat kita temui pesan yang muncul mengenai keberanian warga korban lumpur untuk bertahan memperjuangkan kehidupan di tengah segala kesulitan yang mereka alami. Menurut Sigmund Freud, naluri hidup meliputi naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk berkembang biak. Kedua foto ini mewakili naluri-naluri kehidupan yang masih ada di tengah warga korban lumpur Porong. Di tengah bencana dan kehancuran hidup mesti terus berjalan dengan membangun kembali kehidupan, merasakan komunitas bersama dan bercita-cita menggapai kesejahteraan dengan menjalani kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2001. Mythologies. Canada: Harper Collind Canada Ltd. Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Cemeti. Cahn, William. 1972. Photojournalism. New York: Time-Life Book. Christomy, R dan Yuwono U. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia. Feininger, Andreas. 1969. The Complete Photography. USA: Prentice-Hall. Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Freund, Sigmund. ____________. An Outline of Psycoanalisis. London: The Hogart Press. Gonzo, Harry. 2008. Kombinasi Warna. Kriyantono, Rakhmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media. Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Theissen, Earl. 1996. Photographic Approach to People. New York: Amphoto Book Publishing. Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. _______________. 2009. 29 Cerita Menentang Bungkam. Surabaya: Kanal Press.