PERUBAHAN STRUKTUR MIKROSKOPIS OTOT SAPI OLEH AKTIVITAS PROTEOLITIK Lactobacillus plantarum PADA DENDENG FERMENTASI
SKRIPSI RIEN SHABRINA NURRAHMI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RIEN SHABRINA NURRAHMI. D14203085. 2007. Perubahan Struktur Mikroskopis Daging Sapi oleh Aktivitas Proteolitik Lactobacillus plantarum pada Dendeng Fermentasi. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S. Pt., MSi. Pembimbing Anggota : Drh. Adi Winarto, Ph. D. Daging merupakan pangan sumber protein hewani yang memiliki kandungan nutrisi lengkap terutama komposisi proteinnya. Protein dibutuhkan bagi tubuh untuk membentuk sel-sel penyusun tubuh yang sebagian besar tersusun atas protein. Protein tersusun dari beberapa molekul asam amino yang kemudian akan diserap oleh tubuh. Kandungan protein dalam daging sebesar 20%, lebih tinggi dibandingkan sumber protein nabati dan memiliki nilai biologis yang tinggi. Daging memiliki karakteristik mudah rusak (perishable) oleh aktivitas mikroorganisme. Kekurangan ini dapat diatasi dengan memberikan beberapa perlakuan yang bertujuan memperpanjang daya simpannya. Salah satu metode tersebut adalah dengan cara fermentasi. Fermentasi merupakan metode pengawetan yang telah dilakukan sejak dulu. Fermentasi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan kultur starter Lactobacillus plantarum hasil isolasi dari daging sapi mentah. Kultur yang digunakan sebanyak 10 % b/b dari bobot daging. Daging yang digunakan adalah daging bagian knuckle yang diberi 2 jenis perlakuan mekanis, pengirisan dan penggilingan. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengkaji aktivitas Lactobacillus plantarum dengan pada dendeng fermentasi dengan perlakuan mekanis. Perlakuan mekanis diharapkan menunjukkan hasil yang berbeda akibat luasan permukaan daging yang berbeda antar perlakuan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola searah dengan pengaruh mekanis sebagai perlakuan yang dilakukan sebanyak tiga ulangan. Pengambilan data kuantitatif diamati secara mikroskopis terhadap diameter serabut otot dan panjang sarkomer. Kondisi sarkomer dan keadaan bundel otot diamati secara kualitatif di bawah mikroskop. Peubah yang diukur dianalisis dengan ANOVA. Hasil pengamatan kuantitatif menunjukkan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan daging tidak memberikan pengaruh nyata terhadap struktur dendeng fermentasi (p>0,05). Namun, secara kualitatif terdapat perbedaan kondisi sarkomer antara daging segar dan dendeng fermentasi. Kata-kata kunci : dendeng, Lactobacillus plantarum, struktur mikroskopis otot
ABSTRACT Histomorphological Structure’s Change of Beef Muscle by The Activities of Lactobacillus plantarum on Fermented Dendeng Nurrahmi, R. S. , I. I. Arief , and A. Winarto Meat is a high nutrition animal product, especially its protein content. Protein is needed by the body for tissue growth, for replacement of lost protein or source of energy. The absorption of protein by digestive tract in the body in form of amino acids. Animal protein have higher biological values than found in plants. Based on its nutritional content, the animal protein is also good as a medium for bacterial growths. There are many ways to extend the shelflife of meat such as dehydration, freezing or fermentation. Fermentation is one of the oldest food technologies that has been widely known. The aim of this research was to study the effect of proteolytic activity of Lactobacillus plantarum on microscopic structure of fermented beef that was received a mechanical treatment. Beef meat that was used in this study was obtained from Laboratory of IPT Ruminansia Besar. The starter culture of Lactobacillus plantarum was formerly isolated from fresh beef. The starter culture was added at 10 % (w/w) into sliced and minced meat. Randomized block design was used in this study. The results showed that mechanical treatments of meat did not effect to the microscopic structures of the fermented dendeng (P>0.05). The sarcomere length had no difference between the two treatments, the diameter of muscle fiber which compared among sliced fermented meat also showed no difference on its size. The activities of culture’s enzyme and lactic acid affected to histological structure of meat which characterized by breaking down of A- band of the sarcomere. Keywords : sarcomere length, diameter of the muscle fiber, Lactobacillus plantarum, mechanical treatments on meat.
PERUBAHAN STRUKTUR MIKROSKOPIS DAGING SAPI OLEH AKTIVITAS PROTEOLITIK Lactobacillus plantarum PADA DENDENG FERMENTASI
RIEN SHABRINA NURRAHMI D14203085
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERUBAHAN STRUKTUR MIKROSKOPIS OTOT SAPI OLEH AKTIVITAS PROTEOLITIK Lactobacillus plantarum PADA DENDENG FERMENTASI
Oleh : RIEN SHABRINA NURRAHMI D14203085
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 Januari 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Irma Isnafia A., S. Pt, M.Si NIP. 132 243 330
Drh. Adi Winarto, Ph. D NIP. 131 578 835
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1984 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sofyan dan Ibu R. E. Muljaningsih. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Panaragan II Bogor. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Al-Ghazaly Bogor hingga tahun 1999 dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Negeri 6 Bogor. Pada tahun 2003, penulis diterima di Fakultas Peternakan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan. Sejak tingkat pertama hingga semester 6 penulis merupakan anggota Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB dan pada tingkat kedua penulis bergabung dalam Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim (FAMM) Al- An’aam sebagai anggota hingga tahun 2006. Penulis menjadi staf Departemen Pertanian BEM KM IPB Kabinet IPB Bersatu periode 2006-2007. Penulis juga telah mengikuti beberapa kepanitiaan kegiatan seperti Bulan Bakti Peternakan dan kegiatan Tour The School pada tahun 2005 serta kegiatan Masa Pengenalan Fakultas (MPF) yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis juga mengikuti kegiatan Leadership and Entrepreneurship School (LES) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan BEM KM IPB selama bulan Mei hingga November tahun 2007.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi dengan judul ”Perubahan Struktur Mikroskopis Otot Sapi oleh Aktivitas Proteolitik Lactobacillus plantarum pada Dendeng Fermentasi ” ini disusun sebagai hasil dari penelitian bersama tim yang telah dilakukan penulis pada tahun 2006. Skripsi ini merupakan salah satu hasil pelaksanaan penelitian yang didanai oleh Program Hibah Bersaing Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2006. Penelitian dimulai pada saat penulis masih aktif kuliah pada semester VII. Penelitian dilakukan dalam tim untuk mengkaji aktivitas proteolitik kultur starter pada peubah yang berbeda. Pengkajian dilakukan pada aktivitas proteolitik kultur dan produk, jumlah (populasi) mikroba pada produk, sifat fisik dan kimia produk serta keadaan mikroskopis otot. Penulis memfokuskan diri pada pengkajian kondisi mikroskopis otot pada produk yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum hasil isolasi dari daging sapi mentah. Harapannya, penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri pengolahan pangan untuk berkontribusi dalam hal difersivikasi pangan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam penulisan tugas akhir ini. Akhir kata, semoga keberadaan tulisan ini kiranya dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
i
ABSTRACT ...............................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xi
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................. Tujuan .............................................................................................. Manfaat ...........................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Daging ............................................................................................ Daging Knuckle ................................................................. Daging Giling ..................................................................... Keempukan Daging ........................................................... Struktur Mikroskopis Daging ............................................ Otot ................................................................................................. Jaringan Ikat ................................................................................... Dendeng .......................................................................................... Pengasapan ..................................................................................... Pengasapan Dingin ............................................................. Fermentasi ......................................................................................
3 4 4 4 5 5 7 8 8 9 9
Lactobacillus plantarum .................................................................
10
MATERI DAN METODE…………………..…………………………….
12
Lokasi dan Waktu ………………………………………………... Materi .............................................................................................. Rancangan ...................................................................................... Prosedur ..........................................................................................
12 12 12 13
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. Analisa Histologis .......................................................................... Panjang Sarkomer ............................................................... Diameter Serabut Otot ....................................................... Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan pH ................... Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan Keempukan .... Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan Aktivitas
18 20 20 23 25 26 27
Proteolitik ....................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
29
Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
29 29
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
31
LAMPIRAN .................................................................................................
35
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Daging Sapi dan Dendeng Sapi ........................................
3
2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Berdasarkan SNI 01-29081992 .....................................................................................................
8
3. Hasil Kualitas Dendeng Fermentasi ....................................................
19
4. Data Hasil Pengamatan pada Daging Segar, Daging Fermentasi Lactobacillus plantarum dan Daging Fermentasi Asap .........................
20
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Otot Rangka .........................................................................
5
2. Sarkomer Otot ....................................................................................
7
3. Lactobacillus plantarum .....................................................................
10
4. Diagram Pembiakan Starter Kultur Lactobacillus plantarum ...........
14
5. Teknologi Proses Daging Fermentasi .................................................
15
6. Potongan Memanjang Serabut Otot ....................................................
21
7. Potongan Melintang Serabut Otot .......................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Panjang Sarkomer Otot .................
36
2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Diameter Serabut Otot ..................
36
3. Dendeng Fermentasi Giling .................................................................
37
4. Dendeng Fermentasi Iris .....................................................................
37
5. Pengukuran Diameter Serabut Otot ....................................................
38
6. Pengukuran Panjang Sarkomer ...........................................................
39
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang mengandung nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tubuh manusia. Daging adalah salah satu sumber protein yang memiliki sejumlah asam amino esensial dan memiliki nilai biologis dan kecernaan yang baik (Lawrie, 2003). Sumber pangan hewani ini biasanya berasal dari ternak sapi, domba, kambing, unggas, kelinci dan babi. Di samping keunggulan sebagai sumber protein yang baik, daging memiliki kekurangan dari segi ketahanan terhadap lingkungan. Daging memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pertumbuhan mikroorganisme sehingga rentan terhadap kerusakan. Adanya mikroorganisme patogen yang tumbuh tersebut dapat menimbulkan penyakit pada yang mengkonsumsinya atau dikenal dengan foodborne diseases. Sifat daging yang mudah rusak tersebut menyebabkan daya simpannya pada suhu ruang relatif singkat. Masyarakat pada saat ini mulai menyadari untuk mengkonsumsi pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Tuntutan terhadap penyediaan daging dan produk daging yang berkualitas dengan demikian semakin mengalami peningkatan. Berbagai upaya pengawetan telah dilakukan dalam industri pengolahan daging. Salah satu di antaranya ialah dengan fermentasi. Di Indonesia mungkin metode ini masih jarang dilakukan, namun sebenarnya dapat diaplikasikan terutama pada kalangan industri skala besar. Perkembangan teknologi dan informasi sangat memungkinkan di masa mendatang masyarakat akan terbiasa mengkonsumsi produk tersebut. Fermentasi merupakan metode pengawetan dan pengempukan yang dapat dipakai pada produk daging. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi glikogen daging menjadi asam laktat, suatu substansi yang dapat menguraikan protein daging menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah untuk dicerna oleh tubuh. Fermentasi dari beberapa jenis bakteri juga dapat meningkatkan nilai gizi serta daya simpan produk. Upaya pengawetan daging dapat dilakukan dengan kombinasi dari beberapa metode pengolahan. Dendeng misalnya, merupakan produk olahan khas indonesia yang mengaplikasikan metode penambahan bumbu disertai dengan proses pengeringan sebagai upaya pengawetan daging. Berbeda dengan dendeng yang telah
ada sebelumnya, dalam pembuatan dendeng fermentasi ini tidak dilakukan penambahan bumbu maupun pengeringan matahari. Fermentasi dan pengasapan diaplikasikan dalam penelitian ini sebagai upaya pengawetan produk. Kultur starter Lactobacillus plantarum ditambahkan dalam pembuatan produk dendeng fermentasi dengan harapan dapat meningkatkan kualitas daging dengan kealotan tinggi. Starter tersebut telah banyak digunakan dalam pembuatan sosis fermentasi, namun belum banyak dikembangkan untuk produk daging lain. Penelitian ini merupakan aplikasi dari studi yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa L. plantarum hasil isolasi dari daging segar mampu berkenbang biak dengan baik pada pembuatan sosis fermentasi (Hidayati, 2006). Penggunaan kultur starter yang berasal dari daging diharapkan dapat menghasilkan proses fermentasi yang optimal dan hasil produk akhir yang lebih stabil karena daya adaptasi dalam bahan yang sama akan lebih baik dibandingkan kultur starter yang bukan berasal dari daging. Struktur mikroskopis daging berkaitan dengan kualitas tekstur dari daging dan produk daging. Karakteristik morfologis dapat diasosiasikan dengan karakter fisik seperti keempukan, kealotan atau kehalusan tekstur produk. Perlakuan mekanis penggilingan diharapkan dapat menunjukkan perbedaan yang nyata sebagai akibat permukaan daging yang lebih luas dibandingkan dendeng iris. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas proteolitik dari kultur starter Lactobacillus plantarum terhadap bahan baku daging yang mendapat perlakuan mekanis, yaitu pengirisan dan penggilingan untuk pembuatan dendeng fermentasi. Peubah yang diamati meliputi keadaan histomorfologis daging mencakup panjang sarkomer dan diameter serabut otot. Manfaat Manfaat dari penelitian ini antara lain dapat meningkatkan daya simpan produk sebagai efek dari pengawetan dari fermentasi dan pengasapan. Produk dendeng ini juga dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional yang menjadi isu dalam bidang pangan dewasa ini.
TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging didefinisikan sebagai flesh ternak yang digunakan sebagai makanan, termasuk organ-organ seperti hati dan ginjal, otak, paru-paru, jantung serta jaringan yang dapat dimakan lainnya (Soeparno, 1998). Definisi ini dapat berbeda-beda karena setiap negara memiliki konsumsi bagian daging yang berbeda (Lawrie, 1985). Masyarakat indonesia misalnya, mendefinisikan daging dalam cakupan yang lebih luas dibandingkan negara maju pada umumnya. Menurut Hui et al. (2001), daging adalah komponen proses post mortem yang dapat dimakan yang berasal dari ternak hidup mencakup ternak domestikasi, domba, kambing, babi dan unggas dan juga hewan liar seperti rusa, kelinci dan ikan. Menurut Varnam dan Sutherland (1996), daging adalah pangan tinggi protein. Kualitas proteinnya sangat tinggi, tipe dan perbandingan asam aminonya menyetarai kebutuhan pertahanan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Mengandung asam amino esensial seperti lisin dan treonin dalam jumlah substansial serta metionin dan triptofan dalam jumlah yang cukup. Komposisi daging dan produk olahannya dendeng dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Daging Sapi dan Dendeng Sapi Komponen (per 100 gram bahan basah)
Daging Sapi
Dendeng Sapi
Segar
Kalori (kal)
207,00
433,00
Protein (g)
18,80
55,00
Lemak (g)
14,00
9,00
0,00
10,50
11,00
30,00
170,00
370,00
2,80
5,10
Vitamin A (IU)
30,00
0,00
Vitamin B (mg)
0,08
0,10
Vitamin C (mg)
0,00
0,00
66,00
25,00
Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg)
Air (%)
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)
Daging Knuckle Daging knuckle yang dikenal dengan nama daging kelapa merupakan bagian dari potongan karkas dan merupakan jenis daging tanpa tulang. Knuckle diperoleh dari pemisahan paha atas (inside) dan paha bawah antara pelipis (National Cattlemen’s Beef Association, 2007). Daging pada bagian ini tidak memiliki tampilan yang seragam seperti tekstur yang bervariasi mulai dari sedang hingga kurang empuk sehingga menurnkan nilai jual di pasaran. Morgan (2005) dalam penelitiannya mencoba mengidentifikasi keempukan daging menggunakan suatu instrumen yang disebut BeefCam. Hasilnya, daging bagian knuckle diklasifikasikan ke dalam bagian daging yang alot sehingga diperlukan aging minimal selama 14 hari pada suhu refrigerator. Daging Giling Daging giling tidak lain merupakan daging yang telah mengalami proses pencacahan. Brown (2000) menyatakan bahwa sekitar 44 % dari total daging sapi yang ada di pasaran dijual dalam bentuk giling yang digunakan secara meluas di restoran cepat saji. Penjualan daging dalam bentuk ini dapat memanfaatkan daging yang memiliki kualitas di bawah standard. Swatland (1984) menyatakan bahwasanya daging alot yang telah dipisahkan dari karkas sapi dapat digiling sehingga menjadi cukup lembut untuk pemasakan kering. Selain menjadi lebih empuk, daging giling juga memiliki keunggulan dari segi penyerapan bahan. Keempukan Daging Keempukan daging merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi daya terima konsumen. Keempukan daging merupakan hal yang penting dalam penentuan kualitas daging karena berpengaruh terhadap citarasa dan saat pengunyahan (Gregory,1998). Menurut Bratzler dalam Grigor et al. (1997), pada dasarnya kempukan dipengaruhi oleh perlakuan sebelum dan setelah dipotong. Natasasmita et al. (1987) dalam Brahmantiyo (1996) menyatakan bahwa keempukan daging berbeda pada setiap jenis otot. Otot dengan pergerakan yang banyak teksturnya akan terlihat lebih kasar dan kurang empuk. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging di antaranya adalah jaringan ikat, serabut daging dan lemak yang ada di antara serabut daging.
Struktur Mikroskopis Daging Daging karkas terdiri dari otot, lemak dan tulang yang terjalin bersama-sama oleh jaringan ikat. Lemak dapat berada pada subkutan (di bawah kulit), intermuskular (antar otot) atau intramuskular (di dalam tubuh otot). Otot adalah komponen daging yang paling penting. Semua otot memiliki struktur dasar yang sama, terdiri dari sel atau serat otot yang terjalin bersama-sama dalam bundel yang terangkai dalam kelompok yang lebih besar. Rangkaian ini dibungkus oleh sarung sarung jaringan ikat yang akhirnya mentransmisi kekuatan yang dikembangkan oleh kontraksi dari setiap serat otot dalam rangka. Kedudukan kontraksi ini dianggap penting dalam pembentukan tekstur daging (Warris, 2000). Di bawah ini merupakan ilustrasi struktur mikroskopis otot kerangka (Gambar 1.).
Gambar 1. Struktur Otot Rangka Sumber:http://rds.yahoo.com
Otot Menurut Lawrence dan Fowler (2002), tipe otot dibagi menjadi tiga yaitu otot memiliki bangunan khusus yang dikaitkan dengan aktivitas kontraksi. Bentuknya memanjang seperti kincir membentuk serabut otot. Berdasarkan bentuk serta bangunnya, sel otot disebut serabut otot. Serabut otot tersusun dalam berkas yang sumbunya paralel dengan arah kontraksi. Menurut Lawrie (1985), unit struktural penting dari otot adalah serat otot. Serat otot berupa sel yang panjang, sempit dan terdiri atas multinukleat yang bertegangan dari otot satu dengan yang lain dan dapat memiliki panjang 34 cm dengan diameter hanya 10-100 μ. Miofibril adalah organel
serabut otot berbentuk panjang dan tipis, memiliki diameter 50 μm dan mengandung 1000 hingga lebih dari 2000 miofilamen (Forrest et al., 1975). Struktur otot dibungkus oleh sarung jaringan ikat. Individu serabut otot dikelilingi oleh endomisium, setiap bundel otot dibungkus oleh perimisium dan seluruh bundel terkandung dalam epimisium. Serat otot dapat memiliki diameter sekitar 60-100 μm. Setiap serat itu sendiri dibangun oleh elemen yang lebih kecil yang disebut sebagai filamen. Terdapat dua filamen yaitu filamen tipis dan filamen tebal. Filamen tipis (diameter ± 7 nm) sebagian besar terdiri atas protein aktin sedangkan filamen tebal (diameter ± 15 nm) sebagian terdiri atas protein miosin (Warris, 2000). Selain itu, dalam otot terdapat unit fungsional yang disebut sarkomer (segmen-segmen dari miofibril). Sarkomer merupakan jarak antara dua garis Z yang berdekatan satu sama lain. Menurut Frandson (1992), sarkomer terikat pada tiap ujungnya oleh suatu garis Z yang terdiri atas protein non kontraktil. Struktur sarkomer memiliki dua area di dalamnya, yaitu area gelap (pita A) yang memiliki area terang pusat (wilayah H) sedangkan area terang (pita I) memiliki area pusat gelap yang dinamakan garis Z (Z disc). Pada pusat area A terdapat garis M dan terdapat miofilamen tebal yang disebut area H. Di dalam area A, pada kedua belah sisi garis M terdapat daerah cerah tipis yang disebut daerah H semu (pseudo Hzone) (Dellmann dan Brown, 1988). Mendekati garis Z, hanya filamen tipis yang terlihat sedangkan pada pusat sarkomer hanya terlihat filamen tebal. Letak filamen tebal dan tipis yang berdekatan ini penting dalam hal interaksi dari molekul aktin dan miosin selama kontraksi (Warris, 2000). Menurut Warris (2000), setiap miofibril terdiri atas ribuan sarkomer dengan kisaran panjang antara 1,5 hingga 2 μm yang bervariasi tergantung dari kontraksi otot sedangkan menurut Lawrence dan Fowler (2002) pada mamalia umumnya memiliki panjang sekitar 2,5 μm. Perbedaan derajat atau tingkat kontraksi juga mempengaruhi variasi model ikatan yang disebut overlap dari filamen tebal dan tipis. Penampang otot dalam potongan longitudinal dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sarkomer Otot Sumber:http://rds.yahoo.com
Jaringan Ikat Serat otot diatur dan diikat oleh rangkaian jaringan ikat yang berfungsi sebagai pembungkus dan pembatas. Keseluruhan otot biasanya dikelilingi oleh sarung jaringan ikat tebal yang disebut epimisium. Perimisium ini membagi otot dalam kelompok serat yang disebut bundel atau fasikuli. Endomisium merupakan lapisan tipis jaringan ikat yang mengelilingi serabut otot, pembuluh darah yang besar dan urat syaraf (Warris, 2000). Jaringan ikat ini tersusun dari serat kolagen, serat retikularis, serat elastis, substansi dasar dan beberapa jenis sel (Price dan Schweigert, 1971).
Ukuran fasikuli menunjukkan tekstur visual potongan daging serabut otot. Otot dengan pergerakan bagus memiliki fasikuli yang kecil dan tekstur yang baik, sedangkan otot dengan aktivitas tinggi memiliki fasikuli yang besar sehingga teksturnya kasar. Dendeng Daging biasanya dikeringkan dan ditambahkan campuran gula, garam serta bumbu lainnya yang dikenal sebagai dendeng. Daging biasanya dikeringkan sampai mencapai kadar air sekitar 25 % (Winarno dan Fardiaz, 1973). Dendeng merupakan produk pengolahan tradisional yang berasal dari Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara (Buckle, 1992). Menurut Sjachri dan Hardjo (1975), dendeng dapat dibuat dari beberapa jenis daging seperti daging sapi, ayam ataupun kambing namun umumnya digunakan daging sapi. Syarat mutu dendeng disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Berdasarkan SNI 01-29081992 Jenis Uji
Mutu I (%)
Mutu II (%)
Warna dan Bau Kadar Air (bb) Kadar Protein (bk) Benda Asing Kadar Abu (bk) Kapang dan Serangga
Khas Dendeng Maks. 12 Min. 30 Maks. 1 1 Tidak Tampak
Khas Dendeng Maks. 12 Min. 25 Maks. 1 1 Tidak Tampak
Keterangan: bb = berat basah bk = berat kering Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1992)
Proses pembuatan produk ini menimbulkan beberapa perubahan sifat fisik. Di antaranya adalah rasa, tekstur dan warna. Warna coklat dendeng tidak hanya disebabkan oleh pigmen daging (mioglobin) tetapi juga disebabkan oleh adanya reaksi browning. Pengasapan Pengasapan merupakan proses pengawetan menggunakan asap dari bahan pengasap seperti kayu, tempurung kelapa maupun tulang hewan untuk mendapatkan flavor yang diinginkan. Menurut Lawrie (1985), pengasapan dengan menggunakan kayu keras dapat menghambat pertumbuhan mikroba, memperlambat oksidasi lemak
serta meningkatkan flavor daging. Aksi bakterisidal asap antara lain adalah formaldehida. Komponen utama meliputi format, asetat, butirat, kaprilat, dimetoksifenol, etanol, diasetil, dan lain-lain. Flavor dari produk asap tergantung pada reaksi antara komponen asap dengan gugus –SH serta karbonil dengan gugus amino). Menurut Burt (1988), efek pengawetan dari pengasapan merupakan kombinasi dari pengeringan permukaan dan deposisi bahan anti oksidan (fenolik) serta antimikrobial produk. Pengasapan Dingin Pengasapan dingin dilakukan pada suhu 15-30 ˚C (rataan 25 ˚C) selama empat hingga enam minggu. Selama proses, laju pendinginan dan pengeringan dikontrol seharian. Pengasapan dingin tidak memasak maupun mengkoagulasi protein sehingga diperlukan penyimpanan dan pemasakan sebelum dikonsumsi (Burt, 1988). Fermentasi Fermentasi merupakan proses perombakan karbohidrat menjadi asam laktat. Hui et al. (2001) menyatakan bahwa fermentasi oleh mikroorganisme merupakan salah satu metode pengawetan yang paling tua dalam sejarah manusia. Winarno dan Fardiaz (1990) mendefinisikan fermentasi sebagai reaksi oksidasi reduksi biologis yang menghasilkan energi. Fermentasi dapat diaplikasikan pada bahan pangan sebagai salah satu upaya pengawetan pangan. Produk yang telah banyak difermentasi di antaranya adalah produk susu dan daging. Seiring berubahnya pola hidup manusia, telah terdapat banyak jenis daging fermentasi, tergantung dari wilayah, iklim, warisan dan budaya setempat. Kultur yang digunakan untuk fermentasi dengan tujuan produksi asam laktat yang cepat melalui fermentasi yang cepat sebagaimana digunakan di AS untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan adalah Lactobacillus plantarum atau Pediococcus acidilacti yang digunakan untuk fermentasi pada suhu 40 ˚C. Produk tersebut mencapai asam laktat tinggi pada pH kurang dari 4,6 – 5,0. Jumlah populasi bakteri yang terkontrol yang ditambahkan ke dalam makanan mentah bervariasi, namun biasanya sekitar 106 hingga 107 cfu/ml (Ray, 2004).
Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum merupakan salah satu dari genus Lactobacillus yang merupakan bakteri berbentuk batang, gram positif, asporagenus, mesofilik, anaerob fakultatif dan tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit, melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik yang lemah serta bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella dan gram negatif lainnya (Jay, 1986). Tumbuh optimal pada suhu 30-35 ˚C, tahan terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6. Memproduksi gas dari glukosa dan merupakan bakteri yang digunakan secara komersial sebagai kultur sosis fermentasi (Bacus, 1984). Bakteri ini membutuhkan asam amino, vitamin B dan bahan berdasar purin serta pirimidin. Menurut Darmadji et al. (1990) dalam Jenie (2000), penggunaan starter Lactobacillus plantarum dalam dendeng giling fermentasi pada konsentrasi 106 hingga 108 selama 16 jam pada suhu 30 ˚C dapat menghambat sebesar 77-98,3 % pertumbuhan species Micrococcus, Pseudomonas, Staphylococcus dan E. coli. Penghambatan ini disebabkan oleh penurunan pH dan pengurangan aw (Darmadji et al., 1990 dalam Jenie, 2000). Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, produksi hidrogen peroksida dan amina biogenik juga bakteriosin (Jessen, 1995 dalam Kerry et al., 2002). Starter ini banyak digunakan dalam produk fermentasi seperti susu, sayuran dan daging. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadan asam dan oleh karenanya lebih banyak terdapat pada tahapan akhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bentuk dari L. plantarum secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Lactobacillus plantarum. Memiliki bentuk batang (basil). Sumber : www.bacferm.com.au/silac/micro/files/page4_1.gif
Starter Lactobacillus plantarum memiliki banyak strain. Kultur starter yang digunakan dalam penelitian ini adalah L. plantarum 1B1 yang memiliki karakteristik bentuk batang pendek, ujungnya agak membulat, membentuk rantai pendek, bersifat gram positif dan katalase negatif. Hidayati (2006), dalam studinya mendeskripsikan ciri khas dan morfologi starter Lactobacillus plantarum 1B1 yang diisolasinya dari daging mentah. Bakteri ini mampu hidup pada pH 5-6,5 dengan konsentrasi NaCl 1,5% hingga 2%. Memiliki waktu generasi 1 jam 5 menit pada media deMan Rogosa Sharp Broth (MRSB). Populasi maksimum yang mampu dicapai oleh bakteri ini adalah 4,0 x 109 cfu/ml. Dendeng Fermentasi Dendeng fermentasi merupakan pengembangan dari produk olahan daging lainnya. Menurut Kurniawati (2007), dendeng fermentasi merupakan produk olahan daging dengan penambahan kultur starter Lactobacillus plantarum. Kultur yang ditambahkan sebanyak 10 % (b/b). Kualitas gizi dendeng fermentasi tidak jauh berbeda dengan kandungan pada daging segar. Kualitas fisik dendeng menunjukkan peningkatan kekerasan dibandingkan daging segar. Data sifat fisik dan kadar protein dendeng fermentasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Kualitas Dendeng Fermentasi Peubah
Daging segar
Dendeng fermentasi (sebelum diasap)
Dendeng fermentasi (setelah diasap)
Dendeng iris
Keempukan1)
809,70 ± 136,40
886,10 ± 481,10
1430,60 ± 135,70
1)
0,94 ± 0,01
0,92 ± 0,01
0,93 ± 0,01
pH1)
5,88 ± 0,18
5,63 ± 0,15
5,17 ± 0,24
Aktivitas proteolitik (Unit/gram)2)
0,00
Tidak diukur
0,11 ± 0,05
Protein kasar (% bk) 2)
73,72
Tidak diukur
73,34 ± 2,46
aw 1)
0,94 ± 0,003
0,81± 0,102
0,93 ± 0,003
pH1)
5,83 ± 0,06
5,28 ± 0,20
4,87 ± 0,40
Aktivitas proteolitik (Unit/gram) 2)
0,00
Tidak diukur
0,09± 0,04
Protein kasar (% bk) 2)
73,72
Tidak diukur
70,82 ± 2,84
aw
Dendeng giling
Sumber : 1) Sumarta (2007) 2) Kurniawati (2007)
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2006 hingga Oktober 2006. Bertempat di Bagian Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Bahan Bahan Pembuat Dendeng Fermentasi. Bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng fermentasi adalah daging sapi beku bagian knuckle, starter kultur Lactobacillus plantarum 1B1 dan serbuk gergaji (bahan pengasap). Bahan pendukung pembuatan produk meliputi tali kasur, aluminum foil dan es batu. Bahan Analisis. Bahan analisis yang digunakan dalam analisis histoteknik adalah paraformaldehida 4 %, alkohol dengan berbagai tingkat, alkohol absolut, silol, parafin, aquades, air keran, air hangat (40-45 ˚C), pewarna Hematoksilin-eosin, perekat (mounting) dan tissue. Bahan yang digunakan untuk analisa panjang sarkomer adalah sukrosa 0,25 M. Alat Alat yang diperlukan untuk pembuatan produk dalam penelitian ini antara lain meliputi inkubator, bunsen, loyang, smoke house, oven, meat slicer, meat grinder. Alat untuk analisis meliputi mikroskop cahaya, refrigerator, waterbath, mikrotom, cetakan parafin, object glass, cover glass, toples, pinset dan pisau untuk memotong jaringan. Alat pengukur panjang sarkomer dan diameter serabut digunakan penggaris mikrometer dan eye-piece micrometer. Rancangan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kelompok berdasarkan periode pembuatan produk. Perlakuan yang dilakukan meliputi pengirisan dan penggilingan daging dengan sampel daging mentah sebagai pembanding. Model persamaan yang digunakan untuk analisa histologis otot sapi adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + βj + εijk Keterangan : Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j μ
= rataan umum
αi = pengaruh kelompok (blok) ke-i βj = pengaruh perlakuan (periode) ke-j εijk = pengaruh galat pada kelompok ke-i dan periode ke-j Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA). Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dilakukan bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan (Steel dan Torrie, 1995). Pengamatan yang dilakukan meliputi data kuantitatif (panjang sarkomer dan diameter serabut otot) dan kualitatif (Keadaan memanjang sarkomer dan penampang membujur bundel otot rangka). Prosedur Metode penelitian yang digunakan untuk tahapan penelitian adalah sebagai berikut : A. Penelitian Pendahuluan : Penyegaran Kultur Starter Fermentasi Tahapan penelitian pendahuluan ini meliputi persiapan kultur starter hasil isolasi dari daging segar. Proses diawali dengan penyegaran kultur starter murni ke dalam media deMan Rogosa Sharp Broth (MRSB) untuk kemudian diinokulasikan ke dalam larutan skim steril dan diinkubasi selama dua hari pada suhu 37 ˚C. Kultur yang telah diinkubasi diinokulasi ke dalam susu skim steril untuk kemudian diinokulasikan kembali dalam susu skim steril untuk menghasilkan kultur kerja. Pemupukan dilakukan pada kultur kerja untuk dilakukan penghitungan populasi kultur starter yang akan digunakan ke dalam produk. Starter yang digunakan yaitu starter kultur dengan populasi mencapai 1 x 107 CFU/ml. Jumlah populasi tersebut siap untuk digunakan. Pembiakan dan persiapan starter kultur fermentasi L. plantarum dapat dilihat pada Gambar 4.
Kultur murni L. plantarum Penyegaran pada Media deMan Rogosa Sharp Broth (MRSB) Inokulasi pada larutan skim steril sebanyak 2 % Inkubasi selama 48 jam (suhu 37 ˚C) (hasilnya disebut kultur induk) Inokulasi pada susu skim steril sebanyak 2-5 % (hasilnya disebut kultur antara) Inokulasi pada susu skim steril (hasilnya disebut kultur kerja) Pemupukan pada media MRS-agar Penghitungan populasi
Populasi ≥ 1 x 107 CFU/ml
Populasi < 107 CFU/ml
Starter kultur L. plantarum
Gambar 4. Diagram Pembiakan Starter Kultur Lactobacillus plantarum B. Proses Fermentasi Daging Sapi oleh L. plantarum Teknologi proses sederhana yang digunakan meliputi fermentasi dan pengasapan. Mula-mula, daging sapi bagian knuckle dicairkan untuk ditimbang berat awalnya. Daging yang telah ditimbang diberikan dua jenis perlakuan meliputi pengirisan dan penggilingan. Daging tersebut kemudian diinokulasi dengan kultur starter L. plantarum. Daging yang telah diberi starter diinkubasi pada suhu 37 ˚C selama 18 jam dalam inkubator. Pengasapan dilakukan sebagai tahap akhir dari proses pembuatan dendeng fermentasi. Cara pembuatan dendeng fermentasi secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 5.
Daging sapi beku kualitas baik Dicairkan
Ditimbang berat awal
Daging sapi diiris setebal 3 mm
Daging sapi digiling halus
Inokulasi dengan starter L. plantarum 10 % b/b
Irisan daging ditata di dalam loyang yang dilapisi alumunium foil dan permukaan atasnya ditutup dengan plastik.
Daging giling dimasukkan ke dalam kantong plastik, dipipihkan dengan ketebalan ± 3 mm, dikemas dan ditata di dalam loyang.
Inkubasi selama 18 jam pada suhu 37oC
Pengasapan selama 9 jam pada suhu 40-45 ˚C
Dendeng sapi fermentasi (dendeng fermentasi asap)
Gambar 5. Teknologi Proses Daging Fermentasi Sumber: Arief et al. (2005) yang dimodifikasi
C. Prosedur Analisa Prosedur analisa dari peubah yang diamati meliputi analisa histoteknik dan pengukuran panjang sarkomer. 1. Analisa Histoteknik Pembuatan preparat terdiri atas fiksasi jaringan, proses jaringan (dehidrasi, penjernihan, infiltrasi dan embedding). Proses ini dapat memakan waktu sekitar satu minggu. Fiksasi jaringan dilakukan dengan menggunakan paraformaldehida 4%. Sebelumnya telah dilakukan penyayatan otot untuk mendapatkan potongan yang tidak terlalu besar maupun terlalu besar. Dehidrasi merupakan proses penarikan air dari jaringan serta mencegah pengerutan sampel yang akan diuji. Bahan yang digunakan meliputi alkohol (70, 80, 90 dan 95 %), alkohol absolut I, II, III dan silol I, II dan III, parafin I, II, III. Penjernihan dilakukan dengan menggunakan bahan silol yang tidak dapat bercampur dengan air. Embedding merupakan proses pembuatan blok parafin. Sampel yang telah melalui proses penjernihan direndam dalam parafin cair selama 30 menit hingga satu jam dan dibentuk blok parafin. Sampel yang telah beku dipotong secara membujur menggunakan mikrotom. Pewarnaan jaringan merupakan proses akhir dari pembuatan preparat dari sampel yang akan dianalisa. Digunakan pewarna hematoksilin-eosin untuk mellihat bagian inti dan sitoplasma sel. Sediaan ini kemudian ditutup dengan cover glass menggunakan bahan perekat (mounting) yang telah diencerkan. 2. Pengukuran Panjang Sarkomer Pengukuran panjang sarkomer dilakukan dengan metode Savell et al. (1977) yang dimodifikasi. Sampel daging sebanyak 10 g direndam dalam larutan sukrosa 0,25 M dan disimpan pada kemasan film pada suhu refrigerator selama 24 jam. Dilakukan teasing pada otot (daging) yang telah direndam. Teasing dilakukan pada cawan petri yang dibasahi dengan tetesan larutan perendam. Hasil teasing diamati di bawah mikroskop cahaya dan difoto. Pengamatan mikromorfologi dilakukan pada sediaan yang telah diberi pewarnaan hematoksilin-eosin. Pengukuran diameter serabut otot dilakukan dengan eye-piece micrometer yang dipasang di lensa okuler pada mikroskop cahaya. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga lapang pandang setiap sampelnya dengan
perbesaran 40 X. Pengukuran panjang sarkomer dilakukan setelah dilakukan pemotretan menggunakan kamera yang dipasang pada mikroskop terhadap objek yang akan diamati. Pengukuran panjang sarkomer dilakukan dengan membandingkan skala pada mikrometer dengan jarak antar garis gelap yang terdapat pada penampang memanjang otot. Alat yang digunakan dalam pengukuran adalah micrometer ruller. Kondisi sarkomer dan serabut otot juga diamati secara kualitatif. Pengamatan kondisi sarkomer pada sampel mencakup penampakan struktur otot menurut keadaan garis A (area gelap) dan area terang secara kasar. Keadaan serabut otot diamati keadaan sarung pembungkus otot dan warna serabut otot. Cara pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6.
HASIL DAN PEMBAHASAN Diversifikasi pangan, termasuk dalam hal ini studi yang dilakukan, diharapkan mampu meningkatkan mutu produk. Parameter fisik, kimia dan mikrobiologis merupakan indikator apakah suatu produk dapat dikatakan layak untuk diterima oleh konsumen atau tidak. Perubahan warna terjadi secara signifikan dari warna merah segar menjadi kecoklatan. Ini menunjukkan telah terjadi proses enzimatis di dalam daging. Permukaan produk juga terasa agak lengket setelah fermentasi berlangsung. Perubahan aroma terjadi akibat adanya perombakan karbohidrat daging menjadi asam laktat dan produk hasil fermentasi lainnya. Jessen (1995) dalam Kerry et al. (2002) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, produksi hidrogen peroksida dan amina biogenik juga bakteriosin. Data kualitas produk secara kualitatif dapat dilihat pada Tabel 3. Penelitian utama diawali dengan tahap perlakuan mekanis pada bahan. Daging bagian knuckle (paha atas) yang telah dicairkan diberi dua perlakuan mekanis meliputi penggilingan dan pengirisan. Ketebalan kedua perlakuan sekitar 3 mm dengan asumsi untuk mempercepat proses penetrasi kultur selama proses fermentasi dan penetrasi asap selama proses pengasapan berlangsung. Daging segar digunakan sebagai pembanding hasil analisa. Perlakuan mekanik diasumsikan mampu menunjukkan perbedaan pada produk akhir karena adanya perbedaan luas permukaan daging. Irene (1994) menyatakan bahwa bumbu pada daging giling dapat lebih meresap karena tercampur rata dengan daging, demikian halnya dengan penggunaan kultur ke dalam produk. Harapannya, dengan semakin luas permukaan daging maka penyerapan starter akan lebih optimal sehingga akan menunjukkan hasil yang signifikan di antara perlakuan. Proses fermentasi dilakukan selama 18 jam kemudian dilakukan pengasapan untuk mendapatkan aroma asap dan kekeringan yang diharapkan. Penambahan bumbu tidak dilakukan dalam produk dendeng ini dengan tujuan pengamatan aktivitas proteolitik L. plantarum dapat diketahui secara murni (tanpa adanya faktor inhibisi dari komponen kimiawi bahan). Alasan digunakannya kultur starter L. plantarum karena umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya lebih banyak terdapat pada tahapan akhir dari fermentasi tipe asam laktat.
sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran dan daging. Fermentasinya juga bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Tabel 3. Data Kualitas Dendeng Fermentasi Peubah
Daging segar
Dendeng fermentasi (sebelum diasap)
Dendeng fermentasi (setelah diasap)
Dendeng iris
Keempukan1)
809,70 ± 136,40
886,10 ± 481,10
1430,60 ± 135,70
1)
0,94 ± 0,01
0,92 ± 0,01
0,93 ± 0,01
pH
1)
5,88 ± 0,18
5,63 ± 0,15
5,17 ± 0,24
Aktivitas proteolitik (Unit/gram)2)
0,00
Tidak diukur
0,11 ± 0,05
Protein kasar (% bk) 2)
73,72
Tidak diukur
73,34 ± 2,46
aw 1)
0,94 ± 0,003
0,81± 0,102
0,93 ± 0,003
pH1)
5,83 ± 0,06
5,28 ± 0,20
4,87 ± 0,40
Aktivitas proteolitik (Unit/gram) 2)
0,00
Tidak diukur
0,09± 0,04
Protein kasar (% bk) 2)
73,72
Tidak diukur
70,82 ± 2,84
aw
Dendeng giling
Sumber : 1) Sumarta (2007) 2) Kurniawati (2007)
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa fermentasi tidak merusak kandungan protein daging. Hal ini membuktikan bahwa proses fermentasi dapat diaplikasikan sebagai metode pengawetan daging tanpa banyak mengubah komposisi yang terkandung di dalamnya. Proses pengasapan diaplikasikan sebagai upaya pengeringan produk tanpa banyak mengubah kualitas mikrobiologis produk itu sendiri. Proses fermentasi ternyata menghasilkan daya iris yang lebih tinggi dibandingkan daging segar. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan kealotan produk setelah melalui proses fermentasi, begitu juga setelah pengasapan. Hasil fermentasi ternyata mampu menurunkan nilai pH dan aw produk walaupun tidak signifikan. Ini sesuai dengan pernyataan Darmadji et al. (1990) dalam Jenie (2000), bahwa penggunaan starter Lactobacillus plantarum dalam daging fermentasi pada konsentrasi 106 hingga 108 selama 16 jam pada suhu 30 ˚C dapat menghambat sebesar 77-98,3 % pertumbuhan species Micrococcus, Pseudomonas, Staphylococcus dan E. Coli. Penghambatan ini disebabkan oleh penurunan pH dan pengurangan aw.
Analisa Histologis Tekstur merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daging dan produk daging dan sifat ini terkait dengan struktur dari produk. Menurut Voyle (1981) dalam Holcomb dan Kalab (1981), karakteristik ini dapat dihubungkan dengan kealotan, keempukan maupun kehalusan daging. Struktur dari daging dan produk daging dapat dianalisa secara mikroskopis untuk memberikan informasi terkait dengan parameter tersebut. Panjang dan kondisi sarkomer serta diameter serabut otot merupakan parameter yang diamati dalam penelitian ini. Daging yang telah mengalami proses fermentasi diukur panjang sarkomernya. Hasil pengukuran panjang sarkomer menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan di antara perlakuan. Hasil pengukuran jarak antar dua garis gelap (sarkomer) pada otot dengan perlakuan menunjukkan kisaran panjang antara 1,52±0,20 μm hingga 1,79±0,07 μm. Sampel daging segar memiliki sarkomer yang lebih panjang (1,74 μm) dibandingkan dendeng iris sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Hasil pengukuran diameter serabut juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Hasil Pengamatan pada Daging Segar, Daging Fermentasi Lactobacillus plantarum dan Daging Fermentasi Asap. Peubah
Daging Segar
Dendeng Fermentasi
Dendeng Fermentasi Asap
(sebelum Diasap)
(setelah Diasap)
Iris
Giling
Iris
Giling
- - - - - - Rataan ± Sd - - - - - Panjang sarkomer (μm)
1,74
51,20 Diameter serabut otot (μm)
1,52±0,28
1,70±0,18
1,52±0,20
1,79±0,07
52,82±4,23
Tidak dapat diukur
47,16±5,35
Tidak dapat diukur
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Potongan Memanjang Serabut Otot: (a) Otot segar dengan garis gelap yang terlihat jelas, (b) terlihat ada penipisan garis pada otot yang difermentasi (c) terlihat ada penipisan garis disertai pencoklatan pada otot fermentasi yang telah diasap Berdasarkan pernyataan Xiong (2000), rataan panjang sarkomer pada umumnya adalah 2,5 μm untuk otot relaksasi, sedangkan otot yang mengalami kontraksi dapat lebih pendek dari 1,5 μm. Data yang didapat dari hasil pengukuran panjang sarkomer, terlihat bahwa keadaannya seperti otot dalam keadaan kontraksi, yang mengalami thaw rigor ataupun otot yang mengalami cold shortened. Menurut Voyle (1981) dalam Holcomb dan Kalab (1981), peningkatan kealotan sangat erat kaitannya dengan penurunan panjang sarkomer. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa rataan panjang sarkomer tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan pengirisan dan penggiingan. Namun, panjang sarkomer otot dendeng fermentasi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan sampel daging tanpa perlakuan (daging segar). Pemendekan sarkomer ini antara lain dapat disebabkan oleh proses tertariknya air selama proses pengasapan dan terjadinya denaturasi protein. Denaturasi terjadi akibat dari enzim proteolitik yang dihasilkan oleh starter kultur. Medved (1986) menyatakan bahwa denaturasi
protein merupakan perubahan di dalam bentuk protein yang dapat disebabkan oleh pemanasan, agitasi, asam, garam, pembekuan, tekanan tinggi atau enzim. Denaturasi ini dapat menyebabkan hilangnya aktivitas biologis.Vieira (1996), menyatakan bahwa denaturasi yang terjadi dapat mengubah sifat fungsional dan fisik seperti kelarutan yang signifikan. Enzim proteolitik dapat menyebabkan perubahan dalam struktur sarkomer daging fermentasi. Koohmaraie (1994) mengindikasikan bahwa enzim kalpain dan kalpastatin (inhibitor kalpain) merupakan enzim proteolitik utama yang berpengaruh dalam keempukan daging. Keempukan daging ini berkaitan dengan struktur dan panjang dari sarkomer. Beberapa proteinase dalam daging memegang peranan penting dalam degradasi protein. Fadda et al. (1999) menyatakan bahwa pengawalan degradasi dari miosin dan aktin ke dalam bentuk peptida dipengaruhi oleh katepsin D, sedangkan dekomposisi akhir dari peptida ke dalam asam amino bebas dikatalisis oleh eksopeptidase mikrobial dan eksopeptidase otot. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Xiong (2000), bahwa miosin yang merupakan protein miofibril terdiri atas enam subunit peptida. Peptida ini yang akan didegradasi oleh eksopeptidase kultur. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diperkirakan bahwa pada hasil dari proses fermentasi sangat tergantung dari proses fermentasi awalan yang dilakukan oleh proteinase alami dalam daging. Adapun proteinase bakteri starter kultur hanya bersifat pemberi efek tambahan terhadap keempukan daging. Menurut Fadda et al. (1999), degradasi protein, terutama aktin dan miosin dilakukan pertama kali oleh katepsin D, sedangkan aktivitas proteolitik
L. plantarum adalah aktivitas
eksopeptidase yang artinya mampu memecah peptida menjadi asam amino bebas. Aktivitas dari enzim tersebut juga dapat dipengaruhi oleh perlakuan awal daging seperti pembekuan dan thawing. Enzim proteolitik yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum menunjukkan aktivitasnya yang terlihat pada peluruhan filamen protein yang terjadi pada area gelap (A-band) dari sarkomer (Gambar 6). Perubahan struktur dan warna sedikit terjadi pada sarkomer setelah melalui proses pengasapan akibat terbentuknya lapisan pada permukaan otot. Jumlah bakteri asam laktat (BAL) menunjukkan peningkatan dari populasi awal daging (4,4 x 108 cfu/g) menjadi 2,4 x 108 cfu/g pada dendeng iris dan 2,2 x 109 cfu/g pada dendeng giling. Menurut hasil studi Hidayati (2006), populasi
maksimum yang mampu dicapai oleh bakteri ini adalah 4,0 x 109 cfu/ml. Jumlah populasi tersebut ternyata mampu dicapai saat starter kultur digunakan ke dalam produk. Pada dendeng iris terjadi penurunan jumlah BAL setelah starter digunakan pada produk, sedangkan untuk dendeng giling mengalami peningkatan setelah proses fermentasi dan setelah pengasapan. Hal ini dapat disebabkan oleh proses penetrasi yang lebih baik pada permukaan daging giling. Irene (1994) menyatakan bahwa bumbu pada daging giling dapat lebih meresap karena tercampur rata dengan daging, demikian halnya dengan penggunaan kultur ke dalam produk. Proses mekanis seperti pengirisan dan penggilingan dapat menyebabkan denaturasi protein. Proses penggilingan dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa ini karena adanya pergesekan mekanik dengan peralatan. Walaupun demikian, telah dilakukan upaya untuk meminimalisir kerusakan dengan cara melakukan proses penggilingan di saat kondisi daging masih setengah beku. Kondisi dari protein yang dapat mempengaruhi struktur atau konformasi alami protein meliputi 3 hal antara lain meliputi pH yang ekstrim, adanya agen pengikat hidrogen atau energi pemanasan yang dapat menyebabkan luruhnya ikatan hidrogen intra dan inter dalam rantai polipeptida atau adanya agen perusak ikatan hidrofobik. Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein (Price dan Schweigert, 1971). Diameter Serabut Otot. Metode analisa yang digunakan dalam penelitian (analisa histoteknik) ini meliliki kekurangan karena tidak dapat digunakan untuk mengukur diameter serabut otot untuk perlakuan penggilingan. Parameter yang diamati hanya dengan satu jenis perlakuan yaitu dendeng fermentasi iris dengan daging segar sebagai pembanding. Struktur dendeng fermentasi giling mudah hancur ketika dilakukan pengirisan sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran lebar (diameter) serabut otot pada perlakuan ini. Struktur otot rangka dalam keadaan membujur dapat dilihat pada Gambar 7.
50 μm
50 μm (a)
(b)
50 μm
(c) Gambar 7. Potongan Melintang Serabut Otot. (a) Otot segar, (b) otot setelah fermentasi sebelum diasap dan (c) otot setelah difermentasi dan diasap. Garis pada gambar menunjukkan diameter serabut otot Struktur serabut otot dibungkus oleh sarung jaringan ikat. Jaringan ikat ini terdiri dari endomisium yang mengelilingi setiap serat otot, perimisium yang membungkus setiap bundel otot dan epimisium yang membungkus seluruh bundel otot. Warris (2000) menyatakan bahwa serat otot dapat memiliki diameter serat otot antara 60-100 µm. Ukuran bundel otot dapat menunjukkan keempukan daging. Semakin kecil bundel otot, semakin empuk daging tersebut karena aktivitas yang terjadi sedikit sedangkan diameter bundel otot yang lebih besar menunjukkan tingkat keempukan yang lebih rendah karena aktivitas yang dilakukan oleh protein kontraktil otot cenderung lebih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Price dan Schweigert (1971) bahwa otot dengan pergerakan yang bagus memiliki fasikuli yang kecil dan tekstur yang baik, sedangkan otot dengan aktivitas tinggi memiliki fasikuli yang besar sehingga teksturnya lebih kasar. Namun, hal ini masih diperdebatkan, karena perlakuan tertentu menunjukkan bahwa diameter serabut otot yang lebih kecil dari sampel menunjukkan daya iris yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dengan diameter serabut yang lebih besar.
Pengasapan sebagai pemberi efek tambahan pada produk dendeng fermentasi diberikan pada kisaran suhu 30 °C hingga 45 °C. Pengasapan yang diaplikasikan ternyata memberikan kontribusi terhadap penyusutan diameter serabut otot walaupun tidak signifikan (Gambar 7). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Tarrant (1992), penyusutan dalam lebar serabut otot dimulai pada suhu rendah (di bawah 50 °C) yang diikuti oleh penurunan panjang serabut antara suhu 50-70 °C. Peristiwa ini terjadi akibat koagulasi protein miofibril dan globular sedangkan pemendekan otot dapat diakibatkan oleh penyusutan kolagen. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Varnam dan Sutherland (1996) bahwa penyusutan miofibril memiliki konsekuensi pada struktur serat otot, yang juga menyusut. Daging yang difermentasi mengalami penyusutan jika dibandingkan dengan daging segar. Hal ini terjadi setelah otot melewati proses fermentasi dan pengasapan. Pengasapan di antaranya bertujuan untuk menurunkan kadar air daging sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya simpan produk. Koagulasi panas dapat terjadi akibat pengasapan dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar
9 jam.
Selama proses pengasapan terjadi penurunan kadar air akibat penurunan DMA (daya mengikat air) protein miofibrilar. Koagulasi panas dapat menyebabkan penurunan kapasitas protein miofibril dalam mengikat air daging. Akibatnya, sebagian dari air yang terdapat dalam serat otot menjadi bebas dan terlepas (menetes) dari jaringan. Penurunan DMA miofibrilar ini mulai terjadi pada suhu 40 hingga 50 °C (Tarrant, 1992). Pernyataan
ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (1988) bahwa tahap
pengalotan dalam fase pemasakan terdiri dari dua kisaran suhu yaitu denaturasi struktur miofibrilar pada suhu 40-50 °C dan penyusutan kolagen pada suhu 65-75°C. Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan pH Berdasarkan data rataan uji fisik, dapat kita lihat bahwa secara statistik nilai pH di antara perlakuan tidak berbeda nyata, namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pH daging segar. Nilai pH daging menurun setelah daging mengalami proses fermentasi, namun tidak berbeda jika dibandingkan antar perlakuan. Penurunan pH ini terkait dengan produksi asam laktat yang dihasilkan oleh starter kultur. Penurunan pH ini dapat mengakibatkan perubahan pada struktur daging. Price dan Schweigert (1971) menyatakan bahwa kondisi pH yang ekstrim dapat menyebabkan denaturasi protein. Kondisi pH yang tidak berbeda secara
statistik juga berimplikasi pada kondisi sarkomer yang tidak berbeda di antara kedua perlakuan mekanis. Protein daging terutama terdiri atas protein serat oleh karena itu tidak terlalu dipengaruhi oleh asam, seperti yang dinyatakan oleh Gaman dan Sherrington (1984) bahwa protein serat relatif tidak larut dan tidak terlalu dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas yang tidak ekstrim. Berbeda dengan protein globuler yang dapat membentuk larutan koloidal dan cenderung dipengaruhi oleh asam, basa dan suhu panas. Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan Keempukan Keempukan daging merupakan salah satu parameter fisik yang penting dalam menentukan kualitas daging. Brady (1954) dalam Wirakartakusumah et al. (1992) menuturkan hal tersebut. Menurutnya, dari berbagai sifat daging yang diinginkan konsumen adalah keempukan yang menempati porsi paling besar (57%) dibandingkan sifat lainnya. Sayangnya, peubah ini tidak dapat diukur untuk produk daging fermentasi giling sehingga pengamatan terbatas pada pembandingan antara daging segar, dendeng fermentasi iris dan dendeng iris fermentasi yang diasap. Perbedaan keempukan terlihat antara dendeng fermentasi dengan daging segar. Daging yang telah mengalami proses fermentasi lebih alot dibandingkan daging segar. Peningkatan nilai kekerasan ini terkait dengan peristiwa pengerasan otot akibat pengurangan kadar air dalam daging. Tekstur ini terkait erat dengan struktur mikroskopis daging. Menurut de Man (1976) dalam Wirakartakusumah et al. (1992), tekstur adalah cara dimana komponen struktural pangan diatur dalam suatu struktur makro dan mikro dan manifestasi internal. Artinya, tekstur makanan adalah hasil dari struktur mikro dan sifat-sifatnya. Hasil pengukuran peubah diameter serabut otot tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan, namun mengalami penurunan jika dibandingkan daging segar. Pengerasan otot setelah pengasapan ini tidak lain disebabkan oleh kadar air yang menurun. Lawrie (1995) menyatakan bahwa diameter serabut otot dapat mengalami penyusutan akibat kehilangan air daging yang diikuti dengan penurunan ruang antar grup serat urat daging dan antara individu serat. Hal ini diduga menyebabkan daya iris dendeng fermentasi mengalami peningkatan dibandingkan daging segar. Penelitian telah banyak dilakukan untuk meningkatkan keempukan. Di antaranya berkutat pada peregangan secara fisik maupun pengontrolan pemendekan
sarkomer selama proses rigor (Shanks et al., 2002). Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa korelasi yang rendah antara panjang sarkomer dengan daya iris dan cukup bervariasi di antara jenis otot. Penelitian tersebut mendukung hasil dari pengamatan dalam penelitian ini bahwa peningkatan keempukan tidak selalu berkorelasi dengan pemanjangan sarkomer. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Wirakartakusumah et al. (1992) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara sifat fisik (keempukan) dengan panjang sarkomer. Kecenderungan umum nenunjukkan dengan semakin panjang sarkomer maka daging akan semakin keras. Kandungan air mungkin lebih mempengaruhi kekerasan dibandingkan keadaan sarkomer daging, dimana interaksi air-protein ini akan mempengaruhi sifat fisik daging secara nyata (Wirakartakusumah et al. , 1992). Panjang sarkomer yang sama antara sebelum dan setelah pengasapan tidak mempengaruhi kekerasan otot. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shanks et al. (2002) dan Hostetler et al. (1972) dalam Shanks et al. (2002) bahwa keempukan daging tidak selalu berasosiasi positif dengan panjang sarkomer. Panjang sarkomer hanya salah satu dari banyak faktor yang berkaitan dengan keempukan daging. Keempukan daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : derajat kontraktil otot, kedudukan degradasi otot, jaringan ikat dan kandungan lemak (Mc. Kenna, 2000). Hubungan antara Struktur Histologis Otot dengan Aktivitas Proteolitik Aktivitas proteolitik dapat didefinisikan sebagai banyaknya penguraian komponen protein otot oleh aktivitas enzimatis dari starter yang terdapat pada suatu substansi. Walsh (2002) mengatakan bahwa 1 unit aktivitas enzim adalah jumlah enzim yang akan mengkatalis transformasi dari 1 mol substrat per menit di bawah kondisi yang dipilih. Enzim merupakan katalisator dalam reaksi penguraian dalam proses fermentasi. Data pada sampel daging segar tidak menunjukkan adanya aktivitas proteolitik yang teramati. Proses pengolahan menjadi faktor yang menyebabkan hilangnya aktivitas proteolitik alami pada daging. Pembekuan daging dapat mengakibatkan perubahan struktur yang ada pada daging (Wirakartakusumah et al., 1992). Begitu pula dengan enzim. Perubahan protein dipengaruhi oleh kondisi pembekuan dan penyimpanan. Enzim adalah substansi reaktif dan merupakan protein
sehingga dimungkinkan terjadinya penurunan laju reaksi bahkan non-aktif saat mengalami pembekuan. Pembekuan daging juga merupakan salah satu titik kritis dalam pengaruhnya terhadap kuaalitas mikrobiologis produk. Proses pencairan (thawing) memegang peran penting dalam pengaruhnya terhadap perlakuan. Menurut Kitchell (1959) dalam Lawrie (2003), air permukaan daging yang dicairkan (thawed) cenderung mengambil banyak bakteri, oleh karena itu lebih rentan terhadap pembusukan. Hasil penghitungan populasi mikroflora daging segar menunjukkan bahwa pada uji Staphylococcus, kapang dan khamir menunjukkan jumlah yang signifikan jika dibandingkan dengan jumlah BAL pada daging segar (6,3 x 105 untuk Staphylococcus aureus dan 6,9 x 105 untuk kapang dan khamir dibandingkan 6,8 x 104 untuk BAL). Populasi awal bakteri agaknya merupakan hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam efektivitas penggunaan kultur starter dalam produk. Berdasarkan hasil uji populasi bakteri asam laktat pada sampel, diketahui bahwa populasi bakteri asam laktat (BAL) pada dendeng fermentasi iris dan giling mengalami peningkatan dibandingkan pada daging segar. Aktivitas proteolitik kultur starter juga mengalami peningkatan setelah digunakan dalam produk. Dendeng fermentasi iris memiliki aktivitas proteolitik sebesar
0,11 ± 0,05 Unit/gram
sedangkan dendeng fermentasi giling sebesar 0,09± 0,04 (Kurniawati, 2007). Aktivitas proteolitik starter dapat terlihat pada kondisi sarkomer (A band) yang mengalami peluruhan. Struktur mikroskopis daging segar secara kualitatif berbeda dengan dendeng fermentasi sebagai akibat dari aktivitas BAL. Perbedaan struktur mikroskopis ini terkait dengan peningkatan populasi BAL yang digunakan ke dalam produk sebagai starter fermentasi.
KESIMPULAN Kesimpulan Panjang sarkomer dan diameter serabut otot tidak dipengaruhi oleh penambahan starter kultur Lactobacillus plantarum ke dalam produk dendeng fermentasi dengan perlakuan mekanis pengirisan dan penggilingan. Perubahan histologis pada produk dendeng fermentasi dapat disimpulkan, secara ukuran tidak terjadi perubahan namun secara visualisasi (penampakan) terjadi perubahan berupa peluruhan garis A maupun penipisan warna pada sarkomer pasca fermentasi. Saran Waktu fermentasi dapat ditingkatkan dengan konsentrasi kultur starter yang lebih rendah disertai dengan penambahan garam dalam kisaran konsentrasi 1,5 % hingga 2 % maupun dengan penambahan bumbu seperti dendeng tradisional yang telah ada sebelumnya. Metode yang digunakan untuk analisa histologis dan diameter serabut otot dapat dilakukan dengan difraksi laser untuk mendapatkan hasil dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi menggunakan mikroskop elektron (SEM, TEM atau STEM).
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang Khalik. Berkat karunia dan rahmat-Nya, atas ridho dari-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Hanya dengan pertolongan-Nya seluruh tenaga dan pikiran dapat dikerahkan dalan penulisan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orangtua, kakak dan adik yang telah banyak memberikan bantuan baik berupa materi, motivasi, moriil dan kasih sayang yang telah mengantarkan penulis hingga saat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Irma Isnafia Arief, S. Pt, MSi dan Drh. Adi Winarto, Ph. D yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu dalam penyusunan proposal, selama penelitian hingga penulisan skripsi. Penulis juga menyatakan terima kasih kepada Dr. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc dan Ir. Komariah, MSi yang telah memberikan banyak masukan pada saat ujian sarjana maupun dalam perbaikan skripsi. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rarah R. A. M., DEA selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Peternakan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Yayasan Karya Salemba Empat (KS4), Yayasan Al-Bunyan, Lembaga Amil Zakat Al-Hurriyyah, pihak rektorat serta KORPRI yang telah memberikan kesempatan untuk mendapatkan bantuan pendidikan. Penulis bisa meningkatkan prestasi akademis dengan bantuan semua pihak tersebut. Kepada Staf Bagian IPT Ruminansia Besar Fakultas Peternakan dan Staf Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan tak lupa saya sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terakhir penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi selama kuliah, selama penelitian maupun selama proses penulisan skripsi. Kepada tim satu penelitian Niken, Erik, Marta dan Yogo, temanteman di Departemen Pertanian serta semua menteri dan staf BEM KM IPB Kabinet IPB Bersatu yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Januari 2008 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Bacus, J. 1984. Utilization of Microorganisms in Meat Processing Research Studies Press, England. Brahmantiyo, B. 1996. Karkas, sifat fisik dan kimia tiga bangsa sapi. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Brown, A. 2000. Understanding Food. Wadsworth, USA. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Burt, J. R. 1988. Fish Smoking and Drying. Elsevier Applied and Science, United Kingdom. Cross, H. R dan A. J. Overby. 1988. Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. Dellmann, H. D. dan E. M. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Edisi Ke3. Terjemahan : R. Hartono. UI Press, Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2908-1992 : Dendeng Sapi. Badan Standarisasi Nasional , Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Fadda, S., Y. Sanz, G. Vignolo, M. Aristoy, G. Oliver dan F. Toldra. 1999. Characterization of muscle sarcoplasmic and myofibrillar protein hydrolisis caused by Lactobacillus plantarum. J. of Applied and Environmental Microbiology, 65(8), 3540-3546. Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. Freeman and Company, San Fransisco. Fox, P. F. dan J. J. Condon. 1982. Food Proteins. Applied Science Publishers, London and New York. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4. Terjemahan : B. Srigandono dan K. Praseno. Gajah Mada University, Yogyakarta. Gaman, P. M dan Sherrington. 1984. The Science of Food. 2nd Ed. Pergamon Press, United Kingdom. Geesink, G. H. dan M. Koohmaraie. 1999. Postmortem proteolysis and calpain/calpastatin activity in callipyge and normal lamb Biceps femoris during extended postmortem storage. Journal of Animal Science. 77 : 14901501. Gregory, N. G. 1998. Animal Welfare and Meat Science. CABI Publishing, Wallingford. Grigor, P. N., P. J. Goddard dan C. A. Wood. 1997. The Movement of Farmer Deep Through Race Ways. Applied Animal Behaviour. CABI Publishing, Wallingford.
Harris, P. V. dan W. R. Shorthose. 1988. Meat Texture. Dalam : R. Lawrie. Development of Meat Science. Elsevier Applied Science, London and New York. Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hidayati, N. 2006. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi Lactobacillus plantarum asal daging sapi dan aplikasinya pada kondisi pembuatan sosis fermentasi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hui, Y. H., Wai-Kit Nip, R. W., Rogers dan O. A. Young. 2001. Meat Science and Applications. Marcell Dekker, Inc., New York. Humason, G. L. 1972. Animal Tissue Techniques. W. H. Freeman and Company, San Fransisco Irene, R. E. 1994. Sorpsi isotermis dendeng sapi giling. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jay, J. M. 1986. Modern Food Microbiology. 3rd Ed. Van Nostrand Reinhold, New York. Jenie, B. S. L. 2000. Pengembangan produk makanan tradisional rendah garam berbasis ikan melalui aplikasi BAL penghasil bakteriosin. Pusat Kajian Makanan Tradisional. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kerry, J, K. John dan L. David. 2002. Meat Processing, Improving Quality. Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC, England. Kinsman, D. M. , A. W. Kotula dan B. C. Breidenstein. 1994. Muscle Foods : Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall, Inc., New York and London. Koohmaraie, M. 1994. Beef Tenderness. http:/www.piedmontesenapa.com/BeefTenderness. html. [21 Februari 2007]. Koohmaraie, M. 1996. Biochemical factors regulating the toughening and tenderization process of meat. http:/www.piedmontesenapa.com/BeefTenderness.html. [21 Februari 2007]. Kurniawati, N. 2007. Aktivitas proteolitik dan mutu protein dendeng sapi yang difermentasi Lactobacillus plantarum hasil isolasi dari daging sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Lawrence, T. L. J. dan V. R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd Ed. CABI Publishing, Wallingford. Lawrie, R. A. 1985. Meat Science. 4th Ed. Pergamon Press, Oxford. Lawrie, R. A. 1988. Development In Meat Science. London and New York.
Elsevier Applied Science,
Lawrie, R.A. 1995. Meat Science. 6th Ed. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge. Lawrie R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan : A. Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Mc.Kenna, D. 2000. Meat tenderness. http://meat.tamu.edu. [18 April 2007]. Medved, E. 1986. Food Preparation and Theory. Prentice-Hall, Inc., New Jersey. Muchtadi, T. R., S. Fardiaz dan N. S. Indrasti. 1992. Analisis Mikroteknik dalam Ilmu Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. National Cattlemen’s Beef Association. 2007. http:/www.Beeffoodservice.com./Cuts/Info.aspx?Code=30. 2007].
Beef cuts. [21 Februari
National Cattlemen’s Beef Association. 2007. Beef value http:/www.rdranch.com./beefvaluecuts.aspx. [21 Februari 2007].
cuts.
Price, J. F. dan B. S. Schweigert. 1971. The Science of Meat and Meat Products. 2nd Edition. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd Edit. CRC Press, New York. Shanks, B. C., D. M. Wulf, B. J. Reuter dan R. J. Maddock. 2002. Increasing tenderness of beef round and sirloin muscles through prerigor sceletal separations. Journal of Animal Science. 80 : 123-128. Sims, T. J. dan A. J. Bailey. 1992. Structural Aspects of Cooked Meats. Dalam : D. E. Johnston, M. K. Knight dan D. A. Leward. 1992. The Chemistry of Muscle- Based Foods.The Royal Society Chemistry, UK. Sjachri, M. dan S. Hardjo. 1975. Pengolahan secara tradisional dari beberapa jenis bahan industri di Indonesia. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Steel. R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : B. Sumantri. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumarta, A. 2007. Sifat fisik dan organoleptik dendeng fermentasi daging sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall, Inc., New Jersey. Tarrant, P. V. 1982. Muscle Protein In Meat Technology. Dalam : Fox, P. V. dan J. J. Condon. 1982. Food Protein. Applied Science Publishers, London and New York. Van Laack, R. L. J. M. , 1994. Spoilage and Preservation of Muscle Foods. Dalam : D. M. Kinsman, A. W. Kotula dan B. C. Breidenstein. 1994. Foods : Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall, Inc. New York and London. Varnam. A. H. dan J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products. Chapman and Hall, London.
Vieira, R. 1994. Elementary Food Science. 4th Ed. Chapman and Hall, New York. Voyle, C. A. 1981. Scanning Electron Microscopy In Meat Science. Dalam : D. N. Holcomb dan M. Kalab. 1981. Studies of Food Microstructure. Scanning Electron Microscopy, Inc., Illinois. Walsh, G. 2002. Protein Biochemistry and Biotechnology. John Wiley and Sons, LTD, England. Warris, P. D. 2000. Meat Science. CABI Publishing, London. Wheeler, T. L. dan M. Koohmaraie. 1999. The extent of proteolysis is independent of sarcomere length in lamb longissimus and psoas major. Journal of Animal Science. 77 : 2444-2451. Wheeler, T. L. , S. D. Shackelford dan M. Koohmaraie. 2002. Technical note : Sampling methodology for relating sarcomere length, collagen concentration, and the extent of postmortem proteolysis to beef and pork longissimus tenderness. Journal of Animal Science. 80 : 982-987. Winarno, F. G. dan S. Fardiaz. 1973. Teknologi Pangan. Biro Penataran Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wirakartakusumah, M. A. , K. Abdullah dan A. M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Xiong, Y. L. 2000. Meat Processing. Dalam : S. Nakai dan H. W. Modler. 2000. Food Proteins : Processing Application. Wiley-VCH, Inc, New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Panjang Sarkomer Otot Sumber Keragaman
Db
Jk
KT
F hit
P
Perlakuan
1
0.050968
0.0509682
1.47
0.349
Periode
2
0.158116
0.0790580
2.29
0.304
Error
2
0.069177
0.0345887
Total 5 0.278262 Keterangan : Sebelum dilakukan pengasapan
Sumber Keragaman
Db
Jk
KT
F hit
P
Perlakuan
1
0.109350
0.109350
3.85
0.189
Periode
2
0.036103
0.018051
0.64
0.611
Error
2
0.056767
0.028383
Total 5 0.202220 Keterangan : Setelah dilakukan pengasapan
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Diameter Serabut Otot Sumber Keragaman
Db
Jk
KT
F hit
P
Perlakuan
1
47.997
47.997
16.002
0.057
Periode
2
87.145
43.573
14.527
0.064
Error
2
5.999
2.999
Total
5
141.140
Lampiran 3. Dendeng Fermentasi Giling
(a) sebelum diasap
(b) setelah diasap Lampiran 4. Dendeng Fermentasi Iris
(a) sebelum diasap
(b) setelah diasap
Lampiran 5. Pengukuran Diameter Serabut Otot
a
b
Keterangan : a. Serabut otot b. diameter serabut otot c. jaringan ikat
c
Lampiran 6. Pengukuran Panjang Sarkomer
sarkomer
skala mikrometer
10 µ
Keterangan : Banyaknya garis gelap dihitung dalam skala mikrometer Contoh perhitungan : Dalam skala 10 μ, terdapat 11 buah garis, maka jarak antar garis dapat dihitung sebagai berikut skala = 10 μ = 1 μ (jarak antar garis gelap) jmlh garis - 1 10