Perubahan Luas Area Luka dan Pembentukan Jaringan Fibroblast Pada Luka Bakar yang diterapi dengan Madu dan Propolis DGD. Dharma Santhi, DAP. Rasmika Dewi, AAN Subawa 1 Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Telp. 0361-222510
[email protected]
1
ABSTRAK
Kerusakan jaringan pada kulit akibat terpajan panas tinggi membuat protein penyusun kulit terancam denaturasi menyebabkan berkurangnya pertahanan terhadap infeksi bakteri, meningkatkan jumlah kerusakan jaringan dan mencegah penyembuhan area kulit yang terbakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui proses re-epitalisasi luka bakar pada tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Wistar pada pemberian madu dan propolis secara topical yang dinilai melalui perubahan luas area luka bakar dan pembentukan jaringan fibroblast. Dari hasil Hasil Uji One Way ANOVA, pada hari ke – 14 dan 21 setelah perlakuan luka bakar mulai terjadi penurunan luas area luka bakar yang menunjukkan terjadinya pembentukan jaringan baru. Pada hari ke – 14, diketahui bahwa kelompok kontrol positif (pada pemberian salep SSD) memberikan penurunan luas area luka yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok pemberian madu ternak dan madu hutan. Pada hari ke – 21, diketahui bahwa kelompok kontrol positif memberikan penurunan luas area luka yang sama dengan kelompok perlakuan. Pembentukan jaringan fibroblast diamati setelah hari ke – 21, ditemukan bahwa bahwa kelompok kontrol positif memberikan jumlah pembentukan jaringan fibroblast yang sama dengan kelompok perlakuan. Kata kunci: Luka Area Luka, Pembentukan Jaringan Fibroblast, Madu, Propolis
Pendahuluan Inflamasi merupakan respon terhadap kerusakan jaringan akibat berbagai rangsangan yang merugikan, baik rangsangan kimia maupun mekanis, seperti luka bakar. Pada proses inflamasi terjadi reaksi vaskular, sehingga cairan, elemenelemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia terkumpul pada tempat yang cedera untuk menetralkan dan menghilangkan agen-agen berbahaya serta untuk memperbaiki jaringan yang rusak (Kee dan Hayes, 1993). Tanda-tanda inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, peningkatan permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke daerah inflamasi (Wilmana, 1995). Antimikroba menjadi pilihan untuk mencegah meluasnya infeksi pada luka bakar (Church, dkk, 2006). Produk lebah madu Indonesia, antara lain madu hutan, madu ternak, dan propolis pada penelitian sebelumnya, diketahui memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Hal ini dapat dilihat dari pH yang dimiliki oleh madu hutan, madu ternak, dan propolis Indonesia berkisar antara 3,85 – 4,44. Dimana pada rentang pH tersebut, dikatakan
bahwa madu dan propolis mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu dari uji aktivitas antibakteri menggunakan tes Kirby Bauer, dapat dilihat bahwa madu madu hutan, madu ternak, dan propolis memiliki zone hambat terhadap pertumbuhan bakteri yang tidak resisten maupun yang sudah resisten terhadap antibiotika. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat penyembuhan luka bakar dilihat dari pembentukan jaringan fibroblast serta luas area luka bakar Bahan dan Metode
Pada penelitian ini dipergunakan madu yang diperoleh dari tanaman kapuk dengan spesies lebah Apis mellifera, sedangkan bahan madu hutan diperoleh dari hutan di pedalaman Riau, yaitu dari spesies Apis dorsata. Untuk bahan uji propolis yang dipergunakan diperoleh dari spesies lebah Trigona sp dan Abelha coleta. Bahan uji ini merupakan produk dagang yang mudah ditemukan di pasaran Indonesia. Sebanyak 36 tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Wistar dipergunakan untuk penelitian ini, dibagi ke dalam 6 kelompok perlakuan. Sebelum diberian perlakuan, sebelumnya semua hewan coba diadaptasikan selama 1 minggu serta diberikan pellet serta air minum ad libitum. Kelompok I adalah kelompok kontrol negatif, dimana luka bakar hewan coba diberi perlakuan dengan membersihkannya dengan larutan normal saline. Kelompok II adalah kelompok kontrol positif, dimana luka bakar hewan coba diberi perlakuan dengan mmengoleskan salep silver sulfdiazin (SSD) 2%. Kelompok perlakuan III adalah kelompok perlakuan, di mana pada luka bakar pada hewan coba diterapi menggunakan madu ternak dari spesies lebah Apis mellifera. Kelompok perlakuan IV adalah kelompok perlakuan, di mana pada luka bakar pada hewan coba diterapi menggunakan madu hutan dari spesies lebah Apis dorsata. Kelompok perlakuan V adalah kelompok perlakuan, di mana pada luka bakar pada hewan coba diterapi menggunakan propolis dari spesies lebah Trigona Sp. Kelompok perlakuan VI adalah kelompok perlakuan, di mana pada luka bakar pada hewan coba diterapi menggunakan propolis dari spesies lebah Abelha colata. Parameter yang dipergunakan untuk mengukur tingkat penyembuhan luka bakar yang terjadi pada hewan coba setelah mendapat perlakuan luka bakar, adalah tingkat penyembuhan luka bakar dilihat dari pembentukan jaringan fibroblast serta luas area luka bakar.
Hasil dan Pembahasan Proses penyembuhan luka dicatat pada hari ke- 0, 3, 7, 14, dan 21 setelah perlakuan luka bakar. Semua luka difoto bersama alat pengukur standar (penggaris) untuk mengukur luas area luka.
Tabel 4.7 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan I Kelompok I 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,80 2,85 3,00 2,80 2,60 3,00 2,40 2,20 3,00 2,60 2,00 3,00 2,80 2,60 3,00 2,60 2,00 3,00 ± 0.00 2.67 ± 0.16 2,38 ± 0.36
Hari ke-21 2,40 2,00 1,87 1,87 2,00 1,82 1,99 ± 0.21
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21 pada kelompok perlakuan I. Tabel 4.8 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan II Kelompok II 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,80 1,30 3,00 2,40 1,20 3,00 2,80 1,20 3,00 2,40 1,00 3,00 2,80 1,20 3,00 2,60 1,10 3,00 ± 0.00 2.63 ± 0.20 1,17 ± 0.10
Hari ke-21 0,24 0,32 0,48 0,22 0,22 0,20 0.28 ± 0.11
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21, dimana pada kelompok ini diberikan salep Silver sulfadiazin 2%. Tabel 4.9 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan III Kelompok III 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,40 1,60 3,00 2,80 1,60 3,00 2,80 1,87 3,00 2,40 1,20 3,00 2,60 2,00 3,00 2,80 1,32 3,00 ± 0.00 2,63 ± 0.20 1,60 ± 0.31
Hari ke-21 0,32 0,28 0,36 0,24 1,80 0,28 0.55 ± 0.62
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21, dimana pada kelompok ini diberikan madu ternak dari spesies lebah Apis mellifera.
Tabel 4.10 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan IV Kelompok IV 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,60 1,80 3,00 2,80 1,60 3,00 2,80 2,00 3,00 2,60 1,70 3,00 2,60 1,40 3,00 2,60 1,90 3,00 ± 0.00 2.67 ± 0.10 1.73 ± 0.22
Hari ke-21 0,75 0,64 0,52 0,48 0,52 0,80 0.62 ± 0.13
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21, dimana pada kelompok ini diberikan madu hutan dari spesies lebah Apis dorsata. Tabel 4.11 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan V Kelompok V 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,40 1,50 3,00 2,40 1,04 3,00 2,60 1,60 3,00 2,80 1,92 3,00 2,80 1,44 3,00 2,40 1,20 3,00 ± 0.00 2.57 ± 0.20 1.45 ± 0.31
Hari ke-21 0,50 0,16 0,24 0,45 0,27 0,28 0.34 ± 0.16
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21, dimana pada kelompok ini diberikan propolis dari spesies lebah Trigona sp. Tabel 4.12 Diameter Luka Bakar tikus jantan kelompok Perlakuan VI Kelompok VI 1 2 3 4 5 6 Rata – rata ± SD
Hari ke-0 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 ± 0.00
Diameter Luka Bakar (cm2) Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 3,00 2,40 0,75 3,00 2,80 1,05 3,00 2,80 0,75 3,00 2,80 0,98 3,00 2,80 1,04 3,00 2,40 0,75 3,00 ± 0.00 2.67 ± 0.21 0.89 ± 0.15
Hari ke-21 0,10 0,50 0,30 0,45 0,14 0,10 0.27 ± 0.18
Dari tabel di atas terlihat penurunan luas area luka dari hari ke-0 sampai pada hari ke – 21, dimana pada kelompok ini diberikan propolis dari spesies lebah Abelha coleta. Hasil penelitian untuk mengetahui proses re-epitalisasi yang terjadi pada hewan coba setelah mendapat perlakuan luka bakar melalui parameter luas area luka bakar adalah sebagai berikut:
Tabel 5.3. Ringkasan Hasil Uji One Way ANOVA Luas Area Luka Bakar Luas Area Luka Bakar Probabilitas (p) Hari ke - 0 Hari ke - 3 Hari ke - 7 0.921 Hari ke - 14 0.000* Hari ke - 21 0,000* Keterangan: * = berbeda bermakna pada uji One Way ANOVA (p<0,05) Berdasarkan tabel 5.3 di atas, dapat diamati bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada semua kelompok uji pada hari ke-7 perlakuan luka bakar. Hal ini menandakan bahwa luas area luka sebelum perlakuan adalah seragam. Pada hari ke – 14 dan 21 setelah perlakuan luka bakar mulai terjadi penurunan luas area luka bakar yang menunjukkan terjadinya pembentukan jaringan baru. Dari analisis statistik, pada hari ke– 14 dan 21 yang menunjukkan luas area luka bakar yang berbeda bermakna antar kelompok perlakuan, di mana diperoleh nilai p = 0.000. Oleh karena itu, data pengamatan pada hari ke – 14 dan 21 tersebut dapat dianalisis lebih lanjut dengan uji LSD. Hasil uji LSD digunakan untuk mengetahui probabilitas tiap kelompok sehingga dapat diketahui perbedaan antara kelompok satu dan kelompok lainnya pada hari ke- 14 dan 21 setelah perlakuan luka bakar. Ringkasan nilai probabilitas antar kelompok pada uji LSD dapat dilihat pada tabel 5.4 dan 5.5. Tabel 5.4. Ringkasan Hasil Uji LSD Luas Area Luka Bakar Hari Ke - 14 Hari Pengamatan
Kelompok
Kelompok I
Hari ke - 21
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI
0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000*
Keterangan : * Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V
Kelompok VI
0.000*
0.000* 0.007*
0.000* 0.001* 0.371
0.000* 0.066 0.326 0.066
0.000* 0.069 0.000 0.000 0.01
0.007* 0.001* 0.066 0.069
0.371 0.326 0.000
: Berbeda bermakna (p<0,05) : Pemberian Larutan Normal Saline :Pemberian Salep Silver Sulfadiazin : Pemberian Madu Ternak sp. Apis mellifera : Pemberian Madu Hutan sp. Apis dorsata : Pemberian Propolis sp. Trigona : Pemberian Propolis sp. Abelha coleta
0.066 0.000
0.001
Dari hasil uji LSD pada hari ke – 14, diketahui bahwa kelompok kontrol positif (pada pemberian salep Silver Sulfadiazin) memberikan penurunan luas area luka yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok pemberian madu ternak dan madu hutan. Tabel 5.5. Ringkasan Hasil Uji LSD Luas Area Luka Bakar Hari Ke - 21 Hari Pengamatan
Kelompok
Hari ke - 21
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI
Kelompok I
0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000*
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V
Kelompok VI
0.000*
0.000* 0.121
0.000* 0.052 0.671
0.000* 0.828 0.179 0.081
0.000* 0.929 0.102 0.043 0.759
0.121 0.052 0.828 0.929
0.671 0.179 0.102
0.081 0.043*
Keterangan : * : Berbeda bermakna (p<0,05) Kelompok I : Pemberian Larutan Normal Saline Kelompok II :Pemberian Salep Silver Sulfadiazin Kelompok III : Pemberian Madu Ternak sp. Apis mellifera Kelompok IV : Pemberian Madu Hutan sp. Apis dorsata Kelompok V : Pemberian Propolis sp. Trigona Kelompok VI : Pemberian Propolis sp. Abelha coleta
Gambar 1. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan I
0.759
Gambar 2. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan II
Gambar 3. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan III
Gambar 4. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan IV
Gambar 5. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan V
Gambar 6. Preparat Histopatologi Kelompok Perlakuan VI Dari hasil perhitungan pembentukan jaringan fibrobast pada hari ke – 21, diketahui bahwa kelompok kontrol positif (pada pemberian salep Silver Sulfadiazin) memberikan pembentukan jaringan fibroblast yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Sedangkan bila dibandingkan dengan perlakuan, memberikan pembentukan jaringan fibroblast yang sama. Madu dikatakan sebagai antimikroba dengan spektrum yang luas, serta non toksik terhadap jaringan manusia. Pada beberapa kasus, madu digunakan pada luka terinfeksi yang tidak sembuh dengan terapi antibiotik standar dan antiseptik, dimana madu efektif pada semua fase penyembuhan luka tanpa efek samping pada pada prosesnya. Studi efektivitas madu sebagai antimikroba menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap lebih dari 70 strain bakteri yang ditemukan pada luka, termasuk Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)7. Penelitian lain di Belanda dengan menggunakan berbagai isolate bakteri yaitu : Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecium, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloacae, Klebsiella oxytoca, menemukan
bahwa sediaan madu yang diteliti (Revamil®) mempunyai potensi sebagai antimikroba topical13. Penelitian lain di Bangladesh menunjukkan bahwa madu mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram Positif (staphylococcus aureus) maupun bakteri Gram Negatif (Escherchia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Shigella spp). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zohdi, dkk, 2012, madu dari Malaysia dimasukkan ke dalam formulasi hidrogel menggunakan teknik iradiasi berkas elektron (disebut sebagai
Honey Hydrogel Dressing) Efef
penyembuhan luka dinilai berdasarkan penampakan luka, kecepatan penyembuhan luka dan perubahan histopatologis. Hasil dari penelitian ini adalah luka-luka yang dirawat dengan Honey Hydrogel Dressing menunjukkan penyembuhan yang lebih baik dan secara signifikan (p <0,05) meningkatkan kecepatan penyembuhan luka dibandingkan dengan kelompok kontrol pada 21 hari posting terbakar. Epitelisasi lebih cepat juga terlihat dalam kelompok Honey Hydrogel Dressing dibandingkan dengan kelompok lain, meskipun ini tidak signifikan secara statistik. Hasil membuktikan kemanjuran potensi Honey Hydrogel Dressing dalam mempercepat penyembuhan luka bakar. Propolis atau lem lebah merupakan suatu zat resin yang dikumpulkan oleh lebah madu dari sumber tumbuhan seperti aliran getah atau tunas pohon. Propolis memiliki kemampuan untuk menekan pertumbuhan bakteri, virus dan fungi, serta kemampuan untuk meredakan inflamasi (radang). Beberapa percobaan terhadap tikus memperlihatkan propolis mampu memperbaiki pemulihan luka bakar, luka kecil, infeksi, peradangan, sakit gigi, dan herpes kelamin. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan propolis yang berasal dari Turki, diketahui bahwa penyembuhan luka bakar menggunakan propolis 50% lebih baik dibandingkan kelompok yang memperoleh krim SSD dan cold cream (kontrol).
Dikatakan
bahwa
propolis
turki
mempunyai
peranan
dalam
penyembuhan luka bakar karena memiliki efek sebagai anti oksidan,antiinflamasi dan antimikroba. DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar, Injil. 2006. Luka Bakar identifikasi, dan Terapinya. Available from : www.kompas.com/, Cited : Januari 19, 2014 Alnaimat S, Wainwright M dan Al'Abri K. 2012. Antibacterial Potential of Honey from Different Origins ; a Comparsion with Manuka Honey. Journal of Microbiology, Biotechnology and Food Sciences 2012 ; 1 (5), hal.1328-1338.
Anilakumar Kandangath Raghvan, Khanum Farath, Bawa Amarinder Singh. 2011. Pharmalogical And Therapeutic Properties Of Propolis. Oxidative Stress In Vertebrates And Invertebrates. USA Anonim a. 2014. Mengenal Lebih Dekat Produk-Produk Lebah Madu Trigona. Available from : m.kompasiana.com. Cited : January 21, 2014. Anonim b, 1998. Honey Scientific Report Office Of Complementary Medicines. Available ffrom : www.tga.gov.au. Cited: January 21, 2014. Anonim c. 2012. Madu. Available from : www.wikipedia.org. Cited : January 19, 2014. Anonim d. 2014 . Bee pollen. Available from : www.id.wikipedia.org. Cited: January 21, 2014. Blair SE, Cokcetin NN, Harry EJ. 2009. The unusual antibacterial activity of medical-grade Leptospermum honey: antibacterial spectrum, resistance and transcriptome analysis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 28(10), hal. 11991208. Bogdanov S. 2012. Honey in Medicine. Available from : www.bee-hexagon.net. Cited : January 20, 2014. Budyantara R dan Muhartono. 2012. Perbandingan Tingkat Penyembuhan Luka Bakar Antara Pemberian Madu dan Klindamisin Secara Topikal Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Available from : www.juke.kedokteran.unila.ac.id, Cited : January 20, 2014. Church Deirdre, Sameer Elsayed, Owen Reid, Brent Winston, dan Robert Lindsay. 2006. Burn Wound Infections. Clinical Microbiology Reviews, Vol. 19, No. 2, hal. 403–434. Cooper, R, PC Molan, K Harding. 1999. Antibacterial activity of honey against strains of Staphylococcus aureus from infected wounds. Journal of the Royal Society of Medicine, vol. 92, no. 9, hal.283-285. Cooper RA, Halas E, Molan PC. 2002. The efficacy of honey in inhibiting strains of Pseudomonas aeruginosa from infected burns. Journal of Burn Care Rehabilitative; 23:366–370. Cutting, K F. 2007. Honey and contemporary wound care: An overview. Ostomy/Wound Management 53 (11): 49-54. George NM, Cutting KF. 2007. Antibacterial honey (MedihoneyTM): in-vitro activity against clinical isolates of MRSA, VRE, and other multiresistant Gram-negative organisms including Pseudomonas aeruginosa. Wounds 19(9), hal. 231-236.
Gethin G . 2007. The significance of surface pH in chronic wounds. Wounds UK 3(3), hal. 52-54. Grothier Lorrainne nd Rose Cooper. 2007. Medihoney™ Dressings Made Easy Products for Practice. Available from : www.wounds-uk.com. Cited : January 20, 2014. Han, MC, A. S. Durmus, E. Karabalut and I. Yaman. 2005. Effects of Turkish Propolis and Silver Sulfadiazine on Burn Wound Healing in Rats. Revue Méd. Vét., 156, 12, hal. 624-627 Hollis, Georgie. 2007. Honey and modern wound management. Available from : www.dechra.co.uk. Cited : January 20, 2014. Krisnawati. 2012. Kandungan Propolis Dan Madu Lebah Trigona spp Di Pulau Lombok. Disampaikan dalam : Alih Teknologi “Budidaya Lebah Trigona sp”. Mataram. Kwakman PHS, Van den Akker JPC, Gu¨c¸ lu¨ A, Aslami H, Binnekade J M, de Boer L, dkk. 2008. Medical-Grade Honey Kills Antibiotic-Resistant Bacteria In Vitro and Eradicates Skin Colonization. Clinical Infectious Diseases Journal. Mandal, Manisha Deb and Shyamapada Mandal. 2011. Honey: its medicinal property and antibacterial activity. Asian Pac J Trop Biomed.; 1(2), hal.154– 160. Molan, PC. 1999. The role of honey in the management of wounds. J Wound Care 8(8), hal.415–418 Molan, PC. 2001. Honey as a topical antibacterial agent for treatment of infected wounds. Available from : www.worldwidewounds.com. Cited : January 20, 2014. Mutsaers, Marinka, Henk van Blitterswijk, Leen van 't Leven, Jaap Kerkvliet, Jan van de Waerdt. 2005. Bee products properties, processing and marketing. Agromisa Foundation, Wageningen. Nurdiana,Tanto Hariyanto, dan Musfirah. 2006. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Perawatan Luka Menggunakan Virgin Coconut Oil (Cocos nucifera) Dan Normal Salin Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar. Available from: elibrary.ub.ac.id. Cited : Januari 20, 2014 Osho A, dan Bello OO. 2010. Antimicrobial effect of honey produced by Apis mellifera on some common human pathogens. Asian J. Exp.. Biol. Sci. 2010; 1 (4): 875-80.
Rahman S, Salehin F and Iqbal A. 2011. Antibacterial efficacy of raw and commercially available Honey. African Journal of Biotechnology 2011; 10(54) : 11269-72. Tumin N, Halim NAA, Shahjahan M, Noor Izani NJ, Sattar MA, Khan AH, dkk. 2005. Antibacterial Activity of local Malaysian Honey. Malaysian Journal of Pharmaceutical Sciences 2005; 3 (2): 1–10 Zohdi, RM, Md. Zuki Abu Bakar, Norimah Yusof, Noordin Mohamed Mustapha1, Muhammad Nazrul Hakim Somchit and Asnah Hasan. 2012. Honey Hydrogel Dressing to Treat Burn Wound in Rats - A Preliminary Report. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 35 (1): 67 - 74