2
pertumbuhan tiga jenis tumbuhan air dalam (limbah cair) dengan kandungan klorin tinggi (0.66 ppm) sebagai medium tumbuhnya.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah sampel air yang diambil dari air outlet hasil proses pengolahan limbah cair industri di PT. Capsugel Indonesia dan tiga jenis tumbuhan air, yaitu: kayu apu (Pistia stratiotes) kiambang (Salvinia natans) dan kiapung (Azolla pinnata). (Lampiran 1). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah penampung air untuk limbah (akuarium) berukuran (30 x 30 x 30) cm³, jaring kawat untuk mengukur penutupan kiapung pada medium, spektrofotometer UV-VIS DR 2010/HACH untuk mengukur parameter klorin, nitrat dan amonia, pH meter, COD meter, BOD meter dan alat-alat gelas. Metode Persiapan Tumbuhan Air. Tumbuhan air yang digunakan pada penelitian ini diambil di daerah persawahan. Tumbuhan tersebut dibersihkan dari sisa lumpur dengan menggunakan air mengalir. Selanjutnya dikondisikan menggunakan air demineralisasi sebanyak 15 liter selama 1 hari. Penanaman Tumbuhan pada Medium Limbah Cair. Dua belas akuarium masingmasing diisi 15 liter air limbah dari bak outlet. Tiga akuarium diisi dengan tumbuhan kayu apu, tiga akuarium diisi kiambang, tiga akuarium diisi kiapung dan tiga sisanya tidak diisi tumbuhan air (sebagai kontrol). Tumbuhan air yang dimasukkan pada setiap akuarium menutupi 50% permukaan air (Lampiran 2). Pengamatan dilakukan terhadap konsentrasi klorin sebelum dan setelah dua hari penanaman, dan nitrat, amonia, pH, COD dan BOD setiap dua hari sekali selama delapan hari. Klorin diukur menggunakan spektrofotometer pada program 952 dengan panjang gelombang 530 nm, nitrat diukur menggunakan spektrofotometer pada program 355 dengan panjang gelombang 500 nm, amonia diukur menggunakan spektrofotometer pada program 380 dengan panjang gelombang 425 nm, pH diukur menggunakan pH meter, COD diukur menggunakan COD meter dan BOD dikur menggunakan BOD meter. Penanaman Tumbuhan pada Medium Limbah Cair dengan Penambahan Kaporit. Limbah cair dari bak outlet ditampung dalam drum besar, kemudian ditambahkan kaporit hingga konsentrasi klorin mencapai 0.66 ppm. Setelah itu, limbah cair diisikan ke dalam 12 akuarium, masing-masing akuarium diisi 15 liter air limbah tersebut. Kemudian tiga akuarium diisi dengan tumbuhan kayu apu, tiga akuarium diisi kiambang, tiga akuarium diisi kiapung dan tiga sisanya tidak diisi tumbuhan air (sebagai
kontrol). Tumbuhan air yang dimasukkan pada setiap akuarium menutupi 50% permukaan air (lampiran 3). Pengamatan dilakukan terhadap konsentrasi klorin setiap dua hari sekali selama sepuluh hari. Klorin diukur menggunakan spektrofotometer pada program 952 dengan panjang gelombang 530 nm. Selain itu juga diamati parameter pertumbuhan tumbuhan air meliputi jumlah daun dan jumlah tunas (kayu apu dan kiambang), panjang akar (kayu apu), panjang tumbuhan (kiambang). Pada setiap akuarium hanya diambil tiga tumbuhan untuk mengukur parameter tumbuhan tersebut. Khusus untuk kiapung diukur luas penutupan pada mediumnya. Pengolahan Data. Uji yang dilakukan menggunakan Anova Rancangan Acak Lengkap (RAL) intime diolah secara statistik dengan program SAS dilanjut-kan menggunakan uji Duncan dengan tingkat kepercayan 95%. Uji tersebut untuk analisis data parameter kimia dan parameter pertumbuhan.
HASIL Kualitas Air Limbah dalam Medium setelah Penanaman Tumbuhan Air. Konsentrasi Klorin. Konsentrasi klorin dalam akuarium kontrol (tanpa tumbuhan air) sedikit bertambah (dari 0.031 ppm menjadi 0.035 ppm). Sedangkan konsentrasi klorin dalam akuarium dengan tumbuhan air banyak berkurang pada hari ke-2 (Anova p<0.05). Ratarata klorin dalam akuarium dengan kayu apu berkurang dari 0.031 ppm menjadi 0.003 ppm (Gambar 1). Rata-rata klorin dalam akuarium berisi kiambang dan kiapung masing-masing berturut-turut berkurang menjadi 0.017 ppm dan 0.020 ppm. Analisis statistik memberikan hasil bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berbeda nyata terhadap kontrol, kiambang, kayu apu dan kiapung masing-masing pada hari ke-2 (Anova p<0.05).
Gambar 1. Rata-rata konsentrasi klorin pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu (PS), kiambang (SN), kiapung (AP) dan tanpa tumbuhan air (KO) pada hari ke-2. Konsentrasi Nitrat. Konsentrasi nitrat dalam medium limbah cair meningkat di semua perlakuan dan kontrol pada hari ke-2 setelah penanaman. Peningkatan terbesar terjadi pada
3
perlakuan kiapung hingga mencapai 15.8 mg/l (Gambar 2). Pada pengamatan berikutnya (hari ke-4 dan ke-6) konsentrasi nitrat cenderung turun, kecuali nitrat pada kontrol terus naik hingga 7.5 mg/l pada hari ke-8. Sedangkan perlakuan dengan tumbuhan air penurunan terkecil terjadi pada kiambang dari 12.5 mg/l menjadi 6.5 mg/l. Kemudian pada hari ke-8 konsentrasi nitrat naik kembali di setiap perlakuan. Analisis statistik memberikan hasil bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berbeda nyata pada kiapung hari ke-2 (Anova p<0.05).
Gambar 2. Rata-rata konsentrasi nitrat pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-0, hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6 dan hari ke-8. Konsentrasi Amonia. Konsentrasi amonia dalam akuarium (tanpa tumbuhan air) mengalami penurunan yang semula 0.21 mg/l menjadi 0.19 mg/l pada hari ke-2. Kemudian konsentrasi amonia pada hari ke-4 meningkat dan menurun lagi pada hari ke-6. Setelah hari ke-8 konsentrasi amonia mengalami peningkatan kembali. Sedangkan dengan perlakuan kayu apu, kiambang dan kiapung pada hari ke-2, konsentrasi amonia mengalami peningkatan dan pada hari ke-4 mengalami penurunan. Penurunan terkecil terjadi pada kiambang dari 0.22 mg/l menjadi 0.11 mg/l. Pada hari ke-6 konsentrasi amonia mengalami peningkatan dan pada hari ke-8 mengalami penurunan kembali (Gambar 3). Analisis statistik memberikan hasil konsentrasi antara perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata, tetapi konsentrasi amonia ketika diamati dua hari sekali cenderung berbeda (Anova p>0.05). pH. Nilai pH pada medium limbah cair tanpa tumbuhan air mengalami fluktuasi lebih besar dibandingkan perlakuan menggunakan tumbuhan air. Setelah dua hari perlakuan pH kontrol mengalami penurunan dari 7.97 menjadi 7.35 dan hari ke-4 mengalami peningkatan menjadi 8.26. Setelah itu pH turun pada hari ke6 hingga mencapai 7.01 dan naik kembali pada hari ke-8 (Gambar 4). Perlakuan dengan tumbuhan air pada hari ke-2 mengalami peningkatan. Peningkatan pH terbesar terjadi
pada perlakuan dengan kiapung dari 7.97 menjadi 8.16. Perlakuan dengan kayu apu mengalami penurunan pada hari ke-4, sedangkan pH pada perlakuan dengan kiambang dan kiapung mengalami peningkatan. Perlakuan dengan kiambang mengalami penurun pH berturut-turut hingga mencapai 7.92 pada hari ke-8. Analisis statistik memberikan hasil bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berbeda nyata terhadap kontrol pada hari ke-2 dan hari ke-6 (Anova p<0.05).
Gambar 3. Rata-rata konsentrasi amonia pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-0, hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6 dan hari ke-8.
Gambar 4. Rata-rata konsentrasi pH pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-0, hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6 dan hari ke-8. Konsentrasi COD. Konsentrasi COD dalam medium limbah cair meningkat pada semua perlakuan dan kontrol di hari ke-2. Peningkatan pada hari ke-2 terbesar terjadi pada kontrol sebesar 25 mg/l (Gambar 5). Konsentrasi COD turun pada perlakuan kiambang dan kontrol di hari ke-4 dan kembali mengalami peningkatan masing-masing 25 mg/l dan 26 mg/l hingga hari ke-8. Sedangkan konsentrasi COD pada perlakuan dengan kayu apu meningkat pada hari ke-2, 4, dan 6, kemudian menurun hingga 8 mg/l di hari ke-8. Konsentrasi BOD. Konsentrasi BOD dalam medium limbah cair meningkat pada semua perlakuan, kecuali perlakuan pada kayu apu di hari ke-2 (Gambar 6). Konsentrasi BOD mengalami penurunan disemua perlakuan, kecuali perlakuan dengan kayu apu yang
4
meningkat sebesar 9 mg/l di hari ke-4. Perlakuan dengan kiapung menurun hingga 7 mg/l sampai hari ke-8. Pada pengamatan hari ke-4 dan berikutnya, konsentrasi BOD cenderung naik pada kontrol dan perlakuan kiambang masingmasing 12 mg/l dan 13 mg/l di hari ke-6 dan ke8. Sementara BOD pada perlakuan dengan kayu apu naik pada hari ke-4, tetapi pada hari ke-6 dan 8 menurun hingga mencapai 4 mg/l.
panjang tanaman pada kiambang; serta penurunan penutupan medium oleh kiapung tidak berbeda nyata (Anova p>0.005).
Gambar 7 Rata-rata jumlah daun ( ), jumlah tunas ( ) dan panjang akar ( ) per tanaman kayu apu pada hari ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8 dan ke-10 penanaman pada medium limbah cair. Gambar 5. Rata-rata konsentrasi COD pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-0, hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6 dan hari ke-8.
Gambar 8 Rata-rata jumlah daun ( ), jumlah tunas ( ) dan panjang tumbuhan ( ) per tanaman kiambang pada hari ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8 dan ke-10 penanaman pada medium limbah cair.
Gambar 6. Rata-rata konsentrasi BOD pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-0, hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6 dan hari ke-8. Respons Tumbuhan Air pada Medium dengan Konsentrasi Klorin Tinggi Setelah sepuluh hari ditumbuhkan di medium klorin 0.66 ppm, kayu apu dan kiambang bisa tumbuh dengan baik. Sampai dengan hari ke-6 rata-rata jumlah daun, jumlah tunas, panjang tumbuhan dan panjang akar bertambah dari ukuran semula diawal percobaan (Gambar 7 dan 8, lampiran 3 dan 4), tetapi setelah hari ke-6 parameter tersebut kurang lebih tidak berubah. Pertumbuhan kiapung tidak sebaik pada tanaman lainnya, persentase penutupan kiapung menurun setelah 10 hari perlakuan (Gambar 9, lampiran 5). Berdasarkan uji statistik pertambahan jumlah daun, jumlah tunas, dan panjang akar pada kayu apu; dan pertambahan jumlah daun, jumlah tunas, dan
Gambar 9 Rata-rata persentase penutupan kiapung pada permukaan medium limbah cair pada hari ke-0, hari ke-2, ke-4, ke-6, ke-8 dan ke-10 penanaman pada medium limbah cair. Penurunan Konsentrasi Klorin Konsentrasi klorin dalam medium limbah cair yang semula 0.66 ppm menurun dengan cepat sampai di bawah 0.025 ppm di semua perlakuan dan kontrol pada hari ke-2 (Gambar 10). Pada pengamatan-pengamatan berikutnya, konsentrasi klorin naik turun meskipun perbedaannya sangat kecil. Klorin pada akuarium kontrol setelah konsentrasinya turun hingga 0.011 ppm pada hari ke-2 dan ke-4, ternyata pada pengamatan hari ke-6 dan ke-8
5
konsentrasi klorin naik berturut-turut menjadi 0.012 ppm dan 0.015 ppm dan turun lagi pada hari ke-10 hingga 0.011 ppm. Fenomena yang sama juga dijumpai dengan perlakuan kayu apu, kiambang dan kiapung. Masing-masing perlakuan dengan kadar klorin yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan kadar klorin pada kontrol (Anova p>0.05).
Gambar 10 Rata-rata nilai klorin pada medium limbah cair setelah penanaman kayu apu ( ), kiambang ( ) dan kiapung (×) serta medium tanpa tumbuhan air (kontrol, ) pada hari ke-2, hari ke-4, hari ke-6, hari ke-8 dan hari ke-10.
PEMBAHASAN Potensi Tumbuhan Air dalam Menurunkan Konsentrasi Klorin Tumbuhan air kayu apu, kiambang dan kiapung berpotensi menurunkan klorin. Klorin dalam akuarium dengan tumbuhan air cenderung lebih rendah dari kandungan klorin pada kontrol. Berkurangnya konsentrasi klorin dalam perlakuan dapat disebabkan karena klorin diserap oleh tumbuhan dalam bentuk Cl untuk metabolisme ataupun untuk diuapkan. Klorin dibutuhkan tumbuhan untuk menstimulasi pemecahan molekul air pada fotosintesis dan untuk proses pembelahan sel (Lakitan 1993). Di antara ketiga tumbuhan air yang digunakan untuk membersihkan klorin limbah cair capsugel, hasil yang paling baik diperoleh dari kayu apu. Penurunan kandungan klorin dalam medium dengan kayu apu lebih banyak dibanding kedua tumbuhan lainnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan kondisi perakaran tumbuhan tersebut. Nutrien termasuk klorin diserap oleh tumbuhan pada bagian akar (Rock 1998). Kayu apu memiliki perakaran panjang (rata-rata 10 cm), sebaliknya perakaran pada kiapung sangat pendek (1-2 cm). Sedangkan kiambang tidak memiliki akar sesungguhnya, melainkan struktur seperti akar yang merupakan modifikasi dari daun. Akar tanaman memainkan peranan penting dalam membersihkan air limbah dengan menyerap nutrisi (Stottmeister et al. 2003), mengakumulasi logam zat beracun (Collins et al. 2005) dan menyediakan luas permukaan besar untuk kolonisasi mikroba. Pelepasan oksigen dan transportasi melalui akar merangsang dekomposisi aerobik bahan organik dan
menghasilkan daerah aerobik dan anaerobik sekitar rizosfer yang menyediakan habitat yang cocok bagi mikroorganisme aerobik, anaerobik dan fakultatif. Akar tanaman juga melepaskan berbagai jenis senyawa organik yang dapat bertindak sebagai sumber karbon untuk denitrifiers, meningkatkan penghapusan nitrat dan juga melepaskan antibiotik yang dapat mengontrol atau membunuh bakteri berbahaya dalam limbah cair (Wenyin et al. 2007). Nitrat, Amonia dan pH dalam Medium Konsentrasi nitrat dan ammonia fluktuatif pada perlakuan, sedangkan kontrol terus naik. Penurunan nitrat dan amonia dalam medium dapat diserap oleh tumbuhan (Dwidjoseputro 1980) karena tumbuhan memerlukan unsur N untuk pembentukan protein dan mendapatkan unsur N dalam bentuk amonia dan nitrat. Sedangkan peningkatan nitrogen dan amonia pada kontrol dapat disebabkan penguraian bahan organik oleh mikroorganisme. Perlakuan dengan tumbuhan air menghasilkan peningkatan rata nilai pH medium, kecuali pada perlakuan dengan kiambang yang mengalami penurunan hingga 7.92 pada hari ke-8. Peningkatan nilai pH tersebut mungkin dikarenakan peran dari bakteri pengurai dalam medium berisi tumbuhan air yang menguraikan bahan organik terutama protein menjadi amonia yang lebih bersifat basa. Nilai pH, nitrat dan amonia memiliki suatu hubungan. Amonia cenderung memiliki pH basa, sedangkan nitrat cenderung larut dalam asam sehingga terbentuk HNO3 (asam nitrat). Amonia akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH (Barus 2002). Hal ini sejalan dengan nilai pH pada kontrol selama pengamatan yang berfluktuasi dan pada akhir pengamatan meningkat. Nilai pH terkecil terjadi pada kontrol, setelah hari ke-6 turun dari 7.97 hingga 7.01. Hal ini mungkin disebabkan akumulasi CO2 oleh respirasi dan dekomposisi. Sementara pada hari ke-8 nilai pH pada kontrol meningkat dengan cepat hingga mencapai 8.30. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan alga yang pesat pada wadah akuarium, sehingga keberadaan karbondioksida berkurang dapat meningkatkan nilai pH menjadi lebih tinggi lagi (Effendi 2003). COD dan BOD dalam Medium Nilai COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam perairan secara kimiawi (Sugiharto 1987), sedangkan BOD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air melalui proses oksidasi biologis secara dekomposisi aerobik dan anaerobik (Saeni 1989). Air limbah yang memiliki kandungan bahan organik tinggi umumnya memiliki nilai COD besar. Hal ini sejalan dengan peningkatan nilai BOD.
6
Pada awal percobaan nilai COD dan BOD cenderung naik untuk semua perlakuan dan kontrol. Peningkatan COD dan BOD diduga karena terdapat tambahan bahan organik yang berasal dari mikroorganisme yang mati. Menurut Polprasert (1989) nilai COD dan BOD yang tinggi karena bahan organik di dasar perairan mengalami proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Penurunan COD dan BOD pada perlakuan dengan kiambang lebih besar dibanding dengan perlakuan lainnya pada hari ke-4. Selanjutnya COD dan BOD mengalami peningkatan hingga hari ke-8. Hal ini dapat dijelaskan karena akar tanaman sebagai organ penting dalam penyerapan masih dalam kondisi yang baik pada hari ke-4 sehingga penyerapannya juga dapat berlangsung efektif, sedang pada pengamatan hari ke-8 akar tanaman mulai rontok dan beberapa daun mulai layu sehingga medium mengandung beberapa bahan organik yang sulit dirombak. Nilai COD dan BOD yang rendah ditemukan di perlakuan dengan tanaman kayu apu pada akhir pengamatan. Hal ini diduga bahwa bahan organik di perairan telah berubah menjadi unsur hara sebagai hasil dekomposisi. Produk hasil penguraian oleh bakteri (berupa CO2, amonia dan nitrogen anorganik dalam bentuk lain) lebih lanjut akan dimanfaatkan oleh kayu apu pada saat fotosintesis. Semakin banyak hasil penguraian bahan organik yang dimanfaatkan oleh kayu apu, maka fotosintesis akan berlangsung semakin maksimal. Kayu apu dapat meningkatkan kandungan oksigen terlarut di perairan melalui fotosintesis. Selanjutnya oksigen ini dapat dimanfaatkan kembali oleh bakteri dalam proses dekomposisi bahan organik. Siklus ini akan terjadi terus menerus selama komponen tersebut dalam keadaan seimbang. Hal ini menunjukkan kemampuan dari kayu apu untuk mengurangi bahan organik yang ada. Respons Tumbuhan Air pada Medium dengan Kandungan Klorin 0.66 ppm Ketiga tumbuhan air dari percobaan pertama berpotensi menurunkan klorin. Ketika kandungan klorin dalam medium ditingkatkan sampai 0.66 ppm, respons pertumbuhan kayu apu dan kiambang tidak berpengaruh, sebaliknya pertumbuhan kiapung tampak menurun (persentase penutupan semakin kecil). Kiapung hidup berasosiasi dengan sianobakter, keberadaan klorin pada medium mungkin menyebabkan sianobakter mati karena klorin merupakan desinfektan. Selanjutnya kebutuhan nitrat dan amonia bagi kiapung dapat terganggu. Akibat ketiadaan sianobakter sebagai simbion menyebabkan pertumbuhan kiapung tidak baik, karena penurunan sumber N untuk kebutuhan hidup kiapung. Tanaman kiapung membutuhkan 3.9-5.4% N untuk kebutuhan hidupnya (Maftuchah & Winaya 2000).
Penurunan Konsentrasi Klorin Penurunan konsentrasi klorin pada akuarium kontrol dan akuarium dengan tumbuhan air tidak berbeda nyata. Konsentrasi klorin dapat turun dengan cepat di perairan tanpa tumbuhan air. Hal ini disebabkan klorin dengan konsentrasi tinggi akan bereaksi dengan sisa-sisa organik dari limbah cair dan akan membentuk senyawa halogen organik yang mudah menguap (volatile halogenated organics) (Budiman 2006). Setelah konsentrasi klorin menurun hingga mencapai 0.025 ppm, konsentrasi klorin menurun dengan perubahan yang sangat kecil. Hal ini diduga karena konsentrasi klorin sudah melewati titik batas (break point) klorin dalam air yaitu 0.2 mg/l (Budiman 2006), sehingga nilai klorin di bawah titik batas tersebut stabil. Adapun peningkat konsentrai klorin diduga karena terjadi penguapan air pada medium. Reaksi kesetimbangan klorin dalam air sangat dipengaruhi oleh pH. Klor berada dalam bentuk klorin (Cl2) pada pH 2, sedangkan pada klor kebanyakan terdapat dalam bentuk HOCl pada pH 2-7 dan klor tidak hanya terdapat dalam bentuk HOCl tetapi juga dalam bentuk ion OClpada pH 7.4 (Effendi 2003).
SIMPULAN Tumbuhan air kayu apu, kiambang dan kiapung berpotensi sebagai water purifier, khususnya dalam hal menurunkan klorin. Dibandingkan dengan kiapung dan kiambang, tanaman kayu apu lebih berpotensi sebagai water purifier untuk menurunkan klorin. Hal ini dilihat dari penurunan klorin paling tinggi dan respons pertumbuhannya yang baik. Sedangkan penurunan klorin pada medium dengan kiapung paling kecil, selain itu persentase penutupan kiapung pada medium konsentrasi klorin tinggi cenderung menurun.
DAFTAR PUSTAKA Alan GH. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. Virginia: CRC Press. Anderson DM. 1994. Red Tides. Scientific American 271: 52–58. Arifin Z. 2003. Azolla Pembudidayaan dan Pemanfaatan pada Tanaman Padi. Depok: Penebar Swadaya. Barus TA. 2002. Pengantar Limnologi. Medan: Jurusan Biologi FMIPA USU. Biggs BJF. 2000. Eutrophication of Stream and Rivers: Dissolved Nutrient-Chlorophyll Relationships for Benthic Algae. The North American Bethological Society 19:17-31. Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC. Capuzzo JM, Lawrence SA, Davidson JA. 2003. Combined toxicity of free chlorine, chloramine and temperature to stage I