PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI (Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG
ASEP HENDRA SUPRIATNA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT ASEP HENDRA SUPRIATNA. Main Plant Growth of Teak (Tectona grandis Linn F.) in Small Scale Private Forest in Conggeang District, Sumedang Regency. Guidance by Dr. Ir. NURHENI WIJAYANTO, MS. The need for teak wood processing in Indonesia is still high both for domestic demand and export wood demand. But the shortage of teak wood demand can give opportunities for people to cultivate teak on their privately land. The purpose of this research is to examine the main plant growth of teak (Tectona grandis Linn F.) in small scale private forest and compare it with teak’s growth from monoculture forest at Perum Perhutani KPH Sumedang in same ages. The main data of plant dimensional were taken with census method from teak plants in each of the selected land such as height, canopy diameter and canopy projection. In this research, soil parameter observed consist of physical and chemical content of soil samples from each selected land then analyzed in laboratory. Crown closure data taken by using a spiracle densiometer. The history of land management known by interview with farmers in each selected land. Those data were analyzed descriptively. The results showed that the observed forest have 3 (three) different age classes of teak plantation. They are teak plant with class age of 3 years, 6 years, and 12 years whom the growth of teak are different in those parameter such as diameter, height, crown closure and basal area. Growth of teak plantation in the village of Babakan Asem is a plant with the best teak growth among the other villages. Their growth maybe influenced by several factors, that is the condition of the site or soil condition factors and cultivation activities. The result of crown closure show that the majority of sunlight blocked by the crop canopy of teak, so less than 40% of sunlight can reach the soil surface. That condition maybe affected by size crop of teak and the distance between teak plantation it self. The result of soil analysis indicatedthat physical and chemical soil content in Conggeang District are impactonteak growth which bulk density, water storage, KTK, pH, and other chemical substance are related to teak diameter’s growth. Growth of teak plantation between small scale private forest and Perum Perhutani were significantly different in class ages of 3 and 12 years and didn’t different at class ages of 6 years in diameter. The difference in teak growth between small scale private forest and Perum Perhutani are caused by a factor of using teak seed and the forest management. Keywords: plant growth, small scale private forest, Sumedang Regency, teak
RINGKASAN ASEP HENDRA SUPRIATNA. Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh Dr. Ir. NURHENI WIJAYANTO, MS. Kebutuhan akan kayu jati olahan masih sangat tinggi baik dari segi kebutuhan kayu domestik maupun kebutuhan kayu ekspor. Namun, kurangnya pasokan kayu jati tersebut dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk membudidayakan tanaman jati di lahan milik pribadi dalam bentuk agroforestri. Hutan rakyat yang berada di wilayah Kabupaten Sumedang mencapai luasan 12.663 hektar, dengan produksi khususnya kayu jati mencapai 58.190 batang pada tahun 2008 (4.969,07 m3)(BPS Kab. Sumedang 2009). Nilai produksi tersebut dinilai memiliki potensi besar untuk menutupi kebutuhan akan kayu jati di pasaran, karena produksi kayu jati yang dihasilkan dapat mencapai 50% dari produksi hasil produksi Perum Perhutani KPH Sumedang. Namun, pengelolaan hutan rakyat itu sendiri belum dapat berkembang dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji pertumbuhan tanaman pokok jati pada hutan rakyat dan membandingkannya dengan pertumbuhan jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang pada umur tanam yang sama. Pengambilan plot contoh dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan, kemudahan teknis pelaksanaan penelitian di lapangan, faktor aksesibilitas dan informasi dari penyuluh kehutanan tingkat kecamatan. Data dimensi tanaman pokok diambil secara sensus terhadap tanaman pokok jati pada masing-masing lahan petani yang terpilih. Tinggi pohon diukur menggunakan haga hypsometer, sedangkan diameter pohon diukur menggunakan pita ukur. Panjang dan lebar tajuk diukur dengan pita ukur pada proyeksi tajuknya. Parameter tanah yang diamati adalah sifat fisik dan sifat kimia tanah. Data sifat fisik tanah diambil dengan metode tanah tidak terusik menggunakan ring tanah. Data sifat kimia tanah diambil dengan menggunakan metode tanah terusik. Contoh tanah kemudian dianalisis di laboratorium. Data penutupan tajuk tegakan diambil dengan menggunakan alat spiracle densiometer. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hutan rakyat yang diamati terdapat 3 (tiga) kelas umur yang berbeda, yaitu tanaman jati umur 3 tahun, 6 tahun, dan 12 tahun dengan pertumbuhan tanaman yang berbeda. Pertumbuhan tanaman jati di Desa Babakan Asem memiliki pertumbuhan yang paling baik dibandingkan pertumbuhan tanaman jati di desa lainnya yang diamati. Pertumbuhan tanaman pokok jati pada masing-masing lahan penggarap diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi tempat tumbuh atau faktor kondisi tanah dan kegiatan pemeliharaan. Hasil pendugaan penutupan tajuk menunjukkan bahwa sebagian besar cahaya matahari tertahan oleh tajuk tanaman pokok jati, sehingga kurang dari 40% cahaya yang dapat masuk ke permukaan tanah. Besarnya penutupan cahaya matahari oleh tajuk tanaman dipengaruhi oleh ukuran tajuk dan jumlah pohon dalam petak tersebut (jarak tanam). Pertumbuhan diameter tanaman jati di hutan rakyat sangat berbeda nyata pada kelas umur 3 dan 12 tahun dan tidak berbeda nyata pada kelas umur 6 tahun
PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI (Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG
ASEP HENDRA SUPRIATNA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
terhadap pertumbuhan tanaman jati di Perum Perhutani. Sedangkan pertumbuhan tinggi bebas cabang antara hutan rakyat dengan Perum Perhutani memiliki perbedaan yang nyata pada kelas umur 3 tahun, sangat berbeda nyata pada kelas umur 12 tahun, dan tidak nyata pada kelas umur 6 tahun. Pertumbuhan tinggi total tanaman jati pada hutan rakyat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata kecuali untuk kelas umur 3 tahun. Perbandingan luas bidang dasar antara hutan rakyat terhadap Perum Perhutani terlihat berbeda nyata pada kelas umur 6 dan 12 tahun. Perbedaan pertumbuhan tanaman jati diduga disebabkan oleh faktor asal benih yang digunakan dan sistem pengelolaan hutan. Kata kunci : hutan rakyat, jati, Kabupaten Sumedang, pertumbuhan tanaman
Judul Skripsi : Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang Nama
: Asep Hendra Supriatna
NIM
: E44063164
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS) NIP 19601024 198403 1 009
Mengetahui, Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
(Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr) NIP 19641110 199002 1 001 Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2011
Asep Hendra Supriatna NRP E44063164
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 14 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dana Supriatna dan Enok Widayani. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah atas diselesaikan di Sumedang mulai tahun 1994 – 2006. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sindang II pada tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Sumedang pada tahun 2003 serta pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sumedang pada tahun 2006. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni sebagai ketua divisi Human Resourses Development (HRD) himpunan profesi Tree Grower Community (TGC) tahun 2008-2009, serta panitia TGC in Action, Pelatihan Jamur Tiram, dan Belantara 2008. Penulis juga pernah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat, Cilacap dan Pulau Nusakambangan, serta BKPH Gunung Slamet Timur, KPH Banyumas Timur, Baturraden pada tahun 2008. Penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kabupaten Sukabumi tahun 2009. Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Profesi (PKP) di KPH Saradan, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah pengaruh hutan (2008-2010). Penulis selama masa kuliah, pernah menerima beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang dibawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.
KATA PENGANTAR Hutan rakyat dan pola agroforestri pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Saat ini, keberadaan hutan rakyat dan agroforestri menjadi penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari hutan rakyat. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pertumbuhan tanaman jati pada hutan rakyat dan membandingkannya dengan pertumbuhan tanaman jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing, Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang serta Bapak Tatang Sutisna selaku Asper BKPH Conggeang, KPH Sumedang serta berbagai pihak yang telah membantu penulis saat pengumpulan data di lapangan. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk ayah, ibu, dan adik tercinta serta teman-teman Silvikultur 43 yang senantiasa memberikan doa dan dorongan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan di Kabupaten Sumedang, terutama dalam pengembangan hutan rakyat.
Bogor, April 2011
Asep Hendra Supriatna
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik dan lancar. Pada kesempatan ini, penulis dengan kerendahan hati ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1.
Keluarga tercinta, Ayah (Dana Supriatna), Ibu (Enok Widayani), dan adikku tersayang (Melinda, Elda), yang telah memberi doa, dukungan, dan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2.
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.
3.
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, dan Soni Trison, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan, atas kritik dan saran yang diberikan agar penulisan karya ilmiah ini dapat lebih baik.
4.
Bapak Adang Tohir, Bapak Emid, Bapak Nana dan saudaraku, Zainal Abudin yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
5.
Sahabat-sahabatku; Rendi, Ifan, Dadang, Yudi, Agus dan Maya.
6.
Anak-anak Wapemala di Wisma Jamparing (Edi, Riva, Aip, Ace, Rully, Dian, Yana, A Rizal, A Regi).
7.
Teman-teman Silvikulturku; Riri, Rara, Helga, Nunu, Ditha, Anna, Betty, Idham, Kalingga, Vonny, Dewi, Ghidut, Sandra dll.
8.
Keluarga besar staf Silvikultur; Ibu Atikah, Ibu Aliyah, Mas Ipul, Pak Ismail, Bi Ncah yang telah memberikan semangat, bantuan, dan dukungannya kepada penulis.
9.
Teman-teman PKP 2010 di KPH Saradan (Adrian, Mbak Puti, Teh Tina, Yang Mulya Furqon).
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih.
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...............................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
ii
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ viii I.
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Tujuan ...................................................................................... 1.3 Manfaat .................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4.1 Hutan Rakyat ........................................................................... 4.2 Jati (Tectona grandis Linn F.) ................................................. 2.2.1 Ciri fisik .................................................................... 2.2.2 Syarat tumbuh ........................................................... 2.2.3 Teknik silvikultur ...................................................... 2.2.4 Pemanfaatan .............................................................. 4.3 Agroforestri ............................................................................. III. METODE PENELITIAN................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ....................................................... 3.3 Metode Penelitian .................................................................... 3.3.1 Metode pengumpulan data ........................................ 3.3.2 Metode pengambilan contoh ..................................... 3.3.3 Pengambilan data dimensi tanaman pokok ............... 3.3.4 Pengambilan data persentase penutupan tajuk .......... 3.3.5 Pengambilan data tanah ............................................ 3.3.6 Penelusuran sejarah pengelolaan .............................. 3.3.7 Analisis data .............................................................. IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ......................... 4.1 Kecamatan Conggeang ............................................................ 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan ........ 4.1.2 Fisiologi, topografi, iklim, dan tanah ........................ 4.1.3 Penggunaan lahan di Kecamatan Conggeang ........... 4.1.4 Kondisi sosial ekonomi ............................................. 4.2 Desa Babakan Asem ............................................................... 4.2.1 Letak dan batas Desa Babakan Asem ....................... 4.2.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ....................... 4.2.3 Tata guna lahan di Desa Babakan Asem ................... 4.2.4 Kondisi sosial ekonomi .............................................
1 1 3 3 4 4 5 5 5 6 8 9 11 11 11 11 11 12 12 13 14 15 15 16 16 16 16 17 18 19 19 19 19 19
v
4.3
Desa Conggeang Kulon ........................................................... 4.3.1 Letak dan batas Desa Conggeang Kulon .................. 4.3.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ....................... 4.3.3 Tata guna lahan di Desa Conggeang Kulon .............. 4.3.4 Kondisi sosial ekonomi ............................................. 4.4 Desa Karanglayung ................................................................. 4.4.1 Letak dan batas Desa Karanglayung ......................... 4.4.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ....................... 4.4.3 Tata guna lahan di Desa Karanglayung ..................... 4.4.4 Kondisi sosial ekonomi ............................................. 4.5 Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang .......... V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 5.1 Pertumbuhan Dimensi Tanaman Tectona grandis Linn F. ..... 5.2 Persentase Penutupan Tajuk .................................................... 5.3 Parameter Tanah ...................................................................... 5.4 Pengelolaan Lahan pada Hutan Rakyat di Kec. Conggeang .... 5.5 Perbandingan Pertumbuhan Tanaman Jati Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang dengan Tanaman Jati BKPH Conggeang, KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten ............................................................................... VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 6.2 Saran ........................................................................................
20 20 21 21 21 22 22 22 22 23 23 26 26 29 32 40
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
51
LAMPIRAN ...............................................................................................
54
45 50 50 50
vi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Potensi tegakan kayu rakyat di Kecamatan Conggeang .....................
17
2.
Jumlah penduduk Kecamatan Conggeang berdasarkan jenis kelamin
18
3.
Rata-rata pertumbuhan tanaman jati pada 3 (tiga) desa dengan 3 (tiga) umur tanam yang berbeda di Kecamatan Conggeang ................ 26
4.
Rata-rata ukuran tajuk dan persentase penutupan tajuk pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang ........................................................ 30
5.
Hasil analisis sifat fisik tanah pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang .......................................................................................... 33
6.
Hasil analisis sifat kimia tanah dan diameter rata-rata pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang ........................................................ 37
7.
Teknik persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan sumber asal bibit pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang .............................. 43
8.
Perbandingan diameter pertumbuhan tanaman jati antara hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dengan tanaman jati di Perum Perhutani KPH Sumedang .................................................................. 45
9.
Perbandingan pengelolaan hutan rakyat dengan Perum Perhutani .....
47
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Perbandingan pertumbuhan rata-rata tanaman jati ..............................
27
2.
Grafik nilai sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dalam kelas umur 6 tahun ................................................ 40
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian Kabupaten Sumedang ......................................
55
2.
Peta lokasi penelitian Kecamatan Conggeang ....................................
56
3.
Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Babakan Asem .................................................................................... 57
4.
Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Conggeang Kulon ................................................................................ 57
5.
Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Karanglayung ...................................................................................... 58
6.
Rekapitulasi persentase penutupan tajuk ............................................
59
7.
Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Babakan Asem
60
8.
Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Conggeang Kulon ................................................................................................... 61
9.
Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Karanglayung..
62
10. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 3 tahun .................................... 63 11. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 6 tahun .................................... 64 12. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 12 tahun .................................. 65
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis Linn F.) termasuk pada golongan kayu keras
yang memiliki jaringan kuat dan dalam. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana 2001). Sampai sekarang jati masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati oleh masyarakat walaupun nilai jualnya mahal. Sebagian besar hutan jati terdapat di Pulau Jawa, dimana pengelolaannya telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Kawasan hutan Perum Perhutani terdiri dari hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha. Luas hutan jati yang dikelola adalah seluas 1 juta ha (Asosiasi Meubel Indonesia 2001 dalam Siregar 2005) Namun, sekarang banyak masyarakat yang mulai membudidayakan tanaman jati pada lahan milik mereka sendiri secara sederhana dengan sistem agroforestri. Pengembangan hutan rakyat bermula dari program pemerintah di dalam penuntasan masalah lahan kritis di Pulau Jawa, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Program pembangunan Hutan Rakyat. Pengelolaan hutan rakyat dan pola agroforestri pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Saat ini, kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3 per tahun dan hanya dapat dipenuhi oleh hutan alam dan hutan tanaman sebesar 45,8 juta m3 per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 per tahun. Hutan rakyat diharapkan mampu untuk memenuhi defisit kebutuhan kayu tersebut. Di Kabupaten Sumedang, lahan hutan rakyat tersebar pada 26 kecamatan dengan luasan mencapai 12.663 ha (BPS Kab. Sumedang 2009). Berdasarkan hal
2
tersebut, keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang memiliki peran penting di dalam pemenuhan kebutuhan kayu, khususnya kayu bangunan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, hutan rakyat telah memberikan peran lain dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup seperti pencegahan erosi, penangkap emisi gas CO2, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati. Pernyataan diatas didukung pula oleh data produksi hasil hutan rakyat dimana pada tahun 2008 produksi kayu jati mencapai 58.190 batang dengan volume kayu sebesar 4.969,07 m3. Produksi kayu jati yang dihasilkan oleh hutan rakyat dinilai memiliki potensi besar untuk menutupi kebutuhan akan kayu jati di pasaran karena produksi kayu jati yang dihasilkan dapat mencapai 50% dari produksi hasil hutan Perum Perhutani KPH Sumedang. Produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Perum Perhutani KPH Sumedang sendiri mencapai 10.429 m3 pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008 menjadi 9.703 m3 (BPS Kab. Sumedang 2009). Namun, pengelolaan hutan rakyat itu sendiri belum dapat berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya fluktuasi naik dan turunnya produksi kayu jati pada hutan rakyat dari tahun ke tahun. Selain itu, keberadaan hutan rakyat belum dapat menjamin peningkatan pendapatan petani yang mengelola. Kontribusinya masih kecil dibandingkan pendapatan dari bidang pertanian dan perdagangan terhadap pendapatan total Kabupaten Sumedang. Romansah (2007) menyebutkan bahwa peran hutan rakyat terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang relatif kecil dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh sektor hutan rakyat hanya sebesar Rp. 17,36 milyar atau sebesar 0,45 % dari nilai tambah bruto total Kabupaten Sumedang. Selain itu, pendapatan per kapita warga salah satu desa di Kecamatan Conggeang pada sektor kehutanan yang mencapai Rp.400.000/orang sangat kecil bila dibandingkan dengan pendapatan perkapita mencapai Rp. 1.200.000/orang di sektor pertanian (Desa Karanglayung 2009). Pendapat bahwa keberadaan hutan rakyat belum dapat menjamin peningkatan pendapatan petani yang mengelola, didasarkan pula pada belum kontinunya produksi hasil hutan rakyat terhadap pendapatan petani. Petani cenderung menebang pohon pada daur yang tidak optimal yang disebabkan
3
desakan ekonomi rumah tangga. Selain itu, kebiasaan-kebiasaan petani dalam membudidayakan hutan rakyat masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip silvikultur akibat belum optimalnya kegiatan penyuluhan oleh Dinas Kehutanan setempat dan belum adanya kelompok tani yang mengkoordinasikan kegiatan petani dengan baik dan terstruktur. Permasalahan yang ada dan besarnya potensi hutan rakyat di Kabupaten Sumedang dijadikan sebagai salah satu alasan dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan tanaman pokok jati yang tumbuh pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang, kemudian membandingkannya dengan tanaman jati yang tumbuh secara monokultur pada lahan hutan produksi milik Perum Perhutani KPH Sumedang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemerintah Kabupaten Sumedang.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan tanaman pokok jati
(Tectona grandis Linn F.) pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dan membandingkannya dengan pertumbuhan jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang pada umur tanam yang sama.
1.3
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar dan
bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang dalam rangka peningkatan dan pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Hutan Rakyat Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan
(UU No.5/1967 junto UU No.41/1999) adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencangkup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000). Dalam lampiran Peraturan Menteri Kehutanan RI No : P.3/MenhutII/2011 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan Tahun Anggaran 2011 menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Menurut Zain (1998), dasar pemilikan hutan rakyat sebagaimana di dalam rumusan undang-undang yaitu : 1.
Penguasaan tanah harus dilakukan lebih dahulu, kemudian mengusahakan hutan.
2.
Pemilikan hak atas tanah harus lebih dahulu diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk kemudian mengurus pemilikan hutan.
3.
Penguasaan dan pemilikan tanah kering secara perorangan sangat dibatasi (maksimum 5 ha) menurut ketentuan hukum pertanahan. Terdapat 3 (tiga) tujuan pengelolaan hutan rakyat (Lembaga Penelitian
IPB 1990), yaitu : 1.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan petani hutan rakyat secara berkesinambungan.
2.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan kualitas lingkungan secara berkesinambungan.
5
3.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.
2.2
Jati ( Tectona grandis Linn F. )
2.2.1
Ciri fisik Jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter.
Tinggi bebas cabangnya dapat mencapai 18 - 20 meter dengan kulit batang berwarna cokelat gradasi dan kuning keabu-abuan. Pohon jati yang baik merupakan pohon yang memiliki garis diameter yang besar, memiliki batang yang lurus, dan jumlah cabangnya sedikit. Bentuk daunnya besar dan membulat dengan ukuran daun pohon jati yang telah tua sekitar 15 x 20 cm. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah jika diremas. Bunga dari pohon jati terletak di puncak tajuk pohon dengan ukuran sekitar 40 x 40 cm. Sementara buahnya berbentuk bulat agak gepeng dengan diameter 0,5 – 2,5 cm (Mulyana dan Asmarahman 2010). Kayu jati mempunyai berat jenis rata-rata 0,67 (0,62 - 0,75) dan termasuk kelas kuat II serta kelas awet II. Penyusutannya sampai kering tanur untuk bidang radial sebesar 2,8% sedangkan bidang tangensial sebesar 5,2% (Martawijaya et al. 1981).
2.2.2
Syarat tumbuh Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mendominasi hutan di
Indonesia. Jati dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan. Syarat lokasi yang cocok untuk budi daya jati diantaranya ketinggian lahan maksimum 700 mdpl, suhu udara antara 13 – 43ºC, pH tanah 6, dan kelembaban lingkungan 60 – 80%. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan jati adalah tanah lempung, lempung berpasir, dan liat berpasir. Sementara itu, curah hujan optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan jati sekitar 1.000 – 1.500 mm per tahun (Mulyana dan Asmarahman 2010).
6
2.2.3
Teknik Silvikultur
2.2.3.1 Penanaman Teknik penanaman tanaman jati mempunyai beberapa tahapan di dalam pengerjaaannya (Mulyana dan Asmarahman 2010), yaitu : a.
Penyiapan Lahan Penyiapan lahan tanam meliputi dua tahapan, yaitu pembersihan lahan
dengan radius sekitar satu meter dari titik tanam dan pengolahan tanah, seperti mencangkul agar tanah di sekitarnya menjadi gembur. b.
Pembuatan Lubang Tanam Sebelum pembuatan lubang tanam, tandai lokasi dengan ajir. Ajir dibuat
dari bambu atau kayu dengan ukuran panjang 0,5 – 1 m dan lebar 1 - 1,5 cm. Penempatannya disesuaikan dengan jarak tanam 3 x 3 m. Lubang tanam umumnya digali dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Setelah digali, biarkan lubang tersebut selama 2 - 3 hari. c.
Penanaman Bibit Jumlah bibit jati yang diperlukan untuk lahan seluas 1 ha dengan jarak
tanam 3 x 3 m sebanyak 1.111 bibit. Namun, selain bibit yang ditanam, perlu disiapkan juga bibit untuk sulaman. Bibit diusahakan berada di tengah-tengah lubang tanam dan akar bibit tidak terlipat. Agar bibit mudah lepas dari polibag, sedikit diremas bagian samping polibag. Tanah di dalam polibag diusahakan tidak pecah saat penanaman.
2.2.3.2 Pemeliharaan Teknik pemeliharaan tanaman jati mempunyai beberapa tahapan diantaranya (Mulyana dan Asmarahman 2010) : a.
Penyulaman Penyulaman merupakan kegiatan penanaman kembali tanaman yang
telah mati. Tujuan penyulaman adalah untuk mempertahankan populasi pohon sesuai dengan standar yang ada. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman jati yang mati atau kurang bagus pertumbuhannya. Bibit pengganti sebaiknya memiliki kualitas yang baik dan umur yang hampir sama dengan yang diganti sehingga pertumbuhan jati tetap seragam.
7
b.
Penyiangan Penyiangan berguna untuk mengendalikan laju pertumbuhan ilalang,
gulma, dan tanaman penggangu lainnya. Penyiangan dilakukan dengan mencabut atau menghilangkan tanaman lain yang dapat mengganggu penyerapan unsur hara. Penyiangan dilakukan secara intensif pada awal tahun agar pertumbuhan jati tidak kerdil atau terhambat. Selain itu, penyiangan juga perlu dilakukan pada awal dan akhir musim hujan. Dikarenakan pertumbuhan gulma pada musim hujan cukup tinggi. c.
Pemupukan Pemberian pupuk cukup penting bagi pertumbuhan jati karena dapat
mengoptimalkan penyerapan unsur hara dari dalam tanah. Salah satu jenis pupuk alami yang umum digunakan untuk tanaman jati, yakni pupuk kompos atau pupuk kandang yang diberikan dalam dua kali setahun. Patokan dosis pupuk yang diberikan adalah hingga ketebalan pupuk di tanah sekitar 5 cm. Selain pupuk, mulsa diberikan di sekitar pohon jati dengan diberi jarak sekitar 10 cm dari pangkal pohon. Ketebalan mulsa kira-kira 10 cm. Lapisan yang tebal ini sangat baik untuk menjaga kelembapan tanah dan meningkatkan kualitas tanah dengan cepat. Pemberian mulsa dilakukan setiap satu tahun sekali selama tiga tahun berturut-turut. d.
Pemangkasan dan Penjarangan Pemangkasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas pertumbuhan dan mengatur komposisi arah tumbuhnya. Selain itu, pemangkasan juga berguna untuk mencegah serangan penyakit dan jamur. Pemangkasan yang baik dilakukan dengan memotong cabang batang utama pohon jati. Buat potongan tersebut sehalus mungkin, agak miring, dan tidak mendatar. Selain memotong cabang, perlu dilakukan juga penjarangan. Penjarangan dimaksudkan untuk memotong pohon yang tidak sesuai kriteria yang telah ditentukan. Prioritas pohon yang dilakukan penjarangan atau dimatikan adalah pohon yang terserang penyakit, pohon yang cacat atau jelek, pohon yang tingginya kurang dari tiga perempat bila dibandingkan dengan pohon lainnya, pohon yang tumbuhnya tidak normal, dan pohon yang tumbuhnya terlalu rapat.
8
Penjarangan perlu dilakukan secara hati-hati. Hindari kesalahan fatal seperti pohon hasilpenjarangan menimpa pohon-pohon yang masih ada. Jika hal tersebut terjadi, dapat menyebabkan patah cabang dan luka batang, sehingga dapat menimbulkan serangan hama penyakit. Penjarangan dapat dilakukan dua kali, yakni saat jati berumur tiga tahun dan tujuh tahun. e.
Pengendalian Hama Penyakit Hama yang sering menyerang tegakan jati yang masih muda adalah ulat
jati (Hyblaea puera). Hama ini memakan daun jati yang masih muda dengan meninggalkan urat-urat dan tulang-tulang daun. Ulat dewasa memakan seluruh jaringan daun kecuali tulang-tulang daun yang besar. Ulat jati menyerang pada awal musim penghujan, menyerang pohon-pohon jati yang baru saja memunculkan daun-daun hijau setelah menggugurkan daun pada musim kemarau. Pengendalian hama ini adalah dengan cara manual dan menggunakan insektisida. Serangan hama lain yang banyak menyerang tanaman jati muda adalah hama uret jenis Leucopholia rorida, Lepidiota stigma, dan Holotricha helleri. Hama uret merusak perakaran tanaman, baik tanaman kehutanan (tanaman pokok jati) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija). Gejala yang tampak, tanaman muda tiba-tiba layu, berhenti tumbuh, kemudian mati mengering. Bagian perakaran tanaman rusak/habis dimakan uret. Serangan hama uret terjadi pada awal musim hujan, pada awal – pertengahan musim. Kerusakan yang parah terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan, tanaman jati menjadi mati. Pengendalian dengan penggunaan pestisida kimia merupakan cara pengendalian terakhir yang dapat dilakukan. Namun, cara efektif yang dapat dipakai dalam pengendalian hama uret yaitu dengan menaburkan campuran detergen (1 kg) dengan kapur barus (¼ kg) ke dalam tanah yang terkena hama uter. Biarkan air hujan menyebabkan campuran tersebut meresap ke dalam tanah. Dosis campuran 1 kg detergen dengan ¼ kg kapur barus untuk 1 ha (Budiatmoko et al. 2008).
2.2.4
Pemanfaatan Kayu jati merupakan jenis kayu yang banyak dipakai untuk berbagai
keperluan khususnya di Pulau Jawa, karena sifat-sifatnya yang baik. Kayu jati sangat cocok untuk segala jenis konstruksi, seperti: tiang balok dan gelagar pada
9
bangunan rumah dan jembatan, rangka atas, kusen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, meubel, dek kapal, lantai dan sirap. Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tapi karena sifatnya agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan kekenyalan yang tinggi, seperti rangka perkakas, alat olahraga, peti pengepakan dan lain-lain. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia (Martawijaya et al. 1981). Selain itu, kayu jati dapat digunakan pula untuk vinir dan meskipun perlu mendapatkan perlakuan pendahuluan sebelum dikupas. Kayu jati banyak dipakai untuk vinir muka karena mempunyai gambar yang indah.
2.3
Agroforestri Agroforest adalah ‘hutan buatan’ yang didominasi tanaman serbaguna
yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Dalam hal ini agroforest dapat dipandang sebagai sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur lebih panjang dipadukan dengan tanaman pangan yang berumur pendek atau pakan ternak pada satu lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu (De Foresta et al. 2000). Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya. Huxley (1999) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) menyatakan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), Kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Andayani (2005) menyatakan bahwa agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif (collective name) dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti : 1.
Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan.
10
2.
Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak.
3.
Agrosylvo-pastoral,
yaitu
sistem
dimana
lahan
dikelola
untuk
memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. 4.
Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak. Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan
Raintree (1982) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) : 1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu. 2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun. 3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu. 4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan. 5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga atau masyarakat. 6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani yang mempunyai tanaman
jati pada hutan rakyat di Desa Karanglayung, Desa Babakan Asem dan Desa Conggeang Kulon, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang serta tegakan jati umur 3 tahun dan 12 tahun di RPH Cipelang dan tegakan jati umur 6 tahun di RPH Sampora, BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu pada bulan Oktober hingga November 2010.
3.2
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah lahan milik petani
dengan tanaman pokok jati. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pita ukur, haga hypsometer, kompas, tali rafia atau tambang, golok atau parang, tally sheet, alat tulis, ring tanah, spiracle densiometer, lembar kuisioner, sekop, alat hitung, kantong plastik, alat tulis, program Minitab14 dan kamera digital.
3.3
Metode Penelitian
3.3.1
Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lapangan dan
wawancara. Observasi lapangan dilakukan terutama dalam penghitungan potensi tegakan jati dengan cara pengukuran dimensi pohon. Sedangkan wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung kepada penggarap atau pemilik lahan. Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari dua jenis, yaitu :
Data primer yang meliputi data dimensi tanaman pokok dan sejarah pengelolaan lahan.
Data sekunder yang diperoleh dengan cara studi pustaka dan pencarian literatur. Data sekunder ini meliputi data kondisi umum wilayah penelitian, batas administatif kecamatan, kondisi fisik, data monografi kabupaten dan kecamatan dan lain-lain.
12
3.3.2
Metode pengambilan contoh Pengambilan contoh plot sampling dilakukan secara bertahap (multistage
sampling), dimana tahap pertama yaitu menentukan kecamatan contoh. Tahap kedua penentuan desa contoh dari kecamatan yang terpilih dan tahap ketiga penentuan petani contoh dari desa yang terpilih. Sedangkan untuk menentukan contoh pada setiap tahapnya dilakukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan
keterwakilan
untuk
memperoleh
kemudahan
teknis
pelaksanaan penelitian di lapangan, faktor aksesibilitas dan informasi dari penyuluh kehutanan tingkat kecamatan. Penentuan kecamatan contoh telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti yaitu di Kecamatan Conggeang, yang didasarkan pada potensi hutan rakyat yang besar dan luasannya dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Sumedang. Tahap selanjutnya yaitu penentuan desa contoh. Pada dasarnya cara penentuan desa contoh berdasarkan asumsi bahwa desa yang mempunyai luasan hutan rakyat besar mempunyai potensi yang besar, sehingga banyaknya desa yang diambil sebanyak 3 desa untuk mewakili desa yang mempunyai potensi tinggi, sedang dan rendah. Terakhir yaitu penentuan petani hutan rakyat dari desa-desa yang sudah ditentukan. Jumlah petani terpilih yaitu 6 - 7 orang per desa diperoleh dengan cara menentukan secara acak para petani berdasarkan keterangan petugas penyuluh lapangan. Jadi total responden yang terpilih sebanyak 20 orang.
3.3.3
Pengambilan data dimensi tanaman pokok Dimensi tanaman pokok yang diamati adalah tinggi, diameter, panjang
dan lebar tajuk pohon. Pengambilan data dilakukan secara sensus terhadap lahan milik masyarakat dengan memilih lahan yang dinilai dapat mewakili kondisi hutan rakyat yang ada di Kecamatan Conggeang. Tinggi pohon diukur menggunakan haga hypsometer, sedangkan diameter pohon diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian setinggi dada atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah. Panjang dan lebar tajuk diukur dengan pita ukur pada proyeksi tajuk pohon yang diamati. Panjang tajuk merupakan tajuk terpanjang dari pohon jati yang diukur pada garis proyeksinya yang tegak lurus ke tanah. Lebar tajuk yang
13
diukur adalah tajuk terlebar dari pohon jati yang garis proyeksinya tegak lurus dengan garis imajiner dari proyeksi tajuk terpanjang yang sudah diukur. Arah proyeksi tajuk juga diamati dengan menggunakan kompas, azimuth proyeksi tajuk yang diukur adalah penyimpangannya dari arah Utara. Pengukuran dilakukan dengan cara berdiri di bawah tajuk dan mengarahkan kompas pada arah proyeksi tajuk pohon.
3.3.4
Pengambilan data persentase penutupan tajuk Persentase penutupan tajuk diukur untuk menduga besarnya jumlah
radiasi sinar matahari yang menembus sampai ke tanah. Radiasi sinar matahari ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman khususnya tanaman pertanian yang dibudidayakan di bawah tegakan jati. Pendugaan penutupan cahaya matahari oleh tajuk tegakan ini dilakukan dengan menggunakan alat spiracle densiometer. Titik pengukuran pada masing-masing lokasi ditetapkan secara acak sebanyak 10 titik contoh yang tersebar merata pada lokasi yang dianggap mewakili, masing-masing titik diukur pada 4 arah mata angin. Pengamatan pada masing-masing titik dilakukan dengan cara meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan. Terbuka penuh memiliki bobot 4 (100 %), bobot 3 (75 %), bobot 2 (50 %), bobot 1 (25 %), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat). Data pengukuran masing-masing titik selanjutnya dijumlahkan dan merupakan nilai pada titik. Bobot rata-rata pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus:
Ti Ket:
T1 T2 T3 ....Tn 1,04 N
Ti
: Keterbukaan tajuk
Tn
: Bobot pada masing-masing titik pengukuran
N
: Jumlah titik pengukuran
1,04
: Faktor koreksi
14
Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti (Rifa’i 2010).
3.3.5
Pengambilan data tanah Data tanah yang diperlukan adalah sifat fisik dan sifat kimia tanah.
Pengukuran data sifat fisik tanah dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dan metode tanah terusik. Alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah tidak terusik adalah ring tanah. Pengambilan contoh tanah untuk penentuan sifat fisik maupun sifat kimia tanah dilakukan pada masing-masing lahan yang sudah dipilih. Sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air contoh tanah. Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut : a.
Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah.
b.
Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop.
c.
Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung.
d.
Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah.
e.
Tabung lainnya diletakkan tepat di atas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kirakira 1 cm.
f.
Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan.
g.
Tabung ditutup dengan tutup plastik. Sifat kimia tanah seperti pH tanah, kandungan bahan organik, nitrogen,
serta unsur-unsur hara yang lain diamati dengan cara mengambil contoh tanah menggunakan metode sebagai berikut : a. Titik pengambilan contoh tanah pada masing-masing petak pengamatan dilakukan secara acak sebanyak 1 titik contoh pada lokasi yang dianggap mewakili. b. Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah.
15
c. Tanah dicangkul sedalam lapisan olah (±20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Berat contoh tanah yang diambil adalah 500 gr dari setiap petak pengamatan. d. Contoh tanah diberi label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan
(nama
pengambil),
nomor
contoh
tanah,
lokasi
(desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah. e. Contoh tanah kemudian dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB. 3.3.6
Penelusuran sejarah pengelolaan lahan Penelusuran sejarah pengelolaan lahan dilakukan untuk mengetahui
tehnik dan sistem pengelolaan yang dilakukan petani dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman pokok jati. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan petani. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara terstruktur, menggunakan daftar kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan dilakukan juga wawancara bebas atau semi terstruktur yang dilakukan tanpa kuisioner. Isi wawancara menekankan pada aspek kegiatan pengelolaan lahan(persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dll.), asal benih yang ditanam, sampai dengan penerapan teknologi pada masing-masing lahan yang terpilih. Responden yang dipilih adalah petani atau penggarap lahan terpilih yang merupakan objek dari kegiatan penelitian.
3.3.7
Analisis data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif terhadap parameter
pertumbuhan tanaman pokok jati kaitannya dengan pola agroforestri yang dikembangkan dan tehnik pengelolaan lahan yang dilakukan. Data hasil pengukuran pada hutan rakyat akan dibandingkan dengan hasil pengukuran pada hutan monokultur pada umur yang sama. Data pengukuran antara hutan rakyat dan hutan monokultur dilakukan uji sidik ragam dengan menggunakan program Minitab14 untuk mengetahui adanya perbedaan dari pengaruh pengelolaan hutan pada umur tanam yang sama. Parameter yang diamati adalah umur, diameter, luas bidang dasar, tinggi dan peninggi.
BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1
Kecamatan Conggeang
4.1.1
Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara
Kabupaten Sumedang. Kecamatan Conggeang memiliki luas wilayah 10.531 ha yang terdiri dari wilayah darat dan persawahan. Secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Conggeang terbagi menjadi 12 desa atau kelurahan yaitu Desa Babakan Asem, Cacaban, Cibeureuyeuh, Cibubuan, Cipamekar, Conggeang Kulon, Conggeang Wetan, Jambu, Karanglayung, Narimbang, Padaasih, dan Desa Ungkal. Adapun batas-batas administratif Kecamatan Conggeang, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Kecamatan Ujung Jaya, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu; sebelah Barat dibatasi oleh Kecamatan Buah Dua; sebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Paseh, Kecamatan Cimalaka dan sebelah Timur dibatasi oleh Kecamatan Tomo. Jarak ibu kota kecamatan dengan ibu kota kabupaten adalah 30 km (Kabupaten Sumedang 2009). Peta lokasi penelitian di Kecamatan Conggeang disajikan pada Lampiran 2.
4.1.2
Fisiologi, topografi, iklim dan tanah Topografi Kecamatan Conggeang berupa areal yang datar, bergelombang
sampai berbukit/bergunung dengan ketinggian daerah sekitar 280-500 mdpl dan kemiringan lahan berkisar antara 8-15%. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah sedang dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk agak peka. Rata-rata curah hujan mencapai 3.092 mm/tahun dan rata-rata hari hujan mencapai 114 hari hujan (HH). Tipe iklim termasuk B-1 dengan bulan basah sebanyak 7 (tujuh) bulan dan bulan kering selama 5 (lima) bulan. Suhu ratarata di Kecamatan Conggeang berkisar antara 23 – 27 °C (Kabupaten Sumedang 2009). Jenis
tanah
di
Kecamatan
Conggeang
menurut
Sistem
Dudal/Soepraptohardjo (1951-1961) dan Modifikasi Sistem D/S (1978) termasuk ke dalam jenis latosol (BPS Kabupaten Sumedang 2009).
17
4.1.3
Penggunaan lahan di Kecamatan Conggeang Luas Kecamatan Conggeang mencapai 10.531 ha. Selain untuk
pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa, sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. Pertanian lahan kering yang dimaksud adalah sistem budidaya pertanian dengan cara perladangan atau hanya bergantung pada air hujan dan irigasi setengah teknis, sedangkan pertanian lahan basah berupa sistem pertanian dengan memanfaatkan irigasi atau sering disebut persawahan. Pertanian lahan kering merupakan jenis penggunaan lahan yang paling luas yaitu mencapai 441 ha, sedangkan hutan rakyat yang dibangun mencapai 854 ha dengan berbagai jenis tanaman kayu. Potensi kayu rakyat yang paling dominan dikembangkan adalah jenis jati (Tectona grandis), albizia atau sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia sp.), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophyllus), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan lain sebagainya. Penggunaan lain yang meliputi perkantoran, sekolah, rekreasi dan olah raga, pemakaman umum, akses jalan, tempat ibadah dan lainnya. Data tentang potensi kayu rakyat di Kecamatan Conggeang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Potensi tegakan kayu rakyat di Kecamatan Conggeang
1
Conggeang Kulon
30
2
Conggeang Wetan
25
10.000
64
20
0
0
16
3
Cipamekar
25
10.000
62
20
0
0
18
4
Cibeureuyeuh
2
800
28
64
0
0
8
5
Jambu
102
40.800
52
38
0
0
10
6
Babakan Asem
150
60.000
48
25
1
1
25
7
Padaasih
80
32.000
18
38
0
0
44
8
Ungkal
142
45.200
24
34
5
12
25
9
Karanglayung
60
24.000
26
28
5
15
26
10
Cacaban
42
16.800
27
30
1
14
28
11
Narimbang
80
32.000
25
31
2
14
28
12
Cibubuan
145
58.000
25
28
3
14
30
854
341.000
40
31
1
6
22
Jumlah
Luas
% Komposisi
Jumlah Tegakan (pohon) 12.000
Desa
No
(ha)
Jati
Mahoni
Tisuk
Suren
78
12
0
0
10
Sumber : UPTD Pengelolaan Kehutanan & Perkebunan Wil. Conggeang 2008
Sengon
18
4.1.4
Kondisi sosial ekonomi Jumlah penduduk di Kecamatan Conggeang mencapai 31.175 jiwa yang
terdiri dari 12.884 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 15.377 orang laki-laki dan penduduk perempuan mencapai 15.798 (Kecamatan Conggeang 2010). Data tentang jumlah penduduk disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah penduduk Kecamatan Conggeang berdasarkan jenis kelamin No
Desa / Kelurahan
Jumlah Penduduk
Luas 2
(km )
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Jumlah
KK
1
Conggeang Kulon
668
1.602
1.785
3.387
1.474
2
Conggeang Wetan
291
1.052
1.080
2.132
811
3
Cipamekar
461
1.882
1.804
3.686
1.443
4
Cibeureuyeuh
218
619
627
1.246
569
5
Jambu
204
1.224
1.160
2.384
871
6
Babakan Asem
1.611
1.452
1.581
3.033
1.413
7
Padaasih
1.678
2.045
2.118
4.163
1.720
8
Ungkal
550
323
320
643
310
9
Karanglayung
1.724
1.578
1.619
3.197
1.332
10
Cacaban
234
889
921
1.810
749
11
Narimbang
516
1.573
1.653
3.226
1.287
12
Cibubuan
2.353
1.138
1.130
2.268
905
Jumlah 10.508
15.377
15.798
31.175
12.884
Sumber : Kecamatan Conggeang 2010
Penduduk Kecamatan Conggeang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah buruh tani dan petani. Profesi buruh tani mencapai 2.854 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 8.540 orang. Buruh tani tersebut berperan sebagai penggarap bagi para pemilik lahan dengan sistem bagi hasil pada saat panen. Komoditas pertanian yang diusahakan antara lain jagung, padi, buah-buahan, dan sebagainya yang dikombinasikan dengan beberapa tanaman kayu. Mata pencaharian lain yang digeluti oleh penduduk adalah karyawan swasta, wiraswasta, pedagang, PNS, TNI & POLRI.
19
4.2
Desa Babakan Asem
4.2.1
Letak dan batas Desa Babakan Asem Secara geografis, Desa Babakan Asem terletak di Kecamatan
Conggeang, sebelah utara Kabupaten Sumedang. Desa Babakan Asem memiliki luas wilayah 484,963 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Babakan Asem, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Ungkal; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Padaasih dan Desa Cacaban; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Bugel, Kecamatan Tomo; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 9 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 27 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 72 km (Desa Babakan Asem 2008).
4.2.2
Topografi, geologi, iklim dan tanah Topografi di Desa Babakan Asem berupa areal yang datar dan daerah
yang didominasi oleh area perbukitan. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan. Curah hujan rata-rata mencapai 2.707 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-2 dengan bulan basah sebanyak 6 (enam) bulan dan bulan kering selama 6 (enam) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 22 – 23 °C. Jenis tanah di Desa Babakan Asem termasuk dalam jenis latosol (Desa Babakan Asem 2008).
4.2.3
Tata guna lahan di Desa Babakan Asem Luas Desa Babakan Asem adalah 484,963 ha, selain untuk pemukiman
dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Babakan Asem 2008).
4.2.4
Kondisi sosial ekonomi Jumlah penduduk di Desa Babakan Asem mencapai 2.703 jiwa yang
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.278 jiwa dan penduduk
20
perempuan mencapai 1.425 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Babakan Asem mencapai 1.137 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0006 orang per m2. Penduduk di Desa Babakan Asem mayoritas beragama Islam (2.964 orang). Penduduk Desa Babakan Asem dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah buruh tani dan petani. Profesi buruh tani mencapai 213 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 1.869 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (32 orang), Pengrajin industri rumah tangga (4 orang), dan karyawan swasta (39 orang). Sebagian besar masyarakat Desa Babakan Asem merupakan tamatan SD, SMP dan SMA. Beberapa orang merupakan lulusan dari Perguruan Tinggi. Tingkat keluarga pra sejahtera Desa Babakan asem termasuk tinggi dengan jumlah 240 keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendapatan per kapitanya. Pendapatan per kapita Desa Babakan Asem mencapai Rp. 500.000/orang di sektor pertanian, pada sektor Perkebunan mencapai Rp. 0/orang, pada sektor peternakan mencapai Rp. 500.000/orang. Sehingga rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Desa Babakan Asem mencapai Rp. 450.000/orang (Desa Babakan Asem 2008)
4.3
Desa Conggeang Kulon
4.3.1
Letak dan batas Desa Conggeang Kulon Secara geografis, Desa Conggeang Kulon terletak di Kecamatan
Conggeang, sebelah Utara Kabupaten Sumedang. Desa Conggeang Kulon memiliki luas wilayah 384,873 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Conggeang Kulon, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Karanglayung; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Sekarwangi, Kecamatan Buahdua; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Narimbang; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Conggeang Wetan. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 0,2 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 21 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 66 km (Desa Conggeang Kulon 2008).
21
4.3.2
Topografi, geologi, iklim dan tanah Topografi di Desa Conggeang Kulon berupa areal yang datar dan dataran
tinggi. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan. Curah hujan rata-rata mencapai 3.139,5 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-2 dengan bulan basah sebanyak 6 (enam) bulan dan bulan kering selama 6 (enam) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 22 – 23 °C. Jenis tanah di Desa Conggeang Kulon termasuk dalam jenis regosol (Desa Conggeang Kulon 2008).
4.3.3
Tata guna lahan di Desa Conggeang Kulon Luas Desa Conggeang Kulon adalah 384,873 ha, selain untuk
pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Conggeang Kulon 2008).
4.3.4
Kondisi sosial ekonomi Jumlah penduduk Desa Conggeang Kulon mencapai 2.964 jiwa yang
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.395 jiwa dan penduduk perempuan mencapai 1.569 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Conggeang Kulon mencapai 1.047 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0008 orang per m2. Penduduk di Desa Conngeang Kulon mayoritas beragama Islam (2.964 orang) (Desa Conggeang Kulon 2008). Penduduk Desa Conggeang Kulon dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah sebagai buruh tani dan sebagai petani. Profesi buruh tani mencapai 561 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 300 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (52 orang), Pengrajin industri rumah tangga (6 orang), pedagang (25 orang), peternak (42 orang), TNI/POLRI (7 orang), dan karyawan swasta (220 orang). Masyarakat Desa Conggeang Kulon didominasi oleh lulusan SD, SMP dan SMA. Penduduk
22
Desa Conggeang Kulon yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi sangat sedikit ditemukan.
4.4
Desa Karanglayung
4.4.1
Letak dan batas Desa Karanglayung Secara geografis, Desa Karanglayung terletak di Kecamatan Conggeang,
sebelah Utara Kabupaten Sumedang. Desa Karanglayung memiliki luas wilayah 1.724,45 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Karanglayung, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Cibuluh, Kecamatan Ujungjaya; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Cibubuan; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Conggeang Kulon; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Ungkal. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 2,5 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 25 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 70 km (Desa Karanglayung 2009).
4.4.2
Topografi, geologi, iklim dan tanah Topografi di Desa Karanglayung berupa areal yang datar, dataran rendah,
sebagian besar berbukit-bukit, sebagian dataran tinggi, terdapat kawasan rawa dan kawasan aliran sungai. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan sampai erosi tinggat berat. Curah hujan rata-rata mencapai 3.125,5 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-1 dengan bulan basah sebanyak 10 (sepuluh) bulan dan bulan kering selama 2 (dua) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 27 °C dengan kelembapan 27 %. Jenis tanah di Desa Karanglayung termasuk dalam jenis grumosol (Desa Karanglayung 2008).
4.4.3
Tata guna lahan di Desa Karanglayung Luas Desa Karanglayung adalah 1.724,45 ha, selain untuk pemukiman
dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Sebagian besar lahan dipakai sebagai daerah pesawahan dengan luas 700 ha. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering,
23
pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Karanglayung 2009).
4.4.4
Kondisi sosial ekonomi Jumlah penduduk di Desa Karanglayung mencapai 3.131 jiwa yang
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.546 jiwa dan penduduk perempuan mencapai 1.585 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Karanglayung mencapai 1.069 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0002 orang per m2. Penduduk di Desa Karanglayung mayoritas beragama Islam (3.131 orang). Penduduk Desa Karanglayung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah sebagai buruh tani dan sebagai petani. Profesi buruh tani mencapai 521 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 1.021 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (29 orang), Pengrajin industri rumah tangga (13 orang), pedagang (8 orang), peternak (26 orang), TNI/POLRI (8 orang), dan pensiunan (17 orang). Tingkat pendidikan di Desa Karanglayung termasuk tinggi. Meskipun sebagian besar masyarakat Desa Karanglayung hanya tamatan SD, SMP dan SMA, namun banyak juga yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi. Pendapatan per kapita Desa Karanglayung mencapai Rp. 1.200.000/orang di sektor pertanian, pada sektor perkebunan mencapai Rp. 660.000/orang, pada sektor peternakan mencapai Rp. 220.000/orang, pada sektor perikanan mencapai Rp. 500.000/orang, pada sektor kerajinan mencapai Rp. 400.000/orang, pada sektor kehutanan mencapai Rp. 400.000/orang, pada sektor industri mencapai Rp. 530.000/orang, dan pada sektor jasa perdagangan mencapai Rp. 600.000/orang. Sehingga rata-rata pendapatan
perkapita
masyarakat
Desa
Karanglayung
mencapai
Rp.
600.000/orang (Desa Karanglayung 2009)
4.5
Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang sudah berlangsung
cukup lama, bahkan bisa dikatakan merupakan warisan budaya dari nenek
24
moyang yang telah berkembang puluhan tahun yang lalu. Jenis kayu rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Sumedang antara lain ; jati, mahoni, suren, manglid, pinus, sengon, meces/kayu afrika, kihiang, tisuk dan jenis kayu rimba lainnya. Sebagian masyarakat mengelola hutan rakyat dengan menerapkan sistem agroforestri atau kebun campuran. Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Sumedang selama 4 tahun terakhir, kayu mahoni dan jati masih merupakan jenis kayu yang dominan dikembangkan dan dihasilkan oleh masyarakat. Jenis ini selain dikenal memiliki kualitas kayu yang baik juga memiliki tingkat harga yang tinggi. Kecamatan Conggeang mampu memproduksi 1.246 batang kayu jati dengan volume kayu 377,08 m3 dan 807 batang dengan volume kayu 1.168,82 m3 untuk produksi kayu mahoni. Perkembangan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang saat ini dipengaruhi oleh maraknya permintaan kayu baik untuk kebutuhan lokal maupun permintaan dari luar Kabupaten Sumedang. Permintaan kayu rakyat dari Cirebon, Jepara, dan Surabaya saat ini cukup tinggi terutama untuk jenis kayu jati dan mahoni. Berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh informasi bahwa hasil penjualan kayu rakyat secara ekonomi cukup menjanjikan terutama untuk jenis kayu mahoni dimana saat ini banyak dicari oleh para tengkulak atau para pedagang pengumpul. Jenis kayu ini cukup banyak diminati karena nilai jual yang cukup tinggi serta daur yang relatif sedang dalam artian bukan kayu daur cepat seperti halnya kayu sengon namun juga tidak terlalu lama sebagaimana kayu jati. Dengan umur tebang sekitar 10 – 15 tahun kayu mahoni rata-rata memiliki diameter 25-30 cm atau memiliki volume 0,3 – 0,4 m3. Harga di pasaran (tingkat pedagang) rata-rata saat ini untuk ukuran diameter tersebut sekitar Rp. 500.000/m3 (Romansah 2007). Kayu jati hasil produksi hutan rakyat dijual sampai ke kota Jepara dan Cirebon, selain dijual pula pada pasar lokal di sentra meubel Kecamatan Paseh. Namun, daur tanaman yang cukup lama menjadi salah satu faktor terhambatnya suplai bahan baku sehingga saat ini yang masih tersedia umumnya adalah tanaman jati dengan usia yang relatif masih muda. Adanya prospek pasar yang cukup baik merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan bagi para petani. Akan tetapi, kondisi nyata di tingkat petani saat ini menunjukkan bahwa tingginya
25
permintaan kayu rakyat tersebut belum diimbangi dengan peningkatan teknologi budidaya yang cenderung masih sangat sederhana. Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang masih menerapkan pola-pola warisan yang kurang intensif. Kegiatan pemeliharaan tanaman jarang sekali dilakukan termasuk kegiatan pemupukan. Mereka umumnya menganggap bahwa tanaman kayu tersebut sebagai tabungan atau dalam istilah setempat dikenal dengan istilah teundeun poho yang sewaktu-waktu dapat digunakan.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Pertumbuhan Dimensi Tanaman Tectona grandis Linn F. Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua petani di Kecamatan
Conggeang menanam tanaman jati sebagai tanaman pokok pada lahannya. Ada juga sebagian petani yang mengkombinasikan dengan tanaman lain seperti mahoni (Swietenia macrophylla), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophyllus) dan lamtoro (Leucaena leucocephala). Penelitian yang dilakukan pada 3 desa contoh menunjukkan bahwa pertumbuhan dimensi tanaman jati berbeda-beda baik dari diameter maupun rata-rata tinggi pohon yang diukur meskipun memiliki umur tanam yang relatif sama. Untuk Desa Karanglayung, tanaman jati dengan umur 12 tahun tidak dapat ditemukan karena sebagian besar tanaman jati yang berumur lebih dari 10 tahun telah ditebang oleh petani untuk keperluan sehari-hari sehingga sulit ditemukan. Rata-rata pertumbuhan dimensi tanaman jati pada ketiga desa yang diteliti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata pertumbuhan tanaman jati pada 3 (tiga) desa dengan 3 (tiga) umur tanam yang berbeda di Kecamatan Conggeang Rata-Rata Dimensi Umur (tahun) 3
6
12
Lokasi
Diameter (cm)
Tinggi Bebas Cab.
Tinggi Total
(m)
(m)
LBDS (m2)
Babakan Asem
5,35
3,62
7,02
0,0027
Conggeang Kulon
4,97
3,35
5,75
0,0021
Karanglayung
6,21
1,74
6,06
0,0034
Babakan Asem
10,29
3,69
9,11
0,0093
Conggeang Kulon
7,88
3,21
7,45
0,0054
Karanglayung
9,37
2,45
8,58
0,0077
Babakan Asem
13,98
3,97
12,19
0,0169
Conggeang Kulon
13,88
3,45
9,38
0,0163
27
Pad da Desa Bab bakan Asem m menunju ukkan pertum mbuhan dim mensi yang l lebih baik dibandingka d n dengan desa d lainnya. Rata-rata diameter tannaman jati p pada Desa Babakan B Asem tersebut adalah 5,355 cm (untukk umur 3 tahhun); 10,29 c (untuk umur 6 tahhun); dan 113,98 cm (uuntuk umurr 12 tahun). Terdapat cm p perbedaan dimana d diam meter dan Luuas Bidang Dasar D (LBDS S) terbaik berada pada D Desa Karangglayung untuuk kelas um mur 3 tahun. Akan A tetapi di Desa Karranglayung m memiliki tinnggi bebas cabang c (Tbcc) paling renndah diantarra desa yang g lain baik d dalam kelas umur 3 tahuun dan 6 tahuun, yaitu 1,774 m dan 2,445 m. b tinggi total (Ttot) dan tinggi Berrdasarkan krriteria tinggii tanaman, baik b bebas caban ng (Tbc), Deesa Babakann Asem meru upakan desaa yang mem miliki tinggi t tanaman palling baik denngan tinggi total dan beebas cabang berturut-turu ut menurut k kelas umur, yaitu untukk kelas umurr 3 tahun Tttot 7,02 m ddan Tbc 3,62 2 m; untuk k kelas umur 6 tahun Ttott 9,11 m daan Tbc 3,69 m; m dan untuuk kelas umuur 12 tahun T Ttot 12,19 m dan Tbbc 3,97 m m. Sedangkaan Desa Kaaranglayungg memiliki p pertumbuhan n tinggi tanaaman jati palling rendah dengan d Ttot dan Tbc berrturut-turut 6 6,06 m dan 1,74 untuk kelas umurr 3 tahun daan 8,58 m daan 2,45 m untuk u kelas u umur 6 tahu un. Perbanddingan rata-rrata tinggi dan d diameter tanaman jati j pada 3
15 Rata‐rata tinggi (m)
Rata‐rata diameter (cm)
( (tiga) desa teersebut disajjikan pada G Gambar 1.
10 5
15 5 10 0 5
0 3 Babakan A Asem
6 Conggeang Kulon
12
Umur tan nam (thn) Karanglayung
0 3
6
12
Um mur tanam (thn)
((A) (B) Gambar G 1 Peerbandingan pertumbuhaan rata-rata tanaman jati Ket : (A) Diameter D rata-rata; (B) Tinggi T total rata-rata. Seccara teknis, pertumbuhaan tanaman sangat dipenngaruhi olehh beberapa f faktor, yaitu u faktor letaak lahan (toopografi), ko ondisi ekoloogis, iklim dan lahan, k kondisi kesu uburan lahan n (struktur dan tekstur tanah), dann pemilihan bibit yang b baik (Siregaar 2005). Sellain dari itu, jenis perlakkuan setelahh penanaman n pun dapat
28
berpengaruh erat terhadap pertumbuhan tanaman jati, seperti teknis penanaman, jarak tanam, pemeliharaaan dan pemilihan tanaman sela pada agroforestri. Perbedaan pertumbuhan tanaman jati pada masing-masing desa juga dapat dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman. Interaksi antar tanaman positif dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tersebut karena terjadi saling interaksi yang menguntungkan, namun bila terjadi interaksi negatif maka pertumbuhan salah satu tanaman akan stagnan (tidak berkembang) seiring berkembangnya jenis tanaman yang lainnya (Hairiah et al. 2002). Pertumbuhan diameter tanaman pokok jati yang paling baik terdapat pada Desa Babakan Asem untuk kelas umur 6 dan 12 tahun, sedangkan untuk kelas umur 3 tahun berada di Desa Karanglayung. Perbedaan rata-rata diameter pohon jati paling besar terdapat tanaman jati pada kelas umur 6 tahun, dimana pertumbuhan diameter tanaman jati Desa Babakan Asem paling tinggi diantara desa lainnya. Perbandingan tinggi tanaman jati yang paling berbeda jauh adalah tanaman jati dengan kelas umur 12 tahun. Tinggi tanaman jati pada Desa Babakan Asem dapat mencapai 12,19 m sedangkan tinggi tanaman jati pada Desa Conggeang Kulon hanya mencapai 9,38 m. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jati diduga disebabkan oleh kualitas tempat tumbuh lokal, dan tindakan pemeliharaan yang dilakukan petani atau petani. Kondisi tempat tumbuh di Desa Babakan Asem sesuai dengan tanaman jati karena kondisi tanahnya relatif landai dengan kondisi curah hujan sedang dan lamanya penyinaran matahari yang cukup. Sedangkan tanaman jati di Desa Conggeang Kulon yang mempunyai rata-rata diameter paling kecil disebabkan karena kondisi tanah yang bergelombang dan berbatu dan memiliki curah hujan tinggi diduga ikut mempengaruhi pertumbuhan jati. Faktor pemeliharaan juga diduga dapat mempengaruhi pertumbuhan rata-rata diameter pohon dimana pada Desa Babakan Asem pemeliharaan dilakukan secara rutin dan terkontrol sehingga pertumbuhannya relatif cepat sedangkan pada Desa Conggeang Kulon kegiatan pemeliharaan dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan pemeliharaan tanaman jati di Desa Conggeang Kulon yang tidak intensif diakibatkan oleh letak lahannya sangat jauh dari rumah petani sehingga petani hanya bisa melakukan
29
pemeliharaan bila mempunyai waktu yang banyak. Hal tersebut terjadi pula pada Desa Karanglayung dimana faktor jauhnya letak hutan rakyat menyebabkan kurang antusiasme petani untuk melakukan pengawasan dan memelihara tanaman pokok jatinya. Kegiatan pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 sampai 2 tahun dengan pemberian pupuk urea selanjutnya diberikan pupuk kandang atau kompos dengan dosis dan frekuensi yang beragam tergantung pada kemampuan tiap-tiap petani. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa lokasi Desa Karanglayung memiliki tinggi bebas cabang yang paling rendah diantara desa lainnya pada kelas umur yang sama (3 dan 6 tahun). Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan pemeliharaan seperti wiwilan dan pemangkasan cabang jarang sekali dilakukan oleh petani. Tunas air yang muncul tidak dipangkas dan dibiarkan tumbuh. Hal tersebut dilakukan petani untuk mengharapkan banyaknya batang yang nanti dipanen tanpa mengetahui bahwa tunas air dapat mengganggu pertumbuhan batang utama jati. Selain itu, petani tidak mengetahui kegiatan wiwilan dapat menambah pertumbuhan tanaman jati lebih baik daripada membiarkan tunas air tumbuh. Menurut hasil wawancara dengan petani, perlakuan pemeliharaan seperti wiwilan, penyiangan dan pemangkasan cabang dikerjakan tidak intensif karena menurut anggapan mereka, tanaman jati akan tetap tumbuh dengan baik apabila tidak dipelihara dengan rutin. Hanya ada beberapa orang yang melakukan kegiatan pemeliharaan pada tanaman jati. Pemeliharaan yang tidak intensif diduga menyebabkan banyaknya gulma atau tanaman bawah dan semak belukar yang tumbuh lebat pada lahan tersebut.
5.2
Persentase Penutupan Tajuk Tajuk pohon merupakan tempat dimana daun sebagai tempat terjadinya
proses fotosintesis paling utama terjadi, menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik tanaman pokok maupun tanaman yang berada di bawah tegakan atau di bawah naungan. Kegiatan fotosintesis memanfaatkan cahaya matahari untuk membentuk karbohidrat dari karbon dioksida yang berasal dari udara dan air serta melepaskan oksigen sebagai hasil
30
sampingan (Taiz dan Zeiger 2002). Karbohidrat inilah yang nanti akan disalurkan sebagai bahan energi bagi pertumbuhan tanaman ke seluruh bagian tumbuhan. Tanaman jati yang ditanam sebagai tanaman pokok pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dapat memberikan batasan energi cahaya matahari bagi tanaman pertanian ataupun tanaman buah-buahan yang dibudidayakan sebagai tanaman sela dalam sistem tumpang sari. Pengaruh langsung keberadaan pohon dalam sistem agroforestri adalah penaungan yang mengakibatkan cahaya yang dapat ditangkap oleh tanaman semusim berkurang. Tajuk pohon yang semakin rapat akan semakin mengurangi cahaya yang sampai ke permukaan tanah (Suryanto et al. 2005). Hal ini dapat berdampak pada tanaman dibawah naungan, dimana semakin tinggi tingkat naungan, maka pertumbuhan tanaman tersebut akan semakin terhambat (Sitompul 2002). Hasil penelitian terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati di Kecamatan Conggeang menunjukkan adanya perbedaan persentase penutupan tajuk. Persentase penutupan tajuk pada masing-masing desa yang diamati disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kelas Umur 3
6
12
Rata-rata ukuran tajuk dan persentase penutupan tajuk pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang Rata-rata Rata-rata Persentase Lokasi panjang lebar tajuk penutupan tajuk (m) (m) tajuk (%) Babakan Asem 2,06 1,28 31,86 Conggeang Kulon 2,45 1,39 31,86 Karanglayung 2,01 1,02 52,98 Babakan Asem 2,72 1,88 58,36 Conggeang Kulon 3,03 2,08 52,77 Karanglayung 2,97 1,69 68,01 Babakan Asem 2,50 1,77 57,71 Conggeang Kulon 3,56 2,53 56,45 Dari hasil pengamatan terhadap persentase penutupan tajuk menunjukkan
bahwa sebagian besar cahaya matahari tertahan oleh tajuk tanaman pokok jati, sehingga kurang dari 40% cahaya yang dapat masuk ke permukaan tanah. Besarnya penutupan cahaya matahari oleh tajuk tanaman dipengaruhi oleh ukuran tajuk dan jumlah pohon dalam petak tersebut (jarak tanam). Penutupan tajuk pada
31
lokasi Desa Karanglayung pada kelas umur 3 tahun memiliki persentase penutupan tajuk yang paling besar (52,98 %). Hal tersebut disebabkan oleh jarak tanam yang tidak beraturan (campuran) dan struktur komposisi yang beragam. Selain itu, lokasi tersebut dikelilingi oleh tanaman jati yang telah berumur 4-6 tahun disekitarnya. Lokasi tersebut terdapat tanaman mahoni, tisuk dan lamtoro yang pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan tanaman pokok jati sehingga mengganggu masuknya cahaya matahari ke permukaan tanah. Tanaman mahoni mempunyai tajuk yang rapat sehingga ketika pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan tanaman pokok jati maka akan terjadi persaingan dalam memperebutkan cahaya matahari. Pada hasil pengamatan penutupan tajuk di Desa Babakan Asem, nilai penutupan tajuk mencapai 31,86 % untuk kelas umur 3 tahun, 58,36 % untuk kelas umur 6 tahun dan 57,71 % untuk kelas umur 12 tahun. Bila kita mengamati nilai penutupan tajuk tersebut, kita dapat menduga bahwa terjadi persaingan untuk mendapatkan cahaya matahari. Dengan nilai penutupan tajuk lebih dari 50% berarti cahaya matahari sebagian besar tertahan oleh tajuk tanaman dan permukaan tanah akan menerima sedikit pancaran cahaya matahari. Selain adanya tanaman pokok jati, terdapat pula tanaman sela seperti mahoni, tisuk, gmelina, kapuk randu, dan lamtoro sehingga terjadi persaingan memperebutkan cahaya matahari. Dengan ketatnya persaingan memperebutkan cahaya matahari serta sedikitnya cahaya matahari yang menembus ke permukaan tanah, maka sedikit sekali jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di bawah tegakan jati. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tumbuhan bawah yang dapat bertahan hanya rumput liar dan semak belukar. Hal tersebut berlangsung juga pada Desa Conggeang Kulon dimana permukaan tanah dibiarkan saja, tidak ditanami tumbuhan lain sebagai tanaman sela sehingga banyak rumput liar yang tumbuh dengan subur. Besarnya nilai persentase penutupan tajuk diduga berhubungan pula dengan jarak tanam. Pada lokasi Desa Babakan Asem diketahui bahwa jarak tanam yang digunakan adalah 1,5 x 1,5 m dan campuran. Sedangkan pada lokasi Desa Karanglayung, jarak tanam yang digunakan adalah 3 x 3 m. Dan pada lokasi Desa Conggeang Kulon memiliki jarak tanam yang beragam atau campuran.
32
Ukuran tajuk ikut mempengaruhi besarnya nilai persentase penutupan tajuk meskipun tidak secara langsung. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa besarnya nilai ukuran panjang dan lebar tajuk belum tentu menjadikan nilai penutupan tajuknya besar pula.
5.3
Parameter Tanah Tanah adalah kumpulan dari benda alam yang ada di permukaan bumi
yang tersusun dalam lapisan-lapisan atau horizon-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman (Hardjowigeno 2003). Sedangkan menurut Hanafiah (2005), tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh berkembangnya perakaran tegak-tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai penyuplai unsur hara atau nutrisi; dan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota (organisme). Proses pertumbuhan tanaman sangat erat kaitannya dengan kesuburan tanah dan topografi lahan. Proses pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan optimal apabila adanya kesesuaian tempat tumbuh dan kesuburan tanah yang baik. Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sifat fisika, kimia dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman (Notohadiprawiro et al. 2006). Sifat-sifat fisika tanah seperti pori-pori tanah, tekstur tanah, struktur tanah, drainase tanah, bulk density, warna tanah dan konsistensi tanah adalah faktor yang perlu diperhatikan dalam usaha pengelolaan tanah. Drainase tanah misalnya, keadaan drainase tanah menentukan jenis tanaman yang dapat tumbuh. Tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah. Sehingga pada lahan dengan tingkat porositas dan drainase yang baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman jati yang baik. Hal ini terjadi karena akar tanaman jati lebih mudah menyerap unsur hara pada kondisi tersebut (Purwowidodo 1991). Parameter sifat tanah yang diamati adalah sifat fisik dan kimia tanah. Data hasil analisis sifat fisik tanah untuk hutan rakyat di Kecamatan Conggeang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil analisis sifat fisik tanah pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang Tekstur Umur
Lokasi
Pasir
Debu
Liat
Bulk Density (g/cm3)
Porositas (%)
Kadar Air (% Volume)
Air Tersedia (%)
..............(%)............. 3
6
12
Babakan Asem
4,8
38,9
56,3
1,26
52,45
36,45
13,5
Conggeang Kulon
5,9
39,6
54,5
1,24
53,21
43,10
15,5
Karanglayung
16,3
30,9
52,8
1,50
43,39
28,64
12,0
Babakan Asem
6,2
34,7
59,1
1,24
53,21
36,38
13,5
Conggeang Kulon
9,3
29,0
61,7
1,40
47,17
25,46
11,0
Karanglayung
7,6
34,7
57,7
1,39
47,55
32,19
11,5
Babakan Asem
4,2
33,1
62,7
1,54
41,88
27,76
2,5
11,4
35,5
53,1
1,28
51,69
43,91
11,5
Conggeang Kulon
Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB 2010
33
34
Parameter sifat fisik tanah yang diamati adalah tekstur bulk density, porositas, kadar air dan air tersedia. Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay) (Hanafiah 2005). Tanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi proporsi lempung, lempung berpasir, atau pada tanah liat berpasir (Siregar 2005). Kondisi lempung (loam) artinya kondisi tanah memiliki proporsi liat sekitar 10-30% dan pasir sekitar 22,552,5% dan debu 30-50%. Kondisi lempung berpasir (sandy loam) artinya kondisi tanah memiliki proporsi liat sekitar < 20% dan pasir sekitar 40-87,5% dan debu <50. Sedangkan kondisi tanah liat berpasir (sandy-clay) artinya tanah memiliki proporsi liat sekitar 37,5-57,5% dan pasir sekitar 45-62,5% dan debu <20% (Hanafiah 2005). Berdasarkan diagram segitiga tekstur tanah, hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tanah di Kecamatan Conggeang berkisar pada tekstur liat. Sehingga sebenarnya secara tekstur tanah, tanaman jati kurang sesuai dengan tempat tumbuhnya yang dapat berdampak pada kurang optimalnya pertumbuhan tanaman jati. Bulk density atau bobot isi tanah biasa diartikan sebagai nisbah berat tanah teragregasi terhadap volumenya (gr/cm3 atau gr/cc). Bulk density merupakan petunjuk tidak langsung atas kepadatan tanahnya, udara dan air, penerobosan akar tumbuhan ke dalam tubuh tanah. Keadaan tanah yang padat dapat mengganggu pertumbuhan tumbuhan karena akar-akarnya tidak berkembang dengan baik (Baver et al. 1978 dalam Purwowidodo 2004). Nilai bobot isi kering oven yang diperoleh dapat diklasifikasikan sebagai berikut : rendah (< 1 gr/cc), sedang (1-1,5 gr/cc), tinggi (1,6-2,0 gr/cc) dan sangat tinggi (>2,0gr/cc). Bulk density yang tinggi menyebabkan makin kecil ruangan strukturnya dan semakin kecil ruang porinya. Kondisi demikian menyebabkan pertumbuhan akar akan terhambat dan berdampak langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Tanah-tanah yang mengandung lempung cenderung mempunyai bobot isi yang tinggi, misalnya bagian solum Vertisol yang mempunyai bobot isi tipikal 1,8 gr/cc (Purwowidodo 2004). Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan
35
indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Porositas tanah berbanding terbalik dengan bulk density. Semakin tinggi bulk density, maka semakin kecil porositas tanahnya, begitu pula sebaliknya. Bulk density tanah yang tinggi membuat struktur tanah menjadi padat dan menyebabkan berkurangnya ruang pori tanah yang berakibat pada rendahnya nilai porositas. Porositas tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, tekstur tanah dan struktur tanah yang ada pada lokasi tersebut. Tanah dengan kandungan liat mempunyai pori-pori total yang lebih baik dibandingkan dengan tanah pasir sehingga mudah menahan air (Hardjowigeno 2003). Kadar air tanah (water storage) merupakan selisih antara air yang masuk ke dalam tanah (water gain) dari presipitasi (meliputi hujan, salju, kabut) yang menginfiltrasi tanah ditambah hasil kondensasi (oleh tanaman dan tanah) dan absorpsi oleh tanah dikurangi air yang hilang (water loss) lewat evapotranspirasi, aliran air permukaan, perkolasi dan rembesan lateral (Hanafiah 2005). Kadar air dapat diartikan sebagai kondisi ketersediaan air dalam tanah setelah diserap oleh tanaman untuk proses evapotranspirasi. Menurut Hanafiah(2005), air tersedia merupakan perbedaan antara jumlah air dalam tanah pada kapasitas lapang (air yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak mengalir ke bawah karena gaya gravitasi) dan jumlah air dalam tanah pada titik layu permanen (pada kondisi kelembapan tanah ini tanaman akan layu dan tidak dapat pulih kembali). Kadar dan ketersediaan air tanah sangat bergantung pada tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah (BOT), senyawa kimia dalam tanah, dan kedalaman solum atau lapisan tanah. Nilai bulk density di Kecamatan Conggeang berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5 termasuk ke dalam nilai bulk density sedang. Oleh karena itu, akar dapat berkembang dengan baik tanpa adanya hambatan akan padatnya tanah. Akan tetapi sebagian besar tanah milik petani merupakan tempat penggembalaan ternak sehingga kemungkinan untuk pemadatan tanah akibat terinjak-injak sapi menjadi tinggi. Penggembalaan ternak dapat mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah dan menghambat pertumbuhan akar. Nilai bulk density yang paling rendah terdapat pada lahan Desa Babakan Asem dengan kelas umur 6 tahun dan lahan Desa Conggeang Kulon dengan kelas
36
umur 3 tahun. Sedangkan bulk density paling tinggi terdapat pada lokasi Desa Babakan Asem kelas umur 12 tahun. Rendahnya nilai porositas dan tingginya nilai bulk density pada lokasi tersebut disebabkan oleh adanya pemadatan tanah yang terjadi akibat adanya penggembalaan ternak sapi di sekitar lokasi. Porositas yang rendah menyebabkan kemampuan tanah untuk menahan air menjadi berkurang sehingga tanah dapat mengalami kehilangan air dalam jumlah yang banyak sehingga ketersediaan air tanah menjadi kecil. Lokasi Conggeang Kulon kelas umur 12 tahun memiliki kadar air yang paling tinggi (43,91 %) diantara lokasi yang lain, sedangkan lokasi Conggeang Kulon kelas umur 6 tahun memiliki kadar air yang paling rendah (25,46 %). Lokasi Conggeang Kulon kelas umur 3 tahun memiliki nilai air tersedia tertinggi sebesar 15,5 %. Hal tersebut berarti di dalam tanah pada lokasi Conggeang Kulon kelas umur 3 tahun terdapat 15,5 % air yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Sedangkan lokasi Babakan Asem 12 tahun memiliki nilai air tersedia paling rendah sebesar 2,5 %. Air tersedia dipengaruhi oleh tekstur tanah dimana kadar air pada tanah bertekstur liat > lempung > pasir. Pada lokasi Babakan Asem kelas umur 12 tahun terdapat keanehan dimana seharusnya kondisi tanah bertekstur liat lebih tinggi namun memiliki air tersedia yang sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya bulk density sehingga infiltrasi air ke dalam tanah menjadi sulit dan kadar air dalam tanah menjadi kecil. Parameter tanah lainnya yang diamati adalah sifat kimia tanah. Sifat kimia tanah seperti pH, KTK, dan beberapa unsur hara baik unsur mikro dan makro. Parameter sifat kimia tanah terutama unsur hara sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman jati dapat tumbuh optimal dalam kondisi solum tanah yang dalam dan kemasaman tanah (pH) optimum sekitar 6.0. Namun beberapa contoh kasus tertentu, dapat dijumpai tanaman jati yang dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH rendah (4-5). Kondisi kesuburan tanah dapat berdampak terhadap perilaku fisiologis tanaman dan ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh (seperti diameter dan tinggi). Unsur hara mikro yang penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman jati adalah kalsium (Ca), fosfor (P), kalium (K), dan nitrogen (N) (Purwowidodo 1991). Data hasil analisis kimia tanah pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis sifat kimia tanah dan diameter rata-rata pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang pH 1:1 Umur (thn)
3
6
12
Basa-Basa yang dapat ditukar
NTotal
P tersedia
..(%)..
..(%)..
(me/100g) (me/100g)
C-org Lokasi
KTK
H2O KCl Babakan Asem Conggeang Kulon Karang Layung Babakan Asem Conggeang Kulon Karang Layung Babakan Asem Conggeang Kulon
C/N Ratio
Ca
Mg
K
Na
(me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g)
Rata-Rata Diameter (cm)
6,2
5,5
1,28
0,10
2,2
27,69
12,8
11,24
4,35
1,07
0,82
5,35
6,4
5,6
0,46
0,05
4,4
28,03
9,2
12,34
5,42
0,72
0,61
4,97
6,4
5,5
0,72
0,07
1,5
19,10
10,3
9,28
4,17
1,22
0,74
6,21
6,1
5,3
2,00
0,15
4,1
27,52
13,3
10,06
4,18
0,95
0,84
10,29
5,9
5,0
1,28
0,11
2,9
21,39
11,6
8,42
3,18
0,61
0,43
7,88
6,5
5,6
1,11
0,10
1,7
24,07
11,1
9,35
3,73
0,91
0,76
9,37
6,3
5,5
1,60
0,13
3,0
24,45
12,3
10,27
3,55
1,21
0,74
13,98
5,9
5,1
0,88
0,09
4,5
26,35
9,8
7,44
3,26
0,58
0,39
13,88
Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB 2010
37
38
Dilihat dari Tabel 6, dapat diketahui bahwa pada Desa Babakan Asem, Desa Conggeang Kulon maupun Desa Karanglayung memiliki pH tanah 6. Hal tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman jati dimana jati dapat tumbuh secara optimum pada pH sekitar 6.0. pH tanah yang optimum dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah sehingga hasil tanaman dapat berjalan optimal. Dari hasil analisis laboratorium untuk kandungan nitrogen dalam tanah berada pada kisaran sangat rendah. Kandungan nitrogen dalam tanah yang paling rendah terdapat pada lahan Desa Conggeang Kulon dengan kelas umur 3 tahun. Sedangkan lokasi Babakan Asem dengan tanaman jati umur 6 tahun memiliki kandungan N tersedia yang paling tinggi. Unsur nitrogen merupakan salah satu unsur hara paling penting di dalam pertumbuhan tanaman. Unsur nitrogen berfungsi sebagai bahan penyusun asam amino, amida, basa nitrogen, protein dan nukleprotein sehingga apabila terjadi kekurangan unsur nitrogen pada tanaman dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan tanaman. Unsur nitrogen hanya dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk N-tersedia (NH4+ dan NO3-) (Hanafiah 2005). C/N ratio merupakan salah satu indikator yang menunjukkan proses mineralisasi dan immobilisasi N oleh mikroba dekomposer bahan organik. Semakin tinggi nilai nisbah C/N, maka semakin sulit proses mineralisasi dan immobilisasi N tersebut oleh mikroba. Unsur nitrogen juga penting bagi kelangsungan hidup mikroba dalam tanah. Unsur nitrogen merupakan bahan untuk berkembang biaknya mikroba tanah, sedangkan unsur carbon merupakan makanan dari mikroba. Bila nisbah C/N seimbang (C/N=1) maka proses dekomposisi serasah atau bahan organik tanah akan berlangsung dengan cepat sehingga unsur hara akan cepat tersedia dalam tanah dan bias langsung diserap oleh tanaman. Nisbah C/N yang paling rendah terdapat pada lokasi Conggeang Kulon kelas umur 3 dan 12 tahun. Nilai nisbah C/N berpengaruh pada pertumbuhan diameter pohon jati pada lokasi Conggeang Kulon kelas umur 12 tahun hampir menyamai pertumbuhan diameter jati pada lokasi Babakan Asem kelas umur 12 tahun yang memiliki keunggulan dalam kandungan nitrogen dalam tanah yang tinggi (lihat Tabel 4).
39
Unsur fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman berperan dalam proses pembelahan sel, pembentukan bunga, buah, biji, memperkuat batangagar tidak roboh, perkembangan akar, membentuk RNA (Ribonucleic acid) dan DNA (Deoxyribonucleic acid) serta menyimpan dan memindahkan energy dalam bentuk ATP (Adenosin trifosfat) dan ADP (Adenosin difosfat). Unsur P hanya dapat digunakan oleh tumbuhan dalam bentuk P-tersedia. Unsur fosfor (P) yang tersedia pada lokasi Babakan Asem kelas umur 6 tahun (diameter 10,29 cm) termasuk paling besar diantara lokasi lainnya sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan diameter pohon. Unsur hara yang tak kalah pentingnya bagi pertumbuhan tanaman jati adalah unsur kasium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), dan natrium (Na). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa jati memerlukan jumlah kandungan kalsium yang besar untuk pertumbuhannya karena kalsium membentuk 0,5 % tubuh tanaman. Unsur kalium (K) dalam tanaman berperan dalam metabolisme nitrogen dan sintesis protein, aktivasi berbagai macam enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem (pucuk, tunas, akar) dan mengatur buka-tutupnya stomata. Begitu pentingnya unsur kalium bagi pertumbuhan tanaman namun unsur kalium hanya dapat diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Ketersediaan unsur K dalam tanah sangat ditentukan oleh beberapa faktor, selain karena proses pemanenan oleh tanaman bisa juga unsur K hilang melalui pencucian (leaching). Unsur kalsium (Ca) diambil tanaman dalam bentuk ion Ca+, berperan sebagai komponen dinding sel, dalam pembentukan struktur dan permeabilitas membran sel. Kekurangan unsur ini dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan tanaman akibat terganggunya pembentukan pucuk tanaman dan ujung-ujung akar, serta jaringan penyimpan. Sedangkan unsur magnesium (Mg) diambil tanaman dalam bentuk ion Mg2+, yang berperan sebagai penyusun klorofil, tanpa klorofil proses fotosintesis tidak akan berlangsung serta berperan dalam aktivator enzim. Kekurangan unsur Mg dapat menyebabkan daun menguning kemudian rontok karena pembentukan klorofil pada daun terganggu (Hardjowigeno 2003). Lokasi Desa Babakan Asem memiliki nilai kandungan Mg dalam tanah yang paling tinggi diantara lokasi lainnya.
40 30
27,52 24,07 21,39
dalam me/100g
25 20 15
10,06 9,35 8,42
10 5
4,1
2,9
1,7
4,18 3,75 3,18
0,95 0,91 0,84 0,76 0,61 0,43
0 P‐tersedia KTK Ca Babakan Asem Conggeang Kulon
Mg
K Karanglayung
Na sifat kimia tanah
Gambar 2 Grafik nilai sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dalam kelas umur 6 tahun. Hubungan antara sifat kimia tanah dengan dimensi pohon dalam hal ini diameter pohon, berhubungan erat dimana sifat kimia tanah ikut mempengaruhi pertumbuhan diameter. Pada pengamatan tanaman jati kelas umur 6 tahun dapat dilihat perbedaan nilai unsur kimia yang diamati dapat berdampak pada beragamnya nilai diameter pohon (lihat Tabel 6). Lokasi Desa Babakan Asem mempunyai nilai sifat kimia tanah yang paling tinggi diantara desa yang lain dan hasil pengamatan diameter pohon juga merupakan tertinggi pula. Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang berhubungan sangat erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan nilai KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Berdasarkan Gambar 2 dapat dibuktikan bahwa sifat kimia tanah seperti unsur hara makro dan mikro, KTK dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam hal ini diameter pohon.
5.4
Pengelolaan Lahan pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang Hasil penelitian dan wawancara dengan petani pemilik lahan yang diteliti
menjelaskan tentang sejarah pengelolaan lahan pada hutan rakyat jati di Kecamatan Conggeang. Lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya jati sebagian ada yang merupakan lahan milik pribadi dan sebagian besarnya bukan lahan milik pribadi melainkan lahan milik desa yang disewakan kepada
41
masyarakat dengan sistem sewa. Petani petani pada masing-masing desa seluruhnya berlatar belakang pendidikan yang masih sederhana. Latar belakang pendidikan juga merupakan salah satu penilaian penting karena dapat ikut mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan. Data tentang karakteristik responden dan status kepemilikan lahan disajikan pada Lampiran 3, 4, dan 5. Sebagian besar status kepemilikan lahan budidaya tanaman jati di Desa Babakan Asem merupakan lahan milik pribadi. Semenjak dahulu Desa Babakan Asem sudah lama membudidayakan tanaman jati sehingga merupakan salah satu penghasil kayu jati terluas di Kecamatan Conggeang. Luas hutan rakyat tanaman jati meliputi 150.000 ha dengan didominasi oleh tanaman jati. Tanaman kayu lain yang dibudidayakan sebagai tanaman pengisi diantaranya tanaman mahoni, buahbuahan dan pisang. Tanaman sela yang dibudidayakan sangat beragam menurut pertimbangan masing-masing petani. Namun tanaman tumpang sari hanya bisa dilakukan sampai umur tanaman jati 2-3 tahun saja karena setelah tanaman jati berumur 3 tahun, tajuk tanaman jati akan mulai menutupi lahan dan mulai membatasi cahaya matahari menjadi menghambat petumbuhan tanaman yang berada di bawah naungan. Dilihat pada Lampiran 3 dan 4, status kepemilikan lahan budidaya tanaman jati di Desa Conggeang Kulon dan Desa Karanglayung merupakan lahan milik desa yang digarap oleh masyarakat dengan sistem sewa. Luasan lahan yang disewa sangat beragam tergantung kepada kesanggupan petani petani. Kegiatan budidaya tanaman jati di Desa Conggeang Kulon dan Desa Karanglayung termasuk yang paling baru dalam hal membudidayakan tanaman jati. Berbeda dengan Desa Babakan Asem yang sudah dari dahulu mengenal dan menbudidayakan tanaman jati, penduduk Desa Karanglayung baru mulai membudidayakan tanaman jati secara intensif sejak adanya program GERHAN tahun 2005. Dengan adanya pembagian bibit tanaman kehutanan secara gratis dari pemerintah, masyarakat dituntun untuk dapat membudidayakan tanaman tersebut. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa rata-rata tinggi bebas cabang tanaman jati di Desa Karanglayung hanya setinggi tak lebih dari 2 m. Hal tersebut disebabkan kondisi lahan yang memiliki topografi yang berbukit-bukit dan curam, serta kondisi tanah yang berlempung dan berbatu
42
sehingga teknik pengolahan tanah menjadi terbatas. Berbeda dengan di desa lainnya petani tanaman jati Desa Karanglayung tidak melakukan tumpang sari tanaman semusim seperti padi, cabai dan sayuran pada tahun-tahun pertama setelah penanaman karena kondisi tanah dan umumnya banyak yang lebih memilih berternak dari pada melakukan tumpang sari di bawah tegakan jati muda. Para Petani kurang mengenal kegiatan pemeliharaan tanaman jati seperti wiwilan, penjarangan, dan pendangiran karena keterbatasan pengetahuan tentang teknik silvikultur yang baik. Umumnya para petani hanya mengenal jarak tanam, dan melakukan pemupukan bila diberi pupuk oleh pemerintah saja. Kurangnya informasi yang masuk dan anggapan masyarakat yang lebih memilih membiarkan tanaman jati tumbuh tanpa adanya kegiatan pemeliharaan merupakan salah satu faktor terhambatnya pertumbuhan tanaman jati di Desa Karanglayung. Berbeda dengan kondisi di Desa Conggeang Kulon, para petani dapat menggarap lahan desa dengan syarat yaitu, apabila desa memerlukan kayu, pemerintah desa dapat mengambil dari kayu milik petani. Selain itu, sistem bagi hasil tebangan belum terlalu jelas sehingga petani kurang begitu antusias menggarap lahannya. Kondisi lahan yang berbatu-batu dan kurangnya penyampaian informasi tentang kehutanan kepada petani dari penyuluh kehutanan dinilai sebagai salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pengelolaan hutan rakyat jati di Desa Conggeang Kulon. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, sebagian besar bibit tanaman jati yang ditanam petani berasal dari para penjual bibit yang biasanya selalu berkeliling menawarkan bibit tanaman kehutananan, sehingga bibit yang ditanam tidak dapat dipastikan kualitas serta asal usul benihnya. Pemberian pupuk dilakukan karena pada umur tanaman jati 0-1 tahun setelah tanam, lahan dapat digunakan untuk menanam tanaman padi sebagai pola tumpang sari. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa lahan yang diamati di Desa Babakan Asem, memiliki tanaman jati yang berasal dari pemberian pemerintah lewat program GERHAN yang ditanam namun kondisi pertumbuhannya stagnan dan tidak berkembang. Faktor kondisi tanah yang agak tergenang setelah hujan dan kondisi iklim yang tidak menentu merupakan salah satu alasan mengapa pertumbuhan tanaman jati tersebut tidak tumbuh dengan baik.
43
Tabel 7 Teknik persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan sumber asal bibit pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang Lokasi No Hal yang diamati 1
Kegiatan Persiapan lahan
2 a. b. c.
Teknik penanaman Jarak tanam Ukuran Lubang Pemupukan awal
a.
Teknik Pemeliharaan Pemupukan lanjutan
3
b. c. d.
e. f. 4
Penyulaman Penanganan HamaPenyakit Penyiangan
Pemangkasan cabang Penjarangan Sumber asal bibit
Babakan Asem Secara manual dengan cara dibabat dan dicangkul
Conggeang Kulon Secara manual dengan cara dibabat dan dicangkul
Karanglayung Secara manual dengan cara dibabat dan dicangkul
1,5 x 1,5 m 20 x 20 x 20 cm Urea/NPK dengan frekuensi 1-2 kali per tahun
Campuran 30 x 30 x 30 cm Urea tablet dengan frekuensi 2-3 kali per tahun
2,5 x 2,5 m 20 x 20 x 20 cm Urea/NPK saat pertama kali ditanam
Kompos 1-2 kali per tahun Dilakukan Tidak ada serangan Dilakukan secara manual dengan frekuensi 1 kali per tahun
Tidak ada
Tidak ada
Dilakukan Tidak ada serangan Dilakukan secara manual, sering dilakukan saat memasuki musim kemarau Sering dilakukan Tidal ada Pedagang keliling
Tidak ada Tidak ada serangan Dilakukan secara manual, jarang dilakukan
Sering dilakukan Tidal ada Pedagang keliling
Jarang dilakukan Tidal ada Pemerintah
Bibit tanaman jati yang ditanam sebagian besar merupakan bibit yang berasal dari pemberian pemerintah lewat GERHAN tahun 2005. Namun ada sebagian petani juga yang membeli bibit tanaman jati, mahoni dan gmelina dari penjual seharga Rp. 1.000,- per bibit. Ukuran dan kualitas bibit tanaman jati yang dibeli tidak diketahui dengan jelas asal usulnya. Penanaman dan pemupukan dasar, sebagian ada yang melakukan dan ada yang tidak melakukan, dilakukan setelah pembersihan lahan dan pembuatan lubang tanam berukuran 20 x 20 x 20 cm. menurut hasil wawancara dengan petani, jarak tanam yang dilakukan berkisar antara 1 x 3 m atau 2 x 3 m yang nantinya ada yang menambahkan dengan membeli bibit tanaman lain sehingga jarak tanamnya menjadi campuran. Berdasarkan hasil wawancara, para petani menerapkan sistem agroforesti yang hampir sama pada masing-masing desa yang diamati. Namun hal yang membedakannya adalah tanaman sela yang ditanam masing-masing petani. Pada Desa Babakan Asem, petani lebih menyukai menanam padi setelah penanaman. Ada pula petani yang menanam singkong, pisang atau buah manga sebagai
44
tanaman sela. Kegiatan tumpang sari hanya dapat dilakukan pada saat umur tanaman jati belum 2 tahun. Sedangkan pada Desa Conggeang Kulon, petani menanam padi saat tumpangsari sangat sedikit. Selain itu, petani menanam tanaman cabai dan palawija untuk mengisi kekosongan lahan. Ada juga yang tidak melakukan tumpang sari. Petani di Desa Karanglayung tidak pernah menanam tanaman padi sebagai kegiatan tumpang sari, namun petani biasanya menanam buah-buahan ataupun lamtoro sebagai pakan ternak sebagai tanaman sela. Tindakan pemeliharaan yang memiliki dampak pengaruh yang paling besar terhadap pertumbuhan tanaman jati adalah pemupukan. Pemupukan yang diberikan pada tanaman pokok akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pokok tersebut. Pupuk yang sering digunakan oleh petani adalah pupuk kompos, pupuk kandang NPK, dan urea tablet. Pupuk kandang atau pupuk kompos terkadang diberikan 1-2 kali setahun tiap tahun bila memungkinkan bagi petani. Sedangkan pemberian pupuk NPK, urea tablet dilakukan pada saat persiapan lahan agar kesuburan tanah meningkat. Tidak ada yang begitu jelas berapa takaran untuk kegiatan pemupukan yang dilakukan oleh petani. Petani hanya mengirangira seberapa besar pupuk diberikan pada tanaman. Kegiatan pemeliharaan yang umum dilakukan petani adalah kegiatan pendangiran dan pemangkasan cabang. Pendangiran yang dilakukan memiliki manfaat untuk membersihkan tanaman pokok dari serangan gulma dan kompetisi memperebutkan unsur hara dalam tanah. Selain itu, pendangiran bermanfaat juga untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kegiatan pendangiran dapat membantu memperbaiki sifat fisik tanah terutama perbaikan aerasi dan drainase tanah. Kegiatan pemangkasan cabang sering sekali dilakukan khususnya pada tanaman kehutanan. Kegiatan pemangkasan cabang merupakan kegiatan membuang atau mengurangi cabang bagian bawah pohon untuk memperoleh batang dengan bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu (Kosasih et al. 2002 dalam Indriyanto 2008).
45
5.5
Perbandingan Pertumbuhan Tanaman Jati Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang dengan Tanaman Jati BKPH Conggeang, KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten Hasil pengukuran yang dilakukan pada pertumbuhan tanaman jati di
hutan rakyat Kecamatan Conggeang akan dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman jati di Perum Perhutani Unit III Jabar Banten, KPH Sumedang. Data perbandingan pertumbuhan dimensi tanaman jati antara hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dengan pertumbuhan dimensi tanaman jati di Perhutani disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan diameter pertumbuhan tanaman jati antara hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dengan tanaman jati di Perum Perhutani KPH Sumedang Rata – Rata Dimensi Umur
Lokasi
3
6
12
Ket:
Diameter
Tinggi Bebas
Tinggi
LBDS
(cm)
Cabang (m)
Total (m)
(m2)
Hutan rakyat
5,51**
2,90*a
6,27tn.
0,0027tn.
Perum Perhutani
5,91**
2,83*a
6,12tn.
0,0028tn.
Hutan rakyat
9,18tn.
3,12tn.
8,38**
0,0075*a
Perum Perhutani
8,64tn.
3,04tn.
10,04**
0,0062*a
Hutan rakyat
13,93**
3,71**
10,78**
0,0166**
Perum Perhutani
20,29**
5,03**
15,69**
0,0300**
selang tingkat kepercayaan 95 % = beda nyata ** = sangat berbeda nyata *
tn.
= tidak nyata
Pada Tabel 8 dapat terlihat bahwa pertumbuhan tanaman jati di hutan rakyat sangat berbeda nyata pada kelas umur 3 dan 12 tahun dan tidak berbeda nyata pada kelas umur 6 tahun dalam hal diameter pohon. Sedangkan pertumbuhan tinggi bebas cabang berbeda nyata pada kelas umur 3 tahun, sangat berbeda nyata pada kelas umur 12 tahun, dan tidak nyata pada kelas umur 6 tahun. Pertumbuhan tinggi total tanaman jati pada hutan rakyat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata kecuali untuk kelas umur 3 tahun. Perbandingan Lbds antara hutan rakyat terhadap Perum Perhutani terlihat berbeda nyata pada kelas umur 6 dan 12 tahun.
46
Hal tersebut dikarenakan pengelolaan yang baik dan terstruktur dilakukan oleh Perum Perhutani untuk menghasilkan produksi kayu pertukangan yang berkualitas tinggi. Kegiatan yang dimulai dari persiapan bibit yang baik dan berkualitas sampai dengan kegiatan pemeliharaan telah diatur sedemikian rupa agar pertumbuhan tanaman pokok jati di Perum Perhutani dapat menghasilkan kualitas yang optimal. Sedangkan pengelolaan hutan rakyat pada umumnya hanya bersifat sebagai pengisi kekosongan lahan yang kurang produktif dimana masyarakat hanya beranggapan bahwa pohon merupakan tabungan atau investasi masa depan. Keterbatasan informasi dan teknologi kehutanan menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Conggeang. Keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada tempat tumbuhnya. Faktor-faktor lingkungan pada tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat mencakup faktor biotik dan faktor abiotik (Indriyanto 2008). Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif faktor lingkungan tersebut, maka diperlukan tindakan pemeliharaan tanaman. Berikut ini perbedaan kegiatan yang dilakukan antara pengelolaan hutan rakyat dengan Perum Perhutani dari tahapan asal bibit sampai pada kegiatan pemeliharaan. Indikator pertumbuhan suatu tanaman hutan di lapangan ditentukan oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang terdiri dari faktor genetis dan faktor-faktor lingkungan (Indriyanto 2008). Faktor yang membedakan pertumbuhan tanaman pokok jati antara hutan rakyat dengan Perum Perhutani adalah asal bibit, kegiatan pemeliharaan : pemupukan, pemangkasan cabang, dan kegiatan penjarangan. Kualitas asal bibit merupakan salah satu faktor genetis yang ikut mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Perum Perhutani menggunakan asal benih yang berkualitas yaitu Jati Plus Perhutani yang dikembangkan oleh Litbang Perum Perhutani Cepu sehingga kualitas bibit yang digunakan terjamin. Pertumbuhan tanaman akan optimal bila dari faktor genetis saja sudah unggul. Berbeda dengan bibit jati yang digunakan di hutan rakyat, petani umumnya memakai bibit yang dijual oleh pedagang keliling dimana kualitas dan asal benihnya tidak begitu jelas sehingga diragukan kualitasnya.
47
Tabel 9 Perbandingan pengelolaan hutan rakyat dengan Perum Perhutani No 1 2
Kegiatan Asal bibit Persiapan lahan
Penanaman a. Jarak tanam b. Lubang tanam 4 Pemeliharaan a. Penyulaman
Hutan Rakyat Tidak jelas asal usulnya Dilakukan secara manual.
Perum Perhutani Jati Plus Perhutani Dilakukan secara manual
Campuran 30 x 30 x 30 cm
3x3m 40 x 40 x 40 cm
Dilakukan bila mempunyai biaya.
Dilakukan sampai persentase tumbuh 100%. Dibuat jalur larikan tanaman pokok selebar 1 meter bagi tanaman tahun ke-II sampai dengan tahun ke-V. Pendangiran umumnya dilakukan secara manual. Tanah didangir sedalam 10 – 20 cm dengan membentuk piringan berdiameter 1 meter dan tanah dibuat gundukan setinggi minimal 10 cm. Pemupukan dilakukan pada tahun pertama sampai tahun ke lima.
3
b. Penyiangan
Penyiangan dilakukan sambil mencari pakan ternak.
c. Pendangiran
Pendangiran umumnya dilakukan secara manual. Namun tidak sering dilakukan.
d. Pemupukan
Pemupukan dengan urea dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Tahun selanjutnya digunakan pupuk kompos bila ada biaya. Pemangkasan cabang dilakukan tergantung pada masing-masing petani. Penjarangan dilakukan bila membutuhkan uang.
e. Pemangkasan cabang
f. Penjarangan
Pemangkasan cabang dilaksanakan setelah kegiatan penjarangan. Penjarangan dilakukan secara periodik menurut frekuensi tertentu.
Faktor penentu pertumbuhan tanaman yang tak kalah pentingnya adalah faktor lingkungan (tempat tumbuh). Faktor lingkungan dapat dimanipulasi oleh manusia agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan pemeliharaan tanaman. Menurut Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 1840/Kpts/Dir/1998 dalam Saimima (2010),
48
pemeliharaan hutan merupakan tindakan silvikultur dengan tujuan mewujudkan tegakan hutan yang mampu menghasilkan massa kayu yang kualitas dan kuantitasnya optimal sesuai dengan tempat tumbuhnya. Pemupukan merupakan kegiatan penambahan unsur hara pada media tumbuh tanaman untuk menyeimbangkan unsur hara yang diperlukan terhadap pertumbuhan tanaman. Kegiatan pemupukan sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan (Saimima 2010). Di Perum Perhutani, kegiatan pemupukan dilakukan setelah tanaman jati berumur 1 bulan dengan urea sebanyak 50 gr. Tanah di sekitar tanaman didangir dan dibuat pirangan dengan diameter + 50 cm sebelum pemupukan dilakukan. Kemudian dibuat dua lubang kecil untuk menaruh pupuk di Barat dan Timur tanaman dengan jarak 10-15 cm agar pupuk dapat diserap oleh akar dengan baik. Pupuk urea yang telah ditakar selanjutnya dimasukkan ke dalam kedua lubang tersebut masing-masing sebanyak 25 gr. Kemudian lubang tersebut ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan dilakukan kembali pada tanaman tahun ke-2 setelah didangir dan dibuat piringan. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan dosis sesuai ketentuan yaitu 100 gr. Kegiatan pemupukan pada tahun kedua sampai tahun kelima dilakukan pada triwulan I menjelang musim kemarau dan triwulan IV awal musim hujan. Berbeda halnya pada hutan rakyat, pemupukan dilakukan pada saat awal penanaman agar tanah menjadi subur. Setelah penanaman, pupuk urea diberikan pada tanaman padi sebagai tanaman tumpang sari sehingga secara tidak langsung juga memberi pupuk pada tanaman jati. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 1-2 kali per tahun dengan takaran 5 kg urea untuk lahan seluas 500-700 m2. Setelah tumpang sari tidak bias lagi dilakukan, petani hanya memberikan pupuk kandang apabila mempunyai modal. Nugroho (2003) menyimpulkan bahwa pemberian perlakuan melalui kegiatan penyiangan dan pemangkasan ringan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter jati super umur 1 tahun di Taman Hutan Cikabayan. Sedangkan kegiatan pemberian pupuk urea dengan dosis 250 gr per tanaman dan kegiatan pemeliharaan melalui kegiatan pemangkasan ringan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman.
49
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha mengindikasikan bahwa kegiatan pemeliharaan dapat berdampak pada pertumbuhan tanaman jati secara langsung. Pada Tabel 8 terlihat bahwa pada saat tanaman jati berumur 6 tahun, pertumbuhannya tidak berbeda nyata antara dimensi tanaman jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani. Akan tetapi pada tanaman jati kelas umur 12 tahun, pertumbuhan jati Perum Perhutani berbeda jauh dengan pertumbuhan jati hutan rakyat khususnya dalam diameter, tinggi total dan Lbds. Salah satu yang faktor penyebab perbedaan tersebut adalah adanya kegiatan penjarangan yang dilakukan di Perum Perhutani. Penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan dengan tujuan mengatur ruang tumbuh dengan cara mengurangi kerapatan tegakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas pohon (Saimima 2010). Kegiatan penjarang yang dilakukan Perhutani dapat dilihat dari perbedaan jumlah pohon per ha. Hutan monokultur yang dikelola perhutani memiliki jumlah pohon per ha sebesar 320 pohon per ha dengan kerapatan tegakan sebesar 0,032 pohon per m2. Sedangkan pada hutan rakyat jumlah pohon per ha salah satu lahan petani sebesar 390 pohon per ha dengan kerapatan tegakan sebesar 0,039 pohon per m2. Kegiatan penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh bagi tanaman jati yang memerlukan cahaya yang lebih untuk pertumbuhannya. Pengurangan kerapatan tegakan dapat mengurangi persaingan antar pohon di dalam pemenuhan kebutuhan cahaya matahari, unsur hara, air maupun udara. Pemangkasan cabang merupakan rangkaian kegiatan pemeliharaan hutan yang turut menentukan kualitas tegakan akhir. Pemangkasan cabang dilakukan dengan menghilangkan cabang yang tumbuh pada batang 1/3 bagian dari tinggi total dan ditinggalkan 2/3 bagian. Tegakan tinggal dari hasil penjarangan kualitasnya ditingkatkan kembali dengan melakukan pemangkasan cabang. Sehingga pada akhir daur diperoleh tegakan dengan pertumbuhan yang optimal. Dampak kegiatan pruning dapat dilihat pada Tabel 9 dimana tinggi bebas cabang pada tanaman jati Perhutani mencapai 5,03 m sedangkan tinggi bebas cabang tanaman jati hutan rakyat hanya mencapai 3,71 m. Dengan kegiatan pemeliharaan yang intensif dan baik dapat menambah pertumbuhan tanaman jati dengan sangat pesat.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan 1.
Pertumbuhan tanaman pokok jati (Tectona grandis Linn F.) yang paling baik pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang yang diamati adalah pertumbuhan tanaman jati di Desa Babakan Asem. Perbedaan pertumbuhan tanaman jati diduga dipengaruhi oleh faktor tanah dan perlakuan pemeliharaan.
2.
Terdapat perbedaan pertumbuhan tanaman pokok jati antara hutan rakyat dengan Perum Perhutani pada kelas umur 3 dan 12 tahun pada pengamatan diameter batang dan tinggi bebas cabang. Perbedaan tersebut disebabkan oleh faktor asal benih yang dipakai, sistem pengelolaan yang diterapkan.
6.2
Saran 1.
Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang pengaruh kegiatan pemeliharaan dan penerapan teknik silvikultur terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang.
2.
Perlu adanya pemberian informasi dan penyuluhan tentang teknik silvikultur yang murah dan mudah diterapkan pada penggarap hutan rakyat di Kecamatan Conggeang agar pengelolaannya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Yogyakarta: Debut Press. [BPS Kabupaten Sumedang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2009. Kabupaten Sumedang dalam Angka 2009. Budiatmoko SD, Gunawan H, Jayanto P, Purwanta S, Sumantoro P, Suryanaji, Inan, Astanti FE, dkk. 2008. Teknik Pengendalian Hama-Penyakit Tanaman Hutan (Jati, Pinus, Kayu Putih, Sengon). Cepu: Puslitbang Perum Perhutani. De Foresta H, Kusworo A, Michon G, Djatmiko WA. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan - Agroforest Khas Indonesia - Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor: ICRAF. Desa Babakan Asem. 2008. Format laporan profil desa dan kelurahan. Pemerintah Kabupaten Sumedang. Desa Conggeang Kulon. 2008. Format laporan profil desa dan kelurahan. Pemerintah Kabupaten Sumedang. Desa Karanglayung. 2009. Format laporan profil desa dan kelurahan. Pemerintah Kabupaten Sumedang. Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran 1. Bogor: ICRAF. Hairiah K, van Noordwijk M, Suprayogo D. 2002. Interaksi antara pohon-tanahtanaman semusim: Kunci keberhasilan kegagalan dalam sistem agroforestri. Di dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulcas : Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry. hlm 19-42. Hanafiah KA. 2005. Persada.
Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Kabupaten Sumedang. 2009. Profil Daerah Kabupaten Sumedang 2009. Sumedang: Bappeda Kabupaten Sumedang. Kecamatan Conggeang. 2010. Data potensi Kecamatan Conggeang semester I. Pemerintah Kabupaten Sumedang.
52
Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Status lingkungan hidup Indonesia 2006. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Lembaga Penelitian IPB. Tidak dipublikasikan. Martawijaya A, Kartasujana I, Prawira SA. dan Kadir K. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor: Badan Penelitian Hasil Hutan. Mulyana D, Asmarahman C. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka. Notohadiprawiro T, Soekodarmodjo S, Sukana E. 2006. Pengelolaan kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan. Di dalam: Ceramah pada Pertemuan Alih Teknologi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati 1 Jawa Tengah. Pati, 20-22 Agustus 1984. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Nugraha A. 2003. Pengaruh pemupukan dan penyiangan terhadap pertumbuhan tanaman jati super (Tectona grandis Linn.F.) di Taman Hutan Cikabayan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan RI No : P.3. 2011. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan Tahun Anggaran 2011. http://www.dephut.go.id/files/P51_2010.pdf. [5 april 2011]. Purwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. Bogor: IPB Press. ___________. 2004. Paduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan Mengenal Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Romansah D. 2007. Peran hutan rakyat dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rifa’i M. 2010. Pertumbuhan Tanaman Pokok Gmelina arborea Roxb. pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur [Skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Saimima PA. 2010. Kegiatan Praktek Kerja Profesi Pembinaan Hutan di KPH Saradan, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Istititut Pertanian Bogor, tidak diterbitkan.
53
Siregar
EBM. 2005. Potensi budidaya jati. [terhubung berkala] http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-edi%20batara10.pdf. [20 Des 2009].
Sitompul SM. 2002. Radiasi dalam sistem agroforestri. Di dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulcas: Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry. hlm 79-103. Suharjito D., editor. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Suryana Y. 2001. Budidaya Jati. Bogor: Swadaya. Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya (resources sharing) dalam agroforestri: Dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. J Ilmu Pertanian 12:165-178. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology, 3rd edition. Sinauer Associates. 690p. Zain AS. 1998. Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian Kabupaten Sumedang
55
56
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian Kecamatan Conggeang
RPH Sampora
RPH Cipelang
56
57
Lampiran 3 Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Babakan Asem No Koresponden
Usia
Pendidikan
1 40 tahun
SLTP
2 75 tahun
SD
3 45 tahun
SD
4 80 tahun
SD
5 60 tahun
SD
6 40 tahun
SMA
Pola Agroforestri Campuran mahoni Campuran mahoni Campuran mahoni Tumpang sari (padi) Tumpang sari (padi) Tumpang sari (padi)
Luas Lahan Garapan (m2) 8.400
Status Kepemilikan Lahan Pemilik
420
Pemilik
700
Pemilik
1.400
Pemilik
1.400
Pemilik
2.800
Pemilik
Lampiran 4 Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Conggeang Kulon No Koresponden
Usia
Pendidikan
1 27 tahun
SD
2 67 tahun
SD
3 53 tahun
SD
4 58 tahun
SD
5 40 tahun
SD
6 48 tahun
SD
7 46 tahun
Sarjana
Pola Agroforestri Campuran lamtoro Campuran gmelina Tumpangsari (buahan) Campuran gmelina Campuran gmelina Campuran gmelina
Luas Lahan Garapan (m2) 1.400
Penggarap saja
2.800
Penggarap saja
2.800
Penggarap saja
1.400
Penggarap saja
4.200
Penggarap saja
2.100
Penggarap saja
2.100
Penggarap saja
Status Kepemilikan Lahan
58
Lampiran 5 Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa Karanglayung Luas No
Nama
Koresponden
Petani
Pendidikan
Pola
Lahan
Agroforestri
Garapan (m2)
Status Kepemilikan Lahan
1 45 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
2 53 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
3 37 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
4 40 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
5 52 tahun
SD
-
4.200
Penggarap saja
6 38 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
7 42 tahun
SD
-
2.800
Penggarap saja
Lampiran 6 Rekapitulasi persentase penutupan tajuk
No
Titik Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 Ti T
3 75,00 63,54 82,29 84,38 67,71 43,75 84,37 46,87 56,25 51,04 68,14 31,86
Babakan Asem 6 55,73 33,85 68,75 39,06 33,33 34,46 34,15 36,46 40,62 10,42 41,64 58,36
12 43,05 37,50 46,53 60,42 45,83 38,54 23,26 46,52 22,30 40,62 42,29 57,71
Lokasi Conggeang Kulon 3 6 88,54 34,58 77,08 29,58 88,54 49,38 53,13 53,54 64,58 53,75 51,04 43,96 66,67 56,25 39,58 37,71 69,79 53,33 56,25 42,29 68,14 47,23 31,86 52,77
12 16,67 20,83 46,88 46,88 55,21 32,29 15,63 93,75 29,17 61,46 43,55 56,45
Karanglayung 3 6 13,54 16,15 18,75 19,44 40,65 31,94 33,33 30,73 51,04 26,04 51,04 36,63 52,08 32,64 53,13 44,10 23,96 42,36 25,00 42,53 47,02 31,99 52,98 68,01
59
60
Lampiran 7 Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Babakan Asem
No Plot
1
2
3
Kondisi
Umur Jati (thn)
Jenis Tanaman
12 Jati
K (cm)
D (cm)
T tot (m)
Tbc (m)
Lbds 2
(m )
Tajuk P
L
(m)
(m)
43,82 13,96 12,51
4,44 0,0170
2,42 1,69
Qormis
75,00 23,89 10,50
3,50 0,0457
2,00 1,00
Mangga
20,00
5,00
1,00 0,0032
2,00 1,50
Mahoni
44,92 14,31 11,86
3,95 0,0198
2,27 1,44
Lamtoro
33,00 10,51 10,25
4,00 0,0129
1,75 1,00
Kihiang
110,00 35,03 21,00
9,00 0,0998
2,33 1,67
Gmelina
77,50 24,68 15,50
4,75 0,0479
2,00 1,75
42,00 13,38 11,57
3,71 0,0156
2,43 2,00
Kapuk randu
48,00 15,29 13,00
9,00 0,0183
2,00 2,00
Lamtoro
61,80 19,68 15,20
6,40 0,0333
2,00 1,50
Mahoni
40,66 12,95 11,14
3,55 0,0143
1,91 1,36
45,84 14,60 12,51
3,77 0,0183
2,55 1,80
98,00 31,21 13,00
3,00 0,0765
2,00 1,50
12 Jati
12 Jati Kihiang
6,37
4
6 Jati
29,70
9,46
8,13
3,71 0,0084
1,98 1,35
5
3 Jati
16,78
5,35
7,02
3,67 0,0027
2,06 1,29
26,38
8,40
7,13
2,88 0,0064
2,00 1,13
34,96 11,13 10,09
3,67 0,0102
3,45 2,42
Gmelina
6
6 Jati
61
Lampiran 8 Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Conggeang Kulon No
Umur
Plot
Jati (thn)
Kondisi Jenis Tanaman
1
6 Jati
2
12 Jati
3
4
7
(m)
Tbc (m)
Lbds 2
(m )
Tajuk P
L
(m)
(m)
3,47 0,0045 3,16 2,10
43,58 13,88
9,38
3,45 0,0163 3,56 2,53
6 Jati
19,54
6,22
5,89
2,70 0,0033 2,91 1,92
6 Jati
30,59
9,74
8,26
3,05 0,0081 3,33 2,30
37,93 12,08
8,67
4,23 0,0125 3,17 1,88
28,02
8,92
8,77
3,66 0,0067 3,49 2,19
51,67 16,45
9,00
3,33 0,0213 3,00 2,17
23,14
7,37
7,74
3,18 0,0046 3,03 2,00
Gmelina
29,00
9,24
8,67
3,33 0,0068 3,00 1,67
Mahoni
25,00
7,96
7,82
2,91 0,0052 3,00 1,95
15,59
4,97
5,75
3,35 0,0021 2,45 1,40
29,00
9,24
8,00
5,00 0,0067 3,00 1,00
6 Jati
6 Jati
3 Jati Gmelina
22,47
(cm)
T tot
6,59
Mahoni
6
(cm)
D
7,16
Gmelina
5
K
62
Lampiran 9 Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Karanglayung
No Plot
Umur Jati (thn)
Jenis Tanaman
K (cm)
D (cm)
T tot (m)
Tbc (m)
Lbds (m2)
2,48 2,00 4,70 1,59
0,0072 0,0981 0,0080 0,0030
Kondisi Tajuk P L (m) (m) 2,70 1,57 3,00 2,00 2,65 1,20 2,29 1,43
1
6 Jati Sengon Lamtoro Mahoni
28,46 9,06 10,37 111,00 35,35 21,70 29,40 9,36 11,25 18,43 5,87 10,00
2
6 Jati Lamtoro
34,85 11,10 12,82 39,60 12,61 8,60
1,97 0,0103 3,50 0,0129
5,04 2,80
2,94 1,40
3
6 Jati Lamtoro Mahoni
22,53 7,18 33,88 10,79 18,00 5,73
6,26 6,13 5,00
1,60 0,0045 2,75 0,0120 2,13 0,0027
2,79 1,50 2,00
1,61 0,75 1,00
4
6 Jati
23,34
7,43
6,38
2,40 0,0049
2,27
1,22
5
3 Jati Lamtoro Mahoni Tisuk Sirsak
19,60 16,71 23,53 21,81 24,00
6,24 5,32 7,49 6,95 7,64
6,10 6,83 6,66 7,28 6,00
1,78 3,83 2,23 3,38 1,00
0,0034 0,0024 0,0050 0,0065 0,0046
2,02 2,17 1,99 1,97 2,00
1,02 1,25 0,99 0,96 1,00
6
6 Jati Gmelina Mahoni Nangka
34,14 10,87 10,00 3,18 31,00 9,87 10,00 3,18
7,95 4,00 7,00 4,00
3,11 3,00 2,50 2,00
0,0101 0,0008 0,0086 0,0008
3,29 8,00 3,00 2,00
1,80 6,00 1,50 2,00
7
6 Jati Karet Lamtoro
33,20 10,57 16,00 5,10 28,47 9,07
7,68 6,00 7,63
3,16 0,0094 4,00 0,0020 4,84 0,0067
2,27 2,00 1,93
1,23 1,00 0,95
63
Lampiran 10 Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 3 tahun Two-Sample T-Test and CI: diameter, data Two-sample T for diameter data 1 2
N 446 78
Mean 5.44 5.91
StDev 2.18 1.06
SE Mean 0.10 0.12
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -0.467917 95% CI for difference: (-0.780639, -0.155194) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.95 = 211
P-Value = 0.004
DF
P-Value = 0.076
DF
P-Value = 0.046
DF
P-Value = 0.410
DF
Two-Sample T-Test and CI: Ttot, data Two-sample T for Ttot data 1 2
N 446 78
Mean 6.40 6.12
StDev 1.98 1.16
SE Mean 0.094 0.13
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 0.289324 95% CI for difference: (-0.030140, 0.608788) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.79 = 167
Two-Sample T-Test and CI: Tbc, data Two-sample T for Tbc data 1 2
N 446 78
Mean 3.12 2.83
StDev 1.41 1.16
SE Mean 0.067 0.13
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 0.297516 95% CI for difference: (0.005541, 0.589492) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.02 = 120
Two-Sample T-Test and CI: LBDS, data Two-sample T for LBDS data 1 2
N 446 78
Mean 0.00269 0.002829
StDev 0.00271 0.000944
SE Mean 0.00013 0.00011
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -0.000138 95% CI for difference: (-0.000466, 0.000191) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.82 = 337
64
Lampiran 11 Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 6 tahun Two-Sample T-Test and CI: Diameter, data Two-sample T for Diameter data 1 2
N 1241 97
Mean 8.80 8.64
StDev 3.22 2.05
SE Mean 0.091 0.21
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 0.153345 95% CI for difference: (-0.297048, 0.603738) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.67 = 135
P-Value = 0.502
DF
P-Value = 0.000
DF
P-Value = 0.147
DF
P-Value = 0.035
DF
Two-Sample T-Test and CI: Ttot, data2 Two-sample T for Ttot data2 1 2
N 1241 13
Mean 7.97 10.038
StDev 2.73 0.923
SE Mean 0.078 0.26
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -2.07118 95% CI for difference: (-2.64507, -1.49729) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.74 = 14
Two-Sample T-Test and CI: Tbc, data2 Two-sample T for Tbc data2 1 2
N 1241 13
Mean 2.85 3.038
StDev 1.12 0.431
SE Mean 0.032 0.12
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -0.190919 95% CI for difference: (-0.458274, 0.076436) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.54 = 13
Two-Sample T-Test and CI: LBDS, data Two-sample T for LBDS data 1 2
N 1241 97
Mean 0.00689 0.00620
StDev 0.00522 0.00286
SE Mean 0.00015 0.00029
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 0.000694 95% CI for difference: (0.000051, 0.001337) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.13 = 151
65
Lampiran 12 Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan rakyat dengan Perum Perhutani umur 12 tahun Two-Sample T-Test and CI: diameter, data Two-sample T for diameter data 1 2
N 392 32
Mean 14.07 20.29
StDev 4.55 3.17
SE Mean 0.23 0.56
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -6.21511 95% CI for difference: (-7.43772, -4.99249) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -10.26 DF = 42
P-Value = 0.000
Two-Sample T-Test and CI: Ttot, data Two-sample T for Ttot data 1 2
N 392 32
Mean 12.23 15.69
StDev 6.13 2.05
SE Mean 0.31 0.36
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -3.45663 95% CI for difference: (-4.40394, -2.50932) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.25 = 88
P-Value = 0.000
DF
P-Value = 0.003
DF
P-Value = 0.000
DF
Two-Sample T-Test and CI: Tbc, data Two-sample T for Tbc data 1 2
N 392 32
Mean 4.21 5.03
StDev 1.62 1.41
SE Mean 0.082 0.25
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -0.825128 95% CI for difference: (-1.357837, -0.292418) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.14 = 37
Two-Sample T-Test and CI: Lbds, data Two-sample T for Lbds data 1 2
N 392 32
Mean 0.0172 0.03281
StDev 0.0106 0.00958
SE Mean 0.00054 0.0017
Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: -0.015648 95% CI for difference: (-0.019250, -0.012047) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -8.80 = 37