SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | DISKURSUS
Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar Ratna Amanati
[email protected] Progam Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Riau
Abstrak Rumah Melayu adalah rumah yang berpanggung. Di satu daerah Kampar Riau terdapat dua langgam rumah Melayu yang memiliki perbedaan ketinggian panggung bahkan dalam satu desa. Apakah perbedaan ini menyangkut pada fungsi, teknis, faktor geografi, perilaku masyarakat, atau budaya dan adat istiadat. Tulisan ini akan membahas mengenai perbedaan ketinggian panggung pada rumah-rumah Melayu ini dan alasan-alasan yang menyebabkannya dengan tujuan untuk mendapatkan alasan dan pertimbangan dalam penentuan ketinggian panggung rumah Melayu. Pembahasan dengan menggunakan objek rumah-rumah Melayu di daerah Kampar Riau. Point pentingnya adalah untuk mengkritisi tentang kemungkinan-kemungkinan alasan dibuatnya panggung dengan ketinggian tertentu. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa pertimbangan dan alasan penentuan ketinggian panggung rumah Melayu Kampar terkait dengan nilai-nilai yang dianut dan dipercayai oleh penghuni rumah. Kata lunci: alasan, ketinggian panggung, rumah Melayu Pendahuluan Di daerah Kampar Riau masih terdapat cukup banyak rumah Melayu, baik yang masih ditinggali maupun yang sudah ditinggalkan. Rumah-rumah Melayu di daerah Kampar dapat dibedakan dalam dua langgam yang jelas perbedaan bentuknya. Pertama adalah rumah lontik atau lancang, kedua adalah rumah dengan langgam Melaka. Dikatakan rumah lontik karena memiliki atap lentik yang hampir mirip dengan bentuk gonjong di daerah Minangkabau. Disebut rumah lancang karena atap dan lantainya melengkung dengan ornamen ukiran yang melengkung mengikuti kelengkungan lantai seperti hal yang terdapat pada lancang atau perahu di daerah Riau (Wahyuni, 1984). Ungkapan ini digunakan walaupun belum diketahui kebenaran tentang lebih dahulunya bentuk yang digunakan, apakah bentuk rumah yang mengikuti bentuk perahu atau justru bentuk perahu yang mengikuti bentuk rumah. Kedua, yaitu langgam Melaka adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat setempat dalam menyebut nama bentuk rumah tersebut. Sebutan demikian karena konon bentuk rumah ini dibawa oleh orang-orang yang berasal dari Melaka atau yang pulang merantau dari Melaka. Kesamaan dari kedua langgam tersebut adalah adanya panggung. Sebagaimana diketahui bahwa rumah Melayu adalah rumah yang berpanggung. Hal ini terungkap pada pernyataan Effendi (2003) bahwa rumah Melayu adalah rumah yang bertiang dan bertangga. Namun ketika dicermati, ada perbedaan ketinggian panggung pada keduanya. Rumah lontik memiliki ketinggian panggung yang paling rendah setinggi kepala orang dewasa berdiri. Sementara ketinggian panggung rumah Melaka lebih rendah dari itu. Sehingga walaupun memiliki kesamaan adanya panggung namun ketinggian panggung tersebut berbeda.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 233
Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar
Objek dan Persoalan Perbedaan ketinggian panggung dapat terjadi karena memang langgam yang digunakan berbeda. Namun mengapa ada dua langam yang berbeda dalam satu kampung sehingga terdapat juga perbedaan ketinggian panggung? Baiklah jika perbedaan bentuk atap itu untuk membedakan simbol kebudayaan ataupun gaya hidup yang mereka anut. Namun apakah ketinggian panggung juga mengacu pada bentuk atap ataupun gaya hidup? Jika keberadaan panggung ini adalah karena menanggapi iklim, material, dan teknologi yang mempengaruhi bentuk dan elemen rumah sebagaimana yang dikatakan oleh Rapoport (1969), bukankah iklim dalam satu kampung itu sama. Penggunaan material juga sama karena diambil dari bahan setempat. Pembuatannya juga dilakukan secara bersama dengan bergotong royong yang harus diawali dengan musyawarah adat (Wahyuningsih, 1984). Lalu mengapa harus ada perbedaan? Lalu seberapa besarkah pengaruh dari pola hidup, kepercayaan, dan konteks lingkungan dalam pembentukan panggung dengan ketinggian lantainya? Sementara perbedaan orang yang mampu dan yang tidak mampu bukan terletak pada seberapa ketinggian panggungnya, tetapi terletak pada seberapa banyaknya hiasan pada rumah, besar kecilnya rumah, dan halus atau tidaknya pekerjaan tukang pembuat rumah.
Gambar 1. Langgam rumah Lontik atau Lancang atau Pencalang 234 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Ratna Amanati
Gambar 2. Langgam Melaka
Pembahasan Jika merujuk pada istilah guna dan citra, kata “guna” menunjuk pada keuntungan (Mangunwijaya, 2009). Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “guna” dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materiial belaka, tetapi lebih dari itu punya daya yang menyebabkan kehidupan lebih meningkat. Sedangkan “citra”, sebetulnya hanya menunjuk suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang menangkap arti bagi seseorang, seperti kemewahan, kewibawaan, dan yang lainnya. Ketika ketinggian panggung dikaitkan dengan langgam semestinya panggung akan lebih banyak berupa kesan gambaran atau image tersebut. Namun telah banyak dikenal sebuah pengetahuan bahwa rumah-rumah di nusantara menggunakan panggung untuk mengantisipasi banjir, serangan binatang buas, dan ventilasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Winandari (2005). Pernyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Wahyuningsih (1984) bahwa rumah menggunakan panggung disebabkan untuk menjaga kemungkinan bahaya binatang buas dan banjir. Hal ini cukup masuk akal karena di Riau sungai-sungainya seringkali di landa banjir, sedangkan penduduk mendirikan rumah di sepanjang aliran sungai termasuk masyarakat Kampar yang mendirikan rumah di tepian sungai Kampar. Jika memang ini adalah alasan adanya panggung, maka perlu dikaji kembali seberapakah ketinggian luapan air saat banjir, hanya setinggi pinggang manusia atau setinggi lehernya. Pada satu kampung di satu tepian sungai, biasanya memiliki ketinggian luapan air yang sama. Namun di kampung ini ketinggian panggung rumahnya berbeda. Hal ini mungkin karena sebenarnya luapan airnya maksimal setinggi pinggang sehingga banyak yang menggunakan panggung rendah. Namun karena masih ada rasa was-was dan demi ketenangan jiwa, sebagian warga meninggikan panggungnya
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 235
Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar
hingga sekepala orang dewasa. Sehingga peninggian ini adalah untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut. Jika pembuatan panggung untuk mengantisipasi serangan binatang buas, bukankah kemungkinan adanya binatang buas dalam suatu kampung adalah binatang yang sama jenisnya. Sehingga serangan binatangnya juga sama. Berkemungkinan juga lompatan serangan binatang buas tersebut tidaklah terlalu tinggi, namun adanya kekhawatiran yang berlebih maka sebagian warga lebih meninggikan panggungnya sehingga memiliki ketinggian yang berbeda. Adanya ventilasi pada rumah panggung memang sangat menyejukkan ruang dalam rumah. Dari ketinggian panggung yang berbeda kemungkinan sirkulasi udaranya juga berbeda. Panggung yang lebih tinggi akan lebih terhindar dari kelembaban dan sirkulasi udara lebih segar. Pada sumber lain Purnomo (2005) menyebutkan bahwa keberadaan panggung dimanfaatkan kolongnya untuk menyimpan peralatan sehari-hari seperti kayu bakar. Penyimpanan kayu bakar ini dimungkinkan sebagai simpanan kebutuhan di saat bulan puasa. Kolong juga dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak dan kegiatan bertukang. Jika kolong sebagai tempat bermain anak, maka ketinggian panggung akan menjadi sangat relatif karena tinggi badan anak juga relatif pada masingmasing umur anak.Kolong panggung juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyimpan sampan (Prabowo, 2005). Dikatakan bahwa sampan adalah alat transportasi lokal karena rumah berada di tepian air, dan akan sangat berguna pada saat-saat banjir, sehingga masyarakat mempersiapkannya di ruang kolong panggung. Keberadaan kolong juga dimanfaatkan sebagai tempat binatang ternak. Melihat fungsi yang demikian, yaitu sebagai ruang penyimpanan maka untuk penyusunan simpanan sepertinya juga membutuhkan ruang bagi orang berdiri di dalamnya, sehingga ketinggian panggung harus memungkinkan orang untuk berdiri di kolongnya. Atau cara penyimpanan cukup dengan disorongkan ke dalam kolong sehingga orang tidak perlu masuk ke dalamnya dan ketinggian panggung juga akan lebih rendah. Jika fungsi ini memang telah direncanakan maka ketinggian panggung menjadi suatu elemen yang diperhitungkan di awal perancangan rumah. Namun jika ini sebatas pada pemanfaatan kolong, maka fungsi bukanlah bagian dari perancangan rumah namun sebagai akibat suatu pemanfaatan ruang yang ada. Apabila fungsi kolong sebagai bagian dari perancangan maka terlihat adanya usaha pemisahan antara kegiatan manusia secara keseharian sebagai hajat hidup manusianya dengan kegiatan yang berhubungan dengan penempatan peralatan pelengkap atau bahkan kegiatan binatang. Hal ini dapat dinilai sebagai usaha manusia untuk menempatkan manusia pada tempat yang lebih tinggi dari benda-benda peralatan bahkan binatang ternak. Hal ini merupakan usaha untuk memanusiakan manusia karena membedakan manusia dengan binatang dan menempatkannya pada tempat yang lebih tinggi. Kemungkinan lain yang menjadi alasan ketinggian panggung di daerah Kampar adalah adanya ketentuan adat yang mengarahkan keberadaan rumah yang harus menggunakan tangga dengan jumlah lima atau enam. Lima anak tangga ini memiliki makna rukun Islam yang lima atau rukun iman yang lima. Hal ini menjadi ketentuan adat karena memang masyarakat daerah Kampar adalah masyarakat Melayu yang beragama Islam sehingga menjadikan Islam sebagai sumber adat istiadat Melayu (Ghalib, 2011). Dikatakan oleh (Stapa, 2012) bahwa Islam menjadi jati diri Melayu. Jumlah anak tangga yang lima dengan ketentuan adat ini ditegaskan oleh Utami (2005) sebagai ekspresi tatanan ajaran Islam yang sesuai dengan pantun Melayu, yaitu
236 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Ratna Amanati
Anak tangga bersusun lima Lima rukun di dalamnya Yang sesuai menurut Syara’ Yang lulus menurut kitab Jumlah anak tangga yang lima ini memiliki makna seperti yang terungkap dalam pantun
Yang pertama memberi salam Yang kedua pengisik debu Yang ketiga pelepas penat Yang keempat peninjauan laman Yang kelima pijakan adat Dari anak tangga yang berjumlah lima buah ini dapat diperkirakan ketinggian panggung adalah sekitar satu meter hingga 120 cm. Tetapi dengan lima atau enam anak tangga sulit kemungkinan ketinggian panggung mencapai tinggi kepala manusia. Namun inilah tangga yang ada pada sebagian rumah Melayu di Kampar. Kemungkinan yang menjadi penyebab ketinggian panggung adalah kebiasaan masyarakat dalam menjaga kebersihan badan dan rumah dengan membiasakan mencuci kaki di pangkal tangga dengan menyediakan tempayan atau bak air di sekitar itu. Hal ini belum ada sumber yang menyebutkan apakah mereka terbiasa membersihkan diri terlebih dahulu agar rumahnya terjaga kebersihannya sehingga lantai rumah ditinggikan atau mereka meninggikan rumah agar siapapun orang yang memasukinya tidak mengotorinya. Perbedaan ketinggian rumah karena hal ini mungkin karena adanya anggapan dan penilaian bahwa semakin tinggi rumah akan semakin terjaga kebersihan rumahnya. Ketinggian panggung berkemungkinan juga disebabkan oleh berlakunya unsur privacy dalam masyarakat. Ini untuk menjaga pandangan terhadap para wanita penghuni rumah. Para penghuni rumah terutama kaum wanitanya sering berpakaian seadanya atau berkain kemben tanpa baju ketika di rumah, tidur-tiduran di dalam rumah yang tanpa penyekat atau pelindung. Jika rumah bertiang rendah atau memiliki ketinggian panggung yang rendah maka kegiatan dan kondisi para wanita penghuni rumah itu akan kelihatan dari luar. Namun jika ketinggian rumah mencapai di atas kepala manusia maka orang yang lalu lalang di depan rumah tidak akan melihat isi rumah yang lebih tingi dari garis matanya. Adanya perbedaan ketinggian panggung pada rumah Melayu di Kampar berkemungkinan dikarenakan perbedaan perilaku pada penghuni rumahnya. Perilaku penghuni rumah berpanggung rendah berbeda dengan perilaku berpanggung tinggi. Namun ini pun belum diketahui apakah perilaku ini lebih dahulu ada kemudian ditanggapi dengan ketinggian panggung yang membentuk rumah atau bentuk rumah dengan ketinggian panggung yang ada menyebabkan perilaku penghuni rumah menjadi demikian. Kesimpulan Dari beberapa pertimbangan dan alasan yang telah dikemukakan untuk menentukan ketinggian panggung pada rumah Melayu di Kampar diperoleh kesimpulan bahwa usaha meninggikan panggung terkait dengan niali-nilai yang dianut dan dipercayai oleh penghuni rumah itu sendiri. Nilai-nilai ini menyangkut aspek fungsi, filosofi, keamanan, dan perilaku manusianya. Daftar Pustaka Effendi, H.T. & Kadir, E. (2003). Ragam Hias pada Bangunan Tradisional Melayu Riau. Sebati Riau Art Gallery & PT Caltex Pasific Indonesia. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 237
Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar Ghalib, W. (2011). Adat Istiadat dalam Pergaulan orang Melayu. www.adicita.com/artikel/detail/id/617/AdatIstiadat-dalam-Pergaulan-Orang-Melayu. Mangunwijaya, Y.B. (2009). Wastu Citra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Prabowo, H. dkk. (2005). The Enclave of Malay Architecture in Jambi City. Proceeding: International Seminar Malay Architecture as Lingua Franca. Jakarta. Trisakti University Purnomo, A.B. dkk. (2005). Transformasi Rumah Vernakular Aceh. Proceeding: International Seminar Malay Architecture as Lingua Franca. Jakarta. Trisakti University. Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. Prentice-Hall, Inc. New York. Englewood Cliffs. Stapa, Z. dkk. (2012). Islam Asas Pembentukan Jati Diri Bangsa Melayu-Muslim. Jurnal Hadhari Special Edition 129-141. Malaysia. Jabatan Kemajuan Islam Malaysia dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Utami, L. dkk. (2005). Fungsi Laten Rumah Tinggal Melayu Deli. Proceeding: International Seminar Malay Architecture as Lingua Franca. Jakarta. Trisakti University. Wahyuningsih, R.A. (1984). Arsitektur Tradisional Daerah Riau. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah. Winandari, M.I.R. (2005). Arsitektur Melayu adalah Arsitektur Tropis Malay Architecture is a Tropical Architecture. Prosceeding: International Seminar Malay Architecture as Lingua Franca. Jakarta. Trisakti University.
238 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017